Upload
mf17
View
45
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
PENANGANAN ASMA ANAK
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pemberian obat pada asma dapat berbagai macamn cara yaitu parenteral, per
oral, atau perinhalasi. Pemberian per inhalasi adalah pernberian obat secara
langsung ke dalam saluran nafas melalui penghisapan. Pernberian obat secara
inhalasi mempunyai beberapa keuntungan yaitu obat bekerja langsung pada
saluran nafas, onset kerjanya cepat, dosis obat yang digunakan kecil, serta efek
samping yang minimal karena konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau
rendah. Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah
dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran nafas bawah, hanya sedikit
yang tertinggal di saluran nafas atas serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat
atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai
dengan adanya beberapa keuntungan dan kerugian masing-masing jenis alat terapi
inhalasi. Terapi inhalasi dapat diberikan dengan inhaler dosis terukur (metered
dose inhaler=MDI), MDI dengan bantuan spacer, nebulizer, intermitten positive
pressure breathing, rotahaler, atau diskhaler. Jenis terapi inhalasi di atas
mempunyai keuntungan dan kerugian masing-masing. Keberhasilan terapi
inhalasi ditentukan oleh indikasi, cara pemilihan obat, jenis obat, dan cara
pemberiannya. Pada asma anak, baik tatalaksana serangan (Pereda, reliever)
maupun tatalaksana jangka panjang (pengendali, controller) sangat dianjurkan
penggunaan secara inhalasi. Penggunaan terapi inhalasi merupakan pilihan tepat
pada asma karena banyak manfaat yang didapat seperti onset kerjanya cepat, dosis
1
obat kecil, efek samping minimal, dan langsung mencapai target. Namun
demikian, terapi inhalasi ini mempunyai beberapa kendala yaitu tehnik dan cara
pemberian yang kurang tepat sehingga masih banyak yang tidak
menggunakannya. Dengan mengetahui hal di atas diharapkan pengobatan asma
mencapai kemajuan yang cukup berarti.
1.2 TUJUAN
1. Mengetahui faktor pemicu terjadinya asma pada anak
2. Mengetahui bagaimana penanganan asma pada anak
3. Mengetahui obat-obat apa saja yang dapat diberikan dalam penanganan
asma pada anak
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI ASMA
Batasan asma yang lengkap menggambarkan konsep inflamasi
sebagai dasar mekanisme terjadinya asma dikeluarkan oleh GINA. Asma
didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan
banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan episode mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada
malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak
sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan
napas terhadap berbagai rangsangan.
Batasan di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan
klinis untuk anak tidak praktis. Agaknya karena itu para perumus
Konsensus Internasional dalam pernyataan ketiganya tetap menggunakan
definisi lama yaitu: Mengi berulang dan/atau batuk persisten dalam asma
adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah
disingkirkan.
Pedoman Nasional Asma Anak juga menggunakan batasan yang
praktis dalam bentuk batasan operasional yaitu mengi berulang dan/atau
batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara
3
episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman,
adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel
baik secara spontan maupun dengan
4
5
pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.
Pengertian kronik dan berulang mengacu pada kesepakatan UKK Pulmologi pada
KONIKA V di Medan tahun 1981 tentang Batuk Kronik Berulang (BKB) yaitu
batuk yang berlangsung lebih dari 14 hari dan/atau tiga atau lebih episode dalam
waktu 3 bulan berturut-turut.
2.2 EPIDEMIOLOGI ASMA
Dilaporkan bahwa sejak dua dekade terakhir prevalensi asma
meningkat, baik pada anak-anak maupun dewasa. Di negara-negara maju,
peningkatan berkaitan dengan polusi udara dari industri maupun otomotif,
interior rumah, gaya hidup, kebiasaan merokok, pola makanan,
penggunaan susu botol dan paparan alergen dini. Asma mempunyai
dampak negatif pada kehidupan penderitanya termasuk untuk anak, seperti
menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah dan total asma di dunia
diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak).
Terdapat variasi prevalensi, angka perawatan, dan mortalitas asma,
baik regional maupun lokal, perbedaaan tersebut belum jelas apakah
prevalensi memang berbeda atau karena perbedaan kriteria diagnosis.
Untuk mengatasi hal tersebut telah dilaksanakan penelitian multisenter di
beberapa negara menggunakan definisi asma yang sama, dengan
menggunakan kuesioner standart. Salah satu penelitian multisenter yang
dilaksanakan yaitu International Study of Asthma and Allergy in Children
(ISAAC).
Telah dilakukan penelitian ISAAC fase I pada tahun 1996, yang
6
dilanjutkan dengan ISAAC fase III pada tahun 2002. Penelitian ISAAC
fase I telah dilaksanakan di 56 negara, meliputi 155 senter, pada anak usia
6 - 7 tahun dan
13-14 tahun. Penelitian ISAAC menggunakan kuesioner standar dengan
pertanyaan:”Have you (your child) had wheezing or whistling in the chest in the
last 12 months?” Untuk mengelompokkan dalam diagnosis asma bila jawabannya
“Ya”. Pada anak usia 13 – 14 tahun selain diminta mengisi kuesioner juga
diperlihatkan video asma. Hasilnya ternyata sangat bervariasi. Untuk usia 13 – 14
tahun yang terendah di Indonesia (1,6%) dan yang tertinggi di Inggris, sebesar
36,8%.
Survey mengenai prevalens asma di Eropa telah dilakukan di 7
negara (Asthma insights & Reality in Europe = AIRE) meliputi 73.880
rumah tangga, yang berjumlah 213.158 orang. Hasil survei mendapatkan
prevalensi populasi current asthma sebesar 2,7%.
Penelitian mengenai prevalensi asma di Indonesia telah dilakukan di
beberapa pusat pendidikan, namun belum semuanya menggunakan
kuesioner standar. Pada Tabel 1. dapat dilihat beberapa hasil survei
prevalensi asma pada anak di Indonesia.
7
Tabel 1. Prevalensi Asma di Indonesia
Peneliti
(Kota)
T
a
h
u
n
Ju
ml
ah
sa
mp
el
U
m
u
r
(
T
a
h
u
n
)
Pr
eva
len
si
(%
)
Djajanto B (Jakarta)
1991 1200
6
-
1
2
16,
4
Rosmayudi O (Bandung)
1993 4865
6
-
1
2
6,6
8
Dahlan (Jakarta)
1996 -
6
-
1
2
17,
4
Arifin (Palembang)
1996 1296
1
3
-
1
5
5,7
Rosalina (Bandung)
1997 3118
1
3
-
1
5
2,6
Yunus F (Jakarta)
2001 2234
1
3
-
1
4
11,
5
Kartasasmita CB
(Bandung)
2002 2678
2836
6
-
7
1
3,0
5,2
9
3
-
1
4
Rahajoe NN (Jakarta)
2
0
0
2
1296
1
3
-
1
4
6,7
Di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya kunjungan penderita asma
dibawah usia 5 tahun di Instalasi Rawat Darurat pada tahun 1997 adalah
239 anak dari 8994 anak ( 2,6 %), pada tahun 2002 adalah 472 anak dari
14.926 anak ( 3,1 %) ( Data rekam medik IRD RS Dr. Soetomo Surabaya).
