Upload
others
View
12
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PENGUKURAN KESENJANGAN DIGITAL DI DINAS PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN
KABUPATEN TAPANULI SELATAN
TESIS
Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mendapatkan gelar Magister Chief Information Officer
Oleh: SYARIF HIDAYATULLAH
NIM. 1108470
PROGRAM MAGISTER CHIEF INFORMATION OFFICER FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2013
iii
Measurement of Digital Divide in the Plantation and Animal Husbandry Unit of Tapanuli Selatan Regency
ABSTRACT
The rapid progress of informational technology and its potential advantages at the time give the chance of information to be accessed, mined, and used in a huge volume in a fast and accurate way. Incapability in adapting to the information technology advancement can create a digital divide for Indonesia.
The objective of the research is to attain information about the level of digital divide occurring among the public servants (human resources) and the situation of digital divide among the human resources and then compiling strategies to reduce the digital divide among the human resources in government sector. The research is conducted in the Plantation and Animal Husbandry Unit of Tapanuli Selatan Regency. The output of the research is expected to be attributable to disseminating Information and Communication Technology (ICT) in Indonesia. In addition, efforts to reducing the digital divide proposed can help maximize the implementation of e-government program particularly in terms of human resources. It is a description research by applying a quantitative approach, which involves 43 respondents. The research instrument applied refer indicators SIBIS GPS (2002) which is adapted to the scope of research, namely individuals or human resources.
The output of the digital divide (ICT access divide and ICT skills divide) measurement shows the level of digital divide among the human resources approaches a medium digital divide. Meanwhile, the conditions of digital divide according to age, income, and education group give a significant account to the degree of digital divide among the human resources. On the other hand, sex shows less significance to it. According to this study, for the digital divide to be reduced in the Plantation and Animal Husbandry Unit of Tapanuli Selatan Regency, it is highly recommended to reduce the digital divide, in line with implementation of e-government program, by applying strategies comprising of two steps, namely giving motivation in using ICT and providing ICT training for the decision makers and public servants.
Key words: digital divide, human resources, ICT, e-government, SIBIS GPS
iii
ABSTRAK
Kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat saat ini serta potensi pemanfaatannya secara luas, membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan, dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar secara cepat dan akurat. Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi informasi akan membawa Indonesia ke dalam jurang kesenjangan digital (digital divide).
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar Sumber Daya Manusia (SDM) dan kondisi kesenjangan digital yang terjadi antar SDM, kemudian menyusun strategi untuk mengurangi kesenjangan digital antar SDM dalam pemerintahan. Penelitian ini dilakukan di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Selatan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk pemerataan TIK di Indonesia. Selanjutnya upaya pengurangan kesenjangan digital yang diusulkan dapat membantu memaksimalkan penerapan e-government terutama dari sisi SDM. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 43 orang. Instrumen penelitian yang dibuat mengacu pada indikator SIBIS GPS (2002) dengan modifikasi sesuai dengan lingkup penelitian yaitu individu atau SDM.
Hasil dari pengukuran kesenjangan digital yang telah dilakukan dalam penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesenjangan digital (kesenjangan akses TIK dan kesenjangan kemampuan TIK) antar SDM berada pada kategori sedang, sementara kondisi kesenjangan digital berdasarkan faktor kelompok usia, penghasilan, pendidikan pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat kesenjangan digital antar SDM, sementara jenis kelamin tidak cukup signifikan memberikan pengaruh terhadap tingkat kesenjangan digital. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka untuk mengurangi kesenjangan digital antar SDM di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan diusulkan strategi pengurangan kesenjangan digital bagi pegawai pemerintah sejalan dengan penerapan e-government yang terdiri dari dua bagian yaitu pemberian motivasi dalam menggunakan TIK dan pelatihan TIK terhadap pembuat keputusan dan pegawai. Kata-Kata Kunci: Kesenjangan Digital, SDM, e-government, SIBIS GPS
iv
PERSETUJUAN AKHIR TESIS
Mahasiswa : Syarif Hidayatullah
NIM : 1108470
Program Studi : Magister (S2) CIO
MENYETUJUI
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Ganefri, M.Pd, Ph.D Dr. M. Giatman, MSIE NIP. 19631217 198903 1 003 NIP.
