Upload
rossy-muhammad-ochiel
View
105
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah
Citation preview
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan Judul :
“TRAKEOSTOMI”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing,
sebagai syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu THT
di RSUD Kota Bekasi periode 20 Februari – 17 Maret 2012
Bekasi, 06 Maret 2012
(dr. Sudjarwady, Sp. THT)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya, kami
dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “TRAKEOSTOMI”. Referat ini
kami susun untuk melengkapi tugas di kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT di RSUD
Kota Bekasi.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada dr. Sudjarwady,
Sp. THT yang telah membimbing dan membantu penulis dalam melaksanakan
kepaniteraan dan menyusun referat ini.
Kami menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat
ini. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan saran dengan tangan terbuka.
Akhir kata kami berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua
pihak yang ingin mengetahui materi tentang “trakeostomi”.
Bekasi, 06 Maret 2012
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN….........…………………………………………… i
KATA PENGANTAR……………..........……………………………………… ii
DAFTAR ISI……………………………..........……………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN………………………............………………………. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………...........……….. 2
2.1 Anatomi.............................................……………................................ 2
2..2 ......................………………………............................ 3
2. 3 Otitis Eksterna……………………............…........................……… 4
2.3.1 Definisi……………………………………...........…........ 4
2.3.2 Epidemiologi…………………………………..................... 4
2.3.3 Faktor Predisposisi……………………………..........…... 5
2.3.4 Patofisiologi……………………………….........…........... 5
2.3.5 Klasifikasi…………………………...................................... 5
2.3.6 Manifestasi Klinis………………………………..........…. 11
2.3.7 Diagnosa……………...........……......................................... 11
2.3.8 Penatalaksanaan…………………………………...........… 11
BAB III KESIMPULAN……………………….........….............................…… 13
BAB IV DAFTAR PUSTAKA………………………………………...........…. 14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Robert H. Maisel, M.D.
Trakeotomi dan trakeostomi adalah kata yang seringkali digunakan untuk tindakan
pembukaan dinding anterior leher guna mencapai trakea yang bersifat sementara. Trakeotomi
per definisi, adalah suatu insisi yang dibuat pada trakea, sementara trakeostomi merupakan
tindakan membuat stoma agar udara dapat masuk ke paru-paru dengan memintas jalan napas
bagian atas. Stoma permanen setelah laringektomi yang dibuat dengan menjahitkan kulit pada
mukosa trakea sebaiknya disebut sebagai trakeostomi permanen.
Trakeostomi merupakan suatu prosedur operasi yang bertujuan untuk membuat suatu
jalan nafas didalam trakea servikal. perbedaan kata – kata yang dipergunakan dalam
membedakan “ostomy” dan “otomy” tidak begitu jelas dalam masalah ini, sebab lubang yang
diciptakan cukup bervariasi dalam ketetapan permanen atau tidaknya. apabila kanula telah
ditempatkan, bukaan hasil pembedahan yang tidak dijahit dapat menyembuh dalam waktu satu
minggu. jika dilakukan dekanulasi (misalnya kanula trakeostomi dilepaskan), lubang akan
menutup dalam waktu yang kurang lebih sama. sudut luka dari trakea yang dibuka dapat dijahit
pada kulit dengan beberapa jahitan yang dapat diabsorbsi demi memfasilitasi kanulasi dan, jika
diperlukan, pada rekanulasi; alternatifnya stoma yang permanen dapat dibuat dengan jahitan
melingkar (circumferential). kata trakeostomi dipergunakan, dengan kesepakatan, untuk semua
jenis prosedur pembedahan ini. perkataan tersebut dianggap sebagai sinonim dari trakeotomi.
iv
Sejarah Trakeostomi
Tindakan bedah ini memiliki reputasi yang panjang sampai baru-baru ini kurang baik.
McClelland percaya terdapat lima periode dalam perkembangan dan penerimaan tindakan
trakeostomi yang dapat dilihat. Catatan trakeostomi yang paling awal terkubur dalam legenda.
Buku suci agama Hindu Rig Veda yang ditulis antara tahun 2000 dan 1000 SM menjelaskan
“satu tindakan yang dapat menyatukan kembali pipa udara bila rawan leher dipotong.” Namun,
para ahli sejarah menganggap Asclepiades yang lahir sekitar 124 SM merupakan orang pertama
yang melakukan operasi ini. Tidak ada catatan bedah mengenai keberhasilan tindakan ini
sebelum Brasalova (1500—1570) mengemukakan penanganan bedah yang berhasil pada angina
Ludwig pada tahun 1546. Pada era kedua, dari tahun 1546 hingga 1833, tindakan bedah seperti
ini sangat ditakuti, dan hanya 28 trakeostomi yang dilaporkan berhasil selama tiga abad ini.
Trousseau dan Bretonneau mempopulerkan operasi ini di Perancis. Mereka
melakukannya untuk menangani kasus diftcria dengan angka keberhasilan 25 persen (angka
penycmbuhan yang cukup tinggi pada saat itu). Era trakeostomi yang ketiga terangkat pada
tahun 1921 saat Chevalier Jackson mengemukakan teknik-teknik modern dan menentang insisi
kartilago krikoid atau cincin trakea pertama. Saran ini, bila diikuti, mengurangi angka komplikasi
yang tinggi akibat stenosis subglotis iatro-genik. Selama masa ini, indikasi untuk trakeostomi
hampir eksklusif merupakan sumbatan jalan napas bagian atas.
Era keempat dimulai tahun 1932 dengan usulan Wilson bahwa koreksi jalan napas
dapat dilakukan pada kasus-kasus paralisis pernapasan yang sulit, khususnya poiiornielitis.
Galloway juga ikut berperan dalam mengarahkan pemikiran dalam era ini, dengan melakukan
trakeostomi untuk indikasi seperti cedera kepala, cedera dada yang berat, intoksikasi
barbiturat, dan kontrol jalan napas pasca bedah. Era ini merupakan masa-masa yang penuh
rasa antusias. Selama tahun-tahun ini, lahirlah ungkapan "jika anda mempertimbangkan
trakeostomi, lakukanlah", dan pepatah ini masih diikuti oleh sebagian dokter untuk
menghindari trakeostomi pada saat kritis.
v
Intubasi yang Lama
Sejak awal 1960-an, kecenderungan melakukan trakeostomi guna memintas sumbatan
dan mengatasi akumulasi sekret atau kegagalan ventilasi mulai muncul ke permukaan. Intubasi
endotrakea telah menjadi lebih kompetitif, di mana perawatannya dapat lebih baik termasuk
penghisapan trakea yang sering, serta pemakaian udara lembab dan tuba baru yang dibuat dari
plastic guna mengurangi pembentukan keropeng, dengan demikian tidak lagi memerlukan
penggantian tuba yang sering. Kecepatan intubasi dan kemudahan ekstubasi serta dapat
dihindarkannya komplikasi trakeostomi membuat teknik ini menarik.
Intubasi yang lama menimbulkan beberapa komplikasi dengan angka kesakitan dan
bahkan kema-tian bermakna. Antara lain sinusitis akut; destruksi hidung, mukosa dan kartilago;
otitis media serosa; dan gangguan laring dan subglotis. Gangguan laring dapat lebih sukar
diatasi dibandingkan stenosis trakea akibat trakeostomi, karena laring merupakan organ
berotot fungsional dan bukan hanya suatu tuba berongga untuk menghantarkan udara.
Rekonstruksi laring mungkin sukar dan rehabilitasi terkadang tidak memuaskan.
Saat ini, di berbagai pusat, intubasi dilakukan pada kasus-kasus darurat atau jika tuba
dianggap dapat dilepaskan dalam satu minggu. Setelah 72 jam, bila tuba masih diperlukan,
barulah dilakukan trakeostomi. Telah terjadi sedikit komplikasi pada daerah laring dan subglotis
bilamana menjalankan protokol ini. Namun intubasi dewasa yang lama jelas meningkatkan
risiko dan keparahan komplikasi.
Pada anak dan bayi, intubasi yang lebih lama ternyata cukup berhasil. Tuba dapat
dipertahankan untuk waktu yang lebih lama hingga enam hari, seperti yang diperlihatkan
penelitian klinis. Bayi dapat ditangani untuk waktu yang lebih lama, oleh karena akan lebih sulit
melakukan dan merawat trakeostomi pada kelompok usia ini. Bahkan pada neonatus, intubasi
hingga lebih dari enam bulan telah dilaporkan berhasil. Namun adakalanya terjadi komptikasi
laring setelah intubasi yang lama pada anak.
Frekuensi stenosis subglotis dapat meningkat dengan semakin banyaknya bayi yang
menderita berbagai sindrom distres pernapasan yang diatasi dengan tindakan ini, dan perlu
vi
berhati-hati terhadap dorongan untuk melakukan intubasi. Ungkapan yang lebih baru, "jika
anda mempertimbangkan trakeostomi, lakukanlah intubasi, dan pertimbangkan lagi" cukup
bijaksana, namun harus mengingat kenyataan bahwa intubasi adalah suatu tindakan sementara
dan harus dihentikan atau digantikan dengan tuba trakeostomi.
Argumentasi menpenai intubasi versus trakeostomi masih belum dapat diselesaikan.
Namun demikian, jika memilih intubasi, maka peralihan menjadi trakeostomi setelah enam hari
pada anak, dan setelah 72 hingga 96 jam pada dewasa memberikan basil yang paling
memuaskan saat ini.
vii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Trakea merupakan suatu tabung berongga yang disokong oleh cincin kartilago (elastin)
yang tidak penuh di bagian posterior. Trakea berawal di bawah kartilago krikoid yang berbentuk
cincin stempel dan meluas ke anterior pada esofagus, turun ke dalam toraks di mana ia
membelah menjadi dua bronkus utama pada karina. Pembuluh besar pada leher berjalan
sejajar dengan trakea di sebelah lateral dan terbungkus dalam selubung karotis. Kelenjar tiroid
terletak di atas trakea di sebelah depan dan lateral. Ismus melintas trakea di sebelah anterior,
biasanya setinggi cincin trakea kedua hingga kelima. Saraf laringeus rekurens terletak pada
sulkus trakeoesofagus. Di bawah jaringan subkutan dan menutupi trakea di bagian depan
adalah otot-otot leher suprasternal, yang melekat pada kartilago tiroid dan hyoid
Trakea dari pinggir ke bawah cartilago cricoidea setinggi vertebra cervicalis ke-6.
Dindingnya dibangun oleh sebaris tulang rawan yang bentuknya serupa dengan huruf C dengan
ujung-ujungnya yang terbuka lebar menuju ke belakang, cincin-cincin trakea ini saling
dihubungkan oleh suatu selaput elastis : Ligamentum Annularium trakealis. Antara kedua ujung
posterior yang terbuka terdapat dinidng selaput.
Didaerah leher kita dapat menemukan ventral dan trakea : Isthmus glandula tiroid
setinggi cincin-cincin trakea ke-2, ke-3, ke-4 kemudian dibawahnya : valvula tirodea inferior.
Didalam toraks, trakea mempunyai hubungan dengan pembuluh-pembuluh besar didalam
mediastinum superior. Lateral sebelah kanan dari trakea tampak nervus vagus dexter.
viii
2.2 Pembagian trakeostomi
Menurut waktu dilakukannya tindakan, trakeostomi dibagi dua yaitu ;
a. Trakeostomi darurat
Trakeostomi darurat harus dihindari, bagian terbesar kesalahan pada trakeostomi
disebabkan oleh trakeostomi darurat. Komplikasinya meliputi trauma arteria inominata,
pembuluh darah tiroidea inferior, esofagus, nerfus laringeus rekuren dan pleura. Tindakan
tersebut dapat menyebabkan perdarahan. Pneumomediatinitis dan pneumotoraks. Osbtruksi
saluran pernafasan pada awal fase paskah bedah bisa timbul akibat tersumbatnya pipa secara
tidak disengaja. Intubasi endotrakea tidak bebas dari komplikasi obtruksi ekstubasi atau
pneumotoraks. Pneumotoraks dapat terjadi akibat batuk untuk mengatasi obstruksi pipa
endotrakea oleh sekresi. Mungkin terjadi ekstubasi secara tidak disengaja. Problema utama
pemasangan pipa endotrakea jangka lama adalah trauma pada laring.
Untuk sementara trakeostomi menyebabkan pasien sulit berbicara, tetapi bila saluran
pernafasan diatas trakeostomi masih mempunyai sisa patensi, pasien dapat berbicara dengan
menutup pipa dengan jarinya sewaktu ekspirasi.
b. Trakeostomi berencana
Bila keadaan mengijinkan penanganan saluran pernafasan dengan operasi berencana
( pada pasien yang dianastesi dan dioksigenasi melalui pipa endotrakea atau bronkoskop ),
maka dapat dilakukan trakeostomi yang berencana. Trakeostomi dapat dilakukan melalui insisi
vertikal atau transversa. Lubang berpusat digaris tengah dibawah arcus kartilaginis krikoidea.
Diperlukan asisten untuk melakukan penyedotan dan traksi pada saat operator memotong
kebawah melalui fasia servikalis profunda di garis tengah dengan gunting dan meretraksi “strap
muscle” ke lateral. Istmus glandulae tiroide lunak dan biru. Di atasnya trakea melekat pada
kulit, tetapi ada resiko trauma pada krikoidea. Dibawahnya jarak kulit kesaluran pernafasan
cukup dalam , serta dapat terjadi cidera pada vena tiroidea inferior dan bahkan arteria
inominata. Biasanya paling mudah memasuki trakea diatas istmus glandulae tiroidea harus
dijahit untuk menghindarkan perdarahan.
ix
Untuk memasuki trakea, basis “ trapdoor” kartilago yang di inferior ditandai dengan
pisau. Lipatan dingding anterior trakea yang terbentuk biasanya mencakup setengah sentimeter
cincin trakea ketiga dan keempat dibawah krikoidea. Jahit lipatan tersebut ke depan dan
kebawah untuk membuka trakea dan secara bersamaan menstabilkannya ke kult sementara
pipa trakeostomi dituntun keposisinya. Penting untuk mengamankan hemostatis pada luka
sebelum memasuki trakea dan untuk mencegah kesalahan memasukkan pipa kebawah bidang
adventitia sepanjang sisi luar trakea dan bukan kedalam lumen. Sebagian besar orang dewasa
dapat menerima pemasangan pipa logam trakeotomi. Penggunaan ipa logam memungkinkan
pemakaian yang berdingding tertipis sehingga didapatkan saluran pernafasan terluas dengan
lubang trakea terkecil. Pipa logam dipasangi kanula, yang dapat dilepaskan untuk
mempermudah pembersihan. Pasien yang mungkin memerlukan bantuan ventilasi setelah
trakeostominya lebih sesuai dengan memakai pipa plastik, disertai manset lunak yang dapat
dipompa.
Pada anak-anak, tehnik ini mempunyai 3 modifikasi yang penting, berdasarkan fakta
bahwa trakea lebih sulit dicari dan lebih sering terjadi trauma pada saluran pernafasan.
Pertama, saluran pernafasan dilakukan dengan pipa endotrakea “indwelling” daripada mulut
flap. Akhirnya, tepi lateral insisi diamankan dengan jahitan penyanggah, yang digunakan untuk
penyokong tepi insisi agar terpisah, pada waktu pipa dimasukkan. Jahitan tersebut dibiarkan
panjang sehingga merupakan cara mempertahankan lubang di trakea pada kasus terjadinya
ekstubasi pasca bedah yang ceroboh.
2.3 Indikasi
Indikasi trakeostomi termasuk sumbatan mekanis pada jalan napas dan gangguan non-
obstruktif yang mengubah ventilasi. Tiap lesi yang menyumbat atau dapat menyumbat jalan
napas bagian atas harus dipintas. Lesi laring kongenital seperti stenosis subglotis, paralisis pita
suara, penyakit inflamasi yang menyumbat jalan napas (mis., angina Ludwig yang mengangkat
dasar mulut dan lidah, dan me-nutup jalan napas faring), epiglotitis dan lesi-lesi vaskular,
neoplastik atau traumatik yang timbul melalui mekanisme serupa merupakan indikasi utama
trakeostomi.
x
Gejala obstruksi jalan napas bagian atas menakutkan baik bagi pasien maupun
dokternya. Timbul dispnea dan stridor, biasanya inspirasi (bunyi gagak) bila lesi terletak pada
atau di atas pita suara sejati. Stridor ekspirasi yang khas pada obstruksi setinggi atau di bawah
rima glotidis, bernada tinggi dan menimbulkan mengi. Retraksi pada insisura suprasternal dan
supraklavikular dan celah iga mencerminkan suatu usaha untuk menciptakan tekanan negatif
intratoraks guna menarik udara ke dalam paru-paru. Pasien dapat tampak pucat atau sianotik,
sementara disfagia atau mengiler memberi kesan adanya obstruksi mekanis saat menelan.
Kegehsahan yang menyertai tanda-tanda mi adalah khas pada anak-anak dan harus
mewaspadakan dokter akan kemungkinan perlunya mengendalikan jalan napas segera. Sedasi
berat merupakan kontra indikasi absolut pada anak yang gelisah dengan distres pernapasan,
sampai jalan napas yang tersumbat dapat dipintas, kekecualian pada saat pembedahan. Pada
obstruksi mekanis pernapasan, anak yang semula gelisah namun kemudian menjadi tenang
tanpa tanda-tanda kejegaan, berada dalam babaya kematian, sehingga memerlukan tin-dakan
segera.
Pasien kategori kedua tidak mengalami obstruksi jalan napas bagian atas, namun
kemampuan membersihkan sekret atau ventilasi yang tidak efektif atau kedua-duanya,
menjadi berkurang. Pasien dengan obstruksi sekret akibat hilangnya silia, ketidakmampuan
batuk oleh karena nyeri (fraktur iga) atau akibat cedera SSP dapat tenggelam dalam sekret
yang dihasilkannya. Kegagalan membersihkan sekret menimbulkan sumbatan mukus yang
shunt darah arteri pulmonalis. Shunt ini menyebabkan hipoksia oleh karena alveoli yang
mengalami ventilasi tidak mampu mentransfer cukup oksigen. Pengambilan sampel darah
arteri menunjukkan PCb yang rendah, PCCb rendah minimal (oleh karena rasio kemampuan
dit'usi karbondioksida yang 20:1 terhadap oksigen), dan peninggian pH. Pemberian oksigen
serta koreksi patofisiologi dengan jalan trakeostomi yang memungkinkan penghisapan sekret
dan dengan demikian dapat mengatasi masalah hilangnya refleks batuk, merupakan terapi
yang memadai.
Sindrom hipoventilasi alveoli atau blok kapiler-alveoli dapat diakibatkan paresis
pernapasan (po-liomielitis), emfisema paru kronik, atau gangguan mekanis pada dinding dada
xi
(flail chest). Kondisi-kondisi ini sering memerlukan ventilasi terbimbing serta pengendalian
sekret.
Patofisiologi gangguan ventilasi kronik berbeda dan yang dijelaskan di atas dalam hal
adanya retensi CCb, berkurangnya dorongan pernapasan. Pasien-pasien ini perlu pengamatan
cermat. Dorongan pernapasan pada pasien demikian mungkin akibat hipoksia akibat narkosis
CO2 yang menghambat pusat pernapasan di medula oblongata biasanya merangsang
pernapasan sesuai dengan kadar CO2. Trakeostomi dengan inspirasi udara kaya oksigen dapat
mencetuskan henti napas akibat hilangnya stimulan pernapasan yang terakhir ini, dan ventilasi
terbimbing mungkin diperlukan
Kemampuan jaringan submukosa laring untuk meregang,terutama pada bagian
supraglotik, yang memungkinkan pengumpulan cairan atau darah dengan cepat,sehingga
menimbulkan edema tau hematoma laring yang khas mengenai plika ariepiglotika dan pita
suara palsu. Adanya pengumpulan cairan dengan cepat menyebabkan obstruksi laring dapat
muncul dengan tiba-tiba. Lapisan mukosa laring faring mudah robek akibat trauma dan dapat
diikuti dengan timbulnya emfisema subkutis. Adanya fraktur dan dislokasi tulang rawan dan
sendi laring dapat terjadi dan biasanya lebih berat pada orang tua dengan usia lanjut. Trauma
perikondrium sering menyebabkan hematoma subperikondrium,devaskularisasi dan nekrosis
tulang rawan hialin.
Luka bakar pada mukosa laring terjadi setelah menghirup gas panas atau uap
panas,biasanya sering terjadi pada petugas pemadam kebakaran atau saat menelan makan
atau minuman yang sangat panas. Pemberian jalan nafas dengan trakeostomi karena adanya obstruksi
akibat adanya edema laring.
Akibat penggunaan radiasi sinar gamma dalam dosis yang berlebihan akan
menyebabkan nekrosis avaskular pada tulang rawan dan jika ada infeksi sekunder tulang rawan
mungkin terjadi komplikasi perikondritis. Efek awal radiasi biasanya mengenai epitel. Epitel
bersilia terhenti funsinya dan epitel kelenjar menghilang.akibatnya terjadi mukositis, dengan
mukosa kering, granuler, ada daerah-daerah yang kehilangan epitel serta bercak-bercak
eksudat. Edema jaringan sub-epitel timbul akibat obstruksi vena dan aliran limfe sehingga bisa
xii
memperburuk dan terjadinya edema laring yang menetap apabila dilakukan terapi radiasi
dalam jangka waktu yang lama dan tergantung dari banyaknya ion radiasi yang terpapar.
2.4 Alat- alat trakeostomi
Alat yang perlu dipersiapkan untuk melakukan trakeostomi ialah semprit dengan obat
analgesia (novokain), pisau (kapel) pinset anatomi, gunting panjang yang tumpul, klem arteri,
gunting kecl yang tajam, serta kanul trakea yang ukurannya cocok engan pasien.
Penyulit trakeostomi :
- Trakea terkait ke depan
- Tukak dingding depan trakea karena ukuran kanul terlau besar
- Efisema karena dislokasi kanul
- Tukak karina karena kateter hisap
- Manset di tiup terlalu kuat sehingga menyebabkan penutupan kanul
- Manset kanul terlepas di trakea
- Nekrosis cincin trakea karena manset ditutup terlalu kuat
2.5 Teknik Bedah
Trakeostomi Elektif pada Orang Dewasa
Bila pembedahan tidak mendesak, maka trakeostomi dilakukan di ruang operasi, kecuali
bila kondisi pasien memerlukan peralatan yang tidak praktis sehingga menyusahkan perjalanan
ke ruang operasi. Pasien berbaring telentang dengan bagian kaki tempat tidur direndahkan 30
derajat guna menurunkan tekanan vena sentral pada vena-vena leher. Suatu selimut terlipat
ditempatkan di antara skapula agar leher cukup terekstensi, dan leher anterior dibersihkan
secara antisepsis dan ditutup. Ahli bedah dan asistennya mengenakan sarung tangan dan
masker bila mengoperasi di tempat, serta mengenakan baju kamar bedah bila mengoperasi di
ruang operasi. Setelah penerangan ruangan dipastikan memadai, maka jaringan subkutan
diinfiltrasi dengan lidokain dan epinefrin 1:100.000. Insist kulit sebaiknya horizontal. Insisi
dibuat dengan skalpel tajam setinggi pertengahan antara tonjolan krikoid dan insisura
xiii
suprasternalis. Insisi sedikitnya 2 inci dan mencapai batas-batas medial otot sternokleido-
mastoideus. Setelah insisi kulit mencapai otot platisma, diseksi dilakukan vertikal tetap pada
garis te-ngah. Diseksi dilalcukan secara tajam dan tumpul memakai gunting dan hemostat. Dua
Idem Allis merupakan retraktor otot-otot leher yang baik, otot ini dibelah pada garis tengah dan
diretraksi ke lateral hingga terlihat fasia pretrakealis. Palpasi yang sering pada trakea selama
melakukan insisi akan memastikan bahwa diseksi dilakukan tetap pada garis tengah. Diseksi
vertikal pada garis tengah meng-hindari sebagian besar vena, dan seandainya ada yang
ditemukan, maka segera di kauterisasi atau dipotong, atau diligasi dan retraksi. Kelenjar tiroid
dengan ismus yang terletak di atas trakea, biasa-nya dapat diretraksi ke bawah, dengan
demikian dapat langsung mencapai keempat cincin trakea yang pertama. Bila kelenjar tidak
mudah diretraksi, maka ismus hams diklem, dipotong dan ditambatkan jauh dan garis tengah
lapangan operasi.
Sampai dengan tahap operasi ini pada pasien yang sadar, diinjeksikan lidokain 4 persen
trans trakea untuk mencegah spasme batuk hebat setelah insisi dan intubasi. Bilamana
digunakan suatu tuba trakeostomi dengan bermanset, maka manset harus dikembangkan pada
saat ini dan diperiksa dalam air apakah ada kebocoran sebelum dilakukan insisi pada dinding
trakea.
Palpasi kartilago krikoid dan tiroid serta identifikasi keduanya dapat mencegah
trakeostomi tinggi. Cincin kedua dan ketiga diidentifikasi dan setelah kait krikoid ditempatkan di
bawah krikoid guna menarik trakea ke atas dan ke dalam luka, insisi trakea dapat dimulai di
sebelah anterior, dengan segera di bawah cincin kedua. Jaringan diangkat berukuran cukup
besar agar memadai untuk lumen tuba, sedikitnya pada cincin ketiga atau bila perlu cincin
keempat. Dapat pula dibuat insisi vertikal tanpa perlu mengangkat jaringan kartilago. Eksisi tiga
atau lebih cincin trakea terlalu berisiko, dan percobaan binatang memperlihatkan kejadian
stenosis trakea yang cukup bermakna setelah tindakan ini. Tuba trakeostomi yang dipakai pada
orang dewasa adalah Jackson No. 7 atau tuba lain dengan diameter sebelah dalam yang seban-
ding (8 mm). Hemostasis absolut dapat tercapai pada tahap ini, dan pita umbilikus yang
xiv
mengikat tuba trakeostomi di sekeliling leher, diikat erat sambil memfleksikan kepala. Insisi
kulit tidak dijahit.
Balon yang harus lentur, kemudian dikembangkan. Tersedia manset yang telah
diproduksi secara tepat dan tersedia cukup lentur; bila tidak menggunakan manset tersebut,
manset dapat diregang sebelumnya dengan metode geffin.
Trakeostomi pada Anak
Dalam pelaksanaan trakeostomi elektif pada anak dan bayi, maka semakin kecil pasien,
semakin diperlukan pula suatu vcntilasi terkontrol dengan masker atau tuba. Jika jalan napas
terkontrol, maka suatu insisi horizontal akan lebih memuaskan secara kosmetik, sedangkan
diseksi garis tengah secara teliti adalah penting oleh karena pembuluh-pembuluh besar terletak
berdekatan. Palpasi tuba endo-trakea atau bronkoskop memudahkan tindakan ini. Saat
inspirasi, kupula pleura meluas ke dalam leher,
Catatan : Untuk ukuran anak, tuba Shiley menawarkan potongan melintang yang lebih besar di
sebelah dalam bila dibandingkan dengan tuba Jackson.
xv
Setelah usia enam bulan, anak memerlukan ukuran tuba sekurang-kurangnya sama
dengan usia mereka pada ulang tahun berikutnya (hingga ukuran 6).
3F = 1 cm.
Identifikasi ukuran dari seluruh tuba intratrakea kini telah distandarisasi. Suatu komite
dari American Standard Institute mengharuskan semua pabrik untuk memberi pengenal pada
tuba intratrakea yaitu dengan diameter internal dalam milimeter.
Suatu aturan sederhana untuk mengingat dalam memilih tuba endotrakea untuk anak
dalam situasi gawat darurat adalah dengan melihat jari kelingking anak tersebut. Ukuran
kelingking anak kira-kira mendekati diameter luar dari tuba endotrakea yang dipilih.
Terutama dalam pernapasan bcrtekanan positif. Hal ini hams dihindarkansela-ma
discksi, karena kupula dapat menekan trakea. Menakik kupula akan me-nimbulkan
pneumotoraks. Aspirasi jarum pada trakea merupakan prosedur yang dapat diterima pada
anak, untuk memastikan agar suatu pembuluh besar arteri jangan sampai dikelirukan dengan
jalan napas. Jahitan sutera dibuat antero-lateral pada kedua sisi garis tengah, meneinbus dua
cincin trakea sebelum dibuat suatu insisi vertikal pada cincin kedua dan ketiga (dan kadang-
kadang keempat). Sekali lagi, kartilago krikoid dan cincin pertama tidak boleh diganggu.
Jaringan trakea tidak dieksisi pada anak. Gunakan ukuran tuba yang sesuai dengan lumen
trakea.
Tindakan bedah darurat guna mengendalikan jalan napas dapat dilakukan dengan
krikotirotomi atau trakeostomi. Suatu insisi kulit vertikal akan mengu-rangi perdarahan, dan
prosedur dapat dilakukan dengan cepat, tetap pada garis tengah. Kartilago tidak boleh dieksisi
sebelum jalan napas terkontrol dan kanula terpasang. Kartilago krikoid dan cincin pertama
hams dihindari. Jika krikotirotomi mendadak diputuskan, maka dapat dilakukan dengan suatu
trokar Mosber atau pisau skalpel. Leher diekstensikan, kartilago krikoid dan tiroid diidentifikasi
dan membran krikotiroid diinsisi. Jalan napas dipertahankan dengan retraktor atau bila ada,
dengan ukuran tuba endotrakea atau trakeostomi yang sesuai. Prosedur krikotirotomi me-
mungkinkan pencapaian segera pada jalan napas, aman karena prosedur ini tepat di bawah pita
xvi
suara sejati dan pada daerah yang relatif tidak berdarah; tindakan ini diteruskan dengan
trakeostomi biasa sesegera mungkin dalam kondisi terkontrol.
GAMRAR 25-1. Teknik trakeostomi elektif. A, Setelah insisi kulit horizontal, maka suatu diseksi vertikal pada garis
tengah leher akan memaparkan trakea. B, Ismus tiroid diretraksi dari lapangan operasi, atau dibelah di garis tengah
dan diikat. Selanjutnya jaringan anterior dalam celah kedua dan ketiga bersama cincinnya diangkat (berbentuk
elips vertikal). C, Pada anak tidak ada pengangkatan elips. Jahitan sutera dibuat anterolateral pada kedua sisi garis
tengah menembus dua cincin trakea. D, Tuba logam tampak memasuki stoma. t, Tuba trakeostomi pada
tempatnya.
xvii
Demikian pula suatu trakeostomi darurat, dapat dilakukan dengan memotong kartilago
krikoid dan cincin pertama bila tidak ada bahaya dini yang dikenali oleh ahli bedah. Tindakan ini
juga dilanjutkan dengan suatu insisi pada cincin ketiga dan keempat dan pengangkatan tuba
yang pertama; tidak ada komplikasi bilamana prosedur ini dikenali dan diperbaiki dalam 24 jam.
Modifikasi Standar Trakeostomi pada Situasi Khusus
Pasien dengan hipoventilasi alveolar yang berat dan pasien apnea tidur obstruktif yang
berat (OSA) seringkali memerlukan trakeostomi permanen. Pasien obesitas mungkin mengalami
kesulitan dalam mempertahankan suatu stoma permanen tanpa menimbulkan perdarahan,
granulasi ataupun jaringan parut. Trakeostomi flap memungkinkan suatu stoma yang bersih
dengan perawatan minimal, namun masih memerlukan suatu penggunaan tuba trakeostomi
atau suatu penutup stoma.
Flap kulit leher diangkat dengan menyertakan selapis jaringan lemak oleh karena
pembuluh plek-sus subdermal yang memasok kulit di atasnya terletak pada lapisan ini.
Tindakan undermining ke lateral hingga otot sternokleidomastoideus, ke bawah hingga
manubrium, dan ke atas hingga tulang hioid, dan jaringan adiposa diangkat hingga terlihat otot-
otot leher. Setelah penyembuhan lengkap, suatu kanula Montgomery dapat digunakan sebagai
stent trakeostomi. Kanula ini selalu disumbat kecuali bila memerlukan ventilasi di malam hari.
Seperti yang dijelaskan di atas, trakeokanula Montgomery memungkinkan kanulasi
trakea tanpa tuba trakeostomi. Lumen trakea tidak ditutup. Tindakan ini menimbulkan iritasi
minimal pada mukosa trakea dan memungkinkan suatu jalan napas bagian atas yang lebih
paten dan luas pada saat-saat di mana jalan napas tidak tersumbat.
Tuba Communitrach merupakan penemuan baru dari suatu ide yang kuno yang
memungkinkan pasien dengan perawatan ventilator untuk berbicara. Tuba ini mempunyai
saluran terpisah untuk udara yang dapat disuplai dari luar sebanyak 3 hingga 5 liter per
meru't. Udara mengalir lewat saluran khusus dalam trakeostomi dan di kirim ke atas
melalui lubang-lubang tuba ke dalam trakea. Aliran udara hanya berjalan ke atas (ke arah
xviii
laring), oleh karena manset balon trakea mencegah aliran ke bawah. Alira udara melalui
laring dan menghasilkan suara yang pelan namun cukup dimengerti.
Suatu alternatif trakeostomi pada neonatus yang mengalami stenosis sub-glotis
didapat adalah dengan pembelahan krikoid anterior. Kartilago krikoid, dua cincin trakea
teratas dan bagian bawah dari kartilago tiroid dibelah di perawatan intensif anak selama
inrubasi lebih kurang sepuluh hari. Perlu diperhatikan untuk menghindari gerakan kepala
yang berlebihan, dan berikan antibiotik guna mencegah infeksi spesies Stnphylococcus atau
Psetidomoncis yang didapat dari rumah sakit. Pada hari kesepuluh, tuba endotrakea dapat
dilepaskan.
Rasional unruk prosedur tersebut adalah bahwa stenosis subglotis selalu lunak pada
stadium awal. Hal ini diakibatkan pembentukan jaringan granulasi pada ruang subglotis.
Jaringan granulasi sebagian besar memiliki komponen edematosa, dan pembelahan krikoid
anterior merupakan suatu prosedur dckompresif yang memungkinkan lepasnya edema dari
cincin krikoid utuh. Dengan cara ini, proses jaringan granulasi yang mengarah pada
pembentukan sikatriks yang kaku menjadi terganggu.
xix
Gambar 25-2.
Insisi kulit leher depan.
Meskipun prosedur ini bam diperkenalkan sejak kurang lebih enam tahun yang lalu,
telah cukup banyak pengalaman yang dikumpulkan untuk membuktikan bahwa angka
keberhasilannya kini sekitar 75 persen. Dengan demikian, jumlah besar neonatus dengan
stenosis subglotis didapat, dapat diekstubasi dan tidak memerlukan jalan napas buatan
dalain bentuk suatu trakeostomi. Kini, prosedur ini dicadangkan untuk anak di bawah tiga
tahun di mana stenosis subglotis masih dalam stadium jaringan granulasi yang lunak.
Karena prosedur ini bersifat dekompresif, maka tidak akan berhasil bilamana stenosis
subglotis sudah berkembang menjadi sikatriks yang padat dan kaku. Anak tersebut tetap
xx
Gambar 25-3.
A, Suatu insisi memotong cincin trakea B, Flap trakea
harus diekstubasi dengan cara lain dan tidak memiliki patologi glotis lainnya yang
memerlukan pintas jalan napas (trakeostomi).
GAMBAR 25-5. Kanula trakea dari silikon, dirancang yang digunakan sebagai pengganli tuba
trakeostomi. .4, Kanula hanyj masuk hingga permukaan dalam dinding anterior trakea,
menghindari tonjolan benda asing ke dalam trakea. B, Kanula, lempeng depan berbentuk sayap,
sumbat dan pencuci cincin. Alur di sepanjang sumbu panjang kanula membantu drainase sekret
dan berfungsi sebagai pengenal bagian inferior dari kanula. Tiga cincin pertama di dekat flange,
berbentuk segitiga untuk membantu memfiksasi kanula di tempatnya dan tidak mudah tergeser
ke depan. Alur sisanya berfungsi menambatkan lempeng depan dan pencuci cincin pada
tempatnya. Sumbat mempunyai kepala untuk mencegahnya masuk terlalu dalam pada lumen
xxi
Gambar 25-4.
Stoma setelah flap trakeokutaneus dirapatkan
kanula. C, Tampak kanula trakea dari silikon untuk penggunaan jangka lama dengan dua
pencuci dan suatu sumbat. Permukaan yang ber-dekatan dengan batas intraluminal dibuat
halus untuk memungkinkan dan mendorong pertumbuhan epitel baik dari trakea maupun dari
kulit. (Dari Montgomery WW, Montgomery SK: Manual for use of Montgomery laryngeal,
tracheal and esophageal prostheses. Ann Otol Rhinol Laryngol (Suppl 125) 95(4): 1-16. 1986.)
2.6 Perawatan Segera Pasca Operasi
Jalan napas atas telab dipintas dan fungsinya sebagai sarana penghangat udara inspirasi
hingga 360C, humidifikasi, dan pengeluaran partikel-partikel asing telah hilang. Silia pada trakea
telah kehilangan fungsi dan refleks batuk menjadi tidak efektif. Pada perawatan awal dari
stoma perlu dilakukan auskultasi dada dan pada anak juga memerlukan radiogram dada segera
untuk inencek posisi tuba agar tidak melampaui karina sehingga masuk ke bronkus kanan dan
menyumbat bronkus kiri, serta untuk memastikan bahwa tidak terjadi pneumotoraks.
Radiogram perlu diperiksa oleh ahli bedah setelah prosedur selesai dilaksanakan. Emfisema
mediastinum sering ditemukan pada radiogram dada dan film ulangan setelah 48 jam
seharusnya tidak memperlihatkan perluasan emfisema. Suatu kerah pelembab yang
mengalirkan udara dingin jenuh air atau oksigen dipasang pada stoma. Di samping tempat tidur
perlu dipersiapkan peralatan trakeostomi dan suatu tuba pengganti, gunting serta tersedia alat
penghisap, demikian pula bel untuk meminta pertolongan.
Sekret trakea banyak selama 24 bingga 48 jam pertama setelah pembedahan tanpa
memandang penyakit primer yang memerlukan trakeostomi. Bronkore perlu dibersihkan
xxii
karena sekret tersebut dapat menyumbat dan menimbulkan atelektasis, pneumonia dan shunt
pembuluh pulmonalis. Refleks batuk tidak memadai dan sekret perlu diaspirasi melalui tuba.
Tindakan ini perlu dilakukan berulangkali, setidaknya tiap 15 menit dalam beberapa jam
pertama. Setelah itu dapat dilakukan dalam frekuensi sesuai kebutuhan perorangan
berdasarkan banyaknya sekret, basil auskultasi dada dan mendengarkan pernapasan pasien.
Pasien trakeostomi yang berbunyi menggelegak berada dalam risiko besar dan hams dilakukan
penghisapan. Teknik ini dilakukan dalam kondisi steril, setiap kalinya menggunakan kateter
sekali pakai yang baru. Operator hams mengenakan sarung tangan dan mencuci tangannya
sebelum dansetelah melakukan tindakan pada penderita.
Sekret cenderung mengumpul pada trakca, seringkali tepat di bawah tuba. Aspirasi bronkus
juga perlu dan dapat dicapai dengan teknik penghisapan ini. Kateter dihubungkan dengan
perangkat vakum melalui suatu penghubung V (Gbr. 25-6). Tekanan jangan dibuat negatif
sebelum penghubung V disumbat. Cara yang dipilih adalah dengan memasukkan kateter lewat
lumen tuba trakeostomi tanpa tekanan hisap negatif. Bila tuba trakeostomi memiliki kanula
dalam, maka kanula ini harus dikeluarkan sebelum tindakan dilakukan. Setelah kateter
penghisap tidak lagi dapat masuk lebih jauh ke dalam bronkus, maka kateter tersebut ditarik
perlahan-lahan dengan memutar pergelangan tangan sambil ujung jari menutup penghubung V
hingga seluruh kateter dikeluarkan. Tindakan ini kemudian diulangi pada bronkus satunya
setelah suatu periode istirahat.
Periode istirahat ini perlu karena penghisap vakum mengeluarkan udara dari paru-paru dan
jika penghisapan diulangi dalam selang waktu yang berdekatan, volume residu paru-paru akan
berkurang. Penghisapan ulang pada sisi yang sama dilanjutkan hingga auskultasi menjadi bersih
atau respirasi menggelegak lewat tuba trakeostomi menjadi reda.
xxiii
GAMBAR 25-7. Tiga tuba trakeostomi yang sering digunakan dan mudah didapatkan. A, Tuba
Shiley no. 6 (juga tersedia dengan manset yang tak dapat dilepas). B, Tuba Lanz no. GT18
dengan manset bertekanan terkonlrol yang memelibara tekanan pada dinding trakea di bawah
26 mm Hg. C, Tuba logam Jackson. Manset karet dipasang oleh pemakai. Manset tersebut tidak
terdapat pada tuba Pilling dengan manset.
Tuba dengan kanula dalam memerlukan pengeluaran dan pembersihan kanula yang sering.
Tuba PVC dan Silastic merupakan tabung yang kompak (one piece) dan tidak menyebabkan
pengumpulan mukus ataupun krusta seperti halnya tuba logam. Tuba ini harus dikeluarkan dan
diperiksa 48 jam setelah pembedahan, diganti dan diperiksa ulang setiap minggu untuk
memastikan tidak ada bolus mukus yang menyumbat lumen. Tuba plastik kini dirancang agar
paling lunak pada suhu tubuh. Sifat ini lebih lanjut akan mengurangi resistensi kekakuan ukuran
dan arah trakea yang merupakan masalah dengan tuba logam.
Kini tersedia manset plastik bertekanan rendah untuk tuba trakeostomi. Manset ini
dirancang untuk memelihara tekanan pada trakea agar tetap di bawah 25 cm FfcO. Tekanan
demikian mengurangi insidens stenosis akibat manset trakea.
Orang dewasa yang awas dan berpendidikan dapat diajarkan perawatan stoma yang
menyeluruh, dan perawatan trakeostomi pada anak di atas enam bulan dapat dilakukan di
rumah. Dokter perlu sangat berhati-hati dan harus memikirkan dengan cermat sebelum
memulangkan anak yang berusia kurang dari enam bulan sementara anak tersebut masih
mengenakan tuba trakeostomi.
2.7 Komplikasi
Komplikasi Bedah. Komplikasi sering timbul selama pembedahan, namun ahli bedah yang
waspada akan dapat mengenali, mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut. Perdarahan
xxiv
dapat dicegah dengan diseksi garis tengah elektif, dengan mengikat semua pembuluh darah
dan pemeriksaan yang cermat pada tiap per-mukaan di mana darah merembes. Pneumotoraks
merupakan komplikasi trakeostomi pada anak-anak akibat posisi pleura, ini dapat dicegah
seperti yang telah dijelaskan di atas, dapat ditemukan secara dini melalui auskultasi dan
radiogram dada serta diatasi dengan pemasangan tuba dada. Insidens pada anak adalah 3
persen; komplikasi ini jarang pada orang dewasa, namun bila terjadi biasanya dengan tekanan
intratoraks yang tinggi dan dengan ruptur bleb emfisematosa. Aspirasi tidak seharusnya terjadi,
dan hentijantung yang dapat diakibatkan hilangnya rangsangan hipoksia terbadap respirasi,
dapat diatasi dengan tindakan yang lazim, antara Iain berupa bantuan pcrnapasan hingga COa
dapat dibcrsihkan dan medula oblongata.
Pncu-momediastinum tidak tergolong sebagai komplikasi, namun merupakan akibat.
Kondisi ini biasanya terjadi pada anak, dan harus ditindak lanjut guna memastikan tidak adanya
perkembangan ke arah pneumotoraks. Paralisis sarafrekuren jarang terjadi dan harus dicegah
dengan memperhatikan teknik bedah. Tuba harus terpasang pada jalan napas, tidak
menyumbat bronkus serta tidak mengenai dinding anterior trakea. Pengalaman klinis dan
evaluasi radiologik akan terdiagnosis dan mencegah kejadian ini.
Komplikasi Lanjut. Komplikasi ini cukup bcnnakna dalain hal variasi dan jumlahnya,
sehingga perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan. Perdarahan lanjut adalah akibat erosi
trakea pada pembuluh utama, biasanya arteri inominata. (Sebenarnya menghitung cincin
trakea mulai dari kartilago krikoid merupakan tindakan yang esensial). Tindakan
mengekstensikan kepala pasien dan menarik trakea ke atas dengan suatu pengait trakea dapat
inenggambarkan cincin trakea kesembilan. Trakeostomi rendah (di bawah cincin trakea kelima)
seringkali salah. Pemasangan manset yang lama dengan akibat nekrosis dinding trakea juga ikut
berperan dalain erosi pembuluh darah. Mathog menganjurkan pema-kaian tuba plastik lunak
yang lebih aman. Pcnanganan dari perdarahan mayor tindakan darurat dan memerlukan
pemakaian tuba (dengan manset dalam keadaan terkembang) yang cukup panjang untuk
mencapai bagian distal dari pembuluh yang tererosi. Tindakan ini dapat mencegah aspirasi
xxv
darah ke dalain paru. Kesalahan dalain membedah dan menjahit pembuluh mungkin
mengharuskan tindakan sternotomi parsial.
Infeksi dapat dikendalikan dengan teknik steril dan humidifikasi. An-tibiotik profilaksis
harus dilarang karena memungkinkan perkembangan bak-teri oportunistik. Pseudomonas
aeruginosa tidak jarang dapat dibiak dari lokasi trakeostomi dan tidak selalu merupakan infeksi
sistemik. Tindakan yang perlu dilakukan mungkin hanyalah membasahi kasa dengan larutan
asam asetat 0,5 persen. Pasien yang mendapat banyak antibiotik mungkin mengalami
kontaminasi Candida albicans pada lokasi trakeostomi. Namun, sebelum memulai peng-obatan
sistemik, harus dicoba perawatan luka secara lokal.
Penanganan obstruksi jalan napas akibat posisi tuba yang tergeser atau oklusi lumen
adalah berbeda, tergantung pada berapa lama terjadinya setclah pembedahan. Bila telah
melampaui 48 jam dilakukan trakeostomi, maka perawat dapat diperintahkan untuk memotong
tali pengikat leher, mengeluarkan tuba, dan memeriksa lumen dan tuba. Sumbat mukus yang
menutup lumen tuba harus dibersihkan. Memasukan kembali tuba dapat dilakukan setelah
dokter datang. Tenaga yang terlatih dapat diinstruksikan untuk memasukkan kait ke dalain
stoma dan menahan jalan napas pada tempatnya, sebelum mengeluarkan dan mengamati tuba
yang baru saja dipasang. Bila situasi tidak mendesak, sebaiknya tindakan ini dilakukan sendiri
oleh dokter. Pada anak-anak, tali pengikat sutera bila ditarik dengan hati-hati ke lateral akan
mempertahankan jalan napas dan menunjukkan jalur kembali ke stoma untuk penggantian
tuba.
Fistula trakeoesofagus biasanya timbul pada pasien yang hipotensi dan telah menjalani
intubasi yang lama dengan tuba bennanset dan ventilasi terkontrol. Pasien demikian
memerlukan tuba naso-gastrik, namun seringkali meninggal akibat penyakit primernya ataupun
akibat pneumoiua aspirasi lewat fistula. Perbaikan bedah amat kompleks dan melibatkan
xxvi
penempatan otot-otot leher di antara trakea dan esofagus setelah perbaikan primer pada
fistula.
Komplikasi mayor yang tersering adalah stenosis trakea. Frekuensi komplikasi ini semakin
meningkat karena pasien seringkali memerlukan ventilasi terkontrol jangka lama dengan tuba
bermanset. Menurut Fearon, stenosis stoma bukanlah suatu komplikasi melainkan suatu parut
pasca operasi yang telah diperkirakan, dan bahwa gejala hanya akan timbul bila diameter
lumen sama dengan atau kurang dari 4 mm. Bilamana terdapat granulasi di atas stoma atau
kartilago dalam lumen, maka masalah dapat diatasi dengan eksisi endoskopik atau memasang
stent pada jalan napas
2.8 Kesimpulan
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding anterior trakea untuk bernapas.
Trosseau dan Bretonneau mempopulerkan operasi ini di Perancis. Mereka melakukannya untuk
menangani kasus difteria dengan angka keberhasilan 25 persen.
Trakeostomi dapat dilakukan pada obstruksi jalan nafas jika gambaran yang ada meliputi :
dispnea, stridor, perubahan suara, nyeri, batuk, penurunan atau tidak didapatinya suara
pernafasan, perdarahan, keluarnya air liur secara berlebihan, leher tegang, hemodinamik yang
tidak stabil (lanjut), hilangnya kesadaran (sangat lanjut).
Trakeostomi memiliki beberapa komplikasi bahkan kematian.
xxvii