47
ii OSTEOARTHRITIS LUMBAL Oleh dr. Ida Bagus Gede Arimbawa Pembimbing dr. I Ketut Suyasa, SpB, SpOT (K) PROGRAM STUDI ILMU ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

ii

OSTEOARTHRITIS LUMBAL

Oleh

dr. Ida Bagus Gede Arimbawa

Pembimbing

dr. I Ketut Suyasa, SpB, SpOT (K)

PROGRAM STUDI ILMU ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Page 2: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

iii

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul .................................................................................................... i

Daftar Isi ................................................................................................................ ii

Daftar Gambar .................................................................................................... iv

BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 3

2.1 Definisi dan Terminologi .......................................................... 3

2.2 Anatomi dan Biomekanika ....................................................... 4

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko .................. ..................................... 11

2.3.1 Umur ................................................................................. 13

2.3.2 Jenis Kelamin .................................................................... 14

2.3.3 Level Spinal ...................................................................... 15

2.3.4 Orientasi Faset dan Tropisme ........................................... 15

2.3.5 Degenerasi Diskus Intervertebralis ................................... 16

2.3.6 Degradasi Kolagen Tipe II ................................................ 16

2.3.7 Kegemukan ....................................................................... 17

2.3.8 Lain-lain ............................................................................ 17

2.4 Patogenesis...................... ........................................................... 17

2.4.1 Perubahan Struktural ......................................................... 19

2.4.2 Perubahan Biokimia dan Metabolik pada Tulang Rawan. 20

2.4.3 Faktor Pertumbuhan dan Sitokin ...................................... 21

2.5 Manifestasi Klinis............................... ....................................... 23

2.6 Imaging................. ..................................................................... 26

2.7 Pemeriksaan Laboratorium............................... ......................... 30

2.8 Diagnosis.................................................................................... 30

2.9 Manajemen............................... .................................................. 32

2.9.1 Pendekatan Nonfarmakologi ............................................. 32

2.9.2 Pendekatan Farmakologi ................................................... 34

Page 3: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

iv

2.9.3 Pendekatan Operatif dengan Terapi Fusi Spinal ............... 43

BAB 3. PENUTUP............................................................................ ..................... 52

3.1 Kesimpulan ..................................................................... .......... 52

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Anatomi Lumbal Spinalis ..................................................................... 5

Gambar 2. Anatomi Sendi Faset dan Diskus Intervertebralis ................................. 6

Gambar 3. Sendi Faset Lumbal ............................................................................... 7

Gambar 4. Pergerakan Lumbal Spinalis ................................................................. 8

Gambar 5. Gambaran Titik Kontak Sendi Faset ..................................................... 8

Gambar 6. Beban pada Sendi Faset Lumbal saat Berdiri Tegak ............................ 9

Gambar 7. Rotasi Lumbal Spinalis ......................................................................... 10

Gambar 8. Klasifikasi Osteoarthritis....................................................................... 12

Gambar 9. Sumber-sumber Biomarker pada OA .................................................... 19

Gambar 10. Distribusi Referred Pain Sendi Faset Lumbal .................................... 25

Gambar 11. Contoh Gambaran Sendi Faset ............................................................ 29

Gambar 12. Sistem Gradasi Radiografi pada OA Sendi Faset ............................... 30

Gambar 13. Injeksi pada Defek L5 ......................................................................... 40

Gambar 14. Sendi Faset L3/4.................................................................................. 42

Gambar 15. Radiografi Post Operatif L4-5 dan L5-S1 dengan Instrumentasi ....... 48

Gambar 16. Radiografi Post Operatif L4-5 dengan Instrumentasi ......................... 48

Page 5: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

vi

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Osteoarthritis (OA) merupakan proses degeneratif kronis dengan penyebab multifaktorial

yang ditandai dengan hilangnya tulang rawan sendi, hipertrofi pada tepi tulang, sklerosis

subkondral dan perubahan biokemikal dan morfologi membran sinovial dan kapsul sendi

(Mahajan, 2005). Hal ini menyebabkan nyeri sendi, pergerakan yang terbatas, deformitas

dan disabilitas, dan akhirnya menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari. OA

dikenal juga dengan arthritis degeneratif yang biasanya terjadi pada tangan, kaki, tulang

belakang, dan sendi besar penopang berat badan seperti pinggul dan lutut. OA merupakan

penyakit rematik kronis yang sering terjadi dan sebagai penyebab nyeri dan disabilitas di

berbagai negara di dunia. Kebanyakan kasus OA tidak diketahui penyebabnya dan ini

disebut dengan OA primer. OA primer kebanyakan berhubungan dengan proses penuaan,

sedangkan OA sekunder disebabkan oleh penyakit atau keadaan lainnya (Sniekers, 2009).

Prevalensi OA telah meningkat selama 20 tahun terakhir, dan meningkatnya harapan

hidup dan obesitas yang juga merupakan faktor resiko OA telah meningkatkan

kekhawatiran akan konsekuensi OA di masyarakat. Prevalensi OA meningkat sesuai

dengan umur dan umumnya lebih sering mengenai

wanita daripada laki-laki. OA diperkirakan sebagai penyebab keempat terbanyak disabilitas

di dunia (Goode et al, 2013)

OA lebih sering dikenal dengan penyakit pada sendi sendi perifer sehingga prevalensi

dan efek disabilitas dari OA tulang belakang sering dikesampingkan. Namun, prevalensi

OA lumbal diperkirakan cukup tinggi, berkisar antara 40-85%. Proses degenerasi pada

tulang belakang sering diklasifikasikan sebagai OA (penyempitan ruang diskus dan

Page 6: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

vii

osteofit); namun, secara anatomi sendi faset merupakan sendi synovial satu satunya pada

tulang belakang yang memiliki proses patologis yang sama dengan sendi pada umumnya

(Goode et al, 2013).

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Terminologi

Osteoarthritis (OA) merupakan istilah yang pertama kali dicetuskan oleh John Spender

pada tahun 1886. Arthritis deformans yang dicetuskan oleh Heine pada tahun 1926,

digunakan sebagai sinonim OA di Eropa selama beberapa tahun. Mereka tidak memberikan

informasi tentang proses patologis yang mendasari kelainan tersebut. Perubahan tulang

rawan artikular tidak dijelaskan sampai akhirnya Bennett, Waine, dan Bauer melakukan

Page 7: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

viii

investigasi pada tahun 1942. Johnson menemukan konsep bahwa OA merupakan proses

dekompensasi remodeling sendi sebagai respon terhadap stress biomekanikal kronis.

Pandangan itu masih tetap dipakai hingga sekarang.

Walaupun sering disebut dengan penyakit hilangnya tulang rawan artikuler dan

hipertrofi tulang, prosesnya mencangkup sendi secara keseluruhan, termasuk tulang

subkondral, tulang rawan, ligament, kapsul, sinovium, dan otot paraspinal dan jaringan

lunak periartikuler. OA sendi faset sering berhubungan dengan penyakit degenerasi diskus

(Gellhorn et al, 2013).

Salah satu definisi OA pada saat ini memperhitungkan perubahan morfologi,

biokimia, molekul dan biomekanikal dari sel dan matrik yang menyebabkan terjadinya

penipisan, fibrilasi, ulserasi dan hilangnya fungsi tulang rawan artikular, sklerosis dan

eburnasi dari tulang subkondral, pembentukan osteofit dan kista subkondral (Moskowitz,

2007).

2.2 Anatomi dan Biomekanika

Lumbal spine dibentuk oleh lima vertebra, L1-L5. Korpus vertebranya besar dan berbentuk

seperti ginjal bila dilihat dari superior, lebih lebar pada dimensi mediolateral dibandingkan

dengan dimensi anteroposterior. Seperti halnya regio yang lain pada spinal, korpus vertebra

ukurannya semakin besar menuju ke arah sacrum. Hal ini berhubungan dengan peningkatan

beban dari berat badan yang ditumpunya. Pedikelnya berbentuk oval dan lebar

dibandingkan dengan regio thorakal. Oleh sebab itu, pedikel lumbal sering dipakai sebagai

titik fiksasi dari skrew. Prosesus tranversusnya tidak sebesar pada regio thorakal. Prosesus

spinosusnya besar, berbentuk kotak dan horizontal. Foramen vertebranya lebar dan

berbentuk segitiga, mirip dengan regio servikal. Hal ini menyediakan ruang yang cukup

bagi kauda equina dan akar akar saraf yang mengontrol fungsi extremitas bawah. Foramen

Page 8: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

ix

intervertebralisnya panjang dan akar akar saraf menempati sekitar 33% dari total

diameternya (Schnuerer et al, 2011). Anatomi lumbal spine dapat dilihat pada gambar 1

dibawah.

Anatomi dan biomekanik sendi faset (zygapophyseal) lumbal sangat baik dijelaskan

dengan framework of Kirkaldy-Willis dan tiga tahap degenerasi spinal oleh Farhan yang

dideskripsikan pada tahun 1983. Tiap segmen spinal terdiri dari diskus intervertebralis di

bagian anterior dan sepasang sendi faset di

Gambar 1. Anatomi Lumbal Spinalis

bagian posterior membentuk komplek tiga sendi (Gambar 2). Diskus dan dua sendi faset

secara progresif melalui tahap disfungsi, mikro dan makro instabilitas, dan akhirnya

stabilisasi; dimana satu sendi mempengaruhi 2 sendi yang lain. Perubahan degeneratif pada

pada satu sendi mempengaruhi biomekanika dari semua komplek (Varlotta et al, 2010).

Page 9: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

x

Gambar 2. Anatomi sendi faset dan diskus intervertebralis. Pada setiap level spinal, sepasang sendi faset

membentuk kompleks tiga sendi atau spinal motion segment

Sendi faset lumbal (zygapophyseal) berjumlah sepasang, sendi synovial yang

sebenarnya yang terdiri dari artikulasi posterolateral antara level vertebra. (Gambar 3).

Setiap sendi terdiri dari prosesus artikularis superior yang besar, menghadap ke posterior

dan medial dengan permukaannya yang cekung dari vertebra di bawahnya dan prosesus

artikularis inferior yang menghadap ke arah anterior dan lateral dari vertebra di atasnya.

Morfologi tiap sendi berbentuk kirs-kira seperti huruf “C” dan “J”. Sendi faset lumbal

mengandung tulang rawan hialin, membran sinovial, kapsul fibrus, dan ruang sendi dengan

kapasitas 1 sampai 2 ml. Keberadaan meniskus (meniscoids) pada sendi faset lumbal telah

banyak ditekankan pada beberapa publikasi. Meniskus tersebut berfungsi untuk

mengkompensasi inkonruitas permukaan sendi dan mengisi ruang yang kosong (Kalichman

et al, 2007).

