Upload
natalya-prameswari
View
318
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kajian Pustaka
Citation preview
SEMINAR
PENGARUH DESAIN ERGONOMI DALAM TATA RUANG RAWAT
INAP TERHADAP KONDISI PSIKOLOGIS PASIEN
Dosen Pembimbing:
Arnis Rochma Harani, ST, MT
Disusun Oleh:
Natalya Indah Prameswari 21020113130155
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori yang Berkaitan dengan Penelitian
2.1.1. Teori Tata Ruang Dalam
Tata ruang dalam biasa juga disebut sebagai desain interior. Ching
menyimpulkan bahwa artian desain interior adalah perencanaan tata letak dan
perancangan ruang dalam sebuah bangunan sehingga keadaan fisiknya memenuhi
kebutuhan dasar kita akan naungan dan perlindungan, mempengaruhi bentuk
aktivitas dan memenuhi aspirasi penghuninya, serta mengekspresikan gagasan
yang menyertai tindakan, disamping itu sebuah desain interior mampu
mempengaruhi pandangan, suasana hati, dan kepribadian seseorang (Ching dalam
Tjoret Creative Studio, 2010). Variabel dalam sebuah ruang menurut Haryadi &
Setiawan (1995:55) antara lain ukuran dan bentuk ruang, perabot dan
penataannya, warna serta unsur lingkungan ruang seperti suara, temperatur, dan
pencahayaan.
Desain interior sebagaimana dirinya adalah bagian dari arsitektur,
memiliki prinsip venustas, firmitas, dan utilitas. Venustas berbicara mengenai
estetika atau keindahan secara visual yang diperoleh dari penataan elemen-elemen
ruang. Firmitas berbicara mengenai kekokohan struktur atau material yang dipilih
dan digunakan pada elemen-elemen tata ruang. Sedangkan utilitas berbicara
mengenai fungsi atau kegunaan utama dari ruang sebagai wadah dari aktivitas
tertentu yang dilakukan oleh penghuni ruang. Di dalam arsitektur, kegunaan dan
citra bangunan atau ruang seharusnya berjalan berdampingan sebagai wadah
kegiatan dan representasi jiwa manusia yang menempatinya (Mangunwijaya,
1988)
Unsur dasar dalam sebuah desain terdiri dari yang paling sederhana, yaitu
titik. Unsur paling sederhana tersebut kemudian berkembang menjadi unsur yang
lebih kompleks, dimulai dari noktah, garis, bidang, lalu menciptakan bentuk dan
ruang (Kusumarini, 2005). Unsur dasar yang berpengaruh terhadap unsur dasar
desain diantaranya adalah jumlah, tekstur, warna, letak, ukuran, ilusi, jarak, arah,
selang, waktu, dan orientasi. Dalam ranah desain interior juga dipelajari unsur
desain spesifik seperti cahaya, suara, gerak, dan aroma, dalam rangka untuk
menciptakan atmosfer ruang.
Ruang terbentuk dari elemen linier dan elemen vertikal. Elemen linier
berfungsi sebagai base atau dasar, yang biasa disebut dengan lantai, dan enclosure
atau penutup, yang biasa disebut sebagai atap. Elemen linier menentukan luasan
sebuah ruang. Sedangkan elemen vertikal berfungsi sebagai pembatas ruang, baik
secara solid atau berwujud, seperti dinding dan kolom, maupun void atau tidak
berwujud. Elemen vertikal berfungsi sebagai penentu ketinggian ruang. Luas dan
tinggi ruang menciptakan sebuah volum ruang, yang kemudian dikategorikan
sebagai dimensi dan proporsi. Proporsi berprinsip pada hubungan matematis
antara ukuran bentuk atau ruang sebenarnya, sedangkan skala berprinsip pada
bagaimana seseorang memandang besarnya suatu unsur ruang secara relatif
terhadap bentuk-bentuk lainnya (Ching, 1979:326). Skala dapat menunjukkan
besarnya atau pentingnya fungsi sebuah ruangan serta mengubah persepsi
seseorang mengenai ukuran ruang atau ukuran fasad.
Cahaya sebagai unsur spesifik pembentuk ruang memegang peranan
penting dalam mewujudkan atmosfer ruang dalam. Menurut Kusumarini
(2005:35), pencahayaan yang baik dan sesuai dengan karakter ruang akan dapat
memaksimalkan aktivitas dan produktivitas di dalam ruang tersebut. Sistem
pencahayaan terdiri dari sistem pencahayaan alami dan buatan. Keduanya
memiliki masing-masing karakternya. Permainan cahaya dalam perancangan
interior akan merangsang kepekaan pengguna ruang terhadap komposisi dan
bentuk ruangan.
2.1.2. Teori Ergonomi
Ergonomi didefinisikan sebagai suatu ilmu tentang manusia dalam
usahanya untuk meningkatkan kenyamanan di lingkungan kerjanya (Nurmianto,
1996). Etimologi dari istilah ergonomi berasal dari bahasa Latin, yaitu ergon
(kerja) dan nomos (hukum alam) sehingga dapat didefinisikan sebagai studi
tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara
anatomi, fisiologi, psikologi, keteknikan, manajemen, dan desain atau
perancangan. Ergonomi dianggap sebagai ilmu antardisiplin yang mempelajari
hubungan antara manusia dan lingkungannya, dan sering dikaitkan dengan
rekayasa manusia (Panero dan Zelnik, 1979: 5). Di dalam ergonomi dibutuhkan
studi tentang sistem dimana manusia, fasilitas kerja, dan lingkungannya saling
berinteraksi dengan tujuan utama yaitu menyesuaikan suasana kerja dengan
manusianya.
Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun
(desain) ataupun rancang ulang (re-desain). Namun ranahnya tidak terbatas hanya
pada dimensi ruang, furnitur, dan bukaan saja, melainkan rancang bangun
lingkungan kerja (working environtment). Ergonomi memberikan peranan penting
dalam meningkatkan faktor keselamatan dan kesehatan penggunanya, serta
meminimalkan risiko kesalahan, serta hilangnya risiko kesehatan akibat metode
kerja yang kurang tepat.
Ergonomi berdasarkan International Ergonomics Association dalam
Nurmianto digunakan oleh berbagai macam ahli atau profesional pada bidangnya,
misalnya: ahli anatomi, arsitektur, perancangan produk industri, fisika, fisioterapi,
terapi pekerjaan, psikologi, dan teknik industri. Selain itu ergonomi dapat
diterapkan untuk bidang fisiologi, psikologi, perancangan, analisis, sintesis,
evaluasi proses kerja dan produk bagi wiraswastawan, manajer, pemerintahan,
militer, dosen dan mahasiswa.
Dasar keilmuan dari ergonomi banyak yang hanya berdasarkan pada
common sense atau suatu hal yang dianggap sudah biasa terjadi. Namun
karakteristik fungsional dari manusia seperti kemampuan penginderaan, waktu
respon, daya ingat, posisi optimum tangan dan kaki, dan lain-lain adalah
merupakan suatu hal yang belum sepernuhnya dipahami oleh masyarakat awam.
Sehingga dalam suatu perancangan pekerjaan tidak harus menggunakan trial and
error untuk menyatakan suatu rancangan dikatakan ergonomis. Ilmu-ilmu yang
banyak berhubungan dengan fungsi tubuh manusia antara lain anatomi dan
fisiologi sebagai pengetahuan dasar tentang fungsi dari sistem rangka dan sistem
otot. Tiga hal yang menjadi landasan dalam ergonomi, antara lain:
a. Kinesiologi (mekanika pergerakan manusia atau mechanics of
human movement)
b. Biomekanika (aplikasi ilmu mekanika teknik untuk analisis
sistem rangka dan sistem otot manusia
c. Antropometri (kalibrasi tubuh manusia)
Faktor manusia sebagai faktor utama dalam studi ergonomi berkaitan dengan
ukuran tubuh dan dimensinya. Hubungan antara ukuran atau dimensi manusia
dengan lingkungannya disebut kesesuaian ergonomik atau ergofitting. Tentu studi
ergonomi dalam bidang arsitektur sebagai ilmu perancangan yang berbasis
manusia adalah antropometri atau dimensi tubuh manusia (Panero dan Zelnik,
1979: 6). Antropometri menjadi ukuran dalam ergonomi, terutama berkaitan
dengan sistem secara menyeluruh, antara lain meliputi accessibility atau
aksesibilitas, restraint atau ketahanan, visibility atau visibilitas, seating atau
kedudukan, display atau penampang, controls atau pengaturan penggunaan, dan
environment atau lingkungan.
2.1.3. Teori Hubungan Psikologis dengan Kesehatan Manusia
Di dalam psikologi terdapat yang dinamakan psikologi klinis, yaitu ilmu
yang mempelajari keterkaitan psikologis terhadap kesehatan tubuh secara
fisiologis. Salah satu bagian dari psikologi klinis yaitu mengenai psikologi
abnormal, yaitu ilmu yang mempelajari berbagai perilaku, pikiran, dan perasaan
yang tidak biasa terjadi atau tidak normal.
Menurut Robert S. Feldman dalam Fausiah dan Widury, stress adalah
suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam,
menantang, ataupun membahayakan, dan individu merespon peristiwa itu pada
level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku. Suatu peristiwa didefinisikan
sebagai peristiwa yang menekan secara langsung maupun tidak langsung
bergantung pada respon yang diberikan oleh individu. Suatu individu dikatakan
optimal ketika dirinya terbebas dari faktor-faktor emosional dan gangguan
psikofisiologis. Faktor-faktor emosional antara lain stress, sedih, dan lain
sebagainya, sedangkan gangguan psikofisiologis disebabkan adanya masalah fisik
sesungguhnya.
Pada bidang ilmu psikologi, terdapat suatu anggapan bahwa seluruh
penyakit, tidak hanya beberapa saja, dapat disebabkan oleh faktor-faktor
psikologis (Neale, Davison dan Haaga pada Fausiah dan Widury, 2005:10). Ilmu
yang mempelajari hal tersebut terdapat di bidang psikologi klinis DSM IV
(Diagnostic and Statical Manual of Mental Disorder) mengenai Faktor Psikologis
Mempengaruhi Kondisi Medis. Tinggi rendahnya tingkat stress seseorang dapat
berpengaruh pada kondisi fisiknya, seperti pernapasan atau tekanan darah. Stress
dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh sehingga menyebabkan munculnya
penyakit fisik.
Setiap individu memiliki coping atau usaha yang berbeda dalam
menghadapi stress, begitu juga dengan responnya akan dukungan orang
sekitarnya. Menurut Lazarus dan Folkman dalam Fausiah dan Widury, terdapat
dua tipe coping: problem-focused coping, dimana individu berfokus pada mencari
solusi berupa tindakan atau info atas suatu masalah; dan emotion-focused coping,
dimana individu berfokus untuk menurunkan emosi negatif yang atas suatu
masalah. Selain coping, keberadaan dan kualitas dukungan sosial untuk individu
juga salah satu yang membantu menurunkan stress. Adanya saudara, teman, atau
kenalan mampu membantu seseorang untuk menggunakan coping-nya lebih
optimal.
Pandangan mengenai hubungan antara psikologis dengan kesehatan dibagi
menjadi tiga, antara lain:
a. Pandangan Psikodinamik
Yaitu suatu pandangan dimana gangguan diakibatkan oleh emosi-
emosi yang dipendam sehingga hal tersebut menentukan organ mana
yang terkena penyakit. Contohnya: seseorang mengalami tekanan
dalam pekerjaannya, sehingga ia mengalami sakit di bagian kepala.
b. Pandangan Biologis
Yaitu suatu pandangan dimana gangguan diakibatkan oleh lemahnya
organ tubuh akibat masalah genetis atau penyakit bawaan. Contohnya:
seseorang mengalami penyakit skizofrenia karena anggota keluarganya
yang lain ada yang mengidap penyakit tersebut.
c. Pandangan Kognitif dan Perilaku
Yaitu suatu pandangan dimana gangguan diakibatkan bagaimana
individu mempersepsi dan bereaksi terhadap ancaman dari luar.
Persepsi individu dapat menstimulasi aktivitas sistem simpatik dan
pengeluaran hormon stress. Sedangkan emosi negatif sendiri membuat
sistem tersebut tidak berjalan lancar sehingga pada suatu titik tertentu
memunculkan penyakit.
2.1.4. Ergonomi di Rumah Sakit dan Kaitannya dengan Psikologis Pasien
Untuk meminimalkan kesalahan perancangan dan memaksimalkan kepuasan yang
dirasakan oleh pengguna interior, menurut Weinschenk dalam Setiawan dan Ruki,
seorang perancang harus memperhatikan aspek dalam psikologi desain, antara
lain:
a.Bagaimana seseorang melihat
yaitu bagaimana suatu penampilan tertangkap oleh indera penglihatan
dan dapat memberikan persepsi yang berbeda. Contohnya, ruangan
yang lebih tinggi memberikan persepsi keluasan yang berbeda dengan
ruang yang lebih rendah, atau adanya variasi warna, bentuk, motif,
tekstur dan material dibandingkan ruang yang monoton tanpa variasi.
b. Bagaimana seseorang memusatkan perhatiannya
Dalam desain sebuah public space, hal ini bermanfaat untuk membuat
seseorang mampu membaca fungsi ruang atau tertarik untuk
mendatangi suatu ruang. Hal tersebut membuat seseorang tidak merasa
bosan dan tertarik untuk mengeksplorasi bagian ruang.
c.Bagaimana seseorang membaca
Yaitu bagaimana seseorang menangkap sebuah signage atau
penandaan, yang biasanya berkenaan dengan suatu anjuran atau
larangan atau sesuatu yang harus diperhatikan.
d. Bagaimana seseorang mengingat
Yaitu bagaimana seseorang dapat mengingat pembentukan imaji atau
kekhasan pada suatu interior, baik warna, suasana, bentuk, maupun
kegiatan yang berlangsung disana.
e.Bagaimana seseorang berpikir
Yaitu bagaimana seseorang menentukan apa yang mereka inginkan,
menentukan informasi yang mereka butuhkan, zonasi apa saja yang
terdapat pada suatu ruangan, melalui kebudayaan yang
melatarbelakangi cara berpikirnya.
f. Bagaimana seseorang merasakan
Yaitu apa yang dirasakan seseorang melalui panca inderanya, antara
lain dengan indera penciuman, penglihatan, perabaan, pendengaran,
dan pengecap.
g. Bagaimana seseorang menentukan suatu pilihan atau
berpendapat
Hampir semua proses mental dalam keadaan tidak sadar, begitu pula
keputusan yang dilakukan, dan hal itu tidak berarti irrasional atau
salah. Ssehingga seseorang mengambil keputusan sesuai dengan
guideline atau aturan yang sesuai dengan latar belakangnya.
h. Apa yang memotivasi seseorang
Yaitu apa yang membuat seseorang mau melakukan sesuatu, baik
ditinjau dari latar belakangnya, keinginannya atau kebutuhannya. Dari
hal tersebut akan menghasilkan sebuah desain dimana form follow
function, dimana bentuk mengikuti kegunaan dari ruang, yang akan
berkaitan dengan aesthetic follow function, dimana estetika atau
keindahan mengikuti fungsi.
i. Apa yang membuat seseorang melakukan kesalahan
Yaitu pendataan mengenai pemakaian, pendataan, dan perbaikan apa
saja yang dilakukan untuk menanggulangi atau mencegah pengguna
ruang melakukan kesalahan.
j. Manusia adalah makhluk sosial
Yaitu untuk mengkategorikan ruangan menjadi area atau zona yang
berbeda berdasarkan jenis interaksinya dengan orang lain, contohnya
zona publik, zona semi-publik, zona semi-privat, dan zona privat.
Hal-hal tersebut nantinya akan berkaitan dengan elemen dan prinsip-prinsip
dalam desain interior atau tata ruang.
Di rumah sakit, suasana yang didapatkan dari perancangan interior atau
tata ruang akan berpengaruh terhadap pasien yang dirawat. Menurut Utomo
dalam Sari, ruang rawat inap hanya diperuntukkan sebagai penunjang fungsi fisik
penyembuhan pasien saja tanpa memperhatikan faktor psikologis dan
kenyamanan pasien. Hal tersebut akan membuat fungsi ruang tidak optimal
menunjang proses kebutuhan pasien. Menurut Kaplan dalam Sari, penyembuhan
pasien merupakan kompleksitas yang terjalin antara kondisi fisiologis dengan
kondisi psikologis dari seseorang. Untuk mendukung kondisi psikologis pasien
perlu diciptakan lingkungan yang nyaman dan mendukung proses penyembuhan.
Faktor lingkungan sendiri mempunyai peran terbesar dalam proses penyembuhan,
dimana faktor lingkungan sebesar 40%, faktor medis sebesar 10%, faktor genetis
20%, dan faktor lainnya sebesar 30%.
Menurut Wohlwill dalam Sari, lingkungan rumah sakit memungkinkan
terjadinya interaksi antara ruang dan aktivitas yang berlangsung tidak seiumbang.
Hal ini disebabkan rumah sakit dirancang berdasarkan standar internasional yang
dapat menjadi salah satu stimulus stress pada pasien yang dirawat. Piaget dalam
Sari menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungannya adalah
identik dengan hubungan antara kognisi dengan struktur lingkungannya.
Lingkungan mengandung stimulus atau rangsang yang kemudian ditanggapi oleh
manusia dalam bentuk respon. Dalam menanggapi respon, pasien di rumah sakit
berupaya untuk mengerti, memahami, dan menilai lingkungannya, dalam upaya
untuk mengatasi keadaan tertekan dan tidak nyaman dalam ruang yang terasa
asing.
Bagan 2.1. Persepsi Kognitif terhadap Lingkungan (Wohlwill dalam Sari, 2003)
Beberapa stimulus dalam desain tata ruang atau interior diterima melalui
indera manusia. Menurut Bell dalam Sari, terdapat sembilan alat indera, yaitu
penglihatan, pendengaran, kinestesis, vestibular, perabaan, temperatur, rasa sakit,
perasa, serta penciuman. Semua alat indera tersebut yang memungkinkan
manusia berinteraksi atau berkomunikasi dengan ruang, dengan kecepatan
stimulus antara lain sebagai berikut:
Bagan 2.2. Total Kapasitas Informasi Seseorang terhadap Respon (Bell
dalam Sari, 2003)
Dimana stimulus visual memiliki spektrum yang paling cepat direspon
dibandingkan stimulus akustik, penciuman, maupun termal. Elemen desain yang
dapat dikategorikan ke dalam stimulus visual antara lain warna, iluminasi, bentuk
dan skala. Ergonomi dapat dikaitkan dalam bentuk dan skala di dalam ruang
sebagai salah satu aspek visual yang kemudian akan mempengaruhi kondisi
psikologis pengguna ruang di dalamnya.
Jika seorang pasien tidak nyaman dengan kondisi lingkungannya, yaitu
ruang tempat ia dirawat, maka akan menyebabkan gangguan psikosomatis.
Gangguan psikosomatis adalah penyakit yang melibatkan pikiran dan tubuh
dimana pikiran mempengaruhi tubuh sehingga penyakit muncul atau diperparah
(AloDokter.com, 2015). Sehingga dalam kaitannya dengan kondisi psikologis
seorang pasien, ergonomi di dalam sebuah ruang rawat inap di rumah sakit dapat
mempengaruhi kesehatan pasien. Pengaruh ergonomi bagi pasien dapat berupa
pengaruh positif, yaitu mendukung proses penyembuhan pasien, atau justru
pengaruh negatif, yang membuat pasien stress dan mengalami gejala penyakit
yang lebih parah atau munculnya penyakit lainnya.
2.1.4.1. Standar Ergonomi di Rumah Sakit
Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal
10 disebutkan bahwa bangunan rumah sakit paling sedikit terdiri atas ruang
rawat inap, serta pada pasal 9 disebutkan bahwa dalam persyaratan teknis
bangunan rumah sakit harus sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan
kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan
bagi semua orang, termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia
lanjut. Dalam Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sakit, ruang rawat inap
merupakan ruang untuk pasien yang memerlukan asuhan dan pelayanan
keperawatan dan pengobatan secara berkesinambungan lebih dari 24 jam.
Alur kegiatan di bangunan rawat inap antara lain sebagai berikut:
Bagan 2.3. Alur Kegiatan di Bangunan Rawat Inap (Direktorat Bina
Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan, 2012)
Sedangkan alur pasien di dalam ruang rawat inap terbagi sebagai berikut:
a. Pasien masuk ruang rawat inap
1. Pasien masuk ruang rawat inap dari IGD/COT/rawat jalan melalui
admisi atau pendaftaran
2. Pasien mendapatkan Nomor Rekam Medis
3. Serah terima dan orientasi di pos perawat (Nurse Station)
4. Pasien ganti pakaian
5. Pasien selanjutnya dirawat lebih lanjut di ruang rawat inap
b. Pasien meninggalkan ruang rawat inap
1. Pasien pulang ke rumah setelah sehat
2. Pasien meninggal dikirim ke kamar jenazah
Persyaratan teknis mengenai bangunan ruang rawat inap antara lain:
a. Lokasi
1. Bangunan rawat inap harus terletak pada lokasi yang tenang, aman dan
nyaman, tetapi tetap memiliki kemudahan aksesibilitas atau pencapaian
dari sarana penunjang rawat inap.
2. Bangunan rawat inap terletak jauh dari tempat-tempat pembuangan
kotoran dan bising dari mesin/generator.
b. Denah
1. Kecepatan bergerak merupakan salah satu kunci keberhasilan
perancangan, sehingga blok unit sebaiknya sirkulasinya dibuat secara
linier/lurus (memanjang)
2. Jumlah kebutuhan ruang harus disesuaikan dengan kebutuhan jumlah
pasien yang akan ditampung.
3. Sinar matahari pagi sedapat mungkin masuk ke dalam ruangan.
4. Besaran ruang dan kapasitas ruang harus dapat memenuhi persyaratan
minimal, antara lain:
a. Ruang perawatan VIP 18 m2/tempat tidur
b. Ruang perawatan Kelas I 12 m2/tempat tidur
c. Ruang perawatan Kelas II 10 m2/tempat tidur
d. Ruang perawatan Kelas III 7,2 m2/tempat tidur
5. Persyaratan khusus
a. Tipe ruang rawat inap, terdiri dari:
i. Ruang rawat inap 1 tempat tidur setiap kamar (VIP)
ii. Ruang rawat inap 2 tempat tidur setiap kamar (Kelas 1)
iii. Ruang rawat inap 4 tempat tidur setiap kamar (Kelas 2)
iv. Ruang rawat inap 6 tempat tidur setiap kamar (Kelas 3)
b. Khusus untuk pasien-pasien tertentu harus dipisahkan (ruang
isolasi), seperti:
i. Pasien yang menderita penyakit menular
ii. Pasien dengan pengobatan yang menimbulkan bau
(seperti penyakit tumor, ganggrein, diabetes, dan
sebagainya)
iii. Pasien yang gaduh gelisah (mengeluarkan suara dalam
ruangan)
c. Lantai
1. Lantai harus kuat dan rata, tidak berongga.
2. Bahan penutup lantai dapat terdiri dari bahan tidak berpori, seperti
vinyl yang rata atau keramik dengan nat yang rapat sehingga debu
dari kotoran-kotoran tidak mengumpul, mudah dibersihkan, tidak
mudah terbakar.
3. Pertemuan dinding dengan lantai disarankan melengkung (hospital
plint), agar memudahkan pembersihan dan tidak menjadi tempat
sarang debu dan kotoran.
d. Langit-langit
Langit-langit harus rapat dan kuat, tidak rontok dan tidak menghasilkan
debu/kotoran.
e. Pintu
1. Pintu masuk ke ruang rawat inap, terdiri dari pintu ganda, masing-
masing dengan lebar 90 cm dan 40 cm. Pada sisi pintu dengan
lebar 90 cm, dilengkapi dengan kaca jendela pengintai (observation
glass).
2. Pintu masuk ke kamar mandi umum, minimal lebarnya 85 cm.
3. Pintu masuk ke kamar mandi pasien, untuk setiap kelas, minimal
harus ada 1 kamar mandi berukuran lebar 90 cm, diperuntukkan
bagi penyandang cacat.
4. Pintu kamar mandi pasien, harus membuka ke luar kamar mandi.
5. Pintu toilet umum untuk penyandang cacat harus terbuka ke luar.
f. Jendela
1. Disarankan menggunakan jendela kaca sorong, yang mudah
pemeliharaannya, dan cukup rapat.
2. Bukaan jendela harus dapat mengoptimalkan terjadinya pertukaran
udara dari dalam ruangan ke luar ruangan.
3. Untuk bangunan rawat inap yang berlantai banyak/bertingkat,
bentuk jendela tidak boleh memungkinkan dilewati pasien untuk
meloncat.
g. Kamar Mandi
1. Kamar mandi pasien, terdiri dari kloset, shower (pancuran air) dan
bak cuci tangan (wastafel).
2. Khusus untuk kamar mandi bagi penyandang cacat mengikuti
pedoman atau standar teknis yang berlaku.
3. Jumlah kamar mandi untuk penyandang cacat, 1 (satu) buah untuk
setiap kelas.
4. Toilet umum, terdiri dari kloset dan bak cuci tangan (wastafel).
5. Disediakan 1 (satu) toilet umum untuk penyandang cacat di lantai
dasar, dengan persyaratan sebagai berikut :
i. Toilet umum yang aksesibel harus dilengkapi dengan
tampilan rambu/simbol "penyandang cacat" pada bagian
luarnya.
ii. Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak
yang cukup untuk masuk dan keluar pengguna kursi roda.
iii. Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan
ketinggian pengguna kursi roda sekitar (45 ~ 50 cm).
iv. Toilet atau kamar kecil umum harus dilengkapi dengan
pegangan rambat (handrail) yang memiliki posisi dan
ketinggian disesuaikan dengan pengguna kursi roda dan
penyandang cacat yang lain. Pegangan disarankan memiliki
bentuk siku-siku mengarah ke atas untuk membantu
pergerakan pengguna kursi roda.
v. Letak kertas tissu, air, kran air atau pancuran (shower) dan
perlengkapan-perlengkapan seperti tempat sabun dan
pengering tangan harus dipasang sedemikian hingga mudah
digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasan
keterbatasan fisik dan bisa dijangkau pengguna kursi roda.
vi. Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin. Lantai
tidak boleh menggenangkan air buangan.
vii. Pintu harus mudah dibuka dan ditutup untuk memudahkan
pengguna kursi roda.
viii. Kunci-kunci toilet atau grendel dipilih sedemikian sehingga
bisa dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat.
ix. Pada tempat-tempat yang mudah dicapai, seperti pada
daerah pintu masuk, disarankan untuk menyediakan tombol
bunyi darurat (emergency sound button) bila sewaktu-
waktu terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
Gambar 2.1. Detail Ruang Rawat Inap (Direktorat Bina Pelayanan Penunjang
Medik dan Sarana Kesehatan, 2012)
Sedangkan menurut Neufert (2002), mengenai lingkungan rumah sakit,
terdapat ketentuan sebagai berikut:
a. Pengukuran Ruangan Pasien
Ruang di kiri dan kanan tempat tidur harus cukup untuk dapat
dilalui. Meja dan kursi harus ditempatkan sedemikian rupa
sehingga dalam penggantian sprei tidak ada perabot yang
menghambat atau harus dikeluarkan. Ukuran minimal untuk lebar
ruang perawatan adalah sebagai berikut:
Lebar antar tempat tidur 90-95 cm
Jarak antar tempat tidur 90 cm
Jarak antara tempat tidur dan dinding 80 cm
Jarak antara tempat tidur dan dinding berjendela 130 cm
Panjang tempat tidur 220 cm
Ruang kosong untuk ruang gerak tempat tidur 125 cm
b. Tempat Tidur Pasien
Tempat tidur pasien harus dapat dijalankan dengan mudah oleh
perawat, baik ketika ada pasien yang berbaring maupun tidak dan
cukup stabil untuk didorong.
Luas permukaan tempat tidur 2,20 m x 0,95 m
(tempat tidur khusus) 2,40 m x 1,00 m
Tinggi tempat tidur 45 – 85 cm
c. Lemari Pasien
Sebuah lemari pasien harus dimasukkan ke dalam rancangan
pembangunan untuk setiap tempat tidur. Lemari ditata sedemikian
rupa sehingga dapat dilihat dari ruang perawatan untuk
menghindari pencurian.
Tinggi lemari 1,40 m
Sudut minimal bukaan pintu 120o
d. Pengaturan Alat-alat komunikasi
Pengaturan alat komunikasi dihubungkan dengan jaringan
komunikasi, meliputi sakelar penerangan ruangan, lampu baca, alat
pemanggil perawat, tempat pengambilan gas dan pompa hampa
udara medis, radio dan telepon.
Gambar 2.2. Detail Ukuran Ruang Perawatan Intensif (Neufert, 2002)
Tabel 2.1. Klasifikasi Perawatan (Neufert, 2002)
2.1.4.2. Kenyamanan Pasien Berdasarkan Ergonomi
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 69 Tahun 2014 tentang
Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien Pasal 24 Ayat (2) berisi
mengenai hak pasien. Hak pasien yang berkaitan dengan skala dan proporsi
ruang dalam kaitannya dengan ergonomi meliputi:
a. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi;
b. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
c. memperoleh pelayanan yang efektif dan efisien sehingga pasien
terhindar dari kerugian fisik dan materi;
d. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
e. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
f. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal tersebut tidak mengganggu pasien lainnya;
g. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit;
h. menyampaikan keluhan atau pengaduan atas pelayanan yang diterima;
Menurut World Health Organization (WHO) dalam Foyle (2011:3), patient-
centred care atau perawatan berpusat pada pasien mampu menyembuhkan
kondisi fisiologi, biokimia atau anatomi secara holistik di seluruh tubuh
pasien. Caranya adalah dengan mengetahui apa yang pasien rasakan dan
bagaimana dirinya terlibat dalam tindakan medis yang dilakukan padanya.
Enam prinsip dalam patient-centred care antara lain:
a. compassion, empati dan responsif kepada kebutuhan pasien
b. koordinasi dan integrasi
c. informasi, komunikasi, dan edukasi
d. kenyamanan fisik
e. dukungan emosional, mengurangi ketakutan dan kecemasan
f. keterlibatan keluarga dan kerabat pasien.
Sehingga dari keenam prinsip tersebut, dibutuhkan sebuah setting lingkungan
rumah sakit yang antara lain:
a. terbuka bagi keluarga dan kerabat pasien
b. menghargai manusia dibandingkan teknologi medis
c. membiarkan pasien untuk berpartisipasi sebagai partner di dalam
pengobatannya
d. menyediakan fleksibilitas untuk melayani kebutuhan setiap pasien
e. mengajak petugas medis untuk responsif terhadap pasien
f. tidak mengisolasi pasien dengan alam sekitar dan keindahannya
Perawatan di rumah sakit biasanya membuat seorang pasien justru
merasa stress melebihi dari penyakit yang dideritanya. Hal tersebut muncul
dari faktor lingkungannya, seperti suasana dan penataan ruang di sekitarnya
yang tidak familiar, kurangnya privasi dan kemandirian yang disebabkan
adanya pengawasan dari tenaga medis, serta ketidakpastian akan
sembuh/tidaknya pasien pada penyakit-penyakit tertentu.
Di sebuah ruang rawat inap, pasien bisa menghabiskan waktunya
hanya tidur dan duduk di tempat tidur pasien, dengan hanya sedikit kegiatan
yang bisa dilakukan. Lingkungan arsitektural dapat berkontribusi pada
penyembuhan pasien dan secara signifikan mempengaruhi kesehatannya. Studi
menunjukkan bahwa:
a. pasien sensitif dan tanggap terhadap lingkungan arsitektural di
sekitarnya
b. pasien membuat kemajuan kesehatannya lebih baik di bangunan yang
dirancang secara khusus dibandingkan hanya sesuai standar
c. rumah sakit yang dirancang lebih seksama akan menciptakan atmosfer
yang lebih baik untuk pasien sehingga mampu meminimalisir
ketidaknyamanan secara mental bahkan mampu mengurangi
pengobatan penghilang rasa sakit
Studi menunjukkan bahwa desain yang buruk akan berdampak buruk
pula pada perilaku pasien bahkan menghantarkan pada penurunan fungsi
fisiologis tubuh. Desain yang buruk akan mengakibatkan kecemasan, naiknya
tekanan darah, dan menambah dosis obat penghilang rasa sakit. Desain sebuah
ruang rawat inap tidak hanya sekedar peraturan, efisiensi, dan biaya. Desain
yang baik mampu meminimalisir penggunaan medikasi berupa obat ataupun
peralatan medis, serta mempercepat proses penyembuhan pasien.
Lingkungan ruang rawat inap yang baik meliputi:
a. Terdapatnya cahaya yang berasal dari terang langit
Penelitian menunjukkan bahwa adanya cahaya yang berasal dari terang
langit efektif dalam mengurangi tingkat depresi yang dirasakan oleh
pasien yang dirawat di rumah sakit. Depresi dapat berakibat serius pada
pasien dengan gangguan kejiwaan, gangguan jantung dan pembuluh
darah, serta kanker. Studi medis menunjukkan adanya terang langit
mampu mempersingkat durasi pasien dirawat di rumah sakit dan
mengurangi tingkat mortalitas bagi pasien dengan penyakit berat.
b. Tidak terganggu oleh suara bising
Studi menunjukkan bahwa kebisingan dapat menurunkan kadar oksigen
dalam darah sehingga meningkatkan kebutuhan akan tabung oksigen,
meningkatkan tekanan darah, denyut jantung dan pernapasan, serta
membuat pasien tidak dapat tidur. Hal tersebut menyebabkan
menurunnya fungsi kekebalan tubuh dan metabolisme yang akan
berpengaruh besar pada proses pemulihan pasien.
c. Layout ruang dan aksesibiltas yang nyaman bagi pasien
Layout dan aksesibilitas yang tidak familiar bagi pasien dapat
menyebabkan stress dan mengalami disorientasi. Terlebih lagi dengan
adanya peralatan medis yang membuat seorang pasien merasa asing
dengan lingkungannya. Hal tersebut dapat berpengaruh pada penurunan
fungsi kekebalan tubuh. Perubahan kecil pada layout ruang, pemilihan
warna, penutup lantai, gorden, serta terdapatnya signage yang berisi
informasi akan material yang disediakan dapat memperbaiki mood
pasien.
d. Ruangan hanya untuk jenis kelamin yang sama
Studi menunjukkan bahwa pasien akan merasa lebih nyaman dengan
mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama. Alasannya selain pada
aspek privasi adalah rasa empati yang lebih tinggi dan adanya rasa
lebih diterima pada ruang tersebut.
e. Mendukung terjadinya interaksi sosial
Adanya dukungan sosial akan mengurangi stres dan mempercepat
pemulihan pasien. Desain ruang rawat inap harusnya dapat
mengfasilitasi adanya interaksi sosial, yaitu dengan menyediakan
tempat duduk atau tempat tunggu pasien yang nyaman dengan furnitur
yang bisa digerakkan.
f. Berhubungan dengan taman
Studi klinis menunjukkan bahwa pemandangan alam mampu
membantu pemulihan stres. Secara fisiologis, hal tersebut akan
berpengaruh antara lain pada tekanan darah dan denyut jantung.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa lingkungan yang mampu mengurangi stres
dan mempercepat pemulihan pasien antara lain:
a. Lingkungan di dalam ruang
• ruang yang menyenangkan dan ramah bagi pasien
• penampilan yang menenangkan dan tidak mengintimidasi pasien
• memiliki keakustikan yang baik
• temperatur udara yang nyaman di musim apapun
• kualitas udara yang segar
b. Material, finishing, tekstur
• material dan finishing harus ditata sedemikian rupa agar menciptakan
suatu privasi
• elemen ruang harus ditata dengan baik dan mendukung higienitas
• pemilihan material yang higienis
c. Menggunakan seni untuk menciptakan healing environment
• seni menjadi bagian dalam ruang rawat inap
• mengganti lukisan atau benda seni yang dipajang secara berkala
d. Cahaya dan warna
• warna dan pembayangan harus secara efektif menciptakan persepsi
tiga dimensional
• warna menciptakan kontinuitas, variasi, stimulasi, dan ketenangan
• perubahan warna dapat menunjukkan perubahan fungsi ruang
• terang langit harus dioptimalkan
• lampu harus ditata secara kreatif
e. Pemandangan
• harus terdapat suatu pemandangan baik taman maupun kolam yang
mampu menghibur pasien dari dalam ruang
f. Kualitas Spasial
• ruang sempit tanpa cahaya langit atau pemandangan ke luar bangunan
harus dihindari
• ruang aksesibilitas dan sirkulasi yang memungkinkan bagi pasien untuk
mengaturnya sehingga tercipta suasana yang nyaman, tidak sekedar
mengikuti standar atau fungsi.
Panero dan Zelnik (1979) menjelaskan jarak-jarak antropometrik mengenai
kamar rumah sakit, antara lain sebagai berikut:
Gambar 2.3. Antropometri Bilik Tempat Tidur Pasien dengan Tirai (Panero dan Zelnik,
1979:245)
Gambar 2.4. Antropometri Kamar Tidur Pasien (Panero dan Zelnik, 1979: 246)
Gambar 2.5. Antropometri Area Perorangan/Kamar Tidur dengan Dua atau Empat Tempat
Tidur (Panero dan Zelnik, 1979: 247)
DAFTAR PUSTAKA
Ching, Francis D.K. 1979. Arsitektur: Bentuk, Ruang dan Tatanan. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Ching, Francis D.K. 2002. Ilustrasi Desain Interior. Jakarta: Gramedia.
Fausiah, Fitri dan Widury, Julianti. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Haryadi, & Setiawan, B. (1995). Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mangunwijaya, D.I. (1988). Watu Citra. Jakarta: PT. Gramedia.
Neufert, Ernest. 2002. Data Arsitek: Jilid 2. Jakarta: Gramedia.
Nurmianto, Eko. 1996. Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya: Edisi Pertama. Surabaya:
Prima Printing. ISBN: 979-545-007-7.
Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan. 2012. Pedoman Teknis
Bangunan Rumah Sakit: Ruang Rawat Inap. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Foyle, Grace, dkk. 2011. “The Psychological and Social Needs of Patients” dalam BMA
Science and Education Edisi Januari 2011. London: British Medical Assosiation.
Kusumarini, Yunita. 2005. “Unsur Desain (Spesifik) Dalam Pembelajaran Dasar Desain
Interior” dalam Dimensi Interior Vol. 3 No.1, Juni 2005 Halaman 31-43. Surabaya:
Universitas Petra.
Sari, Sriti Mayang. 2003. “Peran Warna Pada Interior Rumah Sakit Berwawasan ‘Healing
Environment’ Terhadap Proses Penyembuhan Pasien” dalam Dimensi Interior Vol.1
No.2 Desember 2003 Hal.141-156. Surabaya: Universitas Petra.
Setiawan, Budi dan Ruki, Ulli Aulia. 2014. “Penerapan Psikologi Desain Pada Elemen
Desain Interior” dalam Humaniora Vol. 5 No.2. pada Oktober 2014.
AloDokter.com. (2015). Gangguan Psikosomatis, Ketika Pikiran Menyebabkan Penyakit Fisik. Retrieved Maret 14, 2016, from AloDokter: http://www.alodokter.com/gangguanpsikosomatisketikapikiranmenyebabkanpenyakitfisik
Studio, T. C. (2010, Oktober 18). Pentingnya Desain Interior. Retrieved Maret 16, 2016, from Tjoret.Net: http://www.tjoret.net/2010/10/pentingnya-desain-interior.html