Berbagai faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di
suatu tempat, antara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor
lingkungan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi prevalensi asma,
terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan, derajat asma dan
kematian karena penyakit asma.
2.3 PATOGENESIS ASMA
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan
napas yang timbul mendadak , dan akan membaik secara spontan atau
10
dengan pengobatan. Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan
hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah untuk
mengatasi bronkospasme.
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik
yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan
terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran
napas.Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi
eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit. T pada mukosa dan lumen
saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan
atau tidak bergejala.
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent.
Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40 %
penderita asma anak dan dewasa.
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada
awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik
oleh sel plasma. Ig E melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan
basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul
reaksi asma cepat
( immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-
mediator : histamin, leukotrien C4(LTC4), prostaglandin D2(PGD2), tromboksan
A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus,
hipersekresi kelenjar, oedema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan
11
akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut.
Keadaan ini akan segera pulih kembali( serangan asma hilang) dengan
pengobatan.
Setelah 6- 8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma
lambat (late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang
diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan
sel-sel radang : eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis
T-helper (Th), limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi
sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL – 3 dan granulocyte –
macrophage colony – stimulating factor (GM – CSF), Thl terutama memproduksi
IL – 2, IF gamma dan TNF beta sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin
yang terlibat dalam asma, yaitu IL – 4, IL – 5, IL – 9, IL – 13, dan IL – 16.
Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggungjawab atas terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat . Masing –masing sel radang berkemampuan
mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4, Eosinophil
Peroxidase (EPX), Eosinophil Cathion Protein (ECP) dan Major Basic Protein
(MBP). Mediator-mediator tersebut merupakan mediator inflamasi yang
menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2.
Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme. Sel makrofag mensekresi
IL8, platelet activating factor (PAF), regulated upon activation novel T cell
expression and presumably secreted (RANTES) .Semua mediator diatas
merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses keradangan,
mempertahankan proses inflamasi. Mediator inlamasi tersebut akan membuat
12
kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan
epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada
rangsangan spesifik maupun non spesifik.Secara klinis, gejala asma menjadi
menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan
menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang
adekuat.
Gambar 1. Patogenesis Asma ( dikutip dari GINA 2002)
Remodeling Saluran Napas
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus
merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan
perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran
respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair.
Kerusakan epitel bronkus adalah akibat dilepaskannya sitokin dari sel
inflamasi seperti eosinofil. Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas
13
juga memproduksi sitokin dan kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM-
CSF dan IL-5, juga faktor pertumbuhan dan mediator lipid, sehingga
mengakibatkan penumpukan kolagen di lamina propia.
Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta
dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast
berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen
bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel
yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal
(pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel
radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan
perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang
persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.
Gambar 2. Inflamasi dan remodeling pada asma (dikutip dari GINA 2002)
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat
kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis.
14
Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin
sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi
saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah
hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang
belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil
dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses
remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi.
Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa
jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses
remodeling.
15
2.4 PATOFISIOLOGI ASMA
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi : obstruksi saluran napas
menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan
atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan
gejala khas pada asma ; batuk, sesak dan wheezing dan disertai
hipereaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk
sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran
respiratorik oleh mediator inflamasi dan terutama pada anak, batuk
berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan
(Gambar 4).
16
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI ASMA
Diagnosis
Penegakan diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, tanda-tanda
klinik dan pemeriksaan tambahan.
1. Pemeriksaan anamnesis keluhan episodik batuk kronik berulang,
mengi, sesak dada, kesulitan bernafas
2. Faktor pencetus (inciter) dapat berupa iritan (debu), pendinginan
saluran nafas, alergen dan emosi, sedangkan perangsang (inducer)
berupa kimia, infeksi dan alergen.
3. Pemeriksaan fisik sesak nafas (dyspnea), mengi, nafas cuping
hidung pada saat inspirasi (anak), bicara terputus putus, agitasi,
hiperinflasi toraks, lebih suka posisi duduk. Tanda- tanda lain
sianosis, ngantuk, susah bicara, takikardia dan hiperinflasi torak
4. Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian
metakolin atau bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat
membantu menegakkan diagnosis asma.
Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah umur 3 tahun. Untuk
anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan fungsi paru sebaiknya
dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter atau
yang lebih lengkap dengan spirometer, uji yang lain dapat melalui
13
provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara
kering dan
14
14
dingin, atau dengan NaCl hipertonis. Penggunaan peak flow meter
merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung
diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma, selain itu dapat
juga menggunakan lembar catatan harian sebagai alternatif.
Wheezing berulang dan / atau batuk kronik berulang merupakan titik
awal untuk menegakkan diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan
kemungkinan asma adalah anak-anak yang hanya menunjukkan batuk
sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat diperiksa tanda wheezing, sesak
dan lain-lain sedang tidak timbul.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil.,
khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat
bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran
penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah
besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru
yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan
spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan
(exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis, sangat
menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis
asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya :
1. Variabilitas pada PFR atau FEVI > 15 %
Variablitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan / penurunan)
hasil PFR dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan
dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaan berlangsung > 2
15
minggu.
2. Reversibilitas pada PFR atau FEVI > 15%
Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEVI
setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan > 20 % pada FEVI (PD20 atau PC20) setelah provokasi
bronkus dengan metakolin atau histamin.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu
diupayakan, karena selain untuk mendukung diagnosis juga untuk
mengetahui keberhasilan tatalaksana asma. Berhubung alat tersebut tidak
selalu ada, maka Lembar Catatan Harian dapat digunakan sebagai alternatif
karena mempunyai korelasi yang baik dengan faal paru. Lembar Catatan
Harian dapat digunakan dengan atau tanpa pemeriksaan PFR.
Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons
terhadap pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu
pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak
baik, sebelum memikirkan diagnosis lain, maka perlu dinilai dahulu
beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah penghindaran
terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat, cara
dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila
semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar. Maka perlu
dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma.
Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang,
gejala respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh,
16
atau kelainan fokal paru, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan
yang perlu dilakukan adalah foto Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji
provokasi. Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto Rontgen sinus
paranasalis, uji keringat, uji imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan
refluks, uji mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.
Di Indonesia, tuberkulosis (TB) masih merupakan penyakit yang
banyak dijumpai dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang.
Oleh karena itu uji tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang
patut diduga asma maupun yang bukan asma (lihat alur diagnosis asma,
lampiran ). Dengan cara tersebut di atas, maka penyakit tuberkulosis yang
mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan diterapi. Pasien TB
yang memerlukan steroid untuk pengobatan asmanya, steroid sistemik
jangka pendek atau steroid inhalasi tidak akan memperburuk
tuberkulosisnya karena sudah dilindungi dengan obat TB. Menurut
pengamatan di lapangan,sering terjadi overdiagnosis TB dan
underdiagnosis asma, karena pada pasien anak dengan batuk kronik
berulang sering kali yang pertama kali dipikirkan adalah TB, bukan asma.
Berdasakan alur diagnosis asma anak, setiap anak yang menunjukkan gejala
batuk dan / atau wheezing maka diagnosis akhirnya dapat berupa :
1. Asma
2. Asma dengan penyakit lain
3. Bukan asma
17
Klasifikasi Derajat Penyakit
Secara arbitreri PNAA membagi asma anak menjadi 3 derajat
penyakit, dengan kriteria yang lebih lengkap dibandingkan Konsensus
Internasional, seperti dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak
Parameter Klinis,
kebutuhan obat, dan faal paru
Asma EpisodikJarang
Asma EpisodikSering Asma Persisten
1. Frekuensi serangan <1x / bulan > 1 x / bulan Sering
2. Lama serangan < 1 minggu > 1 mingguHampir sepanjang tahun, tidak ada
remisi3. Intensitas
seranganbiasanya ringan biasanya sedang Biasanya berat
4. Di antara serangan tanpa gejala sering ada gejala Gejala siang dan
malam5. Tidur dan
aktivitastidak terganggu sering terganggu Sangat terganggu
6. Pemeriksaan fisis di luar serangan
Normal (tidak ditemukan kelainan)
Mungkin terganggu
(ditemukan kelainan)
Tidak pernah normal
7. Obat pengendali (anti inflamasi)
tidak perlu perlu Perlu
8. Uji faal paru (di luar serangan)
PEF / FEVI > 80 %
PEF / FEV1 60 – 80 %
PFV / FEVI < 60 %
Variabilitas 20 – 30 %
9. Variabilitas faal paru (bila ada serangan)
Variabilitas > 15 % Variabilitas > 30
%Variabilitas > 50
%
Sebagai perbandingan, GINA membagi derajat penyakit asma menjadi 4,
yaitu Asma Intermiten, Asma Persisten Ringan, Asma Persisten Sedang, dan
Asma Persisten Berat. Dasar pembagiannya adalah gambaran klinis, faal paru dan
18
obat yang dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit. Dalam klasifikasi GINA
dipersyaratkan adanya nilai PEF atau FEVI untuk penilaiannya.
Konsensus Internasional III juga membagi derajat penyakit asma anak
berdasarkan keadaan klinis dan kebutuhan obat menjadi 3, yaitu, Asma episodik
jarang yang meliputi 75 % populasi anak asma, Asma episodik sering meliputi 20
% populasi, dan Asma persisten meliputi 5 % populasi. Klasifikasi asma seperti
ini juga dikemukakan oleh Martin dkk dari Melbourne asthma Study Group.
3.2 FAKTOR-FAKTOR RISIKO ASMA ANAK
Adapun faktor risiko pencetus asma bronkial yaitu :
1. Asap Rokok
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya asma meningkat
pada anak yang terpapar sebagai perokok pasif dengan OR = 3,3 (95% CI
1,41- 5,74).
2. Tungau Debu Rumah
Asma pada anak juga dapat disebabkan oleh masuknya suatu alergen
misalnya tungau debu rumah yang masuk ke dalam saluran nafas sehingga
merangsang terjadinya reaksi hipersentitivitas tipe I.
3. Jenis Kelamin
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. Perbedaan jenis kelamin pada kekerapan asma
bervariasi, tergantung usia dan mungkin disebabkan oleh perbedaan
karakter biologi. Kekerapan asma anak laki-laki usia 2-5 tahun
ternyata 2 kali lebih sering dibandingkan perempuan sedangkan pada usia
19
14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering dan kunjungan ke
rumah sakit 3 kali lebih sering dibanding anak perempuan pada usia
tersebut, tetapi pada usia 20 tahun kekerapan asma pada laki-laki
merupakan kebalikan dari insiden ini.
4. Binatang Piaraan
Binatang peliharaan yang berbulu dapat menjadi sumber alergen inhalan.
Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang ditemukan pada
bulu binatang di bagian muka dan ekskresi.
5. Jenis Makanan
Makanan yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut
adalah kacang, ikan laut dan telor. Alergi makanan seringkali tidak
terdiagnosis sebagai salah satu pencetus asma meskipun penelitian
membuktikan alergi makanan sebagai pencetus bronkokontriksi pada 2%-
5% anak dengan asma.
6. Perubahan Cuaca
Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin, tingginya
kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik yang dapat
membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai dan
meningkatnya konsentrasi partikel alergenik.
7. Riwayat Penyakit Keluarga
Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan asma dibanding dengan bapak.
Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan
20
dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap
tungau debu rumah.
3.3 TATALAKSANA ASMA JANGKA PANJANG
3.3.1 Tujuan Tatalaksana
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci
tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan
berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu reevaluasi
tatalaksananya.
3.3.2 Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda ada yang
menyebutnya pelega, atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan
untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila
21
serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak
digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering
disebut sebagai obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan
untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respitorik kronik.
Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu
yang relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responsnya terhadap
pengobatan/penanggulangan. Obat-obat pengendali diberikan pada Asma
Episodik Sering dan Asma Persisten.
Asma Episodik Jarang
Asma Episodik Jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa
bronkodilator β-agonis hirupan kerja pendek (Short Acting β2-Agonist,
SABA) atau golongan santin kerja cepat bila perlu saja, yaitu jika ada
gejala/serangan. (Evidence A) Anjuran memakai hirupan tidak mudah
dilakukan mengingat obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia disemua
daerah. Di samping itu pemakaian obat hirupan (Metered Dose Inhaler atau
Dry Powder Inhaler) memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk
anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga
tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat
digunakan, maka β-agonis diberikan per oral. (evidence D).
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator makin kurang perannya
dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun
mengingat di Indonesia obat β-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat
digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek
22
samping. Di samping itu penggunaan β-agonis oral tunggal dengan dosis
besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan hal ini
dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan
teofilin (Evidence C).
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak
seperti terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak menganjurkan pemberian
anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan. Jadi secara tegas
PNAA tidak menganjurkan pemberian pemberian obat controller pada
Asma Episodik Jarang. Hal ini sesuai dengan GINA yang belum perlu
memberikan obat controller pada Asma Intermiten, dan baru
memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-
inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan.
(Evidence A) Dalam alur tatalaksana jangka panjang (Lampiran ) terlihat
bahwa jika tatalaksana Asma Episodik Jarang sudah adekuat namun
responsnya tetap tidak baik dalam 4-6minggu, maka tatalaksananya
berpindah ke Asma Episodik Sering.
Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan
tatalaksana yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-
inflamasi pada Asma Episodik Jarang, ternyata dalam jangka panjang (+8
tahun) pada kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan
derajat asma. Di lain pihak, Asma Episodik Sering yang mendapat
kromoglikat, dan Asma Persisten yang mendapat steroid hirupan,
menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang
23
dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari Asma Persisten
menjadi Asma Episodik Sering atau Asma Episodik Jarang, bahkan sampai
asmanya asimtomatik.
Asma Episodik Sering
Jika penggunaan β-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu
(tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis), atau serangan
sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-
inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi. (Evidence A) pada awalnya,
anti-inflamasi tahap pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan
dosis minimum 10 mg 2-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8
minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali,
pemeberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari. Penelitian
terakhir, Tasche dkk, mendapatkan hasil bahwa pemberian kromolin kurang
bermanfaat pada terlaksana asma jangka panjang. Dengan dasar tersebut
PNAA revisi terakhir tidak mencantumkan kromolin (kromoglikat dan
nedokromil) sebagai tahap pertama melainkan steroid hirupan dosis rendah
sebagai anti-inflamasi (Lampiran) (Evidence A).
Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan
dosis rendah yang biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah
sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai
standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 ug/hari
budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12
tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk
24
anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau
budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara flutikason 50-100 ug
belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat
pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan
efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakuakn setelah 6-8
minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya.
Setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah
tidak respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau
aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua (Lampiran 3)
yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang
termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu
derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik
dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat
(step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka
derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan
steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan
penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang
mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan sinusitis. Telah dibuktikan
bahwa penatalaksanaan rintis dan sinusitis secara optimal dapat
memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.
25
Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke
rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis
rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada
kasusnya. Dalam keadaaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit
berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid
oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan
sampai dosis terkecil yang masih optimal.
Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara
budesonid 400 ug/hari. Di atas dilaporkan adanya pengaruh sistemik
minimal, sedangkan dengan dosis 800 ug/hari agaknya mulai berpengaruh
terhadap poros HPA (hipotalamus-hipotesis-adrenal) sehingga dapat
berdampak terhadap pertumbuhan. Efek samping steroid hirupan dapat
dikurangi dengan penggunaan alat pemberi jarak berupa perenggang
(spacer) yang akan mengurangi deposisi di daerah orofaringeal sehingga
mengurangi absorbsi sistemik dan meningkatkan deposisi obat di paru.
Selain itu untuk mengurangi efek samping steroid hirupan, bila sudah
mampu pasien dianjurkan berkumur dan air kumurannya dibuang setelah
menghirup obat.
Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai
respons yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu
meningkatkan steroid yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu
meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau terapi steroid hirupan
26
dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau
ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-
Leukotriene Receptor (ALTR)(1,3). (Evidence A) Yang dimaksud dosis
medium adalah setara dengan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari
flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari
budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
(Evidence D).
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap
terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat
meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap
dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR.
(Evidence A) yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan >400 ug/hari
budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12
tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak
berusia di atas 12 tahun (Evidence D).
Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan
keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala
asmanya, dan memperbaiki kualitas hidupnya. Apabila dosis steroid hirupan
sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak mempunyai respons, maka
baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral
sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan
steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. (Evidence B) Langkah
ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya
27
efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan
1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang
diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik
harus berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat.
(Lampiran ).
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya
peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan
kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian
antileukotrien belum ada rekomendasi.
Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya
ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak
dengan asma tipe rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat
ini penggunaan kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma
anak tidak lagi digunakan karena tidak mempunyai manfaat yang berarti
(Evidence A).
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang
optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis
steroid dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih
bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai
obat pereda tetap diteruskan.
3.3.3 Terapi Inhalasi pada Asma Anak
Prinsip terapi inhalasi
Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit saluran
28
napas adalah obat dapat sampai pada organ target dengan menghasilkan
partikel aerosol berukuran optimal agar terdeposisi di paru, onset kerjanya
cepat, dosis obat kecil, efek samping minimal karena konsentrasi obat di
dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, serta efek terapeutik
tercapai yang ditandai dengan tampaknya perbaikan klinis.7,8,9 Meskipun
saluran napas mempunyai beberapa mekanisme antara lain refleks batuk,
bersin serta klirens mukosilier yang akan melindungi terhadap masuk dan
mengendapnya partikel obat sehingga akan mengeliminasi obat inhalasi.
Namun dengan mem-perhatikan metode untuk menghasilkan aerosol serta
cara penyampaian/delivery obat yang akan mem-pengaruhi ukuran partikel
yang dihasilkan dan jumlah obat yang mencapai berbagai tempat di saluran
napas maka diharapkan obat terdeposisi secara efektif.
Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel
menembus saluran napas. Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi
rambut hidung sedangkan > 10 mm akan mengendap di hidung dan
nasofaring. Partikel yang besar ini terutama mengendap karena benturan
inersial bila terdapat aliran udara yang cepat disertai perubahan arah atau
arus turbulen. Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan mengendap secara
sedimentasi karena gaya gravitasi sedangkan partikel berukuran < 0,1 mm
akan mengendap karena gerak Brown. Dengan demikian untuk
mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan secara
inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran pernapasan.
Bentuk aerosol yang digunakan yaitu suspensi partikel di dalam gas, dan
29
partikel dalam aerosol yang mempunyai ukuran berkisar 2-10 Ïm atau 1-7
Ïm. Penelitian lainnya mendapatkan bahwa partikel berukuran 1-8 Ïm
mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar, kecil, dan
alveoli.
Faktor yang mempengaruhi delivery aerosol pada anak
Dengan memperhatikan kebutuhan anak maka diperlukan
pengetahuan bahwa masa anak merupakan masa dengan adanya perubahan
nyata pada per-kembangan fisik, intelektual, dan sosial pada masa
prasekolah. Beberapa faktor yang mempengaruhi delivery aerosol pada anak
antara lain:
1. Perubahan anatomi
Bagaimana efek perubahan anatomi pada awal tahun kehidupan tidak
jelas. Saluran pernapasan anak relatif lebih kecil dibandingkan dewasa
sehingga aliran udara inspirasi lebih rendah yang menyebabkan deposit obat
terutama pada saluran pernapasan sentral.
2. Kompetensi
Kompetensi atau kemampuan anak merupakan faktor sangat penting
dalam delivery obat. Anak kecil tidak mempunyai kompetensi untuk
melakukan manuver inhalasi yang kompleks. Alat/ jenis inhalasi yang
tersedia dan dipasarkan saat ini dibuat untuk orang yang bisa melakukan
inhalasi melalui mulut waktu melakukan manuver inhalasi yang kompleks,
misalnya pressured metered dosed inhalers (pMDIs). Anak sekolah sudah
dapat melakukan usaha inspirasi maksimal yang diperlukan untuk
30
menggunakan alat inhalasi jenis dry powder inhaler (DPI) dan hanya sedikit
yang bisa menggunakan pMDI.
3. Pola pernapasan bayi dan anak akan mempengaruhi seberapa banyak
aerosol yang diinhalasi ke dalam paru-paru. Pernapasan pada bayi dan anak
menunjukkan volume pernapasan tidal yang kecil sehingga mengurangi
delivery obat, pola pernapasan bervariasi luas dengan aliran udara inspirasi
(inspiratory flow rates=IFR) bervariasi antara 0 sampai 40 L/menit. Aliran
udara yang cepat akan menyebabkan deposit pada saluran napas yang lebih
proksimal.
4. Anak yang menangis mempunyai IFR tinggi dan terjadi pernapasan
mulut sehingga seharusnya akan meningkatkan delivery obat ke paru-paru.
Namun, kenyataannya jumlah obat yang diinhalasi ke paru-paru berkurang
karena kurang baiknya masker muka menempel dan pada waktu menangis
pernapasan pendek dan cepat.
Jenis terapi inhalasi
Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana,
mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah,
hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas serta dapat digunakan
oleh anak, orang cacat, atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak
dapat sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi
mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Hingga saat ini dikenal 3
sistem inhalasi yang digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu :
31
1. Nebuliser
Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi
aerosol secara terus menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang
dipadatkan atau gelombang ultrasonik sehingga dalam prakteknya dikenal 2
jenis alat nebuliser yaitu ultrasonic nebuliser dan jet nebuliser. Hasil
pengobatan dengan nebuliser lebih banyak bergantung pada jenis nebuliser
yang digunakan. Terdapat nebuliser yang dapat menghasilkan partikel
aerosol terus menerus ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya
timbul pada saat penderita melakukan inhalasi sehingga obat tidak banyak
terbuang. Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak
atau sedikit memerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukan pernafasan
tidal, beberapa jenis obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan natrium
kromoglikat). Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan
sumber tenaga listrik dan relatif mahal.
a. Ultrasonic nebuliser
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari
piezo-electric crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah
menjadi aerosol. Keuntungan jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan
suara bising dan terus menerus dapat mengubah larutan menjadi aerosol
sedangkan kekurangannya alat ini mahal dan memerlukan biaya perawatan
lebih besar.
32
b. Jet nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan banyak negara karena relatif lebih
murah daripada ultrasonic nebuliser. Dengan gas jet berkecepatan tinggi
yang berasal dari udara yang dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui
lubang kecil dan akan dihasilkan tekanan negatif yang selanjutnya akan
memecah larutan menjadi bentuk aerosol. Aerosol yang terbentuk dihisap
pasien melalui mouth piece atau sungkup. Dengan mengisi suatu tempat
pada nebuliser sebanyak 4 ml maka dihasilkan partikel aerosol berukuran <
5 Ïm, sebanyak 60-80% larutan nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi
dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal maka hanya 12% larutan akan
terdeposit di paru-paru. Bronkodilator yang diberikan dengan nebuliser
memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek
samping.
2. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat
penyambung)
Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan
cara inhalasi yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis
obat mencapai saluran pernafasan. Pada inhaler ini bahan aktif obat
disuspensikan dalam kurang lebih 10 ml cairan pendorong (propelan) dan
yang biasa digunakan adalah kloroflurokarbon (chlorofluorocarbon = CFC)
pada tekanan tinggi. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan penggunaan
bahan non-CFC yaitu hidrofluroalkana (HFA) yang tidak merusak lapisan
ozon. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga di dalam tabung
33
(kanister) tetap berbentuk cairan. Bila kanister ditekan, aerosol
disemprotkan keluar dengan kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk
droplet dengan dosis tertentu melalui aktuator (lubang). Pada ujung aktuator
ukuran partikel berkisar 35 Ïm, pada jarak 10 cm dari kanister besarnya
menjadi 14 Ïm, dan setelah propelan mengalami evaporasi seluruhnya
ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 Ïm. Dengan teknik inhalasi yang benar
maka 80% aerosol akan mengendap di mulut dan orofarings karena
kecepatan yang tinggi dan ukurannya besar, 10% tetap berada dalam
aktuator, dan hanya sekitar 10% aerosol yang disemprotkan akan sampai ke
dalam paru-paru.
Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister
dengan inspirasi napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian
inhaler ini hendaklah dikerjakan sebagai berikut:
• terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup
kanister dibuka
• inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal
secara perlahan
• mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan
inspirasi perlahan sampai maksimal
• pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
• pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada
inspirasi maksimal
• setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
34
• setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.
Langkah-langkah di atas harus dilaksanakan sebelum pasien
menggunakan obat asma jenis MDI. Langkah di atas sering tidak diikuti
sehingga pengobatan asma kurang efektif dan timbul efek samping yang
tidak diinginkan. Beberapa ahli mengidentifikasi beberapa kesalahan yang
sering dijumpai antara lain kurangnya koordinasi pada saat menekan
kanister dan saat menghisap, terlalu cepat inspirasi, tidak berhenti sesaat
setelah inspirasi, tidak mengocok kanister sebelum digunakan, dan terbalik
pemakaiannya. Kesalahan-kesalahan di atas umumnya dilakukan oleh anak
yang lebih muda, manula, wanita, dan penderita dengan sosial ekonomi dan
pendidikan yang rendah.
a. MDI dengan spacer
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara aktuator
dengan mulut sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi
berkurang dan akan dihasilkan partikel berukuran kecil yang berpenetrasi ke
saluran pernafasan perifer. Hal ini merupakan kelebihan dari penggunaan
spacer karena mengurangi pengendapan di orofaring. Spacer ini berupa
tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau
bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Untuk bayi
dianjurkan menggunakan spacer volume kecil (babyhaler) agar aerosol
yang dihasilkan lebih mampat sehingga lebih banyak obat akan terinhalasi
pada setiap inspirasi. Beberapa alat dilengkapi dengan katup satu arah yang
akan terbuka saat inhalasi dan akan menutup pada saat ekshalasi misalnya
35
Nebuhaler (Astra), Volumatic (A&H). Pengendapan di orofaring akan
berkurang yaitu sekitar 5% dosis yang diberikan bila digunakan spacer
dengan katup satu arah. Pada spacer tanpa katup satu arah, pengendapan di
orofaring sekitar 8-60% dosis. Dengan penggunaan spacer, deposit pada
paru akan meningkat menjadi 20% dibandingkan tanpa spacer. Penggunaan
spacer ini sangat menguntungkan pada anak karena pada anak
koordinasinya belum baik. Dengan bantuan spacer, koordinasi pada saat
menekan kanister dengan saat penghisapan dapat dikurangi atau bahkan
tidak memerlukan koordinasi. Apabila spacer ini tidak tersedia maka
sebagai penggantinya bisa digunakan spacer sederhana yang murah dan
mudah dibuat yaitu dari plastic coffee cup yang dilubangi dasarnya untuk
tempat aerosol. Cara ini sudah terbukti bermanfaat hanya untuk
bronkodilator dan belum dibuktikan berguna untuk natrium kromoglikat dan
steroid.
b. Easyhaler
Easyhaler adalah inhaler serbuk multidosis yang merupakan alternatif
dari MDI. Komponennya terdiri dari plastik dan cincin stainless steel dan
mengandung serbuk untuk sekurang-kurangnya 200 dosis. Masing-masing
dosis obat dihitung secara akurat dengan cara menekan puncak alat
(overcap) yang akan memutari silinder (metering cylindric) pada bagian
bawah alat tersebut. Cekungan dosis berisi sejumlah obat berhubungan
langsung dengan mouth piece. Saluran udara ke arah mouthpiece berbentuk
corong dengan tujuan untuk mengoptimalkan deposisi obat di saluran napas.
36
Terdapat takaran dosis yang berguna untuk memberi informasi kepada
pasien mengenai sisa dosis obat. Pelindung penutup berguna untuk
mencegah kelembaban. Partikel obat yang halus (<10 Ï) sulit untuk
melayang jauh dan cenderung untuk menggumpal, oleh karena itu zat aktif
tersebut dicampur dengan sejumlah kecil laktosa yang berperan sebagai
pembawa. Pada easyhaler ukuran partikel laktosa cukup besar untuk deposit
di saluran napas bawah sehingga diharapkan akan jatuh di orofaring.
Keadaan ini mempunyai keuntungan untuk memberitahukan pada penderita
bahwa obatnya benar terhisap dengan rasa manis di mulut.
3. Dry powder inhaler
Pada awalnya di tahun 1957 jenis inhaler ini digunakan untuk delivery
serbuk antibiotik. Selanjutnya banyak penelitian uji klinis yang
menunjukkan bahwa DPI bisa digunakan untuk pengobatan asma anak.
Dalam perkembangannya pada tahun 1970 dibuat inhaler yang hanya
memuat serbuk kering dosis tunggal seperti misalnya spinhaler dan
rotahaler, dan akhir tahun 1980 diperkenalkan inhaler yang memuat
multiple dosis yaitu yang dikenal dengan diskhaler (8 dosis) dan turbuhaler.
Beberapa tahun terakhir ini diperkenalkan diskus (di Inggris dikenal dengan
accuhaler) yang memuat 60 dosis dan dapat dipergunakan untuk 1bulan
terapi.6 Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan sehingga mem-punyai
kelebihan dari MDI. Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan
inspirasi yang cukup kuat. Pada anak yang kecil hal ini sulit dilakukan
mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan, sehingga deposisi obat
37
pada saluran pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar, penggunaan
obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi
di-bandingkan dengan MDI. Dengan cara ini deposisi obat di dalam paru
lebih tinggi dan lebih konstan dibandingkan MDI sehingga dianjurkan
diberikan pada anak di atas 5 tahun. Cara DPI ini tidak memerlukan spacer
sebagai alat bantu sehingga mudah dibawa dan dimasukkan ke dalam saku.
Hal ini yang juga memudahkan pasien dan lebih praktis.
Terapi inhalasi pada asma
Pada tata laksana asma harus dibedakan dua hal penting yaitu tata
laksana serangan dan tata laksana jangka panjang. Seorang anak yang telah
didiagnosis asma harus ditentukan klasifikasinya. Berdasarkan Konsensus
Nasional Penanganan Asma (KNAA) klasifikasi asma di luar serangan
adalah asma episodik jarang, episodik sering, dan asma persisten. Pada asma
episodik jarang, tidak diperlukan obat pengendali (controller) untuk tata
laksana jangka panjangnya sedangkan pada asma episodik sering dan asma
persisten harus diberikan obat pengendali. Obat pengendali dari golongan
antiinflamasi yang sering digunakan adalah budesonid, beklometason
dipropionat, flutikason, dan golongan natrium kromoglikat. Bila terjadi
serangan maka digunakan obat pereda (reliever). Obat yang sering
digunakan yaitu golongan bronkodilator seperti metilsantin (teofilin), β
agonis, dan ipratropium bromida. Obat-obat ini dapat digunakan secara oral,
parenteral, dan inhalasi, tetapi untuk metilsantin pemberian secara oral dan
intravena lebih dipilih daripada inhalasi karena obat ini menyebabkan iritasi
38
saluran napas.
Telah diketahui secara luas bahwa obat antiinflamasi yang sering
digunakan adalah golongan steroid. Mekanisme dasar asma adalah
terjadinya reaksi inflamasi sehingga pengendalian dengan obat antiinflamasi
sangat dianjurkan pada asma episodik sering dan persisten. Namun harus
disadari penggunaan kortikosteroid jangka panjang peroral atau parenteral
dapat mengganggu tumbuh kembang anak secara keseluruhan selain efek
samping lain yang mungkin timbul seperti hipertensi dan moon-face. Untuk
itu pemberian inhalasi sangat dianjurkan. Jenis terapi inhalasi yang
diberikan dapat disesuaikan dengan usia pasien dan patokan ini tidak
berlaku secara kaku. Patokan yang diajukan oleh Dolovich dan Everard9 di
bawah ini dapat dipakai sebagai acuan.
Tabel Nebuliser pada kelompok umur
Umur (tahun) Pereda Pengendali
0 – 3 • pMDI / dengan spacer nebuliser• pMDI / dengan spacer
nebuliser
3 – 5 • pMDI / dengan spacer nebuliser
• pMDI / dengan spacer
nebuliser
DPI (?)
> 5• pMDI / dengan spacer
DPI nebuliser
• pMDI / dengan spacer
DPI
Dikutip dari: Dolovich dan Everard dengan modifikasi
39
Bagaimana sebenarnya penggunaan obat inhalasi pada asma anak
dapat diterangkan sebagai berikut:
Tata laksana saat serangan
Pada saat serangan obat yang digunakan adalah obat golongan
bronkodilator dan yang sering digunakan yaitu β2 agonis yang dapat
diberikan sendiri atau bersama-sama dengar´ipratropium bromid. Pada
serangan asma yang ringan obat inhalasi yang diberikan hanya β2 agonis
saja meskipun ada juga yang me-nambahkan dengan ipratropium bromida.
Schuch dkk dalam penelitiannya mendapatkan bahwa dengan menggunakan
β2 agonis saja dapat meningkatkan FEV1 dan menghilangkan gejala
serangannya, sedangkan penambahan ipratropium bromida akan
meningkatkan FEV1 yang lebih tinggi lagi. Pada serangan asma yang berat,
KNAA menganjurkan pemberian β agonis bersama-sama dengan
ipratropium bromid. Pem-berian cara nebuliser untuk usia 18 bulan- 4 tahun
dianjurkan menggunakan mouthpiece daripada masker muka untuk
menghindarkan deposisi obat di muka dan mata. Apabila dengan pemberian
inhalasi obat tersebut serangan asma tidak teratasi/sedikit perbaikan maka
dapat diberikan steroid sistemik. Pemberian steroid sistemik perlu
diperhatikan pada anak dengan serangan asma yang sering karena anak ini
berisiko mengalami efek samping akibat pemberian steroid sistemik
berulang kali seperti supresi adrenal, gangguan pertumbuhan tulang, dan
osteoporosis. Untuk mengurangi pemberian steroid oral berulang, maka
sebagai alternatifnya dapat diberikan inhalasi budesonid dosis tinggi (1600
40
mg perhari) pada anak yang serangan asmanya tidak teratasi dengan
penanganan inhalasi β2 agonis di rumah dan mereka belum/tidak perlu
perawatan di rumah sakit.
Penggunaan obat pereda secara inhalasi pada serangan asma sangat
bermanfaat dan justru sangat dianjurkan, namun demikian penggunaannya
masih belum banyak. Hal ini dimungkinkan karena penggunaannya yang
belum banyak diketahui dan harga obat masih mahal. Hal ini berlaku bukan
hanya di Indonesia, tetapi juga berlaku di negara maju. Penggunaannya pada
orang dewasa lebih banyak dibandingkan dengan anak.
Tata laksana di luar serangan
Obat inhalasi di luar serangan asma hanya diberikan apabila
memerlukan obat pengendali; yang biasa digunakan adalah natrium
kromoglikat dan golongan steroid. Natrium kromoglikat menurut KNAA
diberikan apabila termasuk asma episodik sering sedangkan penggunaan
steroid dapat diberikan pada asma episodik sering dan asma persisten.
Natrium kromoglikat menunjukkan absorbsi yang tidak baik sehingga hanya
efektif bila diberikan secara inhalasi. Obat ini tersedia dalam nebuliser
solution, serbuk aerosol dan aerosol dengan dosis 20 mg untuk nebuliser
atau 2 mg secara aerosol.
Penggunaan steroid pada asma anak masih jarang mengingat samping
yang mungkin ditimbulkan. Namun beberapa peneliti telah membuktikan
bahwa dengan penggunaan yang tepat dengan dosis, cara, dan jenis yang
sesuai maka efek samping dapat dikurangi. Penggunaan obat inhalasi yang
41
salah akan meningkatkan efek samping seperti jamur/kandidiasis di daerah
mulut, suara serak, dan efek lainnya. Dengan inhalasi sebagian obat juga
akan beredar ke seluruh tubuh melalui sistem gastrointestinal dan
selanjutnya akan dielimininasi melalui hati sehingga dalam peredaran
sistemik kadarnya berkurang. Obat yang baik adalah yang dapat elimininasi
tubuh dengan baik artinya kadar di dalam sirkulasi menjadi kecil.
Penggunaan steroid inhalasi pada asma episodik sering dan asma persisten
memerlukan waktu yang lama dan dosis yang mungkin bervariasi. Pada
awal pengobatan dapat diberikan dosis tinggi (400-800 mg per hari) dan
diturunkan secara perlahan sampai tercapai dosis optimum untuk anak
tersebut dan dipertahankan pada dosis optimum untuk beberapa lama dan
kemudian diturunkan secara bertahap sampai pada akhirnya kalau
memungkinkan tidak digunakan sama sekali. Penggunaan waktu lama
(sekitar 2-3 tahun) dengan dosis 400 mg perhari tidak mengganggu proses
tumbuh kembang anak. Untuk bayi dan anak berusia di bawah 4 tahun yang
memerlukan steroid inhalasi dapat digunakan suspensi budesonid inhalasi
(pulmicort respules) yang diberikan dengan nebuliser. Jadi penggunaan
steroid inhalasi dapat lebih aman apabila kita mengetahui cara peng-
gunaannya.
3.3.4 Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak
karena perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga
kemauan anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak
42
dapat memakai alat hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan
pelatihan yang benar dan berulang kali. Tabel berikut memperhatikan
anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan usianya.
Tabel 3. Jenis alat inhalasi disesuakan dengan usia anak
Umur Alat inhalasi
<2 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler Alat hirupan (MDI)
dengan perenggang (spacer)
5-8 tahunNebuliser MDI dengan spacer Alat hirupan bubuk (Spinhaler,Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser MDI (metered dose inhaler) Alat hirupan bubukAutohaler
(Dikutip dari Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for asthma. NHLBI/WHO Workshop Report 2002 )
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam
mulut (orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga
mengurangi efek sistemik. Sebaliknya deposisi dalam paru lebih baik
sehingga didapat efek terapeutik yang baik. (Evidence B) Obat hirupan
dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler; memerlukan
inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia
sekolah.
Sebagian alat bantu yaitu spacer (Volumatic, Nebuhaler,
Aerochamber, Bayhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan
menggunakan bekas gelas atau botol minuman, atau menggunakan botol
43
dengan dot yang talah dipotong untuk anak kecil dan bayi (Evidence D).
3.3.5 Prevensi dan Intervensi Dini
Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama dokter,
khususnya spesialis anak dalam menangani anak asma. Pengendalian
lingkungan, pemberian ASI eksklusif minimal 4 bulan, penghindaran
makanan berpotensi alergenik, pengurangan pajanan terhadap tungau debu
rumah dan rontokan bulu binatang, telah terbukti mengurangi manifestasi
alergi makanan dan prevalens asma jangka panjang diduga ada tetapi masih
dalam penelitian.
Penggunaan antihistamin non-sedatif seperti ketotifen dan setirizin
jangka panjang dilaporkan dapat mencegah terjadinya asma pada anak
dengan dermatitis atopik. Obat-obat di atas tidak bermanfaat sebagai obat
pengendali asma (controller). Tindakan dini pada asma anak berdasarkan
pendapat bahwa keterlambatan pemberian obat pengendali akan berakibat
penyempitan jalan napas yang ireversibel (airway remodeling).
3.3.6 Faktor Alergi dan Lingkungan
Saat ini telah banyak bukti bahwa alergi merupakan salah satu faktor
penting berkembangnya asma. Paling tidak 75-90% anak asma balita
terbukti mengidap alergi, baik di negara berkembang maupun negara maju.
Atopi merupakan faktor risiko yang nyata untuk menetapnya
hiperreaktivitas bronkus dan gejala asma. Derajat asma yang lebih berat
dapat diperkirakan dengan adanya dermatitis atopik. Terdapat hubungan
antara pajanan alergen dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi berhubungan
44
dengan peningkatan gejala asma pada anak (Evidence A).
Pengendalian lingkungan harus dilakukan untuk setiap anak asma.
Penghindaran terhadap asap rokok merupakan rekomendasi penting.
Keluarga dengan anak asma dianjurkan tidak memelihara binatang berbulu,
seperti kucing, anjing burung. Perbaikan ventilasi ruangan, dan
penghindaran kelembaban kamar perlu untuk anak yang sensitif terhadap
debu rumah dan tungaunya (Evidence A).
Perlu ditekankan bahwa anak asma sering kali menderita rinitis
alergika dan/atau sinusitis yang membuat asmanya sukar dikendalikan.
Deteksi dan diagnosis kedua kelainan itu diikuti dengan terapi yang adekuat
akan memperbaiki gejala asmanya.
3.3.7 Prognosis
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan
wheezing tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya.
Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45 hingga 85%, tergantung
besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan lamanya pemantauan. Adanya
asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing
merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma dikemudian
hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma
lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan
berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada
keadaan bukan flu.
45
3.4 PENCEGAHAN ASMA
Dalam praktik kedokteran keluarga yang lebih mengutamakan
upaya preventif dan promotif dalam manajemen penyakit kronik seperti
asma salah satunya, maka upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi
2 hal yaitu :
a. Mencegah Sensititasi
Langkah – langkah dalam mencegah asma berupa pencegahan
sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa
prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma pada individu
yang disensitisasi. Hingga kini tidak ada bukti intervensi yang dapat
mencegah perkembangan asma selain menghindari pajanan dengan asap
rokok, baik in utero atau setelah lahir. Adapun hipotesis higiene untuk
mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respons nonalergi atau
modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis.
b. Mencegah Eksaserbasi
Allergen indoor dan outdoor merupakan salah satu faktor yang
dapat menimbulkan eksaserbasi asma. Contoh alergen indoor seperti
tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur. Sedangkan alergen
outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Dokter
keluarga dapat memberikan edukasi kepada orang tua pasien maupun
pengasuh agar dapat mengurangi pajanan penderita asma anak dengan
beberapa faktor seperti menghindarkan anak dari asap rokok, lingkungan
rumah dan sekolah yang bebas alergen, makanan, aditif, obat yang
46
menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat.
Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan
sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain
yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan
aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.
Komunikasi yang baik dan terbuka antara praktisi dokter keluarga dan
pasien serta orang tua atau keluarga pasien adalah hal yang penting sebagai
dasar penatalaksanaan. Diharapkan agar dokter selalu bersedia
mendengarkan keluhan pasien dan keluarganya agar menunjang
keberhasilan pengobatan. Komponen yang dapat diterapkan dalam
penatalaksanaan asma, yaitu mengembangkan hubungan dokter pasien,
identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko, penilaian,
pengobatan dan monitor asma serta penatalaksanaan asma eksaserbasi akut.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Terapi inhalasi merupakan pilihan tepat untuk asma karena
banyak manfaat yang didapat seperti onset kerjanya cepat, dosis
obat kecil, efek samping minimal, dan langsung mencapai target.
Upaya pencegahan timbulnya asma dan kekambuhan asma dapat
diupayakan dengan menilai faktor resiko yang dimiliki oleh anak
sehingga dapat diupayakan untuk melakukan penghindaran terhadap
faktor resiko penyebab asma tersebut.
47
DAFTAR PUSTAKA
Stempel DA. The pharmacologic management of childhood asthma. Pediatr
Clin N Am 2003;50:609-29.
Warner JO. Asthma- basic mehanisms. Dalam: Naspitz CK, Szefler SJ,
Tinkelman DG, Warner JO,Eds. Textbook of Pediatric Asthma; edisi ke 1. Martin
Dunitz Ltd, London2001;19-33.
Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for asthma. NHLBI/WHO
Workshop Report 2002.
UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta; 2004.
Beasley R, Keil U, Mutius E, Pearse N and ISAAC steering committee.
World wide variation in prevalence of symptoms asthma, allergic
rhinoconjunctivitis, and atopic eczema: ISAAC. Lancet 1998; 351:1225-32.
AIRE. Asthma prevalence in Europe. Asthma insight and reality. in Europe
Executive Summary. http://www.asthma.ac.psiweb.com.executive /mn-exe-
summary-prevalence.html
Elias JA,Lee Cg, Zheng T, Ma B, Horner RJ, Zhu Z. New insights into the
pathogenesis of asthma. J.Clin Invest 2003;111:291-7.
Platts-Mills TAE, Sporik RB, Chapman MD, Heymann PW. The role of
domestic allergens. Dalam: The rising trends in asthma, Edisi ke 1. John Wiley &
sons : New York 1997. 173-90.
Warner JO, Naspitz CK, Cropp GJA. Third International Pediatric
48
49
Consensus Statement on the Management of Childood Asthma. Pediatr
Pulmonol 1998; 25:1-17.
Konig P. Evidence for benefits of early intervention with non-steroidal
drugs in asthma. Pediatr Pulmonol 1997; 15:34-9.
Tasche MJA, Uijen JHJM, Bernsen RMD, de Jongste JC, van der Wouden
JC. Inhaled disodium cromoglucate (DSCG) as maintenance therapy in children
with asthma: a systematic review. Thorax 2000; 55:913-20.
Sundaru H. United allergic airway disease: konsep baru penyakit alergi
saluran napas.Dalam: Naskah lengkap Penedidikan Kedokteran Berkelanjutan
Ilmu Kesehatan Anak XLIV.FKUI:Jakarta2001:21-30.
Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O’Callaghan C. Nebulizers in
childhood. Eur Respir Rev 2000; 10: 527-35.
Greshman NH, Wong HH, Liu JT, Fahy JV. Low-dose and high-dose
fluticasone propionate in asthma:effects during and after treatment. Eur Respir J
2000; 15: 11-6.
Barnes N. Specific problems: steroid-induced side-effects. Dalam: O’Byrne
PM, Thomson NC Eds. Manual of asthma management. Edisi ke2 .WB
Saunders:London 2001:577-87.
Loftus BG, Price JF. Long-term placebo-controlled trial of ketotifen in the
management of preschool children with asthma. J Allergy Clin Immunol 1987;
79: 350-5.
50
Martinez FD. Links between peditric and adult asthma. J Allergy Clin Immunol
2001; 107: S449-55.