55
Bagian 98 PASIEN OBESITAS Joseph S. Cheng, Meic H. Schmidt, Waide M. Mueller, dan Edward C Benzel Obesitas dan berat badan berlebih telah dikategorikan sebagai salah satu indicator kesehatan utama (2001), merupakan target kesehatan masyarakat selama decade pertama abad ke-21. 34 Pada tahun 1999, diperkirakan 61% orang dewasa di AS memiliki berat badan berlebih atau obesitas dan selain itu 13 % anak dan remaja juga berberat adan lebih. Saat ini, terdapat hampir 2 kali lebih banyak anak-anak dan 3 kali lebih banyak remaja yang berberat badan lebih bila dibandingkan dengan pada tahun 1980, dengan rata-rata 300.000 kematian pertahun di AS yag dihubungkan dengan obesitas dan berat badan lebih. 2 Pada tahun 2000, biaya pelayanan kesehatan untuk obesitas diperkirakan sebesar $ 117 juta, dimana kebanyakan biaya ini adalah pembiayaan untuk diabetes tipe 2, penyakit arteri koroner, dan hipertensi. 60 Meskipun obesitas dihubungkan dengan gangguan sendi, 5 pengaruh berat badan terhadap gangguna tulang belakang kurang jelas. 27,56 Namun, telah ditunjukan bahwa masalah kesehatan lain seperi statis vena dan apneu saat tidur

Pasien Obesitas

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pasien Obesitas

Citation preview

Page 1: Pasien Obesitas

Bagian 98

PASIEN OBESITAS

Joseph S. Cheng, Meic H. Schmidt, Waide M. Mueller, dan Edward C Benzel

Obesitas dan berat badan berlebih telah dikategorikan sebagai salah satu

indicator kesehatan utama (2001), merupakan target kesehatan masyarakat selama

decade pertama abad ke-21.34 Pada tahun 1999, diperkirakan 61% orang dewasa di AS

memiliki berat badan berlebih atau obesitas dan selain itu 13 % anak dan remaja juga

berberat adan lebih. Saat ini, terdapat hampir 2 kali lebih banyak anak-anak dan 3 kali

lebih banyak remaja yang berberat badan lebih bila dibandingkan dengan pada tahun

1980, dengan rata-rata 300.000 kematian pertahun di AS yag dihubungkan dengan

obesitas dan berat badan lebih.2 Pada tahun 2000, biaya pelayanan kesehatan untuk

obesitas diperkirakan sebesar $ 117 juta, dimana kebanyakan biaya ini adalah

pembiayaan untuk diabetes tipe 2, penyakit arteri koroner, dan hipertensi.60 Meskipun

obesitas dihubungkan dengan gangguan sendi,5 pengaruh berat badan terhadap

gangguna tulang belakang kurang jelas. 27,56 Namun, telah ditunjukan bahwa masalah

kesehatan lain seperi statis vena dan apneu saat tidur dapat mempengaruhi keluaran

operasi spinal secara signifikan. Bagian ini membahas penanganan terkini pasien

obesitas karena hubungannya dengan gangguan dan operasi spinal.

Diagnosis berat badan lebih dan obesitas

Kata obesitas berasal dari bahasa latin “makan berlebihan”, namun saat ini

obesitas banyak diartikan sebaga “penyakit kelebihan lemak tubuh”.25 Rather than a

simple personality trait, perubahan definisi ini menggambarkan obesitas sebagai

gangguan kompleks yang berkembang karena kombinasi faktor geneik, lingkungan,

psikososial, dan fisiologis. Pada komunitas barat saat ini, kelebihan lemak tubuh

biasanya terjadi karena diet tinggi kalori dan aktivitas fisik yang kurang.

Berat badan lebih dan obesitas adalah istilah yang awalnya digunakan oleh

industri asuransi untuk menentukan faktor-faktor risiko yang sehubungan dengan

Page 2: Pasien Obesitas

peningkatan morbiditas dan mortalitas, dan diagnosis ditegakkan berdasaran jumlah

kelebihan lemak tubuh. Lemak adalah salah satu komponen dasar tubuh manusia

yang esensial untuk bertahan hidup, dan nilai normal lemak bergantung pada umur

dan jenis kelamin. Secara umum, persentase lemak tubuh normal sebesar 13-16 %

pada laki-laki dewasa dan 20-24 % pada perempuan dewasa, dan diagnosis berat

badan lebih dan obesitas ditegakkan bila nilai tersebut dilewati.

Pengukuran lemak tubuh terkadang secara teknis sangat menantang. Metode

yang paling akurat adalah teknik underwater immersion (memasukkan ke dalam air);

namun teknik ini tidak praktis untuk penggunaan secara rutin. Pada praktek sehari-

hari, pengukuran tebal lipatan kulit dan lingkar pinggang, bersama dengan

pengukuran berat badan berdasarkan tinggi badan tampaknya merupakan metode

yang paling mendekati namun masih kurang akurat. Pada tahun 1998, World Health

Organization (WHO) bersama dengan National Institute of Health (NIH),

mengesahkan penggunaan Indeks Massa Tubuh (IMT) untuk mengukur adanya

obesitas, karena tampaknya IMT lebih berhubungan dengan lemak tubuh

dibandingkan indikator tinggi dan berat badan laiinya. 26,61

IMT, atau index Quatelet, adalah formula matematis dimana berat badan

dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (IMT= berat badan

(kg)/Tinggi badan (m2)). Selama ini, IMT telah ditabulasi dari data medis dan

asuransi untuk mendapatan nilai standar untuk menentukan obesitas. Secara umum,

IMT 25-29,9 kg/m2 dianggap berat badan lebih dan IMT lebih dari 30 kg/m2 (atau

peningkata 20% dari berat badan ideal erdasarkan tabel octoarial) disebut obesitas

(Tabel 98.1). Obesitas berat atau morbid, sebagaimana dijelaskan oleh Payne pada

awal 1960 an, mnggunakan definisi sewenang-wenang yaitu lebih dari 100 lb atau 45

kg di atas berat badan ideal, dan juga IMT lebih dari 35.25,56 Pasien yang obesitas

morbid memiliki risiko yang paing tinggi unuuk mengalami morbilitas dan mortalitas

perioperatif. Penjelasan lebih jauh dipdapatkan dengan adanya standar WHO dimana

obesitas diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yang dihubungkan dengan risiko-risiko

kesehatan yang ditunjukkan oleh perubahan pada orbiditas dan mortalitas (Lihat

Page 3: Pasien Obesitas

Tabel 98.1). Obesitas Kelas I adalah keadaan dimana IMT sebesar 30-34,9 dan

dihubungkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas yang sedang bila

dibandingkan dengan populasi umum. Obesitas Kelas II bila IMT antara 35 sampai

39,9 degan peningkatan risiko-risiko kesehatan yang berat. Obesitas kelas III apabila

IMT lebih dari 40 dengan peningkatan insiden morbiditan dan mortalitas yang sangat

berat.

IMT adalah pengukuran yang akurat untuk kebanyakan orang kecuali bagi

binaragawan yang kemungkinan memiliki IMT tinggi akibat peningkatan massa

tubuh (otot), dan wanita hamil. Selain itu, distribusi kelebihan lemak juga penting

karena sebagian pasien dapat berberat badan normal tapi memiliki lemak abdomen

yang signifikan yang berakibat terjadinya obesitas visceral. Obesitts abdominal

(visceral) dihubungkan dengan diabetes tipe II, dislipidemia, dan penyakit

kardiovaskular.11 Pengukuran lingkar pinggang dapat menilai adanya akumulasi

lemak abdomen ini.

Gangguan spinal pada pasien obesitas

Obesitas dihubungkan dengan osteoarthritis dan penyakit sendi degenerative.

61 Penelitian mengindikasika adanya keterkaitan berat badan berlebih dengan

osteoarthritis pada sendi lutut dan pinggul. Evaluasi propektif menunjukkan bahwa

risiko osteoarthritis pada lutut meningkat 15 % untuk setiap peningkatan IMT di atas

27. Sendi-sendi yang tidak menopang berat badan pada tangan juga sering terkena

osteoarthritis pada orang obesitas. Penelitian longitudinal mengindikasikan bahwa

peningkatan berat badan mendahului osteoarthritis pada tangan dan lutut.

Penyebab osteoarthritis dan penyakit spinal degenerative tidak dijelaskan

dengan baik. Secara biokimiawi, obesitas dapat meningkatkan beban kompresif

vertikal secara langsung dan dari arah ventral memberikan beban terhadap kolumna

spinalis. 59 Secara khusus, obesitas abdomen dapat meninkatkan beban pada otot-otot

panggul dann kompleks sendi facet, dan berpotensi menyebabkan back pain dan

penyakit vertebra degenerative (Gambar 98.1). Meskipun obesitas dihubungkan

Page 4: Pasien Obesitas

dengan sindrom nyeri seperti coccydinia dan meralgia parestetika, penelitian klinis

menunjukkan hasil yang berbeda mengenai gangguan spinal dan obesitas. 12,27,283,43

Osteopitosis vertebra tampaknya lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan IMT

yang lebih besar dan obesitas. 10,35

Obesitas belum ditetapkan sebagai penyebab low back pain (LBP). Banyak

penulis mempertanyakan apakah LBP mendahului obesitas atau vice versa. 12 Secara

klinis, manifestasi LBP pada pasien obesitas tampaknya lebih sering terjadi

dibandingkan populasi umum. 7 Namun, pada tinjauan sistemik terhadap literature

epidemiologi 56 artikel jurnal oleh Leboeuf Yde,27 ditemukan bahwa hanya 32 %

penelitian yang mengindikasikan keterkaitan secara statistik yang signifikan antara

berat badan dan LBP. Karena banyak peelitian memiliki faktor-faktor yang

mengacaukan, penulis merasa bahwa berat badan harus dipertimbangkan sebagai

indikator risiko yang lemah untuk LBP.

