254
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0 1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Page 2: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

2 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL

KELAUTAN DAN PERIKANAN KE -VII

Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana

Kupang, 18-21 November 2020

UNDANA Press

Page 3: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

3 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE -VII

Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana

Panitia Pelaksana:

Dr. Chaterina A. Paulus, S.Pi.,M.Si (Ketua)

Lumban N. L. Toruan, S.Pi.,M.Si (Wakil Ketua)

Aludin Al Ayubi, S.Pi.,M.Si (Sekretaris)

Editor

Dr. Ir. Marcelien Dj. Ratoe Oedjoe, M.Si

Dr. Ir. Agnette Tjendanawangi, M.Si

Dr. Ir. Sunadji, M.Si Dr. Lady Cindy Soewarlan, S.Pi.,M.Pi

Dr. Ir. Yahyah, M.Si

Dr. Yuliana Salosso, S.Pi.,MP

Dr. Alexander L. Kangkan, S.Pi.,M.Si Dr. Ade Y. H. Lukas, S.Pi.,M.Si

Desain Sampul :

Dr. Chaterina A. Paulus, S.Pi.,M.Si Aludin Al Ayubi, S.Pi.,M.Si

Penerbit : Undana Press

Alamat Penerbit:

Jl. Adisucipto Penfui Kupang

Tlp/Fax: (0380) 881183

Website: https://undana.ac.id

E-mail: [email protected]

Cetakan Pertama : November 2020

ISBN : 978-602-6906-87-8

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis

dari penerbit.

Page 4: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

i PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

PENGANTAR

Kemajuan inovasi dalam sains dan teknologi sangat luar biasa pada saat ini, seperti

peningkatan yang dramatis dalam daya komputasi. Tentunya, kemajuan ini berkontribusi

pada peningkatan bisnis dan kesejahteraan masyarakat. Bersamaan dengan kondisi ini,

dunia juga menghadapi tantangan berskala global seperti menipisnya sumber daya alam,

pemanasan global, tumbuhnya kesenjangan ekonomi, dan pandemi Covid 19. Masyarakat

Indonesia hidup di jaman yang penuh ketidakpastian yang penuh dengan kompleksitas di

semua tingkatan. Namun, peluang besar untuk memanfaatkan TIK semaksimal mungkin

guna mendapatkan pengetahuan baru dan menciptakan nilai-nilai baru untuk membuat

hubungan antara “manusia dan benda” dan antara “dunia nyata dan dunia maya” secara

efektif dan efisien demi menyelesaikan masalah di masyarakat, menciptakan hidup lebih

baik untuk rakyat, dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang sehat perlu kita

optimalkan. Dalam mengatasi tantangan ini dengan mendorong berbagai pemangku

kepentingan di berbagai tingkatan untuk berbagi visi masa depan yang sama akan sangat

penting untuk mewujudkan masyarakat seperti itu melalui digitalisasi.

Inisiatif yang disebut “Masyarakat 5.0” atau “Society 5.0” yang diusulkan oleh

Kabinet Jepang pada Tahun 2016 dalam Rencana Dasar Sains dan Teknologi ke-5, dengan

visi untuk menciptakan “Masyarakat Super Cerdas” (MSC). MSC mewakili masyarakat

berkelanjutan yang terhubung oleh teknologi digital yang hadir secara rinci dengan

berbagai kebutuhan masyarakat itu (www8.cao.go.jp). MSC menyediakan barang atau

layanan yang diperlukan untuk orang-orang yang membutuhkannya pada saat dibutuhkan

dan dalam jumlah yang diperlukan, sehingga memungkinkan warganya untuk hidup aktif

dan nyaman melalui layanan berkualitas tinggi tanpa memandang usia, jenis kelamin,

wilayah, bahasa, dan sebagainya. Namun perlu dicatat bahwa digitalisasi hanyalah sarana,

dan bahwa kita manusia sebagai aktor utama tetap penting sehingga fokus yang kuat

dipertahankan pada pembangunan masyarakat yang membuat kita bahagia dan memberi

kita rasa nilai.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ Sustainable Development Goals (SDGs) PBB

diadopsi pada bulan September 2015 sebagai pedoman untuk seluruh dunia. Prinsip

penggeraknya adalah mewujudkan perdamaian dan kemakmuran bagi semua orang dan

planet ini dengan menanggapi tantangan dengan inklusivitas yang “tidak meninggalkan

siapa pun”. Pemerintah Jepang telah membuat Prinsip-Prinsip Panduan Penerapan SDG

dalam bidang sains, teknologi, dan inovasi (STI) dan memberikan rekomendasi yang

meliputi: (1) menciptakan masa depan global melalui Masyarakat 5.0, (2) memungkinkan

Page 5: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

solusi menggunakan data global, (3) mempromosikan kerja sama di tingkat global, dan (4)

membina sumber daya manusia untuk melakukan upaya STI untuk SDGs. Selain itu, dalam

Masyarakat 5.0, nilai baru dapat dihasilkan dengan cara-cara berikut: melalui analisis AI-

big data yang terdiri dari beragam informasi, seperti data meteorologi, data pertumbuhan

tanaman, kondisi pasar, serta tren dan kebutuhan pangan.

Tukul Rameyo Adi, Staf Ahli Menteri Marves Bidang Sosio-Antropologi menyebut,

pengertian masyarakat 5.0 (Society 5.0) adalah konsep di mana kita akrab dan mampu

memanfaatkan semua kebaikan dan keuntungan revolusi industri 4.0, yaitu teknologi

digital dikaitkan dengan kekayaan budaya bahari yang telah ada di nusantara. Hal itu

dilakukan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik masa kini dan di masa depan tanpa

harus mereduksi harkat-martabat manusia dan kehilangan jati diri manusia sebagai insan

budaya.

“Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia mampu mewujudkan masyarakat

maritim 5.0, pembangunan yang memadukan kearifan budaya bahari dengan kemajuan

teknologi revolusi industri 4.0”. Untuk itu, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas

Nusa Cendana mengambil tema Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan ke-VII

“Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan Menuju

Masyarakat 5.0” untuk menyiapkan masyarakat dalam mengelola sumberdaya pesisir dan

pulau-pulau kecil melalui upaya digitalisasi dalam bidang sains, teknologi, dan inovasi (STI)

untuk penerapan Sustainable Development Goals (SDGs).

Kupang, 28 November 2020

Ketua Panitia

Dr. Chaterina A. Paulus, S.Pi.,M.Si

NIP. 19840819 201012 2 003

Page 6: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

iii PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL hal PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

BIDANG ILMU MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Transplantasi Karang Genera Porites dan Montipora di Pulau Tunda, Banten Desna Bagus Suhendar, Ofri Johan, Idris,, Safran Yusri dan Hawis H Madduppa

1-11

Kesesuaian Ekowisata Mangrove Berdasarkan Aspek Biogeofisik Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Jeflio Kabupaten Sorong)

Ilham Marasabessy, Niny Jeni Maepauw dan M. Iksan Badarudin

12-21

Pengamatan Struktur Komunitas Karang Keras Hidup Sebelum dan Sesudah Tsunami Tahun 2018 di Pulau Sangiang Muhammad Aditya Prawira, Ofri Johan, Idris dan Hawis H. Madduppa

22-33

Pendugaan Parameter Populasi Hiu Lanjaman Carcharhinus brevipinna Yang

Didaratkan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat Sulfiana, Faisal Amir dan Achmar Mallawa

34-41

Pertumbuhan Lamun Jenis Cymodocea rotundata Hasil Transplantasi di

Perairan Desa Pejarakan, Buleleng, Bali Citra Satrya Utama Dewi, Kunthi Teteki Elparisi, Abdul Hari dan Yanida Azhari Julianinda

42-46

BIDANG ILMU BUDIDAYA PERAIRAN

Pengaruh Suhu Evaporasi Yang Berbeda Terhadap Aktivitas Antioksidan

Ekstrak Spirulina platensis Intan Dwi Sari, Putut Har Riyadi dan Romadhon

47-60

Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dengan Budidaya Rumput Laut “Sakol” di

Desa Tablolong Kecamatan Kupang Barat Ni Putu Dian Kusuma

61-74

Pertumbuhan dan Sintasan Anemon Laut pada Substrat Bentik Buatan Untuk

Efektivitas Marikultur Muhammad Ahsin Rifa’i, Maya Sari Dewi dan Hadiratul Kudsiah

75-80

Budidaya Secara Terkontrol Udang Pellet (Lysmata amboinensis) dan Udang Api (Lysmata debelius) Rendy Ginanjar dan Ofri Johan

81-87

Kadar Lemak dan Kinerja Pertumbuhan Ikan Patin Pangasius hypophthalmus

yang Diberi Pakan dengan Rasio Karbohidrat dan Lemak Berbeda Ridwan Tobuku

88-96

Page 7: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

iv PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Efisiensi Penggunaan Pakan dalam Kolam Bioflok pada Budidaya Ikan

Bandeng (Chanos chanos) Defrinus Walu Wanja, Felix Rebhung dan Sunadji3

Ruaya Reproduksi Ikan Nipi (Hemiramphus sp) di Perairan Teluk Kupang Yulianus Linggi1, Macelien Ratoe Oedjoe2 dan Agnette Tjendanawangi3

Pengaruh Pemberian Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan Nannochloropsis

oculata Skala Intermediate Petrus Paulus Letsoin, Jane Lulinda Dangeubun dan Diana Y. Syahailatua

BIDANG ILMU PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN,

TEKNOLOGI PENANGKAPAN DAN KONSERVASI PERAIRAN

97-102

103-109

110-113

Pengaruh Lama Trip Layar Yang Berbeda Terhadap Mutu Ikan Tuna (Thunnus

sp.) Di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhan Ratu Sukabumi –

Jawa Barat Muhammad R. Suryanto, Riza B. Pratama, Pola ST Panjaitan, Yuliati H. Sipahutar

Analisis Hasil Tangkapan Berdasarkan Daerah Penangkapan Ikan Hiu yang

Didaratkan Di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat Wahida, Faisal Amir dan Ilham Jaya

Pengaruh Fase Bulan Terhadap Hasil Tangkapan Jaring Insang Hanyut (Drifting Gill Nets ) Di Perairan Desa Bungabali, Kabupaten Alor, Provinsi

Nusa Tenggara Timur Efrin A. Dollu, Yulianto Tell dan Sepriyanti Peringkala

114-124

125-134

135-141

Peranan Umpan Hidup Jenis Tembang (Sardinella fimbriata) dan Layang

(Decapterus ruselli) pada Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

dengan Pole dnd Line di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur Sugiono

Pengembangan Kurikulum Program Pelatihan Pemantauan Ekosistem Terumbu Karang untuk Mendukung Konservasi Fina Rahmawati, Erry Utomo, Santi Maudiarti, Idris dan Fakhrurrozi

Pengelolaan Sumberdaya Alam Taman Nasional Karimunjawa Melalui

Kemitraan Konservasi Rohmani Sulisyati, Yusuf Syaifudin dan Erni Roestiana

142-152

153-164

165-169

BIDANG ILMU SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DAN TEKNOLOGI

PENGOLAHAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Penghidupan dan Kerentanan Masyarakat Tambaklorok dalam Menghadapi

Program Kampung Bahari Dimas Hastama Nugraha, Rezeki Peranginangin dan Iim Abdul Karim

170-180

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Beli Konsumen dalam Membeli Ikan Lele di Kota Kupang Chairul Pua Tingga dan Zainal Arifin Pua Geno

181-186

Page 8: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

v PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Melalui

Pembangunan Café Laut Semare, Desa Semare, Kecamatan Kraton,

Kabupaten Pasuruan Moh. Awaludin Adam

187-196

Model Diversifikasi Usaha pada Skala Kelompok Usaha Masyarakat Perbatasan di Kecamatan Kalkuluk Mesak, Kabupaten Belu, NTT Chaterina A. Paulus, Marthen R. Pellokila dan Yohanis U. L. Sobang

197-203

Penerapan GMP dan SSOP pada Pengolahan Udang Putih (Litopenaeus

vannamei) Peeled Deveined Tail On (PDTO) Masak Beku di Unit Pengolahan

Ikan Banyuwangi Muhammad R. Suryanto dan Yuliati H. Sipahutar

204-221

Substitusi Tepung Ikan Teri Hitam (Stolephorus insularis) Terhadap

Kandungan Gizi dan Karakteristik Kerupuk Pangsit Aysha Dini Anjani, Apri Dwi Anggo, Fronthea Swastawati

Konsentrasi Garam yang Berbeda Terhadap Karakteristik Peda Ikan Mujair Umbu P. L. Dawa, Ovie Ningsih, Yosofina S. Famai, Mada M. Lakapu, Dewi S. Gadi,

Donny M. Bessie dan Yunialdi H. Teffu

222-232

233-241

Page 9: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

vi PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

BIDANG ILMU

MANAJEMEN SUMBERDAYA

PERAIRAN

Page 10: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Laju Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Transplantasi Karang Genera Porites dan Montipora di Pulau Tunda, Banten Desna Bagus Suhendar1, Ofri Johan2, Idris3, Safran Yusri4 dan Hawis H. Madduppa5

1,5) Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, Jl. Raya Dramaga

Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680, Indonesia (Email: [email protected] ; [email protected])

2)Balai Riset Budidaya Ikan Hias KKP, Jl. Perikanan No. 13 Pancoran Mas Kota Depok,

16436, Indonesia (Email: [email protected]) 3,4) Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI), Jl. Asyibaniah No. 105 – 106, Depok,

Jawa Barat, Indonesia (Email: [email protected] ;[email protected])

Abstrak - Kegiatan manusia dan perubahan iklim telah menyebabkan degradasi ekosistem terumbu karang. Salah satu langkah dalam konservasi adalah peningkatan kualitas lingkungan melalui rehabilitasi

dengan transplantasi karang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan karang serta tingkat kelangsungan hidup dari karang genus Porites dan Montipora dengan metode transplantasi di Pulau

Tunda, Banten. Pengamatan dilakukan pada bulan September 2019 hingga Februari 2020 serta dilakukan

tiga kali pengamatan setiap dua bulan Pengolahan data menggunakan piranti lunak CPCe untuk mendapatkan data panjang karang berdasarkan foto yang diambil saat pemantauan. Analisis yang

dilakukan pada penelitian ini berupa laju pertumbuhan karang dan tingkat kelangsungan hidup. Rata-rata laju pertumbuhan karang untuk genus Porites sebesar 0,646 (± 0,097) cm/bulan, sedangkan pada karang

genus Montipora sebesar 0,507 (± 0,095) cm/bulan. Tingkat kelangsungan hidup karang genus Porites

sebesar 52,27% dan Montipora sebesar 56,25%. Pada penelitian ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan karang dan tingkat kelangsungan hidup karang, antara lain kondisi perairan,

bentuk hidup karang, serta faktor lain yang dapat membatasi pertumbuhan karang seperti makroalga dan

sedimentasi. Kata Kunci: Transplantasi karang, Porites, Montipora, Pulau Tunda.

Abstract - Anthropogenic activities and climate change have deteriorated coral reefs around the world.

One of the efforts in coral conservation is the improvement of environmental quality through ecosystem rehabilitation. This study aims to determine the growth rate and survival rate of Porites and Montipora

corals propagated in artificial reef modules, in Tunda Island, Banten Indonesia. The study was conducted

from September 2019 until Februari 2020 and three observations were made every two months on Tunda Island, Banten. Photographs of coral fragments were analyzed with CPCe in order to determine the length

of each observed coral. The growth rate of Porites corals was 0,593 (± 0,434) cm/month whereas

Montipora was 0,507 (± 0,401) cm/month. The survival rate of Porites corals was 52,27% and 56,25% for Montipora corals. Based on the Principle Component Analysis (PCA), water quality at the study site

influenced the growth of both coral genera. Other factors affecting coral growth and survival rates includes environmental condition, fragment life forms, and coral limiting factors such as macroalgal growth and

sedimentation.

Keywords: coral propagation, Porites, Montipora, Tunda Island.

Pendahuluan. Terumbu karang di perairan pantai tropis merupakan ekosistem yang

dapat dengan mudah dijumpai, dimana terumbu karang itu adalah suatu ekosistem kompleks yang dibangun oleh hewan karang beserta biota-biota lainnya yang hidup di

dasar air dan kolom air. Bentuk pertumbuhan karang dapat dibedakan secara umum

menjadi massive, branching, foliose, tabulate, encrusting, dan submassive (Suharsono,

2008). Karang dengan bentuk pertumbuhan branching secara alami akan mengalami kematian pada pangkal hingga patah, kemudian patahan tersebut akan menjadi koloni

baru. Cara adaptasi karang dapat dilihat dari bentuk pertumbuhan karang itu sendiri.

Contohnya pada jenis karang dengan bentuk pertumbuhan branching, biasanya hidup di

perairan dangkal. Kondisi tersebut karena pada jenis karang dengan bentuk pertumbuhan branching berupaya mengurangi intensitas cahaya matahari yang berlebihan serta

memperkecil energi arus yang menerpa karang (Suharsono, 2008).

Page 11: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

2 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Kegiatan manusia yang memanfaatkan terumbu karang semakin meningkat, sehingga

menimbulkan dampak dan pengaruh besar atas rusaknya terumbu karang (Johan dkk.,

2008). Upaya pelestarian terumbu karang di Indonesia mutlak perlu dilakukan, hal ini

sesuai dengan adanya pengesahan dari International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang menyatakan bahwa terumbu karang merupakan ekosistem

tropik yang dilindungi (Taufina dkk., 2018).

Terumbu karang yang sehat dapat diindikasikan dengan melimpahnya ikan karang,

serta tangkapan perikanan yang besar disekitar ekosistem terumbu karang tersebut (Madduppa dkk., 2016). Kondisi terumbu karang di Indonesia cukup memprihatinkan. Pada

tahun 2030-an diprediksi bahwa terumbu karang akan mengalami banyak kerusakan yang

disebabkan oleh beberapa faktor seperti antropogenik, kenaikan suhu, acidification, serta

perubahan dan susunan kimia air laut (Burke dkk., 2012. Salah satu upaya pelestarian terumbu karang yaitu rehabilitasi. Untuk melakukan

rehabilitasi, perlu disesuaikan dengan kepentingan serta kondisi lingkungan (Madduppa

dkk., 2016). Salah satunya caranya adalah transplantasi karang dan pemantauan.

Transplantasi karang adalah teknik penanaman karang baru dengan cara fragmentasi

benih yang didapatkan dari induk karang (Soedharma dan Arafat, 2007). Transplantasi karang berfungsi merehabilitasi kondisi karang, sebagai taman laut yang dapat dijadikan

objek wisata dan konservasi, menciptakan komunitas baru, serta yang paling berguna

untuk menambahkan karang dewasa ke dalam suatu populasi, sehingga dapat

meningkatkan produktivitas serta kompleksitas terumbu karang (Soedharma dan Arafat, 2007; Iswara, 2010). Kegiatan transplantasi karang sangat cocok berada di lokasi yang

terkena arus dan gelombang sehingga karang transplantasi akan selalu mendapatkan

oksigen dan bahan makanan berupa plankton serta dapat membantu dalam melawan

sedimen yang terjadi pada karang (Mompala dkk., 2017). Kegiatan pemantauan sangat diperlukan untuk memperkecil angka kematian karang dengan cara membersihkan

fragmen karang dari gangguan, seperti makroalga dan bulu babi serta untuk proses

pengambilan data (Arifin dan Luthfi 2016; Nurman dkk., 2017).

Pertumbuhan karang merupakan pertambahan panjang, bobot, volume atau luas permukaan karang berdasarkan waktu. Secara umum, laju pertumbuhan karang terjadi

berdasarkan laju kalsifikasi hewan karang dalam mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3)

(Lalang dkk., 2014). Di Indonesia, laju pertumbuhan karang dapat mencapai 3,6 – 12,9

cm/tahun (Mompala dkk., 2017) dan 0 – 1,9 cm/bulan (Yudasakti, 2010). Karang

transplantasi layaknya karang alami yang memiliki beberapa faktor yang mengancam kehidupan karang. Keberhasilan proses transplantasi dapat dilihat berdasarkan

kelangsungan hidup karang dari awal hingga akhir penelitian. Metode transplantasi karang

memiliki efektivitas tingkat kelangsungan hidup sebesar 50% hingga 100% (Dhahiyat dkk.,

2003). Kegiatan transplantasi dikatakan berhasil jika tingkat kelangsungan hidup mencapai di atas 50% (Harriot dan Fisk, 1988). Pada penelitian ini jenis karang yang

ditransplantasikan yaitu karang genera Porites dan Montipora. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup dari karang genera

Porites dan Montipora yang ditransplantasikan pada modul berbentuk kubah di Pulau Tunda, Banten.

Metode Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan September 2019 hingga

Februari 2020. Pada bulan September 2019 dilakukan penempatan modul transplantasi.

Pada bulan Oktober 2019 dilakukan pengamatan sekaligus pengambilan data pertama dan

dilanjutkan pengamatan setiap dua bulan hingga berakhir pada bulan Februari 2020. Lokasi

Page 12: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

3 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

pengambilan data dilakukan di Pulau Tunda, Banten. Lokasi penelitian dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi transplantasi di sisi utara Pulau Tunda, Banten

Alat. Alat yang digunakan selama penelitian dapat dilihat di Tabel 1.

Tabel 1. Alat penelitian

No Alat dan Bahan Fungsi

1 Scuba set Peralatan penyelaman 2 Modul transplantasi Penempatan fragmen karang

3 Zip ties Mengikat fragmen pada modul

4 Kamera Pengambilan foto sampel dan dokumentasi

5 Penggaris Acuan skala 6 GPS Penentuan koordinat lokasi pengamatan

7 Piranti lunakCPCe Pengolahan data

8 Refraktometer Menentukan salinitas perairan

9 Secchi disk Menentukan kecerahan perairan

Prosedur Penelitian. Kegiatan transplantasi membutuhkan substrat buatan yang berfungsi untuk menempelkan fragmen karang untuk tumbuh. Dalam kegiatan

transplantasi terdapat beberapa metode yang beragam seperti menggunakan rak jaring

(Subhan dkk., 2008), jaring dan rubble (Fadli, 2008) serta beton (Johan, 2012). Pada

penelitian ini menggunakan 5 buah modul transplantasi yang dibuat berbentuk kubah

dengan diameter permukaan 70 cm dan tinggi 60 cm. Modul transplantasi berbahan besi berdiameter 10 mm dengan campuran semen putih. . Bentuk kubah dapat memberi relung

ekologi bagi organisme lainnya. Keunggulan modul transplantasi ini yaitu murah dan

mudah untuk dipasang. Semen putih pada modul transplantasi berfungsi untuk

menghambat terjadi proses korosi. Semen putih bertahan selama 4 – 6 bulan, namun saat pemantauan semen putih rentan terlepas. Korosi pada modul transplantasi akan

menghambat terjadinya proses penempelan kerangka kapur, sehingga pertumbuhan

karang akan melambat. Jika terjadi korosi pada besi tersebut akan menghambat proses

penempelan fragmen karang atau mengurangi kemungkinan terdapat rekrutmen karang. Contoh modul transplantasi yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar

2 berikut.

Page 13: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

4 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

(a) (b)

Gambar 2. Modul transplantasi (a) sebelum; (b) sesudah ditenggelamkan

Sebelum dilakukan transplantasi karang, dilakukan terlebih dahulu peletakkan modul transplantasi pada kedalaman 3 – 5 meter. Kemudian, proses pengambilan fragmen karang

dilakukan tidak jauh dari lokasi transplantasi. Fragmen karang berasal dari patahan karang

yang masih hidup yang berada di substrat. Total fragmen karang yang digunakan sebanyak

44 sampel karang genera Porites, dan 32 sampel karang genera Montipora. Penanaman fragmen karang dilakukan dengan cara mengikatkan fragmen menggunakan zip ties pada

modul transplantasi, sehingga modul transplantasi sekaligus dijadikan substrat buatan.

Pengukuran fragmen karang dilakukan saat pemantauan setiap dua bulan selama

enam bulan pengamatan. Pengukuran fragmen karang dilakukan dengan mengukur dimensi panjang pada karang. Pengukuran fragmen karang dilakukan dengan mengambil

foto fragmen karang dengan bantuan penggaris sebagai acuan skala. Teknik pengumpulan

data saat pemantauan yaitu mengukur panjang fragmen karang pada modul transplantasi

dengan mengambil foto serta urutan yang sama setiap pemantauan. Kemudian, diolah

menggunakan piranti lunakCPCe untuk mendapatkan satuan panjang karang. Untuk mengukur kelangsungan hidup dan menentukan keberhasilan transplantasi, karang yang

mati akan dicatat dan dianalisis menggunakan rumus survival rate. Untuk contoh gambar

pengukuran dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Pengukuran fragmen karang menggunakan penggaris

Analisis Data. Laju pertumbuhan karang merupakan selisih panjang karang dari awal

hingga akhir penelitian yang dibagi berdasarkan waktu selama penelitian. Untuk menghitung laju pertumbuhan karang per bulan dapat ditentukan dengan menggunakan

rumus sebagai berikut (Nugroho, 2008) :

Page 14: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

5 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

𝛂 =𝐋𝐢+𝟏 − 𝐋𝐢

𝐭𝐢+𝟏 − 𝐭𝐢

Keterangan :

Α : Laju pertumbuhan panjang karang

Li+1 : Rata-rata panjang karang pada waktu ke i+1

Li : Rata-rata panjang karang pada waktu ke i ti+1 : Waktu ke i+1

ti : Waktu ke i

Tingkat kelangsungan hidup karang adalah kemampuan fragmen karang yang ditanam bertahan hidup selama penelitian berlangsung. Untuk menghitung tingkat kelangsungan

hidup pada karang yang di transplantasi dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut

(Sadarun, 1999) :

𝐒𝐑 =𝐍𝐭

𝐍𝟎𝐱𝟏𝟎𝟎%

Keterangan :

SR : Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)

Nt : Jumlah individu pada pengamatan terakhir

N0 : Jumlah individu pada pengamatan pertama

Hasil dan Pembahasan

Laju Pertumbuhan Karang. Performa pertumbuhan karang Porites dan Montipora yang

ditransplantasikan pada modul bentuk kubah di Pulau Tunda dapat dilihat dari dua

parameter yaitu laju pertumbuhan karang dan tingkat kelangsungan hidup.

Gambar 4. Grafik Laju Pertumbuhan Karang Genera Porites dan Montipora

Page 15: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

6 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 5. Data Panjang Karang Setiap Pengamatan

Nilai laju pertumbuhan karang untuk genera Porites sebesar 0,646 (± 0,097)

cm/bulan. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, rata-rata panjang karang selama

penelitian terus meningkat. Kenaikan rata-rata panjang karang jenis Porites paling besar

pada bulan Desember, sehingga laju pertumbuhan karang antara bulan Oktober - Desember (0,813 cm/bulan) lebih cepat dibandingkan bulan Desember – Februari (0,479

cm/bulan). Rata-rata pertambahan panjang karang genera Porites sebesar 2,583 cm

selama penelitian berlangsung.

Rata-rata panjang karang genera Montipora cenderung meningkat dan stabil selama penelitian dilakukan dibandingkan dengan karang genus Porites. Laju pertumbuhan karang

genus Montipora sebesar 0,507 (± 0,095) cm/bulan. Laju pertumbuhan karang antara

bulan Oktober – Desember (0,523 cm/bulan) lebih cepat dibandingkan antara bulan

Desember – Februari (0,492 cm/bulan). Rata-rata pertambahan panjang karang genus Montipora sebesar 2,028 cm selama penelitian berlangsung. Data panjang karang genera

Porites dan Montipora selama dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

Hasil uji ANOVA masing-masing terhadap laju pertumbuhan karang genera Porites dan

Montipora pada taraf kepercayaan (95%) didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan

nyata dari pertumbuhan panjang karang genera Porites (0,0002) dan Montipora (0,021) antar selang waktu pengamatan yang berbeda. Hasil uji ANOVA terhadap rata-rata

pertumbuhan karang kedua genera pada taraf kepercayaan (95%) didapatkan hasil bahwa

terdapat perbedaan nyata antara rata-rata pertumbuhan karang kedua genera.

Pada kegiatan transplantasi, karang akan tumbuh setelah melalui proses penyembuhan akibat pemotongan selama 1 – 2 minggu (Johan dkk., 2008). Laju

pertumbuhan karang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan pengurangan stressor,

sehingga pertumbuhan karang yang sejenis dengan lokasi yang berbeda akan terdapat

perbedaan (Luthfi dkk., 2018). Laju pertumbuhan karang memiliki perbedaan berdasarkan umur karang, kondisi lingkungan, suhu, sedimentasi, cahaya, dan kedalaman (Mompala

dkk., 2017). Karang dengan ukuran koloni yang lebih kecil memiliki kemampuan lebih

cepat untuk tumbuh, namun memiliki kelangsungan hidup yang lebih kecil dibandingkan

dengan karang koloni besar ( Nurman dkk., 2017 ; Mompala dkk., 2017).

Hasil penelitian yang dilakukan selama enam bulan terhadap genera Porites dan Montipora, laju pertumbuhan karang genus Porites lebih cepat dibandingkan dengan genus

Montipora. Hal tersebut dikarenakan pada karang genus Porites memiliki bentuk

pertumbuhan bercabang yang cenderung lebih gemuk dan tebal (Yulianda dkk., 2009),

sehingga karang ini dapat lebih memanfaatkan cahaya matahari untuk keperluan

Page 16: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

7 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

fotosintesis oleh zooxanthellae, sehingga energi yang dihasilkan akan lebih optimal untuk

pertumbuhan. Karang genera Porites memiliki morfologi jaringan yang terletak jauh dari

permukaan karang, hal tersebut diduga pada karang tersebut memiliki perlindungan lebih

dari beberapa hambatan untuk pertumbuhan karang itu sendiri, salah satunya radiasi matahari (Mumby dkk., 2001). Laju pertumbuhan kedua genera pada bulan Oktober –

Desember lebih cepat dibandingkan pada bulan Desember – Februari. Hal tersebut diduga

karena terdapat beberapa faktor seperti laju sedimentasi yang lebih rendah.

Tingkat Kelangsungan Hidup. Tingkat kelangsungan hidup dapat dilihat pada Gambar

6 dan Gambar 7.

Gambar 6. Grafik jumlah kematian karang genera Porites dan Montipora selama

pengamatan

Gambar 7. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Karang Genera Porites dan Montipora

Selama Pengamatan Antara Bulan Oktober 2019 – Februari 2020

Tingkat kelangsungan hidup karang Porites dan Montipora menunjukkan kondisi yang

mengkhawatirkan karena mengalami kematian terus-menerus setiap dua bulan

pengamatan. Kematian Porites pada bulan Desember 2019 terjadi pada 9 fragmen dan

meningkat pada bulan Februari sebanyak 12 fragmen. Kematian karang genera Montipora

0

2

4

6

8

10

12

14

t1 t2

Jum

lah

Porites Montipora

48%

50%

52%

54%

56%

58%

60%

Tingkat Kelangsungan Hidup

Pers

enta

se (

%)

Porites Montipora

Page 17: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

8 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

yang terjadi pada bulan Desember sebanyak 5 fragmen dan bulan Februari sebanyak 8

fragmen. Dengan demikian tingkat kelangsungan hidup karang transplantasi Porites

sebesar 52,27% dan Montipora sebesar 56,25%. Di antara kedua karang, jenis Porites

memiliki tingkat kelangsungan hidup lebih kecil dibandingkan karang genera Montipora.

Tingkat kelangsungan hidup karang merupakan indikasi keberhasilan dari suatu

kegiatan transplantasi. Terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan kelangsungan

hidup karang antara lain perbedaan suhu, intensitas cahaya, pemutihan, kompetisi

perebutan wilayah serta jarak pengambilan fragmen karang. Kualitas air pada lokasi

pengamatan sangat berpengaruh terhadap kemampuan karang untuk tumbuh. Parameter

suhu, salinitas, dan kecerahan. Hewan karang yang mendapat gangguan dari lingkungan

untuk melakukan pertumbuhan, biasanya akan melakukan adaptasi dengan cara

mengeluarkan mukus atau lendir (Nurman dkk., 2017). Pengeluaran lendir berfungsi untuk

melindungi diri dari kondisi luar yang tidak stabil dan akan kembali normal setelah

pengaruh tersebut sudah hilang (Johan dkk., 2008). Jumlah zooxanthellae dan jumlah polip

dapat memengaruhi ketahanan karang untuk menerima pengaruh dari luar. Salah satu

penyebab karang mati yaitu karang yang ditransplantasikan berukuran kecil sehingga

jumlah zooxanthellae yang ada pada karang tersebut sedikit, kemudian laju fotosintesis

karang tersebut kurang optimal (Nurman dkk., 2017). Gangguan tidak akan berpengaruh

terhadap karang apabila terjadi perubahan lingkungan yang membaik serta pengurangan

aspek-aspek yang membuat karang tersebut stress (Luthfi dkk., 2018). Dari penelitian ini

didapatkan hasil bahwa tingkat kelangsungan hidup karang genera Porites sebesar

52,27% dan Montipora sebesar 56,25%.

Berdasarkan penelitian ini, tingkat kelangsungan hidup karang genera Porites lebih

kecil dibandingkan dengan karang genera Montipora. Terjadinya kematian karang dapat

disebabkan oleh beberapa faktor sepereti sedimentasi, kompetisi, predasi serta

kemampuan toleransi karang yang rendah terhadap lingkungan. Alasan kematian karang

pada lokasi penelitian diduga akibat makroalga. Kemunculan makroalga dalam ekosistem

terumbu karang dapat disebabkan karena terjadi peningkatan nutrisi akibat dari polusi

limbah dan air limbah (Fahlevy dkk., 2019). Makroalga yang memiliki biomassa lebih besar

dibandingkan karang, menyebabkan makroalga cenderung lebih unggul jika terjadi

kompetisi dengan karang (Rachmawaty, 2001 ; Pallalo, 2013). Pertumbuhan makroalga

yang cepat dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari pada karang, sehingga alga

zooxanthellae tidak dapat berfotosintesis secara optimal dan akhirnya menjadi dead coral

with algae (DCA) (Yulianda dkk., 2009 ; Burkepile and Hay, 2010 ; D’Angelo and

Wiedenmann, 2014). Tingkat keberhasilan pada kedua genera tersebut termasuk berhasil,

karena memiliki tingkat kelangsungan hidup di atas 50%. Sesuai dengan pernyataan

Harriot and Fisk [8] jika tingkat kelangsungan hidup dari transplantasi karang memiliki nilai

50 – 100%, maka transplantasi tersebut berhasil dan bisa dikatakan menyerupai fungsi

ekosistem alami pada umumnya. Gambar kompetisi antara makaroalga dan karang dapat

dilihat pada Gambar 8. Secara umum, Porites cenderung tahan terhadap beragam

gangguan seperti sedimentasi dan kompetisi sehingga masih mampu bertahan hidup (Yusri

dkk., 2019).

Page 18: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

9 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 8. Kompetisi Perebutan Wilayah Antara Makroalga dan Karang

Kesimpulan. Laju pertumbuhan karang genera Porites lebih cepat dibandingkan genera

Montipora, karena genera Porites memiliki jaringan yang terletak jauh dari permukaan

karang dan memiliki bentuk percabangan yang cenderung lebih gemuk dan tebal. Tingkat

kelangsungan hidup karang genera Montipora lebih besar dibandingkan karang genera

Porites, yang diduga karena pada lokasi transplantasi terjadi kompetisi ruang dengan alga.

Ucapan Terima Kasih. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Insight

Investment, Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun (YIIM) dan Yayasan TERANGI yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut dalam proses penelitian di Pulau

Tunda, Banten.

Daftar Pustaka

Arifin Z, Luthfi OM. 2016. Studi pertumbuhan dan survival rate pada transplantasi karang

Acropora sp. di Pantai Kondang Merak Kabupaten Malang. Seminar Nasional Perikanan

dan Kelautan VI. Malang (ID) : Universitas Brawijaya. hlm 556-561. Burke L, Reytar K, Spalding M, Perry A. 2012. Menengok Kembali Terumbu Karang yang

Terancam di Segitiga Terumbu Karang. Yayasan TERANGI, penerjemah. Jakarta (ID):

World Resources Institute. Terjemahan dari: Reefs as Risk Revisited in the Coral

Triangle. World Resources Institute. Burkepile DE and Hay ME. 2010. Impact of herbivore identity on algal sucession and coral

growth on a Caribbean Reef. PLOS ONE. 5(1):1-9.

D’Angelo C and Wiedenmann J. 2014. Impact of nutrient enrichment on coral reefs: New

perspective and implications for coastal management and reef survival. Science Direct. 7:82-93.

Dhahiyat Y, Sinuhaji D, Hamdani H. 2003. Struktur komunitas ikan karang di daerah

transplantasi karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Ikhtiologi Indonesia.

3(2):87-94. Fadli N. 2008. Tingkat kelangsungan hidup fragmen karang Acropora formosa yang

ditransplantasikan pada media buatan yang terbuat dari pecahan karang (rubble).

Berita Biologi. 9(3):265-273.

Fahlevy K, Prabowo B, Mubarok MWI, Fahrezi FY, Abdurrahman MI, Prasetia MF, Wicaksono

RZ, Aprizan M, Subhan B, Madduppa H. 2019. Comparison hard coral cover between

Page 19: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

10 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Panggang and Kelapa Island Administrative Village, Seribu Island National Park,

Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Enviromental Sciences.

Harriot VJ, Fisk DA. 1988. Coral Transplantation as Reef Management Option Proc. Int.

Coral Reef Symp. 2:375-379. Iswara S. 2010. Analisis laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup karang Acropora spp.,

Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang ditansplantasikan di Pulau Kelapa,

Kepulauan Seribu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Johan O, Soedharma D, Suharsono. 2008. Tingkat keberhasilan transplantasi karang batu di Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta. Jurnal Ris. Akuakultur. 3(2):289-300.

Johan O. 2012. The survival of transplanted coral on pyramid-shaped fish shelter on the

coastal waters of Kelapa and Harapan Island, Kepulauan Seribu, Jakarta. Indonesian

Aquaculture Journal. 7(1):79-85. Lalang, Zamani NP, Arman A. 2014. Perbedaan laju pertumbuhan karang Porites lutea di

Pulau Tunda. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 5(1):111-116.

Luthfi OM, Rahmadita VL, Setyohadi D. 2018. Melihat kondisi kesetimbangan ekologi

terumbu karang di Pulau Sempu, Malang menggunakan pendekatan luasan koloni

karang keras (Scleractinia). Jurnal Ilmu Lingkungan. 16(1):1-8. Madduppa H, Subhan B, Arafat D, Zamani NP. 2016. Riset dan inovasi terumbu karang dan

proses pemilihan teknik rehabilitasi: sebuah usulan menghadapi gangguan alami dan

antropogenik kasus di Kepulauan Seribu. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan.

3(2):45-54. Mompala K, Rondonuwu AB, Rembet UNWJ. 2017. Laju pertumbuhan karang batu Acropora

sp. yang ditransplantasikan pada terumbu buatan di perairan Kareko Kecamatan

Lembeh Utara Kota Bitung. Jurnal Ilmiah Platax. 5(2):234-242.

Mumby PJ, Chisholm JRM, Edward AJ, Clark CD, Roark EB, Andrefouet S, Jaubert J. 2001. Unprecedented bleaching-induced mortality in Porites spp. at Rangiroa Atoll, French

Polynesia. Marine Biology. 139:183-189.

Nugroho SC. 2008. Tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan transplantasi karang

lunak Sinularia dura dan Lobophytum strictum di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nurman FH, Sadarun B, Palupi RD. 2017. Tingkat kelangsungan hidup karang Acropora

formosa hasil transplantasi di perairan Sawapudo Kecamatan Soropia. Jurnal Sapa

Laut. 2(4):119-125.

Palallo A. 2013. Distribusi makroalga pada ekosistem lamun dan terumbu karang di Pulau Bonebatang, Kecamatan Ujung Tanah, Kelurahan Barrang Lompo, Makassar [skripsi].

Makasar (ID): Universitas Hasanuddin.

Rachmawati R. 2001. Terumbu Buatan (Artificial Reef). Pusat Riset Teknologi Kelautan

Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta (ID): hlm 1-50.

Sadarun. 1999. Transplantasi karang batu (stony coral) di Kepulauan Seribu Teluk Jakarta

[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.Soedharma D, Arafat D. 2007.

Perkembangan transplantasi karang di Indonesia. Prosiding Seminar Transplantasi Karang. hlm 5-14.

Soedharma D, Arafat D. 2007. Perkembangan transplantasi karang di Indonesia. Prosiding

Seminar Transplantasi Karang. hlm 5-14.

Subhan B, Soedharma D, Madduppa H, Arafat D, Heptarina D. 2008. Tingkat kelangsungan

hidup dan laju pertumbuhan hidup jenis Euphyllia sp, Plerogyra sinuosa dan Cynarina lacrymalis yang ditransplantasikan di perairan Pulau Pari, Jakarta.. Prosiding Seminar

Nasional Kelautan. Malang (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Brawijaya.

Suharsono. 2008. Bercocok Tanam Karang Dengan Transplantasi. Jakarta (ID) : LIPI Press.

Page 20: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

11 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Taufina, Faisal, Lova SM. 2018. Rehabilitasi terumbu karang melalui kolaborasi terumbu

buatan dan transplantasi karang di Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kota Padang:

Kajian deskriptif pelaksanaan coorporate social responsibility (CSR) PT. Pertamina

(persero) marketing operation region (MOR) I-terminal bahan bakar minyak (TBBM) Teluk Kabung. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. 24(2):730-739.

Yudasakti P K. 2010. Tingkat keberhasilan dan laju pertumbuhan transplantasi karang

Montipora, Porites, dan Stylophora di perairan Pulau Kelapa Kepulauan Seribu [skripsi].

Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani, Kang HS. 2009. Pengelolaan

Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Bogor (ID): Pusdiklat Kehutanan – Departemen

Kehutanan RI dan SECEM Korea International Cooperation Agency. Yusri S, V C Siregar, Suharsono. 2019. Distribution Modelling of Porites (Poritidae) in

Indonesia. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 363 012025.

Page 21: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

12 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Kesesuaian Ekowisata Mangrove Berdasarkan Aspek Biogeofisik Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Jeflio Kabupaten Sorong) Ilham Marasabessy1, Niny Jeni Maepauw2 dan M. Iksan Badarudin3

1)Menajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan,

Universitas Muhammadiyah Sorong (Email : [email protected]) 2)Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sorong.

3)Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiyah Sorong.

Abstrak - Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai kawasan ekowisata sejalan dengan adanya

perubahan minat dan motivasi kunjungan wisatawan dari wisata massal (mass tourism) untuk pelesiran (pleisure) menjadi wisata minat khusus pendidikan dan perlindungan (special interest tourism). Penelitian

bertujuan mengetahui kesesuaian ekosistem mangrove di Pulau Jeflio Kabupaten Sorong untuk pengembangan ekowisata bahari berdasarkan kondisi biogeofisik. Analisis parameter fisik dan biologi

dilakukan melalui perbandingan data mentah (real comparation data). Data penginderaan jauh

menggunakan peta citra satelit landsat 8, peta SRTM dan satelit altimetri NASATOPEX/Poseidon, Jason-1/Envisat, selama bulan Agustus-September 2020. Analisis deskriptif kuantitatif dibuat untuk menjelaskan

dinamika biogeofisik berdasarkan nilai setiap parameter, analisis spasial dan temporal menggunakan

perangkat lunak Arcmap Gis 10.3.1 dan surfur 10 untuk menghitung indeks kesesuaian kawasan, fisiografis dan batimetri. Geografis Jeflio berada dalam gususan kepulauan, luas pulau sebesar 261.03 ha dengan

luasan mangrove sebesar 233. 32 ha. Topografi pesisir pulau cenderung datar (flate) di bagian barat dan curam (slope) di bagian timur. Kedalaman rata-rata antara 0.15 sampai >3 meter pada saat pasang

tertinggi. Merupakan pulau kecil yang terpisah dari pulau induk, berpenduduk dan masih dipengaruhi nilai

adat dan budaya lokal. Terdapat berbagai biota spesifik teresterial berasosiasi di substrat perairan maupun di dalam hutan mangrove. Sebaran bahan organic di perairan sebesar 35-40 mg/lt, dan kandungan clorofil

a sebesar 0.011-2.95 mg/lt. Status ekosistem tergolong baik, kerapatan mangrove rata-rata pada 4 stasiun sebesar 45.07% dan penutupan 16.16%, memiliki 4 jenis mangrove tersebar dalam satu zonasi

dan didukung parameter fisik oseanografi seperti kecepatan arus, anomaly paras laut, kecerahan perairan,

gelombang, suhu permukaan laut dan salinitas yang ideal. Kata Kunci: Ekowisata Mangrove, Biogeofisik, Pulau Kecil.

Abstract - The use of mangrove ecosystems as an ecotourism area is in line with the change in interest

and motivation for tourist visits from mass tourism for leisure to special interest tourism in education and

protection. This study aims to determine the suitability of the mangrove ecosystem in Jeflio Island, Sorong Regency for the development of marine ecotourism based on biogeophysical conditions. Analysis of physical

and biological parameters was carried out through comparation of raw data (real comparation data).

Remote sensing data using Landsat 8 satellite imagery maps, SRTM maps and NASATOPEX/Poseidon altimetry satellites, Jason-1/Envisat, during August-September 2020. Quantitative descriptive analysis was

made to explain biogeophysical dynamics based on the value of each parameter, spatial and temporal analysis using Arcmap Gis 10.3.1 software and surfur 10 for calculating the area suitability index,

physiographics and bathymetry. Geographically Jeflio is located in an archipelago, with an area of 261.03

ha with an area of 233.32 ha of mangroves. The island's coastal topography tends to be flat (flate) in the west and steep (slope) in the east. The average depth is between 0.15 and> 3 meters at the highest tide.

It is a small island separated from the main island, inhabited and still influenced by local customs and culture values. There are various specific terrestrial biota associated in aquatic substrates and in mangrove

forests. The distribution of organic matter in the waters is 35-40 mg / lt, and the chlorophyll a content is

0.011-2.95 mg / lt. The status of the ecosystem is classified as good, the average mangrove density at 4 stations is 45.07% and 16.16% cover, has 4 types of mangroves spread out in one zoning and is supported

by oceanographic physical parameters such as current velocity, sea level anomaly, water transparency,

waves, sea surface temperature and ideal salinity.

Pendahuluan. Wilayah Pesisir dan laut Provinsi Papua Barat memiliki keanekaragaman

hayati yang tinggi dari segi ekosistem, jenis, dan genetik. Kelengkapan keanekaragaman

hayati itu tersebar di darat dan laut, diantaranya ekosisitem pantai berpasir, mangrove,

lamun, dan terumbu karang, menjadi aset untuk menunjang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal. Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam

daerah pantai yang mempunyai arti penting berupa fungsi produksi, perlindungan,

pelestarian alam, ekonomi dan pariwisata (Laitamaki et al., 2016; Martínez et al., 2020;

Page 22: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

13 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Oteroa et al., 2020). Sektor pariwisata saat ini mulai dimanfaatkan secara global dan

dimodifikasi dengan berbagai konsep, termasuk ekowisata. Secara umum ekowisata

diartikan sebagai kegiatan wisata yang berbasis pada pelestarian sumberdaya alam dengan

menyertakan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mayarakat lokal (Bhuiyan et al., 2015; Marasabessy, 2018 ; Chen et al., 2020).

Keberadaan hutan mangrove di sekitar Pantai Jeflio, secara ekologis akan

mempengaruhi keanekaragaman hayati sumberdaya alam pesisir dan secara sosial

ekonomi akan berdampak pada pertumbuhan pendapatan usaha masyarakat di sekitar kawasan. Untuk menitegrasikan kedua elemen tersebut agar dapat berjalan sinergi maka

diperlukan pengelolaan yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya alam

dan pengaruhnya dengan usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal. Salah satu

konsep yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan pengelolaan berbasis masyarakat dengan menjadikan daerah ekosistem mangrove yang masih alami tersebut sebagai

kawasan ekowisata (Chen et al., 2020).

Pulau Jeflio selain memiliki ekosistem pesisir pantai dengan topografi yang menarik

(view of the coastal) juga terdapat ekosistem mangrove yang potensial untuk

dikembangkan sebagai salah satu destinasi wisata unggulan. Saat ini masyarakat dan pemerintah setempat mencoba melakukan pengelolaan dan pengembangan pulau Jeflio

sebagai destinasi wisata pesisir dan sekaligus kawasan konservasi. Berdasarkan hal

tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui kesesuaian kawasan hutan

mangrove dalam pengembangan ekowisata bahari berdasarkan kondisi biogeofisik ekosistem mangrove di pulau Jeflio Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat.

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2020, berlokasi di Pulau Jeflio Distrik Mayamuk Kabupaten Sorong. Secara geografis

berbatasan: bagian Utara dengan perairan Raja Ampat, bagian Selatan dengan Pulau

Jefkerem, bagian Timur dengan Pulau Induk (maind land) dan bagian Barat dengan Pulau

Sakanun (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Teknik Pengumpulan Data. Pengamatan mangrove dilakukan pada 4 stasiun yaitu 2 stasiun berada di bagian barat, masih dipengaruhi oleh aktifitas masyarakat dan 2 stasiun

Page 23: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

14 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

lainnya di bagian timur sepanjang selat Jeflio, kawasan ini jarang adanya aktifitas

masyarakat. Masing-masing stasiun mewakili kondisi sebaran mangrove pada kawasan

Jeflio.

Analisis parameter fisika, biologi dan geografis dilakukan melalui perbandingan data mentah (real comparation data) dan penginderaan jauh. Multispectral mangrove meliputi

perkiraan jumlah, kerapatan, penutupan dan distribusi vegetasi, melalui teknik

pendeteksian yang didasarkan pada reflektansi kanopi vegetasi. Mengidentifikasi

kerapatan dan penutupan mangrove dengan data citra satelit Landsat 8 mengacu pada eskplorasi citra komposit RGB 5, 6, 4 dimana ketiga band tersebut termasuk dalam kisaran

spektrum tampak dan inframerah dekat (NIR). Untuk menentukan nilai kerapatan

mangrove menggunakan hasil dari perhitungan NDVI. Kemudian nilai kelas NDVI

diklasifikasi ulang (reclass) menjadi 4 kelas, yaitu kerapatan baik, sedang, buruk dan non vegetasi (Kawamuna et al., 2017). Persamaan yang digunakan pada perhitungan

kerapatan dan tutupan mangrove menggunakan metode NDVI sebagai berikut:

NDVI = (NIR-RED)/(NIR +RED)

Keterangan :

NDVI = Normalized Difference Vegetation Index

NIR = Band 5 dari citra Landsat 8 RED = Band 4 dari citra Landsat 8

KL = (xt-xr)/k

Keterangan:

KL = Kelas interval

xt = Nilai tertngi xr = Nilai terendah

k = Jumlah kelas yang diinginkan

Indikator kesesuaian ekowisata mangrove di Pulau Jeflio yang diinput dalam kajian ini dibagi menjadi 3 aspek melalui pengamatan langsung, data penginderaan jauh dan

analisis, seprti pada (Tabel 1).

Tabel 1. Sumber data dan analisis aspek kesesuaian ekowisata mangrove di Pulau Jeflio

Kabupaten Sorong

No Kategori Sumber Data Analisis

1 Aspek Biologi

a. Laju Fotosintesis SeaDAS Ocean color Agustus-September 2020

Spasial dan Temporal

b. Clorofil a SeaDAS Ocean color Agustus-

September 2020

Spasial dan

Temporal

c. Kandungan Bahan Organik

SeaDAS Ocean color Agustus-September 2020

Spasial dan Temporal

d. Asosiasi Biota dan Mangrove Real Comparation Data Excel dan NDVI

2 Aspek Geografis

a. Landscape Pesisir Pulau Jeflio Peta SRTM Landsat 8 dan Koreksi Lapangan

Kelas Lereng, topografi dan

Penutupan

Lahan

b. Batimetri Peta batimetri DEMNAS 2020 Spasial

3 Aspek Fisika Oseanografi

Page 24: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

15 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

a. Kecepatan Arus Satelit altimetri NASATOPEX

Agustus-September 2020

Spasial dan

Temporal b. Anomali Permukaan Laut Satelit altimetri NASATOPEX

Agustus-September 2020

Spasial dan

Temporal

c. Suhu Permukaan Laut SeaDAS Ocean color Agustus-

September 2020

Spasial dan

Temporal d. Salinitas SeaDAS Ocean color Agustus-

September 2020

Spasial dan

Temporal

e. Tinggi Gelombang perairan

pesisir f. Kecerahan perairan

Satelit altimetri NASATOPEX

Agustus-September 2020 SeaDAS Ocean color Agustus-

September 2020

Spasial dan

Temporal Spasial dan

Temporal

Sumber: Elaborasi data prime dan sekunderr, 2020

Berdasarkan hasil perhitungan indeks kesesuaian kawasan ekowisata bahari (mangrove),

maka dapat diketahui kelas kesesuaian masing-masing aktifitas tersebut, berdasarkan

kategori yang dikembangkan oleh (Yulianda, 2019), yaitu dengan klasifikasi sebagai

berikut: Sangat sesuai (S1) : 83 – 100%

Sesuai (S2) : 50 - <83%

Sesuai bersyarat (S3) : 17 - <50 %

Tidak sesuai (N) : <17 %

Hasil dan Pembahasan

Ekosistem Mangrove Pulau Jeflio. Penelitian yang dilakukan pada ekosistem mangrove

Pulau Jeflio dibagi pada 4 (empat) stasiun pengamatan berdasarkan kondisi ekologi, biologi, geografis dan fisika oseanogrfi. Pembagian staisun diasumsikan dapat mewakili

sebaran ekosistem mangrove Pulau Jeflio yakni; stasiun 1 (ST1) berada pada lokasi existing

wisata mangrove, stasiun 2 (ST2), realtif dekat pemukiman penduduk, stasiun 3 (ST3),

berada di selat Jeflio bagian utara dan stasiun 4 (ST4) di selat Jeflio bagian selatan. Lebih jelas koordinat posisi stasiun pengamatan dan identifikasi mangrove Pulau Jeflio dapat

dilihat pada (Gambar 2).

Gambar 2. Luas stasiun pengematan mangrove Pulau Jeflio

Page 25: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

16 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Berdasarkan (Gambar 2), diketahui kawasan stasiun pengamatan mangrove yang

diasumsikan sebagai lokasi representatif dalam kajian ini, memiliki luasan yang bervariasi

yaitu; ST1= 85.810 m2, ST2= 160.219 m2, ST3= 83.145 m2 dan ST4= 94.835 m2.

Ekosistem magrove bersifat dinamis, karena dapat terus tumbuh, berkembang, mengalami suksesi, dan perubahan zonasi. Selain itu juga cenderung labil dan kompleks, karena

mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Chandra et al., 2011; Mughofar at al.,

2018). Hasil identifikasi mangrove di Pulau Jeflio, diketahui mangrove tumbuh pada satu

zonasi (single zoning) didominasi oleh jenis Rhizophora sp dan Avicennia sp. Menurut (Subur 2017), keseragaman tipe habitat yang umumnya ditemukan pada suatu lokasi

menyebakan kemiripan jenis mangrove dan didominasi oleh spesies yang relatif sama.

Lebih lanjut (Marasabessy 2018) menjelaskan, zonasi mangrove yang terbentuk bisa

berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi), tergantung pada kondisi ekosistem mangrove di wilayah masing-

masing.

Distribusi spesies mangrove lebih banyak ditemukan pada ST3 dan ST4 di sepanjang

selat Jeflio, memiliki persentase tutupan mangrove 47.71% dan 45.61%, sedangkan

kerapatan 18.66% dan 15.33%. Kondisi yang tidak jauh berbeda ditemukan pada ST2, distribusi spesies mangrove merata pada luasan area stasiun dengan tutupan sebesar

45.23% dan kerapatan 16.33%. Hasil berbeda diperoleh pada ST1, sebagai lokasi existing

wisata mangrove, kawasan ini secara visual terlihat mengalami tekanan yang signifikan,

belum adanya konsep pengelolaan yang tepat pada lokasi ini sejak ditetapkan sebagai kawasan wisata, berdampak pada nilai tutupan mangrove yaitu sebesar 41.73% dan

kerapatan 14.33%. Hasil analisis citra satelit untuk mengetahui tutupan dan kerapatan

mangrove menggunakan metode NDVI disajikan pada (Gambar 3).

Gambar 3 Klasifikasi NDVI Mangrove Pulau Jeflio

Indeks Kesesuaian Ekowisata Mangrove. Indeks Kesesuaian Ekowisata (IKW)

mangrove Pulau Jeflio pada 4 stasiun pengamatan berada dalam kategori sesuai (S2)

dengan nilai IKW yaitu; ST1 (70%), ST2 (73.75%), ST3 (75.00%) dan ST4 (75.00%).

Dinamika ekologi dan karakteristik lokasi yang cenderung berbeda di masing-masing

stasiun, turut menentukan scoring setiap parameter ekowisata mangrove yang diinput. Kerapatan jenis mangrove merupakan parameter untuk menduga kepadatan jenis

mangrove dalam suatu area tertentu. Besarnya nilai kerapatan relatif mangrove pada

stasiun 3, memberikan informasi bahwa mangrove pada lokasi tersebut memiliki

Page 26: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

17 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

pertumbuhan yang baik secara alami. Menurut (Kusmana 2010; Parmadi et al., 2016;

Anthoni et al., 2017) tingginya kerapatan relatif dari jenis Rhizophora sp dan Avicenia sp

dikarenakan spesises mangrove ini, memiliki toleransi sebaran adabtasi ekologi yang luas

dalam suatu kawasan mangrove, sehingga mampu berkembang dengan baik pada zonasi terluar hingga lebih dalam selama masih mendapatkan suplai air asin.

Aspek Biogeofisik. Kondisi perairan ekosistem pesisir sangat mempengaruhi produkfitas

dan fungsi dari ekosistem tersebut. Menurut (Poedjirahajoe, 2011) faktor habitat sangat berpengaruh terhadap komposisi penyusun ekosistem mangrove bahkan perubahan

kualitas habitat secara kompleks dapat mengakibatkan pergeseran jenis vegetasi

penyusunnya.

Kualitas perairan adalah komponen yang paling dinamis,, dapat berubah karena pengaruh antropogenik, dinamika laut, musim, dan cuaca (Schaduw, 2018). Kualitas

perairan pesisir dan laut tidak hanya dicerminkan oleh kondisi kualitas airnya, tetapi juga

ditentukan oleh kualitas dari biota, termasuk kualitas dari ekosistem yang ada di dalamnya.

Parameter Biologi. Aspek biologi yang berperan, menentukan kualitas perairan meliputi;

kandungan bahan organic, fotosintesis, klorofil a dan biota dalam subtract. Fitoplankton akan menjadi pelengkap penting dalam penentuan tingkat kualitas dari aspek biologi dalam

hubungannya dengan pencemaran organik dan nutrien di perairan.

Gambar 4. Peta Tematik Biologi Ekosistem Mangrove Pulau Jeflio

Berdasarkan (Gambar 4), diketahui kandungan bahan organic perairan 35-40 mg/lt,

kandungan clorofil a sebesar 0.011-2.95 u/lt, fotosintesis 40.4-42.6 mgC/m3/hari dan

distribusi biota subtract mangrove sebanyak 5 spesies. Parameter biologi berada dalam

kondisi ideal. Menurut (Haryadi dan Effendi, 2016; Gemilang et al., 2017), biomasa fitoplankton

(kandungan klorofil a), dapat mengindikasikan adanya pencemaran bahan organik ke

perairan pesisir, digunakan sebagai indikator produktivitas perairan. Berdasarkan data

biologi diketahui perairan Jeflio masuk kategori perairan mesotropik, mempunyai suplay

Page 27: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

18 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

bahan organik sedang. Perairannya keruh oleh sedimen dan bahan organik serta aktifitas

biologi mulai muncul.

Parameter Geografis. Informasi geografis mangrove untuk kesesuaian ekowisata dapat diidentifikasi berdasarkan data spasial penginderaan jauh melalui letak tutupan lahan,

kelas lereng dan batimetri (Haryadi dan Effendi, 2016).

Gambar 4. Peta Tematik Geografis Pulau Jeflio

Pada (Gambar 4), secara geografis Jeflio merupakan pulau kecil seluas 261.03 ha,

terpisah dari pulau induk. Parameter geogarfis Pulau Jeflio berada dalam kategori sesuai

dan sesuai bersyarat. Kemiringan lereng pantai Pulau Jeflio memiliki keterkaitan dengan kedalaman dan tutupan lahan pesisir. Klasifikasi lereng pantai terbagi menjadi 2 zona,

yaitu zona bagian barat, memiliki fisiografis cenderung datar (0-8%) dan landai (8-15%)

hingga beberapa feet ke arah perairan terbuka dan zona bagian timur, memiliki fisiografis

curam (25-45%) hingga sangat curam (>45%), kawasan ini terletak pada Selat Jeflio yang memisahkan daratan maind land dan Pulau Jeflio.

Kedalaman rata-rata perairan pesisir relatif dangkal di ST1 dan ST2 sebesar 0.75-1.5

meter dan perairan cenderung dalam di bagian selat Jeflio sebesar 2-3 meter. Tutupan

lahan bagian barat di dominasi pemukiman penduduk dan lahan terbangun sedangkan

bagian timur terlihat masih alami, tidak ada pemukinan penduduk dan memiliki tutupan juga kerapatan mangrove yang tinggi. Menurut (Sadik et al., 2017), kemiringan pantai

ideal ialah datar dan landai dengan kedalaman 0-3 meter.

Parameter Fisika Oseanografi. Mangrove dapat tumbuh dan berkembang optimum pada kondisi lingkungan yang sesuai, antara lain (a) suhu permukaan laut, (b) jenis subtract

lumpur, (c) terlindung dari hempasan ombak, (d) jangkauan pasang surut yang luas, (e)

salinitas optimal, (f) arus laut yang dapat membantu penyebaran benih, dan (g) fisiografi

pantai yang landai sehingga memudahkan perkembangan benih (Tuwo, 2011; Tahir et al., 2017).

Page 28: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

19 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 5. Peta Tematik Fisika Oseanografi Pulau Jeflio

Berdasarkan (Gamnar 5), parameter fisika oseaongrafi berada dalam kategori ideal

seperti; kecepatan arus 0.1-0.3 m/s, anomaly paras laut 0-0.30 m, kecerahan perairan 40-80%, gelombang 0.30-0.45 m, suhu permukaan laut 29-31oC dan salinitas 26-31 ppt.

Menurut (Yolanda et al., 2016; Salim et al., 2017) kondisi fisika oseanografi perairan

dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti laut terbuka, teluk, selat yang

mengelilinginya dan daratan berupa aliran air tawar menuju laut dari sungai. Adapun faktor internal adalah topografi dasar perairan. Lebih lanjut (Sidik et al., 2017;

Marasabessy, 2018; Schaduw, 2018) menjelaskan mangrove dapat tumbuh dengan baik

pada daerah tropis dengan temperatur di atas 20o-31oC, salinitas 28-29 ppm, namun

beberapa spesies dapat menyesuaikan pada perubahan kisaran salinitas yang luas, kecepatan arus ideal sebesar 0-0.4 m/s, pasang surut 0-1 m, gelombang 0-1 m, kecerahan

50-80%. Status Jeflio sebagai pulau kecil berpenduduk memberikan karakteristik yang unik

dalam proses pemanfaatan sumberdaya alam. Dukungan parameter fisika oseanografi

Jeflio memberikan informasi bahwa ekowisata mangrove dapat dikembangkan dengan

berbagai model kesesuaian seperti tracking dan boating.

Kesimpulan. Aspek biogeofisik pulau Jeflio berada dalam kategori ideal untuk kegiatan

ekowisata mangrove dan dinamika aspek biogeofisik ini dapat dikembangkan untuk

kegiatan ekowisata bahari secara luas.

Ucapan Terima Kasih. Terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian

Masyarakat (DRPM), Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas bantuan pendanaan

penelitian tahun 2020. Terima kasih juga bagi seluruh tim peneliti, Pemerintah Kabupaten Sorong dan Kepala Kampung berserta seluruh masyarakat Jeflio. yang banyak membantu

kegiatan penelitian.

Page 29: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

20 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Daftar Pustaka

Anthoni, A., Schaduw J.N.W., Sondak, C.F.A. 2017. Persentase Tutupan Dan Struktur

Komunitas Mangrove Di Sepanjang Pesisir Taman Nasional Bunaken Bagian Utara.

Jurnal Pesisir dan Laut Tropis. 2 (1); 13-21 Bhuiyan, M.A.H., Siwar, C., Ismail, S.M. 2015. Sustainability measurement for ecotourism

destination in Malaysia: a study on Lake Kenyir, Terengganu. Soc. Indicat. Res. 128

(3), 1029–1045.

Chandra, I.A., G. Seca, dan A.M.K. Hena. 2011. Aboveground Biomass Production of Rhizophora apiculata Blume in Sarawak Mangrove Forest. Agricultural and Biological

Sciences. 6 (4); 469-474

Chen, F., Lai, M., Huang, H. 2020. Can marine park become an ecotourism destination?

Evidence from stakeholders’ perceptions of the suitability. Journal Ocean and Coastal

Management. 196(5): 1-9 Gemilang, W.A., Rahmawan, G.A., Wisha, U.J. 2017. Kualitas perairan Tteluk Ambon Dalam

berdasarkan parameter fisika dan kimia pada musim peralihan I. Journal Enviro

Scienteae 13(1);79-90

Haryadi, S., Effendi, H. 2016. Penentuan Status Kualitas Perairan Pesisir. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Pusat

Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH-LPPM), IPB.

Kusmana, C. 2010. Respon mangrove terhadap pencemaran. Artikel Ilmiah. Departemen

Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Kawamuna, A, Suprayogi, A, Wijaya, A.P. 2017. Analisis kesehatan hutan mangrove

berdasarkan Metode klasifikasi NDVI pada citra sentinel-2 (Studi Kasus: Teluk

Pangpang Kabupaten Banyuwangi). Jurnal Geodesi. 6 (1); 227- 284

Laitamaki, J., Torres-Hechavarría, L., Tada, M., Liu, S., Setyady, N.,Vatcharasoontorn, N., Zheng, F., 2016. Sustainable tourism development frameworks and best practices:

implications for the Cuban tourism industry. Manag.Global Transit. 14 (1), 7–29.

Marasabessy I. 2018. Pengelolaan Berkelanjutan Pulau Nusa Manu dan Nusa Leun di

Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor (ID):

Bogor. Martínez, Z.M.N., Crespo, C.M., Fernandez, L.H., Azcona, H.F., Díaz, S.P.G., McLaughlin

R.J. 2020. Using SWOT analysis to support biodiversity and sustainable tourism in

Caguanes National Park, Cuba. Ocean and Coastal Management Journal. 193(3); 1-6

Mughofar, A, Masykurib, M, Setyonoc P. 2018. Zonasi Dan Komposisi Vegetasi Hutan Mangrove Pantai Cengkrong Desa Karanggandu Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa

Timur. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 8 (1): 77-85

Oteroa V, Lucasb R,, Kerchoved RVD, Satyanarayanaa B, Lokmane HM, Dahdouh

F,Guebasa. 2020. Spatial analysis of early mangrove regeneration in the Matang Mangrove Forest Reserve, Peninsular Malaysia, using geomatics. Journal Forest

Ecology and Management. 47 (2): 1-11

Parmadi, E.H, Dewiyanti, J.C, Karina, I. S. 2016. Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove

Di Kawasan Kuala Idi, Kabupaten Aceh Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan

Perikanan Unsyiah. 1 (1); 82-95. Poedjirahajoe E, Ragil W, Ni Putu Diana M. (2011). Kajian Ekosistem Mangrove Hasil

Rehabilitasi Pada Berbagai Tahun Tanam Untuk Estimasi Kandungan Ekstrak Tanin Di

Pantai Utara Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Kehutanan. 5(2); 99-107

Sadik, M., Muhiddin, A.H., Ukkas, M. 2017. Kesesuaian ekowisata mangrove ditinjau dari aspek biogeofisik kawasan pantai Gonda di desa Laliko Kecamatan Campalagian

Kabupaten Polewali Mandar. Jurnal Spermonde. 2(3): 25-33

Page 30: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

21 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Salim, D., Yuliyanto, Baharuddin. 2017. Karakteristik parameter oseanografi fisika-kimia

Perairan pulau kerumputan kabupaten kotabaru Kalimantan selatan. Jurnal Enggano.

2(2); 218-228

Schaduw, J.N.W. 2018. Distribusi dan Karakteristik Kualitas Perairan Ekosistem Mangrove Pulau Kecil Taman Nasional Bunaken. Majalah Geografi Indonesia. 32(1); 40 – 49

Subur R. 2017. Kapasitas adaptif ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil (studi di gugus

Pulau Guraici) Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. Prosiding Seminar

Nasional Kemaritiman dan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. 1(1): 86-94. Tahir, I. , Effendi ,R., Akbar, N. 2017. Analisis kesesuaian ekowisata hutan mangrove Di

kawasan teluk jailolo kabupaten halmahera barat. Prosiding Seminar Nasional

Kemaritiman dan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. 1(1): 51-61.

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut: Pendekatan Ekologi, Sosial-Ekonomi, Kelembagaan dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional, Surabaya

Yolanda, D.S., Firman F. M., Aries D. S., 2016. Distribusi Nitrat Oksigen Terlarut, dan

Suhu diPerairan Socah-Kamal Kamal Kabupaten Bangkalan. Jurnal Kelautan. 9(2);

93-98

Yulianda F. 2019. Ekowisata Perairan: suatu konsep kesesuaian dan daya dukung wisata bahari dan wisata air tawar. Penerbit IPB Press. Bogor Indonesia.

Page 31: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

22 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pengamatan Struktur Komunitas Karang Keras Hidup Sebelum dan Sesudah Tsunami Tahun 2018 di Pulau Sangiang Muhammad Aditya Prawira1, Ofri Johan2, Idris3, dan Hawis H. Madduppa4

1,4)Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Dramaga Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680, Indonesia (Email: [email protected] ;[email protected])

2)Balai Riset Budidaya Ikan Hias KKP, Jl. Perikanan No. 13 Pancoran Mas Kota Depok,

16436, Indonesia (Email: [email protected]) 3)Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI), Kompleks Liga Mas Indah Blok E2 no.

11 Pancoran, 12760, Indonesia (Email: [email protected])

Abstrak - Terumbu karang merupakan ekosistem dari hewan karang yang dapat menghasilkan terumbu atau endapan kalsium karbonat dengan bantuan alga endosimbion. Secara keseluruhan suku dari karang

yang berada di Pulau Sangiang tersebut terbagi menjadi 14 suku. Kerusakan terumbu karang dapat

disebabkan oleh faktor alami dan manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam contohnya tsunami. Pada tanggal 22 Desember 2018, peristiwa tsunami yang disebabkan oleh letusan Anak

Krakatau di Selat Sunda berdampak pada Pulau Sangiang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas terumbu karang serta densitas karang sebelum (2016) dan sesudah (2019)

terjadinya bencana tsunami pada 22 Desember 2018 di Pulau Sangiang. Observasi lapang dilakukan 22-

23 Agustus 2016 dan 16-18 Februari 2019 di Pulau Sangiang menggunakan metode transek sabuk dengan panjang 20 meter dan lebar 1 meter dengan tiga kali ulangan pada tiga stasiun pengamatan

yaitu Legon Bajo, Legon Waru, dan Tembuyung. Pengamatan komunitas karang berdasarkan marga dan dikategorikan menurut diameter terpanjang. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan struktur

komunitas di setiap lokasi pengamatan. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan namun terjadi

fluktuasi secara tidak merata. Densitas total dari sebelum dan sesudah tsunami berbeda nyata. Densitas sesudah tsunami mengalami kenaikan yang signifikan. Rekrutmen karang sesudah tsunami pada setiap

lokasi mengalami perubahan baik kenaikan maupun penurunan. Kualitas air cenderung homogen di

ketiga lokasi baik sebelum dan sesudah tsunami. Kata Kunci: Terumbu karang, Struktur Komunitas, Tsunami, Densitas.

Abstract - Coral reef is an ecosystem of coral animals that can create coral or calcium carbonate deposits

with the aid of endosymbitic algae. Overall, the family of the reefs in Sangiang Island are divided into 14

family. Coral reefs damage can be caused by natural and human factors. Damage due to natural causes, such as tsunamis. On 22 December 2018, a tsunami event caused by the eruption of Anak Krakatau in

the Sunda Strait impacted Sangiang Island. The purpose of this research is to examine the structure of the coral reef community and coral density before (2016) and after (2019) the tsunami disaster on 22

December 2018 on Sangiang Island. Field observations were carried out on 22-23 August 2016 and 16-

18 February 2019 on Sangiang Island using the belt transect method with a length of 20 meters and a width of 1 meter with three replications at three observation stations namely Legon Bajo, Legon Waru,

and Tembuyung. Genera-based data collection and categorization based on the longest diameter. The results showed that there were no difference in community structure at each observation location.

Although there are no significant difference, the fluctuations are inconsistent. The total density before

and after the tsunami was significantly different. The density after the tsunami has increased significantly. The recruitment of corals after the tsunami at each location experienced changes, both

increasing and decreasing. Water quality tended to be homogeneous in all three locations both before

and after the tsunami. Keywords : Coral Reef, Structure Community, Tsunami, Density.

Pendahuluan. Terumbu karang merupakan ekosistem dari hewan karang yang dapat

menghasilkan terumbu atau endapan kalsium karbonat dengan bantuan alga endosimbion.

Terumbu karang sebagai ekosistem yang produktif berperan penting baik secara ekologi

maupun sosial ekonomi. Kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh faktor alami dan manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam contohnya, perubahan suhu air

laut, perubahan iklim global, topan, gempa bumi, letusan gunung merapi, pemangsa, dan

penyakit. Sedangkan contoh kerusakan yang disebabkan oleh manusia adalah kegiatan

Page 32: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

23 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

perikanan tangkap yang menggunakan bahan peledak, bahan kimia beracun, dan alat

tangkap yang tidak ramah lingkungan (Uar dkk., 2016). Subhan dkk., (2020) mengatakan

tekanan lingkungan untuk ekosistem terumbu karang berasal dari penangkapan ikan yang

berlebihan, input nutrisi yang tinggi, dan sedimentasi yang berpotensi merusak struktur terumbu karang.

Pada tanggal 22 Desember 2018, peristiwa tsunami yang disebabkan oleh letusan Anak

Krakatau di Selat Sunda berdampak pada daerah pesisir Banten dan Lampung, Indonesia.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tsunami disebabkan pasang tinggi dan longsor bawah laut karena letusan gunung tersebut. Selain itu tsunami

disebabkan oleh luruhan gunung Anak Krakatau yang memasuki perairan dengan skala

besar sehingga perairan menimbulkan tsunami. Pulau Sangiang merupakan pulau kecil

yang terletak di Selat Sunda, yakni antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Gempa bumi, longsor, dan erupsi gunung api yang berpusat di dasar laut dapat

menyebabkan gelombang seismik laut yang dinamakan tsunami (Skinner and Porter,

1995). Tsunami tidak hanya memiliki satu gelombang, tetapi merupakan rangkaian

gelombang yang disebabkan oleh pergerakan vertikal dari dasar laut (Ludman, 1982).

Skinner and Porter (1995) mengatakan bahwa gelombang tsunami memiliki kecepatan sampai 950 km/jam dengan panjang gelombang mencapai 200 km. Karakteristik tsunami

ini yang membuat kondisi ekosistem pesisir terutama ekosistem terumbu karang bisa

terancam menjadi rusak. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat

rentan terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya (Ramadhani dkk., (2015). Menurut Madduppa dkk., (2016) gangguan alam memungkinkan menyebabkan

berbagai perubahan pada komunitas karang.

Ekosistem terumbu karang memiliki peranan penting bagi biota asosiasi yang hidup di

sekitarnya (Zamani, 2015). Ketika kondisi terumbu karang rusak maka biota asosiasi yang hidup pada ekosistem tersebut mulai pergi, hal ini juga membuat ekosistem lainnya seperti

ekosistem lamun dan mangrove menjadi terganggu karena ketiadaan salah satu ekosistem

pesisir tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji struktur komunitas terumbu

karang serta densitas karang sebelum (2016) dan sesudah (2019) terjadinya bencana tsunami pada 22 Desember 2018 di Pulau Sangiang.

Metode Penelitian

Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Pulau Sangiang terletak di Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Observasi lapang dilakukan oleh

Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI) pada 22 – 23 Agustus 2016 dan 16 – 18

Februari 2019. Pengambilan data terumbu karang dilakukan di perairan Pulau Sangiang.

Penyelaman dilakukan pada tiga lokasi penyelaman yaitu Legon Bajo (5°56’48” - 5°56’48” LS dan 105°51’40” - 105°51’41” BT), Legon Waru (5°57’15” - 5°57’17” LS dan 105°51’43”

- 105°51’45” BT), dan Tembuyung (5°57’46” - 5°57’46” LS dan 105°51’54” - 105°51’55”

BT), seperti terlihat pada Gambar 1.

Page 33: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

24 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 1. Lokasi Penelitian dan sekitarnya di Selat Sunda; stasiun pengamatan di Pulau

Sangiang (A), sumber tsunami di Anak Krakatau (B)

Alat dan Bahan. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data biota habitat dasar adalah alat SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus), rol meter, alat

tulis bawah air, penggaris, kamera bawah air, buku identifikasi karang (Coral Finder), buku

identifikasi Coral reefs of the world (Veron, 2000), GPS (Global Positioning System), dan

kapal motor. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data fisika dan kimia perairan adalah pH meter, refraktometer, secchi disc.

Pengumpulan Data. Pengambilan data koloni karang keras hidup menggunakan metode

transek sabuk atau Belt transect (Hill and Wilkilson, 2004), dengan panjang transek 20 meter sebanyak tiga kali ulangan pada setiap stasiun dengan jeda 5 meter dan lebar

dengan total 1 meter. Total luasan area pengamatan di setiap stasiun 60 m2 (3 ulangan).

Transek dibentangkan sejajar garis pantai dengan kedalaman 4 – 7 meter.

Pencatatan data karang hanya dilakukan pada karang keras hidup saja dengan

mencatat jenis, jumlah, dan ukuran setiap karang keras yang ada di dalam sabuk. Ukuran karang mengacu pada [4], dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan panjang terpanjang

dengan kategori kecil (< 5 cm), sedang (5,1 – 25 cm), dan besar (> 25,1 cm). Identifikasi

dilakukan sampai ke tingkat genus/marga menggunakan panduan buku identifikasi Coral

finder [6] dan buku identifikasi Coral reefs of the world [25]. Data yang diperoleh bisa menggambarkan kekayaan jenis, kelimpahan populasi dan ukuran dominan karang keras

di suatu lokasi pengamatan (Estradivari dkk., 2009).

Kualitas perairan diketahui dengan melakukan pengukuran beberapa parameter fisika

dan kimia yang berpengaruh terhadap kehidupan komunitas karang dan biota pengisinya. Pengukuran insitu untuk data kualitas perairan dilakukan pada tahun 2016 (sebelum

tsunami) dan 2019 (sesudah tsunami), namun tahun 2018 (saat tsunami) menggunakan

data sekunder. Data sekunder berupa parameter perairan yang didapat dari Marine

Copernicus, data bisa diakses melalui https://resources.marine.copernicus.eu/ dan diolah

Page 34: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

25 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

menggunakan software ODV 4.7, software bisa didapatkan dari

http://www.awibremerhaven.de/GEO/ODV.

Analisis Data

Densitas. Densitas digunakan untuk melihat distribusi jumlah jenis atau komunitas karang

pada wilayah terumbu karang tertentu (Odum, 1971). Densitas diketahui dengan

menggunakan rumus berikut

𝐃 = 𝐍𝐢

𝐀

Indeks Keanekaragaman. Indeks keanekaragaman menurut Odum (Odum, 1971)

semakin tinggi nilai H' maka komunitas tersebut memiliki keanekaragaman jenis yang semakin tinggi. Keanekaragaman dihitung dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener

sebagai berikut

𝐇′ = − ∑ 𝐩𝐢 𝐋𝐧 𝐩𝐢𝐧

𝐢=𝟏

Indeks Keseragaman. Indeks Keseragaman digunakan untuk menggambarkan distribusi jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Indeks keseragaman dapat dihitung

dengan rumus Evenness sebagai berikut

𝐄 = 𝐇′

𝐇′𝐌𝐚𝐤𝐬

Indeks Dominansi. Indeks Dominansi digunakan untuk melihat adanya jenis tertentu

yang jumlahnya mendominasi pada suatu komunitas. Rumus indeks dominansi dihitung

dengan rumus Simpson sebagai berikut

𝐂 = − ∑ 𝐩𝐢𝟐

𝐧

𝐢=𝟏

Analisis pengaruh waktu (sebelum dan sesudah tsunami) dengan lokasi stasiun

penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis varian (ANOVA) klasifikasi dua arah

dengan pengulangan dan tidak dengan pengulangan yang dioperasikan dengan

menggunakan Software Excel. Faktor yang digunakan lokasi dan tahun dengan variabel kualitas perairan.Variabel indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan

indeks dominansi (C) dengan faktor lokasi dan tahun. Sementara untuk variabel total

densitas dengan faktor marga dan tahun.

Hasil dan Pembahasan. Jumlah jenis karang keras yang ditemukan di tahun 2016

yakni 26 marga sedangkan di tahun 2019 sebanyak 31 marga. Indeks H’, E dan C dapat

dilihat dari Tabel 1 pada setiap lokasi. Struktur komunitas pada ketiga lokasi dilihat dari

indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) (Tabel 1). Di lokasi

Legon Bajo indeks keanekaragaman termasuk dalam kategori keanekaragaman yang sedang pada kedua tahun, kategori sedang dalam keanekaragaman mengindikasikan

penyebaran yang sedang. Meskipun termasuk dalam kategori yang sama akan tetapi

terjadi penurunan pada tahun 2019. Nilai indeks keseragaman Legon Bajo pada tahun 2016

dan 2019 termasuk dalam keseragaman tinggi, hal ini dapat mengartikan kondisi

Page 35: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

26 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

komunitas stabil. Nilai indeks dominansi pada kedua tahun tergorong dominansi rendah,

hal ini mengindikasikan tidak ada marga yang mendominasi di Labuan Bajo.

Tabel 1. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D) karang keras hidup di Pulau Sangiang tahun 2016 (sebelum tsunami) dan tahun 2019 (sesudah

tsunami)

Legon Waru memiliki indeks keanekaragaman pada kedua tahun termasuk dalam

kategori memiliki keanekaragaman sedang, kategori keanekaragaman sedang mengindikasikan penyebaran terjadi secara sedang. Meskipun termasuk dalam kategori

yang sama namun nilai pada tahun 2019 mengalami kenaikan. Kestabilan indeks

keseragaman dari dua tahun di lokasi Legon Waru termasuk dalam kategori keseragaman

tinggi, hal ini menandakan komunitas yang stabil. Nilai indeks dominansi yang stabil pada lokasi Legon Waru di kedua tahun termasuk dalam kategori rendah, hal ini menandakan

bahwa tidak adanya marga yang dominan pada lokasi Legon Waru.

Tembuyung memiliki indeks keanekaragaman yang berbeda, meskipun memiliki nilai

yang berbeda namun termasuk dalam kategori yang sama yakni kategori sedang, hal ini mengindikasikan penyebaran sedang. Tembuyung memiliki indeks keseragaman yang

stabil, nilai tersebut termasuk kedalam kategori keseragaman tinggi, keseragaman yang

tinggi mengindikasikan komunitas yang stabil. Indeks dominansi pada lokasi Tembuyung

termasuk dalam kategori rendah. Menurut Muqsit dkk., (2006) dominansi yang rendah

menunjukkan bahwa perairan masih mampu mendukung kehidupan karang sehingga tidak terjadi persaingan yang menyebabkan spesies tertentu saja yang dominan. Berdasarkan

hasil uji statistik Anova 2 arah dengan variabel indeks keanekaragaman (H’), indeks

keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) tidak berbeda signifikan pada setiap lokasi dan

kedua tahun. Hal ini mengindikasikan tidak adanya pengaruh tsunami yang besar terhadap struktur komunitas karang keras hidup di lokasi pengamatan setelah tsunami.

Kerusakan terumbu karang karena letusan gunung api umumnya terjadi akibat

banyaknya abu yang tersembur, namun pada kasus Pulau Sangiang karena jaraknya yang

jauh ± 50 km sehingga tidak mengenai lava maupun abu yang tersembur. Menurut Odum (1971) semakin tinggi nilai H' maka komunitas tersebut memiliki keanekaragaman jenis

yang semakin tinggi. Indeks keseragaman digunakan untuk menggambarkan distribusi

jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Jika semakin merata penyebaran

individu antar spesies maka akan besar nilai indeks keseragamannya, dan keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat (Odum, 1971). Indeks dominansi digunakan untuk

melihat adanya jenis tertentu yang jumlahnya mendominasi pada suatu komunitas.

Umumnya indeks keseragaman dan keanekaragaman yang rendah akan menandakan

adanya dominansi suatu spesies terhadap spesies-spesies lainnya (Ludwig and Reynolds,

1988). Peningkatan dan penurunan nilai indeks tidak merata di setiap lokasi. Menurut

Siringoringo (2007) kerusakan yang berkaitan dengan tsunami bersifat tidak merata dan

berkaitan langsung dengan topografi bawah laut, serta bentuk dan struktur terumbu.

Karang-karang yang tumbuh pada substrat yang kuat, pada umumnya tidak terpengaruh oleh tsunami, walaupun ada sedikit cabang-cabang yang patah. Pada kasus Pulau Sangiang

di ketiga lokasi hanya mengalami perubahan yang sedikit atau tidak signifikan. Hal ini

mengindikasikan ketiga lokasi tersebut hanya terkena dampaknya sedikit saja, diduga ada

Lokasi H' E C

2016 2019 2016 2019 2016 2019

Legon Bajo 2.56 ± 0.13 2.15 ± 0.07 0.82 ± 0.24 0.69 ± 0.01 0.11 ± 0.03 0.18 ± 0.03

Legon Waru 2.02 ± 0.23 2.19 ± 0.11 0.71 ± 0.04 0.71 ± 0.02 0.19 ± 0.04 0.14 ± 0.01 Tembuyung 1.55 ± 0.15 2.24 ± 0.07 0.74 ± 0.07 0.81 ± 0.01 0.29 ± 0.04 0.13 ± 0.01

Rerata 2.04 ± 0.29 2.20 ± 0.02 0.76 ± 0.03 0.73 ± 0.03 0.20 ± 0.05 0.15 ± 0.01

Page 36: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

27 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

faktor pelindung dari ketiga lokasi. Posisi daratan utama terhadap lokasi pengambilan data

diduga merupakan salah satu faktor penghalang dari dampak tsunami, dimana arah

datangnya gelombang berasal dari arah barat daya menuju timur laut. Daratan utama

pulau bisa menghalang sebagian energi yang dibawa oleh gelombang tsunami sehingga ketiga lokasi pengambilan data tidak terkena dampak yang besar.

Total sebanyak 8.78 koloni/m2 pada tahun 2016 dan 20.33 koloni/m2 pada tahun 2019

ditemukan di lokasi penyelaman. Secara keseluruhan suku dari karang yang berada di

Pulau Sangiang tersebut terbagi menjadi 14 suku. Pada tahun 2016 suku Fungiidae memiliki densitas paling besar mencapai 1.76 koloni/m2, sedangkan pada tahun 2019 suku

Acroporidae memiliki densitas paling besar mencapai 6.55 koloni/m2. Adapun suku yang

tidak terdapat di tahun 2016 seperti Helioporidae, Milleporidae, dan Siderastreidae. Setiap

suku karang mengalami kenaikan dan penurunan yang tidak merata. Suku Acroporidae dan Faviidae mengalami kenaikan densitas yang signifikan, sedangkan suku Pocilloporidae

mengalami penurunan yang signifikan.

Gambar 2. Komposisi Densitas (∑koloni/m2) Suku Karang Keras Hidup Tahun 2016 dan

2019 Pulau Sangiang

Marga yang memiliki densitas tertinggi tahun 2016 adalah Seriatopora, Goniopora,

Pachyseris, Galaxea, Fungia, Montipora, Merulina, Ctenactis, Euphyllia, dan Hydnopora

(Gambar 3). Hasil pengambilan data didapatkan bahwa densitas setiap marga karang keras

hidup yang didapatkan bervariasi. Densitas tertinggi tahun 2016 terdapat dari marga Seriatopora sebesar 1.55 koloni/m2 (Gambar 3).

0 2 4 6 8

Caryophylliidae

Siderastreidae

Pectiniidae

Milleporidae

Helioporidae

Pocilloporidae

Agariciidae

Poritidae

Fungiidae

Mussidae

Oculinidae

Merulinidae

Faviidae

Acroporidae

∑Koloni/m2

Suku

2019 2016

Page 37: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

28 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 3. Sepuluh Marga Karang Keras Hidup dengan Densitas Tertinggi Tahun 2016 dan

Perbandingannya Tahun 2019 Di Pulau Sangiang

Marga Seriatopora merupakan marga dengan densitas tertinggi pada tahun 2016

mencapai 1.55 koloni/m2, namun di tahun 2019 mengalami penurunan densitas. Pada

tahun 2019 marga Montipora memiliki densitas tertinggi mencapai 4.6 koloni/m2,

Montipora mengalami kenaikan di tahun 2019 yang sebelumnya hanya 0.33 koloni/m2. Dibandingkan hasil tahun 2016 ada beberapa marga yang tidak ditemukan pada 2019,

maupun sebaliknya. Marga Sandalolitha, Podabacia, Stylophora tidak terdapat pada tahun

2019. Adapun beberapa jenis marga yang bertambah di tahun 2019 seperti Diploastrea,

Echinophyllia, Goniastrea, Heliopora, Leptoseris, Millepora, Platygyra, dan Psammocora. Berdasarkan analisis statistik dilakukan uji Anova dua arah dengan pengulangan, jenis

marga dan pengaruh waktu (sebelum dan sesudah tsunami) terhadap total densitas karang

keras memiliki nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 % (F = 3,74; F crit

= 1,53). Secara umum dapat dikatakan bahwa densitas setiap marga mengalami perubahan yang signifikan dari sebelum tsunami sampai sesudah tsunami. Perubahan

kenaikan dan penurunan terjadi secara tidak merata pada semua jenis marga.

Tabel 2. Densitas Total (∑koloni/m2) Koloni Karang Keras Hidup di Pulau Sangiang

Koloni karang keras hidup mengalami peningkatan dari tahun 2016 ke tahun 2019

dapat dilihat pada Tabel 2 Peningkatan paling besar terjadi di lokasi Legon Waru sebesar

4.36 koloni/m2, sedangkan peningkatan paling rendah terjadi di lokasi Tembuyung sebesar 2.24 koloni/m2. Berdasarkan analisis statistik dilakukan uji Anova dua arah dengan

pengulangan, pengaruh waktu (sebelum dan sesudah tsunami) dan jenis marga terhadap

total densitas karang keras memiliki nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan

0

1

2

3

4

5

6

∑kolo

ni/

m2

Marga 2016 2019

Lokasi Densitas total (∑koloni/m2)

2016 2019

Legon Bajo 4.41 ± 0.48 7.81 ± 0.75 Legon Waru 3.4 ± 0.81 7.76 ± 1.01

Tembuyung 0.96 ± 0.79 4.65 ± 0.90

Page 38: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

29 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

95 % (F = 9,33; F crit = 3,91). Secara umum dapat dikatakan bahwa densitas koloni

karang keras hidup di semua lokasi penelitian mengalami perubahan kenaikan yang

signifikan.

Densitas total dari setiap lokasi mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan terbesar terdapat di lokasi Legon Waru, hal ini terjadi diduga lokasi Legon Waru terletak

diapit oleh dua lokasi lainnya sehingga memiliki ancaman yang lebih sedikit, ketika

ancaman menjadi lebih sedikit diduga pertumbuhan dalam rekrutmen karang lebih baik

dari dua lokasi yang lain. Tsunami yang disebabkan oleh meletusnya gunung berapi juga membawa lava dalam gelombangnya. Lava tersebut dapat merusak terumbu karang

namun juga bisa memberikan substrat baru untuk tumbuh. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Wilkinson et al., (2006) gunung-gunung api yang melepaskan lava, misalnya

Hawaii, Reunion, dan Indonesia menyebabkan kerusakan terumbu karang di kawasan-kawasan sekitarnya. Lava tersebut juga menyediakan substrat baru untuk karang yang

dengan cepat membentuk koloni di bebatuan yang baru tersebut. Namun letak Pulau

Sangiang dan pusat letusan gunung berapi berjarak ± 50 km dengan arus Selat Sunda

mengarah ke barat daya pada musim timur (2014), sehingga kemungkinan kecil untuk

bebatuan baru tersebut sampai pada lokasi penyelaman. Adanya transplantasi karang yaitu salah satu teknik rehabilitasi dan restorasi terumbu

karang guna memperbanyak koloni karang dengan memanfaatkan reproduksi aseksual

karang secara fragmentasi ditemukan di lokasi Legon Bajo dan Legon Waru semenjak

tahun 2017 diduga membantu dalam penyebaran larva. Hal ini diduga menjadi salah satu sebab kenaikannya densitas pada pasca tsunami tahun 2019. Selain dari adanya

transplantasi karang terjadi juga rekrutmen di ketiga lokasi ditandai dengan densitas

kategori Small pada Gambar 4. Menurut Rudi dkk., (2005) secara khusus, rekrutmen

adalah kemampuan terumbu karang untuk pulih kembali dari gangguan atau bencana seperti topan atau tsunami, coral bleaching dan predator. Sebab bila terjadi gangguan lokal

di suatu terumbu, terumbu tetangganya dapat mendukung dalam penyebaran larva

sehingga dapat menghindari kepunahan jenis di suatu tempat (2000). Menurut Salim

(2012), sumber larva juga bisa didapatkan dari karang lokal yang tersisa. Pada Pulau Sangiang karakteristik substrat cukup sesuai dalam mendukung perekrutan

karang. Hal ini sesuai dikatakan Richmond (1997) bahwa lokasi penempelan yang baik bagi

planula karang cenderung memiliki karakter tipe dasar perairan yang stabil dan tidak

tersusun oleh sedimen lepasan atau bahan tidak padat serta gerakan air yang relatif

tenang, meskipun dalam kondisi tertentu arus yang kuat mampu mendorong pertumbuhan. Zamani dan Madduppa (2011) juga mengatakan planula karang membutuhkan laju

substrat yang keras, substrat ini berfungsi sebagai tempat keterikatan planula karang yang

kemudian tumbuh menjadi hewan karang dan membentuk komunitas yang kuat. Kondisi

terumbu karang yang ada di sekitar lokasi penelitian juga akan sangat mempengaruhi rekruitmen karang di lokasi penelitian, terutama dalam hubungan sumber dan

‘penenggelaman’ larva (source-sink relationship) (Rudi dkk., 2005). Menurut penelitian

Aprilian (2019) kondisi terumbu karang Legon Bajo dan Legon Waru termasuk kedalam

kategori tinggi dan kondisi kesehatan terumbu karang di Pulau Sangiang berdasarkan tutupan hidupnya dan tingkat resiliensinya tergolong dalam keadaan baik. Kondisi tersebut

dapat mengindikasikan di Pulau Sangiang memiliki perekrutan yang baik. Pada Gambar 4

dapat dilihat ketiga lokasi memiliki densitas karang dewasa yang tinggi. Keberadaan karang

dewasa yang matang secara seksual dapat berfungsi sebagai penyedia larva baru dan

keberadaan koloni karang besar yang berlimpah mampu memproduksi larva dalam jumlah yang banyak (Salim, 2012). Selain dari terumbu karang lokal, rekrutmen larva juga bisa

berasal dari alam dan lokasi lain. Hal ini disebabkan lokasi penelitian yang terpapar arus

sepanjang tahun, menurut Rahmawitri (2014) arus pada kedalaman 5 meter pada musim

timur mengarah ke barat daya sedangkan pada musim barat mengarah ke tenggara dari Laut Jawa memasuki Selat Sunda. Hal ini mengindikasikan pendugaan lokasi penelitian

Page 39: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

30 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

sebagai penerima larva melalui arus laut atau menurut Salim (2012) disebut sebagai

terumbu karang penampung (sink reefs). Namun terumbu karang sumber (source reefs)

yang mengarah ke lokasi penelitian belum bisa diketahui dan perlu dikaji lebih lanjut.

Pada lokasi Tembuyung total densitas tidak setinggi dua lokasi lainnya, hal ini diduga karena letak lokasi Tembuyung masih memungkinkan untuk terpapar gelombang tsunami

langsung dikarenakan posisi paling timur. Menurut Aprilian (2019) bahwa lokasi

Tembuyung berkorelasi atau berhubungan erat dengan makroalga dan rubble,

keberadaannya paling banyak ditemukan pada lokasi ini. Keberadaan makroalga dapat memperkecil tingkat rekrutmen dari karang karena makroalga berkompetisi untuk ruang

hidup dengan karang. Selain alga patahan karang (rubble) merupakan substrat yang tidak

optimal bagi rekrutmen karang. Estradivari dkk., (2009) mengatakan bahwa hamparan

patahan karang dan pasir merupakan substrat yang tidak stabil karena dapat mudah terbolak balik (shifting) oleh arus dan ombak, membuat planula karang menjadi susah

menempel. Subhan dkk., (2014) mengatakan daerah-daerah yang sudah dikuasai oleh

makro alga biasanya sangat sulit untuk direhabilitasi.

Karang keras dikelompokkan menjadi tiga kategori ukuran koloni, berdasarkan

diameter terpanjang, yaitu Small (< 5cm), Medium (5,1 - 25 cm), dan Large (> 25,1 cm).

Gambar 4. Densitas Koloni Karang Keras Hidup (∑koloni/m2) Berdasarkan Diameter

Terpanjang pada Setiap Kategori di Pulau Sangiang tahun 2016 dan 2019

Di Legon Bajo kategori Large mendominasi di kedua tahun. Koloni karang keras yang

berkategori Large terkadang dapat membentuk hamparan yang tidak bisa dipisahkan antar

koloni dan bisa juga berupa bongkahan masif besar (Estradivari dkk., 2009). Karang

dengan kategori Small dapat diasumsikan sebagai rekrutmen yang ada di setiap lokasi. Berkurangnya kategori Small pada tahun 2019 mengindikasikan rekrutmen karang di lokasi

Legon Bajo lebih sedikit dibandingkan tahun 2016. Di lokasi Legon Waru tingkat rekrutmen

stabil dapat dilihat pada Gambar 4. Kategori Medium dan Large mengalami peningkatan

yang signifikan, hal ini mengindikasikan ekosistem tidak mengalami tekanan yang besar maupun masih dalam batas toleransi karang. Di lokasi Tembuyung tingkat rekrutmen

karang paling rendah pada tahun 2016 dibandingkan dua lokasi lainnya, namun mengalami

peningkatan pada tahun 2019. Hal ini dilihat dari nilai kategori Small yang kecil di lokasi

Tembuyung. Ukuran koloni yang berukuran < 5 cm, sering dikatakan sebagai juwana/anak

karang. Marga yang mendominasi rekrutmen pada tahun 2016 merupakan Fungia, Galaxea,

dan Seriatopora. Ketiga jenis karang ini tersebar di Legon Bajo dan Legon Waru secara

0

1

2

3

4

5

6

7

Small Medium Large Small Medium Large Small Medium Large

Legon Bajo Legon Waru Tembuyung

∑kolo

ni/

m2

2016 2019

Page 40: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

31 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

tidak merata. Sementara pada tahun 2019 marga yang mendominasi rekrutmen yaitu

Fungia, Lobophyllia, dan Montipora. Ketiga jenis karang ini tersebar pada ketiga lokasi

secara tidak merata. Secara umum marga Fungia memiliki karakteristik sudah dewasa

dengan ukuran < 25 cm (Estradivari dkk., 2007), sehingga dalam pengelompokkan masih termasuk kedalam kategori Medium maupun Small, hal ini mengindikasikan wajar pada

kedua tahun merupakan salah satu marga yang mendominasi kategori Small.

Tingkat rekrutmen karang yang ditandai dari kategori Small pada ketiga lokasi

termasuk dalam ketahanan terumbu karang rendah berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Obura dan Grimsdith (2009), dimana masih berada dibawah 1 koloni/m2. Koloni

karang dengan kategori Small cukup rentan jika terkena gangguan. Menurut Yang (1985)

koloni yang berukuran kecil sangat rentan terhadap gangguan, di antaranya dimangsa oleh

hewan lain, terkubur oleh sedimen, dan hancur karena arus juga gelombang. Kategori Small bisa mengindikasikan kepada kenaikan dan penurunan populasi. Wibowo dkk.,

(2016) mengatakan perubahan rekrutmen karang ke arah penurunan populasi dapat

disebabkan oleh kemampuan karang muda yang rendah untuk bertahan hidup setelah

penempelan. Hal ini diakibatkan berbagai faktor, di antaranya adalah kompetisi ruang

antara alga dan karang, yang apabila tutupan karang hidup hanya berbeda sedikit dibandingkan alga, maka penempalan larva karang akan terganggu (Mumby et al., 2013).

Menurut Mumby et al., (2013) kepadatan koloni karang muda digunakan untuk mengukur

potensi pemulihan dan dijadikan sebagai salah satu variabel ketahanan ekosistem terumbu

karang untuk pemulihan setelah mengalami kerusakan. Tabel 3 menunjukkan kondisi fisika dan kimia perairan pada sebelum tsunami tahun

2016, ketika tsunami 2018, dan sesudah tsunami tahun 2019. Kualitas perairan baik fisika

maupun kimia di ketiga lokasi cenderung homogen dapat dilihat pada Tabel 3. Parameter

kualitas air cenderung homogen di setiap lokasi. Secara umum kualitas perairan cukup sesuai dengan baku mutu untuk terumbu karang (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004).

Namun nilai salinitas tidak sesuai pada sebelum dan sesudah tsunami, hal ini

mengindikasikan salinitas kurang optimal sehingga diduga menjadi salah satu faktor

penghambat pertumbuhan, namun meskipun tidak masuk kedalam rentang baku mutu, nilai tersebut masih dalam ambang toleransi bagi karang.

Berdasarkan hasil uji statistik Anova dua arah dengan pengulangan bahwa kualitas

perairan tidak berbeda signifikan di setiap lokasi (P-value = 0.99). Kualitas perairan yang

tidak berbeda signifikan di setiap lokasi mengindikasikan kualitas perairan yang homogeny.

Tabel 3. Kualitas Perairan di Pulau Sangiang Pada Tahun 2016 (Sebelum Tsunami), Tahun

2018 (Saat Tsunami), dan Tahun 2019 (Sesudah Tsunami)

Kesimpulan. Struktur komunitas setelah tsunami tidak mengalami perubahan yang

signifikan yang ditunjukkan oleh tidak ada perubahan yang signifikan pada indeks

keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi di setiap lokasi. Namun,

densitas total dari sebelum dan sesudah tsunami berbeda nyata. Densitas sesudah tsunami mengalami kenaikan yang signifikan. Kualitas air cenderung homogen di ketiga lokasi baik

sebelum dan sesudah tsunami.

Parameter Legon Bajo Legon Waru Tembuyung

2016 2018 2019 2016 2018 2019 2016 2018 2019

Suhu (℃) 29 29 30 29 29 30 29 29 31 Salinitas (ppt) 30 32.5 30 30 32.5 30 30 32.5 30

pH 8 - 7.9 8 - 7.9 8 - 7.9

Kecerahan (m) 7 - 8 5 - 4 6 - 6 Arus (m/s) 0.3 - 0.16 0.1 - 0.06 0.2 - 0.4

Page 41: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

32 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Ucapan Terima Kasih. Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT Asahimas

Chemical (ASC), Yayasan KEHATI, dan Yayasan TERANGI yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk ikut dalam proses penelitian di Pulau Sangiang.

Daftar Pustaka

Aprilian R. 2019. Indeks Kesehatan terumbu karang di perairan Pulau Sangiang [Skripsi].

Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Cornell HV, Karlson RH. 2000. Coral species richness: ecological versus biogeographical influences. Coral reefs .19:37-49p

Estradivari, Syahrir Muh, Susilo N, Yusri S, Timotius S. 2007. Terumbu Karang Jakarta:

Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004 - 2005). Jakarta

(ID): Yayasan TERANGI.

Estradivari, E. Setyawan , Yusri S. 2009. Terumbu karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Jakarta (ID): Yayasan

TERANGI.

Hill J, Wilkinson C. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs: a resource for

managers. Australia (AU): Australian Institute of Marine Science and Reef Check. Kelley R. 2009. The Australian coral reef society coral finder, Indo Pacific. Australia (AU):

Byoguides.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51

Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta (ID): Kantor Kementerian Lingkugan Hidup dan Kehutanan.

Ludman A. 1982. Physical Geology. (US): McGraw-Hill, Inc.

Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing.

New York (UK): John Wiley & Sons. Madduppa H, Subhan B, Arafat D, Zamani N P. 2016. Riset dan inovasi terumbu karang

dan proses pemilihan Teknik rehabilitasi: sebuah usulan menghadapi gangguan alami

dan antropogenik kasus di Kepulauan Seribu. Risalah kebijakan pertanian dan

lingkungan. 3(2):130-139p. DOI: 10.20957/jkebijakan.v3i2.15513.

Mumby PJ, Bejarano S, Golbun Y, Steneck RS, Arnold SN, Woesik VR, Frienlander AM. 2013. Emphirical relationship among resilience indicators on Micronesian Reefs, Coral

Reef. 32:213-223p. DOI: 10.1007/s00338-012-0966-0.

Muqsit A, Purnama D, Ta’alidin Z. 2016. Struktur komunitas terumbu karang di Pulau Dua

Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Enggano. 1(1):75-87p. Obura D, Grimsditch G. 2009. Resilience assessment of coral reefs: assessment protocol

for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress. Gland (CH): IUCN.

Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. Philadelphia and London (UK): W.

B. Saunders Company. Rahmawitri H. 2014. Variabilitas arus di sekitar Selat Sunda pada tahun 2007-2010 dari

hasil model indeso [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ramadhani RA, Damar A, Madduppa H. 2015. Management on coral reef ecosystem in the

Siantan Tengah District, Anambas Islands. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis.

7(1):173-189p. DOI: 10.28930/jikt.v7i1.9804. Richmond RH. 1997. Reproduction and recruitment in corals: critical links in the persistence

of reef, life and death of coral reefs. New York (UK): Chapman and Hall.

Rudi E, Soedharma D, Sanusi HS, Pariwono JI. 2005. Affinitas penempelan larva karang

(Scleractinia) pada substrat keras. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 2:129-137p.

Salim D. 2012. Pengelolaan ekosistem terumbu karang akibat pemutihan (bleaching) dan

rusak. Jurnal KELAUTAN. 5(2):142-155p. DOI: 10.21107/jk.v5i2.870.

Page 42: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

33 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Siringoringo RM. 2007. Fenomena tsunami dan pengaruhnya terhadap terumbu karang.

Oseana. 32(2):43-51p.

Skinner BJ dan Porter SC. 1995. The Dynamic Earth : An Introduction to Physical Geology

3rd ed. Canada (CA) : John Wiley and Sons, Inc. Subhan B, Madduppa H, Arafat D, Soedharma D. 2014. Bisakah transplantasi karang

perbaiki ekosistem terumbu karang ?. Risalah kebijakan pertanian dan lingkungan.

1(3):159-164p.

Subhan B, Hudhayani NN, Ervina A, Santoso P, Arafat D, Khairudi D, Soedharma D, Madduppa H. 2020. Coral recruitment on concrete blocks at Gosong Pramuka,

Kepulauan Seribu, Jakarta. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.

404(1):1-11p. DOI: 10.1088/1755-1315/404/1/012045.

Uar ND, Murti SH, Hadisusanto S. 2016. Kerusakan lingkungan akibat ativitas manusia pada ekosistem terumbu karang. Jurnal MGI. 30(1):88-95p.

Veron JEN. 2000. Corals of the World Volume 1-3. Australian Institute of Marine Science

and CRR Qld Pty Ltd. Australia.

Wibowo K, Abrar M, Siringoringo RM. 2016. Status trofik ikan karang dan hubungan ikan

herbivora dengan rekrutmen karang di perairan Pulau Pari, Teluk Jakarta. OLDI (Oseanologi dan Limnologi di Indonesia). 1(2):73-89p.

Wilkinson C, Souter D, Goldberg J. 2006. Status of Coral Reefs in Tsunami Affected

Countries 2005. Townsville (AU): Australia Institute of Marine Sciences.

Yang RT. 1985. Coral communities in Nan Wan Bay. Proceedings of the Fifth International Coral Reef Congress Vol. 6; 1985 Mei 27; Tahiti, Taiwan. Tahiti (TW):273-278p.

Zamani NP dan Madduppa HH. 2011. A standard criteria for assesing the health of coral

reefs: implication for management and conservation. Journal of Indonesia Coral Reefs.

1(2):137-146p. Zamani NP. 2015. Kelimpahan Acanthaster plancii sebagai indikator kesehatan karang di

perairan pulau Tunda, Kabupaten Serang, Banten. Journal Ilmu dan Teknologi Kelautan

Tropis. 7(1):273-286p.

Page 43: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

34 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pendugaan Parameter Populasi Hiu Lanjaman Carcharhinus brevipinna yang Didaratkan Di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat Sulfiana1, Faisal Amir2 dan Achmar Mallawa3

1,2,3)Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan/Universitas Hasanuddin, Jln. Perintis

Kemerdekaan, KM 10 Tamalanrea, 90245, Makassar, Indonesia

(Email: [email protected] ; [email protected] : [email protected])

Abstrak - Hiu Lanjaman Carcharhinus brevipinna merupakan hasil tangkapan hiu dominan yang

didaratkan di Kabupaten Majene. Penelitian ini bertujuan untuk menduga parameter populasi Carcharhinus brevipinna meliputi struktur ukuran, pertumbuhan, mortalitas serta laju eksploitasi. Survei

lapang dilakukan di dua tempat pengepul pada bulan September hingga Oktober 2020. Parameter

populasi diduga menggunakan data gabungan jantan dan betina. Parameter pertumbuhan, L∞ dan K diduga menggunakan software FISAT II. Pendugaan mortalitas alami (M) menggunakan empiris Pauly,

mortalitas total (Z) diduga menggunakan model Beverton & Holt dengan bantuan software FISAT II sehingga mortalitas penangkapan (F) diperoleh dari hasil pengurangan nilai M terhadap Z (F=Z-M). Laju

eksploitasi (E) diduga dari F/Z. Sampel berjumlah 132 ekor diukur berdasar panjang total terdiri dari 44

jantan dan 88 betina. Dari analisis struktur ukuran diperoleh kisaran ukuran panjang dan panjang rata-rata yaitu 39-280 cm TL (104,1 ± 69,1 cm TL) dan 37-320 cm TL (113,9 ± 78,1 cm TL) masing-masing

untuk jantan dan betina. Hasil pendugaan L∞= 395,5 cm, K=0,2, t0= -0,41 yang kemudian digunakan untuk menduga mortalitas alami (M) sehingga diperoleh M= 0,30 per tahun dan mortalitas total (Z) 0,76

per tahun. Nilai mortalitas penangkapan (F) diperoleh sebesar 0,46 per tahun sehingga laju eksploitasi

diperoleh 0,6 yang mengindikasikan telah terjadi lebih tangkap. Kata Kunci: Carcharhinus brevipinna, dinamika populasi, Majene.

Abstract – Lanjaman Sharks Carcharhinus brevipinna are the dominant shark catch landed in Majene

Regency. This study aims to estimate the population parameters of Carcharhinus brevipinna including

size structure, growth, mortality and exploitation rate. Field surveys were conducted in two collectors' sites from September to October 2020. Population parameters were estimated using combined data of

males and females. Growth parameters, L∞ and K were estimated using FISAT II software. Estimation

of natural mortality (M) using empirical Pauly, total mortality (Z) was estimated using the Beverton & Holt model with the help of FISAT II software so that catch mortality (F) is obtained from the results of

reducing the value of M to Z (F = Z-M). The exploitation rate (E) is estimated from F / Z. A sample of 132 individuals was measured based on the total length consisting of 44 males and 88 females. From

the size structure analysis, it was obtained that the range of length and average length was 39-280 cm

TL (104.1 ± 69.1 cm TL) and 37-320 cm TL (113.9 ± 78.1 cm TL), respectively. for males and females. The estimation results L∞ = 395.5 cm, K = 0.2, t0 = -0.41 which are then used to estimate natural

mortality (M) to obtain M = 0.30 per year and total mortality (Z) 0.76 per year. The fishing mortality (F) value is 0.46 per year so that the exploitation rate is 0.6 which indicates that there has been overfishing.

Keywords: Carcharhinus brevipinna, population dynamics, Majene.

Pendahuluan. Potensi Perikanan Kabupaten Majene mempunyai sumberdaya kelautan

yang melimpah, termasuk ikan hiu. Salah satu spesies ikan hiu dominan tertangkap yang didaratkan di Kabupaten Majene adalah hiu lanjaman Carcharhinus brevipinna. Produksi

perikanan hiu di Sulawesi Barat cenderung mengalami penurunan yang mengindikasi

terjadinya overfishing. Pertumbuhan usaha perikanan hiu di Indonesia sekarang ini

dirasakan telah melebihi batas kemampuan produksinya. Hal ini ditandai dengan makin sulitnya nelayan lokal menangkap hiu karena makin jauhnya lokasi penangkapan, jumlah

hasil tangkapan menurun dan makin kecilnya ukuran yang ditangkap, (Fahmi dan

Dharmadi, 2013).

Menurut Fahmi dan Darmadhi (2013) hiu lanjaman merupakan ikan yang hidup di daerah perairan paparan benua, mulai dari dekat pantai hingga perairan lepas pantai

dengan kedalaman 75 meter. Berdasarkan status konservasi, spesies ikan ini termasuk

dalam daftar kuning yaitu Near Threatened (NT) yang berarti hampir terancam

Page 44: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

35 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

berdasarkan red list IUCN (International Union for Conservation of Nature) 2013 sehingga

perlu pengelolaan yang baik untuk spesies hiu tersebut.

Hiu rentan terhadap penangkapan berlebih. Menurut Compagno (1984), beberapa sifat

biologi hiu adalah siklus hidupnya yang panjang, pertumbuhan dan kematangan kelaminnya yang lambat serta fekunditasnya yang rendah. Kelestarian populasi ikan hiu

memerlukan adanya pengelolaan yang baik agar populasinya dapat dimanfaatkan secara

optimal dan berkelanjutan. Belum adanya informasi ilmiah mengenai dinamika populasi hiu

lanjaman Carcharhinus brevipinna yang berasal dari perairan bagian tengah Selat Makassar sehingga peneliti tertarik meneliti Pendugaan Parameter Populasi Hiu Lanjaman yang

Didaratkan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Perlunya dilakukan penelitian ini

disebabkan karena informasi mengenai dinamika populasi dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam pengembangan perikanan hiu di Indonesia terutama pengelolaan hiu lanjaman yang didaratkan di Kabupaten Majene.

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode pengambilan data dilakukan dengan survei lapang di dua tempat pengepul di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat pada bulan September

hingga Oktober 2020. Data yang digunakan adalah data primer ukuran panjang total hiu

lanjaman.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Bahan dan peralatan. Pengukuran panjang ikan sampel diukur menggunakan meteran

rol dengan ketelitian 0,1 cm. Spesies ikan sampel dikelompokkan berdasarkan jenis

kelamin. Jenis kelamin ditentukan dengan melihat ada tidaknya klasper yang menandakan

jenis kelamin jantan. Sangadji (2014) menyatakan bahwa jenis kelamin pada hiu

ditentukan dengan adanya clasper pada hiu jantan yang merupakan modifikasi sirip perut

menjadi clasper yang terbentuk dari tulang rawan untuk penyaluran sperma ke hiu betina

saat kawin.

Page 45: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

36 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Analisis Data

Struktur Ukuran. Data frekuensi panjang 2 bulan pengamatan ditabulasi dengan interval

kelas berdasar jenis kelamin. Penentuan struktur ukuran ikan menggunakan diagram

batang. Perbedaan ukuran panjang diantara jenis kelamin dianalisis dengan uji-t dengan

bantuan perangkat lunak SPSS versi 16 (Hartono 2008).

Pertumbuhan. Parameter populasi akan diduga menggunakan data gabungan jantan dan

betina apabila berdasar hasil analisis uji-t (p>0,05) tidak memperlihatkan adanya

perbedaan ukuran antara jantan dan betina. Model persamaan von Bertalanffy yang

dikemukakan oleh Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:

𝐋𝐭 = 𝐋∞ (𝟏 − 𝐞−𝐊 (𝐭−𝐭𝟎))

Keterangan:

Lt = Panjang ikan pada saat umur t (cm) L∞ = Panjang asimtot ikan (cm)

K = Koefisien laju pertumbuhan ikan (per tahun)

t0 = Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (tahun)

t = Umur (tahun)

Metode penentuan panjang asimtot (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K) di estimasi

dengan menggunakan program ELEFAN I yang terdapat pada paket perangkat lunak FiSAT

II (Gayanilo et al., 2005). Umur teoritis (t0) di estimasi dengan menggunakan persamaan

empiris Pauly (1983) sebagai berikut:

𝐋𝐨𝐠 (−𝐭𝟎) = −𝟎, 𝟑𝟗𝟐𝟐 − 𝟎, 𝟐𝟕𝟓𝟐 (𝐋𝐨𝐠 𝐋∞) − 𝟏, 𝟎𝟑𝟖 (𝐋𝐨𝐠 𝐊)

Dimana: t0 = Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (tahun)

L∞ = Panjang asimtot ikan (cm)

K = Koefisien laju pertumbuhan (per tahun)

Mortalitas

Mortalitas total. Mortalitas total (Z) diduga menggunakan metode kurva hasil

tangkapan dengan konversi panjang linier (linearized length converted catch curve) pada program FiSAT II dengan menggunakan rumus (Pakro, et al., 2020):

𝐥𝐧𝑪(𝑳𝟏,𝑳𝟐)

∆𝒕(𝑳𝟏,𝑳𝟐)= 𝑪 − 𝒁 (

𝒕 (𝑳𝟏)+𝒕(𝑳𝟐)

𝟐)

Dimana : 𝑦 = ln 𝐶 (𝐿1, 𝐿2) / ∆𝑡 (𝐿1, 𝐿2), 𝑥 = {𝑡 (𝐿1) + 𝑡(𝐿2)}/2, dan slope (b) = -Z

Mortalitas alami. Penentuan laju mortalitas alami diduga dengan menggunakan

rumus empiris Pauly (1980) dengan persamaan (Sparre & Venema, 1999):

𝐋𝐧 𝐌 = 𝟎, 𝟏𝟓𝟐 − (𝟎, 𝟐𝟕𝟗 × 𝐋𝐧 𝐋∞) + (𝟎, 𝟔𝟓𝟒𝟑 × 𝐋𝐧 𝐊) + (𝟎, 𝟒𝟔𝟑 × 𝐋𝐧 𝐓)

Page 46: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

37 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Mortalitas penangkapan. Mortalitas penangkapan (F) dapat dihitung dengan

mengurangkan mortalitas total (Z) terhadap mortalitas alami (M) (Sparre & Venema,

1999), dengan rumus di bawah ini.

𝐙 = 𝐅 + 𝐌, menjadi: 𝐅 = 𝐙 − 𝐌

Laju Eksploitasi. Laju ekspkoitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas

penangkapan (F) terhadap laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984):

𝐄 = 𝑭

𝒁

Keterangan:

E = Laju eksploitasi

F = Mortalitas penangkapan Z = Laju mortalitas total

Hasil dan Pembahasan

Struktur Ukuran. Total hiu lanjaman Carcharhinus brevipinna tertangkap yang didaratkan di dua tempat pengepul di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat dalam kurun waktu penelitian

berjumlah 132 ekor terdiri dari 44 jantan dan 88 betina. Dari hasil analisis struktur ukuran

diperoleh kisaran ukuran panjang total dan panjang rata-rata yaitu 39-280 cm TL (104,1

± 69.1) dan 37-320 cm TL (113,9 ± 78,1) masing-masing untuk jantan dan betina (Gambar 2).

Gambar 2. Struktur Ukuran Panjang Total Hiu Lanjaman : (a) Jantan dan (b) Betina

Berdasarkan histogram di atas dapat dilihat bahwa modus ukuran panjang total hiu

Carcharhinus brevipinna didominasi oleh tengah kelas ukuran panjang 75,5 cm pada jantan

dan 65,5 cm pada betina. Pada penelitian Sentosa et al. (2018), modus ukuran panjang

total hiu Carcharhinus brevipinna didominasi oleh kelas ukuran panjang 100-150 cm baik jantan maupun betina.

Carcharhinus brevipinna merupakan spesies pelagis pesisir, penghuni daerah beriklim

hangat, subtropis dan tropis (Compagno, 1984 in Santos et al. 2017). Ukuran maksimum

yang tercatat di lembar identifikasi FAO adalah 280 cm (Fisher and Bianchi, 1984) in (Sivadas et al., 2013). Panjang total maksimum spesies yang dilaporkan dalam literatur

adalah 300 cm (Sanches, 1991 in Ayas et al., 2019).

Hasil penelitian Sentosa et al. (2018), ditemukan hiu Carcharhinus brevipinna

tertangkap di perairan Selatan Nusa Tenggara yang berukuran 305 cm. Namun, pada

penelitian ini ditemukan hiu Carcharhinus brevipinna tertangkap dengan panjang tubuh

0

2

4

6

8

10

12

35.5

55.5

75.5

95.5

115.5

135.5

155.5

175.5

195.5

215.5

235.5

255.5

275.5

295.5

315.5

Jum

lah (

ekor)

TK panjang total (cm)

0

5

10

15

35.5

55.5

75.5

95.5

115.5

135.5

155.5

175.5

195.5

215.5

235.5

255.5

275.5

295.5

315.5

Jum

lah (

ekor)

TK panjang total (cm)(a) (b)

Page 47: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

38 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

320 cm. Ukuran panjang maksimal sampel hiu lebih panjang dikaitkan dengan pendugaan

ketersediaan makanan yang relatif melimpah di Selat Makassar yang merupakan daerah

penangkapan Carcharhinus brevipinna pada penelitian ini. Ketersediaan makanan yang

melimpah menyebabkan tercukupinya kebutuhan energi untuk pertumbuhan dan

reproduksi sehingga hiu dapat tumbuh secara optimal (Joung et al. 2005; Sentosa et al.

2018).

Pertumbuhan. Parameter populasi diduga menggunakan data gabungan jantan dan

betina berdasar hasil analisis uji T yang tidak memperlihatkan perbedaan ukuran jantan

dan betina. Berdasarkan hasil uji Independent Sample T-Test SPSS yang membandingkan

perbedaan ukuran panjang jantan dan betina diperoleh nilai Sig. Levenes’s Test for Equality of Variances sebesar 0.082 > 0.05 maka dapat diartikan bahwa varians data antara jantan

dan betina adalah homogen atau sama. Selanjutnya, nilai Sig. (2-tailed) pada T-Test for

Equality for Means sebesar 0.477 > 0.05 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan

antara ukuran panjang sampel jantan dan betina. Penelitian Santos et al. (2017) yang menggunakan sampel Carcharhinus brevipinna

sebanyak 125 ekor terdiri dari 56 jantan dan 69 betina, tidak ditemukan perbedaan yang

signifikan antara jantan dan betina (F = 0,561, p = 0,455). Penelitian Allen & Wintner

(2002) yang membandingkan parameter pertumbuhan Von Bertalanffy menggunakan data gabungan jenis kelamin hiu Carcharhinus brevipinna berjumlah 67 ekor diperoleh K =

0,127, L∞ = 209 cm, t0 = -2,52 dengan panjang maksimal 220 cm. Hasil penelitiannya

tersebut dibandingkan dengan penelitian terdahulu Branstetter (1987) yang menggunakan

sampel hiu Carcharhinus brevipinna berjumlah 14 ekor diperoleh K = 0,212, L∞ = 158 cm,

t0 = -1,94 dengan panjang maksimal 166 cm. Hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat diperoleh

pendugaan L∞ = 395.5 cm, K = 0.2, t0 = -0.41. Pauly (1980) dalam Sparre & Venema

(1999) menyatakan bahwa nilai K merupakan suatu parameter yang menentukan seberapa

cepat ikan mencapai panjang asimtotiknya. Ikan dengan nilai K yang relatif rendah pada umumnya memiliki umur yang relatif panjang.

Koefisien pertumbuhan hiu lanjaman menunjukkan bahwa nilai K pada hiu lanjaman lebih

kecil dari 0.5. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pada hiu lanjaman memiliki

pertembuhan yang lebih lambat dari panjang asimtot ikan. Menurut Sparre dan Venema (1999) menjelaskan bahwa nilai K < 0.5 memiliki pertumbuhan yang lambat. Sebaliknya,

jika nilai K > 0.5 memiliki pertumbuhan yang cepat.

Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Hiu Lanjaman

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

-5 0 5 10 15 20 25 30 35

Panja

ng t

ota

l (c

m)

Umur relatif (tahun)

Page 48: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

39 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Nilai dugaan parameter pertumbuhan yang telah diperoleh (L∞, K, t0) kemudian

dimasukkan ke dalam persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, yaitu Lt = 395.5 (1 – e –

0.2 (t + 0.41552)). Kurva pertumbuhan hiu lanjaman disajikan pada Gambar 3 dengan

cara mensubtitusi berbagai tingkat umur kedalam nilai t.

Mortalitas. Laju Mortalitas total (Z) diduga menggunakan metode kurva hasil tangkapan

dengan konversi panjang linier (linearized length converted catch curve) pada program

FiSAT II diperoleh hasil pada Gambar 4 memberikan nilai Z = 0,69 per tahun. Pendugaan mortalitas alami (M) menggunakan hubungan empiris Pauly (1980) dengan menginput nilai

dugaan L∞ = 395,5 cm, K = 0,2 per tahun, dan suhu rata-rata perairan di Selat Makassar

(28°C), maka diperoleh nilai dugaan mortalitas alami (M) = 0,30 per tahun. Karena Z =

M + F, maka mortalitas penangkapan diduga dengan F = Z – M = 0,76 – 0,30 = 0,39 per

tahun.

Gambar 4. Analisis Length-Converted Catch Curve

Mortalitas ikan hiu di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor mortalitas akibat

penangkapan daripada mortalitas alami. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian

Hidayatulloh (2017) yang meneliti dinamika populasi hiu Carcharhinus falciformis di Perairan Cilacap Jawa Tengah menunjukkan bahwa nilai mortalitas akibat penangkapan (F)

sebesar 1,83 per tahun dan lebih besar daripada nilai mortalitas alaminya (M) yaitu 1,03

per tahun sehingga disimpulkan bahwa faktor kematian hiu Carcharhinus falciformis lebih

didominasi oleh faktor kegiatan penangkapan yang berlebihan. Hasil analisis Chodrijah et

al. (2018) dalam penelitiannya memperoleh hasil yang serupa bahwa nilai mortalitas alami dari ikan hiu macan M= 0,35 per tahun dan mortalitas penangkapan F= 0,75 per tahun

maka diperoleh nilai tingkat eksploitasi E = 0,68. Tingkat eksploitasi hiu macan (Galeocerdo

cuvier) di perairan Nusa Tenggara Barat ini lebih tinggi dari nilai laju ekspolitasi yang

optimal (E = 0,5).

Laju Eksploitasi. Laju eksploitasi diduga dengan membandingkan laju mortalitas akibat

penangkapan (F) terhadap laju mortalitas total (Z) sehingga diperoleh laju eksploitasi (E

= F / Z) adalah 0,39 / 0,69 = 0,56. Dari nilai E > 0,5 mengindikasikan hiu Carcharhinus brevipinna yang didaratkan di Kabupaten Majene termasuk kategori lebih tangkap.

Page 49: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

40 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Beberapa jenis hiu telah memasuki fase kelangkaan yang terjadi sebagai dampak

eksplorasi yang berubah menjadi eksploitasi (Ekasari et al., 2018). Potensi hiu mengalami

penurunan akibat eksploitasi yang berlebihan secara tidak langsung dan langsung

disebabkan oleh ukuran populasi masyarakat wilayah pesisir (Davidson et al., 2016).

Masalah utama lainnya adalah laporan tangkapan ikan hiu yang tidak lengkap (Worm et

al., 2013), dalam hal ini penangkapan ikan hiu tidak dilaporkan sesuai dengan keadaan di

lapangan.

Kesimpulan. Analisis struktur ukuran hiu lanjaman Carcharhinus brevipinna yang

didaratkan di Kabupaten Majene diperoleh ukuran panjang 320 cm yang merupakan ukuran

paling panjang diantara beberapa penelitian yang pernah dilakukan. Hiu tersebut memiliki

laju pertumbuhan lambat dengan laju mortalitas penangkapan yang lebih tinggi

dibandingkan laju mortalitas alami sehingga laju eksploitasi menunjukkan kondisi lebih tangkap.

Ucapan Terima Kasih. Artikel ini merupakan tugas akhir kami sebagai mahasiswa

di Prodi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Departemen Perikanan FIKP Unhas. Penulis sebagai mahasiswa yang bertugas sebagai enumerator dalam riset Hibah Penelitian Dasar

Unhas mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,

pimpinan Universitas Hasanuddin Makassar dan pimpinan Lembaga Penelitian dan

Pengabdian pada Masyarakat (LP2M) Unhas. Penelitian ini didanai dalam Hibah Penelitian

Dasar Unhas (PDU) dengan nomor kontrak No.1585/UN4.22/PT.01.03/2020 tanggal 27 Mei 2020.

Daftar Pustaka

Allen, B. R., & Wintner, S. P. 2002. Age and Growth of The Spinner Shark Carcharhinus brevipinna (Müller and Henle, 1839) off The Kwazulu-Natal Coast, South Africa. South

African Journal of Marine Science. 24: 1-8p.

Ayas, D., Ciftci, N., Akbora, H. D. 2019. New Record of Carcharhinus brevipinna (Müller &

Henle, 1839) from Mersin Bay, the Northeastern Mediterranean. Natural and Engineering Sciences. 4 (3): 268-275p.

Chodrijah, U., Sentosa, A. A., Prihatiningsih. 2018. Parameter Populasi Hiu Macan

(Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) di Perairan Selatan Nusa Tenggara Barat.

Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 24 (4): 253-261p. Compagno., Leonardo, J. V. 1984. Sharks of the World: An Annotated and Illustrated

Catalogue of Shark Species Known to Date. Part 2. FAO Fisheries Synopsis, 125 (4)

Rome, Italy.

Davidson, L. N., Krawchuk, M. A., & Dulvy, N. K. (2016). Why have global shark and ray

landings declined: improved management or overfishing?. Fish and Fisheries. 17 (2), 438-458p.

Ekasari, D. A., Kasmita, I. N., Prihatin, J. 2018. Peningkatan Pemahaman Masyarakat Guna

Mempertahankan Populasi Ikan Hiu dan Pari, Pantai Depok, Bantul, DIY. Prosiding

Simposium Nasional Hiu dan Pari Indonesia Ke-2 Tahun 2018:249-253p. Fahmi., Dharmadi. 2013. Pengenalan Jenis-Jenis Hiu Indonesia. Direktorat Konservasi

Kawasan dan Jenis Ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 63p.

Gayanilo, F. C., Sparre, P., Pauly, D. 2005. FAO-ICLARM stock assessment tools II.

Computerized information series: Rome. Hartono J. 2008 Metodelogi Penelitian Sistem Informasi. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Hidayatulloh, W. S. 2017. Dinamika Populasi Hiu Carcharhinus falciformis (Muller & Henle,

1839) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap, Jawa Tengah.

Page 50: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

41 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Skripsi. Program Sarjana, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya.

Joung, S. J., Liao, Y. Y., Liu, K. M., Chen, C. T.. Leu, L. C. 2005. Age, Growth, and

Reproduction of the Spinner Shark, Carcharhinus brevipinna, in the Northeastern Waters of Taiwan. Zoological Studies. 44 (1): 102-110p.

Pakro, A., Mallawa, A., Sudirman., Amir, F. 2020. Population dynamic of red snapper

(Lutjanus gibbus) at Alor waters East Nusa Tenggara Province, Indonesia. The 2nd

International Conference of Animal Science and Technology. Hasanuddin University. Indonesia: 1755-1315.

Pauly, D. 1980. On the interrelationship between natural mortality, growth parameters,

and mean environmental temperature in 175 fish stocks. J. Com. CIEM. 39 (2): 175-

192p. Pauly, D. 1983. Length Converted Catch Curve A Powerful! For Fisheries Research In

tropical (Part 1). Fishbyte, Philippine, 1(2): 9-13p.

Pauly D. 1984. Some Simple Methods for Assessment of Tropical Fish Stocks. ICLARM.

Manila. 52p.

Sangadji, I. M. 2014. Panduan & Logbook Survei Monitoring Hiu. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL), Denpasar.

Santos, P. R. S. D., Santoro, P., Chelotti, L. D. D. 2017. Length-Weight Relationship of The

Spinner Shark (Carcharhinus brevipinna) on The Continental Shelf of Southern Brazil.

Arquivos de Ciencias do Mar. 50 (2): 133-135p. Sentosa, A. A., Fahmi dan U. Chodrijah. 2018. Pola Pertumbuhan dan Faktor Kondisi Hiu

Merak Bulu Carcharhinus brevipinna di Perairan Selatan Nusa Tenggara. Oseanologi

dan Limnologi di Indonesia. 3 (3): 209-218p.

Sivadas, M., Renjith, L., Sathakthullah, M., James, K. J., Kumar, K. S. 2013. A pregnant female spinner shark, Carcharhinus brevipinna (Muller & Henle, 1839) landed at

Tharuvaikulam, Tuticorin. Marine Fisheries Information Service T&E Ser. No.215.

Sparre, P. dan Venema, S. C. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. 438p. Worm, B., Davis, B., Kettemer, L., Ward-Paige, C.A., Chapman, D., Heithaus, M.R., Kessel,

S.T. & Gruber, S.H. (2013). Global catches, exploitation rates, and rebuilding options

for sharks. Mar. Pol. 40, 194–204.

Page 51: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

42 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pertumbuhan Lamun Jenis Cymodocea rotundata Hasil Transplantasi di Perairan Desa Pejarakan, Buleleng, Bali Citra Satrya Utama Dewi1,2, Kunthi Teteki Elparisi2, Abdul Hari3 dan Yanida Azhari

Julianinda4

1,2,4 Program Studi Ilmu Kelautan, FPIK – Universitas Brawijaya

2 Pusat Studi Pesisir dan Kelautan, LPPM – Universitas Brawijaya 3 Nature Conservation Forum Putri Menjangan, Desa Pejarakan, Kecamatan Buleleng, Bali

(Email: [email protected])

Abstrak - Sebagai tumbuhan tingkat tinggi, lamun menggunakan nutrisi dari substrat dan dapat melakukan fotosintesis, sehingga dapat menghasilkan makanan tidak hanya untuk dirinya melainkan

juga untuk organisme disekitarnya. Selayaknya ekosistem lainnya, padang lamun juga memiliki

beberapa bentuk ancaman, ialah: reklamasi, abrasi, serta tersangkut jaring dan jangkar nelayan. Ekosistem padang lamun dapat ditemui di Perairan Desa Pejarakan, Buleleng, Bali, dalam sebuah

kawasan yang dikelola oleh kelompok masyarakat Nature Conservation Forum Putri Menjangan.

penutupan lamun di Zona Rehabilitasi merupakan yang terendah (15%), sehingga dirasa penting untuk melakukan rekayasa perbanyakan lamun di dalamnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui survival rate dan laju pertumbuhan lamun yang ditransplantasi. Penelitian ini dilakukan di Nature Conservation Forum Putri Menjangan, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten

Buleleng, Bali mulai tanggal 1 Juli hingga 1 Agustus 2019, dengan menggunakan metode jangkar. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa Cymodocea rotundata memiliki peluang hidup yang tinggi (diatas 50%) jika ditransplantasi dengan metode jangkar. Selain itu, lamun jenis ini juga dapat melakukan

pertumbuhan daun yang cukup baik, serta dapat berkembangbiak secara aseksual melalui penambahan tegakan.

Kata Kunci : Lamun, Cymodocea rotundata, Transplantasi, Pertumbuhan

Pendahuluan. Ekosistem padang lamun memiliki peran ekologi yang sangat penting,

antara lain sebagai produsen primer di laut dangkal dan juga sebagai habitat bagi

organisme laut dangkal lainnya (Azkab, 1999). Sebagai tumbuhan tingkat tinggi, lamun

menggunakan nutrisi dari substrat dan dapat melakukan fotosintesis, sehingga dapat

menghasilkan makanan tidak hanya untuk dirinya melainkan juga untuk organisme disekitarnya. Beragam jenis organisme menjadikan padang lamun sebagai habitat

hidupnya, antara lain moluska, crustacea, echinodermata, polychaeta, hingga penyu dan

dugong (Azkab, 1998; Arbi, 2012; Azkab, 1999; Alhakim dan Wahyuni, 2009). Fakta ini

menggambarkan dengan jelas bahwa padang lamun berperan penting dalam menjaga stabilitas ekosistem laut dangkal.

Selayaknya ekosistem lainnya, padang lamun juga memiliki beberapa bentuk

ancaman, ialah: reklamasi, abrasi, serta tersangkut jaring dan jangkar nelayan (Dewi et

al., 2018). Padang lamun akan menjadi salah satu habitat yang dibersihkan setelah hutan

mangrove, jika sebuah kawasan pesisir akan dikembangkan dan dibangun, sehingga akan berubah menjadi beton beton tertanam dalam substrat laut. Arus kencang dan geombang

tinggi yang menyerang tepian daratan akan mengakibatkan tegakan lamun terganggu,

daun yang lepas ataupun batang yang patah. Aktivitas perikanan di jalur 1 bahkan juga

akan mengancam keberadaan padang lamun, jaring ikan yang ditebar serta jangkar kapal yang ditambatkan sering kali mengangkat serumpun rizoma lamun dari substrat.

Ekosistem padang lamun dapat ditemui di Perairan Desa Pejarakan, Buleleng, Bali,

dalam sebuah kawasan yang dikelola oleh kelompok masyarakat Nature Conservation

Forum Putri Menjangan. Jenis lamun yang terdapat di kawasan ini, ialah: Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, dan Thalasia hemprichii dan membentuk

padang lamun campuran dalam kondisi yang sehat (Dewi et al., 2020). Pengelola membagi

kawasan ini menjadi tiga bagian, yaitu Zona Inti, Zona Pemanfaatan, dan Zona Rehabilitasi.

Dewi et al., (2020) memaparkan bahwa penutupan lamun di Zona Rehabilitasi merupakan

yang terendah (15%) dengan tiga jenis lamun yang menyusun, yaitu Cymodocea

Page 52: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

43 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

rotundata, Halodule uninervis, dan Thalasia hemprichii, sehingga dirasa penting untuk

melakukan rekayasa perbanyakan lamun di dalamnya. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui survival rate dan laju pertumbuhan lamun yang ditransplantasi.

Metode Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Nature Conservation Forum Putri

Menjangan, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali mulai tanggal

1 Juli hingga 1 Agustus 2019. Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya alat

selam dasar, Action Cam, transek jangkar 1m x 1m x 15cm, sabak 10 x 10 cm, pensil, tali

organik, sekop, wadah/ember, pisau, penggaris. Sedangkan untuk bahan yang digunakan adalah jenis lamun Cymodocea rotundata, tali transek dan botol polyetilen.

Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah survei lapangan untuk

menentukan lokasi penelitian, studi literatur, dan konsultasi. Kemudian melakukan

pemilihan lokasi untuk kegiatan transplantasi lamun menyesuaikan dengan kondisi lokasi yang akan dilakukan transplantasi. Pada lokasi transplantasi lamun dibuat transek jangkar

sebesar 1m x 1m x 15cm. Tujuan dari pembuatan kurungan ini agar transplantasi lamun

di lapangan tidak terganggu oleh aktifitas manusia, grazer dan kondisi alam.

Selanjutnya transplan yang akan di donorkan dikumpulkan dalam satu wadah, kemudian dipilih transplan yang layak digunakan untuk kegiatan transplantasi lamun.

Kemudian dibawa ke lokasi transplan yang telah di tentukan sebelumnya. Pada penelitian

ini proses transplantasi menggunakan metode "sprig" dengan jangkar yaitu pengambilan

bibit tanaman dengan pisau/parang dan ditransplnatsai tanpa substratnya. Untuk

penanaman dengan metode sprig dengan jangkar biasanya dilakukan pada arus dengan kecepatan 1,5 knot (3 km/jam) atau pada daerah dengan gelombang akibat angin (Azkab,

1999).

Dalam mengamati pertumbuhan lamun yang ditransplantasi dilakukan pengukuran

berupa perhitungan tingkat kelangsungan hidup lamun di awal dan akhir pengamatan. Serta melakukan perhitungan laju pertumbuhan daun lamun setiap minggu selama 1 bulan

pengamatan. Pengukuran pertumbuhan panjang daun lamun dilakukan pada setiap bibit

lamun yang ditransplantasi dengan menggunakan penggaris. Laju pertumbuhan daun

lamun jenis Cymodocea rotundata yang ditransplantasi dihitung dengan rumus yang dijelaskan Supriadi et al., 2006 dalam Febriantoro et al., 2013, yaitu:

Keterangan :

P = Laju pertumbuhan panjang daun (cm)

Lt = Panjang daun akhir setelah waktu t (cm)

Lo = Panjang daun pada pengukuran awal (cm) T = Selang waktu pengukuran (Minggu)

Sedangkan perhitungan tingkat kelangsungan hidup lamun dilakukan pada setiap tegakan lamun yang sama. Untuk menghitung tingkat kelangsungan hidup yang ditransplantasi digunakan rumus yang dikemukakan oleh Royce (1972) dalam Febriantoro et al., 2013, yaitu:

𝐏 =𝐋𝐭 − 𝐋𝐨

∆𝐭

𝐒𝐑 =𝐍𝐭

𝐍𝟎 𝐱 𝟏𝟎𝟎

Page 53: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

44 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Keterangan :

SR = tingkat kelangsungan hidup (%)

Nt = jumlah tegakan lamun utama yang masih hidup pada akhir penelitian

N0 = jumlah tegakan lamun utama yang ditransplantasi pada awal penelitian

Hasil dan Pembahasan. Jenis lamun yang transplantasi dalam penelitian ini adalah

Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii (Gambar 1), dua jenis ini dipilih karena

memiliki morfologi yang lebih besar dari pada Halodule uninervis. Terdapat lima buah plot

T. hemphichii dan 9 buah plot C. rotundata yang ditransplantasi, dengan masing masing berisikan dua rizhoma sebagai ulangan. Pada pengamatan pertama, di hari ke-14 seluruh

sampel T. hemphichii ditemukan mati dan membusuk, sehingga data yang didapat dari

penelitian ini hanya jenis C. rotundata.

Gambar 1. Jenis Lamun yang Ditransplantasi (A) C. rotundata dan (B) T. hempricii

Survival rate C. rotundata yang ditransplantasi dengan metode jangkar diketahui

mencapai 88.89%. Hal ini dihitung dari jumlah plot yang masih bertahan ialah 8 plot dari

9 plot percobaan (Tabel 1). Rhizoma lamun dalam salah satu plot tersebut ditemukan busuk

pada pengamatan hari ke-14, sementara rhizoma dalam delapan plot yang lain dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Prosentase ini relatif kurang dari penelitian

transplantasi lamun jenis C. rotundata yang dilakukan di Perairan Teluk Awur Jepara

(Riniatsih dan Endrawati, 2013). Sementara, hasil penelitian ini menunjukkan nilai yang

cukup besar jika dibandingkan penelitian yang dilakukan di Pulau Barranglompo Sulawesi

Selatan, yaitu kurang dari 50% (Asriani, 2014). Bentuk tumbuh dan perkembangbiakan yang baik dari lamun transplantasi dalam penelitian ini ialah panjang daun dan jumlah helai

daun yang bertambah, serta jumlah tegakan baru yang muncul. Jumlah daun lamun yang

ditransplantasi dalam penelitian ini bertambah sekitar 1 ~ 4 helai dalam 29 hari

pengamatan (Tabel 1). Pada parameter perkembangbiakan, terlihat bahwa beberapa plot percobaan menunjukkan adanya tegakan baru antara 1 ~ 2 tegakan (Tabel 1).

(A) (B)

Page 54: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

45 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Tabel 1. Panjang Daun Lamun Jenis Cymodocea rotundata Hasil Transplantasi

Plot T0 T14 T29 Keterangan

Cr1 8.50 17.00 22.20 T29 -> 2 daun baru, 1 tunas baru

Cr2 2.50 Busuk Mati -

Cr3 3.92 6.97 10.62 T15 -> 2 daun baru; T29 -> 3 daun baru

Cr4 5.75 10.25 14.45 T29 -> 1 daun baru; 2 tunas baru

Cr5 4.90 14.46 27.77 T29 -> 3 daun baru

Cr6 3.72 7.27 11.27

T15 -> 1 tunas baru; T29 -> 2 daun baru, 3

tunas baru

Cr7 6.40 12.75 18.75 T29 -> 1 daun baru

Cr8 5.17 10.30 15.93 T29 -> 1 daun baru

Cr9 5.33 10.43 15.50

T15 -> 1 daun baru, 2 tunas baru; T29 -> 2

daun baru

Laju pertumbuhan daun lamun jenis C. rotundata yang ditransplantasi dengan metode

jangkar di lokasi ini menunjukkan nilai antara 0.23 cm/hari – 0.79 cm/hari, dengan rata

rata 0.4 cm/hari (Tabel 2). Pertumbuhan mutlak daun lamun jenis C. rotundata yang ditransplantasi dengan metode jangkar di lokasi ini menunjukkan nilai antara 6.70 cm

hingga 22.87 cm dalam 29 hari (Tabel 2). Nilai laju pertumbuhan ini relative sama jika

dibandingkan dengan pertumhuhan daun C. rotundata yang ditransplantasi dengan metode

jangkar di Perairan Teluk Awur Jepara (Riniatsih dan Endrawati, 2013). Hal ini diduga karena kondisi perairan yang optimal, jarak lokasi donor cukup, dan perawatan yang baik.

Tabel 2. Pertumbuhan Daun Lamun Jenis Cymodocea rotundata Hasil Transplantasi

Plot Pertumbuhan Mutlak (cm) Laju Pertumbuhan (cm/hari)

Cr1 13.70 0.47

Cr2 - -

Cr3 6.70 0.23

Cr4 8.70 0.30

Cr5 22.87 0.79

Cr6 7.55 0.26

Cr7 12.35 0.43

Cr8 10.77 0.37

Cr9 10.17 0.35

Kesimpulan Dan Saran. Mengacu pada hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa

C. rotundata memiliki peluang hidup yang tinggi (diatas 50%) jika ditransplantasi dengan

metode jangkar. Selain itu, lamun jenis ini juga dapat melakukan pertumbuhan daun yang

cukup baik, serta dapat berkembangbiak secara aseksual melalui penambahan tegakan.

Saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah perlu dilakukan pengamatan hidro oseanografi dan substrat, dan perlu dipertimbangkan membuat rangka kawat tiga dimensi

untuk transek jangkar, sehingga meminimalisir kemungkinan kematian lamun akibat

grazing biota.

Ucapan Terimakasih. Penelitian ini dilakukan bekerjasama dengan Yayasan Nature

Conservation Forum PUTRI MENJANGAN, Desa Pejarakan, Kecamatan Buleleng, Bali

Page 55: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

46 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Daftar Pustaka

Alhakim, Iin Inayat dan Wahyuni, Dan Puji Sri. 2009. Populasi Suku Syllidae (Polychaeta)

Di Padang Lamun Perairan Teluk Gilimanuk. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 35 (1) : 29-45. ISSN 0125 – 9830

Arbi, Ucu Yanu. 2012. Komunitas Moluska Di Padang Lamun Pantai Wori, Sulawesi Utara.

Jurnal Bumi Lestari. Volume 12 (1) : 55 – 65

Asriani, N. 2014. Tingkat Kelangsungan Hidup dan Persen Penutupan Berbagai Jenis Lamun

yang Ditransplantasi Di Pulau Barranglompo. SKRIPSI. Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.

Azkab, M. Husni. 1998. Duyung Sebagai Pemakan Lamun. Oseana. Volume XXIII, nomor

3 & 4 : 35-39. ISSN 0216- 1877. Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi - LIPI,

Jakarta. Azkab, M. Husni. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana. Volume XXIV, nomor 1: 1-

16. ISSN 0216-1877. Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta.

Azkab, M. Husni. 1999. Petunjuk penanaman lamun. Oseana. Volume XXIV, nomor 3: 11-

25. ISSN 0216-1877. Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta. Dewi, Citra Satrya Utama., Beginer Subhan, Dondy Arafat, Sukandar. 2018. Distribusi

Habitat Pakan Dugong dan Ancamannya di Pulau - Pulau Kecil Indonesia. Journal of

Fisheries and Marine Science. Vol 2 (2)

Dewi, Citra Satrya Utama., Defri Yona, Feni Iranawati. 2020. Analisis Kesehatan Ekosistem

Lamun Di Pantai Menjangan, Buleleng, Bali. Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan VIII

Febriyantoro, Ita Riniatsih, Hadi Endrawati, 2013. Rekayasa Teknologi Transplantasi

Lamun(Enhalusacoroides) Di Kawasan Padang Lamun Perairan Prawean Bandengan

Jepara. JurnalPenelitianKelautan. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 1-10.

Page 56: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

47 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

BIDANG ILMU

BUDIDAYA PERAIRAN

Page 57: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

47 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pengaruh Suhu Evaporasi yang Berbeda Terhadap

Aktivitas Antioksidan Ekstrak Spirulina platensis Intan Dwi Sari1, Putut Har Riyadi2 dan Romadhon3

1,2,3)Program Studi Teknologi Hasil Perikanan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro

Jln. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah - 50275, Telp/fax: (024)

7474698 (Email: [email protected])

Abstrak - Spirulina platensis merupakan mikroalga yang mudah dibudidayakan. S. platensis

mengandung aktivitas antioksidan tinggi bersumber dari senyawa bioaktif. Senyawa bioaktif yang terkandung S. platensis merupakan golongan karotenoid. Salah satu metode yang digunakan untuk

mendapatkan senyawa bioaktif adalah maserasi. Maserasi adalah proses pemisahan senyawa bioaktif

dengan perendaman suhu ruang yang menggunakan pelarut. Salah satu metode menghilangkan pelarut adalah evaporasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh suhu evaporasi

berbeda terhadap karakteristik ekstrak S. platensis. Karakteristik tersebut adalah pH, aktivitas antioksidan, dan senyawa dari S. platensis (Gas Chromatography Mass Spectrometry). Metode

penelitian menggunakan pola percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan

perbedaan suhu evaporasi. Perbedaan suhu evaporasi tersebut adalah 40oC, 60oC, dan 80oC. Semua perlakuan dilakukan ulangan sebanyak tiga kali. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan

pengaruh yang nyata terhadap nilai pH. Sedangkan aktivitas antioksidan tertinggi pada suhu 80oC dengan nilai 75,09%. Analisis senyawa menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry

menghasilkan dua puluh empat senyawa. Tiga senyawa terbanyak adalah Octadecenamide (10,99%),

ethyl linoleate (19,47%), dan dodecanoic acid, ethyl ester (27,71%). Potensi aktivitas biologis pada ekstrak S. platensis adalah sebagai antioksidan, antimikroba, antikanker, antibakteri, antiinflamasi,

anti leishmania, antidiuretik, sitotoksisitas, hipokolesterolemia, antiandrogenik, hemolitik, Antivirus, antihipertensi, antijerawat, antitumor, antijamur, antialzheimer, dan antifungi.

Kata Kunci : Spirulina platensis, Ekstrak, Evaporasi, Aktivitas Antioksidan, Potensi.

Abstrak - Spirulina platensis is a microalgae that is easy to cultivate. S. platensis contains high

antioxidant activity derived from bioactive compounds. The bioactive compounds contained in S.

platensis are a class of carotenoids. One of the methods used to obtain bioactive compounds is maceration. Maceration is the process of separating bioactive compounds by immersion at room

temperature using a solvent. One of the methods of removing solvents is evaporation. The purpose of

this study was to determine the effects of different evaporation temperature on the characteristics of S. platensis extracts. These characteristics were pH, antioxidant activity, and compounds from S.

platensis (Gas Chromatography Mass Spectrometry). The research method used was a completely randomized design (CRD) experimental pattern using the difference in evaporation temperature. The

differences in evaporation temperature were 40oC, 60oC, and 80oC. All treatments were repeated three

times. The results obtained showed a significant effect on the pH value. Meanwhile, the highest antioxidant activity was at 80oC with a value of 75.09%. Compound analysis using Gas Chromatography

Mass Spectrometry produced twenty-four compounds. The top three compounds were Octadecenamide (10.99%), ethyl linoleate (19.47%), and dodecanoic acid, ethyl ester (27.71%). The potential biological

activities of S. platensis extract are as antioxidants, antimicrobials, anticancer, antibacterial, anti-

inflammatory, anti-leishmania, antidiuretic, cytotoxicity, hypocholesterolemic, antiandrogenic, hemolytic, antiviral, antihypertensive, anti-acne, anti-tumor, antialzheimer, and anti-fungal.

Keywords: Spirulina platensis, Extract, Evaporation, Antioxidant Activity, Potential.

Pendahuluan. Spirulina platensis adalah sejenis mikroalga yang mudah dibudidayakan

berwarna hijau kebiruan dengan nama lain blue green algae berbentuk spiral golongan

Cyanobacteria yang mampu berfotosintesis. S. platensis banyak mengandung komponen

nutrisi dan senyawa bioaktif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, kosmetik, dan kesehatan. Menurut Christwardana et al. (2011), S. platensis mengandung nutrisi yang

cocok digunakan sebagai makanan fungsional seperti protein, asam lemak esensial,

vitamin, mineral, dan klorofil. S. platensis berfungsi sebagai produk makanan yang bisa

bertindak sebagai obat. Yasir et al. (2019), beberapa penelitian pernah dilakukan

menunjukkan bahwa S. platensis mengandung aktivitas biologis berfungsi sebagai

Page 58: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

48 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

pencegah penyakit seperti mencegah replikasi virus, mencegah anemia, mencegah

penyakit akibat perlemakan hati, menurunkan kadar glukosa darah, profil lipid, dan

menurunkan tekanan darah. Sedangkan Finamore et al. (2017) menyatakan bahwa S.

platensis memiliki potensi sebagai antioksidan, anti inflamasi, dan meningkatkan daya tahan tubuh.

Senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai antioksidan pada S. platensis adalah

karotenoid pigmen berwarna orange, klorofil pigmen berwarna hijau dan fikosianin pigmen

berwarna biru. Senyawa bioaktif tersebut dapat dimanfaatkan sebagai suplemen pencegah radikal bebas. Radikal bebas di dalam tubuh dapat merusak sel dan memicu penyakit

serius. Kandungan beta karoten pada S. platensis lebih tinggi sepuluh kali lipat

dibandingkan wortel. Menurut Hanani et al. (2020), S. platensis berpotensi sebagai

antioksidan alami yang mampu mendonorkan atom hidrogen pada radikal bebas seperti senyawa fenolat, karotenoid, dan klorofil. Senyawa bioaktif yang terkandung dalam S.

plantesis seperti beta karoten merupakan golongan karotenoid. Salah satu metode yang

digunakan untuk mendapatkan senyawa bioaktif adalah maserasi.

Ekstraksi maserasi adalah pemisahan senyawa bioaktif yang dilakukan dengan proses

perendaman suhu ruang menggunakan pelarut hingga tercapainya kesetimbangan antara konsentrasi senyawa terhadap konsentrasi pelarut dalam sel tanaman. Senyawa bioaktif

yang terkandung dalam tanaman dari proses ekstraksi dengan memecahkan dinding sel

sehingga menghasilkan senyawa bioaktif. Menurut Jos et al. (2011), biomassa terhadap

sel S. platensis akan lebih mudah larut dalam pelarut polar dibandingkan dengan pelarut kurang polar. Pelarut polar dapat melarutkan senyawa polar dan senyawa non polar karena

mempunyai momen dipole yang besar. Pratiwi et al. (2016), etanol merupakan pelarut

yang digunakan untuk ekstraksi mempunyai polaritas yang tinggi, tidak beracun, dan

aman. Widayanti et al. (2009), pelarut etanol termasuk pelarut foodgrade bersifat polar banyak digunakan untuk ekstrak komponen aktif bahan makanan pangan. Salah satu

metode menghilangkan pelarut adalah evaporasi.

Evaporasi merupakan proses pemekatan menggunakan titik didih pelarut suatu larutan

yang terdiri dari pelarut dan senyawa terlarut. Pemekatan digunakan dalam proses pengambilan senyawa bioaktif dari bahan alami. Pemekatan pada evaporasi mampu

mengikat larutan dengan memperkecil volume pada larutan sehingga aktivitasnya

menurun. Senyawa bioaktif pada larutan yang dilakukan pemekatan secara sempurna

mengakibatkan senyawa bioaktif semakin meningkat dan volumenya semakin mengecil.

Proses pemekatan larutan menurunkan kandungan pelarut meningkatkan konsentrasi senyawa bioaktif yang terkandung dalam bahan. Menurut Earle (1982), faktor yang

mempengaruhi proses kecepatan evaporasi atau penguapan yaitu kecepatan hantaran

panas yang diuapkan ke bahan, jumlah panas yang tersedia dalam penguapan, suhu

maksimum yang dapat dicapai, tekanan yang terdapat dalam alat, dan perubahan terjadi dalam proses penguapan.

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut untuk mengetahui pengaruh suhu

evaporasi terhadap aktivitas antioksidan dan Kandungan senyawa bioaktif dan potensi

biologis pada ekstrak S. platensis.

Metode Penelitian

Ekstraksi S. platensis. Sampel S. platensis berbentuk serbuk diekstraksi dengan metode maserasi (perendaman) menggunakan perbandingan 1:10 yaitu satu bagian sampel serbuk

mikroalga S. platensis direndam dalam sepuluh bagian larutan etanol 96%. Maserasi

dilakukan selama 2 hari pada suhu ruangan dalam wadah berbahan gelas yang bermulut

lebar dan dilakukan pengadukan setiap 24 jam sekali. Hasil larutan pada proses

perendaman dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman sehingga

Page 59: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

49 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

menghasilkan ekstrak S. platensis berbentuk cair. Ekstrak cair dilakukan penguapan atau

evaporasi dengan alat rotary evaporator pada suhu 40oC, suhu 60oC, dan suhu 80oC selama

80 menit hingga diperoleh ekstrak lebih pekat terhadap masing-masing suhu.

Pengujian pH Ekstrak S. platensis (Widyasanti et al., 2018). Pengukuran nilai pH

menggunakan pH meter dengan kalibrasi elektroda pada pH meter buffer pH 7 dan buffer

pH 4. Pengukuran nilai pH dengan cara pencelupan elektroda pada pH meter ke dalam

sampel.

Pengujian Antioksidan Ekstrak S. platensis (Sami dan Rahimah, 2017). Pengukuran

Serapan Larutan Blanko ABTS Larutan ABTS dipipet sebanyak 1 ml dan dicukupkan

volumenya sampai 5 ml dengan etanol absolut dalam labu terukur. Larutan ini kemudian

diukur dengan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 750 nm. Pengukuran

aktivitas pengikatan radikal bebas ABTS dengan Sampel. Larutan sampel 1000 ppm dipipet

masing-masing 50 µl, 100 µl, 150 µl, 200 µl dan 250 µl, campuran ditambah 1 ml larutan

ABTS lalu dicukupkan volumenya sampai 5 ml dengan etanol absolut sehingga diperoleh

larutan dengan konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm dan 50 ppm. Selanjutnya

dihomogenkan lalu diukur serapan dengan spektrofotometri UV-Vis pada panjang

gelombang 750 nm. Besarnya daya aktivitas antioksidan dihitung dengan rumus :

𝑰𝒏𝒉𝒊𝒃𝒊𝒔𝒊 =(𝒂𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒃𝒍𝒂𝒏𝒌𝒐 − 𝒂𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍

𝒂𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒃𝒍𝒂𝒏𝒌𝒐 × 𝟏𝟎𝟎%

Pengujian GCMS Ekstrak S. platensis (Kumaresan et al., 2015). Analisis GCMS

ekstrak etil asetat dari jamur dianalisis dengan GCMS. Gas kromatografi terkait dengan

sistem spektrometer massa yang dilengkapi dengan DB5ms kolom kapiler (30,0m x

0,25mm, ketebalan film 0,25μm) digunakan. Suhu oven kolom GC diprogram dari 700oC

hingga 3000oC. Suhu awal adalah 700oC (waktu penahanan 2 menit) dan naik menjadi

3000oC (waktu tahan 7 menit) pada kecepatan 100oC min-1. Total waktu menjalankan

adalah 32.0 min. Helium dengan kemurnian 99,9995% digunakan sebagai gas pembawa

dengan aliran konstan 1,51ml/mnt. Suhu antarmuka GCMS adalah pada 2800oC. Injector

dan detector suhu ditetapkan pada 2000oC. 1μl sampel disuntikkan dalam rasio split 1:10.

MS rentang pemindaian diatur dari 40-1000Da. Identifikasi senyawa diperoleh dengan

membandingkan waktu retensi dengan senyawa asli dengan data spectral diperoleh dari

pustaka data senyawa yang sesuai. Jumlah senyawa adalah direpresentasikan sebagai

persentase area relatif yang berasal dari integrator.

Analisis Bioinformatika (Riyadi et al., 2020)

Analisis bioinformatika dilakukan dengan mengakses server pada PubChem menggunakan

https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/ menghasilkan informasi struktur senyawa 2D dan

struktur senyawa 3D dari senyawa bioaktif.

Hasil dan Pembahasan

Pengujian pH Ekstrak S. platensis. Nilai rata-rata pH ekstrak serbuk S. platensis yang diberi perlakuan suhu evaporasi yang berbeda (40oC, 60oC, dan 80oC) tersaji pada

Gambar 1.

Page 60: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

50 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 1. Hasil pH Ekstrak S. platensis Suhu 40oC, Suhu 60oC, dan Suhu 80oC

Keterangan :

Data merupakan hasil dari rata-rata 3 kali ulangan ± standar deviasi dan tanda huruf kecil yang berbeda

menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) ESA adalah Ekstrak S. platensis suhu 40°C

ESB adalah Ekstrak S. platensis suhu 60°C ESC adalah Ekstrak S. platensis suhu 80°C

Hasil uji normalitas dan homogenitas nilai pH menunjukkan nilai signifikansi 0,481 dan 0,181 (P > 0,05), yang artinya data terdistribusi normal dan homogen. Hasil uji analisis

sidik ragam (ANOVA) diperoleh nilai P < 0,05, menunjukkan bahwa menggunakan suhu

evaporasi yang berbeda berpengaruh terhadap nilai pH dalam ekstrak S. platensis. Uji

lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan.

Berdasarkan penelitian ekstrak S. platensis nilai pH dengan perlakuan suhu berbeda

pada evaporasi. Ekstrak S. platensis menghasilkan nilai pH 7,16 ± 0,01 suhu 40oC, pH 6,94

± 0,02 suhu 60oC, dan pH 6,32 ± 0,02 suhu 80oC. Hasil pH ekstrak S. platensis

menunjukkan bahwa perlakuan suhu mempengaruhi nilai pH. Hal ini terjadi penurunan nilai

pH karena perlakuan suhu dapat merubah struktur kimia senyawa. Sejalan dengan Wu et

al. (2016), melakukan penelitian S. platensis semakin tinggi suhu yang digunakan nilai pH

optimal dalam kisaran tertentu semakin rendah.

Ekstrak S. platensis menghasilkan presentase nilai pH tinggi pada suhu 40oC sebesar

7,16 ± 0,01. Presentase nilai pH 6,32 ± 0,02 suhu 80oC lebih rendah dari nilai pH 6,94 ±

0,02 suhu 60 oC. Presentase nilai pH 7,16 ± 0,01 suhu 40oC lebih tinggi dari nilai pH 6,94

± 0,02 suhu 60 oC. Ekstrak S. platensis dihasilkan dari proses ekstraksi dengan

menggunakan etanol yang memiliki nilai pH 7,33 bersifat polar. Etanol pada larutan ekstrak

S. platensis dievaporasi, mengakibatkan etanol semakin sedikit. Semakin tinggi suhu

evaporasi yang digunakan nilai pH dihasilkan rendah. Hal ini dapat dilihat pada karakteristik

ekstrak S. platensis yang di hasilkan seperti suhu 40oC bentuk cair, suhu 60oC bentuk cair

pekat, dan suhu 80oC bentuk pasta. Ekstrak S. platensis menghasilka nilai pH 6,32-7,33

dapat diaplikasikan sebagai krim tabir surya dengan pH 4,5–8 (SNI 16-4399-1996).

Menurut Mardikasari et al. (2017), jika pH sediaan berada di luar interval pH kulit akan

bersisik dan iritasi, sedangkan bila berada di atas pH kulit dapat menyebabkan kulit terasa

licin, cepat kering, serta dapat mempengaruhi elastisitas kulit.

5.8

6.0

6.2

6.4

6.6

6.8

7.0

7.2

7.4

ESA ESB ESC

pH

Page 61: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

51 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pengujian Antioksidan Ekstrak S. platensis . Nilai rata-rata aktivitas antioksidan

sampel ekstrak S. platensis yang diberi perlakuan suhu evaporasi berbeda (40oC, 60oC,

dan 80oC) tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2. Hasil Aktivitas Antioksidan Ekstrak S. platensis Suhu 40oC, Suhu 60oC, dan

Suhu 80oC Keterangan : Data merupakan hasil dari rata-rata 3 kali ulangan ± standar deviasi dan tanda huruf kecil yang berbeda

menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) ESA adalah Ekstrak S. platensis suhu 40°C

ESB adalah Ekstrak S. platensis suhu 60°C

ESC adalah Ekstrak S. platensis suhu 80°C

Hasil uji normalitas dan homogenitas aktivitas antioksidan menunjukkan nilai

signifikansi 0,890 dan 0,384 (P > 0,05), yang artinya data terdistribusi normal dan homogen. Hasil uji analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh nilai P < 0,05, menunjukkan

bahwa menggunakan suhu evaporasi yang berbeda berpengaruh terhadap aktivitas

antioksidan dalam ekstrak S. platensis. Uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) menunjukkan

bahwa adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Aktivitas antioksidan pada ekstrak S. platensis menggunakan pengujian metode

ABTS, nilai presentase yang didapatkan adalah 18,97 ± 2,96% suhu 40oC, 48,99 ± 2,77%

suhu 60oC, dan 75,09 ± 1,16% suhu 80oC. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan

presentase aktivitas antioksidan terjadi pengikatan secara sempurna senyawa bioaktif

penyusun aktivitas antioksidan ekstrak S. platensis dengan perlakuan suhu evaporasi.

Menurut Fitriana et al. (2015), senyawa antioksidan memiliki kemampuan menghambat

proses oksidasi pada senyawa radikal bebas. Ridlo et al. (2015), beberapa komponen

Spirulina sp. yang diduga memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenolat,

karotenoid, pigmen fikobiliprotein, klorofil, dan turunan klorofil.

Ekstrak S. platensis dalam perlakuan evaporasi suhu berbeda dengan penggunaan

waktu yang sama dapat mempengaruhi presentase nilai aktivitas antioksidan. Perlakuan

evaporasi suhu 80oC ekstrak S. platensis menghasilkan presentase nilai aktivitas

antioksidan ekstrak S. platensis yang tertinggi sebesar 75,09 ± 1,16%. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya presentase nilai aktivitas antioksidan meningkat terhadap

perlakuan suhu berbeda pada ekstraksi S. platensis dengan penggunaan waktu yang sama.

Peningkatan presentase nilai aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh perlakuan suhu dan

waktu evaporasi. Presentase nilai aktivitas antioksidan ekstrak S. platensis 75,09% sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zaid et al. (2015), bahwa presentase nilai

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

ESA ESB ESC

Aktivitas

antioksid

an (

%)

Page 62: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

52 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

aktivitas antioksidan ekstrak S. platensis lebih dari 77,47% dengan menggunakan pelarut

air. Menurut Firdiyani et al. (2015), nilai presentase inhibisi menunjukkan kandungan

senyawa antioksidan, semakin tinggi presentase inhibisi maka kandungan senyawa

antioksidan semakin tinggi. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang digunakan, aktivitas penghambatan radikal bebas juga meningkat (Husni et al., 2014).

Perlakuan evaporasi ekstrak S. platensis pada suhu 40oC dan suhu 60oC menghasilkan

nilai aktivitas antioksidan lebih rendah dari suhu 80oC. Hasil ekstrak S. platensis pada suhu

40oC presentase nilai aktivitas antioksidan lebih rendah dari suhu 60oC dan suhu 80oC. Nilai aktivitas antioksidan 18,97 ± 2,96% suhu 40oC, 48,99 ± 2,77% suhu 60oC, dan 75,09 ±

1,16% suhu 80oC. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan etanol dan suhu perlakuan yang

digunakan pada ekstrak S. platensis semakin sedikit. Hal ini terlihat dari karakteristik

ekstrak S. platensis yang dihasilkan. Ekstrak S. platensis pada perlakuan evaporasi suhu 40oC berbentuk cair, suhu 60oC berbentuk cair pekat, dan suhu 80oC berbentuk pasta.

Semakin tinggi suhu yang digunakan, mengakibatkan kandungan etanol semakin sedikit.

Kandungan etanol semakin sedikit, mengakibatkan kepekatan ekstrak S. platensis semakin

tinggi. Kepekatan kadar ekstrak S. platensis tinggi, mengakibatkan senyawa bioaktif

antioksidan semakin tinggi. Menurut Arundhina et al. (2014), proses evaporasi pada larutan ekstrak, mengakibatkan penguapan pelarut sehingga ekstrak yang dihasilkan

berbentuk pasta.

Gas chromatography mass spectrometry (GCMS) Ekstrak S. platensis. GCMS digunakan untuk identifikasi kualitatif dan pengukuran kuantitatif dari komponen individual

dalam senyawa campuran kompleks senyawa profil asam lemak dari ekstrak lipid (El-baky

et al., 2020). Analisis kandungan komponen senyawa ekstrak S. platensis menggunakan

Gas chromatography mass spectrometry (GCMS) menghasilkan identifikasi dua puluh empat komponen senyawa dapat dilihat pada Tabel 1.

Table 1. Senyawa pada Ekstrak S. platensis Hasil GCMS

No. Nama Senyawa dan

Formula

Area

% 2D 3D

1. Dotriacontane

C32H66

0,50

-

2. 2(4H)-Benzofuranone,

5,6,7,7a-tetrahydro-

4,4,7a-trimethyl-

C11H16O2

0,62

3. Pentadecane

C15H32

0,27

4. Octadecane

C18H38

9,02

5. Propionic acid, 3-(2-

Methylcyclohexyl)-,

ethylester

C9H16O2

0,23

Page 63: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

53 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

6. Neophytadiene

C20H38

3,21

7. 2-Hexadecene,

3,7,11,15-tetramethyl-,

[R-[R*,R*-(E)]]-

C20H40

0,79

8. 3,7,11,15-Tetramethyl-

2-hexadecen-1-ol

C20H40O

1,44

9. Hexadecanoic acid,

methyl ester

C17H34O2

0,21

10. Ethyl 9-hexadecenoate

C18H34O2

2,05

11. Dodecanoic acid, ethyl

ester

C14H28O2

27,71

12. 2-Hexadecen-1-ol,

3,7,11,15-tetramethyl-,

[R-[R*,R*-(E)]]-

C20H40O

6,92

13. Methyl gamma.-

linolenoate

C5H8O2

8,04

14. Ethyl linoleate

C20H36O2

19,47

-

15. 9-Octadecenoic acid

(Z)-

C18H34O2

1,47

Page 64: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

54 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

16. Octadecanoic acid, ethyl

ester

C20H40O2

0,91

-

17. Hexadecanamide

C16H33NO

0,73

18. Hexadecanoic acid, 2-

hydroxy-1,3-propanediyl

ester

C35H68O5

0,45

-

19. Hexadecenenitrile

C16H29N

0,57

20. Hexadecanoic acid, 2-

hydroxy-1-

(hydroxymethyl)ethyl

ester

C19H38O4

2,68

-

21. 9-Octadecenamide

C18H35NO

1,15

22. 7,10-Octadecadienoic acid,

methyl ester

C19H34O2

0,39

23. Octadecenamide

C18H35NO

10,99

24. N-Tetradecanoic acid

amide

0,18

-

Ekstrak S. platensis menghasilkan dua puluh empat senyawa dengan presentase pada

senyawa yang berbeda-beda dari 100% kandungan total presentase senyawa. Ekstrak S.

platensis memiliki dua belas senyawa yang kandungan presentase >1% yaitu, Octadecane (9,02%), Neophytadiene (3,21%), 2-Hexadecene, 3,7,11,15-Tetramethyl-2-hexadecen-1-

ol (1%), Ethyl 9-hexadecenoate (2,05%), Dodecanoic acid, ethyl ester (27,71%), 2-

Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- (6,92%), 3,7,11,15-

Tetramethyl-2-hexadecen-1-ol (1,44%), Methyl gamma.-linolenoate (8,04%), Ethyl linoleate (19,47%), 9-Octadecenoic acid (Z)- (1,47%), Hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1-

(hydroxymethyl)ethyl ester (2,68%), 9-Octadecenamide (1,15%), dan Octadecenamide

(10,99%). Senyawa Dodecanoic acid, ethyl ester (27,71%) merupakan kandungan

senyawa dengan presentase tinggi pada ekstrak S. platensis. Senyawa dotriacontane pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antimikroba,

antioksidan, dan antikanker. Menurut penelitian Surahmaida dan Umarudin (2019),

Page 65: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

55 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

menghasilkan senyawa dotriacontane pada ekstrak daun miana (Coleus blumei) berpotensi

sebagai antimikroba dan antioksidan. Penelitian Mishra et al. (2019), menghasilkan

senyawa dotriacontane berpotensi sebagai antikanker pada ekstrak Curcuma raktakanda.

Senyawa 2(4H)-Benzofuranone, 5,6,7,7a-tetrahydro-4,4,7a-trimethyl- atau dihydroactinidiolide pada kandungan ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antibakteri,

antikanker, dan antioksidan. Senyawa dihydroactinidiolide telah terbukti sebagai

antibakteri pada ekstrak alga hijau Cladophora glomerata dan Microspora floccosa

(Laungsuwon dan Chulalaksananukul, 2014) dan antikanker pada ekstrak tumbuhan Prosopis farcta (Saad et al., 2017).

Senyawa pentadecane pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antimikroba,

antiinflamasi, dan antileishmania. Menurut penelitian yang dilakukan Chuah et al. (2020),

menghasilkan pentadecane senyawa alami yang diidentifikasi dari ekstrak Labisia pumila sebagai antimikroba dan antiinflamasi. Penelitian Bruno et al. (2020), senyawa

pentadecane digunakan sebagai pencegah parasit Leishmania infantum pada hewan

dengan menggunakan ekstrak tanaman alga merah (Asparagopsis) berpotensi sebagai

antimikroba dan antileishmania.

Senyawa octadecane pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antimikroba dan antikanker. Penelitian Saputri et al. (2015), senyawa octadecane diidentifikasi dari ekstrak

Tembelekan (Lantana camara L.) berpotensi sebagai antimikroba. Penelitian Husnah et al.

(2019), senyawa octadecane pada ekstrak halus jeruk purut (Citrus hystrix DC.) berpotensi

sebagai antikanker. Senyawa propionic acid pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antimikroba dan antiinflamasi. Menurut penelitian Garcia et al. (2019), senyawa propionic

acid dari asam organik dan minyak esensial berpotensi sebagai antimikroba dalam

pengobatan infeksi dan strategi untuk mengurangi penularan patogen pabrik pengolahan

daging. Penelitian Al-lahham dan Rezae (2019), senyawa propionic acid sebagai antiinflamasi subkutan jaringan adipose pada manusia sebagai penemuan baru untuk

pengembangan obat. Senyawa neophytadiene pada ekstrak S. platensis berpotensi

sebagai antimikroba. Penelitian Sharmila et al. (2016), senyawa neophytadiene dari

tanaman Amarantus polygonoides berpotensi sebagai antimikroba. Senyawa 2-Hexadecene, 3,7,11,15-tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- pada ekstrak S.

platensis berpotensi sebagai antikanker, antioksidan, antiinflamasi, antidiuretik,

sitotoksisitas, dan antimikroba. Menurut penelitian yang dilakukan Sharmila et al. (2016),

senyawa neophytadiene dari tanaman Amarantus polygonoides berpotensi sebagai

antikanker, antioksidan, antiinflamasi, antidiuretik, sitotoksisitas, dan antimikroba. Senyawa 3,7,11,15-Tetramethyl-2-hexadecen-1-ol pada kandungan ekstrak S. platensis

berpotensi sebagai antikanker, antiinflamasi, antimikroba, dan antioksidan. Penelitian

Shibula dan Velavan (2015), Senyawa 3,7,11,15-Tetramethyl-2-hexadecen-1-ol pada

ekstrak Annona muricata berpotensi sebagai antikanker, antiinflamasi, antimikroba, dan antioksidan. Senyawa hexadecanoic acid, methyl ester pada ekstrak S. platensis berpotensi

sebagai antioksidan, hipokolesterolemia, antiandrogenik, dan hemolitik. Menurut penelitian

Shibula dan Velavan (2015), senyawa hexadecanoic acid, methyl ester ditemukan pada

ekstrak Annona muricata berpotensi sebagai antioksidan, hipokolesterolemik, antiandrogenik, dan hemolitik.

Senyawa ethyl 9-hexadecenoate pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai

antioksidan. Penelitian Kim et al. (2020), ekstrak Coreopsis rosea menghasilkan senyawa

ethyl 9-hexadecenoate yang berpotensi sebagai antioksidan mendukung perkembangan

bahan pembuatan teh. Senyawa dodecanoic acid, ethyl ester yang dihasilkan ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antibakteri, antivirus, antioksidan, dan hiperkolesterolemia.

Menurut Yani (2015), Hiperkolesterolemia adalah kondisi dimana kadar kolesterol dalam

darah meningkat di atas batas normal. Penelitian Gideon (2015), senyawa dodecanoic acid,

ethyl ester dihasilkan dari ekstrak Pseudoglochidion anamalayanum berpotensi sebagai antibakteri, antivirus, antioksidan, dan hiperkolesterolemia.

Page 66: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

56 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Senyawa 2-Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- pada ekstrak S.

platensis berpotensi sebagai antimikroba, antikanker, antiinflamasi, dan antidiuretik.

Menurut penelitian Yamuna et al. (2017), senyawa 2-Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-

tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- pada ekstrak Gomphrena globosa berpotensi sebagai antimikroba, antikanker, antiinflamasi, dan antidiuretik. Senyawa methyl .gamma.-

linolenoate pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antihipertensi dan antikanker.

Penelitian Jubie et al. (2015), senyawa methyl .gamma.-linolenoate dihasilkan pada

ekstrak Gomphrena globosa berpotensi sebagai antihipertensi dan antikanker. Senyawa ethyl linoleate pada kandungan ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antibakteri,

antiinflamasi, dan antijerawat. Ko dan Cho (2018), senyawa ethyl linoleate digunakan pada

kosmetik sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan terbukti secara klinis sebagai antijerawat.

Senyawa 9-Octadecenoic acid (Z)- pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antimikroba, antibakteri, dan antitumor. Menurut penelitian yang dilakukan Padma et al.

(2011), ekstrak Silybum marianum menghasilkan senyawa 9-Octadecenoic acid (Z)-

memiliki persamaan nama sebagai senyawa oleic acid berpotensi sebagai antimikroba,

antibakteri, dan antitumor. Senyawa octadecanoic acid, ethyl ester pada ekstrak S.

platensis berpotensi sebagai antiinflamasi. Penelitian Othman et al. (2015), ekstrak Jatropha curcas menghasilkan senyawa octadecanoic acid, ethyl ester berpotensi sebagai

antiinflamasi. Senyawa hexadecanamide pada kandungan ekstrak S. platensis berpotensi

sebagai antijamur. Penelitian Metboki (2018), ekstrak kulit batang ampupu latinnnn

(Eucalyptus alba) mengandung senyawa hexadecanamide mampu menghambat pertumbuhan jamur Fusarium moniliforme.

Senyawa hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1,3-propanediyl ester pada ekstrak S.

platensis berpotensi sebagai antiinflamasi. Menurut penelitian Cheng dan Pau (2017),

senyawa hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1,3-propanediyl ester pada Lactobacillus paracasei berpotensi sebagai antiinflamasi. Senyawa hexadecenenitrile pada ekstrak S. platensis

berpotensi sebagai antivirus. Penelitian Rajasekaran (2014), ekstrak tumbuhan obat

tradisional Kalimantan mengandung senyawa hexadecenenitrile berpotensi sebagai

antivirus terbukti memiliki aktivitas melawan virus influenza. Senyawa hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1-(hydroxymethyl) ethyl ester pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai

antimikroba. Penelitian Tyagi dan Agarwal (2017), ekstrak etanol Pistia stratiotes dan

Eichhornia crassipes menghasilkan senyawa hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1-

(hydroxymethyl) ethyl ester berpotensi sebagai antimikroba.

Senyawa 9-Octadecenamide pada ekstrak S. platensis yang berpotensi sebagai antialzheimer, hiperkolesterolemia, dan antihipertensi. Menurut penelitian Anam et al.

(2019), kandungan senyawa 9-Octadecenamide pada nata de coco sebagai pangan

fungsional berpotensi sebagai antialzheimer, hiperkolesterolemia, dan antihipertensi.

Senyawa 7,10-octadecadienoic acid, methyl ester pada kandungan ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan, dan hiperkolesterolemia. Penelitian

Belakhdar et al. (2015), ekstrak Thesium humile mengandung senyawa 7,10-

octadecadienoic acid, methyl ester berpotensi sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan,

dan hiperkolesterolemia. Senyawa octadecenamide pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antioksidan.

Senyawa octadecenamide berpotensi sebagai antioksidan (pubcem, 2020). Senyawa N-

tetradecanoic acid amide pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antijamur,

antioksidan, antikanker, dan hiperkolesterolemia. Penelitian Mujeeb et al. (2014), senyawa

N-tetradecanoic acid amide pada kandungan daun Aegle marmelos berpotensi sebagai antijamur, antioksidan, antikanker, dan hiperkolesterolemia.

Page 67: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

57 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Kesimpulan. Nilai pH pada ekstrak S. platensis yang tertinggi sebesar 7,16 pada suhu

40oC . Sedangkan aktivitas antioksidan tertinggi pada suhu 80oC dengan nilai 75,09%.

Analisis senyawa menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry menghasilkan

dua puluh empat senyawa. Tiga senyawa terbanyak adalah Octadecenamide (10,99%), ethyl linoleate (19,47%), dan dodecanoic acid, ethyl ester (27,71%). Potensi aktivitas

biologis pada ekstrak S. platensis adalah sebagai antioksidan, antimikroba, antikanker,

antibakteri, antiinflamasi, anti leishmania, antidiuretik, sitotoksisitas, hipokolesterolemia,

antiandrogenik, hemolitik, Antivirus, antihipertensi, antijerawat, antitumor, antijamur,

antialzheimer dan antifungi.

Daftar Pustaka

Al-Lahham, S. and F. Rezaee. 2019. Propionic Acid Counteracts the Inflammation of Human

Subcutaneous Adipose Tissue: a New Avenue for Drug Development. Journal of

Pharmaceutical Sciences, 27(1): 645-652. Anam, C. M. Z. Zaman dan U. Khoirunnisa. 2019. Mengungkap Senyawa pada Nata De

Coco Sebagai Pangan Fungsional. Jurnal Ilmu Pangan dan Hasil Pertanian, 3(1): 42-

53.

Arundhina, E., C. J. Soegihardjo dan B. B. R. Sidharta. 2014. Aktivitas ekstrak etanol daun alamanda (Allaamanda catharica L) sebagai antijamur terhadap Candida albicans DAN

Pityrosporum ovale secara in vitro. Jurnal Fakultas Teknobiologi Atma Jaya, 1-15.

Belakhdar, G., A. Benjouad and E. H. Abdennebi. 2015. Determination Of Some Bioactive

Chemical Constituents From Thesium humile Vahl. Journal Mater Environ, 6(10): 2778-

2783. Bruno, Federica, Castelli, Germano, Migliazzo, Antonella, Piazza, Maria, Galante and

Antonellal. 2020. Cytotoxic Screening and In Vitro Evaluation of Pentadecane Against

Leishmania infantum Promastigotes and Amastigotes. Journal Parasitol 101(6): 701-

705. Cheng, M. and T. Pan. 2017. Glyceryl 1,3-Dipalmitate Produced from Lactobacillus

paracasei subspecies. paracasei NTU 101 Inhibits Oxygen-Glucose Deprivation and

Reperfusion-Induced Oxidative Stress via Upregulation of Peroxisome Proliferator-

Activated Receptor γ in Neuronal SH-SY5Y Cells. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 65 (36): 7926-7933.

Christwardana, M., M. M. A. Nur dan Hadiyanto. 2011. Spirulina platensis Potensinya

Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 2(1): 1-4.

Chuah, Q. X., P. N. Okechukwu, F. Amini and S. S. Teo. 2020. Eicosane, Pentadecane And

Palmitic Acid The Effects In In Vitro Wound Healing Studies. Journal of Tropical Biomedicine, 8(10): 490-499.

Earle, R.L. 1982. Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan. Jakarta: Sastra Hudaya.

El-baky, H. H. A., G. S. El-baroty dan E. M. Mostafa. 2020. Optimization Growth of Spirulina

(Arthrospira) Platensis in Photobioreactor Under Varied Nitrogen Concentration for Maximized Biomass, Carotenoids and Lipid Contents. Journal Recent Pat Food Nutr

Agric. 11(1):40-48.

Finamore, A., M. Palmery, S. Bensehaila dan I. Peluso. 2017. Antioxidant,

Immunomodulating, and Microbial-Modulating Activities of the Sustainable and Ecofriendly Spirulina. Journal Oxidative medicine and cellular longevity, 1-14.

Firdiyani, F., T. W. Agustini dan W. F. Ma’ruf. 2015. Ekstraksi Senyawa Bioaktif sebagai

Antioksidan Alami Spirulina platensis Segar dengan Pelarut yang Berbeda. Jurnal

Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 18(1): 28-37.

Page 68: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

58 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Fitriana, W. D., S. Fatmawati dan T. Ersam. 2015. Uji Aktivitas Antioksidan terhadap DPPH

dan ABTS dari Fraksi-fraksi Daun Kelor (Moringa oleifera). Jurnal Prosiding Simposium

Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains, 8(9): 857-660.

Garcia, M. G., C. Sol, P. J. G. Nova, M. Puyalto, L. Mesas, H. Puente, O. Menci, R. Miranda, H. Arguello, P. Rubio and A. Carvajal. 2019. Antimicrobial Activity Of A Selection Of

Organic Acids, Their Salts And Essential Oils Against Swine Enteropathogenic Bacteria.

Journal Porcine Health Management, 5(32): 1-8.

Gideon, V. A. 2015. GC-MS Analysis Of Phytochemical Components Of Pseudoglochidion Anamalayanum Gamble: an Endangered Medicinal Tree. Journal of Plant Science and

Research, 5(12): 36-41.

Hanani, T., I. Widowati dan A. B. Susanto. 2020. Kandungan Senyawa Beta Karoten pada

Spirulina platensis dengan Perlakuan Perbedaan Lama Waktu Pencahayaan. Jurnal Buletin Oseanografi Marina, 9(1): 55-58.

Husnah, Y., Indrianto, Ari, Tunjung dan Woro. 2019. Profil Senyawa Bioaktif Ekstrak Kalus

Biji Jeruk Purut (Citrus hystrix DC.) Pasca Induksi Metil Jasmonat. Jurnal Saintek, 3(2):

146-160.

Husni, A., D. R. Putra dan I. Y. B. Lelana. 2014. Aktivitas Antioksidan Padina sp. Pada Berbagai Suhu dan Lama Pengeringan. Jurnal Perikanan, 9(2): 165-173.

Jos, B., P. E. Setyawan dan Y. Satria. 2011. Optimalisasi Ekstraksi dan Uji Stabilitas

Phycocyanin dari Mikroalga Spirulina platensis. Jurnal Teknik, 32(3): 187-193.

Jubie, S., S. P. Dhanabal and M. V. N. L. Chaitanya. 2015. Isolation of methyl gamma linolenate from Spirulina platensis using flash chromatography and its apoptosis

inducing effect. Journal Complementary and Alternative Medicine, 15(263): 1-8.

Kim, B., H. M. Kim, C. H. Jin, S. Kang, J. Kim, Y. G. Jeon, K. Y. Park, I. Lee and A. Han.

2020. Composition and Antioxidant Activities of Volatile Organic Compounds in Radiation-Bred Coreopsis Cultivars. Journal Plants, 9(717): 1-9.

Ko, G. and S. K. Cho. 2018. Ethyl Linoleate Inhibits α-MSH-induced Melanogenesis Through

Akt/GSK3β/β-catenin Signal Pathway. Journal Physiol Pharmacol, 22(1): 53-61.

Kumaresan, S., V. Senthilkumar, A. Stephen and B. S. Balakumar. 2015. GC-MS Analysis And Pass-Assisted Prediction Of Biological Activity Spectra Of Extract Of Phomopsis SP.

Isolated From Andrographis Paniculata. Journal Of Pharmaceutical Research,

4(1):1035-1053.

Laungsuwon, R. dan W. Chulalaksananukul. 2014. Chemical Composition and Antibacterial

Activity of Extracts from Freshwater Green Algae, Cladophora Glomerata Kutzing and

Microspora floccosa (Vaucher) Thuret. Journal BioSci Biotechnol, 3(3): 211-218.

Mardikasari, S. A., A. N. T. A. Mallarangeng, W. O. S. Zubaydah dan E. Juswita. 2017.

Formulasi Dan Uji Stabilitas Lotion dari Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji (Psidium

guajava L.) sebagai Antioksidan. Jurnal Farmasi, Sains dan Kesehatan, 3(2): 28-32.

Metboki, B. 2018. Identifkasi Senyawa Aktif Kulit Batang Ampupu (Eucalyptus alba Reinw.

Ex. Blume) dalam Menghambat Pertumbuhan Jamur Fusarium moniliforme. Jurnal

Pertanian Konservasi Lahan Kering, 3 (1): 11-13.

Mishra, S., S. S. Verma, V. Rai, N. Awasthee, J. S. Arya, K. K. Maiti and S. C. Gupta. 2019.

Curcuma raktakanda Induces Apoptosis and Suppresses Migration in Cancer Cells Role

of Reactive Oxygen Species. Journal Biomolecules, 9(1): 1-20.

Mujeeb, F., P. Bajpai and N. Pathak. 2014. Phytochemical Evaluation, Antimicrobial Activity,

and Determination of Bioactive Components from Leaves of Aegle marmelos. Journal

BioMed Research International, 11(1): 1-12.

Othman, A. R., N. Abdullah, S. Ahmad, I. S. Ismail and M. P. Zakaria. 2015. Elucidation Of

In-Vitro Anti-Inflammatory Bioactive Compounds Isolated From Jatropha curcas L.

Plant Root. Journal Complementary and Alternative Medicine, 15-11: 1-10.

Page 69: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

59 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Padma, M. Ganesan, Jayaseelan, Azhagumadhavan, Sasikala, Senthilkumar and Mani.

2019. Phytochemical screening and GC–MS analysis of bioactive compounds present

in ethanolic leaves extract of Silybum marianum (L). Journal of Drug Delivery and

Therapeutics, 9(1): 85-89.

Pratiwi, W., L. T. Suwanti dan W. H. Satyantini. 2016. Perendaman Ekstrak Spirulina

platensis Terhadap ig-M, Jaringan Limpa dan Diferensial Leukosit Ikan Mas Setelah

Diinfeksi Aeromonas hydrophila. Jurnal Biosains Pascasarjana, 18(1): 1-13.

Pubchem Compound Database https://pubchem.ncbi.nih.gov/compound/712. National

center for Biotechnology Information diakses Oktober 2020.

Rajasekaran, D. 2014. Dentification Of Traditional Medicinal Plant Extracts With Novel

Anti-Influenza Activity. [Tesis]. Environment And Biotechnology Centre Swinburne

University Of Technology Australia, 177 hlm.

Ridlo, A., S. Sedjati dan E. Supriyantini. 2015. Aktivitas Anti Oksidan Fikosianin Dari

Spirulina Sp. Menggunakan Metode Transfer Elektron Dengan DPPH (1,1-difenil-2-

pikrilhidrazil). Jurnal Kelautan Tropis, 18(2): 58-63.

Riyadi, P. H., Y. S. Darmanto, A. D. Anggo, V. E. Herawati dan R. A. Kurniasih. 2020.

Potential of Hydrolyzed Waste in Portunus Sp. Non-Shell as Nutraceutical with

Bioinformatics Analysis. Journal of Engineering and Applied Sciences, 1-5.

Saad, A. M., M. A. Ghareeb, M.S. Abdel-Aziz, H.M. Madkour, O.M. Khalaf, A.K. ElZiaty dan

M. Abdel-Mogib. 2017. Chemical constituents and biological activities of different

solvent extracts of Prosopis farcta growing in Egypt. Journal Pharmacol Phytother,

9(5): 67–76.

Sami, F. J. dan S. Rahimah. 2017. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Bunga Brokoli

(Brassica oleracea L. var. Italica) dengan Metode DPPH (2,2 diphenyl-1-picrylhydrazyl)

Metode ABTS 2,2 azinobis (3-etilbenzotiazolin)-6-asam sulfonat). Jurnal Farmasi, 2(2):

107-110.

Saputri, D. D., M. Bintang and F. H. Pasaribu. 2015. Isolation and Characterization of

Endophytic Bacteria from Tembelekan (Lantana camara L.) as Antibacterial Compounds

Producer. Journal Current Biochemistry, 2 (2): 77-89.

Sharmila, M., M. Rajeswari, I. Jayashree and D. H. Geetha. 2016. GC-MS Analysis Of

Bioactive Compounds Of Amarantus Polygonoides Linn. (Amaranthaceae). Journal of

Applied and Advanced Scientific Research, 1(1): 2456-3080.

Shibula, K. and S. Velavan. 2015. Determination of Phytocomponents in Methanolic Extract

of Annona muricata Leaf Using GC-MS Technique. Journal of Pharmacognosy and

Phytochemical Research, 7(6): 1251-1255.

Surahmaida dan Umarudin. 2019. Identifikasi dan Analisa Senyawa Kimia Ekstrak Daun

Miana (Coleus blumei). Jurnal Ilmu Pendidikan Teknologi, 1(4): 24-27.

Tyagi, T. dan M. Agarwal. GC-MS Analysis Of Invasive Aquatic Weed, Pistia Stratiotes L.

And Eichhornia Crassipes (Mart.) Solms. Journal of Current Pharmaceutical Research,

9(3): 1-7.

Widayanti, S. M., A. W. Permana dan H. D. Kusumaningrum. 2009. Kapasitas dan Kadar

Antioksidan Ekstrak Tepung Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) pada

Berbagai Pelarut dengan Metode Maserasi. Jurnal Pascapanen, 6(2): 61-68.

Widyasanti, A., N. Nurlaily dan E. Wulandari. 2018. Karakteristik Fisikokimia Antosianin

Ekstrak Kulit Buah Naga Merah Menggunakan Metode UAE. Jurnal Ilmiah Rekayasa

Pertanian dan Biosistem, 6(1): 27-38.

Page 70: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

60 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Wu, H. L., Wang G. H., Xiang W. Z., Li T. and He H. 2016. Stability and Antioxidant Activity

of Food-Grade Phycocyanin Isolated from Spirulina platensis. International Journal of

Food Properties, 19(10): 2349-2362.

Yamuna, P., P. Abirami, M. Sharmila and P. Vijayashalini. 2017. GC-MS Analysis Of

Bioactive Compounds in The Entire Parts Of Ethanolic Extract Of Gomphrena Globosa

Linn. Journal of Research in Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 2(4): 57-64.

Yani, M. (2015). Mengendalikan kadar kolesterol pada hiperkolesterolemia. Jurnal Olahraga

Prestasi, 11(2): 1-7.

Yasir, A. S., M. W. Wiranti dan N. W. Wulantika. 2019. Potensi Spirulina platensis Terhadap

Aktivitas Antioksidan, Antidiabetes dan Antihipertensi. Jurnal Farmasi Malahayati,

2(2): 164-174.

