Upload
risna-hariani-jehambur
View
19
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
GGK
Citation preview
PENDAHULUAN GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis mendeskripsikan bahwa
struktur dan fungsi ginjal yang abnormal.CKD juga dapat terdiagnosi bersama-sama dengan
kondisi lain (misalnya penyakit jantung dan diabetes). Risiko CKD berkembang seiring dengan
bertambahnya usia. CKD selalu asimptomatik, tetapi bisa dideteksi, dan tes untuk CKD mudah
dan tersedia (NICE, 2014).
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan keadaan ginjal mengalami penurunan fungsi
untuk mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme tubuh. Keadaan ini dapat menyebabkan komplikasi
penyakit lain seperti hipertensi, anemia, hiperlipidemia dan penyakit kardiovaskular (NKF,
2013). Chronic Kidney Disease (CKD) juga dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan
penyumbatan pada pembuluh darah (Dipiro et al., 2008).
Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara dan hasil diagnosis dokter
meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada kelompok umur 35-44
tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada
kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan
(0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%),
pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%) (Riskesdas, 2013).
Gagal Ginjal Kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) adalah gangguan
fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversible yang terjadi berbulan-bulan
sampai bertahun-tahun. Dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit gagal, menyebabkan uremia yaitu retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah. Fungsi ginjal mengalami penurunan yang progresif secara perlahan
tapi pasti, yang dapat mencapai 60 % dari kondisi normal menuju ketidakmampuan ginjal
dimana laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih (Sukandar,
2011).
Parameter terbaik yang digunakan untuk mengukur fungsi ginjal adalah laju filtrasi
glomerulus. Evaluasi yang akurat dari LFG sangat penting untuk menentukan tingkat CKD
karena rencana aksi klinis akan berbeda sesuai dengan tingkat LFG yang direkomendasikan
(Botev, 2009).
Tabel Tingkat Chronic Kidney Disease (CKD) dan Rencana Aksi Klinis
(NKF, 2013)
A. ETIOLOGI GANGGUAN GINJAL KRONIK (GGK)
a. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko CKD adalah usia, pendidikan dan pendapatan yang rendah, serta riwayat
keluarga yang mengalami CKD (Dipiro et al., 2008).
b. Faktor Inisiasi
Faktor inisiasi adalah kondisi yang secara langsung mengakibatkan kerusakan ginjal.Contoh dari
faktor inisiasi adalah penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan glomerulonefritis. Diabetes
terjadi apabila kadar gula darah melebihi paras normal, menyebabkan kerusakan organ-organ
vital tubuh seperti jantung dan ginjal, serta pembuluh darah, syaraf dan mata. Tekanan darah
yang tinggi atau hipertensi, terjadi apabila tekanan darah pada pembuluh darah meningkat dan
jika tidak dikawal, hipertensi bisa menjadi puncak utama serangan jantung, struk dan gagal ginjal
kronis.Gagal ginjal kronis juga bisa menyebabkan hipertensi (Sudoyo, 2006).
c. Faktor yang berhubungan dengan kerusakan ginjal lebih lanjut.
Tahap Deskripsi Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
(mL/menit/1,73 m2)
Rencana Aksi Klinis
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau tinggi
90 Diagnosis dan pengobatan, pengobatan penyakit penyerta, perkembangan lambat, mengurangi resiko kardiovaskular
2 Kerusakan ginjal dan sedikit penurunan LFG
60 – 89 Memperkirakan perkembangan
3 Penurunan LFG tahap moderat
30 – 59 Evaluasi dan pengobatan komplikasi
4 Penurunan fungsi ginjal yang berat
15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 Gagal ginjal < 15 Terapi pengganti ginjal (dialisis atau transplantasi ginjal)
Hal ini umumnya terlihat sebagai peningkatan tingkat penurunan fungsi ginjal pada mereka yang
sudah mengalami kerusakan ginjal.Predikator paling penting dari CKD yang progresif adalah
pengaruh yang kuat dari faktor inisiasi (misalnya diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonefritis,
dan penyakit ginjal polikistik), dan perkembangan yang faktor proteinuria, tekanan darah tinggi,
serta kebiasaan merokok (Dipiro et al., 2008).
B. PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)
Etiologi yang telah disebutkan sebelumnya seperti penyakit diabetes, hipertensi,
adanya toksin, deposit system imun, dan penyakit autoimun ketika berlangsung terus menerus
dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut pembuluh darah dan hilangnya fungsi ginjal
secara progresif dan kerusakan yang irreversibel. Yang paling utama sebagai penyebab GGK,
adalah DM (32%), hipertensi (28%), dan glomerulonefritis (45%) (Baradero, 2005).
Secara patofisiologi progresif CRF melewati empat tahap, yaitu :
1. Sebagai peningkatan resiko (penurunan cadangan ginjal)
- Kerentanan terjadi kerusakan ginjal. Faktor resiko sosiodemografik: usia yang lebih
tua, status etnis minoritas.
- Faktor inisiasi paparan. Faktor klinis: hipertensi, diabetes, sejarah keluarga yang pernah
mengidap gagal ginjal kronis. penyakit autoimun, infeksi sistemik, gangguan saluran
kemih, (infeksi, obstruksi, refluks vesicoureteral,), neoplasia, paparan obat pada
toksisitas ginjal, pemulihan dari gagal ginjal akut.
2. Kerusakan ginjal (tahap 1 dan 2).
- GFR bisa normal atau mungkin sedikit mengalami penurunan
- Pada kasus diabetes, GFR bisa meningkat hal ini diprakarsai oleh beberapa faktor, yaitu
imunologi (sebagian penyebab dari glomerulonefritis), hemodinamik (hipertensi
nefrosclerosis), iskemik, koagulasi, metabolik, genetik, penyakit ginjal, fitur patologis
krusakan ginjal biasanya tersebar luas, patogenesis umum untuk memburuknya
kerusakan ginjal dan menurunnya GFR. Jika kerusakan awal parah dan bilateral,
kerusakan ginjal memburuk dan GFR menurun.
3. Penurunan GFR, tahap 3 dan 4.
- Fitur patologis dan fungsional penyakit ginjal biasanya sama. perubahan patofisiologis
merupakan proses heterogen. adaptasi tubular dan adaptasi di organ lain
mempertahankan jumlah zat terlarut meskipun GFR menurun. jumlah keparahan klinis
dari komplikasi berbanding terbalik dengan tingkat atau level GFR. RESIKO TINGGI
cvd
4. Gagal ginjal (tahap 5) disebut dengan penyakit ginjal stadium akhir.
- Patologis hampir sama, ditambah dengan penyebaran sklerosis glomerulus, atrofi
tubular, fibrosis interstistial, serta sklerosis arteri. GFR menurun hingga ke level di
bawah 15 ml/min/1.73 m2.
- Tanda-tanda serta gejala uremia mulai muncul. resiko tinggi CVD (Levey, 2007).
Patofisologi penyakit gagal ginjal kronis awalnya dipengaruhi oleh penyakit yang
mendasarinya, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama (National Kidney Foundation, 2009).
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki kontribusi
terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah dijelaskan
di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR dengan
adanya nefron yang masih sehat. Namun, pada akhirnya nefron yang sehat yang masih tersisa
ini akanmengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan
menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus (Azmi, 2003).
Paparan dari salah satu faktor risiko inisiasi dapat menyebabkan penurunan massa
nefron. Sehingga pada Gagal ginjal kronik ditandai dengan pengurangan massa ginjal atau
jumlah nefron. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural (peningkatan
volume organ) dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth factor.
Sitokinin merupakan hormon yang berfungsi dalam proses pembelahan sel. Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi dan selanjutnya menyebabkan peningkatan tekanan
kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, selanjutnya
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif. Adanya peningkatan aktivitas enzin
reninangiotensin-aldosteron intra renal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sclerosis dan progresifitas penurunan fungsi nefron (National Kidney
Foundation, 2009).
Gambar 1: (http://www.kidneydiseasetreatment.space/tag/pathophysiology-of-chronic-renal-failure).
Gagal ginjal menyebabkan kerja RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosterone System)
tidak terkontrol.Fungsi RAAS adalah mengatur homeostasis dalam tubuh.Karena RAAS tidak
terkontrol, homeostasis dalam tubuh juga tidak terkontrol, sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh (Dipiro, 2008).Angiotensin II memiliki peran
penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik
dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan
intraglomerular dengan cara meningkatkan irama pada kedua arteriol, namun yang paling
berpengaruh langsung adalah arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres oksidatif
yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan,
sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.
Peningkatan tekanan intraglomerulus akan menyebabkan proteinuria. Derajat
proteinuria ini sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal (Dipiro, 2008). Pada
akhirnya, proteinuria akan memyebabkan progresiv glomerular dan terjadinya kerusakan
tubulointerstitial. Hal ini juga terjadi karena adanya kolaborasi dengan perkembangan
hipertensi sistemik yang dapat meningkatkan tekanan pada intraglomerular (Dipiro, 2008).
Gambar 2 :http://todaysveterinarypractice.navc.com/feline-chronic-kidney-disease/
Gagal ginjal juga menyebabkan pembentukan eritropoetin tidak memadai.Sehingga
sering kali menyebabkan anemia dan keletihan.Anemia juga dapat terjadi karena
kecenderungan pasien yang mengalami pendarahan akibat status uremik pasien, khususnya
dari saluran pencernaan.Pada gangguan ginjal terjadi ketidakseimbangan glomerulotubular
sehingga terjadi peningkatan intake natrium yang akan menyebabkan retensi natrium, serta
meningkatkan volume cairan ekstrasel yang menyebabkan edema (Corwin, 2009).
Pada CKD, tubulus ginjal juga tidak mampu mensekresi ammonia (NH3-) dan
mengabsorpsi natrium bikarbonatt (HCO3). Sehingga terjadi ketidakseimbangan elektrolit
pada tubuh pasien (Corwin, 2009).
Secara garis besar dapat dijelaskan pada bagan berikut ini :
C. PENATALAKSANAAN TERAPI GAGAL GINJAL
1. Tujuan Terapi
1. Memperlambat perkembangan CKD
2. Menurunkan risiko cardiovaskular
3. Mengontrol tekanan darah dengan target tekanan sistolik dibawah 140 mmHg (range 120-
139 mmHg) dan tekanan diastolik dibawah 90 mmHg
4. Mengontrol tekanan darah bagi pasien CKD dengan diabetes dan nilai ACR 70 mg/mmol
atau lebih dengan target tekanan sistolik dibawah 130 mmHg (target 120-129 mmHg) dan
tekanan diastolik dibawah 80 mmHg
5. Menurunkan Proteinuria
6. Mengontrol gula darah dengan target gula darah HbA1c < 7,0%
(NICE, 2014)
B. Terapi non-Farmakologi
a. Modifikasi Diet dan aktivitas fisik
Menjaga asupan makanan untuk pasien dengan perkembangan penyakit CKD
merupakan faktor yang penting selain untuk menjaga tekanan darah, gula darah dan kolesterol,
diet juga diperlukan untuk mengurangi asupan protein, potassium, phospate, garam dan lain
sebagainya. Selain menjaga asupan makanan penting juga bagi pasien CKD untuk melakukan
aktivitas fisik. Berikut ini adalah beberapa modifikasi diet yang dapat dilakukan pasien CKD:
a. Protein
Rekomendasi pasien dewasa dengan tahap awal CKD dapat mengkonsumsi protein
dengan jumlah 0,75-1,0 g/kg/hari. Diet rendah protein (≤ 0,6 g/kg/hari) untuk
memperlambat perkembangan CKD tidak dianjurkan untuk mencegah malnutrisi
b. Garam
Rekomendasi pasien CKD tahap awal untuk membatasi asupan sodium (2,3 g sodium
atau 6 g garam/hari) untuk menurunkan tekanan darah dan albuminuria pada pasien
CKD. Rekomendasi khusus bagi pasien CKD untuk mengganti garam dengan garam
tinggi kalium.
c. Kalori
Rekomendasi bagi pasien CKD awal dengan overweight/obese harus menurunkan berat
badan dengan target BMI 18,5-24,9 kg/m2 dan lingkar pinggang untuk pria ≤ 102 cm
dan untuk wanita ≤ 88 cm.
d. Sayur dan buah-buahan
Rekomendasi untuk pasien CKD agar dapat mengkonsumsi sayur dan buah-buahan
seimbangan agar dapat membantu menurunkan tekanan darah.
e. Diet mediterania
Pasien CKD dapat melakukan diet mediterania untuk menurunkan dyslipidemia dan
mencegah terjadinya cardiovaskular disease.
f. Aktivitas fisik
Pasien CKD dapat melakukan olahraga ringan seperti berjalan dengan ritme teratur
selama minimal 30 menit.
g. Merokok dan alkohol
Pasien CKD dianjurkan untuk berhenti merokok dan konsumsi alkohol agar
menurunkan perkembangan CKD dan risiko cardiovaskular.
h. Asupan cairan
Pasien CKD perlu untuk menjaga asupan cairan per hari 2-2,5 L (termasuk cairan dari
bahan makanan).
(NICE, 2014)
C. Terapi Farmakologi
1. Terapi Hiperglikemia pada Pasien Diabetes dengan CKD
Pasien diabetes dengan kadar gula yang tinggi dapat menjadi pemicu komplikasi
vaskular seperti CKD. Perawatan intensif terhadap pasien CKD dengan hiperglikemia diperlukan
untuk mencegah nilai albuminuria yang tinggi serta menurunkan perkembangan CKD sehingga
mencegah gagal ginjal.Belum ada studi lanjut yang menyatakan bahwa pengobatan intensif
hiperglikemia dapat menyebabkan penurunan nilai GFR. Pengecekan berkala terhadap kadar
gula darah diperlukan sebelum memulai terapi hiperglikemia untuk menghindari kejadian
hipoglikemia. Berikut ini adalah adjusment dose untuk insulin dan oral glikemik pada pasien
CKD:
Tabel 1.Adjusmant Dose insulin dan Oral Glikemik pada Pasien Diabetes dengan
CKD (NKF KDOQI, 2012)
Agen Glikemik Nama Obat Adjusment Dose (CKD Stages 3, 4, dan 5)
Insulin DetemirAspartGlargineLisproGlulisine
Tidak ada penyesuaian dosis yang disarankan
Genarasi pertama Sulfonylurea
Tolbutaminde
Chlorpropamide
Penggunaan tidak disarankan
GFR 50-80 mL/min (pengurangan dosis 50%), GFR < 50 mL.min penggunaan tidak disarankan.
Genarasi kedua Sulfonylurea
Glipizide
Glimepiride
Gliburide
Tidak ada penyesuaian dosis
Mulai dengan dosis 1 mg/hari
Penggunaan tidak disarankan
Meglitinide Repaglinide
Nateglinide
Jika GFR <30 mL/min (dosis awal 0.5 mg dengan makanan)
Jika GFR <30 mL/min (dosis awal 60 mg dengan makanan)
Biguanida Metformin FDA: Tidak digunakan bila SCr ≥ 1.5 mg/dL pada pria, ≥ 1.4 mg/dL pada wanitaBNF: Menghentikan penggunaan bila GFR <30 mL/min
Alpha-glucosidase inhibitor Acarbose
Miglitol
Hindari bila nilai GFR <30 mL/min
Hindari bila nilai GFR <25 mL/min
Thiazolidinedion Pioglitazone
Rosiglitazone
Tidak ada penyesuaian dosis
DPP-4 Inhibitor Sitagliptin GFR > 50 mL/min, 100 mg/hariGFR 30-50 mL/min, 50 mg/hariGFR < 30 mL/min 25 mg/hari
2. Terapi Hipertensi
Menurunkan tekanan darah merupakan salah satu kunci untuk menurunkan kejadian
cardiovaskular dan keparahan gangguan ginjal.Namun, tidak semua antihipertensi dapat
mempertahankan fungsi ginjal meskipun efisien untuk menurunkan tekanan darah.Meskipun
banyak antihipertensi yang tersedia dipasaran, golongan ACEI dan ARB yang menjadi pilihan
pertama (first choice) bagi pasien CKD.Kedua antihipertensi golongan ini dapat menurunkan
tekanan intraglomerular sehingga dapat mencegah keparahan CKD.
Pada pasien Advanced CKD dengan nephropathy dan proteinuria, terapi menggunakan
antihipertensi golongan ACEI (Ramipril 1,25-5 mg/hari) selain menurunkan tekanan darah,
golongan ini mampu menurunkan proteinuria dan mencegah menurunan nilai GFR secara drastis.
Sama halnya dengan antihipertensi golongan ACEI, golongan ARB pun menunjukan aktivitas
yang sama dalam menurunkan tekanan darah dan mencegah keparahan gangguan ginjal
meskipun aktivitasnya lebih rendah dibandingkan golongan ACEI. Kombinasi antara
antihipertensi golongan ACEI dan ARB pada pasien nephropathy dengan diabetes dan hipertensi
mampu menurunkan proteinuria namun penurunan angka kematian belum menunjukan
menurunan yang signifikan.Penggunaan antihipertensi golongan CCB juga dimungkinkan pada
pasien CKD yang usianya diatas 50 tahun.Jika penggunaan terapi CCB tidak efektif contohnya
pada pasien yang mengalami edema atau intoleransi atau memiliki risiko gagal jantung dapat
ditawarkan alternatif dengan diuretik (Dipiro, 2008; NICE, 2014; NKF KDOQI, 2004). Berikut
ini golongan obat antihipertensi yang dapat digunakan pada pasien CKD:
NKF KDOQI, 2004)
Tekanan darah > 130/80 mmHg (target TD <130/80 mmHg atau 125/75 mmHg
untuk pasien dengan proteinuria
Step 1Terapi dimuali dengan
ACEI atau ARB
Cek Scr dan K dalam 1 minggu, bila Scr atau K
30%-->discontinue agent
Tekanan darah tidak mencapai target
Step 2Tambahkan diuretik (Kombinasi terapi 1 dan 2 dapat dilakukan bila TD >15-20/10 mmHg dari target TD)
Jika CrCl ≥ 30 mL/min, tambahkan diuretik
Thiazide
Jika CrCl < 30 mL/min, tambahkan LoopThiazide
Tekanan darah tidak mencapai target
Step 3Tambahkan CCB (pertimbangan bagi pasien angina, gagal jantung
atau aritmia dapat ditambahna dosis rendah β-blocker)
Tekanan darah tidak mencapai target
Baseline pulse ≥ 84 Baseline pulse < 84
Step 4Tambahkan dosis rendah β-blocker (catatan: Penggunaan β-blocker dan
nondihydropyridine CC B tidak direkomendasikan untuk pasien
elderly)
Step 4Tambahkan subgrup CCB (ex:
dihydropyridine CCB bila nondihydropiridine telah digunakan
sebelumnya) (catatan: Penggunaan β-blocker dan nondihydropyridine CC B tidak
direkomendasikan untuk pasien elderly)
Tekanan darah tidak mencapai target
Gambar 1. Algoritma Terapi Hipertensi pada Pasien CKD(Dipiro, 2008)
Tabel 1. Antihipertensi Golongan ACEI dan ARB
Step 5Tambahkan long-acting α-blocker, central α-agonist, atau vasodilator
(catatan: central α-agonist (clonidine) tidak direkomendasikan untuk kombinasi dengan β-blocker
severe bradycardia
Tabel 2. Antihipertensi Golongan CCB
(NKF KDOQI, 2004)
Tabel 3. Kombinasi Antihipertensi Golongan ACEI dan Diuretik/ ARB dan
Diuretik (NKF KDOQI, 2004; Medscape, 2016)
Golongan Nama Obat Nama Dagang
ACEI dan Diuretik Benazepril Hydrochloride 5, 10, 20 mg dan hydrochlorthiazide 6.25 mg, 12.5 mg atau 25 mg
Lotensin HCT®
Captopril 25 mg atau 50 mg dan hydrochlorthiazide 15 atau 25 mg
Copazide®
Enalapril 5 atau 10 mg dan hydrochlorthiazide 12.5 atau 25 mg
Vaseretic®
Lisinopril 10 atau 20 mg dan hydrochlorthiazide 12.5 atau 25 mg
Zestoretic®
ARB dan Diuretik Candesartan 16, 32 mg dan hydrochlorthiazide 12.5 mg
Atacand HCT®
Irbesartan 150 atau 300 mg dan hydrochlorthiazide 12.5 mg
Avalide®
Valsartan 80 atau 160 mg dan hydrochlorthiazide 12.5 mg
Diovan HCT®
CCB dan ACEI Amlodipine 2.5 mg atau 5 mg
dan Benazepril hydrochloride 10 atau 20 mg
2. Terapi Dyslipidemia
Gambar 2. Algoritma Terapi Dyslipidemia Pada Dewasa dengan CKD (NKF KDOQI,
2007)
Secara umum terapi dyslipidemia untuk pasien CKD dengan nilai trigliserida tinggi
disarankan untuk mengurangi risiko pankreatitis.ATP III mengklasifikasikan nilai trigliserida
puasa yang tinggi sekitar ≥ 500 mg/dL yang biasa disebabkan oleh abnormalitas dari
metabolisme lipoprotein.Peningkatan abnormalitas lipoprotein ini memungkinkan terjadinyanya
peningkatan risiko cardivascular disease khususnya bagi pasien CKD.
Berdasarkan algoritma terapi diatas pasien CKD dengan dyslipidemia (TG ≥ 500
md/dL) dapat mulai terapi dengan TLC (Total Lifestyle Changes) untuk target TG > 500 mg/dL
atau dapat dipertimbangkan dengan penggunaan terapi Fibrat atau niacin.Pasien dengan nilai
LDL 100-129 mg/dL dengan TLC namun nilai LDL masih ≥100 mg/dL disarankan untuk tetap
melakukan TLC dan tambahan terapi statin (targel LDL <100 mg/dL). Pasien dengan LDL ≥130
mg/dL dapat melakukan TLC dan penambahan terapi statin (target LDL <100 mg/dL), bila
setelah diobservasi nilai LDL pasien masih ≥130 mg/dL dapat dipertimbangkan penambahan
terapi bile acid sequestrant. Pasien dengan TG ≥200 mg/dL dan non-HDL kolesterol ≥130 mg/dL
dapat melakukan TLC dan tambahan terapi statin (target non HDL <130 mg/dL). Jika target TG,
LDL maupun non HDL telah tercapai pelu dilakukan monitoring untuk memastikan tidak tejadi
peningkatan kadar kolesterol pada pasien CKD dengan komplikasi dyslipidemia. Berikut ini
pilihan obat untuk masing-masing kelas terapi dyslipidemia:
Tabel 4. Pemilihan Obat Terapi Dyslipidemia (Dipiro, 2008)
Golongan Obat Nama obat Dosis
Fibrate Gemfibrozil 600 mg 2 x sehari
Niacin Niacin 1.5-3 g/hari tablet lepas lambat
Statin Simvastatin 10-40 mg/hari
Bile acid sequestrant Cholestyramine 4-16 g/hari
Catatan: penggunaan statin 10-40 mg/hari jika nilai GFR <30 mL/min, 20-80 mg/hari jika nilai
GFR >30 mL/min.
3. Terapi Antiplatelet
Pasien CKD memiliki risiko cardiovaskular yang tinggi sehingga penggunaan terapi
antiplatelet perlu untuk dipertimbangkan.Peningkatan risiko cardiovaskular seiring dengan
penurunan nilai GFR dan peningkatan level albuminuria. Terapi dosis rendah aspirin dapat
dipertimbangkan untuk semua pasien dengan stage CKD 1-3 yang memiliki estimasi risiko
cardiovaskular 10 tahun kedepan sebesar ≥ 20%.
4. Terapi Anemia
Anemia sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik hal ini terjadi karena defisiensi
eritropoetin (EPO). Maka diperlukan adanya suplai eritropoetin, salah satu terapi yang dapat
diberikan adalah pemberian DYNEPO (epoeitin delta) untuk memperbaiki dan mempertahankan
kadar hemoglobin para penderita anemia dan CKD yang menjalani cuci darah (SIGN, 2008).
DYNEPO adalah Obat-obatan Perangsang Erythropoiesis (ESA), karena merupakan satu-satunya
ESA yang diproduksi di sel manusia.ESA adalah sejumlah obat yang digunakan dalam
perawatan anemia untuk meningkatkan produksi sel-sel darah merah. DYNEPO dihasilkan
dengan mengaktifkan gen Erythropoietin (EPO) pada sel manusia.
DYNEPO dapat diberikan melalui pembuluh darah atau melalui di bawah kulit.Adapun
mekanisme kerja DYNEPO adalah merangsang Erythropoietin yang dapat diproduksi di ginjal
dan menstimulasi sumsum tulang memproduksi lebih banyak sel darah merah dengan menaikkan
pengembangan akar sel menjadi sel darah merah yang matang.Sel ini kemudian dilepas ke dalam
aliran darah.
a) Terapi dengan ESA (Erithropoetin Stimulating Agent)
Nama obat Bentuk sediaan Aturan pemakaian Epoetin alfa Subkutan, 10 – 40.000
unit 1-4 kali perminggu, dengan dosis awal 100 units/kg/minggu
Intravena 50-150 IU/kg 2-3x seminggu Darbepoetin alfa Subkutan, 40-300 mcg 2-4 kali perminggu,
dosis awal 0,45 mcg/kg/minggu (Henry Ford Health System, 2011).
b) Terapi Iron
Tujuan terapi iron untuk mengatasi defisiensi iron pasien anemia dan menjaga target
level Hb. Untuk pasien yang menerima terapi ESA dan memiliki Hb <110 g/L, iron harus
diberikan untuk menjaga keseimbangan ferritin >100 g/L (Levin, 2008). Terapi iron dihentikan
jika kadar serum ferritin mencapai >200 ng/mL dan atau >100 ng/mL (NICE, 2015). Jika serum
ferritin >500 ng/mL,direkomendasikan IV terapi iron. Untuk pasien hemodialisis, berikan terapi
iron intravena (Dipiro, 2008).
Tabel 2. Terapi Oral Iron (Dipiro, 2008)
5. Terapi Hiperkalemia
Pada pasien CKD hiperkalemia terjadi karena adanya retensi elektrolit K+ dan
peningkatan serum K+akan memperparah gangguan ginjal. Pencegahan kejadian hiperkalemia
dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan obat yang dapat menyebabkan atau
memberikan kontribusi peningkatan K+ dalam darah juga perlu untuk membatasi asupan makan
yang mengandung tinggi K+ yaitu 40-60 mEq/hari. Terapi hiperkalemia yang dapat
direkomendasikan adalah kalsium glukonas 10% (Ca glukonas) secara IV, bikarbonat natrikus
50-150 secara IV dalam 15-30 menit, resin pengikat kalium (kayexalate) 25-50 g secara oral
(Levin et al, 2008).
6. Terapi vitamin D
Pada penderita CKD stadium terminal biasanya mengalami penurunan kemampuan ginjal
untuk memproduksi kalsitriol (suatu zat bentuk aktif dari vitamin D) hal ini menyebabkan
kalsium pada saluran pencernaan mengalami gangguan. Apabila kadar kalsium dalam darah
rendah darah akan memberikan ransangan kepada kelenjar paratiroid untuk meningkatkan
produksi hormon paratiroid . Tujuan terapi vitamin D adalah untuk mengatasi kekurangan
vitamin D dan pengeroposan tulang (Sukandar, 2011).
