Laporan Praktikum Analitik 2 Denyxxx

  • Upload
    isnien

  • View
    350

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

PENDAHULUAN

Kimia analisis dapat dibagi menjadi dua bidang yang disebut analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif membahas identifikasi zat-zat. Urusannya adalah unsur atau senyawa apa yang terdapat dalam suatu sampel. Analisis kuantitatif mempelajari penetapan banyaknya suatu zat tertentu yang terkandung dalam sampel. Zat yang ditetapkan, yang sering dirujuk konstituen yang diinginkan atau analit, dapat berupa sebagian kecil atau sebagian besar dari contoh yang di analisis. Jika analisis itu lebih dari 1% dari sampel, maka analisis itu dianggap sebagai konstituen utama (mayor). Dianggap konstituen kecil (minor), jika banyaknya antara 0,01-0,1% dari sampel. Akhirnya, suatu zat yang hadirnya kurang dari 0,01% dianggap sebagai konstituen runutan (trace).

Pengelompokkan analisis kuantitatif lain dapat didasarkan pada ukuran contoh yang tersedia untuk di analisis. Bila tersedia contoh seberat lebih dari 0,1 gram, analisis itu disebut makro, analisis semimikro dapat dilakukan terhadap sampel yang beratnya antara 10-100 mg ; analisis mikro dlakukan terhadap sampel yang beratnya1-10 mg ; atau analisis ultramikro melibatkan sampel pada orde 1 mikrogram.

Analisis volumetri adalah suatu analisis kimia kuantitatif yang dilakukan dengan menetapkan volume suatu larutan yang konsentrasinya diketahui dengan tepat, untuk bereaksi dengan larutan dari zat yang akan ditentukan. Larutan yang sudah diketahui konsentrasinya dengan tepat disebut larutan standar. Larutan standar primer adalah suatu larutan yang sudah diketahui konsentrasinya dengan tepat dan dapat langsung digunakan untuk menetapkan konsentrasi zat-zat lain. Larutan standar sekunder adalah suatu larutan yang dapat digunakan untuk menetapkan konsentrasi zat-zat lain, tetapi sebelumnya harus ditetapkan dulu konsentrasinya terhadap larutan standar primer.

Larutan standar biasanya ditambahkan dari dalam buret. Proses penambahan larutan standar dari buret sampai reaksi tepat lengkap disebut titrasi. Lengkapnya suatu titrasi, lazimnya harus terdeteksi oleh suatu perubahan, yang tak dapat dilihat mata, umumnya terjadi suatu1

perubahan warna oleh penambahan reagensia yang dikenal sebagai indikator. Titik dimana reaksi tepat lengkap disebut titik ekivalen, sedangkan titik (saat) dimana dalam suatu titrasi mulai terjadi perubahan warna disebut titik akhir. Untuk digunakan dalam analisis volumetri, suatu reaksi harus memenuhi kondisi-kondisi (persyaratan) berikut : 1. Reaksi harus berjalan dengan suatu persamaan reaksi tertentu, tidak boleh aa reaksi samping. 2. Reaksi harus berjalan sampai boleh dikatakab lengkap pada titik ekivalen. 3. Beberapa metoda harus tersedia untuk menetapkan kapan titik ekivalen tercapai. 4. Diinginkan agar reaksi berjalan cepat, sehingga titrasi dapat terlengkapi dalam beberapa menit.

2

MODUL III ADISI-ALKALIMETRI(Penentuan Kadar HCl Dengan Larutan Standar NaOH)

I. PRINSIP PERCOBAAN Titrasi asam basa merupakan titrasi langsung dengan melibatkan asam maupun basa sebagai titrat ataupun titran. Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan. Kadar larutan asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa dan sebaliknya.

II. TUJUAN PERCOBAAN Menetapkan konsentrasi HCl oleh larutan standar NaOH, dimana konsentrasi NaOH diketahui sebelumnya dengan larutan H2C2O4.

III. DASAR TEORI Analisa volumetri suatu cara untuk menentukan kadar atau konsentrasi dari suatu zat dengan menentukan vulome dari suatu larutan tertentu dengan konsentrasi tertentu yang diperlukan pada suatu reaksi tertentu. Asidi-alkalimetri adalah salah satu analisa volumetri yang bertujuan untuk menentukan kadar suatu asam/basa dengan menggunakan volume dari basa/asam dengan konsentrasi tertentu yang diperlukan pada reaksi asam-basa. Teori Asam Basa 1. Teori Arrhenius Menurut Arrhenius, asam adalah suatu zat yang bila dilarutkan dalam air berdisosiasi menghasilkan ion hidrogen (H+) sebagai satu-satunya ion positif.3

HCl H+ + ClBasa adalah suatu zat yang bila dilarutkan dalam air berdisosiasi menghasilkan ion hidroksil (OH-) sebagai satu-satunya ion negatif. NaOH Na+ + OH2. Teori Bronsted Lowry Asam adalah semua zat yang dapat memberikan proton (H+) atau pemberi proton atau donor proton. Basa adalah semua zat yang dapat menerima proton (H+) atau pemberi proton atau aseptor proton. Yang dimaksudkan dengan zat pada teori ini dapat suatu senyawa yang netral, ion negatif atau ion positif. HCl HCO3NH4+ H+ + ClH+ + CO32H+ + NH3

Karena setiap reaksi adalah reaksi yang dapat balik, berarti hasil reaksi pelepasan proton diatas dapat mengikat kembali proton, maka setiap asam selalu mempunyai basa pasangannya yang dinamakan basa konjugasi. Proton menurut teori atom adalah partikel yang sangat tidak stabil dan tidak dapat berdiri sendiri. Karena itu jika ada pelepasan proton selalu harus di ikuti oleh pengikatan proton tersebut. Dalam larutan asam dengan pelarut air, maka air itulah yang akan berfungsi sebagai pengikat proton. HB + H2O H3O+ + B**

Karena itu berdasar teori Bronsted-Lowry, apa yang dinamakan reaksi ionisasi asam sebenarnya adalah suatu reaksi asam basa. Hal yang sama untuk reaksi ionisasi air, satu molekul air berfungsi sebagai asam dan melepaskan proton dan satu molekul air yang lain berfungsi sebagai basa, penerima proton.4

H2O H+ + H2O

H+ + OH- (basa konjugasi) H3O+ (asam konjugasi)

Kalau reaksi diatas dijumlahkan akan kita dapat : 2H2O H3O+ + OH-

Zat yang dapat bersifat seperti H2O, dapat bersifat asam dan pada saat yang sama juga dapat bersifat sebagai basa dinamakan zat yang amfiprotik. Secara keseluruhan, teori asam-basa bronsted-lowry ini lebih baik dari teori arrhenius dan juga masih menyangkut konsep H+ atau pH tapi dengan catatanbahwa H+ harus dibaca sebagai H3O+. 3. Teori Lewis Asam adlah semua zat yang dapat menerima pasangan elektron atau aseptor pasangan elektron. Basa adalah semua zat yang dapat memberikan pasangan elektron atau donor pasangan elektron. Semua zat yang memenuhi kriteria asam menurut teori lewis kemudian dinamakan Asam Lewis. Dapat dilihat dari reaksi-reaksi diatas bahwa reaksi akan berhenti apabila jumlah H+ telah ekivalen dengan jumlah OH- dan dimana semua basa tepat bereaksi dengan asam dinamakan titik ekivalen. Pada titik ekivalen akan berlaku : Nasam x Vasam = Nbasa x Vbasa Pada umumnya reaksi asam-basa sukar untuk dapat diamati karena itu diperlukan bantuan indikator untuk dapat melihat perubahan pada reaksi ini. Indikator terutama diperlukan untuk dapat melihat titik akhir dari suatu titrasi, dimana pada titrasi tersebut mulai terjadi perubahan warna. Indikator yang baik adalah indikator yang perubahan warnanya atau titik akhir titrasinya terletak sedekat mungkin dengan titik ekivalen.5

