Upload
surya-bawana
View
113
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Mata kuliah : Teori HukumDosen : Prof. Dr. H.M. Galang Asmara, SH., M.HumKelas : A
Membangun Hukum Indonesia(Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum)
Oleh:
KELOMPOK IV
1. I KETUT PURWATA I2B 011 0312. I KETUT SURYA BAWANA I2B 011 0323. I MADE BADUARSA I2B 011 0334. I MADE DHANUARDANA I2B 011 0345. IRAWAN I2B 011 0356. IRFAN I2B 011 0367. ISMUDIANTO I2B 011 0378. I WAYAN WARDANA I2B 011 038
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS MATARAM
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan Resume Teori Hukum ini dengan
judul “Membangun Hukum Indonesia” yang diambil dari kumpulan Pidato Pengukuhan
Guru Besar Ilmu Hukum.
Pembuatan resume ini dibentuk dengan kerjasama anggota kelompok IV dengan
fokus bahasan tentang “kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum”. Tugas
resume ini merupakan bagian dari proses pembelajaran pada Magister Ilmu Hukum agar
mahasiswa lebih memahami secara mendalam dan konfrehensif tentang teori-teori
hukum.
Pendekatan belajar secara kelompok tentu sangat baik karena memberi ruang lebih
besar terhadap interaksi pembelajaran diskusi untuk mencapai tingkat pemahaman lebih
mendalam. Dari diskusi-diskusi di antara anggota kelompok dalam kelompok kecil ini,
kemudian dikembangkan lagi pada diskusi-diskusi antar kelompok dan diskusi kelas.
Dengan demikian diharapkan dapat digali lebih jauh masalah-masalah pada teori hukum.
Tulisan ini pada dasarnya secara utuh bersumber dari buku yang merupakan
kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum. Mudah-mudahan tulisan ini akan
mampu memberikan sumbangan pemahaman bersama mengenai pembangunan hukum di
Indonesia, khususnya bagi kelompok IV terhadap materi pembelajaran teori hukum yang
diberikan.
Mataram,
Penulis
Membangun Hukum IndonesiaPidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum
Negara Indonesia adalah Negara hukum, begitu yang dinyatakan dalam konstitusi kita
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang dirumuskan dalam
amandemennya yang ketiga, Agustus 2001 yang lalu. Sehingga seharusnya seluruh sendi
kehidupan dalam bermasyarakat dan bernegara kita harus berdasarkan norma-norma hukum.
Walaupun pada kenyataannya hukum merupakan produk politik dimana hukum tergantung pada
konfigurasi politik yang sedang berlangsung seperti yang dikatakan oleh mahfud MD, namun
seharusnya hukum harus tetap memuat nilai-nilai ideal yang harus dijunjung tinggi dan
ditegakkan oleh segenap elemen masyarakat. Akantetapi muncul pertanyaan, mengapa sampai
saat ini dalam kenyataannya masyarakat seperti tidak percaya kepada hukum sebagai salah satu
solusi atas permasalahan yang terjadi disekitarnya ? sebutlah misalnya perbuatan main hakim
sendiri (eigenrichting) terhadap pencuri yang tertangkap tangan oleh masyarakat, atau
pelanggaran lalu lintas yang terjadi di jalan raya dimana hukum diasosiasikan oleh masyarakat
dengan penegak-penegak hukum seperti polisi, sehingga jika tidak ada polisi maka tidak ada
hukum. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia masih belum adanya kesadaran
tentang Hukum.
Kondisi tersebut mungkin masih lebih baik, apabila dibandingkan dengan kondisi
masyarakat yang sudah tidak percaya lagi kepada para penegak hukum seperti Polisi, Jaksa,
Hakim dan Pengacara. Hal ini dikarenakan sudah sangat kronisnya krisis kepercayaan
masyarakat terhadap hukum, dimana penyumbang terbesar krisis tersebut adalah dari penegak
hukumnya sendiri. Para pencari keadilan yang notabene adalah masyarakat kecil sering dibuat
frustasi oleh lembaga “Peradilan” yang lebih memihak golongan berduit. Sehingga orang sering
menggambarkan kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap
hewan-hewan kecil, namun tidak mampu menahan hewan yang besar tetapi malah hewan
tersebut mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba.
Salah satu yang memberikan kontribusi bagi kebobrokan moral penegak hukum tersebut
bisa jadi adalah pendidikan hukum. Pendidikan hukum kita selama ini hanya menyentuh pada
tataran teoritik belaka, mengabaikan aspek moral. Sehingga dengan demikian hanya mencetak
“tukang-tukang hukum” dan bukan sarjana hukum dalam pengertian yang sebenarnya. Padahal
semetinya pendidikan hukum kita bisa menciptakan seorang ahli hukum yang berdedikasi dan
bukan ahli hukum yang “jualan hukum”.
Kita melihat proses dehumanisasi ini semakin cepat yang diakibatkan oleh kehancuran
moral dan ahlak manusia. Manusia tidak lagi memiliki rasa empati terhadap manusia lainnya
yang ditimpa nasib malang, di sisi lain Negara telah enggan “mengurusi” rakyatnya. Masyarakat
mulai frustasi dengan sistem yang dibuat oleh Negara, karena jelas bahwa sistem yang ada
sangat tidak memihak kepentingan orang banyak. Sistem tersebut lebih memihak kepada para
pemodal, politisi busuk, konglomerat hitam, penjahat kemanusiaan, penjarah uang rakyat, dan
penguasa yang menyembah berhala materialisme. Masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada
keadilan yang ditegakkan oleh hukum, masyarakat juga tidak lagi mau memperhatikan nilai-nilai
moral dan susila yang selama ini mapan.
Dalam konteks politik dan kehidupan bernegara, kita sedang mengalami perubahan politik
yang ditandai dengan perubahan di level structural (sistem). Padahal perubahan politik yang
ditandai dengan perubahan di level structural (sistem) yang tidak diikuti dengan perubahan di
level cultural (perilaku) rawan terjadi di negeri-negeri yang berada pada proses transisi
demokrasi. Sehingga kesenjangan antara apa yang terjadi di level structural (sistem) dan di level
cultural (perilaku) merupakan salah satu problem abadi dalam setiap perubahan politik. Problem
utamanya adalah bagaimana membangun dan mengubah tradisi kultural yang selama ini mapan.
Kerap kali terjadi adalah kultur yang lama masih mapan kendati kita telah hidup dalam suasana
yang secara struktural baru sama sekali. Mengganti kultur lama dengan kultur yang baru bukan
pekerjaan yang mudah, apalagi dengan kondisi bangsa yang telah lama melakoni kultur yang
telah ajeg selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
Proses konsolidasi demokrasi di tanah air pasca gerakan reformasi 1998, kini telah
memasuki babak baru yang cukup menentukan terutama setelah diamandemennya konstitusi
Negara, UUD 1945. Keberhasilan proses amandemen yang hamper merata disetiap pasal dalam
UUD 1945 terutama berkenaan dengan diterapkannya pemilihan presiden/ wakil presiden secara
langsung, lahirnya Mahkamah Konstitusi, penegasan kembali rumusan tentang Hak Asasi
Manusia, anggara 20 % untuk pendidikan dari APBN dan APBD, dilikuidasinya DPA,
kekuasaan membentuk Undang-Undang yang diserahkan kepada DPR dan lahirnya sistem baru
dalam parlemen berupa sistem bicameral (terdiri dari DPR dan DPD) yang berimplikasi pada
dicabutnya seluruh kursi untuk anggota TNI/ POLRI, tentu saja akan merubah secara mendasar
masa depan demokrasi kita. Dengan struktur dan sistem yang baru tersebut berarti supremasi
rakyat semakin ditegaskan, karena struktur dan sistem tersebut lebih melibatkan partisipasi
politik rakyat yang lebih besar disbanding dengan struktur dan sistem kenegaraan sebelum
amandemen UUD 1945.
