Upload
trinhxuyen
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL DI BIDANG EKONOMI TERHADAP PERKARA GUGAT CERAI
(Studi Kasus Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi)
Oleh: Ade Suryana
NIM: 102043224939
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2008 M/1429 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Stratifikasi Sosial di Bidang Ekonomi Terhadap Perkara Cerai Gugat (Studi Kasus di Pengadilan Agama Cibadak Kabupaten Sukabumi)”, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 mei 2008 skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum konsentrasi Perbandingan Hukum.
Jakarta, 29 mei 2008
Mengesahkan: Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP : 150 210 422
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua : Dr. H.A.Mukri Aji, MA ( ) NIP : 150 220 544 Sekretaris : H. Muhammad Taufiqi, MAg ( ) NIP : 150 290 159 Penguji I : Dr.H.A.Mukri Aji, MA ( ) NIP : 150 220 544 Penguji II : Ah Azharuddin Lathif, M.Ag ( )
NIP : 150 318 308 Pembimbing I : Dr. Abd. Rahman Dahlan, MA ( ) NIP : 150 234 496 Pembimbing II : Burhanudin, SH. M.Hum ( )
KATA PENGANTAR
ȴɆǵȀȱǟ ȸƥȀȱǟ ǃǟ ȴȆǣ
Segala Puja dan Puji Syukur Kita Haturkan.Kehadiran Allahulrobbi Semata. Selawat
Dan Salam Senantiasa Tercurahkan Kepada Pahlawan Revolusi Islam, Pejuang Islam Yakni
Keharibaan Baginda Nabi Muhammad SAW Serta Keluarga, Sahabat Dan Seluruh
Pengikutnya Dan Kita Selaku Umatnya Mendapat Safaatnya Diakherat Nanti Amin-Amin
Ya Robal Alamin.
Tantu Dalam Menyelesaikan Tugas Ini Saya, Tidak Semata Berhasil Dengan Tenaga
Dan Upaya Sendiri, Namun Banyak Pihak yang Telah Berpatisipasi Dalam Terselesainya
Penulisan Ini Baik Bersifat Moril Maupun Materil, Maka Dengan Ini Sepatutnya Penulis
Menyampaikan Banyak Terimah Kasih Atas Kerjasama Dan Dorongannya Rasa Terimah
Kasih Yang Saya Sampaikan Kepada:
1. Kepada ibunda dan Ayahanda tercinta yang selalu memotivasi dan mencurahkan
kasih sayangnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH., MA.,MM. Selaku Dekan Fakultas Syari Ah
Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr, H. A. Mukri Aji MA. Dan Muhammad Taufiqi M,Ag Selaku Ketua Dan
Sekertaris Program Studi Perbanding Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakatra
4. Dr. Abd. Rahman Dahlan, MA. Dan Burhanudin SH, M.Hum, selaku Dosen
Pembimbing.
5. Teruntuk kang Ismattullah, adikku Susi, Rida, Devi dam om Samsul. Terima kasih
atas do’anya
6. Teman–Teman Program Studi Perbandingan Hukum Angkatan 2002 Terima Kasih
Atas Segalah Bantuanya, Kritikannya Dan Saranya Yang Semua Ini Terangkai
Dalam Sebuah Kenangan Indah Yang Tidak Dapat Penulis Lupakan.
7. Kepada Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi Yang telah meluangkan waktunya
dalam proses penulisan skripsi.
8. Terima kasih kepada keluarga besar Bpk. Zarkasih Nur yang telah memberi
arahannya selama saya tinggal di Ciputat.
9. Terima kasih kepada sahabat Achmad Safrudin, Muhayar dan Istri Dadan, yang
telah memberikan dukungan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.
Sekali Lagi Penulis Ucapkan banyak Terimah Kasih Kepada Semua Pihak Yang Telah
Banyak Membantu Dan Mendukung, Serta Membimbing Dan Mengarahkan Penulis
Sehinga Terselesaikan Skripsi Ini.
Semoga Skripsi Ini Bermanfaat Untuk Pembaca Sekaligus Khususnya Bagi Penulis
Dalam Hal Membuka Cakrawara Kedepan Dalam Prodak Hukum Khususnys Untuk
Mengimplementasikan Aturan Hukum Islam Mengenai Cerai Gugat
Jakarta 12 Mei 2008 Penulis, Ade Suryana NIM: 102043224939
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................... 4
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitiaan ................................................. 5
D. Metode Penelitiaan ...................................................................... 6
E. Sistimatika Penulisaan .................................................................. 8
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYRAKAT CIBADAK
KABUPATEN SUKABUMI
A. Geogreafis dan Demografis .......................................................... 10
B. Sumber-sumber Ekonomi ............................................................. 11
C. Tingkat Pendidikan ....................................................................... 14
D. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi .............. 18
BAB III PENGERTIAN UMUM TENTANG CERAI GUGAT DAN
STRATIFIKASI SOSIAL DIBIDANG EKONOMI
A. Pengertian Cerai Gugat ............................................................... 21
1. Penertiaan Secara etimologi ..................................................... 21
2. Secara termenologi .................................................................. 23
3. Menurut pendapat ulama .......................................................... 24
4. Dasar hukum khulu’ ................................................................ 28
5. Hukum khulu’.......................................................................... 32
B. Rukun dan syarat khulu’ ............................................................. 35
C. Alasan untuk terjadinya khulu’ .................................................... 41
D. Pengertian Stratifikasi Sosial Dibidang Ekonomi ......................... 47
BAB IV HUBUNGAN STRATIFIKASI SOSIAL DI BIDANG EKONOMI DAN
CERAI GUGAT
A. proses cerai gugat di pengadilan agama Cibadak sukabumi .......... 51
B. Akibat Hukum Dari Cerai Gugat.................................................. 58
C. Dampak stratifikasi Sosial di Bidang Ekonomi Terhadap Cerai
Gugat........................................................................................... 61
D. Analisa Putusan Cerai Gugat di Pengadilan Agama Cibadak
Sukabumi .................................................................................... 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 71
B. Saran ........................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 73
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk berakal mempunyai kewajiban yang lebih berat
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Mengingat manusia makhluk yang
dikarunia akal dan pikiran disamping rasa dan karsa, maka oleh karenanya manusia
dapat mempertimbangkan perbuatan yang bermanfaat dan mudharat juga berguna
dan tidak berguna, baik dan buruk, walaupun akal itu sendiri kemampuannya terbatas.
Karena manusia memiliki akal pikiran itu, maka kehidupannya diatur oleh syari’at
agama, salah satu yang diatur oleh syari’at agama adalah perkawinan. “Perkawinan
dalam Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
keluarga yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi
Allah.” 1
Syari’at Islam tentang perkawinan ini, bertujuan supaya manusia mempunyai
keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan di
akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridho ilahi. Namun demikian, dalam suatu
ikatan perkawinan tidak selamanya berjalan lancar seperti yang dicita-citakan oleh
pasangan suami isteri, akan tetapi selalu ada tantangan dan hambatan yang
1 Achmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 1978), h.11
2
mempengaruhinya baik besar maupun kecil. Sehingga terkadang tujuan yang murni
ini tidak dapat terwujud dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan banyak terjadi
perceraian.
Islam sebagai agama yang inklusif dan toleran memberi jalan keluar, ketika
suami istri yang tidak dapat lagi meneruskan perkawinan, dalam arti adanya
ketidakcocokan pandangan hidup dan percekcokan rumah tangga yang tidak bisa
didamaikan lagi, maka Islam memberikan jalan keluar yang dalam istilah fiqh disebut
dengan Thalaq (perceraian). Agama Islam membolehkan suami isteri bercerai,
tentunya dengan alasan tertentu, kendati perceraian itu (sangat) dibenci Allah SWT.2
Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami-isteri
dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan upaya perdamaian secara
maksimal. Perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami atau permintaan si isteri,
perceraian yang dilakukan atas permintaan isteri disebut khulu’ (Cerai gugat).3
Khulu’ adalah permintaan isteri kepada suaminya untuk menceraikan
(melepaskan) dirinya dari ikatan perkawinan dengan iwadh berupa uang atau barang
kepada suami dari pihak isteri sebagai imbalan penjatuhan thalaqnya. Khulu’
merupakan pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan diri dari ikatan
perkawinan yang dianggap sudah tidak ada kemaslahatan sebagai imbalan hak thalaq
yang diberikan kepada laki-laki dimaksudkan untuk mencegah kesewenangan suami
2 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, cet. II, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2002), h.102. 3 Sayed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakaryoa, 1991), h. 509
3
dengan hak thalaqnya, dan menyadarkan suami bahwa isteri-pun mempunyai hak
yang sama menuntut cerai dengan imbalan sesuatu.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi relatif tingginya persentase perempuan
dengan status cerai antara lain adalah usia yang relatif muda pada saat melakukan
perkawinan pertama, kondisi sosial budaya, latar belakang pendidikan dan ekonomi.5
Dari faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan kedalam Stratifikasi Sosial di bidang
ekonomi.
Stratifikasi Sosial dalam masyarakat pada dasarnya terbagi dua, yakni
Stratifikasi Sosial berdasarkan perolehan dan Stratifikasi Sosial berdasarkan raihan.
Dalam hal ini yang berkaitan dengan pengaruh cerai gugat adalah Stratifikasi Sosial
yang berdasarkan pada raihan. Menurut Kamanto Sunarto Stratifikasi Sosial
berdasarkan raihan terdiri dari; “1). stratifikasi pendidikan, 2). stratifikasi pekerjaan,
dan 3). Stratifikasi ekonomi.”6
Stratifikasi Sosial tersebut terutama dibidang ekonomi merupakan salah satu
faktor yang dapat menyebabkan keretakan didalam kelangsungan hidup berumah
tangga. Kadangkala sering terjadi strata sosial (tingkatan sosial) khususnya strata
ekonomi ini menjadi pemicu terjadinya cerai gugat. Ketika seseorang memiliki
tingkat sosial yang tinggi, terkadang mereka tidak menghiraukan suami atau isterinya,
4 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. ke-1, h. 172 5 Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Profil Statistik dan
Indikator Gender Propinsi DKI Jakarta, ( t.p. 2003), h. 107 6 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2000), h. 87
4
mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Begitu juga ketika tingkat sosial
mereka rendah sering terjadi kekacauan dalam rumah tangga, sang isteri menuntut
kehidupan yang layak sementara suami tidak mampu memenuhinya akhirnya terjadi
perceraian yang digugat oleh istri.
Banyak kasus gugatan cerai yang diajukan di Pengadilan Agama disebabkan
karena suami tidak mampu memberikan nafkah lahir (kebutuhan ekonomi) dalam hal
ini mereka berada dalam strata ekonomi rendah. Namun ada juga kodisi stratifikasi
ekonomi yang tinggi juga menyebabkan suami atau isteri terlalu sibuk mengurus
ekonomi, sehingga kadangkala urusan dibidang rumah tangga terabaikan, serta
dengan kemapanan ekonomi mereka beranggapan, bahwa segala sesuatu bisa dibeli
yang kemudian dapat memicu terjadinya konflik dalam rumah tangga dan berakhir
pada perceraian.
Berdasarkan kasus di atas, penulis tertarik membahas kasus gugatan cerai ini
secara lebih mendalam dalam sebuah skripsi yang berjudul PENGARUH
STRATIFIKASI SOSIAL DI BIDANG EKONOMI TERHADAP PERKARA
CERAI GUGAT (Study Kasus Pengadilan Agama Cibadak Kabupaten
Sukabumi).
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Stratifikasi sosial merupakan tingkatan kedudukan yang dimiliki setiap
individu dalam masyarakat, salah satunya stratifikasi sosial di bidang ekonomi.
Ekonomi menjadi faktor utama dalam menentukan kelangsungan kehidupan manusia
5
terutama dalam ruma tangga. Bila ekonomi seseorang berada pada tingkat menengah
dan tingkat atas sudah dapat dipastikan hidupnya sejahtera dalam segi materi, namun
bukan berarti dapat menentukan kebahagian hidup rumah tangga seseorang, karena
boleh jadi sang suami atau isteri hidup berpoya-poya dengan hartanya yang akhirnya
muncul percekcokan diantara keduanya. Atau sebaliknya bila ekonomi seseorang
berada dibawah sudah tentu hidupnya tidak sejahtera dan dapat menjadi pemicu
pertengakaran suami isteri juga. Maka dengan demikian, menurut penulis strata
ekonomi mempengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga. Dan dalam hal ini
penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Adakah pengaruh stratifikasi sosial di bidang ekonomi terhadap terjadinya
cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak – Sukabumi.
2. Bagaimana pengaruh Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi dapat
mempengaruhi terjadinya cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak
Sukabumi?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui apakah stratifikasi sosial di bidang ekonomi
mempengaruhi terjadinya cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak-
Sukabumi.
b. Untuk mengetahui sejauhmana pengaruh Stratifikasi Sosial di bidang
ekonomi terhadap cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak-
Sukabumi.
6
2. Kegunaan Penelitian
1. Penelitian ini akan memperluas wawasan intelektualitas kepada umat
Islam, para pelaku akademisi, di bidang hukum terutama tentang
pengaruh Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi terhadap cerai gugat
2. Fakultas, dapat memberikan sumbagan pemikiran bagi perkembangan
khazanah ilmu pengetahuan dan literature pada Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
1. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber data primer, yang dilakukan dengan mengadakan penelitian
dan wawancara langsung kepada perwakilan yang berwenang di
Pengadilan Agama Cibadak - Sukabumi.
b. Sumber data sekunder, yaitu diperoleh dari al-Qur’an, Sunnah, buku-
buku umum, buku-buku Islam dan data-data tertulis lainnya yang
berkaitan dengan judul skripsi ini.
