115
MENUJU TEORI PRAKTIK ULAMA Prof. Dr. Zulkifli, MA Buku ini mengkaji secara kritis peranan ulama dalam masyarakat Indonesia dan merumuskan teori baru yang lebih relevan untuk menjelaskan peranan ulama tersebut. Secara rinci, buku ini ditujukan, pertama, untuk menjelaskan bagaimana peranan ulama dalam masyarakat Indonesia dalam menghadapi modernitas; kedua, untuk menelaah secara kritis teori- teori yang telah digunakan para ahli dalam menjelaskan peranan ulama tersebut; dan ketiga, untuk mengkonstruksi teori yang lebih tepat dalam menjelaskan peranan ulama dalam masyarakat Indonesia.

MENUJU TEORI PRAKTIK ULAMA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47229/1/Menuju Teori... · Indonesia dan merumuskan teori baru yang lebih relevan

  • Upload
    others

  • View
    22

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ME

NU

JU T

EO

RI PR

AK

TIK

ULA

MA

Prof. Dr. Zulkifli, M

A

Buku ini mengkaji secara kritis peranan ulama dalam masyarakat Indonesia dan merumuskan

teori baru yang lebih relevan untuk menjelaskan peranan ulama tersebut. Secara rinci, buku ini ditujukan, pertama, untuk menjelaskan

bagaimana peranan ulama dalam masyarakat Indonesia dalam menghadapi modernitas; kedua, untuk menelaah secara kritis teori-teori yang telah digunakan para ahli dalam menjelaskan peranan ulama tersebut; dan

ketiga, untuk mengkonstruksi teori yang lebih tepat dalam menjelaskan peranan ulama dalam

masyarakat Indonesia.

TEORI PRAKTIK

ULAMA

MENUJU

Prof. Dr. Zulkifli, MA

2018

Menuju Teori Praktik Ulamaii

MENUJU TEORI PRAKTIK ULAMA

Penulis:Prof. Dr. Zulkifli, MA

Cetakan Pertama: Desember 2018

Diterbitkan oleh:Penerbit HAJA MandiriCV. Harisma Jaya Mandiri

Jl. Pisangan Raya No. 86 Cirendeu Ciputat 15419Email: [email protected]

ISBN 978-623-90005-2-3

All Rights ReservedHak Cipta dilindungi Undang-undang.

Tidak dibenarkan memproduksi ulang setiap bagian artikel, ilustrasi dan isi buku ini dalam bentuk apapun juga.

Prof. Dr. Zulkifli, MA iii

Kata Pengantar

Alhamdulilah di tengah kesibukan mengajar, mem-bimbing, menguji, melakukan riset, dan mengurus fa-kultas karya ini dapat dirampungkan. Buku ini adalah hasil penyuntingan, penambahan, dan penyempurna-an dari studi kepustakaan pada tahun 2013. Beberapa bagian yang tersebar dalam karya ini telah dipresen-tasikan pada Annual Conference on Islamic Studies di Banjarmasin 2010 dan artikel yang diterbitkan di Miqot: jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 2013. Segenap te-naga dan pikiran harus dikerahkan agar dapat meng-hasilkan suatu karya yang berkualitas.

Tentu saja banyak pihak yang berkontribusi dalam proses lahirnya karya ini. Tidak mungkin disebutkan

Menuju Teori Praktik Ulamaiv

satu persatu di sini. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkont-ribusi dalam rangkaian kegiatan dan proses penerbit-an karya ini. Secara khusus, terima kasih banyak ke-pada istriku, Ai Juariah, dan kedua anakku Dhea dan Azka yang selalu mendukung kesibukan ayahnya.

Semoga karya ini bermanfaat.

Ciputat, Desember 2018

Prof. Dr. Zulkifli, MA

Prof. Dr. Zulkifli, MA v

Daftar Isi

Kata Pengantar ......................................................... iiiDaftar Isi ................................................................... v

1. PENDAHULUAN ............................................ 1Fokus Studi ........................................................ 1Kerangka Konseptual ....................................... 14Metodologi ........................................................ 16Sistematika ........................................................ 18

2. KONSEP DAN KARAKTERISTIK ULAMA 21Konsep Ulama ................................................... 21Kriteria Ulama .................................................. 27Tugas Ulama ...................................................... 33Pengakuan dan Otoritas .................................. 36

Menuju Teori Praktik Ulamavi

3. BERBAGAI PERANAN ULAMA ................. 45Pemimpin Agama ............................................. 47Guru dan Pendidik ........................................... 50Sufi ...................................................................... 53Dai dan Muballigh ............................................ 57

4. TEORI PERANAN ULAMA .......................... 61Pialang Budaya .................................................. 62Entrepreneur Politik ......................................... 63Entrepreneur Politik dan Agama .................... 65

5. PRAKTIK ULAMA ......................................... 69Teori Praktik ...................................................... 70Habitus .............................................................. 71Modal ................................................................ 74Arena ................................................................. 77Strategi ............................................................... 82

6. KESIMPULAN ................................................. 89

Daftar Pustaka.......................................................... 93Indeks ........................................................................ 101Biografi Penulis ....................................................... 107

Prof. Dr. Zulkifli, MA 1

1Pendahuluan

Fokus Studi

Tujuan utama penulisan buku ini adalah untuk meng-kaji secara kritis peranan ulama dalam masyarakat Indonesia dan merumuskan teori baru yang lebih relevan untuk menjelaskan peranan ulama tersebut. Secara rinci, buku ini ditujukan, pertama, untuk men-jelaskan bagaimana peranan ulama dalam masyarakat Indonesia dalam menghadapi modernitas; kedua, un-tuk menelaah secara kritis teori-teori yang telah digu-nakan para ahli dalam menjelaskan peranan ulama

Menuju Teori Praktik Ulama2

tersebut; dan ketiga, untuk mengkonstruksi teori yang lebih tepat dalam menjelaskan peranan ulama dalam masyarakat Indonesia.

Pada tahun 2018 ini seorang ulama, KH. Ma’ruf Amin resmi dicalonkan sebagai calon Wakil Presiden, mendampingi Presiden Joko Widodo untuk berkom-petisi dalam Pemilihan Presiden pada April 2019. Tentu ini bukan hal baru. Sebelumnya tokoh kiai NU (Nahdlatul Ulama) KH. Abdurrahman Wahid yang biasa disapa Gus Dur menjadi presiden RI keempat pada 1999-2001. Upaya rekonstruksi teori praktik ula-ma dalam karya ini adalah dalam rangka menjelaskan hal ini.

Secara etimologis, istilah ‘ulama’ yang berasal dari Bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim yang berarti orang yang mengetahui, orang yang memiliki ilmu atau orang pandai. Tetapi, dalam per-kembangan masyarakat Indonesia istilah tersebut juga dipakai untuk tunggal yang menunjuk kepada seseo-rang yang memiliki ilmu. Dalam Islam dan masya-rakat Muslim, ulama menempati posisi yang sangat penting dan strategis tidak hanya karena alasan-alasan teologis tetapi juga historis-sosiologis. Secara teologis, ulama adalah waratsah al-anbiya (pewaris para nabi) yang memiliki kedudukan sebagai penerus tugas dan fungsi nabi dalam risalah kenabian bagi umat manu-sia. Secara historis sosiologis, ulama memiliki otoritas

Prof. Dr. Zulkifli, MA 3

dalam bidang keagamaan sehingga mereka menem-pati kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat Muslim. Mereka tidak hanya sekedar dihormati dan disegani tetapi gagasan dan pemikiran keagamaan-nya dalam berbagai dimensi dipandang sebagai kebe-naran, dipegang, dan diikuti secara kuat dan bahkan mengikat.

Di berbagai daerah di Indonesia, ulama dipang-gil dengan berbagai sebutan. Di daerah Aceh ulama dikenal dengan panggilan “Tengku”, di Sumatera Ba-rat “Buya”, di Jawa Barat (Sunda) “Ajengan”, di Madura “Nun” atau “Bendara”, (yang disingkat “Ra”), dan di Jawa “Kiai” atau“Kyai.” Pada masa lalu di Jawa dipakai juga istilah Wali sebagai gelar yang diberikan kepada ulama yang telah mencapai tingkat tinggi dan memi-liki keistimewaan yang luar biasa. Wali itu kadang-ka-dang disebut Sunan sebagaimana panggilan bagi para Wali Sanga. Akan tetapi, dewasa ini sebutan kyai lebih lazim dipakai dan bahkan sebutan kyai dipakai seba-gai gelar kehormatan bagi para ulama pada umumnya di Indonesia.

Ulama dengan berbagai sebutan tersebut meru-pakan suatu achieved status yang diusahakan oleh se-seorang melalui proses yang panjang. Status tersebut diperoleh tidak hanya karena penguasaan ilmu-ilmu agama Islam tetapi juga karena penerapan ajaran-ajar-an agama Islam dalam sikap dan prilaku keseharian

Menuju Teori Praktik Ulama4

sehingga ulama dianggap sebagai orang-orang shalih. Selain itu, bahkan yang terpenting adalah bahwa status ulama itu dilegitimasi oleh pengakuan (recognition) masyarakat atas penguasaan ilmu-ilmu agama Islam dan keshalihan religius yang bersangkutan. Pengaku-an tersebut merupakan suatu keharusan karena ulama bukanlah jabatan agama yang formal.

Dalam perkembangan masyarakat Indonesia, ulama dikategorikan sebagai elite tradisional yang telah dan sedang memainkan peranan penting dan strategis. Secara historis-sosiologis, ulama di Indone-sia telah memainkan berbagai peranan; politik, sosial kemasyarakatan, ekonomi, pendidikan, kebudaya-an, dan, tentu saja yang terpenting, keagamaan. Pada masa kesultanan, para ulama memainkan peranan penting dan bahkan menentukan dalam pemerintah-an, selain bidang keagamaan. Penguasa baru (sultan) biasanya sangat mengandalkan legitimasi dari ulama yang menobatkan sultan tersebut sebagai penguasa baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bi-dang keagamaan. Diceritakan bahwa para Wali Sanga berperan besar dalam masalah suksesi di kesultanan. Sunan Giri, misalnya, melegitimasikan kesultanan Sultan Agung dan Sultan Pajang (Dirdjosanjoto 1999: 34).

Beberapa ulama kemudian ditarik masuk ke da-lam sistem administrasi pemerintah dengan tugas dan

Prof. Dr. Zulkifli, MA 5

tanggung jawab mengurus lembaga keagamaan yang dikenal dengan istilah kepenghuluan. Sementara seba-gian ulama tetap menjalankan tugas-tugas keagamaan dan pendidikan kepada masyarakat secara indepen-den. Dengan demikian, dari segi fungsinya ulama di Indonesia telah terbagi kepada dua kategori, yakni ulama bebas dan ulama birokrat atau ulama penghu-lu. Ulama bebas menggeluti jalur akidah dan tasawuf yang pengejawantahannya berbentuk al-da’wah wa al-tarbiyah, yakni dakwah dan pendidikan, sedang ulama penghulu bergerak pada jalur ilmu fiqh yang manifestasinya berbentuk al-tasyri’ wa al-qadha, yak-ni tata hukum perundangan dan peradilan. Ulama bebas secara umum berperan dalam bidang dakwah dan pendidikan, sedang ulama penghulu atau ulama pejabat secara menonjol berperan dalam bidang pe-laksanaan hukum Islam. Keduanya bersifat saling me-lengkapi dalam penyebaran Islam dan pengembangan masyarakat (Isma’il 1997: 50).

Ulama bebas memiliki tugas utama sebagai guru, pengajar dan muballigh untuk menanamkan pema-haman Islam kepada masyarakat. Ulama ini mendiri-kan dan menyelenggarakan pendidikan Islam di dae-rah-daerah pedesaan. Di Jawa lembaga pendidikan Islam tersebut disebut Pesantren, di Minangkabau Su-rau, dan di Aceh Meunasah. Ulama penghulu bertu-gas menerapkan syariat Islam baik di pusat kesultanan

Menuju Teori Praktik Ulama6

maupun di daerah-daerah. Dengan demikian, jabatan penghulu tersebut tersebar tidak hanya di lingkungan keraton tetapi juga sampai di desa-desa. Ulama peja-bat dipanggil dengan sebutan yang beragam di ber-bagai daerah. Masyarakat. Islam Sunda menyebutnya “Pangulu”, orang Jawa menyebutnya “Pengulu”, orang Madura memanggilnya “Pangoloh”, sementara orang Melayu memanggilnya “Penghulu” (Isma’il 1997: 66).

Pada masa kolonial, dua fungsi ulama tersebut terus berlangsung. Pemerintah kolonial tetap mem-pertahankan kedudukan dan fungsi ulama penghulu dengan melakukan perubahan-perubahan tertentu. Salah satu perubahan itu adalah mengenai keharusan mengikuti ujian bagi calon penghulu dan syarat-sya-ratnya pun ditambah terutama penguasaan Baha-sa Latin. Pengangkatan dan pemberhentian jabatan penghulu menjadi wewenang pemerintah kolonial se-hingga tidak jarang terjadi bahwa pengangkatan ula-ma penghulu secara tidak proporsional. Wewenang ulama penghulu juga dikurangi, misalnya, dengan pembentukan pengadilan negeri (landraad) meski-pun dalam kenyataannya penghulu tetap menangani perkara yang berkenaan dengan hukum keluarga dan hukum waris (Zulkifli 1999).

Dibandingkan ulama penghulu, ulama bebas me-mang memiliki kebebasan. Selain melaksanakan ke-giatan pendidikan dan pengajaran di lembaga-lemba-

Prof. Dr. Zulkifli, MA 7

ga pendidikan Islam, ulama ini melakukan perjalanan dakwah ke daerah-daerah untuk menyebarkan Aga-ma Islam kepada masyarakat tanpa terikat oleh sistem kekuasaan tradisional. Sementara, pada pihak lain, ulama penghulu diharuskan untuk melakukan penga-wasan terhadap kegiatan para ulama bebas tersebut. Hal ini telah menyebabkan terjadinya hubungan yang tidak harmonis antara kedua golongan ulama tersebut di berbagai daerah di Indonesia (Isma’il 1997: 50-52). Ulama bebas sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial Belanda. Pada umumnya, mereka memiliki fanatisme agama dan tingkat agresivitas yang tinggi sehingga memiliki rasa kebencian dan permusuhan yang men-dalam terhadap kaum penjajah yang dianggap kafir. Dengan kedudukannya sebagai tokoh dan panutan masyarakat para ulama tersebut dapat secara mudah memobilisasi penduduk untuk melaksanakan pem-berontakan terhadap penguasa kolonial.

Para ulama di berbagai daerah di Indonesia te-lah berperan penting dalam berbagai pemberontakan melawan penjajah Belanda. Di Palembang, misalnya, pada tahun 1819 ulama Tarekat Sammaniyyah dan para pengikutnya telah melakukan jihad fi sabilillah melawan pasukan Belanda yang dikenal dengan sebut-an “Perang Menteng”. Di daerah Banten, pada tahun 1888 ulama dan pengikut Tarekat Qadiriyyah-Naq-syabandiyyah juga telah melancarkan pemberontakan

Menuju Teori Praktik Ulama8

terhadap penguasa kolonial, tetapi pemberontakan tersebut lebih dikenal sebagai “Pemberontakan Pe-tani Banten” (Kartodirdjo 1966). “Gerakan Beratib Beamal” di Banjarmasin pada tahun 1860-an juga di-gerakkan oleh ulama dan pengikut-pengikut tarekat (Steenbrink 1984). Di Aceh yang dikenal sebagai Se-rambi Mekkah, Belanda mengalami kesulitan besar dalam menguasai daerah tersebut dan ini tentu saja merupakan hasil dari perjuangan dan perlawanan para ulama. Demikian juga, ulama-ulama di berba-gai daerah di Indonesia--yang tidak mungkin dike-mukakan di sini telah berjasa besar dalam berjuang melawan penjajah. Singkatnya, kemerdekaan yang dicapai bangsa Indonesia tidak lepas dari perjuangan kaum ulama dan pengikutnya.

Pada masa lalu, ulama dikenal sebagai kaum in-telegensia dan elite ilmu agama Islam. Mereka tidak hanya menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam dan menjalankan dakwah Islam ke daerah-daerah te-tapi juga menulis ide dan pemikirannya dalam ben-tuk kitab kuning (al-kutub al-qadimah). Beberapa dari kitab-kitab tersebut menjadi terkenal dan hingga saat ini masih dijadikan rujukan dan sumber belajar di berbagai daerah. Dikenal beberapa ulama penulis yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Un-tuk menyebut beberapa contoh saja, Hamzah Fansuri,

Prof. Dr. Zulkifli, MA 9

Nuruddin al-Raniri, Syamsuddin al-Sumatrani, Ab-durrauf al-Sinkili dari Aceh, Abdussamad al-Palin-bani dan Muhammad Azhari al-Palimbani dari Pa-lembang, Arsyad al-Banjari dan Nafis al-Banjari dari Banjar, dan Nawawi al-Bantani dari Banten. Kitab kuning dihasilkan para ulama tersebut ditulis dalam Bahasa Arab atau menggunakan huruf Arab dengan format dan sistematika klasik, yang berbeda dengan format dan sistimatika buku biasa. Bidang ilmu keis-laman yang dikembangkan biasanya mencakup tau-hid, fiqh, tasawuf dan falaq. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi keilmuan Islam yang dikembangkan oleh para ulama Indonesia merupakan tradisi keil-muan khas Indonesia.

Para ulama juga memiliki peran penting dalam bidang sosial dan kebudayaan (dalam pengertian yang luas). Dalam hal ini ulama merupakan golongan yang berperan dalam pembentukan sistem nilai, sistem ke-lembagaan, dan perilaku masyarakat (Rahardjo 1993: 186). Secara historis, pendirian lembaga pendidikan Islam biasanya dilakukan dengan membuka lahan baru sehingga memungkinkan munculnya pemukim-an baru dan transmigrasi lokal. Arsyad al-Banjari, mi-salnya, membangun dan menjadi kepada desa Dalam Pagar (Rahardjo 1993: 175). Demikianlah, peranan ulama dalam pengembangan wilayah, pemukiman baru dan transmigrasi. Dalam bidang kebudayaan,

Menuju Teori Praktik Ulama10

para ulama telah mengembangkan sistem budaya ilmu yang unik. Keunikannya adalah bahwa para ulama, dalam melakukan pendidikannya, mengarahkannya kepada pendidikan kerakyatan. Lembaga pendidik-an Islam yang diselenggarakannya merupakan center of excellence di tengah-tengah masyarakat pedesaan. Orientasi pendidikan yang dikembangan para ulama sama sekali tidak bersifat elitis tetapi bersifat kerak-yatan. Para ulama telah menanamkan budaya ilmu kepada lapisan masyarakat yang paling bawah. De-ngan demikian, para ulama telah melahirkan sistem budaya kerakyatan dan menyiapkan budaya swasta dan wiraswasta (Rahardjo 1993: 190-192). Dalam me-laksanakan pendidikan dan pengajaran serta dakwah Islam mereka tidak mengharapkan dan mendapat gaji dan tidak pula mereka mengarahkan peserta didiknya menjadi pegawai.

Posisi dan peranan ulama semakin kompleks bila dikaitkan dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia dewasa ini atau, dengan kata lain, dalam menghada-pi modernitas. Tidak jarang ulama dianggap sebagai warisan masa lalu saja karena tidak mampu bertahan di tengah perubahan sosial yang demikian cepat. Na-mun, ternyata eksistensi ulama tetap kokoh dalam masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia. Qasim Zaman menulis:

Prof. Dr. Zulkifli, MA 11

Namun, ‘ulama tidak hanya terus menanggapi—yang diakui, dengan tingkat antusiasme dan kesuk-sesan yang beragam---terhadap tantangan perubah-an zaman; mereka juga telah berhasil meningkatkan pengaruhnya di sejumlah masyarakat Muslim kon-temporer, dalam memperluas pengikut mereka, da-lam memberikan kontribusi signifikan pada wacana publik, dan bahkan dalam menetapkan syarat-syarat untuk wacana tersebut. Dalam banyak kasus, mere-ka juga datang untuk memainkan peran aktivis reli-giopolitik yang signifikan dalam Islam kontemporer (Zaman 2002: 2).

Apalagi, sekarang ini masyarakat Indonesia meng ala mi proses demokratisasi dalam bidang sosial politik dan pemerintahan yang dalam waktu lama ber-sifat sentralistik akan didesentralisasi. Tuntutan ma-syarakat akan terbinanya masyarakat yang demokra-tis, egaliter dan adil sebagai tersimpul dalam konsep civil society semakin mendesak. Bahkan, demokratisa-si sering bergeser ke arah liberalisasi tanpa batas dan salah arah. Selain itu, masyarakat Indonesia sekarang ini sedang mengalami krisis multidimensional; krisis politik, ekonomi, sosial dan budaya. Krisis yang ber-kepanjangan ini belum juga teratasi hingga saat ini. Dalam konteks ini, posisi dan peranan ulama sema-kin tertantang dan diharapkan dapat membantu pro-ses transformasi masyarakat dalam rangka mencapai keadilan dan kemakmuran. Dengan demikian, kajian tentang posisi dan peranan ulama di Indonesia tetap

Menuju Teori Praktik Ulama12

penting untuk dilakukan karena ulama merupakan “salah satu faktor kontribusi utama dalam pemben-tukan Indonesia di masa depan ... dan cara religiusitas mereka menjadi faktor penentu dalam pembentukan kondisi sosial-politik Indonesia masa depan” (Burha-nudin 2007: 259).

Studi tentang ulama Indonesia menjadi lebih ter-tantang dan menarik lagi karena di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak memi-liki otoritas keagamaan yang tunggal atau dikenal se-bagai ‘otoritas keislaman yang terfragmentasi’. Meski-pun Majlis Ulama Indonesia (MUI) berusaha menjadi otoritas keislaman tertinggi, masing-masing individu dan kelompok terikat dengan otoritas keagamaannya sendiri (seperti NU, Muhammadiyah, PERSIS, HTI, dan MMI).

Berbagai peranan yang telah dimainkan ulama di Indonesia telah menggambarkan kompleksitasnya, sehingga berbagai teori sosiologis-antropologis te-lah dirumuskan oleh para ilmuan, baik dalam nege-ri maupun manca negara, mulai dari Clifford Geertz (1960) yang melihat bahwa kyai sebagai cultural broker (pialang budaya), Hiroko Horikoshi (1987), hingga Pradjarta Dirdjosanjoto (1999); keduanya mengkritik dan memperhalus konsep ‘mediator’ yang diguna-kan Geertz. Berbagai studi tentang ulama seringkali mengikuti dan menggunakan kerangka teoretis para

Prof. Dr. Zulkifli, MA 13

ilmuan tersebut, khususnya Geertz dan, ironisnya, ti-dak jarang teori tersebut dipahami secara keliru dan, dengan demikian, digunakan secara keliru pula. Oleh karena itu, diperlukan critical review (riviu kritis) ter-hadap berbagai kajian tentang ulama dan konstruksi teori atau teori-teori yang relevan tentang posisi dan peranan ulama, khususnya dalam konteks masyara-kat Indonesia. Harus diakui bahwa konstruksi teori seringkali dianggap sulit, momok dan bahkan mena-kutkan. Kajian ini tentu sangat penting dalam rangka menghasilkan konstruksi teori yang dapat menjelas-kan dengan tepat dan jelas posisi dan peranan ulama dalam masyarakat Indonesia dan sekaligus, mungkin, dapat berfungsi memprediksi dan merancang posisi dan peranan tersebut di masa yang akan datang.

Hasil studi ini dapat dijadikan sebagai pengetahu-an baru yang lebih tepat tentang kompleksitas peranan ulama dalam masyarakat Indonesia dan terhindar dari kekeliruan, kesalahpahaman, simplifikasi, dan over generalization tentang realitas yang kompleks terse-but. Selain itu, konstruksi teori baru dapat digunakan sebagai kerangka teoretis dalam mengkaji komplek-sitas peranan ulama dalam komunitas tertentu atau masyarakat Indonesia pada umumnya. Selain manfaat teoretis, hasil kajian ini tidak menutup kemungkinan untuk digunakan secara praktis oleh pengambil kebi-jakan dalam merumuskan dan melaksanakan pemba-

Menuju Teori Praktik Ulama14

ngunan masyarakat di mana ulama menempati posisi dan peranan strategis.

Kerangka Konseptual

Studi kritis yang serius dan upaya perumusan teori masih jarang dilakukan oleh ilmuan. Kajian-ka-jian yang ada biasanya terbatas ketika dilakukan da-lam rangka merumuskan kerangka teori yang dipakai untuk penelitian lapangan yang terbatas pada setting sosial dan konteks tertentu dari peranan ulama seperti yang dilakukan oleh Horokoshi (1987) tentang peran-an ulama di Garut, Jawa Barat, Mansurnoor (1987) tentang peranan ulama dalam masyarakat Madura, dan Dirdjosanjoto (1999) tentang peranan kyai lang-gar di daerah Muria, Jawa Tengah. Studi-studi yang lain seperti Dhofier (1982) dan Turmudi (2003) tidak menyajikan riviu teoretik yang memadai tentang pe-ranan kyai. Demikian juga halnya kajian historis yang dilakukan Azra (1994), Mas’ud (2006), dan Burhanu-din (2007).

Ulama adalah “men of religious learning and pres-tige” (Humphrey 1999: 187) yang diakui sebagai elite dan pemimpin agama dalam masyarakat yang diakui memiliki pengetahuan agama Islam. Ulama diakui masyarakat sebagai pemangku otoritas keagamaan, yang memiliki otoritas dalam menafsirkan ajaran aga-

Prof. Dr. Zulkifli, MA 15

ma uang bersumber dari sumber utama agama Islam, yakni Quran dan hadits.

Otoritas dapat diartikan sebagai hak atau wewe-nang untuk bertindak. Weber membagi tiga tipe otoritas: legal-rasional, tradisional, and kharismatik. Posisi dan peranan ulama paling cocok dengan tipe ketiga. Weber mendefinisikan kharisma sebagai “a certain quality of an individual personality by virtue of which he is set apart from ordinary men and treated as endowed with supernatural. Superhuman, or at least specifically exceptional qualities” [kualitas tertentu dari kepribadian individu berdasarkan mana ia dipisahkan dari manusia biasa dan diperlakukan sebagai yang diberkahi dengan kualitas supernatural, manusia su-per, atau setidaknya kualitas yang luar biasa] (Weber 1957: 329). Dengan demikian, pengakuan masyarakat sangat penting dalam memahami status dan peranan ulama. Posisi dan peranan ulama selalu terkait dengan struktur sosial masyarakat sehingga perbedaan dan perubahan struktur masyarakat menuntut peranan ulama yang berbeda dan berubah.

Dengan demikian, kajian tentang peranan ulama dan konstruksi teori tentang peranan ulama dalam masyarakat dalam menghadapi modernitas menun-tut pemahaman tentang struktur sosial masyarakat. Peranan ulama harus dikaitkan dengan status mereka dalam hubungan dengan struktur sosial masyarakat

Menuju Teori Praktik Ulama16

serta institusi-institusi sosial yang ada, yakni agama, pendidikan, dakwah, sosial, ekonomi, dan politik. Jadi, perikelakuan ulama yang penting bagi struktur sosial masyarakat akan terungkap dengan jelas.

Teori adalah “sebuah sistem proposisi-proposisi atau sebuah rangkaian terpadu dari proposisi-propo-sisi” (Ihalauw 2008: 108). Serangkaian proposisi yang saling berhubungan dan terpadu tersebut digunakan untuk menjelaskan fenomena. Yang akan disajikan adalah berbagai teori tentang posisi dan peranan ula-ma yang telah dirumuskan para ilmuan dan suatu teori baru yang dapat digunakan dalam rangka me-mahami posisi dan peranan ulama dalam masyarakat. Paling tidak, sisi lain dari posisi dan peranan ulama akan terungkap dengan teori baru tersebut.

Metodologi

Ini adalah studi literatur (library research) yang dilakukan dengan cara mendokumentasikan sumber-sumber tertulis yang relevan. Sumber utama adalah biografi ulama, selain hasil-hasil penelitian tentang ulama, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Sumber-sumber tersebut kebanyakan tersimpan di perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi atau lembaga-lembaga riset. Sebagian memang dijual di toko-toko buku. Sumber-sumber inilah yang akan dijadikan objek riviu kritis.

Prof. Dr. Zulkifli, MA 17

Metode penelitian yang dipakai adalah content analysis (analisis isi), yakni analisis terhadap isi pesan yang terdapat dalam media atau komunikasi. Isi pesan itu sendiri dapat berupa pesan lisan maupun pesan tertulis. Dalam konteks ini, yang dimaksud adalah pe-san tertulis, yakni yang terkandung dalam karya biog-rafi ulama dan hasil-hasil penelitian tentang ulama. Pengumpulan data dalam studi kepustakaan dilaku-kan dengan dokumentasi dalam arti mengumpulkan dan mendokumentasikan sumber-sumber tertulis ter-sebut selengkap mungkin.

Dari sumber-sumber tersebut dikumpulkan data yang relevan dengan masalah untuk ditelaah dan dia-nalisis isinya secara kualitatif. Kemudian dilanjutkan dengan analisis kritis. Jika ingin dirinci, proses yang dilalui mencakup kegiatan-kegiatan: mulai dari mem-baca, mencatat, meringkas, mengintegrasikan, meng-analisis, hingga mengkritisi. Kunci dari riviu kritis adalah mengkritisi yang mencakup pengertian meng-evaluasi suatu karya ilmiah. Mengkritisi berarti mem-beri credence terhadap argumen, dukungan bukti dan data, kekuatan dan kelemahan, apresiatif terhadap kekuatan dan negatif dan tidak mendukung kelemah-an. Tetapi riviu kritis tetap mengakui dan melihat per-spektif atau paradigma yang digunakan masing-ma-sing ilmuan dalam mengkaji dan menganalisis topik tang diteliti.

Menuju Teori Praktik Ulama18

Setelah riviu kritis dilakukan dengan memposisi-kan perspektif atau paradigma yang digunakan, akan diupayakan konstruksi teori yang dianggap paling re-levan tentang peranan ulama dalam masyarakat Indo-nesia. Tentu saja konstruksi teori tidak mungkin dapat dilakukan tanpa melakukan pembongkaran terhadap teori-teori yang telah dirumuskan dan digunakan da-lam karya-karya yang dikaji. Inilah kaitan riviu kritis dengan upaya rekonstruksi teori tersebut.

Sistematika

Buku ini disajikan dalam enam bab, termasuk bab pertama pendahuluan dan bab keenam, kesimpulan. Bab pendahuluan pada dasarnya menguraikan masa-lah yang dikaji dan metodologi yang digunakan dalam membahas masalah tersebut. Secara rinci, pendahu-luan mencakup uraian tentang fokus studi, kerangka konseptual, metodologi, dan sistematika penulisan.

Adapun bab kedua menyajikan konsep dan ka-rakteristik ulama yang secara rinci mencakup konsep ulama, kriteria ulama, tugas ulama, dan pengakuan dan otoritas ulama.

Kemudian bab ketiga membahas beberapa pe-ranan ulama dalam masyarakat Indonesia. Beberapa peranan tersebut mencakup ulama sebagai pemimpin

Prof. Dr. Zulkifli, MA 19

agama, guru dan pendidik, Sufi, dan dai dan mubal-ligh.

Bab keempat mengkaji beberapa teori tentang peranan ulama yang telah dikemukakan oleh ahli-ah-li ilmu sosial dan dilengkapi dengan rumusan teori yang dikemukakan oleh peneliti. Teori-teori tersebut adalah teori pialang budayanya Geertz, entrepreneur politiknya Horikoshi, dan entrepreneur politik dan agamanya Dirdjosanjoto.

Adapun bab kelima adalah teori yang diajukan, yakni teori praktik dari Pierre Bourdieu yang berjudul praktik ulama yang mencakup teori praktik, habitus, modal, arena, dan strategi.

Menuju Teori Praktik Ulama20

Prof. Dr. Zulkifli, MA 21

2Konsep dan Karakteristik Ulama

Konsep Ulama

Kata ulama berasal dari bahasa Arab ‘ulama’, yak-ni bentul plural (jamak) dari kata ‘alim yang berarti orang yang mengetahui atau orang pandai. Tetapi, di Indonesia kata ulama juga dipakai dalam bentuk tung-gal dan kata alim itu sendiri, selain berarti berilmu, juga berarti saleh atau takwa. Kadang-kadang kedua kata tersebut digabungkan, yakni alim-ulama untuk menggambarkan bentuk jamaknya. Terma alim atau ulama menunjuk kepada seseorang yang memiliki at-

Menuju Teori Praktik Ulama22

ribut ilmu dan kata ilmu dengan berbagai bentuk kata turunannya disebutkan sebanyak 854 kali di dalam al-Quran (Shihab 1992: 382). Hal tersebut menunjuk-kan urgensi ilmu dalam kehidupan umat manusia dan sekaligus juga mengindikasikan mulianya orang yang memiliki dan menguasai ilmu. Salah satu ayat al-Qur-an, misalnya, menyatakan bahwa Allah meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan (QS al-Mujadalah: 11).

Di dalam al-Quran, kata ulama memang hanya disebut dua kali saja. Disebutkan dua kali tidak ber-arti bahwa ulama tidak mendapat perhatian penting. Pertama, surat Fathir: 28 menyatakan: “sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” Kedua adalah surat al-Syu‘ara: 197 yang artinya: “Dan apakah tidak cukup untuk men-jadi bukti bagi mereka bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” Pentingnya posisi ulama ditegaskan secara lebih lugas lagi oleh Nabi Muhammad. Dalam hadits yang sangat populer disebutkan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Redaksi hadits yang lain berbunyi: “Ulama adalah penerang dunia, khalifah segenap para nabi, ahli waris (ajaranku) dan ahli wa-ris seluruh nabi” (HR Ibnu Adi dikutip dari Hsubky 1995: 65). Semua itu menjadi landasan teologis dan ideal pemahaman masyarakat tentang konsep, tugas, dan fungsi ulama. Konsepsi yang ideal tersebut ber-

Prof. Dr. Zulkifli, MA 23

tahan kokoh dan berkembang dalam berbagai elemen masyarakat Muslim di berbagai belahan dunia, terma-suk Indonesia, dan berlangsung sepanjang sejarah.

Demikian juga, para ulama Indonesia memfor-mulasikan konsep ulama secara ideal yang, secara umum, merujuk kepada penguasaan pengetahuan agama yang komprehensif dan mengamalkannya da-lam kehidupan sehari-hari, berakhlak mulia, dan ber-tanggung jawab dalam pengembangan masyarakat. Dalam menjelaskan kedua ayat al-Quran di atas, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa:

… yang dimaksud dengan ulama adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang ayat-a-yat Allah, baik yang bersifat kawniyyah maupun qur’aniyyah. Selanjutnya, jika kita perhatikan a yat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang “ilmu,” da-lam berbagai bentuk kata yang semuanya berjum-lah 854, dan kata-kata lain yang sejalan dengan arti kata “ilmu’ tersebut, maka akan kita temukan bahwa Al-Quran mengaitkan ilmu yang terpuji dengan si-kap istislam (tunduk) dan khasyyah (takut) kepada Allah. Hal serupa dapat ditemukan juga dalam hadis Nabi yang bahkan banyak di antaranya yang justeru menggarisbawahi bahwa ilmu yang bermanfaat ada-lah ilmu yang mengantarkan manusia kepada penge-tahuan tentang kebenaran Allah, taqwa, khasyyah, dan sebagainya. Di sinilah kita dapat menarik garis pemisah antara sarjana, cendekiawan, atau siapa pun yang berpengetahuan luas fenomena alam atau bah-

Menuju Teori Praktik Ulama24

kan ajaran Al-Quran (agama) dengan ulama (Shihab 1992: 382).

Pengertian ideal yang dikemukan Quraish Shihab tersebut sangat luas karena mencakup siapa saja yang menguasai ilmu pengetahuan, tidak terbatas pada ahli ilmu agama saja asal yang bersangkutan memilki si-kap tunduk, patuh, dan takut (khasyyah). Dalam pe-ngertian ini, bidang ilmu apa pun tidak menjadi ukur-an bagi seseorang untuk dikategorikan sebagai ulama asal memiliki sikap-sikap tersebut. Sikap khasyyah itu sendiri bahkan diakui oleh kebanyakan ulama sebagai ciri khusus ulama. Pertemuan ulama-pimpinan Pesan-tren pada tahun 1988, misalnya, merumuskan bahwa “ulama adalah hamba Allah yang khasyyatullah, yai-tu mengenal Allah secara hakiki” (Hsubky 1995: 47). Konsepsi ideal dan luas tentang ulama tersebut pada dasarnya mensyaratkan penguasaan ilmu pengetahu-an dan sikap khasyyah kepada Allah bagi seseorang untuk disebut ulama.

Akan tetapi, konsep ulama telah mengalami pe-nyempitan makna dari makna inklusif, yakni men-cakup seluruh ilmuan kepada makna eksklusif, yakni khusus ahli-ahli ilmu agama. Quraish Shihab meng-akui bahwa penyempitan makna konsep ulama juga seiring dengan penyempitan makna ibadah, fiqh, dan sebagainya. Quraish Shihab menulis: “Seyogyanya,

Prof. Dr. Zulkifli, MA 25

menurut pengertian asal, yang kita sebut ulama dalam pengertian sehari-hari lebih tepat dinamakan ‘fuqa-ha’. Dalam pengertian sehari-hari, pengertian ulama pun—sebagaimana penyempitan istilah ‘ibadah’ dan ‘fuqaha’—dipersempit, sehingga ulama hanya digu-nakan untuk orang-orang yang menekuni bidang-bi-dang disiplin ilmu agama” (Shihab 1992: 383).

Konsep ulama yang telah mengalami penyempit-an makna tersebutlah yang berkembang di kalangan ulama sekarang. KH. Ahmad Shiddiq, ketua umum NU dan pimpinan Pesantren As-Shiddiqi Jember era 1980-an, misalnya, merumuskan: “Ulama adalah seo-rang yang ahli ilmu-ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawuf, melalui penguasaan Tafsir dan Hadits serta dapat menjadi panutan masyarakat” (Tholkhah 1987: 69). Haji Abdur Rauf (pimpinan Pesantren Tinggi Islam di Sulawesi Selatan) menyatakan: “Ulama adalah seo-rang muslim yang memiliki ilmu agama yang menda-lam, berakhlaq mulia, taat beribadah, serta memiliki tanggung jawab baik terhadap dirinya atau masyara-kat” (Tholkhah 1987: 69).

Penyempitan konsep ulama tersebut juga berkait-an erat dengan perkembangan konsep ilmu di kalang-an kaum Muslim. Kalau dalam perkembangan awal Islam kata ilmu hanya digunakan dalam bentuk tung-gal yang mengacu kepada pengetahuan secara umum, belakangan berkembanglah bentuk jamaknya, yakni

Menuju Teori Praktik Ulama26

‘ulum yang menunjuk kepada berbagai jenis ilmu. Per-kembangan inilah yang menandai pandangan bahwa tidak setiap orang yang menguasai ilmu dapat disebut ulama, tetapi hanya mereka yang ahli dalam ilmu-il-mu keislaman yang memiliki hak-hak istimewa untuk disebut ulama (Azra 1990: 5).

Dengan demikian, penyempitan konsepsi ulama berkenaan dengan penyempitan ilmu yang dikuasai-nya, yakni dari ilmu secara umum menjadi ilmu ke-islaman saja. Dalam konteks ini, ulama digambarkan sebagai elite agama yang memiliki karakteristik: perta-ma, penguasaan ilmu-ilmu keislaman (ilmu-ilmu aga-ma); kedua, sikap khasyyah kepada Allah. Sikap kha-syyah ini dapat dijabarkan ke dalam bentuk ketaatan atau kesalehan dalam beragama, yakni mempraktik-kan ajaran-ajaran keislaman tersebut dalam kehidup-an (practicing Muslim), kemuliaan akhlak, tanggung jawab sosial dalam memimpin dan membimbing masyarakat. Dengan kualitas-kualitas tersebut ulama dengan sendirinya menjadi panutan atau model bagi masyarakat. Berkenaan dengan konsepsi ideal ulama, dirumuskan berbagai kriteria yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat dan pantas diakui sebagai ula-ma sebagaimana diuraikan pada bagian berikut.

Prof. Dr. Zulkifli, MA 27

Kriteria Ulama

Penting dan mulianya posisi ulama dalam agama Islam dan masyarakat Muslim mengharuskan para ulama dan pemikir Islam untuk merumuskan krite-ria (ukuran sebagai landasan) yang harus dimiliki oleh seorang ulama. Ulama terkenal masa lalu seperti Imam al-Ghazali mengklasifikan ulama kepada ula-ma dunia dan ulama akhirat dengan karakteristik ma-sing-masing. Pandangan al-Ghazali tersebut sangat berpengaruh terhadap pandangan ulama Indonesia. Kriteria yang dirumuskan itu pada dasarnya beran-jak dari sumber utama ajaran Islam, yakni al-Quran dan hadits. Pandangan al-Ghazali tentang kriteria ula-ma akhirat dan dikutip ulama Indonesia mencakup: pertama, ulama tidak mencari kemegahan dunia de-ngan memperdagangkan ilmunya untuk kepentingan dunia; kedua, perilakunya sejalan dengan ucapannya dan senantiasa menjadi contoh bagi umat Islam; ke-tiga, mengajarkan ilmunya untuk kepentingan akhi-rat, senantiasa mendalami ilmu agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah serta menghindari perdebatan yang tidak berguna; keempat, senantiasa mengejar kehidupan akhirat dengan mengamalkan il-munya dan beribadah kepada Allah; kelima, menjauhi penguasa jahat dengan tidak mendatangi penguasa; keenam, tidak mudah mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya yang kuat dalam al-Quran dan

Menuju Teori Praktik Ulama28

hadits; ketujuh, mencintai ilmu yang dapat mendekat-kan diri kepada Allah serta senantiasa musyahadah1, muraqabah2, dan optimis terhadap rahmat Allah; kede-lapan, berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai haqq al-yaqin (keyakinan yang benar); kesembilan, senan-tiasa khasyyah kepada Allah, takzim atas kebesaran-Nya, tawadhu, hidup sederhana, dan berakhlak mulia; kesepu-luh, menjauhi ilmu yang dapat merusak amal dan kesu-cian hati; kesebelas, memiliki ilmu yang bersumber di hati, bukan di buku, dan bertaklid hanya kepada hal-hal yang telah diajarkan rasulullah (Hsubky 1995: 57-58).

Demikian berat kriteria ulama akhirat atau ulama ideal. Kebalikan dari kondisi tersebut adalah ciri-ciri ula-ma dunia atau ulama su’ (jahat), yakni ulama yang memi-liki sikap dan pandangan hidup duniawi. “Mereka meng-inginkan kekayaan dan kehormatan dunawi dan tidak segan-segan untuk mengkhianati hati nurani mereka asal-kan tujuan mereka tercapai. Mereka bergaul bebas dengan raja-raja dan pegawai-pegawai pemerintah, serta membe-ri sokongan moral terhadap tindakan mereka yang baik maupun yang buruk” (Soletore 1983: 131). Ulama kategori inilah yang senantiasa dikritik baik oleh kalangan ulama sendiri maupun oleh kaum intelektual, pemikir, dan bah-

1 Musyahadah adalah terma tasawuf yang berarti upaya untuk menyingkap kebesaran Allah.

2 Muraqabah berarti upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Prof. Dr. Zulkifli, MA 29

kan oleh masyarakat pada umumnya. Tidak sedikit yang menghubungkan kondisi kemunduran dan kemerosotan akhlak masyarakat Islam dengan keberadaan ulama du-niawi yang berada di tengah-tengah masyarakat.

Pandangan-pandangan ulama masa lalu itu dicoba dikontekstualisasikan dengan kondisi dan situasi masya-rakat pada masa kini. Kontekstualisasi itu biasanya berke-naan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat di era informasi dan globalisasi yang menuntut kualitas ulama yang mampu memainkan perannya dalam konteks tersebut. Tanpa kemampuan itu, akan terdapat gap (ju-rang) antara ulama dan masyarakat yang menjadi target bimbingannya. Dengan kata lain, ulama tidak akan mam-pu memberikan bimbingan dan pendidikan bagi masya-rakat atau ulama akan ditinggalkan oleh umatnya sendiri. Dalam konteks ini, musyawarah antar pimpinan pesantren tinggi seluruh Indonesia pada 1988, misalnya, merumus-kan kualitas ideal yang harus dimiliki oleh ulama. Kualitas tersebut, antara lain, adalah pertama, penguasaan ilmu-il-mu keislaman yang disertai dengan kesanggupan untuk membimbing umat dengan memberikan bekal ilmu-ilmu keislaman tersebut; kedua, ikhlas dalam ajaran Islam; ke-tiga, kemampuan menghidupkan sunnah Rasul dan me-ngembangkan Islam kaffah; keempat, berakhlak mulia, berpikir kritis, aktif memotivasi masyarakat untuk berbuat kebajikan, bertanggung jawab, dan istiqamah; kelima, ber-jiwa besar, kuat jasmani dan rohani, tahan uji, hidup se-

Menuju Teori Praktik Ulama30

derhana, amanah, senantiasa melakukan riyadah, jamaah, tawadhu, kasih sayang, mahabbah, khasyyah dan tawakkal kepada Allah; keenam, memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap perkembangan zaman dan dapat menjawab tan-tangannya demi kepentingan agama dan ummatnya; ke-tujuh, memiliki wawasan luas, menguasai cabang-cabang ilmu yang diperlukan, dan mau menerima pendapat orang lain dengan sikap tawadhu (Hsubky 1995: 47).

Memang, norma pokok keulamaan adalah ketakwaan yang tinggi kepada Allah dengan fungsi utama mewarisi misi Rasulullah baik ucapan, ilmu, ajaran, perbuatan, akh-lak, maupun perjuangannya. Untuk menjadi ulama seseo-rang harus: pertama, tekun beribadah baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah; kedua, zuhud; ketiga, memiliki ilmu agama yang cukup; keempat, mengerti kemaslahat-an umat dan peka terhadap kepentingan umum; kelima, mengabdikan seluruh ilmunya untuk Allah dengan niat yang ikhlas baik dalam berilmu maupun dalam beramal salih (Siddiq 2006: 21-25).

Namun, norma pokok itu saja tidak cukup karena ula-ma harus mampu membimbing masyarakat sesuai dengan konteks sosiologis dan historis tertentu. Munawir Syadzali, Menteri Agama RI (1983-1993), mengemukakan beberapa syarat ulama yang ideal yang diharapkan masyarakat In-donesia pada masa modern, yaitu: pertama, ulama harus mempunyai penguasaan yang mantap dalam satu atau lebih cabang ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga perlu mengenal

Prof. Dr. Zulkifli, MA 31

cabang ilmu-ilmu keislaman yang lain serta disiplin-disip-lin ilmu lain yang berkaitan dengan tugas-tugasnya; kedua, ulama harus menguasai metodologi berpikir sistematis sehingga dapat memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat; ketiga, ulama harus mengikuti dinamika sosial dan dinamika ilmu pengetahu-an; keempat, ulama harus mengenal dan memahami betul problem yang dihadapi ummat Islam; kelima, ulama harus memahami perkembangan sejarah Islam secara kritis, ti-dak berpikir romantisme; keenam, ulama harus bersikap toleran dan tawadhu terhadap perbedaan-perbedaan pen-dapat yang terjadi dalam sejarah dan masyarakat (Syadza-li 1987: 30-33). Munawir Syadzali menambahkan bahwa ulama yang bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat adalah ulama yang memiliki, pertama, komit-men dan kejujuran kepada Islam, kedua, integritas ilmiah, dan, ketiga, loyalitas kepada ummat dan bangsa (1987: 34).

Berkenaan dengan penguasaan keilmuan, Tholhah Hasan, Menteri Agama RI era Presiden Abdurrahman Wa-hid (1999-2001), menambahkan bahwa ulama harus me-miliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan yang telah dimiliki agar dapat diaplikasikan secara lebih aktual dan kontekstual. Selain itu, ulama juga harus memi-liki kemampuan dan pengetahuan pelengkap sebagai bekal bagi dirinya untuk memahami dan mengikuti perubahan dan perkembangan social budaya yang terjadi begitu cepat di tengah-tengah masyarakat.

Menuju Teori Praktik Ulama32

Masih berkenaan dengan kriteria ulama, Ali Mustafa Yaqub menegaskan bahwa, selain penguasaan ilmu agama Islam dan sikap khasyyah kepada Allah, ulama harus bersikap zuhud dan berorientasi ukhrawi, akrab de-ngan rakyat kecil dan berusia empat puluh tahun ke atas. Zuhud itu sendiri diartikan sebagai “sikap untuk tidak mencintai dunia setelah dunia itu dikuasainya” (Yaqub 2001: 119) karena Nabi Muhammad itu sendi-ri adalah orang zuhud. Tetapi zuhud tidak boleh dipa-hami sebagai hidup melarat. Jadi ulama harus zuhud sesuai dengan sikap hidup para nabi. Demikian juga, sebagaimana sikap para Nabi, ulama harus akrab de-ngan rakyat jelata. Ulama tidak boleh “berorientasi ke langit, ingin berdampingan selalu dengan para bin-tang dan tidak mau mengakrabi kelas rumput” (Yaqub 2001: 120). Yang menarik dari rumusan Ali Mustafa Yaqub adalah pandangannya tentang keharusan usia empat puluh tahun bagi seorang ulama. Kita kutip pendapatnya:

Kriteria selanjutnya adalah ulama tersebut menjadi ulama sesudah ia berumur empat puluh ta-hun. Menurut para ahli, umur empat puluh tahun ini adalah usia yang matang bagi seseorang di mana tidak lagi memiliki kegejolakan jiwa dan ketidaksta-bilan kepribadian. Pada usia empat puluh tahun ini seseorang sudah mendapatkan istiqamah (ketenang-an jiwa) dan kemapanan kepribadian, sehingga ia layak menjadi anutan kaumnya. Sebelum itu, secara

Prof. Dr. Zulkifli, MA 33

umum, ia belum siap dan belum layak menjadi tokoh anutan umat (Yaqub 2001: 121).

Secara sosiologis, karakteristik ulama atau kyai besar meliputi: pertama, aspek keturunan di mana seorang kyai besar memiliki hubungan genalogis de-ngan kyai-kyai besar dalam rangkaian hubungan yang panjang; kedua, aspek penguasaan ilmu-ilmu keislam-an; ketiga, jumlah santri yang besar; dan keempat, pe-layanan kepada masyarakat sehingga ia menjadi san-daran masyarakat (Vredenbregt 1990: 28).

Dari uraian-uraian di atas, kriteria ulama dapat diklasifikasikan ke dalam empat kualifikasi, yaitu keil-muan, ketakwaan, kepribadian, dan pengabdian.

Tugas Ulama

Secara ideal-normatif, sebagai pewaris para nabi, ulama melanjutkan tugas-tugas nabi. Tentu saja tu-gas-tugas tersebut digambarkan sebagai yang tidak ringan seperti halnya kriteria ulama yang sangat be-rat. Rahardjo menulis:

Ulama adalah pewaris nabi. Tetapi yang diwa-riskan itu adalah misinya, yakni misi Islam. Dalam sejarah, ulama memang telah menjalankan amanah nabi tersebut, yakni menyebarkan dan melestarikan ajaran Islam kepada umat manusia. Ulama adalah penafsir al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang meng-hasilkan rumusan dan bahasan sistematis tentang

Menuju Teori Praktik Ulama34

agama. Ulama telah menciptakan body of knowledge keagamaan melalui karya-karya tulis. Berkat kar-ya-karya tulis itulah dilangksungkan pendidikan dari generasi. Ulama berperan sangat penting da-lam menyelenggarkan pendidikan yang mewariskan ilmu keislaman dari generasi ke generasi (Rahardjo 1996: 35).

Ali Machsan Moesa menegaskan:

Kaum ulama adalah kelompok yang secara jelas mempunyai fungsi dan peran sosial sebagai cende-kiawan penjaga tradisi yang dianggap sebagai dasar identitas primordial antara individu dan masyarakat. Dengan redaksi lain, fungsi ulama terpenting adalah peran ortodok sebagai penegak keimanan dengan cara mengajarkan doktrin-doktrin keagamaan dan memelihara amalan-amalan keagamaan ortodok bersama umat Islam (Moesa 2007: 60).

Dengan demikian, tugas utama ulama adalah, pertama, mendalami bidang-bidang keagamaan seba-gai tugas keilmuan dan, kedua, membimbing ummat dalam menjalankan dan mempertahankan agama se-bagai tugas sosial (Hasan 1987: 43). Tugas utama ter-sebut harus dijalankan oleh setiap ulama. Seseorang tidak akan disebut ulama jika tidak menjalankan kedua tugas utama itu. Di sinilah letak betapa pen-ting dan strategis posisi dan peranan ulama dalam masyarakat Muslim. Karena kedua tugas inilah kesi-nambungan Islam akan terpelihara dan karena tugas

Prof. Dr. Zulkifli, MA 35

ini pula keberadaan dan kesinambungan masyarakat Muslim akan bertahan.

Kedua tugas dan kewajiban utama ulama tersebut dapat dirinci lagi. Dalam tugas membimbing masyara-kat, ulama harus melakukan hal-hal berikut: pertama, menyampaikan ajaran-ajaran Islam; kedua, menjelas-kan ajaran-ajaran Islam; ketiga, memutuskan perkara atau persoalan yang dihadapi masyarakat; keempat, memberi contoh dan teladan dalam mengamalkan ajaran Islam (Shihab 1992: 385). Dapat ditambahkan lagi, bahwa ulama harus melakukan kontrol terhadap perkembangan masyarakat agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam, selain memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Artinya, ulama menjadi problem solver bagi masyarakat yang dibimbingnya. Di samping itu, ulama berfungsi sebagai agen dari perubahan sosial dan budaya sehingga mengarah kepada kondisi yang lebih baik dan positif (Hajar 2009: 39-40).

Kewajiban ulama adalah, pertama, menegakkan dakwah yang mencakup menanamkan akidah Islam dan membebaskan manusia dari kemusyrikan, me-ngatur dan melaksanakan dakwah Islam, menyeleng-garkan pendidikan dan pengajaran Islam, memben-tuk kader-kader untuk melanjutkan dakwah Islam; kedua, mengkaji dan mengembangkan ajaran Islam, yakni menggali nilai-nilai Islam yang bersumber dari

Menuju Teori Praktik Ulama36

al-Quran, sunnah, ijmak dan qiyas serta mencari ga-gasan baru yang Islami untuk memperbaiki dan me-ningkatkan taraf hidup masyarakat; ketiga, melin-dungi Islam dan umat Islam, yakni memperjuangkan hal-hal yang relevan dengan kepentingan umat Islam, melindungi kesucian umat Islam dari rongrongan musuh, dan memupuk rasa persatuan di kalangan umat Islam (Hsubky 1995: 66).