Agenda pokok transisi demokrasi di Indonesia adalah bagaiman memperpendek masa
transisi dan segera melakukan pekerjaan politik penting bagi proses menuju konsolidasi
demokrasi. Jika masa transisi tidak dipercepat, masa transisi ini bisa menjadi bola liar yang tidak
antidemokrasi. Dan proses penataan demokrasi bukan sekedar kepemimpinan yang efektif, tetapi
juga masyarakat yang berdaya. Masyarakat yang berdaya ini merupakan masyarakat yang bisa
mendukung dan menolak pemerintah secara kalkulatif. Jika proses penataan demokrasi sekedar
kepemimpinan saja, masyarakat tidak akan pernah menikmati demokrasi. Jika keadaan ini terjadi
maka bisa jadi bukan ke arah demokrasi yang ingin diwujudkan, tetapi malah kerinduan terhadap
rezim otoritarian yang dinilai berhasil membangun ekonomi, rasa aman, dan stabilitas meski
disadari sebagian itu adalah semu.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kami mencoba menyajikan resume beberapa gagasan
dan pemikiran para guru besar yang diperoleh dari kumpulan pidato pengukuhan para guru besar,
adapun pemikiran para guru besar yang tertuang dalam pidatonya merupakan sumber hukum
tambahan dan sarana penunjang bagi usaha pembangunan bidang hukum dan pendidikan hukum.
Olehkarenanya penting agar pemikiran para guru besar ini diketahui oleh publik terutama kita
semua dalam menempuh Studi Ilmu Hukum pada Program Studi Magister Ilmu Hukum di
Universitas Mataram.
Dalam kumpulan pidato pengukuhan para guru besar, diketahui terdapat beberapa gagasan
dan pemikiran dimana termuat dalam 3 Bab yang mengupas hukum dari berbagai aspek
penelitian hukum. Adapun penelitian tersebut terbagi dalam 3 pengelompokan yakni sebagai
berikut :
I. TEORI HUKUM
1. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana disampaikan
oleh Prof. Mr. Moeljatno, disini beliau melakukan pengkajian terhadap kedua istilah
tersebut, sehingga menimbulkan beberapa pertanyaan-pertanyaan. Seperti halnya :
kategori perbuatan apakah yang dapat dipidana dan Apabila seseorang melakukan
perbuatan pidana, maka apakah yang menjadi pertanggungjawabannya atas perbuatan
pidana yang dilakukannya serta apa maksud dan tujuan diberikannya
pertanggungjawaban tersebut. Kemudian Asas-asas apakah yang terkandung dalam
pidana.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut beliau menggunakan penelitian
normatif.
Pertama beliau memaparkan kaitan penggunaan kata yang paling baik digunakan
untuk “pidana” di antara 3 perkataan seperti : Peristiwa, Perbuatan, atau Tindak.
Baik dalam arti paling tepat menyatakan makna yang terkandung di dalamnya. Jika
strafbaar feit diterjemahkan secara letterlijk, maka terjemahannya adalah peristiwa
yang dapat dipidana. Menurut pembentuk WVS strafbaarfeit disatu pihak dipakai
sebagai istilah penyakup yang meliputi : Handeling dan verzuim dan dilain pihak
sebagai nomen generis (nama jenis) yang meliputi kejahatan maupun pelanggaran.
Maka disimpulkan bahwa feit adalh kelakuan positif dan negative, feit adalah
handeling dan gedraging. Sehingga istilah peristiwa ternyata kurang tepat. Oleh karena
tidak menjelaskan apakah yang menimbulkan adanya peristiwa suatu handeling dan
gedraging seseorang. Padahal hal tersebut merupakan syarat mutlak, adapun peristiwa-
peristiwa yang ditimbulkan oleh hewan atau kekuatan alam, tidaklah berarti dalam
hukum pidana. Akan tetapi setelah tahun 1932 feit dipandang bukan dari sudut
pandang jasmani semata-mata, tetapi dipandang juga dari sudut pandang hukum
pidana (uit strafrechtelijk oogpunt). Hal ini diikuti pula dalam praktek peradilan
Nederlandsh-Indie dahulu, sehingga tidak ada alasan pengadilan-pengadian kita tidak
meneruskan pendapat itu.
Sehingga pilihan yang paling tepat mencerminkan makna seharusnya dipakai istilah
Perbuatan, karena perbuatan berarti keadaan yang dibuat seseorang; barang sesuatu
yang dilakukan (Purwodarminto).
Sebaliknya istilah tindak berarti langkah dan baru dalambentuk, tindak tanduk berarti
tingkah laku, kelakuan atau perbuatan. Apabila digunakan dalam penyebutan
perbuatan-perbuatan maka sudah lazim digunakan, akantetapi digunakan penyebutan
tindak-tindak maka akan sulit menemukan maknanya apalagi kalau diartikan lebih
tepat berarti jalan-jalan (dalam bahasa jawa tengah).
Sehingga dapat diterima istilah perbuatan pidana menggantikan strafbaar feit
dibanding tindak atau peristiwa.
Kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebelumnya, adapun
pokok pikiran dalam perbuatan pidana, diletakkan pada sifatnya perbuatan dan bukan
pada sifatnya orang yang melakukan. Menurut Pompe, baik sifat melawan hukumnya
perbuatan (wederrechtdelijkheid) maupun kesalahan (schuld), menurut hukum positif
Nederland bukanlah merupakan syarat-syarat yang mutlak untuk adanya strafbaar feit.
Pompe berpendapat strafbaar feit telah ada jika unsur-unsur tersebut telah ada dalam
rumusan delik. Akantetapi pendapat tersebut ditentang keras oleh Schepper,
menurutnya wederrechtdelijkheid dan schuld dengan tidak memandang apakah disebut
dalam rumusan delik atau tidak, beliau berpendpat bahwa tidak mungkin ada strafbaar
feit/ Perbuatan Pidana kalau tidak ada wederrechtdelijkheid/ sifat melawan hukum.
Sebagai contoh yaitu bagaimana mungkin seseorang dikatakan melakukan strafbaar
feit/ Perbuatan Pidana apabila dia melakukan perintah jabatan yang harus menjerat
tali penggantung pada leher pesakitan yang akan dijatuhi pidana mati. Maka dapat
disimpulkan bahwa jika sifat melawan hukum tidak ada, tidak dapat dikatakan ada
strafbaar feit/ Perbuatan Pidana. Barang siapa memenuhi unsur delik, dengan berbuat
melawan hukum, maka dia melakukan strafbaar feit/ Perbuatan Pidana, dikecualikan
jika ada hal-hal yang mengubah perbuatan yang biasanya tidak dapat diterima,
menjadi perbuatan yang dapat diterima, bahkan sangat diharapkan maka hilanglah sifat
strafbaar feit/ Perbuatan Pidana. Selain memenuhi syarat-syarat formil tadi,
perbuatan harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang
tidak boleh atau tidak patut untuk dilakukan. Karena bertentangan atau menghambat
tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Dengan kata lain sifat itu sesungguhnya adalah sifat melawan hukumnya
perbuatan (wederrechtdelijkheid der gedraging) bukan saja ditinjau dari sudut
perundang-undangan, akan tetapi juga dari sudut yang lebih dalam, yang materil.
