Upload
david-hamzah-damian
View
40
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Makalah Kuliah
Citation preview
Halaman 1 dari 18
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Faktor-faktor ekonomi, politik, teknologi, demografi dan sosial merupakan
faktor yang mempengaruhi administrasi perpajakan dan yang akan mempengaruhi
perkembangan masyarakat itu sendiri ditahun-tahun yang akan datang. Faktor-
faktor ini memberikan peran meningkatkan globalisasi ekonomi, termasuk
perubahan besar dalam kegiatan dan kekuatan ekonomi, yang kemudian
memberikan tingkat pertumbuhan pasar dalam negara berkembang. Globalisasi
dan perkembangan teknologi yang cepat telah memaksa administrasi pajak
mencari peluang untuk bekerja sama dan belajar dari satu sama lain untuk
meningkatkan efektivitas dan keadilan serta mengurangi biaya kepatuhan.
Pajak merupakan salah satu penerimaan pajak yang penting dan utama.
Semakin hari penerimaan pajak dalam membiayai pembangunan semakin
meningkat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam usaha
untuk meningkatkan penerimaan pajak, yaitu dengan melakukan ekstensifikasi
dan intensifikasi penerimaan pajak. Ekstensifikasi ditempuh dengan
meningkatkan jumlah Wajib Pajak yang aktif. Sedangkan, intensifikasi dapat
ditempuh melalui meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, dan pembinaan kepada
para Wajib Pajak, pengawasan administratif, pemeriksaan, penyidikan dan
penagihan pasif dan aktif serta penegakan hukum.
Salah satu penerimaan pajak berasal dari Pajak Penghasilan (PPh). Pajak
penghasilan sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Pajak Penghasilan Badan dan Pajak
Penghasilan Orang Pribadi. Penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi
masih dibawah penerimaan pajak penghasilan badan. Idealnya, peningkatan
jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi akan berbanding lurus dengan besarnya
penerimaan pajak dari pajak penghasilan (PPh) orang pribadi.
Umumnya, wajib pajak cenderung untuk menghindarkan diri dari
pembayaran pajak. Kecenderungan ini terjadi karena tingkat kesadaran
masyarakat yang masih cukup rendah. Pemeriksaan pajak merupakan salah satu
Halaman 2 dari 18
instrument yang baik untuk meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak, baik
formal maupun material dari peraturan perpajakan, yang tujuan utamanya untuk
menguji serta meningkatkan tingkat kepatuhan pajak oleh wajib pajak. Kepatuhan
ini akan berdampak bagi penerimaan negara baik langsung maupun tidak
langsung.
Adapun berdasarkan perbandingan realisasi penerimaan pajak di bawah, dapat
dilihat ada kemungkinan penerimaan di tahun 2015 dari persentase penerimaan
berada lebih rendah dari tahun 2014.
II. POKOK PERMASALAHAN
Dalam makalah ini terdapat pengidentifikasian masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan
masyarakat dalam lingkup perpajakan.
2. Bagaimana tingkat kepatuhan perpajakan terhadap perkembangan
masyarakat dan peran pemerintah didalamnya.
III. MAKSUD DAN TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diidentifikasikan oleh
penulis, maka adapun maksud dan tujuan penulisan dilakukan adalah untuk
Halaman 3 dari 18
mengetahui faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan masyarakat
dalam lingkup perpajakan serta mengetahui tingkat kepatuhan perpajakan
terhadap perkembangan masyarakat serta peran pemerintah didalamnya.
