Upload
tegar-gemilang
View
33
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
xczxc
Citation preview
Meningitis Tuberkulosis
pada Orang Dewasa
Rilus Salawane
102010086
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat Korespondensi:
Mahasiswi Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana.
Jl. Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510, No TLP: (021) 56942061, Fax: (021)5631731, Email :
Pendahuluan
Meningitis adalah suatu radang pada meningens (selaput yang melindungi otak dan
batang otak), disebabkan oleh bakteri, dan virus yang dapat terjadi secara akut atau kronik.
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak,
yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Pada meningitis serosa cairan otak
berwarna jernih sampai xantokrom, sedangkan pada meningitis purulenta cairan otak
berwarna opalesen sampai keruh. Meningitis serosa dibagi menjadi 2 yaitu meningitis serosa
viral yang disebabkan oleh infeksi virus dan meningitis serosa tuberkulosis yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis1.
Meningitis serosa tuberkulosis atau meningitis tuberkulosis merupakan satu dari
sekian jenis meningitis yang paling sering dan paling berbahaya karena berbeda dengan
meningitis lainnya dari perjalanan penyakitnya yang lambat dan progresif. Meningitis
1
tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi dari penyebaran tuberkulosis primer, biasanya
dari paru.
Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak
Otak dan sum-sum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur
syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal. Meningen
terdiri dari tiga lapis, yaitu:
Lapisan Luar (Durameter)
Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,
sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Durameter
terbagi lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak
(periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal) meliputi permukaan tcngkorak
untuk membentuk falks serebrum, tentorium serebelum dan diafragma sella1.
Lapisan Tengah (Arakhnoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan otak
yang rneliputi selumh susunan saraf pusat. Ruangan diantara durameter dan arakhnoid
disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai getah bening.
Pada mangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang menghubungkan
sistem otak dengan meningen sena dipenuhi oleh cairan serebrospinal1.
Lapisan Dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang mensuplai darah kc otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini melekat
erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan diantara arakhnoid
dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel radang.
Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang. 1
2
Gambar 1. Lapisan selaput otak
Anamnesis
Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
dahulu, riwayat obstetric dan ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit dalam keluarga,
anamnesis susunan system dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya,
kebiasaan, obat-obatan, lingkungan). Pada pasien usia lanjut perlu pula dievaluasi status
fungsionalnya. Pasien dengan sakit menahun, perlu dicatat pasang surut kesehatannya,
termasuk obat-obatannya dan aktivitas sehari-harinya. Hal-hal yang perlu ditanya sebagai
berikut :
a. Nyeri kepala selalu ada, kadang-kadang sangat hebat dan difus.
b. Nyeri punggung seringkali ada
c. Temperatur biasanya tidak begitu meningkat seperti pada meningitis purulenta.
d. Sensitif terhadap cahaya ( fotopobia )
e. Malaise umum, gelisah, atau tidak enak badan
f. Nausea dan vomitus
g. Mengantuk dan pusing
h. Meningismus ( laseque dan kaku kuduk hampir selalu ada )
i. Organ-organ lain sering kena mis: paru-paru pada meningitis tuberkulosa
j. Umumnya terdapat tanda-tanda gangguan saraf kranial dan cabang-cabangnya.1
3
Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif bempa fleksi dan rotasi
kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala disertai rasa nycri dan spasms otot. Dagu tidak dapat
disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi
kepala2.
b) Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi panggul
kernudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa rasa nyeri.
Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki
tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa
nyeri2.
c) Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah kepala
dan tangan kanan diatas dada pasien kernudian dilakukan fleks kepala dengan cepat
kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan
terjadi fleksi involunter pada leher2.
d) Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.2
4
Gambar 2. Kernig’s sign dan brundzinski’s sign
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan cairan otak
Merupakan kunci diagnosis untuk meningitis tuberkulosis
Cairan serebrospinal pada meningitis tuberkulosis jernih, tidak berwarna, dan bila
didiamkan akan membentuk “cob web” atau “pellicle” atau sarang laba-laba. Tekanan
sedikit meninggi dan jumlah sel kurang dari 500/ mm3 dengan dominan limfosit. Protein
meninggi sampai 200mg% dan kadar glukosa menurun sampai dibawah 40mg%2,3.
2. Pemeriksaan darah rutin
Darah perifer lengkap, gula darah dan elektrolit. Selain itu perlu diperiksa juga jumlah
dan hitung jenis leukosit serta peningkatan laju endap darah (LED)2,3.
3. Tes tuberkulin
Pemberian tuberkulin intradermal sebanyak 0,1 cc atau tes Mantoux berguna untuk
diagnosis, terutama pada anak.
4. Tuberkel koroid
Tuberkel koroid menandakan suatu proses tuberkulosis lanjut. Nampak sebagai fokus
eksudat putih keabuan dibawah pembuluh darah retina2,3.
5. Pemeriksaan radiologik2,3
- Foto Thorak
Hampir sebagian besar penderita meningitis tuberkulosis akan menunjukkan
gambaran radiologik sesuai untuk suatu tuberkulosis.
- Foto tengkorak
Pada stadium akut meningitis tuberkulosis tidak akan menjumpai kelainan pada foto
tengkorak. Pelebaran sutura menandakan suatu peninggian tekanan intrakranial.
- Pemeriksaan CT Scan
Dapat digunakan untuk diagnosis meningitis tuberkulosis, kelainan yang nampak
adalah :
Tuberkuloma, dapat mengalami perkapuran dan kadang terlihat suatu “mass
effect”
Hidrosefalus, terlihat dari pelebaran ventrikel.
Gambaran penyerapan abnormal dari kontras pada sisterna basalis.
Infark
5
- Angiografi
Pada fase akut meningitis tuberkulosis dapat dijumpai kelainan pembuluh darah
berupa penyempitan segmental arteri pada daerah basis otak. Penyempitan ini terjadi
akibat arteritis atau kompresi mekanik oleh eksudat kental.
- Elektroensefalografi
Dijumpai gambaran EEG abnormal berupa perlambatan difus, bentuk sinusoidal,
teratur dengan aktivitas gelombang delta voltase tinggi. Selain itu dapat
memperlihatkan terdapatnya lesi fokal sesuai dengan lesi infark atau fokus epileptik.
Diagnosis Kerja
Meningitis tuberculosis adalah peradangan pada selaput otak atau meningen oleh bakteri
tahan asam Mycobacterium tuberculosis. Ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang
terpenting ialah gambaran pemeriksaan cairan otak. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila
ditemukan kuman tuberkulosis dalam cairan otak. Uji tuberkulin yang positif, kelainan
radiologis yang tampak pada foto thorak dan terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga
hanya dapat menyokong diagnosis
Diagnosis Banding
a) Meningitis bacterial (piogenik)
Kebanyakan kasus meningitis bacterial disebabkan oleh infeksi meningen oleh satu
dari tiga organism berikut:
Neisseria meningitides (meningokokus),
Haemophilus influenza (tipe b) (jarang, terjadi setelah vaksinasi),
Streptococcus pneumonia (pneumokokus).
Organisme lainnya, terutama mycobacterium tuberculosis, dapat ditemukan pada
kelompok berisiko yang spesifik, misalnya pasien immunocompromised. Di negera maju,
insidensi meningitis bacterial adalah 5-10 per 100.000 per tahun.
Gambaran klinis
Umumnnya terdapat nyeri kepala hebat disertai nyeri dan kekakuan pada leher dan
punggung, muntah, serta fotofobia. Kecepatan onset nyeri kepala cukup cepat (menit hingga
6
jam), walaupun umumnnya tidak mendadak seperti pendarahan subaracnoid. Pasien dapat
mengalami penurunan kesadaran dan kejang.
Pemeriksaan umum menunjukkan tanda infeksi seperti demam, takikardia, syok, dan
kadang adanya bukti sumber infeksi primer (misalnya pneumonia, endokarditis, sinusitis,
otitis media). Sebagian besar kasus meningitis meningokokal akan disertai kemerahan,
biasanya.4
b) Meningitis Virus
Meningitis dan ensefalitis dapat timbul dari infeksi enterovirus, gondongan, herpes
simpleks, arbovirus, innfluenza, dan yang jarang, rubela atau virus Epstein-Barr. Meningitis
virus dapat menjadi bagian riwayat alami infeksi polio. Pasien mengalami nyeri kepala,
fotofobia, demam, dan kaku leher. LCS menunjukkan limfositosis; protein sedikit meningkat
dengan kadar glukosa normal. Apus tenggorok, spesimen LCS, dan feses harus dikirim untuk
kultur virus dan uji serologis. Tata laksana bersifat simtomatik karena sebagian besar pasien
sembuh tanpa sisa defisit dalam beberapa hari.5
c) Ensefalitis Virus
Ensefalitis virus disebabkan oleh bermacam-macam virus termasuk herpesvirus dan
arbovirus. Pasien mengalami demam disertai dengan nyeri kepala, kaku leher, dan gangguan
kesadaran. Tanda-tanda neurologis fokal dapat terjadi; konvulsi sering terjadi. Virus dapat
dikultur dari spesimen LCS, feses, dan tenggorok, dan dideteksi dengan teknik serologis.
Asiklovir digunakan untuk mengobati ensefalitis herpetik (yang biasanya mengenai lobus
temporal) dan menurunkan angka mortalitas menjadi kurang dari 20%, dan juga menurunkan
jumlah pasien yang mengalami sisa kecacatan yang berat.5
Epidemiologi
Meningitis tuberculosis masih banyak ditemukan di Indonesia karena morbiditasnya
selain bergantung kepada tingkat kekebalan tubuh seseorang juga di pengaruhi oleh factor
social ekonomi, tingkat kesadaran kesehatan masyarakat status gizi dan factor genetik
tertentu yang berhubungan faktor imun.
Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang
dibandingkan pada negara maju. Faktor lingkungan (Environment) yang mempengaruhi
terjadinya meningitis bakteri yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe b adalah
lingkungan dengan kebersihan yang buruk dan padat dimana terjadi kontak atau hidup
7
serumah dengan penderita infeksi saluran pernafasan. Penyakit ini lebih banyak ditemukan
pada laki-laki dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat lebih nyata pada bayi.
Meningitis pumlenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak karena sistem kekebalan
tubuh belum terbentuk sempuna.3
Etiologi
Meningitis tuberkulosis paling sering disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
varian hominis. Selain itu dapat pula disebabkan oleh varian lain yaitu Mycobacterium
tuberculosis varian bovis, Mycobacterium tuberculosis varian atipik, dan Mycobacterium
tuberculosis varian flavesen.
Mycobacterium tuberculosis termasuk dalam ordo Aktinomisetales, Famili Mycobacteriacea
dan Genus Mycobacterium.
Mycobacterium tuberculosis mempunyai ukuran panjang 2-4 mikron dan lebar 0,3-0,5
mikron. Sering ditemukan berkelompok, berbentuk filamen tetapi mudah patah dan
menghasilkan bentuk batang dan kokoid. Mycobacterium tuberculosis atau basil tuberkel
tidak bergerak, tidak membentuk spora dan kapsel atau konidia. Hidup intraseluler dalam
suasana aerob. Suhu terbaik untuk pertumbuhannya adalah 37° C dan mati pada suhu kurang
dari 30° C atau lebih dari 42° C5,6.
Patofisiologi
Meningitis tuberkulosis merupakan proses sekunder terhadap proses tuberkulosis di
tempat lain pada tubuh. Meningitis tuberkulosis pada anak seringkali dihubungkan dengan
penjalaran suatu kompleks primer. Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya
selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui
pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang
kemudian pecah ke dalam rongga arachnoid (ruang subarachnoid). Kadang-kadang terjadi
perkontinuitatum dari mastoiditis atau spondilitis. Hal inilah yang menjelaskan bahwa
meningitis tuberkulosis secara histologis dapat disebut sebagai meningoensefalitis5,6.
Dengan kata lain terinfeksinya meningen didahului dengan terbentuknya tuberkel di
otak atau paru, kemudian tuberkel akan pecah dan bakteri masuk ke rongga sub arachnoidea.
Hal ini terjadi karena basil tuberkel tidak mudah masuk meningen melalui bakterimia dan
perubahan vaskuler pada meningitis tuberkulosis tidak dapat ditimbulkan oleh bakterimia,
tetapi baru terjadi setelah terjadi suatu infeksi pada ruang subarachnoid. Setelah melepaskan
bacilus dan materi granulomatosa kedalam rongga subarachnoid kemudian terbentuk
8
sejumlah eksudat gelatin kental berwarna putih. Eksudat tersebut sebagian besar akan
menempati dasar otak terutama pada batang otak dan sebagian kecil terdapat pada permukaan
otak. Eksudat ini menyelubungi arteri dan nervus kranialis, membentuk seperti sumbatan
leher botol pada aliran cairan serebrospinal pada tingkat pembukaan tentorium, yang akan
dapat menyebabkan hidrosefalus serta kelainan pada saraf otak. Saraf otak yang biasanya
terkena pada meningitis tuberkulosis akibat gejala penekanan oleh eksudat yang kental adalah
saraf otak II, III, IV dan VII. Terdapatnya kelainan pada pembuluh darah seperti arteritis dan
flebitis yang menimbulkan sumbatan dapat menyebabkan infark otak yang kemudian akan
menyebabkan perlunakan otak,5,6.
Gejala klinik
Gambaran klinik meningitis tuberkulosis sangat variabel dan pada permulaan
penyakit sukar diketahui, perjalanan penyakit perlahan-lahan dan keluhan sering tidak jelas
dan tidak khas.
Meningitis tuberkulosis dapat muncul bertahun-tahun setelah infeksi, ketika ruptur
dari satu atau lebih tuberkel subependimal melepaskan basil tuberkel ke ruangan
subarachnoid. Progresi klinis meningitis tuberkulosis dapat terjadi cepat atau perlahan.
Progresi cepat cenderung lebih sering terjadi pada infant dan anak usia muda. Namun yang
lebih umum terjadi, gejala dan tanda berkembang perlahan selama beberapa minggu dan
dibagi menjadi 3 stadium, yaitu3,5,6 :
1. Stadium I (inisial/ prodromal)
Stadium ini berlangsung selama 1-2 minggu, ditandai dengan gejala-gejala non
spesifik seperti demam, sakit kepala, iritabilitas, mengantuk (drowsiness), dan malaise.
Tidak terdapat kelainan neurologis fokal, tapi infants dapat mengalami stagnasi
pertumbuhan dan gangguan perkembangan.
Predominan gejala gastrointestinal tanpa manifestasi kelainan neurologis. Pasien
tampak apatis dan iritabel, disertai nyeri kepala intermitten.
2. Stadium II (transisi)
Stadium kedua biasanya mulai dengan lebih mendadak. Tanda yang paling umum
adalah letargi, kaku kuduk, kejang, tanda Brudzinski atau Kerniq positif, hipertoni,
muntah, gangguan saraf kranial, dan tanda-tanda kelainan neurologis fokal yang lain.
Perburukan penyakit secara klinis biasanya sejalan dengan perkembangan hidrosefalus,
peningkatan tekanan intrakranial, dan vaskulitis.
9
Pada beberapa anak tidak terdapat adanya tanda rangsang meningeal namun bisa
terdapat tanda-tanda ensefalitis, seperti hiperpireksia, kejang, penurunan kesadaran atau
disorientasi, defisit neurologis dan gerakan involunter.
Pasien tampak mengantuk, disorientasi disertai tanda rangsang meningeal. Refleks
tendon meningkat, refleks abdomen menghilang, disertai klonus patela dan pergelangan
kaki.
3. Stadium III (terminal)
Stadium ketiga ditandai dengan koma, hemiplegia atau paraplegia, hipertensi, postur
deserebrasi, deteriorasi tanda vital dan pada akhirnya kematian.
Pasien koma, pupil terfiksasi, spasme klonik, pernafasan ireguler disertai peningkatan
suhu tubuh. Hidrosefalus terdapat pada dua pertiga kasus dengan lama sakit 3 minggu.
Penatalaksanaan
Pengobatan sedini mungkin sangat penting untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Sesuai dengan rekomendasi American Academy of Pediatric 1994, diberikan pengobatan
medikamentosa berupa kombinasi antara Obat Anti Tuberkulosis dengan kortikosteroid.
Diberikan 4 macam obat selama 2 bulan, diteruskan dengan pemberian INH dan Rifampicin
selama 10 bulan2,3.
Obat-obat yang diberikan diantaranya adalah2,3 :
1. Isoniazid (INH) 5-15 mg/ kgBB/ hari, dosis maksimum 300 mg/ hari
Bila timbul ikterus dosis dikurangi, efek samping berupa kesemutan, gatal-gatal, nyeri
otot
2. Rifampisin (R) 10-15 mg/ kgBB/ hari, dosis maksimum 600 mg/ hari
Bila timbul ikterus dosis dikurangi, efek samping berupa mual, trombositopenia
3. Pirazinamid (Z) 25-35 mg/ kgBB/ hari, dosis maksimum 2 gram/ hari
Efek samping berupa hepatitis, nyeri sendi, reaksi hipersensitif
4. Streptomisin (S) 15-30 mg/ kgBB/ hari, dosis maksimum 750 mg/ hari (i.m). Efek
samping berupa kerusakan nervus VIII, dan bersifat nefrotoksik
5. Etambutol (E) 15-20 mg/ kgBB/ hari, dosis maksimum 2,5 gram / hari
Efek samping berupa gangguan penglihatan
6. Prednison 1-2 mg/ kgBB/ hari selama 2-3 minggu, dilanjutkan dengan tapering off
10
Steroid diberikan untuk mencegah arteritis/ infark otak, komplikasi infeksi, perlekatan
dan menghambat reaksi inflamasi. Jika didapatkan hidrosefalus non-komunikan, dapat
dilakukan pemasangan VP-Shunt. Jika terdapat hidrosefalus komunikan, pengobatan medis
dengan furosemide dan acetazolamid akan mengembalikan nilai normal tekanan intra kranial
dalam satu sampai dua minggu. Pasien yang tidak berhasil dengan cara ini maka akan
direncanakan pula pemasangan ventrikuloperitoneal shunt2,3.
Komplikasi
Dapat terjadi akibat pengobatan yang tidak sempurna atau pengobatan yang terlambat.
Dapat terjadi cacat neurologis berupa paresis, paralisis sampai deserebrasi, hidrosefalus
akibat sumbatan, resorbsi berkurang atau produk berlebihan dari cairan otak. Anak juga dapat
menjadi buta atau tuli dan kadang timbul retardasi mental5,6.
Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis berhubungan dengan stadium klinis penyakit saat
terapi dimulai. Sebagian besar pasien pada stadium pertama memiliki prognosis baik,
sedangkan kebanyakan pasien pada stadium ketiga yang bertahan hidup mengalami
disabilitas permanen, antara lain kebutaan, tuli, paraplegia, diabetes insipidus, atau retardasi
mental. Prognosis untuk infant pada umumnya lebih buruk daripada anak yang lebih tua6.
Pencegahan
Pencegahan primer dilakukan untuk mencegah timbulnya faktor resiko meningitis
bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat.”
Pencegahan penyakit infeksi meningitis dapat dilakukan dengan pemberian vaksin pada bayi
agar mendapatkan kekebalan tubuh terhadap bibit penyakit tersebut.6
11
Kesimpulan
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis
primer, biasanya di paru. Terjadinya meningitis tuberkulosa bukanlah karena terinfeksinya
selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui
pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsung tulang belakang atau vertebra yang
kemudian pecah kedalam rongga arakhnoid. Meningitis tuberculosa mempunyai morbiditas
dan mortalitas yang tinggi bila tidak diobati. Oleh karena itu penyakit ini memerlukan
diagnosa dini dan pemberian pengobatan yang cepat, tepat dan rasional.
Daftar Pustaka
1. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 25-6.
2. Crofton J, Horne N, Miller F. Tuberkulosis klinis. Ed. 2. Jakarta: Widya Medika,
2002.h.180-6.
3. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture notes: Kedokteran klinis. Edisi keenam.
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007.h.121-5.
4. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: penerbit
Erlangga.2007.h.122-76.
5. Gillespie SH, Bamford KB. At a glance mikrobiologi medis dan infeksi. Edisi ketiga.
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009.h.101.
6. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi klinis dasar. Jakarta: Penerbit Dan Hidayat,
2008.h. 319-20.
12