Kemudian terkait pertanggungjawaban terhadap hukum pidana, apabila merujuk
kedalam bahasa belanda “strafrechterlijke toerekening” dan bahasa inggris “Criminal
Responsibilty” atau “Criminal liability”. Kalau dalam perbuatan pidana yang menjadi
pusat adalah perbuatannya, akan tetapi sebaliknya dalam pertanggung jawab yang
menjadi pusat adalah orang yang melakukan perbuatan.
Perbuatan pidana baru mempunyai arti kalau ada pertanggungjawab, sebaliknya tidak
mungkin ada pertanggung jawab jika syarat mutlak bagi adanya pertanggung jawab
yang berupa pengenaan pidana. Sebab bagi masyarakat Indonesia berlaku azas tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan “Geen straf zonder schuld”. Apabila kita
mengetahui ada orang yang dijatuhi pidana sekalipun dia tidak mempunyai kesalahan,
niscaya hal tersebut akan dirasakan tidak adil dan tidak semestinya.
Maksud dan tujuan diberikannya pertanggungjawaban pidana adalah untuk melindungi
masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikan atau tidak patut dilakukan dan
untuk menginsyafkan orang bahwa yang telah dilakukan adalah keliru dan tidak boleh
diulangi lagi, baik oleh dia sendiri maupun orang lain.
Dari kedua maksud dan tujuan tersebut di atas dapat dilaksanakan secara maksimal
maka hukum pidana mengandung azas kemasyarakatan dan azas perikemanusiaan,
dimana hal tersebut merupakan sendi-sendi Negara kita.
2. Peranan Hipotik Dalam Sistem Condominium disampaikan oleh Prof. Sri
Soedewi Masjchun Sofwan, SH. Disini beliau berpendapat bahwa hukum tidak hanya
menunggu masalah-masalah social yang terjadi kemudian menyelesaikannya,
melainkan mampu mendahuluinya, mampu memberikan arah bagi kegiatan manusia
ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan, serta mampu menampung kebutuhan-
kebutuhan masyarakat yang mendesak. Kaitan dengan hal tersebut erat hubungannya
dengan pembangunan perumahan masyarakat, pembangunan real estate dan industry
estate, pemukiman, pariwisata, penanaman modal, dan lain-lain. Hak milik bersama
atas tanah dikenal dalam perundang-undangan Indonesia sebagaimana diatur dalam
hukum tanah Indonesia yaitu UUPA beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Hak
milik bersama atas benda tidak bergerak juga dikenal dalam perundang-undangan
modern di negara-negara Eropa, Amerika serta Negara-negara Asean yang tentunya
memakai istilah yang beragam.
Pada umumnya kepemilikan menurut system condominium dilaksanakan sesuai
dengan kebutuhan Negara masing-masing, yaitu sesuai dengan kebutuhan social dan
kebutuhan ekonomi Negara. Di Indonesia sendiri, terhadap hak atas tanah kepunyaan
bersama yang telah bersertifikat berupa hak milik, hak guna bangunan dan hak guna
usaha dapat dibebani hipotik. Hipotik atas tanah tersebut dapat meliputi bangunan
yang ada di atasnya asal pemilik bangunan sama dengan pemegang hak atas tanahnya.
Oleh karena hukum agraria Indonesia mengenal azas pemisahan horizontal pemilikan
dari bagian gedung bertingkat/ apartemen merupakan hak milik secara individual.
Selanjutnya mengenai prosedur pembebanan hipotik ini harus menurut tata cara dan
mekanisme sebagaimana diisyaratkan untuk timbulnya hak jaminan yang kuat harus
melalui prosedur :
a) Perjanjian pemberian kredit bank, dengan kesanggupan jaminan hipotik (perjanjian
pokok dan obligator).
b) Perjanjian pemberian hipotik yang harus dituangkan dalam akta PPAT (perjanjian
yang accesoir dan mengandung cirri hak kebendaan).
c) Pendaftaran akta hipotik ke seksi pendaftaran tanah (untuk diterbitkan
sertifikatnya, merupakan alat pembuktian yang kuat).
3. Peran Pendidikan Dalam Pembangunan Hukum Nasional Berlandaskan Hukum
Adat disampaikan oleh Prof. Iman Sudiyat, SH, disini beliau berpendapat bahwa
perlu kiranya ditambahkan meskipun Hukum Adat tidak mendapat tempat yang
memadai di dalam Undang-Undang Perkawinan, namun di dalam kehidupan
bermasyarakat, peranannya masih cukup dominan. Hal ini berkaitan pula dengan
adanya beberapa kelemahan di dalam Undang-Undang Perkawinan yang secara factual
belum diterapkan secara menyeluruh di dalam masyarakat.
Dilihat dari segi formal, hukum nasional adalah hukum yang dibentuk atau ditetapkan
oleh pembentuk Undang-Undang yang bersifat nasional.
Dilihat dari segi material, hukum nasional adalah hukum yang berisi bahan-bahan
yang terdapat dan hidup di dalam diri bangsa Indonesia sendiri, baik yang bersifat idiil
mapun riil.
Sedangkan ditinjau dari aspek asal-usulnya, hukum nasional dibedakan dalam arti
dasar-dasar yang menjiwai isinya dan dalam arti pembentuknya.
Penelitian secara mengenai hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law)
dapat dipergunakan untuk memecahkan persoalan (problem solving) dengan jalan :
a) Penemuan Hukum (rechtsvinding)
b) Pembentukan Hukum (rechtvorming)
c) Pengembangan Hukum (rechtsuitbouw)
Dari pembangunan dan pembinaan hukum nasional secara demokratis, maka semua
wilayah yang dalam rangkuman ketunggalan hakekat kepribadian bangsa masih
menunjukkan kebhinekaan dalam bentuk, isi dan irama rasa keadilan serta kepatutan
itu, seharusnya diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri sebaik-
baiknya di bawah tolok penguji nasional tunggal, ialah Pancasila yang dijabarkan
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Dengan demikian diharapkan bahwa pendekatannya akan bergaya simpatik
persuasive-edukatif, melalui musyawarah-mufakat yang berdayaguna dan
berhasilguna, karena pemimpinnya memasyarakat, merakyat, dengan menghayati
masalah yang dihadapi bersama. Tidak dengan perintah, intimidasi, paksaan apalagi
kekerasan. Dengan belajar kepada rakyat pula, para pemimpin kita sekarang pun
mampu menjabarkan pandangan hidup bangsa dan falsafah Negara kedalam butir-butir
ajaran hidup yang tiada ternilai harganya.
II. FILSAFAT HUKUM
1. Implikasi Teori-Teori Moral Pada Hukum, disampaikan oleh Prof. Endang
Daruni Asdi, beliau berpendapat bahwa apabila kita berbicara mengenai hukum,
maka akan terpikirkan oleh kita suatu proses pengadilan, ada hakim, jaksa, penuntut,
dan pengacara, yang semuanya mencoba untuk menyelesaikan suatu perkara agar
terpenuhi suatu keadilan. Akantetapi hukum bukan hanya di dalam pengadilan saja,
melainkan hukum itu ada di dalam masyarakat. Setiap bangsa mempunyai
kebudayaannya sendiri-sendiri, maka hukum pun berbeda antara bangsa satu dengan
yang lainnya. Menurut Von Savigny (Theo Huijbers, 1990 : 114), hukum adalah
penyataan jiwa bangsa – Volksgeist karena pada dasarnya huku tidak dibuat oleh
manusia, tetapi tumbuh dalam masyarakat, yang lahir, berkembang dan lenyap dalam
sejarah. Dalam perjalanan sejarahnya, pengertian hukum berkembang dari pengertian
yang tradisional sampai pada pengertian hukum yang lebih luas sesuai dnegan
perubahan jaman.
Pada masa yunani kuno, sekitar Abad ke-6 sebelum Tahun Umum, hukum yang
berlaku adalah hukum alam. Menurut Aristoteles, ada dua macam hukum. Hukum
yang pertama adalah hukum alam atau hukum kodrat yang berlaku terus-menerus
sesuai dengan aturan-aturan dalam alam. Hukum yang lainnya adalah hukum yang
dibuat oleh manusia.
Runtuhya kekaisaran Roma pada Abad ke-5 Tahun Umum menimbulkan era baru
dalam sejarah yang dikenal sebagai Abad Pertengahan yang berlangsung sekitar seribu
tahun. Abad pertengahan deidominasi oleh agama, agama kristiani di barat dan agama
islam di timur. Karya-karya Aristoteles dipelajari oleh para ahli pikir islam yang
kemudian diteruskan oleh ahli pikir di barat.
Menurut Agustinus, hukum abadi ada pada budi Tuhan. Tuhan mempunyai ide-ide
abadi yang merupakan contoh bagi segala sesuatu yang ada dalam dunia nyata. Oleh
karena itu, hukum ini juga disebut sebagai hukum alam, yang mempunyai prinsip,
“jangan berbuat kepada oranglain, apa yang engkau tidak ingin berbuat kepadamu”
dalam prinsip ini Nampak adanya rasa keadilan.
Pada Abad Pertengahan ada lima macam teori hukum, yaitu :
a) Hukum abadi – Lex Aeterna – yang merupakan asal mula hukum.
b) Hukum Positif – lex Divina Positive – hukum yang terkandung dalam wahyu
Tuhan, khususnya mengenai keadilan.
c) Hukum Alam – Lex Naturalis – hukum Tuhan yang dapat dilihat pada alam
melalui akal budi manusia.
d) Hukum Bangsa-Bangsa – Lex Gentium, dan
e) Hukum Positif – Lex Humana Positiva – Hukum yang ditentukan oleh yang
berkuasa, yang kemudian menjadi hukum Negara.
Pada Abad ke-17 dan 18, yang dikenal sebagai zaman rasionalisme dan empirisme,
orang mulai berusaha untuk memikirkan hukum secara rasional. Hukum positif mulai
mendapat perhatian yang utama tanpa menghilangkan pengakuan adanya hukum
kodrat yang ada pada rasio manusia dan yang menjadi dasar hukum positif.
Pandangan secara ilmiah tentang hukum dimulai pada Abad ke-19, aliran empirisme
mendapat bentuk baru pada aliran positivism, dan menghasilkan dua macam
positivism huku, yaitu positivism hukum yuridis dan positivsme hukum sosiologis.
Pada Abad ke-20 mulai dibentuk hukum nasional yang berlaku dimasing-masing
Negara. Pada Abad ini diakui adanya hubungan antara hukum dan moral. Moral dan
kesusilaan adalah nilai sebenarnya bagi manusia, satu-satunya nilai yang betul-betul
dapat disebut nilai bagi manusia. Pada dasarnya manusia selalu menginginkan
kebaikan dan berusaha untuk mewujudkannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
moral atau kesusilaan merupakan persoalan yang mendasar bagi kehidupan manusia
sepanjang waktu.
Manusia hidup dalam suatu system hukum yang harus dikonfrontasi dengan
bermacam-macam aspek kehidupan. Kadang-kadang hukum itu dating kepada kita
dalam keadaan kurang menyenangkan, apabila hukum itu mengaharuskan kita untuk
memilih apa yang kita sukai dan yang tidak kita sukai. Kadang-kadang hukum dating
dengan amat baik, apabila hukum itu memberikan perlindungan kepada kita.
Begitu pula halnya dengan moral. Aturan-aturan moral juga ada disekeliling kita, suka
tidak suka, aturan-aturan moral juga mengikat. Tugas aturan moral mengadakan
evaluasi pada hukum. Tugas ini adalah memahami hukum positif sebagai hukum dan
membentuk suatu teori yang bersifat rasional mengenai bagaimana hukum itu yang
seharusnya. Evaluasi ini dapat bersifat dialektis maupun aplikatif, sesuai dengan titik
singgung yang disentuh. Dialektis, apabila kita pakai untuk meningkatkan pribadi
manusia, meningkatkan manusia sebagai manusia. Aplikatif, apabila moral kita pakai
sebagai evaluator pada hukum, khususnya kita pakai untuk menyoroti tujuan memberi
hukuman pada orang yang melanggar hukum.
2. Refleksi Mengenai Hukum dan Keadilan, Aktualisasi Di Indonesia, disampaikan
oleh Prof. Dr. H. R. Soejadi, SH, beliau berpendapat bahwa ada motto dalam bahasa
latin, berbunyi : Fiat Justitia et pereat mundus (ruat coelum), yang artinya hukum
keadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat (sekalipun langit harus
runtuh karenanya). Permasalahan hukum dan keadilan adalah permasalahan lama
akantetapi selalu menarik dan aktual. Meskipun dalam satu hari orang sepuluh atau
bahkan seratus kali mengkritik tentang hukum dan keadilan, namun tidak dapat
disangkal bahwa kehidupan bersama tetap memerlukan hukum dan keadilan. Disini
beliau mengetengahkan beberapa pandangan yaitu Artidjo Alkostar, Soetrisno R., dan
Mula Sadra, dari tiga sosok pemikir tersebut, dimana masing-masing dari sudut
pandang yang berbeda yakni bidang hukum, bidang social dan bidang teologi, namun
menunjukkan adanya titik kesamaan yakni mewujudkan dunia ide ke dunia realita,
atau ranah konsep ke persep dan praktis, dalam kenyataannya tidak selalu mudah
sebagaimana digambarkan, sebagaimana berkait dengan permasalahan hukum dan
keadilan. Kemudian terkait keadilan sosial Siswono Judohusodo mengatakan bahwa
permasalahan keadilan social merupakan tema pergulatan disepanjang peradaban
manusia disembarang masyarakat, jadi tidaklah eksklusif hanya milik bangsa kita.
Terkait isu keadilan telah membuahkan hasil pemikiran-pemikiran besar dalam bidang
filsafat, ekonomi, politik dan kebudayaan (Manan, 1996 :283). Setelah memasuki Era
Reformasi, MPR telah mengeluarkan ketetapan yang menegaskan :
a. Bahwa dasar Negara Republik Indonesia adalah Pancasila.
b. Penegasan bahwa Pembukaan UUD 1945 telah mengamanatkan pengakuan,
penghormatan, dan pelaksanaan HAM (ketetapan MPR Nomor XVII/1998 bagian
konsideran).
c. Penegasan bahwa bangsa Indonesia menghormati Deklarasi Universal HAM
(Ketetapan MPR Nomor XVII/1998 bagian konsideren).
d. Penegakan HAM akan segera dirumuskan menurut sudut pandang bangsa
Indonesia.
e. Penegasan tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan, yakni
dalam Ketetapan MPR Nomor : III/2000.
f. Penegasan tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional berlandasakan
Pancasila sebagai dasar Negara (Ketetapan MPR Nomor V/ 2000 bagian
konsideren).
g. Telah selesainya Amandemen UUD 1945 yakni dengan Amandemen ke empat,
pada bulan Agustus 2002.
h. Pasal II UUD 1945 yang telah mengalami Amandemen menyebutkan bahwa UUD
1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-Pasal.
Dari uraian di atas, menunjukan kepada kita bahwa permasalahan Hukum dan
Keadilan (Keadilan Sosial) menjadi masalah yang mendasar atau fundamental bagi
bangsa Indonesia.
3. Orientasi Nilai Filsafat Hukum Keluarga Refleksi Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, disampaikan oleh Prof. Abdul Ghofur Anshori,
SH., MH., beliau berpendapat bahwa berbicara tentang hukum, perlu kiranya
memikirkan secara mendalam supaya maknanya yang luhur menjadi nyata. Kalau
orang memiliki suatu pengertian hukum yang tepat, maka akan menaruh hormat
terhadapnya dan akan timbul lah semangat membangun suatu Negara hukum yang
lebih sempurna. Jarak antara hukum dan keadilan tidak jauh, orang yang mengerti
makna hukum akan rela untuk taat pada norma yang berlaku dan mereka akan
memandangnya sebagai bagian cita-cita hidup (Huijbers, 1995 : 11).
Pada zaman sekarang ini terdengar orang mempertanyakan relevansi kehidupan
berkeluarga atas dasar pernikahan bagi kehidupan modern. Dalam zaman yang
ditandai oleh paradigm kenisbian yang hampir tidak terkendali, khususnya paham
kenisbian nilai-nilai hidup, pertanyaan tersebut sangat penting kita jawab dengan cara
yang jelas. Mempertanyakan sebuah nilai yang telah mapan adalah sebuah kewajaran,
dan sekali lagi tentu saja kita harus dapat menjawab pertanyaan tersebut. Disamping
jawaban, kita harus dapat mencermati mengapa pertanyaan tersebut muncul
dimasyarakat, apakah arti pernikahan dan keluarga memang betul tidak relevan
dikehidupan modern semacam ini ?
Ada dua hal yang harus kita pisahkan dalam menganalisa persoalan semacam ini, yang
juga sekaligus untuk menjawab pertanyaan di atas, yang pertama adalah makna
keluarga dan yang kedua adalah makna pernikahan.
Makna Keluarga
Keluarga merupakan keteraturan yang sengaja diciptakan Tuhan untuk manusia.
Keluarga lahir sebagai konsekuensi dari salah satu kefitrahan manusia. Salah satu
unsure fitrah manusia adalah adanya hubungan tarik-menarik yang dialami antara dua
jenis yang berbeda, lelaki dan perempuan. Mengingkari hubungan tarik-menarik itu
akan sama artinya dengan mengingkari hukum alam raya yang telah ditetapkan Tuhan.
Makna Perkawinan
Pernikahan atau Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan
maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan
perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai mahluk yang
berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram
dan rasa kasih saying antara suami istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang
sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup
manusia secara bersih dan berkehormatan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan norma hukum
yang berlaku mengikat untuk semua warga Negara Indonesia dimanapun berada.
Adanya Undang-Undang yang mengatur tentang Perkawinan, termasuk mengenai
keluarga, tidak lepas dari teologis dari pembentukannya.
Perkawinan dan kekeluargaan sebagaimana materinya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 memiliki aspek manfaat baik bagi warga Negara maupun bagi
Negara yang berperan untuk mewujudkan ketentraman dan keadilan bagi rakyatnya.
Indonesia sebagai sebuah Negara yang berdaulat memiliki system hukum sendiri,
termasuk dalam mengatur masalah perkawinan dan keluarga. Hakikat dasar kodrat
ontology manusia yang mendasari makna hidup keluarga dan perkawinan adalah
bersumber dari nilai-nilai Pancasila sebagaiamana terdapat di dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi Grundnorm Negara Republik Indonesia.
III. PEMBANGUNAN HUKUM MASYARAKAT DAN POLITIK HUKUM HAM
1. Hendak Kemana Hukum Islam ? disampaikan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH.,
beliau berpendapat bahwa marilah kita mulai meninjau dan mengupas hubungan ayat
23 dengan ayat 24 Annisa itu dari segi ilmu Social Anthropology (ilmu kebudayaan).
Setelah ayat 23 memperinci satu persatu setiap perempun yang karena pertalian darah
atau karena lain-lain sebab dilarang bagi laki-laki untuk mengawininya, maka ayat 24,
setelah menambah larangan-larangan itu dengan wa’imuhsanat, dengan tegas
memploklamirkan bahwa semua perempuan di luar yang tersebut itu adalah halal bagi
setiap laki-laki. Kalau kita ambil dari ilmu social-antropology pengertian-pengertian
disebut dalam bahasa Inggris cross-cousins dan parallel-cousins, maka yang dimaksud
dengan itu adalah perkawinan antara orang-orang yang bersaudara sepupu atau orang-
orang senenek atau sedatuk. Jika seorang laik-laki dan seseorang perempuan yang
sedatuk atau senenek, sepupu karena ibu atau bapak mereka masing-masing itu
bersaudara sebapak atau bersaudara seibu atau bersaudara kandung, maka hubungan
perkawinan sepupu antara laki-laki dan perempuan tersebut dinamakan parallel-
cousins.
Untuk mengerti secara khasnya cross-cousins atau parallel-cousins itu menurut system
kekeluargaan setempat, kita harus terlebih dahulu membentangkan jenis-jenis pokok
daripada system kekeluargaan manusia itu. Pada pokoknya dapatlah kita bagi system
kekeluargaan manusia itu menurut tiga jenis besar, yaitu jenis yang dinamakan
bilateral, patrineal, dan matrilineal, dengan bepedoman kepada cara manusia itu
menarik garis keturunan ke atas.
Sebagai contoh kita ambillah masyarakat orang jawa yang menganut sistem
kekeluargaan menurut cara bilateral, kemudian masyarakat orang batak menganut
sistem kekeluargaan menurut cara patrilineal, sedangkan masyarakat orang
minangkabau menganut sistem kekeluargaan menurut cara matrilineal. Sistem
patrilineal maupun sistim matrilineal, selalu menimbulkan dalam masyarakat
kesatuan-kesatuan kekeluargaan yang didalam ilmu pengetahuan kerapkali disebut
clan, yang di kepulauan kita ini mempunyai nama-nama menurut bahasa daerahnya
masing-masing.
Sebagai orang yang beriman maka orang islam akan mengartikan soal itu bukan hanya
sebagai pertumbuhan semata-mata bagi masyarakat yang bersangkutan, tetapi selalu
iman itu akan membawa kepada keyakinan bahwa pertumbuhan itu adalah
pelaksanaan kemauan Tuhan yang menakdirkan bahwa hidup manusia harus bilateral.
Dan takdir itu telah dinyatakan sendiri oleh Tuhan dalam kaedahNya seperti termaktub
dalam ayat 24 An-Nisa itu. Hanya dengan keinsafan yang didukung oleh keyakinan
tersebut itu, umat islam tidak akan membiarkan perkembangan itu sekedar yang
disebut kemauan “alam”, akan tetapi dia akan ikut secara aktif menyalurkan
perkembangan yang telah ditakdirkan itu ke arah bentuk yang diridoi oleh Tuhannya.
Dengan ini telah tegas dapat kita nyatakan bahwa Allah tidak meridoi system
patrilineal dan matrilineal, karena sistim-sistim itu mengadakan syarat bagi
perkawinan, maka satu-satunya konklusi yang dapat ditarik ialah bahwa qur’an
melalui ayat 24 Annisa itu menghendaki sebagai keridoan Tuhan suatu bentuk
masyarakat yang bilateral dimana orang tidak dapat lagi mengadakan syarat exogami.
Kalau kita sudah berhasil menciptakan hukum fiqih yang tidak dapat dikoreksi lagi
maka kesatuan hukum fiqih itu haruslah berlaku bagi seluruh umat islam. Dan selagi
ada perbedaan besar dikalangan umat islam mengenai hukum yang dikehendaki oleh
Tuhan maka berartilah itu bahwa kita belum sanggup mendalami kemauan Tuhan.
Tuhan sendiri tidak mungkin mempunyai berbagai faham tentang sesuatu, karena tidak
selaras dengan sifat ke-Maha-EsaanNya itu, sehingga manakala ada pertikaian di
antara manusia maka sumbernya adalah di alam pikiran manusia itulah, yang
senantiasa dipengaruhi oleh keadaan-keadaan khusus dalam masyarakatnya yang telah
memupuk alam pikirannya itu. Dalam berikhtiar mencari hukum yang diridoi Tuhan
janganlah kita berlaku seperti orang yang mengingini rumah yang baru, telah
merobohkan rumahnya yang ada, sedangkan rumah yang baru masih akan dibentuk
lagi. Perbuatan semacam itu adalah perbuatan yang sia-sia dan tidak bijaksana. Maka
tetaplah kita dalam mazhab kita dalam menunggu dan dalam berikhtiar terciptanya
perubahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Sistim yang ada diperbaiki secara
berangsur-angsur dan dengang demikian secara aktif melanjutkan usaha-usaha
mujtahid-mujtahid masa silam yang terhenti usahanya dengan jatuhnya imperium
islam. Pembentukan hukum, yang telah terhenti berjalan kira-kira tujuh abad itu,
hendaklah kita kerahkan kembali, tetapi kali ini dengan sungguh-sungguh mempelajari
terlebih dahulu apa bentuk masyarakat yang diridoi Tuhan yang gambarannya telah
diberikanNya dalam Qur’an. Masyarakat yang dikehendaki Qur’an tak mungkin
masyarakat heterogen, sebab corak hukum yang diberikannya adalah homogeny,
selaras dengan homogenitas dan integritas yang terkandung dalam sifat tauhidNya
Tuhan.
2. Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup,
disampaikan oleh Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, SH., beliau
berpendapat bahwa peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
mempunyai jangkauan luas. Peran serta tersebut tidak hanya meliputi peran serta para
individu yang terkena berbagai peraturan atau keputusan administrative, akan tetapi
meliputi pula peran serta kelompok dan organisasi dalam masyarakat.
Peran serta efektif dapat melampaui kemampuan orang seorang, baik dari sudut
kemampuan keuangan maupun dari sudut kemampuan pengetahuannya sehingga peran
serta kelompok dan organisasi sangat diperlukan, terutama yang bergerak dibidang
lingkungan hidup.
Adapun sebagai pokok pikiran yang melandasi perlunya peran serta masyarakat dapat
dikemukakan sebagai berikut :
a) Memberi informasi kepada pemerintah.
b) Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan.
c) Membantu perlindungan hukum.
d) Mendemokrasikan pengambilan keputusan.
Peran serta masyarakat dapatlah dipandang untuk membantu Negara dan lembaga-
lembaganya guna melaksanakan tugas dengan cara yang lebih dapat diterima dan
berhasil guna.
Dalam hubungan ini, berbagai masalah perlu mendapatkan perhatian, diantaranya
sebagai berikut :
a) Pemastian penerimaan informasi
b) Informasi lintas batas (transfrontier information)
c) Informasi tepat waktu (timely information)
d) Informasi lengkap (comprehensive information)
e) Informasi yang dapat dipahami.
Guna mendayagunakan dan menghasilgunakan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup, perlu dipenuhi persyaratan sebagai berikut :
a) Pemimpin eksekutif yang terbuka.
b) Peraturan yang akomodatif.
c) Masyarakat yang sadar lingkungan.
d) Lembaga swadaya masyarakat yang tanggap.
e) Informasi yang tepat, dan
f) Keterpaduan.
3. Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana Dalam Membangun Model Penegakan
Hukum Di Indonesia, disampaikan oleh Prof. Dr. Bambang Poernomo, SH.,
beliau berpendapat bahwa hampir setiap hari orang banyak membicarakan hukum
pidana dalam hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat. Memahami
keberadaan dan berlakunya hukum pidana secara seksama ternyata banyak mengalami
kesulitan ditengah-tengah masyarakat luas, baik di lingkungan sarjana hukum maupun
di antara fungsionaris penyelenggara hukum pidana. Apalagi orang awam sulit
diharapkan memahami hukum pidana.
Sebagian orang merasa lega hatinya karena hukum pidana dapat membalas dengan
penerapan sanksi pidana pada orang lain yang dinyatakan oleh yang berwenang
melanggar peraturan perundang-undangan hukum pidana. Beberapa bagian orang yang
lain merasa kecewa karena hukum pidana ditetapkan dengan tidak tepat, seringkali
dikatakan kurang adil dan ada pula keputusan pengadilan yang keliru, bahkan sebagian
orang sangat sedih karena hukum pidana berubah menjadi kekuasaan yang mudah
disalahgunakan.
Ditinjau dari dimensi sejarah hukum, sejak awal pertumbuhan pada masa imperium
Negara Romawi telah dibentuk hukum pidana berdasarkan pemikiran pola arus atas ke
bawah secara otoriter, bersifat absolute dan non-legalitas dengan ciri sanksi pidana
yang tidak berprikemanusiaan. Suasana Hamurabi terus berkembang, faham retalisme
menjadi pola dasar hukum pidana dengan sanksi pembalasan menurut agresif manusia
(Sutherland, 1960).
Gerakan Renaissance tentang kelahiran hidup baru untuk kebebasan hidup manusia
tidak begitu banyak menyentuh kehidupan hukum pidana yang tegar.
Revolusi kemerdekaan dan kebebasan manusia dari Perancis 1789-1815 hanya
menghasilkan perubahan terbatas sampai bidang politik kenegaraan untuk pergeseran
pemerintahan dan silih berganti pimpinan Negara.
Kekawatiran dan kecemasan terhadap hukum pidana pada abad ke-18 dari tokoh-tokoh
masyarakat dan negarawan makin bertambah meluas. Kritik-kritik yang tajam
ditunjukan pada “manfaat” diadakannya hukum pidana dan sifat pelanggaran hukum
itu “relative”. Hadirnya hukum pidana jangan terkungkung dalam lingkaran yang
sempit, karena pengaturannya hanya semata-mata untuk pelanggar hukum saja.
Sekitar abad ke-19 muncul pandangan baru dari sisi lain menyumbangkan konsep
biologi kriminil dan sosiologi kriminil dalam memperbaharui hukum pidana supaya
dapat terbuka untuk menerima ilmu bandu sebagai ilmu kenyataan. Hasil karya
kedokteran, psikologi dan ilmu kemasyarakatan lainnya sangat membantu
pertumbuhan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana pada abad ke-19 hanya
memperoleh catatan kecil dari penyusunan kodifikasi yang mengandung asas
kemanusiaan sesuai dengan cara pikiran Beccaria. Kodifikasi hukum pidana itu
dimaksudkan menjadi pelopor hukum pidana baru untuk Negara-negara di eropa dan
daerah jajahannya, tetapi saying terhambat oleh terulangnya aksi-aksi revolusi
Perancis (1815-1848) dan ketegangan perang di Benua Eropa dan Amerika. Sesudah
perang dunia ke II dibentuk perkumpulan “The International Society Defence” tahun
1947 untuk mengembangkan konsep baru modifikasi social defence. Kelompok
radikal dari perkumpulan ini dengan keras hendak menghapuskan hukum pidana
dipimpin oleh Filippo Gramatica (italia) yang terkenal dengan aliran abolusionis,
sedangkan kelompok moderat menghendaki formulasi baru hukum pidana dipimpin
oleh Marc Ancel (Perancis) yang masuk dalam golongan aliran reformis.
Atas dasar telaah ilmu hukum dari segi dimensi sejarah dan revolusi hukum pidana,
perlu dimaklumi bahwa selama ini hampir disetiap Negara terdapat benturan antara
pandangan hukum pidana orde lama berhadapan dengan pandangan pembaharuan
hukum pidana. Sekarang dengan mudah dapat diduga, karena benturan itulah
pekerjaan penyusunan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
sejak gagasan itu dimulai tahun 1963 belum dapat diselesaikan sampai hari ini.
Sehubungan dengan kelemahan hukum pidana seringkali terjadi putusan pidana yang
keliru, sesat dan sulit diperbaiki dengan akibat membawa korban terpidana beserta
keluarganya dan masyarakat lingkungannya. Peradilan pidana seringkali sesat ketika
mengajukan perkara maupun dalam menjatuhkan pidana. Kesesatan peradilan pidana
tidak hanya dilkukan oleh hakim saja, mungkin juga dilakukan jaksa atau hakim,
termasuk malpraktek profesi hukum.
Secara teoritik akademik hakekat penghayatan dan pengamalan Pancasila dan Pokok
pikiran pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dapat menjadi nilai filsafati dan dasar
hukum fundamental untuk mengkaji penyesuaian substansi pembaharuan hukum
pidana. Tidaklah berkelebihan apabila berpendapat bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan
refleksi enam doktrin alternative pembaharuan hukum pidana itu telah selaras dengan
hakekat Eka Prasetia dalam Pancasila dan butir ke 4 Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945.
4. Menuju Parlemen Bikameral (Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD
1945), disampaikan oleh Prof. Dr. Dahlan Thalib, SH.,M.Si., beliau berpendapat
bahwa gema reformasi yang bergaung beberapa waktu yang lalu ternyata telah
menggetarkan hampir semua sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Diskursus tentang perlunya penyesuaian-penyesuaian terhadap tuntutan perubahan
dalam dinamika kehidupan politik ketatanegaraan Indonesia menjadi berlangsung
dengan marak tanpa henti-hentinya. Baik itu dilakukan oleh para akademisi, politisi,
insane pers, maupun LSM. Dari sudut pandang Hukum Tata Negara fenomena ini
tentu saja sangat penting dan positif dalam rangka membentuk atau mendesain
demokrasi yang berorientasi pada keadilan, supremasi huku, civil society, check and
balances yang mengabukan dominasi kekuasaan seperti strong presidensiil,
akuntabilitas kekuasaan dan pluralism atau kemajemukan dalam konteks NKRI.
Tuntutan terhadap perubahan konstitusi atau Undang-Undang Dasar dikarenakan tidak
ada satu system ketatanegaraan yang digambarkan dalam konstitusi atau Undang-
Undang Dasar sudah sempurna pada saat dilahirkan, karena dia adalah produk
jamannya. Setelah tiga dasawarsa bangsa ini terpasung, maka tidak dapat tidak,
reformasi UUD 1945 harus merupakan condition sine qua non untuk tegaknya
demokrasi, rule of law, pengendalian kekuasaan dan memungkinkan warga Negara
secara maksimal mempergunakan kebebasan individu dan hak politik
partisipatorisnya.
Salah satu materi muatan dalam rangka perubahan ketiga UUD 1945 adalah mengenai
posisi MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara dalam system ketatanegaraan
Indonesia pasca pemilihan umum 2004. Berdasarkan perubahan tersebut, maka pada
masa yang akan dating lembaga parlemen dikembangkan menjadi dua kamar
(bicameral). Kedua parlemen itu akan dinamakan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dengan tetap mempertahankan MPR sebagai
forum persidangan bersama antara kedua kamar parlemen tersebut. Perubahan ketiga
UUD 1945, akan lebih mempertegas dianutnya system peremintahan presidensil,
karena dihapusnya konsep lembaga tertinggi Negara MPR tempat Presiden harus
bertanggung jawab sebagaimana lazim ditemui dalam system pemerintahan
parlementer. Disamping itu, perubahan ini akan pula mempertegas dianutnya system
pemisahaan kekuasaan dan prinsip “check and balances” diantara Lembaga-Lembaga
Tinggi Negara.
5. Metode Ijtihad Hukum Islam Di Indonesia : Upaya Mempertemukan Pesan-
Pesan Teks Dengan Realitas Sosial, disampaikan oleh Prof. Dr. Amir Mu’allim,
MIS., beliau berpendapat bahwa fenomena dan diskursus pemikiran hukum islam di
Indonesia belakangan ini di antaranya telah memunculkan dua cara berpikir yang
bersifat antagonistic. Pertama, pemikiran hukum islam liberal. Kemunculannya di
antaranya didasari oleh argument bahwa pemikiran hukum islam yang ada selama ini
dianggap tidak mampu menjawab persoalan umat kontemporer. Kedua, pemikiran
hukum islam konservatif tekstual yang berorientasi pada masa lalu dan pemahaman
normative. Pemikiran ini didasari asumsi bahwa hukum islam yang telah ada sudah
sangat lengkap dan dapat menjawab semua persoalan umat. Dua corak berpikir di atas
yang secara lahiriah antagonistic, namun memiliki tujuan akhir yang sama yaitu
bagaimana hukum islam dapat menjawab semua permasalahan umat islam
kontemporer di Indonesia, seperti dekadensi moral (pornografi, pornoaksi, dan lain-
lain), korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan lain sebagainya. Untuk mewujudkan tujuan
akhir yang mulia tersebut, kedua corak pemikiran di atas perlu dijembatani dengan
suatu kerangka pemikiran yang bersifat akademik suapaya dapat
dipertanggungjawabkan secar teologis, etis, moral dan keilmuan.
Kerangka pemikiraan yang bersifat akademik dengan penalaran ilmiah tersebut perlu
dirumuskan dalam bentuk metodelogi ijtihad hukum islam yang mempertemukan
pesan-pesan teks dengan realitas social sehingga dapat dijadikan model sekaligus
panduan dalam upaya menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi di
Indonesia.
Maulana mengungkapkan empat sifat dasar hukum islam yang wajib diketahui dan
dipahami oleh setiap orang yang memiliki minat sebagai pemerhati dan peneliti
terhadap perkembangan hukum islam yaitu :
a) Hukum islam bersifat rahmat.
b) Hukum islam bersifat apriori.
c) Hukum islam itu selalu mengutamakan atau senantiasa berpihak pada
kemaslahatan umat atau kemaslahatan umum.
d) Hukum islam itu membenarkan adanya koreksi ulang/ pengembangan hasil ijtihad
para mujtahid terdahulu.
Hukum islam yang kita warisi hinga kini merupakan hasil ijtihad para faqih yang
sifatnya kontektual. Kajian hukum islam masa depan, perlu keberanian untuk
melakukan ijtihad secara bertanggungjawab dengan mengacu kepada al-quran dan al-
sunna serta mempertimbangkan secara kritis situasi peradaban manusia kontemporer.
Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa landasan fundamental dalam ijtihad adalah
kemaslahatan, kemaslahatan kemanusiaan universal, atau dalam ungkapan yang lebih
operasional “keadilan social”. Tujuan utama penetapan hukum islam yang dilakukan
melalui proses ijtihad adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di
dunia maupun akhirat. Hal ini sejalan visi islam secara keselurahan yang rahmatan
lil’alamin.
6. Politik Hukum Hak Azasi Manusia Di Indonesia, disampaikan oleh Prof. Dr.
Moh. Mahfud MD., SH., SU., beliau berpendapat bahwa kenyataan pada masa lalu
bangsa Indonesia sangat banyak terjadi pelanggaran HAM, diman tidak sedikit
diantaranya dilakukan oleh aparat resmi tentu mengherankan sebab Negara ini
didirikan di atas Negara hukum. Penerimaan Indonesia atas prinsip Negara hukum ini
bukan hanya karena bunyi penjelasan UUD 1945 yang pada kunci pokok pertama
Sistem Pemerintahan Negara menyebutkan bahwa “Indonesia ialah Negara yang
berdasarkan hukum (rechtstaat)…” melainkan juga karena alasan-alasan lain seperti
yang dituangkan di dalam pembukaan maupun di dalam batang tubuh UUD 1945
sendiri.
Tidaklah mudah bagi bangsa kita untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi
dimasa lalu. Hasil temuan dan rekomendasi KPP HAM yang dibentuk oleh Komnas
HAM baik untuk kasus pelanggaran HAM pasca jajak pendapat di Timor-timur tahun
1999 maupun untuk kasus pelanggaran HAM yang terkait dengan peristiwa tanjung
priok pada tahun 1984 telah menimbulkan pro kontra yang belum memberikan arah
penyelesaian yang jelas. Dalam masalah pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu
kita memang belum mempunyai konsep yang dapat disepakati bersama sehingga
menunjuk ke arah yang jelas.
Sebenarnya masalah pelanggaran HAM di Indonesia bukan hanya terjadi dalam kasus-
kasus politik seperti kasus Timor-timur, Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Maluku, dan
sebagainya melainkan terjadi juga dalam penanganan masalah-masalah criminal yang
biasa. Masih banyak kita jumpai praktik penegakan hukum tindakan yang melanggar
HAM, seperti yang dapat diiventarisasi ke dalam masalah-masalah sebagai berikut :
a) Sering terjadi aparat penegak hukum melanggar HAM menangkap atau menahan
seorang tersangka pelaku kejahatan dengan melakukan penangkapan tanpa surat
perintah.
b) Tidak jarang muncul pesakitan yang hanya menjadi kambing hitam dari suatu
tindak pidana yang berindikasi kuat dilakukan aparat pemerintah maupun
dilakukan oleh orang yang memiliki biaya untuk memunculkan kambing hitam.
c) Banyak juga terjadi proses penanganan perkara di kepolisian yang memakan
waktu sangat lama, bahkan melalui proses tawaar menawar apakah perkara itu
akan diteruskan ke pengadilan atau tidak.
d) Kita juga sering mendengar dihambatnya seseorang tersangka pelaku suatu tindak
pidana kejahatan untuk mendapat bantuan hukum atau hambatan untuk
berhubungan dengan pengacaranya, sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999) maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1982
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
e) Pelanggaran HAM seringkali juga terjadi atas ketentuan Pasal 1 butir 21 dan Pasal
24 KUHAP yang menentukan bahwa penahanan atas tersangka dilakukan apabila
ada kekawatiran dan perkiraan bahwa tersangka akan melarikan diri, akan
menghilangkan barang bukti, atau menyulitkan pemeriksaan. Dalam praktik
sering terjadi penuntut umum menahan seseorang tersangka meskipun tidak ada
alas an yang kuat bagi kemungkinan terjadinya salah satu dari tiga alas an
tersebut. Namun tidak jarang pula terjadi ada tersangka yang selayaknya ditahan
ternyata tidak ditahan.
Selain itu pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi bukan hanya pelanggaran
atas hak-hak yang sifatnya fisik seperti yang sebagian besar tadi disebutkan di
atas tetapi juga terhadap hak-hak politik melalui kekerasan-kekerasan politik yang
dilakukan oleh rezim penguasa dimasa lalu dalam penggunaan hak asasi bidang
politik, minimal, meliputi kekerasan terhadap hak berorganisasi, kekerasan
terhadap hak pilih, kekerasan terhadap penyaluran aspirasi dan kekerasan-
kekerasan lainnya.
Dalam kaitannya dengan konstitusi, ditinjau dari sudut socio-legal cultural,
sebenarnya pengaturan HAM di dalam UUD 1945 memang membuka peluang
bagi terjadinya pelanggaran-pelanggaran oleh penguasa sebab rumusan yang
terdapat di dalam UUD 1945 menjadikan HAM sebagai residu HAM. Keharusan
perumusan HAM yang bukan menjadi residu kekuasaan di dalam konstitusi itu
dapat dilacak dalam sejarah HAM dan konstitusi itu sendiri.
Konsep HAM yang muncul dan berkembang di Eropa Barat sejak abad
pertengahan sebenarnya tumbuh bersamaan dengan munculnya paham
kebangsaan yang mengilhami lahirnya Negara-negaara modern dan sekuler. Jika
ditelusuri lebih jauh sekularisasi itu sendiri semula timbul karena terjadinya
konflik yuridiksi antara raja (Negara) dan Paus (gereja) karena ekspansi raja-raja
ke daerah lain di luar teritori yang dulunya dikuasai bersama. Rasionalisasi yang
kemudian muncul adalah teori social contract yang menyebutkan bahwa raja
berkuasa karena adanya perjanjian masyarakat yang memberikan kekuasaan untuk
mengatur dan menyerasikan kepentingan-kepentingan di antara mereka.
Tampak bahwa dari sudut socio-kultural dan legal perjalanan HAM itu berkaitan
dengan perubahan dasar legitimasi pemerintah dari vox dei (suara Tuhan) dengan
teori teokrasinya vox populi (suara rakyat) dengan teori demokrasinya yang
kemudian sering disetarakan melalui ungkapan vox populi, vox dei (suara rakyat
adalah suara Tuhan).
Di Indonesia sendiri rumusan kontitusi tentang HAM memang merupakan hasil
kompromi dari dua pendapat yang berlainan yakni Soekarno dan Soepomo pada
satu pihak serta Hatta dan Yamin pada pihak lain. Soekarno dan Soepomo
menolak masuknya ketentuan tentang HAM dalam konstitusi karena menurut
mereka Indonesia akan dibangun berdasarkan paham Negara kekeluargaan dan
bukan Negara yang didasarkan pada individualisme, sedangkan Hatta dan Yamin
mengusulkan dimasukkannya ketentuan HAM di dalam konstitusi guna
menghindari penyalahgunaan kekuasaan yang melanggar hak-hak rakyat oleh
para penyelenggara Negara. Perdebatan itu kemudian melahirkan kompromi yang
dimasukkannya beberapa pasal tentang HAM tetapi dengan nuansa partikularistik
dalam arti lebih ditunjukan pada keperluan spesifik warga Negara Indonesia dan
dengan formulasi yang memberik kekuasaan pengaturan oleh Negara melalui
Undang-Undang. Dalam kenyataannya pemerintah memang banyak membuat
Undang-Undang yang menyangkut HAM yang membuka pintu berisi pembenaran
bagi pemerintah untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran atas HAM sendiri
seperti Undang-Undang yang berkaitan dengan Pers, Keormasan, Kepartaian,
Pemilu, dan Lembaga Perwakilan.
Namun kita mengetahui juga bahwa samapai saat ini upaya penyelesaian hukum
atas kasus-kasus pelanggaran HAM dan KKN di masa lalu itu dapat dikatakan
belum menghasilkan apapun, bahkan belum memiliki konsep tentang arah
penyelesaian yang jelas dan lebih bersifat sporadic. Dari pergulatan yang terjadi
selama ini kita mencatat adanya dua kendala utama dalam upaya untuk
menyelesaikan secara hukum atas pelanggaran HAM dan KKN dimasa lalu :
Pertama, kendala teknis-prosedural yang menyangkut pembuktian secara hukum
dan ketersedian aturan hukum; Kedua : kendala politis yang ditandai oleh adanya
kekuatan yang besar untuk menghambat upaya penyelesaian melalui pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Ghofur Anshori Abdul dan Malian Sobirin. 2008. Membangun Hukum Indonesia (Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum. Yogyakarta: Kreasi Total Media Yogyakarta.