32
1. Ki Hadjar Dewantara Indonesia (1972-1978) Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya. Selain ulet sebagai Biografi Pahlawan Pendidikan 1 Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di

pahlawan pendidikan (tugas)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

Page 1: pahlawan pendidikan (tugas)

1. Ki Hadjar Dewantara

Indonesia (1972-1978) Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia

40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.

Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal

ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun

hatinya.

Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi

kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda)

Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai

tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain

Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan

Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif,

tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi

pembacanya. Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi

sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk

mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai

pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Kemudian bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan Dr. Cipto

Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran

nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia

merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan

hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui

Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak

Biografi Pahlawan Pendidikan 1

Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional.

Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya,

diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya

yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi

dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan

peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan

memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal

28 April 1959 dan dimakamkan di sana. Ia Terlahir dengan

nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Raden mas

berasal dari lingkungan keluarga keraton Wakil Presiden

Republik

Page 2: pahlawan pendidikan (tugas)

pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi

ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan

untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun

ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai

komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.

Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud

merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik

uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.

Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul

Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar

Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya

Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker itu

antara lain berbunyi: "Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan

pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya.

Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk

menyuruh si Inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk

menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula

kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa

yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan

bahwa bangsa Inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak

ada kepentingannya sedikitpun".

Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral

Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering

(hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh

bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka. Douwes

Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil.

Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda

menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada

pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker

dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.

Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa

mempelajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri

Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu

Biografi Pahlawan Pendidikan 2

Page 3: pahlawan pendidikan (tugas)

dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas

Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke

Indonesia di tahun 1918. Di Indonesia ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan

sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.

Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun

mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Taman

Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat

menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa

dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Tidak sedikit rintangan yang

dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya

merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi

dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.

Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman

siswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke

pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah.

Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi

bangsa Indonesia.

Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan

pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat

(Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar Dewantara duduk sebagai salah seorang pimpinan di

samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.

Setelah zaman kemerdekaan, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang

pertama Ki Hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan

Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai

seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal

kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai

pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,

tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris

Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar

Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Wakil Presiden

Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta dan dimakamkan di sana.

Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum

Dewantara Kirti Griya, Museum Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)

Yogyakarta, yang untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.

Biografi Pahlawan Pendidikan 3

Page 4: pahlawan pendidikan (tugas)

Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Taman

Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis

atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar

sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam

mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.

Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu

memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya,

adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada

nilai- nilai kemerdekaan yang asasi.

Biografi Pahlawan Pendidikan 4

Page 5: pahlawan pendidikan (tugas)

2. RADEN AJENG KARTINI

ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani

Simbok (pembantunya).

Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku,

termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat

kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini

tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah

Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya

didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman

wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah

kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya

yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr. J. H Abendanon.

Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia

dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut

suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk

mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita

di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama

sekolah tersebut adalah “ Sekolah Kartini ”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi

sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara

yang miskin dan kaya.

Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-

25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr. J. H Abendanon

Biografi Pahlawan Pendidikan 5

Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di

kota Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang

bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan

melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh

orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk

dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut,

ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap

anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia

mengumpulkan banyak buku-buku pelajaran dan buku

ilmu

Page 6: pahlawan pendidikan (tugas)

memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada

para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “ DOOR DUISTERNIS TOT LICHT ”

yang artinya “ Habis Gelap Terbitlah Terang ”.

Saat ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang

mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal

abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka

belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum

diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak

mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu

diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri

dengan kebebasan wanita- wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di

hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu. Belakangan ini, penetapan tanggal

kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi,

masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu

menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus

dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita

Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain

yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu

hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan

penjajah, dan berbagai alasan lainnya. Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan

Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita

Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional, artinya dengan ide dan gagasan

pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah

dalam skop nasional. Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-

pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah

mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang

dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.

Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal

nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang,

Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan

lainnya. Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang

berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman

Biografi Pahlawan Pendidikan 6

Page 7: pahlawan pendidikan (tugas)

penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang

berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui

organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-

pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.

Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di

hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu

menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari

pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah

kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini

kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut.

Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan

penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.

Biografi Pahlawan Pendidikan 7

Page 8: pahlawan pendidikan (tugas)

3. RADEN DEWI SARTIKA

Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke

sekolah Belanda pula.

Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang

berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan

mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat

didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah

menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di

belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-

tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang

kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka, sejak

kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian

karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh,

sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain

sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat

senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun,

ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam

bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di

waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti

itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan

menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat.

Biografi Pahlawan Pendidikan 8

Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 –

meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada

umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk

kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh

Pemerintah Indonesia tahun 1966. Ayahnya, Raden

Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan.

Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate

oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia

di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi

Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara.

mesi

Page 9: pahlawan pendidikan (tugas)

Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R. A. A.

Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika

itu, maka pada tahun 1904 dia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya

“Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung

semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan

Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya

wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran

agama.

Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid-

murid bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya

juga tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun

kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak

didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah

Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga

bertambah.

Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah

tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang

berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya

operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak

dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik

kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak

terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak

membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa

Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-

cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di

kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-

sepuluh, tahun 1914 nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah

Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki

Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di

mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota

kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan

September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah

Biografi Pahlawan Pendidikan 9

Page 10: pahlawan pendidikan (tugas)

berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas

jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-

Belanda.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,

seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang,

yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11

September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman

sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian

dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar,

Bandung. “Jangan tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah

kamu berikan pada negaramu”. Kata bijak tersebut sangat tepat menjadi panduan semua

bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan ‘pahlawan’

di negaranya.

Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat

sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan

Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui

perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan,

yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan

operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan

ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya

sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah

lainnya.

Biografi Pahlawan Pendidikan 10

Page 11: pahlawan pendidikan (tugas)

4. DOKTOR SUTOMO

Suraji dan dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain dan Sutomo

sendiri diangkat sebagai ketuanya.

Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan

jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri,

kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang

terhormat. Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar Budi Utomo (BU)

diadakan di Yogyakarta 5 Okt 1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati

Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua;

Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool), penulis; Gondoatmodjo

(opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso),

Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di Demak)

sebagai komisaris.

Sutomo setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula

di Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan

akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda daerah

Magetan. Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara

lain, ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat

membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan adakalanya pasien

dibebaskan dari pembayaran. Kemudian ia memperoleh kesempatan memperdalam

pengetahuan di negeri Belanda pada tahun 1919. Sekembalinya di tanah air, ia melihat

kelemahan yang ada pada Budi Utomo. Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena

Biografi Pahlawan Pendidikan 11

Doktor Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di

desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888. Ketika belajar di

STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya,

atas saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi

Utomo (BU), organisasi modern pertama di Indonesia,

pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati

sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kelahiran Budi

Utomo sebagai Perhimpunan Nasional Indonesia,

dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA (School tot

Opleiding voor Indische Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan,

Suraji

Page 12: pahlawan pendidikan (tugas)

itu, ia ikut giat mengusahakan agar Budi Utomo bergerak di bidang politik dan

keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.

Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang

merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun,

bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan

Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat. Sementara itu,

tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Lalu

Januari 1934, dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus-

besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres peresmian fusi dan juga merupakan

kongres terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat Parindra, berlangsung

24-26 Des 1935 dan Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai

Indonesia merdeka.

Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang

kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia

meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.

Biografi Pahlawan Pendidikan 12

Page 13: pahlawan pendidikan (tugas)

5. ROHANA KUDUS

menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar Abjad Arab, Latin,

dan Arab Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan

Pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar menyulam,

menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga

banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup,

dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.

Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali ke kampung

dan menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Kudus yang berprofesi sebagai notaris.

Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911

yang diberi nama “Sekolah Kerajinan Amai Setia”. Di sekolah ini diajarkan berbagai

keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti,

pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum

perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan

masyarakat Koto Gadang, bahkan fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring dengan

keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan. Disamping itu juga Rohana menjadi

perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi

syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi

simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di

Minangkabau.

Rohana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda. Berita

perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan

Biografi Pahlawan Pendidikan 13

Rohana Kudus (lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 20

Desember 1884 – meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972

pada umur 87 tahun) adalah wartawan Indonesia. Ia lahir

dari ibunya yang bernama Kiam dan ayahnya bernama

Rasjad Maharaja Soetan. Rohana Kudus adalah kakak tiri

dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Republik Indonesia

yang pertama dan juga Mak Tuo (Bibi) dari penyair

terkenal Chairil Anwar. Ia juga adalah sepupu H. Agus

Salim. Ayahnya, seorang pegawai Pemerintah Belanda yang

selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor.

Dalam umur yang masih sangat mudah Rohana sudah bisa

menulis

Page 14: pahlawan pendidikan (tugas)

perempuan pertama di Sumatera Barat. Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan

memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis

berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu

pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di

Sumatera Barat dan Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah

perempuan.

Pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya hingga pintar

menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester karena tuduhan penyelewengan

penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan

di Bukittinggi didampingi suaminya, seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh

keluarga. Tuduhan pada Rohana tidak terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali

diserahkan padanya, namun dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke

Bukittinggi.

Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “ Rohana School ”. Rohana

mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk menghindari

permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana School sangat terkenal

muridnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan

Rohana sudah cukup populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya

sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.

Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya keterampilannya

dengan belajar membordir pada orang Cina dengan menggunakan mesin jahit Singer. Karena

jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin jahit

untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi

yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Cina. Dengan

kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma

Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi

kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini

adalah lulusan sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal.

Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga

mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik

menulis jurnalistik.

Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar.

Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap pendidikan untuk

kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-laki dengan

Biografi Pahlawan Pendidikan 14

Page 15: pahlawan pendidikan (tugas)

bersekolah segala. Namun dengan bijak Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan

pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan

segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus

mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan

rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan

terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Emansipasi yang ditawarkan dan

dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih

kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat

berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan

keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.

Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi,

Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar

semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya dapur umum dan badan

sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam

penyelundupan senjata dari Koto Gadang ke Bukiktinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara

menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke

Payakumbuh dengan kereta api.

Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika merantau ke

Lubuk Pakam dan Kota Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan

Bergerak. Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Cina

Melayu di Padang dan surat kabar Cahaya Sumatera.

Demikianlah Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya dengan beragam

kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Kalau

dicermati begitu banyak kiprah yang telah diusung Rohana. Selama hidupnya ia menerima

Penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9

Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers

Indonesia. Dan pada tahun 2008 Pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa

Utama.

Biografi Pahlawan Pendidikan 15

Page 16: pahlawan pendidikan (tugas)

6. Prof. Mr. Dr. SOEPOMO

(SMP) di kota Sala. Kemudian meneruskan pelajarannya ke Rechtschool atau Sekolah

Menengah Hukum di Jakarta. Pada tahun 1923 Soepomo lulus dengan memuaskan dan

termasuk seorang pelajar terbaik yang pernah dihasilkan oleh sekolah tersebut.

Sejak muda Soepomo sudah tertarik pada pergerakan pemuda. Ia menjadi anggota

perkumpulan Jong Java. Juga giat berolah seni dengan memasuki perkumpulan wayang orang

Krido Yatmoko. Ia pun pandai seni karawitan dan tarian Jawa. Sesudah tamat dari Sekolah

Menengah Hukum, Soepomo diangkat menjadi pegawai pada Pengadilan Negeri di Sragen,

daerah Surakarta pula. Minatnya terhadap penelitian ilmu hukum sudah mulai tumbuh pada

waktu itu ia tertarik pada hukum adat dan ingin melakukan penelitian dengan seksama.