PENGESAHAN Dekan Fakultas Teknik Ketua Pascasarjana FT, Universitas Negeri Padang Drs. Ganefri, M.Pd, Ph.D Prof. Dr. Nizwardi Jalinus, M.Ed NIP. 19631217 198903 1 003 NIP. 19520822 197710 1 001
v
PERSETUJUAN KOMISI UJIAN TESIS MAGISTER CHIEF INFORMATION OFFICER
Dipertahankan di depan Panitia Penguji Tesis Program Magister Chief Information Officer (CIO)
Program Pascasarjana Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang Tanggal : 10 April 2013
No. Nama Tanda Tangan
1 Drs. Ganefri, M.Pd, Ph.D (Ketua/Pembimbing I/Penguji)
2 Dr. M. Giatman, MSIE (Sekretaris/Pembimbing II/Penguji)
3 Drs. Syahril ST, M.Eng, Ph.D (Anggota)
4 Muhammad Adri, S.Pd, MT (Anggota)
5 Donny Novaliendry, M.Kom
(Anggota)
Padang, 10 April 2013 Program Magister Chief Information Officer (CIO)
Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang Ketua,
Dr. Fahmi Rizal, M.Pd, MT NIP. 19591204 198503 1 004
vi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya, tesis dengan judul “Pengukuran Kesenjangan Digital Di
Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Selatan” adalah asli
dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar akademik, baik di
Universitas Negeri Padang maupun di Perguruan Tinggi lainnya;
2. Karya tulis ini murni dari gagasan, penilaian dan rumusan saya sendiri, tanpa
bantuan tidak sah dari pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing;
3. Di dalam tulisan ini tidak terdapat hasil karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali dikutip secara tertulis dengan jelas dan
dicantumka pada daftar pustaka;
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran pernyataan ini maka saya
bersedia menerima sanksi akademik, berupa pencabutan gelar yang telah saya
peroleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma dan
ketentuan hukum yang berlaku.
Padang, Maret 2013
Saya yang menyatakan,
Syarif Hidayatullah NIM. 1108470
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Dalam penelitian ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada: 1. Kementerian Komunikasi dan Informatika khususnya Badan Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia yang telah memberikan biaya pendidikan sampai selesainya penulisan tesis ini;
2. Drs. Ganefri, M.Pd, Ph.D dan Dr. M. Giatman, MSIE selaku pembimbing I dan Pembimbing II yang telah membantu penulis dalam memberikan arahan dan dukungan sehingga penelitian tesis ini dapat diselesaikan;
3. Drs. Syahril ST, M.Eng, Ph.D, Muhammad Adri, S.Pd, MT dan Donny Novaliendry, M.Kom selaku Kontributor, Penguji I dan Penguji II yang memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan tesis ini;
4. Kepala Dinas Pekebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan beserta seluruh staf dan jajarannya yang membantu serta bersedia menjadi responden penelitian ini;
5. Ayahanda Guru Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Yayasan Jabal Qubis Tanjung Morawa Medan “ Saidi Ghazali An-Naqsyabandi” atas bimbingan Ruhaniyahnya;
6. Bapak (Alm.), Ibu, Mertua, Istri tercinta Devi Irahmadani Gianta, SH dan putriku tersayang Naura Assyifa Syarif serta seluruh keluarga dan teman-teman mahasiswa Program Magister Chief Information Officer (CIO) Angkatan 2011 yang telah berpartisipasi memberikan bantuan baik moril maupun materil, dan doanya kepada penulis dalam penyelesaian penelitian ini.
Peneliti berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan ke depan.
