77
LAPORAN AKHIR KEGIATAN KAJIAN PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN (LINGKUP DESA) TAHUN 2016 DIREKTORAT DAERAH TERTINGGAL, TRANSMIGRASI DAN PERDESAAN 2016

LAPORAN AKHIR KEGIATAN KAJIAN PENYUSUNAN …kawasan.bappenas.go.id/images/data/Produk/Kajian/Kajian_Penyusun… · LAPORAN AKHIR KEGIATAN KAJIAN PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI

  • Upload
    vocong

  • View
    295

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN AKHIR

KEGIATAN KAJIAN PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI

PEMBANGUNAN PERDESAAN (LINGKUP DESA)

TAHUN 2016

DIREKTORAT

DAERAH TERTINGGAL, TRANSMIGRASI DAN PERDESAAN

2016

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

BAB-I PENDAHULUAN 1

1.1. LATAR BELAKANG 1

1.2. TUJUAN 5

1.3. SASARAN 5

1.4. KELUARAN 5

1.5. MANFAAT 5

1.6. RUANG LINGKUP 6

1.7. METODOLOGI 7

1.8. JADWAL KEGIATAN 10

1.9. SISTEMATIKA PENULISAN 10

BAB-II LANDASAN TEORI 12

2.1. PENGERTIAN DESA DALAM PERSKPEKTIF TEORITIS 12

2.2. PENGERTIAN PEMBANGUNAN PERDESAAN 15

2.3. UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA 17

2.4. PEMBANGUNAN DESA DENGAN PENDEKATAN 19

DESA MEMBANGUN

2.5. PEMBANGUNAN DESA DENGAN PENDEKATAN 20

MEMBANGUN DESA

ii

BAB-III METODOLOGI 24

3.1. MODEL 24

3.2. PENDEKATAN 24

BAB-IV ANALISIS PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI 27

PEMBANGUNAN DESA (LINGKUP DESA)

4.1. PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PERDESAAN 27

DALAM RPJMN TAHUN 2015-2019

4.2. DIMENSI PEMBANGUNAN DESA 35

4.3. KUESIONER (INSTRUMEN) DATA DESA 38

4.4. PARADIGMA PEMBANGUNAN DESA DALAM DIMENSI 48

SOSIAL, POLITIK, BUDAYA DAN EKONOMI

BAB-V PENUTUP 67

5.1. KESIMPULAN 67

5.2. REKOMENDASI 68

DAFTAR PUSTAKA 70

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jadwal Kegiatan Kajian Penyusunan Instrumen Evaluasi 10

Pembangunan Perdesaan (Lingkup Desa)

Tabel 4.1 Instrumen Evaluasi Pembangunan Perdesaan (Lingkup Desa) 39

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka Berfikir Penyusunan Instrumen Evaluasi 9

Pembangunan Perdesaan (Lingkup Desa)

Gambar 4.1 Skema Pendanaan Pembangunan Wilayah Perdesaan 33

(UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa)

- 1 -

BAB - I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (disingkat dengan UU

Desa) mendefinisikan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas

wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul,

dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum

maka desa mencakup pemerintahan dan sekaligus masyarakat sehingga merupakan

pemerintahan yang berbasis masyarakat. Dengan demikian, desa dapat dipahami

sebagai sebuah organisasi yang mengandung dua komponen terkait yaitu desa adat

atau masyarakat berpemerintahan otonom asli (self-governing community) dan

desapraja atau desa otonom atau pemerintahan lokal otonom (local self-

government).

Dengan diberlakukannya UU Desa maka setiap desa yang ada di Indonesia

diakui dan dihormati serta memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus

setiap potensi yang dimilikinya secara mandiri sesuai kepentingan masyarakat

setempat berdasarkan prakarsa masyarakat dalam rangka mewujudkan

kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan. Ada dorongan semangat dan

upaya yang lebih besar untuk melakukan perubahan desa menuju kehidupan desa

yang mandiri, sejahtera, berkeadilan dan demokratis secara berkelanjutan.

Perubahan desa tersebut akan terjadi ketika masyarakat desa melakukan

transformasi yang bersifat menyeluruh dan berkelanjutan yang bertumpu pada

prakarsa dan kekuatan masyarakat desa tersebut untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang selama ini dihadapi.

- 2 -

Transformasi yang bersifat sosial di desa akan menghasilkan desa yang

mandiri, otonom, dan sejahtera serta memiliki tatanan sosial, budaya, ekonomi dan

politik yang bersendikan keserasian sosial, budaya demokratis, kemandirian dan

keadilan ekonomi, kemapanan kelembagaan lokal dan kedaulatan politik.

Untuk mencapai kondisi kehidupan desa yang mandiri dan sejahtera secara

berkelanjutan maka diperlukan pengaturan desa. Pengaturan desa bertujuan untuk

mendorong prakarsa, gerakan sosial, dan partisipasi masyarakat desa dalam rangka

pengelolaan dan pengembangan potensi dan aset desa untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat; memajukan perekonomian masyarakat desa; serta

mengatasi masalah kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi.

Sementara itu, selain UU Desa dan peraturan pelaksanaannya, pengaturan

desa mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015–2019 untuk

dipedomani oleh pemangku kepentingan terkait pembangunan desa dan kawasan

perdesaan.

Didalam RPJMN Tahun 2015-2019, terdapat 6 (enam) isu strategis yang perlu

diperhatikan dan diselesaikan oleh para pemangku kepentingan dalam rangka

melaksanakan pembangunan desa dan kawasan perdesaan, yaitu: (1) tingkat

kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat di perdesaan yang masih rendah; (2)

ketersediaan sarana dan prasarana fisik maupun non-fisik di desa dan kawasan

perdesaan yang belum memadai; (3) ketidakberdayaan masyarakat perdesaan

akibat faktor ekonomi maupun non ekonomi; (4) pelaksanaan tata kelola

pemerintahan Desa yang memerlukan penyesuaian dengan amanat UU Desa; (5)

kualitas lingkungan hidup masyarakat desa memburuk dan sumber pangan yang

terancam berkurang; dan (6) pengembangan potensi ekonomi lokal desa yang

belum optimal akibat kurangnya akses dan modal dalamproses produksi,

pengolahan, maupun pemasaran hasil produksi masyarakat desa.

- 3 -

Secara spesifik pengaturan desa sesuai dengan amanat UU Desa bertujuan

untuk: (1) memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada

dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan

Republik Indonesia; (2) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas

desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan

bagi seluruh rakyat Indonesia; (3) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan

budaya luhur masyarakat desa; (4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi

masyarakat desa untuk mengembangkan potensi desa dan aset desa untuk

kesejahteraan bersama; (5) membentuk pemerintahan desa yang profesional, efisien

dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; (6) meningkatkan pelayanan publik

bagi masyarakat desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; (7)

meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat desa guna mewujudkan

kesatuan sosial masyarakat desa sebagai bagian dari ketahanan nasional; (8)

memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan

pembangunan nasional; dan (9) memperkuat masyarakat desa sebagai subjek

pembangunan.

Membangun desa pada hakekatnya membangun negara. Apabila setiap desa

mampu melaksanakan pembangunannya secara mandiri maka kemakmuran

masyarakat desa akan mudah terwujud yang pada akhirnya kemakmuran

masyarakat secara nasional juga dapat dicapai. Untuk mewujudkan tujuan

pembangunan desa tersebut maka desa, yang dalam hal ini terdiri dari

pemerintahan desa dan masyarakat desa, perlu secara bersama-sama mengenali

semua potensi yang dimiliki desa dan membangun strategi untuk mengelola dan

mengembangkan potensi desa tersebut agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya

untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Disisi lain, pemerintah juga telah

menetapkan sasaran/target dalam rangka membangun desa, sebagaimana yang

termuat di dalam RPJMN Tahun 2015-2019, yaitu merubah desa tertinggal menjadi

desa berkembang sebanyak 5000 desa dan merubah desa berkembang menjadi desa

mandiri sebanyak 2000 desa.

- 4 -

Pembangunan desa merupakan konsep pembangunan multidimensional yang

sifatnya kompleks. Kemajuan dan keberhasilan pembangunan desa perlu diukur

dengan seksama. Pengukuran tingkat kemajuan pembangunan desa diharapkan

tetap mengacu pada kompleksitas konsep tersebut meskipun perlu diupayakan

adanya penyederhanaan dalam hal instrumen dan teknis pengukurannya. Dimensi,

variabel, dan indikator yang digunakan sebagai alat ukur konsep pembangunan desa

perlu disusun secara teliti sehingga secara komposit akan mampu menggambarkan

tingkat kemajuan dan perkembangan pembangunan desa.

Dalam rangka mengukur tingkat kemajuan pembangunan desa sebagaimana

yang telah diuraikan tersebut di atas, Kementerian Perencanaan Pembangunan

Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/

Bappenas), akan mengembangkan dan menyusun instrumen evaluasi pembangunan

perdesaan (lingkup desa). Hal ini sejalan dengan fungsi Kementerian

PPN/Bappenas, sebagaimana yang diamanatkan melalui Peraturan Presiden Nomor

66 Tahun 2015 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pada Pasal 3

Point a., yaitu "pengkajian, pengoordinasian, dan perumusan kebijakan di bidang

perencanaan pembangunan nasional, strategi pembangunan nasional, arah

kebijakan sektoral, lintas sektor, dan lintas wilayah, kerangka ekonomi makro

nasional dan regional, analisis investasi proyek infrastruktur, kerangka regulasi,

kelembagaan, dan pendanaan, serta pemantauan, evaluasi dan pengendalian

pelaksanaan pembangunan nasional."

Instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini perlu disusun

dengan mengedepankan kesederhanaan dan kemudahan dalam penggunaannya

meskipun harus tetap mengacu pada kompleksitas konsep pembangunan desa.

Rumusan indikator yang digunakan diupayakan mampu semaksimal mungkin untuk

menggambarkan kondisi nyata tingkat pembangunan desa yang dipotret pada suatu

waktu. Indeks Pembangunan Desa (IPD) tahun 2014 yang pertama kali diluncurkan

pada tahun 2015 lalu merupakan indeks komposit yang dapat digunakan sebagai

salah satu alat ukur awal (baseline) untuk meng-evaluasi tingkat kemajuan

pembangunan desa yang senantiasa berubah secara dinamis dari tahun ke tahun.

- 5 -

1.2. TUJUAN

Tujuan kajian ini adalah untuk menyusun sebuah instrumen evaluasi

pembangunan desa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat capaian

keberhasilan pembangunan desa sebagaimana yang telah di targetkan di dalam

RPJMN 2015-2019.

1.3. SASARAN

Sasaran kajian ini adalah tersusunya sebuah instrumen evaluasi

pembangunan desa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat capaian

keberhasilan pembangunan desa sebagaimana yang telah di targetkan di dalam

RPJMN 2015-2019.

1.4. KELUARAN

Keluaran kajian ini adalah diperolehnya sebuah dokumen instrumen evaluasi

pembangunan desa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat capaian

keberhasilan pembangunan desa sebagaimana yang telah di targetkan di dalam

RPJMN 2015-2019.

1.5. MANFAAT

Manfaat kajian ini adalah tersedianya sebuah alat ukur yang dapat

dipergunakan untuk mengetahui tingkat capaian keberhasilan pembangunan desa

sebagaimana yang telah di targetkan di dalam RPJMN 2015-2019.

- 6 -

1.6. RUANG LINGKUP

1.6.1 Lingkup Pelaksanaan

(1). Persiapan

(2). Rapat Rutin Tim Pelaksana

Pelaksanaan rapat rutin tim pelaksana, akan dilaksanakan di provinsi

DKI Jakarta sebanyak 2 kali setiap bulannya, selama periode Januari

s/d Desember 2016 dengan bentuk pelaksanaan halfday. Adapun

tujuannya adalah untuk membahas permasalahan/kendala yang

dihadapi selama berjalannya kegiatan ini.

(3). Focus Group Discussion (FGD) di Provinsi DKI Jakarta

Pelaksanaan FGD akan dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta sebanyak

3 kali selama periode Januari s/d Desember 2016 dengan bentuk

pelaksanaan halfday. Adapun tujuannya adalah untuk memperoleh

masukan dari stakeholder/narasumber di tingkat pusat terhadap

kegiatan ini.

(4). Focus Group Discussion (FGD) di Daerah

Pelaksanaan FGD akan dilaksanakan di provinsi Papua Barat dan

provinsi Maluku Utara sebanyak 1 kali selama periode Januari s/d

Desember 2016 dengan bentuk pelaksanaan fullfday. Adapun

tujuannya adalah untuk memperoleh masukan dari stakeholder/

narasumber di daerah terhadap draft instrumen evaluasi

pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini.

- 7 -

(5). Kunjungan Lapangan ke Daerah

Kunjungan lapangan akan dilaksanakan di provinsi Papua Barat dan

provinsi Maluku Utara sebanyak 1 kali selama periode Januari s/d

Desember 2016. Adapun tujuannya adalah untuk melaksanakan FGD

dengan stakeholder/narasumber di daerah dan sekaligus melakukan

uji coba kuesioner.

(6). Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan dan analisis data, akan dilaksanakan sepanjang kurun

waktu dari bulan Januari s/d November 2016. Adapun tujuan dari

pengumpulan dan analisis data ini, adalah untuk merumuskan data-

data apa saja yang diperlukan untuk dapat mengetahui tingkat

perkembangan pembangunan desa secara tahunan.

(7). Penyusunan Laporan

Penyusunan laporan terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu tahap pertama

adalah menyusun laporan awal, tahap kedua menyusun laporan

antara dan tahap ketiga adalah menyusun laporan akhir.

1.6.2 Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan kajian perkembangan pembangunan desa ini, adalah pada

desa-desa yang termasuk ke dalam lingkup desa tertingal, desa berkembang dan

desa mandiri, sebagaimana yang terdapat di dalam dokumen Indeks Pembangunan

Desa (IPD) tahun 2015. Sementara itu lingkup unit analisisnya adalah desa-desa

yang berada di provinsi Papua Barat dan provinsi Maluku Utara.

- 8 -

1.7. METODOLOGI

Metode analisis yang dipergunakan dalam menyusun instrumen evaluasi

pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini, adalah menggunakan analisis deskriptif

kualitatif. Sumber data utama yang dianalisis ada kuesioner Potensi Desa (Podes)

tahun 2014 dan juga beberapa dokumen/referensi terkait lainnya. Adapun keluaran

hasil analisis tersebut berupa kuesioner baru yang sudah disempurnakan atau

disebut sebagai instrumen evaluasi pembangunan perdesaan.

Mengacu kepada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun

2015 - 2019, Buku-II, Bab-VIII, Point 8.2.5 disebutkan bahwa: sasaran pembangunan

desa dan kawasan perdesaan adalah mengurangi jumlah desa tertinggal sampai

5.000 desa dan meningkatkan jumlah desa mandiri sedikitnya 2.000 desa.

Dalam upaya mewujudkan sasaran tersebut di atas, Pemerintah kemudian

menjabarkan sasaran tersebut secara tahunan, dan pada tahun 2015 (tahun awal

pelaksanaan), pemerintah mentargetkan sasarannya adalah mengurangi jumlah

desa tertinggal sampai 500 desa dan meningkatkan jumlah desa mandiri sedikitnya

200 desa. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat capaian keberhasilan

pembangunan desa, diperlukan suatu instrumen pengukuran yang memadai untuk

menggambarkan perkembangan pembangunan desa dari tahun ke tahunnya (before

and after).

IPD 2015 yang datanya bersumber dari Podes 2014 dapat digunakan sebagai

baseline untuk mengetahui tingkat capaian pembangunan desa sebagaimana yang

diamanatkan di dalam RPJMN 2015-2019. Oleh karena data Podes baru akan di

update pada tahun 2018, maka diperlukan proxy untuk melihat perkembangan desa

secara tahunan.

- 9 -

Secara skematis, kerangka berfikir kajian penyusunan instrumen evaluasi

pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini, di gambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.1

Kerangka Berfikir Penyusunan Instrumen Evaluasi

Pembangunan Perdesaan (Lingkup Desa)

- 10 -

1.8. JADWAL KEGIATAN

Pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan selama 12 (dua belas) bulan, terhitung

dari bulan Januari s/d Desember 2016 dengan jadwal pelaksanaan kegiatan sebagai

berikut:

Tabel 1.1

Jadwal Kegiatan Kajian Penyusunan Instrumen Evaluasi Pembangunan

Perdesaan (Lingkup Desa)

NO. KEGIATAN TAHUN 2016

01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12

1. Persiapan

2. Rapat Rutin Tim Pelaksana

3. FGD di Prov. DKI Jakarta

4. FGD/Fieldtrip ke Prov. Papua Barat

5. FGD/Fieldtrip ke Prov. Maluku Utara

6. Pengumpulan dan Analisis Data

7. Penyusunan Laporan

1.9. SISTEMATIKA PENULISAN

Kajian penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup

desa) ini, disusun dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memaparkan tentang latar belakang, tujuan, sasaran, keluaran,

manfaat, ruang lingkup, metodologi, kerangka berfikir dan jadwal kegiatan

serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memaparkan tentang pengertian desa dalam perskpektif teoritis,

pengertian pembangunan perdesaan, UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa,

pembangunan desa dengan pendekatan desa membangun, pembangunan

desa dengan pendekatan membangun desa.

- 11 -

BAB III METODOLOGI

Bab ini memaparkan tentang model dan juga pendekatan yang

dipergunakan dalam rangka penyusunan instrumen evaluasi pembangunan

perdesaan (lingkup desa).

BAB IV ANALISIS PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI

PEMBANGUNAN DESA (LINGKUP DESA)

Bab ini memaparkan tentang pembangunan desa dan kawasan perdesaan

dalam RPJMN tahun 2015-2019, dimensi pembangunan desa, kuesioner

(instrumen) data desa, dan paradigma pembangunan desa dalam dimensi

sosial, politik, budaya dan ekonomi

BAB V PENUTUP

Bab ini memaparkan tentang kesimpulan dan rekomendasi dalam rangka

penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa).

- 12 -

BAB - II

LANDASAN TEORI

2.1. PENGERTIAN DESA DALAM PERSKPEKTIF TEORITIS

Dalam upaya memahami desa maka perlu dipahami beberapa konsep yang

berkaitan dengan desa meliputi : rural, urban, suburban atau rurban, village, town

dan city. Rural dalam “Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia-lnggeris”

suntingan S. WoJowasito dan W.J.S Poerwodarminto (1972) diartikan “seperti desa,

seperti di desa” dan urban diartikan kota, seperti di kota”. Rural atau yang secara

umum diterjemahkan menjadi “pedesaan” bukanlah desa (village). Demikian pula

urban atau yang umum diterjemahkan menjadi perkotaan, juga bukan kota (town,

city).

Dengan demikian hakekatnya konsep rural dan urban lebih menunjuk kepada

karakteristik masyarakatnya, sedangkan village, town, dan city sering mengacu

kepada suatu unit teritorial. Village, town dan city sering dipertegas identitasnya

sebagai suatu unit teritorial-administratif atau berkaitan dengan kekotaprajaan

(municipality). Dalam kaitan ini suatu daerah dan komunitas pedesaan (rural area

and community) dapat mencakup sejumlah desa (village).

Sedangkan Koentjaraningrat (1977) mendefinisikan desa sebagai “komunitas

kecil yang menetap tetap di suatu tempat” (1977:162). Hal ini dilakukan untuk

membedakannya dari masyarakat berburu dan meramu (suku terasing) yang

senantiasa berpindah tempat sesuai wilayah tempat tanaman masak atau hewan

perburuan berada. Desa, sebaliknya, berisi orang-orang yang bisa melakukan

domestikasi ternak atau bercocok tanam tanpa perlu berpindah tempat lagi. Dengan

demikian akumulasi kekayaan semakin nyata.

- 13 -

Egon E. Bergel (1955:121) Mendefinisikan desa sebagai setiap permukiman

para petani (peasants). Ini merupakan cara pandang lama yang melihat desa secara

homogen sebagai tempat berkumpulanya petani. Pada kenyataannya desa sejak

lama sudah bersifat heterogen dalam aspek ekonomi, sosial dan politik, meskipun

tdaik sekompleks perkotaan.

Paul H. Landis (1948:12-13), mendefinisikan desa dengan cara memilah

menjadi tiga macam sesuai dengan tujuan analitiknya. Untuk tujuan analisa statistik,

desa didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya kurang dari 2.500

orang. Untuk tujuan analisa sosial-psikologik, desa didefinisikan sebagai suatu

lingkungan yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba informal

diantara sesama warganya. Sedangkan untuk tujuan analisa ekonomik, desa

didefinisikan sebagai suatu lingkungan yang penduduknya tergantung kepada

pertanian. Pandangan ini tidak sepenuhnya cocok untuk wilayah desa di Indonesia

yang bisa mencakup penduduk lebih dari 6.000 orang dan tidak semata-mata

mengacu kepada ekonomi pertanian. Walaupun demikian, kondisi sosial-psikologik

masih akrab dan cenderung informal.

Pitirim A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman (dalam T.L. Smith dan P.E. Zop.

1970) mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan

karakteristik desa dan kota, dengan mendasarkan pada : mata pencaharian, ukuran

komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan, differensiasi sosial, stratifikasi

sosial, interaksi sosial dan solidaritas sosial. Dalam hal ini perdesaan dicirikan oleh

masyarakat yang didominasi mata pencaharian di bidang pertanian, dengan ukuran

komunitas kecil, tingkat kepadatan penduduk rendah, lingkungan alam relatif masih

mengarahkan pola tingkah laku penduduk, diferensiasi dan stratifikasi sosial

masyarakat sederhana, interaksi sosial masih kuat, dan solidaritas sosial masih

tinggi.

- 14 -

Menurut Rouceck dan Warren (1962), masyarakat desa memiliki

karakteristik sebagai berikut: (1) besarnya peranan kelompok primer tatap muka

berbasis hubungan kekeluargaan dan ketetanggaan; (2) faktor geografik yang

menentukan sebagai dasar pembentukan kelompok/asosiasi; (3) hubungan lebih

bersifat intim dan awet; (4) homogen; (5) mobilitas sosial rendah; (6) keluarga lebih

ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi; (7) populasi anak dalam proporsi yang

besar.

Sedangkan karakteristik kota adalah sebagai berikut: (1) besarnya peranan

kelompok sekunder berbasis kepentingan; (2) anonimitas merupakan ciri

kehidupan masyarakatnya; (3) heterogen; (4) mobilitas sosial tinggi; (5) tergantung

pada spesialisasi; (6) hubungan antara orang satu dengan yang lain lebih didasarkan

atas kepentingan daripada kedaerahan; (7) lebih banyak tersedia lembaga atau

fasilitas untuk mendapatkan barang dan pelayanan; (8) lebih banyak mengubah

lingkungan.

Dengan bersikap kritis terhadap kesimpulan para ahli di atas, pengertian

perdesaan yang perlu diambil di sini merupakan wilayah yang terdiri dari satu atau

lebih desa, yang dicirikan oleh pemukiman yang didominasi ekonomi berbasis

rumah tangga atau usaha kecil yang memiliki struktur modal dan cara kerja tertentu,

pranata dan organisasi kecil yang masih mempertimbangkan hubungan genealogis

dan teritorial, memiliki diferensiasi dan stratifikasi sosial yang sederhana sehingga

spesialisasi belum berkembang, serta menganut sistem politik patrimonial yang

masih mempertimbangkan person. Perdesaan hanya mungkin dilihat dalam

hubungannya dengan perkotaan, karena secara universal desa-desa yang muncul

selalu memiliki hubungan dengan kota.

Wujud desa-desa di Indonesia beragam seiring dengan kebhinekaan

Indonesia, sehingga sangat sulit untuk membuat suatu generalisasi karakteristik

desa di Indonesia yang khas dan membedakannya dari desa-desa negara lain. Istilah

desa semula hanya dikenal di Jawa, Madura dan Bali. Desa dan dusun berasal dari

bahasa sanskerta yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Sutardjo

Kartohadikoesoemo (1953) mendefinisikan desa sebagai, “suatu kesatuan hukum,

- 15 -

dimana bertempat tinggal suatu masyarakat, yang berkuasa mengadakan

pemerintahan sendiri”. Sedangkan di wilayah lainnya terdapat nama lokal untuk

daerah kesatuan hukum semacam desa di Jawa tersebut, contohnya Nagari di

Sumatera Barat, Huta di Tapanuli, Wanua di Minahasa, Gaukang di Makasar dan

sebagainya.

2.2. PENGERTIAN PEMBANGUNAN PERDESAAN

Pembangunan berarti perubahan yang disengaja atau direncanakan untuk

mengubah keadaan yang tidak dikehendaki kearah yang dikehendaki (Raharjo,

1995). Pembangunan mengandung pengertian progresif atau gerak yang maju dan

menuju kesejahteraan, bukan retrogesif atau gerak yang mundur. Pembangunan

masyarakat desa memiliki beberapa pengertian antara lain:

(1). Pembangunan masyarakat desa berarti pembangunan masyarakat tradisional

menjadi manusia modern (Horton dan Hunt, 1976. Alex Inkeles. 1965);

(2). Pembangunan masyarakat desa berarti membangun swadaya masyarakat

dan rasa percaya diri pada diri sendiri (Mukerjee dalam Bhattacharyya,

1972);

(3). Pembangunan perdesaan tidak lain dari pembangunan usaha tani atau

membangun pertanian (Mosher, 1974, Bertrand, 1958).

Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, mengenai kaitan desa dengan

kota maupun wilayah yang lebih luas, maka pembangunan perdesaan adalah bagian

integral dari pembangunan nasional dan pembangunan nasional merupakan

sublimasi dan atau akumulasi dari pembangunan perdesaan. Oleh sebab itu,

pembangunan nasional harus mempertimbangkan kepentingan masyarakat

perdesaan, dan pembangunan desa juga harus mempertimbangkan kepentingan

nasional.

Pembangunan perdesaan di sini adalah pembangunan masyarakat dan

lingkunaan perdesaan, dalam rangka mencapai kesejahteraan, pemerataan, dan

keadilan seluruh warga perdesaan.

- 16 -

Dalam kaitan dengan pemberdayaan masyarakat, pembangunan masyarakat

perdesaan adalah penguatan kelembagaan sosial sesuai virtue yang dimiliki,

penguatan ekonomi penduduk, dan penguatan sumberdaya manusia perdesaan.

Penguatan kelembagaan sosial meliputi penguatan tata nilai setempat, social capital

masyarakat, dan organisasi masyarakat setempat. Penguatan ekonomi meliputi

pengelolaan faktor-faktor produksi, peningkatan produksi, peningkatan pendapatan,

dan peningkatan tabungan masyarakat. Penguatan sumberdaya manusia meliputi

penguatan pendidikan penduduk, keterampilan penduduk, iman dan taqwa

penduduk, kesehatan penduduk, dan sikap mental penduduk.

Sedangkan pembangunan lingkungan perdesaan adalah penyediaan sarana

dan prasarana permukiman perdesaan, seperti prasarana transportasi, prasarana

penerangan, prasarana komunikasi, prasarana air bersih, prasarana pembuangan

limbah domestik, prasarana pendidikan, prasarana kesehatan, dan prasarana sosial

lainnya.

Pembangunan perdesaan dalam lingkup pemberdayaan masyarakat tentunya

mengarah kepada peningkatan kemandirian ekonomi, peningkatan demokratisasi,

dan peningkatan kemampuan organisasi atau lembaga lokal. Dengan demikian

pembangunan perdesaan bukan tanggungjawab pemerintah saja, tetapi juga

tanggungjawab masyarakat perdesaan. Hal-hal yang menjadi urusan masyarakat

dan dapat dipecahkan oleh masyarakat perdesaan, maka menjadi tanggungjawab

masyarakat perdesaan sendiri. Peran pemerintah hanya memfasilitasi dalam

membuka akses ekonomi, sosial dan politik, serta membagi wewenangnya dalam

mengelola perdesaan.

- 17 -

2.3. UNDANG-UNDANG NO. 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mendefinisikan desa dan

desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang

diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah

sehingga keberadaan desa diakui sebagai entitas kesatuan masyarakat hukum adat

yang berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum yang selama ini dikenal sebagai

daerah. Sebagai wujud nyata keberadaannya, desa memiliki wilayah hukum dengan

batas wilayah yang jelas. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur urusan

pemerintahan desa dan mengurus kepentingan masyarakat desa. Sementara itu,

pemerintahan desa merupakan penyelenggaran urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI).

Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum melaksanakan pemerintahan desa

untuk kepentingan masyarakat desa harus berdasarkan pada tiga hal yaitu: prakarsa

masyarakat desa yang demokratis, hak asal usul sebagai entitas yang sudah ada dan

memiliki susunan asli jauh sebelum NKRI lahir, atau hak sebagai masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya. Penyelenggaraan pemerintahan tersebut

diakui, dihormati, dan sejalan dengan sistem pemerintahan NKRI.

- 18 -

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan ini, maka desa mengandung

dua komponen yaitu pemerintah desa dan masyarakat desa. Pemerintah desa adalah

Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain yang dibantu oleh perangkat desa

sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Perangkat desa yang dimaksud

meliputi: Sekretariat Desa, Pelaksana Kewilayahan, dan Pelaksana Teknis yang

semaunya bertugas membantu melaksanakan tugas dan bertanggung jawab kepada

Kepala Desa dalam menjalankan pemerintahan desa.

Dalam rangka mengambil keputusan strategis dalam penyelenggaraan

pemerintahan desa, pemerintah desa melaksanakan musyawarah desa sebagai

forum permusyawaratan yang diikuti oleh pemerintah desa, Badan

Permusyawaratan Desa (BPD) dan unsur masyarakat desa. Hal-hal yang

dikategorikan sebagai sesuatu yang bersifat strategis antara lain: (1) penataan desa;

(2) perencanaan desa; (3) kerja sama desa; (4) rencana investasi yang masuk ke

desa; (5) pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa); (6) penambahan dan

pelepasan aset desa; dan (7) kejadian luar biasa.

Sementara itu, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa,

pemerintah desa memerlukan kerja sama dengan BPD untuk mendapatkan aspirasi

masyarakat desa serta membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa.

Akhirnya, desa sebagai kesatuan masyarakat hukum memiliki lima kewajiban

penting. Kelima kewajiban desa tersebut antara lain: (1) melindungi dan menjaga

persatuan, kesatuan, serta kerukunan masyarakat desa dalam rangka kerukunan

nasional dan keutuhan NKRI; (2) meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat

desa; (3) mengembangkan kehidupan demokrasi; (4) mengembangkan

pemberdayaan masyarakat desa; dan (5) memberikan dan meningkatkan pelayanan

kepada masyarakat desa.

- 19 -

2.4. PEMBANGUNAN DESA DENGAN PENDEKATAN DESA MEMBANGUN

Dalam rangka mengurus kepentingan masyarakat Desa maka Desa

berwenang untuk melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan

desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan Pancasila, Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Pembangunan Desa merupakan upaya peningkatan kualitas hidup dan

kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Sementara itu,

pemberdayaan masyarakat desa merupakan upaya mengembangkan kemandirian

dan kesejahteraan masyarakat desa dengan meningkatkan penegetahuan, sikap,

keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya

melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai

dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. Kewenangan desa

tersebut meliputi: (1) kewenangan berdasarkan hak asal usul; (2) kewenangan lokal

berskala desa; (3) kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah

daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai peraturan

perundang-undangan. Kewenangan ke-(1) dan ke-(2) merupakan kewenangan desa

dalam konsep desa membangun, sementara itu kewenangan ke-(3) merupakan

kewenangan desa dalam konsep membangun desa.

Pembangunan Desa dilaksanakan untuk memenuhi setidaknya empat

kebutuhan masyarakat desa yaitu: (1) kebutuhan primer berupa sandang, pangan,

dan papan; (2) pelayanan dasar berupa pendidikan, kesehatan, transportasi, energi,

dsb; (3) lingkungan berupa kohesivitas sosial, keamanan, ketertiban, dsb; dan (4)

kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Berdasarkan upaya pemenuhan

kebutuhan masyarakat desa tersebut, pembangunan desa dilaksanakan dengan

tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup

manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar,

pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal,

serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

- 20 -

Dalam konteks ini, pembangunan desa dapat dilaksanakan dengan

mengkombinasikan dua pendekatan pembangunan yaitu desa membangun dan

membangun desa dengan tetap mengacu pada semangat yang diamanatkan oleh UU

Desa.

2.5. PEMBANGUNAN DESA DENGAN PENDEKATAN MEMBANGUN DESA

Pembangunan desa yang mengacu pada pendekatan membangun desa

merupakan sebuah konsep pembangunan yang berbasis kondisi kawasan perdesaan

(rural) yang perlu dilaksanakan dengan memperhatikan ciri khas kehidupan sosial,

ekonomi, dan budaya masyarakat yang tinggal dan menetap di kawasan perdesaan.

Masyarakat di wilayah perdesaan pada umumnya masih memiliki dan melestarikan

berbagai kearifan lokal yang sangat terkait dengan kondisi geografis dan demografis,

karakteristik sosial, ekonomi, budaya, serta kelembagaan desa. Sementara itu,

masyarakat di wilayah perdesaan pada umumnya masih menghadapi berbagai

keterbatasan akses terhadap beberapa fasilitas antara lain: infrastruktur pelayanan

dasar (pendidikan dan kesehatan), infrastruktur perekonomian (perdagangan,

akomodasi, dan keuangan) untuk memenuhi kebutuhan dasar (pangan, sandang,

dan papan), infrastruktur energi, serta infrastruktur transportasi, komunikasi, dan

informasi. Permasalahan lain yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah perdesaan

yaitu relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia dan multidimensionalitas

kemiskinan.

Pembangunan desa dalam pendekatan membangun desa dilaksanakan

sebagai bentuk intervensi dalam rangka mengurangi tingkat kesejangan kemajuan

antara wilayah perdesaan maupun antara wilayah perdesaan dan perkotaan sebagai

akibat dari pembangunan ekonomi yang selama ini cenderung bias perkotaan

(urban bias). Hingga saat ini, wilayah perkotaan cenderung dianggap telah

mengalami kemajuan dalam berbagai bidang yang tercermin dari berbagai indikator

pembangunan, sementara itu, wilayah perdesaan masih identik dengan berbagai

keterbatasan dan keterbelakangan dalam banyak aspek kehidupan.

- 21 -

Pembangunan desa kemudian diharapkan menjadi solusi bagi dinamika dan

perubahan sosial masyarakat desa yang menjadi lebih baik serta menjadikan desa

sebagai basis perubahan dalam banyak aspek kehidupan masyarakat. Lebih jauh

lagi, sumber pertumbuhan ekonomi diharapkan untuk lebih digerakkan ke wilayah

perdesaan dengan maksud agar wilayah perdesaan menjadi tempat yang menarik

sebagai tempat tinggal dan mencari penghidupan yang layak. Infrastruktur di

wilayah perdesaan, seperti prasarana dan sarana pendidikan, kesehatan,

perekonomian, energi, transportasi, komunikasi, dan informasi serta infrastruktur

lain yang dibutuhkan oleh masayarakat di wilayah perdesaan harus dapat

disediakan dalam jumlah dan kualitas yang memadai sehingga memungkinkan

wilayah perdesaan menjadi berkembang dan maju.

Prioritas pembangunan berbasis kawasan perdesaan (rural-based

development) disusun dengan mengacu pada tujuh area pembangunan meliputi: (1)

pemenuhan standar pelayanan minimum untuk masyarakat yang tinggal di wilayah

perdesaan sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan geografisnya; (2) pengelolaan

sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan untuk meningkatkan

kualitas kehidupan masyarakat di kawasan perdesaan; (3) penanggulangan

kemiskinan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat di kawasan perdesaan

dalam rangka pengembangan pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan; (4)

pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk lebih mendorong keterkaitan

perdesaan-perkotaan secara berkesinambungan; (5) pembangunan sumber daya

manusia, peningkatan keberdayaan, serta pemantapan demokrasi dan modal sosial

masyarakat di kawasan perdesaan; (6) pengembangan kapasitas dan pendampingan

aparatur pemerintahan Desa dan peningkatan fungsi kelembagaan Desa secara

berkelanjutan; serta (7) pengawalan implementasi UU Desa secara sistematis,

konsisten, dan berkelanjutan melalui koordinasi, fasilitasi, supervisi, dan

pendampingan.

- 22 -

Terdapat dua hal menarik terkait dengan pembangunan desa hingga saat ini.

Pertama, program dan kegiatan pembangunan desa dengan pendekatan

membangun desa yang telah dilaksanakan oleh kementerian/lembaga, serta

berbagai pemangku kepentingan terkait desa, ternyata jumlahnya sangat banyak

dan beragam, namun beberapa program tersebut pada umumnya dianggap belum

menjawab atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa, serta belum

mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan

Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP Desa). Tidak dapat dipungkiri bahwa masih

banyak desa di Indonesia yang masih belum memiliki RPJM Desa dan RKP Desa.

Salah satu penyebab ketidaksinkronan pembangunan desa tersebut adalah karena

Kementerian/Lembaga dan pemangku kepentingan terkait pembangunan desa tidak

memiliki informasi yang memadai terkait kondisi dan kebutuhan desa di Indonesia

yang jumlahnya mencapai melebihi 74.093 desa. Pengumpulan bukti–bukti empiris

mengenai kondisi nyata desa di Indonesia menjadi suatu hal yang belum dapat

dilakukan, mengingat adanya kendala terkait sumber daya manusia, waktu, dan

anggaran yang dibutuhkan untuk itu yang jumlahnya akan sangat besar. Kendala

tersebut tidak hanya dirasakan oleh pemerintah yang jangkauannya jauh terhadap

seluruh desa, namun juga dirasakan oleh pemerintah daerah yang secara lokus lebih

dekat ke desa dan masyarakat desa.

Kedua, saat ini pembangunan desa yang dilaksanakan di hampir seluruh desa

di Indonesia belum didasarkan pada suatu acuan baku berupa standar pelayanan

minimal desa. Standar Pelayanan Minimal Desa (SPM Desa) merupakan hak

masyarakat desa terhadap pelayanan publik yang harus disediakan oleh pemerintah,

pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah

desa. Sampai saat ini SPM Desa dengan lingkup nasional masih belum tersedia.

Meskipun demikian, tidak ada salahnya apabila pemerintah daerah maupun

pemerintah desa dapat menetapkan SPM Desa terhadap kualitas pelayanan yang

diberikan kepada masyarakat desa.

- 23 -

Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pemenuhan SPM Desa hingga saat

ini antara lain: (1) kondisi dan kebutuhan masyarakat antara satu desa dengan desa

lainnya yang berbeda–beda sehingga SPM Desa menjadi tidak dapat diseragamkan

baik aspek maupun volumenya; (2) sumber daya yang masih terbatas baik sumber

daya manusia maupun penganggarannya; dan (3) belum terbaginya kewenangan/

urusan dari pemerintah, pemerintah daerah, dan pemerintah desa dalam

pemenuhan SPM Desa dengan mengacu pada UU Desa dan peraturan

pelaksanaannya.

Adapun rujukan terkait aspek pemenuhan SPM Desa adalah UU Desa beserta

peraturan pelaksanaannya dimana disebutkan bahwa pembangunan desa bertujuan

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia

serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar,

pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal,

serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

- 24 -

BAB - III

METODOLOGI

3.1. MODEL

Pada prinsipnya model yang akan digunakan dalam kajian penyusunan

instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini, tidaklah jauh

berbeda dengan model atau pendekatan yang digunakan dalam menyusun Indeks

Pembangunan Desa (IPD) tahun 2015. Hal ini dikarenakan IPD merupakan baseline

(titik awal status) desa yang akan menjadi object evaluasi, sehingga jika modelnya

terlalu berbeda dengan model IPD dikhawatirkan akan sulit untuk mengukur tingkat

perkembangan pembangunan desa dari tahun ke tahunnya. Hanya saja dalam

penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini, lebih

menitikberatkan pada upaya penyempurnaan kuesioner (instrumen) Podes yang

beberapa datanya dirasa masih belum memadai untuk menggambarkan kondisi

desa yang sebenarnya, dan dari hasil penyempurnaan kuesioner tersebut akan

dilakukan uji coba ke beberapa daerah. Selanjutnya kuesioner (instrumen) ini akan

menjadi bahan masukan bagi Badan Pusat Statistik (BPS) dalam melaksanakan

survey Podes di tahun 2018.

3.2. PENDEKATAN

Pendekatan analisis yang dipergunakan dalam menyusun instrumen evaluasi

pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini, adalah menggunakan analisis deskriptif

kualitatif. Sumber data utama yang dianalisis ada kuesioner Potensi Desa (Podes)

tahun 2014 dan juga beberapa dokumen/referensi terkait lainnya. Adapun keluaran

hasil analisis tersebut berupa kuesioner baru yang sudah disempurnakan atau

disebut sebagai instrumen evaluasi pembangunan perdesaan.

- 25 -

Selanjutnya kuesioner tersebut akan dilakukan uji coba pada pada beberapa

desa yang menjadi lokasi sampling. Metode sampling yang digunakan adalah area

sampling. Area sampling didefinisikan secara umum sebagai kumpulan prosedur

dimana wilayah geografis dipilih sebagai unit antara untuk memilih unit sampel

yang lebih rendah yang menjadi target suatu survei. Area sampling dipilih sebagai

metode sampling dalam kajian ini dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut:

(01). Adanya pertimbangan efisiensi biaya pendataan lapangan (listing dan survei).

(02). Adanya pertimbangan pemikiran bahwa unit-unit analisis yang tersebar

secara spasial pada kawasan geografis yang sama cenderung memiliki

karakteristik yang serupa.

(03). Metode sampling yang digunakan dalam kajian ini diupayakan sampling

probabilitas (probability sampling). Area Sampling merupakan salah satu

varian metode sampling multi tahap (multi-stages random sampling).

(04). Unit sampling yang menjadi target (ultimate sampling unit) adalah Desa.

Pemilihan sampel dalam kajian ini mengikuti struktur hierarki wilayah

administrasi pemerintahan sebagai berikut: (1) Primary Sampling Units (PSU)

merupakan wilayah geografis yang secara kolektif merepresentasikan seluruh

cakupan wilayah survei. Wilayah geografis yang ditetapkan menjadi PSU adalah

kabupaten/kota. Setiap kabupaten/kota memuat desa-desa yang telah terstratifikasi

berdasarkan tingkat kemajuan desa sebagai desa mandiri, desa berkembang, dan

desa tertinggal; dan (2) Ultimate Sampling Units (USU) merupakan unit analisis yang

menjadi tujuan survei yaitu desa. Desa-desa yang menjadi target sampel pada setiap

strata kemajuan desa di kabupaten/kota terpilih sebagai PSU kemudian dipilih

dengan skenario alokasi sampel secara sistematik.

Adapun pemilihan sampel kabupaten/kota dan desa dilakukan dengan

tahapan sebagai berikut: (1) total sampel desa yang menjadi target sampel secara

nasional sebanyak 4.763 tersebar di 405 kabupaten/kota; (2) PSU sebanyak 40

kabupaten/kota (10 persen dari kabupaten/kota target sampel). Pemilihan

kabupaten/kota sebagai PSU didasarkan pada pendekatan Probability Proportional

to Size (PPS). Variabel yang dipertimbangkan sebagai dasar penentuan size adalah

- 26 -

total desa yang menjadi target sampel di setiap kabupaten/kota. Suatu

kabupaten/kota akan memiliki peluang terpilih sebagai PSU sangat bergantung pada

muatan/total desa target sampel di wilayahnya; dan (3) USU berupa desa terpilih

sampel sebanyak 10 persen dari total desa target sampel pada setiap strata

kemajuan desa di kabupaten/kota terpilih sebagai PSU. Pada suatu kabupaten/kota

terpilih sebagai sampel akan dipilih sebanyak 10 persen desa berkembang dan 10

persen desa tertinggal. Pemilihan Desa sebagai USU didasarkan pada pendekatan

self-weighting, setiap desa mengalami skenario pemilihan sampel yang sama

sehingga sekaligus memiliki peluang yang sama untuk terpilih sebagai desa sampel.

Pemilihan sampel desa menggunakan skenario pemilihan sampel sistematik yang

diberlakukan pada setiap strata kemajuan desa di wilayah kabupaten/kota PSU.

- 27 -

BAB - IV

ANALISIS PENYUSUNAN INSTRUMEN EVALUASI

PEMBANGUNAN DESA (LINGKUP DESA)

4.1. PEMBANGUNAN DESA DAN KAWASAN PERDESAAN

DALAM RPJMN TAHUN 2015-2019

4.1.1. Isu Strategis Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan

Pembangunan desa dan kawasan perdesaan secara komprehensif merupakan

faktor penting bagi pembangunan daerah, pengentasan kemiskinan, dan

pengurangan kesenjangan antarwilayah. Perkembangan jumlah desa di Indonesia

meningkat pesat, dari 72.9442 desa pada tahun 2012 (Sumber Ditjen Kependudukan

dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri) menjadi 74.0933 desa tahun 2014

(Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Per Semester I

Bulan Juni 2014). Sayangnya jumlah yang selalu meningkat ini tidak diikuti dengan

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keterisolasian wilayah karena keterbatasan

akses, baik transportasi, telekomunikasi, pendidikan, kesehatan, maupun

permukiman, terutama di desa-desa di kawasan perbatasan, daerah tertinggal, dan

pulau-pulau kecil terluar, menjadi penyebab tingginya tingkat kemiskinan di desa.

Secara ringkas, isu-isu strategis pembangunan desa dan kawasan perdesaan

yang perlu diselesaikan adalah: (1) tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup

masyarakat di perdesaan yang masih rendah; (2) ketersediaan sarana dan prasarana

fisik maupun non-fisik di desa dan kawasan perdesaan yang belum memadai; (3)

ketidakberdayaan masyarakat perdesaan akibat faktor ekonomi maupun non

ekonomi; (4) pelaksanaan tata kelola pemerintahan Desa yang memerlukan

penyesuaian dengan amanat Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa; dan

(5) kualitas lingkungan hidup masyarakat desa memburuk dan sumber pangan yang

terancam berkurang.

- 28 -

Pengembangan potensi ekonomi lokal desa yang belum optimal akibat

kurangnya akses dan modal dalam proses produksi, pengolahan, maupun

pemasaran hasil produksi masyarakat desa.

4.1.2. Sasaran Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan

Sasaran pembangunan desa dan kawasan perdesaan adalah mengurangi

jumlah desa tertinggal sampai 5.000 desa dan meningkatkan jumlah desa mandiri

sedikitnya 2.000 desa.

4.1.3. Arah Kebijakan Dan Strategi Pembangunan Desa

dan Kawasan Perdesaan

Arah kebijakan pembangunan desa dan kawasan perdesaan tahun 2015-

2019 adalah sebagai berikut:

(1). Penguatan Pemerintahan Desa, melalui Pengembangan kapasitas dan

pendampingan aparatur pemerintah desa dan kelembagaan pemerintahan

desa secara berkelanjutan dengan strategi:

- Meningkatkan kapasitas pemerintah desa dan Badan Permusyawarat-

an Desa melalui fasilitasi, pelatihan, dan pendampingan dalam:

* perencanaan, pelaksanaan dan monitoring pembangunan desa;

* pengelolaan aset dan keuangan desa;

* penetapan batas desa secara digital;

- Reformasi pelayanan publik termasuk pelayanan di luar jam kantor

oleh desa, kelurahan, dan kecamatan;

- Meningkatkan ketersediaan sarana prasarana pemerintahan desa;

- Mengembangkan kerjasama antar desa;

- Melaksanakan penataan desa;

- Mengembangkan pusat informasi desa/balai rakyat.

- 29 -

(2). Pembangunan Desa, mencakup:

- Pemenuhan Standar Pelayanan Minimum Desa sesuai dengan kondisi

geografis Desa, melalui strategi: menyusun dan memastikan

terlaksananya Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) SPM

Desa (antara lain perumahan, permukiman, pendidikan, kesehatan,

perhubungan antar permukiman ke pusat pelayanan pendidikan,

pusat pelayanan kesehatan, dan pusat kegiatan ekonomi, pengairan,

listrik dan telekomunikasi).

- Penanggulangan kemiskinan dan pengembangan usaha ekonomi

masyarakat Desa, melalui strategi:

* penataan dan penguatan BUMDesa untuk mendukung

ketersediaan sarana prasarana produksi khususnya benih,

pupuk, pengolahan produk pertanian dan perikanan skala

rumah tangga desa;

* fasilitasi, pembinaan, maupun pendampingan dalam

pengembangan usaha, bantuan permodalan/kredit,

kesempatan berusaha, pemasaran dan kewirausahaan;

* meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam pemanfaatan

dan pengembangan Teknologi Tepat Guna Perdesaan;

- Pembangunan sumber daya manusia, peningkatan keberdayaan, dan

pembentukan modal sosial budaya masyarakat Desa melalui strategi:

* mengembangkan pendidikan berbasis ketrampilan dan

kewirausahaan;

* mendorong peran aktif masyarakat dalam pendidikan dan

kesehatan;

* mengembangkan kapasitas dan pendampingan lembaga

kemasyarakatan desa dan lembaga adat secara berkelanjutan;

* menguatkan partisipasi masyarakat dengan pengarusutamaan

gender termasuk anak, pemuda,lansia dan penyandang

disabilitas dalam pembangunan desa;

- 30 -

* menguatkan kapasitas masyarakat desa dan masyarakat adat

dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam lahan

dan perairan, serta lingkungan hidup desa termasuk desa

pesisir secara berkelanjutan;

* meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan

masyarakat desa dalam meningkatkan ketahanan ekonomi,

sosial, lingkungan keamanan dan politik;

* meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan,

pelaksanaan, dan monitoring pembangunan desa;

* meningkatkan partisipasi dan kapasitas tenaga kerja

(TKI/TKW) di desa.

(3). Pembangunan Kawasan Perdesaan, mencakup:

- Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup berkelanjutan,

serta penataan ruang kawasan perdesaan melalui strategi:

* menjamin pelaksanaan distribusi lahan kepada desa-desa dan

distribusi hak atas tanah bagi petani, buruh lahan, dan nelayan;

* menata ruang kawasan perdesaan untuk melindungi lahan

pertanian dan menekan alih fungsi lahan produktif dan lahan

konservasi;

* menyiapkan dan melaksanakan kebijakan untuk membebaskan

desa dari kantong-kantong hutan dan perkebunan;

* menyiapkan dan melaksanakan kebijakan tentang akses dan

hak desa untuk mengelola sumber daya alam berskala lokal

termasuk pengelolaan hutan negara oleh desa berorientasi

keseimbangan lingkungan hidup dan berwawasan mitigasi

bencana untuk meningkatkan produksi pangan dan

mewujudkan ketahanan pangan;

* menyiapkan dan melaksanakan kebijakan-regulasi baru

tentang shareholding antara pemerintah, investor, dan desa

dalam pengelolaan sumber daya alam;

- 31 -

* menjalankan program-program investasi pembangunan

perdesaan dengan pola shareholding melibatkan desa dan

warga desa sebagai pemegang saham;

* merehabilitasi kawasan perdesaan yang tercemar dan terkena

dampak bencana khususnya di daerah pesisir dan daerah

aliran sungai.

- Pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk mendorong

keterkaitan desa-kota dengan strategi:

* mewujudkan dan mengembangkan sentra produksi, sentra

industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan, serta

destinasi pariwisata;

* meningkatkan akses transportasi desa dengan pusat-pusat

pertumbuhan ekonomi lokal/wilayah;

* mengembangkan kerjasama antardesa, antardaerah, dan

antarpemerintah swasta termasuk kerjasama pengelolaan

BUMDesa, khususnya di luar Jawa-Bali;

* membangun agribisnis kerakyatan melalui pembangunan bank

khusus untuk pertanian, UMKM, dan Koperasi;

* membangun sarana bisnis/pusat bisnis di perdesaan;

* mengembangkan komunitas teknologi informasi dan

komunikasi bagi petani untuk berinteraksi denga pelaku

ekonomi lainnya dalam kegiatan produksi panen, penjualan,

distribusi, dan lain-lain.

(4). Pengawalan implementasi UU Desa secara sistematis, konsisten, dan

berkelanjutan melalui koordinasi, fasilitasi, supervisi, dan pendampingan

dengan strategi:

- Konsolidasi satuan kerja lintas Kementerian/Lembaga;

- Memastikan berbagai perangkat peraturan pelaksanaan UU Desa

sejalan dengan substansi, jiwa, dan semangat UU Desa, termasuk

penyusunan PP Sistem Keuangan Desa;

- 32 -

- Memastikan distribusi Dana Desa dan Alokasi Dana Desa berjalan

secara efektif, berjenjang, dan bertahap;

- Mempersiapkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam

mengoperasionalisasi pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk

dapat ditetapkan menjadi desa adat.

4.1.4. Kerangka Pendanaan Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan

Kerangka pendanaan pembangunan desa dan kawasan perdesaan memiliki

kaitan yang sangat erat dengan diterbitkannya UU No. 6/2014 tentang Desa. Dalam

UU tersebut, asas rekognisi (pengakuan terhadap hak asal usul) dan subsidiaritas

(penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal

untuk kepentingan masyarakat Desa), menjadikan Desa memiliki kewenangan lebih

besar dalam kesatuan kewenangan, perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan

pembangunan.

Kerangka pendanaan pembangunan desa dan kawasan perdesaan diarahkan

untuk mempercepat terwujudnya kemandirian Desa meliputi percepatan

pemenuhan kebutuhan pelayanan umum dan pelayanan dasar, penyelenggaraan

pemerintahan, peningkatan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat,

pengembangan ekonomi di perdesaan sesuai dengan kearifan lokal. Pada periode

pembangunan tahun 2015-2019, arahan kerangka pendanaan pembangunan desa

dan kawasan perdesaan memanfaatkan sumber pendanaan dalam negeri, meliputi

pembiayaan dari pemerintah (APBN), Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota (APBD) serta masyarakat maupun sektor swasta. UU No.

6/2014 tentang Desa mengamanatkan dialokasikannya anggaran untuk desa dengan

mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Dalam

UU tersebut, pendapatan Desa bersumber dari:

- 33 -

(1). Hasil usaha, hasil aset, swadaya, partisipasi, gotong royong, dan lain-lain

pendapatan desa;

(2). Alokasi APBN;

(3). Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;

(4). Alokasi Dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang

diterima Kabupaten/Kota;

(5). Bantuan keuangan dari ABPD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota;

(6). Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat;

(7). Lain-lain pendapatan desa yang sah.

Gambar 4.1

Skema Pendanaan Pembangunan Wilayah Perdesaan

(UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa)

Program Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa

dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa. Program

sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk

diintegrasikan dengan Pembangunan Desa. Berdasarkan hal tersebut, maka arah

kebijakan pengelolaan keuangan Desa adalah:

- 34 -

(1). Melaksanakan pengelolaan Dana Desa secara tertib taat pada ketentuan

peraturan perundang-undangan, transparan, akuntabel, efisien, efektif, dan

bertanggungjawab dengan memperhatikan aspek keadilan dan kepatutan;

(2). Meningkatkan sinkronisasi dengan kegiatan pembangunan di tingkat

nasional. provinsi, kabupaten/kota;

(3). Melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas pemanfaatan

APB Desa sesuai dengan ketentuan berlaku;

(4). Mewujudkan sinergi antara perencanaan dan penganggaran di desa dengan

melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Pembangunan Desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan

seluruh masyarakat Desa dengan semangat gotong royong dengan memanfaatkan

kearifan lokal dan sumber daya alam Desa. Untuk itu, pembangunan lokal berskala

Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa. Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke

Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan

Pembangunan Desa.

Pembangunan kawasan perdesaan dilakukan dengan mendayagunakan

potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta mengikutsertakan

Pemerintah Desa dan masyarakat Desa. Selain itu, pembangunan Kawasan

Perdesaan yang berskala lokal Desa wajib diserahkan pelaksanaannya kepada Desa

dan/atau kerja sama antarDesa.

