Upload
dokhue
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
HASIL
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Profil SMA Negeri 3 Bogor
SMA Negeri 3 Bogor yang terletak di Jalan Pakuan No.4 Bogor, resmi
berdiri pada tanggal 1 Juli 1981. Awalnya sekolah ini bernama SMA
Baranangsiang yang didirikan oleh Bapak Ali Sadikin. Gedung di Jalan Pakuan
ini pernah dipergunakan oleh SMAN 2, SMAN 3, dan SMAN 4 hingga akhirnya
ditetapkan bahwa SMAN 3 Bogor lah yang berhak menempati lokasi tersebut.
SMAN 3 Bogor memiliki 25 kelas dan siswa lebih dari 1000 orang serta telah
tumbuh dan berkembang menjadi salah satu sekolah favorit di Bogor. Salah satu
prestasi yang terukir adalah selalu terjadi peningkatan jumlah siswa yang diterima
di PTN baik melalui jalur SPMB maupun jalur USMI (Ujian Saringan Masuk).
Dalam menunjang seluruh aktivitas akademik dan non-akademik, SMAN 3 Bogor
dibina oleh 59 guru tetap, 6 guru tidak tetap, 8 orang bagian tata usaha, dan 9
orang pembantu umum.
Kelas Akselerasi SMA Negeri 3 Bogor
Mulai tahun ajaran 2002/2003 SMAN 3 Bogor diberi kepercayaan oleh
Dinas Pendidikan Kota Bogor untuk membuka kelas Akselerasi yaitu kelas
percepatan yang membuat siswa dapat menyelesaikan pendidikan di SMA dalam
waktu hanya 2 tahun saja. Layanan pembelajaran yang menyamaratakan
kemampuan siswa ternyata bertentangan dengan kenyataan bahwa setiap orang
memiliki potensi dan kemampuan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan
suatu perubahan dalam hal strategi pelayanan pembelajaran dengan memberikan
pelayanan sesuai dengan minat dan kemampuan siswa. Salah satu cara yang dapat
dilakukan adalah dengan mengelompokkan siswa dalam kelas akselerasi. Tujuan
dari adanya program kelas akselerasi ini antara lain, memberikan layanan kepada
anak berbakat untuk mewujudkan bakat dan kemampuannya secara optimal,
memberikan kesempatan pada siswa untuk menyelesaikan pendidikan lebih awal
(2 tahun), mengembangkan kemampuan intelektual, emosional, dan spiritual
secara komprehensif dan optimal sesuai dengan potensi siswa, serta
34
mengembangkan kreativitas siswa secara optimal untuk melanjutkan pendidikan
pada jenjang yang lebih tinggi dan hidup di masyarakat secara mandiri.
Kelas RSBI SMA Negeri 3 Bogor
Era Globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam
teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia. Dalam upaya mewujudkan hal
tersebut, Pemerintah melakukan berbagai inovasi di bidang pendidikan. Salah
satunya dengan mendirikan kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).
RSBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan
standar nasional pendidikan Indonesia namun dengan taraf Internasional sehingga
lulusannya memiliki kemampuan daya saing Internasional. SMAN 3 Bogor
sebagai penyelenggara pendidikan berkeyakinan bahwa paradigma baru
pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik
seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan dengan proses pendidikan
yang bermartabat, pro perubahan (kreatif, inovatif, dan experimentatif), serta
dapat menumbuhkembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik. Dengan
demikian penyelenggaraan kelas RSBI di SMAN 3 Bogor dapat memfasilitasi
peserta didik agar mempunyai daya saing Internasional, menghasilkan lulusan
yang berkelas Nasional dan Internasional serta meletakkan dasar kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, dan keterampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
Program pendidikan yang akan dilaksanakan oleh kelas Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) antara lain, lama peserta didik belajar adalah 3 tahun
untuk mata pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Bahasa Inggris
dengan menggunakan kurikulum nasional dan Internasional, menggunakan bahasa
pengantar bilingual (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia), menggunakan
teknologi komunikasi Informasi (ICT), dan menerapkan model pembelajaran yang
bertujuan mendorong siswa menjadi kreatif, inovatif, dinamis, dan mandiri.
Fasilitas belajar yang diberikan, yaitu ruang kelas yang memenuhi standar
Internasional, pembelajaran berbasis ICT, Laboratorium IPA dan Bahasa. Selain
itu juga tersedia akses internet dan ruang multimedia.
35
Profil SMA Negeri 8 Bogor
SMAN 8 Kota Bogor didirikan pada tanggal 5 Oktober 1994. Awalnya
sekolah ini berdiri dengan nama SMAN 1 Kedunghalang yang diresmikan oleh
kepala kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan provinsi Jawa Barat. Pada
awalnya, SMAN 1 Kedunghalang belum mempunyai gedung sendiri sehingga
harus menyatu dengan SMAN 6 Kota Bogor. Sekolah ini dikepalai pertama kali
oleh bapak Drs. Yusupandi dengan guru sebanyak 25 orang dan murid berjumlah
200 orang. Pada tahun 1994 SMAN 1 Kedunghalang ini berganti nama menjadi
SMAN 8 Kota Bogor yang digunakan sampai dengan sekarang.
Sekolah yang beralamat di Jalan BTN Ciparigi No. 60, Desa Ciparigi,
Kecamatan Bogor Utara ini memiliki visi menjadi sekolah yang nyaman dengan
sumber daya manusia yang berkualitas dan berwawasan teknologi berlandaskan
iman dan taqwa. Selain itu, SMAN 8 juga memiliki beberapa misi, antara lain,
meningkatkan prestasi akademik lulusan, membentuk peserta didik yang
berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, meningkatkan prestasi ekstra
kurikuler, menumbuhkan minat baca, meningkatkan kemampuan berbahasa
Inggris, serta meningkatkan wawasan berbasis teknologi bagi pendidik dan
peserta didik.
Karakteristik Contoh
Jenis Kelamin
Jumlah contoh pada penelitian ini adalah sebanyak 86 orang yang berasal
dari tiga kelompok kelas yang berbeda, yaitu 26 contoh dari kelas akselerasi, 30
contoh dari kelas RSBI, dan 30 contoh dari kelas reguler. Lebih dari separuh
contoh dari masing-masing kelas tersebut terdiri atas contoh yang berjenis
kelamin perempuan, yaitu persentase masing-masing kelas sebesar 61,5 persen di
kelas akselerasi, 60 persen di kelas RSBI, dan 66,7 persen di kelas reguler (Tabel
2).
Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Contoh Akselerasi RSBI Reguler Total
n % n % n % n %
Laki-laki 10 38,5 12 40,0 10 33,3 32 37,2
Perempuan 16 61,5 18 60,0 20 66,7 54 62,8
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
36
Usia
Usia contoh secara keseluruhan tergolong ke dalam remaja awal (13-16
tahun) dan remaja akhir (17-18 tahun). Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa data
menyebar dengan rata-rata usia ketiga jenis contoh adalah 16 tahun. Seluruh
contoh pada kelas akselerasi termasuk dalam kategori remaja awal, yaitu berada
pada kisaran usia 13 sampai 16 tahun. Lebih dari separuh contoh pada kelas RSBI
(53,3%) dan kelas reguler (53,3%) termasuk ke dalam kategori remaja awal. Hasil
uji beda one way anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata
dalam hal usia (p<0,01) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga reguler.
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia
Urutan Kelahiran
Urutan kelahiran diklasifikasi menjadi anak sulung, anak tengah, dan anak
bungsu. Terlihat bahwa data menyebar dengan rata-rata urutan kelahiran ketiga
kelompok contoh adalah anak sulung. Ketiga kelompok contoh memiliki
persentase paling besar pada urutan anak sulung. Lebih dari separuh contoh pada
kelas akselerasi (61,5%) merupakan anak sulung. Pada kelas RSBI, hampir
separuh contoh juga merupakan anak sulung (46,7%), dan separuh contoh pada
kelas reguler (50,0%) pun merupakan anak sulung. Orang tua cenderung
memberikan tuntutan dan menetapkan standar yang tinggi bagi anak sulung. Hal
tersebut dapat membuat anak meraih keberhasilan dan memiliki pekerjaan yang
lebih baik dibandingkan saudara kandungnya. Akan tetapi, tekanan untuk menjadi
berhasil tersebut dapat menjadi alasan mengapa anak sulung seringkali memiliki
rasa bersalah, lebih cemas, dan kesulitan menghadapi situasi yang menimbulkan
stres (Santrock 2003).
