Upload
bayuardianto
View
7
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
a
Citation preview
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya
laporan tutorial Skenario B Blok 13 ini dapat diselesaikan dengan baik.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan
bagiandari sistem pembelajaran PBL di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan
ataukelemahan. Oleh karena itu, sumbangan pemikiran dan masukan dari semua
pihaksangat kami harapkan agar di lain kesempatan laporan tutorial ini akan menjadi
lebih baik.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Alfian Hasbi selaku tutor kelompok
B10 yang telah membimbing kami semua dalam pelaksanaan tutorial kali ini. Selain itu,
kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
tersusunnya laporan tutorial ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi proses
pembelajaran selanjutnya dan bagi semua pihak yang membutuhkan.
Palembang, 18 November 2014
Penyusun
1 | P a g e
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…… ………………………………………………….......…………. i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI…..…………………………………………………………………………. 2
Skenario…………………………....……………………………………………………… 3
I. Klarifikasi Istilah..…………………… …………....…………………………………… 4
II. Identifikasi Masalah………………… …………....…………………………………… 4
III. Analisis Masalah…………………… …………....…………………………………… 6
IV. Kerangka Konsep…………………… …………....……………………………………46
V. Learning Issues……………………… …………....…………………………………… 48
VII. Kesimpulan…………………… …………............……………………………………79
Daftar Pustaka…………………… …………....………………...........……………………80
2 | P a g e
Skenario B Blok 12 2014
Adi, anak laki-laki, berusia 5 tahun, merupakan anak keempat dari enam bersaudara.
Ayah Adi bekerja sebagai tukang becak dan ibunya adalah buruh cuci pakaian. Selagi ibnya
bekerja, Adi dibiarkan berman di sekitar rumah. Karena tidak ada yang mengawasi, Adi
sering bermain tanpa menggunakan alas kaki. Sehari-hari Adi sekeluarga hanya makan
dengan nasi dan kecap, sesekali dengan tambahan telur dan tempe.
Adi dibawa ibunya ke puskesmas karena wajahnya terlihat pucat sejak sebulan yang
lalu. Adi juga tampak lesu dan mudah terengah-engah saat bermain. Dokter kemudian
melakukan beberapa pemeriksaan.
Pemeriksaanfisik:
Keadaanumum : pucat, lemah.
HR : 90 x/menit. RR: 22 x/menit, Temp: 36,6 C, TD: 12080 mHg
Konjungtiva palpebral: anemis (+/+)
Cheilitis : positif,
Lidah : atropipapil
Koilonychia : positif
Abdomen : hepardan lien tidak teraba
Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
Laboratorium:
Hb: 7,6 g/dL. Ht: 22 vol%, RBC: 3.055.000/mm3, WBC: 7.400/mm3, Trombosit:
386.000/mm3, Diff.count: 0/8/5/55/28/4, MCV: 72 fL, MCH 25 pg, MCHC: 34%, LED
40mm/jam. Besi serum 30 µg/L, TIBC 560 µg/dL, Feritin 5ng/mL
Gambaran apusan darah tepi
Eritrosit : mikroskopik hipokrom, anisopoikilositosis, cigar-shaped cell, pencil cell
Leukosit : jumlah cukup, eosinofilia, morfologi normal
Trombosit: jumlah cukup, penyebaran merata, morfologi normal
Kesan : anemia mikrositik hipokrom disertai eosinofilia suspek defisiensi besi
Feses :
Darah samar : positif
Telur cacing tambang : positif
3 | P a g e
I. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Cheilitis : peradangan pada bibir
2. TIBC : Total iron binding capacity pemeriksaan yang mengukur jumlah besi yang
terikat oleh transferin dan secara tidak langsung menggambarkan jumlah transferin
dalam darah
3. Koilonychia : distrofi (setiap ganguan akibat nutrisi yang salah atau tidak sempurna)
kuku jari dengan kuku menjadi tipis dan cekung dan tepinya meninggi
4. Feritin : kompleks besi apoferitin yang merupakan bentuk utama penyimpanan besi
dalam tubuh
5. Anisopoikilositosis : eritrosit yang ukurannya berbeda-beda dan bentuknya abnormal
di dalam darah
6. Cigar-shaped cell: sel darah merah dengan bentuk eliptosis terjadi akibat anemia
defisiensi besi dan talesimia
7. Anemia mikrositik hipokrom : keadaan dimana ditemukan sel darah merah yang
berukuran kecil dan kurang hemoglobin
8. Eosinophilia : peningkatan abnormal eusinofil dalam darah
II. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Adi (5 tahun) dibiarkan bermain di sekitar rumah tanpa menggunakan alas kaki
2. Sehari-hari Adi sekeluarga hanya makan dengan nasi dan kecap, sesekali dengan
tambahan telur dan tempe
3. Adi dibawa ibunya ke puskesmas karena wajahnya terlihat pucat sejak sebulan
yang lalu. Adi juga tampak lesu dan mudah terengah-engah saat bermain
4. Pemeriksaan fisik
Keadaanumum : pucat, lemah.
HR : 90 x/menit. RR: 22 x/menit, Temp: 36,6 C, TD: 12080 mHg
Konjungtiva palpebral: anemis (+/+)
Cheilitis : positif,
Lidah : atropipapil
Koilonychia : positif
Abdomen : hepardan lien tidak teraba
Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
5. Pemeriksaan darah
4 | P a g e
Hb: 7,6 g/dL. Ht: 22 vol%, RBC: 3.055.000/mm3, WBC: 7.400/mm3, Trombosit:
386.000/mm3, Diff.count: 0/8/5/55/28/4, MCV: 72 fL, MCH 25 pg, MCHC: 34%,
LED 40mm/jam. Besi serum 30 µg/L, TIBC 560 µg/dL, Feritin 5ng/mL
6. Gambarapusan darah tepi
Eritrosit : mikroskopik hipokrom, anisopoikilositosis, cigar-shaped cell, pencil
cell
Leukosit : jumlah cukup, eosinofilia, morfologi normal
Trombosit : jumlah cukup, penyebaran merata, morfologi normal
Kesan : anemia mikrositik hipokrom disertai eosinofilia suspek defisiensi besi
7. Feses
Darah samar : positif
Telur cacing tambang : positif
III. ANALISIS MASALAH
1. Adi 5 tahun dibiarkan bermain di sekitar rumah tanpa menggunakan alas kaki
a. Parasite apa yang dapat menembus kulit?
Soil transmitted helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas nematoda)
yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak dengan telur
ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang lembab yang
terdapat di negara yang beriklim tropis maupun subtropis.
Jenis-jenis Soil transmitted helminths
1. Ascaris lumbricoides
Cacing betina mempunyai ukuran tubuh lebih besar daripada cacing
jantan.Cacing betina berukuran 22-35 cm sedangkan yang jantan berukuran
10-30 cm. Pada cacing betina bagian posteriornya membulat dan lurus.
Tubuhnya berwarna putih hingga kuning kecoklatan dan diselubungi oleh
lapisan kutikula yang bergaris halus. Pada cacing jantan ujung posteriornya
lancip dan melengkung ke arah ventral dilengkapi pepil kecil dan dua buah
spekulum berukuran 2 mm. Tubuh cacing jantan ini berwarna putih
kemerahan.
2. Trichuris trichiura
Cacing betina memiliki panjang ±5 cm, sedangkan cacing jantan ±4 cm.
Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari
panjang seluruh tubuh. Bagian posterior lebih gemuk. Pada cacing betina
5 | P a g e
bentuknya membulat tumpul sedangkan pada cacing jantan melingkar dan
terdapat satu spekulum.
3. Cacing tambang
Terdapat dua spesies hookworm yang sangat sering menginfeksi manusia
yaitu: “The Old World Hookworm” yaitu Ancylostoma duodenale dan “The
New World Hookworm” yaitu Necator americanus. Hospes parasit ini adalah
manusia. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar
melekat pada mukosa dinding usus. Cacing ini berbentuk silindris dan
berwarna putih keabuan. Cacing dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm
sedangkan betina berukuran 10 sampai 13 mm. Cacing N.americanus betina
dapat bertelur ±9000 butir/hari sedangkan cacing A.duodenale betina dapat
bertelur ±10.000 butir/hari. Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai
huruf S sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua
jenis cacing ini besar. N.americanus mempunyai benda kitin, sedangkan pada
A.duodenale terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan kedua spesies ini
mempunyai bursa kopulatrik pada bagian ekornya dan cacing betina memiliki
ekor yang runcing.
b. Bagaimana mekanisme infeksi parasite menembus kulit?
Cara penularan penyakit cacing tambang adalah melalui larva cacing yang
terdapat di tanah yang menembus kulit (biasanya diantara jari-jari kaki), cacing ini
akan berpindah ke paru kemudian ke tenggorokan dan akan tertelan masuk saluran
cerna.
c. Bagamana mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi parasite?
Beberapa mekanisme pertahanan tubuh dalam mengatasi agen yang berbahaya di
lingkungannya yaitu:
1. Pertahanan fisik dan kimiawi: kulit, sekresi asam lemak dan asam laktat
melalui kelenjar keringat dan sebasea (kelenjar berbentuk kantong kecil yang
terletak di dermis), sekresi lendir, pergerakan silia, sekresi air mata, air liur,
urin, asam lambung serta lisozim dalam air mata.
2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat yang dapat
mencegah invasi mikroorganisme seperti laktobasilus pada epitel organ.
3. Innate immunity
4. Imunitas spesifik yang didapat.
6 | P a g e
Respon Imune Innate
Respon ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh non-spesifik yang mencegah
masuk dan menyebarnya mikroorganisme dalam tubuh serta mencegah terjadinya
kerusakan jaringan. Ada beberapa komponen innate immunity, yaitu :
1. Pemusnahan bakteri intraselular oleh sel poli-morfonuklear (PMN) dan
makrofag.
2. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif.
3. Degranulasi sel mast yang melepaskan mediator inflamasi.
4. Protein fase akut: C-reactive protein (CRP) yang mengikat mikroorganisme,
selanjutnya terjadi aktivasi komplemen melalui jalur klasik yang
menyebabkan lisis mikroorganisme.
5. Produksi interferon alfa (IFN-α) oleh leukosit dan interferon beta (IFN-β) oleh
fibroblast yang mempunyai efek antivirus.
6. Pemusnahan mikroorganisme ekstraselular oleh sel natural killer (sel NK)
melalui pelepasan granula yang mengandung perforin.
7. Pelepasan mediator eosinofil seperti major basic protein (MBP) dan protein
kationik yang dapat merusak membran parasit.
Respon Imunitas Spesifik
Bila mikroorganisme dapat melewati pertahanan nonspesifik/innate immunity,
maka tubuh akan membentuk mekanisme pertahanan yang lebih kompleks dan
spesifik. Mekanisme imunitas ini memerlukan pengenalan terhadap antigen lebih
dulu. Mekanisme imunitas spesifik ini terdiri dari imunitas humoral, yaitu
produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T dependent)
dan mekanisme Cell mediated immunity (CMI). Sel limfosit T berperan pada
mekanisme imunitas ini melalui produksi sitokin serta jaringan interaksinya dan
sel sitotoksik matang di bawah pengaruh interleukin 2 (IL-2) dan interleukin 6
(IL-6).
Berbagai Protozoa dan cacing berbeda dalam ukuran, struktur, sifat biokimiawi,
siklus hidup dan patogenitasnya. Hal ini menimbulkan respons imun spesifik yang
berbeda pula. Infeksi cacing biasanya kronis dan menimbulkan rangsangan
antigen persisten yang akan meningkatkan kadar
imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Antigen yang
dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T
independen. Hipersensitifitas yang diperantarai IgE merupakan mekanisme imun
utama dalam mengatasi infeksi cacing.
7 | P a g e
Pertahanan terhadap kebanyakan infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2.
Cacing merangsang subset Th2 sel CD4+ yang melepas IL-4 dan IL-5, IL-4
selanjutnya merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan
aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat eosinofil.
Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang
menghancurkan parasit. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena
eosinofil mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan
ROI (reactive oxygen intermediate) yang diproduksi neutrofil dan makrofag.
Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik.
Reaksi imunologi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya
cacing pada mukosa saluran cerna
Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang
IgE dependen menghasilkan produksi histamine yang menimbulkan spasme usus
tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan
melepaskan protein kationik, MBP (myelin basic protein) dan neurotoksin. PMN
dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit,
dan enzim yang membunuh cacing. Infeksi parasit secara khusus merangsang
sejumlah mekanisme pertahanan, baik yang diperantarai antibodi maupun yang
diperantarai sel, dan respons yang paling efektif tergantung jenis parasit dan
stadium infeksi. Antibodi dan sitokin yang diproduksi sebagai respons terhadap
antigen parasit memperkuat aktifitas antiparasit dari makrofag, neutrofil, dan
eosinofil.
8 | P a g e
Eosinofil diduga berkembang sebagai pertahanan terhadap parasit di jaringan yang
terlalu besar untuk difagositosis, dan reaksi sel mast yang tergantung IgE untuk
melokalisir eosinofil dekat parasit dan memperkuat fungsi antiparasit. IgE pada
infeksi cacing bisa menimbulkan efek berat pada pejamu akibat pelepasan
mediator dari sel mast.
Ketahanan hidup STH pada infeksi kronis dimungkinkan dengan adanya
mekanisme imunoregulasi, termasuk sel T regulatori (T reg) yang mampu
mensekresi sitokin imunosupressan seperti IL-10 dan/atau TGF-β, menghasilkan
suasana antiinflamasi. Respons antibodi terhadap berbagai stadium A.
lumbricoides tidak berpengaruh besar baik pada derajat infeksi yang baru terjadi
maupun pada intensitas infeksi ulangan. Regulasi imunitas pejamu oleh infeksi
kronis STH tidak hanya mempengaruhi respons terhadap antigen parasit tetapi
juga terhadap antigen eksogenus lainnya seperti antigen vaksin dan alergen udara,
efek tersebut dapat menjelaskan terjadinya gangguan imunogenitas vaksin dan
penurunan prevalensi penyakit alergi di daerah pedesaan negara tropis.
2. Sehari-hari Adi sekeluarga hanya makan dengan nasi dan kecap, sesekali dengan
tambahan telur dan tempe
a. Kandungan gizi dari makanan yang dikonsmsi sehari-hari
1. Tempe
9 | P a g e
2. Nasi
NASI
Nilai nurtrisi per 100g (3.5oz)
Energi 1.527kJ (365kcal)
Karbohidrat 79 g
Gula 0.12 g
Serat pangan 1.3 g
Lemak 0.66 g
Protein 7.13 g
Air 11.62 g
Thiamine (Vit. B1) 0.070 mg (5%)
Riboflavin (Vit. B2) 0.049 mg (3%)
Niacin (Vit. B3) 1.6 mg (11%)
Pantothenic acid(B5) 1.014 mg (20%)
Vitamin B6 0.164 mg (13%)
Folate(Vit. B9) 8 g (2%)
Calcium 28 mg (3%)
Iron 0.80 mg (6%)
Magnesium 25 mg (7%)
Manganese 1.088 mg (54%)
Phosphorus 115 mg (16%)
Potassium 115 mg (2%)
Zinc 1.09 mg (11%)
3. Tempe
TEMPE
Nilai nurtrisi per 100g
Energi 201 kal
Serat 1.4 g
Lemak 8.8 g
Protein 20.8 g
Air 55.3 g
Thiamine (Vit. B1) 0.19 mg
Calcium 155 mg
Iron 4 mg
Phosphorus 326 mg
Karotin 34 mkg
Abu 1.6 mg
10 | P a g e
4. Kecap
KECAP
Nilai nurtrisi per 100g
Energi 81 kal
Karbohidrat 19 g
Lemak 0.5 g
Protein 2.7 g
Air 63 g
5. Sayur
SAYURNilai Nutrisi per 100g
Jenis SayuranKalori Protein Lemak Karbohidrat Serat Kasar
(kkal) (gram) (gram) (gram) (gram)Kangkung 50 3.3 0.7 10.0 2.0
Bayam 23 2.9 0.4 3.6 2.2Wortel 41 0.9 0.2 9.6 2.8Seledri 16 0.7 0.2 3.4 1.6
Labu siam 19 0.8 0.1 4.5 1.7
Labu kuning 16 1.2 0.2 3.3 1.1
Lobak 16 0.7 0.1 3.5 1.6
b. Bagaimana hubungan dari kandungan gizi anak denga mekanisme pertahanan
tubuh dari penyakit?
11 | P a g e
Bahan Makanan Nilai Fe Bahan Makanan Nilai Fe Tempe Kacang Kedelai Murni 10,0 Biskuit 2,7 Kacang kedelai,kering 8,0 Jagung kuning,pipil
lama 2,4
Kacang hijau 6,7 Roti putih 1,5 Kacang merah 5,0 Beras setengah
giling 1,2
Kelapa tua,daging 2,0 Kentang 0,7 Udang segar 8,0 Daun kacang
panjang 6,2
Hati Sapi 6,6 Bayam 3,9 Daging Sapi 2,8 Sawi 2,9 Telur Bebek 2,8 Daun katuk 2,7 Telur Ayam 2,7 Kangkung 2,5 Ikan segar 2,0 Daun singkong 2,0 Ayam 1,5 Pisang ambon 0,5 Gula Kepala 2,8 Keju 1,5
Infeksi parasit biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan
parasit sendiri. Infeksi yang kronik akan meningkatkan kadar imunoglobulin
dalam sirkulasi, menimbulkan rangsangan antigen yang persisten dan
pembentukan kompleks imun. Parasit dapat menimbulkan imunosupresi dan efek
imunopatologik pada pejamu. Pada umumnya respon selular lebih efektif terhadap
protozoa intraseluler, sedang antibodi lebih efektif terhadap parasit ekstraselular
seperti dalam darah dan cairan jaringan. Sel T terutama sel Tc, dapat
menghancurkan parasit intraseluler, misalnya T.cruzi. Limfokin yang dilepas oleh
sel T yang disensitisasi dapat mengaktifkan makrofag untuk lebih banyak
membentuk reseptor untuk Fc dan C3, berbagai enzim dan faktor lain yang dapat
meninggikan sitotoksisitas.
Cacing dalam lumen saluran cerna dapat dikeluarkan oleh sekresi selaput lendir
usus. Dalam hal ini baik sel B maupun sel T ikut berperan. Se Th merangsang sel
untuk membentuk antibodi spesifik, terutama IgE selama terjadi infeksi parasit.
Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal
yang T independen untuk sel B. Peranan antibodi dan imunitas selular bervariasi
dan bergantung pada jenis infeksi. Eosinofil diduga mempunyai tiga efek terhadap
infeksi cacing yaitu fagositosis kompleks antigen-antibodi, modulasi
hipersensitivitas melalui inaktivasi mediator dan membunuh cacing tertentu
melalui perantaraan IgG. Pengerahan eosinofil dipengaruhi mediator yang dilepas
sel mastosit dan sel T. Di samping itu sel T berpengaruh pula atas pengeluaran
eosinofil dari sumsum tulang.
Kekurangan zat besi dalam sistem imun berdampak mengurangi pembentukan dan
kegiatan hormon timik; penurunan jumlah CD4, membahayakan fungsi CD4, sel
pembunuh alami dan neutrofil; peningkatan kematian sel; merusak kemampuan
sel untuk membunuh organisme infeksi; dan mengganggu pembentukan sitokin.
