Upload
regina-pramudita
View
219
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7/27/2019 LAPORANRANRAN
1/7
Laporan Praktikum Nama : Regina Pramudita K.
Mikrobiologi NIM : J3L111026
Kelas : 2 KIM C - P2
Kelompok : 2 (dua)
Hari/Tanggal : Jumat/ 21 Desember 2012
Waktu : 13.0016.20 WIB
Asisten : Ebta Bramada
Genny Angelia
PJP : M. Arif Mulya, S.Pi
TEKNIK MOLEKULER:
Ekstraksi DNA, Metode PCR, dan Elektroforesis
Data Hasil Pengamatan
Gambar 1 Elektroforesis DNA hasil amplifikasi PCREscherichia colli,
Staphylococcus haemolyticus dan Staphylococcus epidermidis strains
(suhu annealing= 49oC)
Gambar 2 DNA hasil amplifikasi PCREscherichia colli
dan Staphylococcus aureus(suhu annealing= 55oC)
Pembahasan
Ekstraksi DNA. Prinsip dari ekstraksi DNA ialah memisahkan DNA
kromosom atau DNA genom dari komponen-komponen sel lain. Genom primeryang digunakan ialah 16s RNA, hal itu disebabkan karena DNA 16s RNA
7/27/2019 LAPORANRANRAN
2/7
merupakan genom universal atau hampir semua makhluk hidup memiliki genom
primer ini. Tahap pertama dalam isolasi DNA adalah proses perusakan atau
penghancuran membran dan dinding sel. Pemecahan sel (lisis) merupakan tahapan
dari awal isolasi DNA yang bertujuan untuk mengeluarkan isi sel (Birren et al.
1997). Tahap penghancuran sel atau jaringan dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu dengan cara fisik seperti menggerus sampel dengan menggunakan
mortar dan pestle dalam nitrogen cair atau dengan menggunakan metode freezing-
thawing dan iradiasi. Cara lain yang dapat dilakukan ialah dengan cara kimiawi
maupun enzimatik. Penghancuran dengan menggunakan kimiawi, seperti
penggunaan detergen dapat melarutkan lipid pada membran sel, sehingga akan
terjadi destabilisasi membran sel (Surzycki 2000). Sedengakan dengan cara
enzimatik dapat dilakukan dengan menggunakan proteinase K yang bertujuan
untuk melisis membran sel darah serta mendegradasi protein globular maupun
rantai polipeptida dalam komponen sel (Surzycki 2000). Proses lisismenggunakan detergen, sering dilakukan dengan menggunakan sodium dodecyl
sulphate (SDS) sebagai tahap pelisisan membran sel. Detergen selain berperan
dalam melisis membran sel, juga berperan dalam mengurangi aktivitas enzim
nuklease yang merupakan enzim pendegradasi DNA. Selain digunakan SDS,
detergen lain yang sering digunakan dalam pada isolasi DNA tumbuhan ialah
cetyl trimethylammonium bromide (CTAB). Dalam penggunaan buffer CTAB
sering juga ditambahkan reagen-reagen lain, seperti NaCl, EDTA, Tris-HCl, dan
2-mercaptoethanol. NaCl berfungsi untuk menghilangkan polisakarida, sedangkan
2-mercaptoethanol befungsi untuk menghilangkan kandungan senyawa polifenoldalam sel tumbuhan. Kemampuan 2-mercaptoethanol dalam menghilangkan
polifenol di dalam sel tanaman, dilakukan dengan cara membentuk ikatan
hidrogen dengan senyawa polifenol yang kemudian akan terpisah dengan DNA.
Konsentrasi dan pH dari buffer yang digunakan harus berada dalam rentang pH 5-
12. Larutan buffer dengan pH rendah akan mengkibatkan depurifikasi dan
mengakibatkan DNA terdistribusi ke fase fenol selama proses deproteinisasi,
sedangkan pH larutan yang tinggi (pH > 12) akan mengakibatkan pemisahan untai
ganda DNA. Fungsi larutan buffer ialah untuk menjaga struktur DNA selama
proses penghancuran dan purifikasi sehingga memudahkan dalam menghilangkan
protein dan RNA serta mencegah aktivitas enzim pendegradasi DNA dan
mencegah perubahan pada molekul DNA. Dalam pengoptimalan fungsi larutan
buffer, dibutuhkan konsentrasi, pH, kekuatan ion, dan penambahan inhibitor
DNAase dan detergen (Surzycki 2000). Tahapan ekstraksi DNA sering
menggunakan chelating agent, seperti ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA)
yang berperan dalam menginaktivasi enzim DNAse yang dapat mendenaturasi
DNA yang diisolasi dan EDTA menginaktivasi enzim nuklease dengan cara
mengikat ion magnesium dan kalsium yang dibutuhkan sebagai kofaktor enzim
DNAse. DNA yang telah diekstraksi dari dalam sel selanjutnya dipisahkan dari
kontaminan komponen penyusun sel lain, seperti polisakarida dan protein, agarDNA yang didapatkan memiliki kemurnian yang tinggi. Pemisahan DNA
7/27/2019 LAPORANRANRAN
3/7
dilakukan dengan menggunakan fenol. Fenol sering digunakan sebagai
pendenaturasi protein. Ekstraksi DNA menggunakan fenol menyebabkan protein
kehilangan kelarutannya dan mengalami presipitasi yang selanjutnya dapat
dipisahkan dari DNA melalui sentrifugasi. Selain menggunakan fenol, ekstraksi
DNA dapat juga dilakukan dengan menggunakan campuran fenol dan kloroform
atau campuran fenol, kloroform, dan isoamil alkohol untuk mendenaturasi protein.
Ekstrak DNA yang di dapat sering terkontaminasi oleh RNA, sehingga RNA
dapat dipisahkan dari DNA ekstrak dengan cara pemberian RNAse (Birren et al.
1997).
Setelah proses ekstraksi, DNA yang kemudian dipekatkan melalui
presipitasi. Proses presipitasi pada umumnya menggunakan etanol atau
isopropanol. Kedua senyawa tersebut akan mempresipitasi DNA pada fase
aqueous, sehingga DNA menggumpal dan membentuk struktur fiber dan
terbentuk pelet setelah dilakukan sentrifugasi. Presipitasi juga berfungsi untukmenghilangkan residu-residu kloroform yang berasal dari tahapan
ekstraksi. Prinsip presipitasi ialah menurunkan kelarutan asam nukleat dalam air.
Hal ini dikarenakan molekul air yang polar mengelilingi molekul DNA di larutan
aquoeus. Muatan dipol positif dari air berinteraksi dengan muatan negatif pada
gugus fosfodiester DNA. Interaksi ini meningkatkan kelarutan DNA dalam air.
Isopropanol dapat bercampur dengan air, namun kurang polar dibandingkan air.
Molekul isopropanol tidak dapat berinteraksi dengan gugus polar dari asam
nukleat, sehingga isopropanol ialah pelarut yang lemah bagi asam nukleat. Selain
itu, penambahan isopropanol akan menghilangkan molekul air dalam larutanDNA, sehingga DNA akan terpresipitasi dan penggunaan isopropanol dingin akan
menurunkan aktivitas molekul air, sehingga memudahkan presipitasi DNA. DNA
yang terpresipitasi akan terpisah dari residu-residu RNA dan protein yang masih
tersisa. Residu tersebut akan mengalami koagulasi, namun tidak membentuk
struktur fiber dan berada dalam bentuk presipitat granular. Proses presipitasi
kembali dilakukan dengan etanol atau isopropanol, sebelum pelet
dikeringanginkan yang bertujuan agar meningkatkan derajat kemurnian DNA
yang diisolasi. Pencucian kembali pelet yang dipresipitasi menggunakan etanol
dan isopropanol bertujuan untuk menghilangkan residu-residu garam yang masih
tersisa. Garam-garam yang terlibat dalam proses ekstraksi bersifat kurang larut
dalam isopropanol, sehingga dapat terpresipitasi bersama DNA. Oleh sebab itu,
dibutuhkan presipitasi kembali dengan etanol setelah presipitasi dengan
isopropanol untuk menghilangkan residu garam (Jamsari 2007).
Setelah dilakukan proses presipitasi, dilakukan pencucian dengan etanol,
maka etanol kemudian dibuang dan pelet dikeringanginkan, hal itu bertujuan
untuk menghilangkan residu etanol dari pelet DNA. Penghilangan residu etanol
dilakukan dengan cara evaporasi karena etanol mudah menguap (Surzycki 2000).
Pada tahap pencucian biasanya etanol dicampur dengan ammonium asetat yang
bertujuan untuk membantu memisahkan kontaminan yang tidak diinginkan sepertidNTP dan oligosakarida yang terikat pada asam nukleat (Jamsari 2007). Setelah
7/27/2019 LAPORANRANRAN
4/7
pelet DNA dikeringanginkan, tahap selanjutnya adalah penambahan buffer TE ke
dalam tabung yang berisi pelet dan kemudian disimpan di dalam freezer dengan
suhu sekitar -20C. Penambahan buffer TE dan penyimpanan suhu pada -20C
bertujuan agar sampel DNA yang telah diekstraksi dapat disimpan hingga waktu
berminggu-minggu.
Amplifikasi DNA dengan PCR. Proses amplifikasi DNA dengan PCR
bertujuan untuk memperbanyak DNA yang melibatkan serangkaian siklus
temperatur yang berulang dan masing-masing siklus terdiri atas tiga tahapan.
Tahapan pertama ialah denaturasi cetakan DNA (DNA template) pada temperatur
94o-96oC, yaitu pemisahan utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal. Kemudian,
dilakukan penurunan temperatur pada tahap kedua sampai 45o -60oC yang
memungkinkan terjadinya penempelan (annealing) atau hibridasi antara
oligonukleotida primer uts tunggal cetakan DNA. Tahap terakhir ialah tahap
ekstensi atau elongasi, yaitu pemanjangan primer menjadi satu utas DNA baruoleh enzim DNA polymerase. Proses amplifikasi DNA dengan PCR dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3 Amplifikasi DNA dengan PCR (Wirohadidjojo 1991)
Elektroforesis. Elektroforesis ialah metode untuk memisahkan DNA pada
media gel berpori yang dikelilingi medan bermuatan positif. Pemisahan molekul
DNA ialah berdasarkan perbedaan mobilitas atau kecepatan fragmen-fragmen
DNA yang bergerak karena adanya gaya tarik atau gaya tolak partikel-partikel
(DNA) yang bermuatan. Pada proses elektroforesi, molekul-molekul dipisahkan
berdasarkan laju perpindahannya oleh gaya gerak listrik di dalam matriks gel.
Laju perpindahan tersebut bergantung pada ukuran molekul yang bersangkutan.
Berdasarkan jurnal Development of A Multiplex PCR Method for
Detection of The Genes Eencoding 16s rRNA, Coagulase, Methicillin Resistanceand Enterotoxins gen primer yang digunakan ialah primer universal 785F (5-
7/27/2019 LAPORANRANRAN
5/7
GGATTAGATACCCTGGTAGTC-3) dengan amplikon pada basa ke 800-1400
dan 802R (5-TACCAGGGTATCTAATCC-3) dengan amplikon basa ke 1-800
(Nakagawa & Kawasaki 2001; Matsuyama et al. 2008) dan ditambah dengan
Primer 1R (5-GGGCATGATGATTTGACGTC-3) yang mengamplifikasi basa
ke 600 sampai 1200, primer 2F (5-GTGAGACTGCCGGTGA CAAA-3) untuk
amplikon basa ke 1150-1500 dan primer 3R (5-
ATCAGACTTAAAAAACCGCC-3) untuk mengamplifikasi basa ke 1-600.
Primer 1R, 2F dan 3R didesain pada penelitian ini berdasarkan hasil alignment
dari susunan basa yang diperoleh hasil analisis urutan basa dengan menggunakan
primer universal 785F dan 802R. Hasil analisis urutan basa dari primer universal
universal 785F dan 802R tidak dapat sejajar (multialignment) atau terdapat gap
diantaranya, sehingga disusun primer 1R, 2F dan 3R untuk mendapatkan urutan
basa gen 16S rRNA. Suhu annealing PCR yang digunakan untuk memperoleh pita
tunggal tidak sama untuk semua bakteri. Terdapat tiga suhu annealing yangberbeda yang digunakan untuk mengamplifikasi gen 16S rRNA. Optimasi suhu
annealing dilakukan dengan berpedoman pada suhu didih (melting
temperature/Tm) yang ditentukan berdasarkan primer yang digunakan sesuai
petunjuk perusahaan produsen primer GeneDesign. Tm untuk primer 9F ialah
55,2C, sedangkan Tm pada primer 1510F ialah 49,2C. Suhu Tm 55C dan 49C
digunakan untuk proses annealing PCR yang pertama dan kedua, namun ternyata
tidak semua ekstrak genom Escherichia colli dan Staphylococcus aureus dapat
diamplifikasi sempurna dan didapatkan pita tunggal dengan suhu annealing
tersebut. Contoh hasil PCR yang menunjukkan bahwa tidak semua ekstrak genomdari semua isolat dapat diamplifikasi dengan kondisi PCR yang sama yang dapat
dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2. Kondisi suhu annealing yang tidak tepat
akan menurunkan kepekaan primer dan dapat menyebabkan salah penempelan
pada DNA template. Akibatnya, proses amplifikasi DNA menjadi tidak tepat yang
ditunjukkan dengan pita yang tidak tunggal ataupun bahkan tidak dapat
teramplifikasi dengan baik. Optimasi suhu annealing terhadap semua ekstrak
genom dilakukan dengan jalan mengatur lama dan suhu proses annealing pada
proses PCR. Amplifikasi gen melalui PCR dan elektroforesis agarosa 1% berhasil
memperoleh pita tunggal yang menunjukkan bahwa gen 16S rRNA secara spesifik
berhasil diamplifikasi dengan primer 9F dan 1541R. Gen 16S rRNA mempunyai
ukuran 1500-1550 pasang basa (pb). Melalui optimasi kondisi PCR untuk setiap
isolat, maka didapatkan tiga kondisi PCR dengan suhu annealingberbeda untuk
mengamplifikasi gen 16S rRNA hingga mendapatkan pita tunggal. Suhu
annealing dapat berbeda untuk mengamplifikasi gen 16S rRNA hingga
mendapatkan pita tunggal pada proses PCR karena kandungan basa nukleotida
adenosin (A), timin (T), guanin (G) dan sitosin (C) yang berbeda pada setiap galur
bakteri. Pada tahap perpanjangan basa atau annealing, diperlukan suhu didih yang
tepat supaya basa dapat melakukan penggandaan dengan menggunakan dNTP
yang ditambahkan pada pereaksi dengan tepat. Pada akhirnya susunan basa gen16S rRNA dapat diamplifikasi dengan sempurna dan diperoleh pita tunggal.
7/27/2019 LAPORANRANRAN
6/7
Pendekatan filogenetik merupakan sistem terbaru taksonomi bakteri.
Kekerabatan antar bakteri diketahui dengan membandingkan secara molekuler
urutan basa terutama gen 16S rRNA. Hal ini didasarkan pada: (1) gen rRNA
merupakan gen yang memiliki ketetapan yang tinggi (highly conserved) karena
merupakan jalur utama di ribosom untuk biosintesis protein yang merupakan awal
perkembangan evolusi organisme, (2) fenomena transfer gen secara horizontal
diantara organisme tidak melibatkan gen rRNA, serta (3) tingkat kemiripan urutan
basa diantara individu yang berbeda mewakili variasi genomnya. Setelah
diperoleh produk PCR yang merupakan amplifikasi gen 16S rRNA dengan
ditunjukkan oleh pita tunggal pada ukuran 1500 pasang basa, dilakukan
pemurnian produk PCR untuk menghilangkan kelebihan primer dan nukleotida
yang masih terdapat pada produk PCR. Produk PCR dapat di urutan basa dengan
baik menggunakan lima primer. Urutan basa gen 16S rRNA untuk satu isolat
berasal dari gabungan basa yang berhasil diperoleh dari sequencing dengan limaprimer. Proses selanjutnya ialah melakukan alignment atau pensejajaran urutan
basa gen 16S rRNA. Pengolahan data ini dilakukan dengan puncak urutan basa
menggunakan program perangkat lunak Clustal W. Proses ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan urutan basa yang menyandi gen 16S rRNA. Adanya
perbedaan basa menyebabkan adanya variasi genetik yang menentukan galur,
spesies, dan genus dari genom bakteri. Hasil sebagian alignment yang terdapat
conserved region (daerah yang mempunyai susunan nukleotida yang tetap atau
sama) dan divergen region yang menunjukkan variasi perbedaan urutan basa gen
16S rRNA yaitu pada susunan basa ke-900 sampai 1540 dan merupakan daerahV6-V9 dapat dilihat pada Gambar 5.6. Lodmell et al.(1995) menyatakan bahwa
daerah 900-1500 dari urutan basa gen 16S rRNA urutan posisi urutan basa
Escherichia coli merupakan daerah yang menunjukkan adanya variasi gen yang
merujuk pada perbedaan spesies dan galur dari bakteri. Beberapa peneliti
menggunakan daerah V6 V9 dari urutan basa gen 16S rRNA untuk menentukan
dan mengidentifikasi taksonomi bakteri Streptococcus dan Staphylococcus dari
hewan serta mengidentifikasi Lactobacillus dan Escherichia colli (Jonas et al.
2002).
Uji identifikasi karakteristik sifat biokimia dan fisiologi suatu bakteri juga
dapat dilakukan dengan metode konvensional dan metode KIT identifikasi.
Perbedaan pada kedua metode terletak pada hasil identifikasi bakteri yang
didapatkan. Hasil identifikasi pada metode konvensional hanya sampai tingkat
genus, sedangkan jika menggunakan metode KIT identifikasi hasil identifikasi
bakteri dapat dilakukan sampai tingkatstraindan bersifat lebih spesifik terhadap
setiap spesies bakterinya. Hal lain yang menjadi perbedaan pada metode
konvensional dan metode KIT identifikasi ialah pada metode KIT bakteri uji yang
digunakan harus berupa satu kultur murni dari bakteri tersebut, sedangkan pada
metode konvensional bakteri uji yang digunakan tidak harus berupa satu kultur
murni.
7/27/2019 LAPORANRANRAN
7/7
Simpulan
Berdasarkan jurnal Development of A Multiplex PCR Method for
Detection of The Genes Eencoding 16s rRNA, Coagulase, Methicillin Resistance
and Enterotoxins in Staphylococcus aereus disimpulkan bahwa Gen 16S rRNA
dapat diisolasi secara spesifik (pita tunggal) dengan PCR menggunakan primer
dan kondisi yang dioptimasi. Urutan basa gen 16S rRNA dapat dibaca dengan
baik pada daerah V6-V9 (600 pasang basa) dengan primer yang dirancang sendiri.
Metode PCR bersifat spesifik dan dapat diandalkan dalam pendeteksian bakteri
Staphylococcus aereusdanEscherichia collidalam produk makanan atau produk
kesehatan. Hasil pengamatan menunjukkan bakteri Staphylococcus aereus dan
Escherichia collibersifat resisten terhadap metisilin dan bersifat enterotoksin.
Daftar Pustaka
Birren et al. 1997. GenomeAnalysis: A Laboratory Manual Volume 1. New York:Cold Spring Harbour Laboratory Press.
Jamsari. 2007. Bioteknologi Pemula Prinsip Dasar dan Aplikasi Analisis
Molekuler.Riau: UNRI Press.
Jonas D., Speck M., Daschner F.D. and Grundmann H. 2002. Rapid PCR-Based
Identification of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus from
Screening Swabs. J.Clin. Microbiol. 40, 18211823.
Lodmell JS, Gutell RR, Dahlberg AE. 1995. Genetic and Comparative Analysis
Reveal an Alternative Secondary Structure in The Region of 912 of
Escherichia colli 16S rRNA. Genetic 92: 10555-10559.
Matsuyama H et al. 2008. Sphingobacterium kitahiroshimense sp.npv., isolated
from soil.Int J Sys Evol Microbiol 58 : 1576-1679.
Mehrotra M., Wang G. and Johnson W.M. 2000. Multiplex PCR for Detection of
Genes for Staphylococcus aureus Enterotoxins, Exfoliative Toxins, Toxic
Shock Syndrome Toxin 1, and Methicillin Resistance. J. Clin. Microbiol. 38:
page 10321035.
Sharma N.K., Rees C.E. and Dodd C.E. 2000. Development of a Single-Reaction
Multiplex PCR Toxin Typing Assay for Staphylococcus aureus Strains.
Appl. Environ. Microbiol. 66: page 13471353.
Surzycki S. 2000. Basic Techniques in Moleculer Biology. Springer-Verlag,
Berlin, Heidelberg, New York.
Wirohadidjojo Y. 1991. Polymerase Chain Reaction untuk Deteksi M. leprae.
Yogykarta: UGM Press.