- 35 -

4.2. DIMENSI PEMBANGUNAN DESA

Tujuan yang hendak dicapai dari pelaksanaan pembangunan desa dalam

kerangka UU Desa adalah terciptanya kondisi kehidupan desa yang mandiri dan

sejahtera secara berkelanjutan. Sayangnya, konsep desa yang mandiri dan sejahtera

secara berkelanjutan tersebut tidak disertai dengan ukuran yang jelas. Akibatnya,

hingga saat ini muncul berbagai penafsiran yang beragam terkait kriteria desa yang

ideal tersebut. Berbagai penafsiran indikator tersebut pada dasarnya dapat diterima

selama indikator yang disusun memang mampu menggambarkan sedekat mungkin

dengan gambaran konseptual desa ideal yang ingin diwujudkan oleh desa dalam

semangat dan amanat UU Desa. Berikut ini merupakan gambaran umum kondisi

desa mandiri yang mungkin dapat digunakan yaitu:

1. Adanya kemampuan desa untuk mengurus dan mengatur urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat desa dengan kekuatan yang

dimilikinya;

2. Adanya pemerintahan desa yang memiliki kewenangan dalam mengatur dan

mengelola pembangunan desa yang didukung oleh kemandirian dalam

perencanaan dan penganggaran seluruh program dan kegiatan pembangunan

desa dan dijalankan secara konsisten dan berkesinambungan;

3. Adanya pemerintahan desa yang menjunjung tinggi aspirasi dan partisipasi

masyarakat secara adil dan merata tanpa diskriminasi terhadap penduduk

miskin, perempuan, dan penduduk yang termarginalkan;

4. Adanya sumber daya pembangunan desa yang dikelola secara optimal

transparan dan akuntabel untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya demi

kesejahteraan seluruh masyarakat Desa.

- 36 -

Indeks Pembangunan Desa (IPD) 2014 yang pertama kali diluncurkan pada

tahun 2015 pada dasarnya telah merujuk UU Desa (khususnya pasal 74 dan pasal

78) dalam menentukan indikator sebagai pilar perhitungannya. UU Desa pasal 74

disebutkan bahwa paling tidak ada empat kebutuhan masyarakat desa yang perlu

dipenuhi dalam pembangunan desa yaitu: (1) kebutuhan dasar/primer; (2)

pelayanan dasar; (3) lingkungan; dan (4) kegiatan pemberdayaan masyarakat desa.

Pada bagian penjelasan dalam UU Desa, kebutuhan dasar didefinisikan

sebagai kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Pelayanan dasar yang dimaksud

meliputi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Sedangkan dalam pasal 78

disebutkan tujuan pembangunan desa untuk meningkatkan: (1) kesejahteraan

masyarakat desa; (2) kualitas hidup manusia; dan (3) penanggulangan kemiskinan.

Tujuan pembangunan desa tersebut diwujudkan melalui: (1) pemenuhan

kebutuhan dasar; (2) pembangunan sarana desa; (3) pembangunan prasarana desa;

(4) pengembangan potensi ekonomi lokal; dan (5) pemanfaatan sumber daya alam

dan lingkungan secara berkelanjutan.

Karena adanya keterbatasan data, maka hal-hal yang termaktub dalam pasal

74 dan pasal 78 tersebut pada akhirnya disintesiskan menjadi lima indikatror utama

dalam IPD yaitu pelayanan dasar; kondisi infrastruktur; aksesibilitas/transportasi;

pelayanan umum; dan penyelenggaraan pemerintahan.

4.2.1 Pelayanan Dasar

Pelayanan dasar yang dirumuskan di dalam IPD meliputi ketersediaan dan

akses terhadap fasilitas pendidikan seperti TK, SD, SMP, SMA dan akses terhadap

fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, rumah sakit bersalin, puskesmas, puskesmas

pembantu, poliklinik/balai pengobatan, tempat praktek dokter, tempat praktek

bidan, poskesdes, polindes, dan apotek.

- 37 -

4.2.2. Kondisi Infrastruktur

Kondisi infrastruktur meliputi akses terhadap fasilitas ekonomi seperti

kelompok pertokoan, minimarket atau toko kelontong, pasar, restoran, rumah

makan atau warung/kedai makanan, hotel atau penginapan, dan bank; akses

terhadap fasilitas energi seperti listrik, penerangan jalan, dan bahan bakar; akses

terhadap fasilitas kesehatan dan sanitasi seperti sumber air minum, sumber air

mandi, dan fasilitas buang air besar; serta akses terhadap fasilitas komunikasi dan

informasi seperti komunikasi menggunakan telepon seluler, internet dan

pengiriman pos atau barang.

4.2.3. Aksesibilitas/transportasi

Aksesibilitas/transportasi meliputi sarana transportasi (lalu lintas dan

kualitas jalan, aksesibilitas jalan, ketersediaan angkutan umum, dan operasional

angkutan umum) dan aksesibilitas transportasi (waktu tempuh per kilometer

transportasi ke kantor Camat, biaya per kilometer transportasi ke kantor Camat,

waktu tempuh per kilometer transportasi ke kantor Bupati/Walikota, dan biaya per

kilometer transportasi ke kantor Bupati/Walikota).

4.2.4. Pelayanan Publik

Pelayanan publik dengan variabel seperti penanganan kejadian luar biasa

(KLB), penanganan gizi buruk, fasilitas olah raga, dan kegiatan olah raga.

4.2.5. Penyelenggaraan Pemerintahan

Penyelenggaraan pemerintahan meliputi kemandirian seperti kelengkapan

pemerintahan desa, otonomi desa, dan aset/kekayaan desa dan kualitas sumber

daya manusia seperti kualitas sumber daya manusia (SDM) dari Kepala Desa dan

Sekretaris Desa.

- 38 -

4.3. KUESIONER (INSTRUMEN) DATA DESA

Upaya pengumpulan data desa yang mampu menggambarkan kondisi,

dinamika, dan perubahan desa dirasa perlu segera dilakukan. Upaya ini

dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kendala keterbatasan data desa yang

dibutuhkan untuk memantau dan mengevaluasi perkembangan desa secara

berkesinambungan. Harapannya, kendala keterbatasan data yang dialami selama

pengembangan IPD tahun 2015 dapat segera diatasi.

Kajian penyusunan instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup

desa) ini dilakukan untuk menghasilkan instrumen pengumpulan data di tingkat

desa. Instrumen tersebut diharapkan mampu mencakup semua kebutuhan data bagi

keperluan penyusunan indikator input, proses, output, atau bahkan dampak

(outcome) yang terkait dengan upaya pembangunan desa yang diamanatkan dan

dimandatkan oleh UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Akhirnya IPD yang pernah

dihasilkan akan dapat diperbarui cakupan sintesisnya sesegera mungkin.

Berdasarkan hasil analisis dan kajian literatur yang telah diselaraskan

dengan kebutuhan data dan informasi, sebagaimana yang diamanatkan di dalam

pasal 74 dan 78 UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, maka instrumen evaluasi

pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini disajikan sebagai berikut:

- 39 -

Tabel 4.1

Instrumen Evaluasi Pembangunan Perdesaan (Lingkup Desa)

- 40 -

- 41 -

- 42 -

- 43 -

- 44 -

- 45 -

- 46 -

- 47 -

- 48 -

4.4. PARADIGMA PEMBANGUNAN DESA DALAM DIMENSI SOSIAL,

POLITIK, BUDAYA DAN EKONOMI

Pada bagian awal bab ini, telah diuraikan bahwa tujuan yang hendak dicapai

dari pelaksanaan pembangunan desa dalam kerangka UU Desa adalah terciptanya

kondisi kehidupan desa yang mandiri dan sejahtera secara berkelanjutan.

Sayangnya, konsep desa yang mandiri dan sejahtera secara berkelanjutan tersebut

tidak disertai dengan ukuran yang jelas. Akibatnya, hingga saat ini muncul berbagai

penafsiran yang beragam terkait kriteria desa yang ideal tersebut. Berbagai

penafsiran indikator tersebut pada dasarnya dapat diterima selama indikator yang

disusun memang mampu menggambarkan sedekat mungkin dengan gambaran

konseptual desa ideal yang ingin diwujudkan oleh desa dalam semangat dan amanat

UU Desa.

Dari hasil analisis terhadap IPD tahun 2015, maka dipandang perlu untuk

mempertajam aspek informasi yang terkandung di dalam dokumen tersebut. IPD

tahun 2015 dapat mengidentifikasi status desa tertinggal, berkembang dan mandiri,

namun belum dapat menggambarkan tingkat kekuatan dan kelemahan masing-

masing desa. Setiap desa memiliki kekuatan dan kelemahan yang berbeda, baik dari

asek sosial, politik, budaya maupun fisik dan ekonomi. Dalam konteks ini maka

pendekatan pembangunan perdesaan haruslah memperhatikan faktor-faktor

kekuatan dan kelamahan masing-masing desa agar tujuan pembangunan desa

sebagaimana yang diamanatkan di dalam UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa dapat

diwujudkan. Selain itu, dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing

desa akan sangat berguna dalam rangka merumuskan berbagai macam kebijakan

untuk menyusun program dan kegiatan yang sesuai bagi setiap desa, baik yang akan

dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun oleh desa itu sendiri.

- 49 -

4.4.1 Pembangunan Desa Dalam Dimensi Sosial, Politik dan Budaya

Dimensi budaya perlu dinilai sebagai upaya untuk menunjukkan peluang

kesinambungan pembangunan (development sustainability). Budaya berisi

pandangan untuk menilai, cara melihat realitas, sekaligus pedoman untuk berpikir

dan bertindak. Makna kebudayaan ini telah tersimpan dalam-dalam, sehingga sulit

untuk berubah. Dengan kata lain, budaya merupakan refleksi masyarakat desa atas

perilakunya selama ini. Hal ini berguna untuk menunjukkan keberlanjutan pada

tingkat yang paling mendasar atau imanen.

Dalam konteks ini, suatu budaya yang mendukung pembangunan menjadi

benteng yang teguh untuk menjaga kesinambungan pembangunan tersebut.

Permasalahan dalam wujud keberadaan budaya yang tidak sejalan dengan

pembangunan antara lain bisa diatasi dengan penyusunan budaya baru atau berarti

pemberian makna baru terhadap realitas.

Superstruktur ideologis menurut Harris meliputi cara-cara yang telah

terpolakan, yang dengan cara tersebut anggota masyarakat berpikir, melakukan

konseptualisasi, menilai dan merasa (Sanderson, 1993). Dalam konteks ini, faktor ini

disebut sebagai faktor budaya atau antropologis.

Menurut Harris superstruktur terdiri atas ideologi umum, merujuk kepada

karakteristik kepercayaan, nilai dan norma yang menonjol dalam suatu masyarakat

atau dalam beberapa bagian dari suatu masyarakat (Sanderson, 1993). Faktor

lainnya ialah agama, yang berisi kepercayaan dan nilai bersama yang bersinggungan

dengan keyakinan akan adanya kekuatan dan kekuasaan sesuatu yang bersifat

supernatural. Selain itu terdapat faktor ilmu pengetahuan adalah serangkaian teknik

untuk memperoleh pengetahuan dengan mendasarkan kepada obsevasi dan

pengalaman, yaitu pengumpulan bukti-bukti faktual, demonstrasi, pembuktian, dan

sebagainya. Faktor lainnya ialah kesenian, yang berisi kesan-kesan atau

pengungkapan simbolik yang mempunyai nilai estetis, emosional atau intelektual

bagi para anggota suatu masyarakat atau bagian dari suatu masyarakat.Sedangkan

faktor kesusastraan adalah kesenian yang diungkapkan dalam bentuk verbal.

- 50 -

Sementara itu, indikator struktur politik lokal dan kelembagaan berguna

untuk mengetahui pola tindakan atau aksi kelompok atau masyarakat. Menurut

Harris (dalam Sanderson, 1993) struktur sosial berisi pola-pola kehidupan sosial

yang teratur yang dipakai di kalangan anggota suatu masyarakat, selain pola-pola

sosial yang telah termasuk ke dalam infrastruktur. Stratifikasi sosial merujuk

kepada adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang tidak sama kekayaan

dan kekuasaannya. Stratifikasi etnis dan rasial merujuk kepada apakah kelompok

masyarakat dibedakan berdasarkan karakteristik rasial atau etnis. Politik merujuk

kepada cara-cara terorganisasi sebuah masyarakat dalam memelihara hukum dan

aturan internal, juga cara-cara mengatur dan melakukan hubungan antar-

masyarakat.

Mengingat fakta budaya tergolong paling sulit ditemukan, maka rincian

faktornya dioperasionalkan secara lebih mudah. Ternyata hanya dua faktor budaya

yang bisa diperoleh dari berbagai pustaka sosiologis dan antropologis, serta masing-

masing bisa dibandingkan. Oleh sebab itu faktor budaya dianalisis bersama-sama

faktor sosial dan politik, menjadi bernama faktor sosial, politik, dan budaya.

Adapun rincian faktor sosial, politik dan budaya untuk penyusunan

instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini disajikan sebagai

berikut:

(01). Adat Berkarya

Adat berkarya berisi pandangan tentang karya manusia. Nilai tinggi dapat

diberikan kepada desa yang memiliki adat yang menunjang individu untuk berkarya,

contohnya terdapat penghargaan karya individu dalam bentuk pemberian nama,

uang, nilai karya sebagai tanda kehidupan dan sebagainya. Sedangkan nilai rendah

dapat diberikan kepada desa yang memiliki adat tidak menunjang individu untuk

berkarya, contohnya tidak memberi kesempatan munculnya karya individu, nilai

karya sebagai tanda kemaksiatan, dan sebagainya. Data mengenai adat berkarya

diperoleh dari kajian-kajian antropologis dan sosiologis secara kualitatif.

- 51 -

(02). Faktor n-Ach

n-Ach (need of achievement, kebutuhan untuk maju) berisi penilaian psikologi

masyarakat setempat yang tertuju kepada kebutuhan untuk mencapai kemajuan.

Penilaian ini didasarkan kepada cerita-cerita rakyat atau pandangan umum yang

telah diakui masyarakat suatu desa. Nilai tinggi dapat diberikan pada cerita dan

pandangan yang mengedepankan rasionalitas. Sedangkan nilai rendah diberikan

kepada desa yang memiliki cerita rakyat atau pandangan umum sepenuhnya mistis.

(03). Integrasi Masyarakat

Integrasi masyarakat berisi perkembangan lembaga keagamaan dalam satu

tahun terakhir di desa. Integrasi masyarakat menjadi faktor penting bagi

perkembangan kelembagaan ekonomi dan sosial. Desa yang terintegrasi sejak awal

cenderung menuju kepada hasil pembangunan yang bisa dinikmati merata oleh

masyarakat (Hayami dan Kikuchi, 1987). Hal ini bisa dipandang sebagai tanda

pemberdayaan masyarakat desa secara keseluruhan. Sebaliknya desa yang tidak

memiliki integrasi kuat, contohnya desa-desa yang terisi banyak migran, cenderung

menghasilkan kesenjangan ekonomi dan sosial sebagai salah satu efek

pembangunan desa.

Dalam konteks integrasi di desa, faktor agama memegang peranan penting

sejak dahulu hingga sekarang (Geertz, 1963; Kuntowijoyo, 1991; Saifuddin, 1986).

Oleh sebab itu salah satu tanda tingkat integrasi masyarakat desa digali dari

perkembangan lembaga keagamaan pada tingkat desa. Penggunaan konsep proporsi

(frekuensi terbanyak, secara kualitatif dominan) bisa membantu untuk mengetahui

tingkat kemajuan di tingkat desa secara lebih mudah. Nilai tinggi dapat diberikan

kepada desa dengan perkembangan lembaga keagamaan tetap atau meningkat.

Sedangkan nilai rendah untuk desa dengan perkembangan lembaga keagamaan

menurun. Lembaga keagamaan tersebut mencakup aktivitas kegiatan institusi sosial

majelis ta'lim, kelompok pengajian, atau kelompok kebaktian.

- 52 -

Selain itu faktor integrasi masyarakat juga berisi keberadaan gotong royong

di desa. Sebagaimana dikemukakan di atas, integrasi masyarakat menjadi faktor

penting bagi perkembangan kelembagaan ekonomi dan sosial. Dalam konteks

integrasi di desa, faktor gotong royong memegang peranan penting untuk

meningkatkan lembaga lokal yang mampu berperan memenuhi kebutuhannya

sendiri atau pemberdayaan diri (Uphoff, 1986). Dalam kegiatan ini individu di desa

mengerjakan kegiatan untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat desa. Oleh

sebab itu digunakan ukuran keberadaan aktivitas lembaga gotong royong. Nilai

tinggi dapat diberikan kepada desa yang memiliki aktivitas gotong royong.

Sedangkan nilai rendah diberikan kepada desa yang tidak memiliki aktivitas gotong

royong.

Hal yang juga tidak kalah pentingnya dari faktor integrasi masyarakat ini

adalah perkembangan satu atau lebih jenis kejahatan dalam satu tahun terakhir di

desa. Uraian sebelumnya telah menjelaskan integrasi kemasyarakatan desa dilihat

dari sudut pandang yang positif (semakin meningkat indikator maka semakin tinggi

integrasi desa), maka di sini dilakukan tinjauan negatif yaitu indikator yang

meningkat justru menunjukkan integrasi desa yang menurun. Contohnya

peningkatan jumlah bunuh diri yang tidak terikat suatu sekte agama tertentu

ternyata menunjukkan penurunan integrasi masyarakat setempat (Durkheim,

1952).

Satu contoh jenis kejahatan telah mencukupi untuk memberi tanda tingkat

integrasi masyarakat. Oleh sebab itu digunakan konsep keberadaan yang cenderung

tetap atau meningkat pada salah satu atau lebih jenis kejahatan di dalam desa. Nilai

tinggi diberikan kepada desa dengan tidak ada seluruh jenis kejahatan, atau

perkembangan seluruh jenis kejahatan menurun. Sedangkan nilai rendah untuk desa

dengan perkembangan salah satu atau lebih jenis kejahatan tetap atau meningkat.

Jenis kejahatan tersebut mencakup jenis kejahatan yang terjadi setahun yang

terakhir dalam bentuk pencurian, perampokan, penjarahan, pembunuhan,

penganiayaan, perkelahian massal, pembakaran, bunuh diri, dan kejahatan lain-lain.

- 53 -

(04). Fasilitas Pendidikan

Fasilitas pendidikan berisi ketersediaan sarana pendidikan di desa. Sarana

pendidikan berperan penting dalam proses penurunan kemiskinan serta

pemberdayaan masyarakat (Sen, 2000). Nilai tinggi diberikan untuk desa yang

memiliki salah satu fasilitas pendidikan yang tercatat. Sedangkan nilai rendah untuk

desa yang tidak memiliki satupun fasilitas pendidikan. Keseluruhan sarana

pendidikan yang dinilai keberadaannya ialah banyaknya unit pendidikan negeri dan

sederajat, atau banyaknya unit pendidikan swasta dan sederajat.

(05). Struktur Politik Lokal

Struktur politik lokal berisi proporsi politik demokratis di desa. Struktur

politik lokal penting untuk dinilai mengingat demokrasi mampu mengalokasikan

sumberdaya secara lebih terbuka (Sen, 2000). Hal ini meningkatkan peluang lapisan

bawah di pedesaan untuk memanfaatkannya. Demokrasi juga mempermudah dialog,

sehingga meningkatkan kecepatan penyebaran informasi tentang kesulitan pada

lapisan bawah. Oleh sebab itu pula, digunakan ukuran keberadaan struktur politik

yang demokratis. Nilai tinggi diberikan kepada desa yang memiliki struktur politik

demokratis dominan. Sedangkan nilai rendah diberikan kepada desa yang tidak

memiliki struktur demokratis dominan.

(06). Kekuasaan Dominan

Pola kekuasaan yang dominan berisi proporsi pola kekuasaan di desa. Pola

kekuasaan dominan juga penting untuk dinilai mengingat berisi kemampuan untuk

mengalokasikan sumberdaya di desa. Pola kekuasaan dominan juga berperan dalam

menunjang kemajuan masyarakat. Dalam hal ini pola kekuasaan tradisional dan

kharismatis tidak menunjang kemajuan secara berkelanjutan, sementara pola

kekuasaan yang rasional atau berbasis wewenang legal mampu membawa

masyarakat kepada kemajuan yang berkelanjutan (Gerth dan Mills, 1958).

- 54 -

Dengan demikian pola kekuasaan dapat berperan dalam meningkatkan atau

menurunkan peluang lapisan bawah di pedesaan untuk memanfaatkan sumberdaya

di lingkungannya. Oleh sebab itu pula, digunakan ukuran keberadaan suatu pola

kekuasaan yang dominan di suatu desa. Nilai tinggi dapat diberikan kepada desa

yang memiliki pola kekuasaan dominan rasional atau berbasis wewenang legal.

Sedangkan nilai rendah dapat diberikan kepada desa yang tidak memiliki pola

kekuasaan dominan di atas, atau memiliki pola kekuasaan dominan tradisional atau

kharismatis.

(07). Sejarah Lingkup Lembaga Terpenting

Sejarah lingkup lembaga terpenting berisi pengalaman lembaga terpenting

masyarakat untuk berkiprah di tingkat desa atau sampai “atas-desa” (kecamatan,

kabupaten, dan seterusnya). Lembaga terpenting di desa menjadi acuan warga desa

sekaligus dalam bertindak, berpikir, dan bersikap. Ruang lingkup aktivitas lembaga

terpenting tersebut dapat menunjukkan tanda kemampuan warga desa dalam

memandang ruang publik yang lebih luas. Pandangan semacam ini berguna untuk

menunjukkan peluang integrasi kepada struktur kemasyarakatan yang lebih luas

(Geertz, 1974).

Dengan kata lain, hal ini juga menunjukkan peluang membuat sambungan

antara pihak-pihak di tingkat desa dan tingkat “atas desa” (kecamatan, kabupaten,

dan seterusnya). Oleh sebab itu, penilaian yang digunakan berupa ukuran

keberadaan sejarah ruang lingkup lembaga terpenting di suatu desa. Nilai tinggi

diberikan kepada desa yang memiliki sejarah ruang lingkup lembaga terpenting

hingga ke “atas desa”. Sedangkan nilai rendah diberikan kepada desa yang memiliki

sejarah ruang lingkup lembaga terpenting hanya di tingkat desa.

- 55 -

4.4.2 Dimensi Fisik dan Ekonomi

Menurut Harris (dalam Sanderson, 1993) infrastruktur material berisi

bahan-bahan baku dan bentuk-bentuk sosial dasar yang berkaitan dengan upaya

manusia untuk mempertahankan hidup dan beradaptasi dengan lingkungannya.

Teknologi terdiri dari informasi, peralatan, teknik, yang dengannya manusia

beradaptasi dengan lingkungan fisiknya (Lenski dalam Sanderson, 1993). Teknologi

tidak hanya berisi peralatan atau obyek yang bersifat fisik, tetapi juga pengetahuan

yang diaplikasikan manusia menurut cara tertentu.

Sedangkan ekonomi suatu masyarakat adalah suatu sistem yang teratur di

mana barang dan jasa dihasilkan, didistribusikan, dan dipertukarkan antara individu

dan masyarakat. Ekologi meliputi seluruh lingkungan fisik yang terhadapnya

manusia harus beradaptasi, meliputi sifat tanah, sifat iklim, pola hujan, sifat

kehidupan tanaman dan binatang, serta ketersediaan sumberdaya alam. Demografi

ialah faktor yang meliputi sifat dan dinamika penduduk, mencakup jumlah,

kepadatan, pertumbuhan, pengurangan, komposisi umur, dan komposisi jenis

kelamin penduduk.

(01). Fasilitas Listrik

Fasilitas listrik berisi proporsi rumahtangga pelanggan listrik di desa. Sejak

masa revolusi industri, fasilitas penerangan dibutuhkan bagi perkembangan

ekonomi wilayah (Ponsioen, 1969). Faktor yang menunjukkan ketersediaan

infrastruktur penunjang perkembangan ekonomi ini berguna untuk memperoleh

tanda peluang kemudahan laju perkembangan ekonomi desa. Penggunaan konsep

proporsi bisa membantu untuk mengetahui tingkat kemajuan di tingkat desa secara

lebih mudah. Nilai tinggi diberikan kepada desa dengan rumah tangga pelanggan

listrik dominan. Sedangkan nilai rendah untuk desa dengan pelanggan listrik tidak

dominan. Rumah tangga pelanggan listrik mencakup jumlah pelanggan listrik PLN

serta pelanggan listrik non-PLN. Proporsi rumahtangga tersebut dibandingkan

dengan jumlah rumahtangga di desa.

- 56 -

(02). Kualitas Rumah

Kualitas rumah berisi proporsi rumah permanen di desa. Bagi masyarakat

desa, rumah bersifat produktif sebagai tempat produksi, tidak sekedar sebagai

tempat tinggal (Agusta dan Tetiani, 2000). Tempat produksi berperan penting dalam

perkembangan industrialisasi dan perkembangan ekonomi wilayah (Schneider,

1986). Dengan demikian faktor yang menunjukkan ketersediaan infrastruktur

penunjang perkembangan ekonomi ini juga berguna untuk memperoleh tanda

peluang kemudahan laju perkembangan ekonomi desa. Penggunaan konsep

proporsi bisa membantu untuk mengetahui tingkat kemajuan di tingkat desa secara

lebih mudah. Nilai tinggi diberikan kepada desa yang memiliki rumah permanen

dominan. Sedangkan nilai rendah untuk dengan dengan jumlah rumah permanen

tidak dominan. Kualitas rumah permanen meliputi jumlah unit bangunan rumah

permanen. Proporsi rumah permanen dibandingkan dengan keseluruhan rumah

permanen dan tidak permanen.

(03). Organisasi Kesehatan

Organisasi kesehatan berisi ketersediaan salah satu atau seluruh sarana

kesehatan di desa. Sarana kesehatan berperan sekaligus sebagai salah satu hasil dari

kemajuan wilayah, serta menjadi penunjang bagi perkembangan masyarakat

tersebut untuk selanjutnya (Rusli, 1989). Dalam kasus-kasus di desa-desa terpencil,

ternyata sebuah organisasi kesehatan yang terurus secara teratur bisa mencukupi

kebutuhan setempat. Oleh sebab itu digunakan penilaian keberadaan salah satu

sarana kesehatan atau keseluruhan sarana tersebut. Nilai tinggi dapat diberikan

untuk desa yang memiliki salah satu atau keseluruhan data organisasi kesehatan

yang tercatat. Sedangkan nilai rendah dapat diberikan untuk desa yang tidak

memiliki seluruh organisasi kesehatan yang tercatat. Keseluruhan sarana kesehatan

yang dinilai keberadaannya adalahrumah sakit, rumah sakit bersalin, poliklinik,

puskesmas, puskesmas pembantu, atau balai pengobatan.

- 57 -

(04). Permukaan Jalan Terluas

Permukaan jalan terluas berisi bahan permukaan jalan terluas. Permukaan

jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan bermotor diperlukan bagi pembangunan desa,

baik bagi desa-desa tertinggal maupun desa-desa yang telahlebih maju (Jaringan

Kerja Pemberdayaan Masyarakat, 2000; Collier, et.al, 1996). Dengan demikian faktor

yang menunjukkan ketersediaan infrastruktur penunjang perkembangan ekonomi

ini juga berguna untuk memperoleh tanda peluang kemudahan laju perkembangan

ekonomi desa. Penggunaan konsep proporsi (dominasi, terluas) bisa membantu

untuk mengetahui tingkat kemajuan di tingkat desa secara lebih mudah. Nilai tinggi

dapat diberikan untuk desa yang memiliki permukaan jalan terluas ialah aspal,

beton, conblok, atau jalan yang diperkeras. Sedangkan nilai rendah dapat diberikan

untuk desa dengan jaringan jalan terluas terdiri atas tanah atau lainnya.

(05). Fasilitas Angkutan Umum Utama

Fasilitas angkutan umum utama berisi angkutan umum yang paling sering

digunakan warga desa atau angkutan umum yang paling banyak tersedia di desa.

Fasilitas angkutan umum berperan sangat penting dalam perkembangan ekonomi

wilayah (Ponsioen, 1969). Dalam kasus pembangunan desa di Indonesia, angkutan

umum dinilai memiliki sifat revolutif untuk meningkatkan pembangunan desa

secara pesat (Collier, et.al, 1996). Yang dimaknai sebagai “revolusi transportasi”

tersebut ialah ketersediaan angkutan umum bermotor. Tesis ini masih berlaku

hingga sekarang (Agusta, et. al., 2000).

Dengan demikian faktor yang menunjukkan ketersediaan infrastruktur

penunjang perkembangan ekonomi ini juga berguna untuk memperoleh tanda

peluang kemudahan laju perkembangan ekonomi desa. Penggunaan konsep

proporsi (dominasi, utama) bisa membantu untuk mengetahui tingkat kemajuan di

tingkat desa secara lebih mudah. Nilai tinggi dapat diberikan untuk desa yang

memiliki fasilitas angkutan umum utama ialah kendaraan bermotor. Sedangkan nilai

rendah dapat diberikan untuk desa dengan angkutan umum utama tidak bermotor.

- 58 -

(06). Fasilitas Telepon

Fasilitas telepon berisi ketersediaan salah satu atau seluruh sarana telepon di

desa. Sarana telepon berperan memperlancar arus informasi, termasuk untuk

keperluan komersialisasi perekonomian desa, contohnya pemesanan produk desa.

Ketersediaan fasilitas ini secara perorangan atau sebagai sarana publik ternyata

mempermudah proses pemberdayaan masyarakat (Jaringan Kerja Pemberdayaan

Masyarakat, 2000).

Dalam pola kepemilikan publik, masyarakat dengan mudah menggunakan

telepon dengan membayar uang sewa. Sedangkan dalam pola kepemilikan pribadi,

masyarakat yang membutuhkan telepon dapat meminjam kepada tetangganya. Oleh

sebab itu digunakan penilaian keberadaan fasilitas telepon baik dalam pola

kepemilikan pribadi maupun publik. Nilai tinggi dapat diberikan untuk desa yang

memiliki salah satu atau keseluruhan data ketersediaan fasilitas telepon yang

tercatat. Sedangkan nilai rendah dapat diberikan untuk desa yang tidak memiliki

telepon dalam seluruh pola kepemilikan di atas. Data dikumpulkan dari banyaknya

rumahtangga yang mempunyai telepon, banyaknya telepon umum kartu, wartel,

kios telepon, warpostel, warparpostel, atau telepon umum lainnya.

(07). Fasilitas Jasa Pos

Fasilitas jasa pos berisi ketersediaan salah satu atau seluruh sarana pos di

desa. Jasa pos berperan memperlancar arus informasi, termasuk untuk keperluan

komersialisasi perekonomian desa, contohnya pemesanan produk desa. Oleh sebab

itu digunakan penilaian keberadaan salah satu atau keseluruhan jasa pos, yang

berlawanan dengan ketiadaan jasa pos sama sekali. Nilai tinggi diberikan untuk desa

yang memiliki salah satu atau keseluruhan jasa pos yang tercatat. Sedangkan nilai

rendah untuk desa yang tidak memiliki seluruh jasa pos yang tercatat. Jenis-jenis

jasa pos tersebut mencakup kantor pos, kantor pos pembantu, rumah pos, atau pos

keliling.

- 59 -

(08). Fasilitas TV

Fasilitas televisi berisi ketersediaan salah satu atau seluruh sarana televisi di

desa. Sarana televisi berperan memperlancar arus informasi, terutama untuk

memperoleh gambaran atau tafsir tentang kemajuan masyarakat (Jahi, ed., 1988;

Lerner, 1958). Dengan jalan ini televisi dapat meningkatkan komersialisasi

perekonomian desa, baik yang tersedia secara perorangan atau sebagai sarana

publik.

Dalam pola kepemilikan publik, masyarakat dengan mudah menggunakan

televisi. Sedangkan dalam pola kepemilikan pribadi, masyarakat yang membutuhkan

televisi dapat turut menonton ke rumah tetangganya. Oleh sebab itu digunakan

penilaian keberadaan fasilitas televisi baik dalam pola kepemilikan pribadi maupun

publik. Nilai tinggi dapat diberikan untuk desa yang memiliki salah satu atau

keseluruhan data ketersediaan fasilitas televisi yang tercatat. Sedangkan nilai

rendah dapat diberikanuntuk desa yang tidak memiliki fasilitas televisi dalam

seluruh pola kepemilikan di atas. Data dikumpulkan dari banyaknya televisi umum,

rumahtangga yang mempunyai televisi, atau antena parabola.

(09). Fasilitas Koran atau Majalah

Fasilitas koran atau majalah berisi ketersediaan salah satu atau seluruh

sarana koran atau majalah di desa. Sarana koran atau majalah berperan

memperlancar arus informasi, terutama untuk memperoleh gambaran atau tafsir

tentang kemajuan masyarakat (Jahi, ed., 1988; Lerner, 1958). Dengan jalan ini koran

atau majalah dapat meningkatkan komersialisasi perekonomian desa. Oleh sebab itu

digunakan penilaian keberadaan pelanggan koran dan majalah. Sesungguhnya koran

atau majalah dapat dikembangkan menjadi publik dalam kelompok pembaca atau

penempelan satu eksemplar di ruang publik. Akan tetapi tidak terdapat data

fenomena tersebut. Nilai tinggi dapat diberikan untuk desa yang memiliki pelanggan

koran atau majalah yang tercatat. Sedangkan nilai rendah dapat diberikan untuk

desa yang tidak memiliki pelanggan koran atau majalah di atas. Data dikumpulkan

dari banyaknya pelanggan surat kabar atau majalah.

- 60 -

(10). Industrialisasi

Industrialisasi berisi keberadaan satu atau lebih industri pengolahan di desa.

Industrialisasi merujuk kepada proses penyerapan nilai, pola hubungan, dan

teknologi industri ke dalam masyarakat. Dalam konteks ini industrialisasi tercakup

dalam fenomena industrialisasi desa (Agusta, 2000; Ponsioen, 1969; Schneider,

1986). Industri pengolahan (manufaktur) merupakan jenis industri yang

membutuhkan modal, keterampilan manajemen, pola hubungan industrial, hingga

pemasaran yang tipikal pabrik, sehingga digunakan sebagai tanda keberadaan

industri secara mantap. Industrialisasi berperan sekaligus sebagai salah satu hasil

dari kemajuan wilayah, serta menjadi penunjang bagi perkembangan masyarakat

tersebut untuk selanjutnya. Mengingat proses efek berganda (multiplier effect) dari

pendirian industri menjadi indutrialisasi maka sebuah organisasi industri yang

terurus bisa mencukupi kebutuhan perkembangan ekonomi setempat. Oleh sebab

itu digunakan penilaian keberadaan sarana industri. Nilai tinggi dapat diberikan

untuk desa yang memiliki salah satu atau lebih industri pengolahan yang tercatat.

Sedangkan nilai rendah untuk desa yang tidak memiliki satupun industri

pengolahan.

(11). Pemilikan Lahan

Pemilikan lahan berisi proporsi lahan perorangan dalam desa. Faktor ini

menjadi tanda komersialisasi perekonomian desa. Peningkatan komersialisasi

menandakan kemahiran dalam kegiatan perekonomian uang, sehingga

menunjukkan pula peluang peningkatan laju perkembangan wilayah perdesaan.

Penggunaan konsep proporsi (dominasi, utama) bisa membantu untuk mengetahui

tingkat kemajuan di tingkat desa secara lebih mudah. Nilai tinggi dapat diberikan

untuk desa dengan pemilikan lahan dominan perorangan. Sedangkan angka rendah

dapat diberikan untuk desa dengan pemilikan lahan tidak dominan perorangan.

Proporsi lahan perorangan tersebut dibandingkan tanah desa untuk bengkok,

titisara, dsb, tanah kas desa, tanah milik perorangan, tanah wakaf, lahan tidur, dan

kuburan (TPU).

- 61 -

(12). Pasar

Pasar berisi keberadaan salah satu tempat pemasaran dari produk lokal atau

pemasaran bagi penduduk setempat. Faktor ini juga dengan mudah menjadi tanda

komersialisasi perekonomian desa. Peningkatan komersialisasi menandakan

kemahiran dalam kegiatan perekonomian, sehingga menunjukkan pula peluang

peningkatan laju perkembangan wilayah perdesaan. Salah satu jenis tempat

pemasaran telah mencukupi bagi perkembangan ekonomi desa, namun ketiadaan

pasar sama sekali disertai jarak desa ke pasar yang jauh akan menghambat

perkembangan ekonomi desa. Oleh sebab itu digunakan konsep keberadaan salah

satu jenis pasar sebagai tanda peluang kemajuan desa. Nilai tinggi dapat diberikan

untuk desa yang memiliki salah satu atau seluruh fasilitas kelompok pertokoan,

pasar dengan bangunan permanen atau semipermanen, pasar tanpa bangunan

permanen, supermarket atau pasar swalayan, pasar hewan, atau tempat pelelangan

ikan. Sedangkan nilai rendah dapat diberikan untuk desa yang tidak memiliki

seluruh fasilitas di atas.

(13). Lembaga Permodalan

Lembaga permodalan berisi keberadaan salah satu lembaga permodalan bagi

penduduk desa setempat. Faktor ini juga dengan mudah menjadi tanda

komersialisasi perekonomian desa (Pusat P3R, 2000). Peningkatan komersialisasi

menandakan kemahiran dalam kegiatan perekonomian, sehingga menunjukkan pula

peluang peningkatan laju perkembangan wilayah perdesaan. Salah satu jenis

lembaga permodalan telah mencukupi bagi perkembangan ekonomi desa, namun

ketiadaan lembaga permodalan sama sekali disertai jarak desa ke tempat lembaga

permodalan yang jauh akan menghambat perkembangan ekonomi desa. Oleh sebab

itu digunakan konsep keberadaan salah satu jenis pasar sebagai tanda peluang

kemajuan desa.

- 62 -

Nilai tinggi dapat diberikan untuk desa yang memiliki salah satu atau seluruh

fasilitas bank umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Koperasi Unit Desa (KUD),

Koperasi Industri Kecil dan Kerajinan Rakyat (Kopinkra), Koperasi Simpan Pinjam

(Kosipa), Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren), Koperasi Tahu Tempe, koperasi

non KUD lainnya, atau kegiatan arisan di masyarakat. Sedangkan nilai rendah dapat

diberikan untuk desa yang tidak memiliki seluruh fasilitas lembaga permodalan di

atas.

(14). Ekonomi Penduduk secara Umum

Ekonomi penduduk secara umum berisi proporsi penduduk kaya hingga

miskin di dalam desa. Hal ini berguna untuk menunjukkan sejauh mana

pembangunan ekonomi memberi manfaat yang positif bagi masyarakat desa. Faktor

ini juga bisa digunakan untuk menduga kemajuan aktual dan peluang kemajuan

desa. Nilai tinggi dapat diberikan untuk desa yang memiliki penduduk dominan

sangat kaya, kaya, atau cukup. Sedangkan nilai rendah dapat diberikan untuk desa

yang memiliki keadaan ekonomi penduduk secara umum miskin atau sangat miskin.

(15). Penghasilan Rumah Tangga

Penghasilan rumah tangga berisi proporsi rumah tangga pertanian dalam

desa. Faktor ini digunakan sebagai tanda transformasi dan komersialisasi

perekonomian desa. Proses transformasi tersebut menandakan kemahiran dalam

kegiatan perekonomian, sehingga menunjukkan pula peluang peningkatan laju

perkembangan wilayah perdesaan. Penggunaan konsep proporsi (dominasi, utama)

bisa membantu untuk mengetahui tingkat kemajuan di tingkat desa secara lebih

mudah. Nilai tinggi dapat diberikan untuk desa dengan rumah tangga pertanian

tidak dominan. Sedangkan nilai rendah dapat diberikan untuk desa dengan

rumahtangga pertanian dominan. Rumah tangga pertanian diukur dari jumlah

rumah tangga pertanian di desa. Proporsi rumah tangga pertanian dibandingkan

dengan jumlah seluruh rumah tangga di desa.

- 63 -

(16). Sumber Penghasilan Mayoritas Penduduk

Sumber penghasilan mayoritas penduduk berisi proporsi penduduk

berpenghasilan dari pertanian atau non-pertanian di dalam desa. Faktor ini

digunakan sebagai tanda transformasi dan komersialisasi perekonomian desa.

Proses transformasi tersebut menandakan kemahiran dalam kegiatan

perekonomian, sehingga menunjukkan pula peluang peningkatan laju

perkembangan wilayah perdesaan. Penggunaan konsep proporsi (dominasi, utama)

bisa membantu untuk mengetahui tingkat kemajuan di tingkat desa secara lebih

mudah. Nilai tinggi dapat diberikan untuk desa dengan sumber penghasilan

mayoritas penduduk selain pertanian. Sedangkan nilai rendah dapat diberikan

untuk desa dengan sumber penghasilan mayoritas penduduk pertanian. Data-data

ini diperoleh dari sumber penghasilan sebagian besar penduduk berisi pertanian

atau selain pertanian.

(17). Pemukim Kumuh

Pemukim kumuh berisi proporsi penduduk yang menempati kompleks

perumahan kumuh di desa. Bagi masyarakat desa, rumah bersifat produktif sebagai

tempat produksi, tidak sekedar sebagai tempat tinggal (Agusta dan Tetiani, 2000).

Tempat produksi berperan penting dalam perkembangan industrialisasi dan

perkembangan ekonomi wilayah (Schneider, 1986). Dengan demikian faktor yang

menunjukkan ketersediaan infrastruktur penunjang perkembangan ekonomi ini

juga berguna untuk memperoleh tanda peluang kemudahan laju perkembangan

ekonomi desa. Faktor ini berguna juga untuk menunjukkan sejauh mana

pembangunan ekonomi memberi manfaat yang positif bagi masyarakat desa. Faktor

ini pun bisa digunakan untuk menduga kemajuan aktual dan peluang kemajuan

desa. Penggunaan konsep proporsi bisa membantu untuk mengetahui tingkat

kemajuan di tingkat desa secara lebih mudah.

- 64 -

Nilai tinggi dapat diberikan untuk desa yang tidak memiliki rumah tangga

kumuh dominan. Sedangkan nilai rendah untuk desa yang memiliki rumah tangga

kumuh dominan. Jumlah pemukim kumuh diperoleh dari jumlah rumahtangga

dalam pemukiman kumuh. Proporsi pemukim kumuh dibandingkan dengan jumlah

seluruh rumahtangga di desa.

(18). Geografi

Geografi desa menunjukkan konteks ekologi dominan di suatu desa. Selain

masyarakat purba, lazimnya geografi tidak selalu berperan penting dalam

perkembangan masyarakat. Untuk kepentingan melihat lanskap perdesaan di

Indonesia, data geografi berguna dalam menggambarkan konteks di mana

pembangunan desa berlangsung. Oleh sebab itu penyajian data geografi dapaqt

dimuat secara deskriptif. Data ini berisi pantai, dataran, dan lembah/DAS.

(19). Lahan Pertanian

Lahan pertanian berisi proporsi lahan pertanian dalam desa. Hal ini berguna

untuk menunjukkan sejauh mana transformasi ekonomi berlangsung. Faktor ini juga

bisa digunakan untuk menduga kemajuan aktual dan peluang kemajuan desa.

Penggunaan konsep proporsi bisa membantu untuk mengetahui tingkat kemajuan di

tingkat desa secara lebih mudah. Nilai tinggi dapat diberikan untuk desa yang tidak

memiliki lahan pertanian dominan. Desa semacam ini bersifat komersial sehingga

keberhasilan pembangunan ekonomi diduga tinggi. Sedangkan nilai rendah dapat

diberikan untuk desa yang memiliki lahan pertanian dominan. Lahan pertanian

mencakup lahan sawah, ladang, huma, tegal, kebun, kolam, tambak, tebat, empang,

pengembalaan, padang rumput, perkebunan, dan hutan rakyat. Proporsi lahan

tersebut dibandingkan dengan luas desa/kelurahan.

- 65 -

4.4.3 Kekuatan Desa dilihat dari Dimensi Sosial, Politik dan Budaya, serta

Fisik dan Ekonomi

Berdasarkan uraian terhadap faktor-faktor yang terkait dengan dimensi

sosial, politik dan budaya serta dimensi fisik dan ekonomi sebagaimana tersebut di

atas, maka dapat disimpulkan bahwa desa-desa yang tergolong memiliki tingkat

kemandirian yang tinggi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

(1). Dimensi Sosial, Politik dan Budaya

Memiliki adat menghargai karya manusia, memiliki n-Ach (need of

achievement = kebutuhan untuk maju) yang tinggi, memiliki integrasi masyarakat

yang tinggi, memiliki pola kekuasaan dominan rasional atau legal, memiliki struktur

politik lokal demokratis, memiliki sejarah lingkup lembaga terpenting sampai ke

luar dari lingkup desa, serta memiliki fasilitas pendidikan.

(2). Dimensi Faktor Fisik dan Ekonomi

Memiliki fasilitas listrik, memiliki kualitas rumah mayoritas permanen,

memiliki organisasi kesehatan, memiliki permukaan jalan terluas dari aspal, con

blok, beton, atau yang diperkeras, memiliki fasilitas angkutan umum utama

kendaraan bermotor, memiliki fasilitas telepon, memiliki fasilitas jasa pos, memiliki

fasilitas TV, memiliki fasilitas koran/majalah, mengalami industrialisasi, memiliki

pola pemilikan lahan mayoritas individual/pribadi, memiliki pasar, memiliki

lembaga permodalan, ekonomi penduduk secara umum sangat kaya, kaya, atau

sedang, penghasilan mayoritas rumah tangga dari luar pertanian, sumber

penghasilan mayoritas penduduk dari luar pertanian, tidak memiliki pemukim

kumuh yang dominan, serta tidak memiliki lahan pertanian yang dominan.

4.4.4 Model Intervensi Pembangunan Desa

Bagi desa-desa yang memiliki kecenderungan kekuatannya pada dimensi

sosial, politik dan budaya, maka intervensi pembangunan dapat dilakukan melalui

- 66 -

lembaga sosial, politik, dengan tetap menggunakan pendekatan budaya lokal. Bagi

desa-desa yang memiliki kecenderungan kekuatannya pada faktor fisik dan

ekonomi, maka intervensi pembangunan dapat dilakukan melalui lembaga ekonomi.

Selain itu pembangunan dapat juga difokuskan kepada lembaga sosial dan politik,

dengan tetap menggunakan pendekatan budaya lokal. Sementara itu, bagi desa-desa

yang memiliki kekuatan pada kedua dimensi tersebut, maka intervensi

pembangunan dapat dilakukan dari semua lembaga, dengan fokus pada peningkatan

kualitas hasil-hasil pembangunan yang telah ada sebelumnya.

- 67 -

BAB – V

PENUTUP

5.1. KESIMPULAN

Pembangunan desa merupakan konsep pembangunan multidimensional yang

sifatnya kompleks. Kemajuan dan keberhasilan pembangunan desa perlu diukur

dengan seksama. Pengukuran tingkat kemajuan pembangunan desa diharapkan

tetap mengacu pada kompleksitas konsep tersebut meskipun perlu diupayakan

adanya penyederhanaan dalam hal instrumen dan teknis pengukurannya. Dimensi,

variabel, dan indikator yang digunakan sebagai alat ukur konsep pembangunan desa

perlu disusun secara teliti sehingga secara komposit akan mampu menggambarkan

tingkat kemajuan dan perkembangan pembangunan desa.

Dalam rangka mengukur tingkat kemajuan pembangunan desa sebagaimana

yang telah diuraikan tersebut di atas, Kementerian Perencanaan Pembangunan

Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/

Bappenas), akan mengembangkan dan menyusun instrumen evaluasi pembangunan

perdesaan (lingkup desa). Hal ini sejalan dengan fungsi Kementerian

PPN/Bappenas, sebagaimana yang diamanatkan melalui Peraturan Presiden Nomor

66 Tahun 2015 tentang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pada Pasal 3

Point a., yaitu "pengkajian, pengoordinasian, dan perumusan kebijakan di bidang

perencanaan pembangunan nasional, strategi pembangunan nasional, arah

kebijakan sektoral, lintas sektor, dan lintas wilayah, kerangka ekonomi makro

nasional dan regional, analisis investasi proyek infrastruktur, kerangka regulasi,

kelembagaan, dan pendanaan, serta pemantauan, evaluasi dan pengendalian

pelaksanaan pembangunan nasional."

- 68 -

Instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) perlu disusun

dengan mengedepankan kesederhanaan dan kemudahan dalam penggunaannya

meskipun harus tetap mengacu pada kompleksitas konsep pembangunan desa.

Rumusan indikator yang digunakan diupayakan mampu semaksimal mungkin untuk

menggambarkan kondisi nyata tingkat pembangunan desa yang dipotret pada suatu

waktu. Indeks Pembangunan Desa (IPD) tahun 2015 yang pertama kali diluncurkan

pada tahun 2015 lalu merupakan indeks komposit yang dapat digunakan sebagai

salah satu alat ukur awal (baseline) untuk meng-evaluasi tingkat kemajuan

pembangunan desa yang senantiasa berubah secara dinamis dari tahun ke tahun.

Upaya memenuhi kebutuhan data desa yang mampu menggambarkan

kondisi, dinamika, dan perubahan desa dirasa perlu segera dilakukan. Upaya ini

dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kendala keterbatasan data desa yang

dibutuhkan untuk memantau dan mengevaluasi perkembangan desa secara

berkesinambungan. Harapannya, kendala keterbatasan data yang dialami selama

pengembangan IPD tahun 2015 dapat segera diatasi. Oleh karenanya penyusunan

instrumen evaluasi pembangunan perdesaan (lingkup desa) ini diharapkan mampu

memenuhi kebutuhan data yang lebih memadai untuk menggambarkan kondisi desa

5.2. REKOMENDASI

Pertama, upaya untuk menguji instrumen evaluasi pembangunan perdesaan

(lingkup) desa yang telah dihasilkan, tidak dapat dilakukan uji coba ke beberapa

daerah sampel. Hal ini dikarenakan adanya penghematan anggaran yang terjadi

pada bulan Oktober 2016. Untuk itu diharapkan pada tahun 2017, instrumen ini

kiranya dapat dilakukan uji coba kebeberapa daerah dan bekerjasama dengan

Badan Pusat Statistik (BPS).

Kedua, IPD tahun 2015 dapat mengidentifikasi status desa tertinggal,

berkembang dan mandiri, namun belum dapat menggambarkan tingkat kekuatan

dan kelemahan masing-masing desa. Setiap desa memiliki kekuatan dan kelemahan

yang berbeda, baik dari asek sosial, politik, budaya maupun fisik dan ekonomi.

- 69 -

Dalam konteks ini maka pendekatan pembangunan perdesaan haruslah

memperhatikan faktor-faktor kekuatan dan kelamahan masing-masing desa agar

tujuan pembangunan desa sebagaimana yang diamanatkan di dalam UU No. 6 tahun

2014 tentang Desa dapat diwujudkan. Selain itu, dengan mengetahui kekuatan dan

kelemahan masing-masing desa akan sangat berguna dalam rangka merumuskan

berbagai macam kebijakan untuk menyusun program dan kegiatan yang sesuai bagi

setiap desa, baik yang akan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun

oleh desa itu sendiri.

Bagi desa-desa yang memiliki kecenderungan kekuatannya pada dimensi

sosial, politik dan budaya, maka intervensi pembangunan dapat dilakukan melalui

lembaga sosial, politik, dengan tetap menggunakan pendekatan budaya lokal. Bagi

desa-desa yang memiliki kecenderungan kekuatannya pada faktor fisik dan

ekonomi, maka intervensi pembangunan dapat dilakukan melalui lembaga ekonomi.

Selain itu pembangunan dapat juga difokuskan kepada lembaga sosial dan politik,

dengan tetap menggunakan pendekatan budaya lokal. Sementara itu, bagi desa-desa

yang memiliki kekuatan pada kedua dimensi tersebut, maka intervensi

pembangunan dapat dilakukan dari semua lembaga, dengan fokus pada peningkatan

kualitas hasil-hasil pembangunan yang telah ada sebelumnya.

- 70 -

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015–2019

Agusta, I. 2000. Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal. Jurnal Sosiologi Indonesia.

_______. 2000. Sosiologi Industri: Landasan Analisis Agribisnis. Program Diploma

Manajer Agribisnis IPB. Bogor

Agusta, I dan A. Tetiani. 2000. “Pemberdayaan Masyarakat Pesisir”, dalam Kompas,

10 April.

Agusta, I. et.al. 2000. Laporan Akhir Evaluasi Program Pengembangan Kecamatan.

Bappenas. Jakarta.

ANZDEC. 1997. Proyek Pengembangan Wilayah Terpadu dan Konservasi Sulawesi

Tengah.

Aragon, L.V. 1996. “’Japanese Time’ and the Mica Mine: Occupation Experiences in

the Central Sulawesi Highlands,” dalam journal of Southeast Asian Studies

Vol. XXVII No. 1.

Cernea, M.M. 1988. “Sosiologi untuk Proyek-proyek Pembangunan”, dalam M.M.

Cernea,ed. Mengutamakan Manusia dalam Pembangunan: Variabel-variabel

Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. Terjemahan. UI Press. Jakarta.

Collier, W.L., et al. 1996. Pendekatan Baru dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa :

Kajian Pedesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun. Terjemahan. YOI. Jakarta.

Cote, J. 1996. “Colonising Central Sulawesi, The ‘Ethical Policy’ and Imperialist

Expansion”, dalam Itinerario Vol. XX, No. 3.

Dick, H., et. al. 1993. Balanced Development, East Java in the New Order. Oxford

University Press. Singapore.

Durkheim, E. 1952. Suicide, a Study in Sociology. Terjemahan. London.

Geertz, C. 1974. Interpretartion of Culture. Free Press. New York.

________. 1960. The Religion of Java. Free Press. New York.

Geertz, H. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Terjemahan. Pustaka

Pulsar. Jakarta.

- 71 -

Gerth, HH dan C.W. Mills. 1958. From Max Weber: Essays in Sociology. New York.

Giddens, A. 1985. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis terhadap

Karya Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. Terjemahan. UI Press. Jakarta.

Hayami, Y. dan M. Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa. Terjemahan. LP3ES. Jakarta.

Hidayah, Z. 1996. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. LP3ES. Jakarta.

Izarwisma. 1989. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat

Daerah Sulawesi Tengah. Depdikbud. Jakarta.

Jahi, A, ed. 1988. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara

Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Gramedia. Jakarta.

Jaringan Kerja Pemberdayaan Masyarakat. 1999. Executive Summary Monitoring

Partisipasi dan Pemberdayaan dalam PPK. Makalah disampaikan dalam

Semiloka Monitoring Partisipasi dan Pemberdayaan dalam Program

Pengembangan Kecamatan 1999 di Jakarta.

Jary, D dan J. Jary. 1991. Collins Dictionary of Sociology. HarperCollins. Glasgow, GB.

Lerner, D. 1958. The Passing of Traditional Society: Modernizing the Middle East.

Free Press. New York.

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Mizan. Bandung.

Marzali, A. 1997. “Klasifikasi Tipologi Komunitas Desa di Indonesia”, dalam FKM

Masinambow, ed. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. YOI.

Jakarta.

Mattulada, H.A. tt. Sejarah Kebudayaan To-Kaili (Orang Kaili). Badan Penerbit

Universitas Tadulako. Palu.

Ponsioen, J.A. 1969. The Analysis of Social Change Reconsid¬ered, A Sociological

Study. Mouton. The Hague.

Pusat P3R. 2000. Laporan Akhir Menuju Tumbuhnya Lembaga Ekonomi Desa yang

Berkelanjutan di Jawa Barat. Pemda Jabar. Bandung.

Rusli, S. 1989. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES. Jakarta.

Saifuddin, A.F. 1986. Konflik dan Integrasi, Pernedaan Faham dalam Agama Islam.

Rajawali Press. Jakarta.

Sajogyo. 1994. “Indeks Mutu Hidup”, dalam Prisma No. 10 Th. XIII.

Sanderson, S.K. 1993 (1991). Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan terhadap Realitas

Sosial, Edisi Kedua. Terjemahan. Rajawali Press. Jakarta.

Schneider, E.V. 1986. Sosiologi Industri. Terjemahan. Aksara Persada. Jakarta.

- 72 -

Sen, A. 2000. Demokrasi Bisa Memberantas Kemiskinan. Mizan. Bandung.

Ter Haar, B. 1983. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan. Pradnya

Paramita. Jakarta.

Uphoff, N. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with

Cases. Kumarian Press. Connecticut.