Dengan kata lain tugas utamanya adalah “me-ngembangkan nilai-nilai dan pranata yang dianut oleh suatu masyarakat” (Rahardjo 1993: 187) sehingga ek-sistensi masyarakat Islam akan terpelihara sepanjang sejarah serta kebudayaan dan peradaban Islam dapat bertahan dan berkembang secara maksimal. Dengan demikian, umat Islam betul-betul menjadi umat ter-baik di muka bumi dan menjadi teladan dan panutan bagi umat manusia pada umumnya.

Pengakuan dan Otoritas

Berkenaan dengan status dan peranan ulama, Tholhah Hasan menegaskan aspek pengakuan atau rekognisi (recognition) masyarakat akan kualitas se-seorang yang disebut ulama:

Dalam pengertian yang lebih realistis, orang akan disebut ulama jika dia menguasai bidang kea-gamaan yang bisa dibuktikannya dengan seluruh perilakunya dalam masyarakat, sehingga mendapat

Prof. Dr. Zulkifli, MA 37

pengakuan di kalangan mereka. Pengakuan ini pen-ting, karena dengan demikian ia akan menjadi te-ladan dan panutan bagi masyarakat itu, yang biasa disebut sebagai informal leader. Ini profil ulama yang diakui dan pernah kita miliki (Hasan 1987: 43).

Namun, secara singkat dapat dikatakan bahwa efek dari sikap khasyyah sebagai karakteristik khas ulama adalah pengakuan (recognition). “Secara alami, pengakuan masyarakat terhadap seseorang yang di-sebut ulama sebenarnya melalui proses penilaian dan seleksi yang cukup ketat, bukan saja ilmu, dedikasi, kepemimpinan dan kharismanya, tetapi juga perilaku, perkataan, perbuatan dan sikap hidupnya. Di situlah saya kira cermin yakhsyallah yang konkrit di dunia” (Hasan 1987: 43).

Otoritas ulama… bersumber dari syari‘ah atas dasar fungsi teologi dan sosiologis mereka sebagai penjaga (custodians) dan penafsir hukum Tuhan. Tetapi otoritas ini tidak akan termanifestasi secara riil di dalam masyarakat pada umumnya jika tidak dibarengi oleh penampakan sifat-sifat pribadi yang pantas mereka miliki, yang mengandung muncul-nya pengakuan masyarakat—dan ini penting—akan keulamaan mereka. Dengan demikian jelas bahwa otoritas mereka bukan berasal dari pentasbihan oleh lembaga eklesiastik tertentu—karena memang Islam tidak mengenal lembaga semacam itu—dan juga bukan berasal dari pengangkatan pemerintah (Azra 1990: 8).

Menuju Teori Praktik Ulama38

Pengakuan itu sendiri bersifat sosiologis atas konsepsi dan definisi ideal tentang ulama sebagaima-na telah dikemukakan di atas. Pengakuan itu sendiri relatif karena bisa saja seseorang yang diakui sebagai ulama sesungguhnya, dalam realitas, tidak memiliki pengetahuan agama yang mendalam, atau tidak lebih mendalam daripada orang lain yang tidak mendapat pengakuan sebagi ulama. Memang dalam masyarakat Muslim Sunni pada umumnya dan Indonesia pada khususnya tidak ada standard dan prosedur baku dalam proses pengakuan seseorang menjadi ulama. Pengakuan juga suatu proses.

…ulama di negeri-negeri Islam dan kiai di Jawa memperoleh penghormatan yang tinggi dari masya-rakat dan menduduki posisi yang sangat terhormat. Posisi sentral mereka sangat tergantung pada peng-akuan masyarakat. Di daerah-daerah tertentu, se-perti di Madura, penerimaan masyarakat didasarkan pada genealogi, yang berarti bahwa seorang kiai juga harus berasal dari keluarga kiai (Mansurnoor, 1991). Faktor lain adalah penampilan kiai. Ini menentukan dalam mencegah kiai dari kehilangan popularitas. Kekuasaan dan posisi kiai, karena itu, sangat tergan-tung pada keberlangsungan pengakuan masyarakat, yang berarti bahwa keulamaan dan kekiaian tidak hanya diwariskan begitu saja, tetapi juga harus dica-pai (Turmudi 2003: 99-100).

Konsep pengakuan terhadap status dan peranan ulama dalam masyarakat berkenaan dengan konsep

Prof. Dr. Zulkifli, MA 39

otoritas agama (religious authority). Artinya, ulama diakui sebagai orang atau kelompok yang memi-liki otoritas dalam menafsirkan ajaran agama yang bersumber dari sumber utama agama Islam, yakni al-Quran dan hadits. Otoritas dapat diartikan sebagai hak atau wewenang untuk bertindak. Sejalan dengan pandangan Weber yang membagi konsep otoritas menjadi otoritas tradisional, kharismatik, dan rasio-nal, otoritas keagamaan mendekati konsep otoritas kharismatik, yakni “a certain quality of an individual personality by virtue of which he is set apart from or-dinary men and treated as endowed with supernatural, superhuman, or at least specifically exceptional quali-ties” [kualitas tertentu dari kepribadian individu ber-dasarkan mana ia dipisahkan dari manusia biasa dan diperlakukan sebagai yang diberkahi dengan kualitas supernatural, manusia super, atau setidaknya kualitas yang luar biasa] (Weber 1957: 329).

Sejalan dengan Weber, Kramer dan Schmidtke menegaskan bahwa:

Religious authority can assume a number of forms and functions: the ability (chance, power, or right) to define correct belief and practice, or orthodo-xy and orthopraxy, respectively; to shape and influence the views and conduct of others accordingly; to iden-tify, marginalize, punish or exclude deviance, heresy and apostasy and their agents and advocates

Menuju Teori Praktik Ulama40

[Otoritas keagamaan dapat mengambil sejum-lah bentuk dan fungsi: kemampuan (kesempatan, ke-kuasaan, atau hak) untuk mendefinisikan keyakinan dan praktik yang benar, atau ortodoksi dan ortoprok-si, masing-masing; dengan demikian, untuk mem-bentuk dan mempengaruhi pandangan dan perilaku orang lain; untuk mengidentifikasi, meminggirkan, menghukum atau mengecualikan penyimpangan, bid’ah dan kemurtadan serta agen dan pendukung mereka] (2006: 1).

Dalam Islam al-Quran adalah rujukan tertinggi dan paling otoritatif dan pada zaman Nabi Muham-mad beliaulah pemegang otoritas yang menjadi ru-jukan orang-orang Islam. Berdasarkan al-Quran dan hadits, setelah Nabi wafat pemegang otoritas keaga-maan itu adalah ulama dengan karakteristik yang te-lah dikemukakan di atas. Otoritas ulama tersebut di-peroleh karena ilmu, akhlak dan peranannya dalam menyebarkan agama dan membimbing masyarakat (Rahardjo 1993: 186) atau karena kedalaman ilmu keislamannya dan sikap khasyyah-nya. Tetapi otoritas agama dalam Islam bukan merupakan kelas kepende-taan seperti dalam Kristen yang memiliki hak eksklu-sif dalam memimpin upacara dan ritus keagamaan.

Sumber otoritas ulama berbeda-beda antara ula-ma satu dengan yang lain. Pertama adalah, tentu saja, kualitas pribadi ulama yang bersangkutan. Hal ini berkiatan dengan kriteria dan kualifikasi yang harus

Prof. Dr. Zulkifli, MA 41

dimiliki seseorang untuk dapat diakui sebagai ula-ma, baik penguasaan ilmu-ilmu keislaman, akhlak, pengabdiannya kepada umat maupun kepribadian-nya. Kedua, sebagaimana dijelaskan di atas, adalah dukungan dan penerimaan umat. Dapat dipastikan bahwa tidak ada ulama yang dapat eksis tanpa du-kungan murid dan pengikutnya yang menjadikannya sebagai panutan. Hal ini menuntut ulama untuk se-nantiasa dekat dengan pengikutnya. Hal itu jugalah yang menjadi alasan mengapa ulama tetap tinggi di desa atau daerah asalnya meskipun yang bersangkut-an menduduki posisi sebagai pemimpin organisasi keagamaan tingkat nasional. Dukungan tersebut mut-lak karena kehilangan dukungan berarti kehilangan status sebagai ulama. Ketiga adalah dukungan kelem-bagaan baik madrasah, langgar, pesantren ataupun ta-rekat. Dapat dipastikan bahwa setiap ulama memiliki basis institusional tempat yang bersangkutan mena-pak karier sebagai pendidik, pengajar, dan dai. Basis tersebut terus dipertahankan sepanjang hidupnya. Keempat adalah jaringan dan hubungan antarkyai yang terbentuk melalui kekerabatan, yakni hubung-an darah dan perkawinan, dan melalui jaringan in-telektual, yakni guru-murid. Kelima ialah hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan. Memang pada masa kolonial kebanyakan ulama bersikap non-kooperatif terhadap penguasa. Demikian juga pada masa-masa

Menuju Teori Praktik Ulama42

tertentu pada era Orde Baru. Namun, secara umum ulama sering dekat dengan kekuasaan sejak awal Isla-misasi Nusantara. Bahkan ulama menjadi bagian dari elite kekuasaan pada zaman kesultanan (Dirdjosanjo-to 1999: 247-248).

Otoritas ulama tersebut memang berkaitan de-ngan posisi sentralnya dalam kehidupan masyarakat. Eksistensi kyai sangat mengakar dalam kehidupan masyarakat sehingga mereka sangat dihormati, dise-gani, dihormati dan diagungkan berkat peranan sig-nifikan mereka dalam membangun masyarakat baik dalam bidang pendidikan, agama, sosial budaya, mau-pun ekonomi.

Posisi sentral ulama tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, dinamika dan mobilitas ulama yang tinggi dalam membangun jaringan baik dengan sesama ulama maupun komunitas dan unsur lain sehingga memungkin mereka untuk memperoleh akses informasi tentang masyarakat, lingkungan dan dunia sekitar. Informasi tersebut sangat penting bagi keberlangsungan eksistensinya dalam arus perubahan masyarakat. Kedua, posisi sentral tersebut menjadi-kan mereka sumber rujukan bagi warga masyarakat luar yang ingin datang ke desa sehingga mereka tidak mungkin mengabaikan eksistensi ulama. Ketiga, seba-gai akibat dari posisi sentral tersebut ulama memiliki kelebihan secara material dan ekonomi dibandingkan

Prof. Dr. Zulkifli, MA 43

anggota masyarakat lainnya sehingga posisi mereka semakin kokoh (Hajar 2009: 59-60).

Demikianlah, pada mulanya konsep ulama ber-sifat teologis dan ideal dengan standard dan kriteria yang ideal serta dengan tugas-tugas dan tanggung jawab sebagai pewaris misi kenabian. Kemudian kon-sep tersebut bersifat historis dan sosiologis. Dalam konteks historis-sosiologis, status dan peranan ulama diperoleh berdasarkan pengakuan masyarakat akan otoritasnya sebagai ulama. Otoritas tersebut bersum-ber dari berbagai faktor yang berkaitan satu sama lain, baik itu kualitas pribadi, genealogi, dukungan masyarakat, dukungan kelembagaan, jaringan anta-rulama atau lembaga, keunggulan ekonomi ataupun yang lainnya. Dengan kata lain, otoritas ulama meru-pakan “the complex interplay of religion, law, politics and society” (Kramer dan Schmidtke 2006:2). Singkat-nya, otoritas keagamaan hanya akan berfungsi dengan adanya kekuatan simbolik yang dimiliki oleh ulama tersebut (Zulkifli 2013).

Menuju Teori Praktik Ulama44

Prof. Dr. Zulkifli, MA 45

3Berbagai Peranan Ulama

Sejak awal perkembangan Islam di Indonesia, ula-ma telah memainkan peranan yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat. Peranan tersebut me-liputi berbagai aspek kehidupan: agama, pendidikan, dakwah, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Ber-kaitan dengan aspek-aspek tersebut, peranan ulama menjadi bervariasi dan, dengan demikian, dikenal dan diakui sesuai dengan peranan utama yang dijalan-kan dan tentu saja yang diharapkan oleh masyarakat. Bab ini akan mendiskusikan variasi-variasi peranan ulama yang utama dalam masyarakat Indonesia, yak-

Menuju Teori Praktik Ulama46

ni sebagai guru (ulama pesantren), sebagai Sufi (ula-ma tarekat) dan sebagai dai (ulama panggung atau muballigh).3 Ketiga peranan utama tersebut melekat

3 Pada masa lalu sekelompok ulama menjadi pejabat agama yang dikenal sebagai penghulu, yakni pelaksana aktivitas sosial keagamaan bidang kehakiman atau hukum Islam (tasyri’ wa al-qadha). Penghulu adalah ulama yang dekat dengan kekuasaan. Kalau pada masa kesultanan penghulu diangkat oleh sultan dan dikenal sebagai syaykh al-islam, pada masa kolonial penghulu diangkat oleh pemerintah kolonial. Mereka juga mendapat gaji dari pemerintah. Kedekatan ulama dengan kekuasaan sebetulnya sudah merupakan fenomena umum di Nusantara. Bahkan sejak awal kedatangannya Islam menjadi bagian penting dalam proses pembentukan kesultanan. Sebagai ulama yang dekat dengan kekuasaan, kedudukan penghulu seringkali mengalami dilemma dan sering dikritik, apalagi pada masa kolonial. Para penghulu tidak jarang dianggap telah melakukan tindakan penyimpangan seperti menyelewengkan kas masjid. Hubungan penghulu dengan ulama pada umumnya seringkali bersifat konflik dan tidak harmonis. Ulama pada umumnya menganggap rendah penghulu, khususnya pada masa kolonial, sebagai orang yang tidak memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan sebagai orang yang hanya mengharapkan kedudukan dan gaji dari pemerintah. Memang tidak sedikit ulama terkenal menolak untuk diangkat menjadi penghulu karena bekerja dengan pemerintah kolonial dianggap tidak terhormat (Steenbrink 1986:108). Namun, harus diakui bahwa penghulu telah memainkan peranan yang penting dalam proses Islamisasi di Indonesia dan bahkan dalam proses integrasi nasional.

Dari segi fungsi sosial keagamaan, melalui kapengulon, penghulu telah memberikan kontribusinya yang besar di dalam usaha Islamisasi orang-orang Jawa dari waktu ke waktu. Sumbangsihnya tidak kalah besar terhadap proses integrasi nasional. Jasa penghulu dalam mempersatukan penduduk di seluruh pelosok pedesaan dan perkotaan di Jawa, bahkan di berbagai tempat di wilayah Indonesia, diwujudkan dengan menerapkan norma hukum keluarga yang satu dan sama, yaitu hukum Islam. Dengan ikatan hukum yang satu dan sama tersebut, rasa kesatuan dan persatuan antarsuku bangsa di wilayah Indonesia pada umumnya, serta di Jawa dan Madura pada khususnya semakin kokoh,

Prof. Dr. Zulkifli, MA 47

pada status utama ulama dalam masyarakat Muslim. Hal tersebut berdasarkan alasan bahwa meskipun ka-dang-kadang ulama terkenal dalam bidang politik pe-ranan tersebut hanya merupakan pengaruh dari atau pengembangan saja dari peranan utamanya sebagai pendidik, guru tarekat atau dai dan muballigh. Tetapi sebelum membahas ketiga variasi peranan tersebut, perlu dikaji posisi umum ulama sebagai pemimpin masyarakat.

Pemimpin Agama

Bagi masyarakat Islam, ulama adalah pemimpin agama atau pemimpin spiritual yang menjadi rujuk-an dalam berbagai aspek kehidupan. Memang benar apa yang dikatakan Taufik Abdullah bahwa kepe-mimpinan merupakan masalah penilaian masyarakat terhadap pribadi tertentu dalam interaksinya dengan sistem sosial. Selain kemampuan pribadi yang di-persepsikan untuk memimpin agar tercapai cita-cita

sehingga mendorong terwujdunya kesatuan nasional secara lebih cepat.

Sekarang, tidak ada lagi ulama penghulu dalam pengertian di atas sebagaimana masa kesultanan dan kolonial. Tetapi pemerintah tetap menjalankan administrasi Islam melalui suatu kementerian, yaitu Kementerian Agama, yang strukturnya mulai dari pusat sampai kabupaten/kota. Untuk pelaksanaan administrasi hukum Islam, khususnya perkawinan, pada tingkat kecamatan terdapat Kantor Urusan Agama (KUA) yang tentu saja tidak diduduki oleh seorang ulama yang memenuhi kriteria sebagaimana diungkapkan sebelumnya.

Menuju Teori Praktik Ulama48

komunitas, bobot fungsinya untuk mempertahan-kan eksistensi komunitas adalah faktor utama bagi keberadaan seorang pemimpin (Abdullah 1987: 64). “Seseorang dianggap sebagai pemimpin Islam karena ia diperkirakan bisa memimpin dalam mempertahan-kan eksistensi dari komunitas Islam (Abdullah 1987: 78). Ulama adalah pemimpin Islam. Ulama merupa-kan elite agama dan sosial yang berada di tengah-te-ngah masyarakat yang dipimpinnya dalam memeliha-ra tatanan sosial dan melakukan perubahan sosial dan budaya. Ulama menjadi rujukan masyarakat. Sebagai rujukan, setiap gerak langkah dan ucapan ulama di-yakini sebagai kebenaran yang harus diikuti, dipatuhi dan diamalkan karena ulama diyakini sebagai kepan-jangan tangan para nabi yang memiliki otoritas di bi-dang keagamaan.

Yang penting dicatat dari kepemimpinan sufi dan ulama adalah kenyataan bahwa hubungan antara pemimpin dan masyarakatnya direkat oleh hubung-an emosional yang erat. Hubungan yang erat antara ulama dan masyarakatnya ini lahir dari persepsi ma-syarakat bahwa kepemimpinan yang pertama adalah kepemimpinan yang nyata, dan bahwa ulama adalah ahli yang dapat memahami dan menjelaskan ajar-an-ajaran Al-Qur’an (Turmudi 2003: 99).

Hal tersebut juga sejalan dengan pandangan ma-syarakat Islam yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan yang harus dipelajari setiap Muslim se-

Prof. Dr. Zulkifli, MA 49

bagaimana berulang kali ditegaskan dalam al-Quran dan hadits Nabi. Betapa pentingnya ilmu pengetahuan tersebut sehingga orang yang berilmu akan mendapat kedudukan dan derajat yang tinggi di hadapan Allah. Pandangan ini yang pada gilirannya membentuk sua-tu budaya yang menghargai ulama sebagai orang yang memiliki ilmu pengetahuan, apalagi pengetahuan ke-islaman (Turmudi 2003: 98-99).

Tetapi ulama seringkali dianggap sebagai pemim-pin kharismatis bagi masyarakat yang memiliki hu-bungan yang emosional dengan sang pemimpin ter-sebut. Hal itu akan semakin memperkuat pengaruh ulama dalam kehidupan masyarakat.

Kharisma yang menyertai aksi-aksi kiai juga menjadikan hubungan itu penuh dengan emosi. Ka-rena kiai telah menjadi penolong bagi para pendu-duk dalam memecahkan masalah-masalah mereka, yang tidak hanya terbatas pada masalah spiritual tetapi juga mencakup aspek kehidupan yang lebih luas, maka penduduk juga menganggap kiai sebagai pemimpin dan wakil mereka dalam sistem nasional (Turmudi 2003: 97).

Dengan demikian, sebagai pemimpin agama ula-ma tidak hanya menjadi rujukan dalam masalah-ma-salah agama tetapi mencakup masalah-masalah yang lebih luas seperti ekonomi, sosial, psikologis, kelu-arga, dan kesehatan sehingga tidak jarang pandang-

Menuju Teori Praktik Ulama50

an dan fatwa ulama mempengaruhi persepsi dan tindakan anggota masyarakat yang menjadi pengi-kutnya. Keputusan-keputusan untuk memilih partai politik dapat juga dipengaruhi oleh pandangan dan fatwa ulama. Jadi, peranan ulama sebagai pemimpin tradisional sangat kompleks mulai dari memberikan pandangan, pemikiran dan fatwa tentang berbagai persoalan social,ekonomi, politik, keluarga dan lain-lain, melakukan pengobatan, memberikan petunjuk, bimbingan dan pendidikan, memimpin ritual dan pe-rayaan agama, dan memimpin lembaga pendidikan hingga memimpin gerakan-gerakan sosial dan kultu-ral di tengah-tengah masyarakat.

Guru dan Pendidik

Salah satu peranan yang paling banyak diemban oleh ulama adalah sebagai pendidik atau guru dalam pengertian digugu dan ditiru, yakni pendidik dan pe-mimpin yang dijadikan teladan dan panutan. Dalam perjalanan panjang seseorang diakui sebagai ulama biasanya diawali dengan kariernya sebagai guru da-lam pengertian pengajar dan pendidik yang biasanya disebut ustadz. Tugas ini kadang-kadang telah dimu-lai ketika seseorang masih mengenyam pendidikan di pesantren atau madrasah. Proses sejarah menjadi ajang seleksi bagi mereka untuk memperoleh peng-akuan dari masyarakat luas sebagai ulama dan di-

Prof. Dr. Zulkifli, MA 51

panggil kyai. Tetapi ada di antara mereka yang me-ngembangkan pendidikan dan dakwah Islam dengan cara membangun pesantren baru di lokasi baru. Me-kanisme kedua inilah yang banyak mewarnai proses kemunculan seseorang untuk menjadi ulama yang le-bih dikenal dengan sebutan kyai. Kasus Hasyim Asyari yang mendirikan Pesantren Tebuireng adalah contoh yang terkenal. Hasyim Asyari mendirikan pesantren Tebuireng dengan membawa 28 santri dari Pesantren Gedang, tempat dia mengajar sebelumnya (Dhofier 1982: 95).

Tidak semua pendidik dan pengajar menjadi ulama yang memenuhi kriteria yang digariskan seca-ra ideal sebelumnya atau yang mendapat pengakuan dari masyarakat. Tetapi peranan mereka dalam bidang pendidikan, dakwah dan pengembangan masyarakat sangat penting dalam sejarah dan perkembangan Is-lam di Indonesia. Dalam suatu pesantren atau lembaga pendidikan, para guru inilah yang aktif melaksanakan aktivitas pendidikan dan pengajaran. Mereka terlibat langsung dalam berinteraksi dengan para santri dan murid baik di dalam kelas maupun dalam kehidup-an sehari-hari. Jadi, kelangsungan proses pendidikan dan, oleh karena itu, kesinambungan eksistensi lem-baga pendidikan sangat bergantung pada tenaga-te-naga pendidik dan pengajarnya.

Menuju Teori Praktik Ulama52

Pengaruh ustadz lebih terbatas dibandingkan kyai. “Seorang ustadz biasanya mempunyai pengaruh lokal yang terbatas, tidak saja karena pengetahuan keislamannya tidak seluas kyai, tetapi juga karena ia tidak mempunyai pesantren sebagai pusat pembela-jaran” (Turmudi 2003: 31). Meskipun begitu, ustadz tetap memiliki peran penting dalam proses pendidik-an dan pengajaran serta dakwah Islam di tengah ma-syarakat.

Sebagai ahli agama atau pemegang otoritas kea-gamaan, peranan ulama dalam bidang pendidikan sa-ngat signifikan karena peranan tersebut berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan sebagai tempat berlang-sungnya proses pendidikan dan pengajaran dan trans-misi nilai-nilai dan ajaran Islam kepada anak didik.

Sebagai pakar-pakar ilmu agama, ulama secara alamiah memainkan peran sentral pula di lapangan pendidikan agama. Peran ini dimainkan sejak awal pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam berbagai bentuknya, seperti majlis, halaqah (kelompok belajar), maktab, dan kuttab, jami‘ (lem-baga pendidikan di masjid yang kemudian juga ber-arti universitas), madrasah, zawiyah, dan ribath, su-rau dan pesantren (Azra 1990: 6).

Perlu ditegaskan kembali bawa peranan seba-gai pendidik dapat dikatakan sebagai peranan pokok

Prof. Dr. Zulkifli, MA 53

ulama dan peranan inilah yang dituntut untuk diop-timalkan agar berlangsung proses pencerahan secara berkesinambungan.

Pencerahan identik dengan pendidikan dan pengajaran, dan kiai memiliki tugas menerangi umat dengan tuntunan agama. Dalam pesantren, peran itu terejawantah dari konsistensi kiai mendidik dan mengajari santri-santrinya. Aktivitas itu merupakan penggemblengan intelektualitas, emosionalitas, serta spiritualitas santri sebagai generasi muda yang nan-tinya akan menggantikan peran-peran strategis di te-ngah masyarakat (Hajar 2009: 45).

Sufi

Sebagian ulama adalah Sufi, yaitu orang yang mengikuti dan mengamalkan ajaran tasawuf atau ta-rekat. Tasawuf atau Sufisme adalah dimensi esoteris atau yang terdalam dalam Islam (Nasr 1988: 121) da-lam rangka memperoleh kecintaan kepada Allah dan kesempurnaan rohani. Para tokoh Sufi itu sendiri da-pat diklasifikasi ke dalam dua kategori, yaitu, pertama, Sufi individual yang mandiri, yang tidak mempunyai tarekat tertentu atau tidak mengikat murid-muridnya kepada suatu ajaran dan teknik ritual tertentu tetapi dia dikenal karena ajaran dan ucapannya yang me-lahirkan pendirian atau aliran dalam dunia tasawuf. Kedua, tokoh Sufi yang terikat dengan aliran atau ta-rekat tertentu, yang diikuti dan disebarluaskan mu-

Menuju Teori Praktik Ulama54

rid-muridnya seperti Tarekat Qadiriyyah, Naqsya-bandiyyah, Syattariyyah, dan Sammaniyyah (Aceh 1993: 37).

Sufi memainkan peranan utama dalam Islamisa-si awal Nusantara. Tanja menulis bahwa “Islam yang pertama kali menyebar di Nusantara adalah Islam Sufi” (1982: 21). Johns, seorang penulis produktif ten-tang sejarah Sufisme di Indonesia (1955, 1957, 1961, 1965, 1975), menduga bahwa pendagang-pedagang Arab dan Muslim dari negara-negara telah mengun-jungi Indonesia sejak abad VIII, meskipun belum ada masyarakat Muslim yang tampak dalam skala apa pun hingga abad XIII. Dia menggambarkan peran pen-ting Sufisme dalam proses ini: “Sufisme secara lang-sung terlibat dalam penyebaran Islam ke Indonesia, ia memainkan suatu bagian signifikan dalam organisasi sosial di kota-kota pelabuhan Indonesia, dan watak khusus Sufisme yang memudahkan ketertarikan ko-munitas-komunitas non-Muslim ke dalam naungan Islam” (Johns 1961: 13).

Tampaknya tidak ada sarjana atau ulama Indone-sia yang menyangkal peranan besar para Sufi dalam Islamisasi Indonesia, meskipun pandangan ini agak-nya masih bersifat spekulatif. Johns berasumsi bahwa dari abad XIII samapai XVIII, aktivitas dai-dai Sufi bertindak sebagai penggerak di balik penyebaran Is-lam Indonesia. Hal ini berhubungan dengan pengaruh

Prof. Dr. Zulkifli, MA 55

dominan tarekat-tarekat Sufi di dunia Islam setelah kejatuhan Baghdad ke tangan Mongol pada 1258. dai-dai Sufi terpaksa meninggalkan Baghdad dan mencari wilayah-wilayah yang damai di timur, tempat mereka dapat mencari pengikut-pengikut mereka yang baru (Koentjaraningrat 1984: 53). Selama priode ini Islam mampu menancapkan akar-akarnya pada rakyat di kerajaan-kerajaan Indonesia lokal dan mempenga-ruhi penguasa-penguasa mereka (Johns 1961: 13-14).

Kebanyakan sarjana menekankan peran signifi-kan Sufi dalam proses Islamisasi, oleh karena pelbagai kesamaan antara Sufisme dengan budaya-budaya In-donesia pra-Islam. Johns menulis tentang karakteris-ti-karakteristik Sufi yang membuatnya berhasil dalam menyebarkan Islam di Indonesia:

Mereka adalah dai-dai peripatetik yang me-ngembara ke seluruh dunia yang mereka kenal, de-ngan sukarela menanggung kafakiran: mereka sering diasosiasikan dengan perdagangan atau keterampil-an tertentu, berdasarkan tarekat yang dianut; mereka mengajarkan suatu teosofi sinkretis yang kompleks, yang sebagian besar isinya telah akrab bagi orang-orang Indonesia, tetapi disubordinasikan, meskipun merupakan suatu pelebaran atas dogma-dogma fun-damental Islam; mereka pandai melakukan hal gaib dan memiliki kekuatan-kekuatan penyembuhan; dan tidak kalah penting, secara sadar atau tidak sadar, mereka siap menjaga kontinuitas dengan masa lalu dan menggunakan terma-terma dan unsur-unsur

Menuju Teori Praktik Ulama56

budaya pra-Islam dalam konteks Islam (Johns 1961: 15).

Keberhasilan ulama Sufi dalam proses pengislam-an Nusantara tersebut tidak lepas dari jaringan tare-kat yang menekankan kepatuhan dan solidaritas yang dengan jaringan tersebut mereka dapat memperkuat prestasi dan karisma sehingga dapat mempengaruhi massa yang pada gilirannya masuk dan mengikuti ajaran-ajaran yang mereka sampaikan. Dengan ja-ringan tersebut, ulama tampil secara efektif dalam penyiaran Islam, penentangan terhadap upaya-upaya anti-Islam, dan dalam perlawanan terhadap kolonial-isme Barat (Azra 1990: 7).

Besarnya peranan para Sufi dalam proses isla-misasi dan perkembangan Islam di Indonesia, seba-gaimana sudah dijelaskan, menyebabkan karakteris-tik Islam Indonesia yang Sufistik, terutama sebelum munculnya Islam modernis pada awal abad XX. Ka-rakteristik Sufistik tersebut secara umum berlangsung hingga sekarang. Bahkan, menurut Dhofier, penggu-naan istilah kyai itu sendiri lebih merujuk kepada ka-rakteristik Sufistik pada kebanyakan ulama di Indo-nesia, yakni “seorang sarjana Muslim yang menguasai bidang-bidang tauhid, fiqh dan sekaligus juga seorang ahli Sufi” (Dhofier 1982: 34-35).

Prof. Dr. Zulkifli, MA 57

Seorang kyai atau guru tarekat, seringkali di-pandang sebagai seorang yang memiliki sejumlah kualitas kewalian. Apalagi setelah meninggal, se-ringkali seorang guru tarekat akan langsung diang-gap sebagai wali yang keramat oleh para pengikutnya sehingga makamnya banyak dikunjungi orang yang hendak meminta berkah (Dirdjosanjoto 1999: 183-184).

Dai dan Muballigh

Sebagian ulama lebih memfokuskan diri dalam kegiatan dakwah Islam baik dalam pengertian tab-ligh maupun ta‘lim. Tabligh lebih menunjuk kepada kegiatan penyampaian ajaran Islam dengan ceramah umum sedang ta‘lim lebih kepada kegiatan pengajian rutin dan teratur. Kalau tabligh biasanya diikuti oleh peserta atau jamaah yang banyak, pengikut ta‘lim le-bih terbatas. Tokoh-tokoh seperti mendiang Zainud-din MZ dan Abdullah Gymnastiar (Aa Gim) adalah contoh dai atau muballigh (pendakwah) yang popu-ler. Kadang-kadang ulama yang menyebarkan dan mengembangkan Islam melalui dakwah disebut ula-ma atau kyai panggung (Turmudi 2003: 34) atau kyai wuwur, yakni yang aktivitas utamanya berceramah dan membagi-bagikan ilmu keislaman kepada masya-rakat (Hajar 2009: 32).

Ulama adalah dai yang bertugas membimbing dan memberi petunjuk kepada masyarakat. Setiap ti-

Menuju Teori Praktik Ulama58

pologi masyarakat baik primitif, tradisional, maupun modern tetap membutuhkan bimbingan dan petun-juk dari ulama dalam hal agama. Agama senantiasa menjadi kebutuhan masyarakat. Apalagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta kemu-dahan yang dicapai manusia dalam memanfaatkan teknologi telah membawa dampak negatif terhadap gaya hidup masyarakat. Budaya hedonis dan materia-lis telah menjalar dan menjangkiti aspek-aspek kehi-dupan manusia. Ajaran dan nilai-nilai agama sering-kali terpinggirkan bila berhadapan dengan kemajuan teknologi dan globalisasi. Adalah tugas ulama untuk “menjaga nilai-nilai itu tetap lestari, diikuti, dan di-praktikkan oleh masyarakat. Makanya, dakwah ialah media dalam menyampaikan sebuah kebenaran dan keluhuran nilai dan ajaran Islam kepada masyarakat” (Hajar 2009: 46).

Dakwah itu sendiri mencakup dakwah billisan (bi al-lisan) dan dakwah bilhal (bi al-hal). Yang pertama adalah dakwah yang dilakukan dengan menyampai-kan ajaran Islam kepada masyarakat dengan ceramah, diskusi, dan pengajian, sedang yang kedua menitik-beratkan pada keteladanan dalam ucapan, sikap, dan tindakan yang diikuti oleh masyarakat. Dakwah bil-hal merupakan model dakwah yang efektif karena ulama mewujudkan apa yang disampaikannya dalam

Prof. Dr. Zulkifli, MA 59

dakwah billisan dalam ucapan, sikap dan perilaku se-hari-hari (Hajar 2009: 46-47).

Dakwah dalam pengertian yang luas adalah me-lakukan perubahan ke arah yang lebih baik atau trans-formatif. Pengertian ini sejalan dengan perintah amar makruf dan nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran) sebagaimana diamanat-kan al-Quran. Peranan inilah yang telah dimainkan para ulama dan tentu saja harus tetap dijalankan.

Oleh karena itu, sebagai pewaris para nabi, ulama (kiai) tidak hanya sekedar menjadi penyalur ilmu pengetahuan dan agama, tetapi juga harus bisa menerjemahkan nilai-nilai pembelaan agama se-cara transformatif, sehingga berbagai pengalaman perjuangan serta spirit perjuangan para nabi harus dijadikan sebagai pijakan perjuangan yang akan di-lakukan oleh seorang ulama. Para nabi jelas mampu menjadikan dirinya sebagai pengayom, dan tidak ja-rang harus turun langsung melakukan advokasi ter-hadap umatnya (Hajar 2009: 48-49).

Demikianlah, peranan-peranan yang dimainkan ulama dalam masyarakat Indonesia. Peranan-peranan tersebut dapat saling berkaitan satu dengan yang lain dan bahkan tidak dapat dipisahkan. Pembedaan terse-but sebetulnya hanya untuk memberikan penekanan atau menunjukkan peranan utama yang lebih banyak digeluti oleh masing-masing ulama.

Menuju Teori Praktik Ulama60

Prof. Dr. Zulkifli, MA 61

4Teori Peranan Ulama

Setelah mengkaji konsep dan karakteristik ulama ser-ta berbagai peranan yang dijalankan mereka, bab ini akan menyajikan riviu terhadap beberapa teori ten-tang peranan ulama, khususnya yang telah dikemuka-kan oleh ahli-ahli ilmu sosial. Tentu saja bab ini tidak menguraikan hasil-hasil kajian yang tidak mengguna-kan kerangka teoretis atau tidak melahirkan teori-teo-ri sosial tertentu yang dapat dipertimbangkan peneliti berikutnya sebagai kerangka atau model teoretis. Pe-nulis akan menyajikan riviu tentang teori Geertz, Ho-rikoshi, dan Dirdjosanjoto.

Menuju Teori Praktik Ulama62

Pialang Budaya

Teori sosial pertama yang berpengaruh dan ter-kenal tengan peranan ulama di Indonesia dikemuka-kan oleh antropolog Amerika terkenal, yakni Clifford Geertz.4 Melalui artikelnya, “The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker”, Geertz (1959-1960) berusaha mempertahankan teorinya tentang posisi kyai sebagai pialang atau makelar budaya. mem-formulasikan perubahan-perubahan yang sedang ter-jadi pada peranan kyai di Jawa. Geertz melihat bahwa kyai menempati posisi sebagai cultural broker (pialang budaya). Geertz melandaskan pandangannya pada konsep mediator (perantara) yang berperan sebagai penyaring informasi yang masuk ke dalam komuni-tas santri. Dalam pandangannya, sebelum kemerde-kaan, kyai menjadi penghubung antara dunia Islam yang berpusat di Tanah Suci (Mekkah dan Madinah), dan para petani di pedesaan Jawa atau penghubungan antara tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Pada masa setelah kemerdekaan, me-reka menjadi agen yang menghubungkan perubahan-

4 Clifford James Geertz (1926-2006) adalah antropolog Amerika terkenal yang risetnya banyak tentang Indonesia dan Maroko berkenaan dengan kehidupan agama, eknomi, dan sosial politik. Salah satu karyanya yang menjadi klasik adalah the Religion of Java (1960) yang diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia dengan judul Abangan, Santri, Priyayi (1984).

Prof. Dr. Zulkifli, MA 63

perubahan yang terjadi di tingkat pusat (Jakarta) de-ngan masyarakat pedesaan. Dalam pandangan Geertz, karena derasnya informasi yang masuk ke komunitas santri, kyai akan kehilangan peran dan, dengan demi-kian, akan mengalami kesenjangan budaya (cultural lag) dengan komunitasnya sendiri.

Entrepreneur Politik

Horikoshi (1987) menolak tesis Geertz yang ber-landaskan konsep ‘mediating cultural brokers’ tersebut karena “kekeliruan dan kepicikan dalam menganggap mekanisme hubungan kelompok masyarakat yang kompleks” (Horikoshi 1987: 243). Dia menegaskan: “Tidak seperti ‘cultural brokers’ yang nampak sekedar perantara yang kekuatannya datang dari sistem na-sional, posisi para pemimpin tradisional telah me-lembaga serta tertanam kuat dalam struktur masya-rakat lokal” (Horikoshi 1987: 241). Masyarakat yang kompleks selalu memiliki elemen-elemen yang saling bergantung satu sama lain dan saling fungsional satu sama lain (1987: 243).

Dia mengatakan bahwa kyai adalah ahli agama Islam yang mampu memasuki sistem kekuasaan yang begitu rumit dengan kualitas kharismanya sehingga mereka secara aktif melakukan perubahan sendiri. Dengan kata lain, kyai tidak hanya melakukan selek-si terhadap program-program pembangunan yang

Menuju Teori Praktik Ulama64

cocok untuk komunitas santri tetapi secara aktif me-rancang dan melaksanakan perubahan masyarakat serta menciptakan peluang pendidikan dan ekonomi bagi masyarakat. “Fungsi mereka sebagai ‘cultural bro-ker’ telah memperkenalkan butir-butir budaya maju kepada masyarakat, dan menggerakkan perubahan secara lokal, bahkan telah membuat mereka menja-di sangat diperlukan bagi masyarakat…” (Horikoshi 1987: 245).

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memberikan apresiasinya yang mendalam kepada Horikoshi yang telah mengungkapkan bahwa kyai ternyata berperan kreatif dalam perubahan sosial dengan caranya sen-diri. Dengan menyadari bahwa perubahan itu meru-pakan suatu kebutuhan, masalah yang dihadapi kyai adalah bagaimana kebutuhan akan perubahan itu dipenuhi tanpa merusak ikatan-ikatan sosial yang te-lah ada tetapi memanfaatkannya sebagai mekanisme perubahan sosial yang diperlukan. Masalah ini diha-dapi oleh setiap agama besar di dunia. Gus Dur mene-kankan bahwa kyai dalam melakukan perubahan itu berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yakni me-melihara tradisi lama yang baik dan mengambil per-ubahan baru yang lebih baik (Wahid 1987: xvii).

Dengan demikian, tidak salah kalau dikatakan bahwa ulama atau kyai yang adaptif, kreatif, dan

Prof. Dr. Zulkifli, MA 65

transformatif dalam menghadapi dan memelopori perubahan adalah tipe yang paling ideal posisi dan peranan ulama di tengah perubahan sosial yang begi-tu cepat. Dalam realitas, tidak sedikit ulama atau kyai yang mampu melaksanakan tugas dan peranan terse-but.

Entrepreneur Politik dan Agama

Adapun Pradjarta Dirdjosanjoto (1999) berusaha mendamaikan perbedaan pandangan teoretis antara Geertz dan Horikoshi. Dirdjosanjoto berkesimpulan bahwa memandang kyai sebagai entrepreneur tidak berarti menolaknya sebagai cultural broker karena pe-ranan sebagai cultural broker tetap tidak terpisahkan dari perannya sebagai kyai (Dirdjosanjoto 1999:250). Selanjutnya Dirdjosanjoto menjelaskan :

Menurut pendapat saya, dengan memandang kiai sebagai entrepreneur politik tidak harus mem-buang begitu saja peran kiai sebagai ‘cultural broker.’ Tidak dapat dipungkiri bahwa peranan semacam itu juga ada pada kiai. Kiai tetap menjadi tempat pen-dukung datang untuk bertanya tentang berbagai perubahan di luar yang tidak mereka pahami. Di samping itu, tidak jarang kita temui kiai memakai pengetahuan luar untuk mempertahankan kewi-bawaannya di mata umat. Hanya saja harus diingat bahwa posisinya sebagai ‘cultural broker’ sebenarnya tidak terbatas hanya pada masa transisi, dan dalam kaitan antara kebudayaan nasional dengan kebuda-

Menuju Teori Praktik Ulama66

yaan lokal. Posisi sebagai perantara itu berada dalam konteks yang lebih luas. Kiai menempati titik silang di antara dunia profan dan dunia religius. Kiai seo-rang yang dituntut secara terus menerus menafsir-kan hubungan antara kedua dunia ini bagi umatnya. Kunci pokok kelangsungan otoritas kiai di mata umatnya justru terletak pada peran perantara dalam segala segi kehidupan beragama umatnya: antara doktrin dan praktek, antara Tuhan dan umatnya, dan antara peradaban Islam dunia dengan tradisi Islam setempat … (Dirdjosanjoto 1999: 250).

Kritik terhadap Dirdjosanjoto diberikan oleh Faruk dalam pengantar untuk karya Dirdjosanjoto tersebut. Inti kritik Faruk adalah kealpaan penggu-naan kerangka atau model teoretis dalam menjelas-kan fenomena kyai langgar dan kyai pesantren dalam memberikan respons terhadap perubahan sosial dan politik yang terjadi di masyarakat. Kealpaan tersebut menyebabkan karya tersebut kurang mampu menang-kap arena serta pertentangan dan perjuangan masing-masing aktor dalam memperebutkan dan mengum-pulkan sumber daya yang ada serta faktor-faktor yang berpengaruh dalam arena tersebut. Faruk kemudian berpandangan bahwa model teoretis Bourdieu dapat digunakan untuk menjelaskan praktik ulama. Faruk menulis:

Model itu tidak hanya dapat membantu penu-lis untuk membangun refleksi teoretis atas temuan

Prof. Dr. Zulkifli, MA 67

empirisnya, melainkan juga, dan bahkan terutama sekali, membimbingnya memasuki lapangan peneli-tian, menggali dan mengenali berbagai kemungkin-an yang mungkin tak dapat ditampung oleh ingatan dan daya tangkap subjektifnya. Bagaimana habitus seorang kiai dibentuk, misalnya, merupakan soal yang lepas dari perhatian Pradjarta [Dirdjosanjoto]. Padahal habituslah yang menentukan respon kiai terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di ling-kungannya, yang membuatnya dapat bermain de-ngan trampil dengan apa yang disebut Pradjarta sen-diri sebagai “arena-arena politik”. Dalam situasi yang bagaimana seorang kiai bersifat tanpa pamrih, dalam situasi yang bagaimana pula ia memperlihatkan pam-rih ekonominya, merupakan hal yang juga luput dari perhatian penulis di atas. Padahal, perhatian khusus terhadap hal tersebut mungkin dapat membawa kita pada adanya pola tertentu dalam permainan politik kiai, tidak hanya membuat kita berhenti pada perila-ku yang terkesan semaunya, menurut pilihan bebas (Faruk 1999: xxvii).

Kerangka teoretis tentang peranan ulama yang digunakan para ahli kebanyakan masih tertumpu pada konsep mediasi atau perantara. Teori pialang budaya Geertz masih sangat populer meskipun seringkali dipahami dan digunakan secara keliru oleh banyak peneliti belakangan. Horikoshi dan Dirdjosanjoto juga menggunakan kerangka teori perantara terse-but dengan mengkritik Geertz sambil memperhalus, mengembangkan dan memformulasi kembali dalam

Menuju Teori Praktik Ulama68

konteks yang lebih kompleks. Kalau Horikoshi mene-kankan keaktifan ulama dalam konteks pembangun-an dan perubahan sosial yang terjadi terutama de-ngan kekuatan charisma yang dimiliki, Dirdjosanjoto menekankan pada kontinuitasn peran perantara yang tidak terbatas dan kompleksitas dunia yang kompleks yang mencakup agama, sosial, dan politik.

Prof. Dr. Zulkifli, MA 69

5Praktik Ulama

Setelah kajian tentang tiga teori penting yang ber-kembang dalam studi tentang ulama Indonesia, bab ini akan menguraikan penggunaan teori Bourdieu5

5 Pierre Felix Bourdieu (1 Agustus 1930-23 Januari 2003) adalah salah seorang pemikir Prancis paling terkemuka yang namanya disejajarkan dengan nama-nama tokoh terkenal seperti Foucault dan Barthes. Dia dikenal sebagai sosiolog, antropolog atau filsuf karena dia menulis dalam cakupan yang luas mulai dari pendidikan, agama, bahasa, selera kultural hingga televisi, mulai dari etnografi hingga karya teoretis. Hanya saja, walaupun dia merupakan salah seorang sosiolog terkenal, di Negara-negara berbahasa Inggris, khususnya Amerika, namanya tidak sepopuler Foucault atau

Menuju Teori Praktik Ulama70

dalam kajian tentang ulama Indonesia. Uraian beri-kut ini mencakup teori praktik, habitus, modal, arena, dan strategi.

Teori Praktik

Teori praktik yang dibangun oleh Bourdieu tam-paknya dapat menjelaskan praktik ulama Indonesia secara lebih bermakna dan komprehensif. Inti teori praktik Bourdieu adalah praktik sosial sebagai inte-raksi dialektis antara struktur dan pelaku atau struktur objektif dan representasi subjektif (habitus). Konsep praktik tersebut biasanya digambarkan oleh Bourdi-eu (1984: 101) dengan rumus: [(Habitus) (Modal)] + Ranah = Praktik. Tentang konsep praktik tersebut, Takwim menjelaskan:

Praktik merupakan suatu produk dari relasi an-tara habitus sebagai produk sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah. Pada saat bersa-maan, habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di masyarakat. Da-lam satu ranah, ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan se-buah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Setiap ranah me-nuntut individu untuk memiliki modal-modal khu-

Derrida. Dengan kata lain, popularitas Bourdieu muncul lebih belakangan dibandingkan nama-nama tersebut.

Prof. Dr. Zulkifli, MA 71

sus agar dapat hidup secara baik dan bertahan di da-lamnya (Takwim 2005: xx).

Konsep-konsep pokok yang dikembangkan Bour-dieu antara lain mencakup habitus, kapital atau modal (capital), dan lapangan (field). Namun, ada beberapa konsep lain yang mewarnai kerangka teoretis Bour-dieu dalam menjelaskan fenomena sosial dan budaya seperti strategi dan kekuatan simbolik. Konsep-kon-sep tersebut tidak mudah utuk dipahami, apalagi di-aplikasikan secara operasional, diverifikasi atau di-buktikan dalam penelitian.

Habitus

Habitus adalah konsep kunci dalam pendekat-an teoretis Bourdieu, yang seringkali disalahpahami. Konsep tersebut dikembangkan Bourdieu sebagai usaha untuk mentransenden struktur dikhotomis yang berkepanjangan dalam memahami dunia sosial. Oleh karena itu, habitus menjadi konsep yang secara ekstensif dikaji dan dirumuskan serta telah melahir-kan diskusi yang kaya dan multiaspek. Meski dimak-sudkan sebagai alat analisis untuk penelitian empirik sebagaimana dilakukan oleh Bourdieu sendiri, konsep tersebut kemudian berkembang dan tidak jarang di-salahpahami oleh peneliti lain dalam pemikiran dan penelitian mereka.

Menuju Teori Praktik Ulama72

Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai alat agen sosial baik individu, kelompok dan lembaga yang berupa “systems of durable, transposable dispositions, structured structures predisposed to function as struc-turing structure” [sistem disposisi transposabel yang bertahan lama, struktur yang terstruktur yang cende-rung berfungsi sebagai struktur yang mensktruktur] (Bourdieu 1977: 72). Terstruktur berarti keadaan masa lalu dan kini seseorang seperti pengasuhan keluarga dan pengalaman pendidikan. Sedang menstruktur menunjukkan bahwa habitus membantu membentuk praktik kini dan mendatang. Istilah struktur merujuk kepada pola atau susunan yang sistematis, tidak seca-ra acak. Struktur tersebut mencakup sistem disposisi yang menggerakkan persepsi, apresiasi, dan praktik. Sistem disposisi tersebut sangat penting karena akan menggabungkan ide tentang tendensi dan praktik. “It expresses first the result of an organizing action, with the meaning close to that of words such as structure; it also designates a way of being, a habitual state (espe-cially of the body) and, in particular, a predisposition, tendency, propensity or inclination” [Ia pertama-tama mengekspresikan hasil dari tindakan pengorganisa-sian, dengan makna yang dekat dengan kata-kata se-perti struktur; ia juga menentukan cara keberadaan, keadaan kebiasaan (terutama tubuh) dan, khususnya,

Prof. Dr. Zulkifli, MA 73

predisposisi, tendensi, kecenderungan atau inklinasi] (Bourdieu 1977: 214).

Habitus adalah seperangkat disposisi, sebagai produk dari pengalaman historis, yang bertahan lama dan tertanam dalam diri seseorang sehingga menjadi historical body yang berfungsi dalam melahirkan per-sepsi dan tindakan (Bourdieu 1977: 82-83). Habitus tidak sama dengan sifat, karakter, atau takdir tetapi suatu sistem disposisi terbuka karena ia adalah ha-sil dari belajar dan pengalaman masa lalu yang telah menyatu dengan pribadi seseorang. Habitus menja-di kerangka dalam memperkuat atau memodifikasi struktur-struktur; mempengaruhi dan menentukan perilaku seseorang ketika memberi respon terhadap lingkungan, berhadapan dengan perubahan sosial, ekonomi, dan politik dan berinteraksi dengan orang lain.

Dengan demikian, dalam kerangka teori Bourdieu lahir konsep habitus agama, yakni dimensi keagamaan spesifik dari habitus individual yang termanifestasi pada ranah agama; seperangkat disposisi keagamaan subjektif. Habitus agama ini sangat berkaitan erat de-ngan ulama sebagai pemiliki otoritas keagamaan da-lam masyarakat Muslim. Otoritas keagamaan adalah “the power durably to modify the representations and practices of laypersons by inculcating in them a religious habitus” [kekuatan yang bertahan lama untuk memo-

Menuju Teori Praktik Ulama74

difikasi representasi dan praktik orang awam dengan menanamkan padanya suatu habitus agama] (Bourdi-eu 1990a: 22).

Modal

Adapun modal atau kapital adalah sesuatu yang berharga yang selalu dicari, dikumpulkan, dan dipe-rebutkan orang dalam berbagai lapangan kehidupan. Kapital tidak hanya ekonomi tetapi meliputi kapital ekonomi (uang, hak kekayaan), sosial (seperti konek-si), kultural (seperti pendidikan), dan, yang paling penting, simbolik. Kapital itu bersifat cair sebagaima-na minyak yang melicinkan dan melancarkan roda. Modal mana yang lebih berharga daripada modal yang lain bergantung pada konteks arenanya.

Dalam kotenks praktik ulama, selain modal so-sial, kultural, dan ekonomi, modal simbolik adalah yang paling berharga. Modal simbolik adalah “capi-tal–-in whatever form—insofar as it is represented i.e., apprehended symbolically, in a relationship of knowled-ge or, more precisely, of misrecognition and recognition, presupposes the intervention of habitus, as a socially constituted cognitive capacity” [modal--dalam bentuk apa pun--sejauh yang direpresentasikan, yaitu, yang dipahami secara simbolis, dalam hubungan pengeta-huan atau, lebih tepatnya, misrekognisi dan rekognisi, mengandaikan intervensi habitus, sebagai kapasitas

Prof. Dr. Zulkifli, MA 75

kognitif yang dibentuk secara sosial] (Bourdieu 1986: 255).

Kemudian berkembang beberapa konsep untuk jenis modal tersebut seperti modal agama dan mo-dal spiritual. Modal spiritual dapat dipahami seba-gai “kekuatan, pengaruh, pengetahuan, dan disposisi yang diciptakan oleh partisipasi dalam tradisi agama tertentu” (Berger dan Hefner 2003: 3). Berkenaan de-ngan Islam, Hefner memasukkan ke dalam konsep modal spiritual “fitur organisasi berbasis agama, ter-masuk jaringan, norma, pengetahuan, dan sosialisasi yang memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan ter-tentu yang tidak akan dapat dicapai tanpa kehadiran [modal sosial]…” (Hefner 2010: 194).

Diskusi teoretis yang canggih tentang modal spiritual dilakukan oleh Bradford Verter (2003). Dia mengkaji konsep modal religius dari Bourdieu dalam satu-satunya tulisan yang spesifik tentang agama te-tapi mengkritik karya Bourdieu tersebut sekaligus mengembangkannya dengan kerangka teoretis umum Bourdieu tentang berbagai modal, baik kultural, so-sial, ekonomi, maupun simbolik. Verter membagi dua tipe modal agama, yaitu system simbolik agama (mi-tos dan ideologi) dan kompetensi agama (penguasaan seperangkat pengetahuan dan praktik spesifik). Kritik Verter yang utama terhadap Bourdieu adalah tentang kerangka institusional Bourdieu dalam mengkaji ten-

Menuju Teori Praktik Ulama76

tang agama sementara verter melihat hakikat agama sebagai medan yang cair dan deregulasi sesuai dengan fungsinya sebagai sumber kultural. Verter melihat modal spiritual sebagai kekuatan yang menguasai dan mendorong manusia dalam situasi dan kondisi apa-pun. Selanjutnya Verter menulis:

Thus, if religious capital is conceived a la Bour-dieu as something that is produced and accumulated within a hierocratic institutional framework, spiri-tual capital may be regarded as a more widely diffu-sed commodity, governed by more complex patterns of production, distribution, exchange, and consumption.

[Dengan demikian, jika modal agama dipahami a la Bourdieu sebagai sesuatu yang diproduksi dan diakumulasikan dalam kerangka kerja kelembagaan hierokratis, modal spiritual dapat dianggap sebagai komoditas yang lebih tersebar luas, diatur oleh pola produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi yang lebih kompleks] (Verter 2003: 158).

Kapital simbolik merupakan suatu keuntungan dan “the power granted to those who have obtained suf-ficient recognition to be in a position to impose recogni-tion” [kekuatan yang diberikan kepada mereka yang telah mencapai pengakuan yang cukup untuk berada dalam posisi untuk memaksakan pengakuan] (Bour-dieu 1989: 23). Kapital simbolik yang paling dicari oleh ulama adalah pengakuan akan otoritas yang le-

Prof. Dr. Zulkifli, MA 77

gitimate dari seluruh segmen masyarakat Muslim In-donesia. Kapital simbolik juga berkaitan erat dengan konsep kharisma seperti dikemukakan di atas. Ma-sing-masing kapital dapat diakumulasi dan ditransfer ke dalam kapital lain. Ulama tidak hanya mengaku-mulasi modal agama dan modal-modal lain tetapi juga mengkonversi suatu modal ke modal-modal lain. Nilai dan fungsi kapital bergantung pada jenis lapang-an atau arena yang cenderung dinamis dan kompetitif.

Arena

Lapangan, arena, atau medan (field) merupakan lokus kinerja habitus perjuangan individu dan kelom-pok atau lembaga dalam masyarakat. Arena merupa-kan suatu jaringan hubungan yang bersifat objektif dan terstruktur antara posisi-posisi secara spontan dan di luar kesadaran, bukan bersifat subjektif atau disadari sebagaimana dalam teori pilihan rasional. Terdapat hubungan yang dialektik antara arena dan habitus. Pada satu sisi, arena menstruktur habitus te-tapi, pada sisi lain, habitus berkontribusi membentuk arena sehingga dunia yang bermakna. Tentang defini-si arena, Bourdieu dan Wacquant menulis:

A field may be defined as a network, or a con-figuration, of objective relations between positions. These positions are objectively defined, in their existen-ce and in the determinations they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present and

Menuju Teori Praktik Ulama78

potential situation (situs) in the structure of the distri-bution of a species of power (or capital) whose posses-sion commands access to the specific profits that are at stake in the field, as well as by their objective relations to other positions (domination, homology, etc.)

[Ranah dapat didefinisikan sebagai jaringan, atau konfigurasi, hubungan objektif antara posisi. Posisi-posisi ini secara obyektif didefinisikan, dalam keberadaannya dan dalam penentuan yang mere-ka tetapkan pada penghuninya, agen atau institusi mereka, dengan situasi saat ini dan potensi mereka (situs) dalam struktur distribusi spesies kekuasaan (atau modal) yang kepemilikannya menguasai akses ke keuntungan spesifik yang dipertaruhkan di ranah, serta hubungan objektif mereka dengan posisi lain (dominasi, homologi, dll.)] (Bourdieu and Wacquant 1992: 97).

Dengan kata lain, arena merupakan tempat untuk memperebutkan sumber daya atau modal-modal dan untuk memperoleh akses ke kekuasaan. Field itu sen-diri mencakup lapangan ekonomi, sosial, politik, pen-didikan, agama, dan sebagainya. Agama merupakan arena yang dinamis di mana agen-agen bermanufer secara permanen dalam kompetisi memperebutkan kapital simbolik. Bourdieu menulis: “Symbolic capital is the product of a struggle in which each agent is both ruthless competitor and supreme judge…. This capital can only be defended by a permanent struggle…” [Mo-dal simbolik adalah produk dari perjuangan di mana

Prof. Dr. Zulkifli, MA 79

masing-masing agen merupakan pesaing yang kejam dan hakim tertinggi... Modal ini hanya bisa diperta-hankan dengan perjuangan yang permanen] (Bourdi-eu 1990: 123).

Biografi dan potret kehidupan ulama menggam-barkan ciri-ciri habitus masing-masing dan perjuang-an mengakumulasi berbagai atau suatu kapital dan mengubahnya ke dalam kapital lain atau, lebih khu-sus lagi, bagaimana seorang ulama mencapai kapital simbolik yang mendapat legitimasi dan pengakuan simbolik dari warga komunitas santri dan kalangan ulama sendiri dan memeliharanya selama hidupnya. Semua itu berlangsung dalam arena perjuangan yang disebut agama, yakni ranah agama (religious field). Dengan begitu, potret ulama sebagai manusia dan anggota kelompok terhormat yang memiliki sisi yang mengandung unsur interest (pamrih) dengan habitus-nya masing-masing dapat disajikan secara proporsio-nal. Tentu saja, terdapat disinterest bagi ulama dengan habitus tertentu dan yang telah mapan dengan segala bentuk kapital. Demikian juga agama telah menjadi lapangan yang dinamis yang di dalamnya berlangsung berbagai bentuk dominasi, subordinasi, kompetisi, perlawanan, dan pertentangan.

Dalam lapangan agama, ulama adalah produsen ‘symbolic goods’ yang disajikan kepada masyarakat awam. Di sini berlaku elemen-elemen ekonomi bu-

Menuju Teori Praktik Ulama80

daya, yakni ulama sebagai produsen, ajaran atau pe-mahaman agama sebagai produk, dan masyarakat se-bagai konsumen yang membutuhkan agama. Hal yang terpenting dari symbolic goods tersebut adalah orto-doksi yang dipegang teguh, dipertahankan, diajarkan, dan direproduksi oleh ulama.

Agama menjadi arena kekuatan dan perjuangan antarindividu dan kelompok. Pada satu sisi, kelompok dominan akan melakukan strategi-strategi reproduk-si dalam mempertahankan kontinuitas ortodoksinya dan dari penyimpangan-penyimpangan kelompok heterodox. Pada sisi lain, kelompok-kelompok hete-rodox atau sekte-sekte akan senantiasa berupaya agar mendapat pengakuan dan legalitas. Contoh yang me-narik adalah kasus Ahmadiyah yang belum juga lepas dari posisinya sebagai aliran heterodox, meskipun te-lah lama berkembang di Indonesia dan terus berusa-ha agar diakui eksistensinya oleh pemegang otoritas. Dalam konteks ini, Majlis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu pemegang otoritas dalam memper-tahankan ortodoksi Islam telah mengeluarkan fatwa dan rekomendasi berkenaan dengan berbagai aspek keagamaan seperti aliran-aliran sesat atau pemaham-an dan praktik agama yang heterodox sehingga orto-doksi Islam terpelihara kontinuitasnya.

Selain masalah otoritas tersebut, pengakuan da-lam ranah agama yang kompetitif terjadi antara ulama

Prof. Dr. Zulkifli, MA 81

dan ‘calon ulama’ sebagai pendatang baru. Kelompok terakhir ini ada dalam setiap komunitas, baik tradisio-nalis maupun modernis atau reformis. Tentu saja, ber-bagai upaya dikerahkan untuk mengakumulasi berba-gai modal dan mentransformasikannya agar menjadi modal simbolik agar diakui sebagai ulama atau otori-tas keagamaan yang sah. Pada era reformasi, Islam In-donesia menyaksikan kemunculan kelompok-kelom-pok baru seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI) dan Majlis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) yang berusaha mendapat pengakuan dengan cara mereka sendiri. Kemuncu-lan tersebut kadang-kadang atau bahkan seringkali dianggap sebagai ancaman bagi otoritas keagamaan yang mapan (Zulkifli 2013).

Sebagaimana dijelaskan di atas, peranan ulama sebagai perantara yang kompleks dalam memelihara kelangsungan otoritasnya di mata umatnya harus di-ikuti dengan apa yang disebut Bourdieu sebagai ke-kuatan simbolik (symbolic power). “Symbolic power is a power of consecration or revelation, the power to consecrate or to reveal things that are already there” [Kekuatan simbolik adalah kekuatan pengudusan atau wahyu, kekuatan untuk menguduskan atau untuk mengungkapkan hal-hal yang sudah ada] (Bourdieu 1989: 23). Kekuatan simbolik juga diartikan sebagai:

Menuju Teori Praktik Ulama82

power to constitute the given by stating it, to show forth and gain credence, to confirm or transform the worldview and, through it, action on the world, and hence the world itself, quasi-magical power which makes it possible to obtain the equivalent of what is obtained by (physical or economic) force, thanks to its specific mobilization.

[kekuatan untuk membentuk yang diberikan dengan menyatakannya, untuk menunjukkan dan mendapatkan kepercayaan, untuk mengkonfirmasi atau mengubah pandangan dunia dan, melalui itu, tindakan terhadap dunia, dan karenanya dunia itu sendiri, kekuatan kuasi-magis yang memungkinkan untuk mendapatkan yang setara dari apa yang di-peroleh oleh kekuatan (fisik atau ekonomi), berkat mobilisasi spesifiknya] (Bourdieu 1979: 22-23).

Strategi

Dalam rangka memiliki kekuatan simbolik para ulama menjalankan strategi-strategi yang tepat. Kon-sep strategi tidak hanya berkenaan dengan masa tran-sisi atau perubahan sosial tetapi berlangsung sepan-jang hidup dan bahkan inheren dalam diri individu dan masyarakat. Berkenaan dengan konsep strategi, Bourdieu menyatakan: “the idea of strategy, as a way of directing practice that is neither conscious and cal-culated nor mechanically determined, but is the pro-duct of the sense of honour as a feel for that particular

Prof. Dr. Zulkifli, MA 83

game, game of the honour” [gagasan strategi, sebagai cara mengarahkan praktik yang tidak disadari dan di-perhitungkan atau ditentukan secara mekanis, tetapi merupakan produk dari rasa kehormatan sebagai rasa untuk permainan, permainan kehormatan itu] (Bour-dieu 1990: 22). Sebagai a feel for game, strategi bukan merupakan pilihan dan kesadaran bebas, bukan pula sesuatu yang telah ditentukan. Berdasarkan konsep-si Bourdieu tersebut, strategi berada pada titik antara freewill (kehendak bebas) dan predestination (ketentu-an, nasib), mirip dengan konsepsi teologi Asy‘ariyah tentang perbuatan manusia. Konsep strategi khusus-nya dan teori praktik Bourdieu pada umumnya da-pat digunakan sebagai model teoretis alternatif da-lam menjelaskan peranan ulama sehingga potret dan nuansa lain dari kehidupan ulama dapat disajikan.

Berkenaan dengan kapital-kapital tersebut, ula-ma melakukan strategi konversi dan reproduksi. Seorang calon ulama lulusan pendidikan Mekkah seperti Hasyim Asy‘ari memiliki kapital kultural de-ngan dukungan kapital sosial yang berbentuk hu-bungan dengan gurunya dan kapital-kapital tersebut akan dikonversi ke dalam kapital simbolik dengan mendirikan lembaga pesantren sendiri yang sekaligus memiliki fungsi reproduksi. Strategi reproduksi juga tampak jelas ketika Hasyim Asy‘ari berusaha dengan berbagai cara untuk mempertahankan paham dan

Menuju Teori Praktik Ulama84

ideologi Aswaja (ahl al-sunnah wa al-jama‘ah) yang diterapkannya secara persuasif sebagai model Islam kultural yang diperjuangkan NU (Nahdlatul Ulama). Pendirian NU merupakan salah satu bentuk strategi reproduksi yang diterapkan Hasyim Asy‘ari. “Kela-hirannya di tangan Asy‘ari boleh jadi didasarkan atas resistensi ideologis, yakni kepedulian yang mendalam dari komunitas pesantren terhadap tantangan sosio-religius dan ide-ide politik pada level mikro maupun makro” (Mas‘ud 2006: 252) sehingga ideologi Aswaja terpelihara kelestariannya.

Strategi reproduksi tersebut sejalan dengan kon-sep ortodoksi Bourdieu sebagai upaya untuk mem-pertahankan tradisi Islam dari upaya heterodoksi yang dilancarkan kaum reformis. Memang dalam pandangan Bourdieu, terdapat hubungan dialektik antara ortodoksi dan heterodoksi. “Orthodoxy is not—as the orthodox would always have it—in singular pos-session of an invariable ‘truth.’ Rather, its contents are to be construed as fluid, as developing in a dialectic with heterodoxy. [Ortodoksi bukanlah—seperti yang sela-lu dimiliki oleh kaum ortodoks—dalam kepemilikan tunggal akan ‘kebenaran yang tidak berubah-ubah.’ Sebaliknya, isinya harus ditafsirkan sebagai yang ber-sifat cair, seperti berkembang dalam dialektika de-ngan heterodoksi] (Berlinerblau 2001: 332). Biografi Hasyim Asy‘ari, misalnya, mengilustrasikan bagaima-

Prof. Dr. Zulkifli, MA 85

na dia berusaha mempertahankan prinsip-prinsip dan praktik-praktik Sunnisme yang telah menjadi tradisi Islam yang banyak dikritik oleh tokoh-tokoh modernis sehingga muncul perdebatan dan bahkan perselisihan antara kedua kubu. Upaya untuk menun-jukkan legalitas dan otoritas prinsip dan praktik terse-but dalam berbagai cara, menurut konsepsi Bourdieu, merupakan upaya ortodoksi.

Ketika tidak atau belum digugat dan diserang ke-lompok reformis, tradisi Islam tersebut, seturut pan-dangan Bourdieu, merupakan doxa sebagai entitas murni dan tak terjamah. Pada akhir abad XIX dan awal abad XX, Islam reformis masih dianggap seba-gai bentuk pemahaman dan praktik heterodox. Teta-pi kelompok reformis terus melakukan perjuangan dalam rangka memperoleh pengakuan (recognition) dan legalitas yang dapat juga dianggap sebagai bentuk kapital simbolik yang dengannya mereka dapat mela-kukan praktik-praktik keagamaan dan menyebarluas-kannya kepada masyarakat. Sekarang, Islam reformis telah mendapat pengakuan dan posisinya sebagai sek-te pada masa lalu menjadi denominasi yang diakui ek-sistensinya dalam kehidupan beragama di Indonesia.

Berkenaan dengan konsep strategi yang me-ngandung penyembunyikan segala jenis interest (ke-pentingan, pamrih) yang dibuat menjadi disinterest, Bourdieu menganggap modal simbolik sebagai pro-

Menuju Teori Praktik Ulama86

duk dari sejenis alkimia sosial, yaitu, proses misre-kognisi di mana kepentingan sebenarnya itu disem-bunyikan. Misrekognisi adalah penolakan terhadap kepentingan nyata. Dengan demikian, ulama dengan kekuatan simbolik memiliki otoritas dan pengakuan keagamaan yang sah yang harus dipertahankan dan direproduksi. Ini adalah kekuatan simbolik yang me-maksakan penerapan otoritas dan pengakuan keaga-maan yang sah (Zulkifli 2013).

Dalam kerangka teoretik Bourdieu, penerapan kekuatan simbolik oleh ulama sebagai aktor dominan terhadap orang awam sebagai pengikut melahirkan apa yang disebutnya sebagai kekerasan simbolik (sym-bolic violence). Bourdieu menulis:

Symbolic violence is the coerscion which is set up only through the consent that the dominated cannot fail to give to the dominator (and therefore to the do-mination) when their understanding of the situation and the relation can only use instruments of knowledge that they have in common with the dominator, which, being merely the incorporated form of the structure of the relation of domination, make this relation appear as natural.

[Kekerasan simbolik adalah pemaksaan yang dibentuk hanya melalui persetujuan yang tidak dapat gagal diberikan oleh pihak yang mendominasi (dan karena itu kepada dominasi) ketika pemahaman me-reka tentang situasi dan hubungannya hanya dapat

Prof. Dr. Zulkifli, MA 87

menggunakan instrumen pengetahuan yang mereka miliki bersama dengan pihak yang mendominasi, yang, hanya sebagai bentuk gabungan dari struktur hubungan dominasi, membuat hubungan ini tampak alami] (Bourdieu 2000: 170).

Kekerasan simbolik dianggap sebagai alami dan absah, yang tidak dirasakan dan tidak disadari oleh kelompok yang didominasi. Pengakuan dan kepatuh-an dari kelompok tertentu kepada kelompok dominan dapat berlangsung efektif sebagai bentuk praktik so-sial dominan. Konsep kekerasan simbolik senafas de-ngan konsep-konsep lain dari Bourdieu seperti keku-asaan simbolik dan dominasi simbolik. Praktik sosial dominan tersebut telah melahirkan integrasi antara kelompok dominan dan yang didominasi dan “reli-gion represents a supremely effective legitimizing force in most societies” [agama merupakan kekuatan legiti-masi yang sangat efektif di sebagian besar masyarakat] (Rey 2014: 100). Sungguh, agama merupakan kekuat-an penting proses integrasi masyarakat termasuk In-donesia.

Menuju Teori Praktik Ulama88

Prof. Dr. Zulkifli, MA 89

6Kesimpulan

Studi ini telah mengungkapkan secara teoretis bagai-mana peranan ulama dalam masyarakat Indonesia. Secara etimologis, ulama berarti orang yang berilmu, yakni ilmu dalam pengertian yang seluas-luasnya, yang khasyyah atau bertakwa kepada Allah. Namun, konsep ulama mengalami penyempitan, yaitu orang yang menguasai ilmu-ilmu keislaman dan bersikap khasyyah kepada Allah, yakni yang mempraktikkan ilmu keislaman tersebut, berakhlak mulia, dan meng-abdikan dirinya kepada masyarakat. Dengan demiki-an, untuk menjadi ulama itu terdapat sejumlah kri-teria yang meliputi kualifikasi keilmuan, ketakwaan,

Menuju Teori Praktik Ulama90

kepribadian, dan pengabdian kepada umat Islam. De-ngan kualifikasi tersebut, tugas ulama sebagai pewaris para nabi adalah meneruskan misi kenabian, yakni menjelaskan, menyampaikan, dan menyebarkan ajar-an-ajaran Islam kepada masyarakat, membimbing dan mendidik masyarakat, serta menjadi contoh dan teladan bagi masyarakat. Konsep ideal tersebut men-jadi bersifat historis-sosiologis sehingga seseorang menjadi ulama karena mendapat pengakuan dari ma-syarakat Islam sebagai pemegang otoritas keagamaan. Pengakuan itu sendiri dapat bersumber dari berbagai faktor yang saling berkaitan, yakni kualitas pribadi, genealogi, dukungan masyarakat, dukungan kelemba-gaan, jaringan antarulama atau lembaga, keunggulan ekonomi ataupun yang lainnya.

Sebagai pemegang otoritas keagamaan, ulama berperan sebagai pemimpin agama bagi masyarakat. Kepemimpinan tersebut cenderung bersifat kharis-matis sehingga hubungan ulama dengan masyarakat bersifat emosional. Sebagai pemimpin agama, ulama menjadi teladan dan rujukan bagi masyarakat tidak hanya dalam masalah agama tetapi juga dalam as-pek-aspek kehidupan lain seperti ekonomi, sosial, po-litik, kesehatan dan keluarga. Adapun bidang-bidang utama yang diperankan ulama mencakup bidang pendidikan dan pengajaran, tasawuf dan tarekat, dan dakwah Islam. Ulama adalah guru yang tugas utama-

Prof. Dr. Zulkifli, MA 91

nya mendidik masyarakat agar memahami ajaran Is-lam dan mempraktikkannya dalam kehidupan. Seba-gian ulama menjadi Sufi dan guru tarekat yang telah membentuk corak khas Islam Nusantara. Ulama juga melakukan dakwah Islam di tengah-tengah masyara-kat. Berbagai peranan itu tentu saja saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Dari berbagai peranan yang dijalankan ulama ter-sebut, beberapa teori telah dirumuskan oleh ahli-ah-li ilmu sosial, yakni teori cultural broker-nya Geertz, entrepreneur politiknya Horikoshi, dan entrepreneur politik dan agamanya Dirdjosanjoto. Geertz berpan-dangan bahwa sebagai cultural broker ulama akan me-ngalami cultural lag bila berhadapan perubahan sosial, budaya dan politik. Namun, Horikoshi menolak teo-ri tersebut karena ulama adalah entrepreneur politik yang justru menjadi agen perubahan. Dirdjosanjoto yang berusaha mendamaikan Geertz dan Horikoshi berpandangan bahwa ulama adalah entrepreneur po-litik dan agama sekaligus.

Teori praktik Bourdieu tampaknya merupakan alternatif dalam menjelaskan peranan ulama dalam konteks perubahan sosial, budaya, dan politik. De-ngan multiplikasi konsep habitus (sperangkat dispo-sisi yang menjadi historical body), modal (ekonomi, kultural, sosial, dan simbolik), dan ranah, praktik ulama Indonesia variatif dan dinamis. Apalagi dalam

Menuju Teori Praktik Ulama92

konteks perubahan sosial dan politik. Terlebih lagi, praktik ulama tidak hanyak berkenaan dengan ra-nah agama tetapi juga ranah politik sehingga praktik ulama bisa mengandung interest (pamrih) meskipun tampak sebagai disinterest tanpa mengabaikan yang betul-betul disinterest dalam praktik ulama dengan habitus tertentu dan akumulasi kapital dalam ranah agama dan politik tertentu.

Secara singkat, dapat dirumuskan bahwa praktik ulama merupakan multiplikasi habitus dengan kapi-tal dan diakumulasi dengan ranah. Dengan habitus agama sebagai disposisi subjektif dan dengan modal agama dan spiritual yang dimiliki, ulama adalah pe-megang otoritas keagamaan yang terus berupaya me-nanamkan kepada masyarakat habitus agama, teruta-ma (tetapi tidak selalu) dalam ranah agama. Praktik dominasi ulama atas masyarakat pada umumnya ber-langsung dengan berbagai cara dan strategi sehingga masyarakat menerima dan mengakui otoritas ulama secara alami dan absah. Otoritas ulama memperoleh rekognisi dan menjadi fungsional hanya dengan ada-nya kekuatan simbolik yang terjadi melalui kekerasan simbolik dan dominasi simbolik.

Prof. Dr. Zulkifli, MA 93

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik 1987 Islam dan Masyarakat: Pantu-lan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Aceh, Abubakar 1993 Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis tentang Mistik. Solo: Ramadhani.

Azra, Azyumardi 1990 “Ulama, Politik dan Moderni-sasi” Ulumul Qur’an: Jurnal Kebudayaan dan Pe-radaban, 2, 7: 4-16.

--------1994 Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepu-lauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.

Berger, Peter L. and Robert W. Hefner 2003 “Spiritual capital in Comparative Perspective,” Templeton

Menuju Teori Praktik Ulama94

Foundation. Available at www.metanexus.net/spiri-tual_capital/pdf/Berger.pdf. accessed 10 April 2013.

Berlinerblau, Jacques 2001 “Toward a Sociology of Heresy, Orthodoxy, and Doxa” History of Reli-gions 40, 4: 327-351.

Bourdieu, Pierre 1977 Outline of a Theory of Practice. Translated by Richard Nice. Cambridge: Cam-bridge University Press.

-------- 1979 “Symbolic Power” Critique of Anthropo-logy 4: 77-85.

-------- 1984 Distinction: A Social Critique of the Jud-gement of Taste. Terjemahan Richard Nice. Lon-don: Routledge and Kegan Paul.

-------- 1986 “The Forms of Capital” John G. Richard-son (ed.) Handbook of the Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood Press: 241-258.

-------- 1989 “Social Space and Symbolic Power,” So-ciological Theory, 7, 1: 18-26.

-------- 1990 The Logic of Practice. Translated by Richard Nice. Stanford: Stanford University Press.

-------- 1990a “Genesis and Structure of the Religious Field,” Comparative Social Research 13: 1-44.

Prof. Dr. Zulkifli, MA 95

-------- 2000 Pascalian Meditations. Terjemahan Richard Nice. Stanford: Stanford University Press.

Bourdieu, Pierre dan Loic Wacquant 1992 In Other Words: Essays toward a Reflexive Sociology. Stand-ford: Standford University Press.

Burhanudin, Jajat 2003 “Ulama dan Politik Pemben-tukan Umat: Sekilas Pengalaman Sejarah Indone-sia” dalam Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi (ed) Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengala-man Islam Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1-42.

-------- 2007 “Islamic Knowledge, Authority, and Po-litical Power: The Ulama in Colonial Indonesia”. PhD Thesis Leiden University, Leiden, Negeri Be-landa.

Dhofier, Zamakhsyari 1982 Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.

Dirdjosanjoto, Pradjarta 1999 Memelihara Umat: Kiai Pesantren dan Kiai Langgar. Yogyakarta: LKiS.

Faruk 1999 “Harga Sebuah Kepekaan dan Suara Yang Lain” dalam Pradjarta Dirdjosanjoto Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogy-akarta: LKiS, xix-xxviii.

Geertz, Clifford 1959-1960 “The Javanese Kijaji: The Changing Roles of a Cultural Broker” Comparati-ve Studies in Society and History 2: 228-249.

Menuju Teori Praktik Ulama96

Hajar, Ibnu 2009 Kiai di Tengah Pusaran Politik: Anta-ra Petaka dan Kuasa. Yogyakarta: IRCiSoD.

Hasan, Tholhah 1987 “Jangan dituntut terlalu banyak” dalam Pesantren 4, 2: 39-43.

Hasyim, Umar 1980 Mencari Ulama Pewaris Para Nabi: Selayang Pandang Sejarah Para Ulama. Su-rabaya: Bina Ilmu.

Hefner, Robert W. 2010 “Islam and Spiritual Capital: An Indonesian Case Study” in Peter L. Berger and S.G. Redding (eds.), The Hidden Form of Capital: Spiritual Influences in Societal Progress. Anthem: Anthem Press.

Horikoshi, Hiroko 1987 Kyai dan Perubahan Sosial. Terjemahan Umar Basalim dan Andi Muarly San-rawa. Jakarta: P3M.

Hssubky, Badruddin 1995 Dilema Ulama dalam Peru-bahan Zaman. Jakarta: Gema Insani Press.

Humphrey, Stephen 1999 Islamic History: A Fra-mework for Inquiry. London: I.B. Tauris.

Ihalauw, J 2008 Konstruksi Teori. Jakarta: Cresindo

Isma’il, Ibnu Qoyim 1997 Kiai Penghulu Jawa: Pera-nannya di Masa Kolonial. Jakarta: Gema Insani Press.

Prof. Dr. Zulkifli, MA 97

Kartodirdjo, Sartono 1966 The Peasant Revolt of Ban-ten in 1888: Its Conditions, Courses, and Sequel. The Hague: Martinus Nijhoff.

Kramer, Gudrun dan Sabine Schmidtke 2006 “Intro-duction: Religious Authority and Religious Aut-horoties in Muslim Societies: Critical Overview” in Gudrun Kramer dan Sabine Schmidtke (eds) Speaking for Islam: Religious Authorities in Mus-lim Societies. Leiden dan Boston: Brill, 1-14.

Mansurnoor, Iik 1987 “Ulama, Villagers, and Chan-ge: Islam in Central Madura” PhD Thesis McGill University, Montreal, Canada.

Mas’ud, Abdurrahman 2006 Dari Haramain ke Nus-antara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta: Kencana.

Moesa, Ali Machsan 2007 Nasionalisme Kiai: Konstruk-si Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LKiS.

Nasr, Seyyed Hossein 1988 Ideals and Realities of Is-lam. London: Unwin Hyman Inc.

Rahardjo, M. Dawam 1993 Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan.

-------- 1996 “Ensiklopedi al-Qur’an: Ulama” Ulmul Qur’an: Jurnal Kebudayaan dan Peradaban 6, 5: 23-35.

Menuju Teori Praktik Ulama98

Rey, Terry 2014 Bourdieu on Religion: Imposing Faith and Legitimacy. London and New York: Routled-ge.

Salam, Solihin 1977 Sekitar Wali Songo. Yogyakarta: Menara Kudus.

Shihab, M. Quraish 1992 Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan.

Siddiq, Achmad 2006 Khitthah Nahdliyyah. Cetakan ke-4. Surabaya: Khalista bekerja sama dengan La-jnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur.

Soekanto, Soejono 1982 Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

Soletore 1983 “Ulama” dalam Sartono Kartodird-jo (ed) Elite dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES, 129-153.

Sunarto, Kamanto 1993 Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Steenbrink, Karel A. 1984 Beberapa Aspek tentang Is-lam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bin-tang.

--------1986 Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen. Jakarta: LP3ES

Syadzali, Munawir 1987 “Ulama yang Berwawasan dan Tidak Romantis” Pesantren 4, 2: 29-34.

Prof. Dr. Zulkifli, MA 99

Takwim, Bagus 2005 “Proyek Intelektual Pierre Bour-dieu: Melacak Asal-usul Masyarakat, Melampaui Oposisi Biner dalam Ilmu Sosial” dalam Richard Harker, Cheelen Mahar, dan Chris Wilkes (eds) (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: Pengan-tar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Bandung: Jalasutra.

Tholkhah, Imam 1987 “Profil Lembaga Pendidikan Penyiapan Ulama” Pesantren 4, 2: 68-79.

Turmudi, Endang 2003 Perselingkuhan Kiai dan Keku-asaan. Yogyakarta: LKiS.

Verter, Bradford 2003 “Spiritual Capital: Theorizing Religion with Bourdieu against Bourdieu” Socio-logical Theory 21 (2):150-174.

Vredenbregt, Jacob 1990 Bawean dan Islam. Terjema-han A.B. Lapian. Jakarta: INIS.

Wahid, Abdurrahman 1987 “Benarkah Kyai Mem-bawa Perubahan Sosial?: Sebuah Pengantar” da-lam Hiroko Horikoshi Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, xi-xx.

Weber, Max 1957 Theory of Social and Economic Orga-nization. Terjemahan A. Henderson dan Talcott Parsons. Glancoe-Ill: The Free Press.

Yaqub, Ali Mustafa 2001 Islam Masa Kini. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Menuju Teori Praktik Ulama100

Zaman, Muhammad Qasim 2002 The Ulama in Con-temporary Islam: Custodians of Change. Princeton dan Oxford: Princeton University Press.

Zulkifli 1999 Ulama Sumatera Selatan: Pemikiran dan Perannya dalam Lintasan Sejarah. Palembang: Universitas Sriwijaya Press.

-------- 2013 “The Ulama in Indonesia: Between Reli-gious Authority and Symbolic Power” Miqot: Jur-nal Ilmu-ilmu Keislaman 37, 1: 180-197.

Prof. Dr. Zulkifli, MA 101

Indeks

AAbdullah Gymnastiar

(Aa Gim) 57Abdurrahman Wahid 2,

31, 64Gus Dur 2, 31, 64

Abdurrauf al-Sinkili 9Abdur Rauf, Haji 25Abdussamad al-Palinba-

ni 9achieved status 3ahli agama 63Ahmadiyah 80Ahmad Shiddiq, KH. 25

ajaran tasawuf 53Ajengan 3al-Ghazali 27‘alim 2, 21Ali Machsan Moesa 34alim-ulama 21Ali Mustafa Yaqub 32al-Quran 22, 40analisis kritis 17Arsyad al-Banjari 9

BBaghdad 55Bahasa Latin 6

Menuju Teori Praktik Ulama102

Bendara 3berakhlak mulia 29berpikir kritis 29berpikir romantisme 31berumur empat puluh

tahun 32Bourdieu 72Buya 3

Ccalon ulama 81center of excellence 10civil society 11content analysis (analisis

isi) 17cultural broker 12, 63,

64, 65, 91

Ddakwah bilhal 58dakwah billisan 58Dalam Pagar 9Dirdjosanjoto 66doxa 85

Eelite agama dan sosial 48elite tradisional 4entrepreneur 65; ___po-

litik 91; ___politik dan agama 91

Ffalaq 9feel for game 83fiqh 9freewill 83Front Pembela Islam

(FPI) 81fuqaha 25

GGeertz, Clifford 12, 62“Gerakan Beratib Beamal

8gerakan sosial 50guru 90guru tarekat 91

HHabitus 71hadits 15Hamzah Fansuri 8Hasyim Asy‘ari 51, 83,

84hidup melarat 32historical body 73, 91Horikoshi, Hiroko 12

Prof. Dr. Zulkifli, MA 103

HTI 12hukum keluarga 6hukum waris 6

Iideologi Aswaja 84ikhlas 29informal leader 37interest 92intervensi habitus 74Islamisasi Indonesia 54Islamisasi Nusantara 42Islam kaffah 29Islam modernis 56Islam Nusantara 91Islam reformis 85Islam Sufi 54istiqamah 29, 32istislam 23

Jjaringan intelektual 41Joko Widodo 2

Kkafir 7kapital 74kapital simbolik 85

Kapital simbolik 77karakteristik ulama 33kaum intelegensia 8kawniyyah 23Kekerasan simbolik 87kekuatan simbolik 43kelompok heterodox 80kepenghuluan 5ketakwaan 30khasyyah 23, 30, 32, 37,

89kitab kuning 8kolonial 6kompleksitas peranan

ulama 13konsep otoritas agama

38Konsep pengakuan 38konstruksi teori 18kriteria ulama 28kualitas ideal 29Kyai 3kyai besar 33kyai panggung 57

Mmahabbah 30Majlis Intelektual dan

Ulama Muda Indo-

Menuju Teori Praktik Ulama104

nesia (MIUMI) 81Majlis Ulama Indonesia

(MUI) 12, 80Mansurnoor 14Ma’ruf Amin, KH 2membimbing masyarakat

30membimbing umat 29menghidupkan sunnah

Rasul 29mengkhianati hati nurani

28Mengkritisi 17metodologi berpikir sis-

tematis 31Misrekognisi 86MMI 12modal simbolik 74Mongol 55Muhammad Azhari

al-Palimbani 9Muhammadiyah 12Munawir Syadzali 30Muslim kontemporer 11Muslim Sunni 38

NNabi Muhammad 22, 32,

40Nafis al-Banjari 9

Nawawi al-Bantani 9NU 2, 12, 25, 84, 98Nun 3Nuruddin al-Raniri 9

OOtoritas 15, 39; ___aga-

ma 39; ___keaga-maan 12, 39, 90; ___keislaman 12; ___tradisional 39; ___ulama 37, 40, 42

Ppakar ilmu agama 52Pangoloh 6Pangulu 6Pemberontakan Petani

Banten 8pemimpin agama 47pemimpin kharismatis

49pemimpin masyarakat

47pemimpin spiritual 47penafsir al-Qur’an 33penafsir hukum Tuhan

37

Prof. Dr. Zulkifli, MA 105

pendidik 50pengadilan negeri

(landraad) 6pengakuan 37; ___masya-

rakat 15Penghulu 6pengislaman Nusantara

56penguasaan ilmu 29penguasa kolonial 7Pengulu 6penjajah Belanda 7peranan ulama 1, 2, 9, 10,

11, 13-16, 18, 19, 34, 36, 38, 43, 45, 50, 52, 61, 62, 65, 67, 81, 83, 89, 91

Perang Menteng 7peran ortodok 34PERSIS 12Pesantren Tebuireng 51pewaris para nabi 22, 33Posisi sentral 42posisi ulama 22practicing Muslim 26Pradjarta Dirdjosanjoto

12, 65Praktik 70praktik heterodox 85predestination 83

proses Islamisasi 55

QQasim Zaman 10Quraish Shihab 24Quran 15qur’aniyyah 23

Rrepresentasi subjektif 70riviu kritis 16, 17, 18rujukan tertinggi 40

SSerambi Mekkah 8shalih 4, 64sistem budaya kerakyatan

10studi literatur 16Sufi 53, 91; ___individual

53Sultan Agung 4Sultan Pajang 4Sumber otoritas 40Sunan Giri 4Syamsuddin al-Sumatrani

9syarat ulama yang ideal

30

Menuju Teori Praktik Ulama106

symbolic goods 79

Ttaqwa 23Tarekat Qadiriyyah 54Tarekat Qadiriyyah-Naq-

syabandiyyah 7Tarekat Sammaniyah 7tarekat Sufi 55Tasawuf 9, 53Taufik Abdullah 47tauhid 9tawadhu 30tawakkal 30Tengku 3teori Geertz 61Teori pialang budaya 67Teori sosial 62Tholhah Hasan 31, 36tokoh Sufi 53toleran 31

Uulama 14, 25, 21, 23, 24,

89; ___akhirat 27; ___bebas 5; ___bi-

rokrat 5; ___dunia 27; ___Indonesia 54; ___pejabat 5; ___penghulu 5

ulum 26Umat Islam (FUI) 81ustadz 50

VVerter, Bradford 75

WWali 3Wali Sanga 3waratsah al-anbiya 2

Yyakhsyallah 37

ZZainuddin MZ 57zuhud 32

Prof. Dr. Zulkifli, MA 107

Biografi Penulis

Zulkifli adalah guru besar Antropologi Sosial Bu-daya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan dekan fakultas yang sama (2015-2019). Setelah menyelesaikan sarja-na di IAIN Raden Fatah Palembang, melanjutkan MA dalam bidang antropologi di Australian National Uni-versity (ANU) Canberra dan Doktor di Leiden Uni-versity Negeri Belanda. Zulkifli mengajar di jurusan sosiologi FISIP yang dinakhodainya pada 2010-2015 dan juga di program Magister dan Doktor Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bebe-rapa buku dan artikel jurnal telah dihasilkan.

Menuju Teori Praktik Ulama108