Kelompok Usia Contoh
(Tahun)
Akselerasi RSBI Reguler Total
n % n % n % n %
Remaja awal (13-16) 26 100,0 16 53,3 16 53,3 58 67,4
Remaja akhir (17-18) 0 0,0 14 46,7 14 46,7 28 32,6
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD (tahun) 15,27±0,533 16,50±0,572 16,47±0,507 16,12±0,773
p-value 0,000
37
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran
Karakteristik Keluarga
Usia Orang tua
Berdasarkan Hurlock (1980), usia dibagi menjadi tiga kategori yakni
dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (> 60
tahun). Terlihat bahwa data menyebar dengan rata-rata usia ayah dan ibu ketiga
jenis contoh berada pada kategori dewasa madya (41-60 tahun). Hampir seluruh
ayah contoh di kelas akselerasi (96,1%), kelas RSBI (92.8%), dan kelas reguler
(93,3%) berada pada kategori dewasa madya atau kisaran 41 sampai dengan 60
tahun. Begitupun untuk usia ibu contoh pada kelas akselerasi dan RSBI.
Tabel 5 Sebaran contoh menurut usia orang tua contoh
Keterangan: * sebanyak dua orang ayah dari kelas SBI telah meninggal dunia
Kelompok Urutan
Kelahiran Contoh
Akselerasi RSBI Reguler Total
n % n % n % n %
Anak sulung 16 61,5 14 46,7 15 50,0 45 52,3
Anak tengah 4 15,4 8 26,7 7 23,3 19 22,1
Anak bungsu 6 23,1 8 26,7 8 26,7 22 25,6
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD (tahun) 1,62±0,852 1.80±0,847 1,77±0,858 1,73±0,846
Kelompok Usia
Orangtua
(Tahun)
Akselerasi RSBI* Reguler Total
n % n % n % n %
Ayah
Dewasa muda (18-40) 1 3,8 0 0,0 2 6,7 3 3,7
Dewasa madya (41-60) 25 96,1 26 92,8 28 93,3 79 94,0
Dewasa lanjut (>60) 0 0,0 2 7,14 0 0,0 2 2,3
Total 26 100,0 28 100,0 30 100,0 84 100,0
Mean±SD (tahun) 47,77±5,078 50,21±6,332 47,09±8,962 48,21±5,248
p-value 0,900
Ibu
Dewasa muda (18-40) 2 7,6 2 6,6 8 26,6 12 14,0
Dewasa madya (41-60) 24 92,3 28 93,3 22 73,3 74 86,0
Dewasa lanjut (>60) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD (tahun) 44,19±3,666 45,43±4,248 41,83±2,925 43,80±3,922
p-value 0,001
38
Hampir seluruh ibu contoh berada pada kategori dewasa madya, yaitu
kelas akselerasi sebesar 92,3 persen dan kelas RSBI sebesar 93,3 persen. Pada
kelas reguler, hampir tiga per empat (73,3%) ibu contoh berada pada kategori
dewasa madya dan sisanya termasuk ke dalam kategori dewasa muda, yaitu
sebesar 6,8 persen berada pada kisaran usia 18 sampai dengan 40 tahun. Hasil uji
beda one way anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata
dalam usia ayah contoh (p>0,05), namun terdapat perbedaan dalam hal usia ibu
contoh (p<0,05) dari ketiga kelompok kelas tersebut.
Pendidikan Orang tua
Tingkat pendidikan orang tua diukur berdasarkan pendidikan formal
terakhir yang pernah diikuti orang tua contoh, yaitu tidak tamat SD; SD/sederajat;
SMP/sederajat; SMA/sederajat; D1, D2, dan D3; serta S1, S2, dan S3. Tabel 6
menunjukkan bahwa data menyebar dengan rata-rata pendidikan ayah pada ketiga
kelompok contoh adalah lulusan S1/S2/S3, sedangkan pendidikan ibu pada ketiga
kelompok contoh adalah SMA/sederajat.
Tabel 6 Sebaran contoh menurut pendidikan orang tua contoh
Kelompok
Pendidikan Orangtua
Akselerasi RSBI* Reguler Total
n % n % n % n %
Ayah
Tidak Tamat SD 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
SD 0 0,0 0 0,0 2 6,7 2 2,3
SMP 0 0,0 1 3,6 2 6,7 3 3,5
SMA/sederajat 3 11,5 6 21,4 15 50,0 24 28,6
D1/D2/D3 4 15,4 2 7,1 1 3,3 7 8,4
S1/S2/S3 19 73,1 19 67,8 10 33,3 48 57,2
Total 26 100,0 28 100,0 30 100,0 84 100,0
Mean±SD (tahun) 4,62±0,697 4,39±0,956 3,50±1,225 4,14±1,099
p-value 0,001
Ibu
Tidak Tamat SD 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
SD 0 0,0 2 6,7 3 10,0 5 5,8
SMP 0 0,0 0 0,0 7 23,3 7 8,1
SMA/sederajat 3 11,5 13 43.3 15 50,0 31 36,0
D1/D2/D3 5 19,2 2 6,7 0 0,0 7 8,1
S1/S2/S3 18 69,2 13 43,3 5 16,7 36 41,9
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD (tahun) 4,58±0,703 3,80±1,215 2,90±1,155 3,72±1,252
p-value 0,000
39
Lebih dari separuh ayah contoh pada kelas akselerasi (73,1%) dan kelas
RSBI (67,8%) menempuh pendidikan hingga S1/S2/S3. Pada kelas reguler,
separuh ayah contoh menempuh pendidikan hingga SMA/sederajat. Lebih dari
separuh ibu contoh pada kelas akselerasi menempuh pendidikan hingga S1/S2/S3,
yaitu sebesar 69,2 persen. Pada kelas RSBI, sebesar 43,3 persen ibu contoh
menempuh pendidikan hingga S1/S2/S3 dan 43,3 persen lainnya menempuh
pendidikan hingga SMA/sederajat. Separuh ibu contoh pada kelas reguler (50,0%)
telah menempuh pendidikan hingga SMA/sederajat. Hasil uji beda one way Anova
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam hal pendidikan ayah
(p<0,05) dan pendidikan ibu (p<0,01) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga
reguler.
Pekerjaan Orang tua
Jenis pekerjaan orang tua merupakan pekerjaan utama yang dilakukan
orang tua untuk menghidupi keluarga, yaitu tidak bekerja, petani, buruh tani,
wiraswasta, swasta , PNS/ABRI, pensiunan, dokter, supir, dan pekerjaan lainnya.
Terlihat bahwa data menyebar dengan rata-rata pekerjaan ayah pada ketiga jenis
contoh adalah pegawai swasta, sedangkan pekerjaan ibu pada ketiga jenis contoh
adalah ibu rumah tangga. Hampir separuh ayah contoh pada ketiga jenis kelas ini
bekerja di perusahaan swasta, yaitu kelas akselerasi sebesar 46,2 persen, kelas
RSBI sebesar 36,7 persen, dan kelas reguler sebesar 40,0 persen.
Pada kelas akselerasi, ibu contoh memiliki pekerjaan yang cukup beragam.
Sebesar 30,8 persen ibu contoh pada kelas akselerasi tidak bekerja. Lebih dari
separuh ibu contoh pada kelas RSBI tidak bekerja (56,7%). Pada kelas reguler,
hampir seluruh ibu contoh tidak bekerja (90%). Menurut Gunarsa S & Gunarsa Y
(2004), orangtua yang menempuh pendidikan tinggi cenderung lebih
mengembangkan diri dan pengetahuannya, lebih terbuka untuk mengikuti
perkembangan masyarakat dan perkembangan informasi dibandingkan dengan
orangtua berpendidikan rendah. Dapat dilihat juga bahwa sebagian besar contoh
dengan orang tua yang berlatar belakang pendidikan tinggi berada pada kelas
akselerasi dan RSBI, dimana kelas tersebut merupakan salah satu bentuk kelas
yang berbeda dengan kelas biasanya dan mengutamakan kemajuan teknologi.
40
Tabel 7 Sebaran contoh menurut pekerjaan orang tua contoh
Pendapatan keluarga
Pendapatan biasanya bukan hanya diukur dari pemasukan yang diterima
oleh kepala keluarga saja, melainkan dari seluruh anggota dalam keluarga
tersebut. Pendapatan orang tua diperoleh dari pendapatan total keluarga,
dikelompokkan menjadi kurang dari sama dengan dari Rp1.000.000,00; antara
Rp1.000.001,00 sampai dengan Rp2.000.000,00; antara Rp2.000.001,00 sampai
dengan Rp3.000.000,00; antara Rp3.000.001,00 sampai dengan Rp4.000.000,00;
antara Rp4.000.001,00 sampai dengan Rp5.000.000,00; dan lebih dari sama
dengan Rp5.000.001,00. Tabel 8 menunjukkan bahwa data menyebar dengan rata-
rata pendapatan keluarga ketiga contoh berada pada rentang Rp.4.000.001,00
sampai dengan Rp5.000.000,00. Sebanyak lebih dari separuh keluarga contoh
pada kelas akselerasi (69,2%) dan kelas RSBI (60,0%) memiliki pendapatan
Kelompok Pekerjaan
Orangtua
Akselerasi RSBI Reguler Total
n % n % n % n %
Ayah
Tidak bekerja 0 0,0 3 10,0 0 0,0 3 3,5
Wiraswasta 1 3,8 6 20,0 3 10,0 10 11,6
PNS 11 42,3 7 23,3 9 30,0 27 31,4
Swasta 12 46,2 11 36,7 12 40,0 35 40,7
ABRI 0 0,0 2 6,7 3 10,0 5 5,8
Buruh 0 0,0 0 0,0 2 6,7 2 2,3
Pensiunan 1 3,8 1 3,3 0 0,0 2 2,3
Dokter 1 3,8 0 0,0 0 0,0 1 1,2
Sopir 0 0,0 0 0,0 1 3,3 1 1,2
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD (tahun) 3,88±1,275 3,23±1,331 3,83±1,177 3,60±1,268
Ibu
Tidak bekerja 8 30,8 17 56,7 27 90,0 52 60,5
Wiraswasta 3 11,5 2 6,7 1 3,3 6 7,0
PNS 7 26,9 8 26,7 2 6,7 17 19,8
Swasta 7 26,9 2 6,7 0 0,0 9 10,5
ABRI 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Buruh 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Pensiunan 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 1,2
Dokter 1 3,8 1 3,3 0 0,0 1 1,2
Sopir 0 0 0 0 0 0,0 0 0,0
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD (tahun) 2,92±1,671 2,00±1,414 1,17±0,531 1,93±1,396
41
dengan kisaran lebih dari atau sama dengan Rp 5.000.000,00 Sedangkan pada
kelas reguler, sepertiga keluarga contoh (33,3%) memiliki pendapatan pada
kisaran antara Rp 3.000.001 sampai dengan Rp 4.000.000. Hasil uji beda one way
anova menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam pendapatan
keluarga contoh (p<0,01) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga reguler.
Tabel 8 Sebaran contoh menurut pendapatan keluarga contoh
Besar Keluarga
Data besar keluarga dikelompokan berdasarkan data BKKBN (1998) yaitu
keluarga kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥ 8 orang). Data dalam
penelitian ini menyebar dengan rata-rata besar keluarga ketiga contoh adalah
dengan lima hingga tujuh anggota keluarga atau terkategori ke dalam keluarga
sedang. Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga contoh pada
kelas akselerasi (57,7%), kelas RSBI (73,3%), dan kelas reguler (53,3%) termasuk
dalam kategori keluarga sedang, yaitu terdiri atas lima sampai tujuh orang anggota
keluarga.
Tabel 9 Sebaran contoh menurut besar keluarga contoh
Kelompok Pendapatan
Orangtua (per bulan)
Akselerasi RSBI Reguler Total
n % n % n % n %
≤ 1.000.000 0 0,0 0 0,0 1 3,3 1 1,2
1.000.001-2.000.000 0 0,0 2 6,7 7 23,3 9 10,5
2.000.001-3.000.000 0 0,0 2 6,7 3 10,0 5 5,8
3.000.001-4.000.000 1 3,8 3 10,0 10 33,3 14 16,3
4.000.001-5.000.000 7 26,9 5 16,7 3 10,0 15 17,4
≥5.000.001 18 69,2 18 60,0 6 20,0 42 48,8
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD (tahun) 5,65±0,562 5,17±1,262 3,83±1,510 4,85±1,419
p-value 0,000
Kelompok Besar Keluarga Akselerasi RSBI Reguler Total
n % n % n % n %
Keluarga kecil (≤4 orang) 11 42,3 8 26,7 14 46,7 33 38,4
Keluarga sedang (5-7 orang) 15 57,7 22 73,3 16 53,3 53 61,6
Keluarga besar (≥8 orang) 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD (tahun) 1,58±0,504 1,73±0,450 1,53±0,507 1,62±0,489
p-value 0,236
42
Konsep Diri
Konsep diri dibagi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi internal dan
eksternal. Masing-masing dimensi tersebut dibagi lagi ke dalam beberapa
subdimensi. Dimensi internal terdiri atas identitas diri, tingkah laku, dan kepuasan
diri, sedangkan dimensi eksternal terdiri atas diri fisik, etik moral, diri personal,
diri keluarga, dan diri sosial. Tabel 10 menjelaskan kategori contoh berdasarkan
dimensi yang diukur pada masing-masing kelas.
Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa hampir seluruh contoh
memiliki konsep diri yang positif, yaitu sebanyak 97,6 persen dan kelas reguler
memiliki skor konsep diri yang lebih tinggi (100%) dibandingkan kelas RSBI
(96,7%) dan akselerasi (96,2). Persentase paling besar pada keseluruhan contoh
berada pada subdimensi identitas diri etik moral (95,3%) dan kepuasan etik moral
(95,3%) pada kategori positif. Berbeda dengan kelas akselerasi dan RSBI, ternyata
pada subdimensi identitas diri etik moral, seluruh contoh pada kelas reguler
memiliki konsep diri yang tergolong positif. Pada subdimensi kepuasan diri etik
moral, seluruh contoh pada kelas RSBI memiliki konsep diri yang positif
(Lampiran 8).
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sebanyak hampir tiga per empat
keseluruhan contoh memiliki konsep diri negatif pada subdimensi tingkah laku
diri sosial (70,9%). Persentase paling rendah dalam subdimensi ini adalah pada
kelas akselerasi, yaitu sebanyak lebih dari separuh contoh yang memiliki konsep
diri negatif (65,4%). Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan konsep diri (p>0,05) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga
reguler.
Tabel 10 Sebaran contoh menurut konsep diri contoh pada berbagai model
pembelajaran
Konsep Diri Akselerasi RSBI Reguler Total
n % n % n % n %
Positif 25 96,2 29 96,7 30 100,0 84 97,6
Negatif 1 3,8 1 3,3 0 0,0 2 2,4
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD 72,81±5,72 73,78±6,50 73,08±6,17 73,24±6,10
p-value 0,827
43
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional terbagi menjadi lima dimensi, yaitu kesadaran diri,
pengaturan diri, motivasi, empati, dan ketrampilan sosial atau seni membina
hubungan. Berdasarkan hasil penelitian, pada dimensi kesadaran diri separuh
contoh pada kelas akselerasi termasuk dalam kategori sedang (50,0%). Lain
halnya dengan kelas RSBI dan kelas reguler, lebih dari separuh contoh (63,3%
dan 63,3%) tergolong dalam kategori yang tinggi. Secara keseluruhan, lebih dari
separuh contoh dapat digolongkan dalam kategori tinggi (58,1%). Dengan kata
lain, ketiga kelas tersebut sudah memiliki kesadaran terhadap emosi yang
dirasakan dengan sangat baik. Kesadaran diri memang belum menjamin
penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk
mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi (Lampiran 9).
Mengelola emosi atau pengaturan diri merupakan kemampuan individu
dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras,
sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Dalam hal ini, lebih dari
separuh contoh (65,4%) pada kelas akselerasi tergolong ke dalam kategori sedang.
Lebih dari separuh contoh pada kelas RSBI tergolong ke dalam kategori sedang
(56,7%) dan lebih dari tiga per empat contoh pada kelas reguler termasuk dalam
kategori sedang (86,7%). Secara keseluruhan, lebih dari separuh contoh pada
ketiga kelas tersebut digolongkan ke dalam kategori sedang (69,8%). Melihat hal
ini, dapat dikatakan bahwa contoh dapat menangani perasaan mereka sehingga
dapat terungkap dengan tepat atau selaras. Jika contoh sudah bisa mengelola
emosi dengan baik, maka akan tercapai keseimbangan dalam diri contoh.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi yang dimiliki oleh lebih
dari tiga per empat contoh (76,9%) pada kelas akselerasi tergolong ke dalam
kategori sedang. Sebanyak lebih dari tiga per empat motivasi contoh dalam kelas
RSBI (83,3%) termasuk ke dalam kategori sedang. Begitupun dengan kelas
reguler, lebih dari separuh contoh (60,0%) dalam kelas ini termasuk ke dalam
kategori sedang dan hampir separuh (40,0%) contoh pada kelas reguler yang
tergolong kategori tinggi. Perbedaan ini terjadi karena kelas XI akselerasi
merupakan satu-satunya kelas di sekolah tersebut, sehingga persaingan hanya
terjadi di antara siswa-siswi di kelas itu saja. Lain halnya dengan kelas reguler
44
yang memiliki persaingan yang jauh lebih besar dan banyak, yaitu sebanyak lima
kelas XI IPA.
Penelitian lain menyebutkan bahwa motivasi contoh pada kelas akselerasi
didominasi oleh motivasi ekstrinsik atau yang berasal dari luar diri contoh
(keluarga, teman, dll.). Berbeda dengan kelas RSBI dan reguler yang memiliki
motivasi intrinsik lebih besar dibandingkan motivasi ekstrinsiknya. Kurniawan
(2010) menyatakan bahwa adanya kelas akselerasi menjadi gengsi tersendiri bagi
masyarakat dan terkadang ada orang tua yang “ngotot” untuk memasukkan
anaknya ke kelas tersebut. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab motivasi
contoh kelas akselerasi lebih rendah karena mereka mendapatkan dorongan lebih
besar dari orang tua dibandingkan keinginan mereka sendiri untuk masuk ke kelas
akselerasi. Secara keseluruhan, sebanyak lebih dari separuh motivasi dari ketiga
kelompok contoh (59,3%) termasuk ke dalam kategori sedang.