Pada titik ekivalen, tidak ada lagi kelebihan asam atau basa dan pada saat ini yang kita punya adalah larutan garam, sehingga pH-nya juga sama dengan pH dari larutan garam yang terjadi. Pada saat ini seharusnya penambahan asam atau basa harus dihentikan dan pada saat ini juga warna harus sudah berubah. Dengan kata lain indikator yang harus dipergunakan adalah indikator yang trayek pH-nya sedekat mungkin dengan pH larutan garam yang akan terbentuk Prinsip Titrasi Asam Basa

Titrasi asam basa melibatkan asam maupun basa sebagai titer ataupun titrant. Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan. Kadar larutan asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa dan sebaliknya. Titrant ditambahkan titer sedikit demi sedikit sampai mencapai keadaan ekuivalen ( artinya secara stokiometri titrant dan titer tepat habis bereaksi). Keadaan ini disebut sebagai titik ekivalen. Pada saat titik ekivalen ini maka proses titrasi dihentikan, kemudian kita mencatat volume titer yang diperlukan untuk mencapai keadaan tersebut. Dengan menggunakan data volume titrant, volume dan konsentrasi titer maka kita bisa menghitung kadar titrant. Bobot ekivalen adalah suatu zat pada reaksi asam basa adalah banyaknya mol zat itu yang ekivalen dengan 1 mol H+ atau 1 mol OH-. Cara mengetahui bobot ekivalen ada dua cara yaitu: 1. Memakai pH meter untuk memonitor perubahan pH selama titrasi dilakukan, kemudian membuat plot antara pH dengan volume titrant untuk memperoleh kurva titrasi. Titik tengah dari kurva titrasi tersebut adalah titik ekuivalen. 2. Memakai indikator asam basa. Indikator ditambahkan pada titrant sebelum proses titrasi dilakukan. Indikator ini akan berubah warna ketika titik ekuivalen terjadi, pada saat inilah titrasi kita hentikan. Pada umumnya cara kedua dipilih disebabkan kemudahan pengamatan, tidak diperlukan alat tambahan, dan sangat praktis. Indikator yang dipakai dalam titrasi asam basa adalah indikator yang perbahan warnanya dipengaruhi oleh pH. Penambahan indikator diusahakan sesedikit mungkin dan umumnya adalah dua hingga tiga tetes. Untuk memperoleh ketepatan hasil6

titrasi maka titik akhir titrasi dipilih sedekat mungkin dengan titik ekuivalen, hal ini dapat dilakukan dengan memilih indikator yang tepat dan sesuai dengan titrasi yang akan dilakukan. Keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indikator disebut sebagai titik akhir titrasi atau titik ekivalen. Pada saat titik ekivalen, tidak ada lagi kelebihan asam atau basa, yang ada adalah larutan garam, sehingga pH-nya juga sama dengan pH dari larutan garam yang terjadi. Indikator Asam Basa Indikator asam basa adalah asam atau basa organik lemah yang mempunyai warna molekul (warna asam) berbeda dengan warna ionnya (warna basa). HIn H+ + Inwarna ion

Warna molekul

Pada contoh di atas, warna molekul lebih kuat dalam suasana asam, sedangkan warna ion lebih kuat dalam suasana basa, yaitu bila indikator dinetralkan. Pada pH tertentu, dimana kedua bentuk ada dalam jumlah yang hampir sama, maka akan terjadi warna kombinasi dari warna molekul dan warna ionnya. Daerah transisi dari perubahan warna indikator meliputi lebih kurang 2 unit pH dan daerah ini disebut trayek pH. Beberapa contoh indikator asam basa beserta trayek pH dan perubahan warnanya dapat dilihat pada tabel berikut : Indikator Biru Bromfenol Biru Bromtimol Biru Fenol Biru Timol Fenolftalein Jingga Metal Trayek pH 3,0 -4,6 6,0 7,6 1,2 2,8 8,0 9,6 8,3 10,5 3,1 4,4 Warna Asam HIn kuning kuning merah kuning tak berwarna merah Warna Basa In biru biru kuning biru merah jambu jingga pKIn 4,1 7,1 1,7 8,9 9,3 3,7

7

Lakmus Merah Fenol Merah Metal

6,0 8,0 6,8 8,4 4,2 6,3

merah kuning merah

biru merah kuning

---7,8 5,0

Pemilihan indikator ditentukan oleh pH larutan pada titik ekuivalen. Pada titrasi asam lemah dengan basa kuat, maka pH larutan pada titik ekuivalen diatas 7 (misalkan pH = 9), maka indikator yang dapat dipakai adalah biru timol atau fenolftalein. Indikator ini biasanya digunakan hanya beberapa tetes sebagai larutan dalam air atau alkohol (70 % - 90% h/v) dengan kadar 0,05 0,1 %. Sebaliknya pada titrasi basa lemah dengan asam kuat, maka pH larutan pada titik ekuivalen di bawah 7 (misalkan pH = 4), maka indikator yang dapat digunakan adalah biru bromfenol atau jingga metil. Larutan Baku Dalam analisis ini, harus menggunakan suatu larutan yang disebut larutan baku, yaitu suatu larutan yang dapat dipakai untuk menentukan konsentrasi dari larutan lain. Ada 2 macam larutan baku, yaitu larutan baku primer dan larutan baku sekunder. Larutan baku primer adalah suatu larutan/zat yang dapat dipakai untuk menentukan kadar yang dapat dipakai untuk menentukan kadar atau konsentrasi larutan/zat lain, tetapi harus distandarkan dahulu pada larutan baku primer. Larutan/zat baku primer mempunyai beberapa persyaratan, diantaranya adalah: Stabil, tidak mudah berubah Mudah ditimbang Mudah didapat dalam bentuk yang murni.

Sebagai larutan/zat baku primer asam biasanya dipakai Asam Oksalat (H2C2O4)

8

Rumus Umum Titrasi

Pada saat titik ekivalen maka mol-ekuivalent asam akan sama dengan mol-ekivalen basa, maka hal ini dapat kita tulis sebagai berikut: Mol ekivalen asam = Mol ekivalen basa

Mol ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara Normalitas dengan volume maka rumus diatas dapat kita tulis sebagai: N x V asam = N x V basa

Normalitas diperoleh dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan jumlah ion H+ pada asam atau jumlah ion OH pada basa, sehingga rumus diatas menjadi: n x M x V asam = n x V x M basa

Keterangan : N = Normalitas V = Volume M = Molaritas n = jumlah ion H+ (pada asam) atau OH (pada basa)

9

IV.

ALAT DAN BAHAN PERCOBAAN

1. Alat Percobaan a. Erlenmeyer 250 mL b. Buret 50 mL c. Statif d. Klem e. Labu Ukur 100 mL f. Pipet Gondok 10 mL g. Gelas Kimia 250 dan 100 mL h. Botol Semprot

2. Bahan Percobaan a. Larutan NaOH b. Larutan HCl c. Larutan Asam Oksalat d. Indikator Fenolptalien (pp) e. Aquadest

10

V.

PROSEDUR PERCOBAAN

A. Standarisasi Larutan NaOH terhadap Asam Oksalat (H2C2O4) 1. Pipet 10 mL larutan standar Asam Oksalat 1 N ke dalam labu ukur 100 mL, encerkan sampai tanda batas, homogenkan. 2. Pipet 10 mL larutan tersebut ke dalam Erlenmeyer 250 mL. 3. Tambahkan 2 3 tetes indikator Fenolptalien. 4. Masukan larutan NaOH yang akan distandarisasi ke dalam Buret yang telah diatur posisinya, agar siap dioperasikan. 5. Titrasi larutan Asam Oksalat dalam Erlenmeyer dengan larutan NaOH dari Buret sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Catat volume NaOH yang diperlukan. 6. Lakukan pengerjaan titrasi secara triplo, agar volume NaOH konstan. 7. Hitung konsentrasi larutan NaOH.

B. Penentuan Konsentrasi HCl terhadap NaOH

1. Pipet 10 mL larutan HCl, masukan ke dalam Erlenmeyer 250 mL. 2. Tambahkan 2 3 tetes indikator Fenolptalien. 3. Titrasi larutan HCl dalam Erlenmeyer dengan larutan NaOH dari Buret sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Catat volume NaOH yang diperlukan. 4. Lakukan pengerjaan titrasi secara triplo, agar volume NaOH konstan. 5. Hitung konsentrasi larutan HCl.

11

VI.

PENGAMATAN

A.

Standarisasi Larutan NaOH terhadap Asam Oksalat (H2C2O4) Konsentrasi H2C2O4 Konsentrasi awal =1N Volume pemipetan = 10 mL Volume labu ukur = 100 mL 10 mL Asam Oksalat 1 N diencerkan menjadi 100 mL, maka konsentrasi Asam Oksalat menjadi : V1 x N1 = V2 x N2 10 mL x 1N = 100 mL x N2 N2 = (10 mL x 1N) / 100 mL = 0,1 N

Hasil Titrasi No 1 2 3 Volume asam oksalat (mL) 10 10 10 Rata-rata volume NaOH Volume NaOH (mL) 9,70 9,75 9,70 9,72

Perhitungan : Untuk mengetahui konsentrasi NaOH digunakan rumus: Vasam oksalat x Nasam oksalat = V NaOH x N NaOH 10 mL x 0,1 N = 9,72 mL x N NaOH N NaOH = (10 N x 0,1 N) / 9,72 mL N NaOH = 0,1029 N

12

Reaksi : H2C2O4 (aq) + NaOH (aq) Na2C2O4 (aq) + 2H2O

B. Penentuan Konsentrasi HCl terhadap NaOH Hasil Titrasi No 1 2 3 Volume HCl (mL) 10 10 10 Rata-rata volume NaOH Volume NaOH (mL) 8,20 8,20 8,25 8,22

Perhitungan: Untuk mengetahui konsentrasi HCl digunakan rumus: VHCl x NHCl = V NaOH x NNaOH 10 mL x NHCl = 8,22 mL x 0,1029 N NHCl = (8,22 mL x 0,1029 N) / 10 mL NHCl = 0,0846 N

Reaksi : NaOH (aq) + HCl (aq) NaCl (s) + H2O

13

VII. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa di atas, maka titrasi Asidi-Alkalimetri, pada dasarnya menggunakan dua macam larutan yaitu larutan pentiter dan larutan dititer. Pada saat titik ekivalen larutan berubah menjadi merah muda dengan pemakaian indikator fenolptalien. Pada percobaan ini didapat konsentrasi NaOH 0,1029 N dan konsentrasi HCl 0,0846 N.

14

MODUL IV PERMANGANOMETRI(Penentuan Kadar Besi (Fe) Secara Permanganometri)

I. PRINSIP PERCOBAANTitrasi Permanganometri merupakan titrasi langsung yang didasarkan pada reaksi redoks. Dalam reaksi ini ion MnO4- bertindak sebagai oksidator. Ion MnO4- akan berubah menjadi ion Mn2+ dalam suasana asam, dan dalam suasana basa akan berubah menjadi MnO2.

II. TUJUAN PERCOBAANMenentukan konsentrasi KMnO4 dan menentukan konsentrasi besi (II) dalam FeSO4.

TEORI DASARPermanganometri merupakan metode titrasi dengan menggunakan kalium permanganat, yang merupakan oksidator kuat sebagai titran. Titrasi ini didasarkan atas titrasi reduksi dan oksidasi atau redoks. Permanganat bereaksi secara beraneka, karena mangan dapat memiliki keadaan oksidasi +2, +3, +4, +6, dan +7. Dalam reaksi ini, ion MnO4- bertindak sebagai oksidator. Ion MnO4- akan berubah menjadi ion Mn2+ dalam suasana asam, dan MnO2 dalam suasana basa. Teknik titrasi ini biasa digunakan untuk menentukan kadar oksalat atau besi dalam suatu sample. Pada Permanganometri, titran yang digunakan adalah Kalium Permanganat. Kalium Permanganat mudah diperoleh dan tidak memerlukan indikator kecuali digunakan larutan15

yang sangat encer serta telah digunakan secara luas sebagai pereaksi oksidasi selama seratus tahun lebih. Setetes permanganat memberikan suatu warna merah muda yang jelas kepada volume larutan dalam suatu titrasi. Warna ini digunakan untuk menunjukkan kelebihan pereaksi. Dalam suasana asam atau [H+] 0,1 N, ion permanganat mengalami reduksi menjadi ion mangan (II) sesuai reaksi : MnO4- + 8H+ + 5e Mn2+ + 4H2O

Eo = 1,51 Volt

Dalam suasana netral, ion permanganat mengalami reduksi menjadi mangan dioksida seperti reaksi berikut : MnO4- + 4H+ + 3e

MnO2 + 2H2O

Eo = 1,70 Volt

Dan dalam suasana basa atau [OH-] 0,1 N, ion permanganat akan mengalami reduksi sebagai berikut: MnO4- + 2H2O + 3e MnO2 + 4OH-

Eo = 0,56 Volt

Untuk pengasaman sebaiknya dipakai Asam Sulfat, karena asam ini tidak menghasilkan reaksi samping. Sebaliknya jika dipakai Asam Klorida dapat terjadi kemungkinan teroksidasinya ion klorida menjadi gas klor dan reaksi ini mengakibatkan dipakainya larutan Permanganat dalam jumlah berlebih. Meskipun untuk beberapa reaksi dengan Arsen (II) Oksida, Antimoni (II) dan Hidrogen Peroksida, karena pemakaian Asam Sulfat justru akan menghasilkan beberapa tambahan kesulitan. Kalium Pemanganat adalah oksidator kuat, oleh karena itu jika berada dalam HCl akan mengoksidasi ion Cl- yang menyebabkan terbentuknya gas klor dan kestabilan ion ini juga terbatas. Biasanya digunakan pada medium asam 0,1 N. Namun, beberapa zat memerlukan

16

pemanasan atau katalis untuk mempercepat reaksi. Seandainya banyak reaksi itu tidak lambat, akan dijumpai lebih banyak kesulitan dalam menggunakan reagensia ini Sehingga Asam Sulfat adalah asam yang paling sesuai, karena tidak bereaksi terhadap permanganat dalam larutan encer. Dengan Asam Klorida, ada kemungkinan terjadi reaksi : 2MnO4- + 10Cl- + 16H 2Mn2+ + 5Cl2 + 8H2O

Kalium Permanganat distandarisasikan dengan menggunakan Asam Oksalat, Natrium Oksalat atau Arsen (III) Oksida standar-standar primer, yang semuanya dapat dioksidasi oleh Kalium Permanganat. Reaksi yang terjadi pada proses pembakuan Kalium Permanganat menggunakan Asam Oksalat adalah: 5C2O4- + 2MnO4- + 16H+ 10CO2 + 2Mn2+ + 8H2O

Akhir titrasi ditandai dengan timbulnya warna merah muda yang disebabkan kelebihan permanganat. Beberapa ion logam yang tidak dioksidasi dapat dititrasi secara tidak langsung dengan Permanganometri seperti: ion-ion Ca, Ba, Sr, Pb, Zn, dan Hg (I) yang dapat diendapkan sebagai oksalat. Setelah endapan disaring dan dicuci, dilarutkan dalam H2SO4 berlebih sehingga terbentuk Asam Oksalat secara kuantitatif. Asam Oksalat inilah yang akhirnya dititrasi dan hasil titrasi dapat dihitung banyaknya ion logam yang bersangkutan. Ion-ion Ba dan Pb dapat pula diendapkan sebagai garam khromat. Setelah disaring, dicuci, dan dilarutkan dengan asam, ditambahkan pula larutan baku FeSO4 berlebih. Sebagian Fe2+ dioksidasi oleh khromat tersebut dan sisanya dapat ditentukan banyaknya dengan menitrasinya dengan KMnO4.

17

Sumber-sumber kesalahan pada titrasi permanganometri, antara lain terletak pada: 1. Larutan pentiter KMnO4 pada buret. Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama, larutan KMnO4 pada buret yang terkena sinar akan terurai menjadi MnO2 sehingga pada titik akhir titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang seharusnya adalah larutan berwarna merah rosa.

2. Penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H2C2O4. Pemberian KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+. 2MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O 5MnO2 + 4H+

3. Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan seperti H2C2O4. Pemberian KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan mungkin akan terjadi kehilangan oksalat karena membentuk peroksida yang kemudian terurai menjadi air. H2O2 + 2CO2

H2C2O4 + O2

18

III. ALAT DAN BAHAN PERCOBAAN

1. Alat Percobaan a. Erlenmeyer 250 mL b. Buret 50 mL c. Statif d. Klem e. Labu Ukur 100 mL f. Pipet Gondok 10 mL g. Gelas Kimia 25 mL h. Botol Semprot i. Kaki tiga j. Pembakar spirtus k. Kassa asbes

2. Bahan percobaan

a. KMnO4 0,1 N b. FeSO4 c. H2C2O4. 2H2O 1 N d. H3PO4 pekat e. H2SO4 4 N f. Aquadest

19

V. PROSEDUR PERCOBAAN

A. Penentuan Konsentrasi Kalium Permanganat terhadap Asam Oksalat (H2C2O4) 1. Pipet 10 mL larutan standar Asam Oksalat 1 N ke dalam labu ukur 100 mL, encerkan sampai tanda batas, homogenkan. 2. Pipet 10 mL larutan tersebut ke dalam Erlenmeyer 250 mL. 3. Tambahkan 5 mL H2SO4 4 N. 4. Panaskan larutan tersebut sampai mencapai suhu 70 80 oC. 5. Dalam keadaan panas, tambahkan KMnO4 dari buret tetes demi tetes. 6. Kocok sampai terbentuk warna merah jambu yang tidak hilang. Catat volume KMnO4 yang diperlukan. 7. Lakukan pengerjaan titrasi secara triplo, agar volume KMnO4 konstan. 8. Hitung konsentrasi larutan KMnO4. B. Penentuan Konsentrasi Besi (Fe) terhadap Kalium Permanganat (KMnO4) 1. Pipet 10 mL larutan besi (II) ke dalam labu ukur 100 mL, encerkan sampai tanda batas, homogenkan. 2. Pipet 10 mL larutan besi (II) dari labu ukur 100 mL, masukan ke dalam Erlenmeyer 250 mL. 3. Tambahkan 5 mL H2SO4 4 N dan 1 mL H3PO4 pekat. 4. Panaskan larutan tersebut sampai mencapai suhu 70 80 oC. 5. Dalam keadaan panas, tambahkan KMnO4 dari buret tetes demi tetes. 6. Kocok sampai terbentuk warna merah jambu yang tidak hilang. Catat volume KMnO4 yang diperlukan. 7. Lakukan pengerjaan titrasi secara triplo, agar volume KMnO4 konstan. Hitung konsentrasi larutan besi (II) dengan perbandingan dari konsentrasi KMnO4.

20

VI. PENGAMATAN

A. Penentuan Konsentrasi Kalium Permanganat terhadap Asam Oksalat (H2C2O4) Konsentrasi asam oksalat Konsentrasi awal =1N

Volume pemipetan = 10 mL Volume labu ukur = 100 mL

10 mL Asam Oksalat 1 N diencerkan menjadi 100 mL, maka konsentrasi Asam Oksalat menjadi : V1 x N1 = V2 x N2 10 mL x 1N = 100 mL x N2 N2 = (10 mL x 1 N) / 100 mL = 0,1 N

Hasil Titrasi No 1 2 3 Volume asam oksalat (mL) 10 10 10 Rata-rata volume NaOH Volume NaOH (mL) 8,60 8,65 8,65 8,63

Untuk mengetahui konsentrasi KMnO4 digunakan rumus:

Vasam oksalat x Nasam oksalat = V KMnO4 x N KMnO4 10 mL x 0,1 N = 8,63 mL x N KMnO4 N KMnO4 = (10 N x 0,1 N) / 8,63 mL N KMnO4 = 0,1159 N

21

Reaksi : MnO4- + 8H+ + 5e H2C2O4 + H2O+

Reduksi : Oksidasi :

Mn2+ + 4H2O C2O42- + 4H+ + 4e 4Mn2+

x4 x5

4 MnO4 + 12 H + 5 H2C2O4

+ 11 H2O + 5 C2O42-

B. Penentuan Konsentrasi Fe dengan KMnO4 Penentuan Fe (II) dengan KMnO4 0,1159 N

Hasil titrasi No 1 2 3 Volume FeSO4 (mL) 10 10 10 Rata-rata volume NaOH Volume KMnO4 (mL) 3,90 3,90 3,95 3,92

Perhitungan:

Untuk mengetahui konsentrasi Fe (II) digunakan rumus:

VFe (II) x NFe (II) = VKMnO4 x N KMnO4 10 mL x NFe (II) = 3,92 mL x 0,1159 N NFe (II) = (3,92 mL x 0,1159 N) / 10 mL N Fe(II) = 0,0454 N

22

Reaksi : : MnO4- + 8H+ + 5e : Fe2+

Reduksi Oksidasi

Mn2+ + 4H2O Fe + e3+

x1 x5

MnO4- + 8H+ + 5Fe2+

Mn2+ + 4 H2O + 5 Fe3+

VII. KESIMPULAN

Permanganometri adalah suatu metode analisa kimia yang didasari atas reaksi reduksi dan reaksi oksidasi (Redoks), dimana Kalium Permanganat akan mengoksidasi berbagai zat yang bersifat reduktor dan pada saat itu warna lembayung dari Kalium Permanganat akan hilang.

Penentuan konsentrasi Fe (II) menggunakan KMnO4 0,1159 N volume KMnO4 masih dibawah dari 5 mL, hal ini disebabkan konsentrasi KMnO4 masih terlalu pekat. Seharusnya KMnO4 diencerkan lagi namun karena keterbatasan waktu dalam praktikum hal ini tidak sempat dilakukan.

Konsentrasi Fe (II) yang didapat dengan menggunakan KMnO4 0,1159 N adalah 0,0454 N.

23

MODUL VI ARGENTOMETRI Penentuan Kadar Klorida Secara Argentometri (Metoda Mohr)

I. PRINSIP PERCOBAANTitrasi Argentometri merupakan titrasi langsung dengan melibatkan pembentukan endapan dari garam yang tidak mudah larut antara titrant dan analit.

II. TUJUAN PERCOBAAN

Menetapkan kadar Klorida dengan metode Argentometri dengan menggunakan larutan AgNO3 sebagai larutan standarnya dan K2CrO4 sebagai indikatornya.

III. TEORI DASARTitrasi pengendapan merupakan titrasi yang melibatkan pembentukan endapan dari garam yang tidak mudah larut antara titrant dan analit. Hal dasar yang diperlukan dari titrasi jenis ini adalah pencapaian keseimbangan pembentukan yang cepat setiap kali titran ditambahkan pada analit, tidak adanya interferensi yang menggangu titrasi, dan titik akhir titrasi yang mudah diamati.

24

Salah satu jenis titrasi pengendapan yang sudah lama dikenal adalah melibatkan reaksi pengendapan antara ion halida (Cl-, I-, Br-) dengan ion perak Ag+. Titrasi ini biasanya disebut sebagai Argentometri yaitu titrasi penentuan analit yang berupa ion halida (pada umumnya) dengan menggunakan larutan standar perak nitrat AgNO3. Titrasi Argentometri tidak hanya dapat digunakan untuk menentukan ion halida akan tetapi juga dapat dipakai untuk menentukan Merkaptan (thioalkohol), Asam Lemak, dan beberapa anion divalent seperti ion Fosfat PO43- dan ion Arsenat AsO43-. Dasar titrasi Argentometri adalah pembentukan endapan yang tidak mudah larut antara titran dengan analit. Sebagai contoh yang banyak dipakai adalah titrasi penentuan NaCl dimana ion Ag+ dari titran akan bereaksi dengan ion Cl- dari analit membentuk garam yang tidak mudah larut AgCl. Ag(NO3)(aq) + NaCl(aq) AgCl(s) + NaNO3(aq)

Setelah semua ion klorida dalam analit habis maka kelebihan ion perak akan bereaksi dengan indikator. Indikator yang dipakai biasanya adalah ion kromat CrO42- dimana dengan indikator ini ion perak akan membentuk endapan berwarna coklat kemerahan sehingga titik akhir titrasi dapat diamati. Indikator lain yang bisa dipakai adalah tiosianida dan indikator adsorbsi. Berdasarkan jenis indicator dan teknik titrasi yang dipakai maka titrasi argentometri dapat dibedakan atas Argentometri dengan metode Mohr, Volhard, atau Fajans. Selain menggunakan jenis indikator diatas maka kita juga dapat menggunakan metode potensiometri untuk menentukan titik ekivalen. Ketajaman titik ekivalen tergantung dari kelarutan endapan yang terbentuk dari reaksi antara analit dan titrant. Endapan dengan kelarutan yang kecil akan menghasilkan kurva titrasi argentometri yang memiliki kecuraman yang tinggi sehingga titik ekivalen mudah ditentukan, akan tetapi endapan dengan kelarutan rendah akan menghasilkan kurva titrasi yang landai sehingga titik ekivalen agak sulit ditentukan. Hal ini analog dengan kurva titrasi antara asam kuat dengan basa kuat dan anatara asam lemah dengan basa kuat.

25

Ada beberapa metode dalam titrasi argentometri yang dibedakan berdasarkan indikator yang digunakan pada penentuan titik akhir titrasi, antara lain :

1.

Metode Mohr

Metode Mohr biasanya digunakan untuk menitrasi ion halida seperti NaCl, dengan AgNO3 sebagai titran dan K2CrO4 sebagai indikator. Titik akhir titrasi ditandai dengan adanya perubahan warna suspensi dari kuning menjadi kuning coklat. Perubahan warna tersebut terjadi karena timbulnya Ag2CrO4, saat hamper mencapai titik ekivalen, semua ion Clhamper berikatan menjadi AgCl. Larutan standar yang digunakan dalam metode ini, yaitu AgNO3, memiliki normalitas 0,1 N atau 0,05 N. Indikator menyebabkan terjadinya reaksi pada titik akhir dengan titran, sehingga terbentuk endapan yang berwarna merah-bata, yang menunjukkan titik akhir karena warnanya berbeda dari warna endapan analat dengan Ag+. Pada analisa Cl- mula-mula terjadi reaksi: Ag+(aq) + Cl-(aq) 2Ag+(aq) + CrO4(aq) AgCl(s) Ag2CrO4(s)

Sedang pada titik akhir, titran juga bereaksi menurut reaksi:

Pengaturan pH sangat perlu, agar tidak terlalu rendah ataupun tinggi. Bila terlalu tinggi, dapat terbentuk endapan AgOH yang selanjutnya terurai menjadi Ag2O sehingga titran terlalu banyak terpakai. 2Ag+(aq) + 2OH-(aq) 2AgOH(s) Ag2O(s) + H2O(l) Bila pH terlalu rendah, ion CrO4- sebagian akan berubah menjadi Cr2O72- karena reaksi Yang mengurangi konsentrasi indikator dan menyebabkan tidak timbul endapannya atau sangat terlambat. 2H+(aq) + 2CrO42-(aq) Cr2O72- +H2O(l)

Selama titrasi Mohr, larutan harus diaduk dengan baik. Bila tidak, maka secara lokal akan terjadi kelebihan titrant yang menyebabkan indikator mengendap sebelum titik ekivalen tercapai, dan dioklusi oleh endapan AgCl yang terbentuk, kemudian akibatnya ialah bahwa titik akhir menjadi tidak tajam.

26

2.

Metode Volhard

Metode Volhard menggunakan NH4SCN atau KSCN sebagai titrant, dan larutan Fe3+ sebagai indikator. Sampai dengan titik ekivalen harus terjadi reaksi antara titrant dan Ag, membentuk endapan putih. Ag+(aq) + SCN-(aq) AgSCN(s) (putih)

Sedikit kelebihan titrant kemudian bereaksi dengan indikator, membentuk ion kompleks yang sangat kuat warnanya (merah), yang larut dan mewarnai larutan yang semula tidak berwarna. SCN-(aq) + Fe3+(aq) FeSCN2+(aq) Karena titrantnya SCN- dan reaksinya berlangsung dengan Ag+, maka dengan cara Volhard, titrasi langsung hanya dapat digunakan untuk penentuan Ag+ dan SCN- sedang untuk anionanion lain harus ditempuh cara titrasi kembali: pada larutan X- ditambahkan Ag+ berlebih yang diketahui pasti jumlah seluruhnya, lalu dititrasi untuk menentukan kelebihan Ag+. Maka titrant selain bereaksi dengan Ag+ tersebut, mungkin bereaksi pula dengan endapan AgX: Ag+(aq) (berlebih) + X- (aq) Ag+(aq) (kelebihan) + SCN- (aq) (titrant) SCN-(aq) + AgX (s) AgX(s) AgSCN(s) X-(aq) + AgSCN(aq)

Bila hal ini terjadi, tentu saja terdapat kelebihan titrant yang bereaksi dan juga titik akhirnya melemah (warna berkurang). Konsentrasi indikator dalam titrasi Volhard juga tidak boleh sembarang, karena titrant bereaksi dengan titrat maupun dengan indikator, sehingga kedua reaksi itu saling mempengaruhi. Penerapan terpenting cara Volhard ialah untuk penentuan secara tidak langsung ion-ion halogenida: perak nitrat standar berlebih yang diketahui jumlahnya ditambahkan sebagai contoh, dan kelebihannya ditentukan dengan titrasi kembali dengan tiosianat baku. Keadaan larutan yang harus asam sebagai syarat titrasi Volhard merupakan keuntungan dibandingkan dengan cara-cara lain penentuan ion halogenida karena ion-ion karbonat, oksalat, dan arsenat tidak mengganggu sebab garamnya larut dalam keadaan asam.27

3. Metode Fajans Dalam titrasi Fajans digunakan indikator adsorpsi. Indikator adsorpsi ialah zat yang dapat diserap pada permukaan endapan (diadsorpsi) dan menyebabkan timbulnya warna. Penyerapan ini dapat diatur agar terjadi pada titik ekivalen, antara lain dengan memilih macam indikator yang dipakai dan pH. Cara kerja indikator adsorpsi ialah sebagai berikut: indikator ini ialah asam lemah atau basa lemah organik yang dapat membentuk endapan dengan ion perak. Misalnya fluoresein yang digunakan dalam titrasi ion klorida. Dalam larutan, fluoresein akan mengion (untuk mudahnya ditulis HFl saja). HFl(aq) H+(aq) +Fl-(aq) Ion Fl- inilah yang diserap oleh endapan AgX dan menyebabkan endapan berwarna merah muda. Karena penyerapan terjadi pada permukaan, dalam titrasi ini diusahakan agar permukaan endapan itu seluas mungkin supaya perubahan warna yang tampak sejelas mungkin, maka endapan harus berukuran koloid. Penyerapan terjadi apabila endapan yang koloid itu bermuatan positif, dengan perkataan lain setelah sedikit kelebihan titrant (ion Ag+).

Pada tahap-tahap pertama dalam titrasi, endapan terdapat dalam lingkungan dimana masih ada kelebihan ion X- dibanding dengan Ag+; maka endapan menyerap ion-ion X- sehingga butiran-butiran koloid menjadi bermuatan negatif. Karena muatan Fl- juga negatif, maka Fltidak dapat ditarik atau diserap oleh butiran-butiran koloid tersebut. Makin lanjut titrasi dilakukan, makin kurang kelebihan ion X-; menjelang titik ekivalen, ion X- yang terserap endapan akan lepas kembali karena bereaksi dengan titrant yang ditambah saat itu, sehingga muatan koloid makin berkurang negatif. Pada titik ekivalen tidak ada kelebihan X- maupun Ag+; jadi koloid menjadi netral. Setetes titrant kemudian menyebabkan kelebihan Ag+. Ionion Ag+ ini diserap oleh koloid yang menjadi positif dan selanjutnya dapat menarik ion Fl dan menyebabkan warna endapan berubah mendadak menjadi merah muda. Pada waktu bersamaan sering juga terjadi penggumpalan koloid, maka larutan yang tadinya berwarna keruh juga menjadi jernih atau lebih jernih. Fluoresein sendiri dalam larutan berwarna hijau

28

kuning, sehingga titik akhir dalam titrasi ini diketahui berdasar ketiga macam perubahan diatas, yakni: Endapan yang semula putih menjadi merah muda dan endapan kelihatan menggumpal Larutan yang semula keruh menjadi lebih jernih Larutan yang semula kuning hijau hampir-hampir tidak berwarna lagi.

Suatu kesulitan dalam menggunakan indikator adsorpsi ialah, bahwa banyak diantara zat warna tersebut membuat endapan perak menjadi peka terhadap cahaya (fotosensifitasi) dan menyebabkan endapan terurai. Titrasi menggunakan indikator adsorpsi biasanya cepat, akurat dan terpercaya. Sebaliknya penerapannya agak terbatas karena memerlukan endapan berbentuk koloid yang juga harus dengan cepat.

29

IV. ALAT DAN BAHAN PERCOBAAN1. ALAT PERCOBAAN a. Erlenmeyer 250 mL b. Buret 50 mL c. Statif d. Klem e. Labu Ukur 100 mL f. Pipet Gondok 10 mL g. Gelas Kimia 250 mL h. Corong Kaca i. Botol Semprot

2. BAHAN PERCOBAAN

a. AgNO3 0,1 N b. K2CrO4 5% c. Larutan NaCl d. Aquades

30

V.

PROSEDUR PERCOBAAN

1. Pipet 10 mL larutan NaCl ke dalam labu ukur 100 mL, encerkan sampai tanda batas, homogenkan 2. Pipet 10 mL larutan tersebut ke dalam Erlenmeyer 250 mL. 3. Tambahkan 1 mL indicator K2CrO4 5%. 4. Masukan larutan AgNO3 0,1 N ke dalam Buret yang telah diatur dioperasikan. 5. Titrasi larutan NaCl dalam Erlenmeyer dengan larutan AgNO3 dari Buret sampai terjadi warna kemerah-merahan yang tidak hilang. Catat volume AgNO3 yang diperlukan. 6. Lakukan pengerjaan titrasi secara triplo, agar volume AgNO3 konstan. 7. Hitung konsentrasi larutan NaCl. posisinya, agar siap

VI. PENGAMATAN

10 mL sampel diencerkan kedalam labu ukur 100 mL, kemudian dipipet 10 mL untuk dititrasi. Konsentrasi AgNO3 0,1 N, diencerkan 10 kali karena terlalu pekat. Konsentrasi menjadi 0,01 N.

Hasil Titrasi No 1 2 3 Volume sampel (mL) 10 10 10 Rata-rata volume AgNO3 Volume AgNO3 (mL) 10,60 10,60 10,60 10,60

31

Perhitungan : Untuk mengetahui konsentrasi NaCl digunakan rumus:

VNaCl x NNaCl = VAgNO3 x NAgNO3 10 mL x NNaCl = 10,60 mL x 0,01 N NNaCl = (0,01 N x 10,60 mL) / 10 mL NNaCl = 0,0106 N Konsentrasi Cl = (Ar Cl / BM NaCl) x NNaCl = ( 35,5 / 58,5) x 0,0106 N = 0,0064 N

Reaksi :

NaCl(l) + AgNO3(l)

AgCl + NaNO3(l)

VII.

KESIMPULAN

Metoda analisis Argentometri merupakan metoda analisis yang didasari atas reaksi pengendapan dengan Perak Nitrat (AgNO3) sebagai larutan standar. Cara ini biasanya digunakan dalam penentuan kadar unsur halogen dari suatu senyawa. Pada umumnya sering digunakan dalam penetuan kadar Klorida (NaCl). Konsentrasi NaCl yang didapat pada percobaan diatas adalah 0,0106 N dan konsentrasi Cl adalah 0,0064 N.

32

MODUL VII KOMPLEKSOMETRI

I. PRINSIP PERCOBAANTitrasi Kompleksometri merupakan titrasi langsung yang berdasarkan pada pembentukan senyawa kompleks. Reaksi pembentukan kompleks antara EDTA dan ion logam mendasari metode ini. EDTA merupakan jenis titrant yang banyak dipakai untuk titrasi kompleksometri dan bereaksi dengan banyak logam, reaksinya dapat dikontrol dengan mengontrol pH larutan.

II. TUJUAN PERCOBAAN Menentukan konsentrasi EDTA Menentukan konsentrasi Ca Menentukan konsentrasi Mg

III. TEORI DASAR Titrasi kompleksometri adalah analisa volumetri yang berdasarkan pada pembentukan senyawa kompleks. Pembentukan kompleks yang stabil sangat diperlukan selama proses titrasi berlangsung. Titrasi kompleksometri ini berkembang setelah ditemukannya senyawa pembentuk kompleks yang stabil diantaranya Etilendiamintertaasetat (EDTA) dan penemuan indikator logam yang sangat khass untuk logam. EDTA dengan umus kimianya :

33

Atau dapat ditulis H4Y, yang dalam percobaan selalu dipakai dalam bentuk garamnya dengan NaOH membentuk NaH3Y yang hanya sedikit larut dalam air, sedangkan Na2H2Y larut baik dalam air. Selama titrasi berlangsung suatu ion logam dengan Na2H2Y, selalu terjadi ion H+ seperti dibawah ini : Mg2+ + H2Y2- MgY2- + 2H+ Ca2+ + H2Y2- CaY2- + 2H+ Al3+ + H2Y-2 AlY- + 2H+ Th4+ + H2Y2- THY + 2H+ Secara umum dapat ditulis : Mn+ + H2Y2- MY(n-4) + 2 H+ terjadinya ion H+ selama titrasi mempengaruhi pH larutan dan untuk mencegah perubahan pH larutan harus ditambahkan buffer. Kompleks EDTA dengan logam umumnya mempunyai perbandingan 1:1 dan melarut baik dalam air yang tidak memberikan warna atau tidak berwarna. Kompleks yang terjadi disebut dengan kompleks sempit. EDTA yang diperdagangkan dalam bentuk garam dinatriumnya atau Na2H2Y.2H2O, dengan nama dagang Trilon B, Complexon III dll. Titik akhir titrasi dapat dicapai dengan menggunakan indikator logam yang khas untuk berbagai logam. Dalam percobaan akan dicobakan pada reaksi pembentukan kompleks EDTA ntuk penentuan Ca menggunakan indikator Mureksid dan Mg menggunakan indikator Erichrome Black T (EBT).

Struktur Mureksid atau garam amonium dari asam purpurat dengan struktur kimianya

34

EBT asan berbasa tiga yang dapat ditulis H3In. Perubahan warna asam-basa dari EBT dapat ditulis :

pH 6.3 H2In (merah) HIn2(biru)

pH 11.6 In3(jingga)

Pada pH sekitar 10 EBT berwarna biru (HIn2-), yang bereaksi dengan magnesium membentuk kompleks berwarna merah. Mg2+ + HIn2- MgIn- + H+ Kompleks MgIn- lebih lemah pada MgY2-, dengan demikian kelebihan EDTA akan mengikat Mg membentuk ompleks Mg-EDTA dari MgIn MgIn- + H2Y2merah MgY2- + HIn2- + H+ biru

tak berwarna

Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan kompleks, yaitu : a. Kemampuan mengkompleks logam-logam. Kemampuan mengkompleks relative dari logam-logam digambarkan dengan baik menurut klarifikasi Schwarzenbach, yang dalam garis besarnya didasarkan atas pembagian logam menjadi asam Lewis (penerima pasangan electron. b. Ciri-ciri khas ligan itu. Di antara ciri-ciri khas ligan yang umum diakui sebagai mempengaruhi kestabilan kompleks dalam mana ligan itu terlibat, adalah : kekuatan basa dari ligan itu, sifat-sifat penyepitan (jika ada) efek-efek sterik (ruang).

35

Keinertan atau kelabilan kinetik dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi pengamatan umum berikut ini merupakan pedoman yang baik akan perilaku kompleks-kompleks dari berbagai unsur, yaitu diantaranya : Unsur grup utama, biasanya membentuk kompleks-kompleks labil. Dengan kekecualian Cr(III) dan Co(III), kebanyakan unsur transisi baris-pertama, membentuk kompleks-kompleks labil. Unsur transisi baris kedua dan baris ketiga, cenderung membentuk kompleks-kompleks inert. Suatu reaksi kompleks dapat dipakai dalam pentiteran apabila: Kompleks cukup memberikan perbedaan pH yang cukup besar pada daerah titik setara. Terbentuknya cepat. Kesalahan titrasi kompleksometri tergantung pada cara yang dipakai untuk mengetahui titik akhir. Pada prinsipnya ada dua cara, yaitu kelebihan titran yang pertama ditunjukkam atau berkurangnya konsentrasi komponen tertentu sampai batas yang ditentukan, dideteksi. 1. 2. Kesalahan titrasi dihitung dengan cara yang sama pada titrasi pengendapan. Digunakan senyawa yang membentuk senyawa kompleks yang berwarna tajam dengan logam yang ditetapkan. Warna ini hilang atau berubah sewaktu logam telah diikat menjadi kompleks yang lebih stabil. Misalnya EDTA.

36

IV. ALAT DAN BAHAN PERCOBAAN

1. Alat Percobaan a. Erlenmeyer 250 mL b. Buret 50 mL c. Statif d. Klem e. Labu Ukur 100 mL f. Pipet Gondok 10 & 25 mL

g. Gelas Kimia 250 mL h. Corong Kaca i. Botol Semprot

2. Bahan Percobaan a. Larutan Sampel Ca dan Mg b. EDTA c. ZnSO4 1 N d. Buffer Salmiak e. Murexsid f. EBT g. Aquadest h. Kertas pH universal

37

V. PROSEDUR PERCOBAAN

A.

Standarisasi EDTA dengan larutan ZnSO4 1. Pipet 10 mL larutan ZnSO4 1 N ke dalam labu ukur 100 mL, encerkan sampai tanda batas, homogenkan. 2. Pipet 25 mL larutan tersebut ke dalam Erlenmeyer 250 mL. 3. Tambahkan 10 mL Buffer Salmiak, atur pH sampai 10. 4. Tambahkan 5 tetes indikator EBT. 5. Titrasi larutan ZnSO4 dalam Erlenmeyer dengan larutan EDTA dari Buret sampai terjadi perubahan warna dari merah merjadi warna biru. 6. Lakukan pengerjaan titrasi secara triplo, agar volume EDTA konstan.

7. Hitung konsentrasi larutan EDTA. Penentuan Kadar Ca2+ dan Mg2+ Dalam Sampel

B.

1. Pipet 10 mL larutan sampel yang mengandung Ca dan Mg ke dalam labu ukur 100 mL, encerkan sampai tanda batas, homogenkan. 2. Pipet 10 mL larutan sampel tersebut ke dalam Erlenmeyer 250 mL. 3. Tambahkan 10 mL Buffer Salmiak, atur pH sampai 10. 4. Tambahkan 5 tetes indikator EBT. 5. Titrasi dengan EDTA sampai muncul warna biru. 6. Lakukan pengerjaan titrasi secara triplo, agar volume EDTA konstan. 7. Hitung kadar total Ca dan Mg. 8. Pipet 10 mL larutan sampel ke dalam Erlenmeyer 250 mL. 9. Tambahkan 10 mL Buffer Salmiak, atur pH sampai 12. 10. Tambahkan 5 mg indikator mureksid. 11. Titrasi dengan EDTA sampai muncul warna merah anggur. 12. Lakukan pengerjaan titrasi secara triplo, agar volume EDTA konstan. 13. Hitung kadar Ca dan akhirnya dapat ditentukan kadar Mg.38

VI. PENGAMATAN

A. Standarisasi EDTA dengan larutan ZnSO4 Konsentrasi ZnSO4 Konsentrasi awal = 0,1 N

Volume pemipetan = 10 mL Volume labu ukur = 100 mL 10 mL ZnSO4 0,1 N diencerkan menjadi 100 mL, maka konsentrasi ZnSO4 menjadi : V1 x N1 = V2 x N2 10 mL x 0,1 N = 100 mL x N2 N2 = (10 mL x 1N) / 100 mL = 0,01 N

EDTA 0,1 M dipipet 10 mL kemudian diencerkan samapai 100 mL

No 1 2 3

Volume ZnSO4 (mL) 25 25 25 Rata-rata volume ZnSO4

Volume EDTA (mL) 14,80 14,90 14,95 14,88

Perhitungan:

Konsentrasi EDTA adalah : V ZnSO4 x N ZnSO4 = V EDTA x N EDTA 25 mL x 0,01 N = 14,88 mL x N EDTA N EDTA = (25 mL x 0,01 N) / 14,88 mL39

= 0,0168 N B. Penentuan Kadar Ca2+ dan Mg2+ Dalam Sampel Hasil Titrasi 1 (Penentuan Kadar Total Ca dan Mg)

No 1 2 3

Volume sampel (mL) 25 25 25 Rata-rata volume sampel

Volume EDTA (mL) 1,90 1,90 1,95 1,92

Reaksi : Ca2+ + MgY2- CaY2- + Mg2+ Mg2+ + HD2- MgD- + H+ Ca2+ + H2Y2- CaY2- + 2H+ MgD-(merah anggur) + H2Y2- MgY2- + HD2-(biru) + H+

Hasil Titrasi 2 (Penentuan Kadar Ca)

No 1 2 3

Volume sampel (mL) 25 25 25 Rata-rata volume sampel

Volume EDTA (mL) 1,30 1,35 1,35 1,33

Reaksi : Ca2+ + H2In3- CaIn3- + 2H+ Ca2+ + H2Y2- CaY2- + 2H+

40

CaIn3-(merah) + H2Y2- CaY2- + H2In3-(biru ungu) Perhitungan :

Volume untuk Mg = 1,92 mL 1,33 mL = 0,59 mL

Konsentrasi Ca dalam sampel V1 x N1 = V2 N2 1,33 mL x 0,0168 N = 25 mL x N2 N2 = (1,33 mL x 0,0168 N) / 25 mL = 0,0009 N

Konsentrasi Mg dalam sampel V1 x N1 = V2 x N2 0,59 mL x 0,0168 N = 25 mL x N2 N2 = (0,59 mL x 0,0168 N) / 25 mL N2 = 0,0004 N

41

VII. KESIMPULAN

Konsentrasi EDTA yang di peroleh setelah pengenceran adalah 0,0168 N Konsentrasi Ca2+ adalah 0,0009 N Konsentrasi Mg2+ adalah 0,0004 N

42

DAFTAR PUSTAKA Christian,Analytical Chemistry, Fifth Edition, Jhon Wiley and Son Inc, New York, 1994. Hamilton,Calculation of Analytical Chemistry, Seventh Edition, Mc.Graw-Hill Book Company, New York, 1954. Underwood, A.L.,Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi kelima, Erlangga, Jakarta, 1989. Vogel, A.L.,A text Book of Quantitative Inorganic Analysis, Fourth Edition, Langman Group Limited, London, 1978. Modul,Penuntun Praktikum Kimia Analitik II, Rusvirman Muchtar Drs.Msc and Hernandi Sudjono.Ssi, Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia UNJANI, 2007.

43

MODUL V IODOMETRI (PENENTUAN KADAR TEMBAGA (Cu) SECARA IODOMETRI Prinsip percobaan Sejumlah tertentu larutan K2Cr2O7 standar direduksi dengan KI berlebih. I2 yang terbentuk dititrasi dengan larutan Na2S2O3 yang akan ditentukan konsentrasinya pada suasana asam dengan menggunakan indikator amilum. TA ditunjukan dengan warna biru tapat hilang. Pada TE berlaku mEk K2Cr2O7 = mEk I2 = mEK Na2S2O3 sehingga konsentrasi Na2S2O3 dapat dihitung. Tujuan percobaan a. Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat bereaksi dengan I- (iodide) untuk menghasilkan I2, I2 yang terbentuk secara kuantitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Dari pengertian diatas maka titrasi iodometri adalah dapat dikategorikan sebagai titrasi kembali. Iodida adalah reduktor lemah dan dengan mudah akan teroksidasi jika direaksikan dengan oksidator kuat. Iodida tidak dipakai sebagai titrant hal ini disebabkan karena factor kecepatan reaksi dan kurangnya jenis indicator yang dapat dipakai untuk iodide. Oleh sebab itu titrasi kembali merubakan proses titrasi yang sangat baik untuk titrasi yang melibatkan iodide. Senyawaan iodide umumnya KI ditambahkan secara berlebih pada larutan oksidator sehingga terbentuk I2. I2 yang terbentuk adalah equivalent dengan jumlah oksidator yang akan ditentukan. Jumlah I2 ditentukan dengan menitrasi I2 dengan larutan standar tiosulfat (umumnya yang dipakai adalah Na2S2O3) dengan indicator amilum jadi perubahan warnanya dari biru tua kompleks amilum-I2 sampai warna ini tepat hilang. Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut:44

IO3- + 5 I- + 6H+ -> 3I2 + H2O I2 + 2 S2O32- -> 2I- + S4O62Setiap mmol IO3- akan menghasilkan 3 mmol I2 dan 3 mmol I2 ini akan tepat bereaksi dengan 6 mmol S2O32- (ingat 1 mmol I2 tepat bereaksi dengan 2 mmol S2O32-) sehingga mmol IO3- ditentukan atau setara dngan 1/6 mmol S2O32-. Mengapa kita menitrasi langsung antara tiosulfat dengan analit? Beberapa alasan yang dapat dijabarkan adalah karena analit yang bersifat sebagai oksidator dapat mengoksidasi tiosulfat menjadi senyawaan yang bilangan oksidasinya lebih tinggi dari tetrationat dan umumnya reaksi ini tidak stoikiometri. Alasa kedua adalah tiosulfat dapat membentuk ion kompleks dengan beberapa ion logam seperti Besi(II). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi Iodometri adalah sebagai berikut: Penambahan amilum sebaiknya dilakukan saat menjelang akhir titrasi, dimana hal ini ditandai dengan warna larutan menjadi kuning muda (dari oranye sampai coklat akibat terdapatnya I2 dalam jumlah banyak), alasannya kompleks amilum-I2 terdisosiasi sangat lambat akibatnya maka banyak I2 yang akan terabsorbsi oleh amilum jika amilum ditambahkan pada awal titrasi, alasan kedua adalah biasanya iodometri dilakukan pada media asam kuat sehingga akan menghindari terjadinya hidrolisis amilum Titrasi harus dilakukan dengan cepat untuk meminimalisasi terjadinya oksidasi iodide oleh udara bebas. Pengocokan pada saat melakukan titrasi iodometri sangat diwajibkan untuk menghindari penumpukan tiosulfat pada area tertentu, penumpukkan konsentrasi tiosulfat dapat menyebabkan terjadinya dekomposisi tiosulfat untuk menghasilkan belerang. Terbentuknya reaksi ini dapat diamati dengan adanya belerang dan larutan menjadi bersifat koloid (tampak keruh oleh kehadiran S). S2O32- + 2H+ -> H2SO3 + S

45

Pastikan jumlah iodide yang ditambahkan adalah berlebih sehingga semua analit tereduksi dengan demikian titrasi akan menjadi akurat. Kelebihan iodide tidak akan mengganggu jalannya titrasi redoks akan tetapi jika titrasi tidak dilakukan dengan segera maka I- dapat teroksidasi oleh udara menjadi I2. Bagaimana menstandarisasi larutan tiosulfat? Tiosulfat yang dipakai dalam titrasi iodometri dapat distandarisasi dengan menggunakan senyawa oksidator yang memiliki kemurnian tinggi (analytical grade) seperti K2Cr2O7, KIO3, KBrO3, atau senyawaan tembaga(II). Bila digunakan Cu(II) maka pH harus dibuffer pada pH 3 dan dipakai tiosianat untuk masking agent, KSCN ditambahkan pada waktu mendektitik akhir titrasi dengan tujuan untuk menggantikan I2 yang teradsorbsi oleh CuI. Bila pH yang digunakan tinggi maka tembaga(II) akan terhidrolisis dan akan terbentuk hidroksidanya. Jika keasaman larutan sangat tinggi maka cenderung terjadi reaksi I- sebagai akibat adanya Cu(II) dalam larutan yang megkatalis reaksi tersebut. Beberapa contoh reaksi iodometri adalah sebagai berikut 2MnO4- + 10 I- + 16 H+ 2Mn2+ + 5 I2 + 8H2O Cr2O72- + 6I- 14 H+ 2Cr3+ + 3 I2 + 7H2O 2Fe3+ + 2I- 2Fe2+ + I2 2 Ce4+ + 2I- 2Ce3+ + I2 Br2 + 2I- 2Br- + I2 Alat dan bahan 1. Buret 50 mL 2. Erlenmeyer 250 mL 3. Labu ukur 100 mL46

4. Pipet gondok 10 mL 5. Labu semprot Bahan 1. Na2S2O3 0.1 N 2. K2Cr2O7 1.0 N 3. KI padat (bebas iodat) 4. Amilum / kanji 5. CuSO4

Cara kerja : A. Standarisasi larutan thiosulfat 1. Pipet 10 mL larutan K2Cr2O7 1.0 N ke dalam labu ukur 100 mL, encerkan sampai tanda batas dan homogenkan. 2. Pipet 10 mL larutan tersebut ke dalam erlenmeyer secara triplo. 3. Tambahkan 1-2 gram KI (bebas iodat)dan 1 mL HCl pekat. 4. Titrasi sesegera mungkin dengan larutan thiosulfat sampai warna kuning. 5. Tambahkan 1 mL larutan kanji, sehingga warna akan menjadi biru 6. Lanjutkan titrasi dengan thiosulfat sampai warna biru tepat hilang. 7. Hitung konsentrasi thiosulfat. B. Penentuan konsentrasi tembaga (Cu) 1. Pipet 10 mL larutan CuSO4 ke dalam labu ukur 100 mL, encerkan sampai tanda batas, homogenkan. 2. Pipet 10 mL larutan tersebut ke dalam erlenmeyer secara triplo. 3. Tambahkan 1-2 gram KI (bebas iodat) dan 1 mL HCl pekat 4. Titrasi sesegera mungkin dengan larutan thiosulfat sampai warna kuning. 5. Tambahkan 1 mL larutan kanji, sehingga warna akan menjadi biru. 6. Lanjutkan titrasi dengan thiosulfat sampai warna biru tepat hilang. 7. Hitung konsentrasi tembaga (Cu).

47