Upload
aldena-bina-salimah
View
230
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
praktikum kandang 24 jam
Citation preview
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi perah merupakan salah satu ternak penghasil susu yang cukup tinggi,
untuk mendapatkan produk susu yang tinggi perlu diperhatikan manajemen
pemeliharaan dari sapi perah. Pemeliharaan sapi perah beberapa tahun terakhir ini
menunjukkan perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ini terus didorong
oleh pemerintah agar swasembada susu tercapai secepatnya. Untuk memenuhi
kebutuhan susu secara nasional, perkembangan ternak perah, khususnya sapi
perah, perlu mendapatkan pembinaan yang lebih mantap dan terencana dari tahun-
tahun sebelumnya, karena kebutuhan susu secara nasional sebagian besar
dipenuhi dari sapi perah.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan usaha beternak
Sapi perah yaitu faktor kebersihan,terutama kebersihan lingkungan baik itu
kebersihan kandang maupun kebersihan ternak itu sendiri. Lingkungan yang tidak
bersih dan kotor dapat mengganggu aktivitas ternak dan juga dapat menimbulkan
bibit penyakit terutama pada saat pemerahan susu pada Sapi perah. Memandikan
ataupun membersihkan kambing perah secara rutin sebelum melakukan
pemerahan merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan dalam
pemeliharaan kambing perah selain kambing perah kelihatan bersih dan merasa
nyaman juga dapat mencegah terjadinya kontaminasi terhadap air susu pada saat
melakukan pemerahan akibat kotoran yang melekat pada tubuh ternak tidak
dibersihkan, selain itu kondisi tubuh yang tidak bersih dapat menimbulkan
penyakit pada ternak itu sendiri karena kuman maupun bakteri dapat berkembang
pada kondisi lingkungan yang kurang baik. Selain itu juga faktor pakan pun
sangat mempengaruhi keberhasilan usaha ternak sapi perah, karena manajemen
pakan dalam pemeliharaan sapi perah sangat perlu diperhatikan karena dapat
berpengaruh terhadap produksi dan kesehatan sapi perah.
Oleh sebab itu membersihkan atau memandikan dan juga memberikan
pakan pada sapi perah secara teratur sangat perlu diperhatikan, dalam praktikum
ini secara langsung dilakukan mengenai manajemen pemeliharaan sapi perah baik
itu dalam hal membersihkan sapi dan kandang sapi maupun juga jadwal
pemerahan sapi perah sekaligus juga manajemen pemberian pakan pada sapi
perah.
1.2. Maksud dan Tujuan
Adapun Maksud dan Tujuandari pembuatan laporan akhir ini adalah
sebagai berikut :
1. Agar mahasiswa mengetahui tatalaksana pemeliharaan sapi perah
2. Agar mahasiswa mengetahui bagaimana pemmeliharaan sapi perah secara
praktek
1.3. Kegunaan Praktikum
Adapun kegunaan yang dapat diambil dari kegiatan praktikum adalah
sebagai berikut :
1. Mengetehaui pelaksanaan tatalaksana pemeliharaan sapi perah
2. Mengetahui kegiatan saat praktek di Labratorium produksi sapi
perah
1.4. Waktu dan Tempat
Kegiatan praktek kandang sapi perah mengenai tatalaksana pemeiharaan
dilaksanakan pada :
Hari/Tanggal : Jum’at-Sabtu, 16-17 Mei 2014
Pukul : 16.00 - 16.00 WIB
Tempat : Kandang Produksi Ternak Perah
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sapi Perah
Sapi perah adalah suatu jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk
menghasilkan susu. Terdapat beberapa bangsa sapi perah yaitu Ayrshire,
Guernsey, Jersey dan Friesian Holstein (FH) (Blakely dan Bade, 1995). Sapi-sapi
perah di Indonesia dewasa ini pada umumnya adalah sapi perah bangsa FH import
dan turunannya. Karakteristik sapi FH yaitu warna tubuhnya hitam belang putih
dengan pembatas yang jelas, terdapat warna putih berbentuk segitiga di dahi
dengan kepala panjang, dan sebagian kecil tubuhnya berwarna putih atau hitam
seluruhnya (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Turunan sapi FH dikenal dengan
sebutan sapi perah Friesian lokal (PFH). Bangsa sapi FH adalah bangsa sapi perah
yang paling menonjol di Amerika serikat, jumlahnya cukup banyak sekitar
80 - 90% dari seluruh jumlah sapi yang ada. Di antara jenis sapi perah yang ada,
FH mempunyai kemampuan produksi susu yang tinggi (Siregar, 1993).
Sapi FH sangat menonjol karena banyaknya jumlah produksi susu namun
kadar lemaknya rendah, kapasitas perut besar sehingga mampu menampung pakan
banyak, mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengubah pakan menjadi
susu. Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan hasil persilangan antara
sapi FH dengan sapi lokal, dengan ciri - ciri yang hampir menyerupai FH tetapi
produksi susu relatif lebih rendah dari FH dan badannya juga lebih kecil.
Hasil dari persilangan tersebut mempunyai sifat diantara kedua induknya, dimana
pertambahan bobot badan cukup tinggi serta mampu beradaptasi dengan
lingkungan tropis secara baik (Putra 2009).
2.2. Fisiologi Ternak
Fisiologi ternak perah meliputi suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi
pernafasan, tingkah laku berbaring, urinasi serta defekasi. Pengetahuan tentang
fisiologi sapi perah sangat penting karena menentukan keberhasilan dari usaha
peternakan sapi perah disamping faktor genetik dan pakan (Anderson, 1970).
Penampilan ternak dipengaruhi oleh lingkungan, peralatan dan fasilitas
penanganan ternak yang berakibat pada perubahan fisiologis dan tingkah laku
ternak (Akoso, 2008).
2.3. Frekuensi Nafas
Lingkungan yang panas akan menyebabkan peningkatan frekuensi
pernafasan yang dapat digunakan untuk menandai adanya cekaman panas. Kisaran
suhu antara 18 – 20 0C, sapi akan bernafas 20 kali tiap menit dan sebaliknya
pada suhu 35 0C frekuensi nafas meningkat 115 kali per menit (Akoso, 2008).
Lain halnya dengan pendapat Frandson (1992), yang menyatakan bahwa frekuensi
nafas dalam kondisi normal adalah berkisar antara 30 - 40 kali per menit.
Peningkatan frekuensi nafas sangat efisien untuk membuang panas tubuh
yang terlalu tinggi. Tingginya frekuensi nafas sangat berkaitan dengan pola makan
dan ruminasi yang berakibat pada turunnya efisiensi penampilan produksi
(Frandson, 1992). Frekuensi pernafasan setiap menit untuk jenis hewan tidak
sama. Pada sapi dewasa berkisar antara 12 - 16 kali per menit, sedangkan pada
sapi muda antara 27 - 37 kali per menit (Akoso, 2008).
2.4. Suhu Rektal Sapi Perah
Pengukuran suhu tubuh dilakukan dengan termometer klinik yang
dimasukkan ke dalam rektum pada kedalaman tertentu dan harus menempel pada
dinding mukosa dari rektum (Dukes, 1955). Suhu rektal tidak mewakili rata-rata
suhu tubuh tetapi pengukuran pada bagian rektum lebih baik daripada pengukuran
pada bagian tubuh lainnya. Kisaran suhu rektal yang normal adalah 36º - 39,1ºC
(Anderson, 1970).
Sapi – sapi yang sedang bekerja, sapi yang tiduran pada malam hari suhu
tubuhnya relatif tinggi. Suhu tubuh dipengaruhi oleh suhu lingkungan, jenis
kelamin, dan kondisi ternak (Dukes, 1955). Kandang beratap rumbia
menyebabkan respons suhu rektal lebih rendah dibandingkan dengan sapi yang
ada di dalam kandang beratap genteng dan seng pada pengamatan siang, malam,
dan rataan harian. Kandang beratap genteng menyebabkan suhu rektal ternak lebih
rendah dibandingkan ternak beratap seng pada pengamatan siang dan rataan
harian, namun pada pengamatan malam hari tidak berbeda (Anderson, l970).
2.5. Denyut Nadi Sapi Perah
Suhu lingkungan yang tinggi mampu menaikkan frekuensi denyut nadi
namun pada suhu lingkungan yang rendah akan menurunkan denyut nadi
meskipun dalam batas yang normal (Dukes, 1955). Menurut Frandson (1992),
denyut nadi pada daerah comfort zone akan konstan tetapi setelah melewati batas
atas comfort zone denyut nadi akan mengalami peningkatan. Denyut nadi yang
mengalami peningkatan sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan di mana ternak
itu berada. Kisaran frekuensi denyut nadi yang normal pada sapi menurut
Anderson (1970) adalah 40 – 69 kali per menit.
2.6. Defekasi
Defekasi merupakan salah satu usaha ternak untuk mengatur proses
keseimbangan tubuh dengan cara mengeluarkan fesses. Fesses merupakan salah
satu produk sisa proses pencernaan setelah pakan yang dikonsumsi mengalami
degradasi dan diserap atau tidak mengalami proses apapun yang akhirnya
dikeluarkan dari dalam tubuh (Blakely dan Bade, 1995). Proses pembentukan
feses pada sapi perah dimulai dari masuknya bahan makanan melalui mulut
sampai keluarnya feses dari anus memerlukan waktu 5 - 7 jam (Siregar, 1993).
Bobot feses sapi perah laktasi dan pejantan berkisar antara 8 - 14 kg dan 4
kg pada pedet dalam tiap harinya (Blakely dan Bade, 1995). Lain halnya dengan
pendapat Anderson (1970), jumlah feses sapi perah dewasa berkisar antara 18 - 36
kg per ekor per hari, sedangkan pada pedet adalah berkisar antara 4 - 7 kg.
2.7. Urinasi
Urine yaitu hasil filtrasi ginjal yang sudah tidak dimanfaatkan dan harus
dikeluarkan dari tubuh. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap pengeluaran urine
di samping faktor lain seperti keseimbangan air, pH, tekanan osmotik, tingkat
elektrolit dan konsentrasi banyaknya zat dalam plasma (Blakely dan Bade, 1995).
Menurut Akoso (2008) Urinasi merupakan suatu yang dilakukan ternak dalam
mengatur proses keseimbangan tubuh yaitu dengan cara membuang urin atau
cairan yang tidak bermanfaat lagi bagi tubuh. Warna urine berkaitan dengan
enzim pencernaan dan warna bahan yang dikonsumsi. Frekuensi urinasi yang
normal pada sapi dalam kondisi normal berkisar antara 5 - 7 kali dalam sehari
yaitu sebanyak 6 - 12 liter (Seobronto, 1985).
2.8. Laying
Perubahan tingkah laku, misal berbaring, makan dan aktivitas lain akan
berakibat pada tambahnya pembuangan panas. Berbaring merupakan salah satu
cara untuk membuang panas melalui konduksi yaitu melalui partikel benda padat
(Frandson, 1992). Sedangkan menurut pendapat Bligh dan Johnson (1973),
menyatakan bahwa rebah dan berdiri pada sapi perah merupakan salah satu cara
untuk mengurangi maupun menambah temperatur yang disebabkan naik atau
turunnya suhu lingkungan.
Lama berbaring pada sapi dipengaruhi oleh bangsa, suhu lingkungan dan
ukuran tubuh. Pada saat berbaring sapi biasanya melakukan proses remastikasi
dan juga melakukan penanggulangan suhu tubuh bila sapi merasa lelah dan
kepanasan. Tingginya temperatur dipengaruhi oleh tingkat metabolisme serta
proses digesti. Metabolisme akan menghasilkan panas yang dikeluarkan melalui
permukaan tubuh (Campbell dan Lasley, 1985).
2.9. Ruminansi
Ruminansi merupakan salah satu ciri yang khas pada ternak ruminasia yaitu
dengan mengunyah kembali makanan yang telah masuk lambung (rumen) agar
lebih lumat dan dapat dengan mudah dicerna (Soebronto, 1985). Sapi biasanya
melakukan ruminansia setelah 2 - 5 jam setelah makan dan pada malam hari
pada saat sapi sedang berbaring (Frandson, 1992).
2.10. Fisiologi Lingkungan
Lingkungan menurut asalnya dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan alam
dan lingkungan buatan. Lingkungan alam terdiri dari faktor iklim yaitu suhu
udara, kelembaban udara, kecepatan angin, tekanan udara, curah hujan,
ketinggian, debu, cahaya dan radiasi kosmik (Williamson dan Payne, 1993).
Lingkungan alam dipengaruhi oleh cahaya dan iklim, sedangkan lingkungan
buatan terdiri dari polusi lingkungan, komponen toksis pada air, factor mekanis,
radiasi ionisasi dan ionisasi udara buatan. Selain lingkungan diatas masih ada
lingkungan lainnya yaitu lingkungan social, tanah vegetasi, endoparasit dan
ektoparasit (Siregar, 1993).
2.11 Pengukuran Suhu Udara
Suhu merupakan bentuk karakteristik inherent, dimiliki oleh suatu benda
yang berhubungan dengan panas dan energi. Jika panas dialirkan pada suatu
benda maka suhu benda akan meningkat, sebaliknya suhu benda akan turun jika
benda yang bersangkutan kehilangan panas (Williamson dan Payne, 1993).
Pengembangan sapi perah disekitar subtropis sebaiknya dipilih daerah yang
mempunyai suhu lingkungan antara 18,3° - 21,1°C dan kelembaban diatas 55%
dengan ketinggian antara 790 - 1220 m di atas permukaan laut. Daerah yang
cocok untuk sapi perah dengan suhu lingkungan 21° - 25°C dengan ketinggian
tempat 790 m dari permukaan laut (Siregar, 1993). Menurut Campbell dan Lasley
(1985), suhu udara pada daerah yang nyaman (comfort zone) untuk usaha sapi
perah adalah berkisar antara 15,56º - 26,67ºC.
2.12. Pengukuran Kelembaban
Kelembaban udara adalah perbandingan relatif uap air yang ada dalam udara
jenuh pada tekanan dan suhu yang sama. Kelembaban relatif erat hubungannya
dengan tingkat penguapan air dari tubuh ternak ke lingkungan (Siregar, 1993).
Kelembaban udara relatif lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada pagi hari
disebabkan karena penambahan uap air hasil evatranspirasi dari permukaan atau
pengembunan yang memanfaatkan uap air yang berasal dari udara (Williamson
dan Payne, 1993).
2.4.3.Pengukuran Radiasi
Radiasi matahari dapat menaikkan beban panas pada ternak. Banyaknya
radiasi matahari yang diserap kulit tergantung dari warna kulit dan bulunya. Kira-
kira setengah dari spektrum matahari dalam bentuk kelihatan sedangkan lebih
kurang setengah lagi dalam bentuk tidak kelihatan yaitu sinar infra merah.
Banyaknya sinar yang kelihatan diserap oleh binatang tergantung dari warna
binatang di mana warna putih menyerap 20% sedangkan warna hitam menyerap
100% dari radiasi sinar yang kelihatan akan diserap semua oleh binatang apapun
warna kulitnya (Williamson dan Payne, 1993). Warna bukan satu-satunya faktor
yang mempengaruhi radiasi matahari terhadap beban panas ternak. Radiasi
maksimal dicapai pada saat matahari mencapai zenith, sedangkan radiasi minimal
dicapai pada saat matahari berada pada posisi terendah. Pengembangan sapi perah
disekitar subtropis sebaiknya dipilih daerah yang mempunyai suhu lingkungan
antara 18,3° - 21,1°C dan kelembaban diatas 55% dengan ketinggian antara 790-
1220 m di atas permukaan laut. Daerah yang cocok untuk sapi perah dengan suhu
lingkungan 21° - 25°C dengan ketinggian tempat 790 m dari permukaan laut
(Siregar, 1993). Purwanto et al (1995) menyatakan bahwa radiasi maksimal
dicapai pada saat matahari mencapai zenith, sedangkan radiasi minimal dicapai
pada saat matahari berada pada posisi terendah.
2.5. Perkandangan
Perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola
yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses produksi sebagian atau seluruh
kehidupannya dengan segala fasilitas dan peralatannya, sedangkan kandang
adalah tempat tinggal ternak untuk melakukan kegiatan produksi maupun
reproduksi dari sebagian atau seluruh kehidupannya (Sudarmono, 1993). Dalam
pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu terdapat
ventilasi, memberikan kenyamanan sapi perah, mudah dibersihkan, dan memberi
kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya (Siregar, 1993).
Bangunan kandang harus memberikan jaminan hidup yang sehat, nyaman bagi
sapi dan tidak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan tata-laksana. Oleh
karena itu, konstruksi, bentuk, dan macam kandang harus dilengkapi dengan
ventilasi yang sempurna, atap, dinding, lantai, tempat pakan dan air minum,
selokan atau parit, dan ukuran petak kandang yang sesuai kapsitas (Blakely dan
Blade, 1995).
2.5.1.Ventilasi
Ventilasi harus berfungsi dengan baik agar keluar-masuknya udara dari
dalam dan luar kandang berjalan sempurna. Pengaturan ventilasi yang sempurna
berarti memperlancar pergantian udara di dalam kandang yang kotor dengan udara
yang bersih dari luar (Siregar, 1993). Jika ventilasi sempurna, maka ruangan
kandang tidak akan pengap, lembab, kotor, berdebu, dan panas. Ventilasi
kandang sapi perah di daerah tropis cukup dengan ventilasi alami, yang
pengadaannya erat sekali dengan perlengkapan dinding terbuka atau dinding semi
terbuka (Blakely dan Blade, 1995).
2.5.2.Atap
Atap berfungsi untuk menjaga kehangatan sapi pada malam hari. Atap juga
berfungsi untuk melindungi sapi dari terik matahari dan air hujan. Konstruksi atap
harus dibuat miring agar air hujan dapat meluncur di atas atap dengan lancar.
Sudut kemiringan atap diusahakan sekitar 30°, bagian yang rendah mengarah ke
belakang (Blakely dan Blade, 1995). Bahan yang digunakan untuk membuat atap
antara lain asbes, rumbai tanah, genting dan seng. Bahan yang ideal adalah
genteng karena mudah menyerap panas dan antara genting terdapat celah-celah
sehingga membantu dalam sirkulasi udara. Atap rumbai memiliki kelemahan yaitu
mudah rusak akibat serangan angin yang besar, oleh karena itu perlu adanya
pengikatan yang kuat pada pemakaian atap rumbai. Bila menggunakan seng
sebaiknya dicat putih pada bagian luarnya dan hitam pada bagian dalamnya
agar pada siang hari tidak terlalu panas. Selain itu dapat digunakan genteng karena
mudah menyerap panas dan antara genteng terrdapat celah-celah dalam membantu
sirkulasi udara. (Williamson dan Payne, 1993).
