104
PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- QUR’AN: STUDI ATAS PENAFSIRAN IBNU KAṠĪR DALAM TAFSĪR AL-QUR’ĀN AL-‘AẒĪM SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Iqbal Firdaus NIM: 1113034000022 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL-

QUR’AN: STUDI ATAS PENAFSIRAN IBNU KAṠĪR DALAM

TAFSĪR AL-QUR’ĀN AL-‘AẒĪM

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Iqbal Firdaus

NIM: 1113034000022

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 2: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya
Page 3: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya
Page 4: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya
Page 5: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

iv

ABSTRAK

Iqbal Firdaus

Pemaknaan Mā Malakat Aimānukum dalam Al-Qur’an: Studi atas

Penafsiran Ibnu Kaṡīr dalam Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Aẓīm

Perbudakan merupakan salah satu wacana yang akan terus berkembang

setiap zamannya. Dan al-Qur’an dalam hal ini juga banyak menyebutkan

mengenai wacana tersebut. Salah satu bentuk penyebutan al-Qur’an adalah

dengan menggunakan frase mā malakat aimānukum. Frase tersebut beserta

derivasinya dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak lima belas kali. Salah satu

alasan frase ini menarik untuk dibahas dikarenakan secara tekstual dibandingkan

dengan term yang lain frase ini maknanya tidak mengarah langsung pada makna

budak. Selain itu, al-Tīnāwī menolak pemaknaan frase mā malakat aimānukum

dengan budak dan ia memiliki pemaknaan sendiri mengenai frase ini. Adapun

kitab tafsir yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah Tafsīr al-Qur’ān

al-‘Aẓīm karya Ibnu Kaṡīr. Alasan pemilihannya didasari bahwa Ibnu Kaṡīr

menggunakan dasar utama dalam penafsirannya pada riwayah. Akan tetapi, ia

juga menggunakan ra’yu-nya ketika ia tidak menemukan riwayah yang

menjelaskan kandungan ayat.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap pemaknaan frase mā malakat

aimānukum dan juga mengidentifikasi pola penafsiran Ibnu Kaṡīr terhadap frase

tersebut. Data pada penelitian ini diperoleh dnegan mengumpulkan ayat-ayat yang

terdapat frase mā malakat aimānukum dan derivasinya dalam al-Qur’an

Kemudian data tersebut dianalisis melalui metode deskriptif analitis.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwasanya Ibnu Kaṡīr dalam

menafsirkan frase mā malakat aimānukum menggunakan lafaz yang berbeda-

beda. Lafaz tersebut berjumlah enam lafaz yakni al-sarārī, al-amat/ al-imā’, ‘abd/

‘abīd, al-raqīq, al-mamlūk dan al-sabyu. Keenam lafaz tersebut mencakup

delapan tema pembahasan. Dan setiap lafaz tidak hanya terpaku pada satu tema

saja akan tetapi ada juga yang mencakup beberapa tema. Selain itu, Penafsiran

Ibnu Kaṡīr beberapa kali lebih kritis dalam menggunakan lafaz untuk menafsirkan

frase mā malakat aimānukum dibandingkan dengan pendahulunya tersebut. Hasil

dari penelitian ini sekaligus menolak pendapat yang disampaikan oleh al-Tīnāwī.

Kata kunci: perbudakan, mā malakat aimānukum, Ibnu Kaṡīr

Page 6: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang mana

berkat hidayah dan ‘ināyah-Nya penulis mampu merampungkan penelitian ini.

Selawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah Muhammad Saw.

keluarganya dan para sahabatnya serta semoga kita senantiasa mengikuti sunnah

sehingga mendapatkan syafā’ah beliau di akhirat kelak. Amin.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak akan bisa

tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak

pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta;

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an

dan Tafsir yang begitu banyak jasanya pada penulis baik di bidang

akademik maupun non-akademik serta menjadi inspirator penulis untuk

menjadi mahasiswa yang senantiasa menjaga hafalannya;

4. Ibu Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an

dan Tafsir dan Kak Hani Hilyati, S.Th.I. yang telah membantu dalam

administrasi penelitian ini;

5. Bapak Ahmad Rifqi Muchtar, MA. selaku dosen pembimbing yang sudah

banyak meluangkan waktunya untuk memberi ilmu, arahan dan masukan

Page 7: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

vi

kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis memohon maaf jika selama masa bimbingan skripsi telah banyak

merepotkan dan melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun tidak

disengaja.

6. Seluruh dosen Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir atas segala motivasi,

ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan pengalaman yang

mendorong penulis selama menempuh studi, terutama Bapak Dr. Ahzami

Samiun Jazuli, MA. selaku Dosen Pembimbing Akademik, serta seluruh

staff Fakultas Ushuluddin;

7. Keluarga penulis, Bapak Muhamad Tohir dan Ibu Yuliati, serta adik-adik

penulis, Lukman, Zainul, Irul, Aziz, Iis dan Riski yang tak bosan

mendoakan dan menjadi moodbooster bagi penulis dalam menyusun

skripsi ini;

8. Dan seorang yang jauh di sana tapi tak pernah lelah menyemangati dan

mendoakan penulis serta setia mendengarkan keluh kesah penulis. Kulo

ngaturaken matur suwun ingkang katah nggeh Ning Nayya;

9. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2013 UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, khususnya teman-teman ATHA yang telah bersama-sama

berjuang selama bangku kuliah. Sukses selalu dimanapun kalian berada;

10. Kepada sahabat penulis Cungukers: Muslih Muhaimin, Fadhil Nabhani,

Rino Ardiansyah, Abdul Halim Tarmizi, Rizqa Faurina dan Armenia

Septiarini serta buat sahabat sekaligus guru penulis Salman al-Farisi dan

Faris Maulana Akbar yang telah mengajarkan banyak pengetahuan kepada

penulis dan memberikan kenangan-kenangan yang nantinya akan

Page 8: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

vii

ditertawakan pada waktunya. Dan juga iringan doa untuk alm. Afif Hasan

Naufal semoga tenang di alam sana ple;

11. Serta semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini

yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Skripsi ini adalah salah satu upaya penulis untuk lebih memahami ayat-

ayat-Nya sehingga bisa diamalkan dalam kehidupan nyata. Dengan memohon

ampunan kepada Allah Swt atas kesalahan-kesalahan yang ada serta berharap

akan taufiq dan hidayah-Nya, penulis berharap semoga hasil penelitian ini bisa

bermanfaat, khususnya bagi penulis pribadi dan pembaca.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Ciputat, 22 Juni 2018

Iqbal Firdaus

Page 9: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

viii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

1. Konsonan

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat

dilihat pada halaman berikut:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te ت

Ṡ Es (dengan titik di atas) ث

J Je ج

Ḥ Ha (dengan titik di bawah) ح

Kh Ka dan Ha خ

D De د

Ż Zet (dengan titik di atas) ذ

R Er ر

Z Zet ز

S Es س

Sy Es dan Ye ش

Ṣ Es (dengan titik di bawah) ص

Ḍ De (dengan titik di bawah) ض

Ṭ Te (dengan titik di bawah) ط

Ẓ Zet (dengan titik di bawah) ظ

koma terbalik di atas hadap kanan __‘ ع

Page 10: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

ix

G Ge غ

F Ef ف

Q Qi ق

K Ka ك

L El ل

M Em م

N En ن

W We و

H Ha ه

Apostrof ’____ ء

Y Ye ي

2. Vokal Tunggal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih

aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

A Fatḥah

I Kasrah

U Ḍammah و

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai A dan I ىي

وى Au a dan u

Contoh:

فيك : kaifa ولح : haula

Page 11: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

x

3. Vokal panjang

Vocal panjang atau maddah transliterasinya yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ā a dengan garis di atas ئا

ئي ī i dengan garis di atas

ū u dengan garis di atas ئو

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-kabīr dan al-rijāl bukan ar-rijāl.

5. Syaddah (Tasydīd)

Syaddah atau tasydīd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan

menggandengkan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak

berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang

yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis

dengan aḍ-ḍarūrah melainkan al-ḍarūrah, demikian seterusnya.

6. Ta marbūṭah

Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang hidup atau

mendapat harkat fatḥah, kasrah atau ḍammah maka transliterasinya adalah [t].

Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukūn, transliterasinya

adalah [h].

Jika pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta

marbūṭah ditranslliterasikan dengan ha [h].

Page 12: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

xi

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamxah menjadi apostrof [’] hanya berlaku bagi

hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di

awal kata maka ia tidak dilambangkan karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

Contohnya:

syai’un : شيئ

umirtu : أمرت

8. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan

Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka

yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf

awal atau kata sandangnya, seperti البخاري = al-Bukhāri.

Page 13: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ........................................................ i

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................. v

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ viii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ xii

BAB 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 4

C. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................... 5

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 6

E. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 7

F. Metode Penelitian .......................................................................... 11

G. Sistematika Penulisan .................................................................... 13

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERBUDAKAN

A. Definisi Perbudakan ...................................................................... 15

B. Sejarah Praktik Perbudakan ........................................................... 17

C. Faktor Penyebab Menjadi Budak ................................................... 24

D. Istilah Perbudakan dalam Al-Qur’an ............................................. 25

1. ‘Abd .......................................................................................... 26

2. Amat ......................................................................................... 28

3. Raqabah dan Riqāb. ................................................................ 30

4. Mā Malakat Aimānukum .......................................................... 33

BAB III. SEKILAS TENTANG IBNU KAṠĪR DAN KITAB

TAFSIRNYA

A. Biografi Ibnu Kaṡīr. ....................................................................... 39

B. Karya-Karya Ibnu Kaṡīr.... ............................................................ 47

C. Profil Kitab Tafsīr Ibnu Kaṡīr ........................................................ 49

Page 14: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

xiii

1. Tentang Tafsīr Ibnu Kaṡīr.. ....................................................... 50

2. Metode dan Corak Tafsīr Ibnu Kaṡīr. ....................................... 51

BAB IV. PENAFSIRAN IBNU KAṠĪR TERHADAP FRASE MĀ

MALAKAT AIMĀNUKUM

A. Keterkaitan Istilah Perbudakan dalam Al-Qur’an. ........................ 55

B. Tema-Tema Ayat Frase Mā Malakat Aimānukum ......................... 59

1. Pernikahan. ................................................................................ 59

2. Menjaga Kemaluan. .................................................................. 65

3. Kebolehan Berhias. ................................................................... 66

4. Berbuat Baik. ............................................................................ 68

5. Meminta Izin. ............................................................................ 69

6. Menampakkan Diri. .................................................................. 70

7. Rezeki........................................................................................ 71

8. Perjanjian dengan Budak. ......................................................... 72

C. Analisis Makna Frase Mā Malakat Aimānukum Perspektif Ibnu

Kaṡīr. .............................................................................................. 75

BAB IV. PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................... 85

B. Saran-Saran ................................................................................... 86

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 87

Page 15: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah perbudakan telah berlangsung jauh beberapa abad sebelum Masehi,

tepatnya terjadi pada masyarakat Mesopotamia.1 Dan beberapa generasi setelahnya

juga tak lepas dari praktik perbudakan. Yunani Kuno, Romawi Kuno, Romawi

Kristen bahkan hingga Islam datang pun praktik ini masih dilakukan oleh

masyarakat.2

Pada masa-masa tersebut, para budak diperlakukan layaknya sebuah

“properti” yang bisa diperjualbelikan dan digunakan sesuai kehendak pemiliknya.3

Salah satu contohnya tercermin dari perilaku para majikan kepada budaknya pada

masa Romawi Kuno. Pada zaman ini para budak laki-laki banyak dijadikan sebagai

gladiator dan budak perempuan menjadi budak seks bagi para tentara dan warga

Romawi.4

Di awal kemunculan Islam, perbudakan menjadi warisan budaya yang tak

terbantahkan. Budak pada waktu itu pun tak ubahnya harta benda dan kekayaan

manusia yang digunakan oleh pemilik untuk kepentingan pribadinya.5 Al-Qur’an

sebagai sumber utama rujukan umat Islam mengakui hal tersebut. Hal ini dibuktikan

dengan adanya ayat-ayat yang menjelaskan tentang perbudakan. Diantaranya adalah

1 Abul Fadhil, “Perbudakan dan Buruh Migran di Timur Tengah”, Thaqafiyyat, Vol. 14, No. 1

(2013): h. 163. 2 Ustadi Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam”, Hadlarah, Suara Muhammadiyah 01/96, 1 –

15 Januari 2011, h. 49. 3 Abul Fadhil, “Perbudakan dan Buruh Migran di Timur Tengah”, h. 164.

4 Ustadi Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam”, h. 49.

5 Agus Muhammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam Al-Qur’an”, Suhuf, Vol. 4, No. 1 (2011)

h. 43.

Page 16: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

2

ayat tentang kebolehan seorang majikan menggauli budak perempuan yang

dimilikinya. Sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Mu’minūn [23]: 5-6;

“Dan orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka

atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela”6

Quraish Shihab berpendapat ayat ini merupakan ayat peringatan bagi orang-

orang yang menjaga kemaluannya agar tidak sembarangan menyalurkan kebutuhan

biologisnya yakni melalui hal dan cara yang tidak dibenarkan agama. Oleh karena itu,

bagi mereka diperkenankan guna menyalurkan hasrat seksualnya tersebut kepada

pasangan-pasangan mereka atau budak-budak perempuan yang mereka miliki.7

Al-Qur’an dalam menyebutkan istilah mengenai perbudakan ini menggunakan

beberapa lafaz. Lafaz-lafaz tersebut adalah ‘abd, amat, raqabah, riqāb dan juga mā

malakat aimānukum.8 Masing-masing dari lafaz tersebut memiliki jumlah penyebutan

yang berbeda dalam al-Qurˋan. Lafaz ‘abd dan derivasinya dalam al-Qur’an

disebutkan sebanyak 275 kali.9 Lafaz amat dalam al-Qur’an hanya disebutkan 2

6 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: PT Sinergi Pustaka

Indonesia, 2012), h. 475. 7 M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāḥ: Pesan, Kesan, dan Keserasian dalam al-Qur’an,

Vol. 8 (Jakarta: Lentera hati, 2002), h. 323. 8 Sukmadjaja Asyarie dan Rosy Yusuf menyebutkan dalam karyanya Indeks Al-Qur’an

bahwasanya lafaz tentang budak disebutkan menggunakan tiga lafaz yakni raqabah, riqāb, dan mā

malakat aimānukum. Lihat Sukmadjaja Asyarie dan Rosy Yusuf, Indeks Al-Qur’an (Bandung: Penerbit

Pustaka, 1984), h. 36; Sedangkan menurut Ali Audah, lafaz yang menunjuk pada budak dalam al-

Qur’an adalah ‘abd/‘ibād, amat/imā’ dan raqabah/ riqāb. Lihat Ali Audah, Konkordansi Qur’an:

Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an, Cet. Ketiga (Bogor: Pustaka Litera AntarNUsa, 2003), h.

826. Berdasarkan penelusuran inilah penulis memilih kelima lafaz tersebut yakni ‘abd, amat, raqabah,

riqāb, dan mā malakat aimānukum. 9 Muḥammad Fu’ād ‘Abdul Bāqī, Al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm (T.tp.:

Dārul Kutub al-Miṣriyyah, 1346 H), h. 441-445.

Page 17: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

3

kali.10

Dan lafaz raqabah disebutkan sebanyak 6 kali. Sedangkan lafaz riqāb yang

merupakan jamak dari lafaz raqabah disebutkan sebanyak 3 kali.11

Serta mā malakat

aimānukum dan sejenisnya terulang sebanyak 15 kali dalam al-Qur’an.12

Di antara istilah-istilah yang menerangkan tentang perbudakan tersebut, ada

satu istilah yang menarik perhatian penulis yakni mā malakat aimānukum. Ada

beberapa alasan mengapa mā malakat aimānukum menarik untuk dibahas. Pertama,

mā malakat aimānukum merupakan sebuah frase sedangkan term budak yang lain

hanyalah sebuah lafaz.

Kedua, dibandingkan lafaz lain, frase mā malakat aimānukum jika dimaknai

secara tekstual memiliki makna yang tidak langsung mengarah pada makna budak,

yakni apa yang tangan kananmu miliki.13

Hal ini jelas berbeda dengan lafaz ‘abd yang

dimaknai dengan al-raqīq (budak/ hamba)14

, lafaz amat bermakna al-jāriyah (budak

perempuan)15

serta lafaz raqabah dan riqāb dimaknai dengan al-‘abdu al-mamlūk

(hamba sahaya/ budak)16

. Lafaz-lafaz tersebut terlihat dengan jelas memiliki makna

yang tertuju pada term perbudakan. Berbeda dengan frase mā malakat aimānukum

yang maknanya tak tertuju secara langsung pada perbudakan.

Bahkan Muḥammad ‘Alī al-Tīnāwī menyatakan tidak setuju dengan pendapat

ulama salaf yang mengatakan bahwasanya mā malakat aimānukum adalah budak baik

itu dengan penyebutan al-‘abīd atau al-raqīq. Menurutnya, pemaknaan mā malakat

10

‘Abdul Bāqī, Al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm, h. 93. 11

‘Abdul Bāqī, Al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm, h. 323-324. 12

‘Abdul Bāqī, Al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm, h. 673. 13

Frase mā malakat aimānukum terdiri atas dua suku kata yakni malaka dan aimān yang

bentuk mufradnya adalah yamīn. Lafaz malaka bermakna memiliki sedangkan lafaz yamīn dimaknai

dengan kanan atau sumpah sehingga mā malakat aimānukum secara tekstual bisa diartikan dengan apa

yang tangan kananmu miliki. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia

(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1358 dan 1590. 14

Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 887. 15

Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 42. 16

Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 520.

Page 18: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

4

aimānukum sangatlah jauh dengan makna budak. Al-Tīnāwī sendiri memaknai istilah

tersebut dengan sumpah terhadap segala macam hal yang dimiliki dan maknanya

tergantung pada tema sumpah yang dibahas.17

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang frase mā

malakat aimānukum perspektif Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm karya Ibnu Kaṡīr. Alasan

pemilihan kitab tafsir ini adalah penggunaan riwayat yang menjadi dasar Ibnu Kaṡīr

dalam menjelaskan kandungan suatu ayat. Karena metode tersebut akhirnya kitab

tafsirnya ini mendapatkan apresiasi dari para ulama dengan mengatakan bahwa Tafsīr

al-Qur’ān al-‘Aẓīm adalah kitab tafsir bil ma’ṡūr terbesar kedua setelah Tafsīr al-

Ṭabarī.18

Namun demikian, bukan berarti Ibnu Kaṡīr tidak menggunakan akal atau

ra’yu-nya dalam menafsirkan suatu ayat. Karena ternyata ia pun terkadang melakukan

hal tersebut.19

Hal inilah yang mendasari penulis untuk membahas penelitian dengan

judul: “PEMAKNAAN FRASE MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL-

QUR’AN: STUDI ATAS PENAFSIRAN IBNU KAṠĪR DALAM TAFSĪR AL-

QUR’ĀN AL-‘AẒĪM”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diidentifikasi

beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Terdapat ayat dalam al-Qur’an yang membolehkan untuk menggauli budak

perempuannya. Sedangkan perbudakan saat ini sudah dihapuskan.

17

Lihat Muḥammad ‘Alī al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum (Damaskus: Al-Ahālī li al-

Ṭabā‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzī‘, 2011), h. 20 dan 29. 18

A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer), (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an (eLSiQ), 2013), h. 118-

119. 19

A. Rofiq, ed., Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 138.

Page 19: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

5

2. Al-Qur’an menggunakan beberapa istilah untuk menyebutkan perbudakan.

Dari istilah-istilah tersebut, mā malakat aimānukum adalah istilah yang

maknanya tidak menunjukkan secara langsung kepada perbudakan

dibandingkan dengan lafaz yang lainnya.

3. Ada ulama yang tidak setuju frase mā malakat aimānukum dimaknai dengan

budak. Menurutnya frase ini lebih tepat dimaknai dengan sumpah terhadap

segala macam hal yang dimiliki.

C. Batasan dan Rumusan Masalah

Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna dan mendalam,

maka penulis memandang permasalahan penelitian yang diangkat harus dibatasi

variabelnya. Oleh sebab itu, penulis membatasi diri hanya berkaitan dengan

penafsiran Ibnu Kaṡīr terhadap frase mā malakat aimānukum dalam al-Qur’an. Dan

frase ini dalam al-Qur’an terulang sebanyak 15 kali yang tersebar pada 7 surat dan 14

ayat. Adapun ayat-ayat tersebut adalah Q.S. al-Nisā’ [4]: 3, 24, 25 dan 36, Q.S. al-

Naḥl [16]: 71, al-Mu’minūn [23]: 6, Q.S. al-Nūr [24]: 31, 33 dan 58, Q.S. al-Rūm

[30]: 28, Q.S. al-Aḥzāb [33]: 50, 52 dan 55 serta Q.S. al-Ma‘ārij [70]: 30.20

Dan kajian ini tidak hanya difokuskan pada penyebutan mā malakat

aimānukum saja, akan tetapi juga pada bentuk penyebutan yang lainnya. Baik itu

mufrad atau jamak-nya maupun mukhāṭab atau gā’ib-nya. Dimana selain mā malakat

aimānukum, frase ini juga disebutkan dengan mā malakat aimānuhum, mā malakat

aimānuhunna dan mā malakat yamīnuka.21

20

‘Abdul Bāqī, Al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm, h. 673. 21

Selanjutnya untuk memudahkan, penyebutan frase-frase tersebut hanya menggunakan mā

malakat aimānukum.

Page 20: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

6

Berdasarkan batasan masalah yang telah disebutkan di atas, maka pokok

permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimanakah

penafsiran Ibnu Kaṡīr terhadap frase mā malakat aimānukum dalam al-Qur’an?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berangkat dari pokok permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan:

1. Mengungkap pemaknaan yang disampaikan oleh Ibnu Kaṡīr terhadap

frase mā malakat aimānukum.

2. Menjelaskan pemaknaan frase mā malakat aimānukum perspektif Ibnu

Kaṡīr.

3. Mengungkap posisi Ibnu Kaṡīr dalam menjelaskan frase mā malakat

aimānukum dibanding pengkaji yang lain.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Melengkapi penelitian sebelumnya mengenai Ibnu Kaṡīr.

2. Menjadi sumbangsih literatur dan dorongan untuk mengkaji frase mā

malakat aimānukum pada penelitian selanjutnya.

3. Hasil penelitian ini mendukung pendapat yang mengatakan bahwa frase

mā malakat aimānukum adalah budak.

4. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan menjadi referensi bagi peneliti

atau pengkaji al-Qur’an bahwasanya setiap lafaz dalam al-Qur’an

mempunyai pemaknaan yang tidak selalu sama pada satu ayat dengan ayat

yang lainnya.

Page 21: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

7

E. Tinjauan Pustaka

Kajian-kajian yang membahas tentang perbudakan sudah banyak dilakukan

oleh sarjanawan muslim. Berbagai aspek pembahasan dari perbudakan telah

dilakukan. Pendekatan tematik, kajian lafaz, pemahaman kontekstual dan juga bentuk

perbudakan era modern merupakan topik-topik yang digunakan oleh peneliti

terdahulu. Seperti kajian yang dilakukan oleh Alimuddin Hassan Palawa dalam

artikelnya Wawasan al-Qur’an tentang Budak (Upaya-upaya Pembebasan Budak

dalam Islam).22

Fokus kajian Alimuddin adalah menampilkan proses al-Qur’an dalam

membebaskan perbudakan yang sudah menjadi keniscayaan hidup yang tak

terbantahkan. Ia mengungkapkan bahwa pada periode Mekkah, al-Qur’an masih

melakukan cara yang toleran terhadap perbudakan. Hal ini berbeda dengan periode

Madinah. Pada periode ini, al-Qur’an mulai menggunakan cara yang cenderung

“radikal”. Seperti menjadikan salah satu bentuk kaffārat dari orang yang tidak sengaja

membunuh orang mukmin dengan membebaskan budak.

Selanjutnya kajian yang dilakukan oleh Agus Muhammad dalam artikelnya

yang berjudul Pesan Moral Perbudakan dalam al-Qur’an: Pesan Kemanusiaan yang

Terlupakan.23

Kajiannya ini didasari pada pemahaman orientalis yang menganggap

bahwa al-Qur’an memperbolehkan adanya perbudakan. Hal lain yang ia bahas adalah

strategi al-Qur’an dalam membebaskan perbudakan dengan cara persuasif dan

bertahap, tidak dengan cara perubahan drastis dan radikal. Agus juga memberikan

kritik struktural yang digunakan al-Qur’an terhadap penghapusan perbudakan ini.

22

Lihat Alimuddin Hassan Palawa, “Wawasan Al-Qur’an tentang Budak: Upaya-Upaya

Pembebasan Budak dalam Islam”, Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol 7, No. 1 (Januari-Juni

2008). 23

Lihat Agus Muhammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam Al-Qurˋan”, SUHUF, Vol. 4, No. 1

(2011), h. 41-52.

Page 22: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

8

Kajian yang ditulis oleh Nurhayati dalam bukunya Perbudakan Zaman

Modern: Perdagangan Orang dalam Perspektif Ulama.24

Pokok pembahasan

Nurhayati dalam bukunya ini adalah pandangan ulama Sumatera Utara tentang

perdagangan manusia. Namun cakupan dari buku ini cukup luas dengan

mencantumkan pembahasan sejarah perdagangan orang dan pandangan hukum Islam

terkait tindak kejahatan ini. Menurutnya, bentuk perbudakan di era modern ini adalah

perdagangan manusia atau human trafficking.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Khamdatul Aliyati dengan judul

Perbudakan dalam Pandangan Mufassir Indonesia.25

Cakupan pembahasan pada

kajiannya ini cukup luas dengan menampilkan penafsiran-penafsiran mufassir

Indonesia yakni Quraish Shihab, Hasby Ash-Shiddieqy, Mahmud Yunus, Buya

Hamka dan Ahmad Hassan tentang ayat-ayat yang bersangkutan dengan perbudakan.

Ia menggunakan metode komparatif dalam skripsinya ini. Dan ia juga memberikan

contoh-contoh perbudakan yang terjadi di Indonesia.

Kesimpulan yang diperoleh Khamdatul dalam kajiannya ini menunjukkan

bahwasanya al-Qur’an melindungi budak serta memperlakukan mereka setara dengan

manusia lainnya. Dan al-Qur’an juga berusaha untuk membebaskannya dari belenggu

yang mengikat mereka itu. Budak yang dipahami oleh beberapa mufassir sebagai

orang yang terbelenggu haknya bukan lagi seperti perbudakan zaman dahulu yang

berbentuk tawanan perang dan budak belian. Sehingga ketika dikaitkan dengan realita

yang ada di Indonesia bahkan dunia adalah kaum-kaum yang tertindas, seperti korban

human trafficking.

24

Nurhayati, Perbudakan Zaman Modern: Perdagangan Orang dalam Perspektif Ulama

(Medan: Perdana Publishing, 2016). 25

Khamdatul Aliyati, “Perbudakan dalam Pandangan Mufassir Indonesia”, (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Walisongo, 2015).

Page 23: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

9

Kajian tentang perbudakan juga dilakukan oleh Ahmad Ahad Sya’bany,

dengan judul Reinterprestasi terhadap Al-Riqāb sebagai Mustahiq Zakat dan

Relevansinya dengan Masa Sekarang. Pembahasan dalam karyanya ini

menitikberatkan pada pemahaman lafaz al-riqāb dalam Q.S. al-Taubah [9]: 60. Ia

menggunakan pendapat mufassir klasik dan kontemporer dalam mengungkap

pemaknaan al-riqāb pada ayat tersebut. Setelah mendapatkan pemaknaan al-riqāb

tersebut, ia merelevansikannya dengan zaman saat ini. Hasil kajiannya menunjukkan

bahwasanya yang dimaksud dengan konsep ar-riqāb sebagai mustahiq zakat adalah

memerdekakan budak secara umum, baik budak mukātab atau ghairu mukātab.

Kajian berikutnya dilakukan oleh Ahmad Sayuti Nasution dalam artikelnya,

Perbudakan dalam Hukum Islam.26

Kajiannya ini menjelaskan proses penghapusan

perbudakan dari sudut pandang hukum Islam. Serta perlakuan yang harus diberikan

kepada budak dan bagaimana keluar dari perbudakan tak luput dari pembahasannya.

Ia juga memberikan ciri-ciri perbudakan di zaman modern ini yang didasari dari

perbudakan zaman dulu. Menurutnya, perbudakan di zaman modern pada beberapa

keadaan lebih parah dibandingkan dengan perbudakan di zaman jāhiliyyah.

Sedangkan kajian yang membahas tentang frase mā malakat aimānukum

dilakukan oleh Muḥammad ‘Alī al-Tīnāwī dalam bukunya Mā Malakat Aimānukum.27

Pusat perhatian al-Tīnāwī dalam bukunya ini berbicara tentang kritiknya terhadap

pemahaman mufassir dan sarjana muslim lain yang memaknai mā malakat

aimānukum sebagai budak. Dalam kajiannya ini, al-Tīnāwī memiliki pemahaman

sendiri tentang definisi mā malakat aimānukum dan mempraktikkannya pada ayat-

26

Ahmad Sayuti Anshari Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam”, Ahkam: Vol. XV, No. 1

(Januari 2015), h. 95-102. 27

Muḥammad ‘Alī al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum (Damaskus: Al-Ahālī li al-Ṭabā‘ah wa

al-Nasyr wa al-Tauzī‘, 2011).

Page 24: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

10

ayat yang terdapat frase mā malakat aimānukum. Menurutnya, frase mā malakat

aimānukum bermakna sumpah terhadap segala macam hal yang dimiliki dan

maknanya tergantung pada tema sumpah yang dibahas.

Selain itu, kajian-kajian tentang tokoh Ibnu Kaṡīr pun telah banyak dilakukan

oleh para sarjanawan. Namun kajian yang berkaitan dengan skripsi ini adalah kajian

yang dilakukan oleh Mulyana dalam skripsinya, Konsep Perbudakan dalam Tafsir

Ibnu Katsir.28

Pembahasannya berkisar pada kajian tematik perbudakan dalam al-

Qur’an. Dari hasil penelitiannya, ia menemukan bahwasanya, menurut Ibnu Kaṡīr, al-

Qur’an tetap mengakui budak merupakan milik tuannya. Namun dengan sebuah

catatan bahwa kepemilikan itu tidak mutlak, budak harus tetap mendapatkan

pengakuannya sebagai seorang manusia. Kajian yang dilakukannya ini berbeda

dengan yang penulis lakukan. Dimana penulis memfokuskan kajian penelitian ini

pada pemaknaan frase mā malakat aimānukum. Frase ini merupakan salah satu term

yang digunakan al-Qur’an untuk menyebutkan budak.

Sejauh ini, dalam pengetahuan penulis, masih sedikit sekali kajian yang

membahas tentang frase mā malakat aimānukum dalam al-Qur’an. Kajian-kajian yang

ada pada saat ini, masih berputar sekitar kajian tematik perbudakan dalam al-Qur’an

di antaranya mengungkap pesan al-Qur’an ketika berbicara perbudakan dan proses

penghapusan perbudakan berdasarkan al-Qur’an serta kajian tentang bentuk

perbudakan di zaman modern. Sedangkan, kajian yang penulis lakukan adalah

mengenai frase mā malakat aimānukum dari perspektif Ibnu Kaṡīr.

28

Mulyana, “Konsep Perbudakan dalam Tafsir Ibnu Katsir Karya Abu al-Fida’i Isma’il bin

Umar bin Katsir al-Quraisy al-Damsyiqi”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri

Sunan Gunung Djati Bandung, 2012 M).

Page 25: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

11

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan jenis penelitian kualitatif29

yang

menggunakan data-data kepustakaan (library research). Objek utama dalam

penelitian ini adalah penafsiran Ibn Kaṡīr terhadap frase mā malakat aimānukum

dalam kitab tafsirnya, Tafsīr Ibnu Kaṡīr. Selanjutnya, data yang diperoleh kemudian

dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif-analitis.

2. Sumber Data

Data yang penulis gunakan dalam penelitian ini bersumber dari hasil

kepustakaan primer dan sekunder. Sumber primer yang merupakan rujukan utama

penulis gunakan adalah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm karya Ibnu Kaṡīr. Kemudian untuk

mengolah data dan mempertajam analisis, penulis juga menggunakan data-data

sekunder, yaitu berupa buku, kitab, artikel, tulisan ilmiah dan lain sebagainya yang

dapat mendukung penelitian dalam skripsi ini.

3. Teknik Pengolahan Data

Penelitian ini berusaha mengkaji pemikiran Ibnu Kaṡīr terkait penafsiran atau

pemahamannya terhadap frase mā malakat aimānukum dalam al-Qur’an. Oleh karena

itu, perlu adanya langkah-langkah dalam mengumpulkan dan mengolah data agar

tujuan dari penelitian ini tercapai secara optimal. Adapun langkah-langkah tersebut:

29

Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Lihat Suharsimi Arikunto,

Metode Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 37.

Page 26: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

12

a. Mengumpulkan ayat-ayat yang terdapat frase mā malakat aimānukum

dan derivasinya menggunakan kitab al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-

Qur’an al-Karīm karya Muḥammad Fu’ād ‘Abdul Bāqī.

b. Mengungkap keterkaitan makna di antara istilah-istilah budak dalam al-

Qur’an.

c. Memaparkan penafsiran frase mā malakat aimānukum pada ayat-ayat

tersebut berdasarkan kitab Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm karya Ibnu Kaṡīr.

d. Menyebutkan penafsiran-penafsiran mufassir yang hidup sebelum Ibnu

Kaṡīr yakni Ibnu ‘Abbās, al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī terhadap frase

tersebut dan juga pendapat dari tidak setuju dengan makna budak yakni

pendapat Muḥammad ‘Alī al-Tīnāwī.

e. Kemudian guna mengungkap pendefinisian dari penafsiran mā malakat

aimānukum perspektif Ibnu Kaṡīr, penulis menggunakan kitab-kitab

kamus Arab guna mendapatkan pemahaman komprehensif tentang suatu

lafaz. Adapun kitab-kitab yang digunakan antara lain, Lisān al-‘Arab

karya Ibnu Manẓūr, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah karya Ibnu Fāris dan

Mufradāt Alfāẓ al-Qur’an karya Rāgib al-Aṣfāhanī.

4. Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah analisis atas data-

data tersebut. Dalam proses penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

deskriptif analitis. Metode deskriptif-analitis dalam penelitian ini dimaksudkan

sebagai metode penelitian yang sumber-sumbernya didata, dikumpulkan, dianalisis

dan kemudian diinterpretasikan secara kritis sebelum dituangkan dan

Page 27: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

13

diimplementasikan dalam sebuah gagasan.30

Yaitu untuk mendapatkan gambaran

tentang pemahaman Ibnu Kaṡīr terhadap frase mā malakat aimānukum.

Setelah diperoleh gambaran yang jelas tentang pemaknaan Ibnu Kaṡīr

terhadap frase tersebut, dilanjutkan dengan mengidentifikasi data yang telah

disampaikan sebelumnya.

G. Sistematika Penulisan

Demi mendapatkan pemahaman dan gambaran yang sistematis akan isi

penelitian ini, pembahasan dalam skripsi ini akan disusun dalam sebuah sistematika

penulisan sebagai berikut:

Bab pertama, berupa pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub-bab yaitu:

latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, kajian pustaka, dan metode penelitian serta sistematika

penulisan. Bab ini ditujukan untuk memberikan gambaran dari keseluruhan

permasalahan yang akan dibahas secara rinci dan detial pada bab-bab berikutnya.

Bab kedua, gambaran umum tentang perbudakan. Berupa pengertian dari

budak, sejarah dan perkembangan perbudakan, faktor penyebab terjadinya dan istilah-

istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menyebutkan tentang perbudakan.

Pembahasan ini sengaja penulis letakkan di bab kedua agar pembaca dapat memahami

dan mengenal terlebih dahulu tentang perbudakan.

30

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik, Cet. Ke-7,

(Bandung: Tarsito, 1982), h. 139.

Page 28: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

14

Bab ketiga, berisi tentang biografi dari Ibnu Kaṡīr dan informasi mengenai

Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm. Kajian pada bab ini ditujukan untuk mengungkap latar

belakang kehidupan Ibnu Kaṡīr dan juga metode penulisan kitab tafsirnya tersebut.

Bab keempat, berisikan keterkaitan makna istilah-istilah perbudakan dan

pemaparan serta analisis terhadap penafsiran Ibnu Kaṡīr pada frase mā malakat

aimānukum dalam kitab tafsirnya. Kajian pada bab ini ditujukan untuk mengungkap

pemaknaan Ibnu Kaṡīr terhadap frase tersebut. Selain itu pada bab ini, penulis juga

mencantumkan beberapa pendapat mufassir pendahulunya guna mengetahui posisi

Ibnu Kaṡīr dalam menjelaskan frase tersebut.

Penelitian ini diakhiri dengan bab kelima yang merupakan penutup, yaitu

berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh serta saran-saran. Dalam bab ini akan

diterangkan kesimpulan dari penelitian ini serta akan mengungkapkan kekurangan-

kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini dan memberikan saran-saran agar para

peneliti selanjutnya bisa dengan mudah mencari kekurangan dalam kajian ini.

Page 29: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

15

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERBUDAKAN

Wacana tentang perbudakan merupakan salah satu wacana yang sudah ada

sejak zaman dahulu. Berbagai macam perbudakan telah dilakukan oleh umat manusia.

Begitupun dengan upaya untuk menghapuskannya. Dan al-Qur’an sebagai sumber

utama kaum muslimin juga tak luput membahas wacana tersebut. Al-Qur’an pun

menggunakan beberapa istilahnya dalam menyebutkan perbudakan. Maka dari itu,

pembahasan pada bab ini akan difokuskan pada definisi, sejarah dan faktor penyebab

terjadinya perbudakan serta istilah yang digunakan al-Qur’an untuk menyebut

perbudakan.

A. Definisi Perbudakan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata perbudakan berasal dari akar kata

budak yang bermakna anak; kanak-kanak, dan antek; jongos; orang gajian; hamba;1

sahaya; abdi.2 Sedangkan kata perbudakan didefinisikan dengan sistem segolongan

manusia yang dirampas kebebasan hidupnya untuk bekerja guna kepentingan

golongan manusia lain.3 Dalam bahasa Inggris, budak disebut dengan slave yang

berasal dari kata slav dengan merujuk kepada Bangsa Slavia yang banyak ditangkap

dan dijadikan budak saat peperangan pada awal abad pertengahan.4

1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Pertama, Edisi

Keempat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 214. 2 J. S. Badudu dan Sutan Muhammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. Ketiga

(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 211. 3 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 214.

4 Abdul Hakim Wahid, “Perbudakan dalam Pandangan Islam, Hadits dan Sirah Nabawiyyah:

Textual and Contextual Studies”, Nuansa, Vol. VIII, No. 2 (Desember 2015), h. 142.

Page 30: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

16

Pada pasal 7 ayat (2) huruf c Statuta Roma menyatakan bahwa perbudakan

adalah pelaksanaan dari sebagian atau semua kekuasaan pada hal kepemilikan atas

seseorang dan termasuk dalam pelaksanaan kekuasaan tersebut adalah perdagangan

manusia, khususnya perempuan dan anak-anak.5

Hukum Hammurabi di Babylonia, bukti tertulis sejarah tertua perbudakan

yang dapat ditemukan (1760 SM)6, menyebutkan bahwa budak merupakan salah satu

kelas populasi masyarakat yang menjalani aturan tertentu, tidak jarang seperti di

Mesir mereka bangkit dan menempati posisi penting dalam negara dan pengadilan.7

Ditemukan pula definisi-definisi kata budak yang dikemukakan oleh para

sarjanawan. Nie Boer misalnya, ia mendefinisikan seorang budak dengan memberikan

tiga kriteria dari budak itu sendiri. Pertama, ia berada dalam hak kepemilikan orang

lain. Kedua, jika ditinjau dari status sosial budak ditempatkan pada posisi yang paling

rendah dibandingkan masyarakat umum. Ketiga, budak adalah orang yang melakukan

pekerjaan wajib.8 Hampir serupa dengan definisi Nie Boer, berdasarkan pada Q.S. al-

Naḥl [16]: 75 Hassan Palawa mendefinisikan budak sebagai seorang hamba sahaya

yang dimiliki dan tidak dapat melakukan sesuatu apapun.9

5 R. Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Cet. Kedua (Jakarta: Kencana,

2013), h. 145. 6 Ustadi Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam”, Hadlarah, Suara Muhammadiyah 01/96, 1 –

15 Januari 2011, h. 49. 7 Arif Hidayat, “Makna Riqāb sebagai Mustahiq Zakat Menurut Yūsuf al-Qardhawi dan

Wahbah al-Zuhaili”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Malang, 2014), h. 24. 8 Anwar Thosibo, Historiografi Perbudakan Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan Abad

XIX (Magelang: IndonesiaTera, 2002), h. 5. 9 Alimuddin Hassan Palawa, “Wawasan Al-Qur’an tentang Budak (Upaya-Upaya Pembebasan

Budak dalam Islam)”, Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol 7, No. 1 (Januari-Juni 2008); Dengan

kata lain, seorang budak tidak diperbolehkan melakukan transaksi atau menanggung tugas dan

kewajiban apapun serta tidak diperkenankan memiliki sesuatu karena dirinya merupakan milik

tuannya. Lihat Abdul Hafidz, “Konsep Riqāb dalam Pembagian Zakat di Zaman Modern Kajian

Analisis Pendapat Sayyid Quthb dan Quraish Shihab pada Surah at-Taubah ayat 60”, (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 19.

Page 31: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

17

Definisi lain juga disampaikan oleh Muchlas. Ia memberikan dua definisi

terkait budak. Pertama, budak adalah seseorang yang menjadi tawanan musuh dan

akan diperlakukan sekehendak penawan. Dan kedua, budak dipahami sebagai

seseorang yang bernasib seperti benda yang diperjualbelikan.10

Pada umumnya, para budak tersebut berasal dari bangsa asing11

. Akan tetapi,

di beberapa negara terdapat juga budak yang merupakan penduduk asli. Hal ini dapat

terjadi disebabkan penduduk pribumi tersebut sedang terlilit hutang atau sedang

mendapatkan hukuman.12

Sebagaimana telah disampaikan di atas, pemaknaan budak mengacu pada

kondisi seseorang baik anak-anak ataupun dewasa yang berada dalam kekuasaan

orang lain. Hal tersebut tentu akan berakibat secara langsung pada terampasnya

kebebasan mereka dalam menuntut hak-haknya sebagai manusia. Bahkan terkadang

para budak tersebut akan menjadi seperti properti yang bebas digunakan oleh sang

majikan termasuk untuk diperjualbelikan sekalipun.

B. Sejarah dan Perkembangan Praktik Perbudakan

Sejarah perbudakan diketahui pertama kali terjadi pada masyarakat

Mesopotamia (Sumeria, Babilonia, Asiria, dan Chaldea) yakni kota yang

perekonomiannya dilandaskan pada pertanian yang berkiblat pada kuil-kuil, imam,

10

M. Muchlas Abror, “Memberantas Perbudakan”, Kalam, Suara Muhammadiyah 02/ 96, 16-

31 Januari 2011, h. 43. 11

Hal ini dibuktikan pada masa Romawi Kuno. Para budak didatangkan secara besar-besaran

dari negara-negara jajahan di seluruh Eropa dan Mediterania. Seperti bangsa Berber, Jerman, Inggris,

Thracia, Ghalia (Celtik), Yahudi, Arab, dan jumlah mereka pun mencapai 30% dari jumlah populasi

Kekaisaran Romawi. Lihat Ustadi Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam”, h. 49. 12

Arif Hidayat, “Makna Riqāb sebagai Mustahiq Zakat Menurut Yūsuf al-Qardhawi dan

Wahbah al-Zuhaili”, h. 24.

Page 32: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

18

lumbung dan para juru tulis.13

Pada masa itu, orang berpendapat bahwa perbudakan

dapat terjadi terhadap siapapun dan kapanpun. Berbagai cara ditempuh seperti

menaklukkan bangsa lain kemudian menjadikannya budak, atau membeli dari para

pedagang budak.14

Sejarah perbudakan secara terperinci dapat ditemukan pada era Yunani Kuno

yakni Abad VII SM. Pada era ini terjadi dua model perbudakan di dua kota yang

berbeda di Spartha dan Athena. Pertama, perbudakan di Spartha. Model perbudakan

di kota ini lebih kepada pelayan dan hamba bagi tuannya, yang dikenal dengan

sebutan helot. Posisi mereka adalah seorang warga tidak bebas, yakni warga yang

terikat oleh aturan-aturan khusus dan umumnya dipekerjakan di sektor pertanian dan

menjadi penopang perekonomian Spartha. Bahkan mereka dijadikan pula sebagai

persembahan. Kedua, perbudakan di Athena. Bentuk perbudakan di kota ini lebih

buruk lagi dibandingkan dengan yang terjadi di Spartha. Di sini para budak tidak

dapat menuntut hak-haknya sebagai manusia seutuhnya. Nasib mereka ditentukan

oleh hubungan mereka dengan sang tuan. Jika hubungan mereka baik dengan tuannya

maka baik pula perlakuan yang diterima. Begitu juga sebaliknya. Dan mayoritas

mereka dipekerjakan di sektor domestik dan pertambangan di bawah pengawasan

tuannya.

Bentuk perbudakan yang terjadi pada masa Yunani Kuno tersebut tetap

berlangsung hingga perpindahan kekuasaan ke Romawi Kuno. Pada era ini, para

budak dipekerjakan di berbagai sektor. Akan tapi mereka paling banyak berada di

sektor peternakan dan sebagai pelayan rumah tangga. Tak jarang pula budak dari

13

Abul Fadhil, “Perbudakan dan Buruh Migran di Timur Tengah”, Thaqafiyyat, Vol. 14, No.

1 (2013): h. 163. 14

Abdul Hakim Wahid, “Perbudakan dalam Pandangan Islam, Hadits dan Sirah Nabawiyyah:

Textual and Contextual Studies”, h. 143.

Page 33: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

19

kaum laki-laki dijadikan sebagai gladiator dan kaum wanita dijadikan sebagai pemuas

nafsu seks bagi para tentara dan warga Romawi. Dan pola perbudakan di Romawi ini

berlangsung hingga era Romawi Kristen dan datangnya Islam.15

Pada masa Islam, perbudakan mulai dihapuskan secara persuasif dan bertahap,

tidak menggunakan cara yang radikal atau secara langsung dihapuskan. Hal tersebut

tidak lain dilakukan karena Nabi Muhammad Saw. belum mempunyai kekuatan

politik yang kuat dan pengikutnya masih minoritas. Dan juga faktor lain yang

mempengaruhinya adalah sistem perbudakan pada saat itu merupakan tatanan

kehidupan yang sudah berlangsung jauh sebelum Islam muncul, sehingga harus bijak

dalam menghadapinya.16

Selain itu, para budak pun belum tentu siap untuk menjadi

manusia merdeka dikarenakan sudah terbiasa berada pada mental seorang budak.17

Al-Qur’an sebagai sumber utama agama Islam menyebutkan beberapa ayat

yang membahas tentang usaha penghapusan/ pembebasan perbudakan. Salah satunya

seperti yang termaktub dalam Q.S. al-Balad [90]: 13:

“ (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan”.18

15

Ustadi Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam”, h. 49. 16

Alimuddin Hassan Palawa, “Wawasan al-Qur’an tentang Budak (Upaya-Upaya Pembebasan

Budak dalam Islam)”; Namun penghapusan perbudakan secara bertahap ini justru menimbulkan

anggapan dari sebagian orang bahwasanya Islam membudayakan perbudakan dan melegalkannya.

Salah satunya adalah tuduhan Kecia Ali yang menyebutkan bahwa perkawinan dalam Islam adalah

salah satu bentuk perbudakan yang dilegalkan. Hal ini didasari pada pemahamannya bahwa seorang

ayah (wali) yang memiliki kuasa atas putrinya sama dengan seorang pemilik budak. Pembahasan ini

tidak menjadi fokus pada kajian ini. Untuk lebih lengkapnya lihat Abdul Hakim Wahid, “Perbudakan

dalam Pandangan Islam, Hadits dan Sirah Nabawiyyah: Textual and Contextual Studies”, h. 141-154. 17

Agus Muhammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam Al-Qur’an”, Suhuf, Vol. 4, No. 1

(2011), h. 44; Para budak sudah terbiasa hidup bersama majikannya. Setiap kebutuhan sandang,

pangan, dan papan mereka sudah terjamin. Maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kepada para

budak apabila perbudakan dihapus sekaligus. Lihat Huzaemah Tahido Yanggo dkk, Membendung

Liberalisme (Jakarta: Penerbit Republika, 2004), h. 57. 18

Departemen Agama Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an

dan Tafsirnya (Bandung: J-Art, 2005), h. 542.

Page 34: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

20

Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut menyatakan bahwasanya Islam dari

awal muncul ingin menghapus segala bentuk yang membelenggu dan merendahkan

martabat kemanusiaan. Buktinya adalah ayat ini turun justru ketika Nabi Muhammad

masih dalam awal penyebaran agama Islam di Mekkah.19

Dalam al-Qur’an terdapat sembilan ayat yang berkaitan dengan pembebasan

budak. Dengan rincian enam ayat diungkapkan secara lugas dan tersurat (Q.S. al-

Baqarah [2]: 177, Q.S. al-Nisā’ [4]: 92, Q.S. al-Mā’idah [5]: 89, Q.S. al-Nūr [24]: 33,

Q.S. al-Mujādalah [58]: 3, dan Q.S. al-Balad [90]: 13) dan tiga ayat dinyatakan secara

tersirat, yakni Q.S. al-Taubah [9]: 60, Q.S. al-Anfāl [8]: 67, dan Q.S.

Muḥammad[47]: 4.20

Semua sumber perbudakan klasik telah dihapuskan oleh Islam

kecuali satu sumber saja yakni perbudakan akibat peperangan.21

Abdul Hakim Wahid menyebutkan tiga metode yang digunakan oleh Nabi

Muhammad Saw. dalam upayanya menghapus praktik perbudakan:

1. Anjuran memerdekakan budak dengan menentukan kafarat-kafarat

sebagai tebusan atas suatu kesalahan yang dilakukan seseorang.

2. Menanamkan pemahaman tentang adanya kewajiban antara kedua belah

pihak (majikan dan budak), dalam taqwa kepada Allah. Hal ini diperkuat

dengan anjuran untuk mendidik budak dan menikahinya.

3. Menerapkan persaudaraan antara budak dan tuannya.22

19

M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāḥ: Pesan, Kesan, dan Keserasian dalam al-Qur’an,

Vol. 15 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 325. 20

Agus Muhammad, “Pesan Moral Perbudakan dalam Al-Qur’an”, h. 44. 21

Abdul Hafidz, “Konsep Riqāb dalam Pembagian Zakat di Zaman Modern Kajian Analisis

Pendapat Sayyid Quthb dan Quraish Shihab pada Surah at-Taubah ayat 60”, h. 21. 22

Abdul Hakim Wahid, “Perbudakan dalam Pandangan Islam, Hadits dan Sirah Nabawiyyah:

Textual and Contextual Studies”, h. 147-150.

Page 35: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

21

Namun usaha-usaha tersebut tidak serta merta membuat perbudakan terhapus.

Praktik perbudakan masih terjadi pada masa Dinasti Umayyah (661–750 M) dan

Dinasti Abbasiyah (750–1258 M). Model perbudakan yang terjadi pada kedua masa

ini adalah perdagangan budak. Para penguasa tertarik berbisnis perdagangan budak

dikarenakan bisnis ini merupakan bisnis yang menggiurkan pada masa ini.23

Pada masa Dinasti Abbasiyah terjadi stratifikasi sosial di kalangan

masyarakat. Secara berurutan posisi teratas ditempati oleh para khalifah dan keluarga,

pejabat pemerintahan, keturunan Bani Hasyim dan orang sekitarnya. Lalu kelompok

terakhir adalah mereka para prajurit dan pengawal istana, sahabat dekat, para mawla

dan pembantu. Para pembantu ini hampir keseluruhan adalah budak yang berasal dari

kalangan nonmuslim.24

Budak-budak pada masa dinasti Abbasiyah ini dipekerjakan

sebagai penari, penyanyi, pemuas nafsu seks para tuannya baik itu sebagai selir

ataupun ghilman25

dan juga sebagai pasukan militer26

. Bahkan keluarga kerajaan

memiliki budak yang jumlahnya sangat banyak, seperti al-Mutawakkil memiliki 4.000

selir dan al-Muqtadir memiliki 11.000 budak laki-laki Yunani dan Sudan yang sudah

dikebiri.27

Akan tetapi, perlakuan tersebut tidak lantas memandang sebelah mata kepada

para budak. Sejarah membuktikan bahwa mereka pun pernah memimpin suatu

pemerintahan yakni pada masa pemerintahan Dinasti Mamalik di Mesir. Dan para

23

Ajib Purnawan, “Jejak-Jejak Perbudakan di Tanah Arab”, Hadlarah, Suara Muhammadiyah

02/ 96, 16-31 Januari 2011, h. 48. 24

Philip K. Hitti, History of The Arabs, Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet

Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014), h. 426. 25

Ghilman adalah budak laki-laki yang dikebiri, mengenakan busana mahal dan berhias serta

mengharumkan tubuh mereka layaknya perempuan. “Para pemuda tak berjanggut” ini dijadikan

sebagai pemuas nafsu seks yang tidak wajar oleh para tuannya. Lihat Philip K. Hitti, History of The

Arabs, h. 426. 26

Nur Mayasari,“Peran Militer Budak pada Masa Pemerintahan Khalifah al-Mu’tashim 833-

842 M”, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2005), h. 2. 27

Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 427.

Page 36: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

22

budak belian yang diperjualbelikan atau hadiah dari penguasa lain yang menjadi

penguasanya pemerintahan tersebut.28

Dan ini jelas mendobrak sejarah yang selama

ini menjadi penguasa adalah mereka dari golongan orang merdeka. Dinasti ini

berkuasa selama dua abad lebih (1250-1517 M).29

Dan ini merupakan negara Muslim

yang paling lama berkuasa di antara imperium Abbasiyah dan Usmani.30

Bangsa Eropa pun tak luput dari praktik perbudakan. Di Eropa praktik ini

dimulai pada abad 14 M. Negara-negara seperti Spanyol, Portugis, Inggris dan Prancis

mempraktikkan perbudakan selama 4 abad, yakni sejak abad 14 hingga 18 M.31

Setelah itu, dengan berkembangnya sektor ekonomi, sosial dan politik di Eropa

menuntut negara-negara tersebut untuk menghapuskan perbudakan. Akhirnya pada

tahun 1792, Denmark mengumumkan penghapusan perdagangan budak. Lalu diikuti

oleh Parlemen Inggris pada tahun 1833 yang menyetujui usul pembebasan budak.

Serta pada tanggal 31 Januari 1864, Amerika Serikat berkat jasa presidennya

Abraham Lincoln, mengumumkan secara resmi pembebasan budak.32

Hingga

akhirnya pada tahun 1953, PBB secara resmi mengadakan Konvensi Menentang

Perbudakan. Dan hasilnya terdapat 86 negara -hingga 1990- yang meratifikasi

28

Dinasti ini juga bisa disebut dengan Dinasti Mamluk. Karena dalam bahasa Arab lafaz

Mamalik merupakan jamak dari Mamluk. Lihat Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam

(Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), h. 216-217. 29

Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 859. 30

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), h.

547. 31

Khamdatul Aliyati, “Perbudakan dalam Pandangan Mufassir Indonesia,” (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2015), h. 5; Salah satu buktinya

adalah penjajahan Belanda pada bangsa Indonesia. Tidak hanya V.O.C yang berasal dari kalangan

pemerintah yang memiliki budak. Akan tetapi, tercatat beberapa orang Belanda pun memiliki hamba

atau budak yang jumlahnya tidak sedikit. Seperti Valentin tercatat memiliki 20 budak dan Leydecker

seorang penerjemah kitab suci memiliki banyak budak yang dipekerjakan di lahan miliknya. Lihat

Muhammad Tisna Nugraha, “Perbudakann Modern (Modern Slavery) (Analisis Sejarah dan

Pendidikan)’, At-Turats, Vol. 9, No. 1 (Juni 2015). h. 52. 32

Ahmad Sayuti Anshari Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam”, Ahkam: Vol. XV, No.

1 (Januari 2015) h. 95-96.

Page 37: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

23

Konvensi untuk mencegah dan menentang perdagangan budak dan menghapus segala

bentuk perbudakan.33

Meskipun begitu, fenomena perbudakan akan selalu berlangsung sepanjang

zaman dengan model dan bentuk yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan manusia

memiliki kecenderungan homo homoni lupus yakni hasrat untuk menguasai yang

lainnya.34

Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Mahmud Syaltut.

Menurutnya perbudakan pada masa kini berbeda dengan perbudakan pada zaman

dahulu. Jika dahulu seorang budak dijajah atau dieksploitasi fisiknya maka bentuk

perbudakan pada saat ini adalah ketika seseorang ataupun sebuah bangsa dijajah oleh

kolonialis baik itu dari cara berfikir, ekonomi, kekuasaan maupun kedaulatannya.

Pendapat ini juga disampaikan oleh Rasyid Ridha dan Yusuf Qardawi.35

Sehingga berdasarkan data yang diuraikan, perbudakan dari masa ke masa

mengalami pergeseran bentuk. Perbudakan di era klasik lebih kepada bentuk

pemanfaatan atau eksploitasi terhadap individu dari segi fisik seperti dipekerjakan di

lahan-lahan pertanian dan dijadikan pemuas nafsu majikan. Sedangkan di era modern,

perbudakan tidak dibatasi hanya dengan fisik dan individu saja. Namun meluas

hingga pola pikir dan sistem pemerintahan. Maka benar adanya jika perbudakan itu

akan terus ada, namun dalam bentuk yang berbeda-beda tergantung dengan kondisi

zaman.

33

Ajib Purnawan, “Jejak-Jejak Perbudakan di Tanah Arab”, h. 49. 34

Ustadi Hamsah, “Perbudakan Sebelum Islam”, h. 49. 35

Pendapat ketiganya ini dikemukakan ketika menafsirkan lafaz riqāb pada Q.S. al-

Taubah[9]: 60. Lihat Abdul Hafidz, “Konsep Riqāb dalam Pembagian Zakat di Zaman Modern Kajian

Analisis Pendapat Sayyid Quthb dan Quraish Shihab pada Surah at-Taubah ayat 60”, h. 40-41.

Page 38: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

24

C. Faktor Penyebab Menjadi Budak

Terjadinya praktik perbudakan tidak dapat dihindari oleh siapapun. Terlebih

bagi mereka yang tidaklah memiliki kekuatan. Berikut penyebab-penyebab yang

menyebabkan seseorang menjadi seorang budak:

1. Kekalahan dalam peperangan

Peperangan antar suku, golongan, dan negara sangatlah sering terjadi di

zaman dahulu, bahkan peperangan juga bisa terjadi antar dua kelompok yang

berbeda kepentingan. Dan bagi pihak yang kalah otomatis akan menjadi budak

dari pihak yang menang.36

Madzhab Syafi’i memberikan empat pilihan kepada imam terhadap

tawanan perangnya: dieksekusi secepatnya, dijadikan budak dan dibebaskan

dengan syarat ataupun tanpa syarat. Sedangkan madzhab Hanafi hanya

memberikan dua pilihan yakni mengeksekusinya atau menjadikannya budak.37

2. Keturunan

Ada anggapan bahwasanya beberapa suku ataupun keluarga ditakdirkan

untuk menjadi budak. Jadi, siapapun yang lahir dari keluarga atau suku

tersebut akan selalu menjadi budak dan hidup di bawah kekuasaan tuannya.

3. Kemiskinan

Himpitan ekonomi juga menjadi faktor yang cukup besar pengaruhnya

untuk membuat seseorang menjadi seorang budak. Faktor hutang yang tidak

mampu dibayarkan hingga menjual dirinya sendiri sebagai bayaran atas

36

Ahmad Sayuti Anshari Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam”, h. 96. 37

Abdullahi Ahmed An-Na'im, Dekonstruksi Syari'ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi

Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Penerjemah Ahmad Suaedy & Amirudin Ar-Rany

(Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 287.

Page 39: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

25

hutangnya atau menjual salah satu anggota keluarganya kepada orang kaya

dilakukan demi mengatasi himpitan ekonomi tersebut.

4. Melakukan tindak pidana

Beberapa tindak pidana seperti pembunuhan, perzinaan, pencurian dan

tindak pidana besar lainnya akan menjadi budak bagi keluarga korban atau

masyarakat yang menangkapnya.

5. Penculikan

Seringkali terjadi penculikan terhadap anak-anak maupun perempuan

ketika berada di tempat bermain atau sedang sendirian di rumah tanpa adanya

pengawasan yang ketat dari orang dewasa atau orangtuanya.38

Menurut Quraish Shihab, Islam hanya merestui perbudakan melalui faktor

peperangan. Namun dengan syarat peperangan tersebut adalah perang agama dan

musuh terlebih dahulu menjadikan tawanan dari pihak kaum muslimin sebagai

budak.39

Jika kedua syarat tersebut telah terpenuhi, maka kaum muslimin bisa

menjadikan tawanan dari pihak musuh sebagai budak sebagaimana yang mereka

lakukan terhadap tawanan muslim.

D. Istilah Perbudakan dalam Al-Qur’an

Dalam al-Qur’an penyebutan budak menggunakan lafaz yang berbeda-beda.

Penulis menemukan setidaknya terdapat lima lafaz yang menunjukkan pada makna

38

Ahmad Sayuti Anshari Nasution, “Perbudakan dalam Hukum Islam”, h. 96-97. 39

M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāḥ: Pesan, Kesan, dan Keserasian dalam Al-Qur’an,

Vol. 8, h. 326.

Page 40: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

26

budak. Lafaz-lafaz tersebut adalah ‘abd, amat, raqabah, riqāb, dan mā malakat

aimānukum.40

Berikut penjelasan lafaz-lafaz tersebut:

1. ‘Abd

Lafaz ‘abd berasal dari ‘abada-ya‘budu-‘ibādah, ‘ubūdiyyah yang

bermakna beribadah. Lafaz yang masih satu akar kata dengannya adalah lafaz

‘abuda yang dimaknai dengan menjadi hamba sahaya atau budak dan juga

lafaz ‘abida yang maknanya adalah menyesal, marah, benci dan tamak.41

Sedangkan dalam Lisān al-‘Arab, lafaz al-’abd dimaknai dengan dua

pemaknaan yang berlawanan yakni manusia merdeka ataupun budak. Al-‘abd

juga dimaknai sebagai lawan kata dari al-mamlūk yakni manusia merdeka.

Jamaknya adalah a‘budun, ‘abīd, ‘ibād dan ‘ubud.42

Dawam Rahardjo mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Quraish

Shihab menyatakan bahwa lafaz ‘abd yang berasal dari akar kata ‘ain, ba’ dan

dāl setidaknya memiliki tiga arti: a) sesuatu yang dimiliki, b) sejenis

tumbuhan yang beraroma harum dan c) anak panah. Sehingga ‘abdullah

adalah orang yang memberikan aroma harum bagi lingkungannya.43

40

Sukmadjaja Asyarie dan Rosy Yusuf menyebutkan dalam karyanya Indeks Al-Qur’an

bahwasanya lafaz tentang budak disebutkan menggunakan tiga lafaz yakni raqabah, riqāb, dan mā

malakat aimānukum. Lihat Sukmadjaja Asyarie dan Rosy Yusuf, Indeks Al-Qur’an (Bandung: Penerbit

Pustaka, 1984), h. 36; Sedangkan menurut Ali Audah, lafaz yang menunjuk pada budak dalam al-

Qur’an adalah ‘abd/‘ibād, amat/imā’ dan raqabah/ riqāb. Lihat Ali Audah, Konkordansi Qur’an:

Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an, Cet. Ketiga (Bogor: Pustaka Litera AntarNUsa, 2003), h.

826. Berdasarkan penelusuran inilah penulis memilih kelima lafaz tersebut yakni, ‘abd, amat, raqabah,

riqāb, dan mā malakat aimānukum. 41

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), h. 886-887; Lihat juga Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, Mu‘jam al-Wāsiṭ, Cet.

Keempat (Mesir: Maktabah Syurūq al-Dauliyyah, 2004), h. 579. 42

Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab, Jilid 4 (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1119), h. 2776. 43

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep

Kunci, Cet. Kedua (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 173-174.

Page 41: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

27

Penyebutan ‘abd dan derivasinya dalam al-Qur’an terulang sebanyak 275

kali.44

Dengan rincian sebagai berikut: lafaz ‘abada disebutkan sebanyak

empat kali, lafaz ya‘budu sejumlah 80 kali, lafaz u‘bud sebanyak 37 kali, lafaz

‘ibādah terulang sebanyak 9 kali, lafaz ‘ābid 12 kali, lafaz ‘abd 131 kali, dan

lafaz ‘abbada serta lafaz yu‘badu masing-masing disebutkan sekali dalam al-

Qur’an.45

Penyebutan lafaz ‘ābid dalam al-Qur’an digunakan untuk menunjuk pada

hamba-hamba-Nya yang bergelimangan dosa, sedangkan lafaz ‘ibād

digunakan al-Qur’an untuk menunjuk hamba-hamba-Nya yang taat atau

berdosa tetapi menyadari kesalahan dan dosanya.46

Dalam al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān, penyebutan al-‘abd atau hamba

dalam al-Quran dikaitkan dengan beberapa hal:

1. Seorang hamba yang dikaitan dengan hukum syar’i. Yakni seorang

manusia yang sah dilakukan jual beli terhadapanya. Seperti dalam Q.S. al-

Baqarah [2]: 178;

“Hamba dengan hamba.”

Dan juga dalam Q.S. al-Naḥl [16]: 75;

44

Muhammad Fu’ād ‘Abdul Bāqī, Al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm

(T.tp.: Dārul Kutub al-Miṣriyyah, 1346 H), h. 441-445. 45

Dawam melakukan perincian tersebut dengan menggabung penghitungan lafaz ‘abd dengan

lafaz ‘ibād dan abīd, serta setiap fi‘il muḍāri‘ ma‘lūm dengan berbagai ḍamīr-nya dijadikan satu

hitungan. Lihat M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-

konsep Kunci,h. 177. 46

Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Alquran, cet. 2 (Jakarta: Amzah, 2006), h. 2.

Page 42: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

28

“Seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak

terhadap sesuatupun.”

2. Seorang hamba yang dikaitkan dengan penciptaan. Sebagaimana yang

termaktub dalam Q.S. Maryam [19]: 93;

“Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang

kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba.”

3. Seorang hamba yang dikaitkan dengan pengabdian dan pelayanan. Dan

manusia dibagi menjadi dua golongan:

Pertama, seorang hamba yang ikhlas beribadah pada Allah SWT. Hal ini

sesuai dengan firman-Nya dalam Q.S. al-Furqān [25]: 63;

“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-

orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati.”

Kedua, seorang hamba yang jiwanya diberikan untuk merawat dan

melayani dunia. Merekalah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW.

dalam sabdanya:

د الديناردرهم، تعس عبتعس عبد ال

“Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar.” 47

2. Amat

Lafaz amat berasal dari tiga huruf yakni hamzah, mīm dan satu huruf

mu’tal yang maknanya adalah perbudakan. Al-Khalīl, sebagaimana dikutip

47

Abū al-Qāsim al-Ḥusain ibn Muḥammad, Al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān, Jilid Pertama

(t.t.: Maktabah Nizār Muṣṭafā al-Bāz, t.th.), h. 415

Page 43: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

29

oleh Ibnu Fāris dan Ibnu Manẓūr, berkata bahwasanya amat adalah budak

perempuan.48

Pemaknaan serupa penulis temukan dalam kamus al-Munawwir,

lafaz amat dimaknai oleh Warson Munawwir dengan al-jāriyah yang

bermakna budak perempuan.49

Dan bentuk jamak dari lafaz amat adalah

amawāt, imā’, ām, imwān dan amwān.50

Penulis condong memaknai lafaz

amat dengan budak perempuan. Sesuai dengan yang disampaikan oleh al-

Tināwī bahwa lafaz amat khusus untuk perempuan sedangkan lafaz ‘abd

dikhususkan untuk laki-laki. Dan menurut al-Tināwī lafaz ‘abd dan amat

keduanya dikhususkan pada perbudakan atau penghambaan diri kepada Allah

semata.51

Dalam al-Qur’an lafaz amat hanya terulang sebanyak dua kali. Sekali

dalam bentuk mufrad dan sekali dalam bentuk jamak. Yakni pada Q.S. al-

Baqarah [2]: 221 dan Q.S. al-Nūr [24]: 32.52

Penyebutan lafaz amat tersebut baik dalam bentuk mufrad ataupun jamak

dalam al-Qur’an berbicara tentang pernikahan. Adapun penyebutan dalam

bentuk mufrad terdapat pada Q.S. al-Baqarah [2]: 221:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka

beriman. Sesungguhnya budak perempuan yang mukmin lebih baik dari

wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.”

48

Abū Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakāriya, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah, Jilid 1 (T.Tp.: Dār

al-Fikr, 1979), h. 136; Lihat juga Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab, Jilid 1, h. 121. 49

Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 42. 50

Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab, Jilid 1, h. 121. 51

Muḥammad ‘Alī al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum (Damaskus: Al-Ahālā li al-Ṭabā‘ah

wa al-Nasyr wa al-Tauzī‘, 2011), h. 22. 52

‘Abdul Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm, h. 93.

Page 44: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

30

Dalam Tafsir Ringkas disebutkan bahwa ayat ini menjelaskan tentang

tuntunan Allah kepada kaum muslimin dalam memilih pasangan. Dijelaskan

pula dalam ayat ini, budak perempuan beriman yang berstatus sosial rendah

menurut pandangan masyarakat lebih baik untuk dinikahi dibandingkan

dengan perempuan musyrik walaupun memiliki keunggulan dalam kecantikan,

kekayaan, nasab dan lainnya.53

Sedangkan dalam Q.S. al-Nūr [24]: 32, menurut al-Bagawī, merupakan

perintah bagi orang-orang mukmin yang merdeka untuk menikahkan hamba

sahayanya baik dari laki-laki maupun perempuan. Dan perintah disini berupa

perintah yang disunnahkan. Hal ini bertujuan untuk memberikan kebahagiaan

kepada hamba sahayanya tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh mayoritas

ulama seperti dari golongan sahabat dan generasi setelahnya.54

3. Raqabah dan Riqāb

Lafaz raqabah dan riqāb berasal dari akar kata yang sama yakni rā’, qāf

dan bā’ yang menunjukkan pada makna penjagaan terhadap sesuatu.55

Dalam

al-Munawwir, lafaz raqabah dan riqāb berasal dari akar kata raqaba-yarqubu-

ruqūb, raqbah yang memiliki arti menjaga, mengawal, menantikan, dan

mengawasi. Raqabah merupakan bentuk mufrad sedangkan jamaknya adalah

53

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ringkas (Jakarta: Lajnah Pentashihan

Mushaf Al-Qur’an, 2015), h. 96. 54

Diriwayatkan ulama yang dimaksud dari adalah ‘Umar ibn Khaṭṭāb, ‘Alī ibn Abī Ṭālib, Ibn

Mas’ūd, Ibn ‘Abbās, Abū Hurairah, ‘Āisyah, Sa’īd ibn Musayyab, al-Ḥasan, Syarīḥ, Ibrahīm al-

Nakhā’i, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Azīz, al-Ṡaurī, al-Auza’ī, ‘Abdullah ibn al-Mubārak, al-Syafi’ī, Aḥmad

dan Isḥāq. Lihat Abū Muḥammad al-Ḥusain ibn Mas’ūd al-Bagawī, Tafsīr al-Bagawī: Ma’ālim al-

Tanzīl (Riyāḍ: Dār Ṭayyibah, 1409 H), h. 38-39. 55

Zakāriya, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah, Jilid 2, h. 427.

Page 45: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

31

riqāb yang bermakna dasar leher.56

Dan juga merupakan sinonim dari lafaz al-

mamālik yakni budak atau hamba sahaya.57

Quraish Shihab menjelaskan bahwa pada dasarnya lafaz riqāb bermakna

leher. Namun berkembang menjadi bermakna hamba sahaya dikarenakan

banyak hamba sahaya yang ditawan saat peperangan tangan mereka

dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka.58

Dalam al-Qur’an lafaz raqabah terulang sebanyak enam kali penyebutan

yakni pada Q.S. al-Nisā’ [4]: 92 disebutkan tiga kali, dan Q.S. al-Mā’idah [5]:

89, Q.S. al-Mujādalah [58]: 3 serta Q.S. al-Balad [90]: 13 masing-masing satu

kali penyebutan. Sedangkan lafaz riqāb hanya terulang di tiga tempat, yakni

pada Q.S. al-Baqarah [2]: 177, Q.S. al-Taubah [9]: 60 dan Q.S. Muḥammad

[47]: 4.59

Penyebutan lafaz raqabah sebanyak enam kali tersebut secara keseluruhan

membahas tentang pembebasan perbudakan dengan bentuk sanksi atas

berbagai kesalahan seperti memerdekakan budak sebagai sanksi pembunuhan

(Q.S. al- Nisā’ [4]: 92), sanksi atas pelanggaran sumpah (Q.S. al- Mā’idah [5]:

89) dan sanksi ẓihār (Q.S. al-Mujādalah [58]: 3). Berlaku pengecualian pada

Q.S al-Balad [90]: 13, ayat ini tidak berbicara mengenai pembebasan budak

yang berhubungan dengan sanksi atas suatu tindakan kesalahan. Akan tetapi

ayat ini menjelaskan bahwasanya pembebasan budak merupakan al-‘aqabah

yakni jalan mendaki lagi sulit.

56

Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, 519-520. 57

Rāgib al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān (Damaskus: Dār al-Qalam, 2009), h. 361. 58

M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāḥ: Pesan, Kesan, dan Keserasian dalam Al-Qur’an,

Vol. 5, h. 144-145. 59

‘Abdul Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm, h. 323-324.

Page 46: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

32

Sedangkan lafaz riqāb juga membahas tentang pembebasan budak seperti

menjadikan tindakan pembebasan budak sebagai bentuk al-birr (kebajikan)

(Q.S. al-Baqarah [2]: 177) dan menjadikan pembebasan budak bagian dari

aṣnāf al-zakāh (Q.S. al-Taubah [9]: 60). Akan tetapi pada Q.S. Muḥammad

[47]: 4 lafaz riqāb dimaknai dengan al-‘unuq60

yakni leher.

Salah satu penyebutan lafaz riqāb terdapat dalam Q.S al-Taubah [9]: 60.

Ayat ini menjelaskan tentang aṣnāf al-zakāh. Mufassir ketika menafsirkannya

dengan budak mukātab yakni budak yang mengajukan diri pada tuannya untuk

menebus kebebasan dirinya. Dalam hadis pembagian zakat pun juga

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan al-riqāb adalah golongan budak

mukātab, berikanlah mereka bagian zakatnya, cukupkanlah kebebasannya dan

serahkanlah zakat tersebut kepada tuannya.61

Namun pemaknaan riqāb pada ayat tersebut diperluas oleh ulama

kontemporer, Mahmud Syaltut misalnya. Menurutnya, sebagaimana dikutip

Quraish Shihab, mengatakan bahwa wilayah-wilayah yang dijajah atau

diduduki musuh termasuk ke dalam bagian fī al-riqāb, oleh karena itu boleh

untuk diberikan zakat. Bahkan Quraish Shihab menyebutkan seorang pegawai

yang terikat kontrak dengan pengusaha dan ketika ia ingin membatalkan

kontrak tersebut harus dengan tebusan ganti rugi maka ia bisa mendapatkan

zakat juga dengan mengambil bagian fī al-riqāb atau al-gārimīn.62

60

Abū al-Qāsim Maḥmūd ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyāf ‘an Ḥaqā’iq Gawāmiḍ al-

Tanzīl wa ‘Uyūn al-‘Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl, Cet. Pertama (Riyāḍ: Maktabah al-‘Abīkān, 1998), h.

516. 61

Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab, h. 1701. 62

M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāḥ: Pesan, Kesan, dan Keserasian dalam Al-Qur’an,

Vol. 5, h. 145.

Page 47: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

33

4. Mā Malakat Aimānukum

Frase mā malakat aimānukum merupakan gabungan dari dua kata dasar,

yakni malaka dan yamīn. Lafaz malaka terdiri dari tiga huruf asal yakni mīm,

lām, dan kāf yang menunjukkan pada makna kekuatan terhadap sesuatu

(menguasai).63

Dalam kamus al-Munawwir, lafaz malaka bermakna memiliki,

menahan, menguasai, dan mengekang. Dan ketika disandingkan dengan

imra’atun maknanya menjadi menikah.64

Lafaz lain yang masih satu rumpun

adalah lafaz al-malaku bermakna harta yang dimiliki65

dan lafaz al-mamlūk

yang dimaknai dengan ‘abd (hamba)66

. Sedangkan Rāgib al-Aṣfahānī

berpendapat bahwa lafaz al-mamlūk dimaksudkan khusus pada pengertian

raqīq (hamba sahaya). Dan juga lafaz malakah yang dikhususkan kepada

kepemilikan budak.67

Lafaz malaka dengan berbagai derivasinya dalam al-Qur’an terulang

sebanyak 206 kali.68

Penyebutan tersebut meliputi bentuk fi‘il māḍi, muḍāri‘

dan juga maṣdar dari lafaz tersebut. Selain itu, lafaz malā’ikah juga termasuk

pada hitungan tersebut karena kata dasar dari lafaz malā’ikah adalah malaka.

Sedangkan lafaz al-yamīn makna asalnya adalah anggota badan69

bagian

kanan manusia dan lainnya.70

Berasal dari akar kata al-yumnu yang memiliki

makna berkah/kemakmuran atau nasib baik. Al-Yamīn (kanan) juga merupakan

antonim dari al-yasār (kiri) dari segi arah atau anggota badan. Al-Yamīn juga

63

Zakāriya, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah, Jilid 5, h. 351-352. 64

Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 1358. 65

Zakāriya, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah, Jilid 5, h. 352. 66

Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab, h. 4267; Lihat juga Zakāriya, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah, Jilid

5, h. 352. 67

Rāgib al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān, h. 775. 68

‘Abdul Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm, h. 673-676. 69

Rāgib al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān, h. 893. 70

Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab, h. 4967.

Page 48: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

34

dapat bermakna kekuatan dan sumpah.71

Lafaz al-yamīn bermakna sumpah

dikarenakan orang yang disumpah dan orang yang menyumpah seringkali

menggunakan tangan kanan sebagai bentuk kesepakatan ketika bersumpah.72

Dalam al-Qur’an, penyebutan kepemilikan budak disebutkan dengan lafaz

al-yamīn sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Nisā’ [4] ayat 3, dan Q.S. al-

Nūr [24] ayat 31 dan 58.73

Penyebutan budak atau hamba sahaya dengan al-

yamīn disebabkan seorang budak berada di bawah kekuasaan tuannya. Dan

kekuasaan erat hubungannya dengan yang kuat.74

Sehingga seorang budak

tunduk kepada tuannya itu karena mereka tidaklah memiliki kekuatan atau

kuasa atas dirinya.

Selain itu, penyebutan lafaz yamīn dalam al-Qur’an terulang sebanyak 71

kali.75

Penyebutan ini ditinjau dari berbagai perubahannya yakni mufrod

jamaknya ataupun ḍomīr-nya.

Pemaknaan mā malakat aimānukum dengan budak dalam al-Qur’an dapat

ditemukan pada pendapat mufassir baik itu era klasik ataupun modern. Ibnu

Jarīr al-Ṭabarī76

, Muṡṭafā al-Marāgī77

dan Muḥammad ‘Alī al-Ṣābūnī78

misalnya, dimana ketiganya menafsirkan frase tersebut pada Q.S. al-Nisā’ [4]:

24 dengan lafaz al-sabyu yang bermakna budak tawanan perang. Dalam Tafsīr

71

Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah, Mu‘jam al-Wāsiṭ, h. 1067. 72

M. Quraish Shihab dkk., Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997), h.

415. 73

Rāgib al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān, h. 775. 74

M. Quraish Shihab dkk., Ensiklopedi Al-Qur’an, h. 416. 75

‘Abdul Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm, h. 774-775. 76

Abū Ja’far Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Kaṡīr ibn Gālib al-Āmali al-Ṭabarī, Jāmi’u

al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jilid 8 (T.tp.: Mu’assasah al-Risālah, 2000), h. 151. 77

Aḥmad Muṣṭafā al-Marāgī, Tafsīr al-Marāgī, Jilid 5 (Kairo: Muṣṭafā al-Bāb al-Halab,

1946), h. 5. 78

Muḥammad ‘Alī al-Ṣābūnī, Ṣafwah al-Tafāsīr, Jilid 1 (Beirut: Dār al-Qur’ān al-Karīm,

1981), h. 269.

Page 49: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

35

Jalālain pun disebutkan demikian.79

Dan budak tawanan perang yang

dimaksud adalah budak dari kalangan perempuan.

Namun Muhammad ‘Alī al-Tīnāwī dalam karyanya Mā Malakat

Aimānukum, menyatakan tidak setuju dengan pendapat ulama salaf yang

mengatakan bahwasanya mā malakat aimānukum (al-Tināwi dalam bukunya

menjelaskan dengan menggunakan milk al-yamīn) bermakna budak.

Menurutnya, frase milk al-yamīn hanya ditemukan dalam risālah

muḥammadiyyah dan al-Qur’an. Sebelumnya, istilah mengenai budak oleh

masyarakat Arab disebutkan dengan menggunakan lafaz al-raqīq, al-‘abīd,

atau mamlūk. Lalu al-Tīnāwī mempertanyakan argumentasi ulama salaf,

bagaimana bisa mereka memaknai frase milk al-yamīn dengan al-sabāyā, al-

‘abīd dan al-raqīq? Padahal frase ini sangatlah jauh dari makna

penghambaan/perbudakan ataupun budak tawanan perang.80

Oleh karena itu, al-Tīnāwī memiliki makna tersendiri terhadap istilah

tersebut. Menurutnya frase milk al-yamīn dimaknai dengan sumpah terhadap

segala macam hal yang dimiliki. Dan makna milk al-yamīn dengan sumpah

tergantung pada tema sumpah yang dibahas. Sebagai contoh milk al-yad, ia

memaknainya dengan harta, milk al-mar’ah dengan pernikahan dan milk al-

insān li al-insān dengan budak. Selain itu, frase milk al-yamīn dalam sudut

pandang al-Tināwī harus didasari pada kesepakatan di antara dua belah pihak

sehingga sumpah yang dilakukan terwujud.81

79

Jalāluddīn al-Maḥallī dan Jalāluddīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Imāmain al-Jalīlain (T.tp.: Dār Ibn

Kaṡīr, t.t.), h. 82. 80

Lihat al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum, h. 29. 81

Lihat al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum, h. 20-21.

Page 50: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

36

Pemaknaan yang diberikannya ini didasari pada pemahamannya dalam

memahami lafaz milk dan aimān. Menurutnya lafaz al-milk itu mengikuti

terhadap macam yang dimilikinya. Sedangkan lafaz aimān yang merupakan

bentuk jamak dari lafaz yamīn menunjukkan makna al-qasam atau al-ḥalaf,

sumpah. Oleh karena itu, tidak ada hubungannya sama sekali jika lafaz milk

al-yamīn dimaknai dengan budak (baik itu dengan penyebutan al-‘abīd

ataupun al-raqīq). Sehingga istilah milk al-yamīn pengertiannya dapat diambil

berdasarkan pada tema yang muncul setelahnya.82

Frase mā malakat aimānukum beserta derivasinya dalam al-Qur’an

terulang sebanyak 15 kali. Dengan rincian tersebar dalam 14 ayat dan 7

surat.83

Adapun tema pembahasan atau kandungan ayat yang terdapat frase ini

sebagai berikut:

1. Pernikahan. Tema ini menjadi tema yang paling banyak dibahas. Dan

tema ini tersebar dalam enam ayat yakni Q.S. al-Nisā’ [4]: 3, 24 dan 25

dan Q.S. al-Aḥzāb [33]: 50 dan 52.

2. Menjaga Kemaluan. Tema ini terdapat dalam dua ayat yakni Q.S. al-

Mu’minūn [23]: 6 dan Q.S. al-Ma’ārij [70]: 30.

3. Kebolehan berhias. Terdapat hanya dalam satu ayat yakni Q.S. al-Nūr

[24]: 31.

4. Berbuat baik. Hal ini termaktub dalam Q.S. al-Nisā’ [4]: 36.

5. Meminta izin. Pembahasan ini ditemukan dalam Q.S. al-Nūr [24]: 58.

6. Menampakkan diri. Terdapat dalam Q.S. al-Aḥzāb [33]: 55.

82

Al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum, h. 18-20.. 83

‘Abdul Bāqī, al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm, h. 673.

Page 51: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

37

7. Rezeki. Ada dua pembahasan tentang hal ini. Pertama, menjelaskan

tentang rezeki antara majikan dan pekerjanya. Sebagaimana tercantum

dalam Q.S. al-Naḥl [16]: 71. Kedua, rezeki dari hasil bekerja sama yang

terdapat dalam Q.S. al-Rūm [30]: 28.84

8. Perjanjian dengan budak. Sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Nūr [24]:

33.

Merujuk pada data yang telah dipaparkan di atas, dapat dipahami bahwasanya

lafaz-lafaz yang digunakan al-Qur’an guna menunjukkan makna budak yakni ‘abd,

amat, raqabah, riqāb, dan mā malakat aimānukum memiliki perbedaan antara satu

dengan yang lainnya. Perbedaan yang dimaksud berada pada penggunaan lafaz dalam

suatu ayat dan juga sifat dari lafaz tersebut.

Lafaz ‘abd dan amat merupakan bentuk budak dari sisi penghambaannya

kepada Allah. Sehingga maknanya tidak bisa dikaitkan dengan bentuk perbudakan

antar ciptaan, dalam hal ini manusia dengan manusia. Sedangkan lafaz raqabah dan

riqāb bermakna budak yang berada dalam belenggu tuannya. Dan frase mā malakat

aimānukum, jika dimaknai budak, memiliki pemaknaan yang cukup luas. Hal tersebut

karena budak yang berada di bawah kuasa tuannya bisa didapatkan dari berbagai cara.

Semisal dari menawan perang atau jual beli budak.

Dari perbedaan-perbedaan tersebut menunjukkan pula bahwasanya al-Qur’an

memiliki kemukjizatan dari segi kebahasaan. Dimana al-Qur’an menempatkan suatu

lafaz sesuai dengan kandungan ayat yang dibahas. Sehingga tidak menimbulkan

kesalahpahaman atau kerancuan makna. Lafaz raqabah atau riqāb contohnya. Pada

dasarnya makna lafaz ini adalah leher. Sedangkan dalam al-Qur’an, kedua lafaz ini

84

Penulis menggunakan pembagian ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Muḥammad

‘Alī al-Tīnāwī. Lihat al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum, h. 213-214.

Page 52: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

38

berkembang maknanya menjadi budak/ perbudakan. Hal ini sesuai dengan gambaran

budak tawanan perang pada masa itu. Setiap kali ditawan tangan mereka dibelenggu

dan diikat ke leher mereka. Dan setiap kandungan ayat yang terdapat lafaz raqabah

atau riqāb pun memerintahkan untuk membebaskan orang-orang yang terbelenggu

tersebut baik itu dengan menjadikannya sebagai sanksi atas tindakan kesalahan atau

dengan memasukkannya ke dalam bagian aṣnāf al-zakāh.

Page 53: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

39

BAB III

SEKILAS TENTANG IBNU KAṠĪR DAN KITAB TAFSIRNYA

Nama Ibnu Kaṡīr sangat familiar dalam khazanah pemikiran Islam di

Indonesia terutama bagi para pengkaji dan peminat studi al-Qur’an. Terlebih kitab

tafsir karyanya, Tafsīr Ibnu Kaṡīr, telah banyak digunakan oleh masyarakat. Sebagai

bukti adalah dengan semakin banyaknya terbitan kitab tafsirnya ini dalam berbagai

bentuk, seperti dalam bentuk digital ataupun terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Hal ini mengindikasikan bahwasanya semangat masyarakat guna belajar dan

mengamalkan al-Qur’an semakin meningkat serta kitab ini menempati posisi yang

begitu penting dibandingkan kitab-kitab tafsir lainnya. Oleh karena itu, pada bab ini

penulis akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengannya yakni riwayat hidup Ibnu

Kaṡīr, karya-karyanya yang lain, serta profil dari Tafsīr Ibnu Kaṡīr sendiri.

A. Biografi Ibnu Kaṡīr

Dalam mukadimah Tafsīr Ibnu Kaṡīr yang di-taḥqīq oleh Ḥasan ‘Abbās Quṭb

dkk. disebutkan bahwa nama lengkapnya adalah Imāduddin Abū al-Fidā’ Ismā’īl ibn

‘Umar ibn Kaṡīr ibn Ḍaw’ ibn Kaṡīr al-Qurasyī Al-Dimasyqī al-Syafi‘ī.1 Ia dilahirkan

pada tahun 701 H2 di sebuah desa kecil bernama Mijdal yang berada di sebelah

1 Lihat ‘Imāduddīn Abū al-Fidā’ Ismā‘īl ibn Kaṡīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm

(Muqaddimah al-Taḥqīq), Jilid 1 (Kairo: Mu’assisah Qurṭubah, 2000), h. 9; Abū al-Mahāsin al-

Dimasyqi berkomentar dalam kitab Dzail Tażkiratul Ḥuffaẓ bahwa nama lengkap Ibnu Kaṡīr adalah

Imāduddīn Abū Fidā’ Isma‘il ibn Umar ibn Kaṡīr ibn Ḍaw’ ibn Kaṡīr ibn Zar‘ al-Baṣrawi al-Dimasyqi

al-Syafi‘i. Lihat Muḥammad Nashiruddin al-Albani, Derajat Hadis-Hadis dalam Tafsir Ibnu Kaṡīr.

Penerjemah ATC Mumtaz Arabia (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. 7. 2 Pendapat lain menyatakan bahwa ia lahir pada tahun 705 H. Lihat Mannā‘ al-Qaṭṭān,

Mabāhiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān (t.t.: Dār al-Rasyīd, t.th), h. 386.

Page 54: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

40

selatan Bushra, wilayah pemerintahan Damaskus.3 Ia lebih terkenal dengan nama

tersebut dikarenakan dinisbatkan kepada sang kakek sehingga terbiasa dengan sebutan

Ismā‘īl ibn Kaṡīr.4

Ibnu Kaṡīr berasal dari keluarga yang begitu terpandang. Ayahnya bernama

Syihāb al-Dīn Abū Ḥafṣ ‘Umar ibn Kaṡīr, dilahirkan pada tahun 640 H. Ia merupakan

seorang tokoh agama di bidang fiqih. Setelah menjadi khatib di Basrah, ayahnya

menganut mazhab al-Syāfi‘ī. Padahal sebelumnya ia adalah penganut mazhab Ḥanafī.

Ia juga menguasai bidang kebahasaan dan juga hafal syair-syair ‘Arab.5

Ayah Ibnu Kaṡīr selama hidupnya melaksanakan dua kali pernikahan. Dari

pernikahan yang pertama, ia memiliki tiga orang anak. Mereka masing-masing

bernama Ismā‘īl, Yūnus, dan Idrīs. Sedangkan dari pernikahan yang kedua, yakni ibu

dari Ibnu Kaṡīr, memiliki beberapa anak diantaranya adalah ‘Abd al-Wahhāb, ‘Abd

al-‘Azīz, Muḥammad dan juga beberapa saudara perempuan serta anak terakhirnya

adalah Ibnu Kaṡīr.6

3 A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer), (Depok: Lingkar Studi al-Qur’an (eLSiQ), 2013), h. 117. 4 ‘Imāduddīn Ismā’īl Ibn Umar ibn Kaṡīr ibn Ḍaw’ ibn Kaṡīr al-Qurasyī al-Dimasyqī al-

Syafi‘ī, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, (Lebanon: Bayt al-Afkār al-Dauliyyah, 2004), h. 9. 5 Aḥmad Muḥammad Syākir, ‘Umdat al-Tafsīr ‘an al-Ḥafiẓ ibn Kaṡīr Mukhtaṣar Tafsīr al-

Qur’anal-‘Aẓīm, Jilid 1, Cet. Kedua (t.t.p.: Dār al-Wafā’, 2005), h. 23; Ayahnya merupakan seorang

penduduk Bushra dan ibunya berasal dari desa Mijdal. Lihat Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm

(Muqaddimah al-Taḥqīq), h. 9. 6 Ibnu Kaṡīr menjelaskan bahwasanya ia diberi nama Ismā‘īl persis seperti nama saudara

tertuanya yakni Ismā‘īl. Hal ini dikarenakan jejak kehidupan yang ditinggalkan oleh saudaranya

tersebut. Sang kakak termasuk orang yang bersemangat dalam menuntut ilmu. Ini dibuktikan dengan

kemampuannya menghafalkan al-Qur’an, menghafal serta men-syarah kitab “al-Tanbīh” pada

Tājuddīn al-Farāzī, dan membuat karya tentang al-Muntakhab fī Uṣūl al-Fiqh. Kemudian ia wafat. Dan

akhirnya terinspirasi dengan anak pertamanya, sang ayah yakni Syihābuddīn Abū Ḥafṣ ‘Umar

memberikan nama anak terakhirnya pun dengan nama yang sama, yakni Ismā‘īl. Lihat Al-Syafi‘ī, Al-

Bidāyah wa al-Nihāyah, h. 9-10; Lihat juga Syākir, ‘Umdat al-Tafsīr ‘an al-Ḥafiẓ ibn Kaṡir Mukhtaṣar

Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm, h. 24.

Page 55: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

41

Saat ia berusia 3 tahun, ayahnya meninggal dunia. Sehingga ia kemudian

diasuh oleh kakaknya, Kamāl al-Dīn ‘Abdul Wahhāb.7 Dan pada tahun 707 H, Ibnu

Kaṡīr pindah dan menetap di kota Damaskus bersamanya.8 Oleh karena itu, Ibnu

Kaṡīr mendapatkan julukan al-Dimasyqī (orang Damaskus) disebabkan ia tinggal di

Damaskus hingga akhir hayatnya.9

Kepindahannya ke Damaskus menjadi titik awal perkembangan karir bagi

Ibnu Kaṡīr. Pada saat usia 11 tahun, Ibnu Kaṡīr berhasil menghafalkan al-Qur’an

secara keseluruhan di bawah bimbingan Syekh Gailān al-Ba’labakī. Hal ini

bersamaan dengan kedatangan Syekh al-Hāfiẓ ibn Jamā’ah di kota Damaskus. Ibnu

Kaṡīr pun menemuinya untuk menimba ilmu. Dari Ibn Jamā’ah, Ibnu Kaṡīr belajar

takhrīj kitab al-Rāfi‘ī (Syarḥ al-Kabīr), sebuah kitab fiqh mażhab syāfi‘ī.

Setelah menyelesaikan hafalan al-Qur’annya, Ibnu Kaṡīr berguru kepada Ibnu

Taimiyah (661-728 H) guna memperdalam ilmu di bidang tafsir dan juga ilmu

qirā’at. Sehingga tidak mengherankan apabila kitab Tafsīr Ibnu Kaṡīr mengacu pada

metode penafsiran Ibn Taimiyah10

.

7 Fahmi Hidayatullah, “Golongan Kiri dalam Al-Qur’an (Studi terhadap Tafsir Ibn Kathir

dan Tafsir Sayyid Qutb)”, (Tesis S2 Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,

2017), h. 18. 8 Umar Said, “Etika Suami yang Baik dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir al-Baghawi

dan Tafsir Ibn Katsir)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya, 2010), h. 70-71; Ada juga yang mengatakan pada tahun 706 H. Lihat Al-Syafi‘ī, Al-Bidāyah

wa al-Nihāyah, h. 10. 9 Fahmi Hidayatullah, “Golongan Kiri dalam al-Qur’an (Studi terhadap Tafsir Ibn Kathir dan

Tafsir Sayyid Qutb)”, h. 19. 10

Terdapat keterangan lain yang menyebutkan bahwa Ibnu Kaṡīr juga banyak mengambil

pendapat gurunya ini, bahkan ia mendasari fatwanya tentang talak kepada Ibn Taimiyah. Sehingga ia

mendapatkan cobaan cukup berat termasuk cobaan disakiti secara fisik. Lihat A. Husnul Hakim IMZI,

Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa

Kontemporer), h. 117; Salah satu faktor yang menyebabkannya mendapatkan siksaan begitu berat

adalah fatwanya tersebut bertentangan dengan peraturan talak yang ditetapkan oleh pemerintah. Lihat

Ismail Hasan, “Buah Khuldi dalam al-Quran Pandangan Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-

‘Adzim”, (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ponorogo,

2011), h. 23.

Page 56: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

42

Ibnu Kaṡīr juga menimba ilmu kepada ulama-ulama terkenal pada masanya

seperti Burhān al-Dīn al-Fazārī atau Ibn al-Farkah (660-729 H), seorang ulama

penganut mazhab Syafi‘ī dan Kamāl al-Dīn ibn Qāḍī Syuhbah. Kedua ulama tersebut

merupakan gurunya di bidang ilmu fiqih.

Sedangkan dari bidang hadis, Ibnu Kaṡīr belajar dengan ulama dari Hijaz dan

mendapatkan ijazah dari al-Wānī serta diriwayatkan langsung dari huffāẓ terkemuka

pada masanya yakni Syekh Najm al-Dīn ibn al-‘Asqalānī11

dan Syihāb al-Dīn al-

Ḥajjār (w. 730 H) yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Syaḥnah. Ibnu Kaṡīr juga

belajar kepada al-Ḥāfiẓ al-Mizzī (w. 742 H) penulis kitab Tahżīb al-Kamāl, dari

gurunya tersebut ia belajar mengenai ilmu Rijāl Hadīṡ. Ia juga pernah berguru kepada

Muḥammad ibn Muḥammad al-Żahabī (1284-1348 M) di Turbah Umm Sāliḥ.

Dalam bidang sejarah, pemikiran Ibnu Kaṡīr banyak dipengaruhi oleh al-Ḥāfiẓ

al-Birzālī (w. 739 H) seorang sejarawan dari kota Syam. Peran dari al-Birzālī sendiri

cukup besar, dimana Ibnu Kaṡīr dalam mengupas peristiwa-peristiwa menggunakan

kitab Tārīkh karya gurunya tersebut sebagai rujukannya.12

Selain itu, ia juga berguru kepada ‘Isa ibn Mut‘im, Syekh Aḥmad ibn Abī

Ṭālib al-Mu‘ammar (w. 730 H), Ibnu ‘Asākir (w. 723 H), Ibnu Syairāzī, Syekh Syams

al-Dīn al-Żahabī (w. 748 H), Syekh Abū Mūsā al-Qurafī, Abū al-Fatah al-Dabusi,

11

Dari Ibn al-‘Asqalānī, Ibnu Kaṡīr mendengarkan Ṡaḥīḥ Muslim dalam sembilan majlis.

Lihat Syākir, ‘‘Umdat al-Tafsīr ‘an al-Ḥafiẓ ibn Kaṡīr Mukhtaṣar Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm, h. 24. 12

Fahmi Hidayatullah, “Golongan Kiri dalam al-Qur’an (Studi terhadap Tafsir Ibn Kathir

dan Tafsir Sayyid Qutb)”, h. 20-21; Lihat juga Khoirul Aziz, “Kata Isrāf dalam al-Qur’an (Studi

Komparatif Penafsiran Prof. Dr. Hamka dan Ibn Kathir)”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016), h. 54-55.

Page 57: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

43

Syekh Isḥāq ibn al-Amadī (w. 725 H), Syekh Muḥammad ibn Zurad,13

Syekh al-

Zamalkānī, dan Syamsuddīn Maḥmūd al-Aṡbahānī.14

Adapun mengenai murid-muridnya, sebagaimana dijelaskan dalam al-Bidāyah

wa al-Nihāyah, Ibnu Kaṡīr memiliki murid yang sangatlah banyak. Akan tetapi dalam

kitab tersebut hanya beberapa orang saja. Mereka adalah Aḥmad ibn Ḥijjī ibn Mūsā

ibn Aḥmad ibn Sa’d ibn Gasyam ibn Gazwān ibn ‘Alī ibn Masrūr ibn Turkī atau biasa

dikenal dengan Syihābuddīn ibn Ḥijjī, Sa‘d ibn Yūsuf ibn ‘Ismā‘īl ibn Yūsuf ibn

Ya‘qūb ibn Surūr, Syihābuddīn Aḥmad ibn Muḥammad ibn Aḥmad ibn Muḥammad

ibn ‘Umar ibn Riḍwān al-Ḥarīrī, Jamāluddīn Muḥammad ibn Aḥmad ibn Muḥammad

ibn Maḥmūd al-Kāzārūnī al-Madanī dan Abū al-Muḥāsin al-Ḥusainī.15

Salah satu faktor yang mendukung berkembangnya karir Ibnu Kaṡīr adalah ia

hidup pada masa pemerintahan Dinasti Mamluk16

. Pada dinasti ini, pusat studi Islam

seperti madrasah dan masjid berkembang pesat. Perhatian penguasa pusat di Mesir

maupun penguasa daerah Damaskus sangat besar terhadap Islam. Banyak ulama yang

lahir pada masa ini. Yang pada akhirnya menjadi tempat Ibnu Kaṡīr menimba ilmu.

Popularitas Ibnu Kaṡīr meningkat saat ia memulai aktifitasnya dalam bidang

kenegaraan yakni saat ia ikut ambil peran dalam penyelidikan yang akhirnya

menjatuhkan hukuman mati bagi sufi zindik. Dikarenakan sufi tersebut mengklaim

13

Fahmi Hidayatullah, “Golongan Kiri dalam al-Qur’an (Studi terhadap Tafsir Ibn Kathir

dan Tafsir Sayyid Qutb)”, h. 20. 14

Umar Said, “Etika Suami yang Baik dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir al-Baghawi

dan Tafsir Ibn Katsir)”, h. 72. 15

Al-Syafi‘ī, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, h. 19-20. 16

Dinasti Mamluk atau Mamalik merupakan suatu pemerintahan yang dipimpin oleh para

budak belian yang diperjualbelikan atau hadiah dari penguasa lain. Lihat Didin Saefuddin Buchori,

Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), h. 216-217; Selengkapnya silahkan lihat

Philip K. Hitti, History of The Arabs. Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi

(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014), h. 859-898; dan juga Didin Saefuddin Buchori, Sejarah

Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009), h. 216-226.

Page 58: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

44

bahwa Tuhan ada pada dirinya (hulul).17

Penelitiannya ini diprakarsai oleh Gubernur

Suriah, Altunbuga al-Nāṣirī pada akhir tahun 741 H/ 1341 M.18

Aktifitas kenegaraannya ini berlanjut pada tahun 752 H, dimana ia berhasil

menggagalkan pemberontakan Amir Baibughah “Urs” pada masa Khalifah Mu‘tadid.

Dan selanjutnya bersama dengan ulama lainnya, pada tahun 759 H, Ibnu Kaṡīr

diminta oleh Amir Munjak untuk mengesahkan beberapa kebijaksanaan dalam

memberantas korupsi dan peristiwa kenegaraan lainnya.19

Selain itu, berbagai jabatan penting lainnya pernah ia duduki sesuai dengan

bidang keahlian yang dimilikinya. Dalam bidang Ilmu Hadis, pada tahun 748 H/ 1348

M ia menggantikan gurunya yakni Muḥammad ibn Muḥammad al-Żahabī (1284-1348

M), sebagai guru di Turbah Umm Ṣāliḥ dan pada tahun 756 H/ 1355 M, setelah al-

Ḥākim Taqiyuddīn al-Subkī (683-756 H/ 1284-1355 M) wafat ia diangkat menjadi

kepala Dār al-Ḥadīṡ al-Asyrāfiyyah (sebuah lembaga pendidikan hadis). Selanjutnya

pada tahun 768 H/ 1366 M, ia diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali

Buga di Masjid Umayah Damaskus.20

Adapun terkait lembaga-lembaga kajian yang dia pimpin selain yang telah

disebutkan di atas antara lain adalah Madrasah al-Najibiyah, Madrasah al-Tankiziyah

dan Madrasah al-Nuriyah al-Kubra. Madrasah-madrasah ini menjadi rujukan para

pencari ilmu dari berbagai belahan dunia. Sedangkan untuk masjid-masjid yang

17

Khoirul Aziz, “Kata Isrāf dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Penafsiran Prof. Dr. Hamka

dan Ibn Kathir)”, h. 52. 18

A. Rofiq, ed., Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 132. 19

Khoirul Aziz, “Kata Isrāf dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Penafsiran Prof. Dr. Hamka

dan Ibn Kathir)”, h. 52. 20

A. Rofiq, ed., Studi Kitab Tafsir, h. 133.

Page 59: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

45

menjadi sarana pembelajarannya adalah Masjid Jami’ al-Amawi, Masjid Ibnu

Hisyam, Masjid Jami’ Tankiz dan Masjid Jami’ al-Fauqani.21

Salah satu muridnya, Syihābuddin ibn Ḥijjī, memberikan pujian kepada

gurunya tersebut. Ia mengatakan bahwa ia tak pernah menemukan seseorang yang

paling menghafal matan hadis, mengetahui takhrīj dan perawi-perawinya serta ṣoḥīḥ

tidaknya suatu hadis kecuali gurunya tersebut, Ibnu Kaṡīr. Ia juga menjelaskan bahwa

Ibnu Kaṡīr merupakan seorang yang jarang sekali lupa, memiliki kemampuan

memahami yang baik, rasionalitas yang cerdas, ahli dalam kebahasaan dan banyak

membuat sya’ir.

Al-Suyūṭī, mengutip pendapat dari al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar, dalam kitabnya

Ṭabaqāt al-Ḥuffāẓ mengatakan bahwa Ibnu Kaṡīr adalah seorang muhaddiṡ yang

sangatlah cermat dan ahli. Selain itu al-Suyūṭī juga memuji kitab tafsir karangan Ibnu

Kaṡīr dengan mengatakan bahwasanya ia tak pernah menemukan kitab tafsir yang

sebanding dengan kitab tafsir karya Ibn Kaṡir, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm.

Pujian lain juga disampaikan oleh Syamsuddīn ibn Nāṣir. Menurutnya, Ibnu

Kaṡīr adalah ulama yang begitu ahli dalam bidang ilmu hadis, tafsir dan juga sejarah.

Bahkan Syamsuddīn memberikannya sebutan al-Syaikh al-Imām al-‘Allāmah al-Ḥāfiẓ

sebagai bentuk kekagumannya kepada Ibnu Kaṡīr.22

Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwasanya Ibnu Kaṡīr merupakan

seorang yang pakar dalam bidang keilmuan yang ia geluti dan telah banyak

menghasilkan karya tulis yang begitu banyak. Sehingga tak mengherankan apabila ia

21

Ibnu Kaṡīr, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah. Penerjemah Lukman Hakim dkk. (Jakarta: Pustaka

Azzam, 2013), h. 18. 22

Syākir, ‘‘Umdat al-Tafsīr ‘an al-Ḥafiẓ ibn Kaṡīr Mukhtaṣar Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm, h.

25-26.

Page 60: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

46

mendapatkan beberapa gelar dari para ulama. Berikut adalah gelar-gelar yang

diterima oleh Ibnu Kaṡīr:

1. Al-Ḥāfiẓ, yakni orang yang mempunyai kapasitas hafalan 100.000 hadis,

baik matan ataupun sanad.

2. Al-Muḥaddiṡ, orang yang ahli mengenai hadis riwayah dan dirayah, dapat

membedakan cacat atau sehat, mengambilnya dari imam-imamnya, serta

dapat mensohihkan dalam mempelajari dan mengambil faidahnya.

3. Al-Faqīh, gelar bagi ulama yang ahli dalam ilmu hukum Islam namun

tidak sampai pada tingkatan mujtahid.

4. Al-Mu’arrikh, seorang yang ahli dalam bidang sejarah atau sejarawan.

5. Al-Mufassir, seorang yang ahli dalam bidang tafsir yang menguasai

beberapa perangkat berupa ulūm al-Qur’an dan memenuhi syarat-syarat

mufassir.

Namun di antara gelar-gelar tersebut, al-Ḥāfiẓ merupakan gelar yang paling

sering disandingkan pada Ibnu Kaṡīr. Ini terlihat pada penyebutan namanya pada

karya-karyanya atau ketika menyebut pemikirannya.23

Perhatian Ibnu Kaṡīr terhadap ilmu sangatlah besar. Ia mengabdikan seluruh

hidupnya pada ilmu baik itu belajar ataupun berkarya. Salah satu buktinya adalah

pada saat menjelang akhir hayatnya, Ibnu Kaṡīr diberikan cobaan oleh Allah berupa

kehilangan pandangan (buta). Namun hal tersebut tidak membuatnya berhenti untuk

terus berkarya. Ibn al-Juzrī, salah seorang muridnya, berkata bahwa pada saat itu Ibnu

Kaṡīr berkata kepadanya, “Aku masih tetap menulis kitab (Jāmi‘ al-Masānīd) pada

23

Khoirul Aziz, “Kata Isrāf dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Penafsiran Prof. Dr. Hamka

dan Ibn Kathir)”, h. 53-54.

Page 61: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

47

malam hari dengan cahaya yang sangat redup sehingga mengakibatkan pandanganku

semakin melemah”.24

Dalam menjalani kehidupan, Ibnu Kaṡīr didampingi oleh seorang istri

bernama Zainab yang merupakan putri dari gurunya, al-Mizzī.25

Dan pada akhirnya,

ia wafat pada usia 74 tahun tepatnya pada hari kamis26

bulan Sya‘ban27

774 H/

Februari 1373 M di Damaskus.28

Ia dimakamkan di sebelah makam gurunya yakni

Ibn Taimiyah di daerah Sufiyah Damaskus.29

B. Karya-Karya Ibnu Kaṡīr

Sebagai seorang ulama yang terkenal dengan keluasan ilmunya, Ibnu Kaṡīr

pun menuangkan segala pemikiran dan keilmuan dalam bentuk karya tulis. Karyanya

ini cukup banyak sekali dan berbanding lurus dengan keilmuan yang dimilikinya.

Karya-karya tersebut mencakup ke dalam beberapa kategori keilmuan, setidaknya ada

empat kategori yang pernah ia tulis yakni: hadis, sejarah, fiqih dan al-Qur’an.

Adapun karya-karya Ibnu Kaṡīr dalam bidang hadis adalah:

1. Kitāb Jāmi‘ al-Masānid wa al-Sunan. Kitab ini terdiri dari delapan jilid

yang berisi tentang nama-nama sahabat periwayat hadis.

24

Fahmi Hidayatullah, “Golongan Kiri dalam al-Qur’an (Studi terhadap Tafsir Ibn Kathir

dan Tafsir Sayyid Qutb)”, h. 19. 25

Al-Syafi‘ī, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, h. 18. 26

Syākir, ‘‘Umdat al-Tafsīr ‘an al-Ḥafiẓ ibn Kaṡīr Mukhtaṣar Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm, h.

30. 27

Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai pada tanggal berapa tepatnya

beliau meninggal dunia. Setidaknya ada tiga pendapat: pertama, pendapat yang diwakili oleh Ibn

Ḥajar. Ia mengatakan bahwasanya Ibnu Kaṡīr wafat pada tanggal 15 Sya’ban. Pendapat kedua, pada

tanggal 16 Sya’ban. Pendapat ini disampaikan oleh al-Fāsī. Sedangkan pendapat ketiga mengatakan

pada tanggal 26 Sya’ban. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Tagrī Bardī. Lihat Al-Syafi‘ī, Al-Bidāyah

wa al-Nihāyah, h. 21. 28

A. Rofiq, ed., Studi Kitab Tafsir, h. 134. 29

Ini merupakan wasiat yang ia sampaikan sebelum wafat. Lihat Al-Syafi‘ī, Al-Bidāyah wa

al-Nihāyah, h. 21.

Page 62: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

48

2. Al-Takmīl fī Ma’rifah al-Ṡiqāt wa al-Ḍu’afāˋ wa al-Majāhīl. Kitab ini

merupakan gabungan dari dua kitab karya gurunya yakni Tahżīb al-Kamāl

karya al-Mizzī dan Mīzān al-I‘tidāl karya al-Żahabī. Kitab ini terdiri dari

5 jilid.

3. Al-Mukhtaṣar dari kitab Muqaddimah li Ulūm al-Ḥadiṡ karya Ibn Ṣalāḥ.

4. Adillah al-Tanbīh li Ulūm al-Ḥadiṡ atau lebih terkenal dengan nama al-

Bā’iṡ al-Ḥaṡīṡ.

5. Syarāh Ṣaḥīḥ Bukhārī30

6. Musnad al-Farūq Amīr al-Mu’minīn Raḍiyallahu ‘Anhu wa Aqwālihi.

7. Aḥkām al-Kubrā fī al-Ḥadīṡ.

8. Aḥkām al-Ṣugrā fī al-Ḥadīṡ.

Selain itu, karya-karyanya di bidang sejarah sebagai berikut:

1. Qaṣaṣ al-Anbiyā’.

2. Al-Bidāyah wa al-Nihāyah. Dalam kitab ini dijelaskan bahwasanya

sejarah itu dibagi menjadi dua bagian: pertama, sejarah kuno mulai dari

penciptaan sampai masa kenabian Muhammad Saw. kedua, sejarah Islam

mulai periode Nabi Saw. di Mekkah hingga pertengahan abad ke-8 H.

3. Al-Sīrah al-Nabawiyah. Tapi kitab ini, sebagaimana disebutkan oleh

pengarang kitab ‘Umdat al-Tafsīr, tidak ditemukan wujudnya. Akan

tetapi, Ibnu Kaṡīr mengisyaratkannya ketika ia menafsirkan surah al-

Aḥzāb ayat 7.

4. Al-Fuṣūl fi Sīrah al-Rasūl.

5. Ṭabaqāt al-Syāfi‘iyyah.

30

Namun dikabarkan bahwasanya kitab ini tidak sampai selesai dikarang olehnya. Menurut

kabar yang beredar, kitab ini dilanjutkan oleh Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī dengan kitab Fatḥ al-Bārī-nya.

Lihat A. Rofiq, ed., Studi Kitab Tafsir, h. 134.

Page 63: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

49

6. al-Wāḍiḥ al-nafīs fi Manāqib al-Imam Muḥammad ibn Idrīs atau Manāqib

al-Imām al-Syāfi‘i.

Sedangkan karya-karya Ibnu Kaṡīr di bidang fiqih adalah:

1. Kitāb al-Ijhād fī Ṭalab al-Jihād (1368-1369 M).

2. Kitab Kabīr fī al-Aḥkām.

3. Kitāb Aḥkām ‘ala Abwāb al-Tanbīh. Kitab ini merupakan kitab yang

berisi komentar Ibnu Kaṡīr terhadap kitab al-Tanbīh karya al-Syairāzī.

Dan karya-karya Ibnu Kaṡīr di bidang al-Qur’an sebagai berikut:

1. Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm atau biasa dikenal dengan Tafsīr Ibn Kaṡir.

2. Faḍāˋil al-Qur’an.

3. Qā’idah Ibn Kaṡīr fī al-Qirā’ah. Kitab ini belum tercetak.

4. Muqaddimah fi Qirā’ah Ibn Kaṡīr. Kitab ini pun belum tercetak.31

C. Profil Kitab Tafsīr Ibnu Kaṡīr

Telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya bahwasanya Ibnu Kaṡīr

mendapatkan gelar mufassir dari ulama selain dikarenakan keahliannya pada bidang

‘ulūm al-Qur’an. Hal tersebut juga disebabkan karya terbesarnya pada bidang ini

yakni Tafsīr Ibnu Kaṡīr. Sebagaimana umumnya sebuah karya tulis, tentunya ia

memiliki metode dan ciri khas tersendiri dalam penulisannya. Pada bidang tafsir

dikenal beberapa metode penulisan dan corak dari suatu kitab tafsir. Oleh karena itu,

31

Kitab-kitab ini merupakan hasil penelusuran penulis dari beberapa literatur. Lihat Al-

Syafi‘ī, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, h. 21-23; Lihat juga Syākir, ‘‘Umdat al-Tafsīr ‘an al-Ḥafiẓ ibn

Kaṡīr Mukhtaṣar Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm, h. 30-32; Lihat juga A. Rofiq, ed., Studi Kitab Tafsir, h.

133-134; Lihat juga Fahmi Hidayatullah, “Golongan Kiri dalam al-Qur’an (Studi terhadap Tafsir Ibn

Kathir dan Tafsir Sayyid Qutb)”, h. 21-22; dan lihat juga Umar Said, “Etika Suami yang Baik dalam

al-Quran (Studi Komparatif Tafsir al-Baghawi dan Tafsir Ibn Katsir)”, h. 75.

Page 64: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

50

pada pembahasan kali ini penulis menguraikan hal-hal terkait profil, metode penulisan

dan corak dari karya Ibnu Kaṡīr ini.

1. Tentang Tafsīr Ibnu Kaṡīr

Mengenai nama kitab tafsir yang dikarang oleh Ibnu Kaṡīr ini, tidak ada

data yang dapat memastikan berasal dari pengarangnya. Hal ini dikarenakan

Ibnu Kaṡīr sendiri tidak menyebutkan nama kitab tafsirnya tersebut dalam

berbagai karyanya. Padahal untuk karya-karyanya yang lain Ibnu Kaṡīr

menyebutkannya. Hal serupa juga ditemukan dalam kitab-kitab biografi yang

disusun oleh ulama klasik, dimana mereka juga tidak menyebutkan nama dari

karyanya ini. Akan tetapi oleh Muḥammad Ḥusain al-Żahabī dan Muḥammad

‘Alī al-Ṣābūnī, kitab tafsir karya Ibnu Kaṡīr ini diberi nama Tafsīr al-Qur’an

al-‘Aẓīm. Ada juga yang menamainya dengan menisbatkan kepada

pengarangnya, Tafsīr Ibnu Kaṡīr.32

Dan penulis cenderung untuk

menggunakan pendapat kedua. Hal ini dikarenakan dengan dinisbatkannya

kepada pengarang akan memudahkan dalam membedakannya dengan kitab

tafsir lainnya.

Kitab Tafsīr Ibnu Kaṡīr telah dicetak berulang kali. Ia pertama kali dicetak

pada tahun 1302 H oleh penerbit Bulaq, Kairo, yang mana pinggirnya

(ḥāsyiyah) adalah kitab Fatḥ al-Bayān fī Maqāṣid al-Qur’ān. Selanjutnya

dicetak lagi pada tahun 1342 H dengan ḥāsyiyah kitab tafsir Ma‘ālim al-Tanzīl

karya al-Bagawī.33

Kitab tafsir ini disusun berdasarkan tartīb muṣḥafi yakni susunan ayat-

ayat dan surat-surat yang terdapat dalam mushaf al-Qur’an. Pada umumnya

32

Lihat A. Rofiq, ed., Studi Kitab Tafsir, h. 135. 33

A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer), h. 118.

Page 65: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

51

kitab Tafsīr Ibnu Kaṡīr berjumlah empat jilid. Dan untuk rinciannya sebagai

berikut; jilid 1 berisi tafsir surat al-Fātiḥah s.d al-Nisā’, jilid II berisi tafsir

surat al-Mā’idah s.d al-Naḥl, jilid III berisi tafsir surat al-Isrā’ s.d Yāsīn, dan

jilid IV berisi tafsir surat al-Ṣāffāt s.d al-Nās.34

Banyak ulama yang telah menyunting dan meringkas terhadap kitab tafsir

ini, di antaranya adalah Aḥmad Syākir dengan kitab ‘Umdat al-Tafsīr ‘an al-

Ḥafiẓ Ibn Kaṡīr Mukhtaṣar Tafsīr al-Qurˋan al-‘Aẓīm, Muḥammad ‘Alī al-

Ṣābūnī dengan kitab Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡīr35

, ‘Afīf al-Dīn ibn Sa’ī

dengan kitabnya al-Durr al-Munīr: al-Mulakhkhaṣ min Tafsīr Ibn Kaṡīr, dan

Muḥammad Karīm Rajih dengan kitabnya Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡīr36

.

Husnul Hakim dalam karyanya Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan

Kitab-Kitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer) mengatakan:

“Pada bab mukaddimahnya, Ibnu Kaṡīr menjelaskan terlebih dahulu

sekitar keutamaan-keutamaan dan ilmu-ilmu al-Qur’an, kemudian

menjelaskan tentang teknik atau metodologi penafsiran yang benar,

cara pengambilan dallil yang bersumber dari ahli kitab dan

disinggung juga tentang ‘ulūm al-Qur’ān, seperti makkiyah

madaniyah, jumlah ayat, makna surat dan ayat. Akan tetapi dalam

bab mukadimah ini, Ibnu Kaṡīr banyak mengutip pendapat gurunya,

Ibn Taimiyah. Beliau juga banyak mendasarkan penafsirannya

kepada kitab-kitab tafsir sebelumnya, seperti al-Ṭabarī, Ibn Abī

Ḥātim dan Ibn ‘Āṭiyah (al-Muḥarrar al-Wajīz).37

2. Metode dan Corak Tafsīr Ibnu Kaṡīr

Kitab ini termasuk ke dalam kategori salah satu kitab tafsīr bil ma’ṡūr38

Dari sudut ini, Tafsīr Ibnu Kaṡīr dikenal sebagai sebagai kitab tafsīr bil ma’ṡūr

34

A. Rofiq, ed., Studi Kitab Tafsir, h. 136. 35

Umar Said, “Etika Suami yang Baik dalam Al-Quran (Studi Komparatif Tafsir al-Baghawi

dan Tafsir Ibn Katsir)”, h. 76. 36

A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer), h. 122. 37

A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer), h. 119. 38

Menurut Quraish Shihab, Tafsīr bil Ma’ṡūr adalah suatu cara dalam memahami al-Qur’an

dengan merujuk kepada riwayat. Tafsīr bil Ma’ṡūr terdiri dari penafsiran ayat dengan ayat al-Qur’an

Page 66: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

52

terbesar kedua setelah kitab Tafsīr al-Ṭabarī.39

Namun dibandingkan dengan

pendahulunya tersebut, Tafsīr Ibnu Kaṡīr memiliki beberapa aspek

keistimewaan seperti dalam ketelitian sanadnya, kesederhanaan ungkapannya

dan kejelasan ide pemikirannya.40

Dapat dikatakan pula bahwa dalam tafsir ini yang paling dominan adalah

pendekatan normatif-historis yang berbasis utama kepada hadis/riwayat.

Namun demikian, bukan berarti Ibnu Kaṡīr tidak menggunakan akalnya dalam

menafsirkan suatu ayat. Karena ia pun terkadang melakukan hal tersebut.41

Sehingga bisa disebut sebenarnya kitab tafsir ini merupakan kolaborasi

antara tafsīr bil ma’ṡūr dengan tafsīr bil ra’yi42

. Ini dibuktikan dengan adanya

ijtihad Ibnu Kaṡīr ketika menemukan riwayat yang bervariasi dan terkadang

kontradiktif. Kemudian olehnya riwayat-riwayat tersebut dikompromikan atau

ditarjih. Dan untuk pengkategorian tafsir ini ke dalam tafsīr bil ma’ṡūr

disebabkan dominannya unsur riwayat di dalamnya.43

Adapun metode (manhaj) yang digunakan oleh Ibnu Kaṡīr dalam

menafsirkan al-Qur’an adalah metode taḥlīlī (metode analitis). Karena

pengarangnya menafsirkan ayat demi ayat secara analitis sesuai dengan urutan

yang lain, penafsiran ayat dengan keterangan Rasul saw., dan penafsiran ayat dengan keterangan

sahabat-sahabat Nabi saw. Lihat M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Cet. Pertama (Tangerang: Lentera

Hati, 2013), h. 349-351; Sedangkan menurut Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, Tafsīr bil Ma’ṡūr adalah

penafsiran yang berdasarkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, dengan hadis Nabi saw., perkataan

sahabat dan juga tabiin, tabi’ tabiin termasuk dalam kerangka tafsir riwayat meskipun mereka tidak

secara langsung menerima tafsir dari Rasulullah saw. Lihat Muḥammad Ḥusain al-Żahabī, Tafsīr wa

al-Mufassirūn (Mesir: Dār al-Kutub wa al-Ḥadīṡ, 1996), h. 45. 39

A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab Tafsir dari

Masa Klasik sampai Masa Kontemporer), h. 118-119. 40

A. Rofiq, ed., Studi Kitab Tafsir, h. 147-148.. 41

A. Rofiq, ed., Studi Kitab Tafsir, h. 138. 42

Tafsīr bil ra’yi adalah tafsir yang dalam menjelaskan makna suatu ayat, seorang mufassir

hanya berpegang pada pemahamannya sendiri dan pengambilan kesimpulannya pun juga didasarkan

pada logika. Lihat Mannā‘ al-Qaṭṭān, Mabāhiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 351. 43

Umar Said, “Etika Suami yang Baik dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir al-Baghawi

dan Tafsir Ibn Katsir)”, h. 77.

Page 67: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

53

mushaf al-Qur’an44

. Meski demikian, penafsiran dalam kitab ini pun juga ada

yang mengatakan sebagai kitab tafsir semi tematik. Hal ini dikarenakan Ibnu

Kaṡīr ketika menafsirkan ayat-ayat yang masih satu tema pembahasan ke

dalam satu tempat, kemudian ia menampilkan ayat-ayat lain yang terkait untuk

menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan tersebut.45

Bahkan ada juga yang

memasukkannya ke dalam kategori kitab tafsir yang menggunakan metode

muqārin karena ketika menafsirkan Ibnu Kaṡīr membandingkan satu ayat

dengan ayat yang lainnya.46

Meskipun begitu, metode taḥlīlī lebih tepat untuk

disandarkan pada kitab Tafsīr Ibnu Kaṡīr ini. Hal ini dikarenakan Ibnu Kaṡīr

dalam menafsirkan suatu ayat menjelaskannya dengan sesuai dengan urutan

mushaf dan menguraikannya dengan menyangkut berbagai aspek. Sehingga

ketika ia membutuhkan penjelasan dari ayat lain ada yang mengatakannya

semi tematik. Begitupun bagi yang mengatakan ia menggunakan metode

muqārin.

Di samping itu, dalam Tafsīr Ibnu Kaṡīr terdapat beberapa corak tafsir.

Hal ini dipengaruhi dari beberapa bidang kedisiplinan ilmu yang dimiliki Ibnu

Kaṡīr. Adapun corak-corak tafsir yang ditemukan dalam karyanya tersebut

yaitu corak fiqh, corak ra’yi, dan corak qirā’at.47

Dari uraian di atas, menunjukkan bahwasanya Tafsīr Ibnu Kaṡīr

merupakan salah satu karya terbesarnya yang hingga saat ini tetap digunakan

oleh sebagian masyarakat sebagai bahan kajian dan sumber rujukan penting.

44

Metode ini memiliki beragam jenis kecenderungan yang ditekankan dalam penafsirannya

tergantung pada keahlian dari mufassir tersebut, ada yang bersifat kebahasaan, hukum, sosial budaya,

filsafat/sains dan ilmu pengetahuan, tasawuf/isyāry dan lain-lain. Lihat M. Quraish Shihab, Kaidah

Tafsir, h. 378. 45

A. Rofiq, ed., Studi Kitab Tafsir, h. 138. 46

Lihat Umar Said, “Etika Suami yang Baik dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir al-

Baghawi dan Tafsir Ibn Katsir)”, h. 77. 47

Khoirul Aziz, “Kata Isrāf dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Penafsiran Prof. Dr. Hamka

dan Ibn Kathir)”, 60.

Page 68: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

54

Hal ini disebabkan tafsirnya tersebut dianggap masih relevan untuk dikaji dan

diambil manfaatnya. Dan penulis berasumsi bahwa anggapan tersebut muncul

dikarenakan metode tafsir yang digunakan oleh Ibnu Kaṡīr. Dimana ia

menggunakan tafsīr bi al-riwāyah sebagai rujukan utama dan sesekali juga

dengan tafsīr bi al-dirāyah ketika dibutuhkan.

Page 69: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

55

BAB IV

PENAFSIRAN IBNU KAṠĪR TERHADAP FRASE MĀ MALAKAT

AIMĀNUKUM

Telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya pemaknaan frase mā malakat

aimānukum memiliki perbedaan makna di antara para pengkaji al-Qur‟an. Penulis

berasumsi perbedaan tersebut tidak lepas dari sudut pandang mereka dalam

memahami frase mā malakat aimānukum. Sehingga muncul beragam pemaknaan

terhadap frase tersebut. Oleh karena itu, dalam bab ini penulis akan menganalisis

keterkaitan dari istilah perbudakan dalam al-Qur‟an serta pemaknaan frase mā

malakat aimānukum dalam al-Qur‟an berdasarkan perspektif Ibnu Kaṡīr dalam kitab

tafsirnya, yakni Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm. Pada bab ini penulis juga mencantumkan

pendapat-pendapat ulama lain guna melihat posisi Ibnu Kaṡīr dalam menafsirkan frase

tersebut.

A. Keterkaitan Istilah Perbudakan dalam Al-Qur’an

Pada bab II kajian skripsi ini, penulis telah memaparkan data-data mengenai

istilah-istilah yang digunakan oleh al-Qur‟an guna menunjukkan budak/perbudakan.

Istilah-istilah tersebut adalah ‘abd, amat, raqabah/ riqāb dan juga mā malakat

aimānukum. Setiap istilah tersebut memiliki maknanya masing-masing yang berbeda

satu dengan yang lainnya.

Lafaz ‘abd misalnya. Lafaz ini menjadi satu-satunya lafaz yang mengandung

makna kontradiktif dalam lafaz tersebut. Karena lafaz ‘abd di satu sisi bisa bermakna

Page 70: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

56

orang merdeka namun di sisi lain juga memiliki makna budak.1 Perbedaan makna

tersebut menurut penulis menjadikan lafaz ini bermakna umum, tidak hanya pada satu

golongan saja.

Ditambah dengan bukti bahwa lafaz ini dalam al-Qur‟an selain disebutkan

untuk menunjukkan seorang hamba yang beribadah kepada tuhannya, Allah swt.

sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Furqān [25]: 63. Tetapi juga digunakan untuk

menunjukkan makna seorang budak manusia seperti dalam Q.S. al-Naḥl [16]: 75.

Maka tidak mengherankan apabila lafaz ‘abd terulang sebanyak 131 kali2 dalam al-

Qur‟an dikarenakan keumuman yang dikandungnya.

Akan tetapi, jika diteliti lebih jauh pemaknaan lafaz ‘abd ternyata tidak selalu

bermakna umum. Buktinya adalah penulis menemukan lafaz ‘abd dimaknai dengan

lebih spesifik yakni seperti ketika lafaz ‘abd disebutkan bersamaan dengan lafaz amat

yang bermakna budak perempuan maka maknanya menjadi budak laki-laki.

Penyebutannya secara berbarengan dengan lafaz amat dalam al-Qur‟an terulang

sebanyak dua kali.3 Dan keduanya itu berbicara tentang pernikahan. Penulis

berasumsi bahwa al-Qur‟an pada kedua ayat tersebut ingin menegaskan bahwasanya

baik orang merdeka ataupun budak memiliki hak untuk menikah. Oleh karena itu, al-

Qur‟an menggunakan kedua lafaz tersebut. Hal ini disebabkan pula bahwa lafaz amat

memiliki makna yang tidak terbatas pada makna budak perempuan sesama manusia

saja. Tetapi juga mengandung makna bahwa ia merupakan seorang perempuan

merdeka yang menjadi hamba Allah.

1 Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab, Jilid 4 (Kairo: Dār al-Ma„ārif, 1119), h. 2776.

2 Muhammad Fu‟ād „Abdul Bāqī, Al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm (T.tp.:

Dārul Kutub al-Miṣriyyah, 1346 H), h. 443-445. 3 Yakni dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 221 dan Q.S. al-Nūr [24]: 32.

Page 71: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

57

Sedangkan untuk lafaz raqabah atau riqāb telah penulis uraikan sedikit di

akhir Bab II skripsi ini. Dimana lafaz raqabah yang merupakan bentuk mufrod dari

lafaz riqāb bermakna dasar al-‘unuq yakni leher.4 Sependapat dengan Quraish Shihab,

menurut penulis pergeseran makna raqabah menjadi makna budak dikarenakan pada

zaman dahulu seorang budak ketika ditawan tangan mereka dibelenggu dengan

mengikat ke lehernya mereka.5 Atau penulis juga berasumsi bahwa raqabah dimaknai

dengan dikarenakan seorang budak berada dalam penjagaan, kawalan dan

pengawasan majikannya. Hal ini sesuai dengan makna lain dari lafaz raqabah yakni

menjaga, mengawal dan mengawasi.6

Selain itu, jika teliti lebih jauh mengenai penggunaan lafaz raqabah atau riqāb

maka penulis kembali menemukan bahwasanya al-Qur‟an semakin menunjukkan

keistimewaannya dari segi ketepatan penempatan suatu lafaz dalam suatu

pembahasan. Hal ini terbukti dari lafaz raqabah dan riqāb. Dimana setiap ayat yang

terdapat lafaz raqabah atau riqāb mengandung perintah untuk membebaskan

perbudakan.7 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa raqabah adalah budak

yang berada dalam belenggu tuannya. Sehingga sesuai dengan kandungan ayat yang

memerintahkan untuk membebaskan belenggu yang mengikat para budak tersebut.

Adapun untuk frase mā malakat aimānukum yang menjadi fokus kajian ini

merupakan satu-satunya istilah perbudakan yang penulis temukan berupa jumlah

4 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997), h. 520. 5 M. Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāḥ: Pesan, Kesan, dan Keserasian dalam Al-Qur’an,

Vol. 5, h. 144-145. 6 Pemaknaan tersebut dapat ditemukan dalam Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-

Indonesia, h. 519. 7 Pembebasan perbudakan tersebut menggunakan berbagai cara yakni dengan bentuk sanksi

atas berbagai kesalahan seperti memerdekakan budak sebagai sanksi pembunuhan (Q.S. al- Nisā‟ [4]:

92), sanksi atas pelanggaran sumpah (Q.S. al- Mā‟idah [5]: 89) dan sanksi ẓihār (Q.S. al-Mujādalah

[58]: 3) dan juga tindakan menjadikan pembebasan budak sebagai bentuk al-birr (kebajikan) (Q.S. al-

Baqarah [2]: 177) dan menjadikannya pula bagian dari aṣnāf al-zakāh (Q.S. al-Taubah [9]: 60).

Page 72: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

58

fi’liyyah. Dan jumlah tersebut terdiri dari dua lafaz yakni malaka dan yamīn. Malaka

artinya memiliki dan yamīn maknanya arah kanan ataupun sumpah dan juga

kekuatan.8 Penulis sependapat dengan ulama yang mengatakan bahwa lafaz yamīn

dimaknai dengan sumpah dikarenakan kebiasaan masyarakat pada saat itu ketika

orang bersumpah akan saling berjabat tangan kanannya sebagai bentuk kesepakatan.9

Dan ini berkaitan dengan makna yamīn yang dimaknai tangan kanan.

Penulis menemukan pemaknaan yang berbeda mengenai lafaz yamīn yakni

lafaz tersebut dimaknai dengan budak. Seperti yang dikemukakan oleh Al-Aṣfahānī

yang mengatakan bahwasanya kepemilikan budak dalam al-Qur‟an disebutkan dengan

lafaz tersebut.10

Setelah ditelusuri hal tersebut karena budak berada di bawah kuasa

tuannya atau tidak memiliki kekuatan atas dirinya. Dan juga beberapa di antara

mereka menjadi budak karena berada di bawah sumpah untuk patuh melakukan segala

perintah tuannya. Asumsi penulis atas dasar itulah ulama memaknai mā malakat

aimānukum dengan budak. Dan ulama-ulama yang memaknai mā malakat aimānukum

dengan budak di antaranya adalah Al-Marāgī dan „Alī al-Ṣābūnī.

Al-Tīnāwī memiliki pemaknaannya sendiri mengenai frase mā malakat

aimānukum. Ia memaknai frase tersebut dengan sumpah terhadap segala sesuatu yang

dimiliki dimana ada kesepakatan antara dua belah pihak. Dan menurut penulis

kesepakatan tersebut masih ada kaitannya dengan sumpah yang merupakan

kesepakatan antara orang yang bersumpah. Pemaknaan yang dilakukan oleh al-Tīnāwī

ini didasari pada pemahamannya terhadap lafaz aimān. Dimana menurutnya lafaz

8 Majma‟ al-Lugah al-„Arabiyyah, Mu‘jam al-Wāsiṭ, Cet. Keempat (Mesir: Maktabah Syurūq

al-Dauliyyah, 2004), h. 1067. 9 M. Quraish Shihab dkk., Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997), h. 415.

10 Rāgib al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān, h. 775.

Page 73: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

59

aimān adalah jamak dari yamīn yang dimaknainya dengan sumpah.11

Penulis sepakat

dengan pendapatnya tersebut akan tetapi ada hal yang menurut penulis kurang tepat

dari yang dilakukannya. Menurut penulis, ia hanya terfokus pada makna tekstual lafaz

yamīn dengan tanpa memperhatikan bahwasanya jika dikaji lebih lanjut maknanya

dapat berkembang menjadi budak.

B. Tema-Tema Ayat Frase Mā Malakat Aimānukum

Frase mā malakat aimānukum dan derivasinya dalam al-Qur‟an, sebagaimana

telah disebutkan sebelumnya, terulang sebanyak 15 kali dengan rincian tersebar dalam

14 ayat dan 7 surat. Dan frase tersebut mencakup dalam delapan tema pembahasan,

yakni pernikahan, menjaga kemaluan, kebolehan berhias, berbuat baik, meminta izin,

menampakkan diri, rezeki dan perjanjian dengan budak.

Berikut akan dipaparkan penafsiran Ibnu Kaṡīr mengenai frase tersebut

berdasarkan tema pembahasan:

1. Pernikahan

Frase mā malakat aimānukum pada pembahasan ini tersebar dalam enam

ayat yakni Q.S. al-Nisā‟ [4]: 3, 24, 25 dan Q.S. al-Aḥzāb [33]: 50, 52. Adapun

dalam Q.S. al-Nisā‟ [4]: 3 yang berbunyi;

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan

11

Muḥammad „Alī al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum (Damaskus: Al-Ahālā li al-Ṭabā„ah

wa al-Nasyr wa al-Tauzī„, 2011), h. 20-21

Page 74: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

60

(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir

tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba

sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar

kamu tidak berbuat zalim.”

Ibnu Kaṡīr menafsirkan frase tersebut dengan menggunakan lafaz al-

jawārī al-sarārī.12

Pemaknaan tersebut selaras dengan yang disampaikan oleh

al-Ṭabarī. Dimana ia juga memaknainya dengan al-sarārī.13

Akan tetapi

berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ibnu „Abbās14

dan al-Qurṭubī15

. Oleh

keduanya, frase mā malakat aimānukum dimaknai dengan menggunakan lafaz

al-amat16

.

Sedangkan pada Q.S. al-Nisā‟ [4]: 24,

12

Imāduddīn Abū al-Fidā‟ Ismā„īl ibn Kaṡīr al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 3

(Kairo: Mu‟assisah Qurṭubah, 2000), h. 347: Lafaz al-jawārī merupakan bentuk jamak dari lafaz al-

jāriyah yang maknanya adalah budak perempuan. Lihat Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir

Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 188.

Sedangkan pemaknaan lafaz al-sarārī berasal dari dua huruf asal yakni sīn dan rā’ yang

bermakna menyembunyikan sesuatu. Lihat Abū Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakāriya, Mu‘jam

Maqāyis al-Lugah, Jilid 3 (T.Tp.: Dār al-Fikr, 1979), h. 67; Lafaz al-sarārī merupakan jamak dari lafaz

al-surriyyah yang bermakna budak perempuan yang dijadikan untuk dimiliki dan digunakan untuk

berhubungan badan (jimā’). Ahli bahasa berbeda pendapat mengapa al-surriyyah diartikan sebagai

seorang budak perempuan yang dipergundik oleh tuannya? Sebagian mengatakan bahwa hal ini

dinisbatkan kepada al-sirr (dalam hal ini dimaknai jimā’). Sedangkan Abū al-Haiṡam berpendapat ini

didasari pada makna al-sirr yakni al-surūr (kebahagiaan). Dimana budak wanita tersebut merupakan

tempat kebahagiaan bagi laki-laki (tuannya). Dan inilah pendapat yang paling benar. Lihat Ibnu

Manẓūr, Lisān al-‘Arab, Jilid 3 (Kairo: Dār al-Ma„ārif, 1119), h.1989-1990. 13

Muḥammad ibn Jarīr ibn Yazīd ibn Kaṡīr ibn Gālib al-Āmalī Abū Ja„far al-Ṭabarī, Jāmi’ al-

Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jilid 7 (t.tp: Mu‟assasah al-Risālah, 2000), h. 548. 14

„Abdullah ibn „Abbās, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās (Libanon: Dār al-Kutub al-

„ilmiyyah, t.t.), h. 64. 15

„Abū „Abdillah Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī Bakr ibn Farraḥ al-Anṣārī al-Khazrajī

Syamsuddīn al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid 5 (Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah,

1964), h. 20. 16

Penjelasan mengenai makna lafaz al-amat telah penulis uraikan di Bab II kajian ini.

Page 75: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

61

“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali

hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai

ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-

perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk

menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu

dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu

kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling

merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,

Mahabijaksana.”

Ibnu Kaṡīr mengemukakan pendapatnya terlebih dahulu dengan

menafsirkan frase tersebut menggunakan mā malaktumūhunna bi al-sabyi17

(wanita yang kamu miliki sebab tawanan). Pendapatnya tersebut kemudian

dikuatkan dengan riwayat-riwayat yang dicantumkannya setelah

penjelasannya tersebut. Riwayat-riwayat tersebut di antaranya disampaikan

oleh Imām Aḥmad, Imām al-Tirmiżī, Imām al-Nasā‟ī, Ibnu Mājah dan Imām

Muslim.

Dalam riwayat tersebut diceritakan bahwasanya Abū Sa„īd al-Khudrī

bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai tawanan wanita yang mereka

dapatkan dari perang Autas. Mereka ingin menggaulinya akan tetapi tawanan

perang tersebut masih memiliki suami. Lalu turunlah ayat ini dan halallah

mereka untuk digauli.18

17

Lafaz al-sabyu berasal dari tiga huruf yakni sīn, bā’, dan yā’ yang menunjukkan pada

makna mengambil sesuatu dari suatu negara dengan paksaan (baca: merampas). Lihat Abū Ḥusain

Aḥmad ibn Fāris ibn Zakāriya, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah, Jilid 3, h. 130; Al-Sabyu juga diartikan

dengan rampasan dan menjadikan manusia sebagai seorang budak laki-laki atau perempuan („abīd dan

imā’). Dikatakan pula bahwa al-Sabyu hanya dikhususkan untuk perempuan saja karena mereka ketika

dirampas/ditawan maka mereka akan dimiliki si penawan. Dan hal ini tidak berlaku bagi laki-laki.

Lihat Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab, Jilid 3, h. 1932. 18

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 3, h. 424.

Page 76: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

62

Pendapatnya ini selaras dengan pendahulunya yakni Ibnu „Abbās19

, al-

Ṭabarī20

dan al-Qurṭubī21

yang juga menafsirkan frase mā malakat aimānukum

pada Q.S. al-Nisā‟ [4]: 24 dengan al-sabyu.

Adapun penafsiran Ibnu Kaṡīr pada Q.S. al-Nisā‟ [4]: 25,

“Dan barang siapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi

perempuan merdeka yang beriman,maka (dihalalkan menikahi perempuan)

yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui

keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama

keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan

berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-

perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan

yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah

berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka

(hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan

merdeka (yang tidak bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu,

adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri

(dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah

Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

terhadap frase tersebut adalah al-imā’ al-mu’mināt yang dimiliki oleh orang

mukmin. Kemudian dia menyebutkan pendapat Ibnu „Abbās dan lainnya yang

19

Ibnu „Abbās, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās, h. 68. 20

Al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jilid 8, h. 151. 21

Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid 5, h. 121.

Page 77: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

63

memerintahkan untuk menikahi budak perempuan milik orang mukmin.

Pendapat tersebut juga dikemukakan oleh al-Saddī dan Muqātil ibn Ḥayyān.22

Sedangkan Ibnu „Abbās dalam kitab Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās

menafsirkan frase ini dengan term lain yakni al-walīd23

yang maknanya juga

budak/ hamba sahaya24

.

Selanjutnya frase mā malakat aimānukum yang terdapat dalam Q.S. al-

Aḥzāb [33]: 50;

“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu

yang telah engkau berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang engkau

miliki, termasuk apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang

dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari

saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan

bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak

perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan

perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi ingin

menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.

Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-

22

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 3, h. 430. 23

Ibnu „Abbās, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās, h. 68; Penulis berasumsi pendapat

Ibnu „Abbās yang digunakan oleh Ibnu Kaṡīr tersebut adalah pendapat Ibnu „Abbās yang lain. Dan

bukan berdasarkan penafsirannya terhadap frase tersebut. 24

Oleh Munawwir, lafaz al-walīd disinonimkan dengan lafaz al-‘abd. Lihat Munawwir, Al-

Munawwir Kamus Arab-Indonesia, h. 1580.

Page 78: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

64

istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki agar tidak menjadi

kesempitan bagimu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat ini merupakan ayat yang berkaitan khusus dengan Nabi Muḥammad

saw. Frase tersebut dalam ayat ini terulang sebanyak dua kali. Pada

penyebutan yang pertama, Ibnu Kaṡīr menggunakan lafaz al-sarārī untuk

menjelaskan maksudnya. Pendapatnya tersebut kemudian dikuatkan dengan

memaparkan bahwa Raiḥanah binti Syam„ūn al-Naḍriyyah dan Māriyah al-

Qibṭiyyah adalah al-sarārī yang kemudian oleh Nabi saw. dijadikan sebagai

istri.25

Pendapatnya tersebut serupa dengan pendapat al-Qurṭubī yang juga

memaknainya dengan al-sarārī.26

Namun pendapat berbeda dikemukakan oleh

al-Ṭabarī. Menurutnya frase mā malakat aimānukum pada ayat ini bermakna

al-sabyu.27

Dan Ibnu „Abbās justru memaknainya lebih khusus lagi. Ia

menafsirkan frase ini dengan menyebutkan Māriyah al-Qibṭiyyah.28

Sedangkan pada penyebutan yang kedua, Ibnu Kaṡīr mengutip riwayat

yang disampaikan oleh Abī ibn Ka„ab, Mujāhid, al-Ḥasan, Qatādah dan Ibnu

Jarīr mengenai penjelasan dari potongan ayat:

“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada

mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki”

Dalam riwayat ini frase mā malakat aimānukum dijelaskan dengan lafaz

al-amat.29

25

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 11, h. 190. 26

Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid 14, h. 207. 27

Al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jilid 20, h. 285. 28

Ibnu „Abbās, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās, h. 355. 29

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 11, h. 194.

Page 79: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

65

Sedangkan pada Q.S. al-Aḥzāb [33]: 52;

“Tidak halal bagimu (Muhammad) menikahi perempuan-perempuan (lain)

setelah itu, dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang

lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan

(hamba sahaya) yang engkau miliki. Dan Allah Maha Mengawasi segala

sesuatu.”

Ibnu Kaṡīr menyebutkan dua lafaz secara berurutan yakni al-imā’ wa al-

sarārī untuk menjelaskan maksud dari mā malakat aimānukum.30

Sedangkan

al-Ṭabarī31

dan al-Qurṭubī32

memaknainya hanya dengan menggunakan term

al-amat.

Dari keseluruhan makna di atas mengenai frase mā malakat aimānukum

atas tema pernikahan terdapat pemaknaan yang jauh berbeda. Pemaknaan

tersebut disampaikan oleh Muḥammad „Ali Al-Tīnāwī. Menurutnya

pemaknaan mā malakat aimānukum dalam tema pernikahan adalah nikah

bersyarat. Seperti yang terdapat dalam Q.S. al-Nisā‟ [4]: 3.33

2. Menjaga Kemaluan

Tema ini terdapat dalam dua ayat yakni Q.S. al-Mu‟minūn [23]: 6 dan

Q.S. al-Ma„ārij [70]: 30. Dalam Q.S. al-Mu‟minūn [23]: 6;

30

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 11, h. 197. 31

Al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jilid 20, h. 304. 32

Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid 14, h. 222. 33

Lihat Muḥammad „Alī al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum (Damaskus: Al-Ahālā li al-

Ṭabā„ah wa al-Nasyr wa al-Tauzī„, 2011), h. 49; Nikah bersyarat yakni suatu akad nikah yang mana

dalam akad tersebut terdapat syarat yang telah disepakati dan ditentukan oleh kedua belah pihak. Untuk

selengkapnya lihat al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum, h. 65.

Page 80: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

66

“Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki,

maka sesungguhnya mereka tidak tercela.”

frase mā malakat aimānukum ditafsirkan oleh Ibnu Kaṡīr dengan al-sarārī.34

Dan penafsirannya ini berbeda dengan Ibnu „Abbās, al-Ṭabarī dan juga al-

Qurṭubī. Masing-masing secara berurutan memahami frase tersebut dengan al-

walīd35

dan al-amat36

.

Penjelasan berbeda disampaikan oleh Ibnu Kaṡīr ketika menafsirkan frase

ini dalam Q.S. al-Ma„ārij [70]: 30;

“Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki

maka sesungguhnya mereka tidak tercela.”

dimana ia menafsirkannya dengan lafaz al-imā’.37

Pendapat yang berbeda diberikan oleh al-Tīnāwī. Pemaknaannya terhadap

tema ini pun sama dengan tema pernikahan. Dimana frase mā malakat

aimānukum juga dipahami dengan nikah bersyarat.38

3. Kebolehan Berhias

Terdapat hanya dalam satu ayat yakni Q.S. al-Nūr [24]: 31;

34

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 10, h. 109. 35

Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu „Abbas. Lihat Ibnu „Abbās, Tanwīr al-Miqbās min

Tafsīr Ibn ‘Abbās, h. 285. 36

Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī dalam kitab tafsir keduanya.

Lihat Al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jilid 19, h. 10; dan lihat juga Al-Qurṭubī, Al-

Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid 12, h. 106. 37

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 14, h. 134. 38

Al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum, h. 46-47.

Page 81: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

67

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga

pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan

perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka

menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan

perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau

ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka,

atau saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau

putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam)

mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki

(tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak

yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka

menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.

Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman,

agar kamu beruntung.”

Pada ayat ini Ibnu Kaṡīr menjelaskan makna mā malakat aimānukum

dengan mengutip dua pendapat yang berbeda. Pertama, pendapat yang

diutarakan oleh Ibn Juraij. Ia mengatakan bahwa makna mā malakat

aimānukum adalah al-amat. Sedangkan pendapat kedua menyebutkan al-

raqīq39

baik itu dari golongan laki-laki ataupun perempuan. Kemudian ia

memaparkan hadis yang mendukung pendapat kedua. Hadis ini berbicara

39

Lafaz al-raqīq berasal dari huruf rā’ dan qāf. Lafaz ini merupakan bentuk isim fa‘il dari

raqqa-yariqqu-riqqah. Lafaz ini maknanya lawan dari berat dan tebal yakni ringan dan tipis. Al-Riqqah

juga merupakan antonim dari al-gilaẓ (kekuatan) yakni lemah. Pada dasarnya makna dari al-riqq

adalah sesuatu yang lemah seperti lafaz al-riqq digunakan untuk menyebutkan tanah yang lunak.

Menurut Abū al-„Abbās, seorang hamba (al-‘abīd) dinamakan al-raqīq dikarenakan mereka lemah,

tunduk dan patuh kepada pemiliknya. Lihat Abū Ḥusain Aḥmad ibn Fāris ibn Zakāriya, Mu‘jam

Maqāyis al-Lugah, Jilid 2, h. 376-377; dan juga Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab, Jilid 3, h. 1706-1707.

Page 82: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

68

tentang Siti Fāṭimah memakai pakaian yang apabila ia gunakan untuk menutup

kepala maka bagian kakiknya tidak tertutup sempurna. Dan apabila ia gunakan

untuk menutup bagian kaki maka bagian kepalanya tidak tertutupi. Melihat ini

Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak mengapa, yang datang hanyalah ayahmu

dan budakmu”.40

4. Berbuat Baik

Tema pembahasan ini tercantum dalam Q.S. al-Nisā‟ [4]: 36;

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan

sekutu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat,

anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman

sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak

menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Ayat ini berisi perintah untuk berbuat baik kepada beberapa golongan dan

salah satunya golongan tersebut adalah mā malakat aimānukum. Ibnu Kaṡīr

menjelaskan bahwa yang dimaksud disini adalah al-raqīq. Pendapatnya ini

kemudian dilanjutkan dengan mencantumkan wasiat Nabi Saw. menjelang

wafatnya yang berbunyi: al-ṣalāh, al-ṣalāh wa mā malakat aimānukum.41

Pendapat berbeda disampaikan oleh Ibnu „Abbās dan al-Qurṭubī. Ibnu „Abbās

40

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 10, h. 221-222. 41

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 4, h. 42-43.

Page 83: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

69

memaknainya dengan al-‘abīd dan al-amat42

sedangkan al-Qurṭubī dengan

term al-mamālik43

.

5. Meminta Izin

Pembahasan ini ditemukan dalam Q.S. al-Nūr [24]: 58;

“Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan

perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di

antara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan), yaitu

sebelum salat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah

hari, dan setelah salat Isya. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada

dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu; mereka

keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebagian yang lain.

Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha

Mengetahui, Mahabijaksana.”

Al-Saddī, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Kaṡīr, menjelaskan secara

tersirat bahwa maksud dari mā malakat aimānukum adalah al-mamlūk.44

Oleh

42

Ibnu „Abbās, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās, h. 70. 43

Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid 5, h. 190; Lafaz mamālik merupakan bentuk

jamak dan mufradnya adalah lafaz mamlūk yang hanya terulang satu kali dalam al-Qur‟an yakni pada

Q.S. al-Naḥl [16]: 75. Lihat Muḥammad Fu‟ād „Abdul Bāqī, Al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-

Qur’ān al-Karīm (T.tp.: Dārul Kutub al-Miṣriyyah, 1346 H), h. 674; Lafaz ini merupakan bentuk isim

maf‘ūl dari kata dasar malaka-yamliku-malkan. Lihat M. Quraish Shihab dkk., Ensiklopedi Al-Qur’an

(Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997), h. 251; Menurut Ibnu Fāris dan Ibnu Manẓūr lafaz ini bermakna

„abd (hamba). Lihat Ibnu Manẓūr, Lisān al-‘Arab, Jilid 5, h. 4267; Lihat juga Abū Ḥusain Aḥmad ibn

Fāris ibn Zakāriya, Mu‘jam Maqāyis al-Lugah, Jilid 5, h. 352; Sedangkan Rāgib al-Aṣfahānī

berpendapat lafaz al-mamlūk dimaksudkan khusus pada pengertian raqīq (hamba sahaya). Lihat Rāgib

al-Aṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān (Damaskus: Dār al-Qalam, 2009), h. 775; Dari sini kita dapat

mengetahui bahwasanya lafaz mamlūk merupakan sinonim dari lafaz budak yang lain, ‘abd dan raqīq.

Page 84: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

70

al-ṭabari dan al-Qurṭubī frase tersebut dimaknai al-‘Abd dan al-Amat.45

Dan

itu berbeda dengan yang dijelaskan oleh Ibnu Kaṡīr. Dan Ibnu „Abbās merinci

lagi pemaknaannya dibanding mereka. Olehnya frase tersebut dimaknai

dengan al-‘abīd al-ṣigār46

(budak laki-laki yang masih kecil).

6. Menampakkan Diri

Pembahasan mengenai tema ini dapat ditemukan dalam Q.S. al-Aḥzāb

[33]: 55;

“Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan

bapak-bapak mereka, anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak

laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara perempuan

mereka, perempuan-perempuan mereka (yang beriman) dan hamba sahaya

yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (istri-istri Nabi) kepada Allah.

Sungguh, Allah Maha Menyaksikan seagala sesuatu.”

Ayat ini berbicara tentang kebolehan bagi istri-istri Nabi Saw. dalam

menampakkan diri tanpa tabir kepada beberapa golongan. Termasuk dalam

golongan tersebut adalah mā malakat aimānuhunn (dalam ayat ini redaksinya

tidak menggunakan mā malakat aimānukum). Ibnu Kaṡīr berpendapat

bahwasanya yang dimaksud dari frase ini adalah al-raqīq baik itu laki-laki

maupun perempuan. Ia juga menyebutkan pendapat lain yang berbeda dengan

44

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 10, h. 271. 45

Lihat al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jilid 19, h. 212; dan lihat juga Al-

Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid 12, h. 302. 46

Ibnu „Abbās, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās, h.298.

Page 85: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

71

pendapatnya. Yakni pendapat yang dikemukakan oleh Sa„īd ibn al-Musayyab.

Ia menjelaskan bahwa maknanya dikhususkan untuk al-imā’ saja.47

7. Rezeki

Ada dua pembahasan tentang hal ini. Pertama, menjelaskan tentang rezeki

antara majikan dan pekerjanya. Sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Naḥl

[16]: 71;

“Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal

rezeki, tetapi orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan

rezekinya kepada para hamba sahaya yang mereka miliki, sehingga mereka

sama-sama (merasakan) rezeki itu. Mengapa mereka mengingkari nikmat

Allah?.”

Ibnu Kaṡir menjelaskan frase tersebut dengan menggunakan lafaz ‘abīd.

Ia ketika menafsirkan turut mengutip Q.S. al-Rūm [30]: 28 dan juga pendapat

Ibnu „Abbās yang dikutip al-„Aufī mengenai ayat ini.48

Kedua, rezeki dari hasil bekerja sama yang terdapat dalam Q.S. al-Rūm

[30]: 28;

47

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 11, h. 209. 48

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 8, h. 330-331.

Page 86: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

72

“Dia membuat perumpamaan bagimu dari dirimu sendiri. Apakah (kamu rela

jika) ada di antara hamba sahaya yang kamu miliki, menjadi sekutu bagimu

dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu, sehingga kamu

menjadi setara dengan mereka dalam hal ini, lalu kamu takut kepada mereka

sebagaimana kamu takut kepada sesamamu. Demikianlah Kami jelaskan ayat-

ayat itu bagi kaum yang mengerti.”

Frase mā malakat aimānukum pada ayat ini dimaknai oleh Ibnu Kaṡīr

dengan „abd.49

Pendapat berbeda disampaikan oleh al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī

yang keduanya memaknai frase tersebut dengan term mamlūk.50

Pada kedua ayat ini, al-Tīnāwī menjelaskan menggunakan pemaknaan

yang berbeda dengan Ibnu Kaṡīr terhadap frase mā malakat aimānukum.

Menurutnya, frase tersebut dalam kedua ayat ini maknanya adalah sesuatu

yang dapat kamu miliki dan kuasai. Dan yang dimaksud dengan hal tersebut

adalah rezeki dan rezeki adalah harta benda. Lebih lanjut menurutnya,

penjelasan mā malakat aimānukum pada Q.S. al-Naḥl [16]: 71 berbicara

tentang hubungan antara dua orang yakni pemilik modal dan pegawai.

Sedangkan pada Q.S. al-Rūm [30]: 28, merupakan hubungan antara dua orang

pemilik harta yang bekerjasama.51

8. Perjanjian dengan Budak

Mengenai tema ini hanya tercantum dalam satu ayat yakni pada Q.S. al-

Nūr [24]: 33;

49

Al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 11, h. 24. 50

Lihat Al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jilid 20, h. 95; dan lihat juga Al-

Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid 14, h. 23. 51

Al-Tīnāwī, Mā Malakat Aimānukum, h. 105-106.

Page 87: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

73

“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian

(dirinya), sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-

Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian

(kebebasan)m hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu

mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka

sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah

kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang

mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari

keuntungan kehidupan duniawi. Barang siapa memaksa mereka, maka

sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah

mereka dipaksa.”

Dalam ayat ini, Ibnu Kaṡīr menggunakan lafaz ‘abīd untuk menjelaskan

frase mā malakat aimānukum. Selanjutnya ia mencantumkan riwayat lain guna

mendukung penjelasannya mengenai kandungan ayat tersebut. Seperti riwayat

al-Ṡaurī dari Jābir dari al-Sya„bī dan Imām Bukhārī.52

Pendapatnya ini selaras

dengan yang disampaikan oleh Ibnu „Abbās53

akan tetapi berbeda dengan al-

Ṭabarī dan al-Qurṭubī. Oleh al-Ṭabarī frase tersebut dimaknai mamlūk54

sedangkan al-Qurṭubī menggunakan lafaz al-‘abīd dan al-Imā’55

.

Untuk memudahkan pemetaan terhadap pemaknaan frase mā malakat

aimānukum yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis akan tampilkan dalam

bentuk tabel sebagai berikut;

52

al-Dimasyqī, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, Jilid 10, h. 228. 53

Ibn „Abbās, Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās, h.295. 54

Al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jilid 19, h. 167. 55

Al-Qurṭubī, Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān, Jilid 12, h. 244.

Page 88: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

74

NO AYAT

TOKOH

IBNU

ABBĀS

AL-

TABARI

AL-

QURTUBI

IBNU

KASIR Al-TINAWI

1 Al-Nisā‟

[4]: 3 Al-Amat Al-Sarārī Al-Imā’ Al-Sarārī

Nikah

Bersyarat 2

Al-Nisā‟

[4]: 24 Al-Sabāya Al-Sabiyy Al-Sabyu Al-Sabiyy

3 Al-Nisā‟

[4]: 25 Walīd Al-Amat Al-Amat Al-Imā’

4 Al-Nisā‟

[4]: 36

Al-‘Abīd

dan Al-Imā’ Al-Raqīq Al-Mamālīk Al-Raqīq -

5 Al-Naḥl

[16]: 71

Al-‘Abīd dan Al-Imā’

Mamlūk Al-‘Abīd Al-‘Abīd

Sesuatau

yang dapat

kamu miliki

dan kuasai

(harta benda)

dan hubungan

antara dua

orang yang

bekerjasama

6

Al-

Mu‟minūn

[23]: 6

Walīd Al-Imā’ Al-Amat Al-Sarārī Nikah

Bersyarat

7 Al-Nūr

[24]: 31 Al-Imā’ Al-Imā’

Al-‘Abīd

dan Al-Imā’ Al-Amat -

8 Al-Nūr

[24]: 33 Al-‘Abīd Mamluk

Al-‘Abīd dan Al-Imā’

Al-‘Abīd -

9 Al-Nūr

[24]: 58

Al-‘Abīd al-

Ṣigār

Al-‘Abīd

dan Al-Imā’

Al-‘Abīd

dan Al-Imā’

Al-

Mamlūk -

10 Al-Rūm

[30]: 28

Al-‘Abīd dan Al-Imā’

Mamlūk Mamlūk Al-‘Abīd

Sesuatu yang

dapat kamu

miliki dan

kuasai (harta

benda) dan

hubungan

antara

pemilik

modal dan

pegawainya.

11 Al-Aḥzāb

[33]: 50

Mariyah Al-

Qibṭiyyah Al-Sabyu Al-Sarārī Al-Sarārī

Nikah

Bersyarat

12 Al-Aḥzāb

[33]: 52

Mariyah Al-

Qibṭiyyah Al-Imā’ Al-Amat

Al-Sarārī/

Al-Amat

13 Al-Aḥzāb

[33]: 55 Al-Imā’ Mamālīk -

Al-Amat/ Al-Raqīq

14 Al-Ma„ārij

[70]: 30 - Al-Imā’

Penjelasann

ya terdapat

dalam QS.

Al-

Mu‟minun:

6

Al-Imā’

Page 89: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

75

C. Analisis Penafsiran Frase Mā Malakat Aimānukum Perspektif Ibnu

Kaṡīr

Berdasarkan data yang telah dipaparkan di atas, penulis melihat terdapat

beberapa perbedaan antara penafsiran Ibnu Kaṡīr dengan tokoh yang lainnya. Guna

melihat posisi penafsiran Ibnu Kaṡīr berikut akan penulis paparkan analisa mengenai

perbedaan-perbedaan tersebut:

Pada Q.S. al-Nisā‟ [4]: 3, Ibnu Kaṡīr menggunakan lafaz al-sarārī untuk

menafsirkan frase mā malakat aimānukum. Lafaz al-sarārī adalah budak perempuan

yang ditujukan untuk berhubungan badan. Oleh karena itu, lafaz tersebut masih satu

akar kata dengan al-surūr yang bermakna kebahagiaan. Kaitannya dengan al-surūr

adalah budak perempuan yang dijadikan sebagai pemuas nafsu untuk dijima‟

merupakan salah satu bentuk kebahagiaan bagi tuannya. Dan pemaknaannya dengan

al-sarārī ini sama dengan yang diungkapkan oleh al-Ṭabarī. Dari sini penulis

menganggap bahwa Ibnu Kaṡīr dibanding pendahulunya tersebut hanya meneruskan

saja. Akan tetapi jika dibandingkan dengan Ibnu „Abbās dan al-Qurṭubī terdapat

perbedaan pemaknaan. Dimana kedua mufassir tersebut memaknainya dengan al-

amat atau al-imā’. Dan menurut penulis sebenarnya di antara mereka ini

perbedaannya tidak terlalu signifikan. Hanya saja oleh Ibnu „Abbās dan al-Qurṭubī

frase mā malakat aimānukum dimaknai dengan lafaz umum sedangkan oleh Ibnu

Kaṡīr dan al-Ṭabarī lebih spesifik lagi dalam memaknainya atau dengan menggunakan

lafaz khusus.

Sedangkan dalam Q.S. al-Nisā‟ [4]: 24 penulis menemukan kesamaan

pemaknaan yang disampaikan oleh keempat mufassir tersebut. Keempatnya sepakat

bahwasanya makna yang dikandung adalah al-sabyu. Makna al-sabyu adalah budak

perempuan yang didapatkan melalui jalur rampasan perang. Keserupaan makna ini

Page 90: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

76

penulis melihat bahwasanya dari awal yang dimaksud memang adalah lafaz al-sabyu.

Sehingga keempat mufassir berbeda masa ini tetap menggunakan lafaz yang sama

untuk menafsirkan frase tersebut dalam Q.S. al-Nisā‟ [4]: 24.

Adapun penafsiran frase mā malakat aimānukum dalam Q.S. al-Nisā‟ [4]: 25,

Ibnu Kaṡīr menggunakan lafaz al-imā’ yang merupakan bentuk jamak dari lafaz al-

amat. Dan dibandingkan dengan al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī, penafsiran Ibnu Kaṡīr

hanya berbeda pada al-naẓru bi ‘adadihi yakni pada jumlah penyebutannya saja.

Dimana al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī menggunakan bentuk mufrod dalam

menafsirkannya. Sedangkan Ibnu „Abbās menggunakan lafaz al-walīd untuk

menafsirkannya. Merujuk pendapat Munawwir, lafaz al-walīd disinonimkan dengan

lafaz al-‘abd. Menurut penulis penafsirannya ini kurang tepat dikarenakan lafaz al-

‘abd maknanya adalah budak secara umum dan terkadang dikhususkan untuk

menunjukkan budak laki-laki. Tentu ini berbanding terbalik dengan yang disampaikan

oleh penerusnya. Jika tidak begitu, maka penulis merasa lafaz al-walīd memiliki sisi

penggunaannya sendiri di masa hidup Ibnu „Abbās.

Pada pembahasan Q.S. al-Nisā‟ [4]: 36, frase mā malakat aimānukum

dimaknai oleh Ibnu Kaṡīr dengan al-raqīq. Lafaz al-raqīq sendiri maknanya adalah

budak. Al-raqīq dimaknai budak karena seorang budak tunduk, lemah di hadapan

tuannya. Selaras dengan makna dasarnya yakni lemah. Penulis menemukan

persamaan penafsirannya ini dengan al-Ṭabarī. Dan perbedaan kembali ditemukan

ketika disandingkan dengan Ibnu „Abbās yang menafsirkannya dengan dua lafaz

yakni al-‘abīd dan al-imā’ (budak laki-laki dan perempuan). Begitu pula dengan al-

Qurṭubī, ia menggunakan lafaz al-mamālīk untuk menjelaskan frase tersebut pada

ayat ini. Perbedaan-perbedaan ini penulis menganggap bahwa terdapat pada

penggunaan lafaz untuk menjelaskannya saja. Buktinya lafaz al-raqīq dan al-mamālīk

Page 91: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

77

keduanya mencakup golongan budak laki-laki ataupun perempuan. Dan tentunya hal

tersebut sesuai dengan pendapat Ibnu „Abbās yang menggunakan al-‘abīd dan al-

imā’. Selain itu, penulis menduga bahwasanya dalam pandangan Ibnu Kaṡīr yang

layak mendapatkan perlakuan baik dari tuannya adalah budak yang tunduk dan patuh

atau al-raqīq.

Penafsiran Ibnu Kaṡīr terhadap frase mā malakat aimānukum pada Q.S. al-

Naḥl [16]: 71 adalah al-‘abīd. Sebagaimana dijelaskan pada di atas bahwa makna al-

‘abīd cenderung objeknya adalah laki-laki dan perempuan walaupun terkadang hanya

dikhususkan untuk laki-laki saja. Pemaknaannya ini selaras dengan yang ditafsirkan

oleh al-Qurṭubī. Akan tetapi perbedaan pemaknaan penulis temukan dalam penafsiran

al-Ṭabarī. Ia menggunakan lafaz mamlūk atas penafsirannya pada ayat ini. Perbedaan

ini sekilas terkesan tidak terlalu terlihat. Akan tetapi penulis menelusuri bahwasanya

makna al-‘abīd itu menunjukkan kepada hamba Allah yang taat akan perintah dan

menjauhi larangan-Nya. Dan tentu ini berbeda dengan mamlūk yang kata dasarnya

hanya sesuatu yang dimiliki. Jadi masih termasuk ke dalam kategori budak secara

umum. Dan juga Ibnu „Abbās sudah terlebih dahulu merinci penafsirannya. Sehingga

tidak menimbulkan keragaman makna. Ia menggunakan lafaz al-‘abīd dan al-imā’.

Dengan demikian yang digunakan oleh Ibnu Kaṡīr adalah penyebutan umumnya

sedangkan Ibnu „Abbās dari sisi spesifiknya.

Untuk pemaknaan frase mā malakat aimānukum dalam Q.S. al-Mu‟minūn

[23]: 6, lafaz yang digunakan oleh Ibnu Kaṡīr adalah al-sarārī. Telah dijelaskan

sebelumnya model budak dengan penyebutan al-sarārī. Jika penafsiran ini dikaitkan

dengan tema pembahasan ayat maka penulis bisa mengatakan bahwasanya penafsiran

Ibnu Kaṡīr ini sesuai dengan pembahasan. Buktinya adalah ayat ini menjelaskan

tentang menjaga kemaluan. Yakni seorang laki-laki tidak boleh menyalurkan

Page 92: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

78

hasratnya kecuali kepada istrinya dan para budaknya. Dan budak yang dimaksud di

sini adalah budak yang digunakan untuk menyalurkan hasrat seksual si tuan. Dengan

demikian asumsi penulis penggunaan lafaz al-sarārī cukuplah tepat. Dan jika

dikaitkan dengan yang diungkapkan oleh pendahulunya yakni al-Ṭabarī dan al-

Qurṭubī maka Ibnu Kaṡīr lebih spesifik lagi penafsirannya. Hal tersebut karena yang

digunakan oleh keduanya adalah lafaz al-amat dan makna dari lafaz ini menunjukkan

kepada budak perempuan secara umum.

Selanjutnya pada Q.S. al-Nūr [24]: 31, Ibnu Kaṡīr menggunakan lafaz al-amat

untuk menafsirkan frase mā malakat aimānukum. Seperti dijelaskan sebelumnya

bahwa lafaz amat ini menunjukkan makna budak perempuan yang taat kepada Allah

swt. Dan penulis merasa bahwasanya penggunaan lafaz amat oleh Ibnu Kaṡīr cukup

sesuai dengan ayat yang sedang dibahas. Alasan penulis mengatakan hal tersebut

dikarenakan Q.S. al-Nūr [24]: 31 berisi mengenai kebolehan seorang perempuan

menampakkan perhiasannya ke beberapa golongan. Salah satunya adalah golongan

mā malakat aimānukum atau budak. Dan khiṭāb atau objek ayat ini adalah para

perempuan. Maka keselarasan antara makna dengan pembahasan penulis temukan

pada penafsiran Ibnu Kaṡīr ini. Karena para perempuan merdeka tidak boleh

menampakkan perhiasannya kepada sembarangan orang termasuk kepada budaknya.

Kecuali budak perempuan yang tidak memiliki kecenderungan nafsu ketika melihat

aurat sesamanya. Dan penafsiran Ibnu Kaṡīr ini ternyata sama dengan yang

diungkapkan oleh Ibnu „Abbās dan al-Ṭabarī. Akan tetapi berbeda dengan al-Qurṭubī,

ia menafsirkannya dengan al-‘abīd dan al-imā’ yakni budak laki-laki dan perempuan

yang taat kepada Allah. Walaupun al-Qurṭubī menambahkan budak laki-laki dalam

penafsirannya, penulis berasumsi bahwasanya al-Qurṭubī melihat budak laki-laki yang

Page 93: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

79

taat kepada Allah tidak akan terbawa oleh hawa nafsunya ketika melihat aurat dari

majikannya tersebut.

Adapun penafsiran frase mā malakat aimānukum pada Q.S. al-Nūr [24]: 33

yang digunakan oleh Ibnu Kaṡīr adalah al-‘abīd. Pada ayat ini para budak

diperbolehkan untuk melakukan perjanjian dengan tuannya untuk kebebasan mereka.

Dan penulis melihat bahwa Ibnu Kaṡīr merasa khiṭāb ayat ini adalah untuk budak

secara keseluruhan (baca: laki-laki dan perempuan). Dan juga kriteria budak yang

diperbolehkan adalah budak yang taat kepada Allah swt. Oleh karena itu, ia

menggunakan lafaz al-‘abīd dalam penafsirannya. Jika dikaitkan dengan

pendahulunya makna Ibnu Kaṡīr terdapat kesamaan penafsiran dengan Ibnu „Abbās.

Adapun al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī berbeda dengan Ibnu Kaṡīr. Dimana al-Ṭabarī

menggunakan lafaz mamlūk yang notabene menunjukkan budak secara kepemilikan

saja atau budak secara umum. Sedangkan al-Qurṭubī menggunakan lafaz yang lebih

rinci dibanding lainnya, yakni al-‘abīd dan al-imā’. Perbedaan para mufassir tersebut

bagi penulis hanya berada pada perbedaan penggunaan lafaznya saja. Namun bagi

penulis Ibnu Kaṡīr, Ibnu „Abbās dan al-Qurṭubī menerapkan standar bahwa budak

yang diperbolehkan mengajukan perjanjian adalah budak yang taat kepada Allah. Hal

tersebut tidak ditemukan dalam penafsiran al-Ṭabarī.

Sedangkan dalam Q.S. al-Nūr [24]: 58, Ibnu Kaṡīr menggunakan lafaz al-

mamlūk untuk menjelaskan frase mā malakat aimānukum. Dalam pandangan penulis,

ayat ini menunjukkan perintah bagi para budak dan anak-anak yang belum balig untuk

meminta izin dalam 3 waktu ketika ingin masuk ke dalam ruangan majikannya. Hal

ini dikarenakan adanya kemungkinan para majikannya tersebut sedang tidak menutup

auratnya. Menilik penafsiran Ibnu Kaṡīr, penulis menemukan bahwasanya ia merasa

bahwa budak yang dimaksud di sini adalah budak secara umum. Tidak dibatasi harus

Page 94: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

80

laki-laki atau perempuan ataupun harus taat atau tidak kepada Allah swt. Oleh

karenanya, Ibnu Kaṡīr menggunakan lafaz al-mamlūk. Sedangkan al-Ṭabarī dan al-

Qurṭubī dalam ayat ini menggunakan lafaz al-‘abīd dan al-amat. Dan ini menarik

perhatian penulis, mengapa dispesifikan dengan budak yang taat? Lalu apakah budak

yang tidak taat boleh masuk tanpa izin?. Selain itu, penafsiran yang lebih spesifik lagi

diberikan oleh Ibnu „Abbās. Dimana ia menganggap al-‘abid al-sigār-lah yang

dimaksud ayat ini. Penulis tidak sependapat dengan yang dikemukakan oleh Ibnu

„Abbās. Karena cukup mengherankan bagi penulis adalah budak yang masih anak-

anak diperintahkan untuk meminta izin jika ingin masuk ke ruangan tuannya. Selain

itu, penulis tidak menafikan bahwa adanya kemungkinan atas apa yang disampaikan

oleh pendahulu Ibnu Kaṡīr ini penggunaan qiyās. Yakni jika bagi budak anak-anak

atau budak sudah dewasa yang taat saja diperintahkan untuk meminta izin maka

budak dengan kriteria lainnya pun harus begitu.

Ibnu Kaṡīr menggunakan lafaz al-‘abīd untuk menafsirkan frase mā malakat

aimānukum pada Q.S. al-Rūm [30]: 28. Ayat ini berbicara tentang perumpamaan

seorang budak yang dijadikan sebagai sekutu. Dalam hal ini, penulis menduga

bahwasanya Ibnu Kaṡīr melihat budak yang dimaksud adalah budak yang taat.

Sehingga bisa dijadikan perumpamaan dan juga sekutu bagi orang merdeka. Ini

berbeda dengan yang disampaikan oleh al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī. Keduanya

menggunakan lafaz mamlūk untuk menjelaskan frase tersebut. Sebagaimana telah

penulis sebutkan sebelumnya bahwa mamlūk adalah budak yang dimiliki tanpa

memandang jenis kelamin atau ketaatan. Adapun Ibnu „Abbās lebih rinci dibanding

yang lain. Ia menggunakan lafaz al-‘abīd dan al-amat untuk mengungkap maknanya.

Dan Ibnu Kaṡīr dapat dibilang selaras yang diuraikan Ibnu „Abbās.

Page 95: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

81

Pada penafsiran atas frase mā malakat aimānukum dalam Q.S. al-Aḥzāb [33]:

50, Ibnu Kaṡīr menggunakan lafaz al-sarārī. Ayat ini berkaitan dengan kehalalan bagi

Nabi Muḥammad saw. untuk menikahi beberapa golongan. Menurut penulis,

penggunaan al-sarārī oleh Ibnu Kaṡīr ditujukan bahwasanya diperbolehkan bagi Nabi

Muḥammad untuk mencari kebahagiaan dari yang diperoleh melalui rampasan

perang. Penulis menduga alasan penggunaan lafaz al-sarārī oleh Ibnu Kaṡīr adalah

pandangannya mengenai Māriyah al-Qibṭiyyah dan Rayḥanan binti Syam„ūn yang

merupakan al-sarārī. Terutama Māriyah, fakta bahwa kecantikan dan darinya

Rasulullah memiliki anak bernama Ibrāhīm bisa menjadi salah satu sumber

kebahagiaan Nabi. Dan hal ini selaras dengan penafsiran Ibnu „Abbās yang

menafsirkannya dengan menyebutkan nama Māriyah al-Qibṭiyyah. Akan tetapi al-

Ṭabarī berbeda, ia menjelaskan dengan lafaz al-sabyu yakni budak rampasan perang.

Penjelasannya ini menurut penulis lebih umum dibandingkan dua tokoh di atas.

Adapun makna yang terkandung pada frase mā malakat aimānukum dalam

Q.S. al-Aḥzāb [33]: 52 menurut Ibnu Kaṡīr adalah al-amat dan al-sarārī. Pendapatnya

ini berbeda dengan al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī yang menafsirkannya hanya dengan al-

amat (al-Ṭabarī menggunakan bentuk jamak dalam tafsirnya yakni al-imā’). Kedua

pendapat ini menurut penulis tidaklah jauh berbeda karena hanya berbeda pada

penambahan al-sarārī oleh Ibnu Kaṡīr. Namun jika ditinjau dengan penafsiran Ibnu

„Abbās maka tentu hal ini akan jelas berbeda. Buktinya adalah Ibnu „Abbās

menafsirkan frase tersebut dengan mengkhusus pada Māriyah al-Qibṭiyyah.

Selanjutnya penafsiran frase mā malakat aimānukum dalam Q.S. al-Aḥzāb

[33]: 55. Ayat ini merupakan bentuk kebolehan bagi istri-istri Nabi untuk berjumpa

dengan beberapa golongan tanpa dihalangi tabir. Ibnu Kaṡīr menyebutkan dua

pendapat yang berbeda dalam menafsirkannya. Pendapat pertama adalah budak al-

Page 96: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

82

raqīq baik laki-laki ataupun perempuan. Sedangkan pendapat kedua yang

dikemukakan oleh Sa„īd ibn al-Musayyab adalah khusus bagi budak amat saja.

Pendapat kedua dia sesuai dengan yang disampaikan oleh Ibnu „Abbās. Menurut

penulis, Ibnu Kaṡīr ingin mencantumkan riwayat-riwayat yang menjelaskan

kandungan ayat tersebut. Namun ia tidak memberikan pendapatnya mengenai riwayat

tersebut. Terlebih dalam riwayat tersebut dapat dikatakan bertentangan. Selain itu al-

Ṭabarī juga menyebutkan pendapat yang berbeda yakni mamālīk. Jika diliat dengan

pembahasan ayat penulis cenderung sepakat dengan yang dikemukakan oleh al-Ṭabarī

dan pendapat pertama Ibnu Kaṡīr. Hal tersebut karena pada ayat tersebut secara

berurutan menggunakan banyak objek laki-laki. Sehingga jika yang dimaksudkan

hanya budak perempuan saja maka hal tersebut tidak sesuai dengan rangkaian

penyebutan objek dalam ayat.

Dan pada Q.S. al-Ma„ārij [70]: 30, keselarasan makna diberikan oleh tiga

mufassir yakni al-Ṭabarī, al-Qurṭubī dan Ibnu Kaṡīr. Ketiganya sepakat memaknai

frase mā malakat aimānukum dalam ayat ini dengan al-imā’. Namun al-Qurṭubī

menanfsirkannya dengan menggunakan bentuk mufrodnya. Kesamaan makna ini

tidak penulis temukan dalam Q.S al-Mu‟minūn [23]: 6. Dimana dalam ayat tersebut

Ibnu Kaṡīr berbeda dengan pendahulunya, ia menafsirkannya dengan lafaz al-sarārī.

Hal ini tentu menjadi pertanyaan mengapa Ibnu Kaṡīr bisa berbeda penafsirannya

padahal dalam ayat yang memiliki kesamaan pembahasan atau bahkan redaksi.

Setelah penulis menilik ternyata Ibnu Kaṡīr juga menggunakan lafaz al-imā’ dalam

penafsirannya pada Q.S al-Mu‟minūn. Akan tetapi penulis menemukannya pada

penafsiran Q.S. al-Mu‟minūn [23]: 7 yang merupakan ayat setelahnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwasanya makna dari mā

malakat aimānukum secara garis besar adalah budak. Dan lebih dirinci lagi maka

Page 97: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

83

terdapat term-term yang menyebutkan kategori budak tersebut. Sehingga dapat

disimpulkan bahwasanya mā malakat aimānukum maknanya dapat mencakup

beberapa kategori budak.

Jika diibaratkan sebuah lingkaran maka mā malakat aimānukum adalah

lingkaran tersebut. Sedangkan isi dari lingkaran tersebut adalah term-term budak lain

yang lebih rinci di antaranya adalah al-‘abīd, al-amat, al-sabyu, al-sarārī, al-mamlūk

dan al-raqīq.

Akan tetapi semua pemaknaan tersebut tidak disepakati oleh Muḥammad „Alī

al-Tīnāwī. Menurutnya frase mā malakat aimānukum bermakna sumpah atas segala

sesuatu yang dimiliki. Dan dalam sumpah tersebut harus ada kesepakatan antara dua

belah pihak. Seperti dalam tema pernikahan, mā malakat aimānukum yang dimaksud

adalah nikah bersyarat yakni kesepakatan antara suami dan istri dalam pernikahan

mereka.

Sebagaimana telah penulis sebutkan di awal pembahasan Bab IV, bahwasanya

al-Tīnāwī terlalu bersikukuh pada pendiriannya bahwa makna al-yamīn adalah

sumpah. Karena hal itulah, ia tidak dapat menerima bahwasanya lafaz al-yamīn juga

dapat dimaknai budak. Pemaknaan yamīn menjadi budak karena seorang budak

berada di bawah kekuatan atau kuasa tuannya. Hal ini tidak lain karena yamīn

memiliki makna dasar kekuatan.

Berdasarkan data yang telah dipaparkan di atas, terdapat beberapa hal yang

penulis dapatkan terhadap penafsiran frase mā malakat aimānukum perspektif Ibnu

Kaṡīr. Berikut kesimpulan-kesimpulan yang penulis dapatkan:

1. Dalam penafsirannya, Ibnu Kaṡīr memaknai frase mā malakat aimānukum

dengan menggunakan enam lafaz al-‘abīd, al-amat, al-sabyu, al-sarārī,

al-mamlūk dan al-raqīq.

Page 98: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

84

2. Ibnu Kaṡīr banyak ditemukan kesamaan penafsiran dengan Ibnu Jarīr al-

Ṭabarī. Hal inilah yang tidak penulis temukan pada al-Qurṭubī dan Ibnu

„Abbās. Sehingga penulis berasumsi bahwa ia hanya meneruskan

penafsiran al-Ṭabarī.

3. Penafsiran Ibnu Kaṡīr beberapa kali lebih kritis dalam menggunakan lafaz

untuk menafsirkan frase mā malakat aimānukum dibandingkan dengan

pendahulunya tersebut.

Page 99: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

85

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah mengadakan penelitian tentang penafsiran frase mā malakat

aimānukum pada Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm karya Ibnu Kaṡīr, penulis menemukan

beberapa poin di antaranya adalah:

1. Frase mā malakat aimānukum dalam al-Qur’an terbagi pada delapan tema

pembahasan, dimana secara keseluruhan berkaitan dengan mu‘āmalah.

2. Pemaknaan frase mā malakat aimānukum yang diberikan oleh Ibnu Kaṡīr

tidak terpaku pada satu lafaz saja. Ia memaknainya dengan menggunakan

enam lafaz yang berbeda. Keenam lafaz tersebut adalah al-sarārī, al-

amat/ al-imā’, ‘abd/ ‘abīd, al-raqīq, al-mamlūk dan al-saby.

3. Ibnu Kaṡīr memaknai frase mā malakat aimānukum didasari pada

kandungan ayat tersebut, bukan pada tema pembahasan atau

menyamaratakan pemaknaan frase tersebut dalam al-Qur’an. Sehingga

setiap lafaz yang digunakan bisa terdapat dalam beberapa tema

pembahasan.

4. Banyak ditemukan kesamaan penafsiran antara Ibnu Kaṡīr dengan Ibnu

Jarīr al-Ṭabarī. Hal inilah yang tidak penulis temukan pada al-Qurṭubī dan

Ibnu ‘Abbās. Sehingga penulis berasumsi bahwa Ibnu Kaṡīr hanya

meneruskan penafsiran al-Ṭabarī.

5. Penafsiran Ibnu Kaṡīr beberapa kali lebih kritis dalam menggunakan lafaz

untuk menafsirkan frase mā malakat aimānukum dibandingkan dengan

pendahulunya tersebut.

Page 100: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

86

B. Saran

Frase mā malakat aimānukum merupakan salah satu sisi menarik dalam al-

Qur’an sebab frase ini memiliki pemaknaan yang terkesan tidak konsisten. Satu frase

dengan frase dalam ayat lain bisa jadi terdapat perbedaan pemaknaan. Bahkan ada

ulama yang tidak setuju dengan pendapat para ulama salaf yang memaknainya dengan

budak.

Selain itu, kajian pada penelitian ini hanya berorientasi pada pemaknaan dan

satu tokoh saja. Maka dari itu untuk melengkapi kajian mengenai frase ini, penulis

menyarankan untuk mengkaji lebih lanjut alasan perbedaan pemaknaan antara satu

ayat dengan ayat yang lain. Atau mengkaji khusus pemikiran Muḥammad ‘Alī al-

Tīnāwī yang memiliki definisi tersendiri terhadap frase mā malakat aimānukum. Serta

mengenai wacana perbudakan merupakan wacana yang akan terus berkembang setiap

zamannya sehingga menarik bagaimanakah al-Qur’an menjawab tantangan zaman

terkait perbudakan ini.

Kajian yang penulis lakukan ini masih berupa tinjauan awal untuk

mengembangkan khazanah ilmu tafsir dan menghidupkan kembali nilai-nilai al-

Qur’an secara utuh. Dan penulis pun menyadari bahwa penelitian ini masih banyak

kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat

penulis butuhkan sebagai bahan perbaikan untuk penulisan karya ilmiah ke depannya.

Page 101: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

87

DAFTAR PUSTAKA

Abror, M. Muchlas. “Memberantas Perbudakan”, Kalam, Suara Muhammadiyah 02/

96, 16-31 Januari 2011, h. 43.

Al-Albani, Muḥammad Nashiruddin. Derajat Hadis-Hadis dalam Tafsir Ibnu Kaṡīr.

Penerjemah ATC Mumtaz Arabia. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.

Aliyati, Khamdatul. “Perbudakan dalam Pandangan Mufassir Indonesia,”. Skripsi

S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang,

2015.

Arikunto, Suharsimi. Metode Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Al-Aṣfahānī, Rāgib. Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān. Damaskus: Dār al-Qalam, 2009.

Asyarie, Sukmadjaja dan Yusuf, Rosy. Indeks Al-Qur’an. Bandung: Penerbit Pustaka,

1984.

Audah, Ali. Konkordansi Qur’an: Panduan Kata dalam Mencari Ayat Qur’an, Cet.

Ketiga. Bogor: Pustaka Litera AntarNUsa, 2003.

Aziz, Khoirul. “Kata Isrāf dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Penafsiran Prof. Dr.

Hamka dan Ibn Kathir)”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam

Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2016.

Badudu, J. S. dan Zain, Sutan Muhammad. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet.

Ketiga. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Al-Bagawī, Abū Muḥammad al-Ḥusain ibn Mas’ūd. Tafsīr al-Bagawī: Ma’ālim at-

Tanzīl. Riyāḍ, Dār Ṭayyibah, 1409 H.

Bāqī, Muḥammad Fu‘ād ‘Abdul. Al-Mu‘jam al-Mufahrass li Alfāẓ al-Qur’ān al-

Karīm. T.tp.: Dārul Kutub al-Miṣriyyah, 1346 H.

Buchori, Didin Saefuddin. Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009.

Departemen Agama Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir Al-Qur’an, Al-

Qur’an dan Tafsirnya. Bandung: J-Art, 2005.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Pertama,

Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Al-Dimasyqī, ‘Imāduddīn Abū al-Fidā’ Ismā‘īl ibn Kaṡīr. Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm

(Muqaddimah al-Taḥqīq). Jilid 1. Kairo: Mu’assisah Qurṭubah, 2000.

Fadhil, Abul. “Perbudakan dan Buruh Migran di Timur Tengah”, Thaqāfiyyāt, Vol.

14, No. 1 (2013): h. 161-178.

Page 102: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

88

Hafidz, Abdul. “Konsep Riqāb dalam Pembagian Zakat di Zaman Modern Kajian

Analisis Pendapat Sayyid Quthb dan Quraish Shihab pada Surah at-Taubah

ayat 60”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2005.

Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Alquran, Cet. Kedua. Jakarta: Amzah, 2006.

Hamsah, Ustadi. “Perbudakan Sebelum Islam”, Hadlarah, Suara Muhammadiyah

01/96, 1 – 15 Januari 2011. h. 48-49.

Hasan, Ismail. “Buah Khuldi dalam al-Quran Pandangan Ibn Katsir dalam Tafsir al-

Qur’an al-‘Adzim”. Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin Sekolah Tinggi Agama

Islam Negeri (STAIN) Ponorogo, 2011.

Hidayat, Arif. “Makna Riqāb sebagai Mustahiq Zakat Menurut Yūsuf al-Qardhawi

dan Wahbah al-Zuhaili”. Skripsi S1 Fakultas Syari’ah, Universitas Islam

Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2014.

Hidayatullah, Fahmi. “Golongan Kiri dalam Al-Qur’an (Studi terhadap Tafsir Ibn

Kathir dan Tafsir Sayyid Qutb)”. Tesis S2 Pascasarjana, Universitas Islam

Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2017.

Hitti, Philip K. History of The Arabs, Penerjemah R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi

Slamet Riyadi. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2014.

IMZI, A. Husnul Hakim. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir (Kumpulan Kitab-Kitab

Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer). Depok: Lingkar Studi al-

Qur’an (eLSiQ), 2013.

Kaṡīr, Ibnu. Al-Bidāyah wa al-Nihāyah. Penerjemah Lukman Hakim dkk.. Jakarta:

Pustaka Azzam, 2013.

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT Sinergi Pustaka

Indonesia, 2012.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Ringkas. Jakarta: Lajnah Pentashihan

Mushaf Al-Qura’an, 2015.

Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

1999.

Al-Maḥallī, Jalāluddīn dan Al-Suyūṭī, Jalāluddīn. Tafsīr al-Imāmain al-Jalīlain. T.tp.:

Dār Ibn Kaṡīr, t.t.

Majma’ Al-Lugah Al-‘Arabiyyah, Mu‘jam Al-Wāsiṭ. Cet. Keempat. Mesir: Maktabah

Syurūq Ad-Dauliyyah, 2004.

Manẓūr, Ibnu. Lisān al-‘Arab. Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1119.

Al-Marāgī, Aḥmad Muṣṭafā. Tafsīr al-Marāgī, Jilid 5. Kairo: Muṣṭafā al-Bāb al-

Halab, 1946.

Page 103: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

89

Mayasari, Nur.“Peran Militer Budak pada Masa Pemerintahan Khalifah al-

Mu’tashim 833-842 M”. Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Muhammad, Abū al-Qāsim al-Husain ibn. Al-Mufradāt fī Garīb al-Qur’ān, Jilid

Pertama. T.tp.: Maktabah Nizār Muṣṭafā al-Bāz, t.t.

Muhammad, Agus. “Pesan Moral Perbudakan dalam Al-Qurˋan”, Suhuf, Vol. 4, No. 1

(2011): h. 41-52.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997.

Nasution, Ahmad Sayuti Anshari. “Perbudakan dalam Hukum Islam”, Ahkam: Vol.

XV, No. 1 (Januari 2015): h. 95-102.

Al-Na'im, Abdullahi Ahmed. Dekonstruksi Syari'ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak

Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Penerjemah Ahmad

Suaedy & Amirudin Ar-Rany. Yogyakarta: LKiS, 2004.

Nugraha, Muhammad Tisna. “Perbudakann Modern (Modern Slavery) (Analisis

Sejarah dan Pendidikan)’, At-Turats, Vol. 9, No. 1 (Juni 2015). h. 49-61.

Palawa, Alimuddin Hassan. “Wawasan Al-Qurˋan tentang Budak (Upaya-Upaya

Pembebasan Budak dalam Islam)”, Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol 7,

No. 1 (Januari-Juni 2008).

Purnawan, Ajib. “Jejak-Jejak Perbudakan di Tanah Arab”, Hadlarah, Suara

Muhammadiyah 02/ 96, 16-31 Januari 2011, h. 48-49.

Al-Qaṭṭān, Mannā‘. Mabāhiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān. t.t.: Dār al-Rasyīd, t.th.

Al-Qurṭubī, ‘Abū ‘Abdillah Muḥammad ibn Aḥmad ibn Abī Bakr ibn Farraḥ al-

Anṣārī al-Khazrajī Syamsuddīn. Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān. Kairo: Dār al-

Kutub al-Miṣriyyah, 1964.

Rahardjo, M. Dawam. Ensiklopedia Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-

konsep Kunci, Cet. Kedua. Jakarta: Paramadina, 2002.

Rofiq, A. ed., Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2004.

Al-Ṣābūnī, Muḥammad ‘Alī. Ṣafwah al-Tafāsīr, Jilid 1. Beirut: Dār al-Qur’ān al-

Karīm, 1981.

Said, Umar. “Etika Suami yang Baik dalam al-Qur’an (Studi Komparatif Tafsir al-

Baghawi dan Tafsir Ibn Katsir)”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Institut

Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2010.

Shihab, M. Quraish. dkk., Ensiklopedi Al-Qur’an. Jakarta: Yayasan Bimantara, 1997.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir, Cet. Pertama. Tangerang: Lentera Hati, 2013.

Page 104: PEMAKNAAN MĀ MALAKAT AIMĀNUKUM DALAM AL- ATAS …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40630/2/IQBAL... · x 3.l panjang Voka Vocal panjang atau maddah transliterasinya

90

-------------------------. Tafsīr Al-Mishbāḥ Pesan, Kesan, dan Keserasian dalam al-

Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar, Metode, Teknik, Cet.

Ketujuh. Bandung: Tarsito, 1982.

Al-Syafi‘ī, ‘Imāduddīn Ismā’īl ibn Umar ibn Kaṡīr ibn Ḍaw’ ibn Kaṡīr al-Qurasyī al-

Dimasyqī. Al-Bidāyah wa al-Nihāyah. Lebanon: Bayt al-Afkār al-Dauliyyah,

2004.

Syākir, Aḥmad Muḥammad. ‘Umdat al-Tafsīr ‘an al-Ḥafiẓ ibn Kaṡīr Mukhtaṣar

Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm, Jilid 1, Cet. Kedua. t.t.p.: Dār al-Wafā’, 2005.

Al-Ṭabarī, Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr bin Yazīd bin Kaṡīr bin Gālib al-Āmali.

Jāmi’u al-Bayān fī Taˋwīl al-Qur’ān, Jilid 8. T.tp.: Mu’assasah ar-Risālah,

2000.

Thosibo, Anwar. Historiografi Perbudakan Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan

Abad XIX. Magelang: IndonesiaTera, 2002.

Al-Tīnāwī, Muḥammad ‘Alī. Mā Malakat Aimānukum. Damaskus: Al-Ahālā li al-

Ṭabā‘at wa al-Nasyr wa al-Tauzī‘, 2011.

Wahid, Abdul Hakim. “Perbudakan dalam Pandangan Islam, Hadits dan Sirah

Nabawiyyah: Textual and Contextual Studies”, Nuansa, Vol. VIII, No. 2

(Desember 2015): h. 141-154.

Wiyono, R. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Cet. Kedua. Jakarta:

Kencana, 2013.

Yanggo, Huzaemah Tahido. dkk, Membendung Liberalisme. Jakarta: Penerbit

Republika, 2004.

Al-Żahabī, Muḥammad Ḥusain. Tafsīr wa al-Mufassirūn. Mesir: Dār al-Kutub wa al-

Ḥadīṡ, 1996.

Zakāriya, Abū Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin. Mu‘jam Maqāyis al-Lugah. T.tp.: Dārul

Fikr, 1979.

Al-Zamakhsyariyy, Abū al-Qāsim Maḥmūd ibn ‘Umar. al-Kasysyāf ‘an Ḥaqā’iq

Gawāmiḍ al-Tanzīl wa ‘Uyūn al- ’Aqāwīl fī Wujūh al-Ta’wīl, Cet. Pertama.

Riyāḍ: Maktabah al-‘Abīkān, 1998.

‘Abbās, ‘Abdullah ibn. Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn ‘Abbās. Libanon: Dār al-

Kutub al-‘ilmiyyah, t.t..