Pendarahan Dan Koagulopati Pada Perawatan Intensif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

DIC

Citation preview

Pendarahan dan Koagulopati pada Perawatan IntensifDefinisi koagulopati adalah sebuah kondisi dimana terganggunya kemampuan darah untuk membeku. Namun, bagi beberapa dokter, istilah tersebut juga meliputi keadaan trombotik, dan oleh karena kompleksitas dari jalur hemostatik, kedua kondisi tersebut dapat muncul bersamaan. Beberapa dokter akan mempertimbangkan bahwa hasil abnormal ringan pada skrining koagulasi tanpa pendarahan juga bisa mengindikasikan sebuah koagulopati. Pembahasan ini hanya terbatas pada definisi dari koagulopati yang sudah dijelaskan sebelumnya. Kondisi tersebut sering terjadi pada pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (Internsive Care Unit / ICU) dan memerlukan sebuah pendekatan secara klinikopatologik untuk memastikan apakah sudah dibuat diagnosis yang tepat sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai. Kurangnya bukti pada perawatan pasien koagulopati di perawatan intensif sangat mencolok. Pembahasan ini akan membahas bagian-bagian tertentu yang memiliki bukti cukup kuat dan pada saat yang bersamaan menjelaskan bagian-bagian yang juga memiliki bukti yang lemah. Pada pembahasan terakhir, ada sebuah konsensus sederhana yang akan menjelaskan tentang bagaimana penanganannya. Diagnosis BandingRiwayat pengobatan dan pemeriksaan fisik sangat penting, sebab banyak kondisi yang berbeda dapat memiliki hasil pemeriksaan laboratorium yang hampir sama. Sebagai contoh, tahap akhir pada gagal hati dan penyakit intravaskular diseminata dimana keduanya memiliki gejala trombositopenia dan perubahan yang hampir sama pada tes koagulasi, namun penanganan dan prognosis keduanya sangat berbeda. Pemeriksaan apus darah tepi adalah sebuah pemeriksaan yang penting dalam banyak kasus untuk memastikan rendahnya jumlah dari perhitungan platelet dan ada atau tidaknya kriteria diagnostik lain seperti perpecahan dari sel darah merah, kelaianan pada morfologi platelet, atau bukti dari adanya displasia atau defisiensi hematinik.Jika penyebab dasarnya sudah dipastikan tidak merespon terhadap agen terapeutik yang bertujuan untuk memodifikasi respon koagulasi (contoh: pengobatan dengan antagonis vitamin K, heparinoid, atau penghambat faktor langsung Xa atau IIa), dokter perlu mengevaluasi perjalanan dari pendarahan tersebut yang mungkin dapat ditemukan adanya peteki dan pendarahan mukosa pada kelaianan platelet, kebocoran yang merata pada permukaan yang de-epitelisasi, dan pendarahan yang cepat dari pembuluh darah besar yang rusak.

Tabel 1. Hasil laboratorium pada berbagai kelaian platelet dan koagulasi di ICU

Gambar 1 penyebab dari pendarahan pada pasien di ICU. Menjelaskan hubungan antara hasil laboratorium dan berbagai koagulopatiPenanganan pada KoagulopatiPrinsip pertama penanganan koagulopati pada perawatan intensif adalah jangan mengkoreksi hasil abnormal pada pemeriksaan laboratorium dengan produk darah kecuali jika terdapat adanya masalah pendarahan klinis atau dibutuhkannya prosedur operasi ataupun keduanya. Pendarahan hebatKurangnya bukti yang baik disebabkan karena digunakannya komponen darah untuk menangani pendarahan utamanya. Pada beberapa dekade silam, saat komponen darah diberikan pada pasien perawatan internsif, manfaatnya tidak pernah dikaji pada uji klinis acak. Belakangan, sudah mulai terdapat pembatasan penggunaan komponen darah oleh karena kekhawatiran adanya infeksi yang ditularkan melalui transfusi (HIV, hepatitis, dan varian baru dari penyakit CreutzfeldtJakob) dan keterbatasan dalam suplai darah.Tidak terdapat uji klinis acak, uji terkontrol, studi retrospektif dari korban militer sehingga kemudian dilakukan studi serupa pada korban sipil yang menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dengan transfusi 1U plasma beku segar berisi sel darah merah. Hal tersebut telah menyebabkan pemberian yang lebih awal dari peningkatan jumlah unit dari plasma beku segar. Namun, studi ini dikritik, terutama untuk kelemahan metodologis yang mencakup bias survival (contoh: pasien yang tidak bertahan hidup tidak ditransfusi dengan plasma segar beku) dan heterogenitas antara studi.Meskipun kurangnya bukti bahwa pendarahan paska operasi dan pendarahan gastrointestinal atau obstetrik berhubungan dengan perubahan hemostatik yang terjadi serupa pada koagulopati traumatic akut, penggunaan awal dari transfusi plasma segar beku dengan sel darah merah yang berasio 1:1 atau 1:2 telah dipakai luas. Peningkatan dari pemakaian plasma ini bukanlah tidak beresiko karena terdapat peningkatan cedera paru akut akibat transfusi yang merupakan resiko terjadinya sindrom gangguan pernafasan akut (acute respiratory distress syndrome / ARDS). Sebuah studi pada pasien trauma yang memerlukan sebuah transfusi yang tidak masif (10U packed red cells dalam 24 jam) yang diperkirkan akan meninggal antara 24 jam hingga 30 hari. Untuk sementara, terdapat perbedaan antara amerika utara dan Eropa dalam pemakaian komponen darah untuk menunjang hemostasis. Walaupun di Amerika Utara terdapat peningkatan pemakaian plasma segar beku pada pasien dengan pendarahan hebat, beberapa praktisi Eropa tidak menggunakan plasma segar beku karena mereka lebih mengandalkan pemakaian dari konsentrat faktor pembekuan pada basis dari elastometry rotasional-intervensi terarah dengan konsentrat kompleks dari prothrombin, faktor XIII dan fibrinogen. Sebaliknya, praktisi lainnya meyakini bahwa penanganan pada pendarahan hebat harus dimulai dengan pemberian fibrinogen dengan asam tranexamic, sebuah derivate sintetik dari asam amino lysine yang berperan sebagai agen anti fibrinolitik dengan menghambat plasminogen secara kompetitif dengan sel darah merah dan pemakaian cairan IV sebagai terapi dasar yang diperlukan.Fibrinogen adalah sebuah molekul pembentuk fibrin yang merupakan ligan untuk agregasi platelet, dan pada pasien yang mengalami pendarahan hebat, fibrin sangat dibutuhkan dibandingkan dengan protein hemostatik lainnya. Pada pasien dengan pendarahan hebat, kebutuhan akan fibrin ini menunjukkan adanya peningkatan pemakaian, kehilangan, dan pengenceran darah, serta adanya fibrinogenolysis. Oleh karena itu, walaupun tidak ditemukan adanya bukti-bukti pada uji acak yang terkontrol, panduan penanganan pada pendarahan traumatic menjelaskan bahwa tingkat pemicu dari suplemen fibrinogen seharusnya berkisar antara 1,5 hingga 2,0 g / L dibandingkan dengan 1,0 g/L. Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti apakah dengan pemberian awal suplementasi fibrinogen dan konsentrat dari prothrombin kompleks ataukah dengan pemakaian dari plasma segar beku yang dapat memberikan perbaikan klinis pada pasien dengan pendarahan hebat. Uji acak terkontrol yang berikutnya sebaiknya membahas tentang manfaat dan keamanannya secara keseluruhan, termasuk tentang angka insiden terjadinya tromboembolism vena yang didapatkan dari perawatan rumah sakit (hospital-acquired venous thromboembolism). Penggunaan dari rekombinan faktor VIIa telah terbukti menurunkan angka pemakaian sel darah merah pada pendarahan tapi tidak menurunkan angka mortalitas sehingga perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. Data dari uji placebo terkontrol menunjukkan bahwa penggunaan dari rekombinan faktor VIIa meningkatkan resiko terjadinya thrombosis arterial secara signifikan .Asam tranexamic sebaiknya diberikan pada semua pasien dengan pendarahan hebat akibat trauma. Rekomendasi ini didukung oleh adanya uji acak yang terkontrol oleh Clinical Randomization of an Antofibrinolytic in Significant Hemorrhage (CRASH-2), yang dimana 20,000 pasien trauma dengan pendarahan atau dengan resiko terjadinya pendarahan hebat diberikan asam tranexamic secara acak atau placebo. Pasien yang diberikan asam tranexamic dalam 3 jam setelah terjadinya cedera menunjukkan adanya penurunan angka kematian akibat pendarahan sebanyak 1/3 dari jumlah total pasiennya. Setelah dilakukan analisis kedua dari data-data yang ada, investigator dari CRASH-2 merekomendasikan agar diberikannya asam tranexamic sesegera mungkin setelah terjadinya cedera karena hal tersebut akan berhenti memberikan manfaat. Tampaknya hal tersebut berhubungan dengan peningkatan mortalitas jika diberikannya lebih dari 3 jam setelah cedera terjadi. Bukti-bukti kuat tentang pemberian asam tranexamic dapat menurunkan angka kebutuhan dari transfuse darah pada operasi ternyata sudah ada sejak lama, walaupun efek dari asam tranexamic pada kejadian thromboemboli dan mortalitas pada pasien-pasien tersebut masih belum pasti.

Dukungan Hemostatik pada Prosedur InvasiveTidak ada bukti yang cukup mendukung pada penggunaan profilaksis dari plasma beku segar dapat memperbaiki hasil abnormal yang terdapat pada skrining koagulasi (prothrombin time, activated partial-thromboplastin time, dan fibrinogen) yang dilakukan sebelum dilakukannya prosedur invasif. Skrining koagulasi tidak memiliki nilai prediktif untuk pendarahan yang terjadi kemudian. Pemakaian dari plasma segar beku juga tidak memperbaiki hasil abnormal dari tes koagulasi. Sampai saat ini belum ada konsensus yang membahas tentang hasil skrining koagulasi yang membutuhkan pemberian plasma segar beku sehingga terdapat variasi pemakaian dari plasma segar beku oleh pada dokter pada perawatan intensif. Hasil thrombin yang walaupun tertunda, juga termasuk dalam kategori normal atau meningkat ketika rasio dari prothrombin 1,5 atau kurang, sehingga saya menyimpulkan bahwa rasio prothrombin 1,5 atau kurang sudah cukup memuaskan pada pemasangan kateter vena sentral atau kateter arterial pada pasien-pasien yang tidak memerlukan adanya suplementasi profilaksis plasma segar beku.Kemungkinan terdapat intake yang tidak adekuat dari vitamin K pada pasien perawatan intensif dimana vitamin K tersebut diperlukan untuk pembentukan faktor koagulasi II, VII, IX, dan X. Walaupun terdapat kekurangan bukti yang cukup kuat tentang ketidakmampuan vitamin K dalam memperbaiki masalah koagulopati pada pasien penderita penyakit hati, saya merekomendasikan diberikannya suplementasi vitamin K1 (dengan dosis minimal 1mg/hari secara oral atau 10mg/minggu secara IV) untuk pasien perawatan intensif dengan resiko tinggi.Koagulasi Intravaskular DiseminataKoagulasi Intravaskular Diseminata adalah sebuah diagnosis klinikopatologi dari kelainan yang didefinisikan oleh International Society on Thrombosis and Hemostasis (ISTH) sebagai sebuah sindrom didapat, ditandai dengan aktivitas koagulasi intravaskular dengan hilangnya lokalisasi yang muncul dari penyebab yang berbeda-beda. Kondisi ini khas pada mikrovaskular dan dapat menyebabkan kerusakan dengan berbagai tingkat keparahan yang menyebabkan disfungsi organ multiple (gambar 2).

Hal tersebut dapat diidentifikasi pada sistem penilaian dasar yang dikembangkan ISTH (tabel 2).

KID (koagulasi intravaskular diseminata) biasanya muncul sebagai perdarahan, dengan hanya 5-10% kasus menunjukkan adanya mikrotrombi (contoh: iskemia digitalis). Kondisi muncul dengan episode trombotik / perdarahan bergantung pada penyebabnya dan pertahanan dari penjamu. Sepsis adalah penyebab paling sering KID pada perawatan intensif ; infeksi sistemik dengan perkiraan adanya bakteri Staphilococcus aureus dan Escherichia coli. Kompleks patofisiologi dimediasi oleh pola molekuler patogen, dimana menghasilkan respon inflamasi pada penjamu melalui sinyal pada reseptor spesifik. Sebagai contoh, sinyal oleh Toll -like receptor dan reseptor komplemen menginisiasi sinyal intraseluler, dimana menghasilkan sintesis beberapa protein ( termasuk sitokin proinflamasi). Protein ini memicu perubahan hemostasis yang menyebabkan peningkatan regulasi dari faktor jaringan dan kerusakan dari antikoagulan fisiologis serta terjadinya fibrinolisis. Faktor jaringan mempunyai peran penting pada proses ini. Terlihat pada septikemia meningokokus, dimana kadar faktor jaringan pada monosit mungkin memprediksi pertahanan tubuh. Studi lain dari sepsis meningokokus menunjukkan bahwa sejumlah besar faktor jaringan ditemukan adanya derivat monosit pada mikropartikel yang bersirkulasi. Peningkatan regulasi dari faktor jaringan akan mengaktivasi koagulasi yang mengakibatkan deposisi fibrin yang menyebar luas dan trombosis mikrovaskular yang berkontribusi pada disfungsi organ multipel.

Studi dari endotoxemia pada binatang menunjukkan bahwa terjadi keabnormalan yang kompleks dari antikoagulan fisiologik, dosis farmakologis dari protein C teraktivasi, antitrombin, serta inhibisi jalur faktor jaringan yang akhirnya muncul sebagai keuntungan pada studi tersebut. Studi yang menjanjikan ini mengarahkan pada sebuah uji acak terkontrol dari suplementasi antikoagulan fisiologik dengan dosis farmakologik dari protein C teraktivasi, antitrombin dan inhibitor jalur faktor jaringan pada pasien dengan sepsis. Bagaimanapun, studi ini menunjukan tidak adanya penurunan angka kematian dan peningkatan episode perdarahan.

Konsumsi dari protein koagulasi dan trombosit menghasilkan kecenderungan pendarahan dengan trombositopenia, pemanjangan PT dan aPTT, hipofibrinogenemia, dan peningkatan kadar FDP (produk degradasi fibrinogen / Fibrinogen Degradation Product, contohnya : D-dimer). Antikoagulan fisiologik juga digunakan pada proses inhibisi pada beberapa faktor koagulasi yang teraktivasi. Pada KID yang parah, konsumsi dan pengurangan suplai dari trombosit dan protein koagulasi biasanya mengakibatkan terjadinya kebocoran secara perlahan pada tempat akses vaskular dan luka tetapi biasanya menyaebabkan perdarahan yang mengalir.

Dasar untuk penanganan kondisi ini tetap berdasarkan dari penyebabnya (co: sepsis). Penanganan lebih jauh mungkin tidak diperlukan pada pasien dengan koagulasi abnormal ringan yang tidak adanya bukti perdarahan. Panduan penanganan didasari terutama oleh pendapat ahli, yang menyarankan dilakukan penggantian protein koagulasi dan trombosit pada pasien dengan perdarahan. Transfusi trombosit diindikasikan untuk mempertahankan kadar trombosit > 50.000/mm3, bersama dengan pemberian FFP (Fresh Frozen Plasma) untuk mempertahankan PT dan aPTT 1,5 g/liter.

Penggunaan agen antifibrinolitik dikontraindikasikan pada penanganan KID, karena sistem fibrinolitik diperlukan dalam perbaikan untuk memastikan disolusi dari fibrin yang menyebar luas. Beberapa panduan merekomendasikan pemberian dosis terapi Unfractioned heparin pada pasien dengan fenotip trombotik (co:gangren), tetapi beberapa rekomendasi tetap kontroversial karena sulitnya monitor terapi pada pasien dengan aPTT yang memanjang. Selain itu, pemberian heparin mungkin memicu perdarahan. Akhir-akhir ini, masih kurang bukti klinis untuk membuat rekomendasi pada pemakaian heparin pada pasien dengan KID.

TrombositopeniaMekanisme patofisiologiTrombositopenia mungkin muncul karena penurunan produksi atau peningkatan destruksi (imun/non imun) dari trombosit, serta dari sekuestrasi limpa. Diantara pasien ICU, kondisi terjadi pada 20% pasien medis dan 30% pada pasien bedah. Penyebab dari kondisi ini sering multifaktor. Pasien dengan trombositopenia cenderung tampak lebih sakit, dengan nilai keparahan sakit lebih tinggi, daripada mereka yang hasil hitung trombositnya adalah normal.

Tabel 3. Daftar Diagnosis Banding dari trombositopenia pada perawatan kritis.

Identifikasi pasien dengan trombositopenia penting karena memerlukan penanganan khusus ( co: trombositopenia diinduksi heparin, purpura trombositik trombositopenia). Trombositopenia diinduksi obat merupakan tantangan diagnostik,karena secara kritis pasien sakit sering menerima obat-obatan multipel yang dapat menyebabkan trombositopenia.

Ambang batas trombosit dari 10.000/mm3 untuk transfusi trombosit pada pasien dengan kondisi stabil adalah efikasi dan ekonomis secara hemostatik dalam mengurangi kebutuhan transfusi trombosit. Pasien dengan kegagalan produksi trombosit yang lama, seperti mielodisplasia, anemia aplastik, mungkin tetap bebas dari perdarahan serius, dengan penghitungan trombosit dibawah 5.000 sampai 10.000/mm3. Bagaimanapun, peningkatan stimulasi transfusi trombosit harus dilakukan pada pasien dengan kelainan hemostatik lainnya atau dengan peningkatan tekanan pada penggantian trombosit / fungsi trombosit. Jika pada pasien terjadi perdarahan aktif, hitung trombosit 50.000/mm3 harus dipertahankan. Diantara pasien yang mempunyai risiko perdarahan pada SSP atau yang akan menjalani operasi bedah saraf, hitung trombosit >100.000/mm3 sering direkomendasi, walaupun kurangnya data untuk mendukung rekomendasi ini.

Standar hitung trombosit dihasilkan oleh penghitungan sel yang mengkategorisasikan sel berdasarkan ukuran, akan tetapi besar trombosit mungkin ukurannya sama seperti sel darah merah dan kemudian dikategorisasikan sama dengan sel darah merah. Karena itu, sebuah metode imunologik hitung trombosit, dimana antigen trombosit dilabel dengan petanda yang dapat dideteksi dengan penggunaan aliran sitometri, mungkin membantu membuktikan perhitungan yang benar. Karena transfusi trombosit dapat terjadi trombosit imunologis yang refrakter menyebabkan pembentukan antibodi anti-HLA, dimana penggunaan trombosit yang cocok dengan HLA, harus menghasilkan hitung trombosit yang lebih baik setelah transfusi.

Penyebab imunologikPenurunan secara mendadak pada hitung trombosit pada pasien dengan riwayat operasi baru-baru ini diperkirakan karena adanya sebuah penyebab imunologik atau reaksi transfusi yang berat (Post Transfusion Purpura atau Trombositopenia diinduksi obat). Trombosis pada Trombositopenia yang diinduksi heparin adalah sebuah kelainan protrombotik autoimun yang jarang , transient, dan terinduksi obat, yang disebabkan oleh pembentukan antibodi Ig G sehingga menyebabkan aktivasi dari trombosit yang berasal dari pembentukan antibodi terhadap kompleks trombosit faktor 4 dan heparin.

Purpura post transfusiPurpura post transfusi adalah kelainan perdarahan yang jarang disebabkan oleh alloantibodi spesifik trombosit (biasanya, anti-human platelet antigen 1a (HPA-1a)) pada resipien. HPA-1a kemudian bereaksi dengan trombosit donor yang akan menghancurkan trombosit donor tersebut serta trombosit dari resipien sendiri. Mayoritas dari pasien yang terkena adalah wanita yang sudah melahirkan berkali-kali yang telah tersensitisasi selama kehamilan. Pengobatan purpura post transfusi terdiri dari IVIg (gamma), glukokortikoid dan plasmapheresis. IVIg dosis tinggi (2g/kgBB diberikan 2-5 hari) memberikan peningkatan hitung trombosit sekitar 85% pada pasien. Transfusi trombosit jumlah besar mungkin diperlukan untuk mengontrol perdarahan hebat sebelum ada respon terhadap IVIg. Terdapat keterbatasan bukti bahwa penggunaan trombosit HPA-1a negatif lebih efektif daripada penggunaan trombosit dari donor acak.Trombosis MikroangiopatiTrombosis mikroangiopati mempunyai karakterisitik yaitu adanya trombositopenia bermakna dan anemia hemolisis mikroangiopati (fragmentasi sel darah merah), dimana terdiri dari 3 kelainan mayor : trombosis trombositopenia purpura, sindrom hemolisisuremic, dan sindrom HELLP (ditandai dengan hemolisis yang berhubungan dengan kehamilan, peningkatan enzim hati, dan jumlah trombosit yang rendah ). Mayoritas kasus trombosis trombositopenia purpura disebabkan oleh defisiensi disintegrin dan metalloproteinase dengan tipe thrombospondin tipe 1 motif 13 (ADAMTS13), yaitu gangguan yang mungkin disebabkan secara herediter atau kerusakan autoimun. Ketiadaan dari ADAMTS13 akan menghasilkan faktor von Willebrand yang bermolekul berat yang persisten, yang dapat menyebabkan agregasi trombosit spontan ketika terdapat pemotongan pada protein tersebut. Tingkat kematian pada kasus yang tidak diobati mendekati 95%, namun dengan dilakukan plasmapheresis di awal, tingkat kelangsungan hidup mencapai 80 sampai 90%. Penggunaan rituximab, sebuah antibodi monoklonal chimeric terhadap protein permukaan Sel-B CD20 yang menyebabkan kerusakan sel-sel, telah terbukti mengurangi tingkat kekambuhan bentuk kelainan autoimun ini dari 57% sampai 10%. Trombosis trombositopenia purpura adalah keadaan darurat medis dan dalam kasus-kasus yang tidak diobati terkait dengan tingkat kematian 90%, biasanya dari infark miokard karena trombus trombosit di arteri koroner. Dengan demikian, diagnosa aktif dari gangguan ini sebaiknya segera dilakukan plasmapheresis.Penyakit HatiThrombopoietin dan hemostatis protein disintesis di hati. Penurunan fungsi sintesis hati menyebabkan skrining tes koagulasi yang memanjang (protrombin time) dan penurunan jumlah trombosit, walaupun kadar dari faktor VII dan von Willebrand meningkat. Asupan alkohol akan menghambat agregasi trombosit. Pada penyakit hati kronis, juga terjadi peningkatan fibrinolisis oleh karena kegagalan hati untuk memetabolisme activator dari plasminogen jaringan. Pada penyakit hati kolestatik, terjadi penurunan absorbsi vitamin larut lemak sehingga terjadi penurunan jumlah produksi factor koagulasi yang bergantung pada kadar vitamin K (faktor koagulasi II, VII, IX, dan X). Selanjutnya pada penyakit hati, kegagalan dari enzim normal untuk membersihkan asam sialic dari fibrinogen menyebabkan disfibrinogenemia.

(Gambar 3A Hemostasis pada gagal hati dan penyakit ginjal.).Namun, seiring dengan penurunan faktor koagulasi, terjadi juga penurunan jumlah produksi antikoagulan yang fisiologis. Maka, pasien dengan penyakit hati kronis dan waktu protrombin yang memanjang tidak lagi dipertimbangkan memiliki defisiensi faktor koagulasi, sebab koagulasi tersebut telah diseimbangkan dan adanya trombin yang normal. Pada kasus tersebut, yang dimana tidak terdapat adanya pendarahan, tidak diperlukan pengobatan untuk waktu koagulasi yang memanjang.Jika perdarahan terjadi pada penyakit hati, maka sesuai pedoman konsensus merekomendasikan manajemen komponen darah sesuai dengan hasil jumlah trombosit, PT (waktu protrombin), aPTT (waktu parsial tromboplastin teraktivasi), TT (waktu thrombin), dan fibrinogen. Dalam percobaan acak yang terkontrol, peneliti membandingkan strategi tranfusi sel darah merah yang liberal (kadar hemoglobin