26
STATUS PASIEN IDENTITAS Nama : Ny. S Umur : 47 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Pendidikan : SD Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Status Marital : Menikah Alamat : Jl. Ciaul Pasir RT/RW 002/009, Subangjaya, Cikole, Sukabumi ANAMNESIS Autoanamnesis dilakukan tanggal 28 Januari 2015 Pukul 11.05 WIB Keluhan utama Bercak kemerahan yang terasa gatal pada kedua lipat paha. Anamnesis khusus Pasien mengeluh becak merah dan gatal pada kedua lipat paha sejak 2 miggu SMRS, bercak kemerahan timbul pertama kali pada lipat paha bagian kiri tanpa diketahui sebabnya kemudian digaruk dan melebar ke sebelah kanan, muncul bruntus-bruntus pada bercak tetapi lepuhan disekitar kulit yang kemerahan disangkal, pada bagian tepi bercak lebih merah dibandingkan bagian tengah. Gatal dirasakan pada bagian lipat paha, terasa setiap saat dan bertambah gatal ketika berkeringat, gatal tidak dominan pada waktu tertentu. Munculnya bercak merah pada bagian tubuh lainnya disangkal. 1

lapkas aane

Embed Size (px)

DESCRIPTION

fc

Citation preview

STATUS PASIEN

IDENTITAS

Nama : Ny. S

Umur : 47 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status Marital : Menikah

Alamat : Jl. Ciaul Pasir RT/RW 002/009, Subangjaya, Cikole, Sukabumi

ANAMNESIS

Autoanamnesis dilakukan tanggal 28 Januari 2015 Pukul 11.05 WIB

Keluhan utama

Bercak kemerahan yang terasa gatal pada kedua lipat paha.

Anamnesis khusus

Pasien mengeluh becak merah dan gatal pada kedua lipat paha sejak 2 miggu SMRS, bercak

kemerahan timbul pertama kali pada lipat paha bagian kiri tanpa diketahui sebabnya kemudian digaruk dan

melebar ke sebelah kanan, muncul bruntus-bruntus pada bercak tetapi lepuhan disekitar kulit yang

kemerahan disangkal, pada bagian tepi bercak lebih merah dibandingkan bagian tengah.

Gatal dirasakan pada bagian lipat paha, terasa setiap saat dan bertambah gatal ketika berkeringat,

gatal tidak dominan pada waktu tertentu. Munculnya bercak merah pada bagian tubuh lainnya disangkal.

1 tahun SMRS pasien pernah mengalami hal yang sama, yakni bercak berwarna merah kurang lebih

sebesar koin disertai gatal pada bagian lipat paha, pasien tidak berobat hanya diberikan obat yang disarankan

oleh temannya. Keluhan bercak dan gatal mereda tetapi saat ini muncul lagi.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Keluhan ini sudah 2 kali dialami oleh pasien, yaitu 1 tahun yang lalu, dan 2 minggu yang lalu

hingga saat ini.

Riwayat penyakit gula disangkal

1

2

Riwayat Penyakit Keluarga:

Anggota keluarga yang tinggal serumah tidak ada yang menderita keluhan seperti ini. Riwayat

penyakit gula pada keluarga disangkal.

Riwayat Pengobatan:

Untuk keluhan ini pasien belum pernah berobat ataupun membeli obat apapun

Riwayat Alergi:

Bentol-bentol, bersin, kulit merah-merah atau sesak pada makanan, minuman, cuaca, debu, tanaman

tertentu disangkal.

Riwayat Higienitas

Pasien mandi 2 kali sehari menggunakan air PAM, mengganti baju 2 kali sehari dan mengganti

celana dalam 2 kali sehari, pasien memiliki aktivitas tinggi dan sering berkeringat, pasien tidak

menggunakan celana dalam yang menyerap keringat, sering memakai pakaan ketat, dan

menggunakan handuk secara bergantian dengan anggota keluarga lainnya

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Composmentis

Tanda-tanda vital :

Nadi 80 x/menit

Respirasi 20 x/menit

Suhu 36,2˚C

BB : 75 kg

TB : 160 cm

IMT : 29,3 Kg/m2

3

Status Dermatologis :

Distribusi Regioner

A/R Kedua Lipat paha

Efloresensi Primer : Plaque eritematosa disertai skuama halus, papul eritem

pada bagian tepi

Sekunder : -

Sifat UKK Ukuran : Plakat

Batas : Tegas dengan tepi lebih aktif dibandingkan bagian tengah

Bentuk : Anular, teratur

Penyebaran dan lokalisasi : regional, bilateral, sirkumsrip

Pemeriksaan Anjuran atau Penunjang:

Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan KOH 10%.