Dalam beberapa laporan, prevalensi obesitaas pada pasien-pasien yang masuk

rumah sakit untku operasi spinal elektif meningkat dari 256 pasien yang menjalani

disektomi lumbal elektif, 27% memiliki IMT yang konsisten dengan obesitas,

dibandingkan dengan prevalensi 16% pada populasi umum di Finlandia.7 Namun,

tidak jelas apakah hal ini secara langsung berhubungan dengan obesitas atau karena

fakta bahwa pasien pasien obesitas lebih sering mencari pelayanan kesehatan

dibandingkan orang dengan berat badan normal. Pada penelitian lain, IMT dan tinggi

badan pasien dinyatakan berhubungan dengan pasien-pasien yang membutuhkan

operasi untuk hernia diskus intervertebralis lumbal.19 Pada penelitian cross sectional,

Bostman6 meninjau 1128 pasien yan menjalani operasi diskus lumbalis dibandingkan

dengan populasi umum, peningkatan IMT dan postur tubuh tinggi dihubungkan

dengan herniasi diskus lumbalis yang membutuhkan opersi.6 Secara keseluruhan,

literature masih konroversial mengenai penyebab LBP dan herniasi diskus pada

pasien obesitas. Selain itu tidak jelas apakah keluaran operasi LBP dan herniasi

diskus lebih jelek pada pasien obesitas dibandingkan populasi umum. Sebuah

penelitian prospektif skala kecil (n=159) yang membandingkan operasi vertebra

Page 5: Pasien Obesitas

lumbal pada pasien obesitas menunjukkan bahwa kedua keompok memiliki keluaran

yang sama untuk laminektomi dekompresi, discektomi, dan fusi lumbal.3 Peneliatian

ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam hal jumlah kehilangan darah,

durasi operasi, lama perawatan di rumah sakit, angka komplikasi, atau keluaran

fungsional antara kedua kelompok.3 Kegagalan operasi untuk mengurangi gejala-

gejala radikulopati lebih berhubungan dengan seleksi pasien daripada obesitas. Pada

pasien obesitas adanya neuropati diabetik dapat menyebabkan hasil yang jelek. 49

Jadi, pasien obesitas morbid yang bahkan telah menjalani penanganan untuk masalah

berat badan mereka masih memiliki faktor risiko akibat obesitasnya, Bano dkk4

melaporkan adanya perubahan osteoporosis dan berkurangnya densitas mineral tulang

pada pasien obesitas yang telah menjalani operasi pintas jejuno-ileal bagi obesitas

morbid.

Table 98.1

Klasifikasi IMT

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Kurang

Normal

Lebih

Obesitas

Obesitas kelas I

Obesitas kelas II

Obesitas kelas III

< 18,5

18,5-24,5

25-29,9

≥ 30

30-34,9

35-39,9

≥ 40

* IMT, kg/m2 atau (lbs/in2 x 703)

Risiko-risiko dan isu-isu kesehatan pada pasien obesitasMeski obesitas tidak secara jelas menyebabkan gangguan spinal, namun banyak pasien obesitas masih tetap perlu operasi spinal.

Prevalensi pasien obesitas yang menjalani operasi spinal meningkat bila dibandingan populasi umum.7 Penanganan dan perhatian terhadap

masalah-masalah medis yang berhubungan dengan obesitas dapat mengurangi komplikasi perioperatif dan meningkatkan kemungkinaan operasi

Page 6: Pasien Obesitas

spinal yang sulit. Gangguan-gangguan medis yang dihubungkan dengan berat badan lebih dan obesitas dirangkum dalam Kotak 98.1. Kebanyakan

gangguan ini memiliki potensi untuk meningkatkan risiko komplikasi perioperatif. meskipun tidak semua pasien obesitas mengalami gangguan-

gangguan medis, penting untuk memahami rsiko-risiko dan gangguan yang berhubungan dengan obesitas.

Kotak 98.1

Risiko kesehatan yang berhubungan dengan obesitas

Obesitas berhubungan dengan peningkatan risisko:

Kematian premature

Diabetes tipe 2

Penyakit jantung

Apneu saat tidur

Asma

Gangguan pernapasan

Stroke

Hipertensi

Kanker

Osteoarthritis

Penyakit hepar

Penyakit kandung empedu

Kolesterol darah tinggi

Gangguan menstrasi

Hirsutisme

Inkontinensia stress

Peningkatan risiko operasi

Depresi

Stigmatisasi soasial

* dikutip dan dimodifikasi dari www.nidak.nih.gov/health/nutrit/pubs/statobes.htm

Mortalitas

Penelitian epidemiologi menjukkan adanya peningkata mortalitas sehubunga

dengan berat badan lebih dan obesitas. Orang obesitas (IMT ≥ 30) memiliki

peningkatan risiko 50 hingga 100% keatian premature akibat berbagai penyebab

dibandingan orang dengan berberat badan normal, dan memiliki morbiditas dan

mortalitas operasi yang lebh besar.11,14,18 Sebuah penelitian yang membandingkan nilai

mortalitas operasi gastrointestinal menunjukkan bahwa pasien obesitas memiliki nilai

mortalitas 6,6%, sedangan pasien non obesitas sebesar 2,2%.41 Bertentangan dengan

eelitian terhadap operasi spinal oleh Andreshak dkk,3 pasien obesitas menjalani

Page 7: Pasien Obesitas

kehilangan darah llebih banyak, wkatu operasi lebih panjang dan komplikasi mayor

dari prosedur ortopedi maupun prosedur bedah lainnya.

Fungsi pulmoner

Obesitas biasanya dihubungkan dengan disfungsi pulmoner dan kesulitas

bernapas, dan komplikasi pulmoner psca operasi pada pasien obesitas telah diaporkan

sebesar 3,9% hingga 95%.37,48 Pertukaran gas terkadang terganggu pada pasien

obesitas, dan obesitas secara signifikan meingkatkan risiko kesulitan intubasi

endotrakea. Risio ini kemudian dipersulit oleh merokok dengan literature

menganjurkan penghentian merokok setidaknya 8 minggu sebelum operasi demikian

pula dengan penuruaan berat badan setidaknya 10-20 kg data secara signifikan

mengurangi omplikasi pulmoner pasca operasi.23,24 Obstruksi saluran napas bagias

oleh jaringan lunak yang berlebih juga data menyebabkan hypoxemia dan

hiperkarbia. Berat torso dan abdomen akan megurangi kapasitas residual fungsional

dan menyebabkan ekskursi diafragma jadi llebih sulit. Posisi prone yang biasanya

digunakan untuk prosedur spinal dapat memperbaiki beberapa aspek fungsi

pulmoner.38 Namun, prbikan ini tergantung pada tempat pasien diposisikan.36 Efek

lanjut juga pernah dilaporka, dmana oeitas menyebabkan risiko obstruksik jalan napas

karena edema angioneurotk akbat inhibisi enzim konversi angiotesin pasca operasi.33

Penurunan kapasitas residual dapat mengurang waktu sebelum terjadinya

hypoxia saat intubasi. Pada pasien obesitas dengan patologi vertebra servikal ang

membutuhkan intubasi yang hati-hati, penurunan waktu sebelum trjadinya hypoxia

bersama dengan strutur jaan naas bagian atas yang komples data membasi menjadi

sulit. Selain itu, asien obes juga memiliki cairan asam ambung yang banyak sehingga

menempatkanpasien dalam risiko tingi untuk aspirasi.55 Risiko aspirasi dari refluks

gastroesofageal paling besar terjadi saat bucking atau batuk pada pipa endotrakea, yag

dapat lebih sering terjadi saat dilakukan intubasi ssadar. Semua pasien besitas harus

dianggap bersiko mengaami hipoksia intra dan pasca operasi.

Page 8: Pasien Obesitas

Fungsi jantung

Jaringan lemak meningkatkan cardiac output 0,11/menit untuk perfusi 1 kg

lemak. Hipertensi, kardiomegali, dan gagal ventrikel kiri dapat terjadi akibat

kebutuhan meninkatkan cardiac output dan dapat medorog jantung ke bata

fungsionalnya. Oleh karena itu, pasen obesitas biasanya memiliki cadangan jantung

yang terbaatas dan toleransi beban jantung yang buru akibat hiotensi hipertensi,

takikardia atau kelebihan cairan selama operasi. Retensi karbondioksida pada pasien

yang sangat obes disebyt Sindrom Pickwickian dan dihubungan dengan hipoventilasi

alveolar, somnolen, hypoxemia, gagal jantung kanan, dan polisitemua sekunder.

Pasien-pasie ini membutuhkan moitor yang lebih invasive untuk evaluasi

preoperative sebaiknya dilakukan pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG) dan analisis

gas darahuntuk menilai tingkat hipoventilasi. Biasanya, erokok semakin mempeburuk

dsism kardiopulmoner dan pada pasien ini, pemeriksaan fungsi pulmoner dan foto

thorax sebaiknya dilakukan.

Diabetes

Toleransi glukosa biasanya tergangggu pada pasien obesitas. Hipertropi islet

pancreas dan hiperinslinemia menyebabkan prevalensi diabetes dan masalah

kesehatan lain yang berhubungan lebih tinggi diabetes sering dihubunga dengan

kkeluaran yang buruk setelah operasi spinal. Peneltaan pada 62 pasien obesitas dan

non obesitas dengan diabetes meunjukkan angka infeksi pasca perasi dan masa

perawatan yag lebih tingii.49

Tromboemboli

Komplikasi tromboemboli sering terjdi setelah prosedur bedah saraf dan

ortopedi. Obesitas dapat meningkatkan risiko thrombosis vena dalam da emboli paru. 45 Pengggunaan alat kompresi kaki sekuensial dan stoking dapat ulur pada pasien

obesitas. Ambulasi dan heparin subkutaneus harus dipertimbangan agi pasien dengan

perhatian yang seksama terhadap status pulmoner

Page 9: Pasien Obesitas

Penyembuhan luka

Komplikasi luka seteah operasi spinal dorsal yang terjadi. Insiden infeksi dan

dehisensi luka meningkat paa pasien obesitas.45

Isu-isu farmakologi

Perubahan patofisiologi pada obesitas ang mempengaruhi distribusi obat di

antaranya peningkata cardiac output, volume darah, penurunan massa tubuh, kuran

organ, dan massa adipose.1,5 Pada umumnya, obat-oat hidrofilik tidak terlalu

dipengaruhi oleh obesitas. namun, obat-obat hidrofilik dapat meningkatkan volume

distribusi, memperlambat eliminasi, dan denga demiian terkadang menyebaban

pemulihan yang lambat dari obat-obat anastesi. Disfungsi hepatic dan renal juga

dapat mmpersult kecenderungan untuk pemulihan yag lambat dari efek anastesi.

Pemberian analgetik juga dapat dipengaruhi oleh obesitas. sebuah penelitian

menunjukan bahwa pasien obesitas membutuhkan lebih sedikit analgetik pasca

operasi dibandingkan pasien dengan berat badan normal.12 Analgesi opioid dapat

erbahaya pada pasien obesitas karena dapat mengubah farmakokinetik. Ijeksi

intramuscular dapat menyebaban kadar opioid darah yang tidak terrediks ada pasien

obesitas. anastesi yang dikontrol oleh pasien sendiri (Patient controlled anesthesia

PCA) efektif untuk pasien obesitas morbid. 18,30 Namun, laporanlain menatakn bahwa

PCA data leih berbahaya pada pasien obesitas dengan apnea saat tidur.

Pertimbangan diagnostik gangguan spinal pada pasien obesitas

Evaluasi pasien obesits dengan gangguan spinal terdiri atas anamnesis dan

pemeriksaan fisis yang tidak berbeda dengan pasien lainnya. Deskripsi yang detail

mengenai tipe nyeri, distibusinya dan gejala radikuler yang berhubungan sangat

penting. Tinjauan sistem sangat penting untuk mengidentifikasi masalah-masalah

Page 10: Pasien Obesitas

kesehatan yang mungkin terjadi sehubungan dengan obesitas. Secara khusus,

pertanyaan mengenai penyakit kardiovaskular, gangguan napas, apneu saat tidur, dan

kelainan endokrin harus ditanyakan. Biasanya, pasien-pasien obesitas morbit sedang

dalam perawatan dokter yang dapat membantu melakukan peeriksaan bila terdapat

indikasi dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan tinjauan sistem. Penggunaan anastesi

yang berisiko tinggi dan perlunya perawatan ICU setelah operasi harus berdasarkan

penyakit penyerta dan lamanya operasi.48 Pemeriksaan fisis dapat terganggu akibat

habitus tubuh pasien, osteoarthritis lutut dan tangan juga dapat membatasi manuver-

manuver diagnostik. Neuropati diabetik dapat menutupi gejala dan tanda myelopati.

Pemeriksaan radiologi pada pasien obesitas terkadang sangat menantang. Foto

polos fleksi dan ekstensi dinamis terbatas, dan foto polos supine berkualitas buruk

karena jeleknya penetrasi. MRI dan CT Scan terkadang sulit untuk dilakukan karena

terbatasnya ukuran alat.446 Pemindai MRI yang terbuka lebih luas dan dapat berguna

bagi pasien obesitas yang klaustropobia.

Isu bedah pada obesitas

Pendekatan untuk penanganan bedah pada pasien obesitas dengan penyakit

spinal sama dengan pendekatan pada pasien non obesitas. Isu-isu kesehatan

sehubungan dengan obesitas dapat meningkatkan faktor risiko operasi; namun

obesitas bukan merupakan kontraindikasi untuk operasi spinal elektif. Banyak

laporan anecdotal menyebutkan kesulitan dan meningkatnya komplikasi pasca

operasi sehubungan dengan obesitas namun laporan ini tidak didukung oleh literature.

Pengalaman institsional di Fakultas Kedokteran Wisconsin menemukan bahwa tidak

ada perbedaan berarti dalam hal kecepatan fusi atau komplikasi mayor antara pasien

obesitas dan non obesitas. Andreshak dkk3 meninjau sebuah sebuah serial prospektif

159 pasien obesitas dan kontrol, dan ia menemukan bahwa faktor-faktor seperti lama

operasi, jumlah kehilangan darah, lama masa perawatan, komplikasi dan keluaran

tidak berbeda antara kedua kelompok pasien yang menjalani operasi fusi vertebra

lumbal.

Page 11: Pasien Obesitas

Pendekatan operasi

Pemilihan pendekatan operasi tergantung pada anatomi dap proses penyakit

yang sedang dihadapi. Pendekatan tertentu, seperti pendekatan ventral, dapat

dipersulit dengan adanya obesitas morbid. Faktor-faktor seperti lokasi dan ukurun

panniculus bersama dengan ketersediaan retraktor dan instrument yang tepat, dapat

memungkinkan modifikasi pendekatan standar yang biasaya digunakan pada pasien

non obesitas. Meskipun pendekatan pada umumnya berdasarkan struktur anatomi

yang ditentukan saat deteksi lesi, banyak faktor yang mempengaruhi pendekatan

yang digunakan termasuk posisi sebelum operasi, retraksi, dan pemeriksaan radiologi

intraoperasi.

POSISI PASIEN

Sama halnya dengan pasien non obesitas, tujuan mengatur posisi pasien degan

tepat adalah untuk mendapatkan eksposure dan visualisasi yang optimal. Hal ini dapat

dicapai dengan menggabungkan optimalisasi dinamika kardiovaskuler dan respirasi

sambil mencegah kehilangan darah, kongesti vena, gangguan neurovaskuler, dan

komplikasi pada daerah yang tertekan. Persiapan harus dilakukan untuk

mengakomodasi keperluan-keperluan intra operasi seperti penempatan radiografi

penggunaan sistem refraktor, perubahan posisi pasien, atau implantasi instrumen

spinal. Meja operasi dan peralatan fiksasi standar seperti fiksasi 3 titik (three point

fixation) untuk prosedur servikal dorsal dapat digunaan. Terdapat perbedaan peralatan

yang signifikan, dan hanya sedikit dijelaskan dalam bagian ini.

Posisi supine

Posisi supine memungkinkan akses ke aspek ventral pasien dan pendekatan-

pendekatan termasuk ventral servimal, transthorasic, dan transabdominal; dang graft

krista iliaka adalah indikasi untuk posisi ini. Papan lengan dan sleds dapat digunakan

untuk menopang ekstremitas atas, atau pada prosedur servikal penggunaan draw sheet

Page 12: Pasien Obesitas

untuk membungkus pasien dapat membantu menopang lengan. Bila perlu, 2 meja

operasi data digabungkan menjadi satu untuk dapat menopang pasien dengan ukuran

tubuh yang besar. Bangku untuk berdiri kemudian dapat digunakan untuk mencapai

lapangan operasi dengan tidak bersandar pada pasien.

Eksposur untuk pendekatan servikal ventral dapat dilakukan dengan

menggunakan panniculus submandibular besar. Visualisasi dapat dmaksimalkan

dengan menggunakan pengikat dagu (chinstrap) atau plaster bersama dengan

shoulder roll untuk pendekatan servikal dorsal. Traksi kaudal bahu bilateral dengan

cloth tape pada dasar Reston membantu meregangkan lipatan-lipatan pada kaudal

leher serta memberi efek traksi pada pemeriksaan radiologi. Obesitas tidak

memberikan perlindungan dari reaksi pada titik tekanan dan saat prosedur yang

panjang, masalah dapat diperberat oleh hipotermia dan hipotensi vasokonstriksi.

Posisi Prone

Pasien yang harus diposisikan prone, membutuhkan meja operasi standar

Amsco (Amsco 3085 SP Surgical Table, Steris Corp, Montgomery, Ala) dengan

bantalan dada yang lebar. Setelah meletakkan bantalan pada lutut, tumit, siku, dan

pergelangan tangan, pasien diimobilisasi dengan pita pengikat standar pada dasar

Reston untuk mencegah kontak kulit secara langsung dengan perekatnya. Jika

imobilisasi total dibutuhkan, misalnya ketika meja operasi harus dirotasikan untuk

memperbaiki visualisasi, harus dihindari konstriksi berlebihan untuk mencegah

bahaya respirasi dan neurovaskuler. Pada prosedur servikal, fiksasi three point

memungkinkan akses bedah yang lebih baik dan menurunkan potensi cedera mekanis

dan neurovaskuler dibanding fiksasi tapal kuda atau bantalan wajah.

Dibanding posisi supine atau posisi dekubitus lateral, posisi prone berpotensi

lebih besar menimbulkan gangguan pernapasan dan kompresi abdomen. Hal tersebut

ditandai oleh peningkatan berbagai parameter fisiologis seperti tekanan jalan napas

puncak dan juga peningkatan kongesti vena dan gangguan hemostasis. Alternatif

chest roll standar termasuk alat seperti meja Jackson (OSI Corp., Union City,

Page 13: Pasien Obesitas

California). Desainnya memungkinkan penembatan bantalan dan penyangga khusus

terhadap abdomen sehingga menurunkan tekanan intraabdomen. Meskipun demikian,

pada beberapa pasien obesitas dengan panikulus abdomen signifikan perlu

ditempakan meja logam di bawah perut sebagai penyangga tambahan untuk

mencegah peregangan berlebihan (brace Milwaukee). Keuntungan meja jakson

termasuk radiolusensi dalam imaging intraoperatif, dan akomodasi traksi dan fiksasi

servikal. Alat tersebut disuplai aliran listrik, tetapi rotasi manual tetap dapat

dilakukan, dan posisi netral bergantung pada friction stop. Toleransi meja tersebut

lebih dari 350 lb, tetapi modifikasi terkini dapat mengakomodasi beban lebih dari 500

lb.

Posisi Dekubitus Lateral

Pada kasus obesitas berat yang tidak dapat diakomodasi oleh meja operasi

terkini atau kontraindikasi untuk posisi prone misalnya pada pasien transplantasi

renal prominen, maka posisi dekubitus lateral merupakan pilihan.

Posisi dekubitus lateral dapat pula digunakan ketika visualisasi vertebra

ventral atau torakolumbar lateral dibutuhkan. Pada posisi demikian, pendekatan dapat

dilakukan via transtorakal, retropleural, atau retroperitoneal. Posisi demikian juga

mengakomodasi pannus torakoabdominal yang sulit ditangani pada posisi supine.

Oleh karena itu, harus diperhatikan bahwa pada posisi demikian diseksi midline

dorsal kemungkinan sulit dilakukan, khususnya pada vertebra servikal, hal ini terkait

masalah instabilitas vertebra servikal. Meskipun kesejajaran vertebra servikal dapat

dipertahankan dengan bantal atau penyangga lainnya, kehati-hatian tetap diperlukan

ketika menempatakan pasien dalam posisi tersebut.

Posisi Berlutut

Pilihan posisi lain ketika pasien membutuhkan posisi prone adalah posisi

berlutut. Pada studi manometrik terhadap tekanan vena kava inferior ditemukan

penurunan signifikan selama posisi terlipat, dibanding posisi Georgia atau prone

standar lainnya. Keuntungan menurunkan tekanan intraabdominal dikaitkan dengan

Page 14: Pasien Obesitas

hemostasis yang lebih baik, sebab memungkinkan visualisasi serta menurunkan

tekanan kardiak dan respirasi intraoperatif. Meskipun demikian, selain keuntungan,

posisi ini juga menyebabkan berbagai kerugian, antara lain memakan banyak waktu,

berpotensi tinggi menyebabkan cedera mekanis dan neurovaskuler, regangan otot dan

ligamen lumbal, serta berpotensi mengganggu kurvatura lumbal selama operasi.

Komplikasi tersebut sesungguhnya dapat dicegah, terutama dengan pendekatan

individual dan pertimbangan yang hati-hati.

Posisi Duduk

Meskipun posisi duduk telah digunakan untuk operasi vertebra dorsal tetapi

pitfall tambahan ditemukan pada pasien obesitas terlepas dari bahaya emboli udara

dan resiko perburukan respirasi dan kardiovaskuler. Pasien obesitas yang berukuran

besar, massa letak ventral, dan fleksibilitas terbatas kemungkinan mempersulit proses

memposisikan pasien. Gaya gravitasi yang bermanfaat dalam membantu visualisasi

dengan drainase perdarahan dari lapangan operasi, bisa saja menjadi penghalang

pemasangan pita dan kain pengikat untuk memobilisasi bahu. Pasien obesitas

cenderung tergelincir selama posisi tersebut. Gravitasi juga mempengaruhi retraktor

yang dipakai. Retraktor berukuran besar dengan bilah yang dalam misalnya Scoville,

kemungkinan membutuhkan sling yang terbuat dari spon dan hemostat untuk

menahannya tetap pada posisi. Terlepas dari itu semua, posisi duduk tetap berhasil

digunakan luas pada populasi obesitas. Meskipun demikian, umumnya para ahli

menggunakan posisi prone sebagai pendekatan vertebra servikal bagian dorsal.

Aspek Posisi Lainnya

Tanpa memandang pendekatan dan posisi pembedahan yang digunakan,

perubahan sirkulasi dan respirasi tetap harus mendapat perhatian. Penempatan

bantalan pada berbagai titik tekan, aplikasi alat kompresi sekuensial (Sequential

Compression Device, SCD), membantu meminimalkan pooling vena dependen, rol

Page 15: Pasien Obesitas

aksilla untuk mencegah cedera bundel neurovaskuler aksilla, dan perhatian ekstra

terhadap status ventilasi pada berbagai ketidaksesuaian potensi perfusi ventilasi

dibutuhkan.

PERALATAN BEDAH

Meja Operasi

Pada institusi penulis bekerja, meja bedah Amsco digunakan sebagai meja

operasi mobile standar dengan kontrol hidrolik yang fleksibel untuk membantu

memposisikan pasien. Meja mampu menahan beban lebih dari 1000 lb (452 kg)

dengan pusat beban pada area pelvik, atau lebih dari 500 lb (226 kg) bila pusat beban

pada daerah lutut (gambar 98.2). Arah berkebalikan memfasilitasi C-arm dan imaging

intraoperatif lain yang menjadi bagian tersulit pada berbagai prosedur pembedahan

vertebra (lihat 98.2.B). Rol dada dengan bantalan berukuran besar digunakan pada

pasien posisi prone, dan adaptasi fiksasi kranial three-point, termasuk penjepit traksi,

tersedia. Meskipun demikian, pada pasien yang berukuran lebih besar, atau mereka

dengan obesitas trunkus sentral, meja khusus dengan frame Jackson membantu

memposisikan pasien dan dekompresi abdomen.

Dengan membiarkan abdomen bergantung bebas, dibanding rol dada

berukuran besar, frame Jackson membantu mengurangi perdarahan vena epidural

dengan dekompresi vena kava (gambar 98.3). Komposisi frame memungkinkan

radiolusensi saat mempertahankan kapasitas muatan lebih dari 500 lb. Meskipun meja

dapat diputar 360º, tetapi perubahan posisi dan reposisi pasien relatif sulit dilakukan

pada meja tersebut.

Bantalan Titik Tekan

Bantalan yang tepat dan imobilisasi perlu diperhatikan secara signifikan

dalam memposisikan pasien, tentu saja relatif sulit pada populasi pasien obesitas. Jika

keamanan pengikat tidak adekuat, penggunaan bantalan dan pengikat standar secara

bijaksana untuk menjamin keamanan pasien mutlak diperlukan. Penulis bab ini lebih

Page 16: Pasien Obesitas

liberal dalam penggunaan Reston dan bantalan busa, termasuk pita kain untuk

menjamin keamanan pasien selama pembedahan. Pasien yang sensitif terhadap lateks

tetap dapat diamankan dengan pita plastik. Penggunaan handuk atau kain untuk

mencegah kontak kulit secara langsung bermanafaat mengurangi kerusakan dan

sejumlah ruam. Pengikatan pada margin kosta atau kaput femur harusnya dihindari

untuk mencegah nekrosis

Penambahan gel pada bantalan busa berfungsu melindungi bagian tubuh

pasien dari luka tekan dan nekrosis. Rol aksilla yang terbuat dari kantung saline

terbungkus Reston, bantalan jel yang tebal, dan gulungan kain digunakan untuk

melindungi bundel neurovaskuler aksilla dependen yang ditempatkan di atas kosta

memungkinkan pembebasan regio aksilla dari kompresi. Ektremitas atas dapat

diposisikan dan diganjal dengan berbagai cara, umumnya dengan dua bantalan.

Pertimbangan Operasi

Pajanan Operasi

Pada berbagai prosedur bedah, memperoleh pajanan adekuat merupakan aspek

paling menantang pada kasus tertentu, terutama pembedahan vertebra pada pasien

obesitas. Insisi makro untuk pasien berukuran besar merupakan adagium yang

digunakan yang menunjukkan kedalaman pajanan, insisi berukuran kecil

menghasilkan visualisasi yang buruk. Pajanan optimal bergantung secara langsung

terhadap posisi dan tipe pendekatan, ukuran insisi adekuat, konfigurasi, relaksasi otot

adekuat, dan penggunaan retraktor yang tepat. Kesulitan akibat faktor tersebut

meliputi pencahayaan dan hemostasis yang tidak adekuat, menghalangi pajanan yang

optimal selama operasi.

Pilihan pendekatan operasi mutlak diperhatikan pada pasien dengan habitus

obesitas, sebab individu obesitas bervariasi dalam distribusi lemak. Contohnya,

pasien pria usia pertengahan obesitasnya berlokasi di bagian ventral abdomen; oleh

Page 17: Pasien Obesitas

karena itu, pajanan midline dorsal tidak dilakukan sedalam yang diharapkan semula.

Sebaliknya, pajanan ventral atau lateral lebih sulit dilakukan pada pasien kurus.

Dekompresi adekuat dilakukan dengan eksposure dan retraksi yang adekuat.

Kecendrungan penyempitan progresif daerah pajanan pada kedalaman luka dapat

menyebabkan dekompresi jika tidak diwaspadai sebelumnya. Lebih lanjut, insisi

bebas atau diseksi cepat pada lapangan operasi dapat diperluas dan diperdalam pada

pasien obesitas akan membantu meminimalisasi fenomena tersebut. Lokalisasi tepat

berpotensi menyulitkan pajanan pada pasien obesitas, tetapi persiapan dan

perencanaan perioperatif yang matang akan mengurangi masalah tersebut. Termasuk

pula merencanakan posisi pasien yang kemungkinan akan difoto berulang kali untuk

mendapatkan visualisasi yang adekuat sebelum prosedur drapping dilakukan. Marker

pada kulit tidak bisa dijadikan patokan sebab ada perpindahan yang cukup jauh antara

permukaan kulit dengan lokasi patologi ketika perubahan posisi terjadi. Terakhir,

tidak perlu ragu-ragu memperluas insisi seperlunya untuk memvisualisasi landmark

atau struktur secara langsung, seperti prosesus spinosus C2 atau C7, kosta I, atau

sakrum.

Sistem Retraktor

Pajanan struktur dalam yang baik bergantung pada sistem retraksi yang

adekuat. Berbagai variasi sistem retraksi tersedia akhir-akhir ini dan pemilihannya

hendaklah dilakukan per individu, bergantung pada habitus, pendekatan, dan

preferensi ahli bedahnya. Tabel 98.2 berisi berbagai sistem retraksi yang digunakan

pada institusi penulis. Daftar tersebut tidak dimaksudkan menampilkan

ekslusifitasnya. Penulis meyakini bahwa berbagai metode lain dapat digunakan.

Retraksi sering dimulai sebelum persiapan operasi. Lipatan kulit berlebihan

pada area submandibula dan subklavikula dapat dijauhkan secara hati-hati dari lokasi

insisi. Pannus abdomen dapat diretraksi dengan menggunakan pita untuk

mengoptimasi akses krista iliaka. Sebuah sling bahu atau dua gulungan Kerlix

disimpul pada pergelangan tangan pasien dan memposisikan kaki pada ujung meja

Page 18: Pasien Obesitas

memungkinkan traksi bahu ke arah belakang pada pengambilan foto intaoperatif.

Traksi kontinyu terhadap bahu dengan brace atau pita kini tergantikan oleh berbagai

manuver. Ditekankan pula bahwa traksi kontinyu kurang disukai karena berpotensi

menyebabkan pleksopati brakhial.

Pada banyak kasus kombinasi panjang, lurus dan besar, retraktor Weitlaner

bengkok cenderung memberikan visualisasi yang baik. Meskipun demikian, pada

pasien obesitas dengan kedalaman pajanan bertambah, mungkin lebih baik dengan

membentuk sudut antara ujung retraktor dengan dasar pajanan. Hal ini akan

menyebabkan pegangan agak lebih tinggi dan menjadi penghalang lapangan operasi.

Sistem retraktor side-loading khusus dengan bilah yang lebih panjang misalnya

TrimLine (gambar 98.4) dan Koros Super-Slide II (gambar 98.5), memberikan

retraksi profil rendah. Di regio servikal, sistem side-loading seperti sistem retraktor

TrimLine dengan pin distraksi Caspar memberikan pajanan lapangan operasi yang

sangat baik untuk pendekatan ventral. Bilah terkostumasi yang lebih panjang tersedia

bila pajanan yang lebih dalam membutuhkan jangkauan yang lebih panjang, dan

penggunaan lipatan spons di bawah salah satu bilah dapat menunjang posisi terhadap

jaringan lunak mobile. Pada pendekatan lumbal, penulis sering menggunakan sistem

Koros, dan menggunakan sebuah bilah terkostumasi pada salah satu sisi dengan bilah

lain pada sisi lainnya memfasilitasi pajanan hemilaminar pada pasien berukuran

tubuh besar.

Pada pendekatan ventral dan lateral terhadap vertebra torakal dan lumbal,

penulis menganjurkan penggunaan meja sistem Thompson (gambar 98.6). Awalnya

digunakan oleh ahli bedah umum untuk memperoleh visualisasi adekuat pada

abdomen ventral, sekarang diadaptasi untuk berbagai operasi vertebra. Bilah

Thompson yang lunak tersedia dalam berbagai ukuran memungkinkan retraksi

atraumatik, sangat cocok untuk pendekatan torakolumbal lateral atau ventral atau

servikal ventral. Penulis secara rutin menggunakan retraktor tipe Scoville besar dan

terkostumasi dengan pemanjangan dan pelebaran sudut bilah untuk mengelevasi

Page 19: Pasien Obesitas

muskulatur paraspinal (gambar 98.7), dan tipe retraktor cerebellar yang diperbesar

dan dibengkokkan untuk mempedalam dan menaikkan retraksi tanpa resiko

tergelincir pada luka-luka ekstrim.

Modifikasi Implan dan Teknik Fusi

Laporan anekdotal seputar tingginya potensi kegagalan fiksasi internal dan

fusi pada pasien obesitas tergolong lazim. Akan tetapi, tidak ada bukti klinis

konklusif yang mendukung kekhawatiran tersebut. Alasan spekulasi tersebut

kemungkinan akibat kurangnya data klinis dan studi isu morbiditas terkait

instrumentasi dan fusi spinal pada pasien normal versus pasien obesitas. Meskipun

tidak ada korelasi langsung, inferensi dari data implan load-bearing, misalnya pada

artroplasti total pada panggul, tidak mendukung perbedaan signifikan dalam angka

kegagalan implan dan fusi pasien obesitas.

Dari aspek biomekanikal, pasien obesitas memiliki berbagai perbedaan

konfigurasi dan dinamika tubuh menyangkut desain konstruksi. Variasi morfologi

dan berat badan berkonstribusi secara individual terhadap pola pembebanan spinal,

yang pada pasien obesitas tergolong ekstrim. Pusat gravitasi berpindah pada pasien

obesitas dan baik beban kompresi vertikal maupun beban aksi ventral meningkat.

Perubahan pusat gravitasi ke arah ventral mengakibatkan menjauhnya daya

pengungkit lengan terhadap vertebra, sehingga berpotensi meningkatkan stres pada

skrup pedikel tipe cantilever beam atau konstruksi dorsal multisegmental (gambar

98.9). Oleh karena itu untuk mengkompensasi perubahan morfologi tersebut maka

penggunaan skrup pedikel berdiameter besar dan panjang secara teoretis akan

meningkatkan kapasitas load-bearing dan kekuatan tarikannya, termasuk melindungi

poros dari keadaan bengkok. Fiksasi sakral bikortikal mungkin diperlukan untuk

menutupi efek toggle yang diakibatkan oleh lengan momen yang lebih panjang pada

konstruksi tipe cantilever beam segmen lumbosakral yang pendek. Konstruksi

multisegmental model tangkai dan pengait digunakan bila ditemukan deformitas kifotik,

konstruksi yang lebih panjang dengan titik fiksasi yang lebih banyak diharapkan dapat

Page 20: Pasien Obesitas

meningkatkan kekakuan konstruksi (gambar 98.10). Semua aspek tersebut sebatas

kekhawatiran teoretis seputar tampilan klinis yang tidak menentu dan bervariasi dari

berbagai kasus. Akhirnya, perlu dipertimbangkan potensi keterbatasan berbagai ortosis

pada populasi tersebut. Dengan kata lain konstruksi yang stabil pada pasien kurus

kemungkinan tidak sesuai untuk pasien yang lebih berat.

Tabel 98.2 Sistem Retraksi

REGIO PENDEKATAN SISTEM RETRAKSI YANG DISARANKAN

Servikal Ventral

Dorsal

TrimLine atau retraktor side-loading lainnya,

sistem Caspar, atau retraktor table-mounted

Retraktor cerebellar atau Weitlaner bersudut

lebar, atau Shadow-Line atau retraktor side-

loading lainnya

Torakal Ventral/lateral

Dorsal

Retraktor Weitlaner bersudut lebar, Smith-

Beckman atau retraktor table-mounted

Kombinasi retraktor Weitlaner panjang bersudut

lebar, Smith-Beckman atau retraktor table-

mounted

Lumbal Ventral/lateral

Dorsal

Retraktor weitlaner bersudut lebar, smith-

beckman atau retraktor table-mounted

Retraktor side-loading koros atau scoville,

retraktor cerebellar lebar, atau retraktor Carlens

Teknik Penutupan Luka

Pertimbangan khusus dibutuhkan pada penutupan luka pasien obesitas,

Ditegaskan dalam berbagai literatur bedah bahwa terjadi peningkatan angka

dehisiensi dan infeksi. Miskinnya vaskularisasi jaringan lemak, ketebalan dan

kelemahan lapisannya untuk retensi jahitan, dan ketidakmampuan merespon inokulasi

semunya berkonstribusi terhadap morbiditas terkait perawatan luka. Mempertahankan

Page 21: Pasien Obesitas

konsep minimalisasi ruang mati dengan penutupan multilayer tidak hanya berlaku

untuk pasien obesitas tetapi juga pada pasien lain secara umum. Penggunaan jahitan

interuptus jarak berdekatan dan aproksimasi fasia superfisialis (Campber’s) dalam

lapisan lemak akan menambah kekuatan aproksimasi superfisial pada luka.

Penempatan drain harus dipertimbangkan jika ada potensi ruang mati, penutupan

yang dilakukan secara multilayer mengharuskan drain multilayer juga. Walaupun

demikian, berdasarkan pengalaman penulis, tidak ada perbedaan jelas seputar

munculnya komplikasi pada luka dengan atau tanpa drain. Pada institusi penulis,

jahitan subkutikuler diaplikasikan guna menutup kulit agar tampilannya baik secara

kosmetik; sebaliknya jahit atau staples kulit diganti setelah 7 hari dengan Steri-Strips.

Secara keseluruhan, masih ada kecenderungan tingginya frekuensi drainase

superfisial dan dehisiensi luka pada kelompok tersebut. Tatalaksana situasi tersebut

menurut teknik bedah secara umum adalah dengan pembukaan superfisial,

debridemen, dan pembalutan luka. Setelah luka dibersihkan dengan cara tersebut,

maka penyembuhan melalui granulasi atau penutupan primer atau sekunder akan

terjadi. Pada infeksi subfascial yang lebih dalam, tatalaksananya mengikuti teknik

pembedahan umum seperti pada pasien non obesitas. Infeksi yang lebih dalam

membutuhkan debridemen dan irigasi secara operatif, diikuti reaproksimasi fascia

dan drainase bertingkat, atau pembalutan suprafascial dengan penyembuhan oleh

granulasi atau penutupan luka primer. Bila debridemen pada tepi dan sisi luka

dibutuhkan, maka penjahitan luas dan lebih dalam kemungkinan membantu

reaproksimasi pada beberapa kasus.

Secara umum, manajemen bedah agresif sangat penting dilakukan ketika

infeksi teridentifikasi. Oleh karena penetrasi antibiotik sangat lemah pada jaringan

lemak, hanya jaringan superfisial yang harus diterapi dengan debridemen lokal dan

antibiotik. Infeksi yang lebih dalam membutuhkan debridmen dan irigasi

intraoperatif, diikuti terapi antibiotik yang lebih lama. Benda asing dan berbagai

material misalnya gelfoam, benang, dan fragmen tulang yang lepas harus dibersihkan.

Oleh karena itu, instrumentasi implan spinal berbahan solid membutuhkan

Page 22: Pasien Obesitas

pencabutan hanya pada kasus infeksi luka yang dalam yang resisten terhadap

debridemen dan drainase agresif.

Manajemen Pasca operasi

Perawatan pasca operasi bertujuan menciptakan periode penyembuhan

optimal, dan manajemen pada pasien obesitas tidak berbeda secara signifikan

dibanding populasi dengan berat badan normal. Sekalipun demikian, tetap ada

berbagai faktor unik yang harus diperhatikan pada pasien obesitas. Komplikasi paru

sering dijumpai pada kelompok tersebut, dan hipoksemia ringan pada perioperatif

mungkin saja menjadi resiko signifikan yang membutuhkan pengawasan pasca

operasi. Pada pasien obesitas dengan berbagai kondisi medis tambahan

direkomendasikan menjalani observasi di ICU selama periode pasca operasi dini agar

pengawasan ketat bisa dilakukan khususnya terhadap status pulmoner dan

kardiovaskulernya.

Penggunaan toilet pulmoner secara agresif sangat esensial dalam mencegah

atelektasis dan pneumonia pascaoperasi. Mobilisasi dini sering dilakukan terhadap

populasi non obesitas untuk menurunkan resiko trombosis vena dalam, pneumonia,

dan meningkatkan fungsinalitas pasien. Elevasi tempat tidur bagian kepala, spirometri

insentif, dan trapeze bar, termasuk ambulasi dini dianjurkan guna memfasilitasi

penyembuhan dan fungsi paru baik pada pasien obesitas maupun non obesitas.

Meskipun demikian, pasein obesitas dengan arteriovenosus (AV) pulmoner derajat

berat, shunting pulmoner Z, yang mana mobilisasi dini dan menaikkan postur dapat

mengakibatkan hipoksi dibanding posisi telentang. Atas alasan inilah saturasi oksigen

harus diawasi dengan oksimeter pulsa. Bila terjadi hipoksia, terlebih dahulu

dilakukan koreksi sebelum ambulasi dimulai.

Isu lain berkaitan dengan kebutuhan analgesia pada populasi obesitas.

Beberapa studi memperdebatkan jumlah medikasi yang dibutuhkan, tetapi secara

umum massa tubuh lipofilik membuthkan titrasi narkose sesuai dengan berat badan.

Selain itu, level hemoglobin pasca operasi harus dijaga dalam batas normal untuk

Page 23: Pasien Obesitas

mencegah anemia, kardiak stres tambahan, dan hipoksia jaringan luka. Level glukosa

darah juga harus diawasi, karena stres akibat tindakan bedah atau penggunaan

kortikosteroid menyebabkan hiperglikemia, sehingga resiko infeksi dan

penyembuhan luka yang buruk akan terjadi. Pentingnya profilaksis tromboemboli

juga telah didiskusikan.

Akhirnya, ahli bedah harus waspada terhadap berbagai kemungkinan infeksi

luka operasi yang akan sulit ditangani pada pasien obesitas. Tanda dan gejala infeksi

luka pada populasi obesitas tidak jauh berbeda dengan mereka yang tidak mengalami

obesitas. Temuan fisik berupa eritema lokal dan pembengkakan, termasuk

leukositosis dan peningkatan level sedimentasi eritrosit secara persisten atau C-

reactive protein merupakan petunjuk penting.

Kesimpulan

Obesitas itu sendiri bukanlah kontraindikasi operasi spinal elektif, tetapi akan

menjadi tantangan dan kesulitan sendiri bagi ahli bedahnya. Pengenalan komorbid

terkait obesitas termasuk manajemen operasi yang khusus, sangat dibutuhkan untuk

optimalisasi penanganan pasien pada populasi tersebut. Sebagai tambahan, guna

mengurangi resiko pembedahan dan kebutuhan peralatan, maka program penurunan

berat badan dan penghentian merokok perlu pula dilakukan untuk meningkatkan

keluaran klinis dan menurunkan resiko operasi.

Bagian 102

MANFAAT INTERVENSI BEDAH PADA TRAUMA SPINAL

Di Amerika Serikat, dilaporkan kejadian trauma medulla spinalis sebanyak

50.000 kasus baru per tahun. Perkiraan biaya perawatan pada pasein demikian sekitar

4 juta dollar per individu per tahun. Kondisi yang sedemikian mengejutkan tersebut

Page 24: Pasien Obesitas

menggambarkan betapa cedera demikian membutuhkan intervensi bedah yang lebih

agresif dan kapan prosedur tersebut harus dilakukan. Perkembangan ilmu anestesi,

teknik pembedahan, dan peralatan bedah spinal, memungkinkan banyak dokter bedah

lebih percaya diri dalam menangani kasus-kasus trauma spinalis. Penurunan masa

perawatan, rehabilitasi yang lebih cepat, dan sosialisasi yang lebih cepat merupakan

manfaat jelas intervensi bedah.

Dengan banyaknya kasus trauma spinalis, maka peran pembedahan yang tepat

menjadi sulit didefinisikan secara global untuk seluruh columna vertebra. Meskipun

demikian, ada beberapa tujuan pembedahan yang spesifik. Meliputi: 1) menjaga

susunan dan stabilitas spinal, 2) preservasi atau memperbaiki fungsi neurologis, 3)

mengembalikan kapasitas fungsional pasien sesegera dan seaman mungkin.

Keputusan tatalaksana pembedahan diambil berdasarkan pertimbangan resiko dan

potensi pencapaian tujuan yang lebih menguntungkan dibanding strategi nonoperatif.

Keputusan tatalaksana bedah atau non bedah pada pasien trauma spinal

seringkali merupakan pilihan subjektif tanpa memandang cedera neurologis atau

biomekanik saja. Beberapa klinisi berpendapat bahwa intervensi bedah hanya

dilakukan pada kondisi perburukan neurologis progresif atau instabilitas vertebra

yang tampak jelas (gambar 102.1). Mayoritas ahli tulang belakang

mempertimbangkan faktor lain terkait luaran fungsional jangka panjang pada

kebutuhan intervensi bedah. Hal tersebut meliputi: 1) percepatan proses rehabilitasi,

penurunan biaya dan morbiditas pasien, 2) pencegahan deformitas spinal, yang

bermanifestasi sebagai nyeri progresif, penurunan fungsi, dan perburukan neurologis

progresif, 3) penurunan komplikasi terkait tirah baring lama/imobilisasi khususnya

pada pasisen dengan cedera multipel, dan terakhit 4) peningkatan penyembuhan

neurologis misalnya fungsi medulla spinalis atau akar saraf pada keadaan

terkompresi. Peningkatan pemahaman ahli bedah terhadap mekanisme gaya primer

dan sekunder baik pada vertebra maupun pada medulla spinalis di dalamnya,

perbaikan prosedur bedah, pendekatan dan instrumentasi serta pemahaman yang lebih

Page 25: Pasien Obesitas

baik seputar anatomi dan biomekanisme kolumna spinalis menyebabkan perbaikan

keluaran pembedahan spinal pada beberapa dekade terakhir.

Stabilitas Spinal

Stabilitas spinal merupakan istilah yang sepenuhnya belum dapat dipahami

dengan baik oleh kebanyakan pihak yang terlibat dalam penanganan pasien trauma

spinal. Kolumna spinalis menunjang sistem muskuloskeletal dan melindungi medulla

spinalis serta kauda equina. Sebuah vertebra yang tidak stabil berkonstribusi terhadap

gangguan muskuler dan cedera neurologik bahkan dapat mempengaruhi status

fungsional pasien. Oleh karena itu, pembedahan dengan alasan instabilitas spinal

bertujuan memperbaiki integritas kompleks osteoligamen dan lebih lanjut mencegah

hilangnya alignment spinal dan gejala sisanya: termasuk nyeri, deformitas, dan cedera

neurologis progresif.

Beberapa peneliti mengusulkan sistem klasifikasi mekanistik yang didesain

untuk menilai prognosis trauma spinal sesuai keparahannya saat datang pertama kali.

Dua dan tiga teori stabilitas kolumna dan seterusnya, masing-masing dengan usulan

berbeda. Sangat jelas bahwa integritas baik tulang dan ligamentum penyusun

kolumna spinalis berkonstribusi secara signifikan terhadap stabilitas spinal. Integritas

jaringan lunak sekitar kolumna spinalis (misalnya ligamentum longitudinal posterior,

kapsul facet posterior, ligamentum interspinosus) sangat penting artinya pada pasien

dewasa sebab menentukan perlu tidaknya tindakan pembedahan. Di semua area

spinal, disrupsi komplit jaringan lunak struktur ligamentum penyokong

mengakibatkan deformitas spinal yang progresif dan perburukan neurologis. Hal ini

terlihat jelas pada cedera yang bersifat katastrofik seperti disosiasi oksipitoservikal,

dislokasi facet bilateral, distraksi komplit diskus intervertebralis, dan kegagalan

ligamentus murni pada ligamnetum transversalis. Tidak ada argumen yang

mendukung bahwa intervensi bedah dibutuhkan pada instabilitas spinal yang tampak

nyata.

Page 26: Pasien Obesitas

Area abu-abu dalam konsep stabilitas spinal dan potensi perburukan progresif

alignment spinal contohnya pada disrupsi ligamen parsial, kerusakan anatomi tulang

tanpa kerusakan signifikan pada alignment sagital atau koronal. (gambar 102.2).

Sistem klasifikasi akurat menunjukkan bahwa sejarah tindakan imobilisasi

tetapi pola fraktur distabilisasi secara non bedah sangat jarang. Gertzbein menyurvei

Scoliosis Research Society pada kelompok 1019 pasien ditemukan bahwa deformitas

torakolumbal dengan kifosis lebih dari 30° berisiko mengalami nyeri kronis dan

disabilitas. Sebuah studi pada fraktur akibat ledakan yang membutuhkan intervensi

bedah, menghasilkan klasifikasi anatomis rumit berdasarkan pembagian beban yang

mengkuantifikasi potensi deformitas selanjutnya ketika dilakukan pendekatan

posterior. Sistem tersebut menilai 1) jumlah vertebra kominutif, 2) aposisi fragmen

terhadap lokasi awal, dan 3) jumlah kifosis traumatik terkoreksi. Sistem grading

numerik tersebut nilai minimumnya 3 dan maksimum 9. Skor kurang atau sama

dengan 6 berarti membutuhkan sokongan anterior tambahan untuk mencegah

kegagalan terapi.

Ada berbagai masalah dengan strategi non operatif untuk menangani

instabilitas spinal dalam kasus trauma. Halo vest pada regio servikal menunjukkan

efek yang tidak diprediksi sebelumnya dalam menjaga alignment regio servikal

bagian atas dan hubungan servikotorakal. Anderson dkk meneliti secara prospektif 42

pasien dengan trauma spinalis yang diimobilisasi dengan Halo vest yang secara

radiografik tidak menunjukkan pergerakan intervertebra baik dalam posisi supine

maupun tegak. Lebih lanjut, perubahan postur tubuh terbukti menimbulkan gaya

kompresi dan distraksi pada tingkat cedera saat memakai Halo vest. Traksi skeletal

merupakan metode tidak praktis serta restriktif dalam menstabilkan spinal secara

tidak langsung. Mayoritas pasien tidak tahan terhadap tirah baring yang terlampau

lama akibat perawatan traksi, disamping morbiditas tulang dan jaringan lunak terkait

penempatan pin. Selain itu, McGuire dkk menunjukkan perawatan standar seperti log

roll dan rotasi tempat tidur tidak adekuat mencegah pergerakan pada segmen spinal

instabil yang cedera. Mirza dkk juga menunjukkan bahwa stabilisasi bedah lebih

Page 27: Pasien Obesitas

dapat diandalkan efeknya pada pengembalian kapasitas fungsional pasien yang

diterapi dengan reduksi spinal tertutup dibanding traksi extended axial-tong dan

imobilisasi dengan tempat tidur rotasional. Efektifitas ortosis torakolumbal dalam

menjaga alignment spinal juga masih kontroversial. Beberapa investigator

menemukan manfaat alat tersebut secara primer terhadap modifikasi perilaku dan

tidak pada imobilisasi skeletal.

Kompleksitas biomekanis kolumna spinalis, akibat regionalisasi alamiah,

menghadirkan tantangan unik dalam terapi bedah dan non bedah pada pasien trauma.

Perbedaan properti biomekanisnya yang jelas pada berbagai area memainkan peranan

penting dalam intervensi bedah.

Vertebra Servikal

Keluasan cakupan gerak regio servikal ditentukan oleh kompleks ligamentum

dan anatomi tulangnya. Vertebra servikal, karena keunikan anatomisnya, sering

dibedakan atas dua daerah, atas (oksiput hingga C2) dan bawah (C3-T1). Vertebra

servikalis bagian atas memiliki mobilitas yang tinggi dengan mayoritas fleksi pada

bidang sagital dan ekstensi terjadi antara oksiput dan atlas serta rotasi pada hubungan

atlantoaksial. Struktur tulang mendukung sedikit stabilitas pada regio tersebut dan

ligamentum yang melekat memainkan peranan penting dalam stabilitas spinal.

Vertebra servikalis bagian bawah berbentuk lordosis dan secara alamiah lebih

stabil dibanding vertebra bagian atasnya. Celah antara elemen neural pada daerah ini

cenderung lebih sempit ketimbang bagian atas. Oleh karena itu, kondisi displacement

mendadak arah sagital memungkinkan defisit neurologis yang lebih parah. Hanya ada

dua pertimbangan intervensi bedah segera pada kasus trauma vertebra servikal.

Meliputi: gangguan neurologis inkomplit dengan perburukan klinis terkait dislokasi

facet yang tidak dapat direduksi dengan traksi, yang kedua defisit neurologis

inkomplit dengan kehilangan fungsi neurologis progresif disertai evidens foto yang

menunjukkan cedera pada medulla spinalis. Tanpa dua kriteria klinis tersebut, maka

tidak ada perbaikan jangka panjang yang signifikan sekalipun operasi dilakukan

Page 28: Pasien Obesitas

segera. (gamabr 102.3). Cedera spinalis yang tampak secara kasat mata misalnya

dislokasi oksiput-C1, distraksi diskus intervertebralis, atau dislokasi facet bilateral,

juga membutuhkan intervensi bedah dalam rangka mencegah cedera pada medulla

spinalis dan potensi perburukan neurologis. Waktu pelaksanaan operasi pada skenario

klinis tersebut sangat individual.

Vertebra Torakalis

Vertebra torakalis (T2-10) normalnya beralignment kifotik dan umumnya

sangat stabil akibat artikulasi kosta, sternum, dan klavikula. Penilaian klinis dan

penanganan fraktur yang terjadi pada vertebra torakalis sangat dipengaruhi oleh tiga

faktor : 1) stabillitas anatomis jaringan penyokong struktur tulang, 2) kifosis regional

pada vertebra torakalis menunjukkan integritas osteoligementous, 3) adanya

kemungkinan bahaya pada kanalis spinalis dan resultan profil neurologik pasien.

Trauma berenergi tinggi sering menyebabkan destabilisasi pada regio vertebra ini,

dan oleh karena itu intervensi bedah sering berguna dalam mengembalikan

stabilitasnya.

Kebanyakan trauma pada vertebra torakalis diakibatkan oleh aksial loading

disertai fleksi. Hilangnya aspek anterior corpus vertebra torakalis kemungkinan

terjadi bersama disrupsi kolumna posterior dan media. Indikasi operasi sering

dilakukan pada kasus hilangnya lebih dari 50% aspek anterior dengan gangguan

integritas yang nyata pada struktur pendukung ligamentum posterior, fraktur dislokasi

atau distraksi ayng terjadi pada minimal 3 vertebra. Adanya defisit neurologis

inkomplit merupakan indikasi relatif untuk dekompresi dan stabillisasi bedah.

Penanganan nonoperatif pada fraktur vertebra thorakalis terbukti buruk. Intervensi

bedah pada kondisi demikian akan menjaga alignment spinal dan potensi peningkatan

luaran neuologis pada pasien dengan defisit neurologis inkomplit.

Vertebra Lumbalis

Daerah transisi pada sendi torakolumbar ditandai dengan perubahan kekakuan

dari vertebra torakalis menjadi vertebra yang lebih mobile. Zona transisi tersebut

Page 29: Pasien Obesitas

melintasi T10 hingga L2 berkaitan dengan hilangnya atrikulasio kosta juga perubahan

orientasi sendi facet. Zona anatomi tersebut menyumbangkan sekitar 50% fraktur

vertebra, dan 40% trauma medulla spinalis.

Sekali lagi, intervensi operatif untuk cedera torakolumbar spesifik termasuk

derajat keparahan deformitas spinal dan kompleks osteoligamentous. Pada luka

ledakan, yang menyebabkan cedera pada kolumna anterior dan media, dua faktor

yang menentukan kebutuhan intervensi bedah. Meliputi: status neurologis pasien dan

status kompleks ligamentum posterior. Pecahan vertebra, menunjukkan kemampuan

kolumna anterior dan media untuk menahan beban aksial, merupakan indikasi relatif

pembedahan. Adanya defisit neurologis inkomplit dengan sisa kanalis atau medulla

spinalis yang aman juga merupakan indikasi relatif sebab pengembalian defisit parsial

atau inkomplit sudah bisa diprediksi (gambar 102.4).

Telah disebutkan sebelumnya bahwa tegangan struktur posterior tidaklah

efektif dalam mencegah kecenderungan kifosis, realignment, dan stabilisasi bedah

seringkali berguna dalam mencegah keterlambatan yang menyebabkan instabilitas

dan deformitas. Cedera fleksi distraksi mulai dari ligamentum murni hingga cedera

tulang. Cedera ligamentum dan osteoligamentum akan mengalami penyembuhan

yang lebih baik dengan terapi nonoperatif. Akhirnya, fraktur-dislokasi dan cedera tiga

kulomna akan menimbulkan disrupsi pada semua vertebra yang terlibat. Akibat

ketidakstabilan tersebut, maka intervensi bedah hampir selalu diperlukan.

Fungsi Neurologis

Telah menjadi kesepakatan umum bahwa pasien yang mengalami defisit

neurologis progresif dalam kondisi kompresi neural harus segera diintervensi bedah.

Pembedahan pada kondisi demikian menciptakan lingkungan yang kondusif terhadap

perbaikan neurologis dan meminimalkan keparahan trauma medulla spinalis kaskade

sekunder. Faktanya, Kiwersky dan Weiss menemukan penurunan mortalitas pada

pasien dengan trauma medulla spinali komplit yang menjalani dekompresi dan

stabilisasi. Pembedahan terhadap lesi komplit menunjukkan akselerasi perbaikan

Page 30: Pasien Obesitas

neurologis (gambar 102.5). Anderson dan Bohlman mengevaluasi efektifitas

dekompresi anterior dan arthrodesis vertebra servikal pada kasus kuadriplegia.

Sejumlah pasien yang menjalani operasi tercatat pula mengalami penyembuhan 1

hingga 2 level saraf dalam 2 hingga 3 minggu pasca pembedahan.

Waktu pembedahan juga mempengaruhi potensi penyembuhan neurologis

setelah trauma medulla spinalis. Delemarter dkk menggunakan model hewan untuk

menentukan apakah durasi kompresi dan saat dekompresi pada trauma medulla

spinalis mempengaruhi penyembuhan neurologis. Beliau menemukan bahwa

dekompresi dini, dalam 1 jam setelah trauma, merupakan saat yang paling potensial

untuk mncapai penyembuhan neurologis dan dekompresi yang dilakukan setelah

lebih dari 6 jam kompresi tidak memungkinkan lagi penyembuhan neurologis yang

esensial. Studi tersebut menemukan bahwa akan ada perbaikan neurologis jika

intervensi bedah dilakukan berdsarkan waktu. Hal ini barangkali terjadi karena

mekanisme primer atau efek trauma secara langsung bukanlah faktor yang semata-

mata bertanggung jawab terhadap patologi dan temuan klinis pasien trauma medulla

spinalis.

Mirza dkk menginvestigasi waktu optimal intervensi bedah pada pasien

dengan trauma servikal akut dan defisit neurologis. Sekelompok pasien menjalani

operasi dalam 72 jam sedangkan kelompok lain ditangani dengan reduksi tertutup

segera, lalu observasi neurologis selama 10 hingga 14 hari sebelum stabilisasi bedah.

Statistik secara signifikan menunjukkan penyembuhan neurologis pada pasien yang

diterapi dengan intervensi bedah secara dini (dalam 72 jam setelah trauma). Marshall

dkk memperkirakan bahwa respon neurologis trauma medula spinalis menunjukkan

keparahan instabilitas biomekanik dan kurang berkaitan dengan waktu pembedahan.

Sebagai contoh, stabilisasi bedah, selain membentuk kembali stabilitas spinal, juga

membantu mencegah cedera neurologis selanjutnya. Waktu pembedahan tidak

menunjukkan efek signifikan terhadap penyembuhan neurologis pada berbagai studi

prospektif termasuk studi yang melibatkan hewan. Meskipun demikian, stabilisasi

bedah secara dini terbukti menurunkan frekuensi perawatan di rumah sakit,

Page 31: Pasien Obesitas

kebutuhan ventilasi, dan rehabilitasi. Dalam sebuah eksperimen, hewan dengan

trauma medulla spinalis yang mendapat intervensi bedah dini (kuran dari 6 jam) akan

mengalami perbaikan neurologis dibanding yang hanya memperoleh terapi

metilprednisolon.

Stabilisasi bedah, mencegah gerakan berlebihan, telah menunjukkan

peningkatan angka penyembuhan jaringan lunak pada korban trauma appendikuler

multipel. Franklin dkk mendemonstrasikan bahwa stabilisasi skeletal pada fraktur

appendikuler terkait dengan penyembuhan jaringan lunak dan mobilisasi dini.

Terdapat hubungan yang sangat erat antara status neurologis dengan instabilitas

spinal. Oleh karena itu, gerakan berlebihan atau kompresi berulang atau distraksi

pada level medulla spinalis yang cedera dapat menggangu penyembuhan neurologis

dan kemungkinan mengakibatkan cedera lebih lanjut. Oleh karena itu, stabilisasi pada

trauma medulla spinalis memberikan proteksi tambahan dari dari cedera lebih lanjut

sehingga memfasilitasi penyembuhan neurologis. Hal tersebut didukung oleh

penelitian Donovan dkk yang menginvestigasi 61 pasien yang mengalami trauma

medulla spinalis pars servikalis. Dijelaskan pula bahwa penyembuhan neurologis

berkorelasi erat dengan alignment spinal yang adekuat, yang diperoleh dengan

intervensi bedah.

Kaskade Primer dan Sekunder Trauma Medulla Spinalis

Kaskade primer atau cedera awal akibat trauma medulla spinalis melibatkan

kontusio, laserasi, efek blast, iskemik, atau kompresi transien. Cedera tersebut

meliputi kemampuan adaptasi medulla spinalis dan kolumna vertebralis

mengabsorbsi dan mendisipasi dampak energi sehingga terjadi kegagalan fungsi

elemen neural. Kaskade primer ini melibatkan mekanisme biokimiawi kompleks yang

nantinya menyebabkan perdarahan, edema, dan iskemi sebagai elemen kaskade

sekunder. Kaskade sekunder tersebut mempengaruhi potensi penyembuhan

neurologis pasien. Banyak peneliti meyakini terdapat jendela peluang berupa

Page 32: Pasien Obesitas

manipulasi eksternal secara farmakologis atau intervensi bedah yang akan

mempengaruhi reaksi biokimiawinya.

Manfaat tindakan bedah dan penentuan waktunya belum terjawab tuntas sebab

evidens yang memadai masih kurang terkait evaluasi tindakan bedah pada dalam

setting klinik. Wagner dkk mengevaluasi peranan intervensi bedah terhadap luaran

neurologis setelah trauma medulla spinalis. Pada follow up, 53% pasien yang

mengalami pembedahan mampu berjalan sendiri dibanding 23% pasien yang

ditangani secara konservatif. Meskipun demikian, ketika pasien distratifikasi

berdasarkan level neurologisnya tidak ada perbedaan signifikan antara dua kelompok

studi. Tindakan bedah, memang bermanfaat dalam kompresi stasis tanpa memandang

durasinya dari kejadian trauma. Bohlman dan Anderson mengevaluasi 51 pasien

dengan kehilangan sensorimotor inkomplit dibawah level cedera yang mengizinkan

prosedur dekompresi dan stabilisasi yang terjadi bersamaan dengan fraktur atau

dislokasi servikal. Mereka menemukan bahwa 50% pasien mengalami peningkatan

status fungsional yang kemungkinan akan mengalami keterlambatan penyembuhan

jika intervensi bedah ditunda-tunda.

Komplikasi Operatif dan Nonoperatif

Salah satu alasan historis mengapa tindakan bedah tidak semuanya dilakukan

pada pasien dengan trauma medulla spinalis adalah keyakinan bahwa pembedahan

menimbulkan berbagai komplikasi dan memperlama masa perawatan pada pasien

yang kurang beruntung tersebut. Meskipun demikian, perkembangan teknologi

misalnya teknik anestesi, manajemen cairan, fiksasi internal, dan morbiditas terkait

tindakan bedah telah diminimalkan sejak beberapa waktu silam. Pada tahun 1983,

Whitehill dan Schmidt menunjukkan bahwa fusi posterior tergolong aman dan efektif

dibanding penatalaksanaan lainnya terkait instabilitas servikal pada 22 pasien

kuadripelgik. Wilmot dkk dalam sebuah studi retrospektif terhadap 106 pasien

tetraplegia yang masuk ke rumah sakit Santa Clara Medical Center dari bulan agustus

Page 33: Pasien Obesitas

hingga september 1983, ditemukan bahwa komplikasi pasien yang menjalani

pembedahan tidak lebih besar dibanding pasien yang mendapat terapi nonoperatif.

Temuan serupa oleh Waters dkk dan Mirza et al dalam hal potensi

perkembangan infeksi paru, emboli paru, atau ulkus dekubitus. Faktanya, Kostuik

dkk menemukan bahwa morbiditas akibat komplikasi respirasi, termasuk durasi rawat

inap ICU, menurun secara signifikan jika vertebra tidak stabil dioperasi dalam

pertimbangan waktu.

Kesimpulan

Peranan intervensi bedah dalam trauma spinal masih merupakan isu yang

rumit sering diperdebatkan berdasarkan pengalaman, mitos, dan evidens base.

Pembedahan telanh menunjukkan peranan baik dalam setting trauma. Dianjurkan

stabilitas segera terhadap vertebra yang tidak stabil secara kasat mata. Dalam setting

trauma medulla spinalis, pembedahan dapat mengurangi lama perawatan fase akut, di

ruang intensif, dan mengakselerasi rehabilitasi. Pembedahan juga efektif dalam

mencegah deformitas spinal onset lanjut terutama bila instabilitas berlangsung

tersembunyi. Dengan demikian, mayoritas trauma medulla spinalis dengan derajat

instabilitas yang ambigu atau tidak jelas. Hanya ada sebuah studi prospektif yang

mampu menjawab dengan benar manfaat intervensi bedah pada pasien dengan pola

fraktur semacam itu. Meskipun demikian, survei telah membuktikan bahwa

peningkatan penyembuhan neurologis yang tertunda pada kompresi medulla spinalis

kronis, dan peranannya dalam intervensi dini sebatas dugaan sampai terbukti benar.