penatalaksanaan epilepsi

Embed Size (px)

Citation preview

TERAPI MEDIKAMENTOSA Secara umum, epilepsi seharusnya tidak mencegah seorang wanita untuk memiliki keluarga. Lebih dari 90 persen dari bayi yang lahir dari wanita dengan epilepsi adalah normal dan sehat. Persentase ini bahkan lebih tinggi jika kehamilan direncanakan terlebih dahulu dengan konsultasi ahli saraf, penyesuaian yang diperlukan dibuat dengan antikonvulsan dan asam folat sebagai tambahan yang dimulai sebelum masa konsepsi, dan perempuan perawatan kehamilan dini dan berkelanjutan (epilepsyfoundation). American Academy of Neurology dan American Epilepsy Society merekomendasikan bahwa wanita dengan epilepsi menghindari penggunaan valproate selama kehamilan dan menghindari penggunaan lebih dari satu obat epilepsi pada suatu waktu (politerapi) selama kehamilan jika memungkinkan. Valproate dan penggunaan politerapi telah dikaitkan dengan peningkatan risiko cacat lahir dan peningkatan risiko untuk keterlambatan perkembangan pada anak-anak setelah paparan selama kehamilan (epilepsyfoundation). Sampai saat ini, tidak ada obat antikonvulsan yang benar-benar tanpa risiko menyebabkan cacat lahir. Tetapi beberapa obat antikonvulsan tampak lebih berbahaya bagi bayi yang sedang berkembang daripada obat jenis yang lain. Pada bayi yang ibunya menggunakan obat anti kejang memiliki risiko cacat lahir sekitar 4 sampai 8 persen menurut Epilepsy Foundation. Risiko paling tinggi ketika menggunakan lebih dari satu obat antikonvulsan, terutama pada dosis tinggi. Bila tidak menggunakan obat anti kejang maka kejang tak terkendali dan bisa menghalangi bayi untuk mendapatkan oksigen. Kejang juga dapat meningkatkan risiko keguguran pada ibu hamil (Mayoclinic). Sejauh ini ada beberapa obat antikonvulsan yang dikenal, antara lain: 1. Depakote dan Depakene memiliki risiko tertinggi menimbulkan kecacatan pada bayi, terutama pada spina bifida. 2. Phenobarbital merupakan salah satu pilihan obat antikonvulsan yang lebih aman digunakan selama kehamilan. Saat ini, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa phenobarbital juga dapat meningkatkan risiko cacat lahir. 3. Tegretol, Carbatrol, dan Lamictal memiliki risiko cacat lahir yang lebih rendah dari Depakote dan phenobarbital. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa wanita yang menggunakan Lamictal memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kejang selama kehamilan. Hal ini disebabkan karena metabolisme Lamictal serta obat antiepilepsi lainnya meningkat selama kehamilan, yang akan menyebabkan penurunan efek antikonvulsan di dalam tubuh, sehingga meningkatkan risiko terjadinya kejang. 4. Pentingnya diberikan asam folat selama kehamilan dengan dosis 0,4 mg setiap hari. Asam folat telah terbukti mengurangi risiko beberapa cacat lahir sebesar 60% sampai 70%. Telah dilakukan penelitian selama 11 tahun menggunakan data dari Registry Internasional obat antiepilepsi dan Kehamilan di hampir 4.000 kehamilan di 33 negara. Secara keseluruhan, 230 kehamilan menyebabkan cacat lahir pada akhir tahun pertama setelah kelahiran. Dosis rendah lamotrigin (kurang dari 300 miligram [mg] per hari) dan carbamazepine (kurang dari 400 mg per hari) membawa resiko terendah. Risiko terbesar bagi janin didapatkan dengan penggunaan dosis tertinggi asam valproik (1.500 mg per hari atau lebih) dan fenobarbital (150 mg atau lebih sehari). Sebuah riwayat keluarga cacat lahir besar empat kali lipat risiko, mereka menemukan (nlmjournal).

Pedoman Tatalaksana Epilepsi pada Kehamilan (Perdossi Hal 28-30) 1. Sebelum hamil: Strong Evidence (Class 1) Terapi diberikan optimal sebelum konsepsi Bila memungkinkan perubahan terapi antiepilepsi diselesaikan sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi Diberikan asam folat (> 0,4 mg/hari) selama masa reproduksi dan dilanjutkan selama kehamilan. 2. Saat hamil: Strong Evidence (Class I) Jenis OAE jangan diganti bla tujuannya hanya untuk mengurangi risiko teratogenik. Pada pasien yang menggunakan carbamazepin, divalproex sodium atau asam valproat perlu dilakukan: o Pemeriksaan kadar alpha-fetoprotein serum (minggu 14-16 kehamilan) o Pemeriksaan ultrasonografi level II (minggu 16-20 kehamilan) o Amniosintesis untuk pemeriksaan kadar alpha-fetoprotein dan asetilkolinesterase dalam cairan amnion. 3. Saat hamil: Weaker Evidence (Class III) Dilakukan pemantuan kadar OAE yang tidak terikat protein. Untuk pasien yang stabil, kadar obat diperiksa sebelum konsepsi, awal tiap trimester, dan pada bulan terakhir kehamilan. Juga dapat dipantau jika ada indikasi (misalnya setelah bangkitan atau bila ragu dengan ketaatan minum obat). Diberikan vitamin K 10 mg/hari dalam bulan terakhir kehamilan pada pasien yang menggunakan antiepilepsi yang menginduksi enzim. 4. Setelah kehamilan/persalinan: Strong Evidence (Class I) ASI tetap diberikan. Dperhatikan apakah ada kesulitan minum dan efek sedasi pada bayi. 5. Setelah kehamilan: Weaker Evidence (Class III) Kadar OAE dipantau samapai minggu ke 8 pasca persalinan. Bila dosis OAE dinaikkan selama kehamilan, turunkan kembali sampai ke kadar dosis sebelum kehamilan untuk menghindari toksisitas. (Perdosi) Epilepsi pada Persalinan 1. Persalinan harus dilakuakn di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk perawatan epilepsi dan unit perawatan intensif untuk neonatus. 2. Persalinan dapat dilakukan secara normal/per vaginam. 3. Selama persalinan, OAE harus tetap diberikan, apabila perlu pasien dapat diberi dosis tambahan dan/atau obat parenteral terutama apabila terjadi partus lama 4. Terapi kejang saat melahirkan dianjurkan sebaiknya digunakan lorazepam (belum ada di Indonesia), diazepam, atau fenitoin intravena. Dosis lorazepam 0,07 mg/kg, jika perlu dapat diulangi setelah 10 menit. Diazepam 10 mg iv dan fenitoin 15-20 mg/kg diikuti dosis 8 mg/kg/hari, diberikan 2 kali/hari secara intravena atau oral. 5. Vitamin K 1 mg intramuskular diberikan pada neonatus saat dilahirkan oleh ibu yang menggunakan OAE penginduksi enzim untuk mengurangi risiko tejadinya perdarahan. Pemberian ulangan vitamin K 2 mg oral pada neonatus dilakukan pada akhir minggu pertama, dan akhir minggu ke-4. Epilepsi pada Masa Menyusui 1. Fenitoin dan asam valproat mempunyai proporsi ikatan pada protein cukup tinggi sehingga kadarnya dalam ASI cukup rendah. 2. Carbamazepin dan fenobarbiral terdapat di dalam ASI dengan kadar yang lebih tinggi.

3. Lamotrigin dan topimarat mempunyai ikatan protein yang rendah sampai sedang, demikian pula konsentrasi yang ditemukan apda ASI. 4. Gabapentin dan levetiracetam tidak ada ikatan protein dan mempunyai konsentrasi yang ekuivalen dengan serum maternal dan ASI. JENIS OBAT ANTI EPILEPSI DAN MEKANISME KERJANYA (Perdossi Hal 14) Tipe Bangkitan OAE lini pertama OAE lini OAE lini kedua/tambahan ketiga/tambahan Lena Sodium valproate, Ethosuximide Levetiracetam, lamotrigine zonisamide Mioklonik Sodium valproate Topiramate, Lamotrigine, levetiracetam, clobazam, zonisamide clonazepam, phenobarbital Tonik klonik Sodium valproate, Lamotrigine, Topiramate, carbamazepine, oxcarbazepine levetiracetam, phenitoin, zonisamide, phenobarbital pirimidon Atonik Sodium valproate Lamotrigine, Felbamate topiramate Parsial Carbamazepine, Sodium valproate, Tiagabine, phenitoin, levetiracetam, vigabatrin, phenobarbital, zonisamide, felbamate, pirimidon oxcarbazepine, pregabalin lamotrigine, topiramate, gabapentin Tidak Sodium valproate Lamotrigine Topiramate, terklasifikasikan levetiracetam, zonisamide DOSIS OAE untuk orang dewasa (Perdossi Hal 16) OAE DOSIS AWAL DOSIS RUMATAN (mg/hari) (mg/hari) Karbamazepin 400-600 400-1600 Fenitoin 200-300 200-400 Asam Valproat 500-1000 500-2500 Fenobarbital 50-100 50-200 Klonazepam 1 4 Klobazam 10 10-30 Okskarbazepin 600-900 600-3000 Levetiracetam 1000-2000 1000-3000 Topiramat 100 100-400 Gabapentin 900-1800 900-3600 Lamotrigin 50-100 50-200

JUMLAH DOSIS PER HARI 2-3x 1-2x 2-3x 1 1 atau 2 1-2x 2-3x 2x 2x 2-3x 1-2x

EFEK TERATOGENIK OBAT ANTI EPILEPSI (jurnal dr iskandar japardi) Hipotesa mekanisme terjadinya teratogenisitas obat anti epilepsi adalah:

1. Metabolisme obat anti epilepsi terjadi melalui komponen arene oksid atau epoksid, yang sebagian besar merupakan komponen reaktif yang bersifat teratogenik. 2. Kelainan genetik yang disebabkan oleh hidrolase epoksid meningkatkan risiko terhadap toksisitas fetus. 3. Radikal bebas yang dihasilkan dari metabolisme obat anti epilepsi dan bersifat sitotoksik. 4. Kelainan genetik yang disebabkan oleh free radical scavenging activity meningkatkan resiko terhadap toksisitas fetus Para wanita epilepsi yang hamil dengan menggunakan berbagai jenis obat anti epilepsi lebih mudah melahirkan bayi dengan malformasi daripada wanita epilepsi yang hamil memakai obat epilepsi tunggal. Penggunaan obat antiepilepsi multipel dan penggunaan dosis tinggi berhubungan dengan jenis epilepsi yang tidak mudah terkontrol. Studi Meadow (1968), mencakup kasus kehamilan sebanyak 427 pada 186 wanita dengna epilepsi yang menggunakan obat anti epilepsi menemukan anak dengan cacat (bibir dan langit-langit sumbing) yang berjumlah cukup banyak. Meadow dan kawan-kawan menyimpulkan bahwa malformasi kongenital pada anak yang terkena efek obat antiepilepsi adalah 2 kali lebih sering dibandingkan anak yang tidak terkena efek obat anti epilepsi. Malformasi untuk populasi rata-rata berkisar antara 2-3% sedangkan untuk bayi yang dilahirkan oleh ibu epilepsi antara 1,25-11% dan menurut peneliti lain berkisar 4-6. TERAPI NON-MEDIKAMENTOSA Tujuan dilakukannya terapi bedah epilepsi yaitu: 1. Pasien dapat hidup senormal mungkin 2. Membuat penderita terbebas dari kejang 3. Meningkatkan kualitas hidup pasien 4. Menurunkan morbiditas 5. Menurunkan masalah psikososial 6. Meminimalkan defisit neurologik fokal Sebelum dilakukan tindakan bedah, perlu dilakukan evaluasi untuk mengklarifikasikan beberapa hal antara lain: 1. Mengidentifikasi daerah kortikal yang dapat menyebabkan bangkitan (lokasi dan penyebaran zona epileptogenik) sehingga bila dilakukan pengangkatan atau pemutusan daerah tersebut dapat menyebabkan pasien bebas kejang 2. Kemungkinan terganggunya kognisi dan keadaan emosi pasien akibat operasi 3. Pengaruh operasi pada kehidupan sosial pasien Beberapa kriteria untuk dilakukannya terapi bedah ini adalah sebagagi berikut: 1. Sindrom epilepsi fokal dan simtomatik yang refrakter terhadap OAE 2. IQ > 70 3. Tidak ada kontraindikasi pembedahan Kontraindikasi absolut o Penyakit neurologik yang progresif (baik metabolik maupun degeneratif) o Sindrom epilepsi yang benigna yang diharapkan terjadi remisi dikemudian hari Kontraindikasi relatif o Ketidakpatuhan terhadap pengobatan o Psikosis interiktal o Mental retardasi 4. Usia < 45 tahun 5. Tidak ada kelainan psikiatrik yang jelas Beberapa indikasi dilakukannya terapi bedah antara lain:

1. Epilepsi refrakter adalah bila seseorang yang mengalami bangkitan berulang, meski telah dicapai kadar terapi OAE dalam satu tahun terakhir setelah awitan. 2. Mengganggu kualitas hidup 3. Manfaat operasi lebih besar dibandingkan risiko (Perdossi Hal 25,26) DIFERENSIAL DIAGNOSIS Sindrom epileptik harus dibedakan dengan keadaan episodik yang lain. Pada anak dengan hetang (breath-holding spells) di mana anak di bawah 5 tahun yang sedang menangis mendadak apnea, sianosis, kehilangan kesadaran, dan tonus otot menjadi lemah, sesudah beberapa saat si anak bernapas kembali. Migren pada anak, sinkop, vertigo yang benigna dapat menyebabkan peristiwa episodik juga. EEG pada keadaan di atas sering normal. Pada orang dewasa, beberapa peristiwa episodik yang dapat dijadikan sebagai diagnosis banding adalah pseudo sawan, sinkop, sindrom hiperventilasi. Pada pseudo sawan ada faktor presipitasi berupa emosi, ekstremitas bergerak-gerak dengan keras tetapi tidak ritmis, dan kesadaran baik. Pada sinkop terdapat gejala pusing, respon menjadi lambat, pendengaran dan penglihatan menjadi kabur. Pada sindrom hiperventilasi, penderita merasa kehilangan keseimbangan, cemas, rasa tidak enak di daerah epigastrik, parestesi, dan tetani. (Neurologi kapita selekta)

DAFTAR PUSTAKA http://www.webmd.com/epilepsy/women-pregnancy-epilepsy?page=2 http://www.webmd.com/drugs/drug-1788 Depakote+Oral.aspx?drugid=1788&drugname=Depakote+Oral&source=0 http://www.mayoclinic.com/print/pregnancy/PR00123/METHOD=print http://www.epilepsyfoundation.org/livingwithepilepsy/gendertopics/womenshealthtopics/pre gnancyandepilepsymedications/index.cfm http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/news/fullstory_112855.html Perdossi. 2008. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi ke-3. Jakarta: Perdossi. Hal..... Harsono. 1996. Neurologi. Edisi ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal 127128