Halaman 4 dari 18
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 KEPATUHAN PAJAK DAN YANG MEMPENGARUHINYA
Dalam salah satu artikelnya yang terkenal James and Alley (1999)
mengemukakan pengertian Tax Compliance sebagai “..The definition of tax
compliance in its most simple form is usually cast in term of the degree version
relate which taxpayer comply with the taxlaw. However, like many such concepts,
the meaning of compliance can be seen almost ascontinuum of definition and on
to even more comprehensive version relating to taxpayer decision to conform to
the wider objectives of society as reflected in tax policy..” . Berdasarkan
pengertian diatas kepatuhan pajak dapat dilihat secara sederhana ataupun secara
komprehensif. Secara sederhana, kepatuhan wajib pajak adalah menyangkut
sejauh mana wajib pajak dalam melaksanakan pemenuhan kewajibannya yang
sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian derajat atau
tingkat kepatuhan dapat diukur dengan adanya tax gap, yaitu perbedaan antara apa
yang tersurat didalamnya aturan perpajakannya dan apa yang dilaksanakan oleh
waijib pajak itu sendiri. Tax gap dapat juga diartikan sebagai perbedaan antara
seberapa besar pajak yang dapat dikumpulkan dengan besar pajak yang
seharusnya terkumpul. Dalam praktek pemahaman ini terus berkembang ke
berbagai pengertian dan bahkan lebih kompleks sejalan dengan kepentingan
masyarakat. Perkembangan dunia bisnis yang terus berubah secara cepat seiring
dengan dinamika perubahan perekonomian menuntut pula terus-menerus perlunya
dilakukan penyesuaian-penyesuaian dalam ketentuan perpajakan.
Penelitian atas moral pajak dan etika pajak menunjukkan bahwa
masyarakat yang mempunyai tingkat moral pajak dan etika pajaknya tinggi
dianggap memiliki tingkat penghindaran dan penggelapan pajak yang rendah.
Adanya kualitas yang baik dan hubungan antara pemerintah dan warga negara
dapat membentuk penerimaan pajak yang tinggi. Hal ini dibutuhkan dalam
kepercayaan pemerintah serta pandangan hukum dan keadilan pada sistem pajak.
Selanjutnya, wajib pajak yang mendukung kebijakan pemerintah dan system pajak
Halaman 5 dari 18
akan membangun masyarakat semangat pajak yang lebih tinggi dibandingkan
dengan wajib pajak yang menganggap rendah atas manfaat untuk masyarakat atas
kontribusi pajak mereka tersebut. Sikap terhadap pajak tidak hanya didukung oleh
variable kepentingan pribadi tapi juga dipengaruhi oleh bagaimana wajib pajak
memandang diri mereka sebagai pembayar pajak maupun sebagai otoritas pajak.
Di negara Indonesia, dapat kita lihat bagaimana tingkat kepatuhan pajak yang
terjadi pada wajib pajak orang pribadi dan badan selama tahun 2008 – 2013.
Tabel 1 - Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT Wajib Pajak Orang Pribadi &
Badan Tahun 2008-2013
Tahun WP Terdaftar WP Yang Menyampaikan
SPT Tahunan PPh
Rasio
Kepatuhan
2013 17.731.736 10.790.650 60,86%
2012 17.659.278 9.482.480 53,70%
2011 17.694.317 9.332.626 52,74%
2010 14.101.933 8.202.309 58,16%
2009 9.996.620 5.413.114 54,15%
2008 6.341.828 2.097.849 33,08%
Sumber: Laporan Tahunan Ditjen Pajak 2008-2013
Catatan: Rasio Kepatuhan dihitung berdasarkan perbandingan antara WP yang menyampaikan SPT Tahunan PPh dalam
suatu tahun pajak tertentu dengan jumlah WP terdaftar Wajib SPT pada awal tahun. Realisasi SPT Tahunan PPh yang
disampaikan merupakan hasil dari hitung cepat (quick count) per tanggal 30 April.
Terdapat pula sumber atas wajib pajak terdaftar yang terjadi pada tahun 2009
hingga 2013.
Tabel 2 – Wajib Pajak Terdaftar Tahun 2009 - 2013
Halaman 6 dari 18
Dari data tersebut diatas, dapat kita lihat bagaimana media massa melaporkan
tentang perilaku administrasi pajak dapat memberikan kontribusi terhadap
kepercayaan dan pandangan masyarakat itu sendiri.
Seperti telah disebutkan terdahulu, kepercayaan pada pemerintah secara
luas dan kepercayaan pada keadilan sistem pajak, termasuk keyakinan warga
negara yang mempunyai kelompok masyarakat berbeda-beda membayar bagian
pajaknya secara adil, dianggap sebagai kunci menjadikan wajib pajak sebagai
Kepatuhan Sukarela (Voluntary Compliance).
Kepatuhan pajak yang ideal seharusnya merupakan kepatuhan sukarela
(voluntary compliance). Erard dan Feinstin seperti dikutip Nasucha (2004:9),
menggunakan teori psikologi dalam kepatuhan wajib pajak, yaitu rasa bersalah
dan rasa malu, persepsi wajib pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang
mereka tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.
persepsi ini dianggap penting, karena kepatuhan Wajib Pajak tidak terlepas dari
persepsinya akan kewajiban itu sendiri.
Pernyataan bahwa pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah
mempengaruhi kepatuhan sukarela dalam hal ini sangat penting karena Wajib
Pajak akan dengan sukarela menjalankan kewajibannya manakala timbul
kepuasan terhadap pelayanan pemerintah yang dibiayai oleh pajak itu sendiri.
Dengan demikian kepuasan terhadap pelayanan pemerintah tersebut merupakan
factor yang lebih utama guna membangun kepatuhan pajak sukarela dibandingkan
factor rasa bersalah dan rasa malu bila Wajib Pajak lalai menjalankan kewajiban
perpajakannya.
Berbagai literature mengkaitkan masalah kepatuhan pajak dengan tax
avoidance dan tax evasion oleh Wajib Pajak. Menurut Homans dalam Berita
Pajak No. 1567 XXXIV, tanggal 15 September 2006 sebagaimana dikutip oleh
Gunadi (2006:18), terdapat beberapa factor yang dapat mempengaruhi kepatuhan
pajak, yaitu compliance cost, tax regulation dan law enforcement. Jika beberapa
factor tersebut dikendalikan secara memadai, maka tingkat kepatuhan pajak
meningkat secara optimal. Sebaliknya, compliance cost yang tinggi, regulasi pajak
yang kompleks dan tidak jelas atau menimbulkan perbedaan dalam penafsirannya
Halaman 7 dari 18
(ambigu), serta implementasi peraturan yang buruk dapat menyebabkan turunnya
tingkat kepatuhan pajak.
Pada Internal Revenue Service (IRS) dalam laporannya yang berjudul
Reducing the Federal Tax Gap (2007:17) menyatakan bahwa sejumlah factor
mempengaruhi kepatuhan sukarela, walaupun hal tersebut tidak didukung
konfirmasi empiris yang sangat memadai. Namun, secara umum diakui bahwa
kebijakan dan tindakan yang dilakukan IRS bukanlah satu-satunya penyebab, dan
bukan pula penentu yang utama. Faktor-faktor lain yang diidentifikasi IRS
(2007:17) mempengaruhi kepatuhan sukarela adalah sebagai berikut :
a. Perubahan peraturan pajak, termasuk :
Aspek-aspek yang membuka atau menutup peluang untuk tidak
patuh (non compliance).
Kompleksitas peraturan perpajakan yang membingungkan
Wajib Pajak atau menyebabkan mereka yang tidak patuh sulit
diidentifikasi.
Tarif pajak memberikan insentif untuk melaporkan pendapatan.
b. Situasi ekonomi, meliputi :
Pendapatan dan tingkat pengangguran
Komposisi industri
c. Factor demografis, meliputi :
Penuaan populasi
Perubahan pengaturan rumah tangga
Pertumbuhan jumlah Wajib Pajak asing
d. Faktor sosio-politik meliputi :
Pergeseran nilai-nilai patriotic
Persepsi Wajib Pajak tentang apakah mereka akan
mendapatkan balasan dari pajak yang mereka bayar
Selain itu, terdapat dampak langsung dan tidak langsung dari aktivitas
penegakan hokum. Dampak langsung adalah terkumpulnya pendapatan negara
tambahan dari Wajib Pajak, sebagai subyek dari penegakan hokum. Dampak tidak
langsung adalah dampak tambahan ketika aktivitas penegakan hokum pada
Halaman 8 dari 18
sekelompok Wajib Pajak tertentu memberikan pengaruh positif pada Wajib Pajak
yang lain sebagai akibat peningkatan aktivitas penegakan hokum.
Kepatuhan pajak erat kaitannya dengan penghindaran pajak dimana di
Indonesia beberapa praktik penghindaran pajak adalah telah diatur secara spesifik,
misalkan transfer pricing dan treaty shopping. Akan tetapi, teknik penghindaran
pajak akan selalu berkembang memanfaatkan celah atau loopholes dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan sehingga akan terjadi saling kejar
mengejar antara teknik penghindaran pajak dengan peraturan perundang-
undangan untuk menangkalnya dan menutup celah tersebut. Kemudian,
dirumuskanlah kebijakan regulasi perpajakan yang bertujuan untuk menangkal
dan menindak praktik penghindaran pajak yang belum diatur secara spesifik
dalam peraturan perundang-undangan atau yang memanfaatkan celah atau
loopholes dalam peraturan itu sendiri. Kebijakan regulasi tersebut dinamakan
Peraturan Umum Penangkal Penghindaran Pajak (General Anti-Avoidance Rule /
GAAR). Di Inggris misalkan, diharapkan dengan adanya GAAR, celah atau
loopholes tersebut dapat ditutup.
Terkait dengan kepatuhan pajak, untuk mengukur keberhasilan dari sisi
penerimaan, perlu di analisis tax gap, adapun definisi tax gap adalah:
“The tax gap is the difference between the money that the government
should collect from the taxes owed in this country if everyone complied
with the law and the amount of money the government does actually
collect in tax.”1
Saat ini, Indonesia, belum memiliki analisis tax gap yang diterbitkan
secara resmi oleh pemerintah. Tax gap adalah penting untuk mengukur prestasi
lembaga penerimaan pajak, mengetahui kelemahan-kelemahan terkait strategi
penerimaan pajak dan memperbaikinya.
1 www.pcs.org.uk/en/campaigns/national-campaigns/tax-justice/why-are-they-increasing-the-tax-gap.cfm#What_the_tax_gap
Halaman 9 dari 18
II.2 PERAN PEMERINTAH DAN KEPATUHAN PAJAK
Dalam penelitian terdapat beberapa alasan ketidakpatuhan wajib pajak
diantaranya adalah sebagai berikut :
• Kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah dapat mengelola uang
pajak yang disetor dengan baik
• IRS menerapakan peraturan yang unfair
• Pelayanan dan pendidikan yang diberikan kurang dari IRS kepada wajib
pajak
• Ada anggapan bahwa IRS tidak tahu bila terjadi kecurangan dalam
pembayaran pajak Alasan yang dikemukan berdasarkan penelitian TAS
sangat beralasan dan dapat kita jadikan bahan pembelajaran di
Indonesia.
Bahwa hal-hal tersebut dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakan di Indonesia. Sebagai contoh, beberapa kasus
korupsi yang terjadi di Indonesia akan mempengaruhi kepatuhan wajib pajak
dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Hal ini juga didukung oleh pendapat
ahli bahwa birokrasi dan korupsi merupakan faktor penentu dalam rendahnya
tingkat kepatuhan wajib pajak (Tanzi: 1988). Direktorat Jenderal Pajak telah
mempunyai suatu program yang tertuang dalam cetak biru transformasi
kelembagaan. Program tersebut bertujuan salah satunya untuk meningkatkan
kepatuhan wajib pajak.
Ada beberapa inisiatif dalam program transformasi kelembagaan yang
bertujuan untuk meningkatkan kapatuhan wajib pajak, seperti inisiatif 1 -
menjangkau ekonomi informal melalui pendekatan end-to-end, inisiatif 2 -
memperbaiki segmentasi dan model penjangkauan wajib pajak kecil, dan inisiatif
3 - menyusun model kepatuhan yang prediktif dan berbasis-risiko terkait dengan
Halaman 10 dari 18
proses bisnis. Selain itu, inisiatif-inisiatif lain dalam transformasi kelembagaan
secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Sehingga diharapkan tahun 2019 penerimaan pajak dapat terus meningkat sampai
dengan 19% dari total pendapatan nasional bruto. Program ini tidaklah dapat
berhasil dengan baik tanpa bantuan dari lembaga-lembaga negara lain. Oleh
karena dibutuhkan kerjasama yang sinergi demi mewujudkan Indonesia sejahtera.
Salah satu indikator untuk meningkatkan kepatuhan pajak adalah terkait
rasio perbandingan antara Pegawai Pajak dengan Penduduk. Mengingat rasionya
masih terlalu jauh, maka Direktorat Jenderal Pajak juga disarankan untuk
meningkatkan jumlah pegawainya. Adapun jika dibandingkan dengan negara lain,
rasio tersebut adalah sebagai berikut:
II.3 UKURAN KEPATUHAN
Menurut Devano (2006:81) “Ukuran tingkat kepatuhan wajib pajak paling
utama diketahui dari apakah wajib pajak telah menyampaikan SPT-nya atau
belum, baik SPT Tahunan maupun SPT Masa. Hal ini menjadi ukuran paling
Halaman 11 dari 18
penting karena dengan penyampaian SPT oleh wajib pajak berarti wajib pajak
telah melaksankan pembayaran pajak sesuai dengan Undang-Undang”.
Wajib pajak dapat dikatakan patuh, apabila :
1. Selalu tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT) dalam dua tahun terakhir.
2. Dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa (bulanan) yang
terlambat tidak lebih dari tiga masa untuk setiap jenis pajak dan tidak
berturut-turut. Jika terlambat, tidak terlewat dari batas waktu
penyampaian SPT Masa pajak berikutnya.
3. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak :
a. Kecuali telah memperoleh izin mengangsur atau menunda
pembayaran pajak
b. Tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan Surat
Tagihan Pajak (STP) yang diterbitkan untuk dua masa terakhir
4. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana
perpajakan dalam waktu sepuluh tahun terakhir.
5. Jika laporan keuangan diaudit oleh akuntan public, opininya harus
wajar tanpa pengecualian, atau wajar dengan pengecualian sepanjang
pengecualian tersebut tidak mempengaruhi rugi fiscal.
Ukuran tingkat kepatuhan wajib pajak paling utama adalah diketahui dari
apakah Wajib Pajak telah menyampaikan SPT-nya atau belum, baik itu SPT
Tahunan maupun SPT Masa . Hal ini menjadi ukuran penting karena dengan telah
disampaikannya SPT oleh Wajib Pajak, berarti Wajib Pajak telah melaksankan
pembayaran pajak sesuai dengan Undang-Undang.
II.4 ADMINISTRASI DAN BIAYA KEPATUHAN
Implementasi kebijakan yang sudah ditetapkan dalam undang-undang,
pada akhirnya hanya akan berjalan jika ada administrasi pajak. Administrasi
perpajakan terdiri dari beberapa unsur, antara lain :
a. Instansi atau badan yang berwenang dan tanggungjawab untuk
menyelenggarakan pungutan pajak.
Halaman 12 dari 18
b. Orang-orang yang terdiri dari Pejabat dan Pegawai yang bekerja pada
instansi yang secara nyata melaksanakan kegiatan pungutan pajak.
c. Kegiatan penyelenggaraan pungutan pajak oleh suatu instansi atau
Badan yang ditatalaksanakan sedemikian rupa sehingga dapat
mencapai sasaran yang telah digariskan dalam kebijakan perpajakan,
berdasarkan sarana hukum ditentukan oleh Undang-undang
Perpajakan. Dalam pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pungutan
pajak sangat bergantung pada berbagai kebijakan yang diambil dalam
penyelenggaran pemungutan antara lain tahapan-tahapan yang perlu
diperhatikan, antara lain :
Menentukan wajib pajak (pendataan).
Menetapkan nilai pajak terhutang.
Penagihan Pajak.
Pemeriksaan kelalaian pajak.
Penyelesaian sengketa pajak.
Menurut Lumbantoruan yang dikutip oleh Harahap (2004:96) administrasi
perpajakan (tax administration) adalah cara dan prosedur pengenaan dan
pemungutan pajak oleh instansi yang berwenang. Disamping itu, Mansury
(2002:6) mengungkapkan dasar-dasar bagi terselenggaranya administrasi
perpajakan yang baik meliputi :
a. Kejelasan dan kesederhanaan dari ketentuan Undang-undang yang
memudahkan bagi administrasi Wajib Pajak dan memberikan
kejelasan bagi wajib pajak;
b. Kesederhanaan agar mudah dipahami dan dilaksanakan oleh aparat
pajak dan Wajib Pajak untuk mengurangi penyelundupan pajak;
c. Reformasi dibidang perpajakan dengan mempertimbangkan efisensi
dan efektifitas administrasi perpajakan;
d. Administrasi perpajakan yang efisien dan efektif disusun dengan
memperlihatkan penataan, pengumpulan, pengolahan dan
pemanfaatan informasi tentang subjek dan objek pajak.
Halaman 13 dari 18
Sistem administrasi perpajakan menurut undang-undang perpajakan di
Indonesia seperti yang diuraikan menurut Harahap (2004:96) meliputi :
a. Identifikasi dan registrasi (pendaftaran) wajib pajak
b. Penghitungan pajak yang terutang
c. Pemungutan pajak dari wajib pajak
d. Penegakan hokum
e. Pencatatan dan pemeriksaan
f. Pelaporan yang dilakukan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan
(SPT).
Tujuan utama dari administrasi pajak, menurut Silvani adalah untuk
meraih kepatuhan pajak secara sukarela. Memberikan sanksi dan hukuman bagi
para pelanggar pajak bukan sasaran utamanya, tetapi administrasi pajak tetap
dituntut berhasil memberikan keyakinan kepada seluruh wajib pajak bahwa
ketidakpatuhan dapat menyebabkan diberikannya hukuman dan sanksi.
Sedangkan peningkatan kepatuhan yang diinginkan terkait dengan desain system
pelayanan dan pengawasan wajib pajak (organisasi), simplifikasi atau
penyederhanaan undang-undang dan peraturan, juga factor budaya, social dan
tingkat pendidikan masyarakat dalam hal ini adalah wajib pajak.
Sasaran administrasi pajak itu sendiri adalah meningkatkan kepatuhan
yang pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan pajak, tetapi yang lebih
penting adalah bahwa penerimaan tersebut sudah tepat subyek, obyek dan tepat
jumlahnya, sebagaimana menurut Nasucha (2004) bahwa “… Administrasi pajak
yang baik bukanlah bagaimana Pemerintah dengan administrasi tersebut dapat
mengumpulkan penerimaan Negara sebanyak-banyaknya. Namun ada yang lebih
penting, yaitu bagaimana penerimaan pajak dapat ditingkatkan dan memastikan
bahwa penghasilan yang seharusnya kena pajak telah dikenakan sebagaimana
mestinya. …”
Dapat dikatakan bahwa administrasi perpajakan merupakan kunci
keberhasilan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Dilain pihak dengan
adanya system informasi yang efektif akan menjadi kunci terselenggaranya
pemungutan pajak secara adil. Adapun kegiatan administrasi perpajakan
Halaman 14 dari 18
merupakan suatu proses yang mencakup semua kegiatan untuk melaksanakan
berbagai fungsi administrasi, diantaranya mendaftarkan wajib pajak, menyediakan
Surat Pemberitahuan Masa dan Tahunan, mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak,
menagih janji pajak yang terutang, menyelesaikan sengketa dengan wajib pajak,
menghapuskan hutang pajak dan lain sebagainya.
Dalam pembahasan tentang administrasi pajak, selain aspek organisasi ada
juga aspek biaya yang kadang dilupakan oleh banyak pihak. Perpajakan dalam
pembebanan dan pemungutannya membutuhkan personalia dan peralatan,
sebagaimana pada jasa publik lainnya perpajakan harus dilaksanakan secara
efisien. Efisiensi dapat dilihat dari dua sisi, dari sisi fiskus pemungutan pajak
dikatakan efisiensi jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh Kantor
Pajak (antara lain dalam rangka pengawasan kewajiban Wajib Pajak) lebih kecil
dari jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Sedangkan dari sisi Wajib Pajak,
system pemungutan pajak dikatakan efisiensi jika biaya yang dikeluarkan oleh
Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin.
Dengan kata lain, pemungutan pajak dikatakan efisien jika compliance cost-nya
rendah.
Dalam perpajakan dikenal dua jenis biaya, yaitu biaya administrasi dan
biaya pemenuhan wajib pajak atau biaya kepatuhan (voluntary compliance). Biaya
administrasi tergantung pada besarnya skala perekonomian, biaya overhead dapat
disebarkan kepada setiap wajib pajak, dan semakin tinggi tariff pajak semakin
tinggi pula penerimaan yang diperoleh, tanpa memerlukan tambahan biaya yang
besar. Jenis biaya yang kedua adalah biaya kepatuhan (compliance cost). Pada
dasarnya, biaya kepatuhan seringkali lebih besar dari biaya administrasi, hal itu
didasarkan atas perhitungan ekonomis dari waktu wajib pajak yang terbuang
untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, misalnya untuk menghitung besarnya
penghasilan, menyetorkan pajak yang terhutang sampai dengan melaporkannya.
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang masih mengalami
kesulitan dalam menjalankan administrasi perpajakannya. Hal ini menyebabkan
Wajib Pajak membuat perencanaan pajak dengan baik agar terhindar dari sanksi
administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat
Halaman 15 dari 18
fiskus dan Wajib Pajak akibat begitu luasnya peraturan perpajakan yang berlaku
dan system informasi yang belum efektif.
Administrasi pajak pada dasarnya memiliki dua sasaran yaitu
maksimalisasi kepatuhan dan meminimalisasi biaya kepatuhan. Maksimalisasi
kepatuhan merupakan tujuan utama dari administrasi pajak. Tugas utama
administrasi pajak adalah mengumpulkan penerimaan pajak yang terutang dengan
biaya yang serendah mungkin. Dan cara yang efektif adalah dengan kepatuhan
sukarela dari para wajib pajak. Jika wajibi pajak tingkat kepatuhannya tinggi
maka biaya pemajakan akan turun.
Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan (2005:98) menjelaskan hubungan
administrasi pajak terhadap penurunan biaya kepatuhan sebagai berikut :
“Penurunan biaya kepatuhan dapat mendorong wajib pajak mematuhi
kewajiban perpajakannya secara sukarela. Administrasi pajak memegang
peranan yang sangat penting karena bukan seharusnya bukan hanya sebagai
perangkat law enforcement, tetapi lebih penting dari itu sebagai service point
yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sekaligus pusat informasi
perpajakan. Pelayanan seharusnya tidak dilakukan ‘ala kadar’ nya karena akan
membentuk citra yang kurang baik, yang pada akhirnya akan merugikan
pemerintah jika image tersebut ternyata membentuk sikap taxphobia.”
Selanjutnya, Thurman dalam Serra (2003:375) juga mengemukakan
pendapatnya bahwa : “Administrasi perpajakan dapat meningkatkan kepatuhan
dengan cara mengenal lebih dekat dengan wajib pajak, menyediakan informasi
yang tepat waktu dan menyederhanakan prosedur perpajakan. Dengan demikian
peningkatan berbagai pelayanan wajib pajak dapat mengurangi biaya kepatuhan
dan akhirnya meningkatkan kepatuhan wajib pajak”.
Dari hal tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa administrasi
perpajakan dengan fasilitas dan pelayanan yang baik dapat meningkatkan
kepatuhan. Dengan kepatuhan wajib pajak tersebut , maka akan mengurangi biaya
kepatuhan.
Halaman 16 dari 18
Salah satu upaya untuk memperbaiki administrasi pajak, strategi
pemerintah dalam jangka panjang adalah dengan penerapan e-Tax Invoice
sebagaimana disebutkan dalam Nota Keuangan RAPBN 2015 sebagai berikut:
Lebih lanjut, peningkatan kapasitas teknologi informasi DJP juga menjadi
kebijakan Pemerintah dalam jangka menengah, hal tersebut disebutkan dalam
Nota Keuangan RAPBN 2015 sebagai berikut:
Halaman 17 dari 18
Sebagai perbandingan anggaran teknologi informasi DJP dibandingkan dengan
negara lain adalah sebagai berikut (sumber laporan OECD):
Adapun untuk mengetahui biaya kepatuhan di Indonesia, dalam hasil
penelitian yang dilakukan oleh World Bank yaitu Doing Business, perbandingan
indikator biaya kepatuhan dari sisi beban administrasi dan faktor lain dapat dilihat
dari tabel berikut: 2
2 http://www.doingbusiness.org/data/exploreeconomies/indonesia#paying-taxes
Halaman 18 dari 18
III. Kesimpulan
Berdasarkan tulisan dan analisis tersebut di atas dapat disimpulkan dan disarankan
hal-hal berikut:
1. Rasio jumlah pegawai dengan jumlah penduduk juga dapat dijadikan
indikator untuk melihat upaya meningkatkan kepatuhan pajak;
2. Analisis tax gap adalah penting untuk mengkaji potensi penerimaan pajak
sehingga strategi penerimaan pajak bisa lebih tepat;
3. Penguatan kapasitas dan infrastruktur teknologi informasi dapat
ditingkatkan untuk perbaikan administrasi pajak;