Upload
adhella-menur-naysilla
View
213
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
cerpen orasi chandra
Citation preview
ORASI CHANDRA
“Aduh, gimana nih?! Orasi visi misi calon ketua OSIS waktu upacara tinggal
seminggu lagi!!” Sarah teriak-teriak tak karuan.
“Ya ampun, Sar?! Yang ikut pemilihan aku, kok kamu yang heboh?” sahut
Chandra. Cewek tomboy itu sedang asyik utak-atik laptop di ruang mading SMA 13.
“Nggak cuma Sarah, aku juga deg-degan, Chan! Kamu sudah nyiapin orasinya?”
sambung Vika sambil membetulkan jilbabnya.
“Belum, kamu tahu ‘kan, sainganku berat-berat! Fikri anak band, Joshua anak
basket, Alena cantik, kemarin ikut olimpiade kimia, dan Mia, kemarin menang lomba
karya ilmiah tingkat nasional plus menang lomba baca Al Quran tartil tingkat kodya. Lha
aku?! Cuma reporter mading yang kerjanya mondar-mandir di sekolah. Di lima besar
calon ketua OSIS tahun ini, cuma aku yang kelihatan nggak kompeten!” keluh Chandra.
“Kamu norak banget, sih?! Kamu sampai kepilih lima besar, berarti kamu
kompeten di mata anak-anak! Kamu sama anak-anak mading ’kan pernah menang lomba
mading tingkat kota! Kamu juga pimred plus reporternya majalah sekolah dan majalah
sekolah kita jadi asyik, nggak basi. Semangat, dong! Pemimpin itu harus tegas dan PD!”
dukung Dion, mantan pacar Chandra yang sekarang alih fungsi jadi sobatnya Chandra.
“Denger-denger, Fikri janji bakal bikin pensi paling top tahun ini, mau ngundang
band pilihan siswa. Joshua, dia janji bakal bikin free day, satu hari bebas buat anak-anak.
Alena, standar, bakal nertibin sekolah. Mia, dia bakal bikin SMA 13 Ekspo selama tiga
hari, nunjukin seluruh ekspresi anak-anak ke masyarakat. Masing-masing punya
backingan top. Fikri dibacking cowok-cowok kelas 2 angkatan kita, terutama dari ilmu
sosial dan ilmu bahasa, Joshua, dia anak kesayangan anak-anak kelas 3, Alena pasti bakal
dibacking anak-anak ilmu alam plus cowok-cowok yang naksir dia. Mia, dia dibacking
anak-anak masjid plus anggota eskul karya ilmiah,” kata Sarah panjang lebar.
“Aku paling suka usulan Joshua, mau banget ada hari bebas! Tapi usulan lainnya
juga keren! Memang the big four!” puji Chandra disusul timpukan halus Dion di kepala.
“Bego! Kok aku pernah pacaran sama cewek naif kaya’ kamu, ya?! Chandra,
halo! Sadar! Sekarang bukan saatnya kagum sama saingan! Kamu harus nyiapin strategi!
Walau mungkin kalah suara, harus kalah terhormat!” kata Dion diamini Vika dan Sarah.
“Haduh, pemilihan ketua OSIS SMA saja banyak intriknya, apalagi pemilu
presiden?” desah Chandra. “Sampai sekarang aku belum punya bayangan tentang
orasiku. Aku sibuk sama majalah sekolah edisi bulan ini. Aku takut kalau waktu orasi di
depan anak-anak, malah disorakin dan dilemparin tomat busuk..... Mmm, ada saran?”
“Mmm, inget waktu kamu ngebahas fair trade di majalah sekolah?” tanya Vika.
“Sedikit. Waktu itu aku iseng ngulik vokalisnya Coldplay, si Chris Martin. Chris
Martin ikut mengampanyekan fair trade atau perdagangan adil yang merupakan lawan
dari free trade atau perdagangan bebas. Mereka bersimpati dengan keadaan petani dan
para wiraswasta lokal yang kondisi ekonominya memprihatinkan. Nggak cuma Coldplay,
Radiohead, dan U2 juga ikutan. Memang kenapa, Vik?” tanya Chandra balik.
“Aku ’kan anak ilmu sosial, setelah majalah sekolah ngebahas sepintas tentang
fair trade, guru ekonomiku, Bu Azizah, excited banget. Sayangnya karena nggak ada
sangkut pautnya sama materi ekonomi kelas 2, Bu Azizah cuma minta anak-anak untuk
mempelajari fair trade sendiri. Dan normalnya anak-anak, karena nggak ada kewajiban
atau iming-iming nilai, pesan Bu Azizah terlupakan. Tapi, sebenarnya banyak anak-anak
termasuk aku yang tertarik sama fair trade. So, gimana kalau di orasi kamu, kamu
kampanyein fair trade sebagai misi kamu? Kita sebagai generasi penerus bangsa harus
mulai mikirin masalah bangsa, dong! Apalagi Indonesia itu kaya bahan baku, tapi para
penghasil bahan bakunya paling banyak merugi!” usul Vika.
“Cerdas banget, tuh!” seru Sarah.
“Apa temanya nggak terlalu berat? Anak-anak SMA sekarang itu lebih mikirin
materi UAN dan mikirin pacar-pacar mereka!” sahut Dion.
“So what?! Aku setuju. Semua orang perlu disadarkan tentang pentingnya fair
trade, walau nanti orasiku terkesan aneh dan sok-sokan, aku ngerasa terhormat ikut
ngampanyein fair trade. Aku yakin, satu dua orang bakal terbuka matanya. Aku ikhlas
kalau kepilih jadi ketua OSIS atau cuma pembantu umum. OSIS ’kan kerja tim, yang
penting serius dan sungguh-sungguh, deh! Kampanye fair trade itu kegiatan mulia. Aku
nggak mau kegiatan mulia tersingkir cuma gara-gara ambisi,” kata Chandra.
“Chan, justru orang-orang kaya’ kamu yang pantes jadi pemimpin! Mandiri,
ikhlas, sungguh-sungguh, dan lebih mentingin sebuah tujuan mulia daripada iming-iming
kehormatan sebuah jabatan,” pikir Dion sambil menatap Chandra dalam-dalam.
“Dion! Hoi! Kamu lagi mikirin yang ngeres-ngeres ke Chandra, ya?” goda Sarah.
“Iih! Dion jijik!” Chandra balik menimpuk dahi Dion. Dion hanya tersenyum
simpul sambil tetap menatap gadis yang pernah menghiasi hari-harinya selama setahun.
***
Senin, 24 September 2007, Lapangan Upacara SMA 13.
Tepuk tangan bergemuruh mengiringi lambaian tangan Joshua yang terlihat
tenang dan penuh percaya diri. Orasinya mendapat sambutan hangat dari anak-anak,
apalagi mengenai visinya tentang satu hari bebas untuk para siswa.
“Dan yang terakhir, Chandra Noor Oktaviana, kelas 2 ilmu alam,” pandu sang
protokol upacara. Chandra melangkah menuju podium upacara dengan degup jantung
yang tak karuan.
“Ehem..., selamat pagi teman-teman. Saya Chandra ingin menyampaikan orasi
saya tentang visi misi saya apabila saya menjadi ketua OSIS periode 2007/2008. Saya
tentunya ingin memajukan sekolah kita tercinta ini, selain itu..., saya ingin
mengampanyekan fair trade dalam lingkup sekolah kita...,” Chandra mengambil nafas. Ia
melihat dan mendengar bisik-bisik sumbang dari anak-anak. “Fair trade atau
perdagangan adil, adalah suatu gerakan bersama demi mencapai keadilan dalam dunia
perdagangan baik perdagangan dalam negeri maupun sistem ekspor-impor, terutama
untuk menyejahterakan kehidupan para penghasil bahan baku, petani, pengrajin,
wiraswasta lokal, dan para pengecer kecil.”
***
Selasa, 18 September 2007, Perkebunan kopi Pak Ahmad.
“Jadi, Bapak ikut dalam Yayasan Pendukung Perdagangan Adil atau YPPA?”
tanya Vika pada Pak Ahmad.
“Iya, saya bergabung dengan yayasan itu setelah didesak putri saya, Asih. Dan
Alhamdulillah, keadaan ekonomi keluarga saya membaik,” jawab Pak Ahmad.
“Bisa kami bertemu dengan salah satu pengurus YPPA di sini?” tanya Dion.
“Bisa, ada Mbak Ratih, pengawas di sini. Sebentar, Sih! Asih!” panggil Pak
Ahmad. Asih, putri Pak Ahmad yang masih duduk di bangku SMP menghampiri
ayahnya. “Sih, tolong antar empat kakak ini ke Bu Ratih, bilang, tamunya Bapak.”
“Nggih, Pak,” sahut Asih lalu dengan cekatan mengajak Chandra, Vika, Sarah,
dan Dion ke perkebunan. “Mbak-mbak dan mas tujuannya apa ya?” tanya Asih.
“Kami ingin tahu, tentang YPPA dan programnya. Mungkin Dik Asih bisa sedikit
membantu?” pinta Sarah. Asih tersenyum sopan.
“Awalnya, saat YPPA menawari bapak untuk bergabung, bapak menolak. YPPA
berusaha membuka mata bapak bahwa selama ini beliau diperdaya oleh para tengkulak.
Bapak selalu menjual hasil perkebunan kopi kami ke tengkulak dengan harga murah,
padahal selanjutnya tengkulak akan menjual kopi kami ke perusahaan yang
membutuhkan kopi sebagai bahan dasar dengan harga mahal, begitu pula perusahaan
akan menjual produknya ke konsumen dengan harga tinggi. Terlihat sekali ketidakadilan
dalam perdagangan di negara kita. Bapak menolak YPPA dengan berdalih bahwa uang
yang beliau dapat mencukupi kehidupan sehari-hari walau agak mepet. Beliau bilang
kalau beliau berusaha untuk pasrah, nerimo, menyerahkan semua pada Tuhan. Sayalah
yang mendesak bapak. Saya berkata bahwa memang kita masih bisa bertahan hidup, tapi
bagaimana dengan kelanjutan sekolah saya? Bagaimana dengan nasib pekerja kami?
Upah mereka jauh dari UMR! Pasrah sih pasrah! Tapi manusia ditakdirkan untuk
berusaha keras dulu, baru hasilnyalah yang dipasrahkan! Kita nggak boleh menimpakan
semua kesulitan hanya dengan berdoa pada Tuhan, ’kan!” Asih menjelaskan dengan
berapi-api. Kedewasaan dan kecerdasan terpancar dari dirinya. Ketidakadilan dan
beratnya perjuangan hidup telah membentuk pribadi yang kuat. Asih membawa Chandra
cs ke Mbak Ratih yang sedang asyik menyeruput kopi tubruknya. Setelah mengutarakan
maksud kedatangan, Mbak Ratih pun dengan asyik menjelaskan tentang YPPA.
“YPPA terbentuk atas prakarsa orang-orang mandiri yang sensitif terhadap
ketidakberdayaan para petani kita. Kami sadar kami tidak bisa memaksa perusahaan
untuk bersimpati dengan para penghasil bahan baku, mereka sibuk dengan urusan
produksi dan para tenaga kerja mereka. Kami juga tidak mungkin memaksa konsumen
untuk mengikuti jalan pikir kami. Tapi tentunya kami tetap mengampanyekan dan
menghimbau mereka untuk menyadari pentingnya fair trade. Maka kami memfokuskan
diri untuk memberdayakan para petani. Saya akan menjelaskan spesifik pada perkebunan
kopi Pak Ahmad ini. Dasar program kami cuma satu, pendidikan! Kami menghimpun
para pekerja, memberi mereka pendidikan ekonomi agar mereka tidak mudah dibohongi
tengkulak. Mereka kami ajarkan menghitung biaya bersih dan kotor dalam usaha
perkebunan, biaya apabila terjadi gagal panen, biaya untuk upah pekerja, dan dasar-dasar
ekonomi. Petani kita masih bodoh, mereka hanya tahu bagaimana bertanam, memanen,
tapi langsung K.O. bila berhadapan dengan ilmu ekonomi. Selain itu, kami ajari mereka
cara mengolah kopi, sebenarnya mereka lebih tahu daripada kami. Kami beri mereka
modal untuk membuat kedai kopi kecil-kecilan. Kami mengajari mereka promosi. Kami
ajari mereka untuk mencintai lingkungan, membuat kebun ini seasri mungkin, kami buat
daerah ini menjadi daerah wisata, dikomersilkan. Tujuannya tidak semata-mata uang, tapi
agar mereka merasakan keadilan meski hanya sedikit,” Mbak Ratih tersenyum bijaksana.
