Upload
gembongsatriamahardhika
View
211
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Enjoyed!
Citation preview
LAPORAN PBL 1 BLOK SISTEM HEMATO-IMMUNOLOGI (HI)KASUS I
Tutor :
dr. Tisna Sendy Pratama
Kelompok 7
1. Sri Nurhayati G1A0130172. Ghaida Sakina G1A0130413. Ivan Aulia Rizka G1A0130434. Mada Dwi Hari G1A0130575. Risya Salimah G1A0130586. M Mukti Nurriyadi G1A0130727. Fakhrotul Ummah G1A0130738. Intani Kurnia Savitri G1A0130869. Ade Arum Prawestri G1A01319610. Gembong Satria Mahardhika G1A01310311. Anggi Samudera Rezki G1A013113
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. KASUS
Informasi 1
Veronica, seorang mahasiswi kedokteran berumur 20 tahun datang ke dokter
dengan keluhan cepat lelah dalam 6 bulan terakhir ini. Dalam 1 minggu terakhir
ini, nafas terasa berat jika melakukan aktivitas yang berlebihan. Veronica
mengatakan bahwa sejak menjadi mahasiswi kedokteran makannya menjadi
tidak teratur dan sering mengkonsumsi mi instan. Dia juga mengatakan bahwa
sering minum teh pelangsing setelah makan agar tidak menjadi gemuk. Dia
menduga dirinya mengalami anemia, lalu mencoba mengobati sendiri dengan
mengkonsumsi ferrous sulfat dan vitamin C, akan tetapi dihentikan karena
perutnya menjadi sakit setelah mengkonsumsi obat tersebut. Veronica
menyangkal menderita penyakit dalam waktu lama dan mengkonsumsi obat
dalam waktu lama. Dokter mengatakan bawah mahasiswi tersebut memang
mengalami anemia dan menyarankan untuk melakukan beberapa pemeriksaan
tambahan untuk mengetahui diagnosis pasti anemia tersebut.
Informasi 2
Hasil pemeriksaan fisik :
- KU : Tampak lemah, pucat
BB = 45 kg TB = 164 cm
- Vital Signs : Tekanan darah = 100/70 mmHg
Nadi = 110x/menit, regular
RR = 28x/menit
Suhu 37,0 c⁰
- Mata : Konjunctiva Anemis (+), sclera ikterik (-)
- Hidung : Dalam batas normal
- Mulut : Bibir pucat, papil atrofi (+), cheilosis (+)
- Leher : Dalam batas normal
- Jantung : Dalam batas normal
- Paru : Dalam batas normal
- Abdomen : Nyeri tekan epigastrik (+), hepar/lien tidak teraba
- Ekstremitas : Telapak tangan pucat, koilonychia (+)
Informasi 3
Hasil pemeriksaan laboratorium :
- Hb : 8,3 g/dL
- Ht : 26 %
- Eritrosit : 4.500.000/mm3
- MCV : 68 fL
- MCHC : 26 g/dL
- MCH : 21 pg
- Leukosit : 7.000/mm3
- Hitung jenis : E2/B1/St5/Sg55/L35/M2
- Trombosit : 212.000/mm3
- LED : 9 mm (10-20 mm)
- Apusan Darah Tepi : anisositosis, poikilositosis, micrositik-
Hipokromik, disertai sel cincin dan sel target
Informasi 4
- Serum iron : 48 ug/dL (normal value: 60-150 ug/dL)
- TIBC : 500 ug/dL (normal value 250-435 ug/dL)
- Ferritin : 8 ng/L (normal value 15-200 ng/L)
BAB II
PEMBAHASAN
A. KLARIFIKASI ISTILAH DAN KONSEP
NO. ISTILAH ARTI
1. Anemia Kemampuan darah megangkut O2 dibawah normal
dan ditandai oleh hematokrit yang rendah
(Sherwood, 2012)
Penurunan kadar Hb, nilai normal pria : 13,5 g/dL
dan wanita : 11,5 g/dL (Kapita Selekta Hematologi,
2005)
2. Ferrous Sulfat Preparat besi oral yg digunakan dalam pengobatan
defisiensi besi (Dorland, 2011)
B. MENETAPKAN DEFINISI DAN BATASAN PERMASALAHAN YANG
TEPAT
1. Veronica berumur 20 th, mahasiswa kedokteran.
2. Datang ke dokter dengan keluhan cepat lelah dalam 6 bulan terakhir ini.
3. Satu minggu terakhir nafas berat jika melakukan aktifitas berat.
4. Sejak menjadi mahasiswa makan jadi tidak teratur.
5. Sering mengkonsumsi mie instan.
6. Sering meminum teh pelangsing.
7. Veronica menduga dirinya menderita anemia dan pernah mengobati diri
sendiri dengan ferrous sulfat dan vitamin C, namun dihentikan karena
perutnya sakit setelah mengkonsumsinya.
8. Veronica menyangkal menderita penyakit dan mengkonsumsi obat dalam
waku yang lama.
9. Dokter mengatakan veronica mengalami anemia dan menyarankan
pemeriksaan tambahan.
C. MENGANALISIS PERMASALAHAN
1. Apakah penyebab nafas berat dan mudah lelah?
2. Kenapa perut sakit setelah konsumsi ferrous sulfat dan vitamin C?
3. Bagaimana cara kerja teh pelangsing?
4. Apa saja diagnosis banding yang berhubungan?
D. MENYUSUN BERBAGAI PENJELASAN MENGENAI
PERMASALAHAN
1. Mekanisme Kelelahan Otot (Fatigue)
Kontraksi merupakan hal terpenting dari otot. Hal ini berkaitan dengan
penggunaan adenosin triposphate (ATP) sebagai energi kontraksi.
Mekanisme kontraksi otot berlangsung melalui daur reaksi yang kompleks.
Hal ini dapat dijelaskan melalui teori pergeseran filamen (sliding filament
theory). Keseluruhan proses membutuhkan energi yang diperoleh dari ATP
yang disimpan dalam kepala miosin. Tahapan kontraksi otot hingga
relaksasi. Pada neuromuscular junction, asetilkolin dilepaskan dari synaptic
terminal menuju reseptor dalam sarkoma. Hasil perubahan potensial
transmembran dari serabut otot akan menghasilkan pontensial aksi yang
menyebar melintasi seluruh permukaan dan sepanjang tubulus T. Retikulum
sarkoplasma melepaskan cadangan ion kalsium, sehingga meningkatkan
konsentrasi kalsium di sarkoplasma dan sekitar sarkomer. Ion Kalsium
berikatan dengan troporin dan menghasilkan perubahan orientasi kompleks
troponin-tropomiosin yang terlihat pada bagian yang aktif dari aktin, meosin
cross bridge terbentuk pada saat kepala miosin berikatan dengan bagian yang
aktif. Kontraksi otot dimulai sebagai siklus yang berulang dari meosin cross
bridge. Siklus ini terjadidengan adanya hidrolisa ATP. Proses ini
menimbulkan pergeseran filamen dan pemendekan serabut otot. Pontensial
aksi dibangkitkan dengan adanya pemecahan asetikolin oleh
asitilkolinesterase. Retikulum sarkoplasma akan menyerap kembali ion
kalsium sehingga konsentrasi ion kalsium menuru. Saat mendekati fase
istirahat, kompleks troponin-tropomiosin akan kembali ke posisi awal.
Sehingga mencegah interaksi cross bridge lebih lanjut. Tanpa interaksi cross
bridge lebih lanjut maka pergeseran filamen tidak akan timbul dan kontraksi
akan berhenti. Relaksasi otot akan terjadi dan otot akan kembali secara pasif
pada resting lenght.
Selama ATP tersedia daur tersebut dapat terus berlangsung. Pada
keaadan kontraksi, ATP yang tersedia didalam otot akan habis terpakai 1
detik. Oleh karena itu ada jalur metabolisme produktif yang menghasilkan
ATP. ATP dengan bantuan kretin kinase akan segera menjadi kretin pospat.
Persediaan kretin pospan ini hanya cukup untuk beberapa detik, selanjutnya
ATP diperoleh dari posforilasi oksidatif. Apabila oksigen tidak cukup maka
asam piruvat akan diubah menjadi asam laktat, yang apabila menumbuk
akan terjadi kelelahan otot.
Selama latihan berat banyak oksigen dibawah kedalam otot, tetapi
oksigen yang mencapai sel otot tidak cuku. Asam laktat akan menumbuk dan
berdifusi ke dalam cairan jaringan dan darah. Keberadaan asam laktat di
dalam darah akan merangsang pusat pernafasan sehingga frekuensi dan
kedalaman napas pun meningkat. Hal ini berlangsung terus-menerus, bahkan
setelah kontrasi itu selesai sampai jumlah oksigen cukup untuk
memungkinkan sel otot dan hati mengoksidasi asam laktat dengan sempurna
menjadi glikogen.
Kelelahan dalam kasus ini mungkin disebabkan oleh kurangnya asupan
mineral yang dibutuhkan untuk kerja otot sehingga mudah lelah. Dapat
dilihat dari kebiasaan yang kurang baik seperti sering mengkonsumsi mie
instan dan diet yang tidak teratur.
Fisiologi nafas berat.
Ketika tubuh kekurangan hemoglobin, maka proses oksigenasi ke
seluruh jaringan tubuh berkurang. Sebagai kompensasinya tubuh melakukan
dua hal, yaitu dengan melakukan meningkatkan cardiac output yang
menyebabkan frekuensi denyut jantung meningkat. Yang kedua, adanya
usaha dari otot-otot pernafasan (diafragma dan tulang rusuk) untuk
mengambil O2 lebih banyak. Oleh karena itu nafas terasa lebih berat.
2. Ferrous sulfat adalah suplemen besi yang menyediakan besi untuk kebutuhan
tubuh dalam memproduksi eritrosit. Suplemen ini biasa digunakan sebagai
treatmen atau menghindari anemia defisiensi besi, selain itu dalam kondisi
tubuh dengan kadar eritrositnya rendah seperti saat kehamilan. Obat ini
paling baik dikonsumsi sebelum makan agar mengalami penyerapan
maksimal. Tetapi dapat juga dikonsumsi setelah atau saat makan agar
menghindari iritasi pada gastrointestinal. Hindari mengonsumsi antacid, the
atau kopi dalam 2 jam sebelum atau setelah mengonsumsi ferrous sulfat,
karena akan menurunkan efeknya.
3. Kandungan teh pelangsing
Teh dikenal sebagai minuman yang mengandung antioksidan, namun
disisi lain harus diakui, teh juga mempunyai dampak yang cenderung
negative. Secara umum mereka yang mempunyai kebiasaan minum teh
setelah makan mengalami penurunan penyerapan zat besi hal ini terlihat dari
rendah-nya kadar Hb dalam darah mereka, sedangkan yang tidak
mempunyai kebiasaan minum teh setelah makan mempunyai kadar Hb yang
normal.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap 27 orang wanita berusia 19-39
tahun menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau 0,1 mmol yang ditambahkan
pada makanan dan dikonsumsi selama 4 hari berturut-turut dapat
menurunkan penyerapan zat besi nonheme dari 12,1% menjadi 8,9%, namun
seluruh subyek penelitian tersebut memiliki kadar Hb yang normal teh hijau
mengandung senyawa polifenol yang dapat menghambat penyerapan zat
besi. Senyawa polifenol mengikat besi nonheme membentuk kompleks besi
tannat yang tidak larut sehingga zat besi tidak dapat diserap dengan baik
sehingga 3 cadangan zat besi dalam tubuh menurun dan akhirnya terjadi
penurunan kadar Hb.
Dalam proses eritropoiesis dibutuhkan Fe sebagai bahan dasar
pembuatan Hemoglobin dan asupan makanan menjadi salah satu sumber
penghasil Fe. Namun dengan adanya tanin yang dikonsumsi lewat teh
pelangsing maka akan mengurangi jumlah Fe dalam tubuh. Sifat tanin yang
mengikat Fe di dalam tubuh membuat Fe tidak dapat diabsorpsi.
4. Berdasarkan informasi yang didapat, diagnosis banding yang memungkinkan
adalah anemia defisiensi zat besi, anemia sideroblastik, anemia hemolisis,
dan anemia megaloblastik. Untuk lebih pasti, dibutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
E. MERUMUSKAN TUJUAN BELAJAR
1. Hemoglobin
2. Eritropoiesis
3. Besi
4. Anemia
F. BELAJAR MANDIRI SECARA INDIVIDUAL ATAU KELOMPOK
Sudah dilaksanakan
G. MENARIK ATAU MENGAMBIL SISTEM INFORMASI YANG
DIBUTUHKAN DARI INFORMASI YANG ADA
1. Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu kompleks protein yang ditemukan pada sel
darah merah. Terdapat dua bagian yang paling penting dari hemoglobin
(Setiawan, 2013).:
a) Heme :
Sebuah porphyrin dengan satu ligan Fe pada bagian pusatnya.Cincin
porphyrin ditemukan pada seluruh sistem biologi dan penyebab banyak
peran yang berbeda meliputi photosintesis pada tanaman hijau,
penerimaan O2 pada otot (myoglobin) dan pembawa O2 pada darah
(hemoglobin). Porphirin di bangun dari empat cincin pirol yang
melingkar kemudian membuat atom N berkumpul pada pusat cincin.
Gambar . A. cincin Pirol, B. Protophorpirin IX, C. Ferroheme, D. posisi
Heme pada Hb
Empat atom N memiliki ikatan sendiri yang dapat berikatan dengan
metal seperti Fe2+, Mg2+ dan beberapa ion logam lain. Cincin porpirin yang
ditemukan pada hemoglobin memiliki spesial kelompok penyusun pada
tiap sisi-sisinya (metil, vinil dan asam propanoat). Tipecincin porpirin
seperti ini dikenal dengan nama prorophorpirin IX. Ketika berikatan
dengan Fe, kesatuan kompleks tersebut dinamakan heme. Fe pada
hemoglobin bisa dalam keadaan mengikat ferro (Fe2+) atau Ferri (Fe3+).
Heme dengan mengikat ferro (Fe2+) disebut ferroheme, feroheme
merupakan bagian aktif yang mengikat O2. Heme inilah yang memberikan
warna tampak merah pada hemoglobin, dengan merubah satu struktur
heme berarti dapat merubah warnanya.
b) Globin :
Globin merupakan gugus protein yang melingkupi heme.
Secara umum struktur dari hemoglobin terdiri dari empat rantai
polipeptida (globin) yang berkumpul antara satu rantai dengan
rantailainnya. Disini terdapat beberapa perbedaan struktur molekul rantai
polipeptida (globin), perbedaan tersebut terletak pada beberapa
urutanasam aminonya. Sebuah desain greek memberikan identitas yaitu
α, β, δ, ε, dan seterusnya. Tiap molekul globin menyatu dengan satu
kelompok gugus heme. Tiap gabungan satu unit heme dan globin disebut
dengan subunit. Tiapmolekul hemoglobin terdiri dari 4 unit globin dan 4
unit heme (Setiawan, 2013). Setiap molekul hemoglobin dapat
mengambil empat penumpang O2 di paru (Sherwood, 2011)
Gambar. Molekul globin dan gugus heme.
Fungsi Hemoglobin
Menurut (Sherwood, 2011) fungsi hemoglobin ada 3 yaitu :
a) Membantu mengangkut gas O2 dari sel jaringan kembali ke paru-paru.
b) Hemoglobin berikatan dengan ion hidrogen asam (H+) dari asam karbonat
terionisasi.
CO2 yang larut dalam air (H2O) maka akan menghasilkan asam
karbonat (H2CO3) yang bersifat asam, hemoglobin yang berikatan dengan
ion hidrogen berfungsi sebagai penyangga (buffer) sehingga tidak
menyebabkan perubahan pH.
c) Hemoglobin berikatan dengan NO (Nitrat Oksida)
Nitrogen oksida menyebabkan relaksasi otot polos, menghambat
agregasi dan adhesi trombosit, serta menghambat proliferasi sel. Otot
polos yang dipengaruhi ialah otot polos vaskular, traktus respiratorius,
gastrointestinal, dan uterus (Gunawijaya, 2009).
Nitrogen Oksida merupakan relaksan kuat otot polos vaskular yang
mengakibatkan vasodilatasi vena maupun arteri, namun lebih bersifat
venodilator daripada arteriodilator. Penggunaan klinis NO sebagai
vasodilator dikenal sebagai nitrovasodilator, diantaranya nitrogliserin,
sodium nitroprusid, dan isoamil nitrit. Relaksasi otot polos vaskular
disebabkan oleh aktifitas NO di sel endotel di sekitarnya. Diawali oleh
stimuli di permukaan sel endotel, misalnya oleh bradikinin. Interaksi
bradikinin dengan reseptor selektifnya (B) mencetus influks Ca2+ dari
lumen ke intraselular endotel. Bahan lain yang menimbulkan hal sama
ialah asetilkolin, histamin, dan serotonin. Faktor gerakan aliran darah dan
impulslistrik tubuh juga berperan. Ca2+ yang masuk ke intraselular
membentuk kompleks dengan calmodulin (CM) yang terikat di c-NOS,
menyebabkan aktifasi c-NOS. Aktifitas c-NOS mengkatalisis asam amino
L-Arginin menjadi NO dan L-Sitrulin. Nitrogen Oksida yang bersifat
lipofilik segera berdifusi keluar sel endotel, melewati sawar membran
endotel lalu masuk ke sel otot polos vaskular terdekat (Gunawijaya,
2009).
Di dalam sel otot polos, NO membentuk kompleks dengan ion ferro
(Fe2+) dari heme (H) yang terikat di sitosolik guanilat siklase (GC).
Kompleks dengan bantuan magnesium (Mg2+) mengaktifasi guanosin
trifosfat (GTP) menjadi siklik-guanosin-3-5-monofosfat (c-GMP) dan
pirofosfat inorganik (Ppi). Akhirnya c-GMP sebagai amplifier dan second
massenger intraselular akan menurunkan kadar Ca2+ bebas intraselular
dengan cepat dan menimbulkan inaktifasi rantai ringan kinase miosin.
Kedua hal ini menyebab-kan paralisis otot polos vaskular, sehingga
terjadi vasodilatasi (Gunawijaya, 2009).
Gambar. Mekanisme relaksasi otot polos vaskular akibat NO
Katabolisme Hemoglobin
Katabolisme heme dari semua protein heme tampaknya dilaksanakan di
fraksi mikrosom sel oleh suatu sistem enzim kompleks yang disebut heme
oksigenase. Pada saat heme yang berasal dari protein heme mencapai sistem
oksigenase, besi tersebut biasanya telah dioksidasi menjadi bentuk feri, yang
membentuk hemin. Sistem heme oksigenase adalah sistem yang dapat
diinduksi oleh substrat. Hemin direduksi menjadi heme dengan NADPH, dan
dengan bantuan NADPH lain, oksigen ditambahkan ke jembatan α-metin
antara pirol I dan II porfirin. Besi fero kembali dioksidasi menjadi bentuk feri.
Dengan penambahan oksigen lain, besi feri dibebaskan dan karbon monoksida
dihasilkan serta terbentuk biliverdin dari pemecahan cincin tetrapirol dalam
jumlah molar yang setara. Suatu enzim larut yang dinamai biliverdin
reduktase mereduksi jembatan metin antara pirol III dan pirol IV ke gugus
metilen untuk menghasilkan bilirubin, suatu pigmen kuning (Murray, 2009).
Bilirubin yang dibentuk di jaringan perifer diangkut ke hati oleh albumin
plasma. Metabolisme bilirubin selanjutnya, berlangsung terutama di hati. Di
hati bilirubin dilepaskan dari albumin, dan di transport oleh protein Y dan Z di
intraseluler menuju retikulum endoplasmik halus hati. Di sini, bilirubin
dikombinasi dengan glukosa dan asam glukoronat, dan konjugasi terjadi
dengan bantuan enzim dan oksigen. Enzim utama yang terlibat dalam proses
konjugasi ini adalah uridin difosfoglukuronil transferase (UDP-GT atau
glukuronil transferase). Hasilnya terbentuk bilirubin terkonjugasi, yang larut
air dan siap untuk ekskresi (Murray, 2009).
Bilirubin terkonjugasi kemudian di ekskresi melalui sistem biliaris lalu ke
dalam usus halus. Di usus halus bilirubin akan dikatabolisasi oleh bakteri usus
normal untuk membentuk urobilinogen, kemudian dioksidasi menjadi
urobilin. Sebagian besar bilirubin terkonjugasi di ekskresi dalam feses, dan
sejumlah kecil diekskresi dalam urine (Murray, 2009).
2. Eritropoiesis
Eritropoiesis diawali oleh stem sel yang ada pada sumsum tulang yang
dapat berdiferensiasi menjadi semua macam sel darah. Sel stem
berdiferensiasi menjadi dua sel stem myeloid dan sel stem limfoid. Sel stem
meioloid akan berdiferensiasi menjadi beberapa progenitor salah satunya
erytroid progenitor. Erytroid progenitor membelah menjadi proerytroblas,
yang memiliki cirri sel besar, sedikir sitoplasma, nucleus besar, banyak
organel dan belum ada Hb. Lalu berproliferasi menjadi basophilic eritroblas,
dan polikromatophil eritrobals, pada 2 tahap ini, terjadi penurunan ukuran sel,
penurunan inti sel, penurunan ribosom RNA, dan kenaikan sintesis
hemoglobin. Tahap mitosis pada eritrosit berakhir pada fase ini.
Orthocromatic blast, pada tahap ini, inti yang sudah tidak digunakan
dikeluarkan, dan menjadi retikulosit, sel yg sudah tidak bernukleus tetapi
masih memiliki sisa organel seperti mitokondria, badan golgi, dan lain-lain,
konsentrasi Hb jg sudah mencapai 20-30%. Lalu retikulosit ini berpindah dari
sumsum tulang menuju kapiler melalui diapedesis, dalam 1-2 hari sisa organel
dalam retikulosit akan menghilang dan menjadi eritrosit matur. Karena waktu
hidupnya yang sedikit, retikulosit akan mati dalam waktu singkat. (Guyton,
2006)
Terjadinya Eritropoiesis karena adanya stimulus dari eritropoietin yaitu
suatu hormone growth faktor yang mengarahkan diferensiasi dan proliferasi
stem sel untuk menghasilkan eritrosit matur (Sherwood, 2012). Stimulus
utama keluarnya EPO (Eritropoietin) bisa karena adanya keadaan hypoxia,
dan terutama berkurangnya O2 pada ginjal. Karena EPO disekresi 90% di
ginjal, 10% di sel kupfer dan hepatocyt di liver, jadi merangsang ginjal untuk
mengeluarkan hormon EPO. Eritropoiesis jg dipengaruhi, atau diatur oleh
ketersediaan nutrisi sel darah merah, dimana yg terpenting adalah besi, asam
folat, dan vitamin b12 karena berhubungan dengan sintesis DNA, yg akan
mempengaruhi diferensiasi dan maturasi sel darah merah. (Griffin, 2007).
Terjadinya hemolisis juga menstimulasi terjadi eritropoiesis (Martini, 2012).
Gambar Eritrogenesis (Guyton, 2006)
Fungsi eritrosit kebanyakan diperankan oleh hemoglobin.
3. Besi
Besi merupakan trace element vital yang sangat diperlukan oleh tubuh
untuk pembentukan Hemoglobin. Besi dengan konsentrasi tinggi terdapat
dalam sel darah merah, yaitu sebagai bagian dari molekul hemoglobin yang
mengangkut oksigen dari paru–paru. Hemoglobin akan mengangkut oksigen
ke sel–sel yang membutuhkannya untuk metabolism glukosa, lemak dan
protein menjadi energi (ATP). Besi juga merupakan bagian dari sistem enzim
dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip Hemoglobin yang terdapat di dalam
sel–sel otot. Mioglobin akan berkaitan dengan oksigen dan mengangkutnya
melalui darah ke sel–sel otot. Mioglobin yang berkaitan dengan oksigen inilah
menyebabkan daging dan otot–otot menjadi berwarna merah. Semua sel-sel
tubuh membutuh fe. Fe sangat penting untuk mengangkut oksigen, produksi
energi dan pertumbuhan sel serta poliferasi. Di dalam tubuh manusia rata-rata
terdiri dari 3,5 gram fe (laki-laki 4 gram dan perempuan 3 gram). Tetapi,
hanya sekitar 10 % yang diserap oleh tubuh dari makanan.
Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu yang fungsional dan
yang reserve (simpanan). Zat besi yang fungsional sebagian besar dalam
bentuk Hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk myoglobin, dan
jumlah yang sangat kecil tetapi vital adalah heme enzim dan non heme enzim.
Zat besi yang ada dalam bentuk reserve tidak mempunyai fungsi fisiologi
selain daripada sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi kalau dibutuhkan
untuk kompartmen fungsional. Apabila zat besi cukup dalam bentuk
simpanan, maka kebutuhan eritropoiesis (pembentukan sel darah merah)
dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Dalam keadaan normal, jumlah
zat besi dalam bentuk reserve ini adalah kurang lebih seperempat dari total zat
besi yang ada dalam tubuh. Zat besi yang disimpan sebagai reserve ini,
berbentuk feritin dan hemosiderin, terdapat dalam hati, limpa, dan sumsum
tulang.
Urine,
keringat,
menstruasi kehamilan pertumbuhan total
feses
Pria dewasa 0,5-1 0,5-1
Wanita pasca -
menopause0,5-1 0,5-1
Wanita menstruasi 0,5-1 0,5-1 1-2
Wanita hamil 0,5-1 1-2 1,5-3
Anak 0,5 0,6 1,1
Wanita (usia 12-15) 0,5-1 0,5-1 0,6 1,6-2,6
Kebutuhan zat besi harian (mg/hari)
Pada keadaan tubuh memerlukan zat besi dalam jumlah banyak, misalnya
pada anak yang sedang tumbuh (balita), wanita menstruasi dan wanita hamil,
jumlah reserve biasanya rendah. Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami
masa pertumbuhan, maka kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan perlu
ditambahkan kepada jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal. Dalam
memenuhi kebutuhan akan zat gizi, dikenal dua istilah kecukupan (allowance)
dan kebutuhan gizi (requirement). Kecukupan menunjukkan kecukupan rata –
rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan umur,
jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktifitas untuk mencapai derajat kesehatan
yang optimal. Sedangkan kebutuhan gizi menunjukkan banyaknya zat gizi
minimal yang diperlukan masing – masing individu untuk hidup sehat. Dalam
kecukupan sudah dihitung faktor variasi kebutuhan antar individu, sehingga
kecukupan kecuali energi, setingkat dengan kebutuhan ditambah dua kali
simpangan baku. Dengan demikian kecukupan sudah mencakup lebih dari
97,5% populasi.
Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan perlu
ditambahkan kepada jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal. Kebutuhan
zat besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang dewasa apabila
dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang berumur dibawah 1 tahun,
dan anak berumur 6 – 16 tahun membutuhkan jumlah zat besi sama
banyaknya dengan laki – laki dewasa. Tetapi berat badannya dan kebutuhan
energi lebih rendah daripada laki– laki dewasa. Untuk dapat memenuhi
jumlah zat besi yang dibutuhkan ini, maka bayi dan remaja harus dapat
mengabsorbsi zat besi yang lebih banyak per 1000 kkal yang dikonsumsi.
Besi dalam makanan terdapat dalam 2 bentuk, yaitu:
a. Besi heme: terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorpsinya tinggi,
tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai
bioavailabilitas tinggi
b. Besi non heme: berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan, tingkat
absorpsinya rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu atau penghambat
sehingga bioavailabitasnya rendah.
Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorpsi besi adalah “meat
factors” dan vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan penghambat
ialah tanat, phytat dan serat (fibrae). Dalam lambung karena pengaruh asam
lambung, maka besi dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain.
Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap.
Fe sebanyak 34 mg didapat dari penghancuran sel – sel darah merah tua,
yang kemudian disaring oleh tubuh untuk dapat dipergunakan lagi oleh
sumsum tulang untuk pembentukan sel – sel darah merah baru. Hanya 1 mg
zat besi dari penghancuran sel – sel darah merah tua yang dikeluarkan oleh
tubuh melalui kulit, saluran pencernaan dan air kencing. Jumlah zat besi yang
hilang lewat jalur ini disebut sebagai kehilangan basal (iron basal losses).
Metabolisme zat besi, untuk menjaga badan supaya tidak anemia, maka
keseimbangan zat besi di dalam badan perlu dipertahankan. Keseimbangan
disini diartikan bahwa jumlah zat besi yang dikeluarkan dari badan sama
dengan jumlah besi yang diperoleh badan dari makanan. Pertukaran besi
dalam tubuhmerupakan lingkaran yang tertutup yang diatur oleh besarnya besi
yang di serap usus, sedangkan kehilangan besi fisiologik bersifat tetap.
Absorbsi diperlukan untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh,
paling banyak terjadi pada bagian proksimal duodenum disebabkan oleh pH
dari asam lambung dan kepadatan protein tertentu yang diperlukan dalam
absorbsi besi pada epitel usus. Proses absorbs besi dibagi menjadi 3 fase:
a. Fase luminal: besi dalam makanan diolah dalam lambung kemudian siap
diserap di duodenum.
b. Fase mucosal: proses penyerapan dalam mukosa usus yang merupakan
suatu proses aktif.
c. Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi
besi oleh sel-sel yang memerlukan, dan penyimpanan besi oleh tubuh.
Pengangkutan dan penyimpanan besi, Besi yang diserap di usus setiap
hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama
melalui eksfoliasi epitel. Ketika besi diabsorbsi dari usus halus menuju ke
plasma darah, besi tersebut bergabung dengan apotransferin membentuk
transferin, yang selanjutnya diangkut dalam plasma darah. Besi dan
apotransferin berikatan secara longgar, sehingga memungkinkan untuk
melepaskan partikel besi ke sel jaringan dalam tubuh yang membutuhkan.
Absorbsi besi diatur melalui besarnya cadangan besi dalam tubuh. Absorbsi
besi rendah jika cadangan besi tinggi, sebaliknya jika cadangan besi rendah
absorbsi besi ditingkatkan.
Setelah itu, besi dalam tranferin di plasma darah masuk ke dalam sumsum
tulang untuk pembentukan eritrosit dan hemoglobin sebesar 22 mg untuk
dapat memenuhi kebutuhan eritropoiesis sebanyak 24 mg per hari. Besi yang
berlebih akan bergabung dengan proteinapoferritin, membentuk ferritin dan
disimpan dalam sistem retikuloendotelial (RE). Oleh karena apoferritin
mempunyai berat molekul besar, 460.000, ferritin bisa mengikat sejumlah
besar besi. Besi yang disimpan sebagai ferritin disebut besi cadangan.
Ditempat penyimpanan, terdapat besi yang disimpan dalam jumlah yang
sedikit dan bersifat tidak larut, yang disebut hemosiderin.
Bila jumlah besi dalam plasma sangat rendah, besi yang terdapat
dipenyimpanan ferritin dilepaskan dengan mudah ke dalam plasma, dan
diangkut dalam bentuk transferin dan kembali ke sumsum tulang untuk
dibentuk eritrosit.
Bila umur eritrosit sudah habis dan sel dihancurkan, maka hemoglobin
yang dilepaskan dari sel akan dicerna oleh sistem makrofag-monosit. Disini
terjadi pelepasan besi bebas, dan disimpan terutama di tempat penyimpanan
ferritin yang akan digunakan untuk kebutuhan pembentukan hemoglobin baru.
Gambar skema siklus pertukaran besi dalam tubuh
4. Anemia
a. Anemia defisiensi zat besi
1) Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi
kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta, 2006).
Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling
parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi
serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin
atau nilai hematokrit yang menurun (Abdulmuthalib, 2009).
2) Etiologi
Menurut Bakta (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh
karena rendahnya asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi
akibat perdarahan menahun:
a) Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal
dari:
(1) Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi
cacing tambang.
(2) Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
(3) Saluran kemih: hematuria.
(4) Saluran nafas: hemoptisis.
b) Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam
makanan (asupan yang kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas)
besi yang rendah.
c) Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam
masa pertumbuhan, dan kehamilan.
d) Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis
kronik, atau dikonsumsi bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin
(teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan kopi), dan kalsium
(susu dan produk susu).
3) Patogenesis
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau
kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga
cadangan besi makin menurun (Bakta, 2006).
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat
besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan
ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi
besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif.
Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi
kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang
sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia
secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient
erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah
peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin
dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total
(total iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan
reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus
terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin
mulai menurun (Tabel 2.2). Akibatnya timbul anemia hipokromik
mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency
anemia).
Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa
4) Komplikasi
a) Sistem neuromaskular yang mengakibatkan gangguan kapasitas
kerja penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan
gliserofosfat oksidase, menyebabkan gangguan glikolisis yang
berakibat penumpukan asam laktat sehingga mempercepat
kelelahan otot
b) Gangguan terhadap proses mental dan kecerdasan Gangguan
perkembangan kognitif dan non-kognitif pada anak dan bayi
sehingga dapat menurunkan kapasitas belajar
c) Gangguan imunitas dan ketahanan terhadap infeksi
d) Gangguan terhadap ibu hamil dan janin yang dikandungnya ibu
lebih mudah terkena infeksi dan sering mengalami gangguan partus.
Komplikasi dari anemia yaitu: Gagal jantung kongesif; Parestesia;
Konfusi kanker; Penyakit ginjal; Gondok; Gangguan pembentukan
heme; Penyakit infeksi kuman; Thalasemia; Kelainan jantung;
Rematoid; Meningitis; Gangguan sistem imun.
Dampak anemia pada remaja adalah:
a) Menurunnya produktivitas ataupun kemampuan akademis di
sekolah, karena tidak adanya gairah belajar dan konsentrasi
b) Mengganggu pertumbuhan di mana tinggi dan berat badan menjadi
tidak sempurna
c) Daya tahan tubuh akan menurun sehingga mudah terserang
penyakit
d) Menurunnya produksi energi dan akumulasi laktat dalam otot
5) Gambaran klinis
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai
pada anemia jenis lain adalah (Bakta, 2006):
a) Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh,
bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok.
b) Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
c) Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada
sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat
keputihan.
d) Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
6) Pemeriksaan penunjang
a) dua dari tiga parameter di bawah ini :
(1) Besi serum <50 mg/dl
(2) TIBC >350 mg/dl
(3) Saturasi tranferin <15 %
b) Feritin serum <20 μg/dl
c) Pengecetan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain)
menunjukkan cadangn besi (butir-butir hemosiderin) negative
d) Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH)
(1) Pemeriksaan untuk mengetahui rata-rata banyaknya
hemoglobin yang terdapat dalam eritrosit.
(2) Nilai normal : 26-34 pg
e) Mean Corpuscular Volume (MCV)
(1) Pemeriksaan untuk mengetahui rata-rata volume eritrosit
(2) Nilai normal : 80-100 fL
f) Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC)
(1) Konsentrasi hemoglobin pada volume eritrosit
(2) Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keadaan anemia
(3) Nilai normal : 32-36 g/dL
7) Penatalaksanaan
a) Terapi kausal
b) Pemberian preparat besi
(1) Besi per oral :
(a) ferrou sulfat 3x200 mg
(b) ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous lactate,
ferrous succinate
(2) Besi parenteral
iron dextran complex, iron sorbitol citric acid complex.
c) Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein
terutama hewani
d) Vitamin C diberikan 3x100 mg per hari untuk meningkatkan
absorpsi besi
e) Transfusi darah jika diperlukan. Diberikan pada pasien dengan
indikasi :
(1) Adanya penyakit jantung anermik dengan ancaman payah
jantung
(2) Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan
gejala pusing yang sangat mencolok
(3) Penderita memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang
cepat, seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi
b. Anemia hemolitik
1) Definisi
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan oleh
peningkatan kecepatan destruksi eritrosit. Hiperplasia eritropoeis dan
pelebaran anatomik sumsum tulang menyebabkan meningkatnya
destruksi eritrosit beberapa kali lipat sebelum pasien menjadi anemis-
penyakit hemolitik terkompensasi. Sumsum tulang dewasa normasl,
setelah pelebaran maksimal, mampu menghasilkan eritrosit dengan
kecepatan enam sampai delapan kali normal asalkan eritropoiesis ini
‘efektif’. Hal ini menyebabkan retikulosis yang bermakna, khususnya
pada kasus anemia yang lebih parah. Oleh karena itu, anemia hemolitik
mungkin tidak tampak sampai masa hidup eritrosit kurang dari 30 hari.
Terdapat dua mekanisme utama penghancuran eritrosit pada anemia
hemolitik. Mungkin terdapat penghancuran eritrosit berlebihan oleh
sistem RE (hemolisis ekstravaskular) atau eritrosit dapat dihancurkan
langsung dalam sirkulasi pada suatu proses yang disebut sebagai
hemolisis intravaskular. Pada hemolisis intravaskular, dibebaskan
hemoglobin bebas dengan yang dengan cepat menjenuhkan haptoglobin
plasma dan hemoglobin bebas yang berlebih, dan difiltrasi oleh
glomerulus. Jika kecepatan hemolisis mensaturasi kapasitas reapsorbsi
tubulus ginjal, hemoglobin bebas memasuki urine dan dengan
dilepaskannya besi, tubulus ginjal menjadi penuh terisi hemosiderin.
Methemalbumin dan hemopeksin juga dibentuk dari proses hemolisis
intravaskular.
2) Etiologi
Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena :
a) Defek molecular: hemoglobinopati atau enzimopati
b) Abnormalitas struktur dan fungsi membrane-membran
c) Factor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi
3) Patogenesis
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskular. Pada
hemolisis ekstravaskular destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem
retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah mengalami perubahan
membrane tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga
difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.
4) Pemeriksaan penunjang
Temuan laboratorium dapat dengan mudah dibagi menjadi tiga
kelompok
a) Gambaran peningkatan pemecahan:
(1) Bilirubin serum meningkat, tidak terkonjugasi dan terikat
albumin;
(2) Urobilinogen urine meningkat;
(3) Sterkobilinogen feses meningkat;
(4) Haptoglobin serum tidak ada karena haptoglobin menjadi jenuh
oleh hemoglobin dan kompleks ini dikeluarkan oleh sel RE
b) Gambaran peningkatan produksi eritrosit
(1) Retikulositosis;
(2) Hiperplasia eritroid sumsum tulang; rasio mieoloid: eritroid
sumsum tulang normal sebesar 2:1 sampai 12:1 menurun
menjadi 1:1 atau sebaliknya.
c) Eritrosit yang rusak:
(1) Morfologi—mikrosferosit, eliptosit, fragmentosit, dll;
(2) Fragilitas osmotik, autohemolisis, dll;
(3) Ketahanan eritrosit memendek.
5) Gambaran klinis
Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit dan mukosa kuning.
Splenomegali didapati pada beberapa anemia hemolitik. Pada anemia
berat dapat ditemukan takikardi dan aliran murmur pada katup jantung.
Pasien mungkin memperlihatkan kepucatan membran mukosa,
ikterus ringan yang berfluktuasi, dan splenomegali. Tidak ada bilirubin
dalam urine, tetapi urine dapat menjadi gelap bila dibiarkan karena
urobilinogen yang berlebihan. Batu empedu pigmen (bilirubin) dapat
mempersulit keadaan ini. Beberapa pasien (khususnya penerita penyakit
sel sabit) menderita ulkus di sekitar pergelangan kaki. Krisis aplastik
dapat terjadi, biasanya dicetuskan oleh infeksi parvovirus yang
‘mematikan’ eritropoiesis, dan ditandai oleh peningkatan anemia yang
mendadak serta penurunan jumlah retikulosit.
c. Anemia sideroblastik
1) Definisi
Anemia sideroblastik adalah anemia hipokromik-mikrositik yang
ditandai dengan adanya sel-sel darah imatur (sideroblast) dalam
sirkulasi dan sumsum tulang. Anemia sideroblastik primer dapat terjadi
akibat cacat genetik pada kromosom X yang jarang ditemukan (terutama
dijumpai pada pria), atau dapat timbul secara spontan terutama pada
orang tua. Penyebab sekunder anemia soderoblastik adalah obat-obat
tertentu, misalnya beberapa obat kemoterapi dan ingesti timah. Anemia
sideroblastik merupakan anemia dengan cincin sideroblas (ring
sideroblastik) dalam sumsum tulang. Anemia ini relatif jarang dijumpai,
tetapi perlu mendapat perhatian karena merupakan salah satu diagnosis
banding anemia hipokromik mikrositik.
2) Klasifikasi
a) Anemia sideroblastik primer
(1) Herediter sex linked sideroblastic anemia
(2) Primary acuquired sideroblastic anemia (PASA) atau
idiopatic acuired sideroblastic anemia (IASA). Dapat
dimasukkan disini adalah refractory anemia with ring
sideroblast (RARS) yang tergolong dalam sindrom
mielodisplastic.
b) Anemia sideroblastik sekunder
(1) Akibat obat ; pirasinamid dan sikloserin, kemoterapi
(2) Akibat alkohol
c) Akibat keracunan timah hitam Pyridoxin responsive anemia
3) Patogenesis
Perubahan pada anemia sideroblastik pada dasarnya terjadi
kegagalan inkorporasi besi ke dalam senyawa hem pada mitokondria
yang mengakibatkan besi mengendap pada mitokondria sehingga jika
yang dicat dengan cat besi akan terlihat binyik-bintik yang mengelilingi
inti yang disebut sebagai sideroblas cincin. Hal yang menyebabkan
kegagalan pemnbentukan hemoglobin yang disertai eritropoesis
inefektif dan menimbulkan anemia hipokromik mikrositik.
4) Gambaran klinis
Gejala dari anemia sideroblastik dapat terlihat kulit yang pucat,
kelelahan, dizziness, dan pembesaran spleen ,liver, dan tulang belakang.
Heart disease, liver damage, dan gagal ginjal dapat menjadi hasil dari
penumpukan besi dalam organ.
5) Pemeriksaan penunjang
Pada anemia sideroblastik dijumpai :
a) Anemia bervariasi dari ringan sampai berat.
b) Anemia bersifat hipokromik mikrositer dengan gamabaran populasi
ganda (double population) dimana dijumpai eritrosit hipokromik
mikrositer berdampingan dengan normokromik normositer.
c) Pada bentuk didapat (RARS) dijumpai tanda displastik terutama
pada eritrosit, kadang-kadang juga pada leukosit dan trombosit.
d) Besi serum dan feritin serum normal atau meningkat.
e) Pada pengecatan besi sumsum tulang dengan pewarnaan prussian
blue (memakai biru prusia) dijumpai sideroblas cincin > 15 % dari
sel eritroblas.
6) Penatalaksanaan
Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi simptomatik yaitu
dengan transfusi darah.
Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena pada sebagian kecil
penderita bersifat responsif terhadap piridoksin. Untuk anak-anak
diberikan dalam dosis 200-500 mg/24 jam, kendatipun tidak dijumpai
kelainan metabolisme triptofan atau defensiensi vitamin B6 lainnya.
Vitamin B6 merupakan kofaktor enzim ALA-sintase.
Terapi Kelasi Besi, terapi ini dilakukan karena dengan transfusi
darah yang berulang dapat menyebabkan peninggkatan besi pada organ
sehingga perlu dilakukan terapi kelasi besi setelah pasien menjalani
transfusi darah selama 1 tahun dengan beberapa obat yang dapat
digunakan:
a) Deferoksamin (100mg mengikat 8mg besi)
b) Deferasirox (mengikat besi dengan perbandingan 1:2)
c) Defereipron (dapat mempengaruhi sel imun, kontraindikasi untu
penderita hiv, hepatitis, gagal ginjal dll).
d. Anemia megaloblastik
1) Definisi
Anemia megaloblastik adalah kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sintesis DNA dan ditandai oleh sel megaloblastik. Sel
megaloblastik adalah sel prekursor eritrosit dengan bentuk sel yang
besar dikarenakan proses maturasi sitoplasma normal tetapi inti besar
dengan susunan kromosom yang longgar (Soenarto, 2009)
2) Etiologi
Penyebab dari anemia megaloblastik diantaranya adalah:
a) Defisiensi vitamin B12
(1) Asupan tidak cukup, contohnya pada seorang vegetarian
(2) Malabsorpsi
(a) Defek penyampaian dari vitamin B12 dari makanan:
achlorhidria gaster, gastrektomi, obat-obat yang
menghalangi sekresi asam
(b) Produksi faktor intrinsik yang tak mencukupi: anemia
pernisiosa, gastrektomi total, abnormalitas fungsional
atau tak adanya faktor intrinsik yang bersifat congenital
(c) Gangguan dari ileum terminalis: sprue tropikal, sprue non
tropikal, enteritis regional, reseksi intestinum, neoplasma
dan gangguan granulomatosa, sindrom Imerslund
(malabsorbsi kobalamin selektif)
(d) Kompetisi pada kobalamin: fish tapeworm
(Diphylobatrium latum), bakteri blind loop syndrome
(e) Obat-obatan: p-aminosalicylic acid, kolkisin, neomisin.
(3) Lain-lain: NO (Nitrous oxide) anesthesia, defisiensi
transkobalamin II, defek enzim congenital
b) Defisiensi asam folat
(1) Asupan yang tidak adekuat: diet yang tidak seimbang
(2) Keperluan yang meningkat: kehamilan, bayi, keganasan,
peningkatan hematopoiesis (anemia hemolitik kronik), kelainan
kulit eksfoliatif kronik, hemolisis
(3) Malabsorbsi: sprue topikal, sprue nontropikal, obat-obat:
phenytoin, barbiturat ethanol
c) Gangguan metabolisme vitamin B12 dan asam folat.
d) Gangguan sintesisi DNA yang merupakan akibat dari proses berikut
ini :
(1) Defisiensi enzim congenital
(2) Didapat setelah pemberian obat atau sitostatik tertentu
(Soenarto, 2009).
3) Patogenesis
Timbulnya megaloblast adalah akibat dari gangguan maturasi sel,
yang terjadi karena adanya gangguan sintesis DNA sel-sel eritroblast
akibat defisiensi asam folat dan vitamin B12, dimana vitamin B12 dan
asam folat berfungsi dalam pembentukan DNA inti sel dan secara
khusus untuk vitamin B12 penting dalam pembentukan mielin.
Akibat gangguan sintesis DNA pada inti eritroblast ini, maka
maturasi ini lebih lambat sehingga kromatin lebih longgar dan sel
menjadi lebih besar yang disebut dengan sel megaloblast. Sel
megaloblast ini fungsinya tidak normal dan dihancurkan saat masih
dalam sumsum tulang sehhingga terjadi eritropoiesis inefektif dan
masa hidup eritrosit lebih pendek yang berujung pada terjadinya
anemia.
4) Komplikasi
a) Wanita hamil yang mengalami defisiensi dikaitkan dengan
peningkatan risiko malformasi janin, terutama defek tuba neural
b) Pada orang dewasa akan meningkatkan penyakit kardiovaskular
5) Gambaran klinis
a) Anemia karena eritropoesis yang inefektif
b) Ikterus ringan akibat pemecahan hemoglobin meninggi karena usia
eritrosit memendek
c) Glositis (lidah bengkak, merah), stomatitis, angularis, gejala-gejala,
syndrom malabsorbsi ringan.
d) Purpura trombositopenik karena maturasi megakariosit terganggu
e) Neuropati pada defisiensi vitamin B12. Pada penderita dengan
defisiensi vitamin B12 yang berat dapat terjadi kelainan saraf
sensorik pada kolumna posterior dan neuropati bersifat simetris,
terutama mengenai kedua kaki. Penderita mengalami kesulitan
berjalan dan mudah jatuh.
f) Buta warna tertentu, termasuk warna kuning dan biru
g) Luka terbuka di lidah atau lidah seperti terbakar
h) Penurunan berat badan
i) Warna kulit menjadi lebih gelap
j) Penurunan fungsi intelektual.
6) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita anemia
megaloblastik adalah untuk menentukan penyebab anemia apakah karena
defisiensi B12 atau defisiensi folat. B12 serum rendah pada anemia
megaloblastik atau neuropati yang disebabkan defisiensi B12. Folat serum
dan eritrosit keduanya rendah pada anemia megaloblastik akibat defisiensi
folat.
Uji penunjang yang dilakukan
7) Penatalaksanaan
Pengobatan yang dilakukan pada sebagian besar kasus adalah terapi
dengan vitamin yang sesuai. Akan tetapi, perlu diperhatikan jika dosis
besar asam folat (5mg/hari) diberikan pada penderita dengan defisiensi
B12, asam folat akan memberi respon hematologic tetapi dapat
memperburuk neuropati. Pada penderita anemia berat yang memerlukan
pengobatan segera mungkin lebih aman untuk memulai pengobatan
dengan kedua vitamin.
Setelah 24 – 48 jam terapi vitamin yang benar, penderita biasanya akan
merasa lebih baik disertai dengan peningkatan nafsu makan. Leukosit dan
trombosit akan menjadi normal setelah 7 – 10 hari dan hemoglobin akan
meningkat 2 – 3 g/dL setiap 2 minggu.
BAB III
KESIMPULAN
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store)
yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Dalam
kasus, Intake makanan yang kurang akan zat besi menyebabkan cadangan besi tidak
dapat terpenuhi sehingga proses eritropoiesis tidak terjadi, lalu terjadilah Anemia
Defisiensi Besi. Intake zat besi bisa terjadi karena perilaku makan sehari-hari pasien
yang kurang sehat. Pada hasil pemeriksaan laboratorium, Nn. Veronica menderita
ADB berdasarkan pada jumlah Hb, hematokrit, MCV, MCHC, MCH, serum iron,
TIBC, dan Ferritin di bawah normal. Selain itu, apusan darah tepi yang diperiksa
hasilnya sesuai dengan apusan darah tepi pada pasien ADB pada umumnya.
Faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi yaitu factor gaya hidup. Jika ADB
terus dibiarkan, akan menimbulkan komplikasi lebih lanjut seperti gangguan system
neuromaskular, gagal jantung kongestif, penurunan sistem imun, bahkan sampai
kematian. Untuk penanganan terhadap ADB diperlukan pemeriksaan yang mendetail
dan akurat dalam penegakkan diagnosis ADB agar tercapai prognosis yang baik
melalui penatalaksanaan yan tepat dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulmuthalib. 2009. Kelainan Hematologik Edisi 4. Jakarta : PT Bina Pustaka.
Bakta, I. M. 2012. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC
Bakta, I. M., et al. 2006. Anemia Defisiensi Besi Edisi ke-4 Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Griffin, Kitchen. 2011. Immunology And Haemotology. Philadelphia : Mosby Elsevier.
Guyton. 2001. Text Book of Medical Phsyiologi. Saunders : Newyork.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2006. Medical Physiology. Philadelphia : Elsevier Saunders.
Kumar, Vinay. 2004. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
Parjono, Elis dan Kartika Widayati. 2009. Anemia Hemolitik Autoimun (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam). Jakarta: InternaPublishing
Rimba, M. 2001. Hb Rendah dan Zat Tannin pada Teh. Dapat diakses di Http://ogrg.lib.itb.ac.ad/forum/viewtopic.php?pid=25081 Diakses terakhir pada 3 September 2014.
Rinaldi, Ikhwan dan Aru W. Sudoyo. 2009. Anemia Hemolitik Non Imun (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam). Jakarta: InternaPublishing
Samman, S et al. 2001. Green Tea or Rosemary extract added to Foods Reduce Nonheme-Iron Absorption. American Journal Clinical Nutrition, Vol.73. No. 3, 607-612.
Sheerwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Silbernagl, Stefan. 2013. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
Sloane Ethel. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Penerbit buku Kedokteran EGC: Jakarta
Soenarto. 2009. Anemia Megaloblastik (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam). Jakarta: Interna Publishing
W.F. Ganong. 2000. Review of Medical Physiology. Lithographed in USA, California