12
29 1 ISSN: 2540-914X MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI PERSPEKTIF MULTIPARADIGMA Ari Kamayanti Politeknik Negeri Malang [email protected] Abstrak Artikel ini mengeksplorasi perspektif lain dalam menelaah ilmu akuntansi keperilakuan yang, melalui jurnal tersohornya Behavioral Accounting Research, sangat identik dengan paradigma positivisme. Melalui kajian multiparadigma, didedahkan argumentasi yang mengusung pentingnya berbagai cara pandang untuk mengangkat berbagai aspek keperilakuan pada akuntansi. Penelitian menjelaskan bahwa multiparadigma akan membawa ilmu akuntansi keperilakuan lebih kaya dan utuh dengan keragamannya yang justru sangat relevan dengan pendidikan vokasi. Abstract This article explores other perspectives in examining behavioral accounting science which, through its well-known journal Behavioral Accounting Research, is very synonymous with positivism. Through a multi-paradigm study, arguments were raised which carried the importance of various perspectives to examine various aspects of behavior in accounting. The research concludes that multi-paradigm perspective will bring behavioral accounting knowledge to be richer and holistic with its diversity, which in fact is very relevant in vocational education Kata kunci: akuntansi keperilakuan, multiparadigma, pendidikan akuntansi vokasi 1. Pendahuluan Akuntansi Keperilakuan (Behavioral accounting) bukanlah bidang ilmu baru, walaupun di Indonesia ia baru mulai masuk menjadi mata kuliah pada tahun 2000an. Sebagai bukti, sebuah artikel ditulis oleh Hofstedt & Kinard (1970) dalam The Accounting Review, sebuah jurnal ternama yang diterbitkan oleh American Accounting Association, mengambil judul “A Strategy for Behavioral Accounting Research”. Logisnya tentu jika di tahun 1970 saja strategi riset akuntansi keperilakuan telah dibahas, maka sudah sewajarnya isu akuntansi keperilakuan sudah ada jauh sebelum tahun 1970. Williams, Jenkins, & Ingraham (2006) menjelaskan bahwa istilah behavioral accounting ditemukan pertama kali di tahun 1967. Akuntansi Keperilakuan tidak didefinisikan sebagai gabungan pemaknaan dua kata: akuntansi dan keperilakuan. Walau sepertinya hal ini dianggap logis, namun sebenarnya kedua kata saat digabungkan memiliki makna yang berbeda jika dibandingkan saat mereka berdiri terpisah. Konsep ini identik dengan kata “Lidah” dan “Buaya”, yang tentu memiliki makna berbeda dengan dua kata tersebut digabungkan: “Lidah Buaya”. Beranjak dari pemahaman tersebut, Akuntansi keperilakuan bukan tentang pelaporan tentang perilaku seseorang atau sekumpulan orang. Secara sederhana, akuntansi keperilakuan sebagai ilmu muncul dari sebuah pemikiran bahwa jika angka- angka yang dihasilkan oleh akuntansi dapat memengaruhi perilaku seseorang, maka jauh lebih penting dari itu, akuntan dapat membuat sistem bahkan akuntansi “baru” yang akan menimbulkan perilaku “baru” yang diharapkan:

MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

29

1

ISSN: 2540-914X

MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI PERSPEKTIF MULTIPARADIGMA

Ari Kamayanti Politeknik Negeri Malang

[email protected]

Abstrak Artikel ini mengeksplorasi perspektif lain dalam menelaah ilmu akuntansi keperilakuan yang, melalui jurnal tersohornya Behavioral Accounting Research, sangat identik dengan paradigma positivisme. Melalui kajian multiparadigma, didedahkan argumentasi yang mengusung pentingnya berbagai cara pandang untuk mengangkat berbagai aspek keperilakuan pada akuntansi. Penelitian menjelaskan bahwa multiparadigma akan membawa ilmu akuntansi keperilakuan lebih kaya dan utuh dengan keragamannya yang justru sangat relevan dengan pendidikan vokasi.

Abstract This article explores other perspectives in examining behavioral accounting science which, through its well-known journal Behavioral Accounting Research, is very synonymous with positivism. Through a multi-paradigm study, arguments were raised which carried the importance of various perspectives to examine various aspects of behavior in accounting. The research concludes that multi-paradigm perspective will bring behavioral accounting knowledge to be richer and holistic with its diversity, which in fact is very relevant in vocational education Kata kunci: akuntansi keperilakuan, multiparadigma, pendidikan akuntansi vokasi

1. Pendahuluan

Akuntansi Keperilakuan (Behavioral accounting) bukanlah bidang ilmu baru, walaupun di Indonesia ia baru mulai masuk menjadi mata kuliah pada tahun 2000an. Sebagai bukti, sebuah artikel ditulis oleh Hofstedt & Kinard (1970) dalam The Accounting Review, sebuah jurnal ternama yang diterbitkan oleh American Accounting Association, mengambil judul “A Strategy for Behavioral Accounting Research”. Logisnya tentu jika di tahun 1970 saja strategi riset akuntansi keperilakuan telah dibahas, maka sudah sewajarnya isu akuntansi keperilakuan sudah ada jauh sebelum tahun 1970. Williams, Jenkins, & Ingraham (2006) menjelaskan bahwa istilah behavioral accounting ditemukan pertama kali di tahun 1967.

Akuntansi Keperilakuan tidak didefinisikan sebagai gabungan pemaknaan dua kata: akuntansi dan keperilakuan. Walau sepertinya hal ini dianggap logis, namun sebenarnya kedua kata saat digabungkan memiliki makna yang berbeda jika dibandingkan saat mereka berdiri terpisah. Konsep ini identik dengan kata “Lidah” dan “Buaya”, yang tentu memiliki makna berbeda dengan dua kata tersebut digabungkan: “Lidah Buaya”.

