Upload
agnes-tanic
View
99
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah
penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan
sistem imun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang
melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak
manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa
penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator
terjadinya penyakit tersebut. Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak
organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah,leukosit, atau trombosit. Karena
organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang
tampak sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut,
anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah. Perkembangan penyakit lupus
meningkat tajam di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering
terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan
kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain
yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang
informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE
bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik,
kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata. Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan
dan perawatan yang tepat dan benar.Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi
gejala dan induksi remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan
penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum digunakan pada
terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-
obat antimalaria,kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat
obat-obat yang lain.
BAB II
LAPORAN KASUS
Mulan, wanita 25 tahun, belum menikah, datang berobat kepada seoramg GP dua tahun
yang lalu dengan keluhan utama nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan dan
kedua pegelangan kaki.
Pemeriksaan saat itu menunjukan semua tanda vital dalam batas normal. Nampak bercak
kemerahan di kedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung. Dalam anamnesis bercak
merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari antara 1 sampai 2 jam. Sendi-
sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan. Pemeriksaan
fisik lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan laboratorium: Ht 35%, leukosit 9800/mm 3,
hitung jenis leukosit normal. LED 40 mm/jam, ANA positif 1:256.
Tiga bulan kemudian Mulan merasakan lesu dan lelah sepanjang hari. Ia berpikirr
mengalami “flu syndrome”. Dalam 1 minggu terakhir ini dia mengalami bengkak kedua kaki
sampai di pergelangannya. Pada pemeriksaan di dapati pitting oedema kaki. Pada pemeriksaan
abdomen ditemukan shifting dullness pada perkusi.
Pemeriksaan laboratorium memperlihatkan ANA positif masih dengan titer 1:256, LED
120mm/jam albumin serum 0,8 g/dl. Serum komplemen C3 42 mg/dl (normal: 80-180) dan C4
5mg/dl (normal: 15-45). Urinalisis: proteinuria 4+, hematuria, pyuria, dan ditemukan silinder
bergranula. Urin 24 jam mengandung 4g protein.
BAB III
PEMBAHASAN
Daftar masalah
Wanita
Usia 25 Tahun (Usia Muda)
Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan dan kedua pegelangan kaki.
Bercak kemerahan di kedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung, muncul lebih
hebat setelah terkena panas matahari antara 1 sampai 2 jam
Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan tampak bengkak dan nyeri tekan
Lesu dan lelah sepanjang hari
Pitting oedema kaki
Shifting dullness di abdomen
Hipotesis
Autoimmune Disease :
o Systemic Lupus Erythematous (SLE)
o Rheumatoid Arthritis
Anamnesis
Identitas pasien
Nama : Ny. Wulan
Umur : 25 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : -
Pekerjaan : -
Status : Belum menikah
Keluhan utama
Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan dan kedua pegelangan kaki.
Riwayat penyakit sekarang
Bengkak kedua kaki sampai di pergelangannya
Lesu dan lelah sepanjang hari
Bercak merah tersebut muncul lebih hebat setelah terkena panas matahari antara 1
sampai 2 jam
Riwayat penyakit dahulu
Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan dan kedua pegelangan
kaki.
Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan nyeri tekan
Bercak kemerahan di kedua pipi dan lebih jelas di daerah sekitar hidung
Anamnesis Tambahan
Bagaimana sifat nyeri sendi tersebut?
Apakah di lingkungan sekitar rumah ada yang menderita penyakit dan gejala yang sama ?
Adakah riwayat penyakit keturunan?
Apakah pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat tertentu?
Obat apa yang diberikan oleh GP 2 tahun yang lalu?
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Lesu dan Lemas.
Keadaan umum pasien yang masih sadar mengindikasikan normalnya fungsi otak dan
pasokan oksigen yang baik ke otak. Penampilan pasien terlihat lemah dan lesu
berhubungan penyakit kronis, nyeri sendi kronis dan kemungkinan menderita penyakit
SLE yang sudah tingkat lanjut.
2. Tanda Vital : -
3. Status Generalisata
Kepala
1) Wajah : Bercak Kemerahan di kedua pipi dan sekitar hidung Malar
Rash / Butterfly Rash
Leher : ---
Thorax
1) Paru : ---
2) Jantung : ---
Abdomen : Shifting Dullness Ascites
Genitalia Eksterna : ---
Ekstremitas
1) Ekstremitas Atas :
Nyeri sendi pada kedua pergelangan tangan, jari-jari tangan Arthritis
Sendi-sendi pergelangan tangan dan jari-jari tangan nampak bengkak dan
nyeri tekan Inflamasi dan Oedem
2) Ekstremitas Bawah :
Bengkak kedua kaki sampai di pergelangannya Oedem
Pitting oedema kaki
Pemeriksaan Laboratorium1,2
Pemeriksaan
Dahulu
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi Keterangan
Hematokrit 35% 37 – 40 % Menurun Anemia
Leukosit 9800/mm3 5000 –
10.000 Normal -
LED 40 mm/jam0 – 20
mm/jam Meningkat
Infeksi
Kronis
ANA 1 : 256 1 : 20 Meningkat SLE
Hitung Jenis
Basofil ? 0 – 1 % Normal -
Eosinofil ? 1 – 3 % Normal -
Batang ? 2 - 6 % Normal -
Segmen ? 50 – 70 % Normal -
Limfosit ? 20 – 40 % Normal -
Monosit ? 2 – 8 % Normal -
Pemeriksaan
Sekarang
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi Keterangan
ANA 1 : 256 1 : 20 Meningkat SLE
LED 120 mm/jam 0 – 20
mm/jam Meningkat
Infeksi
Kronis
Albumin Serum 0,8 g/dl 3,5 g/dl Menurun Hipoalbumin
emia
Serum
Komplemen C3
42 mg/dl 80 -180
mg/dlMenurun
SLE
GNA
Serum
Komplemen C4
5 mg/dl15 – 45
mg/dl Menurun
SLE
GNA
Urinalisis
Protein ++++ Negatif Positif Proteinuria
Massive
Eritrosit ? Negatif Positif Hematuria
Leukosit ? Negatif Positif Piuria
Silinder ? Negatif PositifSilinder
Granula
Urin 24 jam 4 g Protein Negatif PositifProteinuria
Massive
Pemeriksaan Penunjang –
Penatalaksanaan
Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang didapatkan remisi yang
sempurna). Pengobatan pada SLE yang tepat adalah dengan menekan gejala klinis dan
komplikasi yang mungkin terjadi, mangatasi fase akut dan dengan demikian memperpanjang
remisi dan tingkat harapan hidup (1) Program pengobatan yang tepat sangat individual karena
gambaran klinis dan perjalanan penyakit sangat bervariasi.(2) Pada penatalaksanaa SLE pada
kasus diatas kami kelompokkan menjadi terapi farmakologis dan nonfarmakologis.
Non Farmakologis
1. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit yang
kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai macam
manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang berbeda-beda
sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang berlebihan. Pada
wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa bila akan hamil
maka sebaiknya kehamilan direncanakan. Saat penyakit sedang remisi, sehingga dapat
mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun penderita selama
hamil.
2. Dukungan Sosial dan Pengobatan
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer group
atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi pasien Lupus,
yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di Jakarta. Mereka
bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat mengenai lupus.
Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial untulk pasienyang
kurang mampu dalam pengobatan.
3. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatique sehingga perlu istirahat yang cukup selain perlu
dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromyalgia dan depresi.
4. Tabir Surya
Pada penderita SLE aktivitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar matahari
sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang berlebihan dan
menggunakan tabir surya dengan SPF>30 pada 30-60 menit sebelum terpapar diulang tiap 4-6
jam.
5. Monitor Ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terpapar demam
yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat selain sejalan dengan pemberian
obat immosupresi dan kortikosteroid. Risiko pada penyakit ini termasuk kardiovaskular,
osteoporosis dan keganasan juga meningakat pada pendertia SLE , sehingga perlu
pengendalian dari faktor resiko seperi merokok, obesitas, dyslipidemia dan hipertensi.3
4. Farmakologis
1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):
NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi. Obat ini
berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu
yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk
mengobaati SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria.
Keterbatasan obat ini adalah efeksamping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan
ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini,
sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS
adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.
2. Antimalaria
Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan
obat initelah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE
kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag
dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga
menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dam metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria
dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi kulit
karena sinar UV. Bebrapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan
koSLEterol total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang
tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-400mg/hari), klorokuin
(250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan
efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada
saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efk sam ping lain adalah timbulnya ruam,
toksisitas retin, daan neurologis (jarang).
3. Kortikosteroid
Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme antiinflamasi dan amunosuprefit. Dari
berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan metilprednisolon.
Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan
antimalaria, diberikan prednison2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1
sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa
langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi
serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis berat ataau SCLE,
poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk
proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus.
Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:
1. Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon), dosis: 1-2
mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering)
sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol
penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hemotologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas;
3-10 minggu untuk glomerulonephritis.
1. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama 3-5 hari
atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit lebih
cepat dari pada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat
sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
2. Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine atau
cyclophosphamide.
Setelah kelaainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu
sampai dicapai maintenance dose.
4. Methotreksat
Methotreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyaakit rematik
efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating ataua zathrioprin. Efek samping Mtx
yang paling sering dipakai adalah:lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal,
hepatotoksisitas. Untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes
fungsi ginjal dan hepar.4
Prognosis
Ad vitam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanasionam : dubia ad malam
Prognosis pada pasien ini secara umum cukup buruk akibat dari komplikasi yang telah
menyerang ginjal hingga ditemukan gejala-gejala seperti hematuria dan proteinuria yang
berpotensi untuk berkembang menjadi gagal ginjal yang merupakan penyebab utama dari
kematian pada kasus SLE.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Systematic Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai
dengan adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi
sistem imun, menyebabkan kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakitnya
bersifat episodic (berulang) yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan
akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit bervariasi mulai dari
penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan
jenis antibodi yang muncul dan organ yang terkena. Perjalanan penyakit SLE sulit diduga dan
sering berakhir dengan kematian. Karenanya SLE harus dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding bila pasien mengalami demam yang tidak diketahui penyebabnya, artralgia, anemia,
nefritis, psikosis, dan fatigue. Penyebab terjadinya SLE belum diketahui. Berbagai faktor
dianggap berperan dalam disregulasi sistem imun.3
Epidemiologi
SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, cina, dan mungkin
juga Filipina. SLE terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40
tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita dan laki-laki 5:1.
Faktor Resiko
1) Faktor-faktor resiko genetik pada lupus
Gen-gen anda merupakan komponen DNA anda yang memberitahukan apa yang
dilakukan setiap setiap sel-sel dalam tubuh anda. Lupus adalah penyakit "multigen". Ini berarti
bahwa tidak ada satu gen yang spesifik yang menyebabkan lupus. Malahan, para peneliti telah
mengidentifikasi banyak gen yang mungkin berkontribusi terhadap diagnosa lupus. Semua gen-
gen ini bergabung untuk merespon faktor-faktor resiko di lingkungan anda.
2) Faktor-faktor resiko lingkungan pada lupus
Beberapa elemen pada lingkungan juga diperkirakan memainkan peran dalam resiko
seseorang terkena lupus. Elemen-elemen ini antara lain:
- Sinar ultraviolet. Paparan terhadap sinar matahari tidak hanya menyebabkan kulit terbakar
karena matahari dan menempatkan anda pada resiko akan terkena kanker kulit, tetapi juga telah
menunjukkan dapat meningkatkan resiko seseorang akan terkena lupus. Resiko terkena lupus
bahkan lebih tinggi pada orang-orang yang khususnya memiliki kulit yang sensitif terhadap
matahari, begitu menurut para peneliti. Jika anda menderita lupus, anda mungkin telah
memperhatikan bahwa terpapar terlalu banyak sinar matahari akan membuat gejala-gejala anda
memburuk. Hal ini disebabkan karena sinar matahari dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel
kulit yang dapat menstimulasi respon otoimun lupus.
- Infeksi/penyakit. Penelitian telah difokuskan pada satu jenis infeksi yang disebabkan oleh
kuman virus yang mungkin merupakan faktor resiko terhadap lupus. Virus Epstein-Barr (EBV)
adalah anggota dari keluarga virus-virus herpes. EBV adalah jenis umum dari virus yang dapat
menyebabkan penyakit yang sangat ringan dan juga bertanggungjawab terhadap penyakit-
penyakit yang lebih berat seperti mononucleousis. Di saat anda berusia 40 tahun, kesempatan
anda untuk terinfeksi EBV adalah sekitar 95%. Karena EBV dapat tinggal dalam sel-sel darah
putih anda selama bertahun-tahun, diperkirakan hal ini dapat menstimulasi repson otoimum
lupus pada beberapa orang.
- Merokok. Bukti bahwa merokok merupakan faktor resiko lupus masih kontroversial. Beberapa
penelitian mendapati bahwa merokok dapat meningkatkan resiko mereka terkena lupus. Pada
saat sekarang ini bobot bukti yang menyimpulkan bahwa merokok dimasa lalu bukanlah
merupakan faktor resiko, tetapi pada saat ini merokok benar-benar meningkatkan resiko anda
terkena lupus.
3) Faktor-faktor resiko hormonal pada lupus
Seorang wanita yang berada di usia subur merupakan faktor resiko terbesar pada lupus.
90% orang-orang yang didiagnosa lupus adalah para wanita muda. Hal ini berhubungan dengan
hormon estrogen pada wanita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa para wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral atau terapi pengganti estrogen meningkatkan resiko mereka akan
terkena lupus. Ini mungkin karena estrogen mengikat sel-sel darah putih yang terlibat dalam
respon kekebalan dan meningkatkan jangka hidup sel-sel. Apapun yang menyebabkan respon
kekebalan yang berkepanjangan dapat memicu lupus. Bagaimanapun, terdapat ketidaksetujuan
diantara para peneliti mengenai apakah kegunaan pil-pil KB yang mengandung estrogen atau
pengganti hormon bagi wanita menupause meningkatkan resiko akan terkena lupus.
4) Faktor-faktor resiko ras pada lupus
Kaum wanita Afrika-Amerika menderita lupus tiga kali lebih sering dibandingkan dengan
wanita berkulit putih. Mereka juga cenderung menderita lupus pada usia yang lebih muda dan
menderita gejala-gejala lupus yang lebih berat. Wanita-wanita Latin, Asia dan Amerika asli juga
memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena lupus daripada wanita berkulit putih. Meskipun
faktor-faktor sosial ekonomi dapat berperan dalam beberapa bagian dalam penemuan-penemuan
ini, para peneliti percaya bahwa kecenderungan genetik terhadap lupus pada kelompok ras ini
merupakan sebuah faktor yang penting.4
Manifestasi Klinis
Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ. Manifestasi klinik
yang paling sering ialah gejala muskuloskeletal berupa artritis atau atralgia 92%, demam 84%,
kelainan kulit, rambut, atau selaput lendir 72%, kelainan neuropsikiatri 60%, renal 50%, saluran
pernapasan 45%, dan kardiovaskular 40%. Onset penyakit dapat spontan atau didahului factor
presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi, obat, penghentian kehamilan, trauma
fisik/psikis. Setiap serangan biasanya didahului gejala umum seperti demam, malise, kelemahan,
anorexia, berat badan menurun, dan iritabilitas. Demam ialah manifestasi yang paling menonjol
kadang-kadang dengan menggigil.
Manifestasi kulit berupa butterfly appearance.Manifestasi kulit yang lain berupa lesi
discoid,erythema palmaris,periungual erythema,alopecia.Mucous membran lession cenderung
muncul pada periode exacerbasi.pada 20% penderita juga didapatkan fenomena Raynaud.
Manifestasi gastrointestinal berupa nausea,diare,GIT discomfort.Gejala menghilang dengan
cepat bila manifestasi sistemiknya diobait dengan adekuat.Nyeri GIT mungkin disebabkan
peritonitis sterildan arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan
ulserasi usus.Arteritis juga dapat menimbulkan pancreatitis.
Manifestasi muskuloskeletal berupa athralgia,myalgia,myopathi.
Joint symptoms dengan atau tanpa aktif sinovitis ada pada 90% penderita.Atritis cenderung
menjadi deformasi,dan gambaran ini hampir selalu tidak didapatkan pada pemeriksaan
radiografi.
Manifestasi ocular ,termasuk conjungtivitis,fotofobia,transient atau permanent monooculr
blindness dan pandangan kabur.Pada pemeriksaan fundus dapat juga ditemukan cotton-wool
spots pada retina(cytoid bodies).
Pleurisi , pleural effusion , bronchopneumonia , pneumonitis sering dijumpai.Pleural effusion
unilateral ringan lebih sering dijumpai daripada bilateral.Mungkin didapatkan sel LE pada cairan
pleura.Pleural effusion menghilang dengan terapi yang adekuat.Restriktif pulmonary disease juga
mungkin dijumpai.
Manifestasi di jantung dapat berupa cardiac failure akibat dari micarditis dan hipertensi.Cardiac
aritmia juga sering dijumpai.Valvular incompetence yang sering dijumpai adalah mitral
regurgitasi.
Vasculitis pada percabangan mesenterica sering muncul dan dihubungkan dengan polyarteritis
nodusa ,termasuk ditemukan adanya aneurysma pada percabangannya.Abdominal pain (setelah
makan),illeus,peritonitis,perforasi dapat terjadi.
Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa
psikosis,epilepsi,sindroma otak organik ,periferal dan cranial neuropathies,transverse
myelitis,stroke.Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari obat kortikosteroid.Perbedaan
antara keduanya dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikan dosis steroid.Psikosis lupus
membaik bila dosis steroid dinaikan,dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya
diturunkan.
Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik.Manifestasi yang paling
sering berupa proteinuria.Histopatologi lesi renal bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai
glomerulonfritis membranoploriferatif difus.Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan
asimtomatik sampai progresif dan mematikan.Karena kasus yang ringan semakin sering
dideteksi ,insidens yang bermakna semakin menurun.Ada 2 macam kelainan patologis pada renal
berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.Nefritis lupus difus merupakan
manifestasi terberat.Klinis berupa sebagai sindroma nefrotik,hipertensi,gagal ginjal kronik.
Adenopathi menyeluruh dapat ditemukan,terutama pada anak-anak,dewassa muda,dan kulit
hitam.Splenomegali terjadi pada 10% penderita.Secara histologis lien menunjukan fibrosis
periarterial(onion skin lesion).
Hepatomegali mungkin juga dapat ditemukan ,tetapi jarang disertai icterus.
Kelenjar parotis dapat membesar pada 6% kasus SLE.
Pada Drug Induce Lupus Erythematosus kelainan pada ginjal dan SSP jarang ditemukan.Anti Ds-
DNA,hipocomplementemia serta complex immune juga jarang ditemukan
Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena nephritis dan
infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama penyakit ini. Karena
nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien SLE, urinalisis sebaiknya dilakukan pada pasien
yang dicurigai mengalami SLE. Pasien dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif
berbahaya biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam).
Sekitar setengah
pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi hipertensi. Jika glomerulonephritis
proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani, kebanyakan pasien akan mengalami ESRD dalam 2
tahun diagnosis. Untuk kebanyakan orang dengan lupus nephritis, percepatan aterosklerosis
menjadi penting setelah beberapa tahun, perhatian berlebih diberikan untuk mengendalikan
tekanan darah,hiperlipidemia, dan hiperglikemia.2
Patogenesis
Interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respons imun
yang abnormal. Respons ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas alamiah (sel dendritik) oleh CpG
DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen ; (2) Ambang
aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B); (3)
Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnya klirens sel apoptotik dan
kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein pada Sm, Ro, dan La;
fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotik,
sehingga antigen, autoantibodi, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa
jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang secara lambat.
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan
peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2
(IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL)-10.
Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik SLE.
Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming growth
factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi
autoantibodi yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan
dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan
sel darah yang berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari komplemen dan sel imun
mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida vasoaktif, dan enzim perusak.
Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan
kemotoksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Selain itu, akumulasi dari
growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada
glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.
Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE. Paparan
terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70% pasien,
kemungkinan terjadi akibat peningkatan apoptosis pada sel kulit atau adanya perubahan DNA
dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenik. Sepertinya, beberapa infeksi
memicu respons imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang mengenal self-
antigen; pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi autobodi
kemudian terjadi. Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibodi hingga 3 tahun bahkan lebih
sebelum gejala pertama penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat
autoimun untuk beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibodi dan sel B dan T
yang patogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan
agen infeksi yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetik. Anak
dan orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali umur,
jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel
tersebut dalam beberapa dekade; Ia juga mengandung sekuens asam amino yang mirip dengan
sekuens pada spilceosome manusia (RNA/antigen protein yang dikenali oleh autoantibodi pada
seseorang dengan SLE). Sehingga, interaksi antara predisposisi genetik, lingkungan, jenis
kelamin, dan respons imun abnormal akan mengakibatkan autoimunitas.
Diagnosis
Terdapat kriteria dignostik untuk SLE yang telah ditetapkan oleh American Rheumatism
Association (ARA).
Kriteria BatasanRuam malar Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence
dan lipat nasolabial Ruam discoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLEi keratotik dan
sumbatan folikular. Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap
sinar matahari ,baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa .
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa
Artritis non-erosif
Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak dan efusi
Pleuritis atau perikarditis
Pleuritis- riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleuraatauPerikarditis- bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ , ataub. Cetakan seluler- dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan
Gangguan neurologi
a. Kejang- tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit ataub. Psikosis- tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit
Gangguan hematologic
a. Anemia hemolitik dengan retikulosis b. Leukopenia- <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaanc. Limfopenia- <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaand. Trombositopenia- <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologik
a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Smc. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standar, atau 3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponemal.
Antibodi antinuklear positif (ANA)
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat
Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11
kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu. Modifikasi
kriteria ini dilakukan pada tahun 1997. Spesifitas dan sensitivitas kriteria ini secara berurutan
95% dan 75%). Pada beberapa pasien, gejala semakin berat dalam selang waktu tertentu.
Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien selama perjalanan penyakit.1,2,3,4
DAFTAR PUSTAKA
1. Tierney LM. Arthritis and Musculosceletal Disorder. In: McPhee SJ, Editors. Current
Medical Diagnosis and Treatment. New York:McGraw Hill;2004;p.805-7.
2. Kasper, Braunwald. Disorders of the Immune System, Connective Tissue and Joints. In:
Jameson JL, Editors; Harrisson’s Principle of Internal Medicine 2nd Book. 16th ed;New
York:McGraw Hill;2005;p.1960-7.
3. The Merck Manuals. SLE (Systematic Lupus Eritematosus). Available at:
http://www.merckmanuals.com/home/bone_joint_and_muscle_disorders/autoimmune_dis
orders_of_connective_tissue/systemic_lupus_erythematosus_sle.html accessed on March
24 2012
4. Lupus Foundation of America, Inc. About Lupus. Available at:
http://www.lupus.org/webmodules/webarticlesnet/templates/new_aboutintroduction.aspx
?articleid=80&zoneid=9 accessed on March 25 2012