Sel T terganggu karena berkurangnya pembentukan sel-sel tersebut di atas, yang
kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya sintesis DNA. Berkurangnya sintesis
DNA disebabkan oleh gangguan enzim reduktase ribonukleotida yang
membutuhkan besi untuk dapat berfungsi. Disamping itu sel darah putih yang
menghancurkan bakteri tidak dapat bekerja secara efektif dalam keadaan tubuh
kekurangan besi.
Infeksi cacing tambang berpengaruh terhadap pemasukan, pencernaan,
penyerapan, serta metabolisme makanan, yang dapat berakibat hilangnya protein,
karbohidrat lemak vitamin dan darah dalam jumlah yang besar. Juga dapat
12 | P a g e
menimbulkan ganguan respon imun, menurunnya plasma insulin like growth
factor (IGF)- 1, kadar serum tumor necrosis factor a (TNF) meningkat,
konsentrasi rerata hemoglobin rendah, sintesis kolagen menurun. Disamping itu,
juga menimbulkan berbagai gejala penyakit seperti anemi, diare, sindroma disentri
dan defisiensi besi
Jadi pada kaus ini, dimana terjadi kekurangan zat besi sehingga sistem imun tidak
bisa melakukan perlawanan terhadap infeksi cacing tambang, dan infeksi cacing
tambang ini juga akan mempengaruhi penurunan zat besi sehingga akan terjadi
infeksi yang lebih parah.
c. Apa pengaruh social ekonomi keluarga adi dengan gizi?
Keadaan ekonomi dari keluarga adi yang kurang baik sehingga memaksa mereka
mengkonsumsi makanan yang seadanya sehinggga keadaan gizi adi menjadi tidak
terpenuhi
3. Adi di bawa ke puskesmas karena wajahnya pucat sejak sebulan yang lalu. Adi
juga tampak lesu serta terengah-engah saat bermain. (main problem)
a. Apa interpretasi dari gejala yang dialami Adi?
Interpretasi dari keadaan tersebut yaitu anemia. Anemia adalah berkurangnya
jumlah SDM, kuantitas hemoglobin dan hematokrit. Hal tersebut menyebabkan
pengangkutan oksigen ke jaringan berkurang. Pucat, lesu dan terengah-engah saat
bermain dapat mencerminkan berkurangnya oksigenasi pada system saraf pusat
dan organ perifer.
Ada tiga faktor penting yang menyebabkan orang menjadi anemia yaitu :
a. Kehilangan darah karena perdarahan
b. Pengrusakan sel darah merah
c. Produksi sel darah merah tidak cukup banyak.
b. Apa hubungan kelainan yang dialami adi dengan status gizinya?
13 | P a g e
Ada dua jenis zat besi yang terdapat di dalam makanan yaitu : zat besi yang
berasal dari hem dan bukan hem. Zat besi yang berasal dari hem merupakan
penyusun hemoglobin dan myoglobin, zat besi jenis ini terkandung didalam
daging, ikan dan unggas, serta hasil olahan darah. Zat besi dari hem ini terhitung
sebagai fraksi yang relatif kecil dari seluruh masukan zat besi. Dibanyak Negara
sedang berkembang, masukan zat besi yang berasal dari hem lebih rendah atau
sarna sekalidapat di abaikan.
Zat besi yang bukan berasal dari hem, merupakan sumber yang lebih penting dan
ditemukan dalam tingkat yang berbeda-beda pada seluruh makanan yang berasal
dari tumbuh- tumbuhan seperti sayur -sayuran, buah-buahan, biji-bijian dan
kacang-kacangan serta serealia, dalam jumlah yang sedikit terdapat di dalam
daging, telur, dan ikan.
Zat besi selain diperoleh dari bahan makanan, juga bisa dari makanan
mengandung zat besi eksogen, yang berasal dari tanah, debu dan air atau panic
tempat memasak. Keadaan ini lebih sering terjadi di negara yang sedang
berkembang. Jumlah zat besi cemaran di dalam makanan mungkin beberapa kali
lebih besar dibandingkan dengan jumlah zat besi dalam makanannya sendiri.
Memasak makanan di dalam panci besi bisa meningkatkan kandungan zat besi
beberapa kali lipat, terutama sup yang mngandung sayuran yang mempunyai pH
rendah dan dididihkan terlalu lama. Menggoreng dengan kuali besi biasanya tidak
meningkatkan kandungan zat besi dalam makanan. Zat besi yang dilepas selama
memasak akan berikatan dengan kelompok zat besi bukan hem, dam siap untuk
14 | P a g e
diserap. Bentuk lain zat besi eksogen terdapat dalam makanan seperti gandum,
guladan garam yang telah diperkaya dengan zat besi atau garam besi .
Pada kasus ini Adi hanya mengkonsumsi nasi dengan kecap dan kadang-
kadang disertai telur.Kebutuhan supplay globin dan zat besi kurang. Hal inilah
yang menyebabkan pembentukan hemoglobin terkendala yang menyebabkan
anemia.
c. Hubungan kelainan yang dialami adi dengan infeksi parasite?
Berdasarkan gejala yang dialami adi maka dapat disimpulkan kalau adi
mengalami anemia. Anemia yang dialami adi berhubungan dengan penyakit
infeksi yang dideritanya yang mana pada kasus ini disebabkan oleh cacing
tambang. Pada masa dewasa cacing tambang membutuhkan Hb sebagai sumber
makanannya. Cacing ini mencerna Hb dengan bantuan Enzim proteolitik
chatepsin D pada cacing tambang memainkan peranan dalam
mendigestihemoglobin (Loukas, 2002). Tiap cacing N. americanus menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc/hari, sedangkan A. duodenale 0,08-0,34
cc/ hari. Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing
(Gandahusada, 2000). Kedua cacing tambang ini dapat menyebabkan anemia
hipokrom mikrositik. Anemia ini umumnya berupa anemia defisiensi besi. Gejala
lain yang bisa ditemukan ialah gejala umum seperti lemah atau lesu, pusing, dan
nafsu makan berkurang. Pada keadaan yang berat dan lama, dapat terjadi retardasi
fisis maupun mental. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya telur
cacing tambang dalam tinja pasien. Eosinofilia akan terlihat jelas pada bulan
pertama infeksi cacing ini (Gandahusada, 2000).
4. Pemeriksaanfisik
a. Bagamana interpretasi dari pemeriksaan fisik? (mekanisme abnormal)?
Hasil Pemeriksaan Fisik Nilai Normal Interpretasi Mekanisme
Pucat dan lemah Sehat Tanda anemia,
anemia aliran darah
perifer
berkurang,oksigenisasi
15 | P a g e
jaringan menurun
pucat,lemah
HR 90x/menit 80-140x/m Normal
RR 22x/m 22-34x/m Normal
T: 36,60C 36,6-37,50C Normal
TD: 120/80 mmHg 120/80 mmHg Normal
KGB tidak membesar - Normal
Hepar dan lien tidak
teraba
Tidak teraba Cacing tambang tidak
menyerang melalui darah
dan tidak masuk ke hati
maupun limpa. Cacing
tambang hanya menyerang
pada mukosa usus untuk
mendapatkan makanan
berupa darah.
Chelitis(+) - Radang mukosa bibir pada
defisiensi Fe karena
berkurangnya enzim yang
mengandung Fe, dimana
fungsinya melindungi
mukosa mulut dan bibir dari
peradangan.
Lidah : atropi papil - Papil di glottis beregenerasi
setiap 2 minggu sekali.
Karena defisiensi besi,
regenenasi papil terganggu
Koilonychia (+) - Defisiensi Fe
Epitel keratin pada
permukaan kuku
kekurangan Fe epitel
keratin tak terbentuk
sempurna rapuh,cekung
Konjungtiva palpebra
anemis (+/+)
(-/-) Tanda anemia
16 | P a g e
Dapat disimpulkan bahwa TN. T menderita anemia yang ditunjukkan dengan
pucat, lemah, konjungtiva yang anemis dan lidah yang papilnya atrofi. Sedangkan
adanya cheilitis dan koilonychia menunjukkan adanya defisiensi besi. Hepar dan
lien yang tidak teraba menandakan bahwa anemia Tn. T bukanlah anemia yang
disebabkan oleh pecahnya sel darah (anemia hemolitik).
KGB berfungsi menyaring antigen. Jika ada antigen asing, kerja kelenjar getah
bening akan lebih berat sehingga menyebabkan terjadinya pembesaran.Tidak
terjadinya pembesaran pada KGB menunjukkan bahwa tidak adanya infeksi,
radang ataupun keganasan.
b. Mengapa dilakukan pemeriksaan hepar, lien dan kgb?
Sebagai salah satu penunjang untuk menetapkan diagnosis pada kasus ini. Seperti
menentukan jenis anemia dan menentukan adanya infeksi, radang, atau keganasan
5. Pemeriksaan darah
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan darah?
17 | P a g e
Indikasi Nilai Normal Hasil Pemeriksaan
Interpretasi
Hb (g/dl) Laki-laki: 13,5-18,0Perempuan: 12-16
7,6 g/dl Menurun
Ht Laki-laki: 40-48%Perempuan: 37-43%
22 % Menurun
RBC 4.500.000-5.000.000/mm3 3.055.000 /mm3 MenurunWBC 5.000-10.000 /mm3 7.400 /mm3 NormalTrombosit 150.000-450.000/mm3 386.000 /mm3 NormalDiff. count 0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-
80/8/5/55/28/4 Eosinofil
meningkatMCV 82-92 femtoliter 72 femtoliter MenurunMCH 27-31 pikogram 25 pikogram MenurunMCHC 32-37 % 34 % Normal
LED(mm/jam)
Pria : 0-10Wanita : 0-15
(westergreen) atau 0-20 (wintrobe)
40 mm/jam Cepat (meningkat)
Besi serum 60-170 mikrogram/dl 30 mikrogram/dl MenurunTIBC 240-450 mikrogram/dl 560 mikogram/dl MeningkatFerritin 30-300 ng/mL untuk pria
dan 15-200 ng/mL untuk wanita.
5 ng/mL Menurun
b. Cara melakukan pemeriksaan darah (celci, alif, klara)
1. Hb
Hb rendah (<10 gram/dL) biasanya dikaitkan dengan anemia defisiensi besi.
Dalam kasus ini Hb rendah akibat infeksi cacing tambang yang menganggu
pembentukan Hb dengan adanya defisiensi besi. Ambang bahaya adalah Hb <
5 gram/dL. Hemoglobin merupakan komponen sel darah merah yang bertugas
mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Komponen penting dari
hemoglobin adalah zat besi. Karena itu ketika infeksi cacing tambang
mengakibatkan defisiensi besi pada tubuh dan mempengaruhi pembentukan
Hb mengakibatkan rendahnya kadar hemoglobin.
2. Ht
Hematokrit merupakan persentase konsentrasi eritrosit dalam plasma darah.
Secara kasar, hematokrit biasanya sama dengan tiga kali hemoglobin. Dalam
kasus ini, Tn. T mengalami penurunan kadar Hb, sehingga Ht un juuga
menurun
3. LED
18 | P a g e
nilai meningkat terjadi pada: kondisi infeksi akut dan kronis, misalnya
tuberkulosis, arthritis reumatoid, infark miokard akut, kanker, penyakit
Hodkin’s, gout, Systemic Lupus Erythematosus (SLE), penyakit tiroid, luka
bakar, kehamilan trimester II dan III. Peningkatan nilai LED > 50mm/ jam
harus diinvestigasi lebih lanjut dengan melakukan pemeriksaan terkait infeksi
akut maupun kronis, yaitu: kadar protein dalam serum dan protein,
immunoglobulin, Anti Nuclear Antibody (ANA) Tes, reumatoid factor.
Sedangkan peningkatan nilai LED >100mm/jam selalu dihubungkan dengan
kondisi serius, misalnya: infeksi, malignansi, paraproteinemia, primary
macroglobulinaemia, hiperfi brinogenaemia, necrotizing vaskulitis,
polymyalgia rheumatic.
nilai menurun terjadi pada: polisitemia, gagal jantung kongesti, anemia sel
sabit, Hipofi brinogenemia, serum protein rendah Interaksi obat dengan hasil
laboratorium: etambutol, kuinin, aspirin, dan kortison.
4. MCV
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila
kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang.
Enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase memerlukan besi untuk
menghentikan sintesis heme. Padahal besi pada anemia defisiensi besi tidak
tersedia sehingga pembelahan sel tetap berlanjut selama beberapa siklus
tambahan namun menghasilkan sel yang lebih kecil (mikrositik). Hal ini
ditandai dengan menurunnya MCV (mean corpuscular volume).
5. MCH
MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa
memperhatikan ukurannya. Jadi ketika Hemoglobin dalam tubuh berkurang
maka nilai MCH pun akan menurun.
6. MCHC
Pada anemia defisiensi besi, besi yang dibutuhkan tidak tersedia sehingga
heme yang terbentuk hanya sedikit dan pada akhirnya jumlah hemoglobin
yang dibentuk juga berkurang. Dengan berkurangnya Hb yang terbentuk,
eritrosit pun mengalami hipokromia (pucat). Hal ini ditandai dengan
menurunnya MCHC (mean corpuscular Hemoglobin Concentration)
7. Besi serum
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah
cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi
19 | P a g e
serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi
serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada
kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi.
Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran
mutlak status besi yang spesifik.
8. TIBC
TIBC atau kapasitas mengikat besi total merupakan suatu pengukuran untuk
mengukur kapasitas transferin serum mengikat besi. TIBC meningkat pada
defisiensi besi.
9. Ferritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai
dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat
spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan
besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi.
Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi,
tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya
sangat tinggi
Untuk pembentukan hemoglobin dibutuhkan antara lain besi, asam folat dan
vit. B12. Besi merupakan unsur yang terbanyak didapatkan di darah dalam
bentuk hemoglobin, serum iron (SI), total iron binding capacity(TIBC) dan
ferritin.
Pemeriksaan SI bertujuan mengetahui banyaknya besi yang ada di dalam
serum yang terikat dengan transferin, berfungsi mengangkut besi ke sumsum
tulang. Serum iron diangkut oleh protein yang disebut transferin, banyaknya
besi yang dapat diangkut oleh transferin disebut total iron binding capacity
(TIBC). Saturasi transferin mengukur rasio antara kadar SI terhadap kadar
TIBC yang dinyatakan dalam persen. Ferritin adalah cadangan besi tubuh
yang sensitif, kadarnya menurun sebelum terjadi anemia. Pada anemia tidak
selalu terjadi perubahan pada SI, TIBC dan ferritin tergantung pada penyebab
anemia. Pada anemia defisiensi besi, kadar SI dan saturasi transferin menurun
sedangkan TIBC akan meningkat/normal dan cadangan besi tubuh menurun.
Pengukuran asam folat dan vitamin B12 bertujuan untuk mengetahui
penyebab anemia.
20 | P a g e
Untuk penegakan diagnosis ADB terdapat 3 tahapan, dan secara laboratoris
penegakan ADB dipakai diagnosis anemia hipokromik mikrositer pada
hapusan darah tepi atau MCV <78 fl dan MCHC <31% dengan salah satu dari
kriteria berikut :
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini :
1. Besi serum <50 mg/dl
2. TIBC >350 mg/dl
3. Saturasi transferin <15%
b. Feritin serum <20 mg/l
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s Stain) pada
makrofag sumsum tulang, menunjukkan cadangan besi negative
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari selama 4 minggu disertai
kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
b. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan darah?
1. Pemeriksaan Diff. Count:
Prosedur
a. Seleksi area yangg paling baik untuk evaluasi pada sediaan darah
b. Dengan lensa objektif 10 x perhatikan bagian yang cukup tipis dan rata
susunan eritrositnya, penyebaran leukosit memenuhi syaratàjadikan
counting area
c. Dengan lensa objektif emersi (100 x), menilai morfologi trombosit,
eritrosit, leukosit
d. Mulai menghitung pada pinggir atas sediaan è pinggir bawah è kekanan è
pinggir atas lagi è dst
e. Lakukan terus sampai 100 sel leukosit, dihitung menurut jenisnya
f. Catat juga kelainan morfologi pada leukosit
g. Jumlah setiap jenis sel dinyatakan dalam persen
h. Laporkan jika terdapat eritrosit berinti per 100 leukosit
i. hitung jenis dilakukan dengan mengelompokkan tiap 10 sel yang dihitung,
sampai terdapat 100 sel ke dalam Schilling Hemogram.
Melaporkan Hitung Jenis
Mulai dengan sel basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit
dan monosit (bisa ditulis dari kiri ke kanan)
Nilai normal hitung jenis pada dewasa
21 | P a g e
- Basofil : 0 - 1 %
- Eosinofil : 1 – 3 %
- Neutrofil batang : 2 – 6 %
- Neutrofil segmen : 50 – 70 %
- Limfosit : 20 – 40 %
- Monosit : 2 – 8 %
` Hasil :
Basofilia: leukemia granulositik kronik
Eosinofilia: asma bronkial, askariasis
Neutrofilia: inf bakteri, intoksikasi
Limfositosis: inf virus
Monositosis: malaria
2. Pemeriksaan LED
a. Metode Westergren
PRINSIP : darah dengan anticoagulan, bila didiamkan dalam suhu kamar
maka eritrosit akan mengendap pada dasar tabung, bagian atas tertinggal
plasma
Alat : Tabung westergren, Pipet ukur, Rak LED dan Timer
Bahan : darah dan Na Sitrat 3,8 %
Prosedur :
Buat pengenceran :
• Darah vena 1,6 ml ( 2 ml ) + Na Citrat 3,8% 0,4 ml ( 0,5 ml ),Campur
rata
• Isap campuran darah dg Na Citrat dg pipet westergren sampai garis 0
• Letakkan dlm rak LED posisi tegak lurus, diamkan 1 jam
• Periksa tinggi plasma dan buffy coat pd jam 1 dan ke 2
Range normal :
• Laki – laki : < 10 mm/jam
• Wanita : < 20 mm/jam
b. Metode Wintrobe
Prinsip : darah dengan anticoagulan, bila didiamkan dalam suhu kamar
maka eritrosit akan mengendap pada dasar tabung bagian atas tertinggal
plasma
Alat : Tabung westergren, Pipet ukur, Rak LED dan Timer
Bahan : darah dan Na Sitrat 3,8 %
22 | P a g e
Prosedure :
• Sampel yang digunakan berupa darah EDTA atau darah Amoniumkalium
oksalat. Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.
• Sampel dimasukkan ke dalam tabung Wintrobe menggunakan pipet
Pasteur sampai tanda 0. Jagalah sampai ada gelembung atau busa.
• Letakkan tabung dengan posisi tegak lurus.
• Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm menurunnya eritrosit.
3. Pemeriksaan hemoglobin metode sahli
Prinsip: Darah ditambah asam (HCL 0,1 N) akan membentuk asam hematin
yang berwarna coklat. Warna coklat yang terbentuk dibandingkan dengan
warna standar.
Bahan pemeriksaan:
Darah kapiler atau darah vena dengan antikoagulan EDTA.
