modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    1/21

    TUGAS MATA KULIAH KLIMATOLOGI

    MAKALAH

    WANAMINA (SILVOFISHERY ) SEBAGAI

    MODIFIKASI IKLIM MIKRO TAMBAK BERBASIS KONSERVASI

    Disusun Oleh:

    Nama : Anggoro Prihutomo

    NIM : 30000213410041

    Dosen Pengampu : Ir. Sutarno, MS.

    Dr. Widada Sulistya, DEA

    MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS DIPONEGORO

    SEMARANG2014

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    2/21

    Wanamina (Silvofishery ) Sebagai

    Modifikasi Iklim Mikro Tambak Berbasis Konservasi

    Oleh:Anggoro Prihutomo

    Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang

    Abstrak

    Fenonema perubahan iklim global memberikan dampak pada

    ekosistem pesisir dan kegiatan ekonomi yang ada di dalamnya, termasuk

    kegiatan akuakultur. Beberapa dampak yang muncul sebagai akibat

     perubahan iklim antara lain, kenaikan suhu bumi, kenaikan muka air laut,

     perubahan pola curah hujan, dan fenomena cuaca yang ekstrem seperti badai dan topan. Hal ini ini semakin diperparah dengan kondisi daya

    dukung pesisir yang semakin rendah. Adanya dampak perubahan iklim

    dan rusaknya lingkungan pesisir menjadikan wilayah pesisir akan

    menjadi semakin rentan ke depan.

    Silvo fishery atau wanamina merupakan budidaya tumpangsari

    antara ikan dan konservasi mangrove. Langkah ini merupakan konservasi

    di daerah pesisir sekaligus untuk memodifikasi iklim agar iklim lokal

    tetap ideal bagi ikan/udang dalam budidaya. Beberapa pola wanamina

    yang dikembangkan di Indonesia pada umumnya adalah sistem empang

     parit dan empang parit yang disempurnakan dengan kultivan udang

    windu, ikan Bandeng, Kakap Putih, maupun udang/ikan liar yang secaraalami masuk ke kawasan tersebut. Kab. Subang (Cikeong dan Blanakan),

    Kab. Sinjai, Kab. Indramayu, Kab. Pemalang adalah beberapa daerah di

    Indonesia yang telah sukses dalam mengembangkan sistem wanamina

    ini.

     Kata kunci: Silvofishery, iklim mikro, mangrove 

    Pendahuluan

    Perubahan iklim akibat pemanasan global berdampak terhadap meningkatnya suhu

     permukaan bumi, kenaikan permukaan air laut dan presipitasi. Kondisi ini mengakibatkan

    wilayah pesisir sangat rentan. Dampak tersebut antara lain kerusakan dan kerugian secara

    fisik, ekologis, sosio-ekonomis dan kelembagaan (Putuhena 2011). Komponen komponen

    utama dari perubahan iklim yang dapat secara potensial berdampak pada produksi

    akuakultur di daerah pesisir antara lain kenaikan muka air laut, kenaikan temperatur,

     perubahan pola hujan monsoonal dan peristiwa iklim yang ekstrem dan tekanan

    ketersediaan air (Silva & Soto 2009).

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    3/21

     Naiknya permukaan air laut karena perubahan iklim mendorong terjadinya abrasi di

    wilayah pesisir pantai wilayah Jawa Tengah Utara. Lebih lanjut, angin yang telah berubah

     polanya mendorong air ke wilayah pantai secara besar-besaran. Kondisi wilayah pesisir

    Jawa Tengah yang tanpa adanya penahan gelombang baik buatan maupun alami

    (mangrove) sangat dengan mudah terkikis karena hasutan air laut yang terjadi secara besar

    dan terus menerus. Meningkatnya suhu mengakibatkan tekanan udara semakin besar.

    Badai di laut lepas akan semakin sering terjadi. Fenomena alam ini jarang terjadi dalam

    kurun waktu sepuluh tahun yang lalu. Namun kenyataannya, kejadian tersebut mengalami

     peningkatan dalam frekuensi (The Planet 2008).

    Permasalahan lain yang muncul adalah pembukaan tambak untuk kehidupan

    ekonomi masyarakat pada masa dulu (1970 - 1980) telah mengorbankan keberadaan hutan

    mangrove. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya gelombang laut yang besar akibat

    cuaca ekstrim dan perubahan arus laut akibat reklamasi yang menyebabkan semakin

     besarnya abrasi. Pencemaran sungai akibat limbah industri maupun rumah tangga

    mengakibatkan terjadi penurunan kualitas air sungai yang digunakan untuk perairan

    tambak, akibatnya produktivitas tambak menurun (Bintari Foundation 2011).

    Kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim yang telah dirasakan

    masyarakat tersebut memberikan ancaman terhadap kegiatan budidaya tambak dan

     perikanan laut. Sebagai bentuk adaptasi dan modifikasi terhadap lingkungan pesisir yang

    semakin ekstrem masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan

    kelangsungan usaha akuakultur di daerah pesisir meskipun dengan konsekuensi ada biaya

    tambahan yang harus dikeluarkan dan di sisi lain penghasilan mereka menurun (Bintari

    Foundation 2011).

    Menghadapi perubahan iklim, sistem peningkatan ketahanan dalam masyarakat

    untuk mengurangi resiko bahaya perubahan iklim dilakukan melalui upaya adaptasi.Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi

    dampak negatif dari perubahan iklim. Adaptasi tersebut merupakan bentuk proteksi yang

    dapat dilakukan oleh penduduk di wilayah pesisir untuk menyikapi dampak perubahan

    iklim (Putuhena 2011), terutama dalam kaitanya dengan kelestarian usaha budidaya

     perikanan di daerah pesisir.

    Salah satu bentuk adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir dalam

    menghadapi tingkat kerentanan wilayah pesisir dewasa ini dan juga mempertahankan

    kelestarian kegiatan ekonomi mereka (budidaya perikanan) di wilayah tersebut adalah

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    4/21

    dengan sistem wana mina ( silvofishery) (Rizal 2009; Wibowo & Handayani 2006; Bintari

    Foundation 2011).

    Pemasalahan Daerah Pesisir Dewasa Ini

    Indonesia terletak sangat strategis ,yaitu di daerah tropis, diapit oleh dua benua

    (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Letak yang strategis ini

    menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam khususnya pesisir.

    Wisata bahari, budi daya tambak, pertambangan dan pemukiman adalah beberapa contoh

     potensi ekonomi yang bernilai tinggi. Tak heran apabila daerah pesisir menjadi daya tarik

     bagi seluruh pihak untuk mengelola dan memanfaatkannya dari segi ekonomi maupun

     politikya.

    Daerah pesisir adalah jalur tanah darat/kering yang berdampingan dengan laut,

    dimana lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang

     bagian laut, dan sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan

    laut atau danau dengan lebar bervariasi.

    Daerah ini selalu berkembang dengan pesatnya pembangunan yang dilakukan

     berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan

    lingkungan karena aktivitas yang dilakukan di darat maupun di laut. Hal ini menjadikan

    ekosistem pesisir sebagai ekosistem yang rentan terhadap kerusakan dan perusakan baik

    alami maupun buatan (Keren 2012).

    Sumber daya pesisir memiliki produktifitas yang tinggi dalam pembangunan karena

    dapat meningkatkan devisa, lapangan kerja, pendapatan dan kesejahteraan penduduk.

    Banyaknya kegiatan yang dilakukan di daerah pesisir mengakibatkan daerah ini sangat

    rentan terhadap kerusakan dan pengerusakan. Wilayah pesisir memiliki tingkat kepadatan

     penduduk dan intensitas pembangunan industri yang tinggi, sehingga lingkungan pesisir

    sering mendapat tekanan manusia yang tinggi. Kerusakan sumber daya alam saat ini tidak

    terlepas dari perilaku manusia dalam memperlakukan alam (Keren 2012).

    Dewasa ini, kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin tambah mengkhawatir-

    kan. Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) pencemaran air sungai dan laut,

    ekosistem terumbu karang dan pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya

    yang dapat berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah.

    Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan

    ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    5/21

    tanaman pantai yang dapat menahan laju gelombang pasang) (LAKPESDAM TUBAN

    2009).

    Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan

    di Indonesia antara lain adalah pencemaran, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi

     pantai, degradasi habitat, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan

    lainnya, dan bencana alam.

    Gambar 1. Pembangunan Wilayah Pesisir

    Umumnya rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas manusia seperti

    konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan

     perikanan tambak. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia

    dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30 – 40 % dari jumlah seluruh hutan mangrove

    dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%), Sumatra

    (16%), Kalimantan (9%) dan Sulawesi (2,5%) (Omtim 2013; Keren 2012).

    Hutan bakau di pesisir pulau Jawa, Sumatra dan pulau-pulau lainnya di Indonesia

    telah mengalami kerusakan parah atau telah hilang. Tambak udang, pada khususnya, telah

    membabat sejumlah besar jalur hutan bakau dan terumbu karang di sepanjang lingkungan

     pesisir pantai dan laut. Terjadinya serangan penyakit pada budidaya udang dan penurunan

     produktivitas telah menyebabkan pencampakan wilayah tambak dalam jumlah yang sangat

    luas. Di daerah ini, seperti halnya di sepanjang wilayah pantai utara Jawa, rentan terhadap

     badai, gelombang pasang surut dan erosi pantai. Dengan adanya perubahan iklim yang

    menyebabkan peningkatan terjadinya badai dan naiknya permukaan air laut, kerentanan ini

    akan semakin bertambah.

    Selain budidaya tambak, pembangunan wilayah perkotaan, polusi, panen kayu

     berlebihan dari hutan pesisir serta penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (PITRal)

    merupakan faktor utama terjadinya pengrusakan dan degradasi hutan bakau.(Indonesia

    Wetlands n.d.).

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    6/21

    Peran Hutan Mangrove Dalam Mendukung Ekosistem Pesisir

    Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara

    sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian

    maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada

    kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif.

    Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan

     pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa

    Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu

    Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias

    antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah

     baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai (IPB

    2007).

    Berkaitan dengan penggunaan istilah mangrove maka menurut FAO (1982) dalam 

    IPB (2007) mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang

    tumbuh di daerah pasang surut. Istilah mangrove merupakan perpaduan dari dua kata yaitu

    mangue dan grove. Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau.

    Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis

     bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu

    tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak

    dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika

    dan subtropika.

    Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas mangrove, terutama

     jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum.

    Selain itu juga ditemukan jenis-jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.

    Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi jika dibandingkan

    dengan negara lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89 yang terdiri

    dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis

     parasit (Nontji (1987) dalam IPB (2007)). Dari 35 jenis pohon tersebut, yang umum

    dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia sp,Sonneratia sp, Rizophora sp, Bruguiera sp,

     Xylocarpus sp, Ceriops sp, dan Excocaria sp.(IPB 2007).

    Hutan bakau melindungi wilayah pesisir dari erosi dan cuaca yang ekstrim. Mereka

    menyediakan area pembibitan utama bagi ikan-ikan dan rumah bagi berbagai jenis satwalainnya, termasuk diantaranya burung-burung air dan kehidupan satwa laut. Tidak hanya di

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    7/21

    Indonesia, tetapi di seluruh wilayah tropis dunia, hutan bakau menyediakan sumber mata

     pencaharian bagi jutaan orang yang hidup di wilayah pesisir (Indonesia Wetlands n.d.).

    Peranan, Manfaat dan Fungsi Hutan Magrove dalam kehidupan masyarakat yang

    hidup di daerah pesisir sangat banyak sekali. Baik itu langsung dirasakan oleh penduduk

    sekitar maupun peranan, manfaat dan fungsi yang tidak langsung dari hutan mangrove itu

    sendiri. Ekosistem hutan mangrove memberikan banyak manfaat baik secara tidak

    langsung (non economic value) maupun secara langsung kepada kehidupan manusia

    (economic vallues).

    Salah satu peran dan sekaligus manfaat ekosistem mangrove, adalah adanya sistem

     perakaran mangrove yang kompleks dan rapat, lebat dapat memerangkap sisa-sia bahan

    organik dan endapan yang terbawa air laut dari bagian daratan. Proses ini menyebabkan air

    laut terjaga kebersihannya dan dengan demikian memelihara kehidupan padang lamun

    ( seagrass) dan terumbu karang. Karena proses ini maka mangrove seringkali dikatakan

     pembentuk daratan karena endapan dan tanah yang ditahannya menumbuhkan

     perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Pertumbuhan mangrove memperluas

     batas pantai dan memberikan kesempatan bagi tumbuhan terestrial hidup dan berkembang

    di wilayah daratan. Akar pohon mangrove juga menjaga pinggiran pantai dari bahaya erosi.

    Buah vivipar yang dapat berkelana terbawa air hingga menetap di dasar yang dangkal

    dapat berkembang dan menjadi kumpulan mangrove di habitat yang baru. Dalam kurun

    waktu yang panjang habitat baru ini dapat meluas menjadi pulau sendiri (Forester 2011).

    Akar pernafasan (akar pasak) dari api-api dan tancang bukan hanya berfungsi untuk

     pernafasan tanaman saja, tetapi berperan juga dalam menangkap endapan dan bisa

    membersihkan kandungan zat-zat kimia dari air yang datang dari daratan dan mengalir ke

    laut. Air sungai yang mengalir dari daratan seringkali membawa zat-zat kimia atau polutan.

    Bila air sungai melewati akar-akar pasak pohon api-api, zat-zat kimia tersebut dapatdilepaskan dan air yang terus mengalir ke laut menjadi bersih. Banyak penduduk melihat

    daerah ini sebagai lahan marginal yang tidak berguna sehingga menimbunnya dengan

    tanah agar lebih produktif. Hal ini sangat merugikan karena dapat menutup akar pernafasan

    dan menyebabkan pohon mati.

    Daun mangrove yang jatuh dan masuk ke dalam air. Setelah mencapai dasar

    teruraikan oleh mikro organisme (bakteri dan jamur). Hasil penguraian ini merupakan

    makanan bagi larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan yang

    lebih besar serta hewan darat yang bermukim atau berkunjung di habitat mangrove.

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    8/21

    Akar tongkat pohon mangrove memberi zat makanan dan menjadi daerah nursery

     bagi hewan ikan dan invertebrata yang hidup di sekitarnya. Ikan dan udang yang ditangkap

    di laut dan di daerah terumbu karang sebelum dewasa memerlukan perlindungan dari

     predator dan suplai nutrisi yang cukup di daerah mangrove ini. Berbagai jenis hewan darat

     berlindung atau singgah bertengger dan mencari makan di habitat mangrove (Forester

    2011)

    Stabilitas Iklim Mikro Areal Budidaya Dan Konservasi Pesisir Dengan Konsep

    Wanamina

    Kebutuhan akan suatu produksi budidaya yang berkelanjutan di tengah semakin

    turunya kualitas lingkungan, dan kemampuan dari hutan mangrove dalam menjalankan

    keseimbangan fungsi ekologis pada daerah pesisir, serta kemampuan dalam melindungi

    semakin besarnya tekanan yang akan dihadapi daerah pesisir sebagai dampak terjadinya

     perubahan iklim global inilah yang menjadi dasar konsep wana mina ini untuk

    dilaksanakan (Budi Satriya 2014).

    Selanjutnya Kementerian Lingkungan Hidup (2013) juga mengatakan bahwa

    Ekosistem mangrove sangat penting bagi masyarakat pesisir, karena fungsinya dalam

    melindungi garis pantai dari hempasan gelombang dan tiupan angin kencang, mengatur

    sedimentasi, memperbaiki kualitas air, mengendalikan intrusi air laut, mengatur air bawah

    tanah dan menjaga stabilitas iklim mikro inilah yang menjadi alasan perlunya sistem wana

    mina pada usaha budidaya perikanan perlu untuk dilakukan.

    Iklim mikro (microclimate) sendiri adalah zona atmosfer lokal di mana iklim

     berbeda dari daerah sekitarnya. Istilah ini bisa merujuk ke daerah-daerah kecil seperti

     beberapa meter persegi ( misalnya kebun ).  Microclimate  terdapat, misalnya , di dekat

     badan air yang dapat mendinginkan suasana lokal, atau di daerah sangat perkotaan di mana

     batu bata, beton, dan aspal menyerap energi matahari, panas, dan radiasi kembali panas

    untuk membentuk udara ambien (Wikipedia 2013).

    Hasil penelitian Siregar (2010) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan iklim

    mikro yang besar antara areal bervegetasi dan areal terbuka terutama pada pagi, siang dan

    sore hari. Suhu udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih rendah daripada lokasi

    tanpa vegetasi. Sementara kelembaban udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih

    tinggi daripada lokasi tanpa vegetasi. Kecepatan angin rata-rata pada lokasi yang

     bervegetasi lebih daripada lokasi tanpa vegetasi. Untuk fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    9/21

     bervegetasi lebih rendah dibandingkan fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi tanpa vegetasi

    yaitu. Fluktuasi kelembaban udara rata-rata pada lokasi bervegetasi lebih dibandingkan

    fluktuasi kelembaban rata-rata pada lokasi tanpa vegetasi. Fluktuasi kecepatan angin rata-

    rata pada lokasi bervegetasi lebih rendah, dibandingkan fluktuasi kecepatan angin rata-rata

     pada lokasi tidak bervegetasi.

    Stabilitas iklim mikro diharapkan akan mempengaruhi stabilitas media budidaya

    ikan, sehingga paramater kualitas lingkungan budidaya tetap pada kondisi optimal untuk

    kultivan, dimana selanjutnya akan berdampak pada keberlanjutan produksi budidaya baik

    secara ekologi maupun secara ekonomi.

    Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina terdiri dari dua kata yaitu

    “ sylvo” yang berarti hutan/pepohonan (wana) dan “ fishery” yang berarti perik anan (mina).

    Silfofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu

    antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan,

     pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove (Natsir Amin 2013).

    Pengertian dan Definisi dari Silvofishery  atau Wanamina adalah suatu pola

    agroforestri yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan

    hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan dan udang atau jenis komersial lainnya

    untuk menambah penghasilan, di samping itu ada kewajiban untuk memelihara hutan

    Mangrove. Jadi prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove dengan

    memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu menambah pendapatan

    masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove.

    Silvofishery Pengelolaan terpadu mangrove-tambak diwujudkan dalam bentuk

    sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian dari sistem

     budidaya yang dikenal dengan sebutan wanamina ( silvofishery). Silvofishery pada

    dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan mangrove dengan cara membuat tambakyang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis sehingga diperoleh kuntungan

    ekologis dan ekonomis (mendatangkan penghasilan tambahan dari hasil pemeliharaan ikan

    di tambak. Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery saat ini mengalami perkembangan

    yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan bagi pemerintah

    dan nelayan secara ekonomis. Fungsi mangrove sebagai nursery ground   sering

    dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan perikanan ( sivofishery). Keuntungan

    ganda telah diperoleh dari simbiosis ini. Selain memperoleh hasil perikanan yang lumayan,

     biaya pemeliharaannya pun murah, karena tanpa harus memberikan makanan setiap hari.

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    10/21

    Jenis mangrove yang biasanya ditanam di tanggul adalah Rhizophora sp. dan

    Xylocarpus sp. Sedangkan untuk di tengah/pelataran tambak adalah Rhizophora sp. Jarak

    tanam mangrove di pelataran umumnya 1m x 2m pada saat mangrove masih kecil. Setelah

    tumbuh membesar (4-5 tahun) mangrove harus dijarangkan. Tujuan penjarangan ini untuk

    memberi ruang gerak yang lebih luas bagi komoditas budidaya. Selain itu sinar matahari

    dapat lebih banyak masuk ke dalam tambak dan menyentuh dasar pelataran, untuk

    meningkatkan kesuburan tambak (Anon 2012).

    Berdasarkan hasil wawancara Wibowo & Handayani (2006) dengan petani di

    daerah Blanakan, Subang, ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara

    lain mnjaga perbandingan hutan dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% kolam. Jika

     perbandingan hutan dan tambak 50-80% : 20-50%, pengelola tambak diberi peringatan dan

     jika perbandingan antara hutan dan tambak mencapai 50% : 50% ijin pengelolaan dicabut.

    Dengan pengembangan mina hutan secara lebih tertata dan perbandingan antara

    hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan produksi per satuan

    luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hutan

    disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan kesuburan kolam dengan banyaknya

    detritus, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu,

    hutan yang lebih baik akan menjadi tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang,

    melindungi udang dari suhu yang tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak

     bagi udang dan ikan. Lebih lanjut, daun mangrove yang jatuh diduga mengandung

    alelopaty yang dapat mengurangi keberadaan penyakit ikan dalam tambak. Produksi

     bandeng dan udang dari kolam yang hutannya cukup baik baik lebih tinggi dari lahan

    tambak yang hutannya tidak baik (terbuka) (Wibowo & Handayani 2006)

    Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan model tambak

    silvofishery, yaitu:1. Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar-akar dari

     pohon mangrove.

    2. Mangrove yang ditanam di sepanjang pematang tambak dan pematang akan nyaman

    dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove

    3. Petambak dapat mengunakan daun mangrove terutama jenis Rhizophora

    sp, sebagai pakan kambing sedangkan jenis  Avicennia  sp,  Bruguiera sp.

    4. Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan

     pendapatan masyarakat petani ikan

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    11/21

    5. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber

    air tawar dapat dipertahankan

    6. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt ) serta ikut mendukung program

    mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat

    karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari

    kecenderungan naiknya muka air laut.

    7. Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air

     pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat

    diselamatkan (Natsir Amin 2013).

    Selanjutnya menurut Budihastuti (2013), selah satu fungsi vegetasi mangrove

    dalam tambak wanamina adalah sebagai kanopi yang melindungi biota dari paparan sinar

    matahari dan peningkatan suhu perairan yang signifikan.

    Beberapa Model Silvofishery  

    Secara umum terdapat tiga model tambak silvofishery, yaitu; model empang parit,

    komplangan, dan jalur. Selain itu terdapat pula tambak sistem tanggul yang berkembang di

    masyarakat. Pada tambak silvofishery  model empang parit, lahan untuk hutan mangrove

    dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air. Pada tambak

     silvofishery model komplangan, lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam

    dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan

    mangrove dan empang (Bengen, 2003). Tambak  silvofishery model jalur merupakan hasil

    modifikasi dari tambak silvofishery  model empang parit. Pada tambak model ini terjadi

     penambahan saluran-saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang. Sedangkan

    tambak model tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Berdasarkan

    3 pola silvofishery dan pola yang berkembang di masyarakat, direkomendasikan

     pola silvofishery  kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas

     pertimbangan:

    1.  Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor,

    sehingga biaya perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi serasah.

    2. 

    Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan perubahan

    kualitas air dan meningkatkan kesuburan di areal pertambakan (Sidik 2013).

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    12/21

    Empang Parit

    Pola empang parit merupakan model  silvofishery yang umum dikembangkan

    dengan membuat caren air tempat membudidayakan/ memelihara ikan ataupun udang.

    Saluran air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan

    mangrove dapat ditanam di bagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan

    mangrove (wana/ silvo) dan budidaya ikan (mina/ fishery). Kondisi ini dapat diterapkan

     pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak

    (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau parit tetap

    dibiarkan seperti semula. Penggunaan pola dengan sistem empang parit ini, maka lahan

    yang akan di-reforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman

    mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu mangrove

    (Bengen, 2000 dalam Budihastuti, 2013).

    Gambar 2. Model empang parit

    Kepadatan mangrove tersebut akan mempengaruhi kesesuaian sistem budidaya

     perikanan yang diterapkan, karena produktivitas tambak  silvofishery sangat tergantung pada bahan-bahan organik yang berasal dari dekomposisi serasah tumbuhan mangrove.

    Kepadatan vegetasi yang rendah cocok diterapkan untuk tambak ikan bandeng, sedangkan

    kepadatan vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan pada budidaya udang dan

    kepiting bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau ( Rhizophora

    mucronata) atau dapat juga menggunakan jenis api-api ( Avicennia marina) (Budihastuti

    2013).

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    13/21

    Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati,

    dimana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman polowijo,dengan jangka waktu 3-5

    tahun masa kontrak (Budi Satriya 2014).

    Empang Parit Disempurnakan

    Wanamina dengan empang parit yang disempurnakan (Gambar 3). Lahan untuk

    hutan mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang terpisah.

    Gambar 3. Model empang parit yang disempurnakan

    Untuk memelihara ikan/udang kanal berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman sekitar

    40-80 cm dari muka pelataran digunakan modifikasi disain dasar tersebut, maka luasan

     perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara ikan/udang dapat disesuaikan

    hingga mencapai 50%. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih

    dan baronang, serta udang dan kepiting bakau, dapat dipelihara secara intensif di kanal

    tersebut.

    Sistem Komplangan (Selang-seling)

    Sistem komplangan (Gambar 4) merupakan suatu sistem  silvofishery dengan desain

    tambak berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan ditanami mangrove.

    Lahan untuk mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran

    air dengan dua pintu air yang terpisah. Luas areal yang akan digunakan untuk  silvofishery

    dengan model ini disarankan antara 2-4 ha, sehingga nantinya akan dikembangkan ukuran

    tambak yang standar untuk memelihara ikan/udang minimal adalah 1 ha (50%). Model ini

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    14/21

    merupakan suatu metode budidaya air payau dengan input yang rendah dan menghasilkan

    dampak negatif yang minimal terhadap lingkungan (ekosistem).

    Sistem komplangan yang diterapkan tegak lurus dengan garis pantai (sejajar aliran

    sungai) kemungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di dalam areal

     greenbelt . Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman sumberdaya alam

    hayati.

    Gambar 4. Wanamina model komplangan

    Beberapa Penerapan Wanamina Di Indonesia

    Wanamina telah berkembang di berbagai negara, seperti Indonesia, Hong Kong,

    Thailand, Vietnam, Philipina, dan Kenya. Di Indonesia sendiri wanamina telah berhasil

    dikembangkan di Indonesia antara lain di Sinjai (Sulawesi), Cikeong (Jawa Barat),

    Pemalang (Jawa Tengah), Riau dan Indramayui (Budihastuti 2013).

    Wanamina di Kab. Bintan, Riau

    Sistem  silvofishery  untuk melestarikan hutan mangrove saat ini sedang

    dikembangkan. Cara ini sebagai model tambak udang dan ikan bandeng di Sei Tiram, Desa

    Penaga, Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan.

    Tekniknya dengan menanam bakau di dalam tambak udang dan ikan bandeng

    menjadi salah satu upaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya

    kelestarian hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan biota lainnya. Pengembangan

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    15/21

    tambak udang dengan sistem silvofishery yang memadukan hutan mangrove jenis bakau

    dan api-api di dalam tambak udang dan ikan bandeng. Cara ini merupakan hasil kerja sama

    Kelompok Tani dan Nelayan Kharisma Bintan dengan perusahaan asal Jepang YL Invest

    Co Ltd di bawah komando, Naoto Akune.Setelah ditanami mangrove jenis bakau dan api-

    api, pertumbuhan udang dan ikan bandeng menjadi bagus (Tribun 2013).

    Sistem silvofishery yang sedang dikembangkan bekerja sama YL Invest Co Ltd di

    Bintan ini adalah pola mempertahankan vegetasi mangrove seluas 60 persen dan area

    kosong yang dijadikan kolam untuk budidaya udang dan ikan bandeng seluas 40 persen.

    Untuk tahap awal, luas areal tambak udang yang sudah dikembangkan dengan sistem

    silvofishery di Bintan sekitar 2 hektar. Seluas 60 persen atau 120.000 meter persegi

    ditanami bakau sebanyak 8 ribu pohon. Sisanya 40 persen atau 8.000 meter persegi

    dijadikan kolam untuk tempat budidaya udang dan ikan.

    Sistem silvofishery pada tambak udang ini cukup bagus sebagai kestabilan

    mikroklimat tambak. Udang dan ikan seolah-olah hidup di habitat aslinya. Satu sisi, pada

    saat musim panas, udang dan ikan dapat berteduh di bawah pohon bakau. Di sisi lain, akar

     pohon bakau menyediakan makanan alami bagi udang dan ikan. Luas areal tambak udang

    dan ikan bandeng yang akan dikembangkan dengan sistem silvofishery di Kab. Bintan

    lokasinya bisa mencapai 100 hektar ke depan (Tribun 2013).

    Wanamina di Kab Subang (Cikeong dan Blanakan), Jawa Barat

    Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery di Kabupaten Subang saat ini mengalami

     perkembangan yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan

    secara ekonomis bagi pembudidaya dan nelayan. Koperasi Langgeng Jaya di Ds. Langen

    Sari Kecamatan Blanakan Kab. Subang yang kemudian menginisiasi pengembangan

    silvofishery di Subang khususnya di Desa Langen sari. Sejak tahun 1990

    sebenarnya Silvofishery  telah mulai dikenalkan dan dikembangkan di Kabupaten Subang

    atas inisasi dari Perhutani yang kemudian disebut dengan konsep Wanamina.

    Melalui kelembagaan koperasi tersebut telah mampu menginisiasi dan mendorong

     pengelolan budidaya bandeng dan udang dengan konsep wanamina tersebut. Beberapa

    keuntungan ganda yang pembudidaya dapatkan dari penerapan konsep wanamina ini :

    Pertama : jika dibanding teknologi intensif, maka budidaya dengan konsep ini lebih

    terjamin keberlanjutannya walaupun produktivitas jauh lebih kecil; kedua : daya dukunglahan lebih terjaga karena memegang prinsip ramah lingkungan; ketiga : produk yang

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    16/21

    dihasilkan lebih aman karena tidak menggunakan pakan dan obat-obat kimiawi (organik);

    keempat : mampu menghasilan usaha turunan, antara lain eco-wisata (wisata wanamina),

    dan UMKM untuk pengolahan makanan dari buah mangrove (kripik dan sirup).

    Saat ini luas lahan tambak silvofishery yang ada di Desa Langensari saja telah

    mencapai lebih dari 265 ha. Total secara kesluruhan lahan silvofishery di Kabupaten

    Subang angkanya bisa mencapai lebih dari 2.000 ha (Sidik 2013).

    Wana mina di Cikiong and Blanakan merupakan bagian dari program pemerintah

    tentang manajemen mangrove dan rehabilitasi yang termasuk disitu program silvofisheries,

    yang dikelola oleh Perum Perhutani. Mereka menunjukkan apa yang bisa

    menyempurnakan rehabilitasi dan manajemen mangrove dalam program terkontrol dan

     penguatan. Semua pembudidaya harus menandatangani kontrak kerjasama.

    Cikiong mempunyai luas 6.600 ha tambak silvofishery air payau dengan 1.508

     pembudidaya silvo fisheries. Semua menggunakan pola Empang parit dengan rasio 4:1.

    Kementerian kehutanan mempunyai proyek penelitian untuk memodifikasi desainya.

    Modifikasi terdiri atas penambahan tanggul pada sekeliling pelataran tengah tambak yang

    ditanami mangrove dengan pintu air yang menghubungkan kanal dan areal mangrove di

    tambak. Hal ini akan membiarkan ketinggian air terkontrol untuk pohon mangrove (tidak

    mentolerir terlalu lama terendam) dan kanal (mampu untuk mempertahankan ketinggian air

    maksimal selama periode pemeliharaan ikan). Udang dipanen setiap hari menggunakan

     jebakan bambu dengan lampu penerang minyak tanah pada malam hari (impes). Kolam di

    areal silvofisheries cikeong mampu secara rutin memproduksi 1 kg udang/ha setiap malam.

    Udang yang ditangkap terdiri dari jenis Metapenaeus enssis.

    Gambar 5. Empang parit di Blanakan Jawa Barat

    MANGROVE

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    17/21

    Silvo fishery di Blanakan mempunyai area 5300 ha tambak silvo fishery air payau

    yang melibatkan 2060 pembudidaya. Umumnya merupakan pembudidaya tradisional

    dengan sistem “empang parit” seperti gambar 6 diatas. Juga terdapat kolam dengan rasio

    area mangrove terhadap air hingga secara penuh terisi dengan air payau. Silvofisheries di

    Blanakan utamanya memproduksi ikan nila dan bandeng.

    Wanamina di Kab. Sinjai (Sulawesi Selatan)

    Sistem Empang parit terletak di Tongke  –   tongke, Samataring, Kecamatan Sinjai

    Timur Sulawesi Selatan. Mulai dikembangkan pada tahun 1994. Merukan proyek dari

    Kementerian Kehutanan dan Universitas Hasanuddin. Melibatkan komunitas penanaman

    mangrove yang dimulai pada tahun 1984. Penanaman terdiri atas mangrove jenis

    Rhizophora (85%), dan lainnya jenis Avicenna, Bruguiera, dan Zonnetaria, pada lahan

    seluas 559 ha.

    Penanaman mangrove ini merupakan usaha untuk menghentikan erosi pantai pada

    desa nelayan. Tambak empang parit dibuat di dalam area dimana mangrove ditanam.

     Rhizophora mucronata yang pertama kali ditanam sudah berumur 11 tahun, dengan jarak

    tanam 0,5 m. Hal ini menyebabkan pertumbuhan yang sangat rapat (2,5 pohon/m2) dimanahal ini harus ada penjarangan untuk mengakomodir penerapan (pen culture) pada

    kepadatan 0,6 pohon/m2 di tengah pelataran tambak. Pola empang parit ini dapat dilihat

     pada gambar berikut.

    Gambar 6. Pola empang parit yang dikembangkan di Sinjai

    KANAL

    MANGROVE DI PELATARAN TAMBAK

    CRAB

    PEN

    CRAB

    PEN

    PEN

    PINTU AIR

    PINTU

    AIR

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    18/21

    Empang parit yang dikembangkan di Sinjai desain dan operasionalnya merupakan

     pengembangan dari pola empang parit yang lain di Sulawesi. Namun, tetap menunjukkan

    standar model empang parit yang trandisional. Pemanfaatan penuh kolam untuk

    memaksimalkan potensi dari sistem untuk produksi budidaya masih tetap diusahakan.

    Kolam 1 hektar dengan dua pintu air yang terbuat dari kayu. Saringan pintu

    dibiarkan terbuka setiap saat agar air senantiasa bisa masuk setiap waktu mengikuti

     pasang. Kanal yang ada di sekeliling tambak seluas 5 m dan mempunyai kedalaman

    maksimum (di bawah kedalaman pelataran) yaitu 1 m dan kedalaman minimum 0,7 m (rata

     –  rata 0,8 m). Air pasang rata rata setinggi 50 cm (range pasang yang relatif rendah akan

    mengurangi kapasitas pembuangan). Pelataran tengah mempunyai kedalaman air 50 cm

    hingga rendaman penuh pada pasang terendah, atau rata rata kedalaman air 20 -30 cm.

    Kolam terisi secara alamiah oleh juvenile dari beberapa spesies yang masuk ke

    tambak bersama air pasang. Spesies tersebut termasuk ikan Beronang (Siganus sp.),

    Belanak ( Mugil  sp.), ikan bandeng (Chanos chanos), Tilapia (Oreochromis sp.), udang (P.

    monodon, P. Merguiensis, dan Metapenaeus sp.), kepiting bakau (Scylla sp), jacks (Caranx

    spp), dan kakap putih ( Lates calcarifer ). Semuanya dapat dipanen dengan jaring insang

     pada saat pasang terendah ketika ikan dan udang terkumpul di kanal keliling tambak.

    Penerapan sistem silvofishery di Kab Sinjai pemeliharaan bandeng dan udang liar

    dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp. 5.122.000,- ha/tahun untuk 2 kali panen setiap

    tahun. Pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola

    komplangan menunjukkan produktifitasnya mencapai 7,1 kg/m3. Sedangkan pola empang

     parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 Kg .Namun

    demikian, kedua sistem ini turut membantu dalam meningkatkan income petani

     petambak(Budi Satriya 2014)

    Indramayu Jawa Barat

    Indramayu merupakan wilayah dari Kab. Indramayu yang terletak di pantai utara

    Provinsi Jawa Barat. Areal yang dimiliki seluas 8.221 ha. Iklimnya cukup panas (320 C  –  

    350C), kelembapan (99%), dan dengan rata rata curah hujan cukup rendah (1.281mm per

    tahun diatas 89 hari). Lebih dari 50% masyarakatnya bekerja di sektor bisnis perikanan

    (nelayan dan pembudidaya ikan dan pengolahan.

    Area hutan mangrove di Kab. Indramayu meliputi 2% (397 ha) dari total potensi

    hutan mangrove yang mencapai 17.782 ha. Disamping fungsi ekologi untuk mendukung

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    19/21

    kegiatan perikanan, hutan mangrove di Indramayu juga berperan sebagai  feeding ground  

     bagi burung air yang melakukan migrasi. Sejak kegagalan budidaya udang yang

    diakibatkan serangan virus, sekarang, kebanyakan dari pembudidaya memelihara ikan

     bandeng atau polyculture (bandeng dan udang) dan mendapatkan pendapatan tambahan

    dengan menjebak udang liar yang ada di tambak.

    Dukungan dari pemerintah lokal untuk aktifitas ini secara sukses dicapai melalui

    kegiatan silvo fishery dan restorasi mangrove. Mereka memfasilitasi penanaman lebih dari

    60.000 pohon mangrove di Karangsong, Singajaya dan Desa Brandong. Sekarang sudah

    lebih dari 100.000 pohon mangrove ditanam di 5 desa dan pemeliharaan di setting di Desa

    Karangsong untuk memastikan ketersediaan bibit mangrove untuk pengembanganya lagi.

    Pemalang, Jawa Tengah

    Pemerintah lokal Pemalang memulai program rehabilitasi dan aktifitasnya sejak

    1995. Mereka juga menjamin 50 ha area pesisirnya untuk areal rehabilitasi mangrove. Saat

    ini program reforestasi tersebut telah memproduksi banyak tambak air payau, 80% nya di

    Kec. Ulujami dengan tanaman mangrove di tengah pelataran tambak (central platform)

    atau sepanjang pematang. Dimulai pada Maret 2000, dilakukan implementasi budidaya

    udang ramah lingkungan di Kec. Ulujami, dengan sistem polyculture (udang dan bandeng)

    (Macintosh et al. 2002).

    Kesimpulan

    Konservasi daerah pesisir secara soft structure, dapat digunakan untuk

     perlindungan dan konservasi daerah pesisir. Disamping berperan dalam fungsi ekologis

    daerah pesisir, pohon mangrove juga mampu menjaga iklim mikro di daerah sekitarnya.

    Silvofishery atau wanamina, merupakan sistem tumpangsari antara ikan dan

    mangrove. Didasarkan atas peran hutan mangrove dalam menjaga keseimbangan ekologis

    daerah pesisir dan kemampuan dalam menstabilan iklim mikro yang di dibutuhkan pada

    kegiatan akuakulture.

    Pola minatani yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah sistem empang parit

    dan empang parit yang disempurnakan. Bebarapa daerah di Indonesia yang telah

    mengembangkan sistem wanamina adalah Kab. Subang (Cikeong, Blanakan), Kab.

    Indramayu, Kab. Pemalang, Kab. Sinjai, Kab. Bintan.

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    20/21

    Referensi

    Anon, 2012. Pengertian dan Definisi Silvofishery atau Wanamina. Available at:

    http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-definisi-

    silvofishery.html [Accessed May 4, 2014].

    Bintari Foundation, 2011. Lingkungan Pesisir dan Perubahan Iklim. Available at:

    http://www.bintari.org/index.php/in/lingkup-kerja/konservasi-pesisir/2-lingkungan-

     pesisir-cc [Accessed May 3, 2014].

    Budi Satriya, I.N., 2014. Sistem Wanamina (Sylvofishery) Sebagai Alternatif Pengelolaan

    Mangrove berbasis Mitigasi Bencana di Daerah Pesisir. Available at: http://pancor-

    mas.blogspot.com/2014/01/sistem-wanamina-sylvofishery-sebagai.html [Accessed

    May 4, 2014].

    Budihastuti, R., 2013.  Model dan Strategi Optimasi Pengelolaan Tambak Wanamina

     Berwawasan Lingkungan di Pesisir Semarang . Universitas Diponegoro. Available at:

    http://eprints.undip.ac.id/40474/.

    Forester, I., 2011. Peranan, Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove. Available at:

    http://ekologi-hutan.blogspot.com/2011/10/peranan-manfaat-dan-fungsi-hutan.html

    [Accessed May 1, 2014].

    Indonesia Wetlands, Hutan Bakau. Available at:

    http://indonesia.wetlands.org/Kegiatankami/Mangrove/tabid/2839/language/id-

    ID/Default.aspx [Accessed May 1, 2014].

    IPB, 2007. Ekologi Laut Tropis - Ekosistem Mangrove. Available at:

    http://web.ipb.ac.id/~dedi_s/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Ite

    mid=58 [Accessed May 1, 2014].

    Kementerian Lingkungan Hidup, 2013. Kementerian Lingkungan Hidup - Program

    RANTAI EMAS KLH “Bersama Memulihkan Eksosistem Mangrove.” Available at:

    http://www.menlh.go.id/program-rantai-emas-klh-bersama-memulihkan-eksosistem-

    mangrove%E2%80%9D/ [Accessed May 1, 2014].

    Keren, A., 2012. Permasalahan Dalam Lingkungan Ekosistem Pesisir. Available at:http://adzriair.blogspot.com/2012/11/permasalahan-dalam-lingkungan-ekosistem.html

    [Accessed May 3, 2014].

    LAKPESDAM TUBAN, 2009. Krisis Ekologi Laut dan Lingkungan Pesisir. Available at:

    http://lakpesdamtuban.blogspot.com/2009/06/krisis-ekologi-laut-dan-lingkungan.html

    [Accessed May 3, 2014].

    Macintosh, D.J. et al., 2002. Thematic Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp

     Aquaculture, Case Studies 1-6 , Available at:

    http://library.enaca.org/Shrimp/Case/Thematic/Annexes_Cases_1-6.pdf#page=89.

  • 8/19/2019 modifikasiiklimmikrodenganwanamina-140513114224-phpapp02

    21/21

     Natsir Amin, M., 2013. Petunjutk Teknis Model Percontohan Tambak Model Silvofishery

    dengan Penerapan Best Management Practice (BMPs). Available at:

    http://umegajayaakuakultur.blogspot.com/2013/09/silvofishery.html [Accessed May

    4, 2014].

    Omtim, 2013. Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir. Available at:

    http://www.omtim.com/62/permasalahan-pembangunan-wilayah-pesisir/ [Accessed

    May 3, 2014].

    Putuhena, J.D., 2011. Perubahan Iklim dan Resiko Bencana Pada Wilayah Pesisir dan

    Pulau Pulau Kecil. In Seminar Nasional Pengembangan Pulau Pulau Kecil . pp. – 

    . Available at: paparisa.unpatti.a.id/paperrepo/ppriteminolnk.phpid.

    Rizal, S., 2009. Tambak Silvofishery di Kawasan Delta Mahakam. Available at:

    http://rizalerosa.blogspot.com/2009/05/mangrove-dan-tambak.html [Accessed May 2,

    2014].

    Sidik, C., 2013. Silvofishery, Budidaya Berdasarkan Prinsip Keseimbangan. Available at:

    http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=839 [Accessed May 4, 2014].

    Silva, S.S. De & Soto, D., 00. Climate hange and aquaulture : potential impats ,

    adaptation and mitigation. In K. Cochrane et al., eds. Climate change implications for

     fisheries and aquaculture:overview of current scientific knowledge. Rome: FAO, pp.

    151 – 213.

    Siregar, R.M., 2010.  Pengaruh Iklim Mikro Terhadap Kadar Air Serasah di Hutan Tri

     Dharma Kampus Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara. Available

    at: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22508/7/Cover.pdf.

    The Planet, 2008. Dampak Perubahan Iklim di Jawa Tengah. Available at:

    http://theordinary.wordpress.com/2008/04/20/dampak-perubahan-iklim-di-jawa-

    tengah/ [Accessed April 28, 2014].

    Tribun, 2013. Teknik Silvofishery Bikin Bandeng & Udang Cepat Berkembang Budidaya

    Ikan. Available at: http://budidaya-ikan.com/teknik-silvofishery-bikin-bandeng-

    udang-cepat-berkembang/ [Accessed May 4, 2014].

    Wibowo, K. & Handayani, T., 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan

    Mina Hutan (Silvo Fishery). Teknik LIngkungan, (), pp.–. Available at:

    eurnal.bppt.go.id Beranda ol , No (006) ibowo .

    Wikipedia, 2013. Microclimate. Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Microclimate

    [Accessed May 4, 2014].