15
LPPM - UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA 845 PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SIMULTAN MENGHASILKAN BIOETANOL OCTOVIANUS SR PASANDA Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar 90245, Indonesia email: [email protected] ABDUL AZIS Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar 90245, Indonesia email: [email protected] SELFINA GALA Jurusan Teknik Kimia, Universitas Fajar, Makassar 90231, Indonesia email: [email protected] Diterima Direvisi Abstrak - Harga minyak mentah yang tinggi dan dampak emisi gas rumah kaca dari penggunaan bahan bakar fosil membuat biofuel menarik untuk dipelajari. Bioetanol dapat diperoleh dari berbagai bahan baku yang bersumber dari selulosa diantaranya dari limbah alginat. Limbah padat alginat dapat mencapai 80% dari berat awal rumput laut yang diproses sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memanfaatkan limbah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimum terhadap pembuatan bioetanol dari limbah alginat secara sakarifikasi dan fermentasi simultan dengan menggabungkan mikroba penghasil enzim selulase yaitu Tricoderma viride dan mikroba yang umum digunakan untuk fermentasi Saccharomyses Cereviseae. Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dilakukan selama 7 hari dengan memvariasikan kondisi pH awal yaitu: pH awal 4,2; 4,8, dan 5,5. Pengukuran nilai pH, dan kadar gula pereduksi dilakukan setiap hari, sedangkan kadar etanol yang terbentuk diukur mulai dari hari ke-3 hingga hari ke-7. Kondisi optimum diperoleh pada penelitian ini yaitu pada hari ke-3 dengan pengaturan pH awal 4,2 menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 5,13%, dengan persen yield sebesar 5,72%. Pemanfaatan biomassa dari rumput laut sebagai energi dapat menjanjikan karena bahannya mudah dikonversi menjadi etanol serta secara komprehensif memecahkan masalah lingkungan global dan masalah energi. Kata kuncis: Limbah alginat; sakarifikasi; fermentasi; trichoderma viride; saccharomyses cereviseae; bioetanol

PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

LPPM - UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

845

PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

FERMENTASI SIMULTAN MENGHASILKAN BIOETANOL

OCTOVIANUS SR PASANDA

Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar 90245, Indonesia

email: [email protected]

ABDUL AZIS

Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Ujung Pandang,

Makassar 90245, Indonesia email: [email protected]

SELFINA GALA

Jurusan Teknik Kimia, Universitas Fajar,

Makassar 90231, Indonesia

email: [email protected]

Diterima

Direvisi

Abstrak - Harga minyak mentah yang tinggi dan dampak emisi gas rumah kaca dari penggunaan bahan

bakar fosil membuat biofuel menarik untuk dipelajari. Bioetanol dapat diperoleh dari berbagai bahan baku

yang bersumber dari selulosa diantaranya dari limbah alginat. Limbah padat alginat dapat mencapai 80%

dari berat awal rumput laut yang diproses sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memanfaatkan

limbah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimum terhadap pembuatan

bioetanol dari limbah alginat secara sakarifikasi dan fermentasi simultan dengan menggabungkan

mikroba penghasil enzim selulase yaitu Tricoderma viride dan mikroba yang umum digunakan untuk

fermentasi Saccharomyses Cereviseae. Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dilakukan selama 7

hari dengan memvariasikan kondisi pH awal yaitu: pH awal 4,2; 4,8, dan 5,5. Pengukuran nilai pH, dan

kadar gula pereduksi dilakukan setiap hari, sedangkan kadar etanol yang terbentuk diukur mulai dari hari

ke-3 hingga hari ke-7. Kondisi optimum diperoleh pada penelitian ini yaitu pada hari ke-3 dengan

pengaturan pH awal 4,2 menghasilkan konsentrasi etanol sebesar 5,13%, dengan persen yield sebesar

5,72%. Pemanfaatan biomassa dari rumput laut sebagai energi dapat menjanjikan karena bahannya

mudah dikonversi menjadi etanol serta secara komprehensif memecahkan masalah lingkungan global

dan masalah energi.

Kata kuncis: Limbah alginat; sakarifikasi; fermentasi; trichoderma viride; saccharomyses cereviseae;

bioetanol

Page 2: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

846 Oktavianus, Abdul, Selfina

Abstract - High crude oil prices and the impact of greenhouse gas emissions from the use of fossil fuels makes biofuels interesting to study. Bioethanol can be obtained from various raw materials sourced from

cellulose including alginate waste. Alginate solid waste can reach 80% of the initial weight of processed

seaweed so research needs to be done to utilize the waste. This study aims to obtain optimum conditions for making bioethanol from saccharification alginate waste and simultaneous fermentation by combining

cellulase enzyme-producing microbes namely Trichoderma viride and Saccharomyces cerevisiae

microbes. The saccharification process and simultaneous fermentation were carried out for 7 days by varying the initial pH conditions: initial pH 4.2; 4.8 and 5.5. Measurement of pH values, and reducing

sugar levels is carried out every day, while the ethanol content formed is measured starting from the third

day to the seventh day. The optimum conditions obtained in this study were on the 3rd day with the initial pH setting of 4.2 producing ethanol concentration of 5.13%, with a yield percentage of 5.72%.

Utilization of biomass from seaweed as energy can be promising because the material is easily converted

to ethanol and comprehensively solves global environmental problems and energy problems.

Keywords: Alginate waste; saccharification; fermentation; trichoderma viride; saccharomyses cerevisiae; bioethanol

1. Pendahuluan

Bioetanol dari sumber biomassa adalah bahan bakar utama yang digunakan sebagai pengganti

bensin untuk kendaraan transportasi darat. Tingginya harga minyak mentah membuat bahan

bakar nabati menarik untuk dikaji (Scott and Bryner, 2006), selain itu bioetanol dari biomassa

merupakan salah satu energi alternatif terbarukan serta dapat membantu mengurangi emisi

gas rumah kaca dari penggunaan bahan bakar fosil (Ibeto, et al., 2011). Bahan bakar fosil

termasuk bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui, dan ketersediaannya terbatas,

memerlukan waktu jutaan tahun untuk kembali terbentuk. Oleh karena itu, diperlukan suatu

energi terbarukan dan merupakan energi yang ramah lingkungan sehingga dapat mengatasi

permasalahan energi, mengurangi ketergantungan pada impor minyak, mengurangi

pemanasan global serta bukan bagian dari pasokan makanan (Krahmer. et al., 2015; Pasanda,

et al., 2016; Obata, et al., 2016; Chen, et al., 2015). Salah satu energi alternatif terbarukan

sebagai pengganti bahan bakar fosil adalah bioetanol dari rumput laut coklat. Dalam Dinding

sel rumput laut coklat terdapat selulosa, asam alginat, dan polisakarida lainnya, (Chen, et al.,

2015). Selulosa pada Sargassum berkisar antara 23,97–35,22% (Kawaroe, et al., 2012).

Bahan baku lain yang berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan bioetanol

adalah limbah alginat dari rumput laut coklat (Sargassum sp). Kandungan alginat dalam

rumput laut Sargassum berkisar antara 8-32% tergantung kondisi perairan tempat tumbuhnya

(Pasanda dan Azis, 2018), sedangkan menurut Chen, et al. (2015), kandungan alginat

mencapai hingga 40% dari berat kering rumput laut coklat. Komposisi limbah rumput laut

hasil ekstraksi alginat memiliki kandungan selulosa sebesar 30,26% (Manurung, 2011).

Selulosa tersebut merupakan bahan baku yang berpotensi untuk pembuatan bioethanol

sekaligus mewakili sumber daya bioenergy berkelanjutan.

Beberapa metode hidrolisis telah diterapkan pada rumput laut coklat untuk menghasilkan

gula, demikian halnya dengan fermentasi gula yang dihasilkan oleh hidrolisis rumput laut

Page 3: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 847

coklat dikonversi menjadi etanol juga telah banyak dilakukan bahkan konversi menjadi etanol

tanpa hidrolisispun sudah dilakukan (Yanagisawa, et al., 2013). Menurut Basmal et al.

(2014), limbah padat yang dihasilkan dari pengolahan rumput laut coklat menjadi alginat

mencapai 80%, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memanfaatkan limbah tersebut

sebagai bahan pembuatan bioetanol. Secara umum produksi bioetanol melalui beberapa

tahapan: hidrolisis, fermentasi, dan pemurnian (Vohra, et al., 2014). Bioetanol dihasilkan

dari proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa yang kemudian difermentasi menjadi etanol.

Enzim yang dapat digunakan untuk menghidrolisis selulosa adalah selulase.

Perkembangan bioteknologi yang begitu cepat menimbulkan minat yang sangat besar

dalam penggunaan mikroorganisme, khususnya mikroorganisme dari Genus Trichoderma.

Keberadaan mikroorganisme ini telah dipelajari dalam beberapa dekade dan dikenal sebagai

penghasil berbagai enzim selulolitik dengan aktivitas enzimatik yang relatif tinggi,

(Miettinen-Oinonen dan Suominen, 2002). Mikroorganisme ini dikenal sebagai penghasil

berbagai enzim selulolitik yakni endoglucanases, selobiohidrolase dan ß-glucosidase. Enzim-

enzim ini mampu mengubah biomassa selulosa menjadi glukosa, (Li, 2010).

1.1. Ragi

Ragi sudah lama digunakan untuk memfermentasi berbagai zat menjadi alcohol. Ragi yang

umum Saccharomyces cerevisiae, jenis ini dapat dengan mudah mengubah molekul glukosa

menjadi etanol. Keluarga Saccharomyces dari ragi dapat memfermentasi dengan baik pada

suhu sekitar 25 - 26°C dan dalam lingkungan yang sedikit asam (pH 4,5) (Lin and Tanaka,

2006). Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan bertahan pada konsentrasi etanol

yang tinggi.

Ragi mensintesis Adenosine Triphosphate (ATP) melalui dua jalur biokimia utama:

respirasi dan fermentasi. Selama respirasi dan fermentasi, sel ragi memecah molekul glukosa

di dalam sel untuk melepaskan energi (proses ini disebut glikolisis), dan sebagian energi ini

disimpan untuk digunakan dalam reaksi anabolik. Penguraian glukosa juga melepaskan atom

karbon, dipakai untuk reaksi biosintetis sehingga memungkinkan ragi untuk tumbuh dan

berkembang biak. Sebagai produk samping dari reaksi ini adalah sisa karbon yang terbentuk

sebagai karbon dioksida, etanol, dan senyawa lain yang lebih kecil (Maurice, 2011).

Fermentasi gula lainnya, seperti maltosa, lebih dulu diubah menjadi glukosa sebelum

memasuki jalur metabolik sedangkan fruktosa memasuki jalur glikolitik secara langsung

(Aquilla, 2013).

Page 4: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

848 Oktavianus, Abdul, Selfina

1.2. Sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF)

Biomassa selulosa yang menjalani proses hidrolisis akan dipecah dan diubah menjadi rantai

glukosa. Enzim yang digunakan dalam proses konversi ini seringkali mahal dan diperlukan

dalam jumlah yang banyak. Upaya yang lebih baik untuk proses konversi etanol dari

biomassa selulosa, yaitu dengan metode sakarifikasi dan fermentasi simultan (SSF) (Maurice,

2011). SSF menggabungkan langkah hidrolisis dan langkah fermentasi sehingga proses

konversi lebih efisien (Takagi,1976). Namun, ada masalah dengan proses SSF yaitu bahwa

suhu optimal untuk hidrolisis dan suhu optimal untuk fermentasi berbeda lebih dari 15°C.

Masalah lainnya adalah konsentrasi glukosa dalam reaksi SSF harus seimbang sehingga ragi

dapat berkembang biak secara efisien dan fermentasi tidak terhambat oleh etanol yang

dihasilkan dari reaksi, (Maurice, 2011). Diperlukan penelitian lanjut untuk menentukan

kondisi optimal pada SFF, seperti pengaruh suhu, substrat (glukosa), dan pH selama proses

fermentasi diperiksa. Untuk mengubah semua jenis biomassa menjadi etanol, beberapa proses

harus terjadi. Biomassa harus dipecah menjadi rantai glukosa sederhana. Menurut Mosier, et

al. (2005), biomassa selulosa mengalami proses berikut:

(1) Pretreatment untuk memutuskan struktur lignoselulosa sehingga lebih mudah dalam

mengakses molekul lignin, hemiselulosa dan selulosa yang ada di dalam lignoselulosa.

(2) Hidrolisis untuk memecah selulosa dan hemiselulosa menjadi rantai glukosa

(3) Fermentasi mikroba melalui ragi atau bakteri untuk menghasilkan etanol

(4) Distilasi untuk memisahkan produk fermentasi

Beberapa masalah pada proses hidrolisis, hidrolisis dan fermentasi dapat diatasi dengan

menggabungkan jadi satu tahap, dikenal sebagai Sakarifikasi dan fermentasi secara

bersamaan. Proses ini memungkinkan glukosa yang dihasilkan dari hidrolisis segera

difermentasi. Ini memungkinkan konsentrasi glukosa tetap rendah sehingga pada proses

hidrolisis berlanjut tidak mendapat hambatan yang signifikan (Takagi, 1976). Selain tingkat

penghambatan glukosa yang lebih rendah, sakarifikasi dan fermentasi memiliki kelebihan

antara lain (Takagi, 1976):

(1) Proses fermentasi simultan mempersingkat lamanya waktu yang diperlukan untuk proses

konversi biomassa ke etanol

(2) Proses fermentasi simultan membutuhkan lebih sedikit enzim daripada yang dibutuhkan

dalam hidrolisis enzimatik secara teratur, karena SSF mengkombinasikan hidrolisis dan

fermentasi, waktu reaksi keseluruhan untuk mengubah biomassa menjadi etanol

diperpendek.

(3) Mengurangi kemungkinan kontaminasi karena proses terjadi pada suhu tinggi dan di

dalam bejana reaksi yang sama.

Ada dua masalah mendasar dengan Sakarifikasi dan Fermentasi simultan:

Page 5: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 849

(1) Hidrolisis dan fermentasi keduanya membutuhkan rentang suhu spesifik untuk operasi

yang optimal. Fermentasi S.cerevisiae paling baik pada suhu sekitar 25°C dengan pH

antara 4 dan 5 (Wasungu and Simard,1982). Setiap suhu ekstrim selama fermentasi, baik

tinggi atau rendah, menghasilkan konsentrasi etanol yang minimal . Ini karena sebagian

ragi tidak berkembang dengan baik pada suhu yang jauh lebih rendah dari 20oC atau jauh

lebih tinggi dari 40oC. Kinerja proses hidrolisis terbaik pada suhu sekitar 47°C,

(Palmqvist and Hagerdal, 2000). Jika suhu turun terlalu rendah, enzim tidak bisa mencerna

material.

(2) Kehadiran etanol yang dihasilkan dari fermentasi glukosa selama SSF memungkinkan

reaksi fermentasi terhambat. Peningkatan konsentrasi etanol akan menghambat berbagai

mikroorganisme dalam sistem, baik enzim maupun ragi akan mengalami degradasi pada

membran plasma. Peningkatan konsentrasi etanol yang lebih tinggi lagi akan

menyebabkan kematian sel baik di ragi maupun di enzim (D'amore, 1991).

Melihat tinjauan literatur yang telah diuraikan di atas, sehingga dalam menyikapi masalah

ini diperlukan riset serta mengembangkan riset-riset sebelumnya. Oleh karena itu, dilakukan

penelitian yang menggunakan limbah alginat untuk pembuatan bioetanol secara sakarifikasi

dan fermentasi simultan serta mencari hubungan antara pH dan gula pereduksi terhadap kadar

bioetanol dari proses sakarifikasi dan fermentasi simultan.

2. Metode

Bahan yang digunakan dalam pembuatan bioetanol adalah limbah alginat dari rumput laut

coklat yang diperoleh dari hasil penelitian tahap satu yakni pemanfaatan alga coklat

(Sargassum Sp) melalui perlakuan ekstraksi Ultrasonik untuk menghasilkan Natrium alginat

dan mengkonversi limbahnya menjadi bioetanol. Secara umum sintesis bioetanol yang

berasal dari biomassa terdiri dari dua tahap utama yaitu hidrolisis dan fermentasi. Pada

penelitian ini dilakukan proses hidrolisis dan fermentasi secara simultan (SSF) dengan kultur

biakan Trichoderma viride dan Saccharomyses cerevisiae.

2.1. Preparasi limbah alginat

Pada proses ini dilakukan preparasi limbah alginate dari hasil penelitian terdahulu yaitu,

limbah alginate dibuat dengan cara menghaluskan rumput laut coklat yang sudah bersih dan

kering. Sampel (tepung rumput laut) direndam selama 24 jam di dalam larutan formaldehida

2% (1 : 30 b/v) untuk menghilangkan pigmen sehingga mempermudah proses pembentukan

asam alginate, kemudian dicuci dengan aquades lalu direndam lagi di dalam larutan HCl 0,2

Page 6: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

850 Oktavianus, Abdul, Selfina

M (1 : 30 b/v) selama 24 jam. Setelah periode ini, sampel dicuci sekali lagi dengan aquades

sampai netral. Proses ekstraksi dilakukan dengan mengacu pekerjaan dari Pasanda dan Azis

(2018), yakni menambahkan Na2CO3 2% (1 : 10 b/v) diaduk selama 5 jam, lalu diekstraksi

pada suhu 60oC selama 45 menit dengan menggunakan Ultrasonik kemudian disaring.

Padatan yang diperoleh adalah sebagai limbah dari alginat yang jika diproses lebih lanjut

akan menghasilkan bioetanol.

2.2. Proses peremajaan Trichoderma viride dan Saccharomyses cerevisiae

Proses peremajaan kapang Trichoderma viride dilakukan sesuai Manurung (2011) dengan

beberapa modifikasi kecil. Menimbang sebanyak 36 g media Potato Dextrose Agar (PDA),

kemudian ditambahkan 1 L aquades, dipanaskan diatas hotplate, dan diaduk hingga larutan

berwarna kuning jernih, lalu dituangkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 7 ml tiap tabung

reaksi, dan ditutup rapat, kemudian dilakukan sterilisasi pada suhu 121oC dan tekanan 1,5

atm selama 15 menit. Tabung reaksi dimiringkan selama 24 jam, selanjutnya dilakukan

inokulasi Trichoderma viride secara zig zag menggunakan jarum ose. Kapang Trichoderma

viride diinkubasi pada suhu 25-28oC selama 7 hari.

Proses peremajaan Saccharomiyces cerevisiae dilakukan dengan menimbang sebanyak 39

g media PDA kedalam 1L aguades, kemudian dipanaskan diatas hotplate sambil diaduk

hingga larutan berwarna kuning, larutan di tuangkan kedalam tabung reaksi sebanyak 7 ml

pada tiap tabung reaksi, dan ditutup rapat kemudian dilakukan sterilisasi pada suhu 121oC

dan tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan proses inokulasi dengan jarum

ose secara zig zag dan diinkubasi pada suhu 25-27oC selama 3 hari.

2.3. Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan

Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dilakukan oleh Manurung (2011) dengan

beberapa modifikasi. Menimbang sebanyak 4 g limbah alginat kedalam erlenmeyer 500 ml

dan ditambahkan aquades sebanyak 200 ml kemudian diaduk hingga menjadi bubur. Setelah

itu menambahkan media andreoti, pepton dan tween 80, yang kemudian diatur pH menjadi

4,2, 4,8 dan 5,5 dengan penambahan HCL 3 M atau NaOH 3 M, dan dijaga pHnya dengan

menggunakan buffer sitrat. kemudian dilakukan proses sterilisasi. Setelah suhu medianya 25-

30ºC, ditambahkan kultur Trichoderma viride dan Saccharomiyces cerevisiae, diinkubasi

pada suhu ruang (27-30ºC). Pengambilan sampel dilakukan setiap 24 jam selama 7 hari

dengan memisahkan padatan dan cairan untuk proses pengujian gula dan nilai pH, sedangkan

untuk kadar etanol dilakukan pengujian pada hari ke-3 hingga hari ke-7.

2.4. Proses distilasi

Page 7: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 851

Distilasi dilakukan untuk memurnikan atau memisahkan substrat bioetanol dengan

pengotornya. Prosedur distilasi yaitu: 1) Menyiapkan 1 set peralatan destilasi, merangkai dan

menghidupkan peralatan destilasi dengan baik. 2) Memasukkan hasil SSF yang telah disaring

ke dalam labu, kemudian memasang labu tersebut pada alat destilasi. 3) Mengatur

temperaturnya 70 - 80oC. 4) Proses destilasi dilakukan selama 1 - 1,5 jam sampai bioetanol

tidak menetes lagi. 5) Distilat (bioetanol) yang dihasilkan disimpan di dalam botol yang

tertutup rapat. 6) Bioetanol diukur densitasnya dengan menggunakan GC (Gas

Chromatography).

2.5. Prosedur pengujian kadar air

Pengukuran kadar air pada penelitian ini merupakan modifikasi dari AOAC (1990) yaitu

sampel sebanyak 1 g dimasukkan dalam cawan petri yang telah diketahui bobotnya.

Kemudian dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105oC sampai bobot konstan. Setelah itu

didinginkan dalam deksikator dan ditimbang.

Kadar air =

x 100%

(2.1)

2.6. Penentuan kadar selulosa

Analisis selulosa dilakukan dengan metode Datta (1981). Sebanyak 1 g (a) sampel kering

ditambahkan 150 mL akuades, dipanaskan pada suhu 100oC selama 1 jam. Disaring dan

residu dicuci dengan air panas panas 300 mL, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu

105oC hingga bobot konstan (berat b). Ditambah 150 mL H2SO4 1 N, kemudian direfluks

selama 1 jam pada suhu 100oC, disaring dan padatan dicuci dengan aquades hingga netral,

dikeringkan pada suhu 105 0C hingga beratnya konstan (berat c), ditambahkan 100 mL H2SO4

72% dan dibiarkan selama 4 jam pada suhu kamar. Ditambahkan 150 ml H2SO4 1 N dan

direfluks pada suhu 100oC selama 1 jam. Disaring dan padatan dicuci dengan aquades sampai

netral, dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC hingga bobot konstan (berat d). Selanjutnya

diabukan dalam tanur pada suhu 800oC, didinginkan dalam deksikator dan ditimbang (berat

e). Perhitungan kadar selulosa menggunakan rumus berikut ini:

Kadar selulosa =

:

(2.2)

Dimana: a = berat sampel (gram)

c = berat residu penimbangan ketiga.

Page 8: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

852 Oktavianus, Abdul, Selfina

d = berat residu penimbangan keempat.

2.7. Pengukuran nilai pH

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dimana data pH diukur selama 24

jam. Pengukuran pH medium dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan pH

medium. Perubahan pH yang terjadi mengindikasikan terjadinya aktivitas biologis yang

dilakukan oleh bakteri. Nilai pH medium diukur dengan menggunakan pH meter selama

(Atmodjo, 2006).

2.8. Penentuan total gula pereduksi metode DNS

Prinsip metode ini adalah dalam suasana alkali gula pereduksi akan mereduksi 3,5-

dinitrosalicylic acid (DNS) membentuk senyawa yang dapat diukur absorbansinya pada

panjang gelombang 575 nm. Sampel sebanyak 1 ml ditambah 3 ml reagen DNS kemudian

dicampur dan ditempatkan dalam air mendidih selama 5 menit. Dibiarkan sampai dingin pada

suhu ruang. Kemudian diukur absorbansinya dengan spektofotometer pada panjang

gelombang 575 nm. DNS akan menjaga kestabilan hasil hidrolisis enzim dan mengikat gula

pereduksi sebagai indikator terjadinya aktivitas enzim. Kandungan gula reduksi ditentukan

berdasarkan kurva standar glukosa (Zakpaa et al., 2009).

2.9. Pengukuran kadar etanol

Pengukuran kadar bioetanol dilakukan menggunakan alat Gas Chromatography (GC) 2010

Shimadzhu. Untuk memulai pengukuran, setiap 1 ul standar atau sampel diinjeksikan pada

injector (mode split) suhu 120oC tekanan 75,5 kpa laju 11,3 mL/min dengan gas pembawa

He, yang dilengkapi kolom Rtx-5(1059658), panjang kolom 30 m, diameter dalam kolom

0,25 mm suhu 80oC. Jenis detektor FID dipasang pada suhu 120

oC. Hasilnya dicatat pada alat

GC Shimadzhu.

3. Hasil dan pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimum terhadap pembuatan bioetanol

dari limbah alginat secara sakarifikasi dan fermentasi simultan dengan menggabungkan

mikroba penghasil enzim selulase yaitu Tricoderma viride dan mikroba yang umum

digunakan untuk fermentasi Saccharomyses cerevisiae. Pada penelitian ini dilakukan

pengujian kadar air dan kadar selulosa terhadap bahan baku, yang selanjutnya dilakukan

proses sakarifikasi dan fermentasi simultan, dalam proses sakarifikasi dan fermentasi

simultan dilakukan pengujian nilai pH, kadar gula selama 7 hari, dan pengujian kadar

bioetanol yang dimulai dari hari ke-3 hingga hari ke-7.

Page 9: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 853

3.1. Kadar air

Hasil penelitian limbah alginat memiliki kadar air sebesar 10,74%, dan masih tergolong

aman. Kadar air yang diperoleh dari pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan

bioetanol, tidak jauh berbeda yakni sekitar 7-10,42% (Rodiah, 2013; Manurung, 2014). Kadar

air tinggi menyebabkan penurunan porositas substrat dan mencegah penetrasi oksigen. Di sisi

lain, kadar air rendah dapat menyebabkan aksesibilitas nutrisi buruk sehingga pertumbuhan

mikroba juga buruk (Pandey, 2003). Meskipun aktivitas air media dapat dikaitkan dengan

transfer massa air dan zat terlarut di sel mikroba, pengaruhnya terhadap produksi enzim lebih

rendah dibandingkan dengan suhu dan lamanya fermentasi. Kadar air yang rendah dapat

mengakibatkan difusi enzim atau substrat terhambat, sehingga hidrolisis hanya terjadi pada

bagian substrat yang langsung berhubungan dengan enzim. Pada kadar air yang lebih tinggi,

ruang antar-partikel menurun sehingga menghambat difusivitas udara melalui biomassa,

akibatnya menghambat pertumbuhan jamur dan menghasilkan degradasi lignin yang rendah

(Singhania et al., 2009; Meehnian, et al., 2016).

3.2. Kadar selulosa

Kadar selulosa bahan baku limbah alginat yang digunakan pada penelitian ini sebesar 12,96

%. Kadar selulosa ini tidak jauh beda dengan yang diperoleh Sari et al., 2014 yakni sebesar

15,80%. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan kadar selulosa antara lain unsur

atau mineral dalam rumput laut karena kondisi lingkungan tumbuh yang berbeda, umur

rumput laut saat dipanen, dan kualitas air dilingkungan pembudidayaan. (Villares, et al.,

2002; Kim, S-K., 2012).

3.3 Nilai pH

Pengukuran pH medium selama proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dilakukan untuk

mengetahui ada tidaknya perubahan pH pada media. Perubahan pH mengindikasikan

terjadinya aktivitas biologis yang dilakukan mikroorganisme. Berdasarkan Tabel 1. pH awal

media mengalami perubahan yakni pH 4,2 berubah menjadi pH 5.7, pH 4.8 berubah menjadi

pH 5.9, dan pH 5.5 berubah menjadi pH 5.7. Perubahan pH yang terjadi ini disebabkan

adanya aktifitas enzim selulase yang dihasilkan oleh kapang Trichoderma viride. Menurut

Montesqrit (2007), enzim selulase dari kapang Trichoderma viride yang bekerja memecah

selulosa menjadi gula pereduksi akan stabil pada kisaran pH 3-7 dan memiliki aktivitas kerja

optimum pada pH 5. Tidak banyak perubahan pH dalam substrat selama periode fermentasi

karena berkorelasi secara langsung dengan aktivitas dekomposisi jamur.

Page 10: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

854 Oktavianus, Abdul, Selfina

Tabel 1. Tabel Nilai pH

Hari Nilai pH

0 4,2 4,8 5,5

1 5 5,5 5,5

2 5,3 5,6 5,6

3 5,6 5,7 5,6

4 5,6 5,7 5,7

5 5,7 5,7 5,7

6 5,7 5,8 5,7

7 5,7 5,9 5,7

Sel khamir akan mengalami kesulitan dalam menjaga kestabilan pH medium dan tidak

mampu tumbuh dengan baik, karena konsentrasi H+

dalam hidrolisat fermentasi bisa

mengubah muatan membran plasma serta mempengaruhi permeabilitas beberapa nutrisi ke

dalam sel (Zabed. 2014; Narendaranath and Power, 2005).

3.4 Kadar gula pereduksi

Gula pereduksi adalah gula sederhana hasil hidrolisis karbohidrat kompleks. Ketersediaan

gula reduksi dalam medium produksi bioetanol merupakan salah satu unsur penting untuk

pertumbuhan S. cereviseae karena berfungsi sebagai sumber karbon untuk pembentukan

energi. Pada penelitian ini dilakukan pengujian kadar gula pereduksi dengan metode DNS

menggunakan spektrofotometer.

Gambar 1. Kurva Deret Standar Pengujian Gula Pereduksi

Page 11: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 855

Gambar 1. konsentrasi gula pereduksi sampel yang diuji dapat diketahui dengan

memasukkan absorbansi sampel yang didapat kedalam persamaan garis linear larutan stándar,

yakni y = 0,0006x. Kemampuan Trichoderma viride untuk memecahkan biomassa limbah

rumput laut coklat menjadi gula pereduksi dipelajari. Hasilnya ditunjukkan pada tabel 2.

dalam hal banyaknya gula pereduksi yang dihasilkan pada interval 24 jam selama 7 hari.

Biomassa limbah rumput laut coklat dengan cepat dihidrolisis menghasilkan masing-masing

4,85; 4,23; 4,26% gula reduksi pada pH awal medium yaitu pH 4,2; pH 4,8; dan pH 5,5.

Konsentrasi kenaikan gula reduksi tidak terlalu signifikan ketika periode fermentasi

meningkat, hal ini disebabkan karena Saccharomyses cerevisiae langsung mengkonversi gula

menjadi etanol sehingga perubahan kadar gula pereduksi tidak terlalu besar.

Tabel 2. Kadar Gula Pereduksi Selama Proses Sakarifikasi dan Fermentasi

Perbedaan kandungan gula dari masing-masing perlakuan pengaturan pH awal

disebabkan adanya kondisi optimum enzim yang dihasilkan oleh Trichoderma Viride yakni

pada pH 5 dan suhu 60ºC (Montesqrit, 2007). Pada penelitian ini suhu tidak dikontrol

sehingga enzim selulase dari kapang T. viride aktivitasnya tidak optimum.

3.5 Kadar etanol

Kadar bioetanol dari proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dari limbah alginat diperoleh

dengan menggunakan Gas Chromatography setelah didistilasi.

.

Hari Konsentrasi Gula (%)

pH 4,2 pH 4,8 pH 5,5

1 4,85 4,23 4,26

2 5,06 4,37 4,48

3 5,11 4,46 5,05

4 5,24 4,63 5,23

5 5,23 4,7 6.21

6 5,1 4,63 6,09

7 5,01 4,55 6,06

Page 12: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

856 Oktavianus, Abdul, Selfina

Tabel 3. Kadar Etanol

Tabel 3. memperlihatkan bahwa konsentrasi terbesar yang diperoleh pada pengaturan pH

awal 4,2 terjadi pada hari ke-3 yang menghasilkan etanol sebesar 5,13% dengan persentase

nilai yield sebesar 5,72% persatuan jumlah selulosa sampel. Kemudian menurun

konsentrasinya hingga hari ke-7. Pengaturan pH awal 4,8 menghasilkan kadar etanol tertinggi

yaitu pada hari ke-6 dengan konsentrasi etanol yang dihasilkan sebesar 1,80% yang mulai

menurun di hari ke-7, sedangkan untuk pengaturan pH awal 5,5 didapatkan konsentrasi

tertinggi pada hari ke 5 dengan konsentrasi etanol adalah 3,47%.

Terjadinya perbedaan hasil konsentrasi pada masing-masing perlakuan disebabkan karena

perbedaan kinerja Tricoderma viride dan Saccharomyses cerevisiae. Tidak maksimalnya

pengolahan gula menjadi etanol disebabkan oleh pH optimum pertumbuhan Saccharomyses

cereviseae tidak tercapai, karena pH optimum fermentasi untuk produksi etanol

menggunakan Saccharomyces Cerevisiae adalah pH 4,5 (Anggraini, et al., 2017). Selain itu

adanya perbedaan hasil juga disebabkan kerena tidak adanya kontrol suhu selama proses

sakarifikasi dan fermentasi simultan. Menurut Zely (2014), keadaan lingkungan optimal

untuk fermentasi Sacharomyces cerevisiae adalah pada suhu 25-30ºC. Sedangkan menurut

Montesqrit (2007), aktivitas selulase dari Trichoderma viride terjadi pada suhu 60ºC. Perlu

kajian lagi mengenai suhu fermentasi yang optimal pada proses SSF agar pertumbuhan

Trichoderma viride dan Sacharomyces cerevisiae bisa optimal.

4. Kesimpulan

Kondisi optimum pada pembuatan bioetanol dari limbah alginat dengan metode sakarifikasi

dan fermentasi simultan yaitu pada hari ke-3 pada pengaturan pH awal 4,2 yang

menghasilkan konsentrasi etanol tertinggi sebesar 5,13% dengan persen yild sebesar 5,72%.

Kadar etanol dipengaruhi oleh konsentrasi gula serta pH medium selama proses, semakin

tinggi kadar gula maka semakin tinggi pula kadar etanol yang dihasilkan jika berada dikisaran

pH optimum masing-masing mikroba yang digunakan.

Hari Konsentrasi Etanol (%)

pH 4,2 pH 4,8 pH 5,5

3 5.13 0.61 1.24

4 4.82 0.85 1.41

5 1.53 1.27 3.47

6 0.68 1.80 1.80

7 0.38 0.25 0.91

Page 13: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 857

Ucapan Terima kasih

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan

Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi selaku penyandang

dana, dan kepada seluruh staf Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang serta

adik-adik mahasiswa atas semua bantuannya dilaboratorium.

Daftar Pustaka

Anggraini,S.P.A., Yuniningsih, S., Sota, M. M. (2017). Pengaruh pH Terhadap Kualitas Produk Etanol

dari Molasses Melalui Proses Fermentasi, Jurnal Reka Buana, 2(2), 99-105.

Association of official analytical chemists (AOAC), (1990). Official Methods of Analysis (Fifteenth

Edition), Arlington, Virginia USA: Association of Official Analytical Chemists Inc., volume 1,

pp.185-189.

Atmodjo, P.K. (2006). Pengaruh Variasi Beras Ketan (Oryza sativa var glutinosa L.) dan Suhu

Fermentasi terhadap Produksi Alkohol. Biota, 11(3), 152-158

Aquilla, T (2013). Debunking the Myth of Yeast Respiration and Putting Oxygen in Its Proper Place,

The Biochemistry of Yeast, 5(2), 50-57

Basmal, J., Widanarto, A., Kusumawati, R., Utomo, B.S.B. (2014). Pemanfaatan Limbah Ekstraksi

Alginat Dan Silase Ikan Sebagai Bahan Pupuk Organik. JPB Perikanan, 9(2), 109–120.

Chen J., Bai, J., Li, H., Chang, C., Fang, S. (2015), Prospects for Bioethanol Production from

Macroalgae, Trends in Renewable Energy, 1(3), 185-197

D'amore, T. (1992). Cambridge Prize Lecture Improving Yeast Fermentation Performance. Journal of

the Institute of Brewing, 98(5), 375-82

Datta, R. (1981). Acidogenic Fermentation of Lignocellulose-Acid Yield and Conversion of

Components. Biotechnology and Bioengineering, 23(9), 2167–2170

Ibeto, C.N., Ofoefule, A.U., Agbo, K.E. (2011). A Global Overview of Biomass Potentials for

Bioethanol Production: A Renewable Alternative Fuel. Trends in Applied Sciences Research,

6(5), 410-425.

Kawaroe, M., Santoso, J., Adriani (2012). Domestikasi dan Seleksi Makroalga Merah (Red Algae)

sebagai Penghasil Bioethanol di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Lembaga Penelitian dan

Pengabdian kepada Masyarakat. IPB.

Krahmer, K. and Wreh, E. (2009), Evaluation of Pretreatment Methods in the Production of Ethanol

from Cattail Leaves, Journal of Undergraduate Research at Minnesota State University,

Mankato, 9(8), 1-11

Li, X., Yang, H., Roy, B., Park, E.Y., Jiang, L., Wang, D. Miao, Y. (2010). Enhanced cellulase

production of the Trichoderma viride mutated by microwave and ultraviolet. Microbiological

Research, 165(3),190 - 198.

Page 14: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

858 Oktavianus, Abdul, Selfina

Lin, Y. and Tanaka, S. (2006). Ethanol fermentation from biomass resources: current state and

prospects. Applied Microbiology and Biotechnology, 69(6), 627–642

Manurung, M. 2011. Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan (SFS) dari Limbah Ekstraksi Alginat untuk

Pembuatan Bioetanol. (Skripsi). Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Maurice M. L. (2011). Factors Effecting Ethanol Fermentation Via Simultaneous Saccharification and

Fermentation, Worcester Polytechnic Institute.

Meehnian, H., Jana, A.K., Jana, M.M. (2016). Effect of particle size, moisture content, and

supplements on selective pretreatment of cotton stalks by Daedalea flavida and enzymatic

saccharification. 3 Biotech, 6:235, 1-13

Miettinen-Oinonen, A. and Suominen, P. (2002). Enhanced production of Trichoderma reesei

endoglucanases and use of the new cellulase preparations in producing the stonewashed effect on

denim fabric. Applied Environmental Microbiology,68(8), 3956–3964.

Montesqrit, M. (2007). Isolasi Dan Karakterisasi dari Tricoderma Viride Dan Rhizopus Spp Dengan

Substrat Jerami Padi. Jurnal Peternakan Indonesia, 12(2),112-123.

Mosier, N., Wyman, C., Dale, B., Elander, R., Lee, Y.Y., Holtzapple, M., Ladisch, M. (2005). Features

of promising technologie for pretreatment of lignocellulosic biomass. Bioresource Technology,

96, 673-686.

Narendranath, N.V. and Power, R. (2005). Relationship between pH and Medium Dissolved Solids in

Terms of Growth and Metabolism of Lactobacilli and Saccharomyces cerevisiae during Ethanol

Production. Applied and Environmental Microbiology, 71(5), 2239–2243

Obata O., Akunna, J., Bockhorn, H., Walker, G. (2016). Ethanol production from brown seaweed using

non-conventional yeasts, Bioethanol, 2, 134–145

Palmqvist, E. and Hagerdal, B.H. (2000). Fermentation of Lignocellulosic Hydrolysates. Bioresource

Technology, 74(1), 25-33

Pandey, A. (2003). Solid-state fermentation. Biochemical Engineering Journal, 13, 81-84

Pasanda, O.S.R., Azis, A., Kusuma, H.S. (2016). Utilization of Waste Seaweed through Pretreatment

with Liquid Hot Water Method and Simultaneous Fermentation using Bacteria Clostridium

thermocellum. Journal of Material and Environmental Sciences, 7(7), 2526-2533.

Pasanda, O.S.R. and Azis, A. (2018). The Extraction of Brown Algae (Sargassum sp) Through Calcium

Path to Produce Sodium Alginate. Jurnal Bahan Alam Terbarukan, 7(1), 64-69

Sari, R.N., Utomo, B.S.B., Tambunan, A.H. (2014). Kondisi Optimum Produksi Bioetanol Dari Rumput

Laut Coklat (Sargassum Duplicatum) Menggunakan Trichoderma Viride dan Pichia Angophorae.

Jurnal JPB Perikanan, 9 (2), 121–132

Scott, A. and Bryner, M. (2006). Alternative fuels, rolling out next-generation technologies. Chem.

Week, 168, 17-21.

Singhania, R.R., Patel A.K., Soccol, C.R., Pandey, A. (2009). Recent advances in solid-state

fermentation. Biochemical Engineering Journal, 44(1), 13–18

Takagi, M. (1976). Patent No. 3,990,994. USA.

Villares, R., Puente, X. and Carballeira, A. (2002) Seasonal variation and background levels of heavy

metals in two green seaweeds. Environmental Pollution, 119(1), 79-90

Vohra M., Manwar, J., Manmode, R., Padgilwar, S., Patil, S. (2014). Bioethanol production: Feedstock

and current technologies, Journal of Environmental Chemical Engineering, 2(1), 573–584

Wasungu, K.M and Simard, R.E. (1982). Growth Characteristics of Baker's Yeast in Ethanol.

Biotechnology and Bioengineering, 24(5), 1125-1134

Page 15: PEMANFAATAN LIMBAH ALGINAT MELALUI SAKARIFIKASI DAN

Pemanfaatan Limbah Alginat Melalui Sakarifikasi 859

Yanagisawa M, Kawai, S and Murata, K. (2013). Strategies for the production of high concentrations of

bioethanol from seaweeds: Production of high concentrations of bioethanol from seaweeds,

Bioengineered, 4(4), 224–235.

Zabed, H., Faruq, G., Sahu, J.N., Azirun,M.S., Hashim, R. and Boyce, A.N. (2014). Bioethanol

Production from Fermentable Sugar Juice. The Scientific World Journal, Volume 2014, Article

ID 957102, http://dx.doi.org/10.1155/2014/957102

Zakpaa, H.D., Mak-Mensah, E.E. and Johnson, F.S. (2009). Production of bio-ethanol from corncobs

using Aspergillus niger dan Saccharomyces cerevisiae in simultaneous saccharification and

fermentation. African Journal of Biotechnology, 8(13), 3018-3022

Zely, F.D. (2014). Pengaruh Waktu Dan Kadar Saccharomyces Cerevisiae Terhadap Produksi Etanol

Dari Serabut Kelapa Pada Proses Sakarifikasi Dan Fermentasi Simultan Dengan Enzim Selulase,

Skripsi, Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu, Bengkulu.