Upload
johan-padmamuka
View
339
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
MANAJEMEN ANESTESI UMUM
PADA OPERASI CLOSE FRAKTUR CLAVICULA DEXTRA 1/3 TENGAH
COMMUNITIF
Disusun Oleh :
Wan Zafirah bt Wan Yahya 0610710136
Ajeng Putih Sekarningrum 0610713003
Fitri Indah Sari 0610713033
Pembimbing :
dr. Isngadi M.Kes, SpAn
LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT SAIFUL ANWAR
MALANG
2012
1
LAPORAN KASUS: MANAJEMEN ANESTESI UMUM
PADA OPERASI CLOSE FRAKTUR CLAVICULA DEXTRA 1/3 TENGAH
COMMUNITIF
Zafirah,W*., Ningrum, AP*., Sari FI***., Isngadi****
*Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya Malang
Publikasi: Mei 2012
ABSTRAK
Seorang laki-laki usia 19 tahun dijadwalkan akan menjalani operasi
pemasangan plate and screw. Pasien mengalami patah tulang tertutup pada
clavicula kanan akibat kecelakaan lalu lintas sekitar 1 hari yang lalu. Status fisik
pasien berdasarkan klasifikasi American Society Anesthesiologist (ASA)
termasuk dalam ASA I. Permasalahan pada pasien ini adalah, masalah patah
tulang tertutup pada 1/3 tengah clavicula kanan communitif. Pada pasien ini
teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan intubasi. Dari
evaluasi pre operatif dan monitoring selama operasi tidak ditemukan adanya
penyulit. Durante induksi tidak didapatkan penyulit. Post operasi pasien tidak
menggunakan ventilator dan dipindahkan di ruang 19 dalam keadaan stabil.
Kata kunci: anestesi umum, fraktur clavicula, fraktur communitif.
PENDAHULUAN
Fraktur adalah retaknya tulang, yang biasanya disertai dengan cedera di
jaringan sekitarnya. Clavicula merupakan salah satu tulang yang paling sering
mengalami fraktur apabila terjadi cedera pada bahu karena letaknya yang
superfisial. Pada tulang ini bisa terjadi banyak proses patologik sama seperti
pada tulang yang lainnya yaitu bisa ada kelainan congenital, trauma (fraktur),
inflamasi, neoplasia, kelainan metabolik tulang dan yang lainnya. Fraktur
clavicula bisa disebabkan oleh benturan ataupun kompressi yang berkekuatan
rendah sampai yang berkekuatan tinggi yang bisa menyebabkan terjadinya
fraktur tertutup ataupun multiple trauma (Hahn, 2007).
Clavicula adalah tulang yang paling pertama mengalami pertumbuhan
pada masa fetus, terbentuk melalui 2 pusat ossifikasi atau pertulangan primer
yaitu medial dan lateral clavicula, dimana terjadi saat minggu ke-5 dan ke-6 masa
intrauterin. Kemudian ossifikasi sekunder pada epifise medial clavicula
2
berlangsung pada usia 18 tahun sampai 20 tahun, dan epifise terakhir bersatu
pada usia 25 tahun sampai 26 tahun (Housner and Kuhn, 2003).
Menurut data epidemiologi pada orang dewasa insiden fraktur clavicula
sekitar 40 kasus dari 100.000 orang, dengan perbandingan laki-laki perempuan
adalah 2:1. Fraktur pada midclavicula yang paling sering terjadi yaitu sekitar 85%
dari semua fraktur clavicula, sementara fraktur bagian distal sekitar 10% dan
bagian proximal sekitar 5% (Crowther CL, 2004).
Sekitar 2% sampai 5% dari semua jenis fraktur merupakan fraktur
clavicula. Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeon, frekuensi fraktur
clavicula sekitar 1 kasus dari 1000 orang dalam satu tahun. Fraktur clavicula juga
merupakan kasus trauma pada kasus obstetrik dengan prevalensi 1 kasus dari
213 kasus kelahiran anak yang hidup (Browner BD et al, 2003).
Penyebab fraktur clavicula biasanya disebabkan oleh trauma pada bahu
akibat kecelakaan apakah itu karena jatuh atau kecelakaan kendaraan bermotor,
namun kadang dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor non traumatik. Berikut
beberapa penyebab pada fraktur clavicula yaitu, pada bayi baru lahir akibat
tekanan pada bahu oleh simphisis pubis selama proses melahirkan, kecelakaan
termasuk kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan yang
lainnya, kompresi pada bahu dalam jangka waktu lama, misalnya pada pelajar
yang menggunakan tas yang terlalu berat, proses patologik, misalnya pada
pasien post radioterapi, keganasan dan lain-lain (Mettler, 1996).
Pengklasifikasian fraktur clavicula didasari oleh lokasi fraktur pada
clavicula tersebut. Ada tiga lokasi pada clavicula yang paling sering mengalami
fraktur yaitu pada bagian midshape clavikula dimana pada anak-anak berupa
greenstick, bagian distal clavicula dan bagian proksimal clavicula. Menurut Neer
secara umum fraktur klavikula diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu, fraktur pada
bagian tengah clavicula (lokasi yang paling sering terjadi fraktur), fraktur pada
bagian distal clavicula (lokasi tersering kedua mengalami fraktur setelah
midclavicula), fraktur pada bagian proksimal clavicula (fraktur yang paling jarang
terjadi dari semua jenis fraktur clavicula, insidensnya hanya sekitar 5%)
(Basmania, 2008).
Fraktur clavicula paling sering disebabkan oleh karena mekanisme
kompressi atau penekanan, paling sering karena suatu kekuatan yang melebihi
kekuatan tulang tersebut dimana arahnya dari lateral bahu apakah itu karena
jatuh, kecelakaan olahraga, ataupun kecelakaan kendaraan bermotor. Pada
3
daerah tengah tulang clavicula tidak di perkuat oleh otot ataupun ligament-
ligament seperti pada daerah distal dan proksimal clavicula. Clavicula bagian
tengah juga merupakan transition point antara bagian lateral dan bagian medial.
Hal ini yang menjelaskan kenapa pada daerah ini paling sering terjadi fraktur
dibandingkan daerah distal ataupun proksimal (Hahn, 2007).
Diagnosis dari fraktur clavicula biasanya didasari dari mekanisme
kecelakaan dan lokasi adanya ekimosis, deformitas, ataupun krepitasi. Pasien
biasanya mengeluh nyeri setelah terjadinya kecelakaan tersebut dan sulit untuk
mengangkat lengan atau bahu. Fraktur pada bagian tengah clavicula, pada
inspeksi bahu biasanya asimetris, agak jatuh kebawah, lebih kedepan ataupun
lebih ke posterior (Trumble,et al, 2006).
Diagnosis pasti untuk fraktur clavicula ialah berdasarkan pemeriksaan
radiologi. Secara praktis diagnostik dibuat berdasarkan anamnesis misalnya
apakah ada riwayat trauma, dan pemeriksaan fisik bisa didapatkan
pembengkakan daerah clavicula atau aberasi, diagnosanya akan lebih mudah
apabila yang terjadi adalah fraktur terbuka. Pneumotoraks biasa didapatkan pada
pasien dengan fraktur clavicula terutama yang mengalami multiple traumatik,
dilaporkan sekitar lebih dari 3% dengan fraktur clavicula mengalami
pneumotoraks. Pneumotoraks diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial
antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat
ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab
tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul (Trumble,et al, 2006).
Penatalaksanaan pada fraktur clavicula ada dua pilihan yaitu dengan
tindakan bedah atau operative treatment dan tindakan non bedah atau
nonoperative treatment. Tujuan dari penanganan ini adalah untuk menempatkan
ujung-ujung dari patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan dan untuk
menjaga agar mereka tetap menempel sebagaimana mestinya sehingga tidak
terjadi deformitas dan proses penyembuhan tulang yang mengalami fraktur lebih
cepat. Proses penyembuhan pada fraktur clavicula memerlukan waktu yang
cukup lama. Penanganan nonoperative dilakukan dengan pemasangan saling
selama 6 minggu. Selama masa ini pasien harus membatasi pergerakan bahu,
siku dan tangan. Setelah sembuh, tulang yang mengalami fraktur biasanya kuat
dan kembali berfungsi. Pada beberapa patah tulang, dilakukan pembidaian untuk
membatasi pergerakan. atau mobilisasi pada tulang untuk mempercepat
penyembuhan. Patch tulang lainnya harus benar-benar tidak boleh digerakkan
4
(immobilisasi). Imobilisasi bisa dilakukan melalui, pembidaian, pemasangan gips,
penarikan (traksi), fiksasi internal, fiksasi eksternal (Browner et al, 2003).
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan
diperoleh trias anestesia, yaitu: hipnotik (tidur), analgesia (bebas dari nyeri),
relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot). Obat untuk menghilangkan
nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah
obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. seseorang
yang mengkonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik
tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa
nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan
jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan
pemakainya tetap sadar (Latief. A dkk, 2009).
Anastetika umum adalah obat yang dapat menimbulkan anastesia atau
narkosa, yakni suatu keadaan depresi umum dari berbagai pusat di SSP yang
bersifat reversible, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan,
sehingga agak mirip keadaan pingsan. Berdasarkan cara penggunaanya,
anastesi umum dapat dibagi dalam lima kelompok yaitu, anastetika Inhalasi (gas
tertawa, halotan, enfluran, isofluran, scuofluran). Obat-obat ini diberikan sebagai
uap melalui saluran nafas. Keuntungannya adalah resepsi yang cepat melalui
paru-paru seperti juga ekskresinya melalui gelembung paru (alveoli) yang
biasanya dalam keadaan utuh. Obat ini terutama digunakan untuk memelihara
anastesi. Yang kedua adalah anastetika Intravena yaitu, thiopental, diazepam
dan midazolam, ketamin, dan propofol. Obat-obat ini juga dapat diberikan dalam
sediaan suppositoria secara rectal, tetapi resorpsinya kurang teratur. Terutama
digunakan untuk mendahului (induksi) anastesi total, atau memeliharanya, juga
sebagai anastesi pada pembedahan singkat (Werth. M et al, 2011).
Sebagai anastesi inhalasi digunakan gas dan cairan terbang yang
masing-masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat
melemaskan otot maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi
yang secepat-cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis
tinggi, yang kemudian diturunkan sampai hanya sekadar memelihara
keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran (ekshalasi). Keuntungan
anastetika-inhalasi dibandingkan dengan anastesi-intravena adalah
kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah kedalaman anastesi dengan
5
mengurangi konsentrasi dari gas/uap yang diinhalasi. Kebanyakan anastesi
umum tidak di metabolisasikan oleh tubuh,karena tidak bereaksi secara kimiawi
dengan zat-zat faali. Mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan bahwa
anastetika umum di bawah pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat
dengan air yang bersifat stabil. Hidrat gas ini mungkin dapat merintangi transmisi
rangsangan di sinaps dan dengan demikian mengakibatkan anastesia (Werth. M
et al, 2011).
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki berusia 19 tahun dijadwalkan untuk menjalani operasi
pemasangan plate and screw pada tanggal 9 Mei 2012. Pasien memiliki masalah
patah tulang tertutup pada clavicula kanan 1/3 tengah communitif . Dari data
medis, pasien didiagnosa close fraktur clavicula dextra 1/3 tengah communitif.
Oleh karena itu, status fisik pasien diklasifikasikan dalam ASA I.
Pada kunjungan pre operative satu hari sebelumnya, keluarga pasien
setuju untuk dilakukan operasi pemasangan plate and screw dengan teknik
anestesi general, anestesi-intubasi yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi
anatomis normalnya dan menandatangani surat persetujuan tindakan operasi
dan anestesi. Pada heteroanamnesa didapatkan bahwa pasien mengalami
kecelakaan lalu lintas 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Saat itu pasien hendak
turun dari bus, namun pasien terjatuh dari Bus dan mengenai aspal. Posisi
terjatuh pasien, dengan bahu kanan sebagai tumpuan. Pasien merasakan
bahunya terasa amblas setelah terjatuh. Kemudian pasien dilarikan ke Rumah
Sakit Gambiran di Kediri. Namun, selama 1 hari dirawat di Rumah Sakit
Gambiran, pasien meminta pulang paksa karena merasa tidak diberikan
penanganan yang baik. Pada hari Minggu (6 Mei 2012) pasien berobat ke RSSA
Malang. Saat di UGD RSSA Malang, pasien merasakan nyeri pada bahu
kanannya, dan pasien merasa bahunya lebam. Pasien merasa terbatas untuk
menggerakkan tangan kanannya. Pada pasien ini tidak didapatkan riwayat mual
dan muntah. Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat maupun riwayat
asma. Pasien disarankan untuk berpuasa 6 jam sebelum operasi yaitu mulai
pukul 02.00 dini hari hingga pukul 08.00 pagi.
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 8 Mei 2012 pukul
18.00 (saat pasien di ruangan, R. 19), didapatkan:
6
- Breathing (B1): airway paten, nafas spontan, respiratory rate 18 kali/
menit, tidak didapatkan ronchi, tidak didapatkan wheezing, pasien mampu
membuka mulut seluas 3 jari pasien, Mallampati kelas 2, jarak tiromental
± 6 cm.
- Bleeding (B2): tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 75 kali/ menit, regular
kuat, S1S2 single, tidak didapatkan murmur.
- Brain (B3): GCS 456, pupil isokor, reflek cahaya +/+.
- Bladder (B4): tidak terpasang kateter dengan produksi urine lancar.
- Bowel (B5): abdomen flat, soefl, bising usus positif normal, hepar dan lien
tidak teraba membesar.
- Bone (B6): akral hangat, CRT < 2”, terpasang bidai diantara kedua
lengan. Dari pemeriksaan ortopedi didapatkan look: terdapat luka babras
di antero-posterior bahu kanan, feel: nyeri dan movement: limited ROM.
Hasil laboratorium pada tanggal 6 Mei 2012 menunjukkan semuanya
dalam batas normal, yaitu Hb 14,0 gr/dL (13,2-17,0 gr/dL), leukosit 9.440/mm3
(4.500-11.000/mm3), hematokrit 42,30% (43-49%), trombosit 296.000/mm3
(150.000-450.000/mm3). Faal hemostasis dalam batas normal, yaitu PPT 12,6
detik (Kontrol 12,5 detik), APTT 29,3 detik (Kontrol 25,0 detik). Pada
pemeriksaan serum elektrolit juga didapatkan dalam batas normal, yaitu natrium
140 mmol/ L (136-145 mmol/L), kalium 4,26 mmol/L (3,5-5,- mmol/L), chlorida
111 mmol/L (98-106 mmol/L).
Terapi yang diberikan saat pasien berada di UGD RSSA Malang (6 Mei
2012) adalah Infus RL 1 liter, injeksi ranitidine 2x50 mg, injeksi ketorolac 3x30
mg, cefotaxim 2x1 gram. Setelah dipindah diruang perawatan 19 (7 Mei 2012)
pasien mendapat terapi injeksi ketorolac 3x30 mg, ranitidine 2x50 mg, diet TKTP,
dan direncanakan untuk dilakukan ORIF. Pada tanggal 8 Mei 2012 injeksi
dihentikan, asam mefenamat 3x500 mg (kalau perlu saja), isotonic exercise
elbow mcp, AVN distal positif, pro ORIF.
Pada tanggal 9 Mei 2012 pukul 07.30 pasien masuk ke OK sentral.
Sebelum masuk identitas pasien sebelumnya dicocokkan terlebih dahulu dengan
status rekam medis. Setelah itu dilakukan pemeriksaan fisik ulang dengan hasil
sebagai berikut (pra-operasi):
- Breathing (B1): airway paten, nafas spontan, respiratory rate 18 kali/
menit, ronchi (-), wheezing (-).
7
- Bleeding (B2): tekanan darah 140/70 mmHg, nadi 90 kali/menit, regular
kuat, S1S2 single, tidak didapatkan murmur.
- Brain (B3): GCS 456, pupil isokor, reflek cahaya +/+.
- Bladder (B4): terpasang kateter dengan produksi urine 250 cc, kuning,
jernih.
- Bowel (B5): abdomen flat, soefl, bising usus positif normal, hepar dan lien
tidak teraba membesar.
- Bone (B6): akral hangat, CRT < 2”, terpasang infus di lengan bawah kiri
dengan cairan RL 1000 cc, terpasang bidai diantara kedua lengan. Dari
pemeriksaan ortopedi didapatkan look: terdapat luka babras di antero-
posterior bahu kanan, feel: nyeri dan movement: limited ROM.
Pada general anesthesia intubasi dipilih sebagai teknik anestesi yang
dijalani oleh pasien ini. Induksi dimulai pada pukul 07.45 menggunakan fentanil
150mg IV sebagai analgetik dan pemberian oksigenasi sebagai maintenance.
Teknik anestesi yang dilakukan yaitu intubasi oral dengan pipa endotracheal
diameter 7mm non kinking. Kontrol respirasi dan pernapasan menggunakan bag-
valve mask.
Pada saat durante operasi obat–obatan yang diberikan pada pukul 08.00
yaitu fentanil 150mg IV, propofol 150mg IV, dan antracurium 25mg IV. Pukul
08.30 didapatkan tekanan darah 140/70 mmHg, nadi 90 kali/ menit, RR 12 kali/
menit, saturasi O2 100%. Pada pukul yang sama, obat yang dimasukkan yaitu
fentanil 50 mg, atracurium 10mg dan dilanjutkan dengan atracurium 5 mg, serta
sulfas atropine 0,25 mg. Pukul 09.00 didapatkan tekanan darah 140/80 mmHg,
nadi 90 kali/ menit, RR 12 kali/ menit, saturasi O2 100%. Pada waktu yang sama,
obat yang diberikan adalah atracurium 10mg, ondansentron 4 mg, dan
metoclopramide 10 mg, dilanjutkan fentanil 25 mg. Pukul 10.00 tekanan darah
130/70 mmHg, nadi 90 kali/ menit, RR 14 kali/ menit. Pada waktu yang sama,
injeksi ketorolac 30 mg. Cairan yang digunakan selama durante operasi adalah
cairan RL 1500 cc dengan 20 tpm.
Pada post-operasi dilakukan pemeriksaan ulang kepada pasien dan
didapatkan airway yang paten dengan napas spontan, frekuensi nafas 16
kali/menit, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 83 kali/menit, GCS 456, pupil
isokor, reflex cahaya +/+, pasien terpasang kateter dengan produksi urin 450
cc,kuning jernih.
8
PEMBAHASAN
Penilaian dan persiapan pra anesthesia terdiri atas identitas pasien,
anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, klasifikasi status fisik (ASA),
masukan oral sebelumnya, premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum
induksi anesthesia dan induksi anestesi untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Pada identitas pasien sebelum dilakukan operasi harus dicocokan
terlebih dahulu kesesuaian antara status rekam medis dengan gelang identitas
pasien bila ada. Dari anamnesis didapatkan data tentang alergi, medikasi atau
obat-obatan yang sudah digunakan, past illness, last meal (makanan yang
terakhir dimakan), event (peristiwa yang membuat pasien berobat ke rumah
sakit) (Latief et al,2009).
Pemeriksaan fisik pada pasien pra anestesi menggunakan urutan
prioritas yaitu urutan 6 B. Breathing (B1) untuk mengetahui adanya masalah
pada pernafasan. Pemeriksaan tersebut antara lain: inspeksi , palpasi, perkusi
dan auskultasi. Bleeding (B2) untuk mengetahui adanya masalah hemodinamik
sehingga dapat mengetahui apakah pasien dalam kndisi syok atau tidak.
Pemeriksaan tersebut antara lain: tekanan darah dan nadi. Brain (B3) untuk
mengetahui tingkat kesadaran penderita dengan gejala neurologis yang ada,
termasuk disini adalah GCS, pemeriksaan nervus cranialis I-XII, sensorik dan
motorik, reflek fisiologis dan patologis, tanda-tanda peningkatan TIK. Bladder
(B4) untuk mengetetahui fungsi ginjal terhadap adanya ancaman terjadinya gagal
ginjal, termasuk produksi dan kualitas urin. Bowel (B5) untuk mengetahui adanya
masalah pada traktus digestivus. Bone (B6) untuk mengetahui adanya kelainan
pada ekstrimitas termasuk pemeriksaan perifer seperti keadaan akral normal bila
dikatakan akral dalam keadaan hangat, kering dan merah serta kelainan lain
yang didapat seperti patah tulang (Wirjoatmodjo, 2000). Pemeriksaan
laboratorium yang rutin dilakukan sesuai dengan tabel di bawah ini (Lee, 2006):
Pemeriksaan rutin Indikasi
Urinalisis Semua pasien (diperiksa kadar gula
jika kadar gula dalam urin positif)
FBC (Full blood count) Semua perempuan; laki-laki > 40
tahun; operasi mayor
Urea, kreatinin, elektrolit Operasi mayor
9
EKG Usia > 50 tahun
Chest X-ray Usia > 60 tahun
Tes fungsi hati Operasi mayor pada pasien > 50 tahun
Pada pasien laki-laki usia 19 tahun didapatkan keluhan utama nyeri bahu
kanan sejak satu hari yang lalu setelah terjatuh dari bus. Pasien merasa bahunya
amblas, lebam banyak luka babras tetapi tidak ada pendarahan. Mekanisme
jatuhnya pasien pada saat akan turun dari bus pasien belum sempat
menginjakkan kaki di tanah bus sudah pergi sehingga pasien terjatuh ke aspal
dimana posisi terjatuh pasien, dengan bahu kanan sebagai tumpuan.
Berdasarkan riwayat pasien hal ini menunjukkan event dalam komponen AMPLE.
Dari anamnesis tidak didapatkan riwayat alergi obat ataupun makanan,
pengobatan sebelumnya termasuk di rumah sakit Gambiran dan penyakit
sebelumnya termasuk penyakit sistemik ataupun penyerta. Sedangkan last meal
pada pasien ini adalah nasi, sayur soup dan ikan ayam dan terakhir makan pada
pukul 22.00 dan terakhir minum pukul 02.00.
Pada pemeriksaan fisik pada pasien ini yang dilakukan saat di ruangan
dan pra-operasi saat di OK sentral menunjukkan dari breathing (B1)
menunjukkan bahwa pasien ini tidak sulit untuk dilakukan intubasi menggunakan
ETT. Dimana berdasarkan teori bahwa untuk pemasangan intubasi berdasarkan
klasifikasi Mallampati. Hal ini ditentukan dengan melinat anatomi dari rongga
mulut. Nilai Mallampati tinggi (kelas 3 atau 4) dikaitkan dengan intubasi lebih sulit
(Nuckton et al, 2006). Adapun klasifikasi dari mallampati adalah sebagai berikut:
Pada skor Mallampati kelas (1), palatum mole, isthmus faucium, uvula dan pilar-
pilar terlihat jelas. Pada kelas (2), palatum mole, isthmus faucium dan sebagian
uvula terlihat. Pada kelas (3), palatum mole dan basis uvula terlihat. Dan pada
kelas (4), hanya palatum durum yang terlihat.
10
(http//www. http://sectiocadaveris.files.wordpress.com/2010/06/mallampati.gif)
Bleeding (B2) pada pasien ini menunjukkan keadaan hemodinamik stabil
dimana pada pasien pra-operasi, durante operasi dan post operasi
menggunakan cairan kristaloid RL. Berdasarkan teori bahwa kristaloid terbagi
atas cairan hipotonik (maintenance-type solutions) untuk mengoreksi terutama
akibat hilangnya air dari tubuh. Cairan isotonik (replacement-type or balanced
salt solutions) untuk mengoreksi terutama disebabkan karena hilangnya air dan
elektrolit dari dalam tubuh. Cairan hipertonik contohnya seperti dekstrosa 30%,
dekstrosa 50%, salin hipertonik 3%, untuk pemberian nutrisi total parenteral dan
merupakan terapi hiponatremi berat. Peran daripada salin hipertonik dalam
resusitasi cairan masih dalam kontroversi dan masih dalam penyelidikan (Lee,
2006). Berdasarkan teori tersebut maka pada pasien ini diberikan cairan yang
bersifat hipotonik karena berdasarkan hasil laboratorium serum elektrolit pasien
ini normal. Brain (B3) dengan GCS 456 serta tidak adanya kelainan neurologis
maka tidak ada kemungkinan kesulitan dalam melakukan tindakan anestesi.
Bladder (B4) pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan urinalisis
karena tidak adanya gejala klinis serta riwayat yang menunjukkan adanya
kelainan pada fungsi ginjal, selain itu dari penggunaan kateter selama operasi
terdapat penambahan urin 150 cc selama ± 2 jam sehingga per jam ± 75 cc. Hal
ini menunjukkan pada pasien ini produksi urinnya dalam batas normal yaitu
sesuai dengan 1 cc/kgBB ditambah dengaan kualitas urin kuning jernih.
Bowel (B5) pada pasien ini dalam batas normal tidak didapatkan muntah
maupun diare, sehingga tidak mengganggu masalah yang berhubungan dengan
11
B2. Muntah dan diare akan menyebabkan tubuh kehilangan cairan dan elektrolit
sehingga terjadi dehidrasi akut dengan gejala klinis, hal ini akan mengganggu
hemodinamik dari penderita (Wirjoatmodjo, 2000).
Bone (B6) pada pasien ini didapatkan fraktur tertutup kommuniti pada os
clavicula dekstra. Berdasarkan teori, fraktur clavicula terutama yang mengalami
multiple traumatik, dilaporkan sekitar lebih dari 3% dengan fraktur clavicula
mengalami pneumotoraks (Trumble,et al, 2006). Sehingga hal ini dapat
menyebabkan gangguan nafas (B1) (Wirjoatmodjo, 2000). Namun pada pasien
ini tidak menunjukkan adanya gangguan pada B1 sehingga fraktur yang dialami
tidak menimbulkan penyulit yang berarti.
Untuk pemeriksaan laboratorium, pada teori dijelaskan bahwa sampai
usia 18 tahun pemeriksaan yang biasanya dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium tidak diperlukan kecuali uji pencocokan silang (cross-match) darah.
Setelah usia 18 tahun, pemeriksaan yang wajib harus dilakukan adalah
pemeriksaan Hb, hematokrit, kalium, kreatinin, gula darah, transaminase, dan
status pembekuan darah. Parameter laboratorium hanya dapat diukur bila
terdapat indikasi yang sesuai berdasarkan temuan pada anamnesis,
pemeriksaan klinis, atau berdasarkan jenis tindakan yang direncanakan (Wrobel
and Werth, 2011). Sedangkan pemeriksaan laboratorium pada pasien ini yang
dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, faal homeostasis dan serum
elektrolit dimana didapatkan hasil dalam batas normal. Hal ini sesuai dengan
teori yang telah disebutkan sebelumnya yaitu usia pasien diatas 18 tahun, dan
pada anamnesa serta pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan metabolisme.
Pada pasien ini telah dilakukan visite pre-operatif. Pada saat visite hal
yang perlu diperhatikan termasuk konfirmasi penderita, review diagnosis,
prosedur pembedahan, dan informed consent dari pasien. Selain itu anamnesia
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Juga perlu
ditanyakan riwayat anestesi sebelumnya dan riwayat alergi dan penyakit-penyakit
yang mempunyai potensi masalah saat anestesi seperti penyakit jantung, paru,
ginjal dan lain-lain. Pada pasien ini dari data pre-operasi (anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang,) didapatkan GCS 456, didiagnosa
dengan close fracture clavicula dextra 1/3 tengah communitif. Oleh karena itu,
status fisik pasien diklasifikasikan dalam ASA I dengan resiko kematian 0,06-
0,08%. Klasifikasi Risiko Anestesi berdasarkan American Society of
Anesthesiologists (ASA):
12
ASA 1 Pasien sehat
ASA 2 Penyakit sistemik ringan
ASA 3 Penyakit sistemik berat
ASA 4 Penyakit sistemik berat yang mengancam
nyawa
ASA 5 Harapan hidup < 24 jam, dengan atau tanpa
operasi
ASA 6 Pasien yang mati batang otak yang mau
mendonorkan organnya
E Pasien yang membutuhkan operasi emergensi.
Contoh: laki- laki/ 17 th/ apendisitis akut
termasuk ASA - I E
(www.asahq.org/For-Members/Clinical-Information/ASA-Physical-Status
Classification-System.aspx)
Evaluasi sirkulasi dengan melakukan pemeriksaan tensi, nadi, capillary
refill time serta suhu akral untuk mengetahui status cairan pasien. Pada pasien
ini tidak didapatkan adanya tanda-tanda hipovolemik, tamponade jantung,
ataupun sumber perdarahan eksternal maupun internal. Jumlah cairan yang
masuk pada pasien selama pre-operasi adalah 1500 cc. Cairan yang diberikan
selama durante-op adalah kristaloid (Ringer Laktat) sebanyak 1000 cc. Cairan
yang keluar pada pasien selama pre-operasi berupa urin sebanyak 250 cc,
sedangkan saat durante-op eksresi urin sebanyak 400 cc. Jadi pada pasien ini
terdapat penambahan produksi urin sebanyak 150 cc.
Pada pasien ini berat badannya 60 kg, dan diperkirakan Estimated Blood
Volume (EBV); BB x 70 (laki-laki) (Stoelting, 2006). Sehingga pada pasien ini
EBV nya 60 kg x 70 = 4200 cc. Allowed Blood Loss (ABL) diperkirakan 20 % dari
EBV (Stoelting, 2006). Pada pasien ini ABL nya adalah 20% x 4200 cc yaitu 840
cc. Pada pasien ini kehilangan darah selama durante-op sebanyak ± 200 cc.
Setelah keadaan sirkulasi stabil maka diberikan cairan maintenance intraoperatif
dengan rumus;
4 ml/ kgBB untuk 10 kg pertama
2 ml/ kgBB untuk 10 kg kedua
13
1 ml/ kgBB untuk setiap kg berikutnya
(Lee, 2006)
Pada pasien ini dari hitungan didapatkan jumlah cairan maintenance (4 cc x 10
kg) + (2cc x 10 kg) + (1 cc x 40kg) yaitu sebanyak 100 cc. Kehilangan cairan ke
Third Space Loss (TSL) berdasarkan jenis operasi. Pada operasi kecil
kehilangan cairan ke rongga ketiga sebanyak 4 cc/ kgBB, pada operasi sedang
kehilangan cairan sebanyak 6 cc/ kgBB, sementara pada operasi besar
kehilangan cairan sebanyak 8 cc/ kgBB (Stoelting, 2006). Pada pasien ini, pasien
menjalani operasi kecil sehingga kehilangan cairan ke rongga ketiganya
diperkirakan sebanyak 4 cc x 60 kg, yaitu sebanyak 240 cc.
Pada pasien ini tindakan untuk dilakukan operasi adalah termasuk dalam
kategori elektif. Propofol dipilih sebagai agen induksi pada pasien ini. Propofol
merupakan agen anestesi intravena yang mempunyai efek induksi anesthesia
cepat dan termasuk golongan hipnotik. Obat ini didistribusi secara cepat dan
eliminasi yang cepat. (Wirdjoadmodjo, 2000). Propofol tidak larut dalam air, tetapi
larutan 1% (10 mg / mL) yang tersedia untuk pemberian intravena sebagai emulsi
minyak dalam air yang mengandung minyak kedelai, gliserol, dan lesitin telur.
(Morgan G, 2005). Mekanisme propofol menginduksi keadaan anestesi umum
melibatkan fasilitasi inhibisi neurotransmitter yang dimediasi oleh GABA. Propofol
tidak mempunyai efek analgesik. Dosis yang dianjurkan adalah 2.5 mg/kgBB
untuk induksi tanpa premedikasi. Propofol menekan korteks adrenal dan
menurunkan kadar kortisol plasma, tetapi supresi adrenal cepat kembali dan
memberikan respons terhadap stimulasi ACTH. Propofol mengurangi aliran
darah ke otak dan tekanan perfusi otak. Propofol memberikan efek potensiasi
depresi SSP dan sirkulasi dengan obat golongan narkotik, sedative, obat
anestesi inhalasi. Potensiasi terjadi pada efek blockade neuromuscular dari
golongan obat pelumpuh otot non-depolarisasi. Efek samping propofol pada
system pernafasan adanya depresi pernafasan, apneu, bronkospasme dan
laringospasme. Pada system kardiovaskuler berupa hipotensi, aritmia, takikardia,
bradikardia, hipertensi. Pada SSP, adanya sakit kepala, pusing, euphoria,
kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, opistotonus, kejang, mual, muntah.
(Wirdjoadmodjo, 2000).
Propofol dipilih sebagai agen induksi intravena dikarenakan pasien sendiri
termasuk kategori normotensive. Agen induksi intravena pada pasien trauma
dengan normotensive termasuk thipentone dan propofol. (Lee, 2006). Namun,
14
mungkin karena pemulihan dari propofol lebih cepat dan disertai kurangnya
mabuk berbanding thiopental, methohexital, atau etomidate, membuatkan
propofol lebih cocok sebagai agen untuk anestesi rawat jalan sehingga menjadi
pilihan pertama sebagai agen induksi pada pasien ini. (Morgan G, 2005).
Propofol tidak dianggap sebagai analgesik, sehingga opioid seperti
fentanil dapat dikombinasikan dengan propofol untuk mengurangi rasa nyeri
pada saat induksi. Dosisnya 1-5 µg/ kg IV. Analgesik pada pasien ini digunakan
fentanil dan oksigenasi sebagai maintainance. Pada pasien ini juga turut
diberikan pre-medikasi dengan Midazolam dosis 2,5 mg. Ini mungkin
dikarenakan konsentrasi Fentanil dapat meningkat dengan pemberian
bersamaan propofol. Beberapa dokter memberi sejumlah kecil midazolam
(misalnya, 30 µg/kg) sebelum induksi dengan Propofol, mereka percaya
kombinasi ini menghasilkan efek sinergis (misalnya, onset lebih cepat dan lebih
rendah persyaratan dosis total). (Morgan G, 2005). Midazolam dikombinasikan
dengan agen induksi lain dengan teknik ko-induksi yang bertujuan untuk
mengurangi dosis utama agen induksi (Lee, 2006).
Pengobatan pre-medikatif untuk profilaksis mencegah terjadinya mual
dan mual post operatif termasuk Serotonin Antagonist (Ondansetron,
Tropizetron, Granisetron, Dolasetron), pro-kinetik gastrointestinal
(Metoclopramid) dan Fenotiazin (Ferfenazin). Anti-emetik sering diberikan secara
intravena sebelum operasi berakhir. Kerugian dari kegunaan anti-emetik
profilaksis termasuk meningkatkan biaya, hipotensi ortostatik, dan kadang-
kadang pasien tetap muntah dengan atau tanpa pemberian obat anti-emetik
profilaksis. (Stoelting, 2007). Pada pasien ini saat durante-op pasien mendapat
pengobatan dengan Ondasetron dan Metoclopramid.
Setelah pasien dipastikan tidak sadar dan mengalami relaksasi pada otot-
otot lurik termasuk otot-otot pernafasan, maka pasien membutuhkan kontrol jalan
nafas. Teknik kontrol jalan nafas yang dipilih pada pasien ini yaitu teknik intubasi
menggunakan pipa endotrakeal. Pada anestesi umum, intubasi endotrakeal
diperlukan untuk mempertahankan jalan nafas terutama pada pasien dengan
risiko aspirasi dan pada kontrol ventilasi. Kontraindikasi dari intubasi endotrakeal
antara lain obstuksi jalan nafas atas yang memerlukan surgical airway, dan
hilangnya landmark fasial atau orofaringeal total yang membutuhkan surgical
airway (Nicole, 2011).
15
Tidak digunakan Laryngeal Mask Airway (LMA) atau facemask karena
operasi diperkirakan memakan waktu sekitar satu setengah jam. LMA dan
facemask digunakan pada prosedur operasi yang berdurasi singkat (kurang dari
satu jam) dimana tidak dibutuhkan intubasi endotrakeal. Selain itu, LMA dan
facemask tidak dapat sepenuhnya melindungi pasien dari aspirasi terutama pada
pasien yang tidak puasa, juga tidak bisa digunakan pada ventilasi tekanan tinggi.
(Stoelting dkk, 2006).
Intubasi endotrakeal dapat dilakukan dengan pelepas otot atau tanpa
pelemas otot. Pada keadaan dimana perlu dilakukan intubasi dengan cepat,
maka lebih baik diberikan muscle relaxan dengan onset cepat. Pada pasien ini
dberikan atracurium yang merupakan non-depolarizing neuromuscular blocking
drug dengan onset yang sangat tergantung pada dosis yang dipakai. Onset pada
dosis intubasi 0.5 – 0.6 mg/ kgBB/ IV adalah 2-3 menit, sedangkan pada dosis
relaksasi otot 0,5 – 0.6 mg/ kgBB / IV adalah 15 – 35 menit. Fungsi syaraf otot
dapat terjadi secara spontan setelah lama kerja obat berakhir. Keunggulan
atracurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain adalah; metabolisme
terjadi di dalam darah (plasma) tanpa melalui fungsi hati atau ginjal, tidak
mempunyai efek kumulasi pada pemberian ulang dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna. (Muhimin M dkk, 1989).
Stadium pada anestesi umum seperti berikut; Stadium I (Analgesia).
Mulai anestesi diberikan sampai hilangnya kesadaran. Pada tahap ini penderita
masih sadar, karena itu tidak ada pola tertentu dari pernapasan, gerak bola mata
maupun lebar pupil. Stadium II (Delirium). Mulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan tahap bedah. Tahap I dan II bersama-sama disebut tahap induksi.
Pada tahap ini penderita mulai tidak sadar. Napas menjadi tidak teratur irama
dan amplitudnya. Napas kadang-kadang cepat, pelan atau berhenti sebentar.
Amplitud sesaat besar sesaat lagi kecil. Perlu dibedakan disini antara napas
yang berhenti sebentar karena tahap napas (breath-holding) pada tahap II dan
arrest napas (respiratory arrest) karena kelumpuhan medulla pada tahap IV.
Tahan napas dapat diketahui karena adanya tanda-tanda yang lain misalnya
penderita bergerak-gerak disamping itu anestesi baru sebentar dimulai. Bola
mata: masih bergerak, pupil: lebar. Refleks-refleks: Refleks-refleks jalan napas
meninggi. Stadium III (Pembedahan). Mulai dari berakhirnya tahap II sampai
berhentinya napas spontan. Dapat dibagi menjadi 4 bidang. Ciri umum dari tahap
III ini ialah: Napas jadi teratur (dinilai dari gerak dan suara napas) seperti orang
16
tidur nyenyak, Refleks bulu mata negative, Otot-otot jadi lemas, sehingga kepala
mudah digerakkan ke kiri dan kanan. Pada Bidang I napas: teratur, dalam, gerak
dada dan perut serentak. Amplitud gerak dada dan gerak perut sama atau
hampir sama. Pernafasan dada sangat nyata. Bola mata: Bergerak. Pupil: Kecil.
Pada Bidang II napas: Sama seperti bidang I hanya besarnya (amplutido)
berkurang. Bola mata: Tidak bergerak, pupil: Kecil. Pada Bidang III napas: napas
perut mulai lebih besar dari napas dada. Gerak dada tertinggal, bola mata: Tak
bergerak. Pupil: Mulai melebar, Refleks cahaya positif. Pada Bidang IV napas:
Otot interkostal telah lumpuh sama sekali. Hanya napas perut semata-mata.
Ciri lain: Inspiratori sangat cepat (jerkuy, gasping) seperti orang yang terisak
menangis. Pause setelah ekspirasi adalah lama. Akhirnya napas berhenti sama
sekali waktu penderita masuk tahap IV. Bola mata: Tidak bergerak, pupil:
Melebar hampir maksimum, reflex cahaya negative. Tanda Peringatan sebelum
masuk Tahap IV ialah napas hanya semata-mata perut. Dekat sebelum arrest
napas penderita biasanya gasping. Pupil melebar hampir maksimum, reflex
cahaya negative. Nadi kecil tensi rendah. Kulit pucat dingin dan basah
berkeringat. Tahap IV (kelumpuhan medulla). Mulai arrest napas sampai
gagalnya sirkulasi (Wirjoatmodjo, 2000).
Masalah pulih sadar pada anestesi rawat jalan tidak hanya dinilai asal
pasien telah sadar, tetapi ada hal yang lebih penting dan perlu diperhatikan,
mengingat pasien ini akan lepas dari pengawasan dokter/ perawat/ rumah sakit.
Sementara itu efek dari obat anestesi tidak semuanya telah hilang. Aldrette
scoring system digunakan untuk menilai masa pulih sadar, seperti tabel di bawah
ini. Pada pasien ini didapatkan Aldrette score post-op adalah 10 sehingga pasien
dipindahkan ke ruang rawat bedah.
Kriteria Skor
Recovery
out
Aktivitas
Dapat bergerak
Volunteer atau atas
perintah
4 anggota gerak 2
2 anggota gerak 1
0 anggota gerak 0
Mampu bernafas dan batuk secara bebas 2
17
Respiratori
Dyspnea, nafas dangkal atau terbatas 1
Apnea 0
Sirkulasi
Tensi
pre-op
___mmHg
Tensi ±20mmHg
pre-op
2
Tensi ± 20-50 mmHg pre-op 1
Tensi ± 50mmHg pre-op 0
Kesadaran
Sadar penuh 2
Bangun waktu dipanggil 1
Tidak ada respons 0
Warna Kulit
Normal 2
Pucat Kelabu 1
Sianotik 0
(Wirjoatmodjo, 2000)
18
DAFTAR PUSTAKA
Basmania CJ. IM Pin Fixation of Clavicle Frx. In: Clifford R. Wheeless, editors
[online]. 1993. Available from: URL: http://www.dukehealti.org/surgery/div
orthopaedic.asp .
Browner BD, Levine AM, Jupiter JB, Trafton PG, editors. Skeletal Trauma: Basic
science, Management and reconstruction. 3th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2003. p. 1633-47.
Bosson Nichole, 2011. Laryngeal Mask Airway. (online). Diakses dari
www.emedicine.medscape.com pada tanggal 10 Mei 2012
Crowther CL, editor. Primary Orthopedic Care. 2″d ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier; 2004. p. 46-7.
Hahn B. Clavicle, Fractures and Dislocations. In: Bruno MA, Coombs BD, Pope
TL, Krasny RM, Chew FS, editors [online]. 2007. Available
from:URL:http://www.emedicine.com .
Housner JA, Kuhn JE. Clavicle Fractures, 2003 December Vol 31. No 12.
Available from: URL:http://www.sportsmedicine.com.
Latief, SA., Suryadi, KA., Dachlan, MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi
Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.
Lee, CY. 2006. Manual of Anaesthesia. Faculty of Medicine. Universiti
Kebangsaan Malaysia: Mc Graw Hill.
Mettler FA, editor. Essentials of Radiology. I” ed. Philadelphia: Saunders
Company; 1996. p.293-300
Morgan G., Mikhail M., Murray M,. 2005. Clinical Anesthesiology, 4th Edition.
McGraw-Hill Medical. USA.
Muhimin M, Thaib R, Sunatrio S, Dahlan R., 1989. Anestesiologi. CV Infomedika,
Jakarta.
Nuckton TJ, Glidden DV, Browner WS, Claman DM. 2006). "Pemeriksaan fisik:
Mallampati skor sebagai prediktor independen dari apnea tidur
obstruktif". Tidur 29 (7): 903-8.
Trurnble TE, Budoff JE, Cornwall R, editors. Hand, Elbow and Shoulder: Core
Knowledge in orthopaedics. I” ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2006. p.
623-7.
19
Wirjoatmodjo K, 2000. Anestesi dan Reanimasi Modul dasar untuk Pendidikan
S1 Kedokteran. www.asahq.org/For-Members/Clinical-Information/ASA-
Physical-Status Classification-System.aspx (online) pada 10 Mei 2012
Wrobel, M., Werth. M. 2011. Anasthesie-Fibel. Munchen: Elsevier GmbH. Clinical
Anesthesiology,4thEdition
20