pengkajian_perubahan_perda

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    1/72

    DINAS PENGAIRAN KOTA BANDUNG

    PUSAT PENELITIAN KEBIJAKAN PUBLIK

    DAN PENGEMBANGAN WILAYAH

    LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

    BANDUNG, 2007

    PENGKAJIAN PERUBAHAN

    PERDA NO. 6 TAHUN 2002

    TENTANG PENYELENGGARAAN

    PENGAIRAN

    DAN PERDA NO. 7 TAHUN 2002

    TENTANG RETRIBUSI PENGAIRAN

    Laporan Awal

    Naskah Akademik

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    2/72

    DINAS PENGAIRAN KOTA BANDUNG

    PUSAT PENELITIAN KEBIJAKAN PUBLIK

    DAN PENGEMBANGAN WILAYAH

    LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

    BANDUNG, 2007

    PENGKAJIAN PERUBAHAN

    PERDA NO. 6 TAHUN 2002

    TENTANG PENYELENGGARAAN

    PENGAIRAN

    DAN PERDA NO. 7 TAHUN 2002

    TENTANG RETRIBUSI PENGAIRAN

    Laporan Akhir

    Naskah Akademik

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    3/72

    SUSUNAN PERSONALIA PELAKSANA KEGIATAN

    Tenaga Ahli S3:

    1. Dr. Chay Asdak

    2. Dr. H. Dede Mariana, Drs., M.Si.

    3. Dr. H. Utang Suwaryo, Drs., M.A.

    Tenaga Ahli S2:

    1. Dr. Asep Warlan, S.H., M.H.

    2. Dadi Ruchendi, Ir., M.Sc.

    3. Caroline Paskarina, S.IP., M.Si.Tenaga Penunjang:

    1. Achmad Buchari, Drs., M.Si.

    2. Ari Ganjar, S.Sos.

    3. Takdir Nurmadi, Drs.

    Sekretariat:

    1. Eka Zulandari, Dra.

    2. Windy Cahyaningsih, S.E.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    4/72

    i

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kepada Allah SWT atas selesainya Laporan Akhir (Final Report)Pengkajian Perubahan Perda No. 6 Tahun 2002 Tentang PenyelenggaraanPengairan dan Perda No. 7 Tahun 2002 Tentang Retribusi Pengairan, yangmerupakan kerjasama Dinas Pengairan Kota Bandung dengan Pusat PenelitianKebijakan Publik dan Pengembangan Wilayah Lembaga Penelitian UniversitasPadjadjaran (Puslit KP2W Lemlit Unpad).

    Kajian ini dibuat untuk menganalisis kondisi eksisting penyelenggaraanpengairan dan retribusi pengairan di Kota Bandung, mengidentifikasi permasalahandan kendala-kendala yang dialami selama ini, serta merumuskan rancanganperaturan daerah yang sudah ada.

    Harapan kami, mudah-mudahan kajian ini dapat menjadi bahanpertimbangan yang obyektif, ilmiah, dan rasional dalam merumuskan kebijakanpenyelenggaraan pengairan dan retribusi pengairan di Kota Bandung. Ataskepercayaan Dinas Pengairan Kota Bandung kepada Puslit KP2W Lemlit Unpadkami ucapkan terima kasih.

    Mengetahui:Lembaga PenelitianUniversitas PadjadjaranKetua,

    Prof. OEKAN S. ABDOELLAH, M.A., Ph.DNIP. 130 937 900

    Puslit KP2W Lembaga PenelitianUniversitas Padjadjaran

    Kepala,

    Dr. H. DEDE MARIANA , Drs., M.SiNIP. 131 760 499

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    5/72

    ii

    DAFTAR ISI

    HalamanKata Pengantar iDaftar Isi iiDaftar Tabel ivDaftar Gambar v

    BAB I PENDAHULUAN 11.1 Latar Belakang Kajian 11.2 Permasalahan 31.3 Maksud dan Tujuan 41.4 Manfaat 51.5 Luaran (Output) Kegiatan 51.6 Metode Kegiatan 61.7 Sistematika Penulisan 7

    BAB II TELAAHAN AKADEMIK 92.1 Kajian Filosofis 92.2 Kajian Yuridis Normatif 112.3 Kajian Sosiologis 13

    BAB III PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI KOTA BANDUNG 163.1 Tinjauan Konseptual Penyelenggaraan Pengelolaan

    Sumber Daya Air 163.2 Penyelenggaraan Pengelolaan Sumber

    Daya Air di Kota Bandung 213.3 Isu-isu Strategis dalam PenyelenggaraanPengelolaan Sumber Daya Air danRetribusi Pengelolaan Sumber Daya Airdi Kota Bandung 34

    3.4 Arah Kebijakan PenyelenggaraanPengelolaan Sumber Daya Air di KotaBandung 37

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    6/72

    iii

    BAB IV URGENSI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAHTENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DIKOTA BANDUNG 454.1 Landasan Pemikiran dan Urgensi

    Pembentukan Peraturan Daerahtentang Pengelolaan Sumber DayaAir di Kota Bandung 45

    4.2 Manfaat dan Konsekuensi KeberadaanPeraturanDaerah tentang Pengelolaan Sumber Daya Air 50

    BAB V POKOK-POKOK MATERI MUATAN PERATURANDAERAH KOTA BANDUNG TENTANGPENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 525.1 Konsideran 525.2 Ketentuan Umum 545.3 Materi yang Diatur 565.4 Ketentuan Peralihan 575.5 Ketentuan Penutup 585.6 Penutup 595.7 Penjelasan 595.8 Lampiran 61

    BAB VI PENUTUP 63

    Daftar Pustaka 64

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    7/72

    iv

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    Tabel 3.1 Potensi Pengairan di Kota Bandung 22

    Tabel 4.1 Urusan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kotamengenai Sumber Daya Air 46

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    8/72

    v

    DAFTAR GAMBAR

    HalamanGambar 1.1 Alur Kegiatan 7

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    9/72

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Kajian

    Air merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan bagi kehidupan

    manusia maupun makhluk hidup lainnya sehingga keberadaan dan

    kelestariannya perlu dipelihara dan dipertahankan. Air seringkali dipandang

    sebagai sumber daya terbarukan yang ada di mana-mana, terdapat kapan

    saja, jumlahnya berlimpah, dan dapat diperoleh secara cuma-cuma. Proses

    yang memungkinkan air tersedia sepanjang masa dikenal dengan sebutan

    daur hidrologi. Pada proses ini, ternyata jumlah air yang menguap dari laut

    dan sumadera lebih besar dibanding dengan hujan yang jatuh ke laut. Oleh

    karena itu, total air hujan yang jatuh di darat lebih besar dibanding air yang

    menguap dari daratan. Karena ekosistem alam yang luar biasa itu, sebagian

    air di musim hujan dapat tersimpan dalam tanah, merembes sebagai mata air

    yang mengisi kelangkaan air di musim kemarau. Ekosistem alam berupa

    fauna, flora, dan mikroba serta geomorfologi saling menjalin erat dan

    kompleks, sehingga melahirkan daya dukung alam untuk penyediaan air

    sepanjang tahun.

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

    Daerah (UU 32/2004), daerah memiliki keleluasaan untuk mengurus rumah

    tangganya sendiri sesuai dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing

    guna kesejahteraan penduduk kota/kabupaten tersebut. Dengan demikian,

    pengaturan mengenai pengairan meskipun sudah ada pada berbagai

    peraturan perundangan, namun perlu disesuaikan kembali dengan kondisi,

    kebutuhan, dan potensi daerah yang bersangkutan. Perkembanganpembangunan di Kota Bandung yang memanfaatkan lahan dan air jangan

    sampai merugikan generasi yang akan datang. Oleh karena itu,

    pemanfaatannya perlu dikendalikan, baik sejak pengambilan sampai

    pembuangan serta sarana dan prasarananya perlu dipelihara dan

    pemanfaatannya perlu dikendalikan agar tidak berbalik menjadi bencana.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    10/72

    2

    Pemanfaatan air beserta sumber-sumbernya ini mencakup ruang lingkup

    yang luas, yang meliputi pengaturan air untuk irigasi; pengendalian dan

    pengaturan banjir serta usaha untuk perbaikan sungai, saluran, waduk, dan

    sebagainya; pengaturan penyediaan air minum, air perkotaan, air industri dan

    pencegahan terhadap pencemaran atau pengotoran air dan sebagainya.

    Dengan luas wilayah sekitar 16.730 ha di ketinggian 675 - 1050 di atas

    permukaan laut, topografi perbukitan di bagian utara dan relatif rata di bagian

    selatan berbentuk cekungan Bandung, sehingga sangat ideal sebagai arah

    aliran air dari dataran tertinggi ke dataran yang rendah, yang secara alamiah

    banyak terbentuk jaringan alur sungai dan anak sungai/saluran bermuara ke

    Sungai Citarum sebagai sungai terbesar. Ketika perkembangan penduduk

    masih sedikit, di daerah dataran areal sawah masih luas, namun karena

    perkembangan jumlah penduduk terus meningkat mencapai sekitar 500

    orang/ha menyebabkan lahan areal pengairan luasnya menyusut sangat

    cepat, sehingga berubah fungsi menjadi lingkungan perumahan, begitu pula

    jaringan saluran irigasi berubah fungsi menjadi saluran penggelontoran kota

    yang membawa aliran limbah rumah tangga, pabrik, kantor, dan lain-lain.

    Untuk mengantisipasi perubahan tersebut, maka perlu dilakukan pengkajian

    untuk merumuskan naskah akademik sebagai bahan masukan dalam

    penyusunan rancangan peraturan daerah perubahan Peraturan Daerah

    Nomor 6 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pengairan (Perda 6/2002)

    dan Peraturan Daerah Nomor Tahun 2002 tentang Retribusi Pengairan

    (Perda 7/2002) termasuk peraturan walikota yang akan menjabarkan

    ketentuan baru tersebut. Rancangan perda dan rancangan peraturan walikota

    ini diharapkan dapat mengantisipasi perubahan kondisi pengairan di Kota

    Bandung sehingga lebih efektif dan efisien dalam pengelolaannya.

    Perlunya pengkajian Perda 6/2002 dan Perda 7/2002 didasarkan pada

    pemikiran bahwa kedua perda tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi

    dengan tuntutan kebutuhan pengaturan pengelolaan pengairan, khususnya

    mengenai bidang perizinan dan penertiban. Ada kesan bahwa kedua perda

    tersebut dibuat atau disusun dalam suasana ketergesa-gesaan. Hal ini dapat

    dilihat dari sejumlah indikasi, antara lain: kurang cermatnya dan kurang

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    11/72

    3

    lengkapnya penyusunan materi peraturan sehingga terdapat pasal yang satu

    inkonsisten dengan pasal yang lainnya; persyaratan perizinan yang

    berlebihan/tidak perlu; tarif retribusi pembuangan air buangan masih

    mengacu pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 10 Tahun 1995

    yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman; masa berlaku

    izin dan ketentuan herregistrasi atau perpanjangan menunjukkan

    inkonsistensi antara pengaturan dalam perda dan keputusan walikota, serta

    dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

    Sumber Daya Air pada tanggal 18 Maret 2004 yang menggantikan atau

    mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974.

    1.2 Permasalahan

    Ada tiga fenomena penting yang perlu dicermati dalam kaitan dengan

    pengelolaan sumberdaya air di Indonesia.

    Pertama, adalah permintaan terhadap air dari berbagai sector kehidupan

    cenderung semakin meningkat. Perkembangan permukiman di wilayah

    perkotaan, perkembangan industri, pertambangan, dan peningkatan

    permintaan terhadap energi listrik telah meningkatkan permintaan terhadap

    air. Peningkatan permintaan ini pada sejumlah daerah telah menimbulkan

    kelangkaan sehinggal timbul kompetisi dan konflik dalam pengaloksian

    terutama diantara penggunaan untuk pertanian (sebagai sektor pengguna

    terbesar) dengan sektor non pertanian.

    Kedua, penurunan kondisi sumberdaya air itu sendiri. Peningkatan

    permintaan dan terjadinya kelangkaan air diikuti pula oleh penurunan kondisi

    sumberdaya air dalam bentuk kerusakan daerah tengkapan dan pencemaran

    air sehingga terjadi kekeringan dimusim kemarau dan kebanjiran dimusim

    hujan.

    Ketiga, krisis pengelolaan yang ditandai oleh ketidakmampuan kerangka

    kebijakan, kerangka hukum, kerangka kelembagaan, dan kapasitas

    sumberdaya manusia, dalam menyikapi fenomena pertama dan kedua diatas.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    12/72

    4

    Ketiga fenomena tersebut mengindikasikan semakin meningkatnya

    kompleksitas pengelolaan sumberdaya air sehingga diperlukan adanya

    keterpaduan dalam pengelolaan dan pembaharuan kebijakan. Dalam kaitan

    ini pemerintah Indonesia sudah melakukan upaya pembaharuan kebijakan

    pengelolaan sumberdaya air terutama dengan diundangkannya Undang-

    Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan dalam Era

    Otonomi Daerah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

    2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

    1.3 Maksud dan Tujuan

    Maksud dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk menganalisis kondisi

    eksisting penyelenggaraan pengairan dan retribusi pengairan di Kota

    Bandung, mengidentifikasi permasalahan dan kendala-kendala yang dialami

    selama ini dalam pelaksanaan kedua peraturan daerah terkait, serta

    merumuskan rancangan peraturan daerah perubahan kedua peraturan

    daerah yang sudah ada, termasuk rancangan peraturan walikota sebagai

    penjabaran dari rancangan peraturan daerah yang baru.

    Adapun tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah :

    1. Mengidentifikasi kondisi eksisting penyelenggaraan pengairan dan

    retribusi pengairan di Kota Bandung, yang mencakup potensi, tantangan,

    dan pengelolaan yang selama ini diterapkan, baik dalam hal kebijakan

    maupun kelembagaan.

    2. Mengidentifikasi isu-isu strategis yang terkait dengan penyelenggaraan

    pengairan dan retribusi pengairan di Kota Bandung, khususnya dikaitkan

    dengan perkembangan di masa mendatang, baik di level nasional,

    regional, maupun lokal.

    3. Merumuskan naskah akademik sebagai bahan pertimbangan obyektifdalam merumuskan rancangan peraturan daerah dan rancangan

    peraturan walikota untuk mengubah Perda 6/2002 dan Perda 7/2002.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    13/72

    5

    1.4 Manfaat

    Manfaat kegiatan penyusunan naskah akademik rancangan Perda dan

    rancangan Peraturan Walikota tentang perubahan Perda 6/2002 dan Perda

    7/2002 adalah:

    1. Naskah akademik ini dapat menjadi acuan bagi perumusan rancangan

    Perda dan rancangan Peraturan Walikota tentang perubahan Perda

    6/2002 dan Perda 7/2002.

    2. Naskah ini memuat kondisi eksisting potensi dan permasalahan dalam

    penyelenggaraan pengairan dan retribusi pengairan di Kota Bandung,

    serta memuat isu-isu strategis yang perlu diantisipasi dalam pengelolaan

    potensi sumber daya air yang berkelanjutan.

    3. Dengan adanya naskah akademik yang disusun dari hasil pengkajian,

    maka diharapkan materi rancangan Perda dan rancangan Peraturan

    Walikota tentang perubahan Perda 6/2002 dan Perda 7/2002 dapat

    mengantisipasi berbagai potensi dan tantangan bidang ini di masa

    mendatang.

    1.5 Luaran (Output) Kegiatan

    Kegiatan ini akan menghasilkan luaran berupa:

    1. Naskah akademik yang memuat tinjauan konseptual tentang

    penyelenggaraan pengairan sebagai bahan pertimbangan obyektif dalam

    merumuskan rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan

    walikota tentang penyelenggaraan pengairan dan retribusi pengairan.

    2. Rancangan peraturan daerah tentang perubahan Perda No. 6 Tahun 2002

    tentang Penyelenggaraan Pengairan dan rancangan peraturan daerah

    tentang perubahan Perda No. 7 Tahun 2002 tentang Retribusi Pengairan.

    3. Rancangan peraturan walikota sebagai penjabaran dari rancanganperaturan daerah tentang perubahan Perda No. 6 Tahun 2002 tentang

    Penyelenggaraan Pengairan dan rancangan peraturan daerah tentang

    perubahan Perda No. 7 Tahun 2002 tentang Retribusi Pengairan.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    14/72

    6

    1.6 Metode Kegiatan

    Metode kegiatan dilakukan melalui kajian dokumentasi terhadap berbagai

    peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik dalam skala nasional

    maupun lokal guna memperoleh gambaran tentang pengelolaan sumber daya

    air secara berkelanjutan. Studi ini kemudian dilengkapi dengan kajian teoretis

    dengan menggunakan perspektif hidrologis untuk menganalisis potensi

    sumber daya air yang tersedia saat ini (kondisi eksisting) yang dipadukan

    dengan pendekatan analisis kebijakan untuk menyusun kerangka

    pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan, termasuk dalam hal

    penyelenggaraan pengairan dan jenis-jenis retribusi pengairan yang dapat

    diterapkan dalam kerangka pemeliharaan sumber daya air tersebut, bukan

    sekedar untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

    Selain pengumpulan data sekunder melalui dokumen-dokumen dan kebijakan

    eksisting, juga dilakukan focus group discussion(FGD) dengan mengundang

    para pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pengairan di Kota Bandung.

    Para pihak yang hadir pada FGD meliputi:

    1. Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kota Bandung.

    2. Dinas Pengairan Kota Bandung.

    3. Dinas Tata Kota.

    4. Dinas Bina Marga Kota Bandung.

    5. Dinas Pendapatan Kota Bandung.

    6. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Kota Bandung.

    7. Lembaga Swadaya Masyarakat.

    8. Akademisi.

    FGD diselenggarakan untuk mendengar aspirasi dari berbagai stakeholders,

    sehingga dapat diperoleh informasi obyektif mengenai kebutuhan

    masyarakat. Data dan informasi yang diperoleh dari seluruh teknik

    pengumpulan data selanjutnya diolah dan dianalisis melalui metode delphi

    dengan melibatkan para pakar di bidang terkait, yakni bidang kebijakan,

    hidrologi, irigasi, ekonomi, dan hukum untuk kepentingan penyusunan materi

    legal draftingrancangan perda dan rancangan peraturan walikota.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    15/72

    7

    Secara sederhana, rangkaian kegiatan dalam penyusunan naskah akademik,

    rancangan perda, dan rancangan peraturan walikota tentang perubahan

    Perda 6/2002 dan Perda 7/2002 adalah sebagai berikut:

    Gambar 1.1

    Alur Kegiatan

    1.7 Sistematika Penulisan

    Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Pengelolaan

    Sumber Daya Air ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang memuat materi-materi

    sebagai berikut:

    BAB I PENDAHULUAN

    Berisi mengenai latar belakang kajian, permasalahan, maksud dan

    tujuan, manfaat, luaran (output) kegiatan, metode kegiatan serta

    sistematikan penulisan.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    16/72

    8

    BAB II TELAAHAN AKADEMIK

    Berisi mengenai kajian yuridis, kajian ekonomi dan kajian kebijakan

    publik.

    BAB III PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI

    KOTA BANDUNG

    Berisi mengenai tinjauan konseptual penyelenggaraan pengelolaan

    sumber daya air, penyelenggaraan pengelolaan sumber daya air

    dan retribusi pengelolaan sumber daya air di Kota Bandung, Isu-isu

    Strategis dalam penyelenggaraan pengelolaan sumber daya Air

    dan retribusi pengelolaan sumber daya air di Kota Bandung, serta

    arah kebijakan penyelenggaraan pengelolaan sumber daya air di

    Kota Bandung.

    BAB IV URGENSI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH TENTANG

    PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA BANDUNG

    Berisi mengenai landasan pemikiran dan urgensi pembentukan

    peraturan daerah tentang pengelolaan sumber daya air serta

    manfaat dan konsekuensi keberadaan peraturan daerah tentang

    pengelolaan sumber daya air.

    BAB V POKOK POKOK MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

    TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

    Berisi mengenai konsideran, dasar hukum, ketentuan umum, materi

    pokok yang diatur, ketentuan peralihan, ketentuan penutup dan

    lampiran.

    BAB VI PENUTUP

    Berisi tentang kesimpulan dan saran

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    17/72

    9

    BAB II

    TELAAHAN AKADEMIK

    2.1 Kajian Filosofis

    Undangundang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan

    (ideal norms) oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan

    bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Karena itu, undang-undang

    dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif yang hendak

    diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undnag-

    undang yang bersangkutan dalam kenyataan. Karenaitu, cita-cita filosofis

    yang terkandung dalam undang-undang itu hendaknya mencerminkan cita-

    cita filosofis yang dianut masyarakat bangsa yang bersangkutan itu sendiri.

    Artinya, jangan sampai cita-cita filosofis yang terkandung di dalam undang-

    undang tersebut justru mencerminkan falsafah kehidupan bangsa lain yang

    tidak cocok dengan cita-cita ilosofis bangsa sendiri. Karena itu, dalam

    konteks kehidupan bernegara, Pancasila sebagai falsafah haruslah tercermin

    dalam pertimbangan-pertimbangan filosofis yang terkandung di dalam setiap

    undang-undang. Undan-undang Republik Indonesia tidak bolaeh melandasidiri berdasarkan falsafah hidup bangsa dan negara lain. Artinya, Pancasila

    itulah yang menjadi landasan filosofis semua produk undang-undang

    Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.

    Setiap masyarakat selalu mempunyai rechtsideeyakni apa yang masyarakat

    harapkan dari hukum, misalnya hukum diharapkan untuk menjamin adanya

    keadilan, kemanfaatan dan ketertiban maupun kesejahteraan. Cita hukum

    atau rechtsidee tumbuh dalam sistem nilai masyarakat tentang baik dan

    buruk, pandangan mereka mengenai hubungan individual dan kemasyarakat

    dan lain sebagainya termasuk pandangan tentang dunia gaib. Semua ini

    bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakikat

    sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai baik sebagai sarana

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    18/72

    10

    yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam

    tingkah laku masyarakat.1

    Menurut Rudolf Stammier, cita hukum adalah konstruksi pikiran yang

    merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang

    diinginkan masyarakat. Selanjutnya Gustav Radbruch seorang ahli filsafat

    hukum seperti Stammler dari aliran Neo-Kantian menyatakan bahwa cita

    hukum berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif dan konstruktif.

    Tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya.2

    Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan proses terwujudnya

    nilai-nilai yang terkandung cita hukum ke dalam norma hukum tergantung

    pada tingkat kesadaran dan penghayatan akan nilai-nilai tersebut oleh para

    pembentuk peraturan perundang-undangan. Tiadanya kesadaran akan nilai-

    nilai tersebut dapat terjadi kesenjangan antara cita hukum dan norma hukum

    yang dibuat.

    Oleh karena itu dalam Negara Indonesia yang memiliki cita hukum Pancasila

    sekaligus sebagai norma fundamental negara, maka hendaknya peraturan

    yang hendak dibuat khususnya Peraturan Daerah Kota Bandung Tentang

    Pengelolaan Sumber Daya Air hendaknya diwarnai dan dialiri nilai-nilai yang

    terkandung di dalam cita hukum tersebut. Cita hukum dalam pengaturanpengelolaan sumber daya air, di antaranya adalah asas kelestarian,

    keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan, keadilan, kemandirian

    serta transparansi dan akuntabilitas.

    Asas Kelestarian mengandung pengertian bahwa pendayagunaan sumber

    daya air diselenggarakan dengan menjaga kelestarian fungsi sumber daya air

    secara berkelanjutan.

    Asas Keseimbangan mengandung pengertian keseimbangan antara fungsi

    sosial, fungsi lingkungan hidup, dan fungsi ekonomi.

    1 Bagir Manan, 1992,Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, IN-HILL-Co., hal. 17.2

    Esmi Warasih P, 2001, Fungsi Cita Hukum dalam Penyusunan Peraturan Perundangan yang Demokratis,

    dalam Arena Hukum, Majalah Hukum FH Unibraw No.15 Tahun 4, November 2001, hal.354-361.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    19/72

    11

    Asas Kemanfaatan Umum mengandung pengertian bahwa pengelolaan

    sumber daya air dilaksanakan untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya

    bagi kepentingan umum secara efektif dan efisien.

    Asas Keterpaduan dan Keserasian mengandung pengertian bahwa

    pengelolaan sumber daya air dilakukan secara terpadu dalam mewujudkan

    keserasian untuk berbagai kepentingan dengan memperhatikan sifat alami air

    yang dinamis.

    Asas Keadilan mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber daya air

    dilakukan secara merata ke seluruh lapisan masyarakat di wilayah tanah air

    sehingga setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama

    untuk berperan dan menikmati hasilnya secara nyata.

    Asas Kemandirian mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumber daya

    air dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dan keunggulan sumber

    daya setempat.

    Asas Transparansi dan Akuntabilitas mengandung pengertian bahwa

    pengelolaan sumber daya air dilakukan secara terbuka dan dapat

    dipertanggung-jawabkan.

    2.2 Kajian Yuridis Normatif

    Landasan juridis dalam perumusan setiap undang-undang haruslah

    ditempatkan pada bagian KonsideranMengingat. Dalam Konsideran

    mengingat ini harus disusun secara rici dan tepat (i) ketentuan UUD 1945

    yang dijadikan rujukan, termasuk penyebutan pasal dan ayat atau bagian

    tertentu dari UUD 1945 harus ditentukan secara tepat; (ii) undang-undang lain

    yang dijadikan rujukan dalam membentuk undang-undang yang

    bersangkutan, yang harus jelas disebutkan nomornya, judulnya, dan demikian

    pula dengan nomor dan tahun Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran

    Negara.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    20/72

    12

    Biasanya, penyebutan undang-undang dalam rangka Konsideran Mengingat

    ini tidak disertai dengan penyebutan nomor pasal ataupun ayat. Penyebutan

    pasal dan ayat hanya berlaku untuk penyebutan undang-undang dasar saja.

    Misalnya, mengingat Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang

    Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Artinya, undang-undang itu

    dijadikan dasar juridis dalam Konsideran mengigat itu sebagai suatu kesatuan

    sistem norma.

    Kajian yuridis normatif atau penelitian hukum normatif disebut juga penelitian

    doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa

    yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau

    hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan

    berperilaku manusia yang dianggap pantas. Oleh karena itu: pertama,

    sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan

    hukum primer, bahan hukum sekunder, atau data tersier.

    1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yaitu

    Peraturan Perundang-undangan.

    2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

    mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-

    hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

    penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

    seperti kamus (hukum), eksiklopedia.

    Kedua, karena penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan data

    sekunder (bahan kepustakaan), penyusunan kerangka teoretis yang bersifat

    tentatif (skema) dapat ditinggalkan, tetapi penyusunan kerangka

    konsepsional3 mutlak diperlukan. Di dalam menyusun kerangka konsepsional,

    3Kerangka konsepsional merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan

    diteliti. Konsep (concept) adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari gejala-gejala

    tertentu. Misalnya konsep tentang pencurian, kejahatan, demokrasi, Keputusan Tata Usaha Negara

    (KTUN), wanprestasi, birokrasi, pembunuhan, kesewenang-wenangan, ketaatan, kesadaran, dan masih

    banyak konsep-konsep lainnya yang dikenal dalam disiplin ilmu hukum.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    21/72

    13

    dapat dipergunakan perumusan-perumusan yang terdapat di dalam peraturan

    perundang-undangan yang menjadi dasar penelitian.

    Ketiga, dalam penelitian hukum normatif tidak diperlukan hipotesis, kalaupun

    ada, hanya hipotesis kerja.

    Keempat, konsekuensi dari (hanya) menggunakan data sekunder, maka pada

    penelitian hukum normatif tidak diperlukan sampling, karena data sekunder

    (sebagai sumber utamanya) memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak

    bisa diganti dengan data jenis lainnya. Biasanya penyajian data dilakukan

    sekaligus dengan analisisnya.

    2.3 Kajian Sosiologis

    Landasan kedua adalah landasan sosiologis, yaitu bahwa setiap norma

    hukum yang dituangkan dalam undang-undang haruslah mencerminkan

    tuntutan kebutuhan masyarakat sediri aan norma hukum yang sesuai dengan

    realitas kesadaran hukum masyarakat. Karena itu, dalam konsideran, harus

    dirumuskan dengan baik pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris

    sehingga sesuatu gagasan normati yang dituangkan dalam undang-undang

    benar-benar didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum

    masyarakat. Dengan demikian, norma hukum yang tertuang dalam undang-

    undang itu kelak dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di tengah-tengah

    masyarakat hukum yang diaturnya.

    Pada kajian hukum atau penelitian hukum yang sosiologis, hukum

    dikonsepkan sebagai pranata sosial yang secara riil dikaitkan dengan

    variabel-variabel sosial yang lain. Apabila hukum sebagai gejala sosial yang

    empiris sifatnya, dikaji sebagai variabel bebas/sebab (independent variable)

    yang menimbulkan pengaruh dan akibat pada berbagai aspek kehidupan

    sosial, kajian itu merupakan kajian hukum yang sosiologis (socio-legal

    research). Namun, jika hukum dikaji sebagai variabel tergantung/akibat

    (dependent variable) yang timbul sebagai hasil dari berbagai kekuatan dalam

    proses sosial, kajian itu merupakan kajian sosiologi hukum (sociology of law).

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    22/72

    14

    Perbedaan antara penelitian hukum normatif dengan penelitian hukum

    sosiologis, dapat diuraikan karakteristik yang dimiliki oleh penelitian hukum

    sosiologis:

    1. Seperti halnya pada penelitian hukum normatif yang (hanya)

    menggunakan bahan kepustakaan sebagai data sekundernya, maka

    penelitian hukum yang sosiologis, juga menggunakan data sekunder

    sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data primer

    atau data lapangan. Dengan demikian, penelitian hukum yang sosiologis

    tetap bertumpu pada premis normatif, berbeda dengan penelitian ilmu-

    ilmu sosial yang hendak mengkaji hukum, di mana hukum ditempatkan

    sebagai dependent variable, oleh karena itu, premis sosiallah yang

    menjadi tumpuannya.

    2. definisi operasionalnya dapat diambil dari peraturan perundang-undangan,

    khususnya terhadap penelitian yang hendak meneliti efektivitas suatu

    undang-undang.

    3. hipotesis kadang-kadang diperlukan, misalnya penelitian yang ingin

    mencari hubungan (korelasi) antara berbagai gejala atau variabel.

    4. akibat dari jenis datanya (data sekunder dan data primer), maka alat

    pengumpul datanya terdiri dari studi dokumen, pengamatan (observasi),

    dan wawancara (interview). Pada penelitian hukum sosiologis selaludiawali dengan studi dokumen, sedangkan pengamatan (observasi)

    digunakan pada penelitian yang hendak mencatat atau mendeskripsikan

    perilaku (hukum) masyarakat. Wawancara (interview) digunakan pada

    penelitian yang mengetahui misalnya, persepsi, kepercayaan, motivasi,

    informasi yang sangat pribadi sifatnya.

    5. penetapan sampling harus dilakukan, terutama jika hendak meneliti

    perilaku (hukum) warga masyarakat. Dalam penarikan sampel, hendaknya

    diperhatikan sifat atau ciri-ciri populasi.

    6. pengolahan datanya dapat dilakukan baik secara kualitatif dan/atau

    kuantitatif.

    Akhirnya, kegunaan penelitian hukum sosiologis adalah untuk mengetahui

    bagaimana hukum itu dilaksanakan termasuk proses penegakan hukum (law

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    23/72

    15

    enforcement). Karena penelitian jenis ini dapat mengungkapkan

    permasalahan-permasalahan yang ada di balik pelaksanaan dan penegakan

    hukum. Disamping itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan

    dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan. Dikaitkan dengan

    kajian hukum pengelolaan sumber daya air di Kota Bandung maka kajian

    sosiologis sangat berguna dalam rangka penyusunan suatu peraturan

    perundang-undangan yang akan mengaturnya, bahwa setiap norma hukum

    yang dituangkan dalam perundang-undangan haruslah mencerminkan

    tuntutan kebutuhan dengan realitas kesadaran hukum masyarakat.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    24/72

    16

    BAB III

    PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

    DI KOTA BANDUNG

    3.1 Tinjauan Konseptual Penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya Air

    1. Sumber Daya Air

    Air merupakan kebutuhan mutlak kehidupan umat manusia dan seluruh

    ekosistem. Oleh banyak orang, air sering dipandang sebagai sumber daya

    terbarukan yang terdapat di mana-mana, terdapat kapan saja, jumlahnya

    berlimpah, dan dapat diperoleh secara cuma-cuma. Sifat istimewa air

    lainnya ialah air merupakan sumber daya yang gerak abadinya tidak kenal

    batas dan tidak dapat dibatasi oleh batas geografi, batas negara, dan

    batas administrasi lainnya. Sifat yang tidak kenal batas geografis ini

    menempatkan posisi air sebagai pemersatu bangsa karena mesti ada

    keterkaitan erat antara hulu dan hilir, antara wilayah pesisir dan dataran

    tinggi, antara satu provinsi dengan provinsi lainnya, antara kabupaten

    dengan kabupaten. Konservasi ekosistem daerah hulu sungai akan lebih

    menjamin keberlanjutan ketersediaan air di daerah hilir. Pengendalian

    pencemaran air di daerah hulu membantu konservasi ekosistem akuatik

    serta ketersediaan air tanah di wilayah sebelah hilir.

    Air yang merupakan bagian dari hak-hak asasi manusia yang

    mengandung suatu nilai universal, dimana kebutuhan tersebut adalah

    kebutuhan yang tidak boleh dilimitasi, dieleminir sebagian dan atau

    seluruhnya, hal kebutuhan tersebut juga sudah menjadi hak konstitusional

    setiap warga negara, yang bisa dirtikan bahwa keberadaan air bagi rakyat

    banyak tidak bisa lagi di dalam pemenuhannya tergantung pada Undang-

    undang atau Peraturan Pemerintahan yang berlaku di sebuah Negara.

    dalam hal ini rakyat yang berkedudukan sebagai pemegang hak (right

    holder), kemudian di sisi lain negara berkedudukan sebagai pengemban

    kewajiban (duty holder) mengandung imperatif. Kewajiban negara yang

    mendasar seharusnya adalah melindungi (proteksi) dan menjamin hak

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    25/72

    17

    asasi warganya (rakyat), dalam hal itu dimana salah satunya adalah hak

    atas air mengupayakan pemenuhan secara positip atau menjamin akses

    rakyat atas air yang sehat untuk segala kebutuhannya mulai dari urusan

    rumah tangga, urusan irigasi, urusan produksi lainnya.

    Pengertian sumberdaya air di sini adalah kemampuan dan kapasitas

    potensi air yang dapat dimanfaatkan oleh kegiatan manusia untuk

    kegiatan sosial ekonomi. Terdapat berbagai jenis sumber air yang

    umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti air laut, air hujan, air

    tanah, dan air permukaan. Dari keempat jenis air tersebut, sejauh ini air

    permukaan merupakan sumber air tawar yang terbesar digunakan oleh

    masyarakat.

    Air merupakan bagian siklus alam (daur hidrologi) yang mengakibatkan

    ketersediaannya tidak merata baik dalam aspek waktu, lokasi, kuantitas

    maupun kualitas Karena terjadi ketidakseimbangan jumlah ketersediaan

    air, maka jumlah ketersediaan air dan besarnya kebutuhan akan air perlu

    dikelola sedemikian rupa sehingga pemanfaatannya memenuhi kriteria

    keterpaduan secara fungsional ruang, berkelanjutan, dan berwawasan

    lingkungan. Untuk itu, dibutuhkan perencanaan dan pelaksanaan

    pengelolaan sumberdaya air yang memadai untuk mencapai pengelolaan

    sumberdaya air secara berkelanjutan berdasarkan strategi pemanfaatan

    ruang yang banyak ditentukan oleh karakteristik sumber daya air.

    Karakteristik dasar sumber daya, air antara lain:

    1. Dapat mencakup beberapa wilayah administratif (cross-administrative

    boundary) dikarenakan oleh faktor topografi dan geologi.

    2. Dipergunakan oleh berbagai aktor (multi-stakeholders).

    3. Bersifat sumberdaya mengalir (flowing/dynamic resources) sehingga

    mempunyai keterkaitan yang sangat erat antara kondisi kuantitas

    dengan kualitas, antara hulu dengan hilir, antara instream dengan

    offstream, maupun antara air permukaan dengan air bawah tanah.

    4. Dipergunakan baik oleh generasi sekarang maupun generasi

    mendatang (antar generasi).

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    26/72

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    27/72

    19

    Dengan diberlakukannya otonomi daerah, masalah pengelolaan sumber

    daya air menjadi lebih kompleks mengingat Satuan Wilayah Sungai

    (SWS) atau Daerah Pengaliran Sungai (DPS) secara teknis tidak dibatasi

    oleh batas-batas administratif tetapi oleh batas-batas fungsional, sehingga

    dengan demikian masalah koordinasi antar daerah otonom yang berada

    dalam satu SWS atau DPS menjadi sangat penting dalam pengelolaan

    sumberdaya air.

    Di sisi lain, terjadi perubahan paradigma pemerintahan yang berimplikasi

    pada pergeseran peran pemerintah. Peran pemerintah berubah dari

    institusi penyedia jasa (service provider) menjadi institusi pemberdayaan

    masyarakat dan dunia usaha (enabler) agar memiliki kemampuan dalam

    menyediakan kebutuhan air dan menunjang kegiatan usahanya secara

    mandiri dan berkelanjutan, sehingga perlu adanya upaya-upaya

    pemberdayaan masyarakat pengguna air untuk mengelola dan

    melestarikan potensi-potensi sumber daya air.

    Pengelolaan sumber daya air menghadapi berbagai persoalan yang

    berhubungan berbagai macam penggunaan dari berbagai macam sektor

    (pertanian, perikanan, industri, perkotaan, tenaga listrik, perhubungan,

    pariwisata, dan lain-lain) baik yang berada di hulu maupun di hilir

    cenderung semakin meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal

    ini telah banyak menimbulkan dispute antar sektor maupun antar wilayah,

    yang pada dasarnya merupakan cerminan dari adanya conflict of interests

    yang tajam serta tidak berjalannya fungsi koordinasi yang baik.

    Pengelolaan sumber daya air merupakan kerangka dasar dalam

    merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan

    konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan

    pengendalian daya rusak air pada setiap wilayah sungai dengan prinsip

    keterpaduan antara air permukaan dan air tanah. Pola pengelolaan

    sumber daya air disusun secara terkoordinasi di antara instansi yang

    terkait, berdasarkan asas kelestarian, asas keseimbangan fungsi sosial,

    lingkungan hidup, dan ekonomi, asas kemanfaatan umum, asas

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    28/72

    20

    keterpaduan dan keserasian, asas keadilan, asas kemandirian, serta asas

    transparansi dan akuntabilitas.

    Pengelolaan sumber daya air perlu memperhatikan sejumlah dimensi,

    yakni dimensi holistik (menyeluruh); dimensi keterpaduan (integratif);

    dimensi berwawasan lingkungan hidupl dan dimensi berkelanjutan.

    Pengelolaan sumber daya air secara menyeluruh mencakup semua

    bidang pengelolaan yang meliputi konservasi, pendayagunaan, dan

    pengendalian daya rusak air, serta meliputi satu sistem wilayah

    pengelolaan secara utuh yang mencakup semua proses perencanaan,

    pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi. Pengelolaan sumber daya

    air secara terpadu merupakan pengelolaan yang dilaksanakan dengan

    melibatkan semua pemilik kepentingan antarsektor dan antarwilayah

    administrasi. Pengelolaan sumber daya air berwawasan lingkungan hidup

    adalah pengelolaan yang memperhatikan keseimbangan ekosistem dan

    daya dukung lingkungan. Pengelolaan sumber daya air berkelanjutan

    adalah pengelolaan sumber daya air yang tidak hanya ditujukan untuk

    kepentingan generasi sekarang tetapi juga termasuk untuk kepentingan

    generasi yang akan datang.

    Secara prinsip, sasaran strategis pengelolaan potensi sumberdaya air

    adalah menjaga keberlanjutan dan ketersediaan potensi sumberdaya air

    melalui upaya konservasi dan pengendalian kualitas sumber air baku.

    Sasaran strategis tersebut ditempuh melalui tahapan-tahapan yang saling

    terkait, yaitu perencanaan, pemanfaatan, perlindungan, dan pengendalian.

    Karena itu, kebijakan dasar yang diterapkan dalam pengelolaan sumber

    daya air adalah:

    1. Pengelolaan sumberdaya air secara nasional harus dilakukan secara

    holistik, terencana, dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan

    nasional dan melestarikan lingkungan, untuk sebesar-besar

    kemakmuran rakyat dan menjaga kesatuan dan ketahanan nasional.

    2. Pengelolaan sumberdaya air harus dilakukan secara terdesentralisasi

    dengan berdasar atas daerah pengaliran sungai (DPS) sebagai satu

    kesatuan wilayah pembinaan.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    29/72

    21

    3. Pengelolaan sumber daya air harus berdasar prinsip partisipasi

    dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam

    seluruh aspek kegiatan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,

    pengendalian dan pembiayaan) untuk mendorong tumbuhnya

    komitmen semua pihak yang berkepentingan.

    4. Pengelolaan sumber daya air diprioritaskan pada sungai-sungai

    strategis bagi perkembangan ekonomi, kesatuan, dan ketahanan

    nasional dengan memperhatikan tingkat perkembangan sosio-ekonomi

    daerah, tuntutan kebutuhan serta tingkat pemanfatan dan ketersediaan

    air.

    5. Masyarakat yang memperoleh manfaat/kenikmatan atas air dan

    sumber-sumber air secara bertahap wajib menanggung biaya

    pengelolaan sumber daya air (users pay and cost recovery principles).

    3.2 Penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya Air di Kota Bandung

    1. Potensi Pengelolaan Sumber Daya Air di Kota Bandung

    Luas wilayah Kota Bandung sebesar 16.730 ha terletak secara geografis

    pada posisi 10736 BT dan 655 LS, dengan ketinggi an antara 675 di

    atas permukaan laut (DPL) sampai dengan sekitar 1050 DPL. Topografi

    perbukitan di bagian utara dan relatif rata di bagian selatan berbentuk

    cekungan Bandung, sehingga sangat ideal sebagai arah aliran air dari

    dataran tertinggi ke dataran yang rendah, yang secara alamiah banyak

    terbentuk jaringan alur sungai dan anak sungai/saluran bermuara ke

    sungai Citarum sebagai sungai terbesar. Pada saat perkembangan

    penduduk masih sedikit, di daerah pedataran areal sawah masih luas,

    namun karena perkembangan jumlah penduduk terus meningkat

    mencapai sekitar 500 orang/ha menyebabkan lahan areal pengairan

    luasnya menyusut sangat cepat, sehingga berubah fungsi menjadi

    lingkungan perumahan, begitu pula jaringan saluran irigasi terjadi

    perubahan fungsi menjadi Saluran Penggelontoran Kota yang membawa

    aliran limbah rumah tangga, pabrik, kantor, dan lain-lain. Inventarisasi

    potensi pengairan dan aset lainnya sebagai berikut:

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    30/72

    22

    Tabel 3.1

    Potensi Pengairan di Kota Bandung

    No. Uraian Jumlah Panjang Areal

    1 Saluran irigasiteknis/daerah irigasi

    12 buah 34,85 km 63,45 ha

    2 Saluran irigasi nonteknis(sederhana)/saluranpengairan

    69 buah 39 km -

    3 Organisasi Mitra Cai 7 mitra 0 km4 Sungai dan Anak

    Sungai46 buah 265,05 km

    5 Saluranpenggelontoran kota

    74 buah 121,15 km

    6 Mata air 76 buah7 Curah hujan 3000 mm/th

    8 Bangunan Air 107 buah9 Aset tanahsempadan/bantaransungai dan saluran

    474 persil 50.012,37 m

    10 Lintasan 1179 buah11 Aset tanah lahan

    mata air8 lokasi 40.485 m

    Sumber: Dinas Pengairan, 2001

    Berdasarkan potensi tersebut, yang telah mendapat izin pengairan

    sebanyak adalah lahan seluas 30.768,31 m, lintasan sebanyak 81 buah,

    pembuangan air buangan di 53 titik, dan perubahan alur di sekitar 20

    lokasi. Artinya, masih banyak potensi pengairan yang belum terkelola

    dengan optimal. Hal ini disebabkan oleh sejumlah kendala, antara lain:

    1. Tanah: setiap masyarakat yang memohon pembuatan sertifikat tanah

    yang berdampingan dengan sungai harus ada rekomendasi dari Dinas

    Pengairan, sementara banyak izin pemakaian tanah yang dikeluarkan

    oleh Dinas Perumahan untuk sempadan sungai dan kali mati yang

    tidak disesuaikan dengan teknis pengairan, seperti rencananormalisasi sungai/saluran dan keberadaan sempadan sungai/saluran.

    Pada setiap penerbitan site planatau izin perencanaan, bila terdapat

    sungai atau saluran sebagai pendukung perubahan sungai atau

    saluran tersebut harus ada Izin Perubahan Alur sesuai dengan Perda

    No. 6 Tahun 2002. Hal ini diperlukan dalam proses perubahan

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    31/72

    23

    kepemilikan tanah (sertifikat) kepada masyarakat pemohon yang

    diterbitkan oleh BPN dan tidak hilangnya aset pengairan.

    2. Limbah: setiap pembuangan air buangan ke saluran terbuka

    kewenangan Dinas Pengairan sesuai dengan Perda No. 6 Tahun

    2002, tapi PDAM mengklaim bahwa pembuangan air kotor semuanya

    ke PDAM, seharusnya melalui Saluran/Pipa Air Kotor PDAM (Divisi Air

    Kotor). Izinnya dari PDAM, dan yang dibuang ke saluran terbuka ke

    Dinas Pengairan.

    3. Sumber daya manusia: mengingat pengisian personil 3 cabang dinas

    dan 1 UPTD belum dilaksanakan maka pada Sub Dinas Bina Manfaat

    Dinas Pengairan Kota Bandung untuk pengendalian, pengawasan dan

    penertiban di ketiga wilayah koordinator, yakni:

    a. Wilayah Bandung Barat, terdiri dari 9 kecamatan dikelola oleh 4

    orang.

    b. Wilayah Bandung Timur, terdiri dari 7 kecamatan dikelola oleh 5

    orang.

    c. Wilayah Bandung Utara, terdiri dari 10 kecamatan dikelola oleh 5

    orang.

    Tidak seimbangnya antara jumlah personil dengan jumlah aset yang

    harus dikelola, dikendalikan, diawasi, dan ditertibkan. Aset dimaksud

    berupa pemanfaatan lahan sempadan atau kali mati, lintasan,

    pembuangan air buangan, perubahan alur, perkuatan

    tanggul/perubahan dimensi saluran.

    4. Sarana dan prasarana: sampai dengan saat ini kendaraan yang ada di

    Sub Dinas Bina Manfaat terdiri dari: 1 buah kendaraan roda 4 dan 2

    buah kendaraan roda 2, padahal idealnya kendaraan roda 4 sebanyak

    2 buah dan kendaraan roda 2 sebanyak 8 buah.

    5. Data base: mengingat terbatasnya dana pendataan untuk penyusunan

    data base sehingga potensi aset pengairan belum optimal dikelola dan

    diberdayakan.

    6. Kewenangan penanganan aset: kejelasan penanganan kewenangan

    antara instansi terkait, seperti antara Dinas Pengairan, Dinas

    Perumahan, Dinas Bina Marga, PDAM Divisi Air Kotor masih terjadi

    tumpang tindih kewenangan.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    32/72

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    33/72

    25

    Peraturan-peraturan tersebut melandasi pengelolaan pengairan secara

    normatif yang pada prinsipnya mengatur mengenai perencanaan,

    pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi penyelenggaraan konservasi

    sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian

    daya rusak air. Pola pengelolaan sumber daya air disusun berdasarkan

    wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air

    tanah. Pengelolaan air permukaan didasarkan pada wilayah sungai,

    sedangkan pengelolaan air tanah didasarkan pada cekungan air tanah.

    Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, pengaturan

    hak atas air diwujudkan melalui penetapan hak guna air, yaitu hak untuk

    memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai

    keperluan. Hak guna air dengan pengertian tersebut bukan merupakan

    hak pemilikan atas air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk memperoleh

    dan memakai atau mengusahakan sejumlah (kuota) air sesuai dengan

    alokasi yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pengguna air, baik untuk

    yang wajib memperoleh izin maupun yang tidak wajib izin. Hak guna air

    untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, pertanian rakyat, dan

    kegiatan bukan usaha disebut dengan hak guna pakai air, sedangkan hak

    guna air untuk memenuhi kebutuhan usaha, baik penggunaan air untuk

    bahan baku produksi, pemanfaatan potensinya, media usaha, maupun

    penggunaan air untuk bahan pembantu produksi, disebut dengan hak

    guna usaha air.

    Jumlah alokasi air yang ditetapkan tidak bersifat mutlak dan harus

    dipenuhi sebagaimana yang tercantum dalam izin, tetapi dapat ditinjau

    kembali apabila persyaratan atau keadaan yang dijadikan dasar

    pemberian izin dan kondisi ketersediaan air pada sumber air yang

    bersangkutan mengalami perubahan yang sangat berarti dibandingkan

    dengan kondisi ketersediaan air pada saat penetapan alokasi.

    Pengusahaan sumber daya air diselenggarakan dengan tetap

    memperhatikan fungsi sosial sumber daya air dan kelestarian lingkungan

    hidup. Pengusahaan sumber daya air yang meliputi satu wilayah sungai

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    34/72

    26

    hanya dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara atau badan usaha

    milik daerah di bidang pengelolaan sumber daya air atau kerja sama

    antara keduanya, dengan tujuan untuk tetap mengedepankan prinsip

    pengelolaan yang selaras antara fungsi sosial, fungsi lingkungan hidup,

    dan fungsi ekonomi sumber daya air.

    Pengaturan mengenai pengusahaan sumber daya air dimaksudkan untuk

    mengatur dan memberi alokasi air baku bagi kegiatan usaha tertentu.

    Pengusahaan sumber daya air tersebut dapat berupa pengusahaan air

    baku sebagai bahan baku produksi, sebagai salah satu media atau unsur

    utama dari kegiatan suatu usaha, seperti perusahaan daerah air minum,

    perusahaan air mineral, perusahaan minuman dalam kemasan lainnya,

    pembangkit listrik tenaga air, olahraga arung jeram, dan sebagai bahan

    pembantu proses produksi, seperti air untuk sistem pendingin mesin

    (water cooling system) atau air untuk pencucian hasil eksplorasi bahan

    tambang. Kegiatan pengusahaan dimaksud tidak termasuk menguasai

    sumber airnya, tetapi hanya terbatas pada hak untuk menggunakan air

    sesuai dengan alokasi yang ditetapkan dan menggunakan sebagian

    sumber air untuk keperluan bangunan sarana prasarana yang diperlukan

    misalnya pengusahaan bangunan sarana prasarana pada situ.

    Dalam Perda Kota Bandung No. 6 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan

    Pengairan di Kota Bandung yang masih mengacu pada UU No. 11 Tahun

    1974 tentang Pengairan, dinyatakan bahwa pengairan yang dimaksud

    dalam perda ini bukan sekedar usaha untuk menjadikan air guna untuk

    keperluan pertanian (irigasi) saja, tapi lebih luas dari itu adalah

    pemanfaatan serta pengaturan air dan sumber-sumber air yang meliputi,

    antara lain:

    1. Irigasi, yakni usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang

    pertanian, baik air permukaan maupun air tanah.

    2. Pengendalian dan pengaturan banjir serta usaha untuk perbaikan

    sungai, saluran, waduk, dan sebagainya.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    35/72

    27

    3. Pengaturan penyediaan air minum, air perkotaan, air industri, dan

    pencegahan terhadap pencemaran atau pengotoran air dan

    sebagainya.

    Ketiga hal inilah yang menjadi ruang lingkup dalam penyelenggaraan

    pengairan di Kota Bandung.

    Dalam hal pengaturan mengenai irigasi, sebenarnya tidak terlampau

    banyak diatur dalam Perda No. 6 Tahun 2002. Namun, pada bagian

    Konsideran perda tersebut, terdapat PP No. 23 Tahun 1992 tentang Irigasi

    sebagai salahsatu dasar hukum yang digunakan. Dengan mengacu pada

    PP No. 23 Tahun 1992 tentang Irigasi, dinyatakan bahwa pengurusan dan

    pengaturan air irigasi dan jaringan irigasi beserta bangunan pelengkapnya

    yang ada di dalam wilayah Daerah diserahkan kepada Pemerintah Daerah

    yang bersangkutan. Air irigasi dan jaringan irigasi beserta bangunan

    pelengkapnya dalam petak tersier, irigasi desa, dan Subak

    pengurusannya diserahkan kepada petani pemakai air atau Desa ataupun

    Subak yang bersangkutan, di bawah pembinaan Pemerintah Daerah. Air

    irigasi dan jaringan irigasi beserta bangunan pelengkapnya yang dibangun

    oleh badan hukum, badan sosial atau perorangan untuk keperluan

    usahanya, pengurusannya diserahkan kepada badan hukum, badan sosial

    atau perorangan.

    Penggunaan air irigasi hanya diperkenankan dengan mengambil air dari

    saluran tersier atau saluran kwarter pada tempat pengambilan yang telah

    ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dengan memperhatikan

    perkembangan daerah irigasi, Pemerintah Daerah menetapkan

    pembentukan dan/atau pengembangan perkumpulan petani pemakai air

    yang secara organisatoris, teknis dan finansiil mampu untuk diserahi tugas

    dan kewajiban pembangunan, rehabilitasi, eksploitasi, dan pemeliharaan

    jaringan irigasi beserta bangunan pelengkapnya dalam petak tersier,

    kwarter, Desa dan Subak. Setiap pihak yang menggunakan air irigasi, baik

    perorangan maupun badan hukum, dan badan sosial harus menjadi

    anggota Perkumpulan Petani Pemakai Air.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    36/72

    28

    Sebagai penyempurnaan terhadap PP tersebut, maka pada tahun 2001

    dibuat PP No. 77 Tahun 2001 tentang Irigasi. PP ini dibuat untuk

    mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi, baik dalam konteks

    politik dan pembagunan pertanian secara umum, maupun konteks sumber

    daya air secara khusus. PP ini melandasi pembaharuan kebijakan

    pengelolaan irigasi yang meliputi:

    1. Redefinisi wewenang, tugas, dan tanggung jawab lembaga pengelola

    irigasi.

    2. Pemberdayaan masyarakat petani pemakai air.

    3. Penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi kepada perkumpulan

    petani pemakai air.

    4. Pembiayaan pengelolaan irigasi.

    5. Penyelenggaraan keberlanjutan sistem irigasi.

    Untuk melaksanakan kegiatan keirigasian yang lebih efektif dan efisien,

    pemerintah melakukan pengaturan kembali tugas dan tanggung jawab

    lembaga pengelola irigasi dari pusat, provinsi, kabupaten/kota ke tingkat

    petani dengan menempatkan perkumpulan petani pemakai air sebagai

    pengambil keputusan di dalam pengelolaan irigasi yang menjadi tanggung

    jawabnya. Sebagai perwujudan dari kebijakan pemerintah untuk

    melakukan desentralisasi dan otonomi yang luas, maka Pemerintah

    Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas penyediaan air

    baku, pelayanan dan fasilitasi bagi terwujudnya kemandirian perkumpulan

    petani pemakai air sesuai dengan kewenangannya.

    PP No. 71 Tahun 2001 tentang Irigasi kemudian diubah lagi dalam PP No.

    20 Tahun 2006 tentang Irigasi yang pada dasarnya mengatur mengenai

    pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dengan melibatkan semua

    pihak yang berkepentingan dengan mengutamakan kepentingan dan

    peran serta masyarakat petani dalam keseluruhan proses pengambilan

    keputusan serta pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan sistem

    irigasi. Untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut, dilakukan

    pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air dan dinas atau instansi

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    37/72

    29

    kabupaten/kota atau provinsi yang terkait di bidang irigasi secara

    berkesinambungan. Selanjutnya, untuk mewujudkan pengembangan dan

    pengelolaan sistem irigasi secara partisipatif serta untuk dapat

    memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat petani,

    pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan dengan

    pendayagunaan sumber daya air yang didasarkan pada keterkaitan antara

    air hujan, air permukaan, dan air tanah secara terpadu dengan

    mengutamakan pendayagunaan air permukaan. Pengembangan dan

    pengelolaan sistem irigasi tersebut dilaksanakan dengan prinsip satu

    sistem irigasi satu kesatuan pengembangan dan pengelolaan dengan

    memperhatikan kepentingan pemakai air irigasi dan pengguna jaringan

    irigasi di bagian hulu, tengah, dan hilir secara selaras. Pengembangan

    dan pengelolaan sistem irigasi dilaksanakan oleh kelembagaan

    pengelolaan irigasi yang meliputi instansi pemerintah, perkumpulan petani

    pemakai air, dan komisi irigasi.

    Dalam hal pengelolaan sungai, terdapat dua kewenangan pengelolaan

    sungai yang berada di wilayah Kota Bandung yaitu:

    a. Sungai yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat

    berjumlah 9 (sembilan) sungai, terdiri dari sungai-sungai sebagai

    berikut:

    - Sungai Cibeureum.

    - Sungai Citepus.

    - Sungai Cikapundung.

    - Sungai Cicadas.

    - Sungai Cidurian.

    - Sungai Cipamokolan.

    - Sungai Cisaranten.

    - Sungai Cinambo.

    - Sungai Mariu.

    b. Sungai atau saluran yang menjadi kewenangan Pemerintah Kota dan

    berfungsi sebagai penggelontoran dan drainase yang dikelola oleh

    Dinas Pengairan berdasarkan pendataan pada September 2001.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    38/72

    30

    Pengelolaan mengenai sungai ini menjadi penting karena merupakan

    landasan bagi pola tata pengaturan air, yakni segala usaha untuk

    mengatur pembinaan, seperti pemilikan, penguasaan, pengelolaan,

    penggunaan, pengusahaan, dan pengawasan atas air beserta sumber-

    sumbernya, termasuk kekayaan alam bukan hewani yang terkandung di

    dalamnya guna mencapai manfaat yang sebesar-besarnya dalam

    memenuhi hajat hidup dan perikehidupan rakyat. Untuk mencapai maksud

    tersebut, ditetapkan pola perlindungan, pembuangan air, dan/atau sumber

    air yang didasarkan atas wilayah sungai dan/atau gabungan beberapa

    sungai dan anak sungai serta daerah tangkapan air hujan sebagai

    kesatuan wilayah tata pengairan.

    Pengaturan mengenai sungai sebagaimana termaktub dalam PP No. 35

    Tahun 1991 tentang Sungai mencakup pengaturan mengenai

    perlindungan, pengembangan, penggunaan, dan pengendalian sungai,

    danau, waduk, wilayah sungai, bantaran sungai, bangunan sungai, dan

    garis sempadan sungai.

    Untuk terselenggaranya pengelolaan sumber daya air secara

    berkelanjutan, penerima manfaat jasa pengelolaan sumber daya air, pada

    prinsipnya, wajib menanggung biaya pengelolaan sesuai dengan manfaat

    yang diperoleh. Kewajiban ini tidak berlaku bagi pengguna air untuk

    kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk kepentingan sosial serta

    keselamatan umum. Karena keterbatasan kemampuan petani pemakai

    air, penggunaan air untuk keperluan pertanian rakyat dibebaskan dari

    kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber daya air dengan tidak

    menghilangkan kewajibannya untuk menanggung biaya pengembangan,

    operasi, dan pemeliharaan sistem irigasi tersier.

    Prinsip inilah yang melandasi ditetapkannya retribusi pengairan. Retribusi

    pengairan tidak dimaksudkan semata sebagai sumber Pendapatan Asli

    Daerah (PAD), tetapi lebih ditujukan sebagai mekanisme pengendalian

    bagi pemanfaatan air. Retribusi merupakan pembayaran kepada negara

    yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    39/72

    31

    (Soemitro, 1992:17). Pendapat lain dikemukakan oleh Munawir (dalam

    Kaho, 1991: 153), bahwa retribusi adalah iuran kepada pemerintah yang

    dapat dipaksakan dan jasa baik secara langsung dapat ditunjuk.

    Pengertian retribusi daerah secara khusus dikemukakan oleh Panitia

    Nasrun (dalam Kaho, 1991: 152), yakni pungutan daerah sebagai

    pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha

    atau milik daerah untuk kepentingan umum, atau karena jasa yang

    diberikan oleh daerah baik langsung maupun tidak langsung. Dengan

    demikian, retribusi daerah diartikan sebagai pungutan yang dibayar

    langsung oleh pengguna pelayanan untuk menutup seluruhnya atau

    sebagian biaya pelayanan.

    Dasar penentuan retribusi adalah efisiensi ekonomi, artinya retribusi

    ditarik untuk mendisiplinkan konsumsi, terutama jika jasa yang disediakan

    melibatkan sumber yang langka atau mahal, seperti halnya sumber daya

    air. Pada prinsipnya, retribusi dikenakan secara khusus dan langsung

    terkait dengan layanan yang diterima, sehingga hanya pengguna

    pelayanan saja yang harus membayar. Penentuan besaran retribusi

    bukan suatu hal yang mudah, asas yang umum digunakan adalah harga

    sama dengan biaya tambahan (marginal cost).

    Proses perizinan pemanfaatan lahan sempadan sungai/saluran/kali mati

    oleh Dinas Pengairan sejak diberlakukannya Perda No. 6 Tahun 2002 dan

    Perda No. 7 Tahun 2002 jo. Keputusan Walikota Bandung No. 1023

    Tahun 2003 tanggal 23 Juni 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan

    Penyelenggaraan Pengairan dan Pungutan Retribusi Pengairan

    pelaksanaannya sebagai berikut:

    1. Memperpanjang izin yang telah diterbitkan oleh Dinas PU Pengairan

    Provinsi Jawa Barat (sekarang Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air).

    2. Terhadap lahan sempadan yang telah disewakan oleh Dinas

    Perumahan saat ini dalam tahap pengkajian. Fakta di lapangan banyak

    kendala di dalam penerapan perizinannya karena sudah banyak

    bangunan tanpa izin, di antaranya pada saluran sungai di bawah ini:

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    40/72

    32

    a. Sebagian Sungai Citepus dari Jalan Bima-Jalan Baladewa sampai

    dengan Kopo.

    b. Sebagian saluran Cicendo Jalan Kebon Kawung (Stasiun KA)

    sampai dengan Pasirkaliki.

    c. Sebagian Sungai Cibeunying Katamso.

    d. Saluran Lebak Larang Dipati Ukur.

    e. Sebagian Sungai Cibunut Kosambi.

    f. Sebagian Sungai Cikapundung Tamansari sampai dengan Jalan

    Karapitan.

    g. Sebagian saluran Cikapayang.

    3. Berdasarkan surat dari Dinas Perumahan No. 593.1.451-Disrum

    tanggal 24 Juni 2002, baru sebagian kecil yaitu 84 orang pengguna

    lahan sempadan Sungai Cikapundung yang dahulu dikelola oleh Dinas

    Perumahan diserahkan kepada Dinas Pengairan. Dari jumlah tersebut

    baru 3 (tiga) lokasi yang diperpanjang izinnya oleh Dinas Pengairan

    karena yang lainnya secara teknis bertentangan dengan peraturan

    perundangan pengairan.

    3. Kelembagaan

    Pelaksanaan pengembangan, pengusahaan, dan pemanfaatan sumber

    daya air sebagai tugas pemerintah di bidang pengelolaan sumber daya air

    dilakukan oleh perangkat daerah, yang dalam kasus Kota Bandung,

    dilakukan oleh Dinas Pengairan Kota Bandung yang dibentuk sejak tahun

    2001. Dinas Pengairan semula merupakan cabang dinas dari Dinas

    Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi DT I Jawa Barat sampai dengan

    tahun 1997. Kemudian, berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala DT I

    Jawa Barat No. 44 Tahun 1997, sebagian urusan pemerintahan bidang

    pengairan diserahkan dari Pemerintah DT I Provinsi Jawa Barat kepada

    Pemerintah DT II Kotamadya Bandung, yang kemudian ditindaklanjuti

    dengan dikeluarkannya Perda No. 5 dan No. 6 Tahun 1997 tentang

    Pembentukan Dinas Pekerjaan Umum Pengairan beserta Susunan

    Organisasi dan Tata Kerjanya.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    41/72

    33

    Kemudian, atas dasar UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

    Daerah, dilakukan penataan organisasi perangkat daerah melalui Perda

    No. 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Dinas

    Daerah Kota Bandung sehingga Dinas Pengairan terdiri dari 3 (tiga) Sub

    Dinas, masing-masing terdiri dari 3 (tiga) Seksi dan 1 (satu) Bagian Tata

    Usaha yang terdiri dari 4 (empat) Sub Bagian, dan untuk memudahkan

    pengamanan dan pemeliharaan aset dibentuk Koordinator Wilayah, yang

    nantinya akan ditingkatkan statusnya menjadi Cabang Dinas, dan

    ditambah dengan Unit Pelaksana Teknis Dinas dan Jabatan Fungsional.

    Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 2001, Dinas Pengairan Kota Bandung

    memiliki tugas pokok melaksanakan sebagian kewenangan daerah di

    bidang pekerjaan umum bidang pengairan. Fungsinya adalah:

    1. Merumuskan kebijakan teknis di bidang pekerjaan umum pengairan.

    2. Melaksanakan tugas teknis operasional di bidang pekerjaan umum

    pengairan yang meliputi pengelolaan dan konservasi sumber air,

    pembangunan dan peningkatan operasi dan pemeliharaan sarana

    pengairan.

    3. Melaksanakan pelayanan teknis administrasi umum, keuangan,

    kepegawaian, evaluasi, dan pelaporan dinas.

    Dalam hal pemberian izin hak pemanfaatan atas sumber daya air,

    Sebelum terbitnya Perda Kota Bandung No. 6 Tahun 2002 tentang

    Penyelenggaraan Pengairan, pemberian izin dilaksanakan oleh Dinas PU

    Pengairan Provinsi Jawa Barat dan Dinas Perumahan Kota Bandung.

    Setelah terbitnya Perda No. 6 Tahun 2002, secara bertahap, Dinas

    Pengairan Kota Bandung memperpanjang izin pemanfaatan lahan

    sempadan sungai/saluran dan kali mati yang telah diterbitkan oleh Dinas

    PU Pengairan Provinsi DT I Jawa Barat dan Dinas Perumahan Kota

    Bandung.

    Selain Dinas Pengairan, kelembagaan lain yang berkaitan dengan

    penyelenggaraan pengairan adalah kelembagaan perkumpulan petani

    pemakai air (P3A), yakni kelembagaan pengelolaan irigasi yang menjadi

    wadah petani pemakai air dalam suatu daerah pelayanan irigasi yang

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    42/72

    34

    dibentuk oleh petani pemakai air sendiri secara demokratis, termasuk

    lembaga lokal pengelola irigasi. Selain kelompok P3A, pengelolaan irigasi

    juga melibatkan komisi irigasi untuk mewujudkan keterpaduan

    pengelolaan sistem irigasi pada setiap provinsi dan kabupaten/kota. Di

    tingkat kabupaten/kota, komisi irigasi beranggotakan wakil pemerintah

    kabupaten/kota dan wakil non pemerintah yang meliputi wakil P3A

    dan/atau wakil kelompok pengguna jaringan irigasi dengan prinsip

    keanggotaan proporsional dan keterwakilan.

    3.3 Isu-Isu Strategis dalam Penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya Air

    dan Retribusi Pengelolaan Sumber Daya Air di Kota Bandung

    1. Isu Strategis dalam Penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya Air

    Filosofi pengaturan penyelenggaraan pengairan adalah pengendalian

    dalam rangka pelestarian sumber-sumber air untuk mendukung berbagai

    macam kebutuhan kelangsungan kehidupan masyarakat, sedangkan

    retribusi sebagai bahan masukan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD)

    yang hanya merupakan dampak dari adanya kegiatan pengendalian

    tersebut.

    Sejumlah isu strategis yang terkait dengan penyelenggaraan pengairan di

    Kota Bandung, khususnya menyangkut tentang perizinan adalah sebagai

    berikut:

    1. Izin Pemanfaatan Lahan Sempadan dan Kali Mati

    Perlunya pemisahan atau pembedaan perlakuan pengaturan terhadap

    izin pemanfaatan lahan sempadan dengan izin pemanfaatan lahan

    bekas sungai/kali mati. Hal ini didasarkan pada kondisi umum, bahwa

    kali mati mempunyai bentuk yang tidak teratur yaitu sangat bergantung

    pada kondisi eksisting sebelum adanya perubahan alur dan pada

    umumnya mempunyai tingkat hunian terbangun yang sangat tinggi.

    Selain itu, permasalahan juga muncul akibat belum adanya konsep

    yang jelas dari pemerintah kota mengenai peruntukannya, termasuk

    penetapan mengenai berapa persentase muka sungai/saluran yang

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    43/72

    35

    diperbolehkan ditutup (bukan bangunan rumah hunian atau tempat

    kegiatan ekonomi lainnya) untuk dimohonkan perizinannya.

    2. Perubahan alur sungai

    Pengaturan mengenai perubahan alur sungai/saluran oleh masyarakat

    seringkali dilakukan tanpa melalui prosedur perizinan yang didahului

    dengan rekomendasi teknis. Perubahan alur ini menimbulkan

    konsekuensi pada status tanahnya, apakah terjadi perubahan akibat

    tukar menukar atau pembebasan lahan) dan institusi mana saja yang

    perlu terlibat dalam proses ini, dengan prinsip pengamanan aset.

    3. Penetapan garis sempadan sungai/saluran

    Selama ini masih belum jelas dasar penetapan garis sempadan

    sungai/saluran, apakah harus didasarkan pada besaran debit air atau

    lebar dan kedalaman sungai/saluran. Terdapat perbedaan pengaturan

    soal sempadan sungai antara provinsi dengan kabupaten/kota soal

    luas sempadan (dalam Perda Provinsi, garis sempadan diatur

    sepanjang 10 meter, sedangkan di kabupaten/kota 5 meter).

    4. Pelimpahan urusan dalam hal perizinan

    Kajian mengenai kemungkinan adanya pelimpahan atau penyerahan

    sebagian urusan pengambilan atau pemanfaatan air permukaan

    (kewenangan pemberian izin), kecuali di sembilan ruas sungai yang

    menjadi kewenangan provinsi (berdasarkan Surat Kepala Dinas

    Pengelola Sumber Daya Air No. 974/275/BM-PSDA/2002 tanggal 28

    Februari 2002).

    5. Klarifikasi dalam pengaturan perizinan pembuangan air buangan untuk

    pabrik dan kegiatan ekonomi lainnya, seperti mall, restoran/rumah

    makan, dan sebagainya, termasuk penetapan tarif retribusinya.

    Klasifikasi izin lintasan juga bermasalah karena pada praktiknya ada

    banyak lintasan yang luasnya lebih dari 30 m. Setiap kegiatan

    perkuatan tepian/tanggul/keermur, perubahan alur dan pengerukan,

    pembangunan lintasan hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat

    izin dan saran teknis dari Dinas Pengairan. Izin perubahan alur,

    perkuatan tanggul/keermur, pengerukan, pembangunan atau

    pemanfaatan lintasan berlaku untuk satu kali kegiatan.

    6. Pencabutan izin.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    44/72

    36

    Setiap izin dapat dicabut karena:

    a. Pemegang izin menyerahkan kembali izin yang diberikan.

    b. Pemegang izin melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang

    tercantum dalam izin (yang berlaku) dan tidak melaksanakan

    perbaikan terhadap pelanggaran tersebut setelah mendapat

    petunjuk atau teguran dari pemberi izin (dalam hal ini, Dinas

    Pengairan).

    7. Larangan-larangan dan sanksi-sanksi yang perlu mendapat perhatian:

    a. Pencemaran ke dalam sungai atau saluran (limbah, sampah,

    dan/atau polutan lainnya).

    b. Mendirikan bangunan pada sempadan dan/atau badan sungai

    untuk hunian dan kegiatan usaha,

    c. Mempersempit alur/badan sungai/saluran.

    d. Menutup/meng-urugatau merubah alur sungai.

    e. Mendirikan atau menempatkan atau menyimpan wadah/keramba

    untuk penangkaran dan/atau pembudidayaan ikan dan sejenisnya

    di sungai/saluran.

    2. Isu Strategis dalam Retribusi Pengelolaan Sumber Daya Air

    Penetapan retribusi merupakan konsekuensi logis dari izin yang diberikan

    yang perhitungannya didasarkan pada luasan sungai/saluran terbangun

    baru, termasuk sempadannya. Sejumlah isu strategis yang terkait dengan

    pelaksanaan retribusi pengairan, antara lain:

    1. Retribusi hanya dikenakan kepada pemanfaat lintasan (jalan masuk,

    jembatan, utilitas); lahan sempadan; lahan bekas kali/kali mati;

    pembuangan air buangan; perubahan alur dan pengerukan yang telah

    memiliki izin.

    Format permohonan izin dan format-format izin, dan cara/sistem

    penagihan yang efisien dan efektif, termasuk kemungkinan adanya

    tarif atau retribusi izin dalam rangka menekan kemungkinan adanya

    kolusi atau pungli. Izin perubahan alur dikenakan retribusi untuk satu

    kali pemungutan pada waktu izin diberikan.

    2. Retribusi sebagai alat pengendalian dan penertiban pemanfaatan

    sumber daya air.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    45/72

    37

    Setiap pemegang izin yang tidak membayar retribusi dan/atau tidak

    didaftar ulang atau diperpanjang dalam jangka waktu yang telah

    ditentukan akan diberikan teguran dan ditindaklanjuti dengan

    penertiban apabila teguran tidak diindahkan. Tindakan penertiban

    dapat berupa pembongkaran lintasan, larangan aktivitas di atas lahan

    disertai pengusiran dari lokasi, penutupan saluran buangan, dan izin

    dinyatakan tidak berlaku lagi (dicabut).

    Setiap keterlambatan pembayaran retribusi, daftar ulang atau

    perpanjangan akan dikenakan denda (jangka waktu permohonan

    perpanjangan/daftar ulang juga harus tercantum di dalam izin).

    3. Besaran retribusi.

    Segala biaya yang diperlukan dalam kegiatan perubahan alur dan

    lintasan seluruhnya menjadi beban tanggung jawab pemohon izin,

    termasuk biaya pengawasan teknis.

    3.4 Arah Kebijakan Penyelenggaraan Pengelolaan Sumber Daya Air di Kota

    Bandung

    Adanya pergeseran nilai air dari sumber daya milik bersama (public goods)

    yang melimpah dan dapat dikonsumsi tanpa biaya, menjadi sumberdaya

    ekonomi (economics goods) yang mempunyai fungsi sosial, terjadinya

    kerawanan ketersediaan air secara nasional, adanya persaingan

    pemanfaatan air antara irigasi dengan penggunaan oleh sektor-sektor lain,

    dan konversi lahan beririgasi untuk kepentingan lainnya, memerlukan adanya

    kebijakan pengelolaan irigasi yang efektif, sehingga keberlanjutan sistem

    irigasi dan hak-hak atas air bagi semua pengguna dapat terjamin.

    Berdasarkan kondisi tersebut, serta dengan mempertimbangkan potensi

    pengairan di Kota Bandung, maka kebijakan penyelenggaraan pengairan

    diarahkan untuk menjawab isu-isu strategis yang meliputi:

    1. Pengelolaan irigasi dengan melibatkan perkumpulan petani pemakai

    air

    Berdasarkan prinsip satu irigasi satu kesatuan pengelolaan, Pemerintah

    Kota menyerahkan kewenangan pengelolaan irigasi yang meliputi operasi

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    46/72

    38

    dan pemeliharaan, pengamanan, rehabilitasi, dan peningkatan jaringan

    irigasi untuk satu sistem irigasi kepada perkumpulan petani pemakai air,

    dengan tanpa penyerahan kepemilikan aset jaringan irigasi. Pemerintah

    Kota melakukan fasilitasi di bidang bantuan teknis dan pembiayaan sesuai

    dengan permintaan dari perkumpulan petani pemakai air dengan

    memperhatikan prinsip kemandirian.

    Pemberdayaan petani pemakai air merupakan upaya mewujudkan

    kelembagaan perkumpulan petani pemakai air yang otonom, mandiri,

    mengakar di masyarakat, bersifat sosial-ekonomi, budaya, dan

    berwawasan lingkungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan para

    anggotanya, serta memberikan kemudahan dan peluang kepada anggota

    perkumpulan petani air untuk secara demokratis membentuk

    organisasi/unit usaha ekonomi di tingkat usaha tani sesuai dengan

    pilihannya, sehingga dapat mewakili kepentingan seluruh anggotanya

    untuk berhubungan dengan pihak luar, seperti koperasi, usaha kecil, dan

    lain-lain, menyalurkan aspirasi dalam memanfaatkan sumber daya

    produksi termasuk sumber daya air dan pengelolaan irigasi.

    Pengelolaan irigasi selain dimaksudkan untuk menyediakan air bagi

    tanaman sebagai tujuan utama, perlu pula diperhatikan kebutuhan air

    untuk keperluan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-

    hari, perikanan air tawar, dan penggelontoran daerah permukiman. Untuk

    penanggulangan bahaya kebakaran, masyarakat selalu diperkenankan

    menggunakan air yang berada pada saluran-saluran irigasi, karena hal ini

    dianggap merupakan suatu keharusan untuk mengatasi bahaya yang

    ditimbulkan oleh kebakaran tersebut demi pengamanan dan

    kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan ataupun yang berada di

    sekelilingnya.

    Terkait dengan perkembangan dan dinamika kehidupan sosial, budaya,

    dan ekonomi masyarakat di Kota Bandung, jaringan irigasi dapat

    dimanfaatkan untuk transportasi, usaha perikanan, dan usaha lainnya

    dengan ketentuan tidak menghambat aliran, menurunkan kualitas air,

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    47/72

    39

    tidak merusak jaringan irigasi beserta tanah turutannya, setelah mendapat

    persetujuan perkumpulan petani pemakai air dan menaati peraturan yang

    ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

    Inventarisasi daerah irigasi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi fisik

    jaringan, lembaga pengelola, dan potensi daerah irigasi. Inventarisasi ini

    dijadikan sebagai dasar perencanaan pengelolaan irigasi dan evaluasi

    manajemen aset. Pemerintah Kota melakukan inventarisasi daerah irigasi

    yang menjadi tanggung jawabnya dan daftar inventarisasi kemudian

    ditetapkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan

    kewenangannya.

    2. Pengelolaan Sungai

    Sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumber daya alam yang

    mempunyai fungsi serbaguna bagi kehidupan dan penghidupan manusia.

    Sungai harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan

    kemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.

    Pengelolaan sungai perlu diarahkan pada upaya pembenahan garis

    sempadan sungai; pengaturan daerah di antara dua garis sempadan

    sungai yang ditetapkan sebagai daerah manfaat sungai dan daerah

    penguasaan air; serta pengaturan bekas sungai.

    Penataan lahan sempadan sungai yang diperlukan untuk kepentingan

    pemeliharaan sungai, penambahan ruang terbuka hijai ataupun

    konservasi dalam mengurangi erosi atau sedimentasi, khususnya pada

    daerah pinggiran sungai yang sudah banyak berdiri bangunan perlu

    ditunjang oleh sejumlah kebijakan, antara lain menyangkut rencana

    ukuran/dimensi rencana normalisasi untuk penetapan sempadan.

    Demikian pula, besaran garis sempadan tiap sungai/saluran hasil

    penetapan tersebut merupakan dasar hukum untuk proses lebih lanjut,

    antara lain menyangkut perizinan, luasa yang harus diamankan dari

    bangunan, pembuatan jalan inspeksi termasuk penanaman pohon yang

    berfungsi sebagai ruang terbuka hijau, serta pekerjaan fisik, seperti

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    48/72

    40

    normalisasi badan sungai/saluran, termasuk bangunan pelengkap lainnya

    seperti kirmir, jalan inspeksi/bangunan pengendap sedimen, dan lain-lain.

    Upaya memelihara kualitas air, antara lain kebersihan kawasan sekitar

    sungai dan kejernihan air, tidak hanya dilakukan melalui kebijakan relokasi

    bangunan di atas sempadan air atau mengubah arah bangunan-bangunan

    tersebut sehingga menghadap ke muka sungai, tapi lebih banyak

    diupayakan melalui pengendalian pemanfaatan air melalui perizinan bagi

    penggunaan sempadan sungai.

    3. Pengaturan perizinan hak atas air dan retribusinya

    Pengaturan hak atas air diwujudkan melalui penetapan hak guna air, yakni

    hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk

    berbagai keperluan. Hak guna air dengan pengertian tersebut bukan

    merupakan hak pemilikan atas air, tetapi hanya terbatas pada hak untuk

    memperoleh dan memakai atau mengusahakan sejumlah (kuota) air

    sesuai dengan alokasi yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pengguna

    air, baik untuk yang wajib memperoleh izin maupun yang tidak wajib izin.

    Pemerintah Kota Bandung memiliki kewenangan dan tanggung jawab

    pengelolaan sumber daya air tersebut termasuk mengatur, menetapkan,

    dan memberi izin atas peruntukan, penyediaan, penggunaan, dan

    pengusahaan sumber daya air pada wilayah sungai dengan tetap dalam

    kerangka konservasi dan pengendalian daya rusak air.

    Perizinan dan retribusi bagi pemanfaatan hak atas air merupakan

    mekanisme pengendalian untuk memelihara keseimbangan penggunaan

    air serta menjaga kualitas air agar tersedia secara berkesinambungan.

    Pengambilan air tanah dalam jumlah berlebihan oleh industri, gedung-

    gedung tinggi, dan rumah-rumah mewah, misalnya untuk kolam renang

    pribadi, dan sebagainya selain berpengaruh terhadap pemerataan

    pemanfaatan/pasokan air kepada para penggunanya, pada akhirnya juga

    akan menimbulkan pencemaran badan air setelah digunakan.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    49/72

    41

    Dampak yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan rumah tangga maupun

    industri telah menyebabkan kualitas lahan basah telah menjadi tidak layak

    bagi berbagai kehidupan akuatik maupun bagi konsumsi manusia. Dalam

    beberapa hal, pencemaran berupa unsur hara yang

    tertampung/terakumulasi di dalam habitat lahan basah dapat

    menyebabkan adanya pertumbuhan berbagai jenis plankton dan

    tumbuhan seperti eceng gondok dalam jumlah besar yang sulit terkontrol.

    Akibat dari kondisi semacam ini, yang disebabkan oleh ulah manusia

    adalah pendangkalan, turunnya kualitas maupun kuantitas air dan akibat

    lebih jauh adalah berupa hilangnya lahan basah sebagai pemasok air

    menjadi daratan.

    Perizinan penggunaan dan pemanfaatan air dirasakan belum menjamin

    kontrol pemerintah terhadap penggunaan fasilitas air permukaan karena

    kurangnya penegakan hukum. Agar retribusi penyelenggaran pengairan

    dapat memberikan kontribusi lebih baik pada PAD maka sebaiknya

    dihubungkan dengan pengaturan tentang pajak air. Artinya, masyarakat

    dan badan usaha yang dikenakan pajak hanya yang mempunyai izin.

    Sedangkan yang tidak memiliki izin diwajibkan mengurus terlebih dahulu

    surat izinnya, baru kemudian diperbolehkan untuk beroperasi kembali.

    Berdasarkan UU 32/2004 Peraturan Daerah tertentu yang mengatur pajak

    daerah, retribusi daerah, APBD, perubahan APBD dan tata ruang,

    berlakunya melalui tahapan evaluasi oleh Pemerintah. Hal itu ditempuh

    dengan pertimbangan antara lain untuk melindungi kepentingan umum,

    menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-

    undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan Daerah lainnya, terutama

    peraturan daerah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.

    UU 34/2000 mengatur denga jelas bahwa untuk dapat dipungut pada

    suatu daerah, setiap jenis retribusi daerah harus ditetapkan dengan

    peraturan daerah. Hal ini berarti untuk dapat ditetapkan dan dipungut

    pada suatu daerah kota, harus terlebih dahulu ditetapkan peraturan

    daerah tentang retribusi daerah tersebut.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    50/72

    42

    Peraturan daerah tentang retribusi daerah sekurang-kurangnya mengatur

    ketentuan mengenai hal sebagai berikut:

    a. Nama, objek dan subjek retribusi.

    b. Golongan retribusi.

    c. Cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan.

    d. Prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif

    retribusi. Ketentuan ini ditujukan agar pemerintah daerah menyatakan

    kebijakan yang dianut dalam menetapkan tarif retribusi sehingga

    kebijakan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat.

    e. Struktur dan besarnya tarif retribusi.

    f. Wilayah pemungutan.

    g. Tata cara pemungutan. Kententuan ini termasuk mengatur penentuan

    cara pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaaan

    pembayaran.

    h. Sanksi administrasi.

    i. Tata cara penagihan retribusi.

    j. Tanggal mulai berlakunya retribusi.

    Selain ketentuan pokok di atas, peraturan daerah tentang suatu retribusi

    daerah dapat mengatur ketentuan mengenai beberapa hal lainnya,

    sebagai berikut:

    a. Masa retribusi

    b. Pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal

    tertentu atas pokok retribusi dan atau sanksinya. Pengurangan dan

    keringanan dikaitkan dengan kemampuan wajib retribusi membayar

    retribusi yang dikenakan kepadanya.

    c. Tata cara penghapusan piutang retribusi yang kedaluarsa.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    51/72

    43

    Berdasarkan hal tersebut maka Peraturan Daerah yang mengatur

    mengenai Retribusi Pengelolaan Sumber Daya Air diatur terpisah dari

    Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.

    4. Penataan jaringan drainase perkotaan, pencegahan, dan

    penanggulangan akibat bencana alam banjir

    Masalah pengendalian banjir sebagai bagian dari upaya pengelolaan

    pengelolaan sumberdaya air, sering mendapatkan hambatan karena

    adanya pemukiman padat di sepanjang sungai yang cenderung

    mengakibatkan terhambatnya aliran sungai karena banyaknya sampah

    domestik yang dibuang ke badan sungai sehingga mengakibatkan

    berkurangnya daya tampung sungai untuk mengalirkan air yang datang

    akibat curah hujan yang tinggi di daerah hulu.

    Dalam mengatasi bencana banjir, dapat dilakukan melalui upaya struktur

    maupun non struktur. Upaya struktur pada dasarnya merupakan kegiatan

    untuk memodifikasi kondisi alam, dapat berupa pembuatan waduk,

    tanggul banjir, waduk retensi air, polder; normalisasi alur sungai, drainase

    lingkungan; dan pengadaan pompa air banjir. Upaya non struktur yang

    terkait dengan pengaturan kegiatan manusia, dapat berupa penataanruang di dataran banjir maupun di Daerah Aliran Sungai (DAS); prakiraan

    dan peringatan dini akan terjadinya bajir; evakuasi terhadap korban banjir;

    konservasi air dan tanah di DAS; flood proofing; memberikan penyuluhan

    mengenai pemeliharaan lingkungan; melakukan penegakan hukum terkait

    dengan perizinan pemanfaatan hak atas air; melaksanakan pengentasan

    kemiskinan agar tidak melakukan pengrusakan di sekitar sungai; serta

    harmonisasi dengan lingkungan, misalnya dengan pembuatan rumah

    panggung atau penanaman jenis tanaman yang tahan terhadap

    genangan.

    5. Pengembangan sistem informasi sumber daya air

    Agar dapat menyusun rencana tata guna air yang lebih baik, diperlukan

    data dan informasi yang lengkap dan akurat. Namun, hingga saat ini

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    52/72

    44

    belum ada sistem nasional dengan satu kerangka kerja yang seragam

    untuk mengumpulkan, menyeleksi, mengolah, mengevaluasi, dan

    menyajikan data dan informasi sumber daya air. Data dan informasi masih

    tersebar di berbagai sektor, disiplin ilmu, lembaga, perguruan tinggi, di

    daerah, di pusat, swasta, perseorangan, di proyek-proyek, dan

    sebagainya. Bentuk dan format data juga beraneka ragam karena disusun

    sesuai dengan tuntutan tugas pokok masing-masing institusi yang

    bersangkutan.

    Kondisi ini tentunya merugikan pembangunan sistem pengairan, karena

    itu, perlu dibangun sistem informasi sumber daya air sebagai jaringan

    informasi sumber daya air yang tersebar dan dikelola oleh berbagai

    institusi. Jaringan informasi sumber daya air tersebut harus dapat diakses

    oleh berbagai pihak yang berkepentingan dalam bidang sumber daya air.

    Pemerintah Kota Bandung menyelenggarakan kegiatan pengelolaan

    sistem informasi sumber daya air yang meliputi kondisi hidrologis,

    hidrome-teorologis, hidrogeologis, kebijakan sumber daya air, prasarana

    sumber daya air, teknologi sumber daya air, lingkungan pada sumber

    daya air dan sekitarnya, serta kegiatan sosial ekonomi dan budaya

    masyarakat yang terkait dengan sumber daya air.

    Untuk melaksanakan kegiatan penyediaan informasi tersebut, seluruh

    instansi pemerintah, di tingkat nasional, provinsi maupun kota bersama-

    sama dengan badan hukum, organisasi, dan lembaga serta perseorangan

    yang melaksanakan kegiatan berkaitan dengan sumber daya air

    menyampaikan laporan hasil kegiatannya kepada instansi pemerintah

    Kota Bandung yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya

    air.

  • 8/7/2019 pengkajian_perubahan_perda

    53/72

    45

    BAB IV

    URGENSI PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH TENTANG

    PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI KOTA BANDUNG

    4.1 Landasan Pemikiran dan Urgensi Pembentukan Peraturan Daerah

    Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air di Kota Bandung

    Pembahasan mengenai pengelolaan sumber daya alam tidak bisa lepas dari

    pembahasan mengenai kewenangan pengelolaan, yang dalam hal ini diatur

    oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah