Upload
merahdanmerah
View
239
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
fc
Citation preview
STATUS PASIEN
IDENTITAS
Nama : Ny. S
Umur : 47 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status Marital : Menikah
Alamat : Jl. Ciaul Pasir RT/RW 002/009, Subangjaya, Cikole, Sukabumi
ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan tanggal 28 Januari 2015 Pukul 11.05 WIB
Keluhan utama
Bercak kemerahan yang terasa gatal pada kedua lipat paha.
Anamnesis khusus
Pasien mengeluh becak merah dan gatal pada kedua lipat paha sejak 2 miggu SMRS, bercak
kemerahan timbul pertama kali pada lipat paha bagian kiri tanpa diketahui sebabnya kemudian digaruk dan
melebar ke sebelah kanan, muncul bruntus-bruntus pada bercak tetapi lepuhan disekitar kulit yang
kemerahan disangkal, pada bagian tepi bercak lebih merah dibandingkan bagian tengah.
Gatal dirasakan pada bagian lipat paha, terasa setiap saat dan bertambah gatal ketika berkeringat,
gatal tidak dominan pada waktu tertentu. Munculnya bercak merah pada bagian tubuh lainnya disangkal.
1 tahun SMRS pasien pernah mengalami hal yang sama, yakni bercak berwarna merah kurang lebih
sebesar koin disertai gatal pada bagian lipat paha, pasien tidak berobat hanya diberikan obat yang disarankan
oleh temannya. Keluhan bercak dan gatal mereda tetapi saat ini muncul lagi.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Keluhan ini sudah 2 kali dialami oleh pasien, yaitu 1 tahun yang lalu, dan 2 minggu yang lalu
hingga saat ini.
Riwayat penyakit gula disangkal
1
Riwayat Penyakit Keluarga:
Anggota keluarga yang tinggal serumah tidak ada yang menderita keluhan seperti ini. Riwayat
penyakit gula pada keluarga disangkal.
Riwayat Pengobatan:
Untuk keluhan ini pasien belum pernah berobat ataupun membeli obat apapun
Riwayat Alergi:
Bentol-bentol, bersin, kulit merah-merah atau sesak pada makanan, minuman, cuaca, debu, tanaman
tertentu disangkal.
Riwayat Higienitas
Pasien mandi 2 kali sehari menggunakan air PAM, mengganti baju 2 kali sehari dan mengganti
celana dalam 2 kali sehari, pasien memiliki aktivitas tinggi dan sering berkeringat, pasien tidak
menggunakan celana dalam yang menyerap keringat, sering memakai pakaan ketat, dan
menggunakan handuk secara bergantian dengan anggota keluarga lainnya
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital :
Nadi 80 x/menit
Respirasi 20 x/menit
Suhu 36,2˚C
BB : 75 kg
TB : 160 cm
IMT : 29,3 Kg/m2
3
Status Dermatologis :
Distribusi Regioner
A/R Kedua Lipat paha
Efloresensi Primer : Plaque eritematosa disertai skuama halus, papul eritem
pada bagian tepi
Sekunder : -
Sifat UKK Ukuran : Plakat
Batas : Tegas dengan tepi lebih aktif dibandingkan bagian tengah
Bentuk : Anular, teratur
Penyebaran dan lokalisasi : regional, bilateral, sirkumsrip
Pemeriksaan Anjuran atau Penunjang:
Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan KOH 10%.
RESUME
Perempuan 47 tahun, datang dengan pruritus dan eritem pada bagian lipat paha sejak 2
minggu SMRS, keluhan yang sama pernah dialami pasien 1 tahun SMRS, telah diobati dan keluhan
mereda akan tetapi saat ini keluhan tersebut kambuh lagi. Lesi dimulai pada lipat paha sebelah kiri
dan meluas setelah digaruk. Riwayat Higienitas pasien, memiliki aktifitas berat dan sering
berkeringat tidak memakai celana dalam yang menyerap keringat, memakai pakaian ketat, dan
sering bergantian menggunakan handuk.
Pemeriksaan fisik tanda vital dalam batas normal, dengan pemeriksaan dematologis
didapatkan regio Genito-crural (lipat paha) dekstra sinistra terdapat plaque eritem disertai skuama
halus dan papul eritem pada bagian tepi, dengan ukuran plakat, batas tegas dan bagian tepi lebih
4
aktif dibandingkan bagian tengah, bentuk anular teratur, penyebaran dan lokalisasi regional,
bilateral dan sirkumsrip. Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
DIAGNOSIS BANDING
Tinea Cruris
Kandidiosis intertriginosa
Eritrasma
DIAGNOSIS KERJA
Tinea Cruris
Tinea Cruris Kandidiosis intertriginosa Eritrasma
Etiologi 1. Trichophyton2. Microsporum3. Epidermaphyton
C. albican Corynebacterium minitussismus
Lesi Lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas papul eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang tetapi daerah pinggiran aktif.
Lesi berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.
Lesi berupa eritema dan skuama halus.
Predileksi Genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah.
Daerah lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans penis dan umbilikus
terutama didaerah ketiak dan lipat paha.
Pemeriksaan Pemeriksaan dengan sediaan basahdidapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati
Kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10% atau denan pewarnaan gram telihat sel ragi, blastospora atau hifa semu.
Pemeriksaan dengan lampu Wood ditemukan adanya fluoresensi merah (coral red).
5
ANALISIS KASUS
Tinea Cruris Kasus Teori
Etiologi dan Faktor Risiko Pasien memiliki aktifitas yang
tinggi dan sering berkeringat
Sering menggunakan pakaian
ketat
Tidak menggunakan celana
dalam yang menyerap keringat
Menggunakan handuk secara
bersamaan
Trichopyhton rubrum (90%)
Epidermophython fluccosum
Trichophyton
mentagrophytes (4%)
Trichopyhton tonsurans (6%)
Suhu dan kelembaban (suhu
beriklim tropis)
Keadaan social serta
kurangnya kebesihan
Sering memakai pakaian
ketat
Bertukar pakaian dengan
orang lain
Aktif berolahraga
Mederita diabetes melitus
Manifestasi Klnis Gatal dan kemerehan pada
rego inguinal, gatal betambah
saat berkeringat, pernah
mengalami hal yang sama 1
tahun SMRS
Gatal dan kemerehan di region
inguinal dan dapat meluas ke
sekitar anus, intergluteal,
gluteus dan suprapubis. Gatal
bertambah jika berkeringat.
Pernah memiliki keluhan yang
sama
Lokalisasi Predileksi Lipat paha Genitokrural (lipat paha),
sekitar anus, bokong, dan
kadang-kadang sampai perut
bagian bawah.
Karakteristik Lesi Regio : Genito-crural
dekstra sinistra
Efloresensi primer : Plaque
eritema, dengan papul eritem
Lesi berbatas tegas dan lebih nyata pada bagian tepi dibanding ada bagian tengah. Efloresensi berupa primer dan sekunder (polimorf).Bila menahun dapat berupa
6
pada bagian tepi
Ukuran lesi : Plakat
Batas : Tegas dengan tepi
lebih aktif dibandingkan
bagian tengah
Bentuk : Anular, teratur
Penyebaran dan lokalisasi:
Regional, bilateral
sirkumsrip
bercak hiperpigmentasi disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan disebabkan karna adanya garukan.
Pemeriksaan Penunjang KOH 10% tidak dilakukan KOH 10% tampak hifa
sebagai dua garis sejajar,
terbagi oleh sekat dan
bercabang. Pada kelainan kulit
lama dan sudah diobati
nampak artosora atau spora
yang berderet
PENATALAKSANAAN
Umum :
1. Menjelaskan bahwa penyakit ini disebabkan oleh jamur
2. Menyarankan pasien untuk menggunakan pakaian yang tidak ketat
3. Gunakan pakaian dalam yang mudah menyerap keringat
4. Jangan menggunakan handuk secara bergantian
5. Menghindari garukan
Khusus :
1. Topikal
- Ketokonazol cream 2%
2. Sistemik
- Ketokonazol tablet 1 x 200 mg selama 2-4 minggu
- Cetirizine 1 x 10 mg/hari
7
TINJAUAN PUSTAKA
DERMATOFITOSIS
I. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh golongan jamur
dermatofita.
II. Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini
mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang
terbagi dalam genus Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Selain sifat keratofilik,
masih banyak sifat yang sama diantara dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik,
kebutuhan zat makanan unutk pertumbuhannya dan penyebab penyakit. Microsporum dan
Trichophyton merupakan jamur patogen pada manusia dan hewan. Epidermophyton merupakan
jamur patogen pada manusia. Masa inkubasi pada hewan adalah 1-2 minggu.
III. Epidemiologi
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka kejadian
lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian
yang berhubungan dengan tinea cruris. Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang
memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.
IV. Klasifikasi
Pembagian yang lebih praktis dan dianut oleh para spesialis kulit berdasarkan lokasi
diantaranya :
- Tinea kapitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala.
- Tinea barbe, dermatofitosis pada dagu dan jenggot.
- Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitikrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-
kadang sampai perut bagian bawah.
- Tinea pedis et manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan.
- Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki.
- Tinea korporis, dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk 5 tinea di atas.
Selain 6 bentuk tinea masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yaitu :
9
- Tinea imbrakata : dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentrasis dan
disebabkan Trichophyton concentrium
- Tinea favosa : dermatofitosis yang terutama disebabkan Trichophyton schoenleini :
secara klinis antara lain terbentuk skutula dan berbau seperti tikus.
- Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan daerah kelainan
- Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis
V. Cara penularan
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan langsung
dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau
tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian
debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau
sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini
menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum
korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jaringan
keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis
dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum
menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi
kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan. Disamping
cara penularan tersebut, timbulnya kelainan-kelainan di kulit bergantung pada beberapa faktor,
antara lain :
1. Faktor virulensi dari dermatofita.
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur, apakah jamur antropofilik, zoofilik, atau
geofilik. Selain afinitas ini masing-masing jenis jamur tersebut berbeda pula satu dengan
yang lain dalam afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian tubuh misalnya
Trichophyton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermofiton floccosum yang paling
sering menyerang lipatan paha dalam.
Faktor terpenting dalam virulensi ini ialah kemampuan spesies jamur menghasilkan
keratinasi dan mencerna keratin di kulit.
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur.
3. Faktor suhu dan kelembaban
10
Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokalisasi
atau lokal; tempat yang banyak keringat seperti pada lipatan paha dan sela-sela jari paling
sering terserang jamur ini.
4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memang peranan penting pada penyakit jamur. Insiden penyakit jamur pada
golongan sosial dan ekonomi lebih rendah lebih sering ditemukan daripada golongan sosial
ekonomi yang lebih baik.
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Penyakit tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan pada orang
dewasa. Pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur disela-sela jari daripada pria, dan
hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Disamping faktor-faktor tadi masih ada
faktor-faktor lain seperti faktor pelindung tubuh (topi, sepatu, dsb) faktor- faktor transpirasi
serta penggunaan pakaian yang serba nilon dapat memudahkan timbulnya penyakit jamur
ini.
VI. Gejala Klinis
Dermatofitosis biasanya timbul pada jaringan berkeratin seperti rambut, kuku dan bagian
terluar dari kulit. Gejala klinis pada tiap klasifikasi berbeda-beda sesuai dengan lokasinya.
Gejala tersering adalah pruritus.
A. TINEA KRURIS
Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini
dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsun seumur
hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar
anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris mempunyai
nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin, dhobie itch.
Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophython
fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans (6%)
I. MANIFESTASI KLINIS
1. Anamnesis
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas ke
sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian
11
bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya
adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab,
memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes
mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu
yang beresiko terkena dermatophytosis.
2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Makula
eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis atau
menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya
dan disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi.
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan
langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur
diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.
a. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan memakai
scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek glass → tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes → tunggu
10-15 menit untuk melarutkan jaringan → lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali,
akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun
spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan miselium
III. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan melihat gambaran
klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang seperti yang telah disebutkan dengan
menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH 10-20%, sediaan biakan pada medium
Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan lampu wood.
IV. DIAGNOSIS BANDING
1. Candidosis intertriginosa
12
Lesi di daerah lipat paha, intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki,
glans penis dan umbilikus, berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan
eritematosa. Lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-
pustul kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan
pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.
Pada penderita-penderita diabetes melitus, penyakit ini sering dijumpai.
2. Eritrasma
Sering lokalisasinya di sela paha.
Efloresensi yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan
tanda-tanda khas.
Pemeriksaan dengan lampu Wood ditemukan adanya fluoresensi merah (coral red).
V. PENATALAKSANAAN
Pada infeksi tinea cruris biasanya dapat dipakai anti jamur topikal saja. Obat ini digunakan
pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi, dan
diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan
jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal. Sebelum memilih
obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut. Diperlukan juga
monitoring terhadap fungsi hepar apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu.
Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam emapat golongan yaitu:
golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros, tolnaftan,
haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah 13
enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana struktur tersebut merupakan
komponen penting dalam dinding sel jamur. Golongan Alynamin menghambat keja dari squalen
epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol yang berakibat akumulasi
toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel. Dengan penghambatan enzim-enzim
tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan
benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan golongan alynamin sedangkan golongan
lainnya sama dengan golongan azole. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk pemberian
topikal dan sistemik:
Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah:
1.Golongan Azol
a. Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec)
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris dan corporis
karena bersifat broad spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan
ragi dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan
dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis.
Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream 1%,
solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidak ada kontraindikasi obat ini,
namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas, peradangan infeksi
yang luas dan hinari kontak mata.
b. Mikonazole (icatin, Monistat-derm)
Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat
biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotio, bedak.
Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa.
Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan
mata.
c. Econazole (Spectazole)
Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu
menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas
dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ecnazole dapat
dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2kali atau 4 kali dalam
sediaan cream 1%.. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,
hindari kontak dengan mata.
14
d. Ketokonazole (Nizoral)
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad spektrum
akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4
minggu. Obat ini tersedia dalam bentuk cream 2 %. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.
e. Oxiconazole (Oxistat)
Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis
ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.
Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam bentk
cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama
dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas
dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.
f. Sulkonazole (Exeldetm)
Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu
menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga
menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan solutio.
Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa (dioleskan
pada daerah yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari).
2.Golongan alinamin
a.Naftifine (Naftin)
Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari alinamin yang
mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan
pertumbuhan sel amur terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4 minggu
jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion. . Penggunaan
pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali sehari selama 2-4minggu).
b. Terbinafin (Lamisil)
Merupakan derifat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide yang
merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan
ergosterol yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan
keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi penggunaanya pada anak-
anak. Digunakan selama 1-4 minggu
3.Golongan Benzilamin
15
a. Butenafine (mentax)
Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel jamur
menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%,
diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan
sebanyak 4kali sehari.
4.Golongan lainnya
a. Siklopiroks (Loprox)
Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubunan dengan sintesi DNA
b.Haloprogin (halotex)
Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan selama 2-4minggu dan
dioleskan sebanyak 3kali sehari.
c.Tolnaftate
Tersedia dalam cream 1%,bedak,solution. Dioleskan 2kali sehari selama 2-4 minggu.
Obat sistemik yang digunakan untuk tinea kruris :
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal dengan
pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris:
a. Ketokonazole
Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yang berspektrum luas.
Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200 mg/hari selama 2-4 minggu. Ketokonazol merupakan
kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.
b. Itrakonazole
Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang berspektrum luas
yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P-450 dependent
sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel jamur. Pada
penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin dengan hasil terbaik 2-
3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200 mg po selama 1 minggu dan dosis dapat
dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetapi tidak boleh melebihi 400mg/hari. Untuk anak-
anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini dikontraindikasikan pada penderita yang
hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama dengan cisapride karena berhubunngan dengan
aritmia jantung.
c. Griseofulfin
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan mengikat
mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole.
16
Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-
4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari
17
d.Terbinafine
Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu). Pada anak pemberian secara
oral disesuaikan dengan berat badan:
12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu
20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu
>40kg:250mg/ hari selama 2 minggu
Edukasi kepada pasien di rumah :
Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering
Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.
Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti
pakaian yang lembab
Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, tidak
ketat dan ganti setiap hari.
Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita
harus segera dicuci dan direndam air panas.
VI. KOMPLIKASI
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada infeksi jamur
yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.
VII. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan dan
kebersihan kulit selalu dijaga.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, Adhi et al, 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi keenam cetakan ketiga. FK UI :
Jakarta.
2. Fitzpatrick, Thomas B. et al, 2008. Dermatology in General Medicine. Vol 2. 7th ed. USA: McGraw-Hill
Book
3. Mansjoer, A, et al. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Media Aesculapius FK UI : Jakarta.
4. Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC :
Jakarta.
5. Z, Erbagci. 2004. Topical Theraphy for Dermatophytosis : Should Corticosteroids be Included?. Journal
Pubmed di akses tanggal 2 februari 2016.
19