2.5.4.Dinding
Pembuatan dinding kandang disarankan hanya pada daerah yang banyak
angin bertiup dengan kencang. Sebaliknya pada daerah yang berangin tenang tak
perlu dibuat dinding kandang, kalau perlu hanya dibuat pada kedua sisi kandang
kanan dan kiri dengan tinggi 1 meter dari lantai (Siregar, 1993). Dinding biasanya
dibuat dari tembok atau beton yang dibuat rata agar mudah membersihkannya.
Warna dinding putih atau warna terang lainnya sehingga kotoran dalam kandang
mudah kelihatan dan kandang lebih bersih. Dinding yang dibangun semi terbuka
memberikan keuntungan antara lain terjadinya pergantian udara dalam kandang.
(Syarief dan Sumoprastowo, 1990).
2.5.5.Lantai
Lantai yang memenuhi syarat dapat menunjang proses fisis, biologis seperti
memamah biak, bernafas dan lainnya sehingga berjalan dengan normal. Lantai
yang kasar atau tajam akan dapat menimbulkan luka khususnya pada kulit
contohnya lecet sehingga mudah dimasuki organisme kedalam luka tersebut
(Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Lantai yang licin dapat menyebabkan sapi
mudah tergelincir, sedangkan lantai yang lembab dan becek dapat mengganggu
pernapasan sapi dan menjadi sarang kuman. Supaya air mudah mengalir atau
kering, lantai kandang harus diupayakan miring dengan kemiringan 2-3 cm.
Lantai sebagai tempat berpijak dan berbaring sapi sepanjang waktu harus benar-
benar memenuhi syarat : tahan injak, tidak licin, tidak mudah menjadi lembab,
dan selalu bersih (Siregar, 1993).
2.5.6.Tempat Pakan dan Air Minum
Tempat pakan dan air minum sebaiknya dibuat cekung. Tempat pakan
biasanya terbuat dari papan kayu dan tempat air minum menggunakan ember
(Siregar, 1993). Kandang yang disekat-sekat dengan pembatas sebaiknya
dilengkapi tempat pakan dan air minum dari beton semen secara individual.
Masing-masing dibuat dengan ukuran 80 x 50 cm2 untuk tempat pakan dan 40x50
cm2 untuk air minum (Blakely dan Blade, 1995).
2.5.7.Selokan atau Parit
Lantai bagian belakang dan di keliling kandang harus dilengkapi parit agar
air pembersih kandang dan air untuk memandikan sapi mudah mengalir menuju
ke bak penampungan (Blakely dan Blade, 1995). Selokan dibuat dengan lebar
20 - 40 cm dan kedalaman 15 - 25 cm yang untuk memudahkan pembuangan
kotoran yang cair, air minum maupun air untuk memandikan sapi (Siregar, 1993).
2.5.8.Tempat Sapi (Petak Kandang)
Pengaturan ukuran kandang yang sesuai kapasitas dapat menjamin
kesehatan dan kenyamanan sapi. Sebagai pedoman ukuran luas untuk seekor sapi
perah dewasa adalah 1,2 x 1,75 m2. Setiap ruangan bagi sapi-sapi dewasa
sebaiknya diberi dinding penyekat untuk memisahkan sapi yang satu dengan yang
lain (Siregar, 1993). Dinding penyekat ini dapat terbuat dari tembok, besi bulat
(pipa air) ataupun berasal dari kayu atau bambu. Dengan adanya dinding penyekat
ini dimaksudkan agar setiap sapi yang menghuni ruangan itu tidak terganggau
dengan yang lain, sehingga masing-masing merasa lebih aman. Dengan
penyekatan tersebut paling tidak dapat mengurangi atau menghalangi sapi-sapi
yang sering memiliki perangai agak agresif (Blakely dan Blade, 1995).
2.6. Anatomi Ambing
Ambing merupakan kelenjar kulit yang ditumbuhi bulu kecuali puting, 4
saluran susu yang terpisah bersama-sama menuju ambing (Schmidt, 1971).
Menurut Blakely dan Bade (1995) anatomi ambing seekor sapi perah dibagi
menjadi empat kuartir terpisah. Dua kuartir depan biasanya berukuran 20% lebih
kecil dari kuartir ambing bagian belakang dan antara kuartir itu bebas satu dengan
yang lainnya.
Tiap-tiap kuartir mempunyai satu putting. Bentuk putting bulat, seragam,
terletak pada masing-masing kuartir seperti pada sudut bujur sangkar. Kuartir
ambing terdapat saluran tempat air susu keluar yang disebut saluran putting
Pemisahan ambing menjadi dua bagian ke arah ventral ditandai dengan adanya
kerutan longitudinal pada lekukan intermamae (Frandson, 1992). Masing-masing
terdiri dari 2 kuartir, kuartir depan dan belakang dipisahkan oleh lapisan tipis (fine
membrane). Lapisan pemisah ini menyebabkan setiap kuartir ambing berdiri
sendiri terutama pada kenampakan secara eksterior. Perbedaannya terletak pada
ukuran ambing dan struktur atau anatomi bagian dalamnya, yaitu belum
sempurnanya kerja sel-sel penghasil susu (Soebronto,1985).
2.6.1.Ambing Sapi Dara
Sapi dara mempunyai ambing dengan ukuran yang lebih kecil dan struktur
alveoli yang masih halus. Saluran pada ambing sapi dara belum berkembang dan
hanya berupa jaringan adiposa. Puting sapi dara masih sederhana dan belum
banyak saluran untuk proses laktasi. Hal ini dikarenakan pada ambing sapi dara
masih berupa bantalan lemak sehingga saluran untuk proses laktasi belum
terbentuk (Frandson, 1992). Sapi betina yang telah mencapai dewasa-kelamin,
maka estrogen (dihasilkan oleh folikel pada ovarium) merangsang perkembangan
sistema duktus yang besar. Siklus yang berulang, jaringan kelenjar susu
dirangsang untuk berkembang lebih cepat. Setelah sapi dara mengalami beberapa
kali siklus estrus, maka folikel berkembang menjadi korpus luteum dan
memproduksi progesteron, yang menyebabkan perkembangan sistema lobul-
alveolar (Williamson dan Payne, 1993).
2.6.2.Ambing Sapi Laktasi
Puting ambing sapi laktasi terbentuk sempurna dan berkembang baik seiring
dengan perkembangan ambing dan sudah menampakkan saluran yang lengkap
seperti, muara putting yang berfungsi tempat berkumpulnya susu, teat canal
merupakan saluran putting tempat keluarnya susu, membran mukosa merupakan
saluran tipis yang menutupi atau melapisi dinding putting bagian dalam, otot
spinter merupakan otot yang mengatur pembukaan dan penutupan putting dan teat
meatus (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Pada ambing sapi laktasi,
ligamentum lateralis dan ligamentum medialis terlihat jelas. Struktur alveoli
lebih banyak dan besar yang membentuk rongga. Vena mammaria pada ambing
sapi laktasi tampak jelas karena sapi laktasi sudah dapat memproduksi susu
(Frandson, 1992).
Suplai darah ke ambing sebagian besar melalui arteri pudendal (pundik)
eksternal yang merupakan cabang dari pudendoepigastrik. Arteri pudendal
eksternal bergerak ke arah bawah melalui kanalis inguinalis yang berliku-liku dan
terbagi menjadi cabang-cabang kranial dan kaudal yang mensuplai bagian depan
dan belakang kuarter ambing pada sisi yang sama dari arteri tersebut. Arteri
perineal mensuplai sejumlah kecil darah ke bagian kaudal dari kedua bagian
(masing-masing separuh bagian) ambing. Aliran vena dari ambing melalui
lingkaran vena pada dasar ambing, yang melekat pada dinding abdominal. Vena
pada bagian ambing terdiri atas vena pudendal dan vena epigastrik superfisial
kaudal. Vena tersebut berjalan ke arah depan di dalam bidang sagital dari lateral
sampai garis tengah dinding abdominal sebelah ventral (Frandson, 1992).
Pembagian ambing menjadi empat bagian meliputi jaringan kelenjar dan
sistem saluran, yang lebih kurang mirip dua buah pohon yang saling berdekatan di
mana ranting serta dahannya saling bertaut, namun masing-masing mempunyai
ciri sendiri. Parenkimia (jaringan epitel) dari kelenjar mamae dalam beberapa hal
mirip dengan jaringan paru-paru, atau dengan kata lain mirip dengan setandan
anggur, dengan alveoli sebagai buah anggurnya, dengan berbagai tingkat duktus
digambarkan sebagai batangnya. Alveoli merupakan struktur utama untuk
produksi susu (Frandson, 1992). Pada masa kebuntingan yang lanjut terjadi
kenaikan bertahap dalam sekresi prolaktin yang dirangsang oleh estrogen.
Pelepasan oksitosin pada tiap-tiap pemerahan merangsang sekresi prolaktin.
Hormon tersebut masuk lewat darah ke dalam kelenjar susu, merangsang sel-sel
epitel untuk mengeluarkan susu diantara waktu pemerahan (Anggorodi, 1994).
Laktasi normal pada sapi perah lamanya berkisar antara 305 hari dengan 60
hari masa kering, sedangkan produksi susu tertinggi terjadi pada 6 sampai 12
minggu pertama masa laktasi (Blakely dan Bade, 1995). Semakin lama masa
kering yang didapat semakin besar presistensi pada laktasi berikutnya, karena
masa kering merupakan masa untuk membangun persediaan zat-zat cadangan
makanan (Anggorodi, 1994).
Di dalam tubuh sapi, air susu dibuat oleh kelenjar susu di dalam ambing.
Ambing sapi terbagi dua yaitu ambing kiri dan ambing kanan, selanjutnya
masing-masing ambing terbagi dua yaitu kuartir depan dan kuartir belakang. Tiap-
tiap kuartir mempunyai satu puting susu. Kelenjar susu tersusun dari gelembung-
gelembung susu sehingga berbentuk seperti setandan buah anggur. Dinding
gelembung merupakan sel-sel yang menghasilkan air susu. Bahan pembentuk air
susu berasal dari darah. Air susu mengalir melalui saluran-saluran halus dari
gelembung susu ke ruang kisterna dan ruang puting susu. Dalam keadaan normal,
lubang puting susu akan tertutup. Lubang puting menjadi terbuka akibat
rangsangan syaraf atau tekanan sehingga air susu dari ruang kisterna dapat
mengalir keluar. Gerakan menyusui dari pedet, usapan atau basuhan air hangat
pada ambing merupakan rangsangan pada otak melalui jaringan syaraf.
Selanjutnya otak akan mengeluarkan hormon oksitosin yang menyebabkan otot-
otot pada kelenjar susu bergerak dan lubang puting membuka sehingga susu
mengalir keluar (Hidayat et al, 2012).
Susu disentasa pada kelenjar ambing dalam alveoulus. Sekelompok kelenjar
air susu terdiri dari beberapa gelembung-gelembung (alveoli) air susu. Dinding
alveoli terdiri dari selapis sel epitel yang disebut sel myoepitel dan sel sekresi
berbentuk kubus dan di tengahnya terdapat lumen. Sel sekresi dikelilingi oleh sel
myoepitel dan kapiler-kapiler darah. Sel-sel ini membentuk air susu dari zat-zat
yang berasal dari darah, kemudian mensekresikan ke dalam lumen alveoli. Bahan
mentah untuk produksi susu dari makanan yang dimakan dalam saluran
pencernaan ditransport melalui pembuluh darah ke sel sekresi. Sekitar 400-800
liter darah diantar ke ambing untuk menjadi 1 liter air susu (Malaka, 2010).
2.7. Judging Sapi Perah
Judging adalah penilaian maupun seleksi sapi perah menyangkut
pengamatan guna menghubungkan antara tipe sebagai sapi perah yang baik
dengan fungsi produksi susunya (Blakely dan Bade, 1998). Penilaian judging
menggunakan kartu skor yang disebut The Dairy Cow Unified Score Card,
dimana kartu ini dibagi menjadi empat bagian utama, yaitu penampilan umum,
sifat perah, kapasitas badan, dan sistem mamae (Williamson dan Payne, 1993).
Sapi perah yang bentuk luarnya bagus adalah pada bagian tubuh berbentuk
segitiga yang menunjukan memproduksi susu yang tinggi, kepala yang panjang,
sempit dan tak banyak daging, mata yang besar dan bersinar, sedangkan pada
leher panjang, tipis dengan lipatan kulit yang halus dan gelambir kecil (Syarief
dan Sumoprastowo, 1990). Penampilan umum memberikan gambaran tentang
karakteristik bangsa serta sifat kebetinaan yang dimiliki oleh sapi perah
(Williamson dan Payne, 1993).
Sapi perah yang baik perlu memiliki alat-alat tubuh yang besar termasuk
perut guna mencernakan makanan yang banyak yang diperlukan untuk
menghasilkan susu yang banyak (Syarief dan Sumoprastowo, 1990). Penilaian
judjing sapi perah ada empat, antara lain General Appearance, Dairy Character,
Body Cappacity, dan Mammary System (Blakely dan Bade, 1998).
Berdasarkan hasil pengamatan judging atau penilaian sapi perah, didapatkan
hasil judging pada sapi 3 sebesar 72, sapi 7 sebesar 54, sapi 8 sebesar 68, sapi 9
sebesar 67 dan sapi 10 sebesar 71. Sapi tersebut termasuk sapi yang memiliki skor
judging dibawah standar. Rata-rata kondisi permukaan kulit kasar, bahu punggung
dan pangkal ekor nampak jelas terlihat karena tidak terdapat daging yang tumbuh
di sekelilingnya. Ukuran perut nampak besar yang kemungkinan cacingan dan
ambing berukuran kecil karena sudah tidak memproduksi susu lagi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Frandson (1996) bahwa penilaian sapi perah dilakukan dengan
menggunakan kartu penilaian universal yang berisi general appeareance, dairy
character, body capacity dan mammary system dengan total nilai sebesar 100.
Ditambahkan oleh Blakely dan Bade (1994) yang menyatakan bahwa sapi perah
yang baik adalah yang memiliki ukuran perut yang dalam, lebar dan panjang yang
ditopang dengan kuat oleh tulang rusuk yang tangguh dengan lingkar dada yang
besar, ambing besar, lunak dan lentur yang menunjukkan kelenjar susu yang aktif
dan jumlahnya banyak di samping besarnya penampungan susu, pembuluh vena
darah harus menonjol karena jumlah darah yang dibutuhkan untuk produksi susu
sangat besar.
Body Condition Score
Sistem penilaian ini menyediakan skor relatif berdasarkan evaluasi
timbunan lemak dalam hubungannya dengan fitur kerangka (anonim, 2012).
Penilaian kondisi tubuh dilakukan dengan
cara pengamatan dan perabaan terhadap deposit lemak pada bagian tubuh
ternak, yaitu pada bagian punggung dan seperempat bagian belakang, seperti pada
bagian processus spinosus, processus spinosus ke processus transversus, processus
transversus, legok lapar, tuber coxae (hooks), antara tuber coxae dan tuber
ischiadicus (pins), antara tuber coxae kanan dan kiri, dan pangkal ekor ke tuber
ischiadicus dengan skor 1-5 (skor 1=sangat kurus, skor 3= sedang, dan skor 5=
sangat gemuk) skala 0,25 (EDMONSON et al., 1989).Judging maupun seleksi
sapi perah dalam pengamatan berguna untuk menghubungkan antara tipenya
sebagai sapi perah yang baik dengan fungsi produksi susunya. Pemberian
deskripsi dalam penampilan sapi perah yang ideal biasanya menggunakan
semacam kartu skor yang disebut The Dairy Cow Unified Score Card. Kartu skor
tersebut dibagi menjadi 4 bagian utama yaitu: penampilan umum (30 nilai), sifat
sapi perah (20 nilai), kapasitas badan (20 nilai), sistem mammae (30 nilai)
(Blakely dan Bade, 1995). Penilaian (judging) pada ternak sapi perah dilakukan
melalui empat tahapan yaitu : 1) Pandangan samping yaitu untuk menilai keadaan
lutut, kekompakan bentuk tubuh, keadaan pinggul dan kaki. 2) Pandangan
belakang untuk menilai kelebaran pantat, kedalaman otot, kelebaran dan
kepenuhan bokong dan keserasian berdiri pada tumpuan pada kaki-kakinya. 3)
Pandangan depan untuk menilai bentuk dan ciri kepalanya, kebulatan bagian
rusuk, kedalaman dada dan keadaan pertulangan serta keserasian kaki depan. 4)
Perabaan. Penilaian ini untuk menentukan tingkat dan kualitas akhir melalui
perabaan yang dirasakan melalui ketitisan, kerapatan dan kelunakan kulit serta
perlemakannya (bagian rusuk, transversus processus pada tulang belakang,
pangkal ekor, bidang bahu (Santosa, 2007).
Klasifikasi penilaian tipe bangsa yaitu : sangat bagus (85 - 90), agak bagus
(80 - 84), bagus (75 - 79), sedang (65 - 74), buruk (<65), klasifikasi ini dapat
bervariasi menurut bangsa (Blakely dan Bade, 1995). Sapi termasuk kategori
exellent dengan nilai lebih dari 90, good plus dengan nilai 85 – 90, good dengan
nilai 75 – 85 dan poor jika nilainya dibawah 75 (Bligh dan Johnson, 1973).
Penilaian penampilan secara umum terdiri dari karakteristik bangsa, sifat
kebetinaan, keharmonisan, dan kepala secara keseluruhan. Karakter tipe perahan
antara lain bentuk tubuh, kehalusan kulit badan, kehalusan kulit ekor, gumba, dan
penonjolan tulang rusuk. Kapasitas tubuh antara lain terdiri dari ukuran badan
terutama luas bagian perut, lingkar dada, dan lebar dada. Sistem kelenjar ambing
terdiri dari pertautan, konsistensi, dan ukuran ambing (Santosa, 2007).
2.8. Manajemen Pemerahan
Pemerahan adalah tindakan mengeluarkan susu dari ambing.
Pemerahan bertujuan untuk mendapatkan produksi susu yang maksimal.
Terdapat tiga tahap pemerahan yaitu pra pemerahan, pelaksanaan pemerahan dan
pasca pemerahan (Syarief dan Sumoprastowo, 1990).