Beranjak dari pemahaman tersebut, Akuntansi keperilakuan bukan tentang pelaporan tentang perilaku seseorang atau sekumpulan orang. Secara sederhana, akuntansi keperilakuan sebagai ilmu muncul dari sebuah pemikiran bahwa jika angka-angka yang dihasilkan oleh akuntansi dapat memengaruhi perilaku seseorang, maka jauh lebih penting dari itu, akuntan dapat membuat sistem bahkan akuntansi “baru” yang akan menimbulkan perilaku “baru” yang diharapkan:

Page 2: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

30

1

ISSN: 2540-914X

“the realization that accounting figures are both a cause and an effect of human behavior [is] trivial. A more important realization is that accountants can deliberately design their systems so as to influence behavior” (Hofstedt & Kinard, 1970, p. 38).

Terjemahan sederhana dari kutipan di atas adalah: “kesadaran bahwa angka-angka akuntansi adalah sebab dan akibat dari perilaku manusia adalah hal penting. Lebih penting lagi adalah kesadaran bahwa akuntan dapat secara sengaja mendesain sistem mereka untuk memengaruhi perilaku”.

Secara spesifik, sebuah buku yang menegaskan keberadaan ilmu akuntansi keperilakuan yaitu “Behavioral Accounting Research: Foundations and Frontiers”, yang disusun pada tahun 1997 menerangkan:

“Accounting theorists have long recognized that the accounting information system is an integral part of an organization’s control system and that accounting information provides critical decision-influencing and decision-facilitating information for control” (Arnold & Sutton, 1997, p. 1)

Jadi, informasi akuntansi menjadi bagian yang integral dengan sistem pengendalian organisasi. Informasi akuntansi merupakan alat pengendalian melalui pengambilan keputusan.

Terkait keperilakuan, perlu dipahami bahwa akuntansi lahir dari interaksi sosial, seperti interaksi saat manusia bertransaksi dalam produksi jasa/produk serta perdagangan (yang melahirkan akuntansi keuangan); atau interaksi dengan pemerintah untuk memenuhi kewajiban pajak (yang melahirkan akuntansi perpajakan) atau interaksi antar pemerintah dengan regulasi (yang melahirkan akuntansi sektor publik); atau interaksi para manajer melalui penggunaan informasi keuangan dari akuntansi (yang melahirkan akuntansi manajemen). Akuntansi debet-kreditpun juga lahir dari sebuah pemikiran tertentu, yang berbeda dengan akuntansi yang menggunakan single entry (dalam cabang ilmu pemikiran akuntansi/accounting thoughts). Dalam perkembangannya, Ahmed Riahi Belkaoui justru mendedahkan akuntansi keperilakuan secara spesifik pada akuntansi manajemen dalam bukunya “Behavioral Management Accounting” (Riahi-Belkaoui, 2002). Jika akuntansi lahir dari interaksi, dan interaksi adalah bentuk perilaku, maka sebenarnya semua akuntansi adalah akuntansi keperilakuan dan semua akuntansi keperilakuan adalah akuntansi.

Perilaku dipengaruhi banyak hal, termasuk rasa yang tersirat dalam kata. Dalam artikelnya “Shari’ah Accounting and Neuro Science: Awakening God Consciousness”, Triyuwono (2011), menjelaskan bagaimana perubahan kata “Asset” di neraca menjadi “Harta Titipan Tuhan” mengubah rasa dan perilaku manusia yang membaca laporan keuangan. Saat dipaparkan di kelas, peningkatan jumlah “Asset” membuat mahasiswa senang dan semakin ingin mendapatkan lebih banyak harta lagi. Begitu kata tersebut diganti “Harta Titipan Tuhan”, rasa yang didapat berbeda. Perilaku yang ditimbulkan akibat rasa tanggung jawab kepada Tuhan yang muncul akibat membaca nama akun tersebut, menghilangkan sifat keserakahan manusia karena diingatkan kembali bahwa sebenarnya harta kita sejatinya tidak pernah kita miliki. Segalanya milik Tuhan dan akan kembali padaNya.

Secara empiris Waymire (2014, p. 2011) mengumpulkan bukti bahwa “accounting alters decision-making within the brain”. Secara biologis, ada perubahan proses dalam otak akibat akuntansi. Sebuah studi menarik dilakukan oleh Bartons, Berns, dan Brooks di tahun 2014. Para subjek penelitian diminta untuk

Page 3: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

31

1

ISSN: 2540-914X

memproyeksikan laba 60 perusahaan, dan otak para subjek di-scan menggunakan functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) setiap dua detik saat mengobservasi kembalian atas investasi dan laba. Setiap kali ada berita buruk mengenai kesalahan prediksi laba, ada aktivitas tinggi pada ventral striatum, yaitu bagian pada otak yang memproses penghargaan. Saat memproses angka-angka akuntansi, ventral striatum menyala aktif karena antisipasi untuk mendapatkan penghargaan.