Page 10: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xi

Gambar 3. Sendi faset lumbal. IAP, inferior articular process; SAP, superior articular process; cart,

articular cartilage; men, meniscus

Mobilitas lumbal paling besar pada saat pergerakan fleksi/ekstensi (mobilitas

kumulatif pada segmen L1-L5: 57o) dan terbatas selama lateral bending (L1-L5: 26

o) dan

rotasi aksial (L1-L5: 8o) seperti pada gambar 4 dibawah ini. Pergerakan fleksi/ekstensi

lumbal spinalis yang memiliki jangkuan yang luas menyebabkan gap fisiologis pada sendi

faset pada fase akhir gerakan, dan hal ini dapat mengakibatkan tekanan yang maksimal

pada tepi bawah faset inferior selama ekstensi dan tepi atas faset superior selama fleksi

(Gambar 5). Pada posisi berdiri tegak,sendi faset antara L5 dan sacrum menerima beban ke

arah depan yang berkelanjutan oleh karena adanya lordosis lumbal (Gambar 6).

Gambar 4. Pergerakan lumbal spinalis. (A) Fleksi (side) lateral. (B) Fleksi/ekstensi. (C) Rotasi

Page 11: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xii

Gambar 5. Gambaran skematis menunjukkan titik kontak antara faset superior dan inferior selama

pergerakan fleksi/ekstensi. Faset superior mengalami kerusakan terutama pada bagian superior selama

fleksi, (A) faset inferior memberikan tekanan maksimal. Faset inferior mengalami kerusakan tulang

rawan pada bagian superior dan inferior selama ekstensi.

Selama fleksi beban ini meningkat dan dialami juga oleh level spinal di atas L5-S1. Pada

segmen bawah spinal, beban ini lebih besar karena berat badan yang lebih besar di atas

level ini dan juga karena sumbu panjang dari pusat massa tubuh. Oleh sebab itu,

peningkatan area kartilagenus pada sendi faset segmen lumbal bawah adalah normal

sebagai konsekuensi dari Wolf’s law (Tisher et al, 2006)(Kalichman et al, 2007).

Page 12: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xiii

Gambar 6. Beban pada sendi faset lumbal pada posisi berdiri tegak.

Rotasi aksial vertebra lumbal terjadi di sekitar aksis longitudinal yang melewati

sepertiga korpus vertebra bagian posterior dan diskus intervertebralis. Selama rotasi ini,

elemen-elemen posterior vertebra superior yang bergerak ke arah lateral, berlawanan

dengan arah dari rotasi tersebut. Dengan pergerakan ini, prosesus artikularis inferior dari

vertebra ini akan membentur prosesus artikularis superior vertebra di bawahnya (Gambar

7). Mekanisme hambatan rotasi aksial ini melindungi diskus intervertebralis dari torsi yang

berlebihan (Tisher et al, 2006)(Kalichman et al, 2007).

Page 13: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xiv

Gambar 7. Rotasi lumbal spinalis. Prosesus artikularis inferior vertebra superior (berwarna abu-abu)

membentur prosesus artikularis superior vertebra inferior pada rotasi aksial.

Diskus intervertebralis lumbal yang sehat mendistribusikan stress kompresi dan

kompresi eksentrik yang sama pada end platenya. Horst dan Brinckmann

mendemonstrasikan diskus yang mengalami degenerasi menerima stress kompresi

eksentrik yang asimetris. Apa yang memulai terjadinya degenerasi diskus masih belum

jelas, namun beberapa abnormalitas pada morfologi diskus mendahului proses degenerasi.

Sejalan dengan proses degenerasi yang terjadi pada diskus intervertebralis karena proses

penuaan dan cedera mikro yang berulang, serat anular terluar mulai mengalami

fragmentasi, memindahkan lebih banyak beban ke posterior melalui komplek tiga sendi,

menyebabkan pergerakan sendi faset yang berlebihan. Dalam kondisi normal, antara 3%

dan 25% beban segmental ditransmisikan pada sendi faset, presentase ini meningkat

sampai dengan 47% pada sendi yang mengalami degenerasi (Tisher et al, 2006).

Selain diskus intervertebralis dan struktur tulang dari sendi faset, kapsul faset juga

memiliki peran mencegah gerakan sendi yang berlebihan. Tebal kapsul normal kurang

lebih 1 mm dan melekat 2 mm dari tepi artikuler. Kapsul membantu membatasi rotasi

aksial seperti halnya pergeseran ke belakang pada saat ekstensi. Walaupun pada awalnya

perubahan degeneratif tulang rawan sendi menyebabkan gerakan sendi faset yang

Page 14: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xv

abnormal atau hipermobilitas sendi, namun pada akhirnnya akan menstabilkan segmen

spinal dan membatasi gerakan yang berlebihan. Tischer dan kawan kawan mendapatkan

prevalensi tinggi dari defek tulang rawan pada sendi faset lumbal cadaver dibandingkan

dengan pembentukan osteofit. Defek ini ditemukan pada tepi lateral dari faset superior

dimana kapsul dorsal melekat pada tempat terjadinya stress yang berlebihan terutama pada

proses degeneratif lanjut. Rotasi segmental yang berlebihan akan meregangkan bagian

posterior dari kapsul sendi yang kontralateral menyebabkan pembentukan spur tulang

sebagai upaya membatasi pergerakan abnormal (Varlotta et al, 2010).

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko

OA dapat diklasifikasikan sebagai primer (idiopatik) dan sekunder (Gambar 8). OA

sekunder dapat disebabkan oleh beban abnormal pada sendi (contohnya pada trauma atau

occupational overuse) atau kelainan pada sendi (seperti hemokromatosis, arthritis

inflamasi kronis, penyakit Kristal kronis, septic arthritis) (Shojania et al, 2013).

Page 15: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xvi

Gambar 8. Klasifikasi Osteoarthritis

Seperti pada OA di tempat lain, faktor resiko yang potensial untuk OA sendi faset

diantaranya umur, jenis kelamin, predisposisi genetik, etnik, malalignmen anatomi

(hiperlordosis, skoliosis, dan lain-lain), komposisi tubuh (kegemukan), pekerjaan

(fleksi/ekstensi yang berulang, duduk lama, mengangkat benda berat), dan faktor nutrisi

dan gaya hidup (Kalichman et al, 2007) (Gellhorn, 2012). Osteoarthritis (OA) terjadi

dengan meningkatnya umur namun bukan sebagai hasil langsung dari proses penuaan. OA

dapat disebabkan karena peradangan berulang, stress mekanik, trauma, infeksi sendi,

kegemukan, kerusakan ligament, hormonal, kehamilan, dan kondisi lainnya (Chang et al,

2010).

2.3.1 Umur

Page 16: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xvii

Prevalensi OA sendi faset meningkat dengan umur. Lewin pada ulasan anatomi sendi

sinovial lumbal yang komprehensif, menyatakan bahwa sendi faset menunjukan hanya

terjadi sedikit perubahan tulang rawan sebelum umur 45 tahun. Setelah umur tersebut,

terjadi perubahan tulang rawan lebih lanjut, sklerosis subkondral, dan pembentukan

osteofit. Namun, perubahan degeneratif yang signifikan dapat ditemukan pada individu

muda sekalipun. Tischer dan kawan-kawan pada studi cadaver menemukan perubahan

tulang rawan yang signifikan pada sendi faset individu muda (< 30 tahun) yang menderita

nyeri punggung bawah. Gries dan kawan-kawan, pada studinya pada individu muda (<

40, rata-rata umur 29,1 tahun), menemukan hilangnya tulang rawan sebagian atau total,

dan digantinya tulang rawan oleh jaringan panus pada beberapa kasus (Kalichman et al,

2007). Pada regio lumbal, umur memiliki hubungan yang kuat dengan prevalensi OA

sendi faset yaitu sebesar 56,60 (Gellhorn et al, 2012).

2.3.2 Jenis Kelamin

Studi imaging yang terakhir menemukan tidak terdapat perbedaan prevalensi OA sendi

faset lumbal. Namun, ditemukan perbedaan dalam jenis kelamin kejadian OA pada

tempat lain. Fujiwara dan kawan-kawan pada studi cadaver membandingkan segmen

pergerakan spinal pada laki-laki dan wanita dengan umur, tingkat degenerasi diskus,

degenerasi tulang rawan, dan osteofit yang sama. Mereka menemukan pergerakan spinal

pada wanita menunjukan pergerakan yang lebih besar yang signifikan secara statistic

pada bending lateral, fleksi, dan ekstensi, tapi tidak dengan rotasi aksial, dibandingkan

dengan laki-laki (Kalichman et al, 2007). Wanita lebih banyak menderita OA sendi faset

dibandingkan dengan laki-laki pada pemeriksaan CT scan lumbal (adjusted OR 1,86;

95% CI 1,09-3,18) dan radiografi polos (OR 1,52; 95% CI 1,14-2,0) (Gellhorn et al,

2012).

Page 17: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xviii

Satu penjelasan tentang perbedaan dalam jenis kelamin bahwa tulang rawan

merupakan jaringan yang sensitif terhadap hormon seksual. Ha dan kawan-kawan pada

studi imunohistokimia sendi faset lumbal mendemonstrasikan reseptor estrogen pada

tulang rawan faset dan menemukan juga peningkatan ekspresi estrogen yang signifikan

yang berhubungan dengan tingkat keparahan arthritis sendi faset. Perbedaan level

estrogen pada laki-laki dan wanita dan penurunan yang dramatis level estrogen setelah

menopause berkontribusi pada perbedaan pola degenerasi sendi faset pada laki-laki dan

wanita (Kalichman et al, 2007).

2.3.3 Level Spinal

Beberapa studi menunjukan bahwa kerusakan sendi faset lebih berat pada segmen

pergerakan kaudal dibandingkan dengan level yang lain. Fujiwara dan kawan-kawan

menemukan median gradasi OA sendi faset pada L4-5 lebih tinggi secara bermakna

dibandingkan dengan pada L3-4 (P < 0,05), sedangkan tidak ditemukan perbedaan

bermakna antara L3-4 dan L5-S1, dan antara L4-5 dan L5-S1 (Kalichman et al,

2007)(Gellhorn et al, 2012). Beberapa publikasi menunjukan bahwa spondilolistesis

degeneratif yang biasanya berhubungan dengan OA sendi faset terjadi terutama pada L4-

5 dan setelah itu pada level spinal L5-S1. Namun, prevalensi OA sendi faset pada level

spinal yang lain masih belum jelas (Kalichman et al, 2007).

2.3.4 Orientasi Faset dan Tropisme

Orientasi faset diakui berhubungan dengan degenerasi sendi faset dan spondilolistesis

degeneratif. Semua studi tentang hal tersebut menemukan bahwa individu dengan sudut

sendi faset yang lebih besar secara relatif dengan penampang koronal (orientasi sendi

faset lebih sagital) menunjukan perubahan degeneratif sendi faset yang lebih besar dan

insiden spondilolistesis degeneratif yang lebih tinggi. Dai juga menemukan bahwa

tropisme sendi faset berhubungan secara bermakna dengan spondilolistesis

Page 18: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xix

degeneratifdan penyakit degenerasi diskus. Grogan dan kawan-kawan pada studi cadaver,

Alperovitch-Najenson pada studi CT, dan Berlemann dan kawan-kawan pada studi MRI

dan CT menemukan bahwa umur dan sudut sendi faset, tapi tidak tropisme merupakan

faktor penting pada degenerasi sendi faset (Kalichman et al, 2007).

2.3.5 Degenerasi Diskus Intervertebralis

Banyak studi menekankan pada diskus intervertebralis sebagai lokasi awal terjadinya

degenerasi spinal, seperti degenerasi sendi faset sebagai hasil dari degenerasi diskus.

Konsekuensi mekanis dari degenerasi diskus, antara lain hilangnya tinggi diskus dan

instabilitas segmental, peningkatan beban pada sendi faset dan subluksasi pada sendi dan

perubahan tulang rawan. Vernon-Roberts dan Pirie mendideksi lebih dari 100 lumbal

spinal dan menyimpulkan bahwa degenerasi diskus merupakan kejadian awal yang

menyebabkan pembentukan osteofit dan perubahan pada sendi faset. Videman dan

kawan-kawan menunjukan bahwa 20% degenerasi spinal, degenerasi faset mendahului

degenerasi diskus. Lewin juga menyimpulkan bahwa selain pergerakan segmen L5-S1,

degenerasi diskus bukan merupakan satu-satunya faktor predisposisi dari onset dan

terjadinya OA pada sendi sinovial lumbal (Kalichman et al, 2007).

2.3.6 Degradasi kolagen Tipe II

Meulenbelt dan kawan-kawan, pada studi cross-sectional, menunjukan bahwa konsentrasi

kolagen tipe II C-telopeptide (UCTX-II), marker degradasi kolagen tipe II pada tulang

rawan artikuler atau diskus intervertebralis, berhubungan erat dengan OA sendi faset pada

gambaran radiografi dan juga degradasi tulang rawan. Pada studi longitudinal sebelumnya

menunjukan hubungan antara UCTX-II dengan progresifitas OA yang cepat pada lokasi

yang berbeda, tapi tidak dapat membedakan apakah degradasi kolagen tipe II sebagai

penyebab atau konsekuensi OA (Kalichman et al, 2007).

2.3.7 Kegemukan

Page 19: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xx

BMI yang tinggi juga merupakan faktor resiko independen berhubungan dengan OA

sendi faset lumbal, dan besar hubungannya lebih besar dibandingkan dengan OA sendi

faset servikal. Resiko OA sendi faset pada pemeriksaan CT scan lumbal hampir tiga kali

lebih tinggi pada individu dengan berat badan berlebih (BMI 25-30 kg/m2), dan lima kali

lebih tinggi pada obesitas (BMI: 30-35 kg/m2), bila dibandingkan dengan individu

dengan berat badan normal (BMI ≤ 25 kg/m2) (Gellhorn et al, 2012).

2.3.8 Lain-lain

Keturunan Afrika Amerika memiliki resiko yang rendah menderita OA sendi faset

dibandingkan dengan Amerika kulit putih. (OR 0.42; 95% CI 0.31–0.56). Kalsifikasi

aorta abdominal berhubungan dengan OA sendi faset, tapi merokok dan faktor resiko

kardiovaskuler yang lain tidak berhubungan.

2.4 Patogenesis

Walaupun etiologi OA masih belum dipahami sepenuhnya, perubahan biokimia, struktural

dan metabolik pada tulang rawan sendi telah didokumentasikan dengan baik. Telah

diketahui bahwa sitokin, trauma mekanik dan perubahan genetik terlibat dalam patogenesis

dan faktor-faktor di atas dapat mengawali kaskade degeneratif yang menyebabkan

perubahan karakteristik tulang rawan sendi pada OA. Tulang rawan hialin yang normal

terbentuk dari kondrosit yang terbenam dalam matrik ekstraselular dimana nantinya akan

terisi oleh air, kolagen tipe 2 dan proteoglikan. Tulang rawan tetap stabil dengan adanya

degenerasi dan regenerasi aktif yang seimbang. Dalam keadaan normal, kondrosit artikular

mempertahankan keseimbangan dinamis antara sintesis dan degradasi komponen

extracellular matrix (ECM), termasuk kolagen tipe 2 dan aggrekan, yang merupakan

proteoglikan terbanyak pada tulang rawan artikular. Pada keadaan osteoarthritis (OA),

gangguan keseimbangan matrik ini menyebabkan hilangnya jaringan tulang rawan yang

Page 20: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxi

progresif, ekspansi klonal kondrosit pada area-area yang mengalami deplesi, induksi stres

oksidatif pada tingkat molekular, dan akhirnya apoptosis sel (Mahajan et al, 2005).

Bila ada keadaan-keadaan sebagai pencetus, hal ini akan menyebabkan degenerasi

matriks dan tulang rawan dan replikasi kondrosit aktif dengan peningkatan biosintesis. Hal

ini mengakibatkan suatu keadaan homeostasis yang dikenal dengan OA terkompensasi,

dimana perbaikan dan degenerasi dalam keadaan seimbang. Setelah beberapa tahun, proses

perbaikan menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan proses degradasi tulang rawan yang

tidak terbendung yang menyebabkan OA progresif. Pada saat ini, OA diketahui sebagai

proses penyakit yang mengenai seluruh struktur sendi termasuk tulang rawan, membran

sinovial, tulang subkondral, ligamen dan otot-otot periartikular. Semua perubahan diatas

menimbulkan proses inflamasi, nyeri dan kerusakan struktural yang mengakibatkan

hilangnya fungsi yang normal (Lotz, 2014). Sumber-sumber biomarker pada OA dapat

dilihat pada gambar 9 di bawah ini.

Gambar 9. Sumber-sumber biomarker pada OA

2.4.1 Perubahan struktural

Page 21: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxii

Perubahan utama yang terjadi yaitu berkurangnya proteoglikan, fibrilasi, penggumpalan

kolagen, migrasi atau multiplikasi kondrosit dan hilangnya tulang rawan. Awalnya

terbentuk area seperti tekstur koral yang terlokalisir pada permukaan diikuti oleh

gangguan sepanjang serat kolagen (pengelupasan tangensial, fibrilasi vertikal). Dengan

terbentuknya celah pada tulang rawan, matriks disekitarnya kehilangan material

metakromatis yang mengindikasikan hilangnya proteoglikan. Proliferasi kondrosit lokal

terjadi sebagai upaya untuk memperbaiki diri sendiri atau self-repair yang menyebabkan

iregularitas dari bentuk hyalin tulang rawan fibrus (Lotz et al, 2014).

Berikutnya terjadi pembentukan tulang baru pada tulang subkondral dan tepi sendi

(osteofit). Kista subartikular menonjol bila tulang rawan diatasnya tipis atau tidak ada.

Fragmen tulang dan tulang rawan yang terlepas akan membentuk loose bodies,

mengalami disolusi atau bergabung dengan sinovium dan mengalami proliferasi lokal.

Sinovium menjadi tebal dan mengalami hipertrofi dan kapsul berkerut dengan infiltrasi

folikel limfoid, limfosit dan makrofag. Kalsifikasi terjadi dengan adanya deposit kristal

kalsium pada tulang rawan dengan dugaan uptake sekunder pada sinovium. Selain

hilangnya tulang dan tulang rawan pada beberapa bagian sendi, efek pembentukan tulang

dan tulang rawan baru meningkatkan ukuran sendi dan remodeling (Lotz et al, 2014).

2.4.2 Perubahan Metabolik dan Biokimia pada Tulang Rawan

Peningkatan hidrasi dan pembengkakan dengan hilangnya kekuatan regangan diamati

pada OA stadium dini, sedangkan peningkatan sintesis kolagen tipe 1 dan penurunan

konsentrasi proteoglikan diamati pada OA stadium lanjut.

Pembengkakan awal dari jaringan fibrus kolagen dengan hilangnya kolagen tipe 2,

pemecahan yang spesifik dari kolagen dan hilangnya kekuatan regangan dengan

peningkatan isi dari kolagen tipe 4. Kolagen tipe 3 dan 10 juga disintesis. Peningkatan

ekstraktabilitas dan penurunan ukuran monomer karena pemecahan spesifik oleh

Page 22: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxiii

aggrecanase dan metalloproteinase. Terjadi peningkatan pada sitokin proinflamasi,

aggrecanase, MMPs (matrix metalloproteinase), katepsin dan penurunan keseluruhan

inhibitor (TIMP, etc). Dari ketiga MMPs utama (1,8, dan 13) yang mendegradasi kolagen,

MMPs-13 yang paling penting karena mendegradasi kolagen tipe 2 yang ekspresinya

meningkat cukup besar pada OA. Aggrecanase termasuk dalam keluarga protease

ekstraselular yang dikenal sebagai disintegrin dan metaloprotease dengan motif

thrombospondin (ADAMTS). ADAMTS-4 dan ADAMTS-5 muncul sebagai enzim

utama pada degradasi tulang rawan pada arthritis. IL-1 beta yang disintesis oleh sel

mononuklear (termasuk sel sinovial) pada sendi yang mengalami inflamasi

dipertimbangkan oleh beberapa investigator sebagai mediator utama pada degradasi

matriks tulang rawan dan menstimulasi sintesis dan sekresi dari banyak enzim degradatif

pada tulang rawan termasuk latent collagenase, stronelysin, gelatinase dan tissue

plasminogen activator. Keseimbangan antara enzim aktif dan laten dikontrol sedikitnya

oleh 2 enzim inhibitor: TIMP dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAT-1), yang

akhirnya diatur oleh TGF-beta. Bagaimanapun juga, keseimbangan antara sintesis dan

degradasi proteoglikan penting dalam patogenesis kerusakan tulang rawan (Lotz et al,

2014).

2.4.3 Faktor Pertumbuhan dan Sitokin

TGF beta-1,2,3, fibroblas, platelet derived growth factors, insulin growth factor-1 (IGF-

1), dan bone morphogenetic protein (BMP) termasuk kedalam faktor pertumbuhan dan

sitokin yang bersifat anabolik. TGF (tissue growth factor beta-1,2 & 3) membantu dalam

proliferasi kondrosit, sintesis matriks, memodulasi efek dari IL-1 dan meningkatkan

proteinase inhibitor. Fibroblas dan platelet derived growth factors juga membantu dalam

diferensiasi dan proliferasi kondrosit dan produksi MMP. Insulin growth factor-1 (IGF-1)

Page 23: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxiv

meningkatkan sintesis glicosaminoglycan (GAG) dan kolagen. BMP meningkatkan

sintesis matriks (Lotz et al, 2014).

Beberapa faktor pertumbuhan dan sitokin juga berperan sebagai faktor katabolik.

Interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNFα) meningkatkan MMPs,

menghambat sintesis GAG dan berperan lebih lanjut pada kaskade degradasi. Oncostatin-

M yang berkombinasi dengan IL-1 dan TNF menyebabkan kerusakan matriks. Sitokin

yang lain seperti IL-17 dan IL-18 meningkatkan ekspresi IL-1 dan IL-6 dan

meningkatkan MMP. NO (nitric oxide) merupakan faktor katabolik utama yang

diproduksi oleh kondrosit sebagai respon terhadap sitokin proinflamasi seperti IL-1 beta

dan TNF-alpha. NO dapat menghambat kolagen dan sintesis proteoglikan, dapat

mengaktifkan MMPs dan menyebabkan cedera oksidatif dan apoptosis mengakibatkan

degradasi tulang rawan artikular. Efek prostaglandin pada metabolisme kondrosit bersifat

kompleks diantaranya peningkatan sintesis kolagen tipe 2, aktivasi MMPs, dan

meningkatkan apoptosis. Pada tulang rawan, IL-1 beta menginduksi ekspresi COX-2 dan

produksi PGE2 berkoordinasi dengan degradasi proteoglikan. Selain itu, inhibisi COX-2

mencegah degradasi proteoglikan yang diinduksi oleh IL-1 (Lotz et al, 2014).

2.5. Manifestasi Klinis

Nyeri merupakan keluhan yang utama dari OA. Hal ini disebabkan oleh stimulasi serat

nyeri kapsular, mekano-reseptor (peningkatan tekanan intra-artikular karena hipertrofi

sinovium), serat saraf periosteal dan oleh persepsi dari mikrofraktur subkondral atau entesis

dan bursa yang nyeri. (Mahajan A, 2005).

Nyeri pada sendi OA kemungkinan berasal dari beberapa faktor. Tulang rawan sendi

faset tidak memiliki serat saraf, dan nyeri yang berhubungan dengan OA sendi faset berasal

dari nosiseptor dalam sendi dan sekitarnya, termasuk nosiseptor pada tulang itu sendiri.

Sendi faset dan kapsulnya diinervasi oleh cabang medial dari rami dorsalis primer saraf

Page 24: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxv

spinal, dimana ujung saraf bebas dan mekano-reseptornya telah diidentifikasi. Kapasitas

sendi faset yang dapat menghasilkan rasa nyeri telah didemonstrasikan pada individu

normal melalui injeksi larutan pada servikal dan lumbal spinal dan juga efek analgetik dari

injeksi anastetik lokal pada sendi tersebut. Faktor mekanik yang mengaktifkan serat

nosiseptor diantaranya tekanan langsung pada tulang subkondral, hipertensi intramedular,

mikrofraktur trabekular, distensi kapsul, dan inflamasi sinovium, dimana semua hal tersebut

diatas disebabkan oleh spasme dari otot erektor spinal, multifidi dan otot paraspinal yang

lain (Gellhorn et al, 2012).

Inflamasi yang berkepanjangan pada sendi faset dan sekitarnya dapat menyebabkan

sensitisasi sentral, plastisitas neuron, dan berkembangnya nyeri spinal kronis.

Bagaimanapun juga, OA sendi faset merepresentasikan hanya satu dari banyak penyebab

potensial nyeri spinal pada orang tua, dimana nyeri juga dapat disebabkan oleh degenerasi

diskus, masalah ligament dan otot-otot paraspinal, fraktur vertebra, infeksi spinal,

neoplasma, rheumatoid arthritis, spondyloarthritis dan yang lainnya (Gellhorn et al, 2012).

L3 sampai L5 merupakan region yang sering terlibat, walaupun osteofit dapat terjadi

pada setiap level. Hilangnya lordosis lumbal, nyeri saat ekstensi, dan spasme otot

paraspinal merupakan hal yang sering ditemukan. Nyeri tekan lokal pada vertebra lumbal

harus dipikirkan adanya fraktur kompresi atau keganasan daripada gejala spondilosis

(Moskowitz, 2007).

Sindroma klinis yang berhubungan dengan sendi faset biasanya berupa nyeri

punggung lokal dan kadang disertai dengan radiasi ke ekstremitas bawah. Pada gambar 10

dapat dilihat peta dari nyeri menjalar yang berasal dari sendi faset lumbal. Nyeri menjalar

dari sendi faset perlu dibedakan dengan nyeri radikular yang sebenarnya yang disebabkan

oleh kompresi atau iritasi pada akar saraf. Nyeri radikular cenderung menjalar jauh sampai

daerah ekstremitas distal dibandingkan nyeri sendi faset lumbal, dan dapat disertai dengan

Page 25: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxvi

defisit neurologis seperti hilangnya fungsi sensorik dan motorik, atau hilangnya reflek-

reflek (Gellhorn et al, 2012).

Selain dapat menyebabkan nyeri spinal, OA sendi faset dapat menghasilkan efek

sekunder pada struktur disekitarnya, yaitu akar saraf spinal tranversal. Osteofit dan

hipertrofi artikular yang terjadi pada OA sendi faset dapat menyebabkan penyempitan (atau

stenosis) pada kanalis spinal sentralis, resesus lateral, dan foramina intervertebralis, yang

dapat menjepit akar saraf spinal pada lokasi tersebut. Kista synovial, yang kadang-kadang

terbentuk pada

Gambar 10. Distribusi referred pain yang berasal dari sendi faset lumbal

OA sendi faset dapat memperparah stenosis yang terjadi. Sebagai tambahan,

spondylolistesis degenerative yang terjadi akibat instabilitas komplek tiga sendi (three-joint

complex), dapat menambah stenosis yang terjadi. Pada beberapa individu, stenosis dapat

menyebabkan gejala nyeri radikular atau neurogenic claudication, yang mana berbeda

dengan pola nyeri sendi faset yang tipikal (Gellhorn et al, 2012).

Kekakuan pada saat istirahat dan awal mulainya pergerakan merupakan keluhan yang

lain dideskripsikan pasien dengan OA. OA yang simtomatis berhubungan dengan depresi,

disabilitas, dan gangguan tidur (Moskowitz, 2007).

Page 26: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxvii

2.6. Imaging

Gambaran klasik dari radiografi OA sendi faset mencangkup dua proses yaitu degeneratif

dan proliferatif diantaranya penyempitan sendi faset, erosi tulang subartikuler, kista

subkondral, pembentukan osteofit, dan hipertrofi prosesus artikuler (Gellhorn et al, 2012).

Metode diagnostik yang biasa digunakan untuk mengevaluasi degenerasi pada sendi

faset adalah radiograf standar, CT, dan MRI. Radiografi standar, terutama tanpa proyeksi

obliq, memiliki nilai yang terbatas. Radiografi obliq memiliki sensitivitas 55% dan

spesifisitas 69% dalam menunjukan ada atau tidaknya penyakit pada sendi faset. Dalam

membedakan tidak adanya atau adanya penyakit sendi faset yang ringan dengan yang

penyakit sendi faset sedang atau berat, spesifisitas radiografi obliq menjadi lebih tinggi,

yaitu 94%, tapi sensitivitasnya menjadi sangat turun yaitu 23%. Pathria dan kawan kawan

melaporkan sensitivitas 55% dan spesifisitas 69% penggunaan gambaran oblique dalam hal

membedakan ada tidaknya penyakit degeneratif pada sendi faset L3-4 dan L5-S1 pada 50

pasien dengan keluhan nyeri punggung bawah (Varlotta et al, 2010). Oleh karena sendi

faset berada pada posisi oblid dan memiliki konfigurasi yang cekung, dengan orientasi

pararel satu dan yang lainnya, hanya salah satu sendi saja yang terlihat walaupun dengan

radiograf obliq. Radiografi polos mempunyai keterbatasan yang signifikan dalam

mendeteksi OA sendi faset stadium awal. Sehingga, walaupun radiografi standar dapat

diakses dengan mudah, tidak mahal, dan merupakan metode yang relativ tidak berbahaya,

metode ini hanya dapat digunakan untuk screening OA sendi faset (Kalichman et al, 2007).

Bila dibandingkan dengan radiografi standar, CT scan meningkatkan gambaran sendi

faset karena kemampuannya memproyeksikan gambaran aksial dan memiliki kontras yang

tinggi dalam membedakan struktur tulang dan jaringan lunak di sekitarnya. Keadaan

abnormal yang dapat ditunjukan dengan CT scan diantaranya pembentukan osteofit,

hipertrofi dari prosesus artikularis, penipisan tulang rawan artikuler, fenomena sendi

Page 27: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxviii

vakum, kista sinovial dan subkondral, dan kalsifikasi dari kapsul sendi (Kalichman et al,

2007). Pathria mendeskripsikan derajat arthropati sendi faset dengan menggunakan

gambaran CT. Gambaran radiografi sendi faset yang normal diklasifikasikan sebagai

derajat 0. Sendi faset dengan penyempitan diklasifikasikan sebagai derajat 1, faset dengan

penyempitan dan sklerosis atau hipertrofi diklasifikasikan sebagai derajat 2, dan faset

dengan penyakit degeneratif berat dengan adanya penyempitan, sklerosis dan osteofit

diklasifikasikan sebagai derajat 3 (Varlotta et al, 2010) (Verlotta et al, 2010). Karena

kemampuannya yang dapat mendemonstrasikan tulang lebih detail dan relatif tidak mahal,

CT masih merupakan metode imaging yang dipilih dalam mengevaluasi OA sendi faset

lumbal (Kalichman et al, 2007).