Pada dimensi empati, hampir separuh (54,7%) dari keseluruhan contoh
pada ketiga jenis kelas memiliki empati dengan kategori sedang. Pada dimensi ini,
lebih dari separuh contoh pada kelas akselerasi (65,4%) dan kelas RSBI (56,7%)
tergolong ke dalam kategori sedang. Akan tetapi, sebanyak lebih dari separuh
contoh pada kelas reguler (56,7%) memiliki empati yang termasuk ke dalam
kategori tinggi. Hal ini membuktikan bahwa contoh memiliki kemampuan untuk
memahami perasaan orang lain dan bisa menyesuaikan diri dengan berbagai
macam orang di lingkungan yang berbeda.
Menurut Besk (1998), anak-anak yang cerdas dapat menyesuaikan diri
secara emosional lebih baik, lebih sedikit memiliki masalah-masalah emosional,
dan lebih mampu mengatasi masalah yang dihadapinya dibandingkan dengan
anak-anak biasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh
(84,6%) pada kelas akselerasi memiliki ketrampilan sosial dengan kategori
sedang. Sedangkan pada kelas RSBI, lebih dari separuh contoh (56,7%) berada
pada kategori sedang. Begitupun dengan kelas reguler, sebanyak 56,7 persen
contoh atau lebih dari separuh contoh berada pada kategori sedang dan sisanya
berada pada kategori tinggi.
Dalam hal ini, kelas akselerasi memiliki persentase yang lebih banyak
pada kategori sedang. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan jadwal serta
45
jumlah kelas akselerasi yang merupakan satu-satunya di sekolah. Hal tersebut
dapat mendorong ketrampilan sosial yang berbeda dengan kelas lain yang
memiliki kesamaan jadwal serta lebih banyak berinteraksi dengan siswa di kelas
lain yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar lebih dari separuh
dari keseluruhan contoh (65,1%) memiliki ketrampilan sosial dalam kategori
sedang atau cukup baik. Penelitian ini juga ternyata sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa orang-orang yang mampu membaca
perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional,
lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka.
Hasil ini senada dengan teori yang ada sebelumnya yang menyatakan
bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan kognitif yang baik belum tentu
diimbangi dengan kecerdasan emosional yang baik pula. Kelas akselerasi dan
RSBI memang didominasi oleh anak-anak dengan IQ di atas rata-rata dan
mengikuti persyaratan lain seperti tes masuk sebelum mereka diterima di kelas
tersebut. Dengan begitu, contoh pada kelas akselerasi dan RSBI pun dapat
dikatakan memiliki kecerdasan di atas rata-rata atau di atas kelas reguler biasanya.
Pada dimensi ketrampilan sosial terlihat bahwa bukan hanya contoh yang
cerdas secara kognitif saja yang memiliki kemampuan untuk melakukan interaksi
sosial yang baik karena tidak menutup kemungkinan bahwa contoh yang memiliki
kecerdasan di bawahnya pun memiliki kemampuan berinteraksi sosial yang sama
baiknya. Hal ini didukung dengan hasil uji beda one way anova menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan kecerdasan emosional (p<0.05) antara kelas akselerasi,
RSBI, dan juga reguler (Tabel 11).
Tabel 11 Sebaran contoh menurut kecerdasan emosional contoh pada berbagai
model pembelajaran
Kecerdasan Emosional Akselerasi RSBI Reguler Total
n % n % n % n %
Rendah 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Sedang 19 73,1 17 56,7 15 50,0 51 59,3
Tinggi 7 26,9 13 43,3 15 50,0 35 40,7
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD 76,48±4,71 79,66±6,12 80,14±5,09 78,87±5,54
p-value 0.028
46
Tingkat Stres
Pada kenyataannya, bukan hanya orang dewasa saja yang bisa mengalami
stres, melainkan remaja di sekolah pun dapat merasakannya. Stres yang dialami
remaja bisa disebabkan oleh aktivitas yang dilakukan setiap hari, hubungan
dengan teman sepermainan, atau karena adanya masalah belajar serta hasil belajar
di sekolah. Gejala stres yang dialami oleh seseorang juga bisa berupa stres fisik
dan stres psikologis. Tabel 12 menunjukkan perbedaan tingkat stres yang dialami
oleh remaja pada tiga jenis kelas yang berbeda.
Dalam penelitian ini hampir seluruh contoh (94,2%) pada ketiga kelas
tersebut mengalami gejala stres fisik yang tergolong rendah. Pada kelas akselerasi,
sebanyak hampir seluruh contoh (96,2%) menunjukkan gejala stres fisik rendah.
Begitu juga dengan kelas RSBI dan reguler, sebanyak hampir seluruh contoh
menunjukkan gejala stres fisik yang rendah. Dengan kata lain, contoh dalam
ketiga jenis kelas tersebut hampir tidak pernah mengalami gejala stres fisik dalam
aktivitas yang dilakukannya sehari-hari.
Tabel 12 Sebaran contoh menurut tingkat stres contoh pada berbagai model
pembelajaran
Dimensi Tingkat Stres Akselerasi RSBI Reguler Total
n % n % n % n %
Stres Fisik Rendah 25 96,2 29 96,7 27 90,0 81 94,2
Sedang 1 3,8 1 3,3 3 10,0 5 5,8
Tinggi 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD 45,00±7,90 43,33±8,69 40,91±9,63 42,99±8,86
p-value 0,227
Stres Psikologis Rendah 20 76,9 20 66,7 22 73,3 62 72,1
Sedang 6 23,1 10 33,3 8 26,7 24 27,9
Tinggi 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0.0
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD 53,75±9,04 54,46±9,75 51,08±9,59 53,07±9,49
p-value 0.223
Tingkat Stres Rendah 23 88,5 24 80,0 29 96,7 76 88,4
Sedang 3 11,5 6 20,0 1 3,3 10 11,6
Tinggi 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD 1,12±0,326 1,20±0,407 1,03±0,183 1,12±0.322
p-value 0,356
47
Sebanyak lebih dari tiga per empat contoh di kelas akselerasi (76,9%) dan
lebih dari separuh contoh pada kelas RSBI (66,7%) mengalami gejala stres
psikologis dalam kategori rendah. Begitu juga dengan kelas reguler, sebanyak
hampir tiga per empat contoh (73,3%) termasuk dalam kategori rendah. Hal ini
diduga berkaitan dengan jenis aktivitas yang dimiliki serta alokasi waktu masing-
masing contoh pada ketiga jenis kelas. Namun, lebih dari tiga per empat dari
ketiga kelompok contoh tersebut mengalami gejala stres psikologis yang
tergolong rendah (88,4%). Secara umum, ketiga kelompok contoh lebih banyak
merasakan gejala stres psikologis dibandingkan stres fisik, yaitu sebesar 27,9
persen pada kategori sedang. Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan gejala stres (p>0,05) antara kelas akselerasi, RSBI, dan
juga reguler.
Strategi Koping
Masalah yang dialami ataupun emosi yang dirasakan oleh seseorang akan
menyebabkan perasaan ketidaknyamanan terhadap diri dan lingkungan sekitarnya.
Hal tersebut ternyata memicu seseorang untuk berusaha menghilangkan rasa tidak
nyaman yang dialami melalui berbagai strategi, baik itu terkait dengan masalah
yang dihadapi ataupun penyesuaian diri terhadap masalah yang sedang dihadapi
saat itu. Strategi koping atau cara beradaptasi terhadap masalah yang dilakukan
seseorang terbagi menjadi dua, yaitu strategi koping yang terfokus pada masalah
dan yang terfokus pada emosi. Pada penelitian ini, hampir tiga per empat contoh
pada kelas akselerasi (73,1%) dan kelas RSBI (66,7%) menggunakan strategi
koping terfokus masalah pada kategori sedang. Begitupun dengan kelas reguler,
lebih dari tiga per empat contoh (80,0%) menggunakan strategi koping terfokus
masalah pada kategori sedang.
Pada strategi koping terfokus emosi, lebih dari separuh contoh (65,4%)
pada kelas akselerasi berada pada kategori sedang. Begitu juga dengan kelas RSBI
dan reguler, lebih dari separuh contoh pada kedua kelas ini pun berada pada
kategori sedang. Secara keseluruhan, ketiga kelompok contoh lebih banyak
menggunakan strategi terfokus emosi (emotion focused coping) dengan persentase
sebesar 39,5 persen pada kategori tinggi.
