Upload
lenhu
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IPENGANTAR HUKUM PERIKATAN YANG BERSUMBER
PERJANJIAN
1. PENGERTIAN :
Perikatan (verbintenis) adalah hubungan hukum yang timbul
(terjadi) karena persetujuan atau perjanjian maupun karena telah
ditentukan oleh Undang-undang (Pasal 1313 BW).
Perjanjian atau overeenkomst mengandung pengertian yaitu suatu
hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau
lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain
untuk menunaikan prestasi.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas terdapat beberapa unsur
yang memberi wujud pengertian dari perjanjian antara lain:
(1) hubungan hukum (rechtbretekking) yang menyangkut hukum
kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih;
(2) yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak
lain tentang suatu prestasi.
Jika demikian, perjanjian atau verbintenis adalah
hubungan hukum atau rechtbrekking yang oleh hukum itu
sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya. Oleh karena
itu, perjanjian yang mengandung hubungan hukum antara
perorangan atau persoon adalah hal-hal yang terletak dan
1
berada dalam lingkungan hukum. Itulah sebabnya hubungan
hukum dalam perjanjian, bukan suatu hubungan yang bisa
timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai dalam harta
benda kekeluargaan.
Jika dalam hubungan hukum kekayaan keluarga,
dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan
kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris
lain halnya dalam perjanjian. Hubungan hukum antara pihak
yang satu dengan pihak yang lain tidak bisa timbul dengan
sendirinya hubungan tersebut tercipta oleh karena adanya
tindakan hukum atau rechthandeling.
Tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan
oleh para pihaklah yang menimbulkan hubungan hukum
perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain
untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak lain itupun
menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan
prestasi. Jadi salah satu pihak memperoleh hak atau recht dan
pihak sebelah lagi, memikul kewajiban atau plicth untuk
menyerahkan atau menunaikan prestasi. Prestasi ini adalah objek
atau voorwerp dari verbintenis.
2
Tanpa prestasi hubungan hukum yang dilakukan berdasar
tindakan hukum sama sekali tidak mempunyai arti apa-apa bagi
hukum perjanjian, pihak yang berhak atas prestasi mempunyai
kedudukan sebagai schuldeiser pihak yang wajib menunaikan
prestasi berkedudukan sebagai schuldenaar atau debitur. Karakter
hukum kekayaan atau harta benda ini bukan hanya terdapat dalam
hukum perjanjian. Malahan dalam hubungan keluarga, hukum
kekayaan mempunyai karakter yang paling mutlak.
2. PERIKATAN DILIHAT DARI SUMBER ATAU LAHIRNYA
Apabila dilihat dari segi sumberbya atau lahirnya, maka perikatan
terjadi karena persetujuan dan Undang-undang. Ketika para pihak
sepakat membuat perjanjian yang mana mereka telah memenuhi
syarat-syarat sahnya perjanjian, maka pada detik yang bersamaan
lahirlah perikatan. Kalau perjanjian adalah hubungan hukum yang
bersifat konkrit, yang dapat dilihat adanya dua orang atau lebih
melakukan kesepakatan untuk membuat perjanjian, kemudian diakhiri
dengan penanda-tanganan akta perjanjiannya (kalau dilakukan secara
tertulis) kemudian mereka saling berjabat-tangan, maka perikatan
sebenarnya adalah hubungan hukum yang bersifat abstrak, artinya
tidak dapat dilihat oleh panca indera. Tetapi perikatan itu dianggap
lahir atau terjadi jika para pihak telah melakukan perjanjian.
Perikatan juga dapat terjadi atau lahir bukan karena didahului
adanya perjanjian, melainkan telah ditentukan oleh Undang-undang.
Seorang (sebut saja A) yang sebelumnya tidak mengenal orang lain
3
(sebut saja B), tetapi karena A melakukan perbuatan menimbulkan
kerugian pada B, maka ketika perbuatan itu terjadi, maka pada saat
yang bersamaan perikatan dianggap lahir (terjadi), jika perbuatan
yang dilakukan oleh A itu oleh Undang-undang dan Yurisprudensi
dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Atas dasar perbuatan
dan kesalahan yang dilakukan oleh A dan atas kerugian yang diderita
oleh B, maka sejak saat itu B berhak menggugat A untuk menuntut
ganti kerugian kepada A.
3. MACAM PERJANJIAN
Berdasarkan Pasal 1319 BW dinyatakan bahwa: Semua perjanjian
baik perjanjian bernama (yang mempunyai titel khusus) maupun
perjanjian tidak bernama tunduk pada aturan umum hukum perikatan
yang ada dalam Buku III BW”. Jadi secara garis besar perjanjian
dibedakan antara:
(1) Perjanjian bernama atau perjanjian yang memiliki nama (titel)
khusus yaitu seluruh perjanjian yang diatur dalam BW dan KUHD,
maupun;
(2) Perjanjian tidak bernama atau perjanjian yang tidak memiliki nama
khusus yang diatur di luar BW pada prinsipnya harus tunduk atas
berlakunya asas-asas hukum perikatan yang diatur dalam Buku III
BW.
Asas-asas hukum perikatan dimaksud antara lain menyangkut:
(1) aturan tentang syarat sahnya persetujuan (Pasal 1320 BW);
(2) aturan tentang kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat (1));
(3) aturan tentang perubahan persetujuan (Pasal 1338 ayat (2));
4
(4) aturan tentang itikad baik dalam melaksanakan persetujuan (Pasal
1338 ayat (3));
(5) aturan tentang pembatasan kebebasan berkontrak yang diatur
dalam Pasal 1339 BW.
Letak pengaturan perjanjian bernama adalah terdapat di dalam KUH
Perdata (BW) maupun dalam KUH Dagang (WvK). Seluruh persetujuan
bernama sumber pengaturannya berasal dari BW dan WvK, sedangkan
perjanjian tidak bernama sumber pengaturannya berasal ditentukan oleh
perkembangan dalam dunia praktek perjanjian dan Yurisprudensi.
4. ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Berdasarkan Pasal 1338 BW : “SEGALA PERSETUJUAN YANG
DIBUAT SECARA SAH BERLAKU SBG U.U. BAGI PEMBUATNYA”
Aturan umum atau asas hukum ini sering disebut asas kebebasan
berkontrak.
Apa dasar pertimbangan pembuat Undang-undang
membuat aturan umum (asas hukum) kebebasan berkontrak ini ?
dasar pertimbangan pembuat Undang-undang ini memiliki hubungan
erat dengan perkembangan hukum perjanjian. Pembuat Undang-
undang memiliki kesadaran dan pendapat bahwa tidak mungkin suatu
kodifikasi (U.U.) seperti BW dan WvK (isinya) dapat mengikuti
perkembangan jaman. Perkembangan masyarakat di bidang hukum
perjanjian memiliki kecenderungan untuk berkembang sesuai dengan
kebutuhannya.
Perkembangan hukum perjanjian (kontrak) di luar
BW diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sebagai basis
5
lingkungan hukumnya. Pembuat U.U. (BW) hanya memberi pintu
kebebasan membuat perjanjian itu melaluii aturan umum atau asas
kebebasan berkontrak. Inilah yang menyebabkan aturan atau asas
hukum perikatan BW tetap dapat mengikuti perkembangan hukum
kontrak yang terus berkembang dalam masyarakat.
Apa maksudnya “segala persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
sebagai U.U. bagi pembuatnya “? Menurut para ahli hukum , “segala
persetujuan” dimaksud ditafsirkan sebagai berikut
(1) kebebasan untuk membuat /tidak membuat persetujuan;(1)kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian(2)kebebasan untuk menentukan/memilih causa dari perjanjian
yang akan dibuatnya;(3)kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian;(4)kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian(5)kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan u.u.
yang berlaku opsional (aanvulend)
Penafsiran secara harfiah seperti yang salama ini dipahami adalah:
1. SEGALA PERSETUJUAN
(1) persetujuan/perjanjian bernama atau perjanjian tidak bernama;
(2) persetujuan yang bentuknya dibuat secara tertulis atau lisan;
(3) persetujuan yang dibuat sesama warga negara/badan hukum dlm satu negara atau dengan pihak asing (perseorangan/badan hukum asing).
6
5. KEABSAHAN PERJANJIAN
Setiap perjanjian atau persetujuan harus dibuat dengan memenuhi
syarat sahnya, baik syarat subyektif maupun syarat obyektif
sebagai dinyatakan dalam Pasal 1320 BW
Pasal 1320 BW menyatakan: ” Persetujuan dibuat secara sah
apabila memenuhi syarat:
(1) kesepakatan bebas para pihak (asas konsensualisme) (1) kecakapan para pihak yang membuat perjanjian (kebebasan
seseorang membuat kontrak dibatasi oleh kecakapannya. apabila u.u. menyatakan tidak cakap, maka orang itu sama sekali tidak memiliki kebebasan berkontrak).
(2) obyeknya tertentu dan harus dapat ditentukan ( standart pemakaian ukuran).
(3) causanya halal artinya tidak dilarang oleh u.u., ketertiban umum dan kesusilaan artinya para pihak tidak bebas membuat kontrak yang menyangkut causa yang dilarang oleh u.u., kesusilaan dan ketertiban umum”.
Sedangkan pengertian “ berlaku sebagai u.u. bagi pembuatnya” adalah:
Isi perjanjian tersebut mengikat seperti u.u. yang harus ditaati oleh
para pihak. para pihak tidak merubah apa yang telah menjadi isi
perjanjian secara sepihak karena akan mengakibatkan resiko
kerugian bagi pihak lain.
Jadi aturan/pasal yang membatasi kebebasan berkontrak adalah:
7
TABEL: 1ATURAN PEMBATASAN KEBEBASAN BERKONTRAK
NO. PASAL ISI1. PASAL 1320
AYAT (1), (2)
Ayat (3) dan ayat (4)
Kebebasan salah satu pihak membuat perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Kebebasan membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapan para pihak, artinya apabila U.U. menyatakan bahwa seseorang itu tidak cakap membuat perjanjian, maka orang itu sama sekali tidak mempunyai kebabasan berkontrak
Kebebasan berkontrak tidak akan terwujud (batal demi hukum) ketika obyek perjanjian kabur (abcuur) dan causanya tidak halal
2. PASAL 1332 Memberikan arah mengenai kebebasan bahwa para pihak untuk memperjanjikan obyek berupa barang-barang atau hak yang mempunyai nilai ekonomis.
3. PASAL 1338 AYAT (2) , (3).
Para pihak tidak bebas merubah isi perjanjian secara sepihak . Para pihak juga tidak dapat diwujudkan sekehendaknya melainkan dibatasi oleh itikat baiknya. Artinya tidak boleh itikat buruk.
8
4. PASAL 1339 Persetujuan tidak hanya berlaku atas hal-hal yang disepakati secara tegas oleh para pihak melainkan berlaku U.U., kebiasaan (kepatutan) dan ketertiban umum. Jadi para pihak dalam melaksanakan kebebasan berkontrak tidak boleh melanggar U.U., Kebiasaan dan Ketertiban Umum.
6. HUBUNGAN ANTARA KETENTUAN.2. PERJANJIAN BERNAMA DAN ASAS-ASAS HUKUM PERIKATAN
LEX SPECIALIS DEROGAT LEGI GENERALI artinya Ketentuan khusus harus diberlakukan lebih dahulu daripada ketentuan umum.
PASAL 1319 BW: SEMUA PERJANJIAN, BAIK BERNAMA MAUPUN TIDAK BERNAMA TUNDUK PADA KETENTUAN UMUM (HUKUM PERIKATAN yang termuat dalam Bab I, II BUKU III BW.
7. BERAKHIRNYA SUATU KONTRAK
PASAL 1381 BW menyatakan bahwa perikatan hapus karena:
(1) Pembayaran;
(2) Penawaran pembayaran secara tunai
(3) diikuti penyimpanan atau penitipan;
(4) Pembaruan hutang;
(5) Perjumpaan hutang atau kompensasi;
(6) Percampuran Hutang;
(7) Pembebasan Hutang;
9
(8) Musnahnya barang yang terhutang;
(9) Batal atau Pembatalan;
(10)Karena berlakunya syarat batal dan
(11)Karena lewatnya waktu (daluarsa)
8. ISI PERJANJIAN
Dilihat dari isinya perjanjian dapat terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
(1) Esensialia;
(2) Naturalia;
(3) Aksidentalia
Esensialia adalah isi perjanjian yang menyangkut
masalah pokok yang harus ada atau dicantumkan dalam kontrak.
Misalnya dalam perjanjian jual beli, esensialianya adalah adanya
kesepakatan barang dan harga bagi para pihak. Dalam perjanjian
sewa menyewa, esensialianya adanya obyek sewa, harga sewa dan
jangka waktu sewa. Apabila dalam suatu kontrak tidak
mencantumkan esensialianya, maka kontrak tersebut adalah batal
demi hukum, karena tidak memenuhi keabsahan perjanjian.
Naturalia adalah isi perjanjian yang menyangkut hal
yang telah diatur dalam Undang-undang. Misalnya hak dan
kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli, sewa menyewa,
utang piutang dan sebagainya. Janji-janji tentang jaminan para
pihak, Aturan yang ada dalam U.U. ini boleh dimunculkan oleh
10
para pihak dalam kontrak ataupun tidak. Karena naturalia tidak
wajib dimunculkan sebagai klausula dalam kontrak. Jika hal itu
terjadi, maka kotrak tetap sah walaupun sangat minim mengatur
hal-hal tentang hak-kewajiban, pembayaran, penyerahan, janji-janji
para pihak untuk menjamin pihak lain.
Aksidentalia adalah isi perjanjian yang menyangkut hal-
hal yang disepakati secara khusus oleh para pihak. Hal-hal yang
disepakati secara khusus ini dapat saja menyimpang dari aturan
hukum (naturalia) kontrak tersebut. Hal ini membuktikan bahwa
hukum kontrak bersifat pelengkap atau anvulen recht. Contoh:
dalam perjajian jual beli, penjual diwajibkan menyerahkan barang
kepada pembeli. Tetapi mereka dapat saja menyepakati bahwa
pembeli mengambil sendiri barang di tempat penjual. Aksidentalia
ini eksistensinya tidak mempengaruhi keabsahan perjanjian.
Klausula yang berisi aksidentalia ini merupakan lex specialis
sedangkan aturan hukum kontrak (naturalia) adalah lege generali
yang dapat dikesampingkan oleh para pihak.
9. PENAFSIRAN HUKUM
Jika terjadi sengketa antara para pihak dan atas sengketa
tersebut tidak ada pengaturan yang jelas dalam perjanjian yang
disepakati para pihak, bukan berarti perjanjian itu belum mengikat
para pihak atau dengan sendirinya batal demi hukum. Mengapa ?
Karena pengadilan dapat mengisi kekosongan hukum tersebut
11
melalui penafsiran untuk menemukan hukum yang berlaku bagi
para pihak yang membuat perjanjian.
KUH Perdata mengatur hal ini dalam Pasal 1342 sampai
Pasal 1351. Beberapa hal penting atas penafsiran dimaksud adalah
sebagai berikut:
(1) Pasal 1342 menyebutkan :
“Jika kata-kata suatu perjanjian sudah jelas, maka tidak
diperkenankan melakukan penafsiran yang menyimpang dari
kata-kata tersebut”;
(2) Pasal 1343 menyatakan:
“Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai
macam penafsiran, maka harus diselidiki maksud kedua belah
pihak yang membuat perjanjian. Misalnya, apakah maksud
sesungguhnya dari para pihak dalam membuat perjanjian”.
(3) Pasal 1344 menyatakan:
“Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus
dipilih pengertian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada
pengertian yang tidak memungkinkan pelaksanaan”. Misalnya, untuk barang
tetap berlaku hukum di mana benda bergerak itu berada. Dalam Hukum
Perdata Internasional disebut asas Lex Loci Contractus.
12
(4) Pasal 1345
Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka
harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat
perjanjian. Dalam hal ini harus diperhatian apakah
perjanjian itu bersifat konsensuil atau harus memenuhi
formalitas tertentu atau haruskah ada penyerahan barang
atau uang sebagai syarat keabsahan perjanjian.
(5) Pasal 1346
Jika terdapat hal-hal yang meragukan harus ditafsirkan
menurut apa yang menjadi kebiasaan di mana perjanjian itu
dibuat.
(6) Pasal 1347
Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan,
dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian.
Misalnya resiko atas barang yang belum diserahkan tetap
berada pada pihak penjual.
(7) Pasal 1348:
Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian harus
ditafsirkan dalam hubungan satu sama lain, artinya tia-tiap
janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
13
(8) Pasal 1349:
Jika atas suatu janji timbul keragu-raguan, maka janji
tersebut harus ditafsirkan atas kerugian orang yang meminta
diperjanjikan suatu hal (meminta suatu hak) dan atas
keuntungan orang yang telah mengikatkan diri
(menyanggupi kewajiban).
(9) Pasal 1350:
Meskipun kata-kata suatu perjanjian dirumuskan secara
sangat umum, namun perjanjian itu hanya meliputi hal-hal
yang nyata yang dimaksudkan oleh kedua belah pihak.
Misalnya kuasa untuk membeli, maka tidak dapat ditafsirkan
sebagai kuasa untuk menjual.
Pasal 1351
Suatu hal yang dinyatakan untuk menjelaskan perjanjian,
tidak dapat digunakan untuk membatasi kekuatan perjanjian
dalam hal-hal yang tidak dinyatakan.
Penafsiran Hukum yang berlaku di negara-negara common
law, seperti USA seperti dalam Uniform Commercial Code
menyebutkan tiga cara untuk melakukan panafsiran hukum, yaitu:
14
(1) Course of performance adalah cara bertindak yang dilakukan
para pihak dalam melaksanakan perjanjian;
(2) Course of Dealing, yaitu dilihat dari cara para pihak
melaksanakan kontrak sebelumnya. Hal ini akan menjadi
acuan untuk menyelesesaikan sengketa.
(3) Usage of Trade, yaitu berdasarkan praktik bisnis yang sudah
terjadi berulang-ulang dengan pola yang sama. Jika suatu hal
sudah menjadi kebiasaan yang berpola, maka hal inilah yang
digunakan sebagai dasar penafsiran.
Metode interpretasi atau penafsiran hukum dalam praktek
pengadilan (Mahkamah Agung) dikenal berbagai macam, yaitu:
(1) Subsumptif : yaitu penerapan teknik perundang-undangan
dalam kontrak (kasus in concreto) harus dianggap belum
memasuki taraf penggunaan penalaran hukum dan
penafsiran hukum;
(2) Gramatical : yaitu menafsirkan kata-kata atau istilah dalam
perundang-undangan sesuai kaidah tata bahasa;
(3) Sistematis (logis): yaitu menafsirkan peraturan perundang-
undangan dengan cara menghubungan dengan peraturan
perundang-undangan yang lain;
(4) Historis: meneliti U.U. atau kontrak dilihat dari proses
terjadinya;
15
(5) Teleologis/Sosiologis: yaitu menafsirkan undang-undang
atau kontrak atas sesuatu dengan tujuan pembentuk U.U.
atau pembuat kontrak;
(6) Komparatif: menafsirkan dengan jalan membandingkan
antara konsep antar sistem hukum;
(7) Antisipatif/Futuristik: menasirkan dengan menggunakan
sumber hukum (peraturan per U.U.an) yang belum resmi
berlaku ( R.U.U. atau Naskah Akademiknya. Demikian juga
dalam kontrak, dapat dilakukan penafsiran antisipatif
terhadap janji-janji pra (sebelum) kontrak dilkakukan;
(8)Restriktif, yaitu menafsirkan ketentuan U.U.atau kontrak
dengan membatasi artinya menurut hukum;
(9)Ekstensif, yaitu menafsirkan ketentuan U.U. atau kontrak
dengan cara melampaui batas-batas penafsiran gramatical;
(10)Otentik atau resmi: manafsirkan U.U. atau kontrak
berdasarkan arti beberapa kata yang digunakan dalam
peraturan Perundang-undangan yang dilakukan oleh pembuat
U.U. sendiri. Kalau dalam kontrak didasarkan atas apa
dilakukan oleh para pembuat kontrak itu sendiri.
16
BAB IIPERJANJIAN JUAL BELI
1. PENGANTAR
Jual beli termasuk perjanjian bernama atau
perjanjian khusus karena diatur dalam dalam salah satu title dalam
BW. Walau secara normative jual beli dalam BW bersifat statis
tetapi yurisprudensi yang lahir dari perjanjian jual beli itu
berkembang sedemikian banyak dan luas. Oleh karena itu
mempelajari perjanjian jual beli tidak saja mengacu pada aturan
normatifnya seperti diatur dalam BW tetapi juga harus mengikuti
perkembangan yurisprudensi Mahkamah Agung yang bersumber
dari dunia praktek.
2. PENGERTIAN (DEFINISI)
Jual beli adalah perjanjian/persetujuan/kontrak di mana satu
pihak (penjual) mengikatkan diri untuk menyerahkan hak
kebendaan kepada pihak lainnya (pembeli) yang mengikatkan diri
untuk membayar harga berupa uang kepada penjual.
Definisi ini dinyatakan dalam Pasal 1457 BW.
Mengapa penjual hanya disebutkan menyerahkan “hak kebendaan”
saja, tidak secara tegas menyerahkan hak milik atas suatu benda ?
Ada 2 (dua) hukum yang dapat dijadikan pijakan.
17
(1) tidak disebutkannya menyerahkan “hak milik” atas suatu
kebendaan karena tujuan yang dikehendaki para pihak sudah
jelas yaitu menyerahkan hak milik. Hal ini dapat diketahui
secara tegas bahwa kewajiban penjual adalah menyerahkan
hak milik (Pasal 1474 BW);
(2) BW menganut sistem bahwa kesepakatan para pihak dalam
jual beli hanya berakibat lahirnya perjanjian jual beli tersebut
tetapi belum memindahkan hak milik. BW mengatur tersendiri
tentang peralihan (perpindahan) hak milik atas obyek jual beli
yaitu melalui penyerahan (levering), bukan pada waktu
kesepakatan hak milik itu berpindah.
3. SYARAT SAHNYA JUAL BELI
Sesuai dengan aturan tentang syarat sahnya perjanjian yang
diatur dalam Pasal 1320 BW, maka aturan ini berlaku bagi syarat
sahnya jual beli. Syarat sahnya persetujuan dimaksud Pasal 1320
BW adalah sebagai berikut:
(1)kata sepakat antara penjual dan pembeli;
(2)kemampuan/kecakapan para pihak dalam mengikatkan diri;
(3)obyek tertentu atau dapat ditentukan;
(4) sebab/cauda yang halal.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 268
K/Sip/1971 tanggal 25 Agustus 1971 dinyatakan bahwa:
18
Syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya perjanjian adalah
sebagai berikut:
“Alasan yang diperbolehkan (een geoorloofde oorzaak)
berdasarkan Pasal 1320 BW yang dalam hal merupakan “tujuan
bersama” (gezamenlijke doel) dari kedua belah pihak atas dasar
mana diadakan perjanjian dan bukan merupakan hal yang
mengenai akibat pada waktu pelaksanaan perjanjian”.
2. SAAT TERJADINYA JUAL BELI
Berdasarkan Pasal 1458 BW saat terjadinya jual beli ialah
saat penjual dan pembeli mencapai kata sepakat mengenai barang
(obyek) dan harganya, walau barang itu belum diserahkan dan
harganya pun belum dibayar.
Dalam praktek dikenal adanya Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Bagaimana perjanjian pengikatan jual beli itu dilihat dari Pasal
1458 BW ini ?
Perjanjian pengikatan jual beli yang sering digunakan dalam
praktek pada dasarnya adalah perjanjian jual beli karena para pihak
telah sepakat barang dan harganya walau barangnya belum
diserahkan dan harganya juga belum dibayar karena ada alasan-
alasan tertentu yang sama-sama diketahui oleh kedua pihak.
Menurut isi Pasal 1458 BW sebenarnya perjanjian pengikatan jual
beli ini tidak perlu menggunakan istilah “pengikatan” tetapi tetap
19
menggunakan istilah “Perjanjian Jual Beli”, karena alasan harga
belum dibayar dan barang belum diserahkan bukan unsur penentu
terjadinya jual beli.
3. ASAS KONSENSUALISME JUAL BELI
Menurut Prof. R. Subekti asas konsensualisme yang tercantum
dalam Pasal 1320 mengenai syarat pertama sahnya perjanjian yaitu
adanya keharusan adanya kata sepakat kedua belah pihak yang
membuat perjanjian.
Apakah arti konsensualisme ? Konsensualisme berasal dari kata
konsensus yang artinya kata sepakat Sepakat adalah terjadinya
kesesuaian kehendak. Apa yang dikehendaki pihak satu juga
dikehendaki pihak lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam
sepakat. Asas konsensualisme itu merupakan Tuntutan Kepastian
Hukum.
4. KEWAJIBAN PENJUAL
Menurut Pasal 1474 BW ada 2 (dua) kewajiban penjual yaitu:
(1) Menyerahkan benda yang dijualnya kepada pembeli dalam hak
milik.
BW mengenal 3 (tiga) jenis benda dan 3 (tiga) macam cara
penyerahan hak milik.
20
(1) Penyerahan benda bergerak menurut Pasal 612 BW dilakukan
dengan cara Penyerahan Nyata atau feitelijke levering);
(2) Penyerahan benda tak bergerak (berupa hak atas tanah)
dilakukan dengan cara penyerahan hukum (Juridische
Levering) yaitu melalui balik nama yang dilakukan dengan
Akta PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) selanjutnya harus
didaftarkan ke Kantor Pertanahan (dahulu disebut Kantor
Kadaster atau Kantor Pendaftaran Tanah;
(3) Penyerahan piutang atas nama dan hak milik lainnya menurut
Pasal 613 BW harus dibuat dengan akta notaries atau akta di
bawah tangan (cessie) yang harus diberitahukan kepada debitur
atau secara tertulis disetujuinya atau diakuinya.
Dalam praktek perdagangan, penyerahan piutang dilakukan secara
praktis yaitu penyerahan piutang kepada pengunjuk (aan toonder)
dilakukan dengan penyerahan nyata, sedangkan penyerahan
piutang atas perintah (aan order) dilakukandengan endosement.
Beberapa Pasal KUH Perdata penting yang harus diperhatikan:
No. Pasal Keterangan
1. 1476 Biaya penyerahan barang dipikul penjual,
biaya pengambilan dipikul oleh pembeli,
21
kecuali ditentukan dengan cara lain
2. 1477 Penyerahan dilakukan di tempat di mana
benda berada pada saat terjadinya jual beli,
kecuali tidak disetujui dengan cara lain
3. 1478 Penjual tidak wajib menyerahkan barangnya
kepada pembeli jika pembeli tidak membayar
harganya. Inilah tangkisan yang disebut:
EXCEPTIO NON ADIMPLITI
CONTRACTUS yang dapat dikemukan oleh
debitur dalam hal tuntutan kreditur mengenai
pembatalan perjanjian ditambah dengan ganti
rugi, biaya dan bunga berdasarkan wan
prestasi debitur di muka pengadilan. Jadi
asas Exceptio non adimpliti contractus ini
adalah tangkisan (di muka pengadilan)
bahwa kreditur sendiri tidak melaksanakan
kewajibannya membayar dalam jual beli
secara tunai.
(2) Menjamin kenikmatan tenteram dan damai
Jaminan kenikmatan tenteram dan damai adalah bersumber pada
benda yang diserahkan oleh penjual itu benar-benar miliknya,
sehingga tidak mungkin ada gangguan dari pihak ketiga.
22
(4) Menjamin tidak adanya cacat tersembunyi
Menurut Pasal 1504 BW cacat tersembunyi pada barang adalah
cacat yang membuat barang itu tidak dapat dipergunakan sesuai
dengan maksudnya atau mengurangi gunanya (fungsinya)
sehingga seandainya pembeli mengetahuinya ia tidak akan
membeli kecuali dengan harga kurang.
Jaminan tidak adanya cacat tersembunyi ini adalah jaminan yang
berlaku khusus antara penjual kepada pembeli, bukan menjamin
tidak adanya gangguan dari pihak ketiga.
Pasal 1505 BW menyatakan penjual tidak wajib memberi
jaminan atas cacat yang kelihatan yang dapat diketahui sendiri
oleh pembeli.
Apakah yang dimaksud cacat tersembunyi ? Pengertian cacat
tersembunyi ini hanya dapat diketahui dalam praktek atau
Yurisprudensi seperti halnya Perbuatan Melawan Hukum (on
rechtmatige Daad Pasal 1365 BW).
5. HAK PENJUAL
(1) Hak atas pembayaran harga barang yang dijualnya;
(2) Hak reklame, yaitu hak penjual barang bergerak yang dijual
secara tunai. Hak reklame ini menuntut pengembalian
23
barang dari pembeli yang belum membayar harga selama 30
hari setelah penyerahan barang (Pasal 1145 BW)
(3) Hak untuk menyatakan batal demi hukum (pasal 1518)
Pasal 1518 ini khusus untuk jual beli barang perabot rumah
tangga yang belum diambil oleh pembeli dalam jangka
waktu yang telah ditentukan tanpa harus memberikan
peringatan terlebih dahulu kepada pembeli. Jadi penjual
berhak membatalkan perjanjian jual beli itu jika alasan itu
terpenuhi.
6. KEWAJIBAN PEMBELI
(1) Membayar harga (Pasal 1513);
(2) Membayar bunga (Pasal 1515 BW) dalam hal barang yang
dibelinya sudah diserahkan oleh penjual tetapi ia belum
membayar harganya. Dalam hal ini penjual dapat
mengenakan bunga karena barang itu sudah memberi hasil
kepada pembeli;
(3) Melaksanakan pengambilan barang atas biaya sendiri (Pasal
1476 BW)
7. HAK PEMBELI
24
(1) Memperoleh jaminan dari penjual berupa kenikmatan
tenteram dan damai dan tidak adanya cacat tersembunyi;
(2) Hak untuk menunda pembayaran harga karena ada
gangguan dalam menikamati barang yang dibelinya oleh
tuntutan hukum pihak lain (lihat pasal 1516 BW).
8. MACAM-MACAM JUAL BELI
(1) Jual beli atas dasar percobaan
Menurut Pasal 1463 BW jual beli atas percobaan ini biasanya
dilakukan atas barang yang biasanya dicoba lebih dahulu.
(2) Jual beli atas dasar monster (sample)
Jual beli atas dasar monster ini tidak diatur dalam BW
melainkan dalam KUHD (WvK ) Pasal 69.
(3) Jual beli disertai Panjer (1464 BW)
Pembeli tidak dapat membatalkan perjanjian jual beli dengan
mengikhlaskan hilangnya panjer, demikian pula penjual tidak
dapat membatalkan perjanjian jual beli dengan mengembalikan
panjer tersebut.
9. KESIMPULAN
25
(1) Jual beli terjadi demi hukum ketika para pihak sepakat
tentang barang dan harganya walau barang belum
diserahkan dan harga belum dibayar;
(2) Unsur barang dan harga merupakan esensialia dalam
perjanjian beli. Kalau para pihak lalai mencantumkan
kesepakatannya tentang barang dan harga dalam perjanjian,
maka jual beli itu dianggap tidak sah;
(3) Hak dan kewajiban para pihak merupakan unsur naturalia
karena telah diatur secara tegas dalam BW;
(4) Kesepakatan yang dibuat sendiri menyimpang dari apa yang
ditentukan BW disebut unsur aksidentalia.
BAB III PERJANJIAN SEWA MENYEWA
26
1. PENGANTAR
Perjanjian sewa menyewa adalah termasuk perjanjian
bernama atau perjanjian khusus karena memiliki nama atau title
tertentu dalam BW.
Unsur esensialia perjanjian sewa menyewa adalah: barang obyek
sewa, jangka waktu sewa dan harga sewa. Oleh karena itu siapapun
yang menyepakati perjanjian sewa menyewa harus mencantumkan
esensialia perjanjian itu dengan akurat agar perjanjian tersebut sah.
2. DEFINISI
Perjanjian sewa menyewa adalah perjanjian di mana pihak
yang satu (pihak yang menyewakan) mengikatkan diri untuk
menyerahkan “kenikmatan atas barang” kepada pihak lain dalam
jangka waktu tertentu yang mana pihak penyewa berkewajiban
membayar harga sewa (penyewa) (lihat pasal 1548 BW).
Jadi esensialia perjanjian sewa menyewa ini ada 3 (tiga) unsur yaitu:
benda obyek sewa, harga sewa dan jangka waktu sewa. Setiap unsur
hubungannya dengan unsur lain merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan (berlaku kumulatif, bukan alternatif).
Pihak yang menyewakan tidak harus berkedudukan sebagai
pemilik, cukup orang yang telah diberi kuasa atau kewenangan
mengelola oleh pemilik benda tersebut. Mengapa demikian ? Karena
tujuan perjanjian sewa menyewa bukan untuk menyerahkan hak
27
milik kepada penyewa (berbeda halnya dengan perjanjian jual beli).
Untuk itu yang diserahkan hanyalah berupa “ Hak menikmati obyek
sewa” itu pun dibatasi selama jangka waktu tertentu.
3. KEWAJIBAN PIHAK YANG MENYEWAKAN
Di dalam Pasal 1550 BW, pihak yang menyewakan
berkewajiban:
a. menyerahkan benda yang disewakan kepada penyewa;
b. memelihara benda yang disewakan sedemikian rupa sehingga
benda itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan
oleh penyewa;
c. menjamin kepada penyewa berupa pemberian kenikmatan
tenteram dan damai selama jangka waktu sewa, artinya tidak
ada pihak ketiga yang menganggu hak menikmati obyek sewa
selama jangka waktu sewa berlangsung;
d. melakukan perbaikan atau reparasi yang dipandang perlu,
kecuali reparasi kecil yang harus dilakukan oleh penyewa
sendiri (Pasal 1551 dan 1583 BW). Apabila pihak yang
menyewakan tidak melaksanakan reparasi sebagaimana
dimaksud Pasal 1551 BW, maka penyewa dapat menuntut ke
Pengadilan agar ia sendiri diperkenankan melakukan reparasi
28
sendiri atas biaya yang ditanggung oleh pihak yang
menyewakan (Pasal 1241 BW).
4. HAK DARI PIHAK YANG MENYEWAKAN
Hak yang dimiliki oleh pihak yang menyewakan adalah:
a. hak atas pembayaran uang sewa;
b. Pand beslag, yaitu penyitaan yang dilakukan oleh pengadilan
atas permohonan pihak yang menyewakan agar diijinkan
menyita perabot-perabot rumah tangga milik penyewa karena
penyewa belum melunasi harga sewa.
5. KEWAJIBAN PENYEWA
Kewajiban penyewa berdasarkan Pasal 1560 adalah sbb:
a. Memakai benda obyek sewa sebagaimana kepala keluarga
yang baik. Artinya penyewa menggunakan sesuai dengan
peruntukan yang disepakati bersama dengan pihak yang
menyewakan, misalnya rumah tinggal. Jadi tidak
diperbolehkan menggunakan rumah itu untuk kantor atau
took sebab sudah diperjanjikan bahwa peruntukkannya untuk
rumah tinggal (lihat pasal 1561 BW).
29
b. Membayar uang sewa pada waktu dan tempat yang telah
ditentukan;
c. Melengkapi perabot rumah tangga (jika berupa rumah
tinggal) secukupnya;
d. Melakukan reparasi kecil atau perbaikan kecil sehari-hari
(lihat Pasal 1583 BW).
6. HAK PENYEWA
a. Penyerahan obyek sewa dalam keadaan terpelihara (terawatt)
sehingga peruntukkan obyek sewa sesuai yang dikehendaki
oleh penyewa;
b. Memperoleh jaminan tidak adanya gangguan dari pihak lain
(ketiga) yang menganggu gugat pelaksanaan hak sewa selama
berlangsung.
7. PEMBAGIAN RESIKO
Bagaimana pembagian resiko jika obyek sewa musnah bukan
karena kesalahan kedua belah pihak ? Pasal 1553 menyinggung
masalah ini, yaitu ketika obyek sewa musnah karena keadaan
memaksa (force majeur) , maka perjanjian sewa menyewa itu gugur
demi hukum. Tetapi apabila hanya sebagian yang musnah, maka
menurut Pasal 1553 BW penyewa dapat memilih antara melakukan:
a. pembatalan perjanjian atau;
30
b. perjanjian sewa terus berlangsung dengan pengurangan uang
sewa tanpa hak atas ganti rugi.
8. MENGULANG-SEWAKAN
Ada 2 (dua) istilah yang sering digunakan dalam praktek, yaitu:
a. mengulang-sewakan;
b. mengalihkan hak sewa.
Menurut Pasal 1559 BW penyewa tidak boleh mengulang-
sewakan benda yang disewanya atau pun mengoperkan atau
mengalihkan hak sewa kepada pihak lain apabila kewenangan itu
tidak diberikan oleh pihak yang menyewakan.
Jika penyewa mengulang sewakan atau pun mengalihkan hak
sewa tanpa seiijin pihak yang menyewakan, maka ia dapat
dituntut di muka pengadilan dengan ganti rugi, biaya dan bunga
sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 BW.
Ada perbedaan mendasar antara tindakan mengulang-
sewakan dengan mengoperkan atau mengalihkan hak sewa.
(1) Dalam hal mengulang sewakan, penyewa bertindak seperti
pihak yang menyewakan dalam perjanjian sewa berikutnya
dengan phak ketiga;
31
(2) Dalam hal mengalihkan hak sewa, penyewa melepaskan
kedudukannya sebagai penyewa dan menyerahkannya kepada
pihak ketiga.
Kedua model perjanjian tersebut pada prinsipnya dilarang, kecuali
telah disepakati sebelumnya antara pihak yang menyewakan dengan
pihak penyewa.
9. BERAKHIRNYA PERJANJIAN SEWA MENYEWA (secara tertulis
dan lisan)
Berdasarkan Pasal 1570 BW dinyatakan perjanjian sewa
menyewa secara tertulis berakhir demi hukum pada saat berakhirnya
jangka waktu perjanjian sewa tersebut, tanpa harus ada
pemberitahuan (somasi) sebelumnya.
Sedangkan perjanjian sewa yang dilakukan secara lesan baru
akan berakhir manakala pihak yang menyewakan telah memberi
tahu terlebih dahulu kepada penyewa, masalah pengosongan atau
pengembalian obyek sewa diberikan dengan memberi tenggang
waktu yang layak sesuai dengan Pasal 1587 BW.
10.JUAL BELI TIDAK MENGAKHIRI SEWA MENYEWA
Pasal 1576 ayat (1) BW menyatakan bahwa jual beli tidak
mengakhiri sewa menyewa, kecuali jika berakhirnya hak sewa jika
obyek sewa itu terjual. Jadi selama tidak diperjanjikan seperti itu,
32
maka pihak yang menyewakan dapat saja menjual obyek sewa yang
masih berlangsung, hanya saja ia tidak dapat mengakhiri hak sewa
penyewa dengan dalih obyek sewa sudah laku dijual kepada orang
lain.
BAB IV PERJANJIAN SEWA BELI
1. ISTILAH
Istilah sewa beli (hire purchase/huurkoop) digunakan
berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
a. P.P. Nomor 16 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Penjualan Rumah
Negeri dan S.K. Menteri Perdagangan dan Koperasi No.
33
34/KP/II/1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli, Jual
beli dengan Angsuran dan Sewa;
b. Yurisprudensi Putusan pengadilan tinggi Surabaya No.
174/1951 yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung R.I.
No. 5/K/Sip/1957 yang merupakan peletak dasar pandangan atas
lembaga sewa beli sebagai jual beli.
2. PENGERTIAN
(1) Jual beli Angsuran adalah jual beli yang harga barangnya
tidak dibayar tunai atau satu kali seluruh harga, melainkan
secara mengangsur sekalipun hanya dua kali angsuran (Pasal
1540 KUH
(2) Dasar hukum :
1. Peraturan pemerintah no. 16 th. 1974 tentang pelaksanaan
penjualan rumah dan s.k. menteri perdagangan dan koperasi
nomor. 34/kp/1x/1980 tentang perijinan kegiatan usaha sewa beli,
jual beli dengan angsuran dan sewa (renteng)
2. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya nomor 174/1951 yang
diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung no. 5/k/sip/1957
yang merupakan peletak dasar pandangan atas lembaga sewa
beli sebagai jual beli.
(3) SEWA BELI adalah species dari jual beli angsuran.
34
Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan dan
Koperasi No. 34/Kp/II/1980, tanggal 1 Pebruari 1980
pengertian Sewa Beli adalah:
“Jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan
barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran
yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga
barang yang telah disepakati bersama dan yang diikat dalam
suatu perjanjian, serta hak milik atas barang tersebut baru
beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah harganya
dibayar oleh pembeli kepada penjual”.
3. PERBEDAANNYA TERLETAK PADA:
(1) Pengalihan Hak milik atas obyek;
(2) Hakekat Pembayaran Angsuran;
(3) Perlindungan para pihak (penyewa beli)
Tabel: 1
URAIAN PERBEDAAN
No. VARIABEL PERBEDAAN
JUAL BELI DNG ANGSURAN
SEWA BELI
1. Pengalihan Hak Milik atas barang
Pada saat perjanjian mengikat kedua belah pihak, lazimnya pada saat pembayaran angsuran pertama atau penyerahan barang dari penjual kepada pembeli.
Tidak akan terjadi sampai saat pembayaran atau pelunasan bagian harga terakhir dalam hal sewa beli.
35
2. Hakikat Pembayaran
Pembayaran bukan berupa kompensasi atas kenikmatan barang (bukan sewa) melainkan tertuju pada pemilikan atau hak milik atas barang sendiri.
Pembayaran dalam sewa beli dianggap merupakan kompensasi atas kenikmatan barang (seperti sewa) walau tujuan perjanjian ini bermaksud mengalihkan hak milik atas barang yang baru dapat dilakukan setelah seluruh pembayaran sewa dilunasi.
3. Perlindungan Para Pihak
Pihak pembeli kedudukannya lebih lemah dari penjual karena dapat dimanfaatkan dalam bentuk praktek riba.
Penyewa beli kedudukannya memikul resiko atas barang sekalipun hak miliknya belum beralih.
4. YURISPRUDENSI SEWA BELI
Kasus Posisi:
Toko mobil N.V. Handelsmaatschappij L’Auto menggugat seorang
bernama Jordan, untuk melunasi kekurangan angsuran atas harga mobil
yang disewa beli oleh Jordan. Mobil tersebut telah dirampas oleh
Jepang pada bulan Maret 1942.
Jordan berpendirian bahwa ia sudah tidak lagi diwajibkan membayar
angsuran yang tersisa karena mobil dapat dianggap musnah.
36
P.N. Surabaya dalam putusannya tanggal 5 Pebruari 1951
membenarkan pendirian tergugat Jordan atas pertimbangan bahwa
perjanjian sewa beli itu harus diartikan sebagai perjanjian sewa
menyewa, karena itu gugatan dari toko mobil itu dinyatakan tidak
diterima (ditolak).
Dalam tingkat banding putusan P.N. Surabaya itu dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi Surabaya dengan putusannya tanggal 30
Agustus 1956 atas pertimbangannn bahwa perjanjian sewa beli iutu
adalah jenis jual beli, Oleh karena dianggap jenis perjanjian jual
beli maka Pengadilan Tinggi Surabaya menerapkan Pasal 1460
KUH.Perdata perihal resiko.
Dalam tingkat kasasi, permohonan kasasi tergugat terbanding
(Jordan) ditolak oleh Mahkamah Agung dengan putusan tanggal 16
Desember 1957, atas pertimbangan bahwa putusan Pengadilan
Tinggi Surabaya bahwa menurut isi perjanjian sewa beli risiko atas
hilangnya barang karena keadaan memaksa (overmacht) dipikul
oleh penyewa beli adalah mengenai suatu kenyataan (feitelijkheid),
sehingga keberatan pemohon kasasi tentang hal ini tidak dapat
dipertimbangkan oleh pengadilan kasasi.
Beberapa sarjana antara lain seperti Prof. Subekti
keberatan resiko atas obyek sewa beli yang musnah harus d
itanggung oleh penyewa beli, seharusnya ditanggung oleh pemilik
barang. Persoalan resiko ini menurut Prof Subekti adalah masalah
37
yang mendasar, tetapi patut disayangkan Mahkamah Agung tidak
mempertimbangkannya secara matang dalam kasus ini.
Pasal 1460 BW melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3
Tahun 1963 telah dihapus untuk tidak digunakan lagi oleh hakim.
4. SIFAT PERJANJIAN SEWA BELI
Sifat perjanjian sewa beli di dalam praktek tidak
merupakan perjanjian konsensuil, tetapi perjanjian konsensuil
yang sekaligus diikuti dengan perjanjian riil (penyerahan
panjer/uang muka dan penyerahan barang. Sepanjang uang muka
down payment belum dibayar dan barang belum diserahkan, maka
pembeli belum merasa dirinya terikat oleh perjanjian itu,
5. HAK PENJUAL/PEMILIK/KREDITUR
1. Menerima pembayaran pertama (down payment);
2. Menerima pembayaran angsuran sec. teratur;
3. Menerima sisa pembayaran angsuran secara sekaligus;
4.Membatalkan perjanjian sewa beli dan menarik obyeknya
apabila penyewa beli tidak memenuhi kewajibannya membayar
38
angsuran, tanpa kewajiban mengembalikan pembayaran
angsuran yang telah diterimanya.
5. Menerima pembayaran walau terjadi force majeur.
6. Menerima pemberitahuan secara tertulis ttg perubahan alamat
penyewa beli;
7. Menerima pelunasan hutang secara sekaligus apabila pembeli
sewa dipensiunkan atau diberhentikan dengan tidak hormat,
dipindahkan ke tempat lain di luar lingkungan kerja semula,
meninggal dunia dengan menjual barang kepada pihak lain.
8. Memungut denda apabila tertunda pembayaran dalam 1 (satu)
bulan (5%).
9. Mengambil kembali barang apabila tertunda pembayaran
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut dan memiliki uang muka
dan uang angsuran.
10.Menyimpan surat-surat yang berhubungan dengan barang yang
menjadi obyek;
11.Memasuki ruangan tempat barang terletak/disimpan dan
mengambil kembali apabila tertunggak 2 (dua) bulan,
sedangkan pembayaran angsuran dianggap sebagai sewa
12.Menerima penggantian atas biaya yang dikeluarkan untuk
39
pengambilan kembali barang tersebut;
13. Berhak membatalkan perjanjian secara sepihak dalam hal
pembayaran pertama tidak dilaksanakan dalam waktu 7
(tujuh) hari setelah perjanjian sewa beli dibuat;
14. Menerima kembali barang dari pembeli apabila perjanjian
batal demi hukum dalam waktu 1 (satu) minggu setelah
batalnya perjanjian;
15. Membayar pihak ketiga untuk melepaskan dari tuntutan
terhadap penyewa yang mengalihkan haknya kepada pihak
lain dan berhak memperoleh pembayaran kembali atas biaya
itu dari penyewa seketika ditagih.
16. Berhak mengambil alih barang (berupa mesin) kembali
dalam hal penyewa tidak membayar uang muka, angsuran
dalam 7 hari setelah pembayaran itu harus dibayarkan.
6. KEWAJIBAN PENJUAL/PEMILIK/KREDITUR
1. Menjamin bahwa barang yang dijual itu dalam keadaan baik,
baru dan siap pakai;
2. Menjamin pembeli dibebaskan dari segala tuntutan pihak
lain mengenai barang yang telah diserahkan kepada pembeli;
40
3. Memberikan fasilitas servis berkala, reparasi dan
penggantian suku cadang;
4. Menyediakan bengkel reparasi maupun servis;
5. Memberikan faktur sebagai tanda pembayaran yang sah
pada saat pembayaran angsuran terakhir;
6. Memindahkan lokasi mesin atas permintaan pembeli sewa;
7. Menentukan jumlah yang harus dibayar sekaligus oleh
pembeli
8. Menyediakan barang tersebut dalam waktu yang telah
ditentukan setelah pembayaran pertama diterima;
9. Memasang mesin di tempat yang ditunjukkan pembeli
secara cuma-cuma di mana perwakilan penjual
berkedudukan, apabila di luar batas kota membayar biaya
pemasangan;
10. Memberitahukan tentang adanya perubahan suku bunga
kepada debitur;
11. Mengurus pembaharuan STNK, PKB dan SWDKLLJ;
41
12. Menjual kendaraan apabila pembeli tidak menebus kembali
kendaraan yang disita dalam tempo tiga minggu.
7. HAK-HAK PEMBELI/DEBITUR
1. Menerima barang dalam keadaan baik, baru dan siap pakai;
2. Menerima fasilitas servis berkala 3 (tiga) kali berturut-turut,
reparasi dan penggantian suku cadang, bila perlu dengan
cuma-cuma;
3. Menerima tanda bukti pembayaran (kwitansi sementara) dan
faktur pada pembayaran angsuran terakhir;
4. Dapat melunasi/membayar sisa angsuran secara sekaligus,
memperoleh reduksi/pengurangan apabila mempercepat
jangka waktu pelunasan angsuran;
5. Menjual barang bersama-sama dengan penjual sewa untuk
melunasi hutang;
6. Menebus kembali barang yang telah diambil oleh penjual
dalam tempo 2 (dua) minggu dan membayar angsuran yang
tertunggak;
7. Menerima jaminan bahwa barang yang diserahkan oleh
penjual bebas dari segala tuntutan pihak lain;
42
8. Memperoleh segala keuntungan dan kerugian yang
diperoleh dari barang yang telah diterimanya;
9. Menerima fasilitas pemasangan mesin secara cuma-cuma di
daerah perusahaan penjual berkedudukan dengan membayar
biaya pemasangan kalau di luar batas kota;
10. Memperoleh opsi (pilihan) untuk membeli mesin dengan
harga yang telah diperinci dalam perjanjian, atau sebesar
jumlah yang telah disetujui bersama dan dengan
dilaksanakannya opsi tersebut maka penyewaan berakhir
dan mesin menjadi milik penyewa.
8. KEWAJIBAN PEMBELI/DEBITUR
1. Membayar uang muka/uang pembayaran pertama;
2. Membayar angsuran secara teratur;
3. membayar biaya perjalanan dan akomodasi
4. Mempergunakan bengkel yang telah ditetapkan
5. penjual sewa apabila mesin memerlukan reparasi atau servis;
43
6. Pembeli sewa tidak diperkenankan merubah, merusak,
menghilangkan, menjual atau meminjamkan mesin kepada
pihak lain
7. Memberitahukan permintaan pemindahan mesin kepada
penjual sewa dan membayar biaya pemindahan mesin;
8. Menanggung resiko dan menyelesaikan angsuran
pembayaran;
9. Memberitahukan perubahan alamat secara tertulis;
10. Tidak boleh mengganti/merubah perjanjian sewa beli tanpa
persetujuan kedua pihak;
11. Membayar denda sebesar 0,5 % dalam hal terlambat
membayar angsuran;
12. Menyerahkan kembali barang apabila tertunggak 2 (dua)
bulan;
13. Membayar biaya pengambilan yang telah dikeluarkan oleh
penjual sewa;
14. Melakukan pembayaran kepada dan di kantor penjual;
44
15. Tidak akan mengajukan tuntutan apapun baik mengenai
keadaan serta cacat yang terlihat atau tersembunyi atas
barang yang telah diserahkan;
16. Menyerahkan surat pengakuan hutang;
17. Menyerahkan secara fiducia hak milik atas kendaraan
tersebut;
18. Menyerahkan jaminan tambahan;
19. Memberitahukan kepada penjual dalam waktu 3 (tiga) hari
sebelum keinginan untuk membayar sisa angsuran sekaligus;
20. Membayar sendiri angsuran sewa beli ke rekening Bank
penjual/ke Kantor penjual;
21. Menyediakan tempat pemasangan mesin sesuai kebutuhan
mesin dan keperluan teknis lainnya;
22. Dilarang mengalihkan perjanjian sewa beli ini kepada pihak
lain tanpa persetujuan penjual;
23. Dilarang menjadikan mesin sebagai barang jaminan;
45
24. Dilarang melepaskan haknya atas pembayaran sewa beli
apabila menunggak 2 (dua) bulan berturut-turut sedangkan
perjanjian batal demi hukum;
25. Menyerahkan barang yang disewa kepada penjual 1 (satu)
minggu setelah batalnya perjanjian tanpa melakukan usaha
yang memperlambat penyerahan;
26. Kewajiban penyewa untuk membayar angsuran akan
berlangsung terus walaupun terdapat kekurangan atau
kemacetan, kehilangan atau kerusakan pada mesin secara
penuh tanpa adanya perjuampaan atau pemotongan.
27. Tetap memasang mesin pada tempatnya, pemindahan mesin
harus seizing pemilik;
28. Tidak akan membiarkan atau mengakibatkan mesin itu
dikenakan penyitaanb executie atau prioses hukum lainnya;
29. Memakai mesin tersebut dengan cara yang wajar dan
memelihara dalam keadaan baik, tidak mengadakan
perubahan atau tambahan pada mesin itu tanpa persetujuan
tertulis dari pemilik;
30. Membayar ganti kerugian pada pemilik terhadap semua
kerugian atau kerusakan yang timbul dari sebab apapun;
46
31. Memakai suku cadang asli dan tidak akan menggunakan
seorang atau perusahaan untuk menyetel atau memperbaiki
mesin tanpa memperoleh persetujuan tertulis dari pemilikj;
32. Mendapatkan semua lisensi, surat ijin dan persetujuan yang
diperlukan untuk memakai mesin tersebut;
33. Memberikan ijin yang tidak dapat ditarik kembali pada para
petuga/agen pemilik pada waktu yang wajar untuk
memasuki tempat di mana mesin berada untuk meneliti atau
menarik kembalki mesin tersebut.
34. Membayar sisa harga sewa beli/uang lainnya yang belum
dibayarkan apabila perjanjian diputuskan;
35. Membayar kepada atau atas nama pemilik semua biaya,
lisensi, beban atau pajak-pajak yang sekarang dan di
kemudian hari dibebaskan oleh Pemerintah R.I. atau
instansi;
36. Menyetujui pemilik untuk melekatkan striker sampai hak
milik atas mesin beralih kepada penyewa;
37. Menanggung seluruh biaya yang diperlukan dalam
pengikatan barang jaminan dan pertanggungan asuransinya;
38. Menggadaikan kendaraan kepada penjual sebagai jaminan
utama;
47
39. Menanggung segala resiko atas kendaraan dan wajib
memelihara kendaraan tersebut dengan sebaik-baiknya;
40. Menanggung biaya pengurusan STNK, PKB dan SWDKLJJ
yang dilakukan oleh penjual.
BAB V
PERJANJIAN SEWA GUNA USAHA/LEASING
48
1. PENGERTIAN
Leasing adalah suatu sewa menyewa yang dilakukan
antara seseorang/usahawan (lessee) dengan lembaga
pembiayaan (lessor) atas suatu barang modal di mana
pada akhir masa sewa tersebut diberikan hak opsi kepada
lessee, agar dapat terjadinya suatu levering atas barang
modal yang menjadi obyek perikatan leasing tersebut.
Jadi unsur-unsur yang terdapat dalam bisnis leasing,
yaitu:
a. Metode pembiayaan bisnis;
b. Obyeknya berupa barang modal;
c. Perjanjiannya berupa sewa menyewa
d. Adanya hak opsi yang diberikan kepada lessee.
Dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan,
Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan masing-
masing No. KEP. 122/MK/IV/2/1974, Nomor
32/M/SK/2/1974, Nomor 30/Kptys/1/74 tanggal 7
Peberuari 1974, Pasal 1 memberikan definisi leasing
sebagai berikut:
49
“Leasing sebagai kegiatan pembiayaan perusahaan
dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk
digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu
tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala disertai
dengan hak pilih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk
membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau
memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai
sisa yang disepakati bersama”
2. KARAKTERISTIK PERJANJIAN LEASING
Adapun beberapa hal yang dianggap menonjol dikatakan
sebagai karakteristik leasing antara lain sebagai berikut:
a. leasing pada prinsipnya dianggap sebagai salah satu
metode pembiayaan bisnis, lessornya berbentuk
perusahaan pembiayaan dengan obyek berupa
barang-barang modal, alat produksi atau beberapa
bentuk barang konsumsi;
b. Lessor bertindak atau berkedudukan sebagai
penyandang dana, sementara barang obyek leasing
disediakan oleh pihak lain atau pihak lessee itu
sendiri;
50
c. Menyewakan barang modal karena leasing
dikategorikan juga sebagai assets based finances;
d. Jika terjadi wan prestasi dari pihak lessee pada
prinsipnya lessor tinggal mengambil kembali barang
tersebut tanpa harus memperhitungkan atau
mengembalikan kelebihan harga. Hal ini disebabkan
karena barang modal itu masih menjadi milik lessor.
2. JENIS LEASING
1. OPERATING LEASE
Operating lease juga disebut service lease. Leasing
seperti ini tidak dibenarkan dilakukan oleh perusahaan
finansial, sebab menurut Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 1169/KMK 01/1991 yang dibenarkan hanya yang
memiliki (2) adanya hak optie (pilihan yang harus dipilih
oleh orang yang mengambil leasing).
Dalam perjanjian sewa tidak dikenal adanya
penentuan nilai sisa obyek atas obyek sewa dan tidak ada
optie bagi penyewa. Demikian pula dilihat dari
esensialinya, maka esensialia perjanjian sewa adalah
51
obyek sewa, harga sewadan jangka waktu sewa.
Sedangkan esensialia perjanjian leasing adalah sama
dengan esensialia perjanjian sewa ditambah pembayaran
uang muka dan penyerahan barang obyek leasing.
Berdasarkan esensialia ini maka sifat perjanjian leasing
adalah kombinasi dari sifat konsensuil obligatoir seperti
sifat perjanjian sewa tetapi juga mengandung sifat riil
karena disertai pembayaran (uang muka) dan penyerahan
barang. Perjanjian leasing tanpa pembayaran uang muka
dan penyerahan barang obyek leasing dianggap tidak
pernah terjadi atau lahir.
BAB VI
PERJANJIAN PEMBIAYAAN MODAL VENTURA
52
1. PENGERTIAN
Berdasarkan Kepres No. 61 Tahun 1988 Pasal 1 ayat (11)
tentang Lembaga Pembiayaan disebutkan bahwa:
“Modal ventura adalah sebagai usaha pembiayaan dalam
bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang
menerima bantuan pembiayaan (investee company) untuk
jangka waktu tertentu”
Jadi unsur pokok dalam pengertian (definisi) tersebut adalah:
1. Para pihak dalam perjanjian pembiayaan modal ventura adalah
perusahaan. Pihak satu adalah perusahaan yang telah
memperoleh ijin usaha sebagai Perusahaan Modal Ventura dari
Menteri Keuangan. Sedangkan pihak lain yang dapat
memperoleh penyertaan modal ventura adalah juga perusahaan
walaupun skalanya adalah usaha kecil dan menengah (UKM);
2. Perjanjian pembiayaan modal ventura dilakukan dengan cara
penyertaan modal dari perusahaan modal ventura ke dalam
perusahaan yang menerima pembiayaan modal ventura;
3. Perjanjian pembiayaan modal ventura tersebut dilakukan selama
jangka waktu tertentu.
53
2. KARAKTERISTIK
Modal ventura sebenarnya memiliki ciri-ciri khusus atau
karakteristik sebagai berikut:
1. Pemberian bantuan finansial dalam bentuk modal ventura ini
tidak hanya menginvestasikan modalnya saja, tetapi juga ikut
terlibat dalam manajemen perusahaan yang dibantunya;
2. Investasi yang dilakukan tidaklah bersifat permanen, tetapi
hanyalah bersifat sementara , untuk kemudian sampai waktunya
dilakukan divestasi (pengembalian modal secara penuh kepada
perusahaan modal ventura);
3. Motif pembiayaan (penyertaan) modal ventura tersebut adalah
motif bisnis murni artinya pertimbangan untuk memperoleh
keuntungan yang tinggi, bukan atas dasar kedermawanan
(charity) atau belas kasihan. Oleh karena itu kadang keuntungan
yang diharapkan (return) melebihi bunga kredit bank;
4. Investasi dalam bentuk modal ventura itu bersifat jangka
menengah dan jangka panjang bukan jangka pendek;
5. Investasi modal ventura itu sebenarnya bukan atau tidak dapat
dikatakan sebagai pinjaman (kredit), melainkan dalam bentuk
partisipasi equity, karena return (pengembalian atas keuntungan)
54
yang diharapkan bukan dalam bentuk bunga melainkan deviden
atau capital gain;
6. Oleh karena ini investasi modal ventura pada prinsipnya
investasi tanpa jaminan (coleteral) oleh karena itu dibutuhkan
pertimbangan kehati-hatian dalam memberikan modal ventura
kepada perusahaan yang menerimanya (perusahaan pasangan
usaha);
7. Tujuan pemberian modal ventura itu diarahkan kepada
perusahaan kecil atau perusahaan baru yang belum memiliki
akses (kesempatan) untuk memperoleh kredit dari bank tetapi
memiliki potensi besar untuk berkembang.
3. JENIS MODAL VENTURA
Modal ventura dengan penyertaan bantuan manajemen;
Modal ventura tanpa penyertaan bantuan manajemen;
Modal ventura dengan penyertaan bantuan manajemen
diberikan oleh perusahaan modal ventura disertai masuknya
wakil perusahaan ventura pemberi modal tersebut ke dalam
perusahaan pasangan usaha sebagai pengurus perusahaan.
Dalam praktek masuknya wakil perusahaan ventura ke
dalam perusahaan pasangan usaha ini seringkali
55
menyulitkan atau paling tidak mengekang ruang kebebasan
gerak perusahaan pasangan usaha.
Modal ventura tanpa penyertaan bantuan manajemen, artinya
dengan jenis ini perusahaan pasangan usaha bebas melakukan
improvisasi dalam mengelola usaha karena perusahaan modal
ventura tidak ikut campur ke dalam manajemen perusahaan.
Tetapi dilihat dari kepentingan perusahaan modal ventura jenis
ini mengandung resiko tinggi yang berupa kegagalan usaha
karena kebebasan perusahaan pasangan usaha belum tentu
menghasilkan profit (keuntungan) yang diharapkan.
4. KEWAJIBAN PARA PIHAK
Kewajiban perusahaan Modal Ventura adalah :
1. Melakukan pembinaan terhadap perusahaan pasangan usaha,
baik pembinaan di sektor usaha, manajemen maupun keuangan
yang dibiayai dengan modal tersebut;
2. Melakukan pelaporan-pelaporan yang diwajibkan oleh
pemerintah, khususnya yang berhubungan dengan bantuan dan
pembinaan pengusaha kecil yang berada di daerahnya.
Kewajiban perusahaan pasangan usaha adalah:
56
1.mengembalikan modal yang telah diterimanya kepada
perusahaan ventura sesuai jangka waktu yang telah disepakati
dalam kontrak;
2.mebayar bunga atau bagi hasil atas pemberian modal tersebut
sebeasar yang telah disepakati bersama dalam kontrak;
3. Menerima bantuan manajemen dari perusahaan ventura.
Dalam prakteknya ternyata syarat untuk memperoleh pembiayaan
modal ventura ternyata juga tidak mudah dipenuhi oleh usaha
kecil atau menengah. Hal ini disebabkan perusahaan ventura
mensyaratkan adanya kualifikasi tertentu seperti:
a. usaha kecil dimaksud dituntut wajib memenuhi syarat untuk
memperhatikan dan memelihara lingkungan hidup dengan kata
lain memiliki ijin Hinder Ordonanti (U.U. Gangguan) atau Ijin
AMDAL;
b.memenuhi peraturan di bidang ketenaga-kerjaan seperti wajib
ikut jamsotek (karyawannya harus diikutkan jaminan sosial
ketenaga-kerjaan);
c. Mematuhi segala peraturan yang menyangkut kewajiban pajak
dan lain-lain.
5. ISI PERJANJIAN MODAL VENTURA
Isi atau syarat yang umumnya diperjanjian dalam kontrak
pembiayaan modal ventura adalah sebagai berikut:
57
a. suku bunga atau besarnya persentase bagi hasil (deviden) dari
modal ventura yang diberikan;
b. Jangka waktu penggunaan modal ventura;
c. Cara-cara pengembalian modal ;
d. Jaminan atau agunan atas pemberian modal ventura tersebut,
walau jaminan atau agunannya tidak seperti agunan dalam
kredit bank;
e. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan ditanggung oleh
perusahan pasangan usaha;
f. Ikut serta asuransi jiwa bagi pengurus perusahaan pasangan
usaha dan asuransi kerugian juga harus dicover oleh asuransi;
g. Adanya syarat positive convenant dan negative convenan
seperti halnya dengan pemberian kredit bank oleh bank
kepada debiturnya dan atau perusahaan leasing (lessor)
kepada lessee
58
BAB VII
PERJANJIAN LISENSI
1. PENGERTIAN : perjanjian yang dilakukan antara pemilik /pemegang
jenis HKI (licensor) dengan pihak yang menerima
lisensi (licensee) tentang pemberian ijin penggunaan,
penggandaan dan pemasaran suatu komoditas HKI
dalam jangka waktu tertentu dengan kewajiban
membayar royalti sebagai prestasi.
Unsur : 1. Para pihak;
2. Pemberian Ijin penggunaan, penggandaan
dan/atau pemasaran
3. Obyek: Komoditas HKI;
4. Dalam jangka waktu tertentu;
5. Royalty
2. RUANG LINGKUP
Scope perjanjian lisensi termasuk perikatan yang bersumber pada
perjanjian, karena isi perjanjian lisensi ditentukan sepenuhnya oleh para
pihak, bukan oleh Undang-undang. Dilihat dari obyeknya scope
perjanjian lisensi ini meliputi seluruh jenis hak kekayaan intelektual, yaitu:
(1)Hak merek;
(2)Hak Cipta;
(3)Hak Paten;
(4)Hak Desain Industri;
59
(5)Rahasia Dagang;
(6)Desain Tata letak Sirkuit Terpadu;
(7)Perlindungan Varietas Tanaman.
3. ASAS-ASAS HUKUM :
Dalam perjanjian terdapat sejumlah asas hukum yang harus ditaati
oleh para pihak, yaitu:
(1) Perjanjian lisensi harus dibuat dalam bentuk tertulis
dan
didaftarkan ke Direktorat Jenderal HKI, kecuali Perlindungan
Varietas Tanaman didaftarkan di Kantor Varietas Tanaman
Departemen Pertanian;
(2) Perjanjian lisensi jangka waktunya tidak boleh
melebihi jangka waktu perlindungan HKI, kecuali Rahasia
Dagang yang tidak mengenal pembatasan jangka waktu
perlindungan hukum. Contoh: masa perlindungan paten biasa
20 tahun, maka perjanjian lisensi tidak boleh melebihi jangka
waktu perlindungan tersebut.
(3) Perjanjian lisensi tidak boleh merugikan
kepentingan ekonomi (Indonesia) bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan.
4. SYARAT SAH
60
Sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam pasal 1320 KUH.Perdata, yaitu:
(1) Kesepakatan para pihak;
(1) Kecakapan para pihak;
(2) Obyek Tertentu;
(3) Causa Halal.
Yang dapat menjadi obyek perjanjian lisensi adalah meliputi
seluruh jenis HKI. Tetapi setiap perjanjian lisensi hanya dibolehkan
untuk satu jenis HKI, seperti lisensi merek, lisensi hak cipta, lisensi
paten. Berhubung HKI termasuk benda bergerak yang tidak
berwujud, maka untuk memenuhi syarat sahnya perjanjian khususnya
obyeknya harus tertentu dan dapat ditentukan. Berhubung HKI
termasuk jenis benda bergerak yang tidak berwujud, maka maka
spesifikasi obyek masing-masing jenis HKI yang dilisensikan harus
diketahui dan diuraikan dengan baik dalam perjanjian.
TABEL 1 :Spesifikasi Obyek HKI
No. Jenis HKI Spesifikasi Obyek
1. Hak Merek (1) Merek tersebut harus terdaftar, dibuktikan dengan sertifikat hak merek;
(1) Nomor sertifikat, kelas barang dan jasa harus disebutkan dengan tegas;
2. Hak Cipta (1) Ciptaan yang terdaftar dibuktikan dengan Surat Pendaftaran Ciptaan, bagi hak cipta yang tidak didaftarkan harus disertai surat pernyataan bahwa obyek ciptaan itu benar-benar milik pencipta;
(2) Uraian (kekhasan) Ciptaan harus disebutkan
61
dalam perjanjian. 3. Hak Paten (1) Dibuktikan dengan Sertifikat paten;
(1) Menyebutkan nomor pendaftaran paten, Klasifikasi Paten sebagaimana ditentukan dalam IPC (Internasional Paten Calasification).
(2) Jenis lisensinya harus ditentukan apakah Lisensi Khusus atau tidak dengan lisensi khusus atau lisensi wajib.
4. Desian
Industri
(1) Dibuktikan dengan Sertifikat desain Industri;(1) Nomor Pendaftaran, dan Klasifikasi Desain
Industrinya harus disebutkan.5. Rahasia
dagang
(1) Dibuktikan dengan Surat Pernyataan Pemilikan Rahasia Dagang;
(1) Dibuktikan bahwa Rahasia Dagang tersebut dijamin kerahasiaannya oleh pemiliknya;
(2) Dalam perjanjian lisensi rahasia dagang bukan rahasia dagangnya yang dilisensikan tetapi produk yang dibuat berdasarkan rahasia dagang;
6. Desain Tata
Letak Sirkuit
Terpadu
(1) obyeknya dibuktikan dengan Sertifikat Desain Tata letak Sirkuit Terpadu;
(1) Proses kerja rangkaian elektronika terpadu tsb harus diberikan oleh pemberi lisensi kepada penerima lisensi.
7. Perlindungan
Varietas
Tanaman
(1) obyeknya ditentukan dengan Sertifikat PVT yang dikeluarkan oleh Kantor Varietas Tanaman;
(2) Jenis lisensinya harus disebutkan apakah lisensi khusus (hak eksklusif), umum atau lisensi wajib.
(3) Standarisasi Mutu tentang Produk yang dihasilkan juga harus disebutkan dengan jelas.
5. DASAR HUKUM : Perjanjian lisensi ini dasar hukumnya dinyatakan
secara tegas dalam Undang-Undang di bidang
HKI, sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut
ini:
62
Tabel 2:DASAR HUKUM
No. Jenis HKI Dasar Hukum
1. Merek Dagang/jasa U.U. Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek , Pasal:
43 sampai dengan 49
2. Hak Cipta U.U. No. 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta, Pasal 45 s/d 47.
3. Hak Paten U.U., No. 14 Tahun 2001 tentang
Paten, Pasal 69 s/d 87. Perjanjian
lisensi Paten ini selanjutnya akan
diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
4. Desain Industri U.U. No. 31 Tahun 2000. Pasal
33 s/d 36
5. Rahasia Dagang U.U. No. 30 tahun 2001 Pasal 10,
11, 12.
6. Desain Tata letak Sirkuit
Terpadu
U.U. No. 32 Tahun 2000, Pasal
25 s/d 28.
7. Perlindungan Varietas
Tanaman
U.U. No. 29 Tahun 2000, pasal
42 s/d 55.
63
5. CAUSA PERJANJIAN LISENSI:
Tidak merugikan kepentingan perekonomian Indonesia, tidak
melanggar U.U., ketertiban umum dan kesusilaan adalah suatu
batasan tentang causa perjanjian lisensi. Selama perjanjian lisensi
tidak bertentangan atau melanggar pembatasan tersebut, maka
secara de jure dianggap sah.
6. PEMBAYARAN ROYALTY :
Ada berbagai macam model pembayaran royalty
dalam perjanjian lisensi:
(1) Pembayaran suatu jumlah sekaligus;
(2) Persentase harga jual;
(3) Pembayaran jumlah tertentu dihitung tiap-masing masing
komponen yang dibuat;
(4) Persentase dari profit;
(5) Partisipasi pihak pemberi lisensi dalam perusahaan penerima
lisensi melalui pemilikan saham;
(6) Membayarnya dengan barang (imbal jual) atau dengan jasa,
seperti jasa melakukan riset dan sebagainya.
64
BAB VIIIPERJANJIAN WARALABA
1. PENGERTIAN : Perjanjian waralaba adalah perjanjian tentang pemberian
ijin penggunaan format bisnis dari pemegang hak
waralaba (franchisor) kepada terwaralaba (franchisee),
selama jangka waktu tertentu dengan kewajiban
membayar royalty.
Dalam P.P. no. 42 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (1)
disebutkan bahwa Waralaba atau franchise adalah: “hak
khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan
usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha
dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang
telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau
digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba”.
65
2. RUANG LINGKUP
Hak kekayaan Intelektual secara kolektif yang dikemas dalam satu paket atau
kesatuan format bisnis. Jadi mengandung berbagai HKI seperti Merek
Terdaftar, Hak Cipta, Desain Industri, Paten, Rahasia Dagang dan
sebagainya.
3. DASAR HUKUM :
(a) Dasar Hukurn Umum:
(1) Pasal 1319 K.U.H. Perdata yang menyatakan bahwa semua
perjanjian baik perjanjian bemarna maupun perjanjian tidak
bemama tunduk pada aturan umum hukum perikatan yang ada
pada Buku III K.U.H. Perdata
(2) Pasal 1320 K.U.H. Perdata yang menyatakan bahwa sahnya
persetujuan (perjanjian) yaitu apabila memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Kesepakatan; c. Obyek tertentu;
b. Kecakapan; d. Causa halal.
Pasal 1338 K.U.H. Perdata yang menyatakan bahwa:
(1) Segala perstujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai
Undang-undang bagi pembuatnya. (2) Persetujuan tidak dapat
66
dirubah oleh salah satu pihak melainkan harus dilakukan oleh
kedua belah pihak; (3) Persetujuan harus dilakukan dengan itikad
baik.
(3)Pasal 1339 K.U.H. Perdata yaitu, segala persetujuan tidak hanya
mengikat terhadap hal-hal yang tersurat tetapi menurut sifatnya juga
tidak diperbolehkan bertentangan dengan UU kesusilaan dan
ketertiban umum.
b. Dasar Hukum Khusus
Peraturan yang menjadi dasar hukum khusus Waralaba yaitu: 1)
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.
2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba.
o
4. ASAS-ASAS :
(1) Jangka waktunya tidak boleh kurang 5 tahun;
(2) Harus dibuat secara tertulis dan didaftarkan pada Departemen Perdagangan;
(3) Terwaralaba dilarang merubah format bisnis termasuk segala macam unsure HKI yang merupakan bagian dari kesatuan ;
67
(4) Tidak boleh merugikan kepentingan perekonomian Indonesia, tidak melanggar U.U., Ketertiban umum dan Kesusilaan.
5. PERBEDAANNYA DENGAN PERJANJIAN LISENSI
Tabel 1Perbedaan antara Perjanjian Lisensi dan Perjanjian Waralaba
No. Lisensi Waralaba
1. Obyeknya hanya salah satu jenis HKI
Obyeknya lebih dari 1 (satu) jenis HKI
2. Penerima Lisensi menjalankan perusahaan dengan otoritasnya sendiri (menggunakan benderanya sendiri)
Penerima Waralaba (terwaralaba) menjalankan perusahaan/usaha dengan bendera pemegang/pemilik waralaba. Terwaralaba sama sekali dilarang mereservasi/merubah unsur-unsur dalam format bisnis tersebut..
3. Jangka waktunya tidak ditentukan, sepenuhnya ditentukan para pihak, asalkan tidak melebihi jangka waktu perlindungan hukum atas jenis HKI yang dilisensikan
P.P. No. 16 Tahun 1997 membatasi minimum 5 (lima) tahun.
4, Pemberi lisensi tidak berhak memutuskan kontrak lisensi terhadap penerima lisensi
Perusahaan (pemilik) waralaba dapat memutuskan kontrak waralaba terhadap terwaraba.
5. Isi Kontrak lisensi sepenuhnya ditentukan oleh kebebasan berkontrak para pihak
Isi Kontrak Waralaba walau ditentukan oleh kebebasan berkontrak para pihak tetapi juga harus memperhatikan dan membuka akses untuk ikut-sertanya usaha kecil dan menengah (UKM)
6. Kontrak Lisensi Dalam kontrak waralaba tidak
68
memungkinkan terjadinya alih teknologi dari licensor kepada lisencee.
memungkinkan terjadinya alih tehnologi dari franchisor kepada franchisee (terwaralaba);
7. Kontrak lisensi dilakukan secara langsung antara para pihak tanpa didahului oleh pembicaraan pra kontrak
Kontrak waralaba wajib didahului oleh pemberian (pembicaraan) tentang prospektus penawaran dari franchisor kepada franchisee. Kesepakatan isi prospektus penawaran dianggap tahapan pra kontral.
7. PERTIMBANGAN KEUNTUNGAN WARALABA
Bisnis walaraba berkembang sangat pesat di Indonesia, baik
waralaba lokal maupun asing. Hal ini tentunya tidak terlepas dari
peluang profit bagi siapa saja yang menjalankan bisnis ini.
Suatu contoh:
Seorang akan memulai bisnis super market . Ia tentu akan
mempertimbangkan apakah usahanya itu akan berjalan lancar atau
malah pailit. Kalau usaha itu dikembangkan sendiri di tengah-tengah
persaingan yang begitu padat seperti saat ini, kemungkinan usaha itu
akan bangrut. Oleh karena itu ia lebih baik mengambil waralaba dari
pemegang hak waralaba supermarket yang sudah terkenal.
69
Pertimbangan dimaksud adalah:
(1)Merek jasa super market itu sudah sangat dikenal oleh masyarakat
(merek terkenal);
(2)Minat/jaminan konsumen telah terbangun dengan baik (stabil);
(3)Keuntungan yang akan diperoleh dapat diperkirakan dengan baik;
(4)Memiliki kestabilan usaha dalam menghadapi goncangan ekonomi.
Atas pertimbingan itulah seorang pengusaha lebih baik mengambil
waralaba dari waralaba terkenal daripada membangun reputasi bisnis
sendiri yang membutuhkan waktu panjang, menghadapi persaingan
ketat dan sejumlah hambatan bisnis lainnya.
8. SEJARAH PERKEMBANGAN WARALABA
Franchise lahir di Amerika Serikat kurang lebih satu abad yang
lalu ketika perusahaan mesin jahit singer mulai memperkenalkan konsep
franchising sebagai suatu cara untuk mengembangkan distribusi
produknya. Demikian pula perusahaan-perusahaan bir memberikan
lisensi kepada perusahaan kecil sebagai upaya mendistribusikan produk
mereka.
70
Franchise dengan cepat menjadi model yang dominan dalam
mendistribusikan barang dan jasa di Amerika Serikat. Menurut the
International Franchise Association, sekarang ini satu dari dua belas
usaha perdagangan di Amerika Serikat adalah franchise. Franchise
menyerap delapan juta tenaga kerja dan mencapai empat puluh satu
persen dan seluruh bisnis eceran di Amerika Senikat (David Hess,
1995:333).
Franchising kemudian berkembang dengan pesat karena
metode pemasaran ini digunakan oleh berbagai jenis usaha, seperti
restoran, bisnis retail, salon rambut, hotel, dealer mobil, stasiun pompa
bensin, dan sebagainya (Robert W.Emerson, 1994:920).
Waralaba (Franchise) sebenamya sudah berkembang lama di
Indonesia. Sekitar tahun 1950-an. Presiden Soekarno mengusir orang-
orang Belanda berikut perusahaannya. Perusahaan-perusahaan swasta
milik Belanda tersebut sekarang menjadi Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Salah satunya Pertamina yang merupakan pelopor waralaba di
Indonesia. Penjualan bensin secara retail melalui lisensi pompa bensin
(SPBU) oleh pertamina ini merupakan waralaba.
Selain pertamina, Perusahaan Jamu Nyonya Meneer juga
memberikan sumbangan yang besar artinya bagi keberadaan bisnis
71
waralaba di Indonesia, perusahaan jamu jawa asli yang dikenal
masyarakat luas dengan brand name Jamu Cap Potret Nyonya Meneer
tersebut melisensikan penjualan jamu kepada pengusaha obat tradisional.
Semakin menariknya bisnis waralaba bagi dunia usaha,
membuat bisnis waralaba asing masuk dan berkembang di Indonesia,
keberadaan waralaba asing tersebut merupakan kecenderungan
globalisasi, di mana jaringan waralaba Amerika Serikat masuk ke
Indonesia pada tahun 1978 dengan Kentucky Fried Chicken (KFC) dan
Mc. Donald’s pada era tahun 1 990-an yang kini memiliki omzet yang
sangat besar di Indonesia.
Perkembangan waralaba semakin pesat pada satu dasawarsa
terakhir. Tidak sedikit orang beranggapan bahwa waralaba identik dengan
restoran atau makanan. Walaupun sudah menyentuh sektor lain selain
makanan atau restoran. Pada tahun 1993. Waralaba mulai dan beberapa
restoran dan beberapa tahun terakhir ini waralaba tidak hanya merambah
sektor makanan atau restoran saja, tetapi juga menyentuh sektor-sektor di
luar makanan. Sektor-sektor tersebut antara lain ritel, kosmetika,
pendidikan, teknologi informasi, usaha jasa pengiriman, jasa properti dan
lainnya.
72
Tidak mengherankan apabila memasuki abad ke- 20
perkembangan pasar sistem waralaba semakin menjadi sorotan dan
sekaligus menjadi alternatif dalam pengembangan jaringan produk. Jasa
menghadapi perdagangan pasar bebas dan pasar global. Bahkan waralaba
menjadi bahasan yang menarik di berbagai seminar dan media bisnis di
tanah air.
Bisnis waralaba begitu menarik dan menjanjikan keuntungan
yang relatif pasti, maka Pemenntah berkepentingan untuk
mengembangican bisnis waralaba di Indonesia guna terciptanya iklim
kemitraan usaha melalui pemanfaatan bisnis waralaba. Pertama kali
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 16 Tahun
1997. Perkembangan terakhir Peraturan pemenntah ini digantikan dengan
Peraturan Pemerintah RI. Nomor 42 Tahun 2007.
Berkat bantuan International Laboor Organization (ILO) dan
Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia maka
didirikanlah Asosiasi Franchise Indonesia (AFT) pada tanggal 22
November 1991. Pada tahun 1995 berdiri juga Asosiasi restoran Waralaba
Indonesia (ARWI) yang mengkhususkan diri di bidang usaha restoran
ARWI bertujuan mengembangkan sumber daya manusia berkualitas di
bidang usaha restoran waralaba, mengembangkan infonnasi dan inovasi
73
teknologi di bidang usaha restoran terutama mengenai teknologi makanan,
peralatan masak, kemasan, kesehatan dan gizi pengawetan, manajemen.
Di indonesia franchise dikenal sejak era 70-an ketika masuknya
Shakey Pisa, KFC, Swensen dan Burger King. Perkembangannya terlihat
sangat pesat dimulai sekitar 1995. Data Deperindag pada 1997 mencatat
sekitar 259 perusahaan penerima waralaba di Indonesia. Setelah itu,
usaha franchise mengalami kemerosotan karena terjadi krisis moneter.
Para penerima waralaba asing terpaksa menutup usahanya
karena nilai rupiah yang terperosok sangat dalam. Perkembangan sampai
tahun 2000, franchise asing masih menunggu untuk masuk ke Indonesia.
Hal itu disebabkan kondisi ekonoini dan politik yang belum stabiliti
ditandai dengan perseteruan para elit politik. Barulah pada tahun 2003,
usaha franchise di tanah air mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Franchise pertama kali dimulai di Amerika oleh Singer Sewing
Machine Company, produsen mesin jahit Singer pada 1851. Pola itu
kemudian diikuti oleh perusahaan otomotif General Motor Industiy yang
melakukan penjualan kendaraan bermotor dengan menunjuk distributor
franchise pada tahun 1898. Selanjutnya, diikuti pula oleh perusahaan-
perusahaan soft drink di Amerika sebagai saluran distribusi di AS dan
negara-negara lain.
74
9. KONSEPSI WARALABA
Kata franchise (waralaba) berasal dan bahasa Perancis
affranchir yang artinya to free (membebaskan). Istilah franchise di
dalamnya terkandung seseorang memberikan kebebasan dan ikatan
yang menghalangi kepada orang lain untuk menggunakan atau
membuat atau menjual sesuatu.
Perjanjian franchise melibatkan dua pihak, yaitu franchisor
sebagai pihak yang memberi izin untuk menggunakan franchise
miliknya dan franchisee, yaitu pihak yang mendapat izin untuk
menggunakan franchise. Franchisor sebagai pihak pemilik atau
pemegang hak waralaba, sedangkan franchisee sebagai pihak yang
mengakses atau mengambil sistem waralaba itu selama jangka waktu
tertentu untuk memasarkan produk waralaba dengan kewajiban
memberikan royalti kepada pemilik waralaba.
Kiranya dapat dipahami bahwa perjanjian franchise adalah
perjanjian yang berisi pemberian hak kepada seseorang atau perusahaan
untuk menggunakan merek dagang (sistem Hak kekayaan lainnya), atas
barang atau jasa, berikut sistem bismsnya oleh pemilik merek dagang
75
tersebut. Sistem bisnis dalam kaitannya dengan perjanjian franchise
dapat meliputi kiat-kiat bisnis berupa metode-metode dan prosedur
pembuatan, penjualan, dan pelayanan yang dilakukan oleh franchisor
dan di sini franchisor juga memberikan bantuan dalam perikianan dan
promosi serta pelayanan konsultasi.
Adapun ciri-ciri atau elemen-elemen pokok yang terkadang
dalam pengertian franchise tersebut adalah:
(1)Adanya hubungan hukum secara timbal balik (hubungan
kontraktual) antara franchisor dan franchisee sebagai akibat adanya
perjanjian atas beban yang dibuat pihak-pihak tersebut.
(2) Obyek waralaba adalah berupa pemberian izin untuk
mempergunakan kekayaan berwujud dan atau tidak berwujud dan
franchisor kepada franchisee.
(3)Adanya metode atau cara pendistribusian barang atau pemasaran di
bawah kendali metode franchisor.
(4)Adanya hak untuk menggunakan nama dagang dan atau merek
dagang (atau jenis Hak kekayaan Intelektual lainnya) milik
franchisor oleh franchisee.
76
(5)Adanya bimbingan pengelolaan franchisor (techinical assistant)
terhadap unit bisnis milik franchisee yang dijalankan dengan nama
dagang dan atau merek dagang franchisor.
(6)Adanya sejumlah fee (royalti) yang dibayarkan franchisee kepada
franchisor.
Melihat berbagai unsur serta ciri-ciri franchise di atas, maka
beberapa tahun menyatakan bahwa esensi utama dan franchise adalah
perjanjian lisensi. Namun di dalam perjanjian terdapat beberapa
ketentuan yang menonjol yang membedakannya dengan perjanjian
lisensi pada umumnya. Dalam franchisee, perjanjian lisensi diikuti
dengan kewenangan pemilik merek untuk melakukan kontrol guna
menjamin kualitas barang dan jasa yang dilisensikan dan juga punya
kewenangan, baik seluruhnya maupun sebagian.
Kalau ditelaah secara teliti paling terdapat perbedain pokok
antara perjanjian waralaba dengan perjanjian lisensi, yaitu sebagai
berikut:
(1)Dalam peijanjian waralaba, franchisee sekedar hanya menjalankan
bisnis franchisor tanpa diperbolehkan untuk melakukan
perubahanperubahan apapun. Pendek kata dalam waralaba,
sistemnya sudah baku merupakan paket yang tidak diperbolehkan
77
dirubah-rubah oleh franchisee. Franchisee hanya menjalankan usaha
dengan bendera franchisor;
(2) Dalam perjanjian lisensi, pihak yang melisensi pada dasarnya
memiliki kebebasan untuk menjalankan usaha di bawah bendera
perusahaanya sendiri, bukan menjalankan usaha di bawah bendera
pemberi lisensi. Pendek kata penerima lisensi hanya melakukan
kewajiban sehubungan dengan hak lisensinya kepada pihak pemberi
lisensi.
Saat ini istilah franchise dipahami sebagai suatu bentuk
kegiatan yang berupa metode pemasaran atau distribusi. Di dalamnya
ada sebuah perusahaan besar meinberikan hak atau privelege untuk
menjalankan bisnis secara tertentu dalam waktu dan tempat tertentu
kepada individu atau perusahaan yang relatif lebih kecil. Dilihat dari
segi bisnis franchise merupakan salah satu metode produksi dan
distribusi barang dan jasa kepada konsumen dengan suatu standar dan
sistem eksploitasi tertentu
Salah satu kekhususan franchising dan lisensi adalah terletak
path keharusan franchisee untuk mengikuti metode dan persyaratan
kualitas tertentu yang diterapkan oleh franchisor. Metode yang harus
diikuti oleh franchisee tersebut tidak hanya menyangkut metode dan
78
prosedur proses barang dan atau jasa yang diperdagangkan, tetapi juga
metode perdagangan dan manajemen yang telah dikembangkan oleh
franchisor.
Di dalam franchise antara lisensi dan semua unsur yang terkait
di dalamnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
menjadi satu sistem atau format bisnis. Satu hal lagi yang patut
dikemukakan untuk membedakan perjanjian franchise dengan lisensi
pada umumnya adalah pada franchisee lebih menyangkut bidang
perdagangan retail dan jasa yang merupakan perdagangan langsung
dengan pemakai jasa dan barang tersebut.
Melihat uraian di atas, dapat diisimpulkan bahwa pada dasarnya
perjanjian franchise memiliki kemiripan tetapi sekaligus juga memiliki
perbedaan pokok dengan perjanjian lisensi. Uraian ini dikemukakan
atas dasar pertimbangan bahwa pemahaman terhadap perjanjian
franchise akan lebih jelas apabila diiringi atau dibandingkan dengan
pemahaman terhadap perjanjian lisensi.
Franchising (pewaralabaan) pada hakekatnya adalah sebuah
konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha secara
cepat. Demikian. franchising bukanlah sebuah alternatif melainkan
salah satu cara yang sama kuatnya, sama strategisnya dengan cara
79
konvensional dalam rnengembangkan usaha. Bahkan sistem franchise
dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan,
SDM dan manajemen, kecuali kerelaan pernilik merek untuk berbagi
dengan pihak lain.
Franchising juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat
efektif untuk mendekatkan produk kepada konsumennya. Sejumlah
pakar juga ikut memberikan definisi terhadap waralaba. Campbell
Black dalam bukunya Black’s Law Dictionaire menjelaskan franchise
sebagai sebuah lisensi merek dan pemilik yang mengijinkan orang lain
untuk menjual produk atau service atas nama merck tersebut.
David J. Kaufman memberi definisi franchising sebagai sebuah
sistem pemasaran dan distribusi yang dijalankan oleh institusi bisnis
kecil (franchisee) yang digaransi dengan membayar sejumlah fee, hak
terhadap akses pasar oleh franchisor dengan standar operasi yang
mapan dibawah asistensi franchisor.
Sedangkan menurut Reitzel, Lyden, Roberts & Severance,
franchise didefinisikan sebagai sebuah kontrak atas barang yang
intangible yang dimiliki oleh seseorang (franchisor) seperti merek yang
diberikan kepada orang lain (franchisee) untuk menggunakan barang
(merek) tersebut pada usahanya sesuai dengan teritori yang disepakati.
80
Selain definisi menurut cara pandang sarjana luar negeri, di
Indonesia juga berkembang definisi franchise. Salah Satunya seperti
yang diberikan oleh LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pembinaan
Manajemen, yang inengadopsi dan terjemahan kata franchise. LPPM
mengartikannya sebagai usaha yang memberikan laba atau keuntungan
sangat islimewa sesuai dengan kata tersebut yang berasal dan wara
yang berarti istimewa dan laba yang berarti keuntungan.
Henry Campbell Black, dalain Black’s Law Dictionairy
memberikan
beberapa pengertian waralaba sebagai berikut:
a. Franchise is a special prvilage to do certain things conferred by government on individual or corporation and which does not belong to citizens generally of common right e.g right granted to offer cable television service;
b. Franchise is a privilege or sold, such as to use a name or to sell product or services. The right given by a manufacturer or supplier to a retailer to use his products and name on terms and conditions mutually agred upon;
c. Franchise is a license from owner of a trade mark or trade name permitting another to sell a product or service under that name or mark”.
Pengertian waralaba dalam Black’s Law Dictionary tersebut apabila
diterjemahkan secara bebas, yaitu sebagai berikut:
a. Waralaba adalah suatu keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah
terhadap individu atau perusahaan untuk melakukan sesuatu yang belum
81
merupakan hak dan setiap warga negara pada umumnya, misalnya berhak
untuk menawarkan jasa pelayanan televisi kabel.
b. Waralaba adalah suatu keistimewaan atas suatu penjualan, seperti
misalnya untuk menggunakan narna atau untuk menjual barang dan jasa.
Hak tersebut dibenkan oleh pabrikan atau supplier kepada pengecer
untuk menggunakan produk dan nanianya sesuai dengan persyaratan
yang telah ditentukan.
c. Waralaba merupakan suatu lisensi dan pernilik merek dagang atau nama
dagang yang diperbolehkan kepada pihak lain untuk menjual suatu
produk atau pelayanan berdasarkan merk dagang atau nama dagang
tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian. Black melihat waralaba
sebagai suatu keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah terhadap
individu atau pernerintah untuk melakukan sesuatu yang belum
merupakan hak dan setiap warga negara.
Selain hal tersebut di atas, waralaba juga merupakan
keistimewaan atas suatu penjualan barang dan jasa, dimana hak tersebut
diberikan oleh pabrik atau supplier kepada pengecer untuk menggunakan
namanya sesuai persyaratan yang ditentukan.
82
Dalam kaitannya dengan pemberian izin dan kewajiban
pemenuhan standar dan pemberi waralaba, pemberi waralaba akan
membenikan bantuan pemasaran, promosi maupun bantuan teknis
lainnya agar penerima waralaba dapat menjualkan usahanya
(memasarkan produknya) dengan baik.
Juga merupakan suatu lisensi dan pemiik merek dagang (atau
jenis HKI lainnya) atau nama dagang yang diperbolehkan kepada pihak
lain untuk menjual suatu produk atau pelayanan berdasarkan merek
dagang atau nama dagang tersebut.
David J. Kaufman melihat waralaba sebagai suatu bentuk atau
sistem pemasaran dan pendistribusian di mana suatu bisnis berskala kecil
dan independen yang disebut dengan franchise dijamin mempunyai hak
memasarkan suatu barang dan jasa dan pihak lain yang disebut sebagai
franchisor sesuai yang ditentukan, pihak franchisee akan membayar fee
atau biaya sedang pihak franchisor akan memberikan bantuannya.
Lebih lanjut Kaufman mengemukakan perkembangan waralaba ini
sebagai suatu sistem pemasaran serta pendistribusian barang dan jasa,
sehingga waralaba merupakan wujud dan suatu evolusi dalam bisnis
global saat ini.
10. BISNIS WARALABA
83
Franchisor, yang juga urnum disebut sebagai pemberi waralaba
adalah badan usaha yang memberikan hak kepada pihak lain untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau
penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
Jadi kalau dilihat dan perspektif hak kekayaan intelektual
sebenamya waralaba menipakan kesatuan hak kekayaan (merek dagang,
hak cipta, desain industri, rahasia dagang mungkin juga terdapat paten
atas teknologi yang digunakan) yang dikemas menjadi satu paket atau
format bisnis. Dan pemahaman inilah yang menyebabkan fomiat bisnis
waralaba memiliki kesamaan antara outlet satu dengan lainnya.
Franchisee, yang juga disebut sebagai penenma waralaba,
adalah badan usaha yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau
menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ini khas
usaha yang dimilki pembeni waralaba. Franchisee sama sekali dilarang
untuk melakukan perubahan apapun baik sebagian atau beberapa bagian
dan sistem itu.
Larangan perubahan atas bagian fonnat bisnis waralaba itu
dimaksudkan agar reputasi bisnis milik franchisor itu tidak turun kelas
yang akan mengancam kesuksesannya. Keuntungan yang diperoleh oleh
franchisee dengan mengambil waralaba dan franchisor adalah disebabkan
84
karena reputasi bisnis waralaba itu sudah dikenal luas oleh masyarakat,
sehingga bagi franchisee tidak perlu membangun reputasi bisnis baru
yang resikonya tenth lebih besar. Reputasi bisnis yang sudah dikenal luas
oleh masyarakat konsumen tersebut tenth sangat menjamin terbangunnya
customer (pelanggan).
Franchisor tentu sudah memiliki kesiapan dengan
perlengkapan operasi bisnis dan kinerja manajemen yang baik, menjamin
kelangsungan usaha dan distribusi bahan baku untuk jangka panjang,
serta menyediakan kelengkapan usaha sampai ke detail yang terkecil.
Franchisee hanya menyediakan tempat usaha dan modal
sejumlah tertentu bergantung pada jenis waralaba yang akan dibeli.
Franchisee mempunyai dua kewajiban finansial yakni membayar
franchise fee dan royalty fee. Franchise fee adalah jumlah yang harus
dibayar sebagai imbalan atas pemberian hak intelektual pemberi
waralaba, yang dibayar pada saat kontrak waralaba ditanda-tangani.
Nilai franchisee fee dan royally free ini sangat bervariatif
bergantung pada jenis waralaba. Namun franchisee juga mempunyai
kewajiban non-finansial yang sangat esensial. Masyarakat telah sangat
mengenal brand McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, Bread Tallc
Starhuckc atau Pizza Hut.
85
Nama-nama merek dagang tersebut adalah merek dagang
waralaba asing. Dalam pengoperasiannya mereka menjual produk
franchise. Pertumbuhan bisnis waralaba yang cepat di Indonesia juga
karena andil berkibamya waralaba lokal seperti Primagama, Alfamart,
Indomaret, Citra dan sebagainya.
Waralaba lokal ini diaralikan pemerintah untuk bernaung di
bawah AFI (Asosiasi Franchise Indonesia) yang merupakan asosiasi
resmi yang diakui oleh pemerintah dalam bidang waralaba. Asosiasi ini
merupakan anggota dan IFA (International Franchise Association) yang
adalah organisasi franchise skala intemasional.
AFI didirikan pada tanggal 22 November 1991 dengan bantuan
dan ILO (International Labour Organization) dan Pemerintah Indonesia.
Pada Juni 2003, disponsori oleh Departemen Perindustrian dan
Perdagangan (sekarang Departemen Perdagangan), diselenggarakan
pemilihan waralaba lokal terbaik yakni : Rumah makan Wong Solo
(Kategori Restoran), Indomart (Kategori Retail), ILP (kategori
pendidikan).
Kriteria status usaha dapat berubah menjadi waralaba
setidaknya harus memenuhi berbagai persyaratan khusus yakni unik,
tidak mudah ditiru, mempunyai keunggulan dibandingkan dengan tipe
86
usaha sejenisnya sehingga konsumen akan selalu mencari produk atau
jasa tersebut.
Mempunyai konsep usaha yang telah terbukti berhasil, dapat
dilihat daii neraca keuangan, citra perusahaan serta produk jasa yang
terjamin. Penerima waralabapun hanis pula diuntungkan dengan adanya
standarisasi dan pengoperasian yang jelas, yang dituangkan dalam
kerangka kerja yang dikenal sebagai SOP (Standard Operational
Procedure), SOP dapat dikatakan jiwa dan kehidupan waralaba.
Tanpa SOP yang jelas, mudah dimengerti dan diaplikasikan,
kesuksesan waralaba akan sulit tercapai. SOP akan memuat secara detail
pedoman pengoperasian suatu usaha, mulai dan suplai bahan baku,
manajerial, pelatihan SDM, keuangan, marketing dan promosi.
Setiap detail akan dibukukan menjadi manual-manual sesuai
dengan segmennya masing-masing. Faktor-faktor yang menjadi
persyaratan suatu waralaba seperti yang tersebut diatas unium disebut
dengan istilah franchisibilily. Oleh kanena standarisasi yang cukup
tinggi, memberikan keuntungan bagi masyarakat yang ingin membeli
waralaba.
Biaya pembelian atau penyewaan tempat usaha secara otomatis
bukan lagi menjadi tanggung jawab franchisor. Sebagai contoh suatu
87
toko roti yang sudah terkenal di daerah Makassar akan memerlukan
ratusan juta rupiah, bahkan pada kisaran milyaran jika si pemilik ingin
membuka 10 cabang di berbagai kota di Indonesia. Sedangkan mungkin
hanya butuh dana yang tidak besar, jika usaha tersebut telah siap
diwaralabakan ke berbagai kota. Dalam hitungan bulan, berbagai
outletnya telah dibangun. Hal yang menarik daii isu waralaba nasional
adalah bahwa pertumbuhan waralaba lokal saat ini jaiih lebih tinggi
dibandingkan dengan pertumbuhan waralaba asing di Indonesia. Fakta ini
disebabkan karena pewaralaba lokal memberikan berbagai kemudahan
dalam persyaratan pembelian waralaba mereka. Toleransi yang diberikan
juga cukup luas ditambah promosi dan marketing yang terus menerus.
Pihak media di Indonesia juga memberikan kontnibusi besar
dalam pertumbuhan waralaba lokal, berbagai media bisnis telah banyak
mengangkat waralaba sebagai suatu segmen liputan khusus, sarana
promosi yang menunjang ini makin diperkuat oleh berbagai pertunjukan
pameran skala nasional, yang tidak hanya diselenggarakan di Jakarta,
namun juga ke berbagai kota-kota di daerah.
Puluhan ribu pengunjung yang datang merupakan representasi
masyarakat akan pengetahuan waralaba. Hal ini disebabkan oleh makin
mudahnya rantai distribusi ke daerah dan potensi ekonomi mikro daerah
88
yang menjanjikan sehingga mudah terjangkau oleh berbagai lapisan
masyarakat.
Keterkaitan industri perbankan juga makin memperkokoh
konsep bisnis waralaba, dengan hadimya program perkreditan khusus
kemitraan, sebagai contoh Bank HS 1906 yang memberikan kredit
investasi waralaba dan kredit modal keija waralaba.
Kerjasama developer-developer di bidang penyediaan tempat
waralaba mulai dirilik berbagai pemain properti, karena dianggap lebih
menguntungkan untuk penjualan tempat usaha (ruko, mall, trade center)
jika diintegrasikan.
Kerjasama ini sangat menguntungkan, karena selain arah dan
tujuan pemakaiaan tempat usaha sudah jelas untuk jenis waralaba
tertentu, harga property yang didapat pun lebih murah dibandingkan jika
mereka membeli secara terpisah. Sinergi yang kuat dan berbagai pihak
ini makin memantapkan eksistensi waralaba di Indonesia.
Keberadaan waralaba bagi pemerintah sendiri sangat membantu
teutama untuk membuka lapangan kerja baru secara instan dan memicu
perekonomian daerah. Besarnya variasi usaha ini hendaknya
rnemudahkan masyarakat untuk memilih yang benar-benar tepat untuk
dirinya.
89
Tidak sedikit pula jeriis franchise lokal yang sudah benar-benar
mantap menjaga kualitas dan membangun citra produknya sehingga
mereka sudah mulai go international dengan mengikuti berbagai expo di
mancanegara dan sudah membuka cabangnya di luar negeri.
Kita semua berharap suatu saat semua pihak waralaba di
Indonesia, baik franchisor maupun franchisee sudah mempunyai
profesionalisme dan etos kerja yang tinggi, yang melahirkan sistem yang
benar-benar teniji, sehingga produk dan sumber daya manusia yang
berkualitas dapat menjadi suatu epidemi di masyarakat Indonesia.
11. KEUNTUNGAN FRANCHISOR
Usaha waralaba ditengarai membenkan keuntungan kepada
pemiliknya, antara lain:
(1) Jaringan yang memberikan kemudahan karena keseragaman, daya
pembelian, kekuatan advertising, prasarana, dan sebagainya;
(2) Pengembang bisnis yang tidak terlalu mahal dibanding karena beban
investasi ditanggung oleh kedua belah pihak, franchisor dan
franchisee.
(3) Pengembangan yang tentunya memakan waktu lebih singkat.
90
(4) Kerjasama antar wirausahawan independen seperti franchisor dan
franchisee sangatlah efektif karena franchisee yang terseleksi adalah
mereka yang mau bekerja keras, mau menginvestasi waktu lebih dan
mengelola bisnisnya lebih serius danpada pegawai biasa.
`12. KEUNTUNGAN BAGI FRANCHISEE
Demikian pula untuk franchisee, usaha waralaba ditengarai
sebagai usaha yang menguntungkan dalam arti memberi kepastian
tentang keuntungan. Sejumlah keuntungan usaha dimaksud antara lain:
(1) Jaringan franchise menawarkan rnanfaat
atau keunggulan dalam keseragaman,daya pembelian, keuntungan
advertising dan sarana lainnya.
(2) Franchisee adalah pemilik perusahaannya sendiri yang otonom tetapi
dia tidak merasa sendiri dalarn mengelola bisnisnya.
(3) Franchisee mengikuti kesuksesan pendahulunya dengan bantuan
start up yang lebih cepat dan lebih murah.
(4) Dengan berfranchise maka akan mengurangi resiko kegagalan
dengan alasan yang sama.
(5) ROl lebih tinggi.
91
(6) Franchisee dibekali keahlian khusus.
(7) Franchisee mempelajari bisnis baru.
13. KEWAJIBAN FRANCHISEE
Franchisee mempunyai hak untuk mendapat perlindungan dan
franchisor, akan tetapi dalam melaksanakan usahanya, franchisee
dituntut franchisor untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan standar
operasional perusahaan yang diberikan oleh franchisor.
Kewajiban-kewajiban tersebut di antaranya:
(1) Mematuhi peraturan yang ada.
(2) Mengikuti evolusi konsep.
(3)Mengkonsumsi produk yang telah ditentukan melalui penyedia/
supplier yang sudah ditentukan.
(4)Kewajiban finansial (biaya awal/entry fee, royalti, dsb).
14. MELAKSANAKAN KEWAJIBAN YANG TERTULIS DI KONTRAK.
Franchisee mengikuti konsep yang sebenarnya bukan miliknya.
Oleh karena itu, haruslah dia menghormati peraturan yang ada. Tetapi
tentu saja franchisee dapat memberikan pendapatnya karena jaringan
yang sehat adalah jaringan yang memperhatikan komentar, saran dan ide
92
dan franchisee. Sening kali bisms ini menciptakan sarana untuk
melibatkan franchisee dalarn mengembangkanjaringan bisnis ini.
15. PERAN DAN KONTRIBUSI FRANCHISEE
Berikut adalah yang hams dilakukan franchisee dengan bantuan dan
franchisor yang mengkontribusi model bisnis, saran dan pengalaman, dan
seringkali bertanggung jawab akan tugas-tugas tertentu tetapi tidak akan
menggantikan posisi franchisee sebagai wirausahawan. Peran dan
kontribusi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut:
a. Sebelum pcmbukaan outlet
Yang wajib dilakukan oleh franchisee sebelum pembukaan
outlet adalah sebagai benlcut:
(1)Mencari dan menegosiasi lokasi.
(2)Kontribusi modal danjaminan.
(3)Negosiasi bank.
(4)Pengaturan outlet.
(5)Partisipasi dalam pelatihan.
(6)Perekrutan dan pelatihan pegawai atau SDM.
(7)Pengadaan organisasi dan administrasi.
b. Saat pembukaan outlet
93
Yang wajib dilakukan oleh franchisee pada saat pembukaan
outlet adalah sebagai berikut:
1.. Pembukaan outlet.
2. Advertising peluncuran/launching
3, Penerapan konsep.
c. Setelah pembukaan outlet
Yang wajib dilakukan oleh franchisee setelah pembukaan outlet
adalah sebagai berilcut:
(1) Partisipasi dalam program
pelatihan pennanen.
(1) Partisipasi dalam kegiatan advertising.
(2) Partisipasi dalam meeting, seminar.
(3) Otonomi manajemen perusahaan.
(4) Menghormati hak kunjungan franchisor.
(5) Transparansi informasi.
(6) Mematuhi peijanjian keuangan dan kontrak.
(7) Perlindungan lokal terhadap merek produk.
(8) Peran dan kontribusi franchisor
94
Peran franchisor sangatlah penting. Franchisor campur tangan dalam
berbagai bidang untuk membantu franchisee atau memberikan franchisee
kontribusi solusi dan sarana lainnya tanpa hams mengambil posisi
franchisee sebagai pemiik perusahaan.
Seringkali franchisor menerangkan franchisee cara untuk melakukan
bisnis tetapi bukan menggantikan posisi franchisee. Yang kemudian
diikuti dengan daftar aktivitas yang harus dilakukan, yang mana bisa
berubah sesuai dengan bisnis franchise yang dijalani. Peran dan kontribusi
franchisor dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut:
a. Sebelum pembukaan outlet
Yang harus dilaksanakan oleh franchisor sebelum pembukaan
outlet adalah sebagai berikut:
(1) Asisten dalam pencarian dan negosiasi lokasi atau tempat.
(2) Asisten dalam realisasi studi kelayakan dan negosiasi bank.
(3) Bantuan dalam pengaturan outlet.
(4) Pelatihan pegawai lSDM franchisee.
(5) Panduan dalani tugas administratif tertentu.
b. Saat pembukaan outlet
Yang hams dilaksanakan oleh franchisor pada saat pembukaan
outlet adalah sebagai berikut:
95
(1)Pengiriman dan instalasi stok/ persediaan.
(2)Pengiriman dan instalasi meubel/ furniture dan bahan baku.
(3)Advertising launching/ peluncuran.
(4)Asistensi saat pembukaan.
c. Setelah pembukaan outlet
Yang hanis dilaksanakan oleb franchisor setelah pembukaan
outlet adalah sebagai berikut:
(1) Training/pelatihan permanen.
(2) Rencana advertising dan operasi pemasaran.
(3) Meeting, seminar.
(4) Kunjungan periodik (kontrol, asistensi).
(5) Asistensi via telepon.
(6) Pengaturan pengiriman dan pengolahan data untuk kedua belah pihak.
(7) Mengikuti peraturan dan perjanjian finansial (keuangan) yang tertulis.
(8) Perlindungan terhadap merek produk.
(9) 6. Struktur dan kompensasi finansial
Tentu saja tidak aneh jika franchisor menerirna franchisee mengikuti
bisnisnya karena adanya peluang bisnis yang menguntungkan. Masing-
masing negara memiliki definisi sendiri tentang waralaba.
96
Amerika melalui International Franchise Association (IFA)
mendefinisikan franchise sebagai hubungan kontraktual antara
franchisor dengan franchise, dimana franchisor berkewajiban menjaga
kepentingan secara berkelanjutan pada bidang usaha yang dijalankan
oleh franchisee misalnya lewat pelatihan, di bawah merek dagang yang
sama, format dan standar operasional atau kontrol pemilik (franchisor).
Sedangkan menurut British Franchise Association sebagai
garansi lisensi kontraktual oleh satu orang (franchisor) ke pihak lain
(franchisee) dengan:
(1)Mengijinkan atau meminta franchisee menjalankan usaha dalain
periode tertentu pada bisnis yang menggunakan merek yang dimiliki
oleh franchisor.
(2)Mengharuskan franchisor untuk melatih kontrol secara
berkesinambungan selama periode peijanjian.
(2) Mengharuskan franchisor untuk menyediakan asistensi terhadap
franchisee pada subjek bisnis yang dijalankan di dalam hubungan
terhadap organisasi usaha franchisee seperti training terhadap staf,
merchandising, manajemen atau yang lainnya.
(3) Meminta kepada franchisee secara perioclik selama masa kerjasama
waralaba untuk membayarkan sejumlah fee franchisee atau royalti
97
untuk produk atau service yang disediakan oleh franchisor kepada
franchisee.
Waralaba dan aspek unsumya mensyaratkan adanya 4 unsur, yaitu
sebagai berikut:
(1) Pemberian hak untuk berusaha dalam bisnis tertentu
(1) Lisensi untuk menggunakan tanda pengenal usaha, biasanya suatu merek
dagang atau merk jasa, yang akan menjadi ciri pengenal dan bisnis
franchise.
(2) Lisensi untuk menggunakan rencana pemasaran dan bantuan yang luas
oleh franchisor kepada franchise
(3) Pembayaran oleh franchisee kepada franchisor berupa sesuatu yang
bemilai bagi franchisor selain dan harga borongan barang yang terjual.
Douglas J. Queen memberikan pengertian waralaba sebagai
berikut yaitu men-franchise-kan adalah suatu metode perluasan
pemasaran dan bisnis. Suatu bisnis memperluas pasar dan distribusi
produk serta pelayanannya dengan membagi bersama standar pemasaran
dan operasional.
Pemegang franchise yang membeli suatu bisnis yang menarik
rnanfaat dan kesadaran pelanggan akan nama dagang. Sistem teruji dan
pelayanan lain yang disediakan pemilik franchise.
98
Sedangkan Winarto menyarankan suatu pengertian waralaba
(franchise) adalah sebagai berikut. Waralaba adalah hubungan kemilraan
antara usahawan yang usahanya kuat dan sukses dengan usahawan yang
relatif barn atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling
menguntungkan, khususnya dalam bidang usaha penyediaan produk dan
jasa langsung kepada konsumen.
Dan beberapa pengertian yang dikemukakan diatas, terlihat
bahwa sistem bisnis waralaba melibatkan dua pthak. Pertama Franchisor
yaitu wirausahawan sukses pemilik produk, jasa, atau sistem operasi
yang khas dengan merk tertentu yang biasanya telah dipatenkan.
Kedua, Franchisee yaitu perorangan atau pengusaha lain yang
dipilih oleh franchisor yang disetujui perniohonannya untuk menjadi
franchisee oleh pihak franchisor. Franchisee menjalankan usaha dengan
menggunakan nama dagang, merek, atau sistem usaha miliknya itu,
dengan syarat memberi imbalan kepada franchisor benupa uang dalain
jumlah tertentu pada awal kerja sama dijalin (uang pangkal) dan atau
pada selang waktu tertentu selama jangka waktu kerja sama (royalti)
16. KARAKTERISTIK WARALABA
99
Dan pengertian waralaba menurut V. Winarto tersebut dapat
diidentifikasi karakteristik pokok yang terdapat dalam bisnis waralaba
sebagai berikut:
(1)Ada kesempatan kerja sama yang tertulis.
(1)Selama kerja sama tersebut, franchisor mengizinkan franchisee
menggunakan merek dagang dan identitas usaha milik dalam bidang
usaha yang disepakati, penggunaan identitas usaha tersebut akan
menimbulkan asosiasi pada masyarakat adanya kesamaan produk dan
jasa dengan franchisor.
(2) Selama kerja sama tersebut, franchisor memberikan jasa penyiapan
usaha dan melakukan pendampingan berkelanjutan pada franchisee.
(3) Selama keija sama tersebut, franchisee mengikuti ketentuan yang telah
disusun oleh franchisor yang menjadi dasar usaha yang sukses.
(4) Selama kerja sama tersebut, franchisor melakukan pengendalian hasil
dan sistem kerja sama.
(5) Kepemilikan dan badan usaha yang dijalankan oleh franchisee adalah
sepenuhnya pada franchisor. Secara hukum franchisor dan franchisee
adalah dua badan usaha yang terpisah.
17. ASAS-ASAS PADA PERJANJIAN WARALABA
100
Unsur-unsur dan suatu perjanjian waralaba merupakan dasar
pembuatan perjanjian waralaba, unsur-unsur dalam perjanjian waralaba
didasarkan path asas-asas yang mengatur perjanjian waralaba. Rooseno
Harjowidagdo menyebutkan beberapa asas dalam sistem perjanjian
waralaba ini, yaitu:
(1) Asas kebebasan berkontrak
Pasal 1338 K.U.H. Perdata menentukan, bahwa semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Namun deniikian, substansi perjanjian tersebut
harus tidak melanggar ketentuan undang-undang, tidak bertentangan
dengan kesusilaan yang balk dan tidak melanggar ketertiban umum.
Hal ini sesuai dengan yang ditegaskan dalam pasal 1339 K.U.H.
Perdata. Dengan demikian, walaupun terdapat kebebasan berkontrak
namun tetap kebebasan tersebut harus berada pada batas-batas
toleransi yang ditentukan oleh hukum, kesusilaan dan ketertiban
umum.
(2) Asas konsensualitas
Dalam hal im jika terdapat kesepakatan antara calon franchisor
dengan calon franchisee mengenai sesuatu hal yang akan diperjanjian,
maka pada dasarnya perjanjian tersebut dianggap sudah ada.
101
(3) Asas itikad baik
Persetujuan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik, dimana
diketahui bahwa perjanjian franchise mempakan rangkaian dan suatu
proses kerja sama di bidang perdagangan barang atau jasa, sehingga
untuk dapat menimbulkan keuntungan kedua belah pihak, maka itikad
baik kedua belah pihak tentunya akan menentukan besaran
keuntungan yang akan di peroleh.
(4) Asas fairness (keadilan)
Asas ini dimaksudkan agar perjanjian waralaba yang dibuat tersebut
menempatkan posisi keseimbangan hukum kedua belah pihak secara
adil, sehingga terdapat suatu hubungan yang seimbang yang bermuara
pada posisi yang saling menguntungkan.
(5) Asas kesamarataan dalam hukum
Dengan asas ini, peijanjian waralaba yang dibuat hams membenikan
hak dan kewajiban yang seimbang bagi para pihak.
(6) Asas pikul barang (tanggung bersama atau tanggung renteng)
Asas ini sangat penting dalam perjanjian waralaba, karena kerugian
dalam bisnis itu kemungkinan besar akan ada. Oleh sebab itu, maka
perlu diperjanjikan hal-hal yang menyangkut tanggungjawab masing-
masing pihak jika terjadi kerugian di kemudian han. Dengan demikian
102
kerugian yang timbul menjadi tanggung jawab bersama dengan suatu
perbandingan yang disepakati bersama.
(7) Asas informasi
Dalam bisnis waralaba, hendaknya pihak franchisor wajib
memberitahukan rahasia dagang secukupnya kepada pihak franchisee
serta prospektus usaha franchisenya sehingga pihak franchisee dapat
dengan mudah menentukan keputusannya untuk memilih franchisor
yang representatif untuk usahanya kelak.
(8) Asas kerahasiaan
Asas ini pada dasamya mewajibkan kepada para pihak untuk menjaga
kerahasiaan data-data ataupun ketentijan-ketentuan yang dianggap
rahasia, dan tidak dibenarkan untuk memberitahukan kepada pihak
ketiga kecuali undang-undang yang menghendakinya.
18. BENTUK-BENTUK WARALABA
Ada beberapa bentuk franchise yang apabila dilihat dari
bentuknya terdapat 2 (dua) bentuk :
1. Waralaba format bisnis
Dalam bentuk ini seorang pemegang waralaba (franchisee)
memperoleh hak untuk memasarkan dan menjual produk atau
103
pelayanan dalam suatu wilayah atau lokasi yang spesifik. dengan
menggunakan standar operasional dan pemasaran. Dalarn
bentuk ini terdapat tiga jenis format bisnis waralaba, yaitu:
a. Waralaba Pekerjaan
Dalam bentuk ini franchise yang menjalankan usaha
waralaba pekerjaan sebenamya membeli dukungan untuk
usahanya sendiri. Misalnya, ia mungkin menjual jasa penyetelan
mesin mobil dengan merek waralaba tertentu. Bentuk waralaba
seperti ini cenderung paling murah, umunmya membutuhkan modal
yang kecil karena tidak menggunakan tempat dan perlengkapan yang
berlebihan.
b. Waralaba Usaha
Farchise ini termasuk franchise yang dapat dikatakan
berkembang dengan pesat. Bentuknya berupa toko eceran yang
menyediakan barang atau jasa atau restoran fast food. Biaya yang
dibutuhkan lebih besar daripada franchise pekerjaan karena
dibutuhkan tempat usaha dan peralatan khusus.
c. Waralaba Investasi
Ciri utama yang membedakan jenis waralaba pekerjaan dan
waralaba usaha adalah besarnya usaha, khususnya besarnya
104
investasi yang dibufthkan, waralaba investasi adalah perusahaan
yang sudah mapan dan investasi awal yang dibutuhkan
mungkin mencapai miliaran.
Perusahaan yang ingin mengambil waralaba investasi biasanya
ingin melakukan diversifikasi tetapi karena manajemennya tidak
berpengalaman dalam pengelolaan usaha barn itu sehingga ia
memilih jalan dengan mengambil sistem waralaba jenis ini
misalnya suatu hotel, maka di pilih cara waralaba yang
memungkinkan mereka memperoleh bimbingan dan dukungan.
2. Waralaba distribusi produk
Dalam bentuk ini seorang pemegang waralaba
memperoleh lisensi eksklusif untuk memasarkan produk dan suatu
perusahaan tunggal dalam lokasi yang spesifik. Dalam bentuk ini,
pernilik waralaba (franchisor) dapat juga memberikan waralaba
wilayah di mana pemegang waralaba (franchisee) wilayah atau sub
pemilik waralaba membeli hak untuk mengoperasikan atau
menjual waralaba di wilayah geografis tertentu, sub pemilik
waralaba itu bertanggung jawab atas beberapa atau seluruh
pemasaran waralaba, melatih dan membantu pemegang atau seluruh
pemasaran waralaba, melatih dan membantu pemegang waralaba
105
(franchisee), baru dan melakukan pengendalian, dukungan operasi
serta program penagihan royalti. Waralaba wilayah memberikan
kesempatan kepada pemegang waralaba induk untuk
mengembangkan rantai usaha Iebih cepat daripada biasa. Keahlian
manajemen dan risiko finansialnya dibagi bersarna oleh pemegang
waralaba (franchise) induk dan sub pemegangnya. Pemegang induk
pun menarik manfaat dati penambahan dalam royalti dan penjualan
produk.
19. HUBUNGAN HUKUM : ANTARA PROSPEKTUS PENAWARAN
DAN KONTRAK WARAlABA
Para pihak dalam perjanjian waralaba adalah terdiri dari
pemberi waralaba dan penerima waralaba. Pemberi waralaba adalah
adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak
untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang
dimilikinya kepada penerima waralaba. Sedangkan Penerima Waralaba
adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh
pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan
waralaba yang dimiliki pemberi waralaba.
106
Sebelum melakukan kontrak waralaba pada umumnya pihak
pemberi atau pemilik waralaba menawarkan formas bisnis waralaba itu
melalui prospektus yang telah didaftarkan di Departemen perdagangan.
Prospektus ini berisi informasi perusahaan waralaba, kemudian profil
usaha dan informasi tentang sukses usaha yang telah dijalankan. Dalam
prospektus ini juga dikemukakan tentang janjiijanji perusahaan
waralaba tentang keuntungan yang akan diperoleh oleh calon peminat
yang akan mengambil waralaba.
Dilihat dari proses perjanjian, maka apabila para pihak
merundingkan prospektus penawaran, maka sebenarnya mereka masih
dalam tahap merundingkan janji-janji pra kontrak artinya janji-janji
yang dikemukakan oleh perusahaan waralaba sebelum kontrak
waralaba dilakukan atau dengan kata lain kontrak waralaba belum
terjadi (lahir).
Lahirnya kontrak waralaba adalah ketika pada pihak sepakat
untuk melakukan dan mendata-tangani kontrak tersebut sehingga
kontrak itu sah dan mengikat para pihak.
Sedangkan janji-janji pra kontrak tidaklah termasuk bagian atau
isi kontrak bahkan dianggap tidak memiliki hubungan hukum
signifikan dengan kontrak itu sendiri. Melalui cara pandang seperti itu,
107
maka janji-janji pra kontrak untuk sementara dianggap tidak memiliki
akibat hukum apapun sehingga pihak yang berjanji tidak terikat untuk
melaksanakan apa yang dijanjikan walaupun faktanya hal itu
merugikan pihak lain yang percaya pada janji-janji tersebut.
Janji-janji pra kontrak dilihat dari tahapan proses terjadinya
kontrak waralaba adalah tahapan yang disebut preliminary negotiation
(Suharnoko, 2008:1) Preliminary negotiation juga sering disebut
proses perundingan pendahuluan. Tahapan ini sebenarnya memiliki
hubungan erat dengan terjadinya kontrak. Bertitik-tolak dari janji-
janji pra kontrak itulah akhirnya orang sepakat untuk melakukan
kontrak waralaba.
Janji-janji pra kontrak yang umumnya diberikan oleh pemilik
waralaba itu antara lain:
(1)bisnis waralaba memiliki kepastian usaha termasuk keuntungan yang
akan diperoleh;
(2)penerima waralaba akan menjadi jaringan bisnis yang telah memiliki
reputasi nasional atau internasional, sehingga penerima waralaba tidak
perlu mengeluarkan biaya iklan atau promosi;
(3)penerima waralaba sangat kecil kemungkinannya untuk menanggung
kerugian (Rahman, Hasanuddin, 2003: 207)
108
Orang pada umumnya begitu percaya dan menaruh
pengharapan besar terhadap janji-janji yang diberikan oleh pemilik
waralaba. Jika orang yang bersangkutan tertarik dengan janji-janji yang
ditawarkan itu maka tahap berikutnya barulah ia melakukan kontrak
waralaba yang draft kontraknya telah sediakan dalam baku (standart
contract).
Janji-janji pra kontrak menurut teori klasik tidak dapat dituntut
pertanggungjawabannya karena termasuk janji yang tidak termasuk atau
tercantum dalam isi kontrak. Berdasarkan pandangan teori hukum
kontrak klasik ini, maka orang yang menerima janji itu tidak dapat
menuntut ganti rugi terhadap pihak yang berjanji.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan
bahwa “Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Lingkup
persetujuan /kontrak yang dikuasai asas itikad baik adalah kontrak
waralaba bukan termasuk janji-janji pra kontrak. Oleh karena apabila
janji-janji pra kontrak tidak dipenuhi dalam pelaksanaan kontrak
waralaba, maka hal tersebut tidak termasuk pelanggaran itikad baik dari
pemberi waralaba. Melalui cara pandang yang demikian ini, maka
pihak yang memberikan janji pra kontrak sama sekali tidak terikat
dengan pelaksanaan asas itikad baik, tidak dapat dimintai pertanggung-
109
jawaban oleh pihak yang dirugikan. Dengan kata lain janji-janji pra
kontrak tidak memiliki akibat hukum bagi pemberi waralaba.
Akan tetapi saat ini telah terjadi perkembangan teori hukum
kontrak modern yang cenderung menghapuskan syarat-syarat formal
bagi kepastian hukum dan lebih menekankan kepada terpenuhinya rasa
keadilan (Suharnoko, 2008: 4). Berdasarkan perkembangan ini, janji-
janji pra kontrak dipandang memiliki akibat hukum, sehingga apabila
janji-janji itu merugikan pihak lain, maka pihak yang mengingkari janji-
janji pra krontrak itu dapat dimintai pertanggung-jawaban.
Di negara-negara maju yang menganut civil law system, seperti
Perancis, Negeri Belanda dan Jerman, pengadilan memberlakukan
asas itikad baik bukan hanya sebatas penanda-tanganan dan
pelaksanaan kontrak, tetapi juga meliputi tahap perundingan (the duty
of good faith in negotiation), sehingga janji-janji pra kontrak memiliki
akibat hukum dan dapat dituntut ganti kerugian jika janji itu diingkari.
Di negara yang menganut sistem common law, seperti Amerika
Serikat, pengadilan menerapkan doktrin promissory estoppel untuk
memberi perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan karena
percaya dan menaruh pengharapan (reasonably relied) terhadap janji-
janji pra kontrak
110
Akan tetapi beberapa putusan pengadilan di Indonesia
ternyata tetap tidak bergeser pandangannya dari teori hukum kontrak
klasik yang tidak menerapkan asas itikad baik dalam proses negosiasi
(janji pra kontrak). Hal ini disebabkan jika perjanjian belum
memenuhi syarat hal tertentu (syarat obyektif), maka dianggap
perjanjian itu belum melahirkan perikatan yang mempunyai akibat
hukum bagi para pihak. Akibatnya pihak yang dirugikan karena
percaya pada janji-janji pihak lawannya tidak terlindungi dan tertutup
peluangnya untuk menuntut ganti rugi.
Prof R. Subekti mengatakan jika pelaksanaan perjanjian
hanya menurut hurufnya, maka akan menimbulkan ketidak-adilan.
Oleh karena itu hakim mempunyai wewenang untuk menyimpang dari
isi perjanjian menurut hurufnya (leterlijk)). Jadi apabila pelaksanaan
perjanjian justru menimbulkan ketidak-seimbangan atau melanggar
rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap
hak dan kewajiban yang tercantum dalam kontrak tersebut.
Dalam praktik, berdasarkan asas itikad baik hakim
memang menggunakan wewenang untuk mencampuri isi perjanjian,
sehingga tampaknya itikad baik bukan saja harus ada pada
111
pelaksanaan perjanjian tetapi juga pada saat dibuatnya atau ditanda-
tangananinya perjanjian itu.
Dalam Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 3138
K/Pdt/1984 tanggal 29 April 1997 dinyatakan menolak gugatan
penggugat dengan pertimbangan hukum bahwa dari site plan yang
akan dibangun yang disetujui oleh Pemerintah daerah tidak pernah
ada rencana tempat pemancingan dan rekreasi karena sarana tersebut
bukan merupakan fasilitas umum sehingga developer tidak wajib
untuk membangunnya.
Dalam kasus yang telah diputus Mahkamah Agung itu,
sebelumnya PT. Taman Narogong Indah (developer/ tergugat)
menjanjikan akan membangun fasilitas pemancingan dan rekreasi
seluas 1,2 hektar. Ternyata setelah konsumen tertarik dan membeli
unit rumah di kawasan itu, apa yang dijanjikan developer sama sekali
tidak dipenuhi.
Berdasarkan Putusan Mahkamh Agung tersebut di atas
diketahui bahwa pendirian Mahkamah Agung masih menitik-beratkan
pada sisi normatif, belum melihat kepentingan dari penggungat
(konsumen) yang dirugikan akibat tidak dipenuhinya janji pra
kontrak oleh developer PT. Taman Narogong Indah. Jadi jika ditinjau
112
dari teori hukum kontrak, putusan Mahkamah Agung tersebut masih
menganut teori klasik karena janji untuk membangun fasilitas
pemancingan dan rekreasi pada tahap pra kontrak yang tidak dipenuhi
oleh developer tersebut tidak menimbulkan akibat hukum bagi pihak
yang berjanji.
Sebaliknya menurut pandangan teori kontrak modern janji
pra kontrak harus didasarkan pada itikad baik, sehingga pihak yang
memberikan janji pra kontrak dapat dituntut ganti rugi berdasarkan
perbuatan melawan hukum. Walaupun janji pra konrak bukan
merupakan isi kontrak tetapi berdasarkan pandangan bahwa orang
yang berjanji harus memiliki itikad baik untuk melaksanakannya.
Memenuhi janji adalah wujud dari pelaksanaan itikad baik.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Widjaya Tunggal, Aspek Yuridis Dalam Leasing, penerbit Rineka Cipta, Cetakan I, tahun 1994.
A, Poliieteir, George, The Franchise Contracts –Reviewing the
Franchise Contract, Practising Law Institute Pub, New York, 1990
Basarah, Moch H., Mufidin, Faiz; Bisnis Franchise dan Aspek-aspek Hukumnya, Penerbit Citra Aditya Bakti
113
Bandung, Cetakan I Tahun, 2008
Beston, Jack, and Daniel Friedman (ed). Good Faith and Faults in Contract Law. Oxford: Clarendon Press, 1995
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman tentang Hasil Symposium Bab-bab Kodifikasi Hukum Perdata,, yang dilaksanakan di Jakareta 1 Maret 1988
Campbell Black, Henry., Black’s Law Dictionairy, 7 th Ed., West Publishing Co. St Paul, 1990.
H.S. Salim, Hukum Kontrak (Teori & Teknik Penyusunan Kontrak), Penerbit Sinar Grafika Jakarta, Cetakan ke 5 Tahun 2008;
ELIPS, Hukum Kontrak Di Indonesia, Penerbit ELIPS 1998
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni (Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Emperik Deskriftif, Alih bahasa Drs Somardi, Penerbit Rimdipres Yogyakarta, Cetakan pertama tahun 1995
Harahap. Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Peneribit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cetakan Pertama tahun 1992;
Hasil Symposium Bab-bab Kodifikasi Hukum Perdata, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman yang dilaksanakan di Jakareta 1 Maret 1988.
Kaufman, David J., Franchising Business Strategis and Compliance Issues, Practising Law Institute, 1990
Mulya Lubis, T., Franchise Sebagai Bisnis Abad 21, LPHIM Jakarta, tanpa tahun terbit,
Rahman, Hasanuddin, Contract Drafting (Seri Ketrampilan Merancang Kontrak Bisnis), Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cetakan Pertama Tahun 2003
114
Rachmadi, Bambang N, Franchising The Most Practical and Excellent way of succeding (Membedah Tawaran Franchise Lokal Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Cetakan Pertama, 2007.
Subekti. R, Hukum Perjanjian, Jakarta PT. Intermasa, Cet. ke 9 Tahun 1998.
Sumardi, Juajir, Aspek-aspek hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, Cetakan Pertama Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1995
Suharnoko, Hukum Perjanjian (Teori dan Analisa Kasus), Penerbit Kencana Predana Media Group Jakarta, Cetakan ke 5 Tahun 2008
Wignjossumarto, Prawoto., Peran Hakim Agung Dalam penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi,. (artikel dalam Majalah Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia, Tahun ke XXI No. 251 Oktober 2006,
Peraturan Perundang-undangan
1. KUH. Perdata;2. Undang-undang R.I. No. 8 Tahun 1999 tentan Perlindungan
Konsumen; 3. Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 42 Tahun 2007 tentang
Waralaba; 4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba
Majalah/Jurnal:
Varia Peradilan Tahun ke XXI No. 251 Oktober 2006,Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26 Nomor 2 Tahun 2007Jurnal Hukum Bisnis, Volume 7 Nomor 4 Tahun 2008 Varia Peradilan Tahun ke XXIV No. 285 Agustus 2009;
115
Varia Peradilan Tahun ke XXIII no. 270 Mei 2008
Putusan Mahkamah Agung No. 1284 K/Pdt/1998 tanggal 18 Desember 2000
Putusan Mahkamah Agung R.I. dalam Putusannya Nomor 3138 K/Pdt/1984 tanggal 29 April 1997
Himpunan Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. Seri Perdata, Edisi terbaru tahun 2010.
116