Upload
vocong
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REZA BANGUN
MAHARDIKA
LESSON LEARNED FOR INDONESIAKEBIJAKAN CATCHING-UP
DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
.
REZA BANGUN
MAHARDIKA
LESSON LEARNED FOR INDONESIAKEBIJAKAN CATCHING-UP
DALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Lesson Learned for Indonesia: Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
Penulis Reza Bangun Mahardika
Editor Reza Bangun Mahardika
Desainer GrafisAhmad Nur Hasan
Diterbitkan oleh Forbil Institute Hak Cipta dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak atau mengutip sebagian atau seluruh isi buku
tanpa izin tertulis dari Forbil Institute.
Cetakan Pertama Dicetak di Yogyakarta, Indonesia. ISBN
Forbil InstituteJl. Pandega Asih I, Perum Sari Asih I Blok B17, Condongcatur, Yogyakarta,
Indonesia 55281
Telp: +62 (274) 43662864Tel. Seluler: +62 81578011199Email: [email protected]
VBANGUN MAHARDIKA
KATA PENGANTAR
Industri merupakan penopang utama dari perekonomian Indonesia.
Kontribusi Industri terhadap perekonomian Indonesia mencapai 20
persen dan lebih tinggi dibandingkan sektor lapangan usaha lainnya.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa terjadi perlambatan pertumbuhan
industri di Indonesia, apalagi sejak periode sesudah krisis 1997-1998. Hal
ini tentunya membutuhkan perhatian, mengingat Indonesia juga tengah
bersiap memasuki Revolusi Industri 4.0.
Buku ini merupakan salah satu seri buku dari Forbil Institute. Buku
“Lesson Learned for Indonesia: Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi
Industri 4.0” diharapkan dapat menjadi pengantar singkat untuk
memahami kondisi industri Indonesia dan kebijakan apa saja yang harus
dilakukan agar industri Indonesia mampu bersaing di masa industri 4.0.
Tidak hanya itu, buku ini juga memberikan bagaimana lesson learned dari
negara-negara yang telah berhasil menerapkan kebijakan untuk
menyambut datangnya industri 4.0.
Akhir kata, selamat membaca!
Dr. Nanang Pamuji Mugasejati
Direktur Forbil Institute
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA
JudulKata PengantarDaftar IsiDaftar GrafikDaftar TabelDaftar BaganLatar BelakangSelayang Pandang Kebijakan Industri di Indonesia (1966-
1996)Kebijakan Industri untuk melakukan Catching-up Belajar dari Industrialisasi KoreaNegara yang telah Bersiap di Masa Revolusi Industri 4.0 Industrie 4.0 JermanKebijakan untuk Menyambut Revolusi Industri 4.0: Making
Indonesia 4.0Tantangan Implementasi Kebijakan di IndonesiaLesson learned Kebijakan Industri 4.0KesimpulanDaftar PustakaProfil Penulis
VI
DAFTAR ISI
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
IV
VIVIIVIIVII
16
911161821
2628303235
DAFTAR GRAFIK
Tabel 1. Kebijakan Industri di IndonesiaTabel 2. Kebijakan Industri di IndonesiaTabel 3. Rencana Pembangunan Korea (1962-1996)Tabel 4. Dimensi Kebijakan Industri 4.0Tabel 5. Lesson learned Kebijakan Industri 4.0
Bagan 1. Pemetaan Ekspor IndonesiaBagan 2. Implementasi Kebijakan Industri 4.0 Bagan 3. Fokus Sektor dan Teknologi JermanBagan 4. Manfaat Industri 4.0 di IndonesiaBagan 5. Making Indonesia 4.0Bagan 6. 10 Proritas Nasional Making Indonesia 4.0
Peta Jalan Implementasi Making Indonesia 4.0Bagan 7.
VII
DAFTAR TABEL
DAFTAR BAGAN
610121728
4161921222225
BANGUN MAHARDIKA
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA
Grafik 1. Kontribusi Sektor Usaha terhadap PDBGrafik 2. Pertumbuhan Sektor Industri 1987-2017Grafik 3. Pertumbuhan Produktivitas Pekerja Indonesia
123
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling
berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia pada periode 2014
sampai 2017, Industi pengolahan berkontribusi di kisaran 20 persen dan
merupakan kontributor utama dari produk domestik bruto Indonesia. Di
tahun 2017, kontribusi PDB sektor pengolahan mencapai 20,16 persen
dan lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan
yang mencapai 13,14 persen dan Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor sebesar 13,01 persen.
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA
LATAR BELAKANG
1
Grafik 1. Kontribusi Sektor Usaha terhadap PDB
Sumber: Laporan Perekonomian Indonesia, 2018
Kontribusi Sektor Usaha terhadap PDB 2014-2017 (%)
2014 2015 2016 2017
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
Pe
ng
ad
aa
n L
istr
ik d
an
Ga
s
Ko
nst
ruk
si
Tra
nsp
ort
asi
da
n P
erg
ud
an
ga
n
Info
rma
si d
an
Ko
mu
nik
asi
Jasa
Ke
ua
ng
an
da
n A
sura
nsi
Re
al E
sta
te
Jasa
Pe
rusa
ha
an
Pe
ng
ad
aa
n A
ir, P
en
ge
lola
an
Sa
mp
ah
,Lim
ba
h d
an
Da
ur
Ula
ng
Pe
rda
ga
ng
an
Be
sar
da
n E
cera
n;
Re
pa
rasi
Mo
bil d
an
Se
pe
da
Mo
tor
Ad
min
istr
asi
Pe
me
rin
tah
an
, P
ert
ah
an
an
da
n J
am
ina
n S
osi
al W
ajib
Jasa
Pe
nd
idik
an
Jasa
Ke
seh
ata
n d
an
Ke
gia
tan
So
sia
l
Jasa
la
inn
ya
Pe
rta
nia
n, K
eh
uta
na
n, d
an
Pe
rik
an
an
Pe
rta
mb
an
ga
n d
an
Pe
ng
ga
lia
n
Ind
ust
ri P
en
go
lah
an
Pe
nye
dia
an
Ako
mo
da
si d
an
Ma
ka
n M
inu
m
2
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Besarnya kontribusi industri pengolahan menunjukan adanya
peralihan sektor ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri. Namun,
perlu diperhatikan bahwa setelah dihantam oleh krisis ekonomi di tahun
1997, pertumbuhan sektor industri Indonesia mengalami perlambatan.
Kontribusi industri pengolahan terhadap PDB dari tahun 2014 ke 2017
menunjukan tren yang menurun. Penurunan tren dari pertumbuhan
industri nasional dapat dilihat pada grafik di bawah ini
Grafik 2. Pertumbuhan Sektor Industri 1987-2017
Sumber: Bank Dunia, 2018
Pertumbuhan Sektor Industri 1987-2017 y-o-y (%)
15
10
5
0
-5
-10
-15
-20
1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017
Pada masa sebelum krisis (1988-1997) rata-rata pertumbuhan
sektor industri mencapai 11,68 persen. Namun, pada periode setelah krisis
(1998-2007), sektor industri hanya mampu tumbuh dibawah 5 persen.
Selanjutnya, pada tahun 2011, pertumbuhan PDB manufaktur non migas
mencapai puncaknya sebesar 6,43 persen. Namun, setelah tahun
tersebut, pertumbuhan PDB manufaktur terus menurun dan di tahun
2017 hanya sebesar 4,18 persen. Hal ini tentu berhubungan dengan
kinerja dari produktivitas pekerja Indonesia.
BANGUN MAHARDIKA
Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang paling
berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia pada periode 2014
sampai 2017, Industi pengolahan berkontribusi di kisaran 20 persen dan
merupakan kontributor utama dari produk domestik bruto Indonesia. Di
tahun 2017, kontribusi PDB sektor pengolahan mencapai 20,16 persen
dan lebih tinggi dibandingkan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan
yang mencapai 13,14 persen dan Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi
Mobil dan Sepeda Motor sebesar 13,01 persen.