Dalam kesederhanaan cara pandang sebab-akibat, maka akuntansi memengaruhi perilaku, dan sebaliknya, manusia dapat mengonstruksi ilmu akuntansi yang dapat membentuk perilaku manusia sesuai yang diharapkan. Namun ada berbagai cara pandang dalam membangun ilmu, tidak hanya cara pandang sebab-akibat di atas. Pemahaman keberagaman ini justru akan memudahkan pengembangan ilmu akuntansi keperilakuan terapan dalam pendidikan akuntansi vokasi. Kajian tentang bagaimana akuntansi diterapkan tentu akan lebih kaya dari pemahaman jika menggunakan paradigma interpretif. Mengubah perilaku melalui paradigma kritis dimungkinkan dalam ilmu terapan akuntansi, dan seterusnya. Artikel ini bertujuan membuka wacana multiparadigma dalam meredefinisikan ulang akuntansi keperilakuan. 2. Metode

Dalam perkembangan akuntansi keperilakuan terdapat perbedaan pemikiran tentang bagaimana seharusnya ia dikembangkan. Salah satu kritik yang dilontarkan oleh Williams, Jenkins, & Ingraham (2006) terkait dengan aliran utama Behavioral Accounting Research (BAR) yang cenderung menggunakan pendekatan ekonomi neoklasik. Mereka berpendapat bahwa akuntansi adalah suatu hasil aktivitas dan kreativitas manusia serta bagaimana mereka berinteraksi. Akuntansi, oleh karenanya, bukanlah fenomena alam (natural science) namun lebih pada fenomena sosial (social science), padahal fenomena sosial sangat kompleks.

Sedemikian kompleksnya, dalam bukunya “Chaos of Disciplines” (Kekacauan Ilmu Pengetahuan), Abbott (2001) menjelaskan sebuah konsep yang disebut syncresis yaitu fraksi-fraksi atau pecahan ambiguitas yang membentuk dunia ini, di mana seakan satu fraksi tidak terkait dengan fraksi lainnya, namun secara esensi keberadaan dan keterhubungan fraksi-fraksi ini merupakan pembentuk utuhnya fenomena sosial.

Misalnya, kita mengenal International Financial Reporting Standards sebagai satu standar global yang kini digunakan oleh 120 negara di dunia (ifrs.com). Mengapa Negara-negara ini berperilaku sama menggunakan IFRS? Apakah mungkin karena faktor kepatuhan kepada International Federation of Accountants (IFAC)? Ataukah mungkin karena tekanan pelaku pasar modal? Sejarah? Kepentingan investor? Atau bahkan psikologi? Bisa saja kemudian hal-hal yang baru disebutkan kita anggap sebagai variabel lalu digambar dalam bentuk model determinan adopsi IFRS. Namun seberapa akurat hubungan sebab-akibat antar variabel tersebut? Bahkan bukankah satu Negara akan memiliki alasan-alasan yang berbeda dengan Negara lain walau sama-sama mengadopsi IFRS? Inilah syncresis; sebuah kompleksitas fenomena sosial.

Alasan yang berbeda yang muncul akibat lingkungan berbeda memastikan bahwa akuntansi adalah disiplin yang multivokal. Ia tidak bisa diseragamkan, ia tidak berasal dari satu suara (univocal). Ole karena itu, pemahaman akan multivokalitas akuntansi selayaknya pula diikuti dengan cara pengembangan akuntansi. Riset akuntansi keperilakuan seharusnya tidak “membunuh” dirinya dengan hanya satu pendekatan (univocal approach). Ilmu pengetahuan akan menjadi kacau (chaos) jika

Page 4: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

32

1

ISSN: 2540-914X

fenomena yang nyata-nyatanya multivocal harus dipaksakan dibentuk dengan satu (univocal) metodologi saja.

Jadi, jika kita menggunakan dasar multivokal cara pandang atas dunia (world view/paradigm), maka perlu pula dibahas bagaimana hal ini kemudian menyentuh ilmu akuntansi. Chua (1986) dalam tulisannya “Radical Developments in Accounting Thoughts” menyebutkan tiga perspektif: Mainstream, Interpretative, dan Critical Perspectives. Tiga cara pandang ini kesemuanya cara pandang sekuler karena mereka berdasar pada tiga keyakinan utama: keyakinan pada pengetahuan, keyakinan pada realitas fisik dan sosial, serta relasi antara teori dan praktik, di mana kebenaran ilmu berujung pada kebenaran empiris saja, bukan mengonfirmasi kebenaran ilahiah.

Cara pandang sekuler ini muncul dari modernisme. Di era pra-modern, manusia masih percaya pada keberadaan “kekuasaan” entitas selain manusia. Di masa animisme, misalnya, manusia menyembah binatang, pohon, dan masih banyak lain. Manusia modern menganggap bahwa hal-hal ini tidaklah rasional. Manusia modern percaya bahwa kita dilahirkan dengan daya pikir yang maju, dan dengan daya pikir yang dilatih kita akan mampu menjelaskan segala hal secara logis.

Misalnya di akhir abad ke 14, ada wabah pes yang sangat mengerikan sehingga banyak orang-orang yang meninggal dunia. Sekitar 75 juta manusia meninggal dunia karena wabah ini. Fenomena ini begitu dahsyat, sehingga era itu disebut pula era Black Death. Sebagian masyarakat melihat bahwa Black Death ini adalah kutukan dari Tuhan, namun sebagian lain yang “rasional” menolak cara pandang “primitif” ini. Bagi mereka yang “rasional”, Tuhan hanya alasan bagi mereka yang malas berpikir dan mencari tahu asal muasal penyakit yang sebenarnya. Kaum ini lebih baik mengatakan “kami belum tahu jawabannya” daripada mengatakan “Tuhan ada di balik semua ini”. Merekapun semakin yakin atas kebenaran kekuatan pikiran manusia, saat kemudian ditemukan bakteri Yersinia Pestis yang menyebabkan penyakit ini melalui kutu dari tikus. Oleh karena itu, para Cartesian (pengikut pemikiran René Descartes, filsuf Prancis) mengucapkan “Cogito Ergo Sum”- “Aku Berpikir Maka Aku Ada”. Para Cartesian ini disebut pengikut aliran Rasionalisme.

Ada lagi cabang ilmu modern yang dilihat dengan kaca mata pengalaman, bukan pikiran. Mereka yang menggunakan pengalaman sebagai dasar pembentukan pengetahuan, disebut Kaum Empiris. Empirisisme, dengan tokoh utama John Locke asal Inggris, meyakini bahwa pengetahuan dibentuk dari keberadaan bukti yang cukup. Dalam penelitian kita sering mendengar kata “bukti empiris”. Ini berasal dari aliran Empirisisme. Bukti dapat diperoleh hanya jika ada penelitian atau eksperimen, sehingga kita bisa menyatakan sesuatu adalah benar karena ada buktinya. Di sinilah Tuhan akan “lenyap” dari pengetahuan, karena Tuhan hanya “suatu zat” yang diyakini tidak dapat dibuktikan. Begitu pula keberadaan malaikat, jin, surga, atau neraka. Kesemuanya tidak dapat dibuktikan secara empiris. Simpulannya? Tuhan, malaikat, jin, neraka, atau surga adalah bukan pengetahuan. Bukan ilmu. Bukan kebenaran.

Jika kita beriman, maka tentu Tuhan adalah kebenaran absolut yang menjadi panduan hidup sehari-hari termasuk saat membangun ilmu akuntansi. Kita tidak mungkin mengatakan “Tuhan boleh ada di masjid” dan “Tuhan tidak boleh ada di akuntansi”. Kita tidak bisa memilih di mana Tuhan ada atau tidak ada dalam hidup kita. Setiap detik napas kita, langkah kita, lisan kita, pasti dilingkupiNya. Sayangnya, kita sering tidak sadar, dan meniadakan Tuhan di beberapa aspek kehidupan, atau mengadakan Tuhan di aspek lain. Ini termasuk penyakit sekularisme. 3. Hasil dan Pembahasan

Page 5: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

33

1

ISSN: 2540-914X

Terkait sekularisme ini, kita akan membahas empat perspektif atau cara pandang atau paradigm atau worldview sekuler, terlebih dahulu sebelum masuk ke cara pandang yang tidak sekuler dalam akuntansi keperilakuan. Penjelasan lengkap tentang berbagai paradigma ini serta perbedaannya dapat dibaca pada buku Metodologi Konstruktif Riset Akuntansi: Membumikan Religiositas (Kamayanti, 2017) atau Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar Religiositas Keilmuan (Kamayanti, 2016).

Para pengikut aliran mainstream dalam akuntansi keperilakuan meyakini bahwa (1) pengetahuan tentang keterkaitan akuntansi dan perilaku dibangun

berdasarkan hubungan sebab akibat yang terukur, empiris, dan objektif (2) tujuan ilmu akuntansi keperilakuan adalah untuk menjelaskan, memrediksi,

dan mengendalikan pengaruh proses akuntansi serta informasi yang dihasilkan dari akuntansi pada perilaku manusia

Adalah Chiapello (1928) yang memberikan argumentasi bahwa akuntansi membentuk perilaku kapitalistik. Akuntansi yang menyediakan bottom line laba membuat orang berperilaku serakah. Ini terjadi karena pada era 1800an yaitu pada revolusi industri, manusia menginginkan keuntungan maksimal atas penjualan barang-barang hasil produksi. Chiapello (1928) berpendapat bahwa Double Entry Bookeeping (DEB) memungkinkan manusia untuk melakukan pengendalian dan membudayakan perilaku kalkulatif, sehingga mereka mampu memrediksi dan merencanakan keuntungan. Dalam pandangan Chiapello (1928), akuntansi membangkitkan semangat menumpuk capital/modal atau yang disebut pula semangat kapitalisme.

Riset yang memrediksi perilaku manusia terhadap laba pun berhamburan untuk mendukung premis tentang sifat “kapitalis” manusia. Contohnya, penelitian Rahim (2015) menjelaskan bahwa kenaikan laba menyebabkan harga saham turut meningkat, yang artinya saat pemain pasar modal menyaksikan kenaikan laba sebagai hasil dari proses pelaporan akuntansi, mereka membeli semakin banyak saham yang meningkatkan harga saham. Perilaku ini terjadi karena mereka menginginkan lebih banyak keuntungan yang dipicu oleh informasi akuntansi. Informasi akuntansi yang dianggap sebagai sebab dan perilaku manusia yang dianggap sebagai akibat (atau sebaliknya/vice versa), membentuk cara berpikir/mindset kausalitas. Oleh karena itu, banyak riset akuntansi keperilakuan yang memiliki pola kausalitas dan terukur (objektif dan empiris) untuk menjamin “keilmiahannya”. Mari lihat beberapa contoh judul riset dalam kategori mainstream/positivistik ini:

1. Pengaruh Laba Dan Arus Kas Terhadap Harga Saham Perusahaan LQ 45 Di Bursa Efek Indonesia (Lani Siaputra & Adwin Surja Atmadja, 2006)

2. Pengaruh Pengungkapan (Disclosure) terhadap Manajemen Laba (Studi Empiris Pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013-2014) (Rahmi, Ningsih, Zulbahridar, & Yasni, 2014)

3. Pengaruh Good Corporate Governance dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan (Retno & Priatinah, 2012)

4. Sources of Work-Family Conflict in the Accounting Profession (Pasewark & Viator, 2006)

Hubungan sebab-akibat antara akuntansi dan perilaku yang ditimbulkan dari akuntansi dan sebaliknya membentuk model penelitian sebagaimana ditampilkan pada contoh di atas.

Di sisi lain, penganut paradigma interpretivis menolak kebenaran berbasis hubungan sebab-akibat yang terukur dan objektif. Sebagaimana yang direfleksikan dari namanya yaitu “interpretivisme”, perilaku manusia perlu diinterpretasi atau

Page 6: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

34

1

ISSN: 2540-914X

dimaknai dan dicari nilai apa yang melandasi perilaku tersebut. Mereka tidak akan bertanya, “apakah laba berpengaruh pada nilai saham?” namun sebaliknya mereka akan bertanya, “mengapa pelaku pasar modal bereaksi sedemikian rupa atas informasi laba?”

Para pengikut aliran interpretivisme dalam akuntansi keperilakuan meyakini bahwa

(1) pengetahuan tentang keterkaitan akuntansi dan perilaku terjadi karena kreasi subjektif pelaku yang perlu diinterpretasikan/dipahami dan dimaknai.

(2) tujuan ilmu akuntansi keperilakuan adalah untuk menjelaskan dan memberikan makna atas perilaku manusia akibat proses pelaporan keuangan maupun informasi akuntansi yang dihasilkan.

Akibat mindset interpretivisme seperti ini, maka kita akan melihat bahwa riset akuntansi keperilakuan akan mengambil bentuk yang berbeda. Sifat penelitian tidak lagi menggeneralisasi temuan, namun fokus penelitian akan lebih kontekstual dan dalam. Perhatikan beberapa contoh judul riset akuntansi keperilakuan dalam paradigma interpretivisme berikut:

1. Memaknai Sikap Integritas Akuntan Publik di KAP “Cemerlang” Surabaya (Studi Fenomenologi) (Aripratiwi, Ludigdo, & Achsin, 2017)

2. Persepsi Penyusun Anggaran Mengenai Konsep Kebijakan Anggaran Responsif Gender (Widowati, Ludigdo, & Kamayanti, 2016)

3. The accounting of interpretations and the interpretation of accounts: The communicative function of "the language of business" (Lavoie, 1987)

Berbeda dengan paradigma interpretivisme, paradigma kritis memandang bahwa akuntan telah “terdominasi” oleh kapitalisme, oleh karena itu mereka harus disadarkan bahwa mereka berperilaku kapitalis, tentu dengan bahasa yang “mendobrak” dan mengagetkan.

Para pengikut aliran kritis dalam akuntansi keperilakuan meyakini bahwa: 1. Perilaku kapitalistis akuntan disebabkan oleh ketidaksadaran akuntan bahwa

ada ideologi kapitalisme yang membuat mereka menjadi serakah, sehingga angka-angka akuntansi menggiring keputusan-keputusan yang bersifat materialistis.

2. tujuan ilmu akuntansi keperilakuan adalah untuk membangkitkan kesadaran atau mengubah dari kesadaran naif menjadi kesadaran kritis akuntan agar mereka dapat membebaskan diri dan menghancurkan dominasi akuntansi kapitalis sehingga distribusi materi menjadi lebih adil.

Judul-judul penelitian akuntansi keperilakuan kritis biasanya memang terkesan satir atau menohok, sesuai dengan maksud penelitian: menggugah kesadaran pembacanya. Mari kita lihat beberapa judul di bawah ini:

1. Pengakuan Dosa [Sopir] A[Ng]Ku[N]tan Pendidik: Studi Solipsismish (Setiawan, Kamayanti, & Mulawarman, 2014).

2. A Bangladesh soap opera: privatisation, accounting, and regimes of control in a less developed country (Uddin & Hopper, 2001)

Paradigma keempat adalah paradigma posmodernisme. Paradigma ini bertujuan memajemukkan kebenaran, oleh karena itu pengikut paradigma ini meyakini:

1. perilaku akuntan ada berbagai bentuk dan semua perilaku akuntan adalah benar, tanpa terkecuali, karena kebenaran bersifat relative.

2. tujuan ilmu akuntansi keperilakuan adalah untuk memberikan berbagai alternatif “kebenaran” perilaku akuntan yang tidak hanya disebabkan oleh motivasi ekonomi, namun oleh aspek sosiologis, regulatoris, budaya, dan masih banyak lagi.

Page 7: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

35

1

ISSN: 2540-914X

Contoh artikel hasil riset akuntansi keperilakuan dalam paradigma posmodernisme (yang berfokus pada mengangkat kembali budaya, spiritualitas, citra) atau postrukturalisme (yang berfokus pada bahasa, dekonstruksi) antara lain:

1. Tinjauan Kontemplatif Peranan Akuntan di Era Konseptual: Perimbangan Kembali Kehakikian Otak Belahan Kiri dan Kanan (Suherman, 2011)

2. The concept of taonga in Maori culture: insights for accounting (Craig, Taonui, & Wild, 2012)

Jika dicermati secara rinci, keempat paradigma yang baru disebutkan menyatakan bahwa kebenaran adalah hasil studi kausalitas empiris (positivisme), hasil pemaknaan subjektif empiris (interpretivisme), hasil dari dominasi ideologi yang menjajah (kritis), atau hasil telaah relativisme di mana kebenaran tidak pernah tunggal (posmodernisme/postrukturalisme). Kebenaran masih bertumpu pada fakta (objektif, subjektif, maupun relatif), bukan kebenaran yang bersifat Ilahiah/religius. Itulah sebabnya kebenaran yang dihasilkan dari pembangunan ilmu akuntansi keperilakuan seperti ini bersifat sekuler.

Paradigma non-sekuler, kita sebut saja sebagai paradigma spiritual religius, memiliki karakter kebenaran yang khusus. Pengetahuan hanya menjadi pengetahuan yang benar apabila pengetahuan tersebut mengonfirmasi kebenaran ilahiah. Jadi, walau secara nyata terdapat perilaku yang benar-benar ada (temuan perilaku empiris), namun jika kenyataan tersebut tidak sesuai dengan ajaran agama (kebenaran ilahiah), maka ia tidak dapat disebut pengetahuan. Tugas seorang penganut paradigma spiritual religius adalah melakukan perubahan pada realitas hingga mengonstruksi realitas sesuai tuntunan agama.

Jika hal ini kemudian dikaitkan dengan akuntansi keperilakuan, maka paradigma spiritual-religius meyakini bahwa:

1. perilaku akuntan yang benar adalah perilaku yang dituntun oleh panduan religi, sarat dengan nilai-nilai ketuhanan.

2. tujuan ilmu akuntansi keperilakuan adalah untuk mendesain/mengonstruksi akuntansi berbasis spiritual-religius yang akan mengarahkan akuntan untuk berperilaku spiritual-religius (atau sebaliknya) untuk membentuk peradaban.

Adapun beberapa judul terkait akuntansi keperilakuan dalam paradigma spiritual-religius antara lain:

1. Melucuti "Kerudung" Manajemen Keuangan Syariah: Pembelajaran Berbasis Pendekatan Kritis Islami (Kamayanti & Rahmanti, 2014)

2. Integrasi Pancasila Dalam Pendidikan Akuntansi Melalui Pendekatan Dialogis (Kamayanti, 2014)

3. Metamorfosis Kesadaran Etis Holistik Mahasiswa Akuntansi: Implementasi Pembelajaran Etika Bisnis dan Profesi Berbasis Integrasi IESQ (Mulawarman & Ludigdo, 2010)

Jika kemudian dikaitkan dengan definisi awal akuntansi keperilakuan: “A more important realization is that accountants can deliberately design their systems so as to influence behavior” (Hofstedt & Kinard, 1970), maka sebenarnya paradigma spiritual religuslah yang berani menerima tantangan ini. Studi akuntansi keperilakuan ditujukan untuk mengubah desain akuntansi untuk mengubah mind-set manusia sesuai dengan ajaran religi. Jika studi akuntansi keperilakuan hanya mengambil kebenaran empiris maka hasil studi tentu menitikberatkan pada apa yang benar-benar terjadi. Misalnya, riba benar-benar terjadi dan dianggap biasa dalam dunia konvensional. Paradigma sekuler akan berfokus pada hubungan sebab akibat seperti pengaruh suku bunga pada tren menabung (paradigma positivisme); atau pemahaman dan pemaknaan bunga bank oleh nasabah (paradigma interpretivisme); atau keadilan distribusi bunga (paradigma kritis); atau kebenaran kebaikan dan keburukan riba (paradigma

Page 8: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

36

1

ISSN: 2540-914X

posmoderen). Paradigma spiritual-religius, di sisi lain, melihat bahwa riba tidak diperkenankan sebagaimana yang haq tercantum pada QS Al. Imron ayat 130:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”

Begitu pula pada alkitab, surat Imamat 25:36-37:

“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu dapat hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kauberikan dengan meminta riba.”

Peneliti akuntansi keperilakuan dalam paradigma spiritual-religius yang meyakini kebenaran ayat ini tentu tidak akan puas hanya meneliti pengaruh bunga pada perilaku akuntan, atau hanya memahami makna bunga oleh akuntan. Mereka akan membuat penelitian yang mengritisi praktik bunga (riba) dan mengonstruksi praktik akuntansi sehingga para akuntan akan berperilaku sesuai tuntunan agama mereka. 4. Kesimpulan

Akuntansi keperilakuan adalah bidang studi yang mempelajari keterkaitan antara akuntansi (proses pelaporan hingga angka yang dihasilkan oleh akuntansi) dengan perilaku manusia. Tujuan akuntansi keperilakuan berbeda tergantung paradigma yang diyakini. Terdapat setidaknya ada empat paradigma sekuler, di mana karakter umumnya adalah kriteria kebenaran empiris. Empat paradigma tersebut adalah: paradigma positivisme, interpretivisme, kritis, dan posmodernisme/postrukturalisme. Paradigma Ilahiah, di sisi lain, memiliki karakter kebenaran spiritual religius, kebenaran empiris diterima hanya jika mengamini kebenaran ilahiah.

Dengan demikian, seseorang dari paradigma positivisme akan menggunakan ilmu akuntansi keperilakuan untuk menelaah hubungan sebab akibat antara akuntansi/informasi akuntansi dengan perilaku akuntan. Seseorang dari paradigma interpretivisme akan menggunakan ilmu akuntansi keperilakuan untuk mempelajari secara mendalam mengapa akuntan berperilaku sebagaimana perilakunya dan berusaha memahami dan memaknai perilaku tersebut. Di sisi yang lain, peneliti akuntansi keperilakuan pada paradigma kritis telah menetapkan posisinya pada pihak yang “dijajah” oleh dominasi akuntansi kapitalis, dan mencoba menyadarkan melalui tulisannya bahwa perilaku kapitalis akuntan berasal dari akuntansi yang kapitalis pula. Paradigma posmoderen menganggap bahwa semua perilaku akuntan adalah benar dan tidak ada kebenaran tunggal tentang ilmu akuntansi keperilakuan. Akhirnya paradigma spiritual-religius (paradigma non-sekuler) akan mengajak para akuntan menyadari tugasnya sebagai makhluk Tuhan di mana setiap perilakunya termasuk berakuntansi sebaiknya dalam tuntunan religi. Jika ada hal yang belum sesuai dengan kebenaran ilahiah, maka adalah tugasnya untuk melakukan perubahan.

Perilaku pada dasarnya merupakan hal empiris yang ada karena terapan akuntansi. Oleh karena itu, dengan menggunakan perspektif multiparadigma, ilmu akuntansi keperilakuan terapan justru menjadi lebih kaya dan utuh karena dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pemahaman tentang akuntansi keperilakuan berbasis

Page 9: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

37

1

ISSN: 2540-914X

multiparadigma akan membuat sarjana vokasi akuntansi mampu memecahkan masalah tidak hanya dengan berbasis rasionalitas/matematis saja. Daftar Referensi Abbott, A. D. (2001). Chaos of Disciplines. Chicago: The University of Chicago Press. Aripratiwi, R. A., Ludigdo, U., & Achsin, M. (2017). Memaknai Sikap Integritas Akuntan

Publik di KAP “Cemerlang” Surabaya (Studi Fenomenologi). Jurnal Reviu Akuntansi Dan Keuangan, 7(1), 993–1002.

Arnold, V., & Sutton, B. (Eds.). (1997). Behavioral Accounting Research: foundations and frontiers. Sarasota, FL.

Asrianti, & Rahim, S. (2015). Pengaruh Laba Dan Arus Kas Terhadap Harga Saham Perusahaan Lq 45 Di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Akuntansi Aktual, 3(1), 22–38.

Chiapello, E. (1928). Accounting and the Birth of the Notion of Capitalism, 1–24. Chua, W. F. (1986). Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting

Review, 61(4), 601–632. Craig, R., Taonui, R., & Wild, S. (2012). The concept of taonga in Maori culture:

insights for accounting. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 25(6), 1025–1047. http://doi.org/10.1108/09513571211250233

Hofstedt, T. R., & Kinard, J. C. (1970). A Strategy for Behavioral Accounting Research. The Accounting Review, 45(1), 38–54.

Kamayanti, A. (2014). Integrasi Pancasila Dalam Pendidikan Akuntansi Melalui Pendekatan Dialogis. Journal of Accounting and Business Education, 2(2), 1–16.

Kamayanti, A. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar Religiositas Keilmuan. Jakarta: Rumah Peneleh.

Kamayanti, A. (2017). Metodologi Konstruktif Riset Akuntansi: Membumikan Religiositas. Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh.

Kamayanti, A., & Rahmanti, V. N. (2014). Melucuti “Kerudung” Manajemen Keuangan Syariah: Pembelajaran Berbasis Pendekatan Kritis Islami. In Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia Perspektif Kewilayahan dan Syariah (pp. 507–524). Kendari: Universitas Halu Oleo.

Lani Siaputra, & Adwin Surja Atmadja. (2006). Pengaruh Pengumuman Dividen Terhadap Perubahan Harga Saham Sebelum Dan Sesudah Ex-Dividend Date Di Bursa Efek Jakarta (Bej). Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, 8(2), 71–77. http://doi.org/10.9744/jak.13.1.24-36

Lavoie, D. (1987). The accounting of interpretations and the interpretation of accounts: The communicative function of “the language of business.” Accounting, Organizations and Society. http://doi.org/10.1016/0361-3682(87)90010-9

Mulawarman, A. D., & Ludigdo, U. (2010). Metamorfosis Kesadaran Etis Holistik Mahasiswa Akuntansi: Implementasi Pembelajaran Etika Bisnis dan Profesi Berbasis Integrasi IESQ. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 1(3), 429–444. Retrieved from http://ajidedim.lecture.ub.ac.id/files/2014/01/jamal_mulawarman_ludigdo_2010.pdf

Pasewark, W. R., & Viator, R. E. (2006). Sources of Work-Family Conflict in the Accounting Profession. Behavioral Research in Accounting, 18, 147–165. http://doi.org/10.2308/bria.2006.18.1.147

Rahmi, O. :, Ningsih, S., Zulbahridar, P. :, & Yasni, H. (2014). Pengaruh Pengungkapan (Disclosure) terhadap Manajemen Laba (Studi Empiris Pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013-2014). JOM Fekon, 4(1), 2017.

Page 10: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

38

1

ISSN: 2540-914X

Retno, R. D., & Priatinah, D. (2012). Pengaruh Good Corporate Governance dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan. Jurnal Nominal, I(1), 84–103.

Riahi-Belkaoui, A. (2002). Behavioral Management Accounting. Quorum Book, 276. Setiawan, A. R., Kamayanti, A., & Mulawarman, A. D. (2014). Pengakuan Dosa [Sopir]

A[Ng]Ku[N]tan Pendidik: Studi Solipsismish. Jurnal Pendidikan Akuntansi, 2(1), 5–14.

Suherman, B. (2011). Tinjauan Kontemplatif Peranan Akuntan di Era Konseptual: Perimbangan Kembali Kehakikian Otak Belahan Kiri dan Kanan. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2(2), 279–293.

Triyuwono, I. (2011). Shari’ah Accounting And Neuro Science: Awakening God Consciousness. In Proceeding of the 4th International Colloquium on Business and Management. Bangkok.

Uddin, S., & Hopper, T. (2001). A Bangladesh soap opera: privatisation, accounting, and regimes of control in a less developed country. Accounting, Organizations and Society, 26(7–8), 643–672. http://doi.org/10.1016/S0361-3682(01)00019-8

Waymire, G. B. (2014). Neuroscience and ultimate causation in accounting research. Accounting Review, 89(6), 2011–2019. http://doi.org/10.2308/accr-50881

Widowati, G. R., Ludigdo, U., & Kamayanti, A. (2016). Persepsi Penyusun Anggaran Mengenai Konsep Kebijakan Anggaran Responsif Gender. Journal of Research and Applications: Accounting and Management, 2(1), 31. http://doi.org/10.18382/jraam.v2i1.67

Williams, P. F., Jenkins, J. G., & Ingraham, L. (2006). The winnowing away of behavioral accounting research in the US: The process for anointing academic elites. Accounting, Organizations and Society, 31(8), 783–818. http://doi.org/10.1016/j.aos.2006.07.003

Abbott, A. D. (2001). Chaos of Disciplines. Chicago: The University of Chicago Press. Aripratiwi, R. A., Ludigdo, U., & Achsin, M. (2017). Memaknai Sikap Integritas Akuntan

Publik di KAP “Cemerlang” Surabaya (Studi Fenomenologi). Jurnal Reviu Akuntansi Dan Keuangan, 7(1), 993–1002.

Arnold, V., & Sutton, B. (Eds.). (1997). Behavioral Accounting Research: foundations and frontiers. Sarasota, FL.

Asrianti, & Rahim, S. (2015). Pengaruh Laba Dan Arus Kas Terhadap Harga Saham Perusahaan Lq 45 Di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Akuntansi Aktual, 3(1), 22–38.

Chiapello, E. (1928). Accounting and the Birth of the Notion of Capitalism, 1–24. Chua, W. F. (1986). Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting

Review, 61(4), 601–632. Craig, R., Taonui, R., & Wild, S. (2012). The concept of taonga in Maori culture:

insights for accounting. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 25(6), 1025–1047. http://doi.org/10.1108/09513571211250233

Hofstedt, T. R., & Kinard, J. C. (1970). A Strategy for Behavioral Accounting Research. The Accounting Review, 45(1), 38–54.

Kamayanti, A. (2014). Integrasi Pancasila Dalam Pendidikan Akuntansi Melalui Pendekatan Dialogis. Journal of Accounting and Business Education, 2(2), 1–16.

Kamayanti, A. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar Religiositas Keilmuan. Jakarta: Rumah Peneleh.

Kamayanti, A. (2017). Metodologi Konstruktif Riset Akuntansi: Membumikan Religiositas. Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh.

Kamayanti, A., & Rahmanti, V. N. (2014). Melucuti “Kerudung” Manajemen Keuangan Syariah: Pembelajaran Berbasis Pendekatan Kritis Islami. In Percepatan

Page 11: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

39

1

ISSN: 2540-914X

Pembangunan Ekonomi Indonesia Perspektif Kewilayahan dan Syariah (pp. 507–524). Kendari: Universitas Halu Oleo.

Lani Siaputra, & Adwin Surja Atmadja. (2006). Pengaruh Pengumuman Dividen Terhadap Perubahan Harga Saham Sebelum Dan Sesudah Ex-Dividend Date Di Bursa Efek Jakarta (Bej). Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, 8(2), 71–77. http://doi.org/10.9744/jak.13.1.24-36

Lavoie, D. (1987). The accounting of interpretations and the interpretation of accounts: The communicative function of “the language of business.” Accounting, Organizations and Society. http://doi.org/10.1016/0361-3682(87)90010-9

Mulawarman, A. D., & Ludigdo, U. (2010). Metamorfosis Kesadaran Etis Holistik Mahasiswa Akuntansi: Implementasi Pembelajaran Etika Bisnis dan Profesi Berbasis Integrasi IESQ. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 1(3), 429–444. Retrieved from http://ajidedim.lecture.ub.ac.id/files/2014/01/jamal_mulawarman_ludigdo_2010.pdf

Pasewark, W. R., & Viator, R. E. (2006). Sources of Work-Family Conflict in the Accounting Profession. Behavioral Research in Accounting, 18, 147–165. http://doi.org/10.2308/bria.2006.18.1.147

Rahmi, O. :, Ningsih, S., Zulbahridar, P. :, & Yasni, H. (2014). Pengaruh Pengungkapan (Disclosure) terhadap Manajemen Laba (Studi Empiris Pada Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2013-2014). JOM Fekon, 4(1), 2017.

Retno, R. D., & Priatinah, D. (2012). Pengaruh Good Corporate Governance dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan. Jurnal Nominal, I(1), 84–103.

Riahi-Belkaoui, A. (2002). Behavioral Management Accounting. Quorum Book, 276. Setiawan, A. R., Kamayanti, A., & Mulawarman, A. D. (2014). Pengakuan Dosa [Sopir]

A[Ng]Ku[N]tan Pendidik: Studi Solipsismish. Jurnal Pendidikan Akuntansi, 2(1), 5–14.

Suherman, B. (2011). Tinjauan Kontemplatif Peranan Akuntan di Era Konseptual: Perimbangan Kembali Kehakikian Otak Belahan Kiri dan Kanan. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2(2), 279–293.

Triyuwono, I. (2011). Shari’ah Accounting And Neuro Science: Awakening God Consciousness. In Proceeding of the 4th International Colloquium on Business and Management. Bangkok.

Uddin, S., & Hopper, T. (2001). A Bangladesh soap opera: privatisation, accounting, and regimes of control in a less developed country. Accounting, Organizations and Society, 26(7–8), 643–672. http://doi.org/10.1016/S0361-3682(01)00019-8

Waymire, G. B. (2014). Neuroscience and ultimate causation in accounting research. Accounting Review, 89(6), 2011–2019. http://doi.org/10.2308/accr-50881

Widowati, G. R., Ludigdo, U., & Kamayanti, A. (2016). Persepsi Penyusun Anggaran Mengenai Konsep Kebijakan Anggaran Responsif Gender. Journal of Research and Applications: Accounting and Management, 2(1), 31. http://doi.org/10.18382/jraam.v2i1.67

Williams, P. F., Jenkins, J. G., & Ingraham, L. (2006). The winnowing away of behavioral accounting research in the US: The process for anointing academic elites. Accounting, Organizations and Society, 31(8), 783–818. http://doi.org/10.1016/j.aos.2006.07.003

Page 12: MEREDEFINISI AKUNTANSI KEPERILAKUAN MELALUI …

40

1

ISSN: 2540-914X