Zaid, A. A. A., D. M. Hammad and E. M. Sharaf. 2015. Antioxidant and Anticancer Activity

of Spirulina platensis Water Extracts. International Journal of Pharmacology, 11 (7):

846-851.Al Ayubi, A., Gimin, R. Yahyah. 2016. Comparison of Some Aspects of

Morphological and Reproductive of Blood Cockle (Anadara granosa L.) in the Intertidal

of Kupang Bay, West Timor, Indonesia. International Journal, Scholars Academic

Journal of Biosciences (SAJB). An International Publisher for Academic and Scientific

Resources. 4(11) : 1013-1021

Page 71: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

61 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dengan Budidaya Rumput Laut “Sakol” di Desa Tablolong Kecamatan Kupang Barat Ni Putu Dian Kusuma

Politeknik Kelautan dan Perikanan Kupang

Jl. Kampung Baru - Pelabuhan Ferry-Bolok, Kec. Kupang Barat

Kabupaten Kupang – Nusa Tenggara Timur (Email: [email protected])

Abstrak - Pemanasan global karena meningkatnya gas CO2 dan gas rumah kaca ke atmosfer

mengakibatkan perubahan iklim di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai negara yang terbentang di garis khatulistiwa, Indonesia menjadi negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kondisi

ini ditandai dengan ketidakteraturan musim kemarau dan musim hujan, kenaikan permukaan air laut

yang mengancam wilayah pesisir, serta munculnya berbagai bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Hal ini menyebabkan aspek kelautan dan perikanan menghadapi potensi permasalahan yang harus

diperhatikan karena menjadi ancaman keamanan pangan khususnya terhadap ketersediaan hasil laut. Perubahan iklim diartikan oleh pelaku utama (nelayan, pembudidaya, pengolah ikan) yaitu terjadinya

musim hujan dan kemarau yang sering tidak menentu sehingga mengganggu pola tebar benih ikan, pola

tanam rumput laut dan hasil panen serta musim penangkapan ikan. Subsektor perikanan budidaya turut berkontribusi terhadap peningkatan gas CO2 dan gas rumah kaca di atmosfer. Upaya mitigasi terhadap

perubahan iklim di bidang perikanan telah dilakukan, diantaranya dengan penanaman vegetasi pantai

yang dapat mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer. Rumput laut termasuk salah satu vegetasi pantai yang mampu menyerap karbon dengan baik jika dibandingkan dengan tumbuhan di darat. Rumput laut

melakukan proses fotosintesis dengan memanfaatkan CO2 dan energi cahaya yang dikonversi menjadi karbohidrat yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan thallus rumput laut. Besarnya

potensi ekosistem pesisir untuk kegiatan budidaya rumput laut, memberikan peluang yang juga semakin

besar dalam penyerapan karbon oleh rumput laut. Selain itu, aktivitas budidaya rumput laut juga memenuhi kebutuhan ekonomis masyarakat pesisir serta memberikan kontribusi positif terhadap

pengendalian pencemaran organik di lingkungan perairan. Berdasarkan hasil penelitian, rumput laut menyerap karbon dari perairan lebih efektif pada saat rumput laut memasuki umur pemeliharaan 0-20

hari. Berdasarkan hal tersebut budidaya rumput laut sangat baik dikembangkan dalam skala massal

untuk tujuan produksi dan sebagai agen penyerap karbon sehingga secara global dapat menurunkan konsentrasi CO2 di atmosfer. Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi

budidaya rumput laut sebesar 9.015,47 Ha dengan total produksi rumput laut mencapai 305.333 ton/tahun. Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat merupakan salah satu daerah penyumbang

produksi rumput laut terbesar di NTT. Mata pencaharian terbanyak penduduk Desa Tablolong adalah

nelayan dengan kegiatan utamanya budidaya rumput laut dan kegiatan penunjangnya adalah perikanan tangkap. Komoditas unggulan Desa Tablolong adalah rumput laut jenis Kappaphycus striatum (Sakol)

yang menghasilkan karaginan. Karaginan digunakan secara luas untuk berbagai kepentingan industri

pangan, kosmetika dan obat, bahkan untuk kesehatan sepertii potensinya sebagai anti virus berbagai penyakit. Kegiatan budidaya rumput laut oleh penduduk Desa Tablolong sebagian besar dilakukan secara

sederhana, sejak tahapan pengikatan, pemeliharaan, panen maupun tahapan pasca panen. Saat ini hampir seluruh pembudidaya rumput laut menggunakan metode tali tunggal (Longline), namun inovasi

dalam budidaya rumput laut mulai nampak pada penggunaan metode budidaya yaitu menggunakan

Kantong Jaring. Dengan metode ini produksi rumput laut dapat meningkat sehingga potensi rumput laut sebagai penyerap karbon serta prospek pengembangan budidaya rumput laut yang berkelanjutan akan

mengendalikan gas CO2 dan gas rumah kaca, sehingga secara tidak langsung dapat berperan dalam proses mitigasi perubahan iklim.

Kata Kunci: Mitigasi, Perubahan Iklim, Rumput Laut, Sakol, Tablolong

Pemanasan Global. Karbondioksida (CO2), Metana (CH), dan Nitrogen (NO) adalah

bagian dari Gas Rumah Kaca yang memiliki manfaat penting untuk menjaga permukaan

bumi agar tetap hangat. Cahaya matahari yang masuk lalu menyentuh permukaan bumi

serta sebagian kecil energi akan dipantulkan kembali, namun sebagian besar akan

terperangkap oleh Gas Rumah Kaca yang akhirnya akan menyelimuti bumi. Peristiwa inilah yang biasa kita kenal dengan sebutan “Efek Rumah Kaca”. Hal yang menyebabkan emisi

Gas Rumah Kaca menjadi masalah besar adalah karena dalam jangka panjang, bumi harus

melepaskan energi dengan laju yang sama ketika bumi menerima energi dari matahari.

Selubung Gas Rumah Kaca yang lebih tebal akan membantu untuk mengurangi hilangnya

energi ke angkasa, sehingga sistem iklim harus menyesuaikan diri untuk mengembalikan

Page 72: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

62 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

keseimbangan antara energi yang masuk dan energi yang keluar. Iklim menyesuaikan diri

terhadap selubung Gas Rumah Kaca yang lebih tebal dengan “Pemanasan Global” pada

permukaan bumi dan pada atmosfer bagian bawah. Kenaikan temperatur tersebut diikuti

oleh perubahan-perubahan lain, sepertii tutupan awan dan pola angin. Beberapa perubahan ini dapat mendukung terjadinya pemanasan, sedangkan yang lainnya

melakukan hal yang berlawanan.

Pemanasan global disebabkan oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca yang banyak

dihasilkan oleh industri, pemakaian bahan bakar fosil yang berlebih sepertii batu bara, gas alam, minyak bumi serta tata guna lahan yan tidak sesuai fungsinya. Semua hal tersebut

memicu terjadinya perubahan iklim yang mengancam keberadaan ekosistem makhluk

hidup serta keberlangsungan hidup manusia di bumi. Pemanasan global menyebabkan

suhu naik sehingga iklim akan terpengaruh. Pola angin dan arus laut serta daur hidrologi akan ikut berubah, dimana atmosfer yang hangat memicu banyak uap air dan

menyebabkan iklim menjadi tidak stabil. Pemanasan global dan rusaknya lingkungan

menyebabkan masalah besar bagi manusia. Awal musim hujan pada beberapa daerah

datang terlambat dari biasanya, sedangkan di daerah lain hujan datang lebih awal. Pada

musim yang normal, hujan berlangsung tidak lama dengan intensitas yang tidak deras, namun saat ini hujan berlangsung lama dan deras. Kondisi lingkungan dan hutan yang

semakin memburuk mengakibatkan air tidak dapat diserap oleh akar-akar pohon sehingga

peristiwa banjir dan tanah longsor semakin sering terjadi. Pada musim kemarau, hujan

jarang terjadi, volume air sangat sedikit bahkan air semakin sulit tersedia karena sungai-sungai menjadi kering. Gejala ini menunjukkan bahwa iklim kita telah mengalami

perubahan. Iklim tidak akan bersahabat dengan manusia apabila pencemaran gas rumah

kaca yang bersumber dari pembakaran bahan bakar minyak, pembusukan sampah organik

dari pertanian, perikanan dan peternakan, serta pembukaan lahan dengan membakar hutan tidak dikurangi. Bila hal tersebut masih berlanjut, maka akan ada perubahan iklim

yang semakin ekstrim, yakni kemarau panjang, angin kencang, hujan badai, atau suhu

yang semakin meningkat.

Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan menemukan bahwa aksi iklim berbasis laut dapat menghasilkan hingga 21% dari pengurangan emisi yang dibutuhkan

untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,50C. Ini mempertimbangkan potensi

energi terbarukan berbasis laut (ladang angin lepas pantai dan energi dari sistem

gelombang dan pasang surut); dekarbonisasi transportasi laut melalui efisiensi energi dan

bahan bakar alternatif; memulihkan dan melindungi ekosistem “blue carbon” sepertii bakau, rawa asin, dan lamun; dan sumber makanan berbasis laut rendah karbon. Langkah-

langkah ini tidak hanya membantu mengurangi emisi yang menghangatkan dan

mengasamkan laut; mereka akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan

ketahanan pesisir, meningkatkan keamanan pangan, dan meningkatkan kualitas udara dan kesehatan manusia (Wernberg and Dexter, 2018).

Konsentrasi Karbondioksida (CO2) adalah 60% dari keseluruhan Gas Rumah Kaca yang

merupakan bagian terbesar dalam Gas Rumah Kaca. Jika polusi karbon terus menebal di

atmosfer, maka akan semakin banyak panas yang terperangkap di Bumi, yang membuat pemanasan global semakin meningkat (Dockrill, 2019). Pada 2025, level karbon dioksida

(CO2) pada atmosfer Bumi diperkirakan akan memecahkan rekor sepanjang 3,3 juta tahun.

Hal tersebut merupakan hasil penelitian dari sekelompok ilmuwan University of

Southampton, yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Scientific Reports. Berikut ini

adalah konsentrasi global rata-rata CO2 yang terus meningkat karena kombinasi aktivitas manusia dan peristiwa El Nino yang kuat.

Page 73: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

63 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 1. Perkiraan Konsentrasi CO₂ di Mauna Loa Tahun 2019 (Oranye), Bersama

Dengan Konsentrasi Perkiraan Sebelumnya untuk Tahun 2016 (Biru), Tahun

2017 (Hijau), Tahun 2018 (Pink) dan Pengukuran Scripps Institute (Hitam). Sumber: metoffice.gov.uk

Perubahan Iklim. Lautan menyerap sejumlah besar panas dan emisi dunia dan

merasakan pengaruhnya. Lautan telah menyerap sekitar 20-30% emisi karbon manusia

sejak 1980-an, menyebabkan pH laut menurun dan menjadi lebih asam. Selain itu, panas berlebih diserap oleh laut, dan laju pemanasan laut meningkat lebih dari dua kali lipat sejak

tahun 1993. Penyerapan emisi dan panas ini menyebabkan dampak yang sangat besar,

sepertii gelombang panas laut, periode hangat yang ekstrim di lautan, menjadi lebih luas,

intens, dan tahan lama. Peristiwa ekstrim sepertii itu dapat berdampak besar pada ekosistem laut, mengurangi keanekaragaman spesies, dan merusak spesies dasar sepertii

karang dan rumput laut. Gelombang panas laut kemungkinan besar dua kali lipat

frekuensinya antara tahun 1982 dan 2016.

Peristiwa pemutihan karang skala besar telah meningkat frekuensinya selama dua dekade terakhir karena pemanasan. IPCC (2007) menemukan bahwa degradasi terumbu

karang telah terjadi di seluruh dunia. Kenaikan permukaan laut telah dipercepat selama

beberapa dekade terakhir, dengan meningkatnya hilangnya es dari lapisan es Greenland

dan Antartika dan dari ekspansi termal air laut. Laju kenaikan muka air laut dari tahun

2006-2015 adalah 2,5 kali lipat dari tahun 1901-1990. Sebagai hasil dari perubahan ini, spesies laut bergerak untuk menemukan habitat yang lebih ramah, dengan efek berjenjang

pada rantai makanan dan ekosistem. Negara-negara pesisir di semua wilayah sudah

merasakan dampaknya terhadap stok ikan, infrastruktur pesisir, pariwisata, budaya asli,

dan keanekaragaman hayati lokal. Perubahan iklim hingga saat ini belum dapat dihindari dan diyakini akan meluas

dampaknya di berbagai aspek kehidupan. Semakin besar dampak iklim yang dihasilkan

maka semakin besar juga upaya aktif untuk menghindari dampak negatif melalui strategi

mitigasi dan adaptasi (Runtunuwu, 2008). Perubahan iklim telah memberikan berbagai dampak dalam berbagai sektor pula. Dampak tersebut telah dirasakan pada sektor

perikanan, kelautan, kehutanan, pertanian, sumberdaya air, lingkungan, bahkan ekonomi

dan sosial. Sejauh ini dampak perubahan iklim yang paling ekstrim adalah terjadinya

kenaikan suhu serta terjadinya pergeseran musim (Anggraini dan Trisakti, 2011).

Page 74: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

64 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Sektor perikanan mengalami dampak yang besar karena terjadinya perubahan iklim.

Hujan lebat yang diiringi angin besar menyebabkan badai di lautan. Gelombang besar

hingga di pinggir pantai tidak dapat lagi ditahan oleh penahan ombak dan tanaman bakau.

Ombak mencapai daratan dan merusak tambak di dekat garis pantai serta rumah masyarakat di pesisir pantai, sehingga masyarakat tersebut harus berpindah karena rumah

tempat tinggalnya terancam rusak oleh ombak besar. Tidak hanya itu, air laut yang

mencapai daratan dan tambak membuat banyak ikan dan udang hilang, hanyut terbawa

arus air laut. Tingginya gelombang dan ombak besar menyebabkan jumlah tambak berkurang sehingga pembudidaya ikan dan udang di tambak mengalami penurunan

produksi dan pendapatan. Pembudidaya tersebut kehilangan ribuan benih ikan dan udang

yang telah dibudidayakan dalam tambak.

Panel Antarpemerintah Perubahan Iklim (IPCC) melaporkan perubahan iklim yang menyebabkan kerugian ekonomi yang terjadi pada tiga industri berbasis laut, yaitu

pariwisata terumbu karang, perikanan tangkap, dan marikultur (budidaya biota laut).

Langkah pertama yang disarankan untuk menanggulangi hal tersebut adalah mengurangi

jumlah emisi gas rumah kaca secara global baik dari sumber daratan maupun lautan. Hasil

analisis terbaru oleh High Level Panel on Sustainable Ocean Economy menunjukkan bahwa aksi iklim berbasis laut akan menyumbang 21 persen dari penurunan emisi yang diperlukan

hingga tahun 2050 demi menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius. Hal

ini menunjukkan bahwa laut memegang peran penting sebagai solusi iklim.

Indonesia pun merasakan dampak adanya perubahan iklim, yaitu menurunnya curah hujan serta peningkatan suhu di berbagai wilayah di Indonesia. Indonesia sebagai negara

yang berada di garis khatulistiwa sangatlah rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan

iklim dapat menyebabkan kenaikan suhu di berbagai wilayah, dan berubahnya awal dan

panjang musim hujan. Perubahan curah hujan di sebagian wilayah di Indonesia akan mengakibatkan pengaruh terhadap berbagai varietas di wilayah tersebut. Meningkatnya

hujan pada musim hujan menyebabkan tingginya frekuensi kejadian banjir, sedangkan

menurunnya hujan pada musim kemarau akan meningkatkan risiko kekekeringan.

Upaya Pemerintah

Upaya Adaptasi. Faktor yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim dapat berupa

faktor alamiah maupun aktivitas manusia (antropogenik) yang menyebabkan peningkatan

emisi Gas Rumah Kaca ke atmosfer yang berdampak pada terjadinya kenaikan suhu

permukaan bumi. Saat ini, perikanan budidaya diposisikan sebagai salah satu subsektor yang ikut berkontribusi terhadap peningkatan Gas Rumah Kaca CO2 di atmosfer. Berbagai

langkah mitigasi terhadap perubahan iklim telah dilakukan, termasuk oleh Kementerian

Kelautan dan Perikanan, diantaranya adalah penanaman vegetasi pantai yang dapat

mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer (Aldrian et al., 2011). Sejauh ini upaya mitigasi

yang umumnya dilakukan lebih cenderung berbasis ekosistem. Pengikatan karbon oleh alga fotoautotrofik berpotensi untuk mengurangi pelepasan CO2 ke atmosfer dan dapat

membantu mencegah percepatan terjadinya pemanasan global.

Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan tiga pilihan adaptasi terhadap

perubahan iklim terhadap masyarakat yang bermukim di pesisir, yakni proteksi, mundur, dan akomodasi.

Strategi Proteksi. Strategi proteksi dapat dilakukan dengan membuat bangunan pantai

yang mampu mencegah banjir air laut (rob) agar tidak merangsek ke darat. Pola ini bertujuan melindungi permukiman, industri wisata, jalan raya, daerah pertanian, tambak,

dan lain-lain dari genangan air laut. Tangggul dan bangunan pantai tidak hanya dirancang

berdasarkan muka air pasang tnggi dan gelombang laut pada saat ini, tetapi juga harus

Page 75: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

65 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

memperhitungkan amblesan tanah, kenaikan muka air laut, dan gelombang laut akibat

angin pada kondisi ekstrim.

Upaya proteksi lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan restorasi

peremajaan pantai dan rehabilitasi mangrove. Proses ini meliput pengambilan material dari tempat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan. Lahan hasil

tmbunan ini kemudian ditanami mangrove sehingga dapat meredam banjir rob yang

merangsek ke darat. Fungsi lain dari hutan mangrove adalah sebagai penyerap karbon

sehingga tanaman ini dapat mengurangi pemanasan global.

Gambar 2. Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Untuk Masyarakat Pesisir

(Sumber: Aldrian et al., 2011)

Strategi Mundur. Strategi mundur bertujuan menghindari genangan air laut dengan cara

merelokasi permukiman, industri, daerah pertanian, dan lain-lain ke arah daratan yang

jauh dari laut. Dengan demikian kawasan tersebut tidak terjangkau air laut sebagai akibat kenaikan paras muka air laut.

Strategi Akomodatif. Strategi ini dilakukan dengan menyesuaikan kenaikan paras muka

air laut. Salah satu contohnya adalah dengan membuat rumah panggung di tepi pantai

agar aman dari genangan air laut, terutama pada waktu banjir air pasang. Bagi daerah pertanian yang tergenang air laut akibat kenaikan paras muka air laut, kawasan tersebut

dapat diubah peruntukannya menjadi lahan budidaya perikanan.

Upaya Mitigasi. Kementerian Kelautan dan Perikanan juga melakukan berbagai upaya

mitigasi perubahan iklim. Mitgasi tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (biofuel) sebagai

penggant bahan bakar fosil (fossil fuel), penanaman vegetasi pantai dan lain sebagainya.

Pengembangan Bahan Bakar Ramah Lingkungan untuk Kapal. Pengembangan

biofuel (energi dari tumbuhan) sebagai pengganti minyak bumi akan memberikan kesempatan lebih besar untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Biofuel adalah

energi yang bersumber dari berbagai tanaman sepertii kelapa, jarak, jagung, ubi kayu,

tebu, dan lain sebagainya.

Page 76: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

66 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pemanfaatan bahan bakar nabati ini dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.

Dengan demikian, semakin banyak bio fuel yang digunakan di kapal-kapal nelayan maka

emisi Gas Rumah Kaca tidak bertambah. Di sisi lain, pengembangan energi terbarukan

semacam ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menciptakan lapangan kerja. Selain itu, pendapatan masyarakat juga dapat meningkat.

Penamanan Vegetasi Pantai. Penanaman vegetasi pantai seperti mangrove, ketapang,

cemara, dan waru laut selain merupakan upaya adaptasi juga sekaligus upaya mitgasi. Disebut upaya adaptasi karena vegetasi tersebut melindungi kawasan pesisir dari dampak

perubahan iklim, seperti rob, banjir, dan erosi.

Budidaya Rumput Laut Di Desa Tablolong. Provinsi Nusa Tenggara Timur

(NTT) adalah salah satu sentra rumput laut nasional dan juga sebagai salah satu penyumbang terbesar rumput laut Indonesia. Wilayah kepulauan Provinsi NTT terdiri dari

1.192 pulau yang tersebar dalam 4 pulau besar yaitu Flores, Sumba, Timor (Kabupaten

Kupang) dan Alor serta pulau-pulau kecil memiliki potensi hasil laut yang cukup besar

termasuk rumput laut. Dengan luas potensi perairan untuk pengembangan rumput laut mencapai 54 ribu Ha, maka Provinsi NTT memiliki potensi produksi rumput laut sebesar 15

juta ton/tahun. Namun hingga saat ini baru mampu memproduksi sebanyak 2 juta

ton/tahun atau 13,2% dari luas lahan potensial. Perairan laut di Kecamatan Kupang Barat

yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk pengembangan budidaya laut, salah satu

diantaranya adalah budidaya rumput laut. Berdasarkan daya dukung lingkungan, luas lahan yang sangat sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut di Kecamatan

Kupang Barat adalah sebesar 1.104,48 Ha dengan total produksi 265.075 ton/tahun

(Kamlasi, 2008). Namun dengan menggunakan adopsi teknologi baik dari segi bibit rumput

laut maupun metode yang digunakan, pada tahun 2016 produksi rumput laut di Kecamatan Kupang Barat mencapai 1,3 juta ton (BPS Propinsi NTT, 2020).

Pengembangan rumput laut di NTT perlu dilakukan secara komprehensif dan bukan secara

parsial. Percepatan pengembangan rumput laut di NTT harus dilakukan dengan asas

manfaat, kemitraan, keterpaduan dan keterbukaan efisiensi serta kelestarian yang berkelanjutan.

Budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat Desa

Tablolong. Rumput laut Sakol dipilih oleh para pembudidaya karena memiliki toleransi stres

yang tinggi (Neish, 2003). Seluruh pembudidaya menggunakan metode Long line dalam membudidayakan rumput laut karena metode ini mudah diterapkan dan tidak

membutuhkan biaya/modal besar serta mudah dikerjakan. Metode Long line adalah cara

membudidayakan rumput laut dikolom air dekat permukaan perairan menggunakan tali

yang dibentangkan dengan bantuan pelampung dan jangkar (Hernanto et al., 2015). Jenis

rumput laut yang dibudidayakan di Desa Tablolong didominasi oleh Kappaphycus striatum. Kappaphycus striatum disebut oleh pembudidaya rumput laut setempat dengan nama

“Sakol”. Sakol adalah satu tipe dari genus Kappaphycus dan memiliki komposisi kimia yang

sama sepertii Kappaphycus alvarezii (Aguilan et al., 2003). Kappaphycus (Rhodophyta,

Solieriaceae) termasuk golongan alga merah yang ekonomis penting karena memproduksi iota dan kappa-karagenan. Alga ini dibudidayakan secara komersial di hampir 30 negara,

termasuk diantaranya adalah Indonesia (Hurtado et al., 2015). Kappaphycus striatum

memiliki ciri rumpun dengan percabangan panjang, diameter cabang thallus besar, thallus

silindris, permukaan licin, substansi thallus “gelatinus“ dan “kartilagenus” (lunak sepertii tulang rawan), keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, atau

hijau kuning/merah.

Page 77: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

67 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Daya Dukung Lingkungan. Perikanan budidaya merupakan kegiatan yang berpotensi

menimbulkan dampak terhadap lingkungan akibat beban limbah yang dapat

mengakibatkan pengkayaan nutrien, eutrofikasi, hypoxia, sedimentasi sehingga kegiatan

budidaya harus dilakukan sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan. Pengaturan operasional budidaya rumput laut harus mengacu pada kodisisi daya dukung perairan, luas

perairan yang layak dan tingkat produktivitas yang dapat dicapai. Daya dukung lingkungan

tersebut merupakan tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan, suatu

sumberdaya alam atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan pulau kecil

atau zona sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis.

Strategi Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Desa Tablolong. Kamlasi (2008)

menjabarkan informasi sebagai sebagai acuan untuk pengembangan budidaya rumput laut

di perairan Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat antara lain:

Pengelolaan Lingkungan Perairan Berbasis Ekologis. Berdasarkan pengalaman dari

pembudidaya, pada saat musim hujan (bulan Februari-Mei) kebanyakan pembudidaya

memilih untuk tidak melakukan budidaya karena sering terjadi kegagalan panen; yang diduga disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi ekologis perairan sepertii perubahan

salinitas perairan, terutama di perairan dekat garis pantai. Kondisi ekologis lainnya sepertii

DO, Nitrat dan Orthophosfat masih dalam batas toleransi untuk pertumbuhan rumput laut.

Kondisi ini perlu dipertahankan agar budidaya rumput laut dapat terus berkembang.

Penataan/pengaturan rakit dan jarak tanam yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, kiranya perlu juga dilakukan untuk memberikan kesempatan/peluang yang sama besar bagi

individu rumput laut dalam menyerap nutrien di perairan.

Aspek Teknologi dalam Budidaya Rumput Laut. Pada umumnya sistem budidaya rumput laut yang selama ini dilakukan oleh para petani pembudidaya di Desa Tablolong,

Kecamatan Kupang Barat adalah metode tali panjang. Metode ini memiliki beberapa

kelemahan yaitu pada saat terjadi arus dan gelombang tali-tali tempat penanaman rumput

laut menjadi merapat dan bersentuhan sehingga thallus rumput laut menjadi rusak bahkan tali-tali tersebut dapat menjadi putus. Hal ini akan berpengaruh pada kuantitas dan kualitas

produksi rumput laut. Untuk menjamin kontinyuitas kuantitas dan meningkatkan kualitas

produksi rumput laut di Kecamatan Kupang Barat maka diperlukan beberapa aspek teknologi

dan teknik dalam budidaya rumput laut meliputi: Metode Budidaya. Dalam mengembangkan budidaya di Kecamatan Kupang Barat

sebaiknya menggunakan metode Kantong Jaring dan metode Rakit Apung. Metode

ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode Long line; sepertii

pemeliharaan yang mudah, tidak sulit dalam pengontrolan, serta adanya ruang untuk

arus lalu lintas pembudidaya. Namun untuk skala budidaya yang lebih besar, perlu inovasi dalam rangka peningkatan produksi rumput laut. Politeknik Kelautan dan

Perikanan Kupang pada tahun 2020 melalui kegiatan penelitian telah menerapkan

inovasi teknologi budidaya rumput laut menggunakan metode Kantong Jaring untuk

meningkatkan produktivitas budidaya rumput laut Sakol di Desa Tablolong. Teknoologi tersebut terdiri dari : (1) Teknik pengaturan jarak antar rakit dan jarak

tanam perlu diperhatikan. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kompetisi tidak merata

dalam pengambilan nutrien dan oksigen dari perairan oleh rumput laut dan (2)

Penanganan pada saat pemanenan dan pascapanen. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada saat thallus berumur 7 minggu. Dengan demikian saat panen

haruslah memperhatikan faktor umur karena umur juga berpengaruh terhadap

kualitas rumput laut. Selain itu mutu rumput laut juga ditentukan oleh cara

penanganan pascapanen. Tindakan yang harus dilakukan adalah penjemuran

Page 78: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

68 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

dibawah sinar matahari sampai kering baru dipacking dan penyimpanannya di

gudang atau tidak pada tempat yang lembab.

Penataan Kawasan Sesuai Daya Dukung Lingkungan/Lahan. Kondisi kawasan

perairan laut Kecamatan Kupang Barat yang memiliki aktivitas yang sedang berkembang diantaranya dengan adanya pelabuhan, budidaya mutiara dan budidaya

rumput laut. Dalam upaya pengembangannya maka diperlukan adanya penataan

kawasan agar tidak terjadi konflik kepentingan dari masing-masing kegiatan.

Budidaya rumput laut yang selama ini dilakukan oleh masyarakat menggunakan metode tali panjang. Metode ini memiliki beberapa kelemahan yakni dapat

menghambat arus lalulintas pelayaran terutama pada saat kegiatan penanaman dan

pemanenan rumput laut. Dengan demikian diperlukan adanya penataan kawasan dan

metode budidaya yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut.

Peran Rumput untuk Mitigasi Perubahan Iklim

Penyerapan Karbon oleh Rumput Laut. Isu pemanasan global akhir-akhir ini telah

memicu ketertarikan yang sangat besar terhadap kemampuan vegetasi pantai dalam menangkap dan menyimpan karbon (carbon capture and storage/CCS) (Mitra et al., 2014).

Saat ini, rumput laut merupakan salah satu komponen penting vegetasi pantai dalam

konteks blue carbon (Elangbam et al., 2014; Mitra et al., 2014). Secara alami rumput laut

dapat ditemukan menempel pada dasar perairan pantai yang relatif dangkal, hingga

kedalaman 180 m pada substrat yang keras/solid sepertii: batu, karang, karang mati, kulit kerang, dan tumbuhan air lainnya (Alonso et al., 2012; Sahayaraj et al., 2014). Tumbuhan

thallophyta ini, sepertii halnya tumbuhan darat, dapat menyintesis makanannya sendiri

melalui proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari dan ketersediaan CO2

(karbon), serta nutrien di perairan. Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa rumput laut mempunyai peran penting dalam penyerapan karbon (Muraoka, 2004; Grimsditch and

Chung, 2012; Erlania et al., 2013a; Erlania and Radiarta, 2014). Namun, jika dibandingkan

dengan jenis vegetasi lainnya, potensi serapan karbon oleh rumput laut alam masih belum

banyak diketahui (Mitra et al., 2014). Rumput laut merupakan satu komoditas yang menjadi perhatian sehubungan dengan konteks blue carbon. Hasil identifikasi jenis dan

kelimpahan rumput laut alam telah mengindikasikan peran penting rumput laut alam

tersebut dalam menyerap dan menyimpan karbon dalam bentuk biomassa. Peran penting

rumput laut sebagai penyerap karbon, menjadikan komoditas ini sangat prospektif untuk dikembangkan melalui budidaya (Erlania et al., 2015). Komoditas rumput laut selain

berperan dalam peningkatan perekonomian masyarakat pesisir, juga dapat berkontribusi

terhadap lingkungan sebagai penyerap karbon dalam mitigasi perubahan iklim global

(Erlania et al., 2013b).

Jenis-jenis rumput laut alam yang memiliki kemampuan menyerap karbon yang tinggi mengindikasikan performa pertumbuhan dan produktivitas yang juga relatif tinggi (Erlania

et al., 2013a; Erlania dan Radiarta, 2014). Dalam perspektif pengembangan budidaya

rumput laut terkait tujuan utama dari aktivitas budidaya, yaitu produksi biomassa yang

optimal, jenis-jenis rumput laut yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyerap dan menyimpan karbon tersebut dapat dijadikan sebagai kandidat komoditas budidaya yang

potensial. Untuk mendukung diversifikasi komoditas dan peningkatan produksi budidaya

rumput laut, perlu dilakukan studi lebih lanjut terkait kandungan bahan aktif/komponen

esensial dari jenis-jenis rumput laut alam potensial ini sehingga dapat menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi; untuk selanjutnya dapat dilakukan pengembangan teknik budidaya

yang sesuai, serta kajian kesesuaian lahan untuk budidaya berdasarkan karakteristik

habitat alami dari jenis-jenis rumput laut tersebut. Berkembangnya teknologi budidaya

untuk jenis-jenis rumput laut alam tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi

budidaya secara global dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian masyarakat

Page 79: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

69 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

pesisir, serta memberikan kontribusi yang lebih besar dalam mitigasi perubahan iklim

melalui penyerapan karbon. Untuk membatasi peningkatan suhu global hingga 2°C, maka

~3,2 x 1015 gC harus dihilangkan dari atmosfer; dan 10% dari tujuan ini dapat dicapai

melalui budidaya rumput laut pada 4% dari total luasan perairan zona ekonomi ekslusif (ZEE) untuk 100 tahun ke depan (Orr, 2014).

Rumput Laut Sebagai Agen Mitigasi Perubahan Iklim. Potensi budidaya rumput laut

sebagai solusi mitigasi global saat ini menjadi pilihan yang layak untuk negara-negara dengan ekonomi yang berpandangan ke depan dengan target untuk memerangi emisi gas

karbon. Budidaya rumput laut dapat mengimbangi emisi karbon global melalui penyerapan,

tetapi manfaat peningkatan produksi rumput laut juga dapat diperoleh. Rumput laut

mampu menahan dampak lain dari polusi antropogenik, termasuk pengasaman laut dan kondisi rendah oksigen. Khususnya, ada sekitar 250 lokasi eutrofik yang diketahui di

seluruh dunia dimana penggantian kerugian rumput laut dapat membantu mengurangi

stresor antropogenik ini. Ekosistem “blue carbon”, sepertii mangrove, padang lamun dan

rumput laut 10 kali lebih efektif dalam menyerap karbondioksida per kawasan/tahun

daripada hutan boreal, subtropis atau tropis. Ekosistem ini juga hampir dua kali lebih efektif dalam menyimpan karbon di dalam tanah dan biomassa mereka. Selain itu, mereka juga

memiliki peran penting dalam melindungi infrastruktur dan masyarakat pesisir dari dampak

iklim sepertii peristiwa cuaca ekstrim.

Pengikatan karbon oleh alga fotoautotrofik berpotensi untuk mengurangi pelepasan CO2 ke atmosfer dan dapat membantu mengurangi kecenderungan terjadinya pemanasan

global (Kaladharan et al., 2009). Diperlukan langkah-langkah inovatif dalam tindakan

mitigasi terhadap peningkatan emisi CO2. Inovasi yang paling praktis yang disebutkan

adalah dengan meningkatkan penyerapan CO2 melalui proses fotosintesis yang mencakup peningkatan penyimpanan karbon dalam biomassa hutan, substitusi bahan bakar fosil

dengan biofuel, peningkatan penyerapan karbon oleh tanah, dan peningkatan produktivitas

primer ekosistem laut. Namun dari setiap metode tersebut masih terdapat pertanyaan yang

belum terjawab tentang kelayakan teknis dan ekonomisnya sekaligus konsekuensi lingkungan yang dapat ditimbulkan.

Pengembangan budidaya rumput laut dapat menjadi salah satu metode inovatif

diantara langkah-langkah yang dibutuhkan dalam upaya mitigasi terhadap berlangsungnya

proses pemanasan global, dimana aktivitas budidaya rumput laut dapat mereduksi

keberadaaan gas CO2 di atmosfer dalam kuantitas yang cukup besar. Besarnya potensi ekosistem pantai untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut, memberikan peluang

yang juga semakin besar dalam penyerapan karbon oleh rumput laut berbasis budidaya.

Selain itu, aktivitas budidaya rumput laut juga menjawab kebutuhan akan kelayakan

teknis, maupun ekonomis, serta memberikan kontribusi positif terhadap pengendalian pencemaran organik di lingkungan perairan. Laju penyerapan karbon oleh rumput laut

memiliki korelasi positif tertinggi dengan faktor internal rumput laut yaitu kandungan

pigmen, dan faktor eksternalnya yaitu kecerahan perairan. Strategi pengelolaan budidaya

rumput laut dapat disesuaikan berdasarkan segmen umur dengan laju penyerapan karbon tertinggi, yaitu pada umur pemeliharaan 0-20 hari yang dapat diaplikasikan dengan cara

melakukan peremajaan, sehingga lebih efektif dalam penyerapan karbon dari lingkungan

dan peningkatan produktivitas budidaya rumput laut.

Rumput laut atau makroalga termasuk salah satu vegetasi pantai yang merupakan

penyerap karbon yang sangat baik jika dibandingkan dengan tumbuhan darat. Untuk pertumbuhan dan perkembangannya, rumput laut melakukan proses fotosintesis dengan

memanfaatkan CO2 dan energi cahaya yang dikonversi menjadi karbohidrat. Meskipun

faktor-faktor yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut tergolong sederhana

(nutrien, trace mineral, air CO2, dan cahaya matahari) dan relatif sama dengan tumbuhan darat, namun kelompok alga ini dapat memanfaatkannya dengan sangat efisien sehingga

Page 80: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

70 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

menghasilkan produktivitas yang tinggi (Packer, 2009). Bukti ilmiah terbaru menunjukkan

bahwa rumput laut liar dapat menyerap sejumlah besar karbon di lautan dengan bahan

organik (terlarut dan partikulat) yang diekspor ke laut dalam (> 1.000 m), dimana karbon

pada dasarnya terkubur (Krause-Jensen and Duarte, 2016).

Gambar 3. Estimasi Simpanan Karbon Beberapa Jenis Rumput Laut Alam Berdasarkan Luas

Tutupan. Sumber: Erlania et al., (2015)

Penelitian dengan menggunakan rumput laut sebagai agen mitigasi perubahan lingkungan cukup banyak dilakukan. Erlania dan Soelistyowati (2013) menyimpulkan

bahwa Kappaphycus alvarezii mampu menyerap karbon sebesar 6.656,51 ton

karbon/tahun, sedangkan Glacilaria gigas menyerap karbon 29.008,53 ton karbon/tahun.

Menurut Erlania et al., (2015) rumput laut yang mempunyai nilai simpanan karbon yang relatif tinggi yaitu Sargassum sp. (149,13-275,20 gC/m2); Gelidium sp. (106,61 gC/m2);

Gracilaria sp. (127,27 gC/m2); G. foliifera (123,70 gC/m2); dan G. salicornia (149,42

gC/m2). Melihat potensi tersebut, maka konservasi kawasan rumput laut alam yang bernilai

ekonomis penting menjadi sangat relevan dengan langkah mitigasi perubahan iklim melalui

penyerapan karbon. Besarnya potensi penyerapan karbon oleh berbagai spesies rumput laut yang hanya menempati sebagian kecil dari total luasan perairan laut dapat

ditingkatkan dengan cara membudidayakan jenis-jenis potensial tersebut di perairan

pantai (Orr, 2014). Usaha budidaya rumput laut selain dapat dijadikan sumber mata

pencaharian masyarakat pesisir, secara tidak langsung juga dapat menjadi salah satu langkah dalam mencegah eksploitasi berlebih terhadap rumput laut alam.

Laju penyerapan karbon oleh rumput laut memiliki korelasi positif tertinggi dengan

faktor internal rumput laut yaitu kandungan pigmen, dan faktor eksternalnya yaitu

kecerahan perairan. Strategi pengelolaan budidaya rumput laut dapat disesuaikan berdasarkan segmen umur dengan laju penyerapan karbon tertinggi, yaitu pada umur

pemeliharaan 0-20 hari yang dapat diaplikasikan dengan cara melakukan peremajaan,

sehingga lebih efektif dalam penyerapan karbon dari lingkungan dan peningkatan

produktivitas budidaya rumput laut. Buschmann et al., (2017) menjelaskan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer diperkirakan akan menyebabkan peningkatan

proporsionalitas secara linear terhadap konsentrasi CO2 terlarut pada air permukaan laut

sebagai akibat dari pertukaran gas yang berlangsung terus-menerus antara udara dan air

Page 81: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

71 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

laut. Respon jangka panjang dari peningkatan CO2 terhadap fotosintesis dan pertumbuhan

tergantung pada ketersediaan nutrien mineral dan cara bagaimana nutrien tersebut

digunakan oleh tanaman, karena laju pertumbuhan yang lebih tinggi dengan tingginya

konsentrasi CO2, akan meningkatkan kebutuhan nutrien mineral. Dengan demikian, untuk mencapai produksi yang optimal dengan besarnya ketersediaan CO2, maka budidaya

rumput laut seharusnya dilakukan pada lokasi dengan ketersediaan nutrien yang cukup.

Hal ini dapat dipenuhi dengan penggunaan nutrien yang lebih efisiensi dan atau dengan

meningkatkan laju penyerapan dan asimilasi nutrien tersebut oleh tanaman. Upaya penyediaan nutrien untuk pertumbuhan rumput laut terkait tingginya ketersediaan CO2 ini

dapat diaplikasikan dengan cara mengintegrasikan budidaya rumput laut dengan budidaya

ikan dan organisme akuatik lainnya pada lokasi perairan yang sama. Sistem

pengembangan budidaya dengan sistem ini sudah mulai populer dengan istilah Integrated Multi-trophic Aquaculture (IMTA).

Aktivitas marikultur pada skala besar, khususnya untuk spesies rumput laut ekonomis

penting, secara global dapat menurunkan konsentrasi CO2 di atmosfer dan juga

menghasilkan biomassa untuk bahan baku industri fikokoloid dari rumput laut (Kaladharan

et al., 2009). Oleh karena itu, budidaya rumput laut sangat baik dikembangkan untuk tujuan produksi dan sebagai agen penyerap karbon. Dengan demikian, sektor kelautan dan

perikanan juga dapat memberikan kontribusi positif dalam upaya mitigasi perubahan iklim

melalui kegiatan budidaya. Budidaya rumput laut menawarkan sejumlah peluang untuk

mengurangi efek pemanasan global dan mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Rumput laut digunakan untuk produksi biofuel, memiliki kapasitas mitigasi CO2 yang

potensial, dalam hal mengurangi emisi dari bahan bakar fosil. Budidaya rumput

berkontribusi pada adaptasi perubahan iklim dengan meredam energi gelombang dan

melindungi garis pantai, meningkatkan pH dan memasok oksigen ke perairan, sehingga secara mengurangi efek pengasaman laut dan deoksigenasi.

Budidaya rumput laut berpotensi dalam memberikan kontribusi terhadap beberapa

fungsi ekosistem yang didukung oleh rumput laut dan lapisan makroalga. Sebagai contoh,

rumput laut yang tumbuh dan berkembang di alam mampu meredam energi gelombang sehingga berfungsi sebagai struktur pelindung yang melindungi pantai dari erosi. Efek

berkurangnya kekuatan gelombang tergantung pada luas dan struktur habitat rumput laut

serta energi yang ada karena budidaya rumput laut akan rusak bila terjadi badai di laut.

Manfaat budidaya rumput laut dalam adaptasi perubahan iklim yaitu:

Terjaganya Habitat Pesisir dan Terumbu Karang. Budidaya perairan yang dilakukan

secara tidak berkelanjutan dapat mengakibatkan hilangnya atau rusaknya terumbu karang,

hutan bakau, dan padang lamun yang merupakan habitat penting bagi ikan, dan spesies

yang terancam punah (penyu, dugong), serta invertebrata laut. Habitat-habitat penting tersebut dapat dilindungi melalui penggalakkan metode budidaya yang lebih baik yaitu

penentuan lokasi budidaya yang tepat serta intensifkasi budidaya rumput laut.

Mitigasi Erosi Pantai dan Ketahanan Terhadap Badai. Banyak sentra Budidaya rumput

laut saat ini melakukan penebangan hutan bakau untuk dijadikan pasak dan membersihkan

padang lamun untuk pembuatan kebun. Hutan bakau dan lamun adalah kunci perlindungan

garis pantai, terutama untuk menghadapi kenaikan permukaan laut, banjir, dan badai.

Selain fungsinya dalam membantu mempertahankan sedimen dan mencegah erosi, hutan bakau dengan panjang 500 m diperkirakan dapat mengurangi ketinggian gelombang

hingga 50-100% (Beck et al., 2018). Budidaya rumput laut dengan cara yang lebih ramah

terhadap lingkungan termasuk penggunaan cara lain untuk pembuatan pasak dan

perlindungan lamun dapat meningkatkan ketahanan pesisir.

Page 82: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

72 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Layanan Ekosistem untuk Kualitas Air dan Habitat. Sebagai “budidaya perairan

restoratif” budidaya rumput laut dapat memperluas habitat dan tempat berlindung bagi

ikan dan invertebrata yang penting secara komersial, dan memainkan peran penting dalam

meningkatkan kualitas air melalui penyerapan nutrisi.

Strategi Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim. Rumput laut merupakan kegiatan

Budidaya yang tidak membutuhkan air tawar untuk pertumbuhannya. Hal ini sangat

relevan mengingat iklim yang makin memanas. Rumput laut, yang menyerap nutrisi dari perairan laut, dapat menjadi strategi adaptasi iklim yang penting untuk meningkatkan

kualitas air dan mengatasi dampak yang diperkirakan berasal dari peningkatan curah hujan

dan limpasan unsur hara. Walaupun diperlukan penelitian lebih lanjut, budidaya rumput

laut telah digadang-gadang dapat mengurangi eutrofkasi lebih cepat dibandingkan dengan rumput laut liar karena dipanen dan diambil dari ekosistem laut tanpa termineralisasi

kembali dan kemudian mengambil oksigen (Duarte et al., 2017).

Jalan Masuk dan Pintu Menuju Keuntungan Konservasi Lainnya. Keberhasilan

perencanaan tata ruang di tingkat desa dan hasil konservasi yang lebih menyeluruh sepertii penentuan lokasi yang tepat untuk lahan pertanian dan budidaya rumput laut,

perlindungan sumber daya air tawar, dan pengurangan sampah dapat dicapai melalui kerja

sama dengan penduduk desa dan membangun kepercayaan dan hubungan dengan

sumberdaya dan ekonomi yang penting bagi penduduk desa tersebut.

Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan yang Lebih Efektif. TNC, melalui

perencanaan zonasi dan pengelolaan kawasan konservasi perairan dalam Budidaya rumput

laut, mempercepat tercapainya prioritas kawasan konservasi perairan pemerintah nasional untuk memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat, selain juga berupaya

meningkatkan rasa “kepemilikan” penduduk desa atas wilayahnya dalam kawasan

konservasi perairan, sehingga mendorong pengelolaan lingkungan hidup yang lebih

bertanggung jawab. Pelaku utama perikanan (Nelayan, Pembudidaya ikan/udang/rumput laut, Petani

garam) perlu meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan cara:

(1) meningkatkan kemampuan pelaku utama untuk menyesuaikan sistem usaha mereka

dengan kondisi iklim prakiraan iklim yang mereka terima dan (2) mengembangkan dan

menyediakan lebih banyak teknologi pemanfaatan informasi iklim. Teknologi pemanfaatan informasi iklim adalah cara/teknik atau strategi yang disusun berdasarkan informasi

prakiraan iklim dalam rangka meminimumkan dampak risiko iklim yang mungkin muncul

atau memaksimumkan keuntungan dari suatu kondisi iklim yang diperkirakan baik pada

musim tertentu. Pemerintah di lain pihak perlu menyiapkan sarana dan prasarana serta kebijakan pendukung sehingga pelaku utama mampu memanfaatkan informasi iklim

secara efektif. Diantara kebijakan pendukung yang penting adalah menyiapkan

kelembagaan penyuluh dan tenaga penyuluh yang memiliki pengetahuan memadai tentang

iklim disertai penguasaan teknologi pemanfaatan informasi iklim yang baik. Masyarakat pesisir Desa Tablolong perlu upaya adaptasi untuk dampak perubahan

iklim saat ini, dengan cara diantaranya menyiapkan wilayah pesisir dalam upaya

perlindungan dan konservasi rumput laut, hutan bakau dan terumbu karang. Hal ini karena

rumput laut, hutan bakau dan terumbu karang merupakan bagian ekosistem di laut yang

dapat memberikan perlindungan dari erosi tanah, terjangan ombak besar dan badai serta menjamin keberadaan plasma nutfah lainnya. Sedangkan adaptasi untuk dampak masa

depan adalah dengan melakukan penelitian dan monitoring pada pesisir dan ekosistem

pesisir.

Page 83: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

73 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Daftar Pustaka

Aguilan J.T, Broom J.E, Hemmingson, J.A, Dayrit, F.M, Montano, M.N.E, Dancel, M.C.A,

Ninonuevo, M.R, and Furneaux, R.H. 2003. Structural Analysis of Carrageenan from

Farmed Varieties of Philippine Seaweed. Bot. Mar. 46: 179–92. Aldrian, E., Karmini, M., dan Budiman. 2011. Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di

Indonesia. Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara. Kedeputian Bidang Klimatologi.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Jakarta, 178 hlm.

Alleway, H.K., Gillies, C.L., Bishop, M.J., Gentry, R.R., Theuerkauf, S.J., and Jones, R. (2019). The Ecosystem Services of Marine Aquaculture: Valuing Benefits to People

and Nature. BioScience 69, 59–68.

Alonso, I., Weston, K., Gregg, R., and Morecroft, M. (2012). Carbon Storage by Habitat:

Review of the Evidence of the Impacts of Management Decisions and Condition of

Carbon Stores and Sources. Natural England Research Reports, Number NERR0 43, 45 pp

Anggraini, N. dan Trisakti, B. 2011. Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap di Provinsi

Kalimantan Barat. Journal Penginderaan Jauh, 8, 11–20

Badan Pusat Statistik Propinsi NTT. 2020. Produksi Rumput Laut Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2011-2016. KupangNusa Tenggara

Timur.

Beck, H.E., Zimmermann, N.E., McVicar, T.R., Vergopolan N., Berg, A. and Wood, E.F.

2018. Present and Future Köppen-Geiger Climate Classification Maps at 1-km Resolution. Scientific Data. 5:180214

Buschmann, A.H., Camus, C., Infante, J., Neori, A., Israel, A., Hernandez Gonzalez, M.C.,

Pereda, S.V., Gomez-Pinchetti, J.L., Golberg, A., Tadmor-Shalev, N., et al. 2017.

Seaweed Production: Overview of the global state of exploitation, farming and Emerging Research Activity. Eur. J. Phycol. 52, 391–406.

Dockrill, P. 2019. It's Official: Atmospheric CO2 Just Exceeded 415 ppm For The First Time

in Human History. https://www.sciencealert.com/it-s-official-atmospheric-co2-just-

exceeded-415-ppm-for-first-time-in-human-history diakses pada 02 November

2020. Elangbam, G., Mayanglambam, A., and Sahoo, D. (2014). Histochemical study on the

Impact of High Carbondioxide on Kappaphycus alvarezii. Asia Pacific Journal of

Research, I(XIV), 43-51

Erlania dan Soelistyowati, D.T. 2013a. Penyerapan Karbon Pada Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Gracilaria Gigas di Perairan Teluk Gerupuk, Lombok

Tengah, NTB. Jurnal Riset Akuakultur.

Erlania, Radiarta, I N., and Sugama, K. 2013b. Peran Budidaya Rumput Laut terhadap

Penyerapan Karbon dan Mitigasi Perubahan Iklim. Analisa Kebijakan Pembangunan Perikanan Budidaya 2013. Puslitbang Perikanan Budidaya, Badan Litbang Kelautan

dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, hlm. 11-20

Erlania and Radiarta, I N. (2014). Perbedaan Siklus Tanam Budidaya Rumput Laut,

Kappaphycus alvarezii, terhadap Variabilitas Tingkat Serapan Karbon. Jurnal Riset

Akuakultur, 9 (1), 111-124 Erlania, I.N. Radiarta, Joni, H., dan Ofri, J. 2015. Kondisi Rumput Laut Alam di Perairan

Pantai Ujung Genteng, Sukabumi dan Labuhanbua, Sumbawa: Potensi Karbon Biru

dan Pengembangan Budidaya. Jurnal Riset Akuakultur Volume 10 Nomor 2.

Grimsditch, G., and Chung, I.K. (2012). Yeosu Workshop on “Coastal Blue Carbon,”. PICES Press, 20(2), 18-20

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2007. Climate Change 2007:

Synthesis Report.In: Allali, A., Bojariu, R., Diaz, S., Elgizouli, I., Griggs, D., Hawkins,

Page 84: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

74 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

D., Hohmeyer, O., Jallow, B.P., Kajfez-Bogataj, L., Eary, N., Lee, H., Wratt, D. (eds.).

The Working Group contributions to the Fourth Assessment Report. IPCC Plenary

XXVII, Valencia, Spain, 12-17 November 2007, 73pp

Kaladharan, P., Veena, S., and Vivekanandan, E. 2009. Carbon sequestration by a Few Marine Algae: Observation and Projection. Journal of the Marine Biological Association

of India, 51(1): 107-110

Kamlasi, Y. 2008. Kajian Ekologis dan Biologi untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut

(Eucheuma cottonii) di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Krause-Jensen, D., and Duarte, C.M. 2016. Substantial Role of Macroalga in Marine Carbon

Sequestration. Nat. Geosci. 9, 737–742.

Mitra, A., Zaman, S., Pramanick, P., Bhattacharyya, S.B., and Raha, A.K. (2014). Stored Carbon in Dominant Seaweeds of Indian Sundarbands. Pertanika Journal Tropical

Agricultural Science, 37(2), 263-274

Muraoka, D. (2004). Seaweed Resources as a Source of Carbon Fixation. Bul. Fish. Res.

Agen., Supplement, (1), 59-63

Neish, I.C. 2003. The ABC of Eucheuma Seaplant Production Agronomy, Biology and Crop-Handling Of Betaphycus, Eucheuma And Kappaphycus The Gelatinae, Spinosum and

Cottonii of Commerce. http://www.fishdept.sabah.gov. Diakses pada 02 November

2020.

Orr, K.K. (2014). Floating Seaweed (Sargassum). In Laffoley, D., Baxter, J., Thevenon, F., and Oliver, J. (Eds.). The Significance and Management of Natural Carbon Stores in

the Open Ocean. Full report. Gland, Switzerland: IUCN, p. 55-67.

Runtunuwu E, Kondoh A. 2008. Assessing Global Climate Variability and Change Under

Coldest and Warmest Periods at Different Latitudinal Regions. Indonesian. J. Agric. Sci.9 (1): 7−18

Sahayaraj, K., Rajesh, A., Asha, A., Rathi, J.M., and Raja, P. (2014). Distribution and

Diversity Assessment of the Marine Macroalgae at four Southern Districts of Tamil

Nadu, India. Indian Journal of GeoMarine Sciences, 43(4), 607-617. Packer, M. 2009. Algal Capture of Carbon Dioxide: Biomass Generation as a Tool for Green

House Gas Mitigation with Reference to New Zealand Energy Strategy and Policy.

Energy Policy, 37: 3,428-3,437.

Wernberg, T., and Filbee-Dexter, K. 2018. Grazers Extend Blue Carbon Transfer by Slowing

Sinking Speeds of Kelp Detritus. Sci. Rep. 8, 17180. Wurgiyanto, G. 2019. Strategis dan Implementasi Percepatan Pengembangan Budidaya

Rumput Laut menuju NTT Bangkit dan Sejahtera. Workshop Percepatan

Pengembangan Rumput Laut Secara Berkelanjutan di Hotel Swiss Belinn Kristal

tanggal 30/9/2019, Kota Kupang.

Page 85: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

75 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pertumbuhan dan Sintasan Anemon Laut pada Substrat Bentik Buatan Untuk Efektivitas Marikultur Muhammad Ahsin Rifa’i1, Maya Sari Dewi2, dan Hadiratul Kudsiah3

1,2,3) Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat, Bajarmasin

Kalimantan Selatan (Email: [email protected]; [email protected] Email:

[email protected])

Abstrak - Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan teknologi marikultur anemon laut ramah

lingkungan dan menjadi salah satu industri marikultur andalan kelautan karena teknologinya murah,

mudah dan berkelanjutan. Target khusus yang akan dicapai adalah untuk menemukan desain substrat bentik buatan terbaik yang sangat dibutuhkan untuk efektivitas marikultur anemon laut di perairan

alam. Beberapa masalah terkait dengan marikultur anemon laut antara lain kebiasan anemon yang

suka berpindah tempat ke tempat lain yang diduga karena adanya ancaman lingkungan dan ketidakcocokan substrat tempat menempelkan basel disk. Adakalanya anemon menempelkan basel

disk-nya jauh di celah-celah karang (goa) sehingga sulit diambil pada saat panen. Umumnya jika mereka sudah mendapatkan substrat terbaik maka mereka akan settle selamanya disana. Berdasarkan

berbagai masalah dalam pengembangan marikultur di perairan alami, dirasa perlu untuk melakukan

rekayasa terhadap substrat tempat menempelkan basel disk yang disukai anemon laut sehingga marikulturnya dapat terpusat pada satu tempat, mudah dalam pemeliharaan, pengawasannya, dan

pemanenannya. Rekayasa substrat yang dimaksud adalah melakukan desain berbagai bentuk substat buatan dalam berbagai bentuk menyerupai tipe-tipe atau bentuk-bentuk pertumbungan karang untuk

menemukan desain substrat terbaik sehingga mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas marikultur

anemon laut. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan anemone pada tipe meja substrat batu kecil lebih baik dibandingkan dengan substrat batu besar dan substrat datar. Sedangkan sintasannya

tertinggi ditemukan pada tipe meja substrat berbatu dibandingkan tipe meja datar. Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu teknologi yang dapat diterapkan untuk kepentingan marikultur

komersial sekaligus memberdayakan masyarakat.

Kata Kunci: Substrat Bentik, Anemone Laut, Pertumbuhan, Sintasan

Abstract - The purpose of this research is to produce sea anemone mariculture technology which is environmentally friendly and to become one of the marine marine mariculture industries because the

technology is low, easy and sustainable. The specific target to be achieved is to find the best artificial

benthic substrate design that is needed for the effectiveness of marine anemone mariculture in natural waters. Some of the problems associated with sea anemone mariculture include the anemone's habit

of moving to another place which is thought to be due to environmental threats and incompatibility of the substrate to which the basel disk attaches. Sometimes anemones stick their basel disks deep in

crevices (caves), making them difficult to pick up at harvest time. Generally if they have got the best

substrate they will settle there forever. Based on various problems in the development of mariculture in natural waters, it is deemed necessary to engineer the substrate where the basel disk attaches to

the sea anemone favor so that the mariculture can be concentrated in one place, easy to maintain,

control and harvest. Substrate engineering is the design of various artificial substrates in various forms resembling the types or forms of coral reefs to find the best substrate design so as to increase the

efficiency and effectiveness of sea anemone mariculture. The results showed that the growth of anemone on the small rock substrate table type was better than the large rock substrate and flat

substrate. While the highest survival rate was found in rocky substrate table type compared to flat

table type. This research is expected to produce a technology that can be applied for the benefit of commercial mariculture as well as empowering the community.

Keywords : Benthic Substrate, Sea Anemone, Growth, Survival Rate

Pendahuluan. Anemon laut memiliki nilai ekologis dan ekonomis sangat strategis bagi

kawasan terumbu karang dan perekonomian masyarakat pesisir. Nilai ekologis anemon

laut antara lain menjadi inang berbagai anemonfishes (Fautin and Allen, 1997; Randall and

Fautin, 2002) dan sumber yang kaya akan senyawa bioaktif (Lagos et al., 2001). Berdasarkan data Balai Besar Karantina Ikan Sulsel, data lalu lintas domestik dan ekspor

anemon laut tahun 2006 mencapai 670 ekor dan pada tahun 2016 menjadi 1.661.417 ekor

atau terjadi peningkatan 247.972,7%. Tingginya aktifitas penangkapan anemon

menyebabkan populasinya terus terdegradasi. Oleh karena itu, upaya penyelamatan

Page 86: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

76 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

terhadap biota ini menjadi sangat urgen melalui serangkaian aktifitas restocking dan

pengembangan marikultur ramah lingkungan. Beberapa penelitian bioekologi dan marikultur telah dilakukan terhadap anemon laut

(Rifa’i, 1998; Rifa’i dan Kudsiah, 2007; Rifa’i, dkk., 2008a; Rifa’i, dkk., 2008b; Rifa’i, dkk., 2008c; Rifa’i, 2011; Rifa’i, 2012; Rifa’i dan Kudsiah, 2012; Rifa’i, dkk., 2013a; Rifa’i, dkk.,

2013b; Rifa’i, dkk., 2015, Rifa’i, 2016, Rifa’i, dkk., 2016). Rangkaian hasil penelitian

menunjukkan, anemon laut dapat direproduksi secara aseksual dengan teknik fragmentasi,

memiliki pertumbuhan dan sintasan tinggi yang tidak berbeda dengan anemon alamiah. Beberapa masalah terkait dengan marikultur anemon adalah kebiasannya yang suka

berpindah tempat yang diduga adanya ancaman lingkungan dan ketidakcocokan substrat

tempat menempelkan basel disk. Adakalanya anemon menempelkan basel disk-nya jauh

di celah-celah karang (goa) sehingga sulit diambil pada saat panen. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dirasa perlu untuk melakukan rekayasa terhadap substrat

tempat menempelkan basel disk hingga disukai anemon laut dan marikulturnya dapat

terpusat pada satu kawasan sehingga mudah dalam pemeliharaan, pengawasannya, dan

pemanenannya. Rekayasa substrat yang dimaksud adalah dengan melakukan desain

bentuk substat buatan dalam berbagai bentuk menyerupai tipe atau bentuk pertumbungan karang.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan berbagai tipe substrat bentik buatan yang

paling disukai anemon untuk melekatkan basel disk-nya. Kemampuan melekat ini sangat

penting bagi stabilitas dan efektivitas pertumbuhan dan kehidupan anemon laut di alam. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dirasa perlu untuk melakukan penelitian

pengembangan substrat bentik buatan terbaik untuk efektivitas marikultur anemon laut

berkelanjutan pada area kawasan pesisir terutama di zona terumbu karang non produktif.

Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu teknologi dasar untuk kepentingan marikultur komersial sekaligus memberdayakan masyarakat pesisir dan penguatan

ekonomi maritim.

Metode Penelitian

Tempat dan Waktu. Penelitian akan dilaksanakan di Desa Teluk Tamiang, Kabupaten

Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.

Rekayasa substrat bentik buatan. Substrat buatan dirancang menyerupai bentuk-

bentuk pertumbuhan karang alamiah (Gambar 2).

Marikultur Anemon Laut pada Substrat Bentik Buatan. Penelitian menggunakan RAL

dengan Faktor Tipe Meja dengan perlakuan 1 yaitu permukaan meja tipe datar (MT1),

perlakuan 2 yaitu permukaan meja tipe berbatu kecil (MT2) dan perlakuan 3 yaitu

permukaan meja tipe berbatu besar (MT3)

Perlakukan dilakukan pengulangan sebanayk 3 kali sehingga akan menghasilkan 9 unit

percobaan.

Page 87: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

77 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 1. Desain Meja Bentik Buatan

Page 88: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

78 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 2. Kondisi Wadah Pemeliharaan dan Anemon Uji di Lokasi Penelitian

Substrat bentik buatan yang telah ditempatkan di lokasi penelitian dibiarkan selama

7 hari agar ditumbuhi alga kemudian benih anemon ditempatkan pada unit-unit percobaan

sesuai perlakuan. Agar benih tidak hilang terbawa arus maka pada bagian atas meja diberi penutup berupa anyaman kawat atau plastik. Sehari setelah benih anemon menempel pada

substrat, maka akan dilakukan pengukuran diameter tubuh untuk mengetahui data awal

diameter tubuh anemon. Setelah itu dilakukan pengukuran ulang setiap 15 hari sekali

selama 4 bulan masa pemeliharaan. Parameter yang diukur adalah pertambahan diameter tubuh (cm) dan sintasan (%).

Untuk mengetahui adanya perbedaan pertumbuhan dan sintasan antar perlakukan akan

digunakan Uji Kruskal-Wallis. Selain itu akan dilakukan pengamatan terhadap perilaku

anemon dalam berpindah tempat atau migrasi. Pengamatan ini bertujuan untuk melihat

apakah anemon kultur menyukai substrat buatan tersebut.

Hasil dan Pembahasan

Pertambahan Diameter Tubuh Anemon Laut. Pertambahan diameter tubuh anemon

laut dapat dilihat melalui gamnar grafik berikut.

Gambar 3. Pertambahan Diameter Tubuh Anemon Uji Selama 90 Hari Masa Pemeliharaan

7.73

10.93

9.30

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

MT1 MT2 MT3

Perta

mb

ah

an

(cm

)

Tipe Substrat

Pertambahan Diameter (cm)

Page 89: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

79 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pertambahan diameter anemon uji selama 3 bulan pemeliharaan, tertinggi ditemukan

pada tipe meja bentik berbatu kecil yaitu 10,93±0,45 cm, kemudian disusul yang berbatu

besar yaitu 9,30±0,17 cm, dan yang terendah adalah meja bentik tipe datar yaitu

7,73±0,40 cm.

Sintasan Anemon Laut. Sintasan anemon laut selama pemeliharaan dapat dilihat melalui

gamnar grafik berikut.

Gambar 4. Sintasan (%) Anemon Uji Selama 90 Hari Masa Pemeliharaan

Sintasan anemone laut uji hingga akhir penelitian selama 3 bulan pemeliharaan tertinggi ditemukan tipe meja bentik berbatu kecil dan berbatu besar masing-masing 100%

dan yang terendah adalah meja bentik tipe datar yaitu 77,78%.

Kesimpulan. Pertumbuhan anemone laut tertinggi ditemukan pada tipe meja bentik

berbatu kecil dan terendah ditemukan pada tipe meja bentik datar. Sintasa tertinggi

ditemukan pada tipe meja berbatu kecil dan besar dan terendah pada tipe meja datar.

Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima kasih disampaikan kepada LPPM Universitas

Lambung Mangkurat atas bantuan dana dalam Program Dosen Wajib Meneliti Tahun 2020 melalui dana PNBP ULM.

Daftar Pustaka

Allen, G.R., 1975. The Anemonefishes: Their Classification and Biology, 2nd ed. T. F. H. Publ. Inc., Neptune City, N.J. 352 pp.

Dunn, D. F. 1981. The Clownfish Sea Anemones: Stichodactylidae (Coelenterata:

Actiniaria) and Other Sea Anemones Symbiotic with Pomacentrid Fishes. Transactions

of the American Philosophical Society 71(1): 1-115.

Lagos, P., R. Duran, C. Cerveñansky, J.C. Freitas, and R. Silveira. 2001. Identification of Hemolytic and Neuroactive Fractions in the Venom of the Sea Anemone Bunodosoma

cangicum. Biological Research (2001) 34: 895-902.

Fautin. D.G. and Allen. 1997. Field Guide to Anemone Fishes and Their Host Sea

Anemones. 2nd ed. Western Australian Museum. Perth Australia. 160 pp. http://www.nhm.ku.edu. [Diakses : 31 Oktober 2006]

77.78

100.00 100.00

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

MT1 MT2 MT3

Sin

tasan

(%

)

Tipe Substrat

Sintasan (%)

Page 90: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

80 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Randall, J.E., Fautin, D.G., 2002. Fishes other than anemonefishes that associate with sea

anemones. Coral Reefs 21, 188– 190.

Rifa.i. M.A. 1998. Reproduksi Vegetatif Anemon Laut Stichodactyla gigantea (FORSSKAL.

1775) dan Upaya Rehabilitasi pada Berbagai Habitat Terumbu Karang Non Produktif. Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang.

Rifa’i, M.A., dan H. Kudsiah. 2007. Reproduksi Aseksual Anemon Laut Stichodactyla

gigantea (Forsskal. 1775) dengan Teknik Fragmentasi dan Habitat Penumbuhan

Berbeda. J. Sains & Teknologi. Vol. 7. No. 2. Agustus 2007: 65 – 76. 1775) Hasil Reproduksi Aseksual Berdasarkan Waktu Pemindahan ke Perairan Alami Pasca

Fragmentasi Longitudinal. Jurnal Seri Hayati. 11(2): 93 – 102. ISSN 0215 – 174 X

Rifa’i, M.A. 2012. Keragaman Genetik Simbion Alga Zooxanthellae pada Anemon Laut

Stichodactyla gigantea (Forsskal. 1775) Hasil Reproduksi Aseksual. Jurnal Bioteknologi. 11(2): 49-56. ISSN: 0216-6887 EISSN: 2301-8658

Rifa’i, M.A., A. Tuwo. Budimawan. A. Niartiningsih. 2013a. Densitas Simbion Alga

Zooxanthelae pada Anemon Laut Stichodactyla gigantea (Forsskal. 1775) Alam dan

Hasil Reproduksi Aseksual. Jurnal Natur Indonesia. Volume 15. Nomor 1. Februari

2013. Halaman 15 – 32. ISSN 1410-9379 Rifa’i, M.A. 2016. The Abundance and Size of Giant Sea Anemones at different Depths in

the waters of Teluk Tamiang Village. South Kalimantan. Indonesia. AACL Bioflux 9(3):

704-712.

Rifa’i. M.A., Fatmawati. F. Tony. H. Kudsiah. 2016. The Survival and Growth Rate of Three Species of Sea Anemones from Asexsual Reproduction in Pulau Kerumputan and Pulau

Karayaan. Indonesia. EEC 22(3): 1523-1531.

Page 91: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

81 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Budidaya Secara Terkontrol Udang Pellet (Lysmata

amboinensis) dan Udang Api (Lysmata debelius) Rendy Ginanjar1 dan Ofri Johan2

Balai Riset Budidaya Ikan Hias,

Jl. Perikanan No 13 Pancoran Mas Depok (E-mail : [email protected])

Abstrak - Udang pellet dan udang api merupakan jenis udang hias laut yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Budidaya dari udang hias ini terkendala pada masih rendahnya sintasan larva.Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sistem pemeliharan resirkulasi dalam lingkungan yang

terkontrol terhadap perkembangan metamorphosis larva udang, pertumbuhan dan sintasan. Penelitian dilaksanakan pada unit percobaan ikan hias laut BRBIH dengan objek pengamatan20 pasang indukan

udang pelet dan udang api yang terdiri dari satu jantan dan satu betina ditempatkan masing-masing

dalam akuarium berukuran 40 x 40 x 40 cm3yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi tertutup. Pakan yang diberikan untuk induk berupa kombinasi antara pakan buatan otohime dan udang rebon beku, yang

diberikan secara bergantian dua kali sehari. Hasil pemeliharan menunjukkan bahwa udang hias laut baik udang pelet maupun udang api, mampu memijah beberapa kali dalam sistem resirkulasi tersebut.

Dengan jumlah larva yang telah mencapai 3600 ekor larva. Usia larva tertinggi diperoleh pada

pemeliharan larva udang api, yang mencapai 31 hari setelah menetas. Beberapa jenis pakan alami diberikan sesuai ukuran larva pada pagi dan sore hari.Meskipun demikian, rendahnya sintasan pada saat

usia larva mencapai 10 hari setelah menetas merupakan prioritas penelitian berikutnya. Kata kunci : Udang hias laut, Padat Penebaran, Sistem Pemeliharaan, Metamorfosis, Sintasan

Abstract - Shrimp pellet and shrimp fire is a type of marine ornamental shrimp that has a high enough selling value. The culture of ornamental shrimp is constrained in the low rate of larval survival. The

purpose of this research is to determine the effect of recirculation maintenance system in a controlled

environment to the development of shrimp larvae metamorphosis, growth and survival rate. The experiments conducted on BRBIH marine ornamental fish experiment unit with 20 pairs of shrimp pellet

and fire shrimp consisting of one male and one female are placed in 40 x 40 x 40 cm 3 aquarium equipped with a closed recirculation system. The feed given to the parent is a combination of artificial feed otohime

and frozen rebon shrimp, which are given alternately twice a day. Maintenance results. Crayfish,. With

the number of larvae that have reached 3600 larvae. Age of shrimp larvae, which reached 31 days after hatching. Some types of natural food is given according to larvae in the morning and evening. However,

low survival at the age of larvae reaches 10 days after hatching becomes the next research priority. Keywords : Marine ornamental shrimp, Density larvae, Culture system, Metamorfosis, Survival

Pendahuluan. Udang hias laut jenis udang pellet (Lysmata amboinensis) merupakan

salah satu jenis udang yang berasal dari keluarga Hippolytidae. Memiliki habitat tersebar

mulai dari perairan Indo-Pasifik hingga ke laut merah. Permintaan akan udang hias ini terus

mengalami peningkatan, seiring dengan semakin populernya trend akuarium ikan hias air

laut di masyarakat. Harga yang cukup kompetitif dan warna yang indah menjadi salah satu

daya tarik dari udang pellet tersebut (Kurtz, 2013). Akan tetapi, pemenuhan kebutuhan tersebut masih mengandalkan tangkapan dari alam, dimana hal tersebut bersifat destruktif

dan dapat mengancam keberadaan dari udang tersebut di alam (Palmtag and Holt, 2001).

Kajian pustaka memperlihatkan bahwa upaya budidaya spesies ini telah dilakukan sejak

lama dan belum menghasilkan produksi yang optimal (Caladoet al., 2003; Calado et al., 2005, Calado et al., 2008; Rhyne & Lin, 2004). Selaku eskportir karang dan ikan hias laut,

CV Cahaya Baru telah berupaya untuk melakukan upaya budidaya dari udang hias laut ini

sejak lama. Potensi ekonomi yang dimiliki oleh udang hias laut tersebut, menjadi sebuah

daya tarik untuk pengembangan budidaya udang tersebut di Indonesia. Indukan udang yang dipelihara mampu memijah pada sistem pemeliharan yang dilakukan di unit breeding

CV Cahaya Baru. Akan tetapi, rendahnya sintasan larva pada saat pemeliharan menjadi

salah satu kendala dalam pengembangan budidaya udang hias tersebut (Tarmini, Personal

Communication).

Page 92: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

82 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Budidaya selalu terkait dengan produksi. Produksi yang tidak optimal diduga terkait

dengan teknologi pemeliharaan larva yang belum dikuasai dengan baik. Menurut Calado et

al 2003, salah satu kendala utama (bottleneck) dari pengembangan budidaya udang hias

laut ke arah skala komersial adalah teknik pemeliharaan larva. Laju mortalitas yang tinggi serta proses metamorfosis larva yang tidak bersamaan/tidak sinkron, menjadi salah satu

penyebab sintasan larva yang cukup rendah (Simoes et al., 2002; Calado et al., 2005).

Palmtag and Holt (2001) mencatat bahwa tingkat kelangsungan hidup pemeliharaan larva

udang hias laut hanya berkisar 10%. Agar dapat mengoptimalkan sintasan dan pertumbuhan larva udang hias laut, maka

perlu dilakukan beberapa upaya salah satunya adalah dengan melakukan pengembangan

teknik pemeliharaan larva. Pengaturan padat penebaran serta manipulasi sistem

pemeliharaan, menjadi salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sintasan dan pertumbuhan udang pelet.

Larva udang pelet bersifat melayang dan cenderung berada di kolom air.Diperlukan

sebuah sistem pemeliharaan yang sesuai dengan tingkah laku larva agar larva dapat

bermetamorfosis dengan sempurna (Caladoet al., 2003).Sistem pemeliharaan yang

digunakan pada pemeliharaan larva udang secara umum adalah dengan menggunakan air tenang (stagnant water) yang diaerasi dan dengan menggunakan sistem resirkulasi.Sejauh

ini belum banyak kajian pustaka yang membahas performa larva udang pelet yang

dipelihara pada sistem pemeliharaan air tenang dan sistem resirkulasi. Dengan demikian,

perlu dilakukan sebuah studi untuk mengetahui sintasan dan pertumbuhan udang hias pelet yang dipelihara pada kedua buah sistem pemeliharaan tersebut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beda sistem pemeliharaan

memberikan pengaruh terhadap perkembangan metamorphosis larva udang, pertumbuhan

dan sintasan. Hasil dari penelitian diharapkan dapat diaplikasikan pada pemeliharan larva udang hias pelet dan udang hias api.

Metode Penelitian

Penentuan Jenis Kepadatan dan Sistem Pemeliharaan. Penentuan jenis kepadatan dan sistem pemeliharaan yang tepat diharapkan dapat memacu produktifitas dari larva

udang pelet Lysmata amboinensisdan udang api Lysmata debelius. Indukan udang hias

laut baik itu udang pelet maupun udang api, didatangkan ke Balai Riset Budidaya Ikan Hias

di Depok pada bulan September 2015. Indukan dipelihara dalam akuarium bervolume 64 liter menggunakan sistem resirkulasi tertutup yang dilengkapi dengan sistem

aerasi.Selama pemeliharaan indukan udang diberi pakan berupa pakan buatan komersial

dengan merk Otohime dan udang rebon beku.Pakan diberikan dengan frekwensi sebanyak

dua kali sehari. Tiga bulan setelah masa pemeliharaan dan adaptasi, indukan mampu

memijah pada lingkungan terkontrol tersebut. Indukan udang hias laut yang memijah untuk pertama kali adalah induk udang api pada tanggal 16 Januari 2016 yang kemudian

diikuti oleh induk udang pelet beberapa hari kemudian.

Performa Larva Udang pada Sistem Pemeliharaan yang Berbeda. Larva yang

digunakan pada penelitian ini berasal dari hasil pemijahan alami indukan udang pelet dan udang api. Indukan diperoleh dari CV Cahaya Baru. Perlakuan terbagi atas dua sistem

pemeliharaan, yaitu: 1) Stagnan dan 2) sistem resirkulasi tertutup. Larva ditempatkan

pada akuarium berukuran 40 x 40 x 40 cm3 (Volume 64 Liter) yang dilengkapi dengan

aerasi.Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali.Pemeliharaan dilakukan selama 120 hari.Air laut dikontrol pada salinitas 33-37 ppt, suhu pada kisaran 25-30oC, fotoperiod

12 jam gelap dan 12 jam terang, pH 8,0-8,2. Selama pemeliharaan larva diberi pakan

berupa Nannochloropsis oculata, rotifer (Brachionus plicatilis), dan nauplii Artemia

Page 93: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

83 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

sp..Setiap hari dilakukan penyifonan dan pergantian air sebanyak 5% untuk membuang

kotoran dan pakan yang tidak termakan.

Hasil dan Pembahasan. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data pemijahan

indukan udang api dan udang pelet pada Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Data Pemijahan Induk Udang Api Lysmata debelius

No Udang/No.

Shrimp

Waktu pemijahan/

Spawning time

Jumlah larva/No.

of larvae

Lama pemeliharaan/

maintenance duration

Induk 1 16 januari 2016 231 D11

induk 2 30 januari 2016 26 D5

Induk 3 14 Februari 2016 198 D21

Induk 3 23 Maret 2016 331 D31

Induk 4 25 Maret 2016 276 D14

TOTAL LARVA 1062

Tabel 2. Data Pemijahan Induk Udang Pelet Lysmata amboinensis

No

Udang/No.

Shrimp

Waktu

pemijahan/

Spawning time

Jumlah

larva/No. of

larvae

Lama pemeliharaan/

maintenance duration

Induk 1 20 januari 2016 354 D8

Induk 2 22 Januari 2016 553 D5

Induk 3 22 januari 2016 757 D17 Induk 4 1 Februari 2016 25 D6

Induk 5 1 Februari 2016 24 D4

Induk 6 1 Februari 2016 26 D6

Induk 7 17 Februari 2016 613 D12 Induk 8 17 Februari 2016 241 D15

TOTAL LARVA 2593

Berdasarkan tabel diatas, dapat terlihat bahwa induk udang pelet memijah lebih sering

dibandingkan dengan induk udang api. Dapat dikatakan bahwa induk udang pelet lebih mampu beradaptasi pada lingkungan terkontrol dan mampu mengembangkan sistem

reproduksi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan udang api. Terhitung sejak bulan

Januari hingga bulan Februari 2016, induk udang pelet telah memijah sebanyak 8 kali dari

8 pasang indukan yang berbeda. Sedangkan udang api hanya 4 kali. Hal tersebut tentu saja memberikan hasil yang cukup signifikan terhadap jumlah larva yang dihasilkan.

Dimana indukan udang pelet telah menghasilkan total larva sebanyak 2593 ekor,

dibandingkan dengan larva udang api yang hanya 864 ekor. Meskipun memberikan

kontribusi yang cukup besar terhadap jumlah larva, akan tetapi tingkat kelangsungan hidup

larva udang pelet terlihat lebih rendah apabila dibandingkan dengan udang api. Larva udang api mampu bertahan hingga usia 31 hari setelah menetas. Sedangkan larva udang

pelet hanya mampu bertahan hingga 17 hari setelah penetasan.

Belum diketahui penyebab pasti dari rendahnya sintasan larva dari kedua jenis udang

hias tersebut. Beberapa upaya atau pencarian solusi yang dilakukan untuk menjawab kejadian tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal. Dugaan awal adalah

kekurangan pakan alami, akan tetapi kita telah mencoba untuk memberikan pakan dalam

jumlah yang berlimpah terhadap larva tersebut. Meskipun telah diberikan pakan dalam

jumlah yang berlimpah, larva tetap mengalami kematian ketika telah mencapai usia diatas 10 hari setelah menetas. Kemudian kami mencoba untuk memelihara larva dalam sistem

Page 94: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

84 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

pemeliharaan yang berbeda. Kami mencoba memelihara dalam sistem stagnan tanpa

pergantian air, sistem stagnan dengan pergantian air dan sistem resirkulasi. Hasilnya

cukup berbeda satu sama lain. Larva yang dipelihara dalam sistem stagnan tanpa

pergantian air cenderung lebih stabil dan mampu hidup lebih lama apabila dibandingkan dengan larva yang dipelihara dengan menggunakan sistem resirkulasi ataupun sistem

stagnan dengan pergantian air.Dugaan sementara, larva tidak terlalu kuat ketika dilakukan

penggantian air.Penggantian air membuat parameter air cenderung mengalami fluktuasi,

kemungkinan hal tersebut yang membuat larva menjadi drop. Selama masa pemeliharaan, larva diujicobakan dengan menggunakan berbagai

macam pakan alami.Beberapa saat setelah menetas, larva diberi pakan berupa fitoplankton

seperti chlorella dan diatom seperti chaetoceros, keesokan harinya larva tersebut diberi

pakan berupa rotifera.Hasilnya larva mampu bertahan hidup hingga 21 hari setelah menetas. Larva berusia 21 hari itu diperoleh pada larva udang api. Kemudian juga

dilakukan ujicoba, bagaimana apabila larva diberikan artemia sejak awal.Berdasarkan

beberapa kajian literatur, terdapat beberapa studi yang menggunakan pakan nauplii

artemia sejak awal penetasan.Dan hasilnya cukup mengejutkan, hingga hari ke 29 setelah

menetas, terdapat 3 ekor larva yang masih bertahan hidup. Larva terakhir hidup hingga usia 31 hari. Kondisi larva pada hari ke 2 dan 26 hari dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kondisi Larva Udang Pellet Setelah Umur 2 hari (a) dan Umur 26 Hari (b)

Beberapa fakta diatas menunjukkan bahwa ada beberapa faktor diluar pakan yang

memiliki peranan cukup penting terhadap kelangsungan hidup larva.Dugaan sementara

adalah larva gagal bermetamorfosis dengan baik ketika beralih dari fase nauplii ke zoea 1 dan seterusnya.Kemungkinan hal tersebut yang membuat kelangsungan hidup larva

menjadi rendah. Kegagalan metamorfosis tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor,

antara lain kualitas telur indukan yang kurang baik, kualitas nutrisi indukan, kualitas nutrisi

larva yang diberikan, faktor lingkungan dan sebagainya. Beberapa dugaan tersebut harus dikaji lebih mendalam lagi, agar didapatkan hasil yang optimal dalam pemeliharaan larva

ke depannya.

Setelah mengalami beberapa kali pemijahan, indukan mengalami stagnansi dalam

memijah. Hal tersebut diduga akibat kualitas air dan kualitas lingkungan pemeliharaan yang mulai mengalami kejenuhan. Selain itu diduga indukan telah bermetamorfosis dari

jantan menjadi betina. Sehingga tidak ada jantan produktif yang mampu membuahi betina.

Page 95: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

85 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Kondisi tersebut diperburuk dengan kondisi kualitas air yang semakin hari terus

mengalami penurunan. Suplai air laut yang mengalami kendala pada saat itu memberikan

kontribusi yang cukup signifikan terhadap kondisi kualitas air pemeliharaan. Beberapa

parameter kunci dalam pemeliharan udang hias mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Parameter tersebut antara lain, salinitas, amoniak dan nitrit. Salinitas tertinggi diketahui

mencapai 40 ppt, ketika sistem resirkulasi tersebut telah mengalami kendala.

Akibat swing parameters tersebut, induk udang mengalami stress kemudian sakit dan

akhirnya mengalami kematian. Dugaan sementara penyebab kematian udang adalah akibat terkena penyakit. Induk udang mengalami kematian tidak secara bersamaan akan

tetapi mati satu per satu. Kematian satu per satu tersebut umumnya disebabkan oleh

penyakit sedangkan apabila faktor penyebab kematian tersebut adalah kualitas air,

umumnya udang atau ikan akan mengalami kematian secara bersamaan atau massal. Sebagai bahan perbandingan kualitas air dari awal pemeliharaan hingga saat ini dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Data Kualitas Air Selama Pemeliharaan Udang Hias Laut

Tanggal

pengamatan

PARAMETER

pH Salinitas TDS Konduktivitas Amonia (NH3)

Nitrit (NO2)

Nitrat (NO3)

15 September 2016 7,8 33,2 14 56,3 0,001 0,004 0,05 21 Maret 2016 8,5 37,1 16 66,4 0,01 0,007 0,6

24 November 2016 8,4 40,1 16.5 67,1 0,18 0,913 0,11

Hal yang lain dalam penelitian ini juga menemukan bahwa sistem resirkulasi yang

dibuat untuk pemeliharan induk udang hias tidak mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama.Berdasarkan hasil pengamatan, carrying capacity dari sistem resirkulasi yang

ada bertahan hingga 1 tahun.Setelah itu sistem harus diperbaiki agar tidak mengalami

kejenuhan.Akuarium dikosongkan untuk menghemat air laut dan agar akuarium tetap

bersih.Beberapa akuarium digunakan untuk memelihara indukan udang hias.

Gambar 2.Sistem Resirkulasi Sedang dalam Masa Perawatan

Page 96: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

86 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Saat ini terdapat sepasang induk udang dari dua pasang induk udang yang

diujicobakan.Dari dua pasang indukan tersebut tersisa hanya satu pasang indukan.

Kendala dalam manajemen kualitas air perlahan-lahan dapat diatasi dengan lebih

memperhatikan fluktuasi salinitas dan pH. Oleh karena itu, untuk mempermudah pengawasan dan pemeliharaan, serta untuk efisiensi air laut. Rencana untuk tahun 2017

adalah melakukan pemeliharaan dan pemijahan udang hias dengan menggunakan sistem

resirkulasi yang lebih kecil. Rangkaian sistem resirkulasi yang digunakan berupa rangkaian

yang terdiri dari 6 buah akuarium berukuran 40 x 40 x 40 cm3 yang terkoneksi dengan filter bervolume 200 Liter (Gambar 3). Selain menggunakan rangkaian sistem resirkulasi

tersebut, kami juga menggunakan sistem resirkulasi tertutup. Dimana setiap satu buah

akuarium dilengkapi dengan Hang on Back Filter. Semoga dengan adanya perbaikan sistem

pemeliharaan ini mampu mendorong kelangsungan hidup indukan udang hias yang diharapkan akan meningkatkan produksi larva dan benihnya juga.

Kesimpulan. Sistem pemeliharaan yang berbeda memberikan pengaruh terhadap

tingkat kelangsungan hidup indukan dan larva udang hias laut.Larva yang dipelihara dalam

sistem stagnan tanpa penggantian air, cenderung memiliki ketahanan hidup lebih lama dibandingkan dengan larva yang dipelihara dalam sistem resirkulasi ataupun sistem

stagnan dengan penggantian air.Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitas

larva yang cukup tinggi seperti shortage pakan, kualitas air serta kualitas dari larva itu

sendiri.Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbaikan pakan

indukan untuk peningkatan kualitas telur, kemudian perbaikan kualitas air yang dapat menunjang perkembangan larva, serta kajian mengenai kondisi fisiologis larva itu sendiri.

Ucapan Terima Kasih. Terima kasih diucapkan kepada CV. Cahaya Baru yang telah

mendukung kegiatan penelitian ini secara finasial untuk fasilitas dan penyediaan induk udang sehingga penelitian dapan berjalan dengan lancar. Semoga dukungan ini tidak

terhenti hingga akhir kerjasama nanti dengan diperolehnya hasil penelitian sesuai target

yang diharapkan.

Daftar Pustaka

Baras, E. & Jobling, M.(2002). Dynamics of intracohort cannibalism in cultured

fishes.0Aquaculture Research, 33, p461−479.

Baras, E. (2013). Cannibalism in fish larvae, what have we learned ?Larval Fish

Aquaculture, in (ed.) Qin J.G. Nova Publishers, New York, Pp. 167-199. Bullock, G., Herman, R., Heinen, J., Noble, A., Weber, A. & Hankins, J. (1994).

Observations on the occurrence of bacterial gill disease and amoeba gill infestation in

rainbow trout cultured in a water recirculation system. Journal of Aquatic Animal

Health, 6, p310-317. Calado, R., Narciso, L., Morais, S., Rhyne, A.L., & Lin, J. (2003). A rearing system for the

culture of ornamental decapod crustacean larvae.Aquaculture 218 : 329-339

Calado, R., Morais, S., Rosa, R., Nunes, M.L., & Narciso, L. (2005). Growth, survival, lipid

and fatty acid profile of juvenile monaco shrimp Lysmata seticaudata fed on different diets. Aquaculture Research 36 : 493-504

Calado, R., Pimentel, T., Vitorino A., Dionisio G., & Dinis M.T. (2008).Technical

improvements of a rearing system for the culture of decapod crustacean larvae, with

emphasis on marine ornamental species. Aquaculture 285 : 264-269

Courtland, S. (1999).Recirculating System Technology for Shrimp Maturation.Sustainable Development News. 4pp

Page 97: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

87 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Dong, Q. and Polis G.A. (1992).The dynamics of cannibalistic populations, a foraging

perspective.Cannibalism, Ecology and Evolution among diverse Taxa, Elgar, M.A. and

Crespi, B.J. (Eds), Oxford Science Publications, Oxford, p13-37.

Ellis, T., North, B., Scott, A.P., Bromage, N.R., Porter, M. & Gadd, D. (2002).The relationship between stocking density and welfare in farmed rainbow trout.Journal of

Fish Biology, 61, p493–531.

Ewing, R.D. & Ewing, S.K. (1995). Review of the effects of rearing density on survival to

adulthood for Pacific salmon. Progressive Fish-Culturist, 57, p1-25. Garrido-Pereira M.A., Schwarz M., Delbos, B., Rodrigues V.R., Romano, L., & Sampaio, L.

(2014). Probiotic effects on cobia Rachycentron canadum larvae reared in a

recirculating aquaculture system. J. Aquat. Res., 42(5): 1169-1174

Illingworth, J., Tong, L., Moss, G., & Pickering, T. (1997).Upwelling tank for culturing rock lobster (Jasus edwardsii) phyllosomas. Mar. Freshw. Res. 48, 911 – 914

Kittaka, J. (1997). Application of ecosystem method for complete development of

phyllosomas of spiny lobster.Aquaculture 155, 319– 331.

Palmtag, M. R & Holt, G.J. (2001). Captive Rearing of Fire Shrimp (Lysmata debelius). A

Texas Sea grant College Program Research Report. Spetember 2001. Pavlov, D.A. (1995). Growth of juveniles of White Sea common wolffish, Anarhichas lupus

L., in captivity.Aquaculture Research, 26, p195-203.

Simões, F., Ribeiro, F. & Jones, D.A. (2002).Feeding early larval stages of fire shrimp

Lysmata debelius (Caridea, Hippolytidae). Aquaculture International, 10, 349–360. Smith, C. and Reay, P. (1991).Cannibalism in teleost fishes.Reviews in Fish Biology and

Fisheries, 5, p7-22.

Sweeten, M and Sweeten, J. (2013). Terminology for grazing lands and grazing

animals.http://www.agry.purdue.edu/ext/forages/rotational/glossary.html. Tomoda, T., Fushimi, H., & Kurokura, H. (2005).Performance of a closed recirculation

system for larviculture of red sea bream, Pagrus major. Fisheries Science 71 : 1179-

1181

Yakubu, A.F., Ajiboye, O.O., Nwogu, N.A., Olaji, E.D., Adams, T.E. and Obule, E.E., (2013). Effects of Stocking Density on the Growth Performance of Sex-Reversed Nile Tilapia

(Oreochromis niloticus) fingerlings fed unhatched chicken egg diet. World journal of

Fish and Marine Sciences, 3, p291-295.

Page 98: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

88 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Kadar Lemak dan Kinerja Pertumbuhan Ikan Patin Pangasius hypophthalmus yang Diberi Pakan dengan Rasio Karbohidrat dan Lemak Berbeda Ridwan Tobuku

Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana,

Jl. Adisucipto Penfui Kupang ; Kode Pos: 85001, Indonesia (Email: [email protected])

Abstrak - Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rasio karbohidrat terhadap lipid yang menghasilkan

laju pertumbuhan tinggi dan kandungan lipid rendah pada Pangasius hypophthalmus. Enam ekor juvenil dengan bobot badan 16,1 ± 0,5 g ditebar di masing-masing 12 akuarium yang diisi 60 liter air. Ikan uji

diberi makan setiap hari selama 60 hari ng mengandung rasio karbohidrat dan lipid yang berbeda yaitu

1, 2, 3, atau 4. Kandungan lemak makanan berkisar antara 7,6% hingga 16,9% dan kandungan karbohidrat bervariasi dari 16 hingga 31%. Kandungan protein (36%) sama untuk semua diet. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa ikan uji yang diberi pakan dengan rasio karbohidrat terhadap lipid 3 memiliki retensi protein tertinggi (47,06%), rasio konversi terendah (1,33), dan laju pertumbuhan harian

tertinggi (4,33%). Meskipun ikan yang diberi pakan dengan rasio karbohidrat terhadap lipid 1 memiliki

kinerja pertumbuhan terendah, namun kualitas daging terbaik ditunjukkan pada nilai protein tinggi dan kandungan lemak rendah.

Abstract - This study was conducted to determine dietary carbohydrate to lipid ratio which produce high

growth rate and lipid contents of lateral muscle of Pangasius hypophthalmus juvenile. Six juveniles with

16.1±0.5 g of body weight were stocked in each of 12 aquarium filled with 60 liters of water. They were fed daily for 60 days with diets containing different carbohydrate to lipid ratio of 1, 2, 3, or 4. The dietary

lipid contents ranged from 7.6% to 16.9% and carbohydrate contents were varied from 16 to 31%. The protein content (36%) were the same for all diets. The results of this study showed that fish fed on the

diet containing carbohydrate to lipid ratio of 3 had the highest protein retention (47.06%), the lowest

convertion ratio (1.33), and the highest daily growth rate (4.33%). Although fish fed on the diet with carbohydrate to lipid ratio of 1 had the lowest growth performace, this group of fish containing the best

quality of meat indicated by high protein and low lipid contents.

Pendahuluan. Pembesaran ikan patin pada umumnya dilakukan di keramba jaring

apung (KJA) dan kolam air tenang, serta sebagian kecil di kolam air deras, namun kualitas

daging yang dihasilkan berbeda. Ikan patin yang tumbuh dan besar di KJA dan kolam air

tenang memiliki daging dengan kandungan lemak tinggi mencapai 7,98% bobot basah atau

30,59% bobot kering, sedangkan dari kolam air deras sebesar 3,04% bobot basah atau

13,26% bobot kering (Suwarsito, 2004).

Suwarsito (2004) telah berupaya menurunkan kadar lemak daging ikan patin dengan menggunakan L-karnitin. Penambahan L-karnitin dalam pakan sebesar 0,18% telah dapat

menurunkankan kadar lemak daging dari 32,25% menjadi 7,51% bobot kering atau 7,88%

menjadi 1,63% bobot basah. Namun cara ini ternyata tidak ekonomis untuk diaplikasikan

karena harga L-karnitin yang relatif mahal. Cara lain yang mungkin dapat dilakukan untuk menurunkan kadar lemak daging adalah dengan mengatur imbangan karbohidrat dan

lemak dalam pakan. Menurut Furuichi (1988), lemak tubuh sangat dipengaruhi oleh lemak

pakan. Hasil penelitian pada channel catfish menunjukkan bahwa deposisi lemak tubuh

berhubungan dengan kadar lemak pakan (Garlis & Wilson, 1976 dalam Takeuchi, 1988). Lemak dan karbohidrat mempunyai sparing effect pada penggunaan atau pemanfaatan

protein. Protein akan dimanfaatkan sebagai energi apabila lemak dan karbohidrat tidak

cukup mensuplai kebutuhan energi. Penggunaan lemak dan karbohidrat dalam pakan harus

ada pada kadar atau rasio yang tepat, karena apabila kelebihan atau kekurangan akan

memberikan dampak negatif pada ikan yang diberi pakan tersebut. Kadar lemak pakan yang tinggi akan menyebabkan penyimpanan lemak pada tubuh, penurunan konsumsi

pakan dan pertumbuhan serta degenerasi hati (Huisman, 1987). Begitu juga pakan

Page 99: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

89 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

berkadar karbohidrat tinggi akan meningkatkan laju pembentukan lemak (Lehninger,

1993).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio karobohidrat terhadap lemak

pakan memberikan pengaruh signifikan pada kandungan lemak daging dan tubuh ikan serta beberapa indikator pertumbuhan. Ikan African catfish Clarias gariepinus yang diberi

pakan dengan rasio karbohidrat (KH) terhadap lemak (L) 1,66 (mengandung 27% KH dan

16% L) signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan, efisiensi pakan dan protein. Rasio 0,74

(14% KH/21%L) menghasilkan pertumbuhan dan deposisi lemak terendah (Ali & Jaucey, 2004). Hasil penelitian Shimeno et al. (1992) pada Oreochromis niloticus menunjukkan

pakan dengan rasio KH/L sebesar 9 (47,7%KH/5,3%L) menghasilkan laju pertumbuhan

tertinggi 37,5% dan kadar lemak daging bagian dorsal (dorsal muscle) 0,5% bobot basah,

sedangkan rasio 2,7 (33,4%KH/12,45%L) menghasilkan kadar lemak daging bagian dorsal terendah 0,3% bobot basah dan laju pertumbuhan 35,6%.

Dari penelitian di atas, terlihat bahwa rasio karbohidrat terhadap lemak selain

mempengaruhi beberapa indikator pertumbuhan juga memperlihatkan pengaruhnya

terhadap kadar lemak daging dan tubuh. Berdasarkan informasi di atas maka perlu

dilakukan penelitian rasio karbohidrat lemak pakan untuk ikan patin dengan tujuan untuk menentukan rasio karbohidrat dan lemak yang tepat untuk menghasilkan daging dengan

kadar lemak rendah dan kinerja pertumbuhan tinggi.