48
Tabel 13 Sebaran contoh menurut strategi koping contoh pada berbagai model
pembelajaran
Dimensi Strategi Koping Akselerasi RSBI Reguler Total
n % n % n % n %
Problem Focused Coping Rendah 1 3,8 0 0,0 0 0,0 1 1,2
Sedang 19 73,1 20 66,7 24 80,0 63 73,3
Tinggi 6 23,1 10 33,3 6 20,0 22 25,6
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD 74,29±9,41 78,27±6,27 74,77±6,88 75,85±7,67
p-value 0,136
Emotion Focused Coping Rendah 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Sedang 17 65,4 16 53,3 19 63,3 52 60,5
Tinggi 9 34,6 14 46,7 11 36,7 34 39,5
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0 86 100,0
Mean±SD 77,43±6,89 79,61±6,91 77,88±7,77 78,35±7,20
p-value 0,097
Tabel 14 memperlihatkan bahwa lebih dari separuh contoh pada kelas
akselerasi (57,7%) dan RSBI (56,7%) serta separuh contoh pada kelas reguler
(50%) menggunakan strategi koping terfokus emosi (emotion focused coping).
Hasil uji beda one way anova menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
strategi koping (p>0,05) antara kelas akselerasi, RSBI, dan juga reguler.
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan strategi koping yang
digunakan
Jenis Strategi Koping Akselerasi RSBI Reguler
n % n % n %
Problem focused coping 8 30,8 11 36,7 8 26,7
Emotion focused coping 15 57,7 17 56,7 15 50
Kombinasi antara problem focused coping
dan emotion focused coping 3 11,5 2 6,6 7 23,3
Total 26 100,0 30 100,0 30 100,0
Hubungan antara Karakteristik Contoh dan Karakteristik Keluarga dengan
Konsep Diri, Kecerdasan Emosional, Tingkat Stres, dan Strategi Koping
Contoh
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif
antara pendidikan ibu dengan kecerdasan emosional contoh (r=-0,308**). Hal ini
berarti sebesar 30,8 persen data keduanya berhubungan, semakin tinggi
pendidikan ibu maka dapat menurunkan kecerdasan emosional contoh. Hal ini
diduga terjadi karena pendidikan yang tinggi belum tentu menentukan kualitas
pengasuhan seorang ibu terhadap anaknya. Ibu yang berpendidikan tinggi juga
49
cenderung bekerja di luar rumah sehingga akan mempengaruhi gaya pengasuhan
yang diberikan ibu terhadap anak. Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan
emosi yang positif, akan memiliki kecerdasan emosional yang baik pula.
Penerapan emosi yang positif yang diberikan oleh pengasuh akan berdampak pada
perkembangan kecerdasan emosi anak kelak.
Pendidikan yang tinggi juga cenderung mendorong ibu untuk bekerja di
luar rumah. Hal ini menyebabkan waktu yang tercurah untuk anak akan semakin
berkurang sehingga menyebabkan semakin berkurang pula kelekatan secara emosi
antara ibu dan anak. Kenyataan ini akan berdampak pada kecerdasan emosional
yang dimiliki oleh anak tersebut. Dalam penelitian ini terdapat hubungan yang
negatif antara pekerjaan ibu dengan kecerdasan emosional contoh dengan nilai
koefisien korelasi sebesar (r=-0,243*) yang berarti ibu yang bekerja akan
menurunkan kecerdasan emosional contoh.
Tabel 15 Hubungan antara karakteristik contoh dan karakteristik keluarga dengan
konsep diri, kecerdasan emosional, tingkat stres, dan strategi koping contoh
Variabel Konsep Diri Kecerdasan
Emosional
Tingkat
Stres
Strategi
Koping
Karakteristik Contoh
Usia 0,078 0,048 -0,106 -0,023
Urutan Kelahiran -0,122 -0,058 -0,047 0,000
Karakteristik Keluarga
Usia Ayah -0,163 -0,077 0,188 0,043
Usia Ibu -0,033 0,022 0,049 0,000
Pendidikan Ayah 0,029 -0,024 0,106 0,075
Pendidikan Ibu -0,161 -0,308** 0,176 -0,075
Pekerjaan Ayah -0,123 -0,019 0,194 0,010
Pekerjaan Ibu -0,002 -0,243* 0,036 -0,131
Pendapatan Keluarga 0,102 -0,020 0,247* 0,213*
Besar Keluarga 0,027 0,091 0,018 0,283**
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa
terdapat hubungan yang positif antara pendapatan keluarga dengan tingkat stres
(r=0,247*). Hal ini berarti sebesar 24,7 persen data keduanya berhubungan,
semakin besar pendapatan suatu keluarga maka semakin tinggi pula stres yang
dirasakan contoh. Pendapatan cenderung berkorelasi dengan pengeluaran
individu, semakin besar pendapatan maka akan sebanding dengan uang yang
dikeluarkan karena kebutuhan yang semakin bertambah. Hal ini menyebabkan
tingkat stres yang semakin meningkat karena banyaknya aktivitas yang dilakukan
di sekolah diduga membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit. Selain itu, hal ini
50
diduga terjadi karena stres yang dirasakan contoh sebagian besar bukanlah yang
berkaitan dengan hal ekonomi, melainkan berkaitan dengan aktivitas sekolah.
Tingkat stres yang semakin tinggi akan mendorong individu untuk
melakukan suatu penyesuaian dalam kehidupan sehari-hari agar tetap dapat
melanjutkan aktivitasnya seperti biasa. Hal ini menyebabkan semakin besar
pendapatan keluarga juga akan membuat strategi koping yang dilakukan semakin
tinggi (r=0,213*). Hasil penelitian menyatakan bahwa sebesar 21,3 persen data
keduanya berhubungan. Selain itu, dalam penelitian juga ditemukan bahwa besar
keluarga berkorelasi positif dengan strategi koping. Semakin banyak anggota
keluarga contoh maka semakin tinggi pula kemampuan contoh dalam melakukan
penyesuaian terhadap masalah-masalah yang dihadapi, baik itu melalui problem
focused coping maupun emotion focused coping. Hal ini dibuktikan dengan nilai
koefisien korelasi sebesar 0,283** yang berarti sebesar 28,3 persen data keduanya
berhubungan. Semakin besar suatu keluarga maka semakin tinggi pula
kemampuan contoh dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi atau
kemampuan contoh untuk beradaptasi terhadap masalah yang dihadapi akan
semakin baik.
Menurut Billing dan Moos (1984), seseorang yang cenderung
menggunakan strategi terfokus masalah dalam menangani situasi stres
menunjukkan tingkat depresi yang lebih rendah baik selama dan setelah situasi
stres. Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, dan Bem (2000), orang menggunakan
strategi terfokus emosi dengan tujuan untuk mencegah emosi negatif yang dapat
menguasai dirinya dan melakukan tindakan untuk memecahkan masalahnya.
Dengan hasil ini, diduga bahwa jumlah anggota keluarga ternyata cukup penting
karena dapat mengurangi beban stres atau masalah yang sedang dihadapi contoh.
Hubungan antara Konsep Diri dan Kecerdasan Emosional terhadap Tingkat
Stres dan Strategi Koping Contoh
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap variabel dalam penelitian ini
tidak semuanya memiliki hubungan yang positif, ada beberapa di antaranya yang
memiliki hubungan negatif. Penelitian juga memperlihatkan bahwa terdapat
hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional dengan nilai koefisien
korelasi sebesar 0,640**. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 64,0 persen data
51
keduanya berhubungan yang berarti terdapat hubungan yang positif antara konsep
diri dengan kecerdasan emosional. Semakin baik konsep diri maka semakin tinggi
pula kecerdasan emosional contoh.
Tabel 16 Hubungan antara konsep diri dengan kecerdasan emosional contoh
Variabel Kecerdasan Emosional
Konsep Diri Rendah Sedang Tinggi Total
n % n % n % n %
Positif 0 0,0 49 57,0 35 40,7 84 97,7
Negatif 0 0,0 2 2,3 0 0,0 2 2,3
Total 0 0,0 51 59,3 35 40,7 86 100,0
Koefisien korelasi (r) 0,640**
Skor rata-rata contoh yang memiliki kecerdasan emosional yang tergolong
tinggi juga ternyata memiliki konsep diri yang positif dengan persentase sebesar
40,7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsep diri contoh maka
semakin tinggi pula kemampuannya dalam mengelola emosi (Tabel 16).
Pada penelitian ini, konsep diri memiliki hubungan yang negatif dengan
tingkat stres contoh yang diperkuat dengan nilai koefisien korelasi sebesar -
0,382**. Hal ini berarti sebesar 38,2 persen data keduanya berhubungan. Dengan
nilai ini dapat diartikan semakin baik konsep diri seseorang, semakin rendah
gejala stres yang ia rasakan. Hal ini diduga stres yang disebabkan oleh tingginya
aktivitas contoh di sekolah ternyata dapat diperkecil karena konsep diri yang
positif yang telah terbentuk di dalam diri contoh.
Tabel 17 Hubungan antara konsep diri dengan tingkat stres contoh
Variabel Tingkat stres
Konsep Diri Rendah Sedang Tinggi Total
n % n % n % n %
Positif 76 88,4 8 9,3 0 0,0 84 97,7
Negatif 0 0,0 2 2,3 0 0,0 2 2,3
Total 76 88,4 10 11,6 0 0,0 86 100,0
Koefisien korelasi (r) 0,382**
Skor rata-rata contoh yang memiliki konsep diri yang positif ternyata
memiliki tingkat stres dengan kategori rendah, yaitu sebesar 88,4 persen. Dalam
penelitian ini pun tidak ditemukan contoh yang memiliki konsep diri yang negatif
dan juga tingkat stres yang tergolong tinggi (Tabel 17).
52
Penelitian ini juga memperlihatkan nilai koefisien korelasi antara konsep
diri dengan strategi koping terfokus masalah adalah sebesar 0,334**. Hal ini
menunjukkan bahwa sebesar 33,4 persen data keduanya berhubungan yang berarti
terdapat hubungan yang positif antara konsep diri dengan strategi koping terfokus
masalah contoh. Begitupun dengan strategi koping terfokus emosi. Terdapat
hubungan yang positif antara konsep diri dengan strategi koping terfokus emosi
dengan koefisien korelasi sebesar 0,265*. Hal ini memperlihatkan bahwa sebesar
26,5 persen data keduanya berhubungan. Semakin baik konsep diri seseorang
maka semakin baik pula strategi koping yang dilakukan saat menghadapi masalah,
baik strategi koping terfokus masalah maupun terfokus emosi.
Tabel 18 menunjukkan besar skor rata-rata contoh yang memiliki konsep
diri yang positif ternyata memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi, yaitu 24,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa contoh
yang memiliki konsep diri yang baik akan memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan masalahnya dengan baik pula.
Tabel 18 Hubungan antara konsep diri dengan strategi terfokus masalah contoh
Variabel Strategi terfokus masalah (problem focused coping)
Konsep Diri Rendah Sedang Tinggi Total
n % n % n % n %
Positif 1 1,2 62 72,1 21 24,4 84 97,7
Negatif 0 0,0 1 1,2 1 1,2 2 2,3
Total 1 1,2 63 73,3 22 25,6 86 100,0
Koefisien korelasi (r) 0,334**
Skor rata-rata contoh yang memiliki konsep diri yang positif ternyata
memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengelola emosi saat menghadapi
masalahnya, yaitu sebesar 38,4 persen. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang
dikemukakan oleh White (1974) dalam Sussman dan Steinmentz (1988), yaitu
salah satu faktor yang mempengaruhi strategi koping adalah konsep diri (Tabel
20).
53
Tabel 19 Hubungan antara konsep diri dengan strategi terfokus emosi contoh
Variabel Strategi terfokus emosi (emotion focused coping)
Konsep Diri Rendah Sedang Tinggi Total
n % n % n % n %
Positif 0 0,0 51 59,3 33 38,4 84 97,7
Negatif 0 0,0 1 1,2 1 1,2 2 2,3
Total 0 0,0 52 60,5 34 39,5 86 100,0
Koefisien korelasi (r) 0,265**
Kecerdasan emosional memiliki hubungan dengan tingkat stres yang
ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,249*. Hal ini berarti 24,9
persen keduanya saling berhubungan negatif sehingga semakin tinggi kecerdasan
emosional maka semakin rendah tingkat stres yang dirasakan contoh. Kemampuan
contoh dalam mengendalikan emosi ternyata berhubungan dengan bagaimana
contoh menghadapi dan menanggapi stres yang dialami sehingga sebanyak
apapun masalah yang hadapi, ternyata dapat dikendalikan oleh kemampuannya
dalam mengelola emosi. Contoh yang memiliki skor rata-rata kecerdasan
emosional tinggi ternyata mengalami gejala stres yang tergolong rendah (38,4%).
Dengan kata lain, contoh yang memiliki kemampuan mengelola emosi akan dapat
lebih baik pula mengelola perasaan serta pikirannya sehingga akan lebih terhindar
dari stres.
Tabel 20 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan tingkat stres contoh
Variabel Tingkat stres
Kecerdasan emosional Rendah Sedang Tinggi Total
n % n % n % n %
Rendah 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Sedang 43 50,0 8 9,3 0 0,0 51 59,3
Tinggi 33 38,4 2 2,3 0 0,0 35 40,7
Total 76 88,4 10 11,6 0 0,0 86 100,0
Koefisien korelasi (r) -0,249**
Tingkat stres yang rendah dan terbentuknya kecerdasan emosional contoh
ternyata juga berhubungan dengan cara contoh menyelesaikan masalahnya
(strategi koping). Kecerdasan emosional memiliki hubungan dengan strategi
koping terfokus masalah dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,403**. Ini
berarti sebesar 40,3 persen keduanya saling berhubungan positif (Tabel 21).
54
Tabel 21 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan strategi terfokus masalah
contoh
Variabel Strategi terfokus masalah (problem focused coping)
Kecerdasan emosional Rendah Sedang Tinggi Total
n % n % n % n %
Rendah 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Sedang 1 1,2 42 48,8 8 9,3 51 59,3
Tinggi 0 0,0 21 24,4 14 16,3 35 40,7
Total 1 1,2 63 73,3 22 25,6 86 100,0
Koefisien korelasi (r) 0,403**
Tabel 22 menunjukkan bahwa ecerdasan emosional juga memiliki hubungan
yang positif dengan strategi koping terfokus emosi dengan nilai koefisien korelasi
sebesar 0,474**. Hal ini memperlihatkan bahwa sebesar 47,4 persen keduanya
saling berhubungan. Hal ini berarti semakin tinggi kecerdasan emosional maka
semakin tinggi pula kemampuan contoh dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi serta mengelola emosi sebagai salah satu bentuk penyesuaian terhadap
masalahnya. Hal ini berarti contoh yang cerdas secara emosi memiliki strategi
dalam penyelesaian masalah yang dihadapi sehingga tidak menimbulkan stres
yang berkepanjangan. Namun, dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak
terdapat hubungan antara tingkat stres dan strategi koping contoh.
Tabel 22 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan strategi terfokus emosi
contoh
Variabel Strategi terfokus emosi (emotion focused coping)
Kecerdasan emosional Rendah Sedang Tinggi Total
n % n % n % n %
Rendah 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0
Sedang 0 0,0 38 44,2 13 15,1 51 59,3
Tinggi 0 0,0 14 16,3 21 24,4 35 40,7
Total 0 0,0 52 60,5 34 39,5 86 100,0
Koefisien korelasi (r) 0,474**
55
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep diri, kecerdasan
emosional, tingkat stres, dan strategi koping remaja pada berbagai model
pembelajaran. Penelitian ini dilakukan pada siswa remaja kelas XI pada kelas
akselerasi, kelas RSBI, dan juga kelas reguler. Hal ini didasari oleh pemikiran
bahwa remaja merupakan generasi penerus bangsa yang kelak diharapkan akan
memiliki sumber daya manusia yang mampu berdaya saing dengan negara-negara
lain. Peningkatan sumber daya manusia Indonesia dapat dibangun melalui jenis
pendidikan yang diberikan. Saat ini pendidikan di Indonesia banyak diwarnai oleh
berbagai metode baru, misalnya dengan adanya kelas akselerasi (percepatan) dan
juga kelas bertaraf Internasional (RSBI).
Kedua kelas ini diciptakan dengan tujuan untuk meningkatkan kemajuan
di bidang pendidikan. Kelas akselerasi merupakan pemberian layanan pendidikan
sesuai potensi siswa berbakat dengan memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih cepat
dibandingkan dengan teman-teman sebayanya (Departemen Pendidikan 2002).
Sekolah Bertaraf RSBI (SBI) bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan
Indonesia dengan kualitas global atau Internasional melalui penggunaan dua
bahasa serta ditunjang oleh teknologi yang canggih seperti komputer, internet, dan
fasilitas lain yang mendukung. Dalam pelaksanaannya, kelas akselerasi pun
menggunakan beberapa syarat masuk, salah satunya adalah tes IQ sehingga sudah
dapat dipastikan bahwa siswa-siswi yang masuk ke dalam kelas ini adalah mereka
yang memiliki kecerdasan kognitif yang cukup tinggi.
Goleman (1995) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang tidak dapat
dipisahkan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi seseorang.
Seseorang yang cerdas secara kognitif belum tentu cerdas secara emosi atau
sebaliknya. Kecerdasan kognitif bukan satu-satunya penentu keberhasilan
seseorang, melainkan kecerdasan emosi yang dimilikilah yang akan menentukan
keberhasilan tersebut. Menurut Edwards (1992) diacu dalam Santos (2009), ibu
merupakan orang yang sangat penting yang dapat mempengaruhi perkembangan
kecerdasan kognitif anak remaja. Selain kecerdasan emosional, usia siswa SMA
56
yang tergolong ke dalam masa remaja ini juga akan melewati proses pembentukan
konsep diri mereka. Saat masa remaja, mereka akan dihadapkan pada berbagai
pilihan dan lingkungan yang berbeda dan hal tersebut akan mempengaruhi pola
pikir dan tingkah laku mereka. Pada masa ini juga masalah mulai timbul, baik itu
yang berasal dari keluarga maupun hal yang berkaitan dengan sekolah. Melalui
kegiatan yang cukup padat di sekolah, akan dilihat pula hal yang mereka alami
saat memiliki masalah serta cara yang mereka lakukan untuk menghadapi masalah
tersebut.
Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas akselerasi, kelas RSBI, dan juga
kelas reguler. Seluruh siswa kelas XI akselerasi tergolong ke dalam usia remaja
awal (13-16 tahun), berbeda dengan kelas RSBI dan reguler yang di dalamnya
terdapat siswa dengan usia remaja akhir (17-18 tahun). Kebanyakan siswa dari
tiap kelas berjenis kelamin perempuan dan merupakan anak sulung. Menurut
Santrock (2003), urutan kelahiran anak akan mempengaruhi sikap dan perilaku
orang tua terhadap anak tersebut. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), anak
sulung memiliki tanggung jawab yang lebih besar dan dituntut untuk lebih dewasa
serta dapat memberikan contoh bagi adik-adiknya. Oleh karena itu, orang tua
cenderung lebih khawatir terhadap anak sulung dibandingkan pada adik-adiknya
dan menetapkan batas-batas tingkah laku anak.
Dilihat dari usia orang tua, usia ayah dan ibu contoh dari ketiga kelas
sebagian besar berada pada usia dewasa madya (41-60 tahun). Terdapat perbedaan
pada kelas akselerasi dan RSBI dengan kelas reguler dalam hal pendidikan orang
tua. Sebagian besar ayah pada kelas akselerasi dan RSBI menempuh pendidikan
hingga S1/S2/S3 sedangkan ayah contoh pada kelas reguler lebih banyak
menempuh pendidikan hingga SMA/sederajat. Begitupun dengan pendidikan ibu,
sebagian besar ibu contoh pada kelas akselerasi menempuh pendidikan hingga
jenjang S1/S2/S3. Namun, ibu contoh pada kelas RSBI rata-rata menempuh
pendidikan hingga jenjang S1/S2/S3 dan juga SMA/sederajat, dan separuh ibu
contoh pada kelas reguler menempuh pendidikan hingga SMA/sederajat.
Menurut Sumarwan (2002), pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan
yang dilakukan seseorang dan akan mempengaruhi besar pendapatan yang
diterimanya. Pekerjaan orang tua contoh pada ketiga kelas sebagian besar adalah
57
pegawai swasta dan ibu merupakan ibu rumah tangga. Pendapatan keluarga
contoh pada kelas akselerasi dan RSBI sebagian besar berkisar lebih dari sama
dengan Rp 5.000.000,00 sedangkan kelas reguler berkisar antara Rp 3.000.001,00-
4.000.000,00. Keluarga contoh dari ketiga kelas termasuk ke dalam kelompok
keluarga sedang yang terdiri atas lima hingga tujuh orang anggota keluarga.
Penelitian menunjukkan bahwa ketiga kelompok contoh memiliki konsep
diri yang positif dan kelas reguler memiliki skor konsep diri yang lebih tinggi
dibandingkan kelas akselerasi dan RSBI. Dimensi yang memiliki persentase
paling besar dengan kategori positif adalah subdimensi identitas diri etik moral
dan kepuasan diri etik moral. Kepuasan diri terkait dengan penghargaan seseorang
terhadap dirinya. Semakin jauh perbedaan antara gambaran tentang siapa dirinya
dengan gambaran seseorang tentang bagaimana seharusnya ia menjadi, maka akan
menimbulkan harga diri yang rendah. Sebaliknya, semakin sedikit perbedaan
gambaran diri dengan gambaran seseorang tentang bagaimana seharusnya akan
menciptakan harga diri yang tinggi (Calhoun 1990).
Dimensi yang berada pada kategori negatif adalah subdimensi tingkah laku
diri sosial. Contoh pada kelas akselerasi memiliki persentase paling rendah di
antara kedua kelompok contoh lainnya. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan
jumlah kelas dengan model yang sama di sekolah tersebut. Kelas akselerasi
berjumlah satu kelas pada setiap angkatan sehingga memungkinkan kurangnya
interaksi dengan model kelas serupa, sedangkan kelas RSBI dan reguler memiliki
lebih banyak kelas dengan model yang sama. Hal ini dapat menyebabkan
perbedaan dalam hal interaksi contoh dengan lingkungannya. Selain itu, contoh
pada kelas akselerasi yang memiliki usia yang lebih muda bisa menjadi pemicu
lemahnya rasa percaya diri contoh untuk bergaul dengan kelas dengan model
pembelajaran yang berbeda. Doll dan Lyon (1998) diacu dalam Caldarella,
Christensen, Kramer, dan Kronmiller (2009) menyatakan bahwa menunjukkan
rasa empati, kemauan untuk berbagi, dan bekerja sama merupakan hal yang
penting dalam menjalin suatu hubungan pertemanan dan menciptakan hubungan
yang positif.
Terdapat beberapa alasan peranan konsep diri dalam menentukan perilaku
seseorang, antara lain konsep diri dapat mempertahankan keselarasan batin, sikap,
58
dan pandangan individu terhadap dirinya yang akan sangat mempengaruhi
individu dalam menafsirkan pengalamannya serta dapat menentukan pengharapan
individu (Pudjigjoyanti 1988 diacu dalam Harlock 1991). Dalam penelitian ini
juga tidak ditemukan perbedaan yang nyata dalam hal konsep diri contoh pada
berbagai model pembelajaran.
Penelitian juga menunjukkan bahwa keseluruhan contoh memiliki
kecerdasan emosional yang termasuk dalam kategori sedang. Akan tetapi, separuh
contoh kelas reguler memiliki skor kecerdasan emosional yang termasuk ke dalam
kategori sedang dan tinggi. Dalam penelitan juga diperoleh hasil bahwa kelas
reguler memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan kelas
akselerasi dan kelas RSBI. Dimensi yang memiliki persentase terbesar pada
kategori tinggi adalah dimensi kesadaran diri. Hal ini berarti contoh dapat
mengenali perasaan yang dirasakan saat perasaan itu timbul. Menurut Cherniss
(2006) diacu dalam Joseph, Berry, dan Deshpande (2009), kecerdasan emosional
seseorang akan berdampak pada hasil dari pekerjaan yang dilakukan seseorang,
keefektifan dalam sebuah kepemimpinan, dan juga kepuasan dalam bermacam-
macam pekerjaan.
Gottman dan DeClaire (2007) menyatakan bahwa kesadaran emosi
merupakan kemampuan seseorang mengenali atau merasakan emosi yang timbul,
mengidentifikasi perasaan-perasaan yang ada, dan peka terhadap hadirnya emosi
dalam diri orang lain. Kesadaran diri ini memang belum menjamin penguasaan
emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan
emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. Penelitian ini menunjukkan
terdapatnya perbedaan yang nyata antara kecerdasan emosional contoh pada
berbagai model pembelajaran.
Menurut Higgins (1982) diacu dalam Astuti (2007), faktor-faktor yang
berperan dalam stres merupakan kombinasi antara faktor internal (individual) dan
faktor eksternal (lingkungan). Faktor internal misalnya rasa percaya diri, motivasi,
keyakinan individu secara umum tentang kehidupan sekitarnya, dan kemampuan
beradaptasi. Sedangkan faktor eksternal seperti hal yang berhubungan dengan
pekerjaan, non pekerjaan, serta perubahan dalam kehidupan. Dalam hal ini faktor
59
eksternal yang dirasakan oleh contoh diduga berhubungan dengan aktivitas
sekolah seperti tugas ataupun kegiatan lain di sekolah.
Gejala stres yang dirasakan oleh keseluruhan contoh tergolong rendah dan
jenis gejala stres yang lebih banyak dirasakan oleh contoh adalah gejala
psikologis. Dalam penelitian ini juga tidak ditemukan perbedaan yang nyata
dalam hal tingkat stres contoh pada model pembelajaran yang berbeda. Kelas
akselerasi dan RSBI yang memiliki aktivitas yang lebih padat dibandingkan kelas
reguler ternyata memiliki tingkat stres yang tergolong rendah. Hal ini terkait
dengan tingkat pendidikan orang tua dan juga pendapatan orang tua. Sebagian
besar orang tua contoh di kedua kelas tersebut memiliki pendidikan yang cukup
tinggi yang disertai juga dengan pendapatan di atas rata-rata. Dengan begitu,
kebutuhan akan fasilitas belajar pun akan dengan mudah terpenuhi (internet,
peralatan sekolah, dll.).
Pendidikan orang tua yang tinggi juga diduga menyebabkan semakin
tinggi pula standar orang tua terhadap anak, salah satunya dalam hal pendidikan.
