Upload
dewi-arianna-manullang
View
13
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
zdfg
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Apendiks merupakan suatu organ berbentuk kantung ‘buntu’ yang
berpangkal di sekum pada usus besar1. Peradangan pada apendiks disebut juga
dengan apendisitis. Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang dapat
disebabkan oleh obstruksi lumen atau ulserasi pada mukosa akibat terjadi infeksi
bakteri. Apendisitis dapat menyerang semua kalangan usia mulai dari balita
hingga usia tua, dengan rasio pria dibandingkan dengan wanita adalah 2:1 dan
paling sering dijumpai di negara-negara berkembang walaupun pada awalnya
penyakit ini sering juga dijumpai di negara-negara maju2,3.Insidens tertinggi
terdapat pada kelompok usia 20-30 tahun3. Kesulitan membedakan antara
apendisitis dengan dengan penyebab nyeri perut lainnya serta meningkatnya
angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan perforasi
menyebabkan apendisitis merupakan masalah penting bagi petugas kesehatan4.
Konsultasi dini dengan petugas kesehatan dapat mencegah keterlambatan
diagnosis dari penyakit ini. Diagnosa terkait apendisitis didapat dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik serta dari tanda dan gejala yang dialami oleh pasien.
Penggunaan media imaging seperti USG, CT Scan, laparoskopi dapat dilakukan3.
Salah satu komplikasi yang sering dijumpai pada kasus-kasus apendisitis
adalah terbentuknya massa apendikular (appendiceal mass). Appendiceal mass
dapat ditemukan dengan perabaan pada regio kanan bawah abdomen yang
merupakan suatu bentuk pertahanan tubuh sendiri oleh omentum5.
Penatalaksanaan apendisitis serta massa apendikular dapat meliputi
tindakan konservatif serta tindakan operasi. Penanggulangan konservatif
dilakukan dengan pemberian antibiotik sesuai dengan infeksi bakteri yang
menyertai serta perbaikan keadaan umum dengan pemberian cairan dan perbaikan
elektrolit. Apendisitis merupakan salah satu dari penyebab utama nyeri abdomen
(abdominal pain) dan merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan
1
tindakan pembedahan segera. Terdapat berbagai macam teknik pembedahan
dalam penanganan kasus-kasus appendisitis. Pembedahan yang lazim dilakukan
antara lain open appendectomy, apendektomi dengan laparoskopi, serta interval
appendectomy. Teknik pembedahan yang dilakukan sesuai dengan indikasi serta
ketersediaan sarana dan prasarana6.
1.2. Tujuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca mengenai
appendiceal mass sebagai salah satu komplikasi dari apendisitis.
2. Mengetahui defenisi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosa,
penatalaksanaan apendisitis serta appendiceal mass.
3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Apendiks
Apendiks terbentuk dari divertikulum yang terletak di sekum pada
minggu ke 8 masa gestasi sebagai bagian dari caudal midgut. Panjang apendiks
bervariasi antara 2 hingga 20 cm dan dapat mengalami inflamasi serta membesar
akibat impakasi fekal maupun inflamasi. Mesoapendiks menghubungkan ileum
terminal dan mengandung pembuluh darah dan limfatik.1
Lapisan jaringan terdiri dari mukosa, lamina propia, inner circular, dan
outer longitudinal otot polos, dan adventitia (peritoneum dan mesenterium).
Mukosa bagian bawah terdiri dari sel goblet, kelenjar interstisial, dan kripta
Lieberkühn. Taenia coli ( pita longitudinal dari sekum ) bersatu menjadi sebuah
lapisan luar dari otot apendiks. Lamina propria mengandung massa lymphoid
nodul dengan inti germinal.1
Apendiks terletak di retrosekal-retrokolik, pelvis descendens, subsekal,
ileosekal (anterior terhadap ileum, ileosekal (posterior terhadap sekum). Atery
yang memeperdarahi apendiks adalah arteri cabang dari arteri ileokolik atau
cabang ileal atau kolik dari arteri ileokolik. Basis dari apendiks kemungkinan
dapat diperdarahi oleh aerteri sekal anterior maupun posterior. Arteri apendiks
biasanya akan melewati ileum terminal, sekitar meseapendiks. Vena apendiks
akan bergabung dengan vena ileocolik dan bergabung dengan vena superior
mesenterik ke vena porta hepatika. 1
3
2.2. Apendisitis
Apendisitis merupakan suatu reaksi inflamasi akut dan infeksi dari
apendiks vermiform.1 Definisi lain Apendisitis merupakan peradangan pada
appendiks, sebuah kantung buntu yang berhubungan dengan bagian akhir secum
yang umumnya disebabkan oleh obstruksi pada lumen appendiks. Apendisitis
merupakan salah satu dari penyebab utama nyeri abdomen (abdominal pain) dan
merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan pembedahan segera
khususnya pada anak-anak. Apendisitis dapat terjadi disebabkan oleh proses
infeksi, proses inflamasi ataupun merupakan suatu proses inflamasi kronik yang
dapat mengarahkan menuju tindakan apendektomi.6
Apendisitis dapat menyebabkan beberapa komplikasi. Komplikasi terjadi
akibat keterlambatan penangan apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal
dari penderita dan tenaga medis. Factor penderita meliputi pengetahuan dan biaya,
sedangkan dari tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa,
terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan.
Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
apendisitis. Proporsi komplikasi apendisitis 10-32% paling sering terjadi pada
anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2
tahun dan 40-75% pada orang tua. Anak-anak memiliki dinding apendiks yang
masih tipis, omentum lebih pendek, dan belum berkembang sempurna yang
4
memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan
pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:6
Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar kerongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5oC,tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN).
Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis.
Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila
infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya
peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa
sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis.
Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula
berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus.
Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh
omentum. Abses ini disebut juga dengan Apendiceal Mass.
Massa apendikular terjadi setelah serangan apendisitis akut yang
menyebabakan terbentuknya flegmon ataupun abses sehingga dapat dipalpasi
pada regio kanan bawah dari abdomen. . Hal ini terjadi apabila terjadi mekanisme
pertahanan tubuh oleh omentum. Massa terdiri atas campuran apendiks yang
5
mengalami inflamasi dan jaringan granulasi. Apabila tidak terjadi perforasi
ataupun ruptur pada apendiks massa akan terbentuk pada regio kanan fossa liliaca
dalam waktu 48 jam. Apabila hal ini tidak dapat mencegah terjadinya perforasi
apendiks maka akan terjadi pembetukan abses atau flegmon.
2.2.1. Epidemiologi
Apendisitis merupakan salah satu kegawatdaruratan bedah yang sering
terjadi dan merupakan penyebab nyeri perut yang paling umum dijumpai. Dahulu
dikatakan bahwa insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang. Hal ini dapat dilihat dari angka kejadian apendisitis di
negara-negara Asia dan Afrika yang lebih rendah bila dibandingkan dengan
negara di Amerika (10 kasus tiap 100.000 penduduk). Perbedaan ini mungkin
disebabkan pola diet tinggi serat oleh masyarakat yang tinggal di negara Asia dan
Afrika. Namun pada beberapa tahun terakhir frekuensi apendisitis di negara barat
dilaporkan menurun dengan adanya konsumsi serat yang mulai meningkat. Hal ini
menandakan kejadian apendisitis erat kaitannya dengan konsumsi serat
seseorang.9
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens apendisitis meningkat secara gradual
semenjak kelahiran dan mencapai puncak pada usia remaja akhir, dan kemudian
menurun secara gradual pada usia geriatri. Usia rata-rata apendisitis pada anak
adalah 6-10 tahun, sedangkan pada dewasa muda insidens tertinggi pada
kelompok usia 20-30 tahun. Namun anak-anak merupakan kelompok usia yang
paling rentan mengalami perforasi (50-85%).7 Insidens pada laki-laki dan
perempuan umumnya sebanding (faktor risiko 1,4), kecuali pada rentang usia 20-
30 tahun, insidens pada laki-laki lebih tinggi.8
2.2.2. Etiologi
Etiologi apendisitis yang terjadi antara lain disebabkan oleh obstruksi
lumen apendiks. Obstruksi lumen pada appendiks yang menyebabkan
apendisitisantara lain karena; material feses yang keras (fecalith), hyperplasia
6
jaringanlimfoid, dan infeksi virus8. Pada anak-anak sendiri obstruksi paling sering
terjadi akibat hiperplasia jaringan limfoid pada submukosa folikel. Penyebab
hiperplasia ini sendiri masih kontroversial, namun dehidrasi dan infeksi virus
diduga menjadi penyebab utama). Penyebab lainnyadari apendisitis antara lain;
benda asing (foreign body), infeksi bakteri, parasit, dan tumorappendiks atau
sekum.6
Apendisitis akut sendiri disebabkan oleh infeksi dari bakteri. Hal-hal yang
dapat menyebabkan terjadinya infeksi bakteri di apendiks adalah adanya sumbatan
luman, adanya cacing askaris, dan erosi mukosa yang disebabkan oleh E.
hystolitica dan parasit lain. 1
Tabel 2.1. Organisme yang sering dijumpai pada Apendisitis Akut (Scwarts)Aneaerobik dan Fakultatif Aneorobik
Basil Gram Negatif Basil Gram Negatif
E. coli Bacteriodes fragillis
Pseudomonas aeruginosa Bacteroides sp.
Klebsiella sp. Fusobacterium sp.
Kokus Gram Positif Kokus Gram Positif
Streptococcus anginosus Peptostreptokokus sp.
Enterococcus sp. Kokus Gram Positif
Streptococcus sp. Clostridium sp.
2.2.3. Patologi dan Perjalanan Penyakit
Peningkatan tekanan dalam sekum pada katup ileosekal yang kompeten serta
pengkatan flora kuman di kolon akibat sembelit dapat menyebabakan radang
pada mukosa apendiks. Radang mokosa yang diperberat dengan erosi selaput
lendir dan hambatan pengososngan apendiks menyebabkan apendisitis komplet.
Waktu yang dibutuhkan dari reaksi pada mukosa hingga melibatkan seluruh
lapisan dinding apendiks memakan waktu 24-48 jam. Apendisitis kemungkinan
dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan oleh feses yang terlibat atau
7
fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis
berhubungan dengan asupan serat dalam makanan yang rendah.3
Ketika obstruksi telah terjadi di apendiks, bakteri yang terperangkap di
dalam lumen appendiceal mulai bermultipikasi, menyebabkan apendiks menjadi
distensi. Peningkatan tekanan intraluminal menyebabkan juga terjadinya obstruksi
drainase vena serta aliran darah arteri sehingga apendiks mengalami kongesti dan
iskemik. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan
apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis danmenjadi gangren.
.
Gambar 2.1. Patofisiologi Apendisitis
Pada stadium awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular
dan serosa (peritoneal). Pada stadium awal pasien akan mengalami nyeri abdomen
di daerah periumbilikal akibat rangsangan oleh serabut saraf T10 dari apendiks.9
Inflamasi yang semakin berat cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada
permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang
8
bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal
dan menyebabkan nyeri semakin intens.
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam
lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Perforasi terjadi akibat adanya cairan
inflamasi serta bakteri yang keluar hingga mencapai cavitas abdomen. Kejadian
ini menginflamasi lapisan peritoneal secara luas dan peritonitis semakin hebat.
Lokasi peritonitis sendiri (diffuse atau localized) tergantung oleh derajat dimana
omentum dan adjacent bowel loop mampu menampung konten dari luminal itu
sendiri. Jika cairan inflamasi dan bakteri tersebut dibungkus omentum, nyeri dan
ketegangan (tenderness) akan terjadi secara lokal. Namun jika cairan inflamasi
dan bakteri tidak terbungkus omentum dan menyebar menuju peritoneum, nyeri
akan terasa di seluruh regio abdomen.1
Staging dari apendisitis dapat dibagi menjadi 8 tahap, yaitu:3,7
1. Early Stage Appendicitis
Obstruksi pada lumen apendiks menyebabkan terjadinya edema mukosa,
ulserasi mukosa, diapedesis bakteri, distensi apendiks dan mengarah
menuju terjadinya akumulasi dan peningkakan tekanan intraluminal.
Serabut saraf aferen viseral terstimulasi dan pasien akan merasakan nyeri
periumbilikal dan nyeri epigastrik yang ringan, berlangsung selama 4-6
jam.
2. Suppurative Appendicitis
Peningkatan tekanan intraluminal pada akhirnya akan melebihi tekanan
perfusi kapiler, berkaitan dengan obstruksi limfatik dan drainase vena dan
menyebabkan invasi bakteri serta cairan-cairan inflamasi pada dinding
apendiks. Masuknya bakteri menyebabkan acute suppurative appendicitis.
Ketika bagian appendiks yang terinflamasi kontak dengan parietal
peritonium, pasien akan mengalami tanda nyeri klasik, yaitu berpindahnya
rasa nyeri dari periumbilikal ke bagian kanan bawah abdomen (right
lower abdominal quadrant (RLQ)) yang berkepanjangan dan terasa
semakin nyeri.
9
3. Gangrenous Appendicitis
Vena intramural dan trombosis arteri terjadi, berakibat pada terjadinya
gangren apendisitis.
4. Perforated Appendicitis
Iskemik jaringan apendiks yang terus menerus berakibat pada keadaan
infark dan perforasi, baik perforasi lokal ataupun general.
5. Phlegmonous Appendicitis
Lapisan apendiks yang meradang atau perforasi dapat berdinding
omentum yang besar, mengakibatkan radang usus apendiks phlegmonous
atau abses fokal.
6. Spontaneously Resolving Appendicitis
Jika obstruksi lumen apendiks teratasi, apendisitis akut juga akan hilang
secara spontan. Hal ini terjadi saat hiperplasia limfatik atau fekalit
terbuang keluar dari lumen.
7. Recurrent Appendicitis
Insidensnya sekitar 10%. Didiagnosa saat pasien mengalami nyeri RLQ
pada beberapa waktu yang berbeda setelah pada pasien pernah dilakukan
apendektomi.
8. Chronic Appendicitis
Kronik apendisitis memiliki insidens 1% dan didefinisikan dengan
keadaan:
a. Pasien dengan riwayat nyeri RLQ setidaknya 3 minggu tanpa
diagnosis alternatif lain,
b. Setelah dilakukannya apendektomi pasien mengalami tanda dan
gejala yang benar-benar hilang
c. Secara histopatologi, dibuktikan dengan gejala inflamasi aktif yang
kronik dari dinding apendiks atau fibrosis dari dinding apendiks2,6.
10
2.2.4. Diagnosis
2.2.4.1. Gejala Klinis
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di
sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke
kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.3
Apendisitis biasanya dimulai dengan rasa tidak nyaman yang menetap dan
progresif di bagian tengah abdomen, di daerah epigastrium di sekitar umbilikalis.
Hal ini disebabkan oleh obstruksi dan distensi apendiks yang merangsang saraf
otonom aferen viseral dan membuat nyeri alih pada daerah periumbilikal
(distribusi dari nervus T8 – T10). Apendisitis diikuti dengan anoreksia dan juga
demam ringan (<38,5° C). Dengan berlanjutnya sekresi cairan musinosa
fungsional, terjadilah peningkatan tekanan intralumen yang menyebabkan
kolapsnya vena drainase. Hal ini mengakibatkan timbulnya sensasi kram yang
segera diikuti oleh mual dan muntah. Sembilan puluh persen pasien anoreksia,
tujuh puluh persen menjadi mual dan muntah, dan sepuluh persen diare. Ketika
inflamasi dari apendiks terus berlanjut dan mencapai bagian luar apendiks, serabut
saraf dari peritoneum parietal akan membawa informasi spasial tepat ke korteks
somatosensori dan setelah peritoneum parietal terlibat, nyeri yang dihasilkan lebih
intens, konstan, dan nyeri somatik akan terlokalisasi di fossa iliaka kanan, di
daerah apendiks yang mengalami inflamasi tersebut.9
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh
saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau
rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk
mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah
11
demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi,
diduga sudah terjadi perforasi.10
2.2.4.2. Pemeriksaan Fisik
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di
sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah.
Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke
kanan bawah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.3
Apendisitis biasanya dimulai dengan rasa tidak nyaman yang menetap dan
progresif di bagian tengah abdomen, di daerah epigastrium di sekitar umbilikalis.
Hal ini disebabkan oleh obstruksi dan distensi apendiks yang merangsang saraf
otonom aferen viseral dan membuat nyeri alih pada daerah periumbilikal
(distribusi dari nervus T8 – T10). Apendisitis diikuti dengan anoreksia dan juga
demam ringan (<38,5° C). Dengan berlanjutnya sekresi cairan musinosa
fungsional, terjadilah peningkatan tekanan intralumen yang menyebabkan
kolapsnya vena drainase. Hal ini mengakibatkan timbulnya sensasi kram yang
segera diikuti oleh mual dan muntah. Sembilan puluh persen pasien anoreksia,
tujuh puluh persen menjadi mual dan muntah, dan sepuluh persen diare. Ketika
inflamasi dari apendiks terus berlanjut dan mencapai bagian luar apendiks, serabut
saraf dari peritoneum parietal akan membawa informasi spasial tepat ke korteks
somatosensori dan setelah peritoneum parietal terlibat, nyeri yang dihasilkan lebih
intens, konstan, dan nyeri somatik akan terlokalisasi di fossa iliaka kanan, di
daerah apendiks yang mengalami inflamasi tersebut.9
Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini
terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh
saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau
rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk
12
mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah
demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C. Tetapi jika suhu lebih tinggi,
diduga sudah terjadi perforasi.10
2.2.4.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-
reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah
leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%,
sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah
satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka
sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
Pemeriksaan radiologiterdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan
Computed Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan
bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan
pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas
yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah. Serum Beta Human
Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan
kehamilan. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa
peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan
Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon.
Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti
appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam membedakan appendicitis
dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan.
13
2.2.5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis
meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.
Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis
perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta
pemberian antibiotik sistemik.
Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan
perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
Pencegahan apendisitis secara menyeluruh yang dapat dilakukan diantaranya:13
Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan
insidens timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan
bahwa diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit
saluran pencernaan. Serat dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat
air, selulosa, dan pektin yang membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk
diekskresikan keluar sehingga tidak terjadi konstipasi yang mengakibatkan
penekanan pada dinding kolon.
14
Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces.
Makanan yang mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces
dan makan yang teratur mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada
waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon
fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di
kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang
lebih padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan
intracaecal sehingga terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya
pertumbuhan flora normal kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya
bagian yang terselip masuk ke saluran appendiks dan menjadi media
kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan
peradangan pada appendiks.
Terdapat empat modalitas dalam penatalaksanaan massa apendiks:
1. Penanganan kovensional dan interval apendektomi dalam waktu 6-8
minggu.
2. Terapi konservatif total.
3. Apendektomi secara agresif dan cepat.
4. Managemen dengan laparoskopik
2.2.5.1. Penatalaksanaan Secara Konservatif
Pada jaman dahulu, dipercaya operasi pada fase apendisitis akut dengan
massa berpotensial menjadi berbahaya dan dapat mengakibatkan komplikasi yang
mengancam jiwa. Sehingga Ocschner, pada tahun 1901, mempublikasikan
manajemen non-operatif sebagai salah satu penatalaksanaan massa apendiks
(appendiceal mass) yang pada masa sekarang dikenal dengan Regimen Oschner-
Sherren. Beberapa komponen yang penting dari regimen ini adalah:11
15
Tidak adanya makanan yang diberikan secara oral selama 24-48 jam.
Pasien diberikan cairan melalui intravena sebagai satu-satunya cara
pemberian nutrisi.
Pemberian antibiotic secara intravena dengan monitoring tanda-tanda vital
dan ukuran massa appendiks.
Jika keadaan umum pasien menunjukkan perbaikan, ukuran massa
apendiks mengecil, demam, dan nafsu makan meningkat, pasien
diperbolehkan minum secara oral kemudian perlahan-lahan diberikan
makanan secara oral.
Sebaliknya, jika keadaan pasien memburuk, ukuran massa membesar,
peningkatan denyut nadi atau terjadi peritonitis general, bahkan terjadi
sepsis, segera pertimbangkan untuk operasi.
Penatalaksanaan secara konservatif yang berhasil dapat diikuti dengan
apendektomi interval atau tidak. Apendektomi interval dapat dilakukan 6-8
minggu setelah penatalaksanaan konservatif berhasil dilakukan. Tujuan dari
tindakan ini adalah untuk mencegah rekurens apendisitis akut dan menghindari
kesalahan diagnosis dengan penyakit lain seperti keganasan.12 Periode waktu yang
berisiko untuk terjadi rekurens apendisitis adalah 6 bulan pertama setelah
penatalaksanaan konservatif yang berhasil.11
Apendektomi interval wajib dilakukan pada pasien rekurens apendisitis
akut.12 Namun pada kondisi dimana tidak ada muncul gejala-gejala apendisitis
lagi, tindakan apendektomi interval boleh tidak dilakukan. Karena menurut
beberapa ahli bedah, tindakan apendektomi interval tergolong sulit dan terkadang
apendiks yang fibrosis tidak ditemukan pada saat operasi.11
16
Gambar 2.2. Algoritma Manajemen Massa Apendiks12
2.2.5.2. Penatalaksanaan Secara Surgical
Open Apendectomy14
Apendektomi terbuka dilakukan dengan sayatan Mc Burney (oblique)
atau Rocky-Davis ( transverse) di kuadran bawah dengan memisahkan otot pada
pasien yang dicurigai mengalami apendesitis. (Scwartz) Insisi lain yang dapat
dilak sesuai dengan anatomy dinding abdomen adalah insisi Lanz dan Pararectus
(Jalaguier, Kammerer, Lennader, Senn). Insisi Mc Burney dilakukan pada
sepertiga jarak Spina Iliaca Anterior superior ke umbilicus. Insisi dilakukan
sedalam 1,5 hingga 5 cm sesuai dengan usia pasien. Insisi terletak di antara
sepertiga dan duapertiga jarak SIAS dan umbilicus, sesuai dengan garis Langer.
(emedicin open apendectomy)
17
Gambar 2.3. Insisi yang terletak pada titik Mc Burney. Insisi memanjang
sepanjang 3-5 cm sepanjang lipatan kulit (insisi Lanz).
Gambar 2.4 Sayatan pada Apendektomi Terbuka
Insisi dilakukan di atas massa yang teraba. Apabila lokasi masih belum
jelas sayatan dapat diperlebar. Apendiks dapat ditentukan letaknya dengan
berbagai cara seperti menggeser dari lateral ke medial karena biasanya sekum
dapat terlihat pada insisi.
18
Laparoscopy14
Apendektomi dengan laparoskopi dilakukan dengan melakukan
penempatan trokar pada umbilikus dan di regiosuprapubik. Trokar ke tiga
diletakan di daerah epigastrium. Apendiks ditentukan dengan menemukan
anterior taeniae atau basis apendiks. Mesenterium apendiks kemudian dipisahkan
dan apabila terjadi inflamasi pada mesoapendiks maka apendiks harus dibegi
dengan stapler linear kemudian dilakukan pemotongan dan basis apendiks tidak
dilakukan inversi. Kemudian apendiks yang telah dipotong dikeluarkan dengan
menggunakan trokar.
Laparaskopi dilakukan jika hemodinamik stabil dan tenaga ahli tidak
tersedia. Sementara kontraindikasi relatif adalah, peritonitis generalisata, operasi
berulang, penyakit paru yang berat, obesitas ekstrim, dan kehamilan.
Jika sulit dilakukan apendektomi makan harus dilakukan konversi
menjadi apendektomi terbuka. Konversi dilakukan dalam keadaan:
o Perlengketan akibat inflamasi pada operasi sebelumnya.
o Apendisitis perforasi dan gangrenosa.
o Basis apendiks yang mengalami nekrosis dan gangrene
o Peritonitis generalisata
o Apendiks retrosekal
o Kesulitan menemukan apendiks
o Perdarahan tidak terkontrol
o Tumor pada apendiks hingga ke basis apendiks
o Perdarahan Retrocecal appendix
o Penyakit lain seperti malrotasi, carcinoma, diverticula sekum , pelvic
inflammatory disease dan torsi kista tuba ovarium.
19
Interval Appendectomy14
Interval apendektomi dilakukan dengan pemberian antibiotik intravena
dan pengistirahatan lambung. Interval apendektomi dilakukan apabila adanya
massa yang memiliki asosiasi dengan abses atau flegmon. Setelah pemberian
antibiotik dilakukan maka tahap kedua adalah dilakukan operasi.
20
BAB IIILAPORAN KASUS
3.1. Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : Ny.S
Tgl lahir/Umur : 20-09-1961/ 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Ujung Pandang, Simalungun
Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah
Telaah :Hal ini dialami OS sejak 1 tahun yang lalu, namun
memberat dalam 2 hari ini. Pasien sebelumnya mengalami nyeri di ulu hati
yang menyebar ke daerah perut kanan bawah. OS juga mengeluhkan nyeri
apabila ditekan. Riwayat demam, mual, dan muntah dijumpai. Riwayat
sulit BAB (-), BAB berdarah (-). BAK (+) normal.
RPT : -
RPO : tidak jelas
Status Presen:
Sensorium: Compos Mentis, Temperatur: 37,5oC, HR: 88 x/minute, RR:
20 x/minute. Anemis (-), ikteris (-), sianosis (-), edema (-), dyspnea (-).
Status Generalisata
Kepala : Mata : konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), ikterik
(-/-), RC (+/+), pupil isokor, d: 3mm/3mm.
T/H/M dalam batas normal
Leher : Pembesaran KGB (-), TVJ R+2 cmH2O
Thoraks : Inspeksi : Simetris fusiformis, ketinggalan nafas (-)
21
Palpasi : Stem fremitus kiri=kanan
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : SP: vesikuler; ST: -
Abdomen : Inspeksi : Simetris, distensi (-)
Palpasi :Teraba massa di perut kanan bawah (regio
iliaca dextra) d:5x5cm, mobile. Pole atas 3
jari dibawah pusat, pole bawah 2 jari diatas
simfisis.
Perkusi : Timpani
\ Auskultasi : normoperistaltik
Ekstremitas : Edema (-)
DRE
Perineum biasa, TSA ketat, mukosa licin, nyeri tekan arah jam 12. Gloves: feses
(+), darah (-), lendir (-).
Hasil Laboratorium
Parameter Unit Hasil Nilai
Haemoglobin (Hb) g% 11,6 11,3-14,1
Eritrosit 106/mm3 4,07 4,40-4,48
Leukosit 103/mm3 34,84 4,5-13,5
Hematocrit % 35,4 37-41
Trombosit 103/mm3 537 150-450
MCV Fl 87,0 81-95
MCH Pg 28,50 25-29
MCHC g% 32,8 29-31
RDW % 13,2 11,6-14,8
Hitung jenis
Neutrofil % 85,2 37-80
Limposit % 6,4 20-40
Monosit % 7,70 2-8
22
Eosinofil % 0,40 1-6
Basofil % 0,300 0-1
Neutrofil Absolut 103/L 29,71 2,4-7,3
Limfosit Absolut 103/L 2,24 1,7-5,1
Monosit Absolut 103/L 2,67 0,2-0,6
Eosinofil Absolut 103/L 0,13 0,10-0,30
Basofil Absolut 103/L 0,09 0-0,1
Metabolisme karbohidrat
Blood Glucose mg/dL 84,6 <200
Elektrolit
Na mEq/L 129 135-155
K mEq/L 4,3 3,6-5,5
Cl mEq/L 104 96-106
Hati
Albumin g/dL 2,3 3,5-5
Diagnosis : Apendiceal mass
Tindakan: : - IVFD RL 20gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
- Inj. Ketorolac 30mg/8 jam
- Ranitidin 50 mg/12 jam
- Inj. Metronidazole 500mg/8 jam
Rencana : USG Abdomen (appendix)
CT Scan abdomen (appendix) dengan iv contrast
Colonoscopy
23
Follow up Ruangan
Tanggal
S O A PTerapi Diagnostik
07/05/2015
Nyeriperutkananbawah
- Sens : CM
- TD : 120/70 mmHg
- Pols : 98 x/i
- RR : 20 x/i
- T : 370C
- Mata: Konj. anemis (+/+), skleraikterik (-/-)
- Leher : TVJ R-2 cmH20
- Thorax : S1 & S2 (+)N, Gallop (-), murmur (-)
- Pulmo: simetris, SP: vesikuler
- Appendicial mass
- Tirah baring
- O2 2-4 L/i
- IVFD NaCl 0,9% 20gtt/i makro
- Injeksiceftriaxone 1gr/12jam
- Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam
- Injeksi ketorolac 30 mg/8jam
- Injeksi ranitidine 50 mg/12jam
- USG appendiks
24
ST : -
- Abdomen :Simetris,mild distension,nyeritekan (+), timpaniperistaltik (+) melemah
- Ekstremitas: edem (-)
Tanggal
S O A PTerapi Diagnostik
08-10/05/2015
Nyeriperutkananbawah
- Sens : CM
- TD : 120/80 mmHg
- Pols : 100 x/i
- RR : 22 x/i
- T : 370C
- Mata: Konj. anemis (+/+), skleraikt
- Appendicial mass
- Tirah baring
- O2 2-4 L/i
- IVFD RL 20gtt/i makro
- Injeksicifrofloxacin 200 mg/12jam
- Injeksi gentamycin 80 mg/8
- USG appendiks
Hasil :Padadaerah Mc. Burney tampakgambaran doughnut sign ukuran +/- 7,66 mm. tampakmassaanekoikberbatastegasukuran +/- 26 x 36 mm disekitarnya
25
erik (-/-)
- Leher : TVJ R-2 cmH20
- Thorax : S1 & S2 (+)N, Gallop (-), murmur (-)
- Pulmo: simetris, SP: vesikulerST : -
- Abdomen :Simetris,mild distension,nyeritekan (+), timpaniperistaltik (+) melemah,
- Ekstremitas: edem (-)
jam
- Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam
- Injeksi ketorolac 30 mg/8jam
- Injeksi ranitidine 50 mg/12jam
USG Abdomen (8/05/2015)
26
S O A PTerapi Diagnostik
11/05/2015
Nyeriperutkananbawah
- Sens : CM
- TD : 120/80 mmHg
- Pols : 100 x/i
- RR : 22 x/i
- T : 370C
- Mata: Konj. anemis (+/+), skleraikterik (-/-)
- Leher : TVJ R-2 cmH20
- Thorax : S1 & S2 (+)N,
- Appendicial mass
- Tirah baring
- O2 2-4 L/i
- Diet MII
- IVFD RL 20gtt/i makro
- Injeksicifrofloxacin 200 mg/12jam
- Injeksi gentamycin 80 mg/8 jam
- Injeksimetronidazole 500 mg/8 jam
- Injeksi ketorolac 30
- CekLaboratoriumdarahlengkap, elekrolit, albumin
Hasil :Hb / Ht / WBC /PLT : 11,4/34,2/37.63/444E/B/N/L/M : 0/0.1/87,6/5,2/7,1Na/K/Cl/Albumin : 127/4,3/97/2,4
27
Gallop (-), murmur (-)
- Pulmo: simetris, SP: vesikulerST : -
- Abdomen : Simetris, distensi (+)berkurang,nyeritekan (+), terabamassa di abdomen kananukuran 8x6 cm, timpani,peristaltik (+) melemah
- Ekstremitas: edem (-)
mg/8jam
- Injeksi ranitidine 50 mg/12jam
Tanggal
S O A PTerapi Diagnostik
12/05/2015
Nyeriperutkananbawah
- Sens : CM
- TD :
- Appendicial mass
- Tirah baring
- O2 2-4
28
120/80 mmHg
- Pols : 100 x/i
- RR : 22 x/i
- T : 370C
- Mata: Konj. anemis (+/+), skleraikterik (-/-)
- Leher : TVJ R-2 cmH20
- Thorax : S1 & S2 (+)N, Gallop (-), murmur (-)
- Pulmo: simetris, SP: vesikulerST : -
- Abdomen : simetris,defans muscular (+),
L/i
- IVFD RL 20gtt/i makro
- Injeksiceftriaxone 1 gr/12 jam
- Injeksiketorolac 30 mg/8jam
- Injeksi ranitidine 50 mg/12jam
29
nyeritekan (+), terabamassa di perutkananukuran 8x6,timpani, peristaltic (+) melemah
- Ekstremitas: edem (-)
Tanggal
S O A PTerapi Diagnostik
13/05/2015
Nyeriperutkananbawah
- Sens : CM
- TD : 120/80 mmHg
- Pols : 100 x/i
- RR : 22 x/i
- T : 370C
- Mata: Konj. anemis (+/+), skleraikt
- Appendicial mass
- Tirah baring
- O2 2-4 L/i
- IVFD RL 20gtt/i makro
- Injeksiceftriaxone 1 gr/12 jam
- Injeksi ketorolac 30
30
erik (-/-)
- Leher : TVJ R-2 cmH20
- Thorax : S1 & S2 (+)N, Gallop (-), murmur (-)
- Pulmo: simetris, SP: vesikulerST : -
- Abdomen : simetris, defans muscular (+), nyeritekan (+), terabamassa di perutkananukuran 7,5x6 cm, timpani, peristaltic (+) melemah
- Ekstremitas:
mg/8jam
- Injeksi ranitidine 50 mg/12jam
31
edem (-)
32
BAB IV
KESIMPULAN
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Delaney C, Netter F. Netter's surgical anatomy and approaches.
2. Minkes, RK. 2014. Pediatric Appendicitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/926795-overview . Accessed on 1
May 2015.
3. Sjamsuhidajat, R., De Jong, W., 2004. Buku-Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta:EGC, 639-645
4. Stephen et al. 2003. The Diagnosis of Acute Appendicitis in a Pediatric
Population. Vol.38
5. Riwanto, Ign. et al., 2010. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. In:
Sjamsudihajat, R. et al., ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:EGC, 755
– 762.
6. Minkes, RK. 2014. Pediatric Appendicitis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/926795-overview . Accessed on 1
May 2015.
7. Craig, S. Appendicitis. July 2014. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/773895. Accessed on: 15th May 2015.
8. Riwanto, I., et al. 2012. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.
Dalam: Sjamsuhidajat, et al. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3; 356. Jakarta:
EGC.
9. Keshav, Satish, 2004. Caecum and Appendix. In: Keshav, Satish, ed. The
Gastrointestinal System at Glance. First Edition. USA:Wiley -Blackwell, 36 –
38
10. Departemen Bedah UGM. 2010. Apendik. Available from:
http://www.bedahugm.net/tag/appendix. Accessed on 29 April 2015.
11. Arshad M, Noshad A. Recent Trends in the Treatment of the Appendicular
Mass. Pakistan: Liaquat University of Medical and Health Sciences. 2012.
12. Garba E, Ahmed A. Management of Appendicial Mass. Annals of African
Medicine. 2008; 7: 200-204.
34
13. Riwanto, Ign. et al., 2010. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. In:
Sjamsudihajat, R. et al., ed. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:EGC, 755
– 762
14. Schwartz S, Brunicardi F. Schwartz's manual of surgery. New York:
McGraw-Hill Medical Pub. Division; 2006.
35
36