Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s Syekh Abdul Latif Syakur (1882-1963):
Tafsir Kebangsaan dari Ranah Minang Abad XX
Ujian Tesis
Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai Salah Satu Syarat Uintuk Memperoleh Gelar Magister pada Bidang
Filologi Islam
Oleh:
Zikra Fadilla
21151200100055
Pembimbing:
Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum
MAGISTER PENGKAJIAN ISLAM
KONSENTRASI FILOLOGI ISLAM
SEKOLAH PASCASARJANA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M/ 1441 H
i
PENGANTAR PENULIS
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah
swt., yang telah melimpahkan haidayahNya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul: Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s Syekh Abdul Latif Syakur (1882-
1963): Tafsir Kebangsaan dari Ranah Minang Abad XX.
Salawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi dan
RasulNya.
Buku ini merupakan hasil dari hasil penelitian tesis
penulis sebagai syarat meraih gelar magister pada Sekolah
Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama
menjalani (kembali) kehidupan mahasiswa, saya memperoleh
banyak ilmu dan pengetahuan baru. Selama menempuh
pendidikan di kampus dengan visi misi “membaca dunia
dibaca dunia” ini, penulis berterima kasih kepada Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
(Kemendikbud RI) atas kepercayaannya dengan memberikan
tunjangan pendidikan melalui program Beasiswa Unggulan
(BU).
Dosen pembimbing Dr. M. Adib Misbachul Islam,
M.Hum, yang tak hanya sebatas membimbing penulis, namun
selalu mem-follow up perkembangan tesis penulis di luar
jadwal bimbingan tesis. Penulis ucapkan terima kasih banyak
atas keikhlasannya dan kesabarannya membimbing penulis,
sehingga penelitian ini menjadi karya ilmiah yang laik.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Sukron
Kamil, MA., Dr. Fuad Jabali, MA., Dr. Imam Sujoko, MA
telah meluangkan waktu untuk mengkritik tulisan ini agar
menjadi karya ilmiah yang baik. Dan juga kepada para dosen
di SPs UIN Jakarta yang telah membagikan ilmunya, Prof. Dr.
Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. Suwito, MA., Prof. Dr.
Oman Fathurahman, M.Hum, Prof. Iik Arifin Mansurnoor,
MA, Ph.D., serta dosen-dosen lainnya yang berkontribusi
dalam meningkatkan cakrawala langit ilmu penulis.
ii
Secara khusus, terima kasih kepada orangtua. Terutama
kepada Ama (my mood booster) yang tak putus-putusnya
mendoakan dan mengikhlaskan saya untuk melanjutkan studi
ke jenjang Magister. Kepada Adik-adik: Fitri Ramadhanti,
S.Sos., Tazkia Aini, Muhammad Fajri, Lukman Nul Hakim,
serta Akbar Putra Syafriyanda sebagai pemacu semangat agar
segera menuntaskan buku ini. Terima kasih kepada Mak Wo,
Mak Ngah, Mak Mpung, Mak Cik, serta saudara-saudara yang
turut berkontribusi secara moril dan materil. Dan tak lupa
pula terima kasih kepada Rahmat Zulyatama S.Hum yang
turut menyokong selama proses penelitian ini, semoga juga
segera dapat menyelesaikan Magister.
Penelitian ini dapat selesai dengan baik karena
kemurahan hati ahli waris almarhum Syekh Abdul Latif
Syakur yaitu Ibu Khuzaimah (cucu dari Syekh Abdul Latif
Syakur) atas keikhlasan beliau dalam mengizinkan penulis
untuk melakukan penelitian terhadap Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s ini dan juga Uda Asfi (anak Ibu Khuzaimah)
yang sangat welcome kepada saya, sehingga saya dapat
memperoleh data tambahan terkait almarhum Syekh Abdul
Latif Syakur, kepada mereka saya haturkan terima kasih
banyak. Juga terima kasih kepada mereka yang berada di
Padang, Sumatera Barat: Dr. Ahmad Taufik Hidayat, M.Hum
yang mendorong saya untuk terjun ke dunia manuskrip hingga
menimba ilmu di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
juga selalu menyemangati sekaligus memberikan ide-ide
untuk penelitian. Tak lupa pula terima kasih saya ucapkan
kepada musafir cinta Bang Chairullah, MA.Hum dan Kak
Rizhasca Samra, S.Hum yang berkenan menerima kedatangan
saya setiap kali kembali ke Ranah Minang dan juga
menginspirasi saya dalam menyelami dunia manuskrip.
Kepada Bang Apria Putra, MA.Hum yang bersedia
memberikan informasi terkait objek penelitian ini. Reflinaldi,
S.Hum., M.Hum teman sejawat dalam bertukar pikiran dan
berbagi wawasan. Kepada Novil Cut Nizar, M. Psi. Psikolog,
iii
teman sekaligus psikolog yang selalu menyemangati dalam
penyelesaian tesis ini.
Saya juga berterimakasih kepada kawan-kawan
seperjuangan dalam studi S2 di SPs UIN Jakarta, terutama
kepada Nur Mardhiah, Restia Gustiana, Aam Aminah, Nur
Ikhlas, Oga Satria, Khaidir Hasram, Ahmad Hifni, Helmi
Hidayatullah, Intan Zakiyyah, Ahwazy Anhar, Reni
Ilmayanti, Husni Mubarok, serta seluruh teman S2 angkatan
2015/2016. Dan juga senior S3 angkatan 2015/2016: Bang
Zia, Pak Ari, Bundo Fitriliza, Pak Mardian, dan lainnya yang
tak dapat penulis sebutkan satu per satu. Tak lupa kepada
senior dan teman-teman diskusi lintas disiplin dan angkatan:
Bang Syarif, Bang Khusairi, Babe Rifki, Bang Fadlur, Bang
Alwy, Bang Sahlan, Bang Rais, Uda Akhyar, Uda Hanif, Pak
Isnaini, Uni Nengsih, Nila, Diah, Kak I’ah, Kak Inda, Kak
Lana, Uni Nurul, Kak Nur, Kak Hasnah, Kak Via, Kak Ika
dan mereka yang tak mungkin untuk disebutkan semua.
Terkhusus juga kepada keluarga baru selama menimba ilmu di
SPs UIN Jakarta: Kak Vemmy, Kak Tiara, Kak Amie, Kak
Nabilah, Eryz, Adek Septri, dan Mas Ikfil.
Ciputat, Oktober 2020
Penulis,
Zikra Fadilla
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengahdirkan suntingan
teks Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s (NTYN) yang
ditulis oleh Syekh Abdul Latif Syakur (1882-1963) pada
tahun 1949 menggunakan aksara Jawi. Di samping
menyunting, penelitian ini juga menggali, mengungkap, dan
menjelaskan ideologi dan pemikiran Syekh Abdul Latif
Syakur. Dalam naskah ini, Syekh Abdul Latif Syakur
menafsirkan ayat-ayat yang diawali dengan redaksi ya> ayyuha> al-na>s yang dikontekstualisasikan dengan peristiwa dan
kondisi sosial yang terjadi di tempat bermukimnya pada masa
itu.
Penelitian ini berjenis kualitatif, dengan
mengombinasikan pendekatan filologis dan analisis wacana
kritis untuk menganalisis data penelitian. Pendekatan
filologis digunakan untuk menghasilkan teks yang siap dibaca
dan dipahami oleh masyarakat umum. Analisis wacana kritis
model Norman Fairclough digunakan untuk mengungkap
konteks, pemikiran dan ideologi Syekh Abdul Latif Syakur
berdasarkan teks NTYN.
Penelitian ini menemukan, NTYN mengisi kekosongan
ruang penulisan tafsir di Nusantara pada rentang tahun 1940-
1948 dan juga merupakan teks yang diterima oleh masyarakat
setempat meskipun ia tidak disebarkan serta dicetak secara
masif, karena teks ini diyakini merupakan isi dari dakwah
lisan yang dilakukan Syekh Abdul Latif Syakur. Berdasarkan
analisis terhadap teks naskah tafsi>r a>ya>t ya< ayyuha> al-na>s dengan pendekatan analisis wacana kritis itu, penelitian ini
membuktikan bahwa Syekh Abdul Latif Syakur menolak dan
mengkritik aktifitas kolonial yang dilakukan Belanda baik
pada masa prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. Hal
ini tercermin melalui karya tafsirnya yang membahas tentang
persatuan, kesetaraan, persamaan, dan rasa cinta tanah air.
Pembahasan tersebut juga disandarkan pada doktrin Islam
yaitu tauhid. Temuan ini juga menunjukkan bahwa Syekh
Abdul Latif Syakur dalam mengarang teks NTYN ini
terpengaruh oleh suasana lingkungannya pada masa itu. Teks
NTYN ini menunjukkan bahwa Syekh Abdul Latif Syakur
adalah ulama yang memiliki rasa nasionalis tanpa
mengabaikan sisi religiusnya.
Temuan penelitian di atas sejalan dengan kajian yang
telah dilakukan Islah Gusmian (2013), Jajang A Rohmana
(2013), Sulaiman Ibrahim (2012), dan Johanna Pink (2010)
bahwa penulisan teks tafsir di Indonesia dipengaruhi oleh
ideologi, kepentingan dan background sosiokultural-
intelektual para mufassirnya. Hal ini berseberangan dengan
Abu Zayd yang mengecam keras tafsir-tafsir bermuatan
ideologis. Menurutnya Ideologi dalam penafsiran secara
umum, merujuk pada adanya bias, keperluan, kecenderungan,
dan tujuan-tujuan politis pragmatis serta keagamaan dalam
sebuah karya tafsir.
Kata kunci: ideologi, teks, Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya< Ayyuha> al-Nas, dan Syekh Abdul Latif Syakur
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan
dalam penelitian ini mengacu pada ALA-LC
ROMANIZATION yang terdapat pada tabel berikut:
A. Konsonan
Arab Latin Arab Latin
}D ض A ا
{T ط B ب
}Z ظ T ت
‘ ع Th ث
Gh غ J ج
F ف }H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dh ذ
M م R ر
N ن Z ز
H ه،ة S س
W و Sh ش
vii
Y ي }S ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fatḥah A A
Kasrah I I
D}ammah U U
2. Vokal Rangkap atau Diptong
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
... ي Fatḥah dan
ya Ay
A dan Y
... و Fatḥah dan
wau Aw A dan W
Contoh:
H{awl :حول Bayna :بين
C. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
Fatḥah dan ــا
alif a>
A dan garis
di atas
viii
Kasrah dan ــي
ya>’ i>
I dan garis
di atas
Ḑammah dan ــو
waw u>
U dan garis
di atas
D. Ta’ Marbūt}ah.
Transliterasi ta’ marbūt}ah (ة) di akhir kata, bila dimatikan
ditulis h.
Contoh:
Madrasah :مدرسة Mar’ah : مرأة
(ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab
yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti
shalat, zakat dan sebagainya, kecuali dikehendaki lafadz
aslinya)
E. Shiddah
Shiddah/Tashdīd di transliterasi ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah
itu.
Contoh:
Shawwa>l :شوال <Rabbana :ربنا
F. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan ال dilambangkan
berdasarkan huruf yang mengikutinya. Apabila diikuti
huruf syamsiyah maka ditulis sesuai dengan huruf yang
bersangkutan, dan jika diikuti huruf qamariyah ditulis al.
Contoh:
al-rah}ma>n :الرحمن al-Qalam : القلم
iv
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS ............................................................ i
DAFTAR ISI ................................................................................ iv
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................ 1
B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah .................. 9
C. Tujuan Penelitian ............................................................ 10
D. Manfaat Penelitian .......................................................... 11
E. Kajian Terdahulu yang Relevan ...................................... 11
F. Metode Penelitian ........................................................... 16
G. Sistematika Penulisan ..................................................... 22
BAB II TEKS, WACANA, DAN IDEOLOGI
A. Teks dan Konteks ............................................................ 24
B. Wacana, Analisis Wacana dan Analisis Wacana Kritis .. 31
C. Refleksi Ideologi dalam Teks .......................................... 35
D. Kebangsaan dan Nasionalisme ........................................ 39
BAB III SYEKH ABDUL LATIF SYAKUR DALAM DINAMIKA
PENULISAN TAFSIR NUSANTARA
A. Sumatera Barat Pada Paruh Awal Abad XX ................... 44
B. Biografi Syekh Abdul Latif dan Karya-karyanya ........... 52
C. Syekh Abdul Latif Syakur dalam Tradisi Penulisan Tafsir di
Nusantara ......................................................................... 62
BAB IV NASKAH DAN TEKS TAFSI>>R A>YA>T YA> AYYUHA> AL-NA>S
A. Deskripsi Naskah ............................................................. 76
B. Ringkasan Isi ................................................................... 79
C. Pengantar dan Pertanggungjawaban Edisi ...................... 87
D. Teks Tafsi>>r A>Ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s .............................. 90
v
BAB V PEMIKIRAN SYEK ABDUL LATIF SYAKUR DALAM
TEKS NASKAH TAFSI>R A>YA>T YA> AYYUHA> Al-NA>S A. Tauhid dalam Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s ................ 151 B. Gagasan Persatuan Umat ................................................ 160
C. Gagasan tentang Kebebasan dan Kesetaraan .................. 173
D. Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s Sebagai Kritik Terhadap
Aktifitas Kolonialisme .................................................... 190
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 199
B. Saran ................................................................................ 201
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 203
GLOSARIUM .............................................................................. 212
INDEKS ....................................................................................... 217
BIODATA PENULIS................................................................... 224
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manuskrip atau naskah kuno (selanjutnya akan disebut
naskah) merupakan salah satu bukti eksistensi bahwa
Indonesia tidak hanya negara yang dilimpahi kekayaan dan
keindahan alam semata. Naskah ialah dokumen tertulis yang
berisi ungkapan perasaan dan pikiran seseorang di masa lalu
sebagai hasil budaya bangsa di masa lampau,1 sehingga naskah
menjadi sumber primer autentik yang mampu mendekatkan
jarak masa lampau dan masa sekarang.2 Naskah kuno sebagai
peninggalan tertulis memiliki kedudukan yang sangat penting,
karena banyak memuat informasi yang lebih jelas dan luas
tentang kehidupan manusia. Bahkan keberadaannya termasuk
cagar budaya yang harus dilindungi sesuai Undang-Undang
No. 11 tahun 2010 tentang benda cagar budaya.3
1 Siti Zahra Yudiafi dan Mu’jizah, Filologi (Jakarta: Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka, 2001), h. 3.2. 2 Oman Faturrahman [sic] (Fathurahman), dkk, Filologi
dan Islam Indonesia (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010),
h. 3. 3 Undang-Undang No.11 tahun 2010 pasal 1 tentang Cagar
Budaya, bahwa Benda Cagar Budaya adalah benda buatan manusia.
Baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki
hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan
manusia. Dalam UU No.11tahun 2011 pasal 5 perihal Kriteria Cagar
Budaya, benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai
Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar
Budaya apabila memenuhi kriteria: berusia 50 (lima puluh)tahun atau
lebih; mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun; memiliki
arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan; dan memiliki nilai budaya bagi penguatan
kepribadian bangsa. Diakses pada 02 November 2017.
2
Naskah sebagai rekam jejak budaya bangsa masa lampau
memuat berbagai informasi kehidupan masa lalu yang dapat
memperlihatkan keterkaitan dan keterhubungannya dengan
masa kini, baik dalam bidang pemikiran maupun praktik
kehidupan sosial sehari-hari. Pengkajian terhadap peristiwa
masa lalu tak hanya mengungkap peristiwa penting apa yang
terjadi di masa itu, tetapi juga dapat merekonstuksi dan
mengembangkan budaya saat ini atau bahkan budaya di masa
depan. Naskah di Indonesia sangat beragam jenisnya, di
antaranya naskah sastra, sejarah, budaya, hukum, pendidikan,
keagamaan, dan lain-lain.
Masuknya Islam di Indonesia memberikan kekhasan
tersendiri pada tradisi tulis-menulis dan penyalinan naskah.
Dalam konteks ini, naskah berperan dalam menggambarkan
proses Islamisasi yang melahirkan ulama-ulama yang
produktif. Hal ini tampak jelas dari naskah-naskah yang
ditemukan ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang
berbahasa daerah. Keberagaman bahasa naskah dan juga
jenisnya menunjukkan bahwa beragamnya sudut pandang para
cedikiawan terhadap realitas kehidupannya. Membuat naskah
sebagai refleksi dari kehidupan sosial dan bahkan juga
dijadikan sarana untuk mengkritik oleh penulisnya. Oleh
karena itu, naskah merupakan sumber penting yang tak dapat
diabaikan dalam melakukan rekonstruksi sejarah.
Namun demikian, penelitian bersumber naskah masihlah
kurang peminat, karena sebagian orang menganggap bahwa
naskah bukanlah sesuatu yang penting, sehingga tidak pelu
dijaga. Adanya pemikiran seperti itu membuat banyak naskah
yang baik secara sengaja maupun tidak, ditelantarkan bahkan
dibakar.4 Oleh sebab itu, penelitian berbasis naskah perlu
dilakukan dan bahkan diperhatikan sebagai upaya untuk
4 Lihat Chairullah, Naskah Ijazah dan Silsilah tarekat
Kajian Terhadap Transmisi Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Minangkabau (Ciputat: Sakata Cendikia, 2014), h. 1.
3
menyelamatkan naskah-naskah secara fisik maupun dari segi
isi/kandungan naskah itu dengan berbagai pendekatan.
Penelitian ini akan meneliti sebuah naskah yang diberi
judul langsung oleh penulisnya dengan Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s (selanjutnya disebut Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s dan disingkat NTYN). NTYN merupakan karya Syekh
Abdul Latif Syakur, sebuah naskah keagamaan yang berisi
tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang diawali dengan kalimat ya> ayyuha> al-na>s. Naskah ini merupakan salah satu dari tiga
bundel naskah tafsir karya Syekh Abdul Latif Syakur yang
tersimpan di Yayasan Bani Latif, desa Balai Gurah Kecamatan
Ampek Angkek Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat.
Berbeda dengan penyusunan tafsir pada umumnya, yang
disusun secara berurutan mulai dari surah al-Fa>tih}ah hingga
surah al-Na>s, sesuai dengan tertib surah dan ayat yang terdapat
dalam mushaf al-Qur’an, naskah tafsir ini disusun berdasarkan
ayat-ayat yang dimulai dengan kalimat Ya> Ayyuha> Al-Na>s (sekalian manusia). Penulisan teks naskah tafsir ini hampir
sama dengan tafsir modern, dimana ayat ditulis di margin
sebelah atas halaman naskah, dan tafsir diletakkan pada bagian
margin sebelah bawah. Kedua bagian ini dibatasi dengan
sebuah garis.
Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s dapat
diperlakukan sebagai codex unicus karena berdasarkan
pengamatan penulis tidak ditemukannya salinan naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s ini. Naskah ini telah terdaftar dalam
katalog dalam jaringan Puslektur Kemenag tahun 2015.
Sebagai naskah tunggal atau codex unicus yang merupakan ciri
khas dari nakah tafsir ya> ayyuha> al-na>s, selain adanya
perbedaan sistematika dan struktur penafsiran dengan kitab
tafsir pada umumnya, dalam naskah ini Syekh Abdul Latif
Syakur sebagai pengarang menginformasikan melalui halaman
4
kedua yang berisi kolofon5 pada bagian pendahuluan naskah
tersebut, latar belakang kondisi keadaan saat mengarang tafsir
ayat-ayat al-Quran yang dimulai dengan ya> ayyuha> al-na>s, sebagai berikut:
“Sekianlah pendahuluan karangan ini sementara kita di
dalam suasana darurat dijelma oleh musuh. Wa tawakkal ‘ala> Alla>h!
Hormat diri hamba wa al-sala>m ‘alaykum
Haji Abdul Lathif Syakur
Sabtu 19 Jumadil awal 1368 H
19 Maret 1949 M
Di Balingka sedang bertempur”
Berdasarkan kutipan kolofon di atas ada beberapa
karakteristik yang terdapat di dalam tafsir ya> ayyuha> Al-Na>s yang dikarang dan ditulis oleh Syekh Abdul Latif Syakur,
yaitu; pertama, pada kutipan kolofon naskah, dijelaskan bahwa
saat naskah ini diproduksi atau ditulis dalam keadaan darurat.
kedua, naskah ini dikarang pada tahun 1949, menurut penulis
bertepatan dengan agresi militer Belanda, sehingga pada pada
halaman-halaman berikutnya, Syekh abdul Latif Syakur
membahas tentang kemerdekaan. Hal ini dipertegas dengan
teks-teks yang termuat dalam naskah tafsir ya> ayyuha> al-na>s,
5 Kolofon (colophon) merupakan catatan penutup dari
autor/penyalin naskah, terletak di akhir naskah namun bukan menjadi
bagian dari teks tersebut. Umumnya, kolofon berisi identitas
autor/penyalin, waktu dan tempat penyalinan, serta informasi lain
yang berhubungan dengan aktifitas penyalinan naskah (lihat Oman
Fathurahaman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, 96, bandingkan
dengan Siti Zahra Yudiafi dan Mu’jizah, Filologi, h. 4.34).
Terkadang kolofon juga terdapat di awal naskah, kebanyakan
terdapat pada naskah Arab. Namun sangat jarang ditemukan pada
naskah Nusantara (keterengan ini disampaikan oleh Oman
Fathurahman pada 10 Mei 2017, pukul 11.30 WIB).
5
salah satunya:
“Ya> ayyuha> al-na>su ittaqu> rabba-kum al-ladhi> khalaqa-kum min nafs wa>h}idah wa khalaqa min-ha> zaujaha> wa baththa min-huma> rija>lan kathi>ran wa nisa>’an – wa ittaqu> Alla>h al-ladhi>na tasa>alu>na bih wa al-arh}a>m inna Alla>h ka>na ‘alaykum qari>ba>. Al-nisa>’: 1
Hai sekalian manusia – anak cucu adam semuanya!
Takutlah kamu akan Tuhanmu yang telah mengadakan
kamu daripada diri yang satu Adam diadakan daripada
nya istrinya Hawa dan dikembangkannya daripada
keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan – dan
takutlah kamu akan Allah yang selalu kamu meminta
dengan Dia dan takutilah s}ilat al-rahmi. Bahwasanya
Allah adalah Dia di atas kamu memperhatikan dan
menjaga.
Ayat ini sungguhpun turunnya di negeri Makkah
ditujukan kepada orang-orang di sana semasa al-Qur’a>n
turun tetapi seruannya sampai kemana pojok-pojok yang
berisi manusia, maka manusia semuanyalah yang
diserukan karena tiap-tiap seruan terwujud kepada suatu
bangsa tentu segala yang sebangsa itu terkena sama
sekali. Umpamanya: jika orang berkata: bangsa
Indonesia tidak bisa maju orang Indonesia tidak bisa
merdeka. Tentulah asal orang itu bangsanya dan tanah
airnya dia merasa hati. Sampai kepada masa yang
beratus-ratus tahun dibelakang asal ternama bangsa
manusia juga. Bukanlah orang yang semasa perkataan itu
keluar dari yang mengatakan - atau bukan orang yang
semasa tahun 1923 M umpamanya.”
Selain dua hal tersebut setelah membaca seluruh isi
naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s ini, penulis menemukan
keunikan lainnya yaitu diselipkannya ayat al-Qur’an yang
diawali dengan kata ya> bani> a>dam. Adanya keunikan seperti
itu, memungkinkan adanya berbagai hal yang ingin
disampaikan oleh Syekh Abdul Latif Syakur melalui
tulisannya. Hal ini tercermin dalam redaksi-redaksi yang
6
termuat dalam kolofon naskah tersebut yang mengindikasikan
bahwa adanya motif atau kepentingan tertentu yang ingin
diungkapkan oleh Syekh Abdul Latif Syakur melalui naskah
Tafsi>rya> ayyuha> al-na>s. Terdapat beberapa faktor yang menjadikan naskah ini
sebagai objek yaitu: pertama, naskah ini ditulis oleh Syekh
Abdul Latif Syakur seorang ulama yang eksistensinya tidak
seterkenal rekan seperguruannya semisal Haji Abdul Karim
Amrullah (HAKA atau Inyiak Rasul), Syekh Sulaiman Ar-
Rasuli (salah seorang pendiri PERTI), Syekh Djamil Djambek
(ahli Falak), dll saat menimba ilmu kepada Syekh Ahmad
Khatib al-Minangkabawi.6 Jika melihat dari peta keilmuan itu,
maka dapat dipahami bahwa Syekh Abdul Latif Syakur hidup
pada masa-masa terjadinya konfrontasi dan polemik antara
Kaum Tuo dan Kaum Mudo di Sumatera Barat.
Kedua, karena penulis naskah ini kurang terkenal,
sehingga membuat karyanya juga tidak terekspos dan tidak
terhimpun dalam inventarisasi karya tafsir yang ditulis oleh
ulama-ulama Nusantara. Ketiga, berdasarkan kolofon naskah
ini ditulis pada awal tahun 1949 yang mungkin bertepatan
dengan agresi militer Belanda II. Keempat, di dalam NTYN
terdapat penjelasan tentang tauhid yang selanjutnya dikaitkan
dengan term-term kebebasan semisal kemerdekaan, persamaan
hak, dan prinsip-prinsip HAM. Sehingga nantinya teks ini akan
menunjukkan arah ideologi atu pemikiran Syekh Abdul Latif
Syakur berdasarkan kondisi Minangkabau pada abad XX.
Akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan masa-
masa terjadinya benturan sosial dan berkembangnya ideologi
hampir di seluruh dunia. Meningkatnya kesadaran akan hak
asasi manusia, hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri di
seluruh belahan bumi dan rasa yang kuat untuk terlepas dari
penjajah. Begitu pula dengan bangsa Indonesia yang ditandai
6 Firdaus, dkk, Beberapa Ulama di Sumatera Barat
(Padang: Puslit Press, 2011), h. 240.
7
dengan muculnya kesadaran pemuda-pemuda Indonesia
terpelajar ingin menentukan nasib bangsanya yang tertindas.
Keinginan itu nampak dari kegigihan menentang dan melawan
kolonialisme pada masa prakemerdekaan. Dan juga
pascakemerdekaan ditunjukkan dengan semangat untuk
mempertahankannya. Semangat itu juga mengalir pada Syekh
Abdul Latif Syakur yang direfleksikannya melalui teks Naskah
Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s. Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s menjadi saksi bisu bagaimana seorang ulama lokal yang
tidak terkenal di pentas nasional, namun memiliki semangat
untuk menentang dan mengkritik kolonialisme yang dijalankan
oleh Belanda.
Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa
suatu karya tulis dapat dijadikan sebagai medium pengungkap
perasaan suatu individu. Pramono dan Ahmad berpendapat
bahwa naskah-naskah yang disalin dan ditulis dimaksudkan
untuk menyebarkan pengajian dan mendebat ataupun
mengkritik pendapat orang lain serta untuk mengkritik
keadaan sosial. Hal ini sekaligus memberi kesan bahwa apa
yang dilakukan para ulama dalam mempertahankan paham
keagamaannya, adalah bagian dari kebiasaan berdebat yang
dikembangkan di kalangan ulama.7 Berdasarkan pernyataan
Pramono dan Ahmad tersebut jika merujuk pada kolofon dan
teks yang termuat di dalam NTYN, mengindikasikan naskah
ini bertujuan untuk menyebarkan ajaran Islam sembari
mengkritik kondisi sosial pada masa itu.
Sejalan dengan Pramono dan Ahmad, sejatinya suatu
karya tidak lahir dengan sendirinya dan tentu karya yang
tercipta tidak akan terlepas dari keadaan internal maupun
eksternal pengarangnya. Begitupun dalam melahirkan karya
7 Pramono dan Zahir Ahmad, “Beberapa Catatan Terhadap
Kitab-Kitab Karya Ulama Minangkabau Pada Permulaan Abad XX”,
WACANA ETNIK Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 4, No. 2,
(2013), h. 112.
8
tafsir. Dalam melakukan penafsiran, seorang penafsir tidak
akan terlepas dari tiga hal yaitu: 1. Para penafsir adalah manusia yang akan membawa
muatan-muatan kondisi kemanusiaan yang mereka
alami.
2. Penafsiran tidak terlepas dari bahasa, sejarah, dan
tradisi dimana penafsir hidup.
3. Teks sejatinya tidak menjadi wilayah bagi dirinya
sendiri. Sebab sebagai teks, tafsir juga mempunyai
konteks sendiri.8
Dengan realitas tersebut, merupakan hal yang wajar jika
muncul berbagai jenis tafsir sesuai kepentingan dan ideologi9
pengarangnya.
Usaha untuk menganalisis ideologi dengan tafsir sebagai
objeknya belumlah banyak dilakukan. Namun beberapa
intelektual sudah mulai melakukannya. Islah Gusmian
misalnya, dalam bukunya yang berjudul “Khazanah Tafsir
Indonesia Dari Hermeneutika hingga Ideologi”10 telah
menganalisis ideologi yang berkembang dalam tradisi
penulisan tafsir di Indonesia dengan mengadopsi metode
analisis wacana kritis yang dikemukakan Teun A. Van Dijk.
Kajian serupa juga dilakukan oleh Jajang A Rohmana
dalam artikel pada Journal of Qur’a>n and H}adi>th Studies yang
dijuduli “Ideologi Tafsir Lokal Berbahasa Sunda: Kepentingan
Islam-Modernis dalam Tafsir Nurul-Bajan dan Ayat Suci
8 Fakhruddin Faiz, Hermeneutik Qur’ani Antara Teks,
Konteks, Dan Kontekstualisasi (Yogyakarta: Qalam, 2007), 45. Lihat
juga Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutik Hingga Ideologi (Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 11.
9 Ideologi yang dimaksud dalam tulisan ini ialah
sebagaimana yang dijelaskan Esposito, yaitu cara atau isi pemikiran
yang dianggap karakteristik individu, kelas, atau politik (John. L.
Esposito, Ensiklopedia Oxford (Bandung: Mizan, 2002), h. 251). 10 Lihat Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia Dari
Hermeneutik Hingga Ideologi (Yogyakarta: LkiS, 2013).
9
Lenyepaneun”. Penelitian ini menemukan bahwa secara
ideologis kedua tafsir yang disusun para pegiat Islam
pembaharu berpengaruh pada materi tafsir yang disesuaikan
dengan misi pembaharuan Islam.11 Selain itu, ada juga
penelitian yang dilakukan oleh Sulaiman Ibrahim dengan judul
“Tafsir Al-Quran Bahasa Bugis: Vernakulasi Dalam Kajian
Tafsir Al-Muni>r” yang menggunakan teori analisis wacana
kritis model Norman Fairlough dan penemuannya dalam
penelitian ini lebih kepada dimensi sosio kultural pemikiran
Daud Ismail dalam Tafsir Al-Muni>r yang ditulisnya dalam
bahasa Bugis.12
Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s (NTYN) karya
Syekh Abdul Latif Syakur dipilih sebagai objek penelitian ini,
karena berdasarkan keterangan di atas bahwa munculnya karya
tafsir tidak terlepas dari latar belakang sosiokultural,
kepentingan dan ideologi pengarangnya. Meskipun telah ada
kajian terhadap salah satu dari tiga karya tafsir Syekh Abdul
latif Syakur, namun kajian tersebut tidak memfokuskan kepada
ideologi dan pemikiran Syekh Abdul latif Syakur. Berdasarkan
kajian sebelumnya pun kajian terhadap kepentingan dan
ideologi dengan menjadikan manuskrip tafsir sebagai objeknya
masihlah minim. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap ideologi dan pemikiran Syekh
Abdul Latif Syakur.
B. Identifikasi, Rumusan dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Agar tercapai pembahasan yang sisitematis tentang
Naskah Tafsi>r A>ya>>t Ya> Ayyuha> al-Na>s, berikut beberapa
11 Lihat Jajang A. Rohmana, “Ideologi Tafsir Lokal
Berbahasa Sunda: Kepentingan Islam-Modernis dalam Tafsir Nurul-Bajan dan Ayat Suci Lenyepaneun”, Journal of Qur’a>n and H}adi>th Studies Vol.2, No. 1, (2013).
12 Lihat Sulaiman Ibrahim, Tafsir Al-Quran Bahasa Bugis: Vernakulasi Dalam Kajian Tafsir Al-Muni>r (Jakarta: LeKAS, 2012).
10
masalah yang teridentifikasi berdasarkan latar belakang,
diantaranya:
a. Latar belakang penulisan Naskah Tafsi>r A<ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s oleh pengarang.
b. Metode penafsiran yang digunakan dalam Naskah
Tafsi>r A>\<ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s
c. Maksud penggunaan aksara Arab Jawi dalam
penulisan Naskah Tafsi>r A<ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s. d. Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s dan naskah-
naskah lainnya yang dikarang oleh Syekh Abdul Latif
Syakur merupakan koleksi pribadi ahli waris yaitu Ibu
Khuzaimah yang kurang terekspos.
e. Kedudukan Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s di
tengah-tengah perkembangan tafsir Nusantara.
2. Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan
dibahas dalam penelitian ini yaitu edisi teks NTYN karya
Syekh Abdul Latif Syakur dan ideologi penafsirnya. Untuk
memperjelas fokus masalah penelitian ini, masalah pokok yang
dibicarakan dalam penelitian ini, akan dirumuskan dua
pertanyaan penelitian yaitu:
a. Bagaimana suntingan teks Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s (NTYN) karya Syekh Abdul Latif
Syakur?
b. Bagaimana ideologi dan pemikiran Syekh Abdul Latif
Syakur berdasarkan teks Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s (NTYN)?
Penelitian ini dibatasi pada penyuntingan teks Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s karya Syekh Abdul Latif Syakur dan
tema-tema kebangsaan yang terkandung dalam teks NTYN.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini berdasakan rumusan masalah di
atas untuk menghadirkan suntingan dan edisi teks NTYN
11
karya Syekh Abdul Latif Syakur, serta menjelaskan ideologi
Syekh Abdul Latif Syakur dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Quran yang diawali dengan kalimat ya> ayyuha> al-na>s.
Meskipun demikian rician dari tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Menghadirkan edisi teks NTYN karya Syekh Abdul
Latif Syakur yang dapat dibaca dan difahami.
b. Menggali, mengungkap, dan menjelaskan
ideologi/pemikiran Syekh Abdul Latif Syakur
melalui tafsir terhadap ayat al-Quran yang diawali
dengan kalimat Ya> Ayyuha> al-Na>s yang menggunakan
aksara Arab Melayu .
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Adanya edisi teks dari aksara Arab-Melayu ke aksara
Latin berbahasa Indonesia dapat dimanfaatkan oleh
pembaca secara luas untuk kepentingan praktis maupun
akademis.
b. Pengungkapan gagasan-gagasan yang terdapat di dalam
Naskah Tafsi>r Ya> ayyuha> al-Nas dapat berkontribusi
untuk pengkajian terhadap sosok Syekh Abdul Latif
Syakur. Selain itu, NTYN sebagai sebuah karya tafsir
ulama lokal yang belum dikenal masyarakat umum
ataupun akademisi khususnya, patut untuk diperhatikan
dalam konteks mengisi ruang dalam khazanah tafsir
karya ulama Nusantara.
E. Kajian Terdahulu yang Relevan
Kajian secara filologis terhadap teks NTYN sejauh
pantauan peneliti belum pernah dilakukan ataupun diteliti
dalam berbagai kajian akademik. Hanya saja salah satu dari 3
bundel naskah tafsir yang dikarang oleh Syekh Abdul Latif
Syakur dengan judul “al-Da’wah wa al-Irsha>d ila> Sabi>l al-Rasha>d”sudah pernah diteliti oleh Hidayat dkk., dan peneliti
12
termasuk dalam tim tersebut.13
Dalam penelitian yang berjudul “Tafsir Sosial Ayat-
Ayat Al-Quran Naskah Syekh Abdul Latif Syakur Edisi teks
dan Telaah Konteks”, Hidayat, dkk. dalam penelitiannya
menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Temuan dari
penelitian tersebut, bahwa berdasarkan suntingan yang
dihadirkan dalam penelitian itu tergambar sebuah tafsir dengan
corak lokal yang unik, lahir dari pemahaman keagamaan dan
pengalaman interaksi sosial Syekh Abdul Latif Syakur. Teks
tafsir tersebut ditulis dengan metode tafsir mawd}u>’i, dengan
penekanan pada aspek-aspek kemanusiaan sebagaimana
tergambar dalam pilihannya terhadap ayat-ayat yang dimulai
dengan kalimat ‘wa min al-na>s’.14 Berdasarkan kesimpulan
yang dipaparkan Hidayat dalam tulisan tersebut, penulis
sependapat bahwa setelah teks disunting ditemukan keunikan
tafsir yang kental dengan nuansa lokal yang merupakan buah
pemahaman agama dan interaksi sosial Syekh Abdul Latif
Syakur dengan penduduk lokal.
Kajian tenhadap teks NTYN karya Syekh Abdul Latif
Syakur memang belum ada. Meskipun temuan di lapangan
NTYN yang juga ditulis Syekh Abdul Latif Syakur ini dari segi
format penulisannya memanglah sama dengan tafsir yang
dijudulinya dengan al-Da’wah wa al-Irsha>d ila> Sabi>l al-Rasha>d berupa tafsir tematik atau mawd}u’i >. Namun, penelitian ini
berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hidayat,
dkk., baik dari segi objek yang dipilih maupun metode yang
digunakan dalam menganalisis objek. Dalam penelitiannya
Hidayat memilih manuskrip al-Da’wah wa al-Irsha>d ila> Sabi>l al-Rasha>d yang juga merupakan sebuah tafsir, diawali dengan
13 Ahmad Taufik hidayat, dkk, Laporan Penelitian Tafsir
Sosial Ayat-ayat Al-Quran Naskah Syekh Abdul Latif Syakur (Padang: Pusat Penelitian dan Penerbitan LPPM IAIN Imam Bonjol
Padang, 2014) 14 Hidayat, dkk, Laporan, h. 60.
13
redaksi wa min al-na>s. Hidayat, dkk., dalam penelitiannya
menggunakan sosiolinguistik sebagai pisau analisis.
Sedangkan objek penelitian tesis ini ialah naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s karya syekh Abdul Latif Syakur dan untuk
menganalisis kandungan naskah atau teks akan menggunakan
metode analisis konten yang diperkuat dengan analisis wacana
kritis (CDA) model Norman Fairclough.
Sehubungan dengan itu, tulisan yang berkaitan dengan
Syekh Abdul Latif Syakur dan riwayat hidupnya juga masih
kurang. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Apria Putra
tentang “Ulama Minangkabau dan Sastra: Mengkaji
Kepengarangan Syekh Abdullatif Syakur Balai Gurah (2017)”,
mengemukakan bahwa Syekh Abdul Latif Syakur adalah
seorang ulama yang produktif menulis. Sebagian karangannya
dalam wujud karya sastra yang dipengaruhi oleh unsur-unsur
yang ada di dalam dirinya sendiri ataupun dari luar dirinya.
Pisau analisis yang digunakan dalam artikel ini adalah
pendekatan sastra yang berfokus pada sosiokultural
pengarang.15
Selain Putra, penelitian yang dilakukan oleh Ridhoul
Wahidi, dkk, tentang Syaikh Abdul Latief Syakur’s View on
Moral Values in Tafsi>r Surah Al-Mukminu>n (2018)
mengungkapkan bahwa Syekh Abdul Latif Syakur lewat tafsir
surat al-mu’minu>n mampu menghadirkan nilai moral dalam
mengatasi dekadensi akhlak masa dulu yang masih relevan
dengan masa kini melalui penerapan prinsip-prinsip khusyu>‘ dan khudu>‘ yang transenden untuk memenangkan fitrah dan
akal manusia dari hawa nafsu.
Perlu juga disebut sebuah tulisan Fidaus, dkk. di dalam
buku Beberapa Ulama di Sumatera Barat, yang diterbitkan
oleh Puslit Press tahun 2011. Di dalam tulisan yang berjudul
15 Apria Putra, “Ulama Minangkabau Dan Sastra:
Mengkaji Kepengarangan Syekh Abdul Latif Syakur”, Diwan Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 9, Edisi 17, (Juni 2017), h. 601-623.
14
Syekh Abdul Latif Syakur, memuat riwayat hidup ulama
tersebut serta ulasan mengenai kiprahnya dalam dunia tulis
menulis.16
Berbeda dengan penulis-penulis di atas, penelitian yang
menganalisis ideologi pada karya tafsir, maka beberapa hasil
penelitian berikut dapat dijadikan sebagai pedoman studi
literatur atau kajian terdahulu yang relevan. Islah Gusmian di
dalam bukunya yang berjudul “Khazanah Tafsir Indonesia Dari
Hermeneutika hingga Ideologi (2013)” telah menganalisis
ideologi yang berkembang dalam tradisi penulisan tafsir di
Indonesia dengan mengadopsi metode analisis wacana kritis
yang dikemukakan Teun A. Van Dijk. Temuan Gusmian dalam
penelitian ini tersingkapnya berbagai kepentingan yang
diusung dalam karya tafsir di Indonesia, yang mana proses
representasi kepentingan ini dilakukan dengan berbagai cara.
Selanjutnya, Jajang A Rohmana dalam artikel pada
Journal of Qur’a>n and H}adi>th Studies yang dijuduli “ Ideologi
Tafsir Lokal Berbahasa Sunda: Kepentingan Islam-Modernis
dalam Tafsir Nurul-Bajan dan Ayat Suci Lenyepaneun (2013)”.
Rohmana dalam artikel ini juga menggunakan analisis wacana
kritis, namun ia tidak menyebutkan secara spesifik teori
analisis wacana kritis siapa yang digunakannya. Rohmana
menemukan bahwa secara ideologis kedua tafsir yang disusun
para pegiat Islam pembaharu, berpengaruh pada materi tafsir
yang disesuaikan dengan misi pembaharuan Islam.17
Berikutnya, ada juga penelitian yang dilakukan oleh
Sulaiman Ibrahim dengan judul “Tafsir Al-Quran Bahasa
Bugis: Vernakulasi Dalam Kajian Tafsir Al-Muni>r (2012)”
16 Firdaus, dkk., Beberapa Ulama di Sumatera Barat, h.
234-240. 17 Jajang A. Rohmana, “Ideologi Tafsir Lokal Berbahasa
Sunda: Kepentingan Islam-Modernis dalam Tafsir Nurul-Bajan dan
Ayat Suci Lenyepaneun”, Journal of Qur’a>n and H}adi>th Studies Vol.2, No. 1, (2013), h. 125-154.
15
yang menggunakan teori analisis wacana kritis model Norman
Fairlough dan temuannya dalam penelitian ini lebih kepada
dimensi sosio kultural pemikiran Daud Ismail dalam Tafsir Al-
Muni>r yang ditulisnya dalam bahasa Bugis.18
Kemudian ada juga artikel Johanna Pink “Traditional
and Ideology in Contemporary Sunnite Qur’a>nic Exegesis:
Qur’a>nic Commentaries From The Arab World, Turkey and
Indonesia and their Interpretation of Q 5:51 (2010).” yang
menggunakan metode komparasi terhadap penafsiran Q 5:51
oleh 17 ulama tafsir sunni dari tiga negara berbeda yaitu Arab,
Turki, dan Indonesia. Temuan Pink, bahwa cara penafsiran 17
ulama yang dipilihnya itu dalam menafsirkan Q 5:51 juga
dipengaruhi oleh background keilmuan serta posisi mereka
ditengah masyarakat, dan poin lain dari temuan Pink ialah para
mufassir Arab lebih konservatif dalam menafsirkan hal-hal
yang berhubungan dengan non-muslim dibandingkan para
mufassir Turki dan Indonesia.19
Penelitian-penelitian terkait naskah yang ditulis oleh
Syekh Abdul Latif Syakur menggambarkan beberapa
perbedaan dengan penelitian ini, mulai dari pemilihan naskah
yang dijadikan sumber data penelitian maupun pendekatan
yang digunakan untuk mengeksplorasi teks. Adapun penelitian
terhadap ideologi dan kepentingan mufassir juga berpengaruh
dalam penafsiran terhadap kitab suci al-Qur’an. Posisi
penelitian ini adalah menambahkan literatur terhadap
penelitian sebelumnya dengan mengangkat Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s karya Syekh Abdul Latif yang masih
18 Sulaiman Ibrahim, Tafsir Al-Quran Bahasa Bugis:
Vernakulasi Dalam Kajian Tafsir Al-Muni>r (Jakarta: LeKAS, 2012). 19 Johanna Pink, “Traditional and Ideology in
Contemporary Sunnite Qur’a>nic Exegesis: Qur’a>nic Commentaries
From The Arab World, Turkey and Indonesia and their Interpretation
of Q 5:51”, Die Welts des Islams, New Series Vol. 50, Issue I, (2010),
h. 3-59.
16
belum dikenal oleh pakar-pakar tafsir di Indonesia.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian sebagai blue print yang akan
menuntun peneliti untuk mencapai tujuan atau signifikansi
dalam penelitian.
1. Jenis Penelitian
Saat melakukan sebuah penelitian seorang peneliti harus
mengemukakan terlebih dahulu jenis penelitian yang akan
dilakukannya. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa
jenis penelitian dibagi dua yaitu penelitian kualitatif dan
penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif menurut Bodgan
dan Taylor yang dikutip Moleong adalah penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, selain
itu Kirk dan Miler mendefenisikan penelitian kualitatif
merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
yang secara fundamental bergantung pada pengamatan
terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan
peristilahannya.20 Sedangkan penelitian kuantitatif adalah
penelitian yang bersumberkan pada fakta-fakta dari objek
penelitian memiliki realitas dan variabel-variabel yang dapat
diidentifikasi hubungannya melalui pengukuran.21 Penelitian
ini berjenis kualitatif yang mengahsilkan data deskriptif,
berdasarkan pada hasil pengamatan secara terperinci terhadap
objek penelitian sehingga dapat merefleksikan makna yang
terdapat pada data penelitian.
2. Sumber Data
Penelitian sebagai upaya mengahasilkan pengetahuan
20 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2000), h. 2-3. 21 Syamsir Salam dan Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian
Sosial (Ciputat: UIN Jakarta Press,2006), h. 36.
17
dan informasi yang bersifat ilmiah yang dapat diterima, maka
diperlukan data kongkrit untuk mencapai tujuan tersebut.
Dalam suatu penelitian perlu ditegaskan sumber data yang
digunakan dalam penelitian. Data berdasarkan cara
memperolehnya terbagi dua yaitu data primer yang langsung
diperoleh dari objek penelitian dan data sekunder yang sudah
ada dalam bentuk jadi.22
Penelitian ini bermaksud memberikan data seteliti
mungkin tentang permasalahan yang dibahas dan menganalisis
data agar diperoleh jawaban. Adapun sumber data primer
dalam penelitian ini adalah Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s (NTYN) yang ditulis oleh Syekh Abdul Latif Syakur.
Sedangkan untuk data sekunder dalam penelitian ini berupa
paratext yang merupakan verbal material atau material-
material lain yang mendampingi teks dan penyajiannya.
Paratext dibagi dua yaitu peritext dan epitext. Peritext adalah
sesuatu yang terdapat di dalam text berupa ilustrasi, iluminasi,
catatan pinggir, dll yang kadang tidak berhubungan langsung
dengan isi suatu text. Dalam kasus NTYN yang termasuk
peritext ialah catatan yang ditulis Syekh Abdul Latif Syakur
pada margin sebelah atas pada beberapa halaman naskah. Epitext adalah sesuatu yang berada diluar karya seperti
wawancara, kritik dokumen-dokumen atau literatur-literatur
yang berhubungan dengan text, 23 misalnya wawancara tentang
riwayat hidup pengarang, referensi yang berbicara tentang
riwayat pengarang, dan karya tulis pengarang selain NTYN.
22 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum
(Jakarta: Granit, 2004), h. 57. 23 Gerard Genette and Marie Maclean, “Introduction to
The Paratext,” The Johns Hopkins University Press (1991), 262-270 dan lihat juga Mohammad Rokib dan Moh. Mudzakkir, “ Negosiasi
Islam dan Budaya Lokal Pada Terjemahan Novel “Kisah Seribu Satu
Malam”: Sebuah Kajian Parateks,” Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam Vol. 14, No.1 (Januari-Juni 2016), h. 82.
18
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan upaya strategis
dalam suatu penelitian. Dengan adanya teknik yang benar,
maka akan diperoleh data yang sesuai dengan standar
kelaikkan penelitian. Dalam memperoleh data penelitian, dapat
dilakukan dengan berbagai cara. Pada penelitian kualitatif,
biasanya dapat dilakukan dengan cara observasi, wawancara,
dokumentasi dan triangulasi/gabungan.24 Berdasarkan
penjelaasan tersebut, penelitian ini akan menggunakan langkah
triangulasi/gabungan untuk mengumpulkan data.
Triangulasi merupakan gabungan dari berbagai teknik
pengumpulan data yang telah disebutkan di atas, dari sumber
data yang telah ada.25 Maka dalam penelitian yang menjadikan
naskah tulisan tangan sebagai objek penelitian ini, akan
menggabungkan teknik pengumpulan data penelitian kualitatif
dan alur penelitian filologi. Dalam penelitian filologi langkah
awal yang dilakukan peneliti adalah melakukan inventarisasi
naskah, upaya yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi
terkait keberadaan naskah. Jika dikaitkan dengan teknik
pengumpulan data kualitatif, inventarisasi naskah dapat
dilakukan dengan memeriksa koleksi katalog manual ataupun
katalog elektronik.
Selanjutnya, melakukan observasi ke tempat
penyimpanan naskah untuk memperoleh informasi terkait
naskah. Agar data yang berkaitan dengan naskah dapat
terkumpul dengan detail, wawancara perlu untuk dilakukan.
Biasanya wawancara dalam penelitian filologi dilakukan untuk
menggali informasi tentang pengarang naskah, proses
penyalinan naskah serta ruang lingkup penyebaran naskah.
Penelitian ini menjadikan naskah tulisan tangan sebagai
objek penelitian, maka tentu saja prosedur pengumpulan data
24 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitati Dan
R&D, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 224-225. 25 Sugiono, Metode Penelitian ..., h. 241
19
tidak terlepas dari proses penelitian filologi yakni,
inventarisasi naskah: mengumpulkan informasi-informasi yang
berhubungan dengan naskah.26 Penelusuran terhadap NTYN
berdasarkan pada informasi yang diberikan oleh Apria Putra
pada tahun 2014, sehingga peneliti pada saat itu bersama
rekan-rekan dan dosen pengampu mata kuliah Filologi
langsung menelusuri kediaman Ibu Khuzaimah selaku ahli
waris yang berada di desa Balai Gurah Kecamatan IV Angkek
Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat.
Berdasarkan penelusuran ini,ditemukan beberapa karya
Syekh Abdul Latif Syakur yang masih utuh, berupa manuskrip
dan naskah cetak. Di antara manuskrip itu terdapat tiga bundel
karya tafsir yang dikarang oleh Syekh Abdul Latif Syakur:
pertama, al-Da’wah wa-al-Irsha>d ila> Sabi>l al-Rasha>d sebuah
tafsir al-Qur’an yang diawali dengan redaksi “wa-min al-na>s”selesai ditulis pada Januari 1949. Kedua, tafsir ayat-ayat
yang berawalan “ya> ayyuha> alladhi>na a>manu>”. Dan ketiga,
sebuah tafsir yang diberi judul “tafsi>r a>ya>t ya> ayyuha> al-na>s”
dan ditulis pada Maret 1949. Manuskrip yang disebutkan
terakhir inilah yang dijadikan objek pada penelitian ini.
4. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini mencakup
dua hal, yaitu: pertama, pendekatan filologis untuk
menghadirkan teks yang siap dibaca dan dipahami oleh
masyarakat umum dari berbagai lintas disiplin. Dan kedua,
analisis wacana kritis digunakan untuk mengeksplorasi
kandungan naskah.
Dalam penelitian filologi, sebagaimana dijelaskan di
atas tujuannya adalah menghadirkan suntingan teks atau edisi
teks yang siap dibaca. Edisi teks berfungsi untuk menetapkan
26 Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Penelitian
Filologi (Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1996), h. 64.
20
sebuah teks dalam bentuk yang paling autentik. Hal ini
dilakukan karena suatu teks dalam sejarah penurunannya telah
mengalami distorsi, korup dan penyimpangan-penyimpangan,
baik karena faktor kesengajaan maupun faktor
ketidaksengajaan.27
Ketika melakukan edisi teks, seorang peneliti perlu
untuk menentukan metode edisi apa yang patut digunkan
dalam mengedisi teks. Hal ini tergantung pada kondisi dan
jumlah naskah yang ditemukan di lapangan. Jika naskah yang
ditemukan berupa naskah jamak (lebih dari satu), maka metode
edisi yang dapat dipilih untuk digunakan adalah metode
landasan dan metode gabungan.28 Penerapan metode landasan
dapat digunakan jika menurut peneliti di antara naskah yang
diteliti memilik nilai lebih. Penentuan nilai tersebut
berdasarkan bahasa, isi, dan usia teks tersebut.29
Apabila naskah yang ditemukan hanya satu atau tunggal
(codex unicus) maka peneliti lebih mudah dalam memilih
metode untuk edisi teks. Terdapat dua cara yang bisa dipilih
oleh para peneliti: edisi diplomatis dan edisi standar atau edisi
kritik. Edisi diplomatis atau diplomatik yaitu menyajikan
suntingan teks dengan seteliti-telitinya tanpa mengadakan
27 Siti Baroroh Baried et.al, PengantarTeori Filologi
(BPPF UGM, Yogyakarta: 1994); Edwar Djamaris, Pengantar Sastra Rakyat Minangkabau, (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta:2001), h. 7.
28 Metode gabungan digunakan jika semua naskah yang
akan ditelitinya bernilai sama kualitasnya. Penerapan metode ini
menghasilkan suntingan teks yang baru karena berasal dari gabungan
hasil bacaan semua naskah yang berkualitas sama itu. Sehingga
metode gabungan ini sangat jarang digunakan, karena dapat
menghasilkan teks yang baru. Selain kedua metode tersebut,
penelitian terhadap naskah jamak juga dapat menggunakan edisi
kritis yang merupakan usaha memperbaiki teks asli yang hilang
berdasarkan pada sumber-sumber yang ada, memilih bacaan yang
terbaik, memperbaiki kesalahan, dan membakukan ejaan. 29 Siti Zahra Yudiafi dan Mu’jizah, Filologi, h. 5.19.
21
perubahan apapun.30 Dalam edisi diplomatik, sang pengkaji
naskah tidak berniat meyajikan teks yang baik untuk dibaca
melainkan hanya menyajikan teks apa adanya.31
Naskah Tafsi>r A<ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s karya Syekh
Abdul Latif Syakur ini dapat dikategorikan pada codex unicus, karena berdasarkan penelusuran peneliti setelah memerikasa
katalog-katalog tidak ditemukan salinan naskah ini. Maka
metode penyuntingan teks yang akan digunakan dalam
penelitian ini, adalah edisi standar/kritik. Edisi standar/kritik
merupakan kebalikan dari edisi diplomatis, berupaya
menghadirkan teks yang siap baca, dan oleh karenanya jika
menurut keyakinan penyunting terdapat banyak kesalahan dan
penyimpangan akan diperbaiki sesuai kaidah kebahasaan dan
wawasan penyunting tentang konten naskah.32
Karena fokus penelitian adalah ideologi Syekh Abdul
Latif Syakur dalam NTYN, maka penelitian ini akan
menggunakan pendekatan analisis konten yang merupakan
upaya untuk memahami teks baik dari dalam teks itu sendiri
maupun aspek di luarnya. Untuk memperkuat pendekatan
tersebut, penelitian ini akan menggunakan discourse analysis (analisis wacana); yaitu suatu kajian yang menganalisis bahasa
yang digunakan secara alamiah (berbicara) ataupun bentuk
tulisan.33 Analisis wacana tidak hanya semata digunakan dalam
kajian bahasa, tetapi juga dapat digunakan dalam kajian bidang
lain. Dalam kajian linguistik, analisis wacana lebih difokuskan
kepada satuan bahasa di atas kalimat yang tidak hanya terbatas
pada hubungan gramatikal saja.
30 Siti Zahra Yudiafi dan Mu’jizah, Filologi, h. 5.17. 31 Faturrahman [sic] (Fathurahman), Filologi, h. 21. 32 Faturrahman [sic] (Fathurahman), Filologi, h. 21. 33 Mulyana, Kajian Wacana, Teori, Metode dan Prinsip-
prinsip Analisis Wacana (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2005), 3. Lihat
juga Abdul Rani dkk., Analisis Wacana, Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian (Malang: Bayumedia Publishing, 2006), h. 9.
22
Analisis wacana dalam bentuk analisis wacana kritis
(critical discourse analisys) yang akan digunakan dalam
penelitian ini yaitu analisis wacana kritis model Norman
Fairclough yang melihat naskah memiliki konteks. Konteks34
yang dimaksud bahwa bahasa tidak hanya dilihat dari aspek
internal linguistiknya saja, namun ia juga dipengaruhi oleh hal
yang berada di luar teks35 yang mempengaruhi pemakaian
bahasa.36 Fairclough memandang teks sebagai sesuatu yang
memiliki konteks mulai dari text production, process interpretation, text consumption, atau berdasarkan praktik
sosiokultural.37 Dengan menggunakan model Fairclough ini
melihat naskah/teks memiliki sejarah perjalanannya, yang
mana untuk melihat perjalanan sejarahnya tersebut tidak hanya
terjadi pada dimensi bahasa yang digunakan tetapi juga
dipengaruhi dimensi diri pengarang itu sendiri sehingga dapat
menggambarkan ideologi pengarang.38
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini akan penulis
klasifikasikan pada enam bab dengan rincian sebagai berikut :
Bab pertama merupakan pedahuluan yang mana akan
menjelaskan: pertama, latar belakang pemilihan Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> Al-Na>s sebagai objek penelitian. Kedua,
34 Konteks dalam linguistik dikelompokkan pada empat
bagian yaitu konteks bahasa, konteks emosi, konteks kondisi/situasi,
dan konteks budaya (lihat Ah}mad Mukhta>r ‘Umar. ‘Ilm al-Dila>lah
(Beirut: Maktabah Da>r al-‘Aru>bah, 1982), h. 72. 35 Teks yang dimaksud tidak hanya kata-kata yang tercetak
di dalam kertas, tapi juga semua ekspresi komunikasi melalui ucapan,
musik, gambar, dll (lihat Mulyana, Kajian Wacana, h. 9). 36 Mulyana, Kajian Wacana, h. 9. 37 Norman Fairclough, Analysing Discourse, Textual
Analysis For Social Research (London & New York: Routledge,
1997), h. 98. 38 Fairclough, Analysing Discourse, h. 98-100.
23
rumusan dan batasan masalah. Ketiga, tujuan penelitian.
Keempat, kajian terdahulu yang relevan. Kelima, metode
penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data, teknik
pengumpulan data, terakhir metode analisis data. Dan kelima,
sistematika penulisan.
Bab kedua merupakan kerangka teoritis sebagai blue print dalam menuliskan hasil penelitian yang berisikan:
pertama, memaparkan tentang hubungan teks dan konteks.
Kedua, menjelaskan tentang wacana dan keterkaitannya
dengan ideologi. Ketiga, menggambarkan refleksi ideologi
dalam khazanah pengkajian teks tafsir Nusantara. Keempat,
membahas tentang hubungan kebangsaan dan nasionalisme.
Bab ketiga akan mendeskripsikan biografi singkat dari
Syekh Abdul Latif Syakur. Adapun rincian pembahasannya
yaitu; pertama, gambaran Sumatera Barat paruh awal abad XX.
Kedua, memaparkan riwayat singkat Syekh Abdul Latif
Syakur dan karya-karyanya. Ketiga, mendeskripsikan teks
Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s (NTYN) di tengah-
tengah tafsir Nusantara.
Bab keempat penelitian ini yang terdiri dari: pertama,
mendeskripsikan kondisi fisik naskah. Kedua, memaparkan
ringkasan isi. Ketiga, pengantar edisi dan pertanggungjawaban
edisi serta edisi teks.
Bab kelima dijuduli dengan Pemikiran Syekh Abdul
Latif Syakur yang akan memaparkan konsep Syekh Abdul
Latif Syakur tentang tauhid berdasarkan teks naskah Tafsi>r Ya> Ayyuha> al-Na>s, gagasan persatuan umat, dan gagasan tentang
kesetaraan, serta kritik Syekh Abdul Latif Syakur terhadap
kolonialisme.
Bab keenam yaitu penutup yang meliputi kesimpulan
dari permasalahan yang telah dianalisis dan saran.
24
BAB II
Teks, Wacana, dan Ideologi
Pada bab ini akan membicarakan pendapat ahli tentang
teks, wacana, ideologi dan keterkaitannya. Selain itu, bab ini
juga akan membahas bagaimana pendapat para akademisi
terhadap tranmisi ideologi seorang mufassir yang
terrefleksikan melalui teks, khususnya pada teks tafsir yang
ada di Nusantara.
A. Teks dan Konteks
Berbicara tentang teks tidak akan terlepas dari apa yang
dimaksud dengan teks dan bagaimana teks itu terbentuk. Kata
nas}s} dalam bahasa Arab digunakan untuk mewakili kata teks.
Nas}s}} berdasarkan mu‘jam maqa>yi>s al-lughah menunjukkan
daya angkat, tinggi dan akhir sesuatu.1 Dalam perspektif
filologi, teks adalah kandungan atau isi dari naskah atau
manuskrip.2 Teks terdiri dari isi dan bentuk, mengandung
gagasan dan amanat luhur yang ingin disampaikan pengarang
pada pembaca.3 Teks tidak lahir dari ruang bebas, namun ia
lahir dari ruang dan sudut pandang seorang pengarang. Teks
merupakan hasil kontak langsung antara pengarang dan
1 Ibn al-H}usayn Ah}Mad bin Fa>ris bin Zakariyya, Mu‘jam
Maqa>yi>s al-Lughah (Da>r al-Fikr), h. 356. 2 Nabilah Lubis, Naskah, Teks dan Metodologi Penelitian
Filologi (Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas Adab
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1996), h. 27. 3 Siti Baroroh Baried, dik., Pengantar Teori Filologi
(Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi Fakultas Seksi Filololgi
Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada, 1994), h. 57.
25
lingkungan sekitarnya.4 Sebagaimana Kristeva juga
berpendapat bahwa tidak ada satu tekspun yang berdiri sendiri,
ia terbentuk melalui jejaring teks lain secara eksplisit maupun
implisit.5
Selain pandangan di atas, ada beberapa pandangan
lainnya terkait teks. Teks secara sederhana adalah produk dari
tindak pertukaran penggunaan bahasa, secara luas teks itu
adalah produk dari tindakan bahasa.6 Pernyataan tersebut
sejalan dengan apa yang diungkapkan Halliday bahwa teks
merupakan bahasa yang berfungsi, dimana ia memiliki
kesatuan makna baik secara lisan ataupun melalui tulisan.7
Sejalan dengan Fairclough yang juga berpendapat bahwa teks
itu adalah sebuah produk. Produk dari proses interpretasi
terhadap praktik sosial.8 Praktik sosial disandarkan pada unsur
yang ada di luar berupa konteks, sehingga terbentuk teks. Maka
Fairclough memandang teks sebagai sesuatu yang memiliki
konteks.9
Gracia sebagaiman yang dikutip oleh Syamsul Wathani
berpendapat bahwa teks adalah sekumpulan entitas berupa
4 Edward. W. Said, The World The Text and The Critic
(USA: Harvard University Press Cambridge, Massachusetts, 1983),
h. 33. 5 Didi Sukyadi, “Dampak Pemikiran Saussure Bagi
Perkembangan Ilmu Linguistik dan Disiplin Ilmu Lainnya”, dalam
Parole, Vol. 3 No. 2 (Oktober 2013), h. 11. 6 Yasraf Amir Piliang, “Semiotika Teks: Sebuah
Pendekatan Analisis Teks”, dalam Mediator, Vol. 5 No. 2 (2004), h.
189. 7 M.A.K. Halliday & Ruqaiya Hasan, Cohesion in English
(Harmondsworth: Longman, 19876), h. 1. 8 Norman Fairclough, Analysing Discourse, Textual
Analysis For Social Research (London & New York: Routledge,
1997), h. 24. 9 Ah}mad Mukhta>r ‘Umar. ‘Ilm al-Dila>lah (Beirut:
Maktabah Da>r al-‘Aru>bah, 1982), 72.
26
tanda yang dipilih, disusun dan diatur oleh pengarang dalam
maksud konteks tertentu kepada audien. Teks merupakan
karya historis seseorang yang terbiasa menggunakan bahasa
yang berkembang untuk berkomunikasi. Dalam konteks ini,
teks adalah bahasa yang berfungsi di tengah-tengah
masyarakat.10
Menurut Abu Zayd istilah teks dipergunakan dalam dua
bidang epistimologi yang saling mempengaruhi, yaitu:
perspektif analisis wacana dan semiotika. Dalam konsep
semiotika menurutnya teks bermakna luas mencakup seluruh
sistem tanda yang memproduksi makna umum baik teks
linguistik maupun teks non-linguistik terutama teks seni.11
Dalam perspektif analisis wacana, menurut Abu Zayd istilah
teks terbatas hanya pada sistem tanda bahasa yang dapat
memproduksi makna umum.12 Oleh karena itu dalam analisis
wacana, teks tidak hanya dilihat melalui aspek kebahasaannya
saja, namun teks juga dilihat dari konteks dibentukanya teks.
Dalam tradisi penurunan dan penyalinan, teks dapat
dikelompokkan pada tiga macam, yaitu: teks lisan, teks naskah
tulisan tangan, dan teks cetakan.13 Teks lisan lahir dari tradisi
mendongeng yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
yang diturunkan dari satu generasi ke genarasi selanjutnya,
biasanya berisikan cerita-cerita rakyat. Adapun teks naskah
tulisan tangan merupakan kelanjutan dari tradisi lisan yang tak
jarang di dalamnya memuat cerita-cerita rakyat yang
berkembang pada tradisi lisan. Sebagaimana namanya teks
10 Samsul Wathani, “Paradigma Sintesis Tafsir Teks Al-
Qur’an Menimbang Hermeneutika Pemaknaan Teks Jorge J. E Gracia
Sebagai Teori Penafsiran Tekstual Al-Qur’an”, dalam Journal of Qur’a>n and H}adi>Th Studies, Vol. 5, No. 2 (Desember 2016), h. 251
11 Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i Moderatisme Elektisisme Arabisme (Yogyakarta: Lkis, 1997), 113.
12 Abu Zayd, Imam Syafi’i Moderatisme, 113. 13 Baried, Pengantar Teori Filologi, 58.
27
naskah tulisan tangan, maka ia adalah teks yang ditulis
menggunakan tangan dengan bahasa dan aksara yang
berkembang pada suatu daerah. Setelah mesin cetak
ditemukan, maka tradisi penyalinan teks menjadi lebih maju,
dimana teks sangat mudah untuk diperbanyak dalam waktu
yang singkat dibandingkan teks naskah tulisan tangan yang
menggunakan tenaga manusia.
Kandungan dari sebuah teks merupakan cerminan dari
realitas yang dihadapi dan dilalui oleh seorang pengarang.
Sebagai sebuah cermin, maka teks biasanya juga merefleksikan
pergumulan budaya bangsa. Teks sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, ia merupakan medium untuk menyalurkan ide
atau gagasan, cita-cita, pengetahuan yang dituangkan dalam
bentuk tulisan. Tak jarang teks memuat informasi dan
peristiwa penting yang terjadi pada suatu waktu.
Setiap teks lahir dari strukur sejarah suatu budaya,
sehingga ia dapat ditafsirkan. Oleh karena itu bahasa yang
terdapat di dalam teks bukan hanya untuk teks itu sendiri,
melainkan juga untuk di luarnya. Maka untuk dapat memahami
suatu teks perlu untuk mengetahui konteks yang
mengelilinginya. Pemahaman terhadap konteks merupakan hal
yang sangat penting saat menafsirkan teks, agar tafsir tidak
mengalami bias.
Berdasarkan tradisi keilmuan Islam, Abu Zayd
mengklasifikasikan teks menjadi dua, yaitu teks primer dan
teks sekunder. Ia menambahkan, terdapat perbedaan antara
teks primer dan teks sekunder. Teks primer dalam khazanah
intelektual Islam adalah al-Qur’an yang merepresentasikan
seluruh rangkaian peritstiwa pertama dalam teks yang muncul
di sekitarnya. Teks sekunder berasal dari teks kedua yaitu
sunnah dan begitu pula ijtihad yang dilakukan oleh generasi
berikutnya baik oleh fuqaha>’ dan mufassir.14
14 Abu Zayd, Imam Syafi’i Moderatisme, 113.
28
Pandangan Abu Zayd di atas sejalan dengan Saeed yang
mengungkapkan bahwa al-Qur’an adalah teks.15 Al-Qur’an
sebagai teks merupakan respons terhadap kondisi sosial tempat
ia diturunkan. Al-Qur’an diturunkan di tengah-tengah
masyarakat Arab, sehingga peradaban masyarakat Arab pasca
diturunkannya al-Qur’an adalah peradaban teks.16 Tak hanya
itu, al-Qur’an adalah sebuah teks keagamaan yang berisi segala
hal terkait kehidupan dan/atau setelah kehidupan. Sebagai teks
keagamaan, maka al-Qur’an adalah teks suci yang diyakini
muslim di seluruh dunia berisi ajaran-ajaran yang berasal dari
Tuhan.
Al-Qur’an sebagai teks yang bersumber dari Tuhan
senantiasa menjadi pedoman dalam hidup manusia. Teks al-
Qur’an bukanlah teks yang sederhana. Ia adalah teks yang
sangat kompleks.17 Untuk mengurai sebuah teks yang
kompleks itu, diperlukan interpretasi atau penafsiran. Maka
yang dapat menafsirkan teks al-Qur’an adalah seorang
mufassir. Sehingga mufassir pada akhirnya menghasilan teks
yang baru yaitu teks tafsir.
Teks tafsir lahir sebagai entitas sejarah yang terbentuk
berdasarkan pemahaman dan pengalaman mufassir terhadap
teks al-Qur’an. Teks tafsir tidak terlepas dari interaksi mufassir dengan al-Qur’an dan lingkungan sekitarnya. Tak salah kiranya
bila mengklasifikasikan teks tafsir juga merupakan produk
budaya. Oleh karena itu, teks tafsir terikat dengan kepentingan
mufassir sebagai pengarang.
15 Abdullah Saeed, Reading The Qur’an in The Twenty-
first Century A Contextualist Approach (New York: Routledge,
2014), h. 13. 16 Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhu>m al-Nas}s}: Dira>sa>t fi>
‘Ulu>m al-Qur’an (Beirut: al-Markaz al-S}aqafi> al-‘Arabi>, 2000), h. 6-
7. 17 Saeed, Reading The Qur’an ..., h. 13
29
Pada dasarnya teks tidak memiliki kekuasaan
epistimologis. Kuasa yang dilakukan teks, ada dalam ranah
epistimologi tertentu. Setiap teks berusaha memunculkan
kekuasaan epistimologinya yang baru dengan anggapan bahwa
ia memperbarui teks-teks yang terdahulu. Hanya saja
kekuasaan tekstual tidak akan berubah pada kekuasaan
kultural, jika seseorang atau kelompok menjadikannya
kerangka ideologi.18
Konteks atau dalam bahasa Arab disebut siya>q yang
bermakna tata>bu‘ artinya saling mengikuti atau menggiring
sesuatu. Secara istilah konteks ialah suatu unsur lingual dan
unsur non lingual yang mendahului serta mengikuti suatu unsur
bahasa dalam ujaran.19 Konteks juga berhubungan dengan
situasi yakni tempat, waktu, dan lingkungan penggunaan
bahasa.20 Semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan
mempengaruhi pemakaian bahasa dimana teks diproduksi.21
Maka produksi teks selalu diikuti oleh konteks.
Konteks dibedakan pada empat jenis yaitu konteks
linguistik, konteks emosional, konteks situasi dan konteks
budaya atau sosial. Dalam memahami makna pada suatu
kalimat, maka sebuah kata berpengaruh saat membentuk
makna. Pembahasan semacam ini berkaitan dengan konteks
linguistik. Makna tersebut dilihat dari lingkup bahasa mulai
dari ujaran, morfem, kata, klausa, dan kalimat. Untuk dapat
melihat makna yang bervariasi dan membatasi makna agar
sesuai denggan maksud, konteks linguistik dapat
18 Abu Zayd, Imam Syafi’i Moderatisme, 117. 19 Mohammad Kholison, Semantik Bahasa Arab Tinjauan
Historis, Teoritik & Aplikatif (Sidoarjo: Lisan Arabi, 2016), h. 289
dan 292. 20 Bari>d ‘Awadh Haidar, ‘Ilm al-Dala>lah Dira>sah
Naz}ariyyah wa Tat}bi>qiyyah (Cairo: Maktabah al-A>da>b, 2005), h. 56. 21 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks
Media (Yogyakarta: LkiS, 2008), h. 8.
30
mengungkapkan makna lewat beberapa unsur yaitu: struktur
bunyi, struktur morfologi, struktur sintaksis, kolokasi, dan
style.22
Konteks emosional adalah kumpulan perasaan dan
interaksi yang yang terkandung dalam kata. Konteks
emosional dapat menentukan tingkat kuat atau lemahnya
muatan emosi dalam suatu kata. Sementara makna emosional
yang tekandung pada kata-kata kekutannya memiliki takaran
emosi berbeda, ada yang lemah, sedang, dan kuat.23
Sebagaimana pernyataan Halliday bahwa teks atau
wacana merupakan bahasa yang berfungsi dan memiliki
kesatuan makna, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Teks
tidak hadir dengan sendirinya, melainkan ia menyatu dengan
konteksnya. Sehingga untuk memahami teks tergantung pada
bagaimana memahami konteks.
Menurut Fairclough bahasa tidak hanya dilihat dari
aspek internal linguistiknya saja, melainkan ia juga
dipengaruhi oleh hal yang berada di luar teks yang
mempengaruhi pemakaian bahasa.24 Mulai dari text production, process interpretation, text consumption, atau
berdasarkan praktik sosiokultural.25 Maka tak salah kiranya
bila Fairclough mengungkapkan wacana adalah bentuk
tindakan seseorang saat menggunakan bahasa dalam
merepresentasikan realitas yang dilihatnya.26
22 Mohammad Kholison, Semantik Bahasa Arab, h. 304. 23 Samsul Bahri, “Peran Al-Siya>q (Konteks) Dalam
Menentukan Makna”, dalam Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Vol. 14, No. 12, (Oktober 2016), h. 93
24 Mulyana, Kajian Wacana, Teori, Metode dan Prinsip-prinsip Analisis Wacana (Yogyakarta:Tiara Wacana, 2005), h. 9.
25 Norman Fairclough, Analysing Discourse, h. 98. 26 Eriyanto, Analisis Wacana, h. 289.
31
B. Wacana, Analisis Wacana dan Analisis Wacana Kritis
Berangkat dari pendapat beberapa ahli di atas, maka
berbicara tentang teks tidak akan terlepas dari topik wacana.
Term wacana adalah term umum yang digunakan dalam
berbagai aspek keilmuan dengan beragam pemahaman. Titik
temunya berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau
pemakaian bahasa. Maka dapat difahami bahwa berbicara
tentang wacana dalam sudut keilmuan apapun tidak terlepas
dari bahasa.27
Wacana dalam KBBI memiliki dua definisi; pertama,
komunikasi verbal (percakapan). Dan kedua, satuan bahasa
terlengkap yang diwujudkan dalam bentuk karangan atau
laporan utuh seperti artikel, novel, buku dan lain sebagainya.28
Dari kedua definisi tersebut dapat dipahami bahwa wacana
merupakan komunikasi verbal berupa teks lisan (percakapan)
ataupun teks tertulis. Kelompok formalis memahami wacana
merupakan teks atau tatanan bahasa yang lebih tinggi dari
kalimat.29 Menurut Triana, wacana adalah unit bahasa yang
urutan tingkatnya lebih luas dari kalimat sebagai medium
komunikasi, namun wacana juga melibatkan aspek sosial
dibaliknya.30
Halliday juga berpendapat bahwa wacana adalah
pertarungan kekuasaan. Setiap wacana yang ada, tidak dilihat
sebagai sesutu yang netral. Ia merupakan bentuk pertarungan
kekuasaan, sehingga wacana tidak terlepas dari kekuasaan.
Kekuasaan sebagaimana yang dimaksud Foucault dalam
27 Eriyanto, Analisis Wacana, h. 3.
28 KBBI V apps diakses pada 27 Desember 2019 29 P. Ari Subagyo, “Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik
dengan Analisis Wacana Kritis”, dalam Masyarakat Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 2, (Agustus 2010), h. 177.
30 Hetti Waluati Triana, Suci Humaira, Reflinaldi, Perilaku Verbal Mahasiswa IAIN IB Di Dunia Maya: Analisis Wacana Kritis
(Padang: LP2M IAIN Imam Bonjol Padang, 2013), h. 10.
32
Eriyanto, bukanlah berupa penindasan secara fisik, melainkan
ia dibentuk melalui wacana berupa hubungan sosial yang
mampu menghasilkan nilai-nilai dan ideologi.31
Theo Van Leeuwen memandang teks sebagai wujud dari
ideologi. Teks dilihat sebagai strategi wacana, cara penafsiran
terhadap realitas, pendeskripsian seseorang atau kelompok
terhadap realitas.32 Adapun Fairclough melihat naskah/teks
memiliki sejarah perjalanannya, yang mana untuk melihat
perjalanan sejarah tersebut tidak hanya terjadi pada dimensi
bahasa yang digunakan tetapi juga dipengaruhi dimensi diri
pengarang itu sendiri sehingga dapat menggambarkan ideologi
pengarang.33
Ideologi berusaha menguji dimana ‘makna’ atau ‘ide’
mempengaruhi pemahaman dan aktivitas individu ataupun
kelompok yang membentuk dunia sosial.34 Istilah ideologi
dalam banyak literatur digunakan dalam dua cara yang sangat
berbeda, yaitu: pertama, ideologi digunakan sebagai istilah
yang murni deskriptif sebagai sistem berfikir, sistem
kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan
dengan tindakan sosial dan politik. Penggunaan istilah ini
memunculkan apa yang disebut dengan konsepsi netral tentang
ideologi. Kedua, Ideologi secara mendasar berhubungan
dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak
seimbang, berhubungan dengan proses pembenaran dominasi.35
Dalam KBBI, ideologi diartikan sebagai kumpulan konsep
bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang
31 Eriyanto, Analisis Wacana, h. 71-72. 32 Theo van Leeuwen, Discourse and Practice New Tools
for Critical Discourse Analysis (New York: Oxford, 2008), h. 28-47. 33 Fairclough, Analysing Discourse, h. 98-100. 34 John B. Thomson, Analisis Ideologi: Kritik Wacana
Ideologi-Ideologi Dunia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 125. 35 John B. Thomson, Analisis Ideologi, h. 125.
33
memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup
dan/atau cara berpikir seseorang atau suatu golongan.36
Ada banyak definisi ideologi yang dikemukakan oleh
para sarjana. Raymond William misalnya mengelompokkan
ideologi pada tiga ranah; pertama, sebuah sistem kepercayaan
yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Kedua,
sebuah sistem kepercayaan yang dibuat. Dan ketiga, proses
umum produksi makna dan ide.37 Sedangkan Karl Marx
sebagaimana dikutip Eriyanto berpendapat bahwa ideologi
merupakan kesadaran palsu.38 Menurut Esposito, ideologi
adalah cara atau isi pemikiran yang dianggap karakteristik
individu, kelas, atau politik.39
Ideologi sebagaimana didefenisikan oleh para ahli
bukanlah sistem unik yang dibentuk dari pengalaman
seseorang semata. Namun ia ditentukan melalui masyarakat di
tempat hidupnya dan posisi sosialnya di tengah masyarakat.
Maka pemahaman terhadap ideologi tergantung kepada
bagaimana cara seseorang memahami teks dalam suatu
wacana. Sehingga pemahaman tehadap teks memunculkan
hubungan antara pengarang teks dan pembaca teks. Dan dalam
konteks pemahaman terhadap ideologi, tergantung pada
sejalannya penafsiran seorang pengarang dengan pembaca
terhadap suatu wacana.
Dapat dipahami bahwa teks atau wacana dipandang
sebagai praktik ideologi, atau pencerminan dari ideologi
tertentu. Ideologi yang berada di balik pengarang suatu teks
akan selalu menghasilkan bentuk wacana tertentu. Sehingga
36 https://kbbi.web.id/ideologi, diakses pada 14:38
12/03/2018. 37 Eriyanto, Analisis Wacana, h. 87-92. 38 Eriyanto, Analisis Wacana, h. 93. 39 John. L. Esposito, Ensiklopedia Oxford (Bandung:
Mizan, 2002), h. 251. Maka penelitian ini akan menyandarkan
defenisi ideologi sebagaimana yang dikemukakan Esposito di atas.
34
ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau
individu. Dan teks dapat menggambarkan identitas ideologi
seseorang ataupun kelompok. Maka dalam penelitian ini untuk
melihat hubungan teks dan ideologi pada tafsir Al-Qur’an akan
digunakan kerangka analisis wacana kritis.
Kerangka analisis wacana kritis yang digunakan
berdasarkan kepada pendapat Norman Fairclough. Sebelumnya
telah dijelaskan bahwa Fairclough melihat bahasa bukan hanya
dari kaca mata linguistik saja, namun bahasa adalah praktik
sosial. Maka, wacana adalah bentuk dari pemakaian bahasa.
Implikasinya, pertama, wacana adalah bentuk tindakan
bagaimana responss seseorang terhadap realita. Kedua, wacana
memiliki hubungan timbal balik dengan struktur sosial.40
Selanjutnya Fairclough membagi analisis wacana
dalam tiga bagian, yaitu: teks, discourse practice, dan
sociocultural practice. Teks bukan hanya menggambarkan
tampilan sebuah objek tapi bagaiamana hubungan antar objek
dijelaskan. Teks merupakan dimensi yang berhubungan dengan
fitur linguistik: kosa kata, semantik, dan tata kalimat. Setiap
teks dapat dianalisis dari representasi, relasi dan identitas.41 Discourse practice (praktik wacana) merupakan
dimensi yang berhubungan dengan proses produksi bahasa dan
reproduksi makna. Produksi bahasa adalah proses representasi
pemikiran dan perasan penulis melalui kode bahasa atau
dikenal dengan istilah proses penghasilan teks. Reproduksi
makna merupakan konsumsi teks, yaitu bagaimana pembaca
memahami teks yang diproduksi oleh penulis atau yang dikenal
dengan istilah proses penafsiran. Sementara itu, sociocultural practice berhubungan dengan konteks di luar teks seperti
peristiwa apa yang terjadi saat teks diproduksi.42
40 Eriyanto, Analisis Wacana, h. 286. 41 Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: The
Critical Study of Language (New York: Longman, 1995), h. 97. 42 Fairclough, Critical Discourse Analysis, h.97.
35
Analisis teks digunakan sebagai proses menguraikan
wacana dari segi bentuk dan makna.43 Analisis teks ini
berkaitan dengan makna ideasional, interpersonal, dan
tekstual. Analisis teks ketiga makna ini dapat dihasilkan dari
bentuk teks (termasuk struktur/gaya cerita), hubungan kohesif
antarkalimat dan antarklausa), gramatikal, dan kosakata.
Discourse practice (praktik wacana) meliputi proses
penghasilan, penyebaran, dan penggunaan teks. Proses
penghasilan teks dan proses penafsiran teks dibentuk melalui
discourse practice. Teks dibentuk melalui discourse practice
yang akan menentukan bagaimana teks tersebut dihasilkan.
Oleh karena itu, analisis terhadap discourse practice harus
memperhatikan aspek sosiokognitif penghasilan dan
penafsiran teks.44
C. Refleksi Ideologi dalam Teks
Karya tulis dapat dijadikan sebagai media pengungkap
perasaan suatu individu. Karena sebuah karya apapun jenisnya
baik sastra atapun non-sastra merupakan cerminan dari realitas
pengarangnya.45 Begitu pula dengan teks sakral seperti teks
keagamaan, ia dapat dijadikan sebagai sarana untuk
menyampaikan kegelisahan dan kritik terhadap kondisi di
sekitar pengarangnya.46 Jika dikaitkan dengan naskah atau
manuskrip, Pramono dan Ahmad berpendapat bahwa naskah-
naskah yang disalin dan ditulis bertujuan untuk
mentransmisikan pengajian dan mendebat ataupun menentang
pendapat orang lain serta untuk mengkritik keadaan sosial. Hal
ini sekaligus mengesankan bahwa apa yang dilakukan para
43 Fairclough, Critical Discourse Analysis, h. 133-134. 44 Fairclough, Critical Discourse Analysis, h. 135. 45 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra
Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi (Edisi Revisi) (Yogyakarta:
MedPress, 2008), 90-91. 46 Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, 91.
36
ulama dalam menjaga paham keagamaannya merupakan
bentuk kebiasaan berdebat yang dikembangkan di kalangan
ulama.47
Sejalan dengan Pramono dan Ahmad, sejatinya suatu
karya tidak lahir dengan sendirinya dan tentu karya yang
tercipta tidak akan terlepas dari keadaan internal maupun
eksternal pengarangnya. Begitupun dalam melahirkan karya
tafsir. Dalam melakukan penafsiran, seorang penafsir tidak
akan terlepas dari tiga hal yaitu:
1. Para penafsir adalah manusia yang akan membawa
muatan-muatan kondisi kemanusiaan yang mereka
alami.
2. Penafsiran tidak terlepas dari bahasa, sejarah, dan
tradisi di mana penafsir hidup.
3. Teks sejatinya tidak menjadi wilayah bagi dirinya
sendiri. Sebab sebagai teks, tafsir juga mempunyai
konteks sendiri.48
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa
tafsir pada suatu masa merupakan produk zamannya. Tafsir
sangat memungkinkan menjadi wadah mufassirnya untuk
merespons keadaan di linkungannya. Selain itu, munculnya
sebuah tafsir juga merupakan bentuk tanggung jawab mufassir
secara moral maupun akademis terhadap wacana yang tengah
berkembang di sekitarnya. Dengan realitas tersebut,
merupakan hal yang wajar jika muncul berbagai jenis tafsir
sesuai kepentingan dan ideologi pengarangnya.
47 Pramono dan Zahir Ahmad, “Beberapa Catatan
Terhadap Kitab-Kitab Karya Ulama Minangkabau Pada Permulaan
Abad XX”, WACANA ETNIK Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 4, No. 2, (2013), 112.
48 Fakhruddin Faiz, Hermeneutik Qur’ani Antara Teks, Konteks, Dan Kontekstualisasi (Yogyakarta: Qalam, 2007), 45. Lihat
juga Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 11.
37
Jika berbicara tentang refleksi ideologi dalam karya
tafsir, maka beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh sarjana pemerhati tafsir Nusantara menemukan bahwa
beberapa tafsir di Indonesia baik secara langsung ataupun tidak
langsung terselip ideologi pengarang. Islah Gusmian telah
menganalisis ideologi yang berkembang dalam tradisi
penulisan tafsir di Indonesia pada dasawarsa 1990-an. Temuan
Gusmian dalam penelitian ini tersingkapnya berbagai
kepentingan yang diusung dalam karya tafsir di Indonesia,
yang mana proses representasi kepentingan itu dilakukan
dengan berbagai cara.49
Selanjutnya, Jajang A Rohmana menemukan bahwa
secara ideologis Tafsir Nurul-Bajan dan Ayat Suci Lenyepaneun yang disusun para aktivis Islam pembaharu di
tanah Pasundan, berpengaruh pada konten tafsir yang
disesuaikan dengan misi pembaharuan Islam. Menurut
Rohmana dalam kedua tafsir tersebut para mufassirnya secara
tegas menyatakan sikap kritisnya terhadap kalangan Islam
Tradisional. Selain itu kritikan terhadap pelaksanaan ajaran
keagamaan di tatar Sunda yang mereka anggap sinkretik tak
luput dari sasaran. Kenyataan demikian membuat Rohmana
menegaskan bahwa teks keagamaan seperti tafsir tidak luput
dari kepentingan penulisnya.50
Dalam kesempatan lain Rohmana yang memfokuskan
perhatiannya pada perkembangan tafsir berbahasa Sunda
semakin menguatkan pendapat sebelumnya. Meski dalam
redaksi yang berbeda bahwa membaca polemik keagamaan
pada suatu karya tafsir tidak dapat dilepaskan dari latar
ideologis dan kepentingan penafsirnya sendiri. Hal ini
49 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, 322-376 50 Jajang A. Rohmana, “Ideologi Tafsir Lokal Berbahasa
Sunda: Kepentingan Islam-Modernis dalam Tafsir Nurul-Bajan dan
Ayat Suci Lenyepaneun”, Journal of Qur’a>n and H}adi>th Studies Vol.2, No. 1, (2013), 125-154.
38
disimpulkan melalui analisisnya terhadap tafsir Malja’ al-T}a>libi>n yang dikarang oleh K.H. Ahmad Sanusi yang
menggunakan bahasa Sunda dan beraksara pegon. Tafsir
tersebut menurut Rohmana sangat kuat mencermikan
tanggapan kritis mufassirnya terhadap sejumlah gugatan kaum
reformis pada 1930-an tentang masalah khilafiyah
keagaamaan. Dimana Sanusi sebagai penafsir berhasil
menampakkan latar sosial-keagamaanya melalui sikapnya
sebagai pewaris tradisi keilmuan Islam pesantren yang
menghubungkan warisan keilmuan klasik dengan konteks
zamannya.51
Berikutnya, penelitian Sulaiman Ibrahim dengan judul
“Tafsir Al-Qur’an Bahasa Bugis: Vernakulasi Dalam Kajian
Tafsir Al-Muni>r (2012)” yang menggunakan teori analisis
wacana kritis model Norman Fairlough dan temuannya dalam
penelitian ini lebih kepada dimensi sosiokultural pemikiran
Daud Ismail dalam Tafsir Al-Muni>r yang ditulisnya dalam
bahasa Bugis.52
Kemudian ada juga Johanna Pink yang menggunakan
metode komparasi terhadap penafsiran Q 5:51 oleh 17 ulama
tafsir sunni dari tiga negara berbeda yaitu Arab, Turki, dan
Indonesia. Temuan Pink, bahwa cara penafsiran 17 ulama yang
dipilihnya itu dalam menafsirkan Q 5:51 juga dipengaruhi oleh
background keilmuan serta posisi mereka ditengah
masyarakat, dan poin lain dari temuan Pink ialah para mufassir Arab lebih konservatif dalam menafsirkan hal-hal yang
berhubungan dengan non-muslim dibandingkan para mufassir Turki dan Indonesia.53
51 Rohmana, “Polemik Keagamaan,” 27-52. 52 Sulaiman Ibrahim, Tafsir Al-Quran Bahasa Bugis:
Vernakulasi Dalam Kajian Tafsir Al-Muni>r (Jakarta: LeKAS, 2012). 53 Johanna Pink, “Traditional and Ideology in
Contemporary Sunnite Qur’a>nic Exegesis: Qur’a>nic Commentaries
From The Arab World, Turkey and Indonesia and their Interpretation
39
Berbeda dengan beberapa sarjana pemerhati tafsir yang
secara umum menyiratkan kesepakatan mereka bahwa karya
tafsir tidak dapat terlepas dari ideologi dan kepentingan
mufassirnya, Abu Zayd mengecam keras tafsir-tafsir
bermuatan ideologis. Menurutnya Ideologi dalam penafsiran
secara umum, merujuk pada adanya bias, keperluan,
kecenderungan, dan tujuan-tujuan politis pragmatis serta
keagamaan dalam sebuah karya tafsir. Oleh karena itu, dia
tidak sepakat dengan model penafsiran yang secara
epistemologis berpijak pada ideologi.54
Perbedaan pendapat dikalangan ahli dan peneliti tentang
terdapatnya ideologi atau tidak boleh terdapat ideologi dalam
suatu tafsir, adalah sesuatu yang memang harus ada dalam
ranah kajian ilmiah. Karena ditemukannya ideologi di dalam
sebuah tafsir merupakan responss terhadap sosiokultural yang
berkembang di sekitar mufassir. Sedangkan penolakan
terhadap adanya muatan ideologi di dalam tafsir sebagaimana
yang dimaksudkan Abu Zayd, menegaskan bahwa penafsiran
Al-Qur’an merupakan wujud dari upaya menjabarkan
pentunjuk Allah di dalamnya yang tidak bisa diintervensi oleh
kepentingan mufassir. Kendati terjadi perbedaan sudut
pandang di antara ahli tentang ideologi dalam tafsir, belum
ditemukan penelitian terhadap ideologi Syekh Abdul Latif
Syakur berdasarkan NTYN.
D. Kebangsaan dan Nasionalisme
Kebangsaan merupakan bentuk turunan dari kata
bangsa. Bangsa adalah kelompok masyarakat yang bersamaan
asal dan keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta
of Q 5:51”, Die Welts des Islams, New Series Vol. 50, Issue I, (2010),
3-59. 54 Lihat dan baca bagian II, Abu Zayd, Imam Syafi’i
Moderatisme.
40
berpemerintahan sendiri.55 Kata dasar bangsa yang mengalami
afiksasi56 berupa konfiks57, sehingga membentuk kata
kebangsaan berarti ciri-ciri yang menandai golongan bangsa,
perihal bangsa, kedudukan (sifat) sebagai orang mulia,
kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara.58 Bangsa
menurut Soekarno sebagaiamana dijelaskan oleh Suseno
adalah komunitas karakter yang berkembang dari komunitas
pengalaman bersama.59
Menururut Anderson, bangsa adalah komunitas politik
yang terbatas dan berdaulat yang dicita-citakan atau
diangankan. Komunitas politik dikatakan sebagai imagined,
karena anggota komunitas tidak pernah saling mengenal, saling
bertemu, atau bahkan saling mendengar. Hal yang ada dalam
pikiran masing-masing anggota komunitas hanyalah angan-
angan tentang komunitasnya. Suatu bangsa akan terbentuk jika
sejumlah besar warga pada komunitas mau menetapkan diri
sebagai suatu bangsa yang mereka angankan.60 Maka kata
kebangsaan berdasarkan defenisi-defenisi tersebut merupakan
wujud dari kesadaran suatu kelompok masyarakat pada suatu
wilayah yang memiliki kesamaan asal keturunan, bahasa, adat,
dan sejarah.
55 KBBI V apps, diakses pada 12 Desember 2019 56Afiksasi adalah pemberian imbuhan pada suatu kata
dasar (https://dosenbahasa.com/jenis-jenis-imbuhan, diakses pada 12
Desember 2019) 57Konfiks adalah imbuhan yang terletak di awal dan di
akhir sekaligus (https://dosenbahasa.com/jenis-jenis-imbuhan, 12
Desember 2019) 58 KBBI V apps, diakses pada 12 Desember 2019 59 Baca prolog Franz Magnis-Suseno dalam Yudi Latif,
Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015), h. xxiii. 60 Benedict Anderson, Imagined Communities Reflections
on The Origin and Spread of Nationalism Revised Edition (London-
New York: Verso, 2006), h. 5-7.
41
Kebangsaan adalah paham yang berkembang di sebuah
negara bangsa (nation state). Negara bangsa bermula dari
pecahnya revolusi Prancis (1789-1799) yang dipengaruhi oleh
revolusi AS (1765-1783).61 Revolusi Prancis lahir sebagai
bentuk pemberontakan masyarakat Prancis terhadap sistem
pemerintahan absolut yang dijalankan oleh raja, diskriminasi
terhadap hak rakyat dan memperparah kondisi keuangan
kerajaan yang telah defisit dengan prilaku konsumtif yang
menjurus pada hedonisme.62 Saat revolusi Prancis berlangsung,
hampir di setiap penjuru menggaungkan semangat liberte, egalite, fraternite.63 Revolusi Prancis tersebutlah yang menjadi
cikal bakal terbentuknya negara bangsa, menggantikan
kerajaan dengan sistem monarki.64 Negara-bangsa dalam
perspektif politik Eropa merupakan sebuah gagasan baru yang
sering disebut modern nation state, meskipun sebenarnya telah
berlangsung sebelumnya. Negara bangsa menurut Hans Kohn
adalah bentuk organisasi politik yang ideal yang batasan
politiknya disesuaikan oleh etnografisnya.65
Konsep negara-bangsa dengan paham kebangsaan,
sebenarnya sudah lama berkembang di dunia Islam. Dalam
Islam term bangsa diwakili oleh beberapa kata yaitu; ummah
61https://mediaindonesia.com/read/detail/253974-negara-
bangsa diakses pada 12 Desember 2019. 62https://monitor.co.id/2018/09/21/revolusi-perancis-dan-
jatuhnya-kekuasaan-sang-raja/ diakses pada 12 Desember 2019. 63 Anggraeni Kusumawardanie & Faturochman,
“Nasionalisme”, Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, (Desember
2004), h. 64. 64 Azman, “Nasionalisme dalam Islam”, al-Daulah, Vol. 6,
No. 2, (Desember 2017), h. 267. 65 Hans Kohn, The Idea of Nationalism A Study in Its
Origin and Background (New York: The Macmillan Company, 1946),
h. 17.
42
(umat), qawm (kaum), dan shu’u>b.66 Term bangsa menurut
Siradj ada yang menunjukkan kesatuan seluruh bangsa
sebagaimana terdapat dalam Qs. al- Baqarah: 213, manusia itu
adalah umat (bangsa) yang satu. Kesatuan bangsa manusia ini,
dilihat dari asal mereka yaitu Adam dan Hawa.67
Kesatuan bangsa sebagaimana yang dimaksud dalam
negara-bangsa menurut Madjid adalah negara untuk seluruh
umat. Negara-bangsa didirikan atas kesepakatan bersama yang
menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka
antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan. Tujuan
negara-bangsa ialah mewujudkan kemaslahatan umat.68
Negara bangsa yang berkembang di Indonesia
merupakan manifestasi dari perjuangan pemimpin terdahulu.
Kesadaran untuk menentukan nasib sendiri yang tumbuh di
tengah-tengah masyarakat sebagai responss terhadap
kolonialisme merupakan alasan terwujudanya Negara
Kesatuan Republik Indonesia saat ini. Semangat ingin terbebas
dari penjajahan bangsa lain, keinginan untuk menentukan nasib
sendiri atas nama sebuah bangsa menjadi dasar dalam
pembentukan paham ideologi kebangsaan yang saat ini disebut
dengan nasionalisme.69
Nasionalisme dalam pandangan Kohn adalah paham
yang mengemukakan kesetiaan tertinggi suatu individu adalah
untuk negara kebangsaan. Menurut Kohn pula dulu sebelum
terbentuknya nasionalisme, kesetiaan seseorang tidak
ditujukan kepada negara bangsa tetapi ditujukan kepada
66 Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan Fiqih Demokratik
Kaum Santri (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), h. 191. 67 Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan, h.191. 68 Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 43. 69 Dede Rosyada, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan,
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003), h. 24.
43
kekuasaan sosial, organisasi politik, raja, kesatuan ideologi,
dan lain-lain.70
Berbeda dengan Kohn, menurut Sartono Kartodirjo
sebagaimana dikutip oleh Murod, nasionalisme adalah ideologi
yang mencakup lima prinsip yaitu unity (kesatuan) yang
merupakan syarat mendasar. Liberty (kemerdekaan) yang
mencakup kemerdekaan untuk berpendapat. Equality
(persamaan) bagi setiap warga untuk mengembangkan
kemampuannya individu. Personality (kepribadian) dibentuk
oleh pengalaman budaya dan sejarah bangsa. Dan performance
yaitu prestasi yang dibanggakan kepada bangsa lain.71
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, dapat
difahami bahwa nasionalisme adalah kesetiaan yang timbul
atas kesadaran atas identitas bersama. Biasanya dipicu oleh
rasa sama. Kesamaan itu bisa berasal dari sama keturunan,
suku, budaya, bahasa, dan derah asal. Rasa sama tersebut akan
melahirkan rasa nasionalisme jika ada keinginan untuk bersatu.
70 Hans Kohn, The Idea of Nationalism 71 Abdul Choliq Murod, “Nasionalisme Dalam Pespektif
Islam, ” Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No. 2 (Agustus
2011), h. 46
44
BAB III
Syekh Abdul Latif Syakur dalam Dinamika Penulisan Tafsir
Nusantara
Pada bab ini akan memaparkan tentang biografi singkat
Syekh Abdul Latif Syakur dan karyanya. Pembahasan ini akan
mengulas sekilas tentang Sumatera Barat pada masa pra
kemerdekaan dan pasca kemerdekaan Indonesia awal abad
kedua puluh. Dalam sub bab tersebut akan menggambarkan
kondisi sosial masyarakat Sumatera Barat pada masa sebelum
kemerdekaan dan setelah kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya
akan memaparkan riwayat singkat Syekh Abdul Latif Syakur.
Dan pada poin terakhir akan menjelaskan tentang karya-karya
Syekh Abdul Latif Syakur, serta posisi teks Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s (NTYN) di tengah-tengah tafsir
Nusantara.
Akhir abad sembilan belas dan awal abad dua puluh
merupakan puncak imprealisme ditandai dengan banyak
negara-negara Barat yang membentuk kekaisaran. Inggris dan
Prancis misalnya yang melakukan ekspansi ke Afrika dan Asia.
Tujuan mereka adalah untuk menjadikan kawasan tersebut
sebagai wilayah kekuasaan bangsa Eropa. Tak jauh berbeda
dengan Inggris dan Prancis, Belanda juga turut serta dalam
masa imprealisme. Belanda telah mengukuhkan posisinya di
Indonesia bahkan lebih dahulu daripada periode puncak
imprealisme.1
1 Sitti Aisyah, “Dinamika Umat Islam Indonesia pada
Masa Kolonial Belanda (Tinjauan Historis)”, Jurnal Rihlah Vol. II,
No. 1, (1 Mei 2015), h. 12
45
A. Sumatera Barat Pada Paruh Awal Abad XX
Sumatera Barat adalah salah satu kawasan utama yang
menjadi tempat perlawanan terhadap penjajahan pada abad dua
puluh. Pada masa kegiatan melawan Belanda, Sumatera Barat
adalah daerah yang setia kepada Indonesia. Kesetiaan daerah
ini tampak dari banyaknya menghasilkan putra daerah yang
cemerlang. Banyak tokoh-tokoh nasionalis masa pra
kemerdekaan dan generasi pemimpin politik Indonesia pasca
kemerdekaan dengan berbagai pandangan ideologi berasal dari
daerah ini.2
Keunikan masyarakat Sumatera Barat yang paling
mencolok adalah perpaduan sistem matrilineal yang kuat dan
masih eksis serta keyakinan teguh terhadap ajaran Islam pada
mayoritas masyarakat Minangkabau. Meski terkadang
terdapat pertentangan antara sistem matrilineal dan keyakinan
Islam, namun itu semua menjadi perpaduan nyata dalam
perkembangan kontestasi ideologi di akhir masa penjajahan.
Hal ini dapat dilihat antara tahun 1920-an dan 1940-an dimana
partai politik Islam dapat berbaur dengan koalisi komunis.
Pada akhir periode penjajahan, selain nasionalisme kuat
mengakar di Minangkabau, sekolah-sekolah dasar dan
menengah swasta Islam modern juga banyak tumbuh subur di
sana dibandingkan kawasan lain di Indonesia.3
Permulaan awal abad kedua puluh merupakan peralihan
tujuan Belanda dari upaya penaklukan wilayah ke eksploitasi
sumber kekayaan alam Indonesia. Pada masa itu istilah yang
digunakan sebenarnya bukanlah eskploitasi, namun diganti
dengan ungkapan keprihatinan atas kesejahteraan bangsa
Indonesia. Peralihan tujuan dan pemilihan ungkapan tersebut
2 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra
Barat dan Politik Indnesia 1926-1998 (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2005), h. xxxi-xxii. 3 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra
Barat, h. xxxii.
46
melahirkan sebuah kebijakan yang disebut ‘politik etis’.
Peralihan ini berpengaruh besar terhadap masalah politik,
budaya, dan agama masyarakat Indonesia. Aktivitas anti-
kolonial dan aktivitas pembaruanpun juga berjamuran pada
masa ini.4 Di samping untuk menjarah kekayaan sumber daya
alam Indonesia, Belanda juga datang membawa para misionaris
Kristen dan Protestan untuk menyebarkan ajarannya di
Indonesia.5
Awal abad kedua puluh bisa dikatan sebagai titik puncak
kebangkitan nasional di Indonesia. Di Sumatera Barat,
ditandai dengan perlawanan terhadap kebijakan Belanda
tentang pembayaran pajak langsung dengan mengakibatkan
meletusnya perang belasting (pajak) di Kamang dan menyebar
kewilayah lainnya.6 Perang ini diprakarsai oleh ulama tarekat
Syattariah. Pasca terjadinya perang belasting, aktivitas-
aktivitas anti kolonial Belanda tumbuh subur di Sumatera
Barat dengan berbagai bentuk. Aktivitas anti kolonial yang
merupakan bentuk nasionalisme memiliki karakteristik yang
sangat berbeda dengan daerah-daerah lainnya.
4 M. C. Ricklefs terj Satrio Wahono, dkk., Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2005), h. 319 dan
341. 5 Husni Mubarok, “Babak Baru Ketegangan Islam dan
Kristen di Indonesia”, dalam Studia Islmika Indonesian Journal For
Islamic Studies, Vol. 21, No. 3, (2014), h. 582. 6 Erman, sebagaimana merujuk pada Kahin menyatakan
bahwa perang belasting ini terjadi pada tahun 1908 (lebih lanjut baca
Erman, “Perlawanan Ulama Minangkabau Terhadap Kebijakan
Kolonial Di Bidang Pendidikan Awal Abad XX”, Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 3, No. 1, (Januari - Juni 2015), h. 1.)
Baca juga Audrey Kahin, Dari Pemberontakan Ke Integrasi, h. 12.
Bandingkan dengan Irhas A. Samad, dkk., Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, (Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 2007),
h. 149.
47
Kebiasaan masyarakat Minangkabau yang suka
mendengarkan cerita, baik itu cerita-cerita biasa, cerita rakyat,
maupun cerita heroik pahlawan sangat berpengaruh bagi
masyarakat di Sumatera Barat. Kisah-kisah seperti itu
biasanya diceritakan dari satu generasi ke generasi. Tradisi ini
sangat berperan dalam membentuk spirit anti kolonial di
tengah-tengah masyarakat Minang. Oleh karena itu, tradisi
mendengarkan cerita atau sejarah (oral story atau oral history)
sangat kuat pengaruhnya dalam mengembangkan rasa
nasionalisme dibandingkan penanaman pemikiran-pemikiran
Barat yang waktu itu sangat gencar dilakukan.7
Selain itu, konsep kesetaraan yang tertanam dalam
falsafah adat Minangkabau yakni: duduak samo randah, tagak samo tinggi8. Maksudnya adalah: setiap orang secara individu
adalah sama, sama asal-muasal, penciptaannya dan harkat
martabatnya. Lalu perpaduan antara konsep kesetaraan dalam
falsafah adat Minang dan prinsip egaliter dalam Islam juga
sangat berpengaruh dalam membentuk mindset dari
masyarakat Minangkabau pada masa itu. Ditambah pula
dengan tradisi merantau yang dilakukan oleh pemuda Minang
keluar daerah juga berperan dalam menumbuhkan kesadaran
akan rasa nasionalisme.9
Kesadaran semacam ini tidak lahir dari kalangan elit
masyarakat Minang yang berpendidikan Barat. Ia lahir dari
rahim kepentingan-kepentingan agama, pendidikan dan
pengusaha Sumatera Barat yang berdasarkan kepada idealisme
masyarakat saudagar Islam. Kepentingan-kepentingan itu
disebarkan lewat hubungan dagang melalui jaringan alternatif
7 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra
Barat, h. 93 8 Duduak samo randah, tagak samo tinggi: duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi. 9 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra
Barat, h. 93
48
Sumatera dan Malaya, Singapura dan Timur Tengah, atau
Bangkok dan India tanpa melalui jaringan kolonial.10
Bermunculannya intelektual-intelektual muda yang
aktif di berbagai lembaga pendidikan, merupakan salah satu
bentuk nyata perlawanan yang ada di Sumatera Barat.
Lembaga pendidikan tersebut kebanyakan merupakan milik
pribadi (swasta) yang didirikan oleh kaum terpelajar-
pengusaha.11 Tak hanya kaum pelajar-pengusaha, respons yang
sama juga diperlihatkan oleh para ulama Minangkabau.
Adanya respons seperti ini menunjukkan bahwa telah ada
upaya untuk melakukan pembaruan untuk mengatasi intervensi
Belanda.
Upaya pembaruan di Minangkabau sebenarnya telah ada
jauh sebelum abad kedua puluh. Misal, saat pecahnya perang
Paderi. Perang Paderi yang awalnya adalah untuk memurnikan
ajaran Islam dari unsur bid‘ah dan khurafat, juga menjadi
perang terhadap aksi kolonialisme.12 Hal ini terjadi karena
kaum adat meminta bantuan kepada pihak Belanda untuk
mengalahkan kelompok agama yang diwakili oleh kaum
Paderi. Setelah paderi, gerakan pembaruan di Minangkabau
telah digagas oleh Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
sejak akhir abad kesembilan belas hingga awal abad dua puluh.
Meskipun pembaruan yang dilakukannya tak langsung di
Minangkabau, namun pengaruhnya cukup kuat dirasakan pada
saat itu.
Langkah yang ditempuh Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi sangat jauh berbeda dengan yang telah
10 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi
Sumatra Barat, h. 94 11 Elizabeth E. Graves terj Novi Andri, dkk., Asal-Usul
Elite Minangkabau Modern Responss terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 278.
12 Irhas A. Samad, dkk., Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, h. 88.
49
dilakukan oleh para pembaru Minangkabau terdahulu. Semisal
Tuanku Imam Bonjol melalui gerakan Paderi yang identik
dengan kekerasan.13 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
justru memilih jalur pendidikan dan sukses menyebarkan
pemikirannya di kawasan Hindia-Timur (Indonesia dan
Malaya), terutama di Minangkabau. Alasannya cukup
sederhana, sebagai putra kelahiran Minangkabau yang tinggal
di Makkah dengan segudang prestasi yang ditunjukkan dengan
memperoleh kedudukan sebagai imam mazhab Syafi’i dan
diberi hak istimewa oleh kerajaan Arab untuk mengajar di
Masjid al-H}ara>m, yang tidak terbuka untuk umum.14 Dan
metode pembaruan tanpa ada unsur kekerasan ini lebih mudah
diterima di tengah masyarakat yang masih tenggelam dalam
bayang kelam masa Padri.
Kesuksesan Ahmad Khatib dalam menyebarkan
pikirannya tidak terlepas dari peranan murid-muridnya,
terutama yang berasal dari Minangkabau. Secara garis besar
ada dua gagasan utama yang dilakukan Ahmad Khatib al-
Minangkabawi dalam mereformasi pemikiran, pertama, open minded. Berwawasan terbuka dengan membuka pintu ijtihad,
sehingga tidak taklid. Kedua, memurnikan agama dari praktik-
praktik keagamaan yang tidak sesuai syariat. Dengan kedua ide
ini, ia mampu menginspirasi murid-muridnya secara
intelektual dalam menyelamatkan akidah Islam dari inovasi-
inovasi saat mempraktikan ritual ibadah.15
13 M. C. Ricklefs terj Satrio Wahono, dkk., Sejarah
Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2005), h. 303. 14 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim
Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera Barat (Jakarta:
UMMINDA, 1982), h. 272. 15 Murni Jamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah
Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20 (Leiden-Jakarta: INIS, 2002), h. 14.
50
Setelah kembali ke kampung halaman masing-masing,
para murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi mulai
mengimplementasikan gagasan guru mereka. Mereka mulai
melakukan pemurnian terhadap ajaran Islam dan praktiknya
sebagaimana yang telah diperoleh saat menimba ilmu di
Makkah kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Di
antara murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
ada yang mampu menyesuaikan ide-ide gurunya itu dengan
gagasan baru sehingga tidak taklid. Sedangkan bagi mereka
yang berwawasan sempit tidak mampu menyesuaikan sehingga
mereka hanya menjadi murid yang taklid pada pengajaran guru
mereka. Perbedaan cara berpikir ini menggiring ulama Minang
di Sumatera Barat pada abad XX terkotak-kotak pada Kaum
Muda dan Kaum Tua. Kaum Muda adalah mereka yang
menerima dan melakukan ijtihad yang tidak taklid dan Kaum
Tua ialah mereka yang terjebak pada taklid .16
Polemik antara Kaum Tua dan Kaum Muda di
Minangkabau berpusat pada topik agama. Pertentangan kedua
kelompok ini berkembang menjadi perdebatan-perdebatan
terbuka. Hal ini berimbas pada terkotak-kotaknya pola
beragama masyarakat Islam di Minagkabau, begitu pula
dikalangan ulama. Suraupun sebagai pusat aktivitas
keagamaan tidak luput dari dampak perpecahan ini. Sebab
surau merupakan basis bagi para ulama yang terafiliasi pada
masing-masing kelompok untuk menyebarkan pemikiran
mereka. Selain surau, media massa seperti majalah-majalah
yang dikeluarkan oleh masing-masing kelompok juga berperan
dalam mengukuhkan ide-ide mereka sebagai wujud eksistensi
kelompoknya.17 Meskipun terdapat polarisasi antara Kaum
Tua dan Kaum Muda, pada akhirnya mereka menyadari bahwa
16 Murni Jamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah
Pengaruhnya, h. 14. 17 Irhas A. Samad, dkk., Islam dan Praksis Kultural
Masyarakat Minangkabau, h. 107-109.
51
perdebatan itu hanyalah pada aspek khila>fiyah dan furu>‘iyah.
Sebaliknya pada aspek fundamental dalam agama Islam, kedua
kelompok ini masih sependapat.18
Pertikaian yang terjadi antara ulama Kaum Tua dan
Kaum Muda awal abad kedua puluh di Sumatera Barat,
memberikan dampak positif dalam proses kebangkitan bangsa
Indonesia. Ini juga menjadi revolusi dalam pendidikan Islam di
Minangkabau khususnya dan Nusantara umumnya. Surau,
awalnya hanyalah tempat memperdalam agama dengan sistem
tradisional berupa halaqah sebagaimana majelis ilmu di Timur
Tengah pada waktu itu. Namun polemik yang terjadi di antara
kedua kelompok ulama itu mentranformasi surau menjadi
sentra perubahan, mulai dari cara mengajar hingga penerbitan
majalah-majalah Islam.19
Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian awal bab
ini, abad kedua puluh merupakan era kebangkitan nasional di
Indonesia. Kebangkitan itu juga menembus ranah pendidikan.
Ada beberapa alasan yang mendorong terjadinya kebangkitan
dalam pendidikan pada masa itu di antaranya: pertama,
dorongan untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial.
Kedua, respons terhadap sistem pendidikan kolonial Belanda
yang diskriminatif. Ketiga, pengaruh pembaharuan yang
dilakukan oleh Kaum Muda. Selain itu, dorongan dari luar
Indonesia akibat pengaruh pemikiran tokoh-tokoh pembaharu
Timur Tengah seperti Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad
Abduh yang dibawa oleh pelajar-pelajar asal Indonesia yang
menimba ilmu ke tanah suci Makkah, Madinah, dan Mesir.20
18 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-
1942 (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 260-261. 19 Irhas A. Samad, dkk., Islam dan Praksis Kultural
Masyarakat Minangkabau, h. 108. 20 Nasril, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad XX
Kasus Sumatera Barat”, h. 80-82. Diakses pada 20 Agusutus 2018.
52
Kebangkitan pada ranah pendidikan di Sumatera Barat
ditandai dengan pembaharuan atau modernisasi pada surau-
surau yang telah berkembang baik. Pengajarnya adalah
pemuda-pemuda yang telah pulang ke Minangkabau dari
perjalanan intelektual ke Timur Tengah. Lewat tangan guru-
guru muda seperti Haji Abdul Karim Amrullah, Abdullah
Ahmad, Syekh Djamil Djambek, dan lain-lain itulah purifikasi
ajaran Islam dan modernisasi dalam pendidikan Islam tersebar.
Sebagaiaman telah disinggung di awal, Syekh Ahamad Khatib
al-Minangkabawi adalah pilar awal dari modernisasi yang
terjadi di Minangkabau.21
B. Biografi Syekh Abdul Latif dan Karya-karyanya
Syekh Abdul Latif Syakur merupakan putra daerah
Sumatera Barat yang lahir di Air Mancur pada 15 Agustus
1882.22 Beliau putra dari Abd Sjakur Simabur, Sawah Gadang,
Balai Gurah dan Fatimah Piliang, Sawah Gadang, Balai Gurah.
Saat Abdul Latif Syakur dilahirkan, kedua orang tuanya sedang
21 Rini Rahman, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal
Abad 20 (Studi Kasus di Sumatera Barat)”, dalam Humanus, Vol.
XIV, No.2, (2015), h. 177. 22 Ada perbedaan pendapat tentang waktu lahirnya Syekh
Abdul Latif ini, misalnya Nazwar dalam tulisannya menyatakan
bahwa Syekh Abdul Latif Syakur lahir pada 16 Agustus 1881 (lihat,
Akharia Nazwar, Ahmad Khatib, Ilmuwan Islam Di Permulaan Abad Ini (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), sedangkan Hidayat dalam
tulisannya menjelaskan bahwa Syekh Abdul Latif Syakur lahir pada
tahun 1880 (lihat. Ahmad Taufik Hidayat, dkk., Tafsir Sosial Ayat-Ayat Al-Quran Naskah Syekh Abdul Latif Syakur (Padang: Pusat
Penelitian Dan Penerbitan LPPM IAIN Imam Bonjol Padang, 2014),
h. 47. Jika merujuk pada salah satu manuskrip karya Syekh Abdul
Latif Syakur yang berjudul Al-Juz’u Al-Tha>min ‘Ashr min Su>rah Al-Mu’minu>n, bahwa ia dilahirkan pada 27 Ramadan 1299, maka
berdasarkan h}isa>b al-jumal ia lahir pada tahun 1882.
53
merantau ke desa kecil yang terletak di Padang Panjang itu.23
Ayahnya adalah seorang andeman pembuat rel kereta api,
apabila tidak ada pekerjaan biasanya ia pergi ke sawah untuk
mencari rumput dan menjualnya kepada kusir bendi.24 Saat
beliau sedang erat menyusu, ibunya meninggal. Selanjutnya
Latif disusui oleh wanita asal Kayu Tanam, yang dikenal Uai
Tarsiah.25
Setelah ibunya meninggal, saat berusia 7 tahun Latif
dibawa oleh ayahnya ke Makkah untuk berhaji. Sesampainya
di Makkah, ia diajak menemui Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi.26 Tak hanya berhaji, ayah Abdul Latif Syakur
juga menginginkan ia memperkuat ilmu agamanya di sana.
Sehingga, ayahnya memutuskan untuk menetap di sana.
Selama berada di Makkah, Abdul Latif belajar kepada Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Syekh Ahmad Khatib
memiliki beberapa murid yang berasal dari Minangkabau
diantaranya Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA atau inyiak
Rasul), Abdullah Ahmad, Syekh Djamil Djambek, Syekh Taher
Jalaluddin al-Falaki, Syekh Sulaiman al-Rasuli (inyiak
Canduang), Syekh M. Djamil Jaho, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Sedangkan Syekh Abdul Latif Syakur merupakan
23 Akharia Nazwar, Ahmad Khatib, h. 75. 24 Ahmad Taufik Hidayat, dkk., Tafsir Sosial Ayat-Ayat,
h. 47. 25 Sa’diah Sjakurah, Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak
Dilahirkan (manuskrip). 26 Syekh Ahmad Khatib merupakan ulama asal Koto Tuo
Ampek Angkek, yang dekat dengan kampung ayah Abdul Latif (lebih
lanjut baca Ahmad Taufik Hidayat, Tafsir Sosial Ayat-Ayat, h. 47
dan Apria Putra, “Ulama Minangkabau Dan Sastra: Mengkaji
Kepengarangan Syekh Abdul Latif Syakur”, Diwan Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 9, Edisi 17, (Juni 2017), h. 601-604.
54
murid paling muda usianya di antara mereka yang disebutkan
tadi.27
Abdul Latif Syakur saat beguru kepada Syekh Ahmad
Khatib al-Minangkabawi, belajar membaca al-Qur’an dan
mengkaji kitab-kitab semisal tauhid, ilmu alat, fiqh, dll. Pada
usia 10-11 tahun selain belajar, ia pun turut membantu Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi mengajar. Banyak pelajar
asal Minangkabau yang belajar kepadanya sebelum mengikuti
pelajaran dengan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.28
Selain menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-
Minangkabawi, Syekh Abdul Latif Syakur juga menuntut ilmu
kepada Syekh Khatib Kumango seorang ahli tilawah di
Mekkah yang juga berasal dari Minangkabau.29 Kepada nya,
Syekh Abdul Latif Syakur belajar tilawah al-Qur’an. Oleh
karena itu, dalam sebuah karya tafsir yang dikarang oleh Syekh
Abdul Latif Syakur terdapat kutipan yang terkait dengan ilmu
qira>’at.30
Ketika Abdul Latif belajar, ayahnya kembali ke
kampung halamannya untuk beberapa saat dan ia dititipkan
kepada Syekh Ahmad Khatib. Saat kembali ke Mekkah,
ayahnya datang dan membawa istrinya yang bernama Saleha
Sikumbang, Sawah Gadang, Balai Gurah.31 Tak lama setelah
ayahnya sampai di Makkah bersama istrinya itu, ayahnya pun
meninggal. Meskipun ayahnya telah meninggal, ia tetap
27 Firdaus, dkk., Beberapa Ulama di Sumatera Barat
(Padang: Puslit IAIN Padang, 2008), h. 234 dan Sa’diah Sjakurah,
Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak Dilahirkan (manuskrip). 28 Sa’diah Sjakurah, Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak
Dilahirkan (manuskrip). 29 Apria Putra, “Ulama Minangkabau Dan Sastra ..., h. 607. 30 Ridhoul Wahidi, dkk., “Syaikh Abdul Latief Syakur’s
View on Moral Values in Tafsi>r Surah Al-Mukminu>n”, Esensia Jurnal ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 19, No. 1, (April 2018), h. 69.
31 Sa’diah Sjakurah, Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak Dilahirkan (manuskrip).
55
melanjutkan belajar di sana dengan didampingi ibu
sambungnya. Setelah 12 tahun lamanya berada di Makkah,
Abdul Latif Syakur kembali ke kampung halamannya
Bukittinggi bersama ibu sambungnya pada tahun 1901.32
Kepulangan Syekh Abdul Latif Syakur dari tanah suci
Makkah ke kampung halamannya pada tahun 1901 ini, juga
bertepatan dengan kembalinya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah
(HAKA) dari sana.33 Waktu kembalinya mereka merupakan
masa di mana gagasan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
sedang tumbuh subur di kampung halaman mereka,
Minangkabau. Dan di sini Abdul Latif Syakur turut menjadi
agen penyebaran ide-ide dari Syekh Ahmad Khatib.
Sesampainya di kampung halaman, Abdul Latif Syakur tetap
tinggal bersama ibu sambungnya.
Pada awal kepulangannya, Abdul Latif belumlah bisa
berbicara menggunakan bahasa Melayu, ia hanya bisa
berbahasa Arab. Hal ini dapat dimaklumi, karena dari usia 7
tahun ia berangkat ke Makkah dan baru kembali sekitar usia 19
tahun dan ia sangat fokus memperdalam bahasa Arab dan
hanya berkomunikasi dengan bahasa Arab. Sehingga pada awal
keberadaannya di kampung halaman, Syekh Abdul Latif
Syakur belumlah memulai aktifitas pengajaran. Setelah lama
menetap dan mulai bisa berbahasa Melayu Minang, barulah ia
mulai aktifitas pengajaran. Sebelum mulai mengajar ia telah
dinikahkan dengan anak pamannya yang seayah dengan
ayahnya.34 Dalam beberapa tulisan dikatakan bahwa Syekh
Abdul Latif Syakur menikah sebanyak sembilan kali, namun
32 Sa’diah Sjakurah, Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak
Dilahirkan (manuskrip). 33 Murni Djamal, Dr. H. Abdul Karim Amrullah
Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20 (Leiden-Jakarta: INIS, 2002), h. 20.
34 Sa’diah Sjakurah, Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak Dilahirkan (manuskrip).
56
yang bertahan hingga ia wafat sebanyak tiga orang. Sedangkan
yang lainnya telah bercerai. Faktor perceraian itu karena tidak
memiliki keturunan.35
Syekh Abdul Latif Syakur merupakan ulama yang
cenderung pragmatis, yakni lebih mengutamakan hal-hal yang
bermanfaat dan mudah dipraktikkan.36 Hal ini dapat diketahui
dari langakah yang ditempuhnya saat memulai pergerakan di
kampung halaman. Syekh Abdul Latif Syakur mulai dengan
memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia mendapati
masyarakat setempat sudah menjalankan kewajiban agama
Islam seperti shalat, namun bacaan mereka masih belum benar.
Maka ia mulai dengan mengajarkan perkara shalat dimulai dari
tata cara bersuci hingga bacaan shalat yang benar.37 Saat itu ia
mengajar di sebuah surau yang disebut surau Si Camin. Surau
Si Camin itu adalah surau peninggalan ayah Syekh Abdul Latif
Syakur di kampungnya.38
Sebagai ulama yang berkiprah di tengah-tengah
konfrontasi antara Kaum Tua dan Kaum Muda, Syekh Abdul
Latif Syakur justru tidak menunjukkan bahwa ia terafiliasi
pada salah satu di antara kedua kelompok itu. Bagi Abdul Latif
Syakur, memihak pada salah satu kelompok hanya akan
membuat masyarakat semakin bingung dalam menjalankan
praktik ajaran Islam. Keputusan Syekh Abdul Latif Syakur ini
yang mungkin membuatnya tidak populer seperti ulama-ulama
35 Ahmad Taufik Hidayat, dkk., Tafsir Sosial Ayat-Ayat
..., h. 48. 36 Wawancara pribadi dengan Zulashfi, Ciputat, 9 Januari
2019. 37 Sa’diah Sjakurah, Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak
Dilahirkan (manuskrip). 38 Sa’diah Sjakurah, Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak
Dilahirkan (manuskrip).
57
seangkatan pada masanya.39 Sikapanya yang demikian itu pula
menunjukkan bahwa ia adalah seorang ulama yang netral dala
konteks kekinian disebut ulama moderat.40 Ada juga yang
mengelompokkan Syekh Abdul Latif Syakur pada golongan
Kaum Muda (pembaharu), barangkali ini karena ia juga
termasuk kepada ulama yang juga menolak taklid dan
membuka ijttihad sebagaimana umumnya ulama pembaharu.
Pembaruan Syekh Abdul Latif Syakur yang diketahui
adalah saat ia mendirikan sebuah sekolah agama pada tahun
1916 yang diberi nama al-Tarbiyah al-H}asanah.41 Sekolah ini
merupakan tempat belajar membaca al-Qur’an. Sekolah ini
termasuk kepada salah satu sekolah modern yang ada di
Sumatera Barat. Karena di sini murid-murid sudah
menggunakan meja dan kursi tempat belajar, serta
menggunakan batu tulis sebagai alat tulis pada masa itu.42
Pada sekolah itu tidak hanya diajarkan membaca al-
Qur’an namun juga diajarkan baca tulis untuk mereka yang
masih buta huruf. Di awal berdirinya sekolah ini, murid-murid
yang belajar adalah anak-anak yang belum belajar mengaji dan
anak-anak yang duduk di kelas tiga Sekolah Rakyat (SR). Saat
mengajar baca al-Qur’an, Syekh Abdul Latif tidak memulai
dari surat ‘amma seperti lazimnya yang diajarkan di surau-
surau yang ada di Sumatera Barat pada masa itu. Ia mengarang
39 Yulfira Riza, dkk., “Berdamai dengan Perempuan:
Komparasi Teks antara Naskah Al-Mua>shirah dan Kitab Cermin
Terus”, Manuscripta, Vol. 9. No. 1, (2019), h. 121. 40 Ahmad Taufik Hidayat, dkk., Tafsir Sosial Ayat-Ayat
..., h. 48. 41 Sa’diah Sjakurah, Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak
Dilahirkan (manuskrip). 42 Sa’diah Sjakurah, Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak
Dilahirkan (manuskrip). Lihat juga Sa’diah Sjakurah, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Tamat Selam Satu Tahun (manuskrip).
58
dan menulis sendiri buku pedoman belajar, buku itu dijuduli
Ta‘li>m al-Qira>’ah.43
Sebelum mulai membuka madrasah itu, sebenarnya
Syekh Abdul Latif telah mulai mengajar dengan murid pertama
adalah anak sulungnya. Pada waktu itu keponokannya juga
turut ikut serta belajar. Setelah anak sulungnya dan
keponakannya telah menamatkan membaca al-Qur’an dalam
rentang waktu satu tahun, Syekh Abdul Latif Syakur hendak
mengadakan syukuran atas keberhasilan mereka. Namun Syekh
Abdul Latif Syakur menangguhkan syukuran itu hingga anak
keduanya selesai menamatkan pula membaca tiga puluh juz al-
Qur’an. Setelah satu tahun, barulah syukuran itu dilakukan.
Syekh Abdul Latif mengadakan perayaan khatam al-
Qur’an anak dan keponakannya itu tepat di bulan Zulhijah.
Acara itu dilaksanakan setelah shalat idul adha dengan besar-
besaran. Ia menyembelih dua ekor sapi untuk memeriahkan
acara khatam al-Qur’an itu dan juga sebagai tanda pembukaan
madrasah yang ia dirikan itu.44 Syukuran khatam al-Qur’an
yang dilakukan Syekh Abdul Latif Syakur ini, menjadi cikal-
bakal dari tradisi perayaan khatam al-Qur’an yang berkembang
di beberapa daerah di Sumatera Barat hingga saat ini. Apa
yang dilakukan Syekh Abdul Latif Syakur ini dapat
dikategorikan kepada pembaharuan pada masa itu.
Syekh Abdul Latif Syakur bukanlah sosok ulama yang
masyhur di Sumatera Barat. Namun, ia adalah ulama yang
terkenal di regional Balai Gurah dan Bukittinggi. Ia juga
termasuk ulama yang peduli pada nasib perempuan.
Kepeduliannya itu diwujudkan dengan mendirikan majalah
Djauharah pada tahun 1923. Penulis yang berkontribusi dalam
majalah itu adalah perempuan yaitu putri sulung Syekh Abdul
43 Sa’diah Sjakurah, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA)
Tamat Selam Satu Tahun (manuskrip). 44 Sa’diah Sjakurah, Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak
Dilahirkan (manuskrip).
59
Latif Syakur yang bernama Sa’diah Sjakurah dan beberapa
teman perempuannya. Mereka semua diasuh dan dibimbing
langsung oleh Syekh Abdul Latif Syakur dalam mengahasilkan
tulisan untuk majalah tersebut. Pada tahun 1925 aktivitas
majalah Djauharah terhenti, sebab terdampak dari
pemberontakan PKI.45
Syekh Abdul Latif Syakur adalah seorang ulama yang
sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia tidak membiarkan
ilmunya hanya mengendap pada dirinya sendiri. Selama
hidupnya, ia sangat giat berpartisipasi untuk mencerdaskan
kehidupan masyarakat sekitar dengan mengajar di madrasah
yang didirikannya sendiri ataupun yang ada di dekat
kampungnya. Tak hanya mengajar, ia juga banyak menuangkan
gagasannya dengan goresan tinta dalam lemabaran demi
lembaran kertas. Kegiatan kepengarangan Abdul Latif Syakur
tidak hanya sebatas mengarang buku panduan untuk mengajar,
tetapi juga sebagai respons terhadap linkungan sekitarnya. Ia
sangat suka mengarang menggunakan bahasa Arab.46
Karangan Abdul Latif Syakur kebanyakan membahas
persoalan-persoalan agama yang tengah populer pada masa itu.
Sebagai ulama yang produktif menulis, Syekh Abdul Latif
Syakur tidak membatasi dirinya hanya fokus mengarang pada
satu cabang keilmuan tertentu. Namun ia juga mengerahkan
dirinya untuk mengarang pada ilmu lainnya. Dari banyak
bidang keilmuan yang ditulis, fiqih, akhlak, tauhid, dan bahasa
Arab adalah ilmu-ilmu yang kerap dijadikan tema dalam
menulis.47
45 Sa’diah Sjakurah, Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak
Dilahirkan (manuskrip). 46 Apria Putra, “Ulama Minangkabau dan Sastra ...”, h.
608. 47 Apria Putra, “Ulama Minangkabau dan Sastra ...”, h.
609.
60
Syekh Abdul Latif Syakur termasuk salah seorang dari
sedikit ulama Minangkabau yang produktif menulis.
Menurutnya, “menuangkan pemikiran kita melalui tulisan akan
membuat pemikiran kita abadi dan tetap berguna bagi orang
banyak walaupun kita telah mati”.48 Prisnsip yang seperti itu
membuat Syekh Abdul Latif Syakur diakui oleh Syekh
Muhammad Djamil Djambek sebagai ulama penulis.49 Dari
filolosofinya itu, dapat dipahami bahwa Abdul Latif Syakur
ingin tetap menjadi manusia yang bermanfaat kendatipun ia
telah meninggal, salah satunya melalui karya-karyanya.
Secara umum karya tulis Syekh Abdul Latif dapat
diklasifikasikan pada dua kelompok, pertama, berbahasa Arab.
Kedua, berbahasa Melayu-Minangkabau. Dari cara penulisan,
karyanya dapat diketegorikan pada dua bentuk yaitu puisi dan
prosa. Selain menulis karya sendiri, Syekh Abdul Latif Syakur
juga menerjemahkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab ke
bahasa Melayu.50
Semangat Syekh Abdul Latif Syakur dalam menulis
semakin menggebu dalam rentang tahun 1920-1925. Ia banyak
menulis materi pelajaran madrasah sebagai respons terhadap
masalah yang dihadapi masyarakat setempat. Terkait
karyanya, berdasarkan keterangan yang terdapat dalam sampul
kitab akhla>quna> al-‘adabiyah yang dicetak oleh Drukkerij
Islamijah Bukittinggi ada sekitar 19 karya Syekh Abdul Latif
Syakur yang telah diterbitkan.51 Menurut Zulashfi, karya
Syekh Abdul Latif Syakur yang telah dicetak sebanyak 20 buah
48 Ahmad Taufik Hidayat, dkk., Tafsir Sosial Ayat-Ayat
..., h. 53. 49 Ahmad Taufik Hidayat, dkk., Tafsir Sosial Ayat-Ayat
..., h. 52. 50 Apria Putra, “Ulama Minangkabau dan Sastra ...”, h.
609. 51 Apria Putra, “Ulama Minangkabau dan Sastra ...”, h.
609-610.
61
dan untuk karya masih berupa manuskrip belumlah dilakukan
pendataan secara rinci, namun kemungkinan ada sekitar 16
karya berupa manuskrip dari total 36 karya yang disimpan
keluarganya. Menurut Zulashfi pula, kemungkinan masih ada
karya Syekh Abdul Latif Saykur yang masih disimpan oleh
keturunannya yang lain, mengingat hingga akhir hayatnya
Syekh Abdul Latif Saykur memiliki tiga orang istri yang masih
bersamanya.52
Beberapa karya Syekh Abdul Latif Syakur yang telah
diterbitkan dan teridentifikasi yaitu:
1. Lat}a>if al-H}adi>th al-Nabawiyyah, perkumpulan seribu
hadis-hadis Nabi.
2. Maba>di’ al-‘Arabiyyah wa-Lughatuha>, kitab yang
membahas tata bahasa Arab yang difokuskan pada
ilmu sharaf dan ilmu nahwu, ditulis menggunakan
bahasa Arab.
3. Tambo Islam, berisikan sejarah Nabi saw. ditulis
menggunakan bahasa Arab Melayu
4. Akhla>quna> al-Ada>biyah, berisikan tentang sikap-
sikap dalam menjalankan aktivitas sehari-hari
(bermuamalah).
5. Al-Tarbiyah wa al-Ta‘li>m, berisikan tentang rukun
Islam, rukun Iman dan tauhid serta hal-hal yang
berhubungan dengan akidah.
6. Ta‘li>m al-Qira>’ah, sebuah buku pegangan tatacara
membaca al-Qur’an. Buku ini adalah buku yang
digunakan saat mengajar di sekolah al-Tarbiyah al-H}asanah.
7. Mulakhkhas} al-Ta>rikh al-Islami. 8. Maba>di’ al-Qa>ri’, buku pengenalan huruf hijaiyah,
makha>rij al-h}uru>f, harakat, dan ilmun tajwid.
52 Wawancara pribadi dengan Zulashfi, Ciputat, 9 Januari
2019.
62
9. Ta‘li>m al-Qira>’ah al-‘Arabiyah, buku yang berisi
tuntunan bahas Arab dan kiat-kiat agar mampu
menguasai bahasa Arab dengan cepat dan Mudah.
10. Al-juz’u al-Tha>min ‘Ashr min Su>rat al-Mu’minu>n,
karangan yang berisi tafsir surat al-mu’minu>n dari
ayat 1-21.
11. Al-Da‘wah wa-al-Irsha>>d ila> Sabi>li al-Rasha>d, buku
yang berisikan tafsir beberapa ayat al-Qur’an yang
diawali redaksi wa-min al-na>s. Tulisan ini berisi
tentang seruan dan petunjuk kepada manusia yang
beragam corak.
12. Ya> Ayyuha> Alladhi>na A>manu> yang merupakan tafsir
dari beberapa ayat yang berawalan ya> ayyuha alladhi>na a>manu>.
C. Syekh Abdul Latif Syakur dalam Tradisi Penulisan
Tafsir di Nusantara
Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam merupakan
petunjuk dan pedoman bagi umat manusia, hudan li al-na>s. Agar dapat memperoleh petunjuk tersebut serta dapat
dipelajari, difahami dan diamalkan demi tercapainya maksud
diturunkannya al-Qur’an, maka penafsiran terhadap al-Qur’an
sudah menjadi sebuah kebutuhan yang semestinya. Pentingnya
aktivitas penafsiran terhadap al-Qur’an ini dimaksudkan agar
manusia dapat memahami inti sari al-Qur’an, dan
kandungannya tersampaikan secara tepat kepada mereka.
Karena ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur’an mencakup
berbagai aspek kehidupan yang holistik, sehingga al-Qur’an
menjadi rujukan berbagai disiplin ilmu yang dibutuhkan oleh
umat manusia. Oleh karena itu, supaya al-Qur’an dapat
dijadikan referensi maka diperlukanlah tafsir untuk
memahaminya.
Mengingat tidak semua umat Islam dapat memahaminya
dengan mudah maka penafsiran adalah satu-satunya jalan agar
fungsi al-Qur’an tersampaikan kepada orang-orang awam
63
khususnya. Ayat-ayat al-Qur’an yang umumnya berisikan
konsep, prinsip-prinsip pokok yang belum terjabar dan
dioperasionalkan agar dapat dengan mudah di aplikasikan
dalam kehidupan manusia.
Penafsiran terhadap ayat al-Qur’an sudah lama
dilakukan jauh berabad-abad yang lalu oleh ulama-ulama
terdahulu setelah wafat Rasulullah saw. dan telah dilakukan
dari masa-kemasa, selalu ada pembaharuan khususnya oleh
mufassir modern. Kajian tafsir sebagai ilmu al-Qur’an, lebih
khusus lagi metodologi tafsir, pada paruh kedua abad ke-20
yang lalu, mengalami perkembangan yang pesat dan sangat
berarti. Meskipun eksistensi penafsiran itu telah ada dan
awalnya dilakukan langsung oleh Rasulullah saw.,
produktivitas tersebut tak hanya dilakukan oleh para ulama
yang berasal dari Timur Tengah saja, tetapi penafsiran al-
Qur’an juga dilakukan oleh ilmuan Barat53 dan tentunya juga
dilakukan oleh ulama Nusantara (Indonesia saat ini) yang tak
kalah pentingnya.
Penafsiran terhadap al-Qur’an sebagaimana dijelaskan di
atas juga dilakukan oleh ulama Nusantara. Namun sebelum
melakukan penafsiran tersebut perlu dipahami terlebih dahulu
bagaimana proses awal diterimanya Islam hingga
ditafsirkannya al-Qur’an di Indonesia. Proses penafsiran al-
Qur’an tidak terlepas dari diterimanya Islam sebagai agama di
Indonesia. Kedatangan bangsa Arab, Gujarat, Persia turut
berpengaruh dalam menyebarkan Islam di Indonesia.54
Berkembangnya Islam tidak terlepas dari sikap
masyarakat Indonesia yang terbuka dan ramah terhadap
siapapun yang datang. Kedatangan Islam tanpa ayunan bilah
53 Lihat misalnya Morteza Karimi-Nia, “Contemporary
Qur’anic Studies in Iran and its Relationship with Qur’anic Studies
in the West”, Journal of Qur’anic Studies 14.1 (2012). 54 Persoalan kedatangan Islam ke Indonesia masih terjadi
perdebatan dikalangan ahli hingga saat ini.
64
pedang juga menjadi faktor yang membuatnya diterima dengan
tiada perlawanan dari masyarakat bumi pertiwi. Kedua faktor
tersebut menjadikan Islam disambut dengan tangan terbuka di
Nusantara. Dengan demikian telah membuktikan bahwa Islam
tidak ditolak di negeri ini.
Upaya penafsiran ayat al-Qur’an dalam berbagai
konteks di Nusantara telah berlangsung selama empat periode,
sebagai berikut.
1. Periode Klasik, berlangsung pada abad VIII - XV M.
2. Periode Pertengahan, berlangsung pada abad XVI -
XVIII M.
3. Periode Pramodern, yang berlangsung pada abad XIX
M.
4. Periode Modern, berlangsung pada abad XX M.55
Menurut Baidan yang dimaksud dengan periode klasik
(abad VIII - XV M) yakni sejak permulaan Islam sampai ke
Indonesia sekitar abad pertama dan kedua Hijriah, berlangsung
hingga abad kesepuluh Hijriah. Pada periode ini penafsiran al-
Qur’an belumlah seperti periode-periode selanjutnya. Karena
masa ini merupakan awal berkembangnya Islam di Indonesia,
sehingga tidak mungkin menafsirkan al-Qur’an dalam bentuk
khusus. Meski demikian upaya penafsiran atau bibit tafsir telah
ada pada masa ini, di mana ia terintegrasi dengan bidang ilmu
lain seperti fiqh, teologi dan tasawuf yang semuanya disajikan
dalam tatanan praktis bukan dalam kerangka kajian teoritis.
Adapun metode penafsiran pada masa ini tergolong pada
metode ijma>li> (global) meskipun tidak sempurna dan tidak
dituliskan.56
55 Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Quran di
Indonesia (Solo: PT. Tiga Serangkai, 2002), h. 32-111. Untuk
penetapan abad VIII sebagai awal perkembangan tafsir di Indonesia,
Baidan mengacu pada kesimpulan pendapat sejarawan dalam seminar
di Medan pada tahun 1963 mengenai islamisasi di Indonesia. 56 Baidan, Perkembangan Tafsir, h. 32-36.
65
Berbeda dengan periode klasik, periode pertengahan
(XVI - XVIII M) tidak lagi mengandalkan ingatan dalam
menafsirkan al-Qur’an. Pada masa ini penafsiran al-Qur’an
sudah mulai merujuk pada kitab-kitab tafsir yang dibawa dari
Timur Tengah seperti Jalalayn dan Lubab al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l (al-Kha>zin).57 Kitab-kitab yang dibawa oleh para
guru itu biasanya dibacakan kepada murid mereka, lalu
diterjemahkan ke dalam bahasa murid. Adapun bentuk dan
corak penafsiran pada periode ini sama dengan kitab tafsir dari
Timur Tengah yang mereka gunakan tersebut. 58
Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa pada masa ini
upaya penafsiran al-Qur’n telah dilakukan dengan
ditemukannya naskah tafsir surat al-Kahfi [18]:9 pada abad ke-
16 M. Naskah tafsir ini merupakan naskah anonimus yang
ditulis oleh ulama asal Aceh. Tafsir ini diperkirakan ditulis
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636),
dimana mufti kesultanannya adalah Shams al-Di>n al-
Sumatrani atau bahkan mungkin pada periode sebelumnya
yaitu sultan ‘Ala’ al-Di>n Ri’ayat Shah Sayyid al-Mukammil
dengan muftinya Hamzah al-Fansuri.59 Manuskrip tafsir ini
kemudian dibawa dari Aceh ke Belanda oleh seorang ahli
bahasa Arab asal Belanda yaitu Erpinus (w.1642) pada awal
abad ke-17 M. Selanjutnya manuskrip tersebut menjadi koleksi
57 Baidan, Perkembangan Tafsir, 38. Tafsir Lubab al-
Ta’wi>l fi> Ma’a>ni al-Tanzi>l atau yang lebih sering disebut dengan
tafsir al-Kha>zin ini merupakan kitab tafsir yang cukup populer pada
dunia Islam Melayu-Indonesia (lihat Petter Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World Transmission and Responsse (Singapura:
Horizon Books Pte Ltd., 2001), h. 45). 58 Baidan, Perkembangan Tafsir, h. 38-39. 59 M. Nurdin Zuhdi, Pasar Raya Tafsir Indonesia dari
Kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi (Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2014), h. 47. Bandingkan dengan Islah Gusmian,
Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutik Hingga Ideologi (Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 41.
66
Cambridge University Library hingga sekarang dengan kode
katalog MS Ii.6.45.60
Menurut Ichwan sebagaimana dikutip oleh Gusmian,
corak tafsir surat al-Kahfi tersebut kental dengan nuansa sufi,
sedangkan literatur tafsir merujuk pada tafsir Lubab al-Ta’wi>l fi> Ma ‘a>ni al-Tanzi>l (al-Kha>zin) dan tafsir Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta’wi>l (al-Bayd}a>wi)>.61 Hal ini sejalan dengan apa
yang diungkapkan oleh Baidan bahwa tafsir al-Qur’an di
Indonesia pada periode pertengahan telah merujuk pada tafsir
Timur Tengah.62
Masih pada periode pertengahan yaitu seabad setelah
tafsir surat al-Kahfi; abad ke-17 M. upaya penafsiran juga telah
dilakukan oleh ulama asal Aceh yaitu ‘Abd al-Ra’uf bin Ali al-
Fansuri al-Singkili atau lebih dikenal dengan ‘Abd al-Rauf al-
Singkili (1615-1693M) dengan judul Tarjuman al-Mustafid.63
Menurut Riddell Tarjuman al-Mustafid merupakan karya tafsir
pertama yang ditulis oleh ulama Nusantara yang sekitar tahun
1675 M dengan menggunakan Melayu aksara Jawi.64
Pada mulanya Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh
‘Abd al-Rauf al-Singkili diduga sebagai terjemahan dari kitab
tafsir al-Bayd}a>wi> sebagaimana yang diungkapkan Hurgronje.65
Menurut Riddell apa yang disampaikan Hurgronje bahwa
Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan tafsir al-Bayd}a>wi> adalah sebuah kekeliruan, lalu ia mengoreksi
kekeliruan tersebut dengan menyatakan bahwa Tarjuman al-Mustafid secara garis besar merupakan terjemahan dari tafsir
Jala>layn meskipun ia juga banyak merujuk pada tafsir Bayd}a>wi>
60 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 41. 61 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 41. 62 Baidan, Perkembangan Tafsir, h. 38. 63 Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, h. 125. 64 Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, h.161. 65 Lihat footnote no.6 Snouck Hurgronje, The Achehnese
Vol. II (Leyden: tp, 1906), h. 17.
67
dan tafsir Kha>zin.66 Pendapat lain yang dikutip oleh Baidan
justru membantah pernyataan yang dikemukakan oleh
Hurgronje dan Riddell, bahwa Tarjuman al-Mustafid merupakan karya asli dari ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili meskipun
terdapat kutipan dari tafsir al-Bayd}a>wi>.67
Setelah munculnya tafsir Tarjuman al-Mustafid pada
abad ke-17 M., aktivitas penafsiran baru muncul kembali pada
abad ke-19 M., periode ini disebut dengan pramodern. Pada
masa ini lahir sebuah tafsir yang berjudul Tafsi>r Muni>r li Ma’a>lim al-Tanzi>l atau populer juga dengan sebutan Marah Labid yang dikarang oleh ulama Nusantara yang bermukim di
Makkah yaitu Muhammad Nawawi al-Bantani (1813-1897
M).68 Kendati ditulis oleh ulama asal Nusantara, tafsir Marah Labid tidaklah ditulis menggunakan aksara Jawi sebagaimana
tafsir Tarjuman al-Mustafid melainkan ia ditulis dengan
bahasa Arab yang penulisannya selesai pada hari Rabu, 5
Rabiul Akhir 1305 H bertepatan dengan 21 Desember 1887
M.69
Tafsir ini tergolong pada tafsir Ijma>li> yang
penjelasannya ringkas dan mengikuti alur kalimat al-Qur’an
sehingga sedikit sulit untuk membedakan antara ayat al-
Qur’an dan tafsirnya karena kemiripannya. Di sisi lain Marah Labid ini juga menjelaskan secara rinci layaknya tafsir Tah}li>li> seperti pada Q.S. al-Hashr: 16 yang menghabiskan satu
halaman penuh.70
Memasuki abad ke-20 M (periode Modern), tafsir
Nusantara mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Pada masa ini karya tafsir yang ditulis oleh ulama Nusantara
66 Riddell, Islam and the Malay-Indonesian World, h. 161. 67 Baidan, Perkembangan Tafsir, h. 62. 68 Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat:
Mazhab Ciputat, 2013), h. 40. 69 Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 49. 70 Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 53.
68
mulai menjamur. Selain itu bentuk penyajian tafsir juga
mengalami perkembangan dan bervariasi. Misalnya muncul
tafsir tematik yang sangat simpel yaitu Zedeleer uit den Qor’an (Etika Qur’a>n) yang ditulis Syekh Ahmad Soerkattie
menggunakan bahasa Belanda. Di sisi lain, model penyajian
yang mengkhususkan pada surat tertentu, yaitu seperti Tafsir
al-Qur’anul Karim, surat al-Fatihah yang dikarang oleh
Muhammad Nur Idris dengan bahasa Indonesia. Ada juga yang
menulis tafsir hanya pada juz tertentu, semisal Tafsir Djuz
‘Amma yang ditulis oleh Adnan Lubis.71
Perkembangan tafsir Nusantara pada abad keduapuluh
yang amat pesat telah dipetakan oleh Yusuf. Dalam pemetaan
Yusuf, tafsir al-Qur’an yang pertama muncul pada masa ini
adalah Tafsir Qur’a>n Karim Bahasa Indonesia yang ditulis oleh
Mahmud Yunus.72 Tafsir ini mulai ditulis Yunus pada
November 1922. Penulisannya dilakukan secara bertahap juz
demi juz hingga juz ketiga, juz keempat ditulis oleh H. Ilyas
Muhammad Ali dibawah bimbingan Yunus lalu tehenti, pada
1935 dilanjutkan kembali dengan dibantu HM. Kasim Bakry
hingga rampung pada juz ke-18, dan sisanya diselesaikan
sendiri oleh Yunus pada 1938.73
Pada tahun 1925 tafsir yang berjudul Alqoeranoel Hakim Beserta Toedjoean dan Maksoednja ditulis oleh Iljas dan Abd.
Jalil. Tafsir ini hanyalah sebuah tafsir juz pertama. Dalam
71 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 47. 72 M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di
Indonesia Abad Keduapuluh”, Ulumul Qur’an Vol. III, No. 4, (1992),
h. 51. Mahmud Yunus ialah seorang cendikiawan muslim asal
Sungayang Batu Sangkar yang tak hanya mengarang tafsir. Namun
dia juga menyibukkan dirinya dalam dunia pendididikan semenjak ia
remaja hingga akhir hayatnya. Ia juga termasuk produktif dalam
dunia tulis-menulis, telah banyak tulisan yang dilahirkannya yang
berhubungan dengan keislaman dan pendididikan. Lihat Amir,
Literatur Tafsir Indonesia, h. 58, h. 69-72. 73 Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an”, h. 51.
69
penulisan tafsir ini, telah menunjukkan bahwa adanya model
baru yang dapat dilihat dari sifat penafsir yaitu model
penafsiran kolektif. Penafsiran bersifat kolektif ini menjadi
cikal bakal penafsiran kolektif dikemudian hari seperti yang
dilakuakn oleh Departemen Agama Republik Indonesia.74 Di
tahun yang sama Tjokroaminoto memperkenalkan terjemahan
dari tafsir yang dikarang Maulvi Mohammed Ali dari
Ahmadiyah Lahore yang menuai kritikan banyak ulama karena
penerjemahannya yang dianggap liar.75
Selain Mahmud Yunus cendikiawan asal Sumatera
Barat yang juga menulis tafsir adalah H. Abdul Karim
Amrullah (HAKA). Sebagaiman ulama lain semasanya yang
multidisipliner, HAKA juga meluangkan waktunya untuk
menulis tafsir al-Qur’an yang sederhana. Tafsir itu diberi judul
al-Burha>n: Mentafsirkan Dua Puluh Dua Surat dari pada al-
Qur’an yang diterbitkan pada tahun 1927 oleh percetakan
Baroe Fort de Kock. Karya ini berisi tafsir terhadap ayat 22
ayat al-Qur’an dimulai dari surat al-D}uh}a> hingga al-Na>s. Berdasarkan pendahuluan yang dituliskan HAKA pada
karangannya, bawha tafsir ini merupakan materi kuliah tentang
tafsir al-Qur’an yang ia sampaikan di surau Jembatan Besi.76
Setelah Mahmud Yunus muncul penafsiran 30 juz yang
dikarang oleh A. Hassan, dengan judul al-Furqan Tafsir al-Qur’an. A. Hassan menjelaskan bahwa tafsir yang dikaryakan
ini mula-mula diterbitkan adalah juz I dari tafsir al-Qur’an
pada 1928 dan sempat terhenti. Pada 1941 ia melanjutkan
kembali penulisannya hingga surat Maryam. Atas permintaan
74 Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 44. 75 M. Nurdin Zuhdi, Pasar Raya Tafsir Indonesia dari
Kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi, h. 65. 76 Apria Putra dan Chairullah Ahmad, Bibliografi Karya
Ulama Minangkabau Awal Abad XX Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Kaum Muda (Padang: Komunitas Suluah Indonesia Heritage
Center, 2011), h. 86.
70
Salim bin Sa’ad Nabhan, ia menulis kembali tafsirnya dari juz
pertama hingga juz 30 dan diterbitkan pada 1956.77
Syekh Sulaiman Ar-Rasuli al-Khalidi yang juga kerap
disapa “Inyiak Canduang”, berasal dari Candung Sumatera
Barat juga menulis tafsir yang berjudul Risalah al-Qawl al-Baya>n fi> Tafsi>r al- Qur’an. Risalah ini diterbitkan oleh
Mathba’ah Islamiyah Fort de Kock, tahun 1928. Dalam karya
ini Syekh Sulaiman ar-Rasuli menafsirkan satu Juzu’ al-
Qur’an, yaitu Juz 30 yang lebih dikenal dengan Juz ‘Amma,
mulai dari surat al-Naba’ hingga surat al-Na>s. Dalam
pendahuluannya disebutkan alasan penulisan risalah ini, yaitu
karena permintaan dari beberapa orang kaum muslimin.
Awalnya ia merasa bimbang untuk menafsirkan al-Qur’an
dalam bahasa Jawi Melayu yang menurutnya tidak dapat
dijadikan landasan hukum. Sebab untuk mengetahui kebenaran
maknal al-Qur’an, dalam pandangannya seseorang haruslah
memahami ilmu bahasa Arab.78
Dalam mengarang tafsir ini, Inyiak Canduang terlebih
dahulu menjelaskan tentang makna tafsir dan keutamaan
makna al-Qur’an. Selanjutnya ia masuk kepada Juz 30 yang
ditafsirkan, dimulai dengan tafsir surat al- Fa>tih}ah. Kemudian
beliau mulain menafsirkan surat al-Naba>’ hingga akhir surat al-Na>s. Pada akhir tafsir ini, Syekh Sulaiman menulis satu
nasehat untuk memperbanyak mengingat Allah.
Pada rentang tahun 1931-1932 seorang ulama dari tanah
Pasundan yaitu K.H. Ahmad Sanusi dalam pengasingannya di
Batavia Centrum mengahsilkan sebuah tafsir yang dijuduli
Malja’ al-T}a>libi>n. Tafsir tersebut ditulis menggunakan bahasa
Sunda dan aksara Pegon. Penjelasan di dalam tafsir menyerupai
tafsir Jala>layn. Meskipun ditulis dalam kondisi keterasingan
mufassirnya, tafsir ini tetap dapat dipublikasikan di daerah
77 Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an”, h. 51. 78 Apria Putra dan Chairullah Ahmad, Bibliografi Karya
Ulama Minangkabau, h. 140-141.
71
seperti Priangan, Batavia, Banten sampai Purwakarta. Tafsir
ditulis hingga juz 9 dalam 28 jilid tipis.79
Malja’ al-T}a>libi>n tergolong pada tafsir yang ditulis
dengan metode tah}li>li> (analitis) dan pendekatan bil ma’thu>r. Dalam menafsirka suatu ayat, Sanusi menyandarkan pada
riwayat h}adi>th, asba>b al-nuzu>l, pendapat sahabat, dan lain-lain.
Meskipun secara umum menggunakan pendekatan bil ma’thu>r, namun pada beberapa ayat yang lain ia juga menghubungkan
dengan keadaan sosial pada masa itu.80 Hal ini dibuktikannya
melalui jilid 6 dari tafsir ini yang mengritisi kolonial Belanda
dan pangareh praja mengenai nasib bangsanya.81 Sebagai
ulama yang masyhur, ternyata Sanusi tidak hanya menulis
sebuah tafsir. Menurut beberapa pengamat sebelum menulis
Malja’ al-T}a>libi>n, ia telah menulis tafsir lengkap 30 juz
berjudul Raud}ah al-‘Irfa>n yang juga menggunakan bahasa
Sunda dan aksara pegon.82 Selain kedua tafsir tersebut, Ahmad
Sanusi juga produktif dalam menuliskan bergai tafsir dengan
judul yang beragam.83
Pada tahun 1958, HAMKA seorang ulama sekaligus
sastrawan memulai aktivitas penafsiran. Sama dengan apa
yang dilkukan ayahnya yaitu HAKA, sebelum ditulis tafsir
tersebut merupakan kajian kuliah subuh. Biasa
disampaikannya di Masjid al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta.
Penafsiran itu dimulai dari surat al-Kahfi juz 15. Pada tahun
1962 pelajaran tafsir yang rutuin dilakukan dalam kuliah subuh
79 Jajang A. Rohmana, “Polemik Keagamaan dalam Tafsir
Malja’ At}-T}a>libi>n Karya K.H. Ahmad Sanusi,” S}uh}uf Jurnal Pengkajian Al-Qur’an dan Budaya Vol. 10, No. 1(Juni 2017), h. 35-
36. 80 Rohmana, “Polemik Keagamaan,” h. 38. 81 Rohmana, “Polemik Keagamaan,” h. 38. 82 Rohmana, “Polemik Keagamaan,” h. 35. 83 Lihat footnote no. 19 Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an
di Indonesia: Sejarah dan Dinamika,” Nun Jurnal Studi Alqur’an dan Tafsir di Nusantara Vol. 1, No. 1 (2015), h. 8.
72
dimuat secara bersambung pada majalah Gema Islam. Pada
tanggal 27 Januari 1964 M, HAMKA ditangkap penguasa Orde
Lama dengan tuduhan berkhianat terhadap tanah air.
Penahanan ini menjadi kesempatan berharga untuknya, karena
dalam waktu lebih kurang 2 tahun di penjara HAMKA, justru
dapat merampungkan penulisan tafsirnya 30 juz, kemudian
diterbitkan pertama kali pada tahun 1967 dengan nama Tafsir al-Azhar.84
Setelah diterbitkannya tafsir al-Azhar yang dikarang
oleh HAMKA selama penahanannya, lahir pula dua karya tafsir
berjudul Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur dan Tafsir al-Qur’an al-Karim al- Bayan yang ditulis oleh seorang ahli fiqh dan tafsir
yaitu Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddiqy. Berdasarkan
pengantarnya, tafsir al-Nur (dicetak pada tahun 1956) ditulis
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan umat muslim
Indonesia dalam mendapatkan tafsir berbahasa Indonesia yang
lengkap, mudah dipahami, serta menerangkan penggalan ayat-
ayat al-Qur’an dengan aksara latin. Tafsir ini tidak ditulis
dengan corak yang spesifik, karena pengarang menulis dan
mengaitkan dengan berbagai ilmu pengetahuan secara
merata.85 Sedangkan tafsir al-Bayan (dicetak pada tahun 1971)
merupakan penyempurnaan dari tafsir al-Nur yang belum
memuaskan Hasbi Ash-Shiddiqy.86
Tahun 1972 pemerintah Indonesia melalui Departemen
Agama Republik Indonesia membentuk Dewan Penyelenggara
Pentafsir al-Qur’an yang menyusun al-Qur’an dan
Terjemahannya. Tafsir ini ditulis dengan metode tah}li>li> (analisis) yang menguraikan tafsir ayat-ayat al-Qur’an
84 Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an”, h. 52. 85 Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 167-168. 86 Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an”, h. 52.
73
berdasarkan urutan suratnya, dari awal hingga akhir. Dari
jenisnya tafsir ini dikategorikan pada tafsir bi al-ra’yi>.87 Menutup tafsir abad duapuluhan muncul pula Tafsir
Rahmat yang ditulis oleh H. Oemar Bakry pada tahun 1981.
Tafsir ini dikelompokkan pada tafsir yang bercorak lughawiy,
karena ditulis dan disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia
yang benar. Dan metode yang digunakan dalam Tafsir Rahmat didominasi oleh metode ijma>li.88
Selain karya-karya di atas masih ada beberapa karya
tafsir lainnya yang belum teridentifikasi salah satunya adalah
Tafsi>r Ya> Ayyuha> al-Na>s yang lahir dari rahim paruh awal abad
XX. Sebagaimana pada masa paruh awal abad itu, di
Minangkabau sendiri sedang berada pada puncak semangat
untuk meraih kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan
saat Belanda datang kembali untuk menguasai Indonesia.
Munculnya kitab ini, sebagai respons terhadap manusia
umumnya dan masyarakat yang berada dilingkungan Syekh
Abdul Latif Syakur sendiri.
Teks naskah tafsi>r ya> ayyuha> al-na>s ini adalah sebuah
kitab tafsir mawd}u>‘i >. Tafsir yang membahas ayat-ayat al-
Qur’an berdasarkan tema tertentu, dimana ayat-ayat itu boleh
jadi berasal dari surat yang sama ataupun berbeda, terbuhul
dalam satu ikatan pembahasan yang sama.89 Teks ini secara
umum membahas ayat-ayat yang diawali dengan kata-kata ya> ayyuha> al-na>s yang diterjemahkan oleh Syekh Abdul Latif
Syakur dengan hai bangsa manusia. Redaksi ya> ayyuha> al-na>s yang ditafsirkan oleh Syekh Abdul Latif Syakur hanyalah
sebanyak tuju belas ayat dari beragam surat yang terdapat di
dalam al-Qur’an. Kwantitas tersebut berbeda dari jumlah total
87Lihat Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h.219.
Bandingkan dengan Yusuf, “Karakteristik Tafsir al-Qur’an”, h.52. 88 Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 228-240. 89 Must}afa> Muslim, Maba>h}ith fi> Tafsi>r al-Mawd}u>‘i >
(Damaskus: Da>r al-Qalam, 2000), h. 16.
74
dua puluh satu ayat al-Qur’an yang berawalan ya> ayyuha> al-na>s, sebagaimana yang terdapat pada al-mu‘jam al-mufahras li-al-fa>z}i al-Qur’an al-kari>m. Uniknya, dalam teks tafsir ini Syekh
Abdul Latif Syakur justru memasukkan ayat dengan kata-kata
ya> bani> a>dam yang terdapat dalam surat al-A‘ra>f. Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa Tafsi>r
A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s ini merupakan tafsir yang lahir pada
dekade keempat abad dua puluh. Sebagaimana dituliskan pada
halaman kolofon naskah bahwa tafsir ini ditulis tahun 1949. Ia
mengisi kekosongan ruang penulisan tafsir di Nusantara pada
rentang tahun 1940-1948.
75
BAB IV
NASKAH DAN TEKS TAFSI>>R A>YA>T YA> AYYUHA> AL-
NA>S
Bab ini akan memaparkan kondisi fisik dari naskah
Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s, meliputi: kode dan penomoran
naskah, kolofon, ukuran, jumlah halaman, nomor halaman,
jumlah baris per halaman, jenis alat tulis dan tinta yang
digunakan, jenis aksara dan bahasa yang digunakan, jenis alas
naskah serta kondisi penjilidan naskah. Tujuannya, agar
pembaca mengetahui informasi fisik naskah yang akan dibahas
dalam penelitian ini. Selanjutnya diikuti dengan penjelasan
ringkasan isi teks naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s
(NTYN). Berikutnya adalah pengantar edisi,
pertanggunjawaban edisi teks dan edisi teks.
Menghadirkan teks yang siap dan laik dibaca merupakan
hal utama dalam pekerjaan filologi. Tujuannya, agar teks dapat
berfaedah. Oleh karena itu, seorang pengakaji naskah
(manuskrip) harus berusaha membebaskan teks dari kekeliruan.
Kekeliruan itu bisa saja dilakukan oleh pengarang sendiri atau
penyalin. Kesalahan dalam proses penulisan ataupun
penyalinan suatu naskah, sah-sah saja terjadi. Karena seorang
penyalin bahkan pengarang sekalipun adalah manusia yang tak
luput dari kesalahan. Kesalahan dalam aktivas penyalinan
naskah, tidak selamanya dinilai sebagai suatu kesalahan,
keteledoran, dan korup. Hal ini bisa saja dinilai sebagai wujud
produktivitas imajinasi seorang pengarang atau penyalin.
Biasanya dilakukan agar teks yang termuat di dalam naskah,
76
dapat diterima pada masa ia dihasilkan. Maka perlu untuk
menyunting teks agar dapat dibaca.
A. Deskripsi Naskah
Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s ini merupakan
koleksi pribadi Ibu Khuzaimah selaku ahli waris sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya. NTYN merupakan salah satu
tafsir ayat al-Qur’an yang ditulis langsung oleh Syekh Abdul
Latif Syakur. Naskah ini bisa diakses dengan mudah karena
keluarga selaku ahli waris sangat terbuka dan antusias dalam
menyambut peneliti dan pemerhati naskah. Menurut
pernyataan Khuzaimah, salah seorang anaknya menyarankan
untuk memberikan izin kepada para penggiat naskah yang
tertarik dan ingin mengumpulkan informasi terkait karya tulis
Syekh Abdul Latif Syakur. Menurutnya agar karya-karya
tersebut dapat didaftarkan demi menjaga keoriginalannya serta
bermanfaat untuk perkembangan keilmuan.1 Hal inilah yang
membuat naskah ini mendapatkan senTuhan pemerhati naskah,
berupa pemeliharaan dan telah didaftarkan pada katalog online.
Berikut akan dipaparkan keterangan ringkas tentangan
NTYN:
MS/SALS 16
Naskah dengan kode dan penomoran MS/SALS 16
merupakan naskah koleksi Khuzaimah, terdaftar pada urutan
ke-16 pada koleksi itu. Kini, naskah ini dengan kode berbeda
telah terdaftar pada katalog online Lektur Kemenag yaitu;
Lkk_PYK2015_Mengatas 02. Judul naskah ini adalah Tafsir
1 Keterangan ini disampaikan Khuzaimah saat peneliti
mengunjungi kediaman beliau di desa Balai Gurah Kecamatan IV
Angkat Kabupaten Agam Sumatera Barat pada selasa, 5 Desember
2017 pukul 15.30 WIB.
77
Ya Ayyuha al-Nas. Judul yang ditulis oleh pengarangnya
adalah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s bi al-Malayu.
Naskah MS/SALS 16 ini memiliki kolofon yang terletak
di halaman kedua naskah sebelum masuk pada halaman isi
naskah, sehingga menjadi salah satu keunikan dari naskah ini.2
Di dalam kolofon itu dijelaskan bahwa MS/SALS 16 ditulis
dalam situasi darurat dijelma musuh, dengan goresan tinta Haji
Abdul Latif Syakur pada 19 Maret 1949. Selain itu, juga
dituliskan bahwa di Balingka sedang bertempur.
Berdasarkan keterangan yang terdapat pada map
pembungkus naskah ini, ukurannya 14 × 20 (dalam cm). Blok
teks 10,5 × 18 (dalam cm). Jumlah halaman 60. Namun
berdasarkan hasil pembacaan ulang peneliti, naskah ini hanya
terdiri dari 52 halaman. Halaman 20, 37, 38, 39, 40, 45, 46, 51,
dan 52 adalah halaman kosong. Sedangkan halaman 29 hingga
32 ialah halaman yang hilang (kim), tetapi setelah peneliti
melakukan cross cek pada koleksi naskah ahli waris yang
lainnya, halaman-halaman tersebut diselipkan pada naskah
lain.
2 Kolofon (colophon) merupakan catatan penutup dari
autor/penyalin naskah, terletak di akhir naskah namun bukan menjadi
bagian dari teks tersebut. Umumnya, kolofon berisi identitas
autor/penyalin, waktu dan tempat penyalinan, serta informasi lain
yang berhubungan dengan aktifitas penyalinan naskah (lihat Oman
Fathurahaman, dkk., Filologi dan Islam Indonesia, 96, bandingkan
dengan Siti Zahra Yudiafi dan Mu’jizah, Filologi, 4.34). Terkadang
kolofon juga terdapat di awal naskah, kebanyakan terdapat pada
naskah Arab. Namun sangat jarang ditemukan pada naskah Nusantara
(keterengan ini disampaikan oleh Oman Fathurahman pada 10 Mei
2017, pukul 11.30 WIB).
78
Dalam MS/SALS 16 tidak terdapat penomoran selain
penomoran ayat dengan menggunakan pena oleh penulis. Pada
penemoran ayat itu juga terdapat kekeliruan. Setelah ayat ke-
9 ditulis ayat ke-6. Akibatnya terjadi pengulangan nomor ayat.
Namun, pengulangan tersebut tidak berpengaruh pada
pengulangan isi teks.
Jumlah baris pada setiap halaman umumunya terdiri dari
23, 24 dan 25 baris, kecuali halaman ke-1 terdiri dari 20 baris;
halaman ke-16 terdiri dari 32 baris; halaman ke-19 terdiri dari
7 baris; halaman ke-26 terdiri dari 21 baris; halaman ke-28 dan
ke-42 terdiri dari 17 baris; halaman ke-30 terdiri dari 22 baris;
halaman ke-32 terdiri dari 15 baris; halaman ke-36 terdiri dari
12 baris; dan halaman ke-50 terdiri dari 26 baris.
Baris-baris pada tulisan tidak menggunakan garis
pengarah, sehingga tulisan-tulisan yang terdapat di dalam teks
tidak semuanya sejajar dan lurus. Beberapa halaman teks
mempunyai garis bingkai baca yang mana jumlahnya tidak
beraturan. Ada halaman-halaman yang hanya terdapat satu
garis bingkai baca saja seperti pada halaman ke-2, ke-31, ke-
33, dan ke-35. Adapun pada beberapa halaman lainnya terdapat
dua garis bingkai baca seperti pada halaman ke-3, ke-9, ke-15,
ke-17, ke-19, ke-25, dan ke-27. Pada halaman teks tidak
terdapat alihan, tidak ditemukan iluminasi, dan pada halaman
ke-4 ditemukan semacam ilustrasi seperti wajah seseorang.
Alat tulis yang digunakan diperkirakan adalah sebuah
pena dengan ujung yang tidak terlalu runcing. Tinta yang
digunakan untuk tulisan pada umumnya berwarna hitam,
beberapa juga berwarna biru namun bukan merupakan
rubrikasi. Ukuran tulisan kecil, tidak tembus, sebagian tinta
79
pecah dan melebar tetapi tidak berpengaruh terhadap teks
sehingga masih bisa dibaca.
Teks MS/SALS 16 ditulis dalam bahasa Arab dan
Melayu Minangkabau, dengan mempergunakan aksara Arab
Melayu atau Jawi. Artinya, pada MS/SALS 16 terdapat dua
aksara, yaitu Arab dan Arab Melayu. Dalam teks ini terdapat
dua cara penulisan yang digunakan yakni; pertama, ayat yang
terletak di bagian atas ditulis dengan menggunakan aksara
Arab. Kedua, arti dan tafsir ayat yang terletak di bawaha ayat
ditulis dengan menggunakan aksara Arab- Melayu.
Alas naskah MS/SALS 16 adalah kertas lokal, tanpa cap
kertas, tanpa garis tebal dan garis tipis. Warna kertas seperti
kertas koran. Naskah dijilid dengan sampul kertas tipis
berwarna coklat. Keadaan naskah cukup baik, meskipun ada
halaman yang terlepas dari jilidnya, sebagaimana yang telah
dijelaskan dia atas.
B. Ringkasan Isi
Teks NTYN terdiri dari 52 halaman yang berisi tafsir
ayat-ayat yang diawali kata ya> ayyuha> al-na>s, sebagai berikut:
Halaman pertama dan kedua, berisi pendahuluan yang
berisi pengantar karangan. Dalam pengantarnya Syekh Abdul
Latif Syakur mengajak untuk memperhatikan penduduk alam
yang telah diciptakan Allah dengan berbagai bangsa dan jenis.
Dengan beragam bangsa dan jenis itu, Allah menyeru manusia
dengan ayatNya ya> ayyuha> al-na>s (segala manusia). Seruan
tersebut ditujukan kepada yang merasa dirinya manusia,
tunduk dan patuh di bawah perintah Allah. Di dalam
pendahuluan ini juga dikatakan bahwa pada saat mengarang,
kondisi saat itu sedang darurat dijelma oleh musuh.
80
Halaman ketiga dan keempat, tafsir surat al-Baqarah:
21-22. Qs. al-Baqarah ayat 21 adalah ayat al-Qur’an yang
berawalan ya> ayyuha> al-na>s dan ayat 22 adalah keterangan
lanjutan dari ayat 21. Tafsir ayat 21 itu merupakan seruan
kepada manusia untuk menyembah Allah, Tuhan yang Maha
Esa. Dan manusia disuruh untuk menyadari hanya Allah yang
mampu menciptakan segala sesuatu dengan memperhatikan
langit dan bumi. Di samping itu, manusia juga diperintahkan
untuk tidak mengumpamakan Allah dengan yang lainnya.
Halaman kelima dan keenam, adalah tafsir surat al-
Baqarah ayat 168-169. Dalam ayat ini, ALS menafsirkan
bahwa Allah menyeru manusia untuk memakan makanan halal
lagi baik. Ia juga mengingatkan bahwa makanan yang baik itu
adalah makanan yang diperoleh dari usaha dan cucuran
keringat sendiri. Dalam ayat ini manusia diingatkan untuk
tidak mengikuti hasutan setan. Dan ALS menafsirkan agar
tidak terperdaya oleh tipu muslihat setan.
Halaman ketujuh dan kedelapan, merupakan tafsir surat
al-Nisa>’ ayat 1. ALS menafsirkan ayat ini dengan mengatakan
bahwa seruan Allah kepada manusia agar menyadari asal usul
mereka. Seluruh bangsa manusia yang terlahir ke dunia ini
berasal dari satu pokok yaitu Adam dan Hawa. Dari mereka
berdua kemudian berkembanglah menjadi laki-laki dan
perempuan hingga saat ini. Oleh karena itu, manusia dituntut
untuk bersatu.
Halaman kesembilan dan kesepuluh, tafsir surat al-Nisa>’
ayat 1. Meskipun terdapat pengulangan dalam menafsirkan
ayat yang sama, namun ada sedikit perbedaan. Masih sama
dengan penafsiran sebelumnya bahwa ayat ini ditafsirkan agar
manusia menyadari asal usulnya dan bersatu. Persatuan di sini
81
lebih ditekankan pada persatuan seluruh bangsa. Menjalin dan
menjaga silaturahmi. Menumbuhkan rasa persamaan dan rasa
cinta tanah air.
Halaman kesebelas dan kedua belas, ialah tafsir surat al-
Nisa>’ ayat 170. Menurut ALS ayat ini merupakan seruan
kepada manusia yang bertabiat lalai bahwa Allah telah
mengutus RasulNya yaitu Muhammad saw. kepada manusia
sebagai Rasul akhir zaman. Kedatangannya membawa al-
Qur’an yang berisi keterangan yang tidak dapat lagi diingkari
kebenarannya. Lalu manusia diperintahkan untuk mengimani
kebenaran Rasul dan kitab yang dibawanya. Jika manusia
mengingkarinya, Allah memperingatkan manusia bahwa Ia
Maha Mengetahui.
Halaman ketiga belas dan keempat belas, tafsir surat al-
Nisa>’ ayat 174-175. ALS menafsirkan ayat ini sebagai seruan
kepada manusia agar merasakan keesan Allah swt., dengan
menggunakan akal yang telah diberikanNya. Akal merupakan
ciri kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah.
Dengan akal itu, manusia dapat membedakan antara yang hak
dan batil. Akal juga menuntun untuk bekerja dengan ikhlas dan
tulus menuju pada mengesakan Tuhan, serta mengantarkan
manusia pada memperoleh kelezatan amal dan kemerdekaan.
Halaman kelima belas hingga halaman kesembilan belas,
pada halaman ini Syekh Abdul Latif Syakur menafsirkan
beberapa ayat dalam surat al-A‘ra>f yang berawalan ya> bani>
a>dam. Kata ya> bani> a>dam yang merupakan seruan Allah kepada
anak cucu Adam dalam tafsir ini disetarakan ALS maknanya
dengan ya> ayyuha> al-na>s. Karena kata ya> ayyuha> al-na>s
seruannya bersifat umum kepada seluruh manusia dan ya> bani>
a>dam seruannya juga bersifat umum pada seluruh manusia
82
yang merupakan anak cucu Adam. Dalam ayat ini menurut
ALS berisi peringatan kepada manusia agar menjaga diri
dengan bertakwa. Berhati-hati terhadap tipu daya setan.
Peringatan melakukan sesuatu karena mengikuti apa yang
dilaku orang tua sebelumnya. Peringatan bagi yang
menyertakan Allah dalam melakukan kejahatan. Dan
keterangan tentang orang yang diberi petunjuk dan disesatkan
oleh Allah. Namun pada ayat 31 surat al-A‘ra>f ini, ALS
mengosongkan pada bagian tersebut, sehingga tidak ada tafsir
terhadap ayat tersebut.
Halaman kedua puluh satu dan kedua puluh dua, tafsir
surat Yunu>s ayat 23. Pada ayat ini Syekh Abdul Latif Syakur
tidak menafsirkan seluruh ayat secara utuh, ia hanya
menafsirkan sebagian ayat yang dimulai dengan redaksi ya>
ayyuha> al-na>s. penggalan ayat ini sebagai peringatan Allah
kepada manusia yang berbuat kebaikan untuk dirinya namun
dengan cara zalim yaitu menyakiti orang lain. Ayat ini menurut
penafsiran Abdul Latif Syakur, merupakan peringatan untuk
semua umat manusia yang ingin bahagia agar tidak menyakiti
orang lain demi memperoleh kebahagiaan itu.
Halaman kedua puluh tiga dan kedua puluh empat, tafsir
terhadap surat Yunu>s ayat 57. Ayat ini ditafsirkan sebagai
fungsi al-Qur’an bagi manusia. Dalam ayat ini, manusia
diingatkan bahwa kedatangan al-Qur’an sebagai obat bagi. Al-
Quran dapat dijadikan sebagai pengajaran. Al-Qur’an
merupakan obat penyakit yang ada di dalam hati. Al-Qur’an
adalah petunjuk bagi hati. Dan juga al-Qur’an ialah rahmat
bagi orang-orang yang mempercayainya.
Halaman kedua puluh lima dan dua puluh enam
merupakan tafsir ayat 104-107 dari surat Yunu>s. Pada ayat ini
83
Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw.. untuk menyeru
manusia yang masih ragu terhadap agama Islam, masih
menyembah selain Allah dan mengaskan bahwa Nabi
Muhammad hanya menyembah Allah yang mematikan
Rasulullah dan manusia lainnya. Ayat ini juga berisi perintah
agar berislam dengan tulus dan ikhlas. Selain itu, ayat ini juga
memperingatkan manusia agar tidak menyekutukan Allah.
Karena jika berbuat syirik sama dengan zalim kepada diri
sendiri.
Pada halaman kedua puluh tujuh dan dua puluh delapan
adalah tafsir surat Yunu>s ayat108-109. Tafsir ayat ini tentang
peringatan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad
bahwa Allah telah mengirimkan petunjuk untuk manusia,
barang siapa yang memperoleh petunjuk itu maka kebaikannya
adalah untuk dirinya sendiri. Adapun yang sesat, maka
kesesatan itu juga untuknya sendiri. Dan ayat ini juga
menegaskan bahwa Nabi Muhammad bukanlah pemelihara
manusia. Maka kita diperintahkan untuk bersabar, karena yang
memberi keputusan adalah Allah swt..
Halaman kedua puluh sembilan dan tiga puluh berisi
tafsir surat al-H}ajj ayat 1-2. Ayat ini merupakan peringatan
tentang akan terjadi guncangan yang saat besar ketika kiamat,
sehingga manusia diperintahkan untuk benar-benar
bertawakkal kepada Allah. Pada hari kiamat nanti
diberitahukan bahwa manusia akan menyaksikan para
perempuan yang menyusui akan lalai terhadap anak yang
disusuinya, perempuan yang mengandung tanpa disadarinya
akan keguguran, peristiwa demikian akan membuat seluruh
manusia mabuk (heran).
84
Halaman ketiga puluh satu dan tiga puluh dua adalah
tafsir surat al-H}ajj ayat 5-7. Pada potongan ayat-ayat ini berisi
pengingat bagi manusia yang masih ragu dan tidak
mempercayai akan hari kiamat. Manusia diperintahkan untuk
memperhatikan kembali bagaimana proses penciptaan manusia
mulai dari tanah sehingga menjadi nutfah dan dilahirkan ke
dunia, lalu bagaimana proses manusia tumbuh dan berkembang
dari lahir hingga tua dan kembali seperti anak-anak. Di
samping itu juga dapat memperhatikan bagaimana Allah
merubah tanah yang mati (tidak produktif), menjadi subur
(produktif) karena disirami dengan air hujan. Dengan kejadian
seperti itu menunjukkan bahwa hari kiamat pasti akan datang,
dan tidak diragukan lagi. Dan juga Allah akan membangkitkan
manusia dari kubur.
Halaman ketiga puluh tiga dan ketiga puluh empat
adalah tafsir surat al-H}ajj ayat 49-54. Ayat ini
memperingatkan manusia bahwa Nabi Muhammad saw. adalah
pemberi peringatan. Jika orang beriman kepada Allah, Nabi
Muhammad saw. dan al-Qur’an, maka ia akan memperoleh
rezki yang mulia. Bila orang-orang menentang ayat Allah
dengan tujuan melemahkan, mereka adalah penghuni neraka.
Ayat ini menegaskan bahwa Allah juga memelihara dan
menjaga Nabi dan Rasul terdahulu sebelum Nabi Muhammad
saw. dari gangguan serta godaan setan saat menyampaikan
ayat Allah. Bagi orang-orang yang musyrik, godaan setan itu
menjadi cobaan yang merendahkan derajat kemanusiaannya.
Sedangkan bagi orang yang telah diberi ilmu dan meyakini
bahwan al-Qur’an berasal dari Allah serta menjadikannya
pegangan hidup, maka Allah akan memberikan petunjuk jalan
yang lurus kepada mereka itu.
85
Pada halaman ketiga puluh lima dan tiga puluh enam
merupakan tafsir surat al-H}ajj ayat 73-74. Ayat ini peringatan
kepada manusia yang menyembah dan takut kepada selain
Allah melalui sebuah perumpamaan. Jika sesuatu yang mereka
sembah itu tidak dapat menciptakan seekor lalatsekalipun
berkumpul untuk menciptakannya. Malah jika lalat tersebut
mengerubungi sembahannya itu, tidak akan mampu lepas dari
kerubangan itu karena tidak memiliki kuasa untuk
melakukannya. Mengapa manusia mau bertuhan dan menurut
perintah selain Allah?
Halaman selanjutnya adalah halaman keempat puluh
satu dan empat puluh dua berisi tafsir surat Fa>t}ir ayat 3-4,
adapun beberapa halaman sebelumnya adalah halaman kosong
sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan deskripsi
naskah. Ayat ini memerintahkan manusia yang berpaling dari
Allah untuk mengingat nikmatNya, karena Allah yang
memberikan rezki dari langit dan bumi kepada mereka. Melalui
ayat ini pula Allah memberikan ketenangan kepada Nabi
Muhammad bila mana ada bangsanya (kaum Quraish)
mendustakannya, hal itu pula yang dialami Rasul terdahulu.
Selanjutnya, pada halaman keempat puluh tiga dan
empat puluh empat berisi tafsir surat Fa>t}ir ayat 5-6. Kedua aya
ini ditafsirkan sebagai peringatan dan penegasan bahwa janji
Allah itu benar, maka jangan sampai manusia terperdaya oleh
kehidupan dunia. Jangan sampai manusia terlena dengan tipuan
setan yang dapat melepaskan pegangan manusia kepada Allah.
Ayat ini juga memperingatkan bahwa setan dan pengikutnya
adalah musuh yang nyata, musuh abadi yang harus dilawan.
Pada tafsir ayat ini Syekh Abdul Latif Syakur menegaskan
bahwa rasa yakin dan tawakkal kepada Allah adalah senjata
86
paling ampuh dalam perjuangan melawan musuh agama seperti
setan. Dan juga di akhir tafsir ayat ini ia mengingatkan juga
untuk senantiasa bersykur kepada Tuhan, karena hidup adalah
untuk berjuang selamanya.
Halaman keempat puluh tujuh dan empat puluh delapan
adalah tafsir surat Fati>r ayat 15-17. Ayat ini berisi peringatan
Allah kepada manusia yang butuh kepada Nya, sebab Ia
Mahakaya. Di sini juga dijelaskan bahwa kekayaan Allah
bukanlah untuk Nya, namun kekayaan itu untuk hambaNya.
Dalam ayat ini juga diberikan keterangan bahwa Allah tidak
menghendaki manusia berada dalam kekurangan, suatu
kemudahan bagi Allah untuk merubah itu semua. Di ujung
tafsir ayat ini diberikan beberapa gambaran bagaimana Allah
dengan mudah merubah keadaan suatu bangsa, melalui contoh
tersebut Syekh Abdul Latif Syakur mengingatkan masyarakat
Indonesia agar memperhatikan itu dengan berpegang kepada
undang-undang.
Halaman keempat puluh sembilan dan lima puluh
merupakan bagian akhir dari teks tafsi>r a>ya>t ya> ayyuha> al-na>s
ini. di dalamnya adalah tafsir dari surat al-H}ujura>t ayat 13.
Ayat ini menyeru manusia untuk sadar bahwa Allah
menciptakan manusia dengan berbagai perbedaan jenis, ras,
bangsa, dll., agar saling mengenal, bukan malah
membanggakan antara satu bangsa ke bangsa lain. Karena
kelebihan dan kemuliaan bukanlah karena bangsa atau
keturunan, melainkan karena ketakwaan kepada Allah. Allah
senantiasa mengamati hamba-Nya yang bertakwa kepada Nya.
87
C. Pengantar dan Pertanggungjawaban Edisi Teks
Edisi teks adalah ruh dari aktivitas penelitian filologi.
Tujuan dari dilakukan edisi teks terhadap suatu naskah,
menghadirkan naskah yang laik dikonsumsi publik dan
bermanfaat untuk keilmuan lainnya. Maka, bagi peneliti atau
pengkaji naskah perlu untuk mengoreksi kesalahan atau
kekeliruan yang terdapat di dalam teks, baik kesalahan yang
mungkin disengaja atau yang tidak sengaja.
Pada penelitian ini naskah yang dijadikan objek
hanyalah satu yaitu Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s,
sehingga edisi yang dipilih untuk menyunting naskah ini adalah
edisi kritis. Dalam mengaplikasikan edisi kritis terhadap codex
unicus (naskah tunggal) diperlukan ketelitian dan kehati-
hatian ekstra, karena ketiadaan salinan teks sebagai bacaan
pembanding. Maka dalam menyunting teks NTYN ini, peneliti
berusaha mengahdirkan teks yang bersih dari berbagai macam
kekeliruan dan menghadirkan teks dengan kualitas bacaan
yang baik.
Manuskrip sebagai dokumentasi tertulis yang memuat
informasi tentang peristiwa di masa lampau ataupun sumber
keilmuan. Aksara yang terdapat di dalamnya sudah tidak
digunakan lagi. Oleh karena itu, agar dapat memperoleh
informasi yang terhimpun di dalam suatu manuskrip, perlu
untuk menghadirkannya dalam bentuk bacaan yang baik (the
best reading). Transliterasi menjadi salah satu upaya untuk
mengahdirkan teks yang dapat dibaca khalayak umum, dengan
mengganti suatu aksara, huruf demi huruf dari satu abjad ke
abjad lainnya. Setelah transliterasi dilakukan, maka perlu
untuk melakukan edisi kritis sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya agar teks dapat dikonsumsi publik.
88
Dalam menyunting NTYN ini, ada beberapa standar acuan
yang dijadikan sebagai landasan, yaitu:
1. Transliterasi dari aksara Arab ke aksara Latin
berdasrkan pada pedoman transliterasi Library of
Congress.
2. Pemberian nomor halaman, dimulai dari halaman
pendahuluan. Penomoran halaman diletakkan pada
bagian awal setiap teks.
3. Tanda //..// merupakan halaman awal setiap redaksi
baik pendauluan ataupun ayat.
4. Tanda /../ merupakan peralihan ke halaman
berikutnya.
5. Pembagian paragraf berdasarkan pada kepaduan
gagasan utama.
6. Pemberian pungtuasi untuk memudahkan dalam
memahami teks.
7. Pemakaian huruf kapital berdasarkan pada PUEBI.
8. Kata-kata yang merupakan bahasa Arab dan bahasa
daerah ditulis dengan cetak miring.
9. Kata-kata bahasa Arab yang telah diserap dalam
bahasa Indonesia, ditulis dalam bentuk serapan yang
sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
dalam jaringan (online). Misalnya, s}ilat al-rah}mi akan
ditulis silaturahmi, ta‘a>la> akan ditulis taala.
10. Setiap kata pengulangan yang ditulis singkat semisal:
apa2 akan ditulis apa-apa.
11. Pengulangan yang berbentuk kata kerja akan
diberikan keterangan pada aparat kritik (terdapat pada
footnote)
12. Pengurangan pada suatu kata yang tidak sesuai
dengan ejaan pada KBBI dalam jaringan akan
diberikan keterangan bentuk asal kata tersebut
sebagaimana termuat di dalam teks pada aparat kritik.
13. Tanda ‹ ... › digunakan untuk menandai kata yang
tidak perlu dibaca atau diabaikan saja.
89
14. Tanda [...] digunakan untuk menandai huruf, suku
kata, kata dan tanda baca yang ditambahkan karena
diduga hilang atau kurang.
90
D. Teks Tafsi>>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s
//1//
Bismilla>h al-rah}ma>n al-rahi}m
Al-h}amdu lilla>h wa>hib al-‘at}iyyah. Ashhadu an la>-ila>ha illa>
Alla>h al-wa>h}id al-ah}ad. Wa-ashhadu anna Muh}ammadan
‘abduhu> wa-rasu>luh arsalahu ka>ffah li-al-na>s. Wa-al-s}ala>h wa-
al-sala>m ‘ala> sayyidina> Muh}ammad sayyid al-awwali}n wa-al-
a>khiri>n wa-‘ala> a>lihi al-t}a>hiri>n wa-s}ah}a>batihi al-akrami>n.
S}ala>tan wa-sala>man ila> yawm al-di}n.
Amma> ba‘ad. Tatkala kita perhatikan penduduk alam
yang telah diadakan Tuhan dengan berbagai bangsa [dan]
berlainan jenis. Bermacam bentuk dan perawakan satu bangsa
daripada bangsa lain. Malah di antara yang berbagai bangsa
itulah dapat kita mengetahui kekuatan qudrah Allah dan
iradatNya. Dengan ilmu dan hikmahnya dapatlah suatu bangsa
yang amat termulia dan tertinggi derajatnya, pangkatnya,
bentuk dan perawakannya, sedang Tuhan yang Maha Esa dan
[Maha]kuasa yang menjadikan itu berkata: la-qad khalaqna> al-
insa>n fi> ah}san al-taqwi>m. Demi sesungguhnya Kami telah
jadikan bangsa insan manusia itu pada sebaik bentuk pendirian
dan kejadiannya. Di dalam susunan tubuh dan sifat manusia itu
melengkapi padanya sifat-sifat yang ada pada makhluk yang
lain umpama: keberanian, kejujuran, kekuatan, tenaga, hemat,
cermat, hawa, nafsu, kemauan, kekerasan, mengalah, penakut,
pemalu dan lain sebagainya.
Dibalik itu nanti, belakang hari bila datang zaman tua,
zaman lemah tidak bergaya lagi berkurang-kuranglah amal
91
pekerjaan seseorang daripada masa zaman kuat, zaman remaja.
Disana menjadilah manusia jatuh kepada kekurangan
keuntungan dan kebahagiaan.
/2/
Tetapi kalau seseorang ada berjasa berbakti dengan segala
kebaika[n] serta beramal saleh dan patuh beribadah kepada
Tuhan yang Maha Esa mendapatlah dia keuntungan yang tak
putus-putusnya ((thumma radadna>hu asfala sa>fili>n. Illa>
alladhi>na a>manu> wa-‘amilu> al-s}a>lih}a>t fa-lahum ajrun ghayru
mamnu>n)). Kemudian Kami tunda manusia itu kepada derajat
yang dibawah sekali, selain daripada orang yang iman percaya
kepada Allah dan beramal saleh, maka mereka mempunyai
pahala yang tak putus-putusnya, balasan yang menyampaikan
dari dunia sampai kepada akhirat.
Siapa orangnya itu? Yaitu orang yang menyahuti seruan
Tuhan kepada bangsa manusia, yang diseru oleh Tuhan dengan
ucapan ((ya> ayyuha> al-na>s)) segala manusia. Mana orang yang
merasa dirinya manusia, menyahutlah dia. Mana orang yang
me[ng]akui bahwa dirinya manusia di dalam seruan, patuhlah
dia bertunduk di bawah perintah Tuhan Allah yang menyeru
dia itu. Maka pada karangan ini kita sajikan ayat-ayat Qur’an
yang berawalan dengan panggilan bunyi ((ya> ayyuha> al-na>s))
yang ditujukan kepada sidang bangsa manusia. Mana yang
berbangsa dengan manusia, menyahutlah serta menerima apa-
apa yang diserukan atau diperintahkan kepadanya. Bukan saja
manusia melainkan1 kepada jin-jihin- sampai juga seruan itu.
Dan menerima juga akan jeratan yang telah ditentukan oleh
Tuhan kepadanya. Karena jihin itu sebangsa yang berbudi
beramal juga.
1 Melahinkan.
92
Sekianlah pendahuluan karangan ini sementara kita di dalam
suasana darurat dijelma oleh musuh. Wa-tawakkal ‘ala> Alla>h!
Hormat diri hamba wa-al-sala>m ‘alay-kum
Haji Abdul Latif Syakur
Sabtu 19 Jumadil awal 1368 H
19 Maret 1949 M
Di Balingka sedang bertempur
//3// ayat ke-1
Ya> ayyuha> al-na>s u‘budu> rabbakum al-ladhi> khalaqakum wa-
alladhi>na min qabli-kum la-‘alla-kum tattaqu>n. Al-ladhi> ja‘ala
la-kum al-ard} fira>shan wa-al-sama>’ bina>’an wa-’anzala min al-
sama’ ma>’an fa-akhraja bi-hi min al-thamara>t rizqan la-kum fa-
la>-taj‘alu> lilla>h anda>dan wa-antum ta‘lamu>n. QS. al-Baqarah :
21-22.
Hai segala bangsa manusia sembah oleh mu Tuhanmu yang
Maha Esa, yang telah me[ng]adakan kamu dan orang-orang
dari sebelum kamu, supaya kamu takut. Tuhan yang
menjadikan untuk kamu akan bumi jadi hamparan, dan langit
atap, dan diturunkan-Nya dari langit awan akan air, maka
dikeluarkannya dengan dia daripada segala buah-buahan jadi
rezeki untukmu. Maka janganlah kamu jadikan bagi Tuhan
Allah umpama-umpama sedangkan kamu mengetahui.
Ya> ayyuha> al-na>s: hai segala bangsa manusia dari masa
turunnya ayat sampai hari kiamat. Seruan Tuhan ini mengenai
kepada segala bangsa manusia yang merasai dirinya manusia
sempurna. Serta diketahui sifat manusia dan bangsanya lebih
mulia daripada segala bangsa-bangsa yang lainnya. Serta
dihormati kemanusiaannya dan kelebihannya daripada bangsa-
bangsa hamba Allah yang lain yaitu akal dan pikir serta tenaga
dan kemauannya yang tertentu untuk manusia.
93
U‘budu> rabbakum: telah berkata Ibn ‘Abbas rad}iyalla>h
‘anhuma> tiap-tiap kata ((u‘budu))> atau ibadah-ibadah yang
diserukan dalam al-Qur’an maka dia nya ((al-tauh}i>d))
mengesakan2 Tuhan yang Esa. Maka sekalian manusia di muka
bumi ini diserukan kepada agama Tuhan yang berdasarkan
kepada keTuhanan yang Esa. Tiada Tuhan yang lain daripada
Nya. Kata-kata mengesakan3 Tuhan ada dua bahaginya : I.
Tauh}i>d al-uluhiyah, inilah tauhid yang disengaja pada ayat ini.
Yaitu: Tuhan Esa. Dan segala pekerjaan yang dilakukan baik
ibadah atau amalan dan lain-lain hanya menuju kepada
berdasarkan Tuhan yang Esa belaka. II. Tauh}i>d al-rububiyah,
ini tauhid orang yang mengaku iman kepada Tuhan yang Esa
tiada ada Tuhan yang lain daripada Nya. Tetapi amalannya
pekerjaan dan ibadahnya berkarena kepada yang lainNya
daripada Tuhan yang Maha Esa. Di dalam Qur’an dikatakan
orang itu ‘abd al-t}a>ghu>t. Yakni tidak jujur ikhlas semata-mata
kepada Tuhan.
/4/
Al-ladhi> khalaqakum wa-alladhi>na min qablikum: suatu
sifat utama pada Allah yang menentukan kepada manusia
supaya mendasarkan pekerjaannya sama sekali kepada Tuhan
Allah yang Esa yang me[ng]adakan kamu dan orang-orang
yang sebelum kamu. Sifat itu ((al-khalq)) namanya, yaitu
me[ng]adakan sesuatu daripada ‘adam mah}d }: semata-mata
tiada apa-apa menjadi dia ada dengan diadakan Tuhan.
La-‘alla-kum tattaqu>n: supaya kamu menjadi manusia
yang bertakwa patuh mau mengerjakan tiap-tiap pekerjaan
yang berfaedah untuk merdeka yang badi.
2 Meesakan. 3 Meesakan.
94
Al-ladhi> ja‘ala lakum al-ard} fira>shan: tambahan
keterangan supaya manusia tambah insaf dan sadar akan
dirinya bahwa Tuhan yang Esa yang menjadikan. Kalau belum
juga mengerti lihatlah bumi yang dipandang datar dan lebar ini,
Dia yang menjadikan supaya kita dapat mendiaminya.
Wa-al-sama>’a bina>’an : keterangan lihatlah langit yang
menudungi kita dengan lebar dan tingginya. Berbagai-bagai
pula pembawaannya untuk kita. Berpikirlah manusia barang
sejurus, tekurkan kepala yang satu arah ke bumi dan
tengadahkanlah ke langit, siapa yang menjadiakan itu.
Wa-’anzala min al-sama’ ma>’an: dari atas diturunkan air
bercucuran ke bawah dari mana di atas nya manusia sudah tahu
akan air apat zatnya dan lain-lain tetapi dari apa jadinya?
Fa-akhraja bi-hi min al-thamara>t rizqan la-kum: gunanya
air kata Tuhan sebagian4 daripada nya untuk menumbuhkan5
tumbuhan dan pohon yang mengeluarkan bermacam-macam
buah-buahan dari zat air yang satu bangsa dapat menimbulkan
bermacam warna dari bumi yang satu guna akan menjadi rezeki
perolehan bagi sidang manusia seumumnya, bukan saja kepada
manusia malahan kepada segala bangsa binatang.
Fala taj‘alu> lilla>h anda>dan : sudah manusia memikirkan
dengan pikiran, Tuhan berkata janganlah kamu umpamakan
Tuhan Allah itu dengan yang lain-lain, tiada dapat Tuhan kamu
itu lawan umpamaNya.
Wa-antum ta‘lamu>n : Tuhan menutup ayat ini, sedang
kamu sudah dimuliakan dan dilebihkan dengan berbagai
pengetahuan yang dapat dengan akal dibawa berpikir sendiri.
4 Sebahagian. 5 Penumbuhkan.
95
Tetapi manusia belum juga insaf akan kemanusiaannya malah
suka juga bertuhan banyak.
//5// ayat ke-2
Ya> ayyuha> al-na>s kulu> mimma> fi> al-ard}i h}ala>lan t}ayyiban wa-
la> tattabi‘u> khut}uwa>t al-shayt}a>n innahu la-kum ‘aduwwun
mubi>n. Innama> ya’maurukum bi-al-su>’ wa-al-fah}sha>’ wa-an
taqu>lu ‘ala> Alla>h ma> la>-ta‘lamu>n. QS. al-Baqarah 168-169.
Hai sekalian manusia makanlah oleh mu sebagian6 daripada
barang yang ada pada bumi, yang halal yang baik. Dan jangan
kamu turut pelangkahan setan. Bahwasanya ia kepada mu
musuh yang seterang-terangnya. Hanya dia selalu menyuruh
kamu dengan kejahatan dan keji. Dan bahwa kamu katakan
kepada Allah barang yang tiada kamu ketahui.
Adalah masa dahulu orang-orang jahiliyah kaum
musyrik Quraish banyak yang mengharamkan barang yang
dihalalkan Tuhan. Kita terangkan sedikit barang yang
diharamkan mereka padahal tidak dengan perintah agama atau
syariat nabi-nabi dahulu. Bah}i>rah kalau unta mereka beranak
lima ekor yang kelima jantan, [h]endak unta-unta7 itu ditandai
dengan menggantung telinganya, tidak boleh dikendarai dan
tidak boleh disemblih, hanya dibiarkan saja kemana sukanya.
Saibah, seorang yang dalam perjalanan atau dalam sakit
dia berkata : kalau selamat aku sampai pulang atau kalau aku
sembuh dari sakit ini, untaku ini aku lunaskan. Untanya itu
bernama saibah, sama jalannya dengan bah}i>rah, tidak boleh
dipekerjakan atau disemblih. Was}i>lah, seekor kambing betina
yang telah beranak tujuh kali turun kali yang ketujuh anaknya
6 Sebahagian. 7 Unta unta.
96
jantan, maka anak kambing yang ketujuh itu boleh dimakan
oleh laki-laki saja kalau disemblih, haram perempuan
memakannya. H}a>m, kalau unta jantan telah menurunkan anak
sepuluh kali turun, sampai anaknya sepuluh kali turun pada
unta betina maka bapa[k] unta itu bernama h}a>m, merdeka
daripada dikendarai, dibebani dan merdeka dimana-mana dia
minum atau makan tidak boleh diusir.
Dan ada juga mereka mengharamkan barang-barang
yang halal daripada makanan yang sedap-sedap dan
sebagainya. Dipandangnya itu terlarang bertali dengan agama.
Untuk penolak pekerjaan mereka itu atau memperbaiki adat
mereka itu diturunkan Tuhan ayat ini. Sungguhpun sebab
turunnya yang tersebut itu dan kepada kaum dahulu kala tetapi
hukumnya umum kepada segala orang yang meninggalkan
yang dihalalkan Allah dengan keyakinannya kepada
mengharamkan, atau menurut agamanya katanya, tetapi bukan
kata agama.
/6/
Ya> ayyuha> al-na>s kulu> mimma> fi> al-ard} h}ala>lan t}ayyiban
: hai sekalian manusia makanlah daripada yang ada pada bumi
yakni sebagian8 daripada yang ada patut dimakan, makanlah!
Karena maklum bukan semuanya isi bumi ini dapat dimakan.
Di antara yang patut dimakan itu dengan dua syarat pula :
pertama,9 yang dihalalkan Tuhan mana yang dihalalkan jangan
diharamkan, mana yang diharamkan Tuhan jangan dihalalkan.
Artinya, mana yang diizinkan syarak makanlah sekalipun tidak
enak seperti obat. Kedua, yang baik yang mana sekalipun halal
tetapi tidak baik kepada diri atau tidak baik pengambilannya.
8 Sebahagian. 9 Di dalam teks dituliskan:1
97
Segala-gala isi bumi ini halal belaka sebelum turun agama
(syariat) atas mengharamkan sebagiannya. Di dalam segala
yang halal itu hendaklah diambil atau dimakan yang t}ayyib –
yang baik, yaitu yang dapat dengan perusahaan sendiri, cucur
peluh keringat sendiri. Karena tidak ada rezki yang lebih baik
daripada pencaharian sendiri.
Wa-la>-tattabi‘u> khut}uwa>t al-shaytha>n: dan jangan turut-
turutan saja kepada pelangkahan setan-setan, hawa nafsu dan
pikiran-pikiran yang menyimpang daripada agama. Sebagai
dengan aniaya dan tipu[-]tipu dan lain pekerjaan yang tak
diizinkan agama, yang bersalahan dengan peraturan agama.
Innahu lakum ‘aduwwun mubi>n: sebenarnya setan -setan
itu baik setan dari iblis halus atau dari iblis kasar yang
mencelupkan kepada kamu supaya kamu turutkan kepada jalan
yang curang itu. Itulah musuh kamu yang sebenar-benar
musuh. (musuh dalam selimut lebih jahat dari musuh
berhadapan[)].
Innama> ya’maurukum bi-al-su>’ wa-al-fah}sha>’: kejahatan
dan pe[r]musuhan kita dengan setan adalah dia kerjanya selalu
lain tidak melainkan menyuruh berbuat jahat. Perkara yang
tidak senonoh dengan kebenaran dan berbuat yang keji-keji
yang terlarang dalam agama dan tidak baik dipandangan10
umum yang mempunyai rasa dan perkasa budi pekerti
kemanusiaan.
Wa-an taqu>lu> ‘ala> Alla>h ma> la>-ta’lamu>n: dia setan-setan
menyuruh kamu supaya kamu mengatakan kepada yang tidak
dalam agama atau mengatakan supaya menyuruh mengerjakan
sesuatu di dalam agama tetapi hasilnya lebih mudarat daripada
yang disuruhkan. Seperti menyuruhkan amalan yang sunat-
10 Di dalam teks dituliskan: dipemandangan.
98
sunat besar pahalanya tetapi perintah Tuhan yang tertentu
dengan wajib tertinggal. Karena itu, di dalam itu kamu tidak
tahu bahaso11 sudah kena tipu daripada nya.
//7// ayat ke- 3
Ya> ayyuha> al-na>s ittaqu> rabbakum al-ladhi> khalaqakum min
nafsin wa>h}idatin wa-khalaqa min-ha> zaujaha> wa-baththa min-
huma> rija>lan kathi>ran wa-nisa>’a>. Wa-ttaqu> Alla>h alladhi>na
tasa>’alu>na bi-hi wa-al-’arh}a>ma inna Alla>h ka>na ‘alay-kum
qari>ba>. QS. al-Nisa>’: 112
Hai sekalian manusia anak cucu adam semuanya! Takutlah
kamu akan Tuhanmu yang telah me[ng]adakan kamu daripada
diri yang satu Adam diadakan daripada nya istrinya Hawa dan
dikembangkannya daripada keduanya laki-laki yang banyak
dan perempuan, dan takutlah kamu akan Allah yang selalu
kamu meminta dengan Dia dan takutilah silaturahmi.
Bahwasanya Allah adalah Dia di atas kamu memperhatikan
dan menjaga.
Ayat ini sungguhpun turunnya di negeri Makkah,
ditujukan kepada orang-orang di sana semasa Qur’an turun,
tetapi seruannya sampai kemana pojok-pojok yang berisi
manusia. Maka manusia semuanyalah yang diserukan karena
tiap-tiap seruan terwujud kepada suatu bangsa tentu segala
yang sebangsa itu terkena sama sekali. Umpamanya, jika orang
berkata bangsa Indonesia tidak bisa maju, orang Indonesia
tidak bisa merdeka. Tentulah asal orang itu bangsanya dan
tanah airnya dia merasa hati. Sampai kepada masa yang
11 Bahaso (Minang): bahwa 12 Pada NTYN dituliskan 2, sebenarnya ayat ini merupakan
ayat ke-1 dari surat al-Nisa>’
99
beratus-ratus tahun dibelakang asal ternama bangsa manusia
juga. Bukanlah orang yang semasa perkataan itu keluar dari
yang mengatakan atau bukan orang yang semasa tahun 1923 M
umpamanya.
Mereka itu yang akan kita ceritakan ini terhadap kepada
segala bangsa manusia. Yang mana manusia itu berasal dari
seorang bapa[k] dan seorang ibu daripada yang berdua itulah
kembang biaknya manusia yang berkembangan13 sampai
sekarang malah sampai kepada tamatnya dunia ini. Maka sebab
itu ternyatalah bahwa manusia seluruhnya dari satu pokok
bapa[k] yang dikeluarkan oleh seorang ibu. Maka dengan
mengetahui ketuhanan yang Esa dan usul yang satu maka
hendaklah manusia bersatu sama sekali. Jadilah seperti tubuh
yang satu. Bantu[-]membantu. Umpamanya orang Barat
berkepandaian orang Timur banyak bahan. Biarlah orang
Timur menyediakan bahan, orang Barat kerjakanlah.
/8/
Dan buatkanlah apa yang kefarduan orang Timur. Sementara
orang Timur belum cukup kepandaian.
Ya> ayyuha> al-na>s ittaqu> rabba-kum al-ladhi> khalaqa-
kum min nafs wa>h}idah: hai sekalian manusia takutlah kamu
dengan mengerjakan yang disukai-Nya dan meninggalkan yang
tidak disukaiNya. Yaitu Tuhan yang me[ng]adakan daripada
satu tubuh, diri yang satu yaitu nabi Allah Adam yang
dijadikan Tuhan daripada tanah, akan jadi bapa[k] segala
manusia.
Wa-khalaqa min-ha> zaujaha>: dan setelah Tuhan
menjadikan Adam dari tanah sampai menjadi manusia maka
dijadikanlah akan seorang perempuan dari sebelah tulang rusuk
13 Berkekembangan
100
Adam itu sementara Adam di dalam tidur. Akan jadi istri oleh
nabi Allah Adam bapa[k] manusia.
Wa-baththa min-huma> rija>lan kathi>ran: dan
berkembanganlah daripada dua orang laki istri itu berapa laki-
laki yang banyak dan perempuan yang banya kembang
berkembangan turun[-]temurun sampai kini.
Wa-ittaqu> Alla>h alladhi>na tasa>’alu>na bi-hi wa-al-arh}a>m:
setelah kamu mengetahui persatuan kamu yang terbesar yaitu
yang berasal[-]usul kepada dua orang laki istri, maka ingatlah
pula kepada peraturan Tuhan yang Esa terhadap u>la> al-arh}a>m,
bekaum berkerabat bersebangsa senusa. Wajib kamu sama-
sama setuju seniat mencari kemuliaan dan kekuatan secara
saudara-saudara yang telah maju pada sebangsanya, kalau-
kalau dia nanti berbuat sewenang-wenang kepada bangsa yang
lemah. Memang kita semuanya manusia bersaudara,
seketurunan tetapi temangu-mangu oleh karena hal yang
datang kemudian. Menjadi tumbuh benci[-]membenci,
lingkar[-]melingkar karena itu tabiat kalam. Lihatlah dua
orang anak kecil seibu sebapa[k] mula-mulanya bersayang-
sayangan, beramah-ramahan, lama[-]kelamaan bermusuh,
berkelahi tatkala sampai besar. Dan lagi umpama kaum Barat
mula-mula datang ke Timur atau ke Indonesia, bakato di
bawah-bawah manyawuk di hilia-hilia. Berkehendak membeli
bahan-bahan yang kefarduan mereka, tetapi lama menjadi
penjajah pengenas darah. Buat mencegah dan melawan khianat
itu, bersatulah kita yang kaum kerabat sebangsa senusa supaya
teguh dan aman.
Inna Alla>h ka>na ‘alay-kum qari>ba>: bahwasanya Allah
taala itu adalah Dia selalu mengintip memerhatikan dan
101
menengok tingkah laku dan pekerti kamu kalau-kalau nanti di
belakang menjadi bahaya.
//9// ayat ke-4
Ya> ayyuha> al-na>s ittaqu> rabba-kum al-ladhi> khalaqa-kum min
nafs wa>h}idah wa-khalaqa min-ha> zaujaha> wa-baththa min-
huma> rija>lan kathi>ran wa-nisa>’an wa-ittaqu> Alla>h alladhi>na
tasa>alu>na bi-hi wa-al-arh}a>m inna Alla>h ka>na ‘alay-kum qari>ba>.
Al-nisa>’: 1
Hai manusia rata, takutlah kepada akan Tuhanmu yang telah
menjadikan kamu dari diri satu dan dijadikan dari diri yang
satu itu akan istrinya. Dan dikembangkanNya14 daripada
keduanya beberapa laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan
hendaklah kamu takut akan Allah yang kamu minta-meminta
dengan Dia dan takuti pulalah segala kaum kerabat u>la> al-
arh}a>m. Bahwasanya Allah akan kamu mengintip.
Jelasnya: hai bangsa manusia hendaklah kamu takut
kepada Allah yang Dia telah menjadikan kamu daripada
seorang bapa[k] – Adam – dan seorang ibu – Hawa – daripada
dua laki istri itulah maka menjadi berkembang biak di atas
bumi ini, sekali lagi hendaklah kamu patuh kepada Allah
menurut perintahNya, menjahui laranganNya, yang mana
kamu selalu hari minta[-]meminta dengan Dia, dengan
namaNya, dan begitu juga takutlah kamu akan memutuskan
perhubungan irh}a>m, kaum famili, sanak saudara yang jauh dan
hampir. Ingatlah kamu dan ketahuilah bahaso Allah Tuhan
yang menjadikan kita selalu menatap dan me[ng]amat-amati
pekerjaan kita zahir dan batin.
14 Di dalam teks diperkembangNya
102
Tuhan memerintahkan kepada persatuan yang benar,
yaitu persatuan kemanusiaan. Bangsa apapun15 jua berasal dari
keturunan ((Adam dan Hawa))lain tidak. Berselisih jalan juga?
Berlainan kebatinan? Sedang pangkal agama satu dan Tuhan
satu, Rabb al-‘a>lami>n. Marilah kita mempelajari betul-betul
apa maksudnya Tuhan menerangkan kepada kita bahaso
bangsa manusia yang berkembangan [di] seluruh dunia ini,
kembangan16 dari seorang bapa[k]– Adam-
/10/
dan seorang ibu -Hawa– ialah supaya menimbulkan perasaan
kepada rata-rata manusia. Dan Tuhan memberi kepada
manusia perasaan itu yang terkandung pada segenap manusia.
Perasaan mana, perasaan sama. Bersama untuk bersatu dan
bersatu untuk bersama. Asalnya sama, pokok agama satu.
Agama tiada bermusuh karena bangsa, agama membuka jalan
dan pintu untuk dimasuki segala bangsa. Agama ada
menganjurkan suatu jalan bagi segenap bangsa yang
dinamakan jalan yang benar serta lurus. Di dalam al-Qur’an
tersebut: wa anna hadha> s}ira>t}i> mustaqi>man. QS. Al-An’a>m :
152. Dan sesungguhnya inilah – agama Islam – jalan Aku yang
lurus, yang benar, yang mengandung hak perasaan, persamaan
sosial, sosial demokrasi17.
Di dalam perasaan[-]perasaan sesama manusia di dalam
segala bangsa yang ada di atas dunia ini, maka Tuhan
menganjurkan18 juga hak kebangsaan dan tanah air yang berarti
takuti pulalah hak perhubungan persatuan kaum kerabat, sanak
15 Di dalam teks apa juapun 16 Kekembangan. 17 Di dalam teks asosial demokrati. 18 Meajur.
103
famili, u>la> al-arh}a>m. Supaya bekerja bersama-sama
memperbaiki aturan karang perbuatan (a-r-kh-n-s-t-y). Akan
mencari daya upaya persatuan bangsa, boleh mencapai
persatuan kemanusiaan, presiden19 Wilson – ويلسون – Amerika
yang telah meninggal memajukan sikap persatuan bangsa.
Penghulu kita Nabi Muhammada sallallahu alihi
wasallam, memajukan persatuan kebangsaan. Dengan petatah
petitih beliau ((h}ub al-wat}an min al-i>ma>n)). Cinta tanah air itu
suatu daripada iman. Iman percaya. Percaya kepada siapa?
Percaya kepada Tuhan yang Esa, yang mempunyai kekuasaan
pada semesta alam. Bila percaya kepada Tuhan, hendaklah
percaya pula kepada perintahnya, turut yang disukaiNya, jauhi
yang tidak disukaiNya. Inilah jalan yang benar, jalan yang lurus
yang mesti ditempuh, dilalui oleh manusia yang berbudi,
berperasaan20 kemanusiaan. Jalan yang benar yang
diperkatakan ini, niscaya terlihat pada tiap-tiap bangsa, tiap-
tiap orang damai, ia membersihkan fikran dan hatinya.
//11// ayat ke-5
Ya> ayyuha> al-na>s qad ja>a kum al-Rasu>l bi-al-h}aq min
Rabbikum fa’minu> khayran la-kum wa-in takfuru> fa-inna lilla>h
ma> fi> al-sama>wa>ti wa-al-ard} wa>-ka>na Alla>h ‘ali>man h}aki>man.
QS. al-Nisa>’:170
Hai semuanya manusia sungguh telah datang kepada mu Rasul
dengan sebenar-benarnya dari Tuhan kamu, maka imanlah
kamu terlebih baik bagimu. Dan jika kafir kamu maka
bahwasanya Allah taala mempunyai segala apa yang di dalam
19 president 20 Beperasaan.
104
langit dan bumi. Dan adalah Allah taala amat mengetahui dan
amat memperhatikan.
Seruan Tuhan pada ayat ini kepada sekalian manusia.
Sekalipun seruan Ya> ayyuha> al-na>s itu kepada orang Makkah
dan ya> ayyuha> alladhi>na a>manu> untuk orang Madinah. Itu
diwaktu turun. Tetapi secara panggilan menghendaki umum
lafaz. Maka umum lafaz kepada umum manusia, lebih-lebih
pula kepada orang yang telah menerima kitab-kitab suci dari
Nabi-nabi dan Rasul-rasul dahulu yang bahaso21 telah datang
pula kepada mu Rasul, Nabi Muhammad me[ng]anjurkan wajib
pula mempercayainya lebih-lebih pula kepada orang yang tidak
menerima atau tidak berpegang akan kitab-kitab suci yang
terdahulu daripada al-Qur’an. Disebutkan al-rasu>l itu tertentu
kepada Nabi Muhammad peran mereka di masa dahulu telah
menerima penerangan dari kitab-kitab dahulu yang dibelakang
ini ada lagi Rasul yang wajib diimani yaitu Nabi Muhammad.
Ya> ayyuha> al-na>s qad ja>a kum al-Rasu>l bi al-h}aq min
Rabbikum: hai sekalian manusia yang bertabiat lalai dan lemah
ingatan. Sebenarnya telah datang kepada mu Rasul Kami yang
pengabisan, yang telah Kami janjikan pada kitab-kitab yang
terdahulu daripada al-Qur’an. Seperti Taurat kepada Nabi
Musa dan Injil kepada Nabi Isa mengatakan akan keturunan
Nabi Muhammad di zaman akhir ini. Diutuskan kepada
sekalian manusia sampai hari kemudian. Dengan sebenar-
benarnya yang bersuaian dengan kerisalatannya daripada Allah
yang Esa. Membawakan ayat-ayat keterangan Qur’an yang
sebenar-benar keterangan yang tak dapat dibanding dan
dimungkiri lagi kebenarannya. Yang mana Qur’an itu turunnya
dari Tuhan kamu yang menjadikan kamu dengan peraturan-
21 Bahaso (bahasa Minang): bahwa.
105
peraturan undang-undan alam zahir dan batin akan mendidik
kamu orang mukminin kemanusiaan dan kebersihan hati
terhadap kepada Allah dan sesama makhluk.
/12/
Fa-’minu> khayran la-kum: setelah terang oleh kamu hai
manusia yang mendapat perhatian maka berimanlah kamu pada
kebenaran Rasul itu, yang menyampaikan kepada derajat iman
yang teguh kepada meesakan Tuhan. Jika telah kamu imani
akan dia dan kamu turut peraturannya, itulah yang terlebih baik
kepada mu daripada pendirianmu yang sudah-sudah yang tak
ada kamu perhatikan kebersihan kelurusan undang Qur’an
karena pendirian kamu terhadap tidak me[ng]akui yang
dianjurkan nabi Muhammad itu karena kamu dikelubungi awan
yang berwana-warna.
Wa-in takfuru> fa-‘inna lilla>h ma> fi> al-sama>wa>ti wa-al-
ard}: bangsa manusia yang telah dilaksanai dengan beberapa
kemuliaan-kemuliaan lebih daripada hamba Allah yang lain
dengan otak yang tajam dan pemandangan zahir batin pandai
mengambil cemin perbandingan, sudah ternyata segala
kebenaran itu datang daripada Qur’an tetapi kamu masih
menyangkali dengan sengaja tidak mau membenarkan atau
karena tidak sampai pikiran buat menerimanya karena telah
diselubungi oleh beberapa ganngguan yang memisahkan otak
dan akalmu kepada berdasarkan pada ketuhanan yang esa,
malah tepandang kamu mau (m-w-?-w-a) dunia yang
diibaratkan dengan t}a>ghu>t, ingatlah bahwasanya Allah taala
tetap Tuhan langit dan bumi dan seisinya dan akan menjadikan
keberatan kepada kekuasaanNya, tetapi kamu dan segala
106
penganjur-penganjur kamu dan anak buah kamu tidak akan22
terlepas kekuasaanNya daripada dunia sampai hari berbalas.
Wa>-ka>na Alla>h ‘ali>man h}aki>man: dan adalah sifat Allah
Tuhan yang Esa itu mengetahui, yang mana pengetahuanNya
mengahabisi segala pengetahuan. Meatasi segala kepandaian
dengan hikmah yang sempurna, yang telah nyata pada
pemandangan dan perasaan sendiri pada diri sendiri atau di luar
diri sendiri. Apakah yang berlaku kepada segala hambanya
yang mempunyai beberapa bentuk dan (p-r-kh-r-m) jujur atau
tidak, iman atau kafir, taat atau durhaka, dan lain-lain. Sama
sekali Tuhan tidak mengambil pusing. Sungguhpun begitu,
Tuhan tidak sia-sia meangadakan23 kamu serta beberapa
kesenangan dan keadaan yang berlaku daripadamu dan kepada
mu. Lambat launnya akan terasa juga apabila nafsu dan hawa
itu berpisah daripada mu. Karena hawa nafsu dan kemauan-
kemauan itu barang. Barang yang datang itu tidakkan tetap
adanya.
//13// ayat ke-6
Ya> ayyuha> al-na>s qad ja>’akum burha>nun min Rabbikum wa
anzalna> ilaykum nu>ran mubi>na>. Fa amma alladhi>na a>manu>
billa>h wa-‘tas}imu> bi-hi> fa-sayudkhiluhum fi> rah}matin minhu
wa fad}lin wa yahdi>him ilay-him s}ira>t}an mustaqi>ma>. QS.al-
Nisa>’: 174-175
Hai sekalian manusia sungguh telah datang kepada mu suatu
keterangan daripada Tuhanmu. Dan telah kami turunkan
kepada mu cahaya (penerangan) yang nyata. Maka ada pun
orang yang telah iman dengan Allah dan berpegang mereka
22 Kan. 23 Meadakan.
107
dengan dia, maka nanti kami masukkan dia ke dalam suatu
rahmat daripada nya dan karunia dan ditunjukinya akan dia
kepada nya jalan yang lurus –tetap-.
Manusia tidak dapat sampai kepada merasakan keesaan
Tuhan melainkan manusia yang ada mempunyai akal
sempurna. Karena akal sempurna itu dapat memperbandingkan
antara yang hak dan yang batil. Antara yang benar dan yang
salah. Akal itu dapat memutuskan perbandingan yang didapat
pemandangan dan penglihatan zahir sampai kepada
penglihatan batin. Dan yang didapatnya dengan keterangan
yang disampaikan atau yang diterima daripada seorang yang
dipercayai pada cerita, berita yang gaib-gaib yang tak dapat
dengan semata-mata akal dan pikir. Dengan dua keputusan
itulah moga-moga manusia baru sampai pada merasakan
sedapnya perdasaran kepada keesaan Tuhan. Apabila seorang
bekerja ikhlas dengan hati tulus menuju keesaan Tuhan, itulah
yang mendapat kelezatan amal dan merdeka daripada teraru-
aru oleh yang lain.
Ya> ayyuha> al-na>s qad ja>’akum burha>nun min Rabbikum:
hai manusia telah datang kepada mu burhan hajat dan
keterangan. Datangnya daripada Tuhanmu yang membela
kemanusiaanmu supaya terhindar daripada sifat-sifat hidup-
hidupan yang lain daripada bangsa manusia. Keterangan-
keterangan itu yang dibawakan oleh Nabi Muhammad yang
umi dengan beberapa mukjizat dan penerangan agama untuk
melangsungkan hukum-hukum dan peraturan agama Islam.
Membawa kepada mentauhidkan Tuhan yang Esa,
memudahkan jalan kepada kebenaran kemerdekaan manusia
daripada bertuhan kepada lain Allah yang Mahakuasa, supaya
108
kamu sedapat-dapatnya mengikut peraturan yang didapatkan
Nabi Muhammad daripada Allah Subhanahu wa taala.
Wa anzalna> ilaykum nu>ran mubi>na>: dengan perantara
iman keterangan dan Nabi Muhammad kami turunkan dan
kami nyatakan Qur’an yang memberi petunjuk kepada kamu
sampai meningkat derajat kesucian Tuhan daripada berserikat
dan berbilang yang mana keterangan Qur’an itu tidak dapat-
/14/
dibanding dan disangkali lagi, baik bagi keselamatan dunia
atau keselamatan hari kemudian, baik yang dapat dipandangan
zahir maupun dipandangan gaib.
Fa ’amma alladhi>na ’a>manu> billa>h wa-‘tas}imu> bi-hi>
fasayudkhiluhum fi> rah}matin minhu wa fad}lin: adapun orang
yang iman kepada Allah di antara kamu manusia dengan
mengesakan zatNya dan sifatNya serta berpegang, percaya
kepada yang diterangkan al-Qur’an itu, masuklah dia ke dalam
mengagungkan24 rahmat dan karunia Allah yang tertentu
baginya serta balasan dengan kesenangan yang berpadanan
dengan tingkatan keimanannya dan berpegangan25 kepada
Tuhan yang Esa kuasa itu.
Wa yahdi>him ilay-him s}ira>t}an mustaqi>ma>: dan lagi
ditambah-tambahkan pertunjuk dan pengajarannya kepada
iman dan tauhid yang sampai melambangkan tinggi pangkat
derajatnya kelak kepada jalan yang betul keimanan yang teguh
– kaum bangsa manusia yang sempurna- yang mengahdapkan
dasar segala pendirian kepada keesaan Tuhan supaya terlepas
dari pengaruh-pengaruh tipu daya alam baru, berwujud kepada
jalan kemajuan dan kemerdekaan kepada kebenaran hakiki
24 Mengagungan. 25 Perpegangan.
109
menghadapi perjuangan hidup. Sesungguhnya telah sampai
kepada mu –kata Tuhan- keterangan-keterangan dan
kenyataan yang sempurna yang dibawakan seorang Nabi dari
bangsa Arab, namanya Muhammad bin Abdullah dari pihak
Tuhanmu supaya kamu mendapat peraturan agama yang
sebenarnya menurut zaman akhir dan modern tentang
pendidikan adab, sopan dan akhlak kebatinan di dalam bekerja
dengan pengetahuan pihak kepada ibadah, perusahaan,
pekerjaan, pergaulan dan siasat politik perjuangan, persediaan
dan masyarakat dari rumah tangga sampai kepada umum.
Malah sampai kepada sosial sesama manusia atau sesama
hamba Allah yang mana di masa itu dunia sekeliling belahan26
bumi ini di dalam kalang kabut yang dirangkup kejahilan kaum
jahiliah. Di Parsi orang menyembah api yang bernyala-nyala,
lagi pula diturunkan Tuhan kepada nya(Muhammad) pertunjuk
pengajaran dengan Qur’an di dalamnya bermacam aturan
undang untuk keselamatan bangsa manusia umum adanya. Kita
persaksikan perkataan filusuf Amerika pemeluk agama Masihi
bernama – Raber : pemeluk Masihi sudah seribu tahun lamanya
belum ada mengeluarkan seorang yang alim kebilangan tetapi
agama Islam di dalam tempo yang sedikit sudah beribu-ribu
orang alimnya.
//15// ayat ke-7
Ya> bani A>dama qad anzalna> ‘alay-kum liba>san yuwa>ri>
sawa>tikum wari>shan wa-liba>su al-taqwa> dha>lika khayrun
dha>lika min a>ya>ti Alla>h la‘alla-hum yadhdhakkaru>n. QS.al-
A‘ra>f: 26
26 Belaan.
110
Hai anak cucu Adam sesungguhnya telah Kami turunkan atas
kamu pakaian yang menutup kejahatan kamu (aurat kamu) dan
perhiasan. Dan bermula pakaian takwa itu lebih baik yang
demikian itu daripada tanda-tandanya ada Allah supaya
mereka ingat.
Tuhan Allah memanggilkan menyeru kepada seluruh
anak cucu bani Adam yang bakal menjadi khalifah di atas bumi
ini. Bahwasanya Kami – kata Tuhan- telah menurunkan
beberapa macam bahan-bahan yang keluar dari bumi dengan
perantaraan air hujan mengeluarkan rupa-rupa barang yang
akan menjadi pakaian kepada manusia. Satu pakaian untuk
menutup aurat kamu memliharakan aib dan malu kamu. Dua
pakaian perhiasan dan kembangan sebagai burung yang berbulu
sayap yang berwarna-warni. Dan ketiga pakaian takwa yang
memelihara daripada kecelaan dan kejahatan pada dunia dan
akhirat yang sebaik-baik pakaian.
Ayat ini d-p-r-b-ng-y cerita Nabi Allah Adam dan sitina
Hawa ditolak dari surga turun ke bumi ini. Bertempat tetap
sampai kepada anak cucu nenek yang berdua itu. Maka Tuhan
menjadikan dan menurunkan segala apa kefarduan orang yang
dihukum pindah tempat kepada negeri tempat buangan.
Kefarduan kelengkapan yang berkawan untuk mereka, untuk
dunia dan akhirat. Sebagian27 daripada kefarduan itu ialah
pakaian yang menutupi kecelaan, pakaian malu, sopan,
menutup aurat yang diterima bagi sah sembahyang. Begitu
juga kefarduan pakaian pada dunia, memelihara panas dan
dingin. Firman Allah taala: ((waja’ala la-kum sara>bi>l taqi>kum
al-h}urr wa-sara>bi>l taqi>kum bi’sakum)) dan menjadikan Allah
27 Sebahagian.
111
untuk kamu baju, sirwal, pemelihara kamu daripada hangat28
panas. Dan pakaian baju sirwal memelihara daripada kelihatan
malu kejahatan kamu. Dan pakaian takwa lebih baik bagi kamu
yang akan kamu pakai. Keadaan Tuhan menurunkan pakaian
itu anak Adam suatu tanda juga bagi keesaan Tuhan.
/16/
Dengan memperhatikan yang tersebutkan pada ayat ini,
persesuaian dengan keadaan, adalah agama kita yang kokoh ini
tidak menghalangi dan menegahkan bersedap-sedap pada
makanan dan minuman tersebut pada ayat berbunyi ((wa-kulu>
mimma> razaqakum Alla>h h}ala>lan t}ayyiban wa -ttaqu> Alla>h
alladhi> antum bi-hi mu’minu>n)) maka pada ayat, kita ini tidak
pula dihalangi berpakaian perhiasan disuruh pula oleh
Rasulullah dengan wujud kitab ((ma> mana‘a ah}adukum an w-j-
w-s-?-t min al-ma>l an yattakhidha thawbayn li-yaum al-
jumu‘ah siwa> thawb mihnah)) apa yang menegahkan kamu jika
ada kelapangan dari harta supaya dia mengambil pakaian dua
helai untuk hari Jumat selain dari pakaian palasah yang biasa.
Tidak sadang begitu saja malah beliau ingin juga jika umatnya
bermegah-megah berjombang-jombang berpakaian asal
membawa kepada keridaan atau menz}a>hirkan rahmat dan
nikmat Tuhan. Sampai beliau berkata: man ka>na lahu sha’run
falyukrimhu, siapa yang berambut panjang maka hendaklah
dipeliaharakan, dihiasi, disisiri, diminyaki.
Dan sabda beliau juga ((inna Alla>h yuh}ibbu kullu jayyid
al-ri>h} jayyid al-thiya>b)) bahwasanya Allah taala kasih kepada
orang yang baik baunya dan bersih pakaiannya. Adalah pada
satu kali datang seorang orang kepada Nabi kita, maka dilihat
oleh Rasulullah orang itu berpakaian kurang baik. Agak buruk,
28 Angat.
112
berkata Rasulullah kepada nya : bagaimana penghidupan
engkau dan harta engkau? Jawab laki-laki itu: adalah sederhana
cukup pemberian Tuhan kepada hamba. Maka berkata
Rasulullah kepada nya: ((inna Alla>h taala yuh}ibbu idha> an‘ama
‘ala> a-m-w-a ni‘mat an yanz}ura ila> athariha> ‘alayh))
bahwasanya Allah taala apabila diberinya seseorang akan
nikmat dia suka akan melihat dan diperlihatkan kepadanya
bekas-bekas nikmatnya itu. Artinya berpakaian dengan
pakaian yang dipakainya yaitu ((liba>s al-taqwa>)) pakaian yang
membawa takwa kepada Allah. Jangan pakaian kesombongan,
takabur, mebenar.
Daripada Abi Hurairah rad}iya Alla>h ‘anhu bahwasanya
Rasulullah berkata: ((la> yanz}ur Alla>h yawm al-qiya>mah ila> man
jara> za>rahu bat}ran)) mutafaq ‘alayh. Bahwasanya Allah taala
tidakkan melihat hari kiamat kepada orang yang merendahkan
mendalamkan kaki pakaian. Dan katanya lagi: ((ma> isbal min
al-ka‘bayn min al-iza>r fa-fi> al-na>r (rawa>hu al-Bukha>ri>))). Mana
yang melampaui ke bawah mata kaki berpakaian itu masuk ke
dalam api naraka. - ‘An ‘Amru ibn Shu‘aib ‘an abi>hi ‘an jaddihi
qa>la: qa>la Rasululullah s}ala Alla>h ‘alayhi wa salla>m ((inna
Alla>h yuh}ibb an yara> athar ni‘matihi ‘ala> ‘abdih))- bahwasanya
Allah taala amat sayang melihat bekas nikmat-Nya yang
diberikan-Nya kepada hamba-Nya. Hadis hasan. Al-riya>d} al-
s}a>lih}i>n 153
//17// ayat ke-8
Ya> bani> a>dama la> yaftinannakum al-shayt}a>n kama> akhraja
abwaykum min al-jannah yanzi‘u ‘an-hum liba>sahum
sawatihima> inna-hu> yara>kum huwa wa-qabi>luhu min h}aythu la>
tarawnahum inna> ja’alna> al-shaya>t}i>n awliya<’ li-alladhi>na la>
yu’minu>n. Wa-idha> fa‘alu> fa>h}ishah qa>lu> wajadna> ‘alayha<
113
a>ba>’ana> wa-alla>h amarana> biha> qul inna Alla>h la> ya’muru bi al-
fah}sha<’ ataqu>lu>na ‘ala> Alla>h ma> la> ta‘malu>n. Qul amara rabbi>
bi al-qist} wa aqi>mu> wuju>hakum ‘inda kulli masjid wa-d‘u>hu
mukhlis}i>n al-di>n kama> bada’akum ta‘u>du>n. Fari>qan hada> wa
fari>qan h}aqqa ‘alayhim al-d}ala>lah innahum ittakhidhu> al-
shaya>t}i>n awliya>’a min du>ni Alla>h wa yah}sabu>na annahum
muhtadu>n. Qs. al-A’ra>f: 27-30.
Tiga ayat disebutkan disini berikut – pertama
memperingati manusia anak Adam daripada tipuan setan.
Kedua memperingatkan hal ihwal orang yang beramal menurut
kemauan orangtuanya. Ketiga sertakan membawa- Alla>h
subhanahu wa taala> tidak menyuruh kepada kejahatan. Dan
pada ayat keempat penutup menerangkan orang yang dapat
petunjuk29 dan orang yang sesat. Iyalah!
Ayat pertama Tuhan berkata: hai anak cucu adam
jagalah olehmu dirimu jangan kamu diperosokkan oleh setan
kepada lembah belukar kesesatan dengan bermacam waswas
dan fitnah supaya kamu keluar daripada orang-orang yang
dijanjikan Tuhan pahala surga. Lihatlah seperti dua orang
nenek kamu Adam dan Hawa dikeluarkan dari dalam surga
karena tipu waswas dan fitnah yang dibuatkan kepada mereka
sampai mereka dikeluarkan dari dalam surga. Dan ditanggali
dilolos segala pakaian yang ada pada tubuh mereka dan
perhiasan-perhiasan dicabut daripada badan mereka. Kuatlah
kamu segala anak cucu Adam, mudah saja setan merayu-rayu
kamu dengan berbagai tipu muslihat supaya kamu terjerumus
ke dalam belukar kedurhakaan. Karena mereka selalu melihat
menatap kepada kamu beserta30 kaum anak cucunya sedang
29 Pertunjuk. 30 Berserta.
114
kamu tidak ada melihat mereka. Maka apabila kamu ketahui
bahwa akan demikian maka hendaklah kamu berlindung
daripada th-y-t-y-? denganya itu kepada Tuhan yang ghaib
yang mengetahui segala yang ghaib. Kami-kata Tuhan- tidak
Kami jadikan setanitu berkuasa kepada orang yang iman
kepada Allah, tidak diberi jalan kepada orag mu’minin.
/18/
Orang-orang kafir yang tidak me[ng]indahkan aturan
dan perintah Tuhan, apabila mereka berbuat suatu pekerjaan
yang tidak baik yang dilarang atau yang bersalahan dengan
agama, mereka berkata: sudah begitu juga kami terima dan
kami jawat dari bapa[k]-bapa[k] kami dan orang tua kami.
Tuhan menyuruh kami berbuat sedemikian. Begitulah adat
lama paga usang yang kami pakai selama ini, semua dari orang
tua kami. Begitulah jawab mereka karena sudah terfitnah oleh
setan dan hawa nafsu mereka. Syari’at mereka p-d-y-g
tamakan tiru-meniru agama mereka beralasan kepada
kemauan dan hawa nafsu.
Tuhan berkata kepada nabi Muhammad: katakanlah ya
Muhammad! bahwasanya Allah tidak menyuruh berbuat
kejahatan yang terlarang dalam agama, bagaiamana berani
kamu berkata berbuat barang yang tiada kamu ketahui.
Katakanlah ya Muhammad kepada orang-orang yang
membuat-buatkan berdusta kepada Allah itu. Tuhan aku hanya
menyuruh dengan adil dan lurus membayarkan suatu pada
haknya. Mana yang berbetulan dengan akal orang yang berakal,
dengan pertengahan keadaan, tidak melebih-lebihinya dan
tidak menyia-nyiakan31. Sebab itu hendaklah kamu bangkitkan
tenagamu kepada beramal ibadah kepada wajah Tuhanmu dan
31 Mensia2kan
115
berdoalah dan beribadahlah kamu kepada Nya dengan ikhlas.
Jangan kamu i’tikadkan juga yang lain daripada Allah akan jadi
Tuhan kamu.
Kamu dahulu dijadikan oleh Tuhan dari ‘adam semata
dilahirkan ke atas dunia supaya kamu beramal berbakti yang
baik-baik. Nanti kamu akan dikembalikan pula kepada sedia
kala. Balik kepada alam ‘adam – dan di sana kamu dihidupkan.
Hidup yang abadi supaya dibalasi segala amalan kamu di atas
dunia ini. Siapa yang taat kepada Nya dengan amalan ikhlas
beruntunglah dia masuk ke dalam surga. Siapa durhaka kepada
Nya merugilah dia masuk ke dalam neraka api yang bernyala-
nyala. Siksa yang sepadan dengan kesalahannya.
Adalah manusia itu dua partai. Satu partai orang yang
mendapat petunjuk32 yaitu kaum muslimin menurut perintah
Allah. Memulakan kerukunan agamanya dengan penuh dan
ikhlas. Dan satu partai orang yang masuk golongan satu yaitu
yang mengambil setan-setannya –akan jadi ikutannya- yang
akan memfitnahi akan dia tidak mereka bertuhan akan Allah.
Tidak menurut aturan Allah. Katanya dianya atas pekerjaan
yang salah itu ialah berbuat baik dan pertunjuk jua.
//19// ayat ke-9
Ya> bani> A>dama khudhu> zi>natakum ’inda kulli masjidin wa-kulu>
wa-shrabu> wa-la> tusrifu> innahu> la> yuh}ibbu al-musrifi>n. Qul
man harrama zi>nata Alla>h allati> akhraja li-‘ibadihi> wa-al-
t}ayyiba>t min al-rizq qul hiya lilladhi> a>manu> fi> al-h}ayawa>t al-
dunya> kha>lis}atan yawm al-qiya>mat kadha>lika nufas}s}ilu al-a>ya>ti
li-qawmin ya’lamu>n. Qul innama> h}arrama rabbiy al-fawa>h}ish
ma> z}ahara min-ha> wa-ma> bat}ana wa-al-ithma wa-al-baghya
32 pertunjuk
116
bighayri al-h}aq wa-an tushriku> billa>h ma> lam yanazzil bihi>
sult}a>nan wa-an taqu>la> ’ala> Alla>h ma> la> ta’lamu>n. Wa-likulli
ummatin ajalun fa-idha> ja>‘a ajaluhum la> yasta‘khiru>na sa>’atan
wa-la> yastaqdimun>. Qs. al-A’ra>f: 31-34
//21// ayat ke-10
Ya> ayyuha> al-na>s innama> baghyukum ‘ala> anfusikum mata>‘a
al-h}aya>t al-dunya thumma ilay-na> marji‘ukum fa-
yunabbiukum bima> kuntum ta‘malu>n – yu>nus: 23
Hai manusia yang sadar!: hanya sanya keaniayaan kamu adalah
atas dirimu selama bersenang-senang di ruangan hidup di
dunia. Kemudian kepada Kami jua kembalimu. Maka Kami
terangkan kepada mu dengan apa-apa yang ada kamu kerjakan.
Di ayat ini Tuhan Allah memberikan pemandangan
kepada manusia bahwa sifat manusia itu tetap di dalam tidak
jujur –tidak membalas budi, tidak menghargai33 kebaikan
orang, umpamanya: kalau dia di dalam safar –umpama di dalam
pelayaran- datang kepada bahaya laut- angin, topan,
gelombang adalah dia berjanji di dalam hatinya, yang timbul
saja dengan kebenaran dengan keyakinan menyeru meminta
dan mendoa kepada Ilahi Rabi lepaskanlah kami dari bahaya
ini dan berjanji dengan hati sendiri akan bertaat, bertakwa
kepada Tuhan yang Esa selepasnya dari safar ini. Nanti apabila
sudah terlepas, tidak teringat lagi janji yang di dalam safar itu
dengan Tuhan.
Ya> ayyuha> al-na>s innama> baghyukum ‘ala> anfusikum:
hai manusia yag selalu berbuat kesalahan dan kejahatan kepada
sesama kamu dengan menjalankan aniaya satu sama lain.
Kamu buat kejahatan kepada orang lain supaya kamu selamat
33 mehargai
117
seputus –beruntung- terlepas dari bahaya, maka aniaya kamu
itu kembalinya kepada kamu juga, mengapa demikian? ((man
‘amila s}alih}an fa-li-nafsihi wa man asa>a fa-‘alayha>)) siapa yang
berbuat kebaikan tentu kebaikannya untuk dirinya. Dan siapa
berbuat kejahatan maka kejahatan itu menimpa dirinya juga.
Bukan saja kejahatan itu kepada nya seorang malah kepada
yang seumpamanya atau kepada taulan sejawatnya, sampai
kepada sekaum sebangsa dan setanahairnya. Jikalau
kejahatannya dan aniaya itu sampai kepada merintangi
kesenangan keselamatan dan jua perjuangan dengan musuh
agama bangsa dan kemerdekaan tanah airnya.
Mata>’a al-h}aya>h al-dunya. Tahukah kamu kesalahanmu
itu? Kamu selalu bersuka-suka, bersedap-sedap, bersenang-
senang dengan hidup dan penghidupan dunia kamu yang fana
itu oleh karena kesenangan kamu dengan keduniaanmu itu
kamu putuskan perhubungan kerabat dan
/22/
silaturahim. Lupa kamu akan kewajiban kamu kepada kepada
sebangsa dan senusa malah lagi seagama. Balasan kerja kamu
dan kesalahan kamu itu mengenai kepada masyarakat dan
sepupu kamu adanya.
Thumma ilay-na> marji‘ukum: sesudah kesenangan dan
(k-p-l-s-y-r-n) kamu di dalam hidup dunia yang lenyap ini.
Bahayanya mengenai kepada dirimu dan masyarakat penduduk
tanahairmu maka nanti kemudian hari, di sana nanti kamu
menerima balasan dan menemui bagaimana kamu
menderitakan hukuman Tuhan dihadapan khala>iq dan orang
yang kamu aniaya semasa mereka merasa tertindas dan terhina
ketika kamu sombong takabur kepada mereka. Nasib ketika itu
terserah kepada Allah.
118
Fa-yunabbi’ukum bima> kuntum ta‘malu>n: maka nanti
kami beri kamu balasan setampilan dengan amalan kamu. Pada
ayat dibelakang ini Tuhan Allah membuatkan perumpamaanya
hidup di dunia ini. Perhatikanlah! Hidup di dunia ini dengan
kesenangannya kalau diumpamakan, adalah seumpama hujan
yang turun menyirami bumi yang subur menambahkan
pelbagai tanaman yang bermacam-macam daripada yang
dimakan oleh manusia seperti jagung, padi, sayuran dan lain-
lain. Dan makanan ternak binatang daripada rumput dan lain-
lain, hatta mengeluarkan bumi akan keindahannya dan
kecantikannya, daun yang rimbun bunga yang berkembangan
buah yang rontok ranun, di sana tumbuh kira-kira dan sangka
ramai kesukaan yang riuh rindang akan mengambil hasil
tanamannya, memetik buahnya, mengutip daunnya dan
menyabut memotong padinya. Padi masak, jagung meupah,
buah lebat bunga kembang dengan tidak disangka, sekonyong-
konyong turunlah bahaya petaka, perintah takdir Tuhan, binasa
isi kebun rusak isi lada, daun merusak, bunga layu, buah gugur
ke tanah batangnya rebah tunduk ke bumi. Entah malam entah
siang-siang menjadi seperti tanaman langkas, seperti sawah
sudah disabit, dipotong tidak ada sebagai yang diangan-angani
semalam lagi. Begitulah Tuhan Allah menjelaskan kepada
kaum yang mau berpikir. Kata peribahasa: ya> man bi-dunyahu
ishtaghal – qad gharrahu t}u>l al-amal. hai orang yang bimbang
dengan keduniaannya- sesungguhnya dia terpedaya dengan
panjang angannya itu.
//23// ayat ke-11
Ya> ayyuha> al-na>sqad ja<’atkum maw‘iz}atun min Rabbikum wa-
shifa>’ lima> fi> al-s}udu>r wa-hudan wa-rah}matan li-al-mu’mini>n.
Qs. Yu>nus: 57
119
Hai manusia. Sesungguhnya telah datang akan kamu
pengajaran dari Tuhan kamu dan obat bagi barang pada dada
dan pertunjuk dan rahmat untuk orang-orang mukmin.
Hai sekalian manusia yang masih belum mengerti dan
sadar pada mengingati asal usul kemanusiaannya
sesungguhnya telah datang kepada mu daripada Tuhanmu yang
Esa yaitu Qur’an –kitab suci- lengkap di dalamnya beberapa
faidah-faidah, penerangan-penerangan yang semuanya itu
tersimpan pada empat perkara:
pertama- maw‘iz}ah- pengajaran, yaitu ... menarik kepada
kebaikan yang digemari dan yang diketakuti –salah akan
membaiki, lupa akan menuruti, terlampau akan
mengembalikan dengan dua jalan: satu memberikan pengajaran
kepada hati supaya tetap keyakinan kepada Tuhan Yang
Mahaesa tiada Tuhan selain Nya- maka segala pekerjaan – dan
perjuangan- kejahatan dan suasana- hidup dan mati- sakit dan
senang, semuanya didatangkan Tuhan belaka dengan maw‘iz}ah
Qur’an itulah baru34 dapat kita mempertahankan kemerdekaan
ruh kita –jiwa kita- pikiran kita dan berkibarnya semangat kita
kepada melawan berjuang kepada musuh kasar dan musuh
halus. Kedua, memberikan pengajaran aturan lembaga
pekerjaan dan amalan yang berupa perintah dan suruh kepada
kebaikan yang mana segala peraturan yang telah diperintahkan
di dalam Qur’an itu sama sekali membawa kepada kebaikan
yang disetujui oleh isi alam yang suka mendalamkan tilikannya
dan pahamnya tidak dengan tergopoh-gopoh yang didorongkan
hawa nafsu. Dengan tilikan sepintas lalu saja dan memberikan
pengajaran yang berupa tagah35 dan larangan pada pekerjaan
34 baharu 35 Tagah (bahasa Minang): cegah
120
kejahatan yang ditakuti nanti yang membawa kepada
kesengsaraan hidup dunia sampai kepada akhirat.
Kesengsaraan, baik kepada diri sendiri ataupun kepada
bersama –orang umum dan masyarakat. Tetapi kebiasaan
larangan pada yang disukai oeleh kebanyakan orang. Memang
manusia itu beraja kepada hatinya bersultan kepada matanya-
padahal hati itu diperintahi kemauan hawa nafsu dan mata
cendrung kepada rupa dan warna. Maka Tuhan memberikan
pengajaran supaya jangan diturutkan itu.
/24/
Kedua- shifa>un li-ma> fi> al-s}udu>r. Mengobat penyakit-
penyakit yang ada di dalam hati yakni membersihkan hati
daripada syak dan waham. Kepercayaan-kepercayaan yang tak
bersesuaian dengan keadaan dan kejadian alam. I’tikad - i’tikad
yang busuk yang diperlakukan oleh beberapa penipu-penipu
baik di dalam keagamaan baik di dalam keagamaan, baik di
dalam kebudian. Jadi pada makna mengobati penyakit hati ini,
terkumpullah padanya bahwa Qur’an itu mengumpulkan
hikmah-hikmah bahagian akhlak – kebathinan suci
menghapuskan penyakit kebodohan –syak- wasangka- dengki-
takabur, hasad dan khianat, terus dan lain-lainnya. Kalau orang
sudah meminum obat hati dari air aliran al-Qur’an, turunlah
sejuk dan tawar kepada ulu jantung sampai meresap ke
selubung jiwanya tumbuhlah rasa persatuan sangat s-d-y-p-n
dari sebangsa –senusa-seagama-malah sesama hamba Allah.
Ketiga- hudan. Pertunjuk yang membawa ahli inayah-
yang suka memperhatikan kepada jalan kebenaran, suka
menerima ketetapan hati kepada wah}dah dan tawh}i>d dan
terlepas daripada d}ala>lah kaum sesat dan celaka. Dan keempat-
wa-rah}mah li-al-mu’mini>n. Dan rahmat kesenangan dan
121
kesukaan kepada orang yang suka mempercayai akan dia pada
segala barang yang telah dijanjikan Tuhan di dalam Qur’an
dengan beberapa bahgia dan balasan yang berlipat ganda
daripada amalan-amalan nanti di kampung baqa’.
Empat perkara ini pembawaan Qur’an yang diturunkan
Tuhan kepada Nabi Muhammad, nabi akhir zaman supaya
disampaikan hukum-hukumnya- pelajarannya kepada umatnya
–tiap pihak –segala bangsa- tidak memilih bangsa- tidak
melihat warna hanya menuju kepada manusia yang suka
memperhatikan isinya. Oleh ayat itu orang yang hendak
menempuh jalan merdeka kemenangan yang abadi hendaklah
suka me[ng]amat-amati dan perhatikan dengan tenang
memperbanyak membacanya dan mengetahui makna dan
tujuannya dengan beberapa petunjuk jalan kitab-kitab tafsir
yang telah dikarang oleh orang alim ulama –cerdik pandai –
pahlawan-pahlawan dalam pengetahuan di dalam tiap-tiap
bangsa dan bahasa supaya terang terbentang di dalam ruangan
kelapangan tenaga kekuasaan paham masang jangan
dipadokan saja pengajaran-pengajaran yang datang dari luaran
seperti selama ini!! Wa-huwa al-‘azi>z al-h}aki>m.
//25// ayat ke-12
Qul ya> ayyuha> al-na>s in kuntum fi> shakkin min di>ni> fa-la>-
u‘budu alladhi>na ta‘budu>na min du>ni Alla>h wa-la>kin a‘budu
Alla>h alladhi> yatawaffa>kum wa-umirtu an aku>na min al-
mu’mini>n. Wa-an aqim wajhaka liddi>ni h}ani>fan wa-la>-
takunanna min al-mushriki>n. Wa-la>-tad‘u min du>ni Alla>h ma>
la>-yanfa‘uka wa-la>-yad}urruka fa-in fa‘alta fa-innaka idhann
min al-z}a>limi>n. Wa-inna yamsaska Alla>h bi-d}urrin fa-la>-
ka>shifa lahu illa> huwa wa-in yuridka bi-khayrin fa-la>-ra>dda li-
122
fad}lihi> yus}i>bu bi-hi man yasha>’ min ‘iba>dihi> wa-huwa al-ghafu>r
al-rah}i>m. Qs. Yu>nus: 104-107
Katakanlah ya Muhammad kepada orang yang ragu-
raguan pada agama engkau yang jahat sangka pada mengikut
pekerjaan dan amalan engkau: hai manusia yang selalu
teperintah oleh kemauan dan lalai daripada berpikir, jika kamu
berada di dalam syak dan ragu juga pada agamaKu yang sebaik-
baik dan sebersih-bersih agama yang pusat dan punc[ak] oleh
sekalian agama karena bersandar dan berdasarnya semata
kepada keesaan Tuhan sejati. Maka aku tidakkan menyembah
dan menghadapkan diriku kepada gambar-gambar dan bahan-
bahan yang kamu sembah itu selain daripada Allah tetapi
adalah aku menyembah dan perhambakan diriku kepada Allah
Tuhan yang Esa, yang mematikan kamu dan membinasakan
barang yang kamu sembah itu, dan aku disuruh supaya adalah
aku masuk bahagian orang-orang mu’minin yang yakin
kepercayaannya dengan menggunakan akal pikirannya kepada
mentauhidkan Tuhan yang Esa –tiada Tuhan selain daripada
Nya.
Dan lagi diwahyukan kepada aku- kata Tuhan Allah
kepada aku: bahwa –tetaplah engkau Muhammad
menghadapkan diri engkau, muka engkau kepada agama yang
telah disuruhkan engkau memegangnya supaya membaikkan
kemanusiaan engkau dan budi engkau. Jangan memandang
berpaling ke kiri ke kanan selain kepada tujuan agama yang
telah diturunkan kepada engkau. Merdekalah engkau daripada
terperintah yang meluar dari perintah agama engkau yang
terpisah daripada agama-agama yang tidak benar itu. Dengan
keadaan demikian, dan janganlah engkau termasuk ke dalam
123
golongan orang yang memperserikatkan Tuhan. Dan manakala
telah mengetahui engkau akan hakikat isi alam.
Dan ternyata pada engkau bahasa tidak ada daripadanya
yang patut disembah, maka
/26/
jangan engkau menyeru –meminta bantu- mengharap
pertolongan pada segala cita-cita engkau dan hajat engkau
daripada kepada lain Allah yang Esa di antara barang yang
tidak dapat mendatangkan manfaat kepada engkau sekalipun
engkau sembah-sembah benar akan dia. Dan tidak akan
mendatangkan mudarat -dan mereka kepada engkau jika
engkau sangkali akan dia- karena semuanya itu selain daripada
Allah tiada memberi bekas suatu jua. Sedangkan
kemudaratannya sendiri tidak dapat ia menolongnya. Maka
jika engkau kerjakan juga mendoa –menyeru kepadanya dan
engkau i’tikadkan juga yang baharu itu memberi bekas, maka
nyatalah bahwasanya engkau ketika itu jua masuk ke dalam
golongan orang aniaya –menganiaya dirinya sendiri- sebab dia
menurunkan derajatnya yang berakal kepada derajatnya yang
dungu.
Dan jika mengenakan akan dikau Allah taala dengan
suatu mudarat satu kejahatan, maka tiada yang
membukakannya menolongnya daripada engkau melainkan
Dianya –Allah. Dan jika dikehendakiNya kepada engkau
dengan suatu kebaikan pemeliharaan –dengan karuniaNya dan
rahmatNya- maka niscaya tidak ada seorang juga yang kuasa
menolaknya daripada engkau akan karuniaNya itu. Hanya
mengenai sampai karuniaNya dan pemberianNya kepada siapa
yang disukaiNya daripada sekalian hambaNya. Tidak dapat
dihalangi dan tidak terlarang sebab dosa dan kesalahan mereka,
124
karena Dianya mengampuni dosa hambaNya bila hambaNya
meminta ampun dan surut daripada kesalahannya lagi Dia
pengasih-penyayang kepada hambaNya.
Boleh jadi dihapuskan kejahatan itu atau kejahatan itu
menjadi suatu kebaikan. Karena kadang-kadang pekerjaan
yang tempatnya jahat dan nyata kejahatannya tetapi akhirnya
menjadikannya kebaikan, atau ekornya membawa
kemaslahatan. Maka yang jahat itu menjadi barang yang baik
dan berbakti pada sisi Allah Tuhan Kuasa.
//27// ayat ke-13
Qul Ya> ayyuha> al-na>s qad ja>akum al-h}aqqu min rabbikum
faman ihtada> fa-innana> yahtadi> linafsihi> wa man d}alla fa-
innama> yad}illu ‘alay-ha> wa ma> ana ‘alay-kum bi-waki>l. Wa-
ttabi‘ ma> yuh}a> ilay-ka wa-is}bir h}atta> yah}kauma Alla>h wa-huwa
khayru al-h}a>kimi>n. Qs. Yu>nus: 108-109
Katakanlah Muhammad! Hai sekalian manusia yang
telah menerima penerangan-penerangan, yang telah diberati
dengan ibadah dan pengetahuan supaya bertuhan kepada
Tuhan yang Esa Kuasa dan bermaca,-macam seruan kebenaran.
Dan keinsafan: sesungguhnya36 telah cukup sampai kepada mu
pengajaran dan kebenaran yang amat nyata dan terng
datangnya daripada Tuhanmu yaitu Islam yang menerangi
pucuk-pucuk keimanan dan puncak bubungan pengetahuan.
Maka siapa yang telah mendapat pengajaran dan menerima
petunjuk37 kepada keislaman dan ketauhidan yang sebenarnya,
maka niscaya adalah dia mendapat pengajaran untuk dirinya.
Dan mendapat penerangan jalan yang akan dilaluinya, maka
36 Sungguhnya 37 pertunjuk
125
adalah pahala –bahagia- balasan kebenaran yang didapatnya itu
nanti untuk dirinya sendiri. Sifat kesempurnaan dan kemuliaan
itu nanti akan dicapainya sendiri.
Dan siapa yang masih sesat juga –tidak menerima
pengajaran- tidak mendapat petunjuk38 dengan penerangan
Islam, malah diabaikannya, tidak diindahkannya, tidak
dibenarkannya. Maka hanya sanya dia tersesat atau menjadi
kesesatannya berbahaya atas pukulan dirinya sendiri. Maka
segala bahaya kesalahannya nanti tentu akan ditanggungnya
sendiri.
Dan katakan juga kepada mereka ya> Muhammad!: tiada
saya atas mu jadi wakil, tiada saya dapat memeliharakan, tidak
dapat saya mempertahankan dan membela kesalahan-
kesalahan kamu itu. Karena saya tidak bertanggungjawab
padahal yang demikian, malah saya manusia seperti kamu pula.
Hanya saya disuruhkan Tuhan kita, supaya menyampaikan
pengajaran dan pertakut, sesudah saya sampaikan kepada hai
manusia sekalian apa yang diperintahkan saya
menyampaikannya maka terserah kepada mu dan terusilah
kepada pikiranmu sendiri-sendiri. Kalau manis lulur dan
telanlah. Dan kalau belum terasa manisnya kinyam-kinyam
dahulu mudah-mudahan dapat
/28/
juga perasaan yang waras, pikiran yang sehat, terbuka juga
pintu selubung h-y-w-a rohani yang suci.
Dibalik itu ya> Muhammad! Engakau turutilah, engkau
kerjakan sungguh-sungguh dengan tenaga engkau sendiri. Apa
yang telah diwahyukan kepada engkau oleh Tuhan engkau,
majulah engkau lancarkan segala peraturan Tuhan engkau.
38 pertunjuk
126
Tetap engkau menyampaikan kepada orang banyak, orang
umum secara yang telah diperintahkan Tuhan engkau. Jangan
engkau pedulikan sayang orang atau bencinya kepada engkau.
Membenarkan atau mendustakan mereka akan engkau, malah
hendaklah engkau sabar, tahan atas kejahatan mereka dia atas
engkau. Terima saja benci kaum itu dengan sayang kepada
mereka jangan engkau patah39 dan bosan menyeru mereka
sampai bila hari Tuhan Allah menghukumkan kepada mereka -
berupa kemenangan dalam perjuangan dengan berperang-
dengan bertantangan. Hingga sampai agama engkau, agama
Islam ini kembang seluruh ke alam manusia dan bertebaran
tiap-tiap pihak, seluruh dunia.
Di dalam itu ya> Muhammad! Bahwa Tuhan engkau yang
Mahasuci adalah Dia sebaik-baik dan seadil-adil orang yang
menghukum. Dia selalu memperhatikan gelagat kaum bangsa
durhaka. Kaum pengkhianat kepada agama dan bangsa,
seterusnya kepada kemerdekaan tanah air. Tuhan yang Esa
Kuasa bersedia akan menolong orang yang menolong
agamanya, membantu orang yang suka membantu syariatnya.
//29// ayat ke-14
Ya> ayyuha> al-na>s ittaqu> rabba>kum inna zalzalata al-sa>‘ata
shay’un ‘az}i>m. yawma tarawnaha> kullu murd}i‘atin ‘amma>
ard}a‘at wa-tad}a‘u kullu dha>ti h}amlin wa-tara> al-na>sa suka>ra>
wa-ma> hum bi-suka>ra> wa-la>kinna ‘adha>b Alla>h shadi>d. Qs. Al-
H}ajj: 1-2
Hai sekalian manusia! Takutlah kepada Tuhanmu, bahwasanya
goncangan hari kiamat suatu yang amat besar. Pada hari yang
kau lihat nanti, lupa sekalian orang yang menysukan anak akan
39 batah
127
anaknya yang disusukannya dan menggugurkan sekalian orang
yang dalam hamil akan kandungannya. Dan engkau lihat nanti
orang-orang itu40 habis mabuk, sebenarnya tidak mereka
mabuk. Dan tetapi azab-siksa- Allah amat bersangatan.
Hai sekalian bangsa manusia khusus dan umum, yang
masuk bangsa manusia takutlah kamu kepada Tuhanmu yang
membela kamu dan memberi kemuliaan dan kelebihan atas
segala macam hambanya yang dijadikan-Nya turutlah perintah
Tuhan. Kerjakanlah segala yang disuruhkan-Nya dan jauilah
larangan-Nya, hentikanlah tagah-Nya, takutilah akan hari
berbalas segala kebaikan dengan pahala, segala kejahatan
dengan siksa. Jangan kamu terpe[r]daya sebab kesenangan-
kesenangan41 yang ada pada tanganmu dan kekayaan yang ada
di dalam simpanan kamu itu. Dan anak pinak famili yang
berkembang baik di kelilingmu itu belum tentu akan berfaedah
atau mendatangkan kebaikan kepada mu nanti. Nanti apabila
tiba hari berbangkit (hari akhirat, hari kiamat) hari sa>‘ah tidak
dapat membicarakan, menguraikan42 bagaimana kesusahannya.
Baiklah kita perhatikan, kita ambil pengertian dalam
pada sedikit kesusahan. Hari sa>‘ah itu, pada ayat yang kita
sebutkan di sini: bahwasanya bahaya hari sa>‘ah (hari kiamat)
yang disediakan untuk merubahkan peraturan alam yang kita
lihat, kita pakai sekarang ini, memulangkan alam zahirini ke
alam gaib. Suatu huru-hara yang amat besar dan mengejutkan43
kepada penduduk bumi. Tuhan menyebutkan sedikit daripada
40 Orang2 41 Kesenangan2 42 Menghuraikan 43 Mengejuti.
128
huru-hara dan kesusahan-kesusahan44 hari itu: pada hari nanti
kamu dapati juga pemulaannya di waktu ((al-nafkhat al-u>la>))
tiupan serunai (terompet yang diserahkan45 oleh Tuhan kepada
seorang malaikat-Nya bernama Israfil ), suatu tiupan berbunyi
suara yang sangat hebat, dahsyat, mengherankan,
mengagumkan46
/30/
kepada segala pendengar-pendengarnya47 hari itu. Sekiranya
seorang ibu yang cinta, sayang dan kasih kepada anaknya yang
sedang dipeluk, dipangkunya pada haribaannya di dalam
menyusukan, mengobat [h]aus dan lapar anak yang
kecintaannya itu, boleh dia lupa akan anak, terlepas dari
tangannya, hilang ingatannya kepada buah percintaannya itu.
Lagi pada hari itu datangnya suara gementar tiupan pertama
dari terompet48 malaikat Isra>fi>l, maka segala perempuan yang
di dalam mengandung (hamil) dengan tidak diketahuinya, jatuh
anaknya dan gugur kandungannya oleh kesangatan huru[-]hara
itu juga. Hasilnya: kalau kita lihat, adalah manusia seumumnya
ketika itu hilang akal menaruh heran. Bukan mabuk sebagai
sekarang (mabuk disebabkan minum tuak, minuman keras),
tidak, malah mabuk pikiran akal dan tenaga tidak dapat
mencari49 daya upaya oleh karena azab Allah dan siksaan yang
turun kepada mereka.
44 Kesusahan2. 45 Diserahi. 46 Mengaggumkan. 47 Pendengar2nya. 48 Selempret. 49 Mencahari.
129
Sambungan ayat: tetapi adalah sebagian50 orang yang
selalu membantah, menyalahi di dalam agama Allah. Sebab
tidak ada mempunyai pengetahuan, sampai mereka
mengatakan: malaikat itu anak Allah, Qur’an itu dongeng-
dongengan51 orang dahulu, Allah tidk kuasa menghidupkan
orang yang telah mati. Banyaklah perlawanan mereka kepada
agama Tuhan. Suka dia menuturkan kemauan setan yang selalu
durhaka, yang telah dihukumkan atasnya bahwasanya siapa
yang mengikut perintah setan behimpun kepada anak buah
setan itu. Maka terang nyatalah bahwa setan itu akan
menyesatkan daripada jalan tengah (jalan lurus/jalan
kebenaran) dan setan itu memberi dia petunjuk52 kepada jalan
yang menyampaikan, membawa terperosok ke dalam neraka
yang [h]angat (yang bernyala). Alhasil bahwa setan itu telah
tetap akan menyesatkan orang yang mengikutinya dan
menunjukkan jalan kepada neraka.
//31// ayat ke-15
Ya> ayyuha> al-na>s in kuntum fi> raybin min al-ba‘thi fa-inna>
khalaqna>kum min tura>bin thumma min nut}fatin thumma min
mud}ghatin mukhallaqatin wa-ghayri mukhallaqatin li-
nubayyina lakum wa-nuqirru fi> al-arh}a>m ma> nasha>’u ila> ajalin
musamma>n thumma nukhrijukum t}iflan thumma li-tablughu>
ashuddakum wa-minkum man yutawaffa> wa-minkum man
yuraddu ila> ardhali al-‘umuri li-kayla> ya‘lama min ba‘di ‘ilmin
shay’an wa-tara> al-’ard}a ha>midatan fa-idha> anzalna> ‘alay-ha> al-
ma>’a ihtazzat wa-rabat wa-anbatat min kulli zawjin bahi>j{.
50 Sebahagian. 51 Dongeng2an. 52 Pertunjuk.
130
dha>lika bi-anna Alla>h huwa al-h}aqq wa-annahu yuh}yi> al-mawta>
wa-annahu> ‘ala> kulli shay’in qadi>r{. Wa-anna al-sa>‘ata a>tiyatun
la>-rayba fi>ha> wa-anna Alla>h yab‘athu man fi> al-qubu>r{. Qs. al-
H>}ajj: 5-7
Hai sekalian manusia, orang yang masih ragu-ragu53
akan mempercayai me[ng]imani hari akhirat, jika kamu masih
di dalam keraguan, shak, dan belum percaya akan hari
berbangkit sebagai tidak mumkin jadinya karena sudah luluh
jadi tanah akan kembali berbangkit pada hari kemudian. Maka
untuk menghilangkan54 keraguan, shak, dan wahm itu marilah
kami terangkan dan perhatikanlah! Kata Tuhan: maka
bahwasanya Kami telah menjadikan kamu dengan perantaraan
dari bapa[k] kamu yang berasal kejadian kamu itu daripada
tanah menjadi suatu benda makanan dan minuman daripadanya
menjadi nut}fah yang mengalir daripada urat tulang belulang
bapa[k] yang bernama mani. Maka nut}fah mani itu tertumpah
ke dalam rahim ibu, di sana menjadilah dia ‘alaqah (darah
sebongkah) atau suatu paduan darah. Sesudah itu menjadi dia
(nut}fah - sekping daging) yang terjadi dari perpaduan darah
tadi, mud}ghah. Ini ada yang sempurna, cukup, tidak cacat
ben[t]uknya, dan ada juga yang kurang baik, tidak sempurna,
tidak dapat dijadikan menjadi manusia. Perkara pekerjaan yang
berpindah silih-bersilih dari zat makanan sampai menjadi
nut}fah berangsur-angsur55 pula hingga menjadi sekeping
daging yang boleh dijadikan manusia, itu supaya Kami dapat
menyatakan kepada mu bahwa mengembalikan kemudian hari,
hari berbangkit itu amat mudah pada sisi orang yang
53 Ragu2. 54 Penghilangkan. 55 Berangsur2
131
Mahakuasa dan Esa. Sesudah itu paduan daging yang telah
menjadi daging, berurat, bertulang itu Kami berikan
/32/
sementara waktu di dalam rahim ibu sampai hari ketika yang
telah dijanjikan, kemudian baru Kami keluarkan kamu dari
kandungan ibu dengan keadaan bayi. Sesudah kamu keluar
maka Kami atur, Kami bela sampai kamu menjadi orang
berakal dan tangkas tubuh jasmani- jiwa rohani, dan semanagat
h}ama>sah berkeberanian dengan keras hati menendang musuh,
mempertahankan agama dan bangsa. Di antara itu, ada pula
yang mati sebelum sampai jangka orang besar dan ... atau mati
sebelum dewasa. Dan di antaranya ada pula yang sampai
berumur lebih dari dewasa sampai pula kembali kepada serupa
perangai umur anak-anak, sampai tahu apa-apa56 lagi.
Sebuah lagi supaya diambil menjadi buah pikiran kepada
kekuasaan Allah Tuhan yang Esa. Lihatlah kepada bumi mati,
tanah kering yang tak mau tumbuh apa-apa57 lagi. Maka mana
kala Kami turunkan kepadanya air hujan, bergeraka kembang
bangkit suburnya, hingga menumbuhkan pelbagai tanam[-
]tanaman yang semerbak satu-satu58 macam yang indah-indah
dan permainya. Semuanya itu menunjukkan yang bahaso Allah,
Tuhan yang sebenar-benarnya59 Esa Kuasa. Menghidupkan
orang mati sebagaimana Dia menghidupkan tanah mati dengan
tumbuh-tumbuhannya60. Dan bahawasanya Allah kuasa kepada
tiap-tiap61 [se]suatu. Dan menjadi keterangan yang
56 Apa2 57 Apa2 58 Satu2 59 Sebenar2nya 60 Tumbuh2annya 61 Tiap2
132
menunjukkan bahaso hari kiamat itu mesti akan datang, tidak
ada ragu-ragu62 lagi. Dan bahwasanya Allah akan
membangkitkan orang yang telah mati di dalam kubur atau di
mana-mana63 adanya sekalipun.
//33// ayat ke-16
Qul ya> ayyuha> al-na>s innama> ana la-kum nadhi>r mubi>n. Fa
alladhi>na a>manu> wa-‘amilu> al-s}a>lih}ati la-hum maghfiratun wa-
rizqun kari>m. Wa-alladhi>na sa‘aw fi> a>ya>tina> mu‘jizi>na ula>’ika
as}h}a>b al-jah}i>m. Wa-ma> arsalna> min qablika min rasu>lin wa-la>
nabiyyi>n illa> idha> tamanna> alqa> al-shayt}a>n fi> umniyyatihi>
fayansakhu Alla>h ma> yulqi> al-shayt}a>n thumma yuh}kimu Alla>h
a>ya>tihi> wa-Alla>h ‘ali>mun h}aki>m. Li-yaj‘ala ma> yulqi> al-
shayt}a>nu fitnatan li-alladh>na fi> qulu>bihim marad}un wa-al-
qa>siyati qulu>buhum wa-inna al-z}a>limi>na la-fi> shiqa>qin ba’i>d.
Wa-li-ya‘lama alladhi>na u>tu al-‘ilma innahu al-h}aqqu min
rabbika fa-yu’minu> bi-hi> fa-tukhbita la-hu> qulu>buhum wa-inna
Alla>h la-ha>di alladhi>na a>manu> ila> s}ira>t}in mustaqi>m. Qs. al-H}ajj
49-54
Katakanlah ya> Muhammad perkataan yang bersih terbit
daripada semata-mata kehalusan hikmah Tuhan kepada
manusia yang belum penuh kepercayaannya karena diganggu
kelalaian: hai sekalian manusia, hanya sanya aku ini tersuruh
daripada Allah kepada kamu menjadi pemberi takut yang
terang supaya kamu terhindar daripada azab. Siksa Allah yang
adalah azab itu disebabkan enggan dan mengelak kamu
daripada jalan benar dan lurus.
62 Ragu2 63 Mana2
133
Maka segala orang yang iman kepada Allah dan
membenarkan Muhammad serta Qur’annya serta
mengamalkan amalan pekerjaan yang baik-baik yang bertali
dengan mereka dan Tuhannya, adalah mereka mendapat
ampunan dan maaf dari pekerjaan yang telah terlajur daripada
dosa dan kesalahan dahulu, dan mendapat rezeki yang mulia
balasan pahala dan surga balasan keimanan dan kesolehan
mereka beramal.
Dan orang-orang yang berlalu- berusaha untuk
membinasakan peraturan Kami dan mencari64 akal
mendustakan65 Muhammad dan ayat al-Qur’an. Akan melawan
melemahkan semangat keberanian orang kepada beriman
mereka yang celaka itulah nanti yang menjadi66 penunggu
neraka67 jahim tetap mereka di dalamya, tiada terlepas
daripadanya.
Dan Kami ya> Muhammad, tiada Kami me[ng]utus akan
rasul-rasul Kami yang dahulu daripada engkau begitu juga
nabi-nabi yang sebelum engkau, melainkan
/34/
apabila Rasul membaca ayat atau Nabi sedang bercerita kepada
orang-orang yang berhadir, datang saja setan mengganggu
akan perkataan dan pembicaraan Rasul dan Nabi itu dengan
bermacam-macam sebutan –kritik- supaya terganggu dan
kehendak Rasul dan Nabi itu tidak langsung dan cita-citanya
tidak sampai menerangkan ayat dan pengajaran. Kemudian
maka diterangkan Allah juga gangguan setan dengan
64 Mencahari 65 pendustakan 66 Jadi 67 Naraka
134
keterangan yang diterangkan Rasul dan Nabi itu. Kemudian
dikukuhkan, ditetapkan Allah pendirian Rasul dan Nabi itu
supaya diamalkan akan dia. Allah mengetahui akan kelakuan
tindakan setan itu lagi menghukum dengan binasa, supaya
tindakan-tindakan setan menjadi fitnah -cobaan- dan ujian
kepada orang-orang yang keras kepala berhati batu.
Dan bahwasanya musyrik yang keluar dari garisan
manusia berakal yang aniaya kepada dirinya yang
memperendah-rendah derajat kemanusiaannya. Mau dia
menyembah batu, kayu dan manusia yang seumpamanya.
[Se]sungguhnya adalah dia di dalam kecelakaan-kecelakaan
yang amat terjauh dari kebenaran.
Dan lagi supaya orang-orang berpengetahuan dapat
mengetahui bahwa-Qur’an dan kitab suci itu sebenarnya
datang dari Tuhan engkau. Maka dengan perantaraan demikian
jadilah mereka iman dengan Allah dengan penurunan68 Qur’an
dan membenarkan hukum-hukum yang dibawa-Qur’an dan
yang diterangkan Nabi-nabi dan Rasul. Maka jadi tetap mereka
di atas pendirian mereka kepada beriman dan beramal s}a>lih} –
kependekannya- sesungguhnya Allah memberikan petunjuk69
yang berlipat-lipat kepada orang mu’mini>n dan muslimi>n sebab
mereka tetap bersandar kepada kekuasaan Tuhan yang Esa.
Tiap-tiap orang yang mendirikan mendasarkan kerjanya
kepada Tuhan yang Esa, itulah orang yang tetap keyakinannya
dan perpegangannya. Dan yakin kalau tamatlah70 dunia ini asal
dia dipelihara Tuhan tidak dapat binasa, tetapi kalau janji
68 keturunan 69 pertunjuk 70 matlah
135
Tuhan sudah datang, bagaimana jua71 keselamatan dan
kekuatan dengan lima menit lulus sama sekali. Perhatikanlan
kejadian-kejadian –suasana-suasana- di dalam perjuangan atau
di luar perjuangan, lain tidak melainkan Allah Tuhan yang Esa
yang akan membawa kita kepada s}ira>t} al-mustaqi>m.
Terkuburlah kita, hilang di dalam ketauhidan sejati. A>mi>n
//35// ayat ke-17
Ya> ayyuha> al-na>s d}uriba mathalun fa-istami‘u> la-hu> inna
alladhi>na tad‘u>na min du>ni Alla>h lan yakhluqu> dhuba>ban wa-
law ijtama‘u> la-hu> wa-in yaslubhumu al-dhuba>ba shay’an la>-
yastanqidhu>hu minhu d}a‘ufa al-t}a>libu wa-al-mat}lu>b. Ma>
qadaru> Alla>h h}aqqa> qadrihi inna Alla>h la-qawiyyun ‘azi>z. Qs.
al-H}ajj: 73-74
Hai manusia yang belum sadar akan dirinya,
menggunakan72 mustika kemanusiaannya dan kelebihannya
daripada segala bangsa yang hidup yaitu akal dan pikirannya.
Telah dijadikan suatu perumpamaan maka dengarkanlah akan
dia, bahwasanya segala yang kamu sembah dan kamu takuti
akan dia selain daripada Allah Tuhan yang Esa, tidakkan kuasa
dia menjadikan me[ng]adakan seekor lalat atau nyamuk yang
sekecil-kecilnya, dan sekalipun berkumpul bermufakat
semuanya bagi me[ng]adakan lalat yang kecil itu pun tidak
dapat juga dia me[ng]adakannya.
Jangankan me[ng]adakan, malah jika mengelubungi
akan dia lalat itu suatu daripad tubuhnya, tidakkan dapat dia
melepaskan dirinya daripada dihinggapi diurungi lalat itu,
memang keduanya lemah, lebih lemah lagi daripada lalat yang
71 Jua: juga 72 Magunokan: menggunakan
136
lemah itu, yakni yang dianggap ditakuti dan yang disembah
selain daripada Allah itu lemah. Karena tidak kuasa
melepaskan dirinya daripada kerubungan lalat dan lalat lemah.
Karena dia suatu bangsa binatang kecil yang lemah lagi, maka
di sini kelihatan lalat tadi73 lebih kuat karena berani
menghinggapi suatu yang dipandang manusia dia Tuhan.
Orang-orang, manusia yang bertuhan kepada lain Allah
itu, tidak, tidak mengetahui akan Allah sebenar-benar
mengetahui. Kalau sekiranya dia tahu akan Tuhan yang Esa
yang me[ng]adakan sekalian alam sebenar-benarnya tahu,
tentu tidak mau dia menyembah berhala manusia –batu- kayu
dan lain-lainnya. Bahwasanya Allah Tuhan semesta alam yang
Esa Kuasa, sebenarnya kuat kuasa mengalahkan segala-
galanya.
Mengapa suatu bangsa manusia yang berakal berpikiran
itu mau bertuhan menyembah bertunduk kepada lain Allah,
suka menurutkan perintah yang lain daripada perintah Allah,
jikalau tidak dia termasuk ke dalam bagian74 manusia dungu
yang tak mempergunakan akal dan ilmunya.
Sekali lagi- pada ayat ini Tuhan Allah menyuruh kita
mendalamkan paham dan memperhatikan barang yang
/36/
II. Allah taala hanya yang mengetahui turun hujan75 waktunya
dan di mana jatuhnya dan berapa banyak tetesnya, semuanya
dalam ilmu Tuhan seorang.
III. Tuhan mengetahui anak yang di dalam kandungan ibunya,
sempurnanya atau kurang, laki-laki atau perempuan, pukul
73 tahadi 74 bahkian 75 ujan
137
berapa, menit berapa dia mesti keluar dari rahim ibunya ini,
tertentu pada ilmu Tuhan.
IV. Apa-apa yang akan dikerjakan seseorang pada keesokan
harinya, tidak dapat seseorang mengetahui apa yang akan
dikerjakan b-r-y-w-a/u/o baikkah atau jahat. Dan tidak dapat
seseorang mengetahui apa yang akan dimakannya pagi-pagi b-
r-y-w-a/u/o. Kadang-kadang seseorang menyengaja76 akan
mengerjakan kebaikan tetapi yang dikerjakan kejahatan,
kebalikannya disengajakan77 kepada kejahatan tiba-tiba
dikerjakannya yang kebaikan. dan
V. Tidak dapat diketahuinya di bumi mana dia mati nanti, di
tanah mana dia berkubur. Maka lima perkara inilah ilmu yang
tidak diketahui hamba Allah, melainkan hanya diketahui
Tuhan Allah saja78. Imam ibn ‘Abbas ada berkata: siapa orang
yang mengatakan dia mengetahui salah satu daripada yang
lima perkara ini, maka adalah dia berdusta ... maka segala
pengetahuan-pengetahuan manusia
//41// ayat ke-19
Ya> ayyuha> al-na>s udhkuru> ni‘mat Alla>h ‘alay-kum hal min
khalqin ghayra Alla>h yarzuqukum min al-sama<’i wa-al-ard} la>-
ila>ha illa> huwa fa-anna> tu’faku>n. Wa-in yukadhdhibu>ka faqad
kudhdhibat rusulun min qablik wa-ila> Alla>h turja‘u al-umu>r.
Qs. Fa>t}ir: 3-4
Hai segala manusia ingatlah oleh mu nikmat Allah atas kamu.
Adakah yang menjadikan selain Allah yang memberi rezki
kamu dari langit dan bumi? Tiada Tuhan selain Dia-Nya. Maka
76 Mesengaja. 77 Disangajoan. 78 Sahaja.
138
ke mana kamu memalingkan diri dan disesatkan orang engkau,
maka sesungguhnya79 telah disesatkan orang Rasul yang pada
sebelum engkau. Dan kepada Allah dikembalikan segala
pekerjaan.
Hai sekalian manusia yang di dalam kelalaian dan di
dalam kealpaan –lupa ingatan- ingatilah nikmat Tuhan yang
telah berlipatganda datang kepada mu. Dihamparkan bumi,
dipayungi-Nya dengan langit yang tiada bertiang bertonggak.
Diutuskan Rasul, orang yang telah diturunkan kepada nya ilmu
pengetahuan dan pendidikan supaya alam dunian dan seisinya
teratur dengan selamat. Dibukakannya pintu rezki yang
bermacam-macam boleh didapat dengan berbagai usaha80 dan
kepandaian dan kepandaian yang didapat dengan ilmu
pengetahuan dan pendidikan.
Maka nikmat yang utama sekali, dijadikannya
diadakannya kamu daripada ‘adam semata-mata supaya dapat
mempergunakan nikmat yang bertambah-tambah. Ingatlah!
Adakah ada Tuhan yang me[ng]adakan alam semestanya selain
daripada Alah?!
Dia yang menurunkan rezki untuk kamu –dan dengan
senang dan riang mengambil dan menyantapnya- ingatilah-
perhatikanlah!! Turun hujan81 bercucuran ke muka bumi terus
masuk ke dalam bumi, sampai di dalam bertemu dengan bahan-
bahan atau zat yang n-nt-y-n-2-y-n maka timbul suatu tanaman
yang berbagai-bagai berguna untuk kamu, atau kefarduanmu.
79 Sungguhnya. 80 Perusahaan. 81 Ujan.
139
Bersabung angin di udara menjadi guruh dan kilat,
menimbulkan petir, petus82 yang berapi-api jatuh menumbuk
ke bumi, timbullah daripadanya berbagai logam pada tanah
yang telah ditentukan Tuhan. Masing-masing83 logam pada
satu bumi, [ada] yang menjadi84 tambang emas, perak, timah,
besi, dan lain-lain.
/42/
Lebih jelas kalau sudah kejadian petir keras, kemudian
beberapa hari tumbuh saja cendawan tambang namanya yang
lezat dimakan -biasa tumbuhnya sesudah petir itu-
menandakan pertemuan tumpang yang turun dari langit dengan
tumpang yang ada di dalam tanah, keluar dia ke muka bumi
menjadi rezki kepada manusia.
Sesungguhnya tiada Tuhan melainkan Tuhan yang Esa
Kuasa. Kemana juga dihadapkan hati mewujudkan85 Tuhan
yang lain selain kepada Tuhan yang Esa.
Engkau ya> Muhammad! kata Tuhan kepada NabiNya,
pilihanNya dan kekasihNya tatkala telah bersusah payah
menanggung beberapa sengsara yang dideritanya daripada
kaum Quraish, supaya dia bersabar jangan putus harapan
menyampaikan (tabli>gh) membayarkan kewajiban ama>nah
Alla>h untuk membela kaum keluarga, bangsa setanahair
khususnya, dan sesama manusia yang sebangsa seketurunan
daripada bapa[k] yang satu dan ibu yang satu yaitu bangsa
manusia anak cucu Adam dan Hawa. Dan jika engkau
didustakan oleh kaum sesat dan jahiliah itu akan barang apa
82 Petus (bahasa Minang): petir. 83 Satu-satu. 84 Menjadikan. 85 Mengujudkan.
140
yang engkau sampaikan kepada mereka, itu barang yang sudah
biasa. Sudah jadi waris pusaka atas pemuka-pemuka itu.
Begitu juga saudara-saudara engkau yang terdahulu
daripada Rasul yang terdahulu daripada engkau didustakan
juga oleh kaumnya. Maka sabarlah engkau sebagaimana86
mereka sabar dahulu. Nanti kemana akan perginya, segala
perkara itu akan kembali kepada Allah belaka. Allah akan
membalas engkau dengan pahala yang amat besar dan
membalasi dosa mereka dengan siksa yang amat berat ‹dan›
sangat.
Wa al-ja>hilun li-’ahl ‘ilm ’a‘da>’.
//43// ayat ke-20
Ya< ayyuha> al-na>s inna wa‘da Alla>h h}aqqun fa-la>-
taghurrannakum al-h}ayat al-dunya> wa-la>-yaghurrannakum
billa>h al-ghuru>r. Inna al-shayt}a>n la-kum ‘aduwwun fa-
ittakhidhu>hu ‘aduwwan. Innama> yad‘u> h}izbahu> li-yaku>nu> min
as}h}a>bi al-sa‘i>r. Qs. Fa>t}ir: 5-6
Hai manusia sekalian! Bahwasanya janji Allah itu benar, maka
janganlah kamu ditipu diperdayakan oleh hidup di dunia ini.
Dan janganlah kamu memperdayakan akan kamu dengan Allah
oleh tukang-tukang memperdayakan. Bahwasanya setan
kepada kamu musuh yang nyata maka kamu ambillah dia
menjadi musuh. Hanya sanya mereka selalu menyerunya akan
pengikut-pengikutnya87 dan partainya supaya ada mereka
daripada ahli neraka Sa‘i>r.
86 Bagaimana. 87 Pengikut2nya
141
Seruan Tuhan kepada orang yang masih sedang dirayu-
rayu88 dibuaikan kesenangan dan kesedapan dunia dan
kekayaannya yang tidak mengerti akan tipu daya musuh setiap
hari, setiap menit, lupa akan kebenaran dan harga diri (harga
kemanusiaan sejati) dimabuk harta benda, kaum keluarga, dan
taulan sahabat sampai lupa akan Tuhan. Tuhan yang
me[ng]adakan dia, yang memberikan segala kesenangan-
kesenangan89 itu. Hingga putus perpegangannya kepada
Tuhan, hilang keyakinannya kepada Allah. Lupa dia
mendasarkan pekerjaannya kepada Tuhan yang Esa; kitab suci
(kitab Tuhan tidak dibenarkannya), sunnah Nabi tidak
diikutinya, fatwa alim diabaikannya.
Pikiran sudah tidur, pemandangan sudah tertutup,
pendengaran kepada ilmu pengajaran sudah tersumbat, sebab
dirayu oleh musuh. Disenang-senangkannya90 perasaan, tidak
dibiarkannya menengok cermin perbandingan. Tonggak
gantungan disangkanya buaian atau ayunan panjang lagi jika
direntang, putuskanlah dengan memperhatikan91 firman Tuhan
ini. “Hai kaum manusia bahwasanya janjinya Allah yang telah
dijanjikannya daripada rupa-rupa92 yang telah sampai kepada
kamu dengan kitab Qur’an dan sunnah-sunnah93 Rasulullah
seperti: berbangkit pada kemudian hari, berkumpul [dan]
berhisab di padang mah}shar (berbalas dosa dan pahala), dan
akan menghuni naraka dan syurga dan lain-lain94. (Itu
88 Dirayu2 89 Kesenangan2 90 Disenang2kannya 91 memperhaikan 92 Rupa2 93 Sunnah2 94 Lain2
142
semuanya benar) mesti akan terjadi kemudian mati pada hari
akhirat. Maka oleh itu janganlah diperturutkan juga perdayaan
dunia,
/44/
janganlah mau diperolok-olokan95 hidup di dunia ini dan
kesedapan. Janganlah dapat kamu diganggu oleh angan-
angan96 kesenangan dunian ini daripada bekerja untuk
akhiratmu (menuntut keridaan Allah).
Dan janganlah kamu diperdayakan tukang daya, tukang
khianat memperdongok-dongok97 kamu supaya kamu
meninggalkan agama Allah untuk kebahagiaan dunia akhirat.
Dengan membisikkan kepada hatimu: buatlah pekerjaan yang
apa kamu sukai sementara muda ini, nanti bila kita sudah tua
tidak dapat akan mengenyam kelezatan dunia lagi di sana boleh
kita bertakwa –bertobat (Tuhan Allah Maha pengampun). Dan
lain-lain98 daripada itu lagi ujarnya kepada kamu, supaya orang
yang tukang ganggu pengaruh-pengaruh99 menipu itu ialah
setan dan pegawai-pegawainya100, kaum durhaka kaum yang
tidak biasa memperhatikan kekayaan Allah. Dan alat senjata
setan itu harta, pangkat, sahabat kenalan, kaaum famili dari
anak cucu dan istri.
Adanya, kata Tuhan lagi: “ bahwasanya setan itu musuh
yang seterang-terangnya101 pada memisahkan kamu daripada
agama dan taat kepada Allah semenjak dahulu dilakukam
95 Diperolok2an 96 Angan2 97 Memperdongok2 98 Lain2 99 Pengaruh2 100 Pegawi2nya 101 Seterang2nya
143
kepada bapa[k] (Adam) dan kamu suka juga mengikutinya.
Sebab itu ambillah dia menjadi musuh selamanya, tendang dan
lawanlah. Perangilah akan dia dengan sehabis senjata dan
tenaga. Hanya kerjanya selalu mencari102 anak buah dan
meluaskan partainya, meperbanyak rakyatnya supaya masuk
terjerumus ke dalam belukar kesesatan yang akan diputusnya
pertalian keyakinan kita dengan mendasarkan hal ihwal kita
kepada kuasa Tuhan yang Maha Esa.
Sebab rasa yakin dan tawakal itu lebih daripada beribu-
ribu103 bayunit mariam senapan104 malah daripada bom dan
kapal udara. Musuh kita musuh agama, dia melawan kita
karena kemuliaan untuk orang dan kekayaan untuk orang yang
memerintahnya. Tetapi kita menentang musuh kita karena hati
sendiri, karena keyakinan sendiri, karena di hati biar mati,
karena di mata awak biar buta. Di dalam berdunia-akhirat
jangan lupa sedang menerima kesedapan dunia, syukur kepada
Tuhan jangan ditinggalkan ... hidup itu untuk berjuang untuk
selamanya. Wa-al-sala>m
//47// ayat ke-21
Ya> ayyuha> al-na>s antum al-fuqara>’u ila> Alla>h wa-Alla>h huwa
al-ghaniyyu al-h}ami>d. In yasha’ yudhhibkum wa-ya’ti bi-
khalqin jadi>d. Wa ma> dha>lika ‘ala> Alla>h bi-‘azi>z. Qs. Fa>t}ir: 15-
17
Hai sekalian manusia kamu semuanya berkehendak kepada
Allah dan Allah Dia yang lebih kaya terpuji. Jika menghendaki
Dia niscaya diperkayakan-Nya akan kamu dan didatangkan-
102 Mencahari 103 Beribu2 104 senapang
144
Nya dengan makhluk yang baru. Dan tiada yang demikian itu
atas Allah ta‘a>la> menjadi keberatan.
Hai manusia yang lupa akan janji, yang hilang ingatan
kepada meneguhi keyakinan kepada Tuhan. Kamu lupakan
nikmat Tuhanmu yang bertambun kepada mu. Kamu abaikan
hak dan kewajiban yang telah kamu akui dalam hati sanubari
kamu. Bayarkanlah kewajibanmu kepada Tuhanmu dan
ketahuilah oleh mu bahwasanya kamu makhluk semuanya pada
tiap nafas, angok, gerak-gerik pada tiap detak nadi dan kerjap
mata.
Berkehendak kepada rezeki Tuhan (rahmat-Nya,
nikmat-Nya, ampun-Nya dan keuntungan dunia dan akhirat);
mengapa tidak sedang adanya daripada tidak ada dia yang
me[ng]adakan, dan Allah kaya dan terkaya daripada sesuatu
sekalian. Yang patut dipuji, disyukuri oleh sekalian yang
berkehendak kepada Nya akan limpah karunia-Nya zahir dan
batin, dahulu dan kemudian, sekarang dan bakal datang, dari
dunia sampai ke akhirat.
Al-Ghaniyy: kaya. Kaya itu ada [dua] pertama, kaya
yang dia yang mengambil manfaat dengan kekayaan-Nya itu
untuk kefarduannya. Kedua, kaya yang dia mengambil manfaat
dengan kekayaan-Nya untuk dirinya dan kaum familinya,
malah berlimpah-limpah105 kepada kemaslahatan umum (untuk
bangsanya, agamanya, dan tanah airnya). Dan ketika kaya
(tidak Dia mengambil manfaat akan kekayaan-Nya itu) hanya
kaya-Nya untuk hamba-Nya dan makhluk-Nya. Inilah kaya
yang kita perkata pada ayat ini. Inilah kayanya Tuhan yang
Esa: kaya Allah ta‘a>la> daripada sekalian (tiada mengambil
105 Limpah berlimpah
145
faidah). Allah ta‘a>la> menjadikan alam tiada berwasit}ah, Allah
ta‘a>la> menjadikan alam.
/48/
Telah berkata Sahl: tatkala Allah menjadikan makhluk
ditentukannya bagi dirinya kekayaan dan kepada makhluk-Nya
ditentukannya fakir berkehendak kepada nya. Maka siapa
merasa dirinya yang kaya, tertendanglah dia daripada Allah,
tidak mendapat keridaan Allah. Dan siapa menzahirkan
kefakirannya, niscaya disampaikan Allah kehendaknya itu
kepada nya. Maka sepatutnya bagi hamba Allah bahwa ia
memperlihatkan kefakirannya dalam kebatinannya kepada
Allah, dengan memutuskan meminta dan pengharapan kepada
selain Allah. Supaya adalah ubudiahnya dan ibadahnya kepada
Allah.
Makna ubudiah, menghinakan diri kepada Allah dengan
merendah. Tanda orang yang ubudiah kepada Allah dengan
mengabdikan diri kepada Tuhan bahwa tidak mau dia
meminta-minta106 kepada orang lain dan tidak menanti-nanti107
mahasangkan pemberian orang lain, selain kepada Allah.
Hai manusia jangan kamu sangka Allah berkehendak
kamu berkekurangan daripada sekalian makhluk-Nya. Ingatlah
dan perhatikanlah: jikalau Tuhan menghendaki menghapuskan
kamu, membinasakan akan kamu, niscaya dibinasakan-Nya
kamu. Dan [di]hilangkan-Nya dari muka bumi atau dihinakan-
Nya derajat kamu, kemudian didatangkan-Nya, diadakan-Nya
suatu kaum selain kamu yang lebih patuh. Semunya itu tidak
menja[d]ikan keberatan kepada Allah, Tuhan yang amat kaya
106 Meminta2 107 Menanti2
146
dan amat pemurah. Semuanya pekerjaan itu mudah saja pada
tangan Allah (mengapa tidak).
Kita boleh perhatikan: beberapa umat Islam dahulu yang
kokoh dengan Islamnya mengalahkan bahasa yang tidak Islam
dan ..., seperti orang Mesir menjadi bangsa Arab dan berbahasa
Arab, dan lain-lain yang telah dikalahkan orang Islam yang
tetap dengan agamanya. Tatkala kaum Islam telah masuk
kepada lemah agamnya, tidak berkehendak lagi pada kekayaan
Allah dan dipandangnya sudah kaya raya, jatuh kalah
digantikan oleh bangsa asing. Seperti kerajaa[n] Abasiyah
dapat dikalahkan, digantikan oleh orang Tatar. Lihatlah pada
ilmu bumi dimana orang Amerika asli, Australia asli, bangsa
apa yang menundukkan negerinya. Kita orang Indonesia
hampir-hampir begitu pula. Tetaplah memegang undang-
undang, merdeka!
//49// ayat ke-22
Ya> ayyuha> al-na>s inna> khalaqna>kum min dhakarin wa-untha>
wa-ja‘alna>kum shu‘u>ban wa qaba>ila li-ta‘a>rafu> inna
akramakum ‘inda Alla>h atqa>kum inna Alla>h ‘ali>mun khabi>r.
Qs. al-H}ujura>t: 13
Hai manusia bahwa sanya kami telah menjadikan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dan kami jadikan
kamu bersuku-suku108 dan berkaum-kaum109 supaya kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang terlebih termulia di sisi
Allah yaitu yang setakut-takut110 kamu. Sesungguhnya Allah
mengetahui dan memperhatikan.
108 Bersuku2 109 Berkaum2 110 Setakut2
147
Hai manusia yang tidak memperhatikan hikmah
Tuhan, tidak memperhatikan alam dan tabiatnya, yang lupa
akan asal kejadiannya, dan perubahan iklim, semua itu
membawa pemandangan yang amat dalam. Seperti bangsa
putih mengatakan bangsa hitam, bangsa gagak. Seperti bangsa
Barat memandang bangsa Timur sebagai bangsa hamba
sahaya. Manusia serupa itu tabiatnya, itulah manusia yang tak
tahu akan ilmu alam dan tabiat alam. Maka Tuhan menurunkan
pengajaran supaya manusia sama-sama insaf dan paham
bahwasanya Kami telah menjadikan, me[ng]adakan kamu
(kata Tuhan) daripada laki-laki yaitu Adam asal sekalian
manusia. Dan daripada perempuan yaitu Hawa, seorang
perempuan yang diadakan dari sebahagian tubuh Adam,
menjadi ibu oleh manusia semuanya. Dengan demikian, tidak
ada jalan untuk melebihkan satu daripada yang lain., sebab satu
keturunan dan satu bangsa (bangsa anak Adam atau bangsa
cucu Hawa).
Dan Kami jadikan kamu (kata Tuhan lagi) bersuku,
berpartai, berkaum, berkeluarga, berluhak, bernagari, berkota,
berdusun, dan seterusnya. Dibagi111 seperi itu supaya dapat
kamu kenal mengenal, ingat mengingati satu sama lain, dan
ketahui kawan dari sana. Sebab tiap pihak, tiap benua ada
mempunyai suatu ketentuan yang teruntuk padanya daripada
penghidupan, pekerjaan, kepandaian, dan lain yang berguna
dan mempergunakannya. Kawan kaum yang lain atau neg[e]ri
asing, jadi dapat kenal mengenal berhubungan hidup bersama,
bersekutu pada nikmat yang diberikan Allah. Kepada yang di
Timur dapat pula yang di Barat.
111 Dibahagi
148
/50/
Saudara yang di Selatan dapat membantu saudara yang di
Utara dengan apa nikmat yang ada padanya, begitulah
seterusnya.
Memang tiap-tiap iklim mempunyai udara yang
berlainan daripada iklim yang lainnya. Satu-satu iklim
mempunyai ... yang tertentu tidak ada pada iklim yang sebuah
jadi dengan berlain-lain112 kaum dan umat itu dapat menjadi
beruntung kedua belah pihak. Begitu sekadar boleh diketahui
keturunan satu per satu113, bukan supaya mamanggak satu
bangsa kepada satu bangsa. Atau mengalah satu kaum kepada
kaum yang satu, karena kemuliaan dan kelebihan itu bukan
dengan sebab bangsa, bukan dari keturunan.
Lihatlah betapa114 banyak anak-anak, cucu dari orang
ternama menjadi yang sehina-hina115 orang. Kebalikannya
seorang yang dari dua orang ibu bapa[k] yang rendah, bangsa
hina, pekerjaan dan asa, tiba pada anaknya seorang yang mulia
dunia akhirat. Hanya dapat sifat kemuliaan atau kelebihan itu
dari budi pekerti, berani dengan kebenaran, bersemangat yang
beriring dengan ilmu kepandaian, bertakwa kepada Allah,
bersandar kepada Tuhan yang Esa. Inilah sifat yang tak luntur-
lunturnya116, inilah yang dikatakan Tuhan: “bahwasanya yang
... kamu orang yang setakut-takut117 kamu pada sisi Allah.”
Sungguhpun begitu, Allah taala yang amat mengetahui akan
hati orang takwa kepada Tuhan. Dan Allah yang
112 Berlain2 113 Satu persatu 114 beberapa 115 Sehina2 116 Luntur2nya 117 Setakut2
149
memperhatikan me[ng]amat-amati118 hamba-Nya yang
bertakwa kepada Nya.
Tidak dapat takwa dengan semata-mata amalan ibadah
saja. Kebalikannya tidak pula tentu takwa itu. Malah hati suci,
hati lurus sekalipun, diri terbaring di medan peperangan
dibunuh musuh pada zahirnya mati syahid dengan
dipersaksikan dua mata bahaso dia mati syahid, tetapi
be[r]tolakan kematian orang di dalam bertakwa, ini pulang
kepada Tuhan al-‘Ali>m al-Khabi>r, mudah-mudahan inilah
hendaknya. Telah berkata Ibn Abbas rad}iy Alla>h ‘an-huma>:
mulia itu dua macam; mulia pada dunia dengan harta dan mulia
di akhirat dengan takwa. Dengan takwa baru119 sempurna
ketakwaan dan berkelebihan daripada seseorang. Siapa hendak
mulia carilah120 sifat takwa itu. Sabda Rasulullah: man sarrahu
an yaku>na akram al-na>s falyattaqi Alla>h. Siapa suka supaya dia
sehina orang, maka bertakwalah pada ila>hi> rabbi>. Lalu kata
Rasulullah: ya> ayyuha> al-na>s Innama> al-na>s rajula>ni mu’min
tuqa> kari>m ‘ala> Alla>h wa-fa>jir shaqi>y hayyin ‘ala> Alla>h: hai
manusia, orang itu dua: satu, orang mu[kmin] takwa mulia atas
Allah. Kedua, durhaka celaka sia-sia kepada Allah. Bayd}a>wi
118 Meamat2i 119 Baharu 120 Caharilah
150
BAB V
PEMIKIRAN SYEK ABDUL LATIF SYAKUR DALAM
TEKS NASKAH TAFSI>R A>YA>T YA> AYYUHA> Al-NA>S
Menghasilkan suntingan suatu teks dan mengungkapkan
isinya saja, telah dianggap memadai dalam penelitian filologi.1
Namun, analisis isi dengan melakukan telaah terhadap teks dan
konteks dengan berbagai perspektif, pada dasarnya adalah
kerja tambahan dalam sebuah penelitian filologi. Meskipun
demikian, tahap analisis merupakan bagian yang sangat
penting. Dalam kondisi ini, peneliti tidak hanya mampu
menjelaskan makna yang terkandung dalam teks, ia juga
dituntut untuk menguhubungkan teks dengan konteks atau
wacana akademik lebih besar, sehingga teks tidak hanya
dipandang sebagai sesuatu yang biasa.2
Dalam konteks penelitian naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s (NTYN), selain menghadirkan teks NTYN
yang bersih dari korup dan siap baca, penelitian ini juga
menyuguhkan pemikiran pengarang, Syekh Abdul Latif
Syakur, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang diawali
dengan redaksi ya> ayyuha> al-na>s. Maka pada bab ini akan
dipaparkan beberapa gagasan Syekh Abdul Latif Syakur.
Dalam teks NTYN ini Syekh Abdul Latif Syakur banyak
mengaitkan makna yang terdapat dalam ayat berawalan ya> ayyuha> al-na>s dengan beberapa nilai pancasila. Selain itu, teks
NTYN juga menjadi bukti konkret sikap anti kolonial dari
Syekh Abdul Latif Syakur.
1 Oman Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan
Metode (Jakarta: Kencana, 2015), h. 97. 2 Fathurahman, Filologi Indonesia ..., h. 97.
151
A. Tauhid dalam Tafsi>r Ya> Ayyuha> al-Na>s
Sebagaimana umumnya dalam karya yang termasuk
pada rumpun ushuluddin tidak akan terlepas dari pembahasan
tauhid. Tafsir sebagai produk rumpun ushuluddin tentu tidak
luput dari pembicaraan tentang tauhid. Tauhid sendiri
merupakan pembahasan sentra dalam teologi Islam yang juga
terhimpun dalam rumpun ilmu ushuluddin. Oleh karena itu
pembahasan tauhid dalam tafsir tidak terlepas dari pemahaman
terhadap tauhid yang terdapat dalam teologi Islam.
Teks naskah Tafsi>r Ya> Ayyuha> al-Na>s sebagai wujud
produk rumpun ushuluddin, juga mengimplementasikan
pembahasan teologi Islam. Dalam teks ini, Syekh Abdul Latif
Syakur memberikan tafsir yang tegas terhadap beberapa ayat
yang berawalan ya> ayyuha> al-na>s. Melalui teks ini Syekh Abdul
Latif Syakur mengintegrasikan sub pembahasan tentang
kemerdekaan dengan ketuhanan.
Sistem ajaran Islam telah mewajibkan bagi setiap
muslim untuk mempunyai keyakinan terhadap masalah
ketuhanan. Ketuhanan merupakan tema inti dalam sirkulasi
ajaran Islam. Al-Qur’a>n sebagai pedoman utama yang memuat
ajaran keagamaan dan moral untuk manusia, banyak
mengemukakan gagasan tentang terwujudnya masyarakat
yang saleh dan kesadaran religi yang tinggi dengan meyakini
dan memurnikan pengetahuan tentang keberadaan Tuhan.
Melalui teks naskah tafsi>r a>ya>t ya> ayyuha> al-na>s, Syekh
Abdul Latif Syakur menjelaskan konsep teologis yang menjadi
landasan untuk sampai kepada tahap kemerdekaan. Pertama
dapat dilihat dari tafsir Qs. al-Baqarah ayat 21-22 berikut:
( ١٢قون )ياأي ها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم والذين من ق بلكم لعلكم ت ت ماء ماء فأخرج ب ماء بناء وأنزل من الس ه من الذي جعل لكم الرض فراشا والس
(١١فل تعلوا لله أندادا وأنتم ت علمون ) الثمرات رزقا لكم
152
Artinya: “Hai segala bangsa manusia sembah oleh mu
Tuhanmu yang Maha Esa, yang telah me[ng]adakan
kamu dan orang-orang dari sebelum kamu, supaya
kamu takut. Tuhan yang menjadikan untuk kamu
akan bumi jadi hamparan, dan langit atap, dan
diturunkan-Nya dari langit awan akan air, maka
dikeluarkannya dengan dia daripada segala buah-
buahan jadi rezeki untukmu. Maka janganlah kamu
jadikan bagi Tuhan Allah umpama-umpama
sedangkan kamu mengetahui.”3
Setelah menerjemahkan ayat di atas, Syekh Abdul Latif
Syakur mengartikan kata perkata atau ada juga potongan
kalimat per kalimat. Di dalam menafsirkan ayat tersebut ada
beberapa kata atau potongan ayat yang erat kaitannya dengan
kemerdekaan. Dalam surat al-Baqarah ayat 21, redaksi ya> ayyuha> al-na>s diartikan Abdul Latif Syakur dengan hai segala
bangsa manusia. Lalu redaksi tersebut diinterpretasikan
sebagai berikut:
“Ya> ayyuha> al-na>s: hai segala bangsa manusia dari masa
turunnya ayat sampai hari kiamat. Seruan Tuhan ini
mengenai kepada segala bangsa manusia yang merasai
dirinya manusia sempurna. Serta diketahui sifat manusia
dan bangsanya lebih mulia daripada segala bangsa-
bangsa yang lainnya. Serta dihormati kemanusiaannya
dan kelebihannya daripada bangsa-bangsa hamba Allah
3 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 49. Halaman pada kutipan teks ini, berdasarkan pada hasil
edisi teks yang terdapat pada tesis ini.
153
yang lain yaitu akal dan pikir serta tenaga dan
kemauannya yang tertentu untuk manusia.”4
Melalui tafsir penggalan redaksi ya> ayyuha> al-na>s dapat
dilihat, Abdul Latif Syakur menegaskan bahwa bangsa
manusia adalah kelompok yang diberi oleh Allah
penghormatan dan kelebihan dibandingkan kelompok makhluk
ciptaanNya yang lain-lain. Dijelaskan bahwa bangsa manusia
adalah makhluk yang diberikan kelebihan akal dan pikiran
secara khusus oleh Allah. Poin utama pada tafsir potongan
redaksi ini adalah kata ya> ayyuha> al-na>s itu diperuntukkan bagi
bangsa manusia yang benar-benar merasa bahwa dirinya
manusia yang dibekali dengan akal dan pikiran lalu mampu
untuk berpikir.
Kalimat ya> ayyuha> al-na>s sebagaimana dikatakan oleh
Quraish Shihab, merupakan seruan yang diperuntukkan Tuhan
kepada seluruh umat manusia yang belum beriman, sedang
beriman dan telah beriman.5 Hal ini jika dikaitkan pada
penafsiran Abdul Latif Syakur terhadap redaksi ya> ayyuha> al-na>s, menunjukkan betapa Mahapengasih Allah terhadap
manusia. Allah membekali manusia dengan akal agar dapat
berpikir, meskipun manusia masih ada yang belum beriman
kepada Nya. Dan dalam redaksi ini pula Abdul Latif Syakur
menafsirkan bahwa seluruh manusia berakal yang diseru dalam
ayat ini adalah manusia yang mulai ayat ini diturunkan hingga
akhir zaman kelak. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak pilih
kasih, Ia tidak hanya menyeru umat manusia yang ada pada
masa Rasulullah saw. menerima wahyu tapi juga hingga saat
sekarang ini.
4 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 49. 5 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishba>h Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an Vol. 1 (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h.118.
154
Pada kedua potongan tafsir ayat di atas, tampak jelas
bahwa Allah swt. membekali manusia dengan akal untuk
berfikir sebagai bentuk pembeda dengan makhluk lainnya.
Dengan mengoptimalkan fungsi akalnya, manusia digiring
untuk menyadari bahwa semua Aktivitas yang dilakukan
tujuannya adalah untuk Allah swt. semata. Bagi manusia yang
telah menyadari, maka ia akan sampai kepada esensi tauhid
yaitu mengesakan Allah. Namun diantara sebagian manusia,
masih banyak yang tidak menyadari dengan melakukan
aktifitas karena hal yang lain.
Akal tidak hanya sebatas memproses informasi menjadi
pengetahuan.6 Akal juga bertugas untuk memberi dorongan
moral kepada individu untuk melakukan kebaikan dan
keburukan. Potensi akal yang demikian menurut Quraish
Shihab sesuai dengan pemahaman terhadap ayat al-Qur’a>n
yang berbicara tentang akal: pertama, menggambarkan
sesuatu. Kedua, dorongan moral (kemampuan untuk mengikuti
nilai-nilai moral). Dan ketiga, kemampuan untuk mengambil
pelajaran atau hikmah dan menyimpulkan. Oleh karena itu,
manusia diharapkan agar senantiasa menggunakan akal agar
terhindar dari dosa.
Pendapat Abdul Latif Syakur tentang pemanfaatan akal
hampir sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh.
Sebagaimana diungkapkan oleh Abduh, dengan akal yang
dimiliki manusia, ia memiliki kebebasan untuk memilih
sebagai sifat alaminya. Inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya. Manusia dengan akalnya mampu
menimbang mana yang baik dan mana yang buruk,
memutuskan suatu perkara berdasarkan kemauan pribadinya.
Kendati diberi akal dan kebebasan untuk memilih, kebebasan
tersebut tidaklah bersifat mutlak karena adanya batasan dalam
kebebasan itu. Dengan potensi akal yang demikian, maka
6 Darwis Hude, Emosi Manusia dalam Al-Qur’an: Telaah
Melalui Pendekatan Psikologi (disertasi), (Jakarta: 2004), h.154.
155
manusia akan sampai pada tahap mengenal Tuhan sekaligus
mengesakannya. Kemampuan akal yang dapat membedakan
antara baik dan buruk, dapat dilihat apakah membuat
seseorang semakin dekat dengan Allah atau justru malah
semakin jauh dan lalai.7
Setelah menjelaskan potongan ayat ya> ayyuha> al-na>s,
selanjutnya Abdul Latif Syakur menafsirkan potongan u‘budu>
rabbakum, di sini dijelaskan sebagai berikut:
“U‘budu> rabbakum: telah berkata Ibn ‘Abbas rad}iyalla>h
‘anhuma> tiap-tiap kata ((u‘budu))> atau ibadah-ibadah
yang diserukan dalam al-Qur’a>n maka dia nya ((al-
tauh}i>d)) mengesakan Tuhan yang Esa. Maka sekalian
manusia di muka bumi ini diserukan kepada agama
Tuhan yang berdasarkan kepada keTuhanan yang Esa.
Tiada Tuhan yang lain daripada Nya. Kata-kata
mengesakanTuhan ada dua bahaginya : I. Tauh}i>d al-
uluhiyah, inilah tauhid yang disengaja pada ayat ini.
Yaitu: Tuhan Esa. Dan segala pekerjaan yang dilakukan
baik ibadah atau amalan dan lain-lain hanya menuju
kepada berdasarkan Tuhan Yang Esa belaka. II. Tauh}i>d
al-rububiyah, ini tauhid orang yang mengaku iman
kepada Tuhan yang Esa tiada ada Tuhan yang lain
daripada Nya. Tetapi amalannya pekerjaan dan
ibadahnya berkarena kepada yang lainNya daripada
Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam Qur’an dikatakan
7 Nurlela Abbas, “Muhammad Abduh: Konsep
Rasionalisme dalam Islam”, dalam Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15.
No.1, Juni 2014
156
orang itu ‘abd al-t}a>ghu>t. Yakni tidak jujur ikhlas semata-
mata kepada Tuhan.”8
Menurut Abdul Latif Syakur kumpulan kata u‘budu> rabbakum, berhubungan dengan prinsip dasar dalam Islam
yaitu tauhid. Tauhid merupakan doktrin dalam ajaran Islam
yang menegaskan keesaan Tuhan.9 Tauhid tersebut
dikelompokkan kepada dua kategori, tauhid uluhiyah dan
tauhid rububiyah, sebagaimana yang dilakukan oleh ulama ahl al-sunnah. Esensi dari tauhid uluhiyah ialah melandaskan
segala amal perbuatan dan ibadah hanya kepada Allah Yang
Maha Esa, bukan pada lainnya. Adapun tauhid rububiyah
menegaskan agar mengakui hanya Allah sajalah Tuhan yang
Esa, tidak Ada Tuhan yang lainnya yang mampu mengatur
seluruh alam semesta. Pada ayat ini Abdul Latif Syakur juga
menjelaskan lagi bahwa manusia masih banyak yang
menyandarkan amal dan ibadahnya kepada selain Allah swt..
Tauhid sangat jelas menekankan bahwa kekuasaan
terbesar dan mutlak berada pada Allah swt., maka seluruh
bangsa manusia hanya patut tunduk kepada Allah dan tidak ada
kekuasaan yang melebihi kekuasaan Allah. Makna kata tauhid
pada tafsir tersebut mengandung unsur pembebasan.
Pembebasan yang dimaksud adalah memerdekakan diri atau
jiwa dari pengaruh, ikatan, penindasan, cengkeraman dari
tuhan-tuhan semu – tuhan selain Allah. Dalam maksud lain,
pembebasan yang terkandung di dalam tauhid juga meliputi
melepaskan diri dari keterindasaan akibat kekuasaan makhluk
seperti manusia, jin ataupun setan.
8 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 49. 9 Yusuf Husain Khan, “The Political Significance Of The
Doctrine Of Tauhid In Islam”, dalam The Indian Journal of Political Science, Vol. 3, No. 4, April-June 1942, h. 361, artikel diakses pada
3 Juli 2018 dari http://www.jstor.org/stable/42754270.
157
Dalam konteks kemerdekaan Indonesia, term tauhid
sebagaimana ditafsirkan Syekh Abdul Latif Syakur adalah
pengakuan bahwa kekuasaan terbesar dan absolut hanya ada
pada Tuhan. Sehingga tauhid dijadikan sumber pijakan untuk
melawan dominasi kolonial yang menindas bangsa Indonesia
dengan kebijakan-kebijakannya yang menzalimi rakyat
Indonesia. Dan tauhid juga menjadi landasan untuk
mempertahankan kemerdekaan Belanda pada masa Agresi
Militer.
Manifestasi tauhid juga tampak jelas dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.”10
Kemudian pada potongan akhir surat al-Baqarah ayat 21,
Abdul Latif Syakur mengartikan la-‘allakum tattaqu>n dengan
supaya kamu takut. Peringatan supaya kamu takut secara
ringkas dijelaskan sebagai berikut:
“La-‘allakum tattaqu>n: supaya kamu menjadi manusia
yang bertakwa, patuh, mau mengerjakan tiap-tiap
pekerjaan yang berfaedah untuk merdeka yang badi.”11
Kata la-‘alla yang artinya harapan, menurut ahli tafsir
dan bahasa Arab, mengandung makna majas. Sehingga kata
tersebut dalam potongan ayat di atas, ditafsirkan bahwa Allah
menciptakan hambaNya agar mnyembahNya sambil diberikan
10 UUD45-Awal (PDF), diakses pada 3 Januari 2020. 11 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 50.
158
kebebasan untuk memilih. Pilihan yang diberikan yaitu antara
taat dan durhaka.12
Maka makna yang terkadung dari potongan ayat di atas,
setelah manusia diciptakan dengan segala kelebihan yang
diberikan Allah, mereka diperintahkan untuk beribadah hanya
kepada Allah. Manusia diperintahkan untuk mengakui serta
mengimani bahwa hanya Allah semata Tuhan yang telah
menciptakan manusia. Tujuan beriman kepada Allah, agar
manusia bertakwa dan tunduk hanya kepada Allah Yang Maha
Esa. Jika manusia telah beriman dan sampai kepada takwa,
maka ia telah sampai kepada kemerdekaan abadi.
Selanjutnya pada surat al-Baqarah ayat 22, menurut
Abdul Latif Syakur masih berhubungan maknanya dengan ayat
21. Dimana pada ayat ini ia menjelaskan bukti-bukti yang
menunjukkan eksistensi keesaan Allah swt., pertama, melalui
penciptaan bumi. Kedua, melalui penciptaan langit.
“Al-ladhi> ja‘ala lakum al-ard} fira>shan: tambahan keterangan
supaya manusia tambah insaf dan sadar akan dirinya bahwa
Tuhan yang Esa yang menjadikan. Kalau belum juga mengerti
lihatlah bumi yang dipandang datar dan lebar ini, Dia yang
menjadikan supaya kita dapat mendiaminya.
Wa-al-sama>’a bina>’an : keterangan lihatlah langit yang
menudungi kita dengan lebar dan tingginya. Berbagai-bagai
pula pembawaannya untuk kita. Berpikirlah manusia barang
sejurus, tekurkan kepala yang satu arah ke bumi dan
tengadahkanlah ke langit, siapa yang menjadiakan itu.”13
Adanya gambaran penciptaan bumi yang hampar agar
bisa ditempati oleh manusia. Manusia dituntun untuk sadar
bahwa hanya Allah sajalah yang sanggup melakukannya, dan
12 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishba>h ..., h. 119-120. 13 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 50.
159
juga manusia diminta untuk menyadari bagaiamana Allah
menciptakan langit yang tinggi tanpa penyangga sebuah
tiangpun tapi tetap kokoh berada jauh di atas manusia. Lalu
Allah semakin menegaskan kenyataan itu melalui redaksi:
“Fala taj‘alu> lilla>h anda>dan : sudah manusia memikirkan
dengan pikiran, Tuhan berkata janganlah kamu umpamakan
Tuhan Allah itu dengan yang lain-lain, tiada dapat Tuhan
kamu itu lawan umpamaNya.
Wa-antum ta‘lamu>n : Tuhan menutup ayat ini, sedang kamu
sudah dimuliakan dan dilebihkan dengan berbagai
pengetahuan yang dapat dengan akal dibawa berpikir sendiri.
Tetapi manusia belum juga insaf akan kemanusiaannya malah
suka juga bertuhan banyak.”14
Pada akhir ayat ini Allah memerintah manusia untuk
memikirkan serta merenungkan kekuasaanNya itu. Sekali lagi,
agar manusia sadar bahwa Allah taala adalah Tuhan Yang
Maha Esa yang tiada satupun lawan yang mampu
menyetarainya. Meskipun sudah diberikan akal untuk berpikir,
tapi masih ada juga manusia yang tidak sadar dan masih
melakukan perbuatan syirik yaitu bertuhan banyak.
Dalam tafsir ayat di atas, dapat dipahami bahwa
manusia disuruh untuk berfikir secara integral dengan
memperhatikan langit dan bumi. Tujuannya supaya manusia
sadar bahwa keberadaannya di sebuah ruangan yang tak kecil,
sehingga mudah tertipu oleh penampakan lahiriyah. Perintah
untuk memperhatikan langit dan bumi adalah tuntutan Allah
agar manusia manusia bebas (merdeka) dalam berpikir. Dengan
14 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 50.
160
merdeka berpikir, manusia juga bisa merdeka bertindak.15
Makna mendasar dari tauhid yang terangkum dalam tafsir di
atas ialah ketundukan hanya pada Allah. Dalam pandangan
tauhid, seluruh manusia wajib tunduk kepada Allah bukan
kepada makhluk lainnya. Posisi manusia hanyalah sebatas
hamba yang kedudukannya sama.
Dalam konteks ini Syekh Abdul Latif sejalan dengan
pandangan ulama pembaharu. Dimana keyakinan terhadap
tauhid akan menuntun diri pada kepercayaan dan berserahdiri
kepada Allah semata. Sehingga menumbuhkan keberanian
dalam menghadapi segala hal dan menghilangkan
kekhawatiran dalam bertindak. Dan dalam perspektif ulama
pembaharu juga, tauhid merupakan sumber kekuatan dalam
mengahdapi pihak lain.16 Dalam konteks teks NTYN ini, yang
dimaksud adalah mengahadapi bangsa Barat yang datang
untuk menjajah Indonesia sebelum dan setelah kemerdekaan.
Tauhid sebagaimana yang digambarkan Syekh Abdul
Latif Syakur dalam tafsir ayat ini, tidak bertentangan dengan
Pancasila. Dalam sila pertama Pancasila yaitu ketuhanan Yang
Maha Esa, pada ayat ini seiring dengan manifestasi tauhid
rububiyah. Melalui keyakinan terhadap keberadaan Tuhan
yang Maha Esa juga meningkatkan semangat spiritual yang
juga berpengaruh terhadap semangat perjuangan dalam
mempertahankan kemerdekaan.
B. Gagasan Persatuan Umat
Term umat dalam bahasa Indonesia diserap dari kata
ummah yang diartikan sebagai makhluk manusia.17 Dalam
15 M. Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia
(Membongkar Marjinalisassi Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan RI) (Yogyakarta: Sumbangsih Press, 2005), h. 72.
16 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942 Edisi ke-2 (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 113.
17 KBBI V apps, diakses pada 06 Januari 2020.
161
bahasa Arab, ummah diartikan kumpulan orang yang
membentuk kesatuan politik dan dipersatukan oleh kesatuan
tanah air, bahasa, budaya dan perasaan yang sama.18 Dalam
konteks kekinian term ummah dalam bahasa Arab setara
dengan term bangsa dalam bahasa Indonesia yang memiliki
pengertian kelompok masyarakat yang bersamaan asal
keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan
sendiri.19
Berdasarkan defnisi leksikal di atas tak salah kiranya
bila Syekh Abdul Lathif Syakur menafsirkan ayat pertama
surat al-Nisa>’ ayat 1 dengan awalan ya> ayyuha> al-na>s dengan
makna persatuan. Persatuan yang dimaksud karena kesatuan
asal-usul dari Adam dan Hawa. Menurut Abdul Latif Syakur,
ayat pertama dari surat al-Nisa’ ini merupakan seruan Allah
pada manusia untuk manjaga silaturahmi agar mencapai
persatuan. Berikut penjelasan Abdul Latif Syakur terhadap
ayat pertama surat al-Nisa>’:
ها زوج ن ن فس واحدة وخلق من ها وب ياأي ها الناس ات قوا ربكم الذي خلقكم مهما رجال كثيرا ونساء وات قوا الله الذي تساءلون به والرحام إن ال له كان عليكم من
( ٢رقيبا )
Artinya: “Hai sekalian manusia anak cucu adam semuanya!
Takutlah kamu akan Tuhanmu yang telah
me[ng]adakan kamu daripada diri yang satu Adam
diadakan daripada nya istrinya Hawa dan
dikembangkannya daripada keduanya laki-laki yang
banyak dan perempuan, dan takutlah kamu akan
Allah yang selalu kamu meminta dengan Dia dan
18 Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu‘jam al-Waji>z
(Mis{r: Wiza>rat al-Tarbiyah Kwa al-Ta‘li>m, 1994), h. 25. 19 KBBI V apps, diakses pada 06 Januari 2020.
162
takutilah silaturahmi. Bahwasanya Allah adalah Dia
di atas kamu memperhatikan dan menjaga.”20
Seperti ayat sebelumnya, Abdul Latif Syakur
menafsirkan ayat perkata dan beberapa per penggalan ayat.
Namun pada ayat ini ia terlebih dahulu menjelaskan maksud
dan tujuannya menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:
“Ayat ini sungguhpun turunnya di negeri Makkah, ditujukan
kepada orang-orang di sana semasa Qur’a>n turun, tetapi
seruannya sampai kemana pojok-pojok yang berisi manusia.
Maka manusia semuanyalah yang diserukan karena tiap-tiap
seruan terwujud kepada suatu bangsa tentu segala yang
sebangsa itu terkena sama sekali. Umpamanya, jika orang
berkata bangsa Indonesia tidak bisa maju, orang Indonesia tidak
bisa merdeka. Tentulah asal orang itu bangsanya dan tanah
airnya dia merasa hati. Sampai kepada masa yang beratus-ratus
tahun dibelakang asal ternama bangsa manusia juga. Bukanlah
orang yang semasa perkataan itu keluar dari yang mengatakan
atau bukan orang yang semasa tahun 1923 M umpamanya.”21
Dalam pengantar terhadap surat al-Nisa>’ ayat 1 di atas,
terdapat kekeliruan terhadap tempat turunnya ayat ini.
Menurut Syekh Abdul Latif Syakur ayat ini diturunkan di
Mekkah, sedangkan bila merujuk pada Shihab ayat ini
diturunkan di Madinah.22 Menurut Shihab meskipun biasanya
ayat yang diturunkan di Madinah berawalan ya> ayyuha> ’alladhi>na ’a>ma>nu >, namun karena ayat ini berisi seruan
persatuan dan seruan itu tidak dikhususkan untuk orang
beriman saja, maka digunakanlah redaksi ya> ayyuha> al-na>s
20 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 52. 21 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 52. 22 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishba>h Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an Vol. 2 (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 313.
163
yang lebih global.23 Kekeliruan yang dilakukan Abdul Latif
Syakur, barangkali karena ia terfokus pada redaksi ya> ayyuha> al-na>s yang merupakan salah satu karakteristik ayat yang turun
di Makkah.
Terlepas dari kekeliruan di atas, melalui penjelasan
pengantar ayat tersebut dipahami bahwa seruan Allah melalui
al-Qur’a>n bukan hanya ditujukan untuk penduduk Makkah
yang hidup pada masa ayat ini diturunkan. Al-Qur’a>n
diturunkan untuk seluruh manusia yang berada di setiap
penjuru bumi. Tidak dikhususkan hanya kepada manusia yang
ada pada masa tertentu. Di sini Abdul Latif Syakur
mencontohkan pada bangsa Indonesia, jika ada orang yang
mengatakan bangsa Indonesia tidak bisa merdeka, maka
pernyataan ini tidak hanya untuk masyarakat Indonesia pada
masa itu saja, tapi hingga masa berikutnya juga.
Selain keterangan di atas, Syekh Abdul Latif Syakur
juga menjelaskan bahwa seluruh manusia berasal dari nenek
moyang yang sama yaitu Nabi Adam as. dan istrinya Hawa.
Karena berasal dari keturunan yang sama, maka manusia
seharusnya bersatu. Penjelasan lebih lanjut ditunjukkan
melalui penafsiran beberapa potongan ayat dimulai dengan
redaksi ya> ayyuha> al-na>s sebagai berikut:
“Ya> ayyuha> al-na>s ittaqu> rabba-kum al-ladhi> khalaqa-kum min
nafs wa>h}idah: hai sekalian manusia takutlah kamu dengan
mengerjakan yang disukai-Nya dan meninggalkan yang tidak
disukaiNya. Yaitu Tuhan yang me[ng]adakan daripada satu
tubuh, diri yang satu yaitu Nabi Allah Adam yang dijadikan
Tuhan daripada tanah, akan jadi bapa[k] segala manusia.
Wa-khalaqa min-ha> zaujaha>: dan setelah Tuhan menjadikan
Adam dari tanah sampai menjadi manusia maka dijadikanlah
akan seorang perempuan dari sebelah tulang rusuk Adam itu
23 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishba>h ..., h. 313.
164
sementara Adam di dalam tidur. Akan jadi istri oleh nabi Allah
Adam bapa[k] manusia.
Wa-baththa min-huma> rija>lan kathi>ran: dan berkembanganlah
daripada dua orang laki istri itu berapa laki-laki yang banyak
dan perempuan yang banya kembang berkembangan turun[-
]temurun sampai kini.
Wa-ittaqu> Alla>h al-ladhi>na tasa>’alu>na bi-hi wa-al-arh}a>m:
setelah kamu mengetahui persatuan kamu yang terbesar yaitu
yang berasal[-]usul kepada dua orang laki istri, maka ingatlah
pula kepada peraturan Tuhan yang Esa terhadap u>la> al-arh}a>m,
bekaum berkerabat bersebangsa senusa. Wajib kamu sama-
sama setuju seniat mencari kemuliaan dan kekuatan secara
saudara-saudara yang telah maju pada sebangsanya, kalau-
kalau dia nanti berbuat sewenang-wenang kepada bangsa yang
lemah. Memang kita semuanya manusia bersaudara,
seketurunan tetapi temangu-mangu oleh karena hal yang
datang kemudian. Menjadi tumbuh benci[-]membenci,
lingkar[-]melingkar karena itu tabiat kalam. Lihatlah dua
orang anak kecil seibu sebapa[k] mula-mulanya bersayang-
sayangan, beramah-ramahan, lama[-]kelamaan bermusuh,
berkelahi tatkala sampai besar. Dan lagi umpama kaum Barat
mula-mula datang ke Timur atau ke Indonesia, bakato di
bawah-bawah manyawuk di hilia-hilia. Berkehendak membeli
bahan-bahan yang kefarduan mereka, tetapi lama menjadi
penjajah pengenas darah. Buat mencegah dan melawan
khianat itu, bersatulah kita yang kaum kerabat sebangsa
senusa supaya teguh dan aman.
Inna Alla>h ka>na ‘alay-kum qari>ba>: bahwasanya Allah taala itu
adalah Dia selalu mengintip memerhatikan dan menengok
165
tingkah laku dan pekerti kamu kalau-kalau nanti di belakang
menjadi bahaya.”24
Dari penafsiran ayat di atas dapat dipahami bahwa
seruan ya> ayyuha> al-na>s tidak hanya khusus untuk manusia
pada masa tertentu melainkan juga kepada seluruh manusia
pada masa kini dan seterusnya. Kumpulan kata “sekalian
manusia” pada hakikatnya mengandung makna kebangsaan
yang tidak terbatas pada suatu generasi khusus ataupun suatu
komunitas khusus. Melainkan ia merujuk kepada seluruh
bangsa yang ada di dunia. Selain itu ayat di atasa juga berisikan
perintah untuk bertakwa kepada Allah dengan melakukan
segala perintahNya dan menjauhi laranganNya. Kata takwa
dalam teks di atas juga dimaknai dengan menyadari bahwa
Allah telah menciptakan manusia dari satu benih yaitu Nabi
Adam as..
Setelah Nabi Adam dan istrinya Hawa diciptakan hingga
kini terus berkembang dan bertebaran di permukaan bumi, lalu
sekali lagi kita diperintahkan untuk bertakwa dan menjaga
hubungan silaturahmi. Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa
orang yang bertakwa akan menjaga hubungan baik dengan
sesama manusia. Oleh karena itu, kita dituntut untuk bersatu.
Persatuan itu diwujudkan dengan saling meraih kemuliaan
bersama tanpa ada perselisihan. Keterangan ini dijelaskan oleh
Syek Abdul Latif Syakur dalam teks berikut
Wa-ittaqu> Alla>h al-ladhi>na tasa>’alu>na bi-hi wa-al-arh}a>m:
setelah kamu mengetahui persatuan kamu yang terbesar yaitu
yang berasal[-]usul kepada dua orang laki istri, maka ingatlah
pula kepada peraturan Tuhan yang Esa terhadap u>la> al-arh}a>m,
bekaum berkerabat bersebangsa senusa. Wajib kamu sama-
sama setuju seniat mencari kemuliaan dan kekuatan secara
24 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 52-53.
166
saudara-saudara yang telah maju pada sebangsanya, kalau-
kalau dia nanti berbuat sewenang-wenang kepada bangsa yang
lemah. Memang kita semuanya manusia bersaudara,
seketurunan tetapi temangu-mangu oleh karena hal yang
datang kemudian. Menjadi tumbuh benci[-]membenci,
lingkar[-]melingkar karena itu tabiat kalam. Lihatlah dua
orang anak kecil seibu sebapa[k] mula-mulanya bersayang-
sayangan, beramah-ramahan, lama[-]kelamaan bermusuh,
berkelahi tatkala sampai besar. Dan lagi umpama kaum Barat
mula-mula datang ke Timur atau ke Indonesia, bakato di
bawah-bawah manyawuk di hilia-hilia. Berkehendak membeli
bahan-bahan yang kefarduan mereka, tetapi lama menjadi
penjajah pengenas darah. Buat mencegah dan melawan
khianat itu, bersatulah kita yang kaum kerabat sebangsa
senusa supaya teguh dan aman.
Dalam kesempatan lain Abdul Latif Syakur menjelaskan
bahwa dalam Qs. al-Nisa>’: 1 ini sebgai berikut:
“Tuhan memerintahkan kepada persatuan yang benar, yaitu
persatuan kemanusiaan. Bangsa apapun jua berasal dari
keturunan ((Adam dan Hawa))lain tidak. Berselisih jalan
juga? Berlainan kebatinan? Sedang pangkal agama satu dan
Tuhan satu, Rabb al-‘a>lami>n. Marilah kita mempelajari betul-
betul apa maksudnya Tuhan menerangkan kepada kita bahaso
bangsa manusia yang berkembangan [di] seluruh dunia ini,
kembangan dari seorang bapa[k]– Adam-
/10/
dan seorang ibu -Hawa– ialah supaya menimbulkan perasaan
kepada rata-rata manusia. Dan Tuhan memberi kepada
manusia perasaan itu yang terkandung pada segenap manusia.
Perasaan mana, perasaan sama. Bersama untuk bersatu dan
bersatu untuk bersama. Asalnya sama, pokok agama satu.
Agama tiada bermusuh karena bangsa, agama membuka jalan
167
dan pintu untuk dimasuki segala bangsa. Agama ada
menganjurkan suatu jalan bagi segenap bangsa yang
dinamakan jalan yang benar serta lurus. Di dalam al-Qur’a>n
tersebut: wa anna hadha> s}ira>t}i> mustaqi>man. QS. Al-An’a>m :
152. Dan sesungguhnya inilah – agama Islam – jalan Aku yang
lurus, yang benar, yang mengandung hak perasaan, persamaan
sosial, sosial demokrasi25.
Di dalam perasaan[-]perasaan sesama manusia di dalam segala
bangsa yang ada di atas dunia ini, maka Tuhan menganjurkan
juga hak kebangsaan dan tanah air yang berarti takuti pulalah
hak perhubungan persatuan kaum kerabat, sanak famili, u>la> al-
arha>m. Supaya bekerja bersama-sama memperbaiki aturan
karang perbuatan (a-r-kh-n-s-t-y). Akan mencari daya upaya
persatuan bangsa, boleh mencapai persatuan kemanusiaan,
presiden Wilson – ويلسون – Amerika yang telah meninggal
memajukan sikap persatuan bangsa.
Penghulu kita Nabi Muhammada sallallahu alihi wasallam,
memajukan persatuan kebangsaan. Dengan petatah petitih
beliau ((h}ub al-wat}an min al-i>ma>n)). Cinta tanah air itu suatu
daripada iman. Iman percaya. Percaya kepada siapa? Percaya
kepada Tuhan yang Esa, yang mempunyai kekuasaan pada
semesta alam. Bila percaya kepada Tuhan, hendaklah percaya
pula kepada perintahnya, turut yang disukaiNya, jauhi yang
tidak disukaiNya. Inilah jalan yang benar, jalan yang lurus
yang mesti ditempuh, dilalui oleh manusia yang berbudi,
berperasaan kemanusiaan. Jalan yang benar yang diperkatakan
ini, niscaya terlihat pada tiap-tiap bangsa, tiap-tiap orang
damai, ia membersihkan fikran dan hatinya.”26
25 Di dalam teks ditulis sosial demokrat. 26 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 53-55
168
Pada teks di atas, Syekh Abdul Latif Syakur berpendapat
bahwa Allah telah memerintahkan seluruh manusia untuk
bersatu. Dalam konteks Indonesia yang terdiri dari multietnis,
multikultur dan multireligius menjadi modal dalam
membangun persatuan. Berdasarkan pernyataan Syekh Abdul
Latif Syakur, sungguhpun manusia berkembang menjadi
beragam bangsa, beragam bahasa, berbeda kulit dan ras, serta
berbeda agama, pada hakikatnya berasal dari satu sumber.
Maka manusia harus saling mengasihi. Hal ini diwujudkan
dengan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap bangsa yang
lemah.27
Redaksi \penghulu kita Nabi Muhammada sallallahu alaihi wasallam, memajukan persatuan kebangsaan,
memberitahukan bahwa upaya mempersatukan bangsa telah
dahulu dilakukan Rasulullah saw.. Hal tersebut dibuktikan
melalui konstitusi tertulis pertama di dunia yaitu Piagam
Madinah. Di dalam Piagam itu dituliskan bagaimana cara Nabi
menyatukan penduduk Makkah (kaum muhajirin) dan Madinah
(ansar) yang mana kedua penduduk itu juga terdiri dari suku
atau kabilah yang berbeda-beda. Tidak hanya itu, Rasulullah
tidak hanya menyatukan penduduk yang berbeda suku, tapi
juga menyatukan penduduk Madinah yang berbeda agama.
Kebijakan Rasulullah saw. yang mempersatukan bangsa tanpa
memandang suku, etnis, ras, dan agama tersebut merupakan
wujud dari negara bangsa.
Ungkapan cinta tanah air itu suatu dari iman, dengan
penegasan pada kata iman sebagaiman diungkapkan Syekh
Abdul Latif Syakur menunjukkan bahwa mencitai tanah air
adalah wujud dari iman. Iman adalah mempercayai bahwa
Tuhan yang Maha Esa berkuasa atas alam semesta. Bila
percaya pada kekuasaan dan kekuatan Tuhan, maka manusia
27 A.M. Fatwa, Demokrasi Teoritis Upaya Merangkai
Integrasi Politik dan Agama di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2001) h. 99-100.
169
yang sehat akal dan pikirannya serta menyadari
kemanusiaannya tidak akan melakukan kejahatan seperti
menyakiti bahkan menindas orang lain. Dalam konteks yang
lebih luas, suatu bangsa yang baik tidak akan menyakiti atau
menjajah bangsa lain. Sehingga dapat mewujudkan persatuan
antar bangsa.
Persatuan tidak akan terwujud jika tidak ada rasa
persaudaraan. Persaudaraan dalam Islam tidak hanya
dikhususkan dengan sesama muslim, namun juga dengan
mereka yang non-muslim. Dari sini tampak bahwa Islam sangat
menjunjung persatuan dengan wujud toleransi. Melalui ayat
ini Allah menyeru manusia yang beriman ataupun yang tidak
beriman agar bersatu, saling menyayangi, dan menghargai
serta tidak membeda-bedakan. Oleh karena itu, manusia
diperintahkan untuk menjaga perdamaian di seluruh penjuru
bumi dan menghormati hak asasi manusia.28
Pada ayat teks di atas, manusia diperintahkan untuk
bertakwa kepada Tuhan dengan redaksi wa-ttaqu> rabbakum.
Pada kata wa-ttaqu> yang berarti bertakwalah yang
disandingkan dengan kata rabbakum (Tuhanmu), hal ini lebih
mendorong agar manusia berbuat baik. Kata rabb dalam bahasa
Arab berasal dari rabba> - yurabbi> yang berarti memelihara dan
membimbing. Dengan adanya kata tersebut membuktikan
bahwa adanya hubungan manusia dengan Tuhan yang tidak
pernah putus. Maka hubungan manusia dengan Tuhannya
menuntun manusia untuk memelihara hubungan dengan
sesama manusia.
Wujud persatuan di antara umat manusia yang lainnya
juga tampak jelas dalam penciptaan manusia yang terdiri dari
berbagai ragam suku, budaya, bangsa dan jenis. Keragaman itu
bukanlah sarana untuk membedakan strata antara satu individu
dengan individu lain atau membedakan antara satu kelompok
28 Ali Nurdin, “Wawasan Al-Qur’an tentang Kebhinekaan
dan Persatuan”, dalam al-Burhan, Vol. 16, No. 2, 2016, h. 238.
170
bangsa dengan bangsa yang lainnya. Perbedaan tersebut ada,
tujuannya satu yaitu untuk saling mengenal. Ha ini ditegaskan
dalam surat al-H}ujura>t ayat 13 sebagai berikut:
ن ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وق بائل لت عارفوا إن أكر مكم عند الله أت قاكم ياأي ها الناس إنا خلقناكم م ( ٢١إن الله عليم خبير )
Artinya: “Hai manusia bahwa sanya kami telah menjadikan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Dan kami jadikan kamu bersuku-suku dan berkaum-
kaum supaya kenal mengenal. Sesungguhnya orang
yang terlebih termulia di sisi Allah yaitu yang
setakut-takut kamu. Sesungguhnya Allah
mengetahui dan memperhatikan.”29
Melalui ayat di atas Syekh Abdul Latif Syakur
menafsirkan sebagai berikut:
“Hai manusia yang tidak memperhatikan hikmah Tuhan, tidak
memperhatikan alam dan tabiatnya, yang lupa akan asal
kejadiannya, dan perubahan iklim, semua itu membawa
pemandangan yang amat dalam. Seperti bangsa putih
mengatakan bangsa hitam, bangsa gagak. Seperti bangsa
Barat memandang bangsa Timur sebagai bangsa hamba
sahaya. Manusia serupa itu tabiatnya, itulah manusia yang tak
tahu akan ilmu alam dan tabiat alam. Maka Tuhan
menurunkan pengajaran supaya manusia sama-sama insaf dan
paham bahwasanya Kami telah menjadikan, me[ng]adakan
kamu (kata Tuhan) daripada laki-laki yaitu Adam asal
sekalian manusia. Dan daripada perempuan yaitu Hawa,
seorang perempuan yang diadakan dari sebahagian tubuh
29 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 49
171
Adam, menjadi ibu oleh manusia semuanya. Dengan
demikian, tidak ada jalan untuk melebihkan satu daripada
yang lain., sebab satu keturunan dan satu bangsa (bangsa anak
Adam atau bangsa cucu Hawa).
Dan Kami jadikan kamu (kata Tuhan lagi) bersuku, berpartai,
berkaum, berkeluarga, berluhak, bernagari, berkota, berdusun,
dan seterusnya. Dibagi seperi itu supaya dapat kamu kenal
mengenal, ingat mengingati satu sama lain, dan ketahui kawan
dari sana. Sebab tiap pihak, tiap benua ada mempunyai suatu
ketentuan yang teruntuk padanya daripada penghidupan,
pekerjaan, kepandaian, dan lain yang berguna dan
mempergunakannya. Kawan kaum yang lain atau neg[e]ri
asing, jadi dapat kenal mengenal berhubungan hidup bersama,
bersekutu pada nikmat yang diberikan Allah. Kepada yang di
Timur dapat pula yang di Barat
/50/
Saudara yang di Selatan dapat membantu saudara yang di
Utara dengan apa nikmat yang ada padanya, begitulah
seterusnya.
Memang tiap-tiap iklim mempunyai udara yang berlainan
daripada iklim yang lainnya. Satu-satu iklim mempunyai ...
yang tertentu tidak ada pada iklim yang sebuah jadi dengan
berlain-lain kaum dan umat itu dapat menjadi beruntung
kedua belah pihak. Begitu sekadar boleh diketahui keturunan
satu-persatu, bukan supaya mamanggak satu bangsa kepada
satu bangsa. Atau mengalah satu kaum kepada kaum yang
satu, karena kemuliaan dan kelebihan itu bukan dengan sebab
bangsa, bukan dari keturunan. Lihatlah berapa banyak anak-
anak cucu dari orang ternama menjadi yang sehina-hina orang.
Kebalikannya seorang yang dari dua orang ibu bapa yang
rendah, bangsa hina, pekerjaan dan asa, tiba pada anaknya
seorang yang mulia dunia akhirat. Hanya dapat sifat
kemuliaan atau kelebihan itu dari budi pekerti, berani dengan
172
kebenaran, bersemangat yang beriring dengan ilmu
kepandaian, bertakwa kepada Allah, bersandar kepada Tuhan
yang Esa. Inilah sifat yang tak luntur-lunturnya, inilah yang
dikatakan Tuhan: “bahwasanya yang ... kamu orang yang
setakut-takut kamu pada sisi Allah.” Sungguhpun begitu,
Allah ta‘a>la> yang amat mengetahui akan hati orang takwa
kepada Tuhan. Dan Allah yang memperhatikan me[ng]amat-
amati hamba-Nya yang bertakwa kepada Nya.”30
Pada tafsir ayat di atas Syekh Abdul Latif Syakur
memberikan pemahaman melalui teks naskah Tafsi>r Ya> Ayyuha> al-Na>s ini, bahwa kata ya> ayyuha> al-na>s pada ayat ini
merupakan seruan Allah kepada manusia yang belum sadar dan
tidak sadar akan asal mereka. Apapun rasnya, warna kulitnya,
suku bangsanya, mereka berasal dari pokok yang sama yaitu
seorang laki-laki yang bernama Adam dan seorang perempuan
yang bernama Hawa. Maka tidak ada kelebihan yang satu atas
yang lain. Pada konteks ini, kata kelebihan yang dimaksud
adalah keutamaan atau keunggulan. Sehingga kedudukan
semua umat manusia baik laki-laki maupun perempuan di
dunia ini adalah sama.
Selain itu, dalam teks di atas juga digambarkan bahwa
perbedaan yang ada di tengah-tengah setiap suku, ras, dan
bangsa bertujuan agar manusia saling mengenal. Mengenal
satu sama lain akan mengantarkan manusia untuk menyelami
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan itu,
manusia akan sampai pada tahap saling tolong-menolong
untuk melengkapi kebutuhannya. Pada akhirnya semua
perbedaan yang tampak secara lahir itu akan melebur pada satu
titik yaitu persatuan dan solidaritas. Persatuan dan solidaritas
inilah yang menjadi titik awal terbentuknya rasa kebangsaan.
30 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 77-79
173
C. Gagasan tentang Kebebasan dan Kesetaraan
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan peri-keadilan.31 Kutipan alinea pertama
dari Pembukaan UUD 1945 tersebut sangat jelas
menggambarkan semangat kebebasan dan kesetaraan.
Kebebasan dan kesetaraan merupakan bentuk perhargaan
tertinggi terhadap nilai kemanusiaan.32 Hal ini tidak
bertentangan dengan ajaran Islam yang memuliakan manusia
tanpa memandang etnis, ras, agama, dan lain-lain.
Islam dengan semangat pembebasannya yang
berlandaskan kepada tauhid harus selalu dihadirkan dalam
realitas sosial masyarakatnya, sehingga mampu untuk
melakukan perubahan.33 Syekh Abdul Latif Syakur dalam
pendahuluan teks ini telah menjelaskan dalam proses
penciptaan manusia sebagaimana yang terdapat dalam Qs. al-
Ti>n: 4\ bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan
sebaik-baik bentuk kejadian. Dalam susunan bentuk itu Allah
melengkapi manusia dengan sifat. Sifat-sifat itu seperti
keberanian, kejujuran, kuat, keras, mengalah, penakut, dan
lain-lain. Selain itu, manusia juga diberikan hawa dan nafsu.34
31 UUD45-Awal (PDF), diakses pada 3 Januari 2020. 32 Yudi Latif, Mata Air Keteladanan Pancasila Dalam
Perbuatan (Jakarta; Mizan, 2016), h. 133. 33 Mohammad Nawir, “Rekonstruksi Pemahaman Hadis
Analisis Hadis di dalam Fatwa MUI tentang Kesehatan, dalam
Journal of Qur’a>n and H}adi>th Studies”, Vol. 5, No. 2 (December
2016), h. 218. 34 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 48.
174
Pemberian sifat kepada manusia merupakan bentuk
penghargaan terhadap manusia sebagai khalifah di
permukaan bumi dan juga pembeda dengan makhluk lainnya.
Dengan adanya potensi yang demikian itu, manusia
diberi kebebasan oleh Allah untuk menentukan sifat mana
yang akan mereka implementasikan dalam kehidupan.
Konsep-konsep seperti egalitarianisme, partisipasi, dan
keterbukaan atas dasar kebebasan untuk memilih sendiri
apakah mau menjadi makhluk setinggi-tingginya atau
serendah-rendahnya.35 Tentu saja setiap pilihan akan
dipertanggungjawabkan nantinya di akhirat. Oleh karena itu
Allah memberikan akal kepada manusia untuk
megidentifikasi sifat-sifat tersebut.36 Al-Qur’a>n secara terang
dan jelas berbicara tentang kebebasan manusia dalam
bertindak.
Lebih lanjut Abdul Latif Syakur menguatkan
penjelasan tentang kebebasan manusia dalam menentukan
pilihan dengan akal yang diberikan Allah yaitu dalam
menafsirkan Qs. al-Nisa>’: 174-175 sebagai berikut:
( فأما ٢٧١ياأي ها الناس قد جاءكم ب رهان من ربكم وأنزلنا إليكم نورا مبينا )نه وفضل وي راا الذين آمنوا بالله واعتصموا به فسيدخلهم ف رحة م هديهم إليه
( ٢٧١ا )مستقيم
35 Nurcholis Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004), h. 21. 36 Muh. In’amuzzahidin, “Konsep Kebebasan dalam
Islam”, dalam Jurnal at-Taqaddum, Volume 7, Nomor 2, (November
2015), h. 260.
175
Artinya: “Hai sekalian manusia sungguh telah datang kepada
mu suatu keterangan daripada Tuhanmu. Dan telah
kami turunkan kepada mu cahaya (penerangan) yang
nyata. Maka ada pun orang yang telah iman dengan
Allah dan berpegang mereka dengan dia, maka nanti
kami masukkan dia ke dalam suatu rahmat daripada
nya dan karunia dan ditunjukinya akan dia kepada
nya jalan yang lurus –tetap-.”37 Dalam pengantar tafsir ayat di atas Abdul Latif Syakur
menjelaskan
“Manusia tidak dapat sampai kepada merasakan keesaan
Tuhan melainkan manusia yang ada mempunyai akal
sempurna. Karena akal sempurna itu dapat
memperbandingkan antara yang hak dan yang batil.
Antara yang benar dan yang salah. Akal itu dapat
memutuskan perbandingan yang didapat pemandangan
dan penglihatan zahir sampai kepada penglihatan batin.
Dan yang didapatnya dengan keterangan yang
disampaikan atau yang diterima daripada seorang yang
dipercayai pada cerita, berita yang gaib-gaib yang tak
dapat dengan semata-mata akal dan pikir. Dengan dua
keputusan itulah moga-moga manusia baru sampai pada
merasakan sedapnya perdasaran kepada keesaan Tuhan.
Apabila seorang bekerja ikhlas dengan hati tulus menuju
keesaan Tuhan, itulah yang mendapat kelezatan amal dan
merdeka daripada teraru-aru oleh yang lain.”38
37 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 56. 38 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 57.
176
Pada konteks teologis, penjelasan Abdul Latif Syakur
di atas, sedang berada pada posisi aliran pemikiran
mu‘tazilah. Ia mengedepankan akal sebagai penentu jalan
kehidupan seseorang dalam memimikirkan dirinya, alam, dan
masa depannya. Akal dalam tafsir di atas, ditempatkan pada
potensi rohani yang berdaya besar. Melalui potensi itu,
manusia dapat sampai kepada tahap merasakan nikmat
mengetahui dan mengesakan Tuhan.39 Mengesakan Tuhan
berarti mengakui kekuasaan Tuhan lebih besar dari kuasa
apapun. Pengakuan ini merupakan wujud dari pembebasan
diri dari belenggu kuasa selain Tuhan. Dan
Kebebasan merupakan hak dasar yang telah melekat
pada setiap manusia semenjak dilahirkan ke dunia. Kebebasan
adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). HAM ialah
karunia yang diberikan Allah kepada manusia, sehingga tidak
ada yang dapat merampasnya dari pemiliknya. Demikian pula
tidak ada yang dapat mencabut kebebasan seseorang bahkan
kebebasan suatu kelompok masyarakat ataupun bangsa.
Syekh Abdul Latif menjelaskan dalam teks tafsir surat al-
Nisa>’ ayat 1 ini bahwa:
“Tuhan memerintahkan kepada persatuan yang benar,
yaitu persatuan kemanusiaan. Bangsa apapun jua berasal
dari keturunan ((Adam dan Hawa))lain tidak. Berselisih
jalan juga? Berlainan kebatinan? Sedang pangkal agama
satu dan Tuhan satu, Rabb al-‘a>lami>n. Marilah kita
mempelajari betul-betul apa maksudnya Tuhan
menerangkan kepada kita bahaso bangsa manusia yang
39 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Islam
Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi (Jakarta:
Kencana, 2014), h. 78.
177
berkembangan [di] seluruh dunia ini, kembangan dari
seorang bapa[k]– Adam-
/10/
dan seorang ibu -Hawa– ialah supaya menimbulkan
perasaan kepada rata-rata manusia. Dan Tuhan memberi
kepada manusia perasaan itu yang terkandung pada
segenap manusia. Perasaan mana, perasaan sama.
Bersama untuk bersatu dan bersatu untuk bersama.
Asalnya sama, pokok agama satu. Agama tiada bermusuh
karena bangsa, agama membuka jalan dan pintu untuk
dimasuki segala bangsa. Agama ada menganjurkan suatu
jalan bagi segenap bangsa yang dinamakan jalan yang
benar serta lurus. Di dalam al-Qur’a>n tersebut: wa anna hadha> s}ira>t}i> mustaqi>man. QS. Al-An’a>m : 152. Dan
sesungguhnya inilah – agama Islam – jalan Aku yang
lurus, yang benar, yang mengandung hak perasaan,
persamaan sosial, sosial demokrasi.
Di dalam perasaan[-]perasaan sesama manusia di dalam
segala bangsa yang ada di atas dunia ini, maka Tuhan
menganjurkan juga hak kebangsaan dan tanah air yang
berarti takuti pulalah hak perhubungan persatuan kaum
kerabat, sanak famili, u>la> al-arha>m.”40
Keterangan di atas menunjukkan bahwa agama sangat
menjunjung nilai-nilai HAM. Tidak ada agama yang bertolak
belakang dengan nilai HAM. Dalam Islam khususnya tauhid,
sebagai doktrin ajaran Islam yang menegaskan pada
mengesakan Allah swt., terkandung makna pembebasan diri
(self liberation) dan pembebasan sosial yang mana seluruh
manusia memiliki hak yang sama di hadapan Tuhan. Islam
sangat menjamin kebebasan sebagai hak manusia. Nilai
kebebasan berdasarkan pada tolak ukur bahwa manusia
40 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 54.
178
makhluk mandiri, berpikir, berkehendak bebas, dan bermoral.
Kebebasan dalam Islam dibatasi oleh moral dan etika.
Kebebasan yang tidak dilandasi moral akan menyebabkan
kerusakan/kehancuran.
Meskipun deklarasi HAM (Universal Declaration of
Human Right) ditetapkan pada 1948, sebenarnya isu HAM
secara subtantif sejak awal telah ada dalam syariat Islam.
HAM telah dijadikan ulama sebagai tujuan dalam maqa>s}id al-
shari>’ah. Hanya saja filosofi HAM dalam syariat berbeda
dengan HAM pada deklarasi universal. Menurut Abdillah,
karena filosofi antara HAM dalam syariat dan HAM dalam
delakrasi universal terdapat sejumlah perbedaan maka
menurut beberapa pengamat keduanya dianggap
bertentangan.41
Dalam rumusan ulama Islam, HAM bukan hanya
sebatas hak asasi melainkan ia adalah al-d}aru>riya>t. Al-
d}aruriya>t adalah kebutuhan fundamental yang harus dipenuhi.
Berdasarkan penjelasan Abdillah, istilah HAM dan
perumusannya dalam Islam baru populer pada awal abad 21.
Dan menurutnya pula ulama muslim masa kontemporer baru
berbicara tentang HAM setelah deklarasi HAM oleh PBB
tahun 1948.42 Namun berdasarkan teks Naskah Tafsi>r A>ya>t
Ya> Ayyuha> al-Na>s, Syekh Abdul Latif Syakur seorang ulama
lokal Minangkabau pada tahun 1949 telah berbicara tentang
HAM meskpiun tidak menggunakan kata HAM secara
eksplisit.
41 Masykuri Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial Politik
di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011) h. 14 dan
17. 42 Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial, h. 18.
179
Tak jauh berbeda dengan ulama kenamaan seperti Abul
A’la Mawdudi yang mengatakan bahwa HAM adalah
pemberian Allah swt.,43 Syekh Abdul Latif Syakur juga
berpendapat sama. HAM bahkan selaras dengan Iman.
Penghormatan terhadap HAM menurut Abdul Latif Syakur
didasarkan pada surat al-Nisa>’: 1, sebagaimana yang
dikemukakan di atas. Abdul Latif Syakur juga mendukung
konsep HAM yang berdasarkan pada aspek fundamental
(d}aru>riya>t), yang meliputi:
1. pemeliharaan terhadap agama (h}ifz} al-di>n), yang
mengandung hak beragama,
2. pemeliharaan terhadap jiwa (h}ifz} al-nafs), hak untuk
hidup dan memperoleh keamanan,
3. pemeliharaan terhadap akal (h}ifz} al-‘aql), hak untuk
memperoleh pendidikan,
4. pemiliharaan terhadap harta (h}ifz} al-ma>l), hak untuk
bekerja, memiliki harta dan hidup layak,
5. pemeliharaan terhadap nasab (h}ifz} al-nasab) hak
untuk memperoleh keturunan, dan
6. pemeliharaan kehormatan (h}ifz} al-‘ird) hak
memelihara harga diri.44
Konsep-konsep HAM yang berdasarkan kepada
maqa>s}id al-shari>‘at di atas juga selaras dengan Deklarasi
HAM, terutama:
1. hak untuk hidup,
2. hak kebebasan agama,
3. hak kebebasan berpikir dan berbicara,
4. hak memperoleh pendidikan,
5. hak untuk bekerja dan memiliki harta kekayaan,
6. hak untuk memilih tempat tinggal sendiri.
43 Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial, h. 18. 44 Abdillah, Islam dan Dinamika Sosial, h. 18-19.
180
Dari konsep-konsep HAM menurut maqa>s}i>d al-shari>’a>t
dan Deklarasi HAM yang dapat diselaraskan dengan
pemikiran Syekh Abdul Latif Syakur sesuai dalam teks tafsir
ayat-ayat yang berawalan ya> ayyuha> al-na>s.
Syekh Abdul Latif Syakur sebagai ulama yang hidup
dalam dua masa yakni pra-kemerdekaan dan pasca-
kemerdekaan sangat mengerti dengan kondisi lingkungan dan
negaranya. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa masa
pra-kemerdekaan adalah masa yang sangat memilukan bagi
bangsa Indonesia tidak hanya dijajah tanah airnya namun juga
harus terancam nyawanya. Padahal dalam Islam, nyawa atau
jiwa merupakan hal fundamental yang harus dijaga. Oleh
karena itu, Abdul Latif Syakur mengemukakan pendapatnya
melalui tafsir surat Yu>nus: 57
ن ربكم وشفاء لما ف الصدور وهد ى ورحة ياأي ها الناس قد جاءتكم موعظة م ( ١٧للمؤمنين )
Artinya: “Hai manusia. Sesungguhnya telah datang akan kamu
pengajaran dari Tuhan kamu dan obat bagi barang
pada dada dan pertunjuk dan rahmat untuk orang-
orang mu’min.”45
Lalu Abdul Latif Syakur menafsirkan maksud ayat di
atas sebagai berikut:
“Hai sekalian manusia yang masih belum mengerti dan
sadar pada mengingati asal usul kemanusiaannya
sesungguhnya telah datang kepada mu daripada
45 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s,h. 63.
181
Tuhanmu yang Esa yaitu Qur’a>n –kitab suci- lengkap di
dalamnya beberapa faidah-faidah, penerangan-
penerangan yang semuanya itu tersimpan pada empat
perkara: pertama- maw’iz}ah- pengajaran, yaitu b-a-ng-y-
ng menarik kepada kebaikan yang digemari dan yang
diketakuti –salah akan membaiki, lupa akan menuruti,
terlampau akan mengembalikan dengan dua jalan: satu
memberikan pengajaran kepada hati supaya tetap
keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa tiada Tuhan
selain Nya- maka segala pekerjaan – dan perjuangan-
kejahatan dan suasana- hidup dan mati- sakit dan senang,
semuanya didatangkan Tuhan belaka dengan maw’iz}ah Qur’a>n itulah baru dapat kita mempertahankan
kemerdekaan ruh kita –jiwa kita-, pikiran kita dan
berkibarnya semangat kita kepada melawan berjuang
kepada musuh kasar dan musuh halus. Kedua,
memberikan pengajaran aturan lembaga pekerjaan dan
amalan yang berupa perintah dan suruh kepada kebaikan
yang mana segala peraturan yang telah diperintahkan di
dalam Qur’a>n itu sama sekali membawa kepada kebaikan
yang disetujui oleh isi alam yang suka mendalamkan
tilikannya dan pahamnya tidak dengan tergopoh-gopoh
yang didorongkan hawa nafsu. Dengan tilikan sepintas
lalu saja dan memberikan pengajaran yang berupa tagah
dan larangan pada pekerjaan kejahatan yang ditakuti
nanti yang membawa kepada kesengsaraan hidup dunia
sampai kepada akhirat. Kesengsaraan, baik kepada diri
sendiri ataupun kepada bersama –orang umum dan
masyarakat. Tetapi kebiasaan larangan pada yang disukai
oeleh kebanyakan orang. Memang manusia itu beraja
kepada hatinya bersultan kepada matanya- padahal hati
itu diperintahi kemauan hawa nafsu dan mata cendrung
kepada rupa dan warna. Maka Tuhan memberikan
pengajaran supaya jangan diturutkan itu.”46
46 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s,h. 63.
182
Dari tafsir di atas bahwa menurut Abdul Latif Syakur,
Allah telah memberikan pengajaran kepada hati manusia
melalui maw‘iz}ah yang terdapat di dalam al-Qur’an. Al-Qur’a>n
menjelaskan bahwa dengan tetap yakin pada Allah Yang Maha
Esa, tiada Tuhan selain Allah. Maka semua pekerjaan,
perjuangan, kejahatan, suasana, hidup dan mati, sakit dan
senang telah diatur Allah. Melaui maw‘iz}ah yang terdapat di
dalam al-Qur’a>n itu kita dapat mempertahankan kemerdekaan
ruh –jiwa- sehingga semangat untuk melawan musuh yang
kasar dan halus.
Menurut Fairclough bahwa teks tidak hanya dilihat dari
perspektif bahasanya saja tetapi juga dipengaruhi oleh konteks
yang ada pada pengarang dan lingkungannya47. Dalam konteks
ini, redaksi melawan musuh yang kasar adalah melawan musuh
yang dapat ditangkap oleh indra seperti penjajah. Karena pada
masa teks ini ditulis merupakan masa Agresi Militer Belanda,
masa ini sangat kental dengan aksi perlawanan fisik oleh
bangsa Indonesia dalam rangka mempertahankan
kemerdekaan. Adapun musuh halus dalam teks ini yakni musuh
yang tidak dapat dilihat oleh indra, keberadaannya di dalam diri
manusia seperti hawa nafsu. Maka manusia dalam teks ini juga
dituntut untuk melawan hawa nafsu.
Penjelasan ini telah menggambarkan bahwa Allah telah
menjamin keamanan jiwa manusia melalui al-Qur’a>n yang
diwahyukan kepada Rasulullah saw.. Jaminan Allah ini tidak
dapat disangkal dan dilanggar oleh mahluk manapun. Maka
segala bentuk intervensi apapun yang mengancam jiwa
47 Norman Fairclough, Analysing Discourse, Textual
Analysis For Social Research (London & New York: Routledge,
1997), h. 98.
183
seseorang akan diberikan ganjaran yang setimpal. Hal ini telah
ditegaskan Allah pula dalam surat Yu>nus: 23
ا ب غيكم على أنفسكم... تاع الياة ا ياأي ها الناس إن ن يام نا مرجعكم لد ث إلي ( ١١عملون )ف ن نبئكم با كنتم ت
Artinya: “Hai manusia yang sadar!: hanya sanya keaniayaan
kamu adalah atas dirimu selama bersenang-senang di
ruangan hidup di dunia. Kemudian kepada Kami jua
kembalimu. Maka Kami terangkan kepada mu
dengan apa-apa yang ada kamu kerjakan.”48
Pada tafsirnya, Syekh Abdul Latif menegaskan sebagai
berikut
“Ya> ayyuha> al-na>s innama> baghyukum ‘ala> anfusikum:
hai manusia yag selalu berbuat kesalahan dan kejahatan
kepada sesama kamu dengan menjalankan aniaya satu
sama lain. Kamu buat kejahatan kepada orang lain supaya
kamu selamat seputus –beruntung- terlepas dari bahaya,
maka aniaya kamu itu kembalinya kepada kamu juga,
mengapa demikian? ((man ‘amila s}alih}an fa-li-nafsihi wa man asa>a fa-‘alayha>)) siapa yang berbuat kebaikan tentu
kebaikannya untuk dirinya. Dan siapa berbuat kejahatan
maka kejahatan itu menimpa dirinya juga. Bukan saja
kejahatan itu kepada nya seorang malah kepada yang
seumpamanya atau kepada taulan sejawatnya, sampai
kepada sekaum sebangsa dan setanahairnya. Jikalau
kejahatannya dan aniaya itu sampai kepada merintangi
kesenangan keselamatan dan jua perjuangan dengan
musuh agama bangsa dan kemerdekaan tanah airnya.
48 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 61.
184
Mata>’a al-h}aya>h al-dunya. Tahukah kamu kesalahanmu
itu? Kamu selalu bersuka-suka, bersedap-sedap,
bersenang-senang dengan hidup dan penghidupan dunia
kamu yang fana itu oleh karena kesenangan kamu dengan
keduniaanmu itu kamu putuskan perhubungan kerabat
dan
/22/
sila>t al-rah}im. Lupa kamu akan kewajiban kamu kepada
kepada sebangsa dan senusa malah lagi seagama. Balasan
kerja kamu dan kesalahan kamu itu mengenai kepada
masyarakat dan sepupu kamu adanya.
Thumma ilay-na> marji’ukum: sesudah kesenangan dan
kepelesiran kamu di dalam hidup dunia yang lenyap ini.
Bahayanya mengenai kepada dirimu dan masyarakat
penduduk tanahairmu maka nanti kemudian hari, di sana
nanti kamu menerima balasan dan menemui bagaimana
kamu menderitakan hukuman Tuhan dihadapan khala>iq
dan orang yang kamu aniaya semasa mereka merasa
tertindas dan terhina ketika kamu sombong takabur
kepada mereka. Nasib ketika itu terserah kepada Allah.
Fa-yunabbiukum bima> kuntum ta’malu>n: maka nanti
kami beri kamu balasan setampilan dengan amalan kamu.
Pada ayat dibelakang ini Tuhan Allah membuatkan
perumpamaanya hidup di dunia ini. Perhatikanlah! Hidup
di dunia ini dengan kesenangannya kalau diumpamakan,
adalah seumpama hujan yang turun menyirami bumi
yang subur menambahkan pelbagai tanaman yang
bermacam-macam daripada yang dimakan oleh manusia
seperti jagung, padi, sayuran dan lain-lain. Dan makanan
ternak binatang daripada rumput dan lain-lain, hatta
mengeluarkan bumi akan keindahannya dan
kecantikannya, daun yang rimbun bunga yang
berkembangan buah yang rontok ranun, di sana tumbuh
kira-kira dan sangka ramai kesukaan yang riuh rindang
akan mengambil hasil tanamannya, memetik buahnya,
mengutip daunnya dan menyabut memotong padinya.
Padi masak, jagung meupah, buah lebat bunga kembang
dengan tidak disangka, sekonyong-konyong turunlah
185
bahaya petaka, perintah takdir Tuhan, binasa isi kebun
rusak isi lada, daun merusak, bunga layu, buah gugur ke
tanah batangnya rebah tunduk ke bumi. Entah malam
entah siang-siang menjadi seperti tanaman langkas,
seperti sawah sudah disabit, dipotong tidak ada sebagai
yang diangan-angani semalam lagi. Begitulah Tuhan
Allah menjelaskan kepada kaum yang mau berpikir. Kata
peribahasa: ya> man bi-dunyahu ishtaghal – qad gharrahu t}u>lu al-amal. Hai orang yang bimbang dengan
keduniaannya- sesungguhnya dia terpedaya dengan
panjang angannya itu.”49
Tafsir ayat ini sangat jelas menjamin kebebasan jiwa
manusia. Bagaimana Allah memperingatkan seluruh manusia
yang ingin meraih keberhasilan atau kekayaan, namun ia
menggunakan cara yang tidak baik seperti menzalimi orang lain
atau bangsa lain. Maka Allah mengatakan setiap perbuatan
baik maupun buruk akan diberikan balasan. Setiap kebaikan
akan berdampak pada diri masing-masing. Namun bila
melakukan suatu keburukan, dampaknya tidak hanya untuk diri
sendiri bahkan bisa berdampak pada masyarakat sebangsa dan
setanah air.
Jika dikontekskan pada masa pasca-kolonialisme
Belanda, dampak dari aktifitas kolonialisme itu berimbas pada
penetapan bersalah terhadap pihak kerajaan Belanda yang telah
menutupi aksi kekerasan yang dilakukan oleh tentara Belanda
selama tiga setengah abad berada di Indonesia.50 Selain itu,
49 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 61-63. 50 Gert Oostindie, dkk., Serdadu Belanda di Indonesia
1945-1950 Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah. Penerjemah Susi Moeimam, dkk. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia – KITLV, 2016), h. ix
186
dampak lainnya adalah banyak muncul perdebatan akademik
maupun politis di Belanda sehingga mempengaruhi citra
Belanda sebagai negara pelopor HAM di dunia.
Bentuk dari hak asasi manusia yang lainnya adalah h}ifzh
al-di>n. H}ifz al-di>n secara arti kata adalah memelihara agama.
Dalam arti luas, h}ifzh al-di>n adalah kebebasan untuk memilih
agama dan menjalankan ritual keagamaan berdasarkan
keyakinan masing-masing individu. Kebebasan sebagaimana
yang disebutkan itu merupakan bentuk dari pemeliharaan
agama.
Islam sebagai agama samawi, sangat menjunjung tinggi
prinsip-prinsip HAM. Dalam masalah beragama, Islam melalui
risalah yang disebarkan oleh para Rasul memberikan tempat
yang layak dan memadai untuk memeluk agama dan memilih
agama. Penegasan itu terdapat dalam Qs. al-Baqarah: 256
bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama. Ayat tersebut
sangat menghargai hak seseorang untuk memilih agama dan
keyakinannya.
Dalam teks naskah Tafsi>r Ya> Ayyuha> al-Na>s ini, Syekh
Abdul Latif juga berbicara tentang h}ifz} al-di>n. Menurutnya, ada
beberapa bentuk dalam menjaga agama dan mengekspresikan
agama. Pertama berdasarkan pada Qs. al-H}ajj ayat 5, yaitu:
ن ت راب ث ن الب ع فإنا خلقناكم م فة ياأي ها الناس إن كنتم ف ريب م ث من ن لكم ونقر ف لقة وغير ملقة لنب ين الرحام ما نشاء إل من علقة ث من مضغة م
ن ي ت وف لغوا أشدكم ومنكم م فل ث لتب ى ث نرجكم نأجل مسم ي رد ومنكم ما أنزلنا إل أرذل العمر لكيل ي علم من ب عد علم شيئا وت رى الرض هامدة فإذ
ها الماء اهت زت وربت وأنبتت من كل زوج بيج ) ( ١علي
187
Pada ayat di atas, Syekh Abdul Latif Syakur langsung
memberikan penafsiran pada terjemahan ayat, sebagai berikut:
“Hai sekalian manusia, orang yang masih ragu-ragu akan
mempercayai me[ng]imani hari akhirat, jika kamu masih
di dalam keraguan, shak, dan belum percaya akan hari
berbangkit sebagai tidak mumkin jadinya karena sudah
luluh jadi tanah akan kembali berbangkit pada hari
kemudian. Maka untuk menghilangkan keraguan, shak,
dan wahm itu marilah kami terangkan dan perhatikanlah!
Kata Tuhan: maka bahwasanya Kami telah menjadikan
kamu dengan perantaraan dari bapa[k] kamu yang berasal
kejadian kamu itu daripada tanah menjadi suatu benda
makanan dan minuman daripadanya menjadi nut}fah yang
mengalir daripada urat tulang belulang bapa[k] yang
bernama mani. Maka nut}fah mani itu tertumpah ke dalam
rahim ibu, di sana menjadilah dia ‘alaqah (darah
sebongkah) atau suatu paduan darah. Sesudah itu menjadi
dia (nut}fah - sekping daging) yang terjadi dari perpaduan
darah tadi, mud}ghah. Ini ada yang sempurna, cukup, tidak
cacat ben[t]uknya, dan ada juga yang kurang baik, tidak
sempurna, tidak dapat dijadikan menjadi manusia.
Perkara pekerjaan yang berpindah silih bersilih dari zat
makanan sampai menjadi nut}fah berangsur-angsur pula
hingga menjadi sekeping daging yang boleh dijadikan
manusia, itu supaya Kami dapat menyatakan kepada mu
bahwa mengembalikan kemudian hari. Hari berbangkit
itu amat mudah pada sisi orang yang Mahakuasa dan Esa.
Sesudah itu paduan daging yang telah menjadi daging,
berurat, bertulang itu Kami berikan
/32/
sementara waktu di dalam rahim ibu sampai hari ketika
yang telah dijanjikan. Kemudian baru Kami keluarkan
kamu dari kandungan ibu dengan keadaan bayi. Sesudah
kamu keluar maka Kami atur, Kami bela sampai kamu
menjadi orang berakal dan tangkas tubuh jasmani- jiwa
rohani, dan semangat h}ama>sah berkeberanian dengan
keras hati menendang musuh, mempertahankan agama
188
dan bangsa. Di antara itu, ada pula yang mati sebelum
sampai jangka orang besar dan ... atau mati sebelum
dewasa. Dan di antaranya ada pula yang sampai berumur
lebih dari dewasa sampai pula kembali kepada serupa
perangai umur anak-anak, sampai tahu apa-apa lagi.”51
Pada teks tafsir di atas, Abdul Latif Syakur menjelaskan
bahwa semenjak proses penciptaan manusia hingga dilahirkan
menjadi bayi kecil, Allah telah menjamin kebebasan mereka.
Allah menumbuhkan jasmani maupun rohani manusia, lalu
Allah menjaga manusia sampai ia berakal. Selanjutnya, dengan
itu semua manusia akan memiliki semangat h}ama>sah,
berkeberanian dengan keras hati menendang musuh,
mempertahankan agama dan bangsa.
Pada teks di atas Syekh Abdul Latif Syakur kembali
berbicara tentang asal-usul penciptaan manusia. Cikal-bakal
manusia berasal dari seorang laki-laki yang disebut bapak.
Tujuannya agar manusia sadar bahwa ia berasal dari asal dan
unsur yang sama, walaupun pada akhirnya masing-masing
mereka terdapat perbedaan.
Dalam konteks ini, Syekh Abdul Latif Syakur sedang
berbicara tentang h}ifz al-di>n. Alasannya, setelah manusia
dibekali dengan akal, mereka ditugaskan untuk melawan
musuh agama Allah. Musuh agama Allah pada masa ini adalah
pemerintah Belanda yang pada saat itu mendukung misi
pengkristenan.52 Pada waktu itu pemerintah Belanda
membatasi segala aktivitas terkait agama Islam. Dimana
mereka menghalangi kegiatan pembelajaran agama Islam
51 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 69. 52 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam, h. 187.
189
dengan tidak memberikan bantuan, sementara mereka
memberikan bantuan yang berlimpah kepada agama Kristen.53
Bentuk lain dari pembatasan terhadap Islam oleh
Belanda yaitu dengan mengeluarkan aturan yang
mengahruskan lembaga pendidikan Islam di Indonesia untuk
memiliki izin tertulis dari pejebat setempat. Izin itu
menyangkut sifat dari pendidikan Islam pada saat itu.
Kenyataan yang demikian, menurut ulama di Minangkabau
saat itu merupakan bentuk gangguan terhadap kemerdekaan
beragama. Oleh karena itu, bentuk perlawanan yang dilakukan
oleh Muslim di Minangkabau dengan menyatukan semua
pendapat mereka dan menentang keputusan itu. Aksi protes
ulama Minangkabau itu diluar dugaan pemerintah Belanda,
sehingga pada akhirnya mendesak mereka untuk menghapus
aturan itu.54
Melalui teks NTYN ini pula, Syekh Abdul Latif Syakur
memberikan memberikan keterangan, bila para muslim dengan
penuh keyakinan dan h}ama>sah mempertahankan agama Allah,
maka mereka akan mampu mengalahkan semua musuh-musuh
agama tersebut. Tidak hanya itu, bahkan mereka juga turut
mempertahankan bangsa mereka. Sehingga tampak bahwa
dengan menjaga agama (h}ifz al-di>n), secara tidak langsung para
muslim juga turut menjaga jiwa (h}ifz al-nafs) setiap individu
dalam suatu bangsa.
Teks NTYN di atas juga memberikan pandangan bahwa
dengan mempertahankan agama sejalan dengan
mempertahankan kemerdekaan bangsa. Ini jelas menunjukkan
agama menjadi supporting sistem dalam meraih kemerdekaan
53 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam, h. 193. 54 Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam, h. 200.
190
individu dan bangsa. Mak tak salah kiranya pendapat Abdul
Latif Syakur mengutip ungkapan “cinta tanah air sebagian dari
iman”.
D. Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s Sebagai Kritik Terhadap
Aktifitas Kolonialisme
Teks sebagai media komunikasi merupakan bentuk dari
praktik wacana dan praktik sosiobudaya. Praktik wacana
adalah bentuk representasi pemikiran penulis melalui produksi
teks. Adapun praktik sosiobudaya adalah konteks yang
melatarbelakangi munculnya sebuah teks.55 Naskah Tafsi>r A>ya>t
Ya> Ayyuha> al-Na>s adalah sebuah teks yang mendeskripsikan
tafsir dari ayat-ayat yang berawalan ya> ayyuha> al-na>s. Teks
naskah tafsi>r a>ya>t ya> ayyuha> al-na>s merupakan bentuk praktik
wacana yang menggambarkan tanggapan dan respon Syekh
Abdul Latif Syakur terhadap ayat al-Qur’a>n yang dimulai
dengan awalan ya> ayyuha> al-na>s.
Syekh Abdul Latif Syakur melalui tafsir ini
menunjukkan sikapnya terhadap situasi pada masa itu.
Sebagaimana dijelaskannya bahwa NTYN ini ditulis pada
tahun 1949 dalam suasan mencekam. Saat itu Indonesia yang
notabene telah merdeka, namun kembali dipaksa untuk
berjuang mempertahankan kemerdekaannya dari Belanda yang
melancarkan agresi pada tahun itu. Abdul Latif Syakur dengan
perantara teks tafsir ini menunjukkan sisi kritis dan
nasionalisnya dalam merespons tindakan Belanda. Apa yang
telah dilakukan Syekh Abdul Latif Syakur tersebut
55 Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: The
Critical Study of Language (New York: Longman, 1995), h.97
191
menunjukkan posisi teks sebagai wacana dalam bentuk praktik
sosialbudaya.
Melalui teks naskah Tafsi>r Ya> Ayyuha> al-Na>s ini, Syekh
Abdul Latif Syakur mendeskripsikan bagaimana strategi
bangsa Barat saat hendak menguasai bangsa Timur. salah
satunya terdapat pada penggalan tafsir surat al-Nisa>’ ayat 1,
sebagai berikut:
“Wa-ittaqu> Alla>h alladhi>na tasa>’alu>na bi-hi wa-al-arh}a>m:
setelah kamu mengetahui persatuan kamu yang terbesar
yaitu yang berasal[-]usul kepada dua orang laki istri,
maka ingatlah pula kepada peraturan Tuhan yang Esa
terhadap u>la> al-arh}a>m, bekaum berkerabat bersebangsa
senusa. Wajib kamu sama-sama setuju seniat mencari
kemuliaan dan kekuatan secara saudara-saudara yang
telah maju pada sebangsanya, kalau-kalau dia nanti
berbuat sewenang-wenang kepada bangsa yang lemah.
Memang kita semuanya manusia bersaudara, seketurunan
tetapi temangu-mangu oleh karena hal yang datang
kemudian. Menjadi tumbuh benci[-]membenci, lingkar[-
]melingkar karena itu tabiat kalam. Lihatlah dua orang
anak kecil seibu sebapa[k] mula-mulanya bersayang-
sayangan, beramah-ramahan, lama[-]kelamaan
bermusuh, berkelahi tatkala sampai besar. Dan lagi
umpama kaum Barat mula-mula datang ke Timur atau ke
Indonesia, bakato di bawah-bawah manyawuk di hilia-hilia. Berkehendak membeli bahan-bahan yang kefarduan
mereka, tetapi lama menjadi penjajah pengenas darah.
Buat mencegah dan melawan khianat itu, bersatulah kita
yang kaum kerabat sebangsa senusa supaya teguh dan
aman.”56
56 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 53.
192
Dalam penggalan tafsir ayat di atas, Syekh Abdul Latif
Syakur mengingatkan kembali pada tujuan kedatangan bangsa
Barat ke Timur. Pada konteks ini, jika dihubungkan pada masa
penulisan teks sebagaimana yang terdapat pada halaman
kolofon, maka bangsa Barat yang dimaksud adalah Belanda dan
bangsa Timur adalah Indonesia seperti yang telah disebutkan
secara jelas pada teks di atas. Dalam teks di atas, Abdul Latif
Syakur juga menjelaskan bagaimana kelicikan bangsa Belanda
saat di awal kedatangan mereka melalui ungkapan
“bakato di bawah-bawah, manyauk di hilia-hilia.”57
Pepatah di atas terdiri dua kalimat yaitu bakato di
bawah-bawah dan manyauak di ilia-ilia. Bakato di bawah-
bawah dalam ungkapan Minang berarti menjaga kerendahan
hati atau menjaga perkataan agar tidak dianggap meremehkan
orang lain. Adapun kalimat manyauak di ilia-ilia menurut orang
Minang berarti; saat melakukan sesuatu, jangan sampai
menggangu orang lain. Dari arti kedua ungkapan yang
digunakan oleh Syekh Abdul Latif Syakur, menunjukkan sikap
kritisnya melalui budaya Minang yang kental dengan kata-kata
bijak seperti ungkapan di atas.
Tafsir ini dapat menjadi cerminan dari respons Syekh
Abdul Latif Syakur terhadap kedatangan Belanda dan perilaku
mereka terhadap bangsa Indonesia. Melalui pepatah Minang
yang dipilih, menegaskan bahwa Syekh Abdul Latif Syakur
adalah orang yang anti kolonial. Sikap anti kolonial ini
diperkuat dengan mendeskripsikan watak orang-orang Belanda
yang datang ke Indonesia sebagai berikut:
57 Berkata di bawah-bawah, mandi di hilir-hilir.
193
“Berkehendak membeli bahan-bahan yang kefarduan
mereka, tetapi lama menjadi penjajah pengenas darah.”
Ungkapan di atas adalah sebuah bentuk sikap licik
Belanda yang digambarkan oleh Syekh Abdul Latif Syakur
melalui teks ini. Menurutnya juga, sikap Belanda ini adalah
bentuk sebuah penghianatan yang nyata terhadap bangsa
Indonesia. Maka dari itu Syekh Abdul Latif Syakur
menyadarkan bangsa Indonesia dan mengajak untuk menentang
penghianatan tersebut dengan pernyataan berikut:
Buat mencegah dan melawan khianat itu, bersatulah kita
yang kaum kerabat sebangsa senusa supaya teguh dan
aman.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Syekh Abdul
Latif Syakur adalah seorang ulama yang sangat menyokong
persatuan bangsa Indonesia. Sokongan ini merupakan bentuk
dari nasionalisme seorang ulama dan wujud kecintaannya
terhadap tanah air. Pemilihan diksi yang digunakan Syekh
Abdul Latif Syakur disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat
Minang yang gemar mendengarkan kata-kata bijak seperti
pepatah ataupun melalui pantun. Dalam konteks ini, kata
bersatulah adalah ajakan Syekh Abdul Latif kepada seluruh
bangsa Indonesia untuk melawan pengkhianatan yang
dilakukan Belanda secara jelas terhadap tanah air.
Selain kritikan, teks di atas menunjukkan bahwa pada
saat itu Syekh Abdul Latif Syakur juga tengah menunjukkan
kegelisahannya pada bangsa sendiri. Ia menyadari bahwa
perlakuan bangsa Belanda adalah sebuah penghianatan nyata.
Namun bangsa Indonesia ketika itu ada yang telah sadar dengan
cara melakukan perlawanan, ada juga yang justru menjadi
194
pengikut bangsa Belanda. Sehingga melalui teks ini Syekh
Abdul Latif Syakur mengingatkan agar seluruh bangsa
Indonesia agar semuanya bersatu untuk melawan penghianatan
bangsa Belanda, agar Indonesia menjadi kuat dan kembali
aman.
Bentuk keresahan Syekh Abdul Latif Syakur pada
bangsa Indonesia lainnya, sebagaimana ia gambarkan dalam
tafsir surat Fa>t}ir ayat 5-6 sebagai berikut:
“Seruan Tuhan kepada orang yang masih sedang dirayu-
rayu dibuaikan kesenangan dan kesedapan dunia dan
kekayaannya yang tidak mengerti akan tipu daya musuh
setiap hari, setiap menit, lupa akan kebenaran dan harga
diri (harga kemanusiaan sejati) dimabuk harta benda,
kaum keluarga, dan taulan sahabat sampai lupa akan
Tuhan. Tuhan yang me[ng]adakan dia, yang memberikan
segala kesenangan-kesenangan itu. Hingga putus
perpegangannya kepada Tuhan, hilang keyakinannya
kepada Allah. Lupa dia mendasarkan pekerjannya kepada
Tuhan yang Esa; kitab suci (kitab Tuhan tidak
dibenarkannya), sunnah Nabi tidak diikutinya, fatwa
‘a>lim diabaikannya. Pikiran sudah tidur, pemandangan
sudah tertutup, pendengaran kepada ilmu pengajaran
sudah tersumbat, sebab dirayu oleh musuh.”58
Tafsir di atas merupakan seruan terhadap manusia yang
setiap saat hanyut dan terlena karena kesenangan, kesedapan
dunia, dan kekayaan di dunia. Banyak orang tidak sadar akan
tipu daya musuh hingga lupa akan harga diri. Merekapun lupa
dengan Allah. Risalah Rasul tak diikutinya. Fatwa orang-orang
alim diabaikannya. Keadaan mereka seperti orang yang
pikarannya tertidur, matanya tetutup, telinganya tersumbat
58 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 74.
195
akibat rayuan dunia. Pada saat itu manusia benar-benar dalam
keadaan abai dan acuh tak acuh.
Teks ini menggambarkan bahwa kondisi sebagian
individu saat teks diproduksi, dalam keadaan tak peduli dengan
keadaan sekitar. Mereka lebih memilih untuk mengikuti
kesenangan dunia daripada mengikuti perintah Allah dan
RasulNya dan mereka juga mengabaikan fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh ulama di sekitar mereka. Syekh Abdul Latif
Syakur memilih ungkapan berikut untuk merepresentasikan
keadaan yang dimaksud dalam teks
“Disenang-senangkannya perasaan, tidak dibiarkannya
menengok cermin perbandingan. Tonggak gantungan
disangkanya buaian atau ayunan panjang lagi jika
direntang.”
Ungkapan di atas adalah cerminan bagi orang-orang
yang larut dalam kesenangan dunia dan mengabaikan semua
masukan. Dalam teks ini, Syekh Abdul Latif sedang
mengingatkan masyarakat Indonesia pada masa itu yang
tengah tergiur dengan kedudukan yang diberikan oleh Belanda.
Pada masa penjajahan Belanda, ada sebagian masyarakat yang
menjadi pelayan Belanda. Biasanya mereka adalah orang-orang
keturunan bangsawan atau orang-orang pribumi yang belajar di
sekolah-sekolah pemerintah Belanda. Setelah menyelesaikan
studi di sekolah itu, mereka akan bekerja di lembaga
pemerintahan Belanda. Mereka inilah yang termasuk kepada
orang-orang yang dimaksudkan dalam teks ini.
Selain itu, bentuk kepedulian Syekh Abdul Latif Syakur
terhadap bangsanya juga tercermin dari penggalan tafsir surat
Yunu>s ayat 23 sebagai berikut:
196
“Ya> ayyuha> al-na>s innama> baghyukum ‘ala> ’anfusikum:
hai manusia yag selalu berbuat kesalahan dan kejahatan
kepada sesama kamu dengan menjalankan aniaya satu
sama lain. Kamu buat kejahatan kepada orang lain supaya
kamu selamat seputus –beruntung- terlepas dari bahaya,
maka aniaya kamu itu kembalinya kepada kamu juga,
mengapa demikian? ((man ‘amila s}alih}an fa-li-nafsihi wa man asa>’a fa-‘alayha>)) siapa yang berbuat kebaikan tentu
kebaikannya untuk dirinya. Dan siapa berbuat kejahatan
maka kejahatan itu menimpa dirinya juga. Bukan saja
kejahatan itu kepada nya seorang malah kepada yang
seumpamanya atau kepada taulan sejawatnya, sampai
kepada sekaum sebangsa dan setanahairnya. Jikalau
kejahatannya dan aniaya itu sampai kepada merintangi
kesenangan keselamatan dan jua perjuangan dengan
musuh agama dan kemerdekaan bangsa tanah airnya.
Mata>‘a al-h}aya>h al-dunya: Tahukah kamu kesalahanmu
itu? Kamu selalu bersuka-suka, bersedap-sedap,
bersenang-senang dengan hidup dan penghidupan dunia
kamu yang fana itu oleh karena kesenangan kamu dengan
keduniaanmu itu kamu putuskan perhubungan kerabat
dan
/22/
silaturahim. Lupa kamu akan kewajiban kamu kepada
sebangsa dan senusa malah lagi seagama. Balasan kerja
kamu dan kesalahan kamu itu mengenai kepada
masyarakat dan sepupu kamu adanya.
Thumma ilay-na> marji’ukum: sesudah kesenangan dan
(k-p-l-s-y-r-n) kamu di dalam hidup dunia yang lenyap
ini. Bahayanya mengenai kepada dirimu dan masyarakat
penduduk tanahairmu maka nanti kemudian hari, di sana
nanti kamu menerima balasan dan menemui bagaimana
kamu menderitakan hukuman Tuhan dihadapan khala>iq
dan orang yang kamu aniaya semasa mereka merasa
tertindas dan terhina ketika kamu sombong takabur
197
kepada mereka. Nasib ketika itu terserah kepada
Allah.”59
Di sini dijelaskan beberapa karakteristik orang-orang
yang berusaha meraih kesenangan dunia. Pertama, ada yang
meraih kesenangan dengan menyakiti orang lain. Kedua,
meraih kesenangan dengan memutuskan silaturahmi. Ketiga,
ada yang demi kesenangan melupakan kewajiban terhadap
bangsa dan tanah air, bahkan melupakan kewajiban agama.
Syek Abdul Latif Syakur dengan tegas menjelaskan bahwa
semua upaya meraih kesenangan dengan cara yang tidak benar
akan memperoleh balasan di dunia dan di akhirat. Balasan
tersebut tidak hanya berakibat pada diri sendiri tapi juga
berdampak pada orang-orang yang ada di sekitarnya bahkan
bisa juga pada suatu bangsa.
Pada teks ini Syekh Abdul Latif Syakur mengingatkan
saudara-saudaranya sebangsa setanahair agar berhati-hati
dalam mencari kesenangan. Alasannya sangat jelas, pada saat
Belanda kembali ke Indonesia ada sebagian masyarakat
Indonesia yang berusaha untuk menarik simpati kolonial
kembali karena pada masa sebelum kemerdekaan hidupnya
terjamin dengan menjadi antek-antek Belanda. Demi
mengulang kejayaan, mereka sanggup untuk memutuskan
hubungan persaudaraan. Ada yang sanggup mengesampingkan
kewajiban sebagai rakyat Indonesia, yaitu mempertahankan
kemerdekaan. Bahkan mengabaikan perintah agama, demi
kesenangan. Segala perbuatan yang dilakukan itu pada
59 Syekh Abdul Latif Syakur, Tafsi>r Aya>t Ya> Ayyuha> al-
Na>s, h. 62.
198
akhirnya akan berdampak pada diri sendir bahkan pada sanak
famili terdekat.
Melalui naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s ini dapat
dipahami bahwa sebuah karya tafsir dapat dijadikan medium
penyampaian sikap anti kolonialisme. Artinya bahwa teks
keagamaan tidak selalu bersifat kaku, namun ia bisa bersifat
fleksibel. Terbukti melalui tafsir yang ditulis oleh Syekh Abdul
Latif Syakur, dengan memilih beberapa ayat al-Qur’an yang
dimulai dengan kata ya> ayyuha> al-na>s mampu menjembatani
hubungan antara agama dan negara. Lebih jelas lagi bahwa
dalam naskah ini menggambarkan nilai-nilai pancasila
bersesuaian dengan nilai-nilai Islam yang terdapat di dalam al-
Qur’an. Tafsir ini sangat jelas menunjukkan bahwa seorang
Syekh Abdul Latif Syakur adalah ulama yang nasionalis dan
religius.
199
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Naskah Tafsi>r A>ya>t Ya> Ayyuha> al-Na>s (NTYN) adalah
sebuah teks yang dikarang dan ditulis oleh Syekh Abdul Latif
Syakur pada tahun 1949 sebagaimana dituliskan pada halaman
kolofon. Naskah ini tergolong kepada codex unicus. NTYN
dengan kode dan penomoran MS/SALS 16 merupakan naskah
koleksi Khuzaimah (ahli waris), terdaftar pada urutan ke-16
pada koleksi itu. Kini, naskah ini dengan kode berbeda telah
terdaftar pada katalog online Lektur Kemenag yaitu;
Lkk_PYK2015_Mengatas 02. Naskah ini merupakan sebuah
karya tafsir yang ditulis menggunakan aksara Jawi, berbahasa
Melayu Minangkabau. Tafsir ini berbeda dengan tafsir
umumnya. Perbedaan itu ditunjukkan melalui model penulisan
yang dikhususkan pada ayat-ayat yang diawali dengan redaksi
ya> ayyuha> al-na>s.
Temuan lain dari penelitian ini berdasarkan bacaan pada
teks NTYN, bahwa teks naskah tafsi>r a>ya>t ya> ayyuha> al-na>s
termasuk pada kelompok tafsir mawd}u’i. NTYN mengisi
kekosongan ruang penulisan tafsir di Nusantara pada rentang
tahun 1940-1948. Ia juga merupakan teks yang diterima oleh
masyarakat setempat meskipun tidak dicetak. Karena teks ini
diyakini merupakan isi dari dakwah lisan yang disampaikan
Syekh Abdul Latif Syakur saat ia berdakwah di Bukittinggi
dan sekitarnya.
Berdasarkan analisis terhadap teks naskah tafsi>r aya>t ya> ayyuha> al-na>s ini, sebagaiamana telah diuraikan pada bab-bab
sebelumnya, menjawab dari rumusan masalah bagaiman
suntingan NTYN dan bagamaina ideologi dan pemikiran Syekh
Abdul Latif Syakur, maka kesimpulan penelitian ini adalah:
200
Pertama, berdasarkan suntingan terhadap teks naskah
tafsi>r aya>t ya> ayyuha> al-na>s, Syekh Abdul Latif Syakur
menafsirakan sebanyak tujuh belas ayat al-Qur’a>n yang
menggunakan redaksi ya> ayyuha> al-na>s dari berbagai surat.
Jumlah ayat dengan redaksi ya> ayyuha> al-na>s yang telah
ditafsirkan ini, selisih empat ayat dari total dua puluh satu ayat
dengan redaksi yang sama sebagaimana terdapat dalam al-mu‘jam al-mufahras li-al-fa>z}i al-qur’a>n al-kari>m. Selain itu,
ada ayat yang sama ditafsirkan ulang, namun dengan isi yang
berbeda. Temuan lainnya dari penyuntingan terhadap teks
NTYN ini, Syekh Abdul Latif juga menafsirkan ayat-ayat yang
berawalan ya> bani> a>dam yang terdapat pada surah al-A‘ra>f. Kata-kata tersebut diartikan dengan anak cucu Adam. Jika
dianalogikan, kata ya> abani> a>dam sendiri merujuk pada seluruh
manusia.
Kedua, berdasarkan analisis terhadap teks naskah tafsi>r a>ya>t ya< ayyuha> al-na>s dengan pendekatan analisis wacana
kritis, penelitian ini membuktikan bahwa Syekh Abdul Latif
Syakur menolak dan mengkritik aktifitas kolonial yang
dilakukan Belanda baik pada masa prakemerdekaan maupun
pascakemerdekaan dengan pendekatan lokalitas. Hal ini
tercermin melalui karya tafsirnya yang membahas tentang
persatuan, kesetaraan, persamaan, dan rasa cinta tanah air.
Pembahasan tersebut juga disandarkan pada doktrin Islam
yaitu Tauhid. Temuan ini juga menunjukkan bahwa Syekh
Abdul Latif Syakur dalam mengarang teks NTYN ini
terpengaruh oleh suasana lingkungannya pada masa itu. Teks
NTYN ini menunjukkan bahwa Syekh Abdul Latif Syakur
adalah ulama yang memiliki rasa nasionalis tanpa
mengabaikan sisi religiusnya.
Secara umum semangat nasionalisme yang dituangkan
Syekh Abdul Latif Syakur melalui teks tersebut sesuai dengan
perkembangan zamannya. Dimana pada masa itu muncul
semangat untuk memerdekakan diri, menggalang persatuan,
dan cinta tanah air. Semangat itu direfleksikan lewat cara
201
menafsirkan ayat-ayat dengan redaksi ya> ayyuha> al-na>s yang
kental dengan lokalitasnya. Pemilihan diksi dalam merangkai
kata demi kata, disesuaikan dengan kultur masyarakat
Minangkabau. Hal ini dapat dijumpai dalam teks ini, dimana
Syekh Abdul Latif Syakur menyematkan beberapa kutipan
kata hikmah yang digunakan oleh orang-orang Minang. Tidak
hanya itu, Syekh Abdul Latif Syakur juga mengutip kata-kata
hikmah yang berasal dari bahasa Arab. Ini menunjukkan
kemapanan ilmu Syekh Abdul Latif Syakur sebagai ulama
lokal yang menempuh pendidikan di tanah suci Mekkah.
Meskipun Syekh Abdul Latif Syakur bukanlah seorang
ulama yang terkenal, ia adalah seorang ulama yang aktif
menulis. Melalui karangan-karangannya, ia menyebarkan
pemikirannya sebagai wujud cinta terhadap tanah airnya dan
kritik terhadap kolonialisme. Lewat karyanya itu pulalah ia
dapat disejajarkan dengan ulama-ulama pembaharu yang
semasa dengannya. Hal ini dibuktikan dari teks naskah tafsi>r a>ya>t ya> ayyuha> al-na>s yang mencerminkan bahwa Syekh Abdul
Latif adalah ulama yang tidak terjebak pada taklid dan
menerima ijtihad. Oleh karena itu, Syekh Abdul Latif Syakur
dapat dikategorikan kepada ulama pembaharu walaupun secara
personal ia tidak menyatakan dan menunjukkan ia temasuk
pada golongan pembaharu.
B. Saran
Penelitian pada tesis ini adalah penelitian yang
menjadikan teks yang terdapat dalam naskah kuno yang
berisikan tafsir terhadap ayat al-Qur’a> yang menggunakan
redaksi ya> ayyuha> al-na>s yang dikarang dan ditulis oleh Syekah
Abdul Latif Syakur. Secara teoritis pengkajian terhadap teks
naskah tafsir ini baru sebatas pada gagasan atau ide pokok dan
konteks apa yang dibicarakan. Kiranya masih banyak aspek
lain yang dapat dikaji dalam teks ini. Misalnya dalam ranah
kajian ilmu tafsir. Karena kajian dari sudut pandang ilmu tafsir
202
terhadap naskah ini belumlah ada. Secara praktis, khususnya
bagi filolog dan pemerhati naskah kuno yang menjadikan
manuskrip sebagai sumber penelitian, perlu untuk mengekspos
lebih jauh karya-karya Syekh Abdul Latif Syakur yang masih
berupa manuskrip. Karena masih banyak karya beliau yang
belum teridentifikasi.
203
DAFTAR PUSTAKA
Manuskrip
Sjakurah, Sa’diah. Riwajat Saja Sa’dijah Sjakurah Sejak Dilahirkan. (tp), tt.
------. Taman Pendidikan Al-Qur’a>n (TPA) Tamat Selam Satu Tahun (tp), tt.
Syakur, Syekh Abdul Latif. Tafsir ya> ayyuha> Al-Na>s (tp),
1949.
------. Al-Juz’u Al-Tha>min ‘Ashr min Su>rah Al-Mu’minu>n (tp),
tt.
Buku
Abdillah, Masykuri. Islam dan Dinamika Sosial Politik di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Ahmad, Chairullah. Naskah Ijazah dan Silsilah Tarekat Kajian Terhadap Transmisi Tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah di Minangkabau. Ciputat: Sakata Cendikia, 2014.
Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. Ciputat: Mazhab
Ciputat, 2013.
Aderson, Benedict. Imagined Communities Reflections on The Origin and Spread of Nationalism Revised Edition.
London-New York: Verso, 2006.
Baidan, Nashruddin. Perkembangan Tafsir al-Quran di Indonesia. Solo: PT. Tiga Serangkai, 2002.
Baried, Siti Baroroh et.all, PengantarTeori Filologi. Yogyakarta: BPPF UGM, 1994.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi (Edisi Revisi). Yogyakarta: MedPres, 2008
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media.
Yogyakarta: LkiS, 2008.
204
Fathurahman, Oman. Filologi Indonesia Teori dan Metode.
Jakarta: Kencana, 2015.
Fatwa, A.M.. Demokrasi Teoritis Upaya Merangkai Integrasi Politik dan Agama di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2001
Fairclough, Norman. Analysing Discourse, Textual Analysis For Social Research. London & New York: Routledge,
1997.
------. Language and Power. New York: Longman, 1989.
------, Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. New York: Longman, 1995.
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutik Qur’ani Antara Teks, Konteks, Dan Kontekstualisasi. Yogyakarta: Qalam, 2007.
Fathurrahman, Oman. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta:
Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010.
Firdaus, dkk. Beberapa Ulama di Sumatera Barat. Padang:
Puslit Press, 2011.
Graves, Elizabeth E. terj Novi Andri, dkk.. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern Respons terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2007.
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia Dari Hermeneutik Hingga Ideologi. Yogyakarta: LkiS, 2013.
Hamka. Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera Barat. Jakarta: UMMINDA, 1982.
Haidar, Bari>d ‘Awadh. ‘Ilm al-Dala>lah Dira>sah Naz}ariyyah wa Tat}bi>qiyyah. Cairo: Maktabah al-A>da>b, 2005.
Halliday, M.A.K.. An Introduction to Functional Grammar. Harmondsworth: Penguin Books Ltd., 1985.
Halliday, M.A.K. & Ruqaiya Hasan. Cohesion in English (Harmondsworth: Longman, 19876.
Hidayat, Ahmad Taufik dkk.. Laporan Penelitian Tafsir Sosial Ayat-ayat Al-Quran Naskah Syekh Abdul Latif Syakur.
205
Padang: Pusat Penelitian dan Penerbitan LPPM IAIN
Imam Bonjol Padang, 2014.
Hude, Darwis. Emosi Manusia dalam Al-Qur’an: Telaah Melalui Pendekatan Psikologi (disertasi). Jakarta: tp,
2004.
Hurgronje, Snouck. The Achehnese Vol. II . Leyden: tp, 1906.
Ibrahim, Sulaiman. Tafsir Al-Quran Bahasa Bugis: Vernakulasi Dalam Kajian Tafsir Al-Muni>r. Jakarta:
LeKAS, 2012.
Jamal, Murni. DR. H. Abdul Karim Amrullah Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaruan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20. Leiden-Jakarta: INIS, 2002.
Kahin, Audrey. Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Karim, M. Abdul. Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Membongkar Marjinalisassi Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan RI). Yogyakarta: Sumbangsih
Press, 2005.
Kholison, Mohammad. Semantik Bahasa Arab Tinjauan Historis, Teoritik & Aplikatif. Sidoarjo: Lisan Arabi,
2016.
Kohn, Hans. The Idea of Nationalism A Study in Its Origin and Background. New York: The Macmillan Company,
1946.
Latif, Yudi. Negara Paripurna Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2015.
------. Mata Air Keteladanan Pancasila Dalam Perbuatan.
Jakarta: Mizan, 2016.
Leeuwen, Theo van. Discourse and Practice New Tools for Critical Discourse Analysis. New York: Oxford, 2008.
Lubis, Nabilah. Naskah, Teks dan Metode Penelitian Filologi.
Jakarta: Forum Kajian Bahasa & Sastra Arab Fakultas
Adab IAIN Syarif Hidayatullah,1996.
206
Madjid, Nurcholish.Indonesia Kita. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004.
Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu‘jam al-Waji>z. Mis{r:
Wiza>rat al-Tarbiyah Kwa al-Ta‘li>m.1994.
Moleong, Lexy. J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Raja Persada, cet. 13. 2000.
Muhardi. Dari Kaba Ke Novel dalam Menjelang Teori Dan Kritik Susastra Indonesia Yang Relevan. Bandung:
Angkasa, 1988.
Muslim, Must}ada.> Maba>h}ith fi> Tafsi>r al-Mawd}u>‘i>. Damaskus:
Da>r al-Qalam, 2000
Mulyana. Kajian Wacana, Teori, Metode dan Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta:Tiara Wacana, 2005.
Nazwar, Akharia Ahmad Khatib, Ilmuwan Islam Di Permulaan Abad Ini. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942.
Jakarta: LP3ES, 1982.
Oostindie, Gert dkk.. Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah. Penerjemah Susi Moeimam, dkk. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia – KITLV, 2016.
Putra, Apria dan Chairullah Ahmad. Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Kaum Muda. Padang: Komunitas Suluah
Indonesia Heritage Center, 2011.
Rani, Abdul dkk.. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayumedia Publishing,
2006.
Ricklefs, M. C. terj Satrio Wahono, dkk.. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi, 2005.
Riddell, Petter. Islam and the Malay-Indonesian World Transmission and Response. Singapore: Horizon Books
Pte Ltd., 2001.
207
Riza, Yulfira. Warisan Ulama Sufi Minangkabau Sebuah Kajian Filologis terhadap Naskah Kitab Sifat Dua Puluh.
Padang: Imam Bonjol Press, 2015.
Rosyada. Dede, dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003.
Saeed, Abdullah. Reading The Qur’an in The Twenty-firdt Century A Contextualist Approach. New York:
Routledge, 2014.
Said, Edward. W., The World The Text and The Critic. USA:
Harvard University Press Cambridge, Massachusetts,
1983.
Samad, Irhas A. dkk., Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau,. Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishba>h} Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Vol. 1. Ciputat: Lentera Hati,
2000.
Siradj, Said Aqiel. Islam Kebangsaan Fiqih Demokratik Kaum Santri. Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999.
Thomson, Jhon B., Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Triana, Hetti Waluati, Suci Humaira, Reflinaldi. Perilaku Verbal Mahasiswa IAIN IB Di Dunia Maya: Analisis Wacana Kritis. Padang: LP2M IAIN Imam Bonjol
Padang, 2013.
‘Umar, Ah}mad Mukhta>r.‘Ilm al-Dila>lah. Beirut: Maktabah Da>r
al-‘Aru>bah, 1982.
UUD45-Awal (PDF), diakses pada 3 Januari 2020.
Yudiafi, Siti Zahra dan Mu’jizah. Filologi. Jakarta: Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka, 2001.
Yusuf, M. Yunan. Alam Pikiran Islam Pemikiran Islam Dari Khawarij ke Buya Hamka Hingga Hasan Hanafi. Jakarta: Kencana, 2014.
Ibn al-H}usayn Ah}Mad bin Fa>ris bin Zakariyya, Mu‘jam Maqa>yi>s al-Lughah, Da>r al-Fikr.
208
Zayd, Nasr Hamid Abu. Imam Syafi’i Moderatisme Elektisisme Arabisme. Yogyakarta: Lkis, 1997.
Zuhdi, M. Nurdin. Pasar Raya Tafsir Indonesia dari Kontestasi Metodologi hingga Kontekstualisasi. Yogyakarta:
Kaukaba Dipantara, 2014
Zuriati. Dunia Pernaskahan Nusantara. Yogyakarta:
INSISTPress, 2014.
Artikel dan Jurnal
Aisyah, Sitti. “Dinamika Umat Islam Indonesia pada Masa
Kolonial Belanda (Tinjauan Historis)”, Jurnal Rihlah
Vol. II, No. 1 (1 Mei 2015).
Azman, “Nasionalisme dalam Islam”, al-Daulah, Vol. 6, No. 2,
(Desember 2017), h. 266-275.
Bahri, Samsul. “Peran Al-Siya>q (Konteks) Dalam Menentukan
Makna”, dalam Ittihad Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Vol. 14, No. 12, (Oktober 2016), h. 86-98.
Erman. “Perlawanan Ulama Minangkabau Terhadap Kebijakan
Kolonial Di Bidang Pendidikan Awal Abad XX”,
Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 3, No. 1,
(Januari - Juni 2015), h. 1-21.
Gusmian, Islah. “Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan
Dinamika,” Nun Jurnal Studi Alqur’an dan Tafsir di Nusantara Vol. 1, No. 1 (2015), h. 1-32.
Genette, Gerard and Marie Maclean, “Introduction to The
Paratext,” The Johns Hopkins University Press, (1991),
h. 261-272.
In’amuzzahidin, Muh.. “Konsep Kebebasan dalam Islam”,
dalam Jurnal at-Taqaddum, Volume 7, Nomor 2,
(November 2015), h. 259-276.
Khan, Yusuf Husain. “The Political Significance Of The
Doctrine Of Tauhid In Islam”, dalam The Indian Journal of Political Science, Vol. 3, No. 4, April-June 1942, h.
209
361, artikel diakses pada 3 Juli 2018 dari
http://www.jstor.org/stable/42754270.
Karimi, Morteza Nia. “Contemporary Qur’anic Studies in Iran
and its Relationship with Qur’anic Studies in the West”,
Journal of Qur’anic Studies 14.1 (2012).
Kusumawardanie. Anggraeni & Faturochman,
“Nasionalisme”, Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2,
(Desember 2004), h.61-72.
Mubarok, Husni. “Babak Baru Ketegangan Islam dan Kristen
di Indonesia”, dalam Studia Islmika Indonesian Journal
For Islamic Studies, Vol. 21, No. 3, (2014), h. 580-601.
Murod, Abdul Choliq. “Nasionalisme Dalam Pespektif Islam,
” Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No. 2
(Agustus 2011), h. 45-58.
Nasril. “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad XX Kasus
Sumatera Barat”, h. 76-107. Diakses pada 20 Agusutus
2018.
Nawir, Mohammad, “Rekonstruksi Pemahaman Hadis Analisis
Hadis di dalam Fatwa MUI tentang Kesehatan”, dalam
Journal of Qur’a>n and H}adi>th Studies, Vol. 5, No. 2
(December 2016), h. 218.
Nurdin, Ali. “Wawasan Al-Qur’an tentang Kebhinekaan dan
Persatuan”, dalam al-Burhan, Vol. 16, No. 2, (2016), h.
229-251.
Piliang, Yasraf Amir. “Semiotika Teks: Sebuah Pendekatan
Analisis Teks”, dalam Mediator, Vol. 5 No. 2 (2004), h.
189-198.
Pink, Johanna. “Traditional and Ideology in Contemporary
Sunnite Qur’a>nic Exegesis: Qur’a>nic Commentaries
From The Arab World, Turkey and Indonesia and their
Interpretation of Q 5:51”, Die Welts des Islam, New Series Vol. 50, Issue I, (2010), h 3-59.
Pramono dan Zahir Ahmad. “Beberapa Catatan Terhadap
Kitab-Kitab Karya Ulama Minangkabau Pada
210
Permulaan Abad XX”, WACANA ETNIK Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Vol. 4, No. 2, (2013), 111-122.
Putra, Apria. “Ulama Minangkabau Dan Sastra: Mengkaji
Kepengarangan Syekh Abdul Latif Syakur”, Diwan Jurnal Bahasa dan Sastra Arab, Vol. 9, Edisi 17, (Juni
2017), h. 601-623.
Restinaningsih, Lilis. “Konservasi dan Restorsi Terhadap
Naskah Naskah Sebagai Warisan Budaya”,
Academia.edu diakses pada 25 April 2017 10.02 WIB.
Riza, Yulfira dkk., “Berdamai dengan Perempuan: Komparasi
Teks antara Naskah Al-Mua>shirah dan Kitab Cermin
Terus”, Manuscripta, Vol. 9. No. 1, (2019), h. 113-136.
Rini Rahman, “Modernisasi Pendidikan Islam Awal Abad 20
(Studi Kasus di Sumatera Barat)”, dalam Humanus, Vol.
XIV, No.2, (2015), h. 174-182.
Rohmana, Jajang A.. “Ideologi Tafsir Lokal Berbahasa Sunda:
Kepentingan Islam-Modernis dalam Tafsir Nurul-Bajan
dan Ayat Suci Lenyepaneun”, Journal of Qur’a>n and H}adi>th Studies Vol.2, No. 1, (2013), h. 125-154.
------. “Polemik Keagamaan dalam Tafsir Malja’ At}-T}a>libi>n
Karya K.H. Ahmad Sanusi”, S}uh}uf Jurnal Pengkajian Al-Qur’an dan Budaya Vol. 10, No. 1(Juni 2017), h. 25-
57.
Rokib, Mohammad dan Moh. Mudzakkir. “ Negosiasi Islam
dan Budaya Lokal Pada Terjemahan Novel “Kisah
Seribu Satu Malam”: Sebuah Kajian Parateks,” Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam Vol. 14, No.1 (Januari-Juni
2016), h. 79-70.
P. Ari Subagyo, “Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik dengan
Analisis Wacana Kritis”, dalam Masyarakat Linguistik Indonesia, Tahun ke-28, No. 2, (Agustus 2010), h. 177-
187.
Sukyadi, Didi. “Dampak Pemikiran Saussure Bagi
Perkembangan Ilmu Linguisti dan Disiplin Ilmu
211
Lainnya”, dalam Parole, Vol. 3 No. 2 (Oktober 2013), h.
1-19.
Wahidi, Ridhoul dkk.. “Syaikh Abdul Latief Syakur’s View on
Moral Values in Tafsi>r Surah Al-Mukminu>n”, Esensia Jurnal ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. 19, No. 1, (April
2018), h. 61-82.
Yusuf, M. Yunan. “Karakteristik Tafsir al-Qur’an di Indonesia
Abad Keduapuluh”, Ulumul Qur’an Vol. III, No. 4,
(1992), 50-60.
Website dan Aplikasi
https://dosenbahasa.com/jenis-jenis-imbuhan, diakses pada 12
Desember 2019.
https://mediaindonesia.com/read/detail/253974-negara-bangsa
diakses pada 12 Desember 2019.
https://monitor.co.id/2018/09/21/revolusi-perancis-dan-
jatuhnya-kekuasaan-sang-raja/ diakses pada 12
Desember 2019.
KBBI V apps.
Wawacara
Khuzaimah, Balaigurah, 2017.
Zulashfi, Ciputat, 9 Januari 2019.
212
GLOSARIUM
Manuskrip/ naskah : Dokumen tertulis yang berisi
ungkapan perasaan dan pikiran
seseorang di masa lampau.
Autentik : Dapat dipercaya, asli; tulen, sah.
Merekonstruksi : Mengembalikan seperti semula;
melakukan penyusunan
kembali.
Konteks : Bagian suatu uraian atau
kalimat yang dapat mendukung
atau menambah kejelasan
makna; situasi yang ada
hubungannya dengan suatu
kejadian.
Produktif : Mampu menghasilkan (dalam
jumlah besar).
Rekonstruksi : Pengembalian seperti semula.
Sistematika : Pengetahuan mengenai
klasifikasi.
Codex unicus : Naskah tunggal.
Kolofon : Catatan dari autor atau penyalin
naskah biasanya terletak di
akhir naskah namun bukan
menjadi bagian dari teks,
213
umumnya berisi identitas,
waktu, dan tempat penyalinan.
Darurat : Keadaan sulit yang memerlukan
penanggulangan segera.
Teks : Naskah yang berupa kata-kata
asli dari pengarang.
Redaksi : Cara dan gaya menyusun kata
dalam kalimat.
Motif : Alasan seseorang melakukan
sesuatu.
Agresi : Penyerngan suatu negara
terhadap negara lain.
Term : Istilah.
Ideologi : Cara berpikir seseorang atau
golongan.
Ulama : Orang yang ahli dalam agama
Islam.
Internal : Menyangkut bagian dalam.
Eksternal : Menyangkut bagian luar.
Khushu>‘ : Penuh penyerahan dan
kebulatan hati; sungguh-
sungguh; penuh kerendahan
hati.
Khudu>‘ : Rendah hati.
214
Khazanah : Kumpulan barang;
perbendaharaan.
Modern : Sikap atau cara berpikir serta
cara bertindak sesuai dengan
tuntutan zaman.
Spesifik : Khusus.
Tafsir : Keterangan; penjelasan.
Interpretasi : Pemberian pendapat terhadap
sesuatu.
Wacana : Satuan bahasa terlengkap yang
direalisasikan dalam bentuk
karangan atau laporan utuh.
Katalog : Daftar yang memuat informasi
tertentu yang ingin
disampaikan, disusun secara
berurutan, teratur, dan alfabetis.
Paratext : Verbal matelrial atau material-
material lain yang mendampingi
teks dan penyajiannya.
Peritext : Sesuatu yang terdapat di dalam
teks berupa ilustrasi, iluminasi,
catatan pinggir yang kadang
tidak berhubungan dengan teks.
Epitext : Sesuatu yang berada di luar
naskah seperti hasil wawancara,
215
kritik dokumen, literatur yang
berhubungan dengan teks.
Triangulasi : Gabungan dari beberapa teknik
pengumpulan data yaitu
observasi, wawancara, dan
dokumentasi.
Filologi : Ilmu tentang bahasa,
kebudayaan, pranata, dan
sejarah suatu bangsa
sebagaiman terdapat di bahan-
bahan tertulis.
Aksara : Huruf.
Realitas : Kenyataan.
Cendekiawan : Orang yang memiliki sikap
hidup yang terus-menerus
meningkatkan kemampuan
berpikirnya untuk dapat
mengetahui atau memahami
sesuatu.
Mentransmisikan : Mengirimkan atau meneruskan
pesan dari seseorang (benda)
kepada orang lain (benda lain).
Refleksi : Gerakan, pantulan di lua r
kemauan (kesadaran) sebagai
jawaban atas suatu hal atau
kegiatan yang datang dari luar.
216
Epistemologis : Dasar-dasar dan batas-batas
pengetahuan.
Sosiokultural : Berkenaan dengan segi sosial
dan budaya masyarakat.
Respons : Tanggapan; reaksi; jawaban.
217
INDEKS
A
Abad, 7, 36, 45, 46, 48, 49,
51, 52, 55, 68, 69
Abdul Latif Syakur, 3, 4,
5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13,
14, 15, 17, 19, 21, 23,
39, 44, 52, 53, 54, 55,
56, 57, 58, 59, 60, 61,
62, 73, 76, 77, 79, 81,
82, 85, 86, 92, 150, 151,
152, 153, 154, 155, 156,
157, 158, 159, 160, 161,
162, 163, 165, 166, 167,
168, 170, 172, 173, 174,
175, 176, 177, 178, 179,
180, 181, 182, 183, 185,
187, 188, 189, 190, 191,
192, 193, 194, 195, 196,
197, 199, 200, 201
Abu Zayd, 26, 27, 28, 29,
39
Abul A’la Mawdudi, 179
Adam, 5, 42, 80, 81, 98,
99, 101, 102, 110, 113,
139, 143, 147, 161, 163,
165, 166, 170, 172, 176,
200
Agama, 49, 69, 72, 102,
166, 168, 177
Agresi, 157, 182
Ahmad, 6, 7, 12, 35, 36,
38, 48, 49, 50, 52, 53,
54, 55, 56, 57, 60, 68,
69, 70, 71
Ahmad Khatib al-
Minangkabawi, 6, 48,
49, 50, 53, 54
Akal, 81, 107, 154, 175,
176
Aksara, 87
Aktifitas, 190
Allah, 5, 39, 70, 79, 80, 81,
82, 83, 84, 85, 86, 90,
91, 92, 93, 94, 95, 96,
98, 99, 100, 101, 103,
104, 105, 106, 107, 108,
109, 110, 111, 112, 114,
115, 116, 117, 118, 120,
122, 123, 124, 126, 127,
128, 129, 131, 132, 133,
134, 135, 136, 137, 140,
141, 142, 143, 144, 145,
218
146, 147, 148, 149, 152,
153, 154, 155, 156, 157,
158, 159, 160, 161, 163,
164, 165, 168, 169, 170,
171, 172, 173, 174, 175,
176, 177, 179, 182, 184,
185, 188, 189, 194, 195,
197
Al-Qur’an, 26, 28, 34, 38,
39, 57, 58, 62, 71, 82,
153, 154, 162, 169
Analisis, 19, 21, 22, 25,
29, 30, 31, 32, 33, 34,
35, 173
Apria Putra, 13, 19, 53, 54,
59, 60, 69, 70
Arab Melayu, 11, 61, 79
ayat, 3, 4, 5, 11, 12, 19,
62, 63, 64, 65, 67, 69,
71, 72, 73, 76, 78, 79,
80, 81, 82, 83, 84, 85,
86, 88, 91, 92, 93, 94,
95, 96, 98, 101, 103,
104, 106, 109, 111, 112,
113, 115, 116, 118, 121,
124, 126, 127, 129, 132,
133, 135, 136, 137, 140,
143, 144, 146, 150, 151,
152, 153, 154, 155, 156,
157, 158, 159, 160, 161,
162, 163, 165, 169, 170,
172, 175, 176, 180, 184,
185, 186, 187, 190, 191,
192, 194, 196, 199, 200,
201
B
Bahasa, 9, 13, 14, 15, 19,
21, 24, 29, 30, 38, 53,
68, 88
Balai Gurah, 3, 13, 19, 52,
54, 58, 76
Bangsa, 39, 102, 166, 176
Barat, 44, 45, 46, 47, 48,
63, 99, 100, 147, 160,
164, 166, 170, 171, 191,
192
Belanda, 4, 6, 7, 44, 45,
46, 48, 51, 65, 68, 71,
73, 157, 182, 185, 188,
189, 190, 192, 193, 194,
196, 197, 200
Benedict Anderson, 40
Bodgan, 16
Budaya, 1, 17, 71
C
Cagar, 1
Cinta tanah air, 103, 167
219
D
Daud Ismail, 9, 15, 38
Discourse, 22, 25, 30, 32,
34, 35, 182, 190
E
Edisi diplomatis, 20
Edisi standar, 21
Edisi teks, 12, 19, 87
Epitext, 17
Eriyanto, 29, 30, 31, 32,
33, 34
Esposito, 8, 33
F
Fairclough, 22, 25, 30, 32,
34, 35, 182
Filologi, 1, 4, 19, 20, 21,
24, 26, 77, 150
Firdaus, 6, 14, 54
H
Haji Abdul Karim
Amrullah, 6, 52, 53, 55
HAKA, 6, 53, 55, 69, 71
Halliday, 25, 30, 31
HAM, 6, 176, 177, 178,
179, 180, 186
Hans Kohn, 41, 43
Hawa, 5, 42, 80, 98, 101,
102, 110, 113, 139, 147,
161, 163, 165, 166, 170,
172, 176, 177
Hermeneutika, 8, 14, 26
Hindia-Timur, 49
I
Ideologi, 8, 9, 14, 24, 32,
33, 35, 37, 39, 65
Indonesia, 1, 2, 4, 5, 6, 8,
11, 14, 15, 16, 20, 31,
36, 37, 38, 42, 44, 45,
46, 48, 49, 51, 63, 64,
65, 66, 67, 68, 69, 71,
72, 73, 77, 86, 88, 98,
100, 146, 150, 157, 160,
162, 163, 164, 166, 168,
174, 178, 180, 182, 185,
189, 190, 191, 192, 193,
194, 195, 197
Intelektual, 69
Inyiak Rasul, 6
Isi, 79
Islah Gusmian, 8, 14, 37,
65, 71
220
Islam, 1, 2, 4, 7, 8, 9, 14,
17, 27, 37, 38, 41, 42,
43, 44, 45, 46, 47, 48,
49, 50, 51, 52, 55, 56,
61, 62, 63, 64, 65, 66,
67, 72, 77, 83, 102, 107,
109, 124, 125, 126, 146,
151, 155, 156, 160, 167,
169, 173, 174, 176, 177,
178, 179, 180, 186, 188,
189, 200
J
Jajang A Rohmana, 8, 14,
37
Jamaluddin, 51
K
Kandungan, 27
Karl Marx, 33
Karya, 7, 35, 36, 52, 69,
70, 71
Kaum Muda, 50, 51, 56,
69
Kaum Tua, 50, 51, 56, 69
Kebangsaan, 39, 41, 42
Kebebasan, 173, 174, 176,
178, 186
Kepentingan, 8, 9, 14, 37,
47
Khazanah, 8, 14, 36, 37,
65, 66, 68, 69
Khuzaimah, 10, 19, 76,
199
Kolofon, 4, 77
Kolonial, 44, 46, 48
Kolonialisme, 190
Konteks, 8, 12, 22, 24, 29,
30, 36
Kristeva, 25
Kritik, 32, 190
Kritis, 31
L
Linguistik, 25, 31
Literatur, 67, 68, 72, 73
M
Makkah, 5, 49, 50, 51, 53,
54, 55, 67, 98, 104, 162,
163, 168
Makna, 29, 30, 145, 156,
160
Manuskrip, 1, 19, 65, 87
Masa, 44
Mawd}u>‘i, 73
Militer, 157, 182
221
Minang, 47, 49, 50, 52, 53,
54, 55, 98, 104, 119,
139, 192, 193, 201
Minangkabau, 2, 6, 7, 13,
20, 36, 45, 46, 47, 48,
49, 50, 51, 52, 53, 54,
55, 59, 60, 69, 70, 73,
79, 178, 189, 192, 199,
201
Modernis, 8, 9, 14, 37
MS/SALS 16, 76, 77, 78,
79, 199
Muhammad Abduh, 51,
154, 155
N
Nasionalisme, 39, 41, 42,
43
Naskah, 1, 2, 3, 7, 9, 10,
11, 12, 15, 17, 19, 21,
22, 23, 24, 44, 52, 57,
65, 76, 77, 79, 87, 151,
178, 190, 199
Norman Fairclough, 13,
22, 25, 30, 34, 182, 190
NTYN, 3, 6, 7, 9, 10, 11,
12, 17, 19, 21, 23, 39,
44, 75, 76, 79, 87, 88,
98, 150, 160, 189, 190,
199, 200
Nusantara, 4, 6, 10, 11, 23,
24, 37, 44, 51, 62, 63,
64, 66, 67, 68, 71, 74,
77, 199
P
Paratext, 17
Penafsiran, 8, 26, 36, 63,
69, 71
Penelitian, 3, 9, 10, 11, 12,
13, 15, 16, 17, 18, 19,
24, 35, 46, 52, 201
Pengkajian, 2, 71
Perang Paderi, 48
Peritext, 17
Persatuan, 80, 160, 161,
165, 169, 172
Pramono, 7, 35, 36
Produk, 25
Q
Quraish Shihab, 153, 154,
158, 162, 163
R
Rasul, 53, 81, 84, 85, 103,
104, 105, 133, 134, 138,
140, 186, 195
222
Redaksi, 73, 168
Ridhoul Wahidi, 13, 54
S
Sastra, 13, 19, 20, 24, 35,
53, 54, 59, 60
Sejarah, 43, 46, 49, 71,
185
Siya>q, 30
Sosial, 7, 12, 16, 17, 36,
52, 53, 56, 57, 60, 178,
179
Studi, 52, 71
Sulaiman Ibrahim, 9, 14,
15, 38
Sumatera Barat, 3, 6, 13,
14, 19, 23, 44, 45, 46,
47, 48, 49, 50, 51, 52,
54, 57, 58, 69, 70, 76
Syekh, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10,
11, 12, 13, 14, 15, 17,
19, 21, 23, 39, 44, 48,
50, 52, 53, 54, 55, 56,
57, 58, 59, 60, 61, 62,
68, 70, 73, 76, 79, 81,
82, 85, 86, 150, 151,
152, 153, 156, 157, 158,
159, 160, 161, 162, 163,
165, 167, 168, 170, 172,
173, 175, 176, 177, 178,
179, 180, 181, 183, 185,
186, 187, 188, 189, 190,
191, 192, 193, 194, 195,
196, 197, 199, 200, 201,
202
Syekh Djamil Djambek, 6,
52, 53
Syekh Khatib Kumango,
54
Syekh Sulaiman Ar-
Rasuli, 6, 70
T
Tafsi>r, 3, 5, 7, 9, 10, 11,
13, 15, 17, 21, 22, 23,
44, 54, 67, 70, 73, 74,
75, 76, 77, 87, 150, 151,
152, 153, 156, 157, 158,
159, 162, 165, 167, 170,
172, 173, 175, 177, 178,
180, 181, 183, 185, 186,
188, 190, 191, 195, 197,
199
Tauhid, 151, 156, 160, 200
Taylor, 16
Teks, 8, 12, 19, 22, 24, 25,
26, 27, 28, 29, 30, 32,
34, 35, 36, 57, 73, 79,
87, 90, 151, 189, 190,
195, 200
223
Teun A. Van Dijk, 8, 14
Theo Van Leeuwen, 32
Timur, 48, 51, 52, 63, 65,
66, 99, 100, 147, 164,
166, 170, 171, 191, 192
Timur Tengah, 48, 51, 52,
63, 65, 66
Tradisi, 47, 62
Triangulasi, 18
Tuhan, 28, 80, 81, 86, 90,
91, 92, 93, 94, 95, 96,
98, 99, 100, 101, 102,
103, 104, 105, 106, 107,
108, 110, 111, 112, 113,
114, 115, 116, 117, 118,
119, 121, 122, 124, 125,
126, 127, 129, 130, 131,
132, 134, 135, 136, 137,
138, 139, 141, 142, 143,
144, 145, 147, 148, 149,
151, 152, 153, 155, 156,
157, 158, 159, 160, 163,
164, 165, 166, 167, 168,
169, 170, 171, 172, 175,
176, 177, 180, 181, 182,
184, 187, 191, 194, 197
W
Wacana, 21, 22, 24, 29,
30, 31, 32, 33, 34
Y
Ya> ayyuha> al-na>s, 5, 92,
95, 96, 98, 99, 101, 103,
104, 106, 107, 116, 118,
124, 126, 129, 135, 137,
143, 146, 152, 163, 183,
196
Ya> bani> a>dam, 112
Z
Zulashfi, 56, 60, 61
224
BIODATA PENULIS
Zikra Fadilla, lahir pada 08
November 1992 di Bukittinggi,
Sumatera Barat. Menempuh
pendidikan Sekolah Dasar (SD)
Islam Darul Makmur (1998-
2004), pernah menempuh
pendidikan sekolah menengah
pertama di Pondok Pesantren
Modern Diniyah Pasir selama
dua tahun dan menyelesaikan di
MTsN Kubang Putih (2004-
2008), menyelesaikan
pendidikan sekolah menengah
atas pada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Model
Bukittinggi (2008-2011). Melanjutkan jenjang pendidikan
tinggi pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan
Humaniora, IAIN Imam Bonjol Padang (2011-2015).
Menyelesaikan pendidikan Magister di Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2016-2020). Selama berada
dilingkungan pendidikan karya tulis yang telah dihasilkan
“Syi’ir Pada Masa Dinasti Abbasiyah Di Timur,” Tsaqafy
(jurnal mahasiswa fakultas Ilmu Budaya Adab), no.1, vol. V
(2014), Tafsir Sosial Ayat-ayat Al-Qur’an Naskah Syekh
Abdul Latif Syakur (bantuan DIPA IAIN Imam Bonjol Padang)
2014, sebagai asisten peneliti, Alih Aksara Naskah Tadzkîr Al-
Ghabî (finalis Sayembara alih aksara, terjemahan, saduran dan
penelitian yang diadakan Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia) 2019. Penulis juga pengurus harian pada Lingkar
Filologi Ciputat (LFC) dan pengajar pada lembaga BISA
Learning Center (BLC).