Kurniawan (2010) menyatakan bahwa adanya kelas akselerasi menjadi gengsi
tersendiri bagi masyarakat dan terkadang ada orang tua yang “ngotot” untuk
memasukkan anaknya ke kelas tersebut. Hal ini diduga menjadi salah satu
penyebab motivasi contoh kelas akselerasi lebih rendah karena mereka
mendapatkan dorongan lebih besar dari orang tua dibandingkan keinginan mereka
sendiri untuk masuk ke kelas akselerasi. Perbedaan aktivitas di antara kelas yang
umum dan kelas eksklusif juga diduga mempengaruhi stres yang dirasakan
contoh. Menurut Kenny dan Rice (1995) diacu dalam Brougham, Zail, Mendoza,
dan Miller (2009), hubungan dalam keluarga seperti dukungan sosial dan adanya
kesempatan untuk memberikan pendapat menjadi salah satu faktor yang dapat
menurunkan tingkat stres seseorang.
Menurut Lazarus (1976) diacu dalam Sussman dan Steinmetz (1988),
gejala stres didasarkan pada kondisi lingkungan sosial tertentu dan stres ini dapat
mempengaruhi kesehatan fisik orang yang mengalami stres. Jika kondisi stres
terus menerus terjadi, emosi seorang individu akan berpindah-pindah di antara
emosi-emosi tersebut tergantung pada keberhasilan individu dalam
60
menyelesaikannya. Emosi yang dirasakan seperti kecemasan, kemarahan, apati,
dan gangguan kognitif.
Koping atau kemampuan untuk mengatasi masalah merupakan suatu
proses yang digunakan oleh individu untuk menangani tuntutan yang dapat
menimbulkan stres. Dalam penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang nyata
dari strategi koping yang dilakukan oleh contoh. Keseluruhan contoh dalam
penelitian ini memiliki strategi koping yang tergolong sedang yang artinya strategi
koping yang dilakukan sudah cukup baik dan diduga mampu menangani
permasalahan yang dihadapi contoh. Jenis strategi koping yang lebih banyak
digunakan oleh contoh adalah emotion focused coping, yaitu strategi yang
digunakan untuk mencegah emosi negatif yang dapat menguasai dirinya dan
melakukan tindakan untuk memecahkan masalahnya (Atkinson, Atkinson, Smith,
dan Bem 2000).
Selanjutnya penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara konsep diri dengan kecerdasan emosional. Hal ini menunjukkan
bahwa semakin tinggi konsep diri maka semakin tinggi pula kecerdasan
emosional contoh. Hasil ini juga diduga bahwa contoh yang memiliki konsep diri
yang tinggi akan mampu mengenali dan mengelola emosi diri, memiliki motivasi
dan empati yang baik, serta mampu membina hubungan yang baik pula dengan
teman-temannya.
Konsep diri memiliki hubungan yang negatif dengan tingkat stres (fisik
dan psikologis). Hal ini berarti semakin tinggi konsep diri maka semakin rendah
tingkat stres contoh. Hal ini mencerminkan bahwa konsep diri yang dimiliki oleh
seseorang ternyata dapat menekan stres yang dirasakan individu. Saat individu
memiliki konsep diri yang baik maka akan lebih mudah mengendalikan perasaan
dan emosi yang dirasakan, baik dalam bentuk reaksi fisik maupun psikologis.
Dalam penelitian ini ditemukan hubungan yang positif antara konsep diri
dengan strategi koping terfokus masalah dan terfokus emosi. Hal ini berarti
semakin tinggi konsep diri maka semakin tinggi pula strategi koping contoh
dalam menyelesaikan masalah atau mengelola emosi yang dirasakan saat
menghadapi masalah. Saat individu memiliki konsep diri yang baik maka ia juga
akan memiliki cara yang baik dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
61
Dengan begitu, stres dirasakan tidak akan berkepanjangan dan tidak mengganggu
aktivitas belajar di sekolah.
Penelitian ini juga menunjukkan terdapat hubungan yang negatif antara
kecerdasan emosional dengan reaksi psikologis tingkat stres dan hubungan yang
positif dengan strategi koping terfokus masalah dan emosi. Hal ini berarti semakin
tinggi kecerdasan emosional maka semakin rendah tingkat stres psikologis contoh.
Dengan hasil ini, dapat dikatakan bahwa saat individu memiliki kemampuan
untuk mengenali emosi dirinya, mengelola emosinya dengan baik, memiliki
motivasi dan empati, serta dapat beradaptasi dengan lingkungan maka stres yang
dirasakan akan dapat ditekan sehingga tidak akan berkepanjangan. Salah satu
dimensi lain dari kecerdasan emosional adalah stres tolerance, yaitu kemampuan
untuk menghadapi kejadian dan situasi yang penuh tekanan serta menanganinya
secara aktif dan positif tanpa harus terjatuh. Selain itu individu juga akan mampu
mengatasi stres tersebut melalui hal yang lebih positif yang berhubungan dengan
keadaan psikologisnya.
Parker dan Endler (1996) diacu dalam Astuti (2007) menyatakan bahwa
salah satu cara yang dilakukan dalam mengatasi masalah adalah dengan
mengendalikan emosi-emosi yang tidak menyenangkan daripada menghadapi
sumber stres secara langsung. Stres juga dapat dikonstruksikan dalam sesuatu
yang positif yang dapat mengarahkan individu secara instrinsik untuk tetap aktif
dan melakukan penerimaan terhadap masalah yang sedang dihadapi. Menurut
Fabella (1993) diacu dalam Astuti (2007), terdapat jenis stres yang merugikan
karena stres ini terjadi saat tubuh dan pikiran tidak mampu beradaptasi dengan
sumber stres dan kondisi ini akan menimbulkan perasaan yang tidak
menyenangkan.
Konsep diri yang positif ternyata dapat menekan stres yang dialami oleh
individu. Ketika seseorang memiliki konsep diri yang baik dan positif serta
mampu mengelola perasaannya dengan baik, menumbuhkan hubungan saling
percaya, dan menyelaraskan diri dengan bermacam macam orang maka individu
akan lebih mampu menerima setiap permasalahan yang dirasakan. Menurut
Erikson (1950) diacu dalam Megawangi (2007), dalam mencari identitas dirinya,
seorang remaja perlu memiliki konsep diri yang positif sehingga dapat
62
meningkatkan kepercayaan diri remaja tersebut. Hal ini disebabkan kepercayaan
diri yang rendah berhubungan erat dengan beberapa masalah remaja, misalnya
stres, depresi, kenakalan remaja, bunuh diri, dan lain sebagainya.
Hal ini juga dibuktikan dalam penelitian yang menunjukkan bahwa
semakin tinggi kecerdasan emosional, semakin tinggi pula strategi koping yang
dilakukan, baik strategi terfokus masalah maupun strategi terfokus emosi.
Menurut Santrock (2003), remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan
meledak-ledak, melainkan menggerutu, tidak mau berbicara, atau dengan suara
keras mengritik orang yang menjadi penyebab amarahnya tersebut. Mereka akan
menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya melalui
cara-cara yang dapat lebih diterima.
Stres terjadi jika seseorang dihadapkan pada peristiwa yang dirasakan
sebagai hal yang dapat mengancam kesehatan fisik atau psikologisnya (Gunarsa
dan Gunarsa 2004). Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa tidak terdapat
hubungan antara tingkat stres dengan strategi koping yang dilakukan contoh.
Dengan kata lain, bagaimanapun tingkat stres siswa tidak akan menentukan jens
strategi koping yang dilakukan. Hal ini berkaitan juga dengan tingkat stres contoh
yang tergolong rendah. Keseluruhan contoh hampir tidak pernah merasakan stres
sehingga tidak menuntut mereka untuk beradaptasi dengan masalah yang
dihadapi. Selain itu, diduga adanya perbedaan jenis kepribadian yang dimiliki
oleh masing-masing contoh dapat mempengaruhi contoh dalam menerima
masalah yang dialami.
Menurut Schneiders (1964) diacu dalam Yulianti (2010), salah satu faktor
yang mempengaruhi strategi koping seseorang adalah perkembangan dan
kematangan, bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap
perkembangan dan kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan
emosi. Hal ini dapat mempengaruhi cara individu tersebut dalam melakukan
penyesuaian diri. Saat remaja, seorang individu cenderung lebih menyadari siklus
emosionalnya, misalnya perasaan bersalah karena marah.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini adalah dalam hal penarikan contoh. Pemilihan
kelas pada kedua sekolah yang menjadi lokasi penelitian dilakukan secara
63
purposive. Hal ini dilakukan atas dasar perizinan dengan pihak sekolah yang
bersangkutan. Selain itu, kelas XI IPA akselerasi yang merupakan satu-satunya
kelas di sekolah menyebabkan peneliti hanya dapat menggunakan kelas tersebut
sebagai contoh meskipun jumlah siswa di kelas tersebut secara keseluruhan adalah
26 orang. Hal ini juga menyebabkan tidak dapat dilakukan teknik simple random
sampling untuk penarikan contoh di kelas akselerasi. Keterbatasan lainnya adalah
waktu yang disediakan oleh pihak sekolah dalam satu hari untuk mengisi
kuesioner adalah ± 30 menit untuk beberapa kuesioner. Hal ini membuat contoh
terlihat terburu-buru dan kurang fokus dalam mengisi kuesioner.