Metode Penelitian Pakan Uji. Penelitian ini menggunakan empat jenis pakan uji yang mengandung iso-

protein sekitar 36% dan rasio energi tercerna/protein 7,4 – 8,4 kkal DE/g dengan rasio

karbohidrat dan lemak yang berbeda, yaitu 1, 2, 3 dan 4. Sebagai sumber lemak digunakan

minyak ikan dan minyak jagung. Sumber karbohidrat (BETN) utama diperoleh dari dekstrin. Komposisi bahan pakan disajikan pada Tabel 1 dan komposisi proksimat pakan

pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Percobaan (g/100g Pakan)

Bahan Penyusun Rasio Karbohidrat/Lemak

1 2 3 4

Tepung ikan 51,0 51,0 51,00 51,00

Tepung kedelai 1,50 1,50 1,50 1,50 Tepung terigu 2,00 2.00 2.00 2.00

Dextrin 11,0 22,0 28,00 27,00

Minyak jagung 8,4 6,3 4,2 2,1

Minyak ikan 3,6 2,7 1,8 0,9

Vitamin Mix1 1,50 1,50 1,50 1,50

Mineral Mix1 3,50 3,50 3,50 3,50

Kholin klorida 0,50 0,50 0,50 0,50

CMC 2,50 2,50 2,50 2,50

Selulosa 14,5 6,50 3,50 7,50

Sumber : Takeuchi (1988)

Page 100: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

90 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Tabel 2. Komposisi Proksimat Pakan Perlakuan (% Bobot Kering)

Komposisi

proksimat

Rasio Karbohidrat/Lemak

1 2 3 4

Protein 36,12 35,78 35,56 35,90

BETN 15,97 27,43 32,51 31,01

Lemak 16,19 13,37 10,89 7,57

Energi (kkal)1/g 297,5 302,1 293,9 264,5

E / P (kkal / g) 8,2 8,4 8,3 7,4

Pemeliharaan Ikan dan Pengumpulan Data. Ikan diperoleh dari petani berukuran

7,75±3,3g dan dibesarkan pada kondisi laboratorium selama 60 hari. Ikan dengan berat

rata-rata 16,1±0,5g diambil sebanyak 6 ekor dan dimasukkan ke dalam akuarium ukuran

50x30x40cm yang diisi air sebanyak 60 liter. Sistem pemeliharaan menggunakan sistem resirkulasi yang dilengkapi aerasi dan filtrasi. Selama penelitian dilakukan pergantian air

sekitar 50% per hari untuk menjaga kualitas air. Pemberian pakan secara at satiation dua

kali sehari pukul 07.00 dan 17.00 WIB dan banyaknya pakan yang diberikan dicatat untuk

mengetahui tingkat konsumsi pakan. Setelah 60 hari pemberian pakan percobaan, ikan

dipuasakan selama 24 jam dan ditimbang satu per satu untuk mengetahui bobot akhir. Sebanyak 2 ekor ikan dari setiap akuarium digunakan untuk analisis proksimat tubuh dan

3 ekor diambil daging bagian lateral untuk dianalisis proksimat daging. Selama penelitian,

kadar oksigen terlarut 4,4-6,5 ppm; suhu 29-31oC; pH 7,5-7,6. Kualitas air ini dapat

menunjang pertumbuhan air yang normal.

Analisis Kimia. Analisis proksimat yang meliputi kadar protein kasar, lemak kasar, BETN,

abu, serat kasar dan air dilakukan terhadap bahan pakan dan pakan, sedangkan daging

dan tubuh meliputi kadar protein kasar, lemak kasar, abu, dan air. Analisis proksimat bahan dan pakan dilakukan pada awal percobaan, sedangkan analisis proksimat total tubuh

ikan dilakukan pada awal dan akhir percobaan, dan proksimat daging dilakukan pada akhir

penelitian. Prosedur analisis proksimat terdapat pada Takeuchi (1988).

Analisis Statistik. Desain penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Uji lanjut menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).

Peubah yang diuji dalam penelitian ini ialah laju pertumbuhan, retensi protein dan lemak,

konversi pakan, kadar lemak, protein, air, dan abu daging maupun tubuh, kelangsungan

hidup. Laju pertumbuhan, konversi pakan, retensi lemak dan protein, kelangsungan hidup dihitung menggunakan formula sebagai berikut:

Laju pertumbuhan bobot harian (Huisman, 1976)

α = [(Wt / Wo)1/t -1] x 100%

Keterangan :

Α = laju pertumbuhan bobot harian (%) Wt = bobot rata-rata ikan pada akhir penelitian

W0 = bobot rata-rata ikan pada akhir penelitian

Konversi pakan (Feed conversion ratio)(Viola & Rappaport, 1979)

R = 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐩𝐫𝐨𝐭𝐞𝐢𝐧/𝐥𝐞𝐦𝐚𝐤 𝐭𝐮𝐛𝐮𝐡 (𝐠)

𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐩𝐫𝐨𝐭𝐞𝐢𝐧/𝐥𝐞𝐦𝐚𝐤 𝐝𝐢𝐤𝐨𝐧𝐬𝐮𝐦𝐬𝐢 (𝐠)

Page 101: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

91 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Keterangan :

R = Konversi pakan

Kelangsungan hidup

SR = 𝐍𝐓

𝐍𝐎 x 100

Keterangan : SR = Kelangsungan hidup (%)

NT = Jumlah individu ikan saat akhir

N0 = Jumlah individu ikan saat awal

Hasil dan Pembahasan

Hasil. Bobot rata-rata individu pada awal dan akhir percobaan disajikan pada Gambar 1,

sedangkan bobot biomassa pada awal dan akhir penelitian disajikan pada Lampiran 2. Pada

Gambar 1 terlihat bahwa pertambahan bobot rata-rata individu tertinggi diperoleh pada ikan yang diberi pakan dengan rasio 3 (32,51% karbohidrat dan 10,89% lemak), diikuti

oleh rasio 4 (31,01% karbohidrat dan 7,57% lemak), 2 (27,43% karbohidrat dan 13.37%

lemak), dan 1 (15,97% karbohidrat dan 16,19% lemak). Ikan patin yang mengkonsumsi

pakan dengan rasio 3 menghasilkan bobot rata-rata individu pada akhir penelitian sebesar

205,04g diikuti rasio 4, 2 dan 1 dengan bobot rata-rata berturut-turut 190,38, 181,70 dan 165,24 g.

Gambar 1. Bobot Rata-Rata Individu pada Awal dan Akhir Penelitian

Tabel 3. Rata-Rata Konsumsi Pakan (FC), Retensi Protein (RP), Retensi Lemak (RL), Laju

Pertumbuhan Harian (LPH), Konversi Pakan (FCR) dan Kelangsungan Hidup (SR) Ikan Patin Selama 60 Hari Pemeliharaan

Parameter Rasio Karbohidrat/Lemak

1 2 3 4

FC(g)* 1188,3±25,6c 1211,6±21,8b 1284,5±26,9a 1281,8±41,9a RP(%)* 37,1±3,2c 41,7±3,3b 47,1±1,1a 41,1±1,7b RL(%)* 29,3±2,3d 51,1±1,7c 79,1±7,6b 114,6±13,2a LPH(%/hr)* 3,96±0,07c 4,12±0,01b 4,33±0,05a 4,20±0,04b FCR* 1,33±0,07c 1,22±0,03b 1,13±0,02 a 1,23±0,06b

SR(%) 100 100 100 100

Page 102: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

92 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan

(P<0,05).

Tabel 3 memperlihatkan bahwa retensi lemak meningkat sejalan dengan

meningkatnya rasio karbohidrat/lemak, tetapi retensi protein dan laju pertumbuhan

meningkat hanya sampai pada rasio 3 dan terjadi penurunan pada rasio 4. Sedangkan

peningkatan rasio karbohidrat/lemak menyebabkan terjadi penurunan pada nilai konversi pakan, dan penurunan ini hanya sampai pada rasio 3 dan meningkat kembali pada rasio 4.

Selama penelitian berlangsung tidak terjadi kematian ikan uji untuk setiap jenis pakan uji

yang dicobakan. Rata-rata komposisi proksimat daging, tubuh dan hati ikan patin setelah

60 hari pemberian pakan uji disajikan pada Tabel 4. Kadar air dan protein daging serta tubuh ikan patin semakin kecil sejalan meningkatnya rasio karbohidrat/lemak pakan.

Keadaan sebaliknya terjadi pada kadar lemak, dimana semakin tinggi rasio

karbohidrat/lemak pakan diikuti pula semakin meningkatnya kadar lemak daging dan

tubuh. Kadar lemak hati semakin tinggi dengan meningkatnya rasio karbohidrat/lemak pakan dan keadaan sebaliknya terjadi pada kadar air. Rasio karbohidrat/lemak pakan tidak

menghasilkan perbedaan kadar abu daging dan tubuh.

Tabel 4. Komposisi Proksimat Daging, Tubuh dan Hati (Bobot Kering)

Komposisi proksimat

Rasio Karbohidrat/Lemak 1 2 3 4

Daging

- Air 78,4±0,7a 78,1±0,7ab 76,9±0,9b 75,4±0,7c

- Protein 84,4±4,6a 82,0±2,6b 77,7±1,67 c 75,5±2,0c

- Lemak 8,6±0,7c 12,2±0,35b 15,4±1,25 a 16,4±0,6a

- Abu 2,5±0,4a 2,3±0,5a 2,1±0,5a 2,1±0,2a

Tubuh

- Air 71,1±1,2a 70,0±0,2a 68,1±0,9b 67,3±0,9c

- Protein 55,3±0,3a 54,5±2,3a 53,2±3,2 a 49,6±0,8b

- Lemak 19,9±2,6d 24,6±1,3c 26,8±0,4 b 28,9±3,0a

- Abu 17,4±0,9a 16,7±0,9a 14,3±2,1a 12,5±0,1a

Hati

- Air 55,2±1,3a 52,1±1,6b 49,0±1,5c 43,1±1,1d

- Lemak 47,4±4,2c 47,3±4,9c 50,6±2,0b 59,6±1,9a

Pembahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan yang diberi pakan dengan rasio

karbohidrat/lemak 3 dan 4 mengkonsumsi jumlah pakan tertinggi dibandingkan dua

perlakuan lainnya (Tabel 3). Semakin banyak pakan yang dikonsumsi, kebutuhan energi untuk ikan tercukupi terutama yang bersumber dari karbohidrat dan lemak sehingga

pemanfaatan protein untuk pertumbuhan semakin efisien. Hal ini dapat dilihat pada rasio

3 dimana nilai retensi protein dan laju pertumbuhan tertinggi. Perbedaan jumlah konsumsi

pakan juga dapat disebabkan adanya perbedaan ukuran ikan akibat perbedaan laju pertumbuhan selama percobaan berlangsung. Ikan yang berukuran besar membutuhkan

dan mengkonsumsi pakan lebih banyak dari pada ikan yang berukuran kecil (pemberian

pakan dilakukan secara at satiation). Pakan dengan rasio karbohidrat/lemak 4

menghasilkan retensi protein dan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan rasio 3

disebabkan pemanfaatan pakan menjadi kurang efisien ketika terjadinya proses lipogenesis yang ditunjukkan oleh nilai retensi lemak dan kadar lemak hati yang tinggi.

Ikan patin yang diberi pakan berkadar lemak tinggi (rasio karbohidrat/lemak 1)

cenderung menggunakan banyak lemak sebagai sumber energi yang ditunjukkan pada nilai

retensi lemak yang rendah. Selain itu, tingginya kadar lemak pakan diikuti dengan semakin

Page 103: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

93 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

menurunnya kadar karbohidrat telah menyebabkan kebutuhan karbohidrat sebagai sumber

energi tidak tercukupi karena ikan tidak efisien dalam memanfaatkan protein yang

ditunjukkan pada nilai retensi protein dan pertumbuhan yang semakin kecil. Menurut

Lehninger (1993), jaringan tertentu pada hewan seperti otak cenderung menggunakan glukosa yang bersumber dari protein apabila glukosa dari karbohidrat tidak tercukupi.

Sedangkan peningkatan kadar karbohidrat pakan diikuti penurunan kadar lemak

menghasilkan retensi lemak yang semakin tinggi. Retensi lemak pada perlakuan pakan

dengan kadar lemak terendah menunjukkan nilai tertinggi dan nilai ini mencapai lebih dari 100%. Tubuh ikan membutuhkan lemak untuk disimpan sebagai lemak sruktural. Untuk

memenuhi kebutuhan lemak tersebut, maka ikan mensintesis (biokonversi) lemak berasal

dari nutrient non-lemak, seperti karbohidrat menjadi asam-asam lemak dan trigliserida

yang terjadi di hati dan jaringan lemak (Linder, 1992). Selanjutnya Brauge et al. (1994) menyatakan bahwa tingginya kadar karbohidrat yang dapat dicerna merangsang terjadinya

proses lipogenesis dan meningkatkan penyimpanan lemak. Proses lipogenesis ini

memerlukan energi dan keperluan energi ini akan mengurangi energi untuk pertumbuhan.

Jadi juvenil ikan patin memerlukan suatu kadar lemak tertentu dalam pakan yang

sekaligus juga rasio karbohidrat/lemak tertentu sehingga pemanfaatan energi nonprotein tersebut akan maksimal. Keadaan ini akan memberikan efisiensi protein pakan yang

optimum seperti yang dihasilkan pada rasio karbohidrat/lemak 3. Rasio 3 menghasilkan

energi nonprotein yang maksimum sehingga protein pakan dapat digunakan untuk sintesis

protein tubuh lebih efisien. Hal ini terbukti tingginya jumlah protein yang tersimpan dalam tubuh ikan yang ditunjukkan oleh nilai retensi protein 47,06%. Nilai ini lebih tinggi

dari

P. djambal yang diberi pakan rasio karbohidrat/lemak 6 (36,14% karbohidrat dan

6,25% lemak), yaitu 45,37%. Menurut Peres dan Teles (1999), terjadinya protein sparing effect oleh karbohidrat dan lemak akan mengurangi pemanfaatan protein untuk energi.

Viola & Rappaport (1979) menggunakan retensi protein sebagai indikator efektivitas pakan.

Pemanfaatan protein yang semakin efisien ditunjukkan pula oleh nilai konversi pakan yang

diperoleh pada pakan dengan nilai rasio karbohidrat/lemak sebesar 3. Efek lanjut pakan dengan rasio karbohidrat/lemak 3 akan menghasilkan pertumbuhan harian yang tertinggi

pula. Walaupun jumlah pakan yang dikonsumsi pada rasio 3 tinggi tetapi juga diikuti

pertumbuhan yang tinggi sehingga akan dihasilkan pula konversi pakan yang rendah.

Kadar lemak tubuh dan daging terkecil diperoleh pada ikan yang diberi pakan uji rasio

karbohidrat/lemak 1. Rendahnya kadar lemak ini akibat kebanyakan lemak pakan dimanfaatkan sebagai sumber energi sehingga jumlah yang disimpan semakin sedikit (nilai

retensi lemak yang kecil). Nilai lemak tubuh ini (19,9±2,6) lebih kecil dibandingkan yang

diperoleh Suwarsito (2004), yakni 32,19% bobot kering tetapi lebih besar dari hasil yang

diperoleh Hung et al. (2004) yakni 13,7% bobot kering pada perlakuan protein pakan 45%. Sedangkan kadar lemak daging terkecil relatif sama dengan yang diperoleh Suwarsito

(2004) sebesar 7,51% bobot kering pada penambahan L-karnitin 0,18%. Semakin tinggi

kadar lemak pakan diikuti semakin rendah kadar kabohidrat menghasilkan kadar lemak

daging terendah dan protein daging tertinggi. Pakan dengan rasio karbohidrat/lemak 1 menghasilkan kualitas daging yang lebih baik dibandingkan dengan rasio 2, 3 dan 4.

Di akhir penelitian, ukuran ikan baru mencapai sekitar 200g, sedangkan ukuran

konsumsi ikan ini di atas 500g, maka pakan dengan rasio 1 belum mutlak diaplikasikan.

Untuk kepentingan budidaya pada tahap tersebut, peningkatan pertumbuhan lebih menjadi

prioritas. Dengan demikian, pakan dengan rasio karbohidrat/lemak 3 disarankan untuk diaplikasikan.

Kesimpulan. Ikan patin, P. hypophthalmus yang diberi pakan uji rasio

karbohidrat/lemak 3 (mengandung 32.51% karbohidrat dan 10.89% lemak) menghasilkan

kinerja pertumbuhan terbaik.

Page 104: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

94 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dekan Fakultas

perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang telah memfasilitasi penggunaan

Laboratoroum basah dan Analisa proksimat.

Daftar Pustaka

Affandi R, Sjafei DS, Raharjo MF, Sulistiono. 2005. Fisiologi ikan: Pencernaan dan

penyerapan makanan. Departemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan IPB. 215 hal.

Ali MZ,. Jaucey K. 2004. Optimal dietary carbohydrate to lipid ratio in African catfish Clarias

gariepinus. J. Aqua. Int. 12: 169-180.

[APHA] American Public Health Association, American Water Works Assosiation and water

pollution control federation. 1975. Standart methods for the examination of water and

wastewater. 14th. Ed., Washington, D.C. 1193 pp.

Brauge CF, Medale F, Corraze G. 1994. Effect of dietary carbohydrate levels on growth,

body composition, and glicaemia in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, reared in sea

water. INRA Fish Nutrition Laboratory, Hydrobiology Station, France. Aquaculture,

123:109-120.

Campbell PN and Smith AD, 1982. Biochemistry Illustrated. Illustrator by Harris

S. Churchill Livingstone. Edinburg. London.

Cho CY, Cowey CB and Watanabe T. 1985. Finfish nutrition in Asia. Methodological

Approach of Research and Development. Ottawa, Ont. DCR. 154 pp.

Craig S and Helfrich LA. 1992. Understanding fish nutrition, feed, and feeding. Department

of Fisheries and Wildlife Science. Virginia Tech.

De Silva SS, and Anderson TA. 1995. Fish nutrition in aqualculture. Chapman & Hall

Aqualculture serien 1. New York. 308 p.

Du ZY, Liu YJ, Tian LX, Wang JT, Wang Y, Liang GY. 2005. Effect of dietary lipid level on

growth, feed utilizatition and body composition by juvenil Grass Carp

(Ctenopharyngodon idellla). Aquacult. Nutr. 11, 139-146.

Furuichi M and Yone Y. 1981. Change of blood sugar and plasma insulin level of fishes in

glucosa tolerance test. Bull. Japan. Soc. Sci. Fish 47: 761-764.

Furuichi M. 1988. Fish Nutrition, p.1-78. In : Watanabe T (ed). Fish nutrition and

mariculture. Tokyo. Department of Aquatic Biosciences Tokyo University of Fisheries.

Gallego MG, Bzoca J, Akharbach H, Suarez MD, Sanz A. 1994. Utilization of different

carbohydrates by the European eel (Anguilla anguila). Aquaculture 124 : 99-108.

Guyton, AC. 1994. Textbook of medical physiology. Alih bahasa Tengadi. Penerbit Buku

Kedokteran ECG. Jakarta. 399 hal.

Halver JE. 1989. Fish nutrition. 2nd Ed. Academic Press, Inc. News York. 713 pp. Hepher

B. 1990. Nutrition of pond fishes. New York. Cambridge Univercity Press. 388 p.

Houlihan D, Boujard T and Jobling M. 2002. Food intake in fish. Blackwell science Lrd. 414

pp.

Huisman EA, 1976. Food conversion efficiencies at maintenance and production levels for

Carp, Cyprinus carpio L and rainbow trout, Salmo gairdneri Richardson. Aquaculture

9:256-273.

Hung LT, Suhenda N, Slembrouck J, Lazard J and Moreau Y. 2004. Comparison of dietary

protein and energy utilization in three Asian catfish (Pangasius bocourty, P.

Hypophthalmus and P. djambal). Aquacult. Nutr. 10, 317-326.

Page 105: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

95 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Kim LH and Lee Sang-Ming. 2005. Effect of the dietary protein and lipid levels on growth

and body composition of Bagrid catfish, Pseudobagrus fulvidraco. Aquaculture 243,

323-329.

Lee S and Lee JH. 2004. Effect of dietary glucose, dextrin and strach on growth and body

composition of juvenile starry flounder Platichthys stellatus. J. Fish. Sci. 70: 53-58.

Lehninger AL. 1993. Dasar-dasar biokimia (terjemahan). Jakarta. Erlangga. 73 hal.

Linder MC. 1992. Nutrisi dan metabolisme karbohidrat, hal. 27-58. Dalam : Linder, M.C

(ed). Biokimia Nutrisi dan Metabolime (terjemahan). Jakarta . UI-Press. Indonesia.

Lovell T. 1988. Nutrition and feeding of fish. Auburn Univercity. Published by Van Nostrand

Academy of Sciences Washington DC. 260 pp.

Mishra K and Samantaray K. 2004. Interacting effects of dietary lipid level and temperature

on growth, body composition and fatty acid profile of Rohu, Labeo rohita (Hamilton).

Aquacult. Nutr. 2004. 10, 359-369.

Mokoginta I, Takeuchi T, Hadadi A, Jusadi D. 2004. Different capabilities in utilizing dietary

carbohydrate by fingerling and subadult giant gouramy Osphronemus gouramy. J. Fish.

Sci. 20: 996-1002.

Muchtadi D, Palupi SN, Astawan M. 1993. Metabolisme zat gizi Jilid I. Pustaka Sinar

Harapan. Jakarta. Hal 12.

[NRC] National Research Countil. 1983. Nutrient requirement of warmwater fishes and

shellfishes. Revised Edition. National Academy of Sciences Washington DC. 102 pp.

[NRC] National Research Countil. 1977. The role of chromium in animal nutrition. National

Acad. Press. Washington DC. 80 hal.

Pei Z, Xie S, Lei W, Zhu X and Yang Y. 2004. Comparative study on the effect of dietary

lipid level on growth and feed utilization for gibel carp (Carasius auratus Gibelio) and

Chinese longsnout catfish (Leiocassis longirostris Gunther). Aquacult. Nutr. 10:

209-216.

Peres H, Teles AO. 1999. Effect of dietary lipid level on growth performance and feed

utilization by European sea bass juveniles (Dicentrarchus labrax). Aquaculture

179:325–334.

Robinson EH, Menghe H Li, Bruce BM. 2001. A practical guide to nutrition feeds, and feeding

of Catfish. Bull. 1113. Mississippi Agricultural & Forestry Experiment Station.

Mississippi State University.

Salhi M, Bessonart M, Chediak G, Bellagamba M and Carnevia D. 2004. Growth, feed

utilization and body composition of black catfish, Rhamdia quelen, fry fed diets

containing different protein. Aquaculture 231, 435-444.

Sa R, Pausao-Ferreira P, Oliva-Teles A. 2006. Effect of dietary protein and lipid level on

growth and feed utilization of White Sea Bream (Diplodus sargus) juvenil. Aquacult.

Nutr. 12 ;310-321.

Sheperd J and Bronage N. 1992. Intensive fish farming. Blackwell Scientific Publication,

Oxford, London. 404 pp.

Shimeno, S. Ming Duan-Cun, Takeda, M. 1993. Metabolic respons to dietary carbohydrate

to lipid ratio in Oreochromis niloticus. J. Nippon Suisan Gakkaishi. 59, 827-833.

Steffens W. 1989. Principles of fish nutrition. John Wiley & Sons. New York. 384 pp.

Suhenda N, Setijaningsih L, Suryanti Y. 2003. Penentuan rasio antara kadar karbohidrat

dan lemak pada benih ikan patin jambal (Pangasius djambal). J. Penelitian Perikanan

Indonesia, Vol. 9 No. 1;21-29.

Page 106: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

96 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Suwarsito. 2004. Pengaruh kadar L-karnitin berbeda dalam pakan terhadap kadar lemak

daging dan pertumbuhan ikan patin (Pangasius hypopthalmus). Tesis. Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hal.

Takeuchi T. 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutrients, p. 179-233.

In Watanabe T. (ed): Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo. Departement of Aquatic

Biosciences Tokyo Univercity of Fisheries. JICA.

Viola S and Rappaport U. 1979. The “Extra calorie effect” of oil in nutrient of carp.

Bamidgeh, 31: 51-69.

Wang Ji-Teng, Liu Yong-Jian, Tian Li-Xia, Mai Kang-Sen, Du Zhen-Yu, Wang Y, Yang Hui-

Jun. 2005. Effect of dietary lipid level on growth performance, lipid deposition, hepatic

lipogenesis in juvenile Cobia (Rachycentron canadum). Aquaculture 249, 439-447.

Webster CD and Lim C. 2002. Nutrient requirements and feeding of finfish for aquaculture.

Cabi Publishing, Walingford Oxon, UK. 412 pp.

Wilson RP. 1994. Utilization of dietary carbohidrate by fish. Aquaculture. 124: 67-80.

Zonneveld N, Huisman LA dan Boon JH. 1991. Prinsip-prinsip budidaya ikan. PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta. 318 hal.

Page 107: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

97 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Efisiensi Penggunaan Pakan dalam Kolam Bioflok pada Budidaya Ikan Bandeng (Chanos chanos) Defrinus Walu Wanja1, Felix Rebhung2 dan Sunadji3

1,2,3)Fakultas Kelautan dan Perikanan,

Universitas Nusa Cendana

Jl. Adisucipto, Penfui 85001, Kotak Pos 1212, Tlp (0380) 881589 (Email : [email protected])

Abstrak - Penelitian untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan ikan bandeng yang dipelihara

dalam kolam bioflok telah dilaksanakan selama enam minggu di kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang dari Tanggal 25 Maret s/d 08 April 2019. Penelitian ini menggunakan Rancangan

Acak Kelompok dan data diperoleh dianalisis dengan uji-t. Hasil penelitian menunjukan bahwa, pertumbuhan spesifik 2,70 %g/hari untuk ikan bandeng dalam kolam bioflok dan 2,33%g/hari untuk

kolam biasa. Efisiensi pemamfaatan pakan tertinggi terobservasi pada kolam bioflok sebesar 55,50

% dan rendah pada kolam biasa 39,28%. Presentase kelulushidupan bioflok 100% dan perlakuan kolam biasa 100%. Kualitas air. sebagai berikut:Suhu 28°C - 30°C, pH 7,0 – 7,5, Salinitas 9 - 10 ppt.

Kata Kunci : Pertumbuhan, Pakan, Bioflok, Ikan Bandeng.

Pendahuluan. Teknik bioflok untuk budidaya udang maupun ikan sedang popular saat

ini. Pada teknik ini limbah budidaya diolah secara langsung di dalam wadah budidaya

dengan mempertahankan kecukupan oksigen, mikroorganisme, dan rasio C/N dalam

tingkat tertentu. Keberhasilan teknik bioflok telah dilaporkan, antara lain dari Israel (dengan komoditas Tilapia), Indonesia (Vanname), Belize, Amerika Tengah (Vanname),

dan Australia (Windu). Penggunaan teknik ini di Indonesia pada budidaya Vannamei

mampu menurunkan FCR sebesar 20%, dan menghasilkan 50 ton udang/ha dengan panen

bertahap (Satker PBIAT Ngrajek, 2012). Teknik bioflok juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan

dengan pembentukan biomass mikroba makroagregat dari bahan organik dan senyawa

terlarut (Serfling, 2006). Telah diketahui secara luas bahwa banyak materi pakan tidak

terserap menjadi biomass udang/ikan. Dalam hal ini flok mikroba diharapkan mampu memanfaatkan sisa-sisa pakan tersebut dan akhirnya dapat menjadi bahan makanan

tambahan bagi udang/ikan kembali. Beberapa hal penting yang menentukan kualitas

bioflok adalah nilai nutrisi, keamanan dan palatabilitas untuk dikonsumsi dan berukuran

cukup besar sehingga layak dimakan oleh udang/ikan (Hargreaves, 2006).

Teknik pengolahan limbah dengan bioflok diadopsi oleh akuakultur untuk mereduksi bahan-bahan organik dan senyawa beracun yang terakumulasi dalam air pemeliharaan

ikan/udang. Pada dasarnya sistem ini mereduksi efek self-purifikasi yang terjadi di sungai

dan estuarin. Hasil akhir aplikasi teknik bioflok adalah meningkatnya efisiensi pemanfaatan

pakan dan peningkatan kualitas air. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh bioflok terhadap efisiensi penggunaan pakan pada ikan bandeng.

Metode Penelitian

Waktu Dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) minggu, dari

25 Maret s/d 08 April 2019 di Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang.

Alat dan Bahan. Alat-alat utama yang digunakan pada penelitian ini adalah:

thermometrer, timbangan digital, pH meter, mistar, aerator refraktor meter. Bahan-bahan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah garam grosok prebiotik (air gula merah), dan

benih ikan bandeng berukuran 6-12 cm sebagai hewan uji.

Page 108: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

98 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Prosedur Penelitian. Kolam percobaan terbuat dari terpal. Dengan ikan uji gelondongan

bandeng. Wadah diisi air laut lalu diencerkan dengan air tawar hingga pengukuran dengan

refraktometer menunjukan 20 ppt dan tinggi air 40 cm. Kolam dilengkapi dengan aerator

sebagai pensuplai oksigen dalam kolam. Pada hari ke 2, 2,4 ml probiotik ditambahkan ke

dalam kolam diikuti pemberian 40 ml prebiotik gula air dan dolomit sebanyak 75 gram/m3.

Selanjutnya air kolam diaerasi selama 5 hari agar flok dapat tumbuh dengan baik yang

ditandai dengan perubahan warna air kolam menjadi merah coklat kekuningan.

Penebaran benih ikan bandeng yang telah diadaptasikan pada 20 ppt dilakukan pada

sore hari setelah proses pembentukan flok selesai. Ikan dipuasakan selama dua hari agar

ikan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Lalu ikan diberi pakan komersial

(5% dari bobot) dua kali sehari (pagi dan sore ). Setiap 3 hari sekali ikan di puasakan agar

terjadi penyerapan nutrisi pada flok-flok yang sudah berkembang dalam kolam. Penelitian

ini juga dilakukan Pengukuran kualitas air seperti pH, dan salinitas. Setiap 7 hari

ditambahkan probiotik dan prebiotik sebanyak 6 ml/m3 dan 100 ml/m3 pada kolam untuk

menjaga dan mengembangkan mikroorganisme dalam kolam. Sedangkan konstruksi kolam

biasa terbuat dari terpal.

Kolam diisi air laut lalu diencerkan dengan air tawar hingga salinitas 20 ppt dan

ketinggian 40 cm. Kolam di lengkapi aerator sebagai pensuplay oksigen pada kolam. Pada

hari kedua, ikan mulai ditebar pada kolam. Lalu ikan dipuasakan selama dua hari agar ikan

dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Selanjutnya diberikan pakan komersial

(5% bobot ikan) dengan frekuensi dua kali sehari (pagi dan sore hari) selama percobaan

berlangsung.

Hipotesis Penelitian. Aplikasi teknologi bioflok diduga berpengaruh terhadap efiesiensi

penggunaan pakan ikan bandeng.

Variabel Yang di Hitung

Laju Pertumbuhan Spesifik Harian (SGR). Untuk menghitung laju pertumbuhan

biomasa spesifik digunakan rumus yang dikemukakan oleh Zonneveld dkk., (1991) sebagai

berikut.

SGR=𝐋𝐧𝐖𝐭−𝐋𝐧𝐖𝐨

𝐭X 100%

Keterangan :

SGR = Laju pertumbuhan spesifik (%g/hari)

Wt = Berat tubuh akhir (g)

Wo = Berat tubuh awal (g)

t = waktu pemeliharaan (hari).

Efisiensi pemanfaatan pakan (EPP). Efisiensi pemanfaatan pakan dihitung

menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Tacon dkk., (1987) sebagai berikut.

EPP=(𝐖𝐭+𝐃)−𝐖𝐨

𝐅X 100%

Page 109: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

99 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Keteterangan :

Epp = Efisiensi pemanfaatan pakan

Wt = Bobot biomassa ikan pada akhir penelitian (g)

W0 = Bobot biomassa ikan pada awal penelita n (g)

D = Bobot ikan yang mati selama penelitian (g)

F = Jumlah pakan yang diberikan selama penelitian (g)

Kelulushidupan Kelulushidupan ikan uji dihitung penggunakan rumus yang dikemukakan

Zonneveldet et al., (1991) sebagai berikut.

SR=𝐍𝐭

𝐍𝐨 x 100 %

Keterangan :

SR = Tingkat kelulushidupan (%)

No = Jumlah kultivan pada awal penelitian

Nt = Jumlah kultivan pada akhir penelitian

Analisis Data. Data yang di peroleh dianalisa dengan uji-t.

Hasil dan Pembahasan Pertumbuhan Berat Spesifik. Nilai rata-rata pertumbuhan spesifik ikan bandeng

disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Laju Pertumbuhan Ikan Bandeng

Laju pertumbuhan berat spesifik harian ikan bandeng yang tinggi terdapat pada kolam

bioflok dengan rata-rata 2,70 %g/hari dan di ikuti perlakuan kolam biasa rata-rata 2,33

%g/hari. Selanjutnya berdasarkan hasil uji t pada pertumbuhan spesifik ikan bandeng pada

kolam bioflok di bandingkan pada kolam biasa berbeda tidak nyata (p>0,05). Penelitian

terdahulu mengakui bahwa kolam bioflok dapat berpengaruh terhadap efisiensi

penggunaan pakan. Crab et al. (2007) melaporkan bahwa bioflok dapat digunakan sebagai

makanan alami dalam pemeliharaan post larva udang galah, (Macrobrachium

rossembergii). Beberapa penelitian juga telah dilaporkan bahwa bioflok dapat

dimanfaatkan sebagai makanan alami oleh beberapa spesies ikan seperti nila (Avnimelech

2.70

2.33

2.10

2.20

2.30

2.40

2.50

2.60

2.70

2.80

Kolam Bioflok Kolam Biasa

Perlakuan

Page 110: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

100 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

(2009) dan udang vaname (Burford et al., 2003.). Pada budidaya ikan nila merah secara

intensif, 50% kebutuhan protein dapat disuplai dari bioflok yang ditumbuhkan dalam media

budidaya tersebut. Pada budidaya udang Litopenaeus vanname, bioflok dapat

menggantikan peran pakan buatan hingga 30% (Ekasari, 2008).

Cepat tidaknya pertumbuhan ikan, ditentukan oleh banyaknya protein yang dapat

diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh sebagai zat pembangun. Menurut Afrianto dan

Liviawaty (2005) retensi protein dari banyaknya protein yang diberikan dapat diserap dan

dimanfaatkan untuk membangun ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang sudah rusak.

Efisiensi Penggunaan Pakan. Efisiensi penggunaan pakan selama penelitian dapat di

lihat pada Gambar 2.

Gambar 2: Efisiensi Penggunaan Pakan

Rata–rata efisiensi penggunaan pakan pada ikan bandeng 55,50 % pada kolam bioflok

dan pada ikan bandeng di kolam biasa 39,28 %. Hasil uji t menunjukan bahwa efisiensi

penggunaan pakan berpengaruh nyata (p<0,05). Hal ini diduga ikan bandeng yang

dibudidaya mampu memanen protein dari flok mikroba sebagai makanan tambahan untuk

proses pertumbuhannya.

Beberapa hasil penelitian tentang pemanfaatan bakteri heterotrofik pada budidaya

ikan atau udang secara intensif dilaporkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan

protein dan produksi serta menekan limbah budidaya seperti pada budidaya Oreochromis

mosambicus (Avimelech, 2007), dan Litopenaeus vannamei (Mclntosh, 2000; Burford et

al., 2003 ; Burford et al., 2004). Demikian juga pada budidaya Penaeus monodon secara

ektensif (Hari et al., 2004).

Kolam bioflok mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan, disamping juga

meningkatkan laju pertumbuhan berat (Widanarni et al.,2008). Menurut Kordi (2011),

semakin tinggi nilai efisiensi penggunaan pakan menunjukan bahwa penggunaan pakan

oleh ikan semakin efisien. Sejalan dengan itu Yulianigrum (2017) melaporkan nilai efisiensi

yang terbaik 117,22% terobsevasi pada pemeliharaan ikan lele dumbo (Clarias

gariaspinus). Suarsito et al. (2010) melaporkan bahwa pada lobster

air tawar (Cherax quadricarinatus) pemuasaan setiap 1 satu hari menunjukan efisiensi

yang lebih bagus dibandingkan dengan yang tidak dipuasakan.

55,50 %

39,28%

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

Kolam Bioflok Kolam Biasa

Page 111: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

101 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Tingkat Kelulushidupan Ikan Bandeng. Presentase kelulus hidupan pada kolam

bioflok dan kolam biasa dapat pada lihat pada Gambar 3

Gambar 3. Grafik Kelulusan Hidupan Ikan Bandeng

Kelulushidupan untuk kolam bioflok adalah 100% dan kolam biasa 100%. Hal ini

mungkin terkait dengan kualitas air dan ketersediaan pakan pada wadah pemeliharaan.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bioflok berperan dalam perbaikan

kualitas air, peningkatan biosekuriti, peningkatan produktivitas. peningkatan efisiensi

pakan serta penurunan biaya produksi melalui penurunan biaya pakan (Avnimelech, 2007;

Ekasari 2008; Hari et al., 2006; Kuhn et al., 2009; Taw, 2005).

Selama masa pemeliharaan nilai parameter kualitas air pada masing-masing media

budidaya apabila dibandingkan dengan nilai parameter kualitas air menurut kelayakan

pustaka terlihat masih layak untuk kegiatan budidaya ikan bandeng. Meskipun secara

umum terjadi fluktuasi, namun perubahan yang terjadi masih berada dalam batas toleransi

untuk kehidupan benih ikan bandeng. Effek bioflok dalam media budidaya ikan terlihat

pada perbaikan kualitas air, khususnya kandungan TAN (Total Amoniak Nitrogen) dan

nitrit. Bioflok yang tumbuh di dalam media budidaya dapat mengasimilasi limbah TAN

sehingga kandunganTAN dalam media budidaya menjadi rendah dan layak bagi

pertumbuhan ikan budidaya (Ahmad et al.,1993).

Kesimpulan. Adapun Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah kolam bioflok

berpengaruh terhadap efisiensi pemanfaatan pakan untuk ikan bandeng serta memberikan

laju pertumbuhan yang lebih baik serta memberikan kelulushidupan ikan bandeng 100%.

Ucapan Terima Kasih. Tak ada untaian kata yang lebih indah selain untaian

terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan

dan motivasi, terlebih kususnya bapak Ir.Felix Rebhung., M.Agr.,Ph.D dan Dr.Ir. Sunadji, MP yang selalu membimbing dalam penulisan artikel ini.

Daftar Pustaka

Avnimelech, Y. 2009. Biofloc Technology. World Aquaculture Society, Louisiana, USA, 182 pp.

Avnimelech, Y. 2007. Feeding with Microbial flocs by Tilapia in Minimal Discharge Bioflocs

Technology Ponds.Journal of Aquaculture, 264 : 140-147.

0%

20%

40%

60%

80%

100%

KolamBioflok Kolam Biasa

100% 100%

Page 112: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

102 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Burford MA, Thomson PJ, McIntosh RP, Bauman RH, Pearson DC. 2003. Nutrient and

microbial dynamics in high-intensity, zero-exchange shrimp ponds in Belize.

Aquaculture219: 393-411.

Burford MA, Thompson PJ, McIntosh RP, Bauman RH, PearsonDC. 2004. The contribution of flocculated material to shrimp(Litopenaeus vannamei) nutrition in

a high-intensity, zero-exchange system. Aquaculture 232:525-537.

Crab, R., Y. Avnimelech, T. Defoirdt, P. Bossier, and W. Verstraete. 2007. Nitrogen Removal

Techniques in Aquaculture for Sustainable Production. Journal of Aquaculture, 270 : 1-14.

Ekasari J. 2008. Bio-flocs technology: the effect of different carbon source, salinity and the

addition of probiotics on the primary nutritional value of the bio-flocs [Tesis]. Gent:

Faculty of Bioscience Engineering, Ghent University. Hargreaves, J.A., 2006. Photosynthetic suspended-growth sistems in aquaculture. Aquae.

Eng. 34,344-363.

Hari B, Kurup BM, Varghese JT, Schrama JW, Verdegem MCJ.2004. Effects of

carbohydrate addition on production inextensive shrimp culture systems.

Aquaculture 241:179-194. Satuan Kerja PBIAT Ngrajek., 2012, Pusat Budidaya Ikan Air Tawar. Magelang, Jawa

Tengah.

Serfling, S.A., 2006. Microbial flocs: Natural treatment method supports freshwater, marine

species in recirculating sistems. Global Aquaculture Advocate June 2006, 34 - 36. Tacon, A. G. 1987. The nutrition and feeding of farmed fish and shrimp a training manual.

FAO of the united nation, Bazil.

Widanarni, Dinamela W, dan Mia S. 2009. Optimasi Budidaya Super‐Intensif Ikan Nila

Ramah Lingkungan: Dinamika Mikroba Bioflok. Seminar Penelitian LPPM, Departemen

Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Zonneveld NZA, Huisman EA, Bonn JH. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Jakarta (ID):

Gramedia Pustaka Utama, 318 hal.

Page 113: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

103 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Ruaya Reproduksi Ikan Nipi (Hemiramphus sp) di Perairan Teluk Kupang

Yulianus Linggi1, Macelien Ratoe Oedjoe2 dan Agnette Tjendanawangi3

1,2,3(Fakultas Kelautan dan Perikanan,

Universitas Nusa Cendana

Jl. Adisucipto, Penfui 85001, Kotak Pos 1212, Tlp (0380) 881589

Abstrak - Ikan nipi (Hemiramphus sp) adalah ikan pelagis yang sifatnya bergerombol di bawah

permukaan (epipelagic) merupakan ikan yang cukup populer bagi masyarakat NTT karena harganya yang murah, namun rasanya cuku gurih jika diolah dengan cara yang tepat. Setiap tahun ikan ini

menghilang dari pasaran kemudian muncul lagi pada waktu tertentu. Apakah hilang-munculnya ikan

nipi di Teluk Kupang berhubungan dengan reproduksi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui beberapa aspek reproduksi yang berhubungan dengan terjadinya ruaya yang mempengaruhi musim

penangkapan. Penelitian dilakukan dengan cara mengoleksi hasil tangkapan nelayan di beberapa lokasi kemudian mengamati morfometrik seperti panjang (mm), bobot (gram), TKG, kondisi gonad dan oosit.

Data yang dikumpulkan dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan ukuran ikan nipi yang

ditangkap di Teluk Kupang yakni: panjang 148 – 220 mm dan berat 48,9 – 81,7 gram. Individu terkecil yang sudah matang (tingkat IV) adalah 169 mm (berat 48,9 gram) dan, TKG terendah adalah tingkat

II. Jumlah ikan nipi yang matang pada bulan Agustus rata-rata sebesar 58,08% dan terendah pada

Bulan oktober yakni rata-rata 5,56 %. Pada bulan Juni jumlah ikan yang belum matang rata-rata pada tingkat II sebesar 35%, tingkat III sebesar 41,83% dan terus menurun hinggga pad bulan September

tersisa 3,21 %. Sedang Jumlah ikan yang telah salin (tingkat V) mencapai puncak (52,71%) pada bulan September. Pada pertengahan Oktober tidak ditemukan lagi ikan nipi di pasaran yang menandakan

ikan nipi telah kembali ke habitat semula. Disimpulkan bahwa ikan nipi yang tertangkap di Perairan

NTT sedang melakukan ruaya reproduksi yang akan memijah pada Bulan Agustus hingga September.

Pendahuluan. Wilayah Nusa Tenggara Timur adalah wilayah kepulauan dengan

topografi daratan yang berbukit-bukit dan iklim yang relatif kering (BMKG Propinsi NTT,

2019). Iklim kering tersebut dipengaruhi oleh angin muson yang mengakibatkan periode hujan relatif singkat. Secara umum kondisi iklim yang kering mengakibatkan

perkembangan budidaya ikan air tawar di wilayah NTT menjadi terbelakang dibanding

propinsi lain. Selama ini masyarakat NTT sudah terbiasa mengkomsumsi ikan laut karena

peluang memilih ikan air tawar sangat kecil. Walaupun potensi ikan laut di wilayah NTT

sangat besar namun karena pola distribusi belum memadai maka di wilayah-wilayah tertentu juga kesulitan memperoleh ikan sebagai bahan makanan. Kondisi ini

mempengaruhi tingkat komsumsi ikan di Propinsi NTT tahun 2017 yakni hanya 28

kg/kapita/tahun sedang tingkat komsumsi ikan secara nasional sebesar 50 kg/kapita/tahun

walaupun menurut Data Dinas Perikanan Propinsi NTT (2013) dimana potensi ikan pelagis di NTT sebesar 388,7 ton per tahun tetapi disebutkan pula bahwa pemanfaatannya masih

sangat minim. Potensi ikan nipi di Wilayah NTT belum terdata secara rinci namun di beberapa wilayah

lain seperti di Propinsi Maluku dan sekitarnya, Sulawesi dan Pulau Jawa ikan nipi sudah dimanfaatkan secara maksimal melalui produksi olahan ikan asap, pindang, abon dan

sambal roa (yang cukup terkenal sampai manca negara). Hasil penelitian Botutihe (2015)

menunjukan bahwa kandungan protein ikan asap roa cukup besar yakni sebanyak 23,35%.

Walaupun belum diuji secara ilmiah, beberapa produsen olahan ikan nipi tersebut mengklaim bahwa ikan ini (Hemiramphus sp) ini mengandung banyak omega 3dan 6 dan

dapat digunakan sebagai makanan untuk mencegah penyakit jantung, mencegah

kolesterol, mencegah kanker payudara, menguatkan tulang belakang. Namun hasil studi

kasus Masengi dkk. (2013) di salah satu desa di Manado menunjukkan bahwa 7%

komsumsi ikan laut masyarakat setempat adalah ikan roa (nipi) dan sangat signifikan terhadap kasus hipertensi yang hanya 6,3% .

Page 114: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

104 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Apresiasi masyarakat NTT terhadap pemanfaatan ikan nipi masih tergolong rendah

karena hanya digunakan sebagai ikan komsumsi pilihan kedua ketika harga ikan lainnya

sedang tinggi. Sebelum masyarkat NTT menyadari manfaat besar yang dikandung dalam

tubuh ikan nipi ternyata populasi ikan nipi di Propinsi NTT sudah berkurang drastis. Informasi mengenai faktor-faktor biologis ikan nipi di wilayah perairan NTT belum ada

padahal informasi tersebut sangat diperlukan untuk mempelajari dinamika populasinya

(Nicolsky, 1963). Oleh karena itu penelitian ini akan mengawalinya dengan pokok perhatian

pada aspek reproduksi seperti karakteristik gonad, ukuran pertama kali matang gonad, perbandingan ukuran tubuh dengan tingkat kematangan gonad, hubungan antara

morfometrik dengan fekunditas serta prediksi musim pemijahannya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa aspek reproduksi ikan nipi

(Hemiramphus sp) seperti fekunditas, hubungan antara morfometrik tubuh dengan kematangan gonad, ukuran pertama kali matang gonad, dan dugaan musim pemijahan.

Metode Penelitian.

Lokasi Penelitian. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode observatif yang

mengoleksi sampel ikan yang berasal dari Teluk Kupang dan sekitarnya.

Sampel Ikan. Sampel ikan diperoleh dari tempat pendaratan ikan di Oeba Kota Kupang

setiap minggu sebanyak 30 – 50 ekor. Sampel yang digunakan dikumpulkan secara acak

tanpa memilih-milih ukuran berat atau panjang.

Prosedur Penelitian. Prosedur dari penelitian ini meliputi : (1) Sampel yang telah

dikoleksi kemudian dilakukan terhadap panjang dengan satuan mm dan berat dengan

satuan gram, (2) Sampel yang telah diukur kemudian dibedah, gonadnya dikeluarkan kemudian ditimbang secara keseluruhan kemudian diamati untuk menentukan tingkat

kematangan gonadnya menurut Nunez (2006), (3) Sampel yang mencapai tingkat matang

(tingkat IV) gonadnya dibedah untuk kemudian dilakukan pengamatan terhadap oositnya

untuk menghitung fekunditasnya, (4) Fekunditas yang dimaksud adalah total telur yang

ada di dalam gonad sampel yang dihitung dengan menggunakan metoda volumetric dan gravimetric. Data yang terkumpul kemudian dianalisa secara deskriptif dan (5) Musim

pemijahan akan diduga dengan cara mengkorelasikan antara waktu pengamatan dengan

perubahan tingkat kematangan. Variabel yang Diamati. Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari : (1) Morfometrik (panjang, berat, dan tampilan tubuh), (2) Fekunditas (jumlah total oosit/telur

dalam satu gonad), (3) Tingkat Kematangan Gonad (Tingkat kematangan gonad

menggunakan metode penggolongan gonad menurut Nunez ,2006), (4) Ukuran pertama

kali matang gonad dan (5) Dugaan musim pemijahan (dihubungkan dengan serial waktu pengamatan).

Hasil dan Pembahasan

Panjang dan Berat. Panjang total tubuh ikan nipi yang diperoleh selama penelitian

berkisar antara 169 -220 mm dan berat 48,9 – 89 gram. Ukuran tersebut tergolong sebagai

ikan nipi dewasa dan diasumsikan ukuran yang sudah bisa bereproduksi. Berdasarkan kelas

panjang (Gambar 1) diperoleh data bahwa ikan dengan ukuran panjang paling banyak

tertangkap adalah kelas 190 – 199 mm dan kelas 200 – 209 mm sebanyak 45,16% dan

30,65%. Sedang kelas panjang paling sedikit adalah adalah kelas 160 – 169 mm dan kelas

200 – 209 mm masing-masing sebanyak 1,61%.

Page 115: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

105 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 1. Persentase Populasi Berdasarkan Kelas Dengan Rentang 10 mm pada Ikan Nipi

yang Tertangkap di Teluk Kupang

Hasil wawancara langsung dengan nelayan yang biasa menangkap ikan nipi di Teluk

Kupang menyebutkan sangat jarang (bahkan secara pribadi belum pernah) menangkap

ikan nipi ukuran kecil yang dianggap sebagai anak(bibit) ikan nipi. Pendapat yang sama

juga disampaikan oleh bebrapa nelayan dari daerah lain di wilayah Teluk Kupang seperti

Sumba Sabu dan Ende. Hal ini menunjukkan gerombolan populasi (schooling) ikan nipi

yang tertangkap di perairan ini adalah schooling ikan dewasa yang sedang beruaya namun

belum diketahui apakah ruaya tersebut merupakan ruaya jarak jauh atau ruaya jarak dekat

(local migration).

Secara umum ruaya ikan disebabkan oleh factor ketersediaan makanan, tempered

migration, dan strategi reproduksi ikan (Munro 2006). Tidak ditemukannya ikan nipi

berukuran kecil dari hasil tangkapan nelayan memberikan kesimpulan sementara bahwa

ruaya ikan nipu di Teluk Kupang merupakan ruaya strategi reproduksi.

Hasil pengukuran berat ikan nipi yang tertangkap di perairan Teluk Kupang

menunjukkan hal yang sama dengan ukuran panjang dimana berat tertinggi yang diperoleh

adalah 81,7 gram sedang berat terendah adalah 48,9 gram. Penurunan volume produksi

(hasil tangkapan) ikan sering kali dikaitkan dengan penurunan kelimpahan sebagai akibat

dari pemanfaatan yang lebih sehingga dapat mengancam kelangsungan populasi suatu

jenis ikan. Data penurunan produksi ikan nipi di Teluk Kupang belum tercatat pada Instansi

terkait namun pengamatan secara langsung serta hasil wawancara langsung dengan

nelayan setempat menunjukkan bahwa durasi musim penangkapan ikan nipi beberapa

tahun terakhir semakin sempit yakni dari Bulan Juni sampai Agustus dimana sebelumnya

ikan nipi dengan mudah diperoleh di pasar-pasar tradisionil dari Bulan Mei sampai Oktober.

Ukuran berat yang diperoleh selama penelitian tergolong ikan dewasa namun karena

informasi ukuran berat ikan nipi pada tahun-tahun sebelumnya belum dilaporkan, maka

perubahan ukuran yang dikaitkan dengan pemanfaatan yang lebih juga belum dapat

diketahui. Selain itu pemanfaatan ikan nipi oleh masyarakat NTT masih berupa komsumsi

segar dan belum dijadikan produk olahan sehingga permintaan pasar akan ikan nipi ini

belum tergolong sebagai ikan komersil yang diminati. Penilaian masyarakat NTT terhadap

ikan nipi masih tergolong rendah karena seringkali ikan ini menjadi ikan pilihan kedua

setelah jenis ikan lainnya. Dengan kondisi sosial yang demikian maka kemudian dianggap

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

160- 169 170 - 179 180 - 189 191 - 199 200 - 209 210-219 220 - 229

Persen

tase p

op

ula

si

(%

)

Kelas Panjang Ikan

Page 116: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

106 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

bahwa ancaman penurunan populasi ikan nipi bukan karena penangkapan yang berlebihan

tetapi karena faktor lain tetapi mungkin karena faktor lingkungan.

Fekunditas. Fekunditas adalah total oosit (telur) ikan yang terdapat dalam ovary ikan

betina yang sudah matang (Nikolsky, 1967). Hasil pengamatan terhadap fekunditas ikan

nipi yang tertangkap di Teluk Kupang dalam penelitian ini berkisar antara 13.381 – 23.964

butir. Pengamatan hanya dilakukan pada sampel ikan dengan tingkat kematangan TKG IV

sedang tingkat III, II dan I tidak dilakukan penghitungan fekunditas karena butiran-butiran

oosit masih sulit dipisahkan.

Rata-rata jumlah telur menurut kelas panjang menunjukkan hubungan positif dimana

semakin panjang ikan nipi maka fekunditasnya semakin tinggi. Rata-rata fekunditas paling

tinggi berada pada kelas 210 – 219 namun dengan frekwensi terendah. Sedang kelas 200

– 209 merupakan kelompok panjang yang memiliki rata-rata fekunditas paling sedikit

tetapi dengan frekwensi paling tinggi yakni 52%. Dengan kata lain populasi ikan nipi yang

sudah matang lebih banyak berada kelas 200 – 209 tetapi rata-rata fekunditas paling tinggi

justru berada pada kelompok ikan dengan ukuran 190 – 199.

Tabel 1. Rata-Rata Jumlah Telur Ikan (Fekunditas) Ikan Nipi yang Tertangkap di Teluk

Kupang Bersadarkan Kelas Panjang (mm)

Kelas panjang (mm) 190-199 200 - 209 210 - 219

Rata-rata Fekunditas (butir) 19426 19045 21704

Frekwensi (%) 44 52 4

Karakter umum fekunditas ikan seperti yang dinyatakan oleh Nikolsky (1967) bahwa

jumlah telur pada suatu jenis ikan biasanya bertambah jika ukuran badannya bertambah

namun akan berkurang jika ikan tersebut sudah pernah melakukan pemijahan. Begitu juga

dengan hasil pengukuran fekunditas ikan nipi dimana ikan yang berukuran panjang lebih

dari 200 mm memiliki fekunditas yang lebih rendah dibanding ikan nipi yang berukuran

kurang dari 200 mm. Diduga bahwa ikan yang ukurannya lebih besar relatif telah

melakukan pemijahan lebih dari satu kali serta jika dikaitkan dengan faktor genotif (Munro

dan Scott, 2006) maka fekunditas akan semakin menurun dengan meningkatnya

umur ikan.

Kematangan Gonad. Hasil pengamatan kemangan gonad ikan nipi selama penelitian

(Tabel 3) menunjukkan bahwa puncak kematangan gonad (TKG IV) terjadi pada Bulan Agustus. Jumlah ikan yang matang gonad (TKG IV) pada bulan itu mencapai 58,08%

sedang ikan sedang menuju matang gonad tingkat II dan III masing-masing 4,65 % dan

9,51% sedang yang masih tingkat I tidak ditemukan lagi. Hasil wawancara dengan nelayan

setempat menyebutkan bahwa ikan nipi di Teluk Kupang dan beberapa perairan lainnya seperti Sabu dan Atambua sudah mulai ada pada Bulan Mei tetapi masih dalam jumlah

sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa ikan nipi mulai beruaya pada Bulai Mei dan puncaknya

pada Juni - Juli dimana jumlah ikan nipi yang gonadnyanya berada pada tingkat II dan III

pada pada bulan tersebut masing-masing 41,83% dan 54,35%. Jumlah ikan yang

mencapai tingkat II pada Bulan Juni hampir sebanding dengan jumlah ikan yang mencapai tingkat III tetapi kemudian menurun drastis pada Bulan Juli (Tabel 2).

Ukuran ikan nipi yang tertangkap di Perairan NTT rata-rata berukuran dewasa dan

tidak pernah ditemukan yang berukuran kecil, maka diduga populasi ikan beruaya untuk

tujuan reproduksi. Ikan tersebut mulai beruaya ketika memiliki tingkat kematangan gonad pada tingkat II dan III (Tabel 3). Jumlah ikan yang mencapai tingkat II menurun drastis

pada Bulan Juli (Tabel 3), sebaliknya tingkat III meningkat tajam sehingga disimpulkan

Page 117: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

107 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

bahwa selama Juni sampai Juli populasi ikan nipi sangat aktif mencari makanan hingga

pada bulan Agustus tingkat kematangannya meningkat menjadi tingkat IV. Dengan

demikian ikan nipi diperkirakan membutuhkan waktu sekitar sebulan lebih untuk

mematangkan gonadnya di lokasi tujuan hingga menjadi matang kemudian memijah.

Tabel 2. Jumlah Ikan (%) yang Mencapai Tingkat Kematangan Gonad I-V Selama Bulan

Juni Hingga Oktober

TKG Juni Juli Agust Sept Okt

I 2,38 0,69 0 0 0

II 35,00 12,45 4,65 3,21 0

III 41,83 54,35 9,51 14,96 0

IV 20,21 26,26 58,08 29,17 5,56

V 0,58 6,25 27,76 52,71 27,78

Populasi ikan nipi pada Bulan September yang tertangkap sudah berkurang dan pada

awal Oktober jumlah ikan semakin menurun. Jika dikaitkan dengan jumlah ikan yang salin

(tingkat V) pada Bulan September meningkat pesat (52,71%) maka diduga bahwa setelah

mencapai tingkat salin populasi ikan akan kembali ke habitat awal sehingga jumlah

tangkapan menurun drastis pada bulan itu dan yang tersisa adalah ikan-ikan yang belum

sempat memijah dan hingga akhir Oktober tidak ditemukan lagi. Hal tersebut memperkuat

dugaan bahwa ruaya yang dilakukan oleh ikan nila bertujuan untuk bereproduksi, namun

demikian masih memerlukan kajian lebih lanjut mengenai karakter maupun proses

pemijahan untuk mengetahui dimana ikan nipi meletakkan telurnya serta bagaimana

perkembangan larvanya.

Korelasi antara ukuran ikan (panjang-berat) dengan tingkat kematangan gonad

menunjukkan bahwa ukuran ikan paling kecil namun memiliki tingkat kematangan gonad tingkat IV adalah berkisar antara 190 – 199 mm (Gambar 2). Jumlah ikan yang mencapai

Tingkat IV pada ukuran kelas panjang paling kecil (190 – 199 mm) adalah 44%.

Gambar 2. Diagram Persentase Ikan Nipi yang Mencapai TKG tingkat IV Berdasarkan Kelas Panjang (mm)

Musim Reproduksi. Ikan nipi yang tertangkap di wilayah Perairan NTT adalah salah satu

jenis ikan komersil yang memiliki musim penangkapan pada bulan-bulan tertentu yakni dari akhir Mei sampai awal Oktober dan puncaknya pada bulan Juni hingga Agustus. Selain

musim pengakapan tersebut, konsumen tidak akan menemukan ikan nipi di pasar-pasar

yang ada di wilayah NTT. Musim penangkapan ikan nipi hanya terjadi sekali setahun dan

44

52

4

0

10

20

30

40

50

60

190-199 200 - 209 210 - 219

Persen

tase ikan

yan

g

men

cap

ai

TK

G I

V

Kelas Panjang Ikan (mm)

Page 118: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

108 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

waktu musim penangkapan selalu tetap setiap tahunnya. Hal tersebut memberikan

gambaran bahwa ikan nipi ini adalah salah satu jenis ikan yang melakukan ruaya (migrasi).

Berdasarkan lokasi penangkapan ikan nipi yang ada di Teluk Kupang dan perairan lainnya

di NTT mengindikasikan bahwa ruaya ikan nipi mengarah ke perairan yang lebih dangkal sehingga memudahkan nelayan tradisionil untuk menangkapnya.

Seperti telah diketahui bahwa ikan melakukan ruaya karena ketersediaan makanan,

perubahan lingkungan (iklim) dan reproduksi. Berdasarkan hasil pengamatan kondisi

kematangan gonad ikan nipi yang tertangkap (Tabel 3) maka disimpulkan bahwa ikan ini

melakukan ruaya ke perairan yang lebih dangkal untuk tujuan reproduksi. Kesimpulan

tersebut didukung oleh kenyataan bahwa ukuran ikan yang tertangkap seluruhnya adalah

ikan dewasa dan sama sekali tidak ditemukan ikan nipi berukuran kurang dari 160 mm

(Gambar 2).

Gambar 3. Kondisi Tingkat Kematangan Gonad dari Bulan Juni hingga Oktober serta Jumlah

(%) Ikan Nipi pada Masing-Masing Tingkat Kematangan Gonad

Hasil pengamatan kondisi kematangan ikan nipi berdasarkan waktu penangkapan

menunjukkan ikan nipi yang tertangkap di Teluk Kupang matang gonad dan siap memijah

pada bulan Juli Agustus dan September (Gambar 5). Pada bulan Juni jumlah ikan yang

matang (tingkat IV) baru mencapai 20,21 % dari populasi yang tertangkap dan meningkat

terus hingga pada Bulan Agustus menjadi 58,08 % kemudian menurun terus hingga pada Oktober tersisa 5,56%. Jumlah ikan nipi yang sudah memijah/tingkat salin (V) mencapai

puncaknya pada bulan September (52,71%) yang berarti sebagian besar ikan nipi

melepaskan telurnya (memijah) pada akhir Agustus hingga pertengan September. Oleh

karena itu disimpulkan bahwa musim pemijahan ikan nipi yang ada Perairan NTT terjadi pad bulan Agustus-September.

Jumlah ikan nipi yang belum matang gonad pada bulan Juni semakin lama semakin

berkurang hingga Bulan Agustus, sebaliknya jumlah ikan yang matang gonad pada bulan

yang sama semakin meningkat. Adanya perubahan jumlah dan tingkat kematangan gonad ikan nipi yang tertangkap nelayan mengindikasikan bahwa populasi ikan nipi yang telah

sampai pada lokasi tujuan masih memerlukan proses pematangan. Oleh karena itu lokasi

tujuan merupakan lokasi dengan ketersediaan makanan yang cukup sehubungan dengan

jumlah energy yang digunakan untuk proses reproduksi lebih tinggi dibanding proses

fisiologis lainnya. Hingga pada periode reproduksi ikan nipi tahun 2020 dianggap bahwa

2.38

0.69 0 0 0

35.00

12.45

4.65 3.210

41.83

54.35

9.51

14.96

0

20.21

26.26

58.08

29.17

5.560.58

6.25

27.76

52.71

27.78

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

Juni Juli Agust Sept Okt

Prekw

en

si

(%

)

Waktu Pengamatan

I

II

III

IV

V

Page 119: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

109 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Perairan NTT masih memiliki ketersediaan makanan yang cukup sebagai lokasi tujuan

migrasi reproduksi ikan nipi.

Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh disimpulkan bahwa ikan nipi

(Hemiramphus sp) yang tertangkap di Teluk Kupang semuanya adalah ikan dewasa yang

sedang melakukan ruaya atau migrasi reproduksi yang berukuran panjang 169 – 220 mm,

Fekunditas berkisar antara 19000 -22000 butir/ekor/tahun. Musim pemijahan ikan nipi di

Perairan NTT berlangsung dari awal Agustus hingga pertengan September dan terjadi

hanya sekali setahun.

Daftar Pustaka

Collette BB. 2004. Family Hemiramphidae Gill 1859—Halfbeaks. Annotated Checklists of

Fishes No. 22. California Academy of Sciences. 35 pp. Fadhil, R., Z.A. Muchlisin, dan Widyasari, 2016. Hubungan panjang berat dan morfometrik

ikan julung-julung tawar (Zenarchopterus dispar) dari Perairan Pantai Utara Aceh.

Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah Volume 1, Nomor 1: 146-

159. Kawimbang, E., I.J. Paransa, dan M. E. Kayadoe. 2012. Pendugaan stok dan musim

penangkapan ikan julung-julung dengan soma roa di perairan Tagulandang,

Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan

Tangkap 1(1): 10-17. Kemhay, D., D.Sarianto, dan K. Istraianto, 2019. Daerah pengankapan ikan julung-julung

di Perairan Kabupaten Kepulauan Sula dengan alat tangkap minipurse seine. Jurnal

Bluefien Fisheries,1(2)34-40.

Kusumah, R. V., E. Kusrini, M.R. Fahmi, 2016. Biologi, potensi, dan upaya budi daya julung-julung Zenarchopteridae sebagai ikan hias asli Indonesia. Prosiding Seminar Nasional

ke 8. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias. Jakarta. Halaman 303 -

313.

Masengi, S. Pengaruh Komsumsi Makanan Laut Terhadap Kejadian Hipertensi di Desa

Malalayang Dua. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Email: [email protected] Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Sam Ratulangi .

Nikolsky G.V. 1969. The ecology of fishes. Academic Press. New York. B2b p.

Sumlang. 2009. Pendugaan potensi dan analisa musim penangkapan ikan julung-julung dengan soma roa di perairan Selat Bangka Kab. Minahasa Utara. Fakultas Perikanan

dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Supiana, R.M. Putra, Windarti. Analisis Saluran Pencernaan Ikan Julung-julung

(Hemiramphodon pogoghtathus) dari Perairan Umum. Laporan Penelitian Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Riau. 16 halaman.

Suryawan I. G., Mahrus, Karnan, 2016. Studi Karakteristik Morfometrik Ikan Julung-Julung

(Hemiramphus archipelagicus ) Di Daerah Intertidal Teluk Eka. Jurnal Biologi Tropis,

Juli-Desember 2016: Volume 16 (2):37-42

Widodo, J. dan Sunardi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Wuaten, J.F., E. Reppie, I. L. Labaro, 2011. Kajian Perikanan Tangkap Ikan Julung-Julung

(Hyporhamphus affinis) di Perairan Kabupaten Sangihe. Jurnal Perikanan dan Kelautan

Tropis Vol. VII-2, Agustus 2011.

Page 120: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

110 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pengaruh Pemberian Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan Nannochloropsis oculata Skala Intermediate Petrus Paulus Letsoin1, Jane Lulinda Dangeubun2 dan Diana Y. Syahailatua3

1)Laboratorium PakanAlami, Politeknik Perikanan Negeri Tual

2) Laboratorium Histologi, Politeknik Perikanan Negeri Tual 3)Laboratorium Hama dan Penyakit, Politeknik Perikanan Negeri Tual

(Email Korespondensi : [email protected])

Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian pupuk pertanian terhadap pertumbuhan alga Nannochloropsis oculata. Kultur Nannochloropsis sp dalam wadah kontrol menggunakan pupuk

pertanian dengan dosis A. Urea:30 ppm , TSP:10 ppm , ZA: 20 ppm, dosis, B: F2 10 ml dan vitamin 5

ml dan ditambahkan dengan Ekstrak air daun kelor 40 %. C: Urea 30 ppm, ZA: 20 ppm, TSP: 10 ppm yang masing-masing akuarium ditambahkan F2: 4 ml dan Vitamin 2 ml. N.oculata dalam wadah

akuarium dengan volume air sebanyak 50 liter. Pengamatan terhadap pertumbuhan N.oculata diambil

7 titik disetiap akuarium yang sudah dilakukan perlakua,.diiamati dihitung hasilnya. Dari hasil ini disimpulkan bahwa Perlakuan dosis B (pemberian F2 dan vitamin dan penambahan ekstrak daun kelor

sebanyak 40% mampu memacu pertumbuhan sel N.oculata pada media akuarium dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Pendahuluan. Pakan dibutuhkan organisme budidaya untuk memenuhi kebutuhan

basal, pertumbuhan, kesehatan, reproduksi dan kelangsungan hidupnya (Widyaningrum dkk., 2013). Pakan terdiri atas dua yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami

merupakan pakan yang telah tersedia dialam yang berupa mikro/ makro alga dan

mikro/makro benthos. Sedangkan pakan buatan merupakan pakan yang dibuat dari

beberapa komposisi bahan yang dapat ditentukan sendiri menjadi pellet (Romimohtarto, 2004). Pakan alami memiliki kelebihan dari pakan buatan, diantaranya mengandung

nutrien yang tinggi, mengandung enzim pencernaan yang dibutuhkan oleh larva ikan,

memiliki ukuran sesuai dengan bukaan mulut larva ikan, memiliki gerakan yang dapat

merangsang larva ikan untuk memakannya serta mampu berkembang secara cepat dalam waktu yang singkat (Mahmudah dkk., 2015). Kegiatan budidaya perikanan saat ini

mengalami kendala dalam perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan.

Permasalahan yang sering dihadapi adalah tingginya tingkat kematian larva ikan, yang

disebabkan oleh kekurangan makanan pada saat kritis, yaitu pada masa penggantian makanan dari kuning telur (yolksack) ke pakan alami (Yani dkk., 2015)

Mikroalga memiliki peranan penting dalam proses budidaya dan bernilai ekonomis

tinggi mengingat fungsinya sebagai pakan alami bagi produksi massal zooplankton dan

larva ikan (Muhaemin dkk., 2014). Salah satu jenis fitoplankton yang digunakan sebagai

pakan alami pada kegiatan pembenihan organisme budidaya laut adalah Nannochloropsis sp. Mikroalga Nannochloropsis sp. adalah salah satu mikroalga bersel satu yang termasuk

dalam kelas Eustigmatophyceae dan umumnya dibudidayakan di pembenihan ikan sebagai

pakan rotifer. Sel Nannochloropsis sp. mempunyai peranan penting dalam suatu kegiatan

pembenihan karena kandungan nutrisinya yang tinggi (Sleigh, 1989; Bahua dkk., 2015). Nannochloropsis sp. merupakan mikroalga yang menjanjikan secara industri yang

dapat dibudidayakan sebagai sumber nutrisi alternatif karena produktivitasnya yang tinggi,

kandungan protein dan komposisi lipidnya (Chris et al., 2017). Selanjutnya dikatakan

bahwa untuk mendapatkan kualitas kandungan Nannochloropsis sp, perlu diperhatikan kondisi lingkungan dan nutrisi yang dapat dipenuhi oleh Nannochloropsis, sehingga dapat

menghasilkan biomassa sel yang utuh dan memiliki nutrisi yang tinggi. Biomassa mikroalga

telah diterapkan secara luas dalam industri makanan dan pakan untuk bahan kimia bernilai

tinggi misalnya aplikasi farma dan ekologi (Pignolet et al., 2013, Borowitzka, 2013, Lu et

al., 2016).

Page 121: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

111 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Mikroalga memiliki peran penting sebagai pakan alami zooplankton dan larva ikan

karena mempunyai kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan mineral serta asam amino

lengkap. Salah satu mikroalga yang baik untuk pakan zooplankton seperti rotifer adalah

Nannochloropsis sp., karena mempunyai kandungan EPA dan DHA yang tinggi (Wahyuni dkk, 2001). Kandungan nutrisi dari analisis proksimat pada Nannochloropsis sp. adalah

protein 52,11 %, karbohidrat 16,00 % dan lemak 27,64 % (Bentley, 2008). Selain itu

Nannochloropsis sp. juga mudah dibudidayakan dan populasinya cukup tinggi.

Ketersediaan Nannochloropsis sp. secara kontinyu sering menjadi masalah, karena mikroalga ini sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, seperti kurangnya sinar

matahari pada musim hujan, sehingga sulit untuk melakukan kultur massal. Berkurangnya

jumlah kepadatan Nannochloropsis sp., dapat menyebabkan populasi zooplankton (Rotifer)

menurun, yang berdampak pada penurunan populasi larva-larva ikan (Muliono, 2004). Untuk itu perlu dicari cara untuk mengatasi penurunan populasi mikroalga tersebut.

Metode Penelitian

Persiapan Media Kultur Nannochloropsis sp . Media yang digunakan pada penelitian ini adalah air laut kemudian disaring dengan menggunakan filter bag. Air laut yang sudah

disaring kemudian disterilisasi dengan perebusan air sampai mendidih dan bebas dari

kuman. Sterilisasi bertujuan menghilangkan atau meminimalkan keberadaan

mikroorganisme atau zat pengganggu pada media kultur yang akan digunakan selama

penelitian. Menurut Purnawati et al. (2012) sterilisasi dilakukan untuk membuat media tumbuh fitoplankton agar tidak terjadinya kontaminasi

Kultur skala Intermediate. Kultur N. oculata dalam wadah kontrol menggunakan pupuk

pertanian dengan dosis A) Urea 30 ppm, TSP 10 ppm , ZA 20 ppm; B) F2 10 ml, vitamin 5 ml dan ekstrak air daun kelor 40 %; C) Urea 30 ppm, ZA 20 ppm, TSP 10 ppm dan masing-

masing akuarium ditambahkan F2 4 ml dan Vitamin 2 ml. N. oculata dikultur dalam wadah

akuarium dengan volume air sebanyak 50 liter dan dilengkapi dengan lampu Philips TL 40

watt sebanyak 2 unit sebagai sumber cahaya serta diberi aerasi untuk menyediakan oksigen. Bibit atau inokulan yang digunakan sebesar 30% dari total volume air kultur. N.

oculata memerlukan intensitas cahaya antara 2500 –5000 lux (Sasmita et al., 2012).

Pengamatan pertumbuhan sel dilakukan sehari sekali selama 6 hari. Pada hari ke-6

dilakukan pemanenan agar N. oculata dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru.

Hasil dan Pembahasan

Pertumbuhan. Pertumbuhan N. Oculata berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat pada

gambar grafik berikut.

Gambar 1. Grafik Pertumbuhan N. Oculata

0

5

10

15

20

25

0 2 4 6 8Ke

pad

atan

se

l (x1

00

00

00

sel/

ml)

Hari

Pertumbuhan N. oculata

F2

F2+Kelor

Pupuk

Page 122: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

112 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Grafik hasil pengamatan pertumbuhan populasi sel N. oculata yang dikultur skala

laboratorium menunjukkan bahwa perlakuan A (F2 dan vitamin miks) tidak mengalami fase

eksponensial melainkan cenderung menunjukkan terjadinya penurunan pertumbuhan sel.

Perlakuan B (F2, vitamin miks, dan ekstrak daun kelor) fase eksponensialnya terjadi dari hari ke-4 sampai ke-5, sedangkan perlakuan C (pupuk pertanian) grafik pertumbuhannya

cenderung stabil walaupun terjadi fase eksponensial pada hari ke-2 dan ke-3 dengan

jumlah kepadatan sel tidak signifikan. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penambahan

ekstrak daun kelor sebanyak 40% mampu memacu pertumbuhan sel N.oculata karena dapat menyediakan nutrient untuk pertumbuhannya. Wahyuni dkk.,(2019) menyatakan

bahwa penambahan ekstrak daun kelor memberikan pengaruh yang berbeda nyata

terhadap pertumbuhan Dunaliella salina. Walaupun D. salina tidak mampu menyerap

nutrient yang berasal dari ekstrak daun kelor secara optimal. Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan di mana N. oculataI mampu memanfaatkan nutrient yang berasal dari ekstrak

daun kelor dengan optimal sehingga mampu mencapai fase eksponensial pada hari ke-4

sampai ke-5 dengan kepadatan sel 20,8x106 sel/ml.

Pertumbuhan Nannochloropsis sp. erat kaitannya dengan ketersediaan unsur makro

dan unsur mikro (Bahua dkk., 2015). Unsur hara baik mikronutrien maupun makronutrien yang terdapat pada pupuk sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kelangsungan

hidupnya Pupuk nitrophoska atau biasa disebut pupuk NPK merupakan pupuk majemuk

lengkap. Pupuk majemuk adalah pupuk yang mengandung lebih dari satu jenis unsur hara

untuk menambah kesuburan tanah. Pupuk NPK terdiri dari berbagai jenis tergantung dari komposisi nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) yang dikandungnya. Jenis pupuk NPK

yang digunakan adalah jenis pupuk nitrophoska (15-15-15) (Rabumi, 2012) (Sahira dkk.,

2017).

Sel Nannochloropsis sp. berkembang biak secara aseksual dengan cara membelah diri dan membentuk autospora. Setiap sel yang sudah masak akan membelah diri dan

menghasilkan dua dan empat autospora. Hal ini menunjukkan N. oculata mengalami

Pembelahan sel Terjadinya pembelahan sel pada N. oculata diduga pupuk yang diberikan

banyak mengandung nutrien yang dibutuhkan oleh N. oculata (Sahira dkk., 2017). Muhaemin dkk. (2014) mengatakan, keberhasilan budidaya N. oculata sangat ditentukan

oleh pupuk, kualitas air, intensitas dan sanitasi. Hal ini terjadi karena fitoplankton

memanfaatkan unsur hara yang tersedia secara alami dalam media kultur meskipun

tersedia dengan sangat terbatas.

Kualitas Air. Kisaran suhu air selama penelitian adalah 29-30°C. Berdasarkan kisaran

suhu tersebut nampak bahwa suhu air media pemeliharaan berada dalam batas kelayakan

bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup Nannochloropsis sp. (Daulay dkk.(2013);

(Permata 2012)., kisaran suhu 25-30o C menyatakan bahwa, suhu yang diperlukan bagi pertumbuhan Nannochloropsis sp. berkisar 25-32°C. Kisaran salinitas selama penelitian

adalah 29-32 ppt. Kisaran salinitas dapat dikatakan berada dalam keadaan normal.

Widyaningrum dkk. (2013), menjelaskan bahwa Nannochloropsis sp. hidup pada salinitas

antara 25-35 ppt. Keadaan ini menunjukkan tingkat pertumbuhan Nannochloropsis sp. cukup baik. Hirata et.al (1981) menjelaskan bahwa, salinitas akan mempengaruhi laju

pertumbuhan diatom. Nilai pH air selama penelitian adalah 7.6- 7.7 Berdasarkan nilai

tersebut menunjukkan bahwa pH air masih berada dalam batas yang normal.

Mukhlis et al., (2017) menjelaskan bahwa kisaran pH yang optimum untuk

pertumbuhan Nannochloropsis sp. berkisar antara 6,7 – 7,2. Kemudian nilai salinitas pada penelitian ini tetap berada pada nilai optimum untuk pertumbuhan fitoplankton yaitu 30

ppt. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) bahwa salinitas yang optimum berkisar

antara 25-30 ppt

Page 123: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

113 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Kesimpulan. Perlakuan dosis B (pemberian F2 dan vitamin dan penambahan ekstrak

daun kelor sebanyak 40% mampu memacu pertumbuhan sel N.oculata pada media

akuarium dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Daftar Pustaka

Nurita Wahyuni, N., RahardjaB. S., AzharM. H. 2019.Pengaruh pemberian kombinasi

konsentrasi ekstrak daun kelor(Moringa oleifera) dengan pupuk walne dalam media

kultur terhadap laju pertumbuhan dan kandungan karotenoid Dunaliella salina. Journal of Aquaculture Science. Vol 4 (1): 37- 49. ISSN : 2550-0910. DOI:

https://doi.org/10.31093/joas.v4i1.67

Bahua, H., Hendrawan, Y., Yulianingsih, R.2015. Pengaruh pemberian auksin sintetik asam

naftalena asetat terhadap pertumbuhan mikroalga (Nannochloropsis oculata). Jurnal

Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. 3 (2) : 179-186. Daulay, R.M., Patana, P., dan Lesmana, I. 2013. Pengaruh pemberian pupuk ekskresi

cacing tanah (kascing) terhadap kelimpahan Nannochloropsis sp. sebagai pakan alami

ikan

budidaya. Jurnal Akuatika. 1 (1) 158-165. Isnansetyo, A. & Kurniastuty. (1995). Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.

Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Mukhlis, A., Abidin, Z., & Rahman, I. (2017). Pengaruh Konsentrasi Pupuk Amonium Sulfat

Terhadap Pertumbuhan Populasi Sel Nannochloropsis sp. Jurnal Biowallacea, 3(3),149-155.

Permata, I. S & Abdul, M. (2012). Pola Pertumbuhan Nannochloropsis oculata Pada Kultur

Skala Laboratorium, Intermediet, Dan Massal. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan,

4(2), 123 -127. Rabumi, W. 2012. Pengaruh pemberian pupuk nitrophoska elite dan limbah lidah buaya

(Aloe vera) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman lobak (Raphanus Sativus L.)

pada tanah alluvial di polybag. Fakultas Perikanan Universitas Panca Bhakti. Vokasi.

8 (2) : 69-79

Sahira., Wellem H. Muskita., , Oce Astuti., Pengaruh Dosis Pupuk Nitrophoska terhadap Pertumbuhan Nannochloropsis sp. Media Akuatika, Vol.2, No. 4, 494-501, 2017. SSN

2503-4324

Page 124: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

114 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

BIDANG ILMU PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN,

TEKNOLOGI PENANGKAPAN DAN

KONSERVASI PERAIRAN

Page 125: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

114 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pengaruh Lama Trip Layar yang Berbeda Terhadap Mutu

Ikan Tuna (Thunnus sp.) di Pelabuhan Perikanan

Nusantara (PPN) Palabuhanratu Sukabumi – Jawa Barat Muhammad R Suryanto1, Riza B. Pratama2, Pola ST Panjaitan3 dan Yuliati H. Sipahutar4

1,2,3,4)Politeknik Ahli Usaha Perikanan, Jakarta

(Email : [email protected])

Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu ikan tuna (Thunnus sp) yang ditangkap dengan trip harian 6-9 hari (1minggu) dan 10-14 hari (2 minggu). Penelitian dilakukan bulan Maret sampai Mei 2019, di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Sukabumi – Jawa Barat. Metode penelitian dilakukan dengan survei dan observasi langsung, mengikuti penangkapan ikan dengan alat tangkap pancing tonda pada trip 1 minggu dan 2 minggu. Observasi dilakukan pada saat pembongkaran, mengukur suhu palka dan ikan pada saat pembongkaran, mengamati mutu ikan dan mengetahui Kelayakan TPI berdasarkan (No.52A/KEPMEN-KP/2013). Hasil pengamatan menyatakan untuk alur proses penanganan ikan di PPN Palabuhanratu tidak ada proses pencucian, suhu pembongkaran ikan pada kapal trip 1 minggu dan 2 minggu berkisar antara 0,1°C-1,4°C dan 0,1°C–3,7°C Untuk suhu palka pada kapal trip 1 minggu dan 2 minggu adalah berkisar (-0,2°C) – (-1,4°C) dan (-0,1°C) – (-1,2°C). Nilai organoleptik ikan pada trip 1 minggu yaitu 7,83 dan 2 minggu yaitu 7.36. Nilai ALT untuk kapal trip 1 minggu berkisar 8.5 x 103 kol/gr -1.4 x 104 kol/g dan 2 minggu berkisar 2 x 104 kol/gr - 1.8 x 104 kol/g . Hasil pengujian histamin untuk kapal trip 1 minggu adalah 25 ppm dan 2 minggu adalah 50 ppm. Kualitas mutu ikan pada kapal trip 1 minggu lebih bagus dibandingkan kualitas mutu ikan pada kapal trip 2 minggu dan terdapat banyak penyimpangan terhadap sanitasi dan hiegine terutama pada saat pembongkaran ikan hingga ke TPI. Kata Kunci : Mutu, penanganan, suhu, sanitasi dan higiene.

Pendahuluan. Produksi perikanan tangkap berasal dari penangkapan di laut dan

penangkapan di perairan umum. Salah satu Pelabuhan Perikanan Nusantara adalah

Palabuhanratu yang terletak di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Palabuhanratu

merupakan Pelabuhan Perikanan Nusantara yang melayani pendaratan kapal hingga 30 GT

dan merupakan salah satu tempat pusat pelelangan ikan. Berbagai komoditi ikan ada

disana, namun yang dominan adalah jenis ikan tuna (Thunnus sp.) dan merupakan

komoditas ekspor andalan dari Palabuhanratu. Palabuhanratu merupakan salah satu unsur

penting dalam pemanfaatan potensi perikanan di Indonesia. Jumlah produksi ikan tuna

(Thunnus sp.) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu pada tahun 2016 adalah

4.766.768 kg Seiring dengan peningkatan nilai ekspor hasil perikanan Indonesia, harus diikuti

dengan peningkatan terhadap jaminan mutu untuk dapat merebut pasar dunia. Untuk

mencapai sasaran dimaksud, Indonesia dituntut meningkatkan jaminan mutu produk. Ikan

memerlukan penanganan yang tepat dari sejak ditangkap, diolah sampai disajikan di meja

makan. Kondisi ini perlu diperhatikan dari mulai saat pembongkaran ikan, penanganan ikan dan sampai siap disajikan (Purnomo, 2002). Ikan Tuna merupakan salah satu jenis ikan

yang berharga sangat mahal. Oleh karena itu, metode penanganan tuna sangat penting

artinya untuk mendapatkan nilai jual tuna yang sangat tinggi. Untuk mendapatkan kualitas

tuna yang baik, penanganannya sudah dimulai sejak dilakukan penangkapan (Junianto, 2003).

Dalam industri perikanan kesempurnaan penanganan (handling) ikan segar

memegang peranan penting. Baik buruknya penanganan menentukan mutu ikan sebagai

bahan makanan atau bahan mentah untuk pengolahan lebih lanjut. Penanganan ikan segar bertujuan untuk mempertahankan kesegaran ikan dalam waktu selama mungkin.

Setidaknya kondisi ikan masih cukup segar pada saat sampai ke tangan konsumen. Setelah

ikan tertangkap dan diangkut ke atas kapal harus secepat mungkin ditangani dengan baik

dan hati-hati. Selanjutnya ikan disimpan beku, diolah, atau langsung dimasak menjadi

hidangan di meja makan (Eddy Afrianto & Liviawaty, 2003).

Page 126: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

115 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Tempat Pelelangan Ikan merupakan tempat pertama dilakukannya proses transaksi

ikan. TPI ini merupakan salah satu sarana yang disediakan di pelabuhan atau pendaratan

ikan (Lubis, 2012). Tempat Pelelangan Ikan dapat dinilai berdasarkan (No.52A/KEPMEN-

KP/2013). Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh lama trip layar yang berbeda terhadap mutu ikan tuna (thunnus sp.) di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)

Palabuhanratu Sukabumi – Jawa Barat.

Metode Penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2019,

bertempat di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Sukabumi – Jawa Barat, Pengujian dilakkan di Laboratorium Kimia Pangan dan Laboratorium Mikrobiologi, Sekolah

Tinggi Perikanan, Jakarta. Alat yang digunakan adalah Thermocouple, Score sheet ikan

segar sesuai SNI 2719:2013, alat tulis Petridish, pipet, bunsen, plastik steril, inkubator,

oven, erlenmeyer, beaker glass, labu ukur, kapas pengusap steril, stomacher, tabung reaksi, timbangan, waterbath, jarum inokulasi, autoclave, vortex mixer, spatula, hot plate

dan stirre, Timbangan Analitik dengan ketelitian 0,0001 gram, pisau, ulekan, wadah

plastik, gelas ukur 100 ml, spatula, labu takar dan beaker glass, tabung reaksi 12 ml,

vortex, sentrifuse, microplate reader. Bahan yang digunakan yaitu sampel ikan tuna, plat count agar (PCA), larutan butterfield’s phosphate buffered, aquades, sampel ikan tuna,

enrichment solution, aquades

Penelitian dilakukan 15 kali pengamatan dengan 3 kali pengulangan, yaitu pada 15

kapal pancing tonda trip 1 minggu (6-8 hari) dan 15 kapal pancing tonda trip2 mingguan

(9-14 hari). Pengukuran suhu ikan kurisi dilakukan dengan mengambil masing-masing 3 ekor ikan yang berasal dari kapal tonda trip 1 minggu dan 2 minggu yang sedang

melakukan pendaratan menggunakan termometer digital (thermocouple) pada pusat ikan,

dilakukan pada proses pembongkaran sampai distribusi. Pengujian organoleptik dilakukan

15 kali menggunakan score sheet organoleptik ikan segar dilakukan oleh 6 panelis standar pengawas mutu dari PPN Palabuhanratu. Pengujian mikrobiologi dan pengujian TVB

dilakukan sebanyak 2 kali dalam 1 minggu pada sampel ikan tuna yang berasal dari kapal

tonda trip 1minggu dan 2 minggu. Pengujian dilakukan di laboratorium Sekolah Tinggi

Perikanan Jakarta. Analisa data dilakukan dengan diskriptif. Uji organoleptic sesuai SNI 01-2345-2013

(Badan Standardisasi Nasional, 2013c). Pengamatan suhu sesuai SNI 01-2372.1-2006

(Badan Standardisasi Nasional, 2006), Uji TVB sesuai SNI 2354.8 :2009 (Badan

Standardisasi Nasional, 2009) uji mikrobiologi dengan parameter Angka Lempeng Total (ALT) sesuai SNI 01-2332-2015 (Badan Standardisasi Nasional, 2015). Uji histamin sesuai

SNI 2354.10:2016 (Badan Standardisasi Nasional, 2016).

Hasil dan Pembahasan

Pembongkaran Ikan pada Kapal Pancing Tonda

Pendaratan Kapal. Produksi Ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara

Palabuhanratu berasal dari hasil tangkapan kapal-kapal ikan domisili (Palabuhanratu) dan

kapal-kapal ikan pendatang diantaranya berasal dari Cilacap, Jakarta dan Binuangeun

(Banten). Secara spesifik jenis ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara

Palabuhanratu didominasi oleh jenis ikan tuna (yellowfin Tuna), ikan pedang, setuhuk,

cakalang, tongkol, layur, peperek dan eteman. Adapun daerah penangkapan ikan bagi

nelayan yang menggunakan fishing base port-nya Pelabuhan Perikanan Nusantara

Palabuhanratu antara lain perairan Teluk Palabuhanratu, Cisolok, Ujung Genteng, perairan

sebelah Selatan Pulau Jawa dan sebelah Barat Pulau Sumatera.

Page 127: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

116 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Ada beberapa prosedur yang harus dilalui ketika kapal melakukan tambat labuh.

Kapal-kapal yang masuk seharusnya melaporkan kapalnya ke pusat informasi yang berada

di dekat dermaga pelabuhan untuk menyerahkan log book yang diberikan oleh pihak

pelabuhan sebelum kapal tersebut berlayar, tetapi kenyataan yang dilihat di lapangan

kapal-kapal tersebut tidak menjalankan prosedur yang telah disampaikan oleh pihak

pelabuhan. Kapal yang masuk menyerahkan log book dan melaporkan kapalnya pada saat

proses pembongkaran telah selesai dilakukan (Nainggolan, 2007).

Sistem jual beli yang dilakukan di PPN Palabuhanratu yaitu pembeli/pengepul

langsung datang ke tempat pelelangan ikan untuk melihat keadaan ikan dan melakukan

tawar menawar harga ke pemilik kapal (yang mempunyai kapal) atau pemilik modal yang

memodali kapal berlayar. Rata-rata kapal yang melakukan tambat labuh di PPN Palabuhanratu yaitu sekitar 1-4 kapal setiap harinya, tergantung dari musim ikan dan

cuaca (hasil wawancara dengan nelayan). Kapal yang masuk di PPN Palabuhanratu

melakukan tambat labuh di TPI (tempat pendaratan ikan), apabila TPI tersebut telah penuh

maka kapal-kapal yang baru masuk melakukan pendaratan di dermaga I atau II pelabuhan. Pendaratan kapal di TPI PPN Palabuhanratu dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pendaratan Kapal di PPN Palabuhanratu

Pendaratan kapal di PPN Palabuhanratu melalui beberapa tahap sebelum ikan tersebut

di bawa ke TPI PPN Palabuhanratu. Tahapan penanganan ikan di PPN Palabuhanratu mulai

dari pendaratan kapal hingga ke tempat pelelangan ikan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Penanganan Ikan Mulai dari Pendaratan Kapal Hingga ke TPI

Menurut SNI 2729:2013 tahapan penanganan ikan mulai dari pendaratan kapal hingga

ke TPI adalah pembongkaran, penyortiran, penimbangan dan pelelangan.

Page 128: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

117 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pembongkaran Ikan. Proses pembongkaran ikan bisa dilakukan pada pagi hari ± jam

05.00 sampai dengan sore hari ± jam 16.00 tergantung dari waktu pendaratan kapal.

Kapal yang masuk pada malam hari biasanya melakukan pembongkaran pada keesokan

paginya. Lama proses pembongkaran per kapal ± 1 jam, tergantung banyaknya jumlah ABK yang melakukan proses pembongkaran. Proses pembongkaran ikan dilakukan di

tempat yang dingin atau teduh agar ikan tidak terkena sinar matahari langsung (Murniyati

& Sunarman, 2000).

Jumlah ABK/tenaga pembongkar yang biasa melakukan proses pembongkaran adalah ± 4-6 tenaga untuk 1 kapal tonda. Proses pembongkaran dimulai dengan para ABK/tenaga

pembongkar membuka tutup palka, kemudian mengangkat sisa-sisa bongkahan es yang

masih ada di bagian atas ikan pada palka dan membuangnya ke laut. Ikan dimasukkan ke

dalam keranjang yang telah diikat menggunakan tali, kemudian ikan tersebut dinaikkan ke atas dek kapal.

Kegiatan pembongkaran ini dilakukan secara manual dengan bantuan tenaga manusia

dan alat bantu berupa keranjang yang diikat dengan tali untuk mempermudah proses

pengangkutan ikan ke atas dek kapal . Proses pembongkaran ikan hasil tangkapan dapat

dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Pembongkaran Ikan Hasil Tangkapan di PPN Palabuhanratu

ABK kapal masuk ke dalam palka menggunakan sepatu boot sehingga ikan yang berada dalam palka terinjak-injak oleh ABK yang mengakibatkan terjadi kerusakan fisik

pada ikan. Tingkat kesadaran nelayan dan pekerja mengenai mutu dan kualitas ikan masih

sangat jauh. Banyak ikan yang mengalami kerusakan fisik pada saat pembongkaran ikan

dari palka. Pada tahap pembongkaran diusahakan jangan sampai ikan terinjak-injak, terlempar atau tertimpa bongkahan es yang besar sebab akan melukai badan ikan, maka

bakteri pembusuk yang banyak terdapat pada kulit ikan (dalam lendir) akan cepat menular

masuk kedalam badan ikan (Suwetja, 2011). Semakin banyak hasil tangkapan yang

didapat, maka proses pembongkaran akan semakin lama. Lamanya proses pembongkaran akan berpengaruh terhadap mutu dan kualitas ikan yang didapat (Markenih, 2016).

Suhu yang paling baik bagi pertumbuhan mikroba disebut suhu optimum

pertumbuhan, sedangkan suhu terbaik untuk kecepatan reaksi enzim disebut suhu aktifitas

optimum. Bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik pada suhu rendah, maka usaha orang

untuk menghambat atau menghentikan kegiatan bakteri adalah dengan peng-es-an ikan segar agar suhu ikan tetap terjaga. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

bakteri pada ikan adalah suhu. Penanganan ikan segar diusahakan suhu ikan selalu

mendekati 0˚C, dijaga jangan sampai suhu ikan naik misalnya terkena sinar matahari

langsung atau kekurangan es (Afrianto & Liviawati, 2010).

Penyortiran. Penyortiran dilakukan di atas dek kapal atau dermaga dengan cara

memisahkan ikan menurut jenis, ukuran dan kualitasnya ke dalam keranjang yang sudah

disiapkan oleh para pembeli. Ikan disortir menurut jenis dan ukuran ikan. Kegiatan

Page 129: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

118 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

bertujuan untuk memudahkan dalam proses penjualan (Sitorus & Sipahutar, 2018).

Penyortiran menurut kualitas terbagi dalam berapa grade yaitu A (sangat baik), B (baik),

C (standar), D (reject). Grade A dan B biasanya langsung dibawa UPI, grade C dibawa

kepasar-pasar lokal dan grade D langsung diambil oleh pengepul untuk dijadikan bahan baku pembuatan pakan ikan (pelet) (Anggraeni, Nurjanah, Asmara, & Hidayat, 2019).

Tujuan sortasi dimaksudkan agar didapatkan mutu, jenis dan ukuran ikan yang sesuai.

Sortasi juga akan mempermudah tindakan penanganan mutu ikan dimana ikan yang sudah

kurang baik mutunya tidak akan mengkontaminasi ikan yang masih baik kondisinya.

Gambar 4. Penyortiran Ikan di Tempat Pendaratan Ikan

Penimbangan. Ikan yang telah disortir langsung dibawa oleh pekerja ke tempat

pelelangan ikan, kemudian dilakukan penimbangan oleh petugas. Proses penimbangan ini

bertujuan untuk mengetahui berapa banyak (kg) produksi ikan hasil tangkapan nelayan

pada saat itu. Timbangan yang digunakan adalah timbangan gantung atau timbangan dacin

dengan kapasitas 100 kg yang disediakan oleh pihak tempat pelelangan ikan. Sebelum

dilakukan pengemasan oleh pengepul setempat atau pembeli dari luar kota, ikan yang telah

ditimbang diletakkan di tempat pelelangan ikan.

Gambar 5. Proses Penimbangan Ikan Tuna

Tempat Pelelangan Ikan. Proses pelelangan di PPN Palabuhanratu sangat jarang karena

sebagian besar ikan hasil tangkapan sudah dibeli terlebih dahulu oleh para agen/

pemborong yang ada di sana juga dipengaruhi cuaca dan musim ikan, tetapi ada juga para

nelayan yang menjual hasil tangkapannya langsung kepada para pembeli. Petugas yang

terdapat di Tempat Pelelangan Ikan hanya bertugas untuk menimbang kemudian mencatat

Page 130: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

119 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

jumlah hasil tangkapan dan menjadi juru lelang ikan yang didaratkan di PPN

Palabuhanratu. Selain itu pihak agen/pemborong yang mau mengikuti proses pelelangan

wajib membayar uang retribusi kapada pihak TPI sebesar 0,5 % dari harga ikan yang akan

dilelang. Kerusakan fisik yang terjadi ditempat pelelangan ikan hampir sama pada saat

pembongkaran, yaitu karena penanganan yang kurang baik ditambah lagi dengan faktor

sanitasi dan higiene yang kurang mendukung sehingga proses penurunan mutu hasil

tangkapan akan lebih mudah terjadi (Litaay, Hari Wisudo, & Arfah, 2020).

Gambar 6. Proses Pelelangan Ikan di TPI

Pengamatan Suhu. Suhu ikan dapat menjadi penentu sebagai indikator baik atau buruknya penanganan ikan, sehingga pengukuran suhu ikan hasil tangkapan dilakukan

pada setiap tahap penanganan. Menurut SNI 7788:2013 (Badan Standardisasi Nasional,

2013b)), untuk jenis ikan scombroid, suhu harus tetap dipertahankan 0oC – 4,4oC pada

setiap tahapan proses untuk menghambat peningkatan histamin.

Tabel 1. Suhu Ikan Pada Waktu Pembongkaran

Lama Operasi Suhu Ikan Pada Waktu

Pembongkaran (ºC) SNI 7788:2013

6-8 hari 0,1 – 1,4 4,4 ºC 9-14 hari 0,1 – 3,7

Suhu ikan pada saat pembongkaran dengan kapal yang beroperasi selama 1 minggu

adalah 0,1ºC – 1,4ºC sehingga mutu ikan masih dikatakan segar karna suhu ikan masih

mendekati 0⁰C dan pada kapal yang beroperasi selama 2 minggu adalah 0,1ºC – 3,7ºC

sehingga mutu ikan sudah hampir mendekati suhu yang sudah dikatakan tidak segar lagi

yaitu 4,4⁰C namun masih layak untuk dikonsumsi. Es yang dipakai jangan merupakan

bongkahan- bongkahan es yang besar, sebab ini dapat menyebabkan ikan tergencet dan

memar.

Penelitian (Sipahutar, Kristiany, Napitupulu, & Syaifudin, 2018) menunjukkan rata-

rata suhu ikan kurisi yang dibongkar pada kapal cantrang trip harian lebih tinggi daripada

trip mingguan yakni 5,3 °C pada kapal trip harian dan 5,0 °C pada kapal trip mingguan.

(Sugiono, Masengi, & Sipahutar, 2018) Perbedaan lama operasi dan perlakuan sangat

berpengaruh terhadap mutu ikan. Jumlah atau kenaikan suhu yang tinggi dapat

mempercepat proses pembusukan (rigormortis) dan mempercepat proses histidin menjadi

histamin (Suwetja, 2013). Salah satu faktor yang mempengaruhi suhu atau kesegaran

pada ikan adalah penanganan ikan yang kurang baik. Tetapi nilai tersebut sudah sesuai

standar penyimpanan dingin yang disyaratkan karena suhu pusat ikan maksimal yang

Page 131: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

120 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

diinginkan 4,4 oC, maka suhu penyimpanannya harus di bawah suhu 4,4 oC untuk mencapai

suhu yang diinginkan (Sugiono et al., 2018).

Suhu palka yang rendah didapatkan akibat es yang terbuat dari air garam. Es yang

terbuat dari air garam dapat membeku pada suhu minus dan salinitas air garam lebih tinggi

dibandingkan air biasa. Suhu palka pada kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu

sangat berpengaruh untuk mutu ikan. Suhu ikan tuna (thunnus sp.) jika tidak terjaga

dengan tepat akibat suhu palka yang tinggi, maka histidin dalam daging tuna (thunnus

sp.) akan diubah oleh bakteri menjadi senyawa toksik yang disebut histamin. Setelah ikan

mati, dipengaruhi oleh kenaikan suhu, bakteri mulai berkembangbiak dengan sangat pesat

dan menyerang tubuh ikan (Murniyati dan Sunarman, 2000). Proses pembentukan

histamin pada ikan sangat ditentukan oleh aktivitas enzim histidin dekarboksilase yang

dihasilkan dari bakteri pembentukan histamin. Jumlah histamin yang diproduksi dari

histidin sangat tergantung pada jumlah enzim yang berada disekitarnya, jumlah enzim

sangat bergantung pada jumlah bakteri yang hidup dan berkembang biak (Kalantari,

Benfar, Nazari, Kalatari, & Hosseini, 2015).

Suhu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi mutu. Penerapan suhu

rendah sangat penting dalam pengolahan ikan karena pada pengolahan suhu rendah

pertumbuhan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan dapat diperlambat (Junianto, 2003).

Pengamatan Mutu

Pengujian Organoleptik. Pengamatan organoleptik dilakukan bertujuan untuk

mengetahui tingkat kesegaran ikan seperti kenampakan (mata, insang, lendir), daging, bau dan tekstur. Penetapan kemunduran mutu ikan secara subyektif (organoleptik)

dilakukan dengan menggunakan score sheet ikan segar berdasarkan SNI 2729: 2013

(Badan Standardisasi Nasional, 2013a). Penilaian organoleptik yaitu dilakukan dengan 6

panelis standar. Penilaian dilakukan dengan menilai lembar score sheet organoleptik ikan segar pada saat pembongkaran dengan menilai mata, insang, lendir, daging, bau, dan

tekstur.

Tabel 2. Nilai Rata-Rata Organoleptik Ikan Tuna (Thunnus sp)

Lama layar Nilai Rata-rata SNI 2719:2013

1 minggu (6-8 hari) 7,83 7

2 minggu (9-14 hari) 7,36

Nilai rata-rata organoleptik ikan tuna (thunnus sp.) pada saat pembongkaran dari

palka pada kapal yang beroperasi 1 minggu adalah 7,83 dan kapal yang beroperasi 2 minggu adalah 7,36. Berdasarkan pengamatan organoleptik yang dilakukan terhadap ikan

tuna (thunnus sp.) pada saat pembongkaran di PPN Palabuhanratu memiliki nilai rata-rata

organoleptik semakin menurun ketika pengoperasian kapal semakin lama dan proses

penanganan yang tidak baik diatas kapal Rendahnya nilai organoleptik ikan di dapat akibat proses penanganan ikan yang tidak

baik. Nilai rata-rata organoleptik pada setiap kapal masih memenuhi standar bahan baku

ikan segar yang ditetapkan yaitu 7 (SNI 2719:2013). Menurut (Pianusa, Sanger, &

Wonggo, 2016), mutu atau kualitas ikan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, metode atau cara penangkapan dan pendaratan ikan termasuk juga jarak pengangkutan

dari tempat penangkapan ke tempat pendaratan, keadaan cuaca terutama suhu.

Mutu ikan dapat dipengaruhi oleh alat tangkap, waktu kematian ikan, dan kondisi ikan

(Metusalach, Kasmiati, Fahrul, & Jaya, 2012). Ikan yang tidak banyak berontak ketika

ditangkap atau sebelum mati, kesegarannya akan lebih tahan lama daripada ikan yang

Page 132: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

121 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

lama berontaknya. Ikan yang dipancing kesegarannya lebih lama dibandingkan ikan yang

terjaring, karena ikan hasil tangkapan jaring tercampur dan tergencet bersama udang,

kotoran, lumpur, serta segala benda yang berasal dari dasar laut waktu jaring ditarik hal

ini sangat mempengaruhi mutu ikan tersebut. Ikan yang banyak berontak sebelum mati akan mengalami kondisi keadaan kaku (rigormortis) lebih cepat dibanding ikan yang tidak

banyak berontak. Makin banyak ikan berontak makin cepat mengalami kekakuan dan juga

makin pendek daya simpannya, berbeda dengan ikan yang tidak banyak berontak dan lebih

cepat mati akan memiliki daya simpan yang lebih lama (Sipahutar & Napitupulu, 2018) Kondisi kesegaran ikan tuna (thunnus sp.) dalam kategori masih baik, karena hasil

tangkapan dalam keadaan segar. Kesegaran ikan dipertahankan dengan menggunakan es

balok yang dihancurkan dengan sistem bulking. Nelayan menambahkan es di bagian atas

palka, untuk mempertahankan suhu ikan <4,4ºC selama penangkapan sampai dengan pembongkaran dari palka di pelabuhan. Menurut Pianusa et al., (2016), baik dan tidaknya

mutu bahan baku dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat digolongkan menjadi dua

kategori, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Untuk hasil-hasil perikanan, faktor

intrinsik yang berperan adalah sifatnya yang dipengaruhi gen (pembawa sifat), umur, jenis

kelamin, jenis (spesies) sedangkan faktor ekstrinsik adalah perlakuan-perlakuan yang dikerjakan oleh manusia terhadap bahan, misalnya cara-cara penangkapan ikan,

pendaratan, pengesan, penyiangan, pencucian, pendinginan, pembekuan dan sebagainya.

Pengujian Angka Lempeng Total (ALT). Pengujian mikrobiologi Angka Lempeng Total (ALT) yang dilakukan berdasarkan (SNI 01-2332.3-2006)

Tabel 3. Kisaran Nilai Pengujian ALT Ikan Tuna (Thunnus sp.)

Lama layar Jumlah ALT kol/g SNI 01-2332-2006

1 minggu (6-8 hari) 8.5 x 103 kol/gr -1.4 x 104 kol/g

5 x 10⁵ kol/g 2 minggu (9-14 hari) 1.2 x 104 kol/gr - 1.8 x 104 kol/g

Nilai pengujian ALT pada saat pembongkaran dari palka dengan lama operasi kapal 1

minggu berkisar 8.5 x 103 kol/gr -1.4 x 104 kol/g dan lama operasi kapal 2 minggu berkisar 1.2 x 104 kol/gr - 1.8 x 104 kol/g. Nilai ALT pada saat pembongkaran dari palka dengan

lama operasi 1 minggu dan 2 minggu masih lebih kecil dibandingkan dengan standar

jumlah total bakteri untuk ikan segar (SNI 01-2332.3-2006) yaitu 5.0 x 105 kol/gr.

Menurut Sipahutar, Siregar, Panjaitan, & Satria, (2019) Semakin tinggi ALT maka penanganan ikan tidak baik sehingga dapat mempercepat proses pembusukan.(Badan

Standardisasi Nasional, 2016). Selanjutnya Sumardika, Saputra, & Basino (2014)

mengatakan bahwa ikan yang disimpan pada deret suhu rendah yang berkisar antara 2-0

derajat Celcius membuat perkembangan bakteri jauh berkurang yang menyebabkan daya

awet ikan dalam keadaan wajar dengan rentang waktu 2-5 hari.

Histamin. Prosedur Pengujian Histamin yang diaksanakan adalah metode HistaStrip Test

Manual Produksi Bioo Scientific. Prinsip pengujian histamin dengan metode HistaStrip ini

adalah metode semi kuantitatif dengan menggunakan test kit metode perbandingan warna dengan range ±25 ppm (0, 25, 50,75 dan 100 ppm). Nilai rata-rata pengujian histamin

ikan tuna (Thunnus sp.) dengan kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu pada saat

pembongkaran dapat dilihat pada Tabel 4.

Page 133: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

122 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Tabel 4. Nilai rata-rata Pengujian Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.)

Lama layar Jumlah Histamin (ppm) Standar SNI 06-2569:1992

1 minggu (6-8 hari) 25 ppm Max. 100 ppm

2 minggu (9-14 hari) 41 ppm

Nilai rata-rata pengujian kandungan histamin ikan tuna (Thunnus sp.) pada proses pembongkaran dari palka sebesar 25 ppm untuk kapal yang beroperasi 1 minggu dan

untuk kapal yang beropersi 2 minggu sebesar 41 ppm. Berdasarkan nilai sampel pada saat

pembongkaran ikan dengan kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu menunjukkan

bahwa sampel masih memenuhi standar sesuai SNI 2354.10:2016 (Badan Standardisasi Nasional, 2016) Suhu sangat berpangaruh pada kadar histamin. Histamin dapat terjadi

tergantung penanganan dan jumlah es yang dipakai selama penyimpanan ikan. Histamin

terjadi akibat penanganan yang kurang baik, sehingga terjadi kenaikan suhu diatas 4,4⁰C.

Bakteri-bakteri yang bisa menghasilkan enzim histidin dekarboxilase seperti bakteri proteus morganela morgani akan menghasilkan enzim histidin dekarboxilase. Enzim

histidin dekarboxilase akan merubah protein di dalam tubuh ikan (Suwetja, 2011). Protein

yang berubah adalah protein histidin menjadi histamin. Menurut Nurjanah (2011), histamin

tidak akan terbentuk selama ikan tetap disimpan pada suhu <4,4ºC.

Jumlah es yang dibawa oleh kapal dan lama operasi maupun cara penanganan sangat mempengaruhi kandungan histamine pada ikan. Pada kapal yang beroperasi 1 minggu

membawa 40-60 balok es sedangkan kapal 2 minggu membawa 40-80 balok es. Untuk

berat 1 balok es yaitu berkisar 20-30 kg. Untuk perbandingan jumlah es pada kapal yang

beroperasi 1 minggu dan 2 minggu adalah sama. Lama operasi berpengaruh ketika jumlah es yang dibawa sudah habis maka tidak ada penambahan es terhadap palka maupun ikan

sehingga suhu palka naik dan dapat mempercepat proses histidin menjadi histamin.

Senyawa histamin terbentuk karena dekarboksilase dari asam amino histidin oleh

bakteri. Hal ini dapat terjadi pada produk ikan basah karena keterlambatan dalam penjagaan mutunya. Bakteri pembentuk histamin terdapat pada permukaan kulit ikan

segar. Bakteri tersebut termasuk jenis bakteri proteus morganii. Jumlah maksimum akan

terjadi pada suhu badan ikan 20ºC sedangkan pada suhu 0ºC pembentukan histamin sudah

terhenti. Ikan berdaging gelap menghasilkan lebih banyak histamin dari pada ikan

berdaging putih.

Kesimpulan. Alur proses penanganan ikan di PPN Palabuhanratu baru mencapai 75%

dari SNI 2729:2013 karena belum ada proses pencucian. Selanjutnya suhu pembongkaran

ikan berkisar antara 0,1°C - 1,4°C dan 0,1°C – 3,7°C pada kapal yang beroperasi 1 minggu

dan 2 minggu, masih memenuhi standart SNI 2729:2013 yaitu max 4,4°C. Untuk suhu palka pada kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu adalah berkisar (-0,2°C) –

(-1,4°C) dan (-0,1°C) – (-1,2°C). Selain itu, nilai organoleptik ikan pada kapal yang

beroperasi 1 minggu yaitu 7,83 dan 2 minggu adalah 7,36, masih berada pada nilai standar

SNI 2719:2013 yaitu min 7. Nilai ALT untuk kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu masih memenuhi standart SNI 01-2332.3-2006 yaitu max 5 x 105 kol/gr. Hasil pengujian

histamin untuk kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu adalah 25 ppm dan 50

ppm, masih memenuhi standar SNI 06-2569:1992 yaitu max 100 ppm. Kualitas mutu ikan

pada kapal yang beroperasi 1 minggu lebih bagus dibandingkan kualitas mutu ikan pada kapal yang beroperasi 2 minggu.

Page 134: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

123 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Daftar Pustaka

Afrianto, E, & Liviawati, E. (2010). Penanganan Ikan Segar. Bandung: Widya Pajajaran.

Afrianto, Eddy, & Liviawaty, E. (2003). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius.

Anggraeni, D., Nurjanah, N., Asmara, D. A., & Hidayat, T. (2019). Kelayakan industri

pengolahan ikan dan mutu produk UMKM pindang Tongkol di Kabupaten Banyuwangi.

Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 22(1), 14.

https://doi.org/10.17844/jphpi.v22i1.25870 Badan Standardisasi Nasional. Cara uji fisika – Bagian 2: Penentuan suhu pusat pada

produk perikanan., Pub. L. No. SNI 01-2372.1-2006 (2006). Jakarta: BSN.

Badan Standardisasi Nasional. Penentuan Kadar Total Volatil Base Nitrogen (TVB-N) dan

Trimetil Amin Nitrogen (TMA-N) pada Produk Perikanan SNI 2354.8:2009, Pub. L. No. SNI 2354.8 :2009 (2009). Indonesia: BSN.

Badan Standardisasi Nasional. Ikan segar, Pub. L. No. SNI 2729:2013 (2013). Indonesia:

BSN.

Badan Standardisasi Nasional. Penanganan ikan di atas kapal - Cakalang segar di kapal huhate (pole and liner) (2013). Indonesia.

Badan Standardisasi Nasional. Uji Organoleptik Ikan Segar, Pub. L. No. SNI 01-2345-2013

(2013). Indonesia: BSN.

Badan Standardisasi Nasional. Cara Uji Mikrobiologi Bagian 3: Penentuan Angka Lempeng

Total (ALT) pada Produk Perikanan, Pub. L. No. SNI 01-2332.3-2015 (2015). Indonesia: BSN.

Badan Standardisasi Nasional. Cara uji kimia – Bagian 10: Penentuan kadar histamin

dengan spektroflorometri dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) pada produk

perikanan, Pub. L. No. SNI 2354.10:2016 (2016). Indonesia: BSN. Junianto. (2003). Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Kalantari, H., Benfar, A., Nazari, Z., Kalatari, M., & Hosseini, H. (2015). Occurrence of

Histmine in Canned TunaFish Produced od Two Major Manufactories in Khuzestan and

Province By HPLC Method. Int. J. Curr. Res. Chem. Pharma. Sci., 2(10), 9–15. Litaay, C., Hari Wisudo, S., & Arfah, H. (2020). Penanganan Ikan Cakalang oleh Nelayan

Pole and Line. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 23(1), 112–121.

https://doi.org/10.17844/jphpi.v23i1.30924

Lubis, E. (2012). Pelabuhan Perikanan. (IPB Press, Ed.). Bogor. Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higienitas serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan

yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Blanakan, Subang. Institut Pertanian

Bogor.

Metusalach, Kasmiati, Fahrul, & Jaya, I. (2012). Analisis Hubungan antara Cara

Penangkapan dan Cara Penanganan dengan Kualitas Ikan yang dihasilkan. Murniyati, & Sunarman. (2000). Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan.

Yogyakarta: Kanisius.

Nainggolan, C. (2007). Metode Penangkapan Ikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Pianusa, A. F., Sanger, G., & Wonggo, D. (2016). Kajian perubahan mutu kesegaran ikan tongkol (Euthynnus Affinis) yamg direndam dalam ekstrak rumput lautT (Eucheuma

spinosum) dan ekstrak buah bakau(Sonneratia alba). Media Teknologi Hasil

Perikanan, 4(2), 66. https://doi.org/10.35800/mthp.4.2.2016.12927

Purnomo. (2002). Teknologi Pengolahan Ikan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.

Sipahutar, Y. H., Kristiany, M. G. E., Napitupulu, R. J., & Syaifudin, K. (2018). Pengaruh

Lama Trip Layar Yang Berbeda Terhadap Mutu Ikan Kurisi (Nemipterus

Nematophorus) di PPN Brondong. Seminar Nasional Tahunan XV Hasil Penelitian

Perikanan Dan Kelautan, 19–30.

Page 135: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

124 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Sipahutar, Y. H., & Napitupulu, R. J. (2018). Fish Losses (Susut Hasil) Ikan Tuna Sirip

Kuning (Thunnus Albacares) di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi Kabupaten

Trenggalek, Jawa Timur. In Prosiding Seminar Nasional Kelautan XIII (pp. 38–50).

Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya. Sipahutar, Y. H., Siregar, A. N., Panjaitan, T. F., & Satria, K. (2019). Pengaruh Penanganan

Terhadap Laju Rigormortis Ikan Tongkol Berdasarkan Alat Tangkap Purse Seine di

Pelabuhan Perikanan Lampulo, Aceh. In Prosiding Seminar Nasional Kelautan XIV (pp.

10–19). Surabaya: Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah. Sitorus, T. M. R., & Sipahutar, Y. H. (2018). Penanganan Ikan tenggiri(Scomberomorus

commerson) pada alat tangkap Pancing Ulur dan Gill Net di Pelabuhan Perikanan

Nusantara (PPN) Sungailiat, Kabupaten Bangka. In Prosiding Seminar Nasional

perikanan dan Penyuluhan (pp. 511–523). Masyarakat Iktiologi Indonesia. Sugiono, Masengi, S., & Sipahutar, Y. H. (2018). Fish losses Hasil Tangkapan ikan cakalang

(Katsuwonus pelamis) pada Kapal Pole and Line di Sulawesi Utara. Teknologi Dan

Penelitian Terapan STP, 21(1), 8–18.

Sumardika, P., Saputra, A., & Basino. (2014). Penanganan dan Penyimpanan ikan Hasil

Tangkapan. Jakarta: STP Press. Suwetja, I. K. (2011). Biokimia Hasil Perikanan. Jakarta: Media Prima Aksara.

Suwetja, I. K. (2013). Indeks Mutu Kesegaran Ikan. Malang: Bayumedia Publishing.

Page 136: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

125 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Analisis Hasil Tangkapan Berdasarkan Daerah Penangkapan Ikan Hiu Yang Didaratkan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat Wahida1, Faisal Amir2 dan Ilham Jaya3

1,2,3)Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan/Universitas Hasanuddin, Jln. Perintis

Kemerdekaan, KM 10 Tamalanrea, 90245, Makassar, Indonesia.

(Email: [email protected] ; [email protected] ; [email protected])

Abstrak - Hiu di Selat Makassar yang dieksploitasi oleh nelayan di Kabupaten Majene meliputi dpi

perairan continental shelf, karang, dan oseanik. Tujuan penelitian menganalisis hasil tangkapan (berat dan ekor) hiu per jenis kelamin berdasarkan daerah penangkapan yang didaratkan di Kabupaten Majene.

Penelitian dilakukan pada Agustus hingga Oktober 2020 dengan mengumpulkan data pada tiga tempat pengepul di Majene, Sulawesi Barat. Penentuan spesies mengacu pada Compagno (1998), Ellen

(1999),Fahmi dan Dharmani (2013). Berat setiap hasil tangkapan ditimbang insitu dengan satuan

terkecil 50 g dan 200 g dan penentuan jumlah ekor dengan pencacahan dari data hasil tangkapan. Penentuan daerah penangkapan dilakukan dengan memplotkan seluruh titik koordinat dari setiap kapal

penangkap yang beroperasi dengan menggunakan software ArcGis 10,5. Penentuan kisaran berat dan

berat rata-rata hasil tangkapan total dari setiap DPI dianalisis dengan ANOVA p<0.05 dengan uji lanjut Tukey melalui software spss versi 16. Hasil penelitian diperoleh 332 ekor terdiri dari 8 spesies didominasi

carharhinus brevepinna (40,06%). Kisaran ukuran berat dan berat rata-rata hasil tangkapan setiap DPI diperoleh 0,6–80,0 kg (13,33±23,5 kg), 0,8–4,4 kg (1,8±1,05 kg), dan 0,8–61,0 kg (19,09±32,19 kg)

masing-masing untuk dpi perairan oseanik, dpi perairan karang, dan dpi perairan oseanik. Jumlah ekor

hasil tangkapan dari setiap DPI adalah 214 ekor (64,46%), 12 ekor (3,61%), dan 106 ekor (31,93%) masing-masing untuk dpi continental shelf, dpi perairan karang, dan dpi perairan oseanik.

Simpulan ada 8 spesies hasil tangkapan didominasi Carharhinus brevepinna. Ukuran berat rata-rata terbesar pada dpi perairan oseanik dibanding dpi perairan continental shelf dan karang, sedang dpi

perairan continental shelf dan karang tidak berbeda.

Kata Kunci : Hiu, Daerah Penangkapan, Selat Makassar.

Abstrack - Sharks in the Makassar Strait that are exploited by fishermen in Majene Regency include dpi

of continental shelf waters, corals and oceanics. The research objective was to analyze the catch (weight and tail) of sharks per sex based on landed fishing grounds in Majene Regency. The research was

conducted from August to October 2020 by collecting data on three collectors' places in Majene, West

Sulawesi. Species determination refers to Compagno (1998), Ellen (1999), Fahmi and Dharmani (2013). The weight of each catch is weighed in situ in the smallest units of 50 g and 200 g and the number of

heads is determined by enumeration from the catch data. Determination of the fishing area is done by

plotting all the coordinate points of each operating fishing vessel using ArcGis 10.5 software. Determination of the range of weight and average total catch weight of each DPI was analyzed by ANOVA

p <0.05 with Tukey's continued test using SPSS version 16 software. The results showed that 332 individuals consisted of 8 species, dominated by carharhinus brevepinna (40.06%). The range of

measures of weight and average catch per DPI was obtained from 0.6–80.0 kg (13.33 ± 23.5 kg), 0.8–

4.4 kg (1.8 ± 1.05 kg) , and 0.8–61.0 kg (19.09 ± 32.19 kg) for oceanic waters, coral reefs, and oceanic waters, respectively. The number of catches from each DPI is 214 (64.46%), 12 (3.61%), and 106

(31.93%) for the continental shelf dpi, coral reef dpi, and marine dpi. oceanic. In conclusion, there are 8 species of catch, dominated by Carharhinus brevepinna. The size of the average

weight was greatest in the dpi of oceanic waters compared to the dpi of continental shelf waters and

corals, while the dpi of continental shelf waters and corals was not different. Keywords : Sharks, Catching Area, Makassar Strait.

Pendahuluan. Hiu adalah salah satu sumberdaya ikan bertulang rawan

(Elasmobranchii) yang merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Fahmi & Dharmadi (2013) menyebutkan bahwa perikanan hiu di Indonesia telah

berlangsung sekitar tahun 70-an sebagai tangkapan sampingan dari perikanan rawai tuna,

namun saat ini hiu kemudian menjadi salah satu target tangkapan nelayan di beberapa

tempat pendaratan ikan di Indonesia, khususnya pada perikanan artisanal.

Page 137: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

126 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Diperkirakan lebih dari 75 jenis hiu ditemukan di perairan Indonesia dan sebagian

besar dari jenis tersebut potensial untuk dimanfaatkan. Hampir seluruh bagian tubuh hiu

dapat dijadikan komoditi, dagingnya dapat dijadikan bahan pangan bergizi tinggi (abon,

bakso, sosis, ikan kering dan sebagainya), siripnya untuk ekspor dan kulitnya dapat diolah menjadi bahan industri kerajinan kulit berkualitas tinggi (ikat pinggang, tas, sepatu, jaket,

dompet dan sebagainya) serta minyak hiu sebagai bahan baku farmasi atau untuk ekspor.

Tanpa kecuali gigi, empedu, isi perut, tulang, insang dan lainnya masih dapat diolah untuk

berbagai keperluan seperti bahan lem, ornamen, pakan ternak, bahan obat dan lainlain (Wibowo & Susanto, 1995).

Penangkapan hiu, sebagaimana penangkapan ikan-ikan Elasmobranchii lainnya,

memiliki risiko bagi keberadaan populasi hiu tersebut karena umumnya nelayan rawai hiu

menangkap hampir semua jenis hiu dari semua ukuran. Berdasarkan karakteristik biologinya, hiu sangat rentan terhadap tekanan penangkapan berlebih (Musick et al., 2000;

Galluccci et al., 2006) karena siklus hidupnya yang panjang, pertumbuhan dan

kematangan kelaminnya yang lambat serta fekunditasnya yang rendah (Compagno, 1984;

Last & Steven, 1994; Castro et al., 1999; Stobutzki et al., 2002). Oleh karena itu, perhatian

terhadap kegiatan penangkapan hiu perlu ditingkatkan dan data terkait perikanan hiu di Indonesia perlu cukup tersedia dan selalu diperbarui. Oleh karena itu dilakukan penelitian

ini untuk menganalisis hasil tangkapan (berat dan ekor) ikan hiu per jenis kelamin

berdasarkan daerah pendaratan di Kabupaten Majene Sulawesi Barat.

Metode Penelitian

Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian ini dapat dilihat melalui tampilan gambar peta

berikut.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Page 138: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

127 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Bahan dan Peralatan. Pengukuran berat ikan sampel diukur menggunakan timbangan

dengan satuan terkecil 50 g dan 200 g. Mengenali setiap spesies sampel dengan mengacu

pada Compagno (1998), Ellen (1999), Fahmi dan Dharmani (2013). Spesies ikan sampel

dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Jenis kelamin ditentukan dengan melihat ada tidaknya clasper yang menandakan jenis kelamin jantan. Sangadji (2014) menyatakan

bahwa jenis kelamin pada hiu ditentukan dengan adanya clasper pada hiu jantan yang

merupakan modifikasi sirip perut menjadi clasper yang terbentuk dari tulang rawan untuk

penyaluran sperma ke hiu betina saat kawin. Dalam menentukan daerah penangkapan dilakukan dengan memplotkan seluruh titik koordinat yang dilihat dari setiap GPS (Global

Positioning system) kapal penangkap.

Metode Pengambilan Data. Metode pengambilan data dilakukan dengan survei lapang

di dua tempat pengepul di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat (Gambar 2) pada bulan

September hingga Oktober 2020. Data yang digunakan adalah data primer berupa jumlah

hasil tangkapan ikan hiu per jenis kelamin berdasarkan daerah penangkapan di Perairan

Kabupaten Majene. Penelitian ini menggunakan data primer berupa jumlah hasil tangkapan ikan hiu per jenis kelamin berdasarkan daerah penangkapan ikan hiu yang didaratkan di

Kabupaten Majene. Pengambilan data dilakukan setiap hari ditempat pengepul ikan hiu di

daerah tersebut.

Adapun data yang diambil pada saat pengamatan yaitu : (1) penentuan posisi koordinat home dengan menggunakan GPS (Global Positioning system), (2) mencatat dan

mendokumentasikan proses pengambilan data seperti mengenali setiap jenis spesies ikan

hiu hasil tangkapan nelayan setempat dengan mengacu pada Compagno (1998), Ellen

(1999), Fahmi dan Dharmani (2013), kemudian mengidentifikasi jenis kelamin setiap jenis spesies dengan melihat clasper pada hiu jantan dan menentukan kisaran berat dan berat

rata-rata hasil tangkapan total dari setiap DPI dianalisis dengan ANOVA p<0.05 dengan uji

lanjut Tukey melalui software spss versi 16 (Hartono, 2008), (3) melakukan wawancara

dengan nelayan untuk menentukan daerah penangkapan dengan memplotkan seluruh titik

koordinat dari setiap kapal penangkap yang beroperasi dengan menggunakan software ArcGis 10,5. dan unit alat tangkap yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan hiu

dan (4) studi pustaka dilakukan dengan membaca literatur dan hasil penelitian yang

relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.

Analisis Data. Analisis data yang digunakan yaitu analisis secara deskriptif. Data hasil

tangkapan dianalisis dengan menggunakan uji t dan Anova. Uji t dilakukan untuk

menganalisis jumlah hasil tangkapan per jenis kelamin ikan hiu (jantan dan betina).

Sedangkan Anova untuk menganalisis jumlah hasil tangkapan (berat dan ekor) per jenis kelamin dari setiap daerah penangkapan. Uji t dan Anova akan menggunakan alat bantu

perangkat lunak SPSS versi 16 untuk menghitung variasi jumlah hasil tangkapan ikan hiu

berdasarkan jenis kelamin dan dari setiap daerah penangkapan. Untuk membedakan 2

variabel maka dilakukan uji t dengan menggunakan rumus Separated Varians (Hartono, 2008):

𝒕 = 𝒙𝟏 − 𝒙𝟐

√ 𝒔𝟏𝟐

𝒏𝟏 +𝒔𝟐

𝟐

𝒏𝟐

Dimana : x1 = Rata-rata kelompok 1

x2 = Rata-rata kelompok 2

Page 139: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

128 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

n1 = Jumlah sampel kelompok 1

n2 = Jumlah sampel kelompok 2

Selanjutnya dilakukan uji anova untuk membedakan lebih dari 2 variabel data dengan rumus sebagai berikut :

𝐅 =𝐒𝐛𝟐

𝐒𝐰𝟐

𝑺𝒃𝟐 =𝒏𝟏(�̅�𝟏 − 𝐱)𝟐 + 𝐧𝟐(�̅�𝟐 − 𝐱)𝟐 + … + 𝐧𝐧(�̅�𝐧 − 𝐱)𝟐

𝒌 − 𝟏

𝒙 = 𝒏𝟏. 𝒙𝟏 + 𝒏𝟐. 𝒙𝟐 + ⋯ + 𝒏𝒏. 𝒙𝒏

𝒌 − 𝟏

𝑺𝒘𝟐 = (𝒏𝟏 − 𝟏)𝑺𝟏

𝟐 + 𝒏𝟐 − 𝟏)𝑺𝟐𝟐 + ⋯ + (𝒏𝒏 − 𝟏)𝑺𝒏

𝟐

𝒏 − 𝒌

Dimana :

Sb = Varian 1

Sw = Varian 2 Sn2 = Varian kelompok

X = Rata-rata gabungan

Xn = Rata-rata kelompok

n = Banyaknya sampel pada kelompok

k = Banyaknya kelompok

Dari analisis data yang dilakukan maka dapat diketahui dan diidentifikasi hasil tangkapan

ikan hiu di lokasi penelitian berdasarkan spesies dan jumlah hasil tangkapan serta variasi

ukuran hasil tangkapan.

Hasil dan Pembahasan

Daerah Penangkapan. Penentuan daerah penangkapan menurut Baskoro dan Suherman

(2007) yaitu penentuan daerah penangkapan ikan oleh nelayan dilakukan berdasarkan

pengalaman mereka mengenai keadaan angin, pasang surut, keadaan bulan dan lain-lain. Dari pengalaman menangkap ikan keadaan laut di lokasi penangkapannya dapat dijadikan

tempat yang tetap untuk mengadakan penangkapan ikan. Untuk mengenal lokasi daerah

penangkapan itu, nelayan mengadakan baringan dengan cara tradisional pula dengan

mengambil puncak gunung yang kelihatan dari lokasi itu, letak pulau, mercusuar, dan sebagainya sebagai patokan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan penangkap hiu diperoleh informasi

bahwa penangkapan dilakukan di wilayah perairan luar Mamuju utara. Daerah

penangkapan hiu disajikan pada Gambar 2.

Page 140: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

129 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 2. Peta Daerah Penangkapan Ikan

Daerah penangkapan ikan oleh nelayan di Kabupaten Majene dengan menggunakan

pancing rawai hanyut permukaan yang berjarak sekitar 151 mil dari tempat tinggal

(pendaratan kapal). Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk sampai pada daerah penangkapan ikan sekitar 48 jam perjalanan dengan kecepatan rata-rata kapal sebesar 5

km/jam.

Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tiga kluster daerah penangkapan yang

ditentukan berdasarkan (GPS) Global Positioning System yang digunakan nahkoda sebagai alat navigasi kapal. Jumlah hasil tangkapan dari ketiga kluster daerah penangkapan yang

diperoleh selama penelitian terdiri dari perairan continental shelf 214 ekor, perairan karang

12 ekor dan perairan oseanik 106 ekor.

Pada DPI perairan continental shelf diperoleh 5 spesies yaitu Carcharhinus brevipinna, Carcharhinus sealei, Carcharhinus dussumieri, Carcharhinus plumbeus dan Galeocerdo

cuvier. Pada dpi perairan karang diperoleh 2 jenis spesies yaitu Carcharhinus

amblyrhynchos dan Triaenodon obesus. Pada dpi perairn oseanik diperoleh hanya satu

spesies yaitu sp Prionace glauca. Jumlah hasil tangkapan (berat dan ekor) berdasarkan

daerah penangkapan masing-masing dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Page 141: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

130 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 3. Jumlah Hasil Tangkapan (Berat)

Gambar 4. Jumlah Hasil Tangkapan (Ekor)

Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah ekor hasil tangkapan dari setia DPI adalah 214 ekor (64,46%), 12 ekor (3,61%) dan 106 ekor (31,93%) masing-masing untuk dpi

continental shelf, dpi perairan karang dan dpi perairan oseanik. Ukuran berat rata-rata

terbesar pada dpi perairan oseanik dibanding dpi perairan continental shelf dan karang,

sedang dpi perairan continental shelf dan karang tidak berbeda pada p<0,05. Hiu di Indonesia dapat ditemukan di seluruh wilayah perairan, baik itu perairan

teritorial, perairan samudra, perairan ZEE bahkan ada hiu yang ditemukan di air tawar,

seperti sungai dan danau (Wibowo dan Susanto 1995).

Kedalaman rata-rata dimana hiu berada, berkisar antara 70-1000 meter (Taylor dan

Taylor 1995), walaupun ada beberapa hiu yang hidup pada kedalaman lebih dari 1000 meter (Johnson 1990). Kisaran berat dan berat rata-rata hasil tangkapan dapat dilihat pada

Gambar 5.

Page 142: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

131 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 5. Kisaran Berat Dan Berat Rata-Rata Hasil Tangkapan

Hasil penelitian menunjukan bahwa kisaran ukuran berat dan berat rata-rata hasil

tangkapan setiap DPI diperileh 0,6-80,0 kg (13,33±23,5 kg), 0,8-4,4 kg (1,8±1,05 kg)

dan 0,8-61,0 kg (19,09±32,19 kg) masing-masing unyuk dpi perairan continental shelf, dpi perairan karang dan dpi perairan oseanik.

Faktor lingkungan yang dianggap sangat mempengaruhi penyebaran hiu di daerah

tropis adalah kedalaman perairan dan suhu, karena kedua faktor ini dianggap relatif tidak

berubah (Stevens 1989).

Daerah Pendaratan. Dalam pendaratan ikan hiu di Majene banyak dilakukan di pinggir

pantai tempat kapal bersandar. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tiga kluster

tempat pendaratan ikan hiu yang berada di Kabupaten Majene. Ketiga kluster tersebut masing-masing berada di Desa Palipi Soreang, Desa Bonde dan Desa Rea-rea. Hasil

tangkapan berdasarkan daerah pendaratan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil Tangkapan Berdasarkan Daerah Pendaratan

Page 143: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

132 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Ikan hiu yang didaratkan di Kabupaten Majene merupakan hasil tangkapan nelayan

setempat dengan menggunakan rawai hanyut permukaan yang di operasikan di perairan

luar mamuju utara.

Komposisi Hasil Tangkapan. Hasil tangkapan yang diperoleh sebanyak 332 ekor yang

terdiri dari 8 spesies. Kedelapan jenis tersebut adalah Carcharhinus brevipinna (133 ekor),

Carcharhinus amblyrhynchos (2 ekor), Prionace glauca (106 ekor), Triaenodon obesus (10

ekor), Carcharhinus dussumieri (2 ekor), Galeocerdo cuvier (1 ekor), Carcharhinus plumbeus (9 ekor) dan Carcharhinus sealei (69 ekor). Komposisi hasil tangkapan ikan hiu

dari hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Berdasarkan Jumlah Ekor Hasil Tangkapan

Semua data hasil tangkapan didapatkan dari 3 titik lokasi pengepul yang terdiri dari

206 betina dan 126 ekor jantan. Untuk mempertahankan keberlangsungan spesies,

perbandingan hewan jantan dan betina diharapkan seimbang (Candramila & Junardi,

2006). Bal & Rao (1984) dikutip dalam Faizah et al, (2012) menyatakan adanya variasi dalam perbandingan kelamin sering terjadi karena 3 faktorya itu perbedaan tingkah laku

seks, kondisi lingkungan, dan penangkapan.Adapun komposisi berdasarkan jenis kelamin

dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Berdasarkan Jenis Kelamin Hasil Tangkapan

Page 144: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

133 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Dari 8 spesies yang diperoleh terdapat Carcharhinus brevipinna (2525.95 kg),

Carcharhinus amblyrhynchos (1.8 kg), Prionace glauca (3412.3 kg), Triaenodon obesus

(19.8 kg), Carcharhinus dussumieri (10 kg), Galeocerdo cuvier (62 kg), Carcharhinus

plumbeus (122.2 kg) dan Carcharhinus sealei (133 kg). Komposisi jumlah berat hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Berdasarkan Jumlah Berat Hasil Tangkapan

Selama ini penangkapan terhadap hiu hanya terbatas sebagai hasil sampingan dari

jenis ikan lain yang menjadi tujuan utama penangkapan. Namun ternyata, hasil tangkapan

hiu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu sebesar 29,6%

dalam waktu lima tahun (tahun 1988-1992), atau rata rata naik 6% per tahun (Direktorat jenderal perikanan tangkap 1994). Namun saat ini di kabupaten majene khususnya di Desa

Bonde yang menjadikan penangkapan hiu sebagai hasil tangkapan utama.

Kesimpulan. Hasil penelitian diperoleh 332 ekor terdiri dari 8 spesies didominasi oleh

Carharhinus brevepinna (40,06%). Kisaran ukuran berat dan berat rata-rata hasil tangkapan setiap DPI diperoleh 0,6–80,0 kg dan (13,33±23,5 kg), 0,8–4,4 kg (1,8±1,05

kg), dan 0,8–61,0 kg (19,09±32,19 kg) masing-masing untuk dpi continental shelf, dpi

perairan karang, dan dpi perairan oseanik. Jumlah ekor hasil tangkapan dari setiap DPI

adalah 214 ekor (64,46%), 12 ekor (3,61%), dan 106 ekor (31,93%) masing-masing untuk

dpi continental shelf, dpi perairan karang, dan dpi perairan oseanik. Ukuran berat rata-rata terbesar pada dpi perairan oseanik dibanding dpi perairan continental shelf dan karang,

sedang dpi perairan continental shelf dan karang tidak berbeda.

Ucapan Terima Kasih. Artikel ini merupakan tugas akhir kami sebagai mahasiswa

di Prodi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Departemen Perikanan FIKP Unhas. Penulis

sebagai mahasiswa yang bertugas sebagai enumerator dalam riset Hibah Penelitian Dasar

Unhas mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,

pimpinan Universitas Hasanuddin Makassar dan pimpinan Lembaga Penelitian dan

Pengabdian pada Masyarakat (LP2M) Unhas. Penelitian ini didanai dalam Hibah Penelitian Dasar Unhas (PDU) dengan nomor kontrak No.1585/UN4.22/PT.01.03/2020 tanggal 27

Mei 2020.

Page 145: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

134 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Daftar Pustaka

Baskoro, M.S. dan Suherman, A.. 2007. Teknologi Penangkapan Ikan dengan Cahaya.

Universitas Diponegoro. Semarang.

BPS, 2014. Kabupaten Majene dalam angka 2014. Provinsi Sulawesi Barat. Castro, J.I., Woodley, C.M., Brudek, R.L. (1999). A preliminary evaluation of the status of

shark species (p. 72). FAO. Fisheries Technical Paper No.380. Rome: Food and

Agricultural Organization

Compagno, L.J.V. 1984. FAO species catalogue. Sharks of the world. An annotated and illustrated catalogue of shark species known to date. FAO Fish. Synop. Rome. 4: 125p

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Majene, 2011. Provinsi Sulawesi Barat.

Direktorat Jendral Perikanan. 1994. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 1994. Jakarta.

Fahmi & Dharmadi. 2013. Tinjauan status perikanan hiu dan upaya konservasinya di

Indonesia. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta. 179p.

Fahmi & Dharmani, 2013. Pengenalan jenis-jenis hiu di Indonesia. ISBN 978-602-7913-

10-3

Galluccci, V.F., I.G. Taylor,. K. Erzini. 2006. Conservation and management of exploited shark populations based in reproductive value. Can J Fish Aquat Sci. 63: 931-942p.

Johnson, R.H. 1990. Ed. Bernard Salvant. Shark of Trofical and Temperature Seas. Les

Last, P.R. & J.D. Stevens. 1994. Sharks and rays of Australia. Fisheries Research and

Development Corporation. 513p. Musick, J.A., G. Burgess, G. Cailliet, M. Camhi & S. Fordham. 2000. Management of sharks

and their relatives (Elasmobranchii). Fisheries. 25: 9-13p.

Sangadji, I. M. 2014. Panduan & Logbook Survei Monitoring Hiu. Kementerian Kelautan

dan Perikanan. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL), Denpasar. Stevens, J.D. 1989. Sharks. Australia. Weldon Owen Pty, Ltd.

Stobutzki, I.C., Miller, M.J., Heales, D.S., Brewer, D.T. (2002). Sustainability of

elasmobranchs caught as bycatch in a tropical prawn (shrimp) trawl ûshery. Fish.

Bull.,100, 800 – 821p.

Taylor, R. And Valerie Taylor. 1995. Shark Silent Hunters of The Deep. New York, United Sates. Readers Digest.

Wibowo, S. & H. Susanto. (1995). Sumberdaya dan Pemanfaatan Hiu. Jakarta: Penebar

Swadaya.

Wibowo, S. Dan Heru Susanto. 1995. Sumberdaya dan Pemanfaatan Hiu. Jakarta. Penebar Swadaya. 156p.

Page 146: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

135 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pengaruh Fase Bulan Terhadap Hasil Tangkapan Jaring Insang Hanyut (Drifting Gill Nets ) di Perairan Desa Bungabali Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur Efrin A. Dollu1*, Yulianto Tell2 dan Sepriyanti Peringkala3

1,2,3Program Studi Perikanan Fakultas Pertanian dan Perikanan,

Universitas Tribuana Kalabahi

Jl. Soekarno – Tang Eng Batunirwala, Kode Pos 85811. Indonesia (Email : [email protected] ; [email protected] ;[email protected])

Abstrak - Cahaya merupakan suatu ransangan yang berasal dari luar tubuh ikan yang berpengaruh

terhadap tingkah laku dan aktifitas ikan. Pengaruh fase bulan di langit merupakan salah satu faktor yang berhubungan erat dengan tingkah laku ikan, salah satu di antaranya adalah ketertarikan ikan

terhadap cahaya. Kecerahan cahaya bulan juga akan mempengaruhi efesiensi penangkapan. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fase bulan terhadap hasil tangkapan jaring insang (gill net) hanyut di perairan Desa Bungabali Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Analisis data yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan dilanjutkan dengan uji BNT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Fase bulan sangat mempengaruhi hasil tangkapan dengan

menggunakan alat tangkap Jaring Insang Hanyut. Pada Fase bulan Purnama dan semi terang kedua

memiliki hasil tangkapan yang berbeda dengan fase bulan sabit dan fase semi terang pertama. Kata Kunci : Jaring Insang Hanyut, Fase Bulan, Komposisi Hasil Tangkapan

Abstract - Light is a stimulus that comes from outside the fish's body which affects the behavior and

activities of the fish. The influence of the phases of the moon in the sky is one of the factors that is

closely related to the behavior of fish, one of which is the fish's attraction to light. The Moonlight brightness will also affect the efficiency of the capture. The aims on this study was to determine the

effect of the moon phase on the catch of gill nets drifting in the waters of Bungabali Village, Alor Regency, East Nusa Tenggara. The data analysis used was a randomized block design (RBD) and LSD

test. The results showed that the moon phase greatly affected the catch using the Hanyut Gills Net

fishing gear. The second full moon and semi-light phases have different catches with the crescent moon phase and the first semi-bright phase.

Keywords: Drifting Gill Nets, Moon Phase, Catch Composition

Pendahuluan. Desa Bungabali adalah salah satu Desa yang berada pada Kabupaten

Alor, dimana merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumber daya perikanan.

Potensi perikanan yang cukup besar menjadikan Desa Bungabali sebagai salah satu

perairan penghasil ikan di Kabupaten Alor. Alat tangkap yang paling banyak digunakan

oleh nelayan setempat adalah Jaring Insang (Gill net) hanyut. Jaring insang (gill net) adalah salah satu jenis alat tangkap ikan dari bahan jaring yang berbentuk empat persegi

panjang dimana ukuran mata jaring (mesh size) sama, jumlah mata jaring ke arah

horizontal (meshlength) jauh lebih banyak dari jumlah mata jaring ke arah vertikal

(meshdepth) (Matasuganda, 2002). Berhasilnya usaha penangkapan ikan tergantung pada pengetahuan yang cukup mengenai tingkah laku ikan, baik itu secara individu maupun

secara keseluruhan, pengetahuan tentang tingkah laku ikan merupakan kunci perbaikan-

perbaikan terhadap metode yang ada serta penemuan metode yang baru. Tingkah laku

ikan adalah reaksi dari ikan terhadap semua ransangan yang bekerja, baik itu rangsangan

dari luar maupun dari dalam tubuhnya (Syahdan, 2013). Cahaya merupakan suatu ransangan yang berasal dari luar tubuh ikan yang berpengaruh terhadap tingkah laku dan

aktifitas ikan. Pengaruh fase bulan di langit merupakan salah satu faktor yang berhubungan

erat dengan tingkah laku ikan, di mana salah satu di antaranya adalah ketertarikan ikan

terhadap cahaya. Kecerahan cahaya bulan juga akan mempengaruhi efesiensi penangkapan (Syam & Satria, 2017).

Nilai produksi perikanan laut sering mengalami ketidakstabilan bahkan cenderung

menurun, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor oseonografi, cuaca,

Page 147: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

136 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

iklim, dan periode fase bulan. Periode hari bulan merupakan salah satu indikasi dalam

menentukan waktu melaut bagi nelayan. Menurut Jatmiko (2015), faktor periode hari bulan

secara tidak langsung berpengaruh pada keberadaan ikan, sehingga nelayan perlu

mengetahui perubahan setiap periode hari bulan tersebut. Perubahan periode hari bulan dapat mengindikasi waktu yang baik dalam kegiatan operasi penangkapan karena adanya

perbedaan intensitas cahaya pada setiap periode hari bulan dan mempengaruhi ikan yang

memiliki sifat fototaksis positif maupun negatif terhadap cahaya sehingga perbedaan

intensitas akan berpengaruh terhadap volume hasil tangkapan ketika nelayan melakukan operasi penangkapan. Penelitian mengenai pengaruh umur bulan sudah pernah dilakukan

diantaranya: Radiyah (2001) yang mengatakan, perbedaan hasil tangkapan pada masing-

masing periode bulan (walaupun tidak signifikan), diduga disebabkan oleh perbedaan

intensitas cahaya yang diterima diperairan sesuai peredaran bulan. Menurut Karman, Muksin, dan Edi Wan (2010) bahwa periode umur bulan memberikan pengaruh terhadap

hasil tangkapan bagan perahu. Dengan merujuk pada beberapa temuan penelitian ini,

mkaa penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh Fase bulan

terhadap hasil tangkapan jaring insang (Gill net) hanyut di perairan Desa Bungabali

Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Metode Penelitian.

Bahan dan Peralatan. Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

4 unit alat tangkap Jaring Insang (Gill net) yang dioperasikan secara bersamaan, hasil tangkapan, kamera, dan alat tulis menulis.

Analisis Data. Analisis Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah komposisi hasil

tangkapan dari jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap jenis alat tangkap yang digunakan. Komposisi hasil tangkapan meliputi jumlah dan jenis, Data hasil perhitungan

per ekor dan jenis ikan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Perhitungan untuk

produksi ikan selama pengambilan data dilakukan dengan rumus (Dollu, 2013):

pi = 𝐧𝐢

𝐍 x 100%

Keterangan : Pi = kelimpahan relatif hasil tangkapan (%)

ni = jumlah hasil tangkapan spesies (ekor)

N = jumlah hasil tangkapan (ekor)

Analisis Statistik yang digunakan adalah RAL dimana untuk mengetahui perbedaan

hasil tangkapan, komposisi, dan pengaruh periode fase bulan. Masing-masing perlakuan

(fase bulan) dilakukan penangkapan sebanyak 3 kali ulangan sehingga diperoleh 12 data

pengamatan dalam satu bulan. Data perlakuan penangkapan dapat dilihat pada Tabel

Tabel 1. Perlakuan Penangkapan

Perlakuan Ulangan

I II III

A (Sabit) A1 A2 A3

B (Semi Terang Pertama) B1 B2 B3

C (Purnama) C1 C2 C3 D (Semi Terang Kedua) D1 D2 D3

Page 148: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

137 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan analisis Ovariance

(ANOVA), dengan Hipotesis yang diuji untuk metode tetap adalah H0 : ai = 0 (tidak ada

pengaruh faktor fase bulan yang diujicobakan) dan H1 : ai = 0 (ada pengaruh faktor fase

bulan yang diujicobakan). Selain itu, Kaidah keputusannya adalah jika Fhitung > F tabel atau P value, dengan a = 5% yaitu apabila F hitung > dari F tabel, maka tolak Ho dan

jika F hitung < F tabel, maka gagal tolak Ho. Apabila hasil analisis memperoleh keputusan

tolak Ho maka untuk mengetahui perlakuan yang memberikan nilai perbedaan terhadap

jumlah ikan yang tertangkap maka diperlukan uji lanjut BNT atau uji LSD (Least Sgnificant Difference = LSD). Uji BNT digunakan untuk menentukan suatu rata-rata

apakah perlakuan yang di berikan berbeda secara statistik atau tidak.

Hasil dan Pembahasan Hasil Tangkapan. Hasil tangkapan jaring insang hanyut (Drifting Gill Nets) yang

diperoleh selama 1 bulan penelitian menggunakan 4 unit alat tangkap dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Data hasil tangkapan

Jenis Ikan Nama Latin Jumlah (Ekor)

Layang Decapterus ruselli 4086

Pisang -pisang Pterocaesio tile 300

Kakap Ratu Etelis Oculatus 5

Jumlah 4391

Tabel 2 menujukkan bahwa terdapat 3 (tiga) jenis ikan yang tertangkap dalam Jaring

Insang (Gill net), yaitu ikan Layang (Decapterus ruselli), Pisang -pisang (Pterocaesio tile) dan Kakap Ratu (Etelis Oculatus). Ikan Layang (Decapterus ruselli) merupakan ikan dengan

hasil tangkapan paling banyak yaitu sebesar 4086 ekor. Hasil tangkapan menurut

perlakuan fase bulan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Data Hasil Tangkapan Berdasarkan Fase Bulan

Perlakuan Ulangan

Total Rata-

rata I II III

A (Sabit) 656 700 300 1656 552

B (Semi Terang Pertama) 100 90 100 290 96,66

C (Purnama) 65 45 35 145 48,33

D (Semi Terang Kedua) 400 900 1000 2300 766,66 Jumlah 1221 1735 1435 4391 1463,65

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa total produksi hasil tangkapan ikan

berdasarkan perlakuan (fase bulan) yaitu sebanyak 4.391 ekor dengan nilai rata-rata

1463,65. Komposisi hasil tangkapan berdasarkan fase bulan dapat dilihat pada

Gambar 2.

Page 149: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

138 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 2. Komposisi Hasil Tangkapan Per Fase: (a). Bulan Sabit, (b) Semi Terang

Pertama, (c) Bulan Purnama dan (d) Semi Terang Kedua

Gambar 2 mejelaskan bahwa variasi hasil tangkapan terjadi pada fase bulan sabit dengan munculnya 3 jenis ikan hasil tangkapan yaitu ikan Layang sebanyak 1351 ekor

(82%), Lamoru sebanyak 300 ekor (18%) dan ikan Kakap Ratu sebanyak 5 ekor (0,17%).

Pada fase Semi Terang Pertama, Bulan Purnama dan Semi Terang Kedua hasil tangkapan

didominasi oleh ikan Layang. Pada Fase bulan sabit munculnya ikan demersal (Lamoru dan Ikan Kakap Ratu) yang

ditangkap disebabkan oleh tingkah laku ikan dalam menyenangi cahaya (fototaksis positif)

maupun oleh tingkah laku ikan dalam mencari makan (Muhammad Sulaiman et al, 2006).

Selain itu pengoperasian Jaring insang (Gill net) hanyut oleh nelayan setempat biasanya

dilakukan pada kedalaman 5 m, dimana daerah tersebut mempunyai kondisi karang yang baik dan subur, sehingga hal tersebut menyebabkan beberapa jenis ikan demersal yang

ikut tertangkap dalam jaring insang (Gill net) hanyut.

Dominasi ikan Layang (Decapterus ruselli) dalam hasil tangkapan diperkirakan

berkaitan erat dengan karakteristik ikan tersebut yaitu hidup bergerombol di perairan lepas pantai dengan kadar garam tinggi dan menyenangi perairan jernih. Ikan Layang

(Decapterus ruselli) tergolong ke dalam ikan laut yang menyukai daerah laut dangkal serta

tersebar di seluruh perairan Indonesia dengan habitatnya di seluruh perairan pantai,

panjang ikan ini bisa mencapai 15-30 cm (Syahdan, 2013). Ikan Layang cenderung berenang mendekati permukaan air pada waktu malam hari dan pada siang hari turun ke

lapisan yang lebih dalam. Gerakan vertikal ini dipengaruhi oleh gerakan harian plankton

dan mengikuti perubahan suhu, faktor hidrografis, dan salinitas (Sangaji et al., 2016)

Uji Statistik. Perhitungan sidik ragam (Anova) dilakukan untuk melihat pengaruh fase

bulan terhadap hasil tangkapan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis Sidik Ragam (Anova)

Sumber

Keragaman

Derajat

Bebas

Jumlah

Kuadran

Kuadran

Tengah F Hitung

F Tabel

0,05 0,01

Perlakuan 3 1105746,917 368582,306 9,718 3,84 7,01

Galat 8 303424 37928

Total 11 1409170,917

Lamoru18%

Kakap Ratu0%

Layang82%

Layang100%

(a) (b)

Layang100%

Layang100%

(c) (d)

Page 150: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

139 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Berdasarkan Tabel sidik ragam menujukkan bahwa Jumlah Kuadran Total (JKT) hasil

tangkapan gillnet adalah 1409170,917. Diketahui F Hitung sebesar 9,718 sedangkan F

Tabel 3, 84. Hasil ini menunjukkan bahwa Fase bulan memberikan pengaruh yang sangat

signifikan terhadap hasil tangkapan ikan. Perbedaan hasil tangkapan dipengaruhi oleh kondisi perairan dan pasang surutnya air laut (Mambrasar et al., 2014). Berdasarkan hasil

perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa F Hitung > dari F Tabel maka dengan sendirinya

H0 di tolak dan H1diterima atau hasil uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh fase bulan

terhadap hasil tangkapan, maka diperlukan uji lanjut menggunakan uji BNT. Uji BNT dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Uji Lanjut BNT

(I)

Perlakuan (J) Perlakuan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

LSD Sabit Semi Terang Pertama

455,33* 159,014 ,021

Purnama 503,67* 159,014 ,013

Semi Terang

Kedua -214,67 159,014 ,214

Semi Terang

Pertama

Sabit -455,33* 159,014 ,021

Purnama 48,33 159,014 ,769

Semi Terang Kedua

-670,00* 159,014 ,003

Purnama Sabit -503,67* 159,014 ,013

Semi Terang

Pertama -48,33 159,014 ,769

Semi Terang

Kedua -718,33* 159,014 ,002

Semi Terang

Kedua

Sabit 214,67 159,014 ,214

Semi Terang

Pertama 670,00* 159,014 ,003

Hasil perhitungan uji lanjut menunjukkan bahwa nilai signifikan antara fase bulan

sabit dengan semi terang pertama dan fase bulan sabit dengan purnama yaitu 0,021 <

0,05 dan 0.13 < 0.05, dapat simpulkan bahwa hasil tangkapan kedua fase signifikan. Pada fase bulan sabit dan semi terang kedua menunjukkan nilai signifikan yaitu 0,214 >

0.05 dapat disimpulkan bahwa hasil tangkapan ikan pada fase bulan sabit dan semi

terang kedua adalah sama sehingga perbedaan rata-rata hasil tangkapan secara

deskriptif antara kedua fase bulan tersebut tidak signifikan. Nilai signifikan antara fase bulan semi terang pertama dengan fase bulan sabit dan

semi terang pertama dengan semi terang kedua yaitu 0.021 < 0,05 dan 0,003 < 0.05,

dapat disimpulkan bahwa hasil tangkapan kedua fase signifikan. Pada fase semi terang

pertama dengan fase Purnama menunjukkan nilai signifikan yaitu 0.769 > 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa hasil tangkapan ikan pada fase bulan semi terang pertama dan

fase bulan purnama adalah sama sehingga perbedaan rata-rata hasil tangkapan secara

deskriptif antara kedua fase bulan tersebut tidak signifikan.

Nilai signifikan antara fase bulan Purnama dengan fase bulan sabit dan bulan Purnama dengan semi terang kedua yaitu 0.013 < 0,05 dan 0,002 < 0.05, dapat

disimpulkan bahwa hasil tangkapan kedua fase signifikan. Pada fase bulan Purnama

dengan fase semi terang pertama menunjukkan nilai signifikan yaitu 0.769 > 0.05 maka

dapat disimpulkan bahwa hasil tangkapan ikan pada fase bulan semi terang pertama dan

Page 151: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

140 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

fase bulan purnama adalah sama sehingga perbedaan rata-rata hasil tangkapan secara

deskriptif antara kedua fase bulan tersebut tidak signifikan

Nilai signifikan antara fase bulan semi terang kedua dengan Purnama dan semi

terang kedua dengan semi terang pertama yaitu 0.002 < 0,05 dan 0,003 < 0.05, dapat disimpulkan bahwa hasil tangkapan kedua fase signifikan. Pada fase semi terang kedua

dengan fase bulan sabit menunjukkan nilai signifikan yaitu 0.214 > 0.05 maka dapat

disimpulkan bahwa hasil tangkapan ikan pada fase bulan semi terang pertama dan fase

bulan purnama adalah sama sehingga perbedaan rata-rata hasil tangkapan secara deskriptif antara kedua fase bulan tersebut tidak signifikan.

Fase bulan purnama dan semi terang kedua nilai signifikannya dibawah dari 0,05

penyebabnya adalah kondisi cahaya bulan menyebar secara luas diperairan, hal ini

diperkuat dengan data kemunculan bulan selama bulan Purnama yang mencapai 8-12 jam per hari. Selain itu, kondisi purnama juga akan mengakibatkan pasang surut yang tinggi.

Pasang yang terjadi pada saat bulan purnama biasanya disebut dengan pasang purnama

dimana pada saat pasang purnama, air laut naik dengan tinggi yang optimum dibandingkan

hari-hari sebelum dan setelah purnama (Permana et al., 2017). Perbedaan keragaman

hasil tangkapan dikarenakan pada saat bulan Purnama terjadi pasang naik yang sangat tinggi dan pasang surut yang sangat rendah, akibatnya terjadilah gaya gravitasi dimana

bulan menarik air laut lebih kuat dari pada bumi sehingga air laut menggembung dan

mengakibatkan kurang efektifnya kegiatan penangkapan karena pembiasan cahaya kurang

sempurna. Kondisi pasang surut air laut juga mempengaruhi hasil tangkapan selama penelitian (Ditsen Pangauan, et al 2020).

Posisi bulan terhadap bumi menimbulkan pengaruh berupa pasang surut permukaan

air laut dan pencahayaan alami di laut yang mengakibatkan adanya dinamika alami

perilaku binatang laut sehingga keragaman spesies hasil tangkapan dipengaruhi oleh periode bulan (Supardjo S, 2013).

Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Fase bulan sangat

mempengaruhi hasil tangkapan dengan menggunakan alat tangkap Jaring Insang Hanyut. Pada Fase bulan Purnama dan semi terang kedua memiliki hasil tangkapan yang berbeda

dengan fase bulan sabit dan fase semi terang pertama.

Daftar Pustaka Ditsen Pangauan, Lefrand Manoppo, Mariana E. Kayadoe, dan Lusia Manu, Pengaruh umur

bulan terhadap hasil tangkapan dengan jaring insang hanyut (Soma Landra) (Effect of

moon phase on catches of drift gill net (Soma Landra)). (2020). JURNAL ILMU DAN

TEKNOLOGI PERIKANAN TANGKAP. https://doi.org/10.35800/jitpt.5.1.2020.27449 Mambrasar, A., Labaro, I. L., & Sompie, M. S. (2014). Perbandingan fase umur bulan

terhadap hasil tangkapan sero di perairan Teluk Amurang Provinsi Sulawesi Utara.

Jurnal Ilmu Dan Teknologi Perikanan Tangkap.

https://doi.org/10.35800/jitpt.1.0.2014.6083 Permana, A., Wahju, R. I., & Soeboer, D. A. (2017). Pengaruh Fase Bulan Terhadap Hasil

Tangkapan Lobster (Panulirus Homarus) Di Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi.

Jurnal Teknologi Perikanan Dan Kelautan. https://doi.org/10.24319/jtpk.7.137-144

Sangaji, M. B., Tangke, U., & Namsa, D. (2016). Potensi dan tingkat pemanfaatan ikan

layang (Decapterus sp) di perairan Pulau Ternate. Agrikan: Jurnal Ilmiah Agribisnis Dan Perikanan. https://doi.org/10.29239/j.agrikan.9.2.1-10

Studi Tingkah Laku Ikan pada Proses Penangkapan dengan Alat Bantu Cahaya : Suatu

Pendekatan Akustik. (2006). Studi Tingkah Laku Ikan Pada Proses Penangkapan

Dengan Alat Bantu Cahaya : Suatu Pendekatan Akustik.

Page 152: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

141 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

https://doi.org/10.14710/ik.ijms.11.1.31-36

Supardjo S, D. D. (2013). Composition of Fish Capture Using Gill Nets on Various Net

Shortening in Sermo Reservoir. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.).

Syahdan, M. (2013). Kajian Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Gill Net. Perikanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru.

Syam, A. R., & Satria, H. (2017). Adaptasi Fisiologis Retinamata dan Tingkah Laku Ikan

Terhadap Cahaya. Bawal widya riset perikanan tangkap.

Https://doi.org/10.15578/bawal.2.5.2009.215-224

Page 153: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

142 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Peranan Umpan Hidup Jenis Tembang (Sardinella fimbriata) dan Layang (Decapterus ruselli) pada Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan Pole And Line di Larantuka, Flores Timur, Nusa

Tenggara Timur Sugiono

Politeknik Kelautan dan Perikanan Kupang

(Email : [email protected])

Abstrak - Umpan hidup merupakan istilah untuk umpan yang dalam kedaan hidup dan digunakan

untuk menangkap Cakalang (Katsuwonus pelamis) menggunakan alat tangkap jenis Pole and Line (Huhate). Cakalang termasuk jenis ikan perenang cepat dengan salah satu ciri khas sebagai pemangsa

yang rakus, dan dikenal sebagai ikan migrasi (migratory fish) dengan daerah penyebaran yang sangat luas meliputi daerah tropis dan sub tropis diantaranya di Perairan Laut Flores. Dikenal sebagai ikan

yang membentuk gerombolan dan perenang cepat dan melawan arus serta mencari makan

berdasarkan penglihatan. Cakalang sangat menyukai mangsanya yang masih dalam keadaan hidup, dan usaha penangkapan cakalang sangat bergantung dengan penyediaan umpan hidup. Umpan hidup

yang sering digunakan dalam operasi penangkapan cakalang ini antara lain Lure (Stolephorus indicus), Rambeng (Stolephorus devisi), Tembang (Sardinella fimbriata) dan Layang (Decapterus ruselli) Umpan

hidup dapat diperoleh dari nelayan bagan apung dan tancap di sekitar Teluk Flores. Dalam Penelitian

pengamatan yang dilakukan terhadap 2(dua) jenis umpan hidup yakni Tembang (Sardinella fimbriata) dan Layang (Decapterus ruselli) yang digunakan, menunjukkan bahwa tidak terdapat pebedaan

signifikan dari sisi daya tariknya bagi cakalang, tetapi jumlah besaran umpan yang digunakan saat operasi penangkapan sangat erat kaitannya dengan perolehan hasil tangkapan Cakalang.

Abstract - Live bait is the term for live bait and is used to catch Skipjack (Katsuwonus pelamis) using Pole and Line (Huhate) fishing gear. Skipjack tuna is a type of fast swimming fish with one characteristic

of being a voracious predator, and is known as a fish (migratory fish) with a very wide distribution area

including tropical and sub-tropical areas, including in the Flores Sea. Known as fish that form swarms and are fast swimmers and fight the current and forage by sight. Skipjack tuna really like their prey

that is still alive, and the business of catching skipjack tuna is very dependent on live bait. Live bait that is often used in skipjack fishing operations includes Lure (Stolephorus indicus), Rambeng

(Stolephorus devisi), Tembang (Sardinella fimbriata) and Layang (Decapterus ruselli) Live bait can be

obtained from floating chart fishermen and sticking around the Gulf of Flores. In the research, observations conducted on 2 (two) types of live bait namely Tembang (Sardinella fimbriata) and Layang

(Decapterus ruselli) were used, showing that there was no significant difference in terms of their attractiveness to skipjack tuna, but the amount of bait used during fishing operations was very high.

closely related to the acquisition of the catch.

Pendahuluan. Usaha Penangkapan ikan di Indonesia sangat beragam dalam hal

teknis, baik kapal dan mesin penggeraknya maupun alat tangkap Ikan, mesin bantu

penangkap ikan, dan metode penangkapan serta penanganan hasilnya. Salah satu alat

tangkap yang banyak digunakan adalah jenis pancing khususnya alat tangkap pole and

line, alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang ini sangat potensial dan produktif, dan berkembang cukup pesat di wilayah Timur Indonesia (Bambang

winarso, 2004). Alat tangkap pole and line adalah salah satu alat untuk menangkap jenis

cakalang, dengan umpan ikan hidup sebagai sarana bantu penarik dan pemikat makan

pada cakalang. Sedangkan tenaga pemancing yang diperlukan dalam mengoperasikan alat

tangkap pole line cukup banyak dan tergantung ukuran kapal, hal ini guna mendukung efektifitas penggunaan umpan hidup yang digunakan dalam operasi penangkapan. Umpan

hidup yang sering digunakan dalam operasi penangkapan cakalang ini antara lain Lure

(Stolephorus indicus), Rambeng (Stolephorus devisi), Tembang (Sardinella fimbriata) dan

Layang (Decapterus ruselli) Umpan hidup dapat diperoleh dari nelayan bagan apung dan tancap di sekitar Teluk Flores. Sedangkan perbandingan jenis umpan yang akan digunakan

Page 154: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

143 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

dalam operasi penangkapan dengan Huhate, dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam

rasio antara hasil tangkapan ikan cakalang yang diperoleh dengan jumlah penebaran

umpan hidup saat operasi penangkapan. Hal tersebut dilihat menurut beberapa

pendekatan, baik pendekatan jenis umpan yang digunakan, pendekatan rerata hasil tangkapan tiap operasi penangkapan serta pendekatan melalui rasio pada jam

pemancingan.

Kabupaten Flores Timur , daerah yang terletak di bagian ujung timur dari Pulau Flores

dengan ibukota terletak di Larantuka. posisi koordinatnya 8° 3' 36" sampai 8° 38' 24" Lintang Selatan dan 122° 39' 0" sampai 123° 20' " Bujur Timur. Sebelah Utara Flores Timur

dengan laut Flores, sebelah Timur adalah Kabupaten Lembata, sebelah Selatan Laut Sawu,

dan sebelah Barat dengan Kabupaten Sikka. Kabupaten Flores Timur juga memiliki Luas

wilayah 5.983,38 km, terdiri dari luas daratan 1.812,85 km atau 31% luas wilayah, yang tersebar pada 3 pulau besar dan 27 pulau kecil dengan luas lautan 4.170,53 km atau 69%

luas wilayah. Secara administrasi Kabupaten Flores Timur terdiri dari 19 Kecamatan dan

229 Desa dan 21 Kelurahan. Di daratan Flores Timur terdapat 8 (delapan) Kecamatan. Maksud dan tujuan penelitian ini untuk mencari perbedaan penggunaan dua jenis

umpan hidup untuk penangkapan cakalang dengan alat tangkap Pole and Line khususnya di Perairan Laut Larantuka, Flores Timur. Terutama penggunaan jenis ikan Tembang

(Sardinella fimbriata) dan ikan Layang (Decaperus ruselli) sebagai umpan hidup, diantara

jenis umpan hidup yang lain yang digunakan di Floes Timur. Selanjutnya menghitung Ratio

jumlah umpan hidup yang digunakan dibandingkan dengan jumlah perolehan hasil tangkapan cakalang dan Ikan sirip kuning, sekaligus Ratio jumlah biaya penyediaan umpan

dengan nilai jual perolehan hasil tangapan yang didapatkan.

Metode Penelitian Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan pada lokasi fishing ground Perairan Flores

Timur dengan fishing base di Desa Murante, Kecamatan Suli, Kabu- paten Luwu, dengan

fising base di TPI Larantuka, sedangkan Fishing Ground di beberapa lokasi Rumpon, di

Perairan Tanjung Bunga -8°2´54,08˝LS-122°51´57,97˝BT, Perairan Sabu-10°16´36,26˝LS-122°2´56,22˝BT dan Perairan Paga -8°47´42,60˝LS-122°4´6,50˝BT.

Perlaksanaan penelitian pada Bulan Nopember 2019 sampai dengan 6 Mei 2020.

Metode Pengumpulan Data. Metode yang digunakan untuk kegiatan penelitian ini adalah metode studi kasus pada satu unit pole and line. Penentuan satu unit kapal pole and line

di lakukan secara sengaja karena pole and line di kabupaten Flores Timur memiliki ukuran

kapal relatif sama. Data yang di kumpulkan adalah data primer dan sekunder.

Pengumpulan Data Primer. Data primer di peroleh melalui observasi langsung dengan mengikuti operasi penangkapan pada satu unit pole and line di Kabupaten Flores Timur

sebanyak 5 (lima) trip atau 52 kali operasi penangkapan. Adapun prosedur pengumpulan

data secara primer meliputi (1) Data jumlah umpan ikan hidup yang di gunakan selama

pemancingan setiap satu kali operasi penangkapan yang di hitung dengan satuan ember, (2) menentukan berapa lama waktu pemancingan di hitung pada saat boy-boy mulai

menurunkan umpan hidup hingga selesainya waktu pemancingan di tandai dengan

berhentinya kegiatan pemancingan, di hitung mengunakan stopwatch. Waktu

pemancingan di kategorikan menjadi dua yaitu pagi hari sampai siang hari dan siang hari sampai sore hari dan (3) melakukan wawancara dengan nelayan untuk melengkapi data

yang diinginkan.

Page 155: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

144 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pengumpulan Data Sekunder. Data sekunder diperoleh dari studi literatur sebagai

penunjang penelitian untuk menunjuk- kan keabsahan suatu penelitian, dan mengetahui

jenis ikan yang tertangkap dengan men- cocokkan beberapa literatur digunakan antara

lain (Allen, 1999).

Hasil dan Pembahasan

Kontruksi Kapal. Kapal yang digunakan dalam penelitian adalah KMN INKA MINA 911.

Kontruksi kapal pole and line yang digunakan sama dengan kontruksi kapal pole and line pada umumnya yaitu terdiri dari ruang kemudi kapal, ruang mesin, ruang tempat tidur

ABK, palka umpan hidup dengan sistem sirkulasi air yang baik memiliki 24 lubang yang

terdiri dari 12 lubang samping atas dan 12 lubang bawah, ruang dapur, palka untuk

menyimpan hasil tangkapan, palka untuk menyimpan es balok, dan palka untuk menyimpan tali jangkar dan palka menyimpan air tawar. KMN. INKA MINA 911 memiliki

data kapal sebagai berikut :

Tabel 1. Data Kapal

Data Keterangan

Nama Kapal KMN. INKA MINA 911

Nama Pemilik Elly M. A. Molle

Nama Nahkoda Simon Beda Botoor

Jenis Kapal Penangkapan Ikan Tanda Selar GT.30.No.405/OOk

Temapat dan Tahun Pembuatan Kupang, 21 April 2014

Panjang Keseluruhan 20,03 Meter

Lebar Kapal 4,56 Meter Dalam kapal 1,80 Meter

Isi Kotor 30 NT

Isi Bersih 9 NT

Bahan Kontruksi Kapal Fiberglass

Gambar 1. Kontruksi Kapal INKA MINA 911

KMN. INKA MINA 911 mempunyai awak kapal dengan jumlah 16 orang. Berikut adalah

struktur susunan organisasi pada KMN. INKA MINA 911: Nahkoda (Simon Beda Botoor), KKM (Sardak Tosi), Boy-boy (Roy Rocky Adrian Kuera) Koki (Tadius Benu dan Dominikus

Lamablawa) dan ABK (Teodorus, Antonius, Nurdi, Tarsisius, Ribon, Ignasius, Bonis,

Page 156: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

145 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Yoseph Dedi, Klemens, Riski dan Anjar). Selain itu, KMN. INKA MINA 911 memiliki suatu

unit mesin yang menghasilkan suatu tenaga penggerak sebagai mesin induk. Berikut data

mesin KMN. INKA MINA 911.

Tabel 2. Data Kapal

Jenis Mesin Mesin diesel

Merk Yuchai, YC6A170C

Jumlah Slinder 6 Tahun pembuatan 2014

Kekuatan Mesin 125 KW

Jenis bahan bakar Solar

Kapasitas tangki bahan bakar 500 liter Nomor seri mesin -

Pengoperasian Alat Tangkap Pole and Line

Tahapan Persiapan Penangkapan Ikan. Tahapan ini terdiri dari (1) persiapan alat

tangkap, (2) persiapan kapal, meliputi BBM, persiapan mesin, persiapan semprotan air

untuk operasi penangkapan, persiapan dokumen kapal, SIUP, SIPI dan SIDN, (3) persiapan

perbekalan meliputi pemuatan es balok, pengisian air tawar, pemuatan BBM dan pemuatan

bahan perbekalan bahan makanan, (4) persiapan tenaga kerja, (5) persiapan umpan hidup

yaitu dilakukan pada malam hari atau pagi hari, yang di peroleh dari hasil tangkapan alat

tangkap jaring. Jenis umpan yang digunakan adalah ikan Tembang dan ikan Layang, (6)

aerah penangkapan yaitu lokasi atau tujuan penangkapan, Gerombolan Ikan dan terkait

lainnya. Daerah penangkapan yang menjadi tujuan operasi penangkapan adalah

pemasangan rumpon, yang berfungsi untuk mengumpulkan gerombolan ikan yakni; di

Perairan Tanjung Bunga -8°2´54,08˝LS-122°51´57,97˝BT, Perairan Sabu-

10°16´36,26˝LS-122°2´56,22˝BT dan Perairan Paga -8°47´42,60˝LS-122°4´6,50˝BT

(7) pengoperasian, yaitu dilakukan sebagai prsedure dan cara-cara yang biasa dilakukan

nelayan pole and line pada ummnya, antara lain mencari umpan di nelayan pemasok di

bagan-bagan dan nelayan alat Lampara. Selanjutnya menuju Fishing Ground, dan

melakukan operasi pemancingan sesuai yang biasa dilakukan.

Kontruksi Alat Tangkap. Huhate terdiri atas tongkat yang disebut joran, tali dan mata

pancing. Pada ujung tongkat diberi tali berbahan monofilament dan pada ujung di tali yang

lain dilengkapi dengan mata pancing. Joran pada umumnya terbuat dari bambu yang lentur

sehingga dapat dengan mudah mengangkat ikan yang terpancing, melontarkannya ke

udara, dan melepaskan ikan dari kaitan pancing sehingga jatuh di atas deck kapal. Panjang

joran yang digunakan dalam memancing sekitar 2,5 m sesuai dengan keinginan si

pemancing.

Mata pancing yang digunakan pada huhate adalah pancing tanpa kait (pancing polos), sehingga mudah melepaskan ikan yang tertangkap. Teknik memancing biasanya,

bertumpu pada kecepatan gerakan. Pada saat ikan menggigit kail, pancing disentakkan,

ikan yang tertangkap diangkat dari air laut dan dengan teknik khusus, mata kail dilepaskan

pada saat yang sama ketika ikan dilontarkan ke udara dan diarahkan jatuh ke deck kapal.

Teknik melepaskan ikan yang terkait pada pancing huhate ini membutuhkan ketrampilan khusus dan biasanya hanya dapat dilakukan oleh pemancing yang terampil dan

berpengalaman.

Alat tangkap Pole and line yang di gunakan pada kapal penangkapan ikan KMN INKA

MINA 911 adalah sebagai berikut :

Page 157: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

146 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Joran (Galah). Joran atau galah yang digunakan pada KMN INKA MINA 911

terbuat dari bambu dengan panjang joran yaitu 2,5 meter. Panjang dan beratnya

joran ditentukan oleh ketrampilan dan kekuatan nelayan.

Tali Pancing. Tali pancing yang digunakan terdiri dari tali utama (panjangnya 2

meter) yang dihubungkan dengan tali sekunder (panjangnya 20 cm), dimana

diujung tali sekunder diikat mata pancing.

Mata Pancing. Mata pancing yang digunakan tidak berkait balik, mata pancing

tesebut bernomor 2,5-3. Pada bagian atas mata pancing terdapat timah berbentuk

slinder dengan panjang 2 cm dan diameter 1 cm, yang bagian luarnya dibungkus dengan nikel sehingga lebih mengkilat dan menarik perhatian ikan target,

sedangkan pada sisi luarnya terdapat cincin sebagai tempat mengikat tali. Pada

bagian mata pancing dilapisi guntingan tali rafia dan bulu ayam yang diikati dengan

benang.

Alat Bantu Penangkapan. Alat bantu penangkapan yang terdapat pada KMN INKA MINA

911 meliputi pila-pila, Pipa penyemprot air, Sibu-sibu, Serok, Bak penabur umpan hidup,

Rumpon, Teropong, GPS.

Jenis dan Jumlah Umpan. Umpan merupakan salah satu faktor utama untuk

menentukan keberhasilan penangkapan ikan dengan alat tangkap pole and line. Jenis

umpan hidup yang biasa digunakan adalah mempunyai sifat berenang cepat menuju

permukaan,berukuran 2-4 cm, dan apabila sudah dilempar atau ditebar dapat dengan cepat kembali mendekati kapal.Untuk mengetahui jenis-jenis umpan dan jumlah umpan

yang di pakai dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Jenis-Jenis Umpan

No Jenis

Umpan

Jumlah Umpan yang di pakai (ember)

Trip 1

25 Nov- 19

Des 2019

Trip 2

7 Jan- 2

Feb 2020

Trip 3

6 Febr-2

Mar 2020

Trip 4

7 Mar- 1

Apr 2020

Trip 5

17 Apr- 9

Mei 2020

1

Ikan

Tembang

(Sardinella flimbriata)

10 ember 12 ember 7 ember 5 ember 11 ember

2

Ikan

Layang

(Decafterus ruselli)

8 ember 7 ember 13 ember 11 ember 6 ember

Penanganan Umpan Hidup. Meliputi pengambilan umpan dilakukan pada malam dan

pagi hari, dengan cara Kapal mendekati bagan, kemudian Awak Kapal mengambil umpan pada jaring bagan dengan menggunakan ember dan umpan diambil selanjutnya disimpan

dalam palka, dan palka dipasang beberapa lubang yang ditutupi dengan saring dan dua

lubang yang dipasangi bamboo dan dipasangi lampu guna mencegah kematian ikan

umpan.

Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan. Jenis–jenis hasil tangkapan utama yang didapat di KMN INKA MINA 911 ialah Ikan Tuna sirip kuning (Yellow Fin Tuna) dan Cakalang. Dengan

rata-rata jumlah hasil tangkapan 2-5 ton/trip, Satu kali trip 4-6 hari.

Page 158: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

147 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Tabel 4. Jenis dan Jumlah Tangkapan

N0 Tanggal berlayar Ikan yang di dapat Jumlah hasil tangkapan

1 25 Nov- 19 Des 2019

(5 kali penangkapan)

-Cakalang

-Tuna sirip kuning

6300 kg

1900 kg 2 7 Jan- 2 Feb 2020

( 6 kali penangkapan )

-Cakalang

-Tuna sirip kuning

5800 kg

1250 kg

3 6 Febr-2 Mar 2020

(6 kali Penangkapan)

-Cakalang

-Tuna sirip kuning

7100 kg

1200 kg 4 7 Mar- 1 Apr 2020

(4 kali Penangkapan)

-Cakalang

-Tuna sirip kuning

3800 kg

1200 kg

5 17 Apr- 9 Mei 2020

(5 kali Penangkapan)

-Cakalang

-Tuna sirip kuning

5850 kg

1100 kg

Cara Penanganan Ikan Hasil Tangkapan. Setelah proses pemancingan selesai,

penanganan hasil tangkapan di atas kapal segera di lakukan untuk mempertahankan mutu

hasil tangkapan, sehingga tetap segar sampai didarat (Liviawaty, 1989). Penanganan

diatas kapal KMN INKA MINA 911 dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu: penyortiran,

pencucian dengan air laut dan penyimpanan di dalam palka.

Tabel 5. Besaran Pendapatan Penjualan Ikan dari KMN.INKA MINA 911

No Tanggal Hasil Tangkapan (kg) Harga (Rp)

1 25 Nov- 19 Des 2019 8.200 kg 154.700.000

2 7 Jan- 2 Feb 2020 7.050 kg 107.450.000 3 6 Febr-2 Mar 2020 8.300 kg 124.600.000

4 7 Mar- 1 Apr 2020 5.000 kg 78.400.000

5 17 Apr- 9 Mei 2020 6.900 kg 104.300.000

Jumlah Pendapatan Kapal KMN INKA MINA 911 selama 6 bulan 569.450.000

Rasio Jumlah Umpan Hidup Yang Digunakan dan Perolehan Hasil Tangkapan.

Dalam operasionalnya KMN. INKA MINA 911 penyediaan umpan hidup diperoleh dari bagan

perahu dan nelayan lampara yang beroperasi di daerah Adonara Timur, Flores Timur NTT.

Ikan umpan dijual dalam ukuran ember dengan harga Rp. 500.000,- dan kapasitas setara dengan 40 kg. Hasil informasi dari nelayan jenis umpan hidup yang biasa digunakan hanya

4 (empat) jenis ikan umpan hidup, yaitu Tembang (Sardinella fimbriata), Layang

(Decapterus russeli), Lure (Stolephorus indicus) dan Rambeng (Stolephorus divisi, golen

morph). Masing-masing jenis ikan tersebut memiliki karateristik yang tidak jauh berbeda

dengan umpan cakalang secara khusus, yaitu memiliki ukuran yang relatif kecil, ukurannya

antara 5 – 7 cm, tubuhnya mengkilat pada waktu di tebar dan akan cenderung berenang

di permukaan dan mendekati kapal. Dari keempat jenis umpan di atas yang paling baik untuk digunakan dengan alat tangkap huhate adalah jenis umpan lure (Stolephorus

indicus) dan rambeng (Stolephorus devisi, golden morph), tetapi untuk jenis lure

(Stolephorus indicus) sangat sulit di temukan, kalau umpan hidup jenis rambeng

(Stolephorus devisi, golden morph) masih dapat ditemukan di daerah Adonara. Jadi kedua

jenis umpah hidup tersebut sangat di prioritaskan untuk proses penangkapan ikan dengan huhate. Tetapi pada penelitian kali ini umpan yang sering didapatkan adalah jenis tembang

(Sardinella fimbriata) dan layang (Decapterus ruseli).

Salah satu tindakan untuk menjaga kualitas Ikan umpan hidup agar tetap lebih lama

hidup dan dalam kondisi sisik ikan yang tidak terkelupas antara lain saat pengambilan dari tempat penjualan umpan, yakni dengan menjaga besaran umpan dengan air dalam

ember dengan perbandingan 80 % ikan umpan dengan 20% air, dan dengan tindakan

Page 159: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

148 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

cepat dan hati-hati memindahkan dari tempat umpan ke dalam palkah penampung ikan

umpan. Selanjutnya dalam palkah penampung umpan harus tetap dijaga sirkulasinya, dan

penerangan yang cukup agar ikan berkumpul di dekat cahaya sesaui sifatnya yang suka

terhadap cahaya (Fototaksis positif).

Peranan Umpan Hidup dalam Operasi Penangkapan. Selama 6 (enam) bulan

penelitian dalam operasional penangkapan ikan dengan KMN. INKA MINA 911, umpan yang

digunakan terbatas hanya 2 (dua) jenis ikan umpan, yakni Jenis Tembang (Sadinella fimbriata) dan Layang (Decapterus russeli). Hal ini mengingat bahwa pada Bulan

Desember 2019 sampai dengan April 2020 jenis umpan yang didapatkan di lapangan hana

terbatas pada 2 jenis ikan terebut. Untuk jenis tembang lebih banyak jumlah dalam

penggunaannya dibandingkan jenis layang, dan dalam 6 Trip atau 52 kali operasi penangkapan, dapat dirinci sebagai berikut : penggunaan umpan ikan tembang

mendominasi dalam operasi penangkapan yakni 32 kali operasi, sedangkan ikan layang

hanya 20 kali operasi.

Perbedaan yang diteliti di lapangan tidaklah terdapat perbedaan yang signifikan,

artinya penggunaan ikan tembang karena jumlahnya lebih besar dalam 52 kali operasi maka apabila dikaitkan dengan perolehan hasil tangkapan seringkali lebih besar

dibandingkan penggunaan umpan dengan ikan layang, Dari 5 (lima) Trip atau 52 kali

operasi yang dilakukan, maka pada pengoperasian ke 23 sampai ke 42 penggunaan ikan

Layang sebagai umpan hidup lebih banyak jumlahnya disbanding ikan tembang, sedangkan hasil tangkapan pada operasi ke 23 sampai dengan operasi ke 34 hasil tangkanan masih

sama dengan penggunaan tembang, tetapi pada operasi ke 35 sampai ke 42 menunjukkan

tanda penurunan hasil tangkapan disbanding dengan penggunaan umpan menggunakan

Ikan Tembang. Pada periode Maret sampai dengan Mei 2020 KM. INKA MINA 911 selalu

menggunakan umpan hidup yaitu tembang (Sardinella fimbriata) dan layang (Decapterus

ruselli). Dalam penelitian ini penggunaan umpan hidup jenis Tembang lebih banyak

digunakan karena tersedia lebih limpah di pemasok umpan, sedangkan umpan hidup jenis layang lebih sedikit disbanding tembang. Mengingat bahwa ikan cakalang (Katsowonus

pelamis) dan baby tuna (yellow fin) sangat suka terhadap umpan yang kuat dan tahan

lama, apabila ditebar pada saat ikan dalam keadaan lapar dan berusaha untuk mencari

makan.

Sesuai ketersediaan umpan yang tersedia di lapangan, maka umpan jenis ikan Layang hanya digunakan sebagai pelengkap sub bahasan mengenai peranan umpan hidup

terhadap operasi penangkapan karena hanya disebabkan jumlah ketersediannya lebih

kecil disbanding Tembang, atau dapat diasmumsikan sementara untuk ikan layang sebagai

berikut : (1) jenis umpan Tembang lebih lincah dan kuat dibanding layang, (2) ketahanan dalam bak penampung bersirkulasi lebih tahan lama, (3) ukuran badan sama-sama kecil

dan (4) memiliki sisik yang kuat dan tidak mudah lepas sehingga tidak cepat mati.

Pada pembahasan peranan umpan tersebut diatas maka dilakukan, bahwa pendekatan

melalui jenis umpan yang digunakan pada pembahasan ini adalah berdasarkan umpan hidup jenis tembang (Sardinella fimbriata), terlihat perbedaan yang sangat signifikan

antara jenis umpan tembang dan layang, namun demikian dalam pembahasan kali ini

tidak dapat digunakan sebagai pembanding, karena hanya beberapa kali pengulangan

untuk dua umpan hidup jenis Tembang dan Layang. Mengingat dalam pengoperasian

kedua jenis umpan tersebut tercampur, dan yang membedakan hanya besaran jumlah yang digunakan dalam setiap operasi, dimana Jumlah Ikan Tembnag lebih banyak

dibandingkan ikan Layang. Dan inidikator yang terjadi hanya pada 1(satu) Trip yakni

operasi ke 34 sampai ke 42 perolehan hasil tangkapan dengan ikan umpan dominasi

layang, tercatat lebih kecil dibanding penggunaan ikan tembang. Berikut adalah tabel

Page 160: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

149 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

penggunaan umpan hidup serta rerata hasil tangkapan setiap pemancingan yang terjadi

selama 52 kali operasi, dengan KMN. INKA MINA 911.

Tabel 6. Penggunaan Umpan Hidup Serta Rerata Hasil Tangkapan

No. Jam

Operasi

Operasi

Ke

Jumlah umpan

(kg)

Hasil Tangkapan

(kg)

Ratio

1 05.30 1 120 1250 10.42

13.45 2 70 800 11.43

2 05.45 3 100 1100 11.00

14.05 4 40 550 13.75

3 05.30 5 70 840 12.00

15.00 6 40 550 13.75

4 07.00 7 50 500 10.00

13.00 8 130 1750 13.46

5 06.00 9 60 640 10.67

14.10 10 40 220 5.50

6 06.00 11 70 545 7.79

12.00 12 30 175 5.83

7 06.30 13 100 845 8.45

13.00 14 40 400 10.00

8 07.00 15 80 585 7.31

14.00 16 30 150 5.00

9 05.30 17 70 460 6.57

13.40 18 60 500 8.33

10 06.30 19 40 340 8.50

13.50 20 110 1800 16.36

11 06.00 21 80 650 8.13

15.00 22 50 600 12.00

12 05.40 23 70 740 10.57

15.45 24 60 580 9.67

13 06.00 25 80 720 9.00

14.50 26 50 510 10.20

14 06.30 27 30 270 9.00

15.00 28 150 1800 12.00

15

05.30 29 70 660 9.43

14.00 30 40 340 8.50

16 07.00 31 60 680 11.33

13.50 32 40 450 11.25

17 06.45 33 120 1420 11.83

12.30 34 30 130 4.33

Page 161: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

150 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Lanjutan Tabel 6. Penggunaan Umpan Hidup Serta Rerata Hasil Tangkapan

No. Jam

Operasi Operasi

Ke

Jumlah

umpan

(kg)

Hasil

Tangkapan

(kg)

Ratio

18 06.00 35 90 600 6.67

13.45 36 45 250 5.56

19 06.00 37 85 560 6.59

14.00 38 60 350 5.83

20 05.50 39 110 1450 13.18

14.00 40 70 345 4.93

21 05.30 41 100 870 8.70

15.30 42 80 575 7.19

22 05.40 43 90 1000 11.11

15.45 44 60 375 6.25

23 06.00 45 125 2010 16.08

14.50 46 50 290 5.80

24 06.30 47 80 840 10.50

13.45 48 30 250 8.33

25 05.30 49 95 755 7.95

14.00 50 40 360 9.00

26 07.00 51 80 910 11.38

15.00 52 30 160 5.33

Gambar 2. Grafik Operasi Penangkapan Selama 52 kali (25 Nopember 2019 - 9 Mei 2020)

Kesimpulan. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu (1) keberhasilan operasi

penangkapan ikan cakalang dengan alat Pole and Lie atau Huhate, sangat ditentukan oleh

tersedianya umpan hidup yang cukup terutama pada waktu musim ikan Cakalang.

Terdapat 4 jenis ikan umpan yang tesedia secara musiman di Perairan Flores Timur antara

lain Lure, Rambeng , Tembang dan Layang, (2) alam penelitian yang berlangsung Nopember 2019 sampai dengan Mei 2020 umpan hidup yang tersedia hanya ikan Tembang

Page 162: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

151 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

dan Layang, dan kedua umpan inilah yang diamati keberadaannya mengingat memiliki

kelimpahan jumlah yang berbeda dalam penyediannya, Ikan tembang lebih banyak

dibanding layang, (3) operasi penangkapan dilaksanakan dalam 5 Trip atau lebih rinci

sebanyak 52 operasi penangkapan, selanjutnya karena keterdiaan umpan maka 32 Operasi penangkapan umpan yang digunakan didominasi oleh ikan Tembang dan 20 Operasi umpan

yang digunakan didominasi ikan Layang. Artinya dalam dominasi masing-masing masih

ada jenis lainnya, dominasi Tembang didalamnya masih ada ikan Layang demikian juga

sebaliknya (4) ada Operasi 1 sampai dengan operasi 22 dan operasi 35 sampai ke 52 umpan yang dominan digunakan adalah Tembang, sedangkan pada operasi 23-42 umpan

didominasi dengan Ikan Layang, dan pada Operasi 34-42 dominasi umpan layang

menghasilkan perolehan tangkapan yang rendah dibanding perolehan dominasi ikan

tembang (5) asil keseluruhan pengamatan di lapangan dapat dihitung ratio sebagai berikut, untuk Ratio jumlah umpan yang digunakan terhadap perolehan hasil tangkapan adalah

sebesar 9,86 %, yakni dengan jumlah umpan 3.600 Kg hasil tangkapan yang diperoleh

adalah 35.500 Kg. Demikian pula unruk Ratio Permodalan umpan dibanding nilai jual ikan

hasil tangkapan sebesar 12,65, yakni dengan menghitung jumlah kebutuhan umpan

selama penelitian sebesar Rp. 45.000.000,- sedangkan nilai perolehan hasil tangkapan sebesar Rp. 569.450.000,-. Dengan demikian kedua nilai ratio sudah memnuhi persyaratan

kelayakan operasional dan usaha.

Daftar Pustaka Adna 1977, Buletin Penelitin Perikanan , Juli 1981 No. 3 Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertania.

Balai Ketrampilan penangkapan Ikan, 1981, Buku Pegangan Peserta Latihan diBalai

Ketrampilan Penangkapan Ikan , Direktoran Jenderal Perikanan, Ambon.

Balai Penelitian Perikanan Laut, 1983, Laporan Penetian Perikanan Laut, Jakarta Badan Riset Perikanan Tang kap, 2006, Buletin Teknik Litkayasa Sumber dayadan

Penangkapan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan , Jakarta

Direktorat Jendral Perikanan, 1994. Paket Teknologi Kapal Pole and Line. Departemen Pertanian, Jakarta

Sudirman, Malawa, A. 2004, Teknik Penangkapan Ikan. RINEKA CIPTA

Tampubolon, SM. 1980, Persiapan dan Pengoperasian Pole and Line . Ikatan Alumni Fakultas Pertanian Bogor.

Waluyo Subani, 1982. Ikan Umpan Hidup Sebagai Penunjang PerikananCakalang , LIPI. No. 30, Jakarta.

www.Google. Com, Gambar Alat Penangkap ikan pole and line, kapal

Ayodhya, A.U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.

Data Statistik Perikanan Tangkap.2012. Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate.

Endratno. 2002. Uji Coba Umpan Benang Perak Pada Pancing Tonda (Troll Line) Di Perairan Pelabuhanratu Sukabumi Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan

Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor

Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Nasution, A.H. dan Barizi.1986. Metode Statistika. PT Gramedia. Jakarta.

Papilaya, R. 2004. Evaluasi Usaha Perikanan Tangkap Huhate Di Kecamatan Sapura. Jurnal Saintek Perikanan. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Universitas Pattimura. Vol 3 (2): 65-70.

Puspito, G. 2010. Warna Umpan Tiruan Pada Huhate. Jurnal Saintek Perikanan Departemen

Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Vol

6 (1): 1-7.

Page 163: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

152 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Sawon, Rahmat, E, Suwardi, Dan Salim, A. 2006. Teknik Penangkapan Memakai Alat

Pancing Pole And Line Di Perairan Ternate Maluku Utara. Balai Teknik Litkayasa. Vol 4

(2): 63-67

Sriawan. 2002. Pengaruh Waktu, Guhu Permukaan Laut Dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole And Line Di Perairan Laut SawuNusa Tenggara Timur. [Tesis].

Progam Pascasarjana, IPB.

Subani, W dan Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan udang di Indonesia. Jurnal

Penelitian Perikanan Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Balai Penelitian dan Perikanan Laut. Jakarta. Vol. 11: 187-197

Surur, Fatichus. 2007. Pancing. Andi Offset. Yogyakarta.

Wudianto, Mahiswara Dan Anung W. P. A. 2001. Memancing Di Perairan Tawar dan Di Laut.

Penebar Swadaya. Jakarta.

Page 164: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

153 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pengembangan Kurikulum Program Pelatihan Pemantauan Ekosistem Terumbu Karang untuk Mendukung Konservasi Fina Rahmawati1, Erry Utomo2, Santi Maudiarti3, Idris4 dan Fakhrurrozi5

1,2,3)Program Studi Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan-Universitas

Negeri Jakarta, Gedung Daksinapati, Rawamangun Muka, Jakarta Timur 13220-Indonesia

4,5)Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI)

Jalan Asyibaniyah No. 105-106 Pondok Jaya Cipayung Depok Jawa Barat,

16438-Indonesia (Email : [email protected] ; [email protected] ;

[email protected], [email protected] ; [email protected])

Abstrak - Indonesia memiliki kawasan terumbu karang mencapai 25.000 km2 atau sekitar 10 % total terumbu karang dunia dengan keanekaragaman jenis karang paling tinggi yaitu 569 jenis dari 82 marga

dan 15 suku atau sekitar 70 % lebih jenis karang dunia serta 5 jenis termasuk endemik. Masyarakat

pesisir banyak menggantungkan hidupnya pada kawasan terumbu karang, namun saat ini terumbu karang di Indonesia dalam kondisi memprihatinkan. Guna menjawab permasalahan tersebut, Yayasan

TERANGI mengembangkan pemantauan kondisi terumbu karang dan riset ilmiah yang melibatkan sumber daya manusia yang kompeten. Peningkatan kompetensi dilakukan melalui program pelatihan

Pemantauan Terumbu Karang yang terbuka untuk umum dengan syarat-syarat tertentu. Tujuan dari

program pelatihan ini adalah untuk mencetak para peneliti muda yang kompeten di bidang pemantauan terumbu karang. Namun program pelatihan belum memiliki kurikulum yang dapat dijadikan acuan atau

pedoman selama menjalankan program. Maka penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah prototipe kurikulum program pelatihan pemantauan terumbu karang yang dapat dijadikan acuan dalam

pelaksanaan program pelatihan di Yayasan Terumbu Karang Indonesia. Metode yang digunakan mengacu

pada model Dick And Carey. Prosedur pengembangan dilakukan melalui sembilan tahap dari sepuluh tahap yang terdapat dalam model tersebut. Sebagai bentuk penilaian terhadap produk kurikulum yang

dikembangkan maka dilakukan evaluasi formatif berupa expert review. Hasil review dari ahli kurikulum memperoleh skor rata-rata 3,43; ahli desain pembelajaran 3,46 dan ahli materi 3,64. Berdasarkan

kriteria hasil penilaian yang telah ditentukan maka kurikulum pelatihan ini dinilai “Sangat Baik”.

Kata Kunci : Pengembangan, Kurikulum, Program Pelatihan, Pemantauan Terumbu Karang

Abstract - Indonesia has a coral reef area of 25,000 km2 or about 10% of the world's total coral reefs

with the highest coral species diversity, namely 569 species from 82 genera and 15 tribes or about 70% more of the world's coral species and 5 types including endemic. Many coastal communities depend on

coral reefs for their livelihoods, but currently, coral reefs in Indonesia are in poor condition. To answer

this problem, TERANGI Foundation develops monitoring of coral reef conditions and scientific research involving competent human resources. Competency enhancement is carried out through the Coral Reef

Monitoring training program which is open to the public with certain conditions. This training program aims to produce competent young researchers in the field of coral reef monitoring. However, the training

program does not yet have a curriculum that can be used as a reference or guide while running the

program. So this research aims to produce a curriculum prototype for coral reef monitoring training programs that can be used as a reference in implementing training programs at the Indonesian Coral

Reef Foundation. The method used refers to the Dick And Carey model. The development procedure is carried out through nine stages of the ten stages contained in the model. As a form of assessment of the

developed curriculum products, a formative evaluation is carried out in the form of an expert review.

Keywords : Development, Curriculum, Training Program, Coral Reef Monitoring

Pendahuluan. Indonesia memiliki kawasan terumbu karang mencapai

25.000 km2 atau sekitar 10% total terumbu karang dunia dengan keanekaragaman jenis karang paling tinggi yaitu 569 jenis dari 82 marga dan 15 suku atau sekitar 70 % lebih

jenis karang dunia serta 5 jenis termasuk endemik. Masyarakat pesisir banyak

menggantungkan hidupnya pada kawasan terumbu karang, namun saat ini terumbu karang

di Indonesia dalam kondisi memprihatinkan.

Page 165: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

154 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis pada November 2018

terhadap 1067 site di seluruh perairan Indonesia, menunjukkan bahwa terumbu karang

dalam kategori buruk sebanyak 386 site (36.18%), kategori cukup sebanyak 366 site

(34.3%), kategori baik sebanyak 245 site (22.96%) dan kategori sangat baik sebesar 70 site (6.56%). Menurut peneliti, penyebab utama rusaknya terumbu karang karena

pemakaian alat tangkap ikan yang merusak, peningkatan pencemaran di laut, dan

pemanasan global. Dari dampak itulah terumbu karang mengalami pemutihan yang diikuti

penyakit dan hama karang. Oleh karena itu, diperlukan langkah serius dan nyata untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Melihat isu terumbu karang yang terjadi di Indonesia,

Yayasan TERANGI bekerjasama dengan mitra melakukan beberapa kegiatan. Salah satu

kegiatannya, yaitu menyediakan data dan informasi mengenai terumbu karang yang

nantinya akan berguna sebagai dasar pengelolaan dan pengambilan kebijakan. Data dan Informasi tersebut didapatkan melalui program monitoring atau pemantauan kondisi

terumbu karang dan riset ilmiah mengenai terumbu karang.

Program riset ilmiah dan pemantauan terumbu karang, selalu melibatkan peneliti atau

volunteer dari luar TERANGI yang berasal dari mahasiswa maupun umum. Dalam

melakukan pogram ini tentu diperlukan SDM yang kompeten di bidang terumbu karang dan ekosistem terkait serta metode pemantauannya. Oleh karena itu mahasiswa atau

masyarakat umum yang terlibat biasanya berasal dari ilmu kelautan dan biologi.

Kompetensi dalam bidang pemantauan sangat penting, dalam rangka meningkatkan

kompetensi tersebut, Yayasan TERANGI membuat program pelatihan Pemantauan Terumbu Karang yang terbuka untuk umum dengan syarat-syarat tertentu. Tujuan dari

program pelatihan ini adalah untuk mencetak para peneliti muda yang kompeten di bidang

pemantauan terumbu karang. Program pelatihan ini belum memiliki rincian kegiatan yang

terstruktur, jelas, serta lengkap. Program pelatihan ini juga belum memiliki kurikulum yang dapat dijadikan acuan atau pedoman selama menjalankan program. Bahkan, mereka

belum memiliki rumusan tujuan pembelajaran di setiap topik pelatihan yang mereka

selenggarakan. Waktu yang belum tersedia serta latar belakang para staf yang bukan dari

ilmu pendidikan menjadi kendala belum dikembangkannya kurikulum program pelatihan ini.

Menurut Sukmadinata (2013) kurikulum memiliki kedududkan sentral dalam seluruh

proses pendidikan. Hal ini dikarenakan kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas

pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Maka sangat jelas bahwa

kurikulum berperan penting dalam proses pembelajaran. Dimana kurikulum berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran.

Tujuan kajian ini adalah menghasilkan sebuah prototype Kurikulum Program Pelatihan

Pemantauan Terumbu Karang yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan

program di Yayasan Terumbu Karang Indonesia.

Metode Penelitian

Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2019 hingga

Januari 2020. Pada bulan Oktober 2019 dilakukan penyusunan kuesioner. Pada bulan November 2019 dilakukan revisi dan pengambilan data pertama, serta dilanjutkan dengan

diskusi dengan pakar. Bulan Desember 2019 dan Januari 2020 melakukan pengembangan

kurikulum, analisa data dan penulisan hasil. Lokasi pengambilan data dilakukan di Kantor

Yayasan TERANGI dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Alat dan Bahan. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian dapat terinci pada

Tabel 1.

Page 166: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

155 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian

No Alat dan Bahan Fungsi

1 Kertas Sebagai tempat menulis 2 Pensil dan Pulpen Alat Tulis

3 Kuesioner Alat mengumpulkan data

4 Kamera Pengambilan foto

5 Perekam (recorder) Alat untuk merkam hasil wawancara dengan pakar

Metode Penelitian dan Analisa Data. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembanan (Research and Development) dengan pendekatan Model Dick

and Carey (2008). Metode penelitian dan pengembangan adalah metode penelitian yang

digunakan untuk menghasilkan produk atau konsep tertentu berdasarkan proses yang

sistematis dan menguji keefektifannya. Model Dick and Carey didasarkan pada penggunaan

pendekatan komponen-komponen dasar dari desain sistem pembelajaran yang meliputi analisis, desain pengembangan, implementasi, dan evaluasi. Setiap langkah dalam model

ini saling berkaitan satu sama lain. Hasil dari satu komponen akan menjadi input bagi

komponen lainnya. Langkah-lagkah yang dikemukakan model. Langkah-langkah

pengembangannya pun rinci dan lengkap. Selain itu model ini mencerminkan proses desain dasar yang digunakan dalam banyak pelatihan bisnis, industri, pemerintahan, dan militer.

Hal inilah yang membuat model ini sesuai untuk pengembangan kurikulum program

pelatihan pemantauan terumbu karang. Terdapat 10 tahapan yang ada, penulis hanya akan

melakukan 9 tahapan karena beberapa keterbatasan yang dimiliki. Berikut adalah tahapan yang akan dilakukan penulis:

Mengidentifikasi Tujuan Atau Kompetensi Umum. Tahap pertama yang

dilakukan adalah melakukan analisis kebutuhan. Pengambilan data untuk mengidentifikasi kebutuhan dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara yang

akan dilakukan peneliti merupakan wawancara yang ditujukkan kepada

penanggung jawab program pelatihan pemantauan terumbu karang di Yayasan

TERANGI.

Hasil wawancara kemudian akan dianalisis untuk merumuskan kompetensi umum pelatihan. Dengan demikian akan diperoleh hasil berupa rumusan Standar

Kompetensi (SK) dengan menggunakan unsur ABCD (Audience, Behavior,

Condition, Degree).

Melakukan Analisis Instruksional. Setelah memperoleh rumusan standar

kompetensi, tahap selanjutnya adalah melakukan analisis instruksional. Tahap ini

dimulai dari mengidentifikasi kompetensi umum menjadi sub-sub kompetensi atau

perilaku khusus yang perlu dikuasai oleh peserta pelatihan setelah mengikuti proses pelatihan. Kemudian disusun secara sistematis.

Penyusunannya diurutkan untuk membentuk pola struktur kompetensi tertentu

berdasarkan sifat dari setiap sub kompetensi tersebut dan mengacu pada tujuan

kompetensi umum yang telah dirumuskan. Hasil analisis pembelajaran ini nantinya

akan berbentuk bagan peta kompetesi.

Menganalisis Peserta Didik dan Konteks. Analisis peserta didik dilakukan untuk

mengetahui karakteristik peserta didik atau peserta pelatihan. Sementara analisis

konteks dilakukan untuk mengetahui lingkungan atau setting tempat pelatihan dan fasilitas yang meliputi kondisi tempat pelatihan, ketersediaan peralatan, dan media

pembelajaran yang dapat dimanfaatkan dalam pelatihan.

Pada tahapan ini penulisa melakukan observasi dan wawancara tidak terstruktur

terhadap penyelenggara program pelatihan serta studi dokumen data peserta

Page 167: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

156 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

sebelumnya terkait karakteristik peserta pelatihan. Kemudian setelah data tersebut

didapat, hasilnya dianalisis dan diidentifikasi. Maka pada tahap ini akan diperoleh

hasil identifikasi karakteristik awal peserta didik dan lingkungan tempat pelatihan.

Data yang dihasilkan ini akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan strategi, metode, dan media yang akan digunakan dalam pelatihan.

Menuliskan Tujuan Kinerja atau Kompetensi Khusus. Pada tahap ini,

kompetensi khusus yang dirumuskan akan mengacu pada sub-sub kompetensi atau perilaku khusus yang telah diidentifikasi pada tahap analisis instruksional.

Perumusannya dilakukan dengan menggunakan unsur ABCD, yaitu dengan

menuliskan siapa peserta didiknya, perilaku khusus apa, dengan kondisi yang

bagaimana, dan seberapa jauh tingkat keberhasilannya. Dengan demikian, diperoleh hasil berupa beberapa rumusan kompetensi dasar yang mengacu pada

perilaku khusus, serta karakteristik awal yang telah dianalisis sebelumnya.

Mengembangkan Instrumen Penilaian. Instrumen penilaian pada tahap kelima

ini dibuat mengacu pada Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang telah dirumuskan sebelumnya. Instrumen penilaian dibuat untuk mengukur

pencapaian peserta didik terhadap perilaku yang telah dirumuskan pada kompetensi

dasar. Peneliti akan mengumpulkan opsi-opsi tes penilaian lalu menganalisisnya

agar sesuai dengan tujuan yang akan diukur. Evaluasi yang akan dirumuskan terdiri dari evaluasi formatif dan sumatif. Rancangan bentuk tes penilaian yang akan

digunakan dibuat dalam bentuk tabel kisi-kisi tes. Dari kisi-kisi yang telah dibuat

tersebut akan dikembangkan butir-butir tes dan tabel penilaian yang sesuai.

Mengembangkan Strategi Instruksional. Pada tahap ini, pengembang

menyusun strategi pembelajaran pada setiap tujuan khusus atau kompetensi dasar.

Tahap ini menghasilkan tabel yang didalamnya terdiri dari kolom urutan kegiatan,

metode, media, dan alokasi waktu. Dalam tahap ini terdapat empat komponen yang akan disusun, yaitu: (1) menyusun urutan kegiatan yang terdiri dari pendahuluan,

penyajian, dan penutup. Kegiatan pendahuluan berisi penjabaran langkah yang

dilakukan untuk membuka pelatihan. Lalu, kegiatan penyajian berisi penjabaran

langkah yang dilakukan dalam menyampaikan pokok-pokok bahasan pelatihan.

Kemudian, pada kegiatan penutup berisi langkah untuk menutup kegiatan pelatihan (2) memilih metode pembelajaran untuk setiap pokok bahasan. Memilih media

pembelajaran yang akan digunakan saat proses pelatihan.

Menentukan Alokasi Waktu. Dalam menentukan isi setiap komponen strategi pembelajaran, mengacu pada tujuan atau kompetensi umum dan khusus,

identifikasi perilaku dan karakteristik awal peserta didik, serta pokok bahasan atau

materi. Dengan demikian, tahap ini menghasilkan strategi pembelajaran yang akan

digunakan dalam pelatihan.

Mengembangkan dan Memilih Bahan Pelatihan. Dalam tahap ini pengembang

hanya akan memanfaatkan bahan-bahan pelatihan yang telah tersedia di Yayasan

TERANGI. Peneliti akan mulai mencari dan mengumpulkan buku, jurnal, dan slide

presentasi yang berkaitan dengan topik-topik pelatihan. Opsi-opsi yang tersedia kemudian dianalisis dan dinilai untuk kemudian diputuskan bahan-bahan mana saja

yang akan digunakan dalam pelatihan.

Page 168: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

157 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Merancang Dan Melaksanakan Evaluasi Formatif. Evaluasi formatif dilakukan

untuk menilai kualitas prototype kurikulum yang telah dibuat. Dari empat tahap

evaluasi formatif, hanya tahap pertama yang akan dilakukan, yaitu expert review.

Tahap ini bertujuan untuk memperoleh masukan dari para ahli terhadap produk yang dihasilkan.

Pada tahap expert review, kurikulum akan direviu oleh tiga ahli, yaitu ahli

pengembang kurikulum, ahli desain pembelajaran dan ahli materi. Ahli pengembang

kurikulum merupakan seseorang yang memiliki kualifikasi serta menguasai teori dan konsep dalam pengembangan suatu kurikulum. Sedangkan ahli desain

pembelajaran merupakan seseorang yang menguasai teori serta konsep desain

pembelajaran. Ahli pengembang kurikulum dan desain pembelajaran yang terlibat

pada penelitian ini adalah salah satu dosen Prodi Teknologi Pendidikan UNJ atau praktisi pengembang kurikulum. Sedangkan ahli materi merupakan orang yang

menguasai konten pemantauan terumbu karang. Ahli materi yang akan terlibat

adalah salah satu peneliti senior di Yayasan TERANGI.

Adapun jenis instrumen yang akan digunakan berupa kuesioner campuran, dimana

terdapat daftar pernyataan dengan skala likert 1-4 serta kolom saran terbuka yang dapat diisi terkait gambaran umum, kelebihan, kekurangan, dan saran perbaikan

dari setiap ahli. Kategori jawaban dengan skala likert yang digunakan adalah

sebagai berikut:

Tabel 2. Skala Penilaian Kuesioner

Skala Nilai

Kurang Baik 1

Cukup 2

Baik 3 Sangat Baik 4

Kemudian instrumen yang telah disusun divalidasi oleh validator. Hasil data yang

diperoleh menggunakan kuesioner diolah dengan statistika sederhana.

𝑺𝒌𝒐𝒓 𝒓𝒂𝒕𝒂−𝒓𝒂𝒕𝒂= 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐬𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐬𝐤𝐨𝐫

𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐮𝐭𝐢𝐫 𝐬𝐨𝐚𝐥

Kemudian dikategorikan dengan kriteria berikut: 3,26 – 4,00 = Sangat Baik

2,51 – 3,25 = Baik

1,76 – 2,50 = Cukup Baik

1,00 – 1,75 = Kurang Baik

Melakukan Revisi. Pada langkah ini pengembang memperbaiki draf kurikulum

pelatihan yang telah dinilai dan diberi masukan oleh ahli pengembang kurikulum,

ahli desain pembelajaran dan ahli materi.

Hasil dan Pembahasan

Mengidentifikasi Tujuan Atau Kompetensi Umum. Berdasarkan wawancara tidak

terstruktur yang dilakukan dengan salah satu staf Yayasan TERANGI, dalam menjawab permasalahan terumbu karang di Indonesia diperlukan data dan informasi mengenai

terumbu karang yang nantinya akan berguna sebagai dasar pengelolaan, pengambilan

Page 169: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

158 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

kebijakan, dan pendidikan. Data dan Informasi tersebut didapatkan melalui program

monitoring dan riset ilmiah mengenai terumbu karang. Hasil penelitannya dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Setelah dilakukan analisis serta diskusi dengan

penanggungjawab program pelatihan, maka diperoleh tujuan umum atau standar kompetensi yang akan dicapai. Standar kompetensi dalam program pelatihan ini

adalah:“Setelah mengikuti pelatihan Pemantauan Terumbu Karang peserta akan mampu

melakukan pemantauan terumbu karang sesuai kaidah ilmiah.”

Melakukan Analisis Instruksional. Analisis instruksional ini menghasilkan susunan

kompetensi yang dibutuhkan oleh seorang peneliti terumbu karang untuk dapat melakukan

pemantauan terumbu karang. Kompetensi – kompetensi tersebut tersusun dari yang paling

dasar hingga kompetensi akhir yang telah ditetapkan menjadi tujuan umum pada pelatihan ini. Pola yang digunakan dalam peta kompetensi ini adalah pola hierarki karena kompetensi

yang sifatnya berjenjang dan menuntut adanya prasyarat. Berikut ini adalah bagan

pola/peta kompetensi pelatihan pemantauan terumbu karang di Yayasan TERANGI.

Gambar 1. Peta Kompetensi Pelatihan Pemantauan Terumbu Karang

Menganalisis Peserta Didik dan Konteks. Hasil dari identifikasi karakteristik awal

peserta pelatihan pengembang memperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta

merupakan mahasiswa, sedangkan yang lainnya ada yang berprofesi sebagai dosen,

praktisi, dan peneliti. Rentang usia mereka berkisar 19-40 tahun. Peserta pelatihan memiliki latar belakang pendidikan atau pekerjaan di bidang biologi dan ilmu kelautan.

Kemampuan awal peserta yang disyaratkan adalah peserta telah memiliki kemampuan

menyelam yang dibuktikan dengan sertifikasi menyelam dari lembaga sertifikasi selam

yang diakui nasional maupun internasional. Dalam hal pengetahuan, sebagian peserta telah memahami dasar-dasar tentang terumbu karang. Namun menurut penanggungjawab

program pelatihan tetap diperlukan penyetaraan pengetahuan atau kompetensi yang

dimiliki peserta pelatihan sehingga konsep dasar mengenai terumbu karang perlu tetap

dibahas. Analisis konteks yang dilakukan menghasilkan informasi bahwa kegiatan pelatihan

diselenggarakan di salah satu ruangan yang ada di kantor Yayasan TERANGI. Fasilitas pada

Setelah mengikuti pelatihan Pemantauan Terumbu Karang peserta akan dapat

melakukan pemantauan terumbu karang sesuai kaidah ilmiah.

Membedakan karang sehat dan sakit serta jenis penyakitnya

Mengidentifikasi genus karang

Mengidentifikasi lifeform karang

Menjelaskan metode pemantauan terumbu karang

Page 170: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

159 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

umumnya yang dibutuhkan dalam pelatihan seperti proyektor, laptop, papan tulis tersedia

di kantor tersebut. Sementara media-media yang dapat digunakan dalam pelatihan yang

tersedia di antaranya adalah spesimen karang, banner besar yang berisi gambar-gambar

karang, dan foto-foto karang. Kemudian untuk benar-benar menunjukkan keterampilan yang dipelajari peserta didik harus melakukan praktik sesungguhnya dengan melakukan

penyelaman di laut. Oleh karena itu diperlukan field trip ke sebuah pulau yang lokasinya

dekat dengan Yayasan TERANGI. Pilihan pulau yang dapat dikunjungi, yaitu Pulau Sangiang

dan Kepulauan Seribu.

Menuliskan Tujuan Kinerja atau Kompetensi Khusus. Setelah melakukan analisis

instruksional yang menghasilkan beberapa sub kompetensi untuk mendukung ketercapaian

standar kompetensi, maka tahap selanjutnya yaitu merumuskan tujuan kinerja atau Kompetensi Dasar (KD) berdasarkan tiap subkompetensi yang telah dijabarkan

sebelumnya. Kompetensi dasar yang telah dirumuskan adalah : (1) peserta mampu

menjelaskan metode-metode pemantauan terumbu karang sesuai dengan tujuan, tahap,

dan perlengkapannya bila diberikan pertanyaan mengenai metode tersebut, (2) peserta

mampu mengidentifikasi karang pada level lifeform dengan tepat bila dihadapkan dengan berbagai karang, (3) peserta mampu mengidentifikasi karang pada level genus dengan

tepat bila dihadapkan dengan berbagai karang dan (4) peserta mampu membedakan

karang sehat dan sakit serta jenis penyakitnya.

Mengembangkan Instrumen Penilaian. Pada pelatihan pemantauan terumbu karang

ini evaluasi terdiri dari evaluasi formatif dan sumatif. Pada evaluasi formatif, alat penilaian

hasil belajar disusun untuk setiap kompetensi dasar. Alat penilaian hasil belajar yang

disusun berupa tes objektif berbentuk pilihan ganda sebanyak 5 butir untuk masing-masing KD. Selain itu pengembang juga membuat tes esai dan kinerja untuk beberapa KD. Evaluasi

sumatif dilakukan setelah semua topik selesai diberikan. Evaluasi sumatif yang digunakan

dalam pelatihan ini terdiri dari evaluasi pemahaman konsep dan evaluasi

pelaksanaan/praktik pemantauan terumbu karang. Pada aspek pemahaman konsep dilakukan dalam bentuk pilihan ganda yang berjumlah 10 butir. Evaluasi yang bersifat

pelaksanaan/praktek dilakukan dengan field trip ke sebuah pulau agar keterampilan dalam

memantau terumbu karang dapat dilakukan dalam kondisi yang real, yaitu di dalam laut.

Mengembangkan Strategi Instruksional. Dalam pemilihan dan penyusunan strategi instruksional pengembang menyesuaikan dengan tujuan, kondisi peserta didik dan materi

yang akan disampaikan. Penyusunan strategi instruksional meliputi empat komponen,

yaitu urutan kegiatan instruksional, metode, media dan waktu yang akan digunakan dalam

pelatihan. Strategi instruksional disusun untuk setiap kompetensi dasar dalam bentuk tabel. Dalam tabel tersebut terdapat komponen urutan kegiatan instruksional, garis besar

isi, metode, media & alat serta waktu belajar atau jam pelatihan (dalam menit). Kegiatan

instruksional dibagi menjadi 3 tahap, yakni tahap pendahuluan yang berisi deskripsi singkat

isi, relevansi & manfaat, dan KD. Tahap penyajian yang berisi uraian, contoh, latihan, tes formatif, dan rangkuman. Serta tahap penutup yang berisi umpan balik dan tindak lanjut.

Mengembangkan dan Memilih Bahan Pembelajaran. Dalam tahap ini peneliti

mengumpulkan opsi-opsi bahan pembelajaran yang dapat digunakan dalam pelatihan ini.

Dari opsi yang ada diputuskan bahan pembelajaran yang akan digunakan. Berikut adalah bahan pembelajaran yang digunakan:

Panduan Lapangan Pengamatan Terumbu Karang. Buku panduan ini disusun

sendiri oleh Yayasan TERANGI. Buku ini berisikan panduan untuk pengamatan

Page 171: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

160 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

karang tingkat lifeform. Di dalamnya terdapat jenis-jenis lifeform karang lengkap

dengan diri-diri dan gambarnya.

Guide Book Pengenalan Karang Keras. Buku panduan ini disusun oleh Yayasan TERANGI bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di dalamnya

terdapat cara mengidentifikasi genus karang. Karakteristik-karakteristik untuk

identifikasinya. Selain itu di buku ini terdapat 66 genus yang biasa ditemukan di

perairan Indonesia lengkap dengan karakteristiknya.

Coral Diseas Handbook. Buku ini berisikan penyakit karang yang biasa

ditemukan di perairan Indo-Pacific. Selain ini terdapat juga cara dan metode untuk

melakukan identifikasi kondisi dan penyakit karang.

Merancang dan Melaksanakan Evaluasi Formatif. Evaluasi formatif yang digunakan

pada pengembangan kurikulum pelatihan pemantauan terumbu karang ini hanya pada

tahap expert review. Ahli yang terlibat sebanyak 3 ahli, yaitu ahli pengembang kurikulum,

ahli desain pembelajaran dan ahli materi. Evaluasi ini dijadikan sebagai penilaian atas kurikulum yang telah dikembangkan serta untuk mendapatkan umpan balik dari sudut

pandang ahli. Berikut ini merupakan hasil evaluasi dari para ahli :

Ahli Pengembang Kurikulum. Ahli pengembang kurikulum yang dilibatkan dalam penilaian kurikulum dosen program studi di Teknologi Pendidikan Universitas Negeri

Jakarta. Hasil review yang telah diberikan terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Review Ahli Pengembang Kurikulum No. Indikator Nilai

1. Tujuan akhir pelatihan termuat dengan jelas dalam standar kompetensi 4

2. Standar kompetensi dengan lengkap memuat unsur Audience, Behavior, Condition, dan Degree

4

3. Standar kompetensi memuat aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara tepat 3

4. Standar kompetensi menggunakan kata operasional yang dapat diamati dengan

tepat 4

5. Rumusan kompetensi dasar tepat untuk mencapai standar kompetensi 3

6. Peta kompetensi sesuai dengan kompetensi yang harus dimiliki peserta pelatihan 3

7. Materi sesuai dengan standar kompetensi 4 8. Materi sesuai dengan kompetensi dasar 4

9. Mengakomodasi kebutuhan peserta pelatihan 3

10. Materi sesuai dengan karakteristik peserta pelatihan 3 11. Materi tersususun secara sistematis dan logis secara keilmuan 3

12. Metode sesuai dengan tujuan atau kompetensi yang ingin dicapai 4

13. Metode sesuai dengan karakteristik peserta pelatihan 4 14. Metode sesuai dengan karakteristik materi 3

15. Media dan bahan ajar sesuai dengan tujuan atau kompetensi yang ingin dicapai 3

16. Media dan bahan ajar sesuai dengan karakteristik materi 3

17. Waktu yang dialokasikan cukup 4 18. Urutan strategi instruksional disusun dengan tepat 3

19. Evaluasi sesuai dengan rumusan kompetensi 3

20. Evaluasi sesuai dengan konten yang telah ditetapkan 4 21. Pelaksanaan evaluasi mampu mengukur ketercapaian tujuan 3

Jumlah 72

Rata-rata 3,43

Page 172: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

161 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Hasil pengolahan data yang diperoleh dari review ahli pengembang kurikulum

menghasilkan nilai rata-rata 3,43. Berdasarkan kriteria hasil yang telah ditentukan maka

kurikulum yang telah dikembangkan dinilai sangat baik.

Ahli Desain Pembelajaran. Ahli desain pembelajaran yang dilibatkan dalam penilaian

kurikulum ini adalah dosen program studi di Teknologi Pendidikan Universitas Negeri

Jakarta. Hasil review yang telah diberikan terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil review Ahli Hasil Review Desain Pembelajaran

No. Indikator Nilai

1. Rumusan Standar Kompetensi (SK) menjawab kebutuhan instruksional 3

2. Rumusan SK tepat menggambarkan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan

4

3. Rumusan SK mengandung perilaku yang dapat diamati 4

4. Susunan analisis instruksional atau peta kompetensi tepat 3 5. Penggunaan struktur tepat dalam menyusun sub kompetensi 3

6. Daftar sub kompetensi lengkap 4

7. Kompetensi Dasar (KD) tepat untuk mencapai SK 4

8. Rumusan KD tepat menggambarkan aspek pengetahuan, sikap, atau

keterampilan 3

9. Rumusan KD sesuai format A.B.C.D 3

10. Rumusan KD dengan tepat mengandung perilaku yang dapat diamati 4 11. Tes relevan dengan tujuan instruksional 3

12. Kelengkapan tes dalam mengukur aspek pengetahuan, sikap, atau

keterampilan 3

13. Strategi instruksional relevan dengan tujuan instruksional 4

14. Urutan kegiatan instruksional disusun dengan tepat 3

15. Uraian materi lengkap 4 16. Penggunaan contoh tepat 4

17. Latihan relevan dengan tujuan instruksional 3

18. Metode yang digunakan tepat 4 19. Media dan alat yang digunakan tepat 3

20. Waktu yang dialokasikan cukup 4

21. Pengunaan media dan bahan ajar relevan dengan tujuan instruksional 3 22. Pengunaan media dan bahan ajar sesuai dengan karakteristik peserta pelatihan 4

23. Pengunaan media dan bahan ajar sesuai dengan karakteristik materi 3

24. Media dan bahan ajar menunjang pencapaian standar kompetensi 3

Jumlah 83

Rata-rata 3,46

Hasil pengolahan data yang diperoleh dari review ahli pengembang kurikulum

menghasilkan nilai rata-rata 3,46. Berdasarkan kriteria hasil yang telah ditentukan maka kurikulum yang telah dikembangkan dinilai sangat baik.

Ahli Materi. Ahli materi yang dilibatkan dalam penilaian kurikulum ini adalah staf dan

peneliti senior di Yayasan TERANGI. Hasil review yang telah diberikan terdapat pada

Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Review Ahli Materi

No. Indikator Nilai

1. Materi sesuai untuk mencapai tujuan instruksional 4

2. Sub pokok bahasan terkait dengan pokok bahasan 4

3. Penyusunan materi sesuai dengan disiplin ilmu 4 4. Materi sesuai dengan perkembangan ilmu saat ini 4

Page 173: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

162 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Lanjutan Tabel 5. Hasil Review Ahli Materi

No. Indikator Nilai

5. Penggunaan istilah teknis tepat 3

6. Sub pokok bahasan dan pokok bahasan sesuai berdasarkan hubungan antar

konsep 4

7. Jumlah pokok bahasan mendukung pencapaian standar kompetensi 4

8. Sub pokok bahasan mendukung pencapaian kompetensi dasar 4

9. Sub pokok bahasan mampu meningkatkan pengetahuan peserta terkait

wawasan tentang terumbu karang 4

10. Sub pokok bahasan mampu meningkatkan kemampuan peserta dalam

melakukan pemantauan terumbu karang 4

11. Alokasi waktu sesuai untuk mempelajari materi pelatihan 3 12. Bahan evaluasi relevan dengan standar kompetensi 3

13. Bahan evaluasi relevan dengan kompetensi dasar 3

14. Bahan evaluasi tepat untuk membangkitkan motivasi peserta untuk mencari

tahu 3

Jumlah 51

Rata-rata 3,64

Hasil pengolahan data yang diperoleh dari review ahli pengembang kurikulum

menghasilkan nilai rata-rata 3,64. Berdasarkan kriteria hasil yang telah ditentukan maka

kurikulum yang telah dikembangkan dinilai sangat baik.

Melakukan Revisi. Dari penilaian yang telah diberikan oleh para ahli pada tahap expert

review, diperoleh beberapa masukan dan saran. Dari saran-saran tersebut penulis melakukan revisi terhadap produk kurikulum yang telah dikembangkan, hasilmrevisi yang

dilakukan terdapat pada Tabel 6 dan 7.

Tabel 6. Rincian Revisi dari Ahli Pengembang Kurikulum dan Desain Pembelajaran

Sebelum Revisi Setelah Revisi

Peta kompetensi menggunakan pola

kombinasi Peta kompetensi menggunakan pola hierarki

Penyusunan Strategi Instruksional untuk

setiap KD hanya dipasahkan 1 kali enter.

Penyusunan Strategi Instruksional untuk setiap KD

dibedakan setiap halaman

Teknik penyajian tes kurang baik Teknik penyajian tes disusun dengan baik

Susunan kurikulum masih kurang tepat. Susunan kurikulum disesuaikan dengan masukan

yang diberkan.

Tabel 7. Rincian Revisi dari Ahli Materi

Sebelum Revisi Setelah Revisi

Topik Pelatihan 2: Pengenalan dan

identifikasi Lifeform Terumbu Karang

Topik Pelatihan 2: Pengenalan dan identifikasi

Lifeform Karang

Topik Pelatihan 3: Identifikasi Genus Terumbu Karang.

Topik Pelatihan 3: Identifikasi Genus Karang.

Media yang digunakan dalam KD 2: Slide Presentasi dan Buku Panduan Pengamatan

Karang

Media yang digunakan dalam KD 2: Slide Presentasi, Buku Panduan Pengamatan Karang, dan Banner

gambar kumpulan Karang

Media yang digunakan dalam KD 3: Slide

Presentasi dan Guide Book Pengenalan

Karang Keras

Media yang digunakan dalam KD 3: Slide Presentasi,

Guide Book Pengenalan Karang Keras, Banner

kumpulan gambar karang dan specimen karang

Page 174: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

163 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Prosedur Pemanfaatan Produk. Prosedur pemanfaatan dari prototype kurikulum ini

adalah : (1) menentukan peserta pelatihan yang menjadi sasaran, yaitu peserta pelatihan

pemantauan terumbu karang, (2) melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi dan diskusi

terkait kurikulum antara staf Yayasan TERANGI, instruktur pelatihan dan orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan program pelatihan pemantauan terumbu karang dan (3)

menyiapkan seluruh aspek yang dibutuhkan dalam menunjang kegiatan pelatihan seperti

bahan ajar, lembar penilaian, alat-alat untuk praktik, ruangan dan berbagai fasilitas lain

yang akan digunakan dalam pelatihan. Selain itu, dalam mengimplementasikan kurikulum dapat dilakukan improvisasi sesuai kondisi peserta didik dan kebutuhan serta

perkembangan yang ada, dimana peserta diberikan handout yang berisikan tujuan

instruksional setiap topik pelatihan dan susunan materi pelatihan yang kemudian akan

dijelaskan oleh instruktur.

Kesimpulan. Penelitian pengembangan ini menghasilkan dokumen prototype

kurikulum program pelatihan pemantauan terumbu karang di Yayasan Terumbu Karang

Indonesia. Berikut adalah kesimpulan dari serangkaian proses pengembangan yang telah

dilakukan, diantaranya : (1) melakukan analisis instruksional dengan mengidentifikasi kompetensi umum menjadi sub-sub kompetensi. Sub kompetensi yang ditetapkan

sebanyak 4 kompetensi yang disusun dalam peta kompetensi berpola hierarki, (2)

mengidentifikasi karakteristik awal calon peserta pelatihan serta konteks. Karakteristik

awal calon peserta yaitu orang yang mempunyai background pendidikan atau pekerjaan

yang berkaitan dengan terumbu karang serta harus mempunyai kemampuan menyelam. Analisis konteks menghasilkan bahwa kondisi ruangan, fasilitas, dan media pembelajaran

yang memadai di Yayaysan TERANGI sedangkan untuk menunjukkan kompetensinya

peserta harus melakukan praktik di laut, (3) merumuskan kompetensi khusus atau

Kompetensi Dasar (KD) berdasarkan subkompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Rumusan KD yang ditetapkan berjumlah 4, (4) menyusun instrumen penilaian yang

didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditentukan.

Penilaian berupa tes formatif dan sumatif. Tes formatif berbentuk pilihan ganda, esai, dan

tes kinerja. Sementara tes sumatif berupa pilihan ganda dan ujian praktik, (5) menyusun strategi instruksional sesuai dengan jumlah KD yang ada. Strategi instruksional disusun

dalam bentuk tabel yang berisikan urutan kegiatan instruksional, alokasi waktu, media dan

metode yang digunakan, (6) memilih bahan instruksional dengan mengumpulkan opsi

bahan yang dapat digunakan dalam pelatihan. Bahan instruksional yang digunakan berupa 3 buku pedoman yang tersedia di Yayasan TERANGI dan (7) melakukan evaluasi formatif

melalui expert review, yaitu ahli kurikulum, ahli desain pembelajaran dan ahli materi.

Berdasarkan hasil expert review kurikulum ini memperoleh nilai dalam kategori sangat

baik, dimana perolehan skor rata-rata dari ahli kurikulum sebesar 3,43, ahli desain

pembelajaran sebesar 3,46 dan ahli materi sebesar 3,64.

Ucapan Terima Kasih. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Erry

Utomo M.Ed, Ph.D Ibu Santi Maudiarti, SE, M.Pd yang telah meluangkan waktu dan selalu

memberikan dukungan, motivasi dan saran kepada penulis. Pihak Yayasan TERANGI, yang

telah membantu dan memfasilitasi penulis dalam proses penyusunan artikel ini.

Daftar Pustaka

Ansyar, M. (2015). Kurikulum: Hakikat, Fondasi, Desain dan Pengembangan. Jakarta:

Kencana. Badar Al-Tabany, T. I. (2014). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif dan

Kontekstual. Jakarta: Prenadamedia Group.

Page 175: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

164 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Branch, R. M., & Dousay, T. A. (2015). Survey Of Instructional Design Models.

Bloomington: AECT.

Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management Program. (2008).

Coral Disease Handbook. Melbourne: Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management Program.

Daryanto, & Bintoro. (2014). Manajemen Diklat. Malang: Gava Media.

Hamalik, O. (2009). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya. Idris, & Fadillah. (2012). Guide Book Pengenalan Karang Keras Yang Diperdagangkan.

Jakarta: Kementerian Kelautan Dan Perikanan.

Iriana, F. (2016). Pengembangan Kurikulum: Teori Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta:

Parama Ilmu. Miarso, Y. H. (2016). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Nurdin, S., & Andriantoni. (2016). Kurikulum dan Pembelajaran. Depok: PT Rajagrafindo

Persada.

Priansa, D. J. (2014). Perencanaan dan Pengembangan SDM. Bandung: Alfabeta.

Pribadi, B. A. (2010). Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat. Puslit Oseanografi LIPI. (2019, Juni 22). LIPI: Status Terkini Terumbu Karang Indonesia

2018. Retrieved from Lipi.go.id: http://lipi.go.id/siaranpress/lipi:-status--terkini-

terumbu-karang-indonesia-2018-/21410

Sanjaya, W. (2013). Kurikulum Dan Pembelajaran: Teori Dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.

Sukmadinata, N. S. (2013). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung:

Remaja Rosda Karya.

Suparman, M. A. (2014). Desain Instruksional Modern: Panduan Para Pengajar dan Inovator Pendidikan. Jakarta: Erlangga.

Suprayekti, & Annisa. (2017). Integrasi Sumber Belajar Dalam Pembelajaran. Jakarta: FIP

UNJ.

Tegeh, I. M., Jampel, I. N., & Pudjawan, K. (2014). Metode Penelitian Pengembangan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Yayasan TERANGI. (2019, Juni 22). Profil Yayasan Terumbu Karang Indonesia. Retrieved

from terangi.or.id: https://www.terangi.or.id/index.php/tentang-kami/122-profil-

yayasan-terumbu-karang-indonesia

Page 176: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

165 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pengelolaan Sumberdaya Alam Taman Nasional Karimunjawa Melalui Kemitraan Konservasi Rohmani Sulisyati1, Yusuf Syaifudin2 dan Erni Roestiana3

Balai Taman Nasional Karimunjawa

Jl. Sinar Waluyo Raya 248 Semarang (Email: [email protected])

Abstrak - Zona Tradisional merupakan bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan

pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dangan

sumber daya alam setempat. Zona ini diperuntukkan sebagai daerah pemanfaatan perikanan tradisional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidupnya. Proporsi zona ini dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa mencapai 90% luas kawasan (102.899,249 Ha). Namun apakah pemanfaatan yang telah dilakukan oleh masyarakat tersebut

dapat dibenarkan mengingat status Karimunjawa sebagai taman nasional. Kemitraan konservasi dalam

bentuk pemberian akses pemanfaatan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah jalan “halal” bagi masyarakat sekitar kawasan konservasi untuk memanfaatkan sumber daya

kawasan. Ruang lingkup kemitraan konservasi adalah dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan pemulihan ekosistem. Kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat dapat berupa

pemberian akses dan kerjasama antara pemegang izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat

setempat. Tahapan pelaksanaan kemitraan meliputi: tahap persiapan, usulan rencana kegiatan, penilaian dan persetujuan, perumusan dan penandatanganan. Salah satu kegiatan pada tahap persiapan

adalah fasilitasi pembentukan kelompok masyarakat. Terdapat empat desa yang berbatasan langsung

dengan kawasan taman nasional Karimunjawa. Balai Taman Nasional Karimunjawa telah memberikan akses seluas 620 hektar kepada pokja KPDN Desa Nyamuk. Desa Parang kemitraan konservasi berupa

pemberian akses area perikanan (PAAP) seluas 380 Ha. Tahapan untuk kerjasama kemitraan konservasi Desa Karimunjawa dan Kemujan masih dalam proses verivikasi permohonan.

Kata Kunci: Akses, Kemitraan Konservasi, Kerjasama

Abstract - The Traditional Zone is part of a national park designated for the benefit of traditional use by

the community, which due to its historical has been dependent on local natural resources. This zone is designated as an area for the use of traditional fisheries by the local community in a sustainable manner

through utilization arrangements in order to meet their daily needs. The proportion of this zone in the

Karimunjawa National Park area reaches 90% of the area (102.899,249 Ha). However, whether the utilization that has been done by the community can be justified given the status of Karimunjawa as a

national park. Conservation partnerships in the form of granting access to the use of Nature Reserve

Areas (KSA) and Nature Conservation Areas (KPA) are a “halal” way for communities around the conservation area to utilize the area's resources. The scope of conservation partnerships is in the

framework of community empowerment and ecosystem restoration. Conservation partnerships in the context of community empowerment can be in the form of providing access and cooperation between

permit holders in the conservation area and local communities. Partnership implementation stages

include: the preparation stage, proposed activity plans, assessment and approval, formulation and signing. One of the activities in the preparatory stage is to facilitate the formation of community groups.

There are four villages directly adjacent to the Karimunjawa National Park area. The Karimunjawa National Park Office has granted 620 hectares of access to the Nyamuk Village KPDN working group.

Parang Village is a conservation partnership in the form of granting access to a fishing area (PAAP)

covering an area of 380 hectares. The stages for the conservation partnership cooperation between Karimunjawa and Kemujan are still in the process of verifying the application.

Keywords: Access, Conservation Partnerships, Cooperation

Pendahuluan. Taman Nasional Karimunjawa secara administratif masuk Kabupaten

Jepara Jawa Tengah, memiliki ekosistem yang asli dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati ditandai dengan keberadaan lima tipe ekosistem utama

yaitu ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, hutan mangrove, hutan pantai, padang

lamun dan ekosistem terumbu karang yang merupakan habitat bagi berbagai flora fauna

yang hidup di dalamnya. Kepulauan Karimunjawa terdiri dari 27 pulau dan 22 pulau diantaranya merupakan kawasan taman nasional. Dari pulau-pulau tersebut, terdapat

empat pulau utama yang dihuni yaitu Pulau Karimunjawa, Kemujan, Nyamuk dan Parang.

Page 177: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

166 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Lebih dari 75% masyarakat Karimunjawa merupakan rumah tangga perikanan, dimana

nelayan adalah mata pencaharian utama masyarakat di Karimunjawa. Adanya perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang semula hanya

untuk tujuan konservasi perlindungan hidupan liar, berubah menjadi pengelolaan kawasan konservasi untuk tujuan sosial dan ekonomi yang direncanakan dan dikelola bersama untuk

kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dengan melibatkan peran para

pihak (Hapsari, et al., 2019). Dengan perubahan paradigma tersebut, maka pengelolaan

kawasan konservasi saat ini dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai stakeholder, khususnya masyarakat di sekitar kawasan konservasi tersebut.

Ruang lingkup kemitraan konservasi adalah dalam rangka pemberdayaan masyarakat

dan pemulihan ekosistem. Kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat

dapat berupa pemberian akses dan kerjasama antara pemegang izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat setempat. Pemberian akses adalah berupa: a) pemungutan

hasil hutan bukan kayu (HHBK), b) budidaya tradisional, c) perburuan tradisional untuk

jenis yang tidak dilindungi, d) pemanfaatan tradisional sumberdaya perairan terbatas untuk

jenis yang tidak dilindungi serta e) wisata alam terbatas.

Metode Penelitian. Lokasi kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan

masyarakat adalah zona/blok tradisional dan blok pemanfaatan. Lokasi pemberian akses

pemanfaatan sumberdaya perairan dilaksanakan pada zona tradisional. Tahapan

pelaksanaan kemitraan meliputi: tahap persiapan, usulan rencana kegiatan, penilaian dan

persetujuan, perumusan dan penandatanganan kerjasama kemitraan.

Hasil dan Pembahasan. Berdasarkan SK Dirjen PHKA no. SK 28/IV-SET/2012

tanggal 6 Maret 2012 tentang zonasi Taman Nasional Karimunjawa terdapat 9 zona yaitu

zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari, zona pemanfaatan darat, zona pemanfaatan wisata bahari, zona budidaya bahari, zona religi, budaya dan sejarah,

rehabilitasi serta zona tradisional perikanan. Zona tradisional perikanan seluas 102.899,

249 Ha merupakan zona terluas diantara zon-zona yang lain. Artinya hampir sebagian

besar kawasan Taman Nasional Karimunjawa dapat dilakukan pengelolaan kolaboratif

bersama masyarakat. Kriteria desa yang menjadi target adalah desa yang berbatasan langsung dengan

kawasan dan/atau desa yang tidak berbatasan langsung dengan kawasan konservasi

namun masyarakatnya memiliki interaksi dengan kawasan tersebut. Empat desa yang ada

di Karimunjawa tidak hanya berbatasan langsung namun juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan taman nasional. Sehingga sasaran kemitraan konservasi

adalah keempat desa tersebut. Tahapan dilaksanakan adalah peningkatan kapasitas

kelembagaan dan pendampingan masyarakat. Peningkatan kapasitas kelembagaan

dilakukan dengan pembentukan kelompok, penyusunan rencana kelompok, fasilitasi kesepakatan konservasi dan penyusunan rencana pemberdayaan masyarakat.

Desa Nyamuk. Perikanan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Nyamuk adalah

perikanan skala kecil, sebatas untuk memenuhi kebutuan protein keluarga ataupun untuk

dijual hingga Jepara. Penangkapan ikan untuk konsumsi keluarga dilakukan di kawasan

sekitar Desa Nyamuk. Sedangkan untuk mendapatkan hasil perikanan yang bernilai ekonomi tinggi, nelayan Desa Nyamuk biasanya mencari ikan sampai 70 mil ke arah utara,

yang disebut nelayan “babang (---, 2019).

Pengelolaan perikanan di Desa Nyamuk disepakati secara bersama oleh kelompok

yang mewakili masyarakat pada tahun 2016. Kesepakatan dengan meningkatkan ketersediaan ikan kerapu secara berkelanjutan melalui pengaturan alat tangkap, ukuran

hasil tangkapan, waktu penangkapan & pengawasan mandiri oleh masyarakat. Masyarakat

Desa Nyamuk menyepakati beberapa pengaturan perikanan antara lain: membentuk

Page 178: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

167 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk (KPDN) yang meliputi Karang Ujung Sahid, Taka Coek

dan Ujung LaBugis sebelah Utara. Perairan sekitar Pulau Katang ditujukan untuk pemulihan

populasi ikan, dan sumber dayanya tidak boleh diambil secara langsung.

KPDN merupakan suatu area yang dikelola dan dimanfaatkan secara khusus, bisa dimanfaatkan oleh nelayan pancing dan bubu dari Desa Nyamuk sepanjang waktu. Namun,

nelayan tembak (kompressor dan selam alami) tidak diperkenankan mengambil ikan di

area tersebut setiap tanggal 18-28 Hijriah setiap bulannya. Ukuran ikan yang boleh

ditangkap adalah ikan sunuk ireng (> 38 cm), ikan kerapu macan (> 35 cm), ikan kerapu lumpur (> 50 cm). adapun peraturan ini telah dideklarasikan oleh masyarakat Desa

Nyamuk pada tanggal 24 Mei 2016, di lapangan bola Desa Nyamuk. Acara deklarasi

tersebut dihadiri oleh semua masyarakat Desa Nyamuk dan Muspika Kecamatan

Karimunjawa. Berdasar kesepakatan tersebut, pada tahun 2017 Balai Taman Nasional Karimunjawa

telah memberikan akses seluas 620 hektar kepada pokja KPDN. Dengan adanya pemberian

akses diharapkan nelayan Desa Nyamuk tidak lagi mencari ikan keluar dari Desa Nyamuk,

KPDN dapat memenuhi kebutuhan perikanan untuk Desa Nyamuk, populasi ikan bernilai

ekonomis tinggi meningkat populasinya.

Gambar 9. Peta Lokasi Kemitraan Konservasi di Desa Nyamuk

Desa Parang. Tahun 2019 Balai Taman Nasional Karimunjawa memberikan akses seluas

380 hektar pada SPKP Prima di Desa Parang. Hal pertama yang dilakukan adalah

membangun kesepakatan bersama masyarakat melalui sosialisasi. Sosialisasi berupa penyampaian informasi tentang pengelolaan kolaboratif dengan pemberian hak kelola

kepada masyarakat di zona perikananan tradisional. Melalui diskusi disepakati jenis

kegiatan yang akan dilaksanakan dalam kemitraan konservasi adalah pengelolaan jenis

Page 179: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

168 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

ikan yang tidak dilindungi serta budidaya rumput laut dan budidaya ikan kerapu. Langkah

kedua adalah fasilitasi pembentukan kelompok masyarakat hingga berbadan hukum.

Kelompok inilah yang bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan

kolaboratif kemitraan konservasi. Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) Prima merupakan kelompok masyarakat di Desa Parang sebagai perkumpulan nelayan yang

berperan secara teknis dalam kemitraan konservasi ini. Wujud kemitraan konservasi di

Desa Parang berupa pemberian akses area perikanan (PAAP).

Lokasi yang disepakati adalah areal di zona tradisional perikanan dan zona budidaya bahari seluas 380 Ha, meliputi perairan sebelah Timur Pulau Parang dari Ujung Poni

hingga Selat Buntung dan perairan sebelah Barat Pulau Parang dari Jeruk Wangi hingga

Legon Boyo.

Gambar 10. Peta Lokasi Kemitraan Konservasi Di Desa Parang

Desa Karimunjawa. Masyarakat Desa Karimunjawa mengandalkan pemenuhan

kebutuhan hidupnya dari pemanfaatan sumber daya laut. Secara historis merupakan masyarakat pesisir yang identik sebagai nelayan dan hampir setiap hari mengarungi

lautan Karimunjawa untuk menangkap ikan dan hasil laut lainnya (---, 2020). SPKP Karya

Bhakti merupakan salah satu kelompok masyarakat yang saat ini mengajukan

permohonan untuk menerima akses area pemanfaatan di zona tradisional atas nama

warga Desa Karimunjawa. Kelompok ini mengajukan permohonan seluas 23.991 Ha. Berdasarkan hasil kajian pola penangkapan ikan dan sebaran alat tangkap, nelayan

Desa Karimunjawa cenderung melakukan aktivitas perikanan tidak hanya di Desa

Karimunjawa namun juga masuk ke desa-desa lainnya. SPKP Karya Bhakti mengajukan

pengelolaan spesies ikan tidak dilindungi, budidaya rumput laut, budidaya kerapu, wisata terbatas dan mendukung kelestarian fungsi kawasan Taman Nasional Karimunjawa.

Tahapan untuk kerjasama kemitraan konservasi Desa Karimunjawa masih dalam proses

verivikasi permohonan.

Desa Kemujan. Hasil tangkapan ikan masyarakat Kemujan cukup beragam, biasanya

dijual kepada pengepul baru kemudian dibawa ke Jepara (---, 2020). SPKP Mangga Delima

merupakan kelompok masyarakat di Desa Kemujan, binaan Balai Taman Nasional

Page 180: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

169 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Karimunjawa. Kelompok masyarakat yang telah berbadan hukum ini mewakili masyarakat

Desa Kemujan mengajukan pemberian akses. Rencana pemanfaatan yang diajukan

adalah pemanfaatan perikanan secara tradisional, budidaya, wisata terbatas dan

penguatan fungsi kawasan. Areal yang dimohonkan meliputi perairan Pulau Cilik, Pulau Tengah, Pulau Sintok, Pulau Bengkoang dan Taka Menyawakan seluas 24.931 Ha.

Tahapan kerjasama baru dalam proses verivikasi.

Kesimpulan. Pengelolaan kawasan konservasi saat ini dilakukan secara kolaboratif

dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan melalui kemitraan konservasi. Empat

desa yaitu Karimunjawa, Kemujan, Parang dan Nyamuk tidak hanya berbatasan langsung

namun juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan taman nasional.

Sehingga sasaran kemitraan konservasi adalah keempat desa tersebut. Balai Taman

Nasional Karimunjawa telah memberikan akses seluas 620 hektar kepada pokja KPDN Desa

Nyamuk. Desa Parang kemitraan konservasi berupa pemberian akses area perikanan

(PAAP) seluas 380 Ha. Tahapan untuk kerjasama kemitraan konservasi Desa Karimunjawa

dan Kemujan masih dalam proses verivikasi permohonan.

Daftar Pustaka.

---. 2020. Proposal Pemberian Akses di Desa Kemujan. Karimunjawa : SPKP Mangga

Delima, 2020.

—. 2020. Proposal Permohonan Pemberian Akses di Desa Karimunjawa. Karimunjawa : SPKP Karya Bhakti, 2020.

—. 2019. Rencana Kerja Tahunan (RKT) Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk Taman

Nasional Karimunjawa. Karimunjawa : KPDN, 2019.

Hapsari, Ajeng D, et al. 2019. Laporan Kegiatan Sosialisasi Pengelolaan Kolaboratif Hutan

Konservasi di Parang. Jepara : SPTN Wilayah I Kemujan, 2019.

Page 181: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

170 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

BIDANG ILMU SOSIAL EKONOMI

PERIKANAN DAN TEKNOLOGI

PENGOLAHAN SUMBERDAYA

PERIKANAN

Page 182: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

170 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Penghidupan dan Kerentanan Masyarakat Tambaklorok dalam Menghadapi Program Kampung Bahari Dimas Hastama Nugraha1, Rezeki Peranginangin2 dan Iim Abdul Karim3

1,3)Satuan Kerja Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman/ Balai Pelaksana

Penyediaan Perumahan Jawa III, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakya,t

Jalan Laksda Adisucipto 165 Yogyakarta 2)Pusat Pengembangan Kompetensi Jembatan, Perumahan dan Infrastruktur Wilayah,

Jalan Abdul Hamid Cicaheum Bandung

(Email : [email protected])

Abstrak - Kampung Tambak Lorok, Tanjung Emas, Semarang berada di daerah sekitar kawasan

permukiman dengan akses penghidupan yang memanfaatkan sumber daya sekitar namun memiliki

tingkat kerentanan yang tinggi terhadap land subsidence dan rob serta terletak di pesisir Tanjung Emas Semarang. Dalam rangka mewujudkan penataan kampung Bahari yang produktif dan bersih maka

memerlukan studi mengenai upaya pengoptimalan fungsi penataan kampung nelayan Tambak Lorok diperlukan sehingga terwujud keberlanjutan sumber-sumber penghidupan potensial di wilayah tersebut.

Rumusan masalah dari studi ini adalah aspek perikehidupan apa saja yang ada di Kampung Tambaklorok

dan analisis kerentanan yang ada di masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dan

kuantitatif. Pendekatan Deskriptif kualitatif digunakan untuk menjelaskan tingkatan paparan dan

kapasitas adaptasi masyarakat Kampung Tambak Lorok sedangkan pendekatan deskriptif kuantitatif dilakukan untuk menjelaskan tingkatan sensitivitas masyarakat Kampung Tambak Lorok terhadap

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penghidupan mereka. Hasil dari studi ini adalah perikehidupan warga mencakup faktor sumber daya manusia, natura, dan fisik dan sosial beserta penjelasannya.

Adapun Tingkat kerentanan warga yang paling tinggi adalah pada sumberdaya manusia. Sumberdaya

manusia dengan keterampilan yang tidak beragam membuat pilihan sumber penghidupan masyarakat semakin kecil. Selain itu tekanan penurunan muka tanah menyebabkan saving ratio warga semakin kecil

dan investasi jangka panjang semakin sulit dilakukan termasuk investasi pendidikan. Kata Kunci : Perikehidupan, Kerentanan, Masyarakat, Tambaklorok

Abtract - Kampung Tambak Lorok, Tanjung Emas, Semarang is located in an area around a residential

area with access to livelihoods that utilize surrounding resources but has a high level of vulnerability to land subsidence and rob and is located on the coast of Tanjung Emas Semarang. In order to realize the

productive and clean arrangement of the Bahari village, a study on efforts to optimize the function of the Tambak Lorok fishing village arrangement is needed so that the sustainability of potential livelihood

sources in the area can be realized. The formulation of the problem from this study is what aspects of

life exist in Tambaklorok Village and the vulnerability analysis that exists in the community. The research method used is descriptive qualitative and quantitative. The research approach used is descriptive

qualitative and quantitative research. The qualitative descriptive approach was used to explain the level

of exposure and adaptation capacity of the Tambak Lorok community, while the quantitative descriptive approach was used to explain the level of sensitivity of the Tambak Lorok community to the factors that

influenced their level of livelihood. The result of this study is that the livelihoods of residents include human resources, in-kind, and physical and social factors along with their explanations. The level of

vulnerability of citizens with the highest level is in human resources. Human resources with non-diverse

skills make the community's source of livelihood choices smaller. In addition, the pressure of land subsidence causes the saving ratio of residents to become smaller and it is increasingly difficult to make

long-term, including investment in education. Keywords: Livelihood, Vulnerability, Community, Tambaklorok

Pendahuluan. Kampung Tambak Lorok, Kelurahan Tanjung Mas, sendiri merupakan

kampung nelayan yang berada tepat di pesisir pantai Kota Semarang. Lokasi Kampung

Tambak Lorok merupakan lokasi yang strategis, berada di daerah sekitar kawasan permukiman, akses penghidupan dengan memanfaatkan sumberdaya alam dekat, namun

memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap land subsidence dan rob. Dalam rangka

mewujudkan penataan kampung nelayan yang rapih, bersih, asri higienis dan produktif,

maka ada program Kampung Bahari sehingga dari Kementerian Pekerjaan Umum dan

Page 183: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

171 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Perumahan Rakyat sehingga diharapkan nelayan Tambak Lorok diperlukan sehingga

terwujud keberlanjutan sumber-sumber penghidupan potensial di wilayah tersebut. Paparan kerentanan penurunan kualitas lingkungan Kampung Tambak Lorok tergolong

tinggi. Keadaan tersebut ditambah pula dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, lokasi yang strategis dan maraknya rencana pembangunan industri di daerah sekitar

kawasan Tambak Lorok. Penataan Kampung Tambak Lorok sebagai Kampung

Bahari/Kampung Nelayan seyogyanya mampu meningkatkan ketahanan masyarakat

setempat dan tetap menghubungkan masyarakat setempat dengan akses-akses penghidupannya. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan studi mengenai aspek pengidupan

dengan menilai tingkat ketahanan dan kerentanan masyarakat Kampung Tambak Lorok

yang merupakan subyek dan obyek dari proses pembangunan Kampung Bahari.

Masyarakat pesisir pada umumnya menggantungkan sumber mata pencaharian mereka kepada ekosistem. Tidak sekedar mata pencaharian dan sumber penghidupan,

namun juga termasuk konteks ekonomi, sosial dan budaya yang terkait dengan ekosistem.

penurunan kualitas ekosistem berdampak pada turunnya tingkat kemakmuran dan

mengganggu kebudayaan serta penghidupan (Diegues, 2005). Tingkat ketahanan memiliki

hubungan yang terbalik dengan tingkat kerentanan. Tingkat ketahanan dan kerentanan dapat dinilai dari berbagai aspek. Menurut Cinner (2012), terdapat tiga aspek dalam

dimensi kerentanan yaitu tingkat pemaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi. Menurut

Adger dan Vincent (2005) paparan (eksposure) adalah tingkatan dimana suatu system

dipengaruhi oleh perubahan, ekologis dan lingkungan. Sensitivitas adalah tingkat ketergentungan terhadap sumberdaya alam yang berkaitan secara langsung. Kapasitas

adaptasi merupakan karakteristik laten yang menggambarkan kemampuan komunitas atau

penduduk untuk mengantisipasi dan merespon perubahan, untuk meminimalkan, berdamai

dan pulih dari konsekuensi perubahan. Konsep penilaian kerentanan dan strategi adaptasi sebagai berikut, dari kebijakan pembangunan yang ada akan diperlukan pemetaan

perikehidupan dan tingkat kerentanan yang ada. Dari ini semua akan dilihat bagaimana

proyeksi strategi adaptasi yang dilakukan pada masa mendatang (Smith, 2006).

Metode Penelitian. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian

deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan Deskriptif kualitatif digunakan untuk

menjelaskan tingkatan paparan dan kapasitas adaptasi masyarakat Kampung Tambak

Lorok sedangkan pendekatan deskriptif kuantitatif dilakukan untuk menjelaskan tingkatan

sensitivitas masyarakat Kampung Tambak Lorok terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penghidupan mereka. Observasi, wawancara mendalam dan focus

group discussion (FGD) dilakukan untuk mendapatkan data kualitatif dan data deskriptif

kuantitatif didapatkan dengan melakukan sampling secara acak terstruktur dengan

melakukan pembobotan pada masing-masing variabel. Parameter yang diangkat penelitian merupakan beberapa parameter yang

mempengaruhi tingkat penghidupan masyarakat secara umum dan secara khusus.

Parameter dikembangkan dari analisis penghidupan berkelanjutan yang dijabarkan dalam

(Elis 2000) yang memuat parameter aspek penghidupan seperti pada table di bawah ini.

Tabel 1. Parameter Aspek Kehidupan

Parameter Aspek

Penghidupan Variabel Indikator

Sumberdaya Alam Kualitas dan aksesbilitas air bersih

Kualitas udara Ruang terbuka hijau

Sumberdaya ikan

Lahan pertanian

Penilaian subyektif

dan obyektif menggunakan

pembobotan skala 1-

10Skala 1-10

Page 184: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

172 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Fisik Kondisi rumah tinggal

Kendaraan Sarana komunikasi

Perahu dan alat tangkap

Akses Jalan

Fasilitas Umum Pasar Tempat Pendaratan Ikan

Pelabuhan

Sekolah

Penilaian subjectif

dan obyektif menggunakan

pembobotan skala 1-

10

Sumberdaya Manusia Keterampilan dan keahlian yang

dimiliki oleh individu dalam

keluarga

Penilaian obyektif

menggunakan

persentase jumlah keahlian

dibandingkan jumlah

anggota keluarga

Finanasial Tingkat Pendapatan

Tingkat pengeluaran

Saving Ratio

Penilaian obyektif

menggunakan tingkat

saving ratio, dimana

nilai maksimal adalah SV > 40%

Sosial Tingkat partisipasi warga dalam kelembagaan social

Penilaian obyektif keaktifan masyarakat

Aspek sumberdaya alam adalah aspek pengidupan yang berasal dari layanan

ekosistem yang mendukung penghidupan masyarakat setempat. Aspek fisik pada tingkatan rumah tangga adalah segala sesuatu benda pendukung dan utama untuk

melaksanakan pencaharian. Aspek fisik pada tingkatan komunitas atau RW merupakan

fasilitas atau akses terhadap infrastruktur. Aspek sumberdaya manusia yang dimaksud

adalah jumlah anggota keluarga dan tingkatan keterampilan yang dimiliki. Aspek finasial adalah tingkat pendapatan, tingkat tabungan dan akses terhadap pinjaman. Aspek sosial

adalah bentuk relasi sosial dan peranan kelembagaan informal maupaun formal dalam

masyarakat.

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan menyajikan

informasi dalam bentuk grafik dan table serta keterangan lain untuk menggambarkan kondisi yang mewakili kondisi sebenarnya. Penggunaan analisis kualitatif juga dilakukan

untuk melengkapi temuan temuan pada lapangan yang dinilai berbobot untuk ditelaah lebih

lanjut. Selain itu digunakan analysis komprehensif terkait dengan temuan temuan pada

penelitian terdahulu terutama mengenai kelestarian dan keberlanjutan kawasan dan fungsinya.

Hasil dan Pembahasan. Penghidupan/ aspek livelihood dikatakan berkelanjutan jika

(Kharismawanti, 2014) elastis dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mengejutkan

dan tekanan dari luar, tidak tergantung pada bantuan dan dukungan luar, tidak merugikan

penghidupan atau mengorbankan pilihan-pilihan penghidupan yang terbuka bagi orang lain

dan membedakan antara aspek-aspek lingkungan, ekonomi, sosial, dan isntitusional dari

sistem-sistem yang sustainable. Pendekatan keberlanjutan mata pencaharian (sustainable

livelihood) dapat digunakan sebagai kritik terhadap pembangunan, baik dari sisi hasil, cara

maupun ide yang cenderung menjadi eksploitatif bukan hanya terhadap sumber daya alam

tetapi juga modal-modal lain yang mendukung keberlanjutan mata pencaharian

termasuk modal non fisik.

Page 185: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

173 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 1. Local Livelihood

Pada gambar di atas dijelaskan system livelihood local yang dipengaruhi oleh

ekosistem servis dan perubahannya dan pada tingkatan rumah tangga bagaimana masyarakat atau komunitas beradaptasi dan menggunakan asset asset yang dimiliki untuk

mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Dari pola penggunaan kecenderungan

penggunaan asset dan kerentanan yang terukur dalam suatu konteks, maka penilaian

mengenai asset asset penghidupan suatu komunitas baik dari tataran desa, hingga

tingkatan terkecil yaitu rumah tangga perlu dilakukan untuk menyeseuaikan kebijakan, pola kelembagaan, dan inisiasi pasar yang tepat sehingga menjamin keberlangsungan

penghidupan suatu komunitas secara efektif.

Kampung Tambak Lorok terbagi kedalam 5 RW yaitu RW12,13,14,15,dan 16. Masing

masing RW memiliki pola dan kecenderungan strategi penggunaan asset yang berbeda. Hal ini Nampak dari sebaran pekerjaan masyarakat yang tinggal pada masing masing RW.

Wawancara mendalam dan FGD (Focus Group Discussion) dan PRA (Participatory Rural

Apraisal) untuk mengumpulkan opini, pengetahuan dan masukan dari masyarakat

setempat mengenai pembangunan dan manajemen perencanaan suatu wilayah dinilai dari kesiapan dan kondisi aspek pengidupan masing masing lokasi.

Secara etimologis, makna kata livelihood itu meliputi aset modal (alam, manusia,

finansial, soasial, dan fisik), aktifitas. Akses atau aset yang dimaksud dimediasi oleh

kelembagaan dan relasi sosial yang secara bersama mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga. Kata akses ini didefinisikan sebagai aturan atau norma sosial

yang mengatur atau mempengaruhi kemampuan yang berbeda antara orang dalam

memiliki, mengontrol, mengklaim, atau menggunakan sumberdaya (Saragih et al., 2007).

Menurut Ellis (2000), Penghidupan (livelihood) merupakan gambaran tentang kemampuan

Page 186: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

174 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

(capabilities), kepemilikan sumberdaya (asset), dan kegiatan yang dibutuhkan seseorang

atau masyarakat untuk menjalani kehidupannya. Asset, akses, aktivitas merupakan tiga

konsep yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu penghidupan (livelihood). Aset terkait

dengan akses dan penguasaan sumberdaya. Aset ada dua macam yakni aset tampak misalnya lahan dan aset tidak tampak misalnya pengetahuan, keterampilan, status sosial

(Kharismawanti, 2014). Asset utama yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya adalah

kemampuan atau tenaga kerja mereka sendiri terkait keterampilan, pendidikan atau

pengetahuan, kesehatan, dan mampu memanfaatkan peluang. Pada level rumah tangga, modal manusia adalah faktor dari jumlah dan tenaga kerja yang trersedia (DFID, 1999).

Pada bagian ini, akan dijelaskan masing masing aspek atau modal penghidupan

masyarakat Tambak Lorok per wilayah RW dan deskripsi dinamika yang ada dari hasil

temuan tersebut. Modal alam (natural) merupakan persediaan alam yang menghasilkan daya dukung

dan nilai manfaat bagi penghidupan manusia (DFID, 1999). Modal alam juga dapat

diartikan merupakan proses yang berasal dari alam dan terkait dengan proses-proses

ilmiah misalnya kondisi tanah, air, udara, siklus hidrologi, dan bagaimana manusia mampu

memainkan peranan dalam mengelola sumber yang ada untuk kebutuhan hidupnya.

Gambar 2. Penilaian Modal Natural Kampung Tambak Lorok

Sumber: Analisis

Grafik di samping menunjukkan hasil penilaian per lokasi mengenai kondisi

sumberdaya alam yang dinilai dari kondisi air tanah, sumberdaya ikan, kualitas udara dan

kualitas tanah dan kualitas tambak. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan tokoh

masyarakat dan beberapa responden, masyarakat RW 12 tidak terlalu bergantung kepada sumberdaya ikan dan kualitas air karena sebagian besar mata encaharian sebagai buruh

atau karyawan di sektor industri. Hal ini bernbeda dengan masyarakat yang ada di RW 13

merasakan kualitas lingkungan yang semakin menurun dan hasil tangkapan berkurang.

Sebagian responden menyatakan untuk kualitas tanah, menjadi perhatian utama karena penrunan muka tanah yang terus terjadi. Selain itu lahan tanah kosong sudah tidak ada

karena lokasi pemukiman yang padat dan rung hijau sangat minim di Kampung Tambak

Lorok. Beberapa ide mengenai pemnuatan jalur hijau dengan tanaman mangrove disambut

baik oleh warga namun permasalahan dan kekhawatiran warga adalah apakah penggunaan

lahan tersebut akan berkompetisi dengan penggunaan lahan sebagai hunian dan akses untuk mencari ikan di laut.

Penilaian warga terhadap sumberdaya air bersih sangat baik, hal ini diindikatorkan

dengan penialaian warga yang menyatakan akses dan kualitas air bersih dengan nilai rerata

8-9. Sumber air bersih yang menjamin kebutuhan hidup warga berasal dari air tanah yang

-

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

7.00

RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12

Page 187: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

175 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

dipompa ke permukaan dan dikelola secara individual dan disebarkan kepada kelompok

masyarakat dengan penggantian membayarkan sejumlah uang sekitar Rp. 200.000 per

bulan. Pola pemenuhan air bersih warga Kampung Tambak Lorok merupakan suatu bentuk

adaptasi yang dilakukan oleh warga mengingat sebelumnya akses air bersih sulit ditemukan. Potensi pemenuhan air bersih ini kemudaian dijawab oleh beberapa orang yang

memiliki akses permodalan lebih dari pada masyarakat sekitarnya dan kemudian

mengusahakan modal ini sebagai bisnis tambahan.

Modal fisik merupakan modal yang berkaitan dengan fasilitas fisik yang termasuk sebuah cara dan perlengkapan fisik seperti jalan, tempat pendaratan, dan pasar. Semua

modal fisik dibangun untuk mendukung proses penghidupan masyarakat. Infrastruktur

terdiri dari pengembangan lingkungan fisik yang membantu masyarakat memenuhi

kebutuhan dasar dan menjadi lebih produktif (DFID, 1999). Modal fisik yang diterangkan pada definisi tersebut adalah pada tataran komunitas. Modal fisik pada tataran rumah

tangga adalah aset aset yang dimiliki secara probadi oleh suatu rumah tang auntuk

enjawab permasalahan yang mungkin akan di hadapi atau terkait erat dengan penghidupan

dan pola konsumsi rumah tangga.

Gambar 3. Penilaian Modal Fisik Tambak Lorok

Berdasarkan hasil penilaian, modal fisik terendah teramati pada RW 16, RW 13 dan RW 15. Hal tersebut terkait erat dengan kepemilikan aset rumah, kendaraan, perahu,

perhiasan, sarana komunikasi, dan alat tangkap. Aset aset tersebut dinilai sebagai aset

bergerak yang digunakan sebagai modal bagi warga untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Penialaian respnden mengenai rumah tinggal dan aset perahu yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan hidup memiliki skor yang tinggi. Hal ini menyatakan masyarakat

merasa nyaman dengan rumah tinggal yang dimiliki wlalaupun setiap bulan harus

menyisihkan sebagian uang untuk pershiapan pengurugan. Untuk saranan komunikasi dan

kendaraan mendapatkan nilai yang kurang baik karena sebagian besar warga berfikir

bahwa kendaraan yang mereka miliki memiliki umur teknis yang rendah karena laju korosi dan kondisi jalan yang kurang baik dan sering tergenang air. Terdapat double standar

pendapat utuk hal yang serupa namun berbeda penilaian. Aset fisik berupa rumah tinggal

dan perahu sama sama menghadapi permasalahan korosi dan bahkan rob, namun karena

frekuensi pengalaman warga setempat cukup tinggi mengenai hal tersebut, maka masyarakat menjadi terbias adan memaklumi permasalahan yang sudah menjadi

kebiasaan. Berbeda halnya dengan akses kendaraan. Ada keinginan mengganti kendaraan

sebelum kndaraan menjadi rusak karena kondisi fisik yang dihadapi pada saat rob dan

korosi logam.

-

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12

Page 188: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

176 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 4. Modal Fisik Tambaklorok

Modal sumberdaya manusia adalah kapasitas suatu individu atau komunitas untuk siap

menghadapi perubahan yang dimugkinkan akan terjadi. Kapasitas ini dpat dilihat dari

tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, jumlah keterampilan yang dimiliki atau jenis jenis pelatihan apa yang pernah dilakukan (DFID 1999). Modal sumberdaya manusia dinilai

sebagai modal yang paling signifikan dalam proses penentuan strategi adaptasi yang

digunakan pada saat suatu konteks terjadi. Pada umumnya strategi adaptasi yang diambil

adalah strategi mata peralihan mata pencaharian atau nafkah.

Gambar 5. Penilaian Modal SDM Tambak Lorok

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

5

RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12

Page 189: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

177 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Strategi peralihan nafkah ekonomi yang sering terjadi adalah dari sektor perikanan ke

sektor lain pada saat musim paceklik atau sulit ikan. Sektor non perikanan yang sering

menjadi alternatif adalah bidang jasa. Beberapa nelayan terutama yang mempunyai

kemampuan pertukangan sering beralih ke sektor jasa pertukangan (mebel) pada saat musim paceklik tiba. Sedangkan bagi yang kurang terampil menjadi tukang, mereka cukup

membantu rekan mereka sebagai buruh bangunan. Pergeseran ke sektor non perikanan

juga terjadi pada generasi muda. Hal ini dikarenakan mereka telah mengenyam pendidikan

yang relatif lebih tinggi dibandingkan generasi tua. Pendidikan yang memadai ini menyebabkan mereka bisa bersaing untuk bekerja di kota-kota besar dan sector industry.

Beberapa diantaranya juga tidak berbekal pendidikan yang memadai sehingga mereka

bekerja sebagai tenaga kasar di kota-kota besar (Widodo, 2009).

Berdasarkan pada hasil survey lapangan, ditemukan beberapa responden yang menyatakan tidak memiliki keterampilan lain selain menangkap ikan. Pada tataran rumah

tangga, dilakukan survey untuk mengetahui keterampilan para anggota keluarga. Sebagian

besar responden manyatakan bahwa dalam tingkatan rumah tangganya, tidak memiliki

ketermapilan lain selain bidang yang sedang ditekuni. Pada responden RW 13, mengatakan

sebagian besar warga RW 13 dan 12 belum pernah mendapatkan pelatihan pelatihan keterampilan, baik itu di bidang perikanan, pengolahan produk dan perlatihan keterampilan

lain. Responden RW 16 dan RW 14 mengatakan nelayan sering mndapatkan pelatihan

pelatihan yang diadakan baik oleh dinas perikanan setempat atau pemerintah daerah.

Adapun kegiatan pengolahan biasanya bersinergi dengan kativitas PKK perempuan yang ada di sekitar. Mengingat aksesbilias beberap awarga terhadap keterampilan dan

penyebarannya, perlu dilakukan pemerataan pelatihan pelatihan untuk meningktakna

keterampilan warga.

Gambar 6. Penilaian Modal Finansial (Pendapatan dan pengeluaran)

Modal keuangan atau finansial adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan dan

dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan hidup mereka. Sumber utama

modal finansial adalah cadangan dan aliran dana teratur (penghasilan). Cadangan tersebut dapat berupa uang tunai, deposito, barang bergerak yang mudah diuangkan seperti hewan

ternak dan perhiasan, sedangkan aliran dana teratur seperti dana pensiun, bantuan dari

negara, dan kiriman uang (DFID, 1999). Secara khusus, strategi nafkah rumah tangga

miskin dapat dikelompokkan pada dua macam strategi, yaitu strategi ekonomi dan strategi

sosial. Strategi ekonomi merupakan strategi yang didasarkan pada penggunaan struktur alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga, sedangkan strategi sosial merupakan strategi

yang didasarkan pada penggunaan lembaga tradisional dan jejaring sosial yang ada di

sekitar rumah tangga miskin (Widodo, 2009). Berdasarkan hasil wawancara, sebagian

0

1000000

2000000

3000000

4000000

5000000

6000000

7000000

8000000

RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12

Rp

.

Pemasukan

Pengeluaran

Page 190: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

178 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

besar responden dan warga setempat memiliki tingkat pedapatan yang lebih besar dari

pengeluaran. Namun saving rasio (rasio tabungan) warga minim karena sebagian besar

tabungan dipersiapkan untuk pengurugan rumah sebagai suatu strategi adaptasi terhadap

adanya ROB. Namun jika di lihat dari segi pendapatan, pendapatan warga RW 15 dan 14 relatif tinggi dibandingkan dengan RW lain. Pendapatan tersebut dikarenakan sebagian

besar RW 14 dan 15 memiliki akses pemenuhan kebutuhan hidup dari laut dan masih aktif

mencari laut, sedangkan isteri dan anak anak mereka membantu secara finansial dengan

bekerja di sektor industri sebagai karyawan. Selain modal finansial yang dinayatakna dalam jumlah pendapatan dan pengeluaran, pendekatan mengenai tingkat saving rasion

masyrakat dan bentuk saving atau tabungan masyarakat juga diamati. Bentuk tabungan

yang dimiliki oleh warga adalah bentuk informal seperti tabungan arisan warga, dan

tabungan tunai di rumah. 60% responden manyatakan memiliki tabungan di lembaga keuangan ormal se[erti bank dengan harapan dapat melakukan pinjaman di Bank untuk

penguatan modal atau untuk kebutuhan mendadak.

Gambar 7. Penilaian Modal Sosial Kampung Tambak Lorok

Sumberdaya/ modal sosial yang dimaksud dalam pendekatan penghidupan

berkelanjutan adalah sumberdaya sosial yang bermanfaat dan digunakan masyarakat

untuk mencapai tujuan penghidupan mereka. Terdiri dari jaringan, klaim sosial, hubungan sosial, keanggotaan, dan perkumpulan. Modal ini dapat dikembangkan melalui relasi dan

kedekatan, keanggotaan dalam lembaga, serta hubungan kepercayaan dan timbal balik

(DFID, 1999). Strategi sosial yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin adalah

dengan memanfaatkan jejaring sosial yang mereka miliki. Jejaring sosial ini bisa berupa hubungan persaudaraan, pertemanan maupun hubungan buruh dan majikan. Pemanfaatan

jejaring sosial ini pada umumnya berupa hutang piutang. Nelayan miskin seringkali

berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terutama pada musim paceklik. Pilihan

berhutang paling banyak jatuh pada saudara dekat. Modal sosial yang dimiliki oleh masing

maisng lokasi sama namun tinkat partisipasinya berbeda. Diketahui pada RW 13, tingkat partisipasi warga terhadap akses modal sosial rendah. RW 15 dan RW 16 didukung oleh

rutinitas pengajian dan beberapa lembaga nonformal di bidang keuangan seperti arisan

dan tabungan warga yang mengautamakan unsur epercayaan dpat berjalan dengan baik.

Aktivtas sosial berbandirng lurus dengan sarana dan prasarana untuk berkumpul. Di RW 15 dan 14 terdapat masjid yang dijadikan lokasi untuk berkumpul dan bermusyawarah

selepas solat untuk mebicarkan permsalahan yang ada disekitar.

Modal aspek penghidupan diploting kedalam bentuk diagram, diketahui bahwa modal

yang paling besar adalah Modal Sosial, dimana strategi penghidupan warga cenderung menggunakan modal ini untuk beradaptasi. Proses proses penyaluran informasi dan

penyebaran strategi adaptasi dibicarakan juga dalam betuk bentuk komunikasi nonformal

7.00

7.50

8.00

8.50

9.00

9.50

RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12

Page 191: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

179 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

dalam kelembagaan sosial. Untuk permodalan yang lain seperti modal finansial, modal

alam dan modal fisik, kurang lebih berada pada tingkatan ketahanan yang sama. Ketiga

modal ini dianggap sebagai modal matang dimana masyarakat dapat menggunakan modal

modal ini dalam menjawab permasalahan yang terjadi. Namun nilai yang berkisar modal tersebut tidak dapat dikatagorikan sebagai modal yang diandalkan mengingat penilaian

yang diberikan warga hanya berkisar pad anilai tengah atau rata rata.

Gambar 8. Analisis Kerentanan Keberlanjutan Penghidupan Masyarakat Kampung Tambak

Lorok

Berbeda dengan modal sumberdaya manusia yang berada pada tingkatan rentan

karena penilaian warga terhadap modal ini rata rata sangat kecil. Kerentanan warga terhadap modal ini sangat tinggi. Warga menganggap warga kurang keterampilan sehingga

kecenderungan strategi dalam menjawab permasalahan adalah dengan mengikuti sukses

story warga yang telah melakukan suatu strategi terlebih dahulu. Modal sosial yang kuat

merupakan sarana atau mediasi pembelajaran bagi warga.

Kesimpulan. Perikehidupan warga mencakup faktor sumber daya manusia, natura, dan

fisik dan sosial beserta penjelasannya. Adapun Tingkat kerentanan warga yang paling

tinggi adalah pada sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia dengan keterampilan yang

tidak beragam membuat pilihan sumber penghidupan masyarakat semakin kecil. Selain itu tekanan penurunan muka tanah menyebabkan saving ratio warga semakin kecil dan

persipaan investasi jangka panjang semakin sulit dilakukan termask investasi pendidikan.

Daftar Pustaka Atmanegara, I. A. 2007. Pemilikan dan Akses Nelayan Terhadap Sumberdaya Pesisir di

Desa Glagah Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo. Jurusan Perikanan, Fakultas

Pertanian. UGM. Naskah tidak dipublikasikan.

-

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00Fisik

Alam

SDMFinansial

Sosial

RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12

Page 192: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

180 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Atmaningsih, T. 2012. Household Livelihood Strategy in Fish Catch Fluctuation Small Scale

Fisher Household in Bandar Lampung. Program Studi Magister Perencanaan Kota dan

Daerah. Program Pasca Sarjana UGM. Naskah tidak dipublikasikan.

Badan Pusat Statistik. 2010. Berita Resmi Statistik No. 47/Ix/1 September 2010. DFID. 1999. Sustainable Livelihoods Guidance Sheets.

Ditjen Perikananan Tangkap. 2011. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2010. KKP.

Jakarta

Ellis, F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford University Press, New York.

Kharismawanti, N. A. S. 2014. Strategi Pemulihan Penghidupan Masyarakat (Livelihood)

Melalui Usaha Ekowisata Volcano Tour Pasca Bencana Erupsi Merapi Tahun 2010.

Departemen Pendidikan Nasional. Fakultas Geografi. UGM. Naskah tidak dipublikasikan.

Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan.

LKIS, Yogyakarta.

Rochana, E., Kooswardhono M., Luky A., Sugeng B. 2000. Pendekatan Coastal Livelihood

System Analyzis (CSLA) untuk Penanggulangan Kemiskinan (Studi Kasus di Desa Patimban-Pesisir Subang Jawa Barat).

Setyaji, K. 2014. Persepsi Pemuda Terhadap Sektor Perikanan Tangkap di Desa Glagah

Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo. Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian.

Ugm. Naskah tidak dipublikasikan. Saragih, S., Jonatan L., dan Afan R. 2007. Kerangka Penghidupan Berkelanjutan.

Sukmawati, D. 2008. Struktur dan Pola Hubungan Sosial Ekonomi Juragan dengan Buruh

di Kalangan Nelayan Pantai Utara Jawa Barat (Studi Tentang Simbiosis Antara Juragan

dengan Nelayan Buruh di Pondok Bali Kecamatan Legon Kulon Kabupaten Subang). Jurnal Kependudukan Padjadjaran, 10.1:50-63

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods).

Alfabeta, Bandung

Page 193: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

181 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Beli Konsumen dalam Membeli Ikan Lele di Kota Kupang Chairul Pua Tingga1 dan Zainal Arifin Pua Geno2

Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiyah Kupang,

Jl. KH. Ahmad Dahlan No.17, 85111, Indonesia

(Email: [email protected] ; [email protected])

Abstrak – Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang banyak digemari oleh masyarakat

Indonesia termasuk di Kota Kupang walaupun terletak di wilayah pesisir namun minat beli konsumen

terhadap ikan lele siap konsumsi di Kota Kupang mengalami peningkatan dengan banyaknya warung-warung yang menyediakan menu ikan lele serta banyaknya pembudidaya ikan lele di Nusa Tenggara

Timur. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli

konsumen dalam membeli ikan lele. Metode penelitian ini mengguanakan metode kuantitatif kausal dengan variabel penyebabnya adalah variabel sosial, budaya, dan pribadi, sedangkan minat beli

sebagai variabel akibat. Teknik pengumpulan data menggunakan kuisioner yang disebarkan kepada 384 responden, kemudian jawaban responden diolah menggunakan bantuan software SPSS versi 20.

Hasil penelitian menunjukkan secara simultan variabel sosial, budaya, dan pribadi berpengaruh

signifikan terhadap minat beli dengan nilai signifikansinya 0,000 < 0,05. Kemudian secara parsial variabel sosial dan variabel pribadi yang mempunyai pengaruh terhadap minat beli ikan lele di Kota

Kupang dengan nilai signifikansi masing-masing variabel adalah 0,000 < 0,05, sednagkan variabel budaya tidak mempunyai pengaruh secara parsial, karena nilai signifikansinya 0,451 > 0,05. Variabel

Minat beli dapat dijelaskan dengan variabel sosial, budaya, dan pribadi sebesar 80,9%. Dengan

demikian para penjual yang menyediakan menu ikan lele agar dapat mengolah menu ikan lele yang disesuaikan dengan gaya hidup dan selera konsumen di Kota Kupang, serta menyediakan tempat yang

nyaman bagi kosnumen untuk berinteraksi dengan teman, sahabat, dan keluarga sambil menikmati hidangan menu ikan lele.

Kata Kunci: Sosial, Budaya, Pribadi, Minat Beli

Abstract - Catfish is one type of freshwater fish that is popular with the people of Indonesia, including

in the city of Kupang, even though it is located in a coastal area, but consumers' buying interest in ready-to-consume catfish in Kupang City has increased with the number of stalls that provide catfish

menus and the number catfish farmers in East Nusa Tenggara. The purpose of this study was to

determine the factors that influence consumer buying interest in buying catfish. This research method uses a causal quantitative method with the causal variables being social, cultural, and personal

variables, while purchase interest is the effect variable. The data collection technique used a questionnaire distributed to 384 respondents, then the respondents' answers were processed using

SPSS version 20 software. The results showed that simultaneously social, cultural, and personal

variables had a significant effect on purchase intention with a significance value of 0.000 <0.05. Then partially social variables and personal variables that influence buying interest in catfish in Kupang City

with a significance value of each variable are 0.000 <0.05, while cultural variables do not have a partial

effect, because the significance value is 0.451> 0.05. . Purchase interest variable can be explained by social, cultural, and personal variables of 80.9%. Thus the sellers who provide catfish menus can

process catfish menus tailored to the lifestyle and tastes of consumers in Kupang City, and provide a comfortable place for consumers to interact with friends, friends, and family while enjoying the catfish

menu dishes.

Keywords : Social, Cultural, Personal, Buying Interest

Pendahuluan. Perikanan merupakan salah satu subsektor kegiatan pertanian yang

memiliki potensi di Indonesia. Selain perikanan laut, Indonesia memiliki lahan perikanan

air tawar yang cukup luas yaitu sekitar 1.278.463 Ha (Alicia dkk., 2019). Pertumbuhan produksi budidaya ikan lele di Indoensia dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan

(Andre, 2019), hal ini dikarenakan ikan lele merupakan jenis ikan yang mudah untuk

dibudidaya dalam segala kondisi, serta masa panen yang pendek ikan lele bisa dipanen

setelah mencapai ukuran 9-12 ekor per Kg. ukuran sebesar itu bias dicapai dalam tempo 2,5 – 3,5 bulan dari benih berukuran 5-7 cm (Arief, 2017). Ikan lele sangat digemari oleh

masyarakat Indonesia, karena ikan lele mengandung gizi dan protein yang sangat bagus

bagi tubuh manusia. Ikan lele yang dipasarkan selain ikan lele segar banyak juga

Page 194: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

182 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

dipasarkan ikan lele yang sudah diolah, rasa dagingnya enak, dan cara pengolahan yang

mudah serta harga yang terjangkau membuat minat beli masyarakat dalam membeli ikan

lele semakin tinggi. Masyarakat kota Kupang dalam mengkonsumsi ikan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan

(budaya) yang membentuk cara berpikir, berinteraksi, termasuk minat konsumsi

makanan. Perilaku konsumen dalam melakukan pembelian sangat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, terdapat 3 faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli

produk yaitu faktor sosial, faktor budaya, dan faktor pribadi (BPS, 2015). Kota Kupang yang berada dipesisir sehingga sangat mudah untuk mendapatkan ikan laut segar dan

masyarakat Kota Kupang pada umumnya dalam mengkonsumsi ikan banyak menyukai

jenis ikan air laut dibandingkan dengan jenis ikan air tawar, tetapi banyak juga restoran

dan warung-warung pedagang kaki lima di Kota Kupang yang menyediakan menu masakan ikan air tawar sepeerti lalapan ikan lele.

Berkembangnya usaha-usaha restoran dan warung-warung yang menyediakan menu

ikan lele tidak terlepas dari minat beli konsumen dalam membeli ikan lele. Konsumen yang

merupakan target utama dalam aktifitas pemasaran, dan sangat menentukan keberhasilan

sebuah usaha menjalankan strategi pemasaran. Usaha yang berorientasi pasar sangat perduli dengan kebutuhan dan keinginan konsumen untuk membuat perencanaan strategi

pemasaran yang akan digunakan dalam memasarkan produknya. Dengan strategi

pemasaran yang baik sebuah usaha tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dan

keinginan konsumen, akan tetapi juga mampu menciptakan kebutuhan dan keinginan konsumen dengan cara mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli

konsumen (https://penelitianilmiah.com, 2019).

Minat beli merupakan bagian dari perilaku konsumen yang terbentuk 4 faktor yaitu

faktor sosial, faktor budaya, faktor psikologis dan faktor pribadi. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen dalam membeli

ikan lele di Kota Kupang, faktor-faktor yang dianalisis ada 3 yaitu faktor sosial, budaya,

dan pribadi (Joy dkk., 2018).

Metode Penelitian. Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif kausal

yang bertujuan untuk melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan hubungan sebab

akibat (Kotler dan Keller, 2016). Variabel penyebabnya adalah sosial (X1), budaya (X2),

dan faktor pribadi (X3) dengan variabel akibatnya adalah minat beli konsumen (Y). Selain

itu, ruang lingkup penelitian ini adalah pada kajian pemasaran yang lebih spesifik pada aspek perilaku konsumen tentang faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen

dalam membeli ikan lele di Kota Kupang. Selanjutnya populasi dalam penelitian ini

jumlahnya tidak diketahui, sehingga untuk menentukan sampel digunakan rumus

Lemoshow dalam Umadji dkk., (2019):

n = 𝐙² 𝐱 𝐩 (𝟏−𝐩)

𝐝²

Keterangan:

n = jumlah sampel Z = skor Z pada kepercayaan 95% = 1,96

p = maksimal estimasi 0,5

d = alpha (0,05) atau sampling error 5%

Dengan menggunakan perhitunagn rumus diatas, maka diperoleh sampel sebesar 384,16 yang dibulatkan menjadi 384 responden.

Page 195: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

183 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive

sampling dengan ketentuan masyarakat Kota Kupang yang pernah membeli dan

mengkonsumsi ikan lele. Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan observasi dan wawancara kepada para pelaku usaha rumah makan di Kota Kupang, serta penyebaran kuisioner kepada kosnumen dengan skala pengukurannya

menggunakan skala likert. Kemudian daftar pernyataan yang dibuat dalam kusioner

merujuk pada definisi operasional variabel berikut:

Variabel Independen (X)

Variabel Sosial (X1). Meliputi : (1) melompok acuan adalah dua orang atau lebih

yang berinteraksi untuk mencapai sasaran individu atau bersama, (2) keluarga adalah organisasi pembelian konsumen terkecil dalam masyarakat, dan telah

menjadi obyek penelitian yang luas dan (3) peran dan status sosial di masyarakat

aktifitas yang diharapkan dilakukan seseorang menurut orang-orang yang ada

disekitarnya.

Variabel Budaya (X2). Meliputi : (1) kebiasaan mendengar tentang produk adalah

kebiasaan mendengar tentang produk yang dijual di masyarakat, (2) kelompok

terdekat dalam membeli produk dan (3) enilaian kualitas produk yang dilakukan oleh

masyarakat (KKP, 2019).

Variabel Pribadi (X3). Meliputi : (1) pekerjaan adalah orang yang mempunyai

pendapatan, usia dan tahap siklus hidup, situasi ekonomi, gaya hidup dan

kepribadian dan konsep diri (Titin dkk., 2020).

Variabel Dependen (Y)

Variabel minat beli konsumen (Y). Kecenderungan konsumen untuk membeli suatu merek atau mengambil tindakan yang berhubungan dengan pembelian yang

diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian (Yanti dan

Gita, 2019), meliputi : Awareness (kesadaran konsumen untuk membeli dan

mengkonsumsi produk), knowledge (pengetahuan konsumen tentang produk yang

dibutuhkan dan produk yang dibeli), Liking (ketertarikan konsumen terhadap sebuah produk yang dipasarkan) Preference (konsumen memilih produk yang

diminati) dan Conviction (keyakinan konsumen terhadap produk yang dapat

memenuhi kebutuhan dan keinginannya).

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda,

Uji- F (uji simultan), Uji t (uji parsial), dan Uji Koefisien determinasi (R-Square/R2)

Hasil dan Pembahasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen

dalam membeli ikan lele adalah faktor sosial, faktor budaya dan faktor pribadi. Setelah dilakukan uji regresi berganda adalah sebagai berikut :

Page 196: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

184 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Table 1. Hasil Uji Regresi Berganda

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 3.638 .893 4.074 .000

Sosial .368 .097 .407 3.790 .000

Budaya .086 .113 .092 .756 .451

Pribadi .625 .110 .460 5.709 .000

Dari tabel diatas dapat diperoleh persamaan regresi Y = 3,638 + 0,368.X1 + 0,086.X2

+ 0,625.X3. Selain itu, dari model regresi linear berganda tersebut dapat dimaknai masing-

masing koefisien regresi sebagai berikut : (1) kostanta (a) = 3,638 menjelaskan bahwa

jika nilai variabel sosial (X1), budaya (X2), dan pribadi (X3) diasumsikan konstan atau tidak

berubah, maka variabel minat beli konsumen dalam membeli ikan lele nilainya adalah 3,638, (2) nilai (b1) = 0,368 menunjukan jika variabel sosial (X1) naik satu poin, maka

variabel Minat beli konsumen dalam membeli ikan lele (Y) akan naik sebesar 0,368, (3)

nilai (b2) = 0,086 jika variabel budaya (X2) naik satu poin, maka variabel Minat Beli

konsumen dalam membeli ikan lele (Y) juga akan naik sebesar 0,086 dan (4) nilai (b3) =

0,625 menunjukan jika variabel pribadi (X3) naik satu poin, maka variabel Minat Beli konsumen (Y) juga akan naik sebesar 0,625.

Tabel 2. Uji Simultan (uji F)

Model Sum of Squares

Df Mean

Square F Sig.

1

Regression 590.047 3 196.682 129.639 .000b

Residual 139.578 92 1.517

Total 729.625 95

Berdasarkan hasil olah data dengan SPSS pada tabel diatas diperoleh nilai Signifikansi

0,000 < 0,05 yang artinya bahwa ketiga variabel bebas yaitu variabel sosial (X1), variabel

budaya (X2), dan variabel pribadi (X3) secara simultan atau secara bersama-sama memiliki

pengaruh yang sangat nyata terhadap variabel minat beli konsumen (Y) dalam membeli ikan lele di Kota Kupang.

Tabel 3. Uji t (Uji Parsial)

Model

Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 3.638 .893 4.074 .000

Sosial .368 .097 .407 3.790 .000

Budaya .086 .113 .092 .756 .451

Pribadi .625 .110 .460 5.709 .000

Tabel diatas merupakan hasil olah data SPSS uji parsial yaitu menguji masing-masing

variabel bebas terhadap variabel terikat. Secara parsial variabel budaya (X2) tidak berpengaruh terhadap minat beli konsumen (Y) dengan dibuktikan perolehan nilai

Signifikansi 0,451> 0,05, sedangkan kedua variabel lainnya yaitu variabel Sosial (X1) dan

variabel pribadi (X3) memiliki pengaruh, hal ini dapat dibuktikan dengan perolehan nilai

Signifikansi untuk masing-masing variabel 0,000<0,05. Kemudian variabel pribadi (X3)

Page 197: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

185 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

yang paling dominan berpengaruh terhadap minat beli konsumen (Y) dalam membeli ikan

lele di Kota Kupang, pada tabel diatas dapat dilihat pada nilai t-hitung variabel pribadi (X3)

sebesar 5,709 lebih besar dari nilai t-hitung variabel sosial (X1) adalah 3,790.

Tabel 4. Koefisien Determinasi (R-Square)

Tabel diatas merupakan hasil uji koefisien determinasi yaitu untuk menguji besarnya

kontribusi pengaruh variabel sosial (X1), variabel budaya (X2), dan variabel pribadi (X3)

terhadap variabel minat beli konsumen (Y) adalah sebesar 0,809 atau 80,9% variabel

minat beli konsumen dapat dijelaskan oleh ketiga variabel bebas yaitu variabel sosial (X1),

budaya (X2), dan pribadi (X3), kemudian sisanya 19,1% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain diluar variabel penelitian ini.

Kesimpulan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan faktor

sosial, faktor budaya, dan faktor pribadi memiliki pengaruh terhadap minat beli konsumen

dalam membeli ikan lele di Kota Kupang, walaupun secara masing-masing hanya faktor sosial dan faktor pribadi yang berpengaruh terhadap minat beli konsumen dalam membeli

ikan lele di Kota Kupang.

Ucapan Terima Kasih. Terima kasih kepada LP3M Universitas Muhammadiyah

Kupang yang telah memberikan sumber pendanaan sehingga tercapainya penelitian ini, serta mahasiswa Program Studi Agrobisnis Perikanan yang telah ikut berpartisipasi dalam

proses kegiatan penelitian, dan tidak lupa pula para pengusaha-pengusaha rumah makan

yang menyediakan menu ikan lele di Kota Kupang yang telah bersedia untuk diwawancara

pada proses pengumpulan data dilapangan.

Daftar Pustaka

Alicia Jenifer Suawa, Altje L. Tumbel, Yunita Mandagie, Analisis Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Perilaku Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Di New Ayam

Bandung Resto Kawasan Megamas Manado, Jurnal EMBA, Vol.7 No.4 Oktober 2019.

Hal. 5195-5204.

Andre Prayoga Surya Perwira, Motivasi Masyarakat Berternak Ikan Lele Di Kecamatan

Pagelaran Kabupaten Pringsewu, Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung,

Bandar Lampung, 2019.

Arief Adi Satria, Pengaruh Harga, Promosi, Dan Kualitas Produk Terhadap Minat Beli

Konsumen Pada Perusahaan A-36, PERFORMA Jurnal Manajemen dan Start-Up Bisnis,

Vol.2 No.1 April 2017. Hal. 45-53.

Badan Pusat Statistik. 2015. Luas Usaha Budidaya Subsektor Perikanan di Indonesia.

Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Jakarta.

https://penelitianilmiah.com/metode-penelitian/2019.

Joi A. Surbakti, Naharuddin Sri, Alexander s. Tanody, Analisis Pengembangan Usaha

Budidaya Ikan Lele (Clarias sp) di Kota Kupang, Junral Partner, Vol.23 No.2 November

2018.

Kotler. dan Keller. 2016. Marketing Management. Edisi 15. Pearson Pretice Hall, Inc, New

Jersey.

Model R R Square Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

1 .899a .809 .802 1.232

Page 198: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

186 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

N. Umadji., S.L.H.V Joyece. Lapian., R.J. Jorie, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Perilaku Konsumen Dalam Keputusan Pembelian Roti Di Bread Factory, Jurnal EMBA,

Vol.7 No.4 Oktober 2019. Hal. 6086-6095.

Refleksi 2018 dan outlook 2019, Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2018.

Titin Juniartin, Rahmat Madjid, Juarsah, Pengaruh Kualitas Produk dan Harga Terhadap

Kepuasan Konsumen Pada UD. Mete Mubaroq Lombe Kota Kendari, Jurnal Manajemen

dan Kewirausahaan, Vol.12 No.2 Juli 2020. Hal 106-117.

www.alamtani.com/panduan lengkap budidaya ikan lele.

Yanti Mayasari Ginting, Gita Marantika, Analisis Pengaruh Bauran Pemasaran Jasa, Faktor

Sosial, dan Faktor Pribadi Terhadap Keputusan Sekolah Siswa Pada Siswa Di Sekolah

Tinggi Buruh Pekanbaru, PROCURATIO Jurnal Ilmiah Manajemen, Vol. 7 No. 4

Desember 2019: Hal. 453-469.

Yudhistira Harisandi, Widya Fransiska, Rini Kartika Sari, Pengaruh Budaya, social, dan

pribadi Terhadap Keputusan Pembelian Baju Muslim Pada Toko Butik Arafah Di

Sitobondo, ECOBUSS Jurnal Ilmiah Ilmu Ekonomi dan Bisnis, Vol.7 No.1 Maret 2019.

Hal 53-70.

Page 199: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

187 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Melalui Pembangunan Café Laut Semare, Desa Semare, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan Moh. Awaludin Adam

Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Ibrahimy, Situbondo, Indonesia

Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Indonesia (Email: [email protected] / [email protected])

Abstrak - Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Semare Mandiri Sejahtera merupakan instrument pemberdayaan ekonomi local. Berbagai jenis usaha dengan potensi yang dimiliki desa adalah bagian

yang tidak terpisahkan dari BUMDes. Desa Semare merupakan desa pesisir yang terletak di sebelah selatan Selat Madura. Akses jalan masuk menuju Desa Semare terletak disebelah barat Pasar Kraton

menuju arah utara. Potensi ekonomi Desa Semare adalah kawasan mangrove, pengolahan ikan asap

dan kerang. Dalam mengoptimalkan potensi desa, warga sepakat untuk membangun kawasan ekowisata. Untuk itu masyarakat Desa Semare sepakat membuat dan membangun ekonomi

masyarakat melalui pembangunan Café Laut Semare (CLS). Penelitian dan pengabdian ini

menggunakan metode deskriptif kualitatif yang berguna untuk 187ember gambaran rinci mengenai strategi pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) melalui pembangunan café laut semare,

Desa Semare, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Kegiatan strategi pengembangan BUMDes Semare Mandiri Sejahtera melalui pembangunan Café Laut Semare (CLS) membawa dampak

perubahan yang begitu besar bagi kehidupan social, ekonomi dan budaya Desa Semare. Perubahan

mindset dan norma social kehidupan masyarakat selama 3 tahun terakhir terjadi secara meningkat. Banyaknya komunitas dan lembaga swadaya masyarakat yang ikut serta bergabung dalam

pengembangan Café Laut Semare membawa keberkahan sendiri bagi masyarakat Desa Semare yang sebelumnya dipandang sebelah mata oleh masyarakat Desa Semare khususnya dan Kabupaten

Pasuruan umumnya. Kami berharap untuk kedepannya Café Laut Semare akan banyak mendapat

dukungan pengembangan dari pemerintah desa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kata Kunci: Semare Mandiri Sejahtera, Desa Semare, CLS, Desa Mandiri

Abstract - Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Semare Mandiri Sejahtera is an instrument of local

economic empowerment. Various types of businesses with village potential are an inseparable part of the BUMDes. Semare Village is a coastal village located south of the Madura Strait. Access access to

the village of Semare is located west of the Kraton Market to the north. The economic potential of

Semare Village is a mangrove area, smoked fish and shellfish processing. In optimizing the village's potential, the residents agreed to build an ecotourism area. For this reason, the Semare Village

community agreed to create and build a community economy through the construction of Café Laut

Semare (CLS). This research and service uses a qualitative descriptive method that is useful for a bucket of a detailed description of the strategy of developing Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) through

the construction of a Café Laut Semare, Semare Village, Kraton District, Pasuruan Regency. The development strategy of BUMDes Semare Mandiri Sejahtera through the construction of Café Laut

Semare (CLS) has brought such a profound impact on the social, economic and cultural life of Semare

Village. Changes in mindset and social norms of community life over the past 3 years have increased. The many communities and non-governmental organizations participating in the development of Café

Laut Semare bring their own blessings to the people of Semare Village which were previously underestimated by the people of Semare Village in particular and Pasuruan Regency in general. We

hope that in the future Semare Sea Café will receive a lot of development support from the village

government, regional government and central government. Keywords: BUMDes Semare Mandiri Sejahtera, Semare Village, CLS, Indefendent Village

Pendahuluan. Pemerintah pada saat memiliki misi membangun daerah pedesaan yang

dapat dicapai melalui sebuah pemberdayaan masyarakat. Tujuannya untuk meningkatkan produktivitas dan keanekaragaman usaha, terpenuhinya sarana dan fasilitas untuk

mendukung peningkatan ekonomi desa, membangun dan memperkuat institusi yang

mendukung rantai produksi dan pemasaran, serta mengoptimalkan sumber daya manusia

sebagai dasar pertumbuhan ekonomi desa (Maftuch, et al, 2018). Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan instrument pemberdayaan ekonomi

local. Berbagai ragam jenis usaha dengan potensi yang dimiliki desa adalah bagian yang

Page 200: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

188 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

tidak terpisahkan dari BUMDes. Pengembangan potensi ini memiliki tujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga desa melalui pengembangan usaha ekonomi.

Disamping itu, keberadaan BUMDes juga membawa dapak terhadap peningkatan sumber

pendapatan asli desa (PAD) yang memungkinkan desa untuk mampu melakukan sebuah pembangunan dan juga untuk peningkatan kesejahteraan secara lebih optimal. BUMDes

sebagai badan hukum, dibentuk berdasarkan tata perundang-undangan yang berlaku, dan

sesuai dengan aturan yang berlaku di desa. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 213 ayat 1-3 disebutkan bahwa desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa.

Sesuai dengan aturan tersebut, pembentukan BUMDes didasarkan atas kebutuhan dan

potensi yang dimiliki desa, dengan tujuan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Dalam hal ini perencanaan dan pembentukannya, BUMDes dibangun atas inisisai

masyarakat desa, serta mendasarkan pada prinsip -prinsip kooperatif, partisipatif, dan

emansipatif. Hal yang paling penting adalah bahwa pengelolaan BUMDes harus dilakukan

secara profesional, kooperatif, dan mandiri. Dengan demikian, bangun BUMDes dapat

beragam di setiap desa di Indonesia. Sehubung dengan itu, maka untuk membangun BUMDes diperlukan informasi yang akurat dan tepat tentang karakteristik kelokalan

termasuk ciri sosial budaya masyarakat. BUMDes sejatinya sebagai lembaga sosial yang

berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya sebagai penyedia

pelayanan sosial. Namun BUMDes juga sebagai lembaga komersial dimana BUMDes bertujuan untuk mencari keuntungan melalui penjualan barang atau jasa yang

diperuntukan kepada masyarakat.

Melihat posisi BUMDes dalam menghadapi realitas desakan arus intervensi modal

domestik dan asing yang kini menjadikan desa sebagai sasaran pengembangan usaha sangat keras sekali, disamping itu BUMDes ini hanya bermodal tak seberapa jika

dibandingkan dengan swasta yang selalu bermodal besar. Dengan sumber daya alam yang

dimiliki desa, hal ini sangat rawan sekali terjadi intervensi modal dan pasar di pedesaan.

Kehadiran BUMDes sendiri akan menjadi penangkal bagi kekuatan korporasi asing dan nasional. Diharapkan BUMDes ini mampu menggerakan dinamika ekonomi desa, dan

sebagai perusahaan milik desa.

Desa Semare merupakan salah satu desa di Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan

yang terletak di tepi Selat Madura dan terletak sekitar 2 Km dari Jalan Raya Surabaya –

Pasuruan. Desa Semare merupakan desa pesisir yang terletak di sebelah selatan Selat Madura. Akses jalan masuk menuju Desa Semare terletak disebelah Barat Pasar Kraton

menuju arah utara. Luas wilayah Desa Semare + 476,549 Ha. Dilihat dari topografi dan

kontur tanah, Desa Semare secara umum berupa persawahan dan pertambakan yang

berada pada ketinggian antara 0,5 m hingga 2 m di atas permukaan air laut dengan suhu rata-rata berkisar antara 300 sampai 370 Celcius (Kecamatan Kraton dalam Angka, 2019).

Potensi ekonomi Desa Semare lainnya yang belum terdata dalam daftar potensi desa

adalah usaha pembuatan perahu yang jumlahnya ada 4 unit usaha. Usaha pembuatan

perahu ini cukup berkembang mengingat kebutuhan perahu nelayan terus berkembang sejalan dengan membaiknya perekonomian nelayan. Nelayan yang tadinya bukan pemilik

kapal jika kondisi perekonomian nya membaik akan membeli kapal sendiri sehingga

kebutuhan kapal nelayan terus meningkat disamping kebutuhan kapal untuk mengganti

kapal yang sudah rusak. Keberadaan usaha pembuatan perahu ini nantinya juga akan

mendukung usaha persewaan sampan untuk wisata mangrove jika pusat kuliner kerang dan wisata mangrove bisa dikembangkan di Desa Semare. Untuk itu masyarakat Desa

Semare sepakat membuat dan membangun ekonomi masyarakat melalui pembangunan

Café Laut Semare (CLS) (Maftuch, et al, 2018).

Page 201: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

189 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Metode Penelitian. Penelitian dan pengabdian ini menggunakan metode deskriptif

kualitatif yang berguna untuk memberi gambaran rinci mengenai strategi pengembangan

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) melalui pembangunan café laut semare, Desa Semare,

Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Teknik penentuan informan dilakukan dengan teknik purposive dan snowball. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik

observasi, wawancara, dokumentasi. Sedangkan teknik pemeriksaan keabsahan data

melalui triangulasi dan observasi secara terus-menerus. Teknik analisis data

menggunakan teknik reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Sedangkan untuk mengetahui seberapa besar partisipasi dalam pembangunan desa yang dilakukan oleh masyarakat dianalisis menggunakan metode Rapid Rural Appraisal (RRA)

digunakan untuk pengumpulan informasi secara akurat dalam waktu yang terbatas ketika

keputusan tentang pembangunan perdesaan harus diambil segera. Dewasa ini banyak

program pembangunan yang dilaksanakan sebelum adanya kegiatan pengumpulan semua informasi di daerah sasaran. Konsekuensinya, banyak program pembangunan yang gagal

atau tidak dapat diterima oleh kelompok sasaran meskipun program-program tersebut

sudah direncanakan dan dipersiapkan secara matang, karena masyarakat tidak

diikutsertakan dalam penyusunan prioritas dan pemecahan masalahnya.

Hasil dan Pembahasan

Pendirian BUMDes Desa Semare. Kegiatan pembangunan Desa Pesisir Jawa Timur

tepatnya di Desa Semare, Kecamatan Kraton, Pasuruan ini sudah berlangsung lama. Namun, giat menuju ekowisata desa tercetuskan pada tahun 2018. Bertepatan dengan

tahun kedua program pengabdian pengembangan desa mitra kerjasama antara Universitas

Brawijaya, Universitas Ibrahimy dan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti)

selama 3 (tiga) tahun pengabdian. BUMDes Semare Mandiri Sejahtera berdiri pada 28 Maret 2018 ini merupakan inisiatif dari pada pengabdi dan Kepala Desa Semare untuk

menjadikan wadah ini sebagai tolak ukur badan desa yang bertanggung jawab dalam usaha

pengembangan ekowisata desa kedepannya. Dalam meningkatkan keterampilan dan

pengetahuan pengurus BUMDes dilakukan beberapa kali pelatihan dan studi banding.

Kegiatan Survey Feedback di BUMDes Semare Mandiri Sejahtera. Sebuah organisasi

sangat membutuhkan pengembangan organisasi agar organisasinya lebih dapat

beradaptasi dengan segala perubahan dan kebutuhan masyarakat pada saat ini. Salah satu

strategi pengembangan organisasi yang sangat penting adalah kegiatan Survey Feedback. Menurut Wibowo, Survey Feedback adalah suatu teknik pengembangan organisasi di mana

kuesioner dan interview digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang masalah yang

terkait dengan organisasi. Informasi ini dibagikan kepada pekerja, kemudian digunakan

sebagai dasar untuk melakukan perubahan organisasional. Pada kegiatan Survey Feedback di BUMDes Semare Mandiri Sejahtera kegiatan untuk

mengetahui masalah tidak hanya melalui pembagian angket atau kuisioner melainkan juga

melalui penyampaian secara langsung yang dilakukan baik kapan saja atau pada saat

rapat. Kegiatan Survey Feedback di BUMDes Semare Mandiri Sejahterabukan hanya

mengenai masalah yang terjadi dalam BUMDes tetapi juga mengenai masalah apa yang saat ini terjadi pada masyarakat atau mengenai kebutuhan masyarakat.

Pengurus BUMDes menyampaikan secara langsung masalah yang ada di BUMDes dan

disampaikan kepada Ketua BUMDes yang nantinya masalah tersebut ditampung dan

dibahas pada saat rapat pengurus. Sehingga dalam kegiatan survey feedback pada BUMDes Semare Mandiri Sejahteralebih diutamakan penyampaian secara langsung

sehingga ada kedekatan antar pengurus.

Page 202: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

190 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Partisipasi dan Tindakan Proaktif dalam kegiatan Survey Feedback di BUMDes Semare

Mandiri Sejahtera Menurut Habullah adanya modal sosial tidak hanya dibangun oleh suatu

individu, akan tetapi terbangun dari adanya interaksi yang terjadi antar individu dalam

suatu kelompok/ jaringan social. Penyerahan Bantuan Alat Pengembangan Produk Lokal Desa Semare (Gambar 1). Interaksi tersebut akan berhasil jika individu yang ada di

kelompok mau melibatkan diri dan bersosialisasi dengan individu lainnya. Jaringan sosial

tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusional yang memberikan perlakuan khusus

terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut.

Gambar 1. Serah Terima Bantuan Alat Vaccum Frying

Dalam strategi pengembangan BUMDes Semare Mandiri Sejahtera, tidak hanya

menyangkutkan pengurus BUMDes saja tetapi juga ada hubungan dengan masyarakat.

Masyarakat dapat berpartisipasi dan memberikan kritik atau sarannya kepada pengurus BUMDes. Dengan begitu pengurus pun dapat mengetahui penilaian yang diberikan

masyarakat, atau terkait masalah dan kebutuhan masyarakat pada saat ini. Dari adanya

partisipasi masyarakat yang berupa penyampaian kritik saran juga termasuk pada tindakan

proaktif atau proactivity. Hasbullah mengatakan bahwa inti utama dari perilaku proaktif ini yaitu individu memiliki tindakan aktif dan kreatif. Dalam hal ini, individu pada suatu

jaringan sosial akan melibatkan dirinya dengan perilaku secara aktif dan berinisiatif untuk

memberikan sesuatu yang solutif terhadap aktivitas yang ada di jejaring tersebut.

Pengembangan BUMDes Semare Mandiri Sejahterayang menggunakan strategi survey

feedback menunjukkan adanya partisipasi dan tindakan proaktif dari masyarakat yang berupa penyampaian kritik, saran, mau pun ide-ide baru. Survey Feedback disini bukan

hanya hubungan antar pengurus, tetapi juga adanya kepedulian pengurus dengan

masyarakat dalam mengetahui masalah, keingingan mau pun kebutuhan masyarakat.

Education and Training Activities. Sebuah organisasi sangat memerlukan adanya

kegiatan pendidikan dan pelatihan, hal itu dirasa sangat penting agar segala tindakan yang

dilakukan sudah terkoordinir sesuai dengan aturan atau pedoman yang ada. Menurut

Widodo, Education dan Training Activity merupakan teknik pengembangan organisasi yangmelakukan peningkatan pemahaman pekerja atas perilaku yang mereka sendiri dan

dampaknya terhadap orang lain. Pada kegiatan pendidikan dan pelatihan di BUMDes

Semare Mandiri Sejahtera, pelatihan lebih diutamakan kepada Ketua BUMDes, sedangkan

untuk pengurus BUMDes yang lainnya lebih kepada pendampingan saat awal BUMDes

Page 203: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

191 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

didirikan. Proses pendampingan ini bersifat kontrak, sehingga setelah masa kontrak habis,

proses pendampingan pun selesai. Proses pendampingan disini digambarkan sebagai

bentuk pendidikan kepada pengurus BUMDes (Gambar 2).

Gambar 2. Pelatihan Penggunaan Vaccum Frying dalam Produk Olahan

Pengurus BUMDes diajarkan berbagai cara pengelolaan BUMDes yang baik dan benar

sesuai dengan aturan dasar BUMDes selain itu juga ada pendampingan mengenai aplikasi

program, yang berguna untuk pengerjaan laporan tahunan. Sosialisasi Sebagai Bentuk

Partisipasi Dalam Kegiatan. Dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan ini bukan hanya pengurus yang diberi pengarahan tapi masyarakat juga diberikan pengarahan. Pengarahan

ini disebut sebagai kegiatan sosialisasi. Sosialiasi dilakukan untuk memberikan gambaran

mengenai BUMDes dan berbagai kegiatan yang ada didalamnya. Sosialisasi diberikan pada

saat rapat RT/ RW, rapat PKK, rembug warga, dan juga rapat anggota tahunan (RAT).

Sosialisasi kepada masyarakat Desa Semare ini tidak hanya diberikan pada saat akan pendirian BUMDes saja tetapi juga pada saat BUMDes telah didirikan, bahkan hingga saat

ini. Hal tersebut dilakukkan dengan harapan dapat menarik perhatian masyarakat agar

masyarakat lebih berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh BUMDes

Semare Mandiri Sejahtera. Kegiatan pendidikan dan pelatihan tersebut menunjukkan bahwa pelatihan sangat

diperlukkan utamanya bukan hanya untuk ketua BUMDes tetapi juga pada pengurus

BUMDes, sedangkan kegiatan pendampingan juga dianggap sangat cukup penting dalam

proses pendidikan dasar sebagai pengetahuan awal. Pada strategi ini ternyata juga melibatkan masyarakat didalamnya, dimana adanya sosialisasi sebagai pengetahuan untuk

masyarakat Desa Semare mengenai BUMDes dan berbagai kegiatan yang ada. Dalam

startegi education and training activity ini menunjukkan bahwa ada aspek modal sosial

yang diterapkan dalam bentuk adanya sebuah partisipasi dari masyarakat. Partisipasi terebut dapat dilihat dengan adanya sosialisasi yang ditujukan dan dihadiri masyarakat.

Team Building pada BUMDes Semare Mandiri Sejahtera. Pembentukan tim atau team

building sangatlah penting dalam sebuah proses pengembangan organisasi. Menurut

Widodo, team building merupakan suatu teknik di mana pekerja mendiskusikan persoalan yang berhubungan dengan kinerja kelompok kerja mereka. Atas dasar diskusi ini, masalah

spesifik diidentifikasi, ditemukan dan direncanakan untuk memecahkan dan

diimplementasikan. Strategi dalam pembentukkan tim ini dirasa sangat diperlukan karena

tim ini lah yang nantinya akan menjalankan semua urusan atau pengelolaan organisasi, sehingga setiap pengurus harus memiliki kompetensi dalam dirinya.

Page 204: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

192 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Dalam strategi pembentukan tim yang ada di BUMDes Semare Mandiri Sejahtera,

peneliti lebih berfokus pada cara pembentukan pengurus lebih. Pada BUMDes Semare

Mandiri Sejahtera lebih mementingkan pembentukan yang seluruh pemilihannya

diserahkan kepada masyarakat. Hal itu dikarenakan BUMDes ini dibentuk untuk kepentingan masyarakat, sehingga semua keputusan juga dikembalikan kepada

masyarakat. Tidak ada campur tangan dari pihak lain, pemilihan pengurus ini benar-benar

atas keinginan dan suara dari masyarakat tanpa ada sedikit pun. Kepercayaan Masyarakat

dalam Kegiatan Team Building di BUMDes Semare Mandiri SejahteraProses pemilihan pengurus yang dilakukan oleh masyarakat didasarkan kepada kompetensi yang dimiliki

kandidat, setiap pengurus dirasa sangat berkompeten dan mampu melaksanakan

tugasnya. Masyarakat sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada pengurus

dikarenakan semua pengurus merupakan waraga asli Desa Semare, selain itu semuanya memiliki jabatan sehingga masyarakat juga tau karakter pengurus seperti apa karena

sudah saling kenal.

Menurut Hasbullah, unsur terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan yang

merupakan perekat bagi keberlangsungan kerjasama dalam sebuah lembaga/ organisasi,

baik antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pengurus, mau pun pengurus dengan sesame pengurus. Dengan adanya kepercayaan, sebuah lembaga/

organisasi akan lebih bisa bekerja secara efektif. Dalam kegiatan Team Building di

BUMDes Surya Sejahtera, menunjukkan adanya kepercayaan yang diberikan kepada

masyarakat kepada pengurus BUMDes. Hal tersebut dirasa sangat penting dalam sebuah kepengurusan lembaga. Dengan adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat

menunjukkan bahwa masyarakat mendukung adanya pembangunan dan pengembangan

BUMDes Semare Mandiri Sejahtera. Nilai Kejujuran dalam Team Building di BUMDes

Semare Mandiri Sejahtera. Menurut Hasbullah, nilai memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, artinya ketika individu yang berada di suatu kelompok senantiasa

memberi nilai yang tinggi terhadap aspek-aspek kompetensi, kejujuran, serta pencapaian,

maka kelompok tersebut cenderung jauh lebih cepat berkembang. Kepercayaan yang

terbangun pada BUMDes Semare Mandiri Sejahteraternyata juga dilandasi oleh adanya kejujuran yang diterapkan oleh pengurus BUMDes melalui adanya keterbukaan dan

transparansi.

Keterbukaan diterapkan dengan adanya rapat anggota tahunan, dari rapat tersebut

selalu ditunjukkan pengelolaan dana dan sisa hasil usaha dari BUMDes. Inilah yang

membuat masyarakat percaya. Selain itu awal pembentukan BUMDes juga dilakukkan proses identifikasi masalah, yaitu masalah apa yang saat ini dialami oleh masyarakat. Lalu

masyarakat memberikan masukkan, kepada para pengurus BUMDes terpilih. Terbentuknya

unit usaha toko sembako juga atas saran dari masyarakat. Sehingga proses identifikasi

dilakukan dengan menampung aspirasi masyarakat. Dalam pembentukan tim atau team building yang ada pada BUMDes Semare Mandiri

Sejahteramenerapkan partisipasi yang berupa pemilihan secara langsung dari masyarakat,

tindakan proaktif yang dimana masyarakat dapat memberikan suaranya, kepercayaan dari

masyarakat dalam memilih pengurus dan pengelolaan yang dilakukan pengurus, dan nilai-nilai yang berupa nilai kejujuran yang diterapkan dengan sistem transparansi atau

keterbukaan.

Kegiatan Usaha BUMDes Semare. Kegiatan usaha yang dijalankan BUMDes saat ini

dituangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) yang sudah disusun bersama. Jenis – jenis dan unit usaha BUMDes Semare Mandiri Sejahtera Desa

Semare terdiri dari : (a) pertanian, (b) simpan pinjam, (c) erdagangan, (d) perikanan dan

(e) café laut semare. Namun dalam hal ini yang masih dalam proses pembangunan dan

pengembangan adalah Café Laut Semare (CLS). Sebagai pusat usaha dan pengembangan kegiatan ekonomi kerakyatan masyarakat pesisir desa semare adalah C.L.S.

Page 205: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

193 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Strategi Pengembangan Organisasi

Strategi merupakan sebuah rencana atau pendekatan secara keseluruhan yang

berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas untuk dapat mencapai sebuah tujuan yang telah ditetapkan. Pengembangan organisasi sangat

memerlukan adanya sebuah strategi agar pengembangan organisasi dapat maksimal

dalam mencapai tujuan organisasi. French dan Bell Jr, mengemukakan 12 bentuk dari

strategi dan teknik pengembangan organisasi, yaitu (French & Bell:1978:110): (1) Diagnostic Activities (Kegiatan Diagnostik), (2) Team-Building Activities (Kegiatan

Pengembangan Tim), (3) Intergroup Activities (Kegiatan Antar Kelompok), (4) Survey-

Feedback Activities (Kegiatan Survai Umpan Balik), (5) Education and Training Activities

(Kegiatan Pendidikan dan Latihan), (6) Technostructural or Structural Activities (Kegiatan Teknostruktural atau Struktular), (7) Process Consultation Activities (Kegiatan Konsultasi

Proses), (8) Grid Organization Development Activities (Kegiatan Grafik Pengembangan

Organisasi), (9) Third-Party Peacemaking Activities (Kegiatan untuk membuat Perdamaian

oleh Pihak Ketiga), (10) Coaching and Counselling Activities (Kegiatan Pelatihan dan

Pembimbingan), (11) Life and Career Planning Activities (Kegiatan Perencanaan Karir dan Kehidupan) dan (12) Planning and Goal-Setting Activities (Kegiatan Penetapan

Perencanaan dan Tujuan).

Pengembangan Usaha BUMDes dengan Pembangunan Café Laut Semare. Harapan masyarakat desa Semare memiliki icon desa yang mampu dibanggakan sudah mulai

menunjukkan ruhnya. Dengan pembangunan CLS (Gambar 3), sudah banyak kunjungan

dari dalam maupun luar desa Semare.

Gambar 3. Proses Pembangunan Café Laut Semare

Management by Objectives di BUMDes Semare Mandiri Sejahtera. Management by

Objectives atau pengelolaan yang terpusat pada sasaran keberhasilan yaitu proses

menetapkan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan terutama Café Laut Semare

(Gambar 4). Strategi pengembangan ini sangat penting yaitu berguna untuk menentukan rencana dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Widodo,

Management by Objectives merupakan suatu teknik di mana manajer dan bawahannya

bekerja bersama menetapkan, kemudian mencapai tujuan organisasional.

Page 206: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

194 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 4. Wujud Pembangunan Café Laut Semare yang membawa perubahan status social

masyarakat Desa Semare

Dampak Pegembangan BUMDes dan Pembangunan Café Laut Semare. Pada

pengembangan BUMDes tujuan telah ditetapkan pada saat awal BUMDes Semare Mandiri

Sejahtera didirikan, pengelolaan juga lebih dipusatkan pada aturan dan pedoman yang telah ditetapkan, dengan pengelolaan yang sesuai dengan aturan diharapkan dapat

mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan dari adanya BUMDes sendiri yaitu untuk

meningkatkan perekonomian dan mensejahterakan kehidupan masyarakat. Pada BUMDes

Semare Mandiri Sejahteramenunjukkan bahwa tujuan sudah dapat tercapai walau pun belum 100%, tujuan mensejahterakan dapat dilihat dari usaha-usaha kecil masyarakat

yang semakin berkembang sedangkan sasarannya yaitu masyarakat Desa Semare, hanya

saja sasaran yang didapat belum 100%, karena masih ada masyarakat yang belum

tersentuh. Sedangkan pembangunan CLS Desa Semare juga membawa perubahan Norma Sosial

Berupa Kegiatan yang Saling Menguntungkan. Norma sosial ini sangat penting, mengingat

bahwa setiap kegiatan harus memperhatikan norma sosial yang ada di masyarakat. Norma

sosial menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah jaringan kerja sosial, dengan

terbentuknya jaringan kerja sosial maka terbangunlah norma sosial. Adanya BUMDes Semare Mandiri Sejahtera dan CLS dinilai sangat dapat membawa manfaat dan keuntungan

kepada masyarakat. BUMDes Semare Mandiri Sejahtera dapat menjadi solusi untuk

masalah keuangan masyarakat. Masyarakat dapat melakukan peminjaman yang mudah

dan tidak berbelit-belit dengan agunan yang sedikit, sehingga masyarakat lebih tertarik bergabung menjadi anggota BUMDes dan CLS dari pada meminjam di Bank.

Perubahan mindset dan norma social kehidupan masyarakat selama 3 tahun terakhir

terjadi secara meningkat. Banyaknya komunitas dan lembaga swadaya masyarakat yang

ikut serta bergabung dalam pengembangan Café Laut Semare membawa keberkahan

sendiri bagi masyarakat Desa Semare yang sebelumnya dipandang sebelah mata oleh

masyarakat Desa Semare khususnya dan Kabupaten Pasuruan umumnya. Hingga saat ini

sudah tercatat lebih dari 5.000 pengunjung pada tahun 2019 dari bulan Januari sampai

bulan Agustus. Kedepannya akan lebih ditingkatkan lagi fasilitas penunjang dari Café Laut

Semare.

Page 207: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

195 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Kesimpulan. Sebagai kesimpulan dari tulisan ini kegiatan strategi pengembangan

BUMDes Semare Mandiri Sejahtera melalui pembangunan Café Laut Semare (CLS)

membawa dampak perubahan yang begitu besar bagi kehidupan social, ekonomi dan

budaya Desa Semare. Perubahan mindset dan norma social kehidupan masyarakat selama 3 tahun terakhir terjadi secara meningkat. Banyaknya komunitas dan lembaga swadaya

masyarakat yang ikut serta bergabung dalam pengembangan Café Laut Semare membawa

keberkahan sendiri bagi masyarakat Desa Semare yang sebelumnya dipandang sebelah

mata oleh masyarakat Desa Semare khususnya dan Kabupaten Pasuruan umumnya. Kami

berharap untuk kedepannya Café Laut Semare akan banyak mendapat dukungan pengembangan dari pemerintah desa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Lebih

berharap lagi kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk dapat menjadikan CLS

Desa Semare sebagai rujukan dan percontohan desa yang mampu bangkit dalam

mengembangakan desa pesisir pantai yang notabanenya adalah desa kumuh.

Ucapan Terima Kasih. Bagian ini adalah pilihan yang tidak harus disertakan dalam

naskah. Ucapan terima kasih dapat ditujukan untuk seseorang, lembaga atau sumber

pendanaan yang telah berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penelitian dan atau penulisan naskah.

Daftar Pustaka

Adam, M.A., Maftuch, Yuni K., & Yenny R. (2018). Analisis Kualitas Lingkungan Sungai Wangi-Beji, Pasuruan Yang Diduga Tercemari Oleh Limbah Pabrik, Pemukiman Dan

Pertanian. Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan. Vol 9. Jilid 1. Hal 1-5.

Adhikari, K.P. 2010. Social Capital and its “Downside”; The Impact on Sustainability of

Induced Community-Based Organization Nepal. World Development Volume 38 No (2). Hal 184-194.

Anifa, K.W. 2011. Strategi Pengembangan Organisasi Prima Cendekia Yogyakarta. Jurnal

Managemen. Hal 213-234

Appelbaum, S.H. 1997. Socio‐technical Systems Theory: an Intervention Strategy for

Organizational Development. Management Decision Journal. Vol 35 Hal 452-463

Bugin, B. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press

Danim, S. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia Davis, K., & John W.N. 1994. Perilaku Dalam Organisasi. Jakarta: Erlangga.

Flamhotz, E. 2002. Strategic Organizational Development and the Bottom Line: Further

Empirical Evidence. Eorupean Management Journal. Vol 20 Hal 72-81

Francis, F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, London: Penguin

Books. French & Bell. 1978. Organization Development: Behavioral Science intervention for Social

Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press

Hasibuan.

Hasbullah, J. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Maftuch, Sugiarto, A. Hoetoro & MA. Adam. 2018. Identifikasi Potensi Sumberdaya Pesisir

Desa Semare Untuk Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa Mandiri Wisata. Journal

Of Innovation And Applied Technology. e-ISSN:2477-7951 - p-ISSN:2502-

4973Volume : 04, Issue : 02, December 2018. pp.803-810 Maftuch, Sugiarto, A. Hoetoro & MA. Adam. 2018. Konsep Pengembangan Potensi Pesisir

Pantai Desa Semare Menuju Desa Ekowisata Café Laut Semare (CLS). Jati Emas

(Jurnal Aplikasi Teknik dan Pengabdian Masyarakat). Forum Dosen Indonesia (FDI) -

DPD Jatim. Vol. 2 No. 2 Oktober 2018 – e. ISSN: 2550-0821

Page 208: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

196 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode

Metode Baru. UIPress. Jakarta

Moleong, L.J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja

Naraha, T. 1999. Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakata: Niazi, A.S. 2011. Training and Development Strategy and Its Role in Organizational

Performance. Journal of Public Administration Governance. Vol 1 Hal 42-

57.Organization Improvement. New Jersey: Pretice Hall Inc.

Patton, M.Q. 2009. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar PT. Rineka Cipta.

Putnam, R. 1995. Bowling Alone: America’s Declining Social Capital. Dalam Journal or

Democracy. Vol.6. Hal 65-78

Quinn, M.P. 2009. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta. Pustaka Belajar Rahaja, I. 2016. Strategi Pengembangan Organisasi Dalam Upaya Peningkatan Kinerja

Pegawai BAPPEDA Tingkat I Jawa Tengah. Jurnal Administrasi Kantor. Hal 418-446

Ramadana, C.B., Heru R., & Suwondo. Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

Sebagai Penguatan Ekonomi Desa (Studi di Desa Landungsari, Kecamatan Dau,

Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang. Vol 1 No. 6 Hal 1068-1076

Saputra, A.S. 2015. Badan Usaha Milik Desa: Spirit Usaha Kolektif Desa. Kemendesa PDTT.

Siagian, S.P. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara

Soemirat, Soleh & Elvinaro A. 1999. Komunikasi Organisasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Sutoro Eko, Titik I.K., Dyah W., Suci H., & Ninik H. 2015. Policy Paper: Membangun

BUMDes yang Mandiri, Kokoh, dan Berkelanjutan

Thoha, M. 2007. Pembinaan Organisasi Proses Diagnosa dan Intervensi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Voydanoff, P. 2001. Conceptualizing community in the context of work and family.

Community, Work and Family. Vol 4 No 2. Hal: 133-156.

Wexley, K.N. & Gary A.Y. 1977. Organizational Behavior and Personnel Psychology. Homewood, Illionis

Wibowo. 2006. Manajemen Perubahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Wirawan, A. 2012. Jaringan sosial dan moral ekonomi pedagang pekanan. Dalam

prespektif Sosiologi. Vol.1. Hal 1-17

Yustika, A.E. 2008. Ekonomi Kelembagaan, Definisi, Teori dan Strategi. Banyumedia Publishing: Malang.

Page 209: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

197 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Model Diversifikasi Usaha pada Skala Kelompok Usaha Masyarakat Perbatasan di Kecamatan Kalkuluk Mesak, Kabupaten Belu, NTT Chaterina A. Paulus1, Marthen R. Pellokila2 dan Yohanis U. L. Sobang3

1)Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana

2)Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana 3)Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana

(Email Korespondensi : [email protected])

Abstrak - Konsep membangun Indonesia dari pinggiran menjadi spirit bagi pemerintah daerah dalam

merencanakan pembangunan wilayahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya pedesaan untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pada periode 2014-2017, Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) di NTT juga masih tertinggal dan menempati urutan terendah ketiga di

Indonesia. Berdasarkan data 2019, IPM NTT sebesar 65,23 dan penduduk miskin mencapai 1,160,530 jiwa. Kawasan perbatasan Belu memiliki IPM yang masih rendah yaitu 562,54 dan persentase penduduk

miskin mencapai 14,58%. Oleh karena itu, percepatan ekonomi di Belu hanya dapat dilakukan melalui mengoptimalkan pengelolaan sektor-sektor unggulan melalui inovasi teknologi, sehingga mampu

memberikan dampak ekonomi bagi wilayah dan masyarakatnya. Perekonomian Belu masih dominan

dikontribusi oleh sektor pertanian, peternakan, dan perikanan. Riset ini dilakukan untuk menemukan model kontribusi usaha dibidang perikanan, dan non perikanan sebagai sektor unggulan sehingga

memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat khususnya di kawasan perbatasan. Hasil simulasi

kontribusi usaha di Kecamatan Kalkuluk Mesak untuk model kontribusi usaha yang dapat memberikan peningkatan ekonomi rumah tangga adalah kombinasi usaha perikanan dan non perikanan.

Kata Kunci: Diversifikasi Usaha, Perikanan, Peternakan, Masyarakat Perbatasan

Pendahuluan

NAWACITA Program Pembangunan Kawasan Perbatasan dan Desa. Konsep

Nawacita, Strategi Pengembangan Perbatasan Nasional adalah dengan “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka

negara kesatuan”. Dalam implementasinya Propinsi NTT melaksanakan prioritas agenda

pembangunan yakni Penanganan Masalah Kemiskinan, Wilayah Perbatasan, Propinsi

Kepulauan & Daerah Rawan Bencana. Program ini kemudian diterjemahkan dalam program prioritas daerah Kabupaten Belu yakni Peningkatan Pembangunan Infrastruktur Daerah

sebagai Kawasan Strategis Nasional dan Daerah Perbatasan. Agenda pembangunan yang

tercantum dalam RPJMN 2015-2019 menegaskan tentang pentingnya kebijakan, program

dan kegiatan yang nyata dan terukur untuk mendorong percepatan pembangunan desa

dan daerah. Sumberdaya manusia di kawasan perbatasan dan pedesaan harus memanfaatkan inovasi teknologi dalam mengelola berbagai sumberdaya ekonomi yang

dimiliki untuk kesejahteraan mereka. Oleh karena itu melalui Kemendestrans, pemerintah

pusat telah melaksanakan kebijakan anggaran untuk desa yang diharapkan mampu

mendorong masyarakat di pedesaan dalam menumbuhkan usaha-usaha ekonomi produktif melalui wadah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)/Inkubator Bisnis Pedesaan (IBP) (Paulus

dan Fauzi, 2017; Paulus dan Sobang, 2017; Paulus et al., 2018; Paulus et al., 2019; Paulus

et al., 2020a; Paulus et al., 2020b).

Gambaran Umum Kawasan Perbatasan Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur.

Belu merupakan kabupaten yang berbatasan langsung dengan Republik Demokratik Timor

Leste yang ada di NTT selain Kabupaten TTU dan Kupang. Permasalahan perbatasan yang

menonjol dan kasat mata adalah terbatasnya infrastruktur fisik sehingga daerah perbatasan sekaligus menjadi daerah yang relatif terisolasi dari hubungan dengan pusat

pertumbuhan dan pusat-pusat aktivitas ekonomi. Kondisi keterbatasan infrastruktur

Page 210: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

198 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

berakibat tidak berkembangnya aktivitas ekonomi masyarakat kawasan perbatasan

sehingga kemiskinan dan keterbatasan ekonomi masih melilit mereka (Istijono, 2011).

Belu memiliki potensi ekonomi untuk melakukan perdagangan antar-negara di perbatasan.

Hasil bumi dan kerajinan tangan dapat dijadikan sebagai andalan bagi kabupaten ini untuk melakukan perdagangan langsung. Namun sayangnya masih banyak kendala yang

dihadapi seperti koordinasi antar-lembaga tinggi negara dan antara pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah (Wangke, 2013).

Aspek Ekonomi Masyarakat Perbatasan Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur.

Belu banyak menyimpan kekayaan alam seperti perikanan, pertanian, perkebunan,

peternakan, dan pariwisata namun pemanfaatan potensi daerah ini oleh masyarakat belum

optimal. Hal ini disebabkan masyarakat tidak memiliki keterampilan, pengalaman, pengetahuan, dan motivasi dalam menggali potensi daerah. Keadaan ini sudah lama terjadi

tetapi belum ada usaha baik secara pribadi, masyarakat, maupun pemerintah untuk

mengubah pola perilaku tersebut dengan kemauan untuk memanfaatkan potensi daerah

secara optimal (Siregar, 2014). Aktivitas kawasan perbatasan meliputi penjagaan

keamanan, pemanfaatan sumber daya alam, pengembangan budaya lokal, penataan lingkungan, pengingkatan perekonomian sampai pada cerminan suatu negara dimata

negara tetangganya. Dari kondisi yang ada permasalahan kawasan perbatasan meliputi,

masalah keamanan, kawasan perbatasan mempunyai posisi strategis yang berdampak

terhadap keamanan dan politis mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan Indonesia. Kerjasama ekonomi internasional sebagai upaya pengelolaan perbatasan, hal ini

dimungkinkan berdasarkan ketentuan hukum yang ada (Zulkifli, 2014). Jiwa

kewirausahaan dan kemandirian masyarakat yang diwujudkan dengan kemampuan

berinovasi, kemampuan mengorganisir dan mampu menghadapi resiko dari suatu usaha atau bisnis yang dijalankan. Inovasi dalam melahirkan produk baru baik barang maupun

jasa akan memberikan kekuatan bagi pemuda dalam menciptakan kemandirian dalam

ekonomi (Afrizal, 2013).

Pentingnya Diversifikasi Usaha dan Inovasi Teknologi dalam Percepatan Ekonomi

Pedesaan. Diversifikasi usaha khususnya di bidang pertanian adalah upaya untuk

mengotimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian yang tersedia, sesuai dengan

pendapat Baharsyah (1990) menyebutkan bahwa diversifikasi pertanian adalah proses

optimalisasi alokasi sumber daya alam dan dana untuk meningkatkan produksi, pendapatan, dan kesejahteraan rumah tangga petani dan penduduk pedesaan. Laynurak

(2008) menemukan bahwa diversifikasi usaha yang terdiri dari usaha penangkapan ikan,

usaha ternak dan usaha eksploitasi lingkungan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap

tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan kelestarian lingkungan pesisir di Belu. Oleh karena itu upaya peningkatan produktivitas sektor pertanian di pedesaan hanya bisa

dilakukan dengan mengaplikasikan teknologi baik pada sektor produksi maupun

pengolahan dan pemasaran, sehingga eksistensi inovasi dalam inkubator teknologi sangat

krusial, karena berpengaruh pada perkembangan dan kelangsungannya, dimana sentuhan inovasi bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing suatu produk. Hal ini

sesuai pendapat Jamaran (2009) inovasi merupakan satu dari empat faktor yang

menentukan keberhasilan pengembangan suatu inkubator selain kesiapan inkubator,

modal, dan pemahaman teknologi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa peranan IBP terhadap

pertumbuhan ekonomi adalah memfasilitasi penerapan inovasi pada industri terkait sehingga berdaya dan berhasil guna. Pentingnya inovasi teknologi dalam peningkatan

produktivitas dan daya saing produk sesuai dengan pendapat Budiharsono (2010) bahwa

pengembangan inkubator teknologi berbasis agribisnis sangat membutuhkan dukungan

inovasi tepat guna. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan ekonomi pedesaan termasuk daerah perbatasan adalah mendorong pengelolaan

Page 211: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

199 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

sumberdaya lokal secara optimal, hal ini sesuai dengan pendapat Dewi (2012) bahwa

pembangunan ekonomi lokal (PEL) pada dasarnya merupakan upaya untuk memanfaatkan

seoptimal mungkin sumberdaya, potensi, dan inisiatif lokal dalam menumbuhkan

perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Pentingnya Inkubator Bisnis dalam Percepatan Ekonomi Pedesaan. Terdapat tiga

asumsi dasar dibentuknya inkubator bisnis (Raymond W. Smilor) yaitu: (1) kita segera

memasuki masa kewirausahaan; (2) terjadi kompetisi sengit diantara usahawan; dan (3) dibutuhkan lembaga yang mampu merubah taktik dan strategi pembangunan ekonomi.

Panggabean (2005) tujuan pendirian inkubator: (1) mengembangkan usaha baru dan

usaha kecil yang mampu bersaing di tingkat lokal maupun internasional, (2)

mengembangkan promosi kewirausahaan dengan menyertakan perusahaan-perusahaan swasta yang berkontribusi pada sistem ekonomi pasar, (3) sarana alih teknologi dan proses

komersialisasi hasil penelitian dari para ahli dan perguruan tinggi, (4) menciptakan peluang

pengembangan perusahaan baru, (5) aplikasi teknologi di bidang industri secara komersial.

Pada kenyataannya Model Inkubator Ekonomi Kerakyatan (Ekora) yang menggambarkan

praktik usaha bersama ekonomi desa sangat dipengaruhi oleh kompleksitas dan fragmentasi antar elemen basis dan sektor usahanya. Dalam konteks Desa Nglanggeran,

basis tersebut adalah kelompok tani, perempuan, dan kaum muda desa. Ketiga elemen

inilah yang menjadi aktor utama aplikasi model. Adapun sektor yang menjadi tumpuan

masing-masing, meliputi usaha tani dan hutan untuk kelompok tani, perdagangan, dan keuangan untuk perempuan, serta ekowisata untuk kaum muda (Awang, dkk., 2009).

Model ini bertumpu pada kukuhnya pilar kelembagaan koperasi tani, koperasi perempuan,

dan koperasi pemuda sesuai dengan sektor usaha terdiversifikasi. Inkubator menyediakan

beberapa dukungan pelayanan, selain ruangan fleksibel untuk disewa, peralatan bersama dan pelayanan administratif dalam suatu tempat kerja yang terpimpin (Mahnke, 2010).

Menurut Jamaran (2009), peranan inkubator bisnis terhadap pertumbuhan ekonomi adalah

memfasilitasi penerapan inovasi pada industri terkait sehingga berdaya dan berhasil guna.

Metode Penelitian

Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian tahun 2019 ini dilakukan di Kabupaten Belu

pada 3 (tiga) lokasi desa pesisir yakni Desa Jenilu, Desa Kenebibi dan Desa Dualaus.

Pertimbangan pemilihan Kabupaten Belu sebagai lokasi riset adalah merupakan kabupaten yang berbatasan langsung dengan Negara Republic Democratic Timor Leste, sedangkan

pertimbangan pengambilan desa perbatasan adalah akses informasi dan teknologi

masyarakat perbatasan yang masih rendah menyebabkan pengelolaan sumberdaya yang

tersedia belum optimal, sehingga masalah kemiskinan masyarakat perbatasan masih

menjadi masalah sosial ekonomi yang belum terpecahkan sampai dengan saat ini, yang berdampak pada timbulnya masalah-masalah (sosial, ekonomi, politik, budaya, dan

keamanan) antara 2 negara yang berbatasan.

Penentuan Sampel Lokasi Desa. Penentuan sampel lokasi (desa) dilakukan secara purposive sampling dan memilih 3 (tiga) desa perbatasan. Pertimbangan pemilihan lokasi

desa adalah desa sampel memiliki potensi selain perikanan tetapi juga terdapat potensi

usaha kreatif, pertanian dan peternakan yang telah menjadi aktivitas usaha sebagai

sumber pendapatan masyarakat pesisir.

Penentuan Responden dan Peserta Ujicoba. Penentuan responden dalam riset ini

dilakukan secara acak (random sampling) terhadap masyarakat perbatasan, sedangkan

untuk pelaksanaan FGD dilakukan secara purposive untuk menentukan tokoh-tokoh kunci

yang dilibatkan dalam kegiatan FGD yaitu tokoh masyarakat, pemerintah

Page 212: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

200 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

desa/kecamatan/kabupaten yang memiliki pemahaman terhadap riset yang dilakukan.

Penentuan peserta ujicoba model dilakukan dengan sengaja (purposive sampling) dan

mengambil 1 kelompok usaha dari masing-masing desa sampel dengan pertimbangan

kelompok tersebut memiliki aktivitas usaha di bidang usaha kreatif, perikanan, dan

peternakan (3 cabang usaha) atau perikanan dan peternakan (2 cabang usaha).

Desain Penelitian. Desain dalam riset menggunakan pendekatan metode survei dan

participatory action research (PAR). Metode survey menggunakan teknik wawancara, FGD

berbasis PACA (participatory appraisal competitive advantages), observasi; sedangkan

metode participation action research (Krasny & Doyle, 2002), digunakan dalam proses uji

coba model untuk membandingkan kinerja usaha diversifikasi yang telah dilakukan

masyarakat pesisir dengan usaha diversifikasi yang diinovasi dengan teknologi, melalui

keterlibatan langsung dari masyarakat perbatasan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,

dan evaluasi model ujicoba.

Metode Pengambilan Data. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara terstruktur,

wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat perbatasan, FGD pola PACA (Nordstrom

et al., 2000) dan pengukuran/pengamatan lapangan. Hasil wawancara dan FGD dengan digunakan untuk mendesain prototype model teknologi diversifikasi usaha berdasarkan

keunggulan kompetitif sumberdaya yang dimiliki masyarakat perbatasan berdasarkan

pengujian tahun 1 dan 2. Teknik pengukuran dan observasi lapangan diperlukan untuk

melakukan validasi model dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di lapangan terkait dengan aktivitas proses produksi dari usaha diversifikasi masyarakat pesisir.

Analisis Data. Data kuantitatif dianalisa secara deskriptif berupa frekuensi, persentase,

rataan, simpangan baku untuk membandingkan unit usaha dengan inovasi dan tanpa

inovasi menurut Cody and Smith (1997).

Hasil dan Pembahasan

Hasil Ujicoba Model Kombinasi Usaha pada Skala Kelompok Usaha Masyarakat

Perbatasan. Ujicoba produk usaha perikanan dan non-perikanan untuk kelompok usaha masyarakat yang terpilih adalah produk perikanan: Usaha Penangkapan Ikan (UP), Usaha

Dendeng Ikan (UDI), dan Usaha Abon Ikan (UAI); sedangkan usaha non perikanan dibagi

atas dua jenis usaha yaitu: Usaha Tenun (UT), dan Usaha Ternak Sapi Potong (USP). Hasil

simulasi usaha terpilih disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Hasil Ujicoba Model Kombinasi Usaha Perikanan dan Non Perikanan

Page 213: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

201 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Dari lima jenis usaha tersebut, didapatkan hasil simulasi pendapatan skala rumah

tangga di Belu seperti Tabel 1. Hasil simulasi usaha menggambarkan trend rataan

pendapatan tertinggi dihasilkan dari sektor perikanan yakni usaha penangkapan ikan

sebesar Rp8.197.842,11/tahun, usaha abon ikan Rp6.718.750,00/tahun diikuti oleh usaha tenun ikat Rp5.831.272,73/tahun dan usaha dendeng ikan Tuna Rp3.842.966,67/tahun.

Trend rataan pendapatan dari usaha non perikanan yakni usaha sapi potong (sudah

menerapkan teknologi) menunjukkan hasil tertinggi dalam peningkatan pendapatan

sebesar Rp12.419.375,00/tahun dan Rp.10.055.937,50/tahun.

Tabel 1 Rataan, Standar Deviasi dan Standar Error of Mean dari Jenis Usaha Demplot

Variabel

Jenis Usaha Demplot (Rp/Tahun)

Usaha

Perikanan

(UP)

Usaha

Dendeng

Ikan (UDI)

Usaha Abon Ikan (UAI)

Usaha

Tenun Ikat

(UT)

Usaha Sapi Potong (USP)

Kontrol Teknologi

Rataan 8.197.842,11 3.842.966,67 6.718.750,00 5.831.272,73 10.055.937,50 12.419.375,00 STDEV 1.365.650,08 1.026.340,93 1.066.348,07 896.550,73 573.731,12 540.373,13

SEM 313.301,62 342.113,64 377.010,98 270.320,22 143.432,78 191.050,75

Sumber: Data Primer diolah (2019)

Model Diversifikasi Usaha pada Skala Kelompok Usaha Masyarakat. Rataan

kontribusi usaha perikanan dan non perikanan terhadap total pendapatan rumah tangga

masyarakat pesisir dalam penelitian ini, masing-masing diperoleh sebesar 50,69% dan

49,31%. Hal ini memberikan gambaran bahwa kontribusi usaha perikanan dalam

perekonomian rumah tangga masyarakat perbatasan memiliki nilai kontribusi yang tinggi

yang terdiri dari usaha penangkapan, usaha olahan dendeng ikan dan usaha olahan abon

ikan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa usaha olahan perikanan merupakan pilihan

alternatif usaha yang dapat dikembangkan terutama pada rumah tangga masyarakat

pesisir termasuk nelayan.

Usaha non perikanan yang terdiri dari usaha sapi potong dan usaha tenun dalam penelitian ini memberikan kontribusi yang cukup tinggi dan dapat didorong menjadi usaha

unggulan melalui pengembangan teknologi produksi dan pemasaran dalam percepatan

perekonomian masyarakat perbatasan di Kabupaten Belu.

Kesimpulan. Berdasarkan hasil simulasi kontribusi usaha di Kecamatan Kalkuluk

Mesak, model kontribusi yang dapat memberikan peningkatan ekonomi rumah tangga

adalah kombinasi usaha perikanan dan non perikanan. Hasil simulasi usaha

menggambarkan trend rataan pendapatan tertinggi dihasilkan dari sektor perikanan yakni

usaha penangkapan ikan sebesar Rp8.197.842,11/tahun, usaha abon ikan Rp6.718.750,00/tahun diikuti oleh usaha dendeng ikan Tuna Rp3.842.966,67/tahun.

Trend rataan pendapatan dari usaha non perikanan yakni usaha sapi potong menunjukkan

hasil tertinggi dalam peningkatan pendapatan usaha sapi dengan menerapkan teknologi

sebesar Rp12.419.375,00/tahun diikuti oleh usaha sapi potong tanpa teknologi Rp.10.055.937,50/tahun dan usaha tenun ikat Rp5.831.272,73/tahun.

Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima kasih patut disampaikan kepada

Kemenristek/BRIN atas kepercayaan dan fasilitasi pendanaan melalui skim penelitian

terapan tahun 2020, sehingga penelitian ini dapat berjalan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pihak Panitia Pelaksana Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan ke-

VII FKP Undana atas kerjasamanya untuk penerbitan artikel ini dalam prosiding seminar

nasional.

Page 214: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

202 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Daftar Pustaka

Afrizal. 2013. Membangun Sumber Daya Manusia Kawasan Perbatasan (Perspektif

Pemberdayaan Pemuda) di Provinsi Kepulauan Riau. Artikel. Ilmu Pemerintahan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Kepulauan Riau.

Awang, dkk. 2009. PSEK Kembangkan Model Inkubator Ekonomi Kerakyatan untuk Desa

Miskin. Tulisan Populer. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Baharsyah, S. 1990. Peluang Usaha Yang tetap Luas di Sektor Pertanian. Prisma No 2. hal

86 LP3S. BPS. 2020. Kabupaten Belu dalam Angka Tahun 2020. Badan Pusat Statistika. Atambua.

Budiharsono, S. 2010. Inkubator Agribisnis Perdesaan: Pengkajian, Penelitian dan

Diseminasi. Disampaikan pada Seminar Nasional Hasil Kegiatan Pengkajian dan

Diseminasi Mendukung Program Strategis Kementerian Pertanian. Bogor, 11 Desember 2010. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

Cody, R. P and J. K. Smith. 1997. Applied Statistics and the Programming Language. Fourth

Edition.

Dewi, Y. A. 2012. Inovasi Spesifik Lokasi Untuk Inkubator Teknologi Mendukung Pengembangan Ekonomi Lokal. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 10 No. 4,

Desember 2012 : 299-312.

Istijono, B. 2011. Membangun Kemitraan Dengan Perguruan Tinggi Dalam Kawasan

Perbatasan Kawasan Negara. Makalah Disampaikan pada Workshop Nasional, Fasilitasi

Kerjasama Pengelolaan Batas Negara dan Kawasan Perbatasan melalui Kerjasama dengan Perguruan Tinggi di Universitas Mulawarman, Samarinda. Kalimantan Timur.

Jamaran, I. 2009. Studi Awal Pengembangan Jaringan Inkubator Teknologi dan Bisnis Pada

Institusi Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jurnal Matematika, Sains, dan Teknologi. Vol.

9 (1): 47-53. Maret 2009. Krasny, M. & R. Doyle. 2002. Participatory approaches to program development and

engaging youth in research: the case of an inter-generational urban community

gardening program. Journal of Extension 40(2).

Laynurak Y. M. 2008. Model Diversifikasi Usaha Masyarakat Pesisir Dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan Serta Kelestarian Sumber Daya Wilayah Pesisir Di Kabupaten

Belu-NTT. Disertasi. Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai Program Pasca

Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang.

Mahnke, L. 2010. Promotion of Start-Ups and Entrepreneurship. Bahan Presentasi Workshop National Steering of Regional Economic Development RED Steer 2010

Germany. 9 Juli – 8 Agustus 2010. Germany.

Nordstrom, P., L. L. Wilson, T.W. Kelsey, A. N. Marezki, & C.W Pitts. 2000. The use of

focus group interviews to evaluate agriculture educational materials for students,

teachers, and consumers. Journal of Extension 38(2). Paulus C. A., Fauzi A., 2017 Factors affecting sustainability of alternatives livelihood in

coastal community of Nembrala, East Nusa Tenggara: an application of MICMAC

method. Jurnal Ekonomi Pembangunan 18(2):175-182.

Paulus C. A., Pellokila M. R., Sobang Y. U. L., Azmanajaya E., 2019 The alternative livelihood development strategy in order to improve local fishermen revenue in the

border region of Indonesia and Timor Leste. AACL Bioflux 12(1):269-279.

Paulus C. A., Sobang Y. U. L., 2017 Alternative livelihood strategy to improve social

resilience of fisher households: a case study in Nembrala village of Rote Ndao Regency. ECSOFiM: Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine 5(1):13-21.

Paulus C. A., Sobang Y. U. L., Azmanajaya E., Pellokila M. R., Henuk Y. L., 2020

Management strategies for leading sectors of fisheries, livestock and agriculture

resources in supporting the economic of border household in the border between

Page 215: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

203 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Indonesia and Timor Leste. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science

454(1):012063.

Paulus C. A., Sobang Y. U. L., Pellokila M. R., Azmanajaya E., 2018 The sustainability

development status of pigs livestock on traditional fishery household in Nembrala village of Rote Ndao Island. Russian Journal of Agricultural and Socio-Economic

Sciences 76(4):315-322.

Paulus, C. A., Azmanajaya, E., Pellokila, M. R., & Paranoan, N. (2020). Prospective

strategies for sustainable local economic development in support of the SDGs’ goals “inclusive and sustainable economic growth” in the border region of Indonesia─ Timor

Leste, Belu Regency, East Nusa Tenggara Province, Indonesia. JPhCS, 1464(1),

012053.

Siregar, C. N. 2014. Membangun Perilaku Masyarakat Atambua Melalui Pemanfaatan Potensi Daerah Dan Keamanan Perbatasan Republik Indonesia Dengan Republik

Demokratik Timor Leste. Jurnal Sosioteknologi Volume 13, Nomor 2, Agustus

2014:147-159.

Wangke, H. 2013. Perdagangan Lintas Batas Antar-Negara: Memacu Pembangunan

Ekonomi Kabupaten Bengkayang Dan Kabupaten Belu. Politica Vol. 4, No. 1, Mei 2013:24 hal.

Zulkifli. 2014. Kerjasama Ekonomi Internasional Sebagai Solusi Pengelolaan Kawasan

Perbatasan Negara (Studi Kasus Indonesia). Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos Vol.3 No.2

Juli 2014: 139-158.

Page 216: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

204 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Penerapan GMP dan SSOP pada Pengolahan Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Peeled Deveined Tail On (PDTO) Masak Beku di Unit Pengolahan Ikan Banyuwangi Muhammad R. Suryanto1 dan Yuliati H. Sipahutar2

1,2)Politeknik Ahli Usaha Perikanan, Jakarta

(Email : [email protected])

Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan GMP dan SSOP pada proses

pengolahan udang vannamei (litopenaeus vannamei) Peeled Deveined Tail On (PDTO). Penelitian

dilakukan bulan November 2018 sampai Desember 2018 di Unit Pengolahan Ikan di Banyuwangi. Pengujian produk bahan baku dan produk udang vannamei di Balai Karantina Ikan dan Mutu Hasil

Perikanan Ketapang Banyuwangi. Metode dilakukan dengan studi kasus dan observasii mengikuti langsung seluruh alur proses, mulai dari penerimaan bahan baku hingga pemuatan. Metode analisa

data dilakukan dengan analisa deskriptif. Pengamatan dilakukan pada tahapan proses pengolahan

udang vannamei masak beku, penerapan rantai dingin, mutu bahan baku dan mutu produk, rendemen udang masak beku, penerapan GMP dan SSOP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan proses

pengolahan udang vannamei sesuai dengan alur proses pada SNI 3458:2016 udang masak beku,

penerapkan rantai dingin telah dilakukan dengan baik dengan suhu udang bahan baku 2,7 oC. Hasil pengujian mutu organoleptik bahan baku dan produk akhir adalah 8, hasil uji mikrobiologi sesuai

dengan SNI, dan hasil uji antibiotik adalah not detected. Hasil perhitungan rendemen pada proses pemotongan kepala adalah 69,31%, pengupasan 82,56%, dan pemasakan 86,38%. Unit Pengolahan

Ikan telah menerapkan GMP dan SSOP dengan baik.

Kata Kunci : GMP dan SSOP, mutu, Suhu, Udang Putih Vaname

Pendahuluan. Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu

komoditas perikanan laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi baik di pasar domestik

maupun global, dimana 77% diantaranya diproduksi oleh negara-negara Asia termasuk Indonesia. Salah satu keunggulan dari udang vanamei adalah harga jual tinggi, mudah

dibudidayakan dan tahan terhadap penyakit. Udang ekspor Indonesia secara umum

dibedakan atas dua jenis meliputi udang segar dan udang beku. Kondisi ini telah

mengakibatkan banyak negara atau masyarakat menyediakan bahan baku udang tidak hanya tergantung pada penangkapan di laut, tetapi juga melakukan budidaya udang secara

intensive dan cenderung besar- besaran dan kurang terkontrol. Udang Vannamei memiliki keunggulan spesifik seperti laju pertumbuhan yang relatif

cepat, padat tebar tinggi, kelangsungan hidup tinggi, perubahan salinitas (khususnya pada

salinitas tinggi), adaptasi tinggi terhadap suhu rendah, responsif terhadap pakan dan pasaran yang lebih luas di tingkat Internasional (Halimah & Adiwijaya, 2006). Udang rawan

dari serangan beberapa penyakit seperti bakteri vibrios dan virus. Untuk mengatasi

penyakit ini, bahkan beberapa antibiotik yang dilarang untuk digunakan dalam produk

panganpun juga banyak dijumpai di lapangan, seperti CHP dan nitrofuran serta turunannya. Praktek penggunaan antibiotik terlarang ini berdampak sangat buruk terhadap

ekspor hasil perikanan ke negara tujuan utama, khususnya UE dan AS (Irwandaru &

Wahyujati, 2012). Pengolahan udang vannamei di Indonesia sangat menjanjikan dan

bernilai ekonomis tinggi, namun dalam proses pengolahan di UPI masih ditemukan kendala seperti: penerapan rantai dingin yang belum baik, penggunaan antibiotik yang

meninggalkan residu berbahaya .

Pengolahan udang kupas mentah beku Peeled Deveined Tail On (PDTO) menerapkan

sistem GMP dan SSOP. Good Manufacturing Practice (GMP) adalah merupakan suatu

pedoman cara memproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan

bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen. Sanitation Standard Operating Procedure

(SSOP) adalah pedoman persyaratan sanitasi unit pengolahan ikan. Sanitasi dan hygiene

Page 217: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

205 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan (Food and Drug

Administration, 2019).

Produk Peeled Deveined Tail On (PDTO) adalah salah satu usaha diversifikasi dalam

rangka peningkatan nilai tambah/ Value Added Product (VAP) yang merupakan produk olahan udang segar dengan perlakuan pencucian, pemotongan kepala, sortasi,

penyusunan, pembekuan, pengemasan dan penyimpanan (Badan Standarisasi Nasional,

2016).

Penelitian ini dilakukan di salah satu UPI di Banyuwangi, bertujuan untuk mengetahui penerapan rantai dingin selama proses pengolahan, mutu bahan baku dan produk akhir,

menghitung rendemen pengolahan udang kupas masak beku, mengetahui penerapan GMP,

SSOP dan persyaratan Kelayakan Dasar di Unit Pengolahan Ikan.

Metode Penelitian. Bahan baku yang adalah udang vannamei (Litopeneaus

vannamei) segar dan bahan kimia yang digunakan untuk pengujian mikrobiologi dan kimia adalah larutan NaCl, PCA, BGLB, LTB, EC broth, paraffin oil steril, Muller Hinton Agar, BFP,

purple carbohydrate broth . Alat yang digunakan adalah scoresheet, flake ice machine,

thermometer, stopwatch, dan timbangan untuk penanganan udang segar Penelitian dilakukan dengan metode survey, dan observasi dengan mengikuti secara

langsung alur proses penanganan udang segar head on mulai dari tahap awal produksi

hingga menjadi produk akhir. pengukuran suhu dilakukan sebanyak 12 (duabelas) kali,

pengujian mutu organoleptik dan mikrobiologi sebanyak 12 (duabelas) kali, perhitungan

rendemen dan pengamatan gmp, ssop dan kelayakan dasar pengolahan. Analisa data dilakukan dengan diskriptif. Uji organoleptic sesuai SNI 01-2728.1-2006

(Badan Standardisasi Nasional, 2006b). Pengamatan suhu sesuai SNI 01-2372.1-2006

(Badan Standardisasi Nasional, 2006a), uji mikrobiologi dengan parameter Angka Lempeng

Total (ALT) sesuai SNI 01-2332-2015 (Badan Standardisasi Nasional, 2015c), E. coli sesuai SNI 01-2332.1-2015 (Badan Standardisasi Nasional, 2015a), Salmonella SNI 01-2332.2-

2015 (Badan Standardisasi Nasional, 2015b) dan V.chollerae sesuai SNI 01-2332-2006

(Badan Standarisasi Nasional, 2006).

Hasil dan Pembahasan

Proses Pengolahan Udang Vannamei Peeled Deveined Tail On (PDTO) di UPI.

Proses pengolahan udang vannamei Peeled Deveined Tail On (PDTO) masak beku terdiri

dari beberapa tahapan proses sesuai SNI 3458:2016 (Badan Standarisasi Nasional, 2016)

sebagai berikut : .

Penerimaan Bahan Baku. Udang diterima dalam keadaan segar didalam coolbox dan

disimpan dengan menerapkan rantai dingin yaitu meletakkan es curai pada bagian

dasarnya, kemudian udang diatasnya selanjutnya es curai, begitu seterusnya hingga coolbox terisi penuh. Proses penerimaan bahan baku dilakukan dengan cepat dan hati-hati

agar tidak terjadi kerusakan fisik dengan tetap menerapkan rantai dingin yaitu suhu ≤5ºC

(Purwaningsih, 2000).. Pembongkaran udang dilakukan dengan cara manual dengan

menggunakan keranjang berkapasitas 20 kg, diletakkan pada jembatan stainless steel yang langsung terhubung dengan bak pencucian I

Pencucian I. Pencucian dilakukan dengan cara keranjang berisi udang dicelupkan ke

dalam bak pencucian yang berisi air dingin yang ditambahkan klorin sebanyak 30 ppm

(Thaheer, 2005) . Pencucian dilakukan dua kali pencelupan dengan bak yang berbeda. Pencucian ini bertujuan untuk membersihkan udang dari lendir, kotoran, benda asing dan

bakteri serta untuk membuang bongkahan es yang masih tersisa. Penambahan klorin

Page 218: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

206 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

bertujuan untuk mereduksi bakteri yang tedapat pada air dan produk yang dicuci.

(Saparinto & Diana, 2006)

Penimbangan I. Proses penimbangan dilakukan dengan cara menimbang 2 keranjang udang sekaligus dengan kapasitas 20 kg agar berat udang diketahui 40 kg, hal ini dilakukan

agar hasil timbangan panen ditambak dengan hasil timbangan diperusahaan dapat

dicocokkan. Petugas mencatat berat udang serta hasil size yang didapat saat dilakukan

sampling. Selanjutnya keranjang udang dimasukkan kedalam ruang proses pemotongan kepala dengan melewati pintu kecil yang dilengkapi dengan plastik curtain.

Pemotongan Kepala. Proses pemotongan kepala dilakukan dengan cara udang dituang

keatas meja stainlees steel kemudian ditambahkan es tujuannya untuk mempertahankan suhu udang agar udang tetap dalam keadaan segar. Pemotongan kepala dilakukan secara

manual menggunakan tangan dengan cara mematahkan kepala udang dari arah bawah

keatas lalu menarik kaki jalan, pemotongan kepala harus tepat dan genjer diusahan tidak

ikut terbuang karena akan dapat mempengaruhi rendemen yang dihasilkan. Pekerja pada

tahap ini berjumlah 5 – 6 orang pada setiap meja atau groupnya.

Pencucian II. Pencucian II dilakukan dengan menggunakan mesin washing machine.

Pencucian dilakukan dengan cara meletakkan udang diatas conveyor wash tank yang

berjalan dan secara otomatis udang akan jatuh dan masuk kedalam keranjang berwarna merah, keranjang merah sebagai tanda bahwa hanya udang yang telah melalui proses

pencucian II yang dapat ditampung di keranjang tersebut.

Penimbangan II. Pencucian IIdilakukan dengan menimbang udang dengan menggunakan timbangan duduk yang bertujuan untuk mengetahui rendemen udang dari Head On (HO)

ke Head Less (HL) dan untuk menentukan hasil yang diperoleh pekerja borongan.

Keranjang diangkat dan ditimbang kemudian diberi kode label sesuai berat udang dalam

keranjang, udang yang telah ditimbang selanjutnya dicuci dengan cara mencelupkan keranjang kedalam bak air yang berisi es kemudian ditiriskan dan siap untuk dibawa

keruang sortasi.

Sortasi Awal. Sortasi awal dilakukan secara manual dengan cepat oleh 2 orang karyawan

produksi pada 1 meja, untuk memastikan bahwa mutu, size dan grade setingkat/kelas sehingga masing-masing kelas memiliki kualitas mutu yang seragam sesuai dengan

standar. Sortasi dilakukan dengan cara menuangkan udang ke atas meja yang terbuat dari

stainless steel, kemudian dipisahkan sesuai dan sama ukurannya. Penentuan size dilakukan

dengan cara mengambil sampel hasil sortasi seberat 454 gram (1 lbs), dilanjutkan dengan menghitung udang tersebut. Apabila jumlahnya sesuai dengan standar yang ditentukan

oleh perusahaan, berarti tahap sortasi awal dinyatakan benar (Masengi, Sipahutar, &

Rahadian, 2016)

Sortasi Akhir. Sortasi akhir dilakukan dengan cara memisahkan kembali udang yang telah

disortasi pada tahap awal sehingga didapat ukuran (size) yang sesuai dengan permintaan

buyer. Proses sortasi dilakukan untuk meratakan besar kecilnya udang sehingga memenuhi

keseragaman. Sortasi akhir sebaiknya dilakukan lebih teliti agar udang yang bermutu

rendah tidak tercampur dengan udang yang bermutu lebih baik. Sortasi akhir dilakukan dengan cara menuangkan udang keatas meja kemudian disortir oleh karyawan secara

manual untuk

Page 219: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

207 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Penimbangan III. Udang ditimbang dengan cara memasukkan udang dalam keranjang

yang berkapasitas ± 20 kg, selanjutnya ditimbang dengan menggunakan timbangan

duduk. Petugas timbang (telly) mencatat hasil penimbangan dan di beri kode berupa jenis

produk akhir, ukuran, tanggal penerimaan, dan kode supplier. Tujuan dari penimbangan ini yaitu untuk mengetahui berapa banyak dari bahan baku yang akan diolah.

Pengupasan Kulit dan Pembuangan Usus. Pengupasan kulit dilakukan secara manual

menggunakan tangan dengan alat bantu berupa kuku yang terbuat dari bahan stainless steel, untuk memudahkan dan mempercepat proses pengupasan kulit. Kulit udang dikupas

dengan cara dari ruas pertama sampai ruas kelima dihilangkan, sedangkan ruas keenam

dan ekornya disisakan. Pembuangan usus dilakukan dengan cara membelah atau mengiris

bagian punggung udang dari ruas kedua hingga mendekati ruas terakhir dengan alat bantu pisau yang terbuat dari bahan stainless steel lalu dibuang ususnya dengan cara ditarik

sedikit keluar (Masengi et al., 2016). Tujuan alat menggunakan bahan stainlees steel agar

produk yang dihasilkan tidak terkontaminasi dengan peralatan yang digunakan karena

bahan stainless steel tahan terhadap korosi

Pencucian III. Proses pencucian III dilakukan setelah proses pengupasan kulit dan

pembuangan usus selesai dengan cara merendam udang ke dalam bak berisi air dan es

dengan ditambahkan klorin dan dikocok-kocok untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran

yang masih menempel pada udang . Air pencucian udang diganti setiap 1 jam sekali atau kalau air sudah dalam keadaan kotor/berwarna keruh untuk mencegah terjadinya

kontaminasi silang.

Penimbangan IV. Penimbangan IV dilakukan untuk mengetahui jumlah produk PDTO yang dihasilkan sesuai dengan jumlah yang ditargetkan. Untuk mengetahui hasil kerja dari

karyawan borongan sehingga dapat menentukan upah yang akan diberikan kepada

karyawan setiap minggunya.

Penyusunan. Proses penyusunan dilakukan dengan cara menuangkan udang ke atas

tunnel conveyor mesin IQF, kemudian udang disusun/ditata dengan rapi agar saat proses

pembekuan udang berlangsung tidak terjadi penumpukan udang. Usahakan tidak terdapat

celah atau bagian yang kosong pada saat proses pembekuan berlangsung, hal ini bertujuan

agar udang yang keluar dalam keadaan beku sempurna, tidak saling menempel dan efisiensi dalam pembekuan. Selain melakukan penyusunan, karyawan juga melakukan

pengecekan yang bertujuan untuk memisahkan udang yang belum layak dibekukan seperti

ukuran (size) yang tidak sesuai atau belum memenuhi standar produk yang dihasilkan oleh

perusahaan. Pada proses penyusunan ini terdiri dari 6-10 karyawan yang bertugas untuk menyusun udang diatas tunnel conveyor dan di awasi oleh 1 orang QC serta 1 orang

operator mesin IQF tersebut.

Pembekuan. Pembekuan udang dilakukan dengan metode cryogenic freezing yang berkapasitas 10 ton/harinya dan menggunakan nitrogen cair sebagai sistem pendingin

(refrigrant) dengan sistem IQF (Individual Quick Freezing), menggunakan mesin tunnel

conveyor freezer. Pembekuan udang dengan tunnel menggunakan sistem sirkulasi udara

dingin dari refrigerant yang mengalir. Mesin yang berbentuk seperti terowongan dengan

udara yang merata yang dibantu oleh fan. Suhu pembekuan yang berlangsung antara -34ºC sampai dengan - 40ºC, pembekuan udang terjadi sangat cepat dengan waktu yang

dibutuhkan sekitar 7 menit untuk membekukan udang menjadi produk PDTO beku. Udang

yang beku sempurna ditandai dengan lapisan es yang rata, bening, cukup tebal pada

seluruh permukaan dilapisi es, tidak ada pengeringan pada permukaan produk, dan belum mengalami perubahan warna pada permukaan produk.(Azizah, 2015)

Page 220: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

208 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Penimbangan V. Udang yang telah selesai dibekukan dilakukan penimbangan yang

bertujuan untuk mengetahui berat udang setelah pembekuan, serta menimbang udang

yang sesuai dengan permintaan buyer. Penimbangan dilakukan dengan cara udang di

pindahkan ke keranjang kecil kemudian ditimbang misalnya 2 lbs (908 gram). Penimbangan udang dilakukan dengan cepat sebab apabila tidak dilakukan dengan cepat

akan mempengaruhi suhu udang

Pelapisan Es (Glazing). Pelapisan es atau biasa disebut penggelasan merupakan proses yang dilakukan untuk melapisi udang dengan es agar produk terhindar dari pengaruh

dehidrasi. Proses penggelasan dilakukan dengan cara menimbang udang terlebih dahulu

sebanyak 2 lbs kedalam keranjang berukuran kecil sesuai dengan permintaan buyer,

kemudian keranjang yang berisi udang dicelupkan kedalam bak stainless steel kecil yang berisi air dan es selama 3 sampai 5 detik atau 4 sampai 5 kali goncangan agar penggelasan

pada udang merata. Pada tahapan ini terdapat 2 orang karyawan yang bertugas untuk

melakukan proses glazing. Udang yang telah selesai dilakukan glazing selanjutnya

ditiriskan dan dimasukkan kedalam polybag jenis high density polyethylene

(HDPE)(Nuryani., 2006).

Pengemasan dalam Karton. Pengemasan dilakukan dengan cara udang yang telah

selesai di glazing kemudian dimasukkan kedalam polybag menggunakan corong lalu

direkatkan menggunakan sealer sebelum dilewatkan ke metal detector. Pengemasan dalam polybag dan sealing adalah untuk melindungi produk dari kontaminasi hazard fisik, biologi,

kimia. Menurut (Muchtadi, 2013), sifat fisik polyethilene (PE) di antaranya adalah

transparan, mudah dibentuk, kedap air dan biasanya digunakan untuk menyimpan produk

beku.

Pendeteksian Metal. Metal detector merupakan alat yang digunakan untuk mendeteksi

benda asing terutama yang terbuat dari unsur logam pada produk. Udang yang telah

dibekukan harus melewati mesin/alat pendeteksi logam (metal detector). Proses ini dilakukan dengan cara melewatkan udang pada mesin, apabila terdapat kelebihan unsur

logam pada produk maka mesin akan berbunyi dan terhenti secara otomatis. Apabila

didapati udang yang mengandung unsur logam langsung dipisahkan oleh QC (quality

control) untuk selanjutnya dilakukan proses dicairkan (thawing) terlebih dahulu. Semua

produk akhir wajib melewati metal detector untuk mengetahui produk akhir terbebas dari benda asing. Produk yang dinyatakan bersih, kemudian direkatkan (sealed) menggunakan

sealing machine. Setelah itu kemasan plastik dimasukkan kedalam master carton untuk

pengepakan.

Pengepakan. Pelabelan pada master carton bertujuan untuk memberikan keterangan

pada master carton dan sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen tentang

hal-hal yang perlu diketahui oleh konsumen tentang produk tersebut, terutama hal-hal

yang kasat mata atau tak diketahui secara fisik, meliputi: (1) Nama UPI, (2) Nama produk, spesies (Vannamei White Shrimp Raw Peeled and Deveined Tail On), (3) Kode produksi,

tanggal produksi dan tanggal kadaluarsa, ukuran (size) dan berat udang (net weight), (4)

Nomor persetujuan dan (5) Kode tambak 01012401 (yaitu angka 01 pertama berarti

berasal dari tambak milik perusahaan, 01 kedua berarti menunjukkan lokasi tambak, 24

menunjukkan petak tambaknya, 01 terakhir menunjukkan tanggal Sedangkan untuk udang yang berasal dari supplier angka depannya 02 atau 03).

Penyimpanan (Cold Storage). Penyimpanan dilakukan pada produk dalam keadaan

beku dengan pengelompokkan size dan jenis produknya kemudian produk ditata rapi diatas pallet agar sirkulasi udara dalam ruang penyimpanana tetap terjaga. Proses penyimpanan

Page 221: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

209 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

dimulai dengan karyawan memasukkan master carton yang berisi produk kedalam cold

storage menggunakan troli, selanjutnya produk disusun sesuai dengan size, jenis produk,

berat timbangan yang diinginkan oleh buyer, dan tanggal masuknya produk kedalam cold

storage. Cold storage room berfungsi sebagai tempat penyimpanan produk udang beku sementara agar tetap menjaga kualitas udang sebelum didistribusikan. Suhu yang biasa

digunakan dalam ruang cold storage sekitar -18ºC sampai -25ºC, sehingga dapat

mempertahankan suhu udang minimal -18ºC (Irianto & Giyatmi, 2015). Setiap jam suhu

dicatat agar tidak terjadi fluktuasi yang besar. Penyimpanan bertujuan untuk menjaga kondisi udang beku agar selama menunggu proses pemasaran tetap dalam kondisi yang

segar.

Stuffing/Eksport. Pada tahap ini dilakukan proses pemindahan master carton dari cold storage kedalam container berpendingin dengan suhu -20°C ketika produk akan diekspor.

Sebelum digunakan untuk menaruh produk ruangan container dibersihkan terlebih dahulu,

dari kotoran yang ada. Quality control (QC) memeriksa container untuk memastikan

kondisi container benar-benar bersih dan suhunya telah tepat. Pemindahan menggunakan

troli besi dari cold storage kedalam container yang dilakukan secara cepat dan hati-hati. Selanjutnya staf QC mengecek dan mencatat setiap melakukan pengangkutan untuk

memastikan produk sesuai permintaan dan mengetahui jumlah produk yang masuk

kedalam container. Stuffing merupakan tahap pendistribusian produk dari ruang

penyimpanan (cold storage) ke container. (Putra, 2011) Penyusunan dilakukan dengan cara, disusun sesuai list yang telah disiapkan, sesuai dengan ukuran dan jenis produk yang

sama. Proses pengangkutan produk beku haruslah digunakan kendaraan yang direfrigerasi

secara mekanis untuk mempertahankan suhu produk agar tidak lebih tinggi dari

pada -180C

Pengukuran Suhu. Suhu dapat berpengaruh terhadap mutu bahan baku dan mutu produk

akhir, merupakan faktor yang sangat penting untuk diamati. Pengamatan suhu dilakukan

pada suhu udang, suhu air, dan ruangan. Hasil pengukuran suhu udang, suhu ruang dan air dapat dilihat pada Tabel 1,

Tabel 1.Pengamatan Suhu

Pengamatan Rata-rata

suhu

Standar

perusahaan SNI

Suhu bahan baku (udang) 2,4 °C < 5°C < 5°C

Suhu air 20,5 °C 19-21 °C

Suhu ruangan 2,5 °C < 5°C < 5°C

Suhu Udang. Pada Tabel 1 diatas menunjukkan hasil pengukuran suhu udang diperoleh

hasil rata-rata suhu bahan baku adalah 2,4°C. Suhu tersebut telah sesuai dengan

persyaratan SNI yaitu <5°C.. Setiap tahapan proses suhu udang tetap di pertahankan agar tidak melebihi 5oC, dengan cara selalu menambahkan es pada udang yang bertujuan untuk

memperlambat penurunan mutu. QC dan pengawas maupun koordinator setiap tahapan

proses selalu menegur apabila ditemukan pekerja yang dalam tahapan pengolahan tidak

menggunakan es.

Suhu Ruang. Pengukuran suhu ruang dilakukan pada ruang penerimaan bahan baku,

ruang pemotongan kepala, ruang proses, ruang penyusunan dan penyimpanan.

Berdasarkan tabel diatas, untuk suhu ruangan penerimaan bahan baku, ruang pemotongan kepala dan ruang penyusunan kisaran 22-23ºC. Suhu ruangan pembekuan IQF kisaran 19-

20ºC. Serta suhu ruangan packing kisaran 18-19ºC. Suhu ruang penyimpanan (cold

Page 222: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

210 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

storage) berkisar -20ºC sampai -21º C. Penerapan suhu rendah pada setiap ruang produksi

pada perusahaan sangat baik. Menurut (Murniyati & Sunarman, 2000) suhu ruangan yang

rendah sangat efektif untuk menhambat pertumbuhan bakteri-bakteri psikofilik yaitu

bakteri-bakteri yang senang pada suhu rendah dan hidup pada suhu 0ºC sampai 30ºC dengan suhu optimun 15ºC. Pengukuran suhu ruang bertujuan untuk mempertahankan

mutu udang supaya tidak mengalami penurunan mutu. Berdasarkan hasil pengukuran

terhadap suhu ruang, hasil diperoleh suhu ruangan masih sesuai dengan standar yang

ditetapkan perusahaan yaitu 19-21°C. Hal ini karena di dalam ruang proses terdapat air conditioner dan terdapat blower yang selalu dikontrol oleh QC. Pembekuan juga dapat

dibagi lagi berdasarkan panjang-pendeknya yaitu pembekuan cepat (quick freezing) yang

tidak lebih dari dua jam dan pembekuan lambat (slow freezing) yang lebih dari dua jam

(Fellowus, 2000). Adanya pengaruh pembekuan cepat dan pembekaun lambat yaitu mempengaruhi besar dan kecilnya kristal es yang terbentuk. Oleh karena itu, pada

pembekuan lambat apabila dicairkan kembali maka kristal akan merusak jaringan daging

ikan sehingga menimbulkan terjadinya drip yang cukup banyak. Penggunaan temperatur

untuk pembekuan perlu dipertimbangkan pada temperatur cairan daging yang telah

membeku semua disamping itu juga proses enzimatis, proteolitik, hidrolisis, oksidatif dan aktivitas mikrobia sudah terhambat, sehingga kerusakan struktur daging dapat dikurangi

seminimal mungkin dan akan menjamin kualitas daging beku yang dihasilkan (Masengi,

Roiska, & Sipahutar, 2017).

Suhu Air. Suhu air menjadi faktor yang sangat penting diamati karena air dingin dapat

mendinginkan ikan dengan cepat karena persinggungan yang lebih baik daripada

pendinginan dengan es, sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan

menghambat aktivitas mikroorganisme (Adawyah, 2007). Berdasarkan hasil pengukuran suhu air diperoleh rata-rata 2,7°C. Hal ini karena suhu air dipertahankan suhunya <5°C

dengan ditambah es secara terus-menerus dan dilakukan pengawasan oleh QC pencucian.

Pengukuran suhu air dilakukan pada tahap pencucian telah sesuai dengan standar, dimana

pada perusahaan untuk air pencucian yang digunakan ≤ 30C. Air pencucian pada bak-bak penampung selalu diberi es. Es berfungsi untuk menurunkan suhu pada udang maupun air,

guna menekan laju pertumbuhan bakteri pembusuk, selain itu juga untuk

mempertahankan mutu udang (Montanari, 2008)

Pengujian Organoleptik

Pengujian Bahan baku Udang Segar. Pengujian organoleptic dilakukan pada proses

penerimaan bahan baku oleh Quality Control. Udang dikelompokkan menjadi 2 kategori

mutu yaitu :

First grade dan second grade. Kriteria udang yang termasuk dalam first grade

adalah udang segar, bau spesifik jenis, tekstur daging kenyal bila ditekan akan

kembali ke bentuk awal / elastis, warna daging putih bening. kulit keras, kepala

melekat kuat dengan ruas badan. Bila kulit ruas kepala dan ruas badan renggang, kerengangan tidak lebih dari 5 mm dengan selaput membrane masih melekat.

Second grade. meliputi : (1) Soft (S) yaitu kulit pada punggung jika ditekan

lembek, tetapi kulit pada segmen terakhir masih keras, (2) Moulting (M) yaitu pergantian kulit pada udang biasanya kulit udang tipis dan lembek, (3) Discolour

(D) yaitu erubahan warna udang menjadi kemerahan akibat kemunduran

kesegaran udang, (4) Broken (B) yaitu dang yang rusak fisik (patah dan tubuh

tidak utuh lagi), (5) Scratch Shell yaitu terdapat luka gores pada kulit udang,

Page 223: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

211 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

(6) Black tail yaitu ercak hitam atau bintik hitam pada ekor, (7) Black spot yaitu

penurunan mutu udang sehingga timbul bercak / bintik hitam pada tubuh udang,

(8) Broken shell yaitu dang yang rusak pada kulit atau kulit udang yang

mengelupas dan (9) Broken tail yaitu udang yang rusak pada bagian ekor.

Udang segar adalah udang yang baru ditangkap dengan ciri-ciri udang segar antara

lain rupa dan warnanya bening, spesifik jenis, cemerlang, sambungan antar ruas kokoh,

kulit melekat kuat pada daging (Purwaningsih, 2000).

Tabel 2. Hasil Pengujian Organoleptik

Nilai rata-rata

Bahan Baku 8 Produk Akhir 8

Syarat SNI SNI 01-2728.1-2006 7

Berdasarkan data tabel 2 nilai organoleptik bahan baku yang di terima perusahaan

diperoleh nilai 8, dengan karakteristik kenampakan utuh, kurang bening, cahaya mulai

pudar, berwarna asli, antar ruas kokoh. Baunya segar spesifik jenis dan teksturnya elastis,

kompak dan padat. Hal ini dikarenakan pada saat penanganan bahan baku telah dilakukan good handling atau penanganan yang baik sesuai standar perusahaan dan SNI 01-2728.1-

2006 yaitu nilai organoleptik minimal 7. Pada penanganan proses pengangkutan udang

yang baik dengan cara udang disimpan didalam box fiberglass tertutup yang pada lapisan

dasar di beri es balok, kemudian es curai dengan perbandingan udang dan es 1:2 (150 kg udang dan 250 kg es) sehingga udang selalu berada dalam rantai dingin dengan suhu

sekitar <50C. Menurut (Sipahutar, Ramli, Kristiani, & Prabowo, 2019), dikatakan bahwa

suhu peranan paling penting pada udang yang sudah mati peranan suhu rendah sekitar

0ºC dapat menekan kegiatan enzimatik, bakteriologis, kimiawi dan perubahan organoleptik dengan demikian memperpanjang daya awet. Kualitas bahan baku meliputi kenampakan

secara visual dan jumlah mikroba yang terkandung dalam tubuh ikan. Bahan baku yang

prima akan sangat menentukan kualitas produk akhir (Wulandari, Abida, & Farid, 2009).

Menurut (Sipahutar, Suryanto, Ramli, Pratama, & Panjaitan, 2020) cara penanganan udang

yang baik dapat mencegah terjadinya kerusakan atau pembusukan udang. Setelah pasca panen hingga bahan baku sampai di UPI dipertahankan rantai dinginnya dengan

ditambahkan es terus-menerus supaya tidak terjadi kenaikan suhu

Pengujian Sensori Produk Akhir. Hasil pengujian organoleptik produk akhir berdasarkan

SNI 3457-2014 menunjukkan nilai rata-rata 8. nilai standar yang harus dimiliki produk udang masak beku adalah minimal 7. Hal ini dipengaruhi beberapa hal antara lain bahan

baku memiliki mutu yang bagus dan beberapa proses pengolahan di antaranya proses

soaking yang tujuannya untuk memperbaiki cita rasa udang. Mutu produk akhir sudah

memenuhi standar, hal ini dikarenakan proses pengolahan udang PDTO dilakukan dengan baik sesuai Good Manufacturing Practices (GMP) yang diterapkan di perusahaan

(Sipahutar, Masengi, & Wenang, 2017).

Menurut Masengi, Sipahutar, & Sitorus, 2018) bahwa udang dilakukan pembekuan

yang baik sehingga udang yang dihasilkan tampak mengkilat. Selain dilakukan soaking dan pembekuan, selanjutnya dilakukan proses glazing yang bertujuan untuk mencegah

dehidrasi selama penyimpanan dan memperbaiki kenampakan. Menurut (Tasbih, 2017)

proses soaking dapat memperbaiki cita rasa produk, dapat mempertahankan tekstur dan

kekenyalan produk, menjaga kadar air (moisture ) produk sehingga produk tampak segar (fresh). Selain itu juga pembekuan produk akhir di UPI berjalan dengan baik sesuai dengan

pendapat (Masengi et al., 2018) proses glazing yaitu untuk mencegah terjadinya oksidasi,

Page 224: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

212 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

dehidrasi dan memperbaiki penampilan karena terbentuk lapisan es tipis yang seragam.

Produk akhir ditangani dengan good handling dan menerapkan GMP dan SSOP yang baik

dan benar. Menurut (Nuryani., 2006), Standar Operasi Pengolahan atau yang biasa disebut

GMP adalah merupakan cara/teknik berproduksi yang baik dan benar untuk menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu. Selama proses pengolahan UPI

telah menerapkan kunci penting dalam penanganan produk perikanan antara lain:

mempertahankan rantai dingin selama proses, menerapkan SSOP, tidak melakukan

penundaan selama proses pengolahan. Selain itu juga telah menerapkan GMP selama proses pengolahan.

Hasil Pengujian Mikrobiologi. Udang mengandung bakteri cukup banyak yang

terkonsentrasi pada kepala, cangkang dan saluran pencernaan Perubahan yang terjadi setelah udang mati yaitu terjadi perubahan biokimia dan mulai terjadi proses kemunduran

mutu atau deterioration yang disebabkan oleh kegiatan autolisis, kimiawi dan bakterial.

Jumlah total mikroba akan meningkat dengan adanya peningkatan suhu (Badrin, Patajai,

& Wirayatno, 2019)

Tabel 3. Hasil Pengujian Mikrobiologi Bahan Baku

ALT

(kol/g) Coliform/

APM/g

E. Coli

(APM

/g)

Vibrio

Parahaemoyticus

(APM/25g)

Vibrio

cholera

/25g

Salmonella

Staphyloccus

kol/g

Bahan Baku 1,2 x 104 - 6.0 x 104

<3 <3 <3 Negatif Negatif <10

Produk Akhur 3,1 x 104 - 3,6 x 104

<3 <3 <3 Negatif Negatif <10

SNI 01-2332-

2006

5,0 x 105 <3 <3 <3 Negatif Negatif <10

Perusahaan 5,0 x 105 <3 <3 <3 Negatif Negatif <10

Hasil pengujian mikrobiologi bahan baku diatas menunjukkan bahwa nilai bahan baku

ALT berkisar 1.29 x 104 sampai 6.0 x 104 telah sesuai dan memenuhi persyaratan dimana

nilai ALT untuk bahan baku memenuhi standar yaitu maksimum 5x105 kol/gr, Coliform <3,

E.coli <3, Salmonella negatif dan V.chollerae negatif. Dengan demikian hasil pengujian mikrobiologi yang dilakukan masih memenuhi standar, yaitu maksimal 5x105 kol/gr (Badan

Standardisasi Nasional, 2006b).

Hasil pengujian mikrobiologi diatas menunjukkan bahwa produk akhir dengan nilai ALT

berkisar 3,1 x 104 sampai 3,6 x 104 telah sesuai dan memenuhi persyaratan, dimana nilai ALT untuk produk akhir memenuhi standar yaitu maksimum 5x105 kol/gr, Coliform <3 ,

E.coli <3, Salmonella negatif dan V.chollerae negatif. Dengan demikian hasil pengujian

mikrobiologi yang dilakukan pada produk akhir masih memenuhi standard untuk

persyaratan ekspor sesuai dengan SNI 01-2332-2006 (Badan Standardisasi Nasional,

2006b). (Badrin et al., 2019). Hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan baku yang diterima masih

dalam keadaan segar dan terbebas dari kontaminasi bakteri, hal ini dikarenakan penerapan

prinsip penanganan bahan baku telah dilakukan dengan baik. Pengujian mikrobiologi

mengacu pada SNI-2332.3.2015. Berdasarkan hasil pengujian mikrobiologi terhadap produk akhir dapat disimpulkan bahwa produk telah memenuhi standar karena selama

proses telah dilakukan good handling, sehingga layak untuk ekspor.

Pengujian Kimia Antibiotik. Pengujian antibiotik dapat menentukan apakah bahan baku

diterima atau tidak. Bahan baku yang

Page 225: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

213 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

datang diutamakan untuk dilakukan pengujian antibiotik terlebih dahulu. Antibiotik

Chlorampenicol pada udang dapat berasal dari pakan yang dibutuhkan saat budidaya.

Chlorampenicol mempunyai efek membunuh mikroorganisme dalam pakan sehingga pakan

menjadi lebih awet, serta mampu memperbaiki sistem pencernaan dan meningkatkan nafsu makan pada udang.

Tabel 4. Pengujian Antibiotic Bahan Baku

Tanggal Hasil Pegujian

07 Nopember 2018 Not detected 16 Nopember 2018 Not detected

08 Desember 2016 Not detected

18 Desember 2016 Not detected

23 Desember 2018 Not detected Standar Perusahaan 0,3 ppb

Berdasarkan pengujian antibiotik dapat disimpulkan bahwa bahan baku dan produk

akhir tidak mengandung antibiotik, sehingga bahan baku layak untuk diproses pengolahan

lebih lanjut, dan produk akhirnya layak untuk diekspor. Bahaya yang dapat ditimbulkan

dari residu antibiotik chloramphenicol adalah sebagai berikut: depresi sumsum tulang;

kelainan darah seperti anemia dan anemia aplastik; hepatitis kronis; neurophatiec; anemia haemolitik; pneumonitis; vertigo, dan nyeri otot. Adapun efek dari residu nitrofuran:

karsinogenik; gangguan hormon yang dapat menyebabkan disfungsi pada sistem endokrin

manusia, hal ini diakibatkan sel yang terekspos oleh furazolidone (Umbas, Hutabarat, &

Agustini, 2012).

Pengujian antibiotik di UPI menetapkan standar kadar Chloramphenicol yakni maksimal 0,3 ppb. Pengujian antibiotik dilakukan pada setiap supplier. Hasil analisa dari 5

kali pengujian terhadap antibiotik Chloramphenicol pada udang yakni tidak terdeteksi sama

sekali. Berdasarkan pengujian antibiotik dapat disimpulkan bahwa bahan baku tidak

mengandung antibiotik, sehingga bahan baku layak untuk diproses pengolahan lebih lanjut, dan produk akhirnya layak untuk diekspor. Bahaya yang dapat ditimbulkan dari residu

antibiotik chloramphenicol adalah sebagai berikut: depresi sumsum tulang; kelainan darah

seperti anemia dan anemia aplastik; hepatitis kronis; neurophatiec; anemia haemolitik;

pneumonitis; vertigo, dan nyeri otot. Adapun efek dari residu nitrofuran: karsinogenik; gangguan hormon yang dapat menyebabkan disfungsi pada sistem endokrin manusia, hal

ini diakibatkan sel yang terekspos oleh furazolidone (Umbas et al., 2012).

Perhitungan Rendemen. Rendemen merupakan perbandingan antara berat akhir produk yang diinginkan dengan berat semula Rendemen merupakan rasio berat antara daging dan

berat udang utuh . Perhitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa banyak

dari tubuh udang yang dapat digunakan sebagai bahan makanan.

Tabel 5. Hasil Perhitungan Rendemen

Tahapan Rendemen Standar perusahaan

Pemotongan kepala 69,31% 70-71 1%

Pengupasan 82,56% 80-851%

cooking 86,38% 85-871%

Hasil perhitungan rendemen pada proses pemotongan kepala adalah 69,31%,

pengupasan 82,56%, dan pemasakan 86,38% Berdasarkan hasil perhitungan rendemen diperoleh hasil bahwa, nilai rendemen telah memenuhi standar UPI. Hal tersebut salah

satunya dikarenakan bahan baku yang diterima perusahaan adalah udang bermutu segar.

Page 226: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

214 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Menurut (Afrianto & Liviawati, 2010), ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi

rendemen salah satunya adalah mutu bahan baku (faktor kesegaran udang sangat

berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan), sarana dan prasarana, tenaga kerja,

ukuran dan jenis bahan baku.

Good Manufacturing Practices (GMP). Good Manufacturing Practices (GMP) yang

diterapkan meliputi: seleksi bahan baku, bahan pembantu, penanganan dan pengolahan,

pengemasan, produk akhir, dan penyimpanan. Sistem GMP yang diterapkan di UPI telah berjalan dengan baik.

Seleksi Bahan Baku. Bahan baku yang akan diproses adalah bahan baku yang

berasal dari tambak milik perusahaan. Bahan baku diangkut dengan menggunakan truk yang telah dimodifikasi yang di lengkapi dengan coolbox yang berbahan dasar

fiber glass yang satu bos berkapasitas 1,5 ton. selama pengankutan suhu udang

dipertahankan <50C, dengan cara udang disusun pada lapisan dasar es balok,

kemudian es curai lalu udang dengan perbandingan udang dan es 2:1 (250 kg

udang :125 kg es).

Bahan Pembantu . Bahan pembantu yang digunakan selama proses produksi

yaitu air, es, alkohol, dan chlorine. Dosis pemakaiannya telah sesuai dengan

persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah dan negara tujuan ekspor. Air merupakan bahan pembantu yang paling penting dalam industri pengolahan.

Hampir di setiap alur proses memerlukan air sebagai sarana penunjang

menggunakan air yang berasal dari sumur yang diproses melalui treatment ozon.

Ozon merupakan senyawa yang mampu membunuh bakteri dan mempunyai daya oksidasi yang kuat, sehingga kotoran dan bakteri dapat diminimalisir sehingga

memenuhi standar air minum.

Es merupakan media yang dapat mempertahankan mutu dan kesegaran

udang selama proses produksi berlangsung. Es yang digunakan adalah es buatan sendiri sehingga dapat dipantau proses pembuatannya dan berasal dari air yang

memenuhi persyaratan air minum (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009).

Es yang dibuat perusahaan adalah block ice dan flake ice. Es yang biasa digunakan

yaitu es curai karena lebih cepat menurunkan suhu udang, karena es curai dapat

menyelimuti atau menutupi sebagian tubuh udang sehingga penggunaannya lebih efisien. Untuk menjamin kualitas air dan es, maka perusahaan melakukan

pengujian mikrobiologi setiap hari yang dilakukan oleh laboratorium sendiri dan 6

(enam) bulan sekali.

Tabel 6. Konsentrasi Penggunaan Klorin

No. Lokasi Jenis

Wadah Standar (ppm)

Volume Air (L)

Volume Klorin(ml)

1. Sebelum masuk gedung proses

Kolam kecil 200 112 37

2. Sebelum masuk ruang

proses Kolam kecil 200 282 94

3. Pencucian tangan Bak kecil 50 185 77,5

4. Pencucian tangan (ruang produksi)

Bak kecil 100 10 8

5. Awal bongkar Leda 50 250 105

6. Deheading Leda 30 840 200

7. Sortir Meja sortir 10 130 11

8. Peeling Leda 10 130 11

9. Pencucian peralatan Leda 200 300 500

Page 227: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

215 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Penanganan dan Pengolahan. Penanganan bahan baku dilakukan dengan

cepat, cermat dan hati-hati serta terlindung dari panas matahari, pengaruh panas

cuaca dan kontaminasi kotoran karena dilakukan dalam ruangan yang tertutup dan sesuai dengan persyaratan sanitasi. Setiap bahan baku yang masuk terlebih

dahulu selalu diproses lebih dulu dan diterapkan sistem FIFO (First In First Out)

serta selalu dipertahankan suhunya supaya tetap pada kisaran yang rendah

(<5°C)(Bimantara & Triastuti, 2018)

Pengemasan. Pengemasan produk PDTO pertama dengan plastik polyethylen

(PE) kemudian dimasukkan ke dalam master carton dengan merek yang

ditentukan buyer. Setiap pengemas yang dipakai minimal memuat label yang berisi merk/brand produk, size, berat bersih produk, nomor persetujuan, tanggal

produksi dan tanggal kadaluarsa sebagai informasi kepada konsumen. Bahan

pengemas harus memenuhi syarat yaitu cukup kuat, tahan perlakuan fisik,

mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap uap air, gas dan bau, tidak

meningkatkan waktu pembekuan, tidak melekat pada produk dan juga tidak meng-kontaminasi produk (Food and Drug Administration, 2019). Pengemasan

dilakukan untuk menjaga udang dari kerusakan fisik. Polybag yang digunakan

sebagai kemasan primer harus ditutup rapat (sealing) agar udang tidak mengalami

dehidrasi.

Produk Akhir. Produk akhir yang akan di ekspor harus memiliki standar kualitas

sesuai dengan spesifikasi perusahaan dan pembeli. Sebelum produk akhir

didistribusi wajib dianalisa organoleptik, fisik, kimia dan mikrobiologi. Apabila masih terdapat adanya logam atau sisa kotoran pada produk akhir disebabkan

kurangnya perhatian terhadap pencucian dan sanitasi selama proses berlangsung

hal ini dapat menyebabkan mesin metal detector berhenti. Tindakan

pencegahannya dengan melakukan defrost terhadap produk yang terdeteksi, kemudian dilakukan pengujian di laboratorium (BRC Global Standard, 2018) .

Penyimpanan. Produk yang disimpan dalam ruang penyimpanan cold storge

disusun berdasarkan jenis produk, size udang , jenis udang dan tanggal produksi,

selain itu dalam penyusunannya produk tersebut dialasi dengan pallet untuk menghindarkan produk berkontak langsung dengan lantai di ruang penyimpanan.

Penyusunan harus diberi celah atau rongga-rongga agar sirkulasi udara dingin di

dalam ruang dapat menyebar secara merata ke seluruh produk dan memudahkan

proses transportasi atau distribusi didalam ruang tersebut. Pintu gudang beku juga memiliki plastik curtain yang dapat menghambat fluktuasi suhu dan pintu juga

jangan sering dibuka untuk mengurangi panas dari luar (Winarno, 2011).

Sanitation Standart Operation Procedures (SSOP). UPI telah menerapkan SSOP dengan baik. Hal-hal yang diamati dalam SSOP antara lain adalah pasokan air dan es,

permukaan yang kontak langsung dengan produk, pencegahan kontaminasi silang (F.

Winarno & Surono, 2012), fasilitas pencuci tangan, bahan kimia, bahan tambahan

(Junianto, 2003) dan bahan pembersih saniter, syarat label dan penyimpanan, hygiene dan

kesehatan karyawan, pengendalian pest. Dalam Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) diunit pengolahan, pihak

perusahaan telah menerapkan 8 kunci SSOP yang meliputi pasokan air dan es, permukaan

yang kontak langsung dengan produk, pencegahan kontaminasi silang, menjaga fasilitas

tempat cuci tangan, bahan kimia pembersih dan saniter, label dan penyimpanan,

Page 228: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

216 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

kesehatan dan kebersihan karyawan, serta pengendalian pest (Pratama, Afrianto, &

Rostini, 2017).

Pasokan Air dan Es. Pasokan air berasal dari sumur di belakang pabrik. Sebelum disalurkan ke dalam ruang pengolahan terlebih dahulu air mendapat perlakuan

dengan menggunakan ozon kemudian air ditampung ke dalam tandon yang

berkapasitas 108m3. Tandon penyimpanan air dibersihkan enam bulan sekali. Air

yang digunakan untuk proses pengolahan udang disalurkan terpisah dan tidak berhubungan dengan sistem aliran air kotor. Untuk mengontrol keamanan air,

dilakukan pengujian mikrobiologi terhadap air secara rutin setiap hari, pengujian

fisik dan kimia setiap 6 bulan sekali. Jadi air yang digunakan sudah memenuhi

standar air minum (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009). Perusahaan dapat memproduksi es balok sebanyak ±500 balok setiap

harinya dan sebagiannya digunakan untuk membuat es curai. Sebelum digunakan

es terlebih dahulu dicuci. Air merupakan komoditi yang sangat essensial dalam

persiapan dan pengolahan pangan. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk

diperhatikan bahwa semua air yang ditujukan untuk pengolahan bahan pangan harus bebas dari bakteri pathogen (Ujianti, 2017).

Tabel 7. Hasil Pengujian Air dan Es

Jenis air/es TPC kol/g Coliform

kol/g

E. coli

kol/g

Staphylococc

us aureus Salmonella

Air sumur artesis 1,8 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif

Air proses (potong kepala

kran No. 29

29 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif

Air proses (packing No.63)

1,7 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif

Air washing

(washng 2) 2,0 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif

Air proses (lab.

kran No. 2) 3,9 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif

Air pencucian

(potong kepala) 2,8 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif

Air proses (sortir

& final kran

No.39)

3,8 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif

IQF kran No. 52) 1,8 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif

Es flake 2,0 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif

Es balok 4,3 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif

Standar 100 < 3 < 3 < 10 Negatif

Sumber : Laboratorium UPI (2018)

Peralatan atau Permukaan yang Kontak Langsung dengan Produk. Peralatan yang digunakan dalam proses produksi terbuat dari bahan stainless stell

(timbangan, meja proses, pisau, conveyer dan lain-lain), Plastik (keranjang,

baskom, bak dan lain-lain) dan baja (mesin pembekuan). Pencucian untuk

peralatan di perusahaan dilakukan dengan cara menyikat permukaan peralatan, diberi air sabun dan kemudian dibilas dengan air chlorin 100 ppm. (Hanidah,

Mulyono, Andoyo, Mardawati, & Huda, 2018)

Pencegahan Kontaminasi Silang. Kontaminasi silang dapat dicegah dengan

menerapkan cara berproduksi yang baik dan benar (GMP). Konstruksi ruang pengolahan dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi pemisahan dengan batas

Page 229: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

217 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

yang jelas tiap tahapan proses, antara bahan baku yang diterima dan produk akhir,

bahan kimia dan sanitizer disimpan pada tempat terpisah, pemisahan saluran

antara air bersih dan air bekas proses

. Menjaga Fasilitas Tempat Cuci Tangan dan Toilet. Pintu masuk ruang proses

terdapat 25 kran pencuci tangan yang mengalir dengan menggunakan kran dorong

yang menggunakan kaki. Kran air pencuci tangan dilengkapi dengan sabun serta

bak cuci tangan. Pencucian tangan dilakukan tiap 1 jam sekali, air yang sudah digunakan satu kali kerja, dibuang kemudian diganti tiap satu kali kerja. Air cuci

tangan ini merupakan air dengan penambahan larutan klorin sebanyak 100 ppm

(Masengi et al., 2017).

Bahan Kimia, Pembersih dan Saniter. Bahan kimia, pembersih dan saniter

terletak di ruangan yang terpisah dari ruangan pengolahan, hal ini bertujuan untuk

mencegah kontaminasi silang dengan produk. Bahan-bahan tersebut juga harus

diberi label sehingga memudahkan dalam proses pencarian. Pengawasan terhadap

bahan-bahan yang menjadi sumber kontaminasi bertujuan untuk menjamin bahwa produk pangan dari kontaminasi mikroba, kimia dan fisik. Pemakaian

bahan-bahan kimia sesuai dengan petunjuk dan instruksi dari perusahaan dan

dikembalikan ke gudang apabila tidak diperlukan.

Label dan Penyimpanan. Bahan pengemas yang digunakan pada perusahaan

yaitu polybag dengan jenis polyethilen yang aman dan baik sebagai bahan

pengemas. Bahan pengemas berisi informasi isi, merk, asal negara, perusahaan

produsen, berat bersih, komposisi, masa kadaluwarsa, dan persyaratan penyimpanan. Dan kemasan master carton yang dilengkapi nama perusahaan,

nama produk disetai spesifikasi, kode produksi, tanggal produksi, tanggal

kadaluwarsa, ukuran, berat udang, nomor persetujuan dan kode tambak.

Kesehatan dan Kebersihan Karyawan. Setiap karyawan yang menangani

produk harus dalam kondisi yang sehat dan bersih. Karyawan yang sedang sakit

tidak diperbolehkan mengikuti proses kerja karena akan mengganggu karyawan

lainnya dan mengkontaminasi produk. Oleh sebab itu, kesehatan karyawan harus

selalu diperiksa secara berkala dalam rentan waktu 1 tahun dengan tujuan untuk menjamin agar tidak ada seorang karyawan menderita penyakit yang dapat

ditularkan melalui makan dan bertindak sebagai pembawa penyakit. Semua

karyawan yang bersentuhan dengan obyek-obyek yang tidak bersih harus

membersihkan dan mensanitasi tangan serta sarung tangan sebelum memegang produk (Markenih, 2016).

Pengendalian Pest. Pabrik dirancang sedemikian rupa dengan tujuan untuk

mencegah masuknya binatang ke unit pengolahan yang dapat membahayakan produk. Prosedur yang dijalankan adalah semua pintu masuk ruang pengolahan

dilengkapi dengan tirai plastik, penempatan perangkap hama seperti tikus,

serangga dan lainnya disetiap tempat-tempat tertentu, dan lubang yang

memungkinkan masuknya binatang pengerat ditutup. Binatang pengerat dan

serangga merupakan salah satu potensial kontaminasi penyebar bakteri sehingga keberadaannya di dalam ruang pengolahan sangat tidak diharapkan dan dilakukan

berbagai upaya untuk mencegahnya. Prosedur yang dilakukan oleh pihak

perusahaan adalah dengan memasang penyaring pada saluran pembuangan yang

terbuat dari besi . Bagian yang berhubungan dengan luar ruang pengolahan dilengkapi tirai plastik, alat pengendali anti serangga (insect killer). Pengawasan

Page 230: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

218 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

binatang pengerat dan serangga dilakukan dengan cara inspeksi secara rutin oleh

petugas Quality Control.

Penilaian Kelayakan Dasar. Keadaan unit pengolahan suatu perusahaan sangat

mempengaruhi mutu dan kelayakan produk yang dihasilkan. Pemerintah menjamin

lancarnya program pembinaan dan pengawasan terhadap rancangan, penataan ruangan,

gedung, lingkungan, peralatan dan perlengkapan, sanitasi dan hygiene karyawan serta

pengawasan dan pembinaan terhadap operasi penanganan pengolahan (Kementrian

Kelautan dan Perikanan, 2013). Penilaian kelayakan dasar unit pengolahan udang kupas

mentah beku dari pengamatan langsung di UPI sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya

. Pengamatan dengan menggunakan kuisioner terhadap 21 Klausul, terdapat 17 klausul

yang layak, dan terdapat 2 klausul yang tidak diterapkan dan 2 klausul yang tidak layak.

Tabel 8. Hasil Penilaian Kelayakan Dasar

Klausul Kondisi Saran Perbaikan

Fasilitas

Toilet

Tidak disediakan alat

pembersih tangan (sabun dan tissue)

Perlu diadakan/ disediakan alat

pembersih pada setiap toliet, yang

bertujuan untuk mengurangi

kontaminasi

Sanitasi :

Alat pengering

tangan

Tidak disediakan alat

pengering tangan ketika akan

masuk keruang proses

Perlu diadakan/ disediakan alat

pengering tangan agar tidak

mengkontaminasi produk pada saat

karyawan kembali bekerja setelah

mencuci tangan

Penerapan kelayakan dasar unit pengolahan pada UPI sudah cukup baik, meliputi

persyaratan fisik dan operasional, tetapi masih terdapat beberapa penyimpangan pada

penilaian kelayakan dasar seperti fasilitas toliet perlu diadakan berupa alat pembersih

tangan pada toilet tentunya sangat mempengaruhi sanitasi dan hygiene dari karyawan,

dan perlu diadakan alat pengering tangan yang sangat digunakan dan bermanfaat ketika

setelah selesai mencuci tangan dengan tujuan agar karyawan tidak dapat

mengkontaminasi produk (Sutresni, Mahendra, & Aryanta, 2016).

Berdasarkan pengamatan kelayakan dasar yang dilakukan dengan menggunakan

kuisioner penilaian dasar dengan 21 klausul, ditemukan 2 klausul yang belum memenuhi

standar, karena masih ditemukan penyimpangan pada klausul fasilitas toilet, yaitu

perlengkapan sanitasi toilet (sabun dan tissue) yang perlu diadakan dan klausul fasilitas

sanitasi (hand dryer) yang perlu diadakan.

Kesimpulan. Alur proses pengolahan udang Vannamei masak beku dari UPI berjumlah

21 tahapan, dengan penerapan rantai dingin pada setiap tahapan. Nilai organoleptik bahan

baku adalah 8 dan nilai organoleptik produk akhir adalah 8. Semua hasil pengujian mikrobiologi terhadap bahan baku sudah sesuai dengan standar, dan hasil pengujian kimia

antibiotik terhadap bahan baku hasilnya adalah tidak terdeteksi kandungan antibiotik di

dalam daging udang. Nilai rata-rata perhitungan rendemen pada proses pemotongan

kepala adalah 69,31%, pengupasan 82,56% dan pemasakan 86,38%. Selain itu, Penerapan kelayakan dasar sudah cukup baik namun ada dua yang belum memenuhi

syarat yaitu perlengkapan sanitasi toilet (sabun dan tissue) dan klausul fasilitas sanitasi

(hand dryer) yang perlu diadakan. .

Page 231: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

219 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Daftar Pustaka

Adawyah, R. (2007). Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Azizah, L. H. (2015). Analisis Kemunduran Mutu Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Secara Kimiawi dan Mikrobiologis. Institut Pertanian Bogor.

Badan Pengawas Obat dan Makanan. Peraturan Kepala Badan pengawas obat dan makanan

republik indonesia tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia

dalam Makanan, Pub. L. No. Nomor HK.00.06.1.52.4011 (2009). Jakaarta: BPOM.

Badan Standardisasi Nasional. Cara uji fisika – Bagian 2: Penentuan suhu pusat pada produk perikanan., Pub. L. No. SNI 01-2372.1-2006 (2006). Jakarta: BSN.

Badan Standardisasi Nasional. Spesifikasi Udang Segar Segar, Pub. L. No. SNI 01-2728.1-

2006 (2006). Indonesia: BSN.

Badan Standardisasi Nasional. Cara uji mikrobiologi Bagian 1 : Penentuan Coliform dan Escherichia coli pada produk perikanan, Pub. L. No. SNI 01-2332.1-2015 (2015).

Indonesia: BSN.

Badan Standardisasi Nasional. Cara Uji Mikrobiologi Bagian 2: Penentuan Salmonella pada

Produk Perikanan, Pub. L. No. SNI 01-2332.2-2015 (2015). Indonesia. Badan Standardisasi Nasional. Cara Uji Mikrobiologi Bagian 3: Penentuan Angka Lempeng

Total (ALT) pada Produk Perikanan, Pub. L. No. SNI 01-2332.3-2015 (2015).

Indonesia: BSN.

Badan Standarisasi Nasional. Cara uji mikrobiologi-Bagian 5: Penentuan vibrio cholerae

pada produk perikanan, Pub. L. No. SNI 01-2332.4-2006 (2006). Indonesia: BSN. Badan Standarisasi Nasional. Udang masak beku, Pub. L. No. SNI 3458:2016 (2016). BSN.

Badrin, T. A., Patajai, A. B., & Wirayatno, S. (2019). Studi perubahan Biokimia dan

Mikrobial Udang Vanname (litopenaceus vannamei} selama proses rantai dingin di

Perusahaan Graha Makmur Cipta Pratama, Kabupaten Konawe, 2(1), 59–68. Bimantara, A. P., & Triastuti, R. J. (2018). Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)

pada Pabrik Pembekuan Cumi-Cumi (Loligo Vulgaris) di PT. Starfood Lamongan, Jawa

Timur. Journal of Marine and Coastal Science, 7(3), 111–119.

BRC Global Standard. (2018). Global Standard for Food Safety. BRC Global Standard. London EC3R 6DP. https://doi.org/10.1002/9781118373828

E. Afrianto, & E. Liviawati. (2010). Penanganan Ikan Segar. Bandung: Widya Pajajaran.

Fellowus. (2000). Food Processing Technology Principle and Practice. England: Ellis

Horward. Limited Sussex. Food and Drug Administration. (2019). Fish and Fishery Product Hazard and Control

Guidance. Florida Sea Grant IFAS - Extension Bookstore University of Florida P.O. Box

110011 32611-0011 (800) 226-1764 (fourth edi). Florida Sea Grant: Department Of

Health and Human Services, Public Health Service, Food and Drug Administration,

Center For Food Safety and Applied Nutrition, Office Of Food Safety. Halimah, R. W., & Adiwijaya. (2006). Udang Vannamei. Jakarta: Penebar Swadaya.

Hanidah, I.-I., Mulyono, A. T., Andoyo, R., Mardawati, E., & Huda, S. (2018). Penerapan

Good Manufacturing Practices Ebagai Upaya Peningkatan Kualitas Produk Olahan

Pesisir Eretan - Indramayu. Agricore: Jurnal Agribisnis Dan Sosial Ekonomi Pertanian, 3(1), 359–426.

Irianto, H. E., & Giyatmi, S. (2015). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas

Terbuka, Tangerang Selatan (Vol. 2). Jakarta.

Irwandaru, D., & Wahyujati. (2012). Peningkatan Daya Saing Produk Lokal dalam Upaya Standarisasi Memasuki Pasar Global. Universitas Gunadarma. Jakarta.

Junianto. (2003). Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Kementrian Kelautan dan Perikanan. Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan

tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Kemanan Hasil Perikanan pada Proses

Produksi, pengolahan dan Distribusi, Pub. L. No. Nomor 52A/KEPMEN-KP/2013

Page 232: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

220 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

(2013). Jakarta.

Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higienitas serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan

yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Blanakan, Subang. Institut Pertanian

Bogor. Masengi, S., Roiska, R., & Sipahutar, Y. H. (2017). Penetapan dan Pengendalian Critical

Control Point (CCP) pada Pengolahan Sotong (Sepia sp) Utuh Beku (Frozen Whole

Clean Cuttlefish) di PT. Yasuriang Samudera Rezeki, Medan Belawan-Sumatera Utara.

Jurnal Teknologi Dan Penelitian Terapan STP, 20(2), 109–122. Masengi, S., Sipahutar, Y. H., & Rahadian, T. (2016). Penerapan Sistem Ketertelusuran

(Traceability) pada Pengolahan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Kupas

Mentah Beku (Peeled and Deveined) di PT Dua Putra Makmur, Pati, Jawa Tengah.

Jurnal STP(Teknnologi Dan Penelitian Terapan), (1), 201–210. Masengi, S., Sipahutar, Y. H., & Sitorus, A. C. (2018). Penerapan Sistem Ketertulusuran

(Traceability) Pada Produk Udang Vannamei Breaded Beku (Frozen Breaded Shrimp)

di PT. Red Ribbon Jakarta. Jurnal Kelautan Dan Perikanan Terapan, 1(1), 46–54.

Montanari, R. (2008). Cold chain tracking a managerial perspective. Trends in Food Science

& Technology 19, 425–435. Muchtadi, T. (2013). Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung: Alfabeta.

Murniyati, & Sunarman. (2000). Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan.

Yogyakarta: Kanisius.

Nuryani., A. G. B. (2006). Pengendalian Mutu Penanganan Udang Beku dengan Konsep Hazard Analysis Critical Control Point. Universitas Diponegoro.

Pratama, R. I., Afrianto, E., & Rostini, I. (2017). Pengantar Sanitasi Industri Pengolahan

Pangan. Publisher:Yogyakarta.

Purwaningsih, S. (2000). Teknologi Pembekuan Udang. Jakarta: Penebar Swadaya. Putra, P. D. (2011). Peran Dokumen-Dokumen Penunjang dalam Proses Pengiriman Barang

melalui Ekspor Udara. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Saparinto, C., & Diana. (2006). Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius.

Sipahutar, Y. H., Masengi, S., & Wenang, V. (2017). Kajian Penerapan Good Manufacturing Practices dan Sanitation Standard Operation Procedure pada Produk Pindang Air

Garam Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis) dalam Upaya Meningkatkan Keamanan

Pangan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Prosiding Simposium Nasional Ikan Dan

Perikanan, 1063–1075.

Sipahutar, Y. H., Ramli, H. K., Kristiani, M. G. E., & Prabowo, G. (2019). Quality of consumer on vannamei shrimp (Litopenaeus vannamei) from intensive addition and

traditonal pond Bulukumba District, South Sulawesi. Prosiding Simposium Nasional

Kelautan Dan Perikanan VI Universitas Hasanuddin, 359–366.

Sipahutar, Y. H., Suryanto, M. R., Ramli, H. K., Pratama, R. B., & Panjaitan, T. F. (2020). Organoleptic quality of whiteleg shrimp ( Litopenaeus vannamei ) cultivated from

intensive and traditional pond at Bulukumba District , South Sulawesi Organoleptic

quality of whiteleg shrimp ( litopenaeus vannamei ) cultivated from intensive and

tradition. In The 3rd International Symposium Marine and Fisheries (ISMF) 2020. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 564 (2020) 012040 IOP.

https://doi.org/10.1088/1755-1315/564/1/012040

Sutresni, N., Mahendra, M. S., & Aryanta, I. W. R. (2016). Penerapan Hazard Analysis

Critical Control Point (HACCP) Pada Proses Pengolahan Produk Ikan Tuna Beku Di Unit

Pengolahan Ikan Pelabuhan Benoa - Bali. ECOTROPHIC : Jurnal Ilmu Lingkungan (Journal of Environmental Science), 10(1), 41–45.

https://doi.org/10.24843/ejes.2016.v10.i01.p07

Tasbih, M. (2017). Proses Pengolahan Udang Beku (Frozen Shrimp) Peeled and Deveined

(PD) dengan Metoda Pembekuan Individually Quick Frozen (IQF) Pada PT Dua Putra Utama Makmur TBK, Pati, Jawa Tengah. Repositori Uninersitas Jambi, 1–11.

Page 233: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

221 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Thaheer, H. (2005). Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control). Jakarta:

Bumi Aksara.

Ujianti, R. M. D. (2017). Produksi Bersih Pada Industri Pangan Berbasis Perikanan (Cleaner

Production in Food Fisheries Industrial). Jurnal Ilmu Pangan Dan Hasil Pertanian, 1(1), 28–36. https://doi.org/10.26877/jiphp.v1i1.1383

Umbas, A. P., Hutabarat, J., & Agustini, T. W. (2012). Evaluasi Implementasi Kebijakan

Program Pengendalian Mutu dan Kemanan Hasil Perikanan Budidaya Udang. In

Seminar Nasional ke II ; Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Semarang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.

Winarno, F. G. (2011). Good Manufacturing Practices (GMP). Bogor: M-Brio Press.

Winarno, F., & Surono. (2012). HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. Bogor:

M Brio Press. Wulandari, D. A., Abida, I. W., & Farid, A. (2009). Kualitas Mutu Bahan Mentah dan Produk

Akhir pada Unit Pengalengan Ikan Sardine di PT. Karya Manunggal Prima Sukses

Muncar Banyuwangi. Jurnal Kelautan, 2(1), 40–49.

Page 234: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

222 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Substitusi Tepung Ikan Teri Hitam (Stolephorus insularis) Terhadap Kandungan Gizi dan Karakteristik Kerupuk Pangsit Aysha Dini Anjani1, Apri Dwi Anggo2 dan Fronthea Swastawati3

1,2,3)Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Diponegoro, Semarang, 50275, Indonesia.

(Email correspondensi: [email protected])

Abstrak - Kerupuk pangsit digemari karena rasanya yang gurih dan sebagai pelengkap mie maupun sebagai cemilan. Namun, kerupuk pangsit umumnya memiliki protein dan kalsium yang rendah.

Substitusi tepung ikan teri diharapkan mampu meningkatkan kandungan gizi kerupuk pangsit. Tujuan penelitian adalah mengetahui kandungan gizi dan karakteristik kerupuk pangsit dengan substitusi

tepung ikan teri hitam (Stolephorus insularis). Materi utama yang digunakan adalah ikan teri hitam

(Stolephorus insularis). Peralatan uji yang digunakan diantara adalah Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), texture analizer, peralatan uji proksimat serta glassware. Penelitian ini

bersifat experimental laboratories model Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan perbandingan berat tepung terigu dan tepung ikan teri (b:b) yaitu 200:0g; 180:20g; 170:30g; dan 160:40g serta 3

kali pengulangan. Data parametrik (kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar kalsium, kadar timbal

dan kerenyahan) dianalisa menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan Beda Nyata Jujur (BNJ), sedangkan data non parametrik (hedonik) menggunakan uji Kruskal Wallis. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perbedaan substitusi tepung ikan teri memberikan pengaruh nyata (P<5%)

terhadap kadar air, kadar protein, kadar lemak dan kadar kalsium, serta tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar timbal dan tingkat kerenyahan tidak memberi pengaruh nyata pada perlakuan

180:20g dan 170:30g. Hasil uji hedonik kerupuk pangsit yang paling disukai adalah perlakuan 180:20g dengan selang kepercayaan 8,613≤µ≤8,671. Kandungan gizi kerupuk pangsit terbaik yaitu perlakuan

160:40g karena memiliki rata-rata kadar protein tertinggi yaitu 17,55% (bk) dan kadar kalsium 267,20

mg/100g (bk). Kata Kunci: Ikan Teri, Tepung Ikan, Kerupuk Pangsit, Nutrisi, Kalsium, Kerenyahan

Abstract - Dumpling crackers are popular because of their delicious taste and as a complement to

noodles and a snack. However, dumpling crackers generally have low protein and calcium. The

substitution of anchovy flour is expected to increase the nutritional content of dumpling crackers. The research objective was to determine the nutritional content and characteristics of dumpling crackers

with substitution of black anchovy (Stolephorus insularis) flour. The main material is black anchovy

(Stolephorus insularis). The test equipment used includes Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), texture analyzer, proximate test equipment and glassware. This research is an experimental laboratory

model with a completely randomized design with the comparison of the weight of wheat flour and anchov flour (b: b) is 200:0g; 180:20g; 170:30g; 160:40g and 3 repetitions. Parametric data (water,

protein, fat, calcium, lead content and crispness) were analyzed using analysis of variance (ANOVA)

and Honest Significant Difference (HSD), while non-parametric data (hedonic) used the Kruskal Wallis test. The results showed that the differences in the substitution of anchovy flour had a significant effect

(P <5%) on water, protein, fat and calcium content, and did not have a significant effect on lead content and crunchiness had no significant effect on treatment 180: 20g and 170: 30g. The most preferred

dumpling cracker hedonic test result was 180: 20g treatment with a confidence interval of

8.613≤µ≤8.671. The best nutritional content of dumpling crackers is treatment 160: 40g because it has the highest average protein content of 17.55% (dw) and calcium levels of 267.20 mg / 100g (dw).

Keywords: Anchovy, Fish Flour, Dumpling Crackers, Nutrition, Calcium, Crispness

Pendahuluan. Ikan teri hitam (Stolephorus insularis) merupakan ikan pelagis kecil

yang menjadi salah satu potensi sumber daya ikan laut. Volume perikanan tangkap laut di

Indonesia tahun 2017 yaitu 6,6 ton. Volume produksi ikan teri tahun 2016 yaitu 210.6 ton

dan mengalami peningkatan di tahun 2017 yaitu 247.7 ton (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2017). Ikan teri merupakan lauk mina tinggi protein, seluruh badannya dapat

dikonsumsi sehingga memungkinkan penyerapan zat gizi yang maksimal. Kandungan

protein yang tinggi pada ikan teri menjadikan ikan teri sebagai sumber nutrisi yang baik

untuk dikonsumsi.

Page 235: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

223 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Salah satu hasil pengolahan ikan teri hitam yaitu tepung ikan teri. Tepung ikan teri

baik untuk dikonsumsi dan dapat sebagai alternatif bahan pangan tambahan atau substitusi

dalam pembuatan camilan. Salah satu camilan yang dapat dibuat dengan substitusi tepung

ikan teri yaitu kerupuk pangsit. Tepung ikan teri mengandung tinggi protein sebanyak 48,8 g per 100 g dan sebagai sumber kalsium dan besi. Nilai gizi yang terkandung dalam 100 g

ikan teri yaitu energi 77 kkal, protein 16 g, kalsium 500 mg, fosfor 500 mg, dan besi 1 mg

(Faroj, 2019). Ikan teri diolah menjadi tepung ikan teri untuk mempermudah dalam

mengkonsumsi dan mempermudah untuk disubstitusikan pada pengolahan makanan seperti kerupuk pangsit.

Menurut Kaswanto et al. (2019), kandungan gizi dalam 100 g kerupuk pangsit ialah

lemak 3,21 g, protein 3,3 g, karbohidrat 20,22 g, sodium 428 mg, dan kalium 62 mg.

Kerupuk pangsit digemari karena rasanya yang gurih dan sebagai pelengkap mie maupun sebagai camilan, namun kandungan gizi yang diperoleh dari penelitian sebelumnya

menunjukkan bahwa kerupuk pangsit memiliki kadar protein yang rendah. Makanan ringan

ekstrudat ini dapat ditingkatkan kandungan nilai gizi proteinnya dari sumber protein hewani

seperti tepung ikan teri, sehingga perlu dilakukan penelitian pembuatan kerupuk pangsit

dengan substitusi tepung ikan teri. Tepung ikan teri dapat dimanfaatkan sebagai substitusi pada pembuatan kerupuk pangsit sehingga diharapkan dapat meningkatkan asupan zat

gizi untuk dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui karakteristik dan kandungan gizi kerupuk pangsit dengan subtitusi tepung ikan

teri. Parameter yang diamati berupa kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar kalsium, kadar timbal, tingkat kerenyahan dan hedonik.

Metode Penelitian. Proses pembuatan tepung ikan teri mengacu pada prosedur

penelitian dari Rahmi et al. (2018). Ikan teri hitam segar dicuci bersih dan dilakukan

pemisahan antara kepala dan badan ikan serta pengeluaran isi perut. Ikan teri diletakkan pada loyang alumunium dan dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 80ºC selama 5

jam. Ikan teri yang telah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender. Ikan teri

yang telah hancur disaring menggunakan ayakan 80 mesh. Proses pembuatan kerupuk pangsit dilakukan mengacu pada prosedur penelitian

Kaswanto et al. (2019), yang dimodifikasi dengan perbandingan tepung terigu dan tepung

ikan teri yang berbeda. Adonan dicampurkan ke dalam baskom yang terdiri dari tepung

terigu, telur, garam, air, margarin yang telah dicairkan dan tepung ikan teri. Perbandingan

tepung terigu dan tepung ikan teri (b:b) yang digunakan yaitu 200:0g; 180:20g; 170:30g; dan 160:40g. Adonan diaduk hingga kalis. Adonan kemudian digiling menggunakan

penggiling hingga tipis dengan ketebalan sekitar 1-2 mm, dan dipotong dengan

membentuk persegi ukuran 5 cm x 5 cm. Adonan digoreng dengan minyak panas. Proses

penggorengan menggunakan suhu 170-180ºC dan memakan waktu 2-3 menit atau sampai

kerupuk pangsit berwarna kuning kecoklatan.

Bahan dan Peralatan. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan teri

hitam yang diperoleh dari Pasar Kobong, Semarang. Bahan tambahan lainnya yaitu tepung

terigu, telur, margarin, garam dan minyak goreng diperoleh dari Pasar Swalayan ADA,

Semarang. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gelas ukur, labu ukur (pyrex),

gelas beaker (pyrex), timbangan analitik (ohaus), oven listrik (binder), blender

(panasonic), saringan tepung, loyang, talenan, pisau, penggiling adonan (home line),

wajan, kompor.

Page 236: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

224 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Pengujian Kadar Air. Penentuan kadar air berdasarkan Badan Standarisasi Nasional

(2015) dengan menghilangkan molekul air melalui pemanasan menggunakan oven pada

suhu 105ºC selama 16-24 jam hingga diperolah berat kering konstan. Penentuan kadar air

dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Kadar Air (% bb) = 𝐁−𝐂

𝐁−𝐀 x 100%

Keterangan: A = berat cawan kosong (g)

B = berat cawan + sampel awal (g)

C = berat cawan + sampel kering (g)

Pengujian Kasar Protein. Analisis protein berdasarkan Badan Standarisasi Nasional

(2006) terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel diuji

menggunakan dan didestruksi pada suhu 410ºC selama kurang lebih 2 jam atau sampai

cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci dengan akuades 50 hingga 75 ml, kemudian air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi.

Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer. Destilasi dilakukan dengan

menambahkan 50 ml larutan NaOH 60% dan Na2S2O3 5% ke dalam alat destilasi hingga

tertampung 100-150 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang

pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti

sampel.

% N = 𝐦𝐥 𝐇𝐂𝐥 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡−𝐦𝐥 𝐇𝐂𝐥 𝐛𝐥𝐚𝐧𝐤𝐨 𝐱 𝐍 𝐇𝐂𝐥 𝐱 𝟏𝟒,𝟎𝟎𝟕

𝐠 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡 x 100%

Kadar Protein (% bb) = % N x 6,25 (FK)

Keterangan: N HCl = Normalitas HCl

14,007 = Berat atom nitrogen

% N = Kadar nitrogen total

N dalam protein sebesar 16% sehingga FK = 100/16 = 6,25

Pengujian Kadar Lemak. Pengujian kadar lemak dilakukan berdasarkan Badan

Standarisasi Nasional (2017). Prinsip penentuan kadar lemak ini adalah sampel dihidrolisis

dalam suasana asam untuk membebaskan lemak yang terikat dengan senyawa lain, kemudian diekstrak dengan pelarut organik dengan bantuan pemanasan. Metode yang

digunakan yaitu metode Soxhlet yang diawali dengan tahapan hidrolisis dan dilanjutkan

tahap ekstrasi menggunakan ekstraktor Soxhlet konvensional. Selongsong lemak

dimasukkan ke dalam ekstraktor Soxhlet. Ekstraksi dilakukan dengan siklus ekstraksi sekitar 5 menit/siklus selama 3-4 jam. Penentuan kadar lemak dihitung dengan rumus

sebagai berikut.

% Lemak total = (𝐂−𝐁)

𝐀 x 100%

Page 237: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

225 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Keterangan:

A = berat sampel (g)

B = berat labu alas bulat atau erlenmeyer atau cawan alumunium kosong (g)

C = berat labu alas bulat kosong dan lemak hasil ekstraksi (g)

Pengujian Kadar Kalsium. Pengujian kadar kalsium dilakuakn menurut AOAC (2000).

Sampel dilarutkan dalam asam ditambahkan dengan Lanthanum Oksida untuk mencegah

terbentuknya ion selain Ca pada saat penetapan dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Pembacaan sampel dengan alat AAS dengan

panjang gelombang 422,7 nm. Penentuan kadar kalsium dihitung dengan rumus sebagai

berikut.

% Ca = 𝐊 𝐱 𝐎 𝐱 𝐅

𝐖 𝐱 𝐀 𝐱 𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎

Keterangan:

K = Konsentrasi hasil pembacaan titrasi O = Pengenceran indukan (1 ml)

F = Pengenceran final untuk pembacaan (250 ml)

W = Berat sampel

A = Larutan yang diambil untuk diencerkan (25 ml)

Pengujian Kadar Timbal. Pengujian kadar timbal Badan menggunakan metode sesuai

Standarisasi Nasional (2011). Terdapat tiga tahap yaitu pengabuan kering, detruksi basah

dengan microwave dan pembacaan kurva kalibrasi dan sampel pada AAS. Sampel 5 g disiapkan dalam cawan porselen. Kontrol positif Pb dibuat. Spiked diuapkan di atas hot

plate pada suhu 100°C hingga kering. Sampel dan spiked dimasukkan ke dalam tungku

pengabuan dengan suhu tungku pengabuan dinaikkan secara bertahap 100°C setiap 30

menit hingga mencapai 450°C dan pertahankan selama 18 jam. Sampel dan spiked

dikeluarkan dari tungku pengabuan dan dinginkan pada suhu kamar. Setelah dingin, ditambahkan 1 ml HNO3 65% dan digoyangkan. Selanjutnya diuapkan diatas hot plate pada

suhu 100°C hingga kering. Setelah kering, sampel dan spiked dimasukkan kembali ke

dalam tungku pengabuan selama 3 jam. Setelah abu terbentuk sempurna berwarna putih,

dinginkan sampel dan spiked pada suhu ruang. 5 ml HCl 6 M ditambahkan kedalam masing-masing sampel dan spiked, kemudian digoyangkan secara hati-hati sehingga semua abu

larut dalam asam. Setelah itu, diuapkan di atas hot plate pada suhu 100°C sampai kering.

10 ml HNO3 0,1 M ditambahkan dan didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam, larutan

dipindahkan ke dalam labu takar polypropylene 50 ml dan ditambahkan larutan matrik modifier, larutan ditepatkan hingga tanda batas dengan menggunakan HNO3 0,1 M.

Destruksi basah menggunakan microwave yaitu sampel kering ditimbang sebanyak 0,2

g – 0,5 g ke dalam tabung sampel (vessel). Larutan standar Pb dan Cd 1 mg/l sebanyak

0,2 ml ditambahkan ke dalam masing-masing sampel kemudian divortex sebagai kontrol positif (spiked 0,1 mg/kg). HNO3 65 % ditambahkan 5 ml – 10 ml dan 2 ml H2O2 secara

berurutan. Destruksi dilakukan dengan mengatur program microwave. Hasil destruksi

dipindahkan ke labu takar 50 ml dan tambahkan larutan matrik modifier serta ditepatkan

sampai tanda batas. Larutan standar kerja Pb dan Cd disiapkan masing – masing minimal

lima titik konsentrasi. Larutan standar kerja, sampel dan spiked dibaca pada alat spektrofotometer serapan atom graphite furnace pada panjang gelombang 283,3 nm untuk

Pb dan 228,8 nm untuk Cd. Penentuan kadar timbal dihitung dengan rumus sebagai

berikut.

Page 238: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

226 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Konsentrasi Pb mg/g = (𝐃−𝐄) 𝒙 𝑭𝒑 𝒙 𝑽

𝐖

Keterangan:

D = konsentrasi sampel mg/l dari hasil pembacaan AAS

E = konsentrasi blanko sampel mg/l dari hasil pembacaan AAS Fp = faktor pengenceran

V = volume akhir larutan sampel yang disiapkan (ml), harus diubah ke dalam satuan liter.

W = berat sampel (g)

Pengujian Tingkat Kerenyahan. Kerenyahan diuji dengan menggunakan texture

analyzer model TA TX dengan menggunakan probe yang berbentuk sperichal ball probe.

Pengukuran dilakukan dengan memberikan gaya tekan pada sampel sehingga

menghasilkan suatu kurva yang menunjukkan profil tekstur sampel. Kekerasan dinyatakan

dari maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan atau kompresi pertama dengan satuan gram force (gf). Sesuai dengan Harahap et al. (2018), bahwa kerenyahan diuji berdasarkan

tingkat kemudahan patah suatu bahan pangan.

Pengujian Hedonik. Pengujian hedonik berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (2006) merupakan cara pengujian dengan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu

produk perikanan yang sudah mengalami proses pengolahan. Metode uji hedonik adalah

menentukan tingkatan mutu berdasarkan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan

angka 9 (sembilan) yaitu 1= amat sangat tidak suka, 2= sangat tidak suka, 3= tidak suka, 4= agak tidak suka, 5= netral, 6= agak suka, 7= suka, 8= sangat suka, 9= amat sangat

suka. Adapun atribut-atribut yang dinilai meliputi warna, rasa, aroma, tekstur. Pengujian

ini melibatkan 30 peserta yang terdiri dari konsumen terhadap produk yang akan diuji

berdasarkan scoresheet yang telah disediakan.

Analisis Data. Percobaan dikerjakan menggunakan pola Rancangan Acak Lengkap.

Perlakuan yang diberikan adalah substitusi tepung ikan teri hitam pada tepung terigu

selama pembuatan kerupuk pangsit. Data parametrik dianalisa menggunakan analisis sidik

ragam (ANOVA) dan Beda Nyata Jujur (BNJ), sedangkan data non parametrik (hedonik) menggunakan uji Kruskal Wallis.

Hasil dan Pembahasan. Hasil analisis kerupuk pangsit dapat dirincikan melalui tabel

berikut ini.

Tabel 1. Hasil Analisis Kerupuk Pangsit

Parameter Perlakuan (g)

200:0 180:20 170:30 160:40

Kadar Air (%) 3,01±0,06c 2,79±0,16c 2,41±0,14b 2,00±0,28a

Kadar Protein (%) 7,87±0,03a 10,78±0,21b 14,53±0,04c 17,55±0,05d Kadar Lemak (%) 33,92±0,06a 34,34±0,06b 34,83±0,06c 35,05±0,03d

Kadar Kalsium

(mg/100g) 47,43±0,65a 105,47±0,86b 204,20±1,20c

267,20±1,83d

Kadar Timbal

(mg/kg) 0,34±0,44a 0,76±0,18a 0,30±0,47a

0,44±0,15a

Tingkat Kerenyahan (gf)

613,19±142,72b 422,71±91,93ab 405,73±64,10ab 322,94±104,81a

Keterangan - Data merupakan rata-rata dari tiga kali ulangan dengan konsentrasi tepung ikan teri yang berbeda ± SD

- Data proksimat dihitung berdasarkan berat basah (bb)

Page 239: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

227 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Kadar Air. Hasil pengujian kadar air kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai

tersebut menunjukkan bahwa kadar air semakin rendah dengan bertambahnya konsentrasi

tepung ikan teri yang ditambahkan pada kerupuk pangsit. Kadar air kerupuk pangsit yang

dihasilkan memenuhi standar kadar air makanan ekstrudat yang ditetapkan oleh BSN (2015) yaitu maksimal 4%.

Kadar air pada makanan ringan ekstrudat seperti kerupuk pangsit berhubungan

dengan rasio tepung ikan teri yang ditambahkan. Adanya penurunan kadar air pada

kerupuk pangsit disebabkan oleh adanya penambahan tepung ikan teri pada setiap perlakuannya. Semakin tinggi konsentrasi protein maka jumlah air yang terikat juga

semakin meningkat, namun saat proses penggorengan protein tepung ikan mengalami

denaturasi sehingga kemampuan protein untuk menahan air berkurang. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Aryani et al. (2018), semakin banyak tepung ikan sepat yang ditambahkan maka kadar air akan semakin menurun, hal tersebut disebabkan

karena protein pada tepung ikan sepat terdenaturasi pada saat proses pengukusan dan

penyangraian, sehingga kemampuan protein untuk menahan air berkurang.

Kadar Protein. Kadar protein kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel 1. Perlakuan substitusi tepung ikan teri hitam mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya

konsentrasi, ditunjukkan dengan peningkatan maksimal tepung ikan teri pada perlakuan

160:40g dengan nilai sebesar 17,55%. Semakin tinggi konsentrasi tepung ikan teri yang

ditambahkan, semakin tinggi kadar protein kerupuk pangsit. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Saputra et al. (2016), adanya peningkatan konsentrasi tepung

ikan motan pada setiap perlakuan maka semakin banyak tepung ikan yang ditambahakan

menghasilkan semakin bertambah

banyak kadar protein pada kerupuk pangsit. Kerupuk pangsit kontrol memiliki kadar protein lebih rendah karena tidak disubstitusi

dengan tepung ikan teri. Selain itu, kerupuk pangsit yang merupakan salah satu makanan

ringan ekstrudat dibuat dengan bahan baku yang memiliki kandungan pati cukup tinggi

dan memiliki kandungan protein yang rendah, sehingga dengan penambahan tepung ikan teri dapat meningkatkan kandungan protein pada kerupuk pangsit. Sesuai dengan

penelitian Ramadhan et al. (2019), peningkatan kandungan protein dikarenakan

kandungan protein tepung ikan teri sebesar 48,8 g/100 g yang lebih tinggi dibandingkan

pada tepung terigu sebesar 9 g/100 g.

Kadar Lemak. Kadar lemak pada kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar lemak

tertinggi terdapat pada kerupuk pangsit dengan perlakuan 160:40g yaitu sebesar 35,05%.

Hasil ini sesuai dengan kadar lemak makanan ringan ekstrudat ditetapkan oleh BSN (2015),

yaitu maksimal 38%. Kadar lemak kerupuk pangsit tanpa substitusi tepung ikan teri sebesar 33,92%. Kadar lemak kerupuk pangsit yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh

minyak goreng yang digunakan. Namun, kadar lemak kerupuk pangsit juga dapat

dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan seperti margarin dan telur. Menurut

Kaswanto et al. (2019), komposisi kimia yang terkandung pada produk tergantung dari bahan baku yang digunakan. Kadar lemak pada kerupuk pangsit berasal dari bahan baku

yang banyak mengandung lemak seperti telur, margarin, dan minyak yang terserap saat

proses penggorengan

Kadar lemak kerupuk pangsit tanpa substitusi tepung ikan teri sebesar 33,92%. Hal

ini dikarenakan kandungan lemak pada ikan teri yang lebih tinggi daripada tepung terigu. Namun, selisih rata-rata perlakuan 180:20g dan 170:30g hanya sebesar 0,49%. Hal ini

dikarenakan ikan teri juga termasuk dalam golongan ikan berdaging yang mengandung

lemak yang rendah tetapi proteinnya tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Ramadhan et al. (2019), peningkatan kandungan lemak terjadi karena kandungan lemak pada tepung ikan teri sebesar 6,40 g/100 g lebih tinggi daripada tepung terigu sebesar

Page 240: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

228 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

1,30 g/100 g. Ikan teri termasuk ke dalam golongan ikan berdaging putih yang kandungan

proteinnya tinggi tetapi lemaknya lebih rendah karena rendahnya kandungan mioglobin

dibandingkan ikan berdaging merah.

Kadar Kalsium. Kerupuk pangsit dengan substitusi tepung ikan teri memiliki kadar

kalsium lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk pangsit tanpa substitusi tepung ikan

teri. Hal ini dikarenakan ikan teri menjadi salah satu sumber kalsium, selain protein. Salah

satu bahan baku yang dapat ditambahkan untuk meningkatkan nilai gizi kerupuk pangsit adalah ikan teri. Menurut Asyik et al. (2018), ikan teri tidak hanya sebagai sumber protein,

tetapi juga sebagai sumber kalsium. Kandungan kalsium pada ikan teri lebih tinggi daripada

susu, yaitu 972 mg/100g.

Sumber kalsium dapat berasal dari hewan dan tumbuhan. Selain susu, kalsium juga dapat berasal dari ikan. Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan teri dapat menjadi

suatu bentuk alternatif bahan pangan. Tepung ikan teri mengandung zat gizi yang cukup

lengkap seperti lemak, protein, dan kalsium. AKG untuk kebutuhan kalsium bagi remaja

usia 13-19 tahun sebesar 1000 mg per hari. Konsumsi kalsium dianjurkan 800 mg per hari

menurut angka kecukupan gizi (AKG), sehingga diperlukan sekitar 300 mg per hari kerupuk pangsit dengan perlakuan 160:40g untuk memenuhi kebutuhan akan kalsium pada masa

dewasa. Menurut Ramayulis et al. (2011), konsumsi kalsium rata-rata di Indonesia hanya

254 mg per hari dari 800 mg per hari menurut angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan

tahun 2004. Penelitian di Israel menunjukkan bahwa rata-rata total asupan kalsium per hari orang Amerika adalah 692 mg dan rata-rata asupan kalsium orang Kanada di bawah

1.000 mg per hari.

Kadar Timbal. Rata-rata tertinggi hasil kadar timbal pada kerupuk pangsit yaitu 0,76 mg/kg pada kerupuk pangsit konsentrasi 10%. Hasil ini melebihi standar makanan ringan

ekstrudat yang telah ditetapkan, namun konsentrasi Pb yang dapat menyebabkan gejala

keracunan pada orang dewasa dengan konsentrasi 8-12 mg/kg sehingga aman untuk

dikonsumsi. Menurut Ruchiyat (2016), timbal (Pb) yang masuk ke dalam tubuh akan mengganggu kesehatan antara lain menurunnya nilai intelektual dan menghambat

pembentukan sel darah merah pada tubuh. Konsentrasi Pb yang dapat menyebabkan

gejala keracunan adalah pada konsentrasi 80-120 μg/100ml darah pada orang dewasa.

Kadar timbal pada kerupuk pangsit tidak terdapat perbedaan dikarenakan tidak ada

yang mempengaruhi serta menggunakan minyak goreng dan wajan penggoreng yang sama. Timbal dapat bersumber dari peralatan dapur, khususnya yang digunakan untuk

memasak dan menyajikan makanan. Proses pembuatan kerupuk pangsit juga

menggunakan air dalam adonannya. Air minum yang disalurkan lewat pipa air yang korosif

akan tinggi kandungan timbal yang terlarut dalam air tersebut. Menurut Gusnita (2012), logam Pb banyak digunakan sebagai bahan pengemas, saluran air, alat-alat rumah tangga

dan hiasan. Sumber timbal dapat berasal dari pipa air yang korosif. Manusia menyerap

timbal melalui udara, debu, air dan makanan.

Tingkat Kerenyahan. Nilai rata-rata tingkat kerenyahan kerupuk pangsit berdasarkan

hasil pengujian yang diperoleh meningkat pada perlakuan 160:40g sebesar 322,94 gf.

Kerupuk pangsit perlakuan 200:0g atau tanpa substitusi tepung ikan teri memiliki rata-

rata sebesar 613,19 gf. Semakin tinggi konsentrasi tepung ikan teri yang disubstitusikan,

maka kerupuk pangsit semakin renyah dan menurunkan gaya yang dibutuhkan untuk mematahkan pangsit (pangsit akan semakin mudah patah). Hal ini sejalan dengan hasil

kadar air kerupuk pangsit yang dihasilkan semakin rendah dengan bertambahnya

substitusi tepung ikan teri hitam karena semakin banyak air yang keluar dari bahan maka

semakin banyak ruang kosong yang terdapat dalam jaringan sehingga pada saat kerupuk pangsit digoreng teksturnya menjadi lebih renyah. Menurut Harahap et al. (2018), ketika

Page 241: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

229 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

tepung digoreng, maka molekul air akan menguap sehingga kadar air akan menurun dan

membentuk pori-pori pada bahan pangan tersebut. Semakin banyak pori-pori yang

terbentuk, maka tingkat kerenyahan semakin tinggi dan kekerasan menurun. Pori-pori

dalam bahan pangan mempunyai peranan penting dalam kerenyahan dan tekstur snack. Kadar protein berperan dalam membuat produk lebih renyah. Hal ini sejalan dengan

hasil kadar protein kerupuk pangsit yang semakin tinggi dengan bertambahnya substitusi

tepung ikan teri hitam. Saat proses penggorengan kerupuk pangsit, protein mengalami

denaturasi dan kehilangan kemampuan mengikat air. Kandungan protein yang tinggi membantu kekuatan ikatan antara amilopektin yang terdegradasi atau terpecah dan

membentuk pengembangan produk yang mengakibatkan produk menjadi renyah. Hal ini

sejalan dengan penelitian Amalia dan Kusharto (2013), flakes kontrol memiliki tekstur yang

kurang renyah dibandingkan flakes dengan penambahan tepung ikan lele 33%. Protein dapat meningkatkan kemampuan gelasi sehingga dapat membentuk fleksibilitas atau

kemampuan protein untuk terdenaturasi dan membentuk jaringan dengan ikatan silang.

Hal ini dapat menjelaskan tekstur flakes yang semakin renyah ketika ditambahkan tepung

ikan lele dengan kandungan protein yang tinggi.

Tingkat Penerimaan Panelis. Tingkat penerimaan panelis terhadap kerupuk pangsit dan

dirincikan melalui tabel berikut.

Tabel 2. Tingkat Penerimaan Panelis Terhadap Kerupuk Pangsit

Spesifikasi Perlakuan (g)

200:0 180:20 170:30 160:40

Warna 8,37±0,49a 8,67±0,48b 7,73±0,49c 7,63±0,45c

Aroma 8,37±0,49a 8,63±0,49b 8,23±0,43a 8,03±0,49a

Rasa 8,43±0,50a 8,73±0,45b 7,90±0,71c 7,47±0,51d

Tekstur 8,47±0,51a 8,53±0,51a 8,67±0,48a 8,40±0,50a

Rata-rata 8,41±0,50a 8,64±0,48b 8,11±0,53c 7,91±0,49c Keterangan:

- Data merupakan hasil dari rata-rata nilai hedonik 30 panelis ± standar deviasi - Data yang diikuti tanda huruf kecil berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata

(P < 5%)

Warna. Substitusi tepung ikan teri pada kerupuk pangsit dengan perlakuan 200:0g,

180:20g, 170:30g, 160:40g ditunjukkan pada Tabel 2. Kerupuk pangsit dengan perlakuan

180:20g memiliki warna yang tidak gelap yaitu kuning keemasan. Substitusi tepung ikan

teri pada kerupuk pangsit dapat mempengaruhi warna kerupuk pangsit dari segi warna. Warna kerupuk pangsit dengan perlakuan 160:40g menunjukkan warna kuning kecoklatan

gelap sehingga kurang disukai oleh panelis. Semakin tinggi konsentrasi tepung ikan teri,

warna kerupuk pangsit saat sebelum maupun sesudah digoreng. Hal ini sejalan dengan

penelitian Yuliani et al. (2018), peningkatan substitusi tepung tulang ikan gabus memberikan kenaikan kadar kalsium dan protein kerupuk yang memberikan efek pada

menurunnya kecerahan warna kerupuk. Hal ini juga diperkuat oleh Evawati (2010),

penambahan tepung sumber kalsium seperti tepung kerang memberikan warna gelap pada

produk kerupuk. Perubahan warna kerupuk pangsit dapat terjadi karena proses reaksi Maillard pada

saat penggorengan. Terjadinya reaksi asam amino dengan gula pereduksi selama

penggorengan akan menyebabkan terjadinya reaksi Maillard yang menyebabkan berwarna

kuning kecoklatan pada kerupuk pangsit. Reaksi Maillard tersebut terjadi karena adanya

asam amino yang berasal dari protein yang terdenaturasi selama proses pengolahan. Kerupuk pangsit dengan kandungan protein yang besar akan mempengaruhi warna dari

kerupuk pangsit, karena pada proses penggorengan akan terjadi reaksi Maillard. Hal ini

sejalan dengan penelitian Lund dan Ray (2017), bahwa fungsi protein dalam makanan

Page 242: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

230 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

dapat dipengaruhi oleh reaksi Maillard, karena saat makanan diproses atau dimasak pada

suhu tinggi, reaksi kimia terjadi antara asam amino dan gula pereduksi yang menghasilkan

rasa dan warna coklat yang berbeda. Reaksi Maillard mempengaruhi beberapa parameter

kualitas makanan, termasuk sifat organoleptik, warna, dan fungsi protein.

Aroma. Aroma merupakan suatu respon ketika rangsangan kimia dari suatu makanan

masuk ke rongga hidung dan dirasakan oleh indera penciuman. Hasil analisis statistik

terhadap aroma kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel 2. Kerupuk pangsit dengan perlakuan 170:30g dan 160:40g menghasilkan aroma amis yang menyengat. Substitusi

tepung ikan teri dengan konsentrasi tinggi akan menutupi aroma dari kerupuk pangsit.

Menurut Rahmawati dan Rustanti (2013), aroma dari suatu produk terdeteksi ketika zat

yang mudah menguap (volatil) dari produk tersebut terhirup dan diterima oleh sistem penciuman. Aroma amis merupakan aroma khas pada ikan yang disebabkan oleh

komponen nitrogen yaitu guanidin, trimetil amin oksida (TMAO), dan turunan imidazol.

Rasa. Hasil analisis statistik terhadap rasa kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel 2.

Rata-rata terendah pada spesifikasi rasa yaitu pada perlakuan 160:40g. Hal ini dikarenakan kerupuk pangsit memiliki rasa yang semakin asin. Rata-rata tertinggi pada spesifikasi rasa

yaitu pada perlakuan 180:20g dengan nilai 8,73. Hal ini dikarenakan kerupuk pangsit

dengan perlakuan 180:20g memiliki rasa yang tidak terlalu asin. Hal ini sejalan dengan

Ghaisany et al. (2018), rasa mie dengan perlakuan 5% masih terasa khas mie yang berasal dari tepung beras dan rasanya sedikit gurih karena penambahan tepung teri. Berbeda

dengan perlakuan 10% yang memiliki tingkat preferensi rata-rata terendah, yaitu 5,5

karena dalam perlakuan ini rasa ikan teri India lebih gurih dan cenderung asin,

mendominasi mi beras, sehingga mengurangi rasa khas mi dari tepung beras dan mengurangi penilaian panelis.

Tekstur. Hasil analisis statistik terhadap tekstur kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel

2. Tekstur yang paling disukai panelis adalah produk kerupuk pangsit dengan perlakuan 170:30g. Hal ini disebabkan karena tekstur kerupuk pangsit perlakuan 170:30g tidak

terlalu keras dan tidak terlalu renyah. Tekstur kerupuk pangsit perlakuan 160:40g

teksturnya terlalu renyah dan mudah patah, sedangkan tekstur kerupuk pangsit perlakuan

200:0g teksturnya keras dan kurang renyah, sehingga kedua produk tersebut kurang

disukai panelis. Hal ini didukung oleh Salampessy et al. (2012), bahwa tekstur yang dimiliki pada kerupuk pangsit adalah kering dan renyah. Namun semakin banyak dilakukan

penambahan konsentrat protein ikan, maka tekstur produk semakin lembut. Tektur yang

menjadi pilihan panelis adalah kerupuk pangsit 2%, karena tekstur kerupuk pangsit 2%

tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembut. Adapun tekstur kerupuk pangsit 0% renyah namun agak keras sehingga kurang disukai panelis.

Kesimpulan. Perbedaan substitusi tepung ikan teri memberikan pengaruh nyata

(P<5%) terhadap kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar kalsium dan tingkat

kerenyahan, serta tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar timbal. Hasil uji hedonik kerupuk pangsit yang paling disukai adalah perlakuan 180:20g dengan selang kepercayaan

8,613≤µ≤8,671. Kandungan gizi dan karakteristik kerenyahan kerupuk pangsit terbaik

yaitu perlakuan 160:40g karena memiliki rata-rata kadar protein dan kalsium tertinggi

yaitu kadar protein 17,55% (bk), kadar kalsium 267,20 mg/100g (bk) dan memiliki tingkat kerenyahan sebesar 322,94 gf.

Page 243: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

231 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Daftar Pustaka

Amalia, F dan C. M. Kusharto. 2013. Formulasi Flakes Pati Garut dan Tepung Ikan Lele

Dumbo (Clarias gariepinus) Sebagai Pangan Kaya Energi Protein dan Mineral Untuk Lansia. Jurnal Gizi dan Pangan, 8(2): 137-144.

Aryani, P., R. Nopianti dan I. Widiastuti. 2018. Pengaruh Kombinasi Tepung Ikan Sepat

Siam (Trichogaster pectoralis) dan Tepung Terigu Terhadap Karakteristik Sensori dan

Fisiko-Kimia Mantou. Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, 7(1): 14-26.

Association of Official Analytical Chemists (AOAC). 2000. Official Methods of Analysis of Benzoic Acid in Non Solid Food and Beverages Spectrophotometric Methods. USA:

The Association of Official Analytical Chemist International.

Asyik, N., Ansharullah dan H. Rusdin. 2018. Formulasi Pembuatan Biskuit Berbasis Tepung

Komposit Sagu (Metroxylon sp) dan Tepung Ikan Teri (Stolephorus commersonii). Jurnal Penelitian Biologi, 5(1): 696-707.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2006. SNI 01-2346-2006: Petunjuk Pengujian

Organoleptik dan atau Sensori. Badan Standarisasi Nasional (BSN), Jakarta.

. 2013. SNI 01-2354-2006: Penentuan Kadar Protein dengan Metode Total Nitrogen pada Produk Perikanan. Badan Standarisasi Nasional (BSN), Jakarta.

. 2013. SNI 01-2354-2011: Penentuan Kadar Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium

(Cd) pada Produk Perikanan. Badan Standarisasi Nasional (BSN), Jakarta.

. 2015. SNI 01-2886-2015: Makanan Ringan Ekstrudat. Badan Standarisasi Nasional

(BSN), Jakarta. . 2015. SNI 01-2354-2015: Pengujian Kadar Air pada Produk Perikanan. Badan

Standarisasi Nasional (BSN), Jakarta.

. 2017. SNI 01-2354-2017: Penentuan Kadar Lemak Total pada Produk Perikanan.

Badan Standarisasi Nasional (BSN), Jakarta. Faroj, M. N. 2019. Pengaruh Substitusi Tepung Ikan Teri (Stolephorus commersonii) dan

Tepung Kacang Merah (Vigna angularis) Terhadap Daya Terima dan Kandungan

Protein Pie Mini. Jurnal Universitas Airlangga: Media Gizi Indonesia, 14(1): 56-65.

Ghaisany, T., E. Liviawaty, E. Rochima dan E. Afrianto. 2018. Fortification of Indian Anchovy Fish Flour as a Source of Protein and Calcium for Preferences Level Flat Rice

Noodles. Global Scientific Journals, 6(10): 27-36.

Gusnita, D. 2012. Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) Di Udara dan Upaya Penghapusan

Bensin Bertimbal. Jurnal Lapan, 13 (3): 95-101.

Harahap, S. E., Y. A. Purwanto, S. Budijanto dan A. Maharijaya. 2018. Karakterisasi

Kerenyahan dan Kekerasan Beberapa Genotipe Kentang (Solanum tuberosum L.)

Hasil Pemuliaan. Jurnal Pangan, 26(3): 1-7.

Kaswanto, I. N., Desmelati, Dewita dan A. Diharmi. 2019. Karakteristik Fisiko-kimia dan Sensori Kerupuk Pangsit dengan Penambahan Tepung Tulang Nila (Oreochromis

niloticus). Jurnal Agroindustri Halal, 5(2): 141-150.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2017. Produksi Perikanan dan Kelautan.

www.satudata.kkp.go.id [Desember 2019]. Lund, M. N dan C. A. Ray. 2017. Control of Maillard Reactions in Foods: Strategies and

Chemical Mechanisms. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 65(23):4537-

4552

Rahmawati, H dan N. Rustanti. 2013. Pengaruh Substitusi Tepung Tempe dan Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.) Terhadap Kandungan Protein, Kalsium dan Organoleptik

Cookies. Journal of Nutrition College, 2(3): 382-390.

Rahmi, Y., N. R. Widya, P. N. Anugerah dan L. K. Tanuwijaya. 2018. Tepung Ikan Teri Nasi

(Stolephorus commersini Lac.) Sebagai Sumber Kalsium dan Protein pada Corn Flakes

Alternatif Sarapan Anak Usia Sekolah. Jurnal Gizi Dietetik, 10(1): 34-44.

Page 244: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

232 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Ramadhan, R., Nuryanto dan H. S. Wijayanti. 2019. Kandungan Gizi dan Daya Terima

Cookies Berbasis Tepung Ikan Teri (Stolephorus sp.) Sebagai PMT-P untuk Balita Gizi

Kurang. Journal of Nutrition College, 8(4): 264-273.

Ramayulis, R., I. D. Pramantara dan R. Pangastuti. 2011. Asupan Vitamin, Mineral, Rasio Asupan Kalsium dan Fosfor dan Hubungannya dengan Kepadatan Mineral Tulang

Kalkaneus Wanita. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 7(3): 115-122.

Ruchiyat. 2016. Analisis Kadar Timbal (Pb) Minyak Goreng Beserta Gorengan yang Dimasak

Di Rumah dan Penjual Gorengan Di Sekitar Kota Garut dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom. Jurnal Farmako Bahari, 7(1): 1-6.

Saputra, R., I. Widiastuti dan R. Nopianti. 2016. Karakteristik Fisiko-Kimia dan Sensori

Kerupuk Pangsit dengan Kombinasi Tepung Ikan Motan (Thynnichthys thynnoides).

Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, 5(2): 167-177. Salampessy, R. B. S dan R. R. Siregar. 2012. Pembuatan Konsentrat Protein Ikan

(KPI) Lele dan Aplikasinya pada Kerupuk Pangsit. Jurnal Perikanan dan Kelautan,

2(2): 97-104.

Yuliani, Marwati, H. Wardana, A. Emmawati, K. P. Candra. 2018. Karakteristik Kerupuk

Ikan dengan Substitusi Tepung Tulang Ikan Gabus (Channa striata) sebagai Fortifikan Kalsium. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 21(2): 258-265.

Page 245: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

233 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Konsentrasi Garam yang Berbeda Terhadap Karakteristik Peda Ikan Mujair Umbu P. L. Dawa1, Ovie Ningsih2, Yosofina S. Famai3, Mada M. Lakapu4, Dewi S.

Gadi5, Donny M. Bessie6 dan Yunialdi H. Teffu7

1,2,3,4,5,6,7)Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Kristen Artha Wacana-Kupang

(Email Korespondensi : [email protected], [email protected])

Abstrak - Peda merupakan salah satu produk fermentasi setengah basah sehingga proses fermentasi

tetap berlangsung. Umumnya proses fermentasi peda adalah fermentasi secara spontan, dimana dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi mikroba yang

berperan aktif dalam proses fermentasi berkembangbiak secara spontan karena lingkungan hidupnya

yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan konsentrasi garam yang berbeda terhadap karakteristik peda ikan mujair dari segi kimia,

mikrobiologi dan organoleptik. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2019, di Laboratorium Eksakta Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, untuk pengolahan produk,

pengujian organoleptik dan pengujian kadar air, sedangkan untuk pengujian kadar garam

dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Sais dan Teknik Kimia Universitas Nusa Cendana Kupang. Karakteristik penggunaan konsentrasi garam yang berbeda terhadap karakteristik peda ikan mujair

memiliki rata-rata nilai kadar air 42,46-53,48%, kadar garam 10,36-14,47%, total bakteri 333-517

koloni/gram, sedangkan untuk pengujian organoleptik parameter warna dan rasa tertinggi pada konsentrasi garam 20% dan untuk parameter aroma dan tekstur tertinggi pada konsentrasi garam

40%. Kesimpulan penelitian bahwa karakteristik kimia, mikrobiologi dan organoleptik pada produk peda ikan mujair dengan perlakuan persentase garam yang berbeda (20%, 30% dan 40%)

menghasilkan nilai rata-rata kadar air 42,46% - 53,48%, kadar garam 10,36% - 14,47%. Rata-rata

Total Bakteri/ALT pada produk peda ikan mujair 333,33 - 516,67 koloni/gram. Sedangkan nilai organoleptik parameter parameter warna dan rasa tertinggi pada konsentrasi garam 20% dan untuk

parameter aroma dan tekstur tertinggi pada konsentrasi garam 40%. Kata Kunci : Fermentasi, Garam, Ikan Mujair, Peda

Pendahuluan. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling digemari

oleh masyarakat karena relatif mudah diperoleh dan harganya terjangkau. Produk perikanan memiliki kelemahan utama yaitu mudah mengalami pembusukan akibat

pengaruh fisiologis, mekanis, kimiawi dan mikrobiologis (Winarno, 1984). Ikan mujair

merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang perkembangbiakannya relatif lebih cepat

dibandingkan dengan jenis ikan air tawar pada umumnya, sehingga hal tersebut

mendukung ketersediaan komoditas ikan mujair. Banyaknya ketersediaan dan tingginya nilai gizi ikan mujair mendorong masyarakat memilih ikan mujair untuk diolah menjadi

berbagai macam produk makanan (Mukrie, 1990). Desniar dkk (2009), menyatakan bahwa salah satu teknik pengolahan ikan secara

tradisional adalah fermentasi. Peda merupakan salah satu produk fermentasi yang tidak dikeringkan lebih lanjut, melainkan dibiarkan setengah basah sehingga proses fermentasi

tetap berlangsung. Umumnya proses fermentasi peda adalah fermentasi secara spontan,

dimana dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi

mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembangbiak secara spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Fermentasi ikan

secara spontan umumnya menggunakan garam dengan konsentrasi tinggi untuk

menyeleksi mikroba tertentu dan menghambat pertumbuhan mikroba yang menyebabkan

kebusukan sehingga hanya mikroba tahan garam yang hidup. Konsentrasi garam yang

digunakan dalam fermentasi ikan peda sangat menentukan mutu ikan peda tersebut, karena pemberian garam mempengaruhi jenis mikroba yang berperan dalam fermentasi.

Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi antara lain, yaitu

meningkatkan rasa ikan, membentuk tekstur yang diinginkan dan mengontrol

mikroorganisme, yaitu merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan

Page 246: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

234 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

berperan dalam fermentasi dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk

dan pathogen (Adawyah, 2007).

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh penggunaan konsentrasi

garam yang berbeda terhadap karakteristik peda ikan mujair dari segi kimia, mikrobiologi dan organoleptik.

Metode Penelitian.

Waktu dan Tempat. Penelitian dilaksanakan selama bulan Maret-Juni 2019 di Laboratorium Eksakta Universitas Kristen Artha Wacana Kupang dan Laboratorium Fakultas

Sains dan Teknik Kimia Universitas Nusa Cendana Kupang.

Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan untuk pengolahan mencakup ikan mujair, air bersih, dan garam. Sedangkan bahan untuk pengujian produk mencakup alcohol, aquades,

NA, NaCl dan kalium kromat. Peralatan yang digunakan untuk pengolahan peda ikan mujair

yaitu bokor, talenan, pisau, coolbox, dulang, timbangan kue, timbangan analitik.

Sedangkan alat yang digunakan untuk pengujian organoleptik, kadar air, kadar garam dan ALT yaitu : piring sampel, cawan porselin, desikator, oven, mortal + alu, cawan petri, rak

tabung, tabung reaksi, magnet stirrer, erlenmeyer, beker gelas, drable balm, pipet ukur,

hot plate, autoklaf, incubator, laminar air flow, coloni counter.

Prosedur Penelitian. Penelitian ini didesain menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan, dimana masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali

sehingga diperoleh 9 unit percobaan. Perlakuan peda ikan mujair dengan konsentrasi

garam sebagai berikut A= 20% garam (200 gr garam pada 1000 gram ikan), B= 30%

garam (300 gr garam pada 1000 gram ikan) dan C= 40% garam (400 gr garam pada 1000 gram ikan)

Prosedur Kerja. Prosedur penelitian pembuatan peda ikan mujair yaitu menyiapkan ikan

mujair segar dan garam. Ikan mujair segar tersebut kemudian dikeluarkan insang dan isi perutnya. Ikan yang sudah dikeluarkan insang dan isi perutnya kemudian dicuci dengan

air bersih dengan tujuan untuk membersihkan sisa-sisa kotoran dan darah yang

menempel. Selanjutnya ikan yang telah bersih ditimbang beratnya untuk menentukan

banyaknya garam yang digunakan, garam yang digunakan adalah 20%, 30% dan 40%, kemudian ikan disusun dalam wadah untuk penggaraman, dimana cara penyusunannya

bergantian antara lapisan garam dan lapisan ikan. Pada bagian atas dan bawah dari wadah

diberi lapisan garam setebal 1-2 cm, lalu wadah ditutup dan disimpan selama 7 hari. Hari

ke 7 ikan dikeluarkan dari wadah, semua garam yang tersisa dari proses penggaraman I

pada masing-masing perlakuan ditimbang kemudian dibuat larutan garam 10% dengan 1 liter air, larutan garam ini digunakan untuk menghilangkan garam dan lendir, setelah

pencucian ikan tersebut kemudian ditiriskan selama 24 jam pada suhu ruang. Selanjutnya

pada hari ke 8 dilakukan penggaraman ke II yaitu timbang berat ikan kemudian diberi

garam 10% dari total persentase garam pada masing-masing perlakuan kemudian disusun dalam wadah dan ditutup rapat kemudian ikan disimpan selama 6 hari. Hari ke 14 ikan

diangkat, seluruh sisa garam dari penggaraman II pada masing-masing persentase garam

ditimbang kemudian dibuat larutan garam 10%, kemudian ikan direndam selama 10 menit

untuk menghilangkan sisa garam dan kotoran dalam tubuh ikan kemudian ditiriskan sampai tuntas. Selanjutnya dilakukan pengujian kadar air, kadar garam,total bakteri dan

organoleptik.

Page 247: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

235 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Variabel Pengamatan. Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi uji kimiawi

(kadar air dan kadar garam), uji mikrobiologi (total bakteri/ALT) dan uji organoleptik

(warna, aroma, tekstur dan rasa).

Analisis Data. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan Analisis sidik

ragam untuk mengetahui pengaruh setiap perlakuan yang dicobakan dan jika perlakuan

memberikan pengaruh maka dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda

Duncan.

Hasil dan Pembahasan.

Nilai Kadar Air. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata kadar garam pada produk peda

ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 42,46-53,48%. Secara lengkap profil kadar garam produk peda ikan mujair dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik Nilai Rata-Rata Kadar Air Produk Peda Ikan Mujair dengan Penggunaan

Konsentrasi Garam yang Berbeda.

Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar air produk peda ikan mujair cenderung

menurun seiring meningkatnya persentase garam yang diberikan. Hal ini diduga

disebabkan oleh perbedaan persentase garam yang semakin tinggi, sehingga kadar air

cenderung menurun karena semakin tinggi garam yang diberikan maka air dalam daging ikan akan keluar. Penelitian ini sejalan dengan Moeljanto (1992), yang menyatakan bahwa

semakin tingginya persentase garam yang diberikan maka garam akan menghilangkan air

lebih banyak dari tubuh ikan, hal ini disebabkan karena proses penggaraman akan

melakukan penetrasi dalam tubuh ikan dan menggantikan air bebas dalam tubuh ikan. Kecenderungan penurunan kadar air akibat dari penambahan garam yang semakin

tinggi karena garam mempunyai kemampuan untuk menyerap air. Garam memiliki

tekanan osmotik lebih tinggi karena adanya perbedaan tekanan garam akan menyerap air

yang terkandung di dalam bahan sampai terjadi keseimbangan antara keduanya. Afrianto dan Liviawaty (1989) juga menyatakan bahwa semakin tinggi perbedaan konsentrasi

antara garam dengan cairan yang terdapat di dalam tubuh ikan, maka semakin cepat

proses penetrasi garam kedalam tubuh ikan bersamaan dengan keluarnya cairan dari

dalam tubuh ikan karena tekanan osmosis. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan nilai rerata kadar air pada produk peda ikan mujair dari ketiga perlakuan penggunaan

konsentrasi garam yang berbeda (20%, 30% dan 40%) maka nilai rerata kadar air yang

dihasilkan berkisar antara 42,46-53,48 relatif lebih tinggi apabila dibandingkan dengan

53.4850.6

42.46 44

0

10

20

30

40

50

60

20% 30% 40% SNI

Nilai Kadar

Air

(%

)

Persentase Garam

Page 248: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

236 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (2015) ikan peda dengan nilai kadar air 44-

47%, maka nilai kadar air peda ikan mujair belum memenuhi standar kadar air untuk ikan

peda.

Nilai Kadar Garam. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata kadar garam pada produk

peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 10,36-14,47%.

Secara lengkap profil kadar garam produk peda ikan mujair dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik Nilai Rata-Rata Kadar Garam Produk Peda Ikan Mujair dengan

Penggunaan Konsentrasi Garam yang Berbeda

Gambar 2 menunjukkan bahwa tingginya persentase garam yang digunakan pada

pembuatan peda ikan mujair maka nilai kadar garamnya meningkat. Hal ini diduga

disebabkan oleh perbedaan persentase garam yang digunakan, sehingga kadar garam

cenderung meningkat karena semakin tinggi garam yang diberikan maka tekanan garam yang masuk kedalam jaringan daging ikan semakin tinggi. Adawyah (2007), menyatakan

bahwa selama proses penggaraman terjadi penetrasi garam dalam tubuh ikan dan

keluarnya cairan dari tubuh ikan karena perbedaan konsentrasi. Menurut Murniati dan

Sunarman (2000), menyatakan garam akan menarik air keluar dari tubuh ikan dan pada

waktu yang bersamaan molekul-molekul garam menembus masuk dalam daging ikan. Nilai kadar garam terjadi kecenderungan meningkat akibat dari penambahan garam yang

semakin tinggi karena garam mempunyai kemampuan untuk menarik air keluar dari tubuh

ikan. Menurut Lehninger (1982), garam memiliki kandungan NaCl yang akan terionisasi

menjadi Na dan Cl yang akan berikatan dengan molekul air secara kuat. Kondisi tersebut akan mengakibatkan air tertarik keluar dari tubuh ikan dan garam menggantikan air di

dalam tubuh ikan. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan nilai rerata kadar garam

pada produk peda ikan mujair dari ketiga perlakuan penggunaan konsentrasi garam yang

berbeda (20%, 30% dan 40%) maka nilai rerata kadar garam yang dihasilkan berkisar antara 10,36-14,47 relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan Standar Kompetensi

Kerja Nasional Indonesia (2015) ikan peda dengan nilai kadar garam 15-17% maka nilai

kadar garam peda ikan mujair belum memenuhi standar kadar garam untuk ikan peda.

Total Bakteri/ALT. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata ALT pada produk peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 333-517 koloni/gram

Secara lengkap profil ALT produk peda ikan mujair dapat dilihat pada Gambar 3.

10.36

12.23

14.47 15

0

2

4

6

8

10

12

14

16

20% 30% 40% SNI

Nilai Kadar

Gara

m (

%)

Persentase Garam

Page 249: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

237 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 3. Grafik nilai ALT Produk Peda Ikan Mujair dengan Penggunaan Konsentrasi

Garam yang Berbeda

Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai rerata total bakteri produk peda ikan mujair cenderung menurun seiring dengan banyaknya garam yang diberikan. Hal ini diduga

disebabkan oleh perbedaan persentase garam yang semakin tinggi, yang menghambat

pertumbuhan mikroorganisme, sehingga total bakteri cenderung menurun. Hal ini juga

didukung oleh Rinto et al (2009), yang menyatakan makin tinggi garam yang digunakan maka menyebabkan molekul-molekul garam semakin cepat meresap kedalam daging ikan

dan cairan dalam tubuh ikan tertarik keluar. Keluarnya cairan pada ikan menyebabkan

berkurangnya kadar air pada daging ikan dan mengurangi nilai aktivitas air, sehingga

menghambat pertumbuhan bakteri. Desniar dkk (2009), menyatakan bahwa penurunan nilai kadar air disebabkan sebagian besar oleh adanya penggaraman ikan, aktivitas garam

mampu menarik air dari bahan pangan sehingga kadar air akan menurun dan

mikroorganisme tidak akan tumbuh kecuali mikroorganisme yang tahan terhadap

konsentrasi garam yang tinggi. Nilai rerata total bakteri produk peda ikan mujair dengan

persentase garam 20% dengan nilai rerata total bakteri 517 koloni/gram, persentase garam 30% dengan nilai rerata total bakteri 500 koloni/gram dan persentase garam 40%

dengan nilai rerata total bakteri 333 koloni/gram. Berdasarkan hasil tersebut dapat

diketahui bahwa menurunnya nilai rerata total bakteri pada produk peda ikan mujair diduga

disebabkan oleh penggunaan persentase garam yang diberikan dimana semakin tinggi persentase garam maka jumlah bakteri yang tumbuh semakin sedikit. Purwaningsih et al,

(2013) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi penambahan garam maka nilai

total bakteri menurun selama proses fermentasi. Rahayu et al (1992), penggunaan garam

yang cukup tinggi dapat menghambat bahkan menghentikan pertumbuhan mikroba khususnya mikroba yang tidak tahan terhadap kadar garam tinggi. Kecenderungan

penurunan total bakteri pada ketiga perlakuan terjadi karena pada proses fermentasi,

penggaraman yang semakin tinggi dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme

penyebab kebusukan, sehingga mikroorganisme yang tidak tahan terhadap kadar garam yang tinggi mengalami kematian. Kematian ini disebabkan karena bakteri mengalami stres

terhadap lingkungan hidupnya, sehingga bakteri kehilangan kemampuan memperbanyak

diri dan menuju pada fase kematian. Suprihatin (2010), menyatakan penurunan total

bakteri yang tidak signifikan seperti pada awal fermentasi, mikroba yang telah lama

tumbuh akan mengalami kematian. Kematian mikroba ini dikarenakan substrat dalam medium yang tidak sesuai dengan pertumbuhan mikroba. Menurut Adawyah (2007),

garam selain menyerap cairan pada tubuh ikan, garam juga menyerap cairan pada tubuh

bakteri sehingga proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan dan

517 500

333

0

100

200

300

400

500

600

20% 30% 40%

ALT (

Kolo

ni/

gra

m)

Persentase Garam

Page 250: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

238 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

menyebabkan kematian pada bakteri. Winarno (1992), kadar air dalam bahan pangan

juga berperan dalam menentukan kemampuan mikroba untuk tumbuh dan berkembang.

Nilai Organoleptik

Parameter Warna. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata parameter warna pada produk

peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 5,45-6,94.

Secara lengkap profil parameter warna produk peda ikan mujair dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik Nilai Rata-Rata Warna Produk Peda Ikan Mujair dengan Penggunaan

Konsentrasi Garam yang Berbeda

Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai rerata parameter warna produk peda ikan mujair

cenderung menurun seiring bertambahnya konsentrasi garam. Hal ini diduga disebabkan

oleh perbedaan persentase garam yang semakin tinggi, sehingga warna peda ikan mujair

yang dihasilkan semakin pucat. Haryanti (2008), perubahan warna terjadi karena proses oksidasi kandungan bahan, serta kandungan mioglobin yang merupakan penyusun warna

pada daging melepaskan pigmen hemoglobin sehingga warna daging menjadi pucat. Hal

tersebut terjadi karena garam mendegradasi pigmen pada bahan. Adawyah (2006),

menyatakan terbentuknya warna merah pada peda disebabkan aktivitas enzim dari bakteri pembentuk warna merah/orange selama fermentasi, aktivitas bakteri ini juga

menyebabkan terjadi interaksi antara karbonil yang berasal dari oksidasi lemak dengan

gugus asam amino dan protein. Kecendrungan penurunan penilaian panelis terhadap nilai

rerata warna pada produk peda ikan mujair tergantung pada bahan baku dan jenis ikan sehingga diduga karena adanya oksidasi lemak dengan protein sehingga menghasilkan

warna yang disukai oleh panelis. Pada umumnya peda yang baik dan disukai konsumen

mempunyai daging berwarna merah cerah (Adawyah, 2006). Karakteristik warna peda

sangat ditentukan oleh bahan baku dan aktivitas enzim dari bakteri. Menurut Ketaren (1986), proses hidrolisis dan oksidasi lemak pada tubuh ikan akan menghasilkan

perubahan warna (discoloration). Warna merah pada daging peda ikan mujair dalam

penelitian ini belum terbentuk karena fermentasi yang dilakukan hanya 14 hari. Menurut

Irawadi dan Syachri (1984), Warna merah pada ikan peda akan terbentuk jika peda di

fermentasi lebih dari 30 hari.

Parameter Aroma. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata parameter aroma pada

produk peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 6,26-

6.946.26

4.45

0

1

2

3

4

5

6

7

8

20% 30% 40%

Nilai O

rganole

ptik W

arn

a

Persentase Garam

Page 251: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

239 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

7,46. Secara lengkap profil parameter aroma produk peda ikan mujair dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Nilai Rata-Rata Aroma Produk Peda Ikan Mujair Dengan Penggunaan

Konsentrasi Garam Yang Berbeda

Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai rerata aroma produk peda ikan mujair cenderung meningkat seiring bertambahnya persentase garam yang diberikan. Hal ini diduga

disebabkan oleh peningkatan persentase garam yang diberikan, yang mengakibatkan

degradasi protein dan lemak selama proses fermentasi berlangsung. Menurut Tamang dan

Kailasapathy (2010), menyatakan bahwa aroma yang khas pada produk fermentasi terutama disebabkan oleh degradasi protein dan lemak dalam daging ikan serta adanya

enzim yang dihasilkan bakteri selama fermentasi. Menurut Adawyah (2006), aroma khas

pada ikan peda juga disebabkan karena adanya senyawa metil keton dan butyl aldehid

hasil hidrolisis lemak.

Parameter Tekstur. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata parameter tekstur pada

produk peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 6,40-

7,46. Secara lengkap profil parameter tekstur produk peda ikan mujair dapat dilihat pada

Gambar 6.

Gambar 6. Grafik Nilai Rata-Rata Tekstur Produk Peda Ikan Mujair Dengan Penggunaan

Konsentrasi Garam Yang Berbeda

6.94

6.26

4.45

0

1

2

3

4

5

6

7

8

20% 30% 40%

Nilai O

rganole

ptik A

rom

a

Persentase Garam

6.4 6.727.46

0

1

2

3

4

5

6

7

8

20% 30% 40%

Nilai O

rganole

ptik

Tekstu

r

Persentase Garam

Page 252: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

240 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai rerata tekstur peda ikan mujair cenderung

meningkat seiring meningkatnya persentase garam yang diberikan. Hal ini diduga

disebabkan oleh penggunaan konsentrasi garam yang tinggi akan menyebabkan air dalam

daging ikan tertarik keluar. Menurut Purnomo (1995), menyatakan bahwa tekstur masir pada ikan peda juga dipengaruhi oleh kadar air dan aktivitas air pada bahan serta

kandungan protein dan lemak pada bahan. Sofiyanto (2001), bahwa penggunaan garam

yang bersifat higroskopis pada ikan asin menyebabkan tekstur ikan menjadi kompak dan

padat. Kecendrungan peningkatan penilaian panelis terhadap nilai rerata tekstur produk peda ikan mujair mengalami perubahan seiring peningkatan persentase garam yang

diberikan, yang mengakibatkan kandungan lemak yang tinggi pada ikan dan adanya enzim

proteolitik yang akan mengubah tekstur ikan selama proses fermentasi berlangsung.

Menurut Adawyah (2006), tekstur masir dan kompak pada ikan peda sangat dipengaruhi oleh kandungan lemak yang tinggi dan adanya enzim proteolitik yang akan mengubah

tekstur ikan sehingga menjadi masir. Adanya garam berpengaruh terhadap pembentukan

tekstur yang masir pada peda (Rahayu dkk, 1992).

Parameter Rasa. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata parameter rasa pada produk peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 5,30-6,82.

Secara lengkap profil parameter rasa produk peda ikan mujair dapat dilihat pada

Gambar 7.

Gambar 7. Grafik Nilai Rata-Rata Tekstur Produk Peda Ikan Mujair dengan Penggunaan

Konsentrasi Garam yang Berbeda

Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai rerata rasa produk peda ikan mujair cenderung

menurun seiring meningkat nya persentase garam yang di berikan. Hal ini diduga disebabkan oleh peningkatan persentase garam yang diberikan, dimana semakin tinggi

garam yang digunakan maka penerimaan panelis terhadap rasa ikan peda semakin

berkurang. Menurut Thariq dkk (2014), semakin tinggi garam yang digunakan penilaian

panelis terhadap rasa ikan peda semakin menurun, hal ini dikarenakan semakin tinggi garam yang digunakan rasa yang dihasilkan akan semakin asin. Menurut Afrianto dan

Liviawaty (1989), selama proses fermentasi berlangsung akan terbentuk asam propionat

yang dapat memberikan rasa khas peda yang sangat disukai konsumen. Asam propionat

dihasilkan dari lemak ikan yang mengalami autolisis selama berlangsungnya proses

penggaraman.

6.826.27

5.3

0

1

2

3

4

5

6

7

8

20% 30% 40%Nilai O

rganole

ptik R

asa

Persentase Garam

Page 253: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

241 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII

Kesimpulan. Hasil penelitian terhadap karakteristik kimia, mikrobiologi dan

organoleptik pada produk peda ikan mujair dengan perlakuan persentase garam yang

berbeda (20%, 30% dan 40%) menghasilkan nilai rata-rata kadar air 42,46%-53,48%,

kadar garam 10,36%- 14,47%. Nilai rata-rata Total Bakteri/ALT pada produk peda ikan mujair 333-517 koloni/gram. Sedangkan nilai organoleptik dari ketiga perlakuan

persentase garam yang digunakan menghasilkan karakteristik warna peda ikan mujair

dengan kriteria mendekati suka (7) dengan deskripsi warna daging agak merah, parameter

aroma dengan kriteria suka (7) yaitu dengan deskripsi agak harum fermentasi, segar dan

tidak bau busuk, parameter tekstur dengan kriteria suka (7) yaitu dengan deskripsi agak kompak dan masir sedangkan parameter rasa dengan krieria mendekati suka (7) yaitu

dengan deskripsi rasa enak terasa produk fermantasi.

Daftar Pustaka

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta 176 hal.

Adawyah, 2006. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta. 320 hal.

Afrianto, E. dan Liviawati, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Penerbit Kanisius.

Yogyakarta. 160 hal.

, 2015 Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Mengolah Produk Perikanan Dengan Fermentasi. Modul Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan.

Jakarta. 146 hal.

Desniar, Djoko P, Wini W. 2009. Pengaruh Konsentrasi Garam Pada Peda Ikan Kembung

Dengan Fermentasi Spontan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 12(1):73-85 hal.

Haryanti, Mei. 2008. Pengaruh Konsentrasi Larutan Tawas (Al2(SO4)314 H2O) Terhadap

Kandungan Protein, Nitrogen Terlarut dan Nitrogen Non Protein Pada Ikan Tongkol.

Semarang : Universitas Muhammadiyah Semarang. Irawadi TT, Syachri M. 1984. Mempelajari Pengaruh Penggunaan Anti Bakteri dan

Konsentrasi Garam Terhadap Sifat Fisiko Kimia Ikan Peda Yang Dibuat Dari Ikan

Kembung Perempuan (Rastrelliger Neglectus Van Kampen). (Laporan Penelitian).

Bogor. Institut Pertanian Bogor. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta.

664 hal.

Lehninger, 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta. 402 hal.

Mukrie, A.N., 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar, Depkes RI, Jakarta.

Murniyati dan Sunarman, 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius :Jokjakarta. 220 hal.

Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya Dalam Pengawetan Pangan. Jakarta : UI-

Press. 88 hal.

Rahayu, W.P.,Ma’oen S., Suliantara dan Fardias S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Jurnal PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor : 140 hal.

Sofiyanto, 2001. Penggunaan Berbagai Jenis Bahan Kemasan Dalam Mempertahankan

Mutu Ikan Asin Patin (Pangasius hypophthalmus) Selama Penyimpanan.

Tamang, J. P. dan Kailasapathy K.,2010. Fermented Foods and Baverages of the World. Press USA. 448 pp.

Thariq, S. A. Fronthea S.,Titi,Surti, 2014. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Garam Pada

Peda Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus) Terhadap Kandungan Asam Glutamat

Pemberi Rasa Gurih. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan . II (3):104-

111 hal. Winarno,F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Page 254: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0

242 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII