Upload
ngokhuong
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMAKNAAN MAJAZI PADA HADIS ORANG
MUKMIN MAKAN DALAM SATU USUS DAN KAFIR
MAKAN DALAM TUJUH USUS
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Yeni Yulianti
NIM. 1113034000199
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
PEMAKNAAN MAJAZI PADA HADIS ORANG
MUKMIN MAKAN DALAM SATU USUS DAN KAFIR
MAKAN DALAM TUJUH USUS
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Yeni Yulianti
NIM: 1113034000199
Pembimbing:
Dr. M. Isa H.A Salam, MA
NIP. 19531231 198603 1 001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanski yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
ABSTRAK
Yeni Yulianti, “Pemaknaan Majazi Terhadap Hadis Orang Mukmin Makan
dalam Satu Usus dan Kafir Makan dalam Tujuh Usus”, Skripsi Program Studi
Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2017.
Latar belakang skripsi ini adalah karena dalam memahami majaz sering
terjadi perdebatan antara pemaknaan secara tekstual dan kontekstual. Pemaknaan
haqiqi bagi kaum tekstual adalah lebih tepat dibanding pemaknaan majazi,
sedangkan bagi kaum kontekstualis adalah sebuah keharusan di suatu saat untuk
memaknai hadis secara majazi dan lafal yang dipandang sebagai majaz itu perlu
takwil.
Permasalahan yang ingin ditemukan jawabannya melalui penelitian ini
adalah bagaimana pemahaman majazi terhadap hadis Nabi khususnya hadis orang
mukmin makan dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh usus. Untuk
mencapai tujuan tersebut penulis menggunakan metode Yûsuf Qardâwî dalam
memahami majaz hadis dan metode yang digunakan tersebut adalah metode
takwil yakni metode untuk megalihkan makna kata, dari makna hakiki ke makna
majazi atau membedakan antara hakikat dan majaz (al-tafriq baina al-haqiqah wa
al-majaz).
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka. Sumber data
dalam penelitian ini adalah hadis tentang orang mukmin makan dalam satu usus
dan kafir makan dalam tujuh usus yang terdapat dalam Ṣâhîh al-Bukhâri dan
Ṣâhîh Muslim. Pembahasan mengenai matan hadis ini berdasarkan pada kitab-
kitab syarah hadis terutama kitab syarah hadis Ṣâhîh al-Bukhâri, yaitu Fathu al-
Bâri yang disusun oleh Ibn Hajar al-‘Asqalāni dan kitab syarah Ṣâhîh Muslim
yang disusun oleh Imam al-Nawâwi.
Dari penelitian ini, maka diperoleh kesimpulan bahwa hadis tersebut sulit
untuk dipahami secara harfiahnya karena dalam kenyataan yang lazim, perbedaan
anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh iman. Kesulitan ini akan hilang bila
hadis tersebut diartikan dengan makna majazi yaitu kezuhudannya orang mukmin
yang disebutkan dalam satu usus dan keserakahannya orang kafir yang
disebutkan dalam tujuh usus dimaksudkan untuk menunjukkan sifat atau karakter
rakus dan berlebihan dalam urusan duniawi. Selanjutnya sebagai bentuk tamsil
dan penyerupaan, jika dilihat dari ilmu balaghah hadis tersebut terdapat isti’arah
tamsiliyyah.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada
baginda Nabi Muhammad Saw. skripsi ini dengan judul “Pemaknaan Majazi Pada
Hadis Orang Mukmin Makan dalam Satu Usus dan Kafir Makan dalam Tujuh
Usus”. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Agama jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir pada
fakultas Ushuluddin.
Selama proses studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga penulisan
skripsi ini, banyak kesulitan yang dialami penulis dalam penyusunan skripsi ini
dan penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan berjalan
dengan lancer tanpa keterlibatan dari beberapa pihak yang memberikan
kontribusi, baik itu berupa bantuan, motivasi, pikiran, material, moral dan
spiritual. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
3. Ibu Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku Ketua dan Dra. Banun Binaningrum,
M.Pd, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir serta
Bapak M. Najib Tsauri, S.Th.I dan Ibu Hani Hilyati Ubaidah, S.Th.I yang
turut membantu dalam pengelolaan Program Studi.
4. Bapak Dr. M. Isa H.A Salam, MA selaku Dosen Pembimbing Skrispsi
penulis yang telah bersedia meluangkan waktu dan kesabarannya dalam
memberikan bimbingan dan arahan-arahan dalam menyelesaikan skripsi
ini.
5. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya Dosen Fakultas Ushuluddin yakni Dosen Pembimbing
iv
akademik Drs. Masykur Hakim, MA Ph.D dan Bapak Rifqi Muhammad
Fatkhi, MA yang telah berbagi ilmu.
6. Kedua Orang tua Bapak H. Apud Syaripudin dan Ibu Iah serta keluarga,
Suami saya Abdillah Somad SE serta kedua Orang tuanya (mertua saya)
yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi yang sangat besar baik
dari materi maupun jiwa.
7. Sahabat sekaligus saudara Nia Yuniarti, Sahabat ASPI-KAHFI Oktavia
Damayanti S.Ag, Faridah, Salma Turrahmi, Dian Pratiwi yang tak pernah
bosan mendengarkan curahan hati dan berbagi pengalaman.
8. Sahabat Kopal yaitu Siti, Nurul, Hana, Husni yang telah hidup bersama
dalam satu atap selama dua tahun.
9. Teman-teman Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2013 yang tak pernah
bosan memberikan bimbingan dan sarannya, khususnya Gisda, Nelfi,
Dewi, Aini, Nurhasanah, Puput, Maya, Nun.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini
masih banyak kurangnya dalam wawasan keilmuan, baik itu dari
kurangnya referensi dan rujukan lain yang belum terbaca menjadikan
skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Namun penulis berharap skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan pihak-pihak lain. Oleh
karena itu saran dan kritik sangat diperlukan sebagai bahan perbaikan
penulisan selanjutnya.
Ciputat, 13 Desember 2017
Penulis
(Yeni Yulianti)
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... i
ABSTRAK .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ...................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 10
D. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 11
E. Metodologi Penelitian ............................................................... 15
F. Sistematika Penulisan ............................................................... 18
BAB II MAJAZ DAN METODE TAKWIL ............................................ 19
A. Pengertian Hakikat dan Majaz .................................................. 19
B. Pembagian Majaz ...................................................................... 21
C. Metode Takwil .......................................................................... 41
BAB III PEMAKNAAN MAJAZ PADA HADIS ORANG MUKMIN
MAKAN DALAM SATU USUS DAN KAFIR MAKAN
DALAM TUJUH USUS ................................................................. 46
A. Metodologi Pemahaman Hadis Tentang Orang Mukmin
Makan Dalam Satu Usus dan Kafir Makan Dalam
Tujuh Usus ................................................................................ 46
vi
1. Redaksi Hadis ...................................................................... 46
2. Takhrij Hadis ........................................................................ 47
3. Penjelasan (Syarah) Hadis.................................................... 54
B. Analisis ..................................................................................... 62
BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 75
A. Kesimpulan ............................................................................... 75
B. Saran-saran ................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 77
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab yang padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ث
ts te dan es ث
j je ج
H h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
viii
koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof ´ ء
y ye ي
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri
dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
´ a fatḫah
´
i kasrah
u ḏammah
ix
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ىا
î i dengan topi di atas ىي
û u dengan topi di atas ى و
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ال dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân
bukan ad-dîwân.
Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( )dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh haruf-huruf syamsiyyah.
x
Misalnya, kata ة ر و ر ,tidak ditulis aḏ-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah الض
demikian seterusnya.
Ta Marbȗṯah
Jika ta marbûṯah terdapat pada kata yang berarti sendiri, maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h”. begitu juga jika ta marbûtah
tersebut diikuti oleh kata sifat (na‘t). namun jika huruf ta marbûtah diikuti
oleh kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
“t”
Contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
ṯarȋqah طريقت 1
سالمي تالجامعت اال 2 al-Jâmi´ah al-islâmiyyah
wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
Huruf Kapital
Huruf kapital yang digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
delam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sangangnya. Contoh : Abû Hamid al-
Ghazâlȋ bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlȋ, al-Kindi bukan Al-Kindi.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari dunia nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan
xi
meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis
Abdussamad al-Palimbani, tidak ´Abd al-Samad al-Palimbâni.
Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi´l), kata benda (ism), maupun huruf
(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
atas kalimat-kalimat dalam Bahasa Arab, dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
ت اد ه ة األ س Dzahaba al-ustâdzu ذ
ر tsabata al-ajru ث ب ج األج
ريت ص ت الع ك ر al-harakah al-´asriyyah الح
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemahaman terhadap hadis Nabi Saw dengan pendekatan kontekstual
perlu mendapatkan perhatian, tentu dengan acuan yang dapat dijadikan
sebagai standarisasi dalam memahami hadis. Realitanya adalah bahwa hadis
Nabi Saw lebih banyak dipahami secara tekstual, bahkan belakangan gejala
ini muncul di kalangan generasi muda Islam, tidak saja di Indonesia, tetapi
juga di banyak negeri Islam lainnya.1
Rasulullah Saw memiliki cara-cara tersendiri dalam
menginformasikan hadis, adakalanya Rasulullah Saw menyampaikan dengan
bahasa yang tegas atau dikenal makna hakiki dan tidak jarang pula
menyampaikan dengan bahasa yang tidak menunjukkan makna yang
sebenarnya secara langsung, dengan bahasa yang penuh dengan kiasan dan
inilah yang disebut majâz.
Ungkapan dalam bentuk majâz (kiasan, metafor) banyak sekali
digunakan dalam bahasa Arab. Dalam ilmu-ilmu balaghah (retorika)
dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majâz, lebih berkesan dari pada
ungkapan dalam bentuk yang biasa. Sedangkan Rasulullah Saw yang mulia
adalah seorang berbahasa Arab yang paling menguasai balaghah. Ucapan-
ucapannya adalah bagian dari wahyu. Maka tidak mengherankan apabila
1 Maizudin, Pemahaman Kontekstual atas Hadits Nabi (Kajian Islam: Jurnal ilmu-ilmu
Keislaman), (Padang: Tim pengembangan Jurnal Ilmiah IAIN Imam Bonjol Padang, 2001), hal.
115.
2
dalam hadis-hadisnya beliau banyak menggunakan majâz, yang mengungkap
maksud beliau dengan cara sangat mengesankan.2
Dalam disiplin ilmu al-Qur‟an, pengalihan arti itu disebut ta‟wil, atau
oleh ulama-ulama sesudah abad ke 3 Hijriah, diartikan sebagai “mengalihkan
arti suatu kata atau kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke makna lain
berdasarkan indikator-indikator atau argumentasi-argumentasi yang
menyertainya”. Salah satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab yaitu ilmu al-
bayan menggunakan istilah majâz.3
Kaitannya dengan adanya majâz dalam hadis, para ulama‟ (ulama
muhaddis) telah menyusun berbagai macam cara dan atau ilmu bagaimana
seharusnya hadis-hadis yang memakai kiasan tersebut dipahami. Namun tidak
semua ulama sepakat atas pembagian makna hakiki dan makna majâzi.4
Kelompok yang tidak menerima makna majâzi adalah ulama Salaf
(tekstual-tradisional)5 yaitu Abu Ishaq al-Isyfîrayinî mengatakan bahwa:
“Tidak ada majâz dalam al-Qur‟an dan yang selamanya”. Dan majâz
merupakan suatu kebohongan, karena menyampaikan sesuatu yang bersifat
tidak sebenarnya.6
2Yûsuf al-Qaraḏâwî, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, Pen: Muhammad Al-Baqir,
(Bandung: Karisma, 1995), hal. 167. 3Etey Qomariah, “Dualisme Hakikat-Majaz dan Masalah Ta‟wil”, Artikel diakses pada 14
Agustus dari http://eteyqomariah.blogspot.co.id/2013/12/dualisme-hakikat-majaz-dan-masalah-
tawil.html 4Muhammad Yusuf, Telaah Majas Pada Hadits-hadits Kitab Shahih Al-Bukhari, Tesis
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005, h. 30. 5Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadits Nabi, Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2016, h. 1. 6Muhammad Adib, Metode Taqwil al-Qur‟an Ibn Qutaybah, Tesis Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009, h. 76.
3
Pendapat tersebut juga sama dengan kalangan muta‟akhîrin Ibn
Taimiyyah (w. 726 H), Ibn al-Qayyim (w. 751 H), dan Muhammad al-Amīn
al-Syinqiti (w. 1393 M), serta kelompok Salafî-Wahabî yang dipelopori
Muhammad Ibn Abd al-Wahab mengartikan hadis mutasyâbihât secara
tekstul dan menolak majâz.7 Dapat dikatakan bahwa mereka menerima dan
mengartikan ayat-ayat dan hadis-hadis mutasyâbihât menurut lafaẕnya yang
lahir, sambil meyakini bahwa Allah Maha Suci dan terhindar dari serupa
dengan makhluk.
Konsekuensi dari sikap kelompok ini membuat lafal teks (al-Qur‟an
maupun hadis) tanpa makna yang pasti, sehingga membuka ruang penafsiran
yang bebas dari orang awam dan orang-orang yang menginginkan liberalisasi
pemikiran teologis.8
Sedangkan kelompok yang menerima pemaknaan majâz adalah ulama
khalaf (kontekstual-rasional), semisal Al-Suyûthî (w. 911 H/1505 M) berkata,
“Metafora adalah unsur keindahan bahasa dan jika ia ditolak keberadaannya
dalam al-Qur‟an (dan tentunya juga dalam hadis), maka tentunya sebagian
unsur keindahan pun tidak akan ada padanya”.9 Untuk hadis yang tidak dapat
dipahami secara tekstual, maka bisa dilakukan takwil terhadapnya, tentu
dengan suatu alasan yang kuat.10
Dalam praktik penerapan teori majâz pada hadis, sebagian tasyaddud
(ketat) dalam menggunakan teori tersebut, dan sebagian yang lain tasahhul
7Muhammad Adib, Metode Taqwil al-Qur‟an Ibn Qutaybah, h. 76.
8Muhammad Adib, Metode Taqwil al-Qur‟an Ibn Qutaybah, h. 15.
9Fauz Noor, Berpikir seperti Nabi, (Yogyakarta: Pustaka Sastra LKiS, 2009), Hal. 309.
10Ahmad Saiful Islam, Makna Majas Kata Yammas Hadits Nomor 486 dalam Mu‟jam Al-
Kabir Ii Al-Tabrani , Skripsi UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012, h. 2.
4
(longgar) dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Ulama yang tasahhul seperti
kelompok mu‟tazillah, melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasyâbihât
berdasarkan kerangka dasar mereka untuk mendukung posisi teologis
mereka. Ulama Sunni menganggap bahwa takwil mu‟tazilah mengorbankan
makna teks demi kepentingan-kepentingan teologis dan pengalihan lafad dari
makna yang bersifat konotatif kepada makna yang bersifat denotative
dilakukan secara sewenang-wenang.11
Berbeda dengan kelompok yang tasyaddud, seperti Yûsuf al-Qaraḏâwî
sangat berhati-hati dalam pemberian makna majâzi pada suatu lafaẕ, jika
sebuah kata bisa dimaknai apa adanya, maka tidak perlu digunakan
pemaknaan majâzi.12
Penakwilan boleh dilakukan dengan syarat bahwa
penakwilan harus diperankan oleh orang-orang yang benar-benar mengetahui
al-Qur‟an, bahasa Arab, dan adanya petunjuk (qarinah) atau dalil yang
menghendaki untuk tidak menggunakan makna asalnya.13
Perbedaan ulama Salaf (tekstual-tradisional) dan ulama khalaf
(kontekstual-rasionalis) dalam mengaplikasikan makna majâzi dalam
memaknai hadis, bisa kemungkinan dilatarbelakangi oleh akibat atau
implikasi majâz pada makna sebuah hadis, tidak hanya berbeda dalam
maksud sebuah hadis, bahkan tidak jarang melemahkan hadis sahih lantaran
lafaẕ matannya.14
11
Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadits Nabi, Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2016, h. 3. 12
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi (Yogyakarta, Teras, 2008) h. 175. 13
Abdul Hamid Ritonga, Hadis-hadis Antropomorfisme: Analisis terhadap Takwil Ibn
Hajar al-„Asqalani dalam Fath Al-Barii, MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. XXXVII No.
2 (Juli Desember 2013), h. 24. 14
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, hal. 175
5
Pendapat al-Nawâwi yang dikutip oleh Ngumdaturrosidatuszahrok
bahwa, ada sejumlah hadis yang jika dipahami secara hakiki tidak bisa
dipahami dengan baik. Salah satunya seperti hadis terputusnya salat karena
anjing, keledai, dan wanita dan memandang hadis ini problematis dan tidak
seharusnya dibaca tekstual.15
ia menyebutkan bahwasannya perempuan tidak
termasuk faktor yang memutuskan salat seorang laki-laki. Hadis dari „Urwah
ibn Zubair menunjukan bolehnya seseorang salat ketika ada perempuan lewat
di depannnya. Pasca interpretasi „Âisyah. Tiga imam madzhab yaitu al-
Syâfi‟î, al-Malik dan Abu Hanîfah berpendapat bahwa hadis tersebut harus
dibaca dengan takwil.16
Menurut al-Nawâwi makna kata „memutus salat‟
dalam hadiss bukanlah membatalkan salat, akan tetapi hanya bermakna
mengurangi kekhusyukan salat.17
Dari contoh pemahaman hadis tersebut, sangat jelas bahwa
penggunanaan pemaknaan majâzi sangat berpengaruh terhadap pemahaman
hadis. Pemaknaan majâzi dapat menjadi solusi bagi permasalahan hadis yang
didalamnya terdapat kejanggalan-kejanggalan.