Tujuan dari pemerahan adalah untuk mendapatkan jumlah susu yang
maksimal dari ambingnya, apabila pemerahan tidak sempurna sapi induk
cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi total menjadi
menurun (Putra, 2009).
A. Fase Persiapan
Sebelum pemerahan dimulai, pemerah mencuci tangan bersih-bersih dan
mengeringkannya, kuku tangan pemerah dipotong pendek agar tidak melukai
puting sapi, sapi yang akan diperah dibersihkan dari segala kotoran, tempat dan
peralatan telah disediakan dan dalam keadaan yang bersih (Muljana, 1985).
Sebelum diperah sapi dimandikan terlebih dahulu, ekor diikat ke kakinya
agar tidak mengibas-ibas ketika diperah, pemerah juga harus dalam keadaan
sehat serta setiap puting dicek kesehatannya (Syarief dan Harianto, 2011).
B. Pemerahan
Teknik pemerahan terdiri dari dua cara yaitu teknik pemerahan tangan
dan teknik pemerahan menggunakan mesin. Teknik pemerahan dengan tangan
ada dua, yaitu dengan dua jari dan empat jari, pemerahan dilakukan dengan
cara meremas puting dengan gerakan jari-jari tangan secara berturut turut dari
atas ke bawah (Siregar, 1990).
Proses pemerahan yang baik harus dalam interval yang teratur, cepat,
dikerjakan dengan kelembutan, pemerahan dilakukan sampai tuntas, dengan
menggunakan prosedur sanitasi, serta efisien dalam penggunaan tenaga kerja
(Prihadi, 1996).
Teknik ini hanya dilakukan pada sapi yang memiliki puting pendek. Teknik
pemerahan yang kedua dilakukan dengan cara menggunakan kelima jari. Puting
dipegang antara ibu jari dan keempat jari lainnya, lalu ditekan dengan
keempat jari tadi (Syarief dan Harianto, 2011).
C. Pasca Pemerahan
Selesai diperah, ambing dilap menggunakan kain yang telah dibasahi oleh
desinfektan. Kemudian dilap kembali dengan kain yang kering. Setelah
itu ,puting juga dicelupkan ke dalam cairan desinfektan selama 4 detik. Semua
peralatan yang digunakan untuk memerah juga harus dibersihkan, kemudian
dikeringkan. Susu hasil pemerahan juga harus segera ditimbang, dicatat,
kemudian disaring agar kotoran saat pemerahan tidak ikut masuk ke dalam
susu (Syarief dan Harianto, 2011).
Sesudah pemerahan sebaiknya bagian puting dicelupkan dalam larutan
desinfektan untuk menghindari terjadinya mastitis (Syarief dan Sumoprastowo,
1990).
Bagi ternak perah, produksi susu yang tinggi terkait erat dengan kualitas
pakan yang dikonsumsi terutama protein. Pemanfaatan protein pada ternak dapat
didekati melalui retensi Nitrogen (N). Namun demikian, retensi N pada masing-
masing bahan pakan selain dipengaruhi oleh kandungan N pakan juga dipengaruhi
oleh kandungan energinya. Percobaan pengukuran retensi N dapat dilakukan
bersama-sama dengan percobaan kecernaan secara in-vivo ditambah dengan
pengukuran urin yang diekskresikan ternak percobaan (Harris, 1970). Nitrogen
dalam keadaan seimbang apabila jumlah N dikonsumsi sama dengan jumlah N
yang diekskresikan. Retensi N negatif menunjukkan bahwa N yang diekskresikan
lebih banyak daripada N yang dikonsumsi, sedangkan apabila jumlah N yang
dikonsumsi lebih banyak daripada jumlah N yang diekskresikan maka akan terjadi
Retensi N yang positif (Mc. Donald, Edwards dan Greenhalgh, 1988).
Bines dan Balch (1973) menyatakan bahwa retensi N dalam jaringan
ditentukan oleh besarnya pasokan energi dan N dalam jaringan. Besarnya pasokan
energi untuk ternak Ruminansia yang dimaksud adalah produksi Volatile Fatty
Acid (VFA) dari rumen (Ørskov, 1992), edangkan pasokan N berasal dari sintesa
N mikroba rumen (Strom dan Ørskov, 1982). Kedua material ini merupakan hasil
aktivitas dari mikroba rumen yang merupakan fungsi dari pasokan N dan
konsumsi bahan organik tercerna (Hermanto, 1996).
2.9 Kandungan nutrisi susu sapi
Malaka (2010) menyebutkan bahwa komponen air susu berdasarkan nilai
nutrisinya sebagai bahan mentah sifat-sifatnya bervariasi. Dapat dilihat dalam
tabel berikut :
Tabel 1. Rata-rata Komposisi Air Susu
Komponen Rata-rata % Rata-rata ( %) BK
Air 87,3 -
PTL 8,8 6,9
Lemak (BK) 3,1 -
Laktosa 4,6 3,6
Lemak 3,9 3,1
Protein 3,25 3,6
Kasein 2,6 2,0
Mineral 0,65 0,51
As. Organik 0,18 0,14
Lainnya 0,14 0,11
Sumber : Malaka, 2010
Susu secara alami merupakan bahan makanan yang paling baik, terutama
bagi anak mamalia yang baru dilahirkan. Untuk bayi, susu merupakan satu-
satunya sumber zat makanan (nutrien) selama 2-3 bulan pertama dan di beberapa
negara susu memegang peranan penting dalam makanan anak-anak yang sedang
tumbuh. Susu atau bahan penggantinya sangat penting artinya pada pertumbuhan
awal bagi mamalia. Selanjutnya susu juga sangat tinggi nilai gizinya sebagai
bahan makanan bagi orang dewasa terutama bagi orang-orang lanjut usia. Susu
sangat penting dalam menu sehari-hari karena adanya tiga komponen penting
yaitu protein, kalsium dan riboflavin (vit B2). Yang paling penting adalah protein
yang mengandung banyak macam asam amino essensial yang pada umumnya
terdapat dalam jumlah yang kurang pada biji-bijian yang biasa digunakan sebagai
bahan makanan pokok manusia. Jumlah konsumsi susu yang disarankan 1 quart (=
0,946 liter) susu per hari dapat mencukupi semua kebutuhan protein untuk anak-
anak sampai umur 6 tahun dan lebih dari 60 % kebutuhan bagi anak-anak yang
sedang tumbuh sampai umur 14 tahun. Untuk umur 14-20 tahun jumlah susu
tersebut mampu menyediakan setengah dari kebutuhan protein harian, sedangkan
bagi wanita yang sedang menyusui mampu menyediakan sebanyak 44 %
kebutuhan protein (Budi, 2006).
Air susu merupakan bahan makanan utama bagi makhluk yang baru lahir,
baik bagi hewan maupun manusia. Sebagai bahan makanan/minuman air susu
sapi mempunyai nilai gizi yang tinggi, karena mengandung unsur-unsur kimia
yang dibutuhkan oleh tubuh seperti Calsium, Phosphor, Vitamin A, Vitamin B
dan Riboflavin yang tinggi. Komposisinya yang mudah dicerna dengan
kandungan protein, mineral dan vitamin yang tinggi, menjadikan susu sebagai
sumber bahan makanan yang fleksibel yang dapat diatur kadar lemaknya,
sehingga dapat memenuhi keinginan dan selera konsumen (Saleh, 2012).
III
ALAT, BAHAN, DAN PROSEDUR KERJA
3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
1. Wearpack
2. Sepatu Boots
3. Meteran
4. Ember
5. Alat pengukuran panjang badan, tinggi pundak,lingkar dada
6. Kain
7. Milkcan
8. Vaseline
9. Alat tulis
10. Sekop
11. Timbangan
12. Antiseptic
3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
1. 2 ekor sapi dara
2. Konsentrat
3. Rumput
4. Air
3.3 Prosedur Kerja
Prosedur kerja dalam praktikum ini adalah, sebagai berikut :
1. Mahasiswa mengisi daftar hadir ke 1 pada lembar yang telah disediakan,
lalu memakai jas lab atau wearpack dan sepatu kandang (boots).
2. Mahasiswa mendapatkan lembar kerja untuk pengamatan khusus dan
kegiatan rutin di kandang.
3. Mahasiswa mengikuti kegiatan sesuai dengan jadwal di kandang.
(memandikan sapi, membersihkan kandang sapi, memberikan pakan
konsentrat dan hijauan, menyabit rumput, mencacah rumput, melakukan
pemerahan susu sapi)
4. Mahasiswa melakukan pengamatan sesuai yang ditugaskan dosen.
{mencatat waktu ruminansia, mengamati tingkah laku ternak, menghitung
dan menimbang pakan yang diberikan pada sapi, mengukur ukuran tubuh
sapi perah, menghitung/menimbang kotoran yang dikeluarkan sapi perah,
menghitung/menimbang produksi hijauan, menghitung produksi susu,
menganalisa kualitas susu)
5. Mahasiswa menandatangani daftar hadir ke 2 sebelum pulang.
IV
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Pengukuran Ukuran tubuh
No. No. / Nama sapiUmur
(bulan)
Tinggi
Pundak
(cm)
Panjang
Badan
(cm)
Lingkar Dada
(cm)
1.
2.
3.
4.
5.
