3
LIBYA Mengapa Partai Al-Nahdhah Tunisia Kalah? Tanggal 17 Desember 2010 Tunisia memulai sebuah revolusi yang dipicu oleh sebuah aksi bakar diri oleh Muhammad bu Azizi, penjual sayur di kota Sidi Bouzid Tunisia. Kobaran api ini berakhir dengan tergulingnya pemerintahan Zainal Abidin bin Ali yang bercokol menjadi presiden negara ini selama 23 tahun, sekaligus menjadi langkah awal era baru di negara ini. Kehadiran Partai al-Nahdhah Tunisia dengan kepemimpinan Rasyid al- Ghanushi di panggung perpolitikan negara ini dan kemenangan pastinya dalam pemilihan telah menyebabkannya berhasil memegang tampuk kepemimpinan negara ini sejak awal tahun 2012 hingga awal tahun 2014, namun kepemerintahan partai al-Nahdhah bersirobok dengan berbagai kendala, dimana yang terpenting darinya adalah teror terhadap sebagian sosok-sosok oposisi, Muhammad al-Ibrahimi, Sekjend Front Rakyat sekaligus perwakilan oposisi majelis, dan Shukri Bal’id, salah satu dari pemimpin revolusi dan ketua partai Demokrat Nasionalis. Teror-teror ini telah mengantarkan pemerintahan seumur jagung partai Nahdhah memasuki babak baru, karena para oposisi mendesak disintegrasi majelis dan pembentukan Front Penyelamat, menyusul ini muncul pula berbagai protes dan kerusuhan di hampir seluruh penjuru Tunisia. Hamdi Jabali, Perdana Menteri Tunisia pun melakukan tindakan disintegrasi pemerintah, membentuk pemerintahan umum dan berjanji akan meminimalisir volume demo. Kendati para pengunjuk rasa tengah mempersiapkan revolusi kedua, akan tetapi partai al- Nahdhah tetap melanjutkan gerakannya hingga hari ini dimana Tunisia menyelengarakan pemilihan parlemen. Partai al-Nahdhah memasuki ajang persaingan dengan partai Nida Tunisia, yang termasuk salah satu penentang mantan Zainal Abidin bin Ali, demikian juga sebagian dari petinggi rezim lama Bin Ali, menjadi pesaing utamanya; akan tetapi dalam pemilihan parlemen, bertolak belakang dengan yang diperkirakan sebelumnya, Partai Nida Tunisia-lah yang justru mampu memperoleh lebih dari 80 persen suara, dan mendahului pesaingnya, partai al-Nahdhah pun dalam sebuah langkah yang cerdas menyampaikan ucapan selamat kepada rivalnya dan mengakui kekalahannya.

Libya

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Libya

Citation preview

Page 1: Libya

LIBYA

Mengapa Partai Al-Nahdhah Tunisia Kalah?

Tanggal 17 Desember 2010 Tunisia memulai sebuah revolusi yang dipicu oleh sebuah aksi bakar diri oleh Muhammad bu Azizi, penjual sayur di kota Sidi Bouzid Tunisia. Kobaran api ini berakhir dengan tergulingnya pemerintahan Zainal Abidin bin Ali  yang bercokol menjadi presiden negara ini selama 23 tahun, sekaligus menjadi langkah awal era baru di negara ini.

 

Kehadiran Partai al-Nahdhah Tunisia dengan kepemimpinan Rasyid al-Ghanushi di panggung perpolitikan negara ini dan kemenangan pastinya dalam pemilihan telah menyebabkannya berhasil memegang tampuk kepemimpinan negara ini sejak awal tahun 2012 hingga awal tahun 2014, namun kepemerintahan partai al-Nahdhah bersirobok dengan berbagai kendala, dimana yang terpenting darinya adalah teror terhadap sebagian sosok-sosok oposisi, Muhammad al-Ibrahimi, Sekjend Front Rakyat sekaligus perwakilan oposisi majelis, dan Shukri Bal’id, salah satu dari  pemimpin revolusi dan ketua partai Demokrat Nasionalis.

 

Teror-teror ini telah mengantarkan pemerintahan seumur jagung partai Nahdhah memasuki babak baru, karena para oposisi mendesak disintegrasi majelis dan pembentukan Front Penyelamat, menyusul ini muncul pula berbagai protes dan kerusuhan di hampir seluruh penjuru Tunisia. Hamdi Jabali, Perdana Menteri Tunisia pun melakukan tindakan disintegrasi pemerintah, membentuk pemerintahan umum dan berjanji akan meminimalisir volume demo. Kendati para pengunjuk rasa tengah mempersiapkan revolusi kedua, akan tetapi partai al-Nahdhah tetap melanjutkan gerakannya hingga hari ini dimana Tunisia menyelengarakan pemilihan parlemen.

 

Partai al-Nahdhah memasuki ajang persaingan dengan partai Nida Tunisia, yang termasuk salah satu penentang mantan Zainal Abidin bin Ali, demikian juga sebagian dari petinggi rezim lama Bin Ali, menjadi pesaing utamanya; akan tetapi dalam pemilihan parlemen, bertolak belakang dengan yang diperkirakan sebelumnya, Partai Nida Tunisia-lah yang justru mampu memperoleh lebih dari 80 persen suara, dan mendahului pesaingnya, partai al-Nahdhah pun dalam sebuah langkah yang cerdas menyampaikan ucapan selamat kepada rivalnya dan mengakui kekalahannya.

 

Kendati demikian, sebagian analis meyakini bahwa sebenarnya Nida Tunisia tidak bisa menjadi pemenang dalam pemilihan ini, karena partai ini harus mampu mengumpulkan setengah + 1 yaitu sekitar lebih dari 110 kursi dari sejumlah 217 kursi parlemen, sementara peraihan partai ini tak sampai sekian kursi.

 

Sebagian juga meyakini telah terjadi kecurangan dalam proses pemilihan ini, sementara media-media Tunisia dan juga partai berkuasa tidak sedikitpun menyinggung tentang kecurangan.

 

Dengan diterimanya adanya kecurangan dalam pemilihan ini, muncul masalah penting berikut: suara yang diperoleh al-Nahdhah jauh lebih sedikit dari pemilihan lalu, padahal partai ini merupakan partai yang tengah berkuasa, dan secara pasti, para perwakilan partai ini hadir di pusat-pusat pengambilan suara, sehingga tidak seharusnya tingkat kecurangan antara dua partai utama terlihat terlalu mencolok.

Page 2: Libya

 

Akan tetapi perubahan-perubahan yang terjadi di kawasan, kegagalan Ikhwanul Muslimin di Mesir, ketiadaan kebijakan-kebijakan regional yang tepat dari al-Ikhwan Turki, dan masalah-masalah politik dan internasional lain, juga ikut andil dalam kegagalan partai al-Nahdhah Tunisia yang yang memiliki kecenderungan al-Ikhwan ini, dan para sekuler Tunisia pun memanfaatkan kondisi ini untuk mengesampingkan Islamis.

 

Kini, kehadiran kelompok-kelompok ekstrimis seperti Front an-Nushrah, ISIL, Bako Haram dan Anshar asy-Syari’ah ... yang memasuki ajang internasional atas nama Islam, juga memiliki efek yang tak sedikit pada sebagian perubahan di kawasan, seperti pemilihan di Tunisia dan tergulingnya Muhammad Mursi, Presiden Mesir; karena al-Ikhwan Mesir dan Tunisia, pada awal-awal masa kerjanya, memberikan dukungannya kepada kelompok-kelompok teroris seperti Front al-Nushrah dan ISIL di Suriah, kendati tak bisa dilupakan adanya dukungan-dukungan Saudi Arabia, Turki, Qatar dan sebagian negara-negara lain Arab dan Barat yang pro al-Ikhwan, akan tetapi dikarenakan sebagian negara tidak menginginkan kehadiran al-Ikhwan di kancah perpolitikan dan pemerintahan, maka al-Ikhwan di Mesir bungkam, namun tidak demikian dengan partai al-Nahdhah Tunisia yang mampu mengelak dari konspirasi para musuhnya secara cerdas.

 

Dengan alasan inilah mungkin bisa dikatakan bahwa ucapan selamat yang disampaikan oleh al-Nahdhah hari ini kepada rivalnya muncul dari kecerdasan berpolitik yang dimiliki oleh para pemimpinnya, dan hal ini cukup untuk menunjukkan bahwa mereka lebih cerdas dan lebih gesit dari para pemimpin Ikhwanul Muslimin Mesir dan para politikus kawasan lainnya.