Kalsium (kurang dari 9,5 mg/dL) dan fosfor (kurang dari 4,6 mg/dL) harus dikontrol sebelum
terapi vitamin D diberikan. Kalsitriol, 1,25-dihidroksivitamin D3, secara langsung menekan
sekresi dan sintesis PTH serta mempengaruhi reseptor vitamin D yang dapat mengurangi
hiperplapsia paratiroid. Analog vitamin terbaru adalah parikalsitol dan dokserkalsiferol
(Sukandar dkk, 2011).
Rekomendasi dosis vitamin D pada pasien gagal ginjal kronik tahap 5 dan pasien hemodialisis.
PTH (pg/ml) IV dan dosis kalsitriol oral
per HD
Dosis IV parikalsitrol per
HD
Dosis oral dan IV
Dokserkalsiferol per HD
300-600b 0,5 -1,5 mcg oral atau IV 2,5-5 mcg 5 mcg oral, 2 mcg IV
600-1000b 1-4 mcg oral, 1-3 mcg IV 6-10 mcg 5-10 mcg oral, 2-4 mcg IV
>1000b 3-7 mcg oral, 3-5 mcg IV 10-15 mcg 10-20 mcg oral, 4-8 mcg IV
(Sukandar, 2011).
Alogaritma Managemen pasien CKD (stage 3 dan 4) dengan vitamin D sterol aktif
(NKF KDOQI, 2004)
7. Terapi Natrium bicarbonat
Pemberian terapi bicarbonat bila pasien memiliki GFR < 30 mL/min/ 1.73 m2 dan konsentrasi
serum bicarbonat < 20 mmol/L. Tujuan terapi Natrium bicarbonat adalah untuk memantau
keadaan asidosis metabolik pada pasien yang menjalani dialisis. Adapun mekanisme natrium
bicarbonat pada keadaan asidosis metabolik adalah bicarbonat akan bereaksi dengan ion H+ dan
membentuk air dan karbondioksida sehingga bicarbonate terbentuk sebagai penyangga/buffer.
(Sukandar, 2011; NKF KDOQI, 2004).
Dosis pemberian secara oral pada pasien 325 mg, 500 mg, 520 mg 650 mg, 1-4 kali sehari.
Dosis pemberian bicarbonat secara intravenaStatus asidosis metabolik
Dosis (mEq) Cara pemberian Durasi
Dengan status ringan (tanpa status) 2-5 mEq (dalam 1 L D5W) IV 1 jam
Dengan status Sedang 50-150 mEq (dalam 1 L D5W) IV 1 jam
Dengan status Berat 90-180 mEq (dalam 1 L D5W) IV 1 jam
8. Terapi hemodialisis
Dialisis dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik tahap V dengan nilai GFR 9-6 ml/min/1,73m2.
Tujuan dilakukan pengobatan dialisis adalah untuk menggantikan fungsi ginjal yakni untuk membersihkan darah dengan cara membuang produk-produk limbah berbahaya, membuang ekses cairan, dan menyeimbangkan elektrolit. Hemodialisis memerlukan waktu kurang lebih 9-12 dalam seminggu untuk menyaring seluruh darah dan biasanya dibagi dalam 3 kali dalam seminggu. (PSN, 2011)
Mekanisme hemodialisis:
Darah dialirkan dari tubuh pasien melewati membran filter yang disebut hemodialiser, cara ini memerlukan jalan keluar-masuk aliran darah. Untuk itu dibuat jalur buatan di antara pembuluh arteri dan vena atau disebut fistula arteriovenosa melalui pembedahan. Lalu dengan selang darah dari fistula, darah dialirkan dan dipompa ke dalam mesin dialisis. Untuk mencegah pembekuan darah selama proses pencucian, maka diberikan obat antibeku yaitu Heparin.
Sebenarnya proses pencucian darah dilakukan oleh tabung di luar mesin yang bernama dialiser. Di dalam dialiser, terjadi proses pencucian, mirip dengan yang berlangsung di dalam ginjal. Pada dialiser terdapat 2 kompartemen serta sebuah selaput di tengahnya. Mesin digunakan sebagai pencatat dan pengontrol aliran darah, suhu, dan tekanan (PSN, 2011)
Aliran darah masuk ke salah satu kompartemen dialiser. Pada kompartemen lainnya dialirkan dialisat, yaitu suatu cairan yang memiliki komposisi kimia menyerupai cairan tubuh normal. Kedua kompartemen dipisahkan oleh selaput semipermeabel yang mencegah dialisat mengalir secara berlawanan arah. Zat-zat sampah, zat racun, dan air yang ada dalam darah dapat berpindah melalui selaput semipermeabel menuju dialisat. Itu karena, selama penyaringan darah,
terjadi peristiwa difusi dan ultrafiltrasi. Ukuran molekul sel-sel dan protein darah lebih besar dari zat sampah dan racun, sehingga tidak ikut menembus selaput semipermeabel. Darah yang telah tersaring menjadi bersih dan dikembalikan ke dalam tubuh penderita. Dialisat yang menjadi kotor karena mengandung zat racun dan sampah, lalu dialirkan keluar ke penampungan dialisat.
Difusi adalah peristiwa berpindahnya suatu zat dalam campuran, dari bagian pekat ke bagian yang lebih encer. Difusi dapat terjadi bila ada perbedaan kadar zat terlarut dalam darah dan dalam dialisat. Dialisat berisi komponen seperti larutan garam dan glukosa yang dibutuhkan tubuh. Jika tubuh kekurangan zat tersebut saat proses hemodialisis, maka difusi zat-zat tersebut akan terjadi dari dialisat ke darah.
Ultrafiltrasi merupakan proses berpindahnya air dan zat terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat. Tekanan darah yang lebih tinggi dari dialisat memaksa air melewati selaput semipermeabel. Air mempunyai molekul sangat kecil sehingga pergerakan air melewati selaput diikuti juga oleh zat sampah dengan molekul kecil.
Kedua peristiwa tersebut terjadi secara bersamaan. Setelah proses penyaringan dalam dialiser selesai, maka akan didapatkan darah yang bersih. Darah itu kemudian akan dialirkan kembali ke dalam tubuh.
(PSN, 2011)
E. DAFTAR PUSTAKA
Azmi, S., 2003.Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik pra dialysis.Dibuka pada web site
http://www.kompas.co.id/medika pada tanggal 14 Maret 2016.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, 2013, Riset
Kesehatan Dasar, Jakarta, pp 129.
Baradero, M., 2005, Klien Gangguan Ginjal : Seri Asuhan Keperawatan, Kedokteran EGC,
Jakarta, 124.
Botev, 2009, Estimating Glomerular Filtration Rate: Cockcroft-Gault and Modification of Diet in
Renal Disease Formulas Compared to Renal Inulin Clearance, Clin J Am Soc Nephrol,
4(5): 899-906.
Corwin, E. J., 2009, Handbook of Pathophysiology, EGC, Jakarta, pp. 729.
Dipiro , J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., and Posey, L. M., 2008,
Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, 7th edition, McGrawHill, New York,
pp. 706, 712.
Henry Ford Health System, 2011, Chronic Kidney Disease, Divisions of Nephrology and
Hypertension and General Internal Medicine, United States, pp. 29
KDIGO, 2012, Tata Laksana Anemia Pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronis(PGK),http://www.kalbemed.com/News/tabid/229/id/2571/Guideline-KDIGO-
2012-Tata-Laksana-Anemia-Pasien-PGK.aspx, diakses tanggal 16 Maret 2016.
Levin, A., 2008, Guideline for the management of chronic kidney disease, CMAJ, 179(1).hal
1154-1162.
Levey, A.S.,2007. Chronic Kidney Disease Progression, Tufts Open Course Ware, Tufts
University School of Medicine, Boston United States.
National Institute for Health and Care Excellence, 2014, NICE Clinical Guideline :Early
Identification and Management of Chronic Kidney Disease in Aults in Primary and
Secondary Care, pp 4.
NICE, 2014, Chronic Kidney Disease In Adults: Assesment and Management, NICE, United
kingdom, pp. 39-50.
National Kidney Foundation (NKF), 2013, Frequently Asked Question about GFR Estimates, pp.
5-6.
http://www.drugs.com/mtm/sodium-bicarbonate.html
National Kidney Foundation, 2004, Clinical Practice Guidelines For Kidney Disease Evaluation,
http://www2.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_bp/guide_7.htm
http://reference.medscape.com/drug/avalide-irbesartan-hydrochlorothiazide-342339 , diakses tanggal 14 Maret 2016.
National Kidney Fondation, 2012, KDOQI Practice Guideline For Diabetes and CKD: 2012
Update, https://www.kidney.org/sites/default/files/docs/diabetes-ckd-update-2012.pdf,
diakses tanggal 12 Maret 2016.
National Kidney Fondation, 2009, Clinical Practice Guidelines For Kidney Disease: Evaluation,
Classification and Stratification, New York.
Sukandar, E.Y., 2011, ISO Farmakoterapi II, Ikatan Apoteker Indonesia, Jakarta, p.335.
Sudoyo, A.W., Alwin, I, Setiyohadi, B, Simadribata, K.M., Setiati, S, 2006, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, p. 67.
Syamsudin, 2011, Buku AjarFarmakoterapi Kardiovaskular Dan Renal, Penerbit Salemba
Medika, Jakarta.
http://www.drugs.com/mtm/sodium-bicarbonate.html http://www.psn.com.pk/index.php?
page=education.php&id=%2732%27
.