Padang, April 2013
Peneliti
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
ABSTRACT ......................................................................................................... ii
ABSTRAK .......................................................................................................... iii
PERSETUJUAN AKHIR TESIS ........................................................................ iv
PERSETUJUAN KOMISI .................................................................................. v
SURAT PERNYATAAN .................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 8
C. Pembatasan Masalah .................................................................... 9
D. Perumusan Masalah .................................................................... 10
E. Tujuan Penelitian ........................................................................ 10
F. Manfaat Penelitian ...................................................................... 11
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori ................................................................................ 12
1. Definisi Kesenjangan Digital ................................................. 12
2. Konsep Kesenjangan Digital ................................................. 14
x
3. Kesenjangan Digital di Indonesia ....................................... 18
4. Penyebab Terjadinya Kesenjangan Digital ........................... 25
5. Digital Divide dan Kaitannya dengan e-Government ............ 27
6. E-Government ....................................................................... 29
7. Definisi Digital Immigrant dan Digital Natives ................... 35
8. Teknologi Informasi dan Komunikasi ................................... 39
9. Metode Pengukuran Kesenjangan Digital ............................. 41
10. Profil Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapsel .......... 46
B. Kajian Penelitian Yang Relevan ................................................. 53
C. Kerangka Konseptual ................................................................. 55
D. Pertanyaan Penelitian ................................................................. 56
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ........................................................................... 57
B. Definisi Operasional ................................................................... 58
C. Populasi dan Sampel ................................................................... 58
D. Pengembangan Instrumen .......................................................... 59
E. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 61
F. Teknik Analisis Data .................................................................. 62
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ............................................................................ 67
B. Jawaban Pertanyaan Penelitian ................................................... 77
C. Pembahasan ................................................................................ 85
1. Tingkat Kesenjangan Digital dari Aspek Akses TIK .......... 85
2. Tingkat Kesenjangan Digital dari Aspek Kemampuan TIK 89
xi
3. Tingkat Kesenjangan Digital dari Aspek Demographic ..... 90
4. Strategi Pengurangan Kesenjangan Digital ......................... 95
BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan ............................................................................... 102
B. Implikasi ................................................................................... 103
C. Saran ......................................................................................... 104
DAFTAR RUJUKAN
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Komposisi SDM Berdasarkan Latar Pendidikan ........................................ 6
2. Telekomunikasi dan Broadband di Asia ....................................................... 20
3. Kelompok Beresiko yang menjadi fokus DIDIX ..................................... 42
4. Perbandingan Metode Pengukuran DIDIX dan SIBIS ............................. 45
5. Data Teknologi yang ada saat ini .............................................................. 50
6. Strategi dan Program Kerja ....................................................................... 52
7. Distribusi Sampel ...................................................................................... 59
8. Instrumen Pengukuran Kesenjangan Digital ............................................ 60
9. Ringkasan Uji Validitas Kuisioner ........................................................... 66
10. Ringkasan Uji Reliabilitas Kuisioner ........................................................ 67
11. Data Penggunaan Komputer ..................................................................... 68
12. Data Kepemilikan Komputer .................................................................... 70
13. Data Penggunaan Internet ......................................................................... 72
14. Data Kepemilikan Akses Internet di Rumah ............................................ 74
15. Data Kemampuan TIK .............................................................................. 76
16. Data Kesenjangan Akses TIK .................................................................. 78
17. Data Kesenjangan Kemampuan TIK ........................................................ 81
18. Kurikulum Pelatihan untuk Pembuat Keputusan ..................................... 98
19. Kurikulum Pelatihan untuk Pegawai tidak Memiliki kemampuan TIK . 100
20. Kurikulum Pelatihan untuk Pegawai Memiliki Kemmpuan TIK ........... 100
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Konsep E-Government ............................................................................... 32
2. Kerangka Konseptual Penelitian ................................................................ 55
3. Diagram Indeks Kesenjangan Digital……................................................83
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Uji Validitas dan Reliabilitas Kesenjangan Digital ................................ 109
2. Frekuensi Data Kesenjangan Digital ....................................................... 112
3. Tabulasi Data Hasil Penelitian ................................................................ 115
4. Data Penggunaan Komputer ................................................................... 116
5. Data Kepemilikan Komputer .................................................................. 117
6. Data Penggunaan Internet ....................................................................... 118
7. Data Kepemilikan Akses Internet di Rumah .......................................... 119
8. Data Kemampuan TIK ............................................................................ 120
9. Kuisioner Penelitian ................................................................................ 121
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu sektor industri yang sedang berkembang pesat saat ini adalah
sektor industri di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi. Berbagai
bidang kehidupan masyarakat di Indonesia mulai terkena dampak global di
bidang kemajuan teknologi terkini. Tidak bisa dipungkiri jika setiap individu
mulai berlomba untuk mendapatkan akses yang murah, cepat, dan efisien.
Hal di atas didukung dengan harga komputer, laptop, handphone kaya
fitur, modem internet, serta layanan internet semakin murah di tengah kondisi
masyarakat yang haus akan teknologi. Teknologi informasi dan
telekomunikasi, keduanya saling mendukung dan melengkapi untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini. Namun, kondisi ini
memunculkan masalah baru ditingkat pemerataan penggunaan layanan
teknologi informasi dan komunikasi yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Euforia penggunaan layanan tersebut masih dirasakan hanya di sebagian
penjuru kota-kota besar di Indonesia, hal inilah yang sebenarnya
memunculkan istilah kesenjangan digital (Sembiring, 2011).
