Upload
ngodat
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENERAPAN METODE BIMBINGAN IMAJINASI REKAMAN AUDIO
TERHADAP PENURUNAN KECEMASAN AKIBAT STRESS HOSPITALISASI
PADA ASUHAN KEPERAWATAN
An. D DENGAN DENGUE HAEMORRHAGIC
FEVER (DHF) DI BANGSAL ANGGREK
RSUD SUKOHARJO
DISUSUN OLEH :
ANITA SUCI WULANDARI
P.12 069
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
i
PENERAPAN METODE BIMBINGAN IMAJINASI REKAMAN AUDIO
TERHADAP PENURUNAN KECEMASAN AKIBAT STRESS HOSPITALISASI
PADA ASUHAN KEPERAWATAN
An. D DENGAN DENGUE HAEMORRHAGIC
FEVER (DHF) DI BANGSAL ANGGREK
RSUD SUKOHARJO
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
ANITA SUCI WULANDARI
NIM. P.12 069
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah dengan judul “Penerapan Metode Bimbingan Imajinasi Rekaman Audio
Terhadap Penurunan Kecemasan Akibat Stress Hospitalisasi Pada Asuhan
Keperawatan An. D Dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) Di Bangsal
Anggrek RSUD Sukoharjo”.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat:
1. Dra. Agnes Sri Hartati, M. S.i, selaku Ketua STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
2. Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII
keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba
ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3. Meri Oktariani, S.Kep., Ns., M.Kep. selaku Sekretaris Program Studi DIII
keperawatan yang yang telah memberikan kesempatan untuk dapat
menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta, membimbing dengan
cermat, memberikan masukan – masukan demi sempurnanya Karya Tulis
Ilmiah ini.
4. Noor Fitriyani S.Kep., Ns, selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
Karya Tulis Ilmiah ini.
5. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes KusumaHusada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
vi
6. Kedua orang tua kami, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan
semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
7. Adik, abang dan saudara – saudaraku yang telah memberikan semangat dan
dukungan untuk menyelesaikan tugas akhir Karya Tulis Ilmiah
8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin
Surakarta, 23 Mei 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ................................................................... 4
C. Manfaat Penulisan ................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUTAKA
A. Tinjauan Teori ....................................................................... 7
1. Dengue Haemorrhagig Fever (DHF ............................... 7
2. Hospitalisasi ................................................................... 34
3. Teknik Rekaman Audio .................................................. 47
4. Kecemasan ...................................................................... 51
B. Kerangka Teori ...................................................................... 61
C. Kerangka Konsep .................................................................. 62
BAB III METODE APLIKASI
A. Subjek Aplikasi Riset ............................................................ 63
B. Tempat dan Waktu Aplikasi Riset ......................................... 63
C. Media yang digunakan dalam Aplikasi Riset ........................ 63
D. Prosedur Tindakan ................................................................. 64
E. Alat Ukur Evaluasi ................................................................ 65
viii
BAB IV LAPORAN KASUS……………………………………………... 70
A. Pengkajian Keperawatan ....................................................... 70
B. Analisa Data dan Perumusan Masalah Keperawatan ............ 79
C. Prioritas Diagnosa Keperawatan ........................................... 80
D. Intervensi Keperawatan ......................................................... 80
E. Implementasi Keperawatan ................................................... 82
F. Evaluasi Keperawata ............................................................. 88
BAB V PEMBAHASAN………………………………………………….. 91
A. Pengkajian Keperawatan ....................................................... 91
B. Diagnosa Keperawatan .......................................................... 99
C. Intervensi Keperawatan ......................................................... 103
D. Implementasi Keperawatan ................................................... 105
E. Evaluasi Keperawatan ........................................................... 11
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................ 116
B. Saran ..................................................................................... 119
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Skema 2.1 Kerangka Teori ...................................................................... 61
2. Skema 2.2 Kerangka Konsep .................................................................. 62
3. Tabel 3.1 Alat Ukur Kecemasan ............................................................ 65
4. Gambar 4.1 Genogram ............................................................................ 72
x
DAFTAR SKEMA
Halaman
1. Kerangka Teori 2.1…………………………………………………… 61
2. Kerangka Konsep 2.2…………………………………………………. 62
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Surat Pernyataan
Lampiran 3 Usulan Judul Aplikasi Jurnal Dalam Pengelolaan Asuhan
Keperawatan Pada Klien
Lampiran 4 Log Book
Lampiran 5 Lembar konsultasi Karya Tulis Ilmiah
Lampiran 6 Pendelegasien
Lampiran 7 Jurnal
Lampiran 8 Asuhan Keperawatan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau biasa disebut dengan
Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi suatu penyakit endemik terutama di
daerah tropis dan subtropis (Warsidi, 2009 : 1). Kasus DHF di Indonesia
cenderung mengalami peningkatan pada awal musim kemarau dengan disertai
penduduk di daerah Urban yang cukup padat (Hadinegoro dan Satari, 2002 :
5).
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
kasus DHF di Indonesia mengalami penurunan menjadi 1,9% dibanding tahun
2007 yaitu 2,7% dengan prevalensi 6,0%. Lima provinsi di Indonesia dengan
kasus DHF tertinggi dari tahun 2007 sampai 2013, yaitu Papua sebanyak 9,8%
menjadi 28,6%, Nusa Tenggara Timur sebanyak 6,8% menjadi 23,3%, Papua
Barat sebanyak 6,7% menjadi 19,4%, Sulawesi Tengah sebanyak 5,1%
menjadi 12,5%, dan Maluku sebanyak 3,8% menjadi 10,8% dari 33 provinsi di
Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis RSUD
Sukoharjo pada bulan Januari sampai Desember 2014 jumlah kasus DHF pada
anak sebanyak 36,8% dan pada dewasa 29,9% dari seluruh kasus DHF yang
ada di rumah sakit tersebut.
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengeu
(DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus dengue,
2
ditularkan dengan gigitan nyamuk aedes aegypti yang masuk ke dalam tubuh
penderita akan muncul manifestasi klinis yaitu demam tinggi (Sitorus, 2008 :
119).
Setelah fase demam keadaan masih memburuk seperti terjadi syok,
kebocoran plasma sehingga harus dilakukan perawatan di rumah sakit. Pada
anak dengan DHF yang harus menjalani perawatan atau hospitalisasi
menimbulkan suatu kondisi krisis baik bagi anak atau keluarganya (Nursalam,
dkk, 2005 : 161). Persepsi anak terhadap penyakit berbeda-beda, karena
tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit,
sistem pendukung yang ada, dan kemampuan koping anak (Hockenberry, J. M,
dan Wilson. D, 2009 dalam Masulili, Allenidekania, dan Hastono, 2013).
Stres yang diakibatkan hospitalisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor
perubahan lingkungan yang berbeda dengan lingkungan rumah, kehilangan
kendali atas tubuhnya, ancaman dari penyakit serta adanya persepsi yang tidak
menyenangkan tentang rumah sakit seperti pengalaman dirawat sebelumnya
maupun pengalaman orang lain (Hidayat, 2005 dalam Aizah dan Wati, 2014).
Upaya yang dapat dilakukan berdasarkan faktor-faktor penyebab stress
diperlukan beberapa metode untuk menghadapi stres. Metode untuk mengatasi
stress seperti pendekatan farmakologis, perilaku, kognitif, meditasi, dan musik.
Metode musik merupakan salah satu cara untuk membantu menurunkan stress
akibat hospitalisasi yang salah satunya dapat diberikan dengan cara metode
bimbingan imajinasi rekaman audio ( Djohan, 2006 dalam Yuliana, 2015).
3
Menurut Snyder dan Lindquist (2006) dalam Masulili, Allenidekania,
dan Hastono (2013), bimbingan imajinasi menjadi terapi standar untuk
mengurangi kecemasan, dan memberikan relaksasi pada orang dewasa atau
anak-anak, dapat juga untuk mengurangi nyeri kronis, tindakan prosedural
yang menimbulkan nyeri, susah tidur, mencegah reaksi alergi, dan menurunkan
tekanan darah.
Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian Masulili (2011), yang
berjudul “Metode Bimbingan Imajinasi Rekaman Audio untuk Menurunkan
Stres Hospitalisasi pada Anak Usia Sekolah”. Pemberian bimbingan imajinasi
rekaman audio yang dilakukan pada anak usia 7 – 12 tahun di Rumah Sakit di
Kota Palu selama pemberian 2 hari dengan 26 responden di dapatkan hasil anak
yang belum mendapatkan latihan bimbingan imajinasi mengalami kecemasan
akibat perpisahan 53,8% - 59,8%, sedangkan anak yang sudah mendapatkan
latihan bimbingan imajinasi mengalami kecemasan 48,2% - 54,8%.
Hasil pengakajian yang dilakukan pada An. D di bangsal Anggrek
RSUD Sukoharjo pasien mengatakan tidak suka lingkungan rumah sakit.
Keluarga mengatakan selama dirawat di rumah sakit pasien menjadi murung,
rewel karena tidak suka lingkungan rumah sakit yang ramai sehingga membuat
pasien tidak bisa tidur, pasien juga mengatakan ingin cepat pulang karena takut
di suntik, kemudian kontak mata kurang saat diajak komunikasi dengan
perawat, tanda tanda vital yaitu, tekanan darah 110/70 mmHg, suhu tubuh 36,
50 C, denyut nadi 96 x/menit, pernafasan 22 x/menit
4
Menindaklanjuti dari hasil penelitian Masulili, Allenidekania, dan
Hastono (2013), referensi, dan pengkajian yang dilakukan pada An. D dengan
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF), Tanggal 9 Maret 2015 di RSUD
Sukoharjo maka penulis tertarik untuk menerapkan metode bimbingan
imajinasi rekaman audio untuk menurunkan stress hospitalisasi pada anak usia
sekolah.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk menerapkan tindakan metode bimbingan imajinasi rekaman audio
terhadap penurunan stres hospitalisasi pada asuhan keperawatan An. D
dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) yang dirawat di Bangsal
Anggrek RSUD Sukoharjo.
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian keperawatan terhadap asuhan
keperawatan pada An. D dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF).
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan terhadap asuhan
keperawatan pada An. D dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF).
c. Penulis mampu menyusun intervensi keperawatan terhadap asuhan
keperawatan pada An. D dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF).
5
d. Penulis mampu melakukan implementasi keperawatan terhadap asuhan
keperawatan pada An. D dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF).
e. Penulis mampu melakukan evaluasi keperawatan terhadap asuhan
keperawatan pada An. D dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF).
f. Penulis mampu menganalisa hasil penerapan metode bimbingan
imajinasi rekaman audio untuk menurunkan stress hospitalisasi pada
An. D dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF).
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Institusi Rumah Sakit
Hasil Karya Tulis Ilmiah dalam bentuk aplikasi riset ini diharapkan dapat
memberikan tambahan informasi bagi Rumah Sakit sebagai pemberi
pelayanan kesehatan masyarakat dalam menentukan kebijakan terkait
dengan upaya menurunkan stress hospitalisasi pada anak usia sekolah
dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF). Aplikasi implementasi
keperawatan pemberian metode bimbingan imajinasi rekaman audio
diharapkan benar – benar bisa dilaksanakan.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil Karya Tulis Ilmiah dalam bentuk aplikasi ini diharapkan dapat
memberikan tambahan informasi kepada institusi pendidikan khususnya
bagi mahasiswa sebagai acuan penelitian lebih lanjut dalam penerapan
pemberian asuhan keperawatan khususnya keperawatan anak dalam upaya
menurunkan stress hospitalisasi pada anak usia sekolah dengan Dengue
6
Haemorrhagic Fever (DHF). Aplikasi implementasi keperawatan
pemberian metode bimbingan imajinasi rekaman audio.
3. Bagi Profesi Keperawatan
Hasil Karya Tulis Ilmiah dalam bentuk aplikasi ini diharapkan dapat
memberikan tambahan informasi bagi perawat dalam pemberian asuhan
keperawatan khususnya keperawatan anak dalam upaya menurunkan stress
hospitalisasi pada anak usia sekolah dengan Dengue Haemorrhagic Fever
(DHF). Aplikasi implementasi keperawatan pemberian metode bimbingan
imajinasi rekaman audio diharapkan benar – benar bisa dilaksanakan.
4. Bagi Penulis
Hasil Karya Tulis Ilmiah dalam bentuk aplikasi ini diharapkan dapat
menambah wawasan bagi penulis dalam pemberian asuhan keperawatan
khususnya keperawatan anak dalam upaya menurunkan stress hospitalisasi
pada anak usia sekolah dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF).
Aplikasi implementasi keperawatan pemberian metode bimbingan
imajinasi rekaman audio.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
a. Pengertian
Demam Berdarah Dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui
gigitan nyamuk aedes aegypti (Suriadi dan Yuliani, 2001 : 57).
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah
Dengeu (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang disebabkan oleh
virus dengue, yang masuk ke dalam tubuh penderita akan mengeluh
demam, sakit kepala, mual, nyeri, pegal seluruh tubuh, dan hipertermia
di tenggorokan (Sitorus, 2008 : 119).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk aedes aegypti, kemudian penyakit ini dapat menyerang
semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak,
serta sering menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah (Hadinegoro
dan Satari, 2002 : 15).
8
b. Etiologi
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001 : 57), etiologi dari demam
berdarah adalah virus dengue sejenis arbovirus. Penyebaran virus
dengan perantaraan nyamuk aedes aegypti atau aedes ebopictus,
biasanya nyamuk aedes aegypti yang menggigit tubuh manusia adalah
nyamuk betina, sedangkan cara kerja nyamuk aedes aegypti adalah
dengan menggigit atau menghisap darah secara berganti-ganti sehingga
dalam waktu yang tidak begitu lama banyak penderita yang terinfeksi
virus dengue.
Menurut Hadinegoro dan Satari (2002 : 80 : 81), setelah nyamuk
aedes aegypti menggigit manusia dapat menularkan virus dengue
kepada manusia baik secara langsung yaitu setelah menggigit orang
yang sedang mengalami viremia; maupun secara tidak langsung setelah
melalui masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8-10 hari (extrinsic
incubation period), kemudian pada manusia diperlukan waktu 4-6 hari
(extrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus
masuk kedalam tubuh, sedangkan pada nyamuk sekali virusndapat
masuk dan berkembang biak di dalam tubuhnya, maka nyamuk tersebut
akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif), kemudian
untuk manusia penalaran hanya dapat terjadi pada saat tubh dalam
keadaan viremia yaitu antara 3-5 hari.
9
c. Manifestasi Klinis
Menurut Sitoris (2008 : 120), manifestasi dari demam berdarah
sebagai berikut , gejala klinis penyakit demam berdarah yang tampak
menurut patokan dari WHO tahun 1986 adalah demam tinggi yang
mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari dengan manifestasi
perdarahan, termasuk uji torniket positif dan salah bentuk perdarahan
lain, yaitu petekie (bintik-bintik merah akibat perdarahan intradermak /
submukosa), purpura (perdarah di kulit), ekomosis, epistaksis
(mimisan), perdarahan gusi, hematemesis, dan melena (tinja berwarna
hitam karena adanya perdarahan.
Adanya pembesaran hati, rejatan hipovelemik yang ditandai
dengan nadi lemah dan cepat, tekanan nadi menurun (menjadi 20
mmHg atau kurang) disertai kulit yang terasa dingin dan lembab,
terutama di ujung hidung, jari kaki, dan tangan. Penderita menjadi
gelisah, timbul sianosis (warna kebiruan di kulit dan mukosa karena
hemoglobin tereduksi secara berlebihan dalam darah kapiler) di sekitar
mulut.
d. Klasifikasi
Menurut Hadinegoro dan Satari (2002 : 58), klasifikasi demam
berdarah antara lain :
1) Derajat I adalah demam disertai gejala klinis lain atau perdarahan
spontan, uji turniket positif, trombositopenia dan hemokonsentrasi.
10
2) Derajat II adalah derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau
perdarahan lain.
3) Derajat III adalah kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi cepat
dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab, gelisah.
4) Derajat IV adalah renjatan berat, denyut nadi dan tekana darah tidak
dapat diukur.
e. Patofisiologi
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001 : 57), virus dengue akan
masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan
kemudian akan bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks
virus antibody, dalam sirkulasi akan mengaktivasi sistem komplement.
Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a, dua peptide yang
berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat
berbagai faktor meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah
dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.
Kemudian terjadinya trombositopenia yaitu, menurunnya fungsi
trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protrombin, faktor V, VII,
IX, X dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab terjadinya
perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada
DHF. Kemudian yang menentukan beratnya penyakit adalah
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya
volume plasma, terjadinya hipotensi, trobositopenia dan diatesis
hemoragik, renjatan terjadi secara akut (Suriadi dan Yuliani2001 : 57).
11
Nilai hematrokit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah dan dengan hilangnya plasma
klien mengalami hypovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi
anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian (Suriadi dan Yuliani,
2001 : 57).
f. Fase Perjalanan Penyakit Demam Berdarah
Terdapat tiga fase perjalanan penyakit demam berdarah yang
akan dijelaskan sebagai berikut :
1) Fase Demam
Fase demam berlangsung 2-7 hari suhu tubuh saat demam
berkisar 390 C sampai 400 C, kemudian pada fase akut biasanya
disertai dengan warna kemerahan pada wajah; eritema pada kulit;
rasa nyeri pada seluruh tubuh dan sakit kepala, adapun beberapa
pasien juga mengeluh kesulitan menelan, nyeri faring, dan nyeri
konjungtiva, selain itu gejala yang dirasakan oleh pasien yaitu,
sering mengeluh tidak nafsu makan; mual; dan muntah, untuk fase
demam diperlukan pengobatan untuk menghilangkan gejala yang
timbul, karena selama fase awal demam sulit dibedakan antara
demam dengue dengan DHF perbedaannya yaitu, pada pasien
dengan demam dengue setelah terbebas dari demam 24 jam tanpa
penurun panas makanpasien akan memasuki fase penyembuhan,
sedangkan pada DHF setelah fase demam selesai maka akan
memasuki fase kritis (WHO, 2009 dalam Setiawati, 2011:16).
12
Pada fase demam pasien masih memungkinkan untuk di
rawat di rumah dengan pengawasan khusus dengan cara
pengawasan tanda-tanda vital, keluhan mual dan muntah, nyeri
abdomen, terjadi akumulasi cairan pada rongga tubuh, adanya
peleburan > 2 cm, dan perdarahan yang timbul; kemudian
pemberian cairan yang sesuai dengan kebutuhan pasien sangat
diperlukan untuk mencegah terjadinya kekurangan cairan, selain itu
pemeriksaan laboratorium darah terutama pemeriksaan trombosit
dan hematokrit diperlukan untuk mengontrol kondisi kesehatan
penderita (Anggraeni, 2010 dalam Setiawati, 2011:16).
2) Fase Kritis
Suhu tubuh pada fase kritis menurun sekitar 37,50 C sampai
380 C atau justru berada dibawahnya, umunya terjadi pada hari
ketiga samapai kelima demam, kemudian pada fase kritis terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran
plasma, karena fase kritis berlangsung antara 24 jam sampai 48 jam,
apabila tidak terjadi kebocoran plasma, maka kondisi pasien akan
membaik, namun jika terjadi kebocoran plasma maka kondisi
pasien memburuk, sedangkan kondisi kebocoran plasma yang
berkepanjangan dan keterlambatan penanganan dapat
menyebabkan pasien mengalami syok (WHO, 2009 dalam
Setiawati, 2011:17).
13
Pasien harus dirawat di rumah sakit pada saat fase kritis
karena memerlukan pengawasan khusus yang lebih intensif yaitu,
pengawasan khusus seperti : tingkat kesadaran, tanda-tanda vital,
intake dan output cairan, nyeri abdomen, terjadi akumulasi cairan
pada rongga tubuh, adanya peleburan hati > 2 cm, dan perderahan
yang timbul, kemudian ada fase ini dapat terjadi efusi pleura dan
asites, selain itu pemeriksaan darah dilakukan secara berkala
meliputi hamatokrit, trombosit, hemoglobin, dan leukosit, adapun
pemeriksaan rontgen dan pemeriksaan Ultra Sonografi (USG) yang
dapat dilakukan pada fas kritis (WHO, 2009 dalam Setiawati,
2011:17).
3) Fase Penyembuhan
Pasien yang telah melewati fase kritis, terjadi proses
penyerapan kembali cairan yang berlebih pada rongga tubuh dalam
waktu 2 samapi 3 hari dan secara bertahap kondisi pasien secara
keseluruhan akan membaik (WHO, 2009 dalam Setiawati,
2011:18).
Fase penyembuhan berlangsung antara 2-7 hari, umunya
penderita demam berdarah yang telah berhasil melewati fase kritis
akan sembuh tanpa komplikasi dalam waktu kurang lebih 24 – 8
jam setelah syok, kemudian fase penyembuhan ditandai dengan
kondisi umum penderita yang mulai membaik, nafsu makan yang
mulai meningkat, dan tanda-tanda vital yang stabil, selain itu pada
14
fase ini pemberian cairan infuse biasanya mulai dihentikan,
kemudian diganti dengan pemberian nutrisi secara oral (Anggraeni,
2010 dalam Setiawati, 2011:18).
g. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Sitorus (2008:120), pemeriksaan diagnosis demam
berdarah terutama berdasarkan pada gejala klinis, dan dibantu dengan
pemeriksaan hermatologi sederhana.
Kriteria diagnosis demam berdarah klinis menurut WHO tahun
1986 dalam Sitorus (2008:121) masih dipakai dengan memperhatikan
beberapa masalah antara lain :
1) Demam
Rentang waktu demam di rumah berkisar dari 2 sampai 10
hari, tetapi jika ditinjau dari proporsi terbanyak, demam terjadi
antara 3-5 hari. Maka pada demam lebih dari 7 hari terjadi demam
tifoid.
2) Perdarahan Spontan
Petekie merupakan perdarahan kulit spontan yang sering
dijumpai dengan tes torniket, kemudian jenis perdarahan kedua
yang banyak dijumpai adalah mimisan atau perdarahan gusi.
3) Hepatomegali
15
Hepatomegali adalah hati yang semula tidak teraba, tetapi
pada kasus demam berdarah tiba – tiba teraba, kemudian gejala lain
adalah nyeri perut di daerah epigastrium (ulu hati) dan
hipokhondium kanan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
mengetahui hepatemogali adalah dengan USG, karena dapat
diketahui jika lobus kanan hepar menutupi minimal lebih dari
setengan besar ginjal kanan pada skening yang terdapat di saginal
kanan.
4) Hasil Pemeriksaan Hematologi
Pada penderita demam berdarah untuk pemeriksaan
hematologi umumnya akan dijumpai trombositopeni pada hari
ketiga sampai kedelapan terjadinya demam yang disebabkan oleh
konsumsi trobosit meningkat akibat teraktifasinya sistem
pembekuan darah dan pembentukan trombosit <100.000 /mm3
akibat terhambatnya trobopiesis, Kemudian penderita demam
berdarah pada sumsum tulang belakang mengalami reversible
berupa pengurangan kepadatan sel yang disebabkan oleh
endoteksin virus serta proses imunologi yang dapat di buktikan
dengan peningkatan jumlah Limfosit Plasma Biru (LPB).
Pada penderita demam berdarah homakonsentrasi penting
dalam menegakkan diagnosis, karena hemokonsentrasi diketahui
dari peningkatan hematokrit sekitar >20 % dibandingkan standar
sesuai umur dan jenis kelamin, penurunan hematokrit lebih dari
16
20% setelah mendapat pengobatan cairan (Hadinegoro dan Satari,
2002 : 87).
5) Pemeriksaan Rodiologi
Selain pemeriksaan hematologis pada penderita demam
berdarah dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti
pemeriksaan radiologi untuk mengetahui ada atau tidaknya
pengumpulan cairan di berbagai rongga tubuh, seperti rongga
pleura, pericardium, dan peritoneum.
h. Komplikasi
Menurut Hadinegoro dan Satari, (2002 : 103), komplikasi dari
demam berdarah antara lain :
1) Ensefalopati dengue
Pada umumnya ensefalopati sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi juga terjadi pada demam
berdarah yang tidak disertai syok, karena gangguan metabolik
seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan dapat menjadi
penyebab terjadinya enfefalopati, kemudian pada ensefalopati
dengue mengalamai penurunan kesadaran menjadi somnolen atau
apati, selain itu pada ensefalopati dengue juga dijumpai
peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PPT
memanjang, kadar gula darah turu, alkalosis pada analisa gas darah,
dan hiponatremia.
2) Kelainan Ginjal
17
Gegel ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal,
sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik, kemudian
dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik. Untuk mencegah gagal
ginjal maka setelah syok teratasi dengan menggantikan volume
intravascular.
3) Udem Paru
Udem paru adalah komplikasi terjadi akibat pemberian cairan
yang berlebihan, jika pemberian cairan berlebihan pada hari sakit
ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan makan tidak
terjadi udema paru, tetapi pada saat terjadi reabsorbsi dari ruang
ekstravaskuler apabila cairan yang diberikan berlebihan maka
pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada
kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran udem paru pada
rontgen dada.
i. Penatalaksaan
Menurut Sitorus (2008 : 127), penatalaksanaan pasien dengan
demam berdarah dibedakan menjadi tiga yaitu :
1) Penatalaksanaan Pasien Tersangka DBD
Pada pasien yang diduga menderita demam berdarah
(memenuhi kriteria diagnosis DBD, WHO 1986), ditentukan
adanya kedaruratan atau tidak, maksud dari kedaruratan adalah
tanda-tanda pre-shoch atau shoch (renjatan), muntah secara terus-
menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, dan buang air
18
besar berdarah, kemudian untuk suhu dijumpai kedaruratan maka
pasien harus segera dirujuk ke dokter untuk diberikan perawatan
yang intensif.
Jika tanda-tanda kedaruratan tidak ada maka harus dilakukan
tes Rumple Lencar (Tes Torniket) untuk menegetahui kadar
haemoglobin, hematokrit, dan hitung trobosit (termasuk hitung
leukosit dan hitung jenis), kemudian tes torniket menunjukkan
positif atau negatif dan trombosit rendah (kurang dari 150.000/iu),
sebaiknya pasien dirawat di rumah sakit.
Pada pasien dengan trombosit normal dan hasil tes torniket
negatif, pasien boleh pulang, tetapi dianjurkan melakukan kontrol
setiap hari untuk pemeriksaan haemoglobin, hematokrit, dan
trombosit berkala sampai demamnya turun, tetapi jika hematokrit
cenderung meningkat dan sebaliknya trombosit cenderung menurun
segera rujuk pasien ke rumah sakit terdekat.
2) Penatalaksanaan Pasien DBD Tanpa Renjatan
Pasien DBD derajat-1 dan derajat-2 tergolong DBD tanpa
renjatan, tetapi perlu diingat bahwa perasaan haus dan keadaan
dehidrasi sebagai akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah
merupakan alasan pemberian cairan per oral sebanyak-banyaknya
dan semampu anak kurang lebih 1,5 liter sampai 2 liter per 24 jam
dengan berbagai jenis cairan dapat diberikan, tetapi lebih disukai
19
cairan yang mengandung elektrolit (lautan oralit) atau sari buah dari
pada air putih.
Kejang badan demam dapat terjadi pada demam tinggi, maka
pemberian antipiretik (parasetamol). Jika terdapat tanda
kedaruratan seperti anak secara terus-menerus muntah sampai
keadaan tidak memungkinkan untuk diberikan makan dan minum
peroral, maka perlu dipertimbangkan untuk pemberian cairan
intravena tetesan rumatan, kemudian jika kadar hematokrit pada
pemeriksaan berkala cenderung meningkat, dianjurkan pemberian
intravena dengan jumlah cairan yang dibutuhkan sesuai dengan
pemberian cairan untuk mengatasi penderita gastroenteritis yang
dehidrasinya sedang (kebutuhan cairan rumatan +7,5%)
3) Penatalaksanaan DBD Disertai Renjatan
Renjatan merupakan keadaan gawat sehingga memerlukan
perawatan di rumah sakit, maka tatalaksana DBD yang disertai
renjatan terdiri atas hal-hal berikut :
a) Penggantian Volume Plasma (Volume Replacement)
Pada renjatan hipovelemik, pemberian cairan merupakan
kunci pengobatan, karena penggantian cairan plasma secara
intravena harus segera diberikan supaya renjatan pada anak
dapat berlangsung dalam kurun waktu 48 jam, dan pada saat itu
dianjurkan monitor dengan ketat selama 24 jam.
20
Jenis cairan yang dianjurkan adalah laktat ringer 20 ml/kg
BB per jam, diberikan dengan tetesan cepat atau disiramkan
(klem infuse dibuka) sampai renjatan teratasi. Bahkan dipasang
dua jalur infus secara bersamaan. Pada keadaan renjatan yang
berlangsung lama, pembuluh darah mengalami kolaps, maka
cairan sebanyak 100-200 ml dapat diberikan dengan
menggunakan semprit kemudian setelah itu, dilanjutkan dengan
tetesan.
b) Pilihan Terapi Cairan
Pemakaian cairan laktat ringer sangat dianjurkan
mengingatkan pada DBD pada umumnya disertai dengan
hiponatremi dan asidosis. Cairan laktat ringer mengandung
Natrium 130 mEq/l, chloride 109 mEq/l, kalium 4 mEq/l, dan
Korektor basa dalam bentuk Natrium laktat 28 mEq/l
WHO, 1986 menganjurkan di samping laktat ringer dapat pula
dipakai jenis cairan lain yaitu :
(1) Cairan glukosa 5 % dalam NaCl 0,9 %
(2) Cairan glukosa 5 % dalam NaCl 0,45 %
(3) Cairan glukosa 5% dalam ½ laktat ringer, atau cairan
glukosa 5 % dalam NaCl 0,3 %
21
c) Koreksi Asidosis dan Gangguan Elektrolit
Hipotermi dan asidosis metabolik terjadi pada DBD, oleh
karena itu pada kasus DBD berat dilakukan pemeriksaan analisa
gas darah dan elektrolit secara peiodik.
d) Terapi Oksigen
Mengingat bahwa renjatan hipovolemik mengakibatkan
terjadinya kegagalan perfusi oksigen di seluruh jaringan, maka
oksigen harus selalu diberikan pada semua pasien DBD disertai
renjatan. Oksigen diberikan 2-6 liter/menit dan intranasal
diberikan sampai tanda vital stabil.
e) Pemberian Tranfusi Darah
Indikasi tranfusi darah adalah perdarahan yang jelas
terlisat secara klinis, yaitu perdarahan intra-abdominal yang
ditandai dengan semakin tegang disertai penurunan kadar
haemoglobin.
j. Konsep Asuhan Keperawatan
Menurut Yura (1983) dalam Setiadi (2012:3), proses keperawatan
adalah tindakan yang berurutan yang dilakukan secara sistemik untuk
menentukan masalah klien dengan membuat perencanaan untuk
mengatasinya, melaksanakan rencana itu atau menugaskan orang lain
untuk melaksanakannya dan mengevaluasi keberhasilan secara efektif
terhadap masalah yang diatasinya tersebut.
22
Proses keperawatan profesional di Indonesia menurut PPNI (2000)
dalam Setiadi (2012 : 4), terdiri dari 5 standar yaitu : pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi keperawatan.
1) Pengkajian Keperawatan
Menurut Hidayat (2001 : 12). Pengkajian adalah langkah awal
dari tahapan proses keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus
memperhatikan data dasar dari pasien, untuk informasi yang
didadapkan dari pasien (sumber primer), data yang didapat dari
orang lain (data sekunder), catatan kesehatan pasien, informasi atau
laporan laboratorium, tes diagnostik, keluarga atau orang yang
terdekat, atau anggota tim kesehatan merupakan pengkajian data
dasar, sedangkan pengumpulan data menggunakan berbagai
metode seperti observasi (data yang dikumpulkan berdasarkan
pengamatan), wawancara (bertujuan mendapatkan respon dari
klien dengan cara tatap muka), konsultasi, pemeriksaan fisisk,
pemeriksaan laboratorium, ataupun pemeriksaan tambahan.
Menurut Nursalam dkk, (2005 : 163), fokus pengkajian pada
pasien DHF :
a) Identitas Pasien
Nama, umur (pada DHF paling sering menyerang anak-anak
dengan usia kurang dari 15 tahun), jenis kelamin, alamat,
23
pendidikan, nama orang tua, pendidikan orang tua, dan
pekerjaan orang tua.
b) Keluhan Utama
Alasan/keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang
ke rumah sakit adalah panas tinggi dan anak lemah.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai
menggigil dan saat demam kesadaran composmentis.
Turunnya panas terjadi antara hari ke-3 sampai ke-7, dan anak
semakin lemah. Kadang-kadang disertai dengan keluhan
batuk, pilek, nyeri telan, mual, muntah, anoreksia,
diare/konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan persendian, nyeri
ulu hati dan pergerakan bola mata terasa pegal, serta adanya
manifestasi perdarahan pada kulit, gusi (grade III, IV), melena
atau hematesis.
d) Riwayat penyakit yang pernah diderita
Penyakit apa saja yang pernah diderita pada DHF, anak bisa
mengalami serangan ulangan DHF dengan tipe virus yang lain.
e) Riwayat imunisasi
Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka
kemungkinan akan timbulnya komplikasi dapat dihindari
24
f) Riwayat gizi
Status gizi anak menderita DHF dapat bervariasi. Semua anak
dengan status gizi baik maupun buruk dapat beresiko, apabila
terdapat faktor predisposisinya. Anak yang menderita DHF
sering mengalami keluhan mual, muntah, dan nafsu makan
menurun. Apabila kondisi ini berlanjut dan tidak disertai
dengan pemenuhan nutrisi yang mencukupi, maka anak akan
mengalami penurunan berat badan sehingga status gizinya
menjadi kurang.
g) Kondisi lingkungan
Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan
lingkungan yang kurang bersih (seperti air yang mengenang
dan gantungan baju di kamar).
h) Pola kebiasaan
(1) Nutrisi dan metabolisme : frekuensi, jenis, pentangan,
nafsu makan berkurang, dan nafsu makan menurun.
(2) Eliminasi alvi (buang air besar). Kadang-kadang anak
mengalami diar/konstipasi. Sementara DHF pada Grade
III-IV bisa terjadi melena.
(3) Eliminasi urine (buang air kecil) perlu dikaji apakah sering
kencing, sedikit/banyak, sakit/tidak. Pada DHF grade IV
sering terjadi hematuria.
25
(4) Tidur dan istirahat. Anak sering mrngalami kurang tidur
karena mengalami sakit/nyeri otot dan persendian
sehingga kualitas dan kuantitas tidur maupun istirahat
kurang.
(5) Kebersihan upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri
dan lingkungan cenderung terutama untuk membersihkan
tempat sarang nyamuk aedes aegypti.
(6) Perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yang sakit serta
upaya untuk menjaga kesehatan.
i) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi Inspeksi, palpasi, aukultrasi, dan
perkusi dari ujung rambut sampai kaki. Berdasarkan tingkatan
(grade) DHF, keadaan fisik anak adalah sebagai berikut :
(1) Grade I yaitu : kesadaran composmentis, keadaan umum
lemah, tanda-tanda vital dan nadi lemah.
(2) Grade II yaitu : kesadaran composmentis, keadaan umum
lemah, dan perdarahan spontan petekia, perdarahan gusi
dan telinga, serta nadi lemah, kecil, dan tidak teratur.
(3) Grade III yaitu : kesadaran apatis, somnolen, keadaan
umum lemah, nadi lemah, kecil, dan tidak teratur, serta
tensi menurun.
26
(4) Grade IV : kesadaran koma, tanda-tanda vital seperti :nadi
tidak reraba, tensi tidak terukur, pernafasan tidak teratur,
ekstermitas dingin, berkeringat, dan kulit tampak biru.
j) Sistem integument
(1) Adanya petekia pada kulit, turgor kulit menurun, dan
muncul keringat dingin, dan lembab.
(2) Kukus sianosis
(3) Kepala dan leher
Kepala terasa nyeri, muka tampak kemerahan karena
demam (flusy), mata anemis, hidung kadang mengalami
perdarahan (epistaksis) pada grade II, III, dan IV. Pada
mulut didapatkan bahwa mukosa mulut kering, terjadi
perdarahan gusi, dan nyeri telan. Sementara tenggorokan
mengalami hyperemia pharing dan terjadi perdarahan
telinga pada grade II, III, IV.
(4) Dada
Bentuk simetris dan kadang-kadang terasa sesak. Pada
foto thorak terdapat adanya cairan yang tertimbun pada
paru sebelah kanan (efusi pleura), rales posisif, ronchi ada,
yang biasanya terdapat pada grade III dan IV.
(5) Abdomen yaitu mengalami nyeri tekan, pembesaran hati
(hepatomegali), dan asites.
27
(6) Ekstermitas didapatkan akral dingin, serta terjadi nyeri
otot, sendi, serta tulang.
k) Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan dijumpai :
(1) Hb dan PCV meningkat (> dari 20 %).
(2) Trobositopenia (< dari 100.000/ml).
(3) Leucopenia (mungkin normal atau lekositosis).
(4) Ig. D. dengue positif.
(5) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan :
hipoproteinemia, hipokloremia, dan hiponatremia.
(6) Urium dan pH darah mungkin meningkat.
(7) Asidosis metabolik : pCO2 < 35 – 40 mmHg dan HCO3
rendah.
(8) SGOT / SGPT mungkin meningkat.
2) Diagnosa Keperawatan
Menurut Herdman et al. (2011) dalam Setiadi (2012 : 33),
diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon
individu, keluarga, dan masyarakat tentang masalah kesehatan,
sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai
tujuan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan
keperawatan. Diagnosa keperawatan biasanya terdiri dari tiga
komponen yaitu respon manusia (masalah), faktor berhungan,
tanda dan gejala.
28
Langkah-langkah menentukan diagnosa keperawatan dapat
dibedakan menjadi empat yaitu, klasifikasi dan analisa data,
interpretasi data, validasi data, dan perumusan diagnosa
keperawatan (Setiadi, 2012 : 37).
Menurut T. Heather Herdman, (2009-2011), fokus diagnosa
pada pasien DHF :
(1) Diagnosa medis dengan DHF.
(2) Masalah yang dapat ditemukan pada pasien DHF antara lain :
(a) Hipertermi berhubungan dengan penyakit (virus dengue)
(b) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agent
injury biologis
(c) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorpsi
nutrient.
(d) Risiko tinggi terjadinya perdarahan berhubungan dengan
trombositopenia
(e) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan
(f) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
umum
3) Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan catatan tentang
penyusunan rencana tindakan untuk menanggulangi masalah
29
dengan cara mencegah, mengurangi, dan menghilangkan masalah,
selain itu untuk memeberikan kesempatan kepada perawat, pasien,
keluaraga, serta orang terdekat dalam merumuskan rencana
tindakan. Perencanaan merupakan bagian dari fase
pengorganisasian dalam proses keperawatan yang meliputi tujuan
perawatan. Penetapan pemecahan masalah, dan menentukan tujuan
perencanaan untuk mengatasi maslah pasien (Hidayat, 2001 : 30).
Penentuan tujuan dan kriteria hasil berdasarkan pada SMART
(spesifik, measurable, achievable, rasional, time) (Dermawan,
2012 : 84).
Menurut Nursalam dkk, (2005 : 166), apabila terdapat tanda-
tanda DHF segera rujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan
penanganan segera. Sementara untuk mengatasi permasalahannya,
perencanaan yang diperlukan adalah :
a) Hipertermi berhubungan dengan penyakit (virus dengue) :
(1) Kajialah saat timbulnya demam.
(2) Observasi tanda-tanda vital seperti : suhu, nadi, tensi, dan
pernafasan setiap 3 jam atau lebih sering lagi.
(3) Berikan penjelasan mengenai penyebab demam atau
peningkatan suhu tubuh.
(4) Berikan penjelasan kepada psien / keluarga tentang hal-hal
yang dapat dilakukan untuk mengatasi demam dan
30
menganjurkan kepada pasien / keluarga untuk bersikap
kooperatif.
(5) Jelaskan pentingnya tirah baring bagi pasien dan akibatnya
jika hal tersebut tidak dilakukan.
(6) Anjurkan pasien untuk banyak minum, paling tidak 2,5 liter
tiap 24 jam dan jelaskan manfaatnya bagi pasien.
(7) Berikan kompres dingin pada daerah aksila dan lipata paha.
(8) Catatlah asupan dan keluaran cairan.
(9) Berikan terapi cairan intravena dan obat-obatan sesuai
dengan program dokter.
b) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan agent injury
biologis :
(1) Kajilah tingkat nyeri yang dialami pasien dengan
menggunakan skala nyeri (0-10). Biarkan paien
memutuskan tingkat nyari yang dialami, tipe nyeri yang
dialami, dan respon pasien terhadap nyeri.
(2) Berika posisi yang nyaman dan usahakan situasi tenang.
(3) Berikan suasana yang gembira pada pasien, alihkan
perhatian pasien dari rasa nyeri (libatkan keluarga),
misalnya : membaca buku, mendengarkan musik, dan
menonton TV.
(4) Berikan kesempatan pada pasien untuk berkomunikasi
dengan teman-temannya atau orang terdekat.
31
(5) Berikan obat-obat analgesik (kolaborasi dengan dokter).
c) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan ketidakmampuan mengabsorpsi nutrient.
(1) Kajilah keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang
dialami oleh pasien.
(2) Berikan makanan yang mudah ditelan, seperti bubur dan
tim, serta dihidangkan selagi masih hangat.
(3) Berikan makanan dalam porsi kecil dan frekuensi sering.
(4) Jelaskan manfaat makanan / nutrisi bagi pasien terutama
saat sakit.
(5) Catatlah jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh
pasien setiap hari.
d) Risiko tinggi terjadinya perdarahan berhubungan dengan
trombositopenia
(1) Monitor tanda penurunan trombosit yang disertai dengan
tanda klinis.
(2) Monitor jumlah trombosit setiap hari.
(3) Berikan penjelasan mengenai pengaruh trombositopenia
pada pasien.
(4) Anjurkan pasien untuk banyak istirahat.
e) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan :
32
(1) Monitor keadaan umum pasien.
(2) Observasi tanda-tanda vital setiap 2-3 jam
(3) Perhatikan keluhan pasien, seperti mata berkunang-kunang,
pusing, lemah, ekstermitas dingin, dan sesak napas.
(4) Apabila terjadi tanda-tanda syok hipovelemik, baringkan
pasien terlentang tanpa bantal.
(5) Pasang infuse dan beri terapi cairan intravena jika terjadi
perdarahan (kolaborasi dengan dokter).
f) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum :
(1) Bantulah pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya
sehari-hari seperti : mandi, makan, dan eliminasi sesuai
dengan tingkat keterbatasan pasien.
(2) Berikan penjelasan mengenai hal-hal yang dapat membantu
dan meningkatkan kekuatan fisik pasien.
(3) Siapkan bel dekat pasien.
4) Implementasi Keperawatan
Menurut Hidayat, (2001 : 38), tindakan keperawatan mandiri
atau implementasi merupakan tindakan yang dilakukan perawat .
tindakan ini mencakup mengakaji pasien, mencatat respon pasien
terhadap tindakan, melaporakan status pasien ke petugas jaga
berikutnya, dan mencatat respon pasien terhadap asuhan
keperawatan. Selain itu perawat mengajarkan pasien untuk
33
mengubah posisi tidur, melakukan rentang gerak, mengakaji status
fisik klien, dan mengakaji aktivitas hidup sehari-hari.
5) Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan catatan tentang indikasi kemajuan pasien
terhadap tujuan yang dicapai atau tahapan akhir dari proses
keperawatan, kemudian evaluasi bertujuan untuk menilai
keefektifan perawatan dan untuk mengkomunikasikan status
pasien dari hasil tindakan keperawatan (Hidayat, 2001 : 41).
2. Hospitalisasi
a. Pengertian
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit,
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah
sakit (Supartini, 2002 : 188).
Hospitalisasi adalah suatu proses karena suatu alasan darurat atau
berencana mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani
terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah (Jovans, 2008
dalam jurnal Aizah dan Wati, 2014:6).
Hospitalisasi adalah bentuk stressor individu yang berlangsung
selama individu tersebut dirawat di rumah sakit (Wong, 2003 dalam jurnal
Utami, 2014:10).
b. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Hospitalisasi
34
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stress ketika anak menjalani
hospitalisasi sangat bervariasi mulai dari faktor lingkungan rumah sakit
dapat menjadi suatu tempat yang menakutkan dilihat dari sudut pandang
anak-anak. Suasana rumah sakit yang tidak familiar, wajah-wajah yang
asing, berbagai macam bunyi dari mesin yang digunakan, dan bau yang
khas, dapat menimbulkan kecemasan dan ketakutan baik bagi anak atau
orang tua (Norton-Westwood, 2012 dalam Utami 2014:10).
Faktor berpisah dengan orang yang sangat berarti karena berpisah
dengan suasana rumah sendiri, benda-benda yang familiar digunakan
sehari-hari, juga Rutinitas yang biasa dilakukan dan juga berpisah dengan
anggota keluarga lainnya (Pelander dan Leini-Klipi, 2010 dalam Utami
2014:10).
Faktor kurangnya Informasi yang didapat anak dan orang tuanya
ketika akan menjalani hospitalisasi. Hal ini dimungkinkan mengingat
proses hospitalisasi merupakan hal yang tidak umum di alami oleh semua
orang. Proses ketika menjalani hospitalisasi juga merupakan hal yang rumit
dengan berbagai prosedur yang dilakukan (Gordon dkk, 2010 dalam Utami
2014:10).
Faktor kehilangan kebebasan dan kemandiriran aturan ataupun
Rutinitas rumah sakit, prosedur medis yang dijalani seperti tirah baring,
pemasangan infuse dan lain sebagainya sangan mengganggu kebebasan
dan kemandirian anak yang sedang dalam taraf perkembangan (Price dan
Gwin,2005 dalam Utami, 2014:10).
35
Faktor pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan
semakin sering seorang anak berhubungan dengan rumah sakit, maka
semakin kecil bentuk kecemasan atau malah sebaliknya (Pelander dan
Leino-Kilpi,2010 dalam Utami, 2014:10).
Faktor perilaku atau interaksi dengan petugas rumah sakit
khususnya perawat mengingat anak masih memiliki keterbatasan dalam
perkembangan kognitif, bahasa dan komunikasi, kemudian perawat juga
merasakan ketika berkomunikasi, berinteraksi dengan pasien anak yang
menjadi sebuah tantangan, dan dibutuhkan sensitifitas yang tinggi serta
lebih kompleks dibandingkan dengan pasien dewasa. Selain berkomunikasi
dengan dengan anak juga sangan dipengaruhi oleh usia anak, kemampuan
kognitif, tingkah laku, kondisi fisik dan psikologis tahapan penyakit dan
respon pengobatan (Pena dan Juan, 2011 dalam Utami, 2014:10).
c. Respon Akibat Hospitalisasi
Menurut Supartini, (2002 : 189), berbagai macam perilaku yang
dapat ditunjukkan anak, orang tua, dan saudara kandung anak sebagai
reaksi terhadap perawatannya di rumah sakit seperti berikut :
1) Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi
Anak akan menunjukkan berbagai perilaku sebagai reaksi
terhadap pengalaman hospitalisasi, yaitu reaksi tersebut bersifat
individual, dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan
anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang
tersedia, dan kemampuan koping yang dimilikinya. Pada umumnya,
36
reaksi anak terhadap sakit adalah kecemasan karena perpisahan,
kehilangan, perlukaan tubuh, dan rasa nyeri. Berikut ini reaksi anak
terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit sesuai dengan tahapan
perkembangan anak.
Pada masa bayi (0 sampai 1 tahun) masalah utama terjadi adalah
karena dampak dari perpisahan dengan orang tua sehingga ada
gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih sayang. Pada anak usia
lebih dari enam bulan terjadi stranger anxiety atau cemas reaksi yang
sering muncul pada anak usia ini adalah menangis, marah, dan banyak
melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety. Contoh reaksi pada
anak usia ini ketika ditinggal ibunya, bayi akan merasakan cemas karena
perpisahan dan perilaku yang ditunjukkan dengan menangis, kemudian
reaksi terhadap nyeri atau perlukaan pada tubuhnya bayi akan menangis
keras, pergerakan tubuh yang banyak, dan ekspresi wajah yang tidak
menyenangkan (Supartini, 2002 : 189).
Pada masa toddler (2 sampai 3 tahun) reaksi terhadap
hospitalisasi sesuai dengan sumber stressnya, yaitu cemas akibat
perpisahan, kemudian respon perilaku anak sesuai dengan tahapannya,
seperti tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap
protes perilaku yang ditunjukkan dengan menangis kuat, menjerit
memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan oleh orang
lain, kemudian pada tahap putus asa perilaku yang ditunjukkan adalah
menangis berkurang tetapi anak tidak aktif dan menjadi kurang
37
menunjukkan minat untuk bermain atau makan, sedangkan pada tahap
pengingkaran perilaku yang ditunjujjan secara samar mulai menerima
perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat
menyukai lingkungannya (Supartini, 2002 : 190).
Pada masa prasekolah (3 sampai 6 tahun) reaksi anak terhadap
perpisahan yang ditunjukkan dengan menolak makan, sering bertanya,
menangis meskipun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap
petugas kesehatan. Perawatan di rumah sakit juga membuat anak
kehilangan kontrol terhadap dirinya, kehilangan kekuatan diri,
kemudian sering kali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman
sehingga anak akan merasa malu, bersalah atau takut. Ketakutan anak
terhadap perlukaan muncul karena anak menganggap tindakan dan
prosedurnya mengancam integritas tubuhnya (Supartini, 2002 : 190).
Pada masa sekolah (6 sampai 12 tahun) reaksi terhadap perlukaan
tubuh atau nyeri akan ditunjukkan dengan ekspresi secara verbal
maupun nonverbal karena anak sudah mampu mengkomunikasikan
keadaannya, kemudian sudah mampu mengontrol perilakunya saat
merasa nyeri yaitu dengan menggit bibir dan memegang sesuatu yang
erat. Senada dengan Muscari, (2001) dalam Apriliawati (2011),
berpendapat bahwa mekanisme pertahanan utama anak usia sekolah
adalah reaksi formasi, yaitu suatu mekanisme pertahanan yang tidak
disadari anak menganggap suati tindakan adalah berlawanan dengan
dorongan hati yang mereka sembuyikan, karena anak usia sekolah dapat
38
bereaksi terhadap perpisahan dengan menunujukkan kesendirian,
kebosenan, isolasi, dan depresi, kemudian perasaan kehilangan kendali
dikaitkan dengan bergantung kepada orang lain dan gangguan peran
dalam keluarga, sedangkan takut cidera dan nyeri tubuh merupakan
akibat dari rasa takut terhadap penyakit, kecacatan, dan kematian
(Supartini, 2002 : 191).
Pada masa remaja ( 12 sampai 18 tahun) reaksi yang sering
muncul terhadap pembatasan aktivitas dengan menolak perawatan atau
tindakan yang dilakukan oleh petugas kesehatan dan tidak kooperatif
serta menarik diri dari keluarga, sesama pasien, dan petugas kesehatan
(Supartini, 2002 : 191).
2) Reaksi Orang Tua Terhadap Hospitalisasi
Perawatan anak di rumah sakit tidak hanya menimbulkan masalah
bagi anak, tetapi juga bagi orang tua. Berikut reaksi orang tua terhadap
perawatan anak di rumah sakit antara lain : perasaan cemas dan takut
muncul pada saat orang tua melihat anak mendapat prosedur
menyakitkan, seperti pengambilan darah, injeksi, infuse, dilakukan
pungsi lumbal, dan prosedur invasive lainnya. Menurut Marison (1998)
dalam Supartini (2002 : 193) perasaan cemas juga dapat muncul pada
saat pertama kali datang kerumah sakit dan membawa anaknya untuk
dirawat.
Perasaan sedih muncul terutama pada saat anak dalam kondisi
terminal dan orang tua mengetahui tidak ada lagi harapan anaknya untuk
39
sembuh, kemudian pada saat anaknya menjelang ajal (Supartini, 2002 :
193).
Perasaan frustasi muncul pada saat kondisi anak yang telah
dirawat cukup lama dan dirasakan tidak mengalami perubahan serta
tidak adekuatnya dukungan psikologis yang diterima orang tua baik dari
keluara maupun kerabat lainnya maka orang tua akan merasa putus asa,
bahkan frustasi (Supartini, 2002 : 193).
Reaksi orang tua terhadap penyakit anak sangat bergantung
kepada keberagaman faktor – faktor yang mempengaruhinya antara lain
: keseriusan ancaman terhadap anak, pengalaman sebelumnya dengan
sakit atau hospitalisasi, prosedur medis yang terlihat dalam diagnosis
dan pengobatan, sistem pendukung yang ada, kekuatan ego pribadi
(Wong, 2003 dalam Utami, 2014:14).
3) Reaksi Saudara Kandung terhadap Perawatan Anak di Rumah sakit
Orang tua pada kondisi tertentu dituntut untuk lebih
memprioritaskan anak yang sedang sakit, terutama pada permulaan
dirawat, pada fase akut perawatan, atau pada kondisi sakit terminal.
Kedua orang tua terpaksa harus tinggal untuk menemani anak di rumah
sakit, dan anak yang alain hanya ditemani pembantu, kakek, nenk, dan
saudara lain. Selain kehadiran fisik orang tua di rumah sakit, perhatian
dalam bentuk lainnya, misal uang, makanan, dan hal yang berhubungan
dengan keperluan perawatan anak di rumah sakit juga menutut orang tua
untuk memprioritaskannya dibanding anak lainnya, Hal ini akan
40
menimbulkan perasaan dan pikiran yang negatif saudaranya di rumah,
terutama pada anak yang lebih kecil (Supartini, 2002 : 194).
Reaksi yang sering muncul pada saudara kandung (sibling)
terhadap kondisi seperti ini adalah marah, cemburu, benci, dan rasa
bersalah, kemudian rasa marah timbul karena jengkel terhadap orang tua
yang dinilai lebih tidak perhatian, serta cemburu atau iri timbul karena
dirasakan orang tua lebih mementingkan saudaranya yang sedang sakit
di rumah sakit, ada pun perasaan benci juga timbul tidak hanya pada
saudara kandung, tetapi pada situasi yang dinilainya sangat tidak
menyenangkan. Selain perasaan tersebut rasa bersalah juga muncul
karena anak berpikir mungkin saudaranya sakit akibat kesalahannya
(Supartini, 2002 : 194).
Menurut Wong (2000) dalam Supartini (2002 : 195) Kondisi di
atas terutama sering muncul pada anak yang lebih muda dan dihadapkan
pada terlalu banyak perubahan, dirawat atau ditemani oleh orang lain
yang bukan saudaranya, dan kurang menerima informasi yang adekuat
dari orang tua berkaitan dengan kondisi saudaranya di rumah sakit.
d. Intervensi Keperawatan dalam Mengatasi Dampak Hospitalisasi
Menurut Supartini, (2002 : 195), sebagai salah satu anggota tim
kesehatan, perawat memegang posisi kunci untuk membantu orang tua
menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan perawatan anaknya di
rumah sakit karena perawat berada di samping pasien selama 24 jam dan
41
fokus asuhan adalah peningkatan kesehatan anak melalui pemberdayaan
keluarga.
Menurut Supartini, (2002 : 196), masalah yang timbul baik pada
anak maupun orang tua selama anaknya dalam perawatan di rumah sakit,
fokus intervensi keperawatan adalah meminimalkan stressor,
memaksimalkan manfaat hospitalisasi, memberikan dukungan psikologis
pada anggota keluarga, dan mempersiapkan anak sebelum dirawat di rumah
sakit. Berikut intervensi keperawatan yang dapat dilakukan dalam
mengatasi dampak hospitalisasi antara lain:
1) Upaya Meminimalkan Stresor atau Penyebab Stres
Menurut Supartini, (2002 : 196-197), meminimalkan stressor dapat
dilakukan dengan cara mencegah atau mengurangi dampak perpisahan,
mencegah perasaan kehilangan kontrol, dan mengurangi atau
meminimalkan rasa takut terhadap perlukaan tubuh dan rasa nyeri.
Untuk mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan dapat
dilakukan dengan cara : pertama melibatkan orang tua berperan aktif
dalam perawatan anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal
bersama anak selama 24 jam (rooming in), kedua jika tidak mungkin
untuk rooming in, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap
saat dengan maksud mempertahankan kontak antar mereka, ketiga
modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat
seperti di rumah, di antaranya dengan membuat dekorasi ruangan yang
bernuansa anak, keempat mempertahankan kontak dengan kegiatan
42
sekolah, di antaranya dengan memfasilitasi pertemuan dengan guru,
teman sekolah dan membantunya melakukan surat-menyurat dengan
siapa saja yang anak inginkan.
Untuk mencegah perasaan kehilangan kontrol dapat dilakukan
denga cara: pertama hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat
kooperatif terhadap petugas kesehatan. Apabila anak harus diisolasi,
lakukan modifikasi lingkungan sehingga isolasi tidak terlalu dirasakan
oleh anak dan orang tua, pertahankan kontak antara orang tua dan anak
terutama pada bayi dan anak toddler untuk mengurangi stress, kedua
buat jadwal kegiatan untuk prosedur terapi, latihan, bermain, dan
aktivitas lain dalam perawatan untuk menghadapi perubahan
kebiasaan/kegiatan sehari-har, ketiga fokuskan intervensi keperawatan
pada upaya untuk mengurangi ketergantungan dengan cara memberi
kesempatan anak mengambil keputusan dan melibatkan orang tua dalam
perencanaan kegiatan asuhan keperawatan.
Untuk meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa
nyeri dapat dilakukan dengan cara : pertama mempersiapkan psikologis
anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang menimbulkan rasa
nyeri, yaitu dengan mmenjelaskan apa yang akan dilakukan dan
memberikan dukungan psikologis pada orang tua, kedua lakukan
permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak,
misalnya dengan cara bercerita, menggambar, menonton video kaset
dengan cerita yang berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan
43
dilakukan pada anak, ketiga pertimbangan untuk menghadirkan orang
tua pada saat anak dilakukan tindakan atau prosedur yang menimbulkan
rasa nyeri apabila mereka tidak bisa menahan diri, bahkan menangis bila
melihatnya, keempat tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama
dalam mengurangi rasa takut akibat prosedur yang menyakitkan, kelima
pada tindakan pembedahan elektif, lakukan persiapan khusus jauh hari
sebelumnya apabila memungkinkan. Misalnya, dengan
mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang akan dilakukan, dan
petugas yang akan menangani anak melalui gambar, cerita atau
menonton film video yang menggambarkan kegiatan operasi.
2) Memaksimalkan Manfaat Hospitalisasi Anak
Menurut Supartini, (2002 : 198) ada beberapa cara untuk
memanfaatkan hospitalisasi anak sebagai berikut :
a) Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi
kesempatan orang tua mempelajari tumbuh – kembang anak dan
reaksi anak terhadap stressor yang dihadapi selama dalam perawatan
di rumah sakit.
b) Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orng tua. Untuk
itu, perawat dapat memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar
tentang penyakit anak, terapi yang didapat, dan prosedur
keperawatan yang dilakukan pada anak, tentunya sesuai dengan
kapasitas belajarnya.
44
c) Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan
dengan memberi kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak
terlalu bergantung pada orang lain dan percaya diri. Tentunya hal ini
hanya dapat dilakukan oleh anak yang lebih besar dan bukan bayi.
Berikan selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan
pujian atas kemampuan anak dan orang tua dan dorong terus untuk
meningkatkannya.
d) Fasilitasi anak untuk tetap menjaga sosialisasinya dengan sesama
pasien yang ada, teman sebaya atau teman sekolah. Beri kesempatan
padanya untuk saling kenal dan membagi pengalamannya. Demikian
juga interaksi dengan petugas kesehatan dan sesama orang tua harus
difasilitasi oleh perawat karena selama di rumah sakit orang tua dan
anak mempunyai kelompok sosisal yang baru.
3) Memberikan Dukungan pada Anggota Keluarga Lain
Menurut Supartini (2002 : 198) memberikan dukungan pada
anggota keluarga lainnya dengan cara yang pertama berika dukungam
kepada keluarga untuk tinggal dengan anak di rumah sakit, apabila
diperlukan fasilitasi keluarga untuk berkonsultasi pada psikolog atau
ahli agama karena sangat dimungkinkan keluarga mengalami masalah
psikososial dan spiritual yang memerlukan, kemudian beri dukungan
kepada keluarga untuk menerima kondisi anaknya dengan nilai – nilai
yang diyakininya, selain itu fasilitasi untuk menghadirkan saudara
45
kandung anak apabila diperlukan keluarga dan berdampak positif pada
anak yang dirawat maupun saudara kandungnya.
4) Mempersiapkan Anak untuk Mendapat Perawatan di Rumah Sakit
Menurut Supartini (2002 : 199) persiapan anak sebelum dirawat di
rumah sakit didasarkan pada danya asumsi bahwa ketakutan akan
sesuatu yang tidak diketahui akan menjadi ketakutan yang nyata,
kemudian pada tahap sebelum masuk rumah sakit dapat dilakukan :
siapkan ruang rawat sesuai tahapan usia anak dengan jenis penyakit
sesuai yang diperlukan, apabila anak harus dirawat secara berencana 1-
2 hari sebelum dirawat diorientasikan dengan situasi rumah sakit dengan
bentuk miniature bangunan rumah sakit.
Pada hari pertama dirawat lakukan tindakan seperti : kenalkan
perawat dan dokter yang akan merawatnya, orientasikan anak dan orang
tua pada ruangan rawat yang ada beserta fasilitas yang dapat digunakan,
kenalkan dengan pasien anak lain yang akan menjadi teman
sekamarnya, berikan identitas pada anak, misalnya pada papan nama
anak, jelaskan aturan rumah sakit yang berlaku dan jadwal kegiatan
yang akan diikuti, laksanakan pengkajian riwayat keperawatan, lakukan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya sesuai dengan yang di
programkan
46
3. Kecemasan
a. Pengertian
Menurut Soehardjo (1989) dalam thesis Anggreini (2014:12),
kecemasan adalah manifestasi dari gejala – gejala atau gangguan fisiologis
seperti : gemetar, banyak keringat, mual, sakit kepala, sering buang air, dan
palpitasi (debaran atau debar-debar).
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas atau menyebar,
yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya serta tidak
memiliki objek yang spesifik (Struart, 2002 dalam Apriliawati, 2011:20).
Menurut Caplin (1997) dalam Triana dan Toganing (2009:70),
kecemasan dalam berbagai arti yaitu, yang pertama adalah perasaan
campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa
mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut, kemudian yang
kedua rasa takut atau kekhawatiran kronis pada tingkat yang ringan, untuk
yang ketiga kekhawatiran atau ketakutan yang kuat dan meluap, dan yang
keempat adalah dorongan sekunder mencakup suatu reaksi penghindaran
yang dipelajari.
b. Tanda dan Gejala Mengalami Kecemasan
Menurut Ramiah (2003) dalam Triana dan Toganing, (2009:79),
gejala kecemasan paling lsering adalah kejangkelan umum seperti: rasa
gugup, jengkel, tegang, dan rasa panik, kemudian sakit kepala seperti:
ketegangan otot khususnya kepala di daerah lengkuk dan tulang punggung
menyebabkan sakit kepala, adapun gejalalain yang di rasakan individu saat
47
mengalami kecemasan, yaitu gemetaran pada seluruh tubuh khususnya
lengan dan tangan.
Menurut Hawari (2001) dalam Triana dan Toganing, (2009:83),
tanda dan gejala pada individu yang mengalami kecemasan sebagai berikut
:
1) Cemas
2) Khawatir
3) Bimbang
4) firasat buruk
5) takut akan pikirannya sendiri
6) mudah tersinggug seperti, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, gerakan
sering serba salah
7) mudah terkejut seperti, takut sendirian, takaut keramaian dan takut
banyak orang
8) mengalami gangguan pola tidur
9) mimpi – mimpi yang menegangkan seperti: gangguan konsentrasi dan
daya ingat
10) keluhan somatic seperti : rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran
berdengung (tinnitus), berdebar – debar, sesak nafas, gangguan
pencernaan, sakit kepala.
c. Respon Kecemasan
Menurut Struat (2007) dalam Apriliawati (2011:18), kecemasan
dapat dieskpresikan secara langsung melalui perubahan sosiologis dan
48
psikologis seperti perilaku yang secara tidak langsung mempengaruhi
timbulnya mekanisme koping sebagai upaya melawan kecemasan.
1) Respon Fisiologi
Respon sistem syaraf otonom terhadap rasa takut dan kecemasan
menimbulkan aktivitas involunter pada tubuh termasuk dalam
pertahanan diri, kemudian serabut syaraf simpatis mengaktifkan tanda-
tanda vital pada setiap tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan
tubuh. Pada anak usia sekolah nilai normal denyut nadi adalah 75-110
permenit, tekanan darah berkisar 94-112/56-60 mmHg dan nilai suhu
tubuh 370C (Muscari, 2001 dalam Apriliawati, 2011:18).
Kelenjar adrenal melepas adrenalin (epineprin) yang
menyebabkan tubuh mengambil lebih banyak oksigen, mendilatasi
pupil, dan meningkatkan tekanan arteri serta frekuensi jantung sambil
membuat kostriksi pembuluh darah perifer dan memirau darah dari
sistem gastrointestinal serta reproduksi serta meninggalakan
glikogenolisis guna menyokong jantung, otot, dan sistem syaraf pusat
(Videbeck, 2008 dalam Apriliawati, 2011:19).
Anak yang mengalami gangguan kecemasan akibat perpisahan
akan menunjukkan sakit perut, sakit kepala, mula, muntah, demam
ringan, gelisah, kelelahan, sulit berkonsentrasi, mudah marah, beberapa
anak juga menyatakan mengalami vertigo dan palpitasi (Pott dan
Modleco, 2007 dalam Apriliawati, 2011:19).
2) Respon Psikologis
49
Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah,
terdapat ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang
koordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri
dari masalah, menghindari, dan sangat waspada (Stuart, 2002 dalam
Apriliawati, 2011:20). Respon kognitif akibat kecemasan adalah
konsentrasi memburuk, perhatian terganggu, pelupa, salah dalam
memberikan penilaian, lapang persepsi menurun, kreaktifitas menurun,
produktifitas menurun, bingung, sangat waspada dan takut kehilangan
kendali, takut pada gambar visual, takut pada cidera, dan mimpi buruk.
Respon afektif akibat kecemasan adalah tidak sabar, gelisah,
tegang, gugup, ketakutan, waspada, khawatir, mati rasa, dan malu (
Stuart, 2002 dalam Apriliawati, 2011:21).
d. Tingkat Kecemasan
Menurut Stuart (2002) dalam Apriliawati (2011:21), kecemasan
terbagi menjadi 4 tingkatan yaitu :
1) Kecemasan Ringan
Kecemasan tingkat ini berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari dan dapat menyebabkan individu menjadi
waspada, meningkatkan lapang persepsi. Kecemasan ini dapat
memotivasi belajar dan menumbuhkan kreativitas.
2) Kecemasan Sedang
50
Kecemasan tingkat ini memungkinkan individu untuk berfokus pada
hal yang penting dan mengesampingkan yang lain dan kecemasan ini
mempersempit lapang persepsi individu, dengan demikian individu
tidak perhatian dan kurang selektif namun dapat berfokus lebih banyak
pada area lain jika diarahkan untuk melakukannya.
3) Kecemasan Berat
Kecemasan ini sangat mengurangi lapang persepsi individu, kemudian
individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta
tidak berfikir tentang hal lain, karena semua perilaku ditujukan untuk
mengurangi ketegangan.
4) Kecemasan Tingkat Panik
Kecemasan ini berhubungan dengan rasa ketakutan dan teror, kemudian
hal yang terinci pecah dari proporsinya, karena seseorang individu
dengan kecemasan tingkat panik mengalami kehilangan kendali dan
tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan arahan. Panik
mencakup disorganisasi kepribadian dan menimbulkan peningkatan
aktifitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan
orang lain, persepsi menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang
rasional. Kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupannya, jika terus
berlangsung dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan
kematian.
e. Faktor Predisposisi Kecemasan
51
Faktor predisposisi kecemasan dijelaskan oleh beberapa teori yang
telah dikembangkan untuk menjelaskan asal kecemasan sebagai berikut :
1) Pandangan psikoanalitis
Dalam pandangan ini dijelaskan bahwa kecemasan adalah konflik
emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian yaitu id dan
superego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan
superego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan oleh norma
budaya. Ego atau keakuan, berfungsi menengahi tuntutan dari dua
elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah
meningkatkan ego bahwa ada bahaya (Stuart, 2007 dalam Apriliawati,
2011:22).
Ketika anak mengakami pengalaman yang hebat dengan gejala
yang berlebihan dalam mengatasi perpisahan, ego yang belum matang
tidak terlalu kuat untuk mengatasi konflik (Dongoes, Townsend&
Moorhouse, 2007 dalam Apriliawati, 2011:23)
2) Pandangan Interpersonal
Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari
perasaan takut terhadap ketidaksetujuan atau penolakan interpersonal,
kemudian kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma,
seperti perpisahan dan kehilangan yang menimbulkan kerentanan
tertentu (Stuart, 2002 dalam Apriliawati, 2011:23).
3) Pandangan Perilaku
52
Menurut pandangan perilaku kecemasan merupakan produk
frustasi yaitu segala sesuatu mengganggu kemampuan individu untuk
mencapai tujuan yang diinginkan (Stuart, 2002 dalam Apriliawati,
2011:23).
4) Kajian Keluarga
Teori ini menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya
terjadi dalam keluarga, karena gangguan kecemasan juga tumpang
tindih antara gangguan kecemasan dengan depresi (Stuart, 2002 dalam
Anita Apriliawati, 2011:24). Sena dengan Ramaniah (2003) dalam
Rostiana dan Taganing (2009:84), menyebutkan bahwa kecemasan
dapat disebabkan dari lingkungan keluarga dan bertambah atau
berkurangnya anggota keluarga.
5) Kajian Biologis
Teori ini menyebutkan bahwa otak mengandung reseptor untuk
benzodizepin , obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator inhibisi
asam gama (GABA), yang berperan penting dalam mekanisme biologis
yang berhubungan dengan kecemasan, kemudian kesehatan umum
individu dan riwayat kecemasan pada keluarga memiliki efek nyata
sebagai predisposisi kecemasan, setelah itu kecemasan mungkin
disertai gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kemampuan
individu untuk menghadapi stressor (Stuart, 2002 dalam Aprialiawati,
2011:24). Sedangkan menurut Dongoes (2007) dalam Apriliawati
53
(2011:24), kecemasan adaptif terjadi secara fisiologis dalam sistem
limbrik di otak.
Perawat anak sebagai tenaga kesehatan harus mampu mengenali
dan mengelola kecemasan anak karena jika tidak diatasi dapat
berkembang menjadi gangguan jiwa, menyebabkan gangguan fisik,
menyebabkan komplikasi organik, dan memperpanjang masa rawat
anak (Lau, 2002 dalam Apriliawati, 2011:24).
f. Kecemasan dan Stres Anak yang Menjalani Hospitalisasi
Hospitalisasi akan menimbulkan respon yang kurang
menyenangkanbagi anak, baik menimbulkan stress atau takut (Tsai, 2007
dalam Apriliawati, 2011:25). Pemberian pelayanan kesehatan harus
memberikan perhatian pada respon kecemasan anak dan riwayat medis,
kemudian pemberian pelayanan di rumah sakit juga harus memberikan
pelayanan yang komprehensif yang menunjukkan kebutuhan persomal
anak dan kebutuhan tumbuh kembang anak (Stubbe, 2008 dalam
Apriliawati, 2011:25). Respon emosional dari stress anak dapat disebabkan
karena perpisahan, lingkungan sosisal, lingkungan keluarga, dan perubahan
kebiasaan (Ramaniah, 2003 dalam Rostiana dan Taganing (2009:79).
Stress dan kecemasan anak yang menjalani hospitalisasi dipengaruhi
oleh karakteristik personal anak yang meliputi umur, jenis kelamin,
budaya, pengalaman hospitalisasi, dan pengalaman medis sebelumnya
(Tsai, 2007 dalam Apriliawati, 2011:26).
g. Pengukuran Kecemasan pada Anak
54
Menurut Fahmy (2007) dalam Apriliawati (2011:28), alat ukur
untuk kecemasan adaah Hamilton Anxiety Scale (HAS) disebur juga
dengan Hamilton Anxiety Rating Scale (HRS-A) yang teridiri dari 14 item
pertanyaan untuk mengukur tanda adanya kecemasan pada anak orang
dewasa, karena HRS-A telah distandarkan untuk mengevaluasi tanda
kecemasan pada individu yang sudah menjalani pengobatan terapi, setelah
mendapatkan obat antidepresam.
Menurut Fahmy (2007) dalam Apriliawati (2011:28), Hamilton
Anxiety Scale (HAS) pertama kali dikembangkan oleh Max Hamilton pada
tahun 1956, kemudian Hamilton Anxiety Rating Scale (HRS-A) digunakan
untuk mengukur semua tanda kecemasan baik kecemasan psikis (agistasi
dan distress psikologis) maupun kecemasan somatic (keluhan fisik yang
berhubungan dengan kecemasan) dan telah dikembangkan lebih lanjut
untuk mengukur tingkat depresi dalam Hamilton Depression Scale (HDS).
HRS-A terdiri 14 pertanyaan dengan jawaban dalam 5 skala dari
nilai 0-4, kemudian nilai 0 berarati tidak terdapat kecemasan; nilai 1 berarti
kecemasan ringan; nilai 2 berarti kecemasan sedang; nilai 3 berarti
kecemasan berat; dan nilai 4 berarti kecemasan sangat berat (Fahmy, 2007
dalam Apriliawati, 2011:28).
Total Score < dari 14 artinya tidak ada kecemasan, total score < dari
20 artinya kecemasan ringan, total score < dari 27 artinya kecemasan
sedang, total score < dari 41 artinta kecemasan berat, total score < dari 56
artinya kecemasan berat sekali (Fahmy, 2007 dalam Apriliawati,2011:28).
55
4. Konsep Bimbingan Imajinasi Rekaman Audio
a. Pengertian
Imajinasi adalah pembentukan representasi mental dari suatu objek,
tempat, peristiwa, atau situasi yang dirasakan melalui indra (Snyder dan
Lindquist, 2006 dalam Masulili, 2011:39).
Menurut Jrank, (2011) dalam Masulili, (2011:40), bimbingan
imajinasi adalah teknik perilaku kognitif dimana seseorang dipandu untuk
membayangkan kondisi yang rileks tentang pengalaman yang
menyenangkan.
b. Manfaat Bimbingan Imajinasi
Menurut Snyder dan Lindquist, (2006) dalam Masulili, (2011:40),
manfaat bimbingan imajinasi sebagai berikut : bimbingan imajinasi telah
menjadi terapi standar untuk mengurangi kecemasan, dan memberikan
relaksasi pada orang dewasa atau anak-anak, dapat juga untuk mengurangi
nyeri kronis, tindakan procedural yang menimbulkan nyeri, susah tidur,
mencegah reaksi alergi, dan menurunkan tekanan darah. Senada dengan
pendapat College, (2011) dalam Masulili, (2011:42), yaitu dengan
menggabungkan musik dengan bimbingan imajinasi dapat mengurangi
kelelahan, gangguan perasaan, dan menurunkan kandungan kortisol dalam
darah (hormon stress).
Menurut Jrank, (2011) dalam Masulili, (2011:42), menyatakan
bahwa bimbingan imajinasi telah terbukti efektif dalam membantu individu
belajar atau memodifikasi perilaku seperti :
56
1) Belajar untuk bersantai / rileks
2) Mengubah atau mengendalikan emosi negatif karena suatu situasi
tertentu (misal : kehilangan pekerjaan)
3) Mempersiapkan diri bagi anak-anak menghadapi masa depan (seperti :
ketika dewasa akan meninggalkan rumah)
4) Menghilangkan atau merubah perilaku yang tidak diinginkan (seperti :
merokok, obesitas)
5) Meningkatkan manajemen nyeri secara efektif
6) Menghadapi situasi yang sulit
7) Perilaku pembelajaran yang diinginkan dan baru
8) Menjadi lebih termotivasi dalam menghadapi suatu masalah
9) Mengatasi atau menghilangkan marah
10) Mengolah situasi stress dan kemurahan
c. Mekanisme Rekaman Audio terhadap Kecemasan
Terapi rekaman audio seperti mendengarkan musik merupakan
salah satu terapi yang cukup efektif untuk meningkatkan perhatian, konsep
diri, serta menurunkan kecemasan, tingkat kemerahan dan hiperaktif,
karena terapi musik dapat berdampak positif mengatasi stress. Terapi
musik sangat mudah dilakukan dan terjangkau, tetapi efeknya
menunjukkan betapa besarnya musik dalam mempengaruhi ketegangan
pada diri seseorang ( Mucci, 2002 dalam tesis Primadita, 2013:11).
57
Besarnya pengaruh pemberian terapi musik untuk menurunkan
kecemasan disebabkan oleh efek suara berkaitan dengan proses implus
suara yang ditransmisikan ke dalam tubuh dan mempengaruhi sel-sel dalam
tubuh. Suara yang diterima oleh telinga kemudian dikirim ke sistem saraf
pusat kemudian ditransmisikan ke seluruh organ tubuh (Okan, 2004 dalam
Mayrani dan Hartati, 2013:24).
d. Teknik Pemberian Bimbingan Imajinasi Rekaman Audio
Menurut Snyder dan Lindquist, (2006) dalam Masulili, (2011:43),
teknik imajinasi rekamn audio dapat dilakukan secara langsung (aktif) dan
secara tidak langsung (pasif), untuk pemberian secara langsung (aktif) yaitu
dilakukan individu, sedangkan pemberian yang secar tidak langsung (paisf)
yaitu, dilakukan oleh pemandu/terapis/pelatih/guru, atau alat bantu/media
seperti video/rekaman audio, kemudian rekaman audio berisi panduan
relaksasi atau membayangkan hal-hal yang menyenangkan bagi individu,
selain itu bimbingan imajinasi pada anak-anak dapat menggunakan dan
memilih gambar aktif yang melibatkan gerak seperti terbang atau
berolahraga, anak diarahakan pada bimbingan imajinasi dengan
menggunakan saran-saran yang positif.
Pada anak-anak pelaksanaan bimbingan imajinasi dimulai dengan
latihan relaksasi atau latihan fokus pada satu situasi atau peristiwa, fokus
yang digunakan yaitu pernafasan lambat dan dalam dengan memfasilitasi
relaksasi nafas yang bergerak lebih rendah ke dalam dada dan diafragma
dan otot, setelah anak dalam keadaan santai atau rileks terapi menunjukkan
58
gambar tentang tempat rekreasi yang damai dan menghibur, kemudian
didengarkan rekaman audio lalu anak diarahkan seolah-olah merasakan
hal-hal yang mereka bayangkan adalah nyata(Snyder dan Lindquist, 2006
dalam Masulili, 2011:43).
Menurut Elizabeth, (2006) dalam Masulili, (2011:44), pemberian
bimbingan rekaman audio dapat dilakukan dengan cara :
1) Atur posisi yang nyaman
2) Tutup mata dan lakukan pernafasan serta perhatian difokuskan pada
pernafasan yang masuk dan keluar
3) Setelah tubuh dirasakan rileks mulai membayangkan hal-hal yang
menyenangkan atau berada disuatu tempat yang menyenangkan
4) Libatkan seluruh indra dengan seolah-olah mendengar, mencium,
meraba, melihat atau merasakan sesuatu yang indah dan menyenangkan,
yang seolah-olah hal yang dibayangkan adalah nyata
5) Kemudian biarkan anak menikmati situasi itu beberapa saat dan
jauhkan anak dari situasi stress atau masalah yang dirasakan
6) Kemudian bila anak sudah rileks, dan telah siap kembali kekondisi
awal/nyata, atur napas dan minta untuk membayangkan tubuh semakin
segar, hitung mundur dari sepuluh dalam hati sambil bernapas dalam
dan ketika hitungan mencapai satu, minta anak untuk merasakan tubuh
menjadi segar, tenang, dan minta buka mata.
59
60
C. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Sumber : (Nurarif, 2013 : 12)
Aplikasi Tindakan :
Cemas (ansietas)
berhubungan dengan
lingkungan hospitalisasi
Akibat :
Metode bimbingan
imajinasi rekaman
audio
61
BAB III
METODE APLIKASI
a. Subjek Aplikasi Riset
Aplikasi pemberian metode bimbingan rekaman audio diberikan pada An.
D yang menjalani `perawatan di ruang Anggrek RSUD Sukoharjo.
b. Tempat dan Waktu
1. Aplikasi pemberian metode bimbingan rekaman audio ini dilaksanakan di
ruang Anggrek RSUD Sukoharjo.
2. Waktu penerapan aplikasi metode bimbingan rekaman audio diberikan
pada tanggal 10 dan 11 Maret 2015, yaitu selama 2 hari dimana setiap
harinya dilakukan aplikasi sebanyak 3 kali dan setiap pemberian aplikasi
selama 15 menit.
c. Media
Media yang digunakan untuk aplikasi metode bimbingan rekaman audio yaitu
: laptop, spiker aktif, jenis musik anak – anak, jenis gambar anak – anak
(gambar hewan, gambar buah-buahan, gambar kartun, gambar huruf dan lain-
lain sesuai keinginan anak).
d. Prosedur Tindakan
1. Tahap Awal
Sebelum pelaksanaan intervensi bimbingan rekaman audio selama 2 hari
yang dilakukan 3 kali dimana setiap sesi selama 15 menit. Pada tahap awal
yang dilakukan pertama kali yaitu berkenalan dengan anak kemudian
62
melakukan pendekatan dan membina hubungan saling percaya untuk
mengkaji data-data dari anak sebelum melakukan aplikasi bimbingan
rekaman audio, setelah mendapatkan data dari anak penulis menjelaskan
langkah prosedur dan tujuan dari aplikasi bimbingan rekaman audio.
2. Tahap Kerja
Sebelum dilakukan aplikasi bimbingan rekaman audio anak diberikan
posisi yang nyaman, setelah itu anak memilih gambar yang disukai baru
pasien dipandu relaksasi nafas dalam. Kemudian anak mendengarkan
musik dan melihat gambar yang dipilih selama 15 menit setelah selesai
anak diminta untuk membayangkan sesui gambar yang dipilih.
3. Fase Terminasi
Pada tahap akhir pemberian aplikasi bimbingan rekaman audio yaitu anak
diminta untuk menceritakan kembali hal-hal yang dibayangkan pada saat
aplikasi.
e. Alat Ukur Evaluasi
Menurut Fahmy, (2007) dalam Apriliawati (2011), alat ukur yang dipakai
untuk mengetahui tingkat kecemasan adalah menggunakan Hamilton
Rating Scale For Anxiety (HRS-A).
Tabel 3.1 Alat Ukur HRS-A sebagai berikut :
63
No Gejala Kecemasan Nilai Angka (Score)
1. Perasaan Cemas 0 1 2 3 4
a. Cemas
b. Firasat buruk
c. Takut akan pikiran sendiri
d. Mudah tersinggung
2. Ketegangan 0 1 2 3 4
a. Tidak bisa istirahat tenang
b. Mudah terkejut
c. Mudah menangis
d. Gemetar
e. Gelisah
3. Ketakutan 0 1 2 3 4
a. Pada gelap
b. Pada orang asing
c. Di tinggal sendiri
4. Gangguan Tidur 0 1 2 3 4
a. Sukar tidur
b. Terbangun malam hari
c. Tidur tidak nyenyak
d. Bangun dengan lesu
e. Banyak Mimpi - mimpi
(Mimpiburuk)
5. Gangguan Kecerdasan 0 1 2 3 4
a. Sukar konsentrasi
b. Daya ingat menurun
c. Daya ingat buruk
6. Perasaan Depresi ( murung ) 0 1 2 3 4
a. Hilangnya minat
b. Sedih
c. Bangun dini hari
d. Perasaan berubah-rubah
7. Gejala Somatik/Fisik Otot 0 1 2 3 4
a. Sakit dan nyeri otot
b. Kaku
c. Kedutan otot
d. Gigi gemerutuk
e. Suara tidak stabil
8. Gejala Somatik/Fisik (sensori) 0 1 2 3 4
a. Titinus (telinga berdenging)
b. Penglihatan kabur
c. Muka merah atau pucat
d. Merasa lemas
9. Gejala Kardiovaskuler (jantung
dan pembuluh darah)
0 1 2 3 4
64
a. Takikardi (denyut jantung)
b. Berdebar-debar
c. Nyeri di dada
d. Denyut nadi mengeras
e. Rasa lesu/lemas seperti mau
pingsan
10. Gejala Respiratori (pernafasan) 0 1 2 3 4
a. Rasa tertekan atau sempit di dada
b. Rasa tercekik
c. Sering menarik nafas
d. Nafas pendek/sesak
11. Gejala Gastrointestinal
(pencernaan)
0 1 2 3 4
a. Sulit menelan
b. Perut melilit
c. Gangguan pencernaan
d. Nyeri sebelum atau sesudah
makan
e. Rasa penuh dan kembang
f. Mual atau muntah
g. Buang air besar lembek atau
konstipasi
12. Gangguan Urogenital
(perkemihan)
0 1 2 3 4
a. Sering buang air kecil
b. Tidak dapat menahan air seni
13. Gejala Autonom 0 1 2 3 4
a. Mulut kering
b. Muka merah
c. Mudah berkeringat
d. Kepala terasa berat
14. Tingkah Laku 0 1 2 3 4
a. Gelisah
b. Tidak tenang
c. Jari gemetar
d. Kerut kening
e. Muka tegang
f. Otot tegang/mengeras
Keterangan Score Nilai :
1. Nilai 0 : Tidak ada gejala
65
2. Nilai 1 : Gejala ringan
3. Nilai 2 : Gejala sedang
4. Nilai 3 : Gejalaberat
5. Nilai 4 : Gejala berat sekali.
Keterangan Total Score Tingkat Kecemasan :
1. Total Score < dari 14 : Tidak ada kecemasan
2. Total score < dari 20 : Kecemasan ringan
3. Total score < dari 27 : Kecemasan sedang
4. Total score < dari 41 : Kecemasan berat
5. Total score < dari 56 : Kecemasan berat sekali
BAB IV
LAPORAN KASUS
66
Pada BAB ini penulis akan menuliskan laporan kasus asuhan keperawatan
mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan,
implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan yang dilakukan pada An. D
selama tiga hari mulai tanggal 9 - 11 Maret 2015 di bangsal Anggrek Rumah Sakit
RSUD Sukoharjo. Pasien masuk Rumah Sakit pada tanggal 07 Maret 2015 jam
17.44 WIB kemudian penulis melakukan pengkajian pada tanggal 09 Maret 2015
jam 12.38 WIB dengan metode Autoanamnesa dan Alloanamnesa melalui
pengamatan, observasi langsung, pemeriksaan fisik, memahami catatan medis, dan
catatan perawat.
A. Identitas Klien
Pasien bernama An. D, tanggal lahir 14 Febuari 2008, umur 7 tahun 1
bulan, jenis kelamin laki - laki. Orang tua sekaligus penanggung jawab Ny. S,
usia 29 tahun, pekerjaan swasta, pendidikan tamat SMA, alamat Kriwen,
Sukoharjo. Diagnosa medis Dengue Haemoorhagic Fever (DHF).
B. Pengkajian Keperawatan
1. Riwayat Penyakit
Hasil pengkajian pasien ditemukan riwayat penyakit yaitu keluhan
utama pasien mengatakan tidak suka lingkungan rumah sakit (cemas).
Riwayat penyakit sekarang ibu pasien mengatakan sebelum dibawa ke
rumah sakit pasien adalah anak yang periang dan sering bermain dengan
teman sebaya, tetapi semenjak mengalami demam sejak tanggal 5 Maret
67
2015, kemudian pada tanggal 6 Maret 2015 orang tua pasien membawa
pasien ke Puskesmas untuk periksa, di Puskesmas pasien mendapat obat
penurun panas, setelah minum obat selama 1 hari demam tidak turun dan
mimisan pada tanggal 7 Maret 2015, kemudian oleh orang tuanya pasien
dibawa ke IGD RSUD Sukoharjo. Setelah sampai di IGD pasien di periksa
oleh dokter jaga dan di lakukan pengkajian oleh perawat di dapatkan
keadaan umum baik, kesadaran composmentis, akral teraba panas, TTV :
TD: 110/70 mmHg, S: 39,5 0C, N: 98 x/menit, RR: 22 x/menit
mendapatkan terapi infuse RL 16 tpm, Pamol 3x250 mg, Injeksi IV Asam
Traneksamat 200 mg/12 jam. Kemudian oleh dokter jaga IGD di anjurkan
pasien rawat inap di rumah sakit. Setelah kedua orang tuanya setuju pasien
di pindah ke bangsal perawatan anak Anggrek ruang 6 untuk mendapatkan
perawatan. Setelah sampai di bangsal ibu pasien mengatakan An.D menjadi
pendiam tidak mau di rawat di rumah sakit karena tidak suka lingkungan
rumah sakit.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu ibu pasien mengatakan pasien belum
pernah mengalami sakit yang seperti ini sampai dirawat di rumah sakit,
sebelumnya pasien pernah mengalami sakit cacar air saat umur 4 tahun.
Kemudian pasien juga tidak mempunyai riwayat alergi obat maupun
makanan, ibu pasien juga mengatakan bahwa pasien sudah mendapatkan
imunisasi dasar lengkap.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
68
Riwayat penyakit keluarga ibu pasien mengatakan di dalam anggota
keluarga pasien tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit turunan
seperti Hipertensi atau DM, dan penyakit menular seperti asma.
Genogram :
An. D
Gambar 4.1
Keterangan :
: Laki – laki
: Perempuan
: Meninggal
: Garis keturunan
…………… : Tinggal serumah
: Pasien / An. D
4. Status Pertumbuhan dan Perkembangan
69
Pengkajian pertumbuhan dan perkembangan berat badan lahir
pasien adalah 3.100 gram ( 3, 1 kg ). Pemeriksaan Antropometri saat ini
adalah berat badan sekarang 20 kg, tinggi badan 120 cm, lingkar kepala 52
cm, lingkar dada 62 cm dan lingkar lengan 21 cm. Intrepretasi NCHS
berdasarkan Z-SCORE dihasilkan WAZ : -1,07 (status gizi normal), HAZ : -
0,33 (status gizi normal), WHZ : 97,8 (status gizi baik).
5. Status Nutrisi dan Cairan
Status nutrisi pasien sebelum sakit ibu pasien mengatakan dalam
satu hari pasien makan 3x dengan menu nasi, sayur, lauk, dan selalu
menghabiskan porsi makan tanpa ada keluhan sebelum dan sesudah makan.
Saat sakit, ibu pasien mengatakan tidak ada perubahan untuk makan dalam
satu hari pasien makan 3x dengan menu bubur, sayur, lauk, buah dan selalu
habis porsi makan dari rumah sakit tidak ada keluhan sebelum dan sesudah
makan, diit TKTP.
Status metabolik sebelum sakit ibu pasien mengatakan pasien
minum 7 – 8 gelas/hari ( 1600 cc – 1900 cc ) tanpa ada keluhan. Pasien
biasanya minum air putih, teh manis, susu di pagi dan malam hari. Saat sakit
tidak ada perubahan untuk minum pasien kurang lebih 7 – 8 gelas/hari (
1600 cc – 1900 cc ) tanpa ada keluhan sebelum atau pun sesudah minum.
Pasien selama sakit biasanya minum air putih, air sirup, teh manis dan susu.
70
6. Pola Eliminasi
Pola eliminasi BAB sebelum sakit pasien mengatakan BAB
biasanya 1 x/hari yaitu pada pagi hari dengan konsistensi lunak, warna
kuning, berbau khas, tidak ada campuran darah. Saat sakit pasien
mengatakan untuk BAB tidak mengalami perubahan tetap 1 x/hari biasanya
pada pagi hari dengan konsistensi lunak, berbau khas, warna kuning, tidak
bercampur darah. Pola eliminasi BAK sebelum sakit pasien mengatakan
BAK kurang lebih 6 – 8 x/hari ( 1200 cc – 1600 cc ), warna kuning jernih,
berbau khas. Saat sakit pasien mengatakan untuk BAK tidak ada perubahan
dalam satu hari kurang lebih 6 – 8 kali (1200 cc – 1600 cc) warna kuning,
berbau khas.
7. Status Tingkat Kecemasan
Pengkajian kecemasan dalam proses hospitalisasi sebelum sakit ibu
pasien mengatakan pasien mudah berinteraksi dengan orang lain, mudah
akrab dengan orang lain, anaknya tidak pendiam, sering bermain dengan
teman sebaya saat di rumah. Saat sakit ibu pasien mengatakan pasien tidak
suka lingkungan rumah sakit yang ramai karena menyebabkan pasien tidak
bisa istirahat tidur dengan nyenyak, pasien juga menjadi pendiam dan
ketakutan saat perawat datang karena pasien takut di suntik, pasien
merengek minta pulang. Untuk total skor HRS-A 27 tingkat kecemasan
sedang.
71
8. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh penulis pada pasien, di
dapatkan data yaitu : keadaan umum baik, kesadaran composmentis, GCS
( E:4, V:5, M:6 ). Pemeriksaan tanda tanda vital tekanan darah 110/70
mmHg, suhu tubuh 36,50 C, denyut nadi 96 x/menit irama teratur,
pernafasan 22 x/menit irama teratur.
Pemeriksaan head toe to pada pemeriksa kepala didapatkan bentuk
mesochepal, sutura tidak paten, kondisi rambut dan kulit kepala bersih,
rambut berwarna hitam dan pendek. Pemeriksaan mata didapatkan sklera
tidak ikterik, terlihat mata panda dibagian kelopak mata, simetris antara
kanan dan kiri, konjungtiva tidak anemis, reflek terhadap cahaya +/+, pupil
isokor dan tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Pada pemeriksaan
telinga didapatkan bahwa keadaannya bersih, simetris kanan dan kiri,
ketajaman pendengaran tidak ada gangguan, dan tidak menggunakan alat
bantu pendengaran. Pada pemeriksaan hidung didapatkan hidung dalam
keadaan bersih, tidak ada sekret di dalam hidung, tidak ada polip, septum
terletak di tengah, tidak ada nafas cuping hidung. Pada leher bentuk
simetris, tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada distensi vena
leher, nadi karotis teraba kuat, reflek menelan baik tidak ada gangguan, dan
tidak ada kaku kuduk. Warna bibir merah, keadaan bibir bersih, lidah
bersih, mukosa bibir tidak kering, bentuk simetris dan tidak ada stomatitis.
Pemeriksaan fisik paru - paru dengan teknik Inspeksi (melihat)
didapatkan hasil yaitu paru – paru terlihat simetris kanan dan kiri, tidak ada
72
otot bantu pernafasan, tidak ada cuping hidung, tidak terlihat ada luka dan
jejas. Hasil pemeriksaan menggunakan teknik palpasi (meraba) didapatkan
vokal fremitus kanan dan kiri sama, ekspansi paru kanan dan kiri sama,
pengembangan dada kanan dan kiri sama. Hasil pemeriksaan dengan
melakukan perkusi (mengetuk) didapatkan terdengar suara sonor pada
seluruh lapang paru. Kemudian untuk pemeriksaa dengan melakukan
auskultasi (mendengarkan) yaitu bunyi nafas vesikuler (inspirasi lebih
besar dari ekspirasi), tidak ada suara tambahan.
Pada pemeriksaan jantung dengan teknik Inspeksi (melihat) yaitu
bentuk dada terlihat simetris tidak ada pembesaran pada dada sebelah kiri,
tidak ada jejas. Pada pemeriksaan dengan palpasi (meraba) didapatkan
hasil ictuscordis tidak tampak, ictuscordis teraba kuat di SIC 4 dan SIC 5.
Pada pemeriksaan dengan melakukan perkusi (mengetuk) didapatkan suara
jantung terdengar pekak. Kemudian untuk pemeriksaan auskultasi
(mendengarkan) yaitu hasilnya bunyi jantung regular I (Lub) penutupan
katup mitra dan tripuspidal bunyi jantung II (Dub) penutupan katub acita
dan pulmonal tidak terdengar bunyi tambahan, bunyi jantung murni.
Pemeriksaan Abdomen dengan teknik Inspeksi (melihat) yaitu
bentuk perut terlihat simetris tidak buncit, warna terlihat kecoklatan sawo
matang, tidak ada luka, tidak ada penonjolan umbilicus. Pada pemeriksaan
yang menggunakan teknik auskultasi (mendengarkan) didapatkan bahwa
peristaltik usus 25 x/menit. Pada pemeriksaan dengan teknik perkusi
(mengetuk) terdapat organ hati pada kuadran I suara redup, organ lambung
73
pada kuadran II suara timpani, organ ginjal dan usus pada kuadran III dan
IV terdengar suara timpani. Kemudian pemeriksaan dengan teknik palpasi
(meraba) yaitu tidak ada pembesaran hati dan tidak ada nyeri tekan.
Pemeriksaan genetalia hasilnya bersih, tidak terpasang selang
kateter. Pemeriksaan anus bersih, paten, tidak ada hemoroid. Pemeriksaan
ekstermitas atas dan bawah kekuatan otot kanan dan kiri 5 yaitu kekuatan
otot penuh, terpasang infuse di tangan kiri, jumlah jari kanan dan kiri
lengkap, tidak ada cacat atau pun luka, Range Of Motion (ROM) kanan dan
kiri aktif, capillary refile kurang dari 2 detik, perabaan akral hangat.
Pemeriksaan Integumen tidak ada piting oedema, tidak ada jejas, warna kulit
kecoklatan sawo matang, turgor kulit kembali dalam 2 detik.
9. Pemeriksaan Laboratorium dan Data Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 7 Maret 2015 di dapatkan
hasil : pemeriksaan hematologi yaitu, Leukosit 4,5 ribu/ul (nilai normal 4,5-
13,5 ribu/ul), Eritrosit 3,85 juta/ul (nilai normal 3,80-5,80 juta/ul),
Hemoglobin 10,6 g/dl (nilai normal 10,8-15,6 g/dl), Hematokrit 37,1 %
(nilai normal 33-45 %). Indeks Eritrosit yaitu, MCV 78,2 FL (nilai normal
69-93 FL), MCH 27,5 Pg (nilai normal 22-34 Pg), MCHC 35,2 g/dl (nilai
normal 32-36 g/dl). Trombosit 105 ribu/ul ( nilai normal 181-521 ribu/ul),
RDW-CV 13,2 % (nilai normal 11,5-14,5 %), PDW 11,4 FL, MPV 10,3
FL, P-LCR 27, 5%, PCT 0,14 %. DIFF COUNT yaitu, NRBC 0,00 % (nilai
normal 0-1 %), Neutrofil 48, 2 % (nilai normal 28 – 66), Limfosit 40,6 %
(nilai normal 25,00-50,00 %), Monosit 10,60 % (nilai normal 1,00-6,00 %),
74
Eosinofil 0,40 % (nilai normal 2,00-4,00 %), Busofil 0,20 % (nilai normal
0-1 %).
Pemeriksaan rumple leed pada tanggal 7 Maret 2015 didapatkan
hasil positif (+) dengan jumlah bintik – bintik merah lebih dari 20
Pemeriksaan darah rutin pada tanggal 08 Maret 2015 adalah
Leukosit 3,4 ribu/ul, Eritrosit 3,58 juta/ul, Hemoglobin 9,8 g/dl,
Hematrokrit 38,4 %, Trombosit 90 ribu/ul. Pada tanggal 09 Maret 2015
adalah Leukosit 2,5 ribu/ul, Eritrosit 4,1 juta/ul, hemoglobin 10,1 g/dl,
Hematokrit 40,2 %, Trombosit 70 ribu/ul. Pada tanggal 10 Maret 2015
adalah Leukosit 3,8 ribu/ul, Eritrosit 4,2 juta/ul, Hemoglobin 10 g/dl,
Hematrokrit 38%, Trombosit 85 ribu/ul. Pada tanggal 11 Maret 2015
Leukosit 6 ribu/ul, Eritrosit 4,5 juta/ul, Hemoglobin 11 g/dl, Hematokrit
36%, Trombosit 120 ribu/ul.
Pemeriksaan darah rutin pada tanggal 9 Maret 2015 adalah Leukosit
2,5 ribu/ul, Eritrosit 4,1 juta/ul, Hemoglobin 10,1 g/dl, Hematokrit 40,2 %,
Trombosit 70 ribu/ul. Pada tanggal 10 Maret 2015 Leukosit 3,8 ribu/ul,
Eritrosit 4,2 juta/ul, Hemoglobin 10,5 g/dl, Hematokrit 38 %, Trombosit 85
ribu/ul. Pada tanggal 11 Maret 2015 adalah Leukosit 6 ribu/ul, Eritrosit 4,5
juta/ul. Hemoglobin 11 g/dl, Hematokrit 36 %, Trombosit 120 ribu/ul.
C. Terapi
Pasien pada tanggal 9 – 11 Maret 2015 mendapatkan terapi infus RL
dengan dosis 16 tpm. Infus RL masuk dalam golongan larutan elektrolit nutrisi
yang berfungsi untuk menambah cairan pada tubuh untuk mencegah dehidrasi.
75
Kemudian terapi yaitu injeksi asam traneksamat dengan dosis pemberian 200
mg /12 jam IV yang termasuk dalam golongan obat yang mempengaruhi darah
(Hemostatis). Fungsi dari asam traneksamat yaitu untuk menangani perdarahan
abnormal dan gejala penyakit hemoragik lainnya seperti hemoptesis dan
perdarahan abnormal selama operasi.
Selanjutnya terapi puyer Pamol jika pasien mengalami demam > 370 C
dengan dosis pemberian 3 x 250 mg termasuk dalam golongan analgesik non
narkotik. Pamol mempunyai fungsi farmakologi untuk menurunkan demam,
meringankan nyeri kepala dan sakit gigi.
D. Perumusan Masalah Keperawatan
Jam 13.05 WIB didapatkan data subjektif ibu pasien mengatakan selama
dirawat di rumah sakit pasien menjadi rewel karena tidak suka dengan
lingkungan rumah sakit yang ramai menyebabkan pasien tidak bisa istirahat
dengan nyaman dan tidur dengan nyenyak. Pasien juga mengatakan ingin cepat
pulang karena takut di suntik. Data objektif yang diperoleh pasien terlihat diam
saat diajak komunikasi perawat, kontak mata kurang, terlihat mata panda di
bagian kelopak mata pasien, terlihat pasien ketakutan saat diberikan tindakan
keperawatan, total skor HRS-A 27 tingkat kecemasan sedang. Penulis dapat
menegakkan diagnosa keperawatan ansietas (cemas) berhubungan dengan
lingkungan hospitalisasi.
Jam 13.10 WIB didapatkan data subjektif ibu pasien mengatakan pasien
sempat mengalami mimisan sebelum dibawa ke rumah sakit. Data objektif
yang diperoleh tanda tanda vital yaitu, tekanan darah 110/70 mmHg, suhu
76
tubuh 36,50 C, denyut nadi 96 x/menit, pernafasan 22 x/menit, pemeriksaan
laboratorium untuk Hematokrit 40,2 %, Hemoglobin 10,1 g/dl, Eritrosit 4,1
ribu/ul. Penulis dapat menegakkan diagnosa keperawatan risiko tinggi
perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.
E. Prioritas Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan analisa data diatas penulis dapat memprioritaskan diagnosa
keperawatan, yaitu prioritas yang utama adalah ansietas (cemas) berhubungan
dengan lingkungan hospitalisasi. Prioritas diagnosa keperawatan yang kedua
risiko tinggi terjadinya perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.
F. Intervensi Keperawatan
Tujuan dan kriteria hasil pada prioritas diagnosa keperawatan yang
pertama adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan kecemasan dapat berkurang dengan kriteria hasil sebagai berikut :
total skor HRS-A kurang dari 14 menjadi tidak ada kecemasan; pasien
menunjukkan ekspresi wajah dan bahasa tubuh berkurangnya tingkat
kecemasan; pasien mampu mengidentifikasi dan menunjukkan teknik untuk
mengontrol cemas (misalnya dengan teknik relaksasi nafas dalam); tanda tanda
vital dalam batas normal yaitu, tekanan darah 110/70 – 120/80 mmHg,
pernafasan 16 – 24 x/menit, suhu tubuh 36,5 – 370 C, denyut nadi 60 – 120
x/menit.
Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut penulis membuat
perencanaan tindakan keperawtan antara lain : kaji tingkat kecemasan pasien;
monitor tanda–tanda vital pasien; lakukan pendekatan yang menenangkan
77
(BHSP); kaji hal–hal yang disukai pasien;; rencanakan program aplikasi yang
akan diberikan; berikan terapi metode bimbingan rekaman audio 3x sehari
setiap sesi 15 menit selama 2 hari; evaluasi respon pasien sebelum dan sesudah
diberikan aplikasi bimbingan rekaman audio dan mengukur tingkat
kecemasanya dengan HRS-A; libatkan keluarga untuk mendampingi pasien
selama aplikasi; kolaborasi dengan dokter untuk pembeian obat anti cemas.
Tujuan dan kriteria hasil pada prioritas diagnosa keperawatan yang
keduaa adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan tidak ada risiko tinggi terjadinya perdarahan dengan kriteria hasil
sebagai berikut : pasien bebas dari tanda dan gejala perdarahan seperti, bintik–
bintik merah kehitaman pada kulit bila direnggangkan warna akan tetap ada,
muntah darah, BAB darah, mimisan; hasil pemeriksaan laboratorium dalam
batas normal untuk Hemoglobin 10,8 – 15,6 g/dl, Hematokrit 33 – 45 %,
Eritrosit 3,80 – 5,80 juta/ul; tanda tanda vital dalam batas normal tekanan darah
110/70 – 120/80 mmHg, denyut nadi 60 – 120 x/menit, pernafasan 16 – 24
x/menit, suhu tubuh 36,5 - 370 C.
Berdasarkan tujuan dan kriteria hasil tersebut penulis membuat
perencanaan tindakan keperawatan antara lain : monitor tanda tanda vital
pasien; monitor tanda tanda perdarahan; monitor hasil laboratorium
Hematokrit, Eritrosit, Hemoglobin; anjurkan pasien untuk minum yang cukup,
anjurkan pasien untuk istirahat yang cukup; berikan edukasi kepada keluarga
untuk segera melaporkan jika ada tanda tanda perdarahan pada pasien;
kolaborasi dengan dokter pemberian obat mencegah perdarahan.
78
G. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis untuk mengatasi
diagnosa pertama pada hari Senin tanggal 9 Maret 2015 jam 13.18 WIB
melakukan BHSP dalam mengkaji tingkat kecemasan pasien kemudian diukur
dengan HRS-A, respon subjektif pasien mengatakan perasaannya sedih berada
di rumah sakit karena tidak bisa bermain dengan teman-temannya dan tidak
tidak bisa tidur dengan nyenyak karena lingkungan rumah sakit yang ramai
kemudian merasa takut saat perawat datang; respon objektif pasien terlihat
kurang kontak mata saat diajak ngobrol perawat dan terlihat mata panda
dibagian kelopak mata kemuadian total skor HRS-A 27 tingkat kecemasan
sedang.
Jam 14.15 WIB mengkaji hal hal yang disukai oleh pasien; respon
subjektif pasien mengatakan menyukai gambar gambar seperti, hewan, buah
buahan, kartun (Spongebob, spidermen, ultramen) dan pemandangan alam,
pasien juga mengatakan menyukai musilk anak anak dan lagu dari Tegar;
respon objektif pasien terlihat kooperatif, menjawab semua pertanyaan dari
perawat. Jam 14.30 WIB mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam, respon
subjektif pasien mengatakan mau diajari relaksasi nafas dalam; respon objektif
pasien terlihat mengikuti instruksi dari perawat dengan benar. Jam 14.40 WIB
merencanakan penerapan metode bimbingan rekaman audio dan melakukan
kontrak waktu dengan pasien untuk tanggal 10 Maret 2015; respon subjektif
pasien mengatakan bersedia diberikan aplikasi metode bimbingan rekaman
audio besok hari Selasa tanggal 10 Maret 2015 pada jam 08.30 WIB, 12.10
79
WIB, 15.15 WIB tempatnya di kamar dengan melihat gambar – gambar hewan
dan musik anak – anak; respon objektif pasien terlihat antusias dan menjawab
semua peryanyaan sesuai dengan yang diberikan oleh perawat.
Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis untuk mengatasi
diagnosa kedua pada hari Senin tanggal 09 Maret 2015 jam 14.45 WIB adalah
memonitor tanda-tanda perdarahan pasien; respon subjektif pasien mengatakan
bersedia diperiksa; respon objektif pasien terlihat kooperatif mengikuti semua
instruksi dari perawat dan hasil dari pemeriksaan tidak ada tanda-tanda
perdarahan pasien tidak BAB bercampur darah, tidak mimisan, tidak muntah
darah. Jam 14.59 WIB memberikan edukasi kepada keluarga pasien segera
lapor jika ada tanda-tanda perdarahan, respon subjektif keluarga mengatakan
bersedia untuk melapor jika ada tanda-tanda perdarahan; respon objektif
keluarga terlihat mengerti informasi yang diberikan perawatan dengan respon
menganggukan kepala sesekali bertanya jika belum jelas.
Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis untuk mengatasi
diagnosa keperawatan pertama hari Selasa tanggal 10 Maret 2015 jam 07.27
WIB adalah melibatkan keluarga untuk mendampingi pasien selama diberikan
aplikasi oleh perawat, respon subjektif keluarga mengatakan bersedia untuk
mendampingi; respon subjektif keluarga terlihat kooperatif mengikuti instruksi
dari perawat. Jam 07.30 WIB mengkaji tingkat kecemasan dan mengukur
tingkat kecemasan dengan HRS-A kemudian mengingat kontrak waktu yang
kemarin; pasien mengatakan mau dan masih ingat dengan kotrak waktu yang
kemarin; respon objektif pasien terlihat kooperatif menjawab pertanyaan yang
80
diberikan oleh perawat, total skor HRS-A sebelum aplikasi 27 tingkat
kecemasan sedang.
Jam 08.30 WIB memberikan aplikasi metode bimbingan rekaman audio
pada pasien, respon subjektif pasien mengatakan bersedia diberikan aplikasi;
respon objektif pasien terlihat belum kooperatif mengikuti metode bimbingan
rekaman audio, tetapi mengikuti sesuai prosedur 15 menit. Jam 08.45 WIB
menganjurkan pasien untuk istirahat dan kembali mengingatkan jam 12.10
WIB untuk aplikasi, respon subjektif pasien mengatakan masih ingat kontrak
waktu yang kemarin; respon objektif pasien terlihat mengikutoi instruksi yang
diberikan oleh perawat. Jam 11.00 WIB mengukur tanda tanda vital pasien,
respon subjektif pasien mengatakan bersedia dilakukan pemeriksaan tanda
tanda vital; respon objektif tekanan darah 110/80 mmHg, suhu tubuh 36,80 C,
denyut nadi 98 x/menit, pernafasan 22 x/menit.
Pada Jam 12.10 WIB memberikan aplikasi metode bimbingan rekaman
audio, respon subjektif pasien mengatakan bersedia diberikan bimbingan
rekaman audio lagi; respon objektif pasien terlihat belum sepenuhnya fokus
dengan pemberian metode bimbingan rekaman audio yang diberikan oleh
perawat, aplikasi diberikan selama 15 menit. Jam 12.35 WIB mengingatkan
kembali kontrak waktu untuk aplikasi yang ke-3, respon subjektif pasien
mengatakan masih ingat dengan kontrak waktu dengan aplikasi yang ketiga;
respon objektif pasien mengatakan menjawab aplikasi yang ketiga dilakukan
pada jam 15.15 WIB.
81
Pada jam 15.15 WIB memberikan aplikasi metode bimbingan rekaman
audio, respon subjektif pasien mengatakan bersedia diberikam metode
bimbingan rekaman audio; respon objektif pasien sudah mulai antusias,
kooperatif mengikuti bimbingan rekaman audi yang diberikan oleh perawata
selama 15 menit dengan melihat gambar dan musik di laptop.
Jam 15.32 WIB mengevaluasi tingkat kecemasan setelah diberikan
bimbingan rekaman audio, respon subjektif pasien mengatakan perasaannya
senang setelah mengikuti bimbingan rekaman audio yang diberikan oleh
perawat; respon objektif pasien terlihat antusias, kooperatif selama bimbingan
rekaman audio yang diberikan 3x sehari, pasien juga dapat bercerita kembali
setelah bimbingan rekaman audio, total skor HRS-A 19 tingkat kecemasan
sedang. Jam 15.35 WIB melakukan kontrak waktu pemberian aplikasi rekaman
audio untuk hari kedua; respon subjektif pasien mengatakan masih bersedia
diberikan metode bimbingan rekaman audio besok pada hari Rabu tanggal 11
Maret 2015 jam 08.00, 11.30 dan 15.00 WIB; respon subjektif pasien terlihat
masih antusias untuk mengikuti aplikasi metode bimbingan rekaman audio dan
menjawab pertanyaan sesuai yang diberikan oleh perawat.
Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis untuk mengatasi
diagnosa kedua Selasa tanggal 10 Maret 2015 jam 07.17 WIB memberikan
obat injeksi Asam Traneksaman 200 mg/12 jam IV, respon subjektif pasien
mengatakan mau di suntik; respon objektif pasien terlihat koperatif obat masuk
melalui intravena dan tidak ada tanda-tanda alergi setelah obat masuk. Jam
07.19 WIB memberikan edukasi kepada keluarga pasien segera lapor jika ada
82
tanda-tanda perdarahan, respon subjektif keluarga mengatakan bersedia untuk
melapor jika ada tanda-tanda perdarahan; respon objektif keluarga terlihat
mengerti informasi yang diberikan perawatan dengan respon menganggukan
kepala sesekali bertanya jika belum jelas.
Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis untuk mengatasi
diagnosa keperawatan pertama pada hari Rabu tanggal 11 Maret 2015
jam07.35 WIB mengkaji tingkat kecemasan sebelum dilakukan aplikasi dan
mengukurnya dengan HRS-A, respon subjektif pasien mengatakan tidak takut
lagi dengan kedatangan perawat; respon objektif pasien terlihat ceria, kontak
mata baik saat diajak ngobrol perawat, total skor HRS- A sebelum, aplikasi 18
tingkat kecemasan ringan. Jam 07.45 WIB menganjurkan pasien untuk
melakukan teknik relaksasi nafas dalam, respon subjrektif pasien mengatakan
bersedia melakukan relaksasi nafas dalam; respon objektif pasien terlihat
melakukan secara mandiri.
Pada jam 08.00 WIB memberikan aplikasi metode bimbingan rekaman
audio, respon subjektif pasien mengatakan bersedia diberikan bimbingan
rekaman audio; respon objektif pasien terlihat menikmati dengan metode
bimbingan rekaman audio yang diberikan oleh perawat dan melihat gambar
gambar yang ditayangkan di laptop selama 15 menit. Jam 10.30 WIB
mengukur tanda tanda vital pasien, respon subjektif pasien mengatakan
bersedia diperiksa tanda tanda vital; respon objektif tekanan darah 110/80
mmHg, suhu tubuh 370 C, pernafasan 22 x/menit, denyut nadi 98 x/menit.
83
Pada jam 11.30 WIB memberikan aplikasi metode bimbingan rekaman
audio, respon subjektif pasien mengatakan masih bersedia untuk diberikan
bimbingan rekaman audio; respon objektif pasien terlihat menikmati
bimbinganrekaman audio yang diberikan oleh perawat, pasien melihat gambar
dan mendengarkan musik yang ada di laptop selama 15 menit.
Pada Jam 15.00 WIB memberikan aplikasi bimbingan rekaman audio
yang ketiga, respon subjektif pasien mengatakan masih bersedia mengikuti
bimbingan rekaman audio; respon objektif pasien terlihat antusia dan
menikmati gambar, musik yang ada di laptop selama 15 menit. Jam 15,30 WIB
mengevaluasi setelah aplikasi bimbingan rekaman audio, respon subjektif
pasien mengatakan setelah diberikan bimbingan rekaman audio perasaannya
menjadi senang dan bisa menerima keadaannya yang harus dirawat di rumah
sakit karena sakit; respon objektif pasien terlihat koperatif dan mengikuti
semua instruksi selama dilakukan bimbingan rekaman audio oleh perawat
selama 3x sehari setiap sesi 15 menit, total skor HRS-A setelah diberikan
aplikasi 13 tidak ada kecemasan.
Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis untuk mengatasi
diagnosa kedua Selasa tanggal 11 Maret 2015 jam 07.17 WIB memberikan
obat injeksi Asam Traneksaman 200 mg/12 jam IV, respon subjektif pasien
mengatakan mau di suntik; respon objektif pasien terlihat koperatif obat masuk
melalui intravena dan tidak ada tanda-tanda alergi setelah obat masuk. Jam 07.
19 WIB memonitor hasil laboratorium pasien, respon subjektif :-, respon
subjektif : Trombosit 120 ribu/ul, Hematokrit 36 %, dan Eritrosit 4,5 juta/ul.
84
Jam 07.25 WIB memberikan edukasi kepada keluarga pasien segera lapor jika
ada tanda-tanda perdarahan, respon subjektif keluarga mengatakan bersedia
untuk melapor jika ada tanda-tanda perdarahan; respon objektif keluarga
terlihat mengerti informasi yang diberikan perawatan dengan respon
menganggukan kepala sesekali bertanya jika belum jelas.
H. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan perencanaan keperawatan dan tindakan keperawatan,
evaluasi hasil dari masalah keperawatan pertama pada hari Senin, 9 Maret 2015
jam 15.00 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan tidak suka lingkungan
rumah sakit yang ramai yang menyebabkan tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Objektif : Total skor HRS-A adalah 27 tingkat kecemasan sedang (belum
diberikan aplikasi), tekanan darah 110/70 mmHg, suhu tubuh 36,50 C, denyut
nadi 92 x/menit, pernafasan 22 x/menit. Analisa : masalah belum teratasi.
Planing : lanjutkan intervensi dengan cara kaji tingkat kecemasan dan ukur
dengan HRS-A, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, berikan bimbingan
rekaman audio 3x sehi setiap sesi 15 menit.
Evaluasi dari masalah keperawatan yang kedua hari Senin, 9 Maret 2015
jam 15.15 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan selama dirawat di
anggrek RSUD Sukoharjo tidak mengalami mimisan. Objektif : tekanan darah
110/70 mmHg, suhu tubuh 36,50 C, denyut nadi 92 x/menit, pernafasan 22
x/menit; Hasil Laboratorium : Trombosit 70 ribu/ul, Eritrosit 4,1 juta/ul,
Hematokrit 40,2%. Analisa : masalah teratasi sebagian. Planing : pertahankan
85
intervensi dengan cara monitor tanda tanda perdarhan, kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian obat mencegah perdarahan.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan pertama pada hari Selasa, 10
Maret 2015 jam 15.40 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan perasaannya
menjadi senang setelah diberikan bimbingan rekaman audio, tidak merasa
jenuh saat berada di rumah sakit, pasien juga mengatakan masih bersedia untuk
diberikan bimbingan rekaman audio besok hari Rabu tanggal 11 Maret 2015.
Objektif : Total skor HRS-A setelah aplikasi adalah 19 tingkat kecemasan
ringan, tekanan darah 110/80 mmHg, suhu tubuh 36,80 C, denyut nadi 98
x/menit, pernafasan 22 x/menit. Analisa : masalah teratasi sebagian. Planing :
lanjutkan intervensi dengan cara kaji tingkat kecemasan dan ukur dengan HRS-
A, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, berikan bimbingan rekaman audio 3x
sehi setiap sesi 15 menit.
Evaluasi dari masalah keperawatan yang kedua hari Selasa, 10 Maret
2015 jam 15.50 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan tidak ada tanda
tanda perdarahan seperti muntah darah, BAB bercampur darah dan mimisan.
Objektif : tekanan darah 110/70 mmHg, suhu tubuh 36,80 C, denyut nadi 98
x/menit, pernafasan 22 x/menit; Hasil laboratorium Trombosit 85 ribu/ul,
Eritrosit 4,2 juta/ul dan Hematokrit 38%. Analisa : masalah teratasi sebagian.
Planing : pertahankan intervensi dengan cara monitor tanda tanda perdarhan,
kolaborasi dengan dojter untuk pemberian obat mencegah perdarahan.
Evaluasi hasil dari masalah keperawatan pertama pada hari Rabu, 11
Maret 2015 jam 15.43 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan perasaannya
86
menjadi senang setelah diberikan rekaman audio dan dapat menerima
keadaannya bahwa harus menjalani pengobatan di rumah sakit. Objektif : Total
skor HRS-A setelah aplikasi adalah 13 tingkat kecemasan tidak ada, tekanan
darah 110/80 mmHg, suhu tubuh 370 C, denyut nadi 98 x/menit, pernafasan 22
x/menit. Analisa : masalah teratasi. Planing : hentikan intervensi.
Evaluasi dari masalah keperawatan yang kedua hari Rabu, 11 Maret 2015
jam 15.53 WIB adalah Subjektif : pasien mengatakan tidak ada tanda tanda
perdarahan seperti muntah darah, BAB bercampur darah dan mimisan. Objektif
: tekanan darah 110/70 mmHg, suhu tubuh 370 C, denyut nadi 98 x/menit,
pernafasan 22 x/menit; Hasil laboratorium Trombosit 120 ribu/ul, Eritrosit 4,5
juta/ul dan Hematokrit 36%. Analisa : masalah teratasi. Planing : hentikan
intervensi.
87
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan pengkajian, penentuan diagnosa
keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan dan
evaluasi keperawatan tentang pemberian metode bimbingan imajinasi
rekaman audio terhadap penurunan stress hospitalisasi pada asuhan
keperawatan An. D dengan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) di ruang
Anggrek RSUD Sukoharjo maka dapat ditarik kesimpulan :
1. Pengkajian
Hasil pengkajian yang didapatkan anatara lain data subjektif
diagnosa pertama keluarga pasien mengatakan selama dirawat di rumah
sakit pasien menjadi rewel karena tidak suka dengan lingkungan rumah
sakit yang ramai menyebabkan pasien tidak bisa istirahat dengan nyaman
dan tidur dengan nyenyak, kemudian pasien juga mengatakan ingin cepat
pulang karena takut di suntik. Diagnosa kedua keluarga pasien
mengatakan pasien sempat mengalami mimisan sebelum dibawa ke
rumah sakit.
Diagnosa pertama diperoleh pasien terlihat diam saat diajak
komunikasi perawat, kontak mata kurang, terlihat mata panda di bagian
kelopak mata pasien, terlihat pasien ketakutan saat diberikan tindakan
keperawatan, total skor HRS-A 27 tingkat kecemasan sedang. Diagnose
88
ketiga diperoleh tanda tanda vital yaitu, tekanan darah 110/80 mmHg,
suhu tubuh 36,50 C, denyut nadi 96 x/menit, pernafasan 22 x/menit,
pemeriksaan laboratorium untuk Hematokrit 40,2 %, Hemoglobin 10,1
g/dl, Eritrosit 4,1 ribu/ul.
2. Diagnosa keperawatan
Dari hasil pengkajian, penulis merumuskan diagnosa dan membuat
prioritas diagnosa keperawatan yang pertama yaitu ansietas (cemas)
berhubungan dengan lingkungan hospitalisasi. Diagnosa kedua risiko
tinggi perdarahan berhubungan dengan trombositopenia.
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi yang dibuat oleh penulis pada diagnosa yang pertama
yaitu, monitor tanda – tanda vital sesuai kebutuhan pasien; lakukan
pendekatan yang menenangkan (BHSP); kaji hal – hal yang disukai
pasien; rencanakan program aplikasi yang akan diberikan; berikan terapi
metode bimbingan rekaman audio 3x sehari setiap sesi 15 menit selama 2
hari; evaluasi respon pasien sebelum dan sesudah diberikan aplikasi
bimbingan rekaman audio dan mengukur tingkat kecemasanya dengan
HRS-A; libatkan keluarga untuk mendampingi pasien selama aplikasi;
kolaborasi dengan dokter untuk pembeian obat anti cemas.
Intervensi yang dibuat oleh penulis pada diagnosa kedua monitor
tanda tanda vital sesuai kebutuhan pasien; monitor tanda tanda
perdarahan; monitor hasil laboratorium Hematokrit, Eritrosit,
Hemoglobin; berikan edukasi kepada keluarga untuk segera melaporkan
89
jika ada tanda tanda perdarahan pada pasien; kolaborasi dengan dokter
pemberian obat mencegah perdarahan.
4. Implementasi Keperawatan
Penulis melakukan implementasi berdasarkan perencanaan yang
penulis tetapkan sebelumnya. Tetapi pada masalah cemas (ansietas),
penulis tidak melakukan intervensi kolaborasi pemberian antiansietas
karena tidak adanya advis dari dokter.
5. Evaluasi
Setelah penulis melakukan implementasi, penulis melakukan
evaluasi selama 3 x 24 jam didapatkan ahasil, masalah keperawatan
cemas (ansietas) berhubungan dengan perubahan dalam lingkungan
(hospitalisasi) teratasi, dan masalah keperawatan risiko terjadinya
perdarahan teratasi.
6. Analisa
Pemberian tindakan keperawatan terapi metode bimbingan imajinasi
rekaman audio yang diberikan selama 2 hari, mampu menurunkan
kecemasan pada An. D, dengan total skor HRS-A 27 dalam tingkat
kecemasan sedang menjadi total skor HRS-A 13 tidak ada kecemasan.
B. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) penulis akan memberikan usulan dan
masukan yang positif khususnya dibidang kesehatan antara lain :
90
1. Bagi Instasisi Pelayanan Kesehatan (Rumah Sakit)
Bagi instasisi rumah sakit diharapkan dapat memberikan pelayanan
kesehatan dan mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim
kesehatan maupun dengan pasien, sehingga dapat meningkatkan mutu
pelayanan asuhan keperawatan yang optimal pada umumnya dan
khususnya bagi pasien yang mengalami stress hospitalisasi dengan DHF.
2. Bagi Tenaga Kesehatan Khusunya Perawat
Bagi tenaga kesehatan diharapkan dalam melakukan tindakan
keperawatan hendaknya selalu berkoordinasi dengan perawat ataupun tim
medis yang lain dalam memberikan memberikan asuhan keperawatan
pada pasien anak yang mengalami hospitalisasi serta berpedoman dengan
teori-teori yang ada dan terbaru, sehingga pasien memperoleh perawatan
secara komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan dasar manusia.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Mampu meningkatkan mutu pelayanan pendidikan sehingga mampu
menciptakan perawat yang profesional dan berkualitas dalam
memberikan asuhan keperawatan sesuai kode etik yang ada. Memberikan
kemudahan dalam pemakaian sarana dan prasarana yang merupakan
fasilitas bagi mahasiswa untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam
praktik klinik dan pembuatan laporan.
DAFTAR PUSTAKA
Aizah, S dan Wati, S. (2014). Upaya Menurunkan Tingkat Stres Hospitalisasi
dengan Aktivitas Mewarnai Gambar pada Anak Usia 4-5 tahun. Di sertai.
Program Universitas Nusantara PGRI Kediri.
Anggreini, (2014). Thesis Hubungan Antara Kecemasan dalam Menghadapi Mata
Pelajaran Matematika dengan Prestasi Akademik Matematika pada
Remaja. NPM : 10505235. Program Pasca Sarjana. Fakultas Psikologi
Universitas Guna Darma.
Apriany.(2013). Hubungan Antara Hospitalisasi Anak dengan Tingkat Kecemasan
Orang Tua. Jurnal Keperawatan Soedirman.
Apriliawati, A. (2011). Pengaruh Biblioterapi terhadap Tingkat Kecemasan Anak
Usia Sekolah yang Menjalani Hospitalasasi di Rumah Sakit Islam Jakarta.
Program Magister Ilmu Keperawatan Peminatan Keperawatan Anak.
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. NPM : 0906594223.
Depok.
Cahyani, R. (2008). Thesis Gambaran Peran Perawat dalam Penatalaksanaan
Asuhan Keperawatan pada Pasien DBD (Demam Berdarah Dengue) Anak
di Bangsal Ibnu Sina Rumah Sakit PKU Muhamadiyah Yoigyakarta. NPM
: 20040320109. Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka
Kerja. Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Firdaus, A. (2011). Piawai Jadi Dokter Anak Untuk Keluarga. Jogjyakarta : DIVA
Pres.
Hadinegoro, S.R.H dan Satari, H.I. (2002). Buku Naskah Lengkap Pelatih Dokter
Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam
Tatalaksanaan Kasus DBD. Balai Penerbit FKUI. Jakarta
Hendrawawan, Nadesul. (2007). Cara Mudah Mengalahkan Demam Berdarah.
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Hidayat, A.A.A. (2002). Buku Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta : EGC.
Hidayat, A.A.A. (2012). Buku Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan
Proses Keperawatan. Salemba Medika. Jakarta.
Hidayati, E. (2015). Pengaruh Terapi Musik untuk Penurunan Tingkat Stres pada
Remaja di Yayasan Panti Asuhan Kyai Ageng Majapahit Semarang. Jurnal
University Research Collquium. ISSN 2407-9189.
Ikatan Dokter Indonesia. (2012/2013). Informasi Spesialis Obat Indonesia. Jakarta:
PT. ISFI.
NANDA Internasional. (2009/2011). Buku Diagnosa Keperawatan Definisi dan
Klisifikasi. Jakarta : EGC.
Nurarifin, Amin. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA, NIC, NOC. Jakarta : EGC.
Nursalam, R. Susilaningrum, dan S. Utami. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi dan
Anak (untuk Perawat dan Bidan). Jakarta : Salemba Medika.
Nursalam, R. Susilaningrum Rekawati, S. Utami. (2013). Asuhan Keperawatan
Bayi dan Anak (untuk Perawat dan Bidan). Jakarta : Salemba Medika.
Masulili, F. (2011). Pengaruh Metode Bimbingan Imajinasi Rekaman Audio pada
Anak Usia Sekolah terhadap Stres Hospitalisasi di Rumah Sakit di Kota
Palu. Program Studi Pasca Sarjana Keperawatan. Fakultas Ilmu
Keperawatan. Depok. NPM : 0906504751.
Masulili. F, Allenidekania, dan Hastono, P. (2013). Metode Bimbingan Imajinasi
Rekaman Audio untuk Menurunkan Stres Hospitalisasi pada Anak Usia
Sekolah di Rumah Sakit di Kota Palu. Jurnal Makari Seri Kesehatan. 17(2)
: 61-69.
Rostiana, T dan Kurniati, Ni Made Taganing. (2009). Kecemasan pada Wanita yang
Menghadapi Menopuuse. Jurnal Psikologi Universitas Gunadarma. Vol :
3.
Setiawati, S. (2011). Thesis Analisis Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Dengue Syok
Sindrom (DSS) pada Anak dengan Demam Berdarah (DBD) di RSUP
Persahabatan dan RSUD Budhi Asih Jakarta. NPM : 0906504991. Pasca
Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Program Magister Ilmu Keperawatan
Depok.
Setiadi. (2012). Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan Teori dan
Praktek. Edisi Pertama. Yogyakarta: Cetakan Pertama. Graha Ilmu.
Sitorus, Ronald H. (2008). Buku Pedoman Perawatan Anak. Edisi pertama.
Bandung. Yrama Widya.
Supartini, Y. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Edisi pertama.
Jakarta: EGC.
Suriadi dan R. Yuliani. (2001). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: CV
Sugeng Seto.
Tewuh, N dan Wahongan, G. (2013). Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawatan
dengan Stres Hospitalisasi pada Anak Usia Sekoloah 6-12 tahun. Ejournal
Keperawatan (e-Kp). Vol : 1, No : 1.
Utama, Yuli. (2014). Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak. Jurnal
Ilmiah WIDYA Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan binawan. Vol : 2, No: 2.
Wibowo, A. (2010). Analisis Hubungan Support System Keluarga dengan Tingkat
Kecemasan Anak Prasekolah yang Dirawat Di RSUD. Dr Moewardi
Surakarta. Jurnal Keperawatan Soedirman. Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Vol 5, No 3.
Wilkinson, Judit M. (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC.