Upload
jum-bee-juliant-echo
View
2.293
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Keinginan konsumen untuk mendapatkan makanan yang bersifat mudah
dikonsumsi dan masih dalam keadaan segar, akan membuka kesempatan bidang
pengawetan makanan dengan cara pengolahan minimal (minimal processing).
Pada dasarnya produk terolah minimal terdiri dari proses pencucian, sortasi,
pengupasan, dan pemotongan/pengirisan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil
dengan bentuk spesifik sesuai komoditas. Produk sayur atau buah terolah minimal
masih memiliki karakteristik segar dan lebih praktis kerena telah dihilangkannya
bagian yang tidak dapat dimakan.
Produk-produk hasil pengolahan minimal masih aktif secara fisiologis,
jaringan-jaringanya masih hidup dan melakukan respirasi, sehingga masa simpan
produk pengolahan minimal biasanya lebih pendek dari bahan segarnya.
Kerap kali bahwa buah apel, pir, kentang dan salak, yang baru saja di
kupas, daging buah atau umbinya menjadi berwarna coklat. Dalam ilmu pangan
gejala itu di namakan browning atau pencoklatan. Pada umumnya proses
pencoklatan ada dua macam yaitu pencoklatan enzimatis dan non enzimatis.
Pencoklatan pada buah ini tergolong pada pencoklatan enzimatis, hal ini di
karenakan buah apel atau pada buah-buahan pada umumnya banyak mengandung
substrat senyawa fenolik (Ridwan 2008).
Senyawa fenolik dengan jenis ortodihidroksi atau trihidroksi yang saling
berdekatan merupakan substrat yang baik untuk proses pencoklatan. Proses
1
pencoklatan enzimatik memerlukan adanya enzin fenol oksidase dan oksigen yang
harus berhubungan dengan substrat tersebut.
Ridwan (2008) berpendapat bahwa pencoklatan pada buah apel dan buah
lain setelah di kupas disebabkan oleh aktifitas enzim polifenol oksidase, yang
dengan bantuan oksigen akan mengubah gugus monophenol menjadi o-hidroksi
phenol, yang selanjutnya diubah lagi menjadi o-kuinon. Gugus o-kuinon inilah
yang membentuk warna coklat. Perubahan-perubahan ini akan menurunkan mutu
buah apel secara drastis. Buah apel yang rusak biasanya tidak baik dan bahkan
tidak sehat untuk dimakan. Pencoklatan buah apel hijau disebabkan adanya
polifenol oksidase yang mengkatalisis terjadinya oksidasi antar polifenol dengan
udara dan dapat dihambat dengan antioksidan.
Salah satu upaya untuk mencegah pencoklatan buah akibat oksidasi enzim
dapat digunakan antioksidan untuk mecegah pencoklatan dan melindungi buah-
buahan dan sayuran. Menurut Wisnu, (2006) berdasarkan sumbernya antioksidan
terdapat antioksidan yang bersifat alami, seperti komponen fenolik/flavonoid,
vitamin E, vitamin C dan beta-karoten.
Utami (2008) menunjukan vitamin C dapat menghambat aktivitas
polifenol oksidase buah apel hijau dengan IC50 yaitu 0,241 mM. Selanjutnya
penelitian Santi (2008) tentang pengaruh vitamin C untuk menghambat proses
pencoklatan pada buah pir (Pyrus communis L.) memperoleh hasil dengan IC50
yaitu 0,285 mM. Penelitian lainnya menurut Retno (2008), tentang pengaruh
vitamin C untuk menghambat aktivitas polifenol oksidase buah pisang (Musa
paradisiaca Linn. Var Sapientum) dengan IC50 yaitu 0,429 mM.
2
Menurut Murniramli (2008), vitamin C (absorbic acid) akan menghambat
enzim di dalam apel untuk bereaksi dengan oksigen atau dengan kata lain kerja
enzim dirusak oleh vitamin C. Asam sitrat dalam hal ini fungsinya hampir
menyerupai vitamin C dengan mekanisme merusak enzim yang dapat
menyebabkan pencoklatan.
Selain itu penambahan asam sitrat juga akan mempengaruhi tingkat
pencoklatan apel fresh cut. Hal tersebut setidaknya terlihat pada menit ke –0
dimana penambahan asam sitrat 0,5%, menunujukkan tingkat pencoklatan yang
paling rendah (Anonim, 2009).
Salah satu sumber antioksidan alami adalah fenolik/flavonoid yang
terdapat dalam buah belimbing wuluh. Belimbing wuluh mengandung kalium
oksalat, flavonoid, pektin, tannin, asam galat dan asam format
(Swaraovinta,2006). Menurut Dalimarta dan Setyawaan (1990), batang belimbing
wuluh mengandung saponin, tannin, glucosidal, kalsium oksalat, sulfur, dan asam
format. Sedangkan daunnya mengandung tannin, sulfur, asam format dan
peroksida.
Ekstrak belimbing wuluh pada fraksi eter dan air memiliki aktivitas
antioksidan terhadap radikal DPPH dengan nilai IC50 sebesar 50,36 ppm dan
44,01 ppm (Sunardi, 2007).
Muhlisa dan Fauziah (1999), menjelaskan belimbing wuluh sebagai buah
yang bermanfaat untuk menghilangkan rasa sakit (analgetik), memperbanyak
pengeluaran empedu, anti radang, peluruh kencing, astringent, penghilang jerawat,
sariawan, batuk dan mengandung vitamin C yang cukup tinggi.
3
Dengan mengharapkan fungsi antioksidan yang dimiliki belimbing wuluh
diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan memperpanjang umur simpan dari
buah apel malang terolah minimal. Berkaitan dengan hal tersebut penulis mencoba
untuk mengkaji melalui penelitian yang berjudul “Pengaruh Perendaman
Dalam Ekstrak Belimbing Wuluh (Averhoa bilimbi) Terhadap Sifat Fisik,
Sifat Kimia dan Organoleptik Buah Apel Terolah Minimal”.
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengaruh perendaman dalam ekstrak belimbing wuluh
terhadap sifat fisik, kimia dan organoleptik buah apel hijau terolah
minimal.
2. Menentukan konsentrasi ekstrak belimbing wuluh yang digunakan dalam
perendaman buah apel malang terolah minimal, sehingga dihasilkan sifat
fisik, kimia dan organoleptik buah apel hijau terolah minimal yang terbaik.
1.3 Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini sebagai sumbangan ilmu pengetahuan dan
informasi mengenai penggunaan ekstrak belimbing wuluh terhadap sifat fisik,
kimia dan organoleptik buah apel hijau terolah minimal.
1.4 Hipotesis
1. Perendaman dalam ekstrak belimbing wuluh berpengaruh terhadap sifat
fisik, kimia dan organoleptik buah apel hijau terolah minimal.
4
2. Terdapat konsentrasi ekstrak belimbing wuluh tertentu untuk menghambat
pencoklatan dan menghasilkan sifat fisik, kimia dan organoleptik buah
apel hijau terolah minimal yang terbaik.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Belimbing Wuluh (Averhoa bilimbi)
Belimbing asam (Averhoa bilimbi) dapat tumbuh baik di tempat-tempat
terbuka yang mempunyai ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan air
laut. DI negara asalnya, tanaman ini tumbuh baik di daerah tropis dan di Indonesia
banyak dipelihara di pekarangan atau kadang-kadang tumbuh secara liar diladang
atau tepi hutan. Tumbuhan ini tingginya dapat mencapai lebih dari 10 meter dan
mempunyai batang yang keras.
Klasifikasi
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Geraniales
Famili : Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan)
Genus : Averrhoa
Spesies : Averrhoa bilimbi L
Ada dua varitas dari tumbuhan belimbing asam yaitu yang menghasilkan
buah berwarna hijau dan kuning muda atau sering pula dianggap berwarna putih.
Batangnya tidak banyak memiliki cabang, sedang daunnya bersirip genap.
6
Bunganya yang kecil-kecil menggantung berwarna merah atau keunguan dengan
buah memanjang dan dalamnya berongga berbiji-biji. Daging buahnya banyak
mengandung air yang berasa asam.
Belimbing wuluh berkhasiat sebagai obat encok, obat penurun panas dan
obat gondok. Kandungan kimia yang terdapat pada daun belimbing wuluh antara
lain saponin, flavonoid asam galat, asam format dan tanin (Anonim, 2001). Fraksi
air daun belimbing wuluh terbukti sebagai antiinflamasi (Effendi, 1998). Oksigen
aktif dan radikal bebas berhubungan dengan beberapa kasus secara fisiologi dan
patologis seperti peradangan, kekebalan, penuaan, mutagenik dan karsinogenik
(Rohdiana, 2001). Proses peradangan diperantarai oleh sintesis prostaglandin yang
dikatalisasi oleh siklooksigenase. Zat antara pada proses sintesis ini adalah
terbentuknya radikal bebas (Lautan, 1997).
II.2. Buah Terolah Minimal
Keinginan konsumen untuk mendapatkan makanan yang bersifat mudah
dikonsumsi dan masih dalam keadaan segar, akan membuka kesempatan bidang
pengawetan makanan dengan cara pengolahan minimal (minimal processing)
(King dan Bolin, 1989 dalam Andrianis, 2001). Pada dasarnya produk terolah
minimal terdiri dari proses pencucian, sortasi, pengupasan, dan
pemotongan/pengirisan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dengan bentuk
spesifik sesuai komoditas. Produk sayur atau buah terolah minimal masih
memiliki karakteristik segar dan lebih praktis kerena telah dihilangkanya bagian
yang tidak dapat dimakan.
7
Dibalik keuntungannya buah terolah minimal mempunyai kelemahan,
yaitu buah lebih mudah rusak bila dibandingkan dengan buah utuh yang masih
berkulit, baik selama penanganan maupun penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh
hilangnya kulit buah sebagai pelindung alami dan hilangnya keutuhan sel akibat
perlakuan pengupasan dan pemotongan, sehingga terjadinya perubahan fungsi
fisiologis sel yang mengakibatkan meningkatnya transpirasi, respirasi dan
aktivitas enzim (Burn, 1995). Keadaan ini mengakibatkan; a). induksi sintesis
etilen, b) degradasi membrane lipid, c) peningkatan laju repirasi, d) pencoklatan
oksidatif, e) penyembuhan luka, f) pembentukan metabolit sekunder dan
kehilangan air. Perubahan-perubahan ini menyebabkan buah terolah minimal
cepat rusak sehingga praktis umur simpannya pendek (Krocta, 1992 dalam
Indriyani, 2006)
Produk-produk hasil pengolahan minimal masih aktif secara fisiologis,
jaringan-jaringanya masih hidup dan melakukan respirasi, sehingga masa simpan
produk pengolahan minimal biasanya lebih pendek dari bahan segarnya. Beberapa
factor yang mempengaruhi kualitas buah selama penyimpanan adalah suhu
penyimpanan, konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam ruang penyimpanan.
Buah durian yang disimpan dalam bentuk siap saji pada suhu ruang hanya
dapat bertahan selama 3 hari, hal ini disebabkan akibat aktivitas fisiologis durian
yang sangat tinggi pada suhu ruangan 25-30oC (Tirtosoekotjo, 1990). Oleh karena
itu diperlukan pula penanganan pasca panen untuk memperpanjang umur simpan
dan menekan penurunan mutu produk terolah minimal.
8
II.3. Mutu Apel
Standar mutu apel segar menurut U.S. standar ditentukan oleh derajat
kemasakan, warna , kekerasan, bentuk, dan ukuran, bebas dari kerusakan-
kerusakan (Kader, 1985).
Di Indonesia belum ada standasisasi mutu buah apel, meskkipin demikian,
karakteristik buah apel dapat diniliai berdasarkan : Kadar vitamin, kadar pati dan
asam kekerasan, berat jenis, dan mudahnya lepas dari tangkai, warna kulit, dan
ukuran, serta respirasi (Soelarso, 1998).
II.3.1. Vitamin C
Asam Askorbat adalah vitamin yang paling mudah rusak diantara semua
vitamin yang ada. Asam askorbat sangat larut dalam air. Asam askorbat mudah
teroksidasi. Oksidasi sangat cepat bila kondisinya alkalis, pada suhu tinggi dan
terkena sinar matahari serta logam-logam yang rendah. (Gaman and Sherrington,
1994 dikutip dari skripsi, Bastian, dkk. 2004). Asam askorbat pada buah apel
disintesa dari glukosa, dimana asam askorbat ini akan mengalami penurunan
selama penyimpanan. Salah satu penyebab penurunan kandungan asam askorbat
ini disebabkan oleh aktivitas enzim asam askorbat oksidase (Tranggono dan
Sutardi, 1989 dikutip dari Tesis Bastian, dkk, 2004).
II.3.2. Total Asam
Selama periode pematangan kandungan asam total turun. Sebagai contoh
adalah kandungan asam malat dalam apel. Bersamaan dengan turunnya total asam
maka terjadi penurunan kandungan pati. Berlangsungnya klimaterik apel disertai
9
dengan peningkatan aktivitas motokonria pada bagian kulit dan daging buahnya,
yang juga ditandai oleh kenaikan aktivitas enzim malat dan piruvat karboksilase
(Tranggono dan Sutardi, 1989 dikutip dari Tesis Bastian, dkk, 2004). Menurut
Apandi (1984), kandungan asam organik yang terdapat pada apel antara lain :
Malic, quinic, -ketoglutaric, oxalacetic, citrit, pyruvic, tumaric, lactic dan
succinic acids.
II.3.3. Tekstur, Aroma, dan Kenampakan
Buah apel mempunyai bentuk bulat sampai lonjong bagian pucuk buah
berlekuk dangkal, kulitnya tebal, pori-pori buah kasar dan renggang, tetapi setelah
tua menjadi halus mengkilap. Warna buah tergantung jenis varietasnya, ada
varietas yang kulitnya berwarna merah, kuning, atau hijau. Apel mempunyai rasa
agak masam sampai seimbang antara manis dan asam, tekstur apel yang masih
segar dapat dilihat dari kerenyahannya pada saat di gigit, yaitu daging buahnya
akan terdengar bunyi pada saat digigit (Soelarso, 1994 dikutip dari Tesis Bastian
dkk, 2004).
Pada penyimpanan apel terjadi perubahan warna yang berwarna coklat tua
sampai hitam, keras, cukup kering sampai kering berpusat pada luka, didalam
rongga kalkis yang dikuit dengan kerusakan pencucian, pada bagian tengah buah
atau seperti pada bagian terjerang air merupakan kerusakan simpanan yang paling
hitam, kerusakan ini diikuti dengan berkurangnya kekerasan tekstur pada buah
apel (Desrosier, 1988 dalam Tesis Bastian, dkk, 2004).
10
II.4. Kerusakan Buah Apel
Pada umumnya proses pencoklatan ada dua macam yaitu pencokaltan
enzimatis dan non enzimatis. Pencoklatan pada buah apel ini tergolong pada
pencoklatan enzimatis, hal ini di karenakan buah apel atau pada buah-buahan pada
umumnya banyak mengandung substrat senyawa fenolik. Ada banyak sekali
senyawa fenolik yang dapat bertindak sebagai substrat dalam proses pencoklatan
enzimatik pada buah-buahan dan sayuran. Di samping katekin dan turunannya
seperti tirosin, asam kafeat, asam klorogenat, serta leukoantosianin dapat menjadi
substrat proses pencoklatan. Senyawa fenolik dengan jenis ortodihidroksi atau
trihidroksi yang saling berdekatan merupakan substrat yang baik untuk proses
pencoklatan. Proses pencoklatan enzimatik diakibatkan enzin fenol oksidase dan
oksigen yang berhubungan dengan substrat tersebut.
II.5. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau
lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat
diredam (Suhartono, 2002). Berdasarkan sumber perolehannya ada 2 macam
antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik) (Dalimartha
dan Soedibyo, 1999).
Antioksidan adalah bahan tambahan yang digunakan untuk melindungi
komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan
rangkap), terutama lemak dan minyak. Meskipun demikian antioksidan dapat pula
digunakan untuk melindungi komponen lain seperti vitamin dan pigmen, yang
juga banyak mengandung ikatan rangkap di dalam strukturnya.
11
Berbagai definisi telah diberikan untuk menggambrakan “antioksidan”
secara umum. Dalam arti kusus antioksidan, adalah zat yang dapat menunda atau
mencegah terjadinyta reaksi antiokasidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid.
Menurut Cuppert (1997) dikutip dari Wijaya (2003) antioksidan dinyatakan
sebagai senyawa nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan
konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat
dioksidasi.
Menurut Wisnu, (2006), Berdasarkan sumbernya antioksidan dapat
digolongkan ke dalam dua jenis yaitu jenis pertama, antioksidan yang bersifat
alami, seperti komponen fenolik/flavonoid, vitamin E, vitamin C dan beta-karoten
dan jenis ke dua, adalah antioksidan sintetis seperti BHA (butylated
hydroxyanisole), BHT (butylated hydroxytoluene, propil galat (PG), TBHQ (di-t-
butyl hydroquinone).
II.5.1. Antioksidan Alami
Antioksidan alami dalam bahan pangan dapat berasal dari senyawa
antiokasidan yang sudah berasal dari satu atau dua komponen makanan, senyawa
antiokasidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, senyawa
antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan
sebagai bahan tambahan pangan (Pratt, 1992).
Isolasi antioksidan alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat
dimakan, tetapi tidak semua dari bagian yang dapat dimakan. Antioksidan alami
tersebar dibeberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun,
buah, bunga, biji, dan serbuk sari (Pratt, 1992). Ditambahkan Pratt (1992)
12
senyawa antiokasidan alami tuimbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau
polifenol yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin,
tokoferol, dan asam-asam organic polifungsional.
Menurut Pratt (1992) dalam Wini (2007), golongan flavonoid yang
memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, sioflavon, kateksin, asam
klorogenat, dan alin-lain. Senyawa antioksidan alami polofenolik ini adalah
multifungsional dan dapat bereaksi sebagai perduksi, penngkap radikal bebas,
pengkelat logam, dan peredam terbentuknya oksigen singlet.
Dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tanaman kira-kira 2% nya
diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan erat dengannya, sehigga
flavonoid merupakan salah satu golongan fenol yang terbesar (markham, 1988).
Ada banyak tanaman yang dapat dijadikan sumber antioksidan alami, seperti
rempah-rempah, dedaunan, teh, biji-bijian, serealia, buah-buahan, sayur-sayuran
dan tumbuhan laga laut. Bahan pangan tersebut mengandung jenis senyawa yang
memiliki antioksidan, seperti asam-asam amino asam askorbat, golongan
flavonoid tokoferol, karotenoid, tannin, peptide, malanoidin, produk-produk
reduksi, dan asam-asam organic lain (Pratt, 1992).
Meningkatnya minat untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi
beberapa tahun terakhir ini. Penggunaan antioksidan alami mampu melindungi
tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif, mapu
menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat
peroksidase lipid pada makanan (Barus, 2009).
Salah satunya dengan menggunakan belimbing wuluh, berkhasiat sebagai
obat encok, obat penurun panas dan obat gondok. Kandungan kimia yang terdapat
13
dalam belimbing wuluh antara lain saponin, falvonoid, dan tannin (Anonim,
2001).
Menurut Effendi (1988) fraksi daun belimbing wuluh terbukti sebagai
antiinflamasi. Ditambahkan menurut Sunardi (2007) belimbing wuluh juga
mempunyai aktivitas antioksidan, terbukti pada fraksi eter dan air memiliki
aktivitas antioksidan terhadap radikal bebas DPPH dengan nilai IC50 sebesar
50,36 ppm dan 40,01 ppm.
II.5.2. Mekanisme Kerja Antioksidan
Mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat oksidasi
lemak. Sesuai kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama
merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hydrogen.
Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai
antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hydrogen secara cepat
keradikal lipida (R*, ROO*) atau merubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara
turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil
disbanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi skunder antioksidan,
yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar
mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal ke bentuk
lebih stabil (Gordon, 1990).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak.
Penambahan tersebut dapt menghalangi reaksi pada tahap inisiasi maupun
propagasi. Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut
14
relative stabil dan tidak mempunyai cukup energy untuk dapat beraksi dengan
molekul lipida lain untuk membentuk radikal lipida baru (Gordon, 1990, diacu
dalam Wini 2000). Menurut Hamilton (1983), radikal-radikal antioksidan dapat
saling bereaksi membentuk produk non radikal.
Inisiasi ; R* + AH RH + A*
Radikal lipida
Propagasi ; ROO* + AH ROOH + A*
Gambar 1. Raksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida
(Gordon, 1990)
Besarnya konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh
pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik
sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan (Gambar 2).
Pengaruh jumlah konsentrasi terhadap laju oksidasi tergantung pada struktur
antioksidan, kondisi sampel yang akan diuji.
AH + O2 A* + HOO*
AH + ROOH RO* + H2O + A*
Gambar 2. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi
(Gordon, 1990).
15
Ditambahkan Gordon (1990) yang diacu dalam Wini (2000), antioksidan
skunder, asam sitrat, asam askorbat, dan esternya, sering ditambahkan pada lemak
dan minyak sebagai kombinasi dengan antioksidan primer. Kombinasi tersebut
dapat member efek sinergis sehingga menambah keefektifan kerja antioksidan
primer. Antioksidan skunder ini bekerja antioksidan primer. Antioksidan skunder
ini bekerja pada satu atau lebih mekanisme berikut (a) memberikan sasana asam
pada medium (sistem makanan), (b) meregenerasi antioksidan utama, (c)
mengkelat atau mendeaktifkan kontaminan logan prooksidan, (d) menangkap
oksigen, (e) mengikat singlet oksigen dan mengubahnya ke bentuk triplet oksigen.
16
III. BAHAN DAN METODE
III.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2010, di Laboratorium
Kimia dan Biokimia Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Jambi.
III.2. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang dipergunakan pada penelitian ini antara lain: buah
belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi, L.), buah apel malang (Pyrus malus), asam
askorbat, aquadest, dan bahan untuk analisis yaitu larutan buffer, metanol, dan
resorsinol.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi timbangan, blender,
corong pemisah, batang pengaduk, ayakan 100 mesh, gelas piala, gelas ukur, pipet
tetes, pisau pengupas buah stainless steel. Alat-alat yang digunakan untuk analisis
adalah pH meter, spektrofotometer UV-Vis, plat tetes.
III.3. Rancangan Percobaan
Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap (RAL), dengan
perlakuan adalah jumlah air perasan ekstrak belimbing wuluh yang ditambahkan
untuk perendaman buah apel hijau yang terdiri dari 6 taraf perlakuan yaitu :
17
B1 = 0 %
B2 = 30 %
B3 = 40 %
B4 = 50 %
B5 = 60 %
B6 = 70 %
Masing-masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali
unlangan sehingga didapat 18 satuan percobaan.
III.4. Pelaksanaan Penelitian
III.4.1.Proses Ekstraksi
Buah belimbing wuluh yang telah sortasi dan dibersihkan kemudian di
blender. Bubur buah yang diperoleh kemudian disaring dengan menggunakan kain
saring untuk mendapatkan ekstraknya. Cairan ekstrak yang diperoleh kemudian di
campurkan dengan aquadest berdasarkan perlakuan (yaitu: 30%, 40%, 50%, 60%,
dan 70% ). Larutan air perasan belimbing wuluh siap digunakan.
III.4.2.Pembuatan Buah Terolah Minimal
Buah apel hijau yang digunakan adalah buah apel hijau yang dijual di
pasar Angso Duo Jambi. Kemudian buah apel disortasi untuk memilih buah yang
tidak rusak dan selanjutnya dikupas. Buah apel hijau dikupas kulitnya dan
dibuang dari bagian yang tidak dimakan seperti kulit dan biji. Kemudian dicuci
yang selanjutnya direndam dalam ekstrak belimbing wuluh sesuai dengan
perlakuan.
18
III.5. Parameter
Pengamatan dilakukan setelah buah apel hijau terolah minimal direndam
dalam laruran air perasan belimbing wuluh. Pengamatan dilakukan terhadap
warna, tekstur, vitamin C, derajat keasaman (pH), aktivitas antioksidan dan uji
organoleptik terhadap warna, aroma, tekstur, dan rasa.
III.5.1.Analisa Warna Buah menggunakan Color Reader
Pengukuran warna secara objektif dilakukan dengan menggunakan color
reader. Pengukuran dilakukan dengan cara meletakan lampu pemeriksa pada
bidang datar permukaan sampel yang mempunyai luas sekitar 3 cm2. Sinar lampu
tidak boleh keluar dari permukaan bahan. Pengukuran dilakukan duplo.
Persentase sinar yang terbaca pada alat yaitu nilai L,a, dan b.
Dengan ; L = Persentase kecerahan
a = Persentase kemerahan
b = Persentase kekuningan
III.5.2.Pengukuran Tekstur Buah Dengan Penetrometer
Penentuan kekerasan atau tekstur dari bahan dilakukan dengan
menggunakan alat penetrometer. Tekstur buah ditunjukan dengan kedalaman
jarum penetrometer, dimana jarum menekan permukaan bahan dan hasilnya dapat
dibaca pada penunjuk skala. Jarum yang digunakan mempunyai panjang 5 mm
dan berat jarum 100 gram dengan lama penekanan selama 5 detik yang dihitung
menggunakan stopwatch. Suhu penekanan dilakukan pada suhu ruang.
19
III.5.3.Vitamin C
Analisis Vitamin C (Sudarmadji, dkk., 1984).
Langkah-langkah penentuan vitamin C
sebagai berikut:
1. Bahan ditimbang sebanyak 10 gram, ditambahkan aquadest sebanyak 100 ml
sampai batas tanda tera kemudian dihomogenkan.
2. Sampel diambil 25 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer.
3. Campuran ini ditambahkan indikator PP untuk uji vitamin C sebanyak 2 hingga
3 tetes.
4. Sampel kemudian dititrasi Iod 0,01 N untuk uji vitamin C.
Perhitungan vitamin C :
Dimana: 0,88 adalah bilangan konstanta
(1 ml 0,01 N Yodium = 0,88 mg asam askorbat)
III.5.4.Derajat Keasaman (pH)
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang
terlebih dahulu distandarisasi dengan larutan buffer pH 4 kemudian buffer 7. pH
meter dinyalakan, dibiarkan hingga stabil. Bilas elektroda dengan elektroda
dengan aquades kemudian dikeringkan dengan tisu. Elektroda dicelupkan ke
dalam larutan sampel dibiarkan beberapa saat hingga diperoleh pembacaan,
kemudian pH sampel dicatat.
20
III.5.5.Aktivitas Antioksidan
Larutan ekstrak belimbing wuluh dengan berbagai konsentrasi (0%, 30%,
40%, 50%, 60%, 70%) sebanyak 4 ml ditambahkan 1 ml larutan pereaksi DPPH
dimasukkan dalam vial dikocok. Didiamkan pada suhu kamar selama 30 menit,
kemudian dibaca serapan aktivitasnya pada panjang gelombang 517. Blangko
yang digunakan asam askorbat, perlakuan sama seperti sampel sebagai kontrol
positif. Data absorbansi yang diperoleh digunakan untuk mentukan % inhibisi.
Persen inhibisi dirumuskan sebagai berikut :
% inhibisi = (absorbant kontrol-absorban sampel/absorban kontrol) x 100.
III.5.6.Uji Organoleptik
Penilaian organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji mutu hedonik
terhadap kenampakan, rasa, (Soekarto, 1985). Pada uji mutu hedonik, penilaian
terhadap sampel disajikan secara acak kemudian panelis diminta memberikan
penilaian dengan cara membandingkan 6 sampel sesuai dengan kriteria yang
dinilai. Sedangkan untuk kesukaan, sampel diuji dengan uji hedonik.
Panelis yang digunakan adalah panelis agak terlatih yaitu mahasiswa
Teknologi Hasil Pertanian sebanyak 25 orang. Skor pengujian hedonik dapat
dilihat pada tabel.
21
Tabel.1. Skor uji mutu hedonik
Skor Warna Aroma Tekstur Rasa
5 Agak Kuning Sangat Tidak Suka Sangat Lunak Sangat Tidak Suka
4 Kuning Tidak Suka Lunak Tidak Suka
3 Agak coklat Agak Suka Netral Agak Suka
2 Coklat Suka Keras Suka
1 Sangat Coklat Sangat suka Sangat Keras Sangat suka
III.6. Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan analisis ragam pada taraf 1%
dan 5%. Jika berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan New Multiple
Range Test (DMNRT)
22
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2009. ANTIBROWNING APEL FRESH CUT. Laporan Praktikum.
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Andrianis, Y. 2001. Mempelajari Penggunaan Plastik Kemasan untuk
Memperpanjang Masa Simpan Buah Durian (Duriozibetinus zibetinus)
Terolah Minimal. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Anggraini, Dian. 2006. Penggunaan Low Methoxy Pectin dalam Edible Coating
Selama Penyimpanan Buah durian Terolah Minimal. Skripsi. Teknologi
Hasil Pertanian. Universitas Jambi.
Bastian , Februadi., A.B. Tawali., A. Laga. 2004. Mempelajari Pengaruh Suhu
Penyimpanan Terhadap Mutu Buah Apel Varietas Red Delicious (Malus
sylvetris). Seminar Hasil Penelitian. Jurusan Teknologi Pertanian Unhas.
Cahyadi, Wisnu. 2006. Analisis & Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Bumi Aksara. Jakarta.
Dalimartha dan Setiawan. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Trubus
Agriwidya. Jakarta
23
http://tekhnologi-hasil-pertanian.blogspot.com/2008/08/apel-kupasan-berwarna-
coklat.html oleh Ridwan dipost pad hari Minggu, 10 Agustus 2008.
Ilham Kuncahyo, Sunardi. 2007. Uji aktivitas antioksidan ekstrak belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi, l.) Terhadap 1,1-Diphenyl-2 Picrylhidrazyl
(DPPH). D-III Teknologi Farmasi Fakultas Teknik Universitas Setia Budi.
E-1 s/d E9.
Indriyani, dan Fitri Tafzi. 2006. Kajian penggunaan Edible Coating dari Kitosan
Untuk Memperpanjang Umur Simpan Buah Nenas Terolah Minimal.
Fakultas Pertanian. Universitas Jambi. Jambi.
Irawati , Santi (2008). Pengaruh Vitamin C Terhadap Aktivitas Polifenol Oksidase
Buah Pir (Pyrus communis L.) Secara In Vitro. Skripsi thesis, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Kader, A.A. 1995, dalam Rosdianti Permana. 2000. Pengaruh Suhu Terhadap
Karakteristik Apel Malang (Mallus pumila) Yang DiLapisi Edible Coating
Selama Penyimpanan. IPB. Bogor.
Lidyawati, dkk, 2006. Karakterisasi Simplisia dan Daun Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi L.). Abstrak Skripsi. Sekolah Farmasi ITB. Bandung.
24
Muhlisah dan fauziah. 1999. Tanaman Obat Keluarga. Penebar Swadaya.
Jakarta
Murniramli. 2008. Praktikum Sederhana tentang Apel. http://murniramli.
wordpress.com/2008/12/14/praktikum-sederhana-tentang-apel/.
Barus, Pina. 2009. Pemanfaatan Bahan Pengawet dan Antioksidan Alami Pada
Industri Bahan Pangan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Prihatman, Kemal. 2000. APEL. Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di
Perdesaan, BAPPENAS. Jakarta
Puri , Desi Retno (2008) Pengaruh Vitamin C Terhadap Aktivitas Polifenol
Oksidase Buah Pisang (Musa paradisiaca linn. Var sapientum) Secara In
Vitro. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Utami , Laksmi Rah (2008) PENGARUH Vitamin C Terhadap Aktivitas Polifenol
Oksidase Buah Apel Hijau (Pyrus malus) Secara In Vitro. Skripsi Thesis,
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Rohdiana, D.(2001). Aktivitas Daya Tangkap Radikal Polifenol Dalam Daun Teh,
Majalah Jurnal Indonesia 12, (1), 53-58.
25
Tirtosoekotjo, ABS, Roosmani. 1990, dalam Dian Anggarini, 2005. Penggunaan
Low Methoxy Pectin dalam Edible Coating Selama Penyimpanan Buah
durian Terolah Minimal. Skripsi. Teknologi Hasil Pertanian. Universitas
Jambi
Trilaksani, Wini. 2000. Antioksidan ; Jenis, Sumber, Mekanisme Kerja dan Peran
Terhadap Kesehatan. Jurna Penelitian. Majalah Jurnal Indonesia 22
halaman.
26