35
PENDAHULUAN GAGAL GINJAL KRONIK (GGK) Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis mendeskripsikan bahwa struktur dan fungsi ginjal yang abnormal.CKD juga dapat terdiagnosi bersama-sama dengan kondisi lain (misalnya penyakit jantung dan diabetes). Risiko CKD berkembang seiring dengan bertambahnya usia. CKD selalu asimptomatik, tetapi bisa dideteksi, dan tes untuk CKD mudah dan tersedia (NICE, 2014). Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan keadaan ginjal mengalami penurunan fungsi untuk mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme tubuh. Keadaan ini dapat menyebabkan komplikasi penyakit lain seperti hipertensi, anemia, hiperlipidemia dan penyakit kardiovaskular (NKF, 2013). Chronic Kidney Disease (CKD) juga dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan penyumbatan pada pembuluh darah (Dipiro et al., 2008). Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara dan hasil diagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%) (Riskesdas, 2013). Gagal Ginjal Kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun bersifat

Makalah_GGK_imeldaii

Embed Size (px)

DESCRIPTION

GGK

Citation preview

Page 1: Makalah_GGK_imeldaii

PENDAHULUAN GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)

Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis mendeskripsikan bahwa

struktur dan fungsi ginjal yang abnormal.CKD juga dapat terdiagnosi bersama-sama dengan

kondisi lain (misalnya penyakit jantung dan diabetes). Risiko CKD berkembang seiring dengan

bertambahnya usia. CKD selalu asimptomatik, tetapi bisa dideteksi, dan tes untuk CKD mudah

dan tersedia (NICE, 2014).

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan keadaan ginjal mengalami penurunan fungsi

untuk mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme tubuh. Keadaan ini dapat menyebabkan komplikasi

penyakit lain seperti hipertensi, anemia, hiperlipidemia dan penyakit kardiovaskular (NKF,

2013). Chronic Kidney Disease (CKD) juga dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan

penyumbatan pada pembuluh darah (Dipiro et al., 2008).

Prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara dan hasil diagnosis dokter

meningkat seiring dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada kelompok umur 35-44

tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada

kelompok umur ≥75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan

(0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%),

pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%) (Riskesdas, 2013).

Gagal Ginjal Kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) adalah gangguan

fungsi ginjal yang menahun bersifat progresif dan irreversible yang terjadi berbulan-bulan

sampai bertahun-tahun. Dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan metabolisme dan

keseimbangan cairan dan elektrolit gagal, menyebabkan uremia yaitu retensi urea dan sampah

nitrogen lain dalam darah. Fungsi ginjal mengalami penurunan yang progresif secara perlahan

tapi pasti, yang dapat mencapai 60 % dari kondisi normal menuju ketidakmampuan ginjal

dimana laju filtrasi glomerulus (LFG) < 60 mL/menit dalam waktu 3 bulan atau lebih (Sukandar,

2011).

Parameter terbaik yang digunakan untuk mengukur fungsi ginjal adalah laju filtrasi

glomerulus. Evaluasi yang akurat dari LFG sangat penting untuk menentukan tingkat CKD

karena rencana aksi klinis akan berbeda sesuai dengan tingkat LFG yang direkomendasikan

(Botev, 2009).

Page 2: Makalah_GGK_imeldaii

Tabel Tingkat Chronic Kidney Disease (CKD) dan Rencana Aksi Klinis

(NKF, 2013)

A. ETIOLOGI GANGGUAN GINJAL KRONIK (GGK)

a. Faktor Risiko

Faktor-faktor risiko CKD adalah usia, pendidikan dan pendapatan yang rendah, serta riwayat

keluarga yang mengalami CKD (Dipiro et al., 2008).

b. Faktor Inisiasi

Faktor inisiasi adalah kondisi yang secara langsung mengakibatkan kerusakan ginjal.Contoh dari

faktor inisiasi adalah penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan glomerulonefritis. Diabetes

terjadi apabila kadar gula darah melebihi paras normal, menyebabkan kerusakan organ-organ

vital tubuh seperti jantung dan ginjal, serta pembuluh darah, syaraf dan mata. Tekanan darah

yang tinggi atau hipertensi, terjadi apabila tekanan darah pada pembuluh darah meningkat dan

jika tidak dikawal, hipertensi bisa menjadi puncak utama serangan jantung, struk dan gagal ginjal

kronis.Gagal ginjal kronis juga bisa menyebabkan hipertensi (Sudoyo, 2006).

c. Faktor yang berhubungan dengan kerusakan ginjal lebih lanjut.

Tahap Deskripsi Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)

(mL/menit/1,73 m2)

Rencana Aksi Klinis

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau tinggi

90 Diagnosis dan pengobatan, pengobatan penyakit penyerta, perkembangan lambat, mengurangi resiko kardiovaskular

2 Kerusakan ginjal dan sedikit penurunan LFG

60 – 89 Memperkirakan perkembangan

3 Penurunan LFG tahap moderat

30 – 59 Evaluasi dan pengobatan komplikasi

4 Penurunan fungsi ginjal yang berat

15 – 29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 Gagal ginjal < 15 Terapi pengganti ginjal (dialisis atau transplantasi ginjal)

Page 3: Makalah_GGK_imeldaii

Hal ini umumnya terlihat sebagai peningkatan tingkat penurunan fungsi ginjal pada mereka yang

sudah mengalami kerusakan ginjal.Predikator paling penting dari CKD yang progresif adalah

pengaruh yang kuat dari faktor inisiasi (misalnya diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonefritis,

dan penyakit ginjal polikistik), dan perkembangan yang faktor proteinuria, tekanan darah tinggi,

serta kebiasaan merokok (Dipiro et al., 2008).

B. PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)

Etiologi yang telah disebutkan sebelumnya seperti penyakit diabetes, hipertensi,

adanya toksin, deposit system imun, dan penyakit autoimun ketika berlangsung terus menerus

dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut pembuluh darah dan hilangnya fungsi ginjal

secara progresif dan kerusakan yang irreversibel. Yang paling utama sebagai penyebab GGK,

adalah DM (32%), hipertensi (28%), dan glomerulonefritis (45%) (Baradero, 2005).

Secara patofisiologi progresif CRF melewati empat tahap, yaitu :

1. Sebagai peningkatan resiko (penurunan cadangan ginjal)

- Kerentanan terjadi kerusakan ginjal. Faktor resiko sosiodemografik: usia yang lebih

tua, status etnis minoritas.

- Faktor inisiasi paparan. Faktor klinis: hipertensi, diabetes, sejarah keluarga yang pernah

mengidap gagal ginjal kronis. penyakit autoimun, infeksi sistemik, gangguan saluran

kemih, (infeksi, obstruksi, refluks vesicoureteral,), neoplasia, paparan obat pada

toksisitas ginjal, pemulihan dari gagal ginjal akut.

2. Kerusakan ginjal (tahap 1 dan 2).

- GFR bisa normal atau mungkin sedikit mengalami penurunan

- Pada kasus diabetes, GFR bisa meningkat hal ini diprakarsai oleh beberapa faktor, yaitu

imunologi (sebagian penyebab dari glomerulonefritis), hemodinamik (hipertensi

nefrosclerosis), iskemik, koagulasi, metabolik, genetik, penyakit ginjal, fitur patologis

krusakan ginjal biasanya tersebar luas, patogenesis umum untuk memburuknya

kerusakan ginjal dan menurunnya GFR. Jika kerusakan awal parah dan bilateral,

kerusakan ginjal memburuk dan GFR menurun.

3. Penurunan GFR, tahap 3 dan 4.

Page 4: Makalah_GGK_imeldaii

- Fitur patologis dan fungsional penyakit ginjal biasanya sama. perubahan patofisiologis

merupakan proses heterogen. adaptasi tubular dan adaptasi di organ lain

mempertahankan jumlah zat terlarut meskipun GFR menurun. jumlah keparahan klinis

dari komplikasi berbanding terbalik dengan tingkat atau level GFR. RESIKO TINGGI

cvd

4. Gagal ginjal (tahap 5) disebut dengan penyakit ginjal stadium akhir.

- Patologis hampir sama, ditambah dengan penyebaran sklerosis glomerulus, atrofi

tubular, fibrosis interstistial, serta sklerosis arteri. GFR menurun hingga ke level di

bawah 15 ml/min/1.73 m2.

- Tanda-tanda serta gejala uremia mulai muncul. resiko tinggi CVD (Levey, 2007).

Patofisologi penyakit gagal ginjal kronis awalnya dipengaruhi oleh penyakit yang

mendasarinya, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih

sama (National Kidney Foundation, 2009).

Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki kontribusi

terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah dijelaskan

di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR dengan

adanya nefron yang masih sehat. Namun, pada akhirnya nefron yang sehat yang masih tersisa

ini akanmengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan

menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus (Azmi, 2003).

Paparan dari salah satu faktor risiko inisiasi dapat menyebabkan penurunan massa

nefron. Sehingga pada Gagal ginjal kronik ditandai dengan pengurangan massa ginjal atau

jumlah nefron. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi structural (peningkatan

volume organ) dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya

kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth factor.

Sitokinin merupakan hormon yang berfungsi dalam proses pembelahan sel. Hal tersebut

mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi dan selanjutnya menyebabkan peningkatan tekanan

kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, selanjutnya

terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif. Adanya peningkatan aktivitas enzin

reninangiotensin-aldosteron intra renal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya

Page 5: Makalah_GGK_imeldaii

hiperfiltrasi, sclerosis dan progresifitas penurunan fungsi nefron (National Kidney

Foundation, 2009).

Gambar 1: (http://www.kidneydiseasetreatment.space/tag/pathophysiology-of-chronic-renal-failure).

Gagal ginjal menyebabkan kerja RAAS (Renin-Angiotensin-Aldosterone System)

tidak terkontrol.Fungsi RAAS adalah mengatur homeostasis dalam tubuh.Karena RAAS tidak

terkontrol, homeostasis dalam tubuh juga tidak terkontrol, sehingga menyebabkan

ketidakseimbangan elektrolit dalam tubuh (Dipiro, 2008).Angiotensin II memiliki peran

penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik

dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan

intraglomerular dengan cara meningkatkan irama pada kedua arteriol, namun yang paling

berpengaruh langsung adalah arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres oksidatif

yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan,

sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.

Peningkatan tekanan intraglomerulus akan menyebabkan proteinuria. Derajat

proteinuria ini sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal (Dipiro, 2008). Pada

akhirnya, proteinuria akan memyebabkan progresiv glomerular dan terjadinya kerusakan

tubulointerstitial. Hal ini juga terjadi karena adanya kolaborasi dengan perkembangan

hipertensi sistemik yang dapat meningkatkan tekanan pada intraglomerular (Dipiro, 2008).

Page 6: Makalah_GGK_imeldaii

Gambar 2 :http://todaysveterinarypractice.navc.com/feline-chronic-kidney-disease/

Gagal ginjal juga menyebabkan pembentukan eritropoetin tidak memadai.Sehingga

sering kali menyebabkan anemia dan keletihan.Anemia juga dapat terjadi karena

kecenderungan pasien yang mengalami pendarahan akibat status uremik pasien, khususnya

dari saluran pencernaan.Pada gangguan ginjal terjadi ketidakseimbangan glomerulotubular

sehingga terjadi peningkatan intake natrium yang akan menyebabkan retensi natrium, serta

meningkatkan volume cairan ekstrasel yang menyebabkan edema (Corwin, 2009).

Pada CKD, tubulus ginjal juga tidak mampu mensekresi ammonia (NH3-) dan

mengabsorpsi natrium bikarbonatt (HCO3). Sehingga terjadi ketidakseimbangan elektrolit

pada tubuh pasien (Corwin, 2009).

Secara garis besar dapat dijelaskan pada bagan berikut ini :

Page 7: Makalah_GGK_imeldaii
Page 8: Makalah_GGK_imeldaii
Page 9: Makalah_GGK_imeldaii

C. PENATALAKSANAAN TERAPI GAGAL GINJAL

1. Tujuan Terapi

1. Memperlambat perkembangan CKD

2. Menurunkan risiko cardiovaskular

3. Mengontrol tekanan darah dengan target tekanan sistolik dibawah 140 mmHg (range 120-

139 mmHg) dan tekanan diastolik dibawah 90 mmHg

4. Mengontrol tekanan darah bagi pasien CKD dengan diabetes dan nilai ACR 70 mg/mmol

atau lebih dengan target tekanan sistolik dibawah 130 mmHg (target 120-129 mmHg) dan

tekanan diastolik dibawah 80 mmHg

5. Menurunkan Proteinuria

6. Mengontrol gula darah dengan target gula darah HbA1c < 7,0%

(NICE, 2014)

B. Terapi non-Farmakologi

a. Modifikasi Diet dan aktivitas fisik

Menjaga asupan makanan untuk pasien dengan perkembangan penyakit CKD

merupakan faktor yang penting selain untuk menjaga tekanan darah, gula darah dan kolesterol,

diet juga diperlukan untuk mengurangi asupan protein, potassium, phospate, garam dan lain

sebagainya. Selain menjaga asupan makanan penting juga bagi pasien CKD untuk melakukan

aktivitas fisik. Berikut ini adalah beberapa modifikasi diet yang dapat dilakukan pasien CKD:

a. Protein

Rekomendasi pasien dewasa dengan tahap awal CKD dapat mengkonsumsi protein

dengan jumlah 0,75-1,0 g/kg/hari. Diet rendah protein (≤ 0,6 g/kg/hari) untuk

memperlambat perkembangan CKD tidak dianjurkan untuk mencegah malnutrisi

b. Garam

Rekomendasi pasien CKD tahap awal untuk membatasi asupan sodium (2,3 g sodium

atau 6 g garam/hari) untuk menurunkan tekanan darah dan albuminuria pada pasien

CKD. Rekomendasi khusus bagi pasien CKD untuk mengganti garam dengan garam

tinggi kalium.

Page 10: Makalah_GGK_imeldaii

c. Kalori

Rekomendasi bagi pasien CKD awal dengan overweight/obese harus menurunkan berat

badan dengan target BMI 18,5-24,9 kg/m2 dan lingkar pinggang untuk pria ≤ 102 cm

dan untuk wanita ≤ 88 cm.

d. Sayur dan buah-buahan

Rekomendasi untuk pasien CKD agar dapat mengkonsumsi sayur dan buah-buahan

seimbangan agar dapat membantu menurunkan tekanan darah.

e. Diet mediterania

Pasien CKD dapat melakukan diet mediterania untuk menurunkan dyslipidemia dan

mencegah terjadinya cardiovaskular disease.

f. Aktivitas fisik

Pasien CKD dapat melakukan olahraga ringan seperti berjalan dengan ritme teratur

selama minimal 30 menit.

g. Merokok dan alkohol

Pasien CKD dianjurkan untuk berhenti merokok dan konsumsi alkohol agar

menurunkan perkembangan CKD dan risiko cardiovaskular.

h. Asupan cairan

Pasien CKD perlu untuk menjaga asupan cairan per hari 2-2,5 L (termasuk cairan dari

bahan makanan).

(NICE, 2014)

C. Terapi Farmakologi

1. Terapi Hiperglikemia pada Pasien Diabetes dengan CKD

Pasien diabetes dengan kadar gula yang tinggi dapat menjadi pemicu komplikasi

vaskular seperti CKD. Perawatan intensif terhadap pasien CKD dengan hiperglikemia diperlukan

untuk mencegah nilai albuminuria yang tinggi serta menurunkan perkembangan CKD sehingga

mencegah gagal ginjal.Belum ada studi lanjut yang menyatakan bahwa pengobatan intensif

hiperglikemia dapat menyebabkan penurunan nilai GFR. Pengecekan berkala terhadap kadar

gula darah diperlukan sebelum memulai terapi hiperglikemia untuk menghindari kejadian

hipoglikemia. Berikut ini adalah adjusment dose untuk insulin dan oral glikemik pada pasien

CKD:

Page 11: Makalah_GGK_imeldaii

Tabel 1.Adjusmant Dose insulin dan Oral Glikemik pada Pasien Diabetes dengan

CKD (NKF KDOQI, 2012)

Agen Glikemik Nama Obat Adjusment Dose (CKD Stages 3, 4, dan 5)

Insulin DetemirAspartGlargineLisproGlulisine

Tidak ada penyesuaian dosis yang disarankan

Genarasi pertama Sulfonylurea

Tolbutaminde

Chlorpropamide

Penggunaan tidak disarankan

GFR 50-80 mL/min (pengurangan dosis 50%), GFR < 50 mL.min penggunaan tidak disarankan.

Genarasi kedua Sulfonylurea

Glipizide

Glimepiride

Gliburide

Tidak ada penyesuaian dosis

Mulai dengan dosis 1 mg/hari

Penggunaan tidak disarankan

Meglitinide Repaglinide

Nateglinide

Jika GFR <30 mL/min (dosis awal 0.5 mg dengan makanan)

Jika GFR <30 mL/min (dosis awal 60 mg dengan makanan)

Biguanida Metformin FDA: Tidak digunakan bila SCr ≥ 1.5 mg/dL pada pria, ≥ 1.4 mg/dL pada wanitaBNF: Menghentikan penggunaan bila GFR <30 mL/min

Alpha-glucosidase inhibitor Acarbose

Miglitol

Hindari bila nilai GFR <30 mL/min

Hindari bila nilai GFR <25 mL/min

Thiazolidinedion Pioglitazone

Rosiglitazone

Tidak ada penyesuaian dosis

DPP-4 Inhibitor Sitagliptin GFR > 50 mL/min, 100 mg/hariGFR 30-50 mL/min, 50 mg/hariGFR < 30 mL/min 25 mg/hari

Page 12: Makalah_GGK_imeldaii

2. Terapi Hipertensi

Menurunkan tekanan darah merupakan salah satu kunci untuk menurunkan kejadian

cardiovaskular dan keparahan gangguan ginjal.Namun, tidak semua antihipertensi dapat

mempertahankan fungsi ginjal meskipun efisien untuk menurunkan tekanan darah.Meskipun

banyak antihipertensi yang tersedia dipasaran, golongan ACEI dan ARB yang menjadi pilihan

pertama (first choice) bagi pasien CKD.Kedua antihipertensi golongan ini dapat menurunkan

tekanan intraglomerular sehingga dapat mencegah keparahan CKD.

Pada pasien Advanced CKD dengan nephropathy dan proteinuria, terapi menggunakan

antihipertensi golongan ACEI (Ramipril 1,25-5 mg/hari) selain menurunkan tekanan darah,

golongan ini mampu menurunkan proteinuria dan mencegah menurunan nilai GFR secara drastis.

Sama halnya dengan antihipertensi golongan ACEI, golongan ARB pun menunjukan aktivitas

yang sama dalam menurunkan tekanan darah dan mencegah keparahan gangguan ginjal

meskipun aktivitasnya lebih rendah dibandingkan golongan ACEI. Kombinasi antara

antihipertensi golongan ACEI dan ARB pada pasien nephropathy dengan diabetes dan hipertensi

mampu menurunkan proteinuria namun penurunan angka kematian belum menunjukan

menurunan yang signifikan.Penggunaan antihipertensi golongan CCB juga dimungkinkan pada

pasien CKD yang usianya diatas 50 tahun.Jika penggunaan terapi CCB tidak efektif contohnya

pada pasien yang mengalami edema atau intoleransi atau memiliki risiko gagal jantung dapat

ditawarkan alternatif dengan diuretik (Dipiro, 2008; NICE, 2014; NKF KDOQI, 2004). Berikut

ini golongan obat antihipertensi yang dapat digunakan pada pasien CKD:

NKF KDOQI, 2004)

Tekanan darah > 130/80 mmHg (target TD <130/80 mmHg atau 125/75 mmHg

untuk pasien dengan proteinuria

Step 1Terapi dimuali dengan

ACEI atau ARB

Cek Scr dan K dalam 1 minggu, bila Scr atau K

30%-->discontinue agent

Tekanan darah tidak mencapai target

Page 13: Makalah_GGK_imeldaii

Step 2Tambahkan diuretik (Kombinasi terapi 1 dan 2 dapat dilakukan bila TD >15-20/10 mmHg dari target TD)

Jika CrCl ≥ 30 mL/min, tambahkan diuretik

Thiazide

Jika CrCl < 30 mL/min, tambahkan LoopThiazide

Tekanan darah tidak mencapai target

Step 3Tambahkan CCB (pertimbangan bagi pasien angina, gagal jantung

atau aritmia dapat ditambahna dosis rendah β-blocker)

Tekanan darah tidak mencapai target

Baseline pulse ≥ 84 Baseline pulse < 84

Step 4Tambahkan dosis rendah β-blocker (catatan: Penggunaan β-blocker dan

nondihydropyridine CC B tidak direkomendasikan untuk pasien

elderly)

Step 4Tambahkan subgrup CCB (ex:

dihydropyridine CCB bila nondihydropiridine telah digunakan

sebelumnya) (catatan: Penggunaan β-blocker dan nondihydropyridine CC B tidak

direkomendasikan untuk pasien elderly)

Tekanan darah tidak mencapai target

Page 14: Makalah_GGK_imeldaii

Gambar 1. Algoritma Terapi Hipertensi pada Pasien CKD(Dipiro, 2008)

Tabel 1. Antihipertensi Golongan ACEI dan ARB

Step 5Tambahkan long-acting α-blocker, central α-agonist, atau vasodilator

(catatan: central α-agonist (clonidine) tidak direkomendasikan untuk kombinasi dengan β-blocker

severe bradycardia

Page 15: Makalah_GGK_imeldaii

Tabel 2. Antihipertensi Golongan CCB

(NKF KDOQI, 2004)

Tabel 3. Kombinasi Antihipertensi Golongan ACEI dan Diuretik/ ARB dan

Diuretik (NKF KDOQI, 2004; Medscape, 2016)

Golongan Nama Obat Nama Dagang

ACEI dan Diuretik Benazepril Hydrochloride 5, 10, 20 mg dan hydrochlorthiazide 6.25 mg, 12.5 mg atau 25 mg

Lotensin HCT®

Captopril 25 mg atau 50 mg dan hydrochlorthiazide 15 atau 25 mg

Copazide®

Enalapril 5 atau 10 mg dan hydrochlorthiazide 12.5 atau 25 mg

Vaseretic®

Lisinopril 10 atau 20 mg dan hydrochlorthiazide 12.5 atau 25 mg

Zestoretic®

ARB dan Diuretik Candesartan 16, 32 mg dan hydrochlorthiazide 12.5 mg

Atacand HCT®

Irbesartan 150 atau 300 mg dan hydrochlorthiazide 12.5 mg

Avalide®

Valsartan 80 atau 160 mg dan hydrochlorthiazide 12.5 mg

Diovan HCT®

CCB dan ACEI Amlodipine 2.5 mg atau 5 mg

Page 16: Makalah_GGK_imeldaii

dan Benazepril hydrochloride 10 atau 20 mg

2. Terapi Dyslipidemia

Gambar 2. Algoritma Terapi Dyslipidemia Pada Dewasa dengan CKD (NKF KDOQI,

2007)

Secara umum terapi dyslipidemia untuk pasien CKD dengan nilai trigliserida tinggi

disarankan untuk mengurangi risiko pankreatitis.ATP III mengklasifikasikan nilai trigliserida

puasa yang tinggi sekitar ≥ 500 mg/dL yang biasa disebabkan oleh abnormalitas dari

metabolisme lipoprotein.Peningkatan abnormalitas lipoprotein ini memungkinkan terjadinyanya

peningkatan risiko cardivascular disease khususnya bagi pasien CKD.

Berdasarkan algoritma terapi diatas pasien CKD dengan dyslipidemia (TG ≥ 500

md/dL) dapat mulai terapi dengan TLC (Total Lifestyle Changes) untuk target TG > 500 mg/dL

atau dapat dipertimbangkan dengan penggunaan terapi Fibrat atau niacin.Pasien dengan nilai

LDL 100-129 mg/dL dengan TLC namun nilai LDL masih ≥100 mg/dL disarankan untuk tetap

melakukan TLC dan tambahan terapi statin (targel LDL <100 mg/dL). Pasien dengan LDL ≥130

Page 17: Makalah_GGK_imeldaii

mg/dL dapat melakukan TLC dan penambahan terapi statin (target LDL <100 mg/dL), bila

setelah diobservasi nilai LDL pasien masih ≥130 mg/dL dapat dipertimbangkan penambahan

terapi bile acid sequestrant. Pasien dengan TG ≥200 mg/dL dan non-HDL kolesterol ≥130 mg/dL

dapat melakukan TLC dan tambahan terapi statin (target non HDL <130 mg/dL). Jika target TG,

LDL maupun non HDL telah tercapai pelu dilakukan monitoring untuk memastikan tidak tejadi

peningkatan kadar kolesterol pada pasien CKD dengan komplikasi dyslipidemia. Berikut ini

pilihan obat untuk masing-masing kelas terapi dyslipidemia:

Tabel 4. Pemilihan Obat Terapi Dyslipidemia (Dipiro, 2008)

Golongan Obat Nama obat Dosis

Fibrate Gemfibrozil 600 mg 2 x sehari

Niacin Niacin 1.5-3 g/hari tablet lepas lambat

Statin Simvastatin 10-40 mg/hari

Bile acid sequestrant Cholestyramine 4-16 g/hari

Catatan: penggunaan statin 10-40 mg/hari jika nilai GFR <30 mL/min, 20-80 mg/hari jika nilai

GFR >30 mL/min.

3. Terapi Antiplatelet

Pasien CKD memiliki risiko cardiovaskular yang tinggi sehingga penggunaan terapi

antiplatelet perlu untuk dipertimbangkan.Peningkatan risiko cardiovaskular seiring dengan

penurunan nilai GFR dan peningkatan level albuminuria. Terapi dosis rendah aspirin dapat

dipertimbangkan untuk semua pasien dengan stage CKD 1-3 yang memiliki estimasi risiko

cardiovaskular 10 tahun kedepan sebesar ≥ 20%.

4. Terapi Anemia

Anemia sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik hal ini terjadi karena defisiensi

eritropoetin (EPO). Maka diperlukan adanya suplai eritropoetin, salah satu terapi yang dapat

diberikan adalah pemberian DYNEPO (epoeitin delta) untuk memperbaiki dan mempertahankan

kadar hemoglobin para penderita anemia dan CKD yang menjalani cuci darah (SIGN, 2008).

DYNEPO adalah Obat-obatan Perangsang Erythropoiesis (ESA), karena merupakan satu-satunya

ESA yang diproduksi di sel manusia.ESA adalah sejumlah obat yang digunakan dalam

perawatan anemia untuk meningkatkan produksi sel-sel darah merah. DYNEPO dihasilkan

dengan mengaktifkan gen Erythropoietin (EPO) pada sel manusia.

Page 18: Makalah_GGK_imeldaii

DYNEPO dapat diberikan melalui pembuluh darah atau melalui di bawah kulit.Adapun

mekanisme kerja DYNEPO adalah merangsang Erythropoietin yang dapat diproduksi di ginjal

dan menstimulasi sumsum tulang memproduksi lebih banyak sel darah merah dengan menaikkan

pengembangan akar sel menjadi sel darah merah yang matang.Sel ini kemudian dilepas ke dalam

aliran darah.

a) Terapi dengan ESA (Erithropoetin Stimulating Agent)

Nama obat Bentuk sediaan Aturan pemakaian Epoetin alfa Subkutan, 10 – 40.000

unit 1-4 kali perminggu, dengan dosis awal 100 units/kg/minggu

Intravena 50-150 IU/kg 2-3x seminggu Darbepoetin alfa Subkutan, 40-300 mcg 2-4 kali perminggu,

dosis awal 0,45 mcg/kg/minggu (Henry Ford Health System, 2011).

b) Terapi Iron

Tujuan terapi iron untuk mengatasi defisiensi iron pasien anemia dan menjaga target

level Hb. Untuk pasien yang menerima terapi ESA dan memiliki Hb <110 g/L, iron harus

diberikan untuk menjaga keseimbangan ferritin >100 g/L (Levin, 2008). Terapi iron dihentikan

jika kadar serum ferritin mencapai >200 ng/mL dan atau >100 ng/mL (NICE, 2015). Jika serum

ferritin >500 ng/mL,direkomendasikan IV terapi iron. Untuk pasien hemodialisis, berikan terapi

iron intravena (Dipiro, 2008).

Tabel 2. Terapi Oral Iron (Dipiro, 2008)

Page 19: Makalah_GGK_imeldaii

5. Terapi Hiperkalemia

Pada pasien CKD hiperkalemia terjadi karena adanya retensi elektrolit K+ dan

peningkatan serum K+akan memperparah gangguan ginjal. Pencegahan kejadian hiperkalemia

dapat dilakukan dengan menghindari penggunaan obat yang dapat menyebabkan atau

memberikan kontribusi peningkatan K+ dalam darah juga perlu untuk membatasi asupan makan

yang mengandung tinggi K+ yaitu 40-60 mEq/hari. Terapi hiperkalemia yang dapat

direkomendasikan adalah kalsium glukonas 10% (Ca glukonas) secara IV, bikarbonat natrikus

50-150 secara IV dalam 15-30 menit, resin pengikat kalium (kayexalate) 25-50 g secara oral

(Levin et al, 2008).

6. Terapi vitamin D

Pada penderita CKD stadium terminal biasanya mengalami penurunan kemampuan ginjal

untuk memproduksi kalsitriol (suatu zat bentuk aktif dari vitamin D) hal ini menyebabkan

kalsium pada saluran pencernaan mengalami gangguan. Apabila kadar kalsium dalam darah

rendah darah akan memberikan ransangan kepada kelenjar paratiroid untuk meningkatkan

produksi hormon paratiroid . Tujuan terapi vitamin D adalah untuk mengatasi kekurangan

vitamin D dan pengeroposan tulang (Sukandar, 2011).

Kalsium (kurang dari 9,5 mg/dL) dan fosfor (kurang dari 4,6 mg/dL) harus dikontrol sebelum

terapi vitamin D diberikan. Kalsitriol, 1,25-dihidroksivitamin D3, secara langsung menekan

sekresi dan sintesis PTH serta mempengaruhi reseptor vitamin D yang dapat mengurangi

hiperplapsia paratiroid. Analog vitamin terbaru adalah parikalsitol dan dokserkalsiferol

(Sukandar dkk, 2011).

Rekomendasi dosis vitamin D pada pasien gagal ginjal kronik tahap 5 dan pasien hemodialisis.

PTH (pg/ml) IV dan dosis kalsitriol oral

per HD

Dosis IV parikalsitrol per

HD

Dosis oral dan IV

Dokserkalsiferol per HD

300-600b 0,5 -1,5 mcg oral atau IV 2,5-5 mcg 5 mcg oral, 2 mcg IV

600-1000b 1-4 mcg oral, 1-3 mcg IV 6-10 mcg 5-10 mcg oral, 2-4 mcg IV

>1000b 3-7 mcg oral, 3-5 mcg IV 10-15 mcg 10-20 mcg oral, 4-8 mcg IV

(Sukandar, 2011).

Page 20: Makalah_GGK_imeldaii

Alogaritma Managemen pasien CKD (stage 3 dan 4) dengan vitamin D sterol aktif

(NKF KDOQI, 2004)

7. Terapi Natrium bicarbonat

Pemberian terapi bicarbonat bila pasien memiliki GFR < 30 mL/min/ 1.73 m2 dan konsentrasi

serum bicarbonat < 20 mmol/L. Tujuan terapi Natrium bicarbonat adalah untuk memantau

keadaan asidosis metabolik pada pasien yang menjalani dialisis. Adapun mekanisme natrium

Page 21: Makalah_GGK_imeldaii

bicarbonat pada keadaan asidosis metabolik adalah bicarbonat akan bereaksi dengan ion H+ dan

membentuk air dan karbondioksida sehingga bicarbonate terbentuk sebagai penyangga/buffer.

(Sukandar, 2011; NKF KDOQI, 2004).

Dosis pemberian secara oral pada pasien 325 mg, 500 mg, 520 mg 650 mg, 1-4 kali sehari.

Dosis pemberian bicarbonat secara intravenaStatus asidosis metabolik

Dosis (mEq) Cara pemberian Durasi

Dengan status ringan (tanpa status) 2-5 mEq (dalam 1 L D5W) IV 1 jam

Dengan status Sedang 50-150 mEq (dalam 1 L D5W) IV 1 jam

Dengan status Berat 90-180 mEq (dalam 1 L D5W) IV 1 jam

8. Terapi hemodialisis

Dialisis dilakukan pada pasien gagal ginjal kronik tahap V dengan nilai GFR 9-6 ml/min/1,73m2.

Tujuan dilakukan pengobatan dialisis adalah untuk menggantikan fungsi ginjal yakni untuk membersihkan darah dengan cara membuang produk-produk limbah berbahaya, membuang ekses cairan, dan menyeimbangkan elektrolit. Hemodialisis memerlukan waktu kurang lebih 9-12 dalam seminggu untuk menyaring seluruh darah dan biasanya dibagi dalam 3 kali dalam seminggu. (PSN, 2011)

Page 22: Makalah_GGK_imeldaii

Mekanisme hemodialisis:

Darah dialirkan dari tubuh pasien melewati membran filter yang disebut hemodialiser, cara ini memerlukan jalan keluar-masuk aliran darah. Untuk itu dibuat jalur buatan di antara pembuluh arteri dan vena atau disebut fistula arteriovenosa melalui pembedahan. Lalu dengan selang darah dari fistula, darah dialirkan dan dipompa ke dalam mesin dialisis. Untuk mencegah pembekuan darah selama proses pencucian, maka diberikan obat antibeku yaitu Heparin.

Sebenarnya proses pencucian darah dilakukan oleh tabung di luar mesin yang bernama dialiser. Di dalam dialiser, terjadi proses pencucian, mirip dengan yang berlangsung di dalam ginjal. Pada dialiser terdapat 2 kompartemen serta sebuah selaput di tengahnya. Mesin digunakan sebagai pencatat dan pengontrol aliran darah, suhu, dan tekanan (PSN, 2011)

Aliran darah masuk ke salah satu kompartemen dialiser. Pada kompartemen lainnya dialirkan dialisat, yaitu suatu cairan yang memiliki komposisi kimia menyerupai cairan tubuh normal. Kedua kompartemen dipisahkan oleh selaput semipermeabel yang mencegah dialisat mengalir secara berlawanan arah. Zat-zat sampah, zat racun, dan air yang ada dalam darah dapat berpindah melalui selaput semipermeabel menuju dialisat. Itu karena, selama penyaringan darah,

Page 23: Makalah_GGK_imeldaii

terjadi peristiwa difusi dan ultrafiltrasi. Ukuran molekul sel-sel dan protein darah lebih besar dari zat sampah dan racun, sehingga tidak ikut menembus selaput semipermeabel. Darah yang telah tersaring menjadi bersih dan dikembalikan ke dalam tubuh penderita. Dialisat yang menjadi kotor karena mengandung zat racun dan sampah, lalu dialirkan keluar ke penampungan dialisat.

Difusi adalah peristiwa berpindahnya suatu zat dalam campuran, dari bagian pekat ke bagian yang lebih encer. Difusi dapat terjadi bila ada perbedaan kadar zat terlarut dalam darah dan dalam dialisat. Dialisat berisi komponen seperti larutan garam dan glukosa yang dibutuhkan tubuh. Jika tubuh kekurangan zat tersebut saat proses hemodialisis, maka difusi zat-zat tersebut akan terjadi dari dialisat ke darah.

Ultrafiltrasi merupakan proses berpindahnya air dan zat terlarut karena perbedaan tekanan hidrostatis dalam darah dan dialisat. Tekanan darah yang lebih tinggi dari dialisat memaksa air melewati selaput semipermeabel. Air mempunyai molekul sangat kecil sehingga pergerakan air melewati selaput diikuti juga oleh zat sampah dengan molekul kecil.

Kedua peristiwa tersebut terjadi secara bersamaan. Setelah proses penyaringan dalam dialiser selesai, maka akan didapatkan darah yang bersih. Darah itu kemudian akan dialirkan kembali ke dalam tubuh.

(PSN, 2011)

Page 24: Makalah_GGK_imeldaii

E. DAFTAR PUSTAKA

Azmi, S., 2003.Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik pra dialysis.Dibuka pada web site

http://www.kompas.co.id/medika pada tanggal 14 Maret 2016.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, 2013, Riset

Kesehatan Dasar, Jakarta, pp 129.

Baradero, M., 2005, Klien Gangguan Ginjal : Seri Asuhan Keperawatan, Kedokteran EGC,

Jakarta, 124.

Botev, 2009, Estimating Glomerular Filtration Rate: Cockcroft-Gault and Modification of Diet in

Renal Disease Formulas Compared to Renal Inulin Clearance, Clin J Am Soc Nephrol,

4(5): 899-906.

Corwin, E. J., 2009, Handbook of Pathophysiology, EGC, Jakarta, pp. 729.

Dipiro , J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., and Posey, L. M., 2008,

Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, 7th edition, McGrawHill, New York,

pp. 706, 712.

Henry Ford Health System, 2011, Chronic Kidney Disease, Divisions of Nephrology and

Hypertension and General Internal Medicine, United States, pp. 29

KDIGO, 2012, Tata Laksana Anemia Pada Pasien Penyakit Ginjal

Kronis(PGK),http://www.kalbemed.com/News/tabid/229/id/2571/Guideline-KDIGO-

2012-Tata-Laksana-Anemia-Pasien-PGK.aspx, diakses tanggal 16 Maret 2016.

Levin, A., 2008, Guideline for the management of chronic kidney disease, CMAJ, 179(1).hal

1154-1162.

Levey, A.S.,2007. Chronic Kidney Disease Progression, Tufts Open Course Ware, Tufts

University School of Medicine, Boston United States.

National Institute for Health and Care Excellence, 2014, NICE Clinical Guideline :Early

Identification and Management of Chronic Kidney Disease in Aults in Primary and

Secondary Care, pp 4.

NICE, 2014, Chronic Kidney Disease In Adults: Assesment and Management, NICE, United

kingdom, pp. 39-50.

National Kidney Foundation (NKF), 2013, Frequently Asked Question about GFR Estimates, pp.

5-6.

http://www.drugs.com/mtm/sodium-bicarbonate.html

Page 25: Makalah_GGK_imeldaii

National Kidney Foundation, 2004, Clinical Practice Guidelines For Kidney Disease Evaluation,

http://www2.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_bp/guide_7.htm

http://reference.medscape.com/drug/avalide-irbesartan-hydrochlorothiazide-342339 , diakses tanggal 14 Maret 2016.

National Kidney Fondation, 2012, KDOQI Practice Guideline For Diabetes and CKD: 2012

Update, https://www.kidney.org/sites/default/files/docs/diabetes-ckd-update-2012.pdf,

diakses tanggal 12 Maret 2016.

National Kidney Fondation, 2009, Clinical Practice Guidelines For Kidney Disease: Evaluation,

Classification and Stratification, New York.

Sukandar, E.Y., 2011, ISO Farmakoterapi II, Ikatan Apoteker Indonesia, Jakarta, p.335.

Sudoyo, A.W., Alwin, I, Setiyohadi, B, Simadribata, K.M., Setiati, S, 2006, Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam, Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta, p. 67.

Syamsudin, 2011, Buku AjarFarmakoterapi Kardiovaskular Dan Renal, Penerbit Salemba

Medika, Jakarta.

http://www.drugs.com/mtm/sodium-bicarbonate.html http://www.psn.com.pk/index.php?

page=education.php&id=%2732%27

.