Lapsus Anastesi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kokokokokokokokokokokokokokokokokokok,mlkmklmkmlmkmkmlmkmlk

Citation preview

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    1/31

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Nodul tiroid atau struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid. Kelenjar tiroid

    terletak tepat dibawah laring pada kedua sisi dan sebelah anterior trakea. Tiroid

    mengekskresikan dua hormon utama yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3). Kelenjar

    tiroid ini dipengaruhi oleh kecukupan asupan iodium untuk membentuk hormon tiroid.

    Resiko untuk mengalami nodul diperkirakan sebesar 5-10% dan lebih sering pada wanita

    namun keganasan pada penderita nodul tiroid ditemukan 0.004% dari total populasi.

    Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang tepat, termasuk

    dalam tindakan total tiroidectomy pada kasus multi nodul tiroid. Kata anesthesia berarti

    pembiusan yang merupakan kata yang berasal daribahasa Yunanian-"tidak, tanpa" dan

    aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Secara umum berarti suatu tindakan

    menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya

    yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anesthesia digunakan pertama kali oleh

    Oliver Wendel Holmes Srpada tahun 1846.

    Terdapat beberapa jenis anesthesia, antara lain local / infiltrasi, blok / regional,

    umum / general. Anesthesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral

    disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen

    anesthesia yang ideal terdiri dari: hipnotik (hilang kesadaran), analgesia (hilang rasa

    sakit), dan relaksasi otot.

    Persiapan prabedah harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya kesalahan

    anesthesia. Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka

    kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan

    kesehatan. Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbangsebab-sebab terjadinya kesalahan anesthesia. Dokter spesialis anesthesiaologi melakukan

    kunjungan pasien sebelum pasien dibedah untuk memantau kondisi pasien agar pasien

    dalam kondisi yang optimal pada waktu menjalani operasi. Berbagai penilaian harus

    dilakukanseperti anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

    sehingga kodisi pasien dapat dinilai.

    http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Yunanihttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Yunanihttp://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Yunanihttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Oliver_Wendel_Holmes_Sr&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Oliver_Wendel_Holmes_Sr&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Oliver_Wendel_Holmes_Sr&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Yunani
  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    2/31

    Pada saat operasi, dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat satu hingga dua

    jam sebelum induksi anesthesia. Setelah itu, dilakukan induksi anesthesia yaitu membuat

    pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan

    pembedahan. Sebelum memulai induksi anesthesia sebaiknya disiapkan peralatan dan

    obat-obatan yang diperlukan sehingga seandainya terjadi kegawatan dapat diatasi dengan

    cepat dan baik. Setelah itu rumatan anesthesia dapat dikerjakan dengan secara intravena

    atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.

    Setelah pembedahan, pemulihan dari anesthesia umum atau dari analgesia

    regional secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anesthesia (RR,

    Recovery Room atau PACU, Post Anesthesia Care Unit). Idealnya ketika pasiensadar

    secara bertahap, tanpa keluhan. Namun sering ditemukan beberapa hal akibat stres pasca

    bedah atau pasca anesthesia yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular,

    gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang perdarahan.

    1.1Rumusan Masalah

    Bagaimana tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis perforata?

    1.2Tujuan

    Untuk mengetahui tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis perforata.

    1.3Manfaat

    Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan

    pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai tatalaksanaanestesi pada appendektomi appendisitis perforata.

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    3/31

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1Manajemen Anestesi Pre-operatif

    2.1.1 Penilaian Preoperatif

    Sebelum tindakan operasi dilakukan, penting diperhatikan persiapan preoperasi

    salah satunya adalah pemeriksaan pasien sebelum dibedah sehingga dapat diketahui

    kelainan di samping kelainan yang akan dioperasi.

    Tujuannya adalah:

    1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien

    2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat

    hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa dyspneu maupun

    urtikaria).

    3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien

    4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status praoperasi

    (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)

    5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed consent)

    kepada pasien.

    6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat induksi

    (Latief dkk, 2009)

    Pemeriksaan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan

    anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio cordis.

    Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan. Kunjungan preoperasi

    pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasipreoperasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

    penunjang seperti laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dan sebagainya. Selanjutnya

    dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen

    anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent(Latief dkk, 2009).

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    4/31

    2.1.1.1 History Taking

    History taking dapat dimulai dengan menanyakan riwayat alergi terhadap

    makanan, obat-obatan dan suhu. Alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus

    dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit

    sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat

    herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat

    operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada.

    Pertanyaan tentang review sistem organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit

    atau masalah medis lain yang belum terdiagnosis.

    2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik

    Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan

    yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda

    vital (tekanan darah, nadi, laju pernapasan, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-

    paru, dan sistem muskuloskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada

    anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan

    anestesi regional.

    Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi geligi,

    tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untukdiketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk

    anestesi harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah yang

    signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah

    yang besar, makroglosia, Range of Motionyang terbatas dari Temporomandibular Joint

    atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk

    dilakukan intubasi trakeal.

    Skoring Mallampati:

    I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan

    II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula

    III.Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula

    IV.Hanya terlihat palatum durum

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    5/31

    Gambar 4.1. Kriteria Mallampati

    Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek

    samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA

    diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk

    ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA secara umum juga

    berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena underlying diseasehanyalah

    satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap komplikasi perioperatif, maka tidak

    mengherankan apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus

    fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik

    monitoring (Barash et al, 2009).

    Tabel 2.1 Klasifikasi ASA

    Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

    Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasiaktivitas sehari-hari.

    Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.

    Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun

    tanpa operasi.

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    6/31

    Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan

    operasi sebagai upaya resusitasi.

    Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil

    untuk tujuan donor

    E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas IVI diatas.

    2.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang

    Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur pasien, ada

    tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari prosedur bedah yang

    direncanakan.

    Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan

    Pemeriksaan rutin Indikasi

    Urinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi

    glukosa darah jika glukosa urine positif)

    FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun;

    semua bedah mayor

    Ureum, Creatinin, Elektrolit Bedah mayor

    ECG Umur > 50 tahun

    Foto Torak Umur > 60 tahun

    Tes fungsi hati (Liver Function

    Test)

    Bedah mayor pada pasien umur > 50

    tahun.

    Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:

    No Test Indikasi

    1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    7/31

    Penyakit ginjal

    Pasien yang menjalani kemoterapi

    2 Ureum, creatinin dan

    konsentrasi elektrolit

    Penyakit ginjal

    Penyakit metabolik misalnya; diabetes mellitus

    Nutrisi abnormal

    Riwayat diare, muntah

    Obat-obatan yang merubah keseimbangan

    elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari

    adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik,

    diuretic, antihipertensi, kortikosteroid,

    hipoglikemik agent.

    3 Konsentrasi glukosa

    darah

    Diabetes Mellitus

    Penyakit hati yang berat

    4 Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru

    kronik

    Diabetes Mellitus

    5 Chest X-ray Penyakit respirasi

    Penyakit kardiovaskuler

    6 Arterial blood gases Pasien sepsis

    Penyakit paru

    Pasien dengan kesulitan respirasi

    Pasien obesitas

    Pasien yang akan thorakotomi

    7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomi

    Penyakit paru sedang sampai berat seperti

    COPD, bronchiectasis

    8 Skreen koagulasi Penyakit hematologic

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    8/31

    Penyakit hati yang berat

    Koagulopati

    Terapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral

    (warfarin) atau heparin

    9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilier

    Riwayat penyahgunaan alkohol

    Tumor dengan metastase ke hepar

    10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroid

    Riwayat penyakit thyroid

    Curiga abnormalitas endokrin seperti tumorpituitari

    Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari yang 1

    minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1 bulan (ECG),

    sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang dalam keadaan berikut;

    Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah

    Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk hipokalemia,

    terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan gagal ginjal, produk

    darah untuk koreksi koagulopati.

    2.1.1.4 Informed Consent

    Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent. Inform

    consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila

    ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan

    informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.

    2.1.2 Masukan Oral

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    9/31

    Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan

    kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang

    menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan

    untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa)

    selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

    Tabel 2.4Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist, 2011)

    Usia

    pasien

    Intake oral Lama puasa

    (jam)

    puasa yg diberikan

    < 6 bln Clear fluid

    Breast milk

    Formula milk

    2

    3

    4

    20 cc/kg

    6 bln 5

    thn

    Clear fluid

    Formula milk

    Solid

    2

    4

    6

    10 cc/kg

    >5 thn Clear fluid

    Solid

    2

    6

    10 cc/kg

    Adult,

    op.

    pagi

    Clear fuid

    Solid

    2

    Puasa mulai

    jam 12 mlm

    Adult,

    op.

    siang

    Clear fluid

    Solid

    2

    Puasa mulai

    jam 8 pagi

    2.1.3 Terapi Cairan

    Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,

    kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake

    oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin,

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    10/31

    sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible water lossesyang terus menerus dari kulit

    dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

    Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2006)

    Berat Badan Jumlah

    10kg pertama 4 mL/kg/jam

    10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam

    Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam

    Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami defisit

    cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan

    maintenance dengan waktu puasa.

    2.1.4 Premedikasi

    Premedikasi ialah pemberian obat sebelum induksi anestesi dengan tujuan untuk

    melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:

    Meredakan kecemasan dan ketakutan

    Memperlancar induksi anesthesia

    Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

    Meminimalkan jumlah obat anestetik

    Mengurangi mual muntah pasca bedah

    Menciptakan amnesia

    Mengurangi isi cairan lambung

    Mengurangi reflek yang membahayakan

    Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi

    No. Jenis Obat Dosis (Dewasa)

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    11/31

    1 Sedatif:

    Diazepam

    Difenhidramin

    Promethazin

    Midazolam

    5-10 mg

    1 mg/kgBB

    1 mg/kgBB

    0,1-0,2 mg/kgBB

    2 Analgetik Opiat

    Petidin

    Morfin

    Fentanil

    Analgetik non opiat

    1-2 mg/kgBB

    0,1-0,2 mg/kgBB

    1-2 g/kgBB

    Disesuaikan

    3 Antikholinergik:

    Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB

    4 Antiemetik:

    Ondansetron

    Metoklopramid

    4-8 mg (iv) dewasa

    10 mg (iv) dewasa

    5 Profilaksis aspirasi

    Cimetidin

    Ranitidine

    Antasid

    Dosis disesuaikan

    Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan intramuskuler,

    diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan intravena diberikan 5-10

    menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis obat premedikasi yang akan

    diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang

    dijumpai pada pasien (Miller et al, 2009).

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    12/31

    2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi

    Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:

    a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan

    b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya

    c. Alat-alat resusitasi (STATICS)

    d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.

    e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat

    dan lain-lainnya.

    f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.

    g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.

    h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; Pulse

    Oxymeter dan Capnograf.

    i. Kartu catatan medic anestesia

    j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

    Tabel 2.7 Komponen STATICS

    S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan

    jantung.

    Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yangsesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

    T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa

    balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).

    A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau

    pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini

    menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk

    mengelakkan sumbatan jalan napas.

    T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atautercabut.

    I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic

    (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu

    supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    13/31

    C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.

    S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

    2.2

    Pemilihan Teknik Anestesi

    Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan keamanan

    dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini adalah:

    1. Usia pasien

    Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada pasien dewasa

    untuk tindakan singkat dan hanya dipermukaan dapat dilakukan teknik anestesi lokal

    atau umum.

    2. Status fisik pasiena. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui apakah

    pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi. Apakah ada komplikasi

    anestesi dan paska pembedahan yang dialami saat itu. Pertanyaan mengenai

    riwayat penyakit terutama diarahkan pada ada tidaknya gejala penyakit

    kardiorespirasi, kebiasaan merokok, meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus

    menjadi suatu perhatian saat pasien memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi

    bila didapati atau dicurigai adanya penyakit neuromuskular, antara lain

    poliomielitis dan miastenia gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah

    untuk pasien dengan neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk

    gejala yang telah ada.

    b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari penggunaan

    anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi lokal atau regional.

    c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan jiwa

    sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

    d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul gangguan

    sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi regional, spinal, atau

    anestesi umum endotrakeal.

    3. Posisi pembedahan

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    14/31

    Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi umum

    endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga dengan

    pembedahan yang berlangsung lama.

    4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah

    Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan

    kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi perdarahan,

    relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk bedah plastik, dan lain-

    lain.

    5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi

    Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat menentukan

    pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik anestesi tertentu

    bila belum ada pengalaman dan keterampilan.

    6. Keinginan pasien

    Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan

    dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak

    membahayakan keberhasilan operasi.

    7. Bahaya kebakaran dan ledakan

    Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah pilihan

    utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.8. Pendidikan

    Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan lama karena

    sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa, atau perawat. Oleh

    sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau bila dengan anestesi spinal

    atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup (Latief dkk, 2009).

    2.3 General Anesthesia

    General anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri

    secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).

    Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi.

    Trias anestesi ini dapat dicapai dengan menggunakan obat yang berbeda secara

    terpisah. Sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    15/31

    namun lebih luas, hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit),

    arefleksia (hilangnya reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien),

    relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi

    trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur)

    Perjalanan anestesi umum terdiri dari enam bagian yang berbeda yang meliputi:

    premedikasi, induksi, pemeliharaan, pengembalian, pemulihan dan masa pasca

    operasi. Obat yang dipakai pada masing masing bagian berinteraksi dengan obat

    yang dipakai pada bagian lain dan interaksi obat ini merupakan hal yang penting.

    Anestesi umum bukan hanya masalah farmakologi melainkan juga merupakan suatu

    keseimbangan antara kerja obat dan rangsangan pembedahan (Soenarto, 2012).

    Pada tahap premedikasi ada dua tujuan jelas dalam penggunaan obat premedikasi

    yang pertama, adalah mencegah efek parasimpatometik anastesi, dan yang kedua

    berhubungan dengan kebutuhan untuk menghilangkan sedasi aktif atau untuk

    menimbulkan amnesia. Tahap Induksi adalah bagian kedua anestesi, tujuan dari tahap

    ini bukan untuk menganestesi tetapi hanya untuk memulai agar proses anestesi cepat

    dan nyaman. Masa pemeliharaan merupakan tahap ketiga, masa pemeliharaan adalah

    masa sesudah induksi dan ketika prosedur pembedahan atau prosedur lain

    dilaksanakan. Sesudah masa pemeliharaan dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu

    masa pengembalian. Pada bagian pemulihan ini biasanya sangat cepat, tetapi sangatpenting dan berbahaya. Masa pengembalian ini merupakan bagian pertama pemulihan

    dan dikerjakan dibawah pengawasan langsung dokter ahli anestesi dan biasanya

    dilakukan didalam ruang operasi dan tahap terakhir dari anestesia umum adalah masa

    pasca operasi.

    2.3.1 Stadium Anestesi

    Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III

    dibagi menjadi 4 plana), yaitu :

    Stadium I (analgesi):

    Mulai dari induksi sampai hilangnya kesadaran. Walaupun disebut Stadium

    analgesia, tapi sensasi terhadap ransang sakit tidak berubah, biasanya operasi-operasi

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    16/31

    kecil sudah bisa dilakukan. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya

    refleks bulu mata.

    Stadium II (eksitasi):

    Mulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan pernafasan yang irreguler, pupil

    melebar dengan refleks cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),

    tonus otot meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak

    mata.

    Stadium III (pembedahan):

    Plana 1: Ditandai dengan pernafasan teratur, pernafasan torakal sama kuat dgn

    pernafasan abdominal, pergerakan bola mata terhenti, kadang-kadang letaknya

    eksentrik, pupil mengecil lagi dan refleks cahaya (+), lakrimasi akan

    meningkat, refleks farings dan muntah menghilang, tonus otot menurun.

    Plana 2: Ditandai dengan pernafasan yang teratur, volume tidal menurun dan

    frekuensi pernafasan naik. Mulai terjadi depresi pernafasan torakal, bola

    mata terfiksir ditengah, pupil mulai midriasis dengan refleks cahaya menurun

    dan refleks kornea menghilang. Reflek kornea dan laring hilang.

    Plana 3: Ditandai dgn pernafasan abdominal yang lebih dominan daripada

    torakal karena paralisis otot interkostal yang makin bertambah sehingga pada

    akhir plana 3 terjadi paralisis total otot interkostal, juga mulai terjadiparalisis otot-otot diafragma, pupil melebar dan refleks cahaya akan

    menghilang pada akhir plana 3 ini, lakrimasi refleks faring & peritoneal

    menghilang, tonus otot-otot makin menurun.

    Plana 4: Kelumpuhan otot interkostal, pernafasan menjadi abdominal.

    Pernafasan tidak adekuat, irreguler, jerky karena paralisis otot

    diafragma yg makin nyata, pada akhir plana 4, paralisis total diafragma, tonus

    otot makin menurun dan akhirnya flaccid, pupil melebar dan refleks cahaya

    (-), refleks sfingter ani menghilang.

    Stadium IV (paralisis medulla oblongata):

    Dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4.

    Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    17/31

    akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernafasan pada stadium ini tidak dapat

    diatasi dengan pernafasan buatan (Soenarto, 2012).

    Komplikasi general anestesi meliputi durante operasi dan pasca operasi.

    Komplikasi yang mungkin terjadi pada durante operasi dapat meliputi obstruksi

    respirasi, batuk, depresi respirasi, hipotensi, hipertensi, aritmia, hiccup

    (cegukan), gigi patah, mual muntah, menggigil.

    2.4 Intubasi

    Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea

    sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu atau dikendalikan.

    Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu memudahkan atau

    mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea adalah :

    Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).

    Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah kepala).

    Relaksasi otot yang baik.

    Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal penting yang harus

    diperhatikan untuk memastikan keamanan proses intubasi yang disebut SALT, yaitu:

    Suction. Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring pasien terdapat

    benda asing yang menyulitkan visualisasi dari pita suara. Disamping itu, aspirasi dari

    paru juga harus dihindari.

    Airway. Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah jatuhnya lidah ke

    bagian belakang faring.

    Laryngoscope. Merupakan alat yang paling penting untuk membantu penempatan

    pipa endotracheal.

    Tube. Pipa Endotrakeal memiliki berbagai macam ukuran. Umumnya pada orang

    dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9

    Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk:

    Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta bunyi udara

    inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama keras dengan memakai stetoskop.

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    18/31

    Bila pipa masuk terlalu dalam seringkali pipa masuk ke bronkus kanan sehingga

    bunyi nafas hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik sedikit, lalu periksa

    kembali dengan stetoskop.

    Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran dapat diketahui

    dengan mendengar bunyi di mulut pada saat paru di inflasi/ditiup).

    Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar pipa tidak bergerak

    (malposisi).

    2.5Monitoring

    Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi

    adalah:

    - Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter

    - Heart rate, nadi, dan kualitasnya

    - Warna membran mukosa, dan capillary refill time

    - Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

    palpebra)

    - Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

    - Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

    2.6 Manajemen Anestesi Post-Operasi

    2.6.1 Recovery dari General Operasi

    Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa tiap 5

    menit selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus dimonitor

    terus menerus pada pasien yang masih berada dalam proses recovery dari general

    anestesi, paling tidak sampai pasien mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus

    dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri

    (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input dan output

    cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.

    Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus mendapatkan

    oksigen 30-40% karena bisa terjadi transient hipoksemia pada pasien yang sehat

    sekalipun. Resiko hipoksemia meningkat pada pasien-pasien yang menjalani operasi

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    19/31

    di daerah upper abdominal atau toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse

    oxymeter dan mungkin memerlukan oksigenasi dalam waktu yang lebih lama.

    Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi oksigen ketika mengeluarkan

    pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat berdasarkan SpO2 dengan

    udara ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.

    2.6.2 Kriteria Discharge dari PACU

    Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan

    kriteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score.

    Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge keIntensive Care Unit

    (ICU) atau ke ruangan biasa.

    Tabel 2.8Aldrete Score

    Objek Kriteria Nilai

    Aktivitas 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas3. Tidakmampu menggerakkan ekstremitas

    2

    1

    0

    Respirasi 1. Mampu nafas dalam dan batuk2. Sesak atau pernafasan terbatas3. Henti nafas

    2

    1

    0

    Tekanan Darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah2. Berubah 20-50% dari pra bedah3. Berubah > 50% dari pra bedah

    2

    1

    0

    Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik2. Sadar setelah dipanggil3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang

    2

    1

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    20/31

    0

    Warna Kulit 1. Kemerahan2. Pucat agak suram

    3. Sianosis

    2

    1

    0

    Nilai Total

    2.6.3 Kunjungan Post-Operatif

    Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24 48 jam setelah operasi dan

    dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari rekam

    medis, anamnesis terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan

    pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan komplikasi

    seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cedera saraf, cedera okular,

    pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus dilakukan terapi

    atau konsultasi lebih lanjut. (Dunn, et al, 2007).

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    21/31

    BAB III

    LAPORAN KASUS

    3.1 Identitas Pasien

    Nama : GKR

    Usia : 38 tahun

    Jenis Kelamin : Perempuan

    Alamat : Semarapura, Klungkung

    Pekerjaan : Pedagang

    No. Register : 484688

    Berat Badan : 55 kg

    Tinggi Badan : 165 cm

    Tanggal dilakukan Anesthesia : 11 September 2014

    Lama anesthesia : 3 jam (09.0011.00)

    Diagnosa pra bedah : Multiple Nodul Tiroid

    Jenis pembedahan : Total Tiroidektomi

    Jenis anesthesia : General Anesthesia

    Anesthesia dengan : Induksi dengan Propofol, Analgesia dengan

    Fentanyl, Maintenance dengan Isofluran + O2 + N2O

    3.2 Pre-op

    Anamnesa Pre-op

    Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan benjolan pada leher yang dirasakan sejak

    1 tahun yang lalu. Benjolan awalnya dirasakan sebesar kelereng dan semakin membesar.

    Benjolan dirasakan sepanjang hari dan tidak mengganggu aktifitas hanya dikeluhkanmengganggu penampilan. Benjolan dikatakan tidak disertai nyeri. Pasien menyangkal

    keluhan dada berdebar, tangan gemetar, susah tidur, badan terasa panas, peningkatan

    nafsu makan dan penurunan berat badan. Keluhan sulit bernafas dan menelan disangkal

    oleh pasien

    Riwayat penyakit terdahulu

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    22/31

    Tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat HT, DM, asma, penyakit jantung dan

    sistemik dsangkal oleh pasien. Riwayat alergi makanan (-), alergi obat (-)

    Riwayat pengobatan

    Pasien tidak pernah berobat untuk mengurangi keluhannya. Penggunaan obat hipertensi (-

    ), pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya.

    Riwayat sosial

    Pasien bekerja sebagai pedagang, makan dikatakan 3 kali sehari. Merokok, konsumsi

    alcohol disangkal pasien. Makan dan minum terakhir pasien pukul 12.00 10 september

    2014 (9 jam sebelum operasi)

    Pemeriksaan Fisik Pre-op

    B1 : Airway paten, napas spontan simetris, RR 20x/mnt, Rh (-), Wh(-), Struma

    (+), Stiffness (-), Buka mulut > 3 jari, Mandibulahyoid < 2 cm,

    Mallampati score II, pernafasan cuping hidung (-), gigi geligi dbN, oklusi

    dbN, gerak leher bebas, nyeri telan (-), massa di leher (+) ukuran 6x8cm

    konsistensi padat, mobile di kulit, terfiksir didasar, batas tegas, nyeri tekan

    (-), trakea deviasi ke kanan.

    B2 : Akral hangat, kering, merah, CRT

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    23/31

    Serum Elektrolit

    o Natrium : 140 mmol/l (N : 136 - 145)

    o Kalium : 3,50 mmol/l (N : 3,5 - 5,0)

    o Chlorida : 105 mmol/l (N : 98 - 106)

    Faal Hemostasis

    o BT : 130 (Kontrol 1-6 detik)

    o CT : 700 (Kontrol 10-15 detik)

    Kesimpulan : BT dan CT Dalam Batas Normal

    Kimia klinik: Faal Hati

    o AST/SGOT : 17 U/L (N : 0-40)

    o ALT/SGPT : 18 U/L (N : 0-41)

    Metabolisme Karbohidrat : Glukosa darah sewaktu : 114 mg/dL (N : < 200)

    Imunologi

    o TSH : 0,490 IU/mL (0,250-5000)

    o FT4 : 1,19 ng/dL (0,930-1700)

    Faal Ginjal

    o Ureum : 24 mg/dL (N : 16,6 -48,5)

    o Kreatinin : 10,8 mg/dL (N : < 1,2)

    Pemeriksaan Electrocardiogram (28 Maret 2014)Kesan : EKG normal

    Pemeriksaan Foto Rontgen Thorax:

    Kesan : cor dan pulmo dalam batas normal

    Tulangtulang intak

    Foto cervical AP/Lateral

    Kesan : massa colli sinistra yang mendesak trakea ke kanan

    3.3 Laporan Anestesi Preoperatif

    Assessment: ASA II

    Diagnosa pra bedah : Multiple Nodul Tiroid

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    24/31

    Keadaan pra bedah (11 September 2014):

    TB: 165 cm, BB 55 kg

    TD: 120/80 mmHg, nadi 80x/menit, RR 20x/menit, suhu 36,5oC

    Hb: 12,8 gr/dl

    Pasien puasa pre-operasi

    Jenis pembedahan : Total tiroidektomi

    Jenis anesthesia : General Anastesi

    Teknik anesthesia : OTT

    3.4 Tindakan anastesi umum dengan intubasi

    Pasien di posisikan supine

    Memastikan kondisi stabil dengan vital sign dan saturasi oksigen

    Premedikasi : Ondansentron 4 mg (i.v)

    Fentanyl 100mcg (i.v)

    Ketorolac 30 mg (i.v)

    Induksi secara intravena profopol 200mg dan vecuronium 5 mg

    Pasien diberi O2 100% 6 liter melalui fask mask selama 2-5 menit

    Bantuan nafas dengan ventilasi mekanik

    Memastikan airway paten

    Dilakukan ETT Cuff dikembangkan cek suara nafas di semua lapang paru dan lambung

    memastikan suara nafas (+), ETT disambungkan dengan ventilator

    Maintenance inhalasi O2 2 lpm , N2O 2 lpm dan sevoflurance MAC 1 %

    Durasi operasi 3 jam monitor tanda-tanda vital pasien dan saturasi oksigen,

    penambahan pemberian vecuronimum 2 mg 1 jam pertama, 2 mg 1 jam kedua dan 1

    mg 1 jam ketiga.

    Cairan masuk:

    Pre operatif : RL 1500 cc

    Durante operatif : RL 700 cc

    Cairan keluar:

    Perdarahan: +100 cc

    Produksi urin : -

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    25/31

    Dilakukan ekstubasi apabila pasien mulai sadar, mampu bernafas spontan da nada

    reflek-reflek jalan nafas atas dan dapat menuruti perintas sederhana

    Evaluasi kembali airway, breathing, dan circulation pasien

    Operasi selesai mobilsasi pasien ke ruang pulih

    3.4 Postoperatif di ruang pulih

    Keluhan pasien: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)

    Pemeriksaan fisik:

    B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit RH(-),Wh(-), saturasi

    dengan O2 nasal canul 4 lpm.

    B2 : Akral hangat, kulit merah, nadi 81x/menit, TD 150/80 mmHg, S1S2

    tunggal regular, murmur(-), T.ax: 36,6oC

    B3 : GCS 456, Reflek Cahaya +/+,

    B4 : pasien tidak dipasangkan kateter

    B5 : Bising Usus (+) Normal, soefl, mual (-), muntah (-)

    B6 : Mobilitas normal, CRT< 2 detik, anemis (-), ikterik (-), sianosis (-)

    Terapi Pasca Bedah

    IVFD RL 28 tpm

    Sanmol 3 x 1 fls

    Ketorolac 3 x 3mg

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    26/31

    BAB IV

    PEMBAHASAN

    Pasien wanita berusia 38 tahun datang ke RS Sanjiwani Gianyar dengan keluhan benjolan

    pada leher yang dirasakan sejak 1 tahun yang lalu dan didiagnosa Multipel Nodul Tiroid

    dengan rencana pembedahan total tiroidektomi. Berdasarkan history talkingpada

    pemeriksaan preoperative didapatkan bahwa pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-

    obatan dan puasa sejak pukul 12.00 malam. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien ini

    meliputi vital sign seperti tekanan darah, nadi, temperatur, dan respirasi masih dalam

    batas normal. Begitu juga dengan airway, jantung dan paru tidak ditemukan kelainan

    dalam pemeriksaan fisik.

    B1Breathing

    Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi yang perlu

    diperhatikan. Lain-lain dalam breathing dalam batas normal.

    B2Blood

    Pada blood, dalam batas normal, perfusi baik, tidak didapatkan kelainan anatomis

    dan fungsional dari sistem sirkulasi.

    B3Brain

    Dalam batas normal.

    B4

    Bladder

    pasien tidak terpasang kateter sehingga tidak dapat dievaluasi

    B5Bowel

    Pada bowel, didapatkan bising usus normal.

    B6Bone

    Tulang dan sendi pasien termasuk mobilitas dalam batas normal.

    Pemeriksaan penunjang juga telah dilakukan seperti pemeriksaan DL, BTCT, TSA dan

    FTA dengan hasil masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan foto rontgen cervikal

    ditemukan deviasi trakhea ke kanan. Dari hasil pemeriksaan fisik dan penunjang dalam

    kondisi sehat dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang. Sehingga diklasifikasikan

    ASA II.

    Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi,

    semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah menjalani puasa

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    27/31

    selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa pada pasien ini telah sesuai

    dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American Society of Anesthesiologist yakni

    konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi, makanan rendah lemak 6 jam preoperasi,

    dan makanan tinggi lemak 8 jam preoperasi, dimana pasien tidak mengkonsumsi

    makanan sejak pukul 12.00 (9 jam sebelum operasi).

    Jenis anastesi pada pasien ini adalah General anastesi dengan ETT, karena posisi

    operasi di daerah leher kepala. General anesthesia atau anestesi umum adalah tindakan

    menghilangkan rasa nyeri secara sentral yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat

    pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi ideal (trias anestesi) terdiri dari hipnotik,

    analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat dicapai dengan menggunakan obat yang

    berbeda secara terpisah. Sekarang anestesi umum tidak hanya mempunyai ketiga

    komponen tersebut namun lebih luas, hypnosis (hilangnya kesadaran), analgesia

    (hilangnya rasa sakit), arefleksia (hilangnya reflek-reflek motorik tubuh, memungkinkan

    imobilisasi pasien), relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi

    intubasi trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalan prosedur).

    Premedikasi adalah pemberian obat sebelum induksi anastesi denga tujuan untuk

    melancarakan induksi rumatan dan bangun dari anastesi. Pemberian premedikasi bisa

    diberikan secara intra muskuler 30-45 menit sebelum induksi dan intra vena 5-10 menit

    sebelum induksi. Pada pasien ini diberikan premedikasi ondancenton 4 mg, fentanyl 100ug, dan ketorolac 30 mg melalu IV 5 menit sebelum induksi. Setelah itu dilakukan

    induksi dengan profopol 200 mg dan vecuronium bromid 5 mg. kemudian dilakukan

    pemasangan ETT 7.5 dan saat maintenance diberikan sevofluran 1%, O2 dan N2O 2 lpm.

    Proses monitoring pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pesien tidak

    pernah

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    28/31

    Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi sebelum

    dimobilisasi berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien ini didapatkan Aldrete score

    dengan total 10. Dengan nilai total aldrete score pasien kemudian dipindahkan ke ruang

    biasa dengan rencana monitoring yang dilakukan sudah benar dan sesuai kebutuhan

    pasien.

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    29/31

    BAB V

    KESIMPULAN

    Pasien wanita berusia 38 tahun datang dengan diagnosa multipel nodul tiroid

    dengan rencana operasi total tiroidektomi. Tindakan anestesi yang dilakukan adalahgeneral anestesi dengan intubasi. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan

    indikasi general anestesi.

    Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan

    kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya general anestesi.

    Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif stabil

    sampai operasi selesai.

    Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak

    didapatkan keluhan. Selama di PACU (Post Anesthesy Care Unit) pasien cukup stabildengan Aldrete Score bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga pasien dapat

    dipindahkan ke ruang rawat biasa. Seluruh tatalaksana pasien dilakukan dengan baik.

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    30/31

    LAPORAN KASUS

    GENERAL ANASTESI PADA OPERASI

    TOTAL TIROIDEKTOMI

    OLEH:

    Wayan Suryasana Eka Putra (0970121013)

    Putu Okitra Surya (0970121015)

    I Putu Mega Sidhiartha (1070121042)

    Putu Yudis Pramana K (1070121044)

    PENGUJI :

    DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITRAAN KLINIK

    DI BAGIAN/SMF ILMU ANASTESI

    RSUD SANJIWANI GIANYAR

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WARMADEWA

    2014

  • 5/19/2018 Lapsus Anastesi

    31/31