Upload
alhamzah-rachmat-fadjar
View
331
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obat Tradisional
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman (Depkes RI, 1994).
Bahan-bahan ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan,
bahan hewan, sediaan sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta
khasiat sebagai obat. Dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang di
gunakan sebagai obat di sebut simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang di
pergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan
kecuali di nyatakan lain berupa bahan yang telah di keringkan (Depkes RI, 1995).
2.2. Serbuk
Serbuk, berasal dari bahasa latin pulvis adalah sediaan farmasi merupakan
campuran obat dan/atau bahan kimia yang halus, terbagi-bagi dalam bentuk
kering. Beberapa serbuk di siapkan untuk pemakaiaan dalam (internal), lainnya
untuk pemakaian luar (eksternal). Beberapa serbuk di berikan oleh ahli farmasi
dalam jumlah besar dan ada juga yang di bagi dalam bagian-bagian terbungkus,
pada dasarnya tergantung dosis atau potensi dari sebuk tersebut.
Penggunaan serbuk internal adalah penggunaan serbuk melalui mulut
namum untuk di minum dengan cara mencampurkannya dengan air. Memang
kurang begitu umum di bandingkan dengan penggunaan kapsul dan tablet, namun
Universitas Sumatera Utara
di senangi oleh sebagian pasien yang tidak sanggup menelan obat dengan bentuk
sediaan padat lainnya. Akan tetapi kebanyakan obat dengan bentuk serbuk di
gunakan sebagai pemakaiaan eksternal (luar) biasanya pada kulit.
Kebanyakan bahan-bahan obat yang di pakai sekarang terdapat dalam
bentuk serbuk atau kristal dan di campur dengan unsure-unsur serbuk lainnya
sebagai pengisi dan penghancur sebelum di buat menjadi sediaan padat. Obat
serbuk kering juga di tambahkan ke dalam salep, pasta, supositoria, dan bentuk
sediaan lain, pada waktu pengolahannya. Demikian pula granul yang merupakan
gumpalan-gumpalan baha dari bentuk serbuk di olah menjadi partikel yang dapat
mengalir dengan bebas pada dasarnya di gunakan dalam pembuatan tablet dan
dalam sediaan yang kering yang di siapkan dalam bentuk cair sebelum di pakai,
dengan penambahan bahan pembantu yang tepat sebagai bahan pengisi.
2.2.1 Pengolahan Serbuk
2.2.1.1 Ukuran Partikel
Partikel dari serbuk obat mungkin berbentuk sangat kasar dengan ukuran
10.000 mikron atau 10 milimikron atau mungkin juga sangat halus mencapai
ukuran koloidal, 1 mikron atau lebih kecil. Agar ukuran partikel serbuk ini
mempunyai standar maka USP menggunakan suatu batasan dengan istilah Very
Coarse, Coarse, Moderately Coarse, Fine, dan Very Fine (sangat kasar, kasar,
cukup kasar, halus, dan sangat halus, yang di hubungkan denga bagian serbuk
yang mampu melalui lubang-lubang ayakan yang telah di standarisasi yang
berbeda-beda ukurannya, pada suatu periode waktu tertentu ketika di adakan
pengadukan dan biasanya alat pengaduk yang di gunakan pengaduk ayakan secara
Universitas Sumatera Utara
mekanis. Nomor Standar Ayakan dan masing-masing lubang ayakan di nyatakan
dalam milimeter dan mikrometer. Contohnya: Ayakan nomor 2, lubang
ayakannya berukuran 9,5 mm (Ansel, 1989).
2.2.2 Serbuk Obat Tradisional
Menurut SK Menkes, 1994 pengertian dari serbuk obat tradisonal adalah
sediaan obat tradisonal berupa butiran homogen dengan derajat halus yang cocok;
bahan baku nya berupa simplisia sediaan galenik, atau campurannya.
Sediaan serbuk ini penggunaan nya dengan cara diseduh dalam air
mendidih. Air seduhan diminum sesuai kebutuhan. Karena serbuk berbahankan
dari bahan obat tumbuh-tumbuhan yang di keringkan secara alamiah ataupun
merupakan campuran dua atau lebih unsur kimia murni yang di buat menjadi
serbuk dalam perbandingan tertentu, maka serbuk harus memiliki persyaratan agar
layak edar. Adapun persyaratan serbuk yang akan diedarkan meliputi :
Kadar air : tidak lebih dari 10 %
Angka lempeng total : tidak lebih dari 106.
Angka kapang dan khamir : tidak lebih dari 104.
Mikroba patogen : negatif
Aflatoksin : tidak lebih dari 30 bpj.
Bahan tambahan : Pengawet, serbuk dengan bahan baku simplisia dilarang
ditambahkan bahan pengawet. Serbuk dengan bahan baku sediaan galenik dengan
penyari air atau campuran etanol air bila diperlukan dapat ditambahkan bahan
pengawet.
Universitas Sumatera Utara
Pemanis : Gula tebu (gula pasir), gula aren, gula kelapa, gula bit dan pemanis
alam lainnya yang belum menjadi zat kimia murni.
Pengisi : Sesuai dengan pengisi yang diperlukan pada sediaan galenik.
Wadah dan Penyimpanan : Da|am wadah tertutup baik; disimpan pada suhu
kamar, ditempat kering dan terlindung dari sinar matahari (Depkes RI, 1994)
Serbuk obat-obatan dari bahan tumbuh-tumbuhan atau hewan ditetapkan
dengan nomor sebagai berikut :
Very Coarse powder (serbuk sangat kasar atau nomor 8) semua partikel serbuk
dapat melewati lubang ayakan nomor 8 dan tidak lebih dari 20 % melewati lubang
ayakan nomor 60.
Coarse powder (serbuk kasar atau nomor 20) semua partikel serbuk dapat
melewati lubang ayakan nomor 20 dan tidak lebih dari 40 % yang melewati
lubang ayakan nomor 60.
Moderately Coarse powder (serbuk cukup kasar atau nomor 40) semua partikel
serbuk dapat melewati lubang ayakan nomor 40 dan tidak lebih dari 40 % yang
melewati lubang ayakan nomor 80.
Fine powder (serbuk halus atau nomor 60) semua partikel serbuk dapat
melewati lubang ayakan nomor 60 dan tidak lebih dari 40 % yang melewati
lubang ayakan nomor 100.
Very Fine powder (serbuk sangat halus atau nomor 80) semua partikel serbuk
dapat melewati lubang ayakan nomor 80 dan tidak ada limitasi bagi yang lebih
halus (Ansel, 1989).
Universitas Sumatera Utara
2.3 Penyakit Reumatik
2.3.1 Fisiologi Reumatik
Reumatik di definisikan sebagai setiap kondisi yang di sertai rasa nyeri
dan kaku pada sistem tulang otot (muskuloskeletal) dan penyakit yang terjadi pada
jaringan ikat (connective tissue). Atau lebih sederhananya penyakit ini dapat di
artikan sebagai suatu penyakit yang menyerang sendi, otot, dan jaringan tubuh. Ini
merupakan istilah dalam ilmu kedokteran, serta dalam ilmu kedokteran penyakit
ini di masukkan dalam kelompok penyakit sendi atau reumatologi karena
peristiwa mengalirnya mukus ke sendi terjadi pada persendian . Namun jika di kaji
dari penyebab terjadinya reumatik, penyakit ini berupa suatu penyakit yang di
sebabkan oleh kerusakan rawan sendi. Rawan sendi berfungsi sebagai bantalan
untuk meredam benturan maupun beban berat akibat gerakan sendi dan
meneruskan beban tadi ke tulang bawah sendi. Rawan sendi terbentuk dari sel
rawan sendi yang di sebut kondrosit dan matriks rawan yang sebagian besar
terdiri dari air, proteoglikan, dan kolagen. Rawan sendi yang normal selalu
mengalami proses kerusakan dan perbaikan secara terus-menerus. Tapi, terkadang
kedua proses yang terjadi ini tidak berjalan lancar seperti biasanya, karena di
akibatkan oleh rawan sendi yang rusak atau terjadi peradangan. Akibat kerusakan
yang terjadi timbul rasa nyeri dan sakit yang bukan kepalang rasanya. Keadaan ini
terjadi akibat adanya cairan jahat yang di sebut mukus. Cairan ini mengalir dari
otak ke sendi dan struktur lain dalam tubuh. Kondisi ini dalam bahasa Yunani di
sebut rheumatismos. Pada umumnya, masyarakat umum menyebutnya
Rheumatism, reumatik, atau rematik (Utami, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Gejala Umum Reumatik
Gejala umum dari reumatik adalah nyeri sendi, kaku pada sendi, bengkak
pada sendi, gangguan fungsi sendi, sendi tidak stabil, sendi berbunyi, pengecilan
otot (Atrofi), timbul tofi, perubahan fisik di bagian jari dan kuku, kelainan di
bagian selaput lendir, gangguan penglihatan, gejala lain, seperti: berat badan
menurun, rasa lelah dan lesu, susah tidur, aktivitas seksual suami istri terganggu,
dan selain itu muncul depresi.
a. Nyeri Sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama setiap penderita rematik. Jika
rematik sampai menyerang bagian syaraf, nyeri sendi dapat menjalar jauh hingga
keseliruh tubuh. Nyeri sendi ada dua macam, yaitu nyeri mekanis dan nyeri
inflamasi (nyeri radang). Nyeri mekanis biasanya muncul setelah manusia
melakukan aktivitasnya yang umum dan nyeri ini akan hilang setelah beristirahat.
Sedangkan nyeri inflamasdi biasanya akan timbul di pagi hari ketika seseorang
bangun tidur. Nyeri inflamasi ini akan di sertai rasa kaku pada sendi dan rasa
nyeri yang hebat bagi penderita ketika awal gerak dari masa istirahatnya (tidur).
Biasanya rasa nyeri baru akan hilang setelah beberapa saat melakukan aktivitas
dengan bertahap.
b. Kaku pada Sendi
Kaku sendi adalah kaku yang di akibatkan karena terjadinya desakan suatu
cairan di sekitar jaringan tubuh yang sedang mengalami peradangan, seperti
kapsul sendi, sinovia, atau bursa. Gejala ini di tandai dengan sukarnya persendsian
Universitas Sumatera Utara
untuk di gerakkan. Kaku sendi terjadi pada pagi hari dan akan berkurang setelah
beristirahat dari aktivitasnya.
c. Bengkak pada Sendi
Bengkak sendi terjadi karena adanya cairan yang menumpuk di sekitar
kapsul sendi, sehingga sendi terasa kaku. Cairan yang menumpuk membuat
peradangan pada sendi tengah dalam jaringan lunak dan tulang. Biasanya di tandai
dengan memerahnya warna kulit dan terasa panas jika di raba.
d. Gangguan Fungsi Sendi
Gangguan fungsi sendi di sebabkan oleh terjadinya tekukan pada posisi
persendian. Tekukan ini sebenarnya adalah kesengajaan oleh si penderita karena
ingin menghilangkan rasa nyeri yang di derita.
e. Sendi Tidak Stabil
Ketidak stabila suatu sendi di akibatkan seseorang mengalami trauma atau
radang di bagian ligamen dan kasul sendinya. Dan juga bisa di akibatkan oleh
kerusakan rawan sendi atau robeknya ligamen. Sendi tidak stabil umum terjadi
pada penderita osteoartritis di bagian lutut.
f. Sendi Berbunyi
Sendi akan berbunyi atau terjadi krepitasi ketika sendi sedang di gerakkan.
Bunyi yang di timbulkan di bagi menjadi dua, yaitu: bunyi yang kasar dan bunyi
yang halus. Bunyi yang kasar, berarti menandakan adanya kerusakan di bagian
rawan sendi atau tulang, bunyi bisa di dengar dan di raba sepanjang tulang. Bunyi
yang halus menandakan adanya kerusakan atau peradangan di bagian sarung
Universitas Sumatera Utara
tendon, bursa, atau sinovia. Bunyi yang halus ini dapat di dengar dengan bantuan
stetoskop.
g. Pengecilan Otot (Atrofi)
Pengecilan otot sekitar sendi yang rusak terjadi jika rematik telah
berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama (lebih dari 10 tahun). Akibat
adanya atrofi, fungsi sendi akan terganggu.
h. Timbul Tofi
Tofi atau nodul atau benjolan kecil biasanya terjadi dalam jaringan di
bawah kulit. Biasanya gejala ini nterjadi pada penderita rematik gout atau
reumatoid artritis. Tofi biasanya muncul di permukaan ekstensor, yaitu di
punggung tangan, siku, tumit belakang, dan sacrum.
i. Perubahan Fisik di Bagian Jari dan Kuku
Kelaina hanya terjadi pada beberapa jenis reumatik yang bersifat sistemik.
Biasanya, kuku menjadi berlubang atau jari tangan membesar. Keadaan ini terjadi
karena adanya tofi yang semakin membesar, menimbulkan koreng, dan akhirnya
mengeluarkan suatu cairan kental seperti kapur.
j. Kelainan di Bagian Selaput Lendir
Kelainan ini terjadi karena adanya ulkus di bagian rongga mulut, kelamin,
dan selaput lendir hidung. Akibat yang di timbulkan oleh adanya kelainan ini
adalah berupa gannguan saat menelan makanan, gannguan aktivitas seksual, dan
bernafas.