Salah satu hadis yang bermasalah adalah orang mukmin makan dalam
satu usus dan orang kafir makan dalam tujuh usus. Redaksi ini merupakan
hadis dalam kitab Sâẖîẖ al-Bukhâri dan Sâẖîẖ Muslim. Makna hadis ini bukan
makna hakiki, bukan maksud hadis bahwa orang kafir ususnya lebih banyak
tujuh kali lipat dari orang mukmin. Dalam ilmu kedokteran manapun tidak
ada yang membicarakan perbedaan usus antara orang kafir dengan orang
15
Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadits Nabi, h. 39. 16
Al-Nawāwi, Syarah Shāhih Muslim (Kairo: al-Matba‟ah al-Misriyyah li al-Azhar, 1929) 17
Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadits Nabi, h. 43.
6
mukmin. Karena tidak mungkin perbedaan anatomi tubuh manusia
disebabkan oleh iman seseorang.
Struktur tubuh manusia, dari manapun asal-usul dan apapun
agamanya, menurut ilmu anatomi tubuh, memiliki kesamaan komponen
anggota tubuh, baik struktur luar maupun struktur dalam. Ia memiliki kepala,
tangan, kaki, rambut, jantung, paru-paru, limpa dan termasuk usus. Akan
tetapi, dalam hadits Nabi Saw ditemukan informasi bahwa “orang kafir
makan dalam tujuh usus”.18
Maka dari itu hadis tidak bisa selalu dipahami
secara hakiki. Sedangkan menurut Siti Imritiyah dalam skripsinya bahwa
hadis tersebut bermaksud sedikit makan adalah termasuk akhlak baik
seseorang, sedangkan banyak makan adalah sebaliknya.
Beberapa pendapat para ulama mengenai hadis “orang mukmin makan
dalam satu usus sedangkan kafir makan dalam tujuh usus”. diantaranya:
Ibn Hajar al-Asqalâni menjelaskan, bukanlah maksudnya adalah
makna hakiki berupa usus bukan juga pengkhususan makan. Maksudnya
adalah sedikit keinginan terhadap dunia dan tidak memperbanyaknya. Makna
hadis ialah perintah agar juhud pada dunia dan tidak terlalu cenderung kepada
dunia, perintah agar tidak terlalu banyak makan dan serakah.
Imam al-Nawâwi rahimahullah berkata, “Para ulama menjelaskan
bahwa maksud hadis ini adalah agar mempersedikit (kecenderungan) kepada
dunia dan motivasi agar juhud dan qana‟ah. Kemudian beliau berkata lagi,
18
Ahmad Ghozi, “Hadis-hadis yang Bermakna Majazi”, artikel diakses pada 1 Mei 2017
dari http://googleweblight.com?lite_url=http://ahmadghozi.blogspot.com/2009/05/hadits-majazi
7
“Padahal sedikit makan merupakan kemuliaan akhlak seseorang dan banyak
makan adalah lawannya19
Dan memang perut yang terlalu penuh adalah sumber kerusakan.
Sebagaimana dalam hadis, “Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang
lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa
suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya),
hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk
minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas”.20
Demikian pula, M. Syuhudi Ismail mengungkapkan bahwa Perbedaan
usus dalam matan hadis “orang mukmin makan dalam satu usus sedangkan
kafir makan dalam tujuh usus” menunjukkan perbedaan sikap atau
pandangan terhadap nikmat Allah SWT, termasuk tatkala makan. Orang yang
beriman memandang makan merupakan salah satu dari upaya untuk
melangsungkan kehidupan sebaliknya orang kafir menganggap makan dan
segala yang berbentuk materi merupakan tujuan dari hidupnya. Karenanya
orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam kemewahan dan
kelezatan makan karena yang banyak menuntut kemewahan dan kelezatan
pada umumnya adalah orang kafir.21
Begitupun Al-Syarif Ridâ dan beliau
berpendapat bahwa perkataan tersebut merupakan majâz. 22
19
Raehanul Bahraen, “Adab, Aqidah, Fiqh, Manhaj”, Artikel diakses pada 17 Januari 2018
dari http://muslimafiyah.com/mukmin-makan-dengan-satu-usus-kafir-dengan-tujuh-usus-.html. 20
Ibn Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî: Syarah Sâẖîẖ al-Bukhârî, Penerjemah. Abdul Aziz
Abdullah Ibn Baz (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jilid 26, h.660. 21
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‟ani al-Hadîs
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), hal.21. 22
Al-Syarîf Ridâ, Al-Majasât al-Nabawiyyah (Lebabon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2007),
hal. 215.
8
Pemaknaan majâzi dalam pemaknaan hadis sangat penting dan
menarik untuk dikaji lebih khusus. Oleh karena itu, dalam skripsi ini akan
disajikan hadis yang berpeluang untuk dimaknai secara majâzi. Yaitu Hadis
riwayat al-Bukhâri dengan nomor hadis 5393.
د عن نافع ق ث نا شعبة عن واقد بن مم مد حد ث نا عبد الص ار حد د بن بش ث نا مم ا حد ال ل حت ي ؤتى بسكني يأ ابن عمر ل يأ ثرياا ف قا ل ل معه فأ معه فأدخلت رجلا يأ
ل ف المؤمن يأ عت النب صلى الله عليه وسلم ي قو معاى يا نافع ل تدخل هذا علي سعة أمعاء ل ف سب واحد والكافر يأ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar Telah
menceritakan kepada kami Abdush Shamad Telah menceritakan kepada kami
Syu'bah dari Waqid bin Muhammad dari Nafi' ia berkata; Biasanya Ibnu
Umar tidak makan hingga memberikan kepadanya seorang miskin lalu
makan bersamanya. Maka aku pun memasukkan seorang laki-laki untuk
makan bersamanya, lalu laki-laki itu makan banyak, maka ia pun berkata,
"Wahai Nafi', jangan kamu masukkan orang ini. sesungguhnya aku telah
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Seorang
mukmin itu makan dengan satu usus, sedangkan orang kafir makan dengan
tujuh usus.23
Maka penulis tertarik untuk membahas skripsi yang berjudul
“Pemaknaan majâz pada hadis orang mukmin makan dalam satu usus dan
kafir makan dalam tujuh usus” hadis tersebut layak untuk disusun dan
diteliti untuk memberi penjelasan hadis yang mengandung lafaẕ majâzi, agar
terhindar dari maksud keliru. Skripsi ini ingin meneguhkan cara seperti
skripsinya Ngumdatudzahrok bahwa tidak semua hadis harus di pahami
23
Muhammad bin Ismâil al-Bukhâri, Sâẖîẖ al-Bukhârî, Jilid III, h.293.
9
secara hakiki. Menolak penggunaan takwil itu akan sulit dipahami.
Perbedaannya ialah dalam skripsi Ngumdatudzahrok tidak dicantumkan
metode takwil dan tidak dijelaskan langkah-langkah metode Yûsuf al-
Qaraḏâwî serta tanda-tanda hadis yang harus dimaknai majâzi. Kemudian
beliau meneliti hadis yang bertemakan akidah, ibadah, dan muamalah
sedangkan penulis hanya pada hadis yang bertema makanan.
B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah
a. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis menemukan beberapa
akar permasalahan yang dapat diidentifikasi dalam penelitian ini, yaitu:
1. Adanya kelompok yang menolak dan menerima takwil.
2. Hadis orang mukmin makan dalam satu usus dan kafir makan dalam
tujuh usus merupakan hadis yang perlu diteliti karna hadis tersebut
mengandung lafaẕ majâzi.
3. Hadis orang mukmin makan dalam satu usus dan kafir makan dalam
tujuh usus menunjukkan perbedaan sikap, termasuk tatkala makan
atau adab makan.
4. Hadis tersebut adalah perintah agar zuhud pada dunia.
b. Batasan Masalah
Dari beberapa masalah yang teridentifikasi di atas, maka
pembahasan hadis orang mukmin makan dalam satu usus dan kafir
makan dalam tujuh usus pada penelitian ini akan dibatasi pada
pemahaman majâzi. penulis tertarik untuk meneliti metode takwil Yûsuf
10
al-Qaraḏâwî. Karena metode yang digunakan Yûsuf al-Qaraḏâwî dalam
mâjaz al-hadîs adalah metode takwil. Pada penelitian ini hadis yang
akan digunakan adalah hadis Ṣaḥīh yang terdapat dalam kitab Saẖîẖ al-
Bukhāri bab al-Mu'min ya'kulu fî mi'ân wâẖidin (orang mukmin makan
pada satu wadah) dan kitab Saẖîẖ Muslim. Mengingat karena kedua kitab
ini merupakan hadis yang memenuhi syarat kesahihan hadis.24
Untuk itu
penulis merasa hadis tersebut perlu diteliti secara cermat. Sedangkan
metode takwil yang penulis gunakan adalah metode Yûsuf al-Qaraḏâwî
yakni (membedakan antara hakikat dan majâz dalam memahami hadis).
c. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas maka
penulis merumuskan masalah yaitu: “Bagaimana Pemahaman Majâzi
terhadap Hadis Orang Mukmin Makan dalam Satu Usus dan Kafir
Makan dalam Tujuh Usus?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ditawarkan, maka tujuan skripsi
ini adalah untuk mengetahui pemahaman majâzi pada hadis Nabi Saw
khususnya hadis orang mukmin makan dalam satu usus dan kafir makan
dalam tujuh usus dengan pendekatan takwil.
Manfaat penelitian ini secara teoritas, mampu memberikan kontribusi
dan memperluas khazanah intelektual kepada umat Islam dan menjadi salah
24
M. Syuhudi Ismail, Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Kritis dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 2014, h. 12.
11
satu bahan rujukan tentang kasus pemaknaan majâzi pada hadis orang
mukmin makan dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh usus.
Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi media
informasi bagi pemerhati kajian hadis sekaligus dapat memberikan kontribusi
terhadap program Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir dalam bentuk pemahaman
yang lebih luas dan mendalam dengan kaitannya hadis yang dikira berpotensi
untuk dimaknai secara majâz agar terhindar dari pemahaman yang keliru.
Diharapkan kajian ini akan mendorong kajian-kajian pada bidang serupa yang
memang masih sangat dibutuhkan.
D. Tinjauan Pustaka
Penulis telah menemukan beberapa tulisan yang relevan dengan judul
pemaknaan majâz pada hadis orang mukmin makan dalam satu usus dan kafir
makan dalam tujuh usus, berikut pemaparannya:
1. Pemaknaan majas pada hadis Nabi, yang ditulis oleh
Ngumdaturrosidatuszahrok, pada tahun 2016 di Universitas Islam Negeri
Jakarta. Namun demikian, masalah utama dalam skripsinya adalah bahwa
beberapa lafad pada hadis tidak bisa dimaknai secara hakikatnya, jika hal
ini dipaksakan akan berpengaruh pada informasikan yang disampaikan
hadis tersebut, dalam skripsinya disajikan empat kasus hadits yang
berpeluang untuk dimaknai secara majâz, yaitu tentang; terputusnya salat
karena anjing, keledai, dan wanita, surga di bawah naungan pedang,
wanita seperti kaca, dan Allah tertawa. Hadis tersebut menggunakan
pendekatan takwil Yûsuf al-Qardâwî. Kemudian skripsi tersebut menolak
12
pendapat yang tidak menerima pemaknaan majasi seperti, Ibn Taimiyah,
Ibn Qayyim, dan kelompok Salafi-Wahabi. Serta mendukung pendapat
Ibn Qutaybah dan Yûsuf al-Qaraḏâwî.
2. Muhammad Adib25
dalam tulisannya menjelaskan beberapa informasi
yang menunjukan bahwa: konsep dan metode takwil Ibn Qutaybah
berkaitan dengan erat dengat persoalan ayat-ayat mustasyâbihât.
Sehingga selain diimani juga harus dilakukan upaya takwil demi benarlah
tujuan al-Qur‟an sebagai al-Huda (petunjuk) dan al-Syifa (obat) karna
praktik takwil telah dilakukan semenjak abad ke-3 H, dan Adib
menjelaskan bahwasannya takwil yang dilakukan Ibn Qutaybah adalah
takwil yang sahih, karena jika takwil yang dimaksudkan oleh ulama salaf
saleh adalah yang bermakna al-marja‟ wa al-nasir al-kasyfu wa al-tafsir,
maka takwil Ibn Qutaybah adalah takwil yang dimaksud oleh ulama salaf
saleh.
3. Kemudian Mu‟min Rauf26
menelaah metode takwil Tafsir al-Maraghī
yang disusun oleh Ahmad Mustafâ al-Maraghî merupakan tafsir dengan
corak adabi al-ijtima‟î yang menggunakan upaya takwil. Al-Maraghī,
salah seorang musfassir kontemporer berupaya menyajikan tafsiran yang
rasional, namun tetap dalam kehati-hatian dalam menafsirkan ayat-ayat
mutasyâbihât. Mu‟min Rauf telah membuktikan sikap kehati-hatian al-
Maraghî dengan melihat ketika al-Maraghî menafsirkan ayat tentang
25
Muhammad Adib, Metode Taqwil al-Qur‟an Ibn Qutaybah, Tesis Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009. 26
Mu‟min Rauf, Pendekatan Takwil Al-Maraghi Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat, tesis
Sekolah pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007.
13
ketauhidan dan eskatologi tampak sangat berhati-hati agar tidak terjebak
pada penafsiran yang liberal. Menurut Mu‟min Rauf Tafsir al-Maraghī
lebih bisa diterima karena dianggap lebih lurus dibandingkan dengan
karya tafsir yang disusun oleh Muhammad Abduh.
4. Ada pula Norhidayat27
mengatakan masalah utama yang menjadi fokus
penelitiannya adalah bagaimana metode ta‟wil al-Ghâzalî untuk ayat-ayat
mutasyâbihât dan metode ta‟wilnya untuk menyingkap makna-makna
esoteris al-Qur‟an. Menurut al- Ghâzalî metode penta‟wilan ayat-ayat
mutasyābihāt dapat dilakukan secara terstruktur dalam kerangka lima
stratifikasin wujud, yaitu: Pertama, wujud dzati (esensial), kedua, wujud
hissi (sensual), ketiga, wujud khayali (khayal imajinasi), keempat, wujud
„aqli (rasional), dan kelima, wujud syabahi (metaforis). Model metode
ta‟wil al-Qur‟an yang diajukan al-Ghāzalī, baik untuk memahami ayat-
ayat mutasyâbihât maupun untuk menyingkap makna-makna esoteris,
memungkinkan lahirnya sikap yang menghargai adanya pluralitas
pemahaman. Selanjutnya, dengan metode ta‟wil yang ditawarkan al-
Ghâzalî, maka kegiatan eksplorasi makna-makna yang terkandung dalam
kitab suci al-Qur‟an menjadi suatu aktivitas yang tidak pernah akan
berakhir. Tulisan yang telah penulis dapatkan sebagai referensi kajian
takwil dalam interpretasi makna, dan masih terfokus terhadap ayat-ayat
al-Qur‟an.
27
Norhidayat, Metode Ta‟wil Al-Qur‟an Menurut Al-Ghazali, Tesis Sekolah pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006.
14
5. Tulisan dari Muhammad Yusuf yang membahas tentang kebalighahan
Nabi dari aspek kebahasan dalam perspektif sastra Arab, dengan
mengkaji majâz dalam hadits nabi dibatasi pada hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhāri. Didapatkan dari 1875 hadis, sebanyak 103
hadis yang mengandung majâz dengan perincian majâz mursal sekitar 40
hadis dan majâz isti‟arah sekitar 63 hadis, yang jadi prosentasekan
sebanyak sepuluh persen dari jumlah keseluruhan hadis yang ada dalam
kitab Ṣāḥīh al-Bukhāri. Terakhir Yusuf mengatakan bahwa majâz yang
terkandung dalam hadis telah disampaikan oleh seorang yang lisannya
merupakan paling fasihnya lisan manusia Arab. 28
Dikarenakan jumlah hadis yang diteliti terbilang banyak, maka dari
segi penguraian majâz pada hadis-hadis tersebut terlalu singkat, hanya
menjelaskan dengan syarah hadis dan menyebutkan kategori majâz, tanpa
merinci majâznya. Penulis kira masalah ini perlu diteliti lagi.
Urgensi-Urgensi ilmu majâz al-hadis yaitu: untuk memperluas dan
memperkuat makna, mengalihkan makna yang tidak dapat diungkapkan
dengan ungkapan haqiqi dan memperjelas makna.29
Kasus yang akan diteliti layak disusun untuk meneliti dan memberi
penjelasan hadis yang mengandung lafadz majâz, agar terhindar dari maksud
keliru. Skripsi ini ingin meneguhkan cara seperti skripsinya
Ngumdatudzahrok bahwa tidak semua hadis harus di pahami secara hakiki.
Menolak penggunaan takwil itu akan sulit dipahami pada suatu hadis tertentu
28
Muhammad Yusuf, Telaah Majas Pada Hadits-hadits Kitab Shahih Al-Bukhari, Tesis
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005. 29
http://ilmu majazil hadis /2013/10/ alqurangresik.htm.
15
yakni yang penulis teliti ialah hadis orang mukmin makan dalam satu usus
dan kafir makan dalam tujuh usus.
E. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data
Sumber data primer dalam hal ini penulis menggunakan hadis
yang diduga mengandung makna majâzi pada kitab Sâhîẖ al-Bukhāri bab
al-ath‟imah (makanan-makanan) dan Imam Muslim mencatatnya dalam
kitab al-Asyribah (minum-minuman) serta merujuk pada kitab-kitab yang
termasuk dalam kutub al-sittah yang memuat hadis-hadis tersebut dengan
syarahnya.
Adapun sumber sekunder yang dapat mendukung dan
memperkuat data primer dalam kajian ini, penulis merujuk pada kitab-
kitab Syarah hadis, diantaranya: Syarah Sâhîẖ al-Bukhāri oleh Ibn Hajar
al-Asqalâni, Fathul Bâri, al-Nawāwī, Syarah Ṣaḥīh Muslim, dan buku
hadis terkhusus pada bab pemaknaan majazi, semisal Kayfa Nata‟amal
Ma‟a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, dan Majâzât al-Nabawiyyah serta
artikel-artikel dalam jurnal maupun keterangan dari internet yang bisa
dipertanggungjawabkan kebenaran datanya yang berkaitan dengan pokok
permasalahan dalam penelitian ini, dan dianggap penting untuk dikutif
dan dijadikan informasi tambahan.
16
2. Metode Pengumpulan Data
Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode takhrijul
Hadis,30
yaitu metode untuk mengetahui ada berapa banyak hadis orang
mukmin makan dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh usus yang
ada dalam kutub al-sittah, penulis juga melakukan penelitian kepustakaan
(library research), yaitu mengumpulkan berbagai literatur yang relevan
dengan pokok masalah dan kajian pemahaman majazi pada hadis orang
mukmin makan dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh usus. Serta
informasi-informasi lain terkait metode takwil Yûsuf al-Qaraḍâwî dan
kajian tentang pemaknaan majazi sebagai penguat pemahaman.
Teknis pembahasan dalam penelitian ini adalah deskripsi
analisis, yaitu suatu pendekatan masalah dengan menguraikannya
terlebih dahulu sebagai gambaran awal dan setelah itu dianalisis untuk
kemudian ditarik sebuah kesimpulan.
3. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh seputar penjelasan terkait contoh kasus
yang akan dibedah, dianalisa menggunakan metode yang ditawarkan
Yûsuf al-Qaraḏâwî, yakni al-tafriq baina al-haqiqah wa al-majaz
(membedakan antara yang hakiki dan majazi), dan hasil penelitian akan
dideskripsikan.
Penulis tidak menemukan langkah sistematis dalam buku Kayfa
Nata‟amal Ma‟a Al-Sunnah Al-Nabawiyyah yang dilakukan oleh Yûsuf
30
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hal. 43.
17
al-Qaraḏâwî. Akan tetapi, penulis melihat contoh hadis yang
diselesaikankan oleh beliau bahwa pada prakteknya jika hadis itu
terdapat qarinah yang mengharuskannya untuk dimaknai secara majâz
dan keluar dari makna hakikinya. Dengan kata lain pengertian keluar dari
makna hakiki pada makna majâz itu apabila terdapat suatu tanda yang
menghalangi penyampaian makna hakiki berdasarkan alasan dalil naqli
atau rasional. Kemudian, penulis mengutip dari temuan M. Syafi‟ tentang
metode takwil Yûsuf al-Qaraḏâwî bahwasannya beliau menyelesaikan
metode takwil ialah mengaitkan dengan al-Qur‟an, hadis setema,
pendapat ulama dan pendekatan bahasa.
Skripsi ini menggunakan metode Yûsuf al-Qaraḏâwî di
bandingakan dengan metode takwil yang lainnya, seperti Ibn Qutaybah,
karena Yûsuf al-Qaraḏâwî lebih mengkonsentrasikan pemikiran pada
hadis-hadis yang terkesan bertentangan. Yûsuf al-Qaraḏâwî dalam
bukunya Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw31
, beliau menawarkan
kajian kritik matan hadis yang dapat memberikan cakrawala dan
wawasan dalam hubungannya dengan ilmu hadis.
4. Metode Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku
“Pedoman akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2013/2014.
31
Yûsuf al-Qaraḏâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, terj. Muhammad al-Baqir
(Bandung: Kharisma, 1993)
18
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan, maka penulis menggunakan
sistematika pembahasan sebagai berikut:
BAB PERTAMA, berisi pendahuluan yang memuat latar belakang
terbentuknya masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.
BAB KEDUA, penulis akan menjelaskan tentang majaz dan metode takwil.
Berisi tentang definisi-definisi dari beberapa istilah yang ada dalam
pembahasan dan penelitian ini sebagai landasan teori pada penelitian. Yaitu:
pengertian majaz, hakikat dan pembagian majaz serta metode takwil secara
umum dan metode takwil Yûsuf al-Qaraḏâwî yakni (membedakan antara
yang hakikat dan majaz).
BAB KETIGA, memaparkan tentang inti persoalan yang di angkat dalam
skripsi ini yaitu mengenai analisis yang dilakukan untuk mengetahui
pemaknaan majazi pada hadis tentang orang mukmin makan dalam satu usus
dan kafir makan dalam tujuh usus. Langkah pertama adalah menampilkan
redaksi hadis, kemudian takhrij hadis dan syarah hadis, Setelah dipahami
secara utuh selanjutnya menganalisis berdasarkan metode takwil Yûsuf al-
Qaraḏâwî.
BAB KEEMPAT, yaitu kesimpulan hasil pembahasan berdasarkan bab-bab
sebelumnya.
19
BAB II
MAJAZ DAN METODE TAKWIL
Para ahli bahasa sepakat bahwa setiap kata memiliki makna, yakni
pengertian yang terkandung dalam kata tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut,
paling tidak ada dua jenis makna yang sering menyertai penggunaan sebuah kata
dalam bahasa, yaitu: pertama, ma‟na haqiqi (denotatif) yakni makna asal yang
dimiliki oleh kata tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam kamus, sehingga
disebut juga dengan ma‟na mu‟jamy (makna leksikal). Sedangkan yang kedua
makna majâzy (konotatif) yakni makna baru yang muncul dari penggunaan sebuah
bahasa, atau seringkali disebut ma‟na far‟i (makna tambahan) karena tidak
menunjukkan lagi makna asalnya.1 Dalam bab ini penulis hanya akan
menguraikan pengertian majaz serta pembagiannya. Namun, terlebih dahulu harus
diketahui dari makna hakikat dan majaz, karena memahaminya adalah pondasi
awal sebelum melakukan penelitian majaz. Oleh karena itu sebelum masuk ke
pembahasan penulis akan menguraikan pengertian hakikat majaz secara
kebahasaan, yaitu sebagai berikut:
A. Pengertian Hakikat dan Majaz
Hakiki dalam pengertian bahasa, berasal dari bahasa Arab yang
artinya nyata, kenyataan, atau asli. Hakiki dari kata haqqa yang berarti tetap.
Sebagai makna subjek (fâ‟il) memiliki arti yang tetap, atau sebagai objek
(maf‟ûl) yang berarti ditetapkan.2
1Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah (Bandung: Tafakur, 2012), h.
68. 2Haris Zubaidillah, “Hakiki dan Majazi”, Artikel diakses pada 15 Juni 2017 dari
blogspot.co.id/2015/10/makalah-hakiki-dan-majazi-tasybih.html
20
Ibn Jinnî (w. 392) mendefinisikan hakikat adalah „Suatu yang telah
tetap dalam penggunaannya, sedangkan majaz adalah kebalikan dari itu,
yaitu yang tidak tetap dalam penggunaannya berdasar asal pembentukannya
dalam bahasa.‟3
Contoh makna hakikat;4
“Matahari itu terbit dari timur.”
Kata “matahari” pada contoh di atas menunjukkan makna asal yang
sebenarnya dimiliki oleh kata tersebut, yaitu benda langit yang memiliki
cahaya yang muncul di siang hari. Inilah yang disebut makna hakikat.
Sedangkan contoh makna majâz bisa kita perhatikan dalam
ungkapan berikut ini;5
“Matahari itu berpidato di depan masyarakat”
Kata “matahari tidak digunakan dalam makna asal,
tetapi digunakan pada makna baru, yaitu makna yang tinggi derajatnya dan
berwibawa serta bercahaya seperti matahari. Inilah yang disebut makna
majâz.
Perkataan majâz )اندبص( berasal dari fi‟il mâdî خبص yang berarti
melewati. Para ulama menamakan suatu lafaz yang dipindahkan dari
kehendak makna asalnya dengan perkataan majâz, karena mereka
melewatkan lafaz tersebut dari makna aslinya. 6
3Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadits Nabi, h. 17.
4Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h. 69.
5Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h. 69.
6Muhammad Yusuf, Telaah Majas Pada Hadits-hadits Kitab Shahih Al-Bukhari, Tesis
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005, h. 74.
21
Pengertian majâz itu sendiri menurut al-Sakkaki, majâz adalah
kalimat yang digunakan bukan pada tempat semestinya, karena digunakan
untuk yang lainnya, dan kalimat tersebut tidak dapat disandarkan kepada
makna aslinya, karena terdapat sebuah petunjuk (qarinah) yang menghalangi
untuk makna asli tersebut.7
Demikian pengertian majâz menurut para ulama dan dapat ditarik
kesimpulan bahwa, majâz adalah penggunaan kata yang tidak digunakan
dalam makna asalnya tetapi digunakan pada makna baru. Maka inilah yang
akan menjadi pembahasan pada penelitian skripsi ini.
B. Pembagian Majaz
Menurut Fadl Hasan, majâz pada garis besarnya ada dua jenis, yaitu
majaz „aqli dan majaz lughawi. Majâz „aqli adalah penyandaran suatu kata
fi‟il (kata kerja) kepada fa‟il yang tidak sebenarnya, sedangkan majâz lughawi
adalah majaz yang „alaqah-nya ditinjau dari aspek bahasa.8
1. Majaz ‘Aqli
ن نؼهقخ يغ قشيخ يب في يؼب ان غيش يب إعبد انفؼم أ دبص انؼقم ان إسادح ؼخ ي
عبد انحقيقي ال9
“Majaz „aqlī adalah penyandaran fi‟il atau kata yang
menyerupainya yaitu seperti masdar, isim fail, yang biasa beramal
seperti fi‟ilnya pada tempat peyandaran yang tidak sebenarnya karena
adanya hubungan dan disertai petunjuk yang menghalangi sebagai
penyandaran yang hakiki.”
7Al-Sakkâkî, Miftâh al- „Ulûm (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t, th), h. 359.
8Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadits Nabi, 2016, h. 19.
9Muhammad Yusuf, Telaah Majas Pada Hadis-hadis Kitab Shahih Al-Bukhari, 2005, h.
76.
22
Dari definisi tersebut dapat kita pahami bahwa adanya perbedaan
antara penyandaran yang hakiki dan penyandaran yang majâzi. Penyandaran
yang hakiki sebagaimana dikatakan oleh Bakri Syaikh Amin yaitu
penyandaran fi‟il atau yang menyerupainya kepada fa‟ilnya yang asli sesuai
dengan kenyataannya (zâhirnya). Adapun penyandaran majâzi yaitu
penyandaran fi‟il atau yang menyerupainya seperti masdar dan isim fa‟il
yang biasa beramal seperti amal fi‟ilnya, disandarkan kepada makna yang
tidak sebenarnya.10
Majaz Aqli atau disebut juga Isnad majâzi adalah menyandarkan
perbuatan (aktivitas) atau yang semakna kepada sesuatu yang bukan aslinya
karena adannya „alaqah serta qarinah (susunan kalimat) yang mencegah
terjadinya penyandaran makna ke lafadz tersebut. Dinamakan aqli, karena
majaz jenis ini bisa diketahui penunjukan maknanya dengan menggunakan
akal.11
Contoh:
هالح انص ن ػهي رنك ق ي انفب انغالو ي يبس ثالقغ : اني خشح رذع انذ
Sabda Nabi Saw: “Sumpah palsu itu meninggalkan kerusakan dan
kehancuran”.12
Teks hadis tersebut merupakan majâz, karena pada hakikatnya
sumpah palsu tidak akan memberi efek apapun. Ketika seseorang berani
10
Muhammad Yusuf, Telaah Majas Pada Hadits-hadits Kitab Shahih Al-Bukhari, 2005, h.
77. 11
Tatung Mustari, “Majaz Aqli dalam Ilmu Balaghah,” artikel diakses pada 21 Juni 2017
dari http://hahuwa.blogspot.co.id/2017/04/majaz-aqli.html 12
Abû Bakr al-Bayhaqî, al-Sunan al-Kubrā: kitab al-îman, bab mâ jâ‟a fi al-yamîn al-
ghamûs (Beirut: Dār al-kutub al-„Ᾱlamiyah, 1424 H), juz 10, h. 63.
23
sumpah palsu atas nama Allah, sementara ia menganggap sumpah tersebut
sebagai hal yang sepele, terpedaya atau tertipu dengan hukuman dan
mengabaikan hukumannya, maka Allah yang akan membinasakannya,
menghancurkan rumahnya dan merendahkannya dengan pakaian.13
Majaz pada teks tersebut adalah penyandaran kerusakan pada
sumpah palsu, karena secara hakikat yang menjadikan demikian adalah Allah,
maka dari itu majaz ini adalah dalam penyandarannya tidak sesuai dengan
hakikatnya. Oleh karena itu dinamakan penyandaraan majâzi.
a. Bentuk Majaz „Aqlī
Menurut Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag bahwasannya majaz „āqli
adalah majaz yang menghubungkan sebuah fi‟il (kata kerja) atau yang
semakna dengannya, dengan kata yang sejatinya tidak pantas untuk
dijadikan fa‟il-nya (pelaku). Seperti menghubungkan fi‟il dengan waktu,
tempat, penyebab atau masdar dari kejadian tersebut.14
Berikut contoh-contohnya:
1. Menghubungkan fi‟il dengan waktu kejadiannya.
Jika ingin mengungkapkan kesibukan seorang pekerja di siang hari,
maka bisa menggunakan dua cara, yaitu pertama menggunakan isnad
haqiqi dan kedua menggunakan isnad majâz „aqli. Seperti:15
(1)إشزغم انؼبيم بسا
“Buruh itu sibuk di siang hari”
13
Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadits Nabi, 2016, h. 20. 14
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h. 68. 15
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h. 81.
24
إشزغم بس انؼبيم (2)
“Siang harinya buruh itu sibuk”
Dari contoh di atas hakikatnya yang sibuk bukanlah siang hari,
tetapi buruh yang menggunakan siang hari sebagai waktu. Majaz ini
digunakan untuk menegaskan pentingnya peranan dan manfaat kata
kiasan (majaz). Begitu penting peranan buruh dalam memanfaatkan
waktunya di siang harinya.
Adapun contoh dalam hadisnya:
يبطي صفذد انش اة انبس غهقذ اث اة اندخ أث إرا خبء سيضب
Ketika tiba bulan Ramadan, pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu
neraka ditutup serta setan-setan dibelenggu.16
Ali Mustafa Yaqub menuturkan bahwa hadis ini dapat dimaknai
secara hakiki maupun majazi. Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata:
“Hadis ini dapat dipahami secara tekstual dengan makna yang
sebenarnya, bahwa dibukanya pintu-pintu Surga dan ditutupnya pintu-
pintu Neraka serta dibelenggunya setan-setan merupakan tanda masuknya
bulan Ramadhan dan bukti pengagungan terhadap kemuliaannya.”
Apabila ungkapan tersebut dimaknai secara majazi maka dapat dipahami
sebagai isyarat atas banyaknya pahala dan ampunan, sedangkan upaya
setan-setan untuk menggoda dan menyakiti terbatas, sehingga mereka
seperti dibelenggu. Mereka dibelenggu untuk menggoda manusia yang
16
Ali Musthafa Yakub, Cara Benar Memahami Hadis, h. 16.
25
satu namun tidak dibelenggu untuk manusia yang lain. Jadi mereka
dibelenggu dari menggoda manusia.17
2. Menghubungkan fi‟il dengan tempat kejadiannya.
Jika hendak melukiskan kemacetan mobil di jalan, maka dapat
mengungkapkannya dengan dua cara, yaitu pertama isnad haqiqi dan
kedua isnad majâz „aqli, seperti:18
ذ اسع إصدح يبساد ثبانش انغ (1)
“Mobil-mobil itu macet di jalan”
يبساد اسع ثبنغ ذ انش إصدح (2)
“Jalan-jalan itu macet karena mobil”
Menurut Prof. Dr. D. Hidayat ialah hakikatnya yang macet
bukanlah jalan raya, tetapi mobil-mobil yang menggunakan jalan sebagai
„tempat‟ lewat mobil. Adapun secara majazi ini digunakan untuk
menegaskan pentingnya peranan dan manfaat kata kiasan, permasalahan
pertama dan utama yang perlu diatasi bukan mobil, melainkan kondisi-
kondisi yang terkait dengan jalan, tempat lewat mobil.19
Adapun contoh dalam hadis:
الح انغالو: زا خجم انص ن ػهي رنك ق ي حج ب يحج
Sabda Nabi Saw: Gunung (Uhud) ini adalah gunung yang mencintai kita
dan kitapun mencintainya.20
17
Alī Musthafa Yakub, Cara Benar Memahami Hadis, h. 17. 18
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h. 82. 19
Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami‟ wasy-Syawahid min Katamil-Badi‟ (Jakarta: Pt Karya
Toha Putra, 2002), h. 134 20
Al-Bukhari, Sahîh al-Bukhârî, kitab al-at‟imât, bab al-hays.., juz 17, h. 44
26
Nabi mengucapkan hadis ini ketika beliau bepergian saat perang
Khaybar. Sabda ini mengandung majaz, karena pada hakikatnya sebuah
gunung tidaklah patut untuk dicintai maupun untuk mencintai. Karena
cinta manusia untuk selainnya merupakan sebuah kiasan untuk
menghendaki sebuah manfaat darinya, atau sebuah penghormatan.21
Jadi
yang dimaksud dalam teks hadis di atas adalah, penduduk gunung Uhud
mencintai kita, dan kitapun mencintai mereka. Penduduk gunung Uhud
tersebut adalah kaum Ansar kota Madinah dari suku Aus dan Khazraj.22
3. Menghubungkan fi‟il dengan penyebab kejadiannya
Jika suatu waktu, kita rindu dengan seorang kekasih sehingga
memaksa untuk mengunjunginya, maka dapat melukiskannya
dengan ungkapan yang berbentuk isnad haqyqi atau isnad majazy
„aqly, seperti:23
ق (1) صسد إنيب ثبنش
“Aku berkunjung kepadanya karena rindu”
ق إنيب (2)صاسش
“Kerinduanku berkunjung kepadanya”
Contoh di atas hakikatnya ialah tidak mungkin kerinduan itu
berkunjung kepada siapapun, melainkan siapa yang rindu kemudian
berkunjung kepada yang dirindukannya sebagai „penyebab kejadiannya‟
dikarenakan rindu, maka majaz ini disebut majâz „aqli alaqah
sababiyyah.
21
Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadis Nabi, h. 22. 22
Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadts Nabi, h. 22. 23
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h.82.
27
Adapun contoh pada hadis:
انغالو : "إكى نزدج هالح انص ن ػهي رنك ق ي رده ه رجخ
Sabda Nabi Saw.: “Sesungguhnya kamu semua adalah orang yang
pengecut, bakhil dan bodoh”.24
Dalam teks hadis tersebut, manusia membuat orang tuanya menjadi
pengecut, bakhil dan bodoh. Perilaku ini disandarkan kepada anak karena
mereka menyerupai perilaku orang tua. Anak menjatuhkan orang tua
kepada sifat bakhil dalam harta demi masa depannya, orangtua menjadi
bodoh karena sibuk mengurus anak hingga lalai menuntut ilmu, orang tua
menjadi pengecut hingga takut terbunuh (dalam jihad) khawatir anaknya
nanti terlantar, dan membuat sedih orangtua karena berbagai masalah
yang timbul berasal dari anak. Ini merupakan majaz „aqli dengan bentuk
penyandaran fiil pada sebab, yakni al-abna‟ (anak). Anak tidak
dinisbatkan pada sikap pengecut melainkan dinisbatkan sebab
orangtuanya.25
Dapat diambil kesimpulan dari penjelasan teks hadits tersebut
bahwa hakikatnya tidak semua orang tua adalah orang yang pengecut,
bakhil dan bodoh, melainkan anaklah sebagai sebab karena telah
menjatuhkan orangtua dari hartanya demi masa depan anak tersebut
sehingga orang tua menjadi bakhil. Maka majaz ini disebut majâz „aqli
alaqah sababiyyah.
24
Abû „Abdullâh Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, kitab al-mulhaq al-
mustadrak min al-ansâr baqiyyah khâmis ‟asyar al-ansār bab hadīts Khaulah binti Hâkim
(Muassasah al-Risâlah, 1421 H), juz 5, h. 293. 25
Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadis Nabi, h. 21.
28
2. Majaz Lughawî
Menurut Ahmad Izzan, majâz lughawi adalah sebuah kata yang
digunakan bukan pada makna asal yang disepakati dan yang melekat
padanya, tetapi digunakan pada makna lain, karena ada hubungan
(„alaqah) di antara kedua makna tersebut, serta ada indikator atau sebab
(qarinah) yang menghalangi penggunaan kata tersebut dari makna
asalnya.26
Berdasarkan „alaqah atau hubungan antara ma‟na ashly (haqiqi)
dan ma‟na far‟i (majâz) dibagi menjadi dua, yaitu majaz isti‟arah dan
majaz mursal.27
Berikut penjelasannya;
1. Majâz isti‟arah
Isti‟arah secara bahasa artinya „meminjam‟, maksudnya
meminjam suatu kata untuk mengungkapkan suatu makna.28
Adapun menurut Ahmad Izzan, majâz isti‟arah adalah majaz
yang „alaqah (hubungan) antara makna ashli dengan makna far‟i
bersifat keserupaan (musyabbahah).29
Jadi, isti‟arah adalah penggunaan kata-kata bukan dalam
pengertian sebenarnya, melainkan dalam arti kiasan. Dalam
pembahasan majaz ini perlu diketahui istilah musta‟âr (adalah lafad
yang mengandung isti‟ārah), musta‟ār-minhu (adalah makna asal)
dan musta‟ār-lahu (adalah makna lain dari makna asal), atau dalam
26
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h. 70. 27
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h. 72. 28
Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami‟ wasy-Syawahid min Katamil-Badi‟ (Jakarta: Pt Karya
Toha Putra, 2002), h. 119 29
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h.72.
29
istilah lainnya musta‟ār-minhu (adalah musyabah bih) dan musta‟âr-
lahu (adalah musyabah). Untuk memudahkan pemahaman pada bab
ini, penulis akan menggunakan istilah musta‟âr-minhu dan musta‟ār-
lahu.
Hubungan antara makna kiasan dan makna sebenarnya
(hakiki) adalah hubungan persamaan (musyabahah), sebagaimana
akan kita lihat dalam tiga macam isti‟arah:30
a. Isti‟ârah Tasrîhiyyah
Isti‟ârah Tasrīhiyyah adalah isti‟arah yang dapat
dikategorikan kedalam gaya bahasa „metafora‟ dalam bahasa
Indonesia. Di sini (musyabbah bih) yang ditampilkan menjadi
isti‟arah, dan tampil sebagai kata kiasan, yaitu kata yang tidak
dimaksudkan dalam arti sebenarnya, terwujud dari sebuah konteks
yang berfungsi sebagai qorinah.31
Contoh ayat yang mengandung Isti‟ārah Tasrīhiyyah:
غزقيى شاط ان ذب انص ا
”Tunjukilah kami jalan yang lurus” (Al-Fatiha: 6)
Maksud „jalan lurus‟ adalah agama yang hak (Islam).
Dalam contoh di atas, telah terjadi penyerupaan “agama
Islam” (musta‟âr-lahu) dengan “jalan” (musta‟âr-minhu), karena di
antara keduanya terdapat titik kesamaan yaitu aspek menghasilkan
30
Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami‟ wasy-Syawahid min Katamil-Badi‟, h. 119. 31
Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami‟ wasy-Syawahid min Katamil, h. 120.
30
tujuan. Namun yang dimunculkan secara tegas dalam kalimat
hanyalah musta‟ār-minhu-nya saja, yaitu kata “jalan” sementara
musta‟âr-lahu-nya, yaitu “agama Islam” disembunyikan.32
Sayyid Quthb menafsirkan ayat tersebut bahwa yang
dimaksud dengan jalan lurus ialah tentang karakteristik yaitu, “jalan
orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat kepada mereka,
bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan
orang-orang yang sesat.” Ia adalah jalan orang-orang telah
mendapatkan pembagian nikmat-Nya, bukan jalan orang–orang yang
dimurkai-Nya karena mereka mengetahui kebenaran tetapi kemudian
meyimpang darinya, atau orang-orang yang sesat dari kebenaran
sehingga mereka tidak mendapatkan petunjuk sama sekali
kepadanya. Sesusungguhnya jalan itu adalah jalan orang-orang yang
berbahagia, orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan orang-
orang yang telah sampai ke tujuan. 33
Contoh lainnya yakni firman Allah berikut ini:
صشاط انؼض ى إن سث س ثإر بد إن ان انظه ضنب إنيك نزخشج انبط ي يذ كزبة أ يض انح
“(Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang
benderang.” (QS. Ibrahim [14]:1).
Pada ayat tersebut, ada dua kata yang digunakan dalam makna
majazynya, yaitu kata “al-dlulumat”(kegelapan) dalam pengertian al-
32
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h.75. 33
Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan al-Qur‟an, Penerjemah
Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press), jilid, 1, h. 42
31
dhalal (kesesatan), dan kata “al-nur” (cahaya) dalam pengertian al-huda
(petunjuk). Dan jika kita perhatikan hubungan antara makna ashly dari al-
dlulumat, yaitu kegelapan, dengan makna majazynya yaitu al-dlalal
(kesesatan), terdapat „alaqah musta‟âr-lahu (keserupaan) dalam aspek
tidak adanya petunjuk dan penerangan. Demikian juga antara makna ashly
lafadz al-nur, yaitu cahaya dengan majazynya yaitu al-huda (petunjuk)
terdapat kesamaan dalam aspek adanya penerangan dan bimbingan. Oleh
karena itu, majaz tersebut termasuk majaz isti‟arah.34
Adapun contoh dalam hadis:
يب أظ ث ؼذ قزبدح، ػ ثب شؼجخ، قبل: ع ذس، حذ ثب غ بس، حذ ثش ذ ث ثب يح نك سضي هللا حذ
عهى، قبل: انجي صه هللا ػهي ، ػ انبط عيك ػ ػيجزي صبس كششي فبقجها األ يقه ، ثش
ى، يحغ ى ي يغيئ صاػ ردب .
Artinya: Muhammad ibn Basysyār menceritakan kepada kami, Ghundar
menceritakan kepada kami, Syu‟bah menceritakan kepada kami, ia
berkata: saya mendengar Qatadāh, dari Anas ibn Mālik, dari Nabi
bersabda: “Sesungguhnya kaum Ansār adalah perut dan khazanahku dan
manusia akan semakin banyak dan mereka akan semakin sedikit.
Terimalah dari mereka yang berbuat kebaikan dan maafkan dari mereka
yang berbuat buruk/salah.” (HR. al-Bukhārī).
Dalam hadits tersebut terdapat Isti‟ârah Tasrîhiyyah, karena
adanya penyerupaan „al-tsiqah‟ (orang-orang kepercayaan) merupakan
musta‟âr-lahu dengan lafadz „al-„aybah‟ yaitu tas atau koper yang
34
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h. 73.
32
merupakan musta‟âr-minhu. Dan juga kata „perut‟ yang diartikan dengan
rahmat atas mereka, karena selalu menemani Nabi. Adapun qarināh-nya
adalah haliyyah, yaitu keadaan yang menunjukkan bahwa Nabi
menghendaki makna yang lain, dengan menyandarkan lafad al-„aibah
(tas) dan lafad al-karisyī (perut) kepada lafad Ansar.35
Karisyî wa „aibati (perut dan khazanahku), maksudnya adalah
orang dekat dan khusus bagi Nabi. Al-Qazzaz berkata, “Nabi membuat
permisalan dengan karisyī bagi Nabi. Al-Qazzaz berkata, “Nabi membuat
permisalan dengan karisyī (yang berarti keluarga, perut) karena ia adalah
tempat makan hewan dan tempat tumbuhnya,” dikatakan, li fulân karisyun
mantsurah, artinya si fulan memiliki tanggungan atau keluarga yang
banyak. Adapun „aibah (khazanah) adalah suatu yang digunakan
seseorang untuk menjaga harta berharga miliknya. Maksudnya, kaum
Ansar adalah tempat rahasia dan orang-orang kepercayaan beliau. Ibn
Durayd berkata, „ini termasuk perkataan Nabi yang singkat dan belum
pernah ada yang mengucapkan sebelumnya.‟36
b. Isti‟ârah Makniyyah
Isti‟ârah Makniyyah adalah isti‟ârah yang dapat disamakan
dengan gaya bahasa „personifikasi‟, yaitu jenis kiasan yang
meletakkan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan
ide yang abstrak, misalnya: Matahari mencubit pipinya, bunga-
35
Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadits Nabi, h. 24 36
Ibn Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bārī: Penjelasan Kitab Sahīh al-Bukhārī, terj. Abdul Aziz
Abdullah ibn Baz (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jilid 19, h. 40.
33
bunga tersenyum riang; pengalaman mengajak kita tahan
menderita.37
Adapun menurut Hidayat, Isti‟ârah Makniyyah adalah majaz
yang musyabbah bih-nya disembunyikan, namun keberadaannya
ditunjukkan secara implisit oleh kezaliman atau kebiasaannya.
Sementara yang disebutkan secara tegas dalam kalimat adalah
musta‟âr-lahu-nya.38
Contoh:
ػ أثي عفيب ظهخ ث يع قبل أخجشب ح ثب ػجيذ هللا ث حذ خبنذ ػ ش ػكشيخ ث ػ اث
ظ شبدح أ عالو ػه خ عهى ثي ال ب قبل قبل سعل هللا صه هللا ػهي ال إن سضي هللا ػ
ص كبح انحح إيزبء انض الح إقبو انص ذا سعل هللا يح أ إال هللا و سيضب
Artinya: „Ubaidillâh ibn Mûsâ telah menceritakan kepada kami,
ia berkatam Hanzalah ibn Abî Sufyân telah mengabarkan kepada kami,
dari „Ikrimah ibn Khālid, dari Ibn „Umar ia berkata, bahwa Nabi
bersabda: “Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah, Nabi Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan berpuasa di bulan
Ramadhan.” (HR. al-Bukhārī)
Dalam hadits tersebut terdapat isti‟ârah , karena Nabi
menyerupakan agama Islam dengan sebuah bangunan, yang harus
dibangun dengan pondasi yang kuat. Kemudian disebutkan musta‟âr-lahu
(Islam) dan tidak disebutkan musta‟âr minhu-nya (bangunan) dengan
jalan isti‟ârah makniyyah. Adapun qarînah-nya adalah penyandaran lafad
37
Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami‟ wasy-Syawahid min Katamil-Badi‟ (Jakarta: Pt Karya
Toha Putra, 2002), h. 123 38
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h. 75.
34
„buniya‟ kepada lafad „Islam‟. Ditambah dengan kalimat setelahnya yaitu
syahadat, salat, puasa dan haji.39
Ibn Hajar menjelaskan bahwa yang dimaksud ibn Mas‟ud adalah
keyakinan merupakan dasar dari iman, jika keyakinan itu telah tertanam
dalam hati, seperti yang dikatakan Sufyân al-Tsaurî, “Seandainya
keyakinan benar-benar bersemayam dalam hati, maka ia akan terbang ke
surga dan menjauhi api neraka.”40
Dengan demikian, hadis ini ingin
menegaskan bahwa iman tidak cukup dengan keyakinan saja, tetapi
dengan melaksanakan rukun iman yang lainnya.
c. Isti‟ârah Tamsîliyyah41
Prof. Dr. D. Hidayat mengatakan jika isti‟ârah tasrîhiyyah
tampil dalam bentuk kata-kata, maka isti‟arah tamsiliyyah tampil
dalam bentuk kalimat. Dan bila isti‟ârah tamtsiliyyah sudah
digunakan orang secara meluas di masyarakat jadilah (يثم) atau
peribahasa.
Contoh isti‟ârah tamtsiliyyah:
يب يذا عل ػهيكى ش انش يك عطب نزكا شذاء ػه انبط خ كزنك خؼهبكى أي خؼهب
كب إ قهت ػه ػقجي ي عل ي يزجغ انش ذ ػهيب إال نؼهى ي ذ نكجيشح إال انقجهخ انزي ك
ثبنبط نشءف س هللا بكى إ نيضيغ إي هللا يب كب ذ هللا حيى ػه انزي
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami
tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar
39
Ngumdaturrosidatuszahrok, Pemaknaan Majas Pada Hadits Nabi, h. 25. 40
Ibn Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bārī: Penjelasan Kitab Sahīh al-Bukhārī, terj. Abdul Aziz
Abdullah ibn Baz (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jilid 1, h. 81 41
Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami‟ wasy-Syawahid min Katamil-Badi‟, h. 125.
35
Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
berbalik kebelakang. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah
tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia.. (Al-Baqarah:143)
Pada contoh di atas kalimat majâzinya adalah (قهت ػه ػقيجي ي (ي
siapa yang berbalik kebelakang ialah diserupakan dengan „orang murtad‟,
kembali lagi kepada musyrik setelah masuk Islam.
Selain isti‟ârah tamtsiliyyah yang berwujud nyata, terdapat
isti‟ârah macam ini yang bersifat imajinatif, maka disebut isti‟ârah
tamtsiliyyah takhyiliyyah seperti pada ayat berikut.
ب ي أشفق هب يح أ اندجبل فأثي األسض اد ب هب إب ػشضب األيبخ ػه انغ ح
ظهيب خال كب إ غب ال
Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat (tugas-tugas
keagamaan) kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya
enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. (al-Ahzab: 72)
Para ulama yang mengakui keberadaan isti‟ârah model ini dalam
Al-Qur‟an, mengatakan bahwa apa yang dikemukakan dalam ayat itu
adalah sebagai kiasan, bukan kenyataan sebenarnya. Di sini ingin
dinyatakan bahwa mengemban amanat (tugas-tugas keagamaan) sebagai
musta‟âr-minhunya dan musta‟âr-lahunya ialah yang dibebankan kepada
manusia itu merupakan tugas yang amat berat. Begitu beratnya, hingga
andaikata ditawarkan kepada makhluk Tuhan lain yang raksasa sekalipun,
36
seperti langit, bumi dan gunung-gunung, pasti mereka enggan
menerimanya. Mereka khawatir tidak akan mampu untuk melaksanakan
tugas berat tersebut dengan baik.
3. Majaz Mursal
Menurut Hidayat, majâz mursal ialah majaz yang memakai
„hubungan bukan persamaan‟.42
Senada dengan Ahmad Izzan, bahwa
majaz mursal adalah majâz lughawy yang „alaqah (hubungan) antara
makna ashly dengan makna far‟y-nya tidak berbentuk keserupaan (ghair
musyabbahah). Macamnya antara lain, „alaqah mahaliyyah, halliyah,
juz‟iyah, kulliyah, sababiyah, musabbabiyah, i‟tibar ma kana, dan I‟tibar
ma yakunu. 43
1. Mahaliyyah
Yaitu majâz mursal yang menggunakan “tempat” sebagai
bahasa ungkapan, padahal makna yang dimaksud adalah “sesuatu
yang menempatinya”.
Contoh:
ضل ششق انهص ان
“Pencuri itu telah mencuri rumah”
Kata “rumah” ( ضل pada contoh di atas, tidak digunakan ,(ان
dalam makna ashly-nya sebagai sebuah “tempat” tetapi digunakan
dalam makna majazy-nya yaitu “isi rumah” sebagai “sesuatu yang
menempatinya”. Majaz seperti ini disebut majâz mursal dengan
42
Hidayat, Al-Balaghah lil-Jami‟ Wasy-Syawahid Min Katamil-Badi‟, h. 129 43
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h. 77.
37
„alaqah mahalliyah, karena menggunakan tempat sebagai bahasa
pengungkapan padahal yang dimaksud adalah yang menempatinya.
Inilah yang disebut majâz yang hubungannya adalah mahaliyyah.
2. Halliyah
Yaitu majâz mursal yang muncul karena menggunakan
“sesuatu yang menempati” sebagai bahasa ungkapan, padahal makna
yang dimaksud adalah “tempatnya”.
Contoh:
األثشاس نفي ؼيى إ
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar
berada dalam syurga yang penuh kenikmatan.” (QS. Al-Infiṯar
[82]:13)
Firman Allah di atas menggunakan kata “na‟im” (kenikmatan)
dalam makna majazy-nya yaitu jannah (surga). Kenikmatan adalah
sesuatu yang berada di surga, dan surga adalah tempat bagi
kenikmatan tersebut. Dengan demikian, maksud dari firman Allah di
atas itu adalah: “orang yang baik itu akan berada di surga yang
menjadi tempat bagi segala kenikmatan”. Majaz seperti ini disebut
majâz mursal dengan „alaqah halliyah.
3. Juz‟iyah
Yaitu majâz mursal yang menggunakan bahasa ungkapan
“sebagian”, padahal makna yang dimaksud adalah “keseluruhan”.
Contoh:
38
كؼي ٱسكؼا يغ ٱنش ح ك ءارا ٱنض ح ه ا ٱنص أقي
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku‟lah beserta
orang-orang yang ruku‟.” (QS. Al-Baqarah [2]:43)
Firman Allah di atas mengandung arti perintah untuk
melaksanakan shalat, akan tetapi diugkapkan dalam bentuk majaz
mursal, yakni dengan menyebutkan kata “rukuk” sebagai “bagian”
dari rangkaian shalat”. Padahal, yang dimaksud adalah “seluruh”
rangkain shalat mulai dari takbir hingga salam. Hal ini termasuk
majaz mursal dengan „alaqah juz‟iyyah.
4. Kulliyah
Yaitu majâz mursal yang menggunakan bahasa ungkapan
“keseluruhan”, sedangkan makna yang dimaksud hanya
“sebagiannya” saja.
Contoh:
قجم انزؼهيى قشأ االعزبد انقشا
“Pak guru membaca al-Qur‟an sebelum mengajar”
Contoh di atas mengandung majaz mursal yaitu pada kata “al-
Qur‟an”. Kata al-“Qur‟an” sebagai sebuah keseluruhan mencakup
semua surat dan ayat yang ada di dalamnya. Namun, pada ungkapan
di atas tidak digunakan dalam makna kulliyah-nya (keseluruhan),
tetapi hanya digunakan pada makna juz‟iyyah-nya (sebagian), yaitu
sebagian dari ayat-ayat al-Qur‟an. Dengan demikian, majaz mursal
39
ini muncul berdasarkan „alaqah kulliyah karena yang dimaksud “al-
Qur‟an” pada contoh tersebut adalah sebagian dari al-Qur‟an.
5. Sababiyyah
Yaitu majâz mursal yang menggunakan “sesuatu yang menjadi
penyebab” sebagai bahasa ungkapan, padahal makna yang dimaksud
adalah “akibat” atau musabbab-nya.
Contoh:
غدذ ث االييش ان
“Presiden membangun masjid”
Contoh sederhana tersebut mengandung majaz mursal karena
mengungkapkan sesuatu melalui “penyebab kejadian” yaitu
presiden, padahal makna yang dimaksud adalah “al-„ummal” (para
pekerja bangunan) yakni orang yang disuruh oleh presiden. Dalam
hal ini, presiden adalah „sebab‟ dan para pekerja bangunan adalah
musabbab. Inilah yang disebut majaz yang hubungannya adalah
sahabiyyah.
6. Musabbabiyyah
Yaitu majâz mursal yang menggunakan “akibat dari sebuah
penyebab” sebagai bahasa ungkapan, padahal makna yang dimaksud
adalah penyebabnya.
Contoh:
ضل نكى ي بء سصقبي انغ
“Dia menurunkan rizqi bagimu dari langit”
40
Pada contoh ini, kata “rizq” digunakan pada majazy-nya yaitu
“ghaits” (air hujan) yang mengakibatkan kesuburan dan rizki yang
banyak. Rizq adalah musabbab dan air hujan adalah penyebab. Inilah
yang dimaksud dengan „alaqah musabbabiyah.
7. I‟tibar ma kana
Yaitu majâz mursal yang muncul karena mengungkapkan
“sesuatu yang terjadi di masa lalu” padahal makna yang
dimaksudkan adalah “sesuatu yang terjadi kemudian atau yang akan
datang”.
Contoh:
يهجظ ان بط انقط
“Orang-orang mengenakan kapas”
Dalam contoh ini, kata yang digunakan adalah makna majazy-
nya yakni kata “al-qutha” (kapas), sementara yang dimaksud adalah
“al-libas” (pakaian) yang dulunya berasal dari kapas. Dan kapas
lebih dahulu ada dibandingkan dengan pakaian. Inilah yang
dimaksud dengan i‟tibar ma kana.
8. I‟tibar ma yakunu
Yaitu majâz mursal yang muncul karena mengungkapkan
“sesuatu yang terjadi di kemudian hari” padahal makna yang
dimaksudkan adalah sesuatu yang terjadi sebelumnya.
Contoh:
قذ بسا عأ
41
“Aku akan menyalakan api”
Pada contoh ini, kata yang mengandung makna majazy adalah
kata “al-nār” (api), sedangkan yang dimaksud adalah “al-hathab”
(kayu). Dalam hal ini, api menjadi sesuatu yang muncul dan terjadi
kemudian setelah kayu bakar itu dinyalakan terlebih dahulu. Dan,
inilah yang disebut dengan i‟tibar ma yakunu.44
C. Metode Takwil
Lafadz al-Qur‟an terkadang diungkapkan secara tersirat (implisit) dan
tidak tersurat (eksplisit), atau diisyaratkan terutama dalam ayat-ayat
mutasyabihat, sehingga maknanya tersembunyi di bawah permukaan lafadz.
Makna tersebut dapat ditemukan dengan menggunakan metode takwil, sebuah
metode untuk menemukan makna batin (esoteris) dalam pengungkapan teks.
Jadi, takwil dapat berarti pendalaman makna dari tafsir.45
Pemahaman tekstual dan kontekstual dalam pembahasan Ali Mustafa
Yaqub, MA salah satunya ialah takwil dalam hadis. Pengertian takwil secara
etimologi dan terminologinya sebagai berikut.
Al-Ta‟wil merupakan bentuk masdar dari awwala-yu‟awwilu-ta‟wil,
yaitu pola kalimat dari tsulatsi (tiga huruf asal) aala-yu‟ulu-aul. Menurut
pakar bahasa, al-aul adalah ar-ruju‟ (kembali). Takwil berarti memahami teks
dengan pemahaman yang lemah (marjuh). Maka secara bahasa (etimologi),
takwil adalah al-tarji‟ (pengembalian).46
44
Ahmad Izzan, Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah, h. 81. 45
Rudrud Barabai, “Pengertian Takwil”, artikel diakses pada 2 Desember
2017Karyacombariyang.blogspot.co.id/2015/11/pengertian-takwil.html 46
Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014, hal.
26.
42
Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua
pengertian takwil secara istilah dalam Lisan Al-Arab yang dikutif
Abdurrahman Mardafi pertama, takwil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir.
Kedua takwil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada
makna lain karena ada dalil.47
Jadi, pengertian takwil adalah menjelaskan salah satu makna dari
makna asalnya ke makna lain dengan ketentuan dalil yaitu al-Qur‟an atau
hadis Nabi Saw.
Pada prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan
takwil. Perbedaan terletak pada kadar penggunaan dan penerimaannya.
1. Dari segi diterima atau tidaknya suatu takwil ada dua bentuk takwil,
yaitu:
a. Takwil maqbul, yaitu yang telah memenuhi persyaratan. Takwil
dalam bentuk ini diterima keberadaannya oleh ulama Ushul.
b. Segi dekat atau jauhnya pengalihan makna lafazh yang ditakwil
dari makna zhahirnya, takwil dibagi kepada dua bentuk:
1. Takwil qarib, yaitu takwil yang tidak jauh beranjak dari arti
zhahirnya, sehingga dengan petunjuk yang sederhana dapa
dipahami maksudnya.
2. Takwil ba‟id, yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafazh
yang sebegitu jauhnya, sehingga tidak dapat diketahui dengan
dalil yang sederhana.
47
Pengertian Tafsir dan Takwil, diakses pada 2 Desember 2017
dariKitaabati.blogspot.co.id/2012/10/pengertian-tafsir-dan-takwil-htm
43
Pendapat ulama seputar takwil sebagaimana dibahas dalam bidang
ilmu al-Qur‟an seputar ayat yang muhkam (teks yang pemahamannya pasti)
dan mutasyabih (pengertiannya tidak kongkrit), juga dalam bidang akidah,
serta dalam bidang ilmu hadis, sebab hadis juga ada yang muhkam dan
mutasyabih.
Dalam penggunaan takwil ada ulama yang menerima dan ada yang
menolak, bahkan ada pula yang moderat. Kalangan ulama yang menolak
adalah ulama salaf. Mereka mengatakan: “kami menyerahkan sepenuhnya
makna ayat-ayat mutasyabihat kepada Allah Swt.”
Mengomentari firman Allah Swt.
Mereka berkata: Kami menyucikan Allah Swt dari sifat duduk dan
berada di ruang dan tempat. Kemudian kami serahkan maksud firman tersebut
kepada Allah Swt.”
Sedangkan yang menerima takwil adalah dari kalangan ulama khalaf
atau al-mu‟awwilah (ahli takwil). Mereka menyatakan: “Kami menakwil
makna ayat-ayat mutasyabihat ini dengan bantuan ayat-ayat yang lain dan
asalib al-bayan (metode penjelasan).
Selanjutnya Ali Mustafa Yaqub mengatakan bahwa Imam Suyuthi
menyebutkan madzhab ketiga selain dua madzhab di atas; salaf dan khalaf.
Ini adalah kalangan yang moderat. Ibn Daqiq al-Id telah bersikap moderat
dengan berkata: “apabila takwil tersebut mendekati koridor bahasa Arab,
maka tidak ditolak. Namun, apabila jauh, maka kami menangguhkannya
(tawaqquf) dan mempercayai makna teks yang dimaksud apa adanya disertai
44
sikap tanzih (menyucikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya) makna dari
lafadz-lafadz (mutasyabihat) ini secara zhahir (ekplisit) dapat dipahami dalam
percakapan bangsa Arab.48
Dalam kaitannya metode pemahaman yang digunakan oleh Yûsuf al-
Qardâwî dalam memahami hadis terhadap majaz al-hadis adalah metode
takwil yaitu metode untuk mengalihkan makna kata, dari makna hakiki ke
makna majazi atau membedakan antara yang haqiqi dan makna yang majaz
(al-tafriq baina al-haqiqah wa al-majaz).
Jika pada suatu hadis terdapat karinah yang mengharuskannya untuk
dimaknai secara majazi maka hadis tersebut hendaknya dipahami secara
majaz dan keluar dari makna hakiki pada makna majazi itu apabila terdapat
suatu tanda yang menghalangi penyampaian makna hakiki berdasarkan alasan
dalil naqli atau rasional.
Berikut beberapa penjelasan mengenai tanda-tanda itu:
1. Dalam keadaan tertentu, makna majaz merupakan cara yang ditentukan,
jika tidak ditafsirkan secara majaz pasti akan menyimpang dari makna
yang dimaksud dan terjerumus pada kesalahan yang fatal.
2. Makna majâz sebagai solusi bagi hadis yang dilihat sulit untuk dipahami
secara harfiahnya dan kesulitan ini akan hilang bila hadis tersebut
diartikan dengan makna majazi.
48
Ali Mustafa Yaqub, Cara Benar Memahami Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014, hal.
36.
45
3. Makna majâz sebagai bentuk tamsil dan penyerupaan (menggambarkan
sesuatu yang abstrak dengan suatu yang konkrit) sebagai isyarat dari
tingkat keharusan dari suatu anjuran maupun larangan.
Penakwilan atas hadis serta nash-nash secara umum dengan
menyimpangkannya dari arti zahir adalah termasuk tindakan yang riskan.49
Terdapat alasan yang kuat yang mengharuskan terhadap majâz al-hadis yakni
dengan syarat sesuai dengan kesimpulan akal sehat, sesuai dengan syariat
Islam, sesuai dengan keilmuan yang pasti, dan sesuai dengan fakta yang tidak
diragukan lagi.
Langkah-langkah yang menjadi sumber pentakwilan Yûsuf al-
Qaraḏâwî yakni pertama mengaitkan pentakwilan dengan al-Qur‟an. Kedua
mengaitkan dengan hadis setema, ketiga mengaitkan dengan pendapat ulama,
dan keempat mengaitkan dengan pendekatan logika bahasa.
49
Yûsuf al-Qardâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Penerjemah Muhammad
Al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1995), hal. 184.
46
BAB III
PEMAKNAAN MAJAZI TERHADAP HADIS ORANG MUKMIN
MAKAN DALAM SATU USUS DAN KAFIR MAKAN
DALAM TUJUH USUS
Dalam konteks ini perlu dipahami kajian bahasa mengenai istilah
ungkapan kiasan atau majaz yang sudah dipaparkan oleh penulis pada bab
sebelumnya. Bahwa ungkapan dalam ungkapan bentuk majaz seringkali lebih
berkesan daripada ungkapan dalam bentuk hakiki. Bangsa Arab dikenal sebagai
bangsa yang mahir dalam bidang retorika bahasa. Nabi Saw. adalah orang Arab
yang menguasai balghah, bahkan beliau dianugrahi Allah kemampuan untuk
mengungkapkan perkataan yang singkat namun padat makna. Dari sini bisa
dipahami bila sabda-sabda beliau banyak menggunakan majaz untuk
mengungkapkan maksud dengan cara yang sangat mengesankan. Maka pada bab
ini penulis akan menguraikan metodologi pemahaman dengan metode takwil
Yûsuf al-Qardâwî pada salah satu hadis Nabi yang mengandung majaz, yaitu
sebegai berikut:
A. Metodologi Pemahaman Hadis Tentang Orang Mukmin Makan Dalam
Satu Usus dan Kafir Makan Dalam Tujuh Usus
1. Redaksi Hadis
الذ ت ثا شعثح، ع ذ، دذ ثا عثذ انص اس، دذ تش ذ ت ثا يذ دذ
أكم سك ش ال أكم در ؤذ ت ع ات ا فع لال : كا ذ، ع يذ
شا فمال : ا فع! ال ذذخم زا يع، فأدخهد سجال اكم يع، فأكم كث
47
ادذ أكم ف يع ؤي صه هللا عه سهى مل: ان عد انث س عه
انكأفش اكم ف سثعح أيعاء. 1
Muhammad bin Basysyār memberitahu kami, „Abdussomad
memberitahu kami, Syu‟bah memberitahu kami, dari Wākidi bin
Muhammad, dari Nafi‟, ia berkata, “Ibnu Umar tidak akan makan
hingga memberikan kepadanya seoraang miskin yang akan makan
bersamanya. Kemudian aku mendatangkan kepadanya seorang lelaki
untuk makan bersamanya, lalu lelaki itu pun makan banyak sekali.
Kemudian ia berkata, “Hai Nafi‟! jangan kau datangkan laki-laki ini
kepadaku, aku mendengar Nabi SAW bersabda, “Seorang mukmin itu
makan dalam satu usus (maksudnya, mengisi satu usus), sedangkan
orang kafir makan dalam tujuh usus.”
2. Takhrij Hadis
Dalam memahami hadis secara benar, hal yang harus dilakukan
ialah mengumpulkan semua hadis yang berkaitan dengan tema tertentu.
Dalam mengumpulkan hadis-hadis tersebut penulis melakukan takhrij
hadis. Penulis melakukan takhrij dengan menggunakan kitab Mu‟jam al-
Mufahras Li Alfâz al-Hadis al-Nabawi.2 Kemudian penulis melakukan
takhrij dengan menggunakan kitab al-Mausû‟at al-Athrâf.3 Penulis
menemukan banyak hadis yang membahas tentang orang mukmin makan
dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh usus. Tetapi yang akan
1Abû Abdillâh Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari (Qohirah: Darul Hadis,
2010), jilid 3, h. 715. 2A.W Wensinc, Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nabawi, (Madinah Leiden: Brill,
1936), jilid 1, h. 71.
3Abu Muhammad Said Bin Bayûni Dzaglûli, Mausū‟at al-Athraf al-Hadis al-Syarif al-
Nabawî, (bairut), Jilid 8, h. 651.
48
penulis cantumkan hanya yang terdapat dalam Sahih Bukhari dan Sahih
Muslim, sebagai berikut:
Hadis Sahih Bukhari
الذ ت ثا شعثح، ع ذ، دذ ثا عثذ انص اس، دذ تش ذ ت ثا يذ دذ
ذ، أكم يذ سك ش ال أكم در ؤذ ت ع ات ا فع لال : كا ع
شا فمال : ا فع! ال ذذخم زا يع، فأدخهد سجال اكم يع، فأ كم كث
ادذ أكم ف يع ؤي صه هللا عه سهى مل: ان عد انث س عه
انكأفش اكم ف سثعح أيعاء. 4
Muhammad bin Basysyār memberitahu kami, „Abdussomad
memberitahu kami, Syu‟bah memberitahu kami, dari Wākidi bin
Muhammad, dari Nafi‟, ia berkata, “Ibnu Umar tidak akan makan
hingga memberikan kepadanya seoraang miskin yang akan makan
bersamanya. Kemudian aku mendatangkan kepadanya seorang lelaki
untuk makan bersamanya, lalu lelaki itu pun makan banyak sekali.
Kemudian ia berkata, “Hai Nafi‟! jangan kau datangkan laki-laki ini
kepadaku, aku mendengar Nabi SAW bersabda, “Seorang mukmin itu
makan dalam satu usus (maksudnya, mengisi satu usus), sedangkan
orang kafir makan dalam tujuh usus.”
ات افع، ع ذ هللا، ع عث سالو، أخثشا عثذج، ع ذ ت ثا يذ دذ
ش ا -ع -سض هللا ع سهى: إ صه هللا عه ل هللا عه : لال سس
أكم ف انك انؤي إ ادذ، افك، فال أدس أ –ش ف ايع ان ا لال أ
ذ هللا ف سثعح أيعاء اكم –عث5
Muhammad bin Salām memeberitahu kami, „Abdatu memberitahu
kami, dari „Ubaidillah, dari Nafi‟, dari Ibnu Umar ra. ia berakata, bahwa
4Abû Abdillâh Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari , h. 715.
5Abû Abdillâh Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari,h. 716.
49
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya orang mukmin makan dalam
satu usus dan sesungguhnya orang kafir atau munafik aku tidak tahu
mana di antara keduanya yang dikatakan Ubaidillah-makan dalam tujuh
usus.”
عثذ هللا، ت ثا عه ك دذ أت ش، لال: كا ع ، ع ثا سفا دذ
سهى، سسل هللا صه هللا عه ش: إ ع سجال أكال، فمال: ن ات
سثعح أيعاء انكافش أكم ف <لال:> إ فمال: فاا أي تاهلل .سسن6
Ali bin Abdillāh memeberitahu kami, Supyān memberitahu kami,
dari Amr, dia berkata: Biasanya Abu Nahik seorang laki-laki yang
banyak makan, maka Ibnu Umar berkata kepadanya, “Sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda, „Orang kafir makan pada tujuh usus‟. “Dia
berkata, “Tapi aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”
أت األعشج، ع اد، ع أت انض ث يانك، ع م لال: دذ اع ثا إس دذ
شج -ش سهى: >أكم لال: لا -سض هللا ع ل هللا صه هللا عه ل سس
سثعح أيعاء< انكافش أكم ف ادذ، سهى ف يع ان7
Ismail memberitahu kami, ia berkata, Malik memberitahuku, dari
Abī Zinādi, dari A‟roji, dari Abu Hurairah RA dia berkata, Rasulullah
SAW bersabda, “Orang Muslim makan dalam satu usus dan orang kafir
makan dalam tujuh usus.”
ا ثا سه ثا شعثح دذ دشب، دذ أت داصو، ت ثاتد، ع ت عذ ، ع
سجال ك شج: أ أت ش ع شا فأسهى، فكا اكم أكال كث أكم أكال ا
6Abû Abdillâh Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 716.
7Abû Abdillâh Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 716.
50
ال، فز له ان سهى، فمال: > إ صه هللا عه كش رنك نث أكم ف ؤي
انكفش أكم ف ادذ، سثعح أيعاء يع 8
Sulaiman bin Harbin memberitahu kami, Syu‟bah memberitahu
kami, dari „Adiyyi bin Tsabit, dari Abi Hazim, dari Abu Hurairah,
“Sesungguhnya seorang laki-laki biasa makan sangat banyak, lalu dia
masuk Islam. Setelah itu dia makan sedikit. Hal itu diceritakan kepada
Nabi SAW. Beliau bersabda, „Sesungguhnya orang mukmin makan
dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh usus‟.”
Setelah penulis teliti bahwa hadis tersebut dalam kitab sahih
Bukhari terdapat dalam lima tempat, masing-masing dengan nomor
5393, 5394, 5395, 5396, 5397 yang serupa makna maupun lafadznya
yaitu kitab makanan pada bab al-Mu‟minu ya‟kulu fî mi‟an wâhidin.
Hadis Sahih Muslim
ذ لانا أخثشا سع ذهللا ت عث ث ان ذ ت يذ دشب ش ت دذثا ص
صه ذ انث ش ع ع ات ذهللا أخثش افع ع عث ع انمطا
انؤي سهى لال انكافشاكم ف سثعح أيعاء يع هللا عه أكم ف
ادذ ش عثذهللا ذ ت ثا يذ دذ ات ثا ات تكش ت دذ ثا ات ح دذ
سافع ذ ت ث يذ دذ ذهللا ح ثا عث ش دذ ات ثا ات اسايح ثح دذ ش
ا ش ع اق لال اخثشا يع ص عثذانش ذ ع د عثذ ت ا ع ب كال
سه سهى ت صه هللا عه انث ش ع ع ات افع ع9
8Abû Abdillâh Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 717.
9Abu al-Husain Muslimal-Hajjâj al-Qushairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, hal. 133
51
Zuhair bin Harb, Muhammad bin Al-Mutsanna dan Ubaidullah bin
Sa‟id telah memberitahukan kepada kami, mereka berkata, Yahya telah
memberitahukan kepada kami -dia adalah Al-Qaththan-, dari
Ubaidullah, Nafi‟ telah mengabarkan kepadaku, dari Ibnu Umar, dari
Nabi Shallalahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Orang kafir makan
dalam tujuh usus sedangkan orang mukmin makan dalam satu
usus.”Dan Muhammad bin Abdullah bin Numair telah memberitahukan
kepada kami, ayahku telah memberitahukan kepada kami. (H) Abu Bakar
bin Abu Syaibah telah memberitahukan kepada kami, Abu Usamah dan
Ibnu Numair telah memberitahukan kepada kami. Mereka berdua
berkata, Ubaidullah telah memberitahukan kepada kami. (H)
Muhammad bin Rafi‟ dan Abd bin Humaid telah memberitahukan
kepadaku, dari Abdurrazzaq, ia berkata, Ma‟mar telah mengabarkan
kepada kami, dari Ayyub, keduanya dari Nafi‟, dari Ibnu Umar, dari
Nabi Shallahu Alaihi wa Sallam, hadits yang serupa.
ثا شعثح ع جعفش دذ ذ ت ثا يذ دذ ه خالد انثا ثا ات تكش ت دذ
ذ ص ذت يذ الذ ش يسكا فجعم ضع ع ع افعا لال سأ ات س ا
زا ت شا لال فمال ال ذخه لال فجعم أكم اكال كث ذ ضع ت ذ
انكافش أكم ف سهى مل ا عد سسل هللا صه هللا عه فا س عه
.سثعح ايعاء 10
Dan Abu Bakar bin Khallad Al-Bahili telah memberitahukan
kepada kami, Muhammad bin Ja‟far telah memberitahukan kepada kami,
Syu‟bah telah memberitahukan kepada kami, dari Waqid bin Muhammad
bin Zaid, bahwasannya ia mendengar Nafi‟ berkata, “Ibnu Umar melihat
satu orang miskin, maka ia mulai meletakkan makanan dihadapannya
dan meletakkan makanan lain dihadapan orang itu. Ia berkata, “lalu
10
Abu al-Husain Muslimal-Hajjâj al-Qushairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, hal. 133
52
orang itu memakan banyak makanan.” Ia berkata, “Maka Ibnu Umar
berkata, “Janganlah sekali-kali orang ini dibawa ke hadapanku,
Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam bersabda, “Sesungguhnya orang kafir makan dalam tujuh usus.”
ث ان ذ ت ث يذ اتدذ ع سفا ع د ثا عثذانش دذ ش ع ت انض
ع ات اكم ف جاتش ؤي سهى لال ان سسل هللا صه هللا عه ش ا
ادذ انكافش أكم ف سثعح ايعاء ثا يع ثا ات دذ ش دذ ثا ات دذ
نى سه سهى ت صه هللا عه انث جاتش ع ش ع ت ات انض ع سفا
ش ع زكش ات11
.
Muhammad bin Al-Mutsanna telah memberitahukan kepdaku,
Abdurrahman telah memberitahukan kepda kami, dari Sufyan, dari Abu
Az-Zubair, dari Jabir dan Ibnu Umar, bahwasannya Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Seorang mukmin makan dalam
satu usus sedangkan orang kafir makan dalam tujuh usus.”
Dan Ibnu Numair telah memberitahukan kepda kami, ayahku
telah memberitahukan kepda kami, Sufyan telah memberitahukan kepada
kami, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam, hadits yang serupa. Dan tidak menyebutkan Ibnu Umar.
ع جذ ذ ع ثا تش ثا ات اسايح دذ انعالء دذ ذ ت ة يذ ثا ات كش دذ
ادذ أكم ف يع ؤي سهى لال ان صه هللا عه انث س ع ات ي
ض )ع ايعاء انكافش أكم ف سثعح ثا عثذانعض سعذ دذ ثح ت ثا لر دذ
صه هللا عه انث شج ع ات ش ع ات انعالء ع ذ( ع يذ ات
ى سم دذث سهى ت .12
11
Abu al-Husain Muslimal-Hajjâj al-Qushairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, hal. 133 12
Abu al-Husain Muslimal-Hajjâj al-Qushairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, hal. 133
53
Abu Kuraib Muhammad bin Al-Alaa‟ telah memberitahukan kepda
kami, Abu Usamah telah memberitahukan kepda kami, Buraid telah
memberitahukan kepda kami, dari kakeknya, dari Abu Musa, dari Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Seorang mukmin makan
dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh usus”.
Qutaibah bin Sa‟id telah memberitahukan kepda kami, Abdul Aziz yakni
Ibnu Muhammad telah memberitahukan kepada kami, dari Al-Ala‟, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
seperti hadits riwayat mereka.
م ت س عس اخثشا يانك ع ثا اسذك ت سافع دذ ذ ت ث يذ دذ
ل هللا صه هللا عه سس شج ا ات ش ع ات سهى ات صانخ ع
سهى تشاج ض كافش فايشن سسل هللا صه هللا عه ف اف ض
فخهثد فششب دالتا ثى اخش فششت ثى اخش فششت در ششب دالب
اصثخ فاسهى فايشن ثى ا سهى تشاج سثع شا سسل هللا صه هللا عه
دالتا ثى فششب ا فمال سسل هللا صه هللا عه ايش تاخش فهى سرر
ادذ انكافش ششب ف سثعح ايعا ششب ف يع سهى انؤي ء.13
Dan Muhammad bin Rafi‟ telah memberitahukan kepdaku, Ishaq
bin Isa telah memberitahukan kepada kami, Malik telah mengabarkan
kepada kami, dari Suhail bin Abu Shalih, dari ayahnya, dari Abu
Hurairah bahwasannya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
kedatangan tamu dan dia adalah orang kafir. Lalu Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk memerah air susu
seekor kambing, lalu orang itu meminumnya. Kemudian diberikan
perahan susu yang lain, lalu orang itu meminumnya. Kemudian
diberikan perahan susu yang lain, lalu orang itu meminumnya hingga ia
13
Abu al-Husain Muslimal-Hajjâj al-Qushairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, hal. 133
54
meminum perahan susu dari tujuh ekor kambing. Kemudian di pagi
harinya ia masuk Islam, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
memerintahkan untuk memerahkan air susu lalu ia meminumnya,
kemudian beliau memberitahukan untuk memerahkan air susu dari
kambing lain, ia tidak menghabiskannya, maka Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, “Seorang mukmin minum pada satu usus
sedangkan orang kafir minum pada tujuh usus.”
Setelah penulis teliti bahwa hadis tersebut dalam kitab Sâhîẖ
Muslim terdapat dalam lima tempat masing-masing dengan nomor 3839,
3840, 3841, 3842, 3843 yang serupa makna maupun lafadznya yaitu
kitab al-Asyrabah pada bab al-mu‟min ya‟kulu fî mi‟an wâhid wal kafir fi
sab‟ati am‟ain.
3. Penjelasan (Syarah) Hadis orang Mukmin Makan dalam Satu Usus dan
Kafir Makan dalam Tujuh Usus
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan makna pada
hadis orang mukmin makan dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh
usus. Ibn Hajar ketika mensyarahkan hadis ini dalam dalam kitabnya
yaitu Fathul Bâri mengatakan bahwa Imam Bukhari menyebutkan hadis
pertama (Aku memasukkan seorang laki-laki makan bersamanya, lalu dia
makan banyak). Barangkali dia adalah Abu Nahik yang disebutkan pada
riwayat sesudahnya. Dalam riwayat muslim disebutkan (Maka Ibnu
Umar meletakkan makanan di hadapan orang itu dan meletakkan
makanannya di hadapannya, maka orang itu makan banyak). Lalu beliau
menyebutkan hadis (jangan memasukkan orang ini kepadaku), sehingga
55
hadis tersebut dipahami bahwa Ibnu Umar menerapkan hadis itu sesuai
makna zhahirnya. Barangkali juga beliau tidak menyukai orang itu
masuk kepadanya, karena beliau melihat orang itu memiliki sifat seperti
sifat orang kafir.14
Selanjutnya Imam bukhari menyebutkan hadis kedua yaitu : (Dan
sesungguhnya orang kafir atau munafik, aku tidak tahu siapa di antara
keduanya yang dikatakan Ubaidillah). Imam Muslim bermaksud dalam
hadits tersebut ialah „orang kafir‟, tanpa keraguan beliau
menyebutkannya. Namun dalam riwayat Ath-Thabrani dari hadis
Samurah disebutkan dengan kata „munafik‟ sebagai pengganti „kafir‟.
Lalu ditemukan dalam kitab Al-Muwaththa dengan redaksi (Orang
mukmin makan dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh usus).15
Imam Bukhari meriwayatkan hadis ketiga yaitu (Abu Nahik
adalah seorang yang banyak makan). Dalam riwayat Al-Humaidi
disebutkan, (dikatakan kepada Ibnu Umar, Sesungguhnya Abu Nahik
adalah seorang laki-laki dari penduduk Makkah makan makanan yang
banyak). Lalu dia berkata: Aku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Atas dasar ini, para ulama sepakat untuk memahami hadis dengan selain
makna zhahirnya sebagaimana yang akan disebutkan.16
Kemudian Imam Bukhari mengutip hadis Abu Hurairah
“Sesungguhnya seseorang biasa makan makanan yang banyak, lalu
14
Ibnu Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarah Sahih Bukhari (Jakarta: Pustaka Azzam,
2008), jilid 26, h. 660. 15
Ibnu Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarah Sahih Bukhari, h. 661. 16
Ibnu Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarah Sahih Bukhari, h. 662.
56
masuk Islam. Disebutkan dalam riwayat Muslim (Rasulullah pernah
didatangi seorang tamu yang masih kafir. Beliau SAW memerintahkan
didatangkan seekor kambing, lalu diperah. Dia pun minum air susunya.
Kemudian didatangkan kambing lain, kemudian didatangkan kambing
lain. Hingga ia minum air susu dari tujuh ekor kambing. Pagi harinya dia
masuk Islam, lalu diperintahkan didatangkan seekor kambing dan dia
minum air susunya. Kemudian didatangkan kambing lainnya namun dia
tidak mampu menghabiskan air susunya). Laki-laki yang dimaksud dia
datang bersama sekelompoknya pada saat maghrib. Dimalam pertamanya
mereka menghabiskan air susu yang diperah dari tujuh ekor kambing dan
makanan dalam periuk. Ketika malam hari yang kedua dan mereka sholat
maghrib, dilakukan apa yang dilakukan malam sebelumnya, lalu diperah
seekor kambing dan laki-laki itupun merasa puas dan kenyang. Ummu
Aiman berkata: Bukankah ini tamu kita (semalam)? Dia berkata,
Sesungguhnya pada malam ini dia makan dalam satu usus dan dia
mukmin, sementara sebelum itu dia makan dalam tujuh usus, orang kafir
makan dalam tujuh usus dan orang mukmin makan dalam satu usus. Pada
semua sanadnya terdapat Musa bin Ubaidah, seorang periwayat yang
lemah.17
Al-Ţhabarani meriwayatkan dengan sanad yang bagus dari
Abdullah bin Amr, dia berkata: Pernah tujuh orang laki-laki datang
kepada Nabi Saw, maka setiap seorang daripada sahabatnya mengambil
17
Ibnu Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarah Sahih Bukhari, h. 664.
57
seorang laki-laki, dan Nabi Saw mengambil satu orang. Beliau bertanya
kepadanya, Siapa namamu ? Orang itu berkata, Abu Ghazwan. Dia
berkata: Maka diperah untuknya tujuh ekor kambing. Dia berkata,
“Maka diperah untuknya tujuh ekor kambing. Dia berkata, “Maka
diperah untuknya tujuh ekor kambing dan dia minum semua susunya.
Nabi Saw bersabda kepadanya, Maukah engkau wahai Abu Ghazwan
masuk Islam?” Dia berkata, “Baiklah.” Dia pun masuk Islam.
Rasulullah Saw mengusap dadanya. Ketika pagi hari diperah untuknya
seekor kambing dan dia tidak bisa menghabiskan air susunya. Beliau
Saw bertanya. “Ada apa dengan engkau wahai Abu Ghazwan?” Dia
berkata, “Demi yang megutusmu sebagai Nabi, sungguh aku sudah
kenyang.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kemarin engkau memiliki
tujuh usus dan tidak ada bagimu hari ini kecuali satu usus”. 18
Kemudian terjadi perbedaan tentang makna hadis. Dikatakan
yang dimaksud bukan makna zhahirnya. Akan tetapi ia adalah
perumpamaan orang mukmin dalam dalam sikap zuhudnya terhadap
dunia dan ketamakan orang kafir terhadap dunia. Karena orang mukmin
sedikit mengambil kepentingan dunia, maka dia makan dalam satu usus.
Adapun orang kafir karena ambisi dan keinginan mendapatkan yang
banyak, maka dia makan dalam tujuh usus. maksudnya, bukan usus atau
makan dalam arti yang sebenarnya, tetapi yang dimaksud adalah sedikit
dan memperbanyak keduniaan. Seakan-akan Nabi mengumpamakan
18
Ibnu Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarah Sahih Bukhari, h. 665.
58
perbuatan mengumpulkan dunia dengan „makan‟ dan sebab-sebabnya
dengan „usus‟.19
Menurut penulis dalam penjelasan tersebut terdapat sebuah majaz
aqli yaitu menghubungkan fi‟il dengan penyebab kejadian. Adapun
maksud Nabi Saw mengucapkan kalimat „makan” bermaksud perbuatan
mengumpulkan dunia dan kalimat „usus‟ sebagai penyebab kejadian.
Sebagian berkata, “Maknanya, orang mukmin makan yang halal
dan orang kafir makan yang haram, sementara dalam kenyataan yang
halal lebih sedikit daripada yang yang haram.” Demikian dinukil Ibnu
At-ti. Sementara Ath-Thahawi menukil pandangan yang sama dengan
pandangan sebelumnya dari Abu Ja‟far bin Abi Imran. Dia berkata,
“Sebagian orang memahami hadis ini dengan arti sikap tamak/rakus
terhadap dunia. Seperti dikatakan, „Fulan memakan dunia‟ yakni; sangat
berambisi dan tamak terhadapnya. Maka makna „orang mukmin makan
dalam satu‟ artinya bersikap zuhud dan mengambil sedikit. Lalu makna
„orang kafir makan dalam tujuh usus‟ artinya sangat berambisi dan ingin
banyak mengambilnya.20
Adapun penjelasan tersebut menurut penulis terdapat sebuah
majâz isti‟ârah yakni adanya hubungan antara makna ashli dengan
makna far‟y bersifat keserupaan. Bahwa, yang dimaksud satu usus adalah
makan sedikit dan yang dimaksud dengan tujuh usus ialah makan
banyak.
19
Ibnu Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarah Sahih Bukhari, h. 666. 20
Ibnu Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarah Sahih Bukhari, h. 667.
59
Sebagian lagi berkata, “Maksudnya, motivasi bagi orang mukmin
agar makan sedikit setelah dia mengetahui bahwa makan banyak
merupakan sifat orang kafir, karena jiwa orang mukmin jauh dari pada
menyerupai sifat orang kafir. Adapun yang menunjukkan bahwa makan
banyak termasuk sifat orang kafir adalah firman Allah dalam surah
Muhammad [47]: ayat 12,
رع كفشا ر انز أكه عاو ا ذأكم األ ك
(Dan orang-orang kafir bersenang-senang di dunia dan makan
seperti makannya binatang).21
Al-Qadhi berkata, “Hadis ini berkenaan dengan orang itu sendiri,
dikatakan kepadanya sebagai permisalan.” Ada yang mengatakan bahwa
yang dimaksud adalah hendaknya rang mukmin bersikap hemat pada
makanannya. Ada lagi yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
orang mukmin menyebut nama Allah Ta‟ala pada saat hendak makan
sehingga setan tidak serta makan dengannya, sedangkan orang kafir tidak
menyebut nama Allah dan setan ikut serta makan dengannya. Didalam
Shahih Muslim disebutkan bahwa setan dengan mudah memakan
makanan yang tidak disebutkan nama Allah Ta‟ala pada waktu makan.22
Menurut penulis yang dikatakan oleh al-Qadhi sebagai
„pemisalan‟ ini menunjukkan bahwa penjelasan tersebut terdapat sebuah
majâz mursal, yaitu bahasa kiasan yang memakai hubungan. Hubungan
21
Ibnu Hajar al-Asqalâni, Fath al-Bâri Syarah Sahih Bukhari, h. 667. 22
Al-nawâwi, Syarah Sâhîh Muslim, (Jakarta: Darus Sunah, 2013), Jilid 9, hal. 874.
60
akibat untuk sebab, yang mana akibatnya orang mukmin dengan sebab
hemat pada makanannya atau yang dimaksud adalah orang mukmin
menyebut nama Allah Ta‟ala pada saat hendak makan sehingga setan
tidak serta makan dengannya dan begitupun sebaliknya.
Pakar kedokteran mengatakan, “Setiap manusia memiliki tujuh
macam usus, yaitu perut besar, tiga usus halus yang bersambung
dengannya, dan tiga usus besar.” Orang kafir yang karena kerakusannya
dan tidak mengucapkan nama Allah pada saat makan, maka tidak cukup
baginya kecuali harus memenuhi seluruh ususnya. Sedangkan orang
mukmin karena kesederhanaannya dan mengucapkan nama Allah pada
saat makan, maka makanan tersebut dapat mengenyangkannya dan cukup
hanya satu usus saja. Dimungkinkan yang demikian ini hanya pada
sebagian orang-orang mukmin dan sebagian orang-orang kafir. Ada yang
mengatakan, “yang dimaksud dengan tujuh usus adalah tujuh sifat, yaitu
semangat, rakus, panjang angan-angan, tamak, tabiat buruk, iri dengki,
dan gemuk. Ada yang berkata, “yang dimaksud orang mukmin disini
adalah orang yang sempurna imannya dan berpaling dari hawa nafsu dan
sudah puas dengan apa yang dapat memenuhi kebutuhannya.” Pendapat
terpilih adalah bahwa sebagian orang mikmin makan dalam satu ususnya,
sedangkan kebanyakan orang kafir makan dalam tujuh usus. Dan tidak
mesti setiap usus dari ketujuh usus tersebut sama seperti satu usus orang
mukmin. Wallahu A‟lam.23
23
Al-Nawâwi, Syarah Sâhîh Muslim, (Jakarta: Darus Sunah, 2013), Jilid 9, hal. 874.
61
Selanjutnya menurut penulis dalam penjelasan tersebut terdapat
sebuah majâz isti‟ârah sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya
bahwa terdapat hubungan antara makna kiasan dengan makna sebenarnya
yakni yang dimaksud dengan tujuh usus adalah tujuh sifat.
Para ulama berkata, “Maksud hadis ini adalah mengurangi hal-hal
yang berkaitan dengan urusan dunia dan anjuran untuk bersikap Zuhud
(tidak mementingkan kehidupan dunia) dan Qana‟ah (merasa puas), dan
sedikit makan adalah termasuk akhlak baik seseorang sedangkan banyak
makan adalah sebaliknya. Adapun perkataan Ibnu Umar berkenaan
dengan orang miskin yang makan banyak dihadapannya, “Janganlah
sekali-kali orang ini ke hadapanku.” Adalah karena orang itu menyerupai
orang kafir. Dan barangsiapa yang menyerupai orang kafir maka makruh
hukum bergaul dengannya jika tidak ada keperluan atau kepentingan
yang mendesak. Sebab, porsi makanan yang ia makan memungkinkan
untuk dapat menutupi kebutuhan orang banyak. Adapun orang yang
disebutkan didalam kitab ini yang minum perahan susu dari tujuh
kambing, maka ada yang mengatakan ia adalah Tsumamah bin Utsal, ada
yang mengatakan, Jahjah Al-Ghifari. Dan ada juga yang mengatakan ia
adalah Nadhrah bin Abu Nadhrah Al-Ghifari. Wallahu A‟lam.24
24
Al-Nawâwi, Syarah Sâhîh Muslim, hal. 875.
62
B. Analisis
Metodologi pemahaman hadis orang mukmin makan dalam satu usus
dan kafir makan dalam tujuh usus dengan menggunakan pendekatan atau
metode takwil Yûsuf al-Qaraḏâwî yakni (al-tafriq baina al-haqiqah wa al-
majaz) sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya bahwa langkah-langkah
pentakwilannya ialah mengaitkan dengan al-Qur‟an, hadis setema, pendapat
ulama dan pendekatan logika bahasa.
Dalam kitab Fath al-Bârī, disebutkan hadis dengan judul ‟Orang
Mukmin Makan dalam Satu Usus dan Kafir Makan dalam Tujuh Usus‟, hadis
ini menunjukan bahwa makna „orang kafir makan dalam tujuh usus‟ artinya
sangat berambisi dan ingin banyak mengambilnya. Adapun yang
menunjukkan makan banyak termasuk sifat orang kafir adalah firman Allah
dalam Surah Muhammad [47]: ayat 12,
ها ع آيا ذخم انز هللا انذاخ إ ذذرا انص جاخ ذجش ي
نى اناس يث عاو ا ذأكم األ ك أكه رع كفشا ر انز اس األ
Artinya:
Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai. Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di
dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan
neraka adalah tempat tinggal mereka.
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menguraikan sekelumit dampak
perlindungan-Nya dengan menyatakan: Sesungguhnya Allah akan
memasukkan orang-orang yang beriman dan membuktikan kebenaran iman
63
mereka dengan mengerjakan amal-amal yang shaleh, akan memasukkan
mereka ke dalam surga yang mengalir di bawah istana-nya sungai-sungai,
dan ini menghapus semua kekeruhan dan kesempitan hidup yang pernah
mereka rasakan di dunia. Sedang orang-orang yang kafir bersenang-senang
dengan kesenangan sementara dan sedikit lagi segera hilang di dunia ini.
Mereka mengikuti syahwat hawa nafsu tanpa kendali agama atau akal dan
mereka senantiasa makan yakni melakukan aneka aktivitas seperti binatang-
binatang makan kapan dan dimana pun, tanpa berpikir tentang akibat-
akibatnya dan nanti di hari kemudian neraka merupakan tempat tinggal bagi
mereka.25
Lanjut pendapatnya, ayat ini menguraikan perbedaan yang sangat
menonjol antara kaum beriman dan kaum kafir. Orang-orang yang beriman,
mereka beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang kafir, pandangan dan
aktivitas mereka hanya tertuju kepada hal-hal yang bersifat material. Orang-
orang mukmin berbakti dan melakukan amal-amal saleh untuk kepentingan
diri, keluarga dan kemanusiaan, dengan ajaran mengasah dan mengasuh kalbu
dan menghiasinya dengan iman, serta memfungsikan dengan baik anggota
tubuh mereka melalui amal-amal yang bermanfaat, sedang orang-orang kafir
hanya memperhatikan sebagian dari potensi mereka, yakni sisi jasmani
khususnya pemenuhan syahwat perut dan kelamin.26
25
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Volume 13, hal. 130. 26
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Volume 13, hal. 130.
64
Ath-Thabari mengomentari firman-Nya: Orang-orang yang kafir
bersenang-senang dan mereka makan seperti makannya binatang bahwa:
orang-orang yang menentang untuk mengesakan Allah serta mendustakan
rasul-Nya, bersenang-senang di dunia dengan rumah, perabotan mewah, dan
perhiasannya yang fana dan akan lenyap itu. Makan di dunia tanpa
memikirkan tempat kembali mereka, tidak merenungkan hujjah yang
diberikan Allah kepada makhluk-Nya yang mengantarkan mereka kepada
ilmu mengesakan Allah dan ilmu membenarkan rasul-Nya. Dari segi makan
yang mereka lakukan tanpa didasari ilmu akan hal itu, sama seperti binatang
ternak yang ditundukkan, tidak ada pikiran lain selain makan.27
Sedangkan dalam Tafsirnya Al Qurthubi, رع كفشا ر انز “Dan
orang-orang kafir bersenang-senang,” di dunia, seolah-olah mereka adalah
ternak, dimana tujuan mereka hanya untuk perut dan kemaluan mereka.
Mereka lalai akan hari esok mereka. Menurut satu pendapat, orang yang
beriman itu di dunia berbekal, orang munafik berhias, sedang orang kafir
bersenang-senang. نى اناس يث “Dan jahannam adalah tempat tinggal
mereka.” Yakni tempat dan kediaman mereka.28
Atas dasar identifikasi penulis terhadap hadis orang mukmin makan
dalam satu usus dan kafir makan dalam tuju usus yang diriwayatkan Imam
Bukhâri dan Imam Muslim setelah dikaitkan dengan ayat al-Qur‟an bahwa,
27
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‟ Al Bayan an Ta‟wil Ayi Qur‟an,
diterjemahkan oleh Abdul Shomad dengan judul Tafsir Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2009), Jilid 23, hal. 469. 28
Imam al- Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Penerjemah Akhmad Khotib (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), juz 16, hal. 606.
65
orang beriman itu dijanjikan oleh Allah bahwa kelak tempatnya ialah surga
dengan ketentuan membuktikan keimanannya dengan beramal shaleh.
Sedangkan bagi orang kafir ialah tempatnya dineraka yang mana mereka
selama hidupnya mengikuti syahwat hawa nafsu tanpa kendali agama yakni
melakukan kegiatan seperti binatang makan kapan dan dimanapun dan selalu
bersenang-senang tanpa memikirkan dampaknya. Sebagaimana dikatakan
oleh Yûsuf al-Qaraḏâwî bahwa adakalanya pemahaman berdasarkan majaz
itu merupakan suatu keharusan. Atau, jika tidak, orang akan tergelincir dalam
kekeliruan. Oleh sebab itu, hadis di atas haruslah dipahami sebagai majaz.
Meskipun langkah-langkah metode pemaknaan majazi Yûsuf al-Qaraḏâwî
belum tersusun secara sistematis, namun dapat dianalisis dari contoh hadis
yang beliau selesaikan dengan pemaknaan majazi. Yakni dalam memahami
suatu hadis yang terkesan majaz, ia mencari penjelasan dari al-Qur‟an dan
hadis.
Di antara etika makan yang diajarkan oleh Nabi adalah anjuran makan
bersama-sama pada satu piring. Sesungguhnya hal ini merupakan sebab turunnya
keberkahan pada makanan tersebut. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah orang
yang makan maka keberkahan juga akan semakin bertambah.
Sedangkan menurut al-Nawawi, di dalam riwayat Jabir diterangkan,
“Makanan satu orang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk
empat orang dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang.” Dalam bab ini
terdapat anjuran untuk saling membantu dalam hal makanan. Apabila makanan
66
tersebut sedikit jumlahnya maka akan cukup bagi orang yang akan makan dan
terdapat keberkahan bagi semuanya. Wallahu A‟lam.29
Jadi, dari penjelasan hadis yang dipaparkan, hadis tentang orang
mukmin makan dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh usus
menghimbau kepada orang muslim bahwa adab-adab makan yang anjurkan
adalah makan tidak berlebihan. Makan dalam porsi terlalu besar merupakan
penyebab tubuh menjadi sakit dan merasa malas sehingga sangat berat untuk
melakukan berbagai amal ketaatan. Di samping itu hal tersebut akan
menyebabkan hati menjadi beku. Sebaliknya makan dalam porsi yang terlalu
sedikit, juga akan menyebabkan badan menjadi lemah dan loyo sehingga
tidak kuat melakukan berbagai amal taat. Jadi makanlah dengan secukupnya
dan tidak berlebihan.
Sedangkan menurut Syuhudi Ismail, secara tekstual hadis tersebut
menjelaskan bahwa ususnya orang yang beriman berbeda dengan ususnya
orang kafir. Padahal dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh
manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Dengan demikian,
pernyataan hadits itu merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti harus
dipahami secara kontekstual.
Adapun menurut Al-Syarif al-Ridâ, perkataan tersebut merupakan
bentuk majaz, maksudnya bahwa seorang mukmin menjadikan makanan
sebagai upaya untuk melangsungkan kehidupan bukan tujuan untuk
memuaskan syahwat dan mencari kenikmatan, sehingga mereka makan
sekedar untuk bertahan hidup. Sedangkan orang-orang kafir menjadikan
29
al-Nawâwi, Syarah Sâhîh Muslim, hal. 868.
67
makanan sebagai tujuan hidup dan untuk memenuhi keinginan nafsu yang
tiada puasnya sehingga mereka seperti makan dengan tujuh usus.30
Dalam skripsi Siti Imritiyah dengan judul kajian hadis-hadis makan
dan minum; perspektif ilmu kesehatan,31
bahwa Berdasarkan hadis “Orang
mukmin itu makan dengan satu usus, sedangkan kafir itu makan dengan tujuh
usus”, al-Qadhi berkata, “hadis ini berkenaan dengan orang itu sendiri,
dikatakan padanya sebagai pemisalan”. Ada yang mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah hendaknya orang mukmin bersikap hemat pada
makanannya. Pakar kedokteran mengatakan, “Setiap manusia memiliki tujuh
macam usus, yaitu perut besar, tiga usus halus yang bersambung dengannya,
dan tiga usus besar.” Orang kafir yang karena kerakusannya dan tidak
mengucapkan nama Allah pada saat makan, maka tidak cukup baginya
kecuali harus memenuhi seluruh ususnya. Sedangkan orang mukmin karena
kesederhanaannya dan mengucapkan nama Allah pada saat makan, maka
makanan tersebut dapat mengenyangkan dan cukup hanya satu usus saja.
Dimungkinkan yang demikian ini hanya pada sebagian orang-orang Mukmin
dan sebagian orang-orang kafir. Ada yang mengatakan, yang dimaksud
dengan “Tujuh usus adalah tujuh sifat, yaitu semangat, rakus, panjang angan-
angan, tamak, tabiat buruk, iri dengki dan gemuk. Ada yang berkata “Yang
dimaksud dengan orang Mukmin disini adalah orang yang sempurna imannya
dan berpaling dari hawa nafsu dan sudah puas dengan apa yang dapat
30
al-Syarîf al-Ridâ, Al-Majâzât al-Nabawiyyah (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah,
2007), hal. 215. 31
Siti Imritiyah, Kajian Hadis-hadis Makan dan Minum; Perspektif Ilmu Kesehatan, h. 35.
68
memenuhi kebutuhannya. Pendapat terpilih adalah bahwa sebagian orang
Mukmin makan dalam satu ususnya, sedangkan kebanyakan orang kafir
makan dalam tujuh usus. Dan tidak mesti setiap usus dari ketujuh usus
tersebut sama seperti satu usus orang Mukmin.
Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut menunjukkan perbedaan
sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk tatkala
makan. Orang yang beriman memandang makan bukan sebagai tujuan hidup,
sedang orang kafir menempatkan makan sebagai bagian dari tujuan
hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut
dalam kelezatan makan. Yang banyak menuntut kelezatan makan pada
umumnya adalah orang kafir. Di samping itu dapat dipahami juga bahwa
orang yang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikmat Allah,
termasuk tatkala makan, sedang orang kafir mengingkari nikmat Allah yang
dikaruniakan kepadanya.32
Berdasarkan paparan tersebut, jelas bahwa hadis orang mukmin
makan dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh usus itu adalah bentuk
majaz. Karena jika dipahami secara haqiqi dalam kenyataan yang lazim,
perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman.
Ungkapan itu adalah untuk menegaskan seorang mukmin itu menjadikan
makan sebagai upaya untuk melangsungkan kehidupan bukan tujuan untuk
memuaskan syahwat dan mencari kenikmatan.
32
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma‟ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), hal.
22.
69
Penakwilan seperti ini, dengan memahami hadis sebagai suatu kiasan.
Tidaklah ditolak oleh agama. Yakni selama hal itu masih dalam batas yang
dapat diterima, tidak dipaksakan dan tanpa mengada-adakan, dan sepanjang
masih ada sesuatu yang mengharuskan kita beralih dari arti yang sebenarnya
kepada yang bersifat majâz. Dengan kata lain, selama adanya kendala
tertentu, baik berupa kesimpulan akal yang jelas, atau hukum syariat yang
sahih, atau pengetahuan yang pasti, atau kenyataan yang tak diragukan, yang
menolak pemahamannya secara biasa atau secara harfiah.33
Oleh karenanya, hadis yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim yakni perbedaan orang mukmin dan orang kafir yang berbunyi:
الذ ت ثا شعثح، ع ذ، دذ ثا عثذ انص اس، دذ تش ذ ت ثا يذ دذ
أكم يذ سك ش ال أكم در ؤذ ت ع ات ا فع لال : كا ذ، ع
شا فمال : ا فع! ال ذذخم زا يع، فأدخهد سجال اكم يع، فأكم كث
صه هللا عه سهى مل عد انث س ادذ عه أكم ف يع ؤي : ان
انكأفش اكم ف سثعح أيعاء. 34
Muhammad bin Basysyār memberitahu kami, „Abdussomad
memberitahu kami, Syu‟bah memberitahu kami, dari Wâkidi bin
Muhammad, dari Nafi‟, ia berkata, “Ibnu Umar tidak akan makan
hingga memberikan kepadanya seoraang miskin yang akan makan
bersamanya. Kemudian aku mendatangkan kepadanya seorang lelaki
untuk makan bersamanya, lalu lelaki itu pun makan banyak sekali.
Kemudian ia berkata, “Hai Nafi‟! jangan kau datangkan laki-laki ini
33
Yûsuf al-Qaraḏâwî, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, terj. Muhammad al-Baqir
(Bandung: Kharisma, 1993), hal. 173. 34
Abû Abdillâh Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, h. 715.
70
kepadaku, aku mendengar Nabi SAW bersabda, “Seorang mukmin itu
makan dalam satu usus (maksudnya, mengisi satu usus), sedangkan
orang kafir makan dalam tujuh usus.”
Di dalam satu dialek tentang kata mi‟an yang di sebutkan di kitab Al
Muhkam diberi „sukun‟ pada huruf „ain‟ dan sesudahnya huruf „ya‟, bentuk
jamaknya adalah am‟aa, maksudnya adalah usus.
Abu Hatim as-Sijistani berkata, “Kata al mi‟ah adalah mudzakar (jenis
laki-laki), dan aku tidak mendengar orang yang aku percayai
menyebutkannya dalam bentuk mu‟annats (jenis perempuan), seperti
mengatakan „mi‟ah waahidah‟, akan tetapi telah disebutkan oleh mereka yang
tidak aku percayai seperti itu.”
Imam muslim meriwayatkan dari jalur Yahya Al Qaththan, dari
Ubaidillah bin Umar, dengan lafazh “orang kafir” tanpa keraguan. Hanya saja
dalam riwayat Ath-Thabarani dari hadis Samurah disebutkan dengan kata
„munafik‟ sebagai pengganti „kafir‟.
Menurut Muhammad Yusuf, dalam hadits tersebut terdapat sebuah
isti‟arah tamsiliyyah, qarinahnya adalah hâliyah. Adapun maksud Nabi Saw
mengucapkan kalimat satu usus tersebut ditunjukkan kepada kepada orang
yang memakan makan dengan tidak mengikuti hawa nafsu, tidak berlebihan
akan tetapi secukupnya, makan dengan niat agar badan menjadi sehat
sehingga dapat beribadah dan bekerja dengan baik. Sebaliknya Nabi juga
mengucapkan tujuh usus, bermaksud mencela orang yang makan untuk
71
memenuhi hawa nafsunya, berlebih-lebihan, kelezatannya saja tidak mencari
keberkahan dari makanan tersebut.35
Berdasarkan paparan sebelumnya pada bab dua, bahwa isti‟ârah
tamsiliyyah tampil dalam bentuk kalimat dan bila isti‟ârah tamtsiliyyah sudah
digunakan orang secara meluas di masyarakat jadilah peribahasa. Sedangkan
qarinahnya adalah hâliyah “sesuatu yang menempati” yang dimaksud adalah
“tempatnya”. Maka pada hadis Orang mukmin makan dalam satu usus
diserupakan dengan orang yang zuhud dan orang kafir makan dalam tujuh
usus diserupakan dengan orang yang serakah atau cinta dunia.
Selanjutnya menurut M. Fatih dalam jurnalnya menguraikan hadis di
atas sebagai berikut:36
Ungkapan yang disabdakan Nabi itu merupakan gaya bahasa kiasan
atau metafora (majazi) untuk menjelaskan perbedaan karakter dan orientasi
hidup antara orang mukmin dan orang kafir. Karakter orang mukmin adalah
sedikit makan sebab orientasi hidupnya adalah makan untuk hidup,
sedangkan karakter orang kafir adalah banyak makan sebab orientasi
hidupnya adalah hidup untuk makan. Dengan demikian, sabda Nabi “mukmin
makan dengan satu usus” merupakan ungkapan majaz yang dimaksudkan
untuk menjelaskan bahwa orang mukmin itu makannya sedikit, dan sabda
beliau “orang kafir makan dengan tujuh usus” pun adalah ungkapan majazi
untuk menjelaskan bahwa orang kafir itu makannya banyak.
35
Muhammad Yusuf, Telaah Majas Pada Hadits-hadits Kitab Shahih Al-Bukhari, Tesis
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2005, h.240. 36
M. Fatih, Pemahaman Hadis “Makan dengan Tiga Jari” dan “Perbedaan Usus orang
Mukmin dan Orang Kafir Ketka Makan” (Kajian Ma‟anil Hadis), Jurnal Of Islamic Religious
Instruction V, 1 No, 1 (Februari 2017): h. 131.
72
Pada sisi lain, angka tujuh adalah frase “tujuh usus” dalam hadis
tersebut tidak menunjuk pada angka antara enam dan delapan, tetapi sekedar
untuk menunjukkan makna banyak (li al-kashrah), bukan untuk membatasi (li
al-tahdid) pada bilangan tertentu. Dalam kultur orang Arab, angka tujuh atau
tujuh puluh memang sering digunakan untuk menyebut jumlah banyak. Al-
Qur‟an yang diturunkan dalam bahasa Arab (bi lisani qauhimi) juga
mengakomodir kultur tersebut. Ini misalnya terlihat pada ayat-ayat berikut
ini:
ذسرغفش نى ال ذسرغفش نى إ اسرغفش نى أ نى سثع غفش هللا ج فه يش
و انفاسم ذ انم ال هللا سسن ى كفشا تاهلل رنك تأ
Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu
mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati pun kamu
memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-
kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian itu
adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. At-Taubah: 80)37
ا ف أ ن سثعح أتذش يا األسض تعذ ي ذ انثذش شجشج ألالو ي
عضض دكى هللا إ اخ هللا فذخ كه
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut
(menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah
(kering) nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.
Luqman: 27)38
37
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: PT.
Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 200. 38
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: PT.
Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 413.
73
ثرد سثع ساتم ف كم ثم دثح أ ك انى ف سثم هللا أي فم يثم انز
هللا ثهح يائح دثح اسع عهى ضاعف س هللا شاء ن
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-
Baqarah: 261)39
Ayat-ayat di atas menggunakan angka tujuh atau tujuh puluh secara
majazi untuk menunjukkan makna banyak. Ini disebabkan oleh al-Qur‟an
yang berbahasa Arab itu mengakomodir beberapa kultur atau tradisi
kebahasaan yang biasa digunakan orang Arab sehingga mereka mudah
memahaminya. Pola ini tampaknya juga digunakan oleh Nabi Saw. dalam
mensabdakan hadis-hadisnya. Berdasarkan hal ini, maka kita memahami frase
“tujuh usus” dalam hadis di atas bukan dalam pengertian matematis “tujuh
usus” melainkan banyak usus yang secara majazi dimaksudkan untuk
menunjukkan sifat atau karakter rakus, tamak, dan berlebihan dalam urusan
makan (duniawi).
Menurut penjelasan yang telah dipaparkan berdasarkan metode takwil
Yûsuf al-Qaraḏâwî bahwa hadis itu dimaknai majâzi jika terdapat qarinah
yang mengharuskannya. Dipahami secara majâz dan keluar dari makna hakiki
pada makna majâzi itu terdapat suatu tanda yang menghalangi penyampaian
makna hakiki berdasarkan dalil naqli dan rasional. Tanda-tanda yang penulis
39
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: PT.
Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 44.
74
temukan dari pemahaman yang sudah dipaparkan diatas ialah pertama bahwa
hadis orang mukmin makan dalam satu usus dan kafir makan dalam tujuh
usus itu sulit dipahami secara harfiah yaitu dalam kenyataan yang lazim,
perbedaan anatomi tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman.
Dan kesulitan ini hilang bila hadis tersebut diartikan dengan makna majâzi
yaitu kezuhuhudannya orang mukmin yang disebutkan dalam satu usus dan
keserakahannya orang kafir yang disebutkan dalam tujuh usus dimaksudkan
untuk menunjukkan sifat atau karakter rakus dan berlebihan dalam urusan
(makan) duniawi.
Selanjutnya tanda yang kedua ialah sebagai bentuk tamsil dan
penyerupaan (menggambarkan sesuatu yang abstrak dengan suatu yang
konkrit). Yaitu pada hadis tersebut terdapat isti‟arah tamsiliyyah tampil
dalam bentuk kalimat dan bila isti‟arah tamtsiliyyah sudah digunakan orang
secara meluas di masyarakat jadilah peribahasa. Sedangkan qarinahnya
adalah hâliyah “sesuatu yang menempati” yang dimaksud adalah
“tempatnya”. Maka pada hadis Orang mukmin makan dalam satu usus
diserupakan dengan orang yang zuhud dan orang kafir makan dalam tujuh
usus diserupakan dengan orang yang serakah atau cinta dunia.
75
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Majaz merupakan makna baru atau bukan lagi makna asal dan di
dalamnya mengandung makna yang mengesankan, sehingga untuk
memahami sebuah ungkapan yang mengandung majaz perlu diteliti agar tidak
keliru dalam memahaminya.
Terjadinya pemaknaan majazi pada hadis yaitu ketika matan hadis
terlihat tidak masuk akal. Sehingga untuk menyelesaikannya dengan
memalingkan kata asal atau haqiqi ke makna majazi maka disebut dengan
istilah takwil dan suatu lafal atau teks yang dipandang sebagai majaz itu perlu
takwil.
Berdasarkan metode takwil Yûsuf al-Qaraḏâwî bahwa hadis itu
dimaknai majazi jika terdapat qarinah yang mengharuskannya. Dipahami
secara majaz dan keluar dari makna hakiki, bila pada makna majazi itu
terdapat suatu tanda yang menghalangi penyampaian makna hakiki
berdasarkan dalil naqli dan rasional.
Tanda-tanda yang penulis temukan dari pemahaman yang sudah
dipaparkan di atas ialah pertama bahwa hadis orang mukmin makan dalam
satu usus dan kafir makan dalam tujuh usus itu sulit dipahami secara harfiah
76
yaitu dalam kenyataan yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak
disebabkan oleh perbedaan iman. Dan kesulitan ini hilang bila hadis tersebut
diartikan dengan makna majazi yaitu kezuhuhudannya orang mukmin yang
disebutkan dalam satu usus dan keserakahannya orang kafir yang disebutkan
dalam tujuh usus dimaksudkan untuk menunjukkan sifat atau karakter rakus
dan berlebihan dalam urusan (makan) duniawi. Selanjutnya tanda yang kedua
ialah sebagai bentuk tamsil dan penyerupaan (menggambarkan sesuatu yang
abstrak dengan suatu yang konkrit). Yaitu pada hadis tersebut terdapat
isti’arah tamsiliyyah tampil dalam bentuk kalimat dan bila isti’arah
tamtsiliyyah sudah digunakan orang secara meluas di masyarakat jadilah
peribahasa. Sedangkan qarinahnya adalah hâliyah “sesuatu yang menempati”
yang dimaksud adalah “tempatnya”. Maka pada hadis Orang mukmin makan
dalam satu usus diserupakan dengan orang yang zuhud dan orang kafir makan
dalam tujuh usus diserupakan dengan orang yang serakah atau cinta dunia.
B. Saran
Dalam skripsi ini penulis hanya memfokuskan pada satu hadis
tertentu saja yang mengandung majaz. Maka dari itu penulis berharap ada
yang menyempurnakan penelitian ini dengan metode takwil selain Yûsuf al-
Qaraḏâwî atau dapat dilihat dari ilmu pengetahuan seperti ilmu sains sehingga
nanti dapat membedakan dari pemahaman masing-masing tokoh tertentu
dengan berbagai metodenya.
77
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Muhammad. Metode Taqwil al-Qur’an Ibn Qutaybah, Tesis Pasca Sarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Agama RI, Departeman. al-Qur’an dan Terjemahnya Jakarta: PT. Sygma
Examedia Arkanleema, 2009.
Al-„Asqalânî, Ibn Hajar. Fath al-Bârî: Penjelasan Kitab Sahīh al-Bukhârî, terj.
Abdul Aziz Abdullah ibn Baz. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. jilid 26.
Al-Bayhaqî, Abû Bakr. al-Sunan al-Kubrâ: kitab al-īman, bab mâ jâ’a fi al-
yamîn al-ghamûs. Beirut: Dār al-kutub al-„Âlamiyah, 1424 H. juz 10.
Al-Bukhari, Abû Abdillâh Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari Qohirah:
Darul Hadis, 2010.
Al-Naisaburi, Abu al-Husain Muslimal-Hajjâj al-Qushairi, Shahih Muslim,
Riyad: Dâr al-Salâm, 1998.
Al-Nawâwi, Syarah Sahîh Muslim. Kairo: al-Matba‟ah al-Misriyyah li al-Azhar,
1929.
Al-Qardâwî, Yûsuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Penerjemah
Muhammad Al-Baqir. Bandung: Karisma, 1995.
Al-Riḏâ, Al-Syarîf. Al-Majâzāt al-Nabawiyyah. Lebanon: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah, 2007.
Al-Sakkâkî, Miftâh al- ‘Ulûm . Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t, th.
Al-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir. Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi
Qur’an, diterjemahkan oleh Abdul Shomad dengan judul Tafsir Ath-
Thabari, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Barabai, Rudrud. “Pengertian Takwil”. Artikel diakses pada 2 Desember 2017
dari Karyacombariyang.blogspot.co.id/2015/11/pengertian-takwil.html
Dzaglūli, Abu Muhammad Said Bin Bayûni. Mausû’at al-Athraf al-Hadits al-
Syarif al-Nabawî, (bairut).
Fatih, M. Pemahaman Hadis “Makan dengan Tiga Jari” dan “Perbedaan Usus
orang Mukmin dan Orang Kafir Ketika Makan” (Kajian Ma‟anil Hadis),
Jurnal Of Islamic Religious Instruction V, 1 No, 1 (Februari 2017): h.
131.
Ghozi , Ahmad. “Hadis-hadis yang Bermakna Majazi”. Artikel diakses pada 1
Mei 2017 dari
http://googleweblight.com?lite_url=http://ahmadghozi.blogspot.com/200
9/05/hadits-majazi
Hidayat. Al-Balaghah lil-Jami’ wasy-Syawahid min Katamil-Badi’. (Jakarta: Pt
Karya Toha Putra, 2002.
http://ilmu majazil hadis /2013/10/ alqurangresik.htm.
78
Ibn Hanbal, Abû „Abdullâh Ahmad. Musnad Ahmad ibn Hanbal, kitab al-mulhaq
al-mustadrak min al-ansâr baqiyyah khâmis ’asyar al-ansâr bab hadīts
Khaulah binti Hākim. Muassasah al-Risâlah, 1421 H, juz 5.
Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, Penerjemah Akhmad Khotib Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009.
Imritiyah, Siti. “Kajian Hadis-hadis Makan dan Minum; Perspektif Ilmu
Kesehatan”. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Islam, Ahmad Saiful. Makna Majas Kata Yammas Hadits Nomor 486 dalam
Mu’jam Al-Kabir Ii Al-Tabrani. Skripsi UIN Sunan Ampel, Surabaya.
Ismail, M. Syuhudi. Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Kritis
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 2014.
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Telaah Ma’ani
al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal,
Jakarta: Bulan Bintang, 2009.
Izzan, Ahmad. Uslubi: Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah. Bandung:
Tafakur, 2012.
Maizudin. Pemahaman Kontekstual atas Hadis Nabi (Kajian Islam: Jurnal ilmu-
ilmu Keislaman). Padang: Tim pengembangan Jurnal Ilmiah IAIN Imam
Bonjol Padang, (2001).
Mustari, Tatung. “Majaz Aqli dalam Ilmu Balaghah”. Artikel diakses pada 21
Juni 2017 dari http://hahuwa.blogspot.co.id/2017/04/majaz-aqli.html.
Ngumdaturrosidatuszahrok. Pemaknaan Majas Pada Hadits Nabi. Skripsi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Noor, Fauz. Berpikir seperti Nabi. Yogyakarta: Pustaka Sastra LKiS, 2009.
Norhidayat, Metode Ta’wil Al-Qur’an Menurut Al-Ghazali. Tesis Sekolah
pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006.
Pengertian Tafsir dan takwil. Artikel diakses pada 2 Desember 2017.
Kitaabati.blogspot.co.id/2012/10/pengertian-tafsir-dan-takwil-htm
Qomariah, Etey. “Dualisme Hakikat-Majaz dan Masalah Ta‟wil”. Artikel diakses
pada 14 Agustus dari
http://eteyqomariah.blogspot.co.id/2013/12/dualisme-hakikat-majaz-dan-
masalah-tawil.html
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan al-Qur’an, Pen:
Aunur Rafiq Shaleh Tamhid. Jakarta: Robbani Press, jilid, 1.
Rauf, Mu‟min. Pendekatan Takwil Al-Maraghi Terhadap Ayat-Ayat
Mutasyabihat, tesis Sekolah pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2007.
Ritonga, Abdul Hamid. Hadis-hadis Antropomorfisme: Analisis terhadap Takwil
Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath Al-Barii, MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu
Keislaman, Vol. XXXVII No. 2 (Juli Desember 2013).
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan keserasian Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
79
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi. Yogyakarta, Teras.
Wensink, A.J. Mu’jam al-Mufahras li Alfâdz al-Hadis al-Nabawi, Leiden: E.J.
Brill, 1936.
Yakub, Ali Musthafa. Cara Benar Memahami Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2014.
Yusuf , Muhammad. Telaah Majas Pada Hadis-hadis Kitab Shahih Al-Bukhari.
Tesis Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
Zubaidillah, Haris. “Hakiki dan Majazi”. Artikel diakses pada 15 Juni 2017 dari
blogspot.co.id/2015/10/makalah-hakiki-dan-majazi-tasybih.html