33
Noise Induced Hearing Loss (NIHL) Aini Izzati binti Abd Gaffar Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat korespondensi Alamat Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Email: [email protected] PENDAHULUAN Kurang pendengaran akibat bising atau Noise Induced Hearing Loss (NIHL) adalah kurang pendengaran akibat kerusakan organ sensorineural telinga yang menetap oleh pengaruh bising dalam waktu lama atau kronik. 1 Telah lama diketahui bahwa bising dapat mengakibatkan kurang pendengaran. Bising dengan intensitas diatas 85 dB dan berlangsung lama akan mengakibatkan kerusakan organ Corti yang menetap dan irreversibel. Kerusakan inilah yang menjadi dasar terjadinya NIHL. NIHL sudah sering dipublikasikan baik di luar maupun di dalam negeri, namun angka kejadian secara pasti di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Di lingkungan industri, NIHL menduduki peringkat pertama dalam golongan penyakit akibat kerja. Sebagiannya karena kebisingan adalah salah satu pekerjaan yang paling umum ditemukan di berbagai industri. Dalam hubungan dengan industri, maka faktor yang paling berbahaya bagi keutuhan faal pendengaran ialah suara bising (noise). Bising industri sudah lama merupakan masalah yang sampai sekarang belum bisa ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman serius bagi pendengaran para pekerja, karena 1

nihl2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

szcdfgvfv

Citation preview

Page 1: nihl2

Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

Aini Izzati binti Abd GaffarFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat korespondensi Alamat Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510Email: [email protected]

PENDAHULUAN

Kurang pendengaran akibat bising atau Noise Induced Hearing Loss (NIHL) adalah

kurang pendengaran akibat kerusakan organ sensorineural telinga yang menetap oleh pengaruh

bising dalam waktu lama atau kronik.1 Telah lama diketahui bahwa bising dapat mengakibatkan

kurang pendengaran. Bising dengan intensitas diatas 85 dB dan berlangsung lama akan

mengakibatkan kerusakan organ Corti yang menetap dan irreversibel. Kerusakan inilah yang

menjadi dasar terjadinya NIHL. NIHL sudah sering dipublikasikan baik di luar maupun di dalam

negeri, namun angka kejadian secara pasti di Indonesia sampai saat ini belum diketahui. Di

lingkungan industri, NIHL menduduki peringkat pertama dalam golongan penyakit akibat kerja.

Sebagiannya karena kebisingan adalah salah satu pekerjaan yang paling umum ditemukan di

berbagai industri.

Dalam hubungan dengan industri, maka faktor yang paling berbahaya bagi keutuhan faal

pendengaran ialah suara bising (noise). Bising industri sudah lama merupakan masalah yang

sampai sekarang belum bisa ditanggulangi secara baik sehingga dapat menjadi ancaman serius

bagi pendengaran para pekerja, karena dapat menyebabkan kehilangan pendengaran yang

sifatnya permanen. Sedangkan bagi pihak industri, bising dapat menyebabkan kerugian ekonomi

karena biaya ganti rugi. Oleh karena itu untuk mencegahnya diperlukan pengawasan terhadap

pabrik dan pemeriksaan terhadap pendengaran para pekerja secara berkala.2 Banyak hal yang

mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain intensitas bising yang

lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lama terpapar bising, kepekaan individu dan faktor lain yang

dapat menimbulkan ketulian.2

1

Page 2: nihl2

PEMBAHASAN

7 LANGKAH DIAGNOSIS OKUPASI

Penyakit Akibat Kerja (PAK) adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan,

proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian PAK merupakan penyakit yang artifisial atau

man made disease. Untuk mendiagnosa PAK dengan benar, digunakan 7 langkah diagnosis

okupasi.

1. Diagnosis Klinis

Untuk menentukan diagnosis klinis diperlukan:

a. Anamnesis :

Identitas pasien yang lengkap : nama, alamat, tempat tinggal, jenis kelamin, ras, agama,

pekerjaan, status dan lain-lain.

Riwayat penyakit dahulu dan sekarang :

− Keluhan utama pasien datang berobat

− Apakah ada keluar cairan/nanah dari telinga?

− Apakah pernah menderita penyakit telinga sebelumnya?

− Apakah pernah mengalami riwayat trauma akustik sebelumnya?

− Gangguan pendengaran yang dialami sekarang datangnya mendadak atau perlahan-lahan?

− Derajat bunyi atau suara yang tidak dapat didengar?

− Apakah ada kebiasaan mengorek telinga?

− Apakah mempunyai riwayat menggunakan bahan-bahan/ obat-obat toksik  seperti streptomisin?

− Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising? seperti menembak, musik keras dan

lain-lain?

− Apakah turut mengalami gangguan keseimbangan?

− Apakah mempunyai keluhan demam, masalah gangguan pencernaan, gangguan tidur, hipertensi

atau gejala-gejala lain.

− Apakah mempunyai riwayat neuroma akustik?

− Apakah ada menderita keluhan seperti ini dahulu?

− Apakah ada menderita DM, hipertensi, sakit jantung?

− Apakah ada alergi?

2

Page 3: nihl2

Riwayat penyakit pendengaran dalam keluarga

− Apakah ada ahli keluarga menderita seperti ini?

Riwayat pengobatan

− Apakah sudah pernah berobat sebelum ini?

Riwayat sosial

− Apakah ada aktivitas di luar lingkungan kerja?

− Apakah mempunyai hobi yang berhubungan dengan bising? seperti, menembak, mendengar

musik keras dan lain-lain

− Apakah ada hobi yang tertentu?

− Apakah sering berolahraga?

− Apakah sering makan tepat waktu dan cukup gizinya?

Riwayat pekerjaan

− Apakah pernah atau sedang bekerja di tempat yang bising?(untuk NIHL, riwayat pernah bekerja

atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama, biasanya lebih

dari 5 tahun)

− Apakah pernah mengalami ledakan keras dekat telinga ?

− Apakah menggunakan alat pelindung telinga ketika bekerja ? sekiranya menggunakan, apakah

jenisnya, dan apakah sering patuh menggunakannya?

− Selama bekerja, apakah dilakukan pemeriksaan berkala, khususnya pendengaran ?

− Lama bekerja di tempat bising perhari kerja dan lamanya masa kerja.

− Apa yang dikerjakan setiap hari? bahan-bahan/alat yang dipakai, lingkungan sekitar tempat kerja

dan lain-lain

− Apakah ada teman sekerja yang menderita keluhan sama?.

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda vital

Keadaan umum

Kesadaran

Tanda-tanda Vital : Tekanan darah, nadi (bagi klinis non-auditorik: dapat terjadi hipertensi),

kadar pernafasan, suhu(tergantung kondisi pasien)

Status gizi (berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, kurus, normal,gemuk

Pemeriksaan fisik umum

3

Page 4: nihl2

Inspeksi: penampilan fizikal dan perilaku pasien

Palpasi: perabaan arteri riadialis (denyut nadi)

Auskultasi: bunyi jantung dan bising usus

Pemeriksaan antropometri: berat badan, tinggi badan

Pemeriksaan terlokalisir:

Urutan pemeriksaan telinga dimulai dari daun telinga, liang telinga luar, dan tes pendengaran

dengan garpu tala.

a. Daun Telinga

Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga serta daerah belakang daun telinga(retro-

artikuler). Apakah terdapat kelainan seperti :

Kelainan kongenital (mikrotia dan fistula)

Kelainan infeksi(kista dan radang tulang rawan daun telinga)

Kelainan lain(hematom,pseudokista)

b. Liang Telinga Luar

Untuk memeriksa liang telinga luar, pertama-tama pemeriksa harus membuka jalan saluran

telinga yang membentuk huruf ‘S’ hingga lurus sehingga dapat dilihat isi liang telinga luar.

Untuk itu pemeriksa harus menarik daun telinga ke atas dan ke belakang, dan dipertahankan

posisi tersebut. Kemudian isi liang telinga luar pasien dinilai, antara lain:

i. Dinding liang telinga

Apakah liang telinga luar pasien lapang.

Apakah terdapat massa, seperti serumen dan benda asing.

Perhatikan dinding liang telinga luar, apakah terdapat luka, peradangan, furunkel

ii. Membran timpani

Untuk memeriksa membrane timpani lebih baik gunakan otoskop agar gambaran membrane

timpani lebih jelas.

Perhatikan warna dari membrane timpani. Normal: berwrna seperti ‘mutiara’.

Perhatikan adanya warna lain selain warna yang normal. Merah terdapat peradangan, kuning

terdapat infeksi jamur, dan lainnya.

Apakah membran timpani intak dan apakah ada cairan yang keluar dari liang telinga tengah

melalui membran timpani.

4

Page 5: nihl2

c. Tes Berbisik2

- Merupakan tes semikuantitatif

- Tujuan : menentukan derajat ketulian secara kasar

- Orang normal dapat mendengar bisikan dari jarak 6-10 meter

- Cara pemeriksaam:

a. Ruangan cukup tenang, dengan panjang 6 meter

b. Berbisik pada akhir ekspirasi

c. Dimulai dari jarak 6 meter dan makin lama makin mendekat, maju tiap satu meter sampai dapat

mengulangi tiap kata dengan benar

d. Telinga yang tidak diperiksa ditutup, orang yang diperiksa tidak boleh melihat pemeriksa

(pemeriksa berdiri di sisi telinga yang diperiksa)

- Interpretasi :

i. Normal : 5/6 sampai 6/6` ii. Tuli ringan bila suara bisik 4 meter

iii. Tuli sedang bila suara bisik antara 2 - 3 meteriv. Tuli berat bila suara bisik antara 0 - 1 meter

d. Uji Pendengaran2

Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala. Hasil pemeriksaan dapat diketahui jenis

ketulian pasien, apakah tuli konduktif atau tuli sensorineural. Salah satu uji pendengaran yang

dapat dilakukan adalah tes penala, antara lain:

Test Rinne

Test Weber

Test Schwabach

Test Rinne

Test Rinne adalah test untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui

tulang pada telinga pasien.

Cara pemeriksaan:

1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan.

2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa.

5

Page 6: nihl2

3. Ujung tangkai garputala ditempelkan pada tulang mastoid pasien. Pasien akan mendengar suara

garputala dan minta pasien untuk memberi tanda bila sudah tidak mendengar suara dari tulang

mastoid . Durasi saat pasien mulai mendengar sampai memberi tanda dicatat.

4. Setelah pasien memberi tanda, pemeriksa bergegas memindahkan tangkai garputala 1,5 inci

menyamping dari meatus akustikus eksternus. Mintalah pasien memberi tanda lagi bila tidak

mendengarnya dari udara. Hitung durasinya.

5. Lakukan pemeriksaan ini di kedua telinga pasien.

Hasil:

- Normal: Konduksi udara > konduksi tulang

- Tuli konduksi: Konduksi udara tak terdengar

- Tuli saraf: konduksi udara terdengar( tuli perspektif)

Test Weber

Test Weber adalah test pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan

kanan pasien.

Cara pemeriksaan:

1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan.

2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa.

3. Letakkan ujung tangkai garputala pada dahi pasien.

4. Pasien dimina untuk membandingkan kuatnya bunyi garputala yang terdengar dikedua telinga

pasien.

Hasil :

- Normal: Mendengar sama kuat

- Tuli konduksi: Terdengar> di telinga sakit

- Tuli saraf: Terdengar > di telinga normal

Test Schwabach

Test Schwabach adalah test pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang pasien dengan

pemeriksa yang pendengarannya normal.

Cara pemeriksaan:

1. Posisi pasien dan pemeriksa saling berhadapan.

2. Pemeriksa menggetarkan garputala dengan mengetuknya ke punggung tangan pemeriksa.

6

Page 7: nihl2

3. Ujung tangkai garputala diletakkan pada prosessus masoid pasien. Pasien akan mendengar suara

garputala dan minta pasien untuk member tanda bila sudah tidak mendengar saura dari tulang

mastoid.

4. Pemeriksa bergegas untuk memindahkan ujung tangkai garputala dari prosessus mastoid pasien

ke prosessus mastoid pemeriksa. Dengarkan apakah suara dari garputala masih terdengar atau

sudah menghilang.

5. Hal ini dilakukan pada kedua prosessus mastoid pasien dan pemeriksa (presessus mastoid kanan

pasien diuji dengan prosesus mastoid kanan pemeriksa). Hal ini dilakukan sebaliknya, dengan

menempelkan dahulu ujung tangkai garputala ke prosesus mastoid pemeriksa dan bila sudah

tidak didengar pemeriksa maka langsung ditempelkan ke prosesus mastoid pasien.

Hasil:

- Normal: Suara dari garputala sesuai dengan pemeriksa.

- Memanjang: Pasien masih mendengar suara saat pemeriksa sudah tidak mendengar suara lagi

pada garputala.

- Memendek: Pemeriksa masih mendengar sauara saat pasien sudah tidak mendengar suara lagi

dari garputala

Tabel 1: Kesimpulan hasil pemeriksaan garputala2

Test Rinne Test Weber Tes Schwabach Diagnosis

Positif Tidak ada

lateralisasi

Sama dengan

pemeriksa

Normal

Negatif Lateralisasi ke

telinga sakit

Memanjang Tuli konduktif

Positif Lateralisasi ke

telinga sehat

Memendek Tuli sensorineural

7

Page 8: nihl2

c. Pemeriksaan Penunjang

Audiometri adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengetahui level pendengaran

seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometer, maka derajat ketajaman

pendengaran seseorang dapat dinilai. Dalam pemeriksaan ini, penting diketahui besaran apakah

yang ditunjukkan oleh frekuensi dan intensitas. Pada tes audiometri tinggi rendahnya nada suatu

bunyi disebut frekuensi dalam hertz (Hz), sedangkan keras lemahnya suatu bunyi disebut

intensitas deciBell (dB).3 Terdapat tiga syarat untuk keabsahan pemeriksaan audiometri yaitu alat

audiometer yang baik, lingkungan pemeriksaan yang tenang dan diperlukan keterampilan

pemeriksa yang cukup handal. Syarat pemeriksaan audiometer; Orang yang diperiksa kooperatif,

tidak sakit, mengerti instruksi, dapat mendengarkan bunyi di telinga, sebaiknya bebas pajanan

bising sebelumnya minimal 12-14 jam, alat audiometer terkalibrasi. Pemeriksa haruslah mengerti

cara penggunaannya, sabar dan terlatih. Ruangan pemeriksaan sebaiknya memiliki kekedapan

suara maksimal 40 dB SPL. Pemeriksaan audiometri yang tepat bila dilakukan pada tingkat

kebisingan latar belakang rendah. Pada umumnya makin rendah frekuensi yang diuji, makin

lebih mungkin dipengaruhi oleh suara lingkungan. Pemeriksaan dilakukan di ruang kedap suara.

Untuk menilai keabsahan hasil pemeriksaan audiometri, dinilai dari cara pemeriksaan audiometri

yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang yang tidak terlatih dan belum berpengalaman.

Untuk memperoleh hasil akurat untuk informasi klinik yang berguna, pemeriksa harus memiliki

cukup pengetahuan yang memadai.3

Pada prosedur pemeriksaan audiometri nada murni, pemeriksa harus dapat memberikan

instruksi dengan jelas dan mudah dimengerti, misalnya dengan menganjurkan mengangkat

tangan/telunjuk bila mendengar bunyi nada atau mengatakan ada/tidak ada bunyi, atau dengan

menekan tombol. Headphone dipasang pada orang yang akan diperiksa dengan benar, tepat dan

nyaman. Pasien duduk di kursi, menghadap 30o dari pemeriksa sehingga tidak dapat melihat

pemeriksaannya. Pemberian sinyal dilakukan selama 1-2 detik. Pemeriksa harus mengerti

gambaran audiogram dan simbol-simbolnya, informasi yang terdapat dalam

audiogram,memahami jenis-jenis ketulian, memahami bone conduction untuk menentukan jenis

ketulian, serta mengerti prosedur rujukan dan peran teknisi audiometrik. Pemeriksaan audiometri

sangat bermanfaat, berguna untuk pemeriksaan screening pendengaran, dan merupakan

penunjang utama diagnostik fungsi pendengaran.

8

Page 9: nihl2

Pada NIHL, pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada

frekuensi 3000-6000 Hz dan pada frekuennsi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang

patognomonik untuk jenis ketulian tersebut.1,3 Pemeriksaan audiometri harus dilakukan dengan

persiapan yang baik, bising latar belakang harus diperhatikan, pekerja yang akan diperiksa harus

terhindar dari pajanan bising sebelum pemeriksaan dilakukan. Sedangkan pemeriksaan audiologi

khusus seperti SISI (Short Increment Sensitivity Index), ABLB ( Alternate Binaural Loudness

Balance ) dan Speech Audiometry menunjukkan adanya fenomena rekrutmen (recruitment) yang

khas untuk tuli saraf koklea.

d. Pemeriksaan Tempat Kerja (Lapangan)

Pada pemeriksaan lapangan, antara alat yang digunakan adalah Sound Level Meters

(SLM). SLM adalah instrumen dasar yang digunakan dalam pengukuran kebisingan. SLM terdiri

atas mikropon dan sebuah sirkuit elektronik termasuka attenuator, 3 jaringan perespon frekuensi,

skala indikator dan amplifier. Tiga jaringan tersebut distandarisasi sesuai standar SLM.

Tujuannya adalah untuk memberikan pendekatan yang terbaik dalam pengukuran tingkat

kebisingan total. Respon manusia terhadap suara bermacam-macam sesuai dengan frekuensi dan

intensitasnya. Telinga kurang sensitif terhadap frekuensi lemah maupun tinggi pada intensitas

yang rendah. Pada tingkat kebisingan yang tinggi, ada perbedaan respon manusia terhadap

berbagai frekuensi. Tiga pembobotan tersebut berfungsi untuk mengkompensasi perbedaan

respon manusia.

Alat ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekwensi 20 – 20.000 Hz.

SLM dibuat berdasarkan standar ANSI ( American National Standard Institute ), tahun 1977 dan

dilengkapi dengan alat pengukur 3 macam frekuensi yaitu A, B dan C yang menentukan secara

kasar frekuensi bising tersebut. Jaringan frekuensi A mendekati frekuensi karakteristik respon

telinga untuk suara rendah yang kira-kira dibawah 55 dB . Jaringan frekuensi B dimaksudkan

mendekati reaksi telinga untuk batas antara 55 – 85 dB. Sedangkan jaringan frekuensi C

berhubungan dengan reaksi telinga untuk batas diatas 85 dB.

Untuk menegakkan diagnosis klinik dari ketulian yang disebabkan oleh bising dan hubungannya

dengan pekerja, maka seorang dokter harus mempertimbangkan faktor-faktor berikut :

1. Riwayat timbulnya ketulian dan progresifitasnya.

9

Page 10: nihl2

2. Riwayat pekerjaan, jenis pekerjaan dan lamanya bekerja.

3. Riwayat penggunaan proteksi pendengaran.

4. Meneliti bising di tempat kerja, untuk menentukan intensitas dan durasi bising yang

menyebabkan ketulian.

5. Hasil pemeriksaan audiometri sebelum kerja dan berkala selama kerja. Pentingnya mengetahui

tingkat pendengaran awal para pekerja dengan melakukan pemeriksaan audiometri sebelum

bekerja adalah bila audiogram menunjukkan ketulian, maka dapat diperkirakan berkurangnya

pendengaran tersebut akibat kebisingan di tempat kerja.

6. Identifikasi penyebab untuk menyingkirkan penyebab ketulian non industrial seperti riwayat

penggunaan obat-obat ototoksik atau riwayat penyakit sebelumnya.

2. Pajanan yang dialami : Bising

Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki. Dari definisi

ini menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu sangat subyektif, tergantung dari masing-masing

individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Sedangkan secara audiologi, bising adalah

campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi.3,4

Cacat pendengaran akibat kerja (occupational deafness / noise induced hearing loss)

adalah hilangnya sebahagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen,

mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus di lingkungan

tempat kerja.2 Gangguan pendengaran akibat bising ( Noise Induced Hearing Loss / NIHL )

adalah tuli akibat terpapar oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama

dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja.1,2 Tuli akibat bising merupakan jenis

ketulian sensorineural yang paling sering dijumpai setelah presbikusis.3,4

Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Bising yang intensitasnya 85

desibel ( dB ) atau lebih dapat menyebabkan kerusakan reseptor pendengaran Corti pada telinga

dalam. Sifat ketuliannya adalah tuli saraf koklea dan biasanya terjadi pada kedua telinga. 1,5

Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara lain

intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekuensi tinggi, lebih lama terpapar bising, kepekaan

individu dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian.1,2

10

Page 11: nihl2

Intensitas kebisingan:

Intensitas bising( dB ) Waktu pajanan / hari (jam)

85 8

88 4

91 2

94 1

97 0.5

100 0.25

103 0.125

Frekuensi kebisingan:

Gambar 1. Hasil tes audiometri pada pasien NIHL4

Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara

3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat takik (notch) yang patognomonik

untuk jenis ketulian ini.4 Takik 4000 Hz yang khas ini diduga terjadi karena frekuensi resonansi

dari liang telinga, refleks akustik yang melindungi telinga pada frekuensi yang lebih rendah, dan

sel rambut luar pada bagian basal koklea lebih rentan. Frekuensi yang lebih rendah dan tinggi

biasanya terkena setelah pajanan bising selama beberapa tahun, dan penurunan yang signifikan

dari kemampuan mengenali kata akan timbul bila frekuensi <3000 Hz sudah terkena.3

11

Page 12: nihl2

Untuk melindungi pendengaran manusia (pekerja) dari pengaruh buruk kebisingan,

Organisasi Pekerja Internasional atau International Labour Organization (ILO) telah

mengeluarkan ketentuan jam kerja yang diperkenankan, yang dikaitkan dengan tingkat intensitas

kebisingan lingkungan kerja. Di Indonesia, intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan

adalah 85dB untuk waktu kerja 8 jam perhari, seperti yang diatur dalam Surat Edaran Menteri

Tenaga Kerja no SE.01/Men/1978 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kebisingan di

tempat kerja.

Dalam industri, peningkatan proses kerja mengakibatkan meningkatnya tingkat

kebisingan.5 Pekerjaan-pekerjaan yang menimbulkan bising dengan intensitas tinggi umumnya

terdapat di pabrik perakitan mobil, tekstil (weaving,spinning), dan lain-lain yang mempunyai

mesin dengan tingkat kebisingan yang tinggi seperti mesin turbin, generator, dan sebagainya.

Sumber kebisingan dapat dibagi dalam tiga jenis sumber, yaitu mesin, peralatan kerja dan aliran

udara.

Sumber kebisingan yang berasal dari mesin dapat diakibatkan oleh suara mesin dan

getaran mesin yang disebabkan dudukan atau bantalan mesin yang kurang sempurna oleh karena

itu perlu adanya pengendalian kebisingan. Kebisingan juga timbul akibat penggunaan peralatan

kerja untuk  proses kerja. Suara timbul akibat tumbukan atau benturan peralatan kerja yang pada

umumnya terbuat daripada benda keras atau logam. Aliran udara atau gas mengakibatkan

gesekan dan tekanan yang mengakibatkan timbulnya suara/kebisingan. Kebisingan disebabkan

aliran udara atau gas dapat dikategorikan berdasarkan sumber-sumbernya.

3. Hubungan Pajanan-Penyakit

Perubahan ambang dengar akibat paparan bising tergantung pada frekuensi bunyi, intensitas dan

lama waktu paparan, dapat berupa:

1. Adaptasi

Bila telinga terpapar oleh kebisingan mula-mula telinga akan merasa terganggu oleh kebisingan

tersebut, tetapi lama-kelamaan telinga tidak merasa terganggu lagi karena suara terasa tidak

begitu keras seperti pada awal pemaparan.

12

Page 13: nihl2

2. Peningkatan ambang dengar sementara

Terjadi kenaikan ambang pendengaran sementara yang secara perlahan-lahan akan kembali

seperti semula. Keadaan ini berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam bahkan sampai

beberapa minggu setelah pemaparan. Kenaikan ambang pendengaran sementara ini mula-mula

terjadi pada frekuensi 4000 Hz, tetapi bila pemaparan berlangsung lama maka kenaikan nilai

ambang pendengaran sementara akan menyebar pada frekwensi sekitarnya. Makin tinggi

intensitas dan lama waktu pemaparan makin besar perubahan nilai ambang pendengarannya.

Respon tiap individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung dari sensitivitas masing-masing

individu.

3. Peningkatan ambang dengar menetap

Kenaikan terjadi setelah seseorang cukup lama terpapar kebisingan, terutama terjadi pada

frekuensi 4000 Hz. Gangguan ini paling banyak ditemukan dan bersifat permanen, tidak dapat

disembuhkan. Kenaikan ambang pendengaran yang menetap dapat terjadi setelah 3,5 sampai 20

tahun terjadi pemaparan, ada yang mengatakan baru setelah 10-15 tahun setelah terjadi

pemaparan. Penderita mungkin tidak menyadari bahwa pendengarannya telah berkurang dan

baru diketahui setelah dilakukan pemeriksaan audiometri.

Bising juga menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja, seperti gangguan fisiologis,

gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian.4,5

1. Gangguan fisiologis

Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputus-putus atau yang

datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg),

peningkatan nadi, konstriksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat

menyebabkan pucat dan gangguan sensoris.

2. Gangguan psikologis

Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, cepat

marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik

berupa gastritis, stres, kelelahan, dan lain-lain.

3. Gangguan komunikasi

Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran

yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan

13

Page 14: nihl2

cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan ter-ganggunya pekerjaan, sampai pada

kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya; gangguan

komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan keselamatan tenaga kerja.

4. Gangguan keseimbangan

Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa atau melayang,

yang dapat me-nimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual.

5. Efek pada pendengaran

Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena dapat menyebabkan ketulian.

Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara dan akan segera pulih kembali bila

menghindar dari sumber bising; namun bila terus menerus bekerja di tempat bising, daya dengar

akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali.

4. Apakah pajanan cukup besar?

Patofisiologi

Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah

yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang

meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada selsel rambut luar

menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya

intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia.

Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel

rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel

rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel

rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran

pada batang otak.2,4 NIHL terjadi akibat kerusakan pada epitel sensori di koklea. Epitel sensori di

koklea tersusun atas satu baris sel rambut dalam dan tiga baris sel rambut luar dalam organ Corti.

Pada peningkatan ambang dengar sementara, beberapa perubahan yang potensial reversibel dapat

terjadi, yakni:

Penurunan kekakuan stereosilia sebagai akibat kontraksi struktur ‘rootlet’ stereosilia sel

rambut

Perubahan intraseluler dalam sel rambut, termasuk kelelahan metabolik dan perubahan

mikrovaskular

14

Page 15: nihl2

Edema ujung saraf auditori

Degenerasi sinaps-sinaps dalam nukleus koklearis.4,5

Pada peningkatan ambang dengar menetap, perubahan menjadi ireversibel, termasuk patahnya

struktur ‘rootlet’ silia, disrupsi duktus koklearis dan organ Corti yang menyebabkan

bercampurnya cairan endolimf dan perilimf, destruksi sel-sel rambut (yang digantikan oleh

jaringan parut), serta degenerasi serat saraf koklea.

Epidemiologi

Bising lingkungan kerja merupakan masalah utama pada kesehatan kerja di berbagai

negara. Sedikitnya 7 juta orang (35 % dari total populasi industri di Amerika dan Eropa) terpajan

bising 85 dB atau lebih. Ketulian yang terjadi dalam industri menempati urutan pertama dalam

daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa. Di Amerika lebih dari 5,1 juta pekerja

terpajan bising dengan intensitas lebih dari 85 dB. Barrs melaporkan pada 246 orang tenaga kerja

yang memeriksakan telinga untuk keperluan ganti rugi asuransi, ditemukan 85 % menderita tuli

saraf, dan dari jumlah tersebut 37 % didapatkan gambaran takik pada frekuensi 4000 Hz dan

6000 Hz.

Di Polandia diperkirakan 600.000 dari 5 juta pekerja industri mempunyai risiko terpajan

bising , dengan perkiraan 25 % dari jumlah yang terpajan terjadi gangguan pendengaran akibat

bising. Dari seluruh penyakit akibat kerja dapat diidentifikasi penderita tuli akibat bising lebih

dari 36 kasus baru dari 100.000 pekerja setiap tahun. Di Indonesia penelitian tentang gangguan

pendengaran akibat bising telah banyak dilakukan sejak lama. Survei yang dilakukan oleh

Hendarmin dalam tahun yang sama pada industri yang menggunakan teknologi mesin di Jakarta

mendapatkan hasil terdapat gangguan pendengaran pada 50% jumlah karyawan disertai

peningkatan ambang dengar sementara sebesar 5-10 dB pada karyawan yang telah bekerja terus-

menerus selama 5-10 tahun.

Kuantitatif

Di Indonesia, intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan adalah 85dB untuk

waktu kerja 8 jam perhari, seperti yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja no

15

Page 16: nihl2

SE.01/Men/1978 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kebisingan di tempat kerja. Daripada

hasil anamnesis, sistem kerja yang dipakai di perusahaan tempat pasien bekerja adalah dengan

waktu jam kerja 8 jam sehari atau 40 jam seminggu dengan pasien sudah bekerja selama 5 tahun

di tempat perusahaan tersebut dengan intensitas bising 100dB. Ini berarti intensitas bising

terpajan pada pasien selama bekerja melebihi NAB yang diperkenankan.

Kualitatif

Kerja di bagian pabrik perakitan mobil adalah suatu kerja yang menggunakan mesin.

Biasanya setiap mesin bermotor yang digunakan menghasilkan bunyi yang dapat merusak sistem

pendengaran terutama apabila melebihi nilai ambang batas bagi setiap nilai intensitas bunyi

yang dikeluarkan.1,2 Ini bererti lingkungan kerja di bagian adalah suatu lingkungan kerja yang

terdedah kepada kebisingan yang dapat mempengaruhi sistem pendengaran setiap tenaga kerja

sekitarnya yang juga diperkuat oleh faktor-faktor tertentu yang berperan.

Pengamatan

Melalui observasi yang dilakukan, dapat diketahui tempat dan lingkungan pekerjaan pasien yang

mempunyai pajanan tersebut.

Jumlah pajanan

Untuk mendapatkan jumlah pajanan, harus didapatkan data lingkungan, data monitoring biologis

dan hasil suveillans yang dilakukan di tempat kerja pasien.

Pemakaian alat pelindung diri

Alat pelindung telinga adalah satu inisiatif atau kebijakan yang digunakan pada lingkungan kerja

yang terpajan dengan kebisingan dan intensitas bunyi yang melebihi nilai ambang batas. Alat

pelindung telingan dapat bermacam-macam yang disesuaikan mengikut indikasi tertentu.

Daripada anamnesis, pasien menyatakan alat pelindung telinga (APT),telah disediakan oleh

perusahaan namun pasien tidak mematuhi sepenuhnya aturan tersebut karena seringkali lupa

memakai APT tersebut. Ini bermakna APT yang digunakannya sepanjang tempoh kerjanya tidak

berfungsi melindungi telinganya dari pajanan bising yang dapat merosak sistem pendengarannya.

16

Page 17: nihl2

5. Faktor Individu

Untuk menegakkan diagnosis okupasi, status kesehatan pasien seperti kesehatan jasmani

dan mental harus diperhatikan. Antara hal yang diperhatikan, adalah sekiranya pasien

mempunyai alergi, cara hidup pasien seperti kebiasaan olahraga, hygiene peribadinya, riwayat

kesehatan keluarganya sendiri, apakah ada yang menderita masalah pendengaran sepertinya.

Karakter dan keperibadian pasien juga harus diperhatikan. Sebagai contoh, masalah NIHL dapat

diperberat sekiranya pasien mempunyai riwayat kesehatan lain seperti neuroma akustik.

Neuroma akustik adalah suatu tumor yang dapat menyebabkan tekanan pada telinga sehingga

menyebabkan gangguan pendengaran, dering di telinga dan ketidakseimbangan.1,4 Juga dikenal

sebagai schwannoma vestibular, neuroma akustik merupakan penyebab umum gangguan

pendengaran. Neuroma akustik biasanya tumbuh lambat atau tidak sama sekali, tetapi dalam

beberapa kasus mungkin tumbuh pesat dan menjadi cukup besar untuk menekan otak dan

mengganggu fungsi vital.

6. Faktor Lain di Luar Pekerjaan

Penyebab-penyebab lain di luar pekerjaan juga harus diidentifikasi untuk menyingkirkan

penyebab ketulian non industrial seperti riwayat kebiasaan merokok, dan apakah mempunyai

hobi yang tertentu setelah jam kerja. Selain itu, apakah mempunyai pekerjaan lain selain

pekerjaan yang diberitahu dan aktivitas yang dilakukannya setelah pulang dari kerja.

7. Diagnosis Okupasi : NIHL – Penyakit akibat kerja (PAK)

Pembagian Tuli akibat bising

Ketulian akibat pengaruh bising ini dikelompokkan kepada :

a. Temporary Threshold Shift=Noise-induced Temporary Threshold Shift (TTS)

Temporary Threshold Shift (TTS) ini bersifat sementara dan bisa kembali normal

(reversible), walaupun waktu pemulihannya bervariasi. Penderita TTS ini bila diberi cukup

istirahat, daya dengarnya akan pulih sempurna. Untuk suara yang lebih besar dari 85 dB

dibutuhkan waktu bebas paparan atau istirahat 3-7 hari. Bila waktu istirahat tidak cukup dan

tenaga kerja kembali terpapar bising semula, dan keadaan ini berlangsung terus menerus maka

ketulian sementara akan bertambah setiap hari-kemudian menjadi ketulian menetap. Untuk

17

Page 18: nihl2

mendiagnosis TTS perlu dilakukan dua kali audiometri yaitu sebelum dan sesudah tenaga kerja

terpapar bising. Sebelumnya tenaga kerja dijauhkan dari tempat bising sekurangnya 14 jam.

b. Permanent Threshold Shift (PTS) = Tuli menetap

Permanent Threshold Shift (PTS) ini bersifat menetap, dan terjadi karena paparan yang lama

dan terus menerus. Ketulian ini disebut tuli perseptif atau tuli sensorineural. Penurunan daya

dengar terjadi perlahan dan bertahap sebagai berikut :

Tahap 1 : timbul setelah 10-20 hari terpapar bising, tenaga kerja mengeluh telinganya berbunyi

pada setiap akhir waktu kerja.

Tahap 2 : keluhan telinga berbunyi secara intermiten, sedangkan keluhan subjektif lainnya

menghilang. Tahap ini berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun.

Tahap 3 : tenaga kerja sudah mulai merasa terjadi gangguan pendengaran seperti tidak

mendengar detak jam, tidak mendengar percakapan terutama bila ada suara lain.

Tahap 4 : gangguan pendengaran bertambah jelas dan mulai sulit berkomunikasi. Pada tahap ini

nilai ambang pendengaran menurun dan tidak akan kembali ke nilai ambang semula meskipun

diberi istirahat yang cukup.4

Gejala Klinis

Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara (speech

discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekuensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan

dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi

menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral.

Selain itu tinnitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu

ketajaman pendengaran dan konsentrasi.2,4

Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising (noise induced hearing loss)

adalah bersifat sensorineural dan hampir selalu bilateral. Apabila paparan bising dihentikan,

tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang signifikan. Kerusakan telinga dalam mula-mula

terjadi pada frekuensi 3000, 4000 dan 6000 Hz, dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada

frekuensi 4000 Hz. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekuensi 3000, 4000 dan

6000 Hz akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 – 15 tahun.Selain pengaruh terhadap

pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga mempunyai pengaruh non auditory seperti

18

Page 19: nihl2

pengaruh terhadap komunikasi bicara, gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu

stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.1,2,4

Differential Diagnosis

Antara penyakit yang bisa dibandingkan dengan NIHL adalah penyakit gangguan-

gangguan pendengaran sensorineural lainnya. Presbikusis contohnya, umumnya terjadi pada

orang tua mulai usia 65 tahun, simetris kiri dan kanan dengan hasil audiometri nada murni

menunjukkan suatu tuli saraf nada tinggi, bilateral dan simetris. Pada gangguan pendengaran

herediter, dapat diketahui sekiranya pasien menderita tuli sejak kecil. Pada pasien dengan

gangguan metabolik, contohnya dengan pasien Diabetes Mellitus (DM) saraf koklea bisa

terganggu dan mengakibatkan tuli sensorineural.

Penatalaksanaan

Oleh kerana tuli akibat bising adalah tuli sensorineural koklea yang bersifat menetap,bila

gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume

percakapan biasa,dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar (ABD).5,6 Apabila pendengaran

telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan

adekuat perlu dilakukan psikoterapi agar dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran agar

dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca

ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan,serta bahasa isyarat untuk dapat

berkomunikasi.4,6 Di samping itu, oleh karena pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah,

rehabilitasi suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama

percakapan. ABD adalah suatu perangkat elektronik yang berguna untuk memperkeras

(amplifikasi) suara yang masuk ke dalam telinga;sehingga si pemakai dapat mendengar lebih

jelas suara yang ada di sekitarnya.

Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan untuk

pemasangan implan koklea.4,6 Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang mempunyai

kemampuan menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan mendengar dan

berkomunikasi pada pasien tuli saraf berat dan total bilateral. Indikasi pemasangan implan

koklea adalah keadaan tuli saraf berat bilateral atau tuli total bilateral yang tidak/sedikit

mendapat manfaat dengan alat bantu konvensional.

19

Page 20: nihl2

Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari

lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga

terhadap bising,seperti sumbat telinga (ear plug),tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala

(helmet).

Pencegahan7

Tujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah terjadinya NIHL yang

disebabkan oleh kebisingan di lingkungan kerja. Program ini terdiri dari 3 bagian yaitu :

1. Pengukuran pendengaran

Tes pendengaran yang harus dilakukan ada 2 macam, yaitu :

Pengukuran pendengaran sebelum diterima bekerja.

Pengukuran pendengaran secara periodik.

2. Pengendalian suara bising

Dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :

Melindungi telinga para pekerja secara langsung dengan memakai ear muff ( tutup telinga), ear

plugs ( sumbat telinga ) dan helmet ( pelindung kepala ).

Mengendalikan suara bising dari sumbernya, dapat dilakukan dengan cara :

memasang peredam suara

menempatkan suara bising ( mesin ) didalam suatu ruangan yang terpisah dari pekerja

3. Analisa bising

Analisa bising ini dikerjakan dengan jalan menilai intensitas bising, frekuensi bising, lama dan

distribusi pemaparan serta waktu total pemaparan bising. Alat utama dalam pengukuran

kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM) .

Menurut NIOSH pada tahun 1996, program pencegahan yang dapat dilakukan meliputi hal-hal

berikut :

1. Monitoring paparan bising

2. Kontrol engineering dan administrasi

3. Evaluasi audiometer

20

Page 21: nihl2

4. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

5. Pendidikan dan Motivasi

6. Evaluasi Program

7. Audit Program

Manfaat utama program ini adalah mencegah kehilangan pendengaran akibat kerja; kehilangan

pendengaran akan mengurangi kualitas hidup seseorang dalam pekerjaannya. Hubungan antara

tenaga kerja dengan pengusaha akan lebih baik, angka turn-over karena lingkungan kerja akan

rendah.

Prognosis

Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya menetap,

dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan, maka prognosisnya kurang

baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian.4

Kesimpulan

1. Bising dengan frekuensi dan intensitas tertentu dapat menyebabkan ketulian yang berupa tuli

saraf dan sifatnya permanen.

2. Pemeriksaan fisik dan pengujian audiometrik mutlak dibutuhkan untuk setiap pekerja yang

dilakukan sebelum mulai bekerja dan secara berkala selama bekerja dengan tujuan untuk

mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat bising terutama bising industri.

3. Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya

menetap dan tidak dapat diobati secara medikamentosa ataupun pembedahan, maka yang

terpenting dilakukan adalah pencegahan terjadinya ketulian.

21

Page 22: nihl2

DAFTAR PUSTAKA

1. Sulistomo A. Penyakit akibat kerja dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan

(Bab 6). Dalam: Aditama TY, Hastuti T, editors. Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

Jakarta: UI-Press; 2002. p. 64-71.

2. Soetirto I, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran akibat bising. Disampaikan pada

Simposium Penyakit THT Akibat Hubungan Kerja & Cacat Akibat Kecelakaan Kerja,

Jakarta, 2 Juni, 2001.

3. Stach BA. Clinical audiology an introduction. San Diego : Singular Publishing Group

Inc, 1998. h.137-41.

4. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat bising (Bab 2). Dalam: Soepardi

EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,

Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta: Gaya Baru; 2007. p. 49-52

5. Melnick W. Industrial hearing conservation. In : Katz J, Ed. Handbook of clinical

audiology. 4th ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1994.h.534-51.

6. Agrawal SK, Schindler DN, Jackler RK, Robinson S. Occupational hearing loss (Chap.

58). In: Lalwani AK, editor. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and

Neck Surgery. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 732-43.

7. Suma’mur. Aneka pendekatan keselamatan lain (Bab 19). In: Suma’mur. Keselamatan

Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: Haji Masagung; 1999. p. 296-301.

22