Alat dan reagen
1. Hemoglobinometer Sahli
2. HCL 0,1 N
3. aquadest.
Cara pengambilan darah kapiler (perifer):
• Ujung jari atau lateral tumit (untuk bayi) didesinfeksi dengan kapas
alkohol 70%
• Biarkan kering
• Tusuk dengan lanset ± 3 mm, penusukan tegak lurus dengan garis kulit
• Darah yang pertama keluar (tanpa ditekan) dibersihkan dengan kapas
kering steril
Cara kerja:
• Masukkan 5 tetesHCl 0,1 N ke dalam tabung Sahli
• Isap 20 ml darah dengan pipet Sahli, bersihkan darah yang menempel
pada bagian luar pipet.
• Masukkan darah tersebut dengan hati-hati ke dalam tabung Sahli yang
sudah berisikan HCl 0,1 N.
• Bilas darah dalam pipet dengan cara menghisap dan mengeluarkan HCl
0,1 N beberapa kali.
• Biarkan 4 menit agar hemoglobin berubah menjadi asam hematin.
23 | P a g e
• Encerkan larutan dengan aquadest tetes demi tetes, sambil dikocok tiap
kali menembahkan aquadest, sampai warna larutan sama dengan warna
standar (pembanding).
• Hasil harus dibaca dalam waktu 5 menit
• Tinggi bagian bawah meniskus menunjukkan kadar hemoglobin (g/dl)
4. Menghitung Jumlah WBC (Leukosit)
Cara:
1. Isap darah kapiler dengan pipet leukosit sampai tanda 0.5, hapuslah
kelebihan darah yang melekat di ujung luar pipet.
2. Isap ke dalam pipet (1) cairan Turk sampai tanda 11, sambil memutar-
mutar pipetnya, lepaskan karetnya.
3. Kocok pipet 10-15 detik dalam posisi horizontal sambil diputar-putar.
4. Kocok lagi selama 3 menit, buanglah 4 tetesan yang pertama lalu
diisikan ke dalam kamar hitung yang bersih, biarkan 2-3 menit.
5. Hitung di bawah mikroskop dengan:
Kamar hitung Improved Neubauer:
Leukosit : dengan HPF dalam 64 kotak kecil atau dalam 4 x 16
kotak kecil dan hasilnya dikalikan dengan 50
5. Menghitung Jumlah Trombosit
Cara:
1. Isap cairan Rees-Ecker ke dalam pipet eritosit sampai garis tanda 1 dan
buanglah lagi cairan itu
2. Isap darah kapiler dengan pipet eritrosit sampai garis tanda 0.5 dan
cairan Rees-Ecker sampai tanda 101, segera kocok selama 3 menit.
3. Teruskan tindakan-tindakan seperti untuk menghitung eritrosit dalam
kamar hitung
4. Biarkan kamar hitung yang telah diisi dengan sikap datar dalam cawan
petri yang tertutup selama 10 menit agar trombosit mengendap.
5. Hitunglah semua trombosit dalam seluruh bidang besar di tengah-
tengah memakai lensa objektif besar.
6. Jumlah itu dikali 2.000 menghasilkan jumlah trombosit per ul darah
Mekanisme abnormal
24 | P a g e
Adanya infeksi kronis atau inflamasi menyebabkan respon sumsum tulang untuk
meningkatkan produksi leukosit, dan terjadi peningkatan LED. Diff count nya shif
to the right berarti terjadi infeksi kronis
Menghitung indeks eritrosit
1) Mean corpuscular volume (MCV) atau volume eritrosit rerata (VER)
nilai rujukan: 82-92 femtoLiter (FL)
MVC = nilai hematokrit x 10 fL
jumlah eritrosit
2) Mean corpuscular hemoglobin (MCH) atau hemoglobin eritrosit rerata (HER)
nilai rujukan: 27-31 pikogram (pg)
MCH = kadar hemoglobin x 10 pg
jumlah eritrosit
3) Mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) atau konsentrasi
hemoglobin reitrosit rerata (KHER)
nilai rujukan 31-36 g/dL
MCHC = kadar hemoglobin x 100 g/dL
nilai hematokrit
Hematokrit
Makrometode menurut Wintrobe
1. Tabung Wintrobe yang sudah dipakai pada (b) diputar selama 10 menit dengan
kecepatan 3000 rpm
2. Perhatikan: - berapa hematokrit
- buffy coat
- plasma untuk icterus index
6. Gambaranapusandarahtepi
a. Bagaiman interpretasi dari gambaran apusan darah tepi (mekanisme abnormal)
1. Eritrosit
a. Mikrositik
Tidak normal.Mikrositik merupakan keadaan dimana ukuran eritrosit lebih
kecil dari normalnya dan pada apusan darah sering tampak hipokrom serta
MCV yang dibawah normal (<83fl).Hal yang paling sering menyebabkan
keadaan mikrositik ini adalah defisiensi besi.Kurangnya atau tidak adanya
perbekalan besi di sumsum tulang, dapat membantu mendiagnosis
25 | P a g e
penyakit selain mikrositik.Pengukuran serum feritin, konsentrasi besi,
kelarutan transferrin, kapasitas pengikat besi, dan, reseptor transferin
serum dapat menghindari terjadinya kekurangan pada sumsum tulang.
Tubuh akan mengompensasi kekurangan besi dengan cara mendaur ulang
dari perbekalannya atau gudangnya. Namun, walaupun kapasitas absorbs
besi dapat meningkatkan perbekalan besi tubuh atau aktivitas eritropoiesis,
respon ini tidak berdampak besar atau dapat dikatakan minimal. Pada
keadaan kekurangan besi yang signifikan memerlukan pergantian oleh
suplemen besi.
b. Hipokrom
Tidak normal.Hipokrom merupakan keadaan eritrosit yang tampak
pucat.Hal ini dapat disebabkan oleh konsentrasi Hb yang turun akibat
kegagalan pembentukan heme pada keadaan defisiensi besi atau dapat
disebabkan kegagalan pembentukan globin yang disebabkan oleh
thalassemia.Namun pada kasus ini kemungkinan besar diakibatkan oleh
kegagalan pembentukan heme.
c. Anisopoikilositosis
Tidak normal.Ini menandakan adanya variasi ukuran dan bentuk pada
eritrosit. Perubahan bentuk tiap sel darah merah dapat disebabkan berbagai
hal yang secara lengkap akan dibahas di Learning Issue – Eritropoiesis dan
kelainannya.
d. Cigar-shaped cell
Tidak normal.Merupakan salah satu morfologi abnormal dari ertitrosit
yang berbentuk elips atau lonjong, maka bentuk ini juga siebut sebagai
elliptocyte dan ovalocyte.Hal ini disebabkan oleh defisiensi besi.
e. Pencil cell
Tidak normal.Pencil cell juga keadaan bentuk abnormal dari eritrosit,
dimana bentuk ini merupakan subtype dari cigar-shape cell yang memiliki
bentuk elips dan oval juga.
2. Leukosit
Jumlah cukup (Normal)
Eosinophilia
Tidak normal.Normalnya jumlah dari eosinophil adalah kurang dari 7% dari
total leukosit yang beredar. Yang paling sering menyebabkan eosinophilia
adalah alergi atau parasitosis.Pada kasus ini, eosinophilia diakibatkan oleh
26 | P a g e
parasite yang masuk ke dalam tubuh dan memang secara umum di dunia yang
berkembambang ini parasite menjadi penyebab eosinofilia. IgE memediasi
produk eosinophil yang diinduksi oleh senyawa yang dilepaskan oleh basophil
dan mast cell, dan termasuk factor eosinophil kemotaktik dan anafilaksis,
leukotriene B4, melengkapi kompleks (C5-C6-C7), interleukin 5, dan histamin.
c. Trombosit
Jumlah cukup (Normal)
Penyebaran merata (Normal)
Morfologi normal (Normal)
b. Bagaimana cara pemeriksaan gambaran apusan darah tepi
a. Eritrosit
- Hisap darah kapiler, darah EDTA atau darah oksalat sampai tanda 0,5
- Hapus kelebihan darah di ujung pipet
- Masukkan ujung pipet ke dalam laurat hayem dengan sudut 45, tahan agar
tetap di tanda 0,5. Isap larutan hayem hinga mencapai tanda 101. Jangan
sampai ada gelembung udara.
- Tutup ujung pipet dengan ujung jari lalu lepaskan karet penghisap
- Kocok selama 15-30 detik
- Letakkan di dalam kamar hitung dengan penutup terpasang secara
horizontal di atas meja
- Kocok pipet selama 3 menit, jaga agar cairan tak terbuang dari pipet
- Buang semua cairan di batang kapiler (3-4 tetes) dan cepat sentuhkan ujung
pipetke kamar hitung dengan menyinggung pinggir kaca penutup dengan
sudut 30. Biarkan kamar hitung terisi cairan dengan daya kapilaritas.
- Biarkan 2-3 menit supaya eritrosit mengendap
- Gunakan lensa obyektif mikroskop dengan perbesaran 40x, focus diarahkan
ke garis-garis bagi dalam bidang besar yang tengah.
- Hitunglah eritrosit di 5 bidang sedang yang masing-masing tersusun atas 16
bidang kecil, dari kiri atas ke kanan, ke bawah lalu ke kiri, ke bawah lalu ke
kiri dan seterusnya. Untuk sel-sel pada garis, yang dihitung adalah garis kiri
dan atas.
- Jumlah eritrosit adalah jumlah sel x 10000
b. Leukosit
27 | P a g e
- Kamar hitung dipersiapkan, gelas penutup diletakkan diatas kamar hitung
sehingga menutupi kedua daerah penghitung
- Darah dengan antikoagulansia diisap dengan pipet leukosit sampai tanda
0,5. Bila melampaui batas darah dikeluarkan dengan menyentuh-nyentuh
ujung pipet dengan ujung jari. Bagian luar pipet dihapus dengan kertas
tissue.
- Segera larutan pengencer diisap sampai tanda 111. Selama penghisapan
pipet harus diputar-putar melalui sumbu panjangnya supaya daerah dengan
larutan hayem tercampur dengan baik.
- Kedua ujung pipet ditutup dengan ibu jari dan jari tangah lalu dikocok
dengan gerakan tegak lurus pada sumbu panjangnya selama 2 menit.
- Larutan pengencer yang terdapat dibagian dalam kapiler dan yang
tidakmengandung darah dibuang dengan meneteskan sebanyak 3 tetes.
- Larutan darah dimasukkan kedalam kamar hitung dengan
menempatkanujung pipet pada tepi gelas penutup. Karena daya kapiler
maka larutandarah akan mengalir masuk antara gelas penutup dengan
kamar hitung.Larutan darah tidak boleh terlalu banyak.
- Kamar hitung yang sudah berisi larutan darah diletakkan
dibawahmikroskop dan penghitungan dilakukan dengan obyektif 10x
- Dilakukan penghitungan sebagai berikut :Dihitung jumlah sel darah yang
terdapat pada 16 kotak kecilSel yang menyinggung garis batas sebelah kiri
dan sebelah bawah tidakdihitung. Cara menhitung sistematik dengan
dilakukan kalkulasi sebagai berikut : jumlah leukosit pada 16 kotak kecil x
4 x 50
c. Trombosit
- Hisap darah EDTA dng pipet lekosit → sampai tanda 0,5
- Hapus kelebihan darah dng kertas tisu
- Hisap lar. Rees Ecker sampai tanda 101
- Kocok darah dan larutan ± 2-3 menit
- Buang lar 3-4 tetes → masukan kedalam kamar hitung
- Hitung trombosit dengan mikroscop → lap 1,3,7,9 → hasil x 500
- Nilai Normal: 150.000-450.000 / mm
c. Jenis-jenis anemia
1. Anemia normositik normokrom
28 | P a g e
SDM memiliki ukuran dan bentuk yang normal serta mengandung jumlah
hemoglobin hemoglobin normal mean corpuscular volume (MCV) dan mean
corpuscular hemoglobin concentration normal (MCHC) normal atau normal
rendah. Penyebab-penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut,
hemolysis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin,
gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang, dan penyakit-penyakit infiltaratif
metastatic pada sumsung tulang.
2. Anemia makrositik normokrom
SDM lebih besar dar normal tetapi normokromatik karena konsentrasi
hemoglobin normal (MCV meningkat; MCHC normal).Keadaan ini
disebabkan oleh terganggunya atau terhentinya sintesis asam
deoksiribonukleat (DNA) seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 atau
asam folat atau keduanya.Anemia makrositik normokrom dapat juga terjadi
pada kemoterapi kanker karena agen-agen mengganggu sintesis DNA.
3. Anemia mikrositik hipokrom
Mikrositik berarti sel kecil, dan hipokromatik berarti pewarnaan yang
berkurang.Karena warna berasal dari hemoglobin, sel-sel ini mengandung
hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal (penurunan MCV dan
MCHC).Keadaan ini umumnya mencerminkan insufisiensi sintesis heme atau
kekurangan zat besai, seperti pada anemia defisiensi zat besi, keadaan
sideroblastik, dan kehilangan darah kronis, atau gangguan sintesis globin,
seperti pada thalassemia.
4. Apa hubungan infeksi parasite dengan keadaan eritrosit?
Infeksi parasite berupa cacing tambang kurang berhubungan dengan keadaan
eritrosit yang abnormal. Keadaan eritrosit yang abnormal seperti mikrositik
hipokrom, anisopoikilositosis, cigar-shaped cell, pencil cell lebih berhubungan
dengan keadaan gizi dari Adi.
Enzim penentu kecepatan yaitu enzim ferokelatase memerlukan besi untuk
menghentikan sintesis heme.Padahal besi pada anemia defisiensi besi tidak
tersedia sehingga pembelahan sel tetap berlanjut selama beberapa siklus tambahan
namun menghasilkan sel yang lebih kecil (mikrositik).Hal ini ditandai dengan
menurunnya MCV (mean corpuscular volume).Jika terjadi hipokrom dan
mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel
29 | P a g e
cincin (ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pencil (pencil
cell atau cigar cell).Kadang-kadang dijumpai sel target.
5. Bagaimana eritropoiesis?
Pembentukan eritrosit (eritropoiesis) merupakan suatu mekanisme umpan balik. Ia
dihambat oleh peningkatan kadar eritrosir bersirkulasi dan dirangsang oleh
anemia. Ia juga dirangsang oleh hipoksia dan peningkan aklimatisasi ke tempat
tinggi. Eritropoiesis dikendalikan oleh suatu hormon glikoprotein bersirkulasi
yang dinamai eritropoietin yang terutama disekresikan oleh ginjal.
30 | P a g e
6. Bagaimana hubungan infeksi parasite dengan defisiensi besi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada
dinding usus dan menghisap darah. Pendarahan terjadi akibat proses penghisapan
aktif oleh cacing dan juga akibat perembesan darah dari sekitar tempat hisapan.
Faifng berpindah tempat menghisap sekitar 6 jam, pendarahan ditempat yang
ditinggalkan segera berhenti dan luka menutup kembali dengan cepat karena turn
over sel epitel usus sangat cepat. Kehilangan darah juga dapat terjadi akibat
adanya lesi pada usus halus karena penghisapan darah oleh cacing. Kejadian ini
akan bermanifestasi pada pemeriksaan besi dalam darah, dimana jumlahnya akan
menurun sebagai akibat terjadinya pendarahan terus menerus.
7. Bagaimana metabolisme besi dalam tubuh?
Besi hanya dapat masuk ke dalam mukosa apabila ia dapat bersenyawa dengan
apoferritin. Jumlah apoferritin yang ada dalam mukosa usus tergantung pada
kadar besi tubuh. Bila besi dalam tubuh sudah cukup maka semua apoferritin yang
ada dalam mukosa usus terikat oleh Fe menjadi Ferritin.Dengan demikian tidak
ada lagi apoferitin yang bebas sehingga tidak ada besi yang dapat masuk ke dalam
mukosa. Besi yang ada dalam mukosa usus hanya dapat masuk ke dalam darah
bila ia berikatan dengan β-globulin yang ada dalam plasma. Gabungan Fe dengan
β-globulin disebut ferritin.
31 | P a g e
Apabila semua β-globulin dalam plasma sudah terikat Fe” (menjadi feritin) maka
Fe++ yang terdapat dalam mukosa usus tidak dapat masuk ke dalam plasma dan
turut lepas ke dalam lumen usus sel mukosa usus lepas dan diganti dengan sel
baru.Hanya Fe++ yang terdapat dalam transferrin dapat digunakan dalam
eritropoesis, karena sel eritoblas dalam sum-sum tulang hanya memiliki reseptor
untuk ferritin.
Kelebihan besi yang tidak digunakan disimpan dalam stroma sum-sum tulang
sebagai ferritin.Besi yang terikat pada β-globulin selain berasal dari mukosa usus
juga berasal dari limpa, tempat eritrosit yang sudah tua masuk ke dalam jaringan
limpa untuk kemudian terikat pada β-globulin (menjadi transferin) dan kemudian
ikut aliran darah ke sum-sum tulang untuk digunakan eritoblas membentuk
hemoglobin.Hemoglobin berfungsi sebagai pengangkut oksigen ke seluruh
jaringan tubuh, oleh karena itu apabila terjadi kekurangan hemoglobin
mengakibatkan anemia.
7. Feses
a. Interpretasi dari pemeriksaan feses?
Diagnosa dibuat dengan menemukan telur cacing pada contoh tinja. Tinja harus
diperiksa dalam waktu beberapa jam setelah buang air besar. Jika dalam beberapa
jam tinja dibiarkan dahulu, maka telur akan menetas menjadi larva.
32 | P a g e
Darah samar (Hema Test) positif
Normal berwarna hijau
Positif berwarna hijau hingga biru
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya pendarahan saluran cerna,
pendarahan yang besar (>150ml) dapat langsung diketahui secara makroskopik,
tapi bila pendarahan <100ml/hari maka feses akan terlihat normal. Dengan
pemeriksaan in lesi yang masih asimtomatis atau ringan atau lokal dapat dideteksi
lebih cepat. Dalam kasus ini terjadi perdarahan pada pasien. Hasil yang positif
menunjukkan adanya pendarahan yang terjadi di traktus gastrointestinal
b. Indikasi dari pemeriksaan feses?
Adanya diare dan konstipasi
Adanya darah dalam tinja
Adanya lendir dalam tinja
Adanya ikterus
Adanya gangguan pencernaan
Suspect penyakit GI
c. Cara melakukan pemeriksaan feses?
A. Pemeriksaan makroskopis
Macam pemeriksaan
Pemeriksaan makroskopis tinja meliputi : warna, bau, konsistensi, lendir, darah,
nanah, parasit, serta makanan yang tidak tercerna.
• Warna.
Warna tinja yang dibiarkan pada udara menjadi lebih tua karena terbentuknya
lebih banyak urobilin. Selain urobilin yang normal ada, warna tinja dipengaruhi
juga oleh jenis makanan, kelainan dalam saluran usus dan juga oleh obat-obatan
yang diberikan. Darah terutama yang berasal dari usus bagian bawah akan
33 | P a g e
menyebabkan tinja berwarna merah, juga diet yang mengandung bit. Perdarahan
dari traktus GI atas akan menyebabkan tinja berwarna hitam dan konsistensinya
seperti ter. Bismut, besi juga dapat menyebabkan tinja berwarna hitam. Tinja
berwarna hijau disebabkan karena makan bayam atau sayur-sayuran hijau yang
lain, calomel atau mungkin disebabkan adanya bilirubin dalam tinja pada
penderita dengan antibiotika per oral. Warna abu-abu mungkin disebabkan karena
tidak adanya urobilin dalam saluran makanan dan hal ini didapat pada ikterus
obstruktif (tinja akholis) dan juga setelah pemakaian garam barium pada
pemeriksaan radiologi.
• Bau.
Bau normal tinja disebabkan oleh indol, sekatol dan asam butirat. Bau yang busuk
terjadi bila di dalam usus terjadi pembusuakan lainnya, yaitu protein yang tidak
dicerna dan dirombak oleh kuman-kuman, pada keadaan tinja akan menjadi lindi.
Bau tinja dapat berbau asam dan tengik, keadaan ini disebabkan peragian
(fermentasi) zat-zat gula yang tidak tercerna oleh karena diare misalnya. Disini
tinja akan bereaksi asam.
• Konsistensi.
Tinja normal agak lunak dengan memiliki bentuk. Bila terjadi diare tinja menjadi
encer. Tinja yang seperti bubur, berbau busuk, berwarna abu-abu dan
mengambang di air karakteristik untuk steatorrhoe.Pada konstipasi kadang
dibarengi dengan tinja yang kecil dan keras (skibala). Konstipasi paling sering
diakibatkan oleh ‘irritable colon syndrome’ dari pasien dengan anxietas atau
pemakaian laxantia yang berlebihan. Tinja yang berbentuk seperti pita
kemungkinan disebabkan oleh spastik usus, penyempitan rektal atau striktur.
• Lendir.
Normal tidak terdapat lendir pada tinja, adanya lendir berarti abnormal dan harus
dilaporkan. Lendir yang transparan (tembus cahaya), lengket pada permukaan
tinja terdapat pada spastik kolitis atau mukous kolitis. Hal ini kita dapatkan pada
penderita dengan kelainan emosional dan mungkin disebabkan karena ketegangan
yang berlebihan. Lendir yang bercampur darah pada tinja menunjukkan adanya
keganasan (neoplasma) atau proses peradangan pada rektal canal. Adanya lendir
yang bercampur nanah dan darah, kita jumpai pada penderita dengan : ulcerative
colitis, disentri basiler, diverticulitis ulcerativa dan intestinal TBC. Pada penderita
dengan vilous adenoma dari colon dalam tinjanya terdapat lendir yang sangat
banyak, mengental bisa mencapai 3-4 L/ 24 jam.
34 | P a g e
• Darah.
Adanya darah perlu diperhatikan, apakah darah segar (merah muda), coklat, atau
hitam. Bercampur dengan tinja ataukah pada permukaan luar saja. Makin
proksimal terjadinya perdarahan, makin bercampurlah darah dengan tinja dan
makin hitam warnanya. Jumlah darah yang banyak bisa disebabkan oleh ulkus,
varises dlam esofagus, carcinoma, atau hemoroid.
• Nanah.
Pasien dengan kolitis ulseratif kronik dan disentri basiler yang kronis sering kali
tinjanya mengandung pus dalam jumlah yang cukup banyak dan untuk
memastikan penyebabnya perlu melakukan pemeriksaan mikroskopis. Hal yang
serupa akan kita dapati juga pada pasien dengan abses lokal, fistula yang
menghubungkan colon sigmoid dengan rektum atau anus. Pus yang banyak jarang
berhubungan amoebic colitis, justru hal ini dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis disentri amoeba. Pada gastroenteritis karena virus tidak ditemukan
adanya eksudat (pus) pada tinja yang encer.
• Parasit.
Parasit yang sering dilihat secara makroskopis ialah ascaris dan segmen-segmen
cacing pita, juga oxyuris vermicularis juga mungkin amoeba.
• Makanan yang tidak tercerna.
Makanan yang tidak tercerna yang sering kita lihat ialah yang berasal dari biji-
bijian dan serabut-serabut. Tetapi hal ini kurang bermakna (kurang memberi arti
diagnostik)
B. Pemeriksaan mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis terutama ditujukan untuk mencari protozoa dan telur
cacing. Sebelum pemeriksaan mikroskopis, lebih dulu dibuat suspensi tinja dari
salin (NaCl 0,9 %) yang dapat direaksikan dengan berbagai reagen untuk
membantu identifikasi. Dalam membuat preparat sebaiknya dibuat setipis
mungkin, sehingga unsur didalamnya jelas terlihat dan mudah dikenal.
Macam pemeriksaan
• Sel epitel.
Dalam keadaan normal dapat ditemukan sel-sel epitel yang berasal dari dinding-
dinding usus bagian distal. Adanya perangsangan dan peradangan dinding usus
menyebabkan sel epitel bertambah banyak.
• Makrofag.
35 | P a g e
Merupakan sel besar berinti satu yang mempunyai daya fagositosis, dalam
plasmanya sering dapat dilihat sel-sel lain seperti leukosit dan eritrosit. Dalam
preparat native tampak menyerupai amoeba tetapi tidak dapat bergerak. Pada
disentri amoeba yang kronis dengan infeksi sekunder ditemukan makrofag
bersama-sama leukosit.
• Eritrosit.
Dalam keadaan normal tidak ditemukan adanya eritrosit dalam tinja.
Ditemukannya eritrosit dalam tinja menunjukkan adanya pengeluaran darah yang
banyak atau adanya lesi yang berlokasi di usus bagian distal (colon, rectum, anus)
misal : pada disentri amoeba dan basiler, colitis ulserosa, hemoroid dan Ca dengan
ulserasi.
• Leukosit.
Leukosit akan lebih jelas dilihat dengan menambah satu tetes asam asetat 10 %
pada 1 tetes emulsi tinja pada obyek glass. Dalam keadaan normal hanya terlihat
dalam jumlah sedikit, jumlah leukosit yang meningkat akan dijumpai pada
disentri basiler, colitis ulserosa.
• Kristal.
Pemeriksaan ini tidak banyak bermakna. Dalam tinja normal sering dijumpai
adanya kristal Ca oxalat, triple phosphat dan asam lemak, tetapi semuanya kurang
berarti. Kristal Charcot Lyeden sering dijumpai pada ulcerative colon terutama
disentri amuba. Kristal hematoidin dijumpai pada post hemorhagi traktus
gastrointestinal, bentuk jarum belah ketupat dengan warna kekuningan.
• Sisa makanan.
Hampir selalu dapat ditemukan, bukanlah adanya melainkan jumlahnya yang
sering dihubungkan dengan sesuatu yang abnormal.
• Sel ragi.
Blastocystis hominis, necator americanus, ankylostoma duodenale, stringiloides
stercoralis, entrobius vermicularis mugkin didapatkan.
• Telur dan jentik cacing.
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda yang paling banyak dijumpai di
saluran cerna manusia. Terutama menyerang anak-anak dan hampir selalu
menyebabkan infeksi yang hebat. Diagnosa ditegakkan bila ditemukan adanya
telur cacing di dalam tinja atau bentuk dewasa kadang keluar lewat mulut
(muntah). Diagnosis ascariasis sudah bisa ditegakkan meskipun hanya dijumpai
satu cacing betina pada peparat apus tinja. Satu cacing betina akan menghasilkan
36 | P a g e
200.000 telur per hari dan akan menghasilkan paling sedikit 5 telur dalam satu
preparat apus yang berasal dari 2 mg tinja. Jumlah telur kurang dari 20 berarti
infeksi ringan dan lebih dari 100 berarti infeksi berat. Cacing tambang
merupakan nematoda yang sering menginfeksi usus kecil. Ada 2 tipe : necator
americanus dan ankylostoma duodenale, diagnosis ditegakkan bila ditemukan
telur yang khas dalam tinja dengan ukuran panjang 58-76 mikron dan lebar 36-40
mikron dengan kulit tipis. Enterobius vermicularis terutama hidup di lumen
caecum, diagnosis ditegakkan dengan ditemukan telur yang khas di daerah
perianal. Paling baik dengan ‘scotch tape’ sebab hanya sekitar 5-10 % yang dapat
didiagnosa dengan pemeriksaan tinja rutin. Sampel biasanya diambil pada malam
hari saat penderita tidur atau pagi hari sebelum mandi. Diagnosis perlu ditegakkan
dengan pemeriksaan berulang kali sampai ditemukan telur cacing, pemeriksaan
daerah anal sering ditemui bentuk cacing yang dewasa.
• Protozoa.
Lebih mudah ditegakkan dengan penambahan eosin 1-2 % atau lugol 1-2 %,
untuk identifikasi yang tepat dengan pulasan hematocilin (misal metode Heyden
Hain) atau pulasan trichome, baik untuk bentuk vegetatif maupun kista dapat
dilihat.
Analisis laboratorium
• Prinsip percobaan : untuk melihat elemen-elemen dalam tinja secara
mikroskopis.
• Sampel : tinjaa
• Alat-alat / instrumen : pipet tetes kapiler, obyek glass dan dek glass.
• Tata cara pemeriksaan:
Buat apusan setipis mungkin untuk mencari protozoa, telur cacing dipakai
larutan eosin atau lugol 1-2 % sebagai pengencer.
Untuk melihat leukosit dengan larutan asam asetat.
Untuk melihat unsur-unsur lain dengan larutan NaCl 0,9 %. Perbesaran 400x
untuk melihat eritrosit dan leukosit dan dengan perbesaran 100x untuk melihat
unsur-unsur yang lain.
C. Pemeriksaan kimia
Darah samar
Perdarahan ke dalam traktus gastointestinal dalam jumlah berapapun selalu
membahayakan dan tidak boleh dianggap remeh, meskipun hanya berasal dari lesi
yang kecil. Misal : hemoroid, fisura ani dan lain sebagainya. Obat-obatan
37 | P a g e
terutama salisilat, steroid, derivat rouwolfia, phenylbutason dapat menyebabkan
perdarahan gastrointestinal meski pada orang normal sekalipun. Terlebih pada
penderita kelainan gastrointestinal.
Kehilangan lebih dari 50-75 mL darah dari traktus gastrointestinal bagian
proksimal umumnya akan menyebabkan tinja berwarna merah hitam sampai hitam
dengan konsistensi seperti tir (melena).
Terjadinya melena yang terus menerus selama 2-3 hari sudah memberikan
petunjuk bahwa kehilangan darah paling sedikit 100 mL. Sesudah perdarahan
macam ini, maka pemeriksaan darah samar akan berhasil positif selama 5-12 hari
berturut-turut.
Tes yang paling sering dikerjakan utnuk menentukan adanya darah samar dalam
tinja tergantung dari penentuan aktifitas peroksidase/ oksiperoksidase dari eritrosit
termasuk hemoglobin.
Tes yang memakai indikator ini adalah Guayac test, orthotoluidine,
orthodinisidine serta benzidine test.
Dengan adanya peroksidase/ oksiperoksidase di dalam spesimen tinja dengan
penambahan hidrogen peroksida ke dalam tes tersebut, maka indikator tersebut
akan dioksidasi menjadi gugusan quinone yang berwarna biru (pada guayac test0
atau gugusan lain tergantung reagennya. Intensitas warna pada tes ini tergantung
pada aktifitas enzim dari hemoglobin atau peroksidase yang lain, adanya zat yang
menyebabkan perubahan warna, ada atau tidaknya inhibitor serta sensitifitas dari
serial tes tersebut. Diantara banyak tes yang disebutkan diatas yang paling peka
adalah benzidine test, tapi tes ini kurang disenangi selain sensitifitasnya terlalu
tinggi sehingga bisa mengacaukan hasil (banyak menghasilkan positif palsu) juga
benzidine bersifat carcinogenik. Tes yang kurang sensitif dan banyak dipakai saat
ini adalah Guayac test. Jika kehilangan darah melalui tinja sebanyak 2-2,5 mL
perhari akan menyebabkan tes darah samar positif (normal kehilangan darah lewat
tinja 0,5-2 ml perhari). Tes darah samar yang lebih peka lagi ialah tes ‘colon
albumin’ merupakan pemeriksaan baru untuk mendeteksi albumin serum manusia
dalam tinja berdasarkan prinsip imunologi. Dengan dideteksinya albumin dalam
serum secara tidak langsung berarti mendeteksi adanya darah dalam tinja tersebut.
Albumin serum manusia di tinja merupakan indikator perdarahan kolorektal
seperti pada beberapa penyakit saluran cerna termasuk penyakit keganasan.
Reagen ini menggunakan antibodi monoklonal terhadap albumin serum manusia
38 | P a g e
sehingga spesifitasnya tinggi. Biasanya dipakai untuk mendeteksi awal adanya
keganasan tersebut.
Hal yang perlu diperhatikan : adanya zat-zat yang mengganggu percobaan atau
menyebabkan positif / negatif palsu. Positif palsu disebabkan oleh : leukosit,
formalin, cuprioksida, yodium dan juga asam nitrat. Negatif palsu disebabkan
oleh : vitamin C dosis tinggi, antioksidan (menekan aktifitas peroksidase). Zat
yang mengganggu tes darah samar adalah preparat Fe, klorofil, ekstrak daging dan
senyawa merkuri.
Analisis laboratorium
• Metode : benzidine
• Prinsip percobaan : menggunakan sifat Hb sebagai peroksidase yang akan
menguraikan hidrogen peroksidase dan kemudian mengoksidir benzidine menjadi
oksibenzidine yang berwarna biru.
• Sampel.
• Bahan dan alat-alat yang digunakan :
Serbuk benzidine (kurang lebih sepucuk pisau)
3 mL asam asetat gracial
1 mL H2O2 3 %
Tabung reaksi beserta rak tabungnya
Lampu spiritus
Corong
Tata cara pemeriksaan :
• Buat emulsi tinja dengan NaCl 0,9 % sebanyak kira-kira 10 mL dan panasilah
hingga mendidih.
• Saring emulsi yang panas itu dan biarkan filtrat sampai dingin kembali.
• Masukkan dalam tabung reaksi lain sepucuk pisau benzidine basah
• Tambahkan 3 mL asam asetat grasial, kocok sampai benzidine larut dengan
meninggalkan beberapa kristal.
• Tambahkan 2 mL filtrat tinja dan campur.
• Tambahkan lagi 1 mL larutan H2O2 3 % dan campur.
• Hasil dibaca dalam waktu 5 menit (tidak boleh lebih lama)
Tata cara pembacaan hasil :
• Negatif (-) : tidak terjadiperubahan warna, samar-samar hijau.
• Positif (+) : hijau
• Positif (++) : hijau campur biru
39 | P a g e
• Positif (+++) : biru
• Positif (++++) : biru tua
d. Bagaimana Siklus hidup dari cacing tambang
1. Telur dikeluarkan dalam tinja
2. Dalam kondisi yang menguntungkan (kelembaban , kehangatan, temaram),
larva menetas dalam 1 sampai 2 hari. Larva rhabditiform ini tumbuh dalam
tinja dan/atau tanah,
3. Setelah 5 sampai 10 hari (mengalami dua kali molting) menjadi filariform
larva (L3/tahap ketiga) yang infektif.
4. Infektif larva dapat bertahan 3 sampai 4 minggu dalam kondisi lingkungan
yang menguntungkan. Pada kontak dengan inang manusia, larva menembus
kulit dan dibawa melalui pembuluh darah ke jantung dan kemudian ke paru-
paru. Mereka menembus ke dalam alveoli paru , naik cabang bronkial menuju
faring , dan tertelan.
5. Larva mencapai usus kecil, tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing
dewasa hidup di lumen usus kecil, menempel pada dinding usus. Sebagian
besar cacing dewasa dieliminasi dalam 1 sampai 2 tahun, tapi umur panjang
bisa mencapai beberapa tahun.
Beberapa larva A. duodenale, setelah penetrasi kulit host dapat menjadi dorman
(di usus atau otot). Selain itu, infeksi oleh A. duodenale mungkin juga terjadi
melalui oral dan transmammary route. Untuk N. americanus, bagaimanapun,
memerlukan fase migrasi transpulmonary.
40 | P a g e
6. Bagaimana Prevalensi dari cacing tambang
Menurut WHO diperkirakan bahwa lebih dari 1 miliar orang terinfeksi cacing
yang ditularkan melalui tanah, lebih dari 250 juta oleh Ascaris lumbricoides
(cacing gelang), 46 juta oleh Trichuris trichiura (cacing cambuk) dan 151 juta
oleh Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing tambang).
Di Indonesia jumlah penderita kecacingan cukup tinggi, terutama terjadi pada
penduduk pedesaan dan penduduk dengan tingkat sosioekonomi rendah. Dari
hasil pemeriksaan yang pernah dilakukan pada tahun 2008 di 8 provinsi yang ada
di Indonesia, ditemukan bahwa jumlah penderita kecacingan mempunyai rentang
yang cukup lebar, yaitu antara 2.7% di Sulawesi Utara sampai dengan 60.7% di
Banten. Di Indonesia prevalensi anak terinfeksi cacing pada tahun 2008 sekitar
24.1%, dimana distribusi prevalensi infeksi cacing disebabkan oleh Ascaris
lumbricoides (14.5%), Trichuris trichiura (13.9%), Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus (3.6%).
Berdasarkan Survei Seksi P2ML Sub Dinas P2P & PL, Dinas Kesehatan Tingkat I
Sumatera Utara pada anak Sekolah Dasar di tiga belas Kabupaten/Kota tahun
2003 sampai 2006 diperoleh hasil yaitu prevalensi Ascaris lumbricoides 39%,
Trichuris trichiura 24%, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus 5%
(90% dari infeksi cacing tambang disebabkan oleh Necator americanus) .
41 | P a g e
7. Penatalaksanaan dari kasus
a. Pengobatan Creeping eruption
• Cryotherapi dengan Liquid nitrogen atau Chlorethylenespray
• Thiabendazole oral
• Thiabendazole topikal selama 1 minggu
• Albendazole
Coulaud, dkk ( 1982 ) : dosis Albendazole 400 mgselama 5 hari hasil sangat
memuaskan
b. Pengobatan terhadap cacing dewasa
Gabungan Pyrantel pamoate dg Mebendazole,
cara :
Pagi hari : Pyrantel pamoate 10 mg / kg Bb dö tunggal
1 jam kemudian : Mebendazole 100 mg
Sore hari : Mebendazole 100 mg
Hari II &III : Mebendazole 2 x 100 mg
Hasil sangat memuaskan
Obat-obat lain yang dapat digunakan :
Pyrantel pamoate dö tunggal 10 mg / kg BB
Mebendazole 2 x 100 mg selama 3 hari
Albendazole
Anak usia > 2 th : 2 tablet ( 400 mg ) atau 20 ml suspense
Anak usia < 2 th : 1/2 dosis hasil cukup memuaskan
Konsumsi
Makanan bergizi & preparat besi mencegah anemia
Pencegahan
a. Pemberantasan sumber infeksi pada populasi
b. Perbaikan higiene dan sanitasi
c. Mencegah terjadinya kontak dengan larva
>Terapi
42 | P a g e
a. Terapi Kausal
Terapi terhadap penyebab perdarahan.Misalnya pengobatan cacing tambang.
Tujuan utama dari pengobatan infeksi STH adalah mengeluarkan semua cacing
dewasa dari saluran gastrointestinal.Obat yang banyak digunakan adalan
Mebendazole (dosis tunggal 500 mg)dan albendazole (dosis tunggal 400
mg).Benzimidazole bekerja menghambat polymerase dari microtubule parasit
yang menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Walupun
albendazole Idan mebendazole merupakan broad-spectrum terdapat perbedaan
penggunaanya dalam klinik. Kedua obat efektif terhadap ascaris dengan
pemebrian dosisi tunggal. Namun, untuk cacing tambang, mebendazole dosis
tunggal memberikan rate pengobatan rendah dan albendazole lebih efektif.
Sebaliknya albendazole dosis tunggal tidak efektif untuk kasus trichiuriasis.Obat
antihelmentik bensimidazole adalah embriotoksik dan teratogenik pada tikus yang
hamil, sehingga jangan digunakan untuk bayi dan selama kehamilan.Pyrantel
pamoate dan levamisole merupakan pengobatan alternative untuk infeksi Ascaris
dan cacing tambang, walaupun pyrantel pamoate tidak efektif untuk mengobati
trichiuriasis.
Akhir-akhir ini ditemukan resistensi terhadap obat-obat tersebut. Untuk itu
diperlukan cara pengendalian yang baru. Vaksinasi tetap merupakan metode yang
tepat untuk mengendalikan infeksi STH, karena dapat memotong penyebaran
infeksi STH. Vaksin cacing tambang yang mengandung antigen larva
Ancylosoma – secreted protein (ASP)2 efektif pada model hewan (anjing dan
tupai) dan studi epidemiologi menunjukan adanya efek pencegahan. Vaksin
cacing tambang Na ASP-2 saat ini masih dalam tahap pengembangan untuk dapat
digunakan pada manusia.
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacemen therapy ).
1. Terapi Beis Oral : efektif, lebih aman, dan dari segi ekonomi preparat ini lebih
murah. Preparat yang tersedia berupa
• Ferro Sulfat : merupakan preparat pilihan pertama karena paling murah dan
efektif, dengan dosis 3 x 200 mg, diberikan saat perut kosong [sebelum makan].
Jika hal ini memberikan efek samping misalkan terjadi mual, nyeri perut,
konstipasi maupun diare maka sebaiknya diberikan setelah makan/ bersamaan
dengan makan atau menggantikannya dengan preparat besi lain.
43 | P a g e
• Ferro Glukonat: merupakan preparat dengan kandungan besi lebih rendah
daripada ferro sulfat. Harga lebih mahal tetapi efektifitasnya hampir sama.
• Ferro Fumarat, Ferro Laktat.
Waktu pemberian besi peroral ini harus cukup lama yaitu untuk memulihkan
cadangan besi tubuh kalau tidak, maka anemia sering kambuh lagi. Berhasilnya
terapi besi peroral ini menyebabkan retikulositosis yang cepat dalam waktu kira-
kira satu minggu dan perbaikan kadar hemoglobin yang berarti dalam waktu 2-4
minggu, dimana akan terjadi perbaikan anemia yang sempurna dalam waktu 1-3
bulan. Hal ini bukan berarti terapi dihentikan tetapi terapi harus dilanjutkan
sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi tubuh.Jika pemberian terapi besi
peroral ini responnya kurang baik, perlu dipikirkan kemungkinan –
kemungkinannya sebelum diganti dengan preparat besi parenteral.Beberapa hal
yang menyebabkan kegagalan respon terhadap pemberian preparat besi peroral
antara lain perdarahan yang masih berkelanjutan (kausanya belum teratasi),
ketidak patuhan pasien dalam minum obat (tidak teratur) dosis yang kurang,
malabsorbsi, salah diagnosis atau anemia multifaktorial.
2. Parenteral
Indikasi pemeberiaan besi parenteral : (1) intoleransi terhadap pemberian besi oral
; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah ; (3) gagngguan pencernaan seperti
colitis ulseratif yang dpat kambuh jika diberikan besi; (4) penyerapan besi
terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi ; (5) kehilangan darah banyak pada
hereditary hemorrhagic teleangiectasia; (6) kebeutuhan besi yang cepat, misalnya
pada ibu kehamilan trisemester ketiga atau sebelum operasi; (7) difisiensi besi
fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik
atau anemia akibat penyakit krnik.
Ada beberapa contoh preparat besi parenteral: - Besi Sorbitol Sitrat (Jectofer)
Pemberian dilakukan secara intramuscular dalam dan dilakukan berulang. - Ferri
hidroksida-sucrosa (Venofer) Pemberian secara intravena lambat atau infus.
Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan dari pemberian besi parenteral
meliputi nyeri setempat dan warna coklat pada tempat suntikan, flebitis, sakit
kepala, demam, artralgia, nausea, vomitus, nyeri punggung, flushing, urtikaria,
bronkospasme, dan jarang terjadi anafilaksis dan kematian.
44 | P a g e
c. Pengobatan lain
1. Diet: perbaikan diet sehari-hari yaitu diberikan makanan yang bergizi dengan
tinggi protein dalam hal ini diutamakan protein hewani.
2. Vitamin C: pemberian vitamin C ini sangat diperlukan mengingat vitamin C ini
akan membantu penyerapan besi. Diberikan dengan dosis 3 x 100mg.
3. Transfusi darah: pada anemia defisiensi besi ini jarang memerlukan transfusi
kecuali dengan indikasi tertentu.
PENCEGAHAN
1. Penyuluhan kesehatan masyarakat tentang kebersihan lingkungan tempat
tinggal dan higiene sanitasi masyarakat yang tingkat pendidikan dan faktor sosial
ekonominya yang rendah yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang
pemakaian jamban terutama di daerah pedesaan, atau daerah yang terpencil
2. Menganjurkan supaya memakai alas kaki terutama ketika keluar rumah,
membiasakan cuci tangan pakai sabun sebelum makan.
3. Penyuluhan gizi yaitu penyuluhan yang ditujukan kepada masyarakat pedesaan
mengenai gizi keluarga, yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung zat besi terutama yang berasal dari protein hewani,yaitu daging dan
penjelasan tentang bahan –bahan makanan apa saja yang dapat membantu
penyerapan zat besi dan yang dapat menghambat penyerapan besi.
4. Untuk anak sekolah dilakukan melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yang
melibatkan murid, guru dan orang tua dengan cara mensosialisasikan tentang cara
hidup sehat yaitu cuci tangan sebelum makan , makan makanan yang mengandung
zat besi.
5. Pemberian suplementasi besi pada ibu hamil dan anak balita. Pada ibu hamil
diberikan suplementasi besi oral sejak pertama kali pemeriksaan kehamilannya
sampai post partum, sedangkan untuk bayi diberikan ASI dan pemberian sayur,
buah/ jus buah saat usia 6 bulan.
Selain itu dilakukan upaya pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber
perdarahan kronik, yang paling sering terjadi didaerah tropik.
45 | P a g e
IV. KERANGKA KONSEP
46 | P a g e
47 | P a g e
V. SINTESIS MASALAH
1. Cacingtambang
Infeksi cacing usus berpengaruh terhadap pemasukan, pencernaan, penyerapan, serta
metabolisme makanan, yang dapat berakibat hilangnya protein, karbohidrat, lemak,
vitamin dan darah dalam jumlah yang besar. Juga dapat menimbulkan ganguan respon
imun, menurunnya plasma insulin like growth factor (IGF)-1, kadar serum tumor
necrosis factor a (TNF) meningkat, konsentrasi rerata hemoglobin rendah, sintesis
kolagen menurun. Disamping itu, juga menimbulkan berbagai gejala penyakit seperti
anemi, diare, sindroma disentri dan defisiensi besi.
Infeksi cacing tambang adalah penyakit infeksi yang disebabkan Ancylostoma
duodenale/Necator americanus. Kedua spesies di atas dikenal dengan hookworm.
Ancylostoma duodenale ditemukan di Eropa, Afrika Utara, dan Asia utara. Necator
americanus terdapat di kawasan barat dunia dan Afrika tengah. Kedua spesies terdapat
di negara tropis, terutama Asia tenggara. Spesies lain yang dapat menyebabkan
penyakit tetapi jarang adalah Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma canum, dan
Ancylostoma malayanum.
Penyakit ini umum terjadi di daerah tropis dan subtropis. Gejala klinis tergantung pada
jumlah cacing yang menyerang usus, diperlukan paling sedikit 500 cacing untuk
menimbulkan gejala klinis dan anemia pada dewasa. Bila jumlah cacing sedikit maka
gejala klinis tidak tampak sehingga disebut infeksi asimtomatik atau infeksi tanpa
gejala klinis. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus menginfeksi kurang
lebih 576-740 juta orang dan menyebabkan anemia pada 10% orang yang terinfeksi.
Pada tahun 2005, WHO memperkirakan 198 juta orang di kawasan Sub Sahara, Afrika
terinfeksi, 149 juta orang terinfeksi di kawasan Asia timur dan Pasifik, 71 juta di
India, 59 juta di Asia selatan, 50 juta di Amerika latin dan Karibia, 39 juta di Cina, dan
10 Juta di Timur Tengah dan Afrika utara. Infeksi berhubungan erat dengan
kemiskinan, sanitasi yang buruk, konstruksi rumah yang buruk, dan kurangnya akses
untuk mendapat pelayanan kesehatan.
GEJALA
Orang dewasa membawa jumlah cacing yang lebih banyak daripada anak-anak
sehingga lebih berisiko terkena penyakit. Wanita muda, terutama wanita hamil, dan
buruh paling rentan terkena anemia. Sekitar 30-54% anemia sedang hingga berat yang
terjadi pada wanita Asia dan Afrika disebabkan infeksi cacing tambang. Anemia berat
pada anak menghambat pertumbuhan dan perkembangan serta mempengaruhi
kecerdasan.
48 | P a g e
Gejala klinis awal berbanding lurus dengan jumlah cacing yang menginfeksi. Gejala
klinis yang dapat terjadi adalah :
• Rasa gatal di kaki (ground itch) atau gatal di kulit tempat masuknya cacing;
• Larva cacing di paru-paru dapat menimbulkan gejala batuk, dahak disertai
darah, kadang-kadang pada infeksi berat dijumpai gejala seperti radang paru-paru,
yaitu disertai demam dan badan lemas;
• Cacing menjadi dewasa pada usus halus sehingga menimbulkan gejala rasa
tidak enak di perut, kembung, sering buang angin, mual, muntah, dan diare. Gejala
pada usus halus ini terjadi 2 minggu setelah cacing masuk melalui kulit;
• Anemia akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing. Gejala anemia
antara lain lemah badan, pusing, atau terasa berdebar-debar, kuku tampak pucat dan
permukaan kuku aga melekuk ke dalam, dan sesak napas.
Komplikasi lain pada penyakit ini adalah radang kulit (dermatitis) yang berat terutama
bila penderita sensitif. Anemia berat dapat mengganggu pertumbuhan, perkembangan
mental, dan gagal jantung.
Diagnosis pasti penyakit ini adalah dengan ditemukannnya telur cacing tambang
dalam tinja pasien. Kadang-kadang didapatkan darah dalam tinja. Selain dalam tinja,
pemeriksaan dahak juga dapat menemukan adanya larva. Peningkatan jenis sel darah
putih eosinofil akan tampak pada bulan pertama infeksi cacing ini.
PENYEBAB
Ancylostoma duodenale dan Necator americanus adalah cacing berbentuk bulat
(roundworms) yang panjangnya berkisar antara 5-13 mm. Cacing betina berukuran
lebih panjang dan lebih besar dari cacing jantan. Cacing jantan mempunyai alat
perkembangbiakan yang menonjol di bagian belakang tubuhnya. Cacing dapat
berwarna abu-abu keputihan atau merah muda dengan kepala agak menekuk ke arah
tubuh. Lekukan inilah yang membentuk seperti kait (hook) maka cacing ini disebut
hookworms. Necator americanus berukuran sedikit lebih kecil daripada Ancylostoma
dan bentuk kait lebih jelas pada Necator americanus.
Cacing betina yang menginfeksi usus mamalia mengeluarkan ribuan telur setiap
harinya dan telur-telur tersebut dikeluarkan melalui tinja. Mamalia yang berperan
sebagai inangnya adalah anjing, kucing, maupun manusia. Telur akan menetas 1-2 hari
pada tanah berpasir lembab lalu menjadi larva (rhabditiform) yang berganti lapisan
kulit dua kali (5-10 hari) sebelum berkembang menjadi larva stadium ketiga
(filariform) yang dapat bertahan hidup di tanah selama 3-4 minggu. Larva stadium
49 | P a g e
ketiga berukuran 500-700 milimeter dan mampu menembus kulit normal dengan
cepat.
Larva biasa menembus kulit telapak kaki ataupun kulit tangan yang kontak dengan
tanah yang mengandung larva. Transmisi larva ke kulit terjadi pada kontak tanah yang
mengandung larva hidup dengan kulit paling sedikit 5 menit. Penetrasi larva pada kulit
menimbulkan rasa gatal.
Larva menembus kulit dengan membuat lubang kecil dan menembus dinding
pembuluh darah sehingga terbawa melalui peredaran darah ke jantung lalu ke paru-
paru. Migrasi larva pada paru-paru lalu naik ke atas hingga pangkal tenggorokan dapat
menyebabkan refleks batuk dan larva tertelan ke saluran cerna. Di saluran cerna larva
tumbuh menjadi cacing dewasa di usus halus walaupun ada beberapa larva yang tetap
dormant (tidak aktif) dan tidak tumbuh menjadi cacing dewasa. Di usus halus inilah
mereka menempel pada selaput lendir usus dan makan dari pembuluh darah kecil yang
terdapat pada selaput lendir usus. Hal ini menyebabkan anemia bila jumlah cacing
banyak. Cacing betina dewasa menghasilkan telur dalam waktu kurang lebih 5 minggu
setelah cacing menembus kulit. Kebanyakan cacing dewasa hidup 1-2 tahun tetapi ada
juga yang dapat hidup beberapa tahun.
Setiap cacing spesies Necator menghisap 0,03 ml darah per hari sementara
Ancylostoma menghisap 0,2 ml darah per hari. Gejala anemia selain tergantung
jumlah cacing juga dipengaruhi asupan zat besi. Pada orang yang kekurangan asupan
zat besi jumlah cacing sebanyak 40 cacing saja dapat menimbulkan anemia.
Infeksi cacing tambang terjadi pada manusia yang sering kontak dengan tanah di mana
penggunaan pupuk kandang atau tinja manusia dibuang di tanah.
PENGOBATAN
Perawatan umum pada pasien dilakukan dengan memberikan nutrisi yang baik, protein
dan vitamin yang cukup serta suplemen zat besi diberikan bila terdapat anemia.
Pengobatan spesifik adalah memberikan obat cacing. Obat cacing terpilih adalah
Albendazol dan Mebendazol yang dapat memberikan kesembuhan 90-95% terutama
pada infeksi cacing tambang pada anak-anak dan mengurangi jumlah telur hingga
90%. Pada infeksi yang disebabkan Ancylostoma, Tetrakloretilen adalah obat terpilih.
Tetrakloretilen tidak boleh diberikan pada pasien alkoholisme, kelainan pencernaan,
dan konstipasi. Befanium hidroksinaftat adalah obat pilihan untuk infeksi
Ancylostoma dan digunakan untuk pengobatan masal pada anak. Obat ini relatif tidak
beracun dan dapat diberikan juga untuk infeksi Necator tetapi dengan waktu
50 | P a g e
pengobatan lebih lama. Pirantel pamoat dan Heksoresorsinol adalah obat cacing
alternatif lainnya yang dapat digunakan.
Dengan perawatan umum dan pengobatan tetap penyakit ini umumnya dapat
disembuhkan. Kematian bisa terjadi pada kasus di mana jumlah cacing sangat banyak
sehingga terjadi anemia berat dengan segala komplikasinya.
2. Eritropoiesis dan kelainannya
Erythropoietin adalah hormon yang merupakan regulator utama produksi sel darah
merah.Erythropoietin dibuat di ginjal dan sintesis meningkat sebagai respon terhadap
kekurangan oksigen atau hipoksia. Erythropoietin kemudian membuat jalan ke
sumsum tulang di mana ia merangsang produksi sel-sel darah merah. Erythropoietin
diproduksi di fibroblast peritubular seperti sel, terutama di korteks ginjal dan medula
luar ginjal.Ini adalah glikoprotein 165-asam amino dengan 4 sisi rantai karbohidrat
dan fungsinya adalah salah satu anti-apoptosis; yaitu, menghambat kematian sel
Program, sebagian besar dari sel-sel progenitor yang disebut CFU-Es, atau unit
pembentuk koloni dari garis sel erythroid.
Erythropoietin memungkinkan sel-sel ini untuk berkembang, berdiferensiasi menjadi
retikulosit yang kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi untuk pengembangan ke
dalam sel darah merah yang matang. Tingkat Erythropoietin meningkat dengan cara
peningkatan jumlah sel yang membuat erythropoietin, seperti ketika ada penurunan
tingkat hemoglobin di bawah sekitar 12,5 g / dL atau ketika tingkat oksigen dalam
aliran darah, PO2, menurun.
Proses perkembangan sel darah merah dari sel progenitor dewasa ke sel darah merah
yang matang membutuhkan waktu antara 1 sampai 3 minggu rata-rata dalam keadaan
normal. Sekali lagi, erythropoietin adalah anti-apoptosis yang memungkinkan sel-sel
progenitor ini untuk dewasa menjadi erythroblasts maka retikulosit, dan akhirnya
mereka kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi. Proses generasi sel darah merah dan
pembuatannya membutuhkan besi.
51 | P a g e
Erythroprotein ini bekerja dengan cara mengikat ke reseptor pada sel-sel progenitor ini
dan hadir sebagai dimer. Ketika erythropoietin mengikat reseptor itu mengarah ke
perubahan konformasi sehingga reseptor yang terfosforilasi dan ada aktivasi reseptor
serta kinase tertentu yang disebut JAK2 kinase. Proses ini kemudian mengarah ke
kaskade intraseluler peristiwa yang menyebabkan enzim aktivasi. Tidak hanya ada
peningkatan regulasi protein anti-apoptosis yang menyebabkan eritropoiesis, tapi ada
berbagai sitokin pelindung jaringan yang sintesis diregulasi juga.
Besi diserap dalam duodenum dari makanan kita atau besi tambahan melalui protein
transpor spesifik yang berada di membran apikal atau membran luminal sel-sel epitel
duodenum.Besi diserap atau diambil dari saluran pencernaan baik dapat disimpan
kemudian di sel atau dilepaskan ke dalam sirkulasi.Ada transporter spesifik pada
membran basolateral dari sel-sel ini disebut ferroportin yang memungkinkan untuk
pengangkutan besi dari sel-sel dalam duodenum ke dalam sirkulasi.Dalam aliran darah
yang beredar, besi diangkut pada transferrin, kemudian dapat dikirim ke sumsum
tulang untuk eritropoiesis atau ke situs penyimpanan seperti hati yang disimpan dalam
52 | P a g e
bentuk feritin.Ferroportin protein ini juga mengangkut besi dari hati dan dari
makrofag, yang telah mengambil sel-sel darah merah tua.Ferroportin sangat penting
untuk mendapatkan besi ke dalam sirkulasi untuk eritropoiesis dan mendapatkan besi
dari bentuk penyimpanan.
Ada peptida lain yang disebut hepcidin, yang sangat penting dan sesuatu yang kita
baru saja belajar tentang selama beberapa tahun terakhir ini. Hepcidin mengikat
ferroportin menyebabkan degradasi.Ini menghalangi atau memblokir penyerapan zat
besi usus dan pelepasan besi dari sel-sel duodenum ke dalam sirkulasi.Hal ini juga
mengganggu pelepasan besi dari sel-sel hati dan makrofag sehingga tidak tersedia
untuk eritropoiesis. Di hadapan peningkatan kadar hepcidin, kita melihat rendah
tingkat sirkulasi besi dan lebih banyak zat besi penyimpanan daripada apa yang akan
dideteksi secara klinis oleh adanya tingkat feritin serum yang tinggi. Ada juga
penurunan produksi sel darah merah dan anemia. Hepcidin meningkat oleh berbagai
sitokin inflamasi, dan itu proses ini mengarah ke anemia penyakit kronis. Hepcidin
diatur oleh berbagai faktor, dan kekurangan zat besi, hipoksia, dan eritropoiesis sendiri
semua meningkatkan produksi hepcidin.
Morfologi RBC:
Eritrosit yang normal bentuknya menyerupai lensa cekung ganda.Meskipun eritrosit
adalah tanpa inti, mereka dapat menjalani berbagai perubahan morfologi yang terkait
dengan berbagai gangguan kesehatan.Variasi abnormal dalam ukuran yang
mempertahankan bentuk cekung ganda dasar dari eritrosit (anisositosis), dan variasi
abnormal dalam bentuk yang mempertahankan volume asli eritrosit
(poikilocytosis).Poikilocytes berbentuk abnormal sel-sel darah merah seperti yang
terlihat pada film darah pada manusia dan banyak spesies liar dan domestik hewan.
Berikut tipe-tipe poikilositosis:
Membran abnormal
1. Acanthocytes or Spur/Spike cells
2. Codocytes or Target cells
3. Echinocytes and Burr cells
4. Elliptocytes and Ovalocytes
5. Spherocytes
6. Stomatocytes or Mouth cells
7. Drepanocytes or Sickle Cells
8. Degmacytes or "bite cells"
53 | P a g e
Trauma
1. Dacrocytes or Teardrop Cells
2. Keratocytes
3. Microspherocytes and Pyropoikilocytes
4. Schistocytes
5. Semilunar bodies
3. Anemia
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya persediaan
besi untk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) sehngga
pembentukan hemoglobin berkurang.
1. Epidemiologi
Anemia ini merupakan anemia yang paling sering dijumpai di negara berkembang.
Martoatmojo et al memperkirakan prevalensi ADB di Indonesia adalah 16-50% pada
laki-laki, 25-84%pada perempuan tidak hamil, dan 46-92% pada perempuan hamil.
Anemia ini merupakan bentuk anemia yang paling prevalens, termasuk anemia
defisiensi nutrisi. Pada anak-anak usia 1-2 tahun terjadi anemia bentuk ini hingga
47%.
Kriteria Anemia menurut WHO:
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa < 14 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl
2. Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi
• Deplesi besi : cadangan besi menurun tetapi penyediaan besi untuk
eritropoiesis belum terganggu.
• Eritropoiesis defisiensi besi: cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk
eritopoiesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
• Anemia defisiensi besi: cadangan besi kosong disertai anemia defisiensi besi.
3. Etiologi
Keseimbangan besi negative dapat disebabkan karena:
• Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
54 | P a g e
- Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID,
kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang
- Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia
- Saluran kemih: hematuria
- Saluran napas: hemoptoe
• Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
• Faktor nutrisi: kurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi
yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging)
• Peningkatan kebutuhan
• Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan, masa menyusui, dan kehamilan
• Besi yang dibutuhkan laki-laki dewasa sekitar 5-10 mg/hari, sedangkan pada
wanita mencapai7-20 mg/hari. Pada wanita hamil, kebutuhan dapat meningkat hingga
30 mg/hari.
4. Patogenesis
Anemia defisiensi besi melalui beberapa fase patologis yaitu:
• Deplesi Besi
Deplesi besi merupakan tahapan awal dari ADB. Berbagai proses patologis yang
menyebabkan kurangnya besi memacu tubuh untuk menyesuaikan diri yaitu dengan
meningkatkan absorbsi besi dari usus. Pada tahapan ini tanda yang ditemui adalah
penurunan ferritin serum dan besi dalam sumsum tulang berkurang.
• Eritropoesis defisiensi besi
Kekurangan besi yang terus berlangsung menyebabkan besi untuk eritropoiesis
berkurang namun namun secara klinis anemia belum terjadi, kondisi ini dinamakan
eritropoiesis defisiensi besi. Tanda-tanda yang ditemui pada fase ini adalah
peningkatan kadar protoporhyrin dalam eritrosit, penurununan saturasi transferin, dan
peningkatan Total iron binding capacity (TIBC).
• Anemia defisiensi besi
Jika jumlah besi terus menurun maka eritropoiesis akan terus terganggu dan kadar
hemoglobin mulai menurun sehingga terjadi anemia hipokromik mikrositik. Kondisi
ini sudah bisa dikategorikan sebagai anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi memberikan dampak kesehatan yang cukup banyak kepada
seseorang misalnya gangguan sistem neuromuscular, gangguan kognitif, gangguan
imunitas, dan gangguan terhadap janin.
5. Pengaruh Defisiensi Besi Selain Anemia
55 | P a g e
Sistem nuromuskular yang menimbulkan gangguan kapasitas kerja: defisiensi
besi menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom dan gliserofosfat
oksidase, menyebabkan gangguan glikolisis asam laktat menumpuk kelelahan otot
Gangguan terhadap fungsi mental dan kecerdasan: gangguan pada enzim
aldehid oksidase serotonin menumpuk, enzim monoaminooksidase penumpukan
katekolamin dalam otak.
Gangguan imunitas dan ketahanan infeksi
Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis anemia defisiensi besi dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu gejala
langsung anemia (anemic syndrome) dan gejala khas defisiensi besi. Gejala yang
termasuk dalam anemic syndrome terjadi ketika kadar hemoglobin turun dibawah 7-8
mg/dL berupa lemah, cepat lelah, mata berkunang-kunang, dan telinga berdenging.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan konjungtiva pasien pucat.Gejala khas yang
muncul akibat defisiensi besi antara lain koilonychia (kuku sendok), atrofi papil lidah,
cheilosis (Stomatitis angularis), disfagia, atrofi mukosa gaster, dan Pica (Keinginan
untuk memakan tanah).
Selain gejala-gejala tersebut jika anemia disebabkan oleh penyakit tertentu maka
gejala penyakit yang mendasarinya juga akan muncul misalnya infeksi cacing tambang
menyebabkan gejala dyspepsia atau kanker kolon menyebabkan hematoskezia
7. Gejala Umum
Gejala berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Pada anemia ini, penurunan kadar Hb terjadi secara perlahan-lahan.
Anemia bersifat simtomatik jika kadar Hb turun di bawah 7 g/dL. Pada pemeriksaan
fisik, pasien dijumpai pucat, terutama pada konjungtiva dan daerah bawah kuku
8. Gejala Khas
• Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok
• Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil
lidah menghilang
• Stomatitis angularis: radang pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak
berwarna pucat keputihan
• Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
• Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
56 | P a g e
Pica: keinginan memakan makanan yang tidak lazim, ex: tanah liat, es, lem, dll
9. Gejala Penyakit Dasar
Pada anemia penyakit cacing tambang, dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan
kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan
kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau
gejala lain tergantung lokasi kanker tersebut.
10. Diagnosis
• Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital untuk melihat kondisi umum yang
mungkin menjadi penyebab utama yang mempengaruhi kondisi pasien atau efek
anemia terhadap kondisi umum pasien.Pemeriksaan fisik ditujukan untuk menemukan
berbagai kondisi klinis manifestasi kekurangan besi dan sindroma anemic.
• Pemeriksaan laboratorium
57 | P a g e
Jenis Pemeriksaan Nilai
Hemoglobin Kadar Hb biasanya menurun disbanding nilai normal
berdasarkan jenis kelamin pasien
MCV Menurun (anemia mikrositik)
MCH Menurun (anemia hipokrom)
Morfologi Terkadang dapat ditemukan ring cell atau pencil cell
Ferritin Ferritin mengikat Fe bebas dan berkamulasi dalam sistem RE
sehingga kadar Ferritin secara tidak langsung menggambarkan
konsentrasi kadar Fe. Standar kadar normal ferritin pada tiap
center kesehatan berbeda-beda. Kadar ferritin serum normal
tidak menyingkirkan kemungkinan defisiensi besi namun
kadar ferritin >100 mg/L memastikan tidak adanya anemia
defisiensi besi
TIBC Total Iron Binding Capacity biasanya akan meningkat >350
mg/L (normal: 300-360 mg/L )
Saturasi transferin Saturasi transferin bisanya menurun <18% (normal: 25-50%)
Pulasan sel Dapat ditemukan hyperplasia normoblastik ringan sampai
sumsum tulang sedang dengan normoblas kecil. Pulasan besi dapat
menunjukkan butir hemosiderin (cadangan besi) negatif. Sel-
sel sideroblas yang merupakan sel blas dengan granula ferritin
biasanya negatif. Kadar sideroblas ini adalah Gold standar
untuk menentukan anemia defisiensi besi, namun pemeriksaan
kadar ferritin lebih sering digunakan.
Diagnosis anemia defisiensi besi meliputi bukti-bukti anemia, bukti defisiensi besi,
dan menentukan penyebabnya.Menentukan adanya anemia dapat dilakukan secara
sederhana dengan pemeriksaan hemoglobin. Untuk pemeriksaan yang lebih seksama
bukti anemia dan bukti defisiensi besi dapat dilakukan kriteria modifikasi Kerlin yaitu:
58 | P a g e
Anemia hipokrom mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan
MCHC<31% dengan salah satu dari berikut ;
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
• Besi serum <50 mg/dl
• TIBC >350 mg/dl
• Saturasi transferin <15%
b. Feritin serum <20 mg/l
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia ( Perl’s stain ) menunjukan
cadangan besi (butir0butir hemosiderin ) negative
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang
setara) selam 4 minggu disertai keniakn kadar hemoglobin lebih dari 2 g/d
11. Diagnosis Banding
Diagnosis diferensial utama dari anemia defisiensi besi yang mikrostik hipokromik
adalah thallasaemia, penyakit inflamasi kronik, dan sindroma mielodisplastik.
Perbedaan darikondisi-kondisi tersebut antara lain:
Parameter Anemia Thallasaemia Inflamasi kronik Sindroma
defisiensi besi mielodisplastik
Klinis Sindroma Sindroma Sindroma anemia Sindroma anemia
anemia, tanda- anemia, jelas/tidak, gejala
tanda defisiensi hepatomegali, sistemik lain
besi overload besi
Blood Micro/hypo Normal, Micro/hypo, target Micro/hypo
Smear micro/hypo cell
TIBC Meningkat Menurun Normal -
Ferritin Menurun Normal Normal Normal/meningkat
Transferin Menurun Normal Normal/Meningkat -
4. Pemeriksaandarah
a. Metode Pemeriksaan Kadar Hemoglobin (Hb)
59 | P a g e
Diantara metode yang paling sering digunakan di laboratorium dan yang paling
sederhana adalah metode sahli, dan yang lebih canggih adalah metode
cyanmethemoglobin. (Bachyar, 2002).
Pada metode Sahli, hemoglobin dihidrolisi dengan HCl menjadi globin ferroheme.
Ferroheme oleh oksigen yang ada di udara dioksidasi menjadi ferriheme yang akan
segera bereaksi dengan ion Cl membentuk ferrihemechlorid yang juga disebut
hematin atau hemin yang berwarna cokelat. Warna yang terbentuk ini dibandingkan
dengan warna standar (hanya dengan mata telanjang). Untuk memudahkan
perbandingan, warna standar dibuat konstan, yang diubah adalah warna hemin yang
terbentuk. Perubahan warna hemin dibuat dengan cara pengenceran sedemikian
rupa sehingga warnanya sama dengan warna standar. Karena yang membandingkan
adalah dengan mata telanjang, maka subjektivitas sangatberpengaruh. Di samping
faktor mata, faktor lain, misalnya ketajaman, penyinaran dan sebagainya dapat
mempengaruhi hasil pembacaan. Meskipun demikian untuk pemeriksaan di daerah
yang belum mempunyai peralatan canggih atau pemeriksaan di lapangan, metode
sahli ini masih memadai dan bila pemeriksaannya telat terlatih hasilnya dapat
diandalkan.
1. Prosedur pemeriksaan dengan metode sahli
Reagensia : 1. HCl 0,1 N
2. Aquadest
Alat/sarana :
1. Pipet hemoglobin
2. Alat sahli
3. Pipet pastur
4. Pengaduk
Prosedur kerja :
1. Masukkan HCl 0,1 N ke dalam tabung Sahli sampai angka 2
2. Bersihkan ujung jari yang akan diambil darahnya dengan larutan desinfektan
(alcohol 70%, betadin dan sebagainya), kemudian tusuk dengan lancet atau alat
lain
60 | P a g e
3. Isap dengan pipet hemoglobin sampai melewati batas, bersihkan ujung pipet,
kemudian teteskan darah sampai ke tanda batas dengan cara menggeserkan
ujung pipet ke kertas saring/kertas tisu.
4. Masukkan pipet yang berisi darah ke dalam tabung hemoglobin, sampai ujung
pipet menempel pada dasar tabung, kemudian tiup pelan-pelan. Usahakan agar
tidak timbul gelembung udara. Bilas sisa darah yang menempel pada dinding
pipet dengan cara menghisap HCl dan meniupnya lagi sebanyak 3-4 kali.
5. Campur sampai rata dan diamkan selama kurang lebih 10 menit.
6. Masukkan ke dalam alat pembanding, encerkan dengan aquadest tetes demi
tetes sampai warna larutan (setelah diaduk sampai homogen sama dengan
warna gelas dari alat pembanding. Bila sudah sama, baca kadar hemoglobin
pada skala tabung.
2. Hematokrit
Hematokrit adalah persentase volume seluruh SDM yang ada dalam darah
yang diambil dalam volume tertentu. Untuk tujuan ini, darah diambil dengan
semprit dalam suatu volume yang telah ditetapkan dan dipindahkan kedalam suatu
tabung khusus berskala hematokrit. Untuk pengukuran hematokrit ini darah tidak
boleh dibiarkan menggumpal sehingga harus diberi anti koagulan. Setelah tabung
tersebut dipusingkan / sentripus dengan kecepatan dan waktu tertentu, maka SDM
akan mengendap. Dari skala Hematokrit yang tertulis di dinding tabung dapat
dibaca berapa besar bagian volume darah seluruhnya. Nilai hematokrit yang
disepakati normal pada laki – laki dewasa sehat ialah 45% sedangkan untuk wanita
dewasa adalah 41%.
Pada umumnya, penetapan salah satu dari tiga nilai ini sudah memberikan
gambaran umum, apakah konsentrasi SDM seseorang cukup atau tidak. Akan tetapi,
bila terjadi anemia kerap kali juga diperlukan informasi lebih lanjut, bagaimana
konsentrasi rata-rata hemoglobin / SDM. Volume SDM diperoleh dari membagi
hematokrit ( mL/L darah ) dibagi dengan jumlah SDM ( juta/ml darah ). Satuan
yang digunakan adalah fL dan nilainya berkisar antara 80 – 94 fL,rata-rata 87 fL
konsentrasi Hb/SDM diperoleh dengan membagi konsentrasi hemoglobin / SDM.
Hasilnya dinyatakan dengan satuan pg ( pikogram, 1pg = 10-12g ), pada orang
dewasa sehat nilai ini berkisar antara 27 – 32 pg dengan rata-rata sebesar 29,5 pg.
61 | P a g e
Nilai hematokrit adalah volume semua eritrosit dalam 100 ml darah dan disebut
dengan % dari volume darah itu. Biasanya nilai itu ditentukan dengan darah vena /
kapiler.
Prinsip
Darah dengan antikogulan isotonic dalam tabung dipusing selama 30 menit
dengan kecepatan 3000 rpm sehingga eritrosit dipadatkan kecepatan 3000 rpm
sehingga eritrosit dipadatkan membuat kolom dibagian bawah dan tabung
tingginya kolom mencerminkan nilai hematokrit. Intinya Darah dicentrifuge
supaya eritrosit mengendap.
Alat dan Bahan Pemeriksaan
Tabung wintrobe, Tabung mikrokapiler, Sentifuge, Darah
Cara Kerja:
1. Makrometode menurut Wintrobe
a. Isilah tabung wintrobe dengan darah oxalat, heparin atau EDTA sampai
garis tanda 100 diatas.
b. Masukkan tabung itu kedalam sentrifuge yang cukup besar, pusingkan
selama 30 menit pada kecepatan 300 rpm.
c. Bacalah hasil penetapan itu dengan memperhatikan :
Warna plasma diatas : warna kuning, itu dapat dibandingkan dengan
larutan kaliumbichkromat dan intensitasnya disebut dengan satuan.
Satuan – satuan sesuai dengan warna kaliumbichkromat 1 : 10.000
Tebalnya lapisan putih diatas sel – sel merah yang tersusun dari
lekosit dan trombosit.
2. Mikrometode
a. Isilah tabung mikrokapiler yang khusus dibuat untuk penetapan mikrohematokrit dengan darah (3/4 tabung).b. Tutuplah ujung satu dengan nyala api atau dengan bahan penutup khusus.c. Masukkan tabung kapiler itu kedalam centrifuge khusus yang mencapai kecepatan besar, yaitu 11.000-15.000 rpm (centrifuge mikrohematokrit).d. Pusingkan selama 5 menit.e. Bacalah nilai hematokrit dengan menggunakan grafik atau alat khusus.Nilai Normal : Laki – laki : 40 – 48 vol %Wanita : 37 – 43 vol %
62 | P a g e
3. RBC (Eritrosit)
Langkah-langkah untuk menghitung jumlah Eritrosit :
a. Isap darah kapiler dengan pipet eritrosit sampai tanda 0.5, hapuslah kelebihan
darah yang melekat diujung luar pipet.
b. Isap ke dalam pipet (1) cairan Hayem (Gower) sampai tanda 101, sambil memutar-
mutar pipetnya, lepaskan karetnya.
c. Kocok pipet 10-15 detik dalam posisi horizontal sambil diputar-putar.
d. Kocok lagi selama 3 menit, buanglah 4 tetesan yang pertama lalu diisikan ke
dalamkamar hitung yang bersih, biarkan 2-3 menit.
e. Hitung di bawah mikroskop dengan:
Kamar hitumg Improved Neubauer:Eritrosit : dengan HPF dalam 80 kotak kecil atau dalam 5x16 kotak kecil dan hasilnya dikalikan dengan 10.000 (4 angka 0).
4. WBC (Leukosit)
Untuk menghitung leukosit, darah diencerkan dalam pipa leukosit lalu
dimasukkan ke dalam kamar hitung. Pengencer yang digunakan adalah larutan Turk.
Langkah-langkah pemeriksaan yang diterapkan adalah:
a. Hisap darah kapiler, darah EDTA atau darah oksalat sampai tanda 0,5.
b. Hapus kelebihan darah di ujung pipet
c. Masukkan ujung pipet ke dalam larutan Turk dengan sudut 45o, tahan agar tetap di
tanda 0,5. Isap larutan Turk hingga mencapai tanda 11. Jangan sampai ada
gelembung udara
d. Tutup ujung pipet dengan ujung jari lalu lepaskan karet penghisap
e. Kocok selama 15-30 detik
f. Letakkan kamar hitung dengan penutup terpasang secara horisontal di atas meja
g. Kocok pipet selama 3 menit, jaga agar cairan tak terbuang dari pipet
h. Buang semua cairan di batang kapiler (3-4 tetes) dan cepat sentuhkan ujung pipet
ke kamar hitung dengan menyinggung pinggir kaca penutup dengan sudut 30o.
Biarkan kamar hitung terisi cairan dengan daya kapilaritas
i. Biarkan 2-3 menit supaya lekosit mengendap
j. Gunakan lensa obyektif mikroskop dengan pembesaran 10 kali, fokus dirahkan ke
garisgaris bagi.
63 | P a g e
k. Hitunglah leukosit di empat bidang besar dari kiri atas ke kanan, ke bawah lalu ke
kiri, ke bawah lalu ke kiri dan seterusnya. Untuk sel-sel pada garis, yang dihitung
adalah pada garis kiri dan atas.
l. Jumlah lekosit per µL darah adalah : jumlah sel X 50
5. Trombosit
Langkah-langkah untuk menghitung jumlah Trombosit:
a. Isap cairan Rees-Ecker ke dalam pipet eritrosit sampai tanda 1 dan buanglah lagi
cairan itu.
b. Isap darah kapiler dengan pipet eritrosit sampai garis tanda 0.5 dan cairan Rees-
Ecker sampai tanda 101, segera kocok selama 3 menit.
c. Buanglah 4 tetesan yang pertama lalu diisikan ke dalam kamar hitung yang bersih,
biarkan 2-3 menit.
d. Biarkan kamar hitung yang sudah diisi dengan sikap datar dalam cawan petri yang
tertutup selama 10 menit agar trombosit mengendap.
e. Hitunglah semua trombosit dalam seluruh bidang besar ditengah-tengah dengan
memakai lensa objektif besar.
f. Jumlah itu dikalikan 2000 menghasilkan jumlah trombosit per µL darah.
6. Diff. Count
Untuk menghitung differensial count (basofil, eosinofil, neutrofil batang,
neutrofil segmen, limfosit, dan monosit) dibutuhkan sediaan yang telah diwarnai.
Kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Pewarnaan atau pengecatan yang biasa
dilakukan:
1. Pengecatan menurut Giemsa
a. Fiksasi dengan metal alcohol 3-5 menit.
b. Bilas dengan aquades
c. Encerkan Giemsa stain 1 cc menjadi 10 cc dengan aquades.
d. Cat dengan (3) selama 30 menit.
e. Cat dibuang, dibilas dengan aquades lalu dengan air mengalir.
2. Pengecatan menurut Wright
a. Ratakan 10 tetes Wright stain di atas sediaan, biakan 2-3 menit. Kalau akan
mongering tetes lagi cat.
64 | P a g e
b. Tambahkan tetesan sol buffer yang sama jumlahnya dengan tetesan Wright yang
dipakai sampai rata bercampur dengan (1), biarkan 5-20 menit. Warna hijau
mengkilat menunjukkan pengecatan telah cukup.
c. Siram dengan aquades 30 detik lalu siram dengan air mengalir.
d. Keringkan miring di udara pada kertas saring
7. Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobin eritrosit.
Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks kospouskuler. Indeks eritrosit terdiri
atas : isi/volume atau ukuran eritrosit (MCV : mean corpuscular volume atau
volume eritrosit rata-rata), berat (MCH : mean corpuscular hemoglobin atau
hemoglobin eritrosit rata-rata), dan konsentrasi (MCHC : mean corpuscular
hemoglobin concentration atau kadar hemoglobin eritrosit rata-rata). Indeks eritrosit
dipergunakan secara luas dalam mengklasifikasi anemia atau sebagai penunjang
dalam membedakan berbagai macam anemia.
Indeks eritrosit dapat ditetapkan dengan dua metode, yaitu manual dan
elektronik (automatik) menggunakan hematology analyzer. Untuk dapat
menghitung indeks eritrosit secara manual diperlukan data kadar hemoglobin,
hematokrit/PCV dan hitung eritrosit.
a. Volume eritrosit rata-rata (VER) atau mean corpuscular volume (MCV)
MCV mengindikasikan ukuran eritrosit : mikrositik (ukuran kecil), normositik
(ukuran normal), dan makrositik (ukuran besar). Nilai MCV diperoleh dengan
mengalikan hematokrit 10 kali lalu membaginya dengan hitung eritrosit.
MCV = (hematokrit x 10) : hitung eritrosit
Nilai rujukan :
Dewasa : 80 - 100 fL (baca femtoliter)
Bayi baru lahir : 98 - 122 fL
Anak usia 1-3 tahun : 73 - 101 fL
Anak usia 4-5 tahun : 72 - 88 fL
Anak usia 6-10 tahun : 69 - 93 fL
Masalah klinis :
65 | P a g e
Penurunan nilai : anemia mikrositik, anemia defisiensi besi (ADB),
malignansi, artritis reumatoid, hemoglobinopati (talasemia, anemia sel
sabit, hemoglobin C), keracunan timbal, radiasi.
Peningkatan nilai : anemia makrositik, aplastik, hemolitik, pernisiosa;
penyakit hati kronis; hipotiroidisme (miksedema); pengaruh obat
(defisiensi vit B12, antikonvulsan, antimetabolik)
b. Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) atau mean corpuscular
hemoglobin (MCH)
MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa
memperhatikan ukurannya. MCH diperoleh dengan mengalikan kadar Hb 10
kali, lalu membaginya dengan hitung eritrosit.
MCH = (hemoglobinx10) : hitung eritrosit
Nilai rujukan :
Dewasa : 26 - 34 pg (baca pikogram)
Bayi baru lahir : 33 - 41 pg
Anak usia 1-5 tahun : 23 - 31 pg
Anak usia 6-10 tahun : 22 - 34 pg
MCH dijumpai meningkat pada anemia makrositik-normokromik atau
sferositosis, dan menurun pada anemia mikrositik-normokromik atau anemia
mikrositik-hipokromik.
c. Kadar hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) atau mean corpuscular
hemoglobin concentration (MCHC)
MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit volume eritrosit.
Penurunan nilai MCHC dijumpai pada anemia hipokromik, defisiensi zat besi
serta talasemia. Nilai MCHC dihitung dari nilai MCH dan MCV atau dari
hemoglobin dan hematokrit.
MCHC = ( MCH : MCV ) x 100 % atau MCHC = ( Hb : Hmt ) x 100 %
Nilai rujukan :
Dewasa : 32 - 36 %
Bayi baru lahir : 31 - 35 %
Anak usia 1.5 - 3 tahun : 26 - 34 %
66 | P a g e
Anak usia 5 - 10 tahun : 32 - 36 %
8. LED
Metode yang digunakan untuk pemeriksaan LED ada dua, yaitu metode Wintrobe
dan Westergreen. LED berlangsung 3 tahap, tahap ke-1 penyusunan letak eritrosit
(rouleaux formation) dimana kecepatan sedimentasi sangat sedikit, tahap ke-2 kecepatan
sedimentasi agak cepat, dan tahap ke-3 kecepatan sedimentasi sangat rendah.
Prosedur pemeriksaan LED :
a. Metode Westergreen
1. Untuk melakukan pemeriksaan LED cara Westergreen diperlukan sampel
darah citrat 4 : 1 (4 bagian darah vena + 1 bagian natrium sitrat 3,2 % ) atau
darah EDTA yang diencerkan dengan NaCl 0.85 % 4 : 1 (4 bagian darah
EDTA + 1 bagian NaCl 0.85%). Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.
2. Sampel darah yang telah diencerkan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam
tabung Westergreen sampai tanda/skala 0.
3. Tabung diletakkan pada rak dengan posisi tegak lurus, jauhkan dari getaran
maupun sinar matahari langsung.
4. Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm penurunan eritrosit.
b. Metode Wintrobe
1. Sampel yang digunakan berupa darah EDTA atau darah Amonium-kalium
oksalat. Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.
2. Sampel dimasukkan ke dalam tabung Wintrobe menggunakan pipet Pasteur
sampai tanda 0.
3. Letakkan tabung dengan posisi tegak lurus.
4. Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm menurunnya eritrosit.
Nilai Rujukan :
a. Metode Westergreen :
1. Pria : 0 - 15 mm/jam
2. Wanita : 0 - 20 mm/jam
b. Metode Wintrobe :
1. Pria : 0 - 10 mm/jam
2. Wanita : 0 - 15 mm/jam
5. Pemeriksaan gambaran apusan darah tepi
67 | P a g e
Sediaan Apus Darah Tepi
Sediaan apus darah tepi adalah suatu cara yang sampai saat ini masih digunakan pada
pemeriksaan di laboratorium. Prinsip pemeriksaan sediaan apus ini adalah dengan
meneteskan darah lalu dipaparkan di atas objek glass, kemudian dilakukan pengecatan
dan diperiksa dibawah mikroskop. Guna pemeriksaan apusan darah:
1. Evaluasi morfologi dari sel darah tepi (eritrosit, trombosit, dan leukosit)
2. Memperkirakan jumlah leukosit dan trombosit
3. Identifikasi parasit (misal : malaria. Microfilaria, dan Trypanosoma).
Sediaan apus darah tepi dapat diwarnai dengan berbagai macam
metode termasuk larutan-larutan yang sederhana antara lain: pewarnaan Giemsa,
pewarnaan acid fast, pewarnaan garam, pewarnaan wright, dan lain-lain. Pewarnaan
Giemsa disebut juga pewarnaan Romanowski. Metode pewarnaan ini banyak
digunakan untuk mempelajari morfologi sel-sel darah, sel-sel lien, sel-sel sumsum dan
juga untuk mengidentifikasi parasit-parasit darah misal Tripanosoma, Plasmodia dan
lain-lain dari golongan protozoa.(Maskoeri, 2008)
Pewarnaan Giemsa (Giemsa Stain) adalah teknik pewarnaan untuk pemeriksaan
mikroskopis yang namanya diambil dari seorang peneliti malaria yaitu Gustav
Giemsa. Pewarnaan ini digunakan untuk pemeriksaan sitogenetik dan untuk diagnosis
histopatologis parasit malaria dan juga parasit jenis lainnya. (Jason and Frances, 2010)
Dasar dari pewarnaan Giemsa adalah presipitasi hitam yang terbentuk dari
penambahan larutan metilen biru dan eosin yang dilarutkan di dalam metanol. Yaitu
dua zat warna yang berbeda yaitu Azur B ( Trimetiltionin ) yang bersifat basa dan
eosin y ( tetrabromoflurescin ) yang bersifat asam seperti kromatin, DNA dan RNA.
Sedangkan eosin y akan mewarnai komponen sel yang bersifat basa seperti granula,
eosinofili dan hemoglobin. Ikatan eosin y pada azur B yang beragregasi dapat
menimbulkan warna ungu, dan keadaan ini dikenal sebagai efek Romanowsky giemsa.
Efek ini terjadi sangat nyata pada DNA tetapi tidak terjadi pada RNA sehingga akan
menimbulkan kontras antara inti yang berwarna dengan sitoplasma yang berwarna
biru. (Arjatmo Tjokronegoro, 1996) Pewarnaan giemsa adalah teknik pewarnaan yang
paling bagus dan sering
digunakan untuk mengidentifikasi parasit yang ada di dalam darah (blood-borne
parasite). (Ronald dan Richard , 2004)
68 | P a g e
Bahan pemeriksaan yang terbaik adalah darah segar yang berasal dari kapiler atau
vena, yang dihapuskan pada kaca obyek. Pada keadaan tertentu dapat pula digunakan
EDTA (Arjatmo Tjokronegoro, 1996)
Jenis apusan darah :
1. Sediaan darah tipis
Ciri-ciri apusan sediaan darah tipis yaitu lebih sedikit membutuhkan darah untuk
pemeriksaan dibandingkan dengan sediaan apus darah tebal morfologinya lebih jelas.
bentuk parasit plasmodium berada dalam eritrosit sehingga didapatkan bentuk parasit
yang utuh dan morfologinya sempurna. Serta lebih mudah untuk menentukan spesies
dan stadium parasit dan perubahan pada eritrosit yang dihinggapi parasit dapat dilihat
jelas.
2. Sediaan darah tebal
Ciri-ciri apusan sediaan darah tebal yaitu membutuhkan darah lebih banyak untuk
pemeriksaan dibanding dengan apusan darah tipis, sehingga jumlah parasit yang
ditemukan lebih banyak dalam satu lapang pandang, sehingga pada infeksi ringan
lebih mudah ditemukan. Sediaan ini mempunyai bentuk parasit yang kurang utuh dan
kurang begitu lengkap morfologinya. (Sandjaja, 2007)
Giemsa
pewarna Giemsa 10% sebagai pewarna yang umum digunakan agar sediaan terlihat
lebih jelas. Pewarnaan ini sering disebut juga pewarnaan Romanowski. Metode
pewarnaan ini banyak dipakai untuk mempelajari morfologi darah, sel-sel sumsum dan
juga untuk identifikasi parasit-parasit darah misalnya dari jenis protozoa. Zat ini
tersedia dalam bentuk serbuk atau larutan yang disimpan di dalam botol yang gelap.
(Kurniawan, 2010). Zat warna yang digunakan dalam metode Romanovsky adalah
Giemsa yang sebelumnya telah diencerkan dengan aquades. Semakin lama pewarnaan
yang dilakukan maka intensitasnya menjadi semakin tua. Preparat apus yang telah
selesai dibuat kemudian diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 100x. Gambar
yang didapat dalam hasil menunjukan sel-sel butir darah baik eritrosit, leukosit,
trombosit, atau jenis parasityang lain (Maskoeri, 2008).
Sediaan apus darah secara rutin diwarnai dengan campuran zat warna khusus.
Pewarnaan ini disebabkan karena oksidasi methylen blue dan pembentukan senyawa
baru dalam campuran yang dinamakan azure. Setelah pemberiaan campuran jenis
69 | P a g e
Romanosky, diferensiasi sel-sel dapat dilakukan Berdasarkan 4 sifat pewarnaan yang
menyatakan afinitas struktur sel oleh masing-masing zat warna dari campuran, yaitu:
1. Afinitas untuk methylen blue
2. Afinitas untuk azure dikenal sebagai azurefilik ( ungu).
3. Afinitas untuk eosin (suatu zat warna asam ) dikenal sebagai asidofilik atau
eosinofilia.(merah muda kekuningan ).
4. Afinitas untuk komplek zat warna yang terdapat dalam campuran, secara tidak
tepat dianggap netral, dikenal sebagai neutrofilia (salmon-pink smplilac). ( Safar, 2009
).
Giemsa adalah zat warna yang terdiri dari eosin dan metilen azur memberi warna
merah muda pada sitoplasma dan metilen biru memberi warna pada inti leukosit .
Ketiga jenis pewarna ini dilarutkan dengan metil alcohol dan gliserin. Larutan ini
dikemas dalam botol coklat ( 100–500– 1000 cc ) dan dikenal sebagai giemsa stock
dengan pH 7 . ( Depkes RI, 1993 )
Pedoman pemakaian Giemsa
1. Giemsa stock baru boleh diencerkan dengan aquadest, air buffer atau air sesaat
akan digunakan agar diperoleh efek pewarnaan yang optimal.
2. Encerkan gimesa sebanyak yang dibutuhkan, sebab bila berlebihan terpaksa
harus dibuwang.
3. Untuk mengambil stock giemsa dari botolnya, gunakan pipet khusus agar stock
giemsa tidak tercemari.
4. Methanol dapat menarik air dari udara, sebab itu stock giemsa harus ditutup
rapat dan tidak bboleh sering dibuka .
5. Tolak ukur sebagai dasar perhitungan :
a. 1cc = 20 tetes
b. Seluruh permukaan kaca sediaan dapat ditutupi cairan sebanyak 1 cc
c. Berdasarkan tolak ukur ini dapat dihitung banyaknya giemsa encer yang harus
digunakan sesuai dengan kebutuhan terutama bila melakukan pewarnaan.
6. Takaran pewarnaan, Untuk melakukan pewarnaan individu pada stock giemsa
1 tetes dapat ditambah dengan pengencer sepuluh tetes lama pewarnaan 15–20 menit
( giemsa 10 % ) atau stock giemsa 1 tetes ditambah pengencer 1 cc ( 20 tetes ) dengan
lama pewarnaan 45–60 menit ( giemsa 20 % ).
70 | P a g e
7. Gunakan air pengencer yang mempunyai pH 6.8–7.2 ( paling ideal dengan pH
7.2). ( Depkes RI, 1993 ).
Pewarnaan Sediaan Darah
Sediaan darah tebal biasanya di hemolisis terlebih dulu sebelum pewarnaan, sehingga
parasit tidak lagi tampak dalam eritrosit. Kelebihan dari sediaan ini yaitu dapat
menemukan parasit lebih cepat karena volume darah yang digunakan lebih banyak.
Jumlah parasit lebih banyak dalam
satu lapang pandang, sehingga pada infeksi ringan lebih mudah ditemukan. Sedangkan
kelemahan dari sediaan darah tebal bentuk parasit yang kurang lengkap morfologinya.
(Safar, 2009)
Ciri-ciri sediaan yang baik :
Sediaan yang dibuat harus bersih yaitu sediaan tanpa endapan zat pewarnaan. Sediaan
juga tidak terlalu tebal, ukuran ketebalan dapat dinilai dengan meletakkan sediaan
darah tebal di atas arloji.
Bila jarum arloji masih dapat dilihat samar-samar menunjukkan ketebalan yang tepat.
Selain menggunakan arloji dapat juga dengan cara meletakkan sediaan darah tebal di
atas koran, kalau tulisan di bawah koran sediaan masih terbaca, berarti tetesan tadi
cukup baik. (Sandjaja, 2007)
6. Pemeriksaan feses
a. Pemeriksaan Kualitatif
• Metode Natif
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat,
tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini
menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2%
dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran
disekitarnya.
Maksud : Menemukan telur cacing parasit pada feces yang diperiksa.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit pada seseorang yang diperiksa
fecesnya.
Dasar teori : eosin memberikan latar belakang merah terhadap telur yang berwarna
kekuning-kuningan dan untuk lebih jelas memisahkan feces dengan kotoran yang ada.
Kekurangan : dilakukan hanya untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit terditeksi.
71 | P a g e
Kelebihan : mudah dan cepat dalam pemeriksaan telur cacing semua spesies, biaya
yang di perlukan sedikit, peralatan yang di gunakan sedikit
• Metode Apung (Floation method)
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh
yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan
mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung
sedikit telur.Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan,
sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-
partikel yang besar yang terdapat dalam tinja.Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk
telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari
famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil.
Maksud : Mengetahui adanya telur cacing parasit usus untuk infeksi ringan.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit usus pada seseorang yang diperiksa
fecesnya.
Dasar teori : Berat jenis NaCl jenuh lebih berat dari berat jenis telur.
Kekurangan : penggunaan feses banyak dan memerlukan waktu yang lama, perlu
ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi
Kelebihan : dapat di gunakan untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat jelas.
• Metode Harada Mori
Metode ini digunakan untuk menentukan dan mengidentifikasi larva cacing
Ancylostoma Duodenale, Necator Americanus, Srongyloides Stercolaris dan
Trichostronngilus yang didapatkan dari feses yang diperiksa. Teknin ini
memungkinkan telur cacing dapat berkembang menjadi larva infektif pada kertas
saring basah selama kurang lebih 7 hari, kemudian larva ini akan ditemukan didalam
air yang terdapat pada ujung kantong plastik
Maksud : Mengidentifikasi larva cacing Ancylostoma Duodenale, Necator
Americanus, Srongyloides Stercolaris dan Trichostronngilus spatau mencari larva
cacing-cacing parasit usus yang menetas diluar tubuh hospe
Tujuan : Mengetahuia adanya infeksi cacing tamban
Dasar teori : Hanya cacing-cacing yang menetas di luar tubuh hospes akan menetas 7
hari menjadi larva dengan kelembaban yang cukup
Kekurangan : Dilakukan hanya untuk identifikasi infeksi cacing tambang, waktu yang
dibutuhkan lama dan memerlukan peralatan yang banyak.
Kelebihan : lebih mudah dilakukan karena hanya umtuk mengidentifikasi larva infektif
mengingat bentuik larva jauh lebih besar di bandingkan dengan telur.
72 | P a g e
b. Pemeriksaan Kuantitatif
• Metode Kato Katz
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau disebut teknik
Kato.Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong “cellahane tape”.Teknik
ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak
tinja.Teknik ini dianjurkan untuk Pemeriksaan secara massal karena lebih sederhana
dan murah.Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat diagnosa.
Maksud : Menemukan adanya telur cacing parasit dan menghitung jumlah telur
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit dan untuk mengetahui berat
ringannya infeksi cacing parasit usus
Dasar teori : Dengan penambahan melachite green untuk memberi latar belakang
hijau. Anak-anak mengeluarkan tinja kurang lebih 100 gram/hari, dewasa
mengeluarkan tinja kurang lebih 150 gram/hari. Jadi, misalnya dalam 1 gram feces
mengandung 100 telur maka 150 gram tinja mengandung 150.000 telur.
Kekurangan : Bahan feses yang di gunakan banyak.
Kelebihan : Dapat mengidentifikasi tingkat cacing pada penderita berdasar jumlah
telur dan cacing, baik di kerjakan di lapangan, dapat digunakan untuk pemeriksaan
tinja masal karena murah dan sederhana, cukup jelas untuk melihat morfologi
sehingga dapat di diagnosis.
7. Gizi
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara
normal melalui proses pencernaan, absobsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme
dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,
pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi.
(Supariasa, dkk, 2002)
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah
asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk
berbagai fungsi biologis: (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan
kesehatan, dan lainnya). (Suyatno, 2009). Status gizi adalah ekspresi dari keadaan
keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutrisi dalam
bentuk variabel tertentu (Supariasa, dkk, 2001).
Pada gilirannya, zat gizi tersebut menyediakan tenaga bagi tubuh, mengatur proses
dalam tubuh dan membuat lancarnya pertumbuhan serta memperbaiki jaringan tubuh.
Beberapa zat gizi yang disediakan oleh pangan tersebut disebut zat gizi essential,
73 | P a g e
mengingat kenyataan bahwa unsur-unsur tersebut tidak dapat dibentuk dalam tubuh,
setidak-tidaknya dalam jumlah yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesihatan
yang normal. Jadi zat gizi esensial yang disediakan untuk tubuh yang dihasilkan dalam
pangan, umumnya adalah zat gizi yang tidak dibentuk dalam tubuh dan harus
disediakan dari unsur-unsur pangan di antaranya adalah asam amino essensial. Semua
zat gizi essential diperlukan untuk memperoleh dan memelihara pertumbuhan,
perkembangan dan kesehatan yang baik. Oleh karena itu, pengetahuan terapan tentang
kandungan zat gizi dalam pangan yang umum dapat diperoleh penduduk di suatu
tempat adalah penting guna merencanakan, menyiapkan dan mengkonsumsi makanan
seimbang. (Moch. Agus Krisno Budiyonto)
Pada umumnya zat gizi dibagi dalm lima kelompok utama, yaitu karbohidrat, lemak,
protein, vitamin dan mineral. Sedangkan sejumlah pakar juga Universitas Sumatera
Utaraberpendapat air juga merupakan bahagian dalam zat gizi. Hal ini didasarkan
kepada fungsi air dalam metabolism makanan yang cukup penting walaupun air dapat
disediakan di luar bahan pangan. ( Moch. Agus Krisno Budiyonto )
Makan makanan yang beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan. Makanan
yang beraneka ragam yaitu makanan yang mengandung unsur-unsur zat gizi yang
diperlukan tubuh baik kualitas maupun kuantitasnya, dalam pelajaran ilmu gizi biasa
disebut triguna makanan yaitu, makanan yang mengandung zat tenaga, pembangun
dan zat pengatur. Apabila terjadi kekurangan atas kelengkapan salah satu zat gizi
tertentu pada satu jenis makanan, akan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari makanan
yang lain. Jadi makan makanan yang beraneka ragam akan menjamin terpenuhinya
kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur.
Tubuh manusia memerlukan sejumlah pangan dan gizi secara tetap, sesuai dengan
standar kecukupan gizi, namun kebutuhan tersebut tidak selalu dapat terpenuhi.
Penduduk yang miskin tidak mendapatkan pangan dan gizi dalam jumlah yang cukup.
Mereka menderita lapar pangan dan gizi, mereka menderita gizi kurang. (Sri
Handajani, 1996).
Keadaan gizi seseorang merupakan gambaran apa yang dikonsumsinya dalam jangka
waktu yang cukup lama. Bila kekurangan itu ringan, tidak akan dijumpai penyakit
defisiensi yang nyata, tetapi akan timbul konsekwensi fungsional yang lebih ringan
dan kadang-kadang tidak disadari kalau hal tersebut karena faktor gizi. (Ari Agung,
2002).
Hasil penelitian di berbagai tempat dan di banyak negara menunjukkan bahwa
penyakit gangguan gizi yang paling banyak ditemukan adalah gangguan gizi akibat
74 | P a g e
kekurangan energi dan protein (KEP). Dalam bahasa Inggris penyakit ini disebut
Protein Calorie Malnutrition atau disingkat PCM. Ada juga ahli yang menyebutnya
sebagai Enery Protein Malnutrition atau EPM, namun artinya sama.
Ada dua bentuk KEP yaitu marasmus dan kwashiorkor. Baik marasmus maupun
kwashiorkor keduanya disebabkan oleh kekurangan protein. Akan tetapi pada
marasmus di samping kekurangan protein terjadi juga kekurangan energi. Sedangkan
pada kwashiorkor yang kurang hanya protein, sementara kalori cukup. Marasmus
terjadi pada anak usia yang sangat muda yaitu pada bulan pertama setelah lahir,
sedangkan kwashiorkor umumnya ditemukan pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. Ada
empat ciri yang selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor yaitu:
• Adanya oedema pada kaki, tumit dan bagian tubuh lain seperti bengkak karena
ada cairan tertumpuk.
• Gangguan pertumbuhan badan. Berat dan panjang badan anak tidak dapat
mencapai berat dan panjang yang semestinya sesuai dengan umurnya.
• Perubahan aspek kejiwaan, yaitu anak kelihatan memelas, cengeng, lemah dan
tidak ada selera makan.
• Otot tubuh terlihat lemah dan tidak berkembang dengan baik walaupun masih
tampak adanya lapisan lemak di bawah kulit.
Istilah marasmus berasal dari bahasa yunani yang sejak lama digunakan sebagai istilah
dalam ilmu kedokteran untuk menggambarkan seorang anak yang berat badannya
sangat kurang dari berat badan seharusnya. Ciri utama penderita marasmus adalah
sebagai berikut :
• Anak tampak sangat kurus dan kemunduran pertumbuhan otot tampak sangat
jelas sekali apabila anak dipegang pada ketiaknya dan diangkat. Berat badan anak
kurang dari 60% dari berat badan seharusnya menurut umur.
• Wajah anak tampak seperti muka orang tua. Jadi berlawanan dengan tanda
yang tampak pada kwashiorkor. Pada penderita marasmus, muka anak tampak keriput
dan cekung sebagaimana layaknya wajah seorang yang telah berusia lanjut. Oleh
karena tubuh anak sangat kurus, maka kepala anak seolah-olah terlalu besar jika
dibandingkan dengan badannya.
• Pada penderita marasmus biasanya ditemukan juga tanda-tanda defisiensi gizi
yang lain seperti kekurangan vitamin C, vitamin A, dan zat besi serta sering juga anak
menderita diare.
75 | P a g e
Kelompok Umur : Anak (0-9 tahun)
Berat badan ideal pada kelompok anak semakin naik pada usia 0-6 bulan 6 kg, 7-12
bulan 8.5 kg, 1-3 tahun 12 kg, 4-6 tahun 12 kg 7-9 tahun . Sama halnya dengan
kebutuhan energi dan protein. Kebutuhan energi semakin meningkat dari 550 Kkal
pada usia 0-6 bulan hingga 1800 kkal pada usia 7-9 tahun. Kebutuhan protein semakin
meningkat dari 10 g pada usia 0-6 bulan hingga 45 g pada usia 7-9 tahun.
Meningkatnya kebutuhan energi dan protein diiringi dengan perkembangan fisik dari
bayi sampai umur sembilan tahun yang semakin besar, sehingga kebutuhan energi dan
protein yang besar sangat dibutuhkan dalam proses perkembangan otak dan tubuh
8. Sistem imun
Respons Imun Terhadap Infeksi Cacing Tambang
Respon imun dari tubuh manusia sebagai host definitif tergantung dari stadium cacing
tambang yang menginfeksi.
a. Terhadap larva filariform
Saat menembus kulit, larva filariform melepaskan bagian luar kutikula dan mensekresi
berbagai enzim yang mempermudah migrasinya. Pada proses ini banyak larva yang
mati dan mengakibatkan pelepasan berbagai molekul imunoreaktif oleh tubuh. Saat
memasuki sirkulasi, terutama sirkulasi peparu, larva filariform menghasilkan berbagai
antigen yang bereaksi dengan system imun peparu dan menyebabkan penembusan
sejumlah kecil alveoli. Pada infeksi zoonotik (melalui vektor), terjadi creeping
eruption atau ground itch
akibat terperangkapnya larva dalam lapisan kulit, yang menyebabkan reaksi
hipersensitivitas tipe I (alergi). Jumlah larva yang masuk ke sirkulasi jauh lebih
banyak dari yang berdiam di kulit. Pada infeksi antropofilik (langsung pada manusia)
tidak terjadi kumpulan larva di kulit.19) Antibodi humoral terhadap N. americanus
76 | P a g e
hanya reaktif terhadap lapisan dalam kutikula, hal ini menjelaskan mengenai
minimnya reaksi kulit terhadap parasit ini. Antibodi yang berperan ialah
Imunoglobulin M (IgM), IgG1 dan IgE. Yang paling
spesifik ialah IgE yang bersifat cross reactive. Diduga reaksi hipersensitivitas tipe II
(antibody dependent cell mediated cytotoxicity) juga berperan disini.20) Sistem
kekebalan seluler pada infeksi cacing tambang terutama dilakukan oleh eosinofil. Hal
ini dicerminkan oleh tingginya kadar eosinofil darah tepi. Eosinofil melepaskan
superoksida yang dapat membunuh larva filariform. Jumlah eosinofil makin
meningkat saat larva berkembang menjadi bentuk dewasa (cacing) di saluran cerna.
Sistem komplemen berperan dalam perlekatan larva pada eosinofil.29) Bukti-bukti
penelitian menunjukkan bahwa eosinofil lebih berperan dalam membunuh larva
filariform, bukan terhadap bentuk dewasa. Interleukin-5 (IL-5) yang berperan dalam
pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil meningkat pada infeksi larva yang
diinokulasikan pada tikus percobaan. Pada manusia hal tersebut belum terbukti.
b. Respons terhadap infeksi cacing tambang dewasa
Respons humoral dilakukan oleh IgG1, IgG4 dan IgE, yang dikontrol oleh pelepasan
sitokin pengatur sel Th2. Sitokin yang utama, ialah IL-4. Pada percobaan, setelah 1
tahun pemberian terapi terhadap infeksi N. americanus, didapatkan bahwa kadar IgG
terus menurun sementara kadar IgM dapat meningkat kembali meskipun tidak setinggi
seperti sebelum dilakukan terapi. Di sini kadar IgE hanya menurun sedikit, sedangkan
kadar IgA dan IgD meningkat setelah 2 tahun pasca terapi. Para pakar menyimpulkan
bahwa dibutuhkan lebih sedikit paparan antigen untuk meningkatkan IgE, IgA dan IgD
dibandingkan untuk meningkatkan IgG dan IgM. Selain itu disimpulkan bahwa kadar
IgG dan IgM merupakan indikator terbaik untuk infeksi cacing tambang dewasa dan
untuk menilai efikasi pengobatan. Hanya sedikit bukti yang menyatakan bahwa kadar
antibodi berhubungan dengan imunoproteksi terhadap infeksi cacing tambang
dewasa.3) Sitokin perangsang sel T helper 2 (Th2), yaitu IL-4, IL-5 dan IL-13 yang
merangsang sintesis IgE, merupakan sitokin yang predominan, sedangkan sitokin
perangsang sel Th1 seperti
interferon yang menghambat produksi IgE, lebih sedikit ditemukan. Para peneliti
membuktikan bahwa IgE lebih sensitif untuk menentukan adanya infeksi baik infeksi
larva maupun cacing tambang dewasa, sedangkan IgG4 lebih spesifik sebagai marker
infeksi cacing dewasa N. americanus. Pada infeksi A. caninum, ternyata IgE lebih
spesifik dibandingkan IgG4. Peran IgG4 belum diketahui sepenuhnya. Kemungkinan
77 | P a g e
IgG4 berperan menghambat respons imun dengan inhibisi kompetitif terhadap
mekanisme kekebalan tubuh yang dimediasi oleg IgE, misalnya aktivasi sel mast.
Imunoglobulin G4
tidak mengikat komplemen dan hanya mengikat reseptor Fc-g secara lemah. Pada
infeksi cacing tambang didapatkan fenomena pembentukan autoantibody IgG terhadap
IgE.3 Respons imun seluler terhadap infeksi cacing tambang dewasa adalah terutama
oleh adanya respons sel Th2 yang mengatur produksi IgE dan menyebabkan
eosinofilia. Terjadinya eosinofilia dimulai segera setelah L3 menembus kulit dengan
puncak pada hari ke 38 sampai hari ke 64 setelah infeksi. Sel mast yang terdegradasi
akibat pengaruh IgE melepaskan berbagai protease terhadap kutikula kolagen N.
americanus. Selain itu terjadi
pelepasan neutralizing antibody terhadap IL-9, yang akan menghambat perusakan sel
mast oleh enzim mast cells protease I. Cacing tambang tampaknya lebih tahan
terhadap reaksi inflamasi dibandingkan dengan family nematoda lainnya.
c. Bentuk larva hipobiosis
Pada infeksi A. duodenale dapat terjadi bentuk hipobiosis di mana terjadi penghentian
pertumbuhan larva pada jaringan otot. Pada waktu tertentu, misalnya saat mulai
bersinarnya bulan ini, merupakan saat yang optimal untuk pelepasan larva A.
doudenale. Penyebab fenomena tersebut tidak diketahui. Pada bentuk hipobiosis
pelepasan telur cacing melalui feses baru terjadi 40 minggu setelah masuknya larva A.
duodenale melalui kulit. Fenomena ini juga terjadi pada infeksi A. caninum pada
anjing. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa aktivasi bentuk hipobiosis pada akhir kehamilan yang berakhir
dengan penularan transmamaria/transplasental dari A. duodenale.
Proteksi sistem imun terhadap infeksi cacing tambang, tidak terdapat bukti yang jelas
mengenai proteksi imunologis tubuh terhadap infeksi cacing tambang. Beberapa
penelitian di Papua New Guinea menunjukkan bahwa penderita yang memiliki titer
IgE lebih tinggi, lebih jarang mengalami reinfeksi N. americanus
78 | P a g e
VI. KESIMPULAN
Adi, 5 tahun, menderita anemia mikrositik hipokrom dan eosinophilia kerena infeksi
cacing tambang dan malnutrisi
79 | P a g e
VII. DAFTAR PUSTAKA
Aziz Alimul Hidayat, S.Kp, “Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar
Manusia” Penulis: A. Aziz Alimul Hidayat, S.Kp, Musrifatul Uliyah,
S.Kp; Editor: Monica Ester.EGC, Jakarta, 2004.
Bruehl S, Chung OY, Jirjis JN, Biridepalli S. 2005. Prevalence of clinical
hypertension in patients with chronic pain compared to nonpain general
medical patients. Clin J Pain.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI 2007. Farmakologi dan terapi
Edisi 5. 2012. Jakarta : Badan Penerbit FKUI
Diandra,M.2014.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40648/4/
Chapter%20II.pdf. Diakses 29 Oktober 2014
Evaria; Pramudianto Arlia.MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. 2010.
Jakarta: BIP Kelompok Gramedia.
Harisson.1995. Harisson Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam VOL.
1.E/13.Fisiologi dan Farmakologi Sistem Saraf Autonom. EGC:
Jakarta.
Henry, JB Diagnosa Klinis dan Pengelolaan Laboratorium Metode. 20 ed.
Jakarta: W. B. Saunders Company, 2001.
Katzung, Bertram G., dkk. 2012. Farmakologi Dasar & Klinik, Ed. 12, Vol. 1.
Obat Kardiovaskular-Ginjal, “Tiazida”. Jakarta: EGC
Martindale, 34th edition halaman 956-957 2.MIMS edisi bahasa Indonesia
2008 halaman 59-61 3.DIH, 17th edition halaman 1039-1041 4.AHFS.
Drug Information halaman 1781-1789
National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS). 2014. Low
Back Pain Fact SheetOlsen RB, Bruehl S, Nielsen CS, et al. 2013.
Hypertension prevalence and diminishied blood pressure-related
hypoalgesia in individuals reporting chronic pain in a general
population: The Tromso Study.
Price, Sylvia A; Wilson Lorraine W. 2005.Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Sihombing, dermawan. 2014. “Kreatinin PMI”. Academiaedu.
80 | P a g e
Tierney, Lawrence M., Stephen J. McPhee, dan Maxine A. Papadakis. Saat ini
Diagnosa dan Pengobatan Medis 2001. 40th ed. New York: Lange
Medis Buku / McGraw-Hill, 2001.
Wallach, Jacques. Tes Diagnostik Interpretasi. 7 ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2000.
81 | P a g e