Upload
silvi-anita-uslatu-r
View
173
Download
40
Embed Size (px)
DESCRIPTION
cedera kepala sedang
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA KEPALA SEDANG (CKS) DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
RSUP SANGLAH DENPASAR
Disusun untuk memenuhi tugas pada Pendidikan Profesi NersStase Keperawatan Gawat Darurat
OlehWinda Sulistya SafitriNIM 102311101036
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS JEMBER
2015
A. Tinjauan Teori
1. Definisi
Cidera kepala adalah cidera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak
dan otak. Cidera kepala adalah gangguan neurologic yang paling sering terjadi
dan gangguan neurologik yang serius di antara gangguan neurologik dan
merupakan proporsi epidemik sebagai akibat kecelakaan di jalan raya (Smeltzer &
Bare 2002). Cidera otak sedang atau COS adalah kerusakan fungsi otak akibat
traumatik dengan beberapa manifestasi klinik seperti kehilangan kesadaran,
kehilangan memori sebelum atau sesudah terjadinya insiden. Menurut WHO
cidera otak sedang adalah kerusakan otak akut akibat dari tidak optimalnya suplai
energi ke otak (AANN dan ARN, 2011).
2. Etiologi
Cidera kepala paling sering akibat dari trauma. Mekanisme terjadinya
cidera kepala berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut
Nurarif dan Kusuma (2013) yaitu sebagai berikut:
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang
diam kemudian dipukul atau dilempari batu.
b. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala
yang terbentur benda padat.
c. Akselerasi-deselerasi
Terjadi pada kcelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan
kendaraan yang berjalan
d. Coup-counter coup
Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang
intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan
yang terbentur dan area yang pertama terbentur
e. Rotasional
Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang
mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak
3. Tanda dan gejala
Menurut Mansjoer (2008) tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala
dapat diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi tiga
yaitu :
a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15
Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan kesadaran,
tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri
kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan hematoma kulit kepala.
b. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13
klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak
memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan, amnesia
pasca trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle,
mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal), dan
kejang.
c. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8.
Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cidera kepala
penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium, kehilangan kesadaran lebih dari
24 jam, disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania dan edema
serebral. Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya
pembuluh darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus
frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).
4. Patofisiologi
Trauma yang terjadi pada pasien mempengaruhi cedera yang akan terjadi
pada pasien. Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera
kepala baik akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi (cidera
otak primer ini dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder) jika cidera primer
tidak mendapat penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera
sekunder. Cidera otak sekunder yang terjadi akibat dari cidera otak primer yang
tidak mendapat penanganan dengan baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya
proses metabolisme dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak
maka cidera otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi edema
serebri, infark serebri, peningkatan tekanan intra kranial.
5. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala antara lain :
a. Cedera Otak Sekunder akibat hipoksia dan hipotensi
Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang terjadinya
bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran nafas, atelektasis,
aspirasi, pneumotoraks, atau gangguan gerak pernafasan dapat berdampak
pasien mengalami kesulitan bernafas dan pada akhirnya mengalami hipoksia.
b. Edema Serebral
Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam jaringan. Edema
serebral akan menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan otak di dalam
rongga tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup. Kondisi ini akan
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya
juga berakibat penurunan perfusi jaringan otak.
c. Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Tekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab, yaitu pada
perdarahan selaput otak (misalnya hematoma epidural dan subdural). Pada
perdarahan dalam jaringan otak (misalnya laserasi dan hematoma serebri),
dan dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim otak yaitu berupa edema
serebri.
d. Herniasi Jaringan Otak
Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena
adanya hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan
intrakranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi.
Namun bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi dan
terjadilah komplikasi berupa pergeseran dari struktur otak tertentu kearah
celah-celah yang ada.
e. Infeksi
Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan memiliki
resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh lainnya.
Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya Meningitis, Ensefalitis,
Empyema subdural, Osteomilietis tulang tengkorak, bahkan abses otak.
f. Hidrosefalus
Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang cukup
sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.
g. Dekubitus
Keterbatasan gerak atau tirah baring pada pasien akan menyebabkan klien
tidak dapat bergerak. Kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan kulit akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit yang
menutupi tulang yang menonjol akibat penekanan yang lama.
Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala menurut Smeltzer &
Bare (2002) adalah:
a. Perluasan hematoma intracranial
b. Edema serebral dan herniasi, edema serebral adalah penyebab paling umum
dari peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang mendapat cedera
kepala, puncak pembengkakan yang terjadi pada cedera kepala kurang lebih
72 jam pasaca cedera. Tekanan intrkranial meningkat akibat ketidakmampuan
tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh
pembengkakan otak akibat trauma. Akibat dari peningkatan TIK dan edema
adalah penyebaran tekanan pada jaringan otak dan struktur internal otak yang
kaku. Bergantung pada area pembengkakan, perubahan posisi ke bawah atau
lateral otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur kakau akan
mengakibatkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel dan kematian.
6. Penatalaksanaan
a. Airway dan Breathing
Perhatian adanya apneu. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100%
sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap
FiO2. Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis
dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah
berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
b. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya
perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk adanya
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi
hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah.
Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara
penyebab hipotensi dicari.
c. Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai sebagai
data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon
terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan
darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan
reflek cahaya pupil.
7. Pemeriksaan penunjang
a. CT Scan mengidentifikasi adanya
hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak
b. Angiografi, menunjukkan kelainan
sirkulasi serebral akibat adanya perdarahan, trauma, ataupun edema
8. Pathway
Trauma kepala
Terputusnya kontinuitas
jaringan tulang, jaringan kulit,
otot, dan laserasi pembuluh
darah
Gangguan suplai darah
Iskemia
Cairan serebrospinal di lapisan
subdural
Peningkatan TIK
Perubahan sirkulasi cairan
serebrospinal
Mesensefalon tertekan
Gangguan kesadaran
Risiko cideraImobilisasi
Risiko gangguan
integritas kulit
Hipoksia
Risiko
ketidakefektifan
perfusi jaringan
otak
Nyeri akut
Kerusakan sel otak
Meningkatkan
rangsangan
simpatis
Meningkatkan
tahanan vaskuler
sistemik dan
tekanan darah
Menurunkan tekanan
pembuluh darah pulmonal
Peningkatan
tekanan
hidrostatik
Kebocoran cairan kapiler
Oedem paru
Difusi O2
terhambat
Ketidakefektifan
pola nafas
Mual muntah
Risiko
kekurangan
volume cairanPandangan kaburPenurunan fungsi
Defisit perawatan
diri
Risiko
infeksi
Ketidakfektifan
bersihan jalan
nafas
Penumpukan sekret
Subdural hygroma
Edema serebri
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien: nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat,
pekerjaan, status perkawinan.
b. Riwayat kesehatan: diagnosa medis, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah
dialami, alergi, imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan,
riwayat penyakit keluarga.
c. Genogram
d. Pengkajian Keperawatan
Penggunaan pengkajian Gordon, yang meliputi 11 aspek yaitu, persepsi
kesehatan & pemeliharaan kesehatan, pola nutrisi/metabolik, pola eliminasi,
pola aktivitas & latihan, pola tidur & istirahat, pola kognitif & perceptual, pola
persepsi diri, pola seksualitas & reproduksi, pola peran & hubungan, pola
manajemen & koping stress, sistem nilai dan keyakinan
e. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum, tanda vital
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata,
telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas, kulit
dan kuku, dan keadaan lokal.
Menurut Muttaqin (2008), data pengkajian yang dapat ditemukan pada
klien yang mengalami cidera otak adalah sebagai berikut:
a) Breathing
Jika terjadi kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan
irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinan
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas yang dapat menyebabkansuara nahfas ronkhi pada klien..
b) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan
parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi
lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia).
c) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan
mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka
dapat terjadi :
1. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori)
2. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia
3. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
4. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagusmenyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
7. Pemeriksaan GCS
8. Pemriksaan saraf kranial
d) Bladder
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
urin, dan ketidakmampuan menahan miksi.
e) Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan, bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi
alvi.
f) Bone
Klien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada
kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat
pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis
yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di
otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan
tonus otot.
f. Terapi, pemeriksaan penunjang & laboratorium
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien yang mengalami cidera
otak sedang adalah:
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
dengan faktor risiko aneurisma serebral
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan penumpukan sekret pada jalan nafas akibat lesi pada
serebrovaskular
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan
dengan terhambatnya difusi oksigen
4. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya
kontinuitas jaringan
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan
penurunan kesadaran dan kelemahan neuromuscular
6. Risiko gangguan integritas kulit dengan faktor
risiko imobilisasi
7. Risiko infeksi dengan faktor risiko adanya luka
terbuka di kulit
8. Risiko cidera dengan faktor risiko penurunan
status kesadaran
3. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional
1. Risiko
ketidakefektifan
perfusi jaringan
otak dengan faktor
risiko aneurisma
serebral
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
serebral dapat
diminimalkan
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
4x24 jam
NOC: Tissue Perfusion:
Cerebral
Indikator:
1. menunjukkan perfusi
jaringan membaik
TD dalam batas
normal, tidak ada
keluhan sakit kepala.
2. Tanda-tanda vital
stabil
3. Tidak menunjukkan
adanya gangguan
perfusi meliputi
disorientasi,
kebingungan,
maupun nyeri kepala
NIC:
Circulatory Precaution
1. Kaji sirkulasi perifer
secara komprehensif (nadi
perifer, edema, CRT,
warna, dan suhu
ekstremitas)
2. Kaji kondisi ekstremitas
meliputi kemerahan, nyeri,
atau pembengkakan
3. Hindarkan cidera pada
area dengan perfusi yang
minimal
4. Hindarkan klien dari posisi
trendelenberg yang
meningkatkan TIK
5. Hindarkan adanya
penekanan pada area
1. Mengetahui status sirkulasi
perifer dan adanya kondisi
abnormal pada tubuh
2. Mengetahui adanya perubahan
akibat gangguan sirkulasi
perifer
3. Menghindari cidera untuk
meminimalkan luka
4. Posisi trendelenberg akan
meningkatkan TIK sehingga
memperparah kondisi klien
5. Mengurangi penekanan agar
cidera
6. Pertahankan cairan dan
obat-obatan sesuai
program
perfusi tidak terganggu
6. Obat-obatan untuk
meningkatkan sattus perfusi
2. Bersihan jalan
napas tidak efektif
berhubungan
dengan
penumpukan
secret;
ketidakmampuan
sekresi mukus,
upaya batuk buruk.
Bersihan jalan
nafas menjadi
efektif setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 2 x 24
jam
NOC :
Respiratory status
Indikator:
1. Frekuensi pernafasan
dalam rentang
normal
2. Menunjukkan
kemampuan untuk
mengeluarkan sekret
3. Tidak terdengar
suara nafas
tambahan ronkhi
NIC : Airway Management
1. Kaji fungsi pernapasan
(bunyi napas, kecepatan,
irama, kedalaman dan
penggunaan otot asesori)
2. Kaji kemampuan
mengeluarkan sekresi,
catat karakter, volume
sputum dan adanya
hemoptisis
3. Berikan posisi semi/fowler
tinggi dan bantu pasien
latihan napas dalam dan
batuk yang efektif.
4. Pertahankan asupan cairan
sedikitnya 2500 ml/hari
1. Penurunan bunyi napas
menunjukkan menunjukkan
akumulasi sekret dan
ketidakefektifan pengeluaran
sekresi
2. Pengeluaran sulit bila sekret
sangat kental
3. Posisi fowler memaksimalkan
ekspansi paru dan menurunkan
upaya bernapas
4. Hidrasi yang adekuat membantu
kecuali tidak diindikasikan
5. Bersihkan sekret dari
mulut dan trakea, bila
perlu lakukan penghisapan
(suction)
6. Kolaborasi pemberian obat
sesuai indikasi seperti agen
mukolitik, bronkodilator
dan kortikosteroid.
mengencerkan sekret
5. Mencegah obstruksi dan
aspirasi. Penghisapan diperlukan
bila pasien tidak mampu
mengeluarkan secret
6. Obat untuk membersihkan jalan
nafas sesuai indikasi klien
3. Nyeri berhubungan
dengan agen
biologis
Nyeri akan
berkurang
setelah
dilakukan
perawatan
sesuai indikasi
1x24 jam
NOC:
a. Pain control
b. Pain level
Indikator:
a. Mampu mengontrol
nyeri yang dialami
b. Melaporkan bahwa
nyeri yang dialami
berkurang
NIC: Pain management
1. Kaji karakteristik nyeri
secara komprehensif
2. Gunakan komunikasi
terapeutik untuk menggali
pengalaman klien tentang
nyeri yang dirasakan
3. Observasi respon non
verbal klien
1. Karakteristik nyeri dikaji agar
intervensi yang diberikan
sesuai dengan tipe nyeri
2. Komunikasi terapeutik
digunakan agar klien merasa
lebih nyaman dan rasa saling
percaya dapat dibina, sehingga
klien bersedia mengungkapkan
pengalamannya
3. Respon non verbal yang
ditunjukkan klien
4. Evaluasi ketidakefektifan
pengobatan yang pernah
dilakukan terhadap nyeri
5. Gunakan pendekatan
multidisipliner untuk
manajemen nyeri:
penggunaan analgesik
6. Ajarkan tentang teknik
pengontrolan nyeri non
farmakologis
menggambarkan apa yang
dirasakan klien
4. Evaluasi dilakukan sebagai
bahan evaluasi agar tidak
memberikan terapi yang sama
5. Analgesik diberikan untuk
mengurangi nyeri yang dialami
klien
6. Teknik kontrol nyeri non
farmakologis dapat membantu
menurunkan rasa nyeri yang
dialami klien
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria M., et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth
Edition. Mosby Elsevier.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI.
Moorhead, Sue., et al. Tanpa tahun. Nursing Outcomes Classification (NOC).
Mosby Elsevier.
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
NANDA. 2012. Nursing Diagnosis Definitions and Classification. Wiley-
Blackwell.
Price, Sylvia Anderson, dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume II. Edisi VI. Jakarta: EGC.