4.1.2 Pemberian Pakan Sapi Perah Laktasi
No. Nama Sapi : 153. Kelly
Tanggal Lahir : 11-07-2010
Tanggal Beranak Terakhir : 2-05-2013
Produksi Susu : 6,25 L
Kadar Lemak Susu :
Laktasi ke : Satu
Hijauan Pemberian (1) Sisa (1)Konsumsi Pakan
(1)
Rumput Gajah 15 kg 2,25 kg 12,75 kg
Konsentrat 0 0 0
Hijauan Pemberian (1) Sisa (1)Konsumsi Pakan
(1)
Rumput Gajah 11 kg 0 11 kg
Konsentrat 2,03 kg 0 2,03 kg
Hijauan Pemberian (1) Sisa (1)Konsumsi Pakan
(1)
Rumput Gajah 11 kg 0 11 kg
Konsentrat - - -
Total Konsumsi Hijauan (1)+(2)+(3) 34,75 kg
Total Konsumsi Konsentrat (1)+(2)+(3) 2,03 kg
No. Nama Sapi : 155. Meta
Tanggal Lahir : 27-07-2010
Tanggal Beranak Terakhir : 27-07-2013
Produksi Susu : 8,725 L
Kadar Lemak Susu :
Laktasi ke : Satu
Hijauan Pemberian (1) Sisa (1)Konsumsi Pakan
(1)
Rumput Gajah 15 kg 0,4 kg 14,6 kg
Konsentrat - - -
Hijauan Pemberian (1) Sisa (1)Konsumsi Pakan
(1)
Rumput Gajah 13 kg 0 13kg
Konsentrat 3,94 kg 0 3,94 kg
Hijauan Pemberian (1) Sisa (1)Konsumsi Pakan
(1)
Rumput Gajah 13 kg 0 13kg
Konsentrat - - -
Total Konsumsi Hijauan (1)+(2)+(3) 40,6 kg
Total Konsumsi Konsentrat (1)+(2)+(3) 3,94 kg
4.1.3 Tingkah Laku Makan
No. Tingkah Laku
Frekuensi
(kali)Waktu / Lamanya
(jam / menit)Kelly Meta
1.
Pengambilan makanan *)
Hijauan (Rumput)
Konsentrat
2. Pengunyahan
3. Pengeluaran urine **)
4. Pengeluaran feses **)
Catatan : *) setiap kepala di angkat di nilai 1 (satu) kali
**) ukur jumlahnya
4.1.4 Lain-Lain
No. Uraian Jumlah
1. Produksi Hijauan / Rumput (ton/ha/thn)
2. Daya Tampung Pastura (ekor/ha/thn)
3.Produksi Susu Rata-rata (ekor/hari atau
ekor/laktasi)
Kelly Meta
4.
Kualitas Susu (Rata-rata)
Lemak (%)
Protein (%)
Laktosa (%)
Solid (%)
Density (%)
Water
Temperatur (oC)
5.
Denyut nadi (kali)
Jam 20.00 WIB
Jam 23.00 WIB
6. Berat (kg)
Feses
Urin
Keterangan :*) hitung dahulu produksi per satuan luas (misalnya per 4 m2)
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengukuran ukuran tubuh
4.2.2 Pemberian pakan sapi perah laktasi
Pemberian pakan secara individu pada sapi laktasi di kandang
atau milking parlor berubah mengarah ke sistem pemberian pakan yang baru.
Meskipun metode yang lebih baru tidak seefektif pemberian secara individual,
sistem ini lebih ekonomis daripada semua sapi diberi sejumlah konsentrat yang
sama tanpa memperhatikan produksi susu. Di samping itu, ada penghematan
tenaga kerja dan fasilitas. Yang paling baik perbaikan pemberian pakan
mengkombinasikan “seni dan ilmu pemberian pakan“.
A. Phase Feeding
Phase Feeding adalah suatu program pemberian pakan yang dibagi ke
dalam periode-periode berdasarkan pada produksi susu, persentase lemak susu,
konsumsi pakan, dan bobot badan. Lihat ilustrasi bentuk dan hubungan kurva
produksi susu, % lemak susu, konsumsi BK, dan bobot badan. Didasarkan pada
kurva-kurva tersebut, didapatkan 4 fase pemberian pakan sapi laktasi:
1. Fase 1, laktasi awal (early lactation), 0 – 70 hari setelah beranak.
Selama periode ini, produksi susu meningkat dengan cepat, puncak
produksi susu dicapai pada 4-6 minggu setelah beranak. Pada saat ini konsumsi
pakan tidak dapat memenuhi kebutuhan zat-zat makanan (khususnya kebutuhan
energi) untuk produksi susu, sehingga jaringan-jaringan tubuh dimobilisasi untuk
memenuhi kebutuhan. Selama fase ini, penyesuaian sapi terhadap ransum laktasi
merupakan cara manajemen yang penting. Setelah beranak, konsentrat perlu
ditingkatkan 1-1,5 lb per hari untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang
meningkat dan meminimisasi problem tidak mau makan dan asidosis. Namun
perlu diingat, proporsi konsentrat yang berlebihan (lebih dari 60% BK ransum)
dapat menyebabkan asidosis dan kadar lemak yang rendah. Tingkat serat kasar
ransum tidak kurang dari 18% ADF, 28% NDF, dan hijauan harus menyediakan
minimal 21% NDF dari total ransum. Bentuk fisik serat kasar juga penting, secara
normal ruminasi dan pencernaan akan dipertahankan bila lebih dari 50% hijauan
panjangnya 1” atau lebih.
Kandungan protein merupakan hal yang kritis selama laktasi awal. Upaya
untuk memenuhi atau melebihi kebutuhan PK selama periode ini membantu
konsumsi pakan, dan penggunaan yang efisien dari jaringan tubuh yang
dimobilisasi untuk produksi susu. Ransum dengan protein 19% atau lebih
diharapkan dapat me-menuhi kebutuhan selama fase ini. Tipe protein (protein
yang dapat didegradasi atau tidak didegradasi) dan jumlah protein yang diberikan
dipengaruhi oleh kandungan zat makanan ransum, metode pemberian pakan, dan
produksi susu. Sebagai patokan, yang diikuti oleh banyak peternak (di luar negeri)
memberikan 1 lb bungkil kedele atau protein suplemen yang ekivalen per 10 lb
susu, di atas 50 lb susu.
Bila zat makanan yang dibutuhkan saat laktasi awal ini tidak terpenuhi,
produksi puncak akan rendah dan dapat menyebabkan ketosis. Produksi puncak
rendah, dapat diduga produksi selama laktasi akan rendah. Bila konsumsi
konsentrat terlalu cepat atau terlalu tinggi dapat menyebabkan tidak mau makan,
acidosis, dan displaced abomasum.
Untuk meningkatkan konsumsi zat-zat makanan:
beri hijauan kualitas tinggi,
protein ransum cukup,
tingkatkan konsumsi konsentrat pada kecepatan yang konstan setelah
beranak,
tambahkan 1,0-1,5 lb lemak/ekor/hari dalam ransum,
pemberian pakan yang konstan, dan
minimalkan stress.
2. Fase 2, konsumsi BK puncak, 10 minggu kedua setelah beranak.
Selama fase ini, sapi diberi makan untuk mempertahankan produksi susu
puncak selama mungkin. Konsumsi pakan mendekati maksimal sehingga dapat
me-nyediakan zat-zat makanan yang dibutuhkan. Sapi dapat mempertahankan
bobot badan atau sedikit meningkat. Konsumsi konsentrat dapat banyak, tetapi
jangan melebihi 2,3% bobot badan (dasar BK). Kualitas hijauan tinggi perlu
disediakan, minimal konsumsi 1,5% dari bobot badan (berbasis BK) untuk
mempertahankan fungsi rumen dan kadar lemak susu yang normal. Untuk
meningkatkan konsumsi pakan:
beri hijauan dan konsentrat tiga kali atau lebih sehari,
beri bahan pakan kualitas tinggi,
batasi urea 0,2 lb/sapi/hari,
minimalkan stress,
gunakan TMR (total mix ration).
Problem yang potensial pada fase 2, yaitu:
produksi susu turun dengan cepat,
kadar lemak rendah,
periode silent heat (berahi tidak terdeteksi),
ketosis.
3. Fase 3, pertengahan – laktasi akhir, 140 – 305 hari setelah beranak.
Fase ini merupakan fase yang termudah untuk me-manage. Selama
periode ini produksi susu menurun, sapi dalam keadaan bunting, dan konsumsi zat
makanan dengan mudah dapat dipenuhi atau melebihi kebutuhan. Level pem-
berian konsentrat harus mencukupi untuk memenuhi kebutuhan produksi, dan
mulai mengganti berat badan yang hilang selama laktasi awal. Sapi laktasi
membutuhkan pakan yang lebih sedikit untuk mengganti 1 pound jaringan tubuh
daripada sapi kering. Oleh karena itu, lebih efisien mempunyai sapi yang
meningkat bobot badannya dekat laktasi akhir daripada selama kering.
4. Fase 4, periode kering, 45 – 60 hari sebelum beranak.
Fase kering penting. Program pemberian pakan sapi kering yang baik
dapat meminimalkan problem metabolik pada atau segera setelah beranak dan
meningkatkan produksi susu selama laktasi berikutnya. Sapi kering harus diberi
makan terpisah dari sapi laktasi. Ransum harus diformulasikan untuk memenuhi
kebutuhannya yang spesifik:maintenance, pertumbuhan foetus, pertambahan
bobot badan yang tidak terganti pada fase 3. Konsumsi BK ransum harian
sebaiknya mendekati 2% BB; konsumsi hijauan minimal 1% BB; konsumsi
konsentrat bergantung kebutuhan, tetapi tidak lebih 1% BB. Setengah dari 1% BB
(konsentrat) per hari biasanya cukup untuk program pemberian pakan sapi kering.
Sapi kering jangan terlalu gemuk. Memberikan hijauan kualitas rendah,
seperti grass hay, lebih disukai untuk membatasi konsumsi. Level protein 12%
cukup untuk periode kering.
Sedikit konsentrat perlu diberikan dalam ransum sapi kering dimulai 2 minggu
sebelum beranak, bertujuan:
mengubah bakteri rumen dari populasi pencerna hijauan seluruhnya
menjadi populasi campuran pencerna hijauan dan konsentrat;
meminimalkan stress terhadap perubahan ransum setelah beranak.
Kebutuhan Ca dan P sapi kering harus dipenuhi, tetapi perlu dihindari pemberian
yang berlebihan; kadang-kadang ransum yang mengandung lebih dari 0,6% Ca
dan 0,4% P meningkatkan kejadian milk fever. Trace mineral, termasuk Se, harus
disediakan dalam ransum sapi kering. Juga, jumlah vitamin A, D. dan E yang
cukup dalam ransum untuk mengurangi kejadian milk fever, mengurangi retained
plasenta, dan meningkatkan daya tahan pedet.
Problem yang potensial selama fase 4 meliputi milk fever, displaced abomasum,
retained plasenta, fatty liver syndrome, selera makan rendah, gangguan metabolik
lain, dan penyakit yang dikaitkan dengan fat cow syndrome.
Manajemen kunci yang harus diperhatikan selama periode kering, meliputi:
observasi kondisi tubuh dan penyesuaian pemberian energi bila
diperlukan,
penuhi kebutuhan zat makanan tetapi cegah pemberian yang berlebihan,
perubahan ransum 2 minggu sebelum beranak, dengan menggunakan
konsentrat dan jumlah kecil zat makanan lain yang digunakan dalam
ransum laktasi,
cegah konsumsi Ca dan P yang berlebihan, dan
batasi garam dan mineral sodium lainnya dalam ransum sapi kering untuk
mengurangi problem bengkak ambing.
Pada waktu kering, kondisi tubuh sapi 2 atau 3, sedangkan saat beranak 3,5–4,0.
Selama 60 hari periode kering, sapi diberi makan untuk mendapatkan PBB: 120 –
200 lbs.
B. Challenge Feeding (Lead Feeding).
Challenge feeding atau lead feeding, adalah pemberian pakan sapi laktasi
sedemikian sehingga sapi ditantang untuk mencapai level produksi susu
puncaknya sedini mungkin pada waktu laktasi.
Karena ada hubungan yang erat antara produksi susu puncak dengan produksi
susu total selama laktasi, penekanan harus diberikan pada produksi maksimal
antara 3 – 8 minggu setelah beranak.
Persiapan untuk challenge feeding dimulai selama periode kering;
sapi kering dalam kondisi yang baik,
transisi dari ransum kering ke ransum laktasi, mempersiapkan bakteri
rumen.
Setelah beranak challenge feeding dimaksudkan untuk meningkatkan pemberian
konsentrat beberapa pound per hari di atas kebutuhan sebenarnya pada saat itu.
Maksudnya adalah memberikan kesempatan pada setiap sapi untuk mencapai
produksi puncaknya pada atau dekat potensi genetiknya.
Waktu beranak merupakan pengalaman yang sangat traumatik bagi sapi yang
berproduksi tinggi. Akibatnya, banyak sapi tertekan selera makannya untuk bebe-
rapa hari setelah beranak. Sapi yang berproduksi susu sangat tinggi tidak dapat
mengkonsumsi energi yang cukup untuk mengimbangi energi yang dikeluarkan.
Konsekuensinya, sapi akan melepaskan cadangan lemak dan protein tubuhnya
untuk suplementasi ransumnya. Tujuan dari pemberian pakan sapi yang baru
beranak adalah untuk menjaga ketergantungannya terhadap energi dan protein
yang disimpan, sekecil dan sesingkat mungkin. Penolakan makanan merupakan
ancaman yang besar, sangat perlu dicegah.
Challenge feeding membantu sapi mencapai produksi susu puncaknya lebih dini
daripada yang seharusnya, sehingga keuntungan yang dapat diambil adalah,
bahwa pada saat itu, secara fisiologis sapi mampu beradaptasi terhadap produksi
susu tinggi.
C. Corral (Group) Feeding (Pemberian pakan (group) di kandang).
Pemberian pakan secara individual pada sapi-sapi laktasi sudah mengarah
kemechanized group feeding. Hal ini dikembangkan untuk kenyamanan dan peng-
hematan tenaga kerja, dibandingkan ke feed efficiency. Saat ini, peternakan
dengan beberapa ratus sapi laktasi adalah biasa, dan beberapa peternakan bahkan
me-miliki beberapa ribu ekor. Untuk merancang program nutrisi sejumlah besar
ternak, dapat diadaptasikan terhadap kebutuhan spesifik sapi-sapi perah, sapi-sapi
di-pisahkan ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan produksi (dan kebutuhan
nutrisi).
Bila produser memutuskan pemberian pakan secara kelompok, perlu ditentukan
jumlah kelompok yang akan diambil. Untuk menentukan jumlah kelompok
tersebut pertimbangan perlu diberikan pada hal-hal berikut:
besar peternakan (herd size),
tipe dan harga bahan pakan,
tipe perkandangan, pemberian pakan, dan sistem pemerahan
integrasi ekonomi secara keseluruhan dari operasional, sebagai contoh
tenaga kerja, mesin-mesin peralatan, dan lain-lain.
Pada peternakan besar (lebih dari 250 sapi perah laktasi), sistem yang biasa
digunakan adalah minimal dibentuk 5 kelompok:
sapi-sapi produksi tinggi (90 lb. susu/ekor/hari)
sapi-sapi produksi medium (65 lb. susu/ekor/hari)
sapi-sapi produksi rendah (45 lb susu/ekor/hari)
sapi-sapi kering
sapi-sapi dara beranak pertama
Lebih banyak kelompok dapat dilakukan pada peternakan yang sangat besar bila
kandang dan fasilitas tersedia. Karena pertimbangan pemberian pakan dan sosial,
disarankan maksimal 100 ekor sapi per kelompok. Melalui sistem ini setiap ke-
lompok diberi makan menurut kebutuhannya. Kelompok dengan produksi tinggi
harus diberi makan yang mengandung zat-zat makanan kualitas tertinggi pada
tingkat maksimal. Sapi produksi medium harus diberi makan sedemikian sehingga
dapat mengurangi biaya pakan, meningkatkan kadar lemak, memperbaiki fungsi
rumen, mempertahankan persistensi. Sapi produksi rendah sebagaimana untuk
produksi medium hanya perlu dipertimbangkan untuk menghindari kegemukan
yang berlebihan.
Salah satu problem dalam pemberian pakan secara berkelompok
menyangkut adaptasi tingkah laku dari sapi-sapi yang baru dikelompokkan,
seperti peck order tetapi masalah ini tidak terlalu besar. Untuk mengatasi masalah
ini pindahkan beberapa ekor sapi bersama-sama ke dalam kelompok baru sebelum
diberi makan.
Bila program pemberian pakan secara kelompok diikuti, konsentrat jarang
diberikan di tempat pemerahan, biasanya diberikan di kandang. Pemberian pakan
berkelompok dapat dengan mudah beradaptasi pada penggunaan complete
feeds yaitu konsentrat, hijauan, dan suplemen dicampur menjadi satu, tidak
diberikan terpisah. Beberapa produser yang menggunakan complete feeds lebih
menyukai pemberian hijauan kering, khususnya long stemmed hay secara terpisah
untuk meningkatkan stimulasi rumen dan fasilitas pencampuran, karena long
hay sulit dicampur dalam mixer.
Keuntungan pemberian pakan berkelompok dan complete feed adalah:
produser dapat menggunakan formulasi khusus yang penting untuk ternak
mengeliminasi kebutuhan penyediaan mineral ad libitum
konsumsi ransum yang tepat
difasilitasi pemberian pakan secara mekanis, sehingga mengurangi tenaga
kerja yang dibutuhkan
mengeliminasi problem yang dikaitkan dengan konsumsi yang tidak
terkontrol dari bahan pakan tertentu
mengurangi resiko gangguan pencernaan, seperti seperti displaced
abomasum
mengurangi pemberian pakan di tempat pemerahan
penggunaan maksimal dari formulasi ransum biaya terendah
menutupi bah.pakan yang tidak palatabel, seperti urea
dapat diadaptasikan terhadap sistem kandang konvensional
memungkinkan produser menetapkan rasio serat kasar terhadap proporsi
konsentrat dalam ransum
mengurangi resiko kekurangan micronutrient
menyediakan operator dengan gambaran konsumsi pakan harian
kelompok, yang kemudian dapat digunakan memperbaiki manajemen
Di antara kerugian dari pemberian pakan berkelompok dan complete feed adalah:
memerlukan peralatan pencampuran yang khusus untuk meyakinkan
mencampur secara merata
tidak ekonomis membagi peternakan kecil ke dalam kelompok-kelompok
tidak dapat diaplikasikan terhadap peternakan yang digembalakan
sulit untuk membuat kelompok-kelompok pada beberapa design kandang
dapat terjadi mismanagement seperti fat cow syndrome dan problem
kesehatan seperti kesulitan melahirkan, reproduksi yang jelek, produksi
rendah, konsumsi bahan kering rendah, dan gangguan metabolik. Dalam
berbagai kasus problem-problem tersebut tidak timbul segera, biasanya
muncul beberapa bulan kemudian.
4.2.3 Tingkah Laku Makan
` Tingkah laku ternak saat makan yaitu pengambilan makanan itu ada
beberapa tingkah yang dilakukan seperti mengangkat kepalanya menggerakan
kepala-kepala ke kanan dan ke kiri.
Hipotalamus mengatur berbagai pengeluaran zat makanan dari makanan
dalam saluran pencernaan, penyerapan serta transportasi zat-zat makanan.
Berdasarkan teori khemostatik, peningkatan konsentrasi substansi tertentu
memberikan signal untuk berhenti makan, sebaliknya jika konsentrasi rendah
menyebabkan ternak akan mulai makan. Glukosa merupakan indikator yang
menentukan kenyang atau lapar bagi ternak. Jika konsentrasi glukosa darah
rendah dan disuntik dengan insulin maka ternak akan merasa lapar. Sebaliknya
setelah makan konsentrasi glukosa akan meningkat dan ternak akan berhenti
makan.
Teori ini berlandasan bahwa ternak akan makan untuk mempertahankan panas dan
akan berhenti makan untuk mencegah hyperthermia. Panas yang diproduksi dari
hasil pencernaan dan metabolisme makanan adalah merupakan signal dalam
pengaturan makan. Thermoreceptor sensitif terhadap perubahan panas yang terjadi
di anterior hipothalamus dan juga di periperal kulit. Sebagai bukti, pada daerah
panas ternak akan mengurangi makannya untuk menurunkan produksi panasnya.
Penginderaan penglihatan, penciuman, perabaan dan perasa memiliki
peran yang penting dalam menstimulasi selera makan manusia, dan
mempengaruhi jumlah makanan yang dicerna. Pada hewan penginderaan memiliki
peran yang lebih kecil dari pada manusia. Palatabilitas adalah derajat kesukaan
pada makanan tertentu yang terpilih dan dimakan. Pengertian palatabilitas berbeda
dengan konsumsi. Palatabilitas melibatkan indera penciuman, perabaan dan
perasa. Pada ternak peliharaan memperlihatkan prilaku mengendus (sniffing)
makanan.
Kebanyakan hewan memiliki preferensi menyukai makanan tertentu,
terutama jika memiliki kesematan memilih. Contohnya, anak babi muda lebih
menyukai larutan gula dibandingkan air, sementara unggas tidak bisa
membedakan rasa manis, tapi tidak dapat mencerna larutan garam dengan
konsentrasi berlebih.
a. Frekuensi Denyut Jantung
Frekuensi pulsus atau denyut jantung bergantung pada jantung. Pulsus
merupakan gambaran dari kerja jantung. Jantung merupakan dua pompa yang
menerima darah dalam arteri dan memompakan darah dari ventrikel menuju
jaringan kemudian kembali lagi. Frekuensi denyut jantung dapat menandai
kondisi hewan, apakah hewan dalam keadaan normal atau sakit. Perubahan
frekuensi denyut jantung yang telalu ekstrim pada ternak menandakan bahwa
kondisi fisiologis ternak pada saat itu tidak nyaman. Hewan kecil mempunyai
denyut jantung yang lebih cepat, hal ini berhubungan dengan kecepatan
metabolisme per unit tubuh pada hewan kecil yang lebih tinggi.
Pulsus (denyut jantung) terjadi karena adanya aktivitas jantung dalam
memompa darah ke seluruh jaringan jantung merupakan dua pompa yang
menerima darah ke dalam bilik-bilik atrial dan kemudian memompakan darah
tersebut dari ventrikel menuju ke jaringan dan kemudian kembali lagi. Ternak
besar, pulsus dapat dirasakan pada arteri fosialyang terdapat di sekitar ramus
horizontal dari mandibula, atau dapat juga dirasakan pada arteri caudal
atau koksigeal tengah dari permukaan ventral ekor.
b. Urinasi
Urine yaitu hasil filtrasi ginjal yang sudah tidak dimanfaatkan dan harus
dikeluarkan dari tubuh. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap pengeluaran urine
di samping faktor-faktor lain seperti keseimbangan air, pH, tekanan osmotik,
tingkat elektrolit dan konsentrasi zat dalam plasma. Air yang diminum melebihi
keperluan metabolisme dengan suhu tubuh yang kemudian dikeluarkan sebagai
urine dengan suhu sama dengan suhu tubuh. Selebihnya dijelaskan bahwa jumlah
urine yang dikeluarkan tergantung pada jumlah air yang masuk ke dalam tubuh
ternak yang berasal dari makanan hijauan dan konsentrat, suhu lingkungan pada
sapi yang bekerja berat akan mempengaruhi jumlah urine yang dikeluarkan oleh
seekor sapi.
c. Remastikasi
Pengunyahan kembali, remastikasi ini dilakukan saat ternak sedang
beristirahat atau duduk. Ruminansi merupakan salah satu ciri yang khas pada
ternak ruminasia yaitu dengan mengunyah kembali makanan yang telah masuk
lambung (rumen) agar lebih lumat dan dapat dengan mudah dicerna.
V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari laporan akhir pratikum mengenai produksi ternak
perah adalah sebagai berikut:
- Pemeliharaan yang baik sangat diperlukan agar sapi perah selalu dalam kondisi
yang baik, pengamatan yang dilakukan membantu perkembangan dari kondisi
sapi perah karena pengamatan ini memberikan perawatan secara intensif
terhadap sapi perah baik itu dalam hal pemberian pakan, pemerahan dan juga
perawatan harian.
- Tatalaksana pemeliharaan dalam hal pada sapi perah merupakan hal yang harus
diperhatikan agar ternak yang dipelihara dapat berkembang dengan baik dan
menghasilkan produktivitas tinggi terlebih lagi dalam hal pemberian pakan dan
perawatan harian(memandikan,membersihkan kandang,dll) harus diperhatikan
dan tidak boleh terlewatkan.
5.2. Saran
Adapun saran mengenai praktikum mengenai Produksi Ternak Perah
adalah seharusnya dosen juga ikut datang mengawasi kelompok yang sedang
melakukan pengamatan agar dapat memberikan pemantauan secara langsung dan
juga dapat memberikan arahan dan informasi yang lebih detail dan terukur, selain
itu juga pembagian kelompok seharusnya lebih diratakan antara jumlah laki-laki
maupun perempuan dan lebih tegas lagi agar mahasiswa tidak beripndah-pindah
kelompok tanpa alasan yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Alfarisi (2008). Fisiologi laktasi.
Blakely, J dan Bade, D. H. 1994. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono).
Darmono. 1993. Kandang Ternak Perah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Diggins, R.V. and C. E. Bundy, 1979. Dairy Product. Prentice Halls, Inc.
Englewood Cliffs, New Jersey.
Djaja, Willyan, S. Kuswaryan, U.H. Tanuwira, L. Khairani (2006). Integrasi
tanaman kaliandra (caliandra, sp) dalam kawasan pengembangan
peternakan sapi perah sebagai upaya untuk meningkatkan kuantitas dan
kualitas produksi susu. Laporan penelitian. Jurusan Produksi Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Djarijah, S.1996. Usaha Ternak Sapi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ensminger. 1992. Dairy Cattle Science. The Interstate Printer and Publisher. Inc,
Denvile, Illionois.
Girisonta. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Kanisius Yogyakarta.
Hartadi, H., Soedomo R., Allen D. T. 1993. Tabel Komposisi Pakan Untuk
Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Lubis, D. A. 1963. Ilmu Makanan Ternak. Yayasan Pembangunan, Jakarta.
Muldjana, W. 1985. Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak sapi Perah. Penerbit
Aneka Ilmu, Semarang.
Murtidjo, A. 2006. Beternak Sapi Potong. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Nugroho, C. P. Agribisnis Ternak Ruminansia. PT. Macanan Jaya Cemerlang.
Klaten.
Prihadi. 1996. Tata Laksana dan Produksi Sapi Perah. Fakultas Peternakan
Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta.
S, Darmady (2010). Siklus Reproduksi pada Sapi.
Sindoeredjo, S. 1960. Pedoman Perusahaan Pemerahan Susu. Direktorat
Pengembangan Produksi. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.
Siregar, S. 1998. Sapi Perah, Jenis, Teknik Pemeliharaan dan Analisis Usaha.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Soedono, A. dan Sutardi. 2003. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Jendral
Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta
Sugeng, Y. B. 2007. Sapi Potong. Penerbit Swadaya, Jakarta.
Sutanto (2010). Komposisi Susu Sapi.
Sutardi, T. 2003. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syarief, M. Z dan C.D.A. Sumoprastowo. 1985. Ternak Perah. Yasaguna, Jakarta.
Syarief, E. K. dan Bagus H. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Sapi Perah.
Agromedia Pustaka. Jakarta.
Untung, O. 1996. Membuat Kandang yang Sehat. Puspaswara. Jakarta.
Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh S.G.N.
Djiwa)
http://kamicintapeternakan.blogspot.com/2010/08/siklus-estrus-pada-sapi.html.
(diakses pada tanggal 20 Mei 2014)