***
Senin, 24 September 2007, Lapangan Upacara SMA 13.
“Pernahkah kita menyadari kesulitan para petani? Bahkan dengan tidak hormat
kita memandang rendah pekerjaan mereka, dengan mudah kita membuang sebutir nasi
hanya gara-gara alasan diet atau malas, padahal sebutir nasi itu dihasilkan dari peluh para
petani yang ikhlas namun tidak mendapat imbalan selayaknya,” seru Chandra.
***
Kamis, 20 September 2007, Rumah Pengusaha Kopi bubuk.
“Saya senang dengan para remaja yang sensitif dan idealis dalam menyikapi
permasalahan ekonomi di negara kita. Kalian sungguh cerdas dan pemberani,” Pak
Hendra mengisap cerutunya sambil bersantai di gazebo di halaman belakang rumahnya
yang sangat mewah. “Hanya saja saya tak bisa menjamin, apakah idealisme kalian akan
bertahan saat kalian sudah seumuran saya, hidup benar-benar mandiri, memiliki banyak
tanggungan. Sudah, tak usah dibahas. Kalian bilang kalian menyoroti fair trade dan
sampai ke depan hidung saya, secara tidak langsung kalian sepertinya menyalahkan saya.
Saya ingin kalian tahu, saya bukannya tidak tahu malu, tidak bersimpati dengan hidup
petani, kami membeli bahan dasar sesuai kesepakatan. Kami tawarkan harga segitu,
petani setuju, sepakat dua belah pihak, salahkah saya?”
“Kenapa Bapak tidak memberi harga yang lebih layak?” potong Chandra.
“Mbak, mata kamu bagus, kritis. Kami hanya menekan biaya yang sekiranya bisa
ditekan. Biaya produksi kami besar, pekerja kami banyak, saingan kami banyak. Kami
juga korban ketidakadilan dalam perdagangan. Kalian jangan berpikiran sempit bahwa
fair trade hanya tentang petani yang menderita. Masalah kebijakan ekspor-impor, politik
dumping yaitu menjual produk lebih murah di negara lain ketimbang di negara sendiri,
masalah cukai, dan sebagainya juga merupakan masalah yang ingin dipecahkan lewat fair
trade, apalagi isu perdagangan bebas sudah mulai berkembang. Gara-gara politik
dumping, konsumen merasa lebih suka membeli produk impor, dan bila perdagangan
bebas terjadi, pengusaha asing akan leluasa mengalahkan pengusaha lokal. Betapa
susahnya saya memikirkan itu, bagaimana dengan pekerja kita? Akankah menambah
rekor pengangguran kita? Coba kalian pikir bila kalian berada di posisi saya dan para
pengusaha. Serba salah, ’kan? Kami juga butuh fair trade!”
***
Senin, 24 September 2007, Lapangan Upacara SMA 13.
“Coba jujur, bangga mana kita sebagai konsumen, memakai produk lokal atau
produk asing? Silakan merenung. Saya di sini ingin mengampanyekan fair trade,
mungkin kita belum bisa berbuat banyak. Tapi mulailah dengan hal sederhana, buka mata
dan wawasan, ini masalah di negara kita, masalah kita! Cintailah produk dalam negeri,
hormatilah para petani, serukan fair trade, keadilan! Bukankah sila kelima Pancasila
adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Hal itu selalu dikumandangkan
setiap upacara Senin, pahami, renungkan, sudah adilkah kita pada diri sendiri, pada orang
lain? Kita bisa! Mantapkan dalam hati, dukung perdagangan adil demi kesejahteraan
semua! Terima kasih, demikian orasi saya, maaf apabila ada yang kurang berkenan.
Selamat pagi!” Chandra menutup orasinya. Tepuk tangan membahana, tidak hanya para
siswa, guru pun bertepuk tangan. Chandra tidak mendengarnya, ia telah menetapkan hati,
ia akan terus mengampanyekan fair trade, sebagai ketua OSIS atau bukan. Ia berjalan
dengan tegak. Di matanya tampak sosok Dion yang siap menyambutnya dengan hangat
dan dengan tangan terentang.
SELESAI