25
BAB I PENDAHULUAN Politik hukum HAM adalah kebijakan hukum HAM (human rights legal policy) tentang penghormatan (to respect), pemenuhan (to fulfill) dan perlindungan HAM (to protect). Kebijakan ini bisa dalam bentuk pembuatan, perubahan, pemuatan pasal- pasal tertentu, atau pencabutan peraturan perundang- undangan. Dalam pandangan Moh. Mahfud, implementasi politik hukum dapat berupa 1 : (a) pembuatan hukum dan pembaruan terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan dengan penciptaan hukum yang diperlukan; (b) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para anggota penegak hukum. Politik hukum HAM pada aspek penghormatan adalah kebijakan yang mengharuskan negara untuk tidak mengambil langkah-langkah yang akan mengakibatkan individu atau kelompok gagal meraih atau memenuhi hak- haknya. Sementara pemenuhan adalah negara harus mengambil tindakan legislatif, administratif, anggaran, yudisial atau langkah-langkah lain untuk memastikan terealisasinya pemenuhan hak-hak. Sedangkan 1 Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, makalah pada Karya Latihan Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh yayasan LBH Indonesia dan yayasan LBH Surabaya, September 1985 (dalam Moh. Mahfud, 2012, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 15.) 1

Makalah HAM

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hak asasi manusia

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Politik hukum HAM adalah kebijakan hukum HAM (human rights legal policy) tentang penghormatan (to respect), pemenuhan (to fulfill) dan perlindungan HAM (to protect). Kebijakan ini bisa dalam bentuk pembuatan, perubahan, pemuatan pasal-pasal tertentu, atau pencabutan peraturan perundang-undangan. Dalam pandangan Moh. Mahfud, implementasi politik hukum dapat berupa[footnoteRef:1]: (a) pembuatan hukum dan pembaruan terhadap bahan-bahan hukum yang dianggap asing atau tidak sesuai dengan kebutuhan dengan penciptaan hukum yang diperlukan; (b) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada, termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para anggota penegak hukum. [1: Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Karya Latihan Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh yayasan LBH Indonesia dan yayasan LBH Surabaya, September 1985 (dalam Moh. Mahfud, 2012, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 15.)]

Politik hukum HAM pada aspek penghormatan adalah kebijakan yang mengharuskan negara untuk tidak mengambil langkah-langkah yang akan mengakibatkan individu atau kelompok gagal meraih atau memenuhi hak-haknya. Sementara pemenuhan adalah negara harus mengambil tindakan legislatif, administratif, anggaran, yudisial atau langkah-langkah lain untuk memastikan terealisasinya pemenuhan hak-hak. Sedangkan perlindungan adalah bagaimana negara melakukan kebijakan guna mencegah dan menanggulangi dilakukannya pelanggaran sengaja atau pembiaran.[footnoteRef:2] [2: Suparman Marzuki, Politik Hukum HAM di Indonesia, makalah pada Pelatihan HAM Dasar Dosen Hukum HAM se Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Singgasana Surabaya, 10-13 Oktober 2011. ]

Pembahasan mengenai HAM penting mengingat beberapa kebijakan termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan tentang HAM telah dikeluarkan sebelum Undang-undang Dasar 1945 diamandemen. Hal ini berarti kebijakan yang ada dalam Pasal 28 UUD 1945 antara lain dilatarbelakangi oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sebelum amandemen.Di Indonesia penghormatan atas hak-hak asasi manusia telah dijamin oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sebagai pandangan hidup, falsafah dan dasar konstitusional bagi Negara Kesatuan RI. Dikeluarkannya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara tegas adanya HAM itu dapat diwujudkan dalam masa orde reformasi, yaitu selama sidang istimewa MPR-RI yang berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1998, diputuskan dalam rapat paripurna ke 4 tanggal 13 November 1998, berupa lahirnya ketetapan No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, yang kemudian menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang tersebut dikeluarkan sebagai salah satu rangkaian rencana aksi nasional hak asasi manusia berdasarkan Keputusan Presiden No. 129 tahun 1998. Sebagaimana diketahui, keluarnya undang-undang tersebut setelah berbagai peristiwa kekerasan terjadi di Indonesia terutama pada masa pemerintahan Orde Baru, seperti kasus Tanjung Priok, Tim-Tim, Semanggi dan sebagainya. Kasus-kasus tersebut sampai saat ini masih dalam proses penyelesaian. Paling tidak ada dua kendala utama dalam penyelesaian kasus-kasus HAM di masa lalu, yaitu kendala teknis prosedural yang menyangkut pembuktian secara hukum dan kendala politis yang ditandai oleh adanya kekuatan yang besar untuk menghambat upaya penyelesaian melalui pengadilan.

BAB IIPEMBAHASANPolitik Hukum Bidang Hak Asasi Manusia (HAM)A. Pengertian Politik Hukum dan HAMPolitik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila, yang melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum.5Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dapat disebut sebagai contoh tentang politik hukum, tetapi ia hanya bagian dari ilmu politik hukum.[footnoteRef:3] [3: Moh. Mahfud MD, 2012, loc. cit., hlm. 5]

Dalam rangka memahami hakekat Hak Asasi Manusia, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang hak. Secara definitif hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berprilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: pemilik hak, ruang lingkup penerapan hak dan pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar hak. Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi.Hak merupakan kata yang tidak asing bagi umat manusia di seluruh dunia, karena hak merupakan intisari yang paling karib dengan kebenaran dan keadilan dalam konteks dinamika dan interaksi kehidupan manusia beserta makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Hak telah terpatri sejak manusia lahir dan melekat pada siapa saja. Diantaranya adalah hak kemerdekaan, hak makhluk dan harkat kemanusiaan, hak cinta kasih sesama, hak indahnya keterbukaan dan kelapangan, hak bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tentram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk dilindungi dan melindungi dan sebagainya. [footnoteRef:4] Hak asasi manusia adalah hak dan kebebasan yang dimiliki semua individu tanpa memandang kebangsaan dan kewarganegaraan mereka. HAM pada dasarnya penting dalam mempertahankan masyarakat yang adil dan beradab.[footnoteRef:5] [4: Mansoor Faqih dkk, Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat, Yogyakarta: Insist, 1999, hlm. 17] [5: MinistryofJustice,MakingSenseofHumanRights,http://www.justice.gov.uk/downloads/human-rights/human-rights-making-sense-human-rights.pdf]

Undang-undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.[footnoteRef:6] [6: UU No. 39 tentang Hak Asasi Manusia]

Hak asasi manusia adalah hak setiap manusia memiliki berdasarkan martabat kemanusiaannya. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang paling mendasar dari manusia. Mereka menentukan hubungan antara individu dan struktur kekuasaan, terutama negara. Hak asasi manusia membatasi kekuasaan negara dan, pada saat yang sama, membutuhkan negara untuk mengambil langkah-langkah positif untuk memastikan lingkungan yang memungkinkan bagi semua orang untuk menikmati hak-hak asasi mereka.[footnoteRef:7] [7: Manfred Nowak, 2005, Human Rights: Handbook for Parliamentarians, Geneva, Inter-Parliamentary Union and Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, hlm. ]

Berikut ini beberapa pengertian HAM dari beberapa pakar hukum maupun dari perundang-undangan:1. Darji Darmodiharjo, pakar hukum Indonesia: Hak-hak dasar/hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak asasi ini menjadi dasar dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain.[footnoteRef:8] [8: Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 1995, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, __]

2. Padmo Wahjono, pakar hukum Indonesia: Hak yang memungkinkan orang hidup berdasarkan suatu harkat dan martabat tertentu (beradab).[footnoteRef:9] [9: Padmo Wahjono, 1983, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia]

3. Ketetapan MPR-RI No. XVII/MPR/1998 tentang HAM: Hak sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal, dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.[footnoteRef:10] [10: Ketetapan MPR RI dan GBHN 1999-2004 Dilengkapi Amandemen UUD 1945.]

4. UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 1 angka 1: Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[footnoteRef:11] [11: Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.]

5. Tilaar[footnoteRef:12]: Hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat [12: Tilaar. H. A.R., 2001, Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Kurikulum Persekolahan Indonesia. Bandung : PT. Alumni.]

6. Miriam Budiardjo[footnoteRef:13], 1994: Hak asasi bersifat umum (universal), karena diyakini bahwa beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan atas bangsa, ras, agama, atau jenis kelamin. Dasar dari hak asasi, bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. [13: Miriam Budiardjo, 1994, Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama]

B. Negara Hukum dan Hak Asasi ManusiaGagasan, cita, atau ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep rechtsstaat dan The Rule of Law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang berasal dari perkataan nomos dan cratos. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan demos dan cratos atau kratien dalam demokrasi. Nomos berarti norma, sedangkan cratos adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip Rule of Law yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon The Rule of Law, and not of Man. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul Nomoi yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Laws, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno. [footnoteRef:14] [14: JimlyAsshiddiqie,GagasanNegaraHukumIndonesia,http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf]

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah rechtsstaat itu mencakup empat elemen penting, yaitu:1. Perlindungan hak asasi manusia.2. Pembagian kekuasaan.3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang.4. Peradilan tata usaha Negara.Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah The Rule of Law, yaitu:1. Supremacy of Law.2. Equality before the law.3. Due Process of Law.Keempat prinsip rechtsstaat yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh The International Commission of Jurist, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut The International Commission of Jurists itu adalah:1. Negara harus tunduk pada hukum.2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.[footnoteRef:15] [15: Ibid]

Latar belakang kelahiran konsep negara hukum atau the rule of law sangat dipengaruhi oleh paham liberalisme dan individualisme. Namun di sisi lain, bilamana dilihat dari sisi cita (idea) yang terkandung di dalamnya, yaitu yang menginginkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan the dignity of man, maka tidak mungkin secara apriori ditolak. Rasionya, ide-ide tersebut merupakan ide yang universal, yang merupakan milik umat manusia kapan dan di mana pun ia berada.[footnoteRef:16] [16: Woro Winandi, 2011, Bahan Ajar: Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya.]

Berkaitan dengan konsepsi negara hukum maka Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa: Indonesia adalah negara hukum. Bermakna adanya pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum; semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum pada hakekatnya pemimpin tertinggi negara sesungguhnya bukanlah manusia tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Sejalan dengan kemunculan ide demokrasi konstitusional yang tak terpisahkan dengan konsep negara hukum, baik rechtsstaat maupun rule of law, pada prinsipnya memiliki kesamaan yang fundamental, yakni pengakuan pentingnya adanya pembatasan kekuasaan yang dilakukan secara konstitusional. Oleh karena itu, terlepas dari adanya pemikiran dan praktik konsep negara hukum yang berbeda, konsep negara hukum adalah realitas dari cita-cita sebuah negara bangsa, tidak terkecuali bagi Indonesia.[footnoteRef:17] [17: Retno Kusniati, Sejarah Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan Konsepsi Negara Hukum, Bimbingan Teknis HAM Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Jambi di Hotel Ceria Jambi tgl 24 Mei 2011. Istilah Hak Asasi Manusia dalam tulisan ini selanjutnya disebut HAM.]

Konstitusi Indonesia (UUD 1945), UU No 39/1999 tentang HAM, dan konvensi-konvensi Internasional tentang perlindungan HAM, pada intinya memposisikan negara melalui aparat pemerintah sebagai pihak yang diwajibkan untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM warga negara atau penduduk di suatu negara.[footnoteRef:18] [18: Sutomo Paguci, 2013, Konsep Negara Hukum dan Kesesatan Kaum Fundis Memahami HAM, http://hukum.kompasiana.com/2013/05/30/konsep-negara-hukum-dan-kesesatan-kaum-fundis-memahami-ham-564588.html]

Selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini reformasi atas pranata-pranata hukum dan politik telah dijalankan. Namun kebebasan sipil dan politik yang terus menyertai proses reformasi itu belum membawa hasil seperti yang dikehendaki. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih buruk dalam upaya penegakan HAM-nya. Beberapa tokoh Indonesia pernah menjadi sorotan Internasional berkaitan pelanggaran HAM di Timor-timur beberapa waktu yang lalu. Kasus yang juga mencuat hingga mata dunia terbelalak yaitu pembunuhan aktivis sejati HAM di Indonesia, yaitu Munir. Hingga kini, pembunuhan Munir masih dalam proses hukum, walaupun sangat sulit diungkapkan, karena melibatkan oknum anggota Badan Intelijen di Indonesia.Memang rakyat pada umumnya telah menikmati hak atas kebebasan sipil dan politik, namun akses rakyat pada keadilan hukum masih jauh dari jangkauan. Keadilan hukum seolah-olah berada jauh di atas kapasitas jangkauan rakyat. Korupsi di sektor yudisial dan birokrasi pada umumnya terus merajalela, sementara kasus-kasus kekerasan yang menimpa kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang lemah terus terjadi tanpa di atasi secara tuntas dan adil. Dewasa ini selain reformasi pada tataran normative kita menyaksikan tumbuhnya berbagai Komisi Nasional, seperti Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komisi Nasional HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman. Kecuali KPK yang diberikan kewenangan yang memadai di bidang penyidikan dan penuntutan, komisi-komisi nasional lainnya boleh dikatakan tak berdaya melakukan control atas aparat penegak hukum, seperti, Polisi, Jaksa, dan Hakim, serta birokrasi pemerintah pada umumnya. KPK memang nampak berhasil menyeret mereka yang diduga sebagai pelaku korupsi ke pengadilan Tipikor. Namun, selain sifatnya yang selektif, KPK juga belum mampu membersihkan dan membangun sistem yudisial dari praktek-praktek korupsi. Satgas Mafia Hukum belakangan di bentuk. Dengan menggunakan wibawa Presiden, Satgas menampung pengaduan masyarakat dan nampaknya dapat mengungkapkan kasus-kasus mafia hukum. [footnoteRef:19] [19: Abdul Hakim Garuda Nusantara, 2010, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Training Hak Asasi Manusia bagi Pengajar Hukum dan HAM, Makassar, 3 -5 Agustus 2010. PUSHAM-UII]

Namun pengungkapan saja tanpa penanganan secara tuntas dan adil atas kasus-kasus itu hanya akan meninggalkan kekecewaan sosial lebih dalam lagi, serta tanpa disadari menurunkan semangat dan moralitas para penegak hukum, kredibilitas institusi penegak hukum. Sementara kasus dan akar masalahnya yang sesungguhnya menjadi tanggungjawab pemerintah, yakni Presiden tetap tidak diselesaikan secara tuntas dan adil. Untuk sementara Satgas Mafia Hukum barangkali dapat memberikan warning dan iklim berhati-hati di kalangan aparat penegak hukum. Namun sistem yudisial yang korup serta pelakunya tetap saja tidak berubah. Fenomena yang digambarkan di atas menunjukkan, bahwa reformasi hukum dan politik yang menghasilkan empat tahapan Amandemen UUD 1945 yang didukung oleh masyarakat luas tidak diimbangi dengan reformasi dalam tubuh birokrasi Negara, khususnya di sektor yudisial dan TNI. Gerakan reformasi nasional yang didukung oleh masyarakat luas belum berhasil merubah struktur hubungan Negara dan Masyarakat. Negara tetap saja masih terus didominasi oleh kepentingan kapital dan para birokrat yang mengendalikan elite politik yang menguasai partai politik, dan akhirnya Parlemen.Keadaan itulah sesungguhnya yang merupakan tantangan yang dihadapi oleh gerakan masyarakat sipil yang mencita-citakan terwujudnya Negara Hukum yang demokratis.Realitas sosial, politik, ekonomi, dan kultural yang merintangi jalan menuju Negara Hukum demokratis dan HAM tidak perlu membuat kita sebagai bangsa mundur dari cita-cita itu. Karena seperti yang dikatakan Lev, gagasan Negara Hukum demokratis itu ada sumber dukungan sosialnya, yakni, realitas kemajemukan bangsa Indonesia, munculnya golongan menengah yang semakin luas dan menguat, serta agama-agama, khususnya Islam yang menanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan yang sejalan dengan cita-cita Negara Hukum yang demokratis.

Fenomena Negara Hukum yang demokratis tempat di mana HAM dimajukan dan dilindungi sudah merupakan fenomena Universal. Seperti dikatakan Prof. Mark Tushnet, bahwa globalisasi hukum konstitusi adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Sekarang kita menyaksikan fenomena konstitusi-konstitusi dari banyak negara yang mengakui prinsip perlindungan hak-hak individual (pribadi) atas kebebasan politik, perlindungan hak-hak sipil, hak atas pemilikan kekayaan, dan kemerdekaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman, dan hak-hak demokrasi lainnya. Sekarang ini negara-negara bersaing meyakinkan masyarakat internasional, bahwa konstitusi mereka lebih demokratis dan melindungi HAM.[footnoteRef:20] [20: Ibid]

C. Sejarah Hak-Hak Asasi ManusiaDalam perjalanan sejarah umat manusia di permukaan bumi ini, tercatat banyak kejadian dimana seseorang diambil hak-haknya oleh orang lain tanpa memperhatikan hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Sebagai contoh adalah kasus anak-anak Adam dan Hawa, yakni Kabil yang harus membunuh Habil untuk memperebutkan gadis yang menjadi kembaran mereka masing-masing.[footnoteRef:21] Perjuangan konseptual mengenai HAM sesungguhnya dapat ditelusuri pada karya Plato[footnoteRef:22] yang berjudul politea, sebagai ekspresi keprihatinan yang referensial dari Plato atas keadaan negaranya yang dipimpin oleh orang yang harus akan harta, kekuasaan dan gila hormat, pemerintah sewenang-wenang di atas penderitaan rakyatnya. [21: Abdul Majid An-Najjar, 2002, Kebebasan Berfikir dalam Islam; Upaya Mempersatukan Visi Pemikiran dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 65.] [22: Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia; Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, Jakarta: UI Press, , hlm. 19.]

Pandangan atas perlindungan HAM oleh para pemikir berlanjut terus pada abad ke 17 dan 18, seperti yang dirumuskan oleh John Locke (1632-1714), Jean Jaques Rousseau (1712-1778), meskipun rumusan-rumusan yang dikemukakan oleh kedua pakar ini masih terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja, seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan sebagainya.[footnoteRef:23] Disamping kontribusi pemikiran Lock dan Rousseau ini ada juga pendapat Jeremy Bentham[footnoteRef:24] yang memasukkan hak untuk mendapatkan kesejahteraan, kebahagiaan dan rasa aman sebagai salah satu unsur HAM. Lain lagi dengan John Rawls[footnoteRef:25] yang mengatakan bahwa induk dari HAM adalah keadilan, apabila keadilan tercapai maka dengan sendirinya akan tercapai hak-hak yang lainnya. [23: Miriam Budiardjo, 1991, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm.121.] [24: Jeremy Bentham, 2006, Teori Perundang-Undangan; Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media & Nuansa, hlm. 138-140.] [25: John Rawls, Teori Keadilan; Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 144.]

Ada juga segolongan manusia mengadakan perlawanan terhadap penguasa atau golongan lain untuk memperjuangkan apa yang dianggap haknya. Seiring dengan perjuangan ini, di dunia barat telah berulang kali merumuskan atau memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan harus dijamin. Dalam proses ini telah lahir beberapa naskah formal yang secara berangsur-angsur menetapkan bahwa ada beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia karena itu bersifat universal dan abadi.[footnoteRef:26] [26: Miriam Budiardjo, op. cit., hlm. 120.]

Secara historis, naskah dimaksud antara lain:[footnoteRef:27] [27: Ibid., hlm. 120-121.]

1. Magna Charta (1215), sebagai Piagam Agung 1215, yakni dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Britania Raya (Inggris) kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John;2. Bill of Rights (1869), sebagai Undang-undang Hak 1869, yakni suatu Undang-undang yang diterima oleh parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James II, dalam suatu revolusi tak berdarah yang gemilang (The Glorious Revolution of 1688);3. Declaration des droits d Ihomme et du citoyen (1789), sebagai pernyataan hak-hak asasi manusia dan warga Negara 1789, yakni suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan revolusi Prancis sebagai perlawanan terhadap kesewenangwenangan raja dan mampu menjebol penjara Bastille di Paris.4. Declaration of Independent (1789), pernyataan kebebasan rakyat Amerika Serikat, yakni sebagai naskah kemerdekaan Amerika yang disusun sejak 1776 dan menjadi pembukaan dari Konstitusi Amerika Serikat pada 1791.5. Universal Declaration of Human Rights (1948), yakni sebagai pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia oleh negara-negara yang tergabung dalam UNO (United Nation Organization), yang dalam bahasa Indonesia disingkat dengan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Menurut Jimly Asshiddiqie,[footnoteRef:28] pernyataan (deklarasi) ini mengandung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. [28: Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI]

D. Perjuangan HAM di IndonesiaIsu tentang HAM di Indonesia, sebenarnya bukan barang yang baru, karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para Founding Fathers Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit, yakni di dalam Alinea 1 Pembukaan UUD 1945, yang isinya menyatakan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dengan adanya penghargaan terhadap HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat disebut sebagai negara yang berdasarkan hukum. Rasionya bahwa dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut: (1) Asas pengakuan dan perlindungan terhadap HAM; (2) asas legalitas; (3) asas pembagian kekuasaan; (4) asas peradilan yang bebas dan tidak memihak; dan (5) asas kedaulatan rakyat.[footnoteRef:29] [29: Lili Rasyidi dan B. Arief Sidharta, 1989, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Bandung: Remaja Karia, hlm. 185.]

Akan tetapi penghargaan terhadap HAM yang sudah dirancangkan oleh para founding fathers di Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya, seiring dengan perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam 3 (tiga) Orde, yakni:[footnoteRef:30] [30: Muladi, Demokratisasi, 2002, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Centre, hlm. 49.]

1. Penegakan HAM pada Orde Lama:Orde Lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang lebih menitik beratkan pada perjuangan revolusi, sehingga banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat atas nama revolusi yang telah dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif, seperti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang memungkinkan campur tangan presiden terhadap kekuasaan kehakiman dan Penetapan Presiden Nomor 11 /PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang tidak sesuai (bertentangan) dengan HAM.2. Penegakkan HAM pada Orde Baru:Orde Baru yang berdiri sebagai respon terhadap gagalnya Orde Lama telah membuat perubahan-perubahan secara tegas dengan membangun demokratisasi dan perlindungan HAM melalui Pemilu Tahun 1971.[footnoteRef:31] Namun, setelah lebih dari satu dasawarsa, nuansa demokratisasi dan perlindungan HAM yang dijalankan Orde Baru mulai bias, yang ditandai dengan maraknya praktek KKN (Korupsi, Kolusi,dan Nepotisme) serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan penguasa. Seringkali, pemerintah di masa Orde Baru melakukan tindakan-tindakan yang dapat di kategorikan sebagai crimes by government atau top hat crimes, seperti penculikan terhadap para aktifis pro demokrasi (penghilangan orang secara paksa) yang bertentangan dengan HAM, sekali pun tahun 1993 pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Sebagai puncaknya, pada tahun 1998, Orde Baru jatuh dengan adanya multikrisis di Indonesia serta tuntutan adanya reformasi di segala bidang kehidupan bangsa dan negara. [31: Muladi, op. cit., hlm. 50.]

3. Penegakan HAM pada Orde Reformasi:Orde Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 berusaha menegakkan HAM dengan jalan membuat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM sebagai rambu-rambu, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ratifikasi terhadap instrumen internasional tentang HAM dan UU tentang Peradilan HAM memungkinkan di bukanya kembali kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dan pemberantasan praktek KKN.BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanSebagai bagian akhir dari tulisan ini penulis ingin menegaskan kembali bahwa klasifikasi HAM yang ideal sehingga dapat mewakili pengertian HAM sebagai konsep yang kodrati, universal dan abadi adalah: (1). hak untuk hidup; (2), Hak untuk bicara & menyampaikan pendapat; (3). Hak untuk kebebasan berkumpul; (4). Hak untuk turut serta dalam pemerintahan; (5), Hak untuk melanjutkan keturunan; (6). Hak untuk mendapatkan kesejahteraan; (7). Hak untuk memperoleh keadilan; (8). Hak untuk beragama dan menjalankan ibadah; dan (9), Hak atas kedudukan yang sama dihadapan hukum.Politik hukum terkait HAM di Indonesia sangat ditentukan terutama oleh kepahaman dan kesadaran para elit politik dan pemerintahan yang berkuasa atas nilai-nilai luhur falsafah bangsa Indonesia yang bertumpu pada keseimbangan, keserasian dan keselarasan dalam arti yang seluas-luasnya antara hak asasi manusia, kewajiban asasi manusia, dan tanggung jawab asasi manusia.B. SaranPerlu dilakukan perubahan klasifikasi HAM dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, seperti yang dimaksud dalam klasifikasi HAM hasil kesimpulan tulisan ini.Agar penerapan HAM tidak membawa kepada kerusakan dan kehancuran terhadap kehidupan umat manusia, maka perlu ada ketegasan dan kesepakatan bahwa klasifikasi dan penerapan HAM harus disesuaikan dan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama dan nilai falsafah bangsa sebagai bagian nilai HAM partikular yang diakui dan dilindungi oleh Konvensi-konvensi HAM Internasional, terutama dalam Deklarasi HAM Kairo (1990) dan Deklarasi HAM Wina (1993).

DAFTAR PUSTAKA

Asshidiqie, Jimly, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI._________,GagasanNegaraHukumIndonesia,http://www.jimly.com/makalah/namafile/135/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdfAzhary, 1995, Negara Hukum Indonesia; Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, Jakarta: UI Press. Bentham, Jeremy, 2006, Teori Perundang-Undangan; Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media & Nuansa. Budiardjo, Miriam , 1994, Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama__________, 1991, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Darmodihardjo, 2006, Darji & Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum; Aparat dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Faqih, Mansoor dkk, Panduan Pendidikan Politik Untuk Rakyat, Yogyakarta: Insist, 1999, hlm. 17Kusniati, Retno, Sejarah Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan Konsepsi Negara Hukum, Bimbingan Teknis HAM Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Jambi di Hotel Ceria Jambi tgl 24 Mei 2011. Istilah Hak Asasi Manusia dalam tulisan ini selanjutnya disebut HAM.Majid, Abdul An-Najjar, 2002, Kebebasan Berfikir Dalam Islam; Upaya Mempersatukan Visi Pemikiran Dalam Islam, Jakarta: Pustaka FirdausMarzuki, Suparman, Politik Hukum HAM di Indonesia, makalah pada Pelatihan HAM Dasar Dosen Hukum HAM se Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Singgasana Surabaya, 10-13 Oktober 2011. Matindas, Beni E, 2001, Negarakertagama; Kimia Kerukunan, Jakarta: Bina Insani.MinistryofJustice,MakingSenseofHumanRights,http://www.justice.gov.uk/downloads/human-rights/human-rights-making-sense-human-rights.pdfMuladi Ed., 2005, Hak Asasi Manusia; Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Refika Aditama.Nowak, Manfred, 2005, Human Rights: Handbook for Parliamentarians, Geneva, Inter-Parliamentary Union and Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. Nusantara, Abdul Hakim Garuda , Politik Hukum Nasional, makalah pada Karya Latihan Bantuan Hukum yang diselenggarakan oleh yayasan LBH Indonesia dan yayasan LBH Surabaya, September 1985 (dalam Moh. Mahfud, 2012, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers)_________, 2010, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Training Hak Asasi Manusia bagi Pengajar Hukum dan HAM, Makassar, 3 -5 Agustus 2010. PUSHAM-UIIPaguci, Sutomo, 2013, Konsep Negara Hukum dan Kesesatan Kaum Fundis Memahami HAM, http://hukum.kompasiana.com/2013/05/30/konsep-negara-hukum-dan-kesesatan-kaum-fundis-memahami-ham-564588.htmlRasjidi, lili & Thania, Ira Rasjidi, 2002, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju.Rawls, John, 2006, Teori Keadilan; Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Tilaar. H. A. R., 2001, Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia dalam Kurikulum Persekolahan Indonesia.Bandung : PT. Alumni.Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan & Balai Pustaka, 1995.Wahjono, Padmo, 1983, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Jakarta: Ghalia IndonesiaWinandi, Woro 2011, Bahan Ajar: Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya.Undang-undang:Ketetapan MPR RI dan GBHN 1999-2004 Dilengkapi Amandemen UUD 1945.Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.UU No. 39 tentang Hak Asasi Manusia

3