26
Mata kuliah : Teori Hukum Dosen : Prof. Dr. H.M. Galang Asmara, SH., M.Hum Kelas : A Membangun Hukum Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum) Oleh: KELOMPOK IV 1. I KETUT PURWATA I2B 011 031 2. I KETUT SURYA BAWANA I2B 011 032 3. I MADE BADUARSA I2B 011 033 4. I MADE DHANUARDANA I2B 011 034 5. IRAWAN I2B 011 035 6. IRFAN I2B 011 036 7. ISMUDIANTO I2B 011 037 8. I WAYAN WARDANA I2B 011 038 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM 2011

Membangun Hukum Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Membangun Hukum Indonesia

Mata kuliah : Teori HukumDosen : Prof. Dr. H.M. Galang Asmara, SH., M.HumKelas : A

Membangun Hukum Indonesia(Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum)

Oleh:

KELOMPOK IV

1. I KETUT PURWATA I2B 011 0312. I KETUT SURYA BAWANA I2B 011 0323. I MADE BADUARSA I2B 011 0334. I MADE DHANUARDANA I2B 011 0345. IRAWAN I2B 011 0356. IRFAN I2B 011 0367. ISMUDIANTO I2B 011 0378. I WAYAN WARDANA I2B 011 038

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS MATARAM

2011

Page 2: Membangun Hukum Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan

karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan Resume Teori Hukum ini dengan

judul “Membangun Hukum Indonesia” yang diambil dari kumpulan Pidato Pengukuhan

Guru Besar Ilmu Hukum.

Pembuatan resume ini dibentuk dengan kerjasama anggota kelompok IV dengan

fokus bahasan tentang “kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum”. Tugas

resume ini merupakan bagian dari proses pembelajaran pada Magister Ilmu Hukum agar

mahasiswa lebih memahami secara mendalam dan konfrehensif tentang teori-teori

hukum.

Pendekatan belajar secara kelompok tentu sangat baik karena memberi ruang lebih

besar terhadap interaksi pembelajaran diskusi untuk mencapai tingkat pemahaman lebih

mendalam. Dari diskusi-diskusi di antara anggota kelompok dalam kelompok kecil ini,

kemudian dikembangkan lagi pada diskusi-diskusi antar kelompok dan diskusi kelas.

Dengan demikian diharapkan dapat digali lebih jauh masalah-masalah pada teori hukum.

Tulisan ini pada dasarnya secara utuh bersumber dari buku yang merupakan

kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum. Mudah-mudahan tulisan ini akan

mampu memberikan sumbangan pemahaman bersama mengenai pembangunan hukum di

Indonesia, khususnya bagi kelompok IV terhadap materi pembelajaran teori hukum yang

diberikan.

Mataram,

Penulis

Page 3: Membangun Hukum Indonesia

Membangun Hukum IndonesiaPidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum

Negara Indonesia adalah Negara hukum, begitu yang dinyatakan dalam konstitusi kita

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam

amandemennya yang ketiga, Agustus 2001 yang lalu. Sehingga seharusnya seluruh sendi

kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara kita harus berdasarkan norma-norma hukum.

Walaupun pada kenyataannya hukum merupakan produk politik dimana hukum tergantung pada

konfigurasi politik yang sedang berlangsung seperti yang dikatakan oleh mahfud MD, namun

seharusnya hukum harus tetap memuat nilai-nilai ideal yang harus dijunjung tinggi dan

ditegakkan oleh segenap elemen masyarakat. Akantetapi muncul pertanyaan, mengapa sampai

saat ini dalam kenyataannya masyarakat seperti tidak percaya kepada hukum sebagai salah satu

solusi atas permasalahan yang terjadi disekitarnya ? sebutlah misalnya perbuatan main hakim

sendiri (eigenrichting) terhadap pencuri yang tertangkap tangan oleh masyarakat, atau

pelanggaran lalu lintas yang terjadi di jalan raya dimana hukum diasosiasikan oleh masyarakat

dengan penegak-penegak hukum seperti polisi, sehingga jika tidak ada polisi maka tidak ada

hukum. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia masih belum adanya kesadaran

tentang Hukum.

Kondisi tersebut mungkin masih lebih baik, apabila dibandingkan dengan kondisi

masyarakat yang sudah tidak percaya lagi kepada para penegak hukum seperti Polisi, Jaksa,

Hakim dan Pengacara. Hal ini dikarenakan sudah sangat kronisnya krisis kepercayaan

masyarakat terhadap hukum, dimana penyumbang terbesar krisis tersebut adalah dari penegak

hukumnya sendiri. Para pencari keadilan yang notabene adalah masyarakat kecil sering dibuat

frustasi oleh lembaga “Peradilan” yang lebih memihak golongan berduit. Sehingga orang sering

menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap

hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan yang besar tetapi malah hewan

tersebut mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba.

Salah satu yang memberikan kontribusi bagi kebobrokan moral penegak hukum tersebut

bisa jadi adalah pendidikan hukum. Pendidikan hukum kita selama ini hanya menyentuh pada

tataran teoritik belaka, mengabaikan aspek moral. Sehingga dengan demikian hanya mencetak

“tukang-tukang hukum” dan bukan sarjana hukum dalam pengertian yang sebenarnya. Padahal

semetinya pendidikan hukum kita bisa menciptakan seorang ahli hukum yang berdedikasi dan

bukan ahli hukum yang “jualan hukum”.

Page 4: Membangun Hukum Indonesia

Kita melihat proses dehumanisasi ini semakin cepat yang diakibatkan oleh kehancuran

moral dan ahlak manusia. Manusia tidak lagi memiliki rasa empati terhadap manusia lainnya

yang ditimpa nasib malang, di sisi lain Negara telah enggan “mengurusi” rakyatnya. Masyarakat

mulai frustasi dengan sistem yang dibuat oleh Negara, karena jelas bahwa sistem yang ada

sangat tidak memihak kepentingan orang banyak. Sistem tersebut lebih memihak kepada para

pemodal, politisi busuk, konglomerat hitam, penjahat kemanusiaan, penjarah uang rakyat, dan

penguasa yang menyembah berhala materialisme. Masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada

keadilan yang ditegakkan oleh hukum, masyarakat juga tidak lagi mau memperhatikan nilai-nilai

moral dan susila yang selama ini mapan.

Dalam konteks politik dan kehidupan bernegara, kita sedang mengalami perubahan politik

yang ditandai dengan perubahan di level structural (sistem). Padahal perubahan politik yang

ditandai dengan perubahan di level structural (sistem) yang tidak diikuti dengan perubahan di

level cultural (perilaku) rawan terjadi di negeri-negeri yang berada pada proses transisi

demokrasi. Sehingga kesenjangan antara apa yang terjadi di level structural (sistem) dan di level

cultural (perilaku) merupakan salah satu problem abadi dalam setiap perubahan politik. Problem

utamanya adalah bagaimana membangun dan mengubah tradisi kultural yang selama ini mapan.

Kerap kali terjadi adalah kultur yang lama masih mapan kendati kita telah hidup dalam suasana

yang secara struktural baru sama sekali. Mengganti kultur lama dengan kultur yang baru bukan

pekerjaan yang mudah, apalagi dengan kondisi bangsa yang telah lama melakoni kultur yang

telah ajeg selama berpuluh-puluh tahun lamanya.