Beberapa studi menunjukan bahwa MRI kurang akurat dalam mengevaluasi OA sendi

faset dibandingkan dengan CT (Kalichman et al, 2007). CT scan lebih baik

mendemonstrasikan perubahan degeneratif sendi faset karena perbedaan yang tinggi antara

struktur tulang dan jaringan lunak disekitarnya dibandingkan dengan MRI. Fujiwara dan

kawan-kawan menjelaskan bahwa MRI kurang sensitif mendemonstrasikan tepi korteks

tulang, dan penipisan tulang rawan artikuler (Kalichman et al, 2007). Leone dan kawan-

kawan menemukan bahwa CT mendemonstrasikan dengan jelas tanda-tanda karakteristik

arthropati. Walaupun CT lebih akurat daripada MRI dalam hal membedakan patologi

tulang, namun tidak dapat menunjukan robekan tulang rawan pada stadium awal degenerasi

faset. Sebaliknya MRI memberikan gambaran yang lebih baik dari permukaan tulang rawan

yang mengalami robekan pada degenerasi faset stadium ringan dan berat (Varlotta et al,

2010). Pada studi MRI dari 60 sukarelawan yang asimtomatik yang berumur antara 20-50

tahun, Weishaupt dan kawan-kawan menemukan kurangnya OA yang berat dan kelangkaan

dari OA sendi faset stadium awal dan sedang. Mereka menyimpulkan abnormalitas pada

sendi faset bukan merupakan temuan yang tidak disengaja tapi berhubungan dengan nyeri

Page 28: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxix

punggung bawah. Beberapa studi menemukan bahwa bila ada pemeriksaan MRI, CT tidak

diperlukan untuk mengevaluasi degenerasi sendi faset (Kalichman et al, 2007).

Skintigrafi tulang dengan SPECT, pada satu sisi dapat membantu mengidentifikasi

pasien dengan nyeri punggung bawah yang mendapatkan manfaat dari injeksi sendi faset.

Skintigrafi radionuklid tulang dapat menunjukan area tulang yang fungsinya meningkat,

dan dapat menunjukan perubahan sinovial yang disebabkan oleh inflamasi atau hiperemia.

Skintigrafi tulang dapat mendemonstrasikan perubahan degeneratif, khususnya yang

mengalami remodeling derajat tinggi. Dengan SPECT, sensitivitas CT scan dalam

menunjukan lesi tulang menjadi meningkat (Kalichman et al, 2007). Gambaran sendi faset

dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 11. Contoh gambaran sendi faset: A. CT, B. MRI, C. radiografi oblique

Sistem gradasi radiografik biasanya digunakan pada OA sendi faset servikal dan

lumbal seperti pada gambar 12. Sistem ini menggunakan skala berdasar pada kombinasi

dari gambaran radiografi (Gellhorn et al, 2012).

Pada regio lumbal, gambaran klasik OA sendi faset sering terjadi ada level bawah.

Prevalensi OA sendi faset tertinggi pada L4-L5, diikuti oleh L5-S1. Gambaran sendi faset

yang lain diantaranya BMLs, efusi, dan edema periartikuler juga sering ditemukan pada L4-

L5 dan L5-S1. Gambaran OA sendi faset dapat tumpang tindih dengan kondisi imflamasi

Page 29: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxx

yang mengenai sendi faset seperti rheumatoid arthritis, spondyloarthritis dan gout (Gellhorn

et al, 2012).

Gambar 12. Sistem gradasi radiografi yang banyak digunakan pada OA sendi faset

2.7 Pemeriksaan Laboratorium

Sebagai kesatuan klinis, OA merupakan konstelasi klinis, radiologis, dan pemeriksaan

cairan sinovial. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada OA. Tes darah dan

urin biasanya menunjukan hasil yang normal, dan analisis cairan sinovial kadang

menunjukan hasil yang abnormal namun tidak spesifik. Walaupun demikian, pemeriksaan

cairan tubuh (darah, urin, cairan sinovial) dikerjakan untuk mengeksklusi bentuk lain dari

arthritis dan mengidentifikasi kelainan metabolik yang menjadi penyebab OA (Moskowitz,

2007).

2.8 Diagnosis

Diagnosis OA pada saat ini berdasarkan gejala klinis dan gambaran radiografi. Namun

keterbatasan dari radiografi (masalah teknis, presisi dan sensitivitas) menuntun

dilakukannya penelitian untuk mencari parameter lain untuk monitoring OA yang berfungsi

sebagai biomarker dalam pengembangan obat. The National Institutes of Health (NIH)

Page 30: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxxi

mendefinisikan biomarker dengan karakteristik yang diukur dan dievaluasi secara obyektif

sebagai indikator proses biologi normal, proses patogenik, atau respon farmakologis dari

intervensi terapeutik (Lotz et al, 2014).

MRI dan USG berguna dalam evaluasi OA dan pengembangan obat. Namun

penggunaan MRI terbatas oleh biaya yang mahal, ketersediaan alat dan tidak adanya skor

internasional yang valid. Alternatif lain adalah pengukuran biomarker dalam darah,

kencing atau cairan sendi yang merefleksikan perubahan dinamik dan kuantitatif

remodeling sendi, dan progresifitas penyakit. Pada OA, marker biokemikal dapat sebagai

molekul efektor, hasil dari kerusakan sendi, atau keduanya seperti pada kasus fragmen

matrik ekstraseluler tulang rawan, yaitu hialuronat, yang berfungsi sebagai biomarker dan

stimulus respon imun alami penyembuhan luka kronis pada OA (Lotz et al, 2014).

Kombinasi gejala klinis dan gambaran radiografi hanya mendiagnosis OA pada

keadaan ireversibel. Oleh karena itu, marker biokimia yang baru harus dapat mendeteksi

OA stadium awal. Kandidat biomarker pada OA harus memiliki nilai validitas,

reproduksibilitas dan prediktif dan informasi bagaimana hubungannya dengan proses yang

terjadi pada sendi dan hasil klinis akhir (seperti kerusakan struktural, nyeri atau disfungsi

dan/atau penggantian sendi) (Lotz et al, 2014).

2.9 Manajemen

Setelah diagnosis OA ditegakan, program pengobatan harus segera direncanakan. Korelasi

dari tingkat keparahan nyeri, keterbatasan fungsional, dan kualitas hidup yang menurun

dengan perubahan struktural yang ditunjukan pada gambaran radiografi hanya bersifat

sederhana, oleh karena itu keputusan manajemen tidak hanya semata-mata dibuat

berdasarkan tingkat keparahan perubahan struktural pada gambaran radiografi. Manajemen

pada individu dengan gejala OA diantaranya 1) mengontrol nyeri pada tingkat yang dapat

diterima oleh pasien, 2) mengurangi keterbatasan fungsional dan disabilitas, 3)

Page 31: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxxii

meningkatkan kualitas hidup, 4) mencegah pengobatan yang berlebihan yang potensial

memberikan efek samping dari obat-obatan (Moskowitz, 2007).

2.9.1 Pendekatan Nonfarmakologi

Edukasi diperlukan pada pasien OA untuk menjelaskan proses penyakitnya dan

bagaimana hal ini berefek pada pasien sendiri dan keluarganya. Adalah sangat penting

untuk menekankan bahwa banyak pilihan terapi yang baik dan dapat meningkatkan

kualitas hidup pasien. Kadang diperlukan konsultasi dengan occupational therapist yang

akan lebih menekankan proses edukasi dan menilai kebutuhan akan bantuan dalam

aktivitas sehari-hari. Bantuan ini meliputi tongkat, sepatu, walkers, dan ortosis. Konseling

untuk menurunkan berat badan juga penting karena akan mengurangi gejala OA. Pasien

juga harus diedukasi mengenai biomekanik tubuh yang benar, perubahan gaya hidup,

kebiasaan hidup sehat seperti kontrol berat badan, nutrisi yang sesuai, relaksasi stress, dan

berhenti merokok (Kerr et al, 2001).

Program latihan tertentu dan yoga dapat mengurangi nyeri dan mencegah

kekambuhan pada pasien dengan nyeri punggung bawah kronis. Pada studi klinis acak,

manipulasi osteopathic dapat mengurangi nyeri pada pasien dengan nyeri punggung

bawah. Akupuntur memberikan manfaat yang signifikan pada pasien dengan nyeri

punggung kronis (Cohen et al, 2007).

Manajemen konservatif lain yang sering diberikan adalah penggunaan brace atau

penyangga punggung yang terbatas dengan rekomendasi untuk tetap aktif atau kombinasi

dengan terapi nonoperatif yang lain. Berdasarkan hasil penelitian klinis acak, Calmesl dan

kawan-kawan, merekomendasikan keterbatasan penggunaan sabuk lumbal untuk

memperbaiki status fungsional, nyeri, dan penggunaan obat. Oleske dan kawan-kawan

melakukan penelitian klinis acak penggunaan penyangga punggung dan edukasi pasien

dengan nyeri punggung karena bekerja. Penulis menemukan tidak adanya efek pemulihan

Page 32: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxxiii

atau hilangnya jam bekerja antara kelompok pengguna penyangga punggung dan kontrol,

tapi penyangga punggung ditemukan memberikan manfaat dalam mencegah kekambuhan

(Anderrson, 2011).

Banyak modalitas terapi fisik dan rutin dijelaskan pada literatur diantaranya

program land-based and aquatic, protokol spesifik dan latihan rutin, dan program

kelompok pengobatan atau dikenal dengan nama back school. Modalitas tambahan

meliputi terapi pereda rasa nyeri seperti ultrasound, iontophoresis, transcutaneous

electrical nerve stimulation (TENS), dan terapi panas. Program latihan biasanya meliputi

latihan aerobik, peregangan, fleksi dan ekstensi rutin, core conditioning, protokol

stabilisasi punggung. Tujuan dari semua terapi diatas adalah meningkatkan kekuatan,

fleksibilitas badan dan otot-otot panggul. Pasien kadang memiliki respon yang berbeda

pada terapi fisik, sehingga program latihan harus disesuaikan pada setiap individu

(Anderrson, 2011).

2.9.2 Pendekatan Farmakologi

Symptom Modifying Drugs. Acetaminophen kadang efektif pada OA, dengan efek

samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan non steroid anti inflammatory drug

(NSAID) dan ini direkomendasikan sebagai terapi awal untuk OA dan dikombinasi

dengan intervensi nonfarmakologi. Salisilat dan NSAID tradisional dipertimbangkan

hanya pada pasien yang nyerinya tidak berkurang dengan parasetamol (Mahajan et al,

2005).

Obat anti inflamasi nonsteroid atau NSAID telah menjadi inti dari terapi

farmakologi pada OA selama bertahun-tahun. Namun, efek dari NSAID termasuk

grastropati semakin meningkat terutama pada orang tua dan pada pemakain jangka

panjang. Untuk mengurangi efek gastropati dari NSAID telah digunakan ibuprofen,

dklofenak SR, tenoxicam dan nambutone yang mempunyai efek minimal pada mukosa

Page 33: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxxiv

gastrointestinal. Penambahan PPi atau misoprostol juga mengurangi efek gastrointestinal

ini (Moskowitz, 2007).

Cara kerja utama dari NSAID adalah menghambat enzim cyclo-oxygenase yang

terlibat pada produksi prostaglandin. Terdapat dua bentuk (isoform) dari cyclo-oxygenase

yang dikenal dengan Cox-1 dan Cox-2. Cox-1 diekspresikan pada semua jaringan,

memegang peranan penting pada sintesis prostaglandin di mukosa gaster, platelet dan

ginjal. Cox-2 diinduksi oleh inflamasi dan diekspresikan pada jaringan yang spesifik.

Bukti terbaru menjelaskan bahwa inhibisi pada Cox-2 bertanggung jawab pada efek anti

inflamasi dan efek analgetik dari NSAID. Dua Cox-2 spesifik yang dikenal rofecoxib dan

celecoxib. Secara farmakokinetik, kedua kelompok obat diatas diserap dengan baik pada

saluran gastrointestinal, dengan bioavailabilitas yang baik dan waktu paruh yang panjang

yang memungkinkan dosis sekali sehari. Kedua obat ini memiliki efek analgetik dan anti

inflamasi yang seimbang dibandingkan dengan NSAID yang lain dan lebih superior

dibandingkan dengan placebo (Moskowitz, 2007).

Celecoxib, etoricoxib dengan dosis 60 mg/hari dan valdecoxib 10 mg/hari sama

efektifnya dengan NSAID non selektif dalam hal mengurangi nyeri. Misoprostol sebagai

terapi tambahan pada pasien yang yang memerlukan penggunaan NSAID yang lama

dapat mencegah komplikasi ulkus gaster (Mahajan et al, 2005).

Kombinasi opiod (kodein) dan parasetamol memberikan efek analgesia yang lebih

baik dibandingkan dengan parasetamol saja. Terapi dengan tramadol memberikan hasil

yang signifikan dalam hal mengurangi nyeri, kekakuan, fungsi fisik, status general dan

tidur pada pasien dengan nyeri kronis. Kombinasi tramadol 37,5 mg/acetaminophen 325

mg juga efektif dan aman dalam terapi nyeri pada OA (Moskowitz, 2007).

Analgetik topikal (kream capsaicin 0,025% dan NSAID lokal yang lain) telah

dipertimbangkan sebagai terapi tambahan, monoterapi pada satu sendi yang simtomatis

Page 34: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxxv

atau pada pasien yang tidak dapat mentoleransi terapi sistemik. Mekanisme kerja dari

capsaicin melalui stimulasi selektif pada serat aferen tidak bermyelin tipe C,

menyebabkan pengeluaran substansi P, yang merupakan neurotransmiter sensasi nyeri

perifer (Moskowitz, 2007).

Pada studi klinis yang dilakukan oleh Schnitzer dan kawan-kawan menemukan

bukti yang mendukung penggunaan antidepresan pada nyeri punggung bawah kronis, dan

pelemas otot pada nyeri punggung bawah akut. Beberapa studi juga menunjukan bahwa

kondisi psikologis pasien juga mempengaruhi hasil akhir pengobatan (Cohen et al, 2007).

Pada penelitian kontrol acak, glukosamin yang dihipotesakan dapat mengembalikan

tulang rawan dan memiliki efek anti inflamasi ternyata tidak dapat mengurangi nyeri pada

pasien dengan nyeri punggung kronis dan OA lumbal selama 6 bulan dan 1 tahun setelah

pengobatan (Wilkens et al, 2010).

Injeksi Intra-artikuler. Pada tahun 1951, hidrokortison diperkenalkan dan banyak

digunakan untuk injeksi intra-artikuler. Walaupun manfaat steroid intra-artikuler pada

pengobatan arthritis rheumatoid dan arthropati inflamasi lain tidak diragukan,

kegunaannya pada terapi OA masih konroversial (Moskowitz, 2007).

Studi eksperimental awal menunjukan kemungkinan arthropati Charcot setelah

injeksi kortikosteroid multipel, dan studi dikerjakan pada binatang kecil (tikus dan

kelinci) mengindikasikan perubahan sintesis protein dan kerusakan tulang rawan. Efek

kerusakan diatas mengurangi penggunaan steroid intra-artikuler pada OA. Namun,

investigator lain melaporkan observasi klinis setelah administrasi steroid intra-artikuler

berulang pada lutut tidak menunjukan kerusakan atau meningkatkan keparahannya. Studi

tentang efek injeksi steroid pada sendi monyet tidak memperlihatkan adanya kerusakan

sendi, menjelaskan bahwa sendi primata memiliki respon yang berbeda dibandingkan

dengan tikus dan kelinci. Terapi injeksi kortikosteroid intra-artikuler pada terapi OA

Page 35: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxxvi

dapat bermanfaat bila diberikan secara tepat. Terapi steroid intra-artikuler selalu

dipertimbangkan sebagai terapi tambahan pada program pengobatan konvensional OA

(Moskowitz, 2007).

Tujuan utama dari terapi intra-sinovial pada OA adalah mencapai ruang sendi,

aspirasi cairan, dan memasukan kortikosteroid yang dapat menekan inflamasi dan

memberikan efek yang efektif dalam jangka waktu lama. Kortikosteroid menghambat

sintesa prostaglandin dan mengurangi aktivitas kolagenase dan enzim yang lain. Manfaat

yang utama pada OA masih belum jelas. Saxne dan kawan-kawan, mengukur pengeluaran

proteoglikan ke dalam cairan sinovial untuk memonitor efek terapi pada metabolism

tulang rawan. Data mereka menunjukan injeksi steroid intra-artikuler mengurangi

produksi mediator seperti interleukin (IL)-1, TNF-alpha, dan enzim protease lain yang

menginduksi degradasi tulang rawan. Indikasi penggunaan steroid intra-sinovial antara

lain (Moskowitz, 2007):

1. Meredakan nyeri dan menekan proses inflamasi sinovitis.

2. Sebagai terapi tambahan pada satu atau dua sendi yang tidak berespon pada

terapi sistemik lain.

3. Memfasilitasi program terapi rehabilitasi dan fisik atau prosedur orthopaedic

yang bersifat korektif.

4. Mencegah laksitas dari kapsul dan ligament

5. Melakukan medikal sinovektomi

6. Mengobati pasien yang tidak berespon atau mentoleransi terapi oral sistemik

7. Mengobati efusi akut yang berhubungan dengan penyakit deposisi kristal.

Manfaat terapeutik jangka panjang telah dilaporkan dengan injeksi kortikosteroid,

anestesia lokal, atau larutan salin pada sendi faset. Lilius et al melakukan studi pada 109

pasien dengan nyeri punggung bawah kronis, unilateral dan nonradikuler yang tidak

Page 36: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxxvii

berespon dengan pengobatan konservatif, termasuk obat-obatan dan terapi fisik selama

periode 3 sampai 36 bulan. Sebanyak 27 dari 109 pasien telah dilakukan operasi

disektomi dan masih mengeluh nyeri pasca operasi. Mereka secara random dibagi

menjadi 3 kelompok pengobatan: 1) injeksi kortison dan anestesia lokal intra-artikuler; 2)

injeksi saline intra-artikuler; 3) injeksi kortison dan anesthesia local perikapsuler. Pada

semua kelompok dilaporkan berkurangnya rasa nyeri secara signifikan sampai dengan

kurun waktu 3 bulan. Sebanyak 64% pasien merasakan rasa nyeri berkurang 1 jam setelah

injeksi, dan 36% dari pasien ini melaporkan berkurangnya rasa nyeri selama periode 3

bulan, terlepas dari pengobatan yang diberikan (Cohen et al, 2007).

Pada studi kontrol prospektif, Carette et al pada 101 pasien yang mendapat blok

intra-artikuler lidokain, lebih dari 50% melaporkan berkurangnya rasa nyeri. Pasien diatas

yang berespon terhadap perlakuan sebelumnya dibagi secara random kedalam 2

kelompok pengobatan: injeksi salin dan methylprednisolone intra-artikuler. Dalam satu

bulan setelah injeksi, sebanyak 42% kelompok yang mendapatkan injeksi intra-artikuler

(20 pasien) melaporkan berkurangnya rasa nyeri yang signifikan, sedangkan 33%

kelompok yang mendapatkan injeksi salin intra-artikuler (16 pasien) melaporkan

berkurangnya rasa nyeri yang signifikan. Dalam 6 bulan setelah injeksi, sebanyak 46%

pasien pada kelompok methylprednisolone dan 15% pasien pada kelompok salin masih

melaporkan berkurangnya rasa nyeri yang berbeda bermakna secara statistik (Macikanthi,

1999).

Pasien yang akan mendapatkan injeksi intra-artikuler berbaring tertelungkup dan

centering dikerjakan pada level spinal yang diinginkan. Pasien diputar dengan hati-hati

sehingga sisi yang akan diinjeksi tidak menyentuh tempat tidur, sampai sendi terlihat

(Gambar 13). Pilihan lain, tabung dapat dimiringkan untuk memperoleh proyeksi sendi

faset yang ekuivalen. Sendi faset merupakan struktur yang berlekuk. Faset superior

Page 37: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxxviii

menghadap ke anterolateral dan faset inferior menghadap ke posteromedial. Oleh sebab

itu, sisi posterior sendi terletak lebih jauh dari garis tengah dibandingkan dengan sisi

anterior. Selama fluoroskopi postero-anterior, saat kita memutar pasien melalui arkus,

bagian pertama sendi yang dilihat adalah bagian posterior. Rotasi yang berlebihan akan

menyebabkan bagian anterior yang terlihat. Hal ini harus dihindari karena

Gambar 13. Injeksi pada defek L5. (a) Proyeksi obliq menunjukan lokasi defek. (b) Ujung jarum

ditempatkan pada lokasi defek. (c) Defek pada sendi faset disuntikan dengan kontras. Dapat dilihat

opasitas yang berkelanjutan pada sendi faset.

menyebabkan penempatan jarum pada sendi menjadi tidak mungkin. Lumbal spinalis atas

memerlukan obliksitas sedikitnya 30 derajat, sedangkan lumbal spinalis bawah

memerlukan obliksitas sampai dengan 60 derajat (Gambar 14). Setelah terlokalisir, jarum

diarahkan secara vertikal ke tengah ruang sendi faset (Gopinathan et al, 2011).

Pilihan lain dengan menggunakan teknik yang dideskripsikan oleh Sarazin dan

kawan-kawan. Mereka melakukan prosedur pada pasien berbaring tertelungkup, dan

jarum diarahkan jauh menuju sisi bawah prosesus apophyseal inferior, yang mana

merupakan lokasi dari resesus inferior dari sendi faset. Resesus inferior merupakan target

yang dipilih karena lokasinya di posterior yang tidak memiliki hubungan langsung

dengan elemen saraf, memiliki daya tampung besar dan dapat dimasuki dengan mudah.

Pendekatan ini lebih berguna bila ada obstruksi oleh osteofit. Pada postur kifotik, ruang

Page 38: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xxxix

ini melebar, oleh karena itu bantal dapat diletakan dibawah perut pasien untuk

menghasilkan postur kifotik. Bila spinal mengalami osteoporosis dan prosesus apophyseal

inferior tidak dapat dilihat dengan mudah, titik target berlokasi pada proyeksi medial dari

pedikel vertebra (Gopinathan et al, 2011).

Bila sisi akses sudah dipilih, kulit diberi tanda pada posisi tersebut dan anestesia

lokal diinfiltrasi ke dalam kulit dan otot superfisial. Jarum spinal kemudian dimasukan

secara vertikal melalui titik tersebut sampai mencapai tulang. Bila jarum sudah memasuki

sendi sensasi “giving way” akan dirasakan. Beberapa manipulasi minor mungkin

diperlukan untuk mencapai ruang sendi. Lokasi ujung jarum intra-artikuler dikonfirmasi

dengan merotasikan pasien dan mengamati ujung jarum bergerak bersamaan dengan sendi

faset. Pilihan lain yaitu dengan melakukan arthrogram pada sendi faset. Bila ujung jarum

dalam posisi intra-artikuler, bahan kontras akan keluar melalui ujung jarum selama

injeksi, meluas sampai bagian superior sendi faset atau menembus satu resesus yang

berlokasi terpisah dengan kapsul sendi. Biasanya tidak lebih dari 0,2 ml kontras yang

diinjeksikan, karena dapat mengurangi jumlah obat yang dicampur yang akan disuntikan

kemudian. Kapsul sendi halus dan oval pada proyeksi frontal dan berbentuk S pada

proyeksi obliq. Bila bahan kontras terakumulasi seperti sebuah gumpalan, kemungkinan

jarum terletak pada posisi yang tidak benar; jangan lanjutkan

Page 39: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xl

Gambar 14. Sendi faset L3/L4 seperti yang ditunjukan oleh anak panah. Dapat dilihat juga jarum pada

sendi faset L4/L5 yang ipsilateral.

Penyuntikan karena akan menyamarkan lapangan pandang. Pada lumbal spinal,

arthrogram kadang menampilkan gambar yang bervariasi, dengan bahan kontras masuk

ke dalam sendi faset yang kontralateral dan kadang ke dalam sendi faset yang diatasnya.

Bila terdapat spondilosis, defek pada bagian inter-artikuler menjadi tidak jelas. Blok yang

positif berguna untuk mendiagnosis defek yang berhubungan dengan nyeri, khususnya

bila operasi fusi spinal dipertimbangkan. Bila posisi dari ujung jarum telah dikonfirmasi,

sebanyak 1 sampai 1,5 ml kombinasi steroid dan anestesia lokal disuntikan dalam jumlah

yang sama. Aspirasi selalu dilakukan sebelum injeksi untuk memastikan lokasi jarum

tidak intravaskuler. Volume sendi biasanya tidak melebihi 1,5 sampai 2 ml. Penyuntikan

biasanya dihentikan bila sudah terdapat tahanan. Volume injeksi dalam jumlah besar

dapat menyebabkan pecahnya kapsul sendi dan ekstravasasi bahan yang disuntikan ke

dalam ruang epidural (Gopinathan et al, 2011).

Injeksi peri-artikuler merupakan alternatif yang dapat diterima bila kesulitan dalam

memposisikan prosedur injeksi intra-artikuler. Selama injeksi peri-artikuler, jarum

dirotasikan 360 derajat pada lokasi yang diinginkan dan 1,0-1,5 ml campuran steroid dan

Page 40: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xli

anestesia lokal diinjeksikan. Hasil yang didapat hampir sama namun beberapa literatur

yang dipublikasikan tidak setuju apakah injeksi intra-artikuler lebih dipilih daripada

injeksi peri-artikuler (Gopinathan et al, 2011).

2.9.3 Pendekatan Operatif dengan Terapi Fusi Spinal.

Sebelum memutuskan terapi operatif, harus dipertimbangkan resiko dan manfaat dari tiap

prosedur yang akan dikerjakan. Walaupun belum ada indikasi dan kontraindikasi absolut

dari prosedur operasi, konsep umum tertentu merupakan hal yang penting. Untuk masing-

masing individu, kita harus mengembangkan pengukuran kuantitatif dari parameter fungsi

untuk menentukan program terapi yang tepat. Bukan hanya untuk menentukan program

terapi yang tepat, hal ini juga penting dalam mengevaluasi hasil dari prosedur operatif

yang berbeda (Moskowitz, 2007).

Nyeri pada saat istirahat, merupakan masalah utama dari pasien dan biasanya

membutuhkan kontrol dengan obat-obatan narkotika. Intervensi pembedahan harus

dipikirkan pada keadaan diatas. Ketidaknyamanan saat beraktivitas juga penting dan akan

mempengaruhi kualitas hidup pasien. Kemampuan pasien untuk bekerja sama pada

rencana terapi juga penting dalam pilihan prosedur operasi. Pengetahuan pasien akan

penyakit dan kemungkinan hasil dari prosedur operasi juga harus dipahami. Yang sangat

sering terjadi, kita tidak menanyakan bagaimana harapan masing-masing pasien. Kondisi

umum pasien juga harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi faktor resiko operasi

(Moskowitz, 2007).

Chou dan kawan-kawan mempublikasikan tinjauan komprehensif tentang terapi

operatif pada nyeri punggung bawah nonradikuler sebagai bagian dari rekomendasi dari

The American Pain Society’s Practice. Penulis menemukan bukti yang cukup bahwa

operasi fusi tidak lebih baik dibandingkan dengan rehabilitasi intensif dengan pendekatan

kognitif. Setelah menjalani operasi fusi, kurang dari 50% pasien memperlihatkan hasil

Page 41: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xlii

akhir yang kurang baik. Manfaat fusi dengan instrumentasi dibandingkan dengan tanpa

instrumentasi masih belum jelas. Rekomendasi dari The American Pain Society Practice

yang dipublikasikan tahun 2009, menekankan klinisi menawarkan rehabilitasi intensif

sebagai pilihan terapi dengan hasil akhir yang sama dengan terapi operatif pada nyeri

punggung bawah nonradikuler (Anderrson, 2011).

Kebanyakan pasien dengan nyeri nonradikuler yang menjalani operasi tidak

mendapatkan hasil yang optimal, yang didefinisikan oleh The American Pain Society

Practice sebagai (1) nyeri minimal atau tidak nyeri, (2) penghentian atau hanya kadang-

kadang memakai analgetik, (3) kembalinya fungsi pada level yang tinggi. Perkumpulan

tersebut juga menjelaskan tidak ada bukti mengenai terapi arthroplasti diskus pada pasien

dengan nyeri punggung bawah nonradikuler. Panduan terapi yang lain juga menekankan

kehati-hatian pada terapi fusi spinal pada pasien DDD, tapi mungkin bermanfaat pada

beberapa pasien dengan gejala yang berat dimana kemungkinan memperoleh hasil yang

baik dengan terapi operatif, terutama bila terapi konservatif gagal (Anderrson, 2011).

Keberhasilan terapi operatif pada sindroma nyeri tulang belakang bergantung pada

1) diagnosis yang spesifik dan 2) seleksi pasien. Pada pasien dengan nyeri diskogenik dan

satu atau dua level dengan patologi yang berat, bila pasien gagal dengan semua terapi

nonoperatif selama 6 sampai 12 bulan dan tidak ada masalah psikosomatik atau berat

badan, fusi lumbal merupakan pilihan yang ideal. Populasi pasien ini dengan hanya nyeri

tulang belakang mekanikal biasanya tidak mengalami stenosis spinal atau bukti lain

penjempitan saraf. Ini berarti posterior approach yang merupakan prosedur tipikal pada

dekompresi tidak diperlukan. Fusi interbodi anterior kadang merupakan prosedur pilihan

pada pasien diatas karena tidak melakukan stripping pada otot paraspinal posterior dan

mengeliminasi sumber nyeri yang dicurigai dengan arthrodesis pada diskus itu sendiri.

Beberapa teknik fusi interbodi telah dilakukan selama bertahun-tahun seperti donor tulang

Page 42: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xliii

dari krista iliaka, silinder metal atau poligonal, atau composite cages. Donor tulang

biasanya ditambahkan pada sisi anterior dengan konstruksi ini. Bone morphogenic

proteins (BMPs) telah digunakan selama beberapa tahun terakhir untuk membantu

pembentukan tulang dan mengurangi kebutuhan akan autograft harvest. Hal ini telah

menunjukan keberhasilan fusi interbodi anterior pada lumbal spinalis bila digunakan

dengan structural cages atau allograft cortical rings (Moskowitz, 2007).

Alternatif yang lain dalam hal fusi yaitu arthroplasti diskus lumbalis atau

nukleoplasti. Teknik arthroplasti meliputi pengambilan diskus dari sisi anterior dan

menggantinya dengan protesis metal atau polietilen. Protesis ini menempati ruang diskus

secara fit dengan kontak pada vertebra end plate diatas dan dibawahnya. Permukaannya

memungkinkan pergerakan pada level tersebut. Berlawanan dengan arthroplasti diskus

total, nukleoplasti didesain untuk menggantikan atau meningkatkan fungsi shock

absorber pada nukleus pulposus. Penelitian pada hidrogel dan compressible synthetic

yang dapat dimasukan ke dalam diskus telah dikerjakan tapi belum menunjukan hasil

yang efektif. Tujuan dari teknologi ini adalah untuk menghindari kekakuan absolut dari

segmen pergerakan, yang mana hal ini dapat mencegah perubahan degeneratif setelah

dilakukan fusi pada pasien (Moskowitz, 2007).

Tujuan prosedur fusi adalah untuk menghilangkan pergerakan pada segmen spinal

mengalami OA. Arthrodesis dapat dikerjakan melalui fusi posterolateral, teknik interbodi

setelah diskus intervertebralis dihilangkan, atau kombinasi (Anderrson, 2011).

Teknik interbodi meliputi anterior lumbar interbody fusion (ALIF), melalui teknik

abdominal approach atau retroperitoneal approach; Transforaminal lumbar interbody

fusion (TLIF), melalui sendi faset dan neuroforamen; Posterior lumbar interbody fusion

(PLIF), melalui dekompresi kanalis sentralis; fusi melalui sisi samping (extreme lateral

interbody fusion [XLIF]), melalui teknik tranpsoas approach; dan menggunakan teknik

Page 43: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xliv

presacral approach (percutaneous axial lumbar interbody fusion [AxiaLIF]). Semua

teknik fusi dapat dikerjakan dengan menggunakan instrumentasi (Anderrson, 2011).

Pendekatan fusi spinal anterior dan posterior dengan instrumentasi dapat dilihat pada

gambar 15 dan 16 dibawah.

Terdapat bermacam-macam plat anterior yang dapat digunakan pada prosedur

ALIF, pada teknik posterior biasanya menggunakan skrew pedikel dan konstruksi rod.

Terdapat juga bermacam-macam material dan cages yang tersedia untuk diletakan

diantara korpus vertebra pada fusi interbodi. Terdapat tiga penelitian kontrol acak kualitas

tinggi dalam 10 tahun terakhir yang mengevaluasi teknik fusi spinal dibandingkan dengan

terapi nonoperatif pada pasien dengan nyeri punggung bawah kronis dan DDD. Fritzell

dan kawan-kawan mempublikasikan penelitian kontrol acak

Gambar 15. Radiografi antero-posterior (A), dan lateral (B) post operatif pasien dengan nyeri diskus

L4-L5 dan L5-S1 dengan retroperitoneal anterior approach dengan instrumentasi

Page 44: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xlv

Gambar 16. Radiografi proyeksi antero-posterior (C), dan lateral (D) post operatif pasien dengan nyeri

diskogenik L4-L5 dengan fusi posterior transforaminal dengan instrumentasi transpedikuler.

multisenter yang membandingkan teknik fusi segmen lumbal bawah dengan terapi

nonoperatif pada pasien dengan nyeri punggung bawah kronis berat. Penelitian ini

melibatkan 222 pasien operatif dan 72 nonoperatif umur 25 sampai 65 tahun dengan nyeri

punggung bawah kronis selama 2 tahun dan bukti radiologis degenerasi diskus pada L4-5,

L5-S1 atau keduanya. Kelompok nonoperatif menerima terapi fisik, edukasi, dan

modalitas kontrol nyeri dengan TENS, akupuntur, dan injeksi. Selama evaluasi 2 tahun

ditemukan hasil yang lebih baik pada kelompok fusi secara signifikan, dengan nyeri

punggung berkurang 33% dibandingkan dengan 7% pada kelompok nonoperatif.

Perbaikan nyeri terjadi signifikan selama 6 bulan pertama setelah operasi dan menurun

setelahnya. Disabilitas berdasarkan Oswestry Disability Index (ODI) berkurang 25%

dibandingkan dengan 6% pada pasien nonoperatif, dan 63% pasien yang menjalani

operasi menilai diri mereka sendiri merasa lebih baik dibandingkan dengan 29% pasien

nonoperatif. Tingkat rata-rata kembali bekerja sebesar 36% pada kelompok operatif dan

13% pada kelompok nonoperatif. Komplikasi awal terjadi pada kelompok operatif yaitu

sebesar 17%. Fritzell dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa terapi operatif pada nyeri

punggung bawah kronis berat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan

terapi nonoperatif pada pasien yang diseleksi dengan baik (Anderrson, 2011).

Brox dan kawan-kawan mempublikasikan penelitian acak lain yang

membandingkan fusi lumbal dengan instrumentasi dengan intervensi kognitif dan latihan

pada 64 pasien dengan nyeri punggung bawah kronis dan DDD. Komponen penting pada

penelitian ini adalah penambahan terapi kognitif pada program rehabilitasi intensif. Rata-

rata perubahan ODI pada kelompok fusi adalah dari 41 preoperatif ke 26 pada evaluasi

tahun pertama dan pada kelompok rehabilitasi dari 42 ke 30. Investigator melaporkan

tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal nyeri punggung, penggunaan analgetik,

Page 45: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xlvi

distress emosional, kepuasaan hidup antara dua kelompok tersebut. Tingkat kembali

bekerja pada tahun pertama 22% pada kelompok operatif dan 33% pada kelompok

rehabilitatif. Angka keberhasilan total pada kelompok operatif adalah 70% dan

nonoperatif 76%. Brox dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa hasil yang hampir sama

didapat antara kedua kelompok (Anderrson, 2011).

Penelitian lain juga dilakukan untuk membandingkan efektivitas terapi fusi spinal

dengan terapi rehabilitasi dengan pendekatan kognitif. Peserta berjumlah 349 pasien

dengan umur antara 18-55 tahun yang menderita nyeri punggung bawah kronis. Sebanyak

178 pasien mendapatkan terapi fusi spinal dan 173 pasien melakukan program

rehabilitasi. Dilakukan evaluasi pada 284 pasien selama 24 bulan. Didapatkan nilai ODI

pada kelompok operatif berkurang dari 46.5 menjadi 34.0 dan kelompok rehabilitatif dari

44,8 menjadi 36,1. Kedua kelompok melaporkan berkurangnya disabilitas selama

evaluasi 2 tahun kemungkinan tidak berhubungan dengan intervensi yang didapatkan.

Disimpulkan bahwa tidak ditemukan bukti terapi fusi spinal memberikan manfaat

dibandingkan dengan program rehabilitasi intensif (Fairbank et al, 2005)

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Osteoarthritis (OA) spinal melibatkan sendi faset, atau yang disebut juga dengan sendi

zygapophyseal. Sendi diarthrodial yang jumlahnya sepasang pada sisi posterior dari

kolumna vertebralis merupakan satu-satunya sendi sinovial yang sebenarnya antara level

spinal yang berdekatan. Bersama dengan diskus intervertebralis membentuk “spinal motion

segmen” atau kompleks tiga sendi. OA sendi faset merupakan penyakit hilangnya tulang

rawan artikuler dan hipertrofi tulang yang prosesnya melibatkan keseluruhan sendi,

Page 46: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xlvii

termasuk tulang subkondral, tulang rawan, ligament, kapsul, sinovium, dan otot paraspinal

dan jaringan lunak periartikuler. OA sendi faset merupakan penyebab yang sering dari nyeri

punggung bawah. Gambaran radiografi dari OA sendi faset meliputi tanda-tanda

degeneratif dan proliferatif, diantaranya penyempitan ruang sendi, erosi tulang subkondral,

kista subkondral, formasi osteofit, dan hipertrofi prosesus artikularis. Metode diagnostik

yang biasa digunakan untuk mengevaluasi degenerasi pada sendi faset adalah radiografi

standar, CT, dan MRI. Manajemen OA sendi faset terdiri dari intervensi nonfarmakologi,

terapi farmakologi dan operatif dengan tujuan sebagai berikut: 1) mengontrol nyeri pada

tingkat yang dapat diterima oleh pasien, 2) mengurangi keterbatasan fungsional dan

disabilitas, 3) meningkatkan kualitas hidup, 4) mencegah pengobatan yang berlebihan yang

potensial memberikan efek samping dari obat-obatan.

DAFTAR PUSTAKA

Andersson, G. B.J et al. 2011. Lumbar Disc Diseases. In: Herkowitz, H. N., Garvin, S.R.,

Eismont, F.J., Bell, G.R., Balderston, R.A., editors. The Spine. 6th. Ed. Philadelphia:

Elseviers Saunders. p. 846-876

Chang H.J et al. 2010.Osteoarthritis of the lumbar spine. JAMA, Vol 304, No.1

Cohen, S. P and Raja, S. N. 2007. Pathogenesis, Diagnosis, and Treatment of Lumbar

Zygapophysial (Facet) Joint Pain. Anesthesiology; 106: 591-614

Gellhorn A.C et al. 2013. Osteoarthritis of the spine: the facet joints. Nat. Rev. Rheumatol. 9,

216-224

Goode A et al. Low Back Pain and Lumbar Spine Osteoarthritis: How Are They Related.

Curr Rheumatol Rep (2013) 15: 305

Gopinathan A and Peh WCG. Image-guided Facet Joint Injection. Biomed Imaging Interv J

2011; 7(1): e4

Fairbank, J et al. 2005. Randomised controlled trial to compare surgical stabilization of

lumbar spine with intensive rehabilitation programme for patient with chronic low back

pain: the MRC spine stabilization trial. BMJ. Published 23 May 2005. P. 2-7

Kalichman L and Hunter D. Lumbar Facet Joint Osteoarthritis: A Review. Semin Arthritis

Rheum 2007. 37: 69-80

Page 47: OSTEOARTHRITIS LUMBAL - UNUD

xlviii

Lotz M. 2014.Value of biomarkers in osteoarthritis: current status and perspectives. Postgrad

Med J;90:171-178

Mahajan, A. 2005. Osteoarthritis. JAPI. Vol 53. p. 634-641

Manchikanti L. Facet Joint Pain and the Role of Neural Blockade in Its Management.

Current Review of Pain 1999, 3: 348-358

Moskowitz, R. W. 2007. Osteoarthritis Diagnosis and Medical/Surgical Management.

Fourth Edition. Lippincott Williams and Wilkins

Schnuerer A et al. 2001. Anatomy of The Spine dan Related Structures. Medtronic Sofamor

Danek. p.45

Shojania, K et al. 2013. Arthritis. In: Orthopaedic Knowledge Update 8.Vaccaro, A. R.

America: American Academic of Orthopaedic Surgeons. p. 229-244

Sniekers, Y.H. 2009. Estrogen effects on cartilage and bone changes in models for

osteoarthritis. Roterdam: The Netherlands. p. 10

Tisher, T et al. Detailed pathological changes of human lumbar facet joints L1–L5 in elderly

individuals. Eur Spine J (2006) 15: 308–315

Varlotta, G.P et al, 2010. The Lumbar Facet Joint: A Review of Current Knowledge: Part 1:

Anatomy, Biomechanics and Grading. NYU School of medicine. New York, USA. P. 1-11

Varlotta, G.P et al, 2010. The Lumbar Facet Joint: A Review of Current Knowledge: Part II:

Diagnosis and Management. NYU School of medicine. New York, USA. P. 1-11

Wilkens P et al. Effect of Glucosamine on Pain-Related Disability in Patients With Chronic

Low Back Pain and Degenerative Lumbar Osteoarthritis: A Randomized Controlled Trial.

JAMA. (2010); 304 (1 ): 45-52