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA3
Grafik 3. Pertumbuhan Produktivitas Pekerja Indonesia
Sumber: Penn World Trade; IMF dalam BAPPENAS 2018
Labor Productivity Growth
(Percent, period average)9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
-1
-2
Indonesia China India Malaysia Thailand Philippines
1981-1995
2000-2014
Grafik diatas menunjukan bahwa produktivitas tenaga kerja
Indonesia cenderung stagnan selama lebih dari dua dekade. Bandingkan
dengan kenaikan produktivitas dari Tiongkok dan India. Hal tersebut tentu
menyebabkan Indonesia kehilangan daya saing terhadap tenaga kerja luar
negeri.
Hal tersebut menyebabkan komposisi produk ekspor Indonesia
masih homogen didominasi oleh produk hasil alam seperti batubara, CPO
dan karet sehingga ekspor Indonesia tidak terlalu terdiversifikasi.
Pemetaan terkait dengan ekspor Indonesia dapat dilihat dari bagan
dibawah ini.
4
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Bagan.1 Pemetaan Ekspor Indonesia
Sumber: BAPPENAS, 2018
Pertumbuhan Sektor Industri 1987-2017 y-o-y (%)
Kinerja industri Indonesia yang mengalami perlambatan tentu
menimbulkan pertanyaan besar mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Menurut BAPPENAS (2018) berbagai isu strategis di dalam perindustrian
Indonesia meliputi: Tren pertumbuhan dan kontribusi PDB industri
menurun; Ketahanan rantai pasok/nilai industri rendah; kekurangan
industri hulu dan pendukung; ketidakharmonisan kebijakan;
ketergantungan impor bahan baku dan penolong; ekonomi biaya tinggi
(logistik dan kemudahan berusaha); produktivitas tenaga kerja industri
stagnan; produk industri nasional didominasi produk dengan kualitas dan
kandungan teknologi rendah; ekspor produk manufaktur didominasi
produk berteknologi rendah.
Makanan dan hewan hidup untuk makanan
Minuman dan tembakau
Bahan mentah (tidak dapat dimakan)
Bahan bakar, pelumas dan bahan terkait
Minyak hewani dan nabati, lemak dan lilin
Produk kimia dan terkait
Barang manufaktur
Permesinan dan transportasi
Barang manufaktur lainnya
Lainnya
BANGUN MAHARDIKA
Berbagai tantangan di dalam perindustrian Indonesia tentu harus
diperhatikan. Kebijakan yang tepat dibutuhkan agar industri Indonesia
dapat tumbuh lebih cepat. Apalagi, Indonesia juga harus bersiap untuk
menghadapi masa revolusi industri 4.0. Di masa revolusi industri 4.0,
penggunaan teknologi canggih akan diimplementasikan didalam sistem
produksi manufaktur dan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi.
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia harus “belajar” mengenai kebijakan
industri di berbagai negara yang berhasil melakukan catching-up negara-
negara maju.
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA5
6
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Tabel 1. Kebijakan Industri di Indonesia
Sumber: Tijaja dan Faisal, 2014
Indonesia baru memulai industrialisasi di awal 1960-an
(Aswicahyono et al. 2013). Indonesia tertinggal dari tetangga Asia lainnya
dan tidak merasakan industrialisasi model state-orchestrated seperti
Tiongkok dan India, serta tidak merasakan pertumbuhan berbasis ekspor
yang kemudian berlangsung di negara industrialisasi baru Asia
(Aswicahyono et al. 2013). Sektor industri modern Indonesia didominasi
oleh Badan Usaha Milik Negara yang sebenarnya sudah ada sejak jaman
Belanda sebelum perang pasifik dan kemudian dinasionalisasi di tahun
1957-1958 (Aswicahyono et al. 2013).
Kebijakan industri Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa
periode. Berikut adalah ringkasan dari kebijakan industri di Indonesia
SELAYANG PANDANG KEBIJAKAN INDUSTRI DI INDONESIA (1966-1996)
Periode Kebijakan
1966 sampai 1973
1970-an sampai 1980-an
Pertengahan 1980-an sampai 1996
Stabilisasi dan Penyesuaian
Proteksionisme dan Intervensi yang tegas
Orientasi dan Rasionalisasi Ekspor
Pada awal orde baru (1966-1973), perekonomian Indonesia
mengalami stagnansi dan ditunjukan oleh nilai PDB perkapita menurun,
inflasi yang tinggi dan defisit fiskal karena ekspansi moneter (Rock, 2003).
Pemerintah harus melakukan kebijakan keseimbangan anggaran agar
defisit tidak semakin memburuk. Di periode ini pemerintah fokus untuk
meraih kestabilan makroekonomi. Selanjutnya, pemerintah juga
mengadopsi open capital yang dapat dikonversi ke rupiah agar mampu
menarik investor asing. Setelah mengalami stagnansi selama satu dekade,
Indonesia mulai merasakan industrialisasi yang cepat diikuti oleh
perubahan dan reformasi di bidang politik dan ekonomi.
BANGUN MAHARDIKA
Pada periode 1970-1980 kondisi makroekonomi semakin stabil berkat
adanya oil boom di tahun 1973, sehingga Indonesia mendapat manfaat dari
berbagai sumber daya yang masuk (Tijaja dan Faisal, 2014).
Pada tahun 1970 sampai awal 1980-an, kebijakan industri dan
perdagangan diatur oleh Kementerian Perdagangan dan Perindustrian.
Pada periode ini, proses perizinan untuk investasi perizinan rumit.
Penentuan apakah sektor tersebut terbuka atau tertutup untuk investasi
dibedakan berdasarkan status perusahaan serta melihat apakah mereka
perusahaan asing, domestik atau skala kecil (Tijaja dan Faisal, 2014).
Investasi terbuka dan fasilitas impor disediakan hanya untuk sektor-sektor
investasi yang masuk dalam daftar prioritas (Tijaja dan Faisal, 2014). Pada
periode ini, keputusan investasi didasarkan kepada apakah sektor tersebut
merupakan sektor prioritas dibandingkan kelayakan ekonomi dari proyek
tersebut (Tijaja dan Faisal, 2014). Peran dari BUMN di periode ini juga besar,
mengingat sektor domestik privat Indonesia masih lemah (Tijaja dan Faisal,
2014). Pada akhirnya, berbagai fasilitas untuk pertumbuhan yang
disediakan pemerintah ditujukan untuk melayani kepentingan para elit
politik(Tijaja dan Faisal, 2014). Para elit bisnis tersebut bergantung kepada
para elit politik untuk menjamin berbagai perizinan dari kebijakan
Indonesia (Tijaja dan Faisal, 2014). Pada pertengahan 1980-an sampai 1996, adanya oil boom
menyebabkan kontribusi dari pendapatan minyak mencapai 70 persen
dari total pendapatan (Tijaja dan Faisal, 2014). Ketika harga minyak mulai
turun di awal 1980-an, Indonesia berhasil menghindari krisis dengan
karena mampu mengantisipasi masalah ketergantungan kepada minyak
(Tijaja dan Faisal, 2014). Pertengahan 1980-an merupakan periode
reformasi kebijakan. Salah satu kunci reformasi tersebut adalah reformasi
kepabeanan yang berhasil mengurangi waktu kliring dan biaya impor (Tijaja
dan Faisal, 2014). Reformasi ini juga diikuti oleh paket deregulasi pada Mei
1986 yang melibatkan Pusat Pengelolaan Pembebasan dan Pengembalian
Bea Masuk (P4BM) (Tijaja dan Faisal, 2014). Bahkan Pemerintah
mendevaluasi rupiah hingga 45 persen di Agustus 1986 agar nilai rupiah
mampu menyesuaikan dengan dolar (Tijaja dan Faisal, 2014). Pemerintah
turut mereformasi berbagai investasi dengan cara mengganti daftar
negatif investasi menjadi daftar prioritas investasi (Tijaja dan Faisal, 2014).
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA7
8
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Reformasi ini berkontribusi terhadap adanya investment boom di Indonesia.
Pada periode 1970 sampai 1996, industri mampu tumbuh rata-rata
setidaknya 9 persen pertahun. Bahkan di tahun 1996 Indonesia telah naik
kelas hingga masuk ke dalam kelompok middle-income group. Sayangnya
krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1997-1998 memukul perekonomian
Indonesia dengan sangat keras dan masih berpengaruh sampai sekarang. Masuk pada periode 2000 sampai 2004, Indonesia masih sulit untuk
meraih momentum pertumbuhannya kembali. Kinerja berbagai sektor
tentu bervariasi, namun sektor manufaktur merupakan sektor yang paling
terdampak krisis tersebut. Sejak tahun 2000, sektor industri hanya tumbuh
sedikit lebih dari separuh tingkat di masa sebelum krisis (Aswicahyono et al,
2010). Prioritas pemerintah adalah meraih kestabilan makroekonomi
kembali. Indonesia diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan sektor
industrinya seperti di masa sebelum krisis. Tentunya Indonesia dapat
belajar dari negara-negara lain agar mampu menyusun kebijakan industri
yang lebih tepat dan efisien. Indonesia perlu belajar untuk melakukan
kebijakan berbasis catching-up seperti Korea. Apalagi Indonesia tengah
bersiap memasuki masa revolusi industri 4.0.
BANGUN MAHARDIKA
Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan merupakan fenomena
modern yang mulai tumbuh di abad ke 18. Sebelumnya, rata-rata
pertumbuhan tahunan produk domestik bruto per kapita (PDB) hanya
sebesar 0,05 persen (Lin, 2017). Dengan tingkat pertumbuhan tersebut,
suatu perekonomian negara butuh waktu selama 1400 tahun untuk
meningkatkan PDB perkapitanya sebesar dua kali lipat (Maddison, 2006).
Pada periode abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-19, pertumbuhan
PDB perkapita Eropa Barat meningkat menjadi 1 persen (Lin, 2017). Pada
periode pertengahan abad ke-19 sampai sekarang, PDB perkapita mampu
tumbuh hingga 2 persen per tahun. Hal tersebut disebabkan oleh
kontribusi dari revolusi industri di pertengahan abad ke-18 yang
menghasilkan inovasi dan teknologi sehingga terjadi peningkatan
produktivitas pekerja yang selanjutnya turut mempercepat pertumbuhan
PDB perkapita (Lin, 2017).
Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi di era modern merupakan
hasil dari inovasi teknologi, yang meningkatkan produktivitas pekerja di
sektor industri dan menyebabkan adanya perpindahan dari industri
bernilai tambah rendah (low value-added industries) ke industri yang
memiliki nilai tambah tinggi (higher value-added).
Teori mengenai efek dari catching-up memiliki peran penting untuk
menjelaskan dampak dari teknologi catching-up terhadap proses
pertumbuhan di berbagai negara berkembang. Hipotesis dari catching-up
menjelaskan bahwa negara yang tertinggal, dengan tingkat pendapatan
dan produktivitas yang rendah, akan tumbuh lebih cepat jika “meniru”
teknologi dari negara maju, tanpa harus menanggung biaya yang terkait
R&D (Lim dan McAleer, 2002).
Terdapat cerita yang menarik dari perubahan ekonomi di beberapa
negara di benua Asia. Pada tahun 1960, Korea Selatan merupakan negara
yang lebih miskin dibandingkan negara-negara lain di Afrika sub-Sahara.
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA
KEBIJAKAN INDUSTRI UNTUK MELAKUKAN CATCHING-UP
9
10
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Data diatas menunjukan bahwa PDB perkapita Korea Selatan dan
Taiwan di tahun 1960 jauh berada di bawah Brazil, Mexico dan Argentina.
Namun, di tahun 1989 baik Korea Selatan dan Taiwan nilai PDB
perkapitanya mampu diatas Brazil, Mexico dan Argentina. Bahkan nilai PDB
perkapita Taiwan hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan PDB Brazil,
padahal Brazil merupakan salah satu negara terluas di dunia. Mengapa hal
ini bisa terjadi?
Menurut Amsden (1989) dan Wade (1990) kemajuan di Korea
Selatan dan Taiwan di periode 1960-1989 lebih dari sekadar memberikan
kebebasan pasar serta kontrol atas keuntungan komparatif. Kedua peneliti
tersebut berpendapat bahwa baik Korea Selatan dan Taiwan memiliki
prioritas kebijakan industri yang jelas dan pemerintah tidak segan-segan
memberikan intervensi (melalui subsidi, pembatasan perdagangan,
panduan administratif, badan usaha milik negara dan alokasi kredit) agar
mampu membentuk keunggulan komparatif negara yang sesuai dengan
tujuan yang diharapkan. Selanjutnya pada bab ini akan dibahas kebijakan
industri di negara Korea secara lebih mendetail agar dapat menjadi
pembelajaran bagi Indonesia dalam membuat kebijakan industri.
Tabel 2. Perekonomian di Dunia
Sumber: Penn World Table 5.5 dalam Rodrik (1994)
Negara
Korea Selatan
Taiwan
Ghana
Senegal
Mozambique
Brazil
Mexico
Argen�na
883
1359
873
1017
1128
1745
2798
3294
PDB perkapita 1960(1985 dollar)
PDB perkapita 1989(1985 dollar)
6206
8207
815
1082
756
4138
5163
3608
Pertumbuhan PDB perkapita 1960-1989 (%)
6,82
6,17
-0,54
0,16
-2,29
3,58
2,36
0,63
BANGUN MAHARDIKA
Korea merupakan salah satu contoh dari sedikit negara di dunia yang
berhasil melakukan transformasi perekonomian domestik, dari berbasis
pertanian menjadi salah satu negara dengan industri terkemuka di dunia
(OECD, 2012). Pada tahun 1960an sampai tahun 2000, Korea berhasil
“keluar” dari kemiskinan, mencapai pertumbuhan ekonomi yang impresif
dan berkelanjutan dan berhasil meraih posisi di pasar global melalui
kepemimpinan teknologi di beberapa sektor knowledge-insentive. Strategi
catching-up dari Korea merupakan salah satu kesuksesan yang patut
dijadikan pembelajaran bagi negara-negara berkembang agar dapat
“menyusul” negara maju.
Studi mengenai perkembangan teknologi Korea (Hillebrand 1996;
Kim 1997) menunjukan bahwa catch-up Korea selama lima puluh tahun
terakhir dapat dibagi menjadi tiga tahap:
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA11
BELAJAR DARI INDUSTRIALISASI KOREA
1
2
Tahap pertama yaitu 1970-an, yaitu periode mengenal dan meniru
teknologi asing.
Tahap kedua yaitu 1980-an, yaitu periode pembentukan
kapabilitas penelitian dan pengembangan di tahun 1980-an.
Tahap ketiga yaitu 1990-an, yaitu periode membangun dasar
kapabilitas penelitian.3
Pada tahun 1962 sampai 1992, Pemerintah Korea menyusun
rencana pembangunan ekonomi lima tahunan selama selama tujuh
periode berturut-turut. Dalam rencana pembangunan tersebut,
Pemerintah Korea Selatan menetapkan target yang jelas dan berhasil
melakukan koordinasi yang dengan para pemegang kepentingan seperti
dari sektor industri dan teknologi, perdagangan, infrastruktur dan
pendidikan. Berikut adalah rencana pembangunan ekonomi lima tahunan
dari Korea beserta tujuan utamanya
12
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Pada periode pertama, Korea fokus pada industri ringan dan belum
meningkatkan kapasitas untuk penelitian dan pengembangan (R&D). Pada
dekade pertama, Korea memprioritaskan kebijakan substitusi impor
dengan meregulasi aliran modal asing dan melindungi industri domestik.
Di saat yang sama, Korea memulai investasi besar-besaran di infrastruktur
dan sumber daya manusia.
Tabel 3. Rencana Pembangunan Korea (1962-1996)
Sumber: Kim et al, (2011) dalam OECD, 2012
Periode 1 (1962-1966)
Periode 2 (1967-1972)
Periode 3 (1972-1976)
Periode 4 (1977-1981)
Periode 5 (1982-1986)
Periode 6 (1987-1991)
Periode 7 (1992-1996)
Rencana Pembangunan Ekonomi Lima tahunan
Tujuan Utama
Membangun industri domestik ringan
seperti industri tekstil
Pembangunan infrastruktur: Pembangkit Listrik
Membangun industri kimia dan industri berat
seperti Baja, Mesin, Kimia, Pembuatan kapal
Pembangunan Infrastruktur:
Gyeongbu Expressway (Seoul-Busan)
Restrukturisasi Industri: Membangun Industri berat dan kimia (Kawasan Industri)
Restrukturisasi Industri: Memperkuat industri berat dan industri kimia (membangun basis kapabilitas teknologi)
Stabilisasi Ekonomi: Daya saing industri melalui membuka perekonomian dan rasionalisasi
Reformasi regulasi an deregulasi
Mendukung industri berteknologi canggih
Membangun kapabilitas teknologi canggih
dan inovasi
Revitalisasi ekonomi
Membangun pondasi dasar yang kuat untuk
keseimbangan pembangunan sektor industri
dan perusahaan
BANGUN MAHARDIKA
Di periode 1960-1970 konsentrasi utama perusahaan di Korea
hanya di perakitan dasar (Karimov, 2013) dan memulai masa manufukatur.
Barang-barang yang sederhana yang dirakit di Korea berasal dari
perusahaan transnasional asing (TNC) dan kebanyakan berasal dari
Amerika dan Jepang, dibawah perjanjian sub-kontrak yang bernama
original equipment manufacturer (OEM) (Karimov, 2013). Melalui skema
OEM, perusahaan TNC asing memasok desain, teknologi, dan pelatihan
yang diperlukan dan kemudian produk didistribusikan di pasar negara
maju dibawah nama merknya sendiri. (Karimov, 2013). Berkat skema
tersebut, Samsung dan perusahaan lainnya tidak hanya belajar langsung
dari sang ahli, namun juga berinovasi dan meningkatkan kualitas produk
manufakturnya (Karimov, 2013).
Pada awal 1980-an, nilai dari R&D berada di bawah 1 persen dari
pendapatan nasional, sehingga nilai R&D di saat itu memang sangat
rendah. Pada periode keempat (1982-1986) Korea memulai untuk
membangun pondasi untuk investasi di bidang pembangunan ilmu
pengetahuan endogenous dan kapabilitas teknologi (Kim et al. 2012).
Perusahaan di Korea memulai investasi R&D secara masif di periode
tersebut. Salah satu tujuan dari melaksanakan R&D adalah meraih posisi
barganing yang lebih kuat dalam meraih lisensi perusahaan asing dan
dengan memiliki teknologi asing, perusahaan Korea dapat melakukan
catching-up untuk membangun kapabilitas teknologi internal.
R&D di Korea mulai meningkat ketika perusahaan asing mulai
menolak untuk “membagi teknologi mereka” (Kim, 1997). Sebagai contoh,
Mitsubishi, sebagai perusahaan yang menyediakan “inti-teknologi” untuk
Hyundai motor, menolak untuk memperbaharui kontrak di pertengahan
1980-an ketika perusaahaan otomotif Korea berhasil menembus pasar
amerika utara dengan model excel-nya (Kim, 1997). Contoh lainnya adalah
LG elektronik dimana tidak ada perusahaan TV berwarna asing yang mau
memberikan lisensinya ke perusahaan Korea untuk membantu mereka
dalam masuk ke pasar Amerika di pertengahan 1970-an.
Kontribusi dari meningkatnya investasi R&D juga didorong oleh
peran dan kelompok industri besar di Korea (Chaebols) (Hemmert, 2007).
Pada pertengahan 1990-an, para perusahaan di Korea telah mampu
memproduksi barang yang desain produknya original dan mereka mulai
bergantung kepada R&D mereka sendiri untuk berinovasi (Karimov, 2013).
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA13
14
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Pendidikan turut memiliki peran penting di dalam pembangunan
industrialisasi Korea Selatan. Jong-Ha (2006) menjelaskan mengenai peran
dari pendidikan pada berbagai fase industrialisasi di Korea. Hal yang patut
diperhatikan dari Pemerintah Korea adalah bahwa sistem pendidikannya
berkembang beriringan dengan proses industrialisasi. Proses
industrialisasi dari Korea bergantung kepada perencanaan dari
pemerintah pusat. Selanjutnya, ketika industri membutuhkkan berbagai
jenis keahlian dari tenaga kerja, pemerintah akan berusaha untuk
memenuhi kebutuhan tersebut dengan menyusun sistem pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhan ( Jong-Ha, 2006).
Sebagai contoh, ketika industri banyak membutuhkan pekerja
manual, maka Sekolah dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
dikembangkan secara masif oleh pemerintah; ketika pekerja dengan
keahlian teknis dibutuhkan, maka pendidikan vokasi langsung
dikembangkan oleh Korea dan ketika industri teknologi tinggi mulai
berekspansi, maka investasi di pendidikan tinggi, khususnya di bidang sains
dan teknologi turut meningkat ( Jong-Ha, 2006).
Jika mengikuti rencana lima tahunan pembangunan ekonomi Korea,
pada periode pertama (1960-an) belum ada peningkatan permintaan akan
pekerja dengan keahlian yang luar biasa (high sophisticated skills). Pekerja
yang dibutuhkan hanya pekerja yang memiliki keahlian dasar seperti
membaca buku panduan dan industri di pabrik ( Jong-Ha, 2006). Pada
tahun 1970-an, perekonomian beralih ke sektor capital-intensive yaitu
industri berat beserta industri kimia dan struktur industri tersebut tentu
membutuhkan keahlian dan pengetahuan yang berbeda dengan periode
sebelumnya ( Jong-Ha, 2006). Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah Korea
mulai fokus membangun sekolah menengah beserta sekolah menengah
kejuruan (SMK) dan sekolah mekanik (mechanical schools) ( Jong-Ha, 2006).
Fokus pada industri berat dan kimia terus berlanjut hingga tahun
1980-an. Hal ini menyebabkan kebutuhan untuk meningkatkan kualitas
pekerja serta merekrut pekerja teknis pada level menengah ( Jong-Ha,
2006). Hal ini menyebabkan adanya investasi besar-besaran dalam
membangun perguruan tinggi teknik pada level junior yang menawarkan
program 2 tahun setelah lulus dari sekolah menengah atas ( Jong-Ha, 2006).
Di saat yang sama, kuota untuk sistem kuliah 4 tahun juga turut meningkat
di Korea ( Jong-Ha, 2006).
BANGUN MAHARDIKA
Pada tahun 1980-an, industri juga mulai masuk ke dalam model
technology-intensive industries. Kebutuhan akan teknisi dan insinyur dengan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi semakin meningkat ( Jong-Ha, 2006).
Selanjutnya, fokus pemerintah Korea adalah di tingkat Unviersitas ( Jong-
Ha, 2006). Kuota institusi pendidikan tinggi di bidang ilmu pengetahuan
alam, teknik dan manajemen bisnis. Penelitian di ilmu dasar baik di level
sarjana dan pasca-sarjana juga semakin meningkat ( Jong-Ha, 2006).
Dapat disimpulkan bahwa perkembangan sistem pendidikan Korea
berjalan seiringan dengan industrialisasi-nya. Berbagai jenis dan tingkat
pendidikan terus dikembangkan agar mampu menghasilkan tenaga kerja
yang sesuai dengan kebutuhan industri. Agar Indonesia mampu
mengimplementasikan industri 4.0, maka sistem pendidikannya juga harus
beriringan dengan industri 4.0 itu sendiri. Banyak hal yang bisa dipelajari
dari proses industrialisasi Korea dan Indonesia harus mau belajar dan
berinovasi.
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA15
NEGARA YANG TELAH BERSIAP DI MASA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
16
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Bagan 2. Implementasi Kebijakan Industri 4.0
Sumber: A.T Kearney (2018)
Berikut adalah beberapa inisiatif dari berbagai negara yang telah
menebitkan kebijakan untuk menyambut datangnya industri 4.0. A.T
Kearney (2018) membaginya menjadi tiga tahap pendewasaan
Terdapat tiga negara yang telah berada di tahap implementasi dan
merasakan manfaat dari penerapan implementasi teknologi 4.0 yaitu
Jerman, Amerika dan Inggris. Ketiga negara tersebut telah meluncurkan
kebijakan untuk menyambut industri 4.0 sejak tahun 2011. Dari kelima
negara di tahap implementasi awal, sudah ada dua negara ASEAN yang
mencoba mengimplementasikan teknologi 4.0 yaitu Thailand dan
Singapura, selanjutnya ada Tiongkok, Korea, dan Jepang. Negara ASEAN
lainnya yang masih berada di tahap merencanakan adalah Malaysia,
Vietnam, Filipina dan termasuk Indonesia.
BANGUN MAHARDIKA
Beberapa negara di Eropa telah menerapkan inisiatif untuk
mengimplementasikan Industri 4.0. Negara tersebut meliput Jerman,
Prancis, Italia, Belanda, Spanyol, Swedia, dan Inggris. Dimensi kebijakan
yang diterapkan di negara-negara tersebut akan ditunjukan melalui bagan
di bawah ini:
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA17
Tabel 4. Dimensi Kebijakan Industri 4.0
Sumber: European Commission, 2017
Dimensi kebijakan tersebut diukur melalui tiga indikator pilihan
kebijakan, yang pertama adalah pilihan indikator pembiayaan dari negara
atau privat, kedua adalah pilihan antara indikator teknologi/infrastruktur
atau keahlian dan ketiga adalah pilihan kebijakan antara model kebijakan
top-down atau bottom up (Klitou et al. 2017).
18
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Dari bagan diatas, berbagai negara di Eropa menunjukan bahwa
investasi dari negara memiliki peran yang lebih besar dibandingkan sektor
swasta (Klitou et al. 2017). Kedua, berbagai negara diatas fokus dalam
mengembangkan teknologi dan infrastruktur, sedangkan skill/keahlian
dipandang sebagai tujuan kedua (Klitou et al. 2017). Sebagai pengecualian,
Swedia dan Ceko fokus dalam mengembangkan keahlian untuk sektor
manufaktur dan secara khusus keahlian di sektor digital (Klitou et al. 2017).
Dalam bidang kebijakan top-down atau bottom-up, kebanyakan negara
diatas menerapkan kebijakan yang top-down (Klitou et al. 2017). Dengan
menerapkan kebijakan top-down, kebijakan pemerintah merupakan
pendorong utama di dalam implementasi teknologi industri 4.0 (Klitou et
al. 2017). Dalam indikator ini, Swedia dan Belanda justru lebih fokus di
bottom-up. Dalam program Produktion 2030, pihak industri, akademisi dan
lembaga penelitian memiliki tanggung jawab untuk mendesain inisiatif
implementasi industri 4.0. Pada program Dutch Smart Industry (SI), Triple
Helix menjadi konsep utama dengan pendekatan bottom-up yang
melibatkan keterlibatan industri, universitas dan lembaga penelitian. Peran
pemerintah di program Smart Industry adalah sebagai pihak yang
mengarahkan kemana industri 4.0 akan dibawa dan membuat aktivitas inti.
Selanjutnya Negara yang akan dibahas lebih mendalam mengenai
kebijakan implementasi industri 4.0 adalah negara Jerman. Negara Jerman
merupakan negara yang telah memiliki banyak pengalaman dalam
menyiapkan kebijakan untuk mengimplementasikan industri 4.0.
INDUSTRIE 4.0 JERMAN
P l a t f o r m I n d u s t r i e 4 . 0 m e r u p a k a n i n i s i a t i f u n t u k
mengimplementasikan teknologi 4.0 yang telah dilaksanakan oleh Jerman
sejak tahun 2011 (Klitou et al. 2017). Industrie 4.0 Jerman merupakan satu
dari 10 proyek dibawah rencana High-Tech Strategy 2020 dan memiliki
rentang waktu dari tahun 2011 sampai tahun 2020 (Klitou et al. 2017). Total
nilai investasi yang dari industrie 4.0 Jerman mencapai 200 juta euro yang
berasal dari investasi pemerintah dan dilengkapi dari berbagai kontribusi
dari pihak industri (Klitou et al. 2017). Salah satu hal yang dicapai dari
implementasi industrie 4.0 Jerman adalah mentransformasi berbagai
agenda riset menjadi praktik (Klitou et al. 2017).
BANGUN MAHARDIKA
Fokus utama dari industrie 4.0 Jerman adalah menciptakan inovasi
teknologi yang berbasis pilar utama seperti integrasi horizontal disertai
model jaringan end-to-end, integrasi vertikal termasuk aspek keamanan
dan menciptakan nilai-nilai baru di dalam pekerjaan dan pendidikan (Klitou
et al. 2017). Sektor dan teknologi yang akan dikembangkan dan menjadi
fokus dari Industrie 4.0 adalah
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA19
Bagan 3. Fokus Sektor dan Teknologi Jerman
Sumber: A.T Kearney, 2018
P e r l u d i p e r h a t i k a n b a h w a a k t o r u t a m a y a n g a k a n
mengimplementasikan teknologi industri 4.0 di Jerman adalah sektor
UMKM. Sektor UMKM akan mendapat 50 persen dari pendanaan
pemerintah atau sekitar 100 juta euro untuk seluruh proyek yang
berhubungan dengan industri 4.0. Digitalisasi UMKM merupakan bagian
dari industrie 4.0 (Issa et a.l. 2017). Selain pendanaan, UMKM juga
membutuhkan suatu pusat kompetensi. Di Jerman, sudah ada beberapa
pusat kompetensi yang bertujuan untuk membantu UMKM seperti
“Mittelstand 4.0,” “Future Work Lab”, dan “Allianz Industrie 4.0 Baden-
Württemberg,” yang juga berperan sebagai kamar dagang untuk
mendukung UMKM dan menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk
UMKM. Untuk melakukan pengembangan atau menguji seuatu aplikasi
atau produk, para pemain UMKM dapat melakukannya di pusat
kompetensi tersebut. Untuk mempermudah akses ke pusat kompetensi
dan memperkuat industrie 4.0 research, maka para pemain UMKM
dikumpulkan di dalam kluster melalui Lab Network Industrie 4.0.
Fokus Sector Fokus Technologies
20
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Terdapat Lesson learned yang didapat dari Jerman dalam
mengimplementasikan industri 4.0 (Klitou et al. 2017). Pertama adalah
kebijakan untuk memperluas jaringan dan menetapkan norma beserta
standar, sehingga anggota di kelompok UMKM memiliki pandangan untuk
bekerjasama dan “mengurangi” kompetisi (Klitou et al. 2017). Pelajaran
kedua adalah menyediakan instrumen pendanaan dan ditargetkan untuk
UMKM, sehingga UMKM dapat turut mengimplementasikan teknologi
industri 4.0 (Klitou et al. 2017). Pendekatan yang fokus ke UMKM juga
termasuk dukungan khusus ke UMKM agar terintergasi dengan rantai nilai
global, karena UMKM “biasanya” tidak bersiap dengan penyesuaian
teknologi.
Di Indonesia, hampir 70 persen pekerja di Indonesia bekerja di
sektor UMKM. Sebesar 99 persen aktivitas bisnis di Indonesia merupakan
UMKM, dengan lebih dari 98 persen berstatus usaha mikro (Kompas,
2018). Dengan belajar dari Jerman, UMKM Indonesia diharapkan dapat
naik kelas agar dengan adanya implementasi teknologi industri 4.0.
BANGUN MAHARDIKA
Indonesia juga sedang bersiap untuk menyambut datangnya
revolusi industri 4.0. Pemerintah telah menyiapkan “Making Indonesia 4.0”
sebuah peta jalan mengenai strategi Indonesia dalam memasuki masa
revolusi industri 4.0 yang diluncurkan pada Indonesia Industrial Summit
2018 bulan April 2018. Peta jalan ini melibatkan berbagai pemangku
kepentingan, dari institusi pemerintah, asosiasi industri, pelaku usaha,
penyedia teknologi, maupun lembaga riset dan pendidikan (Kemenperin,
2018). Tidak dapat dipungkiri, Indonesia juga akan meraih berbagai
manfaat dari implementasi industri 4.0 yaitu
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA
KEBIJAKAN UNTUK MENYAMBUT REVOLUSI INDUSTRI 4.0:MAKING INDONESIA 4.0
21
Bagan 4. Manfaat Industri 4.0 di Indonesia
Sumber: Bank Dunia, Kementerian Perindustrian, A.T Kearney, 2018
Selanjutnya, Indonesia berkomitmen untuk masuk ke dalam 10
ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2030. Di tahun 2030 Indonesia juga
akan memasuki masa bonus demografi dimana populasi usia produktif
diperkirakan akan bertambah sebanyak 30 juta orang (Kemenperin, 2018).
Indonesia ingin fokus untuk menggandakan rasio produktivitas-terhadap-
biaya, mendorong ekspor netto menjadi 10 persen dari PDB dan
menganggarkan 2 persen dari PDB untuk penelitian dan pengembangan.
Berikut adalah fokus lima sektor dan lima teknologi industri 4.0 di dalam
Making Indonesia 4.0
Pertumbuhan Lapangan Kerja Kontribusi Manufaktur
+1-2% p.a
Peningkatan
Pertumbuhan
PDB dari Baseline
2018-2030
3>10 Juta
Tambahan
lapangan pekerjaan
dari kondisi saat ini
di tahun 2030
>25%
Kontribusi
manufaktur
terhadap PDB
pada tahun 2030
22
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Kelima sektor industri diatas, yaitu industri teksil dan produk tekstil,
industri elektronik, industri otomotif, industri kimia dan industri makanan
dan minuman berkontribusi 60 persen terhadap PDB Manufaktur, 65
persen tenaga kerja di industri (Kemenperin, 2018). Terdapat 10 prioritas
nasional di dalam inisiatif Making Indonesia 4.0
Bagan 5. Making Indonesia 4.0
Sumber: Making Indonesia 4.0
Bagan 6. 10 Proritas Nasional Making Indonesia 4.0
Sumber: Making Indonesia 4.0, 2018
BANGUN MAHARDIKA
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA23
1
2
Perbaikan alur aliran barang dan material
Indonesia masih bergantung kepada impor bahan baku serta
komponen yang memiliki nilai yang tinggi. Kedepannya, Indonesia
akan memperkuat produksi lokal pada sektor hulu dan menengah
melalui peningkatan kapasitas produksi dan percepatan adopsi
teknologi
Desain ulang zona industri
Zona industri di Indonesia akan diselaraskan dengan sekor-sektor
yang menjadi fokus di dalam Making Indonesia 4.0, baik secara
geografis, transportasi dan infrastruktur. Indonesia akan mulai
membangun satu peta jalan zona industri yang komprehensif dan
lintas industri
Akomodasi dasar keberlanjutan
Indonesia akan berusaha memenuhi persyaratan keberlanjutan di
masa mendatang dan memulai mengidentifikasi aplikasi teknologi
dan peluang pertumbuhan yang ramah lingkungan. Indonesia
juga akan memulai berbagai peraturan lingkungan yang kondusif
(peraturan, pajak dan subsidi) untuk mempromosikan investasi
yang ramah lingkungan
Pemberdayaan UMKM
Pemerintah berkomitmen untk membangun platform e-
commerce untuk UMKM, petani dan pengrajin serta membangun
sentra teknologi agar UMKM semakin “melek” terhadap teknologi.
Tidak hanya itu, pemerintah juga akan memberikan dukungan
mentoring untuk inovasi.
Membangun infrastruktur digital nasional
Indonesia akan memulai percepatan pembangunan infrastruktur
digital, termasuk internet dengan kecepatan tinggi dan digital
capabilities melalui skema kerjasama publik dan swasta.
Selanjutnya pihak swasta juga didorong untuk berinvestas di
berbagai teknologi seperti cloud, data center, security management
dan infrastruktur broadband.
3
4
5
24
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
6
7
Menarik investasi asing
Dengan adanya foreign direct investment (FDI), Indonesia dapat
meraih transfer teknologi dari perusahaan asing ke perusahaan
lokal. Indonesia akan memilih 100 perusahaan manufaktur teratas
dunia dan menawarkan insentif yang menarik agar perusahaan
tersebut berinvestasi di Indonesia
Peningkatan Kualitas sumber daya manusia
Sumber daya manusia Indonesia berperan penting di dalam
implementasi Making Indonesia 4.0. Indonesia berencana untuk
merombak kurikulum pendidikan dengan lebih menekankan
kepada STEAM (Science, Technology, Engineering, the Arts dan
Mathematics). Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia juga akan
menyeleraskan kurikulum pendidikan nasional dengan kebutuhan
industri.
Pembangunan ekosistem inovasi
Ekosistem inovasi memiliki peran penting dalam implementasi
Making Indonesia 40. Pemerintah akan mempersiapkan pusat
inovasi dan memberikan perlindungan hak atas kekayaan
intelektual dan insentif fiskal untuk mempercepat kolaborasi lintas
sektor diantara pelaku usaha swasta/BUMN dengan universitas
Insentif untuk investasi teknologi
Pemerintah Indonesai akan mendesain ulang rencana insentif
adopsi teknologi bagi perusahaan yang berkomitmen untuk
menerapkan teknologi industri 4.0 Indonesia juga akan
meluncurkan dana investasi negara untuk dukungan pendanaan
tambahan bagi kegiatan investasi dan inovasi di bidang teknologi
canggih
Harmonisasi aturan dan kebijakan
Harmonisasi kebijakan dan aturan akan mendukung daya saing
industri. Indonesia juga akan memastikan koordinasi antar
pembuat kebijakan yang erat antara kementerian dan lembaga
terkait pemerintah daerah.
8
9
10
BANGUN MAHARDIKA
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA25
Indonersia berkomitmen penuh untuk mengimplementasikan
Making Indonesia 4.0 dan menjadikannya agenda nasional. Timeline
kebijakan dari Making Indonesia 4.0 akan dijelaskan di bagan dibawah ini
Bagan 7. Peta Jalan Implementasi Making Indonesia 4.0
Sumber: A.T Kearney
Pada semester pertama 2018, Indonesia akan mulai menyusun
satuan tugas untuk fokus pada lima sektor industri prioritas (makanan dan
minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia dan elektronik) beserta
sepuluh prioritas lintas sektor. Satuan tugas tersebut akan memiliki tugas
dan tanggung jawab jelas. Pada semester kedua 2018, satuan tugas ini
akan menyusun rencana utama, rencana aksi yang rinci dan mulai
melaksanakan setiap inisiatif dan berkoordinasi satu sama lain untuk
memastikan implementasi Making Indonesia 4.0 dapat berjalan dengan
lancar. Pada periode 2019 sampai 2030, lima industri prioritas dan sepuluh
prioirtas nasional akan di impelemtasikan secara penuh. Pada periode
tersebut, evaluasi berkala akan dilakukan dimana review dilakukan tiap
semester.
Making Indonesia 4.0 merupakan strategi kebijakan yang
berdampak positif di Indonesia. Implementasi Making Indonesia 4.0
diharapkan dapat berjalan dengan baik dan menguntungkan seluruh pihak
di Indonesia. Pengawasaan yang menyeluruh dan berkala dari seluruh
pihak dibutuhkan untuk memastikan implementasi Making Indonesia 4.0
berjalan dengan baik. Tidak dapat dipungkiri, pelaksanaan kebijakan di
Indonesia terkadang tidak terkesan maksimal, walaupun sebenarnya
desain kebijakan tersebut sudah bagus. Lantas apa saja hambatan dalam
pelaksanaan kebijakan di Indonesia?
TANTANGAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN:FOKUS PEGAWAI NEGERI SIPIL
26
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Desain kebijakan dari Making Indonesia 4.0 dapat dikatakan cukup
baik karena memuat sepuluh prioritas nasional dan lima industri yang
menjadi fokus utama Indonesia. Hal tersebut menunjukan bahwa
Indonesia telah memiliki fokus dan tujuan yang jelas di dalam
pengimplementasian teknologi industri 4.0 di Indonesia. Namun,
Indonesia masih memiliki kelemahan di dalam kapasitas implemetasi
kebijakannya. Perlu di ingat bahwa pegawai negeri sipil (PNS) merupakan
garda terdepan untuk mengimplementasikan kebijakan di Indonesia.
Lemahnya sistem pelatihan, kompensasi dan promosi, tidak adanya
reformasi birokrasi yang signifikan, dan sistem pembuatan laporan yang
rumit memiliki dampak pada sektor publik. Sektor publik dipandang
sebagai sektor yang korup, “kembung”, inefisien dan tidak capable serta
tidak mau mengimplementasikan kebijakan yang diatur oleh pemerintah
( D a t t a e t a l . 2 0 1 7 ) . H a l i n i m e r u p a k a n t a n t a n g a n u n t u k
mengimplementasikan kebijakan di Indonesia, apalagi pegawai negeri sipil
(PNS) di Indonesia memiliki peran penting dalam menyusun dan
mengimplementasi peraturan, panduan dan berpartisipasi di
perencanaan, penganggaran dan keuangan (Datta et al. 2017).
Hasil studi dari Knowledge Initiative Sector (KSI) menemukan adanya
gap yang signifikan dalam kapabilitas PNS karena tidak memiliki keahlian
dan insentif untuk membuat kebijakan yang dapat terinformasi dengan
baik (Sherlock dan Djani, 2015). Masalah tersebut semakin parah dengan
pelatihan yang staf buruk, serta tekanan bagi PNS untuk selalu mematuhi
atasan mereka (Sherlock dan Djani, 2015).
Implementasi kebijakan di Indonesia tidak semudah di tahap
perencanaan. Bahkan setelah suatu Undang-Undang disetujui oleh
Parlemen dan Presiden, kebi jakan tersebut belum dapat di
implementasikan secara penuh (Blomkamp et al. 2017). Masalah
koordinasi mulai muncul ketika kebijakan mulai masuk di tahap
implementasi, karena pemerintah bertanggungjawab untuk memastikan
implementasi kebijakan konsisten dan searah dengan peraturan
pemerintah lainnya.
BANGUN MAHARDIKA
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA27
Agar Making Indonesia 4.0 dapat di implementasikan dengan baik,
Indonesia harus menyiapkan para PNS untuk memiliki produktivitas yang
baik pula. Masalah koordinasi serta sistem promosi dan insetif tentu harus
diperbaharui agar kinerja dari PNS dapat sesuai dengan insentif yang
diterima.
28
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Indonesia harus mempersiapkan diri agar tidak “ketinggalan” di
dalam menyambut datangnya revolusi industri 4.0. Setidaknya A.T Kearney
(2018) telah memberikan lima pelajaran penting dari negara-negara lain
yang telah mempersiapkan kedatangan Revolusi Industri 4.0. Pertama lima
pelajaran penting yang dapat dipersiapkan meliputi:
LESSON LEARNED KEBIJAKAN INDUSTRI 4.0
Tabel 5. Lesson learned Kebijakan Industri 4.0
Sumber: A.T Kearney (2018)
Indikator Kebijakan
Tujuan
Fokus Area
Model Pendanaan
dan Pembiayaan
Stakeholder
Implikasi
Para pengambil kebijakan harus memberikan strategi
yang memiliki tujuan yang jelas, dapat ditindaklanjuti
dan memiliki dampak
Para pengambil kebijakan juga harus mengidentifikasi
sektor yang menjadi prioritas dan teknologi utama
akan dapat mengalokasikan sumber dayanya
dengan efektif
Dukungan pembiayaan dari pemerintah di tahap awal
dibutuhkan agar para pemain swasta dapat
mengimplementasikan teknologi industri 4.0.
Namun, investasi dari swasta juga sama pentingnya
Adanya kolaborasi dari pengambil kebijakan,
para pemain di industri, pemain teknologi serta sektor
penelitian
Kebijakan tersebut juga harus menindaklanjuti dampak
negatif dari implementasi teknologi 4.0, contoh dampak
ke UMKM dan pekerja yang memiliki keahlian
yang rendah
BANGUN MAHARDIKA
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA29
Laporan dari European Commission (2017) yang berjudul “Key
Lessons from National Industry 4.0 policy initiatives in Europe” membahas
mengenai berbagai pelajaran yang dapat dipetik dari kebijakan untuk
menyambut datangnya revolusi industri 4.0 di berbagai negara di Eropa.
Pertama, tentu saja kebijakan industri 4.0 akan memberikan manfaat
yang lebih besar jika mampu menjelaskan detail dan target yang terukur
melalui indikator kualitatif dan kuantitatif. Indikator yang jelas juga tentu
akan memudahkan pemerintah dalam mengawasi dan mengevaluasi
perkembangan industri 4.0 di negaranya. Indonesia juga harus
menerapkan hal tersebut di dalam Making Indonesia 4.0. Misalnya,
Indonesia harus memiliki indikator kuantitatif yang terukur mengenai
implementasi teknologi industri 4.0 di industri makanan dan minuman.
Kedua, dukungan pembiayaan dari pemerintah memang penting, namun
pemerintah juga harus mampu memacu investasi dari pihak swasta agar
turut berinvestasi untuk mengimplementasikan industri 4.0, baik secara
sukarela ataupun menjadi kewajiban.
Ketiga, pemerintah juga harus fokus pada pendekatan berbasis
industri (bottom-up) selain melakukan kebijakan top-down dari
pemerintah. Hal ini memastikan keaktifan dan keseriusan dari para pemain
industri untuk mengimplementasikan industri 4.0. Pemerintah harus
mampu memberikan insentif agar para pemain industri mau untuk aktif
dalam mengimplementasikan industri 4.0.
Keempat adalah memperluas insentif pajak dan berbagai instrumen
pembiayaan inovatif sehingga para pemain industri mau untuk melakukan
investasi di teknologi industri 4.0. Insentif pajak dan pembiayaan inovatif
merupakan insentif yang tepat dan harus dilaksanakan agar pihak industri
dapat mengimplementasikan berbagai teknologi industri 4.0
Kelima, melakukan pendekatan yang efektif dan khusus kepada
pihak UMKM, sebagai contoh menyediakan instrumen pembiayaan khusus
UMKM. Sektor UMKM merupakan sektor yang vital bagi Indonesia sehingga
pemerintah tidak boleh tidak menaruh perhatian kepada sektor ini.
Berbagai teknologi industri 4.0 juga dapat berpengaruh positif bagi
produktivitas UMKM.
KESIMPULAN
30
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Industri memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Di
tahun 2017 sektor industri pengolahan berkontribusi 20,16 persen
terhadap perekonomian Indonesia. Namun, kontribusi industri terhadap
perekonomian Indonesia justru menunjukan tren jika dibandingkan di
tahun 2014 yang kontribusinya mencapai 21,08 persen. Pertumbuhan
sektor industri juga menunjukan penurunan dimana pada tahun 2011
mampu tumbuh 6,43 persen dan di tahun 2017 hanya tumbuh sebesar
4,18 persen. Salah satu penyebab menurunnya kontribusi industri adalah
produktivitas pekerja Indonesia yang cenderung stagnan selama dua
dekade. Padahal Indonesia telah bersiap untuk memasuki masa Revolusi
Industri 4.0. Tidak dapat dipungkiri, Indonesia harus mau untuk belajar dari
berbagai negara lain agar industrinya dapat catching-up dengan negara
maju lainnya.
Salah satu negara yang berhasil melakukan catching up adalah Korea.
Dukungan dari pemerintah, rencana pembangunan yang memiliki
indikator yang terukur, tingginya nilai R&D dan sistem pendidikan yang
menciptakan pekerja yang berkualitas mampu mengantarkan Korea
menjadi salah satu negara dengan industri terkemuka di dunia.
Kesuksesan Korea dapat menjadi lesson learned yang berharga bagi
Indonesia agar mampu menjadi negara dengan perekonomian terbesar
kesepuluh di dunia pada tahun 2030.
Berbagai negara juga telah menyiapkan inisiatif untuk menyambut
industri 4.0. Menurut A.T Kearney (2018) Indonesia masih berada di tahap
perencanaan, sedangkan negara tetangga lainnya seperti Singapura dan
Thailand telah memasuk tahap implementasi awal. Jerman sendiri telah
meluncurkan kebijakan untuk menyambut industri 4.0 di tahun 2011 dan
telah merasakan manfaat dari implementasi industri 4.0.
Melalui Making Indonesia 4.0, Indonesia telah memiliki peta jalan
mengenai strategi Indonesia untuk masuk ke dalam masa industri 4.0.
Terdapat lima industri prioritas yang dipersiapkan Indonesia yang meliputi
industri teksil dan produk tekstil, industri elektronik, industri otomotif,
BANGUN MAHARDIKA
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA31
industri kimia dan industri makanan dan minuman. Di Making Indonesia
4.0 juga telah terdapat 10 prioritas nasional yang akan dilaksanakan oleh
Indonesia. Tantangan untuk melakukan implementasi kebijakan di
Indonesia adalah kualitas pegawai negeri sipil (PNS). Hasil studi dari
Knowledge Initiative Sector (KSI) menemukan adanya gap yang signifikan
dalam kapabilitas PNS karena tidak memiliki keahlian dan insentif untuk
membuat kebijakan yang dapat terinformasi dengan baik (Sherlock dan
Djani, 2015). Kualitas PNS tentu perlu dibenah agar Making Indonesia 4.0
dapat diimplementasikan dengan baik dan Indonesia dapat meraih
manfaat penuh dari industri 4.0.
Setidaknya, terdapat lima pelajaran penting bagi Indonesia agar
Making Indonesia 4.0 dapat dilaksanakan dengan baik. Pertama adalah
kebijakan harus memiliki tujuan dan indikator yang terukur, kedua
menentukan fokus area industri priortias dan teknologi, ketiga adalah
dukungan pembiayaan dan berbagai insentif menarik dari pemerintah,
keempat adalah kolaborasi para pengambil kebijakan yang fokus pada
tujuan dan kelima yaitu kebijakan harus mampu mengantisipasi dampak
negatif dari industri 4.0 bagi tenaga kerja berkeahlian rendah maupun
pelaku usaha UMKM.
DAFTAR PUSTAKA
32
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
A.T Kearney (2018) Indonesia's 4th Industrial Revolution: Benchmarking
Implementasi Industri 4.0. Disampaikan pada Industrial Summit Indonesia
2018
Amsden, A. (1989). Asia Next Giant. South Korea and Late
Industrialization
Aswicahyono, Haryo, Hal Hill, and Dionisius Narjoko. (2010):
"Industrialisation after a deep economic crisis: Indonesia." The Journal of
Development Studies 46.6 1084-1108.
Aswicahyono, Haryo, Hal Hill, and Dionisius Narjoko. (2013): Indonesian
industrialization: a latecomer adjusting to crises. Pathways to
industrialization in the twenty-first century: New challenges and
emerging paradigms 193-222.
Blomkamp, E., Sholikin, M. N., Nursyamsi, F., Lewis, J. M., & Toumbourou,
T. (2017). UNDERSTANDING POLICYMAKING IN INDONESIA: IN SEARCH
OF A POLICY CYCLE.
Datta, Ajoy, Rachma Nurbani, Gema Satria, Hans Antlov, Ishkak Fatonie,
and Rudy Sabri. 2017. 'Policy, Change and Paradox in Indonesia:
Implications for the Use of Knowledge'. Jakarta: Knowledge Sector
Initiative
Hemmert, M. (2007). The korean innovation system: From industrial
catch-up to technological leadership?. In Innovation and technology in
Korea (pp. 11-32). Physica-Verlag HD.
Hillebrand W (1996) Shaping Competitive Advantages: Conceptual
Framework and the Korean Approach. Frank Cass, London
Issa, A., Lucke, D., & Bauernhansl, T. (2017). Mobilizing SMEs Towards
Industrie 4.0-enabled Smart Products. Procedia CIRP, 63, 670-674.
BANGUN MAHARDIKA
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA33
Jong-Ha Han (1994) Education and Industrialization: The Korean Nexus in
Human Resources Development, Education Economics, 2:2, 169-185,
DOI: 10.1080/09645299400000015
Karimov, Aziz. (2013) Industrialization And Industrial Policy In South
Korea: Some Development Lessons For Transiting Estonia. United
Nations University – World Institute for Development Economics
Research. Presentation
Kemenperin. (2018) Brief Making Indonesia 4.0.
Kompas. (2018) UMKM mampu Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi.
Diakses pada 11 November 2018
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/07/10/200246326/umkm
-mampu-dongkrak-pertumbuhan-ekonomi
Kim L (1997) Imitation to Innovation: The Dynamics of Korea's
Technological Learning, Harvard Business School Press, Boston, MA
Klitou D, Johannes Conrads & Morten Rasmussen, CARSA and Laurent
Probst & Bertrand Pedersen. (2017) Key lessons from national industry
4.0 policy initiatives in Europe. European Commission
Lim, L. K., & McAleer, M. (2002). Economic growth and technological
catching up by Singapore to the USA. Mathematics and Computers in
Simulation, 59(1-3), 133-141.
Lin, J. Y. (2012). New structural economics: A framework for rethinking
development and policy. The World Bank.
Maddison, A., 2006. The World Economy. OECD, Paris
OECD (2012), “The success of Korea's “catching-up” strategy” In Industrial
Policy and Territorial Development: Lessons from Korea, OECD
Publishing http://dx.doi.org/10.1787/9789264173897-en
OECD (2012), Industrial Policy and Territorial Development: Lessons from
Korea, Development Centre Studies, OECD Publishing
http://dx.doi.org/10.1787/9789264173897-en
Rock, Michael. (2003). The politics of development policy and
development policy reform in New Order Indonesia.
34
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
BANGUN MAHARDIKA
REZA
Rodrik, D. (1995). Getting interventions right: how South Korea and
Taiwan grew rich. Economic policy, 10(20), 53-107.
Tijaja, J., & Faisal, M. (2014). Industrial policy in Indonesia: A global value
chain perspective.
Wade, R. (1998). The Asian debt-and-development crisis of 1997-?:
Causes and consequences. World development, 26(8), 1535-1553.
BANGUN MAHARDIKA
Reza Bangun Mahardika mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Ekonomi
dari Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis,
Universitas Gadjah Mada dan lulus dengan predikat cumlaude. Sejak tahun
2015, Reza telah aktif di dalam berbagai proyek dan lembaga penelitian.
Sebelum bergabung di Forbil Institute, Reza pernah menjadi asisten
peneliti di Mandiri Macroeconomic Dashboard FEB UGM dan sekarang
menjadi peneliti di Forbil Institute. Reza memiliki ketertarikan di bidang
ekonomi pembangunan, ekonomi sumberdaya manusia dan industri 4.0.
Lesson Learned for Indonesia:
Kebijakan Catching-Up dalam Revolusi Industri 4.0
REZA
PROFIL PENULIS
35
.
LESSON LEARNED FOR INDONESIAKEBIJAKAN CATCHING-UPDALAM REVOLUSI INDUSTRI 4.0
REZA BANGUN
MAHARDIKA