Kesenjangan digital mengacu pada kesenjangan atau jurang yang
menganga di antara mereka yang dapat mengakses teknologi informasi (TI)
dan mereka yang tidak dapat melakukannya. Kesenjangan digital bisa berupa
kesenjangan yang bersifat fisik (tidak mempunyai akses terhadap komputer
dan perangkat TI lain) atau kesenjangan yang bersifat kemampuan dalam
menggunakan TIK yang diperlukan untuk dapat berperan serta sebagai warga
digital (Choi, 2004). Jika pembagian mengarah ke kelompok, maka
kesenjangan digital dapat dikaitkan dengan perbedaan sosial-ekonomi,
generasi, atau geografis (Chen dan Wellman, 2003). Sejalan dengan
berkembangnya dan makin tidak terpisahkannya internet dengan TI, maka
kesenjangan digital mencakup juga ketakseimbangan akses terhadap dunia
maya. Jadi, kesenjangan digital sebenarnya mencerminkan beragam
2
kesenjangan dalam pemanfaatan telematika dan akibat perbedaan
pemanfaatannya dalam suatu negara dan/atau antar Negara. Kesenjangan
digital menjadi perhatian penting di berbagai negara untuk mewujudkan
pemerataan pembangunan di bidang teknologi informasi, salah satunya yaitu
di Indonesia.
Kondisi kesenjangan digital di Indonesia digambarkan oleh data yang
dilaporkan UNDP (United Nations Development Programme) dalam
Himpunan Hasil Penelitian Kementerian Komunikasi dan Informatika Badan
Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) tahun 2005-
2008, dimana Indonesia pada tahun 2005 berada pada posisi 51 dari 104
negara dalam indeks kesiapan jaringan (Network Readiness Index) dan berada
pada urutan 110 dari 177 Negara dalam hal Indeks Kualitas SDM (Human
Development Index) yang jauh lebih rendah dibandingkan Negara Malaysia
(rangking 61). Fakta lain yang menunjukkan Indonesia masih mengalami
kesenjangan digital adalah data pada tahun 2010, dimana Indonesia berada
pada peringkat 65 dengan skor 3.60 dari skala 10 untuk indikator kemampuan
memanfaatkan TIK dalam pembangunan ekonomi (The Economist
Intelligence Unit, 2010), sementara data dari Internet World Stats (2011),
menunjukkan jumlah pengguna internet di Indonesia sebesar 55 juta jiwa
dengan persen penetrasi 22,4% dari populasi penduduk Indonesia yang
hampir 250 juta jiwa.
Masalah kesenjangan digital di Indonesia sebenarnya banyak dihadapi
oleh masyarakat yang hidup di daerah terpencil dengan di perkotaan.
Indonesia merupakan negara yang memiliki beribu-ribu pulau yang
menyulitkan penyebaran informasi dengan cepat. Padahal, pada saat ini
informasi merupakan salah satu aset yang memiliki peranan penting dalam
seluruh sendi kehidupan (Faruqi, 2007).
Masalah di atas diperkuat oleh Sembiring (2011) yang menyatakan
bahwa, Indonesia masih menghadapi kesenjangan digital antara pusat dan
daerah. Selain itu, saat ini layanan informasi di Indonesia juga masih lemah
dan minimnya informasi yang bersifat edukatif dengan banyaknya tayangan
3
yang belum mencerdaskan. Menurut beliau, persoalan teknologi informasi
yang dihadapi bangsa Indonesia berbeda dengan negara lain, terutama terkait
kondisi geografis negeri ini yang berupa kepulauan. Kondisi itu menyebabkan
akses informasi belum mampu menjangkau seluruh wilayah kepulauan.
Padahal seharusnya TIK dapat memberikan peranannya, yaitu menghilangkan
penghalang geografis dan mendukung pemerataan pembangunan di setiap
daerah. Apabila Indonesia tidak memiliki perhatian khusus terhadap TIK,
Indonesia akan tertinggal dibandingkan negara-negara lain (Faruqi, 2007).
Salah satu program pemerintah dalam mendorong bangsa Indonesia
menuju masyarakat informasi sebagai upaya megurangi kesenjangan digital
adalah dengan mengembangkan e-Government yaitu penyelenggaraan
pelayanan publik berbasis elektronik, dalam rangka meningkatkan kualitas
layanan publik secara efektif dan efisien (Inpres, 2003). Penerapan
e-Government akan membantu pemerintah dapat mengoptimasikan
pemanfaatan kemajuan teknologi informasi untuk mengeliminasi sekat-sekat
organisasi birokrasi, serta membentuk jaringan sistem manajemen dan proses
kerja yang memungkinkan instansi-instansi pemerintah bekerja secara terpadu
untuk menyederhanakan akses ke semua informasi dan layanan publik yang
harus disediakan kepada masyarakat. Beberapa bentuk penerapan
e-Government yang ada di Indonesia saat ini masih berupa layanan informasi
melalui situs web, antara lain situs pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
departemen pemerintah (Departemen Dalam Negeri, 2007).
Pemerintahan Daerah Kab. Tapanuli Selatan sebagai salah satu
pemerintahan daerah di Indonesia. memiliki peluang yang cukup besar dalam
pembangunan, namun walapun demikian didalam perspektif pembangunan
masih sangat memerlukan upaya-upaya yang signifikan untuk mengakselerasi
laju pembangunan dan pelayanan publik TIK. Pelayanan publik berbasis TIK
di Pemerintahan Daerah Kab. Tapanuli Selatan sudah mulai dicanangkan
pada tahun 2006 dengan diawali pembangunan tower untuk jaringan internet,
pemasangan jaringan LAN di semua instansi di Kab. Tapanuli Selatan,
namun dalam prosesnya terkendala oleh infrastruktur dan SDM yang ada.
4
Dalam pembangunan infrastruktur banyak kendala yang dihadapi
terutama dari keadaan geografis Kabupaten Tapanuli Selatan yang berada
pada 0o58’35’ sampai dengan 2o7’33’ Lintang Utara dan 98o42’50’ sampai
dengan 99o34’16’ Bujur Timur dengan Luas Daerah 433.470 Ha terdiri dari
14 Kecamatan, 219 Desa/Kelurahan dan dikelilingi oleh bukit-bukit atau
lebih dikenal dengan sebutan Bukit Barisan, yang mempersulit
pembangunan infrastruktur jaringan (Dishubkominfo Kab. Tapsel, 2012).
Faktor lain yang menyebabkan terkendalanya e-Government di
Kabupaten Tapanuli Selatan adalah minimnya SDM di pemerintahan
Kabupaten Tapanuli Selatan yang memiliki latar belakang pendidikan TIK,
yaitu hanya berjumlah 26 orang (BKD Kab. Tapanuli Selatan, 2012).
Ketersediaan SDM yang dimiliki Kabupaten Tapanuli Selatan juga
berpengaruh besar terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pejabat pemerintah dan berakibat pula terhadap tidak berjalannya e-
Government di Pemerintahan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, seperti
contoh: Pusat Data Elektronik (PDE) ditiadakan, Dinas Pertanian,
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan pada tahun 2011 dipecah
menjadi Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Tapanuli
Selatan dan Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan (Perda
No. 13 Tahun 2010).
Padahal Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli
Selatan sebagai salah satu instansi yang melakukan pembinaan terhadap
petani dan yang diharapkan mampu mengurangi kesenjangan akses informasi
di sektor agribisnis antara petani on farm dan pedagang besar, karena pada
umumnya petani on farm paling menderita dengan margin keuntungan paling
kecil, keuntungan paling besar dinikmati oleh pedagang besar yang pada
umumnya bukan petani karena mampu mengakses informasi secara cepat,
sehingga setiap perubahan yang terjadi dapat segera direspon (Renstra
Pusdatin Pertanian 2006-2009).
5
Kebijakan ini menyebabkan harus dibaginya SDM yang tersedia dan
berhentinya pelayanan publik dalam memfasilitasi para pelaku agribisnis
pada posisi tawar yang sama melalui pemanfaatan sistem informasi yang
mudah diakses oleh para pelaku agrobisnis khususnya di sektor perkebunan
dan peternakan dikarenakan SDM yang bertanggung jawab dalam pelayanan
tersebut di pertahankan di Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura
Kab. Tapanuli Selatan sebagai Dinas yang berkuasa penuh membagi SDM
yang ada. Dari hasil observasi yang dilakukan penulis, jumlah pegawai Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Selatan tercatat sebanyak 43
orang, dengan latar belakang pendidikan seperti pada Tabel 1 (satu) berikut
ini:
Tabel 1. Komposisi SDM Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
No. Komposisi SDM berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
Jumlah (Orang)
1 S1 Pertanian 14 2 S1 Peternakan 8 3 S1 Ekonomi 2 4 S1 Sosial Politik 3 5 Dokter Hewan 2 6 SLTA/SMA 14
Sumber: Renstra Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan, Tahun 2011
Berdasarkan komposisi SDM di atas tidak ada satupun SDM yang
memiliki latar belakang pendidikan TIK dan semenjak Dinas Perkebunan dan
Peternakan Kab. Tapanuli Selatan berpisah dengan Dinas Pertanian, Tanaman
Pangan dan Hortikultura Kab. Tapanuli Selatan pada awal tahun 2011 tidak ada
perkembangan TIK yang signifikan baik dari sisi infrastruktur maupuan
kualitas SDM dalam penguasaan TIK hingga saat ini. Hal ini dibuktikan oleh
informasi yang diperoleh dari wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan
pejabat berwenang di Dinas Perkebunan peternakan Kab. Tapanuli Selatan
dengan data perkembangan TIK seperti terlampir pada tabel berikut ini:
6
Tabel 2. Perkembangan Infrastrukur TIK
Perkembangan TIK 2011 2012 s/d Saat Ini Infrastruktur PC 1 Unit 4 Unit Laptop 1 Unit 6 Unit Internet Tidak Ada Langganan Speedy Kebijakan TIK Pembentukan tim khusus menangani, membangun dan mengembangkan TIK
Tidak ada Tidak ada
Pelatihan TIK Kepada SDM Pengoperasian Komputer Tidak ada Tidak ada Kemampuan Dasar TIK Tidak ada Tidak ada
Kondisi perkembangan TIK yang tidak signifikan seperti yang
ditampilkan pada tabel 2 (dua) di atas, terutama dengan tidak adanya kebijakan
TIK berhubungan erat dengan tidak pelatihan TIK kepada SDM yang tersedia,
hal ini menyebabkan kemampuan TIK yang bervariasi antar SDM di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan. Kemampuan TIK yang
bervariasi dapat didefenisikan yaitu: ada yang sudah biasa menggunakan
komputer tetapi ada pula yang belum biasa, ada yang sudah pernah mengakses
internet dan ada pula yang belum. Kemampuan TIK yang bervariasi ini dapat
menyebabkan terjadinya kesenjangan digital dipegawai pemerintah dalam
penguasaan TIK (Windasari, 2009).
Kesenjangan digital antar SDM yang diakibatkan kemampuan TIK
yang bervariasi ini, menjadi salah satu hambatan pencapaian pelaksanaan
fungsi Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan dalam
pelayanan publik di sektor perkebunan dan peternakan berbasis TIK antara
lain: penyelenggaraan dan pengawasan proses pemberian perizinan dan
pelaksanaan pelayanan umum, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk
melalui promosi publik, pelayanan publik dalam memfasilitasi para pelaku
agribisnis pada posisi tawar yang sama melalui pemanfaatan sistem informasi
yang mudah diakses oleh para pelaku agrobisnis dan pelayanan informasi
statistik perkebunan dan peternakan berbasis teknologi informasi (Renstra
Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan, 2011).
7
.Berdasarkan pemamparan di atas, SDM menjadi salah satu hambatan
pencapaian pelaksanaan fungsi Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab.
Tapanuli Selatan dalam pelayanan publik TIK (e-Government) di sektor
perkebunan dan peternakan, maka dirasa perlu mengukur tingkat kesenjangan
digital antar SDM di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tapanuli
Selatan yang diukur dari aspek kesenjangan akses TIK (indikator: penggunaan
komputer, kepemilikan komputer, penggunaan internet dan kepemilikan akses
internet di rumah), dari aspek kesenjangan kemampuan TIK yang
dikelompokkan berdasarkan aspek demoghrapic (usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan dan penghasilan). Pengukuran dilakukan dengan penyebaran
kuesioner berupa pertanyaan tertutup (Ya atau Tidak) untuk dapat diukur
tingkat kesenjangan digital antar SDM di Dinas Perkebunan dan Peternakan
Kab. Tapanuli Selatan berdasarkan frekuensi jawaban responden. Dari hasil
pengukuran ini kemudian disusun strategi yang dapat menjadi bahan rujukan
dalam upaya pengurangan kesenjangan digital antar SDM dalam pemerintahan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, terdapat
berbagai permasalahan berkaitan dengan penyebab terjadinya kesenjangan
digital di Pemerintahan Daerah Kab. Tapanuli Selatan, permasalahan tersebut
antara lain:
1. Dalam pembangunan infrastruktur, kendala yang dihadapi terutama dari
keadaan geografis Kabupaten Tapanuli Selatan yang dikelilingi oleh bukit-
bukit atau lebih dikenal dengan sebutan Bukit Barisan, yang mempersulit
pembangunan infrastruktur jaringan di Kabupaten Tapanuli Selatan;
2. Minimnya SDM yang berlatar belakang TIK berpengaruh terhadap
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah dan
berakibat pula terhadap tidak berjalannya e-Government di Pemerintahan
Daerah Kab. Tapanuli Selatan;
3. Ketersediaan komputer yang kurang dan tidak adanya kebijakan dari
pembuat keputusan dalam upaya pemerataan kemampuan TIK seperti
8
pelaksanaan pelatihan TIK kepada SDM menyebabkan kemampuan TIK
yang dimiliki SDM bervariasi;
4. Kesenjangan digital antar SDM yang diakibatkan kemampuan TIK yang
bervariasi, menjadi salah satu hambatan pencapaian pelaksanaan fungsi
Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan dalam pelayanan
publik di sektor perkebunan dan peternakan berbasis TIK.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi permasalahan di atas, permasalahan penelitian
ini hanya membatasi masalah berikut:
1. Lokasi penelitian di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli
Selatan;
2. Satuan penelitian adalah individu atau SDM yaitu Pegawai Negeri Sipil;
3. Kesenjangan digital antar SDM diukur dari aspek kesenjangan akses TIK
(penggunaan komputer, kepemilikan komputer, penggunaan internet,
kepemilikan akses internet di rumah), dari aspek kesenjangan kemampuan
TIK dan aspek demoghrapic (usia, jenis kelamin, pendidikan,
penghasilan).
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah utama dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan dilihat dari aspek
kesenjangan akses TIK (kepemilikan komputer, penggunaan komputer,
penggunaan internet dan kepemilikan akses internet di rumah)?
2. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan dilihat dari aspek
kesenjangan kemampuan TIK?
3. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan dilihat dari aspek
demographic (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan penghasilan)?
9
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukakan di
atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan informasi mengenai tingkat kesenjangan digital yang terjadi
antar SDM di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan
yang dilihat dari aspek kesenjangan akses TIK (kepemilikan komputer,
penggunaan komputer, penggunaan internet dan kepemilikan akses
internet di rumah);
2. Mendapatkan informasi mengenai tingkat kesenjangan digital yang terjadi
antar SDM di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan
yang dilihat dari aspek kesenjangan kemampuan TIK;
3. Mendapatkan informasi mengenai tingkat kesenjangan digital yang terjadi
antar SDM di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan
yang dilihat dari aspek faktor demographic (umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan dan penghasilan).
F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian secara teoritis dan
praktis dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah, dapat dijadikan indikator status kesenjangan digital antar
SDM di Dinas lain yang memiliki kondisi yang sama dengan Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan;
2. Menjadi bahan evaluasi kemampuan PNS dalam penguasaan TIK saat ini,
sehingga timbul upaya untuk pemerataan TIK di pemerintahan dan Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan secara khusus;
3. Strategi pengurangan kesenjangan digital yang disusun dapat dijadikan
bahan rujukan dalam penyusunan strategi pengurangan kesenjangan digital
di Pemerintahan Kab. Tapanuli Selatan;
4. Bagi Peneliti lain, menjadi bahan rujukan untuk meneliti tingkat
kesenjangan digital yang diakibatkan faktor faktor lain yang tidak dibahas
dalam penelitian ini.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Definisi Kesenjangan Digital
Istilah kesenjangan digital dikemukakan oleh Fong dkk. (2001)
sebagai kesenjangan akses komputer dan internet antara pria dan wanita,
antara orang dengan status sosial ekonomi yang berbeda (pendidikan,
pendapatan, pekerjaan, kekayaan), antara orang dengan usia yang
berbeda, dan antar area atau daerah. Istilah ini mulai populer pada
pertengahan tahun 1990-an seiring dengan mulai berkembangnya Internet.
Kesenjangan Digital juga didefinisikan sebagai perbedaan akses
terhadap TIK, namun seiring perkembangannya, kesenjangan digital mulai
mengalami pergeseran pengertian. Kesenjangan digital tidak lagi hanya
merupakan kesenjangan antara mereka yang memiliki akses terhadap
TIK dengan yang tidak, namun juga merupakan kesenjangan antara
mereka yang memiliki akses dan dapat memiliki kemampuan untuk
menggunakan TIK dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk
menggunakannya (Hargittai, 2003; Dewan dkk, 2005).
Menurut OECD (2001), kesenjangan penguasaan teknologi
informasi (digital divides) didefinisikan sebagai berikut "... the gap
between individuals, households, businesses and geographic areas at
different socio-economic levels with regard both to their opportunities to
access information and communication technologies (ITs) and to their use
of the Internet for a wide variety of activities". Berdasarkan definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa kesenjangan digital merupakan
kesenjangan antara individu, rumah tangga, bisnis, kelompok masyarakat
dan area geografis pada tingkat sosial ekonomi yang berbeda dalam hal
kesempatan atas akses dan penggunaan TIK.
11
Menurut Inpres No.3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan e-Government, disebutkan bahwa kesenjangan
digital, yaitu keterisolasian dari perkembangan global karena tidak mampu
memanfaatkan informasi.
Sementara menurut Donny (2012), Istilah "digital divide" terbentuk
untuk menggambarkan kesenjangan dalam memahami, kemampuan, dan
akses teknologi, sehingga muncul istilah “the have” sebagai
pemilik/pengguna teknologi dan “the have not” yang berarti sebaliknya.
Berdasarkan beberapa definisi kesenjangan digital di atas, maka
penulis mendefinisikan kesenjangan digital sebagai sebuah gap antara
seseorang, sekelompok, masyarakat, dalam hal memperoleh akses maupun
kemampuan menggunakan TIK yang disebabkan beberapa faktor baik
demografis, geografis, infrastruktur, dan rendahnya konten berbahasa
Indonesia yang menyebabkan kesenjangan antara mereka yang mendapat
keuntungan dari teknologi dan mereka yang tidak mendapatkannya.
2. Konsep Kesenjangan Digital
Teknologi komputer, telekomunikasi diperkirakan dapat
meningkatkan kualitas hidup manusia. Namun peningkatan kualitas ini
baru dapat dimanfaatkan oleh sebagian orang saja, sehingga muncul jarak
atau kesenjangan di antara mereka yang memiliki kemampuan (skill) dan
pengetahuan mengenai komputer dan akses kepada teknologinya dan
dengan mereka yang tidak memilikinya. Hal inilah yang disebut sebagai
kesenjangan digital (Windasari, 2009).
Dalam kesenjangan digital, terdapat tiga aspek utama yang saling
berhubungan dan merupakan fokus yang perlu diperhatikan, sebagai
berikut (Camacho, 2005):
a. Akses/infrastruktur (access/infrastructure): Perbedaan antar individu
yang memiliki infrastruktur TIK dan memperoleh akses dengan yang
tidak, sehingga menyebabkan perbedaan distribusi informasi;
12
b. Upaya Pencapaian Kemampuan (skill & training) TIK : Perbedaan
antar individu yang memiliki upaya pencapaian kemampuan TIK yang
dibutuhkan untuk dapat memanfaatkan akses dan infrastruktur TIK
dengan yang tidak memiliki upaya sama sekali;
c. Pemanfaatan isi informasi (content/resource): Perbedaan antar individu
dalam memanfaatkan informasi yang tersedia setelah seseorang dapat
mengakses dan menggunakan teknologi tersebut sesuai dengan
kebutuhannya.
Chen dan Wellman (2003) menyatakan bahwa, konsep kesenjangan
digital adalah kesenjangan dari faktor pengaksesan dan penggunaan
internet, yang dibedakan oleh status sosial ekonomi, jenis kelamin,
tingkat hidup, etnik, dan lokasi geografi.
Konsep di atas didukung oleh Choi (2004) yang menyatakan bahwa,
kesenjangan digital tidak hanya berbicara mengenai kesenjangan akses
tehadap TIK namun juga kesenjangan kemampuan dalam menggunakan
TIK. Baik akses maupun penggunaan internet, seperti halnya TIK,
keduanya adalah tidak mungkin dilepaskan dari kemampuan dan
kecakapan yang dimiliