38
LAPORAN AKHIR FARMAKOTERAPI IV PRAKTIKUM III PENYAKIT SISTEM LOKOMOSI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE) Disusun oleh : Fina Tri Handayani G1F011002 Yolita Satya Gitya Utami G1F011010 Awaliyatun Nikmah G1F011018 Ayu Wikha Noviyana G1F011026 Khilman Husna Pratama G1F011036 Nova Amalia G1F011046 Hijrofayanti G1F011054 Febriana Prasetyaning Tyas G1F011062 Fachri Aditiya G1F011072 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN FARMASI

Laporan Farter SLE Fix

Embed Size (px)

DESCRIPTION

farter

Citation preview

LAPORAN AKHIR FARMAKOTERAPI IV

PRAKTIKUM IIIPENYAKIT SISTEM LOKOMOSISYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Disusun oleh :

Fina Tri Handayani

G1F011002

Yolita Satya Gitya UtamiG1F011010

Awaliyatun Nikmah

G1F011018

Ayu Wikha Noviyana

G1F011026Khilman Husna Pratama G1F011036

Nova Amalia

G1F011046

Hijrofayanti

G1F011054

Febriana Prasetyaning TyasG1F011062

Fachri Aditiya

G1F011072

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN FARMASI

PURWOKERTO

2014

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

A. PATOFISIOLOGIS

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Etiopatogenesis dari LES masih belum diketahui secara jelas, dimana terdapat banyak bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultraviolet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit (Utomo, W., 2012).

Penyakit sistemik lupus eritematosus (SLE) terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto antibodi yang berlebihan. Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto antibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya merangsang antibodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali. Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori.Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang.Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya (Kasper et al, 2006).Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang resisten. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.Patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen predisposisi dan lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon ini termasuk :

1. Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein self-antigen

2. Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan Limfosit B)

3. Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+

4. Berkurangnya klirens sel apoptotic dan kompleks imun (Kasper et al, 2006).

Gejala yang paling sering pada SLE pada system musculoskeletal, berupa arthritis atau artralgia (93%) dan gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena adalah kaput femoris. Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1997, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, dimana apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis LES dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah : 1. Ruam malar.

2. Ruam antinuc.

3. Fotosensitivitas.

4. Ulkus di mulut.

5. Arthritis non antinuc.

6. Pleuritis atau antinuclear.

7. Gangguan renal, yaitu proteinuria persisten > 0,5gr/ hari, atau silinder sel dapat berupa eritrosit, antinuclear, granular, tubular atau gabungan.

8. Gangguan neurologi, yaitu kejang-kejang atau psikosis.

9. Gangguan antinuclear, yaitu anemia hemolitik dengan retikulosis, atau leukopenia atau limfopenia atau trombositopenia.

10. Gangguan imunologik, yaitu anti DNA posistif, atau anti Sm positif atau tes antinucle untuk sifilis yang positif palsu.

11. Antibodi antinuclear (Antinuclear antibody, ANA) positif

(Utomo, W., 2012)Patogenesis SLE.

(Utomo, W., 2012)

Patofisiologi anemia

Ketidaknormalan sel darah dan faktor-faktor pembekuan sering ditemukan pada penderita lupus ertitematosus sistemik. Manifestasi klinik yang utama adalah anemia (penurunan haemoglobin), leukopenia (penurunan jumlah sel darah putih), trombositopenia (penurunan jumlah sel pembeku darah) dan sindroma antifosfolipid. Faktor-faktor yang berperan dalam terjadinya kelainan darah pada lupus eritematosus sistemik adalah :

Adanya inflamasi/peradangan yang berlangsung terus-menerus (kronis)

Adanya proses imun (reaksi antibody dengan sel-sel darah)

Adanya perdarahan saluran cerna yang bersifat kronis karena efek samping obat-obatan yang digunakan

Anemia adalah berkurangnya kadar haemoglobin (pada wanita < 12 gr %). Pada lupus eritematosus sistemik, dapat ditemukan 3 jenis anemia, yaitu :

Anemia karena peradangan/penyakit kronis

Anemia hemolitik imun: anemia karena peradangan sel darah merah yang berlebihan

Anemia karena berkurangnya fungsi sumsum tulang

Tanda dan gejala anemia:

Pucat

Lemah badan

Mudah lelah

Penglihatan berkunang-kunang

Jantung berdebar

(Oehadian, A., 2008)B. PENYELESAIAN KASUS

I. SUBJEKTIF

Nama pasien

: Ny.ETB/BB

: -/45kg

Jenis Kelamin

: Perempuan

No.RM

: 745XXX

Riwayat pribadi/keluarga: -Alamat

: KebumenStatus

: UmumRuang/kelas

: -Umur

: 24 tahunTanggal MRS

: 21 November 2013Tanggal KRS

: -

Riwayat Penyakit Terdahulu: -Riwayat Penggunaan Obat: -Life Style

: -Keluhan MRS

: Pasien datang dengan keluhan lemasDiagnosa

: Systemic Lupus Erythematosus (SLE)II. OBJECTIVE

Parameter penyakit :

Pemeriksaan Nilai normalTanggal Keterangan

2122232425

TD120/80110/70110/60120/70100/60100/60Turun

N60-1008080807070Normal

RR16-202024201818Naik tgl 22

Suhu36,5-37,53636363636Turun

Keterangan :

1. Tekanan darah mengalami penurunan, merupakan salah satu gejala anemia. Dimana anemia ini merupakan salah satu manifestasi klinis SLE (Sudewi, 2009).2. RR mengalami kenaikan pada tanggal 22 tetapi selebihnya normal ini mungkin disebabkan karena pasien mengalami sesak nafas.tetapi selama tanggal 23-25 pasien RRnya normal jadi diasumsikan bahwa pasien normal.

3. Suhu mengalami sedikit penurunan, merupakan gejala yang non spesifik pada SLE dimana dengan penurunan suhu bisa karena kelelahan yang dialami pasien, gejala ini sangat sering dialami oleh pasien SLE tetapi pada kasus ini penurunannya tidak signifikan hanya 0,5 sehingga tidak diberikan terapi obat hanya dimonitoring suhunya saja (Anonim, 2011).

Data Laboratorium :

PemeriksaanSatuanNilai NormalTanggal 22Keterangan

Hbg/dL12-162,8Turun

Leukosit/mm34000-100006500Normal

Hct%37-473Turun

Eritrositjuta/mm34,2-5,40,2Turun

Trombosit/mm3170000-380000230000Normal

MCVfL80-99,6120,8Naik

MCHpg27-33116,7Naik

MCHC%33-3696,6Naik

RDW%11,5-14,421,5Naik

MPVfL7,2-11,19,6Normal

Keterangan :

1. Penurunan Hb merupakan indikator anemia (KEMENKES RI, 2011). Kadar Hb dibawah 7 g/dL termasuk anemia berat (Anemia gravis). Anemia merupakan salah satu manifestasi klinis dari penyakit lupus eritematosus sistemik (Sudewi, 2009).2. Penurunan nilai Hct merupakan indikator anemia. Penurunan Hct sebesar 30% menunjukkan pasien mengalami anemia sedang hingga parah (KEMENKES RI, 2011). Anemia merupakan salah satu manifestasi klinis dari penyakit lupus eritematosus sistemik (Sudewi, 2009).3. Penurunan jumlah Eritrosit (sel darah merah) terjadi pada penyakit lupus eritematosus sistemik (KEMENKES RI, 2011). Penurunan jumlah eritrosit yang signifikan merupakan tanda anemia hemolitik, yaitu anemia karena penghancuran sel darah merah yang berlebihan (Oehadin, 2008).4. Kenaikan MCV menandakan anemia defisiensi baik folat atau besi. Tetapi pada beberapa paisen yang terkena anemia defisiensi, data MCVnya normal (Nicoll et al. 2001). Anemia merupakan salah satu manifestasi klinis dari penyakit lupus eritematosus sistemik (Sudewi, 2009).5. Kenaikan MCHC menandakan adanya hemolisis. Sementara kenaikan MCH menandakan adanya macrositosis, macrositosis merupakan tanda anemia (Nicoll et al. 2001). Anemia merupakan salah satu manifestasi klinis dari penyakit lupus eritematosus sistemik (Sudewi, 2009).6. Nilai RDW meningkat menandakan adanya anisositosis, merupakan keadaan medis di mana ukuran sel darah merah yg berbeda beda. Hal ini merupakan salah satu tanda anemia defisiensi (Nicoll et al. 2001).III. ASSESMENT

Terapi MRS

Nama obatDosis2122232425

IVFD RL20 tpmvvvvv

Ceftriaxone2x1vvvvv

Dexamethasone2x2v

Rantin2x1vvvvv

As. Folat3x1vvvvv

PRC 2 kolfvvvv

MP/ 8 jamvvvv

Inj. Dexa 1 A2x1vv

Inj. Difenhidramin1 Avv

Inj. Lasixvv

DRP

NoProblemPaparan problemRekomendasi

1Wrong doseMetil prednisolon tidak diberi keterangan dosis, sehingga kemungkinana dapat mengakibatkan kesalahan dosis.Digunakan pulse methylprednisolone dengan dosis 1000 mg/hr.

2.Duplicate therapyPenggunaan dexamethasone dan methyl prednisolone yang bersamaan pada tanggal 24-25 dapat mengakibatkat duplikasi obat, karena sama-sama golongan kortikosteroid.Dexamethasone dihilangkan

3Inappropriate drugPasien tidak menunjukkan adanya gejala udem yang serius yang membutuhkan adanya terapi furosemid. Selain itu furosemid efek sampingnya dapat menimbulkan ruam kulit yang dapat menambah keparahan ruam kulit yang terjadi pada SLETerapi injeksi lasix tidak digunakan

IV. PLAN

1. Algoritma Terapi SLE(Dipiro,2008)Algoritma terapi penggunaan kortikosteroid

(PRI, 2011)2. Tujuan Terapi

a. Mengurangi gejala penyakit

b. Mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan

c. Memperbaiki kualitas hidup pasien

d. Memperpanjang ketahanan pasien

e. Memonitor manifestasi penyakit

3. Terapi Non farmakologi

Istirahat dan olahraga secara rutin dan seimbang, sangat berguna untuk mencegah kelelahan

Menghindari merokok karena hydrazines dalam asap rokok bisa menjadi pemicu dari lingkungan untuk terjadinya lupus. Merokok juga telah dikaitkan dengan peningkatan aktivitas penyakit lupus.

Minyak ikan bisa mencegah keguguran derivatif pada wanita hamil dengan antibodi antifosfolipid

Menghindari kecambah alfalfa karena mengandung asam amino L-canavanine, yang telah dikaitkan dengan perkembangan gejala lupus

Membatasi paparan sinar matahari dan menggunakan tabir surya untuk memblokir kemungkinan memperburuk efek sinar ultraviolet terhadap keadaan lupus pasien, dimana jumlah batasan paparan sinar matahari harus diatur secara individual tergantung kondisi pasien

Mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung asam folat dan zat besi.

(Delafuente and Cappuzzo, 2008).

4. Terapi MRS yang disarankan

Nama obatDosis2122232425

IVFD RL20 tpmvvvvv

Inj.Ceftriaxone2x1vvvvv

Pulse Methyl Prednisolone1000mg/harivvvvv

PRC2 kolfvvvvv

Azathioprin50 mg/harivvvvv

Difenhidramin50 mg 3x1vvvvv

Asam folat0,4mg/harivvvvv

Rantin150mg 2x1vvvvv

5. Terapi KRS yang disarankan

Nama obatRegimen DosisTanggal Penggunaan Obat

26/11/13-26/12/13

Methyl Prednisolone4 mg dengan tapering dose sampai dosis 0,125 mg/kg/hrv

Asam Folat0,4mg/hariv

Rantin150mg 2x1v

Azathioprin50 mg/hrv

a. IVFD RL

Pasien mengalami keluhan hanya lemas dikarenakan mungkin kehilangan elektrolit akibat penyakit yang dideritanya yaitu SLE. Pemberian Ringer Laktat pada pasien akibat gangguan homeostatis dan harus segera diberikan infus RL untuk mengembalikan keseimbangan air dan elektrolit pasien. Injeksi Ringer laktat adalah larutan steril mengandung Kalsium klorida, Kalium klorida, Natrium klorida dan Natrium laktat dalam Air untuk injeksi tiap 100 ml sediaan (MIMS, 2011).

Larutan Infus Untuk Pemakaian Intravena.

Setiap liter larutan mengandung :

-Natrium Laktat. C3H5NaO33,10g

-Natrium Klorida. NaCl6,00g

-Kalium Klorida.KCl0,30g

-Kalsium Klorida.CaCl2.2H2O0,20g

-Air untuk Injeksi ad.1.000ml

Osmolaritas:270mOsm/l

Setara dengan ion-ion :

Na+:130mEq/l

K+:4mEq/l

Laktat(HCO3-):27,5 mEq/l

Ca++:2,7 mEq/l

Cl: 109,5 mEq/l

Cara kerja obat :

-Merupakan larutan isotoni Natrium Klorida, Kalium Klorida, Kalsium Klorida, dan Natrium Laktat yang komposisinya mirip dengan cairan ekstraseluler.

-Merupakan cairan pengganti pada kasus-kasus kehilangan cairan ekstraselular.

-Merupakan larutan non-koloid, mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskuler dan interststel (ekstravaskuler)

Indikasi :Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.

Cara pemberian :Intravena (disesuaikan dengan kondisi penderita)

Kontra indikasi :Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, asidosis laktat.

Efek samping :

-Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau cara pemberiannya termasuk timbulnya panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan, ekstravasasi.

-Bila terjadi rekasi efek samping, pemakaian harus dihentikan dan lakukan evaluasi terhadap penderita.

b. Injeksi Ceftriaxone

Ceftriaxone merupakan cephalosporin spektrum luas semisintetik yang diberikan secara IV atau IM. Kadar plasma rata-rata cetriaxone setelah pemberian secara tunggal infus intravena 0,5;1 atau 2 gr dalam waktu 30 menit dan IM sebesar 0,5 atau 1 g pada orang dewasa sehat. Ceftriaxone mempunyai waktu paruh yang sangat panjang sehingga diberikan sekali / dua kali sehari. Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis dinding kuman. Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap beta-laktanase, baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh kuman gram-negatif, gram-positif. Pada kasus pasien yang mengalami SLE diperlukan antibiotik empiris untuk mencegah infeksi yang terjadi. Antibiotik digunakan untuk mencegah peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien karena infeksi (Gilliland and Tsokos, 2002). Menurut Tatro (2003) Ceftriaxone lebih dipilih karena indikasinya yang sesuai pada SLE karena berhubungan dengan infeksi pada kulit dan jaringan lunak. Namun penggunaan antibiotik ceftriaxone perlu dimonitoring dan tidak boleh lebih dari 5 hari karena dapat memicu timbulnya Toxic epidermal necrolysis (TEN) pada SLE (Lee et al., 2013).

c. Methyl PrednisolonePasien mengalami SLE dengan kategori berat karena disertai gejala anemia hemolitik sehingga pasien akan menerima terapi metil prednisolon dengan penambahan agen sitotoksik, dimana gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik akan memberikan hasil pengobatan yang lebih baik (PRI, 2011). Kortikosteroid sering digunakan sebagai regimen terapi untuk SLE. Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk menekan penyakit aktifnya. Kortikosteroid yang sering digunakan adalah methylprednisolone (Dipiro, 2008). Dosis yang digunakan pada terapi ini adalah 1 gr karena dosis standar pulse yang digunakan adalah 500 s/d 1000 mg yang digunakan untuk 3-6 hari (Dipiro, 2008). Selain itu, penggunaan dosis rendah pulse methylprednisolone 1500 mg efektif digunakan pada terapi SLE dengan penurunan resiko infeksi komplikasi (Badsha et al., 2002). Terapi KRS metilprednisolon yang diberikan adalah 8 mg dengan tapering dose sampai dosis 0,125 mg/kg/hr (PRI, 2011). Pada kasus, sebelumnya pasien mendapatkan terapi kombinasi kortikosteroid antara metil prednisolon dan dexametason pada tanggal 24 dan 25. Kelompok kami lebih menyarankan penggunaan salah satu dari kortikosteroid tersebut karena ditakutkan adanya 2 obat dalam satu golongan dapat menyebabkan duplikasi obat dan meningkatkan efek samping yang terjadi, selain itu juga sudah ada penambahan agen sitotoksik berupa azatioprin. Metil prednisolon lebih dipilih karena metil prednisolon dan dexametason memiliki keefektifan yang sama (Hari and Srivastava, 1998), metil prednisolon menjadi pilihan terapi utama berdasarkan Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011), dan metil prednisolon memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dexametason (Sinha and Bagga, 2008).

d. PRC

PRC digunakan sebagai terapi untuk mengatasi gejala anemia, dimana pasien memiliki nilai Hb 2,8 g/dl. Satu unit RBC dapat meningkatkan hemoglobin pasien sebesar 1 g/dl atau HCT sebanyak 3% (Weinstein, 2012). PRC efektif digunakan untuk menggantikan volume darah tanpa memiliki efek koagulopati (Shackford et al., 1981).

e. AzathioprinAzathioprin adalah analog purin yang secara luas digunakan dalam terapi SLE. Azathioprin sering dikombinasikan dengan kortikosteroid. Selain itu pasien juga menunjukkan adanya gejala anemia hemolitik, dan azathioprin ini efektif membantu gejala anemia hemolitik ini (Shakra and Shoenfeld, 2001). Sediaan yang diberikan adalah peroral dengan dosis 50 mg, dimana dosis yang disarankan adalah 1-2mg/kg BB/hr (PRI, 2011).

f. Difenhidramin

First-line terapi yang digunakan untuk antihistamin adalah antihistamin golongan H1, salah satunya difenhidramin. Difenhidramin memiliki efek antihistamin dan efek sedatif yang dapat mengurangi kemungkinan gejala gatal akibat SLE yang diderita pasien (Indian J Dermatol. 2009, management Of Difficult Urticaria, Indian Journal of Dermatology).

Efek samping : pusing, mengantuk, mulut kering

Kontra indikasi : Hipersensitif pada difenhidramin, asma akut dan tidak boleh untuk neonates.

Dosis Dewasa : Oral : 25-50 mg tiap 6-8 jam

Mekanisme aksi dari difenhidramin:

Kerja antihistaminika H1 akan meniadakan secara kompetitif kerja histamin pada reseptor H1, dan tidak mempengaruhi histamin yang ditimbulkan akibat kerja pada reseptor H2. Reseptor H1 terdapat di saluran pencernaan, pembuluh darah, dan saluran pernapasan. Difenhidramin bekerja sebagai agen antikolinergik (memblok jalannya impuls-impuls yang melalui saraf parasimpatik), spasmolitik, anestetika lokal dan mempunyai efek sedatif terhadap sistem saraf pusat.

(Tatro, 2003)

g. Asam Folat

Penggunaan asam folat tablet dipilih karena pasien mengalami anemia yang berat bisa dilihat dari data laboratoriumnya. pada penderita anemia terjadi defisiensi asam folat dan zat besi sehingga bisa menghambat pembentukan sel darah. Pemberian asam folat diberikan untuk pembentukan sel darah yang telah rusak karena anemia.

Dosis pemberian obatAnemia (oral, im, iv, sc): infant 0.1mg/hari, anak4tahun dan dewasa 0.4mg/hari. wanita hamil dan menyusui 0.8mg/hari. pencegahan neural tube defect: dari ibu dgn potensial saat lahir 400mcg/hari; dari ibu dgn berisiko tinggi/karena riwayat keluarga neural tube defect 4mg/hari.

Mekanisme aksiAsam folat diperlukan untuk pembentukan koenzim dlm proses sistem metabolisme terutama sintesis purin dan pirimidin, sintesis nukleoprotein dan pemeliharaan eritropoesis, menstimulasi produksi sel darah putih dan platelet pada anemia defesiensi folat. As folat meningkatkan eliminasi asam format, metabolik toksik metanol.

Kontra indikasiHipersensiifitas terhadap asam folat dan komponen lain dalam formulasi. Efek sampingReaksi alergi, bronkospasme, wajah memerah, gatal, erupsi sementara. Interaksi obatPada keadaan defisiensi folat, terapi dengan asam folat mungkin meningkatkan metabolisme fenitoin, menyebabkan penurunan konsentrasi serum fenitoin. penggunaan bersamaan kloramfenikol dan asam folat pada pasien defisiensi folat dapat menyebabkan antagonisme terhadap respon hematopoitik terhadap asam folat. untuk itu, respon hematologi terhadap asam folat pada pasien yang menggunakan asam folat dan kloramfenikol harus dimonitor secara baik.

(Tatro, 2003)h. Rantin

Pemberian rantin yang berisi ranitidine ini diindikasikan sebagai pelindung saluran cerna dalam menekan efek samping obat kortikosteroid. Sehingga ketika pemberian obat kortikosteroid, ranitidin ini akan mengkover efek yang tidak diinginkan pemberian kortikosteroid.

Indikasi:

Tukak lambung dan usus 12 jari , Hipersekresi patologik sehubungan dengan sindrom Zollinger-Ellison"

Kontra Indikasi:

- Penderita gangguan fungsi ginjal

- wanita hamil dan menyusui

Komposisi :

Tiap tablet salut selaput mengandung Ranitidine hidroklorida setara dengan ranitidine basa 150 mg.

Farmakologi :

Ranitidine menghambat kerja histamin pada reseptor-H2 secara kompotitif, serta menghambat sekresi asam lambung.

Dosis : Dosis yang biasa digunakan adalah 150mg interval 2 kali sehari

Efek Samping :

Efek samping ranitidine adalah berupa diare, nyeri otot, pusing, dan timbul ruam kulit, malaise,nausea, Konstipasi, Penurunan jumlah sel darah putih dan platelet ( pada beberapa penderita ), Sedikit peningkatan kadar serum kreatinin ( pada beberapa penderita) ,Beberapa kasus ( jarang ) reaksi hipersensitivitas (bronkospasme, demam, ruam, urtikaria, eosinofilia.

Interaksi Obat :

Hasil penelitian terhadap 8 penderita yang diberikan ranitidin menunjukkan perbedaan dengan simetidine, ranitidine tidak menghambat fungsi oksidasi obat pada mikrosom hepar.terhadap 5 penderita normal yang diberikan dosis warfarin harian secara subterapeutik, dengan penambahan dosis ranitidine menjadi 200mg, 2 kali sehari selama 14 hari tidak menunjukkan adanya perubahan pada waktu protrombin atau pada konsentrasi warfarin plasma.

(Tatro, 2003)

V. MONITORINGNoParameterNilai NormalJadwal Pemantauan2122232425

1Suhu36,5-37,5 oCTiap harivvvvv

2TD120/80 mmHgTiap harivvvvv

3RR16-20Tiap harivvvvv

4Eritrosit4,2-5,4 juta/mm32 hari sekalivvv

5Hb12-16 g/dL2 hari sekalivvv

6Hct37-47 %2 hari sekalivvv

7MCV80-99,6 fL2 hari sekalivvv

8MCH27-33 pg2 hari sekalivvv

9MCHC33-36 %2 hari sekalivvv

10RDW11,5-14,4 %2 hari sekalivvv

VI. KIE

a. Konseling untuk tenaga medis yang merawat pasien

1. Menjelaskan jadwal penggunaan terapi farmakologi pasien.

2. Perlu dilakukan pengecekan infus setiap hari.

3. Perlu dilakukan pengecekan TD, RR dan suhu tubuh setiap pagi.

4. Perlu dilakukan pengecekan kadar komponen darah setiap dua hari sekali.b. Konseling untuk pasien1. Memberikan penjelasan mengenai LupusEritematosusSistemikdan penyebabnya.

2. Memberikan informasi mengenai fungsi, aturan, dan cara pakai obat (terutama obat KRS).

3. Memberikan informasi mengenai terapi non farmakologi yang dapat menunjang keberhasilan terapi pasien.

c. Konseling untuk keluarga pasien

1. Memberikan informasi mengenai fungsi, aturan, dan cara pakai obat kepada keluarga pasien sehingga dapat mengontrol dan mengawasi kepatuhan pasien dalam minum obat, terutama obat KRS.

2. Menganjurkan kepada keluarga pasien untuk melaporkan kepada petugas medis apabila pasien mengalami gejala-gejala lain yang mengganggu kenyamanan pasien.

3. Menganjurkan kepada keluarga pasien untuk memberikan perhatian dan memotivasi pasien dalam menjalani terapi.

EVIDENCE BASE Ceftriaxone

Methyl prednisolone

(Dipiro,2008)

(Badsha et al., 2002)

(Hari, P., and Srivastava, R.N., 1998)

(Sinha, A., and Bagga, A., 2008)

PRC

(Shackford et al., 1981)

(Weinstein, R., 2012)

Azathioprin

Diphenhydramine

(Indian J Dermatol, 2009) Asam Folat

(Uhrin, Zuzana, 2010)

DISKUSI DOSEN1. Pertanyaan: Bagaimana penegakkan diagnosa SLE sementara pasien hanya mengalami gejala lemas saja? (Sintiya Utami)

Jawaban: Diagnosis LES, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1997, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi LES, antara lain:1.Ruam malar.

2.Ruam antinuc.

3.Fotosensitivitas.

4.Ulkus di mulut.

5.Arthritis non antinuc.

6.Pleuritis atau antinuclear.

7.Gangguan renal, yaitu proteinuria persisten > 0,5gr/ hari, atau silinder sel dapat berupa eritrosit, antinuclear, granular, tubular atau gabungan.

8.Gangguan neurologi, yaitu kejang-kejang atau psikosis.

9.Gangguan antinuclear, yaitu anemia hemolitik dengan retikulosis, atau leukopenia atau limfopenia atau trombositopenia.

10. Gangguan imunologik, yaitu anti DNA posistif, atau anti Sm positif atau tes antinucle untuk sifilis yang positif palsu.

11. Antibodi antinuclear (Antinuclear antibody, ANA) positif

(Utomo, W., 2012)

Pada kasus ini, penegakkan diagnosa SLE dapat dilihat dari gejala lemas dan data laboratorium yang menunjukkan bahwa pasien mengalami anemia. Anemia merupakan salah satu kriteria penyakit SLE.2. Pertanyaan: Apakah pemberian PRC dan asam folat sudah tepat untuk menangani anemia yang dialami pasien? (Erna Tugiarti)

Jawaban: PRC mengandung sel darah merah saja tanpa sel darah lain untuk menghindari penolakan sistem imun sehingga lebih aman untuk pasien SLE. PRC digunakan sebagai terapi untuk mengatasi gejala anemia, dimana pasien memiliki nilai Hb 2,8 g/dl. Satu unit RBC dapat meningkatkan hemoglobin pasien sebesar 1 g/dl atau HCT sebanyak 3% (Weinstein, 2012). PRC efektif digunakan untuk menggantikan volume darah tanpa memiliki efek koagulopati (Shackford et al., 1981). Asam folat diberikan untuk membantu regenerasi sel darah, sehingga meningkatkan efektivitas terapi pada pasien tersebut.3. Pertanyaan: Alasan penggunaan Ceftriaxone dan bagaimana mekanismenya? (Nurina Khimatus)Jawaban: Efek bakterisida ceftriaxone dihasilkan akibat penghambatan sintesis dinding kuman. Ceftriaxone mempunyai stabilitas yang tinggi terhadap beta-laktanase, baik terhadap penisilinase maupun sefalosporinase yang dihasilkan oleh kuman gram-negatif, gram-positif. Pada kasus pasien yang mengalami SLE diperlukan antibiotik empiris untuk mencegah infeksi yang terjadi. Antibiotik digunakan untuk mencegah peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien karena infeksi (Gilliland and Tsokos, 2002). Menurut Tatro (2003) Ceftriaxone lebih dipilih karena indikasinya yang sesuai pada SLE karena berhubungan dengan infeksi pada kulit dan jaringan lunak. Namun penggunaan antibiotik ceftriaxone perlu dimonitoring dan tidak boleh lebih dari 5 hari karena dapat memicu timbulnya Toxic epidermal necrolysis (TEN) pada SLE (Lee et al., 2013).4. Pertanyaan: Apakah distribusi obat tidak terganggu padahal pasien mengalami anemia berat dimana kondisi darahnya tidak normal? (Windhiana Sapti)

Jawaban: Pada terapi yang diberikan kepada pasien terdapat obat kortikosteroid dan azathioprine yang efek kerjanya sinergis dengan PRC, yaitu meningkatkan produksi sel darah. Sehingga diasumsikan seiring penggunaan terapi maka distribusi obat juga akan semakin baik.5. Pertanyaan: Alasan pemilihan methyl prednisolone dibanding dexamethasone? (Bu Esti)

Jawaban: Pada kasus, sebelumnya pasien mendapatkan terapi kombinasi kortikosteroid antara metil prednisolon dan dexametason pada tanggal 24 dan 25. Kelompok kami lebih menyarankan penggunaan salah satu dari kortikosteroid tersebut karena ditakutkan adanya 2 obat dalam satu golongan dapat menyebabkan duplikasi obat dan meningkatkan efek samping yang terjadi, selain itu juga sudah ada penambahan agen sitotoksik berupa azatioprin. Metil prednisolon lebih dipilih karena metil prednisolon dan dexametason memiliki keefektifan yang sama (Hari and Srivastava, 1998), metil prednisolon menjadi pilihan terapi utama berdasarkan Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011), dan metil prednisolon memiliki efek samping yang lebih kecil dibandingkan dexametason (Sinha and Bagga, 2008).DAFTAR PUSTAKA

Akaogi, J., et al., 2001, Intravenous cyclophosphamide therapy in a case with refractory thrombotic microangiopathic hemolytic anemia and SLE, Clin Rheumatol. 2004 Dec;23(6):541-3.

Anonim, 2011, Makalah Penyakit Lupus, http://www.academia.edu/7114932/ Makalah penyakit lupus, diakses tanggal 4 November 2014.

Badsha et al., 2002, Low-dose pulse methylprednisolone for systemic lupus erythematosus flares is efficacious and has a decreased risk of infectious complications, Lupus ;11(8):508-13.

Delafuente, J.C., and Cappuzzo, K.A., 2008, Systemic Lupus Erythematosus, In : Dipiro, J.T., Wells, B.G., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Posey, L.M., (Eds), Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach, 7th ed., New York : McGraw Hill Companies.

Gilliand, W. R., Tsokos, G.C., 2002, Prophylactic use of antibiotics and immunisations in patients with SLE, Ann Rheum Dis, 61: 191-192

Hari, P., and Srivastava, R.N., 1998, Pulse corticosteroid therapy with methylprednisolone or dexamethasone, The Indian Journal of Pediatrics, Volume 65, Issue 4, 557-560.

Indian J Dermatol. 2009, management Of Difficult Urticaria, Indian Journal of Dermatology.

Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS et al. 2006. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). In : Harrisons Manual of Medicine. 16th ed. New York : McGraw-Hill Medical Publishing Division. 779-85.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Pedoman Interpretasi Data Klinik, Jakarta.

Lee, J.H., Ju, I.M., Cho, H.J., Min, H.K., Hong, Y., 2013, Toxic Epidermal Necrolysis by Ceftriaxone in Patient with Newly Diagnosed Systemic Lupus Erythematosus, Journal of Rheumatic Disease, 20 (6).

MIMS, 2011, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta

Nicoll et al., 2001, Pocket Guide to Diagnostic Test, Third Edition, Mc Graw Hill Company, United States America.

Oehadian, A., 2008, Kelainan Darah pada Lupus Eritematosus Sistemik, FK UNPAD, Bandung.

Perhimpunan reumatologi Indonesia, 2011, Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik, Perhimpunan reumatologi Indonesia, ISBN 978-979-3730-16-5.

Shackford et al., 1981, Whole blood versus packed-cell transfusions: a physiologic comparison, Annals of Surgery 193(3): 337340.

Shakra and Shoenfeld, 2001, xAzathioprine therapy for patients with systemic lupus erythematosus, Lupus March 2001 vol. 10 no. 3 152-153Sinha, A., and Bagga, A., 2008, Pulse Steroid Therapy, Indian Journal of Pediatrics, Volume 75October, 2008.

Sudewi, Ni Putu et al., 2009, Karakteristik Klinis Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak, Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, Agustus 2009.

Tatro, 2003, A to Z Drug Facts, Facts and Comparisson, USA.

Uhrin, Zuzana, 2010, Blood Disorder, The Lupus Support Network, USA

Utomo, Wicaksono, 2012, Hubungan antara Aktivitas Penyakit dengan Status Kesehatan pada Pasien LES (Lupus Eritematosus Sistemik) di RSUP dr. Kariadi Semarang, Karya Tulis Ilmiah, Universitas Diponegoro, Semarang.

Weinstein, R., 2012, 2012 Clinical Practice Guide on Red Blood Cell Transfusion, American Society of Hematology 2021 L Street NW, Suite 900 washington, DC 20036.

Zeerleder, S., 2011, Autoimmune haemolytic anaemia a practical guide to cope with a diagnostic and therapeutic challenge, The Journal of Medicine, v o l . 6 9 , hal : 177-184.