Universitas Sumatera Utara
k. Gangguan Penglihatan
Gejala hanya terjadi pada penderita atritis reumatoid. Gejalanya berupa
peradangan di permukaan bola mata yang berwarna putih atau episkleritis (Utami,
2003).
2.3.3 Pengobatan Reumatik
Pengobatan reumatik biasanya lebih dipercaya dengan ramuan tradisional
di bandingkan berobat dengan bantuan dokter. Contohnya adalah ramuan dari
beberapa simplisia seperti; belimbing wuluh yang di tumbuk halus, di campur
dengan daun cempaka, cengkeh (biji), lada hitam serta tambahan perasan air jeruk
dan sedikit minyak kayu putih. Setelah semua bahan di campur gosokkan pada
bagian yang terasa nyeri sambil di urut-urut dengan perlahan, selama 2-3 kali
sehari.
Ada juga alternatif lain yang juga sangat efektif, yaitu ramuan dari
tumbuhan pegagan (Centella asiatica). Dengan cara merebus semua bagian
tanaman, kemudian air rebusannya di minum 2-3 kali sehari. Pegagan ini bersifat
antiinflamasi sehingga dapat menyembuhkan peradangan (Lasmadiwati, 2003).
2.4 Parasetamol
Parasetamol (Acetamenopen) adalah turunan dari senyawa sintetis dari p-
aminofenol yang merupakan metabolit aktif dari fenasetin, namun tidak memiliki
sifat karsinogenik (menyebabkan kanker) seperti halnya fenasetin. Khasiatnya
analgetis dan antipiretis, tetapi tidak anti radang. Dewasa ini pada umumnya di
anggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk swamedikasi
(pengobatan mandiri).Tetapi jika senyawa ini bila dikombinasikan dengan obat
Universitas Sumatera Utara
anti inflamasi non steroid (NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat
digunakan untuk mengobati nyeri yang lebih parah. (Tan dan Kirana, 2002;
Hardman, 2001)
Namun senyawa obat parasetamol ini tidak seperti obat pereda nyeri
lainnya (aspirin dan ibuprofen), tidak digolongkan ke dalam obat anti inflamasi
non steroid (NSAID) karena memiliki khasiat anti inflamasi yang relatif kecil
karena itu dianggap aman. Tapi pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan
hati. Risiko kerusakan hati ini diperparah apabila pasien juga meminum alkohol.
Penelitian pada tahun 2008 membuktikan bahwa pemberian parasetamol pada usia
bayi dapat meningkatkan risiko terjadinya asma pada usia kanak-kanak. Tapi pada
dasarnya parasetamol memang senyawa obat yang aman di gunakan untuk
antipiretis maupun antiinflamasi (anti nyeri/radang). Bahkan ibu yang sedang
hamil pun bisa dengan aman mengkonsumsi parasetamol dengan aturan pakai
yang telah di tentukan (Hardman, 2001; Foye, 1995)
Parasetamol memiliki sebuah cincin benzena, tersubstitusi oleh satu gugus
hidroksil dan atom nitrogen dari gugus amida pada posisi para. Senyawa ini dapat
disintesis dari senyawa asal fenol yang dinitrasikan menggunakan asam sulfat dan
natrium nitrat. Parasetamol dapat pula terbentuk apabila senyawa 4-aminofenol
direaksikan dengan senyawa asetat anhidrat (Hardman, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.4.1 Struktur Parasetamol
Nama Kimia : N-acetyl-p-aminophenol atau p-asetamedofenol atau 4-
hidroksiasetanilida
Rumus Empiris : C8H9NO2
Berat Molekul : 151,16
Pemerian : Kristal putih tidak berbau atau serbuk kristalin dengan
rasa pahit, jarak lebur atau titik lebur pada 169o-172o
Kelarutan : 1 g dapat larut dalam kira-kira 70 ml air pada suhu 25oc,
1 g larut dalam 20 ml air mendidih, dalam 7 ml alkohol,
dalam 13 ml aseton, dalam 50 ml kloroform, dalam 40 ml
gliserin, dalam 9 ml propilenglikol, dan larut dalam
arutan alkali hidroksida. Tidak larut dalam benzen dan
eter. Larutan jenuh mempunyai pH kira-kira 6. pKa= 9,51
(Connors, 1992; Ditjen POM, 1995).
2.4.2 Mekanisme Kerja Parasetamol
Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan
perdebatan. Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab
inflamasi), namun parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi.
Telah dibuktikan bahwa parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi
Universitas Sumatera Utara
enzim siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk membentuk
senyawa penyebab inflamasi. Sebagaimana diketahui bahwa enzim
siklooksigenase ini berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi
prostaglandin H2, suatu molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi
berbagai senyawa pro-inflamasi. Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol
ialah bahwa parasetamol menghambat enzim siklooksigenase seperti halnya
aspirin, namun hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi, dimana terdapat
konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi parasetamol juga
tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi. Hal ini menyebabkan
parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat inflamasi, namun malah
bekerja di sistem syaraf pusat untuk menurunkan temperatur tubuh, dimana
kondisinya tidak oksidatif (Hardman, 2001; Munaf, 1994; Departemen
Farmakologi dan Terapeutik, 2007)
2.4.3 Metabolisme
Metabolisme parasetamol terjadi di hati. Metabolit utamanya meliputi
senyawa sulfat yang tidak aktif dan konjugat glukoronida yang dikeluarkan lewat
ginjal. Hanya sedikit jumlah parasetamol yang bertanggungjawab terhadap efek
toksik (racun) yang diakibatkan oleh metabolit NAPQI (N-asetil-p-benzo-kuinon
imina). Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit
toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan
segera dikeluarkan melalui ginjal. Namun apabila pasien mengkonsumsi
parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi metabolit beracun ini menjadi jenuh
sehingga menyebabkan kerusakan hati (Hardman, 2001)
Universitas Sumatera Utara
2.4.4 Efek Samping
Efek samping adalah hal yang bukan tidak jarang terjadi pada
penggunaan/konsumsi senyawa obat, begitu pula dengan parasetamol.
Parasetamol menimbulkan efek sampin seperti; reaksi hipersensitivitas dan
kelainan pada darah (anemia hemolitik). Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari
dapat terjadi kerusakan hati, reaksi alergi: jarang terjadi, berupa eritem, urtikaria,
atau bila lebih berat dapat timbul demam dan lesi mukosa (Tan dan Kirana, 2002).
2.5 Identifikasi Parasetamol dalam sediaan Obat Tradisonal bentuk Kapsul secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri UV-Visible
2.5.1 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi merupakan teknik yang paling sering di gunakan dalam
bidang kimia analisis karena teknik ini dapat di lakukan untuk keperluan analisis,
baik kualitatif maupun kuantitatif, atau preparatif bagi bidang farmasi, ataupun
industri. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan
dua fase, yaitu: fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis di kembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada
tahun 1938. Kromatografi ini merupakan bentuk kromatografi planar. Berbeda
dengan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau di kemas di
dalamnya, pada kromatografi lapis tipis fase diamnya berupa lapisan yang
seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang di dukung oleh lempeng
kaca, pelat aluminium, atau pelat pelastik. Meskipun demikian kromatografi
planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom.
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan fase gerak atau sebagai pelarut dimana pelarut ini akan
bergerak sepanjang fase diam di karenakan oleh dua pengaruh, yaitu 1). Pengaruh
kapiler ini terjadi pada metode pengembangan secara menaik (ascending), 2).
Pengaruh gravitasi ini terjadi pada pengelusian secara menurun (descending).
Fase diam pada Kromatografi Lapis Tipis adalah merupakan suatu
penyerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 m. Semakin
kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase
diam maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efesiensinya dan resolusinya.
Biasanya yang paling sering di gunakan adalah silika dan serbuk selulosa.
Penyerap biasanya di gunakan untuk melapisi pada permukaan kaca, gelas, atau
aluminium dengan ketebalan 250 m, atau biasa di sebut plat/lempeng KLT.
Fase gerak pada KLT biasanya dapat di pilih dari pustaka, tetapi lebih
sering di pilih dengan cara mencoba-coba karena waktu yang di perlukan hanya
sebentar. Sistem yang paling sederhana adalah sistem 2 pelarut organik karena
daya elusi camuran dari dua pelarut ini dapat mudah di atur sedemikian rupa
sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah kriteria yang
harus di penuhi oleh fase gerak ialah: Fase gerak harus memiliki kemurnian yang
sanagat tinggi, karena KLT sangat sensitif, Daya elusi fase gerak harus di atur
agar harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk pemisahan yang maksimal, untuk
pemisahan senyawa yang polar yang biasanya fase diamnya berupa silika gel,
maka polaritas dari fase gerak sangat menentukan kecepatan elusi/pengembangan
yang berarti juga akan menentukan nilai Rf (Rohman, 2009)
Universitas Sumatera Utara
a. Penotolan Sampel
Kromatografi yang di lakukan dengan hasil yang optimal juga di
pengaruhi oleh faktor penotolan. Penotolan yang baik adalah menotolkan sampel
dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin sehingga akan di dapati hasil
yang optimal. Sebagaimana dalam prosedur jika sampel yang di gunakan terlalu
banyak maka akan menurunkan resolusi. Umumnya volume penotolan adalah 15
l. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak menyebar dan
puncak ganda. Penotolan secara otomatis lebih sering di pilih, terutama jika
volume sampel lebih dari 15 l.
b. Pengembangan/Elusi
Pengembangan adalah tahap di mana di lakukan setelah melakukan
penotolan sampel dan baku, jika menggunakan baku. Pengembangan/elusi
biasanya di lakukan dalam sebuah bejana kromatografi yang sebelumnya telah di
jenuhi oleh uap pelarut/fase gerak. Biasanya plat sebelum di totol di beri jarak
untuk titik penotolan ialah berjarak 1-2 cm. Jadi ketika plat di masukkan ke dalam
bejana, tinggi fase gerak berada di bawah titik penotolan. Bejana kromatografi
harus di tutup rapat.
c. Deteksi Bercak
Bercak pemisahan pada KLT umunya merupakan bercak yang tidak
berwarna. Sehingga untuk penentuannya dapat di lakukan dengan cara kimia,
fisika, maupun biologi. Cara kimia adalah cara yang lebih sering di gunakan yaitu
dengan cara mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi tertentu melalui
Universitas Sumatera Utara
penyemprotan sehingga bercak tampak dengan jelas. Cara fisika adalah
mendeteksi bercak dengan menggunakan flurosensi sinar ultraviolet.
d. Identifikasi dan Harga-harga Rf
Identifikasi dari senyawa-senyawa yang telah di pisahkan pada lapisan
tipis lebih baik di kerjakan dengan pereaksi kimia dan reaksi-reaksi warna.
Namun Lazimnya untuk identifikasi menggunakan harga Rf, Walaupun harga Rf
dari KLT kurang tepat di bandingkan dengan harga RF yang di peroleh dari
kromatografi kertas.
Definisi harga RF adalah jarak yang di gerakkan oleh senyawa dari titik
asal di bagi dengan jarak yang di gerakkan oleh pelarut dari titik asal. Harga Rf
untuk senyawa murni dapat di bandingkan dengan harga senyawa standard.
Senyawa standard biasanya memiliki sifat-sifat kimia yang mirip dengan senyawa
yang di pisahkan pada kromatogram.
Harga Rf sangat di tentukan oleh kelancaran pergerakan noda dalam KLT,
adapun faktor yang mempengaruhi pergerakan noda ialah: 1). Struktur kimia dari
senyawa yang di pisahkan, 2). Sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya, 3).
Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap, 4). Pelarut dan derajat kemurniannya,
5). Derajat kejenuhan dari uap pelarut dalam bejana elusi, 6). Teknik percobaan,
7). Jumlah sampel yang di gunakan, 8). Suhu, 9). Kesetimbangan (Sastromidjojo,
1985)
2.5.2 Spektrofotometri UV-Visible
Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan
intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang di absorbsi oleh sampel.
Universitas Sumatera Utara
Spektrofotometer UV-Vis biasanya di gunakan untuk molekul dan ion anorganik
atau kompleks didalam larutan. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang
200-400 nm, sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800
nm.Sebagai sumber cahaya biasanya di gunakan lampu hydrogen atau deuterium
untuk pengukuran UV dan lampu tungsten untuk pengukuran pada cahaya
tampak.
Panjang gelombang adalah jarak antara satu lembah dan satu puncak.
Panjang gelombang dari sumber cahaya akan di bagi oleh pemisah panjang
gelombang, seperti monokromator. Pada spektrofotometer ada juga istilah
frekwensi yang memang akrab dengan panjang gelombang, frekwensi adalah
kecepatan cahaya di bagi dengan panjang gelombang (Dachriyanus, 2004)
Universitas Sumatera Utara