2. Jenis dan Sifat Data
Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah jenis data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan,
norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu,
penulis berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara ilmiah dan
7
kualitatif mengenai pengaruh Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi terhadap
cerai gugat
Sedangkan sifat data dalam penelitian ini termasuk dalam penelitian
yang besifat deskriptif analitis yakni penelitian lapangan yang
menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang
diperoleh secara mendalam.7 Dengan kata lain penelitian ini untuk
menggambarkan pengaruh Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi terhadap
cerai gugat secara sistematis, factual dan akurat berdasarkan data yang
didapatkan di Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi.
Penelitian ini juga termasuk jenis penelitian kepustakaan
(LibraryResearch), penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan
metode yaitu pengkupasan dari buku-buku dan peraturan perundang-
undangan yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini:
a. Penggunaan bahan dokumen, yang diperoleh di Pengadilan Agama
Cibadak Sukabumi
b. Wawancara
Digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih jelas dan akurat
kepada pihak Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi.
7 Suharsimi Arikunto Mangemen Penelitian cet II, (Jakarta : PT:. Rineka Cipta,1993),h.309
8
4. Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deduktif yaitu teknik
analisis yang beusaha menyimpulkan dengan menarik bagian atau hal yang
bersifat khusus dalam bentuk kasus dan data-data lapangan menjadi
kesimpulan umum yang berlaku secara general.
Adapun metode penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman
penulisan skripsi, tesis, dan disertasi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membaginya ke dalam beberapa bab
pembahasan. Adapun sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
metode penelitian, sistematika penulisan.
Bab kedua, merupakan bab yang menguraikan mengai tinjauan umum tentang
masyarakat Cibadak-Sukabumi, yang meliputi: geografis dan demografis, tingkat
pendidikan, sumber-sumber ekonomi dan sekilas tentang pengadilan agama Cibadak
Kabupaten-Sukabumi.
Bab ketiga, merupakan bab yang menguraikan mengenai pengertian umum
tentang cerai gugat dan Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi, yang meliputi:
9
pengertian cerai gugat, syarat-syarat cerai gugat, dan rukun cerai gugat, pengertian
Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi.
Bab keempat, merupakan bab yang menguraikan mengenai hubungan
Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi dan cerai gugat, yang meliputi: proses cerai
gugat di Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi, akibat hukum dari cerai gugat,
dampak Stratifikasi Sosial di bidang ekonomi terhadap cerai gugat, analisa putusan
cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi.
Bab kelima, merupakan bab penutup, yang meliputi: kesimpulan dan saran.
10
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT
CIBADAK KEBUPATEN SUKABUMI
A. Geografis dan Demografis
Kecamatan Cibadak dengan luas wilayah 6.343.541 Ha (63.4351 KM2) terdiri
dari lahan sawah 948.893 Ha. Dan lahan darat 5.394.541 Ha. Pada lahan pertanian
atau lahan sawah terdapat sawah berpengairan setengah teknis 458,588 Ha pedesaan
415,710 Ha, dan lahan tadah hujan 74,59 Ha. Sedangkan strata pemilikan lahan
berada pada strata 0,00,25 Ha (53%) strata 0,26-0,50 Ha (30%) dan di atas 0,51 Ha
(17%).
Secara Administratif Kewilayahan Kecamatan Cibadak berbatasan sebagai
berikut:
1. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cikidang
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Cantayan
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Nagrak
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cikembar
Jenis tanah yang ada di wilayah kecamatan Cibadak di dominasi oleh tiga
jenis tanah yaitu:
a. Latosol dengan macam tanah kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat,
fodsolik merah kekuningan dan litosol dengan bahan induk batuan endapan dan
volkon.
11
b. Kompliks Grumosol, Regosol, dan Medeteran dengan bahan induk batu kapur
dan napal.
c. Latosol coklat dengan bahan induktif volkan ontermedier.
Secara demografis, Kecamatan Cibadak memiliki jumlah penduduk 100.133
jiwa terdiri dari laki-laki 50.962 jiwa, perempuan 49.171 jiwa mempunyai 7.405 KK
tani yang tersebar di 10 desa.
Dari data demografi tersebut dapat diketahui Sex Ratio (SR) 104 (kabupaten
Sukabumi 64,53), Man Land Ratio (MLR) 18, dan kepadatan penduduk 1.604/KM2
(Kabupaten Sukabumi 567.25/KM2). Angka Kematian Bayi (AKB) 38 per 10.000
(Kabupaten Sukabumi 55 per 10.000), Laju Pertumbuhan Penduduk 0,99 (Kabupaten
Sukabumi 0,40) dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) 5,95.1
B. Sumber-sumber Ekonomi
Perekonomian penduduk kecamatan Cibadak sebagian besar bersumber pada
pertanian dan data statistik mata pencaharian kecamatan Cibadak tahun 2006
menjelaskan bahwa petani berjumlah 7415, berikut ini tabel mata pencaharian
kecamatan cibadak:
1 Tim Akselerasi IPM, IMPLEMENTASI AKSELERASI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA,
(Sukabumi 2006), h.3 - 4
12
JUMLAH KEPALA KELURGA BERDASARKAN MATA PENCAHARIAN TAHUN 2006
KECAMATAN CIBADAK No Desa/Kel Jmlh KK PNS TNI/POLRI Petani Pedagang Buruh Pensiun Jumlah
1 Cibadak 6187 364 46 567 1189 2218 198 4582
2 Sekarwangi 2587 191 98 470 154 976 40 1929
3 Tenjojaya 1291 12 0 515 63 433 31 1065
4 Karangtengah 3096 178 150 763 92 1124 62 2369
5 Ciheulangtonggoh 2368 38 17 377 91 107 23 653
6 Batununggal 1566 36 26 299 193 395 36 985
7 Pamuruyan 1764 25 1057 98 150 53 1383
8 Warnajati 2017 34 25 1280 45 476 35 1895
9 Sukasirna 2231 16 5 1308 60 195 43 1627
10 Neglasari 1456 10 779 30 373 1192
jumlah 24563 904 373 7415 2020 6447 521 17680
13
Sedangkan Income perkapita di kecamatan Cibadak secara keseluruhan
menunjukan angka Rp 3.947.557 per tahun (kabupaten Sukabumi Rp 3.456.656).
sedangkan indeks Daya Beli (IDB) baru mencapai 60,55% (kabupaten Sukabumi
58%). Angka-angka tersebut pada umumnya dipengaruhi oleh:
a. Tingginya angka pengangguran dari 29,518 angkatan kerja di kecamatan Cibadak
yang sudah bekerja 18.457 (62,53%) dan sebanyak 11,061 (37,47%) sebagai
pengangguran.
b. Rendahnya skala usaha berdasarkan strata pemilikan lahan di kecamatan Cibadak
menunjukan bahwa pemilikan lahan berada pada strata sebagai berikut.
- 0,0-0,25 sebanyak 2.784 orang (53%)
- 0,26-0,50 sebanyak 1,587 orang (30%)
- > 0,51 sebanyak 902 orang (17%).
Angka tersebut menunjukan bahwa skala usaha petani <0,50 Ha dengan
jumlah keluarga minimal 4 orang tidak masuk kepada kelayakan usaha apalagi
bila petani tersebut bersetatus penggarap.
c. Rendahnya pendapatan petani kecil
Indikator petani kecil salah satunya mempunyai pendapatan 320 kg setara
beras pertahun perorang. Di kecamatan Cibadak terdapat 37 KPK P4K dengan
jumlah anggota sebanyak 463 orang (463 KK) serta jenis usaha yang bervariatif
diantaranya warung kecil dan pengrajin. Tingkat kepercayaan BRI Cibadak di
bawah 1 %
14
d. Tingkat Produktifitas
Komoditas padi sawah di kecamatan Cibadak pada tahun 2006 terdapat luas
panen 2.465 Ha dengan rata-rata produktivitas 51,9 kwintal GKG per hektar
dengan jumlah produksi 12.974,6 ton. Rata-rata produktivitas tersebut masih bisa
ditingkatkan terutama menyangkut kualitas gabah atau beras, berdasarkan hasil
penilaian standar penerapan teknologi kecamatan Cibadak pada tahun 2006
mencapai rata-rata 63%. Titik lemah penerapan teknologi pada penggunaan KCI
baru mencapai 7,5 kg perhektar menjadi 50 kg per hektar.2
Mengenai pendanaan IPM yang berlokasi di kecamatan Cibadak secara
khusus tidak bisa disajikan karena dari tingkat sendiri tidak memiliki dana khusus
mengenai IPM baik yang bersumber dari APBN maupun APBD, namun, masing-
masing dari instansi yang dikoordinir oleh Kasi Pembangunan kecamatan
Cibadak kurang lebih sebesar Rp 13.000.000.000 ini diharapkan mempunyai
dampak terhadap peningkatan daya ungkit IPM.3
C. Tingkat Pendidikan
Rasia lama sekolah (RLS) kecamatan Cibadak menunjukan rata-rata 7.8
(Kabupaten Sukabumi 6,45). Ada tiga indikator yang mempengaruhi RLS
diantaranya:
2 Ibid, h.7 3 Ibid, h.8
15
a. Terjadinya DO pada tingkat SD dan SLTP sebesar 1042 orang dengan rincian 1)
pada usia 7-12 tahun sebanyak 526 orang 2) pada usia 13-15 tahun sebanyak 516
orang. Untuk usia 13-15 terdapat siswa yang belum ditangani sebanyak 97 orang
b. Jumlah Daya Tampung
Jumlah daya tampung adalah sebagai berikut:
1). Jumlah SLTP sederajat 20
2). Jumlah ruangan tersedia 117
3). Jumlah pombel 128
4). Jumlah murid SLTP kelas satu 1.560
5). Jumlah murid kelas enam SD 1980 orang
Kekurangan daya tampung 420 orang (11 rombel).
c. Angka Melek Huruf
Angka melek huruf di kecamatan Cibadak tahun 2006 sebesar 98,23
(Kabupaten Sukabumi sebesar 96,23). Angka melek huruf (AMH) dan buta huruf
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Jumlah penduduk usia 9 sampai dengan 40 tahun sebanyak 47,261 jiwa
2). jumlah buta hurup 836 (1,77%)
3). Jumlah angka melek hurup 46,427 jiwa (98,23%)
Angka tersebut menunjukan bahwa kecamatan Cibadak berada di atas
rata-rata kabupaten. Berikut ini tabel situasi tentang pendidikan kecamatan
Cibadak Sukabumi
16
Data Situasi Pendidikan Kecamatan Cibadak
URAIAN SATUAN 2006
A. PARTISIPASI SEKOLAH
1 Jumlah Anak Umur 7-12 tahun Orang 13.435
Jumlah Anak Umur 7-12 Tahun yang bersekolah Orang 12.738
2 Jumlah Anak Umur 13-15 Tahun Orang 7.391
Jumlah Anak Umur 13-15 Tahun yang bersekolah Orang 6.583
3 Jumlah Anak Umur 16-18 Tahun Orang 7.974
Jumlah Anak Umur 16-18 Tahun ayng bersekolah Orang 5.837
B. TINGKAT DROP OUT
1 Jumlah anak DO di SD Orang 524
2 Jumlah anak DO di SLTP Orang 311
3 Jumlah anak DO di SLTA Orang 1.167
C. FASILITAS PENDIDIKAN
1 Jumlah Sekolah Tingkat SD Unit 54
1. Desa Batununggal Unit 2
2. DesaCiheulangtonggoh Unit 4
3. Desa Karangtengah Unit 7
4. Desa Sekarwangi Unit 6
5. Desa Tenjojaya Unit 3
6. Desa Warnajati Unit 4
7. Desa Pamuruyan Unit 4
8. Desa Sukasirna Unit 5
9. Desa Neglasari Unit 3
10. Kelurahan Cibadak Unit 16
17
2 Jumlah Sekolah Tingkat SLTP Unit 19
1. Desa Batununggal Unit 2
2. Desa Ciheulangtonggoh Unit 1
3. Desa Karangtengah Unit 3
4. Desa Sekarwangi Unit 2
5. Desa Tenjojaya Unit 1
6. Desa Warnajati Unit 1
7. Desa Pamuruyan Unit 1
8. Desa Sukasirna Unit 1
9. Desa Neglasari Unit -
10. Kelurahan Cibadak Unit 7
3 Jumlah Sekolah Tingkat SLTA Unit 13
1. Desa Batununggal Unit 1
2. DesaCiheulangtonggoh Unit 1
3. Desa Karangtengah Unit 3
4. Desa Sekarwangi Unit 3
5. Desa Tenjojaya Unit 1
6. Desa Warnajati Unit -
7. Desa Pamuruyan Unit 1
8. Desa Sukasirna Unit -
9. Desa Neglasari Unit -
10. Kelurahan Cibadak Unit 3
4 Fasilitas Pendidikan Non Format (Paket A dan B) Unit -
1. Desa Batununggal Unit -
2. Desa Ciheulangtonggoh Unit -
3. Desa Karangtengah Unit -
18
4. Desa Sekarwangi Unit 4/1
5. Desa Tenjojaya Unit -
6. Desa Warnajati Unit -/1
7. Desa Pamuruyan Unit -
8. Desa Sukasirna Unit 2/4
9. Desa Neglasari Unit -
10. Kelurahan Cibadak Unit 3/1
D. Jumlah Guru
1. Tingkat SD Orang 538
2. Tingkat SLTP Orang 336
3. Tingkat SLTA Orang 399
D. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi
Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi dibentuk berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 69 Tahun 1963. dasar
pembentukannya adalah keputusan menteri Agama No. 4 tahun 1967 tanggal 17
Januari 1967. Jadi, dasar hukum dari sejarah pembentukan Pengadilan Agama
Cibadak Sukabumi adalah:
1. Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 69 Tahun196 3
2. Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 4 Tahun 1967 tanggal 17 Januari 2067
Adapun tugas dan wewenangPengadilan Agama berdasarkan pasal 49 UU No.
7 tahun 1989 adalah sebagai berikut:
19
Ayat (1): Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
1. Perkawinan
2. Kewarisan, Wasiat dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
3. Waqaf dan shadaqah
Susunan Pengadilan Agama secara umum, termasuk Pengadilan Agama
Cibadak Sukabumi, diatur dalam UU No. 7 tahun 1989, yaitu:
1. Secara Hirarki Institusional
Susunan hirarki Pengadilan Agama secara institusional diatur dalam pasal
6 UU No. 7 tahun 1989, yang menurut pasal ini lingkungan Pengadilan Agama
terdiri dari dua tingkat, yaitu:
a. Pengadilan Agama tingkat pertama
b. Pengadilan Tinggi Agama
2. Secara Struktural
Bedasarkan UU No. 7 tahun 1989 dan Surat Keputusan Ketua Mahkamah
Agung RI No. 004 tahun 1990 serta Surat Keputusan Menteri Agama RI No. 303
tahun 1990 ditetapkan bahwa struktur organisasi Pengadilan Agama Cibadak
Sukabumi sebagaimana berlaku pada Pengadilan Agama di lingkungan
Depertemen Agama RI, adalah sebagai berikut:
a. Ketua (dibantu oleh wakil ketua)
b. Dewan Hakim
20
c. Panitera atau Sekretaris (di Bantu oleh wakil), yang membawahi sub-sub
sebagai berikut: Sub Kepaniteraan Permohonan, Sub Kepaniteraan Gugatan,
Sub Kepaniteraan Hukum, Sub Bagian Kepagawaian, Sub Bagian Keuangan,
Sub Bagian Umum.
d. Panitera Pengganti Juru Sita
21
BAB III
PENGERTIAN UMUM TENTANG CERAI GUGAT
DAN STRATIFIKASI SOSIAL DI BIDANG EKONOMI
A. Pengertian Cerai gugat
1. Pengertian Secara Etimologi
Cerai gugat dalam Islam dikenal dengan istilah Khulu’. Khulu’ secara
etimologi adalah pencabutan, pelepasan.1 Abdurrahman Al-Jazili mengatakan
bahwa Al-Khol’u dengan mem-fhathah-kan kha adalah masdar qiyasi yang
mengandung pengertian An-Naz’u yaitu melepaskan atau menanggalkan.
Sedangkan Al-Khul’u dengan men-dlamahkan-kan huruf kha adalah masdar
sima’I dari khoola’’a yang juga secara etimologi mengandung pengertian melepas
atau menanggalkan. Tapi penggunaan yang terakhir ini, secara majaz adalah
melepaskan hubungan suami-istri, karena keduanya merupakan pakaian bagi yang
lainnya. Apabila keduanya melepaskan pakaian tersebut, maka berarti mereka
melepaskan hubungan suami istri.2
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh As-Sunnah, mengartikan Khulu’
secara etimologi sebagai berikut:
1 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressef,
1997), Edisi Terlengkap, h. 361. 2 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh a’la al-Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Daar al-Kutu, t.th) h.
386
22
الھ زأ ذاإ بوالـــث عــلخـ نمذ ـوخأم م الاإل س ھحباأ يذال عــللخاو ٣ الھ سبال لرجالــــو لرجالـــ ا سبل ةءرالم نأل
Artinya: ”Khulu’ yang dibenarkan hukum Islam tersebut berasal dari kata ”khal’uts tsaubi”, artinya menanggalkan pakaian, karena perempuan sebagai pakaian laki-laki dan laki-laki sebagai pakaian bagi perempuan.”
Pengertian ini diambil dari firman Allah:
) čĔē:البقرة ( ... نلھ سبال متـــنأ و مكل سباھن ل..... Artinya: ”.... mereka itu (kaum wanita) adalah pakaian bagimu (laki-laki) dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka ....” (Q.S. Al Baqarah: 187).
Menurut kamus umum bahasa Indonesia karangan W.J.S. Poerwadarminta
cerai adalah pisah, berpisah, tidak karuan (berpecah-pecah, bubar).4 Sedangkan
gugat adalah guncangan, mendakwa, mengadukan (perkara).5
Menurut Prof. Subekti S.H., dalam kamus hukumnya menyatakan gugatan
berasal dari kata gugat dengan akhiran “an”, yang berarti penarikan ke muka
hakim pengadilan untuk dimintakan perhukuman (perkara perdata).6
3Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut: Daar El-Fikr, 1983), Jilid II, h. 295
4W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. XII, (Jakarta: Balai Pustaka,
1991), h. 200
5 Ibid, h. 330
6 Subekti, et. Al., Kamus Hukum, (Jakarta: Paradya Paramita, 1982), h. 49
23
2. Pengertian Secara Terminologi
Cerai gugat adalah perceraian yang terjadi atas gugatan isteri yang
ditujukan kepada suaminya melalui Pengadilan Agama, dengan alasan-alasan
yang dapat diterima oleh hakim pengadilan dan harus atas putusan pengadilan
agama. Menurut Hasbi Ash Shidieqy gugatan atau dakwaan ialah pengaduan yang
dapat diterima di sisi Hakim, dengan dimaksudkan dia, menuntut suatu hak pada
pihak lain.7
Dalam literatur fiqh, cerai gugat disebut sebagai khulu’ yaitu suatu
perceraian yang diminta oleh seorang isteri dengan adanya tebusan dari pihak
isteri, tentunya disertai dengan alasan-alasan yang rasional. Khulu’ tersebut bisa
terjadi ketika sang isteri sedang dalam keadaan suci atau tidak haid, karena khulu’
itu sendiri terjadi akibat permintaan isteri. Namun dalam hal ini si suami tidak
boleh dipaksa menerima permintaan talak tebus (khulu’).8
Menurut Sayyid Sabiq khulu’ adalah isteri memisahkan diri dari suaminya
dengan memberi ganti rugi kepadanya.9 Selanjutnya Sayyid Sabiq menjelaskan
bahwa, khulu’ harus mempunyai alasan (sebab-sebab) seperti: suami cacat badan
atau jelek akhlaknya, atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap isterinya,
7 Hasbi Ash Shiddiqy, Pengadilan dan Hukum Acara Islam, (Bandung: PT. Alma’arif, 1973), h. 90
8 Muhammad Ibnu Qasim, Fathul Qarib (terj. Imran Abu Amar), (Kudus: Menara Kudus,
1982), Cet. I, h. 58
9 Sabiq, fiqh as sunnah ,ibid h. 253
24
sedang isteri khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, maka tidak
wajib bagi isteri menggaulinya dengan baik.
Dengan demikian secara istilah khulu’ berarti perceraian yang disertai
sejumlah harta sebagai iwadl yang diberikan oleh isteri kepada suami untuk
menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan baik dengan kata khulu’,
mubara’ah maupun thalak.10
3. Menurut Pendapat Ulama
Syaikh Zainuddin bin Abdi Al-Aziz menjelaskan:
11الخــلـع ھو فرقة بـعوض لزوج بلفظ طال ق أو خلــــع”Khulu’ merupakan bentuk perceraian dengan’iwadh yang diberikan kepada suami dengan menggunakan lafadz talaq atau khulu’.”
Imam Abi Zakaria Yahya bin Syarof dalam bukunya Minhaj At-
Thalibin, menerangkan:
12الخــــــــلــع ھو فرقة بعوض لــــجھة زوج”Khulu’ adalah perceraian dengan’iwadh yang pemberiannya ditujukan kepada suami.” Ahmad bin Husein, memberikan pengertian tentang khulu’ sebagai
berikut:
10Anshori Umar Situnggal, fiqh Almar’atul Muslimat (terj.), (Semarang: CV. Asy-Syifa, t.th),
h. 432 11 Zainudin Abdul Aziz Al-Malibary, Fathul Mu’in, (Semarang :Toha Putra, t.th ), h. 111 12 Abi Zakaria Yahya binti Syarief, Minhaj ath Tholibin, (Surabaya : Percetakan Ahmad bin
Sa’id, t.th), h. 47
25
ňǻ ŃɀłȎǐȪŁȵ ňǻ ǟŁɀŇȞnjǣ ňǦLjȩŃȀŇȥ ŁɀłȽ łȜǐȲNJƪ13
Artinya: “Khulu’ adalah perceraian dengan ‘iwadh tertentu.”
Imam Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani dalam bukunya Subulus Salam,
mengatakan:
LJȯ ǠŁȵ ŁɂȲŁȝ ŇǦŁDZŃȿĉŁȂȱǟ łȧ ǟŁȀŇȥ ŁɀłȽ łȜǐȲNJƪǟ14
Artinya: “Khulu’ adalah perceraian yang dilakukan oleh istri dengan tebusan harta.”
Golongan Hanafiyah memberikan pengertian sebagai berikut:
ŇȬǐȲłȵ NJǦLjȱ ǟŁȁ njǙ ŁɀłȽ łȜǐȲNJƪǟ ɄŇȥ ǠŁȵ ŃȿLjǕ njȜǐȲłǺǐȱǟ ŇȘǐȦLjȲnjǣ Ňǥ Ćǒ ŃȀLjƫǟ njȯŃɀłǤLjȩ ŁɂȲŁȝ NJǦLjȪŇȥ ŁɀNJƫǟ njdz LjǠȮōȺȱǟłȻ LjǠȺŃȞŁȵ15
Artinya: “Khulu’ adalah penghapusan hak milik nikah atas persetujuan istri dengan menggunakan lafadz khulu’ atau yang semakna dengan itu.”
Menurut golongan Malikiyah, pengertian Khulu’ adalah sebagai berikut:
LJȏŁɀŇȞnjǣć ȧ LjɎƋȖȱǟ ŁɀłȽ łȜȲłǺǐȱǟ16
Artinya: “Khulu’ adalah talaq dengan menggunakan ‘iwadh.”
Menurut golongan Syafi’iyah, pengertian khulu’ adalah sebagai berikut:
ĉŁǼȱǟ NJȘǐȦƋȲȱǟ ŁɀłȽ łȜȲłǺǐȱǟǟnjȸŃɆŁDZŃȿĉŁȂȱǟ ŁȸŃɆŁǣ njȧǟŁȀŇȦǐȱǟ ŁɂȲŁȝ NJȯ17
13 Muhammad bin Qasim As-Syafi’i, Fath Al-Qarib, (Semarang: Toha Putra, t.th),h. 47 14 Imam Muhammad bin Isma’il al-kahlani, Subulus Salam (Bandung : Percetakan Dahlan,
t.th),juz III, h.166 15 AbdurRahman ,Al-Fiqh a’la Al Mazahib, h.387 16 Ibid., h.391 17 Ibid., h. 392
26
Artinya: “Khulu’ adalah lafadz yang menunjukan terhadap perceraian bagi sepasang suami istri”.
Menurut golongan Hanabilah mengartikan khulu’ sebagai berikut:
الـــــــــخلع ھو فراق الزوج امرأتھ بعوض یأ خذه الزوج من
18إمرأتھ أو غیرھا بألفاظ مخــصوصة
Artinya: “Khulu’ adalah perceraian yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya dengan ‘iwadh
yang diambil oleh suami istrinya dari istrinya orang lain, dengan menggunakan lafadz khusus.”
Syekh Mahmudunnasir, memberikan definisi tentang khulu’ sebagai
berikut: “Khulu’ adalah suatu pengertian hubungan pernikahan dengan izin dan
atas keinginan istri yang dalam hal itu setuju untuk memberikan ganti rugi kepada
suami untuk pembebasannya dari ikatan perkawinan.”19
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama mengenai khulu’
adalah proses thalaq yang dijatuhkan oleh suami sebagai akibat dari istri
menebusnya dengan suatu harga tertentu, dengan menggunakan lafadz, khuli’ atau
yang semakna dengan itu.
Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa seorang suami atau isteri
dibolehkan mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama, dengan alasan-
alasan yang dapat diterima. Jadi, hak untuk memutuskan perkawinan bukan hanya
18 Ibid., h. 393
19 Syekh Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h. 509
27
milik suami, isteripun berhak untuk mengajukan permintaan cerai jika rumah
tangga sudah tidak mungkin lagi dipertahankan.
KHI pasal 113 menyebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: a)
kematian, b) perceraian dan c) atas putusan pengadilan. Selanjutnya pasal 114
disebutkan: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat
terjadi karena thalak atau berdasarkan gugatan perceraian”,20 dijelaskan pula
tentang macam-macam perceraian, yaitu: thalaq, khulu’ dan li’an
Selain alasan-alasan di atas, dalam KHI pasal 116 menambahkan alasan-
alasan perceraian yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama, yaitu:
a. Suami melanggar taklik thalak, dan
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidak-rukunan dalam
rumah tangga.
Menurut UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama cerai gugat adalah
suatu cara yang dilakukan oleh isteri yang ingin berpisah, atas permintaan atau
gugatan dari isteri yang dilakukan melalui Pengadilan Agama yang ditujukan
kepada suaminya, seperti yang tercantum dalam pasal 73 disebutkan bahwa
gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.21
20 Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan
Peradilan Agama, (Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001), h.56 21Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, (BP. Dharma Bhakti), h. 70
28
4. Dasar Hukum khulu’
Dalil yang menjadi dasar hukum dibolehkannya khulu’ adalah sebagai berikut:
a. Firman Allah
ـحل لكم أن تأ خذوه ممـا أتــیتمو ھن شیأ إال أن یخافا أال یقیما وال ی...حدود اهللا فـال جناح علیھما فیما ا فتدت حدود اهللا فإن خفتم أال یقیما
ĎĎĕ (22:البقرة ( ...بھ
” .... dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka. Kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu yakin bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya .... .... .... (Q.S. Al-Baqarah: 229).
b. Hadits riwayat Bukhori dari Ibnu Abbas, yaitu:
عن ابن عباس رضي اهللا عنھما أن إمرأة ثابت بن قیس أتت النبي یارسول اهللا ثابت بن قیس ما اعتب علیھ في خلق وال : فقالت .م.ص
.: م.ي أكره الكفر فى اإل سال م فقال ر سو ل اهللا صدین و لكن یقتھ؟فقالت إقبل . م .فقال ر سو ل اهللا ص.نعم: أتـــردین علیھ حد
23)رواه البخاري(الحدیقة و طلقھا تطلــیقة
”Dari Ibnu Abbas, bahwa istri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi SAW, lalu ia berkata: Hai Rasulullah, Tsabit bin Qais tidak saya cela dalam akhlak atau dalam agamanya, akan tetapi saya tidak menyukai kekufuran dalam Islam. Lalu Rasulullah SAW, berkata: Apakah kamu dapat mengembalikan kebunnya? Ia menjawab: Ya, saya dapat. Berkata Rasulullah SAW, kepada Tsabit: Terimalah kebun itu dan talaq-lah ia dengan talaq satu.” (H.R. Bukhori)
22 Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Proyek Pengadaan Kitab Suci,
1994), h. 55 23 Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukori, Shahih Al-Bukhori, (Semarang: Toha
Putra, t.th), Jilid III, h. 273
29
Selain dasar hukum yang penulis kemukakan diatas, masih banyak lagi
kasus-kasus khulu’ dari permulaan sejarah yang bisa dijadikan dasar hukum
diantaranya:
Tsabit menpunyai dua orang istri, salah seorang diantaranya adalah
jamilah, saudara perempuan kaum munafik, Abdullah bin Ubay. Jamilah tidak
menyukai wajah Tsabit. Ia mendekati dengan permohonan khulu’. Ia berkata:
”Wahai Rasulullah, tak ada yang mampu mempersatukan kami, ketika aku
mengangkat cadarku aku melihat, aku melihat ia datang ditemani oleh
beberapa orang laki-laki. Aku dapat melihat bahwa dialah yang paling hitam,
paling pendek dan paling jelek diantara mereka semua. Demi Allah aku bukan
tidak menyukai karena kekurangan dalam keimanannya atau moralnya.
Kejelekannyalah yang aku tidak sukai. Bila aku tidak takut kepada Allah, aku
pasti telah menamparnya ketika dia masuk mendatangiku. Wahai Rasulullah,
anda dapat melihat betapa cantiknya aku, tetapi Tsabit jelek sekali aku tidak
menemukan kesalahan dalam agama dan moralnya, tetapi aku takut
kekecewaanku akan menyeretku kepada kekafiran.”
Dalam menjawab permohonannya, Nabi bertanya: Maukah kau
mengembalikan kebun (sebagai mahar) yang diberikan kepadamu?” ia
menjawab: ”Tentu wahai Rasulullah, aku siap memberinya lebih dari itu.” ”
Tidak, tidak lebih dari itu, hanya kembalikanlah kebun itu.” kata Rasulullah.
30
Beliau memanggil Tsabit dan memberitahukanya untuk menerima kebun itu
dan menceraikan wanita tersebut.24
Selain kasus di atas, juga terdapat kisah tentang khulu’ yang
diabadikan oleh Imam Malik dan Abu Daud, sebagaimana dikutip oleh Abu
Al-A’la Al-Maududi, sebagai berikut: ”Istri kedua Tsabit adalah Habibah.
Suatu pagi, ketika Nabi Muhammad SAW, keluar melalui pintu rumahnya,
beliau mendapati Habibah menanti disana. Beliau menanyakan apa yang dia
inginkan. Ia langsung menjawab: ”Wahai Rasulullah, aku tidak dapat hidup
bersama Tsabit.” Tsabit dipanggil. Habibah mengulangi permohonannya.
”Wahai Rasulullah, aku membawa semua yang diberikan Tsabit kepadaku.”
Nabi SAW. menyuruh Tsabit mengambil kembali apa yang telah diberikannya
dan menyuruhnya untuk menceraikan wanita tersebut.25
Seorang laki-laki dan seorang wanita dibawa kehadapan Khalifah
Umar bin Khottob. Wanita itu mengajukan khulu’ . Umar menasihatinya agar
bertahan dan mencoba untuk bersatu dengan laki-laki itu. Ia membangkang,
Umar memerintahkan agar perempuan itu ditinggalkan sendiri dan
ditempatkan dalam penjara selama tiga hari. Pada hari keempat, dia dibawa
kehadapan Khalifah. Ketika ditanya bagaimana perasaannya, ia bersumpah
bahwa itulah tiga malam yang paling damai yang pernah dirasakannya selama
24 Abu Al-A’la Al-Maududi, Pedoman Perkawinan dalam Islam, (Jakarta: Daar El-Ulum,
1987), Cet. ke-3, h. 43 25 Ibid., h. 44
31
bertahun-tahun. Umar terharu mendengar isi hatinya. Ia memanggil suami
perempuan itu dan memberikan putusannya: ”Ceraikanlah ia walaupun
dengan mengembalikan anting-antingnya.” 26
Juga kasus lain, tentang Ruqayyah, anak perempuan Mu’awwiz,
menginginkan perceraian dengan suaminya, dengan memgembalikan semua
yang ia terima dari laki-laki itu. Suaminya tidak mau menerima pemberian itu.
Persoalan itu dibawa kehadapan Khalifah Utsman. Kemudian Utsman
menerima permohonan wanita itu dan memperbolehkan laki-laki itu untuk
menerima semua yang menjadi milik wanita tadi, termasuk kerudung penutup
kepalanya sebagai imbalan dari perceraian tersebut. 27
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa khulu’ itu sudah terjadi pada
zaman Jahiliyah. Bahwa Amir bin Zharib kawin dengan kemenakan
perempuan Amir bin Harits. Tatkala istrinya masuk ke rumah Amir bin
Zharib, seketika itu istrinya melarikan diri. Lalu Amir bin Zharib mengadukan
hal ini kepada mertuanya. Maka jawabnya: ”Aku tidak setuju kau kehilangan
istri dan hartamu, dan biarlah aku pisahkan (khulu’) dia dari kamu dengan
mengembalikan apa yang pernah kau berikan kepadanya.” 28
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa khulu’ sudah pernah terjadi sejak
26 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-‘Adzim, (Beirut: Daar El-Fikr, 1987), Juz I, h. 275 27 Abu Al-A’la Al-Maududi, Pedoman Perkawinan dalam Islam, ke-3, h. 45 28 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah,
32
zaman Jahiliyyah hingga masa Rasulullah, juga hingga masa kini dan masa
yang akan datang.
5. Hukum Khulu’
Khulu’ merupakan salah satu bagian dari talaq. Hukum talaq ada kalanya
wajib, haram, mubah dan sunnah. Talaq wajib, yaitu talaq yang dijatuhkan oleh
pihak hakam (penengah), karena perpecahan suami-istri yang sudah berat. Talaq
haram, yaitu talaq yang tanpa alasan. Talaq diharamkan karena merugikan bagi
suami-istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang hendak dicapai dengan
perbuatannya itu. Jadi talaq-nya haram, seperti haramnya merusakkan harta
benda. Talaq dibenci, jika tidak ada suatu alasan yang benar, sekalipun Nabi
menamakan talaq sebagai perbuatan yang halal, karena ia merusakan perkawinan
yang mengandung kebaikan-kebaikan yang dianjurkan oleh agama. Talaq sunnah,
yaitu karena istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah, seperti shalat dan
sebagainya, padahal suami tak mampu memaksanya agar istri menjalankan
kewajibannya tersebut, atau istri kurang rasa malunya.29
Hukum-hukum pada talaq tersebut juga berlaku dalam khulu’ , hanya saja
khulu’ dibolehkan pada saat dilarangnya menjatuhkan talaq, sebagaimana khulu’
dibolehkan pada saat wanita dalam keadaan haid, nifas, atau dalam keadaan suci.
Kebolehan dijatuhkan khulu’ pada saat wanita dalam keadaan haid, nifas atau
dalam keadaan suci itu dikarenakan didalam Al-Qur’an tidak ada keterangan yang
menetapkannya secara khusus, Allah berfirman:
29 Ibid., h. 207
33
) ĎĎĕ:البقرة ...( فـال جناح علیھما فیما ا فتدت بھ
”....... maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya .... .....” (Q.S. Al-Baqarah: 229).
Rasulullah SAW. Juga tidak menetapkan waktu khusus sehubungan
dengan khulu’ istri Tsabit bin Qais. Rasulullah SAW. Juga tidak bertanya dan
membicarakan keadaan istrinya. Padahal soal haid bukan perkara yang jarang
terjadi pada wanita. Imam Syafi’i berkata: ”Tidak adanya pertanyaan terperinci
tentang keadaan tersebut berarti menunjukan sifat yang umum.”
Nabi SAW. dalam perkara khulu’ istri Tsabit tidak menanyakan secara
terperinci apakah ia sedang haid atau dalam keadaan bersih, yang maksudnya agar
masa ’iddah istri tidak lama, karena yang meminta perpisahan dan menebus
dirinya serta rela ber-iddah adalah pihak wanita.30 H. S. A. Al-Hamdani
menyatakan, bahwa khulu’ dapat dibenarkan apabila ada sebab yang
menghendaki adanya khulu’ . Jika tidak ada alasan yang memungkinkannya maka
hukumnya haram, berdasarkan riwayat Imam Ahmad dan Nasa’i dari Abu
Hurairah:
المــــخالعــــات ھن المــنــــــــافقــات
”Perempuan yang menawarkan khulu’ adalah munafik.”31
30 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Ibid., h. 257 31 H. S. A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,
1989), Cet ke-3, h. 230
34
Selain hadits di atas Ibnu Katsir juga mengutip sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
أیما إمرأة سأ لت زوجھا طال قھا في غیر ما بأس فحرام علیھا راءحة
الجــــنة ”Barang siapa diantara wanita yang meminta perceraian kepada suaminya tanpa
adanya alasan yang nyata, maka diharamkan baginya mencium harumnya syurga.” (HR. Ashabussunan dan disahkan oleh Turmudzi).” 32
Selain itu, suami juga diharamkan menahan sebagian hak-hak istri karena
ingin menyakiti hatinya, sehingga istri minta lepas dan menebus dirinya dengan
cara khulu’ . Apabila sampai terjadi demikian, maka khulu’-nya batal.33
Perbuatan tersebut diharamkan, karena Islam menjaga agar perempuan
yang sudah ditinggal oleh suaminya tidak dihabiskan pula hartanya. Allah
berfirman:
لنســـاء كرھا وال تـــعضلـوا ھن یا أ یھا الذین أمنوا ال یحل لكم أن ترثوا االنساء ...( لتذھبوا بـبعــض ما أ تیتمو ھن إال أن یأتین بفاحشة مبینة
:čĕ ( Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali jika merek amelakukan pekerjaan keji yang nyata ... ... ” (Q.S. An-Nisa: 19).
32 Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-‘Adzim, Ibid., h. 274 33 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Ibid., h. 257
35
Dan firman Allah SWT:
دتم استبدال زوج مكان زوج و أتیتم إحداھن قنطارا فال تأ خذوا منھ وإن أر) ĎČ:النساء .( شیأ أتأ خذونھ بھتانا و إثما مبینــــــــــا
Artinya:
”Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambil kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (Q.S. An-nisa:20)
Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa khulu’ semacam itu
adalah tidak sah, hanya saja tindakan menyusahkan istri itulah yang haram. Imam
Malik berpendapat bahwa khulu’ seperti ini dipandang sebagai talaq, dan wajib
mengembalikan tebusan yang ia terima dari istrinya.
B. Rukun dan Syarat Khulu’
Berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 229
dalam perkara khulu’, yakni apabila dirasa bahwa suami istri tidak dapat
dipersatukan, maka syari’at Islam memperbolehkan bagi seorang istri untuk
melepaskan dirinya dari ikatan perkawinan dengan cara memberikan ’Iwadh
(tebusan) kepada suaminya. Apabila seorang istri tidak mau mengakui hubungan
perkawinan, maka ia harus membayar sejumlah uang seperti halnya suami harus
menolak membayar mas kawin bila ia diceraikan sang istri. Jika Istri yang
diceraikan suami, maka suami dilarang menerima kembali semua apa yang pernah
36
ia berikan kepada istrinya. Tetapi jika istri yang ingin bercerai, ia harus
menyerahkan kembali sebagian atau semua apa yang pernah ia terima.34
Apabila seorang istri ingin melepaskan dirinya dari ikatan perkawinan,
maka ia dapat mengajukan khulu’ kepada suami dengan membayar ’iwadh
(tebusan) sebagai imbalan pelepasan dirinya dari ikatan perkawinan. Setelah
suami menyetujui apa yang menjadi kehendak istri, maka suami harus
mengucapkan ijab dengan kata khulu’, talaq, atau yang semakna dengan itu,
seperti kata suami: ”Saya khulu’ kamu dengan ’iwadh sejumlah ...... (sekian).”.
Bila suami telah mengucapkan ijab maka istri harus menjawabnya sesuai dengan
apa yang diucapkan suami dalam ijab tersebut, seperti jawab istri: ”Saya terima
khulu’-nya dengan ’iwadh sejumlah ...... (sekian).” jawaban istri dalam khulu’
disebut qabul. Apabila telah terjadi ijab dan qabul antara suami dan istri dalam
perkara khulu’ , maka putuslah hubungan suami-istri antara keduanya, dan bagi
suami berhak atas ’iwadh yang telah diberikan oleh istri kepadanya.
Sebagaimana halnya dalam talaq, dalam khulu’-pun disyaratkan adanya
shigat. Shigat khulu’ itu hampir sama dengan shigat talaq, hanya saja dalam
khulu’ disyaratkan bagi istri menerima ikrar talaq beserta ’iwadh yang diucapkan
oleh suami. Seperti kata suami: ”Saya menalakmu, meng-khulu’-mu dengan
34 Abu Al-A’la Al-Maududi, Kawin dan Cerai Menurut Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
1990), h. 49
37
’iwadh sebuah ........ uang sejumlah .......... ” lalu dijawab oleh istrinya: ”Saya
menerima ikrar itu berikut ’iwadh-nya (sekian).”35
Sayyid Sabiq, menjelaskan bahwa para ahli fiqh berpendapat, disyaratkan
penggunaan kata khulu’ atau kata yang terambil dari kata dasar khulu’ atau kata
lain yang memiliki arti seperti itu, seperti mubara’ah (berlepas diri) dan fidyah
(tebusan) dalam shigat khulu’. jika tidak dengan kata khulu’ atau kata lain yang
memiliki maksud yang sama, misalnya suami berkata pada istrinya: ”Engkau ter-
talaq sebagai imbalan daripada barang/uang seharga sekian.” lalu istri
menerimanya, maka perbuatan seperti ini adalah talaq dengan imbalan harta
bukan khulu’.36
Ibnu Al-Qayyim berpendapat: ”Barang siapa memikirkan hakekat dan
tujuan aqad atau perjanjian, serta tidak hanya melihat kepada kata-kata (lafadz),
maka ia akan menganggap khulu’ sebagai fasakh, sekalipun dengan kata talaq.
Alasannya ialah bahwa Nabi SAW. pernah menyuruh Tsabit bin Qais agar
menalak istri secara khulu’ dengan sekali talaq. Selain itu Nabi SAW. menyuruh
istri Tsabit ber-iddah sekali haid. Hal ini jelas menunjukan fasakh, sekalipun
terjadinya perceraian dengan ucapan talaq. 37 Allah menghubungkannya dengan
hukum fidyah, karena memang ada fidyah-nya. Sudah maklum bahwa fidyah
35 Ibid, 175 36 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Ibid. h. 253 37 Ibid, h. 253
38
tidak mempunyai pernyataan dengan kata-kata khusus dan Allah-pun tidak
menetapkan lafazd yang khusus untuk itu.38
Adapun syarat dan rukun khulu’ adalah sebagai berikut:
1. Rukun Khulu’
Sebagaimana halnya talaq, dalam khulu’-pun terdapat rukun-rukun
yang harus dipenuhi demi sahnya perbuatan khulu’ tersebut. Rukun khulu’
ada 6 (enam) yaitu:
a. Multazim al-’iwadh (pihak yang memegang ’iwadh);
b. Al-Bud’u (yang dimiliki wanita/farju);
c. Al-’iwadh (imbalan yang diberikan kepada suami sebagai bandingan
penguasaan talaq);
d. Al-Jawzu (suami);
e. Al-Ishmah (kekuasaan suami untuk memegang talaq) dan
f. Al-Shighah (ijab dan qabul).
2. Syarat Khulu’
Yang dimaksud dengan syarat khulu’ ialah syarat yang bertalian
dengan rukun-rukun khulu’ itu, yaitu:
a. Multazim al ‘iwadh, dengan syarat wanita orang lain yang sudah cakap
38 Ibid., h. 254
39
berbuat (ahliyah al-ada al-kamilah). Tidak ada khulu’-nya orang bodoh
dan orang yang belum dewasa.
b. Al-Bud’u dengan syarat barang tersebut dimiliki oleh suami walaupun
dalam keadaan talaq raj’i.
c. Al-’iwadh dengan syarat harta tersebut tidak berbahaya, suci dan milik sah
(bukan ghasab).
d. Al-Jauzu (suami), dengan syarat orang tersebut sudah cakap untuk
melakukan talaq, seperti tidak bodoh, berakal dan baligh.
e. Al-Ishmah, dengan syarat tersebut tidak dilimpahkan kepada orang lain.
f. Al-Shighah, dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harus berupa ucapan yang menunjukan kepada talaq dan khulu’.
2. Hendaknya qabul itu dilakukan dalam suatu majlis, kecuali jika suami
menangguhkan pelaksanaannya. Dalam ijab dan qabul disyaratkan
adanya persesuaian dalam jumlah harta (’iwadh).39
39 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Maczhab al-Arba’ah, (Beirut: Daar el-Kutub,
t.th.), Juz IV, h.420
40
Secara umum Zaini Ahmad Noeh dalam bukunya Perceraian Orang
Jawa, menyebutkan alasan sorang suami/isteri yang ingin bercerai adalah
terdapat beberapa faktor, yaitu:40
1). Ekonomi, menunjukkan kondisi suami tidak mampu untuk menghidupi isteri
2). Krisis moral, perselingkuhan
3). Dimadu
4). Meninggalkan kewajiban
5). Faktor biologis, seperti suami impoten
6). Pihak ketiga, adanya campur tangan keluarga atau orang tua dalam urusan
rumah tangga anaknya
7). Faktor politik
Dari penjelasan Zaini Ahmad Noeh di atas, dapat dipahami bahwa
ekonomi menjadi alasan yang pertama yang mempengaruhi isteri melakukan
gugatan cerai. Hal ini sering terjadi karena ekonomi merupakan kebutuhan
utama dalam keluarga, dan tidak jarang para suami mengabaikan tanggung
jawabnya meskipun mereka berada dalam strata ekonomi yang tinggi ataupun
sebaliknya. Dengan demikian masalah ekonomi sangat berpengaruh terhadap
perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama dan dalam hal ini diajukan oleh
seorang isteri dalan cerai gugat.
40 Zaini Ahmad Noeh, Perceraian Orang Jawa, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1991), h. 34
41
C. Alasan untuk Terjadinya Khulu’
Khulu’ dapat dibenarkan apabila ada sebab yang menghendaki adanya khulu’.
Misalnya karena suami cacat jasmani atau jelek kelakuannya, atau tidak
melaksanakan kewajibannya sebagai suami, dan istri takut kalau melanggar
hukum Allah karena tidak taat kepada suaminya. Ada ulama yang mengatakan
bahwa perselisihan yang datang dari pihak istri cukup untuk adanya khulu’. ada
pula yang berpendapat bahwa khulu’ tidak diminta sebelum adanya syiqaq atau
perselisihan.41
Mahmud Yunus menerangkan bahwa kesimpulan yang dapat ditarik dari
firman Allah (Q.S. (2) Al-Baqarah: 229) dan hadits Nabi SAW. yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang sebab-sebab yang membolehkan terjadinya
khulu’ adalah sebagai berikut.
1. Jika kedua suami-istri tidak dapat mendirikan hukum-hukum Allah, yaitu
pergaulan secara ma’ruf;
2. Karena istri sangat benci kepada suaminya lantaran sebab-sebab yang tidak
disukainya, sehingga ia takut tidak akan dapat mematuhi suminya itu.42
41 H. S. A. Alhamdani, Risalah Nikah, Hukum Perkawinan Islam,. 42 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1986), Cet
Ke-12, h.230
42
Sayyid Sabiq, mengutip pendapat para ulama sebagai berikut.
Syaukani berkata: ”Menurut dzahir hadits-hadits tentang masalah khulu’ ini,
bahwa ketidak senangan istri sudah boleh menjadi alasan khulu’ .” Akan tetapi
Ibnu Mundzir mengatakan tidak boleh sebelum rasa tidak senang itu pada kedua
belah pihak, karena berpegang pada ayat-ayat al-Quran. Demikian pendapat
Thawus, sya’by, dan segolongan besar tabi’in. Tetapi segolongan lain seperti
Thobari, beliau menjawab bahwa yang dimaksudkan oleh ayat al-Quran itu ialah
jika istri tidak dapat melaksanakan hak-hak suaminya, maka hal ini telah
menimbulkan kemarahan suami terhadap istrinya.43
Mengenai keadaan-keadaan yang dapat dan tidak dapat dipakai untuk
menjatuhkan khulu’, maka Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa khulu’ boleh
diadakan berdasarkan kerelaan suami-istri, selama kerelaan itu tidak
mengakibatkan kerugian pada pihak istri. Dasar kebolehan ini adalah firman
Allah:
ین بفاحشة وال تـــعضلـوا ھن لـتذھبوا بـبعــض ما أ تیتمو ھن إال أن یأت) čĕ:النساء ...( مبینة
Artinya:
”Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.... ”(Q.S. An Nisa: 19).
Firman Allah:
43 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, h. 256
43
البقرة ...( حدود اهللا فـال جناح علیھما فیما ا فتدت بھ فإن خفتم أال یقیما :ĎĎĕ (
Artinya:
”Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.”(Q.S. Al-Baqarah: 229)
Abu Qilabah dan Hasan Al-Basri berpendapat, bahwa suami tidak
boleh menjatuhkan khulu’ atas istri kecuali jika ia melihat istri berbuat zina. Dan
keduanya mengartikan kata fahisyah dalam ayat di atas kepada perbuatan zina.
Daud berpendapat bahwa suami tidak boleh menjatuhkan khulu’ kecuali
bersyaratkan kekhawatiran bahwa kedua suami istri itu tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, berdasarkan lahir ayat. An-Nu’man menyatakan bahwa
khulu’ dapat dijatuhkan meski merugikan. Berdasarkan aturan fiqh, tebusan itu
diberikan kepada istri sebagai imbalan talaq yang dimiliki suami. Oleh karena
talaq diberikan kepada suami jika membenci istri, maka khulu’ diberikan kepada
istri jika ia membenci suami.44
Dengan demikian, dalam khulu’ terdapat lima pendapat. Pertama,
pendapat yang tidak membolehkan sama sekali. Kedua, yang membolehkan
secara bebas meski merugikan. Ketiga, pendapat yang tidak membolehkan kecuali
jika suami melihat istri berbuat zina. Keempat, pendapat yang membolehkan jika
44 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Beirut: Daar el-Fikr, t.th.), Jilid II, h. 51
44
terdapat kekhawatiran jika suami istri itu tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Kelima, pendapat yang membolehkan, kecuali jika disertai kerugian (maka
tidak boleh). Ini pendapat yang terkenal.
Dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 1975 dinyatakan, bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan
sebagai berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain-lain
yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
3. Salah satu mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah hukuman berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
45
6. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Syed Mahmudunnasir, menerangkan bahwa dalam pasal 2 Undang-
undang perceraian Islam 1939 di India dan Pakistan, memberikan alasan-alasan
tertentu untuk memperoleh perceraian dari suami melalui pengadilan. Undang-
undang itu memberikan daftar yang agak lengkap mengenai alasan-alasan bagi
seorang istri muslim, agar dapat memperoleh status perceraian secara hukum.
Alasan-alasan menurut Undang-undang itu adalah sebagai berikut;
1. Bahwa tempat tinggal suami belum diketahui selama masa empat tahun;
2. Bahwa suami telah menelantarkan atau tidak memberikan biaya hidupnya
selama masa dua tahun;
3. Bahwa suami telah dihukum penjara untuk masa tujuh tahun atau lebih;
4. Bahwa tanpa sebab yang memadai, suami tidak melaksanakan kewajiban-
kewajiban bersuami-istri selama masa tiga tahun;
5. Bahwa suami impoten pada masa pernikahan dan tetap demikian;
6. Dan suami telah menjadi gila selama dua tahun atau menderita penyakit lepra
atau kelamin yang ganas;
46
7. Bahwa istri yang telah dinikahkan oleh pihak bapak atau walinya sebelum
mencapai usia lima belas tahun (sekarang enam belas tahun di Pakistan)
menolak pernikahan sebelum mencapai usia delapan belas tahun, asal
pernikahan itu belum sempurna (belum terjadi hubungan seksual);
8. Bahwa suami memperlakukan istri dengan kejam, yaitu:
a. Biasa menganiaya atau membuat kehidupannya menderita karena
kekejaman prilaku itu tidak sampai berupa penganiayaan fisik,
Berhubungan dengan perempuan keji atau menempuh kehidupan baru,;
b. Berusaha memaksanya untuk menempuh kehidupan yang tidak bermoral.
c. Meniadakan harta kekayaannya atau menghalanginya melaksanakan hak-
hak yang sah atas harta kekayaan itu, Menghalangi praktek keagamaan,
d. Jika suaminya mempunyai istri lebih dari satu, tidak memperlakukannya
dengan adil sesuai dengan ketetapan-ketetapan al-Quran;
9. Karena alasan lain yang diakui keshahihannya oleh hukum Islam untuk
memutuskan pernikahan.
47
D. Pengertian Stratifikasi Sosial Di Bidang Ekonomi
Sebelum menjelaskan apa itu pengertian stratifikasi sosial di bidang
ekonomi, ada baiknya penulis memaparkan terlebih dahulu tentang stratifikasi
sosial secara umum. Dalam sosiologi dikenal dengan istilah Social Stratification
yang berarti sistem lapisan dalam masyarakat. Kata Stratification berasal dari
stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan. Pitirim A. Sorokin menyatakan
bahwa social stratification adalah pembedaaan penduduk atau masyarakat ke
dalam kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas rendah. 45 Selanjutnya menurut Sorokin,
dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian
hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan
pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap
hal-hal tertetntu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih
tinggi dari hal-hal- tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang
lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai
kekayaan material daripada kehormatan, misalnya, maka mereka yang lebih
banyak mempunyai kekayaan material akan menempati kedudukan yang lebih
tinggi apabila dibandingkan dengan fihak-fihak lain. Gejala tersebut menimbulkan
lapisan masyarakat atau dikenal dengan istilah staratifikasi sosial, -dan dalam hal
ini dibidang ekonomi- yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu
kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.
45 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1982),
h 252
48
Menurut Selo Soemarjdan dan Soelaeman Soemardi, bahwa lapisan
masyarakat didasarkan pada ukuran sebagai berikut:46
1. Ukuran Kekayaan
2. Ukuran Kekuasaan
3. Ukuran kehormatan
4. Ukuran Ilmu Pengetahuan
Ukuran tersebut di atas, tidaklah bersifat limitatif, karena masih ada
ukuran-ukuran lain yang dapat digunakan. Akan tetapi ukuran-ukuran di atas amat
menentukan sebagai dasar timbulnya sistem lapisan dalam masyarakat tertentu.
Selanjutnya Ralph Linton yang dikutip Kamanto Sunarto47, bahwa
stratifikasi seseorang dapat dibentuk oleh dua hal, yakni stratifkasi berdasarkan
perolehan dan stratifikasi berdasarkan raihan. Stratifikasi yang dibentuk
berdasarkan perolehan didapatkan dengan sendirinya, anggota masyarakat dibeda-
bedakan berdasarkan usia, jenis kelamin, hubungan kekerabatan, dan keanggotaan
dalam kelompok tertentu seperti kasta dan kelas.
Sedangkan stratifikasi yang didasarkan pada raihan diantaranya adalah48:
1. Stratifikasi Pendidikan
46 Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, edisi I, Yayasan
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964, h. 257 47 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta. 2000. h. 86 48Ibid.
49
Stratifikasi pendidikan yaitu hak dan kewajiban masyarakat sering
dibeda-bedakan atas dasar tingkat pendidikan formal yang berhasil mereka
raih.
2. Stratifikasi Pekerjaan
Di bidang pekerjaan modern kita mengenal berbagai klasifikasi yang
mencerminkan stratifikasi pekerjaan, seperti misalnya pembedaan antara
manajer serta tenaga eksekutif dan tenaga administratif; antara asiten dosen,
lektor, dan guru besar, antara tamtama, bintara, pedesaira pertama, pedesaira
menengah, pedesairah tinggi.
3. Stratifikasi Ekonomi
Stratifikasi Ekonomi yaitu pembedeaan masyarakat berdasarkan
penguasaan dan pemilikan materi, hal ini juga merupakan suatu kenyataan
sehari-hari.
Stratifikasi ekonomi adalah salah satu faktor dominan yang menentukan
kelangsungan hidup rumah tangga seseorang. Apabila ekonominya berada pada
tingkat atas mungkin tidak akan menjadi persoalan dalam segi kebutuhan materi,
akan tetapi tidak sedikit fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa banyak para
suami yang berhura-hura dengan hartanya, misalnya dengan mabuk-mabukan,
main perempuan dan lain-lain. Hal ini sering menjadi pemicu kerusakan rumah
tangga dikarenakan seorang istri yang berakhir pada gugatan cerai.
Begitu juga sebaliknya ketika ekonomi seseorang berada di tingkat
menengah sampai tingkat bawah juga bisa menjadi persoalan dalam rumah tangga,
50
karena dengan ekonomi yang lemah sering kali kebutuhan runah tangga tidak
tercukupi sehingga menyebabkan sering terjadi percekcokan dalam rumah tangga
dan tidak sedikit sang isteri melakukan tuntutan cerai kepada suaminya yang tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan demikian, maka stratifikasi sosial dibidang ekonomi dapat
mempengaruhi terjadinya perceraian yang sebagian besar menjadi tuntutan bagi
isteri, hal ini dikenal dengan istilah cerai gugat.
51
BAB IV
HUBUNGAN STRATIFIKASI SOSIAL
DI BIDANG EKONOMI DAN CERAI GUGAT
A. Proses Cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi
Tata cara gugatan perceraian diatur dalam PP No. 9/1975 Bab V pasl 20-30 yang
dilengkapi dan disempurnakan lebih lanjut oleh KHI seperti tercantum dalam Bab
XVI tentang Putusnya Perkawinan yaitu pasal 113-148. bahkan oleh UU No. 7/1989
diperbarui lagi ke arah yang dinamis, praktis dan realistis,, seperti tercantum dalam
pasal 73-89 mengenai tata cara cerai gugat.
Proses cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi, berlandaskan pada
hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan lingkungan Pengadilan Agama.
Hukum acara yang berlaku pada lingkungan Pengadilan Agama disebutkan pada UU
No. 7 Tahun 1989 bab IV mulai dari pasal 54 sampai dengan 92. dalam pasal 54
ditegaskan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama ialah hukum
acara perdata yang berlaku pada Pengadilan Umum.
Pada prinsipnya, pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama mengacu pada
hukum acara perdata pada umumnya kecuali yang diatur secara khusus, yaitu dalam
memeriksa perkara sengketa perkawinan. Dalam memeriksa sengketa perkawinan
pada umumnya dan utamanya dalam perkara perceraian berlaku hukum acara khusus
yaitu yang diatur dalam:1
1 Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelaja, 1998), Cet. II, h. 201
52
1. UU No. 1/1974 dan PP No. 9/1975 tentang perkawinan
2. Inpres No. 1/1991 tentang KHI
3. PMA No. 2/1987 tentang Wali Hakim
4. Peraturan-peraturan lain yang berkenaan dengan sengketa perkawina
Pada hakekatnya sifat utama hukum acara perdata Pengadilan Agama adalah
pemeriksaan perdata dimulai, dilanjutkan dan ditetukan atas kemauan penggugat
sebagai orang perseorangan. Negara dan pemerintah tidak campur tangan, ini sesuai
dengan sifat dan hak dan kewajiban dalam hukum acara perdata.2
Di lingkungan Pengadilan Agama dikenal dua sifat atau corak mengajukan
permintaan pemeriksaan perkara kepada pengadilan. Yang pertama disebut
“permohonan”, yang kedua disebut “gugatan”.3dalam bahasa sehari hari, kedua
istilah tersebut kita kenal dengan “gugat biasa” dan “gugat permohonan.
Oleh karena itu Pengadilan Agama hanya mengatur 2 (dua) prosedur untuk
melakukan perceraian, yaitu:
a. Permohonan thalak dari pihak suami, yang diatur dalam pasal 66 sampai dengan
72 UU No. 7/1989
b. Mengajukan gugatan cerai dari pihak isteri, yang diatur dalam pasal 73-86 UU
No. 7/1989.
2 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1975),
Cet. Ke-8, h.34 3 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama; UU No. 7/1989,
(Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 192
53
Adapun prosedur cerai gugat itu sendiri sebagai berikut:
1). Mengajukan surat gugatan
Perceraian atas inisiatif isteri (cerai gugat) ini seperti dimaksud pada pasal 38
huruf (c) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, memiliki tata cara tersendiri, tata cerai
gugat ini diatur dalam pasal 20 sampai 36 PP No. 9/1975. selanjutnya pasal 39
Undang-Undang Perkawinan memuat ketentuan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang pengadilan itu adalah ketentuan serasi demi kepentingan
hukum dengan penentuan mengenai pencatatan akad nikah yang dilakukan pihak-
pihak. Artinya diawal perikatan akadnya harus dicatatkan di kantor yang ditentukan
yaitu pengadilan.4
Adapun prosedur mengajukan gugatan perceraian (cerai gugat) sebagi berikut:
Mengajukan surat gugatan harus memenuhi syarat formil dan syarat materil.
Syarat formil yaitu surat gugatan ditulis di atas kertas bermaterai dan ditanda tangani
oleh penggugat atau wakilnya yang mendapat kuasa khusus. Sedangkan syarat materil
yaitu surat gugatan memuat identitas para pihak, duduk perkara (posita) dan tuntutan
hukumnya (petitum). Petitum ini harus jelas dan lengkap, karena menurut pasal 178
HIR, Hakim wajib mengadili semua bagian dari petitum dan dilarang untuk
memutuskan lebih dari pada yang diminta.5
4 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
Undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), h.4 5 Arso Sostroatmojo, Diktat Kuliah Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Fakultas Syari’ah IAIN
Syarif Hidayatullah, 1983), h.7
54
Pada pasal 73 UU tentang Pengadilan Agama, memuat penjelasan tentang
gugatan secara tertulis atau secara lisan kepada Pengadilan Agama, yakni;
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasa hukumnya kepada yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Jakarta Pusat
Suatu gugatan cerai jangan sampai diajukan secara keliru atau tidak tepat, maka
dalam mengajukan gugatan, pihak isteri harus benar-benar mengajukan secara tepat
kepada badan pengadilan yang berwenang untuk mengadili persoalan tersebut, dalam
hal ini menyangkut prihal tempat mengajukan gugatan.
2). Membayar Uang muka biaya perkara
Pembayaran panjar biaya perkara diberikan ke Kepaniteraan Pengadilan Agama
sub kepaniteraan gugatan, pada meja I penggugat membayar panjar biaya dan
mendapatkan SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar). Selanjutnya penggugat
menyerahkan SKUM ke meja II untuk ditanda tangani dan diberikan nomor pada
surat gugatan sesuai denga nomor yang diberikan kasir, dan selanjtnya surat gugatan
dicatat dalam buku register untuk disampaikan ke ketua Pengadilan Agama.
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari, ketua menunjuk majelis hakim untuk
memeriksa dan mengadili perkara dalam sebuah “penetapan Majelis Hakim”. Hal ini
sesuai dengan pasal 93 UUPA, kemudian ketua Pengadilan membagikan semua
55
berkas perkara atau surat-surat yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke
Pengadilan Agama kepada majelis hakim untuk diselesaikan.
Untuk membantu majelis hakim dalam menyelesaikan perkara, ditunjuk
seorang/lebih panitera sidang, kemudian apabila ada yang berhalangan hadir bagi
anggota majelis di kemudian hari maka tugas diganti oleh anggota yang lain yang
ditunjuk oleh ketua dan dicatat dalam berita acara persidangan, begitu juga apabila
panitera sedang berhalangan hadir maka ditunjuk panitera lainnya untuk mengikuti
sidang.6
3). Tahapan persidangan,meliputi penetapan hari sidang dan pemanggilan para
pihak
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari, ketua pengadilan menunjuk Majelis
Hakim yang bertugas untuk menangani perkara (pasal 93 UUPA), ketua membagikan
berkas kepada Majelis Hakim. Ketua majelis setelah menerima berkas perkara,
besama-sama hakim anggotanya mempelajari berkas perkara.
Penggugat/wakilnya atau tergugat/wakilnya menghadiri sidang pemeriksaan
berdasarkan panggilan pengadilan. Tata cara pemanggilan para pihak dalam perkara
cerai gugat harus dilakukan secara patut dan resmi, yaitu:
a). Dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti yang sah
b). Disampaikan langsung pada pribadi yang dipanggil di tempat tinggalnya
6 Mukti Arto,ibid, h. 62
56
c). Jarak antara hari pemanggilan dengan hari persidangan harus memenuhi
tenggang waktu yang patut, yaitu sekurang-kurangnya 3 hari kerja sebelum
sidang dibuka
d). Pangilan kepada tergugat dilampiri salinan surat gugatan
e). Apabila tergugat tempat kediamannya tidak jelas diketahui atau tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, maka panggilan dilakukan denga cara:
(1). Menempelkan surat panggilan pada pengumuman di Pengadilan Agama.
(2). Pengumuman melalui media atau surat kabar yang dilakukan sebanyak dua
kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama
dengan pengumuman kedua.
4). Pemeriksaan Cerai gugat
Secara khusus untuk perkara perceraian dalam hal-hal tertentu diatur dalam
Undang-undang Pengadilan Agama. Pemeriksaan perkara cerai gugat berdasarkan
pada asas-asa sebagai berikut:
a). UU No. 14/1970 pasal 15 dan penjelasan umum UU No. 14/1970, menurut
aturan ini bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara dengan
sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali apabila undang-undang
menentukan lain. Kemudian dipertegas lagi dengan penjelasan umumnya
bahwa pemeriksaan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, senada juga
dengan UU No. 14/1970 pasal 17 ayat (1)
b). UU No. 7/1989, pasal 80 ayat (2) menyebutkan pemeriksaan gugatan
perceraian dilakukan dalam sidang tertutup
57
c). UU No. 14/1970 pasal 4 ayat (20 peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat
dan biaya ringan. Pemeriksaan 30 hari dari tanggal pendaftaran gugatan, hal
ini sesuai dengan ketentuan pasal 80 ayat (1) UUPA
d). Pemeriksaan sidang pengadilan dihadiri suami isteri atau wakilnya yang
mendapat kuasa khusus dari mereka. Pemriksaan perakara perceraian tidak
mesti dihadiri secara pribadi (in person) oleh suami isteri
e). Pada setiap pemeriksaan selalu dilakukan upaya perdamaian, sesuai dengan
ketentuan UU No. 7/1989 pasal 82 ayat (2)
Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-
lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan perceraian didaftarkan di
kepaniteraan. Setelah berkas perkara yang masuk diperiksa dan diterima untuk
selanjutnya disidangkan. Tahapan-tahapan pemeriksaan dalam persidangan adalah
sebagai berikut:
(1). Pembacan gugatan
(2). Jawaban tergugat
(3). Replik penggugat
(4). Duplik tergugat
(5). Pembuktian.
Setelah menganalisis beberapa Putusan Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi
dari tahun 2006 tentang perkara cerai gugat dari awal sampai akhir dapat disimpulkan
bahwa persidangan perkara cerai gugat tersebut telah sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku yaitu Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1/1974 serta
58
penjelasannya mengenai gugatan perceraian bahwa cerai gugat terjadi atas putusan
pengadilan dan putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. (UU No.
7/1989 pasal 81 ayat 1).
B. Akibat Hukum dari Cerai gugat
Perkawinan dalam Islam merupakan ibadah dan merupakan perjanjian suci
(mitsaqan ghalidzan). Oleh karena itu, apabila perkawinan putus atau terjadi
perceraian tidak begitu saja selesi urusannya, akan tetapi ada akibat-akibat hukum
yang perlu diperhatikan dan hendaknya menjadi pertimbangan dalam mengambil
suatu langkah perceraian bagi suami atau isteri.
Adanya perceraian mengakibatkan konsekuensi hukum yang harus ditaati oleh
kedua pihak, termasuk di dalamnya hak atas pengasuhan anak, hak atas dasar harta
benda, dan lainnya berdasarkan keputusan pengadilan.
Di Indonesia terdapat peraturan bahwa perceraian harus atas putusan pengadilan,
tak terkecuali perceraian atas gugatan cerai dari isteri (cerai gugat atau khulu’), maka
“perceraian dengan jalan khulu’ mengurangi jumlah thalak dan tak dapat rujuk”. 7
Sedangkan akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut KHI pasal
156, yaitu:8
1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia
7 Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Direktorat Badan Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 200), h. 74 8 Ibid., h. 72-73
59
2. Anak-anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya
3. Apabila ternyata pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi,
maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat
memindahkan hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah
pula.
4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus dirinya sendiri.
5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan
Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (b), (c) dan (d).
6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.
Perceraian yang terjadi dengan adanya gugatan dari istri (cerai gugat) mempunyai
akibat hukum yaitu jatuhnya thalak bain shugra. Thalak bain sughra yaitu talak yang
tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun
dalam masa iddah, seperti tercantum dalam pasal 119 KHI. Akibat dari talak bain
sughra ini sebagai berikut:
1. Putusnya ikatan pernikahan antara suami dan isteri
2. Hilangnya hak bergaul bagi suami isteri termasuk berkhalwat
60
3. Jika salah satu meninggal tidak dapat saling mewarisi
4. Selama masa iddah, isteri berhak mendapat nafkah dan tinggal di rumah bekas
suami dengan pisah tempat tidur.
5. Apabila rujuk, harus dengan akad nikah dan mahar baru9
6. Bagi suami, wajib membayar sisa mahar yang terhutang.10
Akibat hukum dari khulu’ yaitu putusnya perkawinan dan jatuhnya thalak ba’in
sughra, artinya suaminya tidak boleh merujuknya kembali, tapi boleh akad nikah
baru walaupun dalam masa ‘Iddah.
Sebagaimana tercantum dalam KHI pasal 149 huruf (b) mengenai akibat thalak,
disebutkan bilamana perkawinan putus karena thalak, maka bekas suami wajib
memberi nafkah, makan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam masa iddah,
kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak
hamil. Jadi bila perceraian terjadi karena gugatan dari istri maka istri tidak
mendapatkan hak nafkah dalam masa iddah sekalipun.
Menurut imam mazhab yang empat, bahwa istri durhaka (istri yang dihukum
nusyuz) tidak diberikan nafkah (yakni boleh, tidak diberikan nafkah).11 Menurut Abu
Hanifah sendiri nafkah tidak lagi menjadi tanggungan bagi suami, terkecuali jika
nafkah isterinya telah ditentukan kadarnya oleh Hakim.12
9 Kamal Mukhtar, Asas-asa Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 179 10 Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, cet. IV, (Beirut: Dar al Fikr, 1983), h. 237 11 Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997),
cet. Ke-1, edisi kedua, h. 260 12 Ibid, h. 260
61
C. Dampak Stratifikasi Sosial di Bidang Ekonomi terhadap Cerai gugat
Secara teoritis, semua manusia dapat dianggap sederajat. Akan tetapi sesuai
dengan kenyataan hidup kelompok-kelompok sosial tidaklah demikian.13stratifikasi
sosial merupakan gejala universal yang merupakan bagian sistem sosial setiap
masyarakat. Misalnya dalam segi pembagian kekuasaaan dan wewenang resmi dalam
organisasi-organisasi formal, seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik,
angkatan bersenjata atau perkumpulan. Kekuasaan dan wewenang merupakan unsur
khusus dalam sistem lapisan.
Fenomena kehidupan masyarakat tersebut di atas, dapat berdampak pada situasi
keluarga yang hendak menggapai kehidupan yang lebih mapan atau tingkat sosial
yang setara dengan kelas-kelas tertentu. Kadang mereka melakukan berbagai cara
untuk memperoleh kedudukan sosial yang lebih tinggi, terutama dalam segi ekonomi.
Dan kadangkala diantara orang yang mengejar ekonomi ini, sering terjebak oleh
kesibukannya sehingga mengabaikan perhatian khusus pada keadaan keluarganya,
yang berakibat terjadinya percekcokam yang berakhir pada perceraian.
Hal ini, tergambar dari banyaknya kasus-kasus perceraian yang terjadi di
Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi dengan faktor penyebab perceraian karena
masalah ekonomi. Dan penulis meneliti beberapa kasus yang terjadi pada tahun 2006.
berikut tabel kasus perceraian di Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi:14
13 Robin Williams Jr. American Society, edisi baru ke-2, A Fred A Knof. New York, 1960,
h.89 14Data diambil dari hasil laporan Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi Tahun 2006
62
01 20 1 4 6 3 9 2
02 17 4 5 6 - 4 1
03 19 - 4 7 2 6 -
04 14 - 5 3 6 7 3
05 29 2 3 6 4 7 -
06 28 - 8 6 4 5 2
07 13 - - 7 3 4 -
08 12 - 6 4 1 3 3
09 39 3 10 7 5 3 2
10 11 - 9 5 2 2 4
11 34 3 2 6 3 8 1
12 13 - 2 2 4 - -
Jumlah 249 13 58 65 37 58 18
Dari tabel di atas, dapat dipahami bahwa masalah ekonomi menjadi faktor
penyebab perceraian yang dapat dikategorikan pada urutan ke-3 dari beberapa faktor
penyebab lain yang mempengaruhinya. Hal ini berarti bahwa masalah ekonomi sering
Faktor Penyebab Perceraian
B u l a n
P e r c e r a I a n
C e m b u r u
Tidak H a r m o n i s
E k o n o m i
P o l i g a m i
Tidak Tanggung
J a w a b
S e l i n g k u h
63
menjadi persoalan dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sang isteri menuntut
suami untuk memberikan nafkah sesuai dengan apa yang diinginkannya sehingga
terkadang ketika sang suami ada yang tidak mampu memberikan permintaan
isterinya, persoalan yang muncul adalah percekcokan dalam rumah tangga.
Sebaliknya, ada suami yang mampu memberikan nafkah namun karena
kemampuannya tesebut seorang suami kadang juga berkuasa atas isterinya sehingga
suami memperlakukan isterinya semaunya sendiri atau bahkan berani untuk berbuat
selingkuh di belakang isterinya karena menurutnya segala sesuatu dapat diselesaikan
dengan uang.
Di lain kasus, sang suami atau isteri pergi merantau ke kota besar atau keluar
negeri untuk mengejar starata ekonomi yang lebih tinggi dari sebelumnya,
menyebabkan ia harus meninggalkan keluarganya selama bertahun-tahun. Ini pun
berdampak pada persoalan rumah tangga juga dan semua fenomena tersebut berakhir
pada perceraian. Hal ini terbukti dengan adanya putusan hakim tentang cerai gugat di
Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi, diantaranya adalah; 1). Putusan No.
96/Pdt.G/2006/PA.Cbd, atas nama Rosyati binti Jijim, umur 26 tahun. Agama Islam,
pekerjaan Ibu rumah tangga, sebagai penggugat, dan Endang bin Basar, umur 39
tahun. Agama Islam, Pekerjaan Wiraswasta, sebagai tergugat, dengan perkara isteri
menjadi TKW dan sang suami hidup berhura-hura dengan uang hasil isteri yang
sering dikirim. 2). Putusan No. 100/Pdt.G/2006/PA.Cbd, Yuniarti Gombo Binti
Salihin Gombo, umur 39 tahun. Agama Islam, pekerjaan Swasta, sebagai penggugat,
dan Roza Indra Bin Markis, umur 44 tahun. Agama Islam, Pekerjaan Swasta, sebagai
64
tergugat, dengan perkara tergugat tidak terbuka dalam hal keuangan hasil kerja, tidak
bertanggung jawab terhadap nafkah dan jarang pulang. 3). Putusan No.
103/Pdt.G/2006/PA.Cbd. Lisnawati Binti Alek Dayadi, umur 29 tahun, Agama
Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, penggugat, dan Ipan Ramdani Bin Hakim, umur
29 tahun. Agama Islam, Pekerjaan Swasta, sebagai tergugat, dengan perkara tergugat
tidak bertanggung jawab terhadap nafkah lahir dan bathin.
Dengan demikian setelah penulis mempelajari beberapa putusan Pengadilan
Agama tentang cerai gugat, terlihat bahwa faktor ekonomi menjadi faktor dominan
dalam perkara cerai gugat.
D. Analisa Putusan Cerai gugat di Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi
Keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa atau
konflik antara pihak-pihak yang menuntut pemutusan dan penyelesaian pengadilan.
Putusan cerai adalah putusan konstitutif, artinya putusan yang meniadakan suatu
keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.15
Perceraian di dalam Hukum Islam pada dasarnya adalah hak suami, ia dapat
menggunakan talaknya itu sampai tiga kali. Namun hak tersebut tidak boleh
digunakan secara sewenang-wenang. Sebagaimana peraturan perundangan Indonesia
telah mengatur hal itu dalam undang-undang.
15 Retno sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju,
1989), Cet. VI, h.110
65
Fakta yuridis mengenai alasan perceraian sebagaimana tesebut dalam pasal 39
ayat (2) Undang-undang Perkawinan dan penjelasannya serta pasal 19 PP No. 9/1975,
tidak disebut mengenai taklik talak sebagai alasan perceraian, karena apa yang diatur
dalam perundang-undangan telah cukup memadai dan mensejajari kebutuhan
masyarakat. Apalagi jika dilihat dan dikaitkan dengan perluasan alasan “melalaikan
kewajiban” sebagaimana yang diatur dalam pasal 34 ayat (3) UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan. Alasan yang kita miliki telah lebih dari cukup dan memang alasan
perceraian telah ditetapkan oleh undang-undang secara limitatif. Di luar itu tidak ada
alasan yang dapat dipergunakan.16
Kemudian dijelaskan dalam pasal 19 PP No. 9/1975 jo. Pasal 39 UU No. 1/1974,
bahwa taklik talak tidaklah termasuk dalam alasan-alasan perceraian.
Namun bila kita amati dari fakta yang ada saat ini nampak jelas bahwa perkara
cerai gugat dengan alasan pelanggaran terhadap perjanjian taklik talak yang diterima
oleh pengadilan agama banyak sekali.
Perceraian yang disebabkan adanya perselisihan yang terus-menerus dan sudah
tidak dapat hidup rukun lagi, dalam hal ini hakim telah berupaya mendamaikan kedua
belah pihak. Pada akhirnya alasan perceraian tetap mengacu pada bentuknya yang
lamitatif sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 PP No. 9/1975.17
16 Abdul Manan, Masalah Taklik Talak dalam Perkawinan di Indonesia, Artikel Jurnal Dua
Bulanan, Mimbar Hukum, No. 23 (Jakarta: PT. Intermasa), h. 68 17 Imron Rosyadi, Perjanjian Perkawinan dan Kapasitasnya sebagai Alasan Perceraian:
Artikel Jurnal Dua Bulanan, Mimbar Hukum, No. 24 tahun VII/1996 Januari-Februari (Jakarta: al Hikmah dan DITBINBAPERA), h. 63
66
Mengenai putusan-putusan Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi dapat diketahui
bahwa para hakim dalam memutus perkara pada umumnya mengacu pada PP
No.9/1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/1974 pasal 19 huruf (f) mengenai alasan
terjadinya perceraian yaitu adanya perselisihan dan pertengkaran terus-menerus
antara suami isteri dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dalam rangka memperjelas analisis, penulis akan memandang putusan
Pengadilan Agama No.100/Pdt.G/2006/PA.Cbd, dari berbagai segi, sebagai berikut:
1. Segi alasan hukum dan tuntutan penggugat
Yang dimaksud dengan alasan hukum ialah kaidah hukum kanun (ragel van het
objective recht). Apabila Penggugat dalam surat gugatannya tidak menyebut dasar
gugatannya, atau secara keliru menggunakan dasar gugatan, maka Hakim dalam
pertimbangannya akan mencukupkan segala alasan hukum, supaya menang kalahnya
salah satu pihak menjadi terang.18
Dalam perkara cerai gugat antara Yuniarti Gombo Binti Salihin Gombo sebagai
penggugat, dan Roza Indra Bin Markis sebagai tergugat, alasan yang diberikan
Penggugat adalah adanya pertengkaran dan perselisihan antara Pengugat dan
Tergugat disebabkan beda prinsip serta faktor ekonomi.
Alasan adanya pertengkaran dan perselisihan terus-menerus antara suami-isteri
yang menyebabkan rumah tangga tidak harmonis lagi, alasan ini sudah memenuhi
ketentuan pasal 19 huruf (d) PP No. 9/1975 tentang peraturan pelaksanaan dari UU
No. 1/1974 bahwa alasan tersebut dapat diterima sebagai alasan terjadinya perceraian.
18 Rento susantio,ibid h. 104
67
Menurut Hukum Islam, perceraian adalah jalan terakhir menyelamatkan salah
satu pihak atau kedua belah pihak termasuk anak-anak, sehingga tidak menimbulkan
akibat negatif bagi salah satu pihak sebagaimana tujuan perkawinan aadalah
membina rumah tangga sakinah mawaddah warahmah.
Penyebab adanya pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat disebabkan
masalah ekonomi, namun tidak dijelaskan sampai sejauh mana suami tidak
bertanggung jawab atas kehidupan ekonomi rumah tangga mereka, tidak dibuktikan
kebenarannya dan tidak dijadikan pertimbangan hakim, apakah masalah ekonomi ini
karena adanya strata sosial atau adanya keributan karena dampak dari tergugat yang
pergi meninggalkan tergugat keluar negeri untuk mengejar strata ekonomi.
2. Pertimbangan Hukum Hakim
Dalam proses pemeriksaan Hakim harus dapat mengkualifisir, yaitu sebagaimana
yang dalam pertimbangan hukum dalam surat putusan, dimana Hakim harus dapat
menemukan hubungan hukum peristiwa-peristiwa/fakta-fakta yang terbukti dalam
petitum, sehingga dapat ditemukan hukumnya dengan tepat, baik tertulis maupun
yang tidak tertulis dengan menyebutkan sumber-sunbernya, serta dapat
mempertimbangkan biaya perkara.19
Dalam pertimbangan hukumnya Hakim membuktikan kebenaran pertengkaran
antara Yuniarti Gombo Binti Salihin Gombo sebagai penggugat, dan Roza Indra Bin
19 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet. II, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), h. 36
68
Markis sebagai tergugat, adalah dengan kutipan akta nikah dan keterangan para saksi
dari keluarga yang terpenting saja yang dikemukakan, tidak seluruh keterangan saksi
dimuat, juga tidak kesemua keterangan saksi dipertimbangkan, melainkan yang
penting saja yang berguna bagi pembuktian.20
Dalam pertimbangan hukumnya Putusan Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi
tersebut, hakim telah mempertimbangkan adanya pengakuan dari Tergugat terhadap
gugatan Penggugat, hal ini merupakan pembuktian yang paling kuat dan bersifat
mengikat. Selain itu hakim telah mendatangkan saksi dari pihak Penggugat maupun
Tergugat. Hal ini berarti hakim telah membuktikan adanya alasan yang diajukan
penggugat benar adanya. Hakim mempertimbangkan kemaslahatan rumah tangga
suami isteri tersebut.
Sedangkan mengenai ikrar talak yang telah diucapkan Tergugat di depan keluarga
tergugat tidak dijadikan pertimbangan hukum dalam poin yang jelas karena ikrar
talak yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan adalah tidak sah menurut
peraturan perundangan, jadi tidak dapat dijadikan bukti otentik. Namun adanya ikrar
talak dari Roza Indra tersebut menandakan bahwa perselisihan dan pertengkaran
mereka telah memuncak dan kerukunan rumah tangga mereka tidak dapat
dipertahankan lagi.
Pertimbangan-pertimbangan hakim yang dikemukakan yaitu surat ar Rum: 21 dan
UU No. 1/1974 pasal 1 dan KHI paal 1 sebagai dasar tujuan perkawinan adalah sudah
sesuai dan tepat.
20 Retno susantio, Ibid., h. 108
69
Pertimbangan hukum selanjutnya berdasar pada pasal 19 huruf (f) PP No. 9/1975
dan KHI pasal 116 huruf (f), adalah tepat. Oleh karena itu gugatan penggugat patut
dikabulkan.
Karena syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil gugat yang
mendukung petitum ternyata telah terbukti, maka pengadilan cukup untuk
mengabulkan gugatan. Dalam menentukan amar putusan (dictum), Hakim harus dapat
menkonstituir yaitu menetapkan hukumnya dalam amar putusan, mengadili seluruh
petitum, mengadili tidak lebih dari petitum kecuali undang-undang menentukan lain
dan menetapkan biaya perkara. Dan Hakim Pengadilan Agama dalam putusan perkara
cerai guagat ini telah dapat mengkonstatuir, mengkualifisir dan mengkonstituir
dengan tepat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
3. Proses acara persidangan
Dari segi proses acaranya, Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi, secara umum
telah mengikuti hukum acara yang berlaku bagi lingkungan Pengadilan Agama,
Hakim telah melakukan upaya damai sejak awal persidangan dan terus dilakukan
pada setiap persidangan. Pada dasarnya persidangan berlangsung sudah melalui
tahapan-tahapan yang seharusnya.
Perceraian antara Yuniarti Gombo Binti Salihin Gombo sebagai penggugat, dan
Roza Indra Bin Markis sebagai tergugat, telah dilakukan di depan persidangan, berarti
proses perkara cerai gugat ini telah memenuhi ketentuan proses acara perdata
pengadilan agama, sebagaimana diatur dalam pasal 39 ayat (1) PP No. 9/1975
70
“Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan
yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
4. Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas Hakim adalah untuk menyelidiki
apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau
tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila menginginkan
kemenangan dalam suatu perkara. Apabila Penggugat tidak berhasil untuk
membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugat, maka gugatan akan ditolak.21
Putusan Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi dalam perkara cerai gugat ini
adalah dengan menjatuhkan talak bain sughro. Keputusan tersebut sesuai dengan
petitum yang diajukan Penggugat, putusan Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi
dalam perkara ini tidak melebihi atau mengurangi dari petitum yang diajukan.
Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi memutuskan talak bain shugro dalam perkara
cerai tersebut adalah tepat.
21 Retno susantio, Ibid,h. 51
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang Pengaruh Stratifikasi Sosial di Bidang
Ekonomi Terhadap Perkara Cerai Gugat, penulis dapat mengambil kesimpulan.
1. Bahwa pengaruh yang sangat signifikan terhadap cerai gugat yang terjadi di
Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi, yaitu disebabkan oleh faktor
ekonomi.
2. Karena Stratifikasi sosial terutama di bidang ekonomi sangat mempengaruhi
kehidupan sebuah rumah tangga. Dan sering menjadi persoalan yang cukup
serius dan bahkan berdampak pada perceraian ketika masalah ekonomi tidak
terselesaikan. Hal ini dibuktikan dengan putusan hakim pada kasus perceraian
di pengadilan agama Cibadak Sukabumi tahun 2006, yang tercatat sebanyak
249 kasus dan yang disebabkan oleh masalah ekonomi sebanyak 65 kasus.
Dengan demikian persoalan ekonomi sangat berdampak pada sebuah
perceraian.
72
B. Saran
1. Perlu ditingkatkan pembinaan Hakim-hakim Pengadilan Agama dalam rangka
meningkatkan sumber daya manusia di lingkungan Pengadilan Agama
sehingga masyarakat pencari keadilan lebih percaya adanya keadilan di
lembaga hukum yang bernama Pengadilan Agama
2. Hakim dapat mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir dalam setiap
putusannya dengan tepat dan senantiasa memenuhi syarat putusan sehingga
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang disebabkan karena kelalaian
hakim maupun pejabat yang lainnya.
3. Hendaknya sidang Pengadilan Agama benar-benar menerapkan asas peradilan
sederhana, cepat dan biaya ringan.
73
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-fiqhail-mazahib Al-Arba’ah, Beirut, Daar al-kutub
Arikunto, Suharsimi, Managemen Penelitian, Jakarta, PT. Rineka Bakti, 1993
Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama Yogyakarta,
Pustaka Pelajar 1998
Ash-Shiddqiey, Hasbi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang, Pustaka Rizki Putra,
1997
Ash-Shiddqy, Hasbi, Pengadilan dan Hukum acara Islam, Bandung, PT, Al-ma’arif
Aziz, Abdul, Zainuddin Al-Malibary, Fathul Mu’in, Semarang, Toha Putra
Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Profil Statistik
dan inikator Gender Provinsi DKI Jakarta, 2003
Basyir, azhar, Achmad, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 1978
Daud Ali, Muhammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2002
Departemen Agama RI, Himpunan Peraturan Perundang-undangan dalam
lingkungan peradilan Agama ( direktorat pembinaan Badan pengadilan
Agana Islam, 2001
Departemen Agama RI, Kompilasi HUkum Islam, Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Islam, 2002
Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2000
74
Harahap, Yahya, M, Kedududkan kewenangan dan acara Pengadilan Agama; UU
No. 7/1989, Jakarta, Pustaka Kartini, 1997
Ibnu Qasim, Muhammad, Fathul Qarib, Kudus, Menara Kudus, 1983
Mahmudunnasir, Sayed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung, PT. Remaja
Rosada Karya, 1991
Manan, Abdullah, Masalah Taklik Thalak dalam Peradilan di Indonesia, Jakarta, PT.
Intermassa
Muhammad Bin Qasim as-Syafi’I, Fath Al-Qarib, Semarang, Toha Putra
Muhammad Imam bin Ismail Al kahlani, Subulus salam, Bandung, percetakan dahlan
Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulan
Bintang, 1993
Munawir, Kamu Al-Munawwir Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997
Noeh, Zaini, Ahmad, Perceraian orang Jawa, Yogyakarta, Gadjah mada University
Press, 1991
Pengadilan Agama Cibadak Sukabumi, 2006
Poerwadarminta, WJS, Kamus umum bahasa Indonesia, Jakarta, Balai pustaka, 1991
Rahman, A, Bakri, dan Sukarja Ahmad, Hukum Perkawinan menurut Islam,
Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata, Jakarta, Hidakarya
Agung, 1981
Rosyadi, Imran, Perjanjian Perkawinan dan kapasitasnya sebagai alas an
Perceraian, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA, 1996
Sabiq, Sayyid, Fiqh As-sunnah, Beirut, daar el-fikr, 1983
75
Situnggal, Umar, anshori, Fiqih Al-Mar’atul Muslimat, Semarang, CV. Asy-Syifa
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta,
1082
Soemardjan, Selo, dan Soemardi, Soelaeman, Setangkai Bunge Sosialogi, Penerbit,
Fakultas ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1964
Sostroatmojo, Arso, Diktat kuliah Hukum Acara Perdata, Jakarta, Fakultas Syaria’ah
IAIN Syarif Hidayatullah, 1983
Subekti, Et.Al, Kamus Hukum, Jakarta, Paramadya, 1982
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta, Lembaga Penerbit Ekonomi
Universitas Indonesia, 2000
Sutantio, Retno, Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek, Bandung, Mandar
maju, 1989
Undang-Undang Peradilan Agama no. 7 tahun 1989, BP. Dharma Bhakti
Williams Robin, Jr American Society, A Fred A knof, New York, 1960
Yahya, Abi Zakaria binti Syarief, Minhaj ath tholibin, Surabaya, Percetakan Ahmad
bin Said
PEDOMAN WAWANCARA
PENGARUH STRATIFIKASI SOSIAL DI BIDANG EKONOMI TERHADAP
CERAI GUGAT
DI PENGADILAN AGAMA CIBADAK-SUKABUMI
I. IDENTITAS RESPONDEN
Nama : Drs Candra Triswangga
Jabatan : Hakim Anggota
II. DAFTAR PERTANYAAN DAN JAWABAN
P : Faktor apa saja yang menyebabkan seorang isrti mengajukan khulu’ ke
pengadilan agama cibadak-sukabumi. ?
J : Yang menebabkan seorang istri mengajukan khulu’ ke pengadilan agama
Cibadak-sukabumi adalah sebagai berikut
1. karena suami talah mengabaikan kewajiban (paktor ekonomi)
2. karena suami menikah lagi tanpa seizing istri atau selingkuh
3. karena seiring terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami
dengan istri
P : Alasan apa saja yang diterima pengadilan agama Cibadak –Sukabumi seorang
istri yang mengajukan khulu’ ?
J : Alasan yang dapat di terima pengadilan agama cibadak- sukabumi seorang istri
yang mengajukun khulu’ adalah alas an yang dibenarkan oleh peraturan
sebagaimana pasal 19 hurup a/ f pp No.9 tahun 1975dengan pasal HS 116 hurup
a/ h kompilasi hokum islam.
P : Apakah pengadilan agama Cibadak- Sukabumi menerima gugatan pengugat
yang tempay tinggal di luar wilayah cibadak-sukabumi. ?
J : Pengadilan agama cibadak –sukabumi menerima perkara berdasarkan putusan
yang ditetapkan undang- undang ( pasal 49 uu. No 7 tahun 1989) mengenai
kepengadilan Agama Cibadak-Sukabumi maka gugatan perdceraian diajukan
acuannya pada pasal 66 UU. No. 7 tahun 1989 dan pasal 73 UU. No. 7 tahun
1989.
P : Dalam mempertimbangkan alasan khulu’ Hakim wajib membuktikan fakta.
Bagaimana Hakim membuktikan khulu’ benar adanya?
J : Untuk membuktikan dalil-dalil di[persidangan semuanya dilakukan dengan alat
bukti yaitu berupa surat-surat, saksi-saksi dan pengakuan dengan sumpah
P : Berapa lamakah waktu yang paling lambat dan paling cepat dalam persidangan
perkara khulu’ sampai tahap putusan Hakim.
J : Cepat atau lambatnya persidangan perkara khulu’ sampai tahap putusan hakim
itu tidak dapat diprediksikan sebelumnya, karena semua tergantung pada kedua
belah pihak dalam hal ini suami-istri.
P : Berapakah biaya perkara persidangan yang harus dibayar oleh penggugat?
J : Biaya perkara persidangan yang harus dibayar oleh penggugat adalah sama
dengan cepat atau lambatnya persudangan, semakin cepat perkaranya dapat
terselesaikan maka semakin ringan ( sedikit ) biaya perkara yang harus dibayar,
dan sebaliknya semakin lambat perkaranya dapat terselesaikan , maka semakin
berat ( banyak ) biaya perkara yang harus dikeluarkan.
P : Jika Hakim telah mengabulkan khulu’ seorang istri, apakah dikenakan ‘Iwadh ?
dan ditentukan berapakah ‘Iwadh tersebut?
J : Ya, setelah Hakim mengabulkan khulu’ maka dikenankanlah ‘Iwadh bagi
seorang istri dan ‘iwadh-nya disesuaikan dengan shigat ta’lik talak yang telah
diucapkan oleh suami pada waktu akad nikah.
P : Bagaimakah prosedur pengajuan khulu’ di Pengadilan Agama Cibadak-
Sukabumi ?
J : Prosedur pengajuan perkara khulu’ di Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi
adalah dengan terlebih dahulu mendaftarkan gugatan kemudian membayar biaya
perkara dan selajutnya dip roses di Pengadilan Agama Cibadak-Sukabumi