Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KAJIAN
LETHAL OVITRAP SEBAGAI ALTERNATIF
PENGENDALIAN VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE
(DBD)
Kementerian Kesehatan Republik IndonesiaBadan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit
2016
KATA PENGANTAR
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit tular vektor dengan jumlah
kasus semakin meningkat dan penyebaran semakin meluas. Semua provinsi di Indonesia
sudah terjangkit DBD dengan jumlah kasus dan kematian bervariasi. Pencegahan DBD
yang efektif dan efisien dapat dilakukan dengan mengendalikan vektor DBD melalui
kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 3 M Plus oleh masyarakat secara mandiri.
Kegiatan "Plus" pada PSN dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi wilayah setempat.
Hasil diskusi dengan program, dalam hal ini Sub Direktorat Pengendalian Penyakit Tular
Vektor dan Zoonosis (Subdit PPTVZ) ketika Rapat Kerja (Raker) Badan Penelitian
Kesehatan tahun 2016, telah memperoleh masukan bahwa perlu dilakukan kajian tentang
penerapan ovitraps sebagai pendukung PSN. Berbagai penelitian tentang ovitraps dan
lethal ovitraps yang telah dilakukan berhasil menurunkan populasi nyamuk vektor secara
signifikan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kajian tentang penerapan ovitraps
sebagai pendukung kegiatan PSN perlu dilakukan, untuk memberikan masukan kepada
program tentang berbagai aspek yang hams dilakukan dalam penerapan ovitraps di
masyarakat, agar dapat berjalan efektif, efisien dan berkesinambungan.
Penulis
RINGKASAN KAJIAN
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virusdengue. Serotip virus dengue diketahui ada empat, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4yang dapat dibedakan secara serologis. Target angka kesakitan//nc/ctence Rate (IR) DBDtahun 2014 sebesar < 51 per 100.000 penduduk, dan secara nasional target tersebut telahtercapai dengan IR DBD pada tahun 2014 sebesar 39,76 per 100.000 penduduk. Akantetapi, ada 8 provinsi dengan IR > 51 per 100.000 penduduk. Meskipun IR DBD cenderungmeningkat, akan tetapi angka kematian cenderung mengalami penurunan dan pada tahun2014 angka kematian secara nasional sebsar 0,90%. Berdasarkan Rencana StrategisKementerian Kesehatan Rl 2015 - 2019 target yang hams dicapai adalah sebanyak 68%kabupaten/kota dengan IR DBD < 49/100.000 penduduk.
Pencegahan penularan DBD dapat dilakukan dengan memutus rantai penularan,antara lain dengan mengendalikan populasi nyamuk vektor sehingga tidak menjadi masalahdalam penularan DBD. Hal tersebut dapat dilakukan secara fisik/mekanik, kimia dan biologi.Pengendalian vektor yang dapat dilakukan oleh masyarakat secara mandiri dan denganbiaya yang relatif murah adalah pengendalian vektor secara fisik/mekanik melalui kegiatanpemberantasan sarang nyamuk (PSN). Kegiatan PSN yang dikembangkan oleh programKemenkes Rl saat ini adalah PSN melalui kegiatan 3M Plus. Kegiatan 3 M adalah mengurasdan menyikat tempat penampungan air, menutup rapat tempat penampungan air danmemanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air.Kegiatan "Plus" antara lain menaburkan bubuk larvasida, memelihara ikan pemakan jentik,serta pemasangan lethal ovitrap.
Dalam perkembangannya ovitrap dapat dilakukan modifikasi menjadi lethal ovitrapdengan memberikan larvasida atau ovisida. Penerapan lethal ovitrap dengan menggunakaninsektisida insektisida pada ovistrip dapat mengurangi kepadatan nyamuk Ae. aegyptidewasa. Beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia baik menggunakan ovitrapdengan atractan maupun lethal ovitrap telah berhasil menurunkan kepadatan nyamuk vektorsecara signifikan meskipun pada skala kecil. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan kajianterhadap penerapan ovitrap /lethal ovitrap sebagai altematif nilai "Plus" pada PSN.
Virus dengue ditularkan dari orang sakit ke orang sehat melalui gigitan nyamukgenus Aedes. Aedes aegypti merupakan vektor utama dan di Indonesia temtama Ae.albopictus merupakan vektor sekunder. Habitat perkembangbiakan Aedes sp. adalahtempat-tempat yang dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum. Cara yang sudah dikenal secara luas di Indonesia dalam pengendalianvektor secara ekologis adalah dengan melakukan pemberantasan habitat jentik nyamukyang dikenal dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Pemberantasan sarangnyamuk dapat dilakukan dengan cara 3M, yaitu : menguras, menutup dan mengubur.Pemberantasan sarang nyamuk dapat dilakukan dengan 3M Plus pemasangan ovitrap yangdapat dipakai sebagai alat surveilans vektor maupun alat pengendali nyamuk Ae. aegypti.
Ovitrap berarti alat yang digunakan sebagai perangkap telur nyamuk atau dapatdisebut artificial breeding places atau tempat berkembang biak nyamuk buatan. Nyamuk Ae.aegypti dan Ae. albopictus merupakan sasaran dari pemasangan ovitrap, karena keduaspesies tersebut merupakan nyamuk domestik dan berkembangbiak pada tempat-tempatpenampungan air di dalam dan di luar/sekitar rumah. Lethal ovitrap adalah ovitrap yangdimodifikasi dengan memberikan insektisida pada padel/sfrvp sebagai pembunuh nyamukyang hinggap. Lethal ovitrap dapat juga dilakukan dengan menambahkan larvasida pada airdalam ovitrap.
Penerapan lethal ovitrap di lingkungan masyarakat secara prinsip hamsmenyesuaikan dengan kebijakan Kementerian Kesehatan Rl yaitu terpadu, baik dalammetode pengendalian, pengorganisasian, maupun pelaksanaannya dengan melibatkanlintas sektor terkait. Berdasarkan informasi dari WHO, menyatakan bahwa pemasanganovitrap sebagai pengendali vektor dilakukan dalam jumlah yang banyak dan dipasang
secara periodik. Pemasangan lethal ovitrap sebaiknya pada tempat lembab dan gelap dimana nyamuk Aedes sp suka beristirahat.
Penerapan lethal ovitraps sebaiknya dengan bahan dan metode yang mudah danmurah, sehingga masyarakat dalam menerapkan secara mandiri dan berkesinambungan.Adapun metode penerapan lethal ovitrap disarankan menggunakan kaleng atau gelasplastik/kaca dengan diberi kertas saring atau kain untuk tempat bertelur. Apabila terdapattelur dalam kaleng/gelas, agar tidak berkembang menjadi jentik, maka diberikan larvasidasebagai pembunuh jentik. Sebelum penerapan lethal ovitrap hams diberikan sosialisasikepada masyarakat cara pembuatan dan penerapannya, serta perlu dilakukanpengorganisasian yang baik dengan melibatkan berbagai pemangku pemerintahan agarmemperoleh dukungan untuk kesinambungannya.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL 1
KATA PENGANTAR 2
RINGKASAN KAJIAN 3
DAFTAR ISI 5
DAFTAR GAMBAR 7
A. PENDAHULUAN 8
1. Latar Belakang Masalah 8
2. Rumusan Masalah 10
3. Tujuan Kajian 10
3.1.Tujuan umum 10
3.2. Tujuan khusus 10
4. Manfaat Kajian 10
5. Bahan dan Cara 11
5.1.Kerangka Konsep 11
5.2.Desain Kajian 11
5.3.Tempat dan Waktu 11
5.4.lnforman 12
5.5. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data 12
5.6. Pengawasan Kualitas Data 12
5.7.Manajemen Data 12
5.8.Analisis Data 12
6. Definisi Operasional 13
B. INFEKSI DENGUE 13
C. VEKTOR DAN PENGENDALIANNYA 14
1. Vektor Demam Berdarah Dengue 14
2. Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue 15
5
2.1. Pengendalian secara kimiawi 15
2.2. Pengendalian secara hayati 17
2.3. Pengendalian secara genetik 18
2.4. Pengendalian secara ekologis 18
D. OVITRAP DAN LETHAL OVITRAP 19
1. Definisi Ovitrap dan Lethal ovitrap 19
2. Fungsi Ovitrap dan Lethal ovitrap 20
3. Jenis Ovitrap 20
3.1. Non lethal ovitrap 20
3.2. Lethal ovitrap tanpa insektisida 21
3.3. Lethal ovitrap dengan insektisida 22
4. Prinsip Pengendalian Vektor Menggunakan Ovitrap 23
5. Cara Pemasangan Lethal Ovitrap 24
6. Pemasyarakatan Lethal Ovitrap 25
E. PROGRAM PENGENDALIAN VEKTOR DBD 26
F. ANALISISGAP 27
G. POLICY OPTION DAN PENELITIAN 28
H. KETERBATASAN 30
I. UCAPAN TERIMA KASIH 30
J. DAFTAR PUSTAKA 31
K. PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG 35
L SURAT KEPUTUSAN 36
M. SUSUNAN TIM KAJIAN 38
N. JADWAL KEGIATAN KAJIAN 39
6
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Non lethalovitrap (Deschamps, 2005) 21
Gambar 2. Lethal ovitrap dengan barrier kawat 21
Gambar 3. Sticky ovitrap sederhana 22
Gambar 4. Double sticky ovitrap 22
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue yang termasuk dalam famili Flaviviridae. Serotip virus dengue diketahui
ada empat, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang dapat dibedakan secara
serologis (World Health Organization, 2009; Djunaedi, 2006). Infeksi dari salah satu
serotip tidak melindungi terhadap serotip yang lain. Pengembangan vaksin yang efektif
untuk memberikan imunitas terhadap empat serotip virus dengue saat ini masih
dilakukan (World Health Organization, 2009).
Lebih dari 100 negara anggota WHO termasuk dalam wilayah endemis infeksi
dengue dan diperkirakan 50 juta terjadi infeksi dengue terjadi setiap tahun. Infeksi
dengue yang terjadi, diperkirakan 500.000 merupakan penderita demam berdarah
dengue (DBD) dengan perawatan di rumah sakit dan 2,5% diantaranya mengalami
kematian temtama pada anak-anak (WHO, 2011). Pada tahun 2010 infeksi dengue
telah tersebar di 440 Kab/Kota di 33 Provinsi di Indonesia. Target angka
kesakitan//nc/ctence Rate (IR) DBD tahun 2014 sebesar < 51 per 100.000 penduduk,
dan secara nasional target tersebut telah tercapai dengan IR DBD pada tahun 2014
sebesar 39,76 per 100.000 penduduk. Akan tetapi, ada 8 provinsi dengan IR > 51 per
100.000 penduduk, yaitu di Bali, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan
Barat, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Sulawesi Utara. Meskipun IR
DBD cenderung meningkat, akan tetapi angka kematian cenderung mengalami
penumnan dan pada tahun 2014 angka kematian secara nasional sebsar 0,90%
(Kemenkes Rl 2015a). Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Rl
2015 - 2019 target yang hams dicapai adalah sebanyak 68% kabupaten/kota dengan
IR DBD < 49/100.000 penduduk (Kemenkes, Rl 2015b).
Penularan DBD dari orang sakit ke orang sehat melalui gigitan vektor, dalam
hal ini nyamuk Aedes sp. Spesies nyamuk penular DBD di Indonesia temtama adalah
Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Nyamuk Aedes sp. mengalami metamorfosis
sempurna, yaitu : telur - jentik (larva) - pupa - nyamuk. Stadium telur hingga pupa
berkembang biak di air. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa kurang lebih
9-10 hari dan umur nyamuk betina mencapai 2-3 bulan (Kemenkes Rl 2015a).
Habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes sp. adalah tempat-tempat yang
dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah/bangunan dan dapat
dikelompokkan, yaitu 1) tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari,
seperti : bak mandi/wc, drum, tempayan, dll; 2) TPA bukan untuk keperluan sehari-
hari, seperti : tempat minum burung, vas bunga, talang tersumbat, barang bekas, dll;
3) TPA alamiah, seperti : lubang pohon, pelepah daun, tempurung kelapa/coklat, dll
(WHO SEARO, 2003).
Demam berdarah dengue sampai saat ini belum ada obat atau vaksin yang
spesifik, sehingga upaya penanggulangan ditekankan pada pengobatan dini yang
adekuat dan pencegahan penularan. Cara pencegahan terhadap penularan DBD
dapat dilakukan dengan memutus rantai penularan, antara lain mencegah adanya
gigitan nyamuk dan mengendalikan populasi nyamuk vektor sehingga tidak menjadi
masalah dalam penularan DBD. Hal tersebut dapat dilakukan secara fisik/mekanik,
kimia dan biologi. Pengendalian vektor yang dapat dilakukan oleh masyarakat secara
mandiri dan dengan biaya yang relatif murah adalah pengendalian vektor secara
fisik/mekanik melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Kegiatan PSN
yang dikembangkan oleh program Kemenkes Rl saat ini adalah PSN melalui kegiatan
3M Plus. Kegiatan 3 M adalah menguras dan menyikat tempat penampungan air,
menutup rapat tempat penampungan air dan memanfaatkan atau mendaur ulang
barang-barang bekas yang dapat menampung air. Kegiatan "Plus" antara lain
menaburkan bubuk larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, memakai obat anti
nyamuk dan cara lain seperti pemasangan lethal ovitrap (Kemenkes Rl, 2015a).
Oviposition trap atau ovitrap merupakan metode surveilans vektor DBD yang
digunakan untuk mendeteksi adanya Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Ovitrap juga
dapat digunakan sebagai metode evaluasi keberadaan vektor setelah dilakukan suatu
intervensi pengendalian vektor (Focks, 2003). Dalam perkembangannya ovitrap
dilakukan modifikasi menjadi lethal ovitrap yang digunakan sebagai pengendali vektor
dengan memberikan larvasida atau ovisida. Penerapan lethal ovitrap dengan
menggunakan insektisida deltamethrin pada ovistrip di Brazil dapat mengurangi
kepadatan nyamuk Ae. aegypti dewasa. Penggunaan lethal ovitrap merupakan upaya
yang sederhana dan efektif apabila diterapkan dalam jumlah yang cukup banyak serta
sesuai dengan kondisi spesifik wilayah intervensi (World Health Organization, 2009).
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia baik
menggunakan ovitrap dengan atractan maupun lethal ovitrap telah berhasil
menurunkan kepadatan nyamuk vektor secara signifikan meskipun pada skala kecil
(Ramadhani & Wahyudi, 2013; Salim & Tri Baskoro Tunggul Satoto, 2015). Strategi
program pengendalian vektor DBD adalah mengedepankan upaya pemberdayaan
masyarakat dan peran serta masyarakat, dengan tujuan untuk mewujudkan individu
dan masyarakat yang mandiri dalam mencegah dan melindungi diri dari penularan
DBD. Berdasarkan hal-hal tersebut perlu dilakukan kajian terhadap penerapan ovitrap
/ lethal ovitrap sebagai alternatif nilai "Plus" pada PSN yang dapat dilakukan oleh
masyarakat secara mandiri.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang perlu dikaji
adalah bagaimana penerapan PSN 3 M "Plus" pemasangan ovitrap / lethal ovitrap
melalui partisipasi masyarakat sebagai upaya pengendalian vektor DBD secara
mandiri.
3. Tujuan Kajian
3.1. Tujuan umum
Tujuan umum adalah melakukan kajian terhadap penerapan PSN 3 M plus
ovitrap / lethal ovitrap melalui partisipasi masyarakat sebagai upaya pengendalian
vektor DBD secara mandiri.
3.2. Tujuan khusus
a. Mengkaji manfaat ovitrap dan lethal ovitrap dalam pengendalian vektor DBD.
b. Mengkaji metode aplikasi ovitrap / lethal ovitrap di masyarakat sebagai
alternatif pengendalian vektor DBD.
c. Mengkaji pelaksanaan ovitrap / lethal ovitrap di masyarakat di Jawa Tengah
(sampling).
4. Manfaat Kajian
a. Memberikan masukan kepada program untuk pemasyarakatan penerapan ovitrap /
lethal ovitrap sebagai nilai "Plus" pada kegiatan PSN 3M dalam pengendalian
vektor DBD secara tepat (cara, sasaran, tempat).
b. Memberikan masukan kepada program tahap-tahap pemberdayaan masyarakat
dalam penerapan ovitrap/ lethal ovitrap di lingkungan masyarakat.
10
5. Bahan dan Cara
5.1. Kerangka Konsep
Penatalaksaan
Kasus
Fisik/mekanik
PengelolaanLingkungan
PSN3M
Plus
Ovitrap / Lethalovitrap
i L
Penerapan tepatmelalui pemberdayaan
masyarakat
5.2. Desain Kajian
Kajian ini merupakan review sebagai bentuk evaluasi terhadap penerapan
ovitrap / lethal ovitrap dalam menunjang nilai "Plus" pada kegiatan PSN 3M oleh
masyarakat secara mandiri.
5.3. Tempat dan Waktu
Kajian akan dilakukan di empat Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah.
Pemilihan wilayah kabupaten/kota dilakukan secara purposive dan wilayah lokasi
terpilih adalah Kabupaten Pemalang, Kota Semarang, Kabupaten Demak dan
Kota Salatiga. Waktu kajian kurang lebih selama 3 (bulan) pada September -
November Tahun 2016.
11
5.4. Informan
Kajian ini bersifat kualitatif, sehingga responden yang dalam hal ini disebut
dengan "informan" dipilih secara purposive. Informan yang dipilih berdasarkan
alasan tertentu, yaitu orang yang mengetahui tentang pengendalian vektor DBD,
serta mengetahui tentang penerapan ovitrap I lethal ovitrap pada wilayah kerja
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota institusi informan bekerja.
5.5. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
Instrumen dalam kajian ini digunakan sebagai pedoman telaah dokumen
atau untuk data sekunder dan pedoman wawancara mendalam untuk
pelaksanaan dan hasil aplikasi ovitrap. Data sekunder diperoleh dengan
memanfaatkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terpilih khususnya
hasil aplikasi ovitrap atau lethal ovitrap. Data primer diperoleh melalui metode
wawancara mendalam dengan instrumen berupa panduan wawancara mendalam
serta observasi lapangan untuk mengetahui cara penggunaan ovitrap / lethal
ovitrap oleh masyarakat. Data yang dibutuhkan adalah data kasus DBD, angka
bebas jentik (ABJ) antara sebelum dan sesudah penerapan ovitrap I lethal ovitrap,
metode aplikasi ovitrap / lethal ovitrap yang dilakukan, cakupan wilayah untuk
penerapan ovitrap / lethal ovitrap, pemasyarakatan penerapan dan metode
evaluasi yang diterapkan.
5.6. Pengawasan Kualitas Data
Teknik untuk mendapatkan derajat kepercayaan (truthworthiness) dilakukan
dengan pendekatan triangulasi sumber (Murti, 2006). Metode triangulasi dilakukan
adalah dengan wawancara mendalam dengan menggunakan instrumen panduan
wawancara mendalam terhadap informan / sumber lain yaitu kader DBD atau
warga masyarakat yang menggunakan ovitrap I lethal ovitrap.
5.7. Manajemen Data
Hasil rekaman dan catatan hasil wawancara mendalam dibuat transkrip
wawancara. Transkrip yang ada selanjutnya dilakukan koding serta menyusun
kuotasi hal-hal kunci dari setiap informasi. Data sekunder serta hasil observasi
lapangan digabungkan dengan transkrip data primer. Analisis data dilakukan
sebagai dasar pembahasan dalam penyusunan laporan.
5.8. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan baik sebelum maupun
pada saat di lapangan. Pada kajian ini analisis yang digunakan adalah analisis
domain [domain analysis) yaitu analisis kualitatif untuk memperoleh gambaran
12
umum dan menyelumh terhadap objek penelitian. Untuk memudahkan dalam
melakukan analisis domain terhadap data yang telah dikumpulkan, akan disusun
lembar kerja analisis {domain analysis worksheet) (Sugiyono, 2008).
6. Definisi Operasional
a. Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor
dengan cara meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan
kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia
serta memutus mata rantai penularan penyakit sampai batas / nilai ambang yang
tidak membahayakan manusia (Kemenkes Rl, 2015a).
b. Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) adalah kegiatan 3 M, yaitu : menguras dan
menyikat tempat penampungan air (TPA), menutup rapat TPA dan memanfaatkan
atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan
sehingga dapat mengurangi tempat perkembangannya (Kemenkes Rl, 2015a).
c. Oviposition trap (ovitrap) adalah perangkap telur dari kaleng / gelas / potongan
bambu dan lainnya yang dicat dengan warna gelap dan didalamnya diberi padel
dari potongan bilah bambu atau kain / kertas dengan permukaan kasar untuk
meletakkan telur, serta diisi air 1/2 - 2/3 bagian. Tujuan pemasangan ovitrap
temtama adalah untuk mengetahui keberadaan vektor, serta melakukan monitoring
terhadap suatu metode pengendalian atau efektivitas dari insektisida (Focks, 2003;
Kemenkes Rl, 2015a).
d. Lethal ovitrap adalah modifikasi ovitrap dengan memberikan insektisida pada
ovistrip atau larvasida pada wadah untuk membunuh nyamuk yang hinggap
maupun larva yang menetas dalam air (Perich era/., 2003; Kemenkes Rl, 2015a).
e. Rekomendasi adalah prosedur analisis kebijakan yang digunakan menghasilkan
informasi mengenai konsekuensi yang mungkin dari serangkaian arah tindakan di
masa depan dan nilai-nilai atau manfaat dari tindakan tersebut (Dunn, 2003).
B. INFEKSI DENGUE
Infeksi dengue terdiri dari 4 kelompok diagnosis, yaitu Demam Dengue (DD),
Demam Berdarah Dengue (DBD), Sindrom Syok Dengue (SSD dan Expanded Dengue
Syndrome (EDS). Demam Dengue (DD) merupakan infeksi dengue yang ditandai dengan
gejala utama demam disertai 2 atau lebih gejala penyerta, yaitu sakit kepala, nyeri di
belakang bola mata, nyeri otot dan tulang, mam kulit (rash), manifestasi perdarahan,
leukopenia (lekosit < 5000/mm3), trombositopenia (trombosit < 150.000/mm3) dan
peningkatan hematokrit 5 - 10%. Demam Berdarah Dengue (DBD) ditandai dengan
demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi dan terus-menerus, adanya manifestasi
13
perdarahan yang spontan seperti petekie, perdarahan gusi, melena dan lainnya, maupun
berupa uji tourniquet positif, trombosit < 100.000/mm3, dan kebocoran plasma yang
ditandai dengan peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi > 20%, efusi pleura dan asites.
Sindrom Syok Dengue (SSD) dengan gejala yang memenuhi kriteria DBD dan ditemukan
adanya tanda/gejala syok seperti takikardi, perbedaan tekanan sistolik dan diastolik < 20
mmHg, kulit dingin, produksi urin menurun, nadi tidak teraba dan lainnya. Expanded
Dengue Syndrom (EDS) dengan gejala yang memenuhi kriteria DBD, baik yang disertai
syok maupu tidak, dengan manifestasi klinis yang tidak biasa seperti kelebihan cairan,
ensefalopati, ensefalitis, perdarahan hebat, gagal ginjal akut dan gangguan jantung
(Kemenkes Rl 2015a).
Endemisitas DD/DBD di Indonesia termasuk dalam kategori A di wilayah Asia
Tenggara, yaitu wilayah di mana DD/DBD merupakan masalah kesehatan masyarakat,
kasus dan kematian yang tinggi di rumah sakit temtama pada anak, endemisitas tinggi di
wilayah perkotaan dengan sirkulasi 4 serotipe, dan sudah meluas sampai ke wilayah
pedesaan. Negara lain di Asia Tenggara yang termasuk dalam kategori A adalah
Bangladesh, India, Maldives, Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor Leste.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa kasus
DD/DBD semakin meluas dan jumlah kasus semakin meningkat. Jumlah kasus DD/DBD
pada periode 2000 - 2008 tercatat 1.656.870 kasus yang tersebar di 69 negara di
wilayah Asia Tenggara, Barat Pasific dan Amerika (WHO, 2011).
Kasus DD/DBD pada periode 2004 - 2010, Indonesia menduduki ranking ke-2 di
antara 30 negara endemis DD/DBD anggota WHO. Sedangkan pada tahun 2012
menduduki ranking pertama di wilayah Asia Tenggara, dengan jumlah kasus sebanyak
90.245 penderita. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Rl tahun 2015 tercatat
126.675 kasus dengan 1.229 kematian (CFR = 0,97%). Jumlah kasus tersebut meningkat
dibandingkan dengan tahun 2014 yaitu sebanyak 100.347 kasus dengan 907 kematian
(CFR = 0,89%) (WHO, 2011; Kemenkes Rl, 2016; Kemenkes Rl, 2015a).
C. VEKTOR DAN PENGENDALIANNYA
1. Vektor Demam Berdarah Dengue
Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk genus
Aedes dari subgenus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor utama, namun
spesies lain seperti Ae. albopictus, Ae. polynesiensis, anggota dari Ae. scutellaris
complex, dan Ae. (Finlaya) niveus juga dilaporkan sebagai vektor sekunder (WHO
SEARO, 2003). Nyamuk betina Ae. aegypti lebih menyukai darah manusia
(anthropophilic) daripada darah binatang (zoophilic), walaupun mungkin akan
menghisap darah hewan berdarah panas lainnya seperti bumng dan mamalia.
14
Aktivitas menggigit Ae. aegypti adalah beberapa jam di pagi hari dan beberapa jam
sebelum gelap. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Bogor menunjukkan
bahwa aktivitas menghisap darah mencapai puncaknya pada jam 10.00 - 11.00, baik
Ae. aegypti maupun Ae. albopictus (Fadilla et al., 2015). Perilaku istirahat nyamuk
Aedes sp ada perbedaan antara Ae. aegypti dengan Ae. albopictus, yaitu Ae. aegypti
cenderung istirahat di dalam rumah temtama pada tempat yang gelap dan lembab.
Akan tetapi Ae. albopictus cenderung istirahat di luar rumah dekat dengan tanah dan
di hutan/kebun. Jangkauan terbang sekitar 30 - 50 meter dari tempat pupa menetas
menjadi nyamuk, tergantung jarak tempat menetas dan pakan darah yang tersedia.
Walaupun demikian, penelitian terbaru di Puerto Rico menunjukkan bahwa nyamuk
betina dewasa menyebar lebih dari 400 meter untuk mencari tempat bertelur. Aectes
aegypti dewasa rata-rata dapat hidup selama 3-4 minggu. Selama musim hujan,
jangka waktunya lebih lama, sehingga risiko penularan virus lebih besar. Habitat
perkembangbiakan Aedes sp. adalah tempat-tempat yang dapat menampung air di
dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat umum, yang dapat
dikelompokkan tempat penamgpungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, TPA
bukan untuk keperluan sehari-hari dan tempat penampungan air alamiah (WHO
SEARO, 2003; WHO, 2011).
2. Pengendalian Vektor Demam Berdarah Dengue
Salah satu cara untuk mencegah terjadinya penularan DBD dengan cara
memutus rantai penularan melalui pengendalian vektomya. Pengendalian vektor
DBD dapat dilakukan secara kimiawi, hayati, genetik dan ekologis.
2.1. Pengendalian secara kimiawi
2.1.1. Insektisida untuk pengendalian larva
Pada penampungan air yang tidak dapat ditutup atau sulit
dibersihkan secara rutin, insektisida dapat digunakan untuk pengendalian
larva. Larvasida temephos 1% formulasi granul direkomendasikan oleh
WHO untuk aplikasi dan aman digunakan pada air minum. Efek residu
temephos dapat mengendalikan antara 6-8 minggu dalam dosis 1 ppm
(10g/100 liter) (WHO, 2008). Pengendalian terhadap larva dapat juga
menggunakan insect growth regulators (IGRs) untuk mengatur
pertumbuhan nyamuk sebelum dewasa (WHO SEARO, 2003). IGRs
digolongkan dalam dua kelompok :
15
2.1.1.1.Juvenile hormone analogues, bekerja mencegah perkembangbiakan
larva menjadi pupa atau pupa menjadi nyamuk dewasa dan tidak
membunuh nyamuk secara langsung (Rozendaal, 1997; Yap et al.
1994).
2.1.1.2.Chitin synthesis inhibitors, menghambat proses sintesa/pembentukan
kulit, membunuh larva saat berganti kulit pada stadium akhir (Becker et
al.,2010).
2.1.2. Insektisida untuk pengendalian nyamuk dewasa
Insektisida yang dapat digunakan untuk menolak/melindungi diri
dari gigitan nyamuk, antara lain :
2.1.2.1. Repellent
Repellent atau penolak nyamuk, yaitu bahan kimia yang
diaplikasikan langsung ke kulit untuk mencegah kontak vektor -
manusia (Rozendaal, 1997). Repellent tidak hanya dari bahan
kimiawi, namun dapat juga digunakan bahan alamiah yang
diekstrasi dari tanaman yang mengandung bahan penangkal
nyamuk seperti minyak serai, minyak sitrun dan minyak mimba
(neem oil) (WHO SEARO, 2003).
2.1.2.2. Insektisida rumah tangga
Produk insektisida rumah tangga, seperti obat nyamuk bakar yang
terbuat dari bunga Chrysanthemum cinerariaefolium yang
mengandung bahan aktif pyrethrins (Rozendaal, 1997),
merupakan produk yang paling banyak digunakan oleh rumah
tangga, khususnya di Asia Tenggara (Yap et al., 1994). Produk
lain sebagai perlindungan diri di rumah tangga adalah mats
electric, aerosol spray dan semprotan pompa tangan (spray gun)
(WHO SEARO, 2003; Rozendaal, 1997).
2.1.2.3. Tirai/kelambu yang dicelup larutan insektisida
Kelambu berinsektisida merupakan jaring berlubang terbuat dari
benang polietilen dan polipropilen yang mengandung permethrin
2% mempunyai keuntungan, yaitu lubang jaring yang jarang
memungkinkan proses ventilasi dan sinar berjalan dengan lebih
baik serta pelepasan permethrin secara perlahan-lahan
menjadikan efek residu bertahan lebih lama. Kelambu
berinsektisida ada 2 jenis metode dalam proses pemolesan
16
insektisida, yaitu metode coted (dicelup sendiri) dan incorporated
(LLIN) yang dikeluarkan oleh perusahaan (WHO SEARO, 2003).
2.1.2.4. Penyemprotan (space spraying)
Pada umumnya, terdapat dua jenis penyemprotan yang
diterapkan untuk pengendalian Ae. aegypti, yaitu pengasapan
panas (thermal fogs) dan pengasapan dingin (cold fogs). Thermal
fogging menggunakan bahan minyak atau air, formula bahan
dasar minyak (diesel) menghasilkan kabut putih tebal dan berbau,
sedangkan formula bahan dasar air menghasilkan kabut yang
cepat menguap. Cold fogs dapat menggunakan kendaraan atau
dijinjing/portad/e. Bagaimanapun, penggunaan insektisida hams
memperhatikan prosedur penggunaannya, serta faktor lainnya
seperti keamanan, waktu, biaya, perilaku vektor, serta peralatan
dan keterampilan petugas operasional (WHO SEARO, 2003;
World Health Organization, 2009)
2.2. Pengendalian secara hayati
Pengendalian secara hayati sebagian besar ditujukan terhadap
pengendalian jentik vektor, seperti predator, parasit dan pathogen. Predator
jentik Aedes sp antara ikan pemakan jentik seperti ikan mas (Cyprinus carpio)
dan ikan guppi (Poecilia reticulata), yang telah banyak digunakan sebagai
pengendali nyamuk An. stephensi dan Ae. aegypti di sungai dan tempat
penyimpanan air yang besar di banyak negara di Asia Tenggara (WHO SEARO,
2003). Predator lain yang efektif terhadap larva Aecfes (Stegommyia) adalah
pemangsa jenis Copepod crustaceans (sejenis ketam laut), yaitu Mesocyclops
aspericornis serta larva nyamuk dari genus Toxorhynchites dan larva capung
(dragonflies). Parasit pada jentik Aecfes sp adalah Nematoda, yang salah
satunya adalah cacing Romanomermis iyengari. Sedangkan pathogen pada
jentik Aecfes sp antara lain adalah fungi dan Bacillus thuringiensis (Rozendaal,
1997).
Endotoxin yang di produksi Bacillus thuringiensis serotype H-14 (Bt. H-
14) dan Bacillus sphaericus (Bs) dinilai efektif untuk mengendalian jentik
nyamuk. Bacillus thuringiensis serotype H-14 efektif terhadap An. stephensi dan
Ae. aegypti, sedangkan Bs efektif terhadap Culex quinquefasciatus yang
berkembangbiak di air terpolusi. Bahan aktif tersebut sudah dijual secara
komersial dengan berbagai merek dan formula yang bervariasi seperti cairan,
granula dan briket (Rozendaal, 1997; Supartha IW, 2008). Penelitian yang
dilakukan di Salatiga menunjukkan bahwa, Bt H-14 galur lokal dalam formulasi
17
bubuk efektif menurunkan populasi jentik Ae. aegypti sebesar 78% - 100%
(Blondine Ch P & Boewono, 2007). Bacillus thuringiensis isolat Madura juga
efektif untuk jentik Ae. aegyptipada instar 1 hingga 88,89% (Gama et al., 2010).
Bacillus thuringiensis H-14 dalam formulasi cair juga efektif terhadap An.
sundaicus yang merupakan vektor malaria di wilayah Kampung Laut, Kabupaten
Cilacap (Blondine Ch P et al., 2004).
2.3. Pengendalian secara genetik
Pengendalian cara genetik (genetic control) dilakukan melalui teknik
serangga mandul (TSM). Prinsip kerja TSM adalah melepaskan serangga jantan
yang telah dimandulkan ke lingkungan, dengan tujuan apabila terjadi perkawinan
dengan serangga betina memperoleh telur yang steril/mandul. Metode TSM
dapat dilakukan dengan dua metode: pertama, pembiakan individu dan
pemandulan di laboratorium, kemudian dilepas ke lapangan. Kedua adalah
pemandulan langsung terhadap serangga jantan di lapangan. Pemandulan
serangga jantan secara langsung di lapangan dilakukan dengan menggunakan
kemosterilan. Oleh karena kemosterilan merupakan senyawa kimia yang bersifat
mutagenik dan karsinogenik pada hewan maupun manusia, maka teknologi ini
tidak direkomendasikan untuk pengendalian vektor (Nurhayati S, 2005).
Penelitian yang dilakukan di Salatiga menunjukkan bahwa, aplikasi TSM dengan
lima kali pelepasan dapat meningkatkan telur Ae. aegypti mandul sebesar
96,09% di dalam rumah dan 93,25% di luar rumah (Riyani S era/., 2014).
2.4. Pengendalian secara ekologis
Pendekatan ekologis sebagai upaya pengendalian nyamuk dilakukan
dengan penatalaksanaan lingkungan, yang meliputi:
a. Modifikasi lingkungan - transformasi fisik jangka panjang dari habitat vektor
DBD.
b. Manipulasi lingkungan - pembahan temporer pada habitat vektor sebagai
hasil dari aktivitas yang direncanakan untuk menghasilkan kondisi yang
tidak disukai untuk perkembangbiakan vektor.
c. Pembahan habitat melalui pembahan perilaku manusia, sebagai upaya
untuk mengurangi kontak manusia-vektor-patogen (WHO, 1997; World
Health Organization, 2009).
Cara yang sudah dikenal secara luas di Indonesia dalam pengendalian
vektor secara ekologis adalah dengan melakukan pemberantasan habitat jentik
nyamuk yang dikenal dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
Pemberantasan sarang nyamuk dapat dilakukan dengan cara 3M, yaitu :
18
menguras, menutup dan mengubur. Menguras adalah melakukan kegiatan
menguras tempat penampungan air dengan cara menyikat atau menggosok
dinding dalamnya sebagai upaya untuk menghilangkan telur nyamuk dan jentik.
Menutup adalah melakukan kegiatan penutupan semua tempat tampungan air
baik buatan maupun alami, dengan tujuan tidak memberi peluang bagi nyamuk
Ae. aegypti grafid untuk bertelur. Mengubur adalah mengumpulkan semua
barang bekas (disposable containers) untuk dikubur atau dimusnahkan, agar
tidak menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk saat musim hujan tiba
(Mardihusodo SJ, 2005). Pemberantasan sarang nyamuk dapat dilakukan
dengan 3M Plus pemasangan ovitrap yang dapat dipakai sebagai alat surveilans
vektor maupun alat pengendali nyamuk Ae, aegypti, seperti yang dilakukan di
Singapura (WHO SEARO, 2003). Hal inilah yang akan dijelaskan dalam kajian
ini, sehingga diperoleh hasil kajian yang dapat memberikan rekomendasi tentang
penerapan ovitrap / lethal ovitrap yang sesuai dengan teori maupun hasil-hasil
penelitian yang dinilai berhasil.
D. OVITRAP DAN LETHAL OVITRAP
1. Definisi Ovitrapdan Lethal ovitrap
Ovitrap berasal dari kata "oviposition" yang berarti peletakan telur dan "trap"
berarti jebakan/perangkap, sehingga ovitrap berarti alat yang digunakan sebagai
perangkap telur nyamuk atau dapat disebut artificial breeding places atau tempat
berkembang biak nyamuk buatan. Ovitrap berfungsi sebagai alat untuk mendeteksi
keberadaan Aecfes aegypti dan Aedes albopictus (WHO SEARO, 2003). Nyamuk Ae.
aegypti dan Ae. albopictus merupakan sasaran dari pemasangan ovitrap, karena
kedua spesies tersebut merupakan nyamuk domestik dan berkembangbiak pada
tempat-tempat penampungan air di dalam dan di luar/sekitar rumah (Kemenkes Rl,
2015a). Ovitrap pertama kali dikembangkan oleh Fay dan Eliason tahun 1965,
sebagai alat surveilans di Amerika Serikat (Perich et al., 2003).
Lethal ovitrap merupakan pengembangan dari ovitrap yang berarti ovitrap
yang mematikan. Lethal ovitrap adalah ovitrap yang dimodifikasi dengan memberikan
insektisida pada padel/strip sebagai pembunuh nyamuk yang hinggap. Dengan
demikian lethal ovitrap tidak hanya sebagai alat surveilans, akan tetapi sekaligus
dapat digunakan sebagai pengendali nyamuk khususnya Aedes sp. Lethal ovitrap
pertama dikembangkan di Brazil sebagai pengendali nyamuk Aecfes di laboratorium
oleh Zeichner dan Perich pada tahun 1999 dan terbukti secara signifikan dapat
menurunkan populasi nyamuk secara signifikan (Perich era/., 2003).
19
2. Fungsi Ovitrap dan Lethal ovitrap
Ovitrap pada awalnya digunakan untuk mendeteksi dan memonitor populasi
vektor dengue khususnya pada wilayah dengan populasi nyamuk rendah.
Penggunaan ovitrap sebagai pengendali vektor dengue dilakukan pertama kali di
bandara internasional Singapura pada tahun 1969 (Perich et al., 2003). Salah satu
metode survei vektor dengue adalah dengan melakukan survei telur. Ovitrap yang
diterapkan untuk survei telur bertujuan untuk memperoleh ovitrap index (Ol) dengan
membandingkan antara ovitrap yang ada telurnya dengan ovitrap yang
dipasang/diperiksa (Kemenkes Rl, 2015a).
Berdasarkan penelitian di laboratorium yang dilakukan oleh Zeichner dan
Perich pada tahun 1999, menyatakan bahwa lethal ovitrap (LO) yang didisain dengan
mengoleskan insektisida pada ovistrip dapat mengendalikan vektor dengue secara
signifikan. Selanjutnya, pada tahun 2003 dilakukan uji lapangan di Brazil untuk
penerapan LO dan hasilnya secara signifikan dapat menurunkan populasi vektor
dengue, meskipun pada daerah yang berbeda, hams dilakukan lama perlakuan yang
berbeda pula (Perich er al., 2003).
3. Jenis Ovitrap
3.1. Non lethal ovitrap
Non lethal ovitrap biasa digunakan untuk surveilans (survei telur nyamuk).
Secara umum non lethal ovitrap tersusun dari 3 bagian yaitu bejana penampung
air, bahan attraktan, dan tempat melekatnya telur nyamuk (Gambar 1). Bahan
bejana penampung air yang digunakan untuk ovitrap adalah penampungan air
buatan seperti kaleng bekas, botol plastik, bejana plastik atau ember (Hasyimi et
al., 2000; Umniyati ef al., 2004; Mackay et al., 2013; Sayono et al., 2010).
Pemilihan bahan tersebut sesuai dengan kesukaan nyamuk Aedes spp untuk
bertelur di tempat penampungan air non alamiah di sekitar manusia. Bentuk
ovitrap direkomendasikan memiliki penampang bagian atas yang cukup lebar
sehingga memudahkan nyamuk untuk masuk ke dalam perangkap (PAN
American Health Organization, 1984; WHO, 2011). Warna bejana ovitrap yang
cenderung gelap, seperti warna hitam, merah atau bim lebih disukai nyamuk
Aedes daripada warna terang seperti putih atau kuning (Budiyanto, 2010;
Lenhart ef al., 2005), sebaliknya tidak ada pengamh warna kassa atau kertas
saring pada ovitrap terhadap jumlah nyamuk yang tertangkap (Santoso et al.,
2007).
20
OvistripLubang untuk
mencegahmeluapnya air
hujan
\ ^^ -^^^^^^ 1
\ \^ /
Air + artraktan
Batu (pemberat) "p -"^
Gambar 1. A/on lethal ovitrap (Deschamps, 2005)
Tempat perlekatan telur nyamuk di dalam ovitrap (ovistrip) dapat terbuat dari
kertas saring, bilah kayu atau bambu dan kain (Salim & Tri Baskoro Tunggul
Satoto 2015; Poison etal., 2002; Hasyimi et al., 2000).
3.2. Lethal ovitrap tanpa insektisida
Ovitrap menggunakan barrier kawat atau kassa anti nyamuk untuk
mencegah larva nyamuk berkembang menjadi nyamuk dewasa. Telur nyamuk
yang melekat di kassa akan tergenang air dan menjadi larva - pupa namun tidak
dapat keluar menjadi nyamuk karena terhalang oleh kawat/kassa anti nyamuk.
Posisi barrier kawat/kassa anti nyamuk bermacam-macam dapat dilihat pada
Gambar 2. Kawat dapat diletakkan di bagian atas penampang bejana (Kemenkes
Rl 2010) atau ditempel dengan gabus agar dapat mengapung di permukaan air
(Umniyati etal., 2004) .
21
Jenis ovitrap tanpa insektisida yang lain adalah sticky ovitrap atau gravid
ovitrap. Ovitrap dimodifikasi dengan menambahkan zat adhesif untuk membuat
nyamuk Aedes sp betina melekat di dalam ovitrap saat bertelur. Zat adhesif
diletakkan di dinding ovitrap dengan menggunakan kertas berperekat tanpa ada
tutup pelindung atau bertingkat (double sticky ovitrap) dengan menggunakan tutup
dari bejana yang bemkuran hampir sama (Mackay et al., 2013; Chadee & Ritchie
2010).
A= StickysubstratB = Plastic bottle
Gambar 3. Sticky ovitrap sederhana Gambar 4. Double sticky ovitrap
3.3. Lethal ovitrap dengan insektisida
Insektisida ditambahkan ke dalam ovitrap bertujuan untuk membunuh
stadium pra dewasa nyamuk (larvicidal ovitraps), atau stadium nyamuk dewasa
(adulticidal ovitraps). Larvacidal ovitraps bekerja dengan cara mencegah telur
menetas menjadi larva atau mereduksi kemampuan perkembangan larva menjadi
tahap instar selanjutnya. Adulticidal ovitrap dapat mengurangi transmisi penularan
penyakit dengan membunuh nyamuk dewasa betina yang berperan sebagai
vektor penyakit.
Jenis insektisida yang digunakan untuk lethal ovitrap bermacam-macam.
Studi pengendalian populasi nyamuk di Jakarta menggunakan ovitrap yang diberi
temephos dosis 1 ppm. Hasilnya dapat menumnkan kepadatan larva di lokasi
penelitian (Hasyimi et al. 2000). Penelitian di Sumatera Barat menggunakan
ovitrap yang diberi larutan tembaga sulfat (CuSo4) dosis 10 ppm. Hasil studi
membuktikan bahwa larutan tembaga sulfat mampu membunuh larva nyamuk
Aedes spp, namun karena larutan tembaga sulfat berpotensi menimbulkan
22
pencemaran di badan air, penggunaan larutan ini hams dalam pengawasan yang
ketat (Reza et al. 2016). Ovitrap dapat diberi insektisida cipermetrin yang
diteteskan pada kertas saring dan ditempelkan di sekeliling gelas plastik bagian
dalam (ovistrip) konsentrasi 6 % (Sholichah etal., 2010).
4. Prinsip Pengendalian Vektor Menggunakan Ovitrap
Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh
vektor dengan cara meminimalkan habitat perkembangan vektor, menurunkan
kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta
memutus rantai penularan penyakit. Kebijakan pengendalian vektor oleh
Kementerian Kesehatan salah satuanya adalah pengendalian vektor mengutamakan
pendekatan PVT (Pengendalian Vektor Terpadu). Pengendalian vektor terpadu
merupakan kegiatan pengendalian vektor dengan memadukan berbagai metode,
baik fisik, biologi dan kimia, yang dilakukan secara bersama-sama dengan
melibatkan lintas program dan lintas sektor (Kemenkes Rl 2010; Kemenkes Rl
2015a).
Pengendalian vektor terpadu hams mempertimbangkan aspek keamanan,
rasionalitas dan efektifitas serta dengan mempertimbangkan kesinambungannya.
Adapun prinsip-prinsip PVT meliputi: a) pengendalian vektor hams berdasarkan data
tentang bioekologi vektor setempat, dinamika penularan penyakit, ekosistem dan
perilaku masyarakat yang bersifat spesifik lokal (evidence based), b) pengendalian
vektor dilakukan dengan partisipasi aktif berbagai sektor dan program terkait, seperti
LSM, organisasi profesi, dunia usaha/swasta serta masyarakat, c) pengendalian
vektor dilakukan dengan meningkatkan penggunaan metode non kimia dan
menggunakan pestisida secara rasional serta bijaksana, dan d) pengendalian vektor
hams mempertimbangkan kaidah ekologi dan prinsip ekonomi yang berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan (Kemenkes Rl 2010).
Penerapan lethal ovitrap di lingkungan masyarakat secara prinsip hams
menyesuaikan dengan kebijakan Kementerian Kesehatan Rl yaitu terpadu, baik
dalam metode pengendalian maupun pengorganisasian pelaksanaannya yang
melibatkan berbagai sektor. Dengan mengacu pada prinsip pengendalian vektor
dengan meningkatkan metode non kimia, maka penerapan metode pengendalian
dengan menggunakan lethal ovitrap dapat dipadukan dengan metode pengendalian
secara hayati dan fisik. Salah satu pengendalian vektor DBD yang merupakan pilihan
utama adalah pengendalian secara fisik dengan melakukan pemberantasan sarang
nyamuk (PSN), yang meliputi kegiatan 3M yaitu : menguras dan menyikat tempat
penampungan air, menutup rapat tempat penampungan air dan memanfaatkan atau
23
mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan. Kegiatan 3M
diiringi dengan kegiatan "Plus" lainnya, antara lain :1) mengganti air vas bunga,
tempat minum burung atau tempat penampungan air yang sejenis seminggu sekali,
2) menutup lubang potongan bambu atau pagar bambu dengan tanah/pasir,
memelihara ikan pemakan jentik pada penampungan air, 3) memasang kawat kasa
pada lubang-lubang ventilasi, 4) menggunakan kelambu dan pelindung diri lainnya
agar tidak digigit nyamuk, dan 5) memasang lethal ovitrap di dalam dan di luar
rumah.
5. Cara Pemasangan Lethal Ovitrap
Pemasangan lethal ovitrap akan mempengaruhi keberhasilan pengendalian
vektor DBD di suatu wilayah. Keberhasilan penerapan lethal ovitrap dipengamhi oleh
jumlah lethal ovitrap yang dipasang. Penerapan ovitrap di bandara internasional
Singapura di pasang sebanyak 1700 - 1900 buah ovitrap (Focks 2003). Berdasarkan
informasi dari WHO menyatakan bahwa pemasangan ovitrap sebagai pengendali
vektor dilakukan dalam jumlah yang banyak dan dipasang secara periodik (WHO
2011). Namun demikian, penggunaan lethal ovitrap pada skala penelitian, jumlah
rumah yang dipasang lethal ovitrap tidak banyak, ada yang 30 rumah, 50 rumah,
juga 100 rumah di masing-masing wilayah perlakuan dan kontrol. Meskipun jumlah
rumah sedikit, akan tetapi diperoleh hasil dengan efektivitas tinggi dan pada wilayah
yang terbatas (Jahan etal., 2011; Perich etal., 2003; Ramadhani & Wahyudi 2013).
Tempat pemasangan lethal ovitrap juga merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi keberhasilan dalam upaya pengendalian vektor DBD. Perilaku
nyamuk Aedes sp suka istirahat di tempat gelap dan lembab. Setelah menghisap
darah nyamuk Aedes sp akan beristirahat untuk pematangan telur dan setelah siap
untuk bertelur, akan mencari habitat untuk meletakkan telurnya (Kemenkes Rl
2015a). Pemasangan lethal ovitrap sebaiknya pada tempat lembab dan gelap di
mana nyamuk Aedes sp suka beristirahat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Brazil, pemasangan lethal ovitrap di dalam rumah diletakkan di dapur, kamar mandi,
ruang keluarga, kamar tidur dan tempat yang tersembunyi di dalam rumah.
Sedangkan di luar rumah lethal ovitrap diletakkan di tempat-tempat yang lembab dan
tidak terkena sinar matahari secara langsung serta tidak banyak angin (Ritchie er al.,
2014; Perich et al., 2003).
Faktor lain yang berpengamh terhadap keberhasilan penerapan lethal ovitrap
adalah adanya zat yang menarik agar nyamuk bertelur di dalamnya yang disebut
dengan attraktan. Beberapa studi menyebutkan bahwa penambahan attraktan
terbukti meningkatkan jumlah telur maupun nyamuk yang tertangkap di dalam ovitrap
24
dibandingkan dengan ovitrap yang tidak menggunakan attraktan. Beberapa studi
merekomendasikan larutan rendaman jerami 10% sebagai bahan attraktan nyamuk,
sedangkan penelitian lainnya juga menemukan alternatif zat lain yang dapat
diigunakan untuk memancing nyamuk masuk ke dalam perangkap seperti rendaman
ragi atau rendaman cangkang udang (Reiter et al., 1991; K. A. Poison et al., 2002;
Salim & Satoto 2015; WHO 2011; Prasetyo 2016).
6. Pemasyarakatan Lethal Ovitrap
Salah satu prinsip pengendalian vektor terpadu (PVT) adalah dilakukan
dengan partisipasi aktif berbagai sektor dan program terkait, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), organisasi profesi, dunia usaha serta masyarakat (Kementerian
Kesehatan Rl 2010). Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam
pembahan yang ditentukan sendiri, dapat juga diartikan keterlibatan masyarakat
dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka (Mikkelsen 2001).
Pemberdayaan masyarakat sebagai upaya penumbuh dan pengembangan
partisipasi masyarakat, khususnya dalam pengendalian vektor DBD melalui PSN
Plus pemasangan lethal ovitrap, dapat dilakukan dengan cara : 1) menumbuhkan
kesadaran bahwa masyarakat hams berpartisipasi dalam pengedalian vektor, 2)
menginformasikan tentang adanya kesempatan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi, 3) menunjukkan dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
melakukan PSN Plus pemasangan lethal ovitrap yang tepat, dan 4) menggerakkan
kemauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengendalian vektor DBD
(Mardikanto2010).
Pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian vektor DBD hams dilakukan
agar masyarakat dapat secara aktif berperan serta dan memahami arti penting
pencegahan DBD secara mandiri. Habitat vektor DBD temtama adalah
penampungan air di dalam dan di sekitar rumah, maka pemilik rumah itu sendiri yang
hams mampu dan mau untuk memutus perkembangan nyamuk vektor DBD.
Pemerintah, dalam hal ini adalah petugas puskesmas tidak mungkin akan menguras
atau menutup tempat penampungan air di rumah warga di wilayah kerjanya. Hal ini
akan membutuhkan banyak waktu dan belum tentu dapat diterima oleh masyarakat.
Pemberdayaan dalam penerapan lethal ovitrap dapat dilakukan melalui
beberapa tahapan, yaitu 1) penetapan dan pengenalan wilayah kerja, hal ini perlu
disepakati oleh fasilitator, aparat pemerintah setempat, wakil masyarakat dan
pemangku kepentingan lain, 2) sosialisasi kegiatan, hal ini perlu dilakukan untuk
mengkomunikasikan rencana kegiatan yang akan dilakukan, peran masing-masing
pihak terkait, partisipasi yang diharapkan dan langkah-langkah yang akan dilakukan,
25
3) penyadaran masyarakat, agar masyarakat sadar akan keberadaannya sebagai
individu, anggota masyarakat maupun kondisi lingkungannya, 4) pengorganisasian
masyarakat, pemilihan koordinator dan pembagian kelompok tugas perlu diatur,
karena untuk melakukan pembahan sering kali sulit dilakukan secara individu, 5)
pelaksanaan kegiatan, terdiri dari pelatihan bidang teknis maupun manajerial dan
pengembangan kegiatan antara lain melalui peningkatan pendapatan masyarakat,
dan 6) advokasi kebijakan, agar kegiatan dapat berjalan dengan baik perlu dukungan
kebijakan dari elit masyarakat (tokoh masyarakat, aparat pemerintah, akademisi, dll)
(Mardikanto2010).
E. PROGRAM PENGENDALIAN VEKTOR DBD
Salah satu strategi global dalam pencegahan dan pengendalian DBD menurut
WHO adalah pengendalian vektor yang melibatkan masyarakat dan lintas sektor melalui
metode selektif dan terpadu (Trapsilowati et al., 2015). Hal tersebut yang menjadi acuan
dalam program pengendalian vektor di Indonesia, bahwa pengendalian vektor dilakukan
dengan menggunakan metode pengendalian vektor terpadu dengan mengkombinasikan
beberapa metode pengendalian dengan mempertimbangkan prinsip keamanan,
rasionalitas, efektifitas dan kesinambungan (Kemenkes Rl 2010).
Salah satu tujuan dalam program pengendalian DBD adalah membatasi
penularan DBD dengan mengendalikan populasi vektor sehingga angka bebas jentik
(ABJ) di atas atau sama dengan 95%. Adapun strategi untuk mencapai tujuan tersebut
adalah pengendalian vektor penular DBD dengan mengedepankan upaya
pemberdayaan masyarakat dan peran serta masyarakat dan adanya dukungan
manajemen, termasuk anggaran, peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan
alat/bahan pengendalian DBD. Bentuk peran serta masyarakat dalam pengendalian
DBD yang efektif adalah mewujudkan perilaku hidup bersih dan melalui kegiatan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan kegiatan 3M Plus. Sasaran kegiatan
PSN 3M Plus adalah semua keluarga dan pengelola tempat umum melalui Gerakan
Satu Rumah Satu Jumantik (GSRSJ). Pelaksanaan GSRSJ dilakukan dengan setiap
keluarga menunjuk 1 orang anggota keluarga sebagai penanggungjawab menjaga
kebersihan di lingkungannya agar terbebas dari jentik nyamuk Aedes sp. Kegiatan
"Plus" pada PSN 3M disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Kegiatan
tersebut antara lain menggunakan kelambu, memasang kawat kasa, memelihara ikan
pemakan jentik, menutup lubang pada potongan bambu, memasang ovitrap/lethal
ovitrap dan lainnya. Dengan demikian, pemasangan lethal ovitrap bukan merupakan
metode tunggal yang harus diterapkan, akan tetapi terpadu dengan kegiatan
26
pengendalian lainnya yaitu PSN 3M Plus pemasangan lethal ovitrap (Kemenkes Rl
2015a).
Berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, bahwa
kabupaten/kota yang menerapkan ovitrap adalah Kabupaten Pemalang, Kabupaten
Banjarnegara, Kota Semarang, dan Kabupaten Demak. Hasil konfirmasi lapangan di
wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Pemalang menunjukkan bahwa di wilayah
tersebut telah dilakukan sosialisasi tentang penggunaan lethal ovitrap (mosquitrap).
Meskipun demikian, setelah dikonfirmasi di Puskesmas dan masyarakat khususnya
kader kesehatan, mereka belum menerapkannya. Berdasarkan informasi, hal tersebut
dikarenakan sosialisasi yang dilakukan merupakan sebagian materi tentang
pengendalian DBD dan belum ada himbauan maupun pengorganisasian untuk
menerapkan lethal ovitrap. Hasil konfirmasi dengan Dinas Kabupaten Kabupaten
Banjarnegara dan Dinas Kabupaten Demak diketahui bahwa pelaksanaan ovitrap di
wilayah tersebut dilakukan adanya penelitian oleh institusi lain. Setelah penelitian
selesai alat berupa ovitrap diambil kembali oleh tim peneliti, sehingga tidak ada lagi
ovitrap yang dipasang di rumah warga. Berbeda dengan Dinas Kesehatan Kota
Semarang, alat berupa ovitrap telah disediakan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang
dan sosialisasi di sebagian wilayah Kota Semarang telah dilakukan. Akan tetapi,
penerapan belum dikoordinasikan sehingga pelaksanaan di lapangan belum dilakukan.
F. ANALISIS GAP
Tujuan pengendalian DBD secara nasional salah satunya adalah membatasi
penularan DBD dengan mengendalikan populasi vektor sehingga ABJ > 95%.
Berdasarkan tujuan di atas dibandingkan dengan kondisi saat ini, dapat dijelaskan
bahwa, angka bebas jentik (ABJ) target yang ingin dicapai sebesar > 95% dan dengan
ABJ tersebut suatu wilayah dapat dimasukkan pada kategori risiko rendah. Kondisi di
lapangan ternyata masih jauh dari yang diharapkan, berdasarkan Profil Kesehatan
Indonesia menunjukkan bahwa ABJ pada tahun 2014 hanya sebesar 24,06%. Data ABJ
tersebut dinyatakan memang tidak valid, karena sebagian besar Puskesmas tidak
melakukan pemantauan jentik berkala (PJB), serta Jumantik pada desa/kelurahan yang
sudah dipilih tidak berjalan karena keterbatasan anggaran. Meskipun demikian, data
ABJ yang terlaporkan pada tahun 2010 - 2013 berkisar antara 76% - 80% (Kemenkes
Rl 2015b). Data yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan di Kota Semarang pada
tahun 2010 ABJ sebesar 84,77% dan dari penelitian yang dilakukan di Kabupaten Pati
diperoleh ABJ sebesar 61,75% (Trapsilowati & Widiarti 2013; Kusumo er al., 2014).
Data-data ABJ di atas menunjukkan bahwa nilai ABJ yang ada belum ada yang
27
mencapai standar yang ditetapkan, yaitu > 95%. Kegiatan untuk meningkatkan ABJ
salah satunya melalui pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui 3M Plus. Kegiatan
"Plus" dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing wilayah, antara lain
penebaran ikan pemakan jentik, pemakaian baju panjang, termasuk juga pemasangan
lethal ovitrap di setiap rumah, baik di dalam maupun di luar rumah.
Pemasangan lethal ovitrap sebagai nilai "Plus" pada PSN 3M dapat dilakukan
melalui Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik (GSRSJ), dengan harapan masing-masing
rumah tangga mampun melalukan PSN 3 M Plus pemasangan lethal ovitrap secara
tepat, baik tepat metode, tepat sasaran maupun tepat waktu. Kondisi di lapangan,
khususnya pada kabupaten/kota lokasi konfirmasi data, menunjukkan bahwa
pemasangan lethal ovitrap belum ada satupun dinas kesehatan yang menerapkan di
wilayah kerjanya. Pedoman pengendalian DBD dari Kementerian Kesehatan Rl telah
menyebutkan bahwa, salah satu nilai "Plus" pada kegiatan PSN 3M adalah
pemasangan ovitrap. Berdasarkan hasil-hasil penelitian serta melihat kebiasaan dan
perilaku masyarakat Indonesia, maka lethal ovitrap lebih baik digunakan dibanding
ovitrap non insektisida/larvasida.
Kebijakan tentang penerapan lethal ovitrap saat ini belum diterbitkan peraturan
khusus, baik pada level pusat maupun daerah. Efektivitas lethal ovitrap dari berbagai
penelitian menunjukkan hasil yang signifikan, maka hal ini perlu dijadikan pertimbangan
untuk menerapkan di masyarakat. Agar dalam pelaksanaan penerapan lethal ovitrap
sesuai dengan metode yang tepat, maka perlu diatur melalui pedoman atau instruksi
atau peraturan khusus tentang penerapan lethal ovitrap sebagai upaya pengendalian
vektor temtama DBD dengan tetap dipadukan dengan kegiatan PSN oleh masyarakat.
G. POLICY OPTION DAN PENELITIAN
Lethal ovitrap termasuk alat sederhana yang mudah dibuat dan diaplikasikan oleh
masyarakat. Penerapan lethal ovitraps sebaiknya dengan bahan dan metode yang
mudah dan murah, sehingga masyarakat dalam menerapkan secara mandiri dan
berkesinambungan. Adapun metode penerapan lethal ovitrap disarankan menggunakan
kaleng atau gelas plastik/kaca dengan diberi padel atau kertas saring atau kain untuk
tempat bertelur. Apabila terdapat telur dalam kaleng/gelas, agar tidak berkembang
menjadi jentik, maka diberikan larvasida sebagai pembunuh jentik. Dalam rangka
menciptakan kemandirian masyarakat dalam pengendalian vektor DBD menggunakan
metode 3 M Plus pemasangan lethal ovitrap, perlu dilakukan sosialisasi kepada
masyarakat mengenai hal-hal berikut:
28
a. Pengenalan dan manfaat lethal ovitrap
Alat lethal ovitrap belum banyak dikenal di masyarakat. Sosialisasi bertujuan
agar masyarakat dapat menerima dan mau menggunakan alat tersebut. Sosialisasi
alat dapat dilakukan secara berjenjang dari tenaga kesehatan kepada tokoh
masyarakat dan dari tokoh masyarakat kepada anggota masyarakat.
b. Cara membuat/produksi lethal ovitrap standar
Produksi lethal ovitrap dari bahan yang terjangkau oleh masyarakat menjadi
solusi agar setiap keluarga mampu membuat dan memiliki alat tersebut.
Keseragaman komponen dan ukuran perlu disosialisasikan agar alat yang dipakai
memiliki standar yang sama.
c. Cara pemasangan dan cara pemeliharaan lethal ovitrap yang aman dan benar
Lethal ovitrap yang tidak terpelihara dengan baik akan mengurangi tingkat
efektivitasnya. Sesuai dengan hasil penelitian partisipasi masyarakat di Vietnam,
Kader sebagai pioneer kesehatan, dapat mendampingi masyarakat agar mereka
secara mandiri melakukan pengecekan di lokasi pemasangan lethal ovitrap agar
lethal ovitrap yang digunakan tetap dalam kondisi baik. Hal-hal yang perlu
dimonitoring adalah:
Kondisi alat apakah ada kemsakan, kebocoran atau lubang
Jumlah air di dalam ovitrap
Kelengkapan komponen alat
Keberadaan jentik di dalam ovitrap (apabila larvasida sudah tidak efektif lagi).
d. Evaluasi.
Sesuai dengan teori Health Belief Model (HBM), masyarakat akan lebih
meningkatkan partisipasi dalam upaya pencegahan apabila mereka mengetahui
manfaat dari upaya pencegahan yang dianjurkan. Dalam penerapan Gerakan Satu
Rumah Satu Jumantik (GSRSJ) ditambah dengan pemasangan lethal ovitrap di
setiap rumah, diharapkan masyarakat dapat mengetahui dan menyadari bahwa
risiko penularan DBD ada di sekitar mereka. Evaluasi penerimaan masyarakat
dapat dilakukan sebagai masukan bagi masyarakat, program dan lintas sektor
terkait untuk melaksanakan dan meningkatkan penerapan lethal ovitrap sebagai
nilai "Plus" pada PSN 3M secara berkesinambungan di masa mendatang.
e. Penerapan lethal ovitrap secara luas
Aplikasi lethal ovitraps dari berbagai penelitian menunjukkan hasil yang efektif
dan efisien, akan tetapi pelaksanaannya masih dalam skala kecil. Sebagai upaya
sosialisasi dan aplikasi dalam skala yang lebih luas, maka penting dilakukan pilot
project dengan menentukan desa atau kecamatan percontohan melalui penelitian
29
yang lebih luas dan melibatkan berbagai sektor terkait. Di samping itu juga perlu
diujicobakan berbagai bentuk dan variasi lethal ovitraps, serta preferensi dan
penerimaan masyarakat terhadap bentuk dan variasi lethal ovitraps yang aman dan
mudah diterapkan.
H. KETERBATASAN
Konfirmasi data lapangan diperlukan untuk memperkuat analisis dalam suatu
kajian. Dalam kajian ini terdapat keterbatasan yaitu konfirmasi data lapangan di
beberapa wilayah Dinas Kesehatan di Jawa Tengah tidak memperoleh data seperti
yang direncanakan, karena belum ada satu pun Dinas Kesehatan yang menerapkan
ovitrap maupun lethal ovitrap di wilayahnya. Sehingga analisis kajian ini ditekankan
pada hasil-hasil penelitian yang terkait penerapan ovitrap/lethal ovitrap dari referensi
yang terkait.
I. UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami ucapkan kepada Kepala Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) dan Panitia Pembina llmiah
(PPI) yang telah memberikan bimbingan dalam pelaksanaan serta penyusunan laporan
kajian ini. Terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu penyelesaian kajian ini.
30
J. DAFTAR PUSTAKA
Becker, N. etal., 2010. Mosquitoes and theircontrol, Berlin: Springer.
Blondine Ch P & Boewono, D.T., 2007. Pengendalian vektor DBD Aedes aegyptimenggunakan Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal formulasi bubuk (powder) diKota Salatiga. Media Litbang Kesehatan, 17(4), pp.1-7.
Blondine Ch P, Boewono, DT. & Widyastuti, U., 2004. Pengendalian vektor malariaAnopheles sundaicus menggunakan Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal yangdibiakkan dalam buah kelapa dengan partisipasi masyarakat di Kampung LautKabupaten Cilacap. Jurnal Ekologi Kesehatan, 3(1), pp.24-36.
Budiyanto, A., 2010. Pengaruh Perbedaan Warna Ovitrap terhadap Jumlah TelurNyamuk Aecfes spp yang Terperangkap Influences of. Aspirator, 2(2), pp.99-102.
Chadee, D.D. & Ritchie, S.A., 2010. Efficacy of sticky and standard ovitraps for Aedesaegypti in Trinidad, West Indies. Journal of Vector Ecology, 35(2), pp.395-400.
Deschamps, T.D., 2005. A Preliminary Study of The Attractiveness of Ovitrap Cups inCollecting Container Species In Massachusetts. Available at:http://www.cmmcp.org/2005ovitrap.htm.
Djunaedi, D., 2006. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, imunopatologi,patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaannya, Malang: UMM Press.
Dunn, 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik (terjemahan)., Yogyakarta: GadjahMada University Press.
Fadilla, Z., Hadi, U.K. & Setiyaningsih, S., 2015. Bioekologi vektor demam berdarahdengue ( DBD ) serta deteksi virus dengue pada Aedes aegypti ( Linnaeus ) danAe . albopictus ( Skuse ) ( Diptera: Culicidae ) di kelurahan endemik DBDBantarjati, Kota Bogor. Jurnal Entomologi Indonesia, 12(1), pp.31-38.
Focks, D.A., 2003. A Review of Entomological Sampling Methods and Indicators forDengue Vectors, USA: WHO.
Gama, Yanuwiadi B & Kumiati, 2010. Strategi pemberantasan nyamuk amanlingkungan: potensi Bacillus thuringiensis isolat Madura sebagai musuh alaminyamuk Aedes aegypti. Jurnalpembangunan dan alam lestari, 1(1), pp.1—10.
Hasyimi, M. et al., 2000. Dampak penggunaan ovitrap yang dibubuhi temephosterhadap angka larva nyamuk Aecfes aegypti. Media litbang Kesehatan, IX(4),pp. 10-15.
Jahan, N., Sarwar, M.S. & Riaz, T., 2011. Field evaluation of lethal ovitraps impregnatedwith deltamethrin against dengue vectors in Lahore , Pakistan., 57, pp.7-13.
Kemenkes Rl, 2015a. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue Di Indonesia,Jakarta: Dirjen PP-PL Kemenkes Rl.
Kemenkes Rl, 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor374/Menkes/Per/lll/2010 tentang Pengendalian Vektor.
Kemenkes Rl, 2015b. Profit Kesehatan Indonesia 2014, Jakarta: Kasetsart UniversityPress. Available at: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf.
Kemenkes Rl, 2015c. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015 - 2019,
31
Jakarta. Available at: http://www.depkes.go.id/article/view/2383/diabetes-melitus-penyebab-kematian-nomor-6-di-dunia-kemenkes-tawarkan-solusi-cerdik-melalui-posbindu.html.
Kemenkes Rl, 2016. Situasi DBD di Indonesia, Jakarta: Kemenkes Rl.
Kementerian Kesehatan Rl, 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNomor: 374/MENKES/PER/III/2010 tentang Pengendalian Vektor, Jakarta:Kemenkes Rl.
Kusumo, R.A., Setiani, O. & Budiyono, 2014. Evaluasi Program Pengendalian PenyakitDemam Berdarah Dengue ( DBD ) di Kota Semarang 2011. Jurnal KesehatanLingkungan Indonesia, 13(1), pp.26-29.
Lenhart, A.E. et al., 2005. Building a better ovitrap for detecting Aedes aegyptioviposition. Acta Tropica, 96(1), pp.56-59.
Mackay, A.J., Amador, M. & Barrera, R., 2013. An improved autocidal gravid ovitrap forthe control and surveillance of Aedes aegypti. Parasites & Vectors, 6(1), p.1.Available at: Parasites & Vectors.
Mardihusodo SJ, 2005. Cara-cara inovatif pengamatan dan pengendalian vektorDemam Berdarah Dengue. In Seminar Kedokteran Tropis. Yogyakarta: PusatKedokteran Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Mardikanto, 2010. Model-model pemberdayaan masyarakat, Surakarta: Sebelas MaretUniversity Press.
Mikkelsen, 2001. Metode penelitian partisipatoris dan upaya-upaya pemberdayaan.,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nurhayati S, 2005. Prospek pemanfaatan radiasi dalam pengendalian vektor penyakitDemam Berdarah Dengue. Buletin Alara, 7(1 & 2), pp.17-23.
PAN American Health Organization, 1984. Epidemiologic Surveillance after NaturalDisaster - A Study Guide.
Perich, M.J. ef al., 2003. Field Evaluation of a Lethal Ovitrap Against Dengue Vectors inBrazil. Mdical and Veterinary Entomology, 17, pp.205-210.
Poison, K.A. etal., 2002. The Use of Ovitraps Baited with Hay Infusion as a SurveillanceTool for Aecfes aegypti Mosquitoes in Cambodia. Dengue Bulletin, 26(January2002), pp.178-184.
Prasetyo, A., 2016. Penggunaan Lethal Ovitrap dengan Berbagai Jenis Attractant untukPengendalian Nyamuk Aedes Sp., Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes,Vol. VII, No. 3, pp.143-148.
Ramadhani, T. & Wahyudi, B.F., 2013. Pengamh Penggunaan Lethal Ovitrap TerhadapPopulasi Nyamuk Aedes SP Sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue. BALABA,9(1), pp.21-26.
Reiter, P., Amador, M. a & Colon, N., 1991. Enhancement of the CDC ovitrap with hayinfusions for daily monitoring of Aedes aegypti populations. Journal of theAmerican Mosquito Control Association, 7(1), pp.52-55.
Reza, M., Ilmiawati, C. & Matsuoka, H., 2016. Application of copper-based ovitraps inlocal houses in West Sumatra, Indonesia: a field test of a simple and affordable
32
larvicide for mosquito control. Tropical Medicine and Health, 44(1), p.11. Availableat: http://tropmedhealth.biomedcentral.eom/articles/10.1186/s41182-016-0007-8.
Ritchie, S.A. et al., 2014. Field Validation of the Gravid Aedes Trap ( GAT ) forCollection of Aedes aegypti ( Diptera: Culicidae )., (Schoof 1967), pp.210-219.
Riyani S et al., 2014. Aplikasi teknik serangga mandul (TSM) terhadap sterilitas telurdan penurunan populasi Aedes aegypti di daerah urban Kota Salatiga. BuletinPenelitian Kesehatan, 42(1), pp. 15-24.
Rozendaal, J., 1997. Vector control: Methods for use by individuals and communities.,Geneva: WHO.
Salim, M. & Satoto, T.B.T., 2015. Uji Efektifitas Atraktan pada Lethal Ovitrap terhadapJumlah dan Daya Tetas Telur Nyamuk Aedes aegypti. Buletin PenelitianKesehatan, 43(3), pp. 147-154.
Salim, M. & Tri Baskoro Tunggul Satoto, 2015. Uji Efektifitas Atraktan pada LethalOvitrap terhadap Jumlah dan Daya Tetas Telur Nyamuk Aedes aegypti. BuletinPenelitian Kesehatan, 43(3), pp. 147-154.
Santoso, J. er al., 2007. Pengaruh Warna Kasa Penutup Autocidal Ovitrap terhadapJumlah Jentik Nyamuk Aedes Aegypti yang Tertangkap. Jurnal KesehatanMasyarakat Indonesia, 4(2), pp.85-90.
Sayono, Amalia, R. & Jamil, I., 2010. Dampak Penggunaan Perangkap dari KalengBekas terhadap Penurunan Populasi Nyamuk Aedes sp. In Prosiding SeminarNasional Unimus 2010. pp. 159-166.
Sholichah, Z., Ramadhani, T. & Ustiawan, A., 2010. Efikasi Insektisida Berbahan AktifCypermethrin dengan Metode Lethal Ovitrap Terhadap Aedes aegypti diLaboratorium. BALABA, 6(2), pp.7-11.
Supartha IW, 2008. Pengendalian terpadu vektor virus Demam Berdarah DengueAedes aegypti (Linn.) dan Aedes albopictus (Skuse) (Diptera : Culicidae). In dalanpertemuan ilmiah Dies Natalis Universitas Udayana tgl 3-6 September 2008.
Trapsilowati, W. et al., 2015. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengendalian VektorDemam Dengue di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah. Vektora, 7(1), pp.15-22.
Trapsilowati, W. & Widiarti, 2013. Evaluasi Implementasi Kebijakan PenanggulanganDemam Berdarah Dengue di Kabupaten Pati. Buletin Penelitian SistemKesehatan, 16(3), pp.305-312.
Umniyati, S.R., Sutomo, A.H. & Laksana, B.E., 2004a. Penggunaan otosidal ovitrapuntuk pengendalian nyamuk vektor penyakit demam berdarah dengue. JurnalLembaga pengabdian kepada masyarakat-Universitas Gadjah Mada, 18, pp.37-41.
Umniyati, S.R., Sutomo, A.H. & Laksana, B.E., 2004b. Penggunaan otosidal ovitrapuntuk pengendalian nyamuk vektor penyakit demam berdarah dengue. JurnalLembaga pengabdian kepada masyarakat-Universitas Gadjah Mada, 18, pp.37-41.
WHO, 2008. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Factsheet, revised: May 2008.,Geneva.
33
WHO, 1997. Dengue Haemorrhagic Fever; Diagnosis, treatment, prevention and control2nd ed., Geneva: WHO.
WHO, 2011. Prevention and Controlof Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever, India:WHO, Regional Office for South-East Asia.
WHO SEARO, 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam BerdarahDengue. Jakarta: Depkes-RI.
World Health Organization, 2009. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,Prevention and Control 2009th ed., France: WHO.
Yap, H. et al., 1994. Dengue vector control: Present status and future prospects.Koohsiung Journal Medical Science, 10, pp.102-108.
34
K. PERSETUJUAN ATASAN YANG BERWENANG
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit,menyatakan bahwa Laporan Kajian: "LETHAL OVITRAP SEBAGAI ALTERNATIFPENGENDALIAN VEKTOR DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)" telah disetujuisesuai ketentuan yang berlaku.
MenyetujuiKetua Panrtia Pembina llmiah
Dra. Widiarti, M.KesNIP. 195509281984122001
\ Balai
Salatiga, 10 Januari 2017
Ketua Pelaksana
Dr. Wiwik Trapsilowati, SKM, M.KesNIP. 196803171992022001
Kepalaelitian dan Pengembangan
servoir Penyakit/5"
^ko Wjddy%:ST, M.Sc.PH^fotPv196110211986031002
L. SURAT KEPUTUSAN
'MF1VTFDT A TV 1/1?CT?¥¥ lir..- ™*-~,r-~KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDQnba. *. B«TN PENEL,TIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATANBALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN VEKTOR DAN RESERVOIR PENYA*
Jalan Uasanudin No. 123 PO BOX 290 SalTelepon: (0298) 327006: 312107. Faksimfle :(0298
Sural Llektronik :Mp2vrp(n.litbans.Jepke>.go.id
SURAT KEPUTUSANKEPALA BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
VEKTOR DAN RESERVOIR PENYAKITNOMOR: HK.02.04/IV.4/ 6403 /2016
TENTANG
Kajian dengan judul 'Lethal Ovitrap Sebagai Alternatif Pengendaiian vektor DemamBerdarah Dengue (DBD)"
MtNIMBANG:
1 Bahwa dalam rangka peningkatan kinerja riset di lingkungan Badan Penelitian danPengembangan Kesehatan yang berfokus pada btdang pnoritas teknologi kesehatankhususnya program pengendalian vektor dan reservoir penyakit maka dipandangperiu dilakukan penetitian.
2. Bahwa mereka yang namanya tercantum dalam Sural Keputusan mi drpandang qakapuntukmelaksanakan penelitian tersebut
WENG1NGAT.
1 Surat Keputusan Menten Kesehatan Republik Indonesia Nomor2347/MENKES/PER/XI/2011 tertangga, 22 November 2011 tentang Organ.sas, danTata Kerja Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit
2. Surat Persetujuan Pelaksanaan Penetitian No. LB.02.01/tV 4/6401/2016 tertanggal 02Agustus 2016 dengan judul penelitian "Lethal Ovitrap Sebagai Alternatif PengendalianVektor Demam Berdarah Dfngue (DBD)""
3. Daftar isian Pelaksanaai iAnggaran Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektordan Rese.votr Penyakit (D1PA B2P2VRP) Tahun Anggaran 2016 berdasarkan NomorSPDIPA-024.11.2.520607/2016 tertanggal 22 Juli 20"6
MENETAPKAN:
Pertama : Membentuk tim peiaksanaan penetitian dengan susunan sebagai benKut1 Ketua Pelaksana Wwik Trapsilowati. SKM, M.Kes2. Anggotatim penelitiansbb
a. Lulus Susanti, SKM. MF;!
b Aryani Puryarrti, SKM. MPH.
36
=
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIABADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN VEKTOR DAN RESERVOIR PENYAKITJalan Hasanudin No. 123 PO. BOX 200, Salatiga 50721
Telepon : (0298) 327096 ; 312107, Faksimile : (0298) 322604; 312107Sural Elektronik : [email protected] ; [email protected]
Kedua Tim pelaksanaan penelitian bertug^s:
a. Melaksanakan penelitian sampai selesai dan menyerahkan laporankepada Kepala menurut Surat Persetujuan Pelaksanaan Penelitian
Nomor LB.02.01/IV.4/ 6401 /2016tertanggal 02 Agustus2016.
b. Menurut pertanggungjawaban keuangan menurut ketentuan yangberlaku.
Ketiga : Semua pengeluaran untuk pelaksanaan Surat Keputusan ini dibebankanpada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (DIPA B2P2VRP) Tahun
Anggaran 2016 Nomor SP DIPA-024.11.2.520607/2016 tertanggal 22 Juli2016.
Keempat : • Surat Keputusan ini berlaku mulai tanggal 02 Agustus sampai 31 Desember2016 dengan catatan segala sesuatu akan ditinjau kembali apabiladikemudian hari temyata terdapat kekeliruan dalam penetapan ini.
Ditetapkan di
Pada tanggal
Salatiga
02 Agustus 2016
Jvlenerima dan menyetujuiTKe
iyo, BSc.,ST„Dipl.EIA.,MSc.PH;%P^t§6i10211986031002
Tembusan:
1. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Jakarta2. Bendaharawan Rutin Balai BesarPenelitian dan Pengembangan Vektor dan
ReservoirPenyakitdi Salatiga3. Yang bersangkutan
37
M. SUSUNAN TIM KAJIAN
No. Nama KepakaranKedudukan
dalam tim
Uraian tugas
1. Wiwik Trapsilowati, SKM, M.Kes Perilaku Ketua Bertanggung jawab
kesehatan pelaksana pada semua aspek
teknis dan
administrasi.
2. Lulus Susanti, SKM, MPH Kesehatan
Lingkungan
Anggota Bertanggung jawab
pada aspek teknis
3. Aryani Pujiyanti, SKM, MPH Perilaku
kesehatan
Anggota Bertanggung jawab
pada aspek teknis
38
N. J ADWAL KEGIATAN KAJIAN
No KegiatanTahun 2016
Juni Juli Agust Sept Okt Nop Des
A. Persiapan
1.Penyusunan Protokol
Kajian
X
2. Koordinasi dengan
Dinkes Prov. Jateng
X
B. Pelaksanaan
1. Pengumpulan data
sekunder
X X X
2. Wawancara mendalam X X X
3. Analisis Data X X X
C. Penyusunan laporan dan
konsultasi
X
D. Diseminasi X
39