Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
2 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
KELAUTAN DAN PERIKANAN KE -VII
Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana
Kupang, 18-21 November 2020
UNDANA Press
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
3 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE -VII
Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana
Panitia Pelaksana:
Dr. Chaterina A. Paulus, S.Pi.,M.Si (Ketua)
Lumban N. L. Toruan, S.Pi.,M.Si (Wakil Ketua)
Aludin Al Ayubi, S.Pi.,M.Si (Sekretaris)
Editor
Dr. Ir. Marcelien Dj. Ratoe Oedjoe, M.Si
Dr. Ir. Agnette Tjendanawangi, M.Si
Dr. Ir. Sunadji, M.Si Dr. Lady Cindy Soewarlan, S.Pi.,M.Pi
Dr. Ir. Yahyah, M.Si
Dr. Yuliana Salosso, S.Pi.,MP
Dr. Alexander L. Kangkan, S.Pi.,M.Si Dr. Ade Y. H. Lukas, S.Pi.,M.Si
Desain Sampul :
Dr. Chaterina A. Paulus, S.Pi.,M.Si Aludin Al Ayubi, S.Pi.,M.Si
Penerbit : Undana Press
Alamat Penerbit:
Jl. Adisucipto Penfui Kupang
Tlp/Fax: (0380) 881183
Website: https://undana.ac.id
E-mail: [email protected]
Cetakan Pertama : November 2020
ISBN : 978-602-6906-87-8
HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis
dari penerbit.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
i PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
PENGANTAR
Kemajuan inovasi dalam sains dan teknologi sangat luar biasa pada saat ini, seperti
peningkatan yang dramatis dalam daya komputasi. Tentunya, kemajuan ini berkontribusi
pada peningkatan bisnis dan kesejahteraan masyarakat. Bersamaan dengan kondisi ini,
dunia juga menghadapi tantangan berskala global seperti menipisnya sumber daya alam,
pemanasan global, tumbuhnya kesenjangan ekonomi, dan pandemi Covid 19. Masyarakat
Indonesia hidup di jaman yang penuh ketidakpastian yang penuh dengan kompleksitas di
semua tingkatan. Namun, peluang besar untuk memanfaatkan TIK semaksimal mungkin
guna mendapatkan pengetahuan baru dan menciptakan nilai-nilai baru untuk membuat
hubungan antara “manusia dan benda” dan antara “dunia nyata dan dunia maya” secara
efektif dan efisien demi menyelesaikan masalah di masyarakat, menciptakan hidup lebih
baik untuk rakyat, dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang sehat perlu kita
optimalkan. Dalam mengatasi tantangan ini dengan mendorong berbagai pemangku
kepentingan di berbagai tingkatan untuk berbagi visi masa depan yang sama akan sangat
penting untuk mewujudkan masyarakat seperti itu melalui digitalisasi.
Inisiatif yang disebut “Masyarakat 5.0” atau “Society 5.0” yang diusulkan oleh
Kabinet Jepang pada Tahun 2016 dalam Rencana Dasar Sains dan Teknologi ke-5, dengan
visi untuk menciptakan “Masyarakat Super Cerdas” (MSC). MSC mewakili masyarakat
berkelanjutan yang terhubung oleh teknologi digital yang hadir secara rinci dengan
berbagai kebutuhan masyarakat itu (www8.cao.go.jp). MSC menyediakan barang atau
layanan yang diperlukan untuk orang-orang yang membutuhkannya pada saat dibutuhkan
dan dalam jumlah yang diperlukan, sehingga memungkinkan warganya untuk hidup aktif
dan nyaman melalui layanan berkualitas tinggi tanpa memandang usia, jenis kelamin,
wilayah, bahasa, dan sebagainya. Namun perlu dicatat bahwa digitalisasi hanyalah sarana,
dan bahwa kita manusia sebagai aktor utama tetap penting sehingga fokus yang kuat
dipertahankan pada pembangunan masyarakat yang membuat kita bahagia dan memberi
kita rasa nilai.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/ Sustainable Development Goals (SDGs) PBB
diadopsi pada bulan September 2015 sebagai pedoman untuk seluruh dunia. Prinsip
penggeraknya adalah mewujudkan perdamaian dan kemakmuran bagi semua orang dan
planet ini dengan menanggapi tantangan dengan inklusivitas yang “tidak meninggalkan
siapa pun”. Pemerintah Jepang telah membuat Prinsip-Prinsip Panduan Penerapan SDG
dalam bidang sains, teknologi, dan inovasi (STI) dan memberikan rekomendasi yang
meliputi: (1) menciptakan masa depan global melalui Masyarakat 5.0, (2) memungkinkan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
solusi menggunakan data global, (3) mempromosikan kerja sama di tingkat global, dan (4)
membina sumber daya manusia untuk melakukan upaya STI untuk SDGs. Selain itu, dalam
Masyarakat 5.0, nilai baru dapat dihasilkan dengan cara-cara berikut: melalui analisis AI-
big data yang terdiri dari beragam informasi, seperti data meteorologi, data pertumbuhan
tanaman, kondisi pasar, serta tren dan kebutuhan pangan.
Tukul Rameyo Adi, Staf Ahli Menteri Marves Bidang Sosio-Antropologi menyebut,
pengertian masyarakat 5.0 (Society 5.0) adalah konsep di mana kita akrab dan mampu
memanfaatkan semua kebaikan dan keuntungan revolusi industri 4.0, yaitu teknologi
digital dikaitkan dengan kekayaan budaya bahari yang telah ada di nusantara. Hal itu
dilakukan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik masa kini dan di masa depan tanpa
harus mereduksi harkat-martabat manusia dan kehilangan jati diri manusia sebagai insan
budaya.
“Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia mampu mewujudkan masyarakat
maritim 5.0, pembangunan yang memadukan kearifan budaya bahari dengan kemajuan
teknologi revolusi industri 4.0”. Untuk itu, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas
Nusa Cendana mengambil tema Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan ke-VII
“Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan Menuju
Masyarakat 5.0” untuk menyiapkan masyarakat dalam mengelola sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil melalui upaya digitalisasi dalam bidang sains, teknologi, dan inovasi (STI)
untuk penerapan Sustainable Development Goals (SDGs).
Kupang, 28 November 2020
Ketua Panitia
Dr. Chaterina A. Paulus, S.Pi.,M.Si
NIP. 19840819 201012 2 003
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
iii PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL hal PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BIDANG ILMU MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Transplantasi Karang Genera Porites dan Montipora di Pulau Tunda, Banten Desna Bagus Suhendar, Ofri Johan, Idris,, Safran Yusri dan Hawis H Madduppa
1-11
Kesesuaian Ekowisata Mangrove Berdasarkan Aspek Biogeofisik Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Jeflio Kabupaten Sorong)
Ilham Marasabessy, Niny Jeni Maepauw dan M. Iksan Badarudin
12-21
Pengamatan Struktur Komunitas Karang Keras Hidup Sebelum dan Sesudah Tsunami Tahun 2018 di Pulau Sangiang Muhammad Aditya Prawira, Ofri Johan, Idris dan Hawis H. Madduppa
22-33
Pendugaan Parameter Populasi Hiu Lanjaman Carcharhinus brevipinna Yang
Didaratkan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat Sulfiana, Faisal Amir dan Achmar Mallawa
34-41
Pertumbuhan Lamun Jenis Cymodocea rotundata Hasil Transplantasi di
Perairan Desa Pejarakan, Buleleng, Bali Citra Satrya Utama Dewi, Kunthi Teteki Elparisi, Abdul Hari dan Yanida Azhari Julianinda
42-46
BIDANG ILMU BUDIDAYA PERAIRAN
Pengaruh Suhu Evaporasi Yang Berbeda Terhadap Aktivitas Antioksidan
Ekstrak Spirulina platensis Intan Dwi Sari, Putut Har Riyadi dan Romadhon
47-60
Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dengan Budidaya Rumput Laut “Sakol” di
Desa Tablolong Kecamatan Kupang Barat Ni Putu Dian Kusuma
61-74
Pertumbuhan dan Sintasan Anemon Laut pada Substrat Bentik Buatan Untuk
Efektivitas Marikultur Muhammad Ahsin Rifa’i, Maya Sari Dewi dan Hadiratul Kudsiah
75-80
Budidaya Secara Terkontrol Udang Pellet (Lysmata amboinensis) dan Udang Api (Lysmata debelius) Rendy Ginanjar dan Ofri Johan
81-87
Kadar Lemak dan Kinerja Pertumbuhan Ikan Patin Pangasius hypophthalmus
yang Diberi Pakan dengan Rasio Karbohidrat dan Lemak Berbeda Ridwan Tobuku
88-96
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
iv PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Efisiensi Penggunaan Pakan dalam Kolam Bioflok pada Budidaya Ikan
Bandeng (Chanos chanos) Defrinus Walu Wanja, Felix Rebhung dan Sunadji3
Ruaya Reproduksi Ikan Nipi (Hemiramphus sp) di Perairan Teluk Kupang Yulianus Linggi1, Macelien Ratoe Oedjoe2 dan Agnette Tjendanawangi3
Pengaruh Pemberian Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan Nannochloropsis
oculata Skala Intermediate Petrus Paulus Letsoin, Jane Lulinda Dangeubun dan Diana Y. Syahailatua
BIDANG ILMU PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN,
TEKNOLOGI PENANGKAPAN DAN KONSERVASI PERAIRAN
97-102
103-109
110-113
Pengaruh Lama Trip Layar Yang Berbeda Terhadap Mutu Ikan Tuna (Thunnus
sp.) Di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhan Ratu Sukabumi –
Jawa Barat Muhammad R. Suryanto, Riza B. Pratama, Pola ST Panjaitan, Yuliati H. Sipahutar
Analisis Hasil Tangkapan Berdasarkan Daerah Penangkapan Ikan Hiu yang
Didaratkan Di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat Wahida, Faisal Amir dan Ilham Jaya
Pengaruh Fase Bulan Terhadap Hasil Tangkapan Jaring Insang Hanyut (Drifting Gill Nets ) Di Perairan Desa Bungabali, Kabupaten Alor, Provinsi
Nusa Tenggara Timur Efrin A. Dollu, Yulianto Tell dan Sepriyanti Peringkala
114-124
125-134
135-141
Peranan Umpan Hidup Jenis Tembang (Sardinella fimbriata) dan Layang
(Decapterus ruselli) pada Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)
dengan Pole dnd Line di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur Sugiono
Pengembangan Kurikulum Program Pelatihan Pemantauan Ekosistem Terumbu Karang untuk Mendukung Konservasi Fina Rahmawati, Erry Utomo, Santi Maudiarti, Idris dan Fakhrurrozi
Pengelolaan Sumberdaya Alam Taman Nasional Karimunjawa Melalui
Kemitraan Konservasi Rohmani Sulisyati, Yusuf Syaifudin dan Erni Roestiana
142-152
153-164
165-169
BIDANG ILMU SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DAN TEKNOLOGI
PENGOLAHAN SUMBERDAYA PERIKANAN
Penghidupan dan Kerentanan Masyarakat Tambaklorok dalam Menghadapi
Program Kampung Bahari Dimas Hastama Nugraha, Rezeki Peranginangin dan Iim Abdul Karim
170-180
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Beli Konsumen dalam Membeli Ikan Lele di Kota Kupang Chairul Pua Tingga dan Zainal Arifin Pua Geno
181-186
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
v PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Melalui
Pembangunan Café Laut Semare, Desa Semare, Kecamatan Kraton,
Kabupaten Pasuruan Moh. Awaludin Adam
187-196
Model Diversifikasi Usaha pada Skala Kelompok Usaha Masyarakat Perbatasan di Kecamatan Kalkuluk Mesak, Kabupaten Belu, NTT Chaterina A. Paulus, Marthen R. Pellokila dan Yohanis U. L. Sobang
197-203
Penerapan GMP dan SSOP pada Pengolahan Udang Putih (Litopenaeus
vannamei) Peeled Deveined Tail On (PDTO) Masak Beku di Unit Pengolahan
Ikan Banyuwangi Muhammad R. Suryanto dan Yuliati H. Sipahutar
204-221
Substitusi Tepung Ikan Teri Hitam (Stolephorus insularis) Terhadap
Kandungan Gizi dan Karakteristik Kerupuk Pangsit Aysha Dini Anjani, Apri Dwi Anggo, Fronthea Swastawati
Konsentrasi Garam yang Berbeda Terhadap Karakteristik Peda Ikan Mujair Umbu P. L. Dawa, Ovie Ningsih, Yosofina S. Famai, Mada M. Lakapu, Dewi S. Gadi,
Donny M. Bessie dan Yunialdi H. Teffu
222-232
233-241
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
vi PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
BIDANG ILMU
MANAJEMEN SUMBERDAYA
PERAIRAN
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
1 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Laju Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Transplantasi Karang Genera Porites dan Montipora di Pulau Tunda, Banten Desna Bagus Suhendar1, Ofri Johan2, Idris3, Safran Yusri4 dan Hawis H. Madduppa5
1,5) Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, Jl. Raya Dramaga
Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680, Indonesia (Email: [email protected] ; [email protected])
2)Balai Riset Budidaya Ikan Hias KKP, Jl. Perikanan No. 13 Pancoran Mas Kota Depok,
16436, Indonesia (Email: [email protected]) 3,4) Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI), Jl. Asyibaniah No. 105 – 106, Depok,
Jawa Barat, Indonesia (Email: [email protected] ;[email protected])
Abstrak - Kegiatan manusia dan perubahan iklim telah menyebabkan degradasi ekosistem terumbu karang. Salah satu langkah dalam konservasi adalah peningkatan kualitas lingkungan melalui rehabilitasi
dengan transplantasi karang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju pertumbuhan karang serta tingkat kelangsungan hidup dari karang genus Porites dan Montipora dengan metode transplantasi di Pulau
Tunda, Banten. Pengamatan dilakukan pada bulan September 2019 hingga Februari 2020 serta dilakukan
tiga kali pengamatan setiap dua bulan Pengolahan data menggunakan piranti lunak CPCe untuk mendapatkan data panjang karang berdasarkan foto yang diambil saat pemantauan. Analisis yang
dilakukan pada penelitian ini berupa laju pertumbuhan karang dan tingkat kelangsungan hidup. Rata-rata laju pertumbuhan karang untuk genus Porites sebesar 0,646 (± 0,097) cm/bulan, sedangkan pada karang
genus Montipora sebesar 0,507 (± 0,095) cm/bulan. Tingkat kelangsungan hidup karang genus Porites
sebesar 52,27% dan Montipora sebesar 56,25%. Pada penelitian ini terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan karang dan tingkat kelangsungan hidup karang, antara lain kondisi perairan,
bentuk hidup karang, serta faktor lain yang dapat membatasi pertumbuhan karang seperti makroalga dan
sedimentasi. Kata Kunci: Transplantasi karang, Porites, Montipora, Pulau Tunda.
Abstract - Anthropogenic activities and climate change have deteriorated coral reefs around the world.
One of the efforts in coral conservation is the improvement of environmental quality through ecosystem rehabilitation. This study aims to determine the growth rate and survival rate of Porites and Montipora
corals propagated in artificial reef modules, in Tunda Island, Banten Indonesia. The study was conducted
from September 2019 until Februari 2020 and three observations were made every two months on Tunda Island, Banten. Photographs of coral fragments were analyzed with CPCe in order to determine the length
of each observed coral. The growth rate of Porites corals was 0,593 (± 0,434) cm/month whereas
Montipora was 0,507 (± 0,401) cm/month. The survival rate of Porites corals was 52,27% and 56,25% for Montipora corals. Based on the Principle Component Analysis (PCA), water quality at the study site
influenced the growth of both coral genera. Other factors affecting coral growth and survival rates includes environmental condition, fragment life forms, and coral limiting factors such as macroalgal growth and
sedimentation.
Keywords: coral propagation, Porites, Montipora, Tunda Island.
Pendahuluan. Terumbu karang di perairan pantai tropis merupakan ekosistem yang
dapat dengan mudah dijumpai, dimana terumbu karang itu adalah suatu ekosistem kompleks yang dibangun oleh hewan karang beserta biota-biota lainnya yang hidup di
dasar air dan kolom air. Bentuk pertumbuhan karang dapat dibedakan secara umum
menjadi massive, branching, foliose, tabulate, encrusting, dan submassive (Suharsono,
2008). Karang dengan bentuk pertumbuhan branching secara alami akan mengalami kematian pada pangkal hingga patah, kemudian patahan tersebut akan menjadi koloni
baru. Cara adaptasi karang dapat dilihat dari bentuk pertumbuhan karang itu sendiri.
Contohnya pada jenis karang dengan bentuk pertumbuhan branching, biasanya hidup di
perairan dangkal. Kondisi tersebut karena pada jenis karang dengan bentuk pertumbuhan branching berupaya mengurangi intensitas cahaya matahari yang berlebihan serta
memperkecil energi arus yang menerpa karang (Suharsono, 2008).
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
2 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Kegiatan manusia yang memanfaatkan terumbu karang semakin meningkat, sehingga
menimbulkan dampak dan pengaruh besar atas rusaknya terumbu karang (Johan dkk.,
2008). Upaya pelestarian terumbu karang di Indonesia mutlak perlu dilakukan, hal ini
sesuai dengan adanya pengesahan dari International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) yang menyatakan bahwa terumbu karang merupakan ekosistem
tropik yang dilindungi (Taufina dkk., 2018).
Terumbu karang yang sehat dapat diindikasikan dengan melimpahnya ikan karang,
serta tangkapan perikanan yang besar disekitar ekosistem terumbu karang tersebut (Madduppa dkk., 2016). Kondisi terumbu karang di Indonesia cukup memprihatinkan. Pada
tahun 2030-an diprediksi bahwa terumbu karang akan mengalami banyak kerusakan yang
disebabkan oleh beberapa faktor seperti antropogenik, kenaikan suhu, acidification, serta
perubahan dan susunan kimia air laut (Burke dkk., 2012. Salah satu upaya pelestarian terumbu karang yaitu rehabilitasi. Untuk melakukan
rehabilitasi, perlu disesuaikan dengan kepentingan serta kondisi lingkungan (Madduppa
dkk., 2016). Salah satunya caranya adalah transplantasi karang dan pemantauan.
Transplantasi karang adalah teknik penanaman karang baru dengan cara fragmentasi
benih yang didapatkan dari induk karang (Soedharma dan Arafat, 2007). Transplantasi karang berfungsi merehabilitasi kondisi karang, sebagai taman laut yang dapat dijadikan
objek wisata dan konservasi, menciptakan komunitas baru, serta yang paling berguna
untuk menambahkan karang dewasa ke dalam suatu populasi, sehingga dapat
meningkatkan produktivitas serta kompleksitas terumbu karang (Soedharma dan Arafat, 2007; Iswara, 2010). Kegiatan transplantasi karang sangat cocok berada di lokasi yang
terkena arus dan gelombang sehingga karang transplantasi akan selalu mendapatkan
oksigen dan bahan makanan berupa plankton serta dapat membantu dalam melawan
sedimen yang terjadi pada karang (Mompala dkk., 2017). Kegiatan pemantauan sangat diperlukan untuk memperkecil angka kematian karang dengan cara membersihkan
fragmen karang dari gangguan, seperti makroalga dan bulu babi serta untuk proses
pengambilan data (Arifin dan Luthfi 2016; Nurman dkk., 2017).
Pertumbuhan karang merupakan pertambahan panjang, bobot, volume atau luas permukaan karang berdasarkan waktu. Secara umum, laju pertumbuhan karang terjadi
berdasarkan laju kalsifikasi hewan karang dalam mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3)
(Lalang dkk., 2014). Di Indonesia, laju pertumbuhan karang dapat mencapai 3,6 – 12,9
cm/tahun (Mompala dkk., 2017) dan 0 – 1,9 cm/bulan (Yudasakti, 2010). Karang
transplantasi layaknya karang alami yang memiliki beberapa faktor yang mengancam kehidupan karang. Keberhasilan proses transplantasi dapat dilihat berdasarkan
kelangsungan hidup karang dari awal hingga akhir penelitian. Metode transplantasi karang
memiliki efektivitas tingkat kelangsungan hidup sebesar 50% hingga 100% (Dhahiyat dkk.,
2003). Kegiatan transplantasi dikatakan berhasil jika tingkat kelangsungan hidup mencapai di atas 50% (Harriot dan Fisk, 1988). Pada penelitian ini jenis karang yang
ditransplantasikan yaitu karang genera Porites dan Montipora. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup dari karang genera
Porites dan Montipora yang ditransplantasikan pada modul berbentuk kubah di Pulau Tunda, Banten.
Metode Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan September 2019 hingga
Februari 2020. Pada bulan September 2019 dilakukan penempatan modul transplantasi.
Pada bulan Oktober 2019 dilakukan pengamatan sekaligus pengambilan data pertama dan
dilanjutkan pengamatan setiap dua bulan hingga berakhir pada bulan Februari 2020. Lokasi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
3 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
pengambilan data dilakukan di Pulau Tunda, Banten. Lokasi penelitian dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi transplantasi di sisi utara Pulau Tunda, Banten
Alat. Alat yang digunakan selama penelitian dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Alat penelitian
No Alat dan Bahan Fungsi
1 Scuba set Peralatan penyelaman 2 Modul transplantasi Penempatan fragmen karang
3 Zip ties Mengikat fragmen pada modul
4 Kamera Pengambilan foto sampel dan dokumentasi
5 Penggaris Acuan skala 6 GPS Penentuan koordinat lokasi pengamatan
7 Piranti lunakCPCe Pengolahan data
8 Refraktometer Menentukan salinitas perairan
9 Secchi disk Menentukan kecerahan perairan
Prosedur Penelitian. Kegiatan transplantasi membutuhkan substrat buatan yang berfungsi untuk menempelkan fragmen karang untuk tumbuh. Dalam kegiatan
transplantasi terdapat beberapa metode yang beragam seperti menggunakan rak jaring
(Subhan dkk., 2008), jaring dan rubble (Fadli, 2008) serta beton (Johan, 2012). Pada
penelitian ini menggunakan 5 buah modul transplantasi yang dibuat berbentuk kubah
dengan diameter permukaan 70 cm dan tinggi 60 cm. Modul transplantasi berbahan besi berdiameter 10 mm dengan campuran semen putih. . Bentuk kubah dapat memberi relung
ekologi bagi organisme lainnya. Keunggulan modul transplantasi ini yaitu murah dan
mudah untuk dipasang. Semen putih pada modul transplantasi berfungsi untuk
menghambat terjadi proses korosi. Semen putih bertahan selama 4 – 6 bulan, namun saat pemantauan semen putih rentan terlepas. Korosi pada modul transplantasi akan
menghambat terjadinya proses penempelan kerangka kapur, sehingga pertumbuhan
karang akan melambat. Jika terjadi korosi pada besi tersebut akan menghambat proses
penempelan fragmen karang atau mengurangi kemungkinan terdapat rekrutmen karang. Contoh modul transplantasi yang digunakan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar
2 berikut.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
4 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
(a) (b)
Gambar 2. Modul transplantasi (a) sebelum; (b) sesudah ditenggelamkan
Sebelum dilakukan transplantasi karang, dilakukan terlebih dahulu peletakkan modul transplantasi pada kedalaman 3 – 5 meter. Kemudian, proses pengambilan fragmen karang
dilakukan tidak jauh dari lokasi transplantasi. Fragmen karang berasal dari patahan karang
yang masih hidup yang berada di substrat. Total fragmen karang yang digunakan sebanyak
44 sampel karang genera Porites, dan 32 sampel karang genera Montipora. Penanaman fragmen karang dilakukan dengan cara mengikatkan fragmen menggunakan zip ties pada
modul transplantasi, sehingga modul transplantasi sekaligus dijadikan substrat buatan.
Pengukuran fragmen karang dilakukan saat pemantauan setiap dua bulan selama
enam bulan pengamatan. Pengukuran fragmen karang dilakukan dengan mengukur dimensi panjang pada karang. Pengukuran fragmen karang dilakukan dengan mengambil
foto fragmen karang dengan bantuan penggaris sebagai acuan skala. Teknik pengumpulan
data saat pemantauan yaitu mengukur panjang fragmen karang pada modul transplantasi
dengan mengambil foto serta urutan yang sama setiap pemantauan. Kemudian, diolah
menggunakan piranti lunakCPCe untuk mendapatkan satuan panjang karang. Untuk mengukur kelangsungan hidup dan menentukan keberhasilan transplantasi, karang yang
mati akan dicatat dan dianalisis menggunakan rumus survival rate. Untuk contoh gambar
pengukuran dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengukuran fragmen karang menggunakan penggaris
Analisis Data. Laju pertumbuhan karang merupakan selisih panjang karang dari awal
hingga akhir penelitian yang dibagi berdasarkan waktu selama penelitian. Untuk menghitung laju pertumbuhan karang per bulan dapat ditentukan dengan menggunakan
rumus sebagai berikut (Nugroho, 2008) :
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
5 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
𝛂 =𝐋𝐢+𝟏 − 𝐋𝐢
𝐭𝐢+𝟏 − 𝐭𝐢
Keterangan :
Α : Laju pertumbuhan panjang karang
Li+1 : Rata-rata panjang karang pada waktu ke i+1
Li : Rata-rata panjang karang pada waktu ke i ti+1 : Waktu ke i+1
ti : Waktu ke i
Tingkat kelangsungan hidup karang adalah kemampuan fragmen karang yang ditanam bertahan hidup selama penelitian berlangsung. Untuk menghitung tingkat kelangsungan
hidup pada karang yang di transplantasi dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut
(Sadarun, 1999) :
𝐒𝐑 =𝐍𝐭
𝐍𝟎𝐱𝟏𝟎𝟎%
Keterangan :
SR : Tingkat Kelangsungan Hidup (Survival Rate)
Nt : Jumlah individu pada pengamatan terakhir
N0 : Jumlah individu pada pengamatan pertama
Hasil dan Pembahasan
Laju Pertumbuhan Karang. Performa pertumbuhan karang Porites dan Montipora yang
ditransplantasikan pada modul bentuk kubah di Pulau Tunda dapat dilihat dari dua
parameter yaitu laju pertumbuhan karang dan tingkat kelangsungan hidup.
Gambar 4. Grafik Laju Pertumbuhan Karang Genera Porites dan Montipora
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
6 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 5. Data Panjang Karang Setiap Pengamatan
Nilai laju pertumbuhan karang untuk genera Porites sebesar 0,646 (± 0,097)
cm/bulan. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, rata-rata panjang karang selama
penelitian terus meningkat. Kenaikan rata-rata panjang karang jenis Porites paling besar
pada bulan Desember, sehingga laju pertumbuhan karang antara bulan Oktober - Desember (0,813 cm/bulan) lebih cepat dibandingkan bulan Desember – Februari (0,479
cm/bulan). Rata-rata pertambahan panjang karang genera Porites sebesar 2,583 cm
selama penelitian berlangsung.
Rata-rata panjang karang genera Montipora cenderung meningkat dan stabil selama penelitian dilakukan dibandingkan dengan karang genus Porites. Laju pertumbuhan karang
genus Montipora sebesar 0,507 (± 0,095) cm/bulan. Laju pertumbuhan karang antara
bulan Oktober – Desember (0,523 cm/bulan) lebih cepat dibandingkan antara bulan
Desember – Februari (0,492 cm/bulan). Rata-rata pertambahan panjang karang genus Montipora sebesar 2,028 cm selama penelitian berlangsung. Data panjang karang genera
Porites dan Montipora selama dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.
Hasil uji ANOVA masing-masing terhadap laju pertumbuhan karang genera Porites dan
Montipora pada taraf kepercayaan (95%) didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan
nyata dari pertumbuhan panjang karang genera Porites (0,0002) dan Montipora (0,021) antar selang waktu pengamatan yang berbeda. Hasil uji ANOVA terhadap rata-rata
pertumbuhan karang kedua genera pada taraf kepercayaan (95%) didapatkan hasil bahwa
terdapat perbedaan nyata antara rata-rata pertumbuhan karang kedua genera.
Pada kegiatan transplantasi, karang akan tumbuh setelah melalui proses penyembuhan akibat pemotongan selama 1 – 2 minggu (Johan dkk., 2008). Laju
pertumbuhan karang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan pengurangan stressor,
sehingga pertumbuhan karang yang sejenis dengan lokasi yang berbeda akan terdapat
perbedaan (Luthfi dkk., 2018). Laju pertumbuhan karang memiliki perbedaan berdasarkan umur karang, kondisi lingkungan, suhu, sedimentasi, cahaya, dan kedalaman (Mompala
dkk., 2017). Karang dengan ukuran koloni yang lebih kecil memiliki kemampuan lebih
cepat untuk tumbuh, namun memiliki kelangsungan hidup yang lebih kecil dibandingkan
dengan karang koloni besar ( Nurman dkk., 2017 ; Mompala dkk., 2017).
Hasil penelitian yang dilakukan selama enam bulan terhadap genera Porites dan Montipora, laju pertumbuhan karang genus Porites lebih cepat dibandingkan dengan genus
Montipora. Hal tersebut dikarenakan pada karang genus Porites memiliki bentuk
pertumbuhan bercabang yang cenderung lebih gemuk dan tebal (Yulianda dkk., 2009),
sehingga karang ini dapat lebih memanfaatkan cahaya matahari untuk keperluan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
7 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
fotosintesis oleh zooxanthellae, sehingga energi yang dihasilkan akan lebih optimal untuk
pertumbuhan. Karang genera Porites memiliki morfologi jaringan yang terletak jauh dari
permukaan karang, hal tersebut diduga pada karang tersebut memiliki perlindungan lebih
dari beberapa hambatan untuk pertumbuhan karang itu sendiri, salah satunya radiasi matahari (Mumby dkk., 2001). Laju pertumbuhan kedua genera pada bulan Oktober –
Desember lebih cepat dibandingkan pada bulan Desember – Februari. Hal tersebut diduga
karena terdapat beberapa faktor seperti laju sedimentasi yang lebih rendah.
Tingkat Kelangsungan Hidup. Tingkat kelangsungan hidup dapat dilihat pada Gambar
6 dan Gambar 7.
Gambar 6. Grafik jumlah kematian karang genera Porites dan Montipora selama
pengamatan
Gambar 7. Grafik Tingkat Kelangsungan Hidup Karang Genera Porites dan Montipora
Selama Pengamatan Antara Bulan Oktober 2019 – Februari 2020
Tingkat kelangsungan hidup karang Porites dan Montipora menunjukkan kondisi yang
mengkhawatirkan karena mengalami kematian terus-menerus setiap dua bulan
pengamatan. Kematian Porites pada bulan Desember 2019 terjadi pada 9 fragmen dan
meningkat pada bulan Februari sebanyak 12 fragmen. Kematian karang genera Montipora
0
2
4
6
8
10
12
14
t1 t2
Jum
lah
Porites Montipora
48%
50%
52%
54%
56%
58%
60%
Tingkat Kelangsungan Hidup
Pers
enta
se (
%)
Porites Montipora
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
8 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
yang terjadi pada bulan Desember sebanyak 5 fragmen dan bulan Februari sebanyak 8
fragmen. Dengan demikian tingkat kelangsungan hidup karang transplantasi Porites
sebesar 52,27% dan Montipora sebesar 56,25%. Di antara kedua karang, jenis Porites
memiliki tingkat kelangsungan hidup lebih kecil dibandingkan karang genera Montipora.
Tingkat kelangsungan hidup karang merupakan indikasi keberhasilan dari suatu
kegiatan transplantasi. Terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan kelangsungan
hidup karang antara lain perbedaan suhu, intensitas cahaya, pemutihan, kompetisi
perebutan wilayah serta jarak pengambilan fragmen karang. Kualitas air pada lokasi
pengamatan sangat berpengaruh terhadap kemampuan karang untuk tumbuh. Parameter
suhu, salinitas, dan kecerahan. Hewan karang yang mendapat gangguan dari lingkungan
untuk melakukan pertumbuhan, biasanya akan melakukan adaptasi dengan cara
mengeluarkan mukus atau lendir (Nurman dkk., 2017). Pengeluaran lendir berfungsi untuk
melindungi diri dari kondisi luar yang tidak stabil dan akan kembali normal setelah
pengaruh tersebut sudah hilang (Johan dkk., 2008). Jumlah zooxanthellae dan jumlah polip
dapat memengaruhi ketahanan karang untuk menerima pengaruh dari luar. Salah satu
penyebab karang mati yaitu karang yang ditransplantasikan berukuran kecil sehingga
jumlah zooxanthellae yang ada pada karang tersebut sedikit, kemudian laju fotosintesis
karang tersebut kurang optimal (Nurman dkk., 2017). Gangguan tidak akan berpengaruh
terhadap karang apabila terjadi perubahan lingkungan yang membaik serta pengurangan
aspek-aspek yang membuat karang tersebut stress (Luthfi dkk., 2018). Dari penelitian ini
didapatkan hasil bahwa tingkat kelangsungan hidup karang genera Porites sebesar
52,27% dan Montipora sebesar 56,25%.
Berdasarkan penelitian ini, tingkat kelangsungan hidup karang genera Porites lebih
kecil dibandingkan dengan karang genera Montipora. Terjadinya kematian karang dapat
disebabkan oleh beberapa faktor sepereti sedimentasi, kompetisi, predasi serta
kemampuan toleransi karang yang rendah terhadap lingkungan. Alasan kematian karang
pada lokasi penelitian diduga akibat makroalga. Kemunculan makroalga dalam ekosistem
terumbu karang dapat disebabkan karena terjadi peningkatan nutrisi akibat dari polusi
limbah dan air limbah (Fahlevy dkk., 2019). Makroalga yang memiliki biomassa lebih besar
dibandingkan karang, menyebabkan makroalga cenderung lebih unggul jika terjadi
kompetisi dengan karang (Rachmawaty, 2001 ; Pallalo, 2013). Pertumbuhan makroalga
yang cepat dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari pada karang, sehingga alga
zooxanthellae tidak dapat berfotosintesis secara optimal dan akhirnya menjadi dead coral
with algae (DCA) (Yulianda dkk., 2009 ; Burkepile and Hay, 2010 ; D’Angelo and
Wiedenmann, 2014). Tingkat keberhasilan pada kedua genera tersebut termasuk berhasil,
karena memiliki tingkat kelangsungan hidup di atas 50%. Sesuai dengan pernyataan
Harriot and Fisk [8] jika tingkat kelangsungan hidup dari transplantasi karang memiliki nilai
50 – 100%, maka transplantasi tersebut berhasil dan bisa dikatakan menyerupai fungsi
ekosistem alami pada umumnya. Gambar kompetisi antara makaroalga dan karang dapat
dilihat pada Gambar 8. Secara umum, Porites cenderung tahan terhadap beragam
gangguan seperti sedimentasi dan kompetisi sehingga masih mampu bertahan hidup (Yusri
dkk., 2019).
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
9 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 8. Kompetisi Perebutan Wilayah Antara Makroalga dan Karang
Kesimpulan. Laju pertumbuhan karang genera Porites lebih cepat dibandingkan genera
Montipora, karena genera Porites memiliki jaringan yang terletak jauh dari permukaan
karang dan memiliki bentuk percabangan yang cenderung lebih gemuk dan tebal. Tingkat
kelangsungan hidup karang genera Montipora lebih besar dibandingkan karang genera
Porites, yang diduga karena pada lokasi transplantasi terjadi kompetisi ruang dengan alga.
Ucapan Terima Kasih. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Insight
Investment, Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun (YIIM) dan Yayasan TERANGI yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut dalam proses penelitian di Pulau
Tunda, Banten.
Daftar Pustaka
Arifin Z, Luthfi OM. 2016. Studi pertumbuhan dan survival rate pada transplantasi karang
Acropora sp. di Pantai Kondang Merak Kabupaten Malang. Seminar Nasional Perikanan
dan Kelautan VI. Malang (ID) : Universitas Brawijaya. hlm 556-561. Burke L, Reytar K, Spalding M, Perry A. 2012. Menengok Kembali Terumbu Karang yang
Terancam di Segitiga Terumbu Karang. Yayasan TERANGI, penerjemah. Jakarta (ID):
World Resources Institute. Terjemahan dari: Reefs as Risk Revisited in the Coral
Triangle. World Resources Institute. Burkepile DE and Hay ME. 2010. Impact of herbivore identity on algal sucession and coral
growth on a Caribbean Reef. PLOS ONE. 5(1):1-9.
D’Angelo C and Wiedenmann J. 2014. Impact of nutrient enrichment on coral reefs: New
perspective and implications for coastal management and reef survival. Science Direct. 7:82-93.
Dhahiyat Y, Sinuhaji D, Hamdani H. 2003. Struktur komunitas ikan karang di daerah
transplantasi karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Ikhtiologi Indonesia.
3(2):87-94. Fadli N. 2008. Tingkat kelangsungan hidup fragmen karang Acropora formosa yang
ditransplantasikan pada media buatan yang terbuat dari pecahan karang (rubble).
Berita Biologi. 9(3):265-273.
Fahlevy K, Prabowo B, Mubarok MWI, Fahrezi FY, Abdurrahman MI, Prasetia MF, Wicaksono
RZ, Aprizan M, Subhan B, Madduppa H. 2019. Comparison hard coral cover between
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
10 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Panggang and Kelapa Island Administrative Village, Seribu Island National Park,
Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Enviromental Sciences.
Harriot VJ, Fisk DA. 1988. Coral Transplantation as Reef Management Option Proc. Int.
Coral Reef Symp. 2:375-379. Iswara S. 2010. Analisis laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup karang Acropora spp.,
Hydnopora rigida, dan Pocillopora verrucosa yang ditansplantasikan di Pulau Kelapa,
Kepulauan Seribu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Johan O, Soedharma D, Suharsono. 2008. Tingkat keberhasilan transplantasi karang batu di Pulau Pari Kepulauan Seribu, Jakarta. Jurnal Ris. Akuakultur. 3(2):289-300.
Johan O. 2012. The survival of transplanted coral on pyramid-shaped fish shelter on the
coastal waters of Kelapa and Harapan Island, Kepulauan Seribu, Jakarta. Indonesian
Aquaculture Journal. 7(1):79-85. Lalang, Zamani NP, Arman A. 2014. Perbedaan laju pertumbuhan karang Porites lutea di
Pulau Tunda. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 5(1):111-116.
Luthfi OM, Rahmadita VL, Setyohadi D. 2018. Melihat kondisi kesetimbangan ekologi
terumbu karang di Pulau Sempu, Malang menggunakan pendekatan luasan koloni
karang keras (Scleractinia). Jurnal Ilmu Lingkungan. 16(1):1-8. Madduppa H, Subhan B, Arafat D, Zamani NP. 2016. Riset dan inovasi terumbu karang dan
proses pemilihan teknik rehabilitasi: sebuah usulan menghadapi gangguan alami dan
antropogenik kasus di Kepulauan Seribu. Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan.
3(2):45-54. Mompala K, Rondonuwu AB, Rembet UNWJ. 2017. Laju pertumbuhan karang batu Acropora
sp. yang ditransplantasikan pada terumbu buatan di perairan Kareko Kecamatan
Lembeh Utara Kota Bitung. Jurnal Ilmiah Platax. 5(2):234-242.
Mumby PJ, Chisholm JRM, Edward AJ, Clark CD, Roark EB, Andrefouet S, Jaubert J. 2001. Unprecedented bleaching-induced mortality in Porites spp. at Rangiroa Atoll, French
Polynesia. Marine Biology. 139:183-189.
Nugroho SC. 2008. Tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan transplantasi karang
lunak Sinularia dura dan Lobophytum strictum di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nurman FH, Sadarun B, Palupi RD. 2017. Tingkat kelangsungan hidup karang Acropora
formosa hasil transplantasi di perairan Sawapudo Kecamatan Soropia. Jurnal Sapa
Laut. 2(4):119-125.
Palallo A. 2013. Distribusi makroalga pada ekosistem lamun dan terumbu karang di Pulau Bonebatang, Kecamatan Ujung Tanah, Kelurahan Barrang Lompo, Makassar [skripsi].
Makasar (ID): Universitas Hasanuddin.
Rachmawati R. 2001. Terumbu Buatan (Artificial Reef). Pusat Riset Teknologi Kelautan
Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta (ID): hlm 1-50.
Sadarun. 1999. Transplantasi karang batu (stony coral) di Kepulauan Seribu Teluk Jakarta
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.Soedharma D, Arafat D. 2007.
Perkembangan transplantasi karang di Indonesia. Prosiding Seminar Transplantasi Karang. hlm 5-14.
Soedharma D, Arafat D. 2007. Perkembangan transplantasi karang di Indonesia. Prosiding
Seminar Transplantasi Karang. hlm 5-14.
Subhan B, Soedharma D, Madduppa H, Arafat D, Heptarina D. 2008. Tingkat kelangsungan
hidup dan laju pertumbuhan hidup jenis Euphyllia sp, Plerogyra sinuosa dan Cynarina lacrymalis yang ditransplantasikan di perairan Pulau Pari, Jakarta.. Prosiding Seminar
Nasional Kelautan. Malang (ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Brawijaya.
Suharsono. 2008. Bercocok Tanam Karang Dengan Transplantasi. Jakarta (ID) : LIPI Press.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
11 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Taufina, Faisal, Lova SM. 2018. Rehabilitasi terumbu karang melalui kolaborasi terumbu
buatan dan transplantasi karang di Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kota Padang:
Kajian deskriptif pelaksanaan coorporate social responsibility (CSR) PT. Pertamina
(persero) marketing operation region (MOR) I-terminal bahan bakar minyak (TBBM) Teluk Kabung. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat. 24(2):730-739.
Yudasakti P K. 2010. Tingkat keberhasilan dan laju pertumbuhan transplantasi karang
Montipora, Porites, dan Stylophora di perairan Pulau Kelapa Kepulauan Seribu [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani, Kang HS. 2009. Pengelolaan
Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Bogor (ID): Pusdiklat Kehutanan – Departemen
Kehutanan RI dan SECEM Korea International Cooperation Agency. Yusri S, V C Siregar, Suharsono. 2019. Distribution Modelling of Porites (Poritidae) in
Indonesia. IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 363 012025.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
12 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Kesesuaian Ekowisata Mangrove Berdasarkan Aspek Biogeofisik Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Jeflio Kabupaten Sorong) Ilham Marasabessy1, Niny Jeni Maepauw2 dan M. Iksan Badarudin3
1)Menajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan,
Universitas Muhammadiyah Sorong (Email : [email protected]) 2)Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sorong.
3)Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiyah Sorong.
Abstrak - Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai kawasan ekowisata sejalan dengan adanya
perubahan minat dan motivasi kunjungan wisatawan dari wisata massal (mass tourism) untuk pelesiran (pleisure) menjadi wisata minat khusus pendidikan dan perlindungan (special interest tourism). Penelitian
bertujuan mengetahui kesesuaian ekosistem mangrove di Pulau Jeflio Kabupaten Sorong untuk pengembangan ekowisata bahari berdasarkan kondisi biogeofisik. Analisis parameter fisik dan biologi
dilakukan melalui perbandingan data mentah (real comparation data). Data penginderaan jauh
menggunakan peta citra satelit landsat 8, peta SRTM dan satelit altimetri NASATOPEX/Poseidon, Jason-1/Envisat, selama bulan Agustus-September 2020. Analisis deskriptif kuantitatif dibuat untuk menjelaskan
dinamika biogeofisik berdasarkan nilai setiap parameter, analisis spasial dan temporal menggunakan
perangkat lunak Arcmap Gis 10.3.1 dan surfur 10 untuk menghitung indeks kesesuaian kawasan, fisiografis dan batimetri. Geografis Jeflio berada dalam gususan kepulauan, luas pulau sebesar 261.03 ha dengan
luasan mangrove sebesar 233. 32 ha. Topografi pesisir pulau cenderung datar (flate) di bagian barat dan curam (slope) di bagian timur. Kedalaman rata-rata antara 0.15 sampai >3 meter pada saat pasang
tertinggi. Merupakan pulau kecil yang terpisah dari pulau induk, berpenduduk dan masih dipengaruhi nilai
adat dan budaya lokal. Terdapat berbagai biota spesifik teresterial berasosiasi di substrat perairan maupun di dalam hutan mangrove. Sebaran bahan organic di perairan sebesar 35-40 mg/lt, dan kandungan clorofil
a sebesar 0.011-2.95 mg/lt. Status ekosistem tergolong baik, kerapatan mangrove rata-rata pada 4 stasiun sebesar 45.07% dan penutupan 16.16%, memiliki 4 jenis mangrove tersebar dalam satu zonasi
dan didukung parameter fisik oseanografi seperti kecepatan arus, anomaly paras laut, kecerahan perairan,
gelombang, suhu permukaan laut dan salinitas yang ideal. Kata Kunci: Ekowisata Mangrove, Biogeofisik, Pulau Kecil.
Abstract - The use of mangrove ecosystems as an ecotourism area is in line with the change in interest
and motivation for tourist visits from mass tourism for leisure to special interest tourism in education and
protection. This study aims to determine the suitability of the mangrove ecosystem in Jeflio Island, Sorong Regency for the development of marine ecotourism based on biogeophysical conditions. Analysis of physical
and biological parameters was carried out through comparation of raw data (real comparation data).
Remote sensing data using Landsat 8 satellite imagery maps, SRTM maps and NASATOPEX/Poseidon altimetry satellites, Jason-1/Envisat, during August-September 2020. Quantitative descriptive analysis was
made to explain biogeophysical dynamics based on the value of each parameter, spatial and temporal analysis using Arcmap Gis 10.3.1 software and surfur 10 for calculating the area suitability index,
physiographics and bathymetry. Geographically Jeflio is located in an archipelago, with an area of 261.03
ha with an area of 233.32 ha of mangroves. The island's coastal topography tends to be flat (flate) in the west and steep (slope) in the east. The average depth is between 0.15 and> 3 meters at the highest tide.
It is a small island separated from the main island, inhabited and still influenced by local customs and culture values. There are various specific terrestrial biota associated in aquatic substrates and in mangrove
forests. The distribution of organic matter in the waters is 35-40 mg / lt, and the chlorophyll a content is
0.011-2.95 mg / lt. The status of the ecosystem is classified as good, the average mangrove density at 4 stations is 45.07% and 16.16% cover, has 4 types of mangroves spread out in one zoning and is supported
by oceanographic physical parameters such as current velocity, sea level anomaly, water transparency,
waves, sea surface temperature and ideal salinity.
Pendahuluan. Wilayah Pesisir dan laut Provinsi Papua Barat memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi dari segi ekosistem, jenis, dan genetik. Kelengkapan keanekaragaman
hayati itu tersebar di darat dan laut, diantaranya ekosisitem pantai berpasir, mangrove,
lamun, dan terumbu karang, menjadi aset untuk menunjang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal. Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam
daerah pantai yang mempunyai arti penting berupa fungsi produksi, perlindungan,
pelestarian alam, ekonomi dan pariwisata (Laitamaki et al., 2016; Martínez et al., 2020;
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
13 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Oteroa et al., 2020). Sektor pariwisata saat ini mulai dimanfaatkan secara global dan
dimodifikasi dengan berbagai konsep, termasuk ekowisata. Secara umum ekowisata
diartikan sebagai kegiatan wisata yang berbasis pada pelestarian sumberdaya alam dengan
menyertakan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mayarakat lokal (Bhuiyan et al., 2015; Marasabessy, 2018 ; Chen et al., 2020).
Keberadaan hutan mangrove di sekitar Pantai Jeflio, secara ekologis akan
mempengaruhi keanekaragaman hayati sumberdaya alam pesisir dan secara sosial
ekonomi akan berdampak pada pertumbuhan pendapatan usaha masyarakat di sekitar kawasan. Untuk menitegrasikan kedua elemen tersebut agar dapat berjalan sinergi maka
diperlukan pengelolaan yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya alam
dan pengaruhnya dengan usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal. Salah satu
konsep yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan pengelolaan berbasis masyarakat dengan menjadikan daerah ekosistem mangrove yang masih alami tersebut sebagai
kawasan ekowisata (Chen et al., 2020).
Pulau Jeflio selain memiliki ekosistem pesisir pantai dengan topografi yang menarik
(view of the coastal) juga terdapat ekosistem mangrove yang potensial untuk
dikembangkan sebagai salah satu destinasi wisata unggulan. Saat ini masyarakat dan pemerintah setempat mencoba melakukan pengelolaan dan pengembangan pulau Jeflio
sebagai destinasi wisata pesisir dan sekaligus kawasan konservasi. Berdasarkan hal
tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui kesesuaian kawasan hutan
mangrove dalam pengembangan ekowisata bahari berdasarkan kondisi biogeofisik ekosistem mangrove di pulau Jeflio Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat.
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2020, berlokasi di Pulau Jeflio Distrik Mayamuk Kabupaten Sorong. Secara geografis
berbatasan: bagian Utara dengan perairan Raja Ampat, bagian Selatan dengan Pulau
Jefkerem, bagian Timur dengan Pulau Induk (maind land) dan bagian Barat dengan Pulau
Sakanun (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Teknik Pengumpulan Data. Pengamatan mangrove dilakukan pada 4 stasiun yaitu 2 stasiun berada di bagian barat, masih dipengaruhi oleh aktifitas masyarakat dan 2 stasiun
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
14 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
lainnya di bagian timur sepanjang selat Jeflio, kawasan ini jarang adanya aktifitas
masyarakat. Masing-masing stasiun mewakili kondisi sebaran mangrove pada kawasan
Jeflio.
Analisis parameter fisika, biologi dan geografis dilakukan melalui perbandingan data mentah (real comparation data) dan penginderaan jauh. Multispectral mangrove meliputi
perkiraan jumlah, kerapatan, penutupan dan distribusi vegetasi, melalui teknik
pendeteksian yang didasarkan pada reflektansi kanopi vegetasi. Mengidentifikasi
kerapatan dan penutupan mangrove dengan data citra satelit Landsat 8 mengacu pada eskplorasi citra komposit RGB 5, 6, 4 dimana ketiga band tersebut termasuk dalam kisaran
spektrum tampak dan inframerah dekat (NIR). Untuk menentukan nilai kerapatan
mangrove menggunakan hasil dari perhitungan NDVI. Kemudian nilai kelas NDVI
diklasifikasi ulang (reclass) menjadi 4 kelas, yaitu kerapatan baik, sedang, buruk dan non vegetasi (Kawamuna et al., 2017). Persamaan yang digunakan pada perhitungan
kerapatan dan tutupan mangrove menggunakan metode NDVI sebagai berikut:
NDVI = (NIR-RED)/(NIR +RED)
Keterangan :
NDVI = Normalized Difference Vegetation Index
NIR = Band 5 dari citra Landsat 8 RED = Band 4 dari citra Landsat 8
KL = (xt-xr)/k
Keterangan:
KL = Kelas interval
xt = Nilai tertngi xr = Nilai terendah
k = Jumlah kelas yang diinginkan
Indikator kesesuaian ekowisata mangrove di Pulau Jeflio yang diinput dalam kajian ini dibagi menjadi 3 aspek melalui pengamatan langsung, data penginderaan jauh dan
analisis, seprti pada (Tabel 1).
Tabel 1. Sumber data dan analisis aspek kesesuaian ekowisata mangrove di Pulau Jeflio
Kabupaten Sorong
No Kategori Sumber Data Analisis
1 Aspek Biologi
a. Laju Fotosintesis SeaDAS Ocean color Agustus-September 2020
Spasial dan Temporal
b. Clorofil a SeaDAS Ocean color Agustus-
September 2020
Spasial dan
Temporal
c. Kandungan Bahan Organik
SeaDAS Ocean color Agustus-September 2020
Spasial dan Temporal
d. Asosiasi Biota dan Mangrove Real Comparation Data Excel dan NDVI
2 Aspek Geografis
a. Landscape Pesisir Pulau Jeflio Peta SRTM Landsat 8 dan Koreksi Lapangan
Kelas Lereng, topografi dan
Penutupan
Lahan
b. Batimetri Peta batimetri DEMNAS 2020 Spasial
3 Aspek Fisika Oseanografi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
15 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
a. Kecepatan Arus Satelit altimetri NASATOPEX
Agustus-September 2020
Spasial dan
Temporal b. Anomali Permukaan Laut Satelit altimetri NASATOPEX
Agustus-September 2020
Spasial dan
Temporal
c. Suhu Permukaan Laut SeaDAS Ocean color Agustus-
September 2020
Spasial dan
Temporal d. Salinitas SeaDAS Ocean color Agustus-
September 2020
Spasial dan
Temporal
e. Tinggi Gelombang perairan
pesisir f. Kecerahan perairan
Satelit altimetri NASATOPEX
Agustus-September 2020 SeaDAS Ocean color Agustus-
September 2020
Spasial dan
Temporal Spasial dan
Temporal
Sumber: Elaborasi data prime dan sekunderr, 2020
Berdasarkan hasil perhitungan indeks kesesuaian kawasan ekowisata bahari (mangrove),
maka dapat diketahui kelas kesesuaian masing-masing aktifitas tersebut, berdasarkan
kategori yang dikembangkan oleh (Yulianda, 2019), yaitu dengan klasifikasi sebagai
berikut: Sangat sesuai (S1) : 83 – 100%
Sesuai (S2) : 50 - <83%
Sesuai bersyarat (S3) : 17 - <50 %
Tidak sesuai (N) : <17 %
Hasil dan Pembahasan
Ekosistem Mangrove Pulau Jeflio. Penelitian yang dilakukan pada ekosistem mangrove
Pulau Jeflio dibagi pada 4 (empat) stasiun pengamatan berdasarkan kondisi ekologi, biologi, geografis dan fisika oseanogrfi. Pembagian staisun diasumsikan dapat mewakili
sebaran ekosistem mangrove Pulau Jeflio yakni; stasiun 1 (ST1) berada pada lokasi existing
wisata mangrove, stasiun 2 (ST2), realtif dekat pemukiman penduduk, stasiun 3 (ST3),
berada di selat Jeflio bagian utara dan stasiun 4 (ST4) di selat Jeflio bagian selatan. Lebih jelas koordinat posisi stasiun pengamatan dan identifikasi mangrove Pulau Jeflio dapat
dilihat pada (Gambar 2).
Gambar 2. Luas stasiun pengematan mangrove Pulau Jeflio
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
16 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Berdasarkan (Gambar 2), diketahui kawasan stasiun pengamatan mangrove yang
diasumsikan sebagai lokasi representatif dalam kajian ini, memiliki luasan yang bervariasi
yaitu; ST1= 85.810 m2, ST2= 160.219 m2, ST3= 83.145 m2 dan ST4= 94.835 m2.
Ekosistem magrove bersifat dinamis, karena dapat terus tumbuh, berkembang, mengalami suksesi, dan perubahan zonasi. Selain itu juga cenderung labil dan kompleks, karena
mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali (Chandra et al., 2011; Mughofar at al.,
2018). Hasil identifikasi mangrove di Pulau Jeflio, diketahui mangrove tumbuh pada satu
zonasi (single zoning) didominasi oleh jenis Rhizophora sp dan Avicennia sp. Menurut (Subur 2017), keseragaman tipe habitat yang umumnya ditemukan pada suatu lokasi
menyebakan kemiripan jenis mangrove dan didominasi oleh spesies yang relatif sama.
Lebih lanjut (Marasabessy 2018) menjelaskan, zonasi mangrove yang terbentuk bisa
berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi), tergantung pada kondisi ekosistem mangrove di wilayah masing-
masing.
Distribusi spesies mangrove lebih banyak ditemukan pada ST3 dan ST4 di sepanjang
selat Jeflio, memiliki persentase tutupan mangrove 47.71% dan 45.61%, sedangkan
kerapatan 18.66% dan 15.33%. Kondisi yang tidak jauh berbeda ditemukan pada ST2, distribusi spesies mangrove merata pada luasan area stasiun dengan tutupan sebesar
45.23% dan kerapatan 16.33%. Hasil berbeda diperoleh pada ST1, sebagai lokasi existing
wisata mangrove, kawasan ini secara visual terlihat mengalami tekanan yang signifikan,
belum adanya konsep pengelolaan yang tepat pada lokasi ini sejak ditetapkan sebagai kawasan wisata, berdampak pada nilai tutupan mangrove yaitu sebesar 41.73% dan
kerapatan 14.33%. Hasil analisis citra satelit untuk mengetahui tutupan dan kerapatan
mangrove menggunakan metode NDVI disajikan pada (Gambar 3).
Gambar 3 Klasifikasi NDVI Mangrove Pulau Jeflio
Indeks Kesesuaian Ekowisata Mangrove. Indeks Kesesuaian Ekowisata (IKW)
mangrove Pulau Jeflio pada 4 stasiun pengamatan berada dalam kategori sesuai (S2)
dengan nilai IKW yaitu; ST1 (70%), ST2 (73.75%), ST3 (75.00%) dan ST4 (75.00%).
Dinamika ekologi dan karakteristik lokasi yang cenderung berbeda di masing-masing
stasiun, turut menentukan scoring setiap parameter ekowisata mangrove yang diinput. Kerapatan jenis mangrove merupakan parameter untuk menduga kepadatan jenis
mangrove dalam suatu area tertentu. Besarnya nilai kerapatan relatif mangrove pada
stasiun 3, memberikan informasi bahwa mangrove pada lokasi tersebut memiliki
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
17 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
pertumbuhan yang baik secara alami. Menurut (Kusmana 2010; Parmadi et al., 2016;
Anthoni et al., 2017) tingginya kerapatan relatif dari jenis Rhizophora sp dan Avicenia sp
dikarenakan spesises mangrove ini, memiliki toleransi sebaran adabtasi ekologi yang luas
dalam suatu kawasan mangrove, sehingga mampu berkembang dengan baik pada zonasi terluar hingga lebih dalam selama masih mendapatkan suplai air asin.
Aspek Biogeofisik. Kondisi perairan ekosistem pesisir sangat mempengaruhi produkfitas
dan fungsi dari ekosistem tersebut. Menurut (Poedjirahajoe, 2011) faktor habitat sangat berpengaruh terhadap komposisi penyusun ekosistem mangrove bahkan perubahan
kualitas habitat secara kompleks dapat mengakibatkan pergeseran jenis vegetasi
penyusunnya.
Kualitas perairan adalah komponen yang paling dinamis,, dapat berubah karena pengaruh antropogenik, dinamika laut, musim, dan cuaca (Schaduw, 2018). Kualitas
perairan pesisir dan laut tidak hanya dicerminkan oleh kondisi kualitas airnya, tetapi juga
ditentukan oleh kualitas dari biota, termasuk kualitas dari ekosistem yang ada di dalamnya.
Parameter Biologi. Aspek biologi yang berperan, menentukan kualitas perairan meliputi;
kandungan bahan organic, fotosintesis, klorofil a dan biota dalam subtract. Fitoplankton akan menjadi pelengkap penting dalam penentuan tingkat kualitas dari aspek biologi dalam
hubungannya dengan pencemaran organik dan nutrien di perairan.
Gambar 4. Peta Tematik Biologi Ekosistem Mangrove Pulau Jeflio
Berdasarkan (Gambar 4), diketahui kandungan bahan organic perairan 35-40 mg/lt,
kandungan clorofil a sebesar 0.011-2.95 u/lt, fotosintesis 40.4-42.6 mgC/m3/hari dan
distribusi biota subtract mangrove sebanyak 5 spesies. Parameter biologi berada dalam
kondisi ideal. Menurut (Haryadi dan Effendi, 2016; Gemilang et al., 2017), biomasa fitoplankton
(kandungan klorofil a), dapat mengindikasikan adanya pencemaran bahan organik ke
perairan pesisir, digunakan sebagai indikator produktivitas perairan. Berdasarkan data
biologi diketahui perairan Jeflio masuk kategori perairan mesotropik, mempunyai suplay
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
18 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
bahan organik sedang. Perairannya keruh oleh sedimen dan bahan organik serta aktifitas
biologi mulai muncul.
Parameter Geografis. Informasi geografis mangrove untuk kesesuaian ekowisata dapat diidentifikasi berdasarkan data spasial penginderaan jauh melalui letak tutupan lahan,
kelas lereng dan batimetri (Haryadi dan Effendi, 2016).
Gambar 4. Peta Tematik Geografis Pulau Jeflio
Pada (Gambar 4), secara geografis Jeflio merupakan pulau kecil seluas 261.03 ha,
terpisah dari pulau induk. Parameter geogarfis Pulau Jeflio berada dalam kategori sesuai
dan sesuai bersyarat. Kemiringan lereng pantai Pulau Jeflio memiliki keterkaitan dengan kedalaman dan tutupan lahan pesisir. Klasifikasi lereng pantai terbagi menjadi 2 zona,
yaitu zona bagian barat, memiliki fisiografis cenderung datar (0-8%) dan landai (8-15%)
hingga beberapa feet ke arah perairan terbuka dan zona bagian timur, memiliki fisiografis
curam (25-45%) hingga sangat curam (>45%), kawasan ini terletak pada Selat Jeflio yang memisahkan daratan maind land dan Pulau Jeflio.
Kedalaman rata-rata perairan pesisir relatif dangkal di ST1 dan ST2 sebesar 0.75-1.5
meter dan perairan cenderung dalam di bagian selat Jeflio sebesar 2-3 meter. Tutupan
lahan bagian barat di dominasi pemukiman penduduk dan lahan terbangun sedangkan
bagian timur terlihat masih alami, tidak ada pemukinan penduduk dan memiliki tutupan juga kerapatan mangrove yang tinggi. Menurut (Sadik et al., 2017), kemiringan pantai
ideal ialah datar dan landai dengan kedalaman 0-3 meter.
Parameter Fisika Oseanografi. Mangrove dapat tumbuh dan berkembang optimum pada kondisi lingkungan yang sesuai, antara lain (a) suhu permukaan laut, (b) jenis subtract
lumpur, (c) terlindung dari hempasan ombak, (d) jangkauan pasang surut yang luas, (e)
salinitas optimal, (f) arus laut yang dapat membantu penyebaran benih, dan (g) fisiografi
pantai yang landai sehingga memudahkan perkembangan benih (Tuwo, 2011; Tahir et al., 2017).
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
19 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 5. Peta Tematik Fisika Oseanografi Pulau Jeflio
Berdasarkan (Gamnar 5), parameter fisika oseaongrafi berada dalam kategori ideal
seperti; kecepatan arus 0.1-0.3 m/s, anomaly paras laut 0-0.30 m, kecerahan perairan 40-80%, gelombang 0.30-0.45 m, suhu permukaan laut 29-31oC dan salinitas 26-31 ppt.
Menurut (Yolanda et al., 2016; Salim et al., 2017) kondisi fisika oseanografi perairan
dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti laut terbuka, teluk, selat yang
mengelilinginya dan daratan berupa aliran air tawar menuju laut dari sungai. Adapun faktor internal adalah topografi dasar perairan. Lebih lanjut (Sidik et al., 2017;
Marasabessy, 2018; Schaduw, 2018) menjelaskan mangrove dapat tumbuh dengan baik
pada daerah tropis dengan temperatur di atas 20o-31oC, salinitas 28-29 ppm, namun
beberapa spesies dapat menyesuaikan pada perubahan kisaran salinitas yang luas, kecepatan arus ideal sebesar 0-0.4 m/s, pasang surut 0-1 m, gelombang 0-1 m, kecerahan
50-80%. Status Jeflio sebagai pulau kecil berpenduduk memberikan karakteristik yang unik
dalam proses pemanfaatan sumberdaya alam. Dukungan parameter fisika oseanografi
Jeflio memberikan informasi bahwa ekowisata mangrove dapat dikembangkan dengan
berbagai model kesesuaian seperti tracking dan boating.
Kesimpulan. Aspek biogeofisik pulau Jeflio berada dalam kategori ideal untuk kegiatan
ekowisata mangrove dan dinamika aspek biogeofisik ini dapat dikembangkan untuk
kegiatan ekowisata bahari secara luas.
Ucapan Terima Kasih. Terima kasih kepada Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat (DRPM), Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas bantuan pendanaan
penelitian tahun 2020. Terima kasih juga bagi seluruh tim peneliti, Pemerintah Kabupaten Sorong dan Kepala Kampung berserta seluruh masyarakat Jeflio. yang banyak membantu
kegiatan penelitian.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
20 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Daftar Pustaka
Anthoni, A., Schaduw J.N.W., Sondak, C.F.A. 2017. Persentase Tutupan Dan Struktur
Komunitas Mangrove Di Sepanjang Pesisir Taman Nasional Bunaken Bagian Utara.
Jurnal Pesisir dan Laut Tropis. 2 (1); 13-21 Bhuiyan, M.A.H., Siwar, C., Ismail, S.M. 2015. Sustainability measurement for ecotourism
destination in Malaysia: a study on Lake Kenyir, Terengganu. Soc. Indicat. Res. 128
(3), 1029–1045.
Chandra, I.A., G. Seca, dan A.M.K. Hena. 2011. Aboveground Biomass Production of Rhizophora apiculata Blume in Sarawak Mangrove Forest. Agricultural and Biological
Sciences. 6 (4); 469-474
Chen, F., Lai, M., Huang, H. 2020. Can marine park become an ecotourism destination?
Evidence from stakeholders’ perceptions of the suitability. Journal Ocean and Coastal
Management. 196(5): 1-9 Gemilang, W.A., Rahmawan, G.A., Wisha, U.J. 2017. Kualitas perairan Tteluk Ambon Dalam
berdasarkan parameter fisika dan kimia pada musim peralihan I. Journal Enviro
Scienteae 13(1);79-90
Haryadi, S., Effendi, H. 2016. Penentuan Status Kualitas Perairan Pesisir. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH-LPPM), IPB.
Kusmana, C. 2010. Respon mangrove terhadap pencemaran. Artikel Ilmiah. Departemen
Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Kawamuna, A, Suprayogi, A, Wijaya, A.P. 2017. Analisis kesehatan hutan mangrove
berdasarkan Metode klasifikasi NDVI pada citra sentinel-2 (Studi Kasus: Teluk
Pangpang Kabupaten Banyuwangi). Jurnal Geodesi. 6 (1); 227- 284
Laitamaki, J., Torres-Hechavarría, L., Tada, M., Liu, S., Setyady, N.,Vatcharasoontorn, N., Zheng, F., 2016. Sustainable tourism development frameworks and best practices:
implications for the Cuban tourism industry. Manag.Global Transit. 14 (1), 7–29.
Marasabessy I. 2018. Pengelolaan Berkelanjutan Pulau Nusa Manu dan Nusa Leun di
Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor (ID):
Bogor. Martínez, Z.M.N., Crespo, C.M., Fernandez, L.H., Azcona, H.F., Díaz, S.P.G., McLaughlin
R.J. 2020. Using SWOT analysis to support biodiversity and sustainable tourism in
Caguanes National Park, Cuba. Ocean and Coastal Management Journal. 193(3); 1-6
Mughofar, A, Masykurib, M, Setyonoc P. 2018. Zonasi Dan Komposisi Vegetasi Hutan Mangrove Pantai Cengkrong Desa Karanggandu Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa
Timur. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 8 (1): 77-85
Oteroa V, Lucasb R,, Kerchoved RVD, Satyanarayanaa B, Lokmane HM, Dahdouh
F,Guebasa. 2020. Spatial analysis of early mangrove regeneration in the Matang Mangrove Forest Reserve, Peninsular Malaysia, using geomatics. Journal Forest
Ecology and Management. 47 (2): 1-11
Parmadi, E.H, Dewiyanti, J.C, Karina, I. S. 2016. Indeks Nilai Penting Vegetasi Mangrove
Di Kawasan Kuala Idi, Kabupaten Aceh Timur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan
Perikanan Unsyiah. 1 (1); 82-95. Poedjirahajoe E, Ragil W, Ni Putu Diana M. (2011). Kajian Ekosistem Mangrove Hasil
Rehabilitasi Pada Berbagai Tahun Tanam Untuk Estimasi Kandungan Ekstrak Tanin Di
Pantai Utara Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Kehutanan. 5(2); 99-107
Sadik, M., Muhiddin, A.H., Ukkas, M. 2017. Kesesuaian ekowisata mangrove ditinjau dari aspek biogeofisik kawasan pantai Gonda di desa Laliko Kecamatan Campalagian
Kabupaten Polewali Mandar. Jurnal Spermonde. 2(3): 25-33
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
21 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Salim, D., Yuliyanto, Baharuddin. 2017. Karakteristik parameter oseanografi fisika-kimia
Perairan pulau kerumputan kabupaten kotabaru Kalimantan selatan. Jurnal Enggano.
2(2); 218-228
Schaduw, J.N.W. 2018. Distribusi dan Karakteristik Kualitas Perairan Ekosistem Mangrove Pulau Kecil Taman Nasional Bunaken. Majalah Geografi Indonesia. 32(1); 40 – 49
Subur R. 2017. Kapasitas adaptif ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil (studi di gugus
Pulau Guraici) Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara. Prosiding Seminar
Nasional Kemaritiman dan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. 1(1): 86-94. Tahir, I. , Effendi ,R., Akbar, N. 2017. Analisis kesesuaian ekowisata hutan mangrove Di
kawasan teluk jailolo kabupaten halmahera barat. Prosiding Seminar Nasional
Kemaritiman dan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil. 1(1): 51-61.
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut: Pendekatan Ekologi, Sosial-Ekonomi, Kelembagaan dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional, Surabaya
Yolanda, D.S., Firman F. M., Aries D. S., 2016. Distribusi Nitrat Oksigen Terlarut, dan
Suhu diPerairan Socah-Kamal Kamal Kabupaten Bangkalan. Jurnal Kelautan. 9(2);
93-98
Yulianda F. 2019. Ekowisata Perairan: suatu konsep kesesuaian dan daya dukung wisata bahari dan wisata air tawar. Penerbit IPB Press. Bogor Indonesia.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
22 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pengamatan Struktur Komunitas Karang Keras Hidup Sebelum dan Sesudah Tsunami Tahun 2018 di Pulau Sangiang Muhammad Aditya Prawira1, Ofri Johan2, Idris3, dan Hawis H. Madduppa4
1,4)Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Dramaga Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680, Indonesia (Email: [email protected] ;[email protected])
2)Balai Riset Budidaya Ikan Hias KKP, Jl. Perikanan No. 13 Pancoran Mas Kota Depok,
16436, Indonesia (Email: [email protected]) 3)Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI), Kompleks Liga Mas Indah Blok E2 no.
11 Pancoran, 12760, Indonesia (Email: [email protected])
Abstrak - Terumbu karang merupakan ekosistem dari hewan karang yang dapat menghasilkan terumbu atau endapan kalsium karbonat dengan bantuan alga endosimbion. Secara keseluruhan suku dari karang
yang berada di Pulau Sangiang tersebut terbagi menjadi 14 suku. Kerusakan terumbu karang dapat
disebabkan oleh faktor alami dan manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam contohnya tsunami. Pada tanggal 22 Desember 2018, peristiwa tsunami yang disebabkan oleh letusan Anak
Krakatau di Selat Sunda berdampak pada Pulau Sangiang. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas terumbu karang serta densitas karang sebelum (2016) dan sesudah (2019)
terjadinya bencana tsunami pada 22 Desember 2018 di Pulau Sangiang. Observasi lapang dilakukan 22-
23 Agustus 2016 dan 16-18 Februari 2019 di Pulau Sangiang menggunakan metode transek sabuk dengan panjang 20 meter dan lebar 1 meter dengan tiga kali ulangan pada tiga stasiun pengamatan
yaitu Legon Bajo, Legon Waru, dan Tembuyung. Pengamatan komunitas karang berdasarkan marga dan dikategorikan menurut diameter terpanjang. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan struktur
komunitas di setiap lokasi pengamatan. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan namun terjadi
fluktuasi secara tidak merata. Densitas total dari sebelum dan sesudah tsunami berbeda nyata. Densitas sesudah tsunami mengalami kenaikan yang signifikan. Rekrutmen karang sesudah tsunami pada setiap
lokasi mengalami perubahan baik kenaikan maupun penurunan. Kualitas air cenderung homogen di
ketiga lokasi baik sebelum dan sesudah tsunami. Kata Kunci: Terumbu karang, Struktur Komunitas, Tsunami, Densitas.
Abstract - Coral reef is an ecosystem of coral animals that can create coral or calcium carbonate deposits
with the aid of endosymbitic algae. Overall, the family of the reefs in Sangiang Island are divided into 14
family. Coral reefs damage can be caused by natural and human factors. Damage due to natural causes, such as tsunamis. On 22 December 2018, a tsunami event caused by the eruption of Anak Krakatau in
the Sunda Strait impacted Sangiang Island. The purpose of this research is to examine the structure of the coral reef community and coral density before (2016) and after (2019) the tsunami disaster on 22
December 2018 on Sangiang Island. Field observations were carried out on 22-23 August 2016 and 16-
18 February 2019 on Sangiang Island using the belt transect method with a length of 20 meters and a width of 1 meter with three replications at three observation stations namely Legon Bajo, Legon Waru,
and Tembuyung. Genera-based data collection and categorization based on the longest diameter. The results showed that there were no difference in community structure at each observation location.
Although there are no significant difference, the fluctuations are inconsistent. The total density before
and after the tsunami was significantly different. The density after the tsunami has increased significantly. The recruitment of corals after the tsunami at each location experienced changes, both
increasing and decreasing. Water quality tended to be homogeneous in all three locations both before
and after the tsunami. Keywords : Coral Reef, Structure Community, Tsunami, Density.
Pendahuluan. Terumbu karang merupakan ekosistem dari hewan karang yang dapat
menghasilkan terumbu atau endapan kalsium karbonat dengan bantuan alga endosimbion.
Terumbu karang sebagai ekosistem yang produktif berperan penting baik secara ekologi
maupun sosial ekonomi. Kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh faktor alami dan manusia. Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam contohnya, perubahan suhu air
laut, perubahan iklim global, topan, gempa bumi, letusan gunung merapi, pemangsa, dan
penyakit. Sedangkan contoh kerusakan yang disebabkan oleh manusia adalah kegiatan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
23 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
perikanan tangkap yang menggunakan bahan peledak, bahan kimia beracun, dan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan (Uar dkk., 2016). Subhan dkk., (2020) mengatakan
tekanan lingkungan untuk ekosistem terumbu karang berasal dari penangkapan ikan yang
berlebihan, input nutrisi yang tinggi, dan sedimentasi yang berpotensi merusak struktur terumbu karang.
Pada tanggal 22 Desember 2018, peristiwa tsunami yang disebabkan oleh letusan Anak
Krakatau di Selat Sunda berdampak pada daerah pesisir Banten dan Lampung, Indonesia.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tsunami disebabkan pasang tinggi dan longsor bawah laut karena letusan gunung tersebut. Selain itu tsunami
disebabkan oleh luruhan gunung Anak Krakatau yang memasuki perairan dengan skala
besar sehingga perairan menimbulkan tsunami. Pulau Sangiang merupakan pulau kecil
yang terletak di Selat Sunda, yakni antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Gempa bumi, longsor, dan erupsi gunung api yang berpusat di dasar laut dapat
menyebabkan gelombang seismik laut yang dinamakan tsunami (Skinner and Porter,
1995). Tsunami tidak hanya memiliki satu gelombang, tetapi merupakan rangkaian
gelombang yang disebabkan oleh pergerakan vertikal dari dasar laut (Ludman, 1982).
Skinner and Porter (1995) mengatakan bahwa gelombang tsunami memiliki kecepatan sampai 950 km/jam dengan panjang gelombang mencapai 200 km. Karakteristik tsunami
ini yang membuat kondisi ekosistem pesisir terutama ekosistem terumbu karang bisa
terancam menjadi rusak. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat
rentan terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya (Ramadhani dkk., (2015). Menurut Madduppa dkk., (2016) gangguan alam memungkinkan menyebabkan
berbagai perubahan pada komunitas karang.
Ekosistem terumbu karang memiliki peranan penting bagi biota asosiasi yang hidup di
sekitarnya (Zamani, 2015). Ketika kondisi terumbu karang rusak maka biota asosiasi yang hidup pada ekosistem tersebut mulai pergi, hal ini juga membuat ekosistem lainnya seperti
ekosistem lamun dan mangrove menjadi terganggu karena ketiadaan salah satu ekosistem
pesisir tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji struktur komunitas terumbu
karang serta densitas karang sebelum (2016) dan sesudah (2019) terjadinya bencana tsunami pada 22 Desember 2018 di Pulau Sangiang.
Metode Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Pulau Sangiang terletak di Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Observasi lapang dilakukan oleh
Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI) pada 22 – 23 Agustus 2016 dan 16 – 18
Februari 2019. Pengambilan data terumbu karang dilakukan di perairan Pulau Sangiang.
Penyelaman dilakukan pada tiga lokasi penyelaman yaitu Legon Bajo (5°56’48” - 5°56’48” LS dan 105°51’40” - 105°51’41” BT), Legon Waru (5°57’15” - 5°57’17” LS dan 105°51’43”
- 105°51’45” BT), dan Tembuyung (5°57’46” - 5°57’46” LS dan 105°51’54” - 105°51’55”
BT), seperti terlihat pada Gambar 1.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
24 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 1. Lokasi Penelitian dan sekitarnya di Selat Sunda; stasiun pengamatan di Pulau
Sangiang (A), sumber tsunami di Anak Krakatau (B)
Alat dan Bahan. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data biota habitat dasar adalah alat SCUBA (Self Contained Underwater Breathing Apparatus), rol meter, alat
tulis bawah air, penggaris, kamera bawah air, buku identifikasi karang (Coral Finder), buku
identifikasi Coral reefs of the world (Veron, 2000), GPS (Global Positioning System), dan
kapal motor. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data fisika dan kimia perairan adalah pH meter, refraktometer, secchi disc.
Pengumpulan Data. Pengambilan data koloni karang keras hidup menggunakan metode
transek sabuk atau Belt transect (Hill and Wilkilson, 2004), dengan panjang transek 20 meter sebanyak tiga kali ulangan pada setiap stasiun dengan jeda 5 meter dan lebar
dengan total 1 meter. Total luasan area pengamatan di setiap stasiun 60 m2 (3 ulangan).
Transek dibentangkan sejajar garis pantai dengan kedalaman 4 – 7 meter.
Pencatatan data karang hanya dilakukan pada karang keras hidup saja dengan
mencatat jenis, jumlah, dan ukuran setiap karang keras yang ada di dalam sabuk. Ukuran karang mengacu pada [4], dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan panjang terpanjang
dengan kategori kecil (< 5 cm), sedang (5,1 – 25 cm), dan besar (> 25,1 cm). Identifikasi
dilakukan sampai ke tingkat genus/marga menggunakan panduan buku identifikasi Coral
finder [6] dan buku identifikasi Coral reefs of the world [25]. Data yang diperoleh bisa menggambarkan kekayaan jenis, kelimpahan populasi dan ukuran dominan karang keras
di suatu lokasi pengamatan (Estradivari dkk., 2009).
Kualitas perairan diketahui dengan melakukan pengukuran beberapa parameter fisika
dan kimia yang berpengaruh terhadap kehidupan komunitas karang dan biota pengisinya. Pengukuran insitu untuk data kualitas perairan dilakukan pada tahun 2016 (sebelum
tsunami) dan 2019 (sesudah tsunami), namun tahun 2018 (saat tsunami) menggunakan
data sekunder. Data sekunder berupa parameter perairan yang didapat dari Marine
Copernicus, data bisa diakses melalui https://resources.marine.copernicus.eu/ dan diolah
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
25 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
menggunakan software ODV 4.7, software bisa didapatkan dari
http://www.awibremerhaven.de/GEO/ODV.
Analisis Data
Densitas. Densitas digunakan untuk melihat distribusi jumlah jenis atau komunitas karang
pada wilayah terumbu karang tertentu (Odum, 1971). Densitas diketahui dengan
menggunakan rumus berikut
𝐃 = 𝐍𝐢
𝐀
Indeks Keanekaragaman. Indeks keanekaragaman menurut Odum (Odum, 1971)
semakin tinggi nilai H' maka komunitas tersebut memiliki keanekaragaman jenis yang semakin tinggi. Keanekaragaman dihitung dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener
sebagai berikut
𝐇′ = − ∑ 𝐩𝐢 𝐋𝐧 𝐩𝐢𝐧
𝐢=𝟏
Indeks Keseragaman. Indeks Keseragaman digunakan untuk menggambarkan distribusi jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Indeks keseragaman dapat dihitung
dengan rumus Evenness sebagai berikut
𝐄 = 𝐇′
𝐇′𝐌𝐚𝐤𝐬
Indeks Dominansi. Indeks Dominansi digunakan untuk melihat adanya jenis tertentu
yang jumlahnya mendominasi pada suatu komunitas. Rumus indeks dominansi dihitung
dengan rumus Simpson sebagai berikut
𝐂 = − ∑ 𝐩𝐢𝟐
𝐧
𝐢=𝟏
Analisis pengaruh waktu (sebelum dan sesudah tsunami) dengan lokasi stasiun
penelitian dilakukan dengan menggunakan analisis varian (ANOVA) klasifikasi dua arah
dengan pengulangan dan tidak dengan pengulangan yang dioperasikan dengan
menggunakan Software Excel. Faktor yang digunakan lokasi dan tahun dengan variabel kualitas perairan.Variabel indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan
indeks dominansi (C) dengan faktor lokasi dan tahun. Sementara untuk variabel total
densitas dengan faktor marga dan tahun.
Hasil dan Pembahasan. Jumlah jenis karang keras yang ditemukan di tahun 2016
yakni 26 marga sedangkan di tahun 2019 sebanyak 31 marga. Indeks H’, E dan C dapat
dilihat dari Tabel 1 pada setiap lokasi. Struktur komunitas pada ketiga lokasi dilihat dari
indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (C) (Tabel 1). Di lokasi
Legon Bajo indeks keanekaragaman termasuk dalam kategori keanekaragaman yang sedang pada kedua tahun, kategori sedang dalam keanekaragaman mengindikasikan
penyebaran yang sedang. Meskipun termasuk dalam kategori yang sama akan tetapi
terjadi penurunan pada tahun 2019. Nilai indeks keseragaman Legon Bajo pada tahun 2016
dan 2019 termasuk dalam keseragaman tinggi, hal ini dapat mengartikan kondisi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
26 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
komunitas stabil. Nilai indeks dominansi pada kedua tahun tergorong dominansi rendah,
hal ini mengindikasikan tidak ada marga yang mendominasi di Labuan Bajo.
Tabel 1. Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D) karang keras hidup di Pulau Sangiang tahun 2016 (sebelum tsunami) dan tahun 2019 (sesudah
tsunami)
Legon Waru memiliki indeks keanekaragaman pada kedua tahun termasuk dalam
kategori memiliki keanekaragaman sedang, kategori keanekaragaman sedang mengindikasikan penyebaran terjadi secara sedang. Meskipun termasuk dalam kategori
yang sama namun nilai pada tahun 2019 mengalami kenaikan. Kestabilan indeks
keseragaman dari dua tahun di lokasi Legon Waru termasuk dalam kategori keseragaman
tinggi, hal ini menandakan komunitas yang stabil. Nilai indeks dominansi yang stabil pada lokasi Legon Waru di kedua tahun termasuk dalam kategori rendah, hal ini menandakan
bahwa tidak adanya marga yang dominan pada lokasi Legon Waru.
Tembuyung memiliki indeks keanekaragaman yang berbeda, meskipun memiliki nilai
yang berbeda namun termasuk dalam kategori yang sama yakni kategori sedang, hal ini mengindikasikan penyebaran sedang. Tembuyung memiliki indeks keseragaman yang
stabil, nilai tersebut termasuk kedalam kategori keseragaman tinggi, keseragaman yang
tinggi mengindikasikan komunitas yang stabil. Indeks dominansi pada lokasi Tembuyung
termasuk dalam kategori rendah. Menurut Muqsit dkk., (2006) dominansi yang rendah
menunjukkan bahwa perairan masih mampu mendukung kehidupan karang sehingga tidak terjadi persaingan yang menyebabkan spesies tertentu saja yang dominan. Berdasarkan
hasil uji statistik Anova 2 arah dengan variabel indeks keanekaragaman (H’), indeks
keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) tidak berbeda signifikan pada setiap lokasi dan
kedua tahun. Hal ini mengindikasikan tidak adanya pengaruh tsunami yang besar terhadap struktur komunitas karang keras hidup di lokasi pengamatan setelah tsunami.
Kerusakan terumbu karang karena letusan gunung api umumnya terjadi akibat
banyaknya abu yang tersembur, namun pada kasus Pulau Sangiang karena jaraknya yang
jauh ± 50 km sehingga tidak mengenai lava maupun abu yang tersembur. Menurut Odum (1971) semakin tinggi nilai H' maka komunitas tersebut memiliki keanekaragaman jenis
yang semakin tinggi. Indeks keseragaman digunakan untuk menggambarkan distribusi
jumlah individu antar spesies dalam suatu komunitas. Jika semakin merata penyebaran
individu antar spesies maka akan besar nilai indeks keseragamannya, dan keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat (Odum, 1971). Indeks dominansi digunakan untuk
melihat adanya jenis tertentu yang jumlahnya mendominasi pada suatu komunitas.
Umumnya indeks keseragaman dan keanekaragaman yang rendah akan menandakan
adanya dominansi suatu spesies terhadap spesies-spesies lainnya (Ludwig and Reynolds,
1988). Peningkatan dan penurunan nilai indeks tidak merata di setiap lokasi. Menurut
Siringoringo (2007) kerusakan yang berkaitan dengan tsunami bersifat tidak merata dan
berkaitan langsung dengan topografi bawah laut, serta bentuk dan struktur terumbu.
Karang-karang yang tumbuh pada substrat yang kuat, pada umumnya tidak terpengaruh oleh tsunami, walaupun ada sedikit cabang-cabang yang patah. Pada kasus Pulau Sangiang
di ketiga lokasi hanya mengalami perubahan yang sedikit atau tidak signifikan. Hal ini
mengindikasikan ketiga lokasi tersebut hanya terkena dampaknya sedikit saja, diduga ada
Lokasi H' E C
2016 2019 2016 2019 2016 2019
Legon Bajo 2.56 ± 0.13 2.15 ± 0.07 0.82 ± 0.24 0.69 ± 0.01 0.11 ± 0.03 0.18 ± 0.03
Legon Waru 2.02 ± 0.23 2.19 ± 0.11 0.71 ± 0.04 0.71 ± 0.02 0.19 ± 0.04 0.14 ± 0.01 Tembuyung 1.55 ± 0.15 2.24 ± 0.07 0.74 ± 0.07 0.81 ± 0.01 0.29 ± 0.04 0.13 ± 0.01
Rerata 2.04 ± 0.29 2.20 ± 0.02 0.76 ± 0.03 0.73 ± 0.03 0.20 ± 0.05 0.15 ± 0.01
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
27 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
faktor pelindung dari ketiga lokasi. Posisi daratan utama terhadap lokasi pengambilan data
diduga merupakan salah satu faktor penghalang dari dampak tsunami, dimana arah
datangnya gelombang berasal dari arah barat daya menuju timur laut. Daratan utama
pulau bisa menghalang sebagian energi yang dibawa oleh gelombang tsunami sehingga ketiga lokasi pengambilan data tidak terkena dampak yang besar.
Total sebanyak 8.78 koloni/m2 pada tahun 2016 dan 20.33 koloni/m2 pada tahun 2019
ditemukan di lokasi penyelaman. Secara keseluruhan suku dari karang yang berada di
Pulau Sangiang tersebut terbagi menjadi 14 suku. Pada tahun 2016 suku Fungiidae memiliki densitas paling besar mencapai 1.76 koloni/m2, sedangkan pada tahun 2019 suku
Acroporidae memiliki densitas paling besar mencapai 6.55 koloni/m2. Adapun suku yang
tidak terdapat di tahun 2016 seperti Helioporidae, Milleporidae, dan Siderastreidae. Setiap
suku karang mengalami kenaikan dan penurunan yang tidak merata. Suku Acroporidae dan Faviidae mengalami kenaikan densitas yang signifikan, sedangkan suku Pocilloporidae
mengalami penurunan yang signifikan.
Gambar 2. Komposisi Densitas (∑koloni/m2) Suku Karang Keras Hidup Tahun 2016 dan
2019 Pulau Sangiang
Marga yang memiliki densitas tertinggi tahun 2016 adalah Seriatopora, Goniopora,
Pachyseris, Galaxea, Fungia, Montipora, Merulina, Ctenactis, Euphyllia, dan Hydnopora
(Gambar 3). Hasil pengambilan data didapatkan bahwa densitas setiap marga karang keras
hidup yang didapatkan bervariasi. Densitas tertinggi tahun 2016 terdapat dari marga Seriatopora sebesar 1.55 koloni/m2 (Gambar 3).
0 2 4 6 8
Caryophylliidae
Siderastreidae
Pectiniidae
Milleporidae
Helioporidae
Pocilloporidae
Agariciidae
Poritidae
Fungiidae
Mussidae
Oculinidae
Merulinidae
Faviidae
Acroporidae
∑Koloni/m2
Suku
2019 2016
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
28 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 3. Sepuluh Marga Karang Keras Hidup dengan Densitas Tertinggi Tahun 2016 dan
Perbandingannya Tahun 2019 Di Pulau Sangiang
Marga Seriatopora merupakan marga dengan densitas tertinggi pada tahun 2016
mencapai 1.55 koloni/m2, namun di tahun 2019 mengalami penurunan densitas. Pada
tahun 2019 marga Montipora memiliki densitas tertinggi mencapai 4.6 koloni/m2,
Montipora mengalami kenaikan di tahun 2019 yang sebelumnya hanya 0.33 koloni/m2. Dibandingkan hasil tahun 2016 ada beberapa marga yang tidak ditemukan pada 2019,
maupun sebaliknya. Marga Sandalolitha, Podabacia, Stylophora tidak terdapat pada tahun
2019. Adapun beberapa jenis marga yang bertambah di tahun 2019 seperti Diploastrea,
Echinophyllia, Goniastrea, Heliopora, Leptoseris, Millepora, Platygyra, dan Psammocora. Berdasarkan analisis statistik dilakukan uji Anova dua arah dengan pengulangan, jenis
marga dan pengaruh waktu (sebelum dan sesudah tsunami) terhadap total densitas karang
keras memiliki nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 % (F = 3,74; F crit
= 1,53). Secara umum dapat dikatakan bahwa densitas setiap marga mengalami perubahan yang signifikan dari sebelum tsunami sampai sesudah tsunami. Perubahan
kenaikan dan penurunan terjadi secara tidak merata pada semua jenis marga.
Tabel 2. Densitas Total (∑koloni/m2) Koloni Karang Keras Hidup di Pulau Sangiang
Koloni karang keras hidup mengalami peningkatan dari tahun 2016 ke tahun 2019
dapat dilihat pada Tabel 2 Peningkatan paling besar terjadi di lokasi Legon Waru sebesar
4.36 koloni/m2, sedangkan peningkatan paling rendah terjadi di lokasi Tembuyung sebesar 2.24 koloni/m2. Berdasarkan analisis statistik dilakukan uji Anova dua arah dengan
pengulangan, pengaruh waktu (sebelum dan sesudah tsunami) dan jenis marga terhadap
total densitas karang keras memiliki nilai yang berbeda nyata pada selang kepercayaan
0
1
2
3
4
5
6
∑kolo
ni/
m2
Marga 2016 2019
Lokasi Densitas total (∑koloni/m2)
2016 2019
Legon Bajo 4.41 ± 0.48 7.81 ± 0.75 Legon Waru 3.4 ± 0.81 7.76 ± 1.01
Tembuyung 0.96 ± 0.79 4.65 ± 0.90
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
29 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
95 % (F = 9,33; F crit = 3,91). Secara umum dapat dikatakan bahwa densitas koloni
karang keras hidup di semua lokasi penelitian mengalami perubahan kenaikan yang
signifikan.
Densitas total dari setiap lokasi mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan terbesar terdapat di lokasi Legon Waru, hal ini terjadi diduga lokasi Legon Waru terletak
diapit oleh dua lokasi lainnya sehingga memiliki ancaman yang lebih sedikit, ketika
ancaman menjadi lebih sedikit diduga pertumbuhan dalam rekrutmen karang lebih baik
dari dua lokasi yang lain. Tsunami yang disebabkan oleh meletusnya gunung berapi juga membawa lava dalam gelombangnya. Lava tersebut dapat merusak terumbu karang
namun juga bisa memberikan substrat baru untuk tumbuh. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Wilkinson et al., (2006) gunung-gunung api yang melepaskan lava, misalnya
Hawaii, Reunion, dan Indonesia menyebabkan kerusakan terumbu karang di kawasan-kawasan sekitarnya. Lava tersebut juga menyediakan substrat baru untuk karang yang
dengan cepat membentuk koloni di bebatuan yang baru tersebut. Namun letak Pulau
Sangiang dan pusat letusan gunung berapi berjarak ± 50 km dengan arus Selat Sunda
mengarah ke barat daya pada musim timur (2014), sehingga kemungkinan kecil untuk
bebatuan baru tersebut sampai pada lokasi penyelaman. Adanya transplantasi karang yaitu salah satu teknik rehabilitasi dan restorasi terumbu
karang guna memperbanyak koloni karang dengan memanfaatkan reproduksi aseksual
karang secara fragmentasi ditemukan di lokasi Legon Bajo dan Legon Waru semenjak
tahun 2017 diduga membantu dalam penyebaran larva. Hal ini diduga menjadi salah satu sebab kenaikannya densitas pada pasca tsunami tahun 2019. Selain dari adanya
transplantasi karang terjadi juga rekrutmen di ketiga lokasi ditandai dengan densitas
kategori Small pada Gambar 4. Menurut Rudi dkk., (2005) secara khusus, rekrutmen
adalah kemampuan terumbu karang untuk pulih kembali dari gangguan atau bencana seperti topan atau tsunami, coral bleaching dan predator. Sebab bila terjadi gangguan lokal
di suatu terumbu, terumbu tetangganya dapat mendukung dalam penyebaran larva
sehingga dapat menghindari kepunahan jenis di suatu tempat (2000). Menurut Salim
(2012), sumber larva juga bisa didapatkan dari karang lokal yang tersisa. Pada Pulau Sangiang karakteristik substrat cukup sesuai dalam mendukung perekrutan
karang. Hal ini sesuai dikatakan Richmond (1997) bahwa lokasi penempelan yang baik bagi
planula karang cenderung memiliki karakter tipe dasar perairan yang stabil dan tidak
tersusun oleh sedimen lepasan atau bahan tidak padat serta gerakan air yang relatif
tenang, meskipun dalam kondisi tertentu arus yang kuat mampu mendorong pertumbuhan. Zamani dan Madduppa (2011) juga mengatakan planula karang membutuhkan laju
substrat yang keras, substrat ini berfungsi sebagai tempat keterikatan planula karang yang
kemudian tumbuh menjadi hewan karang dan membentuk komunitas yang kuat. Kondisi
terumbu karang yang ada di sekitar lokasi penelitian juga akan sangat mempengaruhi rekruitmen karang di lokasi penelitian, terutama dalam hubungan sumber dan
‘penenggelaman’ larva (source-sink relationship) (Rudi dkk., 2005). Menurut penelitian
Aprilian (2019) kondisi terumbu karang Legon Bajo dan Legon Waru termasuk kedalam
kategori tinggi dan kondisi kesehatan terumbu karang di Pulau Sangiang berdasarkan tutupan hidupnya dan tingkat resiliensinya tergolong dalam keadaan baik. Kondisi tersebut
dapat mengindikasikan di Pulau Sangiang memiliki perekrutan yang baik. Pada Gambar 4
dapat dilihat ketiga lokasi memiliki densitas karang dewasa yang tinggi. Keberadaan karang
dewasa yang matang secara seksual dapat berfungsi sebagai penyedia larva baru dan
keberadaan koloni karang besar yang berlimpah mampu memproduksi larva dalam jumlah yang banyak (Salim, 2012). Selain dari terumbu karang lokal, rekrutmen larva juga bisa
berasal dari alam dan lokasi lain. Hal ini disebabkan lokasi penelitian yang terpapar arus
sepanjang tahun, menurut Rahmawitri (2014) arus pada kedalaman 5 meter pada musim
timur mengarah ke barat daya sedangkan pada musim barat mengarah ke tenggara dari Laut Jawa memasuki Selat Sunda. Hal ini mengindikasikan pendugaan lokasi penelitian
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
30 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
sebagai penerima larva melalui arus laut atau menurut Salim (2012) disebut sebagai
terumbu karang penampung (sink reefs). Namun terumbu karang sumber (source reefs)
yang mengarah ke lokasi penelitian belum bisa diketahui dan perlu dikaji lebih lanjut.
Pada lokasi Tembuyung total densitas tidak setinggi dua lokasi lainnya, hal ini diduga karena letak lokasi Tembuyung masih memungkinkan untuk terpapar gelombang tsunami
langsung dikarenakan posisi paling timur. Menurut Aprilian (2019) bahwa lokasi
Tembuyung berkorelasi atau berhubungan erat dengan makroalga dan rubble,
keberadaannya paling banyak ditemukan pada lokasi ini. Keberadaan makroalga dapat memperkecil tingkat rekrutmen dari karang karena makroalga berkompetisi untuk ruang
hidup dengan karang. Selain alga patahan karang (rubble) merupakan substrat yang tidak
optimal bagi rekrutmen karang. Estradivari dkk., (2009) mengatakan bahwa hamparan
patahan karang dan pasir merupakan substrat yang tidak stabil karena dapat mudah terbolak balik (shifting) oleh arus dan ombak, membuat planula karang menjadi susah
menempel. Subhan dkk., (2014) mengatakan daerah-daerah yang sudah dikuasai oleh
makro alga biasanya sangat sulit untuk direhabilitasi.
Karang keras dikelompokkan menjadi tiga kategori ukuran koloni, berdasarkan
diameter terpanjang, yaitu Small (< 5cm), Medium (5,1 - 25 cm), dan Large (> 25,1 cm).
Gambar 4. Densitas Koloni Karang Keras Hidup (∑koloni/m2) Berdasarkan Diameter
Terpanjang pada Setiap Kategori di Pulau Sangiang tahun 2016 dan 2019
Di Legon Bajo kategori Large mendominasi di kedua tahun. Koloni karang keras yang
berkategori Large terkadang dapat membentuk hamparan yang tidak bisa dipisahkan antar
koloni dan bisa juga berupa bongkahan masif besar (Estradivari dkk., 2009). Karang
dengan kategori Small dapat diasumsikan sebagai rekrutmen yang ada di setiap lokasi. Berkurangnya kategori Small pada tahun 2019 mengindikasikan rekrutmen karang di lokasi
Legon Bajo lebih sedikit dibandingkan tahun 2016. Di lokasi Legon Waru tingkat rekrutmen
stabil dapat dilihat pada Gambar 4. Kategori Medium dan Large mengalami peningkatan
yang signifikan, hal ini mengindikasikan ekosistem tidak mengalami tekanan yang besar maupun masih dalam batas toleransi karang. Di lokasi Tembuyung tingkat rekrutmen
karang paling rendah pada tahun 2016 dibandingkan dua lokasi lainnya, namun mengalami
peningkatan pada tahun 2019. Hal ini dilihat dari nilai kategori Small yang kecil di lokasi
Tembuyung. Ukuran koloni yang berukuran < 5 cm, sering dikatakan sebagai juwana/anak
karang. Marga yang mendominasi rekrutmen pada tahun 2016 merupakan Fungia, Galaxea,
dan Seriatopora. Ketiga jenis karang ini tersebar di Legon Bajo dan Legon Waru secara
0
1
2
3
4
5
6
7
Small Medium Large Small Medium Large Small Medium Large
Legon Bajo Legon Waru Tembuyung
∑kolo
ni/
m2
2016 2019
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
31 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
tidak merata. Sementara pada tahun 2019 marga yang mendominasi rekrutmen yaitu
Fungia, Lobophyllia, dan Montipora. Ketiga jenis karang ini tersebar pada ketiga lokasi
secara tidak merata. Secara umum marga Fungia memiliki karakteristik sudah dewasa
dengan ukuran < 25 cm (Estradivari dkk., 2007), sehingga dalam pengelompokkan masih termasuk kedalam kategori Medium maupun Small, hal ini mengindikasikan wajar pada
kedua tahun merupakan salah satu marga yang mendominasi kategori Small.
Tingkat rekrutmen karang yang ditandai dari kategori Small pada ketiga lokasi
termasuk dalam ketahanan terumbu karang rendah berdasarkan klasifikasi yang dibuat oleh Obura dan Grimsdith (2009), dimana masih berada dibawah 1 koloni/m2. Koloni
karang dengan kategori Small cukup rentan jika terkena gangguan. Menurut Yang (1985)
koloni yang berukuran kecil sangat rentan terhadap gangguan, di antaranya dimangsa oleh
hewan lain, terkubur oleh sedimen, dan hancur karena arus juga gelombang. Kategori Small bisa mengindikasikan kepada kenaikan dan penurunan populasi. Wibowo dkk.,
(2016) mengatakan perubahan rekrutmen karang ke arah penurunan populasi dapat
disebabkan oleh kemampuan karang muda yang rendah untuk bertahan hidup setelah
penempelan. Hal ini diakibatkan berbagai faktor, di antaranya adalah kompetisi ruang
antara alga dan karang, yang apabila tutupan karang hidup hanya berbeda sedikit dibandingkan alga, maka penempalan larva karang akan terganggu (Mumby et al., 2013).
Menurut Mumby et al., (2013) kepadatan koloni karang muda digunakan untuk mengukur
potensi pemulihan dan dijadikan sebagai salah satu variabel ketahanan ekosistem terumbu
karang untuk pemulihan setelah mengalami kerusakan. Tabel 3 menunjukkan kondisi fisika dan kimia perairan pada sebelum tsunami tahun
2016, ketika tsunami 2018, dan sesudah tsunami tahun 2019. Kualitas perairan baik fisika
maupun kimia di ketiga lokasi cenderung homogen dapat dilihat pada Tabel 3. Parameter
kualitas air cenderung homogen di setiap lokasi. Secara umum kualitas perairan cukup sesuai dengan baku mutu untuk terumbu karang (Kementerian Lingkungan Hidup, 2004).
Namun nilai salinitas tidak sesuai pada sebelum dan sesudah tsunami, hal ini
mengindikasikan salinitas kurang optimal sehingga diduga menjadi salah satu faktor
penghambat pertumbuhan, namun meskipun tidak masuk kedalam rentang baku mutu, nilai tersebut masih dalam ambang toleransi bagi karang.
Berdasarkan hasil uji statistik Anova dua arah dengan pengulangan bahwa kualitas
perairan tidak berbeda signifikan di setiap lokasi (P-value = 0.99). Kualitas perairan yang
tidak berbeda signifikan di setiap lokasi mengindikasikan kualitas perairan yang homogeny.
Tabel 3. Kualitas Perairan di Pulau Sangiang Pada Tahun 2016 (Sebelum Tsunami), Tahun
2018 (Saat Tsunami), dan Tahun 2019 (Sesudah Tsunami)
Kesimpulan. Struktur komunitas setelah tsunami tidak mengalami perubahan yang
signifikan yang ditunjukkan oleh tidak ada perubahan yang signifikan pada indeks
keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi di setiap lokasi. Namun,
densitas total dari sebelum dan sesudah tsunami berbeda nyata. Densitas sesudah tsunami mengalami kenaikan yang signifikan. Kualitas air cenderung homogen di ketiga lokasi baik
sebelum dan sesudah tsunami.
Parameter Legon Bajo Legon Waru Tembuyung
2016 2018 2019 2016 2018 2019 2016 2018 2019
Suhu (℃) 29 29 30 29 29 30 29 29 31 Salinitas (ppt) 30 32.5 30 30 32.5 30 30 32.5 30
pH 8 - 7.9 8 - 7.9 8 - 7.9
Kecerahan (m) 7 - 8 5 - 4 6 - 6 Arus (m/s) 0.3 - 0.16 0.1 - 0.06 0.2 - 0.4
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
32 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Ucapan Terima Kasih. Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT Asahimas
Chemical (ASC), Yayasan KEHATI, dan Yayasan TERANGI yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk ikut dalam proses penelitian di Pulau Sangiang.
Daftar Pustaka
Aprilian R. 2019. Indeks Kesehatan terumbu karang di perairan Pulau Sangiang [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Cornell HV, Karlson RH. 2000. Coral species richness: ecological versus biogeographical influences. Coral reefs .19:37-49p
Estradivari, Syahrir Muh, Susilo N, Yusri S, Timotius S. 2007. Terumbu Karang Jakarta:
Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2004 - 2005). Jakarta
(ID): Yayasan TERANGI.
Estradivari, E. Setyawan , Yusri S. 2009. Terumbu karang Jakarta: Pengamatan jangka panjang terumbu karang Kepulauan Seribu (2003-2007). Jakarta (ID): Yayasan
TERANGI.
Hill J, Wilkinson C. 2004. Methods for ecological monitoring of coral reefs: a resource for
managers. Australia (AU): Australian Institute of Marine Science and Reef Check. Kelley R. 2009. The Australian coral reef society coral finder, Indo Pacific. Australia (AU):
Byoguides.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51
Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta (ID): Kantor Kementerian Lingkugan Hidup dan Kehutanan.
Ludman A. 1982. Physical Geology. (US): McGraw-Hill, Inc.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing.
New York (UK): John Wiley & Sons. Madduppa H, Subhan B, Arafat D, Zamani N P. 2016. Riset dan inovasi terumbu karang
dan proses pemilihan Teknik rehabilitasi: sebuah usulan menghadapi gangguan alami
dan antropogenik kasus di Kepulauan Seribu. Risalah kebijakan pertanian dan
lingkungan. 3(2):130-139p. DOI: 10.20957/jkebijakan.v3i2.15513.
Mumby PJ, Bejarano S, Golbun Y, Steneck RS, Arnold SN, Woesik VR, Frienlander AM. 2013. Emphirical relationship among resilience indicators on Micronesian Reefs, Coral
Reef. 32:213-223p. DOI: 10.1007/s00338-012-0966-0.
Muqsit A, Purnama D, Ta’alidin Z. 2016. Struktur komunitas terumbu karang di Pulau Dua
Kecamatan Enggano Kabupaten Bengkulu Utara. Jurnal Enggano. 1(1):75-87p. Obura D, Grimsditch G. 2009. Resilience assessment of coral reefs: assessment protocol
for coral reefs, focusing on coral bleaching and thermal stress. Gland (CH): IUCN.
Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. Philadelphia and London (UK): W.
B. Saunders Company. Rahmawitri H. 2014. Variabilitas arus di sekitar Selat Sunda pada tahun 2007-2010 dari
hasil model indeso [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ramadhani RA, Damar A, Madduppa H. 2015. Management on coral reef ecosystem in the
Siantan Tengah District, Anambas Islands. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis.
7(1):173-189p. DOI: 10.28930/jikt.v7i1.9804. Richmond RH. 1997. Reproduction and recruitment in corals: critical links in the persistence
of reef, life and death of coral reefs. New York (UK): Chapman and Hall.
Rudi E, Soedharma D, Sanusi HS, Pariwono JI. 2005. Affinitas penempelan larva karang
(Scleractinia) pada substrat keras. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 2:129-137p.
Salim D. 2012. Pengelolaan ekosistem terumbu karang akibat pemutihan (bleaching) dan
rusak. Jurnal KELAUTAN. 5(2):142-155p. DOI: 10.21107/jk.v5i2.870.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
33 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Siringoringo RM. 2007. Fenomena tsunami dan pengaruhnya terhadap terumbu karang.
Oseana. 32(2):43-51p.
Skinner BJ dan Porter SC. 1995. The Dynamic Earth : An Introduction to Physical Geology
3rd ed. Canada (CA) : John Wiley and Sons, Inc. Subhan B, Madduppa H, Arafat D, Soedharma D. 2014. Bisakah transplantasi karang
perbaiki ekosistem terumbu karang ?. Risalah kebijakan pertanian dan lingkungan.
1(3):159-164p.
Subhan B, Hudhayani NN, Ervina A, Santoso P, Arafat D, Khairudi D, Soedharma D, Madduppa H. 2020. Coral recruitment on concrete blocks at Gosong Pramuka,
Kepulauan Seribu, Jakarta. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.
404(1):1-11p. DOI: 10.1088/1755-1315/404/1/012045.
Uar ND, Murti SH, Hadisusanto S. 2016. Kerusakan lingkungan akibat ativitas manusia pada ekosistem terumbu karang. Jurnal MGI. 30(1):88-95p.
Veron JEN. 2000. Corals of the World Volume 1-3. Australian Institute of Marine Science
and CRR Qld Pty Ltd. Australia.
Wibowo K, Abrar M, Siringoringo RM. 2016. Status trofik ikan karang dan hubungan ikan
herbivora dengan rekrutmen karang di perairan Pulau Pari, Teluk Jakarta. OLDI (Oseanologi dan Limnologi di Indonesia). 1(2):73-89p.
Wilkinson C, Souter D, Goldberg J. 2006. Status of Coral Reefs in Tsunami Affected
Countries 2005. Townsville (AU): Australia Institute of Marine Sciences.
Yang RT. 1985. Coral communities in Nan Wan Bay. Proceedings of the Fifth International Coral Reef Congress Vol. 6; 1985 Mei 27; Tahiti, Taiwan. Tahiti (TW):273-278p.
Zamani NP dan Madduppa HH. 2011. A standard criteria for assesing the health of coral
reefs: implication for management and conservation. Journal of Indonesia Coral Reefs.
1(2):137-146p. Zamani NP. 2015. Kelimpahan Acanthaster plancii sebagai indikator kesehatan karang di
perairan pulau Tunda, Kabupaten Serang, Banten. Journal Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis. 7(1):273-286p.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
34 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pendugaan Parameter Populasi Hiu Lanjaman Carcharhinus brevipinna yang Didaratkan Di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat Sulfiana1, Faisal Amir2 dan Achmar Mallawa3
1,2,3)Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan/Universitas Hasanuddin, Jln. Perintis
Kemerdekaan, KM 10 Tamalanrea, 90245, Makassar, Indonesia
(Email: [email protected] ; [email protected] : [email protected])
Abstrak - Hiu Lanjaman Carcharhinus brevipinna merupakan hasil tangkapan hiu dominan yang
didaratkan di Kabupaten Majene. Penelitian ini bertujuan untuk menduga parameter populasi Carcharhinus brevipinna meliputi struktur ukuran, pertumbuhan, mortalitas serta laju eksploitasi. Survei
lapang dilakukan di dua tempat pengepul pada bulan September hingga Oktober 2020. Parameter
populasi diduga menggunakan data gabungan jantan dan betina. Parameter pertumbuhan, L∞ dan K diduga menggunakan software FISAT II. Pendugaan mortalitas alami (M) menggunakan empiris Pauly,
mortalitas total (Z) diduga menggunakan model Beverton & Holt dengan bantuan software FISAT II sehingga mortalitas penangkapan (F) diperoleh dari hasil pengurangan nilai M terhadap Z (F=Z-M). Laju
eksploitasi (E) diduga dari F/Z. Sampel berjumlah 132 ekor diukur berdasar panjang total terdiri dari 44
jantan dan 88 betina. Dari analisis struktur ukuran diperoleh kisaran ukuran panjang dan panjang rata-rata yaitu 39-280 cm TL (104,1 ± 69,1 cm TL) dan 37-320 cm TL (113,9 ± 78,1 cm TL) masing-masing
untuk jantan dan betina. Hasil pendugaan L∞= 395,5 cm, K=0,2, t0= -0,41 yang kemudian digunakan untuk menduga mortalitas alami (M) sehingga diperoleh M= 0,30 per tahun dan mortalitas total (Z) 0,76
per tahun. Nilai mortalitas penangkapan (F) diperoleh sebesar 0,46 per tahun sehingga laju eksploitasi
diperoleh 0,6 yang mengindikasikan telah terjadi lebih tangkap. Kata Kunci: Carcharhinus brevipinna, dinamika populasi, Majene.
Abstract – Lanjaman Sharks Carcharhinus brevipinna are the dominant shark catch landed in Majene
Regency. This study aims to estimate the population parameters of Carcharhinus brevipinna including
size structure, growth, mortality and exploitation rate. Field surveys were conducted in two collectors' sites from September to October 2020. Population parameters were estimated using combined data of
males and females. Growth parameters, L∞ and K were estimated using FISAT II software. Estimation
of natural mortality (M) using empirical Pauly, total mortality (Z) was estimated using the Beverton & Holt model with the help of FISAT II software so that catch mortality (F) is obtained from the results of
reducing the value of M to Z (F = Z-M). The exploitation rate (E) is estimated from F / Z. A sample of 132 individuals was measured based on the total length consisting of 44 males and 88 females. From
the size structure analysis, it was obtained that the range of length and average length was 39-280 cm
TL (104.1 ± 69.1 cm TL) and 37-320 cm TL (113.9 ± 78.1 cm TL), respectively. for males and females. The estimation results L∞ = 395.5 cm, K = 0.2, t0 = -0.41 which are then used to estimate natural
mortality (M) to obtain M = 0.30 per year and total mortality (Z) 0.76 per year. The fishing mortality (F) value is 0.46 per year so that the exploitation rate is 0.6 which indicates that there has been overfishing.
Keywords: Carcharhinus brevipinna, population dynamics, Majene.
Pendahuluan. Potensi Perikanan Kabupaten Majene mempunyai sumberdaya kelautan
yang melimpah, termasuk ikan hiu. Salah satu spesies ikan hiu dominan tertangkap yang didaratkan di Kabupaten Majene adalah hiu lanjaman Carcharhinus brevipinna. Produksi
perikanan hiu di Sulawesi Barat cenderung mengalami penurunan yang mengindikasi
terjadinya overfishing. Pertumbuhan usaha perikanan hiu di Indonesia sekarang ini
dirasakan telah melebihi batas kemampuan produksinya. Hal ini ditandai dengan makin sulitnya nelayan lokal menangkap hiu karena makin jauhnya lokasi penangkapan, jumlah
hasil tangkapan menurun dan makin kecilnya ukuran yang ditangkap, (Fahmi dan
Dharmadi, 2013).
Menurut Fahmi dan Darmadhi (2013) hiu lanjaman merupakan ikan yang hidup di daerah perairan paparan benua, mulai dari dekat pantai hingga perairan lepas pantai
dengan kedalaman 75 meter. Berdasarkan status konservasi, spesies ikan ini termasuk
dalam daftar kuning yaitu Near Threatened (NT) yang berarti hampir terancam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
35 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
berdasarkan red list IUCN (International Union for Conservation of Nature) 2013 sehingga
perlu pengelolaan yang baik untuk spesies hiu tersebut.
Hiu rentan terhadap penangkapan berlebih. Menurut Compagno (1984), beberapa sifat
biologi hiu adalah siklus hidupnya yang panjang, pertumbuhan dan kematangan kelaminnya yang lambat serta fekunditasnya yang rendah. Kelestarian populasi ikan hiu
memerlukan adanya pengelolaan yang baik agar populasinya dapat dimanfaatkan secara
optimal dan berkelanjutan. Belum adanya informasi ilmiah mengenai dinamika populasi hiu
lanjaman Carcharhinus brevipinna yang berasal dari perairan bagian tengah Selat Makassar sehingga peneliti tertarik meneliti Pendugaan Parameter Populasi Hiu Lanjaman yang
Didaratkan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Perlunya dilakukan penelitian ini
disebabkan karena informasi mengenai dinamika populasi dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam pengembangan perikanan hiu di Indonesia terutama pengelolaan hiu lanjaman yang didaratkan di Kabupaten Majene.
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian. Metode pengambilan data dilakukan dengan survei lapang di dua tempat pengepul di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat pada bulan September
hingga Oktober 2020. Data yang digunakan adalah data primer ukuran panjang total hiu
lanjaman.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Bahan dan peralatan. Pengukuran panjang ikan sampel diukur menggunakan meteran
rol dengan ketelitian 0,1 cm. Spesies ikan sampel dikelompokkan berdasarkan jenis
kelamin. Jenis kelamin ditentukan dengan melihat ada tidaknya klasper yang menandakan
jenis kelamin jantan. Sangadji (2014) menyatakan bahwa jenis kelamin pada hiu
ditentukan dengan adanya clasper pada hiu jantan yang merupakan modifikasi sirip perut
menjadi clasper yang terbentuk dari tulang rawan untuk penyaluran sperma ke hiu betina
saat kawin.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
36 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Analisis Data
Struktur Ukuran. Data frekuensi panjang 2 bulan pengamatan ditabulasi dengan interval
kelas berdasar jenis kelamin. Penentuan struktur ukuran ikan menggunakan diagram
batang. Perbedaan ukuran panjang diantara jenis kelamin dianalisis dengan uji-t dengan
bantuan perangkat lunak SPSS versi 16 (Hartono 2008).
Pertumbuhan. Parameter populasi akan diduga menggunakan data gabungan jantan dan
betina apabila berdasar hasil analisis uji-t (p>0,05) tidak memperlihatkan adanya
perbedaan ukuran antara jantan dan betina. Model persamaan von Bertalanffy yang
dikemukakan oleh Sparre dan Venema (1999) sebagai berikut:
𝐋𝐭 = 𝐋∞ (𝟏 − 𝐞−𝐊 (𝐭−𝐭𝟎))
Keterangan:
Lt = Panjang ikan pada saat umur t (cm) L∞ = Panjang asimtot ikan (cm)
K = Koefisien laju pertumbuhan ikan (per tahun)
t0 = Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (tahun)
t = Umur (tahun)
Metode penentuan panjang asimtot (L∞) dan koefisien pertumbuhan (K) di estimasi
dengan menggunakan program ELEFAN I yang terdapat pada paket perangkat lunak FiSAT
II (Gayanilo et al., 2005). Umur teoritis (t0) di estimasi dengan menggunakan persamaan
empiris Pauly (1983) sebagai berikut:
𝐋𝐨𝐠 (−𝐭𝟎) = −𝟎, 𝟑𝟗𝟐𝟐 − 𝟎, 𝟐𝟕𝟓𝟐 (𝐋𝐨𝐠 𝐋∞) − 𝟏, 𝟎𝟑𝟖 (𝐋𝐨𝐠 𝐊)
Dimana: t0 = Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (tahun)
L∞ = Panjang asimtot ikan (cm)
K = Koefisien laju pertumbuhan (per tahun)
Mortalitas
Mortalitas total. Mortalitas total (Z) diduga menggunakan metode kurva hasil
tangkapan dengan konversi panjang linier (linearized length converted catch curve) pada program FiSAT II dengan menggunakan rumus (Pakro, et al., 2020):
𝐥𝐧𝑪(𝑳𝟏,𝑳𝟐)
∆𝒕(𝑳𝟏,𝑳𝟐)= 𝑪 − 𝒁 (
𝒕 (𝑳𝟏)+𝒕(𝑳𝟐)
𝟐)
Dimana : 𝑦 = ln 𝐶 (𝐿1, 𝐿2) / ∆𝑡 (𝐿1, 𝐿2), 𝑥 = {𝑡 (𝐿1) + 𝑡(𝐿2)}/2, dan slope (b) = -Z
Mortalitas alami. Penentuan laju mortalitas alami diduga dengan menggunakan
rumus empiris Pauly (1980) dengan persamaan (Sparre & Venema, 1999):
𝐋𝐧 𝐌 = 𝟎, 𝟏𝟓𝟐 − (𝟎, 𝟐𝟕𝟗 × 𝐋𝐧 𝐋∞) + (𝟎, 𝟔𝟓𝟒𝟑 × 𝐋𝐧 𝐊) + (𝟎, 𝟒𝟔𝟑 × 𝐋𝐧 𝐓)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
37 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Mortalitas penangkapan. Mortalitas penangkapan (F) dapat dihitung dengan
mengurangkan mortalitas total (Z) terhadap mortalitas alami (M) (Sparre & Venema,
1999), dengan rumus di bawah ini.
𝐙 = 𝐅 + 𝐌, menjadi: 𝐅 = 𝐙 − 𝐌
Laju Eksploitasi. Laju ekspkoitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas
penangkapan (F) terhadap laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984):
𝐄 = 𝑭
𝒁
Keterangan:
E = Laju eksploitasi
F = Mortalitas penangkapan Z = Laju mortalitas total
Hasil dan Pembahasan
Struktur Ukuran. Total hiu lanjaman Carcharhinus brevipinna tertangkap yang didaratkan di dua tempat pengepul di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat dalam kurun waktu penelitian
berjumlah 132 ekor terdiri dari 44 jantan dan 88 betina. Dari hasil analisis struktur ukuran
diperoleh kisaran ukuran panjang total dan panjang rata-rata yaitu 39-280 cm TL (104,1
± 69.1) dan 37-320 cm TL (113,9 ± 78,1) masing-masing untuk jantan dan betina (Gambar 2).
Gambar 2. Struktur Ukuran Panjang Total Hiu Lanjaman : (a) Jantan dan (b) Betina
Berdasarkan histogram di atas dapat dilihat bahwa modus ukuran panjang total hiu
Carcharhinus brevipinna didominasi oleh tengah kelas ukuran panjang 75,5 cm pada jantan
dan 65,5 cm pada betina. Pada penelitian Sentosa et al. (2018), modus ukuran panjang
total hiu Carcharhinus brevipinna didominasi oleh kelas ukuran panjang 100-150 cm baik jantan maupun betina.
Carcharhinus brevipinna merupakan spesies pelagis pesisir, penghuni daerah beriklim
hangat, subtropis dan tropis (Compagno, 1984 in Santos et al. 2017). Ukuran maksimum
yang tercatat di lembar identifikasi FAO adalah 280 cm (Fisher and Bianchi, 1984) in (Sivadas et al., 2013). Panjang total maksimum spesies yang dilaporkan dalam literatur
adalah 300 cm (Sanches, 1991 in Ayas et al., 2019).
Hasil penelitian Sentosa et al. (2018), ditemukan hiu Carcharhinus brevipinna
tertangkap di perairan Selatan Nusa Tenggara yang berukuran 305 cm. Namun, pada
penelitian ini ditemukan hiu Carcharhinus brevipinna tertangkap dengan panjang tubuh
0
2
4
6
8
10
12
35.5
55.5
75.5
95.5
115.5
135.5
155.5
175.5
195.5
215.5
235.5
255.5
275.5
295.5
315.5
Jum
lah (
ekor)
TK panjang total (cm)
0
5
10
15
35.5
55.5
75.5
95.5
115.5
135.5
155.5
175.5
195.5
215.5
235.5
255.5
275.5
295.5
315.5
Jum
lah (
ekor)
TK panjang total (cm)(a) (b)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
38 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
320 cm. Ukuran panjang maksimal sampel hiu lebih panjang dikaitkan dengan pendugaan
ketersediaan makanan yang relatif melimpah di Selat Makassar yang merupakan daerah
penangkapan Carcharhinus brevipinna pada penelitian ini. Ketersediaan makanan yang
melimpah menyebabkan tercukupinya kebutuhan energi untuk pertumbuhan dan
reproduksi sehingga hiu dapat tumbuh secara optimal (Joung et al. 2005; Sentosa et al.
2018).
Pertumbuhan. Parameter populasi diduga menggunakan data gabungan jantan dan
betina berdasar hasil analisis uji T yang tidak memperlihatkan perbedaan ukuran jantan
dan betina. Berdasarkan hasil uji Independent Sample T-Test SPSS yang membandingkan
perbedaan ukuran panjang jantan dan betina diperoleh nilai Sig. Levenes’s Test for Equality of Variances sebesar 0.082 > 0.05 maka dapat diartikan bahwa varians data antara jantan
dan betina adalah homogen atau sama. Selanjutnya, nilai Sig. (2-tailed) pada T-Test for
Equality for Means sebesar 0.477 > 0.05 yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan
antara ukuran panjang sampel jantan dan betina. Penelitian Santos et al. (2017) yang menggunakan sampel Carcharhinus brevipinna
sebanyak 125 ekor terdiri dari 56 jantan dan 69 betina, tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan antara jantan dan betina (F = 0,561, p = 0,455). Penelitian Allen & Wintner
(2002) yang membandingkan parameter pertumbuhan Von Bertalanffy menggunakan data gabungan jenis kelamin hiu Carcharhinus brevipinna berjumlah 67 ekor diperoleh K =
0,127, L∞ = 209 cm, t0 = -2,52 dengan panjang maksimal 220 cm. Hasil penelitiannya
tersebut dibandingkan dengan penelitian terdahulu Branstetter (1987) yang menggunakan
sampel hiu Carcharhinus brevipinna berjumlah 14 ekor diperoleh K = 0,212, L∞ = 158 cm,
t0 = -1,94 dengan panjang maksimal 166 cm. Hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat diperoleh
pendugaan L∞ = 395.5 cm, K = 0.2, t0 = -0.41. Pauly (1980) dalam Sparre & Venema
(1999) menyatakan bahwa nilai K merupakan suatu parameter yang menentukan seberapa
cepat ikan mencapai panjang asimtotiknya. Ikan dengan nilai K yang relatif rendah pada umumnya memiliki umur yang relatif panjang.
Koefisien pertumbuhan hiu lanjaman menunjukkan bahwa nilai K pada hiu lanjaman lebih
kecil dari 0.5. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan pada hiu lanjaman memiliki
pertembuhan yang lebih lambat dari panjang asimtot ikan. Menurut Sparre dan Venema (1999) menjelaskan bahwa nilai K < 0.5 memiliki pertumbuhan yang lambat. Sebaliknya,
jika nilai K > 0.5 memiliki pertumbuhan yang cepat.
Gambar 3. Kurva Pertumbuhan Hiu Lanjaman
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
-5 0 5 10 15 20 25 30 35
Panja
ng t
ota
l (c
m)
Umur relatif (tahun)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
39 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Nilai dugaan parameter pertumbuhan yang telah diperoleh (L∞, K, t0) kemudian
dimasukkan ke dalam persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy, yaitu Lt = 395.5 (1 – e –
0.2 (t + 0.41552)). Kurva pertumbuhan hiu lanjaman disajikan pada Gambar 3 dengan
cara mensubtitusi berbagai tingkat umur kedalam nilai t.
Mortalitas. Laju Mortalitas total (Z) diduga menggunakan metode kurva hasil tangkapan
dengan konversi panjang linier (linearized length converted catch curve) pada program
FiSAT II diperoleh hasil pada Gambar 4 memberikan nilai Z = 0,69 per tahun. Pendugaan mortalitas alami (M) menggunakan hubungan empiris Pauly (1980) dengan menginput nilai
dugaan L∞ = 395,5 cm, K = 0,2 per tahun, dan suhu rata-rata perairan di Selat Makassar
(28°C), maka diperoleh nilai dugaan mortalitas alami (M) = 0,30 per tahun. Karena Z =
M + F, maka mortalitas penangkapan diduga dengan F = Z – M = 0,76 – 0,30 = 0,39 per
tahun.
Gambar 4. Analisis Length-Converted Catch Curve
Mortalitas ikan hiu di Indonesia lebih disebabkan oleh faktor mortalitas akibat
penangkapan daripada mortalitas alami. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian
Hidayatulloh (2017) yang meneliti dinamika populasi hiu Carcharhinus falciformis di Perairan Cilacap Jawa Tengah menunjukkan bahwa nilai mortalitas akibat penangkapan (F)
sebesar 1,83 per tahun dan lebih besar daripada nilai mortalitas alaminya (M) yaitu 1,03
per tahun sehingga disimpulkan bahwa faktor kematian hiu Carcharhinus falciformis lebih
didominasi oleh faktor kegiatan penangkapan yang berlebihan. Hasil analisis Chodrijah et
al. (2018) dalam penelitiannya memperoleh hasil yang serupa bahwa nilai mortalitas alami dari ikan hiu macan M= 0,35 per tahun dan mortalitas penangkapan F= 0,75 per tahun
maka diperoleh nilai tingkat eksploitasi E = 0,68. Tingkat eksploitasi hiu macan (Galeocerdo
cuvier) di perairan Nusa Tenggara Barat ini lebih tinggi dari nilai laju ekspolitasi yang
optimal (E = 0,5).
Laju Eksploitasi. Laju eksploitasi diduga dengan membandingkan laju mortalitas akibat
penangkapan (F) terhadap laju mortalitas total (Z) sehingga diperoleh laju eksploitasi (E
= F / Z) adalah 0,39 / 0,69 = 0,56. Dari nilai E > 0,5 mengindikasikan hiu Carcharhinus brevipinna yang didaratkan di Kabupaten Majene termasuk kategori lebih tangkap.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
40 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Beberapa jenis hiu telah memasuki fase kelangkaan yang terjadi sebagai dampak
eksplorasi yang berubah menjadi eksploitasi (Ekasari et al., 2018). Potensi hiu mengalami
penurunan akibat eksploitasi yang berlebihan secara tidak langsung dan langsung
disebabkan oleh ukuran populasi masyarakat wilayah pesisir (Davidson et al., 2016).
Masalah utama lainnya adalah laporan tangkapan ikan hiu yang tidak lengkap (Worm et
al., 2013), dalam hal ini penangkapan ikan hiu tidak dilaporkan sesuai dengan keadaan di
lapangan.
Kesimpulan. Analisis struktur ukuran hiu lanjaman Carcharhinus brevipinna yang
didaratkan di Kabupaten Majene diperoleh ukuran panjang 320 cm yang merupakan ukuran
paling panjang diantara beberapa penelitian yang pernah dilakukan. Hiu tersebut memiliki
laju pertumbuhan lambat dengan laju mortalitas penangkapan yang lebih tinggi
dibandingkan laju mortalitas alami sehingga laju eksploitasi menunjukkan kondisi lebih tangkap.
Ucapan Terima Kasih. Artikel ini merupakan tugas akhir kami sebagai mahasiswa
di Prodi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Departemen Perikanan FIKP Unhas. Penulis sebagai mahasiswa yang bertugas sebagai enumerator dalam riset Hibah Penelitian Dasar
Unhas mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
pimpinan Universitas Hasanuddin Makassar dan pimpinan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat (LP2M) Unhas. Penelitian ini didanai dalam Hibah Penelitian
Dasar Unhas (PDU) dengan nomor kontrak No.1585/UN4.22/PT.01.03/2020 tanggal 27 Mei 2020.
Daftar Pustaka
Allen, B. R., & Wintner, S. P. 2002. Age and Growth of The Spinner Shark Carcharhinus brevipinna (Müller and Henle, 1839) off The Kwazulu-Natal Coast, South Africa. South
African Journal of Marine Science. 24: 1-8p.
Ayas, D., Ciftci, N., Akbora, H. D. 2019. New Record of Carcharhinus brevipinna (Müller &
Henle, 1839) from Mersin Bay, the Northeastern Mediterranean. Natural and Engineering Sciences. 4 (3): 268-275p.
Chodrijah, U., Sentosa, A. A., Prihatiningsih. 2018. Parameter Populasi Hiu Macan
(Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) di Perairan Selatan Nusa Tenggara Barat.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 24 (4): 253-261p. Compagno., Leonardo, J. V. 1984. Sharks of the World: An Annotated and Illustrated
Catalogue of Shark Species Known to Date. Part 2. FAO Fisheries Synopsis, 125 (4)
Rome, Italy.
Davidson, L. N., Krawchuk, M. A., & Dulvy, N. K. (2016). Why have global shark and ray
landings declined: improved management or overfishing?. Fish and Fisheries. 17 (2), 438-458p.
Ekasari, D. A., Kasmita, I. N., Prihatin, J. 2018. Peningkatan Pemahaman Masyarakat Guna
Mempertahankan Populasi Ikan Hiu dan Pari, Pantai Depok, Bantul, DIY. Prosiding
Simposium Nasional Hiu dan Pari Indonesia Ke-2 Tahun 2018:249-253p. Fahmi., Dharmadi. 2013. Pengenalan Jenis-Jenis Hiu Indonesia. Direktorat Konservasi
Kawasan dan Jenis Ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 63p.
Gayanilo, F. C., Sparre, P., Pauly, D. 2005. FAO-ICLARM stock assessment tools II.
Computerized information series: Rome. Hartono J. 2008 Metodelogi Penelitian Sistem Informasi. Yogyakarta: CV Andi Offset.
Hidayatulloh, W. S. 2017. Dinamika Populasi Hiu Carcharhinus falciformis (Muller & Henle,
1839) yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Cilacap, Jawa Tengah.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
41 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Skripsi. Program Sarjana, Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya.
Joung, S. J., Liao, Y. Y., Liu, K. M., Chen, C. T.. Leu, L. C. 2005. Age, Growth, and
Reproduction of the Spinner Shark, Carcharhinus brevipinna, in the Northeastern Waters of Taiwan. Zoological Studies. 44 (1): 102-110p.
Pakro, A., Mallawa, A., Sudirman., Amir, F. 2020. Population dynamic of red snapper
(Lutjanus gibbus) at Alor waters East Nusa Tenggara Province, Indonesia. The 2nd
International Conference of Animal Science and Technology. Hasanuddin University. Indonesia: 1755-1315.
Pauly, D. 1980. On the interrelationship between natural mortality, growth parameters,
and mean environmental temperature in 175 fish stocks. J. Com. CIEM. 39 (2): 175-
192p. Pauly, D. 1983. Length Converted Catch Curve A Powerful! For Fisheries Research In
tropical (Part 1). Fishbyte, Philippine, 1(2): 9-13p.
Pauly D. 1984. Some Simple Methods for Assessment of Tropical Fish Stocks. ICLARM.
Manila. 52p.
Sangadji, I. M. 2014. Panduan & Logbook Survei Monitoring Hiu. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL), Denpasar.
Santos, P. R. S. D., Santoro, P., Chelotti, L. D. D. 2017. Length-Weight Relationship of The
Spinner Shark (Carcharhinus brevipinna) on The Continental Shelf of Southern Brazil.
Arquivos de Ciencias do Mar. 50 (2): 133-135p. Sentosa, A. A., Fahmi dan U. Chodrijah. 2018. Pola Pertumbuhan dan Faktor Kondisi Hiu
Merak Bulu Carcharhinus brevipinna di Perairan Selatan Nusa Tenggara. Oseanologi
dan Limnologi di Indonesia. 3 (3): 209-218p.
Sivadas, M., Renjith, L., Sathakthullah, M., James, K. J., Kumar, K. S. 2013. A pregnant female spinner shark, Carcharhinus brevipinna (Muller & Henle, 1839) landed at
Tharuvaikulam, Tuticorin. Marine Fisheries Information Service T&E Ser. No.215.
Sparre, P. dan Venema, S. C. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. 438p. Worm, B., Davis, B., Kettemer, L., Ward-Paige, C.A., Chapman, D., Heithaus, M.R., Kessel,
S.T. & Gruber, S.H. (2013). Global catches, exploitation rates, and rebuilding options
for sharks. Mar. Pol. 40, 194–204.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
42 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pertumbuhan Lamun Jenis Cymodocea rotundata Hasil Transplantasi di Perairan Desa Pejarakan, Buleleng, Bali Citra Satrya Utama Dewi1,2, Kunthi Teteki Elparisi2, Abdul Hari3 dan Yanida Azhari
Julianinda4
1,2,4 Program Studi Ilmu Kelautan, FPIK – Universitas Brawijaya
2 Pusat Studi Pesisir dan Kelautan, LPPM – Universitas Brawijaya 3 Nature Conservation Forum Putri Menjangan, Desa Pejarakan, Kecamatan Buleleng, Bali
(Email: [email protected])
Abstrak - Sebagai tumbuhan tingkat tinggi, lamun menggunakan nutrisi dari substrat dan dapat melakukan fotosintesis, sehingga dapat menghasilkan makanan tidak hanya untuk dirinya melainkan
juga untuk organisme disekitarnya. Selayaknya ekosistem lainnya, padang lamun juga memiliki
beberapa bentuk ancaman, ialah: reklamasi, abrasi, serta tersangkut jaring dan jangkar nelayan. Ekosistem padang lamun dapat ditemui di Perairan Desa Pejarakan, Buleleng, Bali, dalam sebuah
kawasan yang dikelola oleh kelompok masyarakat Nature Conservation Forum Putri Menjangan.
penutupan lamun di Zona Rehabilitasi merupakan yang terendah (15%), sehingga dirasa penting untuk melakukan rekayasa perbanyakan lamun di dalamnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui survival rate dan laju pertumbuhan lamun yang ditransplantasi. Penelitian ini dilakukan di Nature Conservation Forum Putri Menjangan, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten
Buleleng, Bali mulai tanggal 1 Juli hingga 1 Agustus 2019, dengan menggunakan metode jangkar. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Cymodocea rotundata memiliki peluang hidup yang tinggi (diatas 50%) jika ditransplantasi dengan metode jangkar. Selain itu, lamun jenis ini juga dapat melakukan
pertumbuhan daun yang cukup baik, serta dapat berkembangbiak secara aseksual melalui penambahan tegakan.
Kata Kunci : Lamun, Cymodocea rotundata, Transplantasi, Pertumbuhan
Pendahuluan. Ekosistem padang lamun memiliki peran ekologi yang sangat penting,
antara lain sebagai produsen primer di laut dangkal dan juga sebagai habitat bagi
organisme laut dangkal lainnya (Azkab, 1999). Sebagai tumbuhan tingkat tinggi, lamun
menggunakan nutrisi dari substrat dan dapat melakukan fotosintesis, sehingga dapat
menghasilkan makanan tidak hanya untuk dirinya melainkan juga untuk organisme disekitarnya. Beragam jenis organisme menjadikan padang lamun sebagai habitat
hidupnya, antara lain moluska, crustacea, echinodermata, polychaeta, hingga penyu dan
dugong (Azkab, 1998; Arbi, 2012; Azkab, 1999; Alhakim dan Wahyuni, 2009). Fakta ini
menggambarkan dengan jelas bahwa padang lamun berperan penting dalam menjaga stabilitas ekosistem laut dangkal.
Selayaknya ekosistem lainnya, padang lamun juga memiliki beberapa bentuk
ancaman, ialah: reklamasi, abrasi, serta tersangkut jaring dan jangkar nelayan (Dewi et
al., 2018). Padang lamun akan menjadi salah satu habitat yang dibersihkan setelah hutan
mangrove, jika sebuah kawasan pesisir akan dikembangkan dan dibangun, sehingga akan berubah menjadi beton beton tertanam dalam substrat laut. Arus kencang dan geombang
tinggi yang menyerang tepian daratan akan mengakibatkan tegakan lamun terganggu,
daun yang lepas ataupun batang yang patah. Aktivitas perikanan di jalur 1 bahkan juga
akan mengancam keberadaan padang lamun, jaring ikan yang ditebar serta jangkar kapal yang ditambatkan sering kali mengangkat serumpun rizoma lamun dari substrat.
Ekosistem padang lamun dapat ditemui di Perairan Desa Pejarakan, Buleleng, Bali,
dalam sebuah kawasan yang dikelola oleh kelompok masyarakat Nature Conservation
Forum Putri Menjangan. Jenis lamun yang terdapat di kawasan ini, ialah: Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, dan Thalasia hemprichii dan membentuk
padang lamun campuran dalam kondisi yang sehat (Dewi et al., 2020). Pengelola membagi
kawasan ini menjadi tiga bagian, yaitu Zona Inti, Zona Pemanfaatan, dan Zona Rehabilitasi.
Dewi et al., (2020) memaparkan bahwa penutupan lamun di Zona Rehabilitasi merupakan
yang terendah (15%) dengan tiga jenis lamun yang menyusun, yaitu Cymodocea
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
43 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
rotundata, Halodule uninervis, dan Thalasia hemprichii, sehingga dirasa penting untuk
melakukan rekayasa perbanyakan lamun di dalamnya. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui survival rate dan laju pertumbuhan lamun yang ditransplantasi.
Metode Penelitian. Penelitian ini dilakukan di Nature Conservation Forum Putri
Menjangan, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali mulai tanggal
1 Juli hingga 1 Agustus 2019. Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya alat
selam dasar, Action Cam, transek jangkar 1m x 1m x 15cm, sabak 10 x 10 cm, pensil, tali
organik, sekop, wadah/ember, pisau, penggaris. Sedangkan untuk bahan yang digunakan adalah jenis lamun Cymodocea rotundata, tali transek dan botol polyetilen.
Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah survei lapangan untuk
menentukan lokasi penelitian, studi literatur, dan konsultasi. Kemudian melakukan
pemilihan lokasi untuk kegiatan transplantasi lamun menyesuaikan dengan kondisi lokasi yang akan dilakukan transplantasi. Pada lokasi transplantasi lamun dibuat transek jangkar
sebesar 1m x 1m x 15cm. Tujuan dari pembuatan kurungan ini agar transplantasi lamun
di lapangan tidak terganggu oleh aktifitas manusia, grazer dan kondisi alam.
Selanjutnya transplan yang akan di donorkan dikumpulkan dalam satu wadah, kemudian dipilih transplan yang layak digunakan untuk kegiatan transplantasi lamun.
Kemudian dibawa ke lokasi transplan yang telah di tentukan sebelumnya. Pada penelitian
ini proses transplantasi menggunakan metode "sprig" dengan jangkar yaitu pengambilan
bibit tanaman dengan pisau/parang dan ditransplnatsai tanpa substratnya. Untuk
penanaman dengan metode sprig dengan jangkar biasanya dilakukan pada arus dengan kecepatan 1,5 knot (3 km/jam) atau pada daerah dengan gelombang akibat angin (Azkab,
1999).
Dalam mengamati pertumbuhan lamun yang ditransplantasi dilakukan pengukuran
berupa perhitungan tingkat kelangsungan hidup lamun di awal dan akhir pengamatan. Serta melakukan perhitungan laju pertumbuhan daun lamun setiap minggu selama 1 bulan
pengamatan. Pengukuran pertumbuhan panjang daun lamun dilakukan pada setiap bibit
lamun yang ditransplantasi dengan menggunakan penggaris. Laju pertumbuhan daun
lamun jenis Cymodocea rotundata yang ditransplantasi dihitung dengan rumus yang dijelaskan Supriadi et al., 2006 dalam Febriantoro et al., 2013, yaitu:
Keterangan :
P = Laju pertumbuhan panjang daun (cm)
Lt = Panjang daun akhir setelah waktu t (cm)
Lo = Panjang daun pada pengukuran awal (cm) T = Selang waktu pengukuran (Minggu)
Sedangkan perhitungan tingkat kelangsungan hidup lamun dilakukan pada setiap tegakan lamun yang sama. Untuk menghitung tingkat kelangsungan hidup yang ditransplantasi digunakan rumus yang dikemukakan oleh Royce (1972) dalam Febriantoro et al., 2013, yaitu:
𝐏 =𝐋𝐭 − 𝐋𝐨
∆𝐭
𝐒𝐑 =𝐍𝐭
𝐍𝟎 𝐱 𝟏𝟎𝟎
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
44 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Keterangan :
SR = tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = jumlah tegakan lamun utama yang masih hidup pada akhir penelitian
N0 = jumlah tegakan lamun utama yang ditransplantasi pada awal penelitian
Hasil dan Pembahasan. Jenis lamun yang transplantasi dalam penelitian ini adalah
Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii (Gambar 1), dua jenis ini dipilih karena
memiliki morfologi yang lebih besar dari pada Halodule uninervis. Terdapat lima buah plot
T. hemphichii dan 9 buah plot C. rotundata yang ditransplantasi, dengan masing masing berisikan dua rizhoma sebagai ulangan. Pada pengamatan pertama, di hari ke-14 seluruh
sampel T. hemphichii ditemukan mati dan membusuk, sehingga data yang didapat dari
penelitian ini hanya jenis C. rotundata.
Gambar 1. Jenis Lamun yang Ditransplantasi (A) C. rotundata dan (B) T. hempricii
Survival rate C. rotundata yang ditransplantasi dengan metode jangkar diketahui
mencapai 88.89%. Hal ini dihitung dari jumlah plot yang masih bertahan ialah 8 plot dari
9 plot percobaan (Tabel 1). Rhizoma lamun dalam salah satu plot tersebut ditemukan busuk
pada pengamatan hari ke-14, sementara rhizoma dalam delapan plot yang lain dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Prosentase ini relatif kurang dari penelitian
transplantasi lamun jenis C. rotundata yang dilakukan di Perairan Teluk Awur Jepara
(Riniatsih dan Endrawati, 2013). Sementara, hasil penelitian ini menunjukkan nilai yang
cukup besar jika dibandingkan penelitian yang dilakukan di Pulau Barranglompo Sulawesi
Selatan, yaitu kurang dari 50% (Asriani, 2014). Bentuk tumbuh dan perkembangbiakan yang baik dari lamun transplantasi dalam penelitian ini ialah panjang daun dan jumlah helai
daun yang bertambah, serta jumlah tegakan baru yang muncul. Jumlah daun lamun yang
ditransplantasi dalam penelitian ini bertambah sekitar 1 ~ 4 helai dalam 29 hari
pengamatan (Tabel 1). Pada parameter perkembangbiakan, terlihat bahwa beberapa plot percobaan menunjukkan adanya tegakan baru antara 1 ~ 2 tegakan (Tabel 1).
(A) (B)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
45 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Tabel 1. Panjang Daun Lamun Jenis Cymodocea rotundata Hasil Transplantasi
Plot T0 T14 T29 Keterangan
Cr1 8.50 17.00 22.20 T29 -> 2 daun baru, 1 tunas baru
Cr2 2.50 Busuk Mati -
Cr3 3.92 6.97 10.62 T15 -> 2 daun baru; T29 -> 3 daun baru
Cr4 5.75 10.25 14.45 T29 -> 1 daun baru; 2 tunas baru
Cr5 4.90 14.46 27.77 T29 -> 3 daun baru
Cr6 3.72 7.27 11.27
T15 -> 1 tunas baru; T29 -> 2 daun baru, 3
tunas baru
Cr7 6.40 12.75 18.75 T29 -> 1 daun baru
Cr8 5.17 10.30 15.93 T29 -> 1 daun baru
Cr9 5.33 10.43 15.50
T15 -> 1 daun baru, 2 tunas baru; T29 -> 2
daun baru
Laju pertumbuhan daun lamun jenis C. rotundata yang ditransplantasi dengan metode
jangkar di lokasi ini menunjukkan nilai antara 0.23 cm/hari – 0.79 cm/hari, dengan rata
rata 0.4 cm/hari (Tabel 2). Pertumbuhan mutlak daun lamun jenis C. rotundata yang ditransplantasi dengan metode jangkar di lokasi ini menunjukkan nilai antara 6.70 cm
hingga 22.87 cm dalam 29 hari (Tabel 2). Nilai laju pertumbuhan ini relative sama jika
dibandingkan dengan pertumhuhan daun C. rotundata yang ditransplantasi dengan metode
jangkar di Perairan Teluk Awur Jepara (Riniatsih dan Endrawati, 2013). Hal ini diduga karena kondisi perairan yang optimal, jarak lokasi donor cukup, dan perawatan yang baik.
Tabel 2. Pertumbuhan Daun Lamun Jenis Cymodocea rotundata Hasil Transplantasi
Plot Pertumbuhan Mutlak (cm) Laju Pertumbuhan (cm/hari)
Cr1 13.70 0.47
Cr2 - -
Cr3 6.70 0.23
Cr4 8.70 0.30
Cr5 22.87 0.79
Cr6 7.55 0.26
Cr7 12.35 0.43
Cr8 10.77 0.37
Cr9 10.17 0.35
Kesimpulan Dan Saran. Mengacu pada hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
C. rotundata memiliki peluang hidup yang tinggi (diatas 50%) jika ditransplantasi dengan
metode jangkar. Selain itu, lamun jenis ini juga dapat melakukan pertumbuhan daun yang
cukup baik, serta dapat berkembangbiak secara aseksual melalui penambahan tegakan.
Saran yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah perlu dilakukan pengamatan hidro oseanografi dan substrat, dan perlu dipertimbangkan membuat rangka kawat tiga dimensi
untuk transek jangkar, sehingga meminimalisir kemungkinan kematian lamun akibat
grazing biota.
Ucapan Terimakasih. Penelitian ini dilakukan bekerjasama dengan Yayasan Nature
Conservation Forum PUTRI MENJANGAN, Desa Pejarakan, Kecamatan Buleleng, Bali
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
46 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Daftar Pustaka
Alhakim, Iin Inayat dan Wahyuni, Dan Puji Sri. 2009. Populasi Suku Syllidae (Polychaeta)
Di Padang Lamun Perairan Teluk Gilimanuk. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia Vol. 35 (1) : 29-45. ISSN 0125 – 9830
Arbi, Ucu Yanu. 2012. Komunitas Moluska Di Padang Lamun Pantai Wori, Sulawesi Utara.
Jurnal Bumi Lestari. Volume 12 (1) : 55 – 65
Asriani, N. 2014. Tingkat Kelangsungan Hidup dan Persen Penutupan Berbagai Jenis Lamun
yang Ditransplantasi Di Pulau Barranglompo. SKRIPSI. Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin.
Azkab, M. Husni. 1998. Duyung Sebagai Pemakan Lamun. Oseana. Volume XXIII, nomor
3 & 4 : 35-39. ISSN 0216- 1877. Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi - LIPI,
Jakarta. Azkab, M. Husni. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Oseana. Volume XXIV, nomor 1: 1-
16. ISSN 0216-1877. Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta.
Azkab, M. Husni. 1999. Petunjuk penanaman lamun. Oseana. Volume XXIV, nomor 3: 11-
25. ISSN 0216-1877. Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi - LIPI, Jakarta. Dewi, Citra Satrya Utama., Beginer Subhan, Dondy Arafat, Sukandar. 2018. Distribusi
Habitat Pakan Dugong dan Ancamannya di Pulau - Pulau Kecil Indonesia. Journal of
Fisheries and Marine Science. Vol 2 (2)
Dewi, Citra Satrya Utama., Defri Yona, Feni Iranawati. 2020. Analisis Kesehatan Ekosistem
Lamun Di Pantai Menjangan, Buleleng, Bali. Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan VIII
Febriyantoro, Ita Riniatsih, Hadi Endrawati, 2013. Rekayasa Teknologi Transplantasi
Lamun(Enhalusacoroides) Di Kawasan Padang Lamun Perairan Prawean Bandengan
Jepara. JurnalPenelitianKelautan. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2013, Halaman 1-10.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
47 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
BIDANG ILMU
BUDIDAYA PERAIRAN
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
47 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pengaruh Suhu Evaporasi yang Berbeda Terhadap
Aktivitas Antioksidan Ekstrak Spirulina platensis Intan Dwi Sari1, Putut Har Riyadi2 dan Romadhon3
1,2,3)Program Studi Teknologi Hasil Perikanan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro
Jln. Prof. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah - 50275, Telp/fax: (024)
7474698 (Email: [email protected])
Abstrak - Spirulina platensis merupakan mikroalga yang mudah dibudidayakan. S. platensis
mengandung aktivitas antioksidan tinggi bersumber dari senyawa bioaktif. Senyawa bioaktif yang terkandung S. platensis merupakan golongan karotenoid. Salah satu metode yang digunakan untuk
mendapatkan senyawa bioaktif adalah maserasi. Maserasi adalah proses pemisahan senyawa bioaktif
dengan perendaman suhu ruang yang menggunakan pelarut. Salah satu metode menghilangkan pelarut adalah evaporasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh suhu evaporasi
berbeda terhadap karakteristik ekstrak S. platensis. Karakteristik tersebut adalah pH, aktivitas antioksidan, dan senyawa dari S. platensis (Gas Chromatography Mass Spectrometry). Metode
penelitian menggunakan pola percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan
perbedaan suhu evaporasi. Perbedaan suhu evaporasi tersebut adalah 40oC, 60oC, dan 80oC. Semua perlakuan dilakukan ulangan sebanyak tiga kali. Hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap nilai pH. Sedangkan aktivitas antioksidan tertinggi pada suhu 80oC dengan nilai 75,09%. Analisis senyawa menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry
menghasilkan dua puluh empat senyawa. Tiga senyawa terbanyak adalah Octadecenamide (10,99%),
ethyl linoleate (19,47%), dan dodecanoic acid, ethyl ester (27,71%). Potensi aktivitas biologis pada ekstrak S. platensis adalah sebagai antioksidan, antimikroba, antikanker, antibakteri, antiinflamasi,
anti leishmania, antidiuretik, sitotoksisitas, hipokolesterolemia, antiandrogenik, hemolitik, Antivirus, antihipertensi, antijerawat, antitumor, antijamur, antialzheimer, dan antifungi.
Kata Kunci : Spirulina platensis, Ekstrak, Evaporasi, Aktivitas Antioksidan, Potensi.
Abstrak - Spirulina platensis is a microalgae that is easy to cultivate. S. platensis contains high
antioxidant activity derived from bioactive compounds. The bioactive compounds contained in S.
platensis are a class of carotenoids. One of the methods used to obtain bioactive compounds is maceration. Maceration is the process of separating bioactive compounds by immersion at room
temperature using a solvent. One of the methods of removing solvents is evaporation. The purpose of
this study was to determine the effects of different evaporation temperature on the characteristics of S. platensis extracts. These characteristics were pH, antioxidant activity, and compounds from S.
platensis (Gas Chromatography Mass Spectrometry). The research method used was a completely randomized design (CRD) experimental pattern using the difference in evaporation temperature. The
differences in evaporation temperature were 40oC, 60oC, and 80oC. All treatments were repeated three
times. The results obtained showed a significant effect on the pH value. Meanwhile, the highest antioxidant activity was at 80oC with a value of 75.09%. Compound analysis using Gas Chromatography
Mass Spectrometry produced twenty-four compounds. The top three compounds were Octadecenamide (10.99%), ethyl linoleate (19.47%), and dodecanoic acid, ethyl ester (27.71%). The potential biological
activities of S. platensis extract are as antioxidants, antimicrobials, anticancer, antibacterial, anti-
inflammatory, anti-leishmania, antidiuretic, cytotoxicity, hypocholesterolemic, antiandrogenic, hemolytic, antiviral, antihypertensive, anti-acne, anti-tumor, antialzheimer, and anti-fungal.
Keywords: Spirulina platensis, Extract, Evaporation, Antioxidant Activity, Potential.
Pendahuluan. Spirulina platensis adalah sejenis mikroalga yang mudah dibudidayakan
berwarna hijau kebiruan dengan nama lain blue green algae berbentuk spiral golongan
Cyanobacteria yang mampu berfotosintesis. S. platensis banyak mengandung komponen
nutrisi dan senyawa bioaktif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, kosmetik, dan kesehatan. Menurut Christwardana et al. (2011), S. platensis mengandung nutrisi yang
cocok digunakan sebagai makanan fungsional seperti protein, asam lemak esensial,
vitamin, mineral, dan klorofil. S. platensis berfungsi sebagai produk makanan yang bisa
bertindak sebagai obat. Yasir et al. (2019), beberapa penelitian pernah dilakukan
menunjukkan bahwa S. platensis mengandung aktivitas biologis berfungsi sebagai
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
48 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
pencegah penyakit seperti mencegah replikasi virus, mencegah anemia, mencegah
penyakit akibat perlemakan hati, menurunkan kadar glukosa darah, profil lipid, dan
menurunkan tekanan darah. Sedangkan Finamore et al. (2017) menyatakan bahwa S.
platensis memiliki potensi sebagai antioksidan, anti inflamasi, dan meningkatkan daya tahan tubuh.
Senyawa bioaktif yang berpotensi sebagai antioksidan pada S. platensis adalah
karotenoid pigmen berwarna orange, klorofil pigmen berwarna hijau dan fikosianin pigmen
berwarna biru. Senyawa bioaktif tersebut dapat dimanfaatkan sebagai suplemen pencegah radikal bebas. Radikal bebas di dalam tubuh dapat merusak sel dan memicu penyakit
serius. Kandungan beta karoten pada S. platensis lebih tinggi sepuluh kali lipat
dibandingkan wortel. Menurut Hanani et al. (2020), S. platensis berpotensi sebagai
antioksidan alami yang mampu mendonorkan atom hidrogen pada radikal bebas seperti senyawa fenolat, karotenoid, dan klorofil. Senyawa bioaktif yang terkandung dalam S.
plantesis seperti beta karoten merupakan golongan karotenoid. Salah satu metode yang
digunakan untuk mendapatkan senyawa bioaktif adalah maserasi.
Ekstraksi maserasi adalah pemisahan senyawa bioaktif yang dilakukan dengan proses
perendaman suhu ruang menggunakan pelarut hingga tercapainya kesetimbangan antara konsentrasi senyawa terhadap konsentrasi pelarut dalam sel tanaman. Senyawa bioaktif
yang terkandung dalam tanaman dari proses ekstraksi dengan memecahkan dinding sel
sehingga menghasilkan senyawa bioaktif. Menurut Jos et al. (2011), biomassa terhadap
sel S. platensis akan lebih mudah larut dalam pelarut polar dibandingkan dengan pelarut kurang polar. Pelarut polar dapat melarutkan senyawa polar dan senyawa non polar karena
mempunyai momen dipole yang besar. Pratiwi et al. (2016), etanol merupakan pelarut
yang digunakan untuk ekstraksi mempunyai polaritas yang tinggi, tidak beracun, dan
aman. Widayanti et al. (2009), pelarut etanol termasuk pelarut foodgrade bersifat polar banyak digunakan untuk ekstrak komponen aktif bahan makanan pangan. Salah satu
metode menghilangkan pelarut adalah evaporasi.
Evaporasi merupakan proses pemekatan menggunakan titik didih pelarut suatu larutan
yang terdiri dari pelarut dan senyawa terlarut. Pemekatan digunakan dalam proses pengambilan senyawa bioaktif dari bahan alami. Pemekatan pada evaporasi mampu
mengikat larutan dengan memperkecil volume pada larutan sehingga aktivitasnya
menurun. Senyawa bioaktif pada larutan yang dilakukan pemekatan secara sempurna
mengakibatkan senyawa bioaktif semakin meningkat dan volumenya semakin mengecil.
Proses pemekatan larutan menurunkan kandungan pelarut meningkatkan konsentrasi senyawa bioaktif yang terkandung dalam bahan. Menurut Earle (1982), faktor yang
mempengaruhi proses kecepatan evaporasi atau penguapan yaitu kecepatan hantaran
panas yang diuapkan ke bahan, jumlah panas yang tersedia dalam penguapan, suhu
maksimum yang dapat dicapai, tekanan yang terdapat dalam alat, dan perubahan terjadi dalam proses penguapan.
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut untuk mengetahui pengaruh suhu
evaporasi terhadap aktivitas antioksidan dan Kandungan senyawa bioaktif dan potensi
biologis pada ekstrak S. platensis.
Metode Penelitian
Ekstraksi S. platensis. Sampel S. platensis berbentuk serbuk diekstraksi dengan metode maserasi (perendaman) menggunakan perbandingan 1:10 yaitu satu bagian sampel serbuk
mikroalga S. platensis direndam dalam sepuluh bagian larutan etanol 96%. Maserasi
dilakukan selama 2 hari pada suhu ruangan dalam wadah berbahan gelas yang bermulut
lebar dan dilakukan pengadukan setiap 24 jam sekali. Hasil larutan pada proses
perendaman dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman sehingga
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
49 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
menghasilkan ekstrak S. platensis berbentuk cair. Ekstrak cair dilakukan penguapan atau
evaporasi dengan alat rotary evaporator pada suhu 40oC, suhu 60oC, dan suhu 80oC selama
80 menit hingga diperoleh ekstrak lebih pekat terhadap masing-masing suhu.
Pengujian pH Ekstrak S. platensis (Widyasanti et al., 2018). Pengukuran nilai pH
menggunakan pH meter dengan kalibrasi elektroda pada pH meter buffer pH 7 dan buffer
pH 4. Pengukuran nilai pH dengan cara pencelupan elektroda pada pH meter ke dalam
sampel.
Pengujian Antioksidan Ekstrak S. platensis (Sami dan Rahimah, 2017). Pengukuran
Serapan Larutan Blanko ABTS Larutan ABTS dipipet sebanyak 1 ml dan dicukupkan
volumenya sampai 5 ml dengan etanol absolut dalam labu terukur. Larutan ini kemudian
diukur dengan spektrofotometri UV-Vis pada panjang gelombang 750 nm. Pengukuran
aktivitas pengikatan radikal bebas ABTS dengan Sampel. Larutan sampel 1000 ppm dipipet
masing-masing 50 µl, 100 µl, 150 µl, 200 µl dan 250 µl, campuran ditambah 1 ml larutan
ABTS lalu dicukupkan volumenya sampai 5 ml dengan etanol absolut sehingga diperoleh
larutan dengan konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm dan 50 ppm. Selanjutnya
dihomogenkan lalu diukur serapan dengan spektrofotometri UV-Vis pada panjang
gelombang 750 nm. Besarnya daya aktivitas antioksidan dihitung dengan rumus :
𝑰𝒏𝒉𝒊𝒃𝒊𝒔𝒊 =(𝒂𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒃𝒍𝒂𝒏𝒌𝒐 − 𝒂𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍
𝒂𝒃𝒔𝒐𝒓𝒃𝒂𝒏𝒔𝒊 𝒃𝒍𝒂𝒏𝒌𝒐 × 𝟏𝟎𝟎%
Pengujian GCMS Ekstrak S. platensis (Kumaresan et al., 2015). Analisis GCMS
ekstrak etil asetat dari jamur dianalisis dengan GCMS. Gas kromatografi terkait dengan
sistem spektrometer massa yang dilengkapi dengan DB5ms kolom kapiler (30,0m x
0,25mm, ketebalan film 0,25μm) digunakan. Suhu oven kolom GC diprogram dari 700oC
hingga 3000oC. Suhu awal adalah 700oC (waktu penahanan 2 menit) dan naik menjadi
3000oC (waktu tahan 7 menit) pada kecepatan 100oC min-1. Total waktu menjalankan
adalah 32.0 min. Helium dengan kemurnian 99,9995% digunakan sebagai gas pembawa
dengan aliran konstan 1,51ml/mnt. Suhu antarmuka GCMS adalah pada 2800oC. Injector
dan detector suhu ditetapkan pada 2000oC. 1μl sampel disuntikkan dalam rasio split 1:10.
MS rentang pemindaian diatur dari 40-1000Da. Identifikasi senyawa diperoleh dengan
membandingkan waktu retensi dengan senyawa asli dengan data spectral diperoleh dari
pustaka data senyawa yang sesuai. Jumlah senyawa adalah direpresentasikan sebagai
persentase area relatif yang berasal dari integrator.
Analisis Bioinformatika (Riyadi et al., 2020)
Analisis bioinformatika dilakukan dengan mengakses server pada PubChem menggunakan
https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/ menghasilkan informasi struktur senyawa 2D dan
struktur senyawa 3D dari senyawa bioaktif.
Hasil dan Pembahasan
Pengujian pH Ekstrak S. platensis. Nilai rata-rata pH ekstrak serbuk S. platensis yang diberi perlakuan suhu evaporasi yang berbeda (40oC, 60oC, dan 80oC) tersaji pada
Gambar 1.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
50 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 1. Hasil pH Ekstrak S. platensis Suhu 40oC, Suhu 60oC, dan Suhu 80oC
Keterangan :
Data merupakan hasil dari rata-rata 3 kali ulangan ± standar deviasi dan tanda huruf kecil yang berbeda
menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) ESA adalah Ekstrak S. platensis suhu 40°C
ESB adalah Ekstrak S. platensis suhu 60°C ESC adalah Ekstrak S. platensis suhu 80°C
Hasil uji normalitas dan homogenitas nilai pH menunjukkan nilai signifikansi 0,481 dan 0,181 (P > 0,05), yang artinya data terdistribusi normal dan homogen. Hasil uji analisis
sidik ragam (ANOVA) diperoleh nilai P < 0,05, menunjukkan bahwa menggunakan suhu
evaporasi yang berbeda berpengaruh terhadap nilai pH dalam ekstrak S. platensis. Uji
lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan.
Berdasarkan penelitian ekstrak S. platensis nilai pH dengan perlakuan suhu berbeda
pada evaporasi. Ekstrak S. platensis menghasilkan nilai pH 7,16 ± 0,01 suhu 40oC, pH 6,94
± 0,02 suhu 60oC, dan pH 6,32 ± 0,02 suhu 80oC. Hasil pH ekstrak S. platensis
menunjukkan bahwa perlakuan suhu mempengaruhi nilai pH. Hal ini terjadi penurunan nilai
pH karena perlakuan suhu dapat merubah struktur kimia senyawa. Sejalan dengan Wu et
al. (2016), melakukan penelitian S. platensis semakin tinggi suhu yang digunakan nilai pH
optimal dalam kisaran tertentu semakin rendah.
Ekstrak S. platensis menghasilkan presentase nilai pH tinggi pada suhu 40oC sebesar
7,16 ± 0,01. Presentase nilai pH 6,32 ± 0,02 suhu 80oC lebih rendah dari nilai pH 6,94 ±
0,02 suhu 60 oC. Presentase nilai pH 7,16 ± 0,01 suhu 40oC lebih tinggi dari nilai pH 6,94
± 0,02 suhu 60 oC. Ekstrak S. platensis dihasilkan dari proses ekstraksi dengan
menggunakan etanol yang memiliki nilai pH 7,33 bersifat polar. Etanol pada larutan ekstrak
S. platensis dievaporasi, mengakibatkan etanol semakin sedikit. Semakin tinggi suhu
evaporasi yang digunakan nilai pH dihasilkan rendah. Hal ini dapat dilihat pada karakteristik
ekstrak S. platensis yang di hasilkan seperti suhu 40oC bentuk cair, suhu 60oC bentuk cair
pekat, dan suhu 80oC bentuk pasta. Ekstrak S. platensis menghasilka nilai pH 6,32-7,33
dapat diaplikasikan sebagai krim tabir surya dengan pH 4,5–8 (SNI 16-4399-1996).
Menurut Mardikasari et al. (2017), jika pH sediaan berada di luar interval pH kulit akan
bersisik dan iritasi, sedangkan bila berada di atas pH kulit dapat menyebabkan kulit terasa
licin, cepat kering, serta dapat mempengaruhi elastisitas kulit.
5.8
6.0
6.2
6.4
6.6
6.8
7.0
7.2
7.4
ESA ESB ESC
pH
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
51 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pengujian Antioksidan Ekstrak S. platensis . Nilai rata-rata aktivitas antioksidan
sampel ekstrak S. platensis yang diberi perlakuan suhu evaporasi berbeda (40oC, 60oC,
dan 80oC) tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2. Hasil Aktivitas Antioksidan Ekstrak S. platensis Suhu 40oC, Suhu 60oC, dan
Suhu 80oC Keterangan : Data merupakan hasil dari rata-rata 3 kali ulangan ± standar deviasi dan tanda huruf kecil yang berbeda
menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05) ESA adalah Ekstrak S. platensis suhu 40°C
ESB adalah Ekstrak S. platensis suhu 60°C
ESC adalah Ekstrak S. platensis suhu 80°C
Hasil uji normalitas dan homogenitas aktivitas antioksidan menunjukkan nilai
signifikansi 0,890 dan 0,384 (P > 0,05), yang artinya data terdistribusi normal dan homogen. Hasil uji analisis sidik ragam (ANOVA) diperoleh nilai P < 0,05, menunjukkan
bahwa menggunakan suhu evaporasi yang berbeda berpengaruh terhadap aktivitas
antioksidan dalam ekstrak S. platensis. Uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) menunjukkan
bahwa adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Aktivitas antioksidan pada ekstrak S. platensis menggunakan pengujian metode
ABTS, nilai presentase yang didapatkan adalah 18,97 ± 2,96% suhu 40oC, 48,99 ± 2,77%
suhu 60oC, dan 75,09 ± 1,16% suhu 80oC. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan
presentase aktivitas antioksidan terjadi pengikatan secara sempurna senyawa bioaktif
penyusun aktivitas antioksidan ekstrak S. platensis dengan perlakuan suhu evaporasi.
Menurut Fitriana et al. (2015), senyawa antioksidan memiliki kemampuan menghambat
proses oksidasi pada senyawa radikal bebas. Ridlo et al. (2015), beberapa komponen
Spirulina sp. yang diduga memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenolat,
karotenoid, pigmen fikobiliprotein, klorofil, dan turunan klorofil.
Ekstrak S. platensis dalam perlakuan evaporasi suhu berbeda dengan penggunaan
waktu yang sama dapat mempengaruhi presentase nilai aktivitas antioksidan. Perlakuan
evaporasi suhu 80oC ekstrak S. platensis menghasilkan presentase nilai aktivitas
antioksidan ekstrak S. platensis yang tertinggi sebesar 75,09 ± 1,16%. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya presentase nilai aktivitas antioksidan meningkat terhadap
perlakuan suhu berbeda pada ekstraksi S. platensis dengan penggunaan waktu yang sama.
Peningkatan presentase nilai aktivitas antioksidan dipengaruhi oleh perlakuan suhu dan
waktu evaporasi. Presentase nilai aktivitas antioksidan ekstrak S. platensis 75,09% sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zaid et al. (2015), bahwa presentase nilai
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
ESA ESB ESC
Aktivitas
antioksid
an (
%)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
52 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
aktivitas antioksidan ekstrak S. platensis lebih dari 77,47% dengan menggunakan pelarut
air. Menurut Firdiyani et al. (2015), nilai presentase inhibisi menunjukkan kandungan
senyawa antioksidan, semakin tinggi presentase inhibisi maka kandungan senyawa
antioksidan semakin tinggi. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang digunakan, aktivitas penghambatan radikal bebas juga meningkat (Husni et al., 2014).
Perlakuan evaporasi ekstrak S. platensis pada suhu 40oC dan suhu 60oC menghasilkan
nilai aktivitas antioksidan lebih rendah dari suhu 80oC. Hasil ekstrak S. platensis pada suhu
40oC presentase nilai aktivitas antioksidan lebih rendah dari suhu 60oC dan suhu 80oC. Nilai aktivitas antioksidan 18,97 ± 2,96% suhu 40oC, 48,99 ± 2,77% suhu 60oC, dan 75,09 ±
1,16% suhu 80oC. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan etanol dan suhu perlakuan yang
digunakan pada ekstrak S. platensis semakin sedikit. Hal ini terlihat dari karakteristik
ekstrak S. platensis yang dihasilkan. Ekstrak S. platensis pada perlakuan evaporasi suhu 40oC berbentuk cair, suhu 60oC berbentuk cair pekat, dan suhu 80oC berbentuk pasta.
Semakin tinggi suhu yang digunakan, mengakibatkan kandungan etanol semakin sedikit.
Kandungan etanol semakin sedikit, mengakibatkan kepekatan ekstrak S. platensis semakin
tinggi. Kepekatan kadar ekstrak S. platensis tinggi, mengakibatkan senyawa bioaktif
antioksidan semakin tinggi. Menurut Arundhina et al. (2014), proses evaporasi pada larutan ekstrak, mengakibatkan penguapan pelarut sehingga ekstrak yang dihasilkan
berbentuk pasta.
Gas chromatography mass spectrometry (GCMS) Ekstrak S. platensis. GCMS digunakan untuk identifikasi kualitatif dan pengukuran kuantitatif dari komponen individual
dalam senyawa campuran kompleks senyawa profil asam lemak dari ekstrak lipid (El-baky
et al., 2020). Analisis kandungan komponen senyawa ekstrak S. platensis menggunakan
Gas chromatography mass spectrometry (GCMS) menghasilkan identifikasi dua puluh empat komponen senyawa dapat dilihat pada Tabel 1.
Table 1. Senyawa pada Ekstrak S. platensis Hasil GCMS
No. Nama Senyawa dan
Formula
Area
% 2D 3D
1. Dotriacontane
C32H66
0,50
-
2. 2(4H)-Benzofuranone,
5,6,7,7a-tetrahydro-
4,4,7a-trimethyl-
C11H16O2
0,62
3. Pentadecane
C15H32
0,27
4. Octadecane
C18H38
9,02
5. Propionic acid, 3-(2-
Methylcyclohexyl)-,
ethylester
C9H16O2
0,23
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
53 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
6. Neophytadiene
C20H38
3,21
7. 2-Hexadecene,
3,7,11,15-tetramethyl-,
[R-[R*,R*-(E)]]-
C20H40
0,79
8. 3,7,11,15-Tetramethyl-
2-hexadecen-1-ol
C20H40O
1,44
9. Hexadecanoic acid,
methyl ester
C17H34O2
0,21
10. Ethyl 9-hexadecenoate
C18H34O2
2,05
11. Dodecanoic acid, ethyl
ester
C14H28O2
27,71
12. 2-Hexadecen-1-ol,
3,7,11,15-tetramethyl-,
[R-[R*,R*-(E)]]-
C20H40O
6,92
13. Methyl gamma.-
linolenoate
C5H8O2
8,04
14. Ethyl linoleate
C20H36O2
19,47
-
15. 9-Octadecenoic acid
(Z)-
C18H34O2
1,47
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
54 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
16. Octadecanoic acid, ethyl
ester
C20H40O2
0,91
-
17. Hexadecanamide
C16H33NO
0,73
18. Hexadecanoic acid, 2-
hydroxy-1,3-propanediyl
ester
C35H68O5
0,45
-
19. Hexadecenenitrile
C16H29N
0,57
20. Hexadecanoic acid, 2-
hydroxy-1-
(hydroxymethyl)ethyl
ester
C19H38O4
2,68
-
21. 9-Octadecenamide
C18H35NO
1,15
22. 7,10-Octadecadienoic acid,
methyl ester
C19H34O2
0,39
23. Octadecenamide
C18H35NO
10,99
24. N-Tetradecanoic acid
amide
0,18
-
Ekstrak S. platensis menghasilkan dua puluh empat senyawa dengan presentase pada
senyawa yang berbeda-beda dari 100% kandungan total presentase senyawa. Ekstrak S.
platensis memiliki dua belas senyawa yang kandungan presentase >1% yaitu, Octadecane (9,02%), Neophytadiene (3,21%), 2-Hexadecene, 3,7,11,15-Tetramethyl-2-hexadecen-1-
ol (1%), Ethyl 9-hexadecenoate (2,05%), Dodecanoic acid, ethyl ester (27,71%), 2-
Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- (6,92%), 3,7,11,15-
Tetramethyl-2-hexadecen-1-ol (1,44%), Methyl gamma.-linolenoate (8,04%), Ethyl linoleate (19,47%), 9-Octadecenoic acid (Z)- (1,47%), Hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1-
(hydroxymethyl)ethyl ester (2,68%), 9-Octadecenamide (1,15%), dan Octadecenamide
(10,99%). Senyawa Dodecanoic acid, ethyl ester (27,71%) merupakan kandungan
senyawa dengan presentase tinggi pada ekstrak S. platensis. Senyawa dotriacontane pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antimikroba,
antioksidan, dan antikanker. Menurut penelitian Surahmaida dan Umarudin (2019),
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
55 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
menghasilkan senyawa dotriacontane pada ekstrak daun miana (Coleus blumei) berpotensi
sebagai antimikroba dan antioksidan. Penelitian Mishra et al. (2019), menghasilkan
senyawa dotriacontane berpotensi sebagai antikanker pada ekstrak Curcuma raktakanda.
Senyawa 2(4H)-Benzofuranone, 5,6,7,7a-tetrahydro-4,4,7a-trimethyl- atau dihydroactinidiolide pada kandungan ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antibakteri,
antikanker, dan antioksidan. Senyawa dihydroactinidiolide telah terbukti sebagai
antibakteri pada ekstrak alga hijau Cladophora glomerata dan Microspora floccosa
(Laungsuwon dan Chulalaksananukul, 2014) dan antikanker pada ekstrak tumbuhan Prosopis farcta (Saad et al., 2017).
Senyawa pentadecane pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antimikroba,
antiinflamasi, dan antileishmania. Menurut penelitian yang dilakukan Chuah et al. (2020),
menghasilkan pentadecane senyawa alami yang diidentifikasi dari ekstrak Labisia pumila sebagai antimikroba dan antiinflamasi. Penelitian Bruno et al. (2020), senyawa
pentadecane digunakan sebagai pencegah parasit Leishmania infantum pada hewan
dengan menggunakan ekstrak tanaman alga merah (Asparagopsis) berpotensi sebagai
antimikroba dan antileishmania.
Senyawa octadecane pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antimikroba dan antikanker. Penelitian Saputri et al. (2015), senyawa octadecane diidentifikasi dari ekstrak
Tembelekan (Lantana camara L.) berpotensi sebagai antimikroba. Penelitian Husnah et al.
(2019), senyawa octadecane pada ekstrak halus jeruk purut (Citrus hystrix DC.) berpotensi
sebagai antikanker. Senyawa propionic acid pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antimikroba dan antiinflamasi. Menurut penelitian Garcia et al. (2019), senyawa propionic
acid dari asam organik dan minyak esensial berpotensi sebagai antimikroba dalam
pengobatan infeksi dan strategi untuk mengurangi penularan patogen pabrik pengolahan
daging. Penelitian Al-lahham dan Rezae (2019), senyawa propionic acid sebagai antiinflamasi subkutan jaringan adipose pada manusia sebagai penemuan baru untuk
pengembangan obat. Senyawa neophytadiene pada ekstrak S. platensis berpotensi
sebagai antimikroba. Penelitian Sharmila et al. (2016), senyawa neophytadiene dari
tanaman Amarantus polygonoides berpotensi sebagai antimikroba. Senyawa 2-Hexadecene, 3,7,11,15-tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- pada ekstrak S.
platensis berpotensi sebagai antikanker, antioksidan, antiinflamasi, antidiuretik,
sitotoksisitas, dan antimikroba. Menurut penelitian yang dilakukan Sharmila et al. (2016),
senyawa neophytadiene dari tanaman Amarantus polygonoides berpotensi sebagai
antikanker, antioksidan, antiinflamasi, antidiuretik, sitotoksisitas, dan antimikroba. Senyawa 3,7,11,15-Tetramethyl-2-hexadecen-1-ol pada kandungan ekstrak S. platensis
berpotensi sebagai antikanker, antiinflamasi, antimikroba, dan antioksidan. Penelitian
Shibula dan Velavan (2015), Senyawa 3,7,11,15-Tetramethyl-2-hexadecen-1-ol pada
ekstrak Annona muricata berpotensi sebagai antikanker, antiinflamasi, antimikroba, dan antioksidan. Senyawa hexadecanoic acid, methyl ester pada ekstrak S. platensis berpotensi
sebagai antioksidan, hipokolesterolemia, antiandrogenik, dan hemolitik. Menurut penelitian
Shibula dan Velavan (2015), senyawa hexadecanoic acid, methyl ester ditemukan pada
ekstrak Annona muricata berpotensi sebagai antioksidan, hipokolesterolemik, antiandrogenik, dan hemolitik.
Senyawa ethyl 9-hexadecenoate pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai
antioksidan. Penelitian Kim et al. (2020), ekstrak Coreopsis rosea menghasilkan senyawa
ethyl 9-hexadecenoate yang berpotensi sebagai antioksidan mendukung perkembangan
bahan pembuatan teh. Senyawa dodecanoic acid, ethyl ester yang dihasilkan ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antibakteri, antivirus, antioksidan, dan hiperkolesterolemia.
Menurut Yani (2015), Hiperkolesterolemia adalah kondisi dimana kadar kolesterol dalam
darah meningkat di atas batas normal. Penelitian Gideon (2015), senyawa dodecanoic acid,
ethyl ester dihasilkan dari ekstrak Pseudoglochidion anamalayanum berpotensi sebagai antibakteri, antivirus, antioksidan, dan hiperkolesterolemia.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
56 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Senyawa 2-Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- pada ekstrak S.
platensis berpotensi sebagai antimikroba, antikanker, antiinflamasi, dan antidiuretik.
Menurut penelitian Yamuna et al. (2017), senyawa 2-Hexadecen-1-ol, 3,7,11,15-
tetramethyl-, [R-[R*,R*-(E)]]- pada ekstrak Gomphrena globosa berpotensi sebagai antimikroba, antikanker, antiinflamasi, dan antidiuretik. Senyawa methyl .gamma.-
linolenoate pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antihipertensi dan antikanker.
Penelitian Jubie et al. (2015), senyawa methyl .gamma.-linolenoate dihasilkan pada
ekstrak Gomphrena globosa berpotensi sebagai antihipertensi dan antikanker. Senyawa ethyl linoleate pada kandungan ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antibakteri,
antiinflamasi, dan antijerawat. Ko dan Cho (2018), senyawa ethyl linoleate digunakan pada
kosmetik sebagai antibakteri, antiinflamasi, dan terbukti secara klinis sebagai antijerawat.
Senyawa 9-Octadecenoic acid (Z)- pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antimikroba, antibakteri, dan antitumor. Menurut penelitian yang dilakukan Padma et al.
(2011), ekstrak Silybum marianum menghasilkan senyawa 9-Octadecenoic acid (Z)-
memiliki persamaan nama sebagai senyawa oleic acid berpotensi sebagai antimikroba,
antibakteri, dan antitumor. Senyawa octadecanoic acid, ethyl ester pada ekstrak S.
platensis berpotensi sebagai antiinflamasi. Penelitian Othman et al. (2015), ekstrak Jatropha curcas menghasilkan senyawa octadecanoic acid, ethyl ester berpotensi sebagai
antiinflamasi. Senyawa hexadecanamide pada kandungan ekstrak S. platensis berpotensi
sebagai antijamur. Penelitian Metboki (2018), ekstrak kulit batang ampupu latinnnn
(Eucalyptus alba) mengandung senyawa hexadecanamide mampu menghambat pertumbuhan jamur Fusarium moniliforme.
Senyawa hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1,3-propanediyl ester pada ekstrak S.
platensis berpotensi sebagai antiinflamasi. Menurut penelitian Cheng dan Pau (2017),
senyawa hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1,3-propanediyl ester pada Lactobacillus paracasei berpotensi sebagai antiinflamasi. Senyawa hexadecenenitrile pada ekstrak S. platensis
berpotensi sebagai antivirus. Penelitian Rajasekaran (2014), ekstrak tumbuhan obat
tradisional Kalimantan mengandung senyawa hexadecenenitrile berpotensi sebagai
antivirus terbukti memiliki aktivitas melawan virus influenza. Senyawa hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1-(hydroxymethyl) ethyl ester pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai
antimikroba. Penelitian Tyagi dan Agarwal (2017), ekstrak etanol Pistia stratiotes dan
Eichhornia crassipes menghasilkan senyawa hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1-
(hydroxymethyl) ethyl ester berpotensi sebagai antimikroba.
Senyawa 9-Octadecenamide pada ekstrak S. platensis yang berpotensi sebagai antialzheimer, hiperkolesterolemia, dan antihipertensi. Menurut penelitian Anam et al.
(2019), kandungan senyawa 9-Octadecenamide pada nata de coco sebagai pangan
fungsional berpotensi sebagai antialzheimer, hiperkolesterolemia, dan antihipertensi.
Senyawa 7,10-octadecadienoic acid, methyl ester pada kandungan ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan, dan hiperkolesterolemia. Penelitian
Belakhdar et al. (2015), ekstrak Thesium humile mengandung senyawa 7,10-
octadecadienoic acid, methyl ester berpotensi sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan,
dan hiperkolesterolemia. Senyawa octadecenamide pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antioksidan.
Senyawa octadecenamide berpotensi sebagai antioksidan (pubcem, 2020). Senyawa N-
tetradecanoic acid amide pada ekstrak S. platensis berpotensi sebagai antijamur,
antioksidan, antikanker, dan hiperkolesterolemia. Penelitian Mujeeb et al. (2014), senyawa
N-tetradecanoic acid amide pada kandungan daun Aegle marmelos berpotensi sebagai antijamur, antioksidan, antikanker, dan hiperkolesterolemia.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
57 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Kesimpulan. Nilai pH pada ekstrak S. platensis yang tertinggi sebesar 7,16 pada suhu
40oC . Sedangkan aktivitas antioksidan tertinggi pada suhu 80oC dengan nilai 75,09%.
Analisis senyawa menggunakan Gas Chromatography Mass Spectrometry menghasilkan
dua puluh empat senyawa. Tiga senyawa terbanyak adalah Octadecenamide (10,99%), ethyl linoleate (19,47%), dan dodecanoic acid, ethyl ester (27,71%). Potensi aktivitas
biologis pada ekstrak S. platensis adalah sebagai antioksidan, antimikroba, antikanker,
antibakteri, antiinflamasi, anti leishmania, antidiuretik, sitotoksisitas, hipokolesterolemia,
antiandrogenik, hemolitik, Antivirus, antihipertensi, antijerawat, antitumor, antijamur,
antialzheimer dan antifungi.
Daftar Pustaka
Al-Lahham, S. and F. Rezaee. 2019. Propionic Acid Counteracts the Inflammation of Human
Subcutaneous Adipose Tissue: a New Avenue for Drug Development. Journal of
Pharmaceutical Sciences, 27(1): 645-652. Anam, C. M. Z. Zaman dan U. Khoirunnisa. 2019. Mengungkap Senyawa pada Nata De
Coco Sebagai Pangan Fungsional. Jurnal Ilmu Pangan dan Hasil Pertanian, 3(1): 42-
53.
Arundhina, E., C. J. Soegihardjo dan B. B. R. Sidharta. 2014. Aktivitas ekstrak etanol daun alamanda (Allaamanda catharica L) sebagai antijamur terhadap Candida albicans DAN
Pityrosporum ovale secara in vitro. Jurnal Fakultas Teknobiologi Atma Jaya, 1-15.
Belakhdar, G., A. Benjouad and E. H. Abdennebi. 2015. Determination Of Some Bioactive
Chemical Constituents From Thesium humile Vahl. Journal Mater Environ, 6(10): 2778-
2783. Bruno, Federica, Castelli, Germano, Migliazzo, Antonella, Piazza, Maria, Galante and
Antonellal. 2020. Cytotoxic Screening and In Vitro Evaluation of Pentadecane Against
Leishmania infantum Promastigotes and Amastigotes. Journal Parasitol 101(6): 701-
705. Cheng, M. and T. Pan. 2017. Glyceryl 1,3-Dipalmitate Produced from Lactobacillus
paracasei subspecies. paracasei NTU 101 Inhibits Oxygen-Glucose Deprivation and
Reperfusion-Induced Oxidative Stress via Upregulation of Peroxisome Proliferator-
Activated Receptor γ in Neuronal SH-SY5Y Cells. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 65 (36): 7926-7933.
Christwardana, M., M. M. A. Nur dan Hadiyanto. 2011. Spirulina platensis Potensinya
Sebagai Bahan Pangan Fungsional. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 2(1): 1-4.
Chuah, Q. X., P. N. Okechukwu, F. Amini and S. S. Teo. 2020. Eicosane, Pentadecane And
Palmitic Acid The Effects In In Vitro Wound Healing Studies. Journal of Tropical Biomedicine, 8(10): 490-499.
Earle, R.L. 1982. Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan. Jakarta: Sastra Hudaya.
El-baky, H. H. A., G. S. El-baroty dan E. M. Mostafa. 2020. Optimization Growth of Spirulina
(Arthrospira) Platensis in Photobioreactor Under Varied Nitrogen Concentration for Maximized Biomass, Carotenoids and Lipid Contents. Journal Recent Pat Food Nutr
Agric. 11(1):40-48.
Finamore, A., M. Palmery, S. Bensehaila dan I. Peluso. 2017. Antioxidant,
Immunomodulating, and Microbial-Modulating Activities of the Sustainable and Ecofriendly Spirulina. Journal Oxidative medicine and cellular longevity, 1-14.
Firdiyani, F., T. W. Agustini dan W. F. Ma’ruf. 2015. Ekstraksi Senyawa Bioaktif sebagai
Antioksidan Alami Spirulina platensis Segar dengan Pelarut yang Berbeda. Jurnal
Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 18(1): 28-37.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
58 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Fitriana, W. D., S. Fatmawati dan T. Ersam. 2015. Uji Aktivitas Antioksidan terhadap DPPH
dan ABTS dari Fraksi-fraksi Daun Kelor (Moringa oleifera). Jurnal Prosiding Simposium
Nasional Inovasi dan Pembelajaran Sains, 8(9): 857-660.
Garcia, M. G., C. Sol, P. J. G. Nova, M. Puyalto, L. Mesas, H. Puente, O. Menci, R. Miranda, H. Arguello, P. Rubio and A. Carvajal. 2019. Antimicrobial Activity Of A Selection Of
Organic Acids, Their Salts And Essential Oils Against Swine Enteropathogenic Bacteria.
Journal Porcine Health Management, 5(32): 1-8.
Gideon, V. A. 2015. GC-MS Analysis Of Phytochemical Components Of Pseudoglochidion Anamalayanum Gamble: an Endangered Medicinal Tree. Journal of Plant Science and
Research, 5(12): 36-41.
Hanani, T., I. Widowati dan A. B. Susanto. 2020. Kandungan Senyawa Beta Karoten pada
Spirulina platensis dengan Perlakuan Perbedaan Lama Waktu Pencahayaan. Jurnal Buletin Oseanografi Marina, 9(1): 55-58.
Husnah, Y., Indrianto, Ari, Tunjung dan Woro. 2019. Profil Senyawa Bioaktif Ekstrak Kalus
Biji Jeruk Purut (Citrus hystrix DC.) Pasca Induksi Metil Jasmonat. Jurnal Saintek, 3(2):
146-160.
Husni, A., D. R. Putra dan I. Y. B. Lelana. 2014. Aktivitas Antioksidan Padina sp. Pada Berbagai Suhu dan Lama Pengeringan. Jurnal Perikanan, 9(2): 165-173.
Jos, B., P. E. Setyawan dan Y. Satria. 2011. Optimalisasi Ekstraksi dan Uji Stabilitas
Phycocyanin dari Mikroalga Spirulina platensis. Jurnal Teknik, 32(3): 187-193.
Jubie, S., S. P. Dhanabal and M. V. N. L. Chaitanya. 2015. Isolation of methyl gamma linolenate from Spirulina platensis using flash chromatography and its apoptosis
inducing effect. Journal Complementary and Alternative Medicine, 15(263): 1-8.
Kim, B., H. M. Kim, C. H. Jin, S. Kang, J. Kim, Y. G. Jeon, K. Y. Park, I. Lee and A. Han.
2020. Composition and Antioxidant Activities of Volatile Organic Compounds in Radiation-Bred Coreopsis Cultivars. Journal Plants, 9(717): 1-9.
Ko, G. and S. K. Cho. 2018. Ethyl Linoleate Inhibits α-MSH-induced Melanogenesis Through
Akt/GSK3β/β-catenin Signal Pathway. Journal Physiol Pharmacol, 22(1): 53-61.
Kumaresan, S., V. Senthilkumar, A. Stephen and B. S. Balakumar. 2015. GC-MS Analysis And Pass-Assisted Prediction Of Biological Activity Spectra Of Extract Of Phomopsis SP.
Isolated From Andrographis Paniculata. Journal Of Pharmaceutical Research,
4(1):1035-1053.
Laungsuwon, R. dan W. Chulalaksananukul. 2014. Chemical Composition and Antibacterial
Activity of Extracts from Freshwater Green Algae, Cladophora Glomerata Kutzing and
Microspora floccosa (Vaucher) Thuret. Journal BioSci Biotechnol, 3(3): 211-218.
Mardikasari, S. A., A. N. T. A. Mallarangeng, W. O. S. Zubaydah dan E. Juswita. 2017.
Formulasi Dan Uji Stabilitas Lotion dari Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji (Psidium
guajava L.) sebagai Antioksidan. Jurnal Farmasi, Sains dan Kesehatan, 3(2): 28-32.
Metboki, B. 2018. Identifkasi Senyawa Aktif Kulit Batang Ampupu (Eucalyptus alba Reinw.
Ex. Blume) dalam Menghambat Pertumbuhan Jamur Fusarium moniliforme. Jurnal
Pertanian Konservasi Lahan Kering, 3 (1): 11-13.
Mishra, S., S. S. Verma, V. Rai, N. Awasthee, J. S. Arya, K. K. Maiti and S. C. Gupta. 2019.
Curcuma raktakanda Induces Apoptosis and Suppresses Migration in Cancer Cells Role
of Reactive Oxygen Species. Journal Biomolecules, 9(1): 1-20.
Mujeeb, F., P. Bajpai and N. Pathak. 2014. Phytochemical Evaluation, Antimicrobial Activity,
and Determination of Bioactive Components from Leaves of Aegle marmelos. Journal
BioMed Research International, 11(1): 1-12.
Othman, A. R., N. Abdullah, S. Ahmad, I. S. Ismail and M. P. Zakaria. 2015. Elucidation Of
In-Vitro Anti-Inflammatory Bioactive Compounds Isolated From Jatropha curcas L.
Plant Root. Journal Complementary and Alternative Medicine, 15-11: 1-10.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
59 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Padma, M. Ganesan, Jayaseelan, Azhagumadhavan, Sasikala, Senthilkumar and Mani.
2019. Phytochemical screening and GC–MS analysis of bioactive compounds present
in ethanolic leaves extract of Silybum marianum (L). Journal of Drug Delivery and
Therapeutics, 9(1): 85-89.
Pratiwi, W., L. T. Suwanti dan W. H. Satyantini. 2016. Perendaman Ekstrak Spirulina
platensis Terhadap ig-M, Jaringan Limpa dan Diferensial Leukosit Ikan Mas Setelah
Diinfeksi Aeromonas hydrophila. Jurnal Biosains Pascasarjana, 18(1): 1-13.
Pubchem Compound Database https://pubchem.ncbi.nih.gov/compound/712. National
center for Biotechnology Information diakses Oktober 2020.
Rajasekaran, D. 2014. Dentification Of Traditional Medicinal Plant Extracts With Novel
Anti-Influenza Activity. [Tesis]. Environment And Biotechnology Centre Swinburne
University Of Technology Australia, 177 hlm.
Ridlo, A., S. Sedjati dan E. Supriyantini. 2015. Aktivitas Anti Oksidan Fikosianin Dari
Spirulina Sp. Menggunakan Metode Transfer Elektron Dengan DPPH (1,1-difenil-2-
pikrilhidrazil). Jurnal Kelautan Tropis, 18(2): 58-63.
Riyadi, P. H., Y. S. Darmanto, A. D. Anggo, V. E. Herawati dan R. A. Kurniasih. 2020.
Potential of Hydrolyzed Waste in Portunus Sp. Non-Shell as Nutraceutical with
Bioinformatics Analysis. Journal of Engineering and Applied Sciences, 1-5.
Saad, A. M., M. A. Ghareeb, M.S. Abdel-Aziz, H.M. Madkour, O.M. Khalaf, A.K. ElZiaty dan
M. Abdel-Mogib. 2017. Chemical constituents and biological activities of different
solvent extracts of Prosopis farcta growing in Egypt. Journal Pharmacol Phytother,
9(5): 67–76.
Sami, F. J. dan S. Rahimah. 2017. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Bunga Brokoli
(Brassica oleracea L. var. Italica) dengan Metode DPPH (2,2 diphenyl-1-picrylhydrazyl)
Metode ABTS 2,2 azinobis (3-etilbenzotiazolin)-6-asam sulfonat). Jurnal Farmasi, 2(2):
107-110.
Saputri, D. D., M. Bintang and F. H. Pasaribu. 2015. Isolation and Characterization of
Endophytic Bacteria from Tembelekan (Lantana camara L.) as Antibacterial Compounds
Producer. Journal Current Biochemistry, 2 (2): 77-89.
Sharmila, M., M. Rajeswari, I. Jayashree and D. H. Geetha. 2016. GC-MS Analysis Of
Bioactive Compounds Of Amarantus Polygonoides Linn. (Amaranthaceae). Journal of
Applied and Advanced Scientific Research, 1(1): 2456-3080.
Shibula, K. and S. Velavan. 2015. Determination of Phytocomponents in Methanolic Extract
of Annona muricata Leaf Using GC-MS Technique. Journal of Pharmacognosy and
Phytochemical Research, 7(6): 1251-1255.
Surahmaida dan Umarudin. 2019. Identifikasi dan Analisa Senyawa Kimia Ekstrak Daun
Miana (Coleus blumei). Jurnal Ilmu Pendidikan Teknologi, 1(4): 24-27.
Tyagi, T. dan M. Agarwal. GC-MS Analysis Of Invasive Aquatic Weed, Pistia Stratiotes L.
And Eichhornia Crassipes (Mart.) Solms. Journal of Current Pharmaceutical Research,
9(3): 1-7.
Widayanti, S. M., A. W. Permana dan H. D. Kusumaningrum. 2009. Kapasitas dan Kadar
Antioksidan Ekstrak Tepung Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.) pada
Berbagai Pelarut dengan Metode Maserasi. Jurnal Pascapanen, 6(2): 61-68.
Widyasanti, A., N. Nurlaily dan E. Wulandari. 2018. Karakteristik Fisikokimia Antosianin
Ekstrak Kulit Buah Naga Merah Menggunakan Metode UAE. Jurnal Ilmiah Rekayasa
Pertanian dan Biosistem, 6(1): 27-38.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
60 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Wu, H. L., Wang G. H., Xiang W. Z., Li T. and He H. 2016. Stability and Antioxidant Activity
of Food-Grade Phycocyanin Isolated from Spirulina platensis. International Journal of
Food Properties, 19(10): 2349-2362.
Yamuna, P., P. Abirami, M. Sharmila and P. Vijayashalini. 2017. GC-MS Analysis Of
Bioactive Compounds in The Entire Parts Of Ethanolic Extract Of Gomphrena Globosa
Linn. Journal of Research in Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 2(4): 57-64.
Yani, M. (2015). Mengendalikan kadar kolesterol pada hiperkolesterolemia. Jurnal Olahraga
Prestasi, 11(2): 1-7.
Yasir, A. S., M. W. Wiranti dan N. W. Wulantika. 2019. Potensi Spirulina platensis Terhadap
Aktivitas Antioksidan, Antidiabetes dan Antihipertensi. Jurnal Farmasi Malahayati,
2(2): 164-174.
Zaid, A. A. A., D. M. Hammad and E. M. Sharaf. 2015. Antioxidant and Anticancer Activity
of Spirulina platensis Water Extracts. International Journal of Pharmacology, 11 (7):
846-851.Al Ayubi, A., Gimin, R. Yahyah. 2016. Comparison of Some Aspects of
Morphological and Reproductive of Blood Cockle (Anadara granosa L.) in the Intertidal
of Kupang Bay, West Timor, Indonesia. International Journal, Scholars Academic
Journal of Biosciences (SAJB). An International Publisher for Academic and Scientific
Resources. 4(11) : 1013-1021
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
61 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Upaya Mitigasi Perubahan Iklim dengan Budidaya Rumput Laut “Sakol” di Desa Tablolong Kecamatan Kupang Barat Ni Putu Dian Kusuma
Politeknik Kelautan dan Perikanan Kupang
Jl. Kampung Baru - Pelabuhan Ferry-Bolok, Kec. Kupang Barat
Kabupaten Kupang – Nusa Tenggara Timur (Email: [email protected])
Abstrak - Pemanasan global karena meningkatnya gas CO2 dan gas rumah kaca ke atmosfer
mengakibatkan perubahan iklim di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagai negara yang terbentang di garis khatulistiwa, Indonesia menjadi negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kondisi
ini ditandai dengan ketidakteraturan musim kemarau dan musim hujan, kenaikan permukaan air laut
yang mengancam wilayah pesisir, serta munculnya berbagai bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Hal ini menyebabkan aspek kelautan dan perikanan menghadapi potensi permasalahan yang harus
diperhatikan karena menjadi ancaman keamanan pangan khususnya terhadap ketersediaan hasil laut. Perubahan iklim diartikan oleh pelaku utama (nelayan, pembudidaya, pengolah ikan) yaitu terjadinya
musim hujan dan kemarau yang sering tidak menentu sehingga mengganggu pola tebar benih ikan, pola
tanam rumput laut dan hasil panen serta musim penangkapan ikan. Subsektor perikanan budidaya turut berkontribusi terhadap peningkatan gas CO2 dan gas rumah kaca di atmosfer. Upaya mitigasi terhadap
perubahan iklim di bidang perikanan telah dilakukan, diantaranya dengan penanaman vegetasi pantai
yang dapat mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer. Rumput laut termasuk salah satu vegetasi pantai yang mampu menyerap karbon dengan baik jika dibandingkan dengan tumbuhan di darat. Rumput laut
melakukan proses fotosintesis dengan memanfaatkan CO2 dan energi cahaya yang dikonversi menjadi karbohidrat yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan thallus rumput laut. Besarnya
potensi ekosistem pesisir untuk kegiatan budidaya rumput laut, memberikan peluang yang juga semakin
besar dalam penyerapan karbon oleh rumput laut. Selain itu, aktivitas budidaya rumput laut juga memenuhi kebutuhan ekonomis masyarakat pesisir serta memberikan kontribusi positif terhadap
pengendalian pencemaran organik di lingkungan perairan. Berdasarkan hasil penelitian, rumput laut menyerap karbon dari perairan lebih efektif pada saat rumput laut memasuki umur pemeliharaan 0-20
hari. Berdasarkan hal tersebut budidaya rumput laut sangat baik dikembangkan dalam skala massal
untuk tujuan produksi dan sebagai agen penyerap karbon sehingga secara global dapat menurunkan konsentrasi CO2 di atmosfer. Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi
budidaya rumput laut sebesar 9.015,47 Ha dengan total produksi rumput laut mencapai 305.333 ton/tahun. Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat merupakan salah satu daerah penyumbang
produksi rumput laut terbesar di NTT. Mata pencaharian terbanyak penduduk Desa Tablolong adalah
nelayan dengan kegiatan utamanya budidaya rumput laut dan kegiatan penunjangnya adalah perikanan tangkap. Komoditas unggulan Desa Tablolong adalah rumput laut jenis Kappaphycus striatum (Sakol)
yang menghasilkan karaginan. Karaginan digunakan secara luas untuk berbagai kepentingan industri
pangan, kosmetika dan obat, bahkan untuk kesehatan sepertii potensinya sebagai anti virus berbagai penyakit. Kegiatan budidaya rumput laut oleh penduduk Desa Tablolong sebagian besar dilakukan secara
sederhana, sejak tahapan pengikatan, pemeliharaan, panen maupun tahapan pasca panen. Saat ini hampir seluruh pembudidaya rumput laut menggunakan metode tali tunggal (Longline), namun inovasi
dalam budidaya rumput laut mulai nampak pada penggunaan metode budidaya yaitu menggunakan
Kantong Jaring. Dengan metode ini produksi rumput laut dapat meningkat sehingga potensi rumput laut sebagai penyerap karbon serta prospek pengembangan budidaya rumput laut yang berkelanjutan akan
mengendalikan gas CO2 dan gas rumah kaca, sehingga secara tidak langsung dapat berperan dalam proses mitigasi perubahan iklim.
Kata Kunci: Mitigasi, Perubahan Iklim, Rumput Laut, Sakol, Tablolong
Pemanasan Global. Karbondioksida (CO2), Metana (CH), dan Nitrogen (NO) adalah
bagian dari Gas Rumah Kaca yang memiliki manfaat penting untuk menjaga permukaan
bumi agar tetap hangat. Cahaya matahari yang masuk lalu menyentuh permukaan bumi
serta sebagian kecil energi akan dipantulkan kembali, namun sebagian besar akan
terperangkap oleh Gas Rumah Kaca yang akhirnya akan menyelimuti bumi. Peristiwa inilah yang biasa kita kenal dengan sebutan “Efek Rumah Kaca”. Hal yang menyebabkan emisi
Gas Rumah Kaca menjadi masalah besar adalah karena dalam jangka panjang, bumi harus
melepaskan energi dengan laju yang sama ketika bumi menerima energi dari matahari.
Selubung Gas Rumah Kaca yang lebih tebal akan membantu untuk mengurangi hilangnya
energi ke angkasa, sehingga sistem iklim harus menyesuaikan diri untuk mengembalikan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
62 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
keseimbangan antara energi yang masuk dan energi yang keluar. Iklim menyesuaikan diri
terhadap selubung Gas Rumah Kaca yang lebih tebal dengan “Pemanasan Global” pada
permukaan bumi dan pada atmosfer bagian bawah. Kenaikan temperatur tersebut diikuti
oleh perubahan-perubahan lain, sepertii tutupan awan dan pola angin. Beberapa perubahan ini dapat mendukung terjadinya pemanasan, sedangkan yang lainnya
melakukan hal yang berlawanan.
Pemanasan global disebabkan oleh meningkatnya gas-gas rumah kaca yang banyak
dihasilkan oleh industri, pemakaian bahan bakar fosil yang berlebih sepertii batu bara, gas alam, minyak bumi serta tata guna lahan yan tidak sesuai fungsinya. Semua hal tersebut
memicu terjadinya perubahan iklim yang mengancam keberadaan ekosistem makhluk
hidup serta keberlangsungan hidup manusia di bumi. Pemanasan global menyebabkan
suhu naik sehingga iklim akan terpengaruh. Pola angin dan arus laut serta daur hidrologi akan ikut berubah, dimana atmosfer yang hangat memicu banyak uap air dan
menyebabkan iklim menjadi tidak stabil. Pemanasan global dan rusaknya lingkungan
menyebabkan masalah besar bagi manusia. Awal musim hujan pada beberapa daerah
datang terlambat dari biasanya, sedangkan di daerah lain hujan datang lebih awal. Pada
musim yang normal, hujan berlangsung tidak lama dengan intensitas yang tidak deras, namun saat ini hujan berlangsung lama dan deras. Kondisi lingkungan dan hutan yang
semakin memburuk mengakibatkan air tidak dapat diserap oleh akar-akar pohon sehingga
peristiwa banjir dan tanah longsor semakin sering terjadi. Pada musim kemarau, hujan
jarang terjadi, volume air sangat sedikit bahkan air semakin sulit tersedia karena sungai-sungai menjadi kering. Gejala ini menunjukkan bahwa iklim kita telah mengalami
perubahan. Iklim tidak akan bersahabat dengan manusia apabila pencemaran gas rumah
kaca yang bersumber dari pembakaran bahan bakar minyak, pembusukan sampah organik
dari pertanian, perikanan dan peternakan, serta pembukaan lahan dengan membakar hutan tidak dikurangi. Bila hal tersebut masih berlanjut, maka akan ada perubahan iklim
yang semakin ekstrim, yakni kemarau panjang, angin kencang, hujan badai, atau suhu
yang semakin meningkat.
Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan menemukan bahwa aksi iklim berbasis laut dapat menghasilkan hingga 21% dari pengurangan emisi yang dibutuhkan
untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,50C. Ini mempertimbangkan potensi
energi terbarukan berbasis laut (ladang angin lepas pantai dan energi dari sistem
gelombang dan pasang surut); dekarbonisasi transportasi laut melalui efisiensi energi dan
bahan bakar alternatif; memulihkan dan melindungi ekosistem “blue carbon” sepertii bakau, rawa asin, dan lamun; dan sumber makanan berbasis laut rendah karbon. Langkah-
langkah ini tidak hanya membantu mengurangi emisi yang menghangatkan dan
mengasamkan laut; mereka akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan
ketahanan pesisir, meningkatkan keamanan pangan, dan meningkatkan kualitas udara dan kesehatan manusia (Wernberg and Dexter, 2018).
Konsentrasi Karbondioksida (CO2) adalah 60% dari keseluruhan Gas Rumah Kaca yang
merupakan bagian terbesar dalam Gas Rumah Kaca. Jika polusi karbon terus menebal di
atmosfer, maka akan semakin banyak panas yang terperangkap di Bumi, yang membuat pemanasan global semakin meningkat (Dockrill, 2019). Pada 2025, level karbon dioksida
(CO2) pada atmosfer Bumi diperkirakan akan memecahkan rekor sepanjang 3,3 juta tahun.
Hal tersebut merupakan hasil penelitian dari sekelompok ilmuwan University of
Southampton, yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Scientific Reports. Berikut ini
adalah konsentrasi global rata-rata CO2 yang terus meningkat karena kombinasi aktivitas manusia dan peristiwa El Nino yang kuat.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
63 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 1. Perkiraan Konsentrasi CO₂ di Mauna Loa Tahun 2019 (Oranye), Bersama
Dengan Konsentrasi Perkiraan Sebelumnya untuk Tahun 2016 (Biru), Tahun
2017 (Hijau), Tahun 2018 (Pink) dan Pengukuran Scripps Institute (Hitam). Sumber: metoffice.gov.uk
Perubahan Iklim. Lautan menyerap sejumlah besar panas dan emisi dunia dan
merasakan pengaruhnya. Lautan telah menyerap sekitar 20-30% emisi karbon manusia
sejak 1980-an, menyebabkan pH laut menurun dan menjadi lebih asam. Selain itu, panas berlebih diserap oleh laut, dan laju pemanasan laut meningkat lebih dari dua kali lipat sejak
tahun 1993. Penyerapan emisi dan panas ini menyebabkan dampak yang sangat besar,
sepertii gelombang panas laut, periode hangat yang ekstrim di lautan, menjadi lebih luas,
intens, dan tahan lama. Peristiwa ekstrim sepertii itu dapat berdampak besar pada ekosistem laut, mengurangi keanekaragaman spesies, dan merusak spesies dasar sepertii
karang dan rumput laut. Gelombang panas laut kemungkinan besar dua kali lipat
frekuensinya antara tahun 1982 dan 2016.
Peristiwa pemutihan karang skala besar telah meningkat frekuensinya selama dua dekade terakhir karena pemanasan. IPCC (2007) menemukan bahwa degradasi terumbu
karang telah terjadi di seluruh dunia. Kenaikan permukaan laut telah dipercepat selama
beberapa dekade terakhir, dengan meningkatnya hilangnya es dari lapisan es Greenland
dan Antartika dan dari ekspansi termal air laut. Laju kenaikan muka air laut dari tahun
2006-2015 adalah 2,5 kali lipat dari tahun 1901-1990. Sebagai hasil dari perubahan ini, spesies laut bergerak untuk menemukan habitat yang lebih ramah, dengan efek berjenjang
pada rantai makanan dan ekosistem. Negara-negara pesisir di semua wilayah sudah
merasakan dampaknya terhadap stok ikan, infrastruktur pesisir, pariwisata, budaya asli,
dan keanekaragaman hayati lokal. Perubahan iklim hingga saat ini belum dapat dihindari dan diyakini akan meluas
dampaknya di berbagai aspek kehidupan. Semakin besar dampak iklim yang dihasilkan
maka semakin besar juga upaya aktif untuk menghindari dampak negatif melalui strategi
mitigasi dan adaptasi (Runtunuwu, 2008). Perubahan iklim telah memberikan berbagai dampak dalam berbagai sektor pula. Dampak tersebut telah dirasakan pada sektor
perikanan, kelautan, kehutanan, pertanian, sumberdaya air, lingkungan, bahkan ekonomi
dan sosial. Sejauh ini dampak perubahan iklim yang paling ekstrim adalah terjadinya
kenaikan suhu serta terjadinya pergeseran musim (Anggraini dan Trisakti, 2011).
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
64 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Sektor perikanan mengalami dampak yang besar karena terjadinya perubahan iklim.
Hujan lebat yang diiringi angin besar menyebabkan badai di lautan. Gelombang besar
hingga di pinggir pantai tidak dapat lagi ditahan oleh penahan ombak dan tanaman bakau.
Ombak mencapai daratan dan merusak tambak di dekat garis pantai serta rumah masyarakat di pesisir pantai, sehingga masyarakat tersebut harus berpindah karena rumah
tempat tinggalnya terancam rusak oleh ombak besar. Tidak hanya itu, air laut yang
mencapai daratan dan tambak membuat banyak ikan dan udang hilang, hanyut terbawa
arus air laut. Tingginya gelombang dan ombak besar menyebabkan jumlah tambak berkurang sehingga pembudidaya ikan dan udang di tambak mengalami penurunan
produksi dan pendapatan. Pembudidaya tersebut kehilangan ribuan benih ikan dan udang
yang telah dibudidayakan dalam tambak.
Panel Antarpemerintah Perubahan Iklim (IPCC) melaporkan perubahan iklim yang menyebabkan kerugian ekonomi yang terjadi pada tiga industri berbasis laut, yaitu
pariwisata terumbu karang, perikanan tangkap, dan marikultur (budidaya biota laut).
Langkah pertama yang disarankan untuk menanggulangi hal tersebut adalah mengurangi
jumlah emisi gas rumah kaca secara global baik dari sumber daratan maupun lautan. Hasil
analisis terbaru oleh High Level Panel on Sustainable Ocean Economy menunjukkan bahwa aksi iklim berbasis laut akan menyumbang 21 persen dari penurunan emisi yang diperlukan
hingga tahun 2050 demi menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat Celsius. Hal
ini menunjukkan bahwa laut memegang peran penting sebagai solusi iklim.
Indonesia pun merasakan dampak adanya perubahan iklim, yaitu menurunnya curah hujan serta peningkatan suhu di berbagai wilayah di Indonesia. Indonesia sebagai negara
yang berada di garis khatulistiwa sangatlah rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan
iklim dapat menyebabkan kenaikan suhu di berbagai wilayah, dan berubahnya awal dan
panjang musim hujan. Perubahan curah hujan di sebagian wilayah di Indonesia akan mengakibatkan pengaruh terhadap berbagai varietas di wilayah tersebut. Meningkatnya
hujan pada musim hujan menyebabkan tingginya frekuensi kejadian banjir, sedangkan
menurunnya hujan pada musim kemarau akan meningkatkan risiko kekekeringan.
Upaya Pemerintah
Upaya Adaptasi. Faktor yang menjadi pemicu terjadinya perubahan iklim dapat berupa
faktor alamiah maupun aktivitas manusia (antropogenik) yang menyebabkan peningkatan
emisi Gas Rumah Kaca ke atmosfer yang berdampak pada terjadinya kenaikan suhu
permukaan bumi. Saat ini, perikanan budidaya diposisikan sebagai salah satu subsektor yang ikut berkontribusi terhadap peningkatan Gas Rumah Kaca CO2 di atmosfer. Berbagai
langkah mitigasi terhadap perubahan iklim telah dilakukan, termasuk oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan, diantaranya adalah penanaman vegetasi pantai yang dapat
mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer (Aldrian et al., 2011). Sejauh ini upaya mitigasi
yang umumnya dilakukan lebih cenderung berbasis ekosistem. Pengikatan karbon oleh alga fotoautotrofik berpotensi untuk mengurangi pelepasan CO2 ke atmosfer dan dapat
membantu mencegah percepatan terjadinya pemanasan global.
Kementerian Kelautan dan Perikanan memberikan tiga pilihan adaptasi terhadap
perubahan iklim terhadap masyarakat yang bermukim di pesisir, yakni proteksi, mundur, dan akomodasi.
Strategi Proteksi. Strategi proteksi dapat dilakukan dengan membuat bangunan pantai
yang mampu mencegah banjir air laut (rob) agar tidak merangsek ke darat. Pola ini bertujuan melindungi permukiman, industri wisata, jalan raya, daerah pertanian, tambak,
dan lain-lain dari genangan air laut. Tangggul dan bangunan pantai tidak hanya dirancang
berdasarkan muka air pasang tnggi dan gelombang laut pada saat ini, tetapi juga harus
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
65 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
memperhitungkan amblesan tanah, kenaikan muka air laut, dan gelombang laut akibat
angin pada kondisi ekstrim.
Upaya proteksi lain yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan restorasi
peremajaan pantai dan rehabilitasi mangrove. Proses ini meliput pengambilan material dari tempat yang tidak membahayakan dan diisikan ke tempat yang membutuhkan. Lahan hasil
tmbunan ini kemudian ditanami mangrove sehingga dapat meredam banjir rob yang
merangsek ke darat. Fungsi lain dari hutan mangrove adalah sebagai penyerap karbon
sehingga tanaman ini dapat mengurangi pemanasan global.
Gambar 2. Strategi Adaptasi Perubahan Iklim Untuk Masyarakat Pesisir
(Sumber: Aldrian et al., 2011)
Strategi Mundur. Strategi mundur bertujuan menghindari genangan air laut dengan cara
merelokasi permukiman, industri, daerah pertanian, dan lain-lain ke arah daratan yang
jauh dari laut. Dengan demikian kawasan tersebut tidak terjangkau air laut sebagai akibat kenaikan paras muka air laut.
Strategi Akomodatif. Strategi ini dilakukan dengan menyesuaikan kenaikan paras muka
air laut. Salah satu contohnya adalah dengan membuat rumah panggung di tepi pantai
agar aman dari genangan air laut, terutama pada waktu banjir air pasang. Bagi daerah pertanian yang tergenang air laut akibat kenaikan paras muka air laut, kawasan tersebut
dapat diubah peruntukannya menjadi lahan budidaya perikanan.
Upaya Mitigasi. Kementerian Kelautan dan Perikanan juga melakukan berbagai upaya
mitigasi perubahan iklim. Mitgasi tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan, seperti penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (biofuel) sebagai
penggant bahan bakar fosil (fossil fuel), penanaman vegetasi pantai dan lain sebagainya.
Pengembangan Bahan Bakar Ramah Lingkungan untuk Kapal. Pengembangan
biofuel (energi dari tumbuhan) sebagai pengganti minyak bumi akan memberikan kesempatan lebih besar untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Biofuel adalah
energi yang bersumber dari berbagai tanaman sepertii kelapa, jarak, jagung, ubi kayu,
tebu, dan lain sebagainya.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
66 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pemanfaatan bahan bakar nabati ini dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.
Dengan demikian, semakin banyak bio fuel yang digunakan di kapal-kapal nelayan maka
emisi Gas Rumah Kaca tidak bertambah. Di sisi lain, pengembangan energi terbarukan
semacam ini juga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan menciptakan lapangan kerja. Selain itu, pendapatan masyarakat juga dapat meningkat.
Penamanan Vegetasi Pantai. Penanaman vegetasi pantai seperti mangrove, ketapang,
cemara, dan waru laut selain merupakan upaya adaptasi juga sekaligus upaya mitgasi. Disebut upaya adaptasi karena vegetasi tersebut melindungi kawasan pesisir dari dampak
perubahan iklim, seperti rob, banjir, dan erosi.
Budidaya Rumput Laut Di Desa Tablolong. Provinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT) adalah salah satu sentra rumput laut nasional dan juga sebagai salah satu penyumbang terbesar rumput laut Indonesia. Wilayah kepulauan Provinsi NTT terdiri dari
1.192 pulau yang tersebar dalam 4 pulau besar yaitu Flores, Sumba, Timor (Kabupaten
Kupang) dan Alor serta pulau-pulau kecil memiliki potensi hasil laut yang cukup besar
termasuk rumput laut. Dengan luas potensi perairan untuk pengembangan rumput laut mencapai 54 ribu Ha, maka Provinsi NTT memiliki potensi produksi rumput laut sebesar 15
juta ton/tahun. Namun hingga saat ini baru mampu memproduksi sebanyak 2 juta
ton/tahun atau 13,2% dari luas lahan potensial. Perairan laut di Kecamatan Kupang Barat
yang memiliki potensi sumberdaya alam untuk pengembangan budidaya laut, salah satu
diantaranya adalah budidaya rumput laut. Berdasarkan daya dukung lingkungan, luas lahan yang sangat sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut di Kecamatan
Kupang Barat adalah sebesar 1.104,48 Ha dengan total produksi 265.075 ton/tahun
(Kamlasi, 2008). Namun dengan menggunakan adopsi teknologi baik dari segi bibit rumput
laut maupun metode yang digunakan, pada tahun 2016 produksi rumput laut di Kecamatan Kupang Barat mencapai 1,3 juta ton (BPS Propinsi NTT, 2020).
Pengembangan rumput laut di NTT perlu dilakukan secara komprehensif dan bukan secara
parsial. Percepatan pengembangan rumput laut di NTT harus dilakukan dengan asas
manfaat, kemitraan, keterpaduan dan keterbukaan efisiensi serta kelestarian yang berkelanjutan.
Budidaya rumput laut telah menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat Desa
Tablolong. Rumput laut Sakol dipilih oleh para pembudidaya karena memiliki toleransi stres
yang tinggi (Neish, 2003). Seluruh pembudidaya menggunakan metode Long line dalam membudidayakan rumput laut karena metode ini mudah diterapkan dan tidak
membutuhkan biaya/modal besar serta mudah dikerjakan. Metode Long line adalah cara
membudidayakan rumput laut dikolom air dekat permukaan perairan menggunakan tali
yang dibentangkan dengan bantuan pelampung dan jangkar (Hernanto et al., 2015). Jenis
rumput laut yang dibudidayakan di Desa Tablolong didominasi oleh Kappaphycus striatum. Kappaphycus striatum disebut oleh pembudidaya rumput laut setempat dengan nama
“Sakol”. Sakol adalah satu tipe dari genus Kappaphycus dan memiliki komposisi kimia yang
sama sepertii Kappaphycus alvarezii (Aguilan et al., 2003). Kappaphycus (Rhodophyta,
Solieriaceae) termasuk golongan alga merah yang ekonomis penting karena memproduksi iota dan kappa-karagenan. Alga ini dibudidayakan secara komersial di hampir 30 negara,
termasuk diantaranya adalah Indonesia (Hurtado et al., 2015). Kappaphycus striatum
memiliki ciri rumpun dengan percabangan panjang, diameter cabang thallus besar, thallus
silindris, permukaan licin, substansi thallus “gelatinus“ dan “kartilagenus” (lunak sepertii tulang rawan), keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, atau
hijau kuning/merah.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
67 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Daya Dukung Lingkungan. Perikanan budidaya merupakan kegiatan yang berpotensi
menimbulkan dampak terhadap lingkungan akibat beban limbah yang dapat
mengakibatkan pengkayaan nutrien, eutrofikasi, hypoxia, sedimentasi sehingga kegiatan
budidaya harus dilakukan sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan. Pengaturan operasional budidaya rumput laut harus mengacu pada kodisisi daya dukung perairan, luas
perairan yang layak dan tingkat produktivitas yang dapat dicapai. Daya dukung lingkungan
tersebut merupakan tingkat maksimum (baik jumlah maupun volume) pemanfaatan, suatu
sumberdaya alam atau ekosistem yang dapat diakomodasi oleh suatu kawasan pulau kecil
atau zona sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis.
Strategi Pengembangan Budidaya Rumput Laut di Desa Tablolong. Kamlasi (2008)
menjabarkan informasi sebagai sebagai acuan untuk pengembangan budidaya rumput laut
di perairan Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat antara lain:
Pengelolaan Lingkungan Perairan Berbasis Ekologis. Berdasarkan pengalaman dari
pembudidaya, pada saat musim hujan (bulan Februari-Mei) kebanyakan pembudidaya
memilih untuk tidak melakukan budidaya karena sering terjadi kegagalan panen; yang diduga disebabkan oleh terjadinya perubahan kondisi ekologis perairan sepertii perubahan
salinitas perairan, terutama di perairan dekat garis pantai. Kondisi ekologis lainnya sepertii
DO, Nitrat dan Orthophosfat masih dalam batas toleransi untuk pertumbuhan rumput laut.
Kondisi ini perlu dipertahankan agar budidaya rumput laut dapat terus berkembang.
Penataan/pengaturan rakit dan jarak tanam yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, kiranya perlu juga dilakukan untuk memberikan kesempatan/peluang yang sama besar bagi
individu rumput laut dalam menyerap nutrien di perairan.
Aspek Teknologi dalam Budidaya Rumput Laut. Pada umumnya sistem budidaya rumput laut yang selama ini dilakukan oleh para petani pembudidaya di Desa Tablolong,
Kecamatan Kupang Barat adalah metode tali panjang. Metode ini memiliki beberapa
kelemahan yaitu pada saat terjadi arus dan gelombang tali-tali tempat penanaman rumput
laut menjadi merapat dan bersentuhan sehingga thallus rumput laut menjadi rusak bahkan tali-tali tersebut dapat menjadi putus. Hal ini akan berpengaruh pada kuantitas dan kualitas
produksi rumput laut. Untuk menjamin kontinyuitas kuantitas dan meningkatkan kualitas
produksi rumput laut di Kecamatan Kupang Barat maka diperlukan beberapa aspek teknologi
dan teknik dalam budidaya rumput laut meliputi: Metode Budidaya. Dalam mengembangkan budidaya di Kecamatan Kupang Barat
sebaiknya menggunakan metode Kantong Jaring dan metode Rakit Apung. Metode
ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode Long line; sepertii
pemeliharaan yang mudah, tidak sulit dalam pengontrolan, serta adanya ruang untuk
arus lalu lintas pembudidaya. Namun untuk skala budidaya yang lebih besar, perlu inovasi dalam rangka peningkatan produksi rumput laut. Politeknik Kelautan dan
Perikanan Kupang pada tahun 2020 melalui kegiatan penelitian telah menerapkan
inovasi teknologi budidaya rumput laut menggunakan metode Kantong Jaring untuk
meningkatkan produktivitas budidaya rumput laut Sakol di Desa Tablolong. Teknoologi tersebut terdiri dari : (1) Teknik pengaturan jarak antar rakit dan jarak
tanam perlu diperhatikan. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kompetisi tidak merata
dalam pengambilan nutrien dan oksigen dari perairan oleh rumput laut dan (2)
Penanganan pada saat pemanenan dan pascapanen. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada saat thallus berumur 7 minggu. Dengan demikian saat panen
haruslah memperhatikan faktor umur karena umur juga berpengaruh terhadap
kualitas rumput laut. Selain itu mutu rumput laut juga ditentukan oleh cara
penanganan pascapanen. Tindakan yang harus dilakukan adalah penjemuran
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
68 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
dibawah sinar matahari sampai kering baru dipacking dan penyimpanannya di
gudang atau tidak pada tempat yang lembab.
Penataan Kawasan Sesuai Daya Dukung Lingkungan/Lahan. Kondisi kawasan
perairan laut Kecamatan Kupang Barat yang memiliki aktivitas yang sedang berkembang diantaranya dengan adanya pelabuhan, budidaya mutiara dan budidaya
rumput laut. Dalam upaya pengembangannya maka diperlukan adanya penataan
kawasan agar tidak terjadi konflik kepentingan dari masing-masing kegiatan.
Budidaya rumput laut yang selama ini dilakukan oleh masyarakat menggunakan metode tali panjang. Metode ini memiliki beberapa kelemahan yakni dapat
menghambat arus lalulintas pelayaran terutama pada saat kegiatan penanaman dan
pemanenan rumput laut. Dengan demikian diperlukan adanya penataan kawasan dan
metode budidaya yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut.
Peran Rumput untuk Mitigasi Perubahan Iklim
Penyerapan Karbon oleh Rumput Laut. Isu pemanasan global akhir-akhir ini telah
memicu ketertarikan yang sangat besar terhadap kemampuan vegetasi pantai dalam menangkap dan menyimpan karbon (carbon capture and storage/CCS) (Mitra et al., 2014).
Saat ini, rumput laut merupakan salah satu komponen penting vegetasi pantai dalam
konteks blue carbon (Elangbam et al., 2014; Mitra et al., 2014). Secara alami rumput laut
dapat ditemukan menempel pada dasar perairan pantai yang relatif dangkal, hingga
kedalaman 180 m pada substrat yang keras/solid sepertii: batu, karang, karang mati, kulit kerang, dan tumbuhan air lainnya (Alonso et al., 2012; Sahayaraj et al., 2014). Tumbuhan
thallophyta ini, sepertii halnya tumbuhan darat, dapat menyintesis makanannya sendiri
melalui proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari dan ketersediaan CO2
(karbon), serta nutrien di perairan. Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa rumput laut mempunyai peran penting dalam penyerapan karbon (Muraoka, 2004; Grimsditch and
Chung, 2012; Erlania et al., 2013a; Erlania and Radiarta, 2014). Namun, jika dibandingkan
dengan jenis vegetasi lainnya, potensi serapan karbon oleh rumput laut alam masih belum
banyak diketahui (Mitra et al., 2014). Rumput laut merupakan satu komoditas yang menjadi perhatian sehubungan dengan konteks blue carbon. Hasil identifikasi jenis dan
kelimpahan rumput laut alam telah mengindikasikan peran penting rumput laut alam
tersebut dalam menyerap dan menyimpan karbon dalam bentuk biomassa. Peran penting
rumput laut sebagai penyerap karbon, menjadikan komoditas ini sangat prospektif untuk dikembangkan melalui budidaya (Erlania et al., 2015). Komoditas rumput laut selain
berperan dalam peningkatan perekonomian masyarakat pesisir, juga dapat berkontribusi
terhadap lingkungan sebagai penyerap karbon dalam mitigasi perubahan iklim global
(Erlania et al., 2013b).
Jenis-jenis rumput laut alam yang memiliki kemampuan menyerap karbon yang tinggi mengindikasikan performa pertumbuhan dan produktivitas yang juga relatif tinggi (Erlania
et al., 2013a; Erlania dan Radiarta, 2014). Dalam perspektif pengembangan budidaya
rumput laut terkait tujuan utama dari aktivitas budidaya, yaitu produksi biomassa yang
optimal, jenis-jenis rumput laut yang memiliki kemampuan tinggi dalam menyerap dan menyimpan karbon tersebut dapat dijadikan sebagai kandidat komoditas budidaya yang
potensial. Untuk mendukung diversifikasi komoditas dan peningkatan produksi budidaya
rumput laut, perlu dilakukan studi lebih lanjut terkait kandungan bahan aktif/komponen
esensial dari jenis-jenis rumput laut alam potensial ini sehingga dapat menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi; untuk selanjutnya dapat dilakukan pengembangan teknik budidaya
yang sesuai, serta kajian kesesuaian lahan untuk budidaya berdasarkan karakteristik
habitat alami dari jenis-jenis rumput laut tersebut. Berkembangnya teknologi budidaya
untuk jenis-jenis rumput laut alam tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi
budidaya secara global dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian masyarakat
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
69 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
pesisir, serta memberikan kontribusi yang lebih besar dalam mitigasi perubahan iklim
melalui penyerapan karbon. Untuk membatasi peningkatan suhu global hingga 2°C, maka
~3,2 x 1015 gC harus dihilangkan dari atmosfer; dan 10% dari tujuan ini dapat dicapai
melalui budidaya rumput laut pada 4% dari total luasan perairan zona ekonomi ekslusif (ZEE) untuk 100 tahun ke depan (Orr, 2014).
Rumput Laut Sebagai Agen Mitigasi Perubahan Iklim. Potensi budidaya rumput laut
sebagai solusi mitigasi global saat ini menjadi pilihan yang layak untuk negara-negara dengan ekonomi yang berpandangan ke depan dengan target untuk memerangi emisi gas
karbon. Budidaya rumput laut dapat mengimbangi emisi karbon global melalui penyerapan,
tetapi manfaat peningkatan produksi rumput laut juga dapat diperoleh. Rumput laut
mampu menahan dampak lain dari polusi antropogenik, termasuk pengasaman laut dan kondisi rendah oksigen. Khususnya, ada sekitar 250 lokasi eutrofik yang diketahui di
seluruh dunia dimana penggantian kerugian rumput laut dapat membantu mengurangi
stresor antropogenik ini. Ekosistem “blue carbon”, sepertii mangrove, padang lamun dan
rumput laut 10 kali lebih efektif dalam menyerap karbondioksida per kawasan/tahun
daripada hutan boreal, subtropis atau tropis. Ekosistem ini juga hampir dua kali lebih efektif dalam menyimpan karbon di dalam tanah dan biomassa mereka. Selain itu, mereka juga
memiliki peran penting dalam melindungi infrastruktur dan masyarakat pesisir dari dampak
iklim sepertii peristiwa cuaca ekstrim.
Pengikatan karbon oleh alga fotoautotrofik berpotensi untuk mengurangi pelepasan CO2 ke atmosfer dan dapat membantu mengurangi kecenderungan terjadinya pemanasan
global (Kaladharan et al., 2009). Diperlukan langkah-langkah inovatif dalam tindakan
mitigasi terhadap peningkatan emisi CO2. Inovasi yang paling praktis yang disebutkan
adalah dengan meningkatkan penyerapan CO2 melalui proses fotosintesis yang mencakup peningkatan penyimpanan karbon dalam biomassa hutan, substitusi bahan bakar fosil
dengan biofuel, peningkatan penyerapan karbon oleh tanah, dan peningkatan produktivitas
primer ekosistem laut. Namun dari setiap metode tersebut masih terdapat pertanyaan yang
belum terjawab tentang kelayakan teknis dan ekonomisnya sekaligus konsekuensi lingkungan yang dapat ditimbulkan.
Pengembangan budidaya rumput laut dapat menjadi salah satu metode inovatif
diantara langkah-langkah yang dibutuhkan dalam upaya mitigasi terhadap berlangsungnya
proses pemanasan global, dimana aktivitas budidaya rumput laut dapat mereduksi
keberadaaan gas CO2 di atmosfer dalam kuantitas yang cukup besar. Besarnya potensi ekosistem pantai untuk pengembangan usaha budidaya rumput laut, memberikan peluang
yang juga semakin besar dalam penyerapan karbon oleh rumput laut berbasis budidaya.
Selain itu, aktivitas budidaya rumput laut juga menjawab kebutuhan akan kelayakan
teknis, maupun ekonomis, serta memberikan kontribusi positif terhadap pengendalian pencemaran organik di lingkungan perairan. Laju penyerapan karbon oleh rumput laut
memiliki korelasi positif tertinggi dengan faktor internal rumput laut yaitu kandungan
pigmen, dan faktor eksternalnya yaitu kecerahan perairan. Strategi pengelolaan budidaya
rumput laut dapat disesuaikan berdasarkan segmen umur dengan laju penyerapan karbon tertinggi, yaitu pada umur pemeliharaan 0-20 hari yang dapat diaplikasikan dengan cara
melakukan peremajaan, sehingga lebih efektif dalam penyerapan karbon dari lingkungan
dan peningkatan produktivitas budidaya rumput laut.
Rumput laut atau makroalga termasuk salah satu vegetasi pantai yang merupakan
penyerap karbon yang sangat baik jika dibandingkan dengan tumbuhan darat. Untuk pertumbuhan dan perkembangannya, rumput laut melakukan proses fotosintesis dengan
memanfaatkan CO2 dan energi cahaya yang dikonversi menjadi karbohidrat. Meskipun
faktor-faktor yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut tergolong sederhana
(nutrien, trace mineral, air CO2, dan cahaya matahari) dan relatif sama dengan tumbuhan darat, namun kelompok alga ini dapat memanfaatkannya dengan sangat efisien sehingga
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
70 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
menghasilkan produktivitas yang tinggi (Packer, 2009). Bukti ilmiah terbaru menunjukkan
bahwa rumput laut liar dapat menyerap sejumlah besar karbon di lautan dengan bahan
organik (terlarut dan partikulat) yang diekspor ke laut dalam (> 1.000 m), dimana karbon
pada dasarnya terkubur (Krause-Jensen and Duarte, 2016).
Gambar 3. Estimasi Simpanan Karbon Beberapa Jenis Rumput Laut Alam Berdasarkan Luas
Tutupan. Sumber: Erlania et al., (2015)
Penelitian dengan menggunakan rumput laut sebagai agen mitigasi perubahan lingkungan cukup banyak dilakukan. Erlania dan Soelistyowati (2013) menyimpulkan
bahwa Kappaphycus alvarezii mampu menyerap karbon sebesar 6.656,51 ton
karbon/tahun, sedangkan Glacilaria gigas menyerap karbon 29.008,53 ton karbon/tahun.
Menurut Erlania et al., (2015) rumput laut yang mempunyai nilai simpanan karbon yang relatif tinggi yaitu Sargassum sp. (149,13-275,20 gC/m2); Gelidium sp. (106,61 gC/m2);
Gracilaria sp. (127,27 gC/m2); G. foliifera (123,70 gC/m2); dan G. salicornia (149,42
gC/m2). Melihat potensi tersebut, maka konservasi kawasan rumput laut alam yang bernilai
ekonomis penting menjadi sangat relevan dengan langkah mitigasi perubahan iklim melalui
penyerapan karbon. Besarnya potensi penyerapan karbon oleh berbagai spesies rumput laut yang hanya menempati sebagian kecil dari total luasan perairan laut dapat
ditingkatkan dengan cara membudidayakan jenis-jenis potensial tersebut di perairan
pantai (Orr, 2014). Usaha budidaya rumput laut selain dapat dijadikan sumber mata
pencaharian masyarakat pesisir, secara tidak langsung juga dapat menjadi salah satu langkah dalam mencegah eksploitasi berlebih terhadap rumput laut alam.
Laju penyerapan karbon oleh rumput laut memiliki korelasi positif tertinggi dengan
faktor internal rumput laut yaitu kandungan pigmen, dan faktor eksternalnya yaitu
kecerahan perairan. Strategi pengelolaan budidaya rumput laut dapat disesuaikan berdasarkan segmen umur dengan laju penyerapan karbon tertinggi, yaitu pada umur
pemeliharaan 0-20 hari yang dapat diaplikasikan dengan cara melakukan peremajaan,
sehingga lebih efektif dalam penyerapan karbon dari lingkungan dan peningkatan
produktivitas budidaya rumput laut. Buschmann et al., (2017) menjelaskan bahwa peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer diperkirakan akan menyebabkan peningkatan
proporsionalitas secara linear terhadap konsentrasi CO2 terlarut pada air permukaan laut
sebagai akibat dari pertukaran gas yang berlangsung terus-menerus antara udara dan air
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
71 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
laut. Respon jangka panjang dari peningkatan CO2 terhadap fotosintesis dan pertumbuhan
tergantung pada ketersediaan nutrien mineral dan cara bagaimana nutrien tersebut
digunakan oleh tanaman, karena laju pertumbuhan yang lebih tinggi dengan tingginya
konsentrasi CO2, akan meningkatkan kebutuhan nutrien mineral. Dengan demikian, untuk mencapai produksi yang optimal dengan besarnya ketersediaan CO2, maka budidaya
rumput laut seharusnya dilakukan pada lokasi dengan ketersediaan nutrien yang cukup.
Hal ini dapat dipenuhi dengan penggunaan nutrien yang lebih efisiensi dan atau dengan
meningkatkan laju penyerapan dan asimilasi nutrien tersebut oleh tanaman. Upaya penyediaan nutrien untuk pertumbuhan rumput laut terkait tingginya ketersediaan CO2 ini
dapat diaplikasikan dengan cara mengintegrasikan budidaya rumput laut dengan budidaya
ikan dan organisme akuatik lainnya pada lokasi perairan yang sama. Sistem
pengembangan budidaya dengan sistem ini sudah mulai populer dengan istilah Integrated Multi-trophic Aquaculture (IMTA).
Aktivitas marikultur pada skala besar, khususnya untuk spesies rumput laut ekonomis
penting, secara global dapat menurunkan konsentrasi CO2 di atmosfer dan juga
menghasilkan biomassa untuk bahan baku industri fikokoloid dari rumput laut (Kaladharan
et al., 2009). Oleh karena itu, budidaya rumput laut sangat baik dikembangkan untuk tujuan produksi dan sebagai agen penyerap karbon. Dengan demikian, sektor kelautan dan
perikanan juga dapat memberikan kontribusi positif dalam upaya mitigasi perubahan iklim
melalui kegiatan budidaya. Budidaya rumput laut menawarkan sejumlah peluang untuk
mengurangi efek pemanasan global dan mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. Rumput laut digunakan untuk produksi biofuel, memiliki kapasitas mitigasi CO2 yang
potensial, dalam hal mengurangi emisi dari bahan bakar fosil. Budidaya rumput
berkontribusi pada adaptasi perubahan iklim dengan meredam energi gelombang dan
melindungi garis pantai, meningkatkan pH dan memasok oksigen ke perairan, sehingga secara mengurangi efek pengasaman laut dan deoksigenasi.
Budidaya rumput laut berpotensi dalam memberikan kontribusi terhadap beberapa
fungsi ekosistem yang didukung oleh rumput laut dan lapisan makroalga. Sebagai contoh,
rumput laut yang tumbuh dan berkembang di alam mampu meredam energi gelombang sehingga berfungsi sebagai struktur pelindung yang melindungi pantai dari erosi. Efek
berkurangnya kekuatan gelombang tergantung pada luas dan struktur habitat rumput laut
serta energi yang ada karena budidaya rumput laut akan rusak bila terjadi badai di laut.
Manfaat budidaya rumput laut dalam adaptasi perubahan iklim yaitu:
Terjaganya Habitat Pesisir dan Terumbu Karang. Budidaya perairan yang dilakukan
secara tidak berkelanjutan dapat mengakibatkan hilangnya atau rusaknya terumbu karang,
hutan bakau, dan padang lamun yang merupakan habitat penting bagi ikan, dan spesies
yang terancam punah (penyu, dugong), serta invertebrata laut. Habitat-habitat penting tersebut dapat dilindungi melalui penggalakkan metode budidaya yang lebih baik yaitu
penentuan lokasi budidaya yang tepat serta intensifkasi budidaya rumput laut.
Mitigasi Erosi Pantai dan Ketahanan Terhadap Badai. Banyak sentra Budidaya rumput
laut saat ini melakukan penebangan hutan bakau untuk dijadikan pasak dan membersihkan
padang lamun untuk pembuatan kebun. Hutan bakau dan lamun adalah kunci perlindungan
garis pantai, terutama untuk menghadapi kenaikan permukaan laut, banjir, dan badai.
Selain fungsinya dalam membantu mempertahankan sedimen dan mencegah erosi, hutan bakau dengan panjang 500 m diperkirakan dapat mengurangi ketinggian gelombang
hingga 50-100% (Beck et al., 2018). Budidaya rumput laut dengan cara yang lebih ramah
terhadap lingkungan termasuk penggunaan cara lain untuk pembuatan pasak dan
perlindungan lamun dapat meningkatkan ketahanan pesisir.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
72 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Layanan Ekosistem untuk Kualitas Air dan Habitat. Sebagai “budidaya perairan
restoratif” budidaya rumput laut dapat memperluas habitat dan tempat berlindung bagi
ikan dan invertebrata yang penting secara komersial, dan memainkan peran penting dalam
meningkatkan kualitas air melalui penyerapan nutrisi.
Strategi Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim. Rumput laut merupakan kegiatan
Budidaya yang tidak membutuhkan air tawar untuk pertumbuhannya. Hal ini sangat
relevan mengingat iklim yang makin memanas. Rumput laut, yang menyerap nutrisi dari perairan laut, dapat menjadi strategi adaptasi iklim yang penting untuk meningkatkan
kualitas air dan mengatasi dampak yang diperkirakan berasal dari peningkatan curah hujan
dan limpasan unsur hara. Walaupun diperlukan penelitian lebih lanjut, budidaya rumput
laut telah digadang-gadang dapat mengurangi eutrofkasi lebih cepat dibandingkan dengan rumput laut liar karena dipanen dan diambil dari ekosistem laut tanpa termineralisasi
kembali dan kemudian mengambil oksigen (Duarte et al., 2017).
Jalan Masuk dan Pintu Menuju Keuntungan Konservasi Lainnya. Keberhasilan
perencanaan tata ruang di tingkat desa dan hasil konservasi yang lebih menyeluruh sepertii penentuan lokasi yang tepat untuk lahan pertanian dan budidaya rumput laut,
perlindungan sumber daya air tawar, dan pengurangan sampah dapat dicapai melalui kerja
sama dengan penduduk desa dan membangun kepercayaan dan hubungan dengan
sumberdaya dan ekonomi yang penting bagi penduduk desa tersebut.
Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan yang Lebih Efektif. TNC, melalui
perencanaan zonasi dan pengelolaan kawasan konservasi perairan dalam Budidaya rumput
laut, mempercepat tercapainya prioritas kawasan konservasi perairan pemerintah nasional untuk memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat, selain juga berupaya
meningkatkan rasa “kepemilikan” penduduk desa atas wilayahnya dalam kawasan
konservasi perairan, sehingga mendorong pengelolaan lingkungan hidup yang lebih
bertanggung jawab. Pelaku utama perikanan (Nelayan, Pembudidaya ikan/udang/rumput laut, Petani
garam) perlu meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan cara:
(1) meningkatkan kemampuan pelaku utama untuk menyesuaikan sistem usaha mereka
dengan kondisi iklim prakiraan iklim yang mereka terima dan (2) mengembangkan dan
menyediakan lebih banyak teknologi pemanfaatan informasi iklim. Teknologi pemanfaatan informasi iklim adalah cara/teknik atau strategi yang disusun berdasarkan informasi
prakiraan iklim dalam rangka meminimumkan dampak risiko iklim yang mungkin muncul
atau memaksimumkan keuntungan dari suatu kondisi iklim yang diperkirakan baik pada
musim tertentu. Pemerintah di lain pihak perlu menyiapkan sarana dan prasarana serta kebijakan pendukung sehingga pelaku utama mampu memanfaatkan informasi iklim
secara efektif. Diantara kebijakan pendukung yang penting adalah menyiapkan
kelembagaan penyuluh dan tenaga penyuluh yang memiliki pengetahuan memadai tentang
iklim disertai penguasaan teknologi pemanfaatan informasi iklim yang baik. Masyarakat pesisir Desa Tablolong perlu upaya adaptasi untuk dampak perubahan
iklim saat ini, dengan cara diantaranya menyiapkan wilayah pesisir dalam upaya
perlindungan dan konservasi rumput laut, hutan bakau dan terumbu karang. Hal ini karena
rumput laut, hutan bakau dan terumbu karang merupakan bagian ekosistem di laut yang
dapat memberikan perlindungan dari erosi tanah, terjangan ombak besar dan badai serta menjamin keberadaan plasma nutfah lainnya. Sedangkan adaptasi untuk dampak masa
depan adalah dengan melakukan penelitian dan monitoring pada pesisir dan ekosistem
pesisir.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
73 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Daftar Pustaka
Aguilan J.T, Broom J.E, Hemmingson, J.A, Dayrit, F.M, Montano, M.N.E, Dancel, M.C.A,
Ninonuevo, M.R, and Furneaux, R.H. 2003. Structural Analysis of Carrageenan from
Farmed Varieties of Philippine Seaweed. Bot. Mar. 46: 179–92. Aldrian, E., Karmini, M., dan Budiman. 2011. Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di
Indonesia. Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara. Kedeputian Bidang Klimatologi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Jakarta, 178 hlm.
Alleway, H.K., Gillies, C.L., Bishop, M.J., Gentry, R.R., Theuerkauf, S.J., and Jones, R. (2019). The Ecosystem Services of Marine Aquaculture: Valuing Benefits to People
and Nature. BioScience 69, 59–68.
Alonso, I., Weston, K., Gregg, R., and Morecroft, M. (2012). Carbon Storage by Habitat:
Review of the Evidence of the Impacts of Management Decisions and Condition of
Carbon Stores and Sources. Natural England Research Reports, Number NERR0 43, 45 pp
Anggraini, N. dan Trisakti, B. 2011. Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap di Provinsi
Kalimantan Barat. Journal Penginderaan Jauh, 8, 11–20
Badan Pusat Statistik Propinsi NTT. 2020. Produksi Rumput Laut Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2011-2016. KupangNusa Tenggara
Timur.
Beck, H.E., Zimmermann, N.E., McVicar, T.R., Vergopolan N., Berg, A. and Wood, E.F.
2018. Present and Future Köppen-Geiger Climate Classification Maps at 1-km Resolution. Scientific Data. 5:180214
Buschmann, A.H., Camus, C., Infante, J., Neori, A., Israel, A., Hernandez Gonzalez, M.C.,
Pereda, S.V., Gomez-Pinchetti, J.L., Golberg, A., Tadmor-Shalev, N., et al. 2017.
Seaweed Production: Overview of the global state of exploitation, farming and Emerging Research Activity. Eur. J. Phycol. 52, 391–406.
Dockrill, P. 2019. It's Official: Atmospheric CO2 Just Exceeded 415 ppm For The First Time
in Human History. https://www.sciencealert.com/it-s-official-atmospheric-co2-just-
exceeded-415-ppm-for-first-time-in-human-history diakses pada 02 November
2020. Elangbam, G., Mayanglambam, A., and Sahoo, D. (2014). Histochemical study on the
Impact of High Carbondioxide on Kappaphycus alvarezii. Asia Pacific Journal of
Research, I(XIV), 43-51
Erlania dan Soelistyowati, D.T. 2013a. Penyerapan Karbon Pada Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii dan Gracilaria Gigas di Perairan Teluk Gerupuk, Lombok
Tengah, NTB. Jurnal Riset Akuakultur.
Erlania, Radiarta, I N., and Sugama, K. 2013b. Peran Budidaya Rumput Laut terhadap
Penyerapan Karbon dan Mitigasi Perubahan Iklim. Analisa Kebijakan Pembangunan Perikanan Budidaya 2013. Puslitbang Perikanan Budidaya, Badan Litbang Kelautan
dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, hlm. 11-20
Erlania and Radiarta, I N. (2014). Perbedaan Siklus Tanam Budidaya Rumput Laut,
Kappaphycus alvarezii, terhadap Variabilitas Tingkat Serapan Karbon. Jurnal Riset
Akuakultur, 9 (1), 111-124 Erlania, I.N. Radiarta, Joni, H., dan Ofri, J. 2015. Kondisi Rumput Laut Alam di Perairan
Pantai Ujung Genteng, Sukabumi dan Labuhanbua, Sumbawa: Potensi Karbon Biru
dan Pengembangan Budidaya. Jurnal Riset Akuakultur Volume 10 Nomor 2.
Grimsditch, G., and Chung, I.K. (2012). Yeosu Workshop on “Coastal Blue Carbon,”. PICES Press, 20(2), 18-20
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2007. Climate Change 2007:
Synthesis Report.In: Allali, A., Bojariu, R., Diaz, S., Elgizouli, I., Griggs, D., Hawkins,
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
74 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
D., Hohmeyer, O., Jallow, B.P., Kajfez-Bogataj, L., Eary, N., Lee, H., Wratt, D. (eds.).
The Working Group contributions to the Fourth Assessment Report. IPCC Plenary
XXVII, Valencia, Spain, 12-17 November 2007, 73pp
Kaladharan, P., Veena, S., and Vivekanandan, E. 2009. Carbon sequestration by a Few Marine Algae: Observation and Projection. Journal of the Marine Biological Association
of India, 51(1): 107-110
Kamlasi, Y. 2008. Kajian Ekologis dan Biologi untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut
(Eucheuma cottonii) di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Krause-Jensen, D., and Duarte, C.M. 2016. Substantial Role of Macroalga in Marine Carbon
Sequestration. Nat. Geosci. 9, 737–742.
Mitra, A., Zaman, S., Pramanick, P., Bhattacharyya, S.B., and Raha, A.K. (2014). Stored Carbon in Dominant Seaweeds of Indian Sundarbands. Pertanika Journal Tropical
Agricultural Science, 37(2), 263-274
Muraoka, D. (2004). Seaweed Resources as a Source of Carbon Fixation. Bul. Fish. Res.
Agen., Supplement, (1), 59-63
Neish, I.C. 2003. The ABC of Eucheuma Seaplant Production Agronomy, Biology and Crop-Handling Of Betaphycus, Eucheuma And Kappaphycus The Gelatinae, Spinosum and
Cottonii of Commerce. http://www.fishdept.sabah.gov. Diakses pada 02 November
2020.
Orr, K.K. (2014). Floating Seaweed (Sargassum). In Laffoley, D., Baxter, J., Thevenon, F., and Oliver, J. (Eds.). The Significance and Management of Natural Carbon Stores in
the Open Ocean. Full report. Gland, Switzerland: IUCN, p. 55-67.
Runtunuwu E, Kondoh A. 2008. Assessing Global Climate Variability and Change Under
Coldest and Warmest Periods at Different Latitudinal Regions. Indonesian. J. Agric. Sci.9 (1): 7−18
Sahayaraj, K., Rajesh, A., Asha, A., Rathi, J.M., and Raja, P. (2014). Distribution and
Diversity Assessment of the Marine Macroalgae at four Southern Districts of Tamil
Nadu, India. Indian Journal of GeoMarine Sciences, 43(4), 607-617. Packer, M. 2009. Algal Capture of Carbon Dioxide: Biomass Generation as a Tool for Green
House Gas Mitigation with Reference to New Zealand Energy Strategy and Policy.
Energy Policy, 37: 3,428-3,437.
Wernberg, T., and Filbee-Dexter, K. 2018. Grazers Extend Blue Carbon Transfer by Slowing
Sinking Speeds of Kelp Detritus. Sci. Rep. 8, 17180. Wurgiyanto, G. 2019. Strategis dan Implementasi Percepatan Pengembangan Budidaya
Rumput Laut menuju NTT Bangkit dan Sejahtera. Workshop Percepatan
Pengembangan Rumput Laut Secara Berkelanjutan di Hotel Swiss Belinn Kristal
tanggal 30/9/2019, Kota Kupang.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
75 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pertumbuhan dan Sintasan Anemon Laut pada Substrat Bentik Buatan Untuk Efektivitas Marikultur Muhammad Ahsin Rifa’i1, Maya Sari Dewi2, dan Hadiratul Kudsiah3
1,2,3) Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Lambung Mangkurat, Bajarmasin
Kalimantan Selatan (Email: [email protected]; [email protected] Email:
Abstrak - Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan teknologi marikultur anemon laut ramah
lingkungan dan menjadi salah satu industri marikultur andalan kelautan karena teknologinya murah,
mudah dan berkelanjutan. Target khusus yang akan dicapai adalah untuk menemukan desain substrat bentik buatan terbaik yang sangat dibutuhkan untuk efektivitas marikultur anemon laut di perairan
alam. Beberapa masalah terkait dengan marikultur anemon laut antara lain kebiasan anemon yang
suka berpindah tempat ke tempat lain yang diduga karena adanya ancaman lingkungan dan ketidakcocokan substrat tempat menempelkan basel disk. Adakalanya anemon menempelkan basel
disk-nya jauh di celah-celah karang (goa) sehingga sulit diambil pada saat panen. Umumnya jika mereka sudah mendapatkan substrat terbaik maka mereka akan settle selamanya disana. Berdasarkan
berbagai masalah dalam pengembangan marikultur di perairan alami, dirasa perlu untuk melakukan
rekayasa terhadap substrat tempat menempelkan basel disk yang disukai anemon laut sehingga marikulturnya dapat terpusat pada satu tempat, mudah dalam pemeliharaan, pengawasannya, dan
pemanenannya. Rekayasa substrat yang dimaksud adalah melakukan desain berbagai bentuk substat buatan dalam berbagai bentuk menyerupai tipe-tipe atau bentuk-bentuk pertumbungan karang untuk
menemukan desain substrat terbaik sehingga mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas marikultur
anemon laut. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan anemone pada tipe meja substrat batu kecil lebih baik dibandingkan dengan substrat batu besar dan substrat datar. Sedangkan sintasannya
tertinggi ditemukan pada tipe meja substrat berbatu dibandingkan tipe meja datar. Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu teknologi yang dapat diterapkan untuk kepentingan marikultur
komersial sekaligus memberdayakan masyarakat.
Kata Kunci: Substrat Bentik, Anemone Laut, Pertumbuhan, Sintasan
Abstract - The purpose of this research is to produce sea anemone mariculture technology which is environmentally friendly and to become one of the marine marine mariculture industries because the
technology is low, easy and sustainable. The specific target to be achieved is to find the best artificial
benthic substrate design that is needed for the effectiveness of marine anemone mariculture in natural waters. Some of the problems associated with sea anemone mariculture include the anemone's habit
of moving to another place which is thought to be due to environmental threats and incompatibility of the substrate to which the basel disk attaches. Sometimes anemones stick their basel disks deep in
crevices (caves), making them difficult to pick up at harvest time. Generally if they have got the best
substrate they will settle there forever. Based on various problems in the development of mariculture in natural waters, it is deemed necessary to engineer the substrate where the basel disk attaches to
the sea anemone favor so that the mariculture can be concentrated in one place, easy to maintain,
control and harvest. Substrate engineering is the design of various artificial substrates in various forms resembling the types or forms of coral reefs to find the best substrate design so as to increase the
efficiency and effectiveness of sea anemone mariculture. The results showed that the growth of anemone on the small rock substrate table type was better than the large rock substrate and flat
substrate. While the highest survival rate was found in rocky substrate table type compared to flat
table type. This research is expected to produce a technology that can be applied for the benefit of commercial mariculture as well as empowering the community.
Keywords : Benthic Substrate, Sea Anemone, Growth, Survival Rate
Pendahuluan. Anemon laut memiliki nilai ekologis dan ekonomis sangat strategis bagi
kawasan terumbu karang dan perekonomian masyarakat pesisir. Nilai ekologis anemon
laut antara lain menjadi inang berbagai anemonfishes (Fautin and Allen, 1997; Randall and
Fautin, 2002) dan sumber yang kaya akan senyawa bioaktif (Lagos et al., 2001). Berdasarkan data Balai Besar Karantina Ikan Sulsel, data lalu lintas domestik dan ekspor
anemon laut tahun 2006 mencapai 670 ekor dan pada tahun 2016 menjadi 1.661.417 ekor
atau terjadi peningkatan 247.972,7%. Tingginya aktifitas penangkapan anemon
menyebabkan populasinya terus terdegradasi. Oleh karena itu, upaya penyelamatan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
76 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
terhadap biota ini menjadi sangat urgen melalui serangkaian aktifitas restocking dan
pengembangan marikultur ramah lingkungan. Beberapa penelitian bioekologi dan marikultur telah dilakukan terhadap anemon laut
(Rifa’i, 1998; Rifa’i dan Kudsiah, 2007; Rifa’i, dkk., 2008a; Rifa’i, dkk., 2008b; Rifa’i, dkk., 2008c; Rifa’i, 2011; Rifa’i, 2012; Rifa’i dan Kudsiah, 2012; Rifa’i, dkk., 2013a; Rifa’i, dkk.,
2013b; Rifa’i, dkk., 2015, Rifa’i, 2016, Rifa’i, dkk., 2016). Rangkaian hasil penelitian
menunjukkan, anemon laut dapat direproduksi secara aseksual dengan teknik fragmentasi,
memiliki pertumbuhan dan sintasan tinggi yang tidak berbeda dengan anemon alamiah. Beberapa masalah terkait dengan marikultur anemon adalah kebiasannya yang suka
berpindah tempat yang diduga adanya ancaman lingkungan dan ketidakcocokan substrat
tempat menempelkan basel disk. Adakalanya anemon menempelkan basel disk-nya jauh
di celah-celah karang (goa) sehingga sulit diambil pada saat panen. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dirasa perlu untuk melakukan rekayasa terhadap substrat
tempat menempelkan basel disk hingga disukai anemon laut dan marikulturnya dapat
terpusat pada satu kawasan sehingga mudah dalam pemeliharaan, pengawasannya, dan
pemanenannya. Rekayasa substrat yang dimaksud adalah dengan melakukan desain
bentuk substat buatan dalam berbagai bentuk menyerupai tipe atau bentuk pertumbungan karang.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan berbagai tipe substrat bentik buatan yang
paling disukai anemon untuk melekatkan basel disk-nya. Kemampuan melekat ini sangat
penting bagi stabilitas dan efektivitas pertumbuhan dan kehidupan anemon laut di alam. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dirasa perlu untuk melakukan penelitian
pengembangan substrat bentik buatan terbaik untuk efektivitas marikultur anemon laut
berkelanjutan pada area kawasan pesisir terutama di zona terumbu karang non produktif.
Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu teknologi dasar untuk kepentingan marikultur komersial sekaligus memberdayakan masyarakat pesisir dan penguatan
ekonomi maritim.
Metode Penelitian
Tempat dan Waktu. Penelitian akan dilaksanakan di Desa Teluk Tamiang, Kabupaten
Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.
Rekayasa substrat bentik buatan. Substrat buatan dirancang menyerupai bentuk-
bentuk pertumbuhan karang alamiah (Gambar 2).
Marikultur Anemon Laut pada Substrat Bentik Buatan. Penelitian menggunakan RAL
dengan Faktor Tipe Meja dengan perlakuan 1 yaitu permukaan meja tipe datar (MT1),
perlakuan 2 yaitu permukaan meja tipe berbatu kecil (MT2) dan perlakuan 3 yaitu
permukaan meja tipe berbatu besar (MT3)
Perlakukan dilakukan pengulangan sebanayk 3 kali sehingga akan menghasilkan 9 unit
percobaan.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
77 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 1. Desain Meja Bentik Buatan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
78 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 2. Kondisi Wadah Pemeliharaan dan Anemon Uji di Lokasi Penelitian
Substrat bentik buatan yang telah ditempatkan di lokasi penelitian dibiarkan selama
7 hari agar ditumbuhi alga kemudian benih anemon ditempatkan pada unit-unit percobaan
sesuai perlakuan. Agar benih tidak hilang terbawa arus maka pada bagian atas meja diberi penutup berupa anyaman kawat atau plastik. Sehari setelah benih anemon menempel pada
substrat, maka akan dilakukan pengukuran diameter tubuh untuk mengetahui data awal
diameter tubuh anemon. Setelah itu dilakukan pengukuran ulang setiap 15 hari sekali
selama 4 bulan masa pemeliharaan. Parameter yang diukur adalah pertambahan diameter tubuh (cm) dan sintasan (%).
Untuk mengetahui adanya perbedaan pertumbuhan dan sintasan antar perlakukan akan
digunakan Uji Kruskal-Wallis. Selain itu akan dilakukan pengamatan terhadap perilaku
anemon dalam berpindah tempat atau migrasi. Pengamatan ini bertujuan untuk melihat
apakah anemon kultur menyukai substrat buatan tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Pertambahan Diameter Tubuh Anemon Laut. Pertambahan diameter tubuh anemon
laut dapat dilihat melalui gamnar grafik berikut.
Gambar 3. Pertambahan Diameter Tubuh Anemon Uji Selama 90 Hari Masa Pemeliharaan
7.73
10.93
9.30
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
MT1 MT2 MT3
Perta
mb
ah
an
(cm
)
Tipe Substrat
Pertambahan Diameter (cm)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
79 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pertambahan diameter anemon uji selama 3 bulan pemeliharaan, tertinggi ditemukan
pada tipe meja bentik berbatu kecil yaitu 10,93±0,45 cm, kemudian disusul yang berbatu
besar yaitu 9,30±0,17 cm, dan yang terendah adalah meja bentik tipe datar yaitu
7,73±0,40 cm.
Sintasan Anemon Laut. Sintasan anemon laut selama pemeliharaan dapat dilihat melalui
gamnar grafik berikut.
Gambar 4. Sintasan (%) Anemon Uji Selama 90 Hari Masa Pemeliharaan
Sintasan anemone laut uji hingga akhir penelitian selama 3 bulan pemeliharaan tertinggi ditemukan tipe meja bentik berbatu kecil dan berbatu besar masing-masing 100%
dan yang terendah adalah meja bentik tipe datar yaitu 77,78%.
Kesimpulan. Pertumbuhan anemone laut tertinggi ditemukan pada tipe meja bentik
berbatu kecil dan terendah ditemukan pada tipe meja bentik datar. Sintasa tertinggi
ditemukan pada tipe meja berbatu kecil dan besar dan terendah pada tipe meja datar.
Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima kasih disampaikan kepada LPPM Universitas
Lambung Mangkurat atas bantuan dana dalam Program Dosen Wajib Meneliti Tahun 2020 melalui dana PNBP ULM.
Daftar Pustaka
Allen, G.R., 1975. The Anemonefishes: Their Classification and Biology, 2nd ed. T. F. H. Publ. Inc., Neptune City, N.J. 352 pp.
Dunn, D. F. 1981. The Clownfish Sea Anemones: Stichodactylidae (Coelenterata:
Actiniaria) and Other Sea Anemones Symbiotic with Pomacentrid Fishes. Transactions
of the American Philosophical Society 71(1): 1-115.
Lagos, P., R. Duran, C. Cerveñansky, J.C. Freitas, and R. Silveira. 2001. Identification of Hemolytic and Neuroactive Fractions in the Venom of the Sea Anemone Bunodosoma
cangicum. Biological Research (2001) 34: 895-902.
Fautin. D.G. and Allen. 1997. Field Guide to Anemone Fishes and Their Host Sea
Anemones. 2nd ed. Western Australian Museum. Perth Australia. 160 pp. http://www.nhm.ku.edu. [Diakses : 31 Oktober 2006]
77.78
100.00 100.00
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
MT1 MT2 MT3
Sin
tasan
(%
)
Tipe Substrat
Sintasan (%)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
80 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Randall, J.E., Fautin, D.G., 2002. Fishes other than anemonefishes that associate with sea
anemones. Coral Reefs 21, 188– 190.
Rifa.i. M.A. 1998. Reproduksi Vegetatif Anemon Laut Stichodactyla gigantea (FORSSKAL.
1775) dan Upaya Rehabilitasi pada Berbagai Habitat Terumbu Karang Non Produktif. Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin Ujung Pandang.
Rifa’i, M.A., dan H. Kudsiah. 2007. Reproduksi Aseksual Anemon Laut Stichodactyla
gigantea (Forsskal. 1775) dengan Teknik Fragmentasi dan Habitat Penumbuhan
Berbeda. J. Sains & Teknologi. Vol. 7. No. 2. Agustus 2007: 65 – 76. 1775) Hasil Reproduksi Aseksual Berdasarkan Waktu Pemindahan ke Perairan Alami Pasca
Fragmentasi Longitudinal. Jurnal Seri Hayati. 11(2): 93 – 102. ISSN 0215 – 174 X
Rifa’i, M.A. 2012. Keragaman Genetik Simbion Alga Zooxanthellae pada Anemon Laut
Stichodactyla gigantea (Forsskal. 1775) Hasil Reproduksi Aseksual. Jurnal Bioteknologi. 11(2): 49-56. ISSN: 0216-6887 EISSN: 2301-8658
Rifa’i, M.A., A. Tuwo. Budimawan. A. Niartiningsih. 2013a. Densitas Simbion Alga
Zooxanthelae pada Anemon Laut Stichodactyla gigantea (Forsskal. 1775) Alam dan
Hasil Reproduksi Aseksual. Jurnal Natur Indonesia. Volume 15. Nomor 1. Februari
2013. Halaman 15 – 32. ISSN 1410-9379 Rifa’i, M.A. 2016. The Abundance and Size of Giant Sea Anemones at different Depths in
the waters of Teluk Tamiang Village. South Kalimantan. Indonesia. AACL Bioflux 9(3):
704-712.
Rifa’i. M.A., Fatmawati. F. Tony. H. Kudsiah. 2016. The Survival and Growth Rate of Three Species of Sea Anemones from Asexsual Reproduction in Pulau Kerumputan and Pulau
Karayaan. Indonesia. EEC 22(3): 1523-1531.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
81 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Budidaya Secara Terkontrol Udang Pellet (Lysmata
amboinensis) dan Udang Api (Lysmata debelius) Rendy Ginanjar1 dan Ofri Johan2
Balai Riset Budidaya Ikan Hias,
Jl. Perikanan No 13 Pancoran Mas Depok (E-mail : [email protected])
Abstrak - Udang pellet dan udang api merupakan jenis udang hias laut yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Budidaya dari udang hias ini terkendala pada masih rendahnya sintasan larva.Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sistem pemeliharan resirkulasi dalam lingkungan yang
terkontrol terhadap perkembangan metamorphosis larva udang, pertumbuhan dan sintasan. Penelitian dilaksanakan pada unit percobaan ikan hias laut BRBIH dengan objek pengamatan20 pasang indukan
udang pelet dan udang api yang terdiri dari satu jantan dan satu betina ditempatkan masing-masing
dalam akuarium berukuran 40 x 40 x 40 cm3yang dilengkapi dengan sistem resirkulasi tertutup. Pakan yang diberikan untuk induk berupa kombinasi antara pakan buatan otohime dan udang rebon beku, yang
diberikan secara bergantian dua kali sehari. Hasil pemeliharan menunjukkan bahwa udang hias laut baik udang pelet maupun udang api, mampu memijah beberapa kali dalam sistem resirkulasi tersebut.
Dengan jumlah larva yang telah mencapai 3600 ekor larva. Usia larva tertinggi diperoleh pada
pemeliharan larva udang api, yang mencapai 31 hari setelah menetas. Beberapa jenis pakan alami diberikan sesuai ukuran larva pada pagi dan sore hari.Meskipun demikian, rendahnya sintasan pada saat
usia larva mencapai 10 hari setelah menetas merupakan prioritas penelitian berikutnya. Kata kunci : Udang hias laut, Padat Penebaran, Sistem Pemeliharaan, Metamorfosis, Sintasan
Abstract - Shrimp pellet and shrimp fire is a type of marine ornamental shrimp that has a high enough selling value. The culture of ornamental shrimp is constrained in the low rate of larval survival. The
purpose of this research is to determine the effect of recirculation maintenance system in a controlled
environment to the development of shrimp larvae metamorphosis, growth and survival rate. The experiments conducted on BRBIH marine ornamental fish experiment unit with 20 pairs of shrimp pellet
and fire shrimp consisting of one male and one female are placed in 40 x 40 x 40 cm 3 aquarium equipped with a closed recirculation system. The feed given to the parent is a combination of artificial feed otohime
and frozen rebon shrimp, which are given alternately twice a day. Maintenance results. Crayfish,. With
the number of larvae that have reached 3600 larvae. Age of shrimp larvae, which reached 31 days after hatching. Some types of natural food is given according to larvae in the morning and evening. However,
low survival at the age of larvae reaches 10 days after hatching becomes the next research priority. Keywords : Marine ornamental shrimp, Density larvae, Culture system, Metamorfosis, Survival
Pendahuluan. Udang hias laut jenis udang pellet (Lysmata amboinensis) merupakan
salah satu jenis udang yang berasal dari keluarga Hippolytidae. Memiliki habitat tersebar
mulai dari perairan Indo-Pasifik hingga ke laut merah. Permintaan akan udang hias ini terus
mengalami peningkatan, seiring dengan semakin populernya trend akuarium ikan hias air
laut di masyarakat. Harga yang cukup kompetitif dan warna yang indah menjadi salah satu
daya tarik dari udang pellet tersebut (Kurtz, 2013). Akan tetapi, pemenuhan kebutuhan tersebut masih mengandalkan tangkapan dari alam, dimana hal tersebut bersifat destruktif
dan dapat mengancam keberadaan dari udang tersebut di alam (Palmtag and Holt, 2001).
Kajian pustaka memperlihatkan bahwa upaya budidaya spesies ini telah dilakukan sejak
lama dan belum menghasilkan produksi yang optimal (Caladoet al., 2003; Calado et al., 2005, Calado et al., 2008; Rhyne & Lin, 2004). Selaku eskportir karang dan ikan hias laut,
CV Cahaya Baru telah berupaya untuk melakukan upaya budidaya dari udang hias laut ini
sejak lama. Potensi ekonomi yang dimiliki oleh udang hias laut tersebut, menjadi sebuah
daya tarik untuk pengembangan budidaya udang tersebut di Indonesia. Indukan udang yang dipelihara mampu memijah pada sistem pemeliharan yang dilakukan di unit breeding
CV Cahaya Baru. Akan tetapi, rendahnya sintasan larva pada saat pemeliharan menjadi
salah satu kendala dalam pengembangan budidaya udang hias tersebut (Tarmini, Personal
Communication).
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
82 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Budidaya selalu terkait dengan produksi. Produksi yang tidak optimal diduga terkait
dengan teknologi pemeliharaan larva yang belum dikuasai dengan baik. Menurut Calado et
al 2003, salah satu kendala utama (bottleneck) dari pengembangan budidaya udang hias
laut ke arah skala komersial adalah teknik pemeliharaan larva. Laju mortalitas yang tinggi serta proses metamorfosis larva yang tidak bersamaan/tidak sinkron, menjadi salah satu
penyebab sintasan larva yang cukup rendah (Simoes et al., 2002; Calado et al., 2005).
Palmtag and Holt (2001) mencatat bahwa tingkat kelangsungan hidup pemeliharaan larva
udang hias laut hanya berkisar 10%. Agar dapat mengoptimalkan sintasan dan pertumbuhan larva udang hias laut, maka
perlu dilakukan beberapa upaya salah satunya adalah dengan melakukan pengembangan
teknik pemeliharaan larva. Pengaturan padat penebaran serta manipulasi sistem
pemeliharaan, menjadi salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sintasan dan pertumbuhan udang pelet.
Larva udang pelet bersifat melayang dan cenderung berada di kolom air.Diperlukan
sebuah sistem pemeliharaan yang sesuai dengan tingkah laku larva agar larva dapat
bermetamorfosis dengan sempurna (Caladoet al., 2003).Sistem pemeliharaan yang
digunakan pada pemeliharaan larva udang secara umum adalah dengan menggunakan air tenang (stagnant water) yang diaerasi dan dengan menggunakan sistem resirkulasi.Sejauh
ini belum banyak kajian pustaka yang membahas performa larva udang pelet yang
dipelihara pada sistem pemeliharaan air tenang dan sistem resirkulasi. Dengan demikian,
perlu dilakukan sebuah studi untuk mengetahui sintasan dan pertumbuhan udang hias pelet yang dipelihara pada kedua buah sistem pemeliharaan tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui beda sistem pemeliharaan
memberikan pengaruh terhadap perkembangan metamorphosis larva udang, pertumbuhan
dan sintasan. Hasil dari penelitian diharapkan dapat diaplikasikan pada pemeliharan larva udang hias pelet dan udang hias api.
Metode Penelitian
Penentuan Jenis Kepadatan dan Sistem Pemeliharaan. Penentuan jenis kepadatan dan sistem pemeliharaan yang tepat diharapkan dapat memacu produktifitas dari larva
udang pelet Lysmata amboinensisdan udang api Lysmata debelius. Indukan udang hias
laut baik itu udang pelet maupun udang api, didatangkan ke Balai Riset Budidaya Ikan Hias
di Depok pada bulan September 2015. Indukan dipelihara dalam akuarium bervolume 64 liter menggunakan sistem resirkulasi tertutup yang dilengkapi dengan sistem
aerasi.Selama pemeliharaan indukan udang diberi pakan berupa pakan buatan komersial
dengan merk Otohime dan udang rebon beku.Pakan diberikan dengan frekwensi sebanyak
dua kali sehari. Tiga bulan setelah masa pemeliharaan dan adaptasi, indukan mampu
memijah pada lingkungan terkontrol tersebut. Indukan udang hias laut yang memijah untuk pertama kali adalah induk udang api pada tanggal 16 Januari 2016 yang kemudian
diikuti oleh induk udang pelet beberapa hari kemudian.
Performa Larva Udang pada Sistem Pemeliharaan yang Berbeda. Larva yang
digunakan pada penelitian ini berasal dari hasil pemijahan alami indukan udang pelet dan udang api. Indukan diperoleh dari CV Cahaya Baru. Perlakuan terbagi atas dua sistem
pemeliharaan, yaitu: 1) Stagnan dan 2) sistem resirkulasi tertutup. Larva ditempatkan
pada akuarium berukuran 40 x 40 x 40 cm3 (Volume 64 Liter) yang dilengkapi dengan
aerasi.Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 5 kali.Pemeliharaan dilakukan selama 120 hari.Air laut dikontrol pada salinitas 33-37 ppt, suhu pada kisaran 25-30oC, fotoperiod
12 jam gelap dan 12 jam terang, pH 8,0-8,2. Selama pemeliharaan larva diberi pakan
berupa Nannochloropsis oculata, rotifer (Brachionus plicatilis), dan nauplii Artemia
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
83 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
sp..Setiap hari dilakukan penyifonan dan pergantian air sebanyak 5% untuk membuang
kotoran dan pakan yang tidak termakan.
Hasil dan Pembahasan. Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh data pemijahan
indukan udang api dan udang pelet pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Data Pemijahan Induk Udang Api Lysmata debelius
No Udang/No.
Shrimp
Waktu pemijahan/
Spawning time
Jumlah larva/No.
of larvae
Lama pemeliharaan/
maintenance duration
Induk 1 16 januari 2016 231 D11
induk 2 30 januari 2016 26 D5
Induk 3 14 Februari 2016 198 D21
Induk 3 23 Maret 2016 331 D31
Induk 4 25 Maret 2016 276 D14
TOTAL LARVA 1062
Tabel 2. Data Pemijahan Induk Udang Pelet Lysmata amboinensis
No
Udang/No.
Shrimp
Waktu
pemijahan/
Spawning time
Jumlah
larva/No. of
larvae
Lama pemeliharaan/
maintenance duration
Induk 1 20 januari 2016 354 D8
Induk 2 22 Januari 2016 553 D5
Induk 3 22 januari 2016 757 D17 Induk 4 1 Februari 2016 25 D6
Induk 5 1 Februari 2016 24 D4
Induk 6 1 Februari 2016 26 D6
Induk 7 17 Februari 2016 613 D12 Induk 8 17 Februari 2016 241 D15
TOTAL LARVA 2593
Berdasarkan tabel diatas, dapat terlihat bahwa induk udang pelet memijah lebih sering
dibandingkan dengan induk udang api. Dapat dikatakan bahwa induk udang pelet lebih mampu beradaptasi pada lingkungan terkontrol dan mampu mengembangkan sistem
reproduksi yang lebih baik apabila dibandingkan dengan udang api. Terhitung sejak bulan
Januari hingga bulan Februari 2016, induk udang pelet telah memijah sebanyak 8 kali dari
8 pasang indukan yang berbeda. Sedangkan udang api hanya 4 kali. Hal tersebut tentu saja memberikan hasil yang cukup signifikan terhadap jumlah larva yang dihasilkan.
Dimana indukan udang pelet telah menghasilkan total larva sebanyak 2593 ekor,
dibandingkan dengan larva udang api yang hanya 864 ekor. Meskipun memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap jumlah larva, akan tetapi tingkat kelangsungan hidup
larva udang pelet terlihat lebih rendah apabila dibandingkan dengan udang api. Larva udang api mampu bertahan hingga usia 31 hari setelah menetas. Sedangkan larva udang
pelet hanya mampu bertahan hingga 17 hari setelah penetasan.
Belum diketahui penyebab pasti dari rendahnya sintasan larva dari kedua jenis udang
hias tersebut. Beberapa upaya atau pencarian solusi yang dilakukan untuk menjawab kejadian tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal. Dugaan awal adalah
kekurangan pakan alami, akan tetapi kita telah mencoba untuk memberikan pakan dalam
jumlah yang berlimpah terhadap larva tersebut. Meskipun telah diberikan pakan dalam
jumlah yang berlimpah, larva tetap mengalami kematian ketika telah mencapai usia diatas 10 hari setelah menetas. Kemudian kami mencoba untuk memelihara larva dalam sistem
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
84 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
pemeliharaan yang berbeda. Kami mencoba memelihara dalam sistem stagnan tanpa
pergantian air, sistem stagnan dengan pergantian air dan sistem resirkulasi. Hasilnya
cukup berbeda satu sama lain. Larva yang dipelihara dalam sistem stagnan tanpa
pergantian air cenderung lebih stabil dan mampu hidup lebih lama apabila dibandingkan dengan larva yang dipelihara dengan menggunakan sistem resirkulasi ataupun sistem
stagnan dengan pergantian air.Dugaan sementara, larva tidak terlalu kuat ketika dilakukan
penggantian air.Penggantian air membuat parameter air cenderung mengalami fluktuasi,
kemungkinan hal tersebut yang membuat larva menjadi drop. Selama masa pemeliharaan, larva diujicobakan dengan menggunakan berbagai
macam pakan alami.Beberapa saat setelah menetas, larva diberi pakan berupa fitoplankton
seperti chlorella dan diatom seperti chaetoceros, keesokan harinya larva tersebut diberi
pakan berupa rotifera.Hasilnya larva mampu bertahan hidup hingga 21 hari setelah menetas. Larva berusia 21 hari itu diperoleh pada larva udang api. Kemudian juga
dilakukan ujicoba, bagaimana apabila larva diberikan artemia sejak awal.Berdasarkan
beberapa kajian literatur, terdapat beberapa studi yang menggunakan pakan nauplii
artemia sejak awal penetasan.Dan hasilnya cukup mengejutkan, hingga hari ke 29 setelah
menetas, terdapat 3 ekor larva yang masih bertahan hidup. Larva terakhir hidup hingga usia 31 hari. Kondisi larva pada hari ke 2 dan 26 hari dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kondisi Larva Udang Pellet Setelah Umur 2 hari (a) dan Umur 26 Hari (b)
Beberapa fakta diatas menunjukkan bahwa ada beberapa faktor diluar pakan yang
memiliki peranan cukup penting terhadap kelangsungan hidup larva.Dugaan sementara
adalah larva gagal bermetamorfosis dengan baik ketika beralih dari fase nauplii ke zoea 1 dan seterusnya.Kemungkinan hal tersebut yang membuat kelangsungan hidup larva
menjadi rendah. Kegagalan metamorfosis tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain kualitas telur indukan yang kurang baik, kualitas nutrisi indukan, kualitas nutrisi
larva yang diberikan, faktor lingkungan dan sebagainya. Beberapa dugaan tersebut harus dikaji lebih mendalam lagi, agar didapatkan hasil yang optimal dalam pemeliharaan larva
ke depannya.
Setelah mengalami beberapa kali pemijahan, indukan mengalami stagnansi dalam
memijah. Hal tersebut diduga akibat kualitas air dan kualitas lingkungan pemeliharaan yang mulai mengalami kejenuhan. Selain itu diduga indukan telah bermetamorfosis dari
jantan menjadi betina. Sehingga tidak ada jantan produktif yang mampu membuahi betina.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
85 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Kondisi tersebut diperburuk dengan kondisi kualitas air yang semakin hari terus
mengalami penurunan. Suplai air laut yang mengalami kendala pada saat itu memberikan
kontribusi yang cukup signifikan terhadap kondisi kualitas air pemeliharaan. Beberapa
parameter kunci dalam pemeliharan udang hias mengalami fluktuasi yang cukup signifikan. Parameter tersebut antara lain, salinitas, amoniak dan nitrit. Salinitas tertinggi diketahui
mencapai 40 ppt, ketika sistem resirkulasi tersebut telah mengalami kendala.
Akibat swing parameters tersebut, induk udang mengalami stress kemudian sakit dan
akhirnya mengalami kematian. Dugaan sementara penyebab kematian udang adalah akibat terkena penyakit. Induk udang mengalami kematian tidak secara bersamaan akan
tetapi mati satu per satu. Kematian satu per satu tersebut umumnya disebabkan oleh
penyakit sedangkan apabila faktor penyebab kematian tersebut adalah kualitas air,
umumnya udang atau ikan akan mengalami kematian secara bersamaan atau massal. Sebagai bahan perbandingan kualitas air dari awal pemeliharaan hingga saat ini dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Kualitas Air Selama Pemeliharaan Udang Hias Laut
Tanggal
pengamatan
PARAMETER
pH Salinitas TDS Konduktivitas Amonia (NH3)
Nitrit (NO2)
Nitrat (NO3)
15 September 2016 7,8 33,2 14 56,3 0,001 0,004 0,05 21 Maret 2016 8,5 37,1 16 66,4 0,01 0,007 0,6
24 November 2016 8,4 40,1 16.5 67,1 0,18 0,913 0,11
Hal yang lain dalam penelitian ini juga menemukan bahwa sistem resirkulasi yang
dibuat untuk pemeliharan induk udang hias tidak mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama.Berdasarkan hasil pengamatan, carrying capacity dari sistem resirkulasi yang
ada bertahan hingga 1 tahun.Setelah itu sistem harus diperbaiki agar tidak mengalami
kejenuhan.Akuarium dikosongkan untuk menghemat air laut dan agar akuarium tetap
bersih.Beberapa akuarium digunakan untuk memelihara indukan udang hias.
Gambar 2.Sistem Resirkulasi Sedang dalam Masa Perawatan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
86 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Saat ini terdapat sepasang induk udang dari dua pasang induk udang yang
diujicobakan.Dari dua pasang indukan tersebut tersisa hanya satu pasang indukan.
Kendala dalam manajemen kualitas air perlahan-lahan dapat diatasi dengan lebih
memperhatikan fluktuasi salinitas dan pH. Oleh karena itu, untuk mempermudah pengawasan dan pemeliharaan, serta untuk efisiensi air laut. Rencana untuk tahun 2017
adalah melakukan pemeliharaan dan pemijahan udang hias dengan menggunakan sistem
resirkulasi yang lebih kecil. Rangkaian sistem resirkulasi yang digunakan berupa rangkaian
yang terdiri dari 6 buah akuarium berukuran 40 x 40 x 40 cm3 yang terkoneksi dengan filter bervolume 200 Liter (Gambar 3). Selain menggunakan rangkaian sistem resirkulasi
tersebut, kami juga menggunakan sistem resirkulasi tertutup. Dimana setiap satu buah
akuarium dilengkapi dengan Hang on Back Filter. Semoga dengan adanya perbaikan sistem
pemeliharaan ini mampu mendorong kelangsungan hidup indukan udang hias yang diharapkan akan meningkatkan produksi larva dan benihnya juga.
Kesimpulan. Sistem pemeliharaan yang berbeda memberikan pengaruh terhadap
tingkat kelangsungan hidup indukan dan larva udang hias laut.Larva yang dipelihara dalam
sistem stagnan tanpa penggantian air, cenderung memiliki ketahanan hidup lebih lama dibandingkan dengan larva yang dipelihara dalam sistem resirkulasi ataupun sistem
stagnan dengan penggantian air.Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitas
larva yang cukup tinggi seperti shortage pakan, kualitas air serta kualitas dari larva itu
sendiri.Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbaikan pakan
indukan untuk peningkatan kualitas telur, kemudian perbaikan kualitas air yang dapat menunjang perkembangan larva, serta kajian mengenai kondisi fisiologis larva itu sendiri.
Ucapan Terima Kasih. Terima kasih diucapkan kepada CV. Cahaya Baru yang telah
mendukung kegiatan penelitian ini secara finasial untuk fasilitas dan penyediaan induk udang sehingga penelitian dapan berjalan dengan lancar. Semoga dukungan ini tidak
terhenti hingga akhir kerjasama nanti dengan diperolehnya hasil penelitian sesuai target
yang diharapkan.
Daftar Pustaka
Baras, E. & Jobling, M.(2002). Dynamics of intracohort cannibalism in cultured
fishes.0Aquaculture Research, 33, p461−479.
Baras, E. (2013). Cannibalism in fish larvae, what have we learned ?Larval Fish
Aquaculture, in (ed.) Qin J.G. Nova Publishers, New York, Pp. 167-199. Bullock, G., Herman, R., Heinen, J., Noble, A., Weber, A. & Hankins, J. (1994).
Observations on the occurrence of bacterial gill disease and amoeba gill infestation in
rainbow trout cultured in a water recirculation system. Journal of Aquatic Animal
Health, 6, p310-317. Calado, R., Narciso, L., Morais, S., Rhyne, A.L., & Lin, J. (2003). A rearing system for the
culture of ornamental decapod crustacean larvae.Aquaculture 218 : 329-339
Calado, R., Morais, S., Rosa, R., Nunes, M.L., & Narciso, L. (2005). Growth, survival, lipid
and fatty acid profile of juvenile monaco shrimp Lysmata seticaudata fed on different diets. Aquaculture Research 36 : 493-504
Calado, R., Pimentel, T., Vitorino A., Dionisio G., & Dinis M.T. (2008).Technical
improvements of a rearing system for the culture of decapod crustacean larvae, with
emphasis on marine ornamental species. Aquaculture 285 : 264-269
Courtland, S. (1999).Recirculating System Technology for Shrimp Maturation.Sustainable Development News. 4pp
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
87 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Dong, Q. and Polis G.A. (1992).The dynamics of cannibalistic populations, a foraging
perspective.Cannibalism, Ecology and Evolution among diverse Taxa, Elgar, M.A. and
Crespi, B.J. (Eds), Oxford Science Publications, Oxford, p13-37.
Ellis, T., North, B., Scott, A.P., Bromage, N.R., Porter, M. & Gadd, D. (2002).The relationship between stocking density and welfare in farmed rainbow trout.Journal of
Fish Biology, 61, p493–531.
Ewing, R.D. & Ewing, S.K. (1995). Review of the effects of rearing density on survival to
adulthood for Pacific salmon. Progressive Fish-Culturist, 57, p1-25. Garrido-Pereira M.A., Schwarz M., Delbos, B., Rodrigues V.R., Romano, L., & Sampaio, L.
(2014). Probiotic effects on cobia Rachycentron canadum larvae reared in a
recirculating aquaculture system. J. Aquat. Res., 42(5): 1169-1174
Illingworth, J., Tong, L., Moss, G., & Pickering, T. (1997).Upwelling tank for culturing rock lobster (Jasus edwardsii) phyllosomas. Mar. Freshw. Res. 48, 911 – 914
Kittaka, J. (1997). Application of ecosystem method for complete development of
phyllosomas of spiny lobster.Aquaculture 155, 319– 331.
Palmtag, M. R & Holt, G.J. (2001). Captive Rearing of Fire Shrimp (Lysmata debelius). A
Texas Sea grant College Program Research Report. Spetember 2001. Pavlov, D.A. (1995). Growth of juveniles of White Sea common wolffish, Anarhichas lupus
L., in captivity.Aquaculture Research, 26, p195-203.
Simões, F., Ribeiro, F. & Jones, D.A. (2002).Feeding early larval stages of fire shrimp
Lysmata debelius (Caridea, Hippolytidae). Aquaculture International, 10, 349–360. Smith, C. and Reay, P. (1991).Cannibalism in teleost fishes.Reviews in Fish Biology and
Fisheries, 5, p7-22.
Sweeten, M and Sweeten, J. (2013). Terminology for grazing lands and grazing
animals.http://www.agry.purdue.edu/ext/forages/rotational/glossary.html. Tomoda, T., Fushimi, H., & Kurokura, H. (2005).Performance of a closed recirculation
system for larviculture of red sea bream, Pagrus major. Fisheries Science 71 : 1179-
1181
Yakubu, A.F., Ajiboye, O.O., Nwogu, N.A., Olaji, E.D., Adams, T.E. and Obule, E.E., (2013). Effects of Stocking Density on the Growth Performance of Sex-Reversed Nile Tilapia
(Oreochromis niloticus) fingerlings fed unhatched chicken egg diet. World journal of
Fish and Marine Sciences, 3, p291-295.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
88 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Kadar Lemak dan Kinerja Pertumbuhan Ikan Patin Pangasius hypophthalmus yang Diberi Pakan dengan Rasio Karbohidrat dan Lemak Berbeda Ridwan Tobuku
Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana,
Jl. Adisucipto Penfui Kupang ; Kode Pos: 85001, Indonesia (Email: [email protected])
Abstrak - Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui rasio karbohidrat terhadap lipid yang menghasilkan
laju pertumbuhan tinggi dan kandungan lipid rendah pada Pangasius hypophthalmus. Enam ekor juvenil dengan bobot badan 16,1 ± 0,5 g ditebar di masing-masing 12 akuarium yang diisi 60 liter air. Ikan uji
diberi makan setiap hari selama 60 hari ng mengandung rasio karbohidrat dan lipid yang berbeda yaitu
1, 2, 3, atau 4. Kandungan lemak makanan berkisar antara 7,6% hingga 16,9% dan kandungan karbohidrat bervariasi dari 16 hingga 31%. Kandungan protein (36%) sama untuk semua diet. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ikan uji yang diberi pakan dengan rasio karbohidrat terhadap lipid 3 memiliki retensi protein tertinggi (47,06%), rasio konversi terendah (1,33), dan laju pertumbuhan harian
tertinggi (4,33%). Meskipun ikan yang diberi pakan dengan rasio karbohidrat terhadap lipid 1 memiliki
kinerja pertumbuhan terendah, namun kualitas daging terbaik ditunjukkan pada nilai protein tinggi dan kandungan lemak rendah.
Abstract - This study was conducted to determine dietary carbohydrate to lipid ratio which produce high
growth rate and lipid contents of lateral muscle of Pangasius hypophthalmus juvenile. Six juveniles with
16.1±0.5 g of body weight were stocked in each of 12 aquarium filled with 60 liters of water. They were fed daily for 60 days with diets containing different carbohydrate to lipid ratio of 1, 2, 3, or 4. The dietary
lipid contents ranged from 7.6% to 16.9% and carbohydrate contents were varied from 16 to 31%. The protein content (36%) were the same for all diets. The results of this study showed that fish fed on the
diet containing carbohydrate to lipid ratio of 3 had the highest protein retention (47.06%), the lowest
convertion ratio (1.33), and the highest daily growth rate (4.33%). Although fish fed on the diet with carbohydrate to lipid ratio of 1 had the lowest growth performace, this group of fish containing the best
quality of meat indicated by high protein and low lipid contents.
Pendahuluan. Pembesaran ikan patin pada umumnya dilakukan di keramba jaring
apung (KJA) dan kolam air tenang, serta sebagian kecil di kolam air deras, namun kualitas
daging yang dihasilkan berbeda. Ikan patin yang tumbuh dan besar di KJA dan kolam air
tenang memiliki daging dengan kandungan lemak tinggi mencapai 7,98% bobot basah atau
30,59% bobot kering, sedangkan dari kolam air deras sebesar 3,04% bobot basah atau
13,26% bobot kering (Suwarsito, 2004).
Suwarsito (2004) telah berupaya menurunkan kadar lemak daging ikan patin dengan menggunakan L-karnitin. Penambahan L-karnitin dalam pakan sebesar 0,18% telah dapat
menurunkankan kadar lemak daging dari 32,25% menjadi 7,51% bobot kering atau 7,88%
menjadi 1,63% bobot basah. Namun cara ini ternyata tidak ekonomis untuk diaplikasikan
karena harga L-karnitin yang relatif mahal. Cara lain yang mungkin dapat dilakukan untuk menurunkan kadar lemak daging adalah dengan mengatur imbangan karbohidrat dan
lemak dalam pakan. Menurut Furuichi (1988), lemak tubuh sangat dipengaruhi oleh lemak
pakan. Hasil penelitian pada channel catfish menunjukkan bahwa deposisi lemak tubuh
berhubungan dengan kadar lemak pakan (Garlis & Wilson, 1976 dalam Takeuchi, 1988). Lemak dan karbohidrat mempunyai sparing effect pada penggunaan atau pemanfaatan
protein. Protein akan dimanfaatkan sebagai energi apabila lemak dan karbohidrat tidak
cukup mensuplai kebutuhan energi. Penggunaan lemak dan karbohidrat dalam pakan harus
ada pada kadar atau rasio yang tepat, karena apabila kelebihan atau kekurangan akan
memberikan dampak negatif pada ikan yang diberi pakan tersebut. Kadar lemak pakan yang tinggi akan menyebabkan penyimpanan lemak pada tubuh, penurunan konsumsi
pakan dan pertumbuhan serta degenerasi hati (Huisman, 1987). Begitu juga pakan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
89 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
berkadar karbohidrat tinggi akan meningkatkan laju pembentukan lemak (Lehninger,
1993).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio karobohidrat terhadap lemak
pakan memberikan pengaruh signifikan pada kandungan lemak daging dan tubuh ikan serta beberapa indikator pertumbuhan. Ikan African catfish Clarias gariepinus yang diberi
pakan dengan rasio karbohidrat (KH) terhadap lemak (L) 1,66 (mengandung 27% KH dan
16% L) signifikan mempengaruhi laju pertumbuhan, efisiensi pakan dan protein. Rasio 0,74
(14% KH/21%L) menghasilkan pertumbuhan dan deposisi lemak terendah (Ali & Jaucey, 2004). Hasil penelitian Shimeno et al. (1992) pada Oreochromis niloticus menunjukkan
pakan dengan rasio KH/L sebesar 9 (47,7%KH/5,3%L) menghasilkan laju pertumbuhan
tertinggi 37,5% dan kadar lemak daging bagian dorsal (dorsal muscle) 0,5% bobot basah,
sedangkan rasio 2,7 (33,4%KH/12,45%L) menghasilkan kadar lemak daging bagian dorsal terendah 0,3% bobot basah dan laju pertumbuhan 35,6%.
Dari penelitian di atas, terlihat bahwa rasio karbohidrat terhadap lemak selain
mempengaruhi beberapa indikator pertumbuhan juga memperlihatkan pengaruhnya
terhadap kadar lemak daging dan tubuh. Berdasarkan informasi di atas maka perlu
dilakukan penelitian rasio karbohidrat lemak pakan untuk ikan patin dengan tujuan untuk menentukan rasio karbohidrat dan lemak yang tepat untuk menghasilkan daging dengan
kadar lemak rendah dan kinerja pertumbuhan tinggi.
Metode Penelitian Pakan Uji. Penelitian ini menggunakan empat jenis pakan uji yang mengandung iso-
protein sekitar 36% dan rasio energi tercerna/protein 7,4 – 8,4 kkal DE/g dengan rasio
karbohidrat dan lemak yang berbeda, yaitu 1, 2, 3 dan 4. Sebagai sumber lemak digunakan
minyak ikan dan minyak jagung. Sumber karbohidrat (BETN) utama diperoleh dari dekstrin. Komposisi bahan pakan disajikan pada Tabel 1 dan komposisi proksimat pakan
pada Tabel 2.
Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Percobaan (g/100g Pakan)
Bahan Penyusun Rasio Karbohidrat/Lemak
1 2 3 4
Tepung ikan 51,0 51,0 51,00 51,00
Tepung kedelai 1,50 1,50 1,50 1,50 Tepung terigu 2,00 2.00 2.00 2.00
Dextrin 11,0 22,0 28,00 27,00
Minyak jagung 8,4 6,3 4,2 2,1
Minyak ikan 3,6 2,7 1,8 0,9
Vitamin Mix1 1,50 1,50 1,50 1,50
Mineral Mix1 3,50 3,50 3,50 3,50
Kholin klorida 0,50 0,50 0,50 0,50
CMC 2,50 2,50 2,50 2,50
Selulosa 14,5 6,50 3,50 7,50
Sumber : Takeuchi (1988)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
90 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Tabel 2. Komposisi Proksimat Pakan Perlakuan (% Bobot Kering)
Komposisi
proksimat
Rasio Karbohidrat/Lemak
1 2 3 4
Protein 36,12 35,78 35,56 35,90
BETN 15,97 27,43 32,51 31,01
Lemak 16,19 13,37 10,89 7,57
Energi (kkal)1/g 297,5 302,1 293,9 264,5
E / P (kkal / g) 8,2 8,4 8,3 7,4
Pemeliharaan Ikan dan Pengumpulan Data. Ikan diperoleh dari petani berukuran
7,75±3,3g dan dibesarkan pada kondisi laboratorium selama 60 hari. Ikan dengan berat
rata-rata 16,1±0,5g diambil sebanyak 6 ekor dan dimasukkan ke dalam akuarium ukuran
50x30x40cm yang diisi air sebanyak 60 liter. Sistem pemeliharaan menggunakan sistem resirkulasi yang dilengkapi aerasi dan filtrasi. Selama penelitian dilakukan pergantian air
sekitar 50% per hari untuk menjaga kualitas air. Pemberian pakan secara at satiation dua
kali sehari pukul 07.00 dan 17.00 WIB dan banyaknya pakan yang diberikan dicatat untuk
mengetahui tingkat konsumsi pakan. Setelah 60 hari pemberian pakan percobaan, ikan
dipuasakan selama 24 jam dan ditimbang satu per satu untuk mengetahui bobot akhir. Sebanyak 2 ekor ikan dari setiap akuarium digunakan untuk analisis proksimat tubuh dan
3 ekor diambil daging bagian lateral untuk dianalisis proksimat daging. Selama penelitian,
kadar oksigen terlarut 4,4-6,5 ppm; suhu 29-31oC; pH 7,5-7,6. Kualitas air ini dapat
menunjang pertumbuhan air yang normal.
Analisis Kimia. Analisis proksimat yang meliputi kadar protein kasar, lemak kasar, BETN,
abu, serat kasar dan air dilakukan terhadap bahan pakan dan pakan, sedangkan daging
dan tubuh meliputi kadar protein kasar, lemak kasar, abu, dan air. Analisis proksimat bahan dan pakan dilakukan pada awal percobaan, sedangkan analisis proksimat total tubuh
ikan dilakukan pada awal dan akhir percobaan, dan proksimat daging dilakukan pada akhir
penelitian. Prosedur analisis proksimat terdapat pada Takeuchi (1988).
Analisis Statistik. Desain penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Uji lanjut menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
Peubah yang diuji dalam penelitian ini ialah laju pertumbuhan, retensi protein dan lemak,
konversi pakan, kadar lemak, protein, air, dan abu daging maupun tubuh, kelangsungan
hidup. Laju pertumbuhan, konversi pakan, retensi lemak dan protein, kelangsungan hidup dihitung menggunakan formula sebagai berikut:
Laju pertumbuhan bobot harian (Huisman, 1976)
α = [(Wt / Wo)1/t -1] x 100%
Keterangan :
Α = laju pertumbuhan bobot harian (%) Wt = bobot rata-rata ikan pada akhir penelitian
W0 = bobot rata-rata ikan pada akhir penelitian
Konversi pakan (Feed conversion ratio)(Viola & Rappaport, 1979)
R = 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐛𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐩𝐫𝐨𝐭𝐞𝐢𝐧/𝐥𝐞𝐦𝐚𝐤 𝐭𝐮𝐛𝐮𝐡 (𝐠)
𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐨𝐛𝐨𝐭 𝐩𝐫𝐨𝐭𝐞𝐢𝐧/𝐥𝐞𝐦𝐚𝐤 𝐝𝐢𝐤𝐨𝐧𝐬𝐮𝐦𝐬𝐢 (𝐠)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
91 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Keterangan :
R = Konversi pakan
Kelangsungan hidup
SR = 𝐍𝐓
𝐍𝐎 x 100
Keterangan : SR = Kelangsungan hidup (%)
NT = Jumlah individu ikan saat akhir
N0 = Jumlah individu ikan saat awal
Hasil dan Pembahasan
Hasil. Bobot rata-rata individu pada awal dan akhir percobaan disajikan pada Gambar 1,
sedangkan bobot biomassa pada awal dan akhir penelitian disajikan pada Lampiran 2. Pada
Gambar 1 terlihat bahwa pertambahan bobot rata-rata individu tertinggi diperoleh pada ikan yang diberi pakan dengan rasio 3 (32,51% karbohidrat dan 10,89% lemak), diikuti
oleh rasio 4 (31,01% karbohidrat dan 7,57% lemak), 2 (27,43% karbohidrat dan 13.37%
lemak), dan 1 (15,97% karbohidrat dan 16,19% lemak). Ikan patin yang mengkonsumsi
pakan dengan rasio 3 menghasilkan bobot rata-rata individu pada akhir penelitian sebesar
205,04g diikuti rasio 4, 2 dan 1 dengan bobot rata-rata berturut-turut 190,38, 181,70 dan 165,24 g.
Gambar 1. Bobot Rata-Rata Individu pada Awal dan Akhir Penelitian
Tabel 3. Rata-Rata Konsumsi Pakan (FC), Retensi Protein (RP), Retensi Lemak (RL), Laju
Pertumbuhan Harian (LPH), Konversi Pakan (FCR) dan Kelangsungan Hidup (SR) Ikan Patin Selama 60 Hari Pemeliharaan
Parameter Rasio Karbohidrat/Lemak
1 2 3 4
FC(g)* 1188,3±25,6c 1211,6±21,8b 1284,5±26,9a 1281,8±41,9a RP(%)* 37,1±3,2c 41,7±3,3b 47,1±1,1a 41,1±1,7b RL(%)* 29,3±2,3d 51,1±1,7c 79,1±7,6b 114,6±13,2a LPH(%/hr)* 3,96±0,07c 4,12±0,01b 4,33±0,05a 4,20±0,04b FCR* 1,33±0,07c 1,22±0,03b 1,13±0,02 a 1,23±0,06b
SR(%) 100 100 100 100
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
92 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan
(P<0,05).
Tabel 3 memperlihatkan bahwa retensi lemak meningkat sejalan dengan
meningkatnya rasio karbohidrat/lemak, tetapi retensi protein dan laju pertumbuhan
meningkat hanya sampai pada rasio 3 dan terjadi penurunan pada rasio 4. Sedangkan
peningkatan rasio karbohidrat/lemak menyebabkan terjadi penurunan pada nilai konversi pakan, dan penurunan ini hanya sampai pada rasio 3 dan meningkat kembali pada rasio 4.
Selama penelitian berlangsung tidak terjadi kematian ikan uji untuk setiap jenis pakan uji
yang dicobakan. Rata-rata komposisi proksimat daging, tubuh dan hati ikan patin setelah
60 hari pemberian pakan uji disajikan pada Tabel 4. Kadar air dan protein daging serta tubuh ikan patin semakin kecil sejalan meningkatnya rasio karbohidrat/lemak pakan.
Keadaan sebaliknya terjadi pada kadar lemak, dimana semakin tinggi rasio
karbohidrat/lemak pakan diikuti pula semakin meningkatnya kadar lemak daging dan
tubuh. Kadar lemak hati semakin tinggi dengan meningkatnya rasio karbohidrat/lemak pakan dan keadaan sebaliknya terjadi pada kadar air. Rasio karbohidrat/lemak pakan tidak
menghasilkan perbedaan kadar abu daging dan tubuh.
Tabel 4. Komposisi Proksimat Daging, Tubuh dan Hati (Bobot Kering)
Komposisi proksimat
Rasio Karbohidrat/Lemak 1 2 3 4
Daging
- Air 78,4±0,7a 78,1±0,7ab 76,9±0,9b 75,4±0,7c
- Protein 84,4±4,6a 82,0±2,6b 77,7±1,67 c 75,5±2,0c
- Lemak 8,6±0,7c 12,2±0,35b 15,4±1,25 a 16,4±0,6a
- Abu 2,5±0,4a 2,3±0,5a 2,1±0,5a 2,1±0,2a
Tubuh
- Air 71,1±1,2a 70,0±0,2a 68,1±0,9b 67,3±0,9c
- Protein 55,3±0,3a 54,5±2,3a 53,2±3,2 a 49,6±0,8b
- Lemak 19,9±2,6d 24,6±1,3c 26,8±0,4 b 28,9±3,0a
- Abu 17,4±0,9a 16,7±0,9a 14,3±2,1a 12,5±0,1a
Hati
- Air 55,2±1,3a 52,1±1,6b 49,0±1,5c 43,1±1,1d
- Lemak 47,4±4,2c 47,3±4,9c 50,6±2,0b 59,6±1,9a
Pembahasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan yang diberi pakan dengan rasio
karbohidrat/lemak 3 dan 4 mengkonsumsi jumlah pakan tertinggi dibandingkan dua
perlakuan lainnya (Tabel 3). Semakin banyak pakan yang dikonsumsi, kebutuhan energi untuk ikan tercukupi terutama yang bersumber dari karbohidrat dan lemak sehingga
pemanfaatan protein untuk pertumbuhan semakin efisien. Hal ini dapat dilihat pada rasio
3 dimana nilai retensi protein dan laju pertumbuhan tertinggi. Perbedaan jumlah konsumsi
pakan juga dapat disebabkan adanya perbedaan ukuran ikan akibat perbedaan laju pertumbuhan selama percobaan berlangsung. Ikan yang berukuran besar membutuhkan
dan mengkonsumsi pakan lebih banyak dari pada ikan yang berukuran kecil (pemberian
pakan dilakukan secara at satiation). Pakan dengan rasio karbohidrat/lemak 4
menghasilkan retensi protein dan pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan rasio 3
disebabkan pemanfaatan pakan menjadi kurang efisien ketika terjadinya proses lipogenesis yang ditunjukkan oleh nilai retensi lemak dan kadar lemak hati yang tinggi.
Ikan patin yang diberi pakan berkadar lemak tinggi (rasio karbohidrat/lemak 1)
cenderung menggunakan banyak lemak sebagai sumber energi yang ditunjukkan pada nilai
retensi lemak yang rendah. Selain itu, tingginya kadar lemak pakan diikuti dengan semakin
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
93 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
menurunnya kadar karbohidrat telah menyebabkan kebutuhan karbohidrat sebagai sumber
energi tidak tercukupi karena ikan tidak efisien dalam memanfaatkan protein yang
ditunjukkan pada nilai retensi protein dan pertumbuhan yang semakin kecil. Menurut
Lehninger (1993), jaringan tertentu pada hewan seperti otak cenderung menggunakan glukosa yang bersumber dari protein apabila glukosa dari karbohidrat tidak tercukupi.
Sedangkan peningkatan kadar karbohidrat pakan diikuti penurunan kadar lemak
menghasilkan retensi lemak yang semakin tinggi. Retensi lemak pada perlakuan pakan
dengan kadar lemak terendah menunjukkan nilai tertinggi dan nilai ini mencapai lebih dari 100%. Tubuh ikan membutuhkan lemak untuk disimpan sebagai lemak sruktural. Untuk
memenuhi kebutuhan lemak tersebut, maka ikan mensintesis (biokonversi) lemak berasal
dari nutrient non-lemak, seperti karbohidrat menjadi asam-asam lemak dan trigliserida
yang terjadi di hati dan jaringan lemak (Linder, 1992). Selanjutnya Brauge et al. (1994) menyatakan bahwa tingginya kadar karbohidrat yang dapat dicerna merangsang terjadinya
proses lipogenesis dan meningkatkan penyimpanan lemak. Proses lipogenesis ini
memerlukan energi dan keperluan energi ini akan mengurangi energi untuk pertumbuhan.
Jadi juvenil ikan patin memerlukan suatu kadar lemak tertentu dalam pakan yang
sekaligus juga rasio karbohidrat/lemak tertentu sehingga pemanfaatan energi nonprotein tersebut akan maksimal. Keadaan ini akan memberikan efisiensi protein pakan yang
optimum seperti yang dihasilkan pada rasio karbohidrat/lemak 3. Rasio 3 menghasilkan
energi nonprotein yang maksimum sehingga protein pakan dapat digunakan untuk sintesis
protein tubuh lebih efisien. Hal ini terbukti tingginya jumlah protein yang tersimpan dalam tubuh ikan yang ditunjukkan oleh nilai retensi protein 47,06%. Nilai ini lebih tinggi
dari
P. djambal yang diberi pakan rasio karbohidrat/lemak 6 (36,14% karbohidrat dan
6,25% lemak), yaitu 45,37%. Menurut Peres dan Teles (1999), terjadinya protein sparing effect oleh karbohidrat dan lemak akan mengurangi pemanfaatan protein untuk energi.
Viola & Rappaport (1979) menggunakan retensi protein sebagai indikator efektivitas pakan.
Pemanfaatan protein yang semakin efisien ditunjukkan pula oleh nilai konversi pakan yang
diperoleh pada pakan dengan nilai rasio karbohidrat/lemak sebesar 3. Efek lanjut pakan dengan rasio karbohidrat/lemak 3 akan menghasilkan pertumbuhan harian yang tertinggi
pula. Walaupun jumlah pakan yang dikonsumsi pada rasio 3 tinggi tetapi juga diikuti
pertumbuhan yang tinggi sehingga akan dihasilkan pula konversi pakan yang rendah.
Kadar lemak tubuh dan daging terkecil diperoleh pada ikan yang diberi pakan uji rasio
karbohidrat/lemak 1. Rendahnya kadar lemak ini akibat kebanyakan lemak pakan dimanfaatkan sebagai sumber energi sehingga jumlah yang disimpan semakin sedikit (nilai
retensi lemak yang kecil). Nilai lemak tubuh ini (19,9±2,6) lebih kecil dibandingkan yang
diperoleh Suwarsito (2004), yakni 32,19% bobot kering tetapi lebih besar dari hasil yang
diperoleh Hung et al. (2004) yakni 13,7% bobot kering pada perlakuan protein pakan 45%. Sedangkan kadar lemak daging terkecil relatif sama dengan yang diperoleh Suwarsito
(2004) sebesar 7,51% bobot kering pada penambahan L-karnitin 0,18%. Semakin tinggi
kadar lemak pakan diikuti semakin rendah kadar kabohidrat menghasilkan kadar lemak
daging terendah dan protein daging tertinggi. Pakan dengan rasio karbohidrat/lemak 1 menghasilkan kualitas daging yang lebih baik dibandingkan dengan rasio 2, 3 dan 4.
Di akhir penelitian, ukuran ikan baru mencapai sekitar 200g, sedangkan ukuran
konsumsi ikan ini di atas 500g, maka pakan dengan rasio 1 belum mutlak diaplikasikan.
Untuk kepentingan budidaya pada tahap tersebut, peningkatan pertumbuhan lebih menjadi
prioritas. Dengan demikian, pakan dengan rasio karbohidrat/lemak 3 disarankan untuk diaplikasikan.
Kesimpulan. Ikan patin, P. hypophthalmus yang diberi pakan uji rasio
karbohidrat/lemak 3 (mengandung 32.51% karbohidrat dan 10.89% lemak) menghasilkan
kinerja pertumbuhan terbaik.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
94 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dekan Fakultas
perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor yang telah memfasilitasi penggunaan
Laboratoroum basah dan Analisa proksimat.
Daftar Pustaka
Affandi R, Sjafei DS, Raharjo MF, Sulistiono. 2005. Fisiologi ikan: Pencernaan dan
penyerapan makanan. Departemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB. 215 hal.
Ali MZ,. Jaucey K. 2004. Optimal dietary carbohydrate to lipid ratio in African catfish Clarias
gariepinus. J. Aqua. Int. 12: 169-180.
[APHA] American Public Health Association, American Water Works Assosiation and water
pollution control federation. 1975. Standart methods for the examination of water and
wastewater. 14th. Ed., Washington, D.C. 1193 pp.
Brauge CF, Medale F, Corraze G. 1994. Effect of dietary carbohydrate levels on growth,
body composition, and glicaemia in rainbow trout, Oncorhynchus mykiss, reared in sea
water. INRA Fish Nutrition Laboratory, Hydrobiology Station, France. Aquaculture,
123:109-120.
Campbell PN and Smith AD, 1982. Biochemistry Illustrated. Illustrator by Harris
S. Churchill Livingstone. Edinburg. London.
Cho CY, Cowey CB and Watanabe T. 1985. Finfish nutrition in Asia. Methodological
Approach of Research and Development. Ottawa, Ont. DCR. 154 pp.
Craig S and Helfrich LA. 1992. Understanding fish nutrition, feed, and feeding. Department
of Fisheries and Wildlife Science. Virginia Tech.
De Silva SS, and Anderson TA. 1995. Fish nutrition in aqualculture. Chapman & Hall
Aqualculture serien 1. New York. 308 p.
Du ZY, Liu YJ, Tian LX, Wang JT, Wang Y, Liang GY. 2005. Effect of dietary lipid level on
growth, feed utilizatition and body composition by juvenil Grass Carp
(Ctenopharyngodon idellla). Aquacult. Nutr. 11, 139-146.
Furuichi M and Yone Y. 1981. Change of blood sugar and plasma insulin level of fishes in
glucosa tolerance test. Bull. Japan. Soc. Sci. Fish 47: 761-764.
Furuichi M. 1988. Fish Nutrition, p.1-78. In : Watanabe T (ed). Fish nutrition and
mariculture. Tokyo. Department of Aquatic Biosciences Tokyo University of Fisheries.
Gallego MG, Bzoca J, Akharbach H, Suarez MD, Sanz A. 1994. Utilization of different
carbohydrates by the European eel (Anguilla anguila). Aquaculture 124 : 99-108.
Guyton, AC. 1994. Textbook of medical physiology. Alih bahasa Tengadi. Penerbit Buku
Kedokteran ECG. Jakarta. 399 hal.
Halver JE. 1989. Fish nutrition. 2nd Ed. Academic Press, Inc. News York. 713 pp. Hepher
B. 1990. Nutrition of pond fishes. New York. Cambridge Univercity Press. 388 p.
Houlihan D, Boujard T and Jobling M. 2002. Food intake in fish. Blackwell science Lrd. 414
pp.
Huisman EA, 1976. Food conversion efficiencies at maintenance and production levels for
Carp, Cyprinus carpio L and rainbow trout, Salmo gairdneri Richardson. Aquaculture
9:256-273.
Hung LT, Suhenda N, Slembrouck J, Lazard J and Moreau Y. 2004. Comparison of dietary
protein and energy utilization in three Asian catfish (Pangasius bocourty, P.
Hypophthalmus and P. djambal). Aquacult. Nutr. 10, 317-326.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
95 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Kim LH and Lee Sang-Ming. 2005. Effect of the dietary protein and lipid levels on growth
and body composition of Bagrid catfish, Pseudobagrus fulvidraco. Aquaculture 243,
323-329.
Lee S and Lee JH. 2004. Effect of dietary glucose, dextrin and strach on growth and body
composition of juvenile starry flounder Platichthys stellatus. J. Fish. Sci. 70: 53-58.
Lehninger AL. 1993. Dasar-dasar biokimia (terjemahan). Jakarta. Erlangga. 73 hal.
Linder MC. 1992. Nutrisi dan metabolisme karbohidrat, hal. 27-58. Dalam : Linder, M.C
(ed). Biokimia Nutrisi dan Metabolime (terjemahan). Jakarta . UI-Press. Indonesia.
Lovell T. 1988. Nutrition and feeding of fish. Auburn Univercity. Published by Van Nostrand
Academy of Sciences Washington DC. 260 pp.
Mishra K and Samantaray K. 2004. Interacting effects of dietary lipid level and temperature
on growth, body composition and fatty acid profile of Rohu, Labeo rohita (Hamilton).
Aquacult. Nutr. 2004. 10, 359-369.
Mokoginta I, Takeuchi T, Hadadi A, Jusadi D. 2004. Different capabilities in utilizing dietary
carbohydrate by fingerling and subadult giant gouramy Osphronemus gouramy. J. Fish.
Sci. 20: 996-1002.
Muchtadi D, Palupi SN, Astawan M. 1993. Metabolisme zat gizi Jilid I. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta. Hal 12.
[NRC] National Research Countil. 1983. Nutrient requirement of warmwater fishes and
shellfishes. Revised Edition. National Academy of Sciences Washington DC. 102 pp.
[NRC] National Research Countil. 1977. The role of chromium in animal nutrition. National
Acad. Press. Washington DC. 80 hal.
Pei Z, Xie S, Lei W, Zhu X and Yang Y. 2004. Comparative study on the effect of dietary
lipid level on growth and feed utilization for gibel carp (Carasius auratus Gibelio) and
Chinese longsnout catfish (Leiocassis longirostris Gunther). Aquacult. Nutr. 10:
209-216.
Peres H, Teles AO. 1999. Effect of dietary lipid level on growth performance and feed
utilization by European sea bass juveniles (Dicentrarchus labrax). Aquaculture
179:325–334.
Robinson EH, Menghe H Li, Bruce BM. 2001. A practical guide to nutrition feeds, and feeding
of Catfish. Bull. 1113. Mississippi Agricultural & Forestry Experiment Station.
Mississippi State University.
Salhi M, Bessonart M, Chediak G, Bellagamba M and Carnevia D. 2004. Growth, feed
utilization and body composition of black catfish, Rhamdia quelen, fry fed diets
containing different protein. Aquaculture 231, 435-444.
Sa R, Pausao-Ferreira P, Oliva-Teles A. 2006. Effect of dietary protein and lipid level on
growth and feed utilization of White Sea Bream (Diplodus sargus) juvenil. Aquacult.
Nutr. 12 ;310-321.
Sheperd J and Bronage N. 1992. Intensive fish farming. Blackwell Scientific Publication,
Oxford, London. 404 pp.
Shimeno, S. Ming Duan-Cun, Takeda, M. 1993. Metabolic respons to dietary carbohydrate
to lipid ratio in Oreochromis niloticus. J. Nippon Suisan Gakkaishi. 59, 827-833.
Steffens W. 1989. Principles of fish nutrition. John Wiley & Sons. New York. 384 pp.
Suhenda N, Setijaningsih L, Suryanti Y. 2003. Penentuan rasio antara kadar karbohidrat
dan lemak pada benih ikan patin jambal (Pangasius djambal). J. Penelitian Perikanan
Indonesia, Vol. 9 No. 1;21-29.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
96 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Suwarsito. 2004. Pengaruh kadar L-karnitin berbeda dalam pakan terhadap kadar lemak
daging dan pertumbuhan ikan patin (Pangasius hypopthalmus). Tesis. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hal.
Takeuchi T. 1988. Laboratory work-chemical evaluation of dietary nutrients, p. 179-233.
In Watanabe T. (ed): Fish Nutrition and Mariculture. Tokyo. Departement of Aquatic
Biosciences Tokyo Univercity of Fisheries. JICA.
Viola S and Rappaport U. 1979. The “Extra calorie effect” of oil in nutrient of carp.
Bamidgeh, 31: 51-69.
Wang Ji-Teng, Liu Yong-Jian, Tian Li-Xia, Mai Kang-Sen, Du Zhen-Yu, Wang Y, Yang Hui-
Jun. 2005. Effect of dietary lipid level on growth performance, lipid deposition, hepatic
lipogenesis in juvenile Cobia (Rachycentron canadum). Aquaculture 249, 439-447.
Webster CD and Lim C. 2002. Nutrient requirements and feeding of finfish for aquaculture.
Cabi Publishing, Walingford Oxon, UK. 412 pp.
Wilson RP. 1994. Utilization of dietary carbohidrate by fish. Aquaculture. 124: 67-80.
Zonneveld N, Huisman LA dan Boon JH. 1991. Prinsip-prinsip budidaya ikan. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta. 318 hal.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
97 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Efisiensi Penggunaan Pakan dalam Kolam Bioflok pada Budidaya Ikan Bandeng (Chanos chanos) Defrinus Walu Wanja1, Felix Rebhung2 dan Sunadji3
1,2,3)Fakultas Kelautan dan Perikanan,
Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto, Penfui 85001, Kotak Pos 1212, Tlp (0380) 881589 (Email : [email protected])
Abstrak - Penelitian untuk mengetahui efisiensi penggunaan pakan ikan bandeng yang dipelihara
dalam kolam bioflok telah dilaksanakan selama enam minggu di kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang dari Tanggal 25 Maret s/d 08 April 2019. Penelitian ini menggunakan Rancangan
Acak Kelompok dan data diperoleh dianalisis dengan uji-t. Hasil penelitian menunjukan bahwa, pertumbuhan spesifik 2,70 %g/hari untuk ikan bandeng dalam kolam bioflok dan 2,33%g/hari untuk
kolam biasa. Efisiensi pemamfaatan pakan tertinggi terobservasi pada kolam bioflok sebesar 55,50
% dan rendah pada kolam biasa 39,28%. Presentase kelulushidupan bioflok 100% dan perlakuan kolam biasa 100%. Kualitas air. sebagai berikut:Suhu 28°C - 30°C, pH 7,0 – 7,5, Salinitas 9 - 10 ppt.
Kata Kunci : Pertumbuhan, Pakan, Bioflok, Ikan Bandeng.
Pendahuluan. Teknik bioflok untuk budidaya udang maupun ikan sedang popular saat
ini. Pada teknik ini limbah budidaya diolah secara langsung di dalam wadah budidaya
dengan mempertahankan kecukupan oksigen, mikroorganisme, dan rasio C/N dalam
tingkat tertentu. Keberhasilan teknik bioflok telah dilaporkan, antara lain dari Israel (dengan komoditas Tilapia), Indonesia (Vanname), Belize, Amerika Tengah (Vanname),
dan Australia (Windu). Penggunaan teknik ini di Indonesia pada budidaya Vannamei
mampu menurunkan FCR sebesar 20%, dan menghasilkan 50 ton udang/ha dengan panen
bertahap (Satker PBIAT Ngrajek, 2012). Teknik bioflok juga bertujuan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan
dengan pembentukan biomass mikroba makroagregat dari bahan organik dan senyawa
terlarut (Serfling, 2006). Telah diketahui secara luas bahwa banyak materi pakan tidak
terserap menjadi biomass udang/ikan. Dalam hal ini flok mikroba diharapkan mampu memanfaatkan sisa-sisa pakan tersebut dan akhirnya dapat menjadi bahan makanan
tambahan bagi udang/ikan kembali. Beberapa hal penting yang menentukan kualitas
bioflok adalah nilai nutrisi, keamanan dan palatabilitas untuk dikonsumsi dan berukuran
cukup besar sehingga layak dimakan oleh udang/ikan (Hargreaves, 2006).
Teknik pengolahan limbah dengan bioflok diadopsi oleh akuakultur untuk mereduksi bahan-bahan organik dan senyawa beracun yang terakumulasi dalam air pemeliharaan
ikan/udang. Pada dasarnya sistem ini mereduksi efek self-purifikasi yang terjadi di sungai
dan estuarin. Hasil akhir aplikasi teknik bioflok adalah meningkatnya efisiensi pemanfaatan
pakan dan peningkatan kualitas air. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh bioflok terhadap efisiensi penggunaan pakan pada ikan bandeng.
Metode Penelitian
Waktu Dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) minggu, dari
25 Maret s/d 08 April 2019 di Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang.
Alat dan Bahan. Alat-alat utama yang digunakan pada penelitian ini adalah:
thermometrer, timbangan digital, pH meter, mistar, aerator refraktor meter. Bahan-bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah garam grosok prebiotik (air gula merah), dan
benih ikan bandeng berukuran 6-12 cm sebagai hewan uji.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
98 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Prosedur Penelitian. Kolam percobaan terbuat dari terpal. Dengan ikan uji gelondongan
bandeng. Wadah diisi air laut lalu diencerkan dengan air tawar hingga pengukuran dengan
refraktometer menunjukan 20 ppt dan tinggi air 40 cm. Kolam dilengkapi dengan aerator
sebagai pensuplai oksigen dalam kolam. Pada hari ke 2, 2,4 ml probiotik ditambahkan ke
dalam kolam diikuti pemberian 40 ml prebiotik gula air dan dolomit sebanyak 75 gram/m3.
Selanjutnya air kolam diaerasi selama 5 hari agar flok dapat tumbuh dengan baik yang
ditandai dengan perubahan warna air kolam menjadi merah coklat kekuningan.
Penebaran benih ikan bandeng yang telah diadaptasikan pada 20 ppt dilakukan pada
sore hari setelah proses pembentukan flok selesai. Ikan dipuasakan selama dua hari agar
ikan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Lalu ikan diberi pakan komersial
(5% dari bobot) dua kali sehari (pagi dan sore ). Setiap 3 hari sekali ikan di puasakan agar
terjadi penyerapan nutrisi pada flok-flok yang sudah berkembang dalam kolam. Penelitian
ini juga dilakukan Pengukuran kualitas air seperti pH, dan salinitas. Setiap 7 hari
ditambahkan probiotik dan prebiotik sebanyak 6 ml/m3 dan 100 ml/m3 pada kolam untuk
menjaga dan mengembangkan mikroorganisme dalam kolam. Sedangkan konstruksi kolam
biasa terbuat dari terpal.
Kolam diisi air laut lalu diencerkan dengan air tawar hingga salinitas 20 ppt dan
ketinggian 40 cm. Kolam di lengkapi aerator sebagai pensuplay oksigen pada kolam. Pada
hari kedua, ikan mulai ditebar pada kolam. Lalu ikan dipuasakan selama dua hari agar ikan
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Selanjutnya diberikan pakan komersial
(5% bobot ikan) dengan frekuensi dua kali sehari (pagi dan sore hari) selama percobaan
berlangsung.
Hipotesis Penelitian. Aplikasi teknologi bioflok diduga berpengaruh terhadap efiesiensi
penggunaan pakan ikan bandeng.
Variabel Yang di Hitung
Laju Pertumbuhan Spesifik Harian (SGR). Untuk menghitung laju pertumbuhan
biomasa spesifik digunakan rumus yang dikemukakan oleh Zonneveld dkk., (1991) sebagai
berikut.
SGR=𝐋𝐧𝐖𝐭−𝐋𝐧𝐖𝐨
𝐭X 100%
Keterangan :
SGR = Laju pertumbuhan spesifik (%g/hari)
Wt = Berat tubuh akhir (g)
Wo = Berat tubuh awal (g)
t = waktu pemeliharaan (hari).
Efisiensi pemanfaatan pakan (EPP). Efisiensi pemanfaatan pakan dihitung
menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Tacon dkk., (1987) sebagai berikut.
EPP=(𝐖𝐭+𝐃)−𝐖𝐨
𝐅X 100%
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
99 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Keteterangan :
Epp = Efisiensi pemanfaatan pakan
Wt = Bobot biomassa ikan pada akhir penelitian (g)
W0 = Bobot biomassa ikan pada awal penelita n (g)
D = Bobot ikan yang mati selama penelitian (g)
F = Jumlah pakan yang diberikan selama penelitian (g)
Kelulushidupan Kelulushidupan ikan uji dihitung penggunakan rumus yang dikemukakan
Zonneveldet et al., (1991) sebagai berikut.
SR=𝐍𝐭
𝐍𝐨 x 100 %
Keterangan :
SR = Tingkat kelulushidupan (%)
No = Jumlah kultivan pada awal penelitian
Nt = Jumlah kultivan pada akhir penelitian
Analisis Data. Data yang di peroleh dianalisa dengan uji-t.
Hasil dan Pembahasan Pertumbuhan Berat Spesifik. Nilai rata-rata pertumbuhan spesifik ikan bandeng
disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Laju Pertumbuhan Ikan Bandeng
Laju pertumbuhan berat spesifik harian ikan bandeng yang tinggi terdapat pada kolam
bioflok dengan rata-rata 2,70 %g/hari dan di ikuti perlakuan kolam biasa rata-rata 2,33
%g/hari. Selanjutnya berdasarkan hasil uji t pada pertumbuhan spesifik ikan bandeng pada
kolam bioflok di bandingkan pada kolam biasa berbeda tidak nyata (p>0,05). Penelitian
terdahulu mengakui bahwa kolam bioflok dapat berpengaruh terhadap efisiensi
penggunaan pakan. Crab et al. (2007) melaporkan bahwa bioflok dapat digunakan sebagai
makanan alami dalam pemeliharaan post larva udang galah, (Macrobrachium
rossembergii). Beberapa penelitian juga telah dilaporkan bahwa bioflok dapat
dimanfaatkan sebagai makanan alami oleh beberapa spesies ikan seperti nila (Avnimelech
2.70
2.33
2.10
2.20
2.30
2.40
2.50
2.60
2.70
2.80
Kolam Bioflok Kolam Biasa
Perlakuan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
100 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
(2009) dan udang vaname (Burford et al., 2003.). Pada budidaya ikan nila merah secara
intensif, 50% kebutuhan protein dapat disuplai dari bioflok yang ditumbuhkan dalam media
budidaya tersebut. Pada budidaya udang Litopenaeus vanname, bioflok dapat
menggantikan peran pakan buatan hingga 30% (Ekasari, 2008).
Cepat tidaknya pertumbuhan ikan, ditentukan oleh banyaknya protein yang dapat
diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh sebagai zat pembangun. Menurut Afrianto dan
Liviawaty (2005) retensi protein dari banyaknya protein yang diberikan dapat diserap dan
dimanfaatkan untuk membangun ataupun memperbaiki sel-sel tubuh yang sudah rusak.
Efisiensi Penggunaan Pakan. Efisiensi penggunaan pakan selama penelitian dapat di
lihat pada Gambar 2.
Gambar 2: Efisiensi Penggunaan Pakan
Rata–rata efisiensi penggunaan pakan pada ikan bandeng 55,50 % pada kolam bioflok
dan pada ikan bandeng di kolam biasa 39,28 %. Hasil uji t menunjukan bahwa efisiensi
penggunaan pakan berpengaruh nyata (p<0,05). Hal ini diduga ikan bandeng yang
dibudidaya mampu memanen protein dari flok mikroba sebagai makanan tambahan untuk
proses pertumbuhannya.
Beberapa hasil penelitian tentang pemanfaatan bakteri heterotrofik pada budidaya
ikan atau udang secara intensif dilaporkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan
protein dan produksi serta menekan limbah budidaya seperti pada budidaya Oreochromis
mosambicus (Avimelech, 2007), dan Litopenaeus vannamei (Mclntosh, 2000; Burford et
al., 2003 ; Burford et al., 2004). Demikian juga pada budidaya Penaeus monodon secara
ektensif (Hari et al., 2004).
Kolam bioflok mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan, disamping juga
meningkatkan laju pertumbuhan berat (Widanarni et al.,2008). Menurut Kordi (2011),
semakin tinggi nilai efisiensi penggunaan pakan menunjukan bahwa penggunaan pakan
oleh ikan semakin efisien. Sejalan dengan itu Yulianigrum (2017) melaporkan nilai efisiensi
yang terbaik 117,22% terobsevasi pada pemeliharaan ikan lele dumbo (Clarias
gariaspinus). Suarsito et al. (2010) melaporkan bahwa pada lobster
air tawar (Cherax quadricarinatus) pemuasaan setiap 1 satu hari menunjukan efisiensi
yang lebih bagus dibandingkan dengan yang tidak dipuasakan.
55,50 %
39,28%
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
Kolam Bioflok Kolam Biasa
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
101 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Tingkat Kelulushidupan Ikan Bandeng. Presentase kelulus hidupan pada kolam
bioflok dan kolam biasa dapat pada lihat pada Gambar 3
Gambar 3. Grafik Kelulusan Hidupan Ikan Bandeng
Kelulushidupan untuk kolam bioflok adalah 100% dan kolam biasa 100%. Hal ini
mungkin terkait dengan kualitas air dan ketersediaan pakan pada wadah pemeliharaan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bioflok berperan dalam perbaikan
kualitas air, peningkatan biosekuriti, peningkatan produktivitas. peningkatan efisiensi
pakan serta penurunan biaya produksi melalui penurunan biaya pakan (Avnimelech, 2007;
Ekasari 2008; Hari et al., 2006; Kuhn et al., 2009; Taw, 2005).
Selama masa pemeliharaan nilai parameter kualitas air pada masing-masing media
budidaya apabila dibandingkan dengan nilai parameter kualitas air menurut kelayakan
pustaka terlihat masih layak untuk kegiatan budidaya ikan bandeng. Meskipun secara
umum terjadi fluktuasi, namun perubahan yang terjadi masih berada dalam batas toleransi
untuk kehidupan benih ikan bandeng. Effek bioflok dalam media budidaya ikan terlihat
pada perbaikan kualitas air, khususnya kandungan TAN (Total Amoniak Nitrogen) dan
nitrit. Bioflok yang tumbuh di dalam media budidaya dapat mengasimilasi limbah TAN
sehingga kandunganTAN dalam media budidaya menjadi rendah dan layak bagi
pertumbuhan ikan budidaya (Ahmad et al.,1993).
Kesimpulan. Adapun Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah kolam bioflok
berpengaruh terhadap efisiensi pemanfaatan pakan untuk ikan bandeng serta memberikan
laju pertumbuhan yang lebih baik serta memberikan kelulushidupan ikan bandeng 100%.
Ucapan Terima Kasih. Tak ada untaian kata yang lebih indah selain untaian
terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan dorongan
dan motivasi, terlebih kususnya bapak Ir.Felix Rebhung., M.Agr.,Ph.D dan Dr.Ir. Sunadji, MP yang selalu membimbing dalam penulisan artikel ini.
Daftar Pustaka
Avnimelech, Y. 2009. Biofloc Technology. World Aquaculture Society, Louisiana, USA, 182 pp.
Avnimelech, Y. 2007. Feeding with Microbial flocs by Tilapia in Minimal Discharge Bioflocs
Technology Ponds.Journal of Aquaculture, 264 : 140-147.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
KolamBioflok Kolam Biasa
100% 100%
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
102 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Burford MA, Thomson PJ, McIntosh RP, Bauman RH, Pearson DC. 2003. Nutrient and
microbial dynamics in high-intensity, zero-exchange shrimp ponds in Belize.
Aquaculture219: 393-411.
Burford MA, Thompson PJ, McIntosh RP, Bauman RH, PearsonDC. 2004. The contribution of flocculated material to shrimp(Litopenaeus vannamei) nutrition in
a high-intensity, zero-exchange system. Aquaculture 232:525-537.
Crab, R., Y. Avnimelech, T. Defoirdt, P. Bossier, and W. Verstraete. 2007. Nitrogen Removal
Techniques in Aquaculture for Sustainable Production. Journal of Aquaculture, 270 : 1-14.
Ekasari J. 2008. Bio-flocs technology: the effect of different carbon source, salinity and the
addition of probiotics on the primary nutritional value of the bio-flocs [Tesis]. Gent:
Faculty of Bioscience Engineering, Ghent University. Hargreaves, J.A., 2006. Photosynthetic suspended-growth sistems in aquaculture. Aquae.
Eng. 34,344-363.
Hari B, Kurup BM, Varghese JT, Schrama JW, Verdegem MCJ.2004. Effects of
carbohydrate addition on production inextensive shrimp culture systems.
Aquaculture 241:179-194. Satuan Kerja PBIAT Ngrajek., 2012, Pusat Budidaya Ikan Air Tawar. Magelang, Jawa
Tengah.
Serfling, S.A., 2006. Microbial flocs: Natural treatment method supports freshwater, marine
species in recirculating sistems. Global Aquaculture Advocate June 2006, 34 - 36. Tacon, A. G. 1987. The nutrition and feeding of farmed fish and shrimp a training manual.
FAO of the united nation, Bazil.
Widanarni, Dinamela W, dan Mia S. 2009. Optimasi Budidaya Super‐Intensif Ikan Nila
Ramah Lingkungan: Dinamika Mikroba Bioflok. Seminar Penelitian LPPM, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Zonneveld NZA, Huisman EA, Bonn JH. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Jakarta (ID):
Gramedia Pustaka Utama, 318 hal.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
103 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Ruaya Reproduksi Ikan Nipi (Hemiramphus sp) di Perairan Teluk Kupang
Yulianus Linggi1, Macelien Ratoe Oedjoe2 dan Agnette Tjendanawangi3
1,2,3(Fakultas Kelautan dan Perikanan,
Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto, Penfui 85001, Kotak Pos 1212, Tlp (0380) 881589
Abstrak - Ikan nipi (Hemiramphus sp) adalah ikan pelagis yang sifatnya bergerombol di bawah
permukaan (epipelagic) merupakan ikan yang cukup populer bagi masyarakat NTT karena harganya yang murah, namun rasanya cuku gurih jika diolah dengan cara yang tepat. Setiap tahun ikan ini
menghilang dari pasaran kemudian muncul lagi pada waktu tertentu. Apakah hilang-munculnya ikan
nipi di Teluk Kupang berhubungan dengan reproduksi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui beberapa aspek reproduksi yang berhubungan dengan terjadinya ruaya yang mempengaruhi musim
penangkapan. Penelitian dilakukan dengan cara mengoleksi hasil tangkapan nelayan di beberapa lokasi kemudian mengamati morfometrik seperti panjang (mm), bobot (gram), TKG, kondisi gonad dan oosit.
Data yang dikumpulkan dianalisa secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan ukuran ikan nipi yang
ditangkap di Teluk Kupang yakni: panjang 148 – 220 mm dan berat 48,9 – 81,7 gram. Individu terkecil yang sudah matang (tingkat IV) adalah 169 mm (berat 48,9 gram) dan, TKG terendah adalah tingkat
II. Jumlah ikan nipi yang matang pada bulan Agustus rata-rata sebesar 58,08% dan terendah pada
Bulan oktober yakni rata-rata 5,56 %. Pada bulan Juni jumlah ikan yang belum matang rata-rata pada tingkat II sebesar 35%, tingkat III sebesar 41,83% dan terus menurun hinggga pad bulan September
tersisa 3,21 %. Sedang Jumlah ikan yang telah salin (tingkat V) mencapai puncak (52,71%) pada bulan September. Pada pertengahan Oktober tidak ditemukan lagi ikan nipi di pasaran yang menandakan
ikan nipi telah kembali ke habitat semula. Disimpulkan bahwa ikan nipi yang tertangkap di Perairan
NTT sedang melakukan ruaya reproduksi yang akan memijah pada Bulan Agustus hingga September.
Pendahuluan. Wilayah Nusa Tenggara Timur adalah wilayah kepulauan dengan
topografi daratan yang berbukit-bukit dan iklim yang relatif kering (BMKG Propinsi NTT,
2019). Iklim kering tersebut dipengaruhi oleh angin muson yang mengakibatkan periode hujan relatif singkat. Secara umum kondisi iklim yang kering mengakibatkan
perkembangan budidaya ikan air tawar di wilayah NTT menjadi terbelakang dibanding
propinsi lain. Selama ini masyarakat NTT sudah terbiasa mengkomsumsi ikan laut karena
peluang memilih ikan air tawar sangat kecil. Walaupun potensi ikan laut di wilayah NTT
sangat besar namun karena pola distribusi belum memadai maka di wilayah-wilayah tertentu juga kesulitan memperoleh ikan sebagai bahan makanan. Kondisi ini
mempengaruhi tingkat komsumsi ikan di Propinsi NTT tahun 2017 yakni hanya 28
kg/kapita/tahun sedang tingkat komsumsi ikan secara nasional sebesar 50 kg/kapita/tahun
walaupun menurut Data Dinas Perikanan Propinsi NTT (2013) dimana potensi ikan pelagis di NTT sebesar 388,7 ton per tahun tetapi disebutkan pula bahwa pemanfaatannya masih
sangat minim. Potensi ikan nipi di Wilayah NTT belum terdata secara rinci namun di beberapa wilayah
lain seperti di Propinsi Maluku dan sekitarnya, Sulawesi dan Pulau Jawa ikan nipi sudah dimanfaatkan secara maksimal melalui produksi olahan ikan asap, pindang, abon dan
sambal roa (yang cukup terkenal sampai manca negara). Hasil penelitian Botutihe (2015)
menunjukan bahwa kandungan protein ikan asap roa cukup besar yakni sebanyak 23,35%.
Walaupun belum diuji secara ilmiah, beberapa produsen olahan ikan nipi tersebut mengklaim bahwa ikan ini (Hemiramphus sp) ini mengandung banyak omega 3dan 6 dan
dapat digunakan sebagai makanan untuk mencegah penyakit jantung, mencegah
kolesterol, mencegah kanker payudara, menguatkan tulang belakang. Namun hasil studi
kasus Masengi dkk. (2013) di salah satu desa di Manado menunjukkan bahwa 7%
komsumsi ikan laut masyarakat setempat adalah ikan roa (nipi) dan sangat signifikan terhadap kasus hipertensi yang hanya 6,3% .
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
104 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Apresiasi masyarakat NTT terhadap pemanfaatan ikan nipi masih tergolong rendah
karena hanya digunakan sebagai ikan komsumsi pilihan kedua ketika harga ikan lainnya
sedang tinggi. Sebelum masyarkat NTT menyadari manfaat besar yang dikandung dalam
tubuh ikan nipi ternyata populasi ikan nipi di Propinsi NTT sudah berkurang drastis. Informasi mengenai faktor-faktor biologis ikan nipi di wilayah perairan NTT belum ada
padahal informasi tersebut sangat diperlukan untuk mempelajari dinamika populasinya
(Nicolsky, 1963). Oleh karena itu penelitian ini akan mengawalinya dengan pokok perhatian
pada aspek reproduksi seperti karakteristik gonad, ukuran pertama kali matang gonad, perbandingan ukuran tubuh dengan tingkat kematangan gonad, hubungan antara
morfometrik dengan fekunditas serta prediksi musim pemijahannya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa aspek reproduksi ikan nipi
(Hemiramphus sp) seperti fekunditas, hubungan antara morfometrik tubuh dengan kematangan gonad, ukuran pertama kali matang gonad, dan dugaan musim pemijahan.
Metode Penelitian.
Lokasi Penelitian. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode observatif yang
mengoleksi sampel ikan yang berasal dari Teluk Kupang dan sekitarnya.
Sampel Ikan. Sampel ikan diperoleh dari tempat pendaratan ikan di Oeba Kota Kupang
setiap minggu sebanyak 30 – 50 ekor. Sampel yang digunakan dikumpulkan secara acak
tanpa memilih-milih ukuran berat atau panjang.
Prosedur Penelitian. Prosedur dari penelitian ini meliputi : (1) Sampel yang telah
dikoleksi kemudian dilakukan terhadap panjang dengan satuan mm dan berat dengan
satuan gram, (2) Sampel yang telah diukur kemudian dibedah, gonadnya dikeluarkan kemudian ditimbang secara keseluruhan kemudian diamati untuk menentukan tingkat
kematangan gonadnya menurut Nunez (2006), (3) Sampel yang mencapai tingkat matang
(tingkat IV) gonadnya dibedah untuk kemudian dilakukan pengamatan terhadap oositnya
untuk menghitung fekunditasnya, (4) Fekunditas yang dimaksud adalah total telur yang
ada di dalam gonad sampel yang dihitung dengan menggunakan metoda volumetric dan gravimetric. Data yang terkumpul kemudian dianalisa secara deskriptif dan (5) Musim
pemijahan akan diduga dengan cara mengkorelasikan antara waktu pengamatan dengan
perubahan tingkat kematangan. Variabel yang Diamati. Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari : (1) Morfometrik (panjang, berat, dan tampilan tubuh), (2) Fekunditas (jumlah total oosit/telur
dalam satu gonad), (3) Tingkat Kematangan Gonad (Tingkat kematangan gonad
menggunakan metode penggolongan gonad menurut Nunez ,2006), (4) Ukuran pertama
kali matang gonad dan (5) Dugaan musim pemijahan (dihubungkan dengan serial waktu pengamatan).
Hasil dan Pembahasan
Panjang dan Berat. Panjang total tubuh ikan nipi yang diperoleh selama penelitian
berkisar antara 169 -220 mm dan berat 48,9 – 89 gram. Ukuran tersebut tergolong sebagai
ikan nipi dewasa dan diasumsikan ukuran yang sudah bisa bereproduksi. Berdasarkan kelas
panjang (Gambar 1) diperoleh data bahwa ikan dengan ukuran panjang paling banyak
tertangkap adalah kelas 190 – 199 mm dan kelas 200 – 209 mm sebanyak 45,16% dan
30,65%. Sedang kelas panjang paling sedikit adalah adalah kelas 160 – 169 mm dan kelas
200 – 209 mm masing-masing sebanyak 1,61%.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
105 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 1. Persentase Populasi Berdasarkan Kelas Dengan Rentang 10 mm pada Ikan Nipi
yang Tertangkap di Teluk Kupang
Hasil wawancara langsung dengan nelayan yang biasa menangkap ikan nipi di Teluk
Kupang menyebutkan sangat jarang (bahkan secara pribadi belum pernah) menangkap
ikan nipi ukuran kecil yang dianggap sebagai anak(bibit) ikan nipi. Pendapat yang sama
juga disampaikan oleh bebrapa nelayan dari daerah lain di wilayah Teluk Kupang seperti
Sumba Sabu dan Ende. Hal ini menunjukkan gerombolan populasi (schooling) ikan nipi
yang tertangkap di perairan ini adalah schooling ikan dewasa yang sedang beruaya namun
belum diketahui apakah ruaya tersebut merupakan ruaya jarak jauh atau ruaya jarak dekat
(local migration).
Secara umum ruaya ikan disebabkan oleh factor ketersediaan makanan, tempered
migration, dan strategi reproduksi ikan (Munro 2006). Tidak ditemukannya ikan nipi
berukuran kecil dari hasil tangkapan nelayan memberikan kesimpulan sementara bahwa
ruaya ikan nipu di Teluk Kupang merupakan ruaya strategi reproduksi.
Hasil pengukuran berat ikan nipi yang tertangkap di perairan Teluk Kupang
menunjukkan hal yang sama dengan ukuran panjang dimana berat tertinggi yang diperoleh
adalah 81,7 gram sedang berat terendah adalah 48,9 gram. Penurunan volume produksi
(hasil tangkapan) ikan sering kali dikaitkan dengan penurunan kelimpahan sebagai akibat
dari pemanfaatan yang lebih sehingga dapat mengancam kelangsungan populasi suatu
jenis ikan. Data penurunan produksi ikan nipi di Teluk Kupang belum tercatat pada Instansi
terkait namun pengamatan secara langsung serta hasil wawancara langsung dengan
nelayan setempat menunjukkan bahwa durasi musim penangkapan ikan nipi beberapa
tahun terakhir semakin sempit yakni dari Bulan Juni sampai Agustus dimana sebelumnya
ikan nipi dengan mudah diperoleh di pasar-pasar tradisionil dari Bulan Mei sampai Oktober.
Ukuran berat yang diperoleh selama penelitian tergolong ikan dewasa namun karena
informasi ukuran berat ikan nipi pada tahun-tahun sebelumnya belum dilaporkan, maka
perubahan ukuran yang dikaitkan dengan pemanfaatan yang lebih juga belum dapat
diketahui. Selain itu pemanfaatan ikan nipi oleh masyarakat NTT masih berupa komsumsi
segar dan belum dijadikan produk olahan sehingga permintaan pasar akan ikan nipi ini
belum tergolong sebagai ikan komersil yang diminati. Penilaian masyarakat NTT terhadap
ikan nipi masih tergolong rendah karena seringkali ikan ini menjadi ikan pilihan kedua
setelah jenis ikan lainnya. Dengan kondisi sosial yang demikian maka kemudian dianggap
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
160- 169 170 - 179 180 - 189 191 - 199 200 - 209 210-219 220 - 229
Persen
tase p
op
ula
si
(%
)
Kelas Panjang Ikan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
106 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
bahwa ancaman penurunan populasi ikan nipi bukan karena penangkapan yang berlebihan
tetapi karena faktor lain tetapi mungkin karena faktor lingkungan.
Fekunditas. Fekunditas adalah total oosit (telur) ikan yang terdapat dalam ovary ikan
betina yang sudah matang (Nikolsky, 1967). Hasil pengamatan terhadap fekunditas ikan
nipi yang tertangkap di Teluk Kupang dalam penelitian ini berkisar antara 13.381 – 23.964
butir. Pengamatan hanya dilakukan pada sampel ikan dengan tingkat kematangan TKG IV
sedang tingkat III, II dan I tidak dilakukan penghitungan fekunditas karena butiran-butiran
oosit masih sulit dipisahkan.
Rata-rata jumlah telur menurut kelas panjang menunjukkan hubungan positif dimana
semakin panjang ikan nipi maka fekunditasnya semakin tinggi. Rata-rata fekunditas paling
tinggi berada pada kelas 210 – 219 namun dengan frekwensi terendah. Sedang kelas 200
– 209 merupakan kelompok panjang yang memiliki rata-rata fekunditas paling sedikit
tetapi dengan frekwensi paling tinggi yakni 52%. Dengan kata lain populasi ikan nipi yang
sudah matang lebih banyak berada kelas 200 – 209 tetapi rata-rata fekunditas paling tinggi
justru berada pada kelompok ikan dengan ukuran 190 – 199.
Tabel 1. Rata-Rata Jumlah Telur Ikan (Fekunditas) Ikan Nipi yang Tertangkap di Teluk
Kupang Bersadarkan Kelas Panjang (mm)
Kelas panjang (mm) 190-199 200 - 209 210 - 219
Rata-rata Fekunditas (butir) 19426 19045 21704
Frekwensi (%) 44 52 4
Karakter umum fekunditas ikan seperti yang dinyatakan oleh Nikolsky (1967) bahwa
jumlah telur pada suatu jenis ikan biasanya bertambah jika ukuran badannya bertambah
namun akan berkurang jika ikan tersebut sudah pernah melakukan pemijahan. Begitu juga
dengan hasil pengukuran fekunditas ikan nipi dimana ikan yang berukuran panjang lebih
dari 200 mm memiliki fekunditas yang lebih rendah dibanding ikan nipi yang berukuran
kurang dari 200 mm. Diduga bahwa ikan yang ukurannya lebih besar relatif telah
melakukan pemijahan lebih dari satu kali serta jika dikaitkan dengan faktor genotif (Munro
dan Scott, 2006) maka fekunditas akan semakin menurun dengan meningkatnya
umur ikan.
Kematangan Gonad. Hasil pengamatan kemangan gonad ikan nipi selama penelitian
(Tabel 3) menunjukkan bahwa puncak kematangan gonad (TKG IV) terjadi pada Bulan Agustus. Jumlah ikan yang matang gonad (TKG IV) pada bulan itu mencapai 58,08%
sedang ikan sedang menuju matang gonad tingkat II dan III masing-masing 4,65 % dan
9,51% sedang yang masih tingkat I tidak ditemukan lagi. Hasil wawancara dengan nelayan
setempat menyebutkan bahwa ikan nipi di Teluk Kupang dan beberapa perairan lainnya seperti Sabu dan Atambua sudah mulai ada pada Bulan Mei tetapi masih dalam jumlah
sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa ikan nipi mulai beruaya pada Bulai Mei dan puncaknya
pada Juni - Juli dimana jumlah ikan nipi yang gonadnyanya berada pada tingkat II dan III
pada pada bulan tersebut masing-masing 41,83% dan 54,35%. Jumlah ikan yang
mencapai tingkat II pada Bulan Juni hampir sebanding dengan jumlah ikan yang mencapai tingkat III tetapi kemudian menurun drastis pada Bulan Juli (Tabel 2).
Ukuran ikan nipi yang tertangkap di Perairan NTT rata-rata berukuran dewasa dan
tidak pernah ditemukan yang berukuran kecil, maka diduga populasi ikan beruaya untuk
tujuan reproduksi. Ikan tersebut mulai beruaya ketika memiliki tingkat kematangan gonad pada tingkat II dan III (Tabel 3). Jumlah ikan yang mencapai tingkat II menurun drastis
pada Bulan Juli (Tabel 3), sebaliknya tingkat III meningkat tajam sehingga disimpulkan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
107 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
bahwa selama Juni sampai Juli populasi ikan nipi sangat aktif mencari makanan hingga
pada bulan Agustus tingkat kematangannya meningkat menjadi tingkat IV. Dengan
demikian ikan nipi diperkirakan membutuhkan waktu sekitar sebulan lebih untuk
mematangkan gonadnya di lokasi tujuan hingga menjadi matang kemudian memijah.
Tabel 2. Jumlah Ikan (%) yang Mencapai Tingkat Kematangan Gonad I-V Selama Bulan
Juni Hingga Oktober
TKG Juni Juli Agust Sept Okt
I 2,38 0,69 0 0 0
II 35,00 12,45 4,65 3,21 0
III 41,83 54,35 9,51 14,96 0
IV 20,21 26,26 58,08 29,17 5,56
V 0,58 6,25 27,76 52,71 27,78
Populasi ikan nipi pada Bulan September yang tertangkap sudah berkurang dan pada
awal Oktober jumlah ikan semakin menurun. Jika dikaitkan dengan jumlah ikan yang salin
(tingkat V) pada Bulan September meningkat pesat (52,71%) maka diduga bahwa setelah
mencapai tingkat salin populasi ikan akan kembali ke habitat awal sehingga jumlah
tangkapan menurun drastis pada bulan itu dan yang tersisa adalah ikan-ikan yang belum
sempat memijah dan hingga akhir Oktober tidak ditemukan lagi. Hal tersebut memperkuat
dugaan bahwa ruaya yang dilakukan oleh ikan nila bertujuan untuk bereproduksi, namun
demikian masih memerlukan kajian lebih lanjut mengenai karakter maupun proses
pemijahan untuk mengetahui dimana ikan nipi meletakkan telurnya serta bagaimana
perkembangan larvanya.
Korelasi antara ukuran ikan (panjang-berat) dengan tingkat kematangan gonad
menunjukkan bahwa ukuran ikan paling kecil namun memiliki tingkat kematangan gonad tingkat IV adalah berkisar antara 190 – 199 mm (Gambar 2). Jumlah ikan yang mencapai
Tingkat IV pada ukuran kelas panjang paling kecil (190 – 199 mm) adalah 44%.
Gambar 2. Diagram Persentase Ikan Nipi yang Mencapai TKG tingkat IV Berdasarkan Kelas Panjang (mm)
Musim Reproduksi. Ikan nipi yang tertangkap di wilayah Perairan NTT adalah salah satu
jenis ikan komersil yang memiliki musim penangkapan pada bulan-bulan tertentu yakni dari akhir Mei sampai awal Oktober dan puncaknya pada bulan Juni hingga Agustus. Selain
musim pengakapan tersebut, konsumen tidak akan menemukan ikan nipi di pasar-pasar
yang ada di wilayah NTT. Musim penangkapan ikan nipi hanya terjadi sekali setahun dan
44
52
4
0
10
20
30
40
50
60
190-199 200 - 209 210 - 219
Persen
tase ikan
yan
g
men
cap
ai
TK
G I
V
Kelas Panjang Ikan (mm)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
108 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
waktu musim penangkapan selalu tetap setiap tahunnya. Hal tersebut memberikan
gambaran bahwa ikan nipi ini adalah salah satu jenis ikan yang melakukan ruaya (migrasi).
Berdasarkan lokasi penangkapan ikan nipi yang ada di Teluk Kupang dan perairan lainnya
di NTT mengindikasikan bahwa ruaya ikan nipi mengarah ke perairan yang lebih dangkal sehingga memudahkan nelayan tradisionil untuk menangkapnya.
Seperti telah diketahui bahwa ikan melakukan ruaya karena ketersediaan makanan,
perubahan lingkungan (iklim) dan reproduksi. Berdasarkan hasil pengamatan kondisi
kematangan gonad ikan nipi yang tertangkap (Tabel 3) maka disimpulkan bahwa ikan ini
melakukan ruaya ke perairan yang lebih dangkal untuk tujuan reproduksi. Kesimpulan
tersebut didukung oleh kenyataan bahwa ukuran ikan yang tertangkap seluruhnya adalah
ikan dewasa dan sama sekali tidak ditemukan ikan nipi berukuran kurang dari 160 mm
(Gambar 2).
Gambar 3. Kondisi Tingkat Kematangan Gonad dari Bulan Juni hingga Oktober serta Jumlah
(%) Ikan Nipi pada Masing-Masing Tingkat Kematangan Gonad
Hasil pengamatan kondisi kematangan ikan nipi berdasarkan waktu penangkapan
menunjukkan ikan nipi yang tertangkap di Teluk Kupang matang gonad dan siap memijah
pada bulan Juli Agustus dan September (Gambar 5). Pada bulan Juni jumlah ikan yang
matang (tingkat IV) baru mencapai 20,21 % dari populasi yang tertangkap dan meningkat
terus hingga pada Bulan Agustus menjadi 58,08 % kemudian menurun terus hingga pada Oktober tersisa 5,56%. Jumlah ikan nipi yang sudah memijah/tingkat salin (V) mencapai
puncaknya pada bulan September (52,71%) yang berarti sebagian besar ikan nipi
melepaskan telurnya (memijah) pada akhir Agustus hingga pertengan September. Oleh
karena itu disimpulkan bahwa musim pemijahan ikan nipi yang ada Perairan NTT terjadi pad bulan Agustus-September.
Jumlah ikan nipi yang belum matang gonad pada bulan Juni semakin lama semakin
berkurang hingga Bulan Agustus, sebaliknya jumlah ikan yang matang gonad pada bulan
yang sama semakin meningkat. Adanya perubahan jumlah dan tingkat kematangan gonad ikan nipi yang tertangkap nelayan mengindikasikan bahwa populasi ikan nipi yang telah
sampai pada lokasi tujuan masih memerlukan proses pematangan. Oleh karena itu lokasi
tujuan merupakan lokasi dengan ketersediaan makanan yang cukup sehubungan dengan
jumlah energy yang digunakan untuk proses reproduksi lebih tinggi dibanding proses
fisiologis lainnya. Hingga pada periode reproduksi ikan nipi tahun 2020 dianggap bahwa
2.38
0.69 0 0 0
35.00
12.45
4.65 3.210
41.83
54.35
9.51
14.96
0
20.21
26.26
58.08
29.17
5.560.58
6.25
27.76
52.71
27.78
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
Juni Juli Agust Sept Okt
Prekw
en
si
(%
)
Waktu Pengamatan
I
II
III
IV
V
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
109 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Perairan NTT masih memiliki ketersediaan makanan yang cukup sebagai lokasi tujuan
migrasi reproduksi ikan nipi.
Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh disimpulkan bahwa ikan nipi
(Hemiramphus sp) yang tertangkap di Teluk Kupang semuanya adalah ikan dewasa yang
sedang melakukan ruaya atau migrasi reproduksi yang berukuran panjang 169 – 220 mm,
Fekunditas berkisar antara 19000 -22000 butir/ekor/tahun. Musim pemijahan ikan nipi di
Perairan NTT berlangsung dari awal Agustus hingga pertengan September dan terjadi
hanya sekali setahun.
Daftar Pustaka
Collette BB. 2004. Family Hemiramphidae Gill 1859—Halfbeaks. Annotated Checklists of
Fishes No. 22. California Academy of Sciences. 35 pp. Fadhil, R., Z.A. Muchlisin, dan Widyasari, 2016. Hubungan panjang berat dan morfometrik
ikan julung-julung tawar (Zenarchopterus dispar) dari Perairan Pantai Utara Aceh.
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah Volume 1, Nomor 1: 146-
159. Kawimbang, E., I.J. Paransa, dan M. E. Kayadoe. 2012. Pendugaan stok dan musim
penangkapan ikan julung-julung dengan soma roa di perairan Tagulandang,
Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan
Tangkap 1(1): 10-17. Kemhay, D., D.Sarianto, dan K. Istraianto, 2019. Daerah pengankapan ikan julung-julung
di Perairan Kabupaten Kepulauan Sula dengan alat tangkap minipurse seine. Jurnal
Bluefien Fisheries,1(2)34-40.
Kusumah, R. V., E. Kusrini, M.R. Fahmi, 2016. Biologi, potensi, dan upaya budi daya julung-julung Zenarchopteridae sebagai ikan hias asli Indonesia. Prosiding Seminar Nasional
ke 8. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias. Jakarta. Halaman 303 -
313.
Masengi, S. Pengaruh Komsumsi Makanan Laut Terhadap Kejadian Hipertensi di Desa
Malalayang Dua. Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Email: [email protected] Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi .
Nikolsky G.V. 1969. The ecology of fishes. Academic Press. New York. B2b p.
Sumlang. 2009. Pendugaan potensi dan analisa musim penangkapan ikan julung-julung dengan soma roa di perairan Selat Bangka Kab. Minahasa Utara. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Supiana, R.M. Putra, Windarti. Analisis Saluran Pencernaan Ikan Julung-julung
(Hemiramphodon pogoghtathus) dari Perairan Umum. Laporan Penelitian Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Riau. 16 halaman.
Suryawan I. G., Mahrus, Karnan, 2016. Studi Karakteristik Morfometrik Ikan Julung-Julung
(Hemiramphus archipelagicus ) Di Daerah Intertidal Teluk Eka. Jurnal Biologi Tropis,
Juli-Desember 2016: Volume 16 (2):37-42
Widodo, J. dan Sunardi. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Wuaten, J.F., E. Reppie, I. L. Labaro, 2011. Kajian Perikanan Tangkap Ikan Julung-Julung
(Hyporhamphus affinis) di Perairan Kabupaten Sangihe. Jurnal Perikanan dan Kelautan
Tropis Vol. VII-2, Agustus 2011.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
110 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pengaruh Pemberian Pupuk NPK Terhadap Pertumbuhan Nannochloropsis oculata Skala Intermediate Petrus Paulus Letsoin1, Jane Lulinda Dangeubun2 dan Diana Y. Syahailatua3
1)Laboratorium PakanAlami, Politeknik Perikanan Negeri Tual
2) Laboratorium Histologi, Politeknik Perikanan Negeri Tual 3)Laboratorium Hama dan Penyakit, Politeknik Perikanan Negeri Tual
(Email Korespondensi : [email protected])
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian pupuk pertanian terhadap pertumbuhan alga Nannochloropsis oculata. Kultur Nannochloropsis sp dalam wadah kontrol menggunakan pupuk
pertanian dengan dosis A. Urea:30 ppm , TSP:10 ppm , ZA: 20 ppm, dosis, B: F2 10 ml dan vitamin 5
ml dan ditambahkan dengan Ekstrak air daun kelor 40 %. C: Urea 30 ppm, ZA: 20 ppm, TSP: 10 ppm yang masing-masing akuarium ditambahkan F2: 4 ml dan Vitamin 2 ml. N.oculata dalam wadah
akuarium dengan volume air sebanyak 50 liter. Pengamatan terhadap pertumbuhan N.oculata diambil
7 titik disetiap akuarium yang sudah dilakukan perlakua,.diiamati dihitung hasilnya. Dari hasil ini disimpulkan bahwa Perlakuan dosis B (pemberian F2 dan vitamin dan penambahan ekstrak daun kelor
sebanyak 40% mampu memacu pertumbuhan sel N.oculata pada media akuarium dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Pendahuluan. Pakan dibutuhkan organisme budidaya untuk memenuhi kebutuhan
basal, pertumbuhan, kesehatan, reproduksi dan kelangsungan hidupnya (Widyaningrum dkk., 2013). Pakan terdiri atas dua yaitu pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami
merupakan pakan yang telah tersedia dialam yang berupa mikro/ makro alga dan
mikro/makro benthos. Sedangkan pakan buatan merupakan pakan yang dibuat dari
beberapa komposisi bahan yang dapat ditentukan sendiri menjadi pellet (Romimohtarto, 2004). Pakan alami memiliki kelebihan dari pakan buatan, diantaranya mengandung
nutrien yang tinggi, mengandung enzim pencernaan yang dibutuhkan oleh larva ikan,
memiliki ukuran sesuai dengan bukaan mulut larva ikan, memiliki gerakan yang dapat
merangsang larva ikan untuk memakannya serta mampu berkembang secara cepat dalam waktu yang singkat (Mahmudah dkk., 2015). Kegiatan budidaya perikanan saat ini
mengalami kendala dalam perkembangannya, terutama dalam usaha pembenihan ikan.
Permasalahan yang sering dihadapi adalah tingginya tingkat kematian larva ikan, yang
disebabkan oleh kekurangan makanan pada saat kritis, yaitu pada masa penggantian makanan dari kuning telur (yolksack) ke pakan alami (Yani dkk., 2015)
Mikroalga memiliki peranan penting dalam proses budidaya dan bernilai ekonomis
tinggi mengingat fungsinya sebagai pakan alami bagi produksi massal zooplankton dan
larva ikan (Muhaemin dkk., 2014). Salah satu jenis fitoplankton yang digunakan sebagai
pakan alami pada kegiatan pembenihan organisme budidaya laut adalah Nannochloropsis sp. Mikroalga Nannochloropsis sp. adalah salah satu mikroalga bersel satu yang termasuk
dalam kelas Eustigmatophyceae dan umumnya dibudidayakan di pembenihan ikan sebagai
pakan rotifer. Sel Nannochloropsis sp. mempunyai peranan penting dalam suatu kegiatan
pembenihan karena kandungan nutrisinya yang tinggi (Sleigh, 1989; Bahua dkk., 2015). Nannochloropsis sp. merupakan mikroalga yang menjanjikan secara industri yang
dapat dibudidayakan sebagai sumber nutrisi alternatif karena produktivitasnya yang tinggi,
kandungan protein dan komposisi lipidnya (Chris et al., 2017). Selanjutnya dikatakan
bahwa untuk mendapatkan kualitas kandungan Nannochloropsis sp, perlu diperhatikan kondisi lingkungan dan nutrisi yang dapat dipenuhi oleh Nannochloropsis, sehingga dapat
menghasilkan biomassa sel yang utuh dan memiliki nutrisi yang tinggi. Biomassa mikroalga
telah diterapkan secara luas dalam industri makanan dan pakan untuk bahan kimia bernilai
tinggi misalnya aplikasi farma dan ekologi (Pignolet et al., 2013, Borowitzka, 2013, Lu et
al., 2016).
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
111 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Mikroalga memiliki peran penting sebagai pakan alami zooplankton dan larva ikan
karena mempunyai kandungan karbohidrat, protein, lemak, dan mineral serta asam amino
lengkap. Salah satu mikroalga yang baik untuk pakan zooplankton seperti rotifer adalah
Nannochloropsis sp., karena mempunyai kandungan EPA dan DHA yang tinggi (Wahyuni dkk, 2001). Kandungan nutrisi dari analisis proksimat pada Nannochloropsis sp. adalah
protein 52,11 %, karbohidrat 16,00 % dan lemak 27,64 % (Bentley, 2008). Selain itu
Nannochloropsis sp. juga mudah dibudidayakan dan populasinya cukup tinggi.
Ketersediaan Nannochloropsis sp. secara kontinyu sering menjadi masalah, karena mikroalga ini sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, seperti kurangnya sinar
matahari pada musim hujan, sehingga sulit untuk melakukan kultur massal. Berkurangnya
jumlah kepadatan Nannochloropsis sp., dapat menyebabkan populasi zooplankton (Rotifer)
menurun, yang berdampak pada penurunan populasi larva-larva ikan (Muliono, 2004). Untuk itu perlu dicari cara untuk mengatasi penurunan populasi mikroalga tersebut.
Metode Penelitian
Persiapan Media Kultur Nannochloropsis sp . Media yang digunakan pada penelitian ini adalah air laut kemudian disaring dengan menggunakan filter bag. Air laut yang sudah
disaring kemudian disterilisasi dengan perebusan air sampai mendidih dan bebas dari
kuman. Sterilisasi bertujuan menghilangkan atau meminimalkan keberadaan
mikroorganisme atau zat pengganggu pada media kultur yang akan digunakan selama
penelitian. Menurut Purnawati et al. (2012) sterilisasi dilakukan untuk membuat media tumbuh fitoplankton agar tidak terjadinya kontaminasi
Kultur skala Intermediate. Kultur N. oculata dalam wadah kontrol menggunakan pupuk
pertanian dengan dosis A) Urea 30 ppm, TSP 10 ppm , ZA 20 ppm; B) F2 10 ml, vitamin 5 ml dan ekstrak air daun kelor 40 %; C) Urea 30 ppm, ZA 20 ppm, TSP 10 ppm dan masing-
masing akuarium ditambahkan F2 4 ml dan Vitamin 2 ml. N. oculata dikultur dalam wadah
akuarium dengan volume air sebanyak 50 liter dan dilengkapi dengan lampu Philips TL 40
watt sebanyak 2 unit sebagai sumber cahaya serta diberi aerasi untuk menyediakan oksigen. Bibit atau inokulan yang digunakan sebesar 30% dari total volume air kultur. N.
oculata memerlukan intensitas cahaya antara 2500 –5000 lux (Sasmita et al., 2012).
Pengamatan pertumbuhan sel dilakukan sehari sekali selama 6 hari. Pada hari ke-6
dilakukan pemanenan agar N. oculata dapat beradaptasi dengan lingkungan yang baru.
Hasil dan Pembahasan
Pertumbuhan. Pertumbuhan N. Oculata berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat pada
gambar grafik berikut.
Gambar 1. Grafik Pertumbuhan N. Oculata
0
5
10
15
20
25
0 2 4 6 8Ke
pad
atan
se
l (x1
00
00
00
sel/
ml)
Hari
Pertumbuhan N. oculata
F2
F2+Kelor
Pupuk
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
112 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Grafik hasil pengamatan pertumbuhan populasi sel N. oculata yang dikultur skala
laboratorium menunjukkan bahwa perlakuan A (F2 dan vitamin miks) tidak mengalami fase
eksponensial melainkan cenderung menunjukkan terjadinya penurunan pertumbuhan sel.
Perlakuan B (F2, vitamin miks, dan ekstrak daun kelor) fase eksponensialnya terjadi dari hari ke-4 sampai ke-5, sedangkan perlakuan C (pupuk pertanian) grafik pertumbuhannya
cenderung stabil walaupun terjadi fase eksponensial pada hari ke-2 dan ke-3 dengan
jumlah kepadatan sel tidak signifikan. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penambahan
ekstrak daun kelor sebanyak 40% mampu memacu pertumbuhan sel N.oculata karena dapat menyediakan nutrient untuk pertumbuhannya. Wahyuni dkk.,(2019) menyatakan
bahwa penambahan ekstrak daun kelor memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap pertumbuhan Dunaliella salina. Walaupun D. salina tidak mampu menyerap
nutrient yang berasal dari ekstrak daun kelor secara optimal. Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan di mana N. oculataI mampu memanfaatkan nutrient yang berasal dari ekstrak
daun kelor dengan optimal sehingga mampu mencapai fase eksponensial pada hari ke-4
sampai ke-5 dengan kepadatan sel 20,8x106 sel/ml.
Pertumbuhan Nannochloropsis sp. erat kaitannya dengan ketersediaan unsur makro
dan unsur mikro (Bahua dkk., 2015). Unsur hara baik mikronutrien maupun makronutrien yang terdapat pada pupuk sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kelangsungan
hidupnya Pupuk nitrophoska atau biasa disebut pupuk NPK merupakan pupuk majemuk
lengkap. Pupuk majemuk adalah pupuk yang mengandung lebih dari satu jenis unsur hara
untuk menambah kesuburan tanah. Pupuk NPK terdiri dari berbagai jenis tergantung dari komposisi nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) yang dikandungnya. Jenis pupuk NPK
yang digunakan adalah jenis pupuk nitrophoska (15-15-15) (Rabumi, 2012) (Sahira dkk.,
2017).
Sel Nannochloropsis sp. berkembang biak secara aseksual dengan cara membelah diri dan membentuk autospora. Setiap sel yang sudah masak akan membelah diri dan
menghasilkan dua dan empat autospora. Hal ini menunjukkan N. oculata mengalami
Pembelahan sel Terjadinya pembelahan sel pada N. oculata diduga pupuk yang diberikan
banyak mengandung nutrien yang dibutuhkan oleh N. oculata (Sahira dkk., 2017). Muhaemin dkk. (2014) mengatakan, keberhasilan budidaya N. oculata sangat ditentukan
oleh pupuk, kualitas air, intensitas dan sanitasi. Hal ini terjadi karena fitoplankton
memanfaatkan unsur hara yang tersedia secara alami dalam media kultur meskipun
tersedia dengan sangat terbatas.
Kualitas Air. Kisaran suhu air selama penelitian adalah 29-30°C. Berdasarkan kisaran
suhu tersebut nampak bahwa suhu air media pemeliharaan berada dalam batas kelayakan
bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup Nannochloropsis sp. (Daulay dkk.(2013);
(Permata 2012)., kisaran suhu 25-30o C menyatakan bahwa, suhu yang diperlukan bagi pertumbuhan Nannochloropsis sp. berkisar 25-32°C. Kisaran salinitas selama penelitian
adalah 29-32 ppt. Kisaran salinitas dapat dikatakan berada dalam keadaan normal.
Widyaningrum dkk. (2013), menjelaskan bahwa Nannochloropsis sp. hidup pada salinitas
antara 25-35 ppt. Keadaan ini menunjukkan tingkat pertumbuhan Nannochloropsis sp. cukup baik. Hirata et.al (1981) menjelaskan bahwa, salinitas akan mempengaruhi laju
pertumbuhan diatom. Nilai pH air selama penelitian adalah 7.6- 7.7 Berdasarkan nilai
tersebut menunjukkan bahwa pH air masih berada dalam batas yang normal.
Mukhlis et al., (2017) menjelaskan bahwa kisaran pH yang optimum untuk
pertumbuhan Nannochloropsis sp. berkisar antara 6,7 – 7,2. Kemudian nilai salinitas pada penelitian ini tetap berada pada nilai optimum untuk pertumbuhan fitoplankton yaitu 30
ppt. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) bahwa salinitas yang optimum berkisar
antara 25-30 ppt
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
113 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Kesimpulan. Perlakuan dosis B (pemberian F2 dan vitamin dan penambahan ekstrak
daun kelor sebanyak 40% mampu memacu pertumbuhan sel N.oculata pada media
akuarium dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Daftar Pustaka
Nurita Wahyuni, N., RahardjaB. S., AzharM. H. 2019.Pengaruh pemberian kombinasi
konsentrasi ekstrak daun kelor(Moringa oleifera) dengan pupuk walne dalam media
kultur terhadap laju pertumbuhan dan kandungan karotenoid Dunaliella salina. Journal of Aquaculture Science. Vol 4 (1): 37- 49. ISSN : 2550-0910. DOI:
https://doi.org/10.31093/joas.v4i1.67
Bahua, H., Hendrawan, Y., Yulianingsih, R.2015. Pengaruh pemberian auksin sintetik asam
naftalena asetat terhadap pertumbuhan mikroalga (Nannochloropsis oculata). Jurnal
Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. 3 (2) : 179-186. Daulay, R.M., Patana, P., dan Lesmana, I. 2013. Pengaruh pemberian pupuk ekskresi
cacing tanah (kascing) terhadap kelimpahan Nannochloropsis sp. sebagai pakan alami
ikan
budidaya. Jurnal Akuatika. 1 (1) 158-165. Isnansetyo, A. & Kurniastuty. (1995). Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Mukhlis, A., Abidin, Z., & Rahman, I. (2017). Pengaruh Konsentrasi Pupuk Amonium Sulfat
Terhadap Pertumbuhan Populasi Sel Nannochloropsis sp. Jurnal Biowallacea, 3(3),149-155.
Permata, I. S & Abdul, M. (2012). Pola Pertumbuhan Nannochloropsis oculata Pada Kultur
Skala Laboratorium, Intermediet, Dan Massal. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan,
4(2), 123 -127. Rabumi, W. 2012. Pengaruh pemberian pupuk nitrophoska elite dan limbah lidah buaya
(Aloe vera) terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman lobak (Raphanus Sativus L.)
pada tanah alluvial di polybag. Fakultas Perikanan Universitas Panca Bhakti. Vokasi.
8 (2) : 69-79
Sahira., Wellem H. Muskita., , Oce Astuti., Pengaruh Dosis Pupuk Nitrophoska terhadap Pertumbuhan Nannochloropsis sp. Media Akuatika, Vol.2, No. 4, 494-501, 2017. SSN
2503-4324
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
114 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
BIDANG ILMU PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN,
TEKNOLOGI PENANGKAPAN DAN
KONSERVASI PERAIRAN
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
114 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pengaruh Lama Trip Layar yang Berbeda Terhadap Mutu
Ikan Tuna (Thunnus sp.) di Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Palabuhanratu Sukabumi – Jawa Barat Muhammad R Suryanto1, Riza B. Pratama2, Pola ST Panjaitan3 dan Yuliati H. Sipahutar4
1,2,3,4)Politeknik Ahli Usaha Perikanan, Jakarta
(Email : [email protected])
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu ikan tuna (Thunnus sp) yang ditangkap dengan trip harian 6-9 hari (1minggu) dan 10-14 hari (2 minggu). Penelitian dilakukan bulan Maret sampai Mei 2019, di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Sukabumi – Jawa Barat. Metode penelitian dilakukan dengan survei dan observasi langsung, mengikuti penangkapan ikan dengan alat tangkap pancing tonda pada trip 1 minggu dan 2 minggu. Observasi dilakukan pada saat pembongkaran, mengukur suhu palka dan ikan pada saat pembongkaran, mengamati mutu ikan dan mengetahui Kelayakan TPI berdasarkan (No.52A/KEPMEN-KP/2013). Hasil pengamatan menyatakan untuk alur proses penanganan ikan di PPN Palabuhanratu tidak ada proses pencucian, suhu pembongkaran ikan pada kapal trip 1 minggu dan 2 minggu berkisar antara 0,1°C-1,4°C dan 0,1°C–3,7°C Untuk suhu palka pada kapal trip 1 minggu dan 2 minggu adalah berkisar (-0,2°C) – (-1,4°C) dan (-0,1°C) – (-1,2°C). Nilai organoleptik ikan pada trip 1 minggu yaitu 7,83 dan 2 minggu yaitu 7.36. Nilai ALT untuk kapal trip 1 minggu berkisar 8.5 x 103 kol/gr -1.4 x 104 kol/g dan 2 minggu berkisar 2 x 104 kol/gr - 1.8 x 104 kol/g . Hasil pengujian histamin untuk kapal trip 1 minggu adalah 25 ppm dan 2 minggu adalah 50 ppm. Kualitas mutu ikan pada kapal trip 1 minggu lebih bagus dibandingkan kualitas mutu ikan pada kapal trip 2 minggu dan terdapat banyak penyimpangan terhadap sanitasi dan hiegine terutama pada saat pembongkaran ikan hingga ke TPI. Kata Kunci : Mutu, penanganan, suhu, sanitasi dan higiene.
Pendahuluan. Produksi perikanan tangkap berasal dari penangkapan di laut dan
penangkapan di perairan umum. Salah satu Pelabuhan Perikanan Nusantara adalah
Palabuhanratu yang terletak di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Palabuhanratu
merupakan Pelabuhan Perikanan Nusantara yang melayani pendaratan kapal hingga 30 GT
dan merupakan salah satu tempat pusat pelelangan ikan. Berbagai komoditi ikan ada
disana, namun yang dominan adalah jenis ikan tuna (Thunnus sp.) dan merupakan
komoditas ekspor andalan dari Palabuhanratu. Palabuhanratu merupakan salah satu unsur
penting dalam pemanfaatan potensi perikanan di Indonesia. Jumlah produksi ikan tuna
(Thunnus sp.) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu pada tahun 2016 adalah
4.766.768 kg Seiring dengan peningkatan nilai ekspor hasil perikanan Indonesia, harus diikuti
dengan peningkatan terhadap jaminan mutu untuk dapat merebut pasar dunia. Untuk
mencapai sasaran dimaksud, Indonesia dituntut meningkatkan jaminan mutu produk. Ikan
memerlukan penanganan yang tepat dari sejak ditangkap, diolah sampai disajikan di meja
makan. Kondisi ini perlu diperhatikan dari mulai saat pembongkaran ikan, penanganan ikan dan sampai siap disajikan (Purnomo, 2002). Ikan Tuna merupakan salah satu jenis ikan
yang berharga sangat mahal. Oleh karena itu, metode penanganan tuna sangat penting
artinya untuk mendapatkan nilai jual tuna yang sangat tinggi. Untuk mendapatkan kualitas
tuna yang baik, penanganannya sudah dimulai sejak dilakukan penangkapan (Junianto, 2003).
Dalam industri perikanan kesempurnaan penanganan (handling) ikan segar
memegang peranan penting. Baik buruknya penanganan menentukan mutu ikan sebagai
bahan makanan atau bahan mentah untuk pengolahan lebih lanjut. Penanganan ikan segar bertujuan untuk mempertahankan kesegaran ikan dalam waktu selama mungkin.
Setidaknya kondisi ikan masih cukup segar pada saat sampai ke tangan konsumen. Setelah
ikan tertangkap dan diangkut ke atas kapal harus secepat mungkin ditangani dengan baik
dan hati-hati. Selanjutnya ikan disimpan beku, diolah, atau langsung dimasak menjadi
hidangan di meja makan (Eddy Afrianto & Liviawaty, 2003).
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
115 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Tempat Pelelangan Ikan merupakan tempat pertama dilakukannya proses transaksi
ikan. TPI ini merupakan salah satu sarana yang disediakan di pelabuhan atau pendaratan
ikan (Lubis, 2012). Tempat Pelelangan Ikan dapat dinilai berdasarkan (No.52A/KEPMEN-
KP/2013). Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh lama trip layar yang berbeda terhadap mutu ikan tuna (thunnus sp.) di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN)
Palabuhanratu Sukabumi – Jawa Barat.
Metode Penelitian. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Mei 2019,
bertempat di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu Sukabumi – Jawa Barat, Pengujian dilakkan di Laboratorium Kimia Pangan dan Laboratorium Mikrobiologi, Sekolah
Tinggi Perikanan, Jakarta. Alat yang digunakan adalah Thermocouple, Score sheet ikan
segar sesuai SNI 2719:2013, alat tulis Petridish, pipet, bunsen, plastik steril, inkubator,
oven, erlenmeyer, beaker glass, labu ukur, kapas pengusap steril, stomacher, tabung reaksi, timbangan, waterbath, jarum inokulasi, autoclave, vortex mixer, spatula, hot plate
dan stirre, Timbangan Analitik dengan ketelitian 0,0001 gram, pisau, ulekan, wadah
plastik, gelas ukur 100 ml, spatula, labu takar dan beaker glass, tabung reaksi 12 ml,
vortex, sentrifuse, microplate reader. Bahan yang digunakan yaitu sampel ikan tuna, plat count agar (PCA), larutan butterfield’s phosphate buffered, aquades, sampel ikan tuna,
enrichment solution, aquades
Penelitian dilakukan 15 kali pengamatan dengan 3 kali pengulangan, yaitu pada 15
kapal pancing tonda trip 1 minggu (6-8 hari) dan 15 kapal pancing tonda trip2 mingguan
(9-14 hari). Pengukuran suhu ikan kurisi dilakukan dengan mengambil masing-masing 3 ekor ikan yang berasal dari kapal tonda trip 1 minggu dan 2 minggu yang sedang
melakukan pendaratan menggunakan termometer digital (thermocouple) pada pusat ikan,
dilakukan pada proses pembongkaran sampai distribusi. Pengujian organoleptik dilakukan
15 kali menggunakan score sheet organoleptik ikan segar dilakukan oleh 6 panelis standar pengawas mutu dari PPN Palabuhanratu. Pengujian mikrobiologi dan pengujian TVB
dilakukan sebanyak 2 kali dalam 1 minggu pada sampel ikan tuna yang berasal dari kapal
tonda trip 1minggu dan 2 minggu. Pengujian dilakukan di laboratorium Sekolah Tinggi
Perikanan Jakarta. Analisa data dilakukan dengan diskriptif. Uji organoleptic sesuai SNI 01-2345-2013
(Badan Standardisasi Nasional, 2013c). Pengamatan suhu sesuai SNI 01-2372.1-2006
(Badan Standardisasi Nasional, 2006), Uji TVB sesuai SNI 2354.8 :2009 (Badan
Standardisasi Nasional, 2009) uji mikrobiologi dengan parameter Angka Lempeng Total (ALT) sesuai SNI 01-2332-2015 (Badan Standardisasi Nasional, 2015). Uji histamin sesuai
SNI 2354.10:2016 (Badan Standardisasi Nasional, 2016).
Hasil dan Pembahasan
Pembongkaran Ikan pada Kapal Pancing Tonda
Pendaratan Kapal. Produksi Ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu berasal dari hasil tangkapan kapal-kapal ikan domisili (Palabuhanratu) dan
kapal-kapal ikan pendatang diantaranya berasal dari Cilacap, Jakarta dan Binuangeun
(Banten). Secara spesifik jenis ikan yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu didominasi oleh jenis ikan tuna (yellowfin Tuna), ikan pedang, setuhuk,
cakalang, tongkol, layur, peperek dan eteman. Adapun daerah penangkapan ikan bagi
nelayan yang menggunakan fishing base port-nya Pelabuhan Perikanan Nusantara
Palabuhanratu antara lain perairan Teluk Palabuhanratu, Cisolok, Ujung Genteng, perairan
sebelah Selatan Pulau Jawa dan sebelah Barat Pulau Sumatera.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
116 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Ada beberapa prosedur yang harus dilalui ketika kapal melakukan tambat labuh.
Kapal-kapal yang masuk seharusnya melaporkan kapalnya ke pusat informasi yang berada
di dekat dermaga pelabuhan untuk menyerahkan log book yang diberikan oleh pihak
pelabuhan sebelum kapal tersebut berlayar, tetapi kenyataan yang dilihat di lapangan
kapal-kapal tersebut tidak menjalankan prosedur yang telah disampaikan oleh pihak
pelabuhan. Kapal yang masuk menyerahkan log book dan melaporkan kapalnya pada saat
proses pembongkaran telah selesai dilakukan (Nainggolan, 2007).
Sistem jual beli yang dilakukan di PPN Palabuhanratu yaitu pembeli/pengepul
langsung datang ke tempat pelelangan ikan untuk melihat keadaan ikan dan melakukan
tawar menawar harga ke pemilik kapal (yang mempunyai kapal) atau pemilik modal yang
memodali kapal berlayar. Rata-rata kapal yang melakukan tambat labuh di PPN Palabuhanratu yaitu sekitar 1-4 kapal setiap harinya, tergantung dari musim ikan dan
cuaca (hasil wawancara dengan nelayan). Kapal yang masuk di PPN Palabuhanratu
melakukan tambat labuh di TPI (tempat pendaratan ikan), apabila TPI tersebut telah penuh
maka kapal-kapal yang baru masuk melakukan pendaratan di dermaga I atau II pelabuhan. Pendaratan kapal di TPI PPN Palabuhanratu dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pendaratan Kapal di PPN Palabuhanratu
Pendaratan kapal di PPN Palabuhanratu melalui beberapa tahap sebelum ikan tersebut
di bawa ke TPI PPN Palabuhanratu. Tahapan penanganan ikan di PPN Palabuhanratu mulai
dari pendaratan kapal hingga ke tempat pelelangan ikan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Penanganan Ikan Mulai dari Pendaratan Kapal Hingga ke TPI
Menurut SNI 2729:2013 tahapan penanganan ikan mulai dari pendaratan kapal hingga
ke TPI adalah pembongkaran, penyortiran, penimbangan dan pelelangan.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
117 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pembongkaran Ikan. Proses pembongkaran ikan bisa dilakukan pada pagi hari ± jam
05.00 sampai dengan sore hari ± jam 16.00 tergantung dari waktu pendaratan kapal.
Kapal yang masuk pada malam hari biasanya melakukan pembongkaran pada keesokan
paginya. Lama proses pembongkaran per kapal ± 1 jam, tergantung banyaknya jumlah ABK yang melakukan proses pembongkaran. Proses pembongkaran ikan dilakukan di
tempat yang dingin atau teduh agar ikan tidak terkena sinar matahari langsung (Murniyati
& Sunarman, 2000).
Jumlah ABK/tenaga pembongkar yang biasa melakukan proses pembongkaran adalah ± 4-6 tenaga untuk 1 kapal tonda. Proses pembongkaran dimulai dengan para ABK/tenaga
pembongkar membuka tutup palka, kemudian mengangkat sisa-sisa bongkahan es yang
masih ada di bagian atas ikan pada palka dan membuangnya ke laut. Ikan dimasukkan ke
dalam keranjang yang telah diikat menggunakan tali, kemudian ikan tersebut dinaikkan ke atas dek kapal.
Kegiatan pembongkaran ini dilakukan secara manual dengan bantuan tenaga manusia
dan alat bantu berupa keranjang yang diikat dengan tali untuk mempermudah proses
pengangkutan ikan ke atas dek kapal . Proses pembongkaran ikan hasil tangkapan dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pembongkaran Ikan Hasil Tangkapan di PPN Palabuhanratu
ABK kapal masuk ke dalam palka menggunakan sepatu boot sehingga ikan yang berada dalam palka terinjak-injak oleh ABK yang mengakibatkan terjadi kerusakan fisik
pada ikan. Tingkat kesadaran nelayan dan pekerja mengenai mutu dan kualitas ikan masih
sangat jauh. Banyak ikan yang mengalami kerusakan fisik pada saat pembongkaran ikan
dari palka. Pada tahap pembongkaran diusahakan jangan sampai ikan terinjak-injak, terlempar atau tertimpa bongkahan es yang besar sebab akan melukai badan ikan, maka
bakteri pembusuk yang banyak terdapat pada kulit ikan (dalam lendir) akan cepat menular
masuk kedalam badan ikan (Suwetja, 2011). Semakin banyak hasil tangkapan yang
didapat, maka proses pembongkaran akan semakin lama. Lamanya proses pembongkaran akan berpengaruh terhadap mutu dan kualitas ikan yang didapat (Markenih, 2016).
Suhu yang paling baik bagi pertumbuhan mikroba disebut suhu optimum
pertumbuhan, sedangkan suhu terbaik untuk kecepatan reaksi enzim disebut suhu aktifitas
optimum. Bakteri tidak dapat tumbuh dengan baik pada suhu rendah, maka usaha orang
untuk menghambat atau menghentikan kegiatan bakteri adalah dengan peng-es-an ikan segar agar suhu ikan tetap terjaga. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
bakteri pada ikan adalah suhu. Penanganan ikan segar diusahakan suhu ikan selalu
mendekati 0˚C, dijaga jangan sampai suhu ikan naik misalnya terkena sinar matahari
langsung atau kekurangan es (Afrianto & Liviawati, 2010).
Penyortiran. Penyortiran dilakukan di atas dek kapal atau dermaga dengan cara
memisahkan ikan menurut jenis, ukuran dan kualitasnya ke dalam keranjang yang sudah
disiapkan oleh para pembeli. Ikan disortir menurut jenis dan ukuran ikan. Kegiatan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
118 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
bertujuan untuk memudahkan dalam proses penjualan (Sitorus & Sipahutar, 2018).
Penyortiran menurut kualitas terbagi dalam berapa grade yaitu A (sangat baik), B (baik),
C (standar), D (reject). Grade A dan B biasanya langsung dibawa UPI, grade C dibawa
kepasar-pasar lokal dan grade D langsung diambil oleh pengepul untuk dijadikan bahan baku pembuatan pakan ikan (pelet) (Anggraeni, Nurjanah, Asmara, & Hidayat, 2019).
Tujuan sortasi dimaksudkan agar didapatkan mutu, jenis dan ukuran ikan yang sesuai.
Sortasi juga akan mempermudah tindakan penanganan mutu ikan dimana ikan yang sudah
kurang baik mutunya tidak akan mengkontaminasi ikan yang masih baik kondisinya.
Gambar 4. Penyortiran Ikan di Tempat Pendaratan Ikan
Penimbangan. Ikan yang telah disortir langsung dibawa oleh pekerja ke tempat
pelelangan ikan, kemudian dilakukan penimbangan oleh petugas. Proses penimbangan ini
bertujuan untuk mengetahui berapa banyak (kg) produksi ikan hasil tangkapan nelayan
pada saat itu. Timbangan yang digunakan adalah timbangan gantung atau timbangan dacin
dengan kapasitas 100 kg yang disediakan oleh pihak tempat pelelangan ikan. Sebelum
dilakukan pengemasan oleh pengepul setempat atau pembeli dari luar kota, ikan yang telah
ditimbang diletakkan di tempat pelelangan ikan.
Gambar 5. Proses Penimbangan Ikan Tuna
Tempat Pelelangan Ikan. Proses pelelangan di PPN Palabuhanratu sangat jarang karena
sebagian besar ikan hasil tangkapan sudah dibeli terlebih dahulu oleh para agen/
pemborong yang ada di sana juga dipengaruhi cuaca dan musim ikan, tetapi ada juga para
nelayan yang menjual hasil tangkapannya langsung kepada para pembeli. Petugas yang
terdapat di Tempat Pelelangan Ikan hanya bertugas untuk menimbang kemudian mencatat
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
119 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
jumlah hasil tangkapan dan menjadi juru lelang ikan yang didaratkan di PPN
Palabuhanratu. Selain itu pihak agen/pemborong yang mau mengikuti proses pelelangan
wajib membayar uang retribusi kapada pihak TPI sebesar 0,5 % dari harga ikan yang akan
dilelang. Kerusakan fisik yang terjadi ditempat pelelangan ikan hampir sama pada saat
pembongkaran, yaitu karena penanganan yang kurang baik ditambah lagi dengan faktor
sanitasi dan higiene yang kurang mendukung sehingga proses penurunan mutu hasil
tangkapan akan lebih mudah terjadi (Litaay, Hari Wisudo, & Arfah, 2020).
Gambar 6. Proses Pelelangan Ikan di TPI
Pengamatan Suhu. Suhu ikan dapat menjadi penentu sebagai indikator baik atau buruknya penanganan ikan, sehingga pengukuran suhu ikan hasil tangkapan dilakukan
pada setiap tahap penanganan. Menurut SNI 7788:2013 (Badan Standardisasi Nasional,
2013b)), untuk jenis ikan scombroid, suhu harus tetap dipertahankan 0oC – 4,4oC pada
setiap tahapan proses untuk menghambat peningkatan histamin.
Tabel 1. Suhu Ikan Pada Waktu Pembongkaran
Lama Operasi Suhu Ikan Pada Waktu
Pembongkaran (ºC) SNI 7788:2013
6-8 hari 0,1 – 1,4 4,4 ºC 9-14 hari 0,1 – 3,7
Suhu ikan pada saat pembongkaran dengan kapal yang beroperasi selama 1 minggu
adalah 0,1ºC – 1,4ºC sehingga mutu ikan masih dikatakan segar karna suhu ikan masih
mendekati 0⁰C dan pada kapal yang beroperasi selama 2 minggu adalah 0,1ºC – 3,7ºC
sehingga mutu ikan sudah hampir mendekati suhu yang sudah dikatakan tidak segar lagi
yaitu 4,4⁰C namun masih layak untuk dikonsumsi. Es yang dipakai jangan merupakan
bongkahan- bongkahan es yang besar, sebab ini dapat menyebabkan ikan tergencet dan
memar.
Penelitian (Sipahutar, Kristiany, Napitupulu, & Syaifudin, 2018) menunjukkan rata-
rata suhu ikan kurisi yang dibongkar pada kapal cantrang trip harian lebih tinggi daripada
trip mingguan yakni 5,3 °C pada kapal trip harian dan 5,0 °C pada kapal trip mingguan.
(Sugiono, Masengi, & Sipahutar, 2018) Perbedaan lama operasi dan perlakuan sangat
berpengaruh terhadap mutu ikan. Jumlah atau kenaikan suhu yang tinggi dapat
mempercepat proses pembusukan (rigormortis) dan mempercepat proses histidin menjadi
histamin (Suwetja, 2013). Salah satu faktor yang mempengaruhi suhu atau kesegaran
pada ikan adalah penanganan ikan yang kurang baik. Tetapi nilai tersebut sudah sesuai
standar penyimpanan dingin yang disyaratkan karena suhu pusat ikan maksimal yang
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
120 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
diinginkan 4,4 oC, maka suhu penyimpanannya harus di bawah suhu 4,4 oC untuk mencapai
suhu yang diinginkan (Sugiono et al., 2018).
Suhu palka yang rendah didapatkan akibat es yang terbuat dari air garam. Es yang
terbuat dari air garam dapat membeku pada suhu minus dan salinitas air garam lebih tinggi
dibandingkan air biasa. Suhu palka pada kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu
sangat berpengaruh untuk mutu ikan. Suhu ikan tuna (thunnus sp.) jika tidak terjaga
dengan tepat akibat suhu palka yang tinggi, maka histidin dalam daging tuna (thunnus
sp.) akan diubah oleh bakteri menjadi senyawa toksik yang disebut histamin. Setelah ikan
mati, dipengaruhi oleh kenaikan suhu, bakteri mulai berkembangbiak dengan sangat pesat
dan menyerang tubuh ikan (Murniyati dan Sunarman, 2000). Proses pembentukan
histamin pada ikan sangat ditentukan oleh aktivitas enzim histidin dekarboksilase yang
dihasilkan dari bakteri pembentukan histamin. Jumlah histamin yang diproduksi dari
histidin sangat tergantung pada jumlah enzim yang berada disekitarnya, jumlah enzim
sangat bergantung pada jumlah bakteri yang hidup dan berkembang biak (Kalantari,
Benfar, Nazari, Kalatari, & Hosseini, 2015).
Suhu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi mutu. Penerapan suhu
rendah sangat penting dalam pengolahan ikan karena pada pengolahan suhu rendah
pertumbuhan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan dapat diperlambat (Junianto, 2003).
Pengamatan Mutu
Pengujian Organoleptik. Pengamatan organoleptik dilakukan bertujuan untuk
mengetahui tingkat kesegaran ikan seperti kenampakan (mata, insang, lendir), daging, bau dan tekstur. Penetapan kemunduran mutu ikan secara subyektif (organoleptik)
dilakukan dengan menggunakan score sheet ikan segar berdasarkan SNI 2729: 2013
(Badan Standardisasi Nasional, 2013a). Penilaian organoleptik yaitu dilakukan dengan 6
panelis standar. Penilaian dilakukan dengan menilai lembar score sheet organoleptik ikan segar pada saat pembongkaran dengan menilai mata, insang, lendir, daging, bau, dan
tekstur.
Tabel 2. Nilai Rata-Rata Organoleptik Ikan Tuna (Thunnus sp)
Lama layar Nilai Rata-rata SNI 2719:2013
1 minggu (6-8 hari) 7,83 7
2 minggu (9-14 hari) 7,36
Nilai rata-rata organoleptik ikan tuna (thunnus sp.) pada saat pembongkaran dari
palka pada kapal yang beroperasi 1 minggu adalah 7,83 dan kapal yang beroperasi 2 minggu adalah 7,36. Berdasarkan pengamatan organoleptik yang dilakukan terhadap ikan
tuna (thunnus sp.) pada saat pembongkaran di PPN Palabuhanratu memiliki nilai rata-rata
organoleptik semakin menurun ketika pengoperasian kapal semakin lama dan proses
penanganan yang tidak baik diatas kapal Rendahnya nilai organoleptik ikan di dapat akibat proses penanganan ikan yang tidak
baik. Nilai rata-rata organoleptik pada setiap kapal masih memenuhi standar bahan baku
ikan segar yang ditetapkan yaitu 7 (SNI 2719:2013). Menurut (Pianusa, Sanger, &
Wonggo, 2016), mutu atau kualitas ikan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti, metode atau cara penangkapan dan pendaratan ikan termasuk juga jarak pengangkutan
dari tempat penangkapan ke tempat pendaratan, keadaan cuaca terutama suhu.
Mutu ikan dapat dipengaruhi oleh alat tangkap, waktu kematian ikan, dan kondisi ikan
(Metusalach, Kasmiati, Fahrul, & Jaya, 2012). Ikan yang tidak banyak berontak ketika
ditangkap atau sebelum mati, kesegarannya akan lebih tahan lama daripada ikan yang
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
121 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
lama berontaknya. Ikan yang dipancing kesegarannya lebih lama dibandingkan ikan yang
terjaring, karena ikan hasil tangkapan jaring tercampur dan tergencet bersama udang,
kotoran, lumpur, serta segala benda yang berasal dari dasar laut waktu jaring ditarik hal
ini sangat mempengaruhi mutu ikan tersebut. Ikan yang banyak berontak sebelum mati akan mengalami kondisi keadaan kaku (rigormortis) lebih cepat dibanding ikan yang tidak
banyak berontak. Makin banyak ikan berontak makin cepat mengalami kekakuan dan juga
makin pendek daya simpannya, berbeda dengan ikan yang tidak banyak berontak dan lebih
cepat mati akan memiliki daya simpan yang lebih lama (Sipahutar & Napitupulu, 2018) Kondisi kesegaran ikan tuna (thunnus sp.) dalam kategori masih baik, karena hasil
tangkapan dalam keadaan segar. Kesegaran ikan dipertahankan dengan menggunakan es
balok yang dihancurkan dengan sistem bulking. Nelayan menambahkan es di bagian atas
palka, untuk mempertahankan suhu ikan <4,4ºC selama penangkapan sampai dengan pembongkaran dari palka di pelabuhan. Menurut Pianusa et al., (2016), baik dan tidaknya
mutu bahan baku dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat digolongkan menjadi dua
kategori, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Untuk hasil-hasil perikanan, faktor
intrinsik yang berperan adalah sifatnya yang dipengaruhi gen (pembawa sifat), umur, jenis
kelamin, jenis (spesies) sedangkan faktor ekstrinsik adalah perlakuan-perlakuan yang dikerjakan oleh manusia terhadap bahan, misalnya cara-cara penangkapan ikan,
pendaratan, pengesan, penyiangan, pencucian, pendinginan, pembekuan dan sebagainya.
Pengujian Angka Lempeng Total (ALT). Pengujian mikrobiologi Angka Lempeng Total (ALT) yang dilakukan berdasarkan (SNI 01-2332.3-2006)
Tabel 3. Kisaran Nilai Pengujian ALT Ikan Tuna (Thunnus sp.)
Lama layar Jumlah ALT kol/g SNI 01-2332-2006
1 minggu (6-8 hari) 8.5 x 103 kol/gr -1.4 x 104 kol/g
5 x 10⁵ kol/g 2 minggu (9-14 hari) 1.2 x 104 kol/gr - 1.8 x 104 kol/g
Nilai pengujian ALT pada saat pembongkaran dari palka dengan lama operasi kapal 1
minggu berkisar 8.5 x 103 kol/gr -1.4 x 104 kol/g dan lama operasi kapal 2 minggu berkisar 1.2 x 104 kol/gr - 1.8 x 104 kol/g. Nilai ALT pada saat pembongkaran dari palka dengan
lama operasi 1 minggu dan 2 minggu masih lebih kecil dibandingkan dengan standar
jumlah total bakteri untuk ikan segar (SNI 01-2332.3-2006) yaitu 5.0 x 105 kol/gr.
Menurut Sipahutar, Siregar, Panjaitan, & Satria, (2019) Semakin tinggi ALT maka penanganan ikan tidak baik sehingga dapat mempercepat proses pembusukan.(Badan
Standardisasi Nasional, 2016). Selanjutnya Sumardika, Saputra, & Basino (2014)
mengatakan bahwa ikan yang disimpan pada deret suhu rendah yang berkisar antara 2-0
derajat Celcius membuat perkembangan bakteri jauh berkurang yang menyebabkan daya
awet ikan dalam keadaan wajar dengan rentang waktu 2-5 hari.
Histamin. Prosedur Pengujian Histamin yang diaksanakan adalah metode HistaStrip Test
Manual Produksi Bioo Scientific. Prinsip pengujian histamin dengan metode HistaStrip ini
adalah metode semi kuantitatif dengan menggunakan test kit metode perbandingan warna dengan range ±25 ppm (0, 25, 50,75 dan 100 ppm). Nilai rata-rata pengujian histamin
ikan tuna (Thunnus sp.) dengan kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu pada saat
pembongkaran dapat dilihat pada Tabel 4.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
122 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Tabel 4. Nilai rata-rata Pengujian Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.)
Lama layar Jumlah Histamin (ppm) Standar SNI 06-2569:1992
1 minggu (6-8 hari) 25 ppm Max. 100 ppm
2 minggu (9-14 hari) 41 ppm
Nilai rata-rata pengujian kandungan histamin ikan tuna (Thunnus sp.) pada proses pembongkaran dari palka sebesar 25 ppm untuk kapal yang beroperasi 1 minggu dan
untuk kapal yang beropersi 2 minggu sebesar 41 ppm. Berdasarkan nilai sampel pada saat
pembongkaran ikan dengan kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu menunjukkan
bahwa sampel masih memenuhi standar sesuai SNI 2354.10:2016 (Badan Standardisasi Nasional, 2016) Suhu sangat berpangaruh pada kadar histamin. Histamin dapat terjadi
tergantung penanganan dan jumlah es yang dipakai selama penyimpanan ikan. Histamin
terjadi akibat penanganan yang kurang baik, sehingga terjadi kenaikan suhu diatas 4,4⁰C.
Bakteri-bakteri yang bisa menghasilkan enzim histidin dekarboxilase seperti bakteri proteus morganela morgani akan menghasilkan enzim histidin dekarboxilase. Enzim
histidin dekarboxilase akan merubah protein di dalam tubuh ikan (Suwetja, 2011). Protein
yang berubah adalah protein histidin menjadi histamin. Menurut Nurjanah (2011), histamin
tidak akan terbentuk selama ikan tetap disimpan pada suhu <4,4ºC.
Jumlah es yang dibawa oleh kapal dan lama operasi maupun cara penanganan sangat mempengaruhi kandungan histamine pada ikan. Pada kapal yang beroperasi 1 minggu
membawa 40-60 balok es sedangkan kapal 2 minggu membawa 40-80 balok es. Untuk
berat 1 balok es yaitu berkisar 20-30 kg. Untuk perbandingan jumlah es pada kapal yang
beroperasi 1 minggu dan 2 minggu adalah sama. Lama operasi berpengaruh ketika jumlah es yang dibawa sudah habis maka tidak ada penambahan es terhadap palka maupun ikan
sehingga suhu palka naik dan dapat mempercepat proses histidin menjadi histamin.
Senyawa histamin terbentuk karena dekarboksilase dari asam amino histidin oleh
bakteri. Hal ini dapat terjadi pada produk ikan basah karena keterlambatan dalam penjagaan mutunya. Bakteri pembentuk histamin terdapat pada permukaan kulit ikan
segar. Bakteri tersebut termasuk jenis bakteri proteus morganii. Jumlah maksimum akan
terjadi pada suhu badan ikan 20ºC sedangkan pada suhu 0ºC pembentukan histamin sudah
terhenti. Ikan berdaging gelap menghasilkan lebih banyak histamin dari pada ikan
berdaging putih.
Kesimpulan. Alur proses penanganan ikan di PPN Palabuhanratu baru mencapai 75%
dari SNI 2729:2013 karena belum ada proses pencucian. Selanjutnya suhu pembongkaran
ikan berkisar antara 0,1°C - 1,4°C dan 0,1°C – 3,7°C pada kapal yang beroperasi 1 minggu
dan 2 minggu, masih memenuhi standart SNI 2729:2013 yaitu max 4,4°C. Untuk suhu palka pada kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu adalah berkisar (-0,2°C) –
(-1,4°C) dan (-0,1°C) – (-1,2°C). Selain itu, nilai organoleptik ikan pada kapal yang
beroperasi 1 minggu yaitu 7,83 dan 2 minggu adalah 7,36, masih berada pada nilai standar
SNI 2719:2013 yaitu min 7. Nilai ALT untuk kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu masih memenuhi standart SNI 01-2332.3-2006 yaitu max 5 x 105 kol/gr. Hasil pengujian
histamin untuk kapal yang beroperasi 1 minggu dan 2 minggu adalah 25 ppm dan 50
ppm, masih memenuhi standar SNI 06-2569:1992 yaitu max 100 ppm. Kualitas mutu ikan
pada kapal yang beroperasi 1 minggu lebih bagus dibandingkan kualitas mutu ikan pada kapal yang beroperasi 2 minggu.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
123 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Daftar Pustaka
Afrianto, E, & Liviawati, E. (2010). Penanganan Ikan Segar. Bandung: Widya Pajajaran.
Afrianto, Eddy, & Liviawaty, E. (2003). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius.
Anggraeni, D., Nurjanah, N., Asmara, D. A., & Hidayat, T. (2019). Kelayakan industri
pengolahan ikan dan mutu produk UMKM pindang Tongkol di Kabupaten Banyuwangi.
Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 22(1), 14.
https://doi.org/10.17844/jphpi.v22i1.25870 Badan Standardisasi Nasional. Cara uji fisika – Bagian 2: Penentuan suhu pusat pada
produk perikanan., Pub. L. No. SNI 01-2372.1-2006 (2006). Jakarta: BSN.
Badan Standardisasi Nasional. Penentuan Kadar Total Volatil Base Nitrogen (TVB-N) dan
Trimetil Amin Nitrogen (TMA-N) pada Produk Perikanan SNI 2354.8:2009, Pub. L. No. SNI 2354.8 :2009 (2009). Indonesia: BSN.
Badan Standardisasi Nasional. Ikan segar, Pub. L. No. SNI 2729:2013 (2013). Indonesia:
BSN.
Badan Standardisasi Nasional. Penanganan ikan di atas kapal - Cakalang segar di kapal huhate (pole and liner) (2013). Indonesia.
Badan Standardisasi Nasional. Uji Organoleptik Ikan Segar, Pub. L. No. SNI 01-2345-2013
(2013). Indonesia: BSN.
Badan Standardisasi Nasional. Cara Uji Mikrobiologi Bagian 3: Penentuan Angka Lempeng
Total (ALT) pada Produk Perikanan, Pub. L. No. SNI 01-2332.3-2015 (2015). Indonesia: BSN.
Badan Standardisasi Nasional. Cara uji kimia – Bagian 10: Penentuan kadar histamin
dengan spektroflorometri dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) pada produk
perikanan, Pub. L. No. SNI 2354.10:2016 (2016). Indonesia: BSN. Junianto. (2003). Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Kalantari, H., Benfar, A., Nazari, Z., Kalatari, M., & Hosseini, H. (2015). Occurrence of
Histmine in Canned TunaFish Produced od Two Major Manufactories in Khuzestan and
Province By HPLC Method. Int. J. Curr. Res. Chem. Pharma. Sci., 2(10), 9–15. Litaay, C., Hari Wisudo, S., & Arfah, H. (2020). Penanganan Ikan Cakalang oleh Nelayan
Pole and Line. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 23(1), 112–121.
https://doi.org/10.17844/jphpi.v23i1.30924
Lubis, E. (2012). Pelabuhan Perikanan. (IPB Press, Ed.). Bogor. Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higienitas serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan
yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Blanakan, Subang. Institut Pertanian
Bogor.
Metusalach, Kasmiati, Fahrul, & Jaya, I. (2012). Analisis Hubungan antara Cara
Penangkapan dan Cara Penanganan dengan Kualitas Ikan yang dihasilkan. Murniyati, & Sunarman. (2000). Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan.
Yogyakarta: Kanisius.
Nainggolan, C. (2007). Metode Penangkapan Ikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Pianusa, A. F., Sanger, G., & Wonggo, D. (2016). Kajian perubahan mutu kesegaran ikan tongkol (Euthynnus Affinis) yamg direndam dalam ekstrak rumput lautT (Eucheuma
spinosum) dan ekstrak buah bakau(Sonneratia alba). Media Teknologi Hasil
Perikanan, 4(2), 66. https://doi.org/10.35800/mthp.4.2.2016.12927
Purnomo. (2002). Teknologi Pengolahan Ikan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.
Sipahutar, Y. H., Kristiany, M. G. E., Napitupulu, R. J., & Syaifudin, K. (2018). Pengaruh
Lama Trip Layar Yang Berbeda Terhadap Mutu Ikan Kurisi (Nemipterus
Nematophorus) di PPN Brondong. Seminar Nasional Tahunan XV Hasil Penelitian
Perikanan Dan Kelautan, 19–30.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
124 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Sipahutar, Y. H., & Napitupulu, R. J. (2018). Fish Losses (Susut Hasil) Ikan Tuna Sirip
Kuning (Thunnus Albacares) di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi Kabupaten
Trenggalek, Jawa Timur. In Prosiding Seminar Nasional Kelautan XIII (pp. 38–50).
Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah, Surabaya. Sipahutar, Y. H., Siregar, A. N., Panjaitan, T. F., & Satria, K. (2019). Pengaruh Penanganan
Terhadap Laju Rigormortis Ikan Tongkol Berdasarkan Alat Tangkap Purse Seine di
Pelabuhan Perikanan Lampulo, Aceh. In Prosiding Seminar Nasional Kelautan XIV (pp.
10–19). Surabaya: Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah. Sitorus, T. M. R., & Sipahutar, Y. H. (2018). Penanganan Ikan tenggiri(Scomberomorus
commerson) pada alat tangkap Pancing Ulur dan Gill Net di Pelabuhan Perikanan
Nusantara (PPN) Sungailiat, Kabupaten Bangka. In Prosiding Seminar Nasional
perikanan dan Penyuluhan (pp. 511–523). Masyarakat Iktiologi Indonesia. Sugiono, Masengi, S., & Sipahutar, Y. H. (2018). Fish losses Hasil Tangkapan ikan cakalang
(Katsuwonus pelamis) pada Kapal Pole and Line di Sulawesi Utara. Teknologi Dan
Penelitian Terapan STP, 21(1), 8–18.
Sumardika, P., Saputra, A., & Basino. (2014). Penanganan dan Penyimpanan ikan Hasil
Tangkapan. Jakarta: STP Press. Suwetja, I. K. (2011). Biokimia Hasil Perikanan. Jakarta: Media Prima Aksara.
Suwetja, I. K. (2013). Indeks Mutu Kesegaran Ikan. Malang: Bayumedia Publishing.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
125 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Analisis Hasil Tangkapan Berdasarkan Daerah Penangkapan Ikan Hiu Yang Didaratkan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat Wahida1, Faisal Amir2 dan Ilham Jaya3
1,2,3)Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan/Universitas Hasanuddin, Jln. Perintis
Kemerdekaan, KM 10 Tamalanrea, 90245, Makassar, Indonesia.
(Email: [email protected] ; [email protected] ; [email protected])
Abstrak - Hiu di Selat Makassar yang dieksploitasi oleh nelayan di Kabupaten Majene meliputi dpi
perairan continental shelf, karang, dan oseanik. Tujuan penelitian menganalisis hasil tangkapan (berat dan ekor) hiu per jenis kelamin berdasarkan daerah penangkapan yang didaratkan di Kabupaten Majene.
Penelitian dilakukan pada Agustus hingga Oktober 2020 dengan mengumpulkan data pada tiga tempat pengepul di Majene, Sulawesi Barat. Penentuan spesies mengacu pada Compagno (1998), Ellen
(1999),Fahmi dan Dharmani (2013). Berat setiap hasil tangkapan ditimbang insitu dengan satuan
terkecil 50 g dan 200 g dan penentuan jumlah ekor dengan pencacahan dari data hasil tangkapan. Penentuan daerah penangkapan dilakukan dengan memplotkan seluruh titik koordinat dari setiap kapal
penangkap yang beroperasi dengan menggunakan software ArcGis 10,5. Penentuan kisaran berat dan
berat rata-rata hasil tangkapan total dari setiap DPI dianalisis dengan ANOVA p<0.05 dengan uji lanjut Tukey melalui software spss versi 16. Hasil penelitian diperoleh 332 ekor terdiri dari 8 spesies didominasi
carharhinus brevepinna (40,06%). Kisaran ukuran berat dan berat rata-rata hasil tangkapan setiap DPI diperoleh 0,6–80,0 kg (13,33±23,5 kg), 0,8–4,4 kg (1,8±1,05 kg), dan 0,8–61,0 kg (19,09±32,19 kg)
masing-masing untuk dpi perairan oseanik, dpi perairan karang, dan dpi perairan oseanik. Jumlah ekor
hasil tangkapan dari setiap DPI adalah 214 ekor (64,46%), 12 ekor (3,61%), dan 106 ekor (31,93%) masing-masing untuk dpi continental shelf, dpi perairan karang, dan dpi perairan oseanik.
Simpulan ada 8 spesies hasil tangkapan didominasi Carharhinus brevepinna. Ukuran berat rata-rata terbesar pada dpi perairan oseanik dibanding dpi perairan continental shelf dan karang, sedang dpi
perairan continental shelf dan karang tidak berbeda.
Kata Kunci : Hiu, Daerah Penangkapan, Selat Makassar.
Abstrack - Sharks in the Makassar Strait that are exploited by fishermen in Majene Regency include dpi
of continental shelf waters, corals and oceanics. The research objective was to analyze the catch (weight and tail) of sharks per sex based on landed fishing grounds in Majene Regency. The research was
conducted from August to October 2020 by collecting data on three collectors' places in Majene, West
Sulawesi. Species determination refers to Compagno (1998), Ellen (1999), Fahmi and Dharmani (2013). The weight of each catch is weighed in situ in the smallest units of 50 g and 200 g and the number of
heads is determined by enumeration from the catch data. Determination of the fishing area is done by
plotting all the coordinate points of each operating fishing vessel using ArcGis 10.5 software. Determination of the range of weight and average total catch weight of each DPI was analyzed by ANOVA
p <0.05 with Tukey's continued test using SPSS version 16 software. The results showed that 332 individuals consisted of 8 species, dominated by carharhinus brevepinna (40.06%). The range of
measures of weight and average catch per DPI was obtained from 0.6–80.0 kg (13.33 ± 23.5 kg), 0.8–
4.4 kg (1.8 ± 1.05 kg) , and 0.8–61.0 kg (19.09 ± 32.19 kg) for oceanic waters, coral reefs, and oceanic waters, respectively. The number of catches from each DPI is 214 (64.46%), 12 (3.61%), and 106
(31.93%) for the continental shelf dpi, coral reef dpi, and marine dpi. oceanic. In conclusion, there are 8 species of catch, dominated by Carharhinus brevepinna. The size of the average
weight was greatest in the dpi of oceanic waters compared to the dpi of continental shelf waters and
corals, while the dpi of continental shelf waters and corals was not different. Keywords : Sharks, Catching Area, Makassar Strait.
Pendahuluan. Hiu adalah salah satu sumberdaya ikan bertulang rawan
(Elasmobranchii) yang merupakan salah satu komoditas perikanan penting di Indonesia. Fahmi & Dharmadi (2013) menyebutkan bahwa perikanan hiu di Indonesia telah
berlangsung sekitar tahun 70-an sebagai tangkapan sampingan dari perikanan rawai tuna,
namun saat ini hiu kemudian menjadi salah satu target tangkapan nelayan di beberapa
tempat pendaratan ikan di Indonesia, khususnya pada perikanan artisanal.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
126 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Diperkirakan lebih dari 75 jenis hiu ditemukan di perairan Indonesia dan sebagian
besar dari jenis tersebut potensial untuk dimanfaatkan. Hampir seluruh bagian tubuh hiu
dapat dijadikan komoditi, dagingnya dapat dijadikan bahan pangan bergizi tinggi (abon,
bakso, sosis, ikan kering dan sebagainya), siripnya untuk ekspor dan kulitnya dapat diolah menjadi bahan industri kerajinan kulit berkualitas tinggi (ikat pinggang, tas, sepatu, jaket,
dompet dan sebagainya) serta minyak hiu sebagai bahan baku farmasi atau untuk ekspor.
Tanpa kecuali gigi, empedu, isi perut, tulang, insang dan lainnya masih dapat diolah untuk
berbagai keperluan seperti bahan lem, ornamen, pakan ternak, bahan obat dan lainlain (Wibowo & Susanto, 1995).
Penangkapan hiu, sebagaimana penangkapan ikan-ikan Elasmobranchii lainnya,
memiliki risiko bagi keberadaan populasi hiu tersebut karena umumnya nelayan rawai hiu
menangkap hampir semua jenis hiu dari semua ukuran. Berdasarkan karakteristik biologinya, hiu sangat rentan terhadap tekanan penangkapan berlebih (Musick et al., 2000;
Galluccci et al., 2006) karena siklus hidupnya yang panjang, pertumbuhan dan
kematangan kelaminnya yang lambat serta fekunditasnya yang rendah (Compagno, 1984;
Last & Steven, 1994; Castro et al., 1999; Stobutzki et al., 2002). Oleh karena itu, perhatian
terhadap kegiatan penangkapan hiu perlu ditingkatkan dan data terkait perikanan hiu di Indonesia perlu cukup tersedia dan selalu diperbarui. Oleh karena itu dilakukan penelitian
ini untuk menganalisis hasil tangkapan (berat dan ekor) ikan hiu per jenis kelamin
berdasarkan daerah pendaratan di Kabupaten Majene Sulawesi Barat.
Metode Penelitian
Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian ini dapat dilihat melalui tampilan gambar peta
berikut.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
127 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Bahan dan Peralatan. Pengukuran berat ikan sampel diukur menggunakan timbangan
dengan satuan terkecil 50 g dan 200 g. Mengenali setiap spesies sampel dengan mengacu
pada Compagno (1998), Ellen (1999), Fahmi dan Dharmani (2013). Spesies ikan sampel
dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Jenis kelamin ditentukan dengan melihat ada tidaknya clasper yang menandakan jenis kelamin jantan. Sangadji (2014) menyatakan
bahwa jenis kelamin pada hiu ditentukan dengan adanya clasper pada hiu jantan yang
merupakan modifikasi sirip perut menjadi clasper yang terbentuk dari tulang rawan untuk
penyaluran sperma ke hiu betina saat kawin. Dalam menentukan daerah penangkapan dilakukan dengan memplotkan seluruh titik koordinat yang dilihat dari setiap GPS (Global
Positioning system) kapal penangkap.
Metode Pengambilan Data. Metode pengambilan data dilakukan dengan survei lapang
di dua tempat pengepul di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat (Gambar 2) pada bulan
September hingga Oktober 2020. Data yang digunakan adalah data primer berupa jumlah
hasil tangkapan ikan hiu per jenis kelamin berdasarkan daerah penangkapan di Perairan
Kabupaten Majene. Penelitian ini menggunakan data primer berupa jumlah hasil tangkapan ikan hiu per jenis kelamin berdasarkan daerah penangkapan ikan hiu yang didaratkan di
Kabupaten Majene. Pengambilan data dilakukan setiap hari ditempat pengepul ikan hiu di
daerah tersebut.
Adapun data yang diambil pada saat pengamatan yaitu : (1) penentuan posisi koordinat home dengan menggunakan GPS (Global Positioning system), (2) mencatat dan
mendokumentasikan proses pengambilan data seperti mengenali setiap jenis spesies ikan
hiu hasil tangkapan nelayan setempat dengan mengacu pada Compagno (1998), Ellen
(1999), Fahmi dan Dharmani (2013), kemudian mengidentifikasi jenis kelamin setiap jenis spesies dengan melihat clasper pada hiu jantan dan menentukan kisaran berat dan berat
rata-rata hasil tangkapan total dari setiap DPI dianalisis dengan ANOVA p<0.05 dengan uji
lanjut Tukey melalui software spss versi 16 (Hartono, 2008), (3) melakukan wawancara
dengan nelayan untuk menentukan daerah penangkapan dengan memplotkan seluruh titik
koordinat dari setiap kapal penangkap yang beroperasi dengan menggunakan software ArcGis 10,5. dan unit alat tangkap yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan hiu
dan (4) studi pustaka dilakukan dengan membaca literatur dan hasil penelitian yang
relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.
Analisis Data. Analisis data yang digunakan yaitu analisis secara deskriptif. Data hasil
tangkapan dianalisis dengan menggunakan uji t dan Anova. Uji t dilakukan untuk
menganalisis jumlah hasil tangkapan per jenis kelamin ikan hiu (jantan dan betina).
Sedangkan Anova untuk menganalisis jumlah hasil tangkapan (berat dan ekor) per jenis kelamin dari setiap daerah penangkapan. Uji t dan Anova akan menggunakan alat bantu
perangkat lunak SPSS versi 16 untuk menghitung variasi jumlah hasil tangkapan ikan hiu
berdasarkan jenis kelamin dan dari setiap daerah penangkapan. Untuk membedakan 2
variabel maka dilakukan uji t dengan menggunakan rumus Separated Varians (Hartono, 2008):
𝒕 = 𝒙𝟏 − 𝒙𝟐
√ 𝒔𝟏𝟐
𝒏𝟏 +𝒔𝟐
𝟐
𝒏𝟐
Dimana : x1 = Rata-rata kelompok 1
x2 = Rata-rata kelompok 2
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
128 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
n1 = Jumlah sampel kelompok 1
n2 = Jumlah sampel kelompok 2
Selanjutnya dilakukan uji anova untuk membedakan lebih dari 2 variabel data dengan rumus sebagai berikut :
𝐅 =𝐒𝐛𝟐
𝐒𝐰𝟐
𝑺𝒃𝟐 =𝒏𝟏(�̅�𝟏 − 𝐱)𝟐 + 𝐧𝟐(�̅�𝟐 − 𝐱)𝟐 + … + 𝐧𝐧(�̅�𝐧 − 𝐱)𝟐
𝒌 − 𝟏
𝒙 = 𝒏𝟏. 𝒙𝟏 + 𝒏𝟐. 𝒙𝟐 + ⋯ + 𝒏𝒏. 𝒙𝒏
𝒌 − 𝟏
𝑺𝒘𝟐 = (𝒏𝟏 − 𝟏)𝑺𝟏
𝟐 + 𝒏𝟐 − 𝟏)𝑺𝟐𝟐 + ⋯ + (𝒏𝒏 − 𝟏)𝑺𝒏
𝟐
𝒏 − 𝒌
Dimana :
Sb = Varian 1
Sw = Varian 2 Sn2 = Varian kelompok
X = Rata-rata gabungan
Xn = Rata-rata kelompok
n = Banyaknya sampel pada kelompok
k = Banyaknya kelompok
Dari analisis data yang dilakukan maka dapat diketahui dan diidentifikasi hasil tangkapan
ikan hiu di lokasi penelitian berdasarkan spesies dan jumlah hasil tangkapan serta variasi
ukuran hasil tangkapan.
Hasil dan Pembahasan
Daerah Penangkapan. Penentuan daerah penangkapan menurut Baskoro dan Suherman
(2007) yaitu penentuan daerah penangkapan ikan oleh nelayan dilakukan berdasarkan
pengalaman mereka mengenai keadaan angin, pasang surut, keadaan bulan dan lain-lain. Dari pengalaman menangkap ikan keadaan laut di lokasi penangkapannya dapat dijadikan
tempat yang tetap untuk mengadakan penangkapan ikan. Untuk mengenal lokasi daerah
penangkapan itu, nelayan mengadakan baringan dengan cara tradisional pula dengan
mengambil puncak gunung yang kelihatan dari lokasi itu, letak pulau, mercusuar, dan sebagainya sebagai patokan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan penangkap hiu diperoleh informasi
bahwa penangkapan dilakukan di wilayah perairan luar Mamuju utara. Daerah
penangkapan hiu disajikan pada Gambar 2.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
129 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 2. Peta Daerah Penangkapan Ikan
Daerah penangkapan ikan oleh nelayan di Kabupaten Majene dengan menggunakan
pancing rawai hanyut permukaan yang berjarak sekitar 151 mil dari tempat tinggal
(pendaratan kapal). Waktu tempuh yang dibutuhkan untuk sampai pada daerah penangkapan ikan sekitar 48 jam perjalanan dengan kecepatan rata-rata kapal sebesar 5
km/jam.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tiga kluster daerah penangkapan yang
ditentukan berdasarkan (GPS) Global Positioning System yang digunakan nahkoda sebagai alat navigasi kapal. Jumlah hasil tangkapan dari ketiga kluster daerah penangkapan yang
diperoleh selama penelitian terdiri dari perairan continental shelf 214 ekor, perairan karang
12 ekor dan perairan oseanik 106 ekor.
Pada DPI perairan continental shelf diperoleh 5 spesies yaitu Carcharhinus brevipinna, Carcharhinus sealei, Carcharhinus dussumieri, Carcharhinus plumbeus dan Galeocerdo
cuvier. Pada dpi perairan karang diperoleh 2 jenis spesies yaitu Carcharhinus
amblyrhynchos dan Triaenodon obesus. Pada dpi perairn oseanik diperoleh hanya satu
spesies yaitu sp Prionace glauca. Jumlah hasil tangkapan (berat dan ekor) berdasarkan
daerah penangkapan masing-masing dapat dilihat pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
130 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 3. Jumlah Hasil Tangkapan (Berat)
Gambar 4. Jumlah Hasil Tangkapan (Ekor)
Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah ekor hasil tangkapan dari setia DPI adalah 214 ekor (64,46%), 12 ekor (3,61%) dan 106 ekor (31,93%) masing-masing untuk dpi
continental shelf, dpi perairan karang dan dpi perairan oseanik. Ukuran berat rata-rata
terbesar pada dpi perairan oseanik dibanding dpi perairan continental shelf dan karang,
sedang dpi perairan continental shelf dan karang tidak berbeda pada p<0,05. Hiu di Indonesia dapat ditemukan di seluruh wilayah perairan, baik itu perairan
teritorial, perairan samudra, perairan ZEE bahkan ada hiu yang ditemukan di air tawar,
seperti sungai dan danau (Wibowo dan Susanto 1995).
Kedalaman rata-rata dimana hiu berada, berkisar antara 70-1000 meter (Taylor dan
Taylor 1995), walaupun ada beberapa hiu yang hidup pada kedalaman lebih dari 1000 meter (Johnson 1990). Kisaran berat dan berat rata-rata hasil tangkapan dapat dilihat pada
Gambar 5.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
131 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 5. Kisaran Berat Dan Berat Rata-Rata Hasil Tangkapan
Hasil penelitian menunjukan bahwa kisaran ukuran berat dan berat rata-rata hasil
tangkapan setiap DPI diperileh 0,6-80,0 kg (13,33±23,5 kg), 0,8-4,4 kg (1,8±1,05 kg)
dan 0,8-61,0 kg (19,09±32,19 kg) masing-masing unyuk dpi perairan continental shelf, dpi perairan karang dan dpi perairan oseanik.
Faktor lingkungan yang dianggap sangat mempengaruhi penyebaran hiu di daerah
tropis adalah kedalaman perairan dan suhu, karena kedua faktor ini dianggap relatif tidak
berubah (Stevens 1989).
Daerah Pendaratan. Dalam pendaratan ikan hiu di Majene banyak dilakukan di pinggir
pantai tempat kapal bersandar. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tiga kluster
tempat pendaratan ikan hiu yang berada di Kabupaten Majene. Ketiga kluster tersebut masing-masing berada di Desa Palipi Soreang, Desa Bonde dan Desa Rea-rea. Hasil
tangkapan berdasarkan daerah pendaratan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Hasil Tangkapan Berdasarkan Daerah Pendaratan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
132 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Ikan hiu yang didaratkan di Kabupaten Majene merupakan hasil tangkapan nelayan
setempat dengan menggunakan rawai hanyut permukaan yang di operasikan di perairan
luar mamuju utara.
Komposisi Hasil Tangkapan. Hasil tangkapan yang diperoleh sebanyak 332 ekor yang
terdiri dari 8 spesies. Kedelapan jenis tersebut adalah Carcharhinus brevipinna (133 ekor),
Carcharhinus amblyrhynchos (2 ekor), Prionace glauca (106 ekor), Triaenodon obesus (10
ekor), Carcharhinus dussumieri (2 ekor), Galeocerdo cuvier (1 ekor), Carcharhinus plumbeus (9 ekor) dan Carcharhinus sealei (69 ekor). Komposisi hasil tangkapan ikan hiu
dari hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Berdasarkan Jumlah Ekor Hasil Tangkapan
Semua data hasil tangkapan didapatkan dari 3 titik lokasi pengepul yang terdiri dari
206 betina dan 126 ekor jantan. Untuk mempertahankan keberlangsungan spesies,
perbandingan hewan jantan dan betina diharapkan seimbang (Candramila & Junardi,
2006). Bal & Rao (1984) dikutip dalam Faizah et al, (2012) menyatakan adanya variasi dalam perbandingan kelamin sering terjadi karena 3 faktorya itu perbedaan tingkah laku
seks, kondisi lingkungan, dan penangkapan.Adapun komposisi berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Berdasarkan Jenis Kelamin Hasil Tangkapan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
133 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Dari 8 spesies yang diperoleh terdapat Carcharhinus brevipinna (2525.95 kg),
Carcharhinus amblyrhynchos (1.8 kg), Prionace glauca (3412.3 kg), Triaenodon obesus
(19.8 kg), Carcharhinus dussumieri (10 kg), Galeocerdo cuvier (62 kg), Carcharhinus
plumbeus (122.2 kg) dan Carcharhinus sealei (133 kg). Komposisi jumlah berat hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Berdasarkan Jumlah Berat Hasil Tangkapan
Selama ini penangkapan terhadap hiu hanya terbatas sebagai hasil sampingan dari
jenis ikan lain yang menjadi tujuan utama penangkapan. Namun ternyata, hasil tangkapan
hiu dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar, yaitu sebesar 29,6%
dalam waktu lima tahun (tahun 1988-1992), atau rata rata naik 6% per tahun (Direktorat jenderal perikanan tangkap 1994). Namun saat ini di kabupaten majene khususnya di Desa
Bonde yang menjadikan penangkapan hiu sebagai hasil tangkapan utama.
Kesimpulan. Hasil penelitian diperoleh 332 ekor terdiri dari 8 spesies didominasi oleh
Carharhinus brevepinna (40,06%). Kisaran ukuran berat dan berat rata-rata hasil tangkapan setiap DPI diperoleh 0,6–80,0 kg dan (13,33±23,5 kg), 0,8–4,4 kg (1,8±1,05
kg), dan 0,8–61,0 kg (19,09±32,19 kg) masing-masing untuk dpi continental shelf, dpi
perairan karang, dan dpi perairan oseanik. Jumlah ekor hasil tangkapan dari setiap DPI
adalah 214 ekor (64,46%), 12 ekor (3,61%), dan 106 ekor (31,93%) masing-masing untuk
dpi continental shelf, dpi perairan karang, dan dpi perairan oseanik. Ukuran berat rata-rata terbesar pada dpi perairan oseanik dibanding dpi perairan continental shelf dan karang,
sedang dpi perairan continental shelf dan karang tidak berbeda.
Ucapan Terima Kasih. Artikel ini merupakan tugas akhir kami sebagai mahasiswa
di Prodi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Departemen Perikanan FIKP Unhas. Penulis
sebagai mahasiswa yang bertugas sebagai enumerator dalam riset Hibah Penelitian Dasar
Unhas mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
pimpinan Universitas Hasanuddin Makassar dan pimpinan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian pada Masyarakat (LP2M) Unhas. Penelitian ini didanai dalam Hibah Penelitian Dasar Unhas (PDU) dengan nomor kontrak No.1585/UN4.22/PT.01.03/2020 tanggal 27
Mei 2020.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
134 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Daftar Pustaka
Baskoro, M.S. dan Suherman, A.. 2007. Teknologi Penangkapan Ikan dengan Cahaya.
Universitas Diponegoro. Semarang.
BPS, 2014. Kabupaten Majene dalam angka 2014. Provinsi Sulawesi Barat. Castro, J.I., Woodley, C.M., Brudek, R.L. (1999). A preliminary evaluation of the status of
shark species (p. 72). FAO. Fisheries Technical Paper No.380. Rome: Food and
Agricultural Organization
Compagno, L.J.V. 1984. FAO species catalogue. Sharks of the world. An annotated and illustrated catalogue of shark species known to date. FAO Fish. Synop. Rome. 4: 125p
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Majene, 2011. Provinsi Sulawesi Barat.
Direktorat Jendral Perikanan. 1994. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 1994. Jakarta.
Fahmi & Dharmadi. 2013. Tinjauan status perikanan hiu dan upaya konservasinya di
Indonesia. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Jakarta. 179p.
Fahmi & Dharmani, 2013. Pengenalan jenis-jenis hiu di Indonesia. ISBN 978-602-7913-
10-3
Galluccci, V.F., I.G. Taylor,. K. Erzini. 2006. Conservation and management of exploited shark populations based in reproductive value. Can J Fish Aquat Sci. 63: 931-942p.
Johnson, R.H. 1990. Ed. Bernard Salvant. Shark of Trofical and Temperature Seas. Les
Last, P.R. & J.D. Stevens. 1994. Sharks and rays of Australia. Fisheries Research and
Development Corporation. 513p. Musick, J.A., G. Burgess, G. Cailliet, M. Camhi & S. Fordham. 2000. Management of sharks
and their relatives (Elasmobranchii). Fisheries. 25: 9-13p.
Sangadji, I. M. 2014. Panduan & Logbook Survei Monitoring Hiu. Kementerian Kelautan
dan Perikanan. Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL), Denpasar. Stevens, J.D. 1989. Sharks. Australia. Weldon Owen Pty, Ltd.
Stobutzki, I.C., Miller, M.J., Heales, D.S., Brewer, D.T. (2002). Sustainability of
elasmobranchs caught as bycatch in a tropical prawn (shrimp) trawl ûshery. Fish.
Bull.,100, 800 – 821p.
Taylor, R. And Valerie Taylor. 1995. Shark Silent Hunters of The Deep. New York, United Sates. Readers Digest.
Wibowo, S. & H. Susanto. (1995). Sumberdaya dan Pemanfaatan Hiu. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Wibowo, S. Dan Heru Susanto. 1995. Sumberdaya dan Pemanfaatan Hiu. Jakarta. Penebar Swadaya. 156p.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
135 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pengaruh Fase Bulan Terhadap Hasil Tangkapan Jaring Insang Hanyut (Drifting Gill Nets ) di Perairan Desa Bungabali Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur Efrin A. Dollu1*, Yulianto Tell2 dan Sepriyanti Peringkala3
1,2,3Program Studi Perikanan Fakultas Pertanian dan Perikanan,
Universitas Tribuana Kalabahi
Jl. Soekarno – Tang Eng Batunirwala, Kode Pos 85811. Indonesia (Email : [email protected] ; [email protected] ;[email protected])
Abstrak - Cahaya merupakan suatu ransangan yang berasal dari luar tubuh ikan yang berpengaruh
terhadap tingkah laku dan aktifitas ikan. Pengaruh fase bulan di langit merupakan salah satu faktor yang berhubungan erat dengan tingkah laku ikan, salah satu di antaranya adalah ketertarikan ikan
terhadap cahaya. Kecerahan cahaya bulan juga akan mempengaruhi efesiensi penangkapan. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh fase bulan terhadap hasil tangkapan jaring insang (gill net) hanyut di perairan Desa Bungabali Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Analisis data yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan dilanjutkan dengan uji BNT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Fase bulan sangat mempengaruhi hasil tangkapan dengan
menggunakan alat tangkap Jaring Insang Hanyut. Pada Fase bulan Purnama dan semi terang kedua
memiliki hasil tangkapan yang berbeda dengan fase bulan sabit dan fase semi terang pertama. Kata Kunci : Jaring Insang Hanyut, Fase Bulan, Komposisi Hasil Tangkapan
Abstract - Light is a stimulus that comes from outside the fish's body which affects the behavior and
activities of the fish. The influence of the phases of the moon in the sky is one of the factors that is
closely related to the behavior of fish, one of which is the fish's attraction to light. The Moonlight brightness will also affect the efficiency of the capture. The aims on this study was to determine the
effect of the moon phase on the catch of gill nets drifting in the waters of Bungabali Village, Alor Regency, East Nusa Tenggara. The data analysis used was a randomized block design (RBD) and LSD
test. The results showed that the moon phase greatly affected the catch using the Hanyut Gills Net
fishing gear. The second full moon and semi-light phases have different catches with the crescent moon phase and the first semi-bright phase.
Keywords: Drifting Gill Nets, Moon Phase, Catch Composition
Pendahuluan. Desa Bungabali adalah salah satu Desa yang berada pada Kabupaten
Alor, dimana merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumber daya perikanan.
Potensi perikanan yang cukup besar menjadikan Desa Bungabali sebagai salah satu
perairan penghasil ikan di Kabupaten Alor. Alat tangkap yang paling banyak digunakan
oleh nelayan setempat adalah Jaring Insang (Gill net) hanyut. Jaring insang (gill net) adalah salah satu jenis alat tangkap ikan dari bahan jaring yang berbentuk empat persegi
panjang dimana ukuran mata jaring (mesh size) sama, jumlah mata jaring ke arah
horizontal (meshlength) jauh lebih banyak dari jumlah mata jaring ke arah vertikal
(meshdepth) (Matasuganda, 2002). Berhasilnya usaha penangkapan ikan tergantung pada pengetahuan yang cukup mengenai tingkah laku ikan, baik itu secara individu maupun
secara keseluruhan, pengetahuan tentang tingkah laku ikan merupakan kunci perbaikan-
perbaikan terhadap metode yang ada serta penemuan metode yang baru. Tingkah laku
ikan adalah reaksi dari ikan terhadap semua ransangan yang bekerja, baik itu rangsangan
dari luar maupun dari dalam tubuhnya (Syahdan, 2013). Cahaya merupakan suatu ransangan yang berasal dari luar tubuh ikan yang berpengaruh terhadap tingkah laku dan
aktifitas ikan. Pengaruh fase bulan di langit merupakan salah satu faktor yang berhubungan
erat dengan tingkah laku ikan, di mana salah satu di antaranya adalah ketertarikan ikan
terhadap cahaya. Kecerahan cahaya bulan juga akan mempengaruhi efesiensi penangkapan (Syam & Satria, 2017).
Nilai produksi perikanan laut sering mengalami ketidakstabilan bahkan cenderung
menurun, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor oseonografi, cuaca,
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
136 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
iklim, dan periode fase bulan. Periode hari bulan merupakan salah satu indikasi dalam
menentukan waktu melaut bagi nelayan. Menurut Jatmiko (2015), faktor periode hari bulan
secara tidak langsung berpengaruh pada keberadaan ikan, sehingga nelayan perlu
mengetahui perubahan setiap periode hari bulan tersebut. Perubahan periode hari bulan dapat mengindikasi waktu yang baik dalam kegiatan operasi penangkapan karena adanya
perbedaan intensitas cahaya pada setiap periode hari bulan dan mempengaruhi ikan yang
memiliki sifat fototaksis positif maupun negatif terhadap cahaya sehingga perbedaan
intensitas akan berpengaruh terhadap volume hasil tangkapan ketika nelayan melakukan operasi penangkapan. Penelitian mengenai pengaruh umur bulan sudah pernah dilakukan
diantaranya: Radiyah (2001) yang mengatakan, perbedaan hasil tangkapan pada masing-
masing periode bulan (walaupun tidak signifikan), diduga disebabkan oleh perbedaan
intensitas cahaya yang diterima diperairan sesuai peredaran bulan. Menurut Karman, Muksin, dan Edi Wan (2010) bahwa periode umur bulan memberikan pengaruh terhadap
hasil tangkapan bagan perahu. Dengan merujuk pada beberapa temuan penelitian ini,
mkaa penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh Fase bulan
terhadap hasil tangkapan jaring insang (Gill net) hanyut di perairan Desa Bungabali
Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Metode Penelitian.
Bahan dan Peralatan. Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
4 unit alat tangkap Jaring Insang (Gill net) yang dioperasikan secara bersamaan, hasil tangkapan, kamera, dan alat tulis menulis.
Analisis Data. Analisis Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah komposisi hasil
tangkapan dari jumlah hasil tangkapan yang diperoleh pada setiap jenis alat tangkap yang digunakan. Komposisi hasil tangkapan meliputi jumlah dan jenis, Data hasil perhitungan
per ekor dan jenis ikan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Perhitungan untuk
produksi ikan selama pengambilan data dilakukan dengan rumus (Dollu, 2013):
pi = 𝐧𝐢
𝐍 x 100%
Keterangan : Pi = kelimpahan relatif hasil tangkapan (%)
ni = jumlah hasil tangkapan spesies (ekor)
N = jumlah hasil tangkapan (ekor)
Analisis Statistik yang digunakan adalah RAL dimana untuk mengetahui perbedaan
hasil tangkapan, komposisi, dan pengaruh periode fase bulan. Masing-masing perlakuan
(fase bulan) dilakukan penangkapan sebanyak 3 kali ulangan sehingga diperoleh 12 data
pengamatan dalam satu bulan. Data perlakuan penangkapan dapat dilihat pada Tabel
Tabel 1. Perlakuan Penangkapan
Perlakuan Ulangan
I II III
A (Sabit) A1 A2 A3
B (Semi Terang Pertama) B1 B2 B3
C (Purnama) C1 C2 C3 D (Semi Terang Kedua) D1 D2 D3
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
137 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis menggunakan analisis Ovariance
(ANOVA), dengan Hipotesis yang diuji untuk metode tetap adalah H0 : ai = 0 (tidak ada
pengaruh faktor fase bulan yang diujicobakan) dan H1 : ai = 0 (ada pengaruh faktor fase
bulan yang diujicobakan). Selain itu, Kaidah keputusannya adalah jika Fhitung > F tabel atau P value, dengan a = 5% yaitu apabila F hitung > dari F tabel, maka tolak Ho dan
jika F hitung < F tabel, maka gagal tolak Ho. Apabila hasil analisis memperoleh keputusan
tolak Ho maka untuk mengetahui perlakuan yang memberikan nilai perbedaan terhadap
jumlah ikan yang tertangkap maka diperlukan uji lanjut BNT atau uji LSD (Least Sgnificant Difference = LSD). Uji BNT digunakan untuk menentukan suatu rata-rata
apakah perlakuan yang di berikan berbeda secara statistik atau tidak.
Hasil dan Pembahasan Hasil Tangkapan. Hasil tangkapan jaring insang hanyut (Drifting Gill Nets) yang
diperoleh selama 1 bulan penelitian menggunakan 4 unit alat tangkap dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Data hasil tangkapan
Jenis Ikan Nama Latin Jumlah (Ekor)
Layang Decapterus ruselli 4086
Pisang -pisang Pterocaesio tile 300
Kakap Ratu Etelis Oculatus 5
Jumlah 4391
Tabel 2 menujukkan bahwa terdapat 3 (tiga) jenis ikan yang tertangkap dalam Jaring
Insang (Gill net), yaitu ikan Layang (Decapterus ruselli), Pisang -pisang (Pterocaesio tile) dan Kakap Ratu (Etelis Oculatus). Ikan Layang (Decapterus ruselli) merupakan ikan dengan
hasil tangkapan paling banyak yaitu sebesar 4086 ekor. Hasil tangkapan menurut
perlakuan fase bulan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Data Hasil Tangkapan Berdasarkan Fase Bulan
Perlakuan Ulangan
Total Rata-
rata I II III
A (Sabit) 656 700 300 1656 552
B (Semi Terang Pertama) 100 90 100 290 96,66
C (Purnama) 65 45 35 145 48,33
D (Semi Terang Kedua) 400 900 1000 2300 766,66 Jumlah 1221 1735 1435 4391 1463,65
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa total produksi hasil tangkapan ikan
berdasarkan perlakuan (fase bulan) yaitu sebanyak 4.391 ekor dengan nilai rata-rata
1463,65. Komposisi hasil tangkapan berdasarkan fase bulan dapat dilihat pada
Gambar 2.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
138 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 2. Komposisi Hasil Tangkapan Per Fase: (a). Bulan Sabit, (b) Semi Terang
Pertama, (c) Bulan Purnama dan (d) Semi Terang Kedua
Gambar 2 mejelaskan bahwa variasi hasil tangkapan terjadi pada fase bulan sabit dengan munculnya 3 jenis ikan hasil tangkapan yaitu ikan Layang sebanyak 1351 ekor
(82%), Lamoru sebanyak 300 ekor (18%) dan ikan Kakap Ratu sebanyak 5 ekor (0,17%).
Pada fase Semi Terang Pertama, Bulan Purnama dan Semi Terang Kedua hasil tangkapan
didominasi oleh ikan Layang. Pada Fase bulan sabit munculnya ikan demersal (Lamoru dan Ikan Kakap Ratu) yang
ditangkap disebabkan oleh tingkah laku ikan dalam menyenangi cahaya (fototaksis positif)
maupun oleh tingkah laku ikan dalam mencari makan (Muhammad Sulaiman et al, 2006).
Selain itu pengoperasian Jaring insang (Gill net) hanyut oleh nelayan setempat biasanya
dilakukan pada kedalaman 5 m, dimana daerah tersebut mempunyai kondisi karang yang baik dan subur, sehingga hal tersebut menyebabkan beberapa jenis ikan demersal yang
ikut tertangkap dalam jaring insang (Gill net) hanyut.
Dominasi ikan Layang (Decapterus ruselli) dalam hasil tangkapan diperkirakan
berkaitan erat dengan karakteristik ikan tersebut yaitu hidup bergerombol di perairan lepas pantai dengan kadar garam tinggi dan menyenangi perairan jernih. Ikan Layang
(Decapterus ruselli) tergolong ke dalam ikan laut yang menyukai daerah laut dangkal serta
tersebar di seluruh perairan Indonesia dengan habitatnya di seluruh perairan pantai,
panjang ikan ini bisa mencapai 15-30 cm (Syahdan, 2013). Ikan Layang cenderung berenang mendekati permukaan air pada waktu malam hari dan pada siang hari turun ke
lapisan yang lebih dalam. Gerakan vertikal ini dipengaruhi oleh gerakan harian plankton
dan mengikuti perubahan suhu, faktor hidrografis, dan salinitas (Sangaji et al., 2016)
Uji Statistik. Perhitungan sidik ragam (Anova) dilakukan untuk melihat pengaruh fase
bulan terhadap hasil tangkapan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis Sidik Ragam (Anova)
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadran
Kuadran
Tengah F Hitung
F Tabel
0,05 0,01
Perlakuan 3 1105746,917 368582,306 9,718 3,84 7,01
Galat 8 303424 37928
Total 11 1409170,917
Lamoru18%
Kakap Ratu0%
Layang82%
Layang100%
(a) (b)
Layang100%
Layang100%
(c) (d)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
139 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Berdasarkan Tabel sidik ragam menujukkan bahwa Jumlah Kuadran Total (JKT) hasil
tangkapan gillnet adalah 1409170,917. Diketahui F Hitung sebesar 9,718 sedangkan F
Tabel 3, 84. Hasil ini menunjukkan bahwa Fase bulan memberikan pengaruh yang sangat
signifikan terhadap hasil tangkapan ikan. Perbedaan hasil tangkapan dipengaruhi oleh kondisi perairan dan pasang surutnya air laut (Mambrasar et al., 2014). Berdasarkan hasil
perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa F Hitung > dari F Tabel maka dengan sendirinya
H0 di tolak dan H1diterima atau hasil uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh fase bulan
terhadap hasil tangkapan, maka diperlukan uji lanjut menggunakan uji BNT. Uji BNT dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Uji Lanjut BNT
(I)
Perlakuan (J) Perlakuan
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
LSD Sabit Semi Terang Pertama
455,33* 159,014 ,021
Purnama 503,67* 159,014 ,013
Semi Terang
Kedua -214,67 159,014 ,214
Semi Terang
Pertama
Sabit -455,33* 159,014 ,021
Purnama 48,33 159,014 ,769
Semi Terang Kedua
-670,00* 159,014 ,003
Purnama Sabit -503,67* 159,014 ,013
Semi Terang
Pertama -48,33 159,014 ,769
Semi Terang
Kedua -718,33* 159,014 ,002
Semi Terang
Kedua
Sabit 214,67 159,014 ,214
Semi Terang
Pertama 670,00* 159,014 ,003
Hasil perhitungan uji lanjut menunjukkan bahwa nilai signifikan antara fase bulan
sabit dengan semi terang pertama dan fase bulan sabit dengan purnama yaitu 0,021 <
0,05 dan 0.13 < 0.05, dapat simpulkan bahwa hasil tangkapan kedua fase signifikan. Pada fase bulan sabit dan semi terang kedua menunjukkan nilai signifikan yaitu 0,214 >
0.05 dapat disimpulkan bahwa hasil tangkapan ikan pada fase bulan sabit dan semi
terang kedua adalah sama sehingga perbedaan rata-rata hasil tangkapan secara
deskriptif antara kedua fase bulan tersebut tidak signifikan. Nilai signifikan antara fase bulan semi terang pertama dengan fase bulan sabit dan
semi terang pertama dengan semi terang kedua yaitu 0.021 < 0,05 dan 0,003 < 0.05,
dapat disimpulkan bahwa hasil tangkapan kedua fase signifikan. Pada fase semi terang
pertama dengan fase Purnama menunjukkan nilai signifikan yaitu 0.769 > 0.05 maka dapat disimpulkan bahwa hasil tangkapan ikan pada fase bulan semi terang pertama dan
fase bulan purnama adalah sama sehingga perbedaan rata-rata hasil tangkapan secara
deskriptif antara kedua fase bulan tersebut tidak signifikan.
Nilai signifikan antara fase bulan Purnama dengan fase bulan sabit dan bulan Purnama dengan semi terang kedua yaitu 0.013 < 0,05 dan 0,002 < 0.05, dapat
disimpulkan bahwa hasil tangkapan kedua fase signifikan. Pada fase bulan Purnama
dengan fase semi terang pertama menunjukkan nilai signifikan yaitu 0.769 > 0.05 maka
dapat disimpulkan bahwa hasil tangkapan ikan pada fase bulan semi terang pertama dan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
140 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
fase bulan purnama adalah sama sehingga perbedaan rata-rata hasil tangkapan secara
deskriptif antara kedua fase bulan tersebut tidak signifikan
Nilai signifikan antara fase bulan semi terang kedua dengan Purnama dan semi
terang kedua dengan semi terang pertama yaitu 0.002 < 0,05 dan 0,003 < 0.05, dapat disimpulkan bahwa hasil tangkapan kedua fase signifikan. Pada fase semi terang kedua
dengan fase bulan sabit menunjukkan nilai signifikan yaitu 0.214 > 0.05 maka dapat
disimpulkan bahwa hasil tangkapan ikan pada fase bulan semi terang pertama dan fase
bulan purnama adalah sama sehingga perbedaan rata-rata hasil tangkapan secara deskriptif antara kedua fase bulan tersebut tidak signifikan.
Fase bulan purnama dan semi terang kedua nilai signifikannya dibawah dari 0,05
penyebabnya adalah kondisi cahaya bulan menyebar secara luas diperairan, hal ini
diperkuat dengan data kemunculan bulan selama bulan Purnama yang mencapai 8-12 jam per hari. Selain itu, kondisi purnama juga akan mengakibatkan pasang surut yang tinggi.
Pasang yang terjadi pada saat bulan purnama biasanya disebut dengan pasang purnama
dimana pada saat pasang purnama, air laut naik dengan tinggi yang optimum dibandingkan
hari-hari sebelum dan setelah purnama (Permana et al., 2017). Perbedaan keragaman
hasil tangkapan dikarenakan pada saat bulan Purnama terjadi pasang naik yang sangat tinggi dan pasang surut yang sangat rendah, akibatnya terjadilah gaya gravitasi dimana
bulan menarik air laut lebih kuat dari pada bumi sehingga air laut menggembung dan
mengakibatkan kurang efektifnya kegiatan penangkapan karena pembiasan cahaya kurang
sempurna. Kondisi pasang surut air laut juga mempengaruhi hasil tangkapan selama penelitian (Ditsen Pangauan, et al 2020).
Posisi bulan terhadap bumi menimbulkan pengaruh berupa pasang surut permukaan
air laut dan pencahayaan alami di laut yang mengakibatkan adanya dinamika alami
perilaku binatang laut sehingga keragaman spesies hasil tangkapan dipengaruhi oleh periode bulan (Supardjo S, 2013).
Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Fase bulan sangat
mempengaruhi hasil tangkapan dengan menggunakan alat tangkap Jaring Insang Hanyut. Pada Fase bulan Purnama dan semi terang kedua memiliki hasil tangkapan yang berbeda
dengan fase bulan sabit dan fase semi terang pertama.
Daftar Pustaka Ditsen Pangauan, Lefrand Manoppo, Mariana E. Kayadoe, dan Lusia Manu, Pengaruh umur
bulan terhadap hasil tangkapan dengan jaring insang hanyut (Soma Landra) (Effect of
moon phase on catches of drift gill net (Soma Landra)). (2020). JURNAL ILMU DAN
TEKNOLOGI PERIKANAN TANGKAP. https://doi.org/10.35800/jitpt.5.1.2020.27449 Mambrasar, A., Labaro, I. L., & Sompie, M. S. (2014). Perbandingan fase umur bulan
terhadap hasil tangkapan sero di perairan Teluk Amurang Provinsi Sulawesi Utara.
Jurnal Ilmu Dan Teknologi Perikanan Tangkap.
https://doi.org/10.35800/jitpt.1.0.2014.6083 Permana, A., Wahju, R. I., & Soeboer, D. A. (2017). Pengaruh Fase Bulan Terhadap Hasil
Tangkapan Lobster (Panulirus Homarus) Di Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi.
Jurnal Teknologi Perikanan Dan Kelautan. https://doi.org/10.24319/jtpk.7.137-144
Sangaji, M. B., Tangke, U., & Namsa, D. (2016). Potensi dan tingkat pemanfaatan ikan
layang (Decapterus sp) di perairan Pulau Ternate. Agrikan: Jurnal Ilmiah Agribisnis Dan Perikanan. https://doi.org/10.29239/j.agrikan.9.2.1-10
Studi Tingkah Laku Ikan pada Proses Penangkapan dengan Alat Bantu Cahaya : Suatu
Pendekatan Akustik. (2006). Studi Tingkah Laku Ikan Pada Proses Penangkapan
Dengan Alat Bantu Cahaya : Suatu Pendekatan Akustik.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
141 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
https://doi.org/10.14710/ik.ijms.11.1.31-36
Supardjo S, D. D. (2013). Composition of Fish Capture Using Gill Nets on Various Net
Shortening in Sermo Reservoir. Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.).
Syahdan, M. (2013). Kajian Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Gill Net. Perikanan Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru.
Syam, A. R., & Satria, H. (2017). Adaptasi Fisiologis Retinamata dan Tingkah Laku Ikan
Terhadap Cahaya. Bawal widya riset perikanan tangkap.
Https://doi.org/10.15578/bawal.2.5.2009.215-224
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
142 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Peranan Umpan Hidup Jenis Tembang (Sardinella fimbriata) dan Layang (Decapterus ruselli) pada Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) dengan Pole And Line di Larantuka, Flores Timur, Nusa
Tenggara Timur Sugiono
Politeknik Kelautan dan Perikanan Kupang
(Email : [email protected])
Abstrak - Umpan hidup merupakan istilah untuk umpan yang dalam kedaan hidup dan digunakan
untuk menangkap Cakalang (Katsuwonus pelamis) menggunakan alat tangkap jenis Pole and Line (Huhate). Cakalang termasuk jenis ikan perenang cepat dengan salah satu ciri khas sebagai pemangsa
yang rakus, dan dikenal sebagai ikan migrasi (migratory fish) dengan daerah penyebaran yang sangat luas meliputi daerah tropis dan sub tropis diantaranya di Perairan Laut Flores. Dikenal sebagai ikan
yang membentuk gerombolan dan perenang cepat dan melawan arus serta mencari makan
berdasarkan penglihatan. Cakalang sangat menyukai mangsanya yang masih dalam keadaan hidup, dan usaha penangkapan cakalang sangat bergantung dengan penyediaan umpan hidup. Umpan hidup
yang sering digunakan dalam operasi penangkapan cakalang ini antara lain Lure (Stolephorus indicus), Rambeng (Stolephorus devisi), Tembang (Sardinella fimbriata) dan Layang (Decapterus ruselli) Umpan
hidup dapat diperoleh dari nelayan bagan apung dan tancap di sekitar Teluk Flores. Dalam Penelitian
pengamatan yang dilakukan terhadap 2(dua) jenis umpan hidup yakni Tembang (Sardinella fimbriata) dan Layang (Decapterus ruselli) yang digunakan, menunjukkan bahwa tidak terdapat pebedaan
signifikan dari sisi daya tariknya bagi cakalang, tetapi jumlah besaran umpan yang digunakan saat operasi penangkapan sangat erat kaitannya dengan perolehan hasil tangkapan Cakalang.
Abstract - Live bait is the term for live bait and is used to catch Skipjack (Katsuwonus pelamis) using Pole and Line (Huhate) fishing gear. Skipjack tuna is a type of fast swimming fish with one characteristic
of being a voracious predator, and is known as a fish (migratory fish) with a very wide distribution area
including tropical and sub-tropical areas, including in the Flores Sea. Known as fish that form swarms and are fast swimmers and fight the current and forage by sight. Skipjack tuna really like their prey
that is still alive, and the business of catching skipjack tuna is very dependent on live bait. Live bait that is often used in skipjack fishing operations includes Lure (Stolephorus indicus), Rambeng
(Stolephorus devisi), Tembang (Sardinella fimbriata) and Layang (Decapterus ruselli) Live bait can be
obtained from floating chart fishermen and sticking around the Gulf of Flores. In the research, observations conducted on 2 (two) types of live bait namely Tembang (Sardinella fimbriata) and Layang
(Decapterus ruselli) were used, showing that there was no significant difference in terms of their attractiveness to skipjack tuna, but the amount of bait used during fishing operations was very high.
closely related to the acquisition of the catch.
Pendahuluan. Usaha Penangkapan ikan di Indonesia sangat beragam dalam hal
teknis, baik kapal dan mesin penggeraknya maupun alat tangkap Ikan, mesin bantu
penangkap ikan, dan metode penangkapan serta penanganan hasilnya. Salah satu alat
tangkap yang banyak digunakan adalah jenis pancing khususnya alat tangkap pole and
line, alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang ini sangat potensial dan produktif, dan berkembang cukup pesat di wilayah Timur Indonesia (Bambang
winarso, 2004). Alat tangkap pole and line adalah salah satu alat untuk menangkap jenis
cakalang, dengan umpan ikan hidup sebagai sarana bantu penarik dan pemikat makan
pada cakalang. Sedangkan tenaga pemancing yang diperlukan dalam mengoperasikan alat
tangkap pole line cukup banyak dan tergantung ukuran kapal, hal ini guna mendukung efektifitas penggunaan umpan hidup yang digunakan dalam operasi penangkapan. Umpan
hidup yang sering digunakan dalam operasi penangkapan cakalang ini antara lain Lure
(Stolephorus indicus), Rambeng (Stolephorus devisi), Tembang (Sardinella fimbriata) dan
Layang (Decapterus ruselli) Umpan hidup dapat diperoleh dari nelayan bagan apung dan tancap di sekitar Teluk Flores. Sedangkan perbandingan jenis umpan yang akan digunakan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
143 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
dalam operasi penangkapan dengan Huhate, dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam
rasio antara hasil tangkapan ikan cakalang yang diperoleh dengan jumlah penebaran
umpan hidup saat operasi penangkapan. Hal tersebut dilihat menurut beberapa
pendekatan, baik pendekatan jenis umpan yang digunakan, pendekatan rerata hasil tangkapan tiap operasi penangkapan serta pendekatan melalui rasio pada jam
pemancingan.
Kabupaten Flores Timur , daerah yang terletak di bagian ujung timur dari Pulau Flores
dengan ibukota terletak di Larantuka. posisi koordinatnya 8° 3' 36" sampai 8° 38' 24" Lintang Selatan dan 122° 39' 0" sampai 123° 20' " Bujur Timur. Sebelah Utara Flores Timur
dengan laut Flores, sebelah Timur adalah Kabupaten Lembata, sebelah Selatan Laut Sawu,
dan sebelah Barat dengan Kabupaten Sikka. Kabupaten Flores Timur juga memiliki Luas
wilayah 5.983,38 km, terdiri dari luas daratan 1.812,85 km atau 31% luas wilayah, yang tersebar pada 3 pulau besar dan 27 pulau kecil dengan luas lautan 4.170,53 km atau 69%
luas wilayah. Secara administrasi Kabupaten Flores Timur terdiri dari 19 Kecamatan dan
229 Desa dan 21 Kelurahan. Di daratan Flores Timur terdapat 8 (delapan) Kecamatan. Maksud dan tujuan penelitian ini untuk mencari perbedaan penggunaan dua jenis
umpan hidup untuk penangkapan cakalang dengan alat tangkap Pole and Line khususnya di Perairan Laut Larantuka, Flores Timur. Terutama penggunaan jenis ikan Tembang
(Sardinella fimbriata) dan ikan Layang (Decaperus ruselli) sebagai umpan hidup, diantara
jenis umpan hidup yang lain yang digunakan di Floes Timur. Selanjutnya menghitung Ratio
jumlah umpan hidup yang digunakan dibandingkan dengan jumlah perolehan hasil tangkapan cakalang dan Ikan sirip kuning, sekaligus Ratio jumlah biaya penyediaan umpan
dengan nilai jual perolehan hasil tangapan yang didapatkan.
Metode Penelitian Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan pada lokasi fishing ground Perairan Flores
Timur dengan fishing base di Desa Murante, Kecamatan Suli, Kabu- paten Luwu, dengan
fising base di TPI Larantuka, sedangkan Fishing Ground di beberapa lokasi Rumpon, di
Perairan Tanjung Bunga -8°2´54,08˝LS-122°51´57,97˝BT, Perairan Sabu-10°16´36,26˝LS-122°2´56,22˝BT dan Perairan Paga -8°47´42,60˝LS-122°4´6,50˝BT.
Perlaksanaan penelitian pada Bulan Nopember 2019 sampai dengan 6 Mei 2020.
Metode Pengumpulan Data. Metode yang digunakan untuk kegiatan penelitian ini adalah metode studi kasus pada satu unit pole and line. Penentuan satu unit kapal pole and line
di lakukan secara sengaja karena pole and line di kabupaten Flores Timur memiliki ukuran
kapal relatif sama. Data yang di kumpulkan adalah data primer dan sekunder.
Pengumpulan Data Primer. Data primer di peroleh melalui observasi langsung dengan mengikuti operasi penangkapan pada satu unit pole and line di Kabupaten Flores Timur
sebanyak 5 (lima) trip atau 52 kali operasi penangkapan. Adapun prosedur pengumpulan
data secara primer meliputi (1) Data jumlah umpan ikan hidup yang di gunakan selama
pemancingan setiap satu kali operasi penangkapan yang di hitung dengan satuan ember, (2) menentukan berapa lama waktu pemancingan di hitung pada saat boy-boy mulai
menurunkan umpan hidup hingga selesainya waktu pemancingan di tandai dengan
berhentinya kegiatan pemancingan, di hitung mengunakan stopwatch. Waktu
pemancingan di kategorikan menjadi dua yaitu pagi hari sampai siang hari dan siang hari sampai sore hari dan (3) melakukan wawancara dengan nelayan untuk melengkapi data
yang diinginkan.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
144 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pengumpulan Data Sekunder. Data sekunder diperoleh dari studi literatur sebagai
penunjang penelitian untuk menunjuk- kan keabsahan suatu penelitian, dan mengetahui
jenis ikan yang tertangkap dengan men- cocokkan beberapa literatur digunakan antara
lain (Allen, 1999).
Hasil dan Pembahasan
Kontruksi Kapal. Kapal yang digunakan dalam penelitian adalah KMN INKA MINA 911.
Kontruksi kapal pole and line yang digunakan sama dengan kontruksi kapal pole and line pada umumnya yaitu terdiri dari ruang kemudi kapal, ruang mesin, ruang tempat tidur
ABK, palka umpan hidup dengan sistem sirkulasi air yang baik memiliki 24 lubang yang
terdiri dari 12 lubang samping atas dan 12 lubang bawah, ruang dapur, palka untuk
menyimpan hasil tangkapan, palka untuk menyimpan es balok, dan palka untuk menyimpan tali jangkar dan palka menyimpan air tawar. KMN. INKA MINA 911 memiliki
data kapal sebagai berikut :
Tabel 1. Data Kapal
Data Keterangan
Nama Kapal KMN. INKA MINA 911
Nama Pemilik Elly M. A. Molle
Nama Nahkoda Simon Beda Botoor
Jenis Kapal Penangkapan Ikan Tanda Selar GT.30.No.405/OOk
Temapat dan Tahun Pembuatan Kupang, 21 April 2014
Panjang Keseluruhan 20,03 Meter
Lebar Kapal 4,56 Meter Dalam kapal 1,80 Meter
Isi Kotor 30 NT
Isi Bersih 9 NT
Bahan Kontruksi Kapal Fiberglass
Gambar 1. Kontruksi Kapal INKA MINA 911
KMN. INKA MINA 911 mempunyai awak kapal dengan jumlah 16 orang. Berikut adalah
struktur susunan organisasi pada KMN. INKA MINA 911: Nahkoda (Simon Beda Botoor), KKM (Sardak Tosi), Boy-boy (Roy Rocky Adrian Kuera) Koki (Tadius Benu dan Dominikus
Lamablawa) dan ABK (Teodorus, Antonius, Nurdi, Tarsisius, Ribon, Ignasius, Bonis,
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
145 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Yoseph Dedi, Klemens, Riski dan Anjar). Selain itu, KMN. INKA MINA 911 memiliki suatu
unit mesin yang menghasilkan suatu tenaga penggerak sebagai mesin induk. Berikut data
mesin KMN. INKA MINA 911.
Tabel 2. Data Kapal
Jenis Mesin Mesin diesel
Merk Yuchai, YC6A170C
Jumlah Slinder 6 Tahun pembuatan 2014
Kekuatan Mesin 125 KW
Jenis bahan bakar Solar
Kapasitas tangki bahan bakar 500 liter Nomor seri mesin -
Pengoperasian Alat Tangkap Pole and Line
Tahapan Persiapan Penangkapan Ikan. Tahapan ini terdiri dari (1) persiapan alat
tangkap, (2) persiapan kapal, meliputi BBM, persiapan mesin, persiapan semprotan air
untuk operasi penangkapan, persiapan dokumen kapal, SIUP, SIPI dan SIDN, (3) persiapan
perbekalan meliputi pemuatan es balok, pengisian air tawar, pemuatan BBM dan pemuatan
bahan perbekalan bahan makanan, (4) persiapan tenaga kerja, (5) persiapan umpan hidup
yaitu dilakukan pada malam hari atau pagi hari, yang di peroleh dari hasil tangkapan alat
tangkap jaring. Jenis umpan yang digunakan adalah ikan Tembang dan ikan Layang, (6)
aerah penangkapan yaitu lokasi atau tujuan penangkapan, Gerombolan Ikan dan terkait
lainnya. Daerah penangkapan yang menjadi tujuan operasi penangkapan adalah
pemasangan rumpon, yang berfungsi untuk mengumpulkan gerombolan ikan yakni; di
Perairan Tanjung Bunga -8°2´54,08˝LS-122°51´57,97˝BT, Perairan Sabu-
10°16´36,26˝LS-122°2´56,22˝BT dan Perairan Paga -8°47´42,60˝LS-122°4´6,50˝BT
(7) pengoperasian, yaitu dilakukan sebagai prsedure dan cara-cara yang biasa dilakukan
nelayan pole and line pada ummnya, antara lain mencari umpan di nelayan pemasok di
bagan-bagan dan nelayan alat Lampara. Selanjutnya menuju Fishing Ground, dan
melakukan operasi pemancingan sesuai yang biasa dilakukan.
Kontruksi Alat Tangkap. Huhate terdiri atas tongkat yang disebut joran, tali dan mata
pancing. Pada ujung tongkat diberi tali berbahan monofilament dan pada ujung di tali yang
lain dilengkapi dengan mata pancing. Joran pada umumnya terbuat dari bambu yang lentur
sehingga dapat dengan mudah mengangkat ikan yang terpancing, melontarkannya ke
udara, dan melepaskan ikan dari kaitan pancing sehingga jatuh di atas deck kapal. Panjang
joran yang digunakan dalam memancing sekitar 2,5 m sesuai dengan keinginan si
pemancing.
Mata pancing yang digunakan pada huhate adalah pancing tanpa kait (pancing polos), sehingga mudah melepaskan ikan yang tertangkap. Teknik memancing biasanya,
bertumpu pada kecepatan gerakan. Pada saat ikan menggigit kail, pancing disentakkan,
ikan yang tertangkap diangkat dari air laut dan dengan teknik khusus, mata kail dilepaskan
pada saat yang sama ketika ikan dilontarkan ke udara dan diarahkan jatuh ke deck kapal.
Teknik melepaskan ikan yang terkait pada pancing huhate ini membutuhkan ketrampilan khusus dan biasanya hanya dapat dilakukan oleh pemancing yang terampil dan
berpengalaman.
Alat tangkap Pole and line yang di gunakan pada kapal penangkapan ikan KMN INKA
MINA 911 adalah sebagai berikut :
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
146 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Joran (Galah). Joran atau galah yang digunakan pada KMN INKA MINA 911
terbuat dari bambu dengan panjang joran yaitu 2,5 meter. Panjang dan beratnya
joran ditentukan oleh ketrampilan dan kekuatan nelayan.
Tali Pancing. Tali pancing yang digunakan terdiri dari tali utama (panjangnya 2
meter) yang dihubungkan dengan tali sekunder (panjangnya 20 cm), dimana
diujung tali sekunder diikat mata pancing.
Mata Pancing. Mata pancing yang digunakan tidak berkait balik, mata pancing
tesebut bernomor 2,5-3. Pada bagian atas mata pancing terdapat timah berbentuk
slinder dengan panjang 2 cm dan diameter 1 cm, yang bagian luarnya dibungkus dengan nikel sehingga lebih mengkilat dan menarik perhatian ikan target,
sedangkan pada sisi luarnya terdapat cincin sebagai tempat mengikat tali. Pada
bagian mata pancing dilapisi guntingan tali rafia dan bulu ayam yang diikati dengan
benang.
Alat Bantu Penangkapan. Alat bantu penangkapan yang terdapat pada KMN INKA MINA
911 meliputi pila-pila, Pipa penyemprot air, Sibu-sibu, Serok, Bak penabur umpan hidup,
Rumpon, Teropong, GPS.
Jenis dan Jumlah Umpan. Umpan merupakan salah satu faktor utama untuk
menentukan keberhasilan penangkapan ikan dengan alat tangkap pole and line. Jenis
umpan hidup yang biasa digunakan adalah mempunyai sifat berenang cepat menuju
permukaan,berukuran 2-4 cm, dan apabila sudah dilempar atau ditebar dapat dengan cepat kembali mendekati kapal.Untuk mengetahui jenis-jenis umpan dan jumlah umpan
yang di pakai dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Jenis-Jenis Umpan
No Jenis
Umpan
Jumlah Umpan yang di pakai (ember)
Trip 1
25 Nov- 19
Des 2019
Trip 2
7 Jan- 2
Feb 2020
Trip 3
6 Febr-2
Mar 2020
Trip 4
7 Mar- 1
Apr 2020
Trip 5
17 Apr- 9
Mei 2020
1
Ikan
Tembang
(Sardinella flimbriata)
10 ember 12 ember 7 ember 5 ember 11 ember
2
Ikan
Layang
(Decafterus ruselli)
8 ember 7 ember 13 ember 11 ember 6 ember
Penanganan Umpan Hidup. Meliputi pengambilan umpan dilakukan pada malam dan
pagi hari, dengan cara Kapal mendekati bagan, kemudian Awak Kapal mengambil umpan pada jaring bagan dengan menggunakan ember dan umpan diambil selanjutnya disimpan
dalam palka, dan palka dipasang beberapa lubang yang ditutupi dengan saring dan dua
lubang yang dipasangi bamboo dan dipasangi lampu guna mencegah kematian ikan
umpan.
Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan. Jenis–jenis hasil tangkapan utama yang didapat di KMN INKA MINA 911 ialah Ikan Tuna sirip kuning (Yellow Fin Tuna) dan Cakalang. Dengan
rata-rata jumlah hasil tangkapan 2-5 ton/trip, Satu kali trip 4-6 hari.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
147 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Tabel 4. Jenis dan Jumlah Tangkapan
N0 Tanggal berlayar Ikan yang di dapat Jumlah hasil tangkapan
1 25 Nov- 19 Des 2019
(5 kali penangkapan)
-Cakalang
-Tuna sirip kuning
6300 kg
1900 kg 2 7 Jan- 2 Feb 2020
( 6 kali penangkapan )
-Cakalang
-Tuna sirip kuning
5800 kg
1250 kg
3 6 Febr-2 Mar 2020
(6 kali Penangkapan)
-Cakalang
-Tuna sirip kuning
7100 kg
1200 kg 4 7 Mar- 1 Apr 2020
(4 kali Penangkapan)
-Cakalang
-Tuna sirip kuning
3800 kg
1200 kg
5 17 Apr- 9 Mei 2020
(5 kali Penangkapan)
-Cakalang
-Tuna sirip kuning
5850 kg
1100 kg
Cara Penanganan Ikan Hasil Tangkapan. Setelah proses pemancingan selesai,
penanganan hasil tangkapan di atas kapal segera di lakukan untuk mempertahankan mutu
hasil tangkapan, sehingga tetap segar sampai didarat (Liviawaty, 1989). Penanganan
diatas kapal KMN INKA MINA 911 dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu: penyortiran,
pencucian dengan air laut dan penyimpanan di dalam palka.
Tabel 5. Besaran Pendapatan Penjualan Ikan dari KMN.INKA MINA 911
No Tanggal Hasil Tangkapan (kg) Harga (Rp)
1 25 Nov- 19 Des 2019 8.200 kg 154.700.000
2 7 Jan- 2 Feb 2020 7.050 kg 107.450.000 3 6 Febr-2 Mar 2020 8.300 kg 124.600.000
4 7 Mar- 1 Apr 2020 5.000 kg 78.400.000
5 17 Apr- 9 Mei 2020 6.900 kg 104.300.000
Jumlah Pendapatan Kapal KMN INKA MINA 911 selama 6 bulan 569.450.000
Rasio Jumlah Umpan Hidup Yang Digunakan dan Perolehan Hasil Tangkapan.
Dalam operasionalnya KMN. INKA MINA 911 penyediaan umpan hidup diperoleh dari bagan
perahu dan nelayan lampara yang beroperasi di daerah Adonara Timur, Flores Timur NTT.
Ikan umpan dijual dalam ukuran ember dengan harga Rp. 500.000,- dan kapasitas setara dengan 40 kg. Hasil informasi dari nelayan jenis umpan hidup yang biasa digunakan hanya
4 (empat) jenis ikan umpan hidup, yaitu Tembang (Sardinella fimbriata), Layang
(Decapterus russeli), Lure (Stolephorus indicus) dan Rambeng (Stolephorus divisi, golen
morph). Masing-masing jenis ikan tersebut memiliki karateristik yang tidak jauh berbeda
dengan umpan cakalang secara khusus, yaitu memiliki ukuran yang relatif kecil, ukurannya
antara 5 – 7 cm, tubuhnya mengkilat pada waktu di tebar dan akan cenderung berenang
di permukaan dan mendekati kapal. Dari keempat jenis umpan di atas yang paling baik untuk digunakan dengan alat tangkap huhate adalah jenis umpan lure (Stolephorus
indicus) dan rambeng (Stolephorus devisi, golden morph), tetapi untuk jenis lure
(Stolephorus indicus) sangat sulit di temukan, kalau umpan hidup jenis rambeng
(Stolephorus devisi, golden morph) masih dapat ditemukan di daerah Adonara. Jadi kedua
jenis umpah hidup tersebut sangat di prioritaskan untuk proses penangkapan ikan dengan huhate. Tetapi pada penelitian kali ini umpan yang sering didapatkan adalah jenis tembang
(Sardinella fimbriata) dan layang (Decapterus ruseli).
Salah satu tindakan untuk menjaga kualitas Ikan umpan hidup agar tetap lebih lama
hidup dan dalam kondisi sisik ikan yang tidak terkelupas antara lain saat pengambilan dari tempat penjualan umpan, yakni dengan menjaga besaran umpan dengan air dalam
ember dengan perbandingan 80 % ikan umpan dengan 20% air, dan dengan tindakan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
148 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
cepat dan hati-hati memindahkan dari tempat umpan ke dalam palkah penampung ikan
umpan. Selanjutnya dalam palkah penampung umpan harus tetap dijaga sirkulasinya, dan
penerangan yang cukup agar ikan berkumpul di dekat cahaya sesaui sifatnya yang suka
terhadap cahaya (Fototaksis positif).
Peranan Umpan Hidup dalam Operasi Penangkapan. Selama 6 (enam) bulan
penelitian dalam operasional penangkapan ikan dengan KMN. INKA MINA 911, umpan yang
digunakan terbatas hanya 2 (dua) jenis ikan umpan, yakni Jenis Tembang (Sadinella fimbriata) dan Layang (Decapterus russeli). Hal ini mengingat bahwa pada Bulan
Desember 2019 sampai dengan April 2020 jenis umpan yang didapatkan di lapangan hana
terbatas pada 2 jenis ikan terebut. Untuk jenis tembang lebih banyak jumlah dalam
penggunaannya dibandingkan jenis layang, dan dalam 6 Trip atau 52 kali operasi penangkapan, dapat dirinci sebagai berikut : penggunaan umpan ikan tembang
mendominasi dalam operasi penangkapan yakni 32 kali operasi, sedangkan ikan layang
hanya 20 kali operasi.
Perbedaan yang diteliti di lapangan tidaklah terdapat perbedaan yang signifikan,
artinya penggunaan ikan tembang karena jumlahnya lebih besar dalam 52 kali operasi maka apabila dikaitkan dengan perolehan hasil tangkapan seringkali lebih besar
dibandingkan penggunaan umpan dengan ikan layang, Dari 5 (lima) Trip atau 52 kali
operasi yang dilakukan, maka pada pengoperasian ke 23 sampai ke 42 penggunaan ikan
Layang sebagai umpan hidup lebih banyak jumlahnya disbanding ikan tembang, sedangkan hasil tangkapan pada operasi ke 23 sampai dengan operasi ke 34 hasil tangkanan masih
sama dengan penggunaan tembang, tetapi pada operasi ke 35 sampai ke 42 menunjukkan
tanda penurunan hasil tangkapan disbanding dengan penggunaan umpan menggunakan
Ikan Tembang. Pada periode Maret sampai dengan Mei 2020 KM. INKA MINA 911 selalu
menggunakan umpan hidup yaitu tembang (Sardinella fimbriata) dan layang (Decapterus
ruselli). Dalam penelitian ini penggunaan umpan hidup jenis Tembang lebih banyak
digunakan karena tersedia lebih limpah di pemasok umpan, sedangkan umpan hidup jenis layang lebih sedikit disbanding tembang. Mengingat bahwa ikan cakalang (Katsowonus
pelamis) dan baby tuna (yellow fin) sangat suka terhadap umpan yang kuat dan tahan
lama, apabila ditebar pada saat ikan dalam keadaan lapar dan berusaha untuk mencari
makan.
Sesuai ketersediaan umpan yang tersedia di lapangan, maka umpan jenis ikan Layang hanya digunakan sebagai pelengkap sub bahasan mengenai peranan umpan hidup
terhadap operasi penangkapan karena hanya disebabkan jumlah ketersediannya lebih
kecil disbanding Tembang, atau dapat diasmumsikan sementara untuk ikan layang sebagai
berikut : (1) jenis umpan Tembang lebih lincah dan kuat dibanding layang, (2) ketahanan dalam bak penampung bersirkulasi lebih tahan lama, (3) ukuran badan sama-sama kecil
dan (4) memiliki sisik yang kuat dan tidak mudah lepas sehingga tidak cepat mati.
Pada pembahasan peranan umpan tersebut diatas maka dilakukan, bahwa pendekatan
melalui jenis umpan yang digunakan pada pembahasan ini adalah berdasarkan umpan hidup jenis tembang (Sardinella fimbriata), terlihat perbedaan yang sangat signifikan
antara jenis umpan tembang dan layang, namun demikian dalam pembahasan kali ini
tidak dapat digunakan sebagai pembanding, karena hanya beberapa kali pengulangan
untuk dua umpan hidup jenis Tembang dan Layang. Mengingat dalam pengoperasian
kedua jenis umpan tersebut tercampur, dan yang membedakan hanya besaran jumlah yang digunakan dalam setiap operasi, dimana Jumlah Ikan Tembnag lebih banyak
dibandingkan ikan Layang. Dan inidikator yang terjadi hanya pada 1(satu) Trip yakni
operasi ke 34 sampai ke 42 perolehan hasil tangkapan dengan ikan umpan dominasi
layang, tercatat lebih kecil dibanding penggunaan ikan tembang. Berikut adalah tabel
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
149 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
penggunaan umpan hidup serta rerata hasil tangkapan setiap pemancingan yang terjadi
selama 52 kali operasi, dengan KMN. INKA MINA 911.
Tabel 6. Penggunaan Umpan Hidup Serta Rerata Hasil Tangkapan
No. Jam
Operasi
Operasi
Ke
Jumlah umpan
(kg)
Hasil Tangkapan
(kg)
Ratio
1 05.30 1 120 1250 10.42
13.45 2 70 800 11.43
2 05.45 3 100 1100 11.00
14.05 4 40 550 13.75
3 05.30 5 70 840 12.00
15.00 6 40 550 13.75
4 07.00 7 50 500 10.00
13.00 8 130 1750 13.46
5 06.00 9 60 640 10.67
14.10 10 40 220 5.50
6 06.00 11 70 545 7.79
12.00 12 30 175 5.83
7 06.30 13 100 845 8.45
13.00 14 40 400 10.00
8 07.00 15 80 585 7.31
14.00 16 30 150 5.00
9 05.30 17 70 460 6.57
13.40 18 60 500 8.33
10 06.30 19 40 340 8.50
13.50 20 110 1800 16.36
11 06.00 21 80 650 8.13
15.00 22 50 600 12.00
12 05.40 23 70 740 10.57
15.45 24 60 580 9.67
13 06.00 25 80 720 9.00
14.50 26 50 510 10.20
14 06.30 27 30 270 9.00
15.00 28 150 1800 12.00
15
05.30 29 70 660 9.43
14.00 30 40 340 8.50
16 07.00 31 60 680 11.33
13.50 32 40 450 11.25
17 06.45 33 120 1420 11.83
12.30 34 30 130 4.33
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
150 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Lanjutan Tabel 6. Penggunaan Umpan Hidup Serta Rerata Hasil Tangkapan
No. Jam
Operasi Operasi
Ke
Jumlah
umpan
(kg)
Hasil
Tangkapan
(kg)
Ratio
18 06.00 35 90 600 6.67
13.45 36 45 250 5.56
19 06.00 37 85 560 6.59
14.00 38 60 350 5.83
20 05.50 39 110 1450 13.18
14.00 40 70 345 4.93
21 05.30 41 100 870 8.70
15.30 42 80 575 7.19
22 05.40 43 90 1000 11.11
15.45 44 60 375 6.25
23 06.00 45 125 2010 16.08
14.50 46 50 290 5.80
24 06.30 47 80 840 10.50
13.45 48 30 250 8.33
25 05.30 49 95 755 7.95
14.00 50 40 360 9.00
26 07.00 51 80 910 11.38
15.00 52 30 160 5.33
Gambar 2. Grafik Operasi Penangkapan Selama 52 kali (25 Nopember 2019 - 9 Mei 2020)
Kesimpulan. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu (1) keberhasilan operasi
penangkapan ikan cakalang dengan alat Pole and Lie atau Huhate, sangat ditentukan oleh
tersedianya umpan hidup yang cukup terutama pada waktu musim ikan Cakalang.
Terdapat 4 jenis ikan umpan yang tesedia secara musiman di Perairan Flores Timur antara
lain Lure, Rambeng , Tembang dan Layang, (2) alam penelitian yang berlangsung Nopember 2019 sampai dengan Mei 2020 umpan hidup yang tersedia hanya ikan Tembang
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
151 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
dan Layang, dan kedua umpan inilah yang diamati keberadaannya mengingat memiliki
kelimpahan jumlah yang berbeda dalam penyediannya, Ikan tembang lebih banyak
dibanding layang, (3) operasi penangkapan dilaksanakan dalam 5 Trip atau lebih rinci
sebanyak 52 operasi penangkapan, selanjutnya karena keterdiaan umpan maka 32 Operasi penangkapan umpan yang digunakan didominasi oleh ikan Tembang dan 20 Operasi umpan
yang digunakan didominasi ikan Layang. Artinya dalam dominasi masing-masing masih
ada jenis lainnya, dominasi Tembang didalamnya masih ada ikan Layang demikian juga
sebaliknya (4) ada Operasi 1 sampai dengan operasi 22 dan operasi 35 sampai ke 52 umpan yang dominan digunakan adalah Tembang, sedangkan pada operasi 23-42 umpan
didominasi dengan Ikan Layang, dan pada Operasi 34-42 dominasi umpan layang
menghasilkan perolehan tangkapan yang rendah dibanding perolehan dominasi ikan
tembang (5) asil keseluruhan pengamatan di lapangan dapat dihitung ratio sebagai berikut, untuk Ratio jumlah umpan yang digunakan terhadap perolehan hasil tangkapan adalah
sebesar 9,86 %, yakni dengan jumlah umpan 3.600 Kg hasil tangkapan yang diperoleh
adalah 35.500 Kg. Demikian pula unruk Ratio Permodalan umpan dibanding nilai jual ikan
hasil tangkapan sebesar 12,65, yakni dengan menghitung jumlah kebutuhan umpan
selama penelitian sebesar Rp. 45.000.000,- sedangkan nilai perolehan hasil tangkapan sebesar Rp. 569.450.000,-. Dengan demikian kedua nilai ratio sudah memnuhi persyaratan
kelayakan operasional dan usaha.
Daftar Pustaka Adna 1977, Buletin Penelitin Perikanan , Juli 1981 No. 3 Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertania.
Balai Ketrampilan penangkapan Ikan, 1981, Buku Pegangan Peserta Latihan diBalai
Ketrampilan Penangkapan Ikan , Direktoran Jenderal Perikanan, Ambon.
Balai Penelitian Perikanan Laut, 1983, Laporan Penetian Perikanan Laut, Jakarta Badan Riset Perikanan Tang kap, 2006, Buletin Teknik Litkayasa Sumber dayadan
Penangkapan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan , Jakarta
Direktorat Jendral Perikanan, 1994. Paket Teknologi Kapal Pole and Line. Departemen Pertanian, Jakarta
Sudirman, Malawa, A. 2004, Teknik Penangkapan Ikan. RINEKA CIPTA
Tampubolon, SM. 1980, Persiapan dan Pengoperasian Pole and Line . Ikatan Alumni Fakultas Pertanian Bogor.
Waluyo Subani, 1982. Ikan Umpan Hidup Sebagai Penunjang PerikananCakalang , LIPI. No. 30, Jakarta.
www.Google. Com, Gambar Alat Penangkap ikan pole and line, kapal
Ayodhya, A.U. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Yayasan Dewi Sri. Bogor.
Data Statistik Perikanan Tangkap.2012. Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate.
Endratno. 2002. Uji Coba Umpan Benang Perak Pada Pancing Tonda (Troll Line) Di Perairan Pelabuhanratu Sukabumi Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Nasution, A.H. dan Barizi.1986. Metode Statistika. PT Gramedia. Jakarta.
Papilaya, R. 2004. Evaluasi Usaha Perikanan Tangkap Huhate Di Kecamatan Sapura. Jurnal Saintek Perikanan. Jurusan Teknologi Hasil Perikanan. Universitas Pattimura. Vol 3 (2): 65-70.
Puspito, G. 2010. Warna Umpan Tiruan Pada Huhate. Jurnal Saintek Perikanan Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Vol
6 (1): 1-7.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
152 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Sawon, Rahmat, E, Suwardi, Dan Salim, A. 2006. Teknik Penangkapan Memakai Alat
Pancing Pole And Line Di Perairan Ternate Maluku Utara. Balai Teknik Litkayasa. Vol 4
(2): 63-67
Sriawan. 2002. Pengaruh Waktu, Guhu Permukaan Laut Dan Kecerahan Perairan Terhadap Hasil Tangkapan Pole And Line Di Perairan Laut SawuNusa Tenggara Timur. [Tesis].
Progam Pascasarjana, IPB.
Subani, W dan Barus. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan udang di Indonesia. Jurnal
Penelitian Perikanan Laut. Departemen Kelautan dan Perikanan, Balai Penelitian dan Perikanan Laut. Jakarta. Vol. 11: 187-197
Surur, Fatichus. 2007. Pancing. Andi Offset. Yogyakarta.
Wudianto, Mahiswara Dan Anung W. P. A. 2001. Memancing Di Perairan Tawar dan Di Laut.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
153 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pengembangan Kurikulum Program Pelatihan Pemantauan Ekosistem Terumbu Karang untuk Mendukung Konservasi Fina Rahmawati1, Erry Utomo2, Santi Maudiarti3, Idris4 dan Fakhrurrozi5
1,2,3)Program Studi Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan-Universitas
Negeri Jakarta, Gedung Daksinapati, Rawamangun Muka, Jakarta Timur 13220-Indonesia
4,5)Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI)
Jalan Asyibaniyah No. 105-106 Pondok Jaya Cipayung Depok Jawa Barat,
16438-Indonesia (Email : [email protected] ; [email protected] ;
[email protected], [email protected] ; [email protected])
Abstrak - Indonesia memiliki kawasan terumbu karang mencapai 25.000 km2 atau sekitar 10 % total terumbu karang dunia dengan keanekaragaman jenis karang paling tinggi yaitu 569 jenis dari 82 marga
dan 15 suku atau sekitar 70 % lebih jenis karang dunia serta 5 jenis termasuk endemik. Masyarakat
pesisir banyak menggantungkan hidupnya pada kawasan terumbu karang, namun saat ini terumbu karang di Indonesia dalam kondisi memprihatinkan. Guna menjawab permasalahan tersebut, Yayasan
TERANGI mengembangkan pemantauan kondisi terumbu karang dan riset ilmiah yang melibatkan sumber daya manusia yang kompeten. Peningkatan kompetensi dilakukan melalui program pelatihan
Pemantauan Terumbu Karang yang terbuka untuk umum dengan syarat-syarat tertentu. Tujuan dari
program pelatihan ini adalah untuk mencetak para peneliti muda yang kompeten di bidang pemantauan terumbu karang. Namun program pelatihan belum memiliki kurikulum yang dapat dijadikan acuan atau
pedoman selama menjalankan program. Maka penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah prototipe kurikulum program pelatihan pemantauan terumbu karang yang dapat dijadikan acuan dalam
pelaksanaan program pelatihan di Yayasan Terumbu Karang Indonesia. Metode yang digunakan mengacu
pada model Dick And Carey. Prosedur pengembangan dilakukan melalui sembilan tahap dari sepuluh tahap yang terdapat dalam model tersebut. Sebagai bentuk penilaian terhadap produk kurikulum yang
dikembangkan maka dilakukan evaluasi formatif berupa expert review. Hasil review dari ahli kurikulum memperoleh skor rata-rata 3,43; ahli desain pembelajaran 3,46 dan ahli materi 3,64. Berdasarkan
kriteria hasil penilaian yang telah ditentukan maka kurikulum pelatihan ini dinilai “Sangat Baik”.
Kata Kunci : Pengembangan, Kurikulum, Program Pelatihan, Pemantauan Terumbu Karang
Abstract - Indonesia has a coral reef area of 25,000 km2 or about 10% of the world's total coral reefs
with the highest coral species diversity, namely 569 species from 82 genera and 15 tribes or about 70% more of the world's coral species and 5 types including endemic. Many coastal communities depend on
coral reefs for their livelihoods, but currently, coral reefs in Indonesia are in poor condition. To answer
this problem, TERANGI Foundation develops monitoring of coral reef conditions and scientific research involving competent human resources. Competency enhancement is carried out through the Coral Reef
Monitoring training program which is open to the public with certain conditions. This training program aims to produce competent young researchers in the field of coral reef monitoring. However, the training
program does not yet have a curriculum that can be used as a reference or guide while running the
program. So this research aims to produce a curriculum prototype for coral reef monitoring training programs that can be used as a reference in implementing training programs at the Indonesian Coral
Reef Foundation. The method used refers to the Dick And Carey model. The development procedure is carried out through nine stages of the ten stages contained in the model. As a form of assessment of the
developed curriculum products, a formative evaluation is carried out in the form of an expert review.
Keywords : Development, Curriculum, Training Program, Coral Reef Monitoring
Pendahuluan. Indonesia memiliki kawasan terumbu karang mencapai
25.000 km2 atau sekitar 10% total terumbu karang dunia dengan keanekaragaman jenis karang paling tinggi yaitu 569 jenis dari 82 marga dan 15 suku atau sekitar 70 % lebih
jenis karang dunia serta 5 jenis termasuk endemik. Masyarakat pesisir banyak
menggantungkan hidupnya pada kawasan terumbu karang, namun saat ini terumbu karang
di Indonesia dalam kondisi memprihatinkan.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
154 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis pada November 2018
terhadap 1067 site di seluruh perairan Indonesia, menunjukkan bahwa terumbu karang
dalam kategori buruk sebanyak 386 site (36.18%), kategori cukup sebanyak 366 site
(34.3%), kategori baik sebanyak 245 site (22.96%) dan kategori sangat baik sebesar 70 site (6.56%). Menurut peneliti, penyebab utama rusaknya terumbu karang karena
pemakaian alat tangkap ikan yang merusak, peningkatan pencemaran di laut, dan
pemanasan global. Dari dampak itulah terumbu karang mengalami pemutihan yang diikuti
penyakit dan hama karang. Oleh karena itu, diperlukan langkah serius dan nyata untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Melihat isu terumbu karang yang terjadi di Indonesia,
Yayasan TERANGI bekerjasama dengan mitra melakukan beberapa kegiatan. Salah satu
kegiatannya, yaitu menyediakan data dan informasi mengenai terumbu karang yang
nantinya akan berguna sebagai dasar pengelolaan dan pengambilan kebijakan. Data dan Informasi tersebut didapatkan melalui program monitoring atau pemantauan kondisi
terumbu karang dan riset ilmiah mengenai terumbu karang.
Program riset ilmiah dan pemantauan terumbu karang, selalu melibatkan peneliti atau
volunteer dari luar TERANGI yang berasal dari mahasiswa maupun umum. Dalam
melakukan pogram ini tentu diperlukan SDM yang kompeten di bidang terumbu karang dan ekosistem terkait serta metode pemantauannya. Oleh karena itu mahasiswa atau
masyarakat umum yang terlibat biasanya berasal dari ilmu kelautan dan biologi.
Kompetensi dalam bidang pemantauan sangat penting, dalam rangka meningkatkan
kompetensi tersebut, Yayasan TERANGI membuat program pelatihan Pemantauan Terumbu Karang yang terbuka untuk umum dengan syarat-syarat tertentu. Tujuan dari
program pelatihan ini adalah untuk mencetak para peneliti muda yang kompeten di bidang
pemantauan terumbu karang. Program pelatihan ini belum memiliki rincian kegiatan yang
terstruktur, jelas, serta lengkap. Program pelatihan ini juga belum memiliki kurikulum yang dapat dijadikan acuan atau pedoman selama menjalankan program. Bahkan, mereka
belum memiliki rumusan tujuan pembelajaran di setiap topik pelatihan yang mereka
selenggarakan. Waktu yang belum tersedia serta latar belakang para staf yang bukan dari
ilmu pendidikan menjadi kendala belum dikembangkannya kurikulum program pelatihan ini.
Menurut Sukmadinata (2013) kurikulum memiliki kedududkan sentral dalam seluruh
proses pendidikan. Hal ini dikarenakan kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas
pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Maka sangat jelas bahwa
kurikulum berperan penting dalam proses pembelajaran. Dimana kurikulum berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran.
Tujuan kajian ini adalah menghasilkan sebuah prototype Kurikulum Program Pelatihan
Pemantauan Terumbu Karang yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan
program di Yayasan Terumbu Karang Indonesia.
Metode Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2019 hingga
Januari 2020. Pada bulan Oktober 2019 dilakukan penyusunan kuesioner. Pada bulan November 2019 dilakukan revisi dan pengambilan data pertama, serta dilanjutkan dengan
diskusi dengan pakar. Bulan Desember 2019 dan Januari 2020 melakukan pengembangan
kurikulum, analisa data dan penulisan hasil. Lokasi pengambilan data dilakukan di Kantor
Yayasan TERANGI dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Alat dan Bahan. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian dapat terinci pada
Tabel 1.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
155 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Tabel 2. Alat dan Bahan Penelitian
No Alat dan Bahan Fungsi
1 Kertas Sebagai tempat menulis 2 Pensil dan Pulpen Alat Tulis
3 Kuesioner Alat mengumpulkan data
4 Kamera Pengambilan foto
5 Perekam (recorder) Alat untuk merkam hasil wawancara dengan pakar
Metode Penelitian dan Analisa Data. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembanan (Research and Development) dengan pendekatan Model Dick
and Carey (2008). Metode penelitian dan pengembangan adalah metode penelitian yang
digunakan untuk menghasilkan produk atau konsep tertentu berdasarkan proses yang
sistematis dan menguji keefektifannya. Model Dick and Carey didasarkan pada penggunaan
pendekatan komponen-komponen dasar dari desain sistem pembelajaran yang meliputi analisis, desain pengembangan, implementasi, dan evaluasi. Setiap langkah dalam model
ini saling berkaitan satu sama lain. Hasil dari satu komponen akan menjadi input bagi
komponen lainnya. Langkah-lagkah yang dikemukakan model. Langkah-langkah
pengembangannya pun rinci dan lengkap. Selain itu model ini mencerminkan proses desain dasar yang digunakan dalam banyak pelatihan bisnis, industri, pemerintahan, dan militer.
Hal inilah yang membuat model ini sesuai untuk pengembangan kurikulum program
pelatihan pemantauan terumbu karang. Terdapat 10 tahapan yang ada, penulis hanya akan
melakukan 9 tahapan karena beberapa keterbatasan yang dimiliki. Berikut adalah tahapan yang akan dilakukan penulis:
Mengidentifikasi Tujuan Atau Kompetensi Umum. Tahap pertama yang
dilakukan adalah melakukan analisis kebutuhan. Pengambilan data untuk mengidentifikasi kebutuhan dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara yang
akan dilakukan peneliti merupakan wawancara yang ditujukkan kepada
penanggung jawab program pelatihan pemantauan terumbu karang di Yayasan
TERANGI.
Hasil wawancara kemudian akan dianalisis untuk merumuskan kompetensi umum pelatihan. Dengan demikian akan diperoleh hasil berupa rumusan Standar
Kompetensi (SK) dengan menggunakan unsur ABCD (Audience, Behavior,
Condition, Degree).
Melakukan Analisis Instruksional. Setelah memperoleh rumusan standar
kompetensi, tahap selanjutnya adalah melakukan analisis instruksional. Tahap ini
dimulai dari mengidentifikasi kompetensi umum menjadi sub-sub kompetensi atau
perilaku khusus yang perlu dikuasai oleh peserta pelatihan setelah mengikuti proses pelatihan. Kemudian disusun secara sistematis.
Penyusunannya diurutkan untuk membentuk pola struktur kompetensi tertentu
berdasarkan sifat dari setiap sub kompetensi tersebut dan mengacu pada tujuan
kompetensi umum yang telah dirumuskan. Hasil analisis pembelajaran ini nantinya
akan berbentuk bagan peta kompetesi.
Menganalisis Peserta Didik dan Konteks. Analisis peserta didik dilakukan untuk
mengetahui karakteristik peserta didik atau peserta pelatihan. Sementara analisis
konteks dilakukan untuk mengetahui lingkungan atau setting tempat pelatihan dan fasilitas yang meliputi kondisi tempat pelatihan, ketersediaan peralatan, dan media
pembelajaran yang dapat dimanfaatkan dalam pelatihan.
Pada tahapan ini penulisa melakukan observasi dan wawancara tidak terstruktur
terhadap penyelenggara program pelatihan serta studi dokumen data peserta
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
156 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
sebelumnya terkait karakteristik peserta pelatihan. Kemudian setelah data tersebut
didapat, hasilnya dianalisis dan diidentifikasi. Maka pada tahap ini akan diperoleh
hasil identifikasi karakteristik awal peserta didik dan lingkungan tempat pelatihan.
Data yang dihasilkan ini akan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan strategi, metode, dan media yang akan digunakan dalam pelatihan.
Menuliskan Tujuan Kinerja atau Kompetensi Khusus. Pada tahap ini,
kompetensi khusus yang dirumuskan akan mengacu pada sub-sub kompetensi atau perilaku khusus yang telah diidentifikasi pada tahap analisis instruksional.
Perumusannya dilakukan dengan menggunakan unsur ABCD, yaitu dengan
menuliskan siapa peserta didiknya, perilaku khusus apa, dengan kondisi yang
bagaimana, dan seberapa jauh tingkat keberhasilannya. Dengan demikian, diperoleh hasil berupa beberapa rumusan kompetensi dasar yang mengacu pada
perilaku khusus, serta karakteristik awal yang telah dianalisis sebelumnya.
Mengembangkan Instrumen Penilaian. Instrumen penilaian pada tahap kelima
ini dibuat mengacu pada Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang telah dirumuskan sebelumnya. Instrumen penilaian dibuat untuk mengukur
pencapaian peserta didik terhadap perilaku yang telah dirumuskan pada kompetensi
dasar. Peneliti akan mengumpulkan opsi-opsi tes penilaian lalu menganalisisnya
agar sesuai dengan tujuan yang akan diukur. Evaluasi yang akan dirumuskan terdiri dari evaluasi formatif dan sumatif. Rancangan bentuk tes penilaian yang akan
digunakan dibuat dalam bentuk tabel kisi-kisi tes. Dari kisi-kisi yang telah dibuat
tersebut akan dikembangkan butir-butir tes dan tabel penilaian yang sesuai.
Mengembangkan Strategi Instruksional. Pada tahap ini, pengembang
menyusun strategi pembelajaran pada setiap tujuan khusus atau kompetensi dasar.
Tahap ini menghasilkan tabel yang didalamnya terdiri dari kolom urutan kegiatan,
metode, media, dan alokasi waktu. Dalam tahap ini terdapat empat komponen yang akan disusun, yaitu: (1) menyusun urutan kegiatan yang terdiri dari pendahuluan,
penyajian, dan penutup. Kegiatan pendahuluan berisi penjabaran langkah yang
dilakukan untuk membuka pelatihan. Lalu, kegiatan penyajian berisi penjabaran
langkah yang dilakukan dalam menyampaikan pokok-pokok bahasan pelatihan.
Kemudian, pada kegiatan penutup berisi langkah untuk menutup kegiatan pelatihan (2) memilih metode pembelajaran untuk setiap pokok bahasan. Memilih media
pembelajaran yang akan digunakan saat proses pelatihan.
Menentukan Alokasi Waktu. Dalam menentukan isi setiap komponen strategi pembelajaran, mengacu pada tujuan atau kompetensi umum dan khusus,
identifikasi perilaku dan karakteristik awal peserta didik, serta pokok bahasan atau
materi. Dengan demikian, tahap ini menghasilkan strategi pembelajaran yang akan
digunakan dalam pelatihan.
Mengembangkan dan Memilih Bahan Pelatihan. Dalam tahap ini pengembang
hanya akan memanfaatkan bahan-bahan pelatihan yang telah tersedia di Yayasan
TERANGI. Peneliti akan mulai mencari dan mengumpulkan buku, jurnal, dan slide
presentasi yang berkaitan dengan topik-topik pelatihan. Opsi-opsi yang tersedia kemudian dianalisis dan dinilai untuk kemudian diputuskan bahan-bahan mana saja
yang akan digunakan dalam pelatihan.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
157 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Merancang Dan Melaksanakan Evaluasi Formatif. Evaluasi formatif dilakukan
untuk menilai kualitas prototype kurikulum yang telah dibuat. Dari empat tahap
evaluasi formatif, hanya tahap pertama yang akan dilakukan, yaitu expert review.
Tahap ini bertujuan untuk memperoleh masukan dari para ahli terhadap produk yang dihasilkan.
Pada tahap expert review, kurikulum akan direviu oleh tiga ahli, yaitu ahli
pengembang kurikulum, ahli desain pembelajaran dan ahli materi. Ahli pengembang
kurikulum merupakan seseorang yang memiliki kualifikasi serta menguasai teori dan konsep dalam pengembangan suatu kurikulum. Sedangkan ahli desain
pembelajaran merupakan seseorang yang menguasai teori serta konsep desain
pembelajaran. Ahli pengembang kurikulum dan desain pembelajaran yang terlibat
pada penelitian ini adalah salah satu dosen Prodi Teknologi Pendidikan UNJ atau praktisi pengembang kurikulum. Sedangkan ahli materi merupakan orang yang
menguasai konten pemantauan terumbu karang. Ahli materi yang akan terlibat
adalah salah satu peneliti senior di Yayasan TERANGI.
Adapun jenis instrumen yang akan digunakan berupa kuesioner campuran, dimana
terdapat daftar pernyataan dengan skala likert 1-4 serta kolom saran terbuka yang dapat diisi terkait gambaran umum, kelebihan, kekurangan, dan saran perbaikan
dari setiap ahli. Kategori jawaban dengan skala likert yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Tabel 2. Skala Penilaian Kuesioner
Skala Nilai
Kurang Baik 1
Cukup 2
Baik 3 Sangat Baik 4
Kemudian instrumen yang telah disusun divalidasi oleh validator. Hasil data yang
diperoleh menggunakan kuesioner diolah dengan statistika sederhana.
𝑺𝒌𝒐𝒓 𝒓𝒂𝒕𝒂−𝒓𝒂𝒕𝒂= 𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐬𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮𝐡𝐚𝐧 𝐬𝐤𝐨𝐫
𝐣𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐛𝐮𝐭𝐢𝐫 𝐬𝐨𝐚𝐥
Kemudian dikategorikan dengan kriteria berikut: 3,26 – 4,00 = Sangat Baik
2,51 – 3,25 = Baik
1,76 – 2,50 = Cukup Baik
1,00 – 1,75 = Kurang Baik
Melakukan Revisi. Pada langkah ini pengembang memperbaiki draf kurikulum
pelatihan yang telah dinilai dan diberi masukan oleh ahli pengembang kurikulum,
ahli desain pembelajaran dan ahli materi.
Hasil dan Pembahasan
Mengidentifikasi Tujuan Atau Kompetensi Umum. Berdasarkan wawancara tidak
terstruktur yang dilakukan dengan salah satu staf Yayasan TERANGI, dalam menjawab permasalahan terumbu karang di Indonesia diperlukan data dan informasi mengenai
terumbu karang yang nantinya akan berguna sebagai dasar pengelolaan, pengambilan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
158 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
kebijakan, dan pendidikan. Data dan Informasi tersebut didapatkan melalui program
monitoring dan riset ilmiah mengenai terumbu karang. Hasil penelitannya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Setelah dilakukan analisis serta diskusi dengan
penanggungjawab program pelatihan, maka diperoleh tujuan umum atau standar kompetensi yang akan dicapai. Standar kompetensi dalam program pelatihan ini
adalah:“Setelah mengikuti pelatihan Pemantauan Terumbu Karang peserta akan mampu
melakukan pemantauan terumbu karang sesuai kaidah ilmiah.”
Melakukan Analisis Instruksional. Analisis instruksional ini menghasilkan susunan
kompetensi yang dibutuhkan oleh seorang peneliti terumbu karang untuk dapat melakukan
pemantauan terumbu karang. Kompetensi – kompetensi tersebut tersusun dari yang paling
dasar hingga kompetensi akhir yang telah ditetapkan menjadi tujuan umum pada pelatihan ini. Pola yang digunakan dalam peta kompetensi ini adalah pola hierarki karena kompetensi
yang sifatnya berjenjang dan menuntut adanya prasyarat. Berikut ini adalah bagan
pola/peta kompetensi pelatihan pemantauan terumbu karang di Yayasan TERANGI.
Gambar 1. Peta Kompetensi Pelatihan Pemantauan Terumbu Karang
Menganalisis Peserta Didik dan Konteks. Hasil dari identifikasi karakteristik awal
peserta pelatihan pengembang memperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta
merupakan mahasiswa, sedangkan yang lainnya ada yang berprofesi sebagai dosen,
praktisi, dan peneliti. Rentang usia mereka berkisar 19-40 tahun. Peserta pelatihan memiliki latar belakang pendidikan atau pekerjaan di bidang biologi dan ilmu kelautan.
Kemampuan awal peserta yang disyaratkan adalah peserta telah memiliki kemampuan
menyelam yang dibuktikan dengan sertifikasi menyelam dari lembaga sertifikasi selam
yang diakui nasional maupun internasional. Dalam hal pengetahuan, sebagian peserta telah memahami dasar-dasar tentang terumbu karang. Namun menurut penanggungjawab
program pelatihan tetap diperlukan penyetaraan pengetahuan atau kompetensi yang
dimiliki peserta pelatihan sehingga konsep dasar mengenai terumbu karang perlu tetap
dibahas. Analisis konteks yang dilakukan menghasilkan informasi bahwa kegiatan pelatihan
diselenggarakan di salah satu ruangan yang ada di kantor Yayasan TERANGI. Fasilitas pada
Setelah mengikuti pelatihan Pemantauan Terumbu Karang peserta akan dapat
melakukan pemantauan terumbu karang sesuai kaidah ilmiah.
Membedakan karang sehat dan sakit serta jenis penyakitnya
Mengidentifikasi genus karang
Mengidentifikasi lifeform karang
Menjelaskan metode pemantauan terumbu karang
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
159 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
umumnya yang dibutuhkan dalam pelatihan seperti proyektor, laptop, papan tulis tersedia
di kantor tersebut. Sementara media-media yang dapat digunakan dalam pelatihan yang
tersedia di antaranya adalah spesimen karang, banner besar yang berisi gambar-gambar
karang, dan foto-foto karang. Kemudian untuk benar-benar menunjukkan keterampilan yang dipelajari peserta didik harus melakukan praktik sesungguhnya dengan melakukan
penyelaman di laut. Oleh karena itu diperlukan field trip ke sebuah pulau yang lokasinya
dekat dengan Yayasan TERANGI. Pilihan pulau yang dapat dikunjungi, yaitu Pulau Sangiang
dan Kepulauan Seribu.
Menuliskan Tujuan Kinerja atau Kompetensi Khusus. Setelah melakukan analisis
instruksional yang menghasilkan beberapa sub kompetensi untuk mendukung ketercapaian
standar kompetensi, maka tahap selanjutnya yaitu merumuskan tujuan kinerja atau Kompetensi Dasar (KD) berdasarkan tiap subkompetensi yang telah dijabarkan
sebelumnya. Kompetensi dasar yang telah dirumuskan adalah : (1) peserta mampu
menjelaskan metode-metode pemantauan terumbu karang sesuai dengan tujuan, tahap,
dan perlengkapannya bila diberikan pertanyaan mengenai metode tersebut, (2) peserta
mampu mengidentifikasi karang pada level lifeform dengan tepat bila dihadapkan dengan berbagai karang, (3) peserta mampu mengidentifikasi karang pada level genus dengan
tepat bila dihadapkan dengan berbagai karang dan (4) peserta mampu membedakan
karang sehat dan sakit serta jenis penyakitnya.
Mengembangkan Instrumen Penilaian. Pada pelatihan pemantauan terumbu karang
ini evaluasi terdiri dari evaluasi formatif dan sumatif. Pada evaluasi formatif, alat penilaian
hasil belajar disusun untuk setiap kompetensi dasar. Alat penilaian hasil belajar yang
disusun berupa tes objektif berbentuk pilihan ganda sebanyak 5 butir untuk masing-masing KD. Selain itu pengembang juga membuat tes esai dan kinerja untuk beberapa KD. Evaluasi
sumatif dilakukan setelah semua topik selesai diberikan. Evaluasi sumatif yang digunakan
dalam pelatihan ini terdiri dari evaluasi pemahaman konsep dan evaluasi
pelaksanaan/praktik pemantauan terumbu karang. Pada aspek pemahaman konsep dilakukan dalam bentuk pilihan ganda yang berjumlah 10 butir. Evaluasi yang bersifat
pelaksanaan/praktek dilakukan dengan field trip ke sebuah pulau agar keterampilan dalam
memantau terumbu karang dapat dilakukan dalam kondisi yang real, yaitu di dalam laut.
Mengembangkan Strategi Instruksional. Dalam pemilihan dan penyusunan strategi instruksional pengembang menyesuaikan dengan tujuan, kondisi peserta didik dan materi
yang akan disampaikan. Penyusunan strategi instruksional meliputi empat komponen,
yaitu urutan kegiatan instruksional, metode, media dan waktu yang akan digunakan dalam
pelatihan. Strategi instruksional disusun untuk setiap kompetensi dasar dalam bentuk tabel. Dalam tabel tersebut terdapat komponen urutan kegiatan instruksional, garis besar
isi, metode, media & alat serta waktu belajar atau jam pelatihan (dalam menit). Kegiatan
instruksional dibagi menjadi 3 tahap, yakni tahap pendahuluan yang berisi deskripsi singkat
isi, relevansi & manfaat, dan KD. Tahap penyajian yang berisi uraian, contoh, latihan, tes formatif, dan rangkuman. Serta tahap penutup yang berisi umpan balik dan tindak lanjut.
Mengembangkan dan Memilih Bahan Pembelajaran. Dalam tahap ini peneliti
mengumpulkan opsi-opsi bahan pembelajaran yang dapat digunakan dalam pelatihan ini.
Dari opsi yang ada diputuskan bahan pembelajaran yang akan digunakan. Berikut adalah bahan pembelajaran yang digunakan:
Panduan Lapangan Pengamatan Terumbu Karang. Buku panduan ini disusun
sendiri oleh Yayasan TERANGI. Buku ini berisikan panduan untuk pengamatan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
160 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
karang tingkat lifeform. Di dalamnya terdapat jenis-jenis lifeform karang lengkap
dengan diri-diri dan gambarnya.
Guide Book Pengenalan Karang Keras. Buku panduan ini disusun oleh Yayasan TERANGI bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di dalamnya
terdapat cara mengidentifikasi genus karang. Karakteristik-karakteristik untuk
identifikasinya. Selain itu di buku ini terdapat 66 genus yang biasa ditemukan di
perairan Indonesia lengkap dengan karakteristiknya.
Coral Diseas Handbook. Buku ini berisikan penyakit karang yang biasa
ditemukan di perairan Indo-Pacific. Selain ini terdapat juga cara dan metode untuk
melakukan identifikasi kondisi dan penyakit karang.
Merancang dan Melaksanakan Evaluasi Formatif. Evaluasi formatif yang digunakan
pada pengembangan kurikulum pelatihan pemantauan terumbu karang ini hanya pada
tahap expert review. Ahli yang terlibat sebanyak 3 ahli, yaitu ahli pengembang kurikulum,
ahli desain pembelajaran dan ahli materi. Evaluasi ini dijadikan sebagai penilaian atas kurikulum yang telah dikembangkan serta untuk mendapatkan umpan balik dari sudut
pandang ahli. Berikut ini merupakan hasil evaluasi dari para ahli :
Ahli Pengembang Kurikulum. Ahli pengembang kurikulum yang dilibatkan dalam penilaian kurikulum dosen program studi di Teknologi Pendidikan Universitas Negeri
Jakarta. Hasil review yang telah diberikan terdapat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Review Ahli Pengembang Kurikulum No. Indikator Nilai
1. Tujuan akhir pelatihan termuat dengan jelas dalam standar kompetensi 4
2. Standar kompetensi dengan lengkap memuat unsur Audience, Behavior, Condition, dan Degree
4
3. Standar kompetensi memuat aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara tepat 3
4. Standar kompetensi menggunakan kata operasional yang dapat diamati dengan
tepat 4
5. Rumusan kompetensi dasar tepat untuk mencapai standar kompetensi 3
6. Peta kompetensi sesuai dengan kompetensi yang harus dimiliki peserta pelatihan 3
7. Materi sesuai dengan standar kompetensi 4 8. Materi sesuai dengan kompetensi dasar 4
9. Mengakomodasi kebutuhan peserta pelatihan 3
10. Materi sesuai dengan karakteristik peserta pelatihan 3 11. Materi tersususun secara sistematis dan logis secara keilmuan 3
12. Metode sesuai dengan tujuan atau kompetensi yang ingin dicapai 4
13. Metode sesuai dengan karakteristik peserta pelatihan 4 14. Metode sesuai dengan karakteristik materi 3
15. Media dan bahan ajar sesuai dengan tujuan atau kompetensi yang ingin dicapai 3
16. Media dan bahan ajar sesuai dengan karakteristik materi 3
17. Waktu yang dialokasikan cukup 4 18. Urutan strategi instruksional disusun dengan tepat 3
19. Evaluasi sesuai dengan rumusan kompetensi 3
20. Evaluasi sesuai dengan konten yang telah ditetapkan 4 21. Pelaksanaan evaluasi mampu mengukur ketercapaian tujuan 3
Jumlah 72
Rata-rata 3,43
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
161 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Hasil pengolahan data yang diperoleh dari review ahli pengembang kurikulum
menghasilkan nilai rata-rata 3,43. Berdasarkan kriteria hasil yang telah ditentukan maka
kurikulum yang telah dikembangkan dinilai sangat baik.
Ahli Desain Pembelajaran. Ahli desain pembelajaran yang dilibatkan dalam penilaian
kurikulum ini adalah dosen program studi di Teknologi Pendidikan Universitas Negeri
Jakarta. Hasil review yang telah diberikan terdapat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil review Ahli Hasil Review Desain Pembelajaran
No. Indikator Nilai
1. Rumusan Standar Kompetensi (SK) menjawab kebutuhan instruksional 3
2. Rumusan SK tepat menggambarkan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan
4
3. Rumusan SK mengandung perilaku yang dapat diamati 4
4. Susunan analisis instruksional atau peta kompetensi tepat 3 5. Penggunaan struktur tepat dalam menyusun sub kompetensi 3
6. Daftar sub kompetensi lengkap 4
7. Kompetensi Dasar (KD) tepat untuk mencapai SK 4
8. Rumusan KD tepat menggambarkan aspek pengetahuan, sikap, atau
keterampilan 3
9. Rumusan KD sesuai format A.B.C.D 3
10. Rumusan KD dengan tepat mengandung perilaku yang dapat diamati 4 11. Tes relevan dengan tujuan instruksional 3
12. Kelengkapan tes dalam mengukur aspek pengetahuan, sikap, atau
keterampilan 3
13. Strategi instruksional relevan dengan tujuan instruksional 4
14. Urutan kegiatan instruksional disusun dengan tepat 3
15. Uraian materi lengkap 4 16. Penggunaan contoh tepat 4
17. Latihan relevan dengan tujuan instruksional 3
18. Metode yang digunakan tepat 4 19. Media dan alat yang digunakan tepat 3
20. Waktu yang dialokasikan cukup 4
21. Pengunaan media dan bahan ajar relevan dengan tujuan instruksional 3 22. Pengunaan media dan bahan ajar sesuai dengan karakteristik peserta pelatihan 4
23. Pengunaan media dan bahan ajar sesuai dengan karakteristik materi 3
24. Media dan bahan ajar menunjang pencapaian standar kompetensi 3
Jumlah 83
Rata-rata 3,46
Hasil pengolahan data yang diperoleh dari review ahli pengembang kurikulum
menghasilkan nilai rata-rata 3,46. Berdasarkan kriteria hasil yang telah ditentukan maka kurikulum yang telah dikembangkan dinilai sangat baik.
Ahli Materi. Ahli materi yang dilibatkan dalam penilaian kurikulum ini adalah staf dan
peneliti senior di Yayasan TERANGI. Hasil review yang telah diberikan terdapat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Review Ahli Materi
No. Indikator Nilai
1. Materi sesuai untuk mencapai tujuan instruksional 4
2. Sub pokok bahasan terkait dengan pokok bahasan 4
3. Penyusunan materi sesuai dengan disiplin ilmu 4 4. Materi sesuai dengan perkembangan ilmu saat ini 4
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
162 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Lanjutan Tabel 5. Hasil Review Ahli Materi
No. Indikator Nilai
5. Penggunaan istilah teknis tepat 3
6. Sub pokok bahasan dan pokok bahasan sesuai berdasarkan hubungan antar
konsep 4
7. Jumlah pokok bahasan mendukung pencapaian standar kompetensi 4
8. Sub pokok bahasan mendukung pencapaian kompetensi dasar 4
9. Sub pokok bahasan mampu meningkatkan pengetahuan peserta terkait
wawasan tentang terumbu karang 4
10. Sub pokok bahasan mampu meningkatkan kemampuan peserta dalam
melakukan pemantauan terumbu karang 4
11. Alokasi waktu sesuai untuk mempelajari materi pelatihan 3 12. Bahan evaluasi relevan dengan standar kompetensi 3
13. Bahan evaluasi relevan dengan kompetensi dasar 3
14. Bahan evaluasi tepat untuk membangkitkan motivasi peserta untuk mencari
tahu 3
Jumlah 51
Rata-rata 3,64
Hasil pengolahan data yang diperoleh dari review ahli pengembang kurikulum
menghasilkan nilai rata-rata 3,64. Berdasarkan kriteria hasil yang telah ditentukan maka
kurikulum yang telah dikembangkan dinilai sangat baik.
Melakukan Revisi. Dari penilaian yang telah diberikan oleh para ahli pada tahap expert
review, diperoleh beberapa masukan dan saran. Dari saran-saran tersebut penulis melakukan revisi terhadap produk kurikulum yang telah dikembangkan, hasilmrevisi yang
dilakukan terdapat pada Tabel 6 dan 7.
Tabel 6. Rincian Revisi dari Ahli Pengembang Kurikulum dan Desain Pembelajaran
Sebelum Revisi Setelah Revisi
Peta kompetensi menggunakan pola
kombinasi Peta kompetensi menggunakan pola hierarki
Penyusunan Strategi Instruksional untuk
setiap KD hanya dipasahkan 1 kali enter.
Penyusunan Strategi Instruksional untuk setiap KD
dibedakan setiap halaman
Teknik penyajian tes kurang baik Teknik penyajian tes disusun dengan baik
Susunan kurikulum masih kurang tepat. Susunan kurikulum disesuaikan dengan masukan
yang diberkan.
Tabel 7. Rincian Revisi dari Ahli Materi
Sebelum Revisi Setelah Revisi
Topik Pelatihan 2: Pengenalan dan
identifikasi Lifeform Terumbu Karang
Topik Pelatihan 2: Pengenalan dan identifikasi
Lifeform Karang
Topik Pelatihan 3: Identifikasi Genus Terumbu Karang.
Topik Pelatihan 3: Identifikasi Genus Karang.
Media yang digunakan dalam KD 2: Slide Presentasi dan Buku Panduan Pengamatan
Karang
Media yang digunakan dalam KD 2: Slide Presentasi, Buku Panduan Pengamatan Karang, dan Banner
gambar kumpulan Karang
Media yang digunakan dalam KD 3: Slide
Presentasi dan Guide Book Pengenalan
Karang Keras
Media yang digunakan dalam KD 3: Slide Presentasi,
Guide Book Pengenalan Karang Keras, Banner
kumpulan gambar karang dan specimen karang
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
163 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Prosedur Pemanfaatan Produk. Prosedur pemanfaatan dari prototype kurikulum ini
adalah : (1) menentukan peserta pelatihan yang menjadi sasaran, yaitu peserta pelatihan
pemantauan terumbu karang, (2) melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi dan diskusi
terkait kurikulum antara staf Yayasan TERANGI, instruktur pelatihan dan orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan program pelatihan pemantauan terumbu karang dan (3)
menyiapkan seluruh aspek yang dibutuhkan dalam menunjang kegiatan pelatihan seperti
bahan ajar, lembar penilaian, alat-alat untuk praktik, ruangan dan berbagai fasilitas lain
yang akan digunakan dalam pelatihan. Selain itu, dalam mengimplementasikan kurikulum dapat dilakukan improvisasi sesuai kondisi peserta didik dan kebutuhan serta
perkembangan yang ada, dimana peserta diberikan handout yang berisikan tujuan
instruksional setiap topik pelatihan dan susunan materi pelatihan yang kemudian akan
dijelaskan oleh instruktur.
Kesimpulan. Penelitian pengembangan ini menghasilkan dokumen prototype
kurikulum program pelatihan pemantauan terumbu karang di Yayasan Terumbu Karang
Indonesia. Berikut adalah kesimpulan dari serangkaian proses pengembangan yang telah
dilakukan, diantaranya : (1) melakukan analisis instruksional dengan mengidentifikasi kompetensi umum menjadi sub-sub kompetensi. Sub kompetensi yang ditetapkan
sebanyak 4 kompetensi yang disusun dalam peta kompetensi berpola hierarki, (2)
mengidentifikasi karakteristik awal calon peserta pelatihan serta konteks. Karakteristik
awal calon peserta yaitu orang yang mempunyai background pendidikan atau pekerjaan
yang berkaitan dengan terumbu karang serta harus mempunyai kemampuan menyelam. Analisis konteks menghasilkan bahwa kondisi ruangan, fasilitas, dan media pembelajaran
yang memadai di Yayaysan TERANGI sedangkan untuk menunjukkan kompetensinya
peserta harus melakukan praktik di laut, (3) merumuskan kompetensi khusus atau
Kompetensi Dasar (KD) berdasarkan subkompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Rumusan KD yang ditetapkan berjumlah 4, (4) menyusun instrumen penilaian yang
didasarkan pada standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditentukan.
Penilaian berupa tes formatif dan sumatif. Tes formatif berbentuk pilihan ganda, esai, dan
tes kinerja. Sementara tes sumatif berupa pilihan ganda dan ujian praktik, (5) menyusun strategi instruksional sesuai dengan jumlah KD yang ada. Strategi instruksional disusun
dalam bentuk tabel yang berisikan urutan kegiatan instruksional, alokasi waktu, media dan
metode yang digunakan, (6) memilih bahan instruksional dengan mengumpulkan opsi
bahan yang dapat digunakan dalam pelatihan. Bahan instruksional yang digunakan berupa 3 buku pedoman yang tersedia di Yayasan TERANGI dan (7) melakukan evaluasi formatif
melalui expert review, yaitu ahli kurikulum, ahli desain pembelajaran dan ahli materi.
Berdasarkan hasil expert review kurikulum ini memperoleh nilai dalam kategori sangat
baik, dimana perolehan skor rata-rata dari ahli kurikulum sebesar 3,43, ahli desain
pembelajaran sebesar 3,46 dan ahli materi sebesar 3,64.
Ucapan Terima Kasih. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Erry
Utomo M.Ed, Ph.D Ibu Santi Maudiarti, SE, M.Pd yang telah meluangkan waktu dan selalu
memberikan dukungan, motivasi dan saran kepada penulis. Pihak Yayasan TERANGI, yang
telah membantu dan memfasilitasi penulis dalam proses penyusunan artikel ini.
Daftar Pustaka
Ansyar, M. (2015). Kurikulum: Hakikat, Fondasi, Desain dan Pengembangan. Jakarta:
Kencana. Badar Al-Tabany, T. I. (2014). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif dan
Kontekstual. Jakarta: Prenadamedia Group.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
164 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Branch, R. M., & Dousay, T. A. (2015). Survey Of Instructional Design Models.
Bloomington: AECT.
Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management Program. (2008).
Coral Disease Handbook. Melbourne: Coral Reef Targeted Research and Capacity Building for Management Program.
Daryanto, & Bintoro. (2014). Manajemen Diklat. Malang: Gava Media.
Hamalik, O. (2009). Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Idris, & Fadillah. (2012). Guide Book Pengenalan Karang Keras Yang Diperdagangkan.
Jakarta: Kementerian Kelautan Dan Perikanan.
Iriana, F. (2016). Pengembangan Kurikulum: Teori Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta:
Parama Ilmu. Miarso, Y. H. (2016). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Nurdin, S., & Andriantoni. (2016). Kurikulum dan Pembelajaran. Depok: PT Rajagrafindo
Persada.
Priansa, D. J. (2014). Perencanaan dan Pengembangan SDM. Bandung: Alfabeta.
Pribadi, B. A. (2010). Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat. Puslit Oseanografi LIPI. (2019, Juni 22). LIPI: Status Terkini Terumbu Karang Indonesia
2018. Retrieved from Lipi.go.id: http://lipi.go.id/siaranpress/lipi:-status--terkini-
terumbu-karang-indonesia-2018-/21410
Sanjaya, W. (2013). Kurikulum Dan Pembelajaran: Teori Dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Sukmadinata, N. S. (2013). Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Suparman, M. A. (2014). Desain Instruksional Modern: Panduan Para Pengajar dan Inovator Pendidikan. Jakarta: Erlangga.
Suprayekti, & Annisa. (2017). Integrasi Sumber Belajar Dalam Pembelajaran. Jakarta: FIP
UNJ.
Tegeh, I. M., Jampel, I. N., & Pudjawan, K. (2014). Metode Penelitian Pengembangan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yayasan TERANGI. (2019, Juni 22). Profil Yayasan Terumbu Karang Indonesia. Retrieved
from terangi.or.id: https://www.terangi.or.id/index.php/tentang-kami/122-profil-
yayasan-terumbu-karang-indonesia
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
165 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pengelolaan Sumberdaya Alam Taman Nasional Karimunjawa Melalui Kemitraan Konservasi Rohmani Sulisyati1, Yusuf Syaifudin2 dan Erni Roestiana3
Balai Taman Nasional Karimunjawa
Jl. Sinar Waluyo Raya 248 Semarang (Email: [email protected])
Abstrak - Zona Tradisional merupakan bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan
pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dangan
sumber daya alam setempat. Zona ini diperuntukkan sebagai daerah pemanfaatan perikanan tradisional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya. Proporsi zona ini dalam kawasan Taman Nasional Karimunjawa mencapai 90% luas kawasan (102.899,249 Ha). Namun apakah pemanfaatan yang telah dilakukan oleh masyarakat tersebut
dapat dibenarkan mengingat status Karimunjawa sebagai taman nasional. Kemitraan konservasi dalam
bentuk pemberian akses pemanfaatan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah jalan “halal” bagi masyarakat sekitar kawasan konservasi untuk memanfaatkan sumber daya
kawasan. Ruang lingkup kemitraan konservasi adalah dalam rangka pemberdayaan masyarakat dan pemulihan ekosistem. Kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat dapat berupa
pemberian akses dan kerjasama antara pemegang izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat
setempat. Tahapan pelaksanaan kemitraan meliputi: tahap persiapan, usulan rencana kegiatan, penilaian dan persetujuan, perumusan dan penandatanganan. Salah satu kegiatan pada tahap persiapan
adalah fasilitasi pembentukan kelompok masyarakat. Terdapat empat desa yang berbatasan langsung
dengan kawasan taman nasional Karimunjawa. Balai Taman Nasional Karimunjawa telah memberikan akses seluas 620 hektar kepada pokja KPDN Desa Nyamuk. Desa Parang kemitraan konservasi berupa
pemberian akses area perikanan (PAAP) seluas 380 Ha. Tahapan untuk kerjasama kemitraan konservasi Desa Karimunjawa dan Kemujan masih dalam proses verivikasi permohonan.
Kata Kunci: Akses, Kemitraan Konservasi, Kerjasama
Abstract - The Traditional Zone is part of a national park designated for the benefit of traditional use by
the community, which due to its historical has been dependent on local natural resources. This zone is designated as an area for the use of traditional fisheries by the local community in a sustainable manner
through utilization arrangements in order to meet their daily needs. The proportion of this zone in the
Karimunjawa National Park area reaches 90% of the area (102.899,249 Ha). However, whether the utilization that has been done by the community can be justified given the status of Karimunjawa as a
national park. Conservation partnerships in the form of granting access to the use of Nature Reserve
Areas (KSA) and Nature Conservation Areas (KPA) are a “halal” way for communities around the conservation area to utilize the area's resources. The scope of conservation partnerships is in the
framework of community empowerment and ecosystem restoration. Conservation partnerships in the context of community empowerment can be in the form of providing access and cooperation between
permit holders in the conservation area and local communities. Partnership implementation stages
include: the preparation stage, proposed activity plans, assessment and approval, formulation and signing. One of the activities in the preparatory stage is to facilitate the formation of community groups.
There are four villages directly adjacent to the Karimunjawa National Park area. The Karimunjawa National Park Office has granted 620 hectares of access to the Nyamuk Village KPDN working group.
Parang Village is a conservation partnership in the form of granting access to a fishing area (PAAP)
covering an area of 380 hectares. The stages for the conservation partnership cooperation between Karimunjawa and Kemujan are still in the process of verifying the application.
Keywords: Access, Conservation Partnerships, Cooperation
Pendahuluan. Taman Nasional Karimunjawa secara administratif masuk Kabupaten
Jepara Jawa Tengah, memiliki ekosistem yang asli dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Keanekaragaman hayati ditandai dengan keberadaan lima tipe ekosistem utama
yaitu ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah, hutan mangrove, hutan pantai, padang
lamun dan ekosistem terumbu karang yang merupakan habitat bagi berbagai flora fauna
yang hidup di dalamnya. Kepulauan Karimunjawa terdiri dari 27 pulau dan 22 pulau diantaranya merupakan kawasan taman nasional. Dari pulau-pulau tersebut, terdapat
empat pulau utama yang dihuni yaitu Pulau Karimunjawa, Kemujan, Nyamuk dan Parang.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
166 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Lebih dari 75% masyarakat Karimunjawa merupakan rumah tangga perikanan, dimana
nelayan adalah mata pencaharian utama masyarakat di Karimunjawa. Adanya perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang semula hanya
untuk tujuan konservasi perlindungan hidupan liar, berubah menjadi pengelolaan kawasan konservasi untuk tujuan sosial dan ekonomi yang direncanakan dan dikelola bersama untuk
kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dengan melibatkan peran para
pihak (Hapsari, et al., 2019). Dengan perubahan paradigma tersebut, maka pengelolaan
kawasan konservasi saat ini dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan berbagai stakeholder, khususnya masyarakat di sekitar kawasan konservasi tersebut.
Ruang lingkup kemitraan konservasi adalah dalam rangka pemberdayaan masyarakat
dan pemulihan ekosistem. Kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat
dapat berupa pemberian akses dan kerjasama antara pemegang izin pada kawasan konservasi dengan masyarakat setempat. Pemberian akses adalah berupa: a) pemungutan
hasil hutan bukan kayu (HHBK), b) budidaya tradisional, c) perburuan tradisional untuk
jenis yang tidak dilindungi, d) pemanfaatan tradisional sumberdaya perairan terbatas untuk
jenis yang tidak dilindungi serta e) wisata alam terbatas.
Metode Penelitian. Lokasi kemitraan konservasi dalam rangka pemberdayaan
masyarakat adalah zona/blok tradisional dan blok pemanfaatan. Lokasi pemberian akses
pemanfaatan sumberdaya perairan dilaksanakan pada zona tradisional. Tahapan
pelaksanaan kemitraan meliputi: tahap persiapan, usulan rencana kegiatan, penilaian dan
persetujuan, perumusan dan penandatanganan kerjasama kemitraan.
Hasil dan Pembahasan. Berdasarkan SK Dirjen PHKA no. SK 28/IV-SET/2012
tanggal 6 Maret 2012 tentang zonasi Taman Nasional Karimunjawa terdapat 9 zona yaitu
zona inti, zona rimba, zona perlindungan bahari, zona pemanfaatan darat, zona pemanfaatan wisata bahari, zona budidaya bahari, zona religi, budaya dan sejarah,
rehabilitasi serta zona tradisional perikanan. Zona tradisional perikanan seluas 102.899,
249 Ha merupakan zona terluas diantara zon-zona yang lain. Artinya hampir sebagian
besar kawasan Taman Nasional Karimunjawa dapat dilakukan pengelolaan kolaboratif
bersama masyarakat. Kriteria desa yang menjadi target adalah desa yang berbatasan langsung dengan
kawasan dan/atau desa yang tidak berbatasan langsung dengan kawasan konservasi
namun masyarakatnya memiliki interaksi dengan kawasan tersebut. Empat desa yang ada
di Karimunjawa tidak hanya berbatasan langsung namun juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan taman nasional. Sehingga sasaran kemitraan konservasi
adalah keempat desa tersebut. Tahapan dilaksanakan adalah peningkatan kapasitas
kelembagaan dan pendampingan masyarakat. Peningkatan kapasitas kelembagaan
dilakukan dengan pembentukan kelompok, penyusunan rencana kelompok, fasilitasi kesepakatan konservasi dan penyusunan rencana pemberdayaan masyarakat.
Desa Nyamuk. Perikanan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Nyamuk adalah
perikanan skala kecil, sebatas untuk memenuhi kebutuan protein keluarga ataupun untuk
dijual hingga Jepara. Penangkapan ikan untuk konsumsi keluarga dilakukan di kawasan
sekitar Desa Nyamuk. Sedangkan untuk mendapatkan hasil perikanan yang bernilai ekonomi tinggi, nelayan Desa Nyamuk biasanya mencari ikan sampai 70 mil ke arah utara,
yang disebut nelayan “babang (---, 2019).
Pengelolaan perikanan di Desa Nyamuk disepakati secara bersama oleh kelompok
yang mewakili masyarakat pada tahun 2016. Kesepakatan dengan meningkatkan ketersediaan ikan kerapu secara berkelanjutan melalui pengaturan alat tangkap, ukuran
hasil tangkapan, waktu penangkapan & pengawasan mandiri oleh masyarakat. Masyarakat
Desa Nyamuk menyepakati beberapa pengaturan perikanan antara lain: membentuk
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
167 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk (KPDN) yang meliputi Karang Ujung Sahid, Taka Coek
dan Ujung LaBugis sebelah Utara. Perairan sekitar Pulau Katang ditujukan untuk pemulihan
populasi ikan, dan sumber dayanya tidak boleh diambil secara langsung.
KPDN merupakan suatu area yang dikelola dan dimanfaatkan secara khusus, bisa dimanfaatkan oleh nelayan pancing dan bubu dari Desa Nyamuk sepanjang waktu. Namun,
nelayan tembak (kompressor dan selam alami) tidak diperkenankan mengambil ikan di
area tersebut setiap tanggal 18-28 Hijriah setiap bulannya. Ukuran ikan yang boleh
ditangkap adalah ikan sunuk ireng (> 38 cm), ikan kerapu macan (> 35 cm), ikan kerapu lumpur (> 50 cm). adapun peraturan ini telah dideklarasikan oleh masyarakat Desa
Nyamuk pada tanggal 24 Mei 2016, di lapangan bola Desa Nyamuk. Acara deklarasi
tersebut dihadiri oleh semua masyarakat Desa Nyamuk dan Muspika Kecamatan
Karimunjawa. Berdasar kesepakatan tersebut, pada tahun 2017 Balai Taman Nasional Karimunjawa
telah memberikan akses seluas 620 hektar kepada pokja KPDN. Dengan adanya pemberian
akses diharapkan nelayan Desa Nyamuk tidak lagi mencari ikan keluar dari Desa Nyamuk,
KPDN dapat memenuhi kebutuhan perikanan untuk Desa Nyamuk, populasi ikan bernilai
ekonomis tinggi meningkat populasinya.
Gambar 9. Peta Lokasi Kemitraan Konservasi di Desa Nyamuk
Desa Parang. Tahun 2019 Balai Taman Nasional Karimunjawa memberikan akses seluas
380 hektar pada SPKP Prima di Desa Parang. Hal pertama yang dilakukan adalah
membangun kesepakatan bersama masyarakat melalui sosialisasi. Sosialisasi berupa penyampaian informasi tentang pengelolaan kolaboratif dengan pemberian hak kelola
kepada masyarakat di zona perikananan tradisional. Melalui diskusi disepakati jenis
kegiatan yang akan dilaksanakan dalam kemitraan konservasi adalah pengelolaan jenis
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
168 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
ikan yang tidak dilindungi serta budidaya rumput laut dan budidaya ikan kerapu. Langkah
kedua adalah fasilitasi pembentukan kelompok masyarakat hingga berbadan hukum.
Kelompok inilah yang bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan
kolaboratif kemitraan konservasi. Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) Prima merupakan kelompok masyarakat di Desa Parang sebagai perkumpulan nelayan yang
berperan secara teknis dalam kemitraan konservasi ini. Wujud kemitraan konservasi di
Desa Parang berupa pemberian akses area perikanan (PAAP).
Lokasi yang disepakati adalah areal di zona tradisional perikanan dan zona budidaya bahari seluas 380 Ha, meliputi perairan sebelah Timur Pulau Parang dari Ujung Poni
hingga Selat Buntung dan perairan sebelah Barat Pulau Parang dari Jeruk Wangi hingga
Legon Boyo.
Gambar 10. Peta Lokasi Kemitraan Konservasi Di Desa Parang
Desa Karimunjawa. Masyarakat Desa Karimunjawa mengandalkan pemenuhan
kebutuhan hidupnya dari pemanfaatan sumber daya laut. Secara historis merupakan masyarakat pesisir yang identik sebagai nelayan dan hampir setiap hari mengarungi
lautan Karimunjawa untuk menangkap ikan dan hasil laut lainnya (---, 2020). SPKP Karya
Bhakti merupakan salah satu kelompok masyarakat yang saat ini mengajukan
permohonan untuk menerima akses area pemanfaatan di zona tradisional atas nama
warga Desa Karimunjawa. Kelompok ini mengajukan permohonan seluas 23.991 Ha. Berdasarkan hasil kajian pola penangkapan ikan dan sebaran alat tangkap, nelayan
Desa Karimunjawa cenderung melakukan aktivitas perikanan tidak hanya di Desa
Karimunjawa namun juga masuk ke desa-desa lainnya. SPKP Karya Bhakti mengajukan
pengelolaan spesies ikan tidak dilindungi, budidaya rumput laut, budidaya kerapu, wisata terbatas dan mendukung kelestarian fungsi kawasan Taman Nasional Karimunjawa.
Tahapan untuk kerjasama kemitraan konservasi Desa Karimunjawa masih dalam proses
verivikasi permohonan.
Desa Kemujan. Hasil tangkapan ikan masyarakat Kemujan cukup beragam, biasanya
dijual kepada pengepul baru kemudian dibawa ke Jepara (---, 2020). SPKP Mangga Delima
merupakan kelompok masyarakat di Desa Kemujan, binaan Balai Taman Nasional
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
169 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Karimunjawa. Kelompok masyarakat yang telah berbadan hukum ini mewakili masyarakat
Desa Kemujan mengajukan pemberian akses. Rencana pemanfaatan yang diajukan
adalah pemanfaatan perikanan secara tradisional, budidaya, wisata terbatas dan
penguatan fungsi kawasan. Areal yang dimohonkan meliputi perairan Pulau Cilik, Pulau Tengah, Pulau Sintok, Pulau Bengkoang dan Taka Menyawakan seluas 24.931 Ha.
Tahapan kerjasama baru dalam proses verivikasi.
Kesimpulan. Pengelolaan kawasan konservasi saat ini dilakukan secara kolaboratif
dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan melalui kemitraan konservasi. Empat
desa yaitu Karimunjawa, Kemujan, Parang dan Nyamuk tidak hanya berbatasan langsung
namun juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kawasan taman nasional.
Sehingga sasaran kemitraan konservasi adalah keempat desa tersebut. Balai Taman
Nasional Karimunjawa telah memberikan akses seluas 620 hektar kepada pokja KPDN Desa
Nyamuk. Desa Parang kemitraan konservasi berupa pemberian akses area perikanan
(PAAP) seluas 380 Ha. Tahapan untuk kerjasama kemitraan konservasi Desa Karimunjawa
dan Kemujan masih dalam proses verivikasi permohonan.
Daftar Pustaka.
---. 2020. Proposal Pemberian Akses di Desa Kemujan. Karimunjawa : SPKP Mangga
Delima, 2020.
—. 2020. Proposal Permohonan Pemberian Akses di Desa Karimunjawa. Karimunjawa : SPKP Karya Bhakti, 2020.
—. 2019. Rencana Kerja Tahunan (RKT) Kawasan Pengelolaan Desa Nyamuk Taman
Nasional Karimunjawa. Karimunjawa : KPDN, 2019.
Hapsari, Ajeng D, et al. 2019. Laporan Kegiatan Sosialisasi Pengelolaan Kolaboratif Hutan
Konservasi di Parang. Jepara : SPTN Wilayah I Kemujan, 2019.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
170 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
BIDANG ILMU SOSIAL EKONOMI
PERIKANAN DAN TEKNOLOGI
PENGOLAHAN SUMBERDAYA
PERIKANAN
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
170 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Penghidupan dan Kerentanan Masyarakat Tambaklorok dalam Menghadapi Program Kampung Bahari Dimas Hastama Nugraha1, Rezeki Peranginangin2 dan Iim Abdul Karim3
1,3)Satuan Kerja Balai Litbang Penerapan Teknologi Permukiman/ Balai Pelaksana
Penyediaan Perumahan Jawa III, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakya,t
Jalan Laksda Adisucipto 165 Yogyakarta 2)Pusat Pengembangan Kompetensi Jembatan, Perumahan dan Infrastruktur Wilayah,
Jalan Abdul Hamid Cicaheum Bandung
(Email : [email protected])
Abstrak - Kampung Tambak Lorok, Tanjung Emas, Semarang berada di daerah sekitar kawasan
permukiman dengan akses penghidupan yang memanfaatkan sumber daya sekitar namun memiliki
tingkat kerentanan yang tinggi terhadap land subsidence dan rob serta terletak di pesisir Tanjung Emas Semarang. Dalam rangka mewujudkan penataan kampung Bahari yang produktif dan bersih maka
memerlukan studi mengenai upaya pengoptimalan fungsi penataan kampung nelayan Tambak Lorok diperlukan sehingga terwujud keberlanjutan sumber-sumber penghidupan potensial di wilayah tersebut.
Rumusan masalah dari studi ini adalah aspek perikehidupan apa saja yang ada di Kampung Tambaklorok
dan analisis kerentanan yang ada di masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dan
kuantitatif. Pendekatan Deskriptif kualitatif digunakan untuk menjelaskan tingkatan paparan dan
kapasitas adaptasi masyarakat Kampung Tambak Lorok sedangkan pendekatan deskriptif kuantitatif dilakukan untuk menjelaskan tingkatan sensitivitas masyarakat Kampung Tambak Lorok terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penghidupan mereka. Hasil dari studi ini adalah perikehidupan warga mencakup faktor sumber daya manusia, natura, dan fisik dan sosial beserta penjelasannya.
Adapun Tingkat kerentanan warga yang paling tinggi adalah pada sumberdaya manusia. Sumberdaya
manusia dengan keterampilan yang tidak beragam membuat pilihan sumber penghidupan masyarakat semakin kecil. Selain itu tekanan penurunan muka tanah menyebabkan saving ratio warga semakin kecil
dan investasi jangka panjang semakin sulit dilakukan termasuk investasi pendidikan. Kata Kunci : Perikehidupan, Kerentanan, Masyarakat, Tambaklorok
Abtract - Kampung Tambak Lorok, Tanjung Emas, Semarang is located in an area around a residential
area with access to livelihoods that utilize surrounding resources but has a high level of vulnerability to land subsidence and rob and is located on the coast of Tanjung Emas Semarang. In order to realize the
productive and clean arrangement of the Bahari village, a study on efforts to optimize the function of the Tambak Lorok fishing village arrangement is needed so that the sustainability of potential livelihood
sources in the area can be realized. The formulation of the problem from this study is what aspects of
life exist in Tambaklorok Village and the vulnerability analysis that exists in the community. The research method used is descriptive qualitative and quantitative. The research approach used is descriptive
qualitative and quantitative research. The qualitative descriptive approach was used to explain the level
of exposure and adaptation capacity of the Tambak Lorok community, while the quantitative descriptive approach was used to explain the level of sensitivity of the Tambak Lorok community to the factors that
influenced their level of livelihood. The result of this study is that the livelihoods of residents include human resources, in-kind, and physical and social factors along with their explanations. The level of
vulnerability of citizens with the highest level is in human resources. Human resources with non-diverse
skills make the community's source of livelihood choices smaller. In addition, the pressure of land subsidence causes the saving ratio of residents to become smaller and it is increasingly difficult to make
long-term, including investment in education. Keywords: Livelihood, Vulnerability, Community, Tambaklorok
Pendahuluan. Kampung Tambak Lorok, Kelurahan Tanjung Mas, sendiri merupakan
kampung nelayan yang berada tepat di pesisir pantai Kota Semarang. Lokasi Kampung
Tambak Lorok merupakan lokasi yang strategis, berada di daerah sekitar kawasan permukiman, akses penghidupan dengan memanfaatkan sumberdaya alam dekat, namun
memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap land subsidence dan rob. Dalam rangka
mewujudkan penataan kampung nelayan yang rapih, bersih, asri higienis dan produktif,
maka ada program Kampung Bahari sehingga dari Kementerian Pekerjaan Umum dan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
171 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Perumahan Rakyat sehingga diharapkan nelayan Tambak Lorok diperlukan sehingga
terwujud keberlanjutan sumber-sumber penghidupan potensial di wilayah tersebut. Paparan kerentanan penurunan kualitas lingkungan Kampung Tambak Lorok tergolong
tinggi. Keadaan tersebut ditambah pula dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, lokasi yang strategis dan maraknya rencana pembangunan industri di daerah sekitar
kawasan Tambak Lorok. Penataan Kampung Tambak Lorok sebagai Kampung
Bahari/Kampung Nelayan seyogyanya mampu meningkatkan ketahanan masyarakat
setempat dan tetap menghubungkan masyarakat setempat dengan akses-akses penghidupannya. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan studi mengenai aspek pengidupan
dengan menilai tingkat ketahanan dan kerentanan masyarakat Kampung Tambak Lorok
yang merupakan subyek dan obyek dari proses pembangunan Kampung Bahari.
Masyarakat pesisir pada umumnya menggantungkan sumber mata pencaharian mereka kepada ekosistem. Tidak sekedar mata pencaharian dan sumber penghidupan,
namun juga termasuk konteks ekonomi, sosial dan budaya yang terkait dengan ekosistem.
penurunan kualitas ekosistem berdampak pada turunnya tingkat kemakmuran dan
mengganggu kebudayaan serta penghidupan (Diegues, 2005). Tingkat ketahanan memiliki
hubungan yang terbalik dengan tingkat kerentanan. Tingkat ketahanan dan kerentanan dapat dinilai dari berbagai aspek. Menurut Cinner (2012), terdapat tiga aspek dalam
dimensi kerentanan yaitu tingkat pemaparan, sensitivitas dan kapasitas adaptasi. Menurut
Adger dan Vincent (2005) paparan (eksposure) adalah tingkatan dimana suatu system
dipengaruhi oleh perubahan, ekologis dan lingkungan. Sensitivitas adalah tingkat ketergentungan terhadap sumberdaya alam yang berkaitan secara langsung. Kapasitas
adaptasi merupakan karakteristik laten yang menggambarkan kemampuan komunitas atau
penduduk untuk mengantisipasi dan merespon perubahan, untuk meminimalkan, berdamai
dan pulih dari konsekuensi perubahan. Konsep penilaian kerentanan dan strategi adaptasi sebagai berikut, dari kebijakan pembangunan yang ada akan diperlukan pemetaan
perikehidupan dan tingkat kerentanan yang ada. Dari ini semua akan dilihat bagaimana
proyeksi strategi adaptasi yang dilakukan pada masa mendatang (Smith, 2006).
Metode Penelitian. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian
deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan Deskriptif kualitatif digunakan untuk
menjelaskan tingkatan paparan dan kapasitas adaptasi masyarakat Kampung Tambak
Lorok sedangkan pendekatan deskriptif kuantitatif dilakukan untuk menjelaskan tingkatan
sensitivitas masyarakat Kampung Tambak Lorok terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat penghidupan mereka. Observasi, wawancara mendalam dan focus
group discussion (FGD) dilakukan untuk mendapatkan data kualitatif dan data deskriptif
kuantitatif didapatkan dengan melakukan sampling secara acak terstruktur dengan
melakukan pembobotan pada masing-masing variabel. Parameter yang diangkat penelitian merupakan beberapa parameter yang
mempengaruhi tingkat penghidupan masyarakat secara umum dan secara khusus.
Parameter dikembangkan dari analisis penghidupan berkelanjutan yang dijabarkan dalam
(Elis 2000) yang memuat parameter aspek penghidupan seperti pada table di bawah ini.
Tabel 1. Parameter Aspek Kehidupan
Parameter Aspek
Penghidupan Variabel Indikator
Sumberdaya Alam Kualitas dan aksesbilitas air bersih
Kualitas udara Ruang terbuka hijau
Sumberdaya ikan
Lahan pertanian
Penilaian subyektif
dan obyektif menggunakan
pembobotan skala 1-
10Skala 1-10
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
172 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Fisik Kondisi rumah tinggal
Kendaraan Sarana komunikasi
Perahu dan alat tangkap
Akses Jalan
Fasilitas Umum Pasar Tempat Pendaratan Ikan
Pelabuhan
Sekolah
Penilaian subjectif
dan obyektif menggunakan
pembobotan skala 1-
10
Sumberdaya Manusia Keterampilan dan keahlian yang
dimiliki oleh individu dalam
keluarga
Penilaian obyektif
menggunakan
persentase jumlah keahlian
dibandingkan jumlah
anggota keluarga
Finanasial Tingkat Pendapatan
Tingkat pengeluaran
Saving Ratio
Penilaian obyektif
menggunakan tingkat
saving ratio, dimana
nilai maksimal adalah SV > 40%
Sosial Tingkat partisipasi warga dalam kelembagaan social
Penilaian obyektif keaktifan masyarakat
Aspek sumberdaya alam adalah aspek pengidupan yang berasal dari layanan
ekosistem yang mendukung penghidupan masyarakat setempat. Aspek fisik pada tingkatan rumah tangga adalah segala sesuatu benda pendukung dan utama untuk
melaksanakan pencaharian. Aspek fisik pada tingkatan komunitas atau RW merupakan
fasilitas atau akses terhadap infrastruktur. Aspek sumberdaya manusia yang dimaksud
adalah jumlah anggota keluarga dan tingkatan keterampilan yang dimiliki. Aspek finasial adalah tingkat pendapatan, tingkat tabungan dan akses terhadap pinjaman. Aspek sosial
adalah bentuk relasi sosial dan peranan kelembagaan informal maupaun formal dalam
masyarakat.
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan menyajikan
informasi dalam bentuk grafik dan table serta keterangan lain untuk menggambarkan kondisi yang mewakili kondisi sebenarnya. Penggunaan analisis kualitatif juga dilakukan
untuk melengkapi temuan temuan pada lapangan yang dinilai berbobot untuk ditelaah lebih
lanjut. Selain itu digunakan analysis komprehensif terkait dengan temuan temuan pada
penelitian terdahulu terutama mengenai kelestarian dan keberlanjutan kawasan dan fungsinya.
Hasil dan Pembahasan. Penghidupan/ aspek livelihood dikatakan berkelanjutan jika
(Kharismawanti, 2014) elastis dalam menghadapi kejadian-kejadian yang mengejutkan
dan tekanan dari luar, tidak tergantung pada bantuan dan dukungan luar, tidak merugikan
penghidupan atau mengorbankan pilihan-pilihan penghidupan yang terbuka bagi orang lain
dan membedakan antara aspek-aspek lingkungan, ekonomi, sosial, dan isntitusional dari
sistem-sistem yang sustainable. Pendekatan keberlanjutan mata pencaharian (sustainable
livelihood) dapat digunakan sebagai kritik terhadap pembangunan, baik dari sisi hasil, cara
maupun ide yang cenderung menjadi eksploitatif bukan hanya terhadap sumber daya alam
tetapi juga modal-modal lain yang mendukung keberlanjutan mata pencaharian
termasuk modal non fisik.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
173 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 1. Local Livelihood
Pada gambar di atas dijelaskan system livelihood local yang dipengaruhi oleh
ekosistem servis dan perubahannya dan pada tingkatan rumah tangga bagaimana masyarakat atau komunitas beradaptasi dan menggunakan asset asset yang dimiliki untuk
mempertahankan keberlanjutan penghidupannya. Dari pola penggunaan kecenderungan
penggunaan asset dan kerentanan yang terukur dalam suatu konteks, maka penilaian
mengenai asset asset penghidupan suatu komunitas baik dari tataran desa, hingga
tingkatan terkecil yaitu rumah tangga perlu dilakukan untuk menyeseuaikan kebijakan, pola kelembagaan, dan inisiasi pasar yang tepat sehingga menjamin keberlangsungan
penghidupan suatu komunitas secara efektif.
Kampung Tambak Lorok terbagi kedalam 5 RW yaitu RW12,13,14,15,dan 16. Masing
masing RW memiliki pola dan kecenderungan strategi penggunaan asset yang berbeda. Hal ini Nampak dari sebaran pekerjaan masyarakat yang tinggal pada masing masing RW.
Wawancara mendalam dan FGD (Focus Group Discussion) dan PRA (Participatory Rural
Apraisal) untuk mengumpulkan opini, pengetahuan dan masukan dari masyarakat
setempat mengenai pembangunan dan manajemen perencanaan suatu wilayah dinilai dari kesiapan dan kondisi aspek pengidupan masing masing lokasi.
Secara etimologis, makna kata livelihood itu meliputi aset modal (alam, manusia,
finansial, soasial, dan fisik), aktifitas. Akses atau aset yang dimaksud dimediasi oleh
kelembagaan dan relasi sosial yang secara bersama mendikte hasil yang diperoleh oleh individu maupun keluarga. Kata akses ini didefinisikan sebagai aturan atau norma sosial
yang mengatur atau mempengaruhi kemampuan yang berbeda antara orang dalam
memiliki, mengontrol, mengklaim, atau menggunakan sumberdaya (Saragih et al., 2007).
Menurut Ellis (2000), Penghidupan (livelihood) merupakan gambaran tentang kemampuan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
174 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
(capabilities), kepemilikan sumberdaya (asset), dan kegiatan yang dibutuhkan seseorang
atau masyarakat untuk menjalani kehidupannya. Asset, akses, aktivitas merupakan tiga
konsep yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu penghidupan (livelihood). Aset terkait
dengan akses dan penguasaan sumberdaya. Aset ada dua macam yakni aset tampak misalnya lahan dan aset tidak tampak misalnya pengetahuan, keterampilan, status sosial
(Kharismawanti, 2014). Asset utama yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya adalah
kemampuan atau tenaga kerja mereka sendiri terkait keterampilan, pendidikan atau
pengetahuan, kesehatan, dan mampu memanfaatkan peluang. Pada level rumah tangga, modal manusia adalah faktor dari jumlah dan tenaga kerja yang trersedia (DFID, 1999).
Pada bagian ini, akan dijelaskan masing masing aspek atau modal penghidupan
masyarakat Tambak Lorok per wilayah RW dan deskripsi dinamika yang ada dari hasil
temuan tersebut. Modal alam (natural) merupakan persediaan alam yang menghasilkan daya dukung
dan nilai manfaat bagi penghidupan manusia (DFID, 1999). Modal alam juga dapat
diartikan merupakan proses yang berasal dari alam dan terkait dengan proses-proses
ilmiah misalnya kondisi tanah, air, udara, siklus hidrologi, dan bagaimana manusia mampu
memainkan peranan dalam mengelola sumber yang ada untuk kebutuhan hidupnya.
Gambar 2. Penilaian Modal Natural Kampung Tambak Lorok
Sumber: Analisis
Grafik di samping menunjukkan hasil penilaian per lokasi mengenai kondisi
sumberdaya alam yang dinilai dari kondisi air tanah, sumberdaya ikan, kualitas udara dan
kualitas tanah dan kualitas tambak. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan tokoh
masyarakat dan beberapa responden, masyarakat RW 12 tidak terlalu bergantung kepada sumberdaya ikan dan kualitas air karena sebagian besar mata encaharian sebagai buruh
atau karyawan di sektor industri. Hal ini bernbeda dengan masyarakat yang ada di RW 13
merasakan kualitas lingkungan yang semakin menurun dan hasil tangkapan berkurang.
Sebagian responden menyatakan untuk kualitas tanah, menjadi perhatian utama karena penrunan muka tanah yang terus terjadi. Selain itu lahan tanah kosong sudah tidak ada
karena lokasi pemukiman yang padat dan rung hijau sangat minim di Kampung Tambak
Lorok. Beberapa ide mengenai pemnuatan jalur hijau dengan tanaman mangrove disambut
baik oleh warga namun permasalahan dan kekhawatiran warga adalah apakah penggunaan
lahan tersebut akan berkompetisi dengan penggunaan lahan sebagai hunian dan akses untuk mencari ikan di laut.
Penilaian warga terhadap sumberdaya air bersih sangat baik, hal ini diindikatorkan
dengan penialaian warga yang menyatakan akses dan kualitas air bersih dengan nilai rerata
8-9. Sumber air bersih yang menjamin kebutuhan hidup warga berasal dari air tanah yang
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
175 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
dipompa ke permukaan dan dikelola secara individual dan disebarkan kepada kelompok
masyarakat dengan penggantian membayarkan sejumlah uang sekitar Rp. 200.000 per
bulan. Pola pemenuhan air bersih warga Kampung Tambak Lorok merupakan suatu bentuk
adaptasi yang dilakukan oleh warga mengingat sebelumnya akses air bersih sulit ditemukan. Potensi pemenuhan air bersih ini kemudaian dijawab oleh beberapa orang yang
memiliki akses permodalan lebih dari pada masyarakat sekitarnya dan kemudian
mengusahakan modal ini sebagai bisnis tambahan.
Modal fisik merupakan modal yang berkaitan dengan fasilitas fisik yang termasuk sebuah cara dan perlengkapan fisik seperti jalan, tempat pendaratan, dan pasar. Semua
modal fisik dibangun untuk mendukung proses penghidupan masyarakat. Infrastruktur
terdiri dari pengembangan lingkungan fisik yang membantu masyarakat memenuhi
kebutuhan dasar dan menjadi lebih produktif (DFID, 1999). Modal fisik yang diterangkan pada definisi tersebut adalah pada tataran komunitas. Modal fisik pada tataran rumah
tangga adalah aset aset yang dimiliki secara probadi oleh suatu rumah tang auntuk
enjawab permasalahan yang mungkin akan di hadapi atau terkait erat dengan penghidupan
dan pola konsumsi rumah tangga.
Gambar 3. Penilaian Modal Fisik Tambak Lorok
Berdasarkan hasil penilaian, modal fisik terendah teramati pada RW 16, RW 13 dan RW 15. Hal tersebut terkait erat dengan kepemilikan aset rumah, kendaraan, perahu,
perhiasan, sarana komunikasi, dan alat tangkap. Aset aset tersebut dinilai sebagai aset
bergerak yang digunakan sebagai modal bagi warga untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Penialaian respnden mengenai rumah tinggal dan aset perahu yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan hidup memiliki skor yang tinggi. Hal ini menyatakan masyarakat
merasa nyaman dengan rumah tinggal yang dimiliki wlalaupun setiap bulan harus
menyisihkan sebagian uang untuk pershiapan pengurugan. Untuk saranan komunikasi dan
kendaraan mendapatkan nilai yang kurang baik karena sebagian besar warga berfikir
bahwa kendaraan yang mereka miliki memiliki umur teknis yang rendah karena laju korosi dan kondisi jalan yang kurang baik dan sering tergenang air. Terdapat double standar
pendapat utuk hal yang serupa namun berbeda penilaian. Aset fisik berupa rumah tinggal
dan perahu sama sama menghadapi permasalahan korosi dan bahkan rob, namun karena
frekuensi pengalaman warga setempat cukup tinggi mengenai hal tersebut, maka masyarakat menjadi terbias adan memaklumi permasalahan yang sudah menjadi
kebiasaan. Berbeda halnya dengan akses kendaraan. Ada keinginan mengganti kendaraan
sebelum kndaraan menjadi rusak karena kondisi fisik yang dihadapi pada saat rob dan
korosi logam.
-
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
176 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 4. Modal Fisik Tambaklorok
Modal sumberdaya manusia adalah kapasitas suatu individu atau komunitas untuk siap
menghadapi perubahan yang dimugkinkan akan terjadi. Kapasitas ini dpat dilihat dari
tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, jumlah keterampilan yang dimiliki atau jenis jenis pelatihan apa yang pernah dilakukan (DFID 1999). Modal sumberdaya manusia dinilai
sebagai modal yang paling signifikan dalam proses penentuan strategi adaptasi yang
digunakan pada saat suatu konteks terjadi. Pada umumnya strategi adaptasi yang diambil
adalah strategi mata peralihan mata pencaharian atau nafkah.
Gambar 5. Penilaian Modal SDM Tambak Lorok
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
177 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Strategi peralihan nafkah ekonomi yang sering terjadi adalah dari sektor perikanan ke
sektor lain pada saat musim paceklik atau sulit ikan. Sektor non perikanan yang sering
menjadi alternatif adalah bidang jasa. Beberapa nelayan terutama yang mempunyai
kemampuan pertukangan sering beralih ke sektor jasa pertukangan (mebel) pada saat musim paceklik tiba. Sedangkan bagi yang kurang terampil menjadi tukang, mereka cukup
membantu rekan mereka sebagai buruh bangunan. Pergeseran ke sektor non perikanan
juga terjadi pada generasi muda. Hal ini dikarenakan mereka telah mengenyam pendidikan
yang relatif lebih tinggi dibandingkan generasi tua. Pendidikan yang memadai ini menyebabkan mereka bisa bersaing untuk bekerja di kota-kota besar dan sector industry.
Beberapa diantaranya juga tidak berbekal pendidikan yang memadai sehingga mereka
bekerja sebagai tenaga kasar di kota-kota besar (Widodo, 2009).
Berdasarkan pada hasil survey lapangan, ditemukan beberapa responden yang menyatakan tidak memiliki keterampilan lain selain menangkap ikan. Pada tataran rumah
tangga, dilakukan survey untuk mengetahui keterampilan para anggota keluarga. Sebagian
besar responden manyatakan bahwa dalam tingkatan rumah tangganya, tidak memiliki
ketermapilan lain selain bidang yang sedang ditekuni. Pada responden RW 13, mengatakan
sebagian besar warga RW 13 dan 12 belum pernah mendapatkan pelatihan pelatihan keterampilan, baik itu di bidang perikanan, pengolahan produk dan perlatihan keterampilan
lain. Responden RW 16 dan RW 14 mengatakan nelayan sering mndapatkan pelatihan
pelatihan yang diadakan baik oleh dinas perikanan setempat atau pemerintah daerah.
Adapun kegiatan pengolahan biasanya bersinergi dengan kativitas PKK perempuan yang ada di sekitar. Mengingat aksesbilias beberap awarga terhadap keterampilan dan
penyebarannya, perlu dilakukan pemerataan pelatihan pelatihan untuk meningktakna
keterampilan warga.
Gambar 6. Penilaian Modal Finansial (Pendapatan dan pengeluaran)
Modal keuangan atau finansial adalah sumber-sumber keuangan yang digunakan dan
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan hidup mereka. Sumber utama
modal finansial adalah cadangan dan aliran dana teratur (penghasilan). Cadangan tersebut dapat berupa uang tunai, deposito, barang bergerak yang mudah diuangkan seperti hewan
ternak dan perhiasan, sedangkan aliran dana teratur seperti dana pensiun, bantuan dari
negara, dan kiriman uang (DFID, 1999). Secara khusus, strategi nafkah rumah tangga
miskin dapat dikelompokkan pada dua macam strategi, yaitu strategi ekonomi dan strategi
sosial. Strategi ekonomi merupakan strategi yang didasarkan pada penggunaan struktur alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga, sedangkan strategi sosial merupakan strategi
yang didasarkan pada penggunaan lembaga tradisional dan jejaring sosial yang ada di
sekitar rumah tangga miskin (Widodo, 2009). Berdasarkan hasil wawancara, sebagian
0
1000000
2000000
3000000
4000000
5000000
6000000
7000000
8000000
RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12
Rp
.
Pemasukan
Pengeluaran
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
178 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
besar responden dan warga setempat memiliki tingkat pedapatan yang lebih besar dari
pengeluaran. Namun saving rasio (rasio tabungan) warga minim karena sebagian besar
tabungan dipersiapkan untuk pengurugan rumah sebagai suatu strategi adaptasi terhadap
adanya ROB. Namun jika di lihat dari segi pendapatan, pendapatan warga RW 15 dan 14 relatif tinggi dibandingkan dengan RW lain. Pendapatan tersebut dikarenakan sebagian
besar RW 14 dan 15 memiliki akses pemenuhan kebutuhan hidup dari laut dan masih aktif
mencari laut, sedangkan isteri dan anak anak mereka membantu secara finansial dengan
bekerja di sektor industri sebagai karyawan. Selain modal finansial yang dinayatakna dalam jumlah pendapatan dan pengeluaran, pendekatan mengenai tingkat saving rasion
masyrakat dan bentuk saving atau tabungan masyarakat juga diamati. Bentuk tabungan
yang dimiliki oleh warga adalah bentuk informal seperti tabungan arisan warga, dan
tabungan tunai di rumah. 60% responden manyatakan memiliki tabungan di lembaga keuangan ormal se[erti bank dengan harapan dapat melakukan pinjaman di Bank untuk
penguatan modal atau untuk kebutuhan mendadak.
Gambar 7. Penilaian Modal Sosial Kampung Tambak Lorok
Sumberdaya/ modal sosial yang dimaksud dalam pendekatan penghidupan
berkelanjutan adalah sumberdaya sosial yang bermanfaat dan digunakan masyarakat
untuk mencapai tujuan penghidupan mereka. Terdiri dari jaringan, klaim sosial, hubungan sosial, keanggotaan, dan perkumpulan. Modal ini dapat dikembangkan melalui relasi dan
kedekatan, keanggotaan dalam lembaga, serta hubungan kepercayaan dan timbal balik
(DFID, 1999). Strategi sosial yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan miskin adalah
dengan memanfaatkan jejaring sosial yang mereka miliki. Jejaring sosial ini bisa berupa hubungan persaudaraan, pertemanan maupun hubungan buruh dan majikan. Pemanfaatan
jejaring sosial ini pada umumnya berupa hutang piutang. Nelayan miskin seringkali
berhutang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terutama pada musim paceklik. Pilihan
berhutang paling banyak jatuh pada saudara dekat. Modal sosial yang dimiliki oleh masing
maisng lokasi sama namun tinkat partisipasinya berbeda. Diketahui pada RW 13, tingkat partisipasi warga terhadap akses modal sosial rendah. RW 15 dan RW 16 didukung oleh
rutinitas pengajian dan beberapa lembaga nonformal di bidang keuangan seperti arisan
dan tabungan warga yang mengautamakan unsur epercayaan dpat berjalan dengan baik.
Aktivtas sosial berbandirng lurus dengan sarana dan prasarana untuk berkumpul. Di RW 15 dan 14 terdapat masjid yang dijadikan lokasi untuk berkumpul dan bermusyawarah
selepas solat untuk mebicarkan permsalahan yang ada disekitar.
Modal aspek penghidupan diploting kedalam bentuk diagram, diketahui bahwa modal
yang paling besar adalah Modal Sosial, dimana strategi penghidupan warga cenderung menggunakan modal ini untuk beradaptasi. Proses proses penyaluran informasi dan
penyebaran strategi adaptasi dibicarakan juga dalam betuk bentuk komunikasi nonformal
7.00
7.50
8.00
8.50
9.00
9.50
RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
179 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
dalam kelembagaan sosial. Untuk permodalan yang lain seperti modal finansial, modal
alam dan modal fisik, kurang lebih berada pada tingkatan ketahanan yang sama. Ketiga
modal ini dianggap sebagai modal matang dimana masyarakat dapat menggunakan modal
modal ini dalam menjawab permasalahan yang terjadi. Namun nilai yang berkisar modal tersebut tidak dapat dikatagorikan sebagai modal yang diandalkan mengingat penilaian
yang diberikan warga hanya berkisar pad anilai tengah atau rata rata.
Gambar 8. Analisis Kerentanan Keberlanjutan Penghidupan Masyarakat Kampung Tambak
Lorok
Berbeda dengan modal sumberdaya manusia yang berada pada tingkatan rentan
karena penilaian warga terhadap modal ini rata rata sangat kecil. Kerentanan warga terhadap modal ini sangat tinggi. Warga menganggap warga kurang keterampilan sehingga
kecenderungan strategi dalam menjawab permasalahan adalah dengan mengikuti sukses
story warga yang telah melakukan suatu strategi terlebih dahulu. Modal sosial yang kuat
merupakan sarana atau mediasi pembelajaran bagi warga.
Kesimpulan. Perikehidupan warga mencakup faktor sumber daya manusia, natura, dan
fisik dan sosial beserta penjelasannya. Adapun Tingkat kerentanan warga yang paling
tinggi adalah pada sumberdaya manusia. Sumberdaya manusia dengan keterampilan yang
tidak beragam membuat pilihan sumber penghidupan masyarakat semakin kecil. Selain itu tekanan penurunan muka tanah menyebabkan saving ratio warga semakin kecil dan
persipaan investasi jangka panjang semakin sulit dilakukan termask investasi pendidikan.
Daftar Pustaka Atmanegara, I. A. 2007. Pemilikan dan Akses Nelayan Terhadap Sumberdaya Pesisir di
Desa Glagah Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo. Jurusan Perikanan, Fakultas
Pertanian. UGM. Naskah tidak dipublikasikan.
-
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00Fisik
Alam
SDMFinansial
Sosial
RW 16 RW 15 RW 14 RW 13 RW 12
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
180 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Atmaningsih, T. 2012. Household Livelihood Strategy in Fish Catch Fluctuation Small Scale
Fisher Household in Bandar Lampung. Program Studi Magister Perencanaan Kota dan
Daerah. Program Pasca Sarjana UGM. Naskah tidak dipublikasikan.
Badan Pusat Statistik. 2010. Berita Resmi Statistik No. 47/Ix/1 September 2010. DFID. 1999. Sustainable Livelihoods Guidance Sheets.
Ditjen Perikananan Tangkap. 2011. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2010. KKP.
Jakarta
Ellis, F. 2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford University Press, New York.
Kharismawanti, N. A. S. 2014. Strategi Pemulihan Penghidupan Masyarakat (Livelihood)
Melalui Usaha Ekowisata Volcano Tour Pasca Bencana Erupsi Merapi Tahun 2010.
Departemen Pendidikan Nasional. Fakultas Geografi. UGM. Naskah tidak dipublikasikan.
Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan.
LKIS, Yogyakarta.
Rochana, E., Kooswardhono M., Luky A., Sugeng B. 2000. Pendekatan Coastal Livelihood
System Analyzis (CSLA) untuk Penanggulangan Kemiskinan (Studi Kasus di Desa Patimban-Pesisir Subang Jawa Barat).
Setyaji, K. 2014. Persepsi Pemuda Terhadap Sektor Perikanan Tangkap di Desa Glagah
Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo. Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian.
Ugm. Naskah tidak dipublikasikan. Saragih, S., Jonatan L., dan Afan R. 2007. Kerangka Penghidupan Berkelanjutan.
Sukmawati, D. 2008. Struktur dan Pola Hubungan Sosial Ekonomi Juragan dengan Buruh
di Kalangan Nelayan Pantai Utara Jawa Barat (Studi Tentang Simbiosis Antara Juragan
dengan Nelayan Buruh di Pondok Bali Kecamatan Legon Kulon Kabupaten Subang). Jurnal Kependudukan Padjadjaran, 10.1:50-63
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods).
Alfabeta, Bandung
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
181 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Beli Konsumen dalam Membeli Ikan Lele di Kota Kupang Chairul Pua Tingga1 dan Zainal Arifin Pua Geno2
Fakultas Perikanan Universitas Muhammadiyah Kupang,
Jl. KH. Ahmad Dahlan No.17, 85111, Indonesia
(Email: [email protected] ; [email protected])
Abstrak – Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang banyak digemari oleh masyarakat
Indonesia termasuk di Kota Kupang walaupun terletak di wilayah pesisir namun minat beli konsumen
terhadap ikan lele siap konsumsi di Kota Kupang mengalami peningkatan dengan banyaknya warung-warung yang menyediakan menu ikan lele serta banyaknya pembudidaya ikan lele di Nusa Tenggara
Timur. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli
konsumen dalam membeli ikan lele. Metode penelitian ini mengguanakan metode kuantitatif kausal dengan variabel penyebabnya adalah variabel sosial, budaya, dan pribadi, sedangkan minat beli
sebagai variabel akibat. Teknik pengumpulan data menggunakan kuisioner yang disebarkan kepada 384 responden, kemudian jawaban responden diolah menggunakan bantuan software SPSS versi 20.
Hasil penelitian menunjukkan secara simultan variabel sosial, budaya, dan pribadi berpengaruh
signifikan terhadap minat beli dengan nilai signifikansinya 0,000 < 0,05. Kemudian secara parsial variabel sosial dan variabel pribadi yang mempunyai pengaruh terhadap minat beli ikan lele di Kota
Kupang dengan nilai signifikansi masing-masing variabel adalah 0,000 < 0,05, sednagkan variabel budaya tidak mempunyai pengaruh secara parsial, karena nilai signifikansinya 0,451 > 0,05. Variabel
Minat beli dapat dijelaskan dengan variabel sosial, budaya, dan pribadi sebesar 80,9%. Dengan
demikian para penjual yang menyediakan menu ikan lele agar dapat mengolah menu ikan lele yang disesuaikan dengan gaya hidup dan selera konsumen di Kota Kupang, serta menyediakan tempat yang
nyaman bagi kosnumen untuk berinteraksi dengan teman, sahabat, dan keluarga sambil menikmati hidangan menu ikan lele.
Kata Kunci: Sosial, Budaya, Pribadi, Minat Beli
Abstract - Catfish is one type of freshwater fish that is popular with the people of Indonesia, including
in the city of Kupang, even though it is located in a coastal area, but consumers' buying interest in ready-to-consume catfish in Kupang City has increased with the number of stalls that provide catfish
menus and the number catfish farmers in East Nusa Tenggara. The purpose of this study was to
determine the factors that influence consumer buying interest in buying catfish. This research method uses a causal quantitative method with the causal variables being social, cultural, and personal
variables, while purchase interest is the effect variable. The data collection technique used a questionnaire distributed to 384 respondents, then the respondents' answers were processed using
SPSS version 20 software. The results showed that simultaneously social, cultural, and personal
variables had a significant effect on purchase intention with a significance value of 0.000 <0.05. Then partially social variables and personal variables that influence buying interest in catfish in Kupang City
with a significance value of each variable are 0.000 <0.05, while cultural variables do not have a partial
effect, because the significance value is 0.451> 0.05. . Purchase interest variable can be explained by social, cultural, and personal variables of 80.9%. Thus the sellers who provide catfish menus can
process catfish menus tailored to the lifestyle and tastes of consumers in Kupang City, and provide a comfortable place for consumers to interact with friends, friends, and family while enjoying the catfish
menu dishes.
Keywords : Social, Cultural, Personal, Buying Interest
Pendahuluan. Perikanan merupakan salah satu subsektor kegiatan pertanian yang
memiliki potensi di Indonesia. Selain perikanan laut, Indonesia memiliki lahan perikanan
air tawar yang cukup luas yaitu sekitar 1.278.463 Ha (Alicia dkk., 2019). Pertumbuhan produksi budidaya ikan lele di Indoensia dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan
(Andre, 2019), hal ini dikarenakan ikan lele merupakan jenis ikan yang mudah untuk
dibudidaya dalam segala kondisi, serta masa panen yang pendek ikan lele bisa dipanen
setelah mencapai ukuran 9-12 ekor per Kg. ukuran sebesar itu bias dicapai dalam tempo 2,5 – 3,5 bulan dari benih berukuran 5-7 cm (Arief, 2017). Ikan lele sangat digemari oleh
masyarakat Indonesia, karena ikan lele mengandung gizi dan protein yang sangat bagus
bagi tubuh manusia. Ikan lele yang dipasarkan selain ikan lele segar banyak juga
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
182 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
dipasarkan ikan lele yang sudah diolah, rasa dagingnya enak, dan cara pengolahan yang
mudah serta harga yang terjangkau membuat minat beli masyarakat dalam membeli ikan
lele semakin tinggi. Masyarakat kota Kupang dalam mengkonsumsi ikan sangat dipengaruhi oleh kebiasaan
(budaya) yang membentuk cara berpikir, berinteraksi, termasuk minat konsumsi
makanan. Perilaku konsumen dalam melakukan pembelian sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, terdapat 3 faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli
produk yaitu faktor sosial, faktor budaya, dan faktor pribadi (BPS, 2015). Kota Kupang yang berada dipesisir sehingga sangat mudah untuk mendapatkan ikan laut segar dan
masyarakat Kota Kupang pada umumnya dalam mengkonsumsi ikan banyak menyukai
jenis ikan air laut dibandingkan dengan jenis ikan air tawar, tetapi banyak juga restoran
dan warung-warung pedagang kaki lima di Kota Kupang yang menyediakan menu masakan ikan air tawar sepeerti lalapan ikan lele.
Berkembangnya usaha-usaha restoran dan warung-warung yang menyediakan menu
ikan lele tidak terlepas dari minat beli konsumen dalam membeli ikan lele. Konsumen yang
merupakan target utama dalam aktifitas pemasaran, dan sangat menentukan keberhasilan
sebuah usaha menjalankan strategi pemasaran. Usaha yang berorientasi pasar sangat perduli dengan kebutuhan dan keinginan konsumen untuk membuat perencanaan strategi
pemasaran yang akan digunakan dalam memasarkan produknya. Dengan strategi
pemasaran yang baik sebuah usaha tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dan
keinginan konsumen, akan tetapi juga mampu menciptakan kebutuhan dan keinginan konsumen dengan cara mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli
konsumen (https://penelitianilmiah.com, 2019).
Minat beli merupakan bagian dari perilaku konsumen yang terbentuk 4 faktor yaitu
faktor sosial, faktor budaya, faktor psikologis dan faktor pribadi. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen dalam membeli
ikan lele di Kota Kupang, faktor-faktor yang dianalisis ada 3 yaitu faktor sosial, budaya,
dan pribadi (Joy dkk., 2018).
Metode Penelitian. Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif kausal
yang bertujuan untuk melakukan penyelidikan terhadap kemungkinan hubungan sebab
akibat (Kotler dan Keller, 2016). Variabel penyebabnya adalah sosial (X1), budaya (X2),
dan faktor pribadi (X3) dengan variabel akibatnya adalah minat beli konsumen (Y). Selain
itu, ruang lingkup penelitian ini adalah pada kajian pemasaran yang lebih spesifik pada aspek perilaku konsumen tentang faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen
dalam membeli ikan lele di Kota Kupang. Selanjutnya populasi dalam penelitian ini
jumlahnya tidak diketahui, sehingga untuk menentukan sampel digunakan rumus
Lemoshow dalam Umadji dkk., (2019):
n = 𝐙² 𝐱 𝐩 (𝟏−𝐩)
𝐝²
Keterangan:
n = jumlah sampel Z = skor Z pada kepercayaan 95% = 1,96
p = maksimal estimasi 0,5
d = alpha (0,05) atau sampling error 5%
Dengan menggunakan perhitunagn rumus diatas, maka diperoleh sampel sebesar 384,16 yang dibulatkan menjadi 384 responden.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
183 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling dengan ketentuan masyarakat Kota Kupang yang pernah membeli dan
mengkonsumsi ikan lele. Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan observasi dan wawancara kepada para pelaku usaha rumah makan di Kota Kupang, serta penyebaran kuisioner kepada kosnumen dengan skala pengukurannya
menggunakan skala likert. Kemudian daftar pernyataan yang dibuat dalam kusioner
merujuk pada definisi operasional variabel berikut:
Variabel Independen (X)
Variabel Sosial (X1). Meliputi : (1) melompok acuan adalah dua orang atau lebih
yang berinteraksi untuk mencapai sasaran individu atau bersama, (2) keluarga adalah organisasi pembelian konsumen terkecil dalam masyarakat, dan telah
menjadi obyek penelitian yang luas dan (3) peran dan status sosial di masyarakat
aktifitas yang diharapkan dilakukan seseorang menurut orang-orang yang ada
disekitarnya.
Variabel Budaya (X2). Meliputi : (1) kebiasaan mendengar tentang produk adalah
kebiasaan mendengar tentang produk yang dijual di masyarakat, (2) kelompok
terdekat dalam membeli produk dan (3) enilaian kualitas produk yang dilakukan oleh
masyarakat (KKP, 2019).
Variabel Pribadi (X3). Meliputi : (1) pekerjaan adalah orang yang mempunyai
pendapatan, usia dan tahap siklus hidup, situasi ekonomi, gaya hidup dan
kepribadian dan konsep diri (Titin dkk., 2020).
Variabel Dependen (Y)
Variabel minat beli konsumen (Y). Kecenderungan konsumen untuk membeli suatu merek atau mengambil tindakan yang berhubungan dengan pembelian yang
diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian (Yanti dan
Gita, 2019), meliputi : Awareness (kesadaran konsumen untuk membeli dan
mengkonsumsi produk), knowledge (pengetahuan konsumen tentang produk yang
dibutuhkan dan produk yang dibeli), Liking (ketertarikan konsumen terhadap sebuah produk yang dipasarkan) Preference (konsumen memilih produk yang
diminati) dan Conviction (keyakinan konsumen terhadap produk yang dapat
memenuhi kebutuhan dan keinginannya).
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi linier berganda,
Uji- F (uji simultan), Uji t (uji parsial), dan Uji Koefisien determinasi (R-Square/R2)
Hasil dan Pembahasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli konsumen
dalam membeli ikan lele adalah faktor sosial, faktor budaya dan faktor pribadi. Setelah dilakukan uji regresi berganda adalah sebagai berikut :
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
184 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Table 1. Hasil Uji Regresi Berganda
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 3.638 .893 4.074 .000
Sosial .368 .097 .407 3.790 .000
Budaya .086 .113 .092 .756 .451
Pribadi .625 .110 .460 5.709 .000
Dari tabel diatas dapat diperoleh persamaan regresi Y = 3,638 + 0,368.X1 + 0,086.X2
+ 0,625.X3. Selain itu, dari model regresi linear berganda tersebut dapat dimaknai masing-
masing koefisien regresi sebagai berikut : (1) kostanta (a) = 3,638 menjelaskan bahwa
jika nilai variabel sosial (X1), budaya (X2), dan pribadi (X3) diasumsikan konstan atau tidak
berubah, maka variabel minat beli konsumen dalam membeli ikan lele nilainya adalah 3,638, (2) nilai (b1) = 0,368 menunjukan jika variabel sosial (X1) naik satu poin, maka
variabel Minat beli konsumen dalam membeli ikan lele (Y) akan naik sebesar 0,368, (3)
nilai (b2) = 0,086 jika variabel budaya (X2) naik satu poin, maka variabel Minat Beli
konsumen dalam membeli ikan lele (Y) juga akan naik sebesar 0,086 dan (4) nilai (b3) =
0,625 menunjukan jika variabel pribadi (X3) naik satu poin, maka variabel Minat Beli konsumen (Y) juga akan naik sebesar 0,625.
Tabel 2. Uji Simultan (uji F)
Model Sum of Squares
Df Mean
Square F Sig.
1
Regression 590.047 3 196.682 129.639 .000b
Residual 139.578 92 1.517
Total 729.625 95
Berdasarkan hasil olah data dengan SPSS pada tabel diatas diperoleh nilai Signifikansi
0,000 < 0,05 yang artinya bahwa ketiga variabel bebas yaitu variabel sosial (X1), variabel
budaya (X2), dan variabel pribadi (X3) secara simultan atau secara bersama-sama memiliki
pengaruh yang sangat nyata terhadap variabel minat beli konsumen (Y) dalam membeli ikan lele di Kota Kupang.
Tabel 3. Uji t (Uji Parsial)
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 3.638 .893 4.074 .000
Sosial .368 .097 .407 3.790 .000
Budaya .086 .113 .092 .756 .451
Pribadi .625 .110 .460 5.709 .000
Tabel diatas merupakan hasil olah data SPSS uji parsial yaitu menguji masing-masing
variabel bebas terhadap variabel terikat. Secara parsial variabel budaya (X2) tidak berpengaruh terhadap minat beli konsumen (Y) dengan dibuktikan perolehan nilai
Signifikansi 0,451> 0,05, sedangkan kedua variabel lainnya yaitu variabel Sosial (X1) dan
variabel pribadi (X3) memiliki pengaruh, hal ini dapat dibuktikan dengan perolehan nilai
Signifikansi untuk masing-masing variabel 0,000<0,05. Kemudian variabel pribadi (X3)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
185 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
yang paling dominan berpengaruh terhadap minat beli konsumen (Y) dalam membeli ikan
lele di Kota Kupang, pada tabel diatas dapat dilihat pada nilai t-hitung variabel pribadi (X3)
sebesar 5,709 lebih besar dari nilai t-hitung variabel sosial (X1) adalah 3,790.
Tabel 4. Koefisien Determinasi (R-Square)
Tabel diatas merupakan hasil uji koefisien determinasi yaitu untuk menguji besarnya
kontribusi pengaruh variabel sosial (X1), variabel budaya (X2), dan variabel pribadi (X3)
terhadap variabel minat beli konsumen (Y) adalah sebesar 0,809 atau 80,9% variabel
minat beli konsumen dapat dijelaskan oleh ketiga variabel bebas yaitu variabel sosial (X1),
budaya (X2), dan pribadi (X3), kemudian sisanya 19,1% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain diluar variabel penelitian ini.
Kesimpulan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan faktor
sosial, faktor budaya, dan faktor pribadi memiliki pengaruh terhadap minat beli konsumen
dalam membeli ikan lele di Kota Kupang, walaupun secara masing-masing hanya faktor sosial dan faktor pribadi yang berpengaruh terhadap minat beli konsumen dalam membeli
ikan lele di Kota Kupang.
Ucapan Terima Kasih. Terima kasih kepada LP3M Universitas Muhammadiyah
Kupang yang telah memberikan sumber pendanaan sehingga tercapainya penelitian ini, serta mahasiswa Program Studi Agrobisnis Perikanan yang telah ikut berpartisipasi dalam
proses kegiatan penelitian, dan tidak lupa pula para pengusaha-pengusaha rumah makan
yang menyediakan menu ikan lele di Kota Kupang yang telah bersedia untuk diwawancara
pada proses pengumpulan data dilapangan.
Daftar Pustaka
Alicia Jenifer Suawa, Altje L. Tumbel, Yunita Mandagie, Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Perilaku Konsumen Terhadap Keputusan Pembelian Di New Ayam
Bandung Resto Kawasan Megamas Manado, Jurnal EMBA, Vol.7 No.4 Oktober 2019.
Hal. 5195-5204.
Andre Prayoga Surya Perwira, Motivasi Masyarakat Berternak Ikan Lele Di Kecamatan
Pagelaran Kabupaten Pringsewu, Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Lampung,
Bandar Lampung, 2019.
Arief Adi Satria, Pengaruh Harga, Promosi, Dan Kualitas Produk Terhadap Minat Beli
Konsumen Pada Perusahaan A-36, PERFORMA Jurnal Manajemen dan Start-Up Bisnis,
Vol.2 No.1 April 2017. Hal. 45-53.
Badan Pusat Statistik. 2015. Luas Usaha Budidaya Subsektor Perikanan di Indonesia.
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. Jakarta.
https://penelitianilmiah.com/metode-penelitian/2019.
Joi A. Surbakti, Naharuddin Sri, Alexander s. Tanody, Analisis Pengembangan Usaha
Budidaya Ikan Lele (Clarias sp) di Kota Kupang, Junral Partner, Vol.23 No.2 November
2018.
Kotler. dan Keller. 2016. Marketing Management. Edisi 15. Pearson Pretice Hall, Inc, New
Jersey.
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 .899a .809 .802 1.232
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
186 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
N. Umadji., S.L.H.V Joyece. Lapian., R.J. Jorie, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perilaku Konsumen Dalam Keputusan Pembelian Roti Di Bread Factory, Jurnal EMBA,
Vol.7 No.4 Oktober 2019. Hal. 6086-6095.
Refleksi 2018 dan outlook 2019, Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2018.
Titin Juniartin, Rahmat Madjid, Juarsah, Pengaruh Kualitas Produk dan Harga Terhadap
Kepuasan Konsumen Pada UD. Mete Mubaroq Lombe Kota Kendari, Jurnal Manajemen
dan Kewirausahaan, Vol.12 No.2 Juli 2020. Hal 106-117.
www.alamtani.com/panduan lengkap budidaya ikan lele.
Yanti Mayasari Ginting, Gita Marantika, Analisis Pengaruh Bauran Pemasaran Jasa, Faktor
Sosial, dan Faktor Pribadi Terhadap Keputusan Sekolah Siswa Pada Siswa Di Sekolah
Tinggi Buruh Pekanbaru, PROCURATIO Jurnal Ilmiah Manajemen, Vol. 7 No. 4
Desember 2019: Hal. 453-469.
Yudhistira Harisandi, Widya Fransiska, Rini Kartika Sari, Pengaruh Budaya, social, dan
pribadi Terhadap Keputusan Pembelian Baju Muslim Pada Toko Butik Arafah Di
Sitobondo, ECOBUSS Jurnal Ilmiah Ilmu Ekonomi dan Bisnis, Vol.7 No.1 Maret 2019.
Hal 53-70.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
187 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Strategi Pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Melalui Pembangunan Café Laut Semare, Desa Semare, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan Moh. Awaludin Adam
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Ibrahimy, Situbondo, Indonesia
Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Indonesia (Email: [email protected] / [email protected])
Abstrak - Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Semare Mandiri Sejahtera merupakan instrument pemberdayaan ekonomi local. Berbagai jenis usaha dengan potensi yang dimiliki desa adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari BUMDes. Desa Semare merupakan desa pesisir yang terletak di sebelah selatan Selat Madura. Akses jalan masuk menuju Desa Semare terletak disebelah barat Pasar Kraton
menuju arah utara. Potensi ekonomi Desa Semare adalah kawasan mangrove, pengolahan ikan asap
dan kerang. Dalam mengoptimalkan potensi desa, warga sepakat untuk membangun kawasan ekowisata. Untuk itu masyarakat Desa Semare sepakat membuat dan membangun ekonomi
masyarakat melalui pembangunan Café Laut Semare (CLS). Penelitian dan pengabdian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif yang berguna untuk 187ember gambaran rinci mengenai strategi pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) melalui pembangunan café laut semare,
Desa Semare, Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Kegiatan strategi pengembangan BUMDes Semare Mandiri Sejahtera melalui pembangunan Café Laut Semare (CLS) membawa dampak
perubahan yang begitu besar bagi kehidupan social, ekonomi dan budaya Desa Semare. Perubahan
mindset dan norma social kehidupan masyarakat selama 3 tahun terakhir terjadi secara meningkat. Banyaknya komunitas dan lembaga swadaya masyarakat yang ikut serta bergabung dalam
pengembangan Café Laut Semare membawa keberkahan sendiri bagi masyarakat Desa Semare yang sebelumnya dipandang sebelah mata oleh masyarakat Desa Semare khususnya dan Kabupaten
Pasuruan umumnya. Kami berharap untuk kedepannya Café Laut Semare akan banyak mendapat
dukungan pengembangan dari pemerintah desa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kata Kunci: Semare Mandiri Sejahtera, Desa Semare, CLS, Desa Mandiri
Abstract - Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Semare Mandiri Sejahtera is an instrument of local
economic empowerment. Various types of businesses with village potential are an inseparable part of the BUMDes. Semare Village is a coastal village located south of the Madura Strait. Access access to
the village of Semare is located west of the Kraton Market to the north. The economic potential of
Semare Village is a mangrove area, smoked fish and shellfish processing. In optimizing the village's potential, the residents agreed to build an ecotourism area. For this reason, the Semare Village
community agreed to create and build a community economy through the construction of Café Laut
Semare (CLS). This research and service uses a qualitative descriptive method that is useful for a bucket of a detailed description of the strategy of developing Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) through
the construction of a Café Laut Semare, Semare Village, Kraton District, Pasuruan Regency. The development strategy of BUMDes Semare Mandiri Sejahtera through the construction of Café Laut
Semare (CLS) has brought such a profound impact on the social, economic and cultural life of Semare
Village. Changes in mindset and social norms of community life over the past 3 years have increased. The many communities and non-governmental organizations participating in the development of Café
Laut Semare bring their own blessings to the people of Semare Village which were previously underestimated by the people of Semare Village in particular and Pasuruan Regency in general. We
hope that in the future Semare Sea Café will receive a lot of development support from the village
government, regional government and central government. Keywords: BUMDes Semare Mandiri Sejahtera, Semare Village, CLS, Indefendent Village
Pendahuluan. Pemerintah pada saat memiliki misi membangun daerah pedesaan yang
dapat dicapai melalui sebuah pemberdayaan masyarakat. Tujuannya untuk meningkatkan produktivitas dan keanekaragaman usaha, terpenuhinya sarana dan fasilitas untuk
mendukung peningkatan ekonomi desa, membangun dan memperkuat institusi yang
mendukung rantai produksi dan pemasaran, serta mengoptimalkan sumber daya manusia
sebagai dasar pertumbuhan ekonomi desa (Maftuch, et al, 2018). Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) merupakan instrument pemberdayaan ekonomi
local. Berbagai ragam jenis usaha dengan potensi yang dimiliki desa adalah bagian yang
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
188 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
tidak terpisahkan dari BUMDes. Pengembangan potensi ini memiliki tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga desa melalui pengembangan usaha ekonomi.
Disamping itu, keberadaan BUMDes juga membawa dapak terhadap peningkatan sumber
pendapatan asli desa (PAD) yang memungkinkan desa untuk mampu melakukan sebuah pembangunan dan juga untuk peningkatan kesejahteraan secara lebih optimal. BUMDes
sebagai badan hukum, dibentuk berdasarkan tata perundang-undangan yang berlaku, dan
sesuai dengan aturan yang berlaku di desa. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 213 ayat 1-3 disebutkan bahwa desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa.
Sesuai dengan aturan tersebut, pembentukan BUMDes didasarkan atas kebutuhan dan
potensi yang dimiliki desa, dengan tujuan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dalam hal ini perencanaan dan pembentukannya, BUMDes dibangun atas inisisai
masyarakat desa, serta mendasarkan pada prinsip -prinsip kooperatif, partisipatif, dan
emansipatif. Hal yang paling penting adalah bahwa pengelolaan BUMDes harus dilakukan
secara profesional, kooperatif, dan mandiri. Dengan demikian, bangun BUMDes dapat
beragam di setiap desa di Indonesia. Sehubung dengan itu, maka untuk membangun BUMDes diperlukan informasi yang akurat dan tepat tentang karakteristik kelokalan
termasuk ciri sosial budaya masyarakat. BUMDes sejatinya sebagai lembaga sosial yang
berpihak kepada kepentingan masyarakat melalui kontribusinya sebagai penyedia
pelayanan sosial. Namun BUMDes juga sebagai lembaga komersial dimana BUMDes bertujuan untuk mencari keuntungan melalui penjualan barang atau jasa yang
diperuntukan kepada masyarakat.
Melihat posisi BUMDes dalam menghadapi realitas desakan arus intervensi modal
domestik dan asing yang kini menjadikan desa sebagai sasaran pengembangan usaha sangat keras sekali, disamping itu BUMDes ini hanya bermodal tak seberapa jika
dibandingkan dengan swasta yang selalu bermodal besar. Dengan sumber daya alam yang
dimiliki desa, hal ini sangat rawan sekali terjadi intervensi modal dan pasar di pedesaan.
Kehadiran BUMDes sendiri akan menjadi penangkal bagi kekuatan korporasi asing dan nasional. Diharapkan BUMDes ini mampu menggerakan dinamika ekonomi desa, dan
sebagai perusahaan milik desa.
Desa Semare merupakan salah satu desa di Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan
yang terletak di tepi Selat Madura dan terletak sekitar 2 Km dari Jalan Raya Surabaya –
Pasuruan. Desa Semare merupakan desa pesisir yang terletak di sebelah selatan Selat Madura. Akses jalan masuk menuju Desa Semare terletak disebelah Barat Pasar Kraton
menuju arah utara. Luas wilayah Desa Semare + 476,549 Ha. Dilihat dari topografi dan
kontur tanah, Desa Semare secara umum berupa persawahan dan pertambakan yang
berada pada ketinggian antara 0,5 m hingga 2 m di atas permukaan air laut dengan suhu rata-rata berkisar antara 300 sampai 370 Celcius (Kecamatan Kraton dalam Angka, 2019).
Potensi ekonomi Desa Semare lainnya yang belum terdata dalam daftar potensi desa
adalah usaha pembuatan perahu yang jumlahnya ada 4 unit usaha. Usaha pembuatan
perahu ini cukup berkembang mengingat kebutuhan perahu nelayan terus berkembang sejalan dengan membaiknya perekonomian nelayan. Nelayan yang tadinya bukan pemilik
kapal jika kondisi perekonomian nya membaik akan membeli kapal sendiri sehingga
kebutuhan kapal nelayan terus meningkat disamping kebutuhan kapal untuk mengganti
kapal yang sudah rusak. Keberadaan usaha pembuatan perahu ini nantinya juga akan
mendukung usaha persewaan sampan untuk wisata mangrove jika pusat kuliner kerang dan wisata mangrove bisa dikembangkan di Desa Semare. Untuk itu masyarakat Desa
Semare sepakat membuat dan membangun ekonomi masyarakat melalui pembangunan
Café Laut Semare (CLS) (Maftuch, et al, 2018).
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
189 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Metode Penelitian. Penelitian dan pengabdian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif yang berguna untuk memberi gambaran rinci mengenai strategi pengembangan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) melalui pembangunan café laut semare, Desa Semare,
Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Teknik penentuan informan dilakukan dengan teknik purposive dan snowball. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik
observasi, wawancara, dokumentasi. Sedangkan teknik pemeriksaan keabsahan data
melalui triangulasi dan observasi secara terus-menerus. Teknik analisis data
menggunakan teknik reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Sedangkan untuk mengetahui seberapa besar partisipasi dalam pembangunan desa yang dilakukan oleh masyarakat dianalisis menggunakan metode Rapid Rural Appraisal (RRA)
digunakan untuk pengumpulan informasi secara akurat dalam waktu yang terbatas ketika
keputusan tentang pembangunan perdesaan harus diambil segera. Dewasa ini banyak
program pembangunan yang dilaksanakan sebelum adanya kegiatan pengumpulan semua informasi di daerah sasaran. Konsekuensinya, banyak program pembangunan yang gagal
atau tidak dapat diterima oleh kelompok sasaran meskipun program-program tersebut
sudah direncanakan dan dipersiapkan secara matang, karena masyarakat tidak
diikutsertakan dalam penyusunan prioritas dan pemecahan masalahnya.
Hasil dan Pembahasan
Pendirian BUMDes Desa Semare. Kegiatan pembangunan Desa Pesisir Jawa Timur
tepatnya di Desa Semare, Kecamatan Kraton, Pasuruan ini sudah berlangsung lama. Namun, giat menuju ekowisata desa tercetuskan pada tahun 2018. Bertepatan dengan
tahun kedua program pengabdian pengembangan desa mitra kerjasama antara Universitas
Brawijaya, Universitas Ibrahimy dan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristekdikti)
selama 3 (tiga) tahun pengabdian. BUMDes Semare Mandiri Sejahtera berdiri pada 28 Maret 2018 ini merupakan inisiatif dari pada pengabdi dan Kepala Desa Semare untuk
menjadikan wadah ini sebagai tolak ukur badan desa yang bertanggung jawab dalam usaha
pengembangan ekowisata desa kedepannya. Dalam meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan pengurus BUMDes dilakukan beberapa kali pelatihan dan studi banding.
Kegiatan Survey Feedback di BUMDes Semare Mandiri Sejahtera. Sebuah organisasi
sangat membutuhkan pengembangan organisasi agar organisasinya lebih dapat
beradaptasi dengan segala perubahan dan kebutuhan masyarakat pada saat ini. Salah satu
strategi pengembangan organisasi yang sangat penting adalah kegiatan Survey Feedback. Menurut Wibowo, Survey Feedback adalah suatu teknik pengembangan organisasi di mana
kuesioner dan interview digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang masalah yang
terkait dengan organisasi. Informasi ini dibagikan kepada pekerja, kemudian digunakan
sebagai dasar untuk melakukan perubahan organisasional. Pada kegiatan Survey Feedback di BUMDes Semare Mandiri Sejahtera kegiatan untuk
mengetahui masalah tidak hanya melalui pembagian angket atau kuisioner melainkan juga
melalui penyampaian secara langsung yang dilakukan baik kapan saja atau pada saat
rapat. Kegiatan Survey Feedback di BUMDes Semare Mandiri Sejahterabukan hanya
mengenai masalah yang terjadi dalam BUMDes tetapi juga mengenai masalah apa yang saat ini terjadi pada masyarakat atau mengenai kebutuhan masyarakat.
Pengurus BUMDes menyampaikan secara langsung masalah yang ada di BUMDes dan
disampaikan kepada Ketua BUMDes yang nantinya masalah tersebut ditampung dan
dibahas pada saat rapat pengurus. Sehingga dalam kegiatan survey feedback pada BUMDes Semare Mandiri Sejahteralebih diutamakan penyampaian secara langsung
sehingga ada kedekatan antar pengurus.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
190 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Partisipasi dan Tindakan Proaktif dalam kegiatan Survey Feedback di BUMDes Semare
Mandiri Sejahtera Menurut Habullah adanya modal sosial tidak hanya dibangun oleh suatu
individu, akan tetapi terbangun dari adanya interaksi yang terjadi antar individu dalam
suatu kelompok/ jaringan social. Penyerahan Bantuan Alat Pengembangan Produk Lokal Desa Semare (Gambar 1). Interaksi tersebut akan berhasil jika individu yang ada di
kelompok mau melibatkan diri dan bersosialisasi dengan individu lainnya. Jaringan sosial
tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusional yang memberikan perlakuan khusus
terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut.
Gambar 1. Serah Terima Bantuan Alat Vaccum Frying
Dalam strategi pengembangan BUMDes Semare Mandiri Sejahtera, tidak hanya
menyangkutkan pengurus BUMDes saja tetapi juga ada hubungan dengan masyarakat.
Masyarakat dapat berpartisipasi dan memberikan kritik atau sarannya kepada pengurus BUMDes. Dengan begitu pengurus pun dapat mengetahui penilaian yang diberikan
masyarakat, atau terkait masalah dan kebutuhan masyarakat pada saat ini. Dari adanya
partisipasi masyarakat yang berupa penyampaian kritik saran juga termasuk pada tindakan
proaktif atau proactivity. Hasbullah mengatakan bahwa inti utama dari perilaku proaktif ini yaitu individu memiliki tindakan aktif dan kreatif. Dalam hal ini, individu pada suatu
jaringan sosial akan melibatkan dirinya dengan perilaku secara aktif dan berinisiatif untuk
memberikan sesuatu yang solutif terhadap aktivitas yang ada di jejaring tersebut.
Pengembangan BUMDes Semare Mandiri Sejahterayang menggunakan strategi survey
feedback menunjukkan adanya partisipasi dan tindakan proaktif dari masyarakat yang berupa penyampaian kritik, saran, mau pun ide-ide baru. Survey Feedback disini bukan
hanya hubungan antar pengurus, tetapi juga adanya kepedulian pengurus dengan
masyarakat dalam mengetahui masalah, keingingan mau pun kebutuhan masyarakat.
Education and Training Activities. Sebuah organisasi sangat memerlukan adanya
kegiatan pendidikan dan pelatihan, hal itu dirasa sangat penting agar segala tindakan yang
dilakukan sudah terkoordinir sesuai dengan aturan atau pedoman yang ada. Menurut
Widodo, Education dan Training Activity merupakan teknik pengembangan organisasi yangmelakukan peningkatan pemahaman pekerja atas perilaku yang mereka sendiri dan
dampaknya terhadap orang lain. Pada kegiatan pendidikan dan pelatihan di BUMDes
Semare Mandiri Sejahtera, pelatihan lebih diutamakan kepada Ketua BUMDes, sedangkan
untuk pengurus BUMDes yang lainnya lebih kepada pendampingan saat awal BUMDes
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
191 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
didirikan. Proses pendampingan ini bersifat kontrak, sehingga setelah masa kontrak habis,
proses pendampingan pun selesai. Proses pendampingan disini digambarkan sebagai
bentuk pendidikan kepada pengurus BUMDes (Gambar 2).
Gambar 2. Pelatihan Penggunaan Vaccum Frying dalam Produk Olahan
Pengurus BUMDes diajarkan berbagai cara pengelolaan BUMDes yang baik dan benar
sesuai dengan aturan dasar BUMDes selain itu juga ada pendampingan mengenai aplikasi
program, yang berguna untuk pengerjaan laporan tahunan. Sosialisasi Sebagai Bentuk
Partisipasi Dalam Kegiatan. Dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan ini bukan hanya pengurus yang diberi pengarahan tapi masyarakat juga diberikan pengarahan. Pengarahan
ini disebut sebagai kegiatan sosialisasi. Sosialiasi dilakukan untuk memberikan gambaran
mengenai BUMDes dan berbagai kegiatan yang ada didalamnya. Sosialisasi diberikan pada
saat rapat RT/ RW, rapat PKK, rembug warga, dan juga rapat anggota tahunan (RAT).
Sosialisasi kepada masyarakat Desa Semare ini tidak hanya diberikan pada saat akan pendirian BUMDes saja tetapi juga pada saat BUMDes telah didirikan, bahkan hingga saat
ini. Hal tersebut dilakukkan dengan harapan dapat menarik perhatian masyarakat agar
masyarakat lebih berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh BUMDes
Semare Mandiri Sejahtera. Kegiatan pendidikan dan pelatihan tersebut menunjukkan bahwa pelatihan sangat
diperlukkan utamanya bukan hanya untuk ketua BUMDes tetapi juga pada pengurus
BUMDes, sedangkan kegiatan pendampingan juga dianggap sangat cukup penting dalam
proses pendidikan dasar sebagai pengetahuan awal. Pada strategi ini ternyata juga melibatkan masyarakat didalamnya, dimana adanya sosialisasi sebagai pengetahuan untuk
masyarakat Desa Semare mengenai BUMDes dan berbagai kegiatan yang ada. Dalam
startegi education and training activity ini menunjukkan bahwa ada aspek modal sosial
yang diterapkan dalam bentuk adanya sebuah partisipasi dari masyarakat. Partisipasi terebut dapat dilihat dengan adanya sosialisasi yang ditujukan dan dihadiri masyarakat.
Team Building pada BUMDes Semare Mandiri Sejahtera. Pembentukan tim atau team
building sangatlah penting dalam sebuah proses pengembangan organisasi. Menurut
Widodo, team building merupakan suatu teknik di mana pekerja mendiskusikan persoalan yang berhubungan dengan kinerja kelompok kerja mereka. Atas dasar diskusi ini, masalah
spesifik diidentifikasi, ditemukan dan direncanakan untuk memecahkan dan
diimplementasikan. Strategi dalam pembentukkan tim ini dirasa sangat diperlukan karena
tim ini lah yang nantinya akan menjalankan semua urusan atau pengelolaan organisasi, sehingga setiap pengurus harus memiliki kompetensi dalam dirinya.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
192 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Dalam strategi pembentukan tim yang ada di BUMDes Semare Mandiri Sejahtera,
peneliti lebih berfokus pada cara pembentukan pengurus lebih. Pada BUMDes Semare
Mandiri Sejahtera lebih mementingkan pembentukan yang seluruh pemilihannya
diserahkan kepada masyarakat. Hal itu dikarenakan BUMDes ini dibentuk untuk kepentingan masyarakat, sehingga semua keputusan juga dikembalikan kepada
masyarakat. Tidak ada campur tangan dari pihak lain, pemilihan pengurus ini benar-benar
atas keinginan dan suara dari masyarakat tanpa ada sedikit pun. Kepercayaan Masyarakat
dalam Kegiatan Team Building di BUMDes Semare Mandiri SejahteraProses pemilihan pengurus yang dilakukan oleh masyarakat didasarkan kepada kompetensi yang dimiliki
kandidat, setiap pengurus dirasa sangat berkompeten dan mampu melaksanakan
tugasnya. Masyarakat sepenuhnya memberikan kepercayaan kepada pengurus
dikarenakan semua pengurus merupakan waraga asli Desa Semare, selain itu semuanya memiliki jabatan sehingga masyarakat juga tau karakter pengurus seperti apa karena
sudah saling kenal.
Menurut Hasbullah, unsur terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan yang
merupakan perekat bagi keberlangsungan kerjasama dalam sebuah lembaga/ organisasi,
baik antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pengurus, mau pun pengurus dengan sesame pengurus. Dengan adanya kepercayaan, sebuah lembaga/
organisasi akan lebih bisa bekerja secara efektif. Dalam kegiatan Team Building di
BUMDes Surya Sejahtera, menunjukkan adanya kepercayaan yang diberikan kepada
masyarakat kepada pengurus BUMDes. Hal tersebut dirasa sangat penting dalam sebuah kepengurusan lembaga. Dengan adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat
menunjukkan bahwa masyarakat mendukung adanya pembangunan dan pengembangan
BUMDes Semare Mandiri Sejahtera. Nilai Kejujuran dalam Team Building di BUMDes
Semare Mandiri Sejahtera. Menurut Hasbullah, nilai memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, artinya ketika individu yang berada di suatu kelompok senantiasa
memberi nilai yang tinggi terhadap aspek-aspek kompetensi, kejujuran, serta pencapaian,
maka kelompok tersebut cenderung jauh lebih cepat berkembang. Kepercayaan yang
terbangun pada BUMDes Semare Mandiri Sejahteraternyata juga dilandasi oleh adanya kejujuran yang diterapkan oleh pengurus BUMDes melalui adanya keterbukaan dan
transparansi.
Keterbukaan diterapkan dengan adanya rapat anggota tahunan, dari rapat tersebut
selalu ditunjukkan pengelolaan dana dan sisa hasil usaha dari BUMDes. Inilah yang
membuat masyarakat percaya. Selain itu awal pembentukan BUMDes juga dilakukkan proses identifikasi masalah, yaitu masalah apa yang saat ini dialami oleh masyarakat. Lalu
masyarakat memberikan masukkan, kepada para pengurus BUMDes terpilih. Terbentuknya
unit usaha toko sembako juga atas saran dari masyarakat. Sehingga proses identifikasi
dilakukan dengan menampung aspirasi masyarakat. Dalam pembentukan tim atau team building yang ada pada BUMDes Semare Mandiri
Sejahteramenerapkan partisipasi yang berupa pemilihan secara langsung dari masyarakat,
tindakan proaktif yang dimana masyarakat dapat memberikan suaranya, kepercayaan dari
masyarakat dalam memilih pengurus dan pengelolaan yang dilakukan pengurus, dan nilai-nilai yang berupa nilai kejujuran yang diterapkan dengan sistem transparansi atau
keterbukaan.
Kegiatan Usaha BUMDes Semare. Kegiatan usaha yang dijalankan BUMDes saat ini
dituangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) yang sudah disusun bersama. Jenis – jenis dan unit usaha BUMDes Semare Mandiri Sejahtera Desa
Semare terdiri dari : (a) pertanian, (b) simpan pinjam, (c) erdagangan, (d) perikanan dan
(e) café laut semare. Namun dalam hal ini yang masih dalam proses pembangunan dan
pengembangan adalah Café Laut Semare (CLS). Sebagai pusat usaha dan pengembangan kegiatan ekonomi kerakyatan masyarakat pesisir desa semare adalah C.L.S.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
193 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Strategi Pengembangan Organisasi
Strategi merupakan sebuah rencana atau pendekatan secara keseluruhan yang
berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas untuk dapat mencapai sebuah tujuan yang telah ditetapkan. Pengembangan organisasi sangat
memerlukan adanya sebuah strategi agar pengembangan organisasi dapat maksimal
dalam mencapai tujuan organisasi. French dan Bell Jr, mengemukakan 12 bentuk dari
strategi dan teknik pengembangan organisasi, yaitu (French & Bell:1978:110): (1) Diagnostic Activities (Kegiatan Diagnostik), (2) Team-Building Activities (Kegiatan
Pengembangan Tim), (3) Intergroup Activities (Kegiatan Antar Kelompok), (4) Survey-
Feedback Activities (Kegiatan Survai Umpan Balik), (5) Education and Training Activities
(Kegiatan Pendidikan dan Latihan), (6) Technostructural or Structural Activities (Kegiatan Teknostruktural atau Struktular), (7) Process Consultation Activities (Kegiatan Konsultasi
Proses), (8) Grid Organization Development Activities (Kegiatan Grafik Pengembangan
Organisasi), (9) Third-Party Peacemaking Activities (Kegiatan untuk membuat Perdamaian
oleh Pihak Ketiga), (10) Coaching and Counselling Activities (Kegiatan Pelatihan dan
Pembimbingan), (11) Life and Career Planning Activities (Kegiatan Perencanaan Karir dan Kehidupan) dan (12) Planning and Goal-Setting Activities (Kegiatan Penetapan
Perencanaan dan Tujuan).
Pengembangan Usaha BUMDes dengan Pembangunan Café Laut Semare. Harapan masyarakat desa Semare memiliki icon desa yang mampu dibanggakan sudah mulai
menunjukkan ruhnya. Dengan pembangunan CLS (Gambar 3), sudah banyak kunjungan
dari dalam maupun luar desa Semare.
Gambar 3. Proses Pembangunan Café Laut Semare
Management by Objectives di BUMDes Semare Mandiri Sejahtera. Management by
Objectives atau pengelolaan yang terpusat pada sasaran keberhasilan yaitu proses
menetapkan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan terutama Café Laut Semare
(Gambar 4). Strategi pengembangan ini sangat penting yaitu berguna untuk menentukan rencana dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Widodo,
Management by Objectives merupakan suatu teknik di mana manajer dan bawahannya
bekerja bersama menetapkan, kemudian mencapai tujuan organisasional.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
194 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 4. Wujud Pembangunan Café Laut Semare yang membawa perubahan status social
masyarakat Desa Semare
Dampak Pegembangan BUMDes dan Pembangunan Café Laut Semare. Pada
pengembangan BUMDes tujuan telah ditetapkan pada saat awal BUMDes Semare Mandiri
Sejahtera didirikan, pengelolaan juga lebih dipusatkan pada aturan dan pedoman yang telah ditetapkan, dengan pengelolaan yang sesuai dengan aturan diharapkan dapat
mencapai tujuan yang diinginkan. Tujuan dari adanya BUMDes sendiri yaitu untuk
meningkatkan perekonomian dan mensejahterakan kehidupan masyarakat. Pada BUMDes
Semare Mandiri Sejahteramenunjukkan bahwa tujuan sudah dapat tercapai walau pun belum 100%, tujuan mensejahterakan dapat dilihat dari usaha-usaha kecil masyarakat
yang semakin berkembang sedangkan sasarannya yaitu masyarakat Desa Semare, hanya
saja sasaran yang didapat belum 100%, karena masih ada masyarakat yang belum
tersentuh. Sedangkan pembangunan CLS Desa Semare juga membawa perubahan Norma Sosial
Berupa Kegiatan yang Saling Menguntungkan. Norma sosial ini sangat penting, mengingat
bahwa setiap kegiatan harus memperhatikan norma sosial yang ada di masyarakat. Norma
sosial menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah jaringan kerja sosial, dengan
terbentuknya jaringan kerja sosial maka terbangunlah norma sosial. Adanya BUMDes Semare Mandiri Sejahtera dan CLS dinilai sangat dapat membawa manfaat dan keuntungan
kepada masyarakat. BUMDes Semare Mandiri Sejahtera dapat menjadi solusi untuk
masalah keuangan masyarakat. Masyarakat dapat melakukan peminjaman yang mudah
dan tidak berbelit-belit dengan agunan yang sedikit, sehingga masyarakat lebih tertarik bergabung menjadi anggota BUMDes dan CLS dari pada meminjam di Bank.
Perubahan mindset dan norma social kehidupan masyarakat selama 3 tahun terakhir
terjadi secara meningkat. Banyaknya komunitas dan lembaga swadaya masyarakat yang
ikut serta bergabung dalam pengembangan Café Laut Semare membawa keberkahan
sendiri bagi masyarakat Desa Semare yang sebelumnya dipandang sebelah mata oleh
masyarakat Desa Semare khususnya dan Kabupaten Pasuruan umumnya. Hingga saat ini
sudah tercatat lebih dari 5.000 pengunjung pada tahun 2019 dari bulan Januari sampai
bulan Agustus. Kedepannya akan lebih ditingkatkan lagi fasilitas penunjang dari Café Laut
Semare.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
195 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Kesimpulan. Sebagai kesimpulan dari tulisan ini kegiatan strategi pengembangan
BUMDes Semare Mandiri Sejahtera melalui pembangunan Café Laut Semare (CLS)
membawa dampak perubahan yang begitu besar bagi kehidupan social, ekonomi dan
budaya Desa Semare. Perubahan mindset dan norma social kehidupan masyarakat selama 3 tahun terakhir terjadi secara meningkat. Banyaknya komunitas dan lembaga swadaya
masyarakat yang ikut serta bergabung dalam pengembangan Café Laut Semare membawa
keberkahan sendiri bagi masyarakat Desa Semare yang sebelumnya dipandang sebelah
mata oleh masyarakat Desa Semare khususnya dan Kabupaten Pasuruan umumnya. Kami
berharap untuk kedepannya Café Laut Semare akan banyak mendapat dukungan pengembangan dari pemerintah desa, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Lebih
berharap lagi kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk dapat menjadikan CLS
Desa Semare sebagai rujukan dan percontohan desa yang mampu bangkit dalam
mengembangakan desa pesisir pantai yang notabanenya adalah desa kumuh.
Ucapan Terima Kasih. Bagian ini adalah pilihan yang tidak harus disertakan dalam
naskah. Ucapan terima kasih dapat ditujukan untuk seseorang, lembaga atau sumber
pendanaan yang telah berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penelitian dan atau penulisan naskah.
Daftar Pustaka
Adam, M.A., Maftuch, Yuni K., & Yenny R. (2018). Analisis Kualitas Lingkungan Sungai Wangi-Beji, Pasuruan Yang Diduga Tercemari Oleh Limbah Pabrik, Pemukiman Dan
Pertanian. Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan. Vol 9. Jilid 1. Hal 1-5.
Adhikari, K.P. 2010. Social Capital and its “Downside”; The Impact on Sustainability of
Induced Community-Based Organization Nepal. World Development Volume 38 No (2). Hal 184-194.
Anifa, K.W. 2011. Strategi Pengembangan Organisasi Prima Cendekia Yogyakarta. Jurnal
Managemen. Hal 213-234
Appelbaum, S.H. 1997. Socio‐technical Systems Theory: an Intervention Strategy for
Organizational Development. Management Decision Journal. Vol 35 Hal 452-463
Bugin, B. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press
Danim, S. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia Davis, K., & John W.N. 1994. Perilaku Dalam Organisasi. Jakarta: Erlangga.
Flamhotz, E. 2002. Strategic Organizational Development and the Bottom Line: Further
Empirical Evidence. Eorupean Management Journal. Vol 20 Hal 72-81
Francis, F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, London: Penguin
Books. French & Bell. 1978. Organization Development: Behavioral Science intervention for Social
Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press
Hasibuan.
Hasbullah, J. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Maftuch, Sugiarto, A. Hoetoro & MA. Adam. 2018. Identifikasi Potensi Sumberdaya Pesisir
Desa Semare Untuk Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa Mandiri Wisata. Journal
Of Innovation And Applied Technology. e-ISSN:2477-7951 - p-ISSN:2502-
4973Volume : 04, Issue : 02, December 2018. pp.803-810 Maftuch, Sugiarto, A. Hoetoro & MA. Adam. 2018. Konsep Pengembangan Potensi Pesisir
Pantai Desa Semare Menuju Desa Ekowisata Café Laut Semare (CLS). Jati Emas
(Jurnal Aplikasi Teknik dan Pengabdian Masyarakat). Forum Dosen Indonesia (FDI) -
DPD Jatim. Vol. 2 No. 2 Oktober 2018 – e. ISSN: 2550-0821
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
196 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode
Metode Baru. UIPress. Jakarta
Moleong, L.J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja
Naraha, T. 1999. Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakata: Niazi, A.S. 2011. Training and Development Strategy and Its Role in Organizational
Performance. Journal of Public Administration Governance. Vol 1 Hal 42-
57.Organization Improvement. New Jersey: Pretice Hall Inc.
Patton, M.Q. 2009. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar PT. Rineka Cipta.
Putnam, R. 1995. Bowling Alone: America’s Declining Social Capital. Dalam Journal or
Democracy. Vol.6. Hal 65-78
Quinn, M.P. 2009. Metode Evaluasi Kualitatif. Yogyakarta. Pustaka Belajar Rahaja, I. 2016. Strategi Pengembangan Organisasi Dalam Upaya Peningkatan Kinerja
Pegawai BAPPEDA Tingkat I Jawa Tengah. Jurnal Administrasi Kantor. Hal 418-446
Ramadana, C.B., Heru R., & Suwondo. Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
Sebagai Penguatan Ekonomi Desa (Studi di Desa Landungsari, Kecamatan Dau,
Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang. Vol 1 No. 6 Hal 1068-1076
Saputra, A.S. 2015. Badan Usaha Milik Desa: Spirit Usaha Kolektif Desa. Kemendesa PDTT.
Siagian, S.P. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara
Soemirat, Soleh & Elvinaro A. 1999. Komunikasi Organisasional. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Sutoro Eko, Titik I.K., Dyah W., Suci H., & Ninik H. 2015. Policy Paper: Membangun
BUMDes yang Mandiri, Kokoh, dan Berkelanjutan
Thoha, M. 2007. Pembinaan Organisasi Proses Diagnosa dan Intervensi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Voydanoff, P. 2001. Conceptualizing community in the context of work and family.
Community, Work and Family. Vol 4 No 2. Hal: 133-156.
Wexley, K.N. & Gary A.Y. 1977. Organizational Behavior and Personnel Psychology. Homewood, Illionis
Wibowo. 2006. Manajemen Perubahan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Wirawan, A. 2012. Jaringan sosial dan moral ekonomi pedagang pekanan. Dalam
prespektif Sosiologi. Vol.1. Hal 1-17
Yustika, A.E. 2008. Ekonomi Kelembagaan, Definisi, Teori dan Strategi. Banyumedia Publishing: Malang.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
197 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Model Diversifikasi Usaha pada Skala Kelompok Usaha Masyarakat Perbatasan di Kecamatan Kalkuluk Mesak, Kabupaten Belu, NTT Chaterina A. Paulus1, Marthen R. Pellokila2 dan Yohanis U. L. Sobang3
1)Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Nusa Cendana
2)Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana 3)Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana
(Email Korespondensi : [email protected])
Abstrak - Konsep membangun Indonesia dari pinggiran menjadi spirit bagi pemerintah daerah dalam
merencanakan pembangunan wilayahnya dengan mengoptimalkan sumberdaya pedesaan untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Pada periode 2014-2017, Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di NTT juga masih tertinggal dan menempati urutan terendah ketiga di
Indonesia. Berdasarkan data 2019, IPM NTT sebesar 65,23 dan penduduk miskin mencapai 1,160,530 jiwa. Kawasan perbatasan Belu memiliki IPM yang masih rendah yaitu 562,54 dan persentase penduduk
miskin mencapai 14,58%. Oleh karena itu, percepatan ekonomi di Belu hanya dapat dilakukan melalui mengoptimalkan pengelolaan sektor-sektor unggulan melalui inovasi teknologi, sehingga mampu
memberikan dampak ekonomi bagi wilayah dan masyarakatnya. Perekonomian Belu masih dominan
dikontribusi oleh sektor pertanian, peternakan, dan perikanan. Riset ini dilakukan untuk menemukan model kontribusi usaha dibidang perikanan, dan non perikanan sebagai sektor unggulan sehingga
memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat khususnya di kawasan perbatasan. Hasil simulasi
kontribusi usaha di Kecamatan Kalkuluk Mesak untuk model kontribusi usaha yang dapat memberikan peningkatan ekonomi rumah tangga adalah kombinasi usaha perikanan dan non perikanan.
Kata Kunci: Diversifikasi Usaha, Perikanan, Peternakan, Masyarakat Perbatasan
Pendahuluan
NAWACITA Program Pembangunan Kawasan Perbatasan dan Desa. Konsep
Nawacita, Strategi Pengembangan Perbatasan Nasional adalah dengan “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka
negara kesatuan”. Dalam implementasinya Propinsi NTT melaksanakan prioritas agenda
pembangunan yakni Penanganan Masalah Kemiskinan, Wilayah Perbatasan, Propinsi
Kepulauan & Daerah Rawan Bencana. Program ini kemudian diterjemahkan dalam program prioritas daerah Kabupaten Belu yakni Peningkatan Pembangunan Infrastruktur Daerah
sebagai Kawasan Strategis Nasional dan Daerah Perbatasan. Agenda pembangunan yang
tercantum dalam RPJMN 2015-2019 menegaskan tentang pentingnya kebijakan, program
dan kegiatan yang nyata dan terukur untuk mendorong percepatan pembangunan desa
dan daerah. Sumberdaya manusia di kawasan perbatasan dan pedesaan harus memanfaatkan inovasi teknologi dalam mengelola berbagai sumberdaya ekonomi yang
dimiliki untuk kesejahteraan mereka. Oleh karena itu melalui Kemendestrans, pemerintah
pusat telah melaksanakan kebijakan anggaran untuk desa yang diharapkan mampu
mendorong masyarakat di pedesaan dalam menumbuhkan usaha-usaha ekonomi produktif melalui wadah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)/Inkubator Bisnis Pedesaan (IBP) (Paulus
dan Fauzi, 2017; Paulus dan Sobang, 2017; Paulus et al., 2018; Paulus et al., 2019; Paulus
et al., 2020a; Paulus et al., 2020b).
Gambaran Umum Kawasan Perbatasan Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur.
Belu merupakan kabupaten yang berbatasan langsung dengan Republik Demokratik Timor
Leste yang ada di NTT selain Kabupaten TTU dan Kupang. Permasalahan perbatasan yang
menonjol dan kasat mata adalah terbatasnya infrastruktur fisik sehingga daerah perbatasan sekaligus menjadi daerah yang relatif terisolasi dari hubungan dengan pusat
pertumbuhan dan pusat-pusat aktivitas ekonomi. Kondisi keterbatasan infrastruktur
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
198 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
berakibat tidak berkembangnya aktivitas ekonomi masyarakat kawasan perbatasan
sehingga kemiskinan dan keterbatasan ekonomi masih melilit mereka (Istijono, 2011).
Belu memiliki potensi ekonomi untuk melakukan perdagangan antar-negara di perbatasan.
Hasil bumi dan kerajinan tangan dapat dijadikan sebagai andalan bagi kabupaten ini untuk melakukan perdagangan langsung. Namun sayangnya masih banyak kendala yang
dihadapi seperti koordinasi antar-lembaga tinggi negara dan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah (Wangke, 2013).
Aspek Ekonomi Masyarakat Perbatasan Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur.
Belu banyak menyimpan kekayaan alam seperti perikanan, pertanian, perkebunan,
peternakan, dan pariwisata namun pemanfaatan potensi daerah ini oleh masyarakat belum
optimal. Hal ini disebabkan masyarakat tidak memiliki keterampilan, pengalaman, pengetahuan, dan motivasi dalam menggali potensi daerah. Keadaan ini sudah lama terjadi
tetapi belum ada usaha baik secara pribadi, masyarakat, maupun pemerintah untuk
mengubah pola perilaku tersebut dengan kemauan untuk memanfaatkan potensi daerah
secara optimal (Siregar, 2014). Aktivitas kawasan perbatasan meliputi penjagaan
keamanan, pemanfaatan sumber daya alam, pengembangan budaya lokal, penataan lingkungan, pengingkatan perekonomian sampai pada cerminan suatu negara dimata
negara tetangganya. Dari kondisi yang ada permasalahan kawasan perbatasan meliputi,
masalah keamanan, kawasan perbatasan mempunyai posisi strategis yang berdampak
terhadap keamanan dan politis mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan Indonesia. Kerjasama ekonomi internasional sebagai upaya pengelolaan perbatasan, hal ini
dimungkinkan berdasarkan ketentuan hukum yang ada (Zulkifli, 2014). Jiwa
kewirausahaan dan kemandirian masyarakat yang diwujudkan dengan kemampuan
berinovasi, kemampuan mengorganisir dan mampu menghadapi resiko dari suatu usaha atau bisnis yang dijalankan. Inovasi dalam melahirkan produk baru baik barang maupun
jasa akan memberikan kekuatan bagi pemuda dalam menciptakan kemandirian dalam
ekonomi (Afrizal, 2013).
Pentingnya Diversifikasi Usaha dan Inovasi Teknologi dalam Percepatan Ekonomi
Pedesaan. Diversifikasi usaha khususnya di bidang pertanian adalah upaya untuk
mengotimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian yang tersedia, sesuai dengan
pendapat Baharsyah (1990) menyebutkan bahwa diversifikasi pertanian adalah proses
optimalisasi alokasi sumber daya alam dan dana untuk meningkatkan produksi, pendapatan, dan kesejahteraan rumah tangga petani dan penduduk pedesaan. Laynurak
(2008) menemukan bahwa diversifikasi usaha yang terdiri dari usaha penangkapan ikan,
usaha ternak dan usaha eksploitasi lingkungan memiliki pengaruh yang berbeda terhadap
tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan kelestarian lingkungan pesisir di Belu. Oleh karena itu upaya peningkatan produktivitas sektor pertanian di pedesaan hanya bisa
dilakukan dengan mengaplikasikan teknologi baik pada sektor produksi maupun
pengolahan dan pemasaran, sehingga eksistensi inovasi dalam inkubator teknologi sangat
krusial, karena berpengaruh pada perkembangan dan kelangsungannya, dimana sentuhan inovasi bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing suatu produk. Hal ini
sesuai pendapat Jamaran (2009) inovasi merupakan satu dari empat faktor yang
menentukan keberhasilan pengembangan suatu inkubator selain kesiapan inkubator,
modal, dan pemahaman teknologi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa peranan IBP terhadap
pertumbuhan ekonomi adalah memfasilitasi penerapan inovasi pada industri terkait sehingga berdaya dan berhasil guna. Pentingnya inovasi teknologi dalam peningkatan
produktivitas dan daya saing produk sesuai dengan pendapat Budiharsono (2010) bahwa
pengembangan inkubator teknologi berbasis agribisnis sangat membutuhkan dukungan
inovasi tepat guna. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengembangan ekonomi pedesaan termasuk daerah perbatasan adalah mendorong pengelolaan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
199 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
sumberdaya lokal secara optimal, hal ini sesuai dengan pendapat Dewi (2012) bahwa
pembangunan ekonomi lokal (PEL) pada dasarnya merupakan upaya untuk memanfaatkan
seoptimal mungkin sumberdaya, potensi, dan inisiatif lokal dalam menumbuhkan
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Pentingnya Inkubator Bisnis dalam Percepatan Ekonomi Pedesaan. Terdapat tiga
asumsi dasar dibentuknya inkubator bisnis (Raymond W. Smilor) yaitu: (1) kita segera
memasuki masa kewirausahaan; (2) terjadi kompetisi sengit diantara usahawan; dan (3) dibutuhkan lembaga yang mampu merubah taktik dan strategi pembangunan ekonomi.
Panggabean (2005) tujuan pendirian inkubator: (1) mengembangkan usaha baru dan
usaha kecil yang mampu bersaing di tingkat lokal maupun internasional, (2)
mengembangkan promosi kewirausahaan dengan menyertakan perusahaan-perusahaan swasta yang berkontribusi pada sistem ekonomi pasar, (3) sarana alih teknologi dan proses
komersialisasi hasil penelitian dari para ahli dan perguruan tinggi, (4) menciptakan peluang
pengembangan perusahaan baru, (5) aplikasi teknologi di bidang industri secara komersial.
Pada kenyataannya Model Inkubator Ekonomi Kerakyatan (Ekora) yang menggambarkan
praktik usaha bersama ekonomi desa sangat dipengaruhi oleh kompleksitas dan fragmentasi antar elemen basis dan sektor usahanya. Dalam konteks Desa Nglanggeran,
basis tersebut adalah kelompok tani, perempuan, dan kaum muda desa. Ketiga elemen
inilah yang menjadi aktor utama aplikasi model. Adapun sektor yang menjadi tumpuan
masing-masing, meliputi usaha tani dan hutan untuk kelompok tani, perdagangan, dan keuangan untuk perempuan, serta ekowisata untuk kaum muda (Awang, dkk., 2009).
Model ini bertumpu pada kukuhnya pilar kelembagaan koperasi tani, koperasi perempuan,
dan koperasi pemuda sesuai dengan sektor usaha terdiversifikasi. Inkubator menyediakan
beberapa dukungan pelayanan, selain ruangan fleksibel untuk disewa, peralatan bersama dan pelayanan administratif dalam suatu tempat kerja yang terpimpin (Mahnke, 2010).
Menurut Jamaran (2009), peranan inkubator bisnis terhadap pertumbuhan ekonomi adalah
memfasilitasi penerapan inovasi pada industri terkait sehingga berdaya dan berhasil guna.
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian tahun 2019 ini dilakukan di Kabupaten Belu
pada 3 (tiga) lokasi desa pesisir yakni Desa Jenilu, Desa Kenebibi dan Desa Dualaus.
Pertimbangan pemilihan Kabupaten Belu sebagai lokasi riset adalah merupakan kabupaten yang berbatasan langsung dengan Negara Republic Democratic Timor Leste, sedangkan
pertimbangan pengambilan desa perbatasan adalah akses informasi dan teknologi
masyarakat perbatasan yang masih rendah menyebabkan pengelolaan sumberdaya yang
tersedia belum optimal, sehingga masalah kemiskinan masyarakat perbatasan masih
menjadi masalah sosial ekonomi yang belum terpecahkan sampai dengan saat ini, yang berdampak pada timbulnya masalah-masalah (sosial, ekonomi, politik, budaya, dan
keamanan) antara 2 negara yang berbatasan.
Penentuan Sampel Lokasi Desa. Penentuan sampel lokasi (desa) dilakukan secara purposive sampling dan memilih 3 (tiga) desa perbatasan. Pertimbangan pemilihan lokasi
desa adalah desa sampel memiliki potensi selain perikanan tetapi juga terdapat potensi
usaha kreatif, pertanian dan peternakan yang telah menjadi aktivitas usaha sebagai
sumber pendapatan masyarakat pesisir.
Penentuan Responden dan Peserta Ujicoba. Penentuan responden dalam riset ini
dilakukan secara acak (random sampling) terhadap masyarakat perbatasan, sedangkan
untuk pelaksanaan FGD dilakukan secara purposive untuk menentukan tokoh-tokoh kunci
yang dilibatkan dalam kegiatan FGD yaitu tokoh masyarakat, pemerintah
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
200 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
desa/kecamatan/kabupaten yang memiliki pemahaman terhadap riset yang dilakukan.
Penentuan peserta ujicoba model dilakukan dengan sengaja (purposive sampling) dan
mengambil 1 kelompok usaha dari masing-masing desa sampel dengan pertimbangan
kelompok tersebut memiliki aktivitas usaha di bidang usaha kreatif, perikanan, dan
peternakan (3 cabang usaha) atau perikanan dan peternakan (2 cabang usaha).
Desain Penelitian. Desain dalam riset menggunakan pendekatan metode survei dan
participatory action research (PAR). Metode survey menggunakan teknik wawancara, FGD
berbasis PACA (participatory appraisal competitive advantages), observasi; sedangkan
metode participation action research (Krasny & Doyle, 2002), digunakan dalam proses uji
coba model untuk membandingkan kinerja usaha diversifikasi yang telah dilakukan
masyarakat pesisir dengan usaha diversifikasi yang diinovasi dengan teknologi, melalui
keterlibatan langsung dari masyarakat perbatasan mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
dan evaluasi model ujicoba.
Metode Pengambilan Data. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara terstruktur,
wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat perbatasan, FGD pola PACA (Nordstrom
et al., 2000) dan pengukuran/pengamatan lapangan. Hasil wawancara dan FGD dengan digunakan untuk mendesain prototype model teknologi diversifikasi usaha berdasarkan
keunggulan kompetitif sumberdaya yang dimiliki masyarakat perbatasan berdasarkan
pengujian tahun 1 dan 2. Teknik pengukuran dan observasi lapangan diperlukan untuk
melakukan validasi model dengan kondisi sebenarnya yang terjadi di lapangan terkait dengan aktivitas proses produksi dari usaha diversifikasi masyarakat pesisir.
Analisis Data. Data kuantitatif dianalisa secara deskriptif berupa frekuensi, persentase,
rataan, simpangan baku untuk membandingkan unit usaha dengan inovasi dan tanpa
inovasi menurut Cody and Smith (1997).
Hasil dan Pembahasan
Hasil Ujicoba Model Kombinasi Usaha pada Skala Kelompok Usaha Masyarakat
Perbatasan. Ujicoba produk usaha perikanan dan non-perikanan untuk kelompok usaha masyarakat yang terpilih adalah produk perikanan: Usaha Penangkapan Ikan (UP), Usaha
Dendeng Ikan (UDI), dan Usaha Abon Ikan (UAI); sedangkan usaha non perikanan dibagi
atas dua jenis usaha yaitu: Usaha Tenun (UT), dan Usaha Ternak Sapi Potong (USP). Hasil
simulasi usaha terpilih disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Hasil Ujicoba Model Kombinasi Usaha Perikanan dan Non Perikanan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
201 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Dari lima jenis usaha tersebut, didapatkan hasil simulasi pendapatan skala rumah
tangga di Belu seperti Tabel 1. Hasil simulasi usaha menggambarkan trend rataan
pendapatan tertinggi dihasilkan dari sektor perikanan yakni usaha penangkapan ikan
sebesar Rp8.197.842,11/tahun, usaha abon ikan Rp6.718.750,00/tahun diikuti oleh usaha tenun ikat Rp5.831.272,73/tahun dan usaha dendeng ikan Tuna Rp3.842.966,67/tahun.
Trend rataan pendapatan dari usaha non perikanan yakni usaha sapi potong (sudah
menerapkan teknologi) menunjukkan hasil tertinggi dalam peningkatan pendapatan
sebesar Rp12.419.375,00/tahun dan Rp.10.055.937,50/tahun.
Tabel 1 Rataan, Standar Deviasi dan Standar Error of Mean dari Jenis Usaha Demplot
Variabel
Jenis Usaha Demplot (Rp/Tahun)
Usaha
Perikanan
(UP)
Usaha
Dendeng
Ikan (UDI)
Usaha Abon Ikan (UAI)
Usaha
Tenun Ikat
(UT)
Usaha Sapi Potong (USP)
Kontrol Teknologi
Rataan 8.197.842,11 3.842.966,67 6.718.750,00 5.831.272,73 10.055.937,50 12.419.375,00 STDEV 1.365.650,08 1.026.340,93 1.066.348,07 896.550,73 573.731,12 540.373,13
SEM 313.301,62 342.113,64 377.010,98 270.320,22 143.432,78 191.050,75
Sumber: Data Primer diolah (2019)
Model Diversifikasi Usaha pada Skala Kelompok Usaha Masyarakat. Rataan
kontribusi usaha perikanan dan non perikanan terhadap total pendapatan rumah tangga
masyarakat pesisir dalam penelitian ini, masing-masing diperoleh sebesar 50,69% dan
49,31%. Hal ini memberikan gambaran bahwa kontribusi usaha perikanan dalam
perekonomian rumah tangga masyarakat perbatasan memiliki nilai kontribusi yang tinggi
yang terdiri dari usaha penangkapan, usaha olahan dendeng ikan dan usaha olahan abon
ikan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa usaha olahan perikanan merupakan pilihan
alternatif usaha yang dapat dikembangkan terutama pada rumah tangga masyarakat
pesisir termasuk nelayan.
Usaha non perikanan yang terdiri dari usaha sapi potong dan usaha tenun dalam penelitian ini memberikan kontribusi yang cukup tinggi dan dapat didorong menjadi usaha
unggulan melalui pengembangan teknologi produksi dan pemasaran dalam percepatan
perekonomian masyarakat perbatasan di Kabupaten Belu.
Kesimpulan. Berdasarkan hasil simulasi kontribusi usaha di Kecamatan Kalkuluk
Mesak, model kontribusi yang dapat memberikan peningkatan ekonomi rumah tangga
adalah kombinasi usaha perikanan dan non perikanan. Hasil simulasi usaha
menggambarkan trend rataan pendapatan tertinggi dihasilkan dari sektor perikanan yakni
usaha penangkapan ikan sebesar Rp8.197.842,11/tahun, usaha abon ikan Rp6.718.750,00/tahun diikuti oleh usaha dendeng ikan Tuna Rp3.842.966,67/tahun.
Trend rataan pendapatan dari usaha non perikanan yakni usaha sapi potong menunjukkan
hasil tertinggi dalam peningkatan pendapatan usaha sapi dengan menerapkan teknologi
sebesar Rp12.419.375,00/tahun diikuti oleh usaha sapi potong tanpa teknologi Rp.10.055.937,50/tahun dan usaha tenun ikat Rp5.831.272,73/tahun.
Ucapan Terima Kasih. Ucapan terima kasih patut disampaikan kepada
Kemenristek/BRIN atas kepercayaan dan fasilitasi pendanaan melalui skim penelitian
terapan tahun 2020, sehingga penelitian ini dapat berjalan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pihak Panitia Pelaksana Seminar Nasional Kelautan dan Perikanan ke-
VII FKP Undana atas kerjasamanya untuk penerbitan artikel ini dalam prosiding seminar
nasional.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
202 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Daftar Pustaka
Afrizal. 2013. Membangun Sumber Daya Manusia Kawasan Perbatasan (Perspektif
Pemberdayaan Pemuda) di Provinsi Kepulauan Riau. Artikel. Ilmu Pemerintahan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Kepulauan Riau.
Awang, dkk. 2009. PSEK Kembangkan Model Inkubator Ekonomi Kerakyatan untuk Desa
Miskin. Tulisan Populer. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Baharsyah, S. 1990. Peluang Usaha Yang tetap Luas di Sektor Pertanian. Prisma No 2. hal
86 LP3S. BPS. 2020. Kabupaten Belu dalam Angka Tahun 2020. Badan Pusat Statistika. Atambua.
Budiharsono, S. 2010. Inkubator Agribisnis Perdesaan: Pengkajian, Penelitian dan
Diseminasi. Disampaikan pada Seminar Nasional Hasil Kegiatan Pengkajian dan
Diseminasi Mendukung Program Strategis Kementerian Pertanian. Bogor, 11 Desember 2010. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Cody, R. P and J. K. Smith. 1997. Applied Statistics and the Programming Language. Fourth
Edition.
Dewi, Y. A. 2012. Inovasi Spesifik Lokasi Untuk Inkubator Teknologi Mendukung Pengembangan Ekonomi Lokal. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 10 No. 4,
Desember 2012 : 299-312.
Istijono, B. 2011. Membangun Kemitraan Dengan Perguruan Tinggi Dalam Kawasan
Perbatasan Kawasan Negara. Makalah Disampaikan pada Workshop Nasional, Fasilitasi
Kerjasama Pengelolaan Batas Negara dan Kawasan Perbatasan melalui Kerjasama dengan Perguruan Tinggi di Universitas Mulawarman, Samarinda. Kalimantan Timur.
Jamaran, I. 2009. Studi Awal Pengembangan Jaringan Inkubator Teknologi dan Bisnis Pada
Institusi Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jurnal Matematika, Sains, dan Teknologi. Vol.
9 (1): 47-53. Maret 2009. Krasny, M. & R. Doyle. 2002. Participatory approaches to program development and
engaging youth in research: the case of an inter-generational urban community
gardening program. Journal of Extension 40(2).
Laynurak Y. M. 2008. Model Diversifikasi Usaha Masyarakat Pesisir Dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan Serta Kelestarian Sumber Daya Wilayah Pesisir Di Kabupaten
Belu-NTT. Disertasi. Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang.
Mahnke, L. 2010. Promotion of Start-Ups and Entrepreneurship. Bahan Presentasi Workshop National Steering of Regional Economic Development RED Steer 2010
Germany. 9 Juli – 8 Agustus 2010. Germany.
Nordstrom, P., L. L. Wilson, T.W. Kelsey, A. N. Marezki, & C.W Pitts. 2000. The use of
focus group interviews to evaluate agriculture educational materials for students,
teachers, and consumers. Journal of Extension 38(2). Paulus C. A., Fauzi A., 2017 Factors affecting sustainability of alternatives livelihood in
coastal community of Nembrala, East Nusa Tenggara: an application of MICMAC
method. Jurnal Ekonomi Pembangunan 18(2):175-182.
Paulus C. A., Pellokila M. R., Sobang Y. U. L., Azmanajaya E., 2019 The alternative livelihood development strategy in order to improve local fishermen revenue in the
border region of Indonesia and Timor Leste. AACL Bioflux 12(1):269-279.
Paulus C. A., Sobang Y. U. L., 2017 Alternative livelihood strategy to improve social
resilience of fisher households: a case study in Nembrala village of Rote Ndao Regency. ECSOFiM: Journal of Economic and Social of Fisheries and Marine 5(1):13-21.
Paulus C. A., Sobang Y. U. L., Azmanajaya E., Pellokila M. R., Henuk Y. L., 2020
Management strategies for leading sectors of fisheries, livestock and agriculture
resources in supporting the economic of border household in the border between
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
203 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Indonesia and Timor Leste. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science
454(1):012063.
Paulus C. A., Sobang Y. U. L., Pellokila M. R., Azmanajaya E., 2018 The sustainability
development status of pigs livestock on traditional fishery household in Nembrala village of Rote Ndao Island. Russian Journal of Agricultural and Socio-Economic
Sciences 76(4):315-322.
Paulus, C. A., Azmanajaya, E., Pellokila, M. R., & Paranoan, N. (2020). Prospective
strategies for sustainable local economic development in support of the SDGs’ goals “inclusive and sustainable economic growth” in the border region of Indonesia─ Timor
Leste, Belu Regency, East Nusa Tenggara Province, Indonesia. JPhCS, 1464(1),
012053.
Siregar, C. N. 2014. Membangun Perilaku Masyarakat Atambua Melalui Pemanfaatan Potensi Daerah Dan Keamanan Perbatasan Republik Indonesia Dengan Republik
Demokratik Timor Leste. Jurnal Sosioteknologi Volume 13, Nomor 2, Agustus
2014:147-159.
Wangke, H. 2013. Perdagangan Lintas Batas Antar-Negara: Memacu Pembangunan
Ekonomi Kabupaten Bengkayang Dan Kabupaten Belu. Politica Vol. 4, No. 1, Mei 2013:24 hal.
Zulkifli. 2014. Kerjasama Ekonomi Internasional Sebagai Solusi Pengelolaan Kawasan
Perbatasan Negara (Studi Kasus Indonesia). Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos Vol.3 No.2
Juli 2014: 139-158.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
204 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Penerapan GMP dan SSOP pada Pengolahan Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Peeled Deveined Tail On (PDTO) Masak Beku di Unit Pengolahan Ikan Banyuwangi Muhammad R. Suryanto1 dan Yuliati H. Sipahutar2
1,2)Politeknik Ahli Usaha Perikanan, Jakarta
(Email : [email protected])
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan GMP dan SSOP pada proses
pengolahan udang vannamei (litopenaeus vannamei) Peeled Deveined Tail On (PDTO). Penelitian
dilakukan bulan November 2018 sampai Desember 2018 di Unit Pengolahan Ikan di Banyuwangi. Pengujian produk bahan baku dan produk udang vannamei di Balai Karantina Ikan dan Mutu Hasil
Perikanan Ketapang Banyuwangi. Metode dilakukan dengan studi kasus dan observasii mengikuti langsung seluruh alur proses, mulai dari penerimaan bahan baku hingga pemuatan. Metode analisa
data dilakukan dengan analisa deskriptif. Pengamatan dilakukan pada tahapan proses pengolahan
udang vannamei masak beku, penerapan rantai dingin, mutu bahan baku dan mutu produk, rendemen udang masak beku, penerapan GMP dan SSOP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahapan proses
pengolahan udang vannamei sesuai dengan alur proses pada SNI 3458:2016 udang masak beku,
penerapkan rantai dingin telah dilakukan dengan baik dengan suhu udang bahan baku 2,7 oC. Hasil pengujian mutu organoleptik bahan baku dan produk akhir adalah 8, hasil uji mikrobiologi sesuai
dengan SNI, dan hasil uji antibiotik adalah not detected. Hasil perhitungan rendemen pada proses pemotongan kepala adalah 69,31%, pengupasan 82,56%, dan pemasakan 86,38%. Unit Pengolahan
Ikan telah menerapkan GMP dan SSOP dengan baik.
Kata Kunci : GMP dan SSOP, mutu, Suhu, Udang Putih Vaname
Pendahuluan. Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu
komoditas perikanan laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi baik di pasar domestik
maupun global, dimana 77% diantaranya diproduksi oleh negara-negara Asia termasuk Indonesia. Salah satu keunggulan dari udang vanamei adalah harga jual tinggi, mudah
dibudidayakan dan tahan terhadap penyakit. Udang ekspor Indonesia secara umum
dibedakan atas dua jenis meliputi udang segar dan udang beku. Kondisi ini telah
mengakibatkan banyak negara atau masyarakat menyediakan bahan baku udang tidak hanya tergantung pada penangkapan di laut, tetapi juga melakukan budidaya udang secara
intensive dan cenderung besar- besaran dan kurang terkontrol. Udang Vannamei memiliki keunggulan spesifik seperti laju pertumbuhan yang relatif
cepat, padat tebar tinggi, kelangsungan hidup tinggi, perubahan salinitas (khususnya pada
salinitas tinggi), adaptasi tinggi terhadap suhu rendah, responsif terhadap pakan dan pasaran yang lebih luas di tingkat Internasional (Halimah & Adiwijaya, 2006). Udang rawan
dari serangan beberapa penyakit seperti bakteri vibrios dan virus. Untuk mengatasi
penyakit ini, bahkan beberapa antibiotik yang dilarang untuk digunakan dalam produk
panganpun juga banyak dijumpai di lapangan, seperti CHP dan nitrofuran serta turunannya. Praktek penggunaan antibiotik terlarang ini berdampak sangat buruk terhadap
ekspor hasil perikanan ke negara tujuan utama, khususnya UE dan AS (Irwandaru &
Wahyujati, 2012). Pengolahan udang vannamei di Indonesia sangat menjanjikan dan
bernilai ekonomis tinggi, namun dalam proses pengolahan di UPI masih ditemukan kendala seperti: penerapan rantai dingin yang belum baik, penggunaan antibiotik yang
meninggalkan residu berbahaya .
Pengolahan udang kupas mentah beku Peeled Deveined Tail On (PDTO) menerapkan
sistem GMP dan SSOP. Good Manufacturing Practice (GMP) adalah merupakan suatu
pedoman cara memproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan
bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen. Sanitation Standard Operating Procedure
(SSOP) adalah pedoman persyaratan sanitasi unit pengolahan ikan. Sanitasi dan hygiene
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
205 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan (Food and Drug
Administration, 2019).
Produk Peeled Deveined Tail On (PDTO) adalah salah satu usaha diversifikasi dalam
rangka peningkatan nilai tambah/ Value Added Product (VAP) yang merupakan produk olahan udang segar dengan perlakuan pencucian, pemotongan kepala, sortasi,
penyusunan, pembekuan, pengemasan dan penyimpanan (Badan Standarisasi Nasional,
2016).
Penelitian ini dilakukan di salah satu UPI di Banyuwangi, bertujuan untuk mengetahui penerapan rantai dingin selama proses pengolahan, mutu bahan baku dan produk akhir,
menghitung rendemen pengolahan udang kupas masak beku, mengetahui penerapan GMP,
SSOP dan persyaratan Kelayakan Dasar di Unit Pengolahan Ikan.
Metode Penelitian. Bahan baku yang adalah udang vannamei (Litopeneaus
vannamei) segar dan bahan kimia yang digunakan untuk pengujian mikrobiologi dan kimia adalah larutan NaCl, PCA, BGLB, LTB, EC broth, paraffin oil steril, Muller Hinton Agar, BFP,
purple carbohydrate broth . Alat yang digunakan adalah scoresheet, flake ice machine,
thermometer, stopwatch, dan timbangan untuk penanganan udang segar Penelitian dilakukan dengan metode survey, dan observasi dengan mengikuti secara
langsung alur proses penanganan udang segar head on mulai dari tahap awal produksi
hingga menjadi produk akhir. pengukuran suhu dilakukan sebanyak 12 (duabelas) kali,
pengujian mutu organoleptik dan mikrobiologi sebanyak 12 (duabelas) kali, perhitungan
rendemen dan pengamatan gmp, ssop dan kelayakan dasar pengolahan. Analisa data dilakukan dengan diskriptif. Uji organoleptic sesuai SNI 01-2728.1-2006
(Badan Standardisasi Nasional, 2006b). Pengamatan suhu sesuai SNI 01-2372.1-2006
(Badan Standardisasi Nasional, 2006a), uji mikrobiologi dengan parameter Angka Lempeng
Total (ALT) sesuai SNI 01-2332-2015 (Badan Standardisasi Nasional, 2015c), E. coli sesuai SNI 01-2332.1-2015 (Badan Standardisasi Nasional, 2015a), Salmonella SNI 01-2332.2-
2015 (Badan Standardisasi Nasional, 2015b) dan V.chollerae sesuai SNI 01-2332-2006
(Badan Standarisasi Nasional, 2006).
Hasil dan Pembahasan
Proses Pengolahan Udang Vannamei Peeled Deveined Tail On (PDTO) di UPI.
Proses pengolahan udang vannamei Peeled Deveined Tail On (PDTO) masak beku terdiri
dari beberapa tahapan proses sesuai SNI 3458:2016 (Badan Standarisasi Nasional, 2016)
sebagai berikut : .
Penerimaan Bahan Baku. Udang diterima dalam keadaan segar didalam coolbox dan
disimpan dengan menerapkan rantai dingin yaitu meletakkan es curai pada bagian
dasarnya, kemudian udang diatasnya selanjutnya es curai, begitu seterusnya hingga coolbox terisi penuh. Proses penerimaan bahan baku dilakukan dengan cepat dan hati-hati
agar tidak terjadi kerusakan fisik dengan tetap menerapkan rantai dingin yaitu suhu ≤5ºC
(Purwaningsih, 2000).. Pembongkaran udang dilakukan dengan cara manual dengan
menggunakan keranjang berkapasitas 20 kg, diletakkan pada jembatan stainless steel yang langsung terhubung dengan bak pencucian I
Pencucian I. Pencucian dilakukan dengan cara keranjang berisi udang dicelupkan ke
dalam bak pencucian yang berisi air dingin yang ditambahkan klorin sebanyak 30 ppm
(Thaheer, 2005) . Pencucian dilakukan dua kali pencelupan dengan bak yang berbeda. Pencucian ini bertujuan untuk membersihkan udang dari lendir, kotoran, benda asing dan
bakteri serta untuk membuang bongkahan es yang masih tersisa. Penambahan klorin
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
206 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
bertujuan untuk mereduksi bakteri yang tedapat pada air dan produk yang dicuci.
(Saparinto & Diana, 2006)
Penimbangan I. Proses penimbangan dilakukan dengan cara menimbang 2 keranjang udang sekaligus dengan kapasitas 20 kg agar berat udang diketahui 40 kg, hal ini dilakukan
agar hasil timbangan panen ditambak dengan hasil timbangan diperusahaan dapat
dicocokkan. Petugas mencatat berat udang serta hasil size yang didapat saat dilakukan
sampling. Selanjutnya keranjang udang dimasukkan kedalam ruang proses pemotongan kepala dengan melewati pintu kecil yang dilengkapi dengan plastik curtain.
Pemotongan Kepala. Proses pemotongan kepala dilakukan dengan cara udang dituang
keatas meja stainlees steel kemudian ditambahkan es tujuannya untuk mempertahankan suhu udang agar udang tetap dalam keadaan segar. Pemotongan kepala dilakukan secara
manual menggunakan tangan dengan cara mematahkan kepala udang dari arah bawah
keatas lalu menarik kaki jalan, pemotongan kepala harus tepat dan genjer diusahan tidak
ikut terbuang karena akan dapat mempengaruhi rendemen yang dihasilkan. Pekerja pada
tahap ini berjumlah 5 – 6 orang pada setiap meja atau groupnya.
Pencucian II. Pencucian II dilakukan dengan menggunakan mesin washing machine.
Pencucian dilakukan dengan cara meletakkan udang diatas conveyor wash tank yang
berjalan dan secara otomatis udang akan jatuh dan masuk kedalam keranjang berwarna merah, keranjang merah sebagai tanda bahwa hanya udang yang telah melalui proses
pencucian II yang dapat ditampung di keranjang tersebut.
Penimbangan II. Pencucian IIdilakukan dengan menimbang udang dengan menggunakan timbangan duduk yang bertujuan untuk mengetahui rendemen udang dari Head On (HO)
ke Head Less (HL) dan untuk menentukan hasil yang diperoleh pekerja borongan.
Keranjang diangkat dan ditimbang kemudian diberi kode label sesuai berat udang dalam
keranjang, udang yang telah ditimbang selanjutnya dicuci dengan cara mencelupkan keranjang kedalam bak air yang berisi es kemudian ditiriskan dan siap untuk dibawa
keruang sortasi.
Sortasi Awal. Sortasi awal dilakukan secara manual dengan cepat oleh 2 orang karyawan
produksi pada 1 meja, untuk memastikan bahwa mutu, size dan grade setingkat/kelas sehingga masing-masing kelas memiliki kualitas mutu yang seragam sesuai dengan
standar. Sortasi dilakukan dengan cara menuangkan udang ke atas meja yang terbuat dari
stainless steel, kemudian dipisahkan sesuai dan sama ukurannya. Penentuan size dilakukan
dengan cara mengambil sampel hasil sortasi seberat 454 gram (1 lbs), dilanjutkan dengan menghitung udang tersebut. Apabila jumlahnya sesuai dengan standar yang ditentukan
oleh perusahaan, berarti tahap sortasi awal dinyatakan benar (Masengi, Sipahutar, &
Rahadian, 2016)
Sortasi Akhir. Sortasi akhir dilakukan dengan cara memisahkan kembali udang yang telah
disortasi pada tahap awal sehingga didapat ukuran (size) yang sesuai dengan permintaan
buyer. Proses sortasi dilakukan untuk meratakan besar kecilnya udang sehingga memenuhi
keseragaman. Sortasi akhir sebaiknya dilakukan lebih teliti agar udang yang bermutu
rendah tidak tercampur dengan udang yang bermutu lebih baik. Sortasi akhir dilakukan dengan cara menuangkan udang keatas meja kemudian disortir oleh karyawan secara
manual untuk
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
207 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Penimbangan III. Udang ditimbang dengan cara memasukkan udang dalam keranjang
yang berkapasitas ± 20 kg, selanjutnya ditimbang dengan menggunakan timbangan
duduk. Petugas timbang (telly) mencatat hasil penimbangan dan di beri kode berupa jenis
produk akhir, ukuran, tanggal penerimaan, dan kode supplier. Tujuan dari penimbangan ini yaitu untuk mengetahui berapa banyak dari bahan baku yang akan diolah.
Pengupasan Kulit dan Pembuangan Usus. Pengupasan kulit dilakukan secara manual
menggunakan tangan dengan alat bantu berupa kuku yang terbuat dari bahan stainless steel, untuk memudahkan dan mempercepat proses pengupasan kulit. Kulit udang dikupas
dengan cara dari ruas pertama sampai ruas kelima dihilangkan, sedangkan ruas keenam
dan ekornya disisakan. Pembuangan usus dilakukan dengan cara membelah atau mengiris
bagian punggung udang dari ruas kedua hingga mendekati ruas terakhir dengan alat bantu pisau yang terbuat dari bahan stainless steel lalu dibuang ususnya dengan cara ditarik
sedikit keluar (Masengi et al., 2016). Tujuan alat menggunakan bahan stainlees steel agar
produk yang dihasilkan tidak terkontaminasi dengan peralatan yang digunakan karena
bahan stainless steel tahan terhadap korosi
Pencucian III. Proses pencucian III dilakukan setelah proses pengupasan kulit dan
pembuangan usus selesai dengan cara merendam udang ke dalam bak berisi air dan es
dengan ditambahkan klorin dan dikocok-kocok untuk menghilangkan sisa-sisa kotoran
yang masih menempel pada udang . Air pencucian udang diganti setiap 1 jam sekali atau kalau air sudah dalam keadaan kotor/berwarna keruh untuk mencegah terjadinya
kontaminasi silang.
Penimbangan IV. Penimbangan IV dilakukan untuk mengetahui jumlah produk PDTO yang dihasilkan sesuai dengan jumlah yang ditargetkan. Untuk mengetahui hasil kerja dari
karyawan borongan sehingga dapat menentukan upah yang akan diberikan kepada
karyawan setiap minggunya.
Penyusunan. Proses penyusunan dilakukan dengan cara menuangkan udang ke atas
tunnel conveyor mesin IQF, kemudian udang disusun/ditata dengan rapi agar saat proses
pembekuan udang berlangsung tidak terjadi penumpukan udang. Usahakan tidak terdapat
celah atau bagian yang kosong pada saat proses pembekuan berlangsung, hal ini bertujuan
agar udang yang keluar dalam keadaan beku sempurna, tidak saling menempel dan efisiensi dalam pembekuan. Selain melakukan penyusunan, karyawan juga melakukan
pengecekan yang bertujuan untuk memisahkan udang yang belum layak dibekukan seperti
ukuran (size) yang tidak sesuai atau belum memenuhi standar produk yang dihasilkan oleh
perusahaan. Pada proses penyusunan ini terdiri dari 6-10 karyawan yang bertugas untuk menyusun udang diatas tunnel conveyor dan di awasi oleh 1 orang QC serta 1 orang
operator mesin IQF tersebut.
Pembekuan. Pembekuan udang dilakukan dengan metode cryogenic freezing yang berkapasitas 10 ton/harinya dan menggunakan nitrogen cair sebagai sistem pendingin
(refrigrant) dengan sistem IQF (Individual Quick Freezing), menggunakan mesin tunnel
conveyor freezer. Pembekuan udang dengan tunnel menggunakan sistem sirkulasi udara
dingin dari refrigerant yang mengalir. Mesin yang berbentuk seperti terowongan dengan
udara yang merata yang dibantu oleh fan. Suhu pembekuan yang berlangsung antara -34ºC sampai dengan - 40ºC, pembekuan udang terjadi sangat cepat dengan waktu yang
dibutuhkan sekitar 7 menit untuk membekukan udang menjadi produk PDTO beku. Udang
yang beku sempurna ditandai dengan lapisan es yang rata, bening, cukup tebal pada
seluruh permukaan dilapisi es, tidak ada pengeringan pada permukaan produk, dan belum mengalami perubahan warna pada permukaan produk.(Azizah, 2015)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
208 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Penimbangan V. Udang yang telah selesai dibekukan dilakukan penimbangan yang
bertujuan untuk mengetahui berat udang setelah pembekuan, serta menimbang udang
yang sesuai dengan permintaan buyer. Penimbangan dilakukan dengan cara udang di
pindahkan ke keranjang kecil kemudian ditimbang misalnya 2 lbs (908 gram). Penimbangan udang dilakukan dengan cepat sebab apabila tidak dilakukan dengan cepat
akan mempengaruhi suhu udang
Pelapisan Es (Glazing). Pelapisan es atau biasa disebut penggelasan merupakan proses yang dilakukan untuk melapisi udang dengan es agar produk terhindar dari pengaruh
dehidrasi. Proses penggelasan dilakukan dengan cara menimbang udang terlebih dahulu
sebanyak 2 lbs kedalam keranjang berukuran kecil sesuai dengan permintaan buyer,
kemudian keranjang yang berisi udang dicelupkan kedalam bak stainless steel kecil yang berisi air dan es selama 3 sampai 5 detik atau 4 sampai 5 kali goncangan agar penggelasan
pada udang merata. Pada tahapan ini terdapat 2 orang karyawan yang bertugas untuk
melakukan proses glazing. Udang yang telah selesai dilakukan glazing selanjutnya
ditiriskan dan dimasukkan kedalam polybag jenis high density polyethylene
(HDPE)(Nuryani., 2006).
Pengemasan dalam Karton. Pengemasan dilakukan dengan cara udang yang telah
selesai di glazing kemudian dimasukkan kedalam polybag menggunakan corong lalu
direkatkan menggunakan sealer sebelum dilewatkan ke metal detector. Pengemasan dalam polybag dan sealing adalah untuk melindungi produk dari kontaminasi hazard fisik, biologi,
kimia. Menurut (Muchtadi, 2013), sifat fisik polyethilene (PE) di antaranya adalah
transparan, mudah dibentuk, kedap air dan biasanya digunakan untuk menyimpan produk
beku.
Pendeteksian Metal. Metal detector merupakan alat yang digunakan untuk mendeteksi
benda asing terutama yang terbuat dari unsur logam pada produk. Udang yang telah
dibekukan harus melewati mesin/alat pendeteksi logam (metal detector). Proses ini dilakukan dengan cara melewatkan udang pada mesin, apabila terdapat kelebihan unsur
logam pada produk maka mesin akan berbunyi dan terhenti secara otomatis. Apabila
didapati udang yang mengandung unsur logam langsung dipisahkan oleh QC (quality
control) untuk selanjutnya dilakukan proses dicairkan (thawing) terlebih dahulu. Semua
produk akhir wajib melewati metal detector untuk mengetahui produk akhir terbebas dari benda asing. Produk yang dinyatakan bersih, kemudian direkatkan (sealed) menggunakan
sealing machine. Setelah itu kemasan plastik dimasukkan kedalam master carton untuk
pengepakan.
Pengepakan. Pelabelan pada master carton bertujuan untuk memberikan keterangan
pada master carton dan sebagai sarana komunikasi produsen kepada konsumen tentang
hal-hal yang perlu diketahui oleh konsumen tentang produk tersebut, terutama hal-hal
yang kasat mata atau tak diketahui secara fisik, meliputi: (1) Nama UPI, (2) Nama produk, spesies (Vannamei White Shrimp Raw Peeled and Deveined Tail On), (3) Kode produksi,
tanggal produksi dan tanggal kadaluarsa, ukuran (size) dan berat udang (net weight), (4)
Nomor persetujuan dan (5) Kode tambak 01012401 (yaitu angka 01 pertama berarti
berasal dari tambak milik perusahaan, 01 kedua berarti menunjukkan lokasi tambak, 24
menunjukkan petak tambaknya, 01 terakhir menunjukkan tanggal Sedangkan untuk udang yang berasal dari supplier angka depannya 02 atau 03).
Penyimpanan (Cold Storage). Penyimpanan dilakukan pada produk dalam keadaan
beku dengan pengelompokkan size dan jenis produknya kemudian produk ditata rapi diatas pallet agar sirkulasi udara dalam ruang penyimpanana tetap terjaga. Proses penyimpanan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
209 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
dimulai dengan karyawan memasukkan master carton yang berisi produk kedalam cold
storage menggunakan troli, selanjutnya produk disusun sesuai dengan size, jenis produk,
berat timbangan yang diinginkan oleh buyer, dan tanggal masuknya produk kedalam cold
storage. Cold storage room berfungsi sebagai tempat penyimpanan produk udang beku sementara agar tetap menjaga kualitas udang sebelum didistribusikan. Suhu yang biasa
digunakan dalam ruang cold storage sekitar -18ºC sampai -25ºC, sehingga dapat
mempertahankan suhu udang minimal -18ºC (Irianto & Giyatmi, 2015). Setiap jam suhu
dicatat agar tidak terjadi fluktuasi yang besar. Penyimpanan bertujuan untuk menjaga kondisi udang beku agar selama menunggu proses pemasaran tetap dalam kondisi yang
segar.
Stuffing/Eksport. Pada tahap ini dilakukan proses pemindahan master carton dari cold storage kedalam container berpendingin dengan suhu -20°C ketika produk akan diekspor.
Sebelum digunakan untuk menaruh produk ruangan container dibersihkan terlebih dahulu,
dari kotoran yang ada. Quality control (QC) memeriksa container untuk memastikan
kondisi container benar-benar bersih dan suhunya telah tepat. Pemindahan menggunakan
troli besi dari cold storage kedalam container yang dilakukan secara cepat dan hati-hati. Selanjutnya staf QC mengecek dan mencatat setiap melakukan pengangkutan untuk
memastikan produk sesuai permintaan dan mengetahui jumlah produk yang masuk
kedalam container. Stuffing merupakan tahap pendistribusian produk dari ruang
penyimpanan (cold storage) ke container. (Putra, 2011) Penyusunan dilakukan dengan cara, disusun sesuai list yang telah disiapkan, sesuai dengan ukuran dan jenis produk yang
sama. Proses pengangkutan produk beku haruslah digunakan kendaraan yang direfrigerasi
secara mekanis untuk mempertahankan suhu produk agar tidak lebih tinggi dari
pada -180C
Pengukuran Suhu. Suhu dapat berpengaruh terhadap mutu bahan baku dan mutu produk
akhir, merupakan faktor yang sangat penting untuk diamati. Pengamatan suhu dilakukan
pada suhu udang, suhu air, dan ruangan. Hasil pengukuran suhu udang, suhu ruang dan air dapat dilihat pada Tabel 1,
Tabel 1.Pengamatan Suhu
Pengamatan Rata-rata
suhu
Standar
perusahaan SNI
Suhu bahan baku (udang) 2,4 °C < 5°C < 5°C
Suhu air 20,5 °C 19-21 °C
Suhu ruangan 2,5 °C < 5°C < 5°C
Suhu Udang. Pada Tabel 1 diatas menunjukkan hasil pengukuran suhu udang diperoleh
hasil rata-rata suhu bahan baku adalah 2,4°C. Suhu tersebut telah sesuai dengan
persyaratan SNI yaitu <5°C.. Setiap tahapan proses suhu udang tetap di pertahankan agar tidak melebihi 5oC, dengan cara selalu menambahkan es pada udang yang bertujuan untuk
memperlambat penurunan mutu. QC dan pengawas maupun koordinator setiap tahapan
proses selalu menegur apabila ditemukan pekerja yang dalam tahapan pengolahan tidak
menggunakan es.
Suhu Ruang. Pengukuran suhu ruang dilakukan pada ruang penerimaan bahan baku,
ruang pemotongan kepala, ruang proses, ruang penyusunan dan penyimpanan.
Berdasarkan tabel diatas, untuk suhu ruangan penerimaan bahan baku, ruang pemotongan kepala dan ruang penyusunan kisaran 22-23ºC. Suhu ruangan pembekuan IQF kisaran 19-
20ºC. Serta suhu ruangan packing kisaran 18-19ºC. Suhu ruang penyimpanan (cold
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
210 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
storage) berkisar -20ºC sampai -21º C. Penerapan suhu rendah pada setiap ruang produksi
pada perusahaan sangat baik. Menurut (Murniyati & Sunarman, 2000) suhu ruangan yang
rendah sangat efektif untuk menhambat pertumbuhan bakteri-bakteri psikofilik yaitu
bakteri-bakteri yang senang pada suhu rendah dan hidup pada suhu 0ºC sampai 30ºC dengan suhu optimun 15ºC. Pengukuran suhu ruang bertujuan untuk mempertahankan
mutu udang supaya tidak mengalami penurunan mutu. Berdasarkan hasil pengukuran
terhadap suhu ruang, hasil diperoleh suhu ruangan masih sesuai dengan standar yang
ditetapkan perusahaan yaitu 19-21°C. Hal ini karena di dalam ruang proses terdapat air conditioner dan terdapat blower yang selalu dikontrol oleh QC. Pembekuan juga dapat
dibagi lagi berdasarkan panjang-pendeknya yaitu pembekuan cepat (quick freezing) yang
tidak lebih dari dua jam dan pembekuan lambat (slow freezing) yang lebih dari dua jam
(Fellowus, 2000). Adanya pengaruh pembekuan cepat dan pembekaun lambat yaitu mempengaruhi besar dan kecilnya kristal es yang terbentuk. Oleh karena itu, pada
pembekuan lambat apabila dicairkan kembali maka kristal akan merusak jaringan daging
ikan sehingga menimbulkan terjadinya drip yang cukup banyak. Penggunaan temperatur
untuk pembekuan perlu dipertimbangkan pada temperatur cairan daging yang telah
membeku semua disamping itu juga proses enzimatis, proteolitik, hidrolisis, oksidatif dan aktivitas mikrobia sudah terhambat, sehingga kerusakan struktur daging dapat dikurangi
seminimal mungkin dan akan menjamin kualitas daging beku yang dihasilkan (Masengi,
Roiska, & Sipahutar, 2017).
Suhu Air. Suhu air menjadi faktor yang sangat penting diamati karena air dingin dapat
mendinginkan ikan dengan cepat karena persinggungan yang lebih baik daripada
pendinginan dengan es, sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan
menghambat aktivitas mikroorganisme (Adawyah, 2007). Berdasarkan hasil pengukuran suhu air diperoleh rata-rata 2,7°C. Hal ini karena suhu air dipertahankan suhunya <5°C
dengan ditambah es secara terus-menerus dan dilakukan pengawasan oleh QC pencucian.
Pengukuran suhu air dilakukan pada tahap pencucian telah sesuai dengan standar, dimana
pada perusahaan untuk air pencucian yang digunakan ≤ 30C. Air pencucian pada bak-bak penampung selalu diberi es. Es berfungsi untuk menurunkan suhu pada udang maupun air,
guna menekan laju pertumbuhan bakteri pembusuk, selain itu juga untuk
mempertahankan mutu udang (Montanari, 2008)
Pengujian Organoleptik
Pengujian Bahan baku Udang Segar. Pengujian organoleptic dilakukan pada proses
penerimaan bahan baku oleh Quality Control. Udang dikelompokkan menjadi 2 kategori
mutu yaitu :
First grade dan second grade. Kriteria udang yang termasuk dalam first grade
adalah udang segar, bau spesifik jenis, tekstur daging kenyal bila ditekan akan
kembali ke bentuk awal / elastis, warna daging putih bening. kulit keras, kepala
melekat kuat dengan ruas badan. Bila kulit ruas kepala dan ruas badan renggang, kerengangan tidak lebih dari 5 mm dengan selaput membrane masih melekat.
Second grade. meliputi : (1) Soft (S) yaitu kulit pada punggung jika ditekan
lembek, tetapi kulit pada segmen terakhir masih keras, (2) Moulting (M) yaitu pergantian kulit pada udang biasanya kulit udang tipis dan lembek, (3) Discolour
(D) yaitu erubahan warna udang menjadi kemerahan akibat kemunduran
kesegaran udang, (4) Broken (B) yaitu dang yang rusak fisik (patah dan tubuh
tidak utuh lagi), (5) Scratch Shell yaitu terdapat luka gores pada kulit udang,
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
211 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
(6) Black tail yaitu ercak hitam atau bintik hitam pada ekor, (7) Black spot yaitu
penurunan mutu udang sehingga timbul bercak / bintik hitam pada tubuh udang,
(8) Broken shell yaitu dang yang rusak pada kulit atau kulit udang yang
mengelupas dan (9) Broken tail yaitu udang yang rusak pada bagian ekor.
Udang segar adalah udang yang baru ditangkap dengan ciri-ciri udang segar antara
lain rupa dan warnanya bening, spesifik jenis, cemerlang, sambungan antar ruas kokoh,
kulit melekat kuat pada daging (Purwaningsih, 2000).
Tabel 2. Hasil Pengujian Organoleptik
Nilai rata-rata
Bahan Baku 8 Produk Akhir 8
Syarat SNI SNI 01-2728.1-2006 7
Berdasarkan data tabel 2 nilai organoleptik bahan baku yang di terima perusahaan
diperoleh nilai 8, dengan karakteristik kenampakan utuh, kurang bening, cahaya mulai
pudar, berwarna asli, antar ruas kokoh. Baunya segar spesifik jenis dan teksturnya elastis,
kompak dan padat. Hal ini dikarenakan pada saat penanganan bahan baku telah dilakukan good handling atau penanganan yang baik sesuai standar perusahaan dan SNI 01-2728.1-
2006 yaitu nilai organoleptik minimal 7. Pada penanganan proses pengangkutan udang
yang baik dengan cara udang disimpan didalam box fiberglass tertutup yang pada lapisan
dasar di beri es balok, kemudian es curai dengan perbandingan udang dan es 1:2 (150 kg udang dan 250 kg es) sehingga udang selalu berada dalam rantai dingin dengan suhu
sekitar <50C. Menurut (Sipahutar, Ramli, Kristiani, & Prabowo, 2019), dikatakan bahwa
suhu peranan paling penting pada udang yang sudah mati peranan suhu rendah sekitar
0ºC dapat menekan kegiatan enzimatik, bakteriologis, kimiawi dan perubahan organoleptik dengan demikian memperpanjang daya awet. Kualitas bahan baku meliputi kenampakan
secara visual dan jumlah mikroba yang terkandung dalam tubuh ikan. Bahan baku yang
prima akan sangat menentukan kualitas produk akhir (Wulandari, Abida, & Farid, 2009).
Menurut (Sipahutar, Suryanto, Ramli, Pratama, & Panjaitan, 2020) cara penanganan udang
yang baik dapat mencegah terjadinya kerusakan atau pembusukan udang. Setelah pasca panen hingga bahan baku sampai di UPI dipertahankan rantai dinginnya dengan
ditambahkan es terus-menerus supaya tidak terjadi kenaikan suhu
Pengujian Sensori Produk Akhir. Hasil pengujian organoleptik produk akhir berdasarkan
SNI 3457-2014 menunjukkan nilai rata-rata 8. nilai standar yang harus dimiliki produk udang masak beku adalah minimal 7. Hal ini dipengaruhi beberapa hal antara lain bahan
baku memiliki mutu yang bagus dan beberapa proses pengolahan di antaranya proses
soaking yang tujuannya untuk memperbaiki cita rasa udang. Mutu produk akhir sudah
memenuhi standar, hal ini dikarenakan proses pengolahan udang PDTO dilakukan dengan baik sesuai Good Manufacturing Practices (GMP) yang diterapkan di perusahaan
(Sipahutar, Masengi, & Wenang, 2017).
Menurut Masengi, Sipahutar, & Sitorus, 2018) bahwa udang dilakukan pembekuan
yang baik sehingga udang yang dihasilkan tampak mengkilat. Selain dilakukan soaking dan pembekuan, selanjutnya dilakukan proses glazing yang bertujuan untuk mencegah
dehidrasi selama penyimpanan dan memperbaiki kenampakan. Menurut (Tasbih, 2017)
proses soaking dapat memperbaiki cita rasa produk, dapat mempertahankan tekstur dan
kekenyalan produk, menjaga kadar air (moisture ) produk sehingga produk tampak segar (fresh). Selain itu juga pembekuan produk akhir di UPI berjalan dengan baik sesuai dengan
pendapat (Masengi et al., 2018) proses glazing yaitu untuk mencegah terjadinya oksidasi,
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
212 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
dehidrasi dan memperbaiki penampilan karena terbentuk lapisan es tipis yang seragam.
Produk akhir ditangani dengan good handling dan menerapkan GMP dan SSOP yang baik
dan benar. Menurut (Nuryani., 2006), Standar Operasi Pengolahan atau yang biasa disebut
GMP adalah merupakan cara/teknik berproduksi yang baik dan benar untuk menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu. Selama proses pengolahan UPI
telah menerapkan kunci penting dalam penanganan produk perikanan antara lain:
mempertahankan rantai dingin selama proses, menerapkan SSOP, tidak melakukan
penundaan selama proses pengolahan. Selain itu juga telah menerapkan GMP selama proses pengolahan.
Hasil Pengujian Mikrobiologi. Udang mengandung bakteri cukup banyak yang
terkonsentrasi pada kepala, cangkang dan saluran pencernaan Perubahan yang terjadi setelah udang mati yaitu terjadi perubahan biokimia dan mulai terjadi proses kemunduran
mutu atau deterioration yang disebabkan oleh kegiatan autolisis, kimiawi dan bakterial.
Jumlah total mikroba akan meningkat dengan adanya peningkatan suhu (Badrin, Patajai,
& Wirayatno, 2019)
Tabel 3. Hasil Pengujian Mikrobiologi Bahan Baku
ALT
(kol/g) Coliform/
APM/g
E. Coli
(APM
/g)
Vibrio
Parahaemoyticus
(APM/25g)
Vibrio
cholera
/25g
Salmonella
Staphyloccus
kol/g
Bahan Baku 1,2 x 104 - 6.0 x 104
<3 <3 <3 Negatif Negatif <10
Produk Akhur 3,1 x 104 - 3,6 x 104
<3 <3 <3 Negatif Negatif <10
SNI 01-2332-
2006
5,0 x 105 <3 <3 <3 Negatif Negatif <10
Perusahaan 5,0 x 105 <3 <3 <3 Negatif Negatif <10
Hasil pengujian mikrobiologi bahan baku diatas menunjukkan bahwa nilai bahan baku
ALT berkisar 1.29 x 104 sampai 6.0 x 104 telah sesuai dan memenuhi persyaratan dimana
nilai ALT untuk bahan baku memenuhi standar yaitu maksimum 5x105 kol/gr, Coliform <3,
E.coli <3, Salmonella negatif dan V.chollerae negatif. Dengan demikian hasil pengujian mikrobiologi yang dilakukan masih memenuhi standar, yaitu maksimal 5x105 kol/gr (Badan
Standardisasi Nasional, 2006b).
Hasil pengujian mikrobiologi diatas menunjukkan bahwa produk akhir dengan nilai ALT
berkisar 3,1 x 104 sampai 3,6 x 104 telah sesuai dan memenuhi persyaratan, dimana nilai ALT untuk produk akhir memenuhi standar yaitu maksimum 5x105 kol/gr, Coliform <3 ,
E.coli <3, Salmonella negatif dan V.chollerae negatif. Dengan demikian hasil pengujian
mikrobiologi yang dilakukan pada produk akhir masih memenuhi standard untuk
persyaratan ekspor sesuai dengan SNI 01-2332-2006 (Badan Standardisasi Nasional,
2006b). (Badrin et al., 2019). Hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan baku yang diterima masih
dalam keadaan segar dan terbebas dari kontaminasi bakteri, hal ini dikarenakan penerapan
prinsip penanganan bahan baku telah dilakukan dengan baik. Pengujian mikrobiologi
mengacu pada SNI-2332.3.2015. Berdasarkan hasil pengujian mikrobiologi terhadap produk akhir dapat disimpulkan bahwa produk telah memenuhi standar karena selama
proses telah dilakukan good handling, sehingga layak untuk ekspor.
Pengujian Kimia Antibiotik. Pengujian antibiotik dapat menentukan apakah bahan baku
diterima atau tidak. Bahan baku yang
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
213 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
datang diutamakan untuk dilakukan pengujian antibiotik terlebih dahulu. Antibiotik
Chlorampenicol pada udang dapat berasal dari pakan yang dibutuhkan saat budidaya.
Chlorampenicol mempunyai efek membunuh mikroorganisme dalam pakan sehingga pakan
menjadi lebih awet, serta mampu memperbaiki sistem pencernaan dan meningkatkan nafsu makan pada udang.
Tabel 4. Pengujian Antibiotic Bahan Baku
Tanggal Hasil Pegujian
07 Nopember 2018 Not detected 16 Nopember 2018 Not detected
08 Desember 2016 Not detected
18 Desember 2016 Not detected
23 Desember 2018 Not detected Standar Perusahaan 0,3 ppb
Berdasarkan pengujian antibiotik dapat disimpulkan bahwa bahan baku dan produk
akhir tidak mengandung antibiotik, sehingga bahan baku layak untuk diproses pengolahan
lebih lanjut, dan produk akhirnya layak untuk diekspor. Bahaya yang dapat ditimbulkan
dari residu antibiotik chloramphenicol adalah sebagai berikut: depresi sumsum tulang;
kelainan darah seperti anemia dan anemia aplastik; hepatitis kronis; neurophatiec; anemia haemolitik; pneumonitis; vertigo, dan nyeri otot. Adapun efek dari residu nitrofuran:
karsinogenik; gangguan hormon yang dapat menyebabkan disfungsi pada sistem endokrin
manusia, hal ini diakibatkan sel yang terekspos oleh furazolidone (Umbas, Hutabarat, &
Agustini, 2012).
Pengujian antibiotik di UPI menetapkan standar kadar Chloramphenicol yakni maksimal 0,3 ppb. Pengujian antibiotik dilakukan pada setiap supplier. Hasil analisa dari 5
kali pengujian terhadap antibiotik Chloramphenicol pada udang yakni tidak terdeteksi sama
sekali. Berdasarkan pengujian antibiotik dapat disimpulkan bahwa bahan baku tidak
mengandung antibiotik, sehingga bahan baku layak untuk diproses pengolahan lebih lanjut, dan produk akhirnya layak untuk diekspor. Bahaya yang dapat ditimbulkan dari residu
antibiotik chloramphenicol adalah sebagai berikut: depresi sumsum tulang; kelainan darah
seperti anemia dan anemia aplastik; hepatitis kronis; neurophatiec; anemia haemolitik;
pneumonitis; vertigo, dan nyeri otot. Adapun efek dari residu nitrofuran: karsinogenik; gangguan hormon yang dapat menyebabkan disfungsi pada sistem endokrin manusia, hal
ini diakibatkan sel yang terekspos oleh furazolidone (Umbas et al., 2012).
Perhitungan Rendemen. Rendemen merupakan perbandingan antara berat akhir produk yang diinginkan dengan berat semula Rendemen merupakan rasio berat antara daging dan
berat udang utuh . Perhitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa banyak
dari tubuh udang yang dapat digunakan sebagai bahan makanan.
Tabel 5. Hasil Perhitungan Rendemen
Tahapan Rendemen Standar perusahaan
Pemotongan kepala 69,31% 70-71 1%
Pengupasan 82,56% 80-851%
cooking 86,38% 85-871%
Hasil perhitungan rendemen pada proses pemotongan kepala adalah 69,31%,
pengupasan 82,56%, dan pemasakan 86,38% Berdasarkan hasil perhitungan rendemen diperoleh hasil bahwa, nilai rendemen telah memenuhi standar UPI. Hal tersebut salah
satunya dikarenakan bahan baku yang diterima perusahaan adalah udang bermutu segar.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
214 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Menurut (Afrianto & Liviawati, 2010), ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi
rendemen salah satunya adalah mutu bahan baku (faktor kesegaran udang sangat
berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan), sarana dan prasarana, tenaga kerja,
ukuran dan jenis bahan baku.
Good Manufacturing Practices (GMP). Good Manufacturing Practices (GMP) yang
diterapkan meliputi: seleksi bahan baku, bahan pembantu, penanganan dan pengolahan,
pengemasan, produk akhir, dan penyimpanan. Sistem GMP yang diterapkan di UPI telah berjalan dengan baik.
Seleksi Bahan Baku. Bahan baku yang akan diproses adalah bahan baku yang
berasal dari tambak milik perusahaan. Bahan baku diangkut dengan menggunakan truk yang telah dimodifikasi yang di lengkapi dengan coolbox yang berbahan dasar
fiber glass yang satu bos berkapasitas 1,5 ton. selama pengankutan suhu udang
dipertahankan <50C, dengan cara udang disusun pada lapisan dasar es balok,
kemudian es curai lalu udang dengan perbandingan udang dan es 2:1 (250 kg
udang :125 kg es).
Bahan Pembantu . Bahan pembantu yang digunakan selama proses produksi
yaitu air, es, alkohol, dan chlorine. Dosis pemakaiannya telah sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah dan negara tujuan ekspor. Air merupakan bahan pembantu yang paling penting dalam industri pengolahan.
Hampir di setiap alur proses memerlukan air sebagai sarana penunjang
menggunakan air yang berasal dari sumur yang diproses melalui treatment ozon.
Ozon merupakan senyawa yang mampu membunuh bakteri dan mempunyai daya oksidasi yang kuat, sehingga kotoran dan bakteri dapat diminimalisir sehingga
memenuhi standar air minum.
Es merupakan media yang dapat mempertahankan mutu dan kesegaran
udang selama proses produksi berlangsung. Es yang digunakan adalah es buatan sendiri sehingga dapat dipantau proses pembuatannya dan berasal dari air yang
memenuhi persyaratan air minum (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009).
Es yang dibuat perusahaan adalah block ice dan flake ice. Es yang biasa digunakan
yaitu es curai karena lebih cepat menurunkan suhu udang, karena es curai dapat
menyelimuti atau menutupi sebagian tubuh udang sehingga penggunaannya lebih efisien. Untuk menjamin kualitas air dan es, maka perusahaan melakukan
pengujian mikrobiologi setiap hari yang dilakukan oleh laboratorium sendiri dan 6
(enam) bulan sekali.
Tabel 6. Konsentrasi Penggunaan Klorin
No. Lokasi Jenis
Wadah Standar (ppm)
Volume Air (L)
Volume Klorin(ml)
1. Sebelum masuk gedung proses
Kolam kecil 200 112 37
2. Sebelum masuk ruang
proses Kolam kecil 200 282 94
3. Pencucian tangan Bak kecil 50 185 77,5
4. Pencucian tangan (ruang produksi)
Bak kecil 100 10 8
5. Awal bongkar Leda 50 250 105
6. Deheading Leda 30 840 200
7. Sortir Meja sortir 10 130 11
8. Peeling Leda 10 130 11
9. Pencucian peralatan Leda 200 300 500
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
215 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Penanganan dan Pengolahan. Penanganan bahan baku dilakukan dengan
cepat, cermat dan hati-hati serta terlindung dari panas matahari, pengaruh panas
cuaca dan kontaminasi kotoran karena dilakukan dalam ruangan yang tertutup dan sesuai dengan persyaratan sanitasi. Setiap bahan baku yang masuk terlebih
dahulu selalu diproses lebih dulu dan diterapkan sistem FIFO (First In First Out)
serta selalu dipertahankan suhunya supaya tetap pada kisaran yang rendah
(<5°C)(Bimantara & Triastuti, 2018)
Pengemasan. Pengemasan produk PDTO pertama dengan plastik polyethylen
(PE) kemudian dimasukkan ke dalam master carton dengan merek yang
ditentukan buyer. Setiap pengemas yang dipakai minimal memuat label yang berisi merk/brand produk, size, berat bersih produk, nomor persetujuan, tanggal
produksi dan tanggal kadaluarsa sebagai informasi kepada konsumen. Bahan
pengemas harus memenuhi syarat yaitu cukup kuat, tahan perlakuan fisik,
mempunyai permeabilitas yang rendah terhadap uap air, gas dan bau, tidak
meningkatkan waktu pembekuan, tidak melekat pada produk dan juga tidak meng-kontaminasi produk (Food and Drug Administration, 2019). Pengemasan
dilakukan untuk menjaga udang dari kerusakan fisik. Polybag yang digunakan
sebagai kemasan primer harus ditutup rapat (sealing) agar udang tidak mengalami
dehidrasi.
Produk Akhir. Produk akhir yang akan di ekspor harus memiliki standar kualitas
sesuai dengan spesifikasi perusahaan dan pembeli. Sebelum produk akhir
didistribusi wajib dianalisa organoleptik, fisik, kimia dan mikrobiologi. Apabila masih terdapat adanya logam atau sisa kotoran pada produk akhir disebabkan
kurangnya perhatian terhadap pencucian dan sanitasi selama proses berlangsung
hal ini dapat menyebabkan mesin metal detector berhenti. Tindakan
pencegahannya dengan melakukan defrost terhadap produk yang terdeteksi, kemudian dilakukan pengujian di laboratorium (BRC Global Standard, 2018) .
Penyimpanan. Produk yang disimpan dalam ruang penyimpanan cold storge
disusun berdasarkan jenis produk, size udang , jenis udang dan tanggal produksi,
selain itu dalam penyusunannya produk tersebut dialasi dengan pallet untuk menghindarkan produk berkontak langsung dengan lantai di ruang penyimpanan.
Penyusunan harus diberi celah atau rongga-rongga agar sirkulasi udara dingin di
dalam ruang dapat menyebar secara merata ke seluruh produk dan memudahkan
proses transportasi atau distribusi didalam ruang tersebut. Pintu gudang beku juga memiliki plastik curtain yang dapat menghambat fluktuasi suhu dan pintu juga
jangan sering dibuka untuk mengurangi panas dari luar (Winarno, 2011).
Sanitation Standart Operation Procedures (SSOP). UPI telah menerapkan SSOP dengan baik. Hal-hal yang diamati dalam SSOP antara lain adalah pasokan air dan es,
permukaan yang kontak langsung dengan produk, pencegahan kontaminasi silang (F.
Winarno & Surono, 2012), fasilitas pencuci tangan, bahan kimia, bahan tambahan
(Junianto, 2003) dan bahan pembersih saniter, syarat label dan penyimpanan, hygiene dan
kesehatan karyawan, pengendalian pest. Dalam Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) diunit pengolahan, pihak
perusahaan telah menerapkan 8 kunci SSOP yang meliputi pasokan air dan es, permukaan
yang kontak langsung dengan produk, pencegahan kontaminasi silang, menjaga fasilitas
tempat cuci tangan, bahan kimia pembersih dan saniter, label dan penyimpanan,
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
216 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
kesehatan dan kebersihan karyawan, serta pengendalian pest (Pratama, Afrianto, &
Rostini, 2017).
Pasokan Air dan Es. Pasokan air berasal dari sumur di belakang pabrik. Sebelum disalurkan ke dalam ruang pengolahan terlebih dahulu air mendapat perlakuan
dengan menggunakan ozon kemudian air ditampung ke dalam tandon yang
berkapasitas 108m3. Tandon penyimpanan air dibersihkan enam bulan sekali. Air
yang digunakan untuk proses pengolahan udang disalurkan terpisah dan tidak berhubungan dengan sistem aliran air kotor. Untuk mengontrol keamanan air,
dilakukan pengujian mikrobiologi terhadap air secara rutin setiap hari, pengujian
fisik dan kimia setiap 6 bulan sekali. Jadi air yang digunakan sudah memenuhi
standar air minum (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2009). Perusahaan dapat memproduksi es balok sebanyak ±500 balok setiap
harinya dan sebagiannya digunakan untuk membuat es curai. Sebelum digunakan
es terlebih dahulu dicuci. Air merupakan komoditi yang sangat essensial dalam
persiapan dan pengolahan pangan. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk
diperhatikan bahwa semua air yang ditujukan untuk pengolahan bahan pangan harus bebas dari bakteri pathogen (Ujianti, 2017).
Tabel 7. Hasil Pengujian Air dan Es
Jenis air/es TPC kol/g Coliform
kol/g
E. coli
kol/g
Staphylococc
us aureus Salmonella
Air sumur artesis 1,8 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif
Air proses (potong kepala
kran No. 29
29 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif
Air proses (packing No.63)
1,7 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif
Air washing
(washng 2) 2,0 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif
Air proses (lab.
kran No. 2) 3,9 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif
Air pencucian
(potong kepala) 2,8 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif
Air proses (sortir
& final kran
No.39)
3,8 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif
IQF kran No. 52) 1,8 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif
Es flake 2,0 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif
Es balok 4,3 x 101 < 3 < 3 < 10 Negatif
Standar 100 < 3 < 3 < 10 Negatif
Sumber : Laboratorium UPI (2018)
Peralatan atau Permukaan yang Kontak Langsung dengan Produk. Peralatan yang digunakan dalam proses produksi terbuat dari bahan stainless stell
(timbangan, meja proses, pisau, conveyer dan lain-lain), Plastik (keranjang,
baskom, bak dan lain-lain) dan baja (mesin pembekuan). Pencucian untuk
peralatan di perusahaan dilakukan dengan cara menyikat permukaan peralatan, diberi air sabun dan kemudian dibilas dengan air chlorin 100 ppm. (Hanidah,
Mulyono, Andoyo, Mardawati, & Huda, 2018)
Pencegahan Kontaminasi Silang. Kontaminasi silang dapat dicegah dengan
menerapkan cara berproduksi yang baik dan benar (GMP). Konstruksi ruang pengolahan dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi pemisahan dengan batas
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
217 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
yang jelas tiap tahapan proses, antara bahan baku yang diterima dan produk akhir,
bahan kimia dan sanitizer disimpan pada tempat terpisah, pemisahan saluran
antara air bersih dan air bekas proses
. Menjaga Fasilitas Tempat Cuci Tangan dan Toilet. Pintu masuk ruang proses
terdapat 25 kran pencuci tangan yang mengalir dengan menggunakan kran dorong
yang menggunakan kaki. Kran air pencuci tangan dilengkapi dengan sabun serta
bak cuci tangan. Pencucian tangan dilakukan tiap 1 jam sekali, air yang sudah digunakan satu kali kerja, dibuang kemudian diganti tiap satu kali kerja. Air cuci
tangan ini merupakan air dengan penambahan larutan klorin sebanyak 100 ppm
(Masengi et al., 2017).
Bahan Kimia, Pembersih dan Saniter. Bahan kimia, pembersih dan saniter
terletak di ruangan yang terpisah dari ruangan pengolahan, hal ini bertujuan untuk
mencegah kontaminasi silang dengan produk. Bahan-bahan tersebut juga harus
diberi label sehingga memudahkan dalam proses pencarian. Pengawasan terhadap
bahan-bahan yang menjadi sumber kontaminasi bertujuan untuk menjamin bahwa produk pangan dari kontaminasi mikroba, kimia dan fisik. Pemakaian
bahan-bahan kimia sesuai dengan petunjuk dan instruksi dari perusahaan dan
dikembalikan ke gudang apabila tidak diperlukan.
Label dan Penyimpanan. Bahan pengemas yang digunakan pada perusahaan
yaitu polybag dengan jenis polyethilen yang aman dan baik sebagai bahan
pengemas. Bahan pengemas berisi informasi isi, merk, asal negara, perusahaan
produsen, berat bersih, komposisi, masa kadaluwarsa, dan persyaratan penyimpanan. Dan kemasan master carton yang dilengkapi nama perusahaan,
nama produk disetai spesifikasi, kode produksi, tanggal produksi, tanggal
kadaluwarsa, ukuran, berat udang, nomor persetujuan dan kode tambak.
Kesehatan dan Kebersihan Karyawan. Setiap karyawan yang menangani
produk harus dalam kondisi yang sehat dan bersih. Karyawan yang sedang sakit
tidak diperbolehkan mengikuti proses kerja karena akan mengganggu karyawan
lainnya dan mengkontaminasi produk. Oleh sebab itu, kesehatan karyawan harus
selalu diperiksa secara berkala dalam rentan waktu 1 tahun dengan tujuan untuk menjamin agar tidak ada seorang karyawan menderita penyakit yang dapat
ditularkan melalui makan dan bertindak sebagai pembawa penyakit. Semua
karyawan yang bersentuhan dengan obyek-obyek yang tidak bersih harus
membersihkan dan mensanitasi tangan serta sarung tangan sebelum memegang produk (Markenih, 2016).
Pengendalian Pest. Pabrik dirancang sedemikian rupa dengan tujuan untuk
mencegah masuknya binatang ke unit pengolahan yang dapat membahayakan produk. Prosedur yang dijalankan adalah semua pintu masuk ruang pengolahan
dilengkapi dengan tirai plastik, penempatan perangkap hama seperti tikus,
serangga dan lainnya disetiap tempat-tempat tertentu, dan lubang yang
memungkinkan masuknya binatang pengerat ditutup. Binatang pengerat dan
serangga merupakan salah satu potensial kontaminasi penyebar bakteri sehingga keberadaannya di dalam ruang pengolahan sangat tidak diharapkan dan dilakukan
berbagai upaya untuk mencegahnya. Prosedur yang dilakukan oleh pihak
perusahaan adalah dengan memasang penyaring pada saluran pembuangan yang
terbuat dari besi . Bagian yang berhubungan dengan luar ruang pengolahan dilengkapi tirai plastik, alat pengendali anti serangga (insect killer). Pengawasan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
218 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
binatang pengerat dan serangga dilakukan dengan cara inspeksi secara rutin oleh
petugas Quality Control.
Penilaian Kelayakan Dasar. Keadaan unit pengolahan suatu perusahaan sangat
mempengaruhi mutu dan kelayakan produk yang dihasilkan. Pemerintah menjamin
lancarnya program pembinaan dan pengawasan terhadap rancangan, penataan ruangan,
gedung, lingkungan, peralatan dan perlengkapan, sanitasi dan hygiene karyawan serta
pengawasan dan pembinaan terhadap operasi penanganan pengolahan (Kementrian
Kelautan dan Perikanan, 2013). Penilaian kelayakan dasar unit pengolahan udang kupas
mentah beku dari pengamatan langsung di UPI sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya
. Pengamatan dengan menggunakan kuisioner terhadap 21 Klausul, terdapat 17 klausul
yang layak, dan terdapat 2 klausul yang tidak diterapkan dan 2 klausul yang tidak layak.
Tabel 8. Hasil Penilaian Kelayakan Dasar
Klausul Kondisi Saran Perbaikan
Fasilitas
Toilet
Tidak disediakan alat
pembersih tangan (sabun dan tissue)
Perlu diadakan/ disediakan alat
pembersih pada setiap toliet, yang
bertujuan untuk mengurangi
kontaminasi
Sanitasi :
Alat pengering
tangan
Tidak disediakan alat
pengering tangan ketika akan
masuk keruang proses
Perlu diadakan/ disediakan alat
pengering tangan agar tidak
mengkontaminasi produk pada saat
karyawan kembali bekerja setelah
mencuci tangan
Penerapan kelayakan dasar unit pengolahan pada UPI sudah cukup baik, meliputi
persyaratan fisik dan operasional, tetapi masih terdapat beberapa penyimpangan pada
penilaian kelayakan dasar seperti fasilitas toliet perlu diadakan berupa alat pembersih
tangan pada toilet tentunya sangat mempengaruhi sanitasi dan hygiene dari karyawan,
dan perlu diadakan alat pengering tangan yang sangat digunakan dan bermanfaat ketika
setelah selesai mencuci tangan dengan tujuan agar karyawan tidak dapat
mengkontaminasi produk (Sutresni, Mahendra, & Aryanta, 2016).
Berdasarkan pengamatan kelayakan dasar yang dilakukan dengan menggunakan
kuisioner penilaian dasar dengan 21 klausul, ditemukan 2 klausul yang belum memenuhi
standar, karena masih ditemukan penyimpangan pada klausul fasilitas toilet, yaitu
perlengkapan sanitasi toilet (sabun dan tissue) yang perlu diadakan dan klausul fasilitas
sanitasi (hand dryer) yang perlu diadakan.
Kesimpulan. Alur proses pengolahan udang Vannamei masak beku dari UPI berjumlah
21 tahapan, dengan penerapan rantai dingin pada setiap tahapan. Nilai organoleptik bahan
baku adalah 8 dan nilai organoleptik produk akhir adalah 8. Semua hasil pengujian mikrobiologi terhadap bahan baku sudah sesuai dengan standar, dan hasil pengujian kimia
antibiotik terhadap bahan baku hasilnya adalah tidak terdeteksi kandungan antibiotik di
dalam daging udang. Nilai rata-rata perhitungan rendemen pada proses pemotongan
kepala adalah 69,31%, pengupasan 82,56% dan pemasakan 86,38%. Selain itu, Penerapan kelayakan dasar sudah cukup baik namun ada dua yang belum memenuhi
syarat yaitu perlengkapan sanitasi toilet (sabun dan tissue) dan klausul fasilitas sanitasi
(hand dryer) yang perlu diadakan. .
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
219 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Daftar Pustaka
Adawyah, R. (2007). Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Azizah, L. H. (2015). Analisis Kemunduran Mutu Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) Secara Kimiawi dan Mikrobiologis. Institut Pertanian Bogor.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. Peraturan Kepala Badan pengawas obat dan makanan
republik indonesia tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia
dalam Makanan, Pub. L. No. Nomor HK.00.06.1.52.4011 (2009). Jakaarta: BPOM.
Badan Standardisasi Nasional. Cara uji fisika – Bagian 2: Penentuan suhu pusat pada produk perikanan., Pub. L. No. SNI 01-2372.1-2006 (2006). Jakarta: BSN.
Badan Standardisasi Nasional. Spesifikasi Udang Segar Segar, Pub. L. No. SNI 01-2728.1-
2006 (2006). Indonesia: BSN.
Badan Standardisasi Nasional. Cara uji mikrobiologi Bagian 1 : Penentuan Coliform dan Escherichia coli pada produk perikanan, Pub. L. No. SNI 01-2332.1-2015 (2015).
Indonesia: BSN.
Badan Standardisasi Nasional. Cara Uji Mikrobiologi Bagian 2: Penentuan Salmonella pada
Produk Perikanan, Pub. L. No. SNI 01-2332.2-2015 (2015). Indonesia. Badan Standardisasi Nasional. Cara Uji Mikrobiologi Bagian 3: Penentuan Angka Lempeng
Total (ALT) pada Produk Perikanan, Pub. L. No. SNI 01-2332.3-2015 (2015).
Indonesia: BSN.
Badan Standarisasi Nasional. Cara uji mikrobiologi-Bagian 5: Penentuan vibrio cholerae
pada produk perikanan, Pub. L. No. SNI 01-2332.4-2006 (2006). Indonesia: BSN. Badan Standarisasi Nasional. Udang masak beku, Pub. L. No. SNI 3458:2016 (2016). BSN.
Badrin, T. A., Patajai, A. B., & Wirayatno, S. (2019). Studi perubahan Biokimia dan
Mikrobial Udang Vanname (litopenaceus vannamei} selama proses rantai dingin di
Perusahaan Graha Makmur Cipta Pratama, Kabupaten Konawe, 2(1), 59–68. Bimantara, A. P., & Triastuti, R. J. (2018). Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP)
pada Pabrik Pembekuan Cumi-Cumi (Loligo Vulgaris) di PT. Starfood Lamongan, Jawa
Timur. Journal of Marine and Coastal Science, 7(3), 111–119.
BRC Global Standard. (2018). Global Standard for Food Safety. BRC Global Standard. London EC3R 6DP. https://doi.org/10.1002/9781118373828
E. Afrianto, & E. Liviawati. (2010). Penanganan Ikan Segar. Bandung: Widya Pajajaran.
Fellowus. (2000). Food Processing Technology Principle and Practice. England: Ellis
Horward. Limited Sussex. Food and Drug Administration. (2019). Fish and Fishery Product Hazard and Control
Guidance. Florida Sea Grant IFAS - Extension Bookstore University of Florida P.O. Box
110011 32611-0011 (800) 226-1764 (fourth edi). Florida Sea Grant: Department Of
Health and Human Services, Public Health Service, Food and Drug Administration,
Center For Food Safety and Applied Nutrition, Office Of Food Safety. Halimah, R. W., & Adiwijaya. (2006). Udang Vannamei. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hanidah, I.-I., Mulyono, A. T., Andoyo, R., Mardawati, E., & Huda, S. (2018). Penerapan
Good Manufacturing Practices Ebagai Upaya Peningkatan Kualitas Produk Olahan
Pesisir Eretan - Indramayu. Agricore: Jurnal Agribisnis Dan Sosial Ekonomi Pertanian, 3(1), 359–426.
Irianto, H. E., & Giyatmi, S. (2015). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Universitas
Terbuka, Tangerang Selatan (Vol. 2). Jakarta.
Irwandaru, D., & Wahyujati. (2012). Peningkatan Daya Saing Produk Lokal dalam Upaya Standarisasi Memasuki Pasar Global. Universitas Gunadarma. Jakarta.
Junianto. (2003). Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Kementrian Kelautan dan Perikanan. Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Kemanan Hasil Perikanan pada Proses
Produksi, pengolahan dan Distribusi, Pub. L. No. Nomor 52A/KEPMEN-KP/2013
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
220 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
(2013). Jakarta.
Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higienitas serta Pengaruhnya terhadap Kualitas Ikan
yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Blanakan, Subang. Institut Pertanian
Bogor. Masengi, S., Roiska, R., & Sipahutar, Y. H. (2017). Penetapan dan Pengendalian Critical
Control Point (CCP) pada Pengolahan Sotong (Sepia sp) Utuh Beku (Frozen Whole
Clean Cuttlefish) di PT. Yasuriang Samudera Rezeki, Medan Belawan-Sumatera Utara.
Jurnal Teknologi Dan Penelitian Terapan STP, 20(2), 109–122. Masengi, S., Sipahutar, Y. H., & Rahadian, T. (2016). Penerapan Sistem Ketertelusuran
(Traceability) pada Pengolahan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Kupas
Mentah Beku (Peeled and Deveined) di PT Dua Putra Makmur, Pati, Jawa Tengah.
Jurnal STP(Teknnologi Dan Penelitian Terapan), (1), 201–210. Masengi, S., Sipahutar, Y. H., & Sitorus, A. C. (2018). Penerapan Sistem Ketertulusuran
(Traceability) Pada Produk Udang Vannamei Breaded Beku (Frozen Breaded Shrimp)
di PT. Red Ribbon Jakarta. Jurnal Kelautan Dan Perikanan Terapan, 1(1), 46–54.
Montanari, R. (2008). Cold chain tracking a managerial perspective. Trends in Food Science
& Technology 19, 425–435. Muchtadi, T. (2013). Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bandung: Alfabeta.
Murniyati, & Sunarman. (2000). Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan.
Yogyakarta: Kanisius.
Nuryani., A. G. B. (2006). Pengendalian Mutu Penanganan Udang Beku dengan Konsep Hazard Analysis Critical Control Point. Universitas Diponegoro.
Pratama, R. I., Afrianto, E., & Rostini, I. (2017). Pengantar Sanitasi Industri Pengolahan
Pangan. Publisher:Yogyakarta.
Purwaningsih, S. (2000). Teknologi Pembekuan Udang. Jakarta: Penebar Swadaya. Putra, P. D. (2011). Peran Dokumen-Dokumen Penunjang dalam Proses Pengiriman Barang
melalui Ekspor Udara. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Saparinto, C., & Diana. (2006). Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Kanisius.
Sipahutar, Y. H., Masengi, S., & Wenang, V. (2017). Kajian Penerapan Good Manufacturing Practices dan Sanitation Standard Operation Procedure pada Produk Pindang Air
Garam Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis) dalam Upaya Meningkatkan Keamanan
Pangan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Prosiding Simposium Nasional Ikan Dan
Perikanan, 1063–1075.
Sipahutar, Y. H., Ramli, H. K., Kristiani, M. G. E., & Prabowo, G. (2019). Quality of consumer on vannamei shrimp (Litopenaeus vannamei) from intensive addition and
traditonal pond Bulukumba District, South Sulawesi. Prosiding Simposium Nasional
Kelautan Dan Perikanan VI Universitas Hasanuddin, 359–366.
Sipahutar, Y. H., Suryanto, M. R., Ramli, H. K., Pratama, R. B., & Panjaitan, T. F. (2020). Organoleptic quality of whiteleg shrimp ( Litopenaeus vannamei ) cultivated from
intensive and traditional pond at Bulukumba District , South Sulawesi Organoleptic
quality of whiteleg shrimp ( litopenaeus vannamei ) cultivated from intensive and
tradition. In The 3rd International Symposium Marine and Fisheries (ISMF) 2020. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science 564 (2020) 012040 IOP.
https://doi.org/10.1088/1755-1315/564/1/012040
Sutresni, N., Mahendra, M. S., & Aryanta, I. W. R. (2016). Penerapan Hazard Analysis
Critical Control Point (HACCP) Pada Proses Pengolahan Produk Ikan Tuna Beku Di Unit
Pengolahan Ikan Pelabuhan Benoa - Bali. ECOTROPHIC : Jurnal Ilmu Lingkungan (Journal of Environmental Science), 10(1), 41–45.
https://doi.org/10.24843/ejes.2016.v10.i01.p07
Tasbih, M. (2017). Proses Pengolahan Udang Beku (Frozen Shrimp) Peeled and Deveined
(PD) dengan Metoda Pembekuan Individually Quick Frozen (IQF) Pada PT Dua Putra Utama Makmur TBK, Pati, Jawa Tengah. Repositori Uninersitas Jambi, 1–11.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
221 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Thaheer, H. (2005). Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control). Jakarta:
Bumi Aksara.
Ujianti, R. M. D. (2017). Produksi Bersih Pada Industri Pangan Berbasis Perikanan (Cleaner
Production in Food Fisheries Industrial). Jurnal Ilmu Pangan Dan Hasil Pertanian, 1(1), 28–36. https://doi.org/10.26877/jiphp.v1i1.1383
Umbas, A. P., Hutabarat, J., & Agustini, T. W. (2012). Evaluasi Implementasi Kebijakan
Program Pengendalian Mutu dan Kemanan Hasil Perikanan Budidaya Udang. In
Seminar Nasional ke II ; Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan. Semarang: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro.
Winarno, F. G. (2011). Good Manufacturing Practices (GMP). Bogor: M-Brio Press.
Winarno, F., & Surono. (2012). HACCP dan Penerapannya dalam Industri Pangan. Bogor:
M Brio Press. Wulandari, D. A., Abida, I. W., & Farid, A. (2009). Kualitas Mutu Bahan Mentah dan Produk
Akhir pada Unit Pengalengan Ikan Sardine di PT. Karya Manunggal Prima Sukses
Muncar Banyuwangi. Jurnal Kelautan, 2(1), 40–49.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
222 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Substitusi Tepung Ikan Teri Hitam (Stolephorus insularis) Terhadap Kandungan Gizi dan Karakteristik Kerupuk Pangsit Aysha Dini Anjani1, Apri Dwi Anggo2 dan Fronthea Swastawati3
1,2,3)Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Diponegoro, Semarang, 50275, Indonesia.
(Email correspondensi: [email protected])
Abstrak - Kerupuk pangsit digemari karena rasanya yang gurih dan sebagai pelengkap mie maupun sebagai cemilan. Namun, kerupuk pangsit umumnya memiliki protein dan kalsium yang rendah.
Substitusi tepung ikan teri diharapkan mampu meningkatkan kandungan gizi kerupuk pangsit. Tujuan penelitian adalah mengetahui kandungan gizi dan karakteristik kerupuk pangsit dengan substitusi
tepung ikan teri hitam (Stolephorus insularis). Materi utama yang digunakan adalah ikan teri hitam
(Stolephorus insularis). Peralatan uji yang digunakan diantara adalah Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), texture analizer, peralatan uji proksimat serta glassware. Penelitian ini
bersifat experimental laboratories model Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan perbandingan berat tepung terigu dan tepung ikan teri (b:b) yaitu 200:0g; 180:20g; 170:30g; dan 160:40g serta 3
kali pengulangan. Data parametrik (kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar kalsium, kadar timbal
dan kerenyahan) dianalisa menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dan Beda Nyata Jujur (BNJ), sedangkan data non parametrik (hedonik) menggunakan uji Kruskal Wallis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perbedaan substitusi tepung ikan teri memberikan pengaruh nyata (P<5%)
terhadap kadar air, kadar protein, kadar lemak dan kadar kalsium, serta tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar timbal dan tingkat kerenyahan tidak memberi pengaruh nyata pada perlakuan
180:20g dan 170:30g. Hasil uji hedonik kerupuk pangsit yang paling disukai adalah perlakuan 180:20g dengan selang kepercayaan 8,613≤µ≤8,671. Kandungan gizi kerupuk pangsit terbaik yaitu perlakuan
160:40g karena memiliki rata-rata kadar protein tertinggi yaitu 17,55% (bk) dan kadar kalsium 267,20
mg/100g (bk). Kata Kunci: Ikan Teri, Tepung Ikan, Kerupuk Pangsit, Nutrisi, Kalsium, Kerenyahan
Abstract - Dumpling crackers are popular because of their delicious taste and as a complement to
noodles and a snack. However, dumpling crackers generally have low protein and calcium. The
substitution of anchovy flour is expected to increase the nutritional content of dumpling crackers. The research objective was to determine the nutritional content and characteristics of dumpling crackers
with substitution of black anchovy (Stolephorus insularis) flour. The main material is black anchovy
(Stolephorus insularis). The test equipment used includes Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS), texture analyzer, proximate test equipment and glassware. This research is an experimental laboratory
model with a completely randomized design with the comparison of the weight of wheat flour and anchov flour (b: b) is 200:0g; 180:20g; 170:30g; 160:40g and 3 repetitions. Parametric data (water,
protein, fat, calcium, lead content and crispness) were analyzed using analysis of variance (ANOVA)
and Honest Significant Difference (HSD), while non-parametric data (hedonic) used the Kruskal Wallis test. The results showed that the differences in the substitution of anchovy flour had a significant effect
(P <5%) on water, protein, fat and calcium content, and did not have a significant effect on lead content and crunchiness had no significant effect on treatment 180: 20g and 170: 30g. The most preferred
dumpling cracker hedonic test result was 180: 20g treatment with a confidence interval of
8.613≤µ≤8.671. The best nutritional content of dumpling crackers is treatment 160: 40g because it has the highest average protein content of 17.55% (dw) and calcium levels of 267.20 mg / 100g (dw).
Keywords: Anchovy, Fish Flour, Dumpling Crackers, Nutrition, Calcium, Crispness
Pendahuluan. Ikan teri hitam (Stolephorus insularis) merupakan ikan pelagis kecil
yang menjadi salah satu potensi sumber daya ikan laut. Volume perikanan tangkap laut di
Indonesia tahun 2017 yaitu 6,6 ton. Volume produksi ikan teri tahun 2016 yaitu 210.6 ton
dan mengalami peningkatan di tahun 2017 yaitu 247.7 ton (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2017). Ikan teri merupakan lauk mina tinggi protein, seluruh badannya dapat
dikonsumsi sehingga memungkinkan penyerapan zat gizi yang maksimal. Kandungan
protein yang tinggi pada ikan teri menjadikan ikan teri sebagai sumber nutrisi yang baik
untuk dikonsumsi.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
223 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Salah satu hasil pengolahan ikan teri hitam yaitu tepung ikan teri. Tepung ikan teri
baik untuk dikonsumsi dan dapat sebagai alternatif bahan pangan tambahan atau substitusi
dalam pembuatan camilan. Salah satu camilan yang dapat dibuat dengan substitusi tepung
ikan teri yaitu kerupuk pangsit. Tepung ikan teri mengandung tinggi protein sebanyak 48,8 g per 100 g dan sebagai sumber kalsium dan besi. Nilai gizi yang terkandung dalam 100 g
ikan teri yaitu energi 77 kkal, protein 16 g, kalsium 500 mg, fosfor 500 mg, dan besi 1 mg
(Faroj, 2019). Ikan teri diolah menjadi tepung ikan teri untuk mempermudah dalam
mengkonsumsi dan mempermudah untuk disubstitusikan pada pengolahan makanan seperti kerupuk pangsit.
Menurut Kaswanto et al. (2019), kandungan gizi dalam 100 g kerupuk pangsit ialah
lemak 3,21 g, protein 3,3 g, karbohidrat 20,22 g, sodium 428 mg, dan kalium 62 mg.
Kerupuk pangsit digemari karena rasanya yang gurih dan sebagai pelengkap mie maupun sebagai camilan, namun kandungan gizi yang diperoleh dari penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa kerupuk pangsit memiliki kadar protein yang rendah. Makanan ringan
ekstrudat ini dapat ditingkatkan kandungan nilai gizi proteinnya dari sumber protein hewani
seperti tepung ikan teri, sehingga perlu dilakukan penelitian pembuatan kerupuk pangsit
dengan substitusi tepung ikan teri. Tepung ikan teri dapat dimanfaatkan sebagai substitusi pada pembuatan kerupuk pangsit sehingga diharapkan dapat meningkatkan asupan zat
gizi untuk dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik dan kandungan gizi kerupuk pangsit dengan subtitusi tepung ikan
teri. Parameter yang diamati berupa kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar kalsium, kadar timbal, tingkat kerenyahan dan hedonik.
Metode Penelitian. Proses pembuatan tepung ikan teri mengacu pada prosedur
penelitian dari Rahmi et al. (2018). Ikan teri hitam segar dicuci bersih dan dilakukan
pemisahan antara kepala dan badan ikan serta pengeluaran isi perut. Ikan teri diletakkan pada loyang alumunium dan dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 80ºC selama 5
jam. Ikan teri yang telah kering kemudian dihaluskan menggunakan blender. Ikan teri
yang telah hancur disaring menggunakan ayakan 80 mesh. Proses pembuatan kerupuk pangsit dilakukan mengacu pada prosedur penelitian
Kaswanto et al. (2019), yang dimodifikasi dengan perbandingan tepung terigu dan tepung
ikan teri yang berbeda. Adonan dicampurkan ke dalam baskom yang terdiri dari tepung
terigu, telur, garam, air, margarin yang telah dicairkan dan tepung ikan teri. Perbandingan
tepung terigu dan tepung ikan teri (b:b) yang digunakan yaitu 200:0g; 180:20g; 170:30g; dan 160:40g. Adonan diaduk hingga kalis. Adonan kemudian digiling menggunakan
penggiling hingga tipis dengan ketebalan sekitar 1-2 mm, dan dipotong dengan
membentuk persegi ukuran 5 cm x 5 cm. Adonan digoreng dengan minyak panas. Proses
penggorengan menggunakan suhu 170-180ºC dan memakan waktu 2-3 menit atau sampai
kerupuk pangsit berwarna kuning kecoklatan.
Bahan dan Peralatan. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan teri
hitam yang diperoleh dari Pasar Kobong, Semarang. Bahan tambahan lainnya yaitu tepung
terigu, telur, margarin, garam dan minyak goreng diperoleh dari Pasar Swalayan ADA,
Semarang. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gelas ukur, labu ukur (pyrex),
gelas beaker (pyrex), timbangan analitik (ohaus), oven listrik (binder), blender
(panasonic), saringan tepung, loyang, talenan, pisau, penggiling adonan (home line),
wajan, kompor.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
224 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Pengujian Kadar Air. Penentuan kadar air berdasarkan Badan Standarisasi Nasional
(2015) dengan menghilangkan molekul air melalui pemanasan menggunakan oven pada
suhu 105ºC selama 16-24 jam hingga diperolah berat kering konstan. Penentuan kadar air
dihitung dengan rumus sebagai berikut.
Kadar Air (% bb) = 𝐁−𝐂
𝐁−𝐀 x 100%
Keterangan: A = berat cawan kosong (g)
B = berat cawan + sampel awal (g)
C = berat cawan + sampel kering (g)
Pengujian Kasar Protein. Analisis protein berdasarkan Badan Standarisasi Nasional
(2006) terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Sampel diuji
menggunakan dan didestruksi pada suhu 410ºC selama kurang lebih 2 jam atau sampai
cairan berwarna hijau bening. Labu kjeldahl dicuci dengan akuades 50 hingga 75 ml, kemudian air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi.
Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer. Destilasi dilakukan dengan
menambahkan 50 ml larutan NaOH 60% dan Na2S2O3 5% ke dalam alat destilasi hingga
tertampung 100-150 ml destilat di dalam erlenmeyer dengan hasil destilat berwarna hijau. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang
pertama kalinya. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti
sampel.
% N = 𝐦𝐥 𝐇𝐂𝐥 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡−𝐦𝐥 𝐇𝐂𝐥 𝐛𝐥𝐚𝐧𝐤𝐨 𝐱 𝐍 𝐇𝐂𝐥 𝐱 𝟏𝟒,𝟎𝟎𝟕
𝐠 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡 x 100%
Kadar Protein (% bb) = % N x 6,25 (FK)
Keterangan: N HCl = Normalitas HCl
14,007 = Berat atom nitrogen
% N = Kadar nitrogen total
N dalam protein sebesar 16% sehingga FK = 100/16 = 6,25
Pengujian Kadar Lemak. Pengujian kadar lemak dilakukan berdasarkan Badan
Standarisasi Nasional (2017). Prinsip penentuan kadar lemak ini adalah sampel dihidrolisis
dalam suasana asam untuk membebaskan lemak yang terikat dengan senyawa lain, kemudian diekstrak dengan pelarut organik dengan bantuan pemanasan. Metode yang
digunakan yaitu metode Soxhlet yang diawali dengan tahapan hidrolisis dan dilanjutkan
tahap ekstrasi menggunakan ekstraktor Soxhlet konvensional. Selongsong lemak
dimasukkan ke dalam ekstraktor Soxhlet. Ekstraksi dilakukan dengan siklus ekstraksi sekitar 5 menit/siklus selama 3-4 jam. Penentuan kadar lemak dihitung dengan rumus
sebagai berikut.
% Lemak total = (𝐂−𝐁)
𝐀 x 100%
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
225 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Keterangan:
A = berat sampel (g)
B = berat labu alas bulat atau erlenmeyer atau cawan alumunium kosong (g)
C = berat labu alas bulat kosong dan lemak hasil ekstraksi (g)
Pengujian Kadar Kalsium. Pengujian kadar kalsium dilakuakn menurut AOAC (2000).
Sampel dilarutkan dalam asam ditambahkan dengan Lanthanum Oksida untuk mencegah
terbentuknya ion selain Ca pada saat penetapan dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Pembacaan sampel dengan alat AAS dengan
panjang gelombang 422,7 nm. Penentuan kadar kalsium dihitung dengan rumus sebagai
berikut.
% Ca = 𝐊 𝐱 𝐎 𝐱 𝐅
𝐖 𝐱 𝐀 𝐱 𝟏𝟎𝟎𝟎𝟎
Keterangan:
K = Konsentrasi hasil pembacaan titrasi O = Pengenceran indukan (1 ml)
F = Pengenceran final untuk pembacaan (250 ml)
W = Berat sampel
A = Larutan yang diambil untuk diencerkan (25 ml)
Pengujian Kadar Timbal. Pengujian kadar timbal Badan menggunakan metode sesuai
Standarisasi Nasional (2011). Terdapat tiga tahap yaitu pengabuan kering, detruksi basah
dengan microwave dan pembacaan kurva kalibrasi dan sampel pada AAS. Sampel 5 g disiapkan dalam cawan porselen. Kontrol positif Pb dibuat. Spiked diuapkan di atas hot
plate pada suhu 100°C hingga kering. Sampel dan spiked dimasukkan ke dalam tungku
pengabuan dengan suhu tungku pengabuan dinaikkan secara bertahap 100°C setiap 30
menit hingga mencapai 450°C dan pertahankan selama 18 jam. Sampel dan spiked
dikeluarkan dari tungku pengabuan dan dinginkan pada suhu kamar. Setelah dingin, ditambahkan 1 ml HNO3 65% dan digoyangkan. Selanjutnya diuapkan diatas hot plate pada
suhu 100°C hingga kering. Setelah kering, sampel dan spiked dimasukkan kembali ke
dalam tungku pengabuan selama 3 jam. Setelah abu terbentuk sempurna berwarna putih,
dinginkan sampel dan spiked pada suhu ruang. 5 ml HCl 6 M ditambahkan kedalam masing-masing sampel dan spiked, kemudian digoyangkan secara hati-hati sehingga semua abu
larut dalam asam. Setelah itu, diuapkan di atas hot plate pada suhu 100°C sampai kering.
10 ml HNO3 0,1 M ditambahkan dan didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam, larutan
dipindahkan ke dalam labu takar polypropylene 50 ml dan ditambahkan larutan matrik modifier, larutan ditepatkan hingga tanda batas dengan menggunakan HNO3 0,1 M.
Destruksi basah menggunakan microwave yaitu sampel kering ditimbang sebanyak 0,2
g – 0,5 g ke dalam tabung sampel (vessel). Larutan standar Pb dan Cd 1 mg/l sebanyak
0,2 ml ditambahkan ke dalam masing-masing sampel kemudian divortex sebagai kontrol positif (spiked 0,1 mg/kg). HNO3 65 % ditambahkan 5 ml – 10 ml dan 2 ml H2O2 secara
berurutan. Destruksi dilakukan dengan mengatur program microwave. Hasil destruksi
dipindahkan ke labu takar 50 ml dan tambahkan larutan matrik modifier serta ditepatkan
sampai tanda batas. Larutan standar kerja Pb dan Cd disiapkan masing – masing minimal
lima titik konsentrasi. Larutan standar kerja, sampel dan spiked dibaca pada alat spektrofotometer serapan atom graphite furnace pada panjang gelombang 283,3 nm untuk
Pb dan 228,8 nm untuk Cd. Penentuan kadar timbal dihitung dengan rumus sebagai
berikut.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
226 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Konsentrasi Pb mg/g = (𝐃−𝐄) 𝒙 𝑭𝒑 𝒙 𝑽
𝐖
Keterangan:
D = konsentrasi sampel mg/l dari hasil pembacaan AAS
E = konsentrasi blanko sampel mg/l dari hasil pembacaan AAS Fp = faktor pengenceran
V = volume akhir larutan sampel yang disiapkan (ml), harus diubah ke dalam satuan liter.
W = berat sampel (g)
Pengujian Tingkat Kerenyahan. Kerenyahan diuji dengan menggunakan texture
analyzer model TA TX dengan menggunakan probe yang berbentuk sperichal ball probe.
Pengukuran dilakukan dengan memberikan gaya tekan pada sampel sehingga
menghasilkan suatu kurva yang menunjukkan profil tekstur sampel. Kekerasan dinyatakan
dari maksimum gaya (nilai puncak) pada tekanan atau kompresi pertama dengan satuan gram force (gf). Sesuai dengan Harahap et al. (2018), bahwa kerenyahan diuji berdasarkan
tingkat kemudahan patah suatu bahan pangan.
Pengujian Hedonik. Pengujian hedonik berdasarkan Badan Standarisasi Nasional (2006) merupakan cara pengujian dengan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu
produk perikanan yang sudah mengalami proses pengolahan. Metode uji hedonik adalah
menentukan tingkatan mutu berdasarkan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan
angka 9 (sembilan) yaitu 1= amat sangat tidak suka, 2= sangat tidak suka, 3= tidak suka, 4= agak tidak suka, 5= netral, 6= agak suka, 7= suka, 8= sangat suka, 9= amat sangat
suka. Adapun atribut-atribut yang dinilai meliputi warna, rasa, aroma, tekstur. Pengujian
ini melibatkan 30 peserta yang terdiri dari konsumen terhadap produk yang akan diuji
berdasarkan scoresheet yang telah disediakan.
Analisis Data. Percobaan dikerjakan menggunakan pola Rancangan Acak Lengkap.
Perlakuan yang diberikan adalah substitusi tepung ikan teri hitam pada tepung terigu
selama pembuatan kerupuk pangsit. Data parametrik dianalisa menggunakan analisis sidik
ragam (ANOVA) dan Beda Nyata Jujur (BNJ), sedangkan data non parametrik (hedonik) menggunakan uji Kruskal Wallis.
Hasil dan Pembahasan. Hasil analisis kerupuk pangsit dapat dirincikan melalui tabel
berikut ini.
Tabel 1. Hasil Analisis Kerupuk Pangsit
Parameter Perlakuan (g)
200:0 180:20 170:30 160:40
Kadar Air (%) 3,01±0,06c 2,79±0,16c 2,41±0,14b 2,00±0,28a
Kadar Protein (%) 7,87±0,03a 10,78±0,21b 14,53±0,04c 17,55±0,05d Kadar Lemak (%) 33,92±0,06a 34,34±0,06b 34,83±0,06c 35,05±0,03d
Kadar Kalsium
(mg/100g) 47,43±0,65a 105,47±0,86b 204,20±1,20c
267,20±1,83d
Kadar Timbal
(mg/kg) 0,34±0,44a 0,76±0,18a 0,30±0,47a
0,44±0,15a
Tingkat Kerenyahan (gf)
613,19±142,72b 422,71±91,93ab 405,73±64,10ab 322,94±104,81a
Keterangan - Data merupakan rata-rata dari tiga kali ulangan dengan konsentrasi tepung ikan teri yang berbeda ± SD
- Data proksimat dihitung berdasarkan berat basah (bb)
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
227 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Kadar Air. Hasil pengujian kadar air kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa kadar air semakin rendah dengan bertambahnya konsentrasi
tepung ikan teri yang ditambahkan pada kerupuk pangsit. Kadar air kerupuk pangsit yang
dihasilkan memenuhi standar kadar air makanan ekstrudat yang ditetapkan oleh BSN (2015) yaitu maksimal 4%.
Kadar air pada makanan ringan ekstrudat seperti kerupuk pangsit berhubungan
dengan rasio tepung ikan teri yang ditambahkan. Adanya penurunan kadar air pada
kerupuk pangsit disebabkan oleh adanya penambahan tepung ikan teri pada setiap perlakuannya. Semakin tinggi konsentrasi protein maka jumlah air yang terikat juga
semakin meningkat, namun saat proses penggorengan protein tepung ikan mengalami
denaturasi sehingga kemampuan protein untuk menahan air berkurang. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Aryani et al. (2018), semakin banyak tepung ikan sepat yang ditambahkan maka kadar air akan semakin menurun, hal tersebut disebabkan
karena protein pada tepung ikan sepat terdenaturasi pada saat proses pengukusan dan
penyangraian, sehingga kemampuan protein untuk menahan air berkurang.
Kadar Protein. Kadar protein kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel 1. Perlakuan substitusi tepung ikan teri hitam mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya
konsentrasi, ditunjukkan dengan peningkatan maksimal tepung ikan teri pada perlakuan
160:40g dengan nilai sebesar 17,55%. Semakin tinggi konsentrasi tepung ikan teri yang
ditambahkan, semakin tinggi kadar protein kerupuk pangsit. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Saputra et al. (2016), adanya peningkatan konsentrasi tepung
ikan motan pada setiap perlakuan maka semakin banyak tepung ikan yang ditambahakan
menghasilkan semakin bertambah
banyak kadar protein pada kerupuk pangsit. Kerupuk pangsit kontrol memiliki kadar protein lebih rendah karena tidak disubstitusi
dengan tepung ikan teri. Selain itu, kerupuk pangsit yang merupakan salah satu makanan
ringan ekstrudat dibuat dengan bahan baku yang memiliki kandungan pati cukup tinggi
dan memiliki kandungan protein yang rendah, sehingga dengan penambahan tepung ikan teri dapat meningkatkan kandungan protein pada kerupuk pangsit. Sesuai dengan
penelitian Ramadhan et al. (2019), peningkatan kandungan protein dikarenakan
kandungan protein tepung ikan teri sebesar 48,8 g/100 g yang lebih tinggi dibandingkan
pada tepung terigu sebesar 9 g/100 g.
Kadar Lemak. Kadar lemak pada kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel 1. Kadar lemak
tertinggi terdapat pada kerupuk pangsit dengan perlakuan 160:40g yaitu sebesar 35,05%.
Hasil ini sesuai dengan kadar lemak makanan ringan ekstrudat ditetapkan oleh BSN (2015),
yaitu maksimal 38%. Kadar lemak kerupuk pangsit tanpa substitusi tepung ikan teri sebesar 33,92%. Kadar lemak kerupuk pangsit yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh
minyak goreng yang digunakan. Namun, kadar lemak kerupuk pangsit juga dapat
dipengaruhi oleh bahan baku yang digunakan seperti margarin dan telur. Menurut
Kaswanto et al. (2019), komposisi kimia yang terkandung pada produk tergantung dari bahan baku yang digunakan. Kadar lemak pada kerupuk pangsit berasal dari bahan baku
yang banyak mengandung lemak seperti telur, margarin, dan minyak yang terserap saat
proses penggorengan
Kadar lemak kerupuk pangsit tanpa substitusi tepung ikan teri sebesar 33,92%. Hal
ini dikarenakan kandungan lemak pada ikan teri yang lebih tinggi daripada tepung terigu. Namun, selisih rata-rata perlakuan 180:20g dan 170:30g hanya sebesar 0,49%. Hal ini
dikarenakan ikan teri juga termasuk dalam golongan ikan berdaging yang mengandung
lemak yang rendah tetapi proteinnya tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Ramadhan et al. (2019), peningkatan kandungan lemak terjadi karena kandungan lemak pada tepung ikan teri sebesar 6,40 g/100 g lebih tinggi daripada tepung terigu sebesar
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
228 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
1,30 g/100 g. Ikan teri termasuk ke dalam golongan ikan berdaging putih yang kandungan
proteinnya tinggi tetapi lemaknya lebih rendah karena rendahnya kandungan mioglobin
dibandingkan ikan berdaging merah.
Kadar Kalsium. Kerupuk pangsit dengan substitusi tepung ikan teri memiliki kadar
kalsium lebih tinggi dibandingkan dengan kerupuk pangsit tanpa substitusi tepung ikan
teri. Hal ini dikarenakan ikan teri menjadi salah satu sumber kalsium, selain protein. Salah
satu bahan baku yang dapat ditambahkan untuk meningkatkan nilai gizi kerupuk pangsit adalah ikan teri. Menurut Asyik et al. (2018), ikan teri tidak hanya sebagai sumber protein,
tetapi juga sebagai sumber kalsium. Kandungan kalsium pada ikan teri lebih tinggi daripada
susu, yaitu 972 mg/100g.
Sumber kalsium dapat berasal dari hewan dan tumbuhan. Selain susu, kalsium juga dapat berasal dari ikan. Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan teri dapat menjadi
suatu bentuk alternatif bahan pangan. Tepung ikan teri mengandung zat gizi yang cukup
lengkap seperti lemak, protein, dan kalsium. AKG untuk kebutuhan kalsium bagi remaja
usia 13-19 tahun sebesar 1000 mg per hari. Konsumsi kalsium dianjurkan 800 mg per hari
menurut angka kecukupan gizi (AKG), sehingga diperlukan sekitar 300 mg per hari kerupuk pangsit dengan perlakuan 160:40g untuk memenuhi kebutuhan akan kalsium pada masa
dewasa. Menurut Ramayulis et al. (2011), konsumsi kalsium rata-rata di Indonesia hanya
254 mg per hari dari 800 mg per hari menurut angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan
tahun 2004. Penelitian di Israel menunjukkan bahwa rata-rata total asupan kalsium per hari orang Amerika adalah 692 mg dan rata-rata asupan kalsium orang Kanada di bawah
1.000 mg per hari.
Kadar Timbal. Rata-rata tertinggi hasil kadar timbal pada kerupuk pangsit yaitu 0,76 mg/kg pada kerupuk pangsit konsentrasi 10%. Hasil ini melebihi standar makanan ringan
ekstrudat yang telah ditetapkan, namun konsentrasi Pb yang dapat menyebabkan gejala
keracunan pada orang dewasa dengan konsentrasi 8-12 mg/kg sehingga aman untuk
dikonsumsi. Menurut Ruchiyat (2016), timbal (Pb) yang masuk ke dalam tubuh akan mengganggu kesehatan antara lain menurunnya nilai intelektual dan menghambat
pembentukan sel darah merah pada tubuh. Konsentrasi Pb yang dapat menyebabkan
gejala keracunan adalah pada konsentrasi 80-120 μg/100ml darah pada orang dewasa.
Kadar timbal pada kerupuk pangsit tidak terdapat perbedaan dikarenakan tidak ada
yang mempengaruhi serta menggunakan minyak goreng dan wajan penggoreng yang sama. Timbal dapat bersumber dari peralatan dapur, khususnya yang digunakan untuk
memasak dan menyajikan makanan. Proses pembuatan kerupuk pangsit juga
menggunakan air dalam adonannya. Air minum yang disalurkan lewat pipa air yang korosif
akan tinggi kandungan timbal yang terlarut dalam air tersebut. Menurut Gusnita (2012), logam Pb banyak digunakan sebagai bahan pengemas, saluran air, alat-alat rumah tangga
dan hiasan. Sumber timbal dapat berasal dari pipa air yang korosif. Manusia menyerap
timbal melalui udara, debu, air dan makanan.
Tingkat Kerenyahan. Nilai rata-rata tingkat kerenyahan kerupuk pangsit berdasarkan
hasil pengujian yang diperoleh meningkat pada perlakuan 160:40g sebesar 322,94 gf.
Kerupuk pangsit perlakuan 200:0g atau tanpa substitusi tepung ikan teri memiliki rata-
rata sebesar 613,19 gf. Semakin tinggi konsentrasi tepung ikan teri yang disubstitusikan,
maka kerupuk pangsit semakin renyah dan menurunkan gaya yang dibutuhkan untuk mematahkan pangsit (pangsit akan semakin mudah patah). Hal ini sejalan dengan hasil
kadar air kerupuk pangsit yang dihasilkan semakin rendah dengan bertambahnya
substitusi tepung ikan teri hitam karena semakin banyak air yang keluar dari bahan maka
semakin banyak ruang kosong yang terdapat dalam jaringan sehingga pada saat kerupuk pangsit digoreng teksturnya menjadi lebih renyah. Menurut Harahap et al. (2018), ketika
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
229 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
tepung digoreng, maka molekul air akan menguap sehingga kadar air akan menurun dan
membentuk pori-pori pada bahan pangan tersebut. Semakin banyak pori-pori yang
terbentuk, maka tingkat kerenyahan semakin tinggi dan kekerasan menurun. Pori-pori
dalam bahan pangan mempunyai peranan penting dalam kerenyahan dan tekstur snack. Kadar protein berperan dalam membuat produk lebih renyah. Hal ini sejalan dengan
hasil kadar protein kerupuk pangsit yang semakin tinggi dengan bertambahnya substitusi
tepung ikan teri hitam. Saat proses penggorengan kerupuk pangsit, protein mengalami
denaturasi dan kehilangan kemampuan mengikat air. Kandungan protein yang tinggi membantu kekuatan ikatan antara amilopektin yang terdegradasi atau terpecah dan
membentuk pengembangan produk yang mengakibatkan produk menjadi renyah. Hal ini
sejalan dengan penelitian Amalia dan Kusharto (2013), flakes kontrol memiliki tekstur yang
kurang renyah dibandingkan flakes dengan penambahan tepung ikan lele 33%. Protein dapat meningkatkan kemampuan gelasi sehingga dapat membentuk fleksibilitas atau
kemampuan protein untuk terdenaturasi dan membentuk jaringan dengan ikatan silang.
Hal ini dapat menjelaskan tekstur flakes yang semakin renyah ketika ditambahkan tepung
ikan lele dengan kandungan protein yang tinggi.
Tingkat Penerimaan Panelis. Tingkat penerimaan panelis terhadap kerupuk pangsit dan
dirincikan melalui tabel berikut.
Tabel 2. Tingkat Penerimaan Panelis Terhadap Kerupuk Pangsit
Spesifikasi Perlakuan (g)
200:0 180:20 170:30 160:40
Warna 8,37±0,49a 8,67±0,48b 7,73±0,49c 7,63±0,45c
Aroma 8,37±0,49a 8,63±0,49b 8,23±0,43a 8,03±0,49a
Rasa 8,43±0,50a 8,73±0,45b 7,90±0,71c 7,47±0,51d
Tekstur 8,47±0,51a 8,53±0,51a 8,67±0,48a 8,40±0,50a
Rata-rata 8,41±0,50a 8,64±0,48b 8,11±0,53c 7,91±0,49c Keterangan:
- Data merupakan hasil dari rata-rata nilai hedonik 30 panelis ± standar deviasi - Data yang diikuti tanda huruf kecil berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
(P < 5%)
Warna. Substitusi tepung ikan teri pada kerupuk pangsit dengan perlakuan 200:0g,
180:20g, 170:30g, 160:40g ditunjukkan pada Tabel 2. Kerupuk pangsit dengan perlakuan
180:20g memiliki warna yang tidak gelap yaitu kuning keemasan. Substitusi tepung ikan
teri pada kerupuk pangsit dapat mempengaruhi warna kerupuk pangsit dari segi warna. Warna kerupuk pangsit dengan perlakuan 160:40g menunjukkan warna kuning kecoklatan
gelap sehingga kurang disukai oleh panelis. Semakin tinggi konsentrasi tepung ikan teri,
warna kerupuk pangsit saat sebelum maupun sesudah digoreng. Hal ini sejalan dengan
penelitian Yuliani et al. (2018), peningkatan substitusi tepung tulang ikan gabus memberikan kenaikan kadar kalsium dan protein kerupuk yang memberikan efek pada
menurunnya kecerahan warna kerupuk. Hal ini juga diperkuat oleh Evawati (2010),
penambahan tepung sumber kalsium seperti tepung kerang memberikan warna gelap pada
produk kerupuk. Perubahan warna kerupuk pangsit dapat terjadi karena proses reaksi Maillard pada
saat penggorengan. Terjadinya reaksi asam amino dengan gula pereduksi selama
penggorengan akan menyebabkan terjadinya reaksi Maillard yang menyebabkan berwarna
kuning kecoklatan pada kerupuk pangsit. Reaksi Maillard tersebut terjadi karena adanya
asam amino yang berasal dari protein yang terdenaturasi selama proses pengolahan. Kerupuk pangsit dengan kandungan protein yang besar akan mempengaruhi warna dari
kerupuk pangsit, karena pada proses penggorengan akan terjadi reaksi Maillard. Hal ini
sejalan dengan penelitian Lund dan Ray (2017), bahwa fungsi protein dalam makanan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
230 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
dapat dipengaruhi oleh reaksi Maillard, karena saat makanan diproses atau dimasak pada
suhu tinggi, reaksi kimia terjadi antara asam amino dan gula pereduksi yang menghasilkan
rasa dan warna coklat yang berbeda. Reaksi Maillard mempengaruhi beberapa parameter
kualitas makanan, termasuk sifat organoleptik, warna, dan fungsi protein.
Aroma. Aroma merupakan suatu respon ketika rangsangan kimia dari suatu makanan
masuk ke rongga hidung dan dirasakan oleh indera penciuman. Hasil analisis statistik
terhadap aroma kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel 2. Kerupuk pangsit dengan perlakuan 170:30g dan 160:40g menghasilkan aroma amis yang menyengat. Substitusi
tepung ikan teri dengan konsentrasi tinggi akan menutupi aroma dari kerupuk pangsit.
Menurut Rahmawati dan Rustanti (2013), aroma dari suatu produk terdeteksi ketika zat
yang mudah menguap (volatil) dari produk tersebut terhirup dan diterima oleh sistem penciuman. Aroma amis merupakan aroma khas pada ikan yang disebabkan oleh
komponen nitrogen yaitu guanidin, trimetil amin oksida (TMAO), dan turunan imidazol.
Rasa. Hasil analisis statistik terhadap rasa kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel 2.
Rata-rata terendah pada spesifikasi rasa yaitu pada perlakuan 160:40g. Hal ini dikarenakan kerupuk pangsit memiliki rasa yang semakin asin. Rata-rata tertinggi pada spesifikasi rasa
yaitu pada perlakuan 180:20g dengan nilai 8,73. Hal ini dikarenakan kerupuk pangsit
dengan perlakuan 180:20g memiliki rasa yang tidak terlalu asin. Hal ini sejalan dengan
Ghaisany et al. (2018), rasa mie dengan perlakuan 5% masih terasa khas mie yang berasal dari tepung beras dan rasanya sedikit gurih karena penambahan tepung teri. Berbeda
dengan perlakuan 10% yang memiliki tingkat preferensi rata-rata terendah, yaitu 5,5
karena dalam perlakuan ini rasa ikan teri India lebih gurih dan cenderung asin,
mendominasi mi beras, sehingga mengurangi rasa khas mi dari tepung beras dan mengurangi penilaian panelis.
Tekstur. Hasil analisis statistik terhadap tekstur kerupuk pangsit dapat dilihat pada Tabel
2. Tekstur yang paling disukai panelis adalah produk kerupuk pangsit dengan perlakuan 170:30g. Hal ini disebabkan karena tekstur kerupuk pangsit perlakuan 170:30g tidak
terlalu keras dan tidak terlalu renyah. Tekstur kerupuk pangsit perlakuan 160:40g
teksturnya terlalu renyah dan mudah patah, sedangkan tekstur kerupuk pangsit perlakuan
200:0g teksturnya keras dan kurang renyah, sehingga kedua produk tersebut kurang
disukai panelis. Hal ini didukung oleh Salampessy et al. (2012), bahwa tekstur yang dimiliki pada kerupuk pangsit adalah kering dan renyah. Namun semakin banyak dilakukan
penambahan konsentrat protein ikan, maka tekstur produk semakin lembut. Tektur yang
menjadi pilihan panelis adalah kerupuk pangsit 2%, karena tekstur kerupuk pangsit 2%
tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembut. Adapun tekstur kerupuk pangsit 0% renyah namun agak keras sehingga kurang disukai panelis.
Kesimpulan. Perbedaan substitusi tepung ikan teri memberikan pengaruh nyata
(P<5%) terhadap kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar kalsium dan tingkat
kerenyahan, serta tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar timbal. Hasil uji hedonik kerupuk pangsit yang paling disukai adalah perlakuan 180:20g dengan selang kepercayaan
8,613≤µ≤8,671. Kandungan gizi dan karakteristik kerenyahan kerupuk pangsit terbaik
yaitu perlakuan 160:40g karena memiliki rata-rata kadar protein dan kalsium tertinggi
yaitu kadar protein 17,55% (bk), kadar kalsium 267,20 mg/100g (bk) dan memiliki tingkat kerenyahan sebesar 322,94 gf.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
231 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Daftar Pustaka
Amalia, F dan C. M. Kusharto. 2013. Formulasi Flakes Pati Garut dan Tepung Ikan Lele
Dumbo (Clarias gariepinus) Sebagai Pangan Kaya Energi Protein dan Mineral Untuk Lansia. Jurnal Gizi dan Pangan, 8(2): 137-144.
Aryani, P., R. Nopianti dan I. Widiastuti. 2018. Pengaruh Kombinasi Tepung Ikan Sepat
Siam (Trichogaster pectoralis) dan Tepung Terigu Terhadap Karakteristik Sensori dan
Fisiko-Kimia Mantou. Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, 7(1): 14-26.
Association of Official Analytical Chemists (AOAC). 2000. Official Methods of Analysis of Benzoic Acid in Non Solid Food and Beverages Spectrophotometric Methods. USA:
The Association of Official Analytical Chemist International.
Asyik, N., Ansharullah dan H. Rusdin. 2018. Formulasi Pembuatan Biskuit Berbasis Tepung
Komposit Sagu (Metroxylon sp) dan Tepung Ikan Teri (Stolephorus commersonii). Jurnal Penelitian Biologi, 5(1): 696-707.
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2006. SNI 01-2346-2006: Petunjuk Pengujian
Organoleptik dan atau Sensori. Badan Standarisasi Nasional (BSN), Jakarta.
. 2013. SNI 01-2354-2006: Penentuan Kadar Protein dengan Metode Total Nitrogen pada Produk Perikanan. Badan Standarisasi Nasional (BSN), Jakarta.
. 2013. SNI 01-2354-2011: Penentuan Kadar Logam Berat Timbal (Pb) dan Kadmium
(Cd) pada Produk Perikanan. Badan Standarisasi Nasional (BSN), Jakarta.
. 2015. SNI 01-2886-2015: Makanan Ringan Ekstrudat. Badan Standarisasi Nasional
(BSN), Jakarta. . 2015. SNI 01-2354-2015: Pengujian Kadar Air pada Produk Perikanan. Badan
Standarisasi Nasional (BSN), Jakarta.
. 2017. SNI 01-2354-2017: Penentuan Kadar Lemak Total pada Produk Perikanan.
Badan Standarisasi Nasional (BSN), Jakarta. Faroj, M. N. 2019. Pengaruh Substitusi Tepung Ikan Teri (Stolephorus commersonii) dan
Tepung Kacang Merah (Vigna angularis) Terhadap Daya Terima dan Kandungan
Protein Pie Mini. Jurnal Universitas Airlangga: Media Gizi Indonesia, 14(1): 56-65.
Ghaisany, T., E. Liviawaty, E. Rochima dan E. Afrianto. 2018. Fortification of Indian Anchovy Fish Flour as a Source of Protein and Calcium for Preferences Level Flat Rice
Noodles. Global Scientific Journals, 6(10): 27-36.
Gusnita, D. 2012. Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) Di Udara dan Upaya Penghapusan
Bensin Bertimbal. Jurnal Lapan, 13 (3): 95-101.
Harahap, S. E., Y. A. Purwanto, S. Budijanto dan A. Maharijaya. 2018. Karakterisasi
Kerenyahan dan Kekerasan Beberapa Genotipe Kentang (Solanum tuberosum L.)
Hasil Pemuliaan. Jurnal Pangan, 26(3): 1-7.
Kaswanto, I. N., Desmelati, Dewita dan A. Diharmi. 2019. Karakteristik Fisiko-kimia dan Sensori Kerupuk Pangsit dengan Penambahan Tepung Tulang Nila (Oreochromis
niloticus). Jurnal Agroindustri Halal, 5(2): 141-150.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2017. Produksi Perikanan dan Kelautan.
www.satudata.kkp.go.id [Desember 2019]. Lund, M. N dan C. A. Ray. 2017. Control of Maillard Reactions in Foods: Strategies and
Chemical Mechanisms. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 65(23):4537-
4552
Rahmawati, H dan N. Rustanti. 2013. Pengaruh Substitusi Tepung Tempe dan Ikan Teri Nasi (Stolephorus sp.) Terhadap Kandungan Protein, Kalsium dan Organoleptik
Cookies. Journal of Nutrition College, 2(3): 382-390.
Rahmi, Y., N. R. Widya, P. N. Anugerah dan L. K. Tanuwijaya. 2018. Tepung Ikan Teri Nasi
(Stolephorus commersini Lac.) Sebagai Sumber Kalsium dan Protein pada Corn Flakes
Alternatif Sarapan Anak Usia Sekolah. Jurnal Gizi Dietetik, 10(1): 34-44.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
232 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Ramadhan, R., Nuryanto dan H. S. Wijayanti. 2019. Kandungan Gizi dan Daya Terima
Cookies Berbasis Tepung Ikan Teri (Stolephorus sp.) Sebagai PMT-P untuk Balita Gizi
Kurang. Journal of Nutrition College, 8(4): 264-273.
Ramayulis, R., I. D. Pramantara dan R. Pangastuti. 2011. Asupan Vitamin, Mineral, Rasio Asupan Kalsium dan Fosfor dan Hubungannya dengan Kepadatan Mineral Tulang
Kalkaneus Wanita. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 7(3): 115-122.
Ruchiyat. 2016. Analisis Kadar Timbal (Pb) Minyak Goreng Beserta Gorengan yang Dimasak
Di Rumah dan Penjual Gorengan Di Sekitar Kota Garut dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom. Jurnal Farmako Bahari, 7(1): 1-6.
Saputra, R., I. Widiastuti dan R. Nopianti. 2016. Karakteristik Fisiko-Kimia dan Sensori
Kerupuk Pangsit dengan Kombinasi Tepung Ikan Motan (Thynnichthys thynnoides).
Jurnal Teknologi Hasil Perikanan, 5(2): 167-177. Salampessy, R. B. S dan R. R. Siregar. 2012. Pembuatan Konsentrat Protein Ikan
(KPI) Lele dan Aplikasinya pada Kerupuk Pangsit. Jurnal Perikanan dan Kelautan,
2(2): 97-104.
Yuliani, Marwati, H. Wardana, A. Emmawati, K. P. Candra. 2018. Karakteristik Kerupuk
Ikan dengan Substitusi Tepung Tulang Ikan Gabus (Channa striata) sebagai Fortifikan Kalsium. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 21(2): 258-265.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
233 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Konsentrasi Garam yang Berbeda Terhadap Karakteristik Peda Ikan Mujair Umbu P. L. Dawa1, Ovie Ningsih2, Yosofina S. Famai3, Mada M. Lakapu4, Dewi S.
Gadi5, Donny M. Bessie6 dan Yunialdi H. Teffu7
1,2,3,4,5,6,7)Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Kristen Artha Wacana-Kupang
(Email Korespondensi : [email protected], [email protected])
Abstrak - Peda merupakan salah satu produk fermentasi setengah basah sehingga proses fermentasi
tetap berlangsung. Umumnya proses fermentasi peda adalah fermentasi secara spontan, dimana dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi mikroba yang
berperan aktif dalam proses fermentasi berkembangbiak secara spontan karena lingkungan hidupnya
yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan konsentrasi garam yang berbeda terhadap karakteristik peda ikan mujair dari segi kimia,
mikrobiologi dan organoleptik. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2019, di Laboratorium Eksakta Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, untuk pengolahan produk,
pengujian organoleptik dan pengujian kadar air, sedangkan untuk pengujian kadar garam
dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Sais dan Teknik Kimia Universitas Nusa Cendana Kupang. Karakteristik penggunaan konsentrasi garam yang berbeda terhadap karakteristik peda ikan mujair
memiliki rata-rata nilai kadar air 42,46-53,48%, kadar garam 10,36-14,47%, total bakteri 333-517
koloni/gram, sedangkan untuk pengujian organoleptik parameter warna dan rasa tertinggi pada konsentrasi garam 20% dan untuk parameter aroma dan tekstur tertinggi pada konsentrasi garam
40%. Kesimpulan penelitian bahwa karakteristik kimia, mikrobiologi dan organoleptik pada produk peda ikan mujair dengan perlakuan persentase garam yang berbeda (20%, 30% dan 40%)
menghasilkan nilai rata-rata kadar air 42,46% - 53,48%, kadar garam 10,36% - 14,47%. Rata-rata
Total Bakteri/ALT pada produk peda ikan mujair 333,33 - 516,67 koloni/gram. Sedangkan nilai organoleptik parameter parameter warna dan rasa tertinggi pada konsentrasi garam 20% dan untuk
parameter aroma dan tekstur tertinggi pada konsentrasi garam 40%. Kata Kunci : Fermentasi, Garam, Ikan Mujair, Peda
Pendahuluan. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling digemari
oleh masyarakat karena relatif mudah diperoleh dan harganya terjangkau. Produk perikanan memiliki kelemahan utama yaitu mudah mengalami pembusukan akibat
pengaruh fisiologis, mekanis, kimiawi dan mikrobiologis (Winarno, 1984). Ikan mujair
merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang perkembangbiakannya relatif lebih cepat
dibandingkan dengan jenis ikan air tawar pada umumnya, sehingga hal tersebut
mendukung ketersediaan komoditas ikan mujair. Banyaknya ketersediaan dan tingginya nilai gizi ikan mujair mendorong masyarakat memilih ikan mujair untuk diolah menjadi
berbagai macam produk makanan (Mukrie, 1990). Desniar dkk (2009), menyatakan bahwa salah satu teknik pengolahan ikan secara
tradisional adalah fermentasi. Peda merupakan salah satu produk fermentasi yang tidak dikeringkan lebih lanjut, melainkan dibiarkan setengah basah sehingga proses fermentasi
tetap berlangsung. Umumnya proses fermentasi peda adalah fermentasi secara spontan,
dimana dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi
mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembangbiak secara spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Fermentasi ikan
secara spontan umumnya menggunakan garam dengan konsentrasi tinggi untuk
menyeleksi mikroba tertentu dan menghambat pertumbuhan mikroba yang menyebabkan
kebusukan sehingga hanya mikroba tahan garam yang hidup. Konsentrasi garam yang
digunakan dalam fermentasi ikan peda sangat menentukan mutu ikan peda tersebut, karena pemberian garam mempengaruhi jenis mikroba yang berperan dalam fermentasi.
Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi antara lain, yaitu
meningkatkan rasa ikan, membentuk tekstur yang diinginkan dan mengontrol
mikroorganisme, yaitu merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
234 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
berperan dalam fermentasi dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk
dan pathogen (Adawyah, 2007).
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh penggunaan konsentrasi
garam yang berbeda terhadap karakteristik peda ikan mujair dari segi kimia, mikrobiologi dan organoleptik.
Metode Penelitian.
Waktu dan Tempat. Penelitian dilaksanakan selama bulan Maret-Juni 2019 di Laboratorium Eksakta Universitas Kristen Artha Wacana Kupang dan Laboratorium Fakultas
Sains dan Teknik Kimia Universitas Nusa Cendana Kupang.
Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan untuk pengolahan mencakup ikan mujair, air bersih, dan garam. Sedangkan bahan untuk pengujian produk mencakup alcohol, aquades,
NA, NaCl dan kalium kromat. Peralatan yang digunakan untuk pengolahan peda ikan mujair
yaitu bokor, talenan, pisau, coolbox, dulang, timbangan kue, timbangan analitik.
Sedangkan alat yang digunakan untuk pengujian organoleptik, kadar air, kadar garam dan ALT yaitu : piring sampel, cawan porselin, desikator, oven, mortal + alu, cawan petri, rak
tabung, tabung reaksi, magnet stirrer, erlenmeyer, beker gelas, drable balm, pipet ukur,
hot plate, autoklaf, incubator, laminar air flow, coloni counter.
Prosedur Penelitian. Penelitian ini didesain menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan, dimana masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali
sehingga diperoleh 9 unit percobaan. Perlakuan peda ikan mujair dengan konsentrasi
garam sebagai berikut A= 20% garam (200 gr garam pada 1000 gram ikan), B= 30%
garam (300 gr garam pada 1000 gram ikan) dan C= 40% garam (400 gr garam pada 1000 gram ikan)
Prosedur Kerja. Prosedur penelitian pembuatan peda ikan mujair yaitu menyiapkan ikan
mujair segar dan garam. Ikan mujair segar tersebut kemudian dikeluarkan insang dan isi perutnya. Ikan yang sudah dikeluarkan insang dan isi perutnya kemudian dicuci dengan
air bersih dengan tujuan untuk membersihkan sisa-sisa kotoran dan darah yang
menempel. Selanjutnya ikan yang telah bersih ditimbang beratnya untuk menentukan
banyaknya garam yang digunakan, garam yang digunakan adalah 20%, 30% dan 40%, kemudian ikan disusun dalam wadah untuk penggaraman, dimana cara penyusunannya
bergantian antara lapisan garam dan lapisan ikan. Pada bagian atas dan bawah dari wadah
diberi lapisan garam setebal 1-2 cm, lalu wadah ditutup dan disimpan selama 7 hari. Hari
ke 7 ikan dikeluarkan dari wadah, semua garam yang tersisa dari proses penggaraman I
pada masing-masing perlakuan ditimbang kemudian dibuat larutan garam 10% dengan 1 liter air, larutan garam ini digunakan untuk menghilangkan garam dan lendir, setelah
pencucian ikan tersebut kemudian ditiriskan selama 24 jam pada suhu ruang. Selanjutnya
pada hari ke 8 dilakukan penggaraman ke II yaitu timbang berat ikan kemudian diberi
garam 10% dari total persentase garam pada masing-masing perlakuan kemudian disusun dalam wadah dan ditutup rapat kemudian ikan disimpan selama 6 hari. Hari ke 14 ikan
diangkat, seluruh sisa garam dari penggaraman II pada masing-masing persentase garam
ditimbang kemudian dibuat larutan garam 10%, kemudian ikan direndam selama 10 menit
untuk menghilangkan sisa garam dan kotoran dalam tubuh ikan kemudian ditiriskan sampai tuntas. Selanjutnya dilakukan pengujian kadar air, kadar garam,total bakteri dan
organoleptik.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
235 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Variabel Pengamatan. Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi uji kimiawi
(kadar air dan kadar garam), uji mikrobiologi (total bakteri/ALT) dan uji organoleptik
(warna, aroma, tekstur dan rasa).
Analisis Data. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan Analisis sidik
ragam untuk mengetahui pengaruh setiap perlakuan yang dicobakan dan jika perlakuan
memberikan pengaruh maka dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Jarak Berganda
Duncan.
Hasil dan Pembahasan.
Nilai Kadar Air. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata kadar garam pada produk peda
ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 42,46-53,48%. Secara lengkap profil kadar garam produk peda ikan mujair dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Nilai Rata-Rata Kadar Air Produk Peda Ikan Mujair dengan Penggunaan
Konsentrasi Garam yang Berbeda.
Gambar 1 menunjukkan bahwa kadar air produk peda ikan mujair cenderung
menurun seiring meningkatnya persentase garam yang diberikan. Hal ini diduga
disebabkan oleh perbedaan persentase garam yang semakin tinggi, sehingga kadar air
cenderung menurun karena semakin tinggi garam yang diberikan maka air dalam daging ikan akan keluar. Penelitian ini sejalan dengan Moeljanto (1992), yang menyatakan bahwa
semakin tingginya persentase garam yang diberikan maka garam akan menghilangkan air
lebih banyak dari tubuh ikan, hal ini disebabkan karena proses penggaraman akan
melakukan penetrasi dalam tubuh ikan dan menggantikan air bebas dalam tubuh ikan. Kecenderungan penurunan kadar air akibat dari penambahan garam yang semakin
tinggi karena garam mempunyai kemampuan untuk menyerap air. Garam memiliki
tekanan osmotik lebih tinggi karena adanya perbedaan tekanan garam akan menyerap air
yang terkandung di dalam bahan sampai terjadi keseimbangan antara keduanya. Afrianto dan Liviawaty (1989) juga menyatakan bahwa semakin tinggi perbedaan konsentrasi
antara garam dengan cairan yang terdapat di dalam tubuh ikan, maka semakin cepat
proses penetrasi garam kedalam tubuh ikan bersamaan dengan keluarnya cairan dari
dalam tubuh ikan karena tekanan osmosis. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan nilai rerata kadar air pada produk peda ikan mujair dari ketiga perlakuan penggunaan
konsentrasi garam yang berbeda (20%, 30% dan 40%) maka nilai rerata kadar air yang
dihasilkan berkisar antara 42,46-53,48 relatif lebih tinggi apabila dibandingkan dengan
53.4850.6
42.46 44
0
10
20
30
40
50
60
20% 30% 40% SNI
Nilai Kadar
Air
(%
)
Persentase Garam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
236 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (2015) ikan peda dengan nilai kadar air 44-
47%, maka nilai kadar air peda ikan mujair belum memenuhi standar kadar air untuk ikan
peda.
Nilai Kadar Garam. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata kadar garam pada produk
peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 10,36-14,47%.
Secara lengkap profil kadar garam produk peda ikan mujair dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Nilai Rata-Rata Kadar Garam Produk Peda Ikan Mujair dengan
Penggunaan Konsentrasi Garam yang Berbeda
Gambar 2 menunjukkan bahwa tingginya persentase garam yang digunakan pada
pembuatan peda ikan mujair maka nilai kadar garamnya meningkat. Hal ini diduga
disebabkan oleh perbedaan persentase garam yang digunakan, sehingga kadar garam
cenderung meningkat karena semakin tinggi garam yang diberikan maka tekanan garam yang masuk kedalam jaringan daging ikan semakin tinggi. Adawyah (2007), menyatakan
bahwa selama proses penggaraman terjadi penetrasi garam dalam tubuh ikan dan
keluarnya cairan dari tubuh ikan karena perbedaan konsentrasi. Menurut Murniati dan
Sunarman (2000), menyatakan garam akan menarik air keluar dari tubuh ikan dan pada
waktu yang bersamaan molekul-molekul garam menembus masuk dalam daging ikan. Nilai kadar garam terjadi kecenderungan meningkat akibat dari penambahan garam yang
semakin tinggi karena garam mempunyai kemampuan untuk menarik air keluar dari tubuh
ikan. Menurut Lehninger (1982), garam memiliki kandungan NaCl yang akan terionisasi
menjadi Na dan Cl yang akan berikatan dengan molekul air secara kuat. Kondisi tersebut akan mengakibatkan air tertarik keluar dari tubuh ikan dan garam menggantikan air di
dalam tubuh ikan. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan nilai rerata kadar garam
pada produk peda ikan mujair dari ketiga perlakuan penggunaan konsentrasi garam yang
berbeda (20%, 30% dan 40%) maka nilai rerata kadar garam yang dihasilkan berkisar antara 10,36-14,47 relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia (2015) ikan peda dengan nilai kadar garam 15-17% maka nilai
kadar garam peda ikan mujair belum memenuhi standar kadar garam untuk ikan peda.
Total Bakteri/ALT. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata ALT pada produk peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 333-517 koloni/gram
Secara lengkap profil ALT produk peda ikan mujair dapat dilihat pada Gambar 3.
10.36
12.23
14.47 15
0
2
4
6
8
10
12
14
16
20% 30% 40% SNI
Nilai Kadar
Gara
m (
%)
Persentase Garam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
237 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 3. Grafik nilai ALT Produk Peda Ikan Mujair dengan Penggunaan Konsentrasi
Garam yang Berbeda
Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai rerata total bakteri produk peda ikan mujair cenderung menurun seiring dengan banyaknya garam yang diberikan. Hal ini diduga
disebabkan oleh perbedaan persentase garam yang semakin tinggi, yang menghambat
pertumbuhan mikroorganisme, sehingga total bakteri cenderung menurun. Hal ini juga
didukung oleh Rinto et al (2009), yang menyatakan makin tinggi garam yang digunakan maka menyebabkan molekul-molekul garam semakin cepat meresap kedalam daging ikan
dan cairan dalam tubuh ikan tertarik keluar. Keluarnya cairan pada ikan menyebabkan
berkurangnya kadar air pada daging ikan dan mengurangi nilai aktivitas air, sehingga
menghambat pertumbuhan bakteri. Desniar dkk (2009), menyatakan bahwa penurunan nilai kadar air disebabkan sebagian besar oleh adanya penggaraman ikan, aktivitas garam
mampu menarik air dari bahan pangan sehingga kadar air akan menurun dan
mikroorganisme tidak akan tumbuh kecuali mikroorganisme yang tahan terhadap
konsentrasi garam yang tinggi. Nilai rerata total bakteri produk peda ikan mujair dengan
persentase garam 20% dengan nilai rerata total bakteri 517 koloni/gram, persentase garam 30% dengan nilai rerata total bakteri 500 koloni/gram dan persentase garam 40%
dengan nilai rerata total bakteri 333 koloni/gram. Berdasarkan hasil tersebut dapat
diketahui bahwa menurunnya nilai rerata total bakteri pada produk peda ikan mujair diduga
disebabkan oleh penggunaan persentase garam yang diberikan dimana semakin tinggi persentase garam maka jumlah bakteri yang tumbuh semakin sedikit. Purwaningsih et al,
(2013) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi penambahan garam maka nilai
total bakteri menurun selama proses fermentasi. Rahayu et al (1992), penggunaan garam
yang cukup tinggi dapat menghambat bahkan menghentikan pertumbuhan mikroba khususnya mikroba yang tidak tahan terhadap kadar garam tinggi. Kecenderungan
penurunan total bakteri pada ketiga perlakuan terjadi karena pada proses fermentasi,
penggaraman yang semakin tinggi dapat menekan pertumbuhan mikroorganisme
penyebab kebusukan, sehingga mikroorganisme yang tidak tahan terhadap kadar garam yang tinggi mengalami kematian. Kematian ini disebabkan karena bakteri mengalami stres
terhadap lingkungan hidupnya, sehingga bakteri kehilangan kemampuan memperbanyak
diri dan menuju pada fase kematian. Suprihatin (2010), menyatakan penurunan total
bakteri yang tidak signifikan seperti pada awal fermentasi, mikroba yang telah lama
tumbuh akan mengalami kematian. Kematian mikroba ini dikarenakan substrat dalam medium yang tidak sesuai dengan pertumbuhan mikroba. Menurut Adawyah (2007),
garam selain menyerap cairan pada tubuh ikan, garam juga menyerap cairan pada tubuh
bakteri sehingga proses metabolisme bakteri terganggu karena kekurangan cairan dan
517 500
333
0
100
200
300
400
500
600
20% 30% 40%
ALT (
Kolo
ni/
gra
m)
Persentase Garam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
238 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
menyebabkan kematian pada bakteri. Winarno (1992), kadar air dalam bahan pangan
juga berperan dalam menentukan kemampuan mikroba untuk tumbuh dan berkembang.
Nilai Organoleptik
Parameter Warna. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata parameter warna pada produk
peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 5,45-6,94.
Secara lengkap profil parameter warna produk peda ikan mujair dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik Nilai Rata-Rata Warna Produk Peda Ikan Mujair dengan Penggunaan
Konsentrasi Garam yang Berbeda
Gambar 4 menunjukkan bahwa nilai rerata parameter warna produk peda ikan mujair
cenderung menurun seiring bertambahnya konsentrasi garam. Hal ini diduga disebabkan
oleh perbedaan persentase garam yang semakin tinggi, sehingga warna peda ikan mujair
yang dihasilkan semakin pucat. Haryanti (2008), perubahan warna terjadi karena proses oksidasi kandungan bahan, serta kandungan mioglobin yang merupakan penyusun warna
pada daging melepaskan pigmen hemoglobin sehingga warna daging menjadi pucat. Hal
tersebut terjadi karena garam mendegradasi pigmen pada bahan. Adawyah (2006),
menyatakan terbentuknya warna merah pada peda disebabkan aktivitas enzim dari bakteri pembentuk warna merah/orange selama fermentasi, aktivitas bakteri ini juga
menyebabkan terjadi interaksi antara karbonil yang berasal dari oksidasi lemak dengan
gugus asam amino dan protein. Kecendrungan penurunan penilaian panelis terhadap nilai
rerata warna pada produk peda ikan mujair tergantung pada bahan baku dan jenis ikan sehingga diduga karena adanya oksidasi lemak dengan protein sehingga menghasilkan
warna yang disukai oleh panelis. Pada umumnya peda yang baik dan disukai konsumen
mempunyai daging berwarna merah cerah (Adawyah, 2006). Karakteristik warna peda
sangat ditentukan oleh bahan baku dan aktivitas enzim dari bakteri. Menurut Ketaren (1986), proses hidrolisis dan oksidasi lemak pada tubuh ikan akan menghasilkan
perubahan warna (discoloration). Warna merah pada daging peda ikan mujair dalam
penelitian ini belum terbentuk karena fermentasi yang dilakukan hanya 14 hari. Menurut
Irawadi dan Syachri (1984), Warna merah pada ikan peda akan terbentuk jika peda di
fermentasi lebih dari 30 hari.
Parameter Aroma. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata parameter aroma pada
produk peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 6,26-
6.946.26
4.45
0
1
2
3
4
5
6
7
8
20% 30% 40%
Nilai O
rganole
ptik W
arn
a
Persentase Garam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
239 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
7,46. Secara lengkap profil parameter aroma produk peda ikan mujair dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Nilai Rata-Rata Aroma Produk Peda Ikan Mujair Dengan Penggunaan
Konsentrasi Garam Yang Berbeda
Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai rerata aroma produk peda ikan mujair cenderung meningkat seiring bertambahnya persentase garam yang diberikan. Hal ini diduga
disebabkan oleh peningkatan persentase garam yang diberikan, yang mengakibatkan
degradasi protein dan lemak selama proses fermentasi berlangsung. Menurut Tamang dan
Kailasapathy (2010), menyatakan bahwa aroma yang khas pada produk fermentasi terutama disebabkan oleh degradasi protein dan lemak dalam daging ikan serta adanya
enzim yang dihasilkan bakteri selama fermentasi. Menurut Adawyah (2006), aroma khas
pada ikan peda juga disebabkan karena adanya senyawa metil keton dan butyl aldehid
hasil hidrolisis lemak.
Parameter Tekstur. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata parameter tekstur pada
produk peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 6,40-
7,46. Secara lengkap profil parameter tekstur produk peda ikan mujair dapat dilihat pada
Gambar 6.
Gambar 6. Grafik Nilai Rata-Rata Tekstur Produk Peda Ikan Mujair Dengan Penggunaan
Konsentrasi Garam Yang Berbeda
6.94
6.26
4.45
0
1
2
3
4
5
6
7
8
20% 30% 40%
Nilai O
rganole
ptik A
rom
a
Persentase Garam
6.4 6.727.46
0
1
2
3
4
5
6
7
8
20% 30% 40%
Nilai O
rganole
ptik
Tekstu
r
Persentase Garam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
240 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai rerata tekstur peda ikan mujair cenderung
meningkat seiring meningkatnya persentase garam yang diberikan. Hal ini diduga
disebabkan oleh penggunaan konsentrasi garam yang tinggi akan menyebabkan air dalam
daging ikan tertarik keluar. Menurut Purnomo (1995), menyatakan bahwa tekstur masir pada ikan peda juga dipengaruhi oleh kadar air dan aktivitas air pada bahan serta
kandungan protein dan lemak pada bahan. Sofiyanto (2001), bahwa penggunaan garam
yang bersifat higroskopis pada ikan asin menyebabkan tekstur ikan menjadi kompak dan
padat. Kecendrungan peningkatan penilaian panelis terhadap nilai rerata tekstur produk peda ikan mujair mengalami perubahan seiring peningkatan persentase garam yang
diberikan, yang mengakibatkan kandungan lemak yang tinggi pada ikan dan adanya enzim
proteolitik yang akan mengubah tekstur ikan selama proses fermentasi berlangsung.
Menurut Adawyah (2006), tekstur masir dan kompak pada ikan peda sangat dipengaruhi oleh kandungan lemak yang tinggi dan adanya enzim proteolitik yang akan mengubah
tekstur ikan sehingga menjadi masir. Adanya garam berpengaruh terhadap pembentukan
tekstur yang masir pada peda (Rahayu dkk, 1992).
Parameter Rasa. Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata parameter rasa pada produk peda ikan mujair dengan persentase garam yang berbeda berkisar antara 5,30-6,82.
Secara lengkap profil parameter rasa produk peda ikan mujair dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 7. Grafik Nilai Rata-Rata Tekstur Produk Peda Ikan Mujair dengan Penggunaan
Konsentrasi Garam yang Berbeda
Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai rerata rasa produk peda ikan mujair cenderung
menurun seiring meningkat nya persentase garam yang di berikan. Hal ini diduga disebabkan oleh peningkatan persentase garam yang diberikan, dimana semakin tinggi
garam yang digunakan maka penerimaan panelis terhadap rasa ikan peda semakin
berkurang. Menurut Thariq dkk (2014), semakin tinggi garam yang digunakan penilaian
panelis terhadap rasa ikan peda semakin menurun, hal ini dikarenakan semakin tinggi garam yang digunakan rasa yang dihasilkan akan semakin asin. Menurut Afrianto dan
Liviawaty (1989), selama proses fermentasi berlangsung akan terbentuk asam propionat
yang dapat memberikan rasa khas peda yang sangat disukai konsumen. Asam propionat
dihasilkan dari lemak ikan yang mengalami autolisis selama berlangsungnya proses
penggaraman.
6.826.27
5.3
0
1
2
3
4
5
6
7
8
20% 30% 40%Nilai O
rganole
ptik R
asa
Persentase Garam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
241 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII
Kesimpulan. Hasil penelitian terhadap karakteristik kimia, mikrobiologi dan
organoleptik pada produk peda ikan mujair dengan perlakuan persentase garam yang
berbeda (20%, 30% dan 40%) menghasilkan nilai rata-rata kadar air 42,46%-53,48%,
kadar garam 10,36%- 14,47%. Nilai rata-rata Total Bakteri/ALT pada produk peda ikan mujair 333-517 koloni/gram. Sedangkan nilai organoleptik dari ketiga perlakuan
persentase garam yang digunakan menghasilkan karakteristik warna peda ikan mujair
dengan kriteria mendekati suka (7) dengan deskripsi warna daging agak merah, parameter
aroma dengan kriteria suka (7) yaitu dengan deskripsi agak harum fermentasi, segar dan
tidak bau busuk, parameter tekstur dengan kriteria suka (7) yaitu dengan deskripsi agak kompak dan masir sedangkan parameter rasa dengan krieria mendekati suka (7) yaitu
dengan deskripsi rasa enak terasa produk fermantasi.
Daftar Pustaka
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta 176 hal.
Adawyah, 2006. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta. 320 hal.
Afrianto, E. dan Liviawati, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta. 160 hal.
, 2015 Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Mengolah Produk Perikanan Dengan Fermentasi. Modul Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan.
Jakarta. 146 hal.
Desniar, Djoko P, Wini W. 2009. Pengaruh Konsentrasi Garam Pada Peda Ikan Kembung
Dengan Fermentasi Spontan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. 12(1):73-85 hal.
Haryanti, Mei. 2008. Pengaruh Konsentrasi Larutan Tawas (Al2(SO4)314 H2O) Terhadap
Kandungan Protein, Nitrogen Terlarut dan Nitrogen Non Protein Pada Ikan Tongkol.
Semarang : Universitas Muhammadiyah Semarang. Irawadi TT, Syachri M. 1984. Mempelajari Pengaruh Penggunaan Anti Bakteri dan
Konsentrasi Garam Terhadap Sifat Fisiko Kimia Ikan Peda Yang Dibuat Dari Ikan
Kembung Perempuan (Rastrelliger Neglectus Van Kampen). (Laporan Penelitian).
Bogor. Institut Pertanian Bogor. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta.
664 hal.
Lehninger, 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta. 402 hal.
Mukrie, A.N., 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar, Depkes RI, Jakarta.
Murniyati dan Sunarman, 2000. Pendinginan, Pembekuan dan Pengawetan Ikan. Kanisius :Jokjakarta. 220 hal.
Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya Dalam Pengawetan Pangan. Jakarta : UI-
Press. 88 hal.
Rahayu, W.P.,Ma’oen S., Suliantara dan Fardias S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Jurnal PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor : 140 hal.
Sofiyanto, 2001. Penggunaan Berbagai Jenis Bahan Kemasan Dalam Mempertahankan
Mutu Ikan Asin Patin (Pangasius hypophthalmus) Selama Penyimpanan.
Tamang, J. P. dan Kailasapathy K.,2010. Fermented Foods and Baverages of the World. Press USA. 448 pp.
Thariq, S. A. Fronthea S.,Titi,Surti, 2014. Pengaruh Perbedaan Konsentrasi Garam Pada
Peda Ikan Kembung (Rastrelliger neglectus) Terhadap Kandungan Asam Glutamat
Pemberi Rasa Gurih. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil Perikanan . II (3):104-
111 hal. Winarno,F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yang Berkelanjutan Menuju Masyarakat 5.0
242 PROSIDING SEMINAR NASIONAL KELAUTAN DAN PERIKANAN KE - VII