Proses konsolidasi demokrasi di tanah air pasca gerakan reformasi 1998, kini telah

memasuki babak baru yang cukup menentukan terutama setelah diamandemennya konstitusi

Negara, UUD 1945. Keberhasilan proses amandemen yang hamper merata disetiap pasal dalam

UUD 1945 terutama berkenaan dengan diterapkannya pemilihan presiden/ wakil presiden secara

langsung, lahirnya Mahkamah Konstitusi, penegasan kembali rumusan tentang Hak Asasi

Manusia, anggara 20 % untuk pendidikan dari APBN dan APBD, dilikuidasinya DPA,

kekuasaan membentuk Undang-Undang yang diserahkan kepada DPR dan lahirnya sistem baru

dalam parlemen berupa sistem bicameral (terdiri dari DPR dan DPD) yang berimplikasi pada

dicabutnya seluruh kursi untuk anggota TNI/ POLRI, tentu saja akan merubah secara mendasar

masa depan demokrasi kita. Dengan struktur dan sistem yang baru tersebut berarti supremasi

rakyat semakin ditegaskan, karena struktur dan sistem tersebut lebih melibatkan partisipasi

politik rakyat yang lebih besar disbanding dengan struktur dan sistem kenegaraan sebelum

amandemen UUD 1945.

Page 5: Membangun Hukum Indonesia

Agenda pokok transisi demokrasi di Indonesia adalah bagaiman memperpendek masa

transisi dan segera melakukan pekerjaan politik penting bagi proses menuju konsolidasi

demokrasi. Jika masa transisi tidak dipercepat, masa transisi ini bisa menjadi bola liar yang tidak

antidemokrasi. Dan proses penataan demokrasi bukan sekedar kepemimpinan yang efektif, tetapi

juga masyarakat yang berdaya. Masyarakat yang berdaya ini merupakan masyarakat yang bisa

mendukung dan menolak pemerintah secara kalkulatif. Jika proses penataan demokrasi sekedar

kepemimpinan saja, masyarakat tidak akan pernah menikmati demokrasi. Jika keadaan ini terjadi

maka bisa jadi bukan ke arah demokrasi yang ingin diwujudkan, tetapi malah kerinduan terhadap

rezim otoritarian yang dinilai berhasil membangun ekonomi, rasa aman, dan stabilitas meski

disadari sebagian itu adalah semu.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami mencoba menyajikan resume beberapa gagasan

dan pemikiran para guru besar yang diperoleh dari kumpulan pidato pengukuhan para guru besar,

adapun pemikiran para guru besar yang tertuang dalam pidatonya merupakan sumber hukum

tambahan dan sarana penunjang bagi usaha pembangunan bidang hukum dan pendidikan hukum.

Olehkarenanya penting agar pemikiran para guru besar ini diketahui oleh publik terutama kita

semua dalam menempuh Studi Ilmu Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum di

Universitas Mataram.

Dalam kumpulan pidato pengukuhan para guru besar, diketahui terdapat beberapa gagasan

dan pemikiran dimana termuat dalam 3 Bab yang mengupas hukum dari berbagai aspek

penelitian hukum. Adapun penelitian tersebut terbagi dalam 3 pengelompokan yakni sebagai

berikut :

I. TEORI HUKUM

1. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana disampaikan

oleh Prof. Mr. Moeljatno, disini beliau melakukan pengkajian terhadap kedua istilah

tersebut, sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan-pertanyaan. Seperti halnya :

kategori perbuatan apakah yang dapat dipidana dan Apabila seseorang melakukan

perbuatan pidana, maka apakah yang menjadi pertanggungjawabannya atas perbuatan

pidana yang dilakukannya serta apa maksud dan tujuan diberikannya

pertanggungjawaban tersebut. Kemudian Asas-asas apakah yang terkandung dalam

pidana.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut beliau menggunakan penelitian

normatif.

Page 6: Membangun Hukum Indonesia

Pertama beliau memaparkan kaitan penggunaan kata yang paling baik digunakan

untuk “pidana” di antara 3 perkataan seperti : Peristiwa, Perbuatan, atau Tindak.

Baik dalam arti paling tepat menyatakan makna yang terkandung di dalamnya. Jika

strafbaar feit diterjemahkan secara letterlijk, maka terjemahannya adalah peristiwa

yang dapat dipidana. Menurut pembentuk WVS strafbaarfeit disatu pihak dipakai

sebagai istilah penyakup yang meliputi : Handeling dan verzuim dan dilain pihak

sebagai nomen generis (nama jenis) yang meliputi kejahatan maupun pelanggaran.

Maka disimpulkan bahwa feit adalh kelakuan positif dan negative, feit adalah

handeling dan gedraging. Sehingga istilah peristiwa ternyata kurang tepat. Oleh karena

tidak menjelaskan apakah yang menimbulkan adanya peristiwa suatu handeling dan

gedraging seseorang. Padahal hal tersebut merupakan syarat mutlak, adapun peristiwa-

peristiwa yang ditimbulkan oleh hewan atau kekuatan alam, tidaklah berarti dalam

hukum pidana. Akan tetapi setelah tahun 1932 feit dipandang bukan dari sudut

pandang jasmani semata-mata, tetapi dipandang juga dari sudut pandang hukum

pidana (uit strafrechtelijk oogpunt). Hal ini diikuti pula dalam praktek peradilan

Nederlandsh-Indie dahulu, sehingga tidak ada alasan pengadilan-pengadian kita tidak

meneruskan pendapat itu.

Sehingga pilihan yang paling tepat mencerminkan makna seharusnya dipakai istilah

Perbuatan, karena perbuatan berarti keadaan yang dibuat seseorang; barang sesuatu

yang dilakukan (Purwodarminto).

Sebaliknya istilah tindak berarti langkah dan baru dalambentuk, tindak tanduk berarti

tingkah laku, kelakuan atau perbuatan. Apabila digunakan dalam penyebutan

perbuatan-perbuatan maka sudah lazim digunakan, akantetapi digunakan penyebutan

tindak-tindak maka akan sulit menemukan maknanya apalagi kalau diartikan lebih

tepat berarti jalan-jalan (dalam bahasa jawa tengah).

Sehingga dapat diterima istilah perbuatan pidana menggantikan strafbaar feit

dibanding tindak atau peristiwa.

Kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebelumnya, adapun

pokok pikiran dalam perbuatan pidana, diletakkan pada sifatnya perbuatan dan bukan

pada sifatnya orang yang melakukan. Menurut Pompe, baik sifat melawan hukumnya

perbuatan (wederrechtdelijkheid) maupun kesalahan (schuld), menurut hukum positif

Nederland bukanlah merupakan syarat-syarat yang mutlak untuk adanya strafbaar feit.

Pompe berpendapat strafbaar feit telah ada jika unsur-unsur tersebut telah ada dalam

Page 7: Membangun Hukum Indonesia

rumusan delik. Akantetapi pendapat tersebut ditentang keras oleh Schepper,

menurutnya wederrechtdelijkheid dan schuld dengan tidak memandang apakah disebut

dalam rumusan delik atau tidak, beliau berpendpat bahwa tidak mungkin ada strafbaar

feit/ Perbuatan Pidana kalau tidak ada wederrechtdelijkheid/ sifat melawan hukum.

Sebagai contoh yaitu bagaimana mungkin seseorang dikatakan melakukan strafbaar

feit/ Perbuatan Pidana apabila dia melakukan perintah jabatan yang harus menjerat

tali penggantung pada leher pesakitan yang akan dijatuhi pidana mati. Maka dapat

disimpulkan bahwa jika sifat melawan hukum tidak ada, tidak dapat dikatakan ada

strafbaar feit/ Perbuatan Pidana. Barang siapa memenuhi unsur delik, dengan berbuat

melawan hukum, maka dia melakukan strafbaar feit/ Perbuatan Pidana, dikecualikan

jika ada hal-hal yang mengubah perbuatan yang biasanya tidak dapat diterima,

menjadi perbuatan yang dapat diterima, bahkan sangat diharapkan maka hilanglah sifat

strafbaar feit/ Perbuatan Pidana. Selain memenuhi syarat-syarat formil tadi,

perbuatan harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang

tidak boleh atau tidak patut untuk dilakukan. Karena bertentangan atau menghambat

tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat.

Dengan kata lain sifat itu sesungguhnya adalah sifat melawan hukumnya

perbuatan (wederrechtdelijkheid der gedraging) bukan saja ditinjau dari sudut

perundang-undangan, akan tetapi juga dari sudut yang lebih dalam, yang materil.

Kemudian terkait pertanggungjawaban terhadap hukum pidana, apabila merujuk

kedalam bahasa belanda “strafrechterlijke toerekening” dan bahasa inggris “Criminal

Responsibilty” atau “Criminal liability”. Kalau dalam perbuatan pidana yang menjadi

pusat adalah perbuatannya, akan tetapi sebaliknya dalam pertanggung jawab yang

menjadi pusat adalah orang yang melakukan perbuatan.

Perbuatan pidana baru mempunyai arti kalau ada pertanggungjawab, sebaliknya tidak

mungkin ada pertanggung jawab jika syarat mutlak bagi adanya pertanggung jawab

yang berupa pengenaan pidana. Sebab bagi masyarakat Indonesia berlaku azas tidak

dipidana jika tidak ada kesalahan “Geen straf zonder schuld”. Apabila kita

mengetahui ada orang yang dijatuhi pidana sekalipun dia tidak mempunyai kesalahan,

niscaya hal tersebut akan dirasakan tidak adil dan tidak semestinya.

Maksud dan tujuan diberikannya pertanggungjawaban pidana adalah untuk melindungi

masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikan atau tidak patut dilakukan dan

Page 8: Membangun Hukum Indonesia

untuk menginsyafkan orang bahwa yang telah dilakukan adalah keliru dan tidak boleh

diulangi lagi, baik oleh dia sendiri maupun orang lain.

Dari kedua maksud dan tujuan tersebut di atas dapat dilaksanakan secara maksimal

maka hukum pidana mengandung azas kemasyarakatan dan azas perikemanusiaan,

dimana hal tersebut merupakan sendi-sendi Negara kita.

2. Peranan Hipotik Dalam Sistem Condominium disampaikan oleh Prof. Sri

Soedewi Masjchun Sofwan, SH. Disini beliau berpendapat bahwa hukum tidak hanya

menunggu masalah-masalah social yang terjadi kemudian menyelesaikannya,

melainkan mampu mendahuluinya, mampu memberikan arah bagi kegiatan manusia

ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan, serta mampu menampung kebutuhan-

kebutuhan masyarakat yang mendesak. Kaitan dengan hal tersebut erat hubungannya

dengan pembangunan perumahan masyarakat, pembangunan real estate dan industry

estate, pemukiman, pariwisata, penanaman modal, dan lain-lain. Hak milik bersama

atas tanah dikenal dalam perundang-undangan Indonesia sebagaimana diatur dalam

hukum tanah Indonesia yaitu UUPA beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Hak

milik bersama atas benda tidak bergerak juga dikenal dalam perundang-undangan

modern di negara-negara Eropa, Amerika serta Negara-negara Asean yang tentunya

memakai istilah yang beragam.

Pada umumnya kepemilikan menurut system condominium dilaksanakan sesuai

dengan kebutuhan Negara masing-masing, yaitu sesuai dengan kebutuhan social dan

kebutuhan ekonomi Negara. Di Indonesia sendiri, terhadap hak atas tanah kepunyaan

bersama yang telah bersertifikat berupa hak milik, hak guna bangunan dan hak guna

usaha dapat dibebani hipotik. Hipotik atas tanah tersebut dapat meliputi bangunan

yang ada di atasnya asal pemilik bangunan sama dengan pemegang hak atas tanahnya.

Oleh karena hukum agraria Indonesia mengenal azas pemisahan horizontal pemilikan

dari bagian gedung bertingkat/ apartemen merupakan hak milik secara individual.

Selanjutnya mengenai prosedur pembebanan hipotik ini harus menurut tata cara dan

mekanisme sebagaimana diisyaratkan untuk timbulnya hak jaminan yang kuat harus

melalui prosedur :

a) Perjanjian pemberian kredit bank, dengan kesanggupan jaminan hipotik (perjanjian

pokok dan obligator).

b) Perjanjian pemberian hipotik yang harus dituangkan dalam akta PPAT (perjanjian

yang accesoir dan mengandung cirri hak kebendaan).

Page 9: Membangun Hukum Indonesia

c) Pendaftaran akta hipotik ke seksi pendaftaran tanah (untuk diterbitkan

sertifikatnya, merupakan alat pembuktian yang kuat).

3. Peran Pendidikan Dalam Pembangunan Hukum Nasional Berlandaskan Hukum

Adat disampaikan oleh Prof. Iman Sudiyat, SH, disini beliau berpendapat bahwa

perlu kiranya ditambahkan meskipun Hukum Adat tidak mendapat tempat yang

memadai di dalam Undang-Undang Perkawinan, namun di dalam kehidupan

bermasyarakat, peranannya masih cukup dominan. Hal ini berkaitan pula dengan

adanya beberapa kelemahan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang secara factual

belum diterapkan secara menyeluruh di dalam masyarakat.

Dilihat dari segi formal, hukum nasional adalah hukum yang dibentuk atau ditetapkan

oleh pembentuk Undang-Undang yang bersifat nasional.

Dilihat dari segi material, hukum nasional adalah hukum yang berisi bahan-bahan

yang terdapat dan hidup di dalam diri bangsa Indonesia sendiri, baik yang bersifat idiil

mapun riil.

Sedangkan ditinjau dari aspek asal-usulnya, hukum nasional dibedakan dalam arti

dasar-dasar yang menjiwai isinya dan dalam arti pembentuknya.

Penelitian secara mengenai hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law)

dapat dipergunakan untuk memecahkan persoalan (problem solving) dengan jalan :

a) Penemuan Hukum (rechtsvinding)

b) Pembentukan Hukum (rechtvorming)

c) Pengembangan Hukum (rechtsuitbouw)

Dari pembangunan dan pembinaan hukum nasional secara demokratis, maka semua

wilayah yang dalam rangkuman ketunggalan hakekat kepribadian bangsa masih

menunjukkan kebhinekaan dalam bentuk, isi dan irama rasa keadilan serta kepatutan

itu, seharusnya diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri sebaik-

baiknya di bawah tolok penguji nasional tunggal, ialah Pancasila yang dijabarkan

dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Dengan demikian diharapkan bahwa pendekatannya akan bergaya simpatik

persuasive-edukatif, melalui musyawarah-mufakat yang berdayaguna dan

berhasilguna, karena pemimpinnya memasyarakat, merakyat, dengan menghayati

masalah yang dihadapi bersama. Tidak dengan perintah, intimidasi, paksaan apalagi

kekerasan. Dengan belajar kepada rakyat pula, para pemimpin kita sekarang pun

Page 10: Membangun Hukum Indonesia

mampu menjabarkan pandangan hidup bangsa dan falsafah Negara kedalam butir-butir

ajaran hidup yang tiada ternilai harganya.

II. FILSAFAT HUKUM

1. Implikasi Teori-Teori Moral Pada Hukum, disampaikan oleh Prof. Endang

Daruni Asdi, beliau berpendapat bahwa apabila kita berbicara mengenai hukum,

maka akan terpikirkan oleh kita suatu proses pengadilan, ada hakim, jaksa, penuntut,

dan pengacara, yang semuanya mencoba untuk menyelesaikan suatu perkara agar

terpenuhi suatu keadilan. Akantetapi hukum bukan hanya di dalam pengadilan saja,

melainkan hukum itu ada di dalam masyarakat. Setiap bangsa mempunyai

kebudayaannya sendiri-sendiri, maka hukum pun berbeda antara bangsa satu dengan

yang lainnya. Menurut Von Savigny (Theo Huijbers, 1990 : 114), hukum adalah

penyataan jiwa bangsa – Volksgeist karena pada dasarnya huku tidak dibuat oleh

manusia, tetapi tumbuh dalam masyarakat, yang lahir, berkembang dan lenyap dalam

sejarah. Dalam perjalanan sejarahnya, pengertian hukum berkembang dari pengertian

yang tradisional sampai pada pengertian hukum yang lebih luas sesuai dnegan

perubahan jaman.

Pada masa yunani kuno, sekitar Abad ke-6 sebelum Tahun Umum, hukum yang

berlaku adalah hukum alam. Menurut Aristoteles, ada dua macam hukum. Hukum

yang pertama adalah hukum alam atau hukum kodrat yang berlaku terus-menerus

sesuai dengan aturan-aturan dalam alam. Hukum yang lainnya adalah hukum yang

dibuat oleh manusia.

Runtuhya kekaisaran Roma pada Abad ke-5 Tahun Umum menimbulkan era baru

dalam sejarah yang dikenal sebagai Abad Pertengahan yang berlangsung sekitar seribu

tahun. Abad pertengahan deidominasi oleh agama, agama kristiani di barat dan agama

islam di timur. Karya-karya Aristoteles dipelajari oleh para ahli pikir islam yang

kemudian diteruskan oleh ahli pikir di barat.

Menurut Agustinus, hukum abadi ada pada budi Tuhan. Tuhan mempunyai ide-ide

abadi yang merupakan contoh bagi segala sesuatu yang ada dalam dunia nyata. Oleh

karena itu, hukum ini juga disebut sebagai hukum alam, yang mempunyai prinsip,

“jangan berbuat kepada oranglain, apa yang engkau tidak ingin berbuat kepadamu”

dalam prinsip ini Nampak adanya rasa keadilan.

Page 11: Membangun Hukum Indonesia

Pada Abad Pertengahan ada lima macam teori hukum, yaitu :

a) Hukum abadi – Lex Aeterna – yang merupakan asal mula hukum.

b) Hukum Positif – lex Divina Positive – hukum yang terkandung dalam wahyu

Tuhan, khususnya mengenai keadilan.

c) Hukum Alam – Lex Naturalis – hukum Tuhan yang dapat dilihat pada alam

melalui akal budi manusia.

d) Hukum Bangsa-Bangsa – Lex Gentium, dan

e) Hukum Positif – Lex Humana Positiva – Hukum yang ditentukan oleh yang

berkuasa, yang kemudian menjadi hukum Negara.

Pada Abad ke-17 dan 18, yang dikenal sebagai zaman rasionalisme dan empirisme,

orang mulai berusaha untuk memikirkan hukum secara rasional. Hukum positif mulai

mendapat perhatian yang utama tanpa menghilangkan pengakuan adanya hukum

kodrat yang ada pada rasio manusia dan yang menjadi dasar hukum positif.

Pandangan secara ilmiah tentang hukum dimulai pada Abad ke-19, aliran empirisme

mendapat bentuk baru pada aliran positivism, dan menghasilkan dua macam

positivism huku, yaitu positivism hukum yuridis dan positivsme hukum sosiologis.

Pada Abad ke-20 mulai dibentuk hukum nasional yang berlaku dimasing-masing

Negara. Pada Abad ini diakui adanya hubungan antara hukum dan moral. Moral dan

kesusilaan adalah nilai sebenarnya bagi manusia, satu-satunya nilai yang betul-betul

dapat disebut nilai bagi manusia. Pada dasarnya manusia selalu menginginkan

kebaikan dan berusaha untuk mewujudkannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

moral atau kesusilaan merupakan persoalan yang mendasar bagi kehidupan manusia

sepanjang waktu.

Manusia hidup dalam suatu system hukum yang harus dikonfrontasi dengan

bermacam-macam aspek kehidupan. Kadang-kadang hukum itu dating kepada kita

dalam keadaan kurang menyenangkan, apabila hukum itu mengaharuskan kita untuk

memilih apa yang kita sukai dan yang tidak kita sukai. Kadang-kadang hukum dating

dengan amat baik, apabila hukum itu memberikan perlindungan kepada kita.

Begitu pula halnya dengan moral. Aturan-aturan moral juga ada disekeliling kita, suka

tidak suka, aturan-aturan moral juga mengikat. Tugas aturan moral mengadakan

evaluasi pada hukum. Tugas ini adalah memahami hukum positif sebagai hukum dan

membentuk suatu teori yang bersifat rasional mengenai bagaimana hukum itu yang

Page 12: Membangun Hukum Indonesia

seharusnya. Evaluasi ini dapat bersifat dialektis maupun aplikatif, sesuai dengan titik

singgung yang disentuh. Dialektis, apabila kita pakai untuk meningkatkan pribadi

manusia, meningkatkan manusia sebagai manusia. Aplikatif, apabila moral kita pakai

sebagai evaluator pada hukum, khususnya kita pakai untuk menyoroti tujuan memberi

hukuman pada orang yang melanggar hukum.

2. Refleksi Mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasi Di Indonesia, disampaikan

oleh Prof. Dr. H. R. Soejadi, SH, beliau berpendapat bahwa ada motto dalam bahasa

latin, berbunyi : Fiat Justitia et pereat mundus (ruat coelum), yang artinya hukum

keadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat (sekalipun langit harus

runtuh karenanya). Permasalahan hukum dan keadilan adalah permasalahan lama

akantetapi selalu menarik dan aktual. Meskipun dalam satu hari orang sepuluh atau

bahkan seratus kali mengkritik tentang hukum dan keadilan, namun tidak dapat

disangkal bahwa kehidupan bersama tetap memerlukan hukum dan keadilan. Disini

beliau mengetengahkan beberapa pandangan yaitu Artidjo Alkostar, Soetrisno R., dan

Mula Sadra, dari tiga sosok pemikir tersebut, dimana masing-masing dari sudut

pandang yang berbeda yakni bidang hukum, bidang social dan bidang teologi, namun

menunjukkan adanya titik kesamaan yakni mewujudkan dunia ide ke dunia realita,

atau ranah konsep ke persep dan praktis, dalam kenyataannya tidak selalu mudah

sebagaimana digambarkan, sebagaimana berkait dengan permasalahan hukum dan

keadilan. Kemudian terkait keadilan sosial Siswono Judohusodo mengatakan bahwa

permasalahan keadilan social merupakan tema pergulatan disepanjang peradaban

manusia disembarang masyarakat, jadi tidaklah eksklusif hanya milik bangsa kita.

Terkait isu keadilan telah membuahkan hasil pemikiran-pemikiran besar dalam bidang

filsafat, ekonomi, politik dan kebudayaan (Manan, 1996 :283). Setelah memasuki Era

Reformasi, MPR telah mengeluarkan ketetapan yang menegaskan :

a. Bahwa dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila.

b. Penegasan bahwa Pembukaan UUD 1945 telah mengamanatkan pengakuan,

penghormatan, dan pelaksanaan HAM (ketetapan MPR Nomor XVII/1998 bagian

konsideran).

c. Penegasan bahwa bangsa Indonesia menghormati Deklarasi Universal HAM

(Ketetapan MPR Nomor XVII/1998 bagian konsideren).

Page 13: Membangun Hukum Indonesia

d. Penegakan HAM akan segera dirumuskan menurut sudut pandang bangsa

Indonesia.

e. Penegasan tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan, yakni

dalam Ketetapan MPR Nomor : III/2000.

f. Penegasan tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional berlandasakan

Pancasila sebagai dasar Negara (Ketetapan MPR Nomor V/ 2000 bagian

konsideren).

g. Telah selesainya Amandemen UUD 1945 yakni dengan Amandemen ke empat,

pada bulan Agustus 2002.

h. Pasal II UUD 1945 yang telah mengalami Amandemen menyebutkan bahwa UUD

1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-Pasal.

Dari uraian di atas, menunjukan kepada kita bahwa permasalahan Hukum dan

Keadilan (Keadilan Sosial) menjadi masalah yang mendasar atau fundamental bagi

bangsa Indonesia.

3. Orientasi Nilai Filsafat Hukum Keluarga Refleksi Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, disampaikan oleh Prof. Abdul Ghofur Anshori,

SH., MH., beliau berpendapat bahwa berbicara tentang hukum, perlu kiranya

memikirkan secara mendalam supaya maknanya yang luhur menjadi nyata. Kalau

orang memiliki suatu pengertian hukum yang tepat, maka akan menaruh hormat

terhadapnya dan akan timbul lah semangat membangun suatu Negara hukum yang

lebih sempurna. Jarak antara hukum dan keadilan tidak jauh, orang yang mengerti

makna hukum akan rela untuk taat pada norma yang berlaku dan mereka akan

memandangnya sebagai bagian cita-cita hidup (Huijbers, 1995 : 11).

Pada zaman sekarang ini terdengar orang mempertanyakan relevansi kehidupan

berkeluarga atas dasar pernikahan bagi kehidupan modern. Dalam zaman yang

ditandai oleh paradigm kenisbian yang hampir tidak terkendali, khususnya paham

kenisbian nilai-nilai hidup, pertanyaan tersebut sangat penting kita jawab dengan cara

yang jelas. Mempertanyakan sebuah nilai yang telah mapan adalah sebuah kewajaran,

dan sekali lagi tentu saja kita harus dapat menjawab pertanyaan tersebut. Disamping

jawaban, kita harus dapat mencermati mengapa pertanyaan tersebut muncul

Page 14: Membangun Hukum Indonesia

dimasyarakat, apakah arti pernikahan dan keluarga memang betul tidak relevan

dikehidupan modern semacam ini ?

Ada dua hal yang harus kita pisahkan dalam menganalisa persoalan semacam ini, yang

juga sekaligus untuk menjawab pertanyaan di atas, yang pertama adalah makna

keluarga dan yang kedua adalah makna pernikahan.

Makna Keluarga

Keluarga merupakan keteraturan yang sengaja diciptakan Tuhan untuk manusia.

Keluarga lahir sebagai konsekuensi dari salah satu kefitrahan manusia. Salah satu

unsure fitrah manusia adalah adanya hubungan tarik-menarik yang dialami antara dua

jenis yang berbeda, lelaki dan perempuan. Mengingkari hubungan tarik-menarik itu

akan sama artinya dengan mengingkari hukum alam raya yang telah ditetapkan Tuhan.

Makna Perkawinan

Pernikahan atau Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan

maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan

perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai mahluk yang

berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram

dan rasa kasih saying antara suami istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang

sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup

manusia secara bersih dan berkehormatan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan norma hukum

yang berlaku mengikat untuk semua warga Negara Indonesia dimanapun berada.

Adanya Undang-Undang yang mengatur tentang Perkawinan, termasuk mengenai

keluarga, tidak lepas dari teologis dari pembentukannya.

Perkawinan dan kekeluargaan sebagaimana materinya diatur dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 memiliki aspek manfaat baik bagi warga Negara maupun bagi

Negara yang berperan untuk mewujudkan ketentraman dan keadilan bagi rakyatnya.

Indonesia sebagai sebuah Negara yang berdaulat memiliki system hukum sendiri,

termasuk dalam mengatur masalah perkawinan dan keluarga. Hakikat dasar kodrat

ontology manusia yang mendasari makna hidup keluarga dan perkawinan adalah

bersumber dari nilai-nilai Pancasila sebagaiamana terdapat di dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi Grundnorm Negara Republik Indonesia.

III. PEMBANGUNAN HUKUM MASYARAKAT DAN POLITIK HUKUM HAM

Page 15: Membangun Hukum Indonesia

1. Hendak Kemana Hukum Islam ? disampaikan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH.,

beliau berpendapat bahwa marilah kita mulai meninjau dan mengupas hubungan ayat

23 dengan ayat 24 Annisa itu dari segi ilmu Social Anthropology (ilmu kebudayaan).

Setelah ayat 23 memperinci satu persatu setiap perempun yang karena pertalian darah

atau karena lain-lain sebab dilarang bagi laki-laki untuk mengawininya, maka ayat 24,

setelah menambah larangan-larangan itu dengan wa’imuhsanat, dengan tegas

memploklamirkan bahwa semua perempuan di luar yang tersebut itu adalah halal bagi

setiap laki-laki. Kalau kita ambil dari ilmu social-antropology pengertian-pengertian

disebut dalam bahasa Inggris cross-cousins dan parallel-cousins, maka yang dimaksud

dengan itu adalah perkawinan antara orang-orang yang bersaudara sepupu atau orang-

orang senenek atau sedatuk. Jika seorang laik-laki dan seseorang perempuan yang

sedatuk atau senenek, sepupu karena ibu atau bapak mereka masing-masing itu

bersaudara sebapak atau bersaudara seibu atau bersaudara kandung, maka hubungan

perkawinan sepupu antara laki-laki dan perempuan tersebut dinamakan parallel-

cousins.

Untuk mengerti secara khasnya cross-cousins atau parallel-cousins itu menurut system

kekeluargaan setempat, kita harus terlebih dahulu membentangkan jenis-jenis pokok

daripada system kekeluargaan manusia itu. Pada pokoknya dapatlah kita bagi system

kekeluargaan manusia itu menurut tiga jenis besar, yaitu jenis yang dinamakan

bilateral, patrineal, dan matrilineal, dengan bepedoman kepada cara manusia itu

menarik garis keturunan ke atas.

Sebagai contoh kita ambillah masyarakat orang jawa yang menganut sistem

kekeluargaan menurut cara bilateral, kemudian masyarakat orang batak menganut

sistem kekeluargaan menurut cara patrilineal, sedangkan masyarakat orang

minangkabau menganut sistem kekeluargaan menurut cara matrilineal. Sistem

patrilineal maupun sistim matrilineal, selalu menimbulkan dalam masyarakat

kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang didalam ilmu pengetahuan kerapkali disebut

clan, yang di kepulauan kita ini mempunyai nama-nama menurut bahasa daerahnya

masing-masing.

Sebagai orang yang beriman maka orang islam akan mengartikan soal itu bukan hanya

sebagai pertumbuhan semata-mata bagi masyarakat yang bersangkutan, tetapi selalu

iman itu akan membawa kepada keyakinan bahwa pertumbuhan itu adalah

Page 16: Membangun Hukum Indonesia

pelaksanaan kemauan Tuhan yang menakdirkan bahwa hidup manusia harus bilateral.

Dan takdir itu telah dinyatakan sendiri oleh Tuhan dalam kaedahNya seperti termaktub

dalam ayat 24 An-Nisa itu. Hanya dengan keinsafan yang didukung oleh keyakinan

tersebut itu, umat islam tidak akan membiarkan perkembangan itu sekedar yang

disebut kemauan “alam”, akan tetapi dia akan ikut secara aktif menyalurkan

perkembangan yang telah ditakdirkan itu ke arah bentuk yang diridoi oleh Tuhannya.

Dengan ini telah tegas dapat kita nyatakan bahwa Allah tidak meridoi system

patrilineal dan matrilineal, karena sistim-sistim itu mengadakan syarat bagi

perkawinan, maka satu-satunya konklusi yang dapat ditarik ialah bahwa qur’an

melalui ayat 24 Annisa itu menghendaki sebagai keridoan Tuhan suatu bentuk

masyarakat yang bilateral dimana orang tidak dapat lagi mengadakan syarat exogami.

Kalau kita sudah berhasil menciptakan hukum fiqih yang tidak dapat dikoreksi lagi

maka kesatuan hukum fiqih itu haruslah berlaku bagi seluruh umat islam. Dan selagi

ada perbedaan besar dikalangan umat islam mengenai hukum yang dikehendaki oleh

Tuhan maka berartilah itu bahwa kita belum sanggup mendalami kemauan Tuhan.

Tuhan sendiri tidak mungkin mempunyai berbagai faham tentang sesuatu, karena tidak

selaras dengan sifat ke-Maha-EsaanNya itu, sehingga manakala ada pertikaian di

antara manusia maka sumbernya adalah di alam pikiran manusia itulah, yang

senantiasa dipengaruhi oleh keadaan-keadaan khusus dalam masyarakatnya yang telah

memupuk alam pikirannya itu. Dalam berikhtiar mencari hukum yang diridoi Tuhan

janganlah kita berlaku seperti orang yang mengingini rumah yang baru, telah

merobohkan rumahnya yang ada, sedangkan rumah yang baru masih akan dibentuk

lagi. Perbuatan semacam itu adalah perbuatan yang sia-sia dan tidak bijaksana. Maka

tetaplah kita dalam mazhab kita dalam menunggu dan dalam berikhtiar terciptanya

perubahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sistim yang ada diperbaiki secara

berangsur-angsur dan dengang demikian secara aktif melanjutkan usaha-usaha

mujtahid-mujtahid masa silam yang terhenti usahanya dengan jatuhnya imperium

islam. Pembentukan hukum, yang telah terhenti berjalan kira-kira tujuh abad itu,

hendaklah kita kerahkan kembali, tetapi kali ini dengan sungguh-sungguh mempelajari

terlebih dahulu apa bentuk masyarakat yang diridoi Tuhan yang gambarannya telah

diberikanNya dalam Qur’an. Masyarakat yang dikehendaki Qur’an tak mungkin

masyarakat heterogen, sebab corak hukum yang diberikannya adalah homogeny,

Page 17: Membangun Hukum Indonesia

selaras dengan homogenitas dan integritas yang terkandung dalam sifat tauhidNya

Tuhan.

2. Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup,

disampaikan oleh Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., beliau

berpendapat bahwa peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup

mempunyai jangkauan luas. Peran serta tersebut tidak hanya meliputi peran serta para

individu yang terkena berbagai peraturan atau keputusan administrative, akan tetapi

meliputi pula peran serta kelompok dan organisasi dalam masyarakat.

Peran serta efektif dapat melampaui kemampuan orang seorang, baik dari sudut

kemampuan keuangan maupun dari sudut kemampuan pengetahuannya sehingga peran

serta kelompok dan organisasi sangat diperlukan, terutama yang bergerak dibidang

lingkungan hidup.

Adapun sebagai pokok pikiran yang melandasi perlunya peran serta masyarakat dapat

dikemukakan sebagai berikut :

a) Memberi informasi kepada pemerintah.

b) Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan.

c) Membantu perlindungan hukum.

d) Mendemokrasikan pengambilan keputusan.

Peran serta masyarakat dapatlah dipandang untuk membantu Negara dan lembaga-

lembaganya guna melaksanakan tugas dengan cara yang lebih dapat diterima dan

berhasil guna.

Dalam hubungan ini, berbagai masalah perlu mendapatkan perhatian, diantaranya

sebagai berikut :

a) Pemastian penerimaan informasi

b) Informasi lintas batas (transfrontier information)

c) Informasi tepat waktu (timely information)

d) Informasi lengkap (comprehensive information)

e) Informasi yang dapat dipahami.

Page 18: Membangun Hukum Indonesia

Guna mendayagunakan dan menghasilgunakan peran serta masyarakat dalam

pengelolaan lingkungan hidup, perlu dipenuhi persyaratan sebagai berikut :

a) Pemimpin eksekutif yang terbuka.

b) Peraturan yang akomodatif.

c) Masyarakat yang sadar lingkungan.

d) Lembaga swadaya masyarakat yang tanggap.

e) Informasi yang tepat, dan

f) Keterpaduan.

3. Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam Membangun Model Penegakan

Hukum Di Indonesia, disampaikan oleh Prof. Dr. Bambang Poernomo, SH.,

beliau berpendapat bahwa hampir setiap hari orang banyak membicarakan hukum

pidana dalam hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat. Memahami

keberadaan dan berlakunya hukum pidana secara seksama ternyata banyak mengalami

kesulitan ditengah-tengah masyarakat luas, baik di lingkungan sarjana hukum maupun

di antara fungsionaris penyelenggara hukum pidana. Apalagi orang awam sulit

diharapkan memahami hukum pidana.

Sebagian orang merasa lega hatinya karena hukum pidana dapat membalas dengan

penerapan sanksi pidana pada orang lain yang dinyatakan oleh yang berwenang

melanggar peraturan perundang-undangan hukum pidana. Beberapa bagian orang yang

lain merasa kecewa karena hukum pidana ditetapkan dengan tidak tepat, seringkali

dikatakan kurang adil dan ada pula keputusan pengadilan yang keliru, bahkan sebagian

orang sangat sedih karena hukum pidana berubah menjadi kekuasaan yang mudah

disalahgunakan.

Ditinjau dari dimensi sejarah hukum, sejak awal pertumbuhan pada masa imperium

Negara Romawi telah dibentuk hukum pidana berdasarkan pemikiran pola arus atas ke

bawah secara otoriter, bersifat absolute dan non-legalitas dengan ciri sanksi pidana

yang tidak berprikemanusiaan. Suasana Hamurabi terus berkembang, faham retalisme

menjadi pola dasar hukum pidana dengan sanksi pembalasan menurut agresif manusia

(Sutherland, 1960).

Page 19: Membangun Hukum Indonesia

Gerakan Renaissance tentang kelahiran hidup baru untuk kebebasan hidup manusia

tidak begitu banyak menyentuh kehidupan hukum pidana yang tegar.

Revolusi kemerdekaan dan kebebasan manusia dari Perancis 1789-1815 hanya

menghasilkan perubahan terbatas sampai bidang politik kenegaraan untuk pergeseran

pemerintahan dan silih berganti pimpinan Negara.

Kekawatiran dan kecemasan terhadap hukum pidana pada abad ke-18 dari tokoh-tokoh

masyarakat dan negarawan makin bertambah meluas. Kritik-kritik yang tajam

ditunjukan pada “manfaat” diadakannya hukum pidana dan sifat pelanggaran hukum

itu “relative”. Hadirnya hukum pidana jangan terkungkung dalam lingkaran yang

sempit, karena pengaturannya hanya semata-mata untuk pelanggar hukum saja.

Sekitar abad ke-19 muncul pandangan baru dari sisi lain menyumbangkan konsep

biologi kriminil dan sosiologi kriminil dalam memperbaharui hukum pidana supaya

dapat terbuka untuk menerima ilmu bandu sebagai ilmu kenyataan. Hasil karya

kedokteran, psikologi dan ilmu kemasyarakatan lainnya sangat membantu

pertumbuhan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana pada abad ke-19 hanya

memperoleh catatan kecil dari penyusunan kodifikasi yang mengandung asas

kemanusiaan sesuai dengan cara pikiran Beccaria. Kodifikasi hukum pidana itu

dimaksudkan menjadi pelopor hukum pidana baru untuk Negara-negara di eropa dan

daerah jajahannya, tetapi saying terhambat oleh terulangnya aksi-aksi revolusi

Perancis (1815-1848) dan ketegangan perang di Benua Eropa dan Amerika. Sesudah

perang dunia ke II dibentuk perkumpulan “The International Society Defence” tahun

1947 untuk mengembangkan konsep baru modifikasi social defence. Kelompok

radikal dari perkumpulan ini dengan keras hendak menghapuskan hukum pidana

dipimpin oleh Filippo Gramatica (italia) yang terkenal dengan aliran abolusionis,

sedangkan kelompok moderat menghendaki formulasi baru hukum pidana dipimpin

oleh Marc Ancel (Perancis) yang masuk dalam golongan aliran reformis.