Karena minat dan bakatnya Soepomo mendapat tugas belajar untuk memperdalam ilmu

hukum di Universiteit Leiden, Negeri Belanda. Pada tahun 1924 ia berangkat ke Negeri

Belanda dan bermukim di negeri dingin itu hingga tahun 1927. Pada tanggal 14 Juni 1927 ia

berhasil memperoleh gelar (Meester in de rechten sama dengan Sarjana Hukum).

Kepandaiannya amat menonjol. Belum satu bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 8 Juli

1927, ia berhasil memperoleh gelar doktor dalam ilmu hukum untuk desertasinya yang

berjudul ”De reorganisatie van het Agraris stelsel in het gewest Surakarta” (Penyusunan

kembali hukum agrarie di daerah Surakarta ) bahkan meraih hadiah tertinggi, yaitu hadiah

”Gajah Mada”.

Keberhasilan Soepomo ini mendapat sambutan baik di kalangan kawan-kawan

mahasiswa di Negeri Belanda dan bangsa Indonesia pada umumnya, karena memberi bukti

bahwa anak Indonesia pun mampu berkarya pada bidang ilmu pengetahuan. Para sarjana

Belanda pun menghargainya. Di Negeri Belanda, pemuda Soepomo juga bergabung dalam

Biografi Pahlawan Pendidikan 16

Prof. Mr. Dr. Soepomo dilahirkan di Sukoharjo, daerah

Surakarta pada tanggal 22 Januari 1903. Ayahnya adalah

Raden Tumenggung Wignyodipuro, menjabat sebagai

Bupati Anom, Inspektur Penghasilan Negeri Kasunanan

Surakarta. Soepomo adalah anak tertua dalam keluarga

yang berjumlah 11 orang, 5 orang laki-laki terhitung

Soepomo dan 6 orang wanita. Mula-mula Soepomo

bersekolah di Europesche Lagere School (ELS), suatu

sekolah dasar untuk anak-anak Belanda. Sesudah tamat

pada tahun 1917, ia meneruskan pelajarannya ke MULO

(SMP

Page 17: pahlawan pendidikan (tugas)

organisasi mahasiswa Perhimpunan Indonesia waktu masih bernama Indonesische

Vereeniging dengan tujuannya Indonesia Merdeka. Di sela-sela kesibukan studi dan

berorganisasi, Soepomo juga giat dalam bidang seni budaya. Pada tahun 1927 di kota Paris

bersama Wiryono Projodikoro ia mengadakan pagelaran tari yang menggemparkan dan

mempesonakan yang hadir, di antaranya Duta Besar Belanda di Paris, Dr. Loudon. Ia begitu

kagum akan tarian Soepomo dan Wiryono, sehingga memintanya untuk mengulangi lagi pada

kesempatan yang lain.

Mr. Dr.Soepomo menekuni bidang Hukum Adat, untuk menunjukkan kepada dunia

bahwa bangsa Indonesia adalah juga bangsa yang berkebudayaan dan beradaban.

Sekembalinya di Indonesia, ia diangkat menjadi pegawai yang diperbantukan pada Ketua

Pengadilan Negeri di Yogyakarta (1927). Setahun kemudian menjadi Ketua Luar Biasa

Pengadilan Negeri di Yogyakarta. Perhatiannya terhadap bidang studi ilmu hukum tetap

besar. Waktunya digunakan untuk memperdalam hukum agraria, hukum adat tanah dan

peradilan di Yogyakarta Mulai tahun 1930 sampai tahun 1932. Soepomo ditarik ke Jakarta

dan bekerja untuk membantu Direktur Justisi di Jakarta. Departemen yang Justitie atau

Departemen Kehakiman menguasinya untuk mengadakan penelitian. hukum adat di daerah

hukum Jawa Barat (Privaatrechtder Inheemse beyolking). Penelitian tersebut menghasilkan

laporan monografi tentang hukum adat privat Jawa Barat yang penting artinya.

Pada tanggal 20 Januari 1929 Mr. Dr. Soepomo kawin dengan puteri bangsawan R.A.

Kushartati, puteri Pangeran Ario Mataram, kerabat keraton Surakarta. Dari perkawinannya

itu memperoleh 6 orang anak, 3 pria dan 3 wanita.

Antara tahun 1932 (Desember) sampai tahun 1938 Soepomo menjabat sebagai Ketua

Pengadilan Negeri Purworejo dan selanjutnya dipindahkan lagi ke Jakarta menjadi pegawai

tinggi pada Departemen Kehakiman. Menjelang pecahnya Perang Asia Timur Raya.

Soepomo mulai memasuki dunia pendidikan tinggi ilmu hukum. la menggantikan Prof. Ter

Haar yang cuti ke Negeri Belanda, dan diangkat sebagai dosen dalam Hukum Adat pada

Rechts Hooge School (RHS) yaitu Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta. Di samping itu juga

memberi kuliah hukum adat pada Bestuursacademie (Akademi Calon Pamongpraja) di

Jakarta. Ketika pemerintah Hindia Belanda hampir runtuh, Soepomo menjabat Guru Besar

Hukum Adat pada Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, sampai mendaratnya pasukan Jepang di

Indonesia.

Ketika diangkat sebagai Guru Besar Luar Biasa Hukum Adat pada RHS, Soepomo

mengucapkan pidato pengukuhannya dengan judul ”Hubungan Individu dan Masyarakat

dalam Hukum Adat”. Sebagai seorang Sarjana Soepomo selalu berpikir ilmiah, obyektif dan

Biografi Pahlawan Pendidikan 17

Page 18: pahlawan pendidikan (tugas)

tetap memegang kode-kode etik ilmuwan. la menghindari penonjolan diri sebagai kelompok,

dan tidak menyukai sikap ekstrim maupun pertentangan. Soepomo selalu mencari titik

persamaan dan persatuan.

Pada zaman Hindia Belanda Mr. Dr. Soepomo sering menulis karangan tentang ilmu

hukum dalam majalah Indisch Tijdshrift van het Recht (Majalah Hindia mengenai Hukum). la

juga tetap memperhatikan pergerakan nasional. Bersama Ali Sastroamijoyo, Soepomo

menulis karangan berjudul ”Perempuan Indonesia dalam Hukum”. Untuk menyambut

Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta. Soepomo berperan pula dalam melahirkan

Partai Indonesia Raya ( Parindra), gabungan Budi Utomo (BU) dengan persatuan Bangsa

Indonesia (PBI). Soepomo ditunjuk sebagai anggota panitia untuk merumuskan dalil-dalil

persatuan yang akan mengantarkan BU dengan dasar-dasar kebangsaan Indonesia menuju

Indonesia Merdeka. Laporan Soepomo ini disampaikan dalam konferensi Budi Utomo tahun

1935, dan diterima baik, lahir Parindra sebagai hasil perpaduan BU dengan PBI. Atas dasar

persetujuan hasil pemikiran Soepomo itulah Prof. Supomo duduk sebagai Ketua Balai

Pengetahuan Masyarakat di Jakarta. la juga meneliti Hukum Waris Adat di Jakarta.

Pada zaman pendudukan Jepang, Prof. Supomo menjabat sebagai pembesar dan Kepala

Jawatan Kehakiman, dan duduk dalam Panitia Hukum Adat dan Tatanegara.

Dalam mempersiapkan Indonesia Merdeka Prof. Soepomo mempunyai saham yang besar. la

duduk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu

Junbi Cosakai), dan mengetuai Panitia Perancang Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia. la berhasil menyusun konsep UUD dan menjelaskannya setiap makna dari pasal-

pasal UUD itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia.

Bahkan Ia berhasil meyakinkan para anggota sidang sehingga Rancangan UUD

tersebut dapat di sahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada sidangnya

sehari sesudah Proklamasi Kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945. Pada sidang pertama,

yaitu pada tanggal 31 Mei 1945, Prof. Soepomo mengucapksan pidatonya tentang teori

negara secara yuridis, politis dan sosiologis, syarat-syarat berdirinya negara, bentuk negara

dan bentuk pemerintahan serta hubungan antara negara dan agama. Pada kesempatan itu,

Prof. Soepomo mengemukakan pertanyaan antara lain, apakah Indonesia akan berdiri sebagai

negara kesatuan (eenheidsstaat), atau negara serikat (bondstaat) atau pun persekutuan negara

(statenbond)? Bagaimana pula hubungan antara negara dan agama, serta apakah Indonesia

akan berbentuk sebagai republik atau kerajaan (monarchie)? Prof. Soepomo memberi

kesimpulan sebagai berikut:

Biografi Pahlawan Pendidikan 18

Page 19: pahlawan pendidikan (tugas)

1) Politik Pembangunan Negara Indonesia harus disesuaikan dengan struktur sosial

masyarakat Indonesia yang ada dan nyata pada masa itu, serta harus disesuaikan dengan

panggilan zaman.

2) Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan ke Istimewaan sifat

dan corak masyarakat Indonesia, maka negara Indonesia harus berdasar atas aliran

pikiran negara atau staatsdee yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh

rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apa pun.

3) Negara Nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang

luhur, akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka negara yang

demikian itu hendaknya Negara Indonesia yang memakai dasar moral yang luhur, yang

dianjurkan juga oleh agama Islam.

4) Negara akan bertindak sebagai penyelenggara keinsyafan keadilan rakyat seluruhnya

maka kita akan dapat melaksanakan Negara Indonesia yang bersatu dan adil.

Mengenai apakah negara itu, Prof Soepomo condong pada pendapat: “Negara ialah

suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya

berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang

terpenting dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral, ialah penghidupan bangsa

seluruhnya. Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan yang paling kuat, atau yang

paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara

menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat

dipisah-pisahkan”. Pada bagian lain beliau berkata: “Maka semangat kebatinan, struktur

kerokhanian dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan

kawulo dan gusti, yaitu persatuan antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya. Segala

manusia sebagai seseorang, golongan manusia dalam suatu masyarakat dan golongan-

golongan lain dari masyarakat itu dan tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia

seluruhnya dianggapnya mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri

menurut kodrat alam dan segala-galanya ditujukan kepada Keseimbangan lahir dan batin.

Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari seseorang lain atau dunia luar, golongan-

golongan manusia, malah segala golongan mahluk segala sesuatu bercampur baur dan

bersangkut-paut. Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia yang berwujud

juga dalam susunan tata negaranya yang asli”.

Demikianlah beberapa cukilan pokok-pokok pikiran Prof. Soepomo mengenai

Negara Indonesia yaang akan dibangun. Ia telah ikut meletakkan dasar-dasar pemkiran yang

fundamental bagi negara. Dasar-dasar pemikiran inilah yang kemudian mengilhami setiap

Biografi Pahlawan Pendidikan 19

Page 20: pahlawan pendidikan (tugas)

pasal UUD RI atau Undang-Undang Dasar 1945 Prof. Soepomo adalah ketua Panitia Kecil

Perancang Hukum Dasar yang sudah tentu amat besar peranannya. Panitia Kecil Perancang

Hukum Dasar ini diketuai oleh Prof. Soepomo dan para anggotanya adalah Wongsonegoro

S.H., Ahmad subarjo SH, A.A. Maramis S.H., R.P. Singgih SH. Haji Agus Salim dan dr.

Sukiman Wirjosandjojo.

Prof. Soepomo berhasil menyusun Rancangan Undang -Undang Dasar 1945. Bahkan

ia pula yang menjelaskan segala hal yang menyangkut UUD tersebut didepan sidang.

Rancangan UUD inilah yang kemudian dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 dibahas kembali dan disahkan sebagai UUD

1945. Prof. Soepomo juga duduk sebagai Panitia Penghalus Bahasa untuk memperbaiki

redaksi Rancangan UUD tersebut, bersama dengan Prof. Dr. Husein Jayadinigrat dan Haji

Agus Salim.

Sungguh besar sekali peranan Prof. Dr. Soepomo dalam penyusunan UUD 1945.

Tidaklah mengherankan, apabila sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Prof. Dr. Soepomo

diangkat sebagai Menteri Kehakiman Republik Indonesia yang pertama. Sebagai Menteri

Kehakiman, pertama-tama Prof. Soepomo menghadapi persoalan hukum nasional yang harus

segera dibina, karena hukum kolonial sudah tidak sesuai lagi. Dengan terbentuknya Kabinet

Sjahrir, maka Prof. Soepomo diangkat sebagai Penasehat Menteri Kehakiman. Ia juga

ditunjuk sebagai anggota komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Sesudah pasukan Belanda mendarat di Indonesia, maka terjadilah perjuangan fisik

(militer) di samping perjuangan diplomasi. Prof. Soepomo sejak awal aktif berjuang dalam

bidang diplomasi, sebagai anggota Delegasi Republik Indonesia dalam perundingan-

perundingan dengan Belanda, dalam Perundingan Renville (tanggal 8 Desember 1947), pula

dalam perundingan dengan Komisi Tiga Negara. Prof. Soepomo juga mengambil peranan

dalam perundingan-perundingan di bawah naungan UNCI (United Nations Commission for

Indonesia) yang menghasilkan Roem-Rojen Statement. Dalam Konperensi Meja Bundar

(KMB) di Den Haag, Prof. Soepomo mengetuai suatu Panitia Urusan Ketatanegaraan dan

Hukum Tatanegara.

Di dalam kabinet pertama Republik Indonesia Serikat (RIS) sesudah pengakuan

kedaulatan, Prof. Soepomo diangkat menjadi Menteri Kehakiman. Peranannya besar sekali

dalam memperjuangkan terciptanya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perubahan dari RIS ke Negara Kesatuan Republik Indonesia ditempuh dengan cara

konstitusional. Kemudian Prof. Soepomo aktif dalam berbagai kepanitiaan, antara lain Panitia

Pembentukan Karesidenan Irian Barat, anggota Delegasi RI ke Sidang Umum PBB, Panitia

Biografi Pahlawan Pendidikan 20

Page 21: pahlawan pendidikan (tugas)

Negara khusus yang bertugas meninjau persetujuan-persetujuan antara Indonesia dan Belanda

yang tercapai dalam KMB, Konferensi Perjanjian Perdamaian dengan Jepang dan sebagainya.

Pada tahun 1954 sampai 1956, Prof. Soepomo bertugas sebagai Duta Besar RI di Inggris

(London). Selain itu Prof. Soepomo juga memimpin berbagai lembaga internasional,

misalnya International Insstitute of Differing Civilization di Brusel, dan International

Commission for a Scientific and Cultural History of Mankind and Indonesian Institute of

World Affairs.

Sebagai seorang sarjana yang terkemuka, Prof Soepomo berjasa dalam pembinaan

ilmu pengetahuan hukum, menjadi Guru Besar pada Universitas Gajah Mada, Akademi Ilmu

Politik, pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia dan

Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Pada tahun 1951-1954 Ia menjabat Presiden Universitas

Indonesia dan anggota Panitia Negara Urusan Konstitusi. Selama hidupnya Prof. Dr.

Soepomo telah banyak memberikan sumbangan kepada ilmu hukum dengan karya-karya

ilmiahnya yang berbobot dan telah dijadikan buku atau dimuat di majalah-majalah.

Prof. Mr. Dr. Soepomo wafat tanggal 12 September 1958 di Jakarta. Jenazahnya

dikebumikan di makam keluarga di kampung Yosoroto, Sala. Pemerintah Republik Indonesia

mengakui jasa-jasa Prof. Mr. Dr. Soepomo dan menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan

Nasional dengan Surat Keputusan Presiden RI No.123 Tahun 1965 tanggal 14 Mei 1965.

Biografi Pahlawan Pendidikan 21