RESUME

Perempuan 47 tahun, datang dengan pruritus dan eritem pada bagian lipat paha sejak 2

minggu SMRS, keluhan yang sama pernah dialami pasien 1 tahun SMRS, telah diobati dan keluhan

mereda akan tetapi saat ini keluhan tersebut kambuh lagi. Lesi dimulai pada lipat paha sebelah kiri

dan meluas setelah digaruk. Riwayat Higienitas pasien, memiliki aktifitas berat dan sering

berkeringat tidak memakai celana dalam yang menyerap keringat, memakai pakaian ketat, dan

sering bergantian menggunakan handuk.

Pemeriksaan fisik tanda vital dalam batas normal, dengan pemeriksaan dematologis

didapatkan regio Genito-crural (lipat paha) dekstra sinistra terdapat plaque eritem disertai skuama

halus dan papul eritem pada bagian tepi, dengan ukuran plakat, batas tegas dan bagian tepi lebih

4

aktif dibandingkan bagian tengah, bentuk anular teratur, penyebaran dan lokalisasi regional,

bilateral dan sirkumsrip. Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

DIAGNOSIS BANDING

Tinea Cruris

Kandidiosis intertriginosa

Eritrasma

DIAGNOSIS KERJA

Tinea Cruris

Tinea Cruris Kandidiosis intertriginosa Eritrasma

Etiologi 1. Trichophyton2. Microsporum3. Epidermaphyton

C. albican Corynebacterium minitussismus

Lesi Lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas papul eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang tetapi daerah pinggiran aktif.

Lesi berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.

Lesi berupa eritema dan skuama halus.

Predileksi Genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.

Daerah lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans penis dan umbilikus

terutama didaerah ketiak dan lipat paha.

Pemeriksaan Pemeriksaan dengan sediaan basahdidapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati

Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10% atau denan pewarnaan gram telihat sel ragi, blastospora atau hifa semu.

Pemeriksaan dengan lampu Wood ditemukan adanya fluoresensi merah (coral red).

5

ANALISIS KASUS

Tinea Cruris Kasus Teori

Etiologi dan Faktor Risiko Pasien memiliki aktifitas yang

tinggi dan sering berkeringat

Sering menggunakan pakaian

ketat

Tidak menggunakan celana

dalam yang menyerap keringat

Menggunakan handuk secara

bersamaan

Trichopyhton rubrum (90%)

Epidermophython fluccosum

Trichophyton

mentagrophytes (4%)

Trichopyhton tonsurans (6%)

Suhu dan kelembaban (suhu

beriklim tropis)

Keadaan social serta

kurangnya kebesihan

Sering memakai pakaian

ketat

Bertukar pakaian dengan

orang lain

Aktif berolahraga

Mederita diabetes melitus

Manifestasi Klnis Gatal dan kemerehan pada

rego inguinal, gatal betambah

saat berkeringat, pernah

mengalami hal yang sama 1

tahun SMRS

Gatal dan kemerehan di region

inguinal dan dapat meluas ke

sekitar anus, intergluteal,

gluteus dan suprapubis. Gatal

bertambah jika berkeringat.

Pernah memiliki keluhan yang

sama

Lokalisasi Predileksi Lipat paha Genitokrural (lipat paha),

sekitar anus, bokong, dan

kadang-kadang sampai perut

bagian bawah.

Karakteristik Lesi Regio : Genito-crural

dekstra sinistra

Efloresensi primer : Plaque

eritema, dengan papul eritem

Lesi berbatas tegas dan lebih nyata pada bagian tepi dibanding ada bagian tengah. Efloresensi berupa primer dan sekunder (polimorf).Bila menahun dapat berupa

6

pada bagian tepi

Ukuran lesi : Plakat

Batas : Tegas dengan tepi

lebih aktif dibandingkan

bagian tengah

Bentuk : Anular, teratur

Penyebaran dan lokalisasi:

Regional, bilateral

sirkumsrip

bercak hiperpigmentasi disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan disebabkan karna adanya garukan.

Pemeriksaan Penunjang KOH 10% tidak dilakukan KOH 10% tampak hifa

sebagai dua garis sejajar,

terbagi oleh sekat dan

bercabang. Pada kelainan kulit

lama dan sudah diobati

nampak artosora atau spora

yang berderet

PENATALAKSANAAN

Umum :

1. Menjelaskan bahwa penyakit ini disebabkan oleh jamur

2. Menyarankan pasien untuk menggunakan pakaian yang tidak ketat

3. Gunakan pakaian dalam yang mudah menyerap keringat

4. Jangan menggunakan handuk secara bergantian

5. Menghindari garukan

Khusus :

1. Topikal

- Ketokonazol cream 2%

2. Sistemik

- Ketokonazol tablet 1 x 200 mg selama 2-4 minggu

- Cetirizine 1 x 10 mg/hari

7

PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad functionam : ad bonam

Quo ad sanationam : ad bonam

8

TINJAUAN PUSTAKA

DERMATOFITOSIS

I. Definisi

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya

stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh golongan jamur

dermatofita.

II. Etiologi

Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini

mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang

terbagi dalam genus Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Selain sifat keratofilik,

masih banyak sifat yang sama diantara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik,

kebutuhan zat makanan unutk pertumbuhannya dan penyebab penyakit. Microsporum dan

Trichophyton merupakan jamur patogen pada manusia dan hewan. Epidermophyton merupakan

jamur patogen pada manusia. Masa inkubasi pada hewan adalah 1-2 minggu.

III. Epidemiologi

Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka kejadian

lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian

yang berhubungan dengan tinea cruris. Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang

memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.

IV. Klasifikasi

Pembagian yang lebih praktis dan dianut oleh para spesialis kulit berdasarkan lokasi

diantaranya :

- Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.

- Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.

- Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitikrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-

kadang sampai perut bagian bawah.

- Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.

- Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.

- Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea di atas.

Selain 6 bentuk tinea masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu :

9

- Tinea imbrakata : dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentrasis dan

disebabkan Trichophyton concentrium

- Tinea favosa : dermatofitosis yang terutama disebabkan Trichophyton schoenleini :

secara klinis antara lain terbentuk skutula dan berbau seperti tikus.

- Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan daerah kelainan

- Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis

V. Cara penularan

Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan langsung

dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau

tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian

debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau

sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini

menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum

korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jaringan

keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis

dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum

menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi

kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan. Disamping

cara penularan tersebut, timbulnya kelainan-kelainan di kulit bergantung pada beberapa faktor,

antara lain :

1. Faktor virulensi dari dermatofita.

Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur, apakah jamur antropofilik, zoofilik, atau

geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis jamur tersebut berbeda pula satu dengan

yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian tubuh misalnya

Trichophyton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermofiton floccosum yang paling

sering menyerang lipatan paha dalam.

Faktor terpenting dalam virulensi ini ialah kemampuan spesies jamur menghasilkan

keratinasi dan mencerna keratin di kulit.

2. Faktor trauma

Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.

3. Faktor suhu dan kelembaban

10

Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi

atau lokal; tempat yang banyak keringat seperti pada lipatan paha dan sela-sela jari paling

sering terserang jamur ini.

4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan

Faktor ini memang peranan penting pada penyakit jamur. Insiden penyakit jamur pada

golongan sosial dan ekonomi lebih rendah lebih sering ditemukan daripada golongan sosial

ekonomi yang lebih baik.

5. Faktor umur dan jenis kelamin

Penyakit tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan pada orang

dewasa. Pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur disela-sela jari daripada pria, dan

hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Disamping faktor-faktor tadi masih ada

faktor-faktor lain seperti faktor pelindung tubuh (topi, sepatu, dsb) faktor- faktor transpirasi

serta penggunaan pakaian yang serba nilon dapat memudahkan timbulnya penyakit jamur

ini.

VI. Gejala Klinis

Dermatofitosis biasanya timbul pada jaringan berkeratin seperti rambut, kuku dan bagian

terluar dari kulit. Gejala klinis pada tiap klasifikasi berbeda-beda sesuai dengan lokasinya.

Gejala tersering adalah pruritus.

A. TINEA KRURIS

Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini

dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsun seumur

hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar

anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris mempunyai

nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch.

Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophython

fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans (6%)

I. MANIFESTASI KLINIS

1. Anamnesis

Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas ke

sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian

11

bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya

adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab,

memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes

mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu

yang beresiko terkena dermatophytosis.

2. Pemeriksaan Fisik

Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Makula

eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis atau

menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya

dan disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi.

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan

langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur

diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.

a. Pemeriksaan dengan sediaan basah

Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan memakai

scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek glass → tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes → tunggu

10-15 menit untuk melarutkan jaringan → lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali,

akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun

spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan miselium

III. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan melihat gambaran

klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang seperti yang telah disebutkan dengan

menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH 10-20%, sediaan biakan pada medium

Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan lampu wood.

IV. DIAGNOSIS BANDING

1. Candidosis intertriginosa

12

Lesi di daerah lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki,

glans penis dan umbilikus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan

eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-

pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan

pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.

Pada penderita-penderita diabetes melitus, penyakit ini sering dijumpai.

2. Eritrasma

Sering lokalisasinya di sela paha.

Efloresensi yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan

tanda-tanda khas.

Pemeriksaan dengan lampu Wood ditemukan adanya fluoresensi merah (coral red).

V. PENATALAKSANAAN

Pada infeksi tinea cruris biasanya dapat dipakai anti jamur topikal saja. Obat ini digunakan

pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi, dan

diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan

jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal. Sebelum memilih

obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut. Diperlukan juga

monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu.

Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam emapat golongan yaitu:

golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros, tolnaftan,

haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah 13

enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana struktur tersebut merupakan

komponen penting dalam dinding sel jamur. Golongan Alynamin menghambat keja dari squalen

epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol yang berakibat akumulasi

toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel. Dengan penghambatan enzim-enzim

tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan

benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan golongan alynamin sedangkan golongan

lainnya sama dengan golongan azole. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk pemberian

topikal dan sistemik:

Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah:

1.Golongan Azol

a. Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec)

Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris dan corporis

karena bersifat broad spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan

ragi dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan

dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis.

Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream 1%,

solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidak ada kontraindikasi obat ini,

namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas, peradangan infeksi

yang luas dan hinari kontak mata.

b. Mikonazole (icatin, Monistat-derm)

Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat

biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat

menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotio, bedak.

Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa.

Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan

mata.

c. Econazole (Spectazole)

Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu

menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas

dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ecnazole dapat

dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2kali atau 4 kali dalam

sediaan cream 1%.. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,

hindari kontak dengan mata.

14

d. Ketokonazole (Nizoral)

Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad spektrum

akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat

menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4

minggu. Obat ini tersedia dalam bentuk cream 2 %. Tidak dianjurkan pada pasien yang

menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.

e. Oxiconazole (Oxistat)

Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis

ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.

Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam bentk

cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama

dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas

dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.

f. Sulkonazole (Exeldetm)

Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu

menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga

menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan solutio.

Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa (dioleskan

pada daerah yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari).

2.Golongan alinamin

a.Naftifine (Naftin)

Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari alinamin yang

mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan

pertumbuhan sel amur terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4 minggu

jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion. . Penggunaan

pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali sehari selama 2-4minggu).

b. Terbinafin (Lamisil)

Merupakan derifat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide yang

merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan

ergosterol yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan

keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi penggunaanya pada anak-

anak. Digunakan selama 1-4 minggu

3.Golongan Benzilamin

15

a. Butenafine (mentax)

Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel jamur

menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%,

diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan

sebanyak 4kali sehari.

4.Golongan lainnya

a. Siklopiroks (Loprox)

Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubunan dengan sintesi DNA

b.Haloprogin (halotex)

Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan selama 2-4minggu dan

dioleskan sebanyak 3kali sehari.

c.Tolnaftate

Tersedia dalam cream 1%,bedak,solution. Dioleskan 2kali sehari selama 2-4 minggu.

Obat sistemik yang digunakan untuk tinea kruris :

Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal dengan

pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris:

a. Ketokonazole

Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yang berspektrum luas.

Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200 mg/hari selama 2-4 minggu. Ketokonazol merupakan

kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.

b. Itrakonazole

Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang berspektrum luas

yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P-450 dependent

sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel jamur. Pada

penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin dengan hasil terbaik 2-

3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200 mg po selama 1 minggu dan dosis dapat

dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetapi tidak boleh melebihi 400mg/hari. Untuk anak-

anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini dikontraindikasikan pada penderita yang

hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama dengan cisapride karena berhubunngan dengan

aritmia jantung.

c. Griseofulfin

Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan mengikat

mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole.

16

Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-

4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari

17

d.Terbinafine

Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu). Pada anak pemberian secara

oral disesuaikan dengan berat badan:

12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu

20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu

>40kg:250mg/ hari selama 2 minggu

Edukasi kepada pasien di rumah :

Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering

Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.

Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti

pakaian yang lembab

Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, tidak

ketat dan ganti setiap hari.

Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita

harus segera dicuci dan direndam air panas.

VI. KOMPLIKASI

Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada infeksi jamur

yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.

VII. PROGNOSIS

Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan dan

kebersihan kulit selalu dijaga.

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi et al, 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi keenam cetakan ketiga. FK UI :

Jakarta.

2. Fitzpatrick, Thomas B. et al, 2008. Dermatology in General Medicine. Vol 2. 7th ed. USA: McGraw-Hill

Book

3. Mansjoer, A, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Media Aesculapius FK UI : Jakarta.

4. Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC :

Jakarta.

5. Z, Erbagci. 2004. Topical Theraphy for Dermatophytosis : Should Corticosteroids be Included?. Journal

Pubmed di akses tanggal 2 februari 2016.

19