Atas dasar telaah ilmu hukum dari segi dimensi sejarah dan revolusi hukum pidana,

perlu dimaklumi bahwa selama ini hampir disetiap Negara terdapat benturan antara

pandangan hukum pidana orde lama berhadapan dengan pandangan pembaharuan

hukum pidana. Sekarang dengan mudah dapat diduga, karena benturan itulah

pekerjaan penyusunan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia

sejak gagasan itu dimulai tahun 1963 belum dapat diselesaikan sampai hari ini.

Sehubungan dengan kelemahan hukum pidana seringkali terjadi putusan pidana yang

Page 20: Membangun Hukum Indonesia

keliru, sesat dan sulit diperbaiki dengan akibat membawa korban terpidana beserta

keluarganya dan masyarakat lingkungannya. Peradilan pidana seringkali sesat ketika

mengajukan perkara maupun dalam menjatuhkan pidana. Kesesatan peradilan pidana

tidak hanya dilkukan oleh hakim saja, mungkin juga dilakukan jaksa atau hakim,

termasuk malpraktek profesi hukum.

Secara teoritik akademik hakekat penghayatan dan pengamalan Pancasila dan Pokok

pikiran pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat menjadi nilai filsafati dan dasar

hukum fundamental untuk mengkaji penyesuaian substansi pembaharuan hukum

pidana. Tidaklah berkelebihan apabila berpendapat bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan

refleksi enam doktrin alternative pembaharuan hukum pidana itu telah selaras dengan

hakekat Eka Prasetia dalam Pancasila dan butir ke 4 Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945.

4. Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD

1945), disampaikan oleh Prof. Dr. Dahlan Thalib, SH.,M.Si., beliau berpendapat

bahwa gema reformasi yang bergaung beberapa waktu yang lalu ternyata telah

menggetarkan hampir semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Diskursus tentang perlunya penyesuaian-penyesuaian terhadap tuntutan perubahan

dalam dinamika kehidupan politik ketatanegaraan Indonesia menjadi berlangsung

dengan marak tanpa henti-hentinya. Baik itu dilakukan oleh para akademisi, politisi,

insane pers, maupun LSM. Dari sudut pandang Hukum Tata Negara fenomena ini

tentu saja sangat penting dan positif dalam rangka membentuk atau mendesain

demokrasi yang berorientasi pada keadilan, supremasi huku, civil society, check and

balances yang mengabukan dominasi kekuasaan seperti strong presidensiil,

akuntabilitas kekuasaan dan pluralism atau kemajemukan dalam konteks NKRI.

Tuntutan terhadap perubahan konstitusi atau Undang-Undang Dasar dikarenakan tidak

ada satu system ketatanegaraan yang digambarkan dalam konstitusi atau Undang-

Undang Dasar sudah sempurna pada saat dilahirkan, karena dia adalah produk

jamannya. Setelah tiga dasawarsa bangsa ini terpasung, maka tidak dapat tidak,

reformasi UUD 1945 harus merupakan condition sine qua non untuk tegaknya

demokrasi, rule of law, pengendalian kekuasaan dan memungkinkan warga Negara

secara maksimal mempergunakan kebebasan individu dan hak politik

partisipatorisnya.

Page 21: Membangun Hukum Indonesia

Salah satu materi muatan dalam rangka perubahan ketiga UUD 1945 adalah mengenai

posisi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara dalam system ketatanegaraan

Indonesia pasca pemilihan umum 2004. Berdasarkan perubahan tersebut, maka pada

masa yang akan dating lembaga parlemen dikembangkan menjadi dua kamar

(bicameral). Kedua parlemen itu akan dinamakan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)

dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dengan tetap mempertahankan MPR sebagai

forum persidangan bersama antara kedua kamar parlemen tersebut. Perubahan ketiga

UUD 1945, akan lebih mempertegas dianutnya system peremintahan presidensil,

karena dihapusnya konsep lembaga tertinggi Negara MPR tempat Presiden harus

bertanggung jawab sebagaimana lazim ditemui dalam system pemerintahan

parlementer. Disamping itu, perubahan ini akan pula mempertegas dianutnya system

pemisahaan kekuasaan dan prinsip “check and balances” diantara Lembaga-Lembaga

Tinggi Negara.

5. Metode Ijtihad Hukum Islam Di Indonesia : Upaya Mempertemukan Pesan-

Pesan Teks Dengan Realitas Sosial, disampaikan oleh Prof. Dr. Amir Mu’allim,

MIS., beliau berpendapat bahwa fenomena dan diskursus pemikiran hukum islam di

Indonesia belakangan ini di antaranya telah memunculkan dua cara berpikir yang

bersifat antagonistic. Pertama, pemikiran hukum islam liberal. Kemunculannya di

antaranya didasari oleh argument bahwa pemikiran hukum islam yang ada selama ini

dianggap tidak mampu menjawab persoalan umat kontemporer. Kedua, pemikiran

hukum islam konservatif tekstual yang berorientasi pada masa lalu dan pemahaman

normative. Pemikiran ini didasari asumsi bahwa hukum islam yang telah ada sudah

sangat lengkap dan dapat menjawab semua persoalan umat. Dua corak berpikir di atas

yang secara lahiriah antagonistic, namun memiliki tujuan akhir yang sama yaitu

bagaimana hukum islam dapat menjawab semua permasalahan umat islam

kontemporer di Indonesia, seperti dekadensi moral (pornografi, pornoaksi, dan lain-

lain), korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan lain sebagainya. Untuk mewujudkan tujuan

akhir yang mulia tersebut, kedua corak pemikiran di atas perlu dijembatani dengan

suatu kerangka pemikiran yang bersifat akademik suapaya dapat

dipertanggungjawabkan secar teologis, etis, moral dan keilmuan.

Kerangka pemikiraan yang bersifat akademik dengan penalaran ilmiah tersebut perlu

dirumuskan dalam bentuk metodelogi ijtihad hukum islam yang mempertemukan

Page 22: Membangun Hukum Indonesia

pesan-pesan teks dengan realitas social sehingga dapat dijadikan model sekaligus

panduan dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi di

Indonesia.

Maulana mengungkapkan empat sifat dasar hukum islam yang wajib diketahui dan

dipahami oleh setiap orang yang memiliki minat sebagai pemerhati dan peneliti

terhadap perkembangan hukum islam yaitu :

a) Hukum islam bersifat rahmat.

b) Hukum islam bersifat apriori.

c) Hukum islam itu selalu mengutamakan atau senantiasa berpihak pada

kemaslahatan umat atau kemaslahatan umum.

d) Hukum islam itu membenarkan adanya koreksi ulang/ pengembangan hasil ijtihad

para mujtahid terdahulu.

Hukum islam yang kita warisi hinga kini merupakan hasil ijtihad para faqih yang

sifatnya kontektual. Kajian hukum islam masa depan, perlu keberanian untuk

melakukan ijtihad secara bertanggungjawab dengan mengacu kepada al-quran dan al-

sunna serta mempertimbangkan secara kritis situasi peradaban manusia kontemporer.

Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa landasan fundamental dalam ijtihad adalah

kemaslahatan, kemaslahatan kemanusiaan universal, atau dalam ungkapan yang lebih

operasional “keadilan social”. Tujuan utama penetapan hukum islam yang dilakukan

melalui proses ijtihad adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di

dunia maupun akhirat. Hal ini sejalan visi islam secara keselurahan yang rahmatan

lil’alamin.

6. Politik Hukum Hak Azasi Manusia Di Indonesia, disampaikan oleh Prof. Dr.

Moh. Mahfud MD., SH., SU., beliau berpendapat bahwa kenyataan pada masa lalu

bangsa Indonesia sangat banyak terjadi pelanggaran HAM, diman tidak sedikit

diantaranya dilakukan oleh aparat resmi tentu mengherankan sebab Negara ini

didirikan di atas Negara hukum. Penerimaan Indonesia atas prinsip Negara hukum ini

bukan hanya karena bunyi penjelasan UUD 1945 yang pada kunci pokok pertama

Sistem Pemerintahan Negara menyebutkan bahwa “Indonesia ialah Negara yang

berdasarkan hukum (rechtstaat)…” melainkan juga karena alasan-alasan lain seperti

Page 23: Membangun Hukum Indonesia

yang dituangkan di dalam pembukaan maupun di dalam batang tubuh UUD 1945

sendiri.

Tidaklah mudah bagi bangsa kita untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi

dimasa lalu. Hasil temuan dan rekomendasi KPP HAM yang dibentuk oleh Komnas

HAM baik untuk kasus pelanggaran HAM pasca jajak pendapat di Timor-timur tahun

1999 maupun untuk kasus pelanggaran HAM yang terkait dengan peristiwa tanjung

priok pada tahun 1984 telah menimbulkan pro kontra yang belum memberikan arah

penyelesaian yang jelas. Dalam masalah pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu

kita memang belum mempunyai konsep yang dapat disepakati bersama sehingga

menunjuk ke arah yang jelas.

Sebenarnya masalah pelanggaran HAM di Indonesia bukan hanya terjadi dalam kasus-

kasus politik seperti kasus Timor-timur, Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Maluku, dan

sebagainya melainkan terjadi juga dalam penanganan masalah-masalah criminal yang

biasa. Masih banyak kita jumpai praktik penegakan hukum tindakan yang melanggar

HAM, seperti yang dapat diiventarisasi ke dalam masalah-masalah sebagai berikut :

a) Sering terjadi aparat penegak hukum melanggar HAM menangkap atau menahan

seorang tersangka pelaku kejahatan dengan melakukan penangkapan tanpa surat

perintah.

b) Tidak jarang muncul pesakitan yang hanya menjadi kambing hitam dari suatu

tindak pidana yang berindikasi kuat dilakukan aparat pemerintah maupun

dilakukan oleh orang yang memiliki biaya untuk memunculkan kambing hitam.

c) Banyak juga terjadi proses penanganan perkara di kepolisian yang memakan

waktu sangat lama, bahkan melalui proses tawaar menawar apakah perkara itu

akan diteruskan ke pengadilan atau tidak.

d) Kita juga sering mendengar dihambatnya seseorang tersangka pelaku suatu tindak

pidana kejahatan untuk mendapat bantuan hukum atau hambatan untuk

berhubungan dengan pengacaranya, sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 1999) maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1982

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Page 24: Membangun Hukum Indonesia

e) Pelanggaran HAM seringkali juga terjadi atas ketentuan Pasal 1 butir 21 dan Pasal

24 KUHAP yang menentukan bahwa penahanan atas tersangka dilakukan apabila

ada kekawatiran dan perkiraan bahwa tersangka akan melarikan diri, akan

menghilangkan barang bukti, atau menyulitkan pemeriksaan. Dalam praktik

sering terjadi penuntut umum menahan seseorang tersangka meskipun tidak ada

alas an yang kuat bagi kemungkinan terjadinya salah satu dari tiga alas an

tersebut. Namun tidak jarang pula terjadi ada tersangka yang selayaknya ditahan

ternyata tidak ditahan.

Selain itu pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi bukan hanya pelanggaran

atas hak-hak yang sifatnya fisik seperti yang sebagian besar tadi disebutkan di

atas tetapi juga terhadap hak-hak politik melalui kekerasan-kekerasan politik yang

dilakukan oleh rezim penguasa dimasa lalu dalam penggunaan hak asasi bidang

politik, minimal, meliputi kekerasan terhadap hak berorganisasi, kekerasan

terhadap hak pilih, kekerasan terhadap penyaluran aspirasi dan kekerasan-

kekerasan lainnya.

Dalam kaitannya dengan konstitusi, ditinjau dari sudut socio-legal cultural,

sebenarnya pengaturan HAM di dalam UUD 1945 memang membuka peluang

bagi terjadinya pelanggaran-pelanggaran oleh penguasa sebab rumusan yang

terdapat di dalam UUD 1945 menjadikan HAM sebagai residu HAM. Keharusan

perumusan HAM yang bukan menjadi residu kekuasaan di dalam konstitusi itu

dapat dilacak dalam sejarah HAM dan konstitusi itu sendiri.

Konsep HAM yang muncul dan berkembang di Eropa Barat sejak abad

pertengahan sebenarnya tumbuh bersamaan dengan munculnya paham

kebangsaan yang mengilhami lahirnya Negara-negaara modern dan sekuler. Jika

ditelusuri lebih jauh sekularisasi itu sendiri semula timbul karena terjadinya

konflik yuridiksi antara raja (Negara) dan Paus (gereja) karena ekspansi raja-raja

ke daerah lain di luar teritori yang dulunya dikuasai bersama. Rasionalisasi yang

kemudian muncul adalah teori social contract yang menyebutkan bahwa raja

berkuasa karena adanya perjanjian masyarakat yang memberikan kekuasaan untuk

mengatur dan menyerasikan kepentingan-kepentingan di antara mereka.

Tampak bahwa dari sudut socio-kultural dan legal perjalanan HAM itu berkaitan

dengan perubahan dasar legitimasi pemerintah dari vox dei (suara Tuhan) dengan

Page 25: Membangun Hukum Indonesia

teori teokrasinya vox populi (suara rakyat) dengan teori demokrasinya yang

kemudian sering disetarakan melalui ungkapan vox populi, vox dei (suara rakyat

adalah suara Tuhan).

Di Indonesia sendiri rumusan kontitusi tentang HAM memang merupakan hasil

kompromi dari dua pendapat yang berlainan yakni Soekarno dan Soepomo pada

satu pihak serta Hatta dan Yamin pada pihak lain. Soekarno dan Soepomo

menolak masuknya ketentuan tentang HAM dalam konstitusi karena menurut

mereka Indonesia akan dibangun berdasarkan paham Negara kekeluargaan dan

bukan Negara yang didasarkan pada individualisme, sedangkan Hatta dan Yamin

mengusulkan dimasukkannya ketentuan HAM di dalam konstitusi guna

menghindari penyalahgunaan kekuasaan yang melanggar hak-hak rakyat oleh

para penyelenggara Negara. Perdebatan itu kemudian melahirkan kompromi yang

dimasukkannya beberapa pasal tentang HAM tetapi dengan nuansa partikularistik

dalam arti lebih ditunjukan pada keperluan spesifik warga Negara Indonesia dan

dengan formulasi yang memberik kekuasaan pengaturan oleh Negara melalui

Undang-Undang. Dalam kenyataannya pemerintah memang banyak membuat

Undang-Undang yang menyangkut HAM yang membuka pintu berisi pembenaran

bagi pemerintah untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran atas HAM sendiri

seperti Undang-Undang yang berkaitan dengan Pers, Keormasan, Kepartaian,

Pemilu, dan Lembaga Perwakilan.

Namun kita mengetahui juga bahwa samapai saat ini upaya penyelesaian hukum

atas kasus-kasus pelanggaran HAM dan KKN di masa lalu itu dapat dikatakan

belum menghasilkan apapun, bahkan belum memiliki konsep tentang arah

penyelesaian yang jelas dan lebih bersifat sporadic. Dari pergulatan yang terjadi

selama ini kita mencatat adanya dua kendala utama dalam upaya untuk

menyelesaikan secara hukum atas pelanggaran HAM dan KKN dimasa lalu :

Pertama, kendala teknis-prosedural yang menyangkut pembuktian secara hukum

dan ketersedian aturan hukum; Kedua : kendala politis yang ditandai oleh adanya

kekuatan yang besar untuk menghambat upaya penyelesaian melalui pengadilan.

Page 26: Membangun Hukum Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Ghofur Anshori Abdul dan Malian Sobirin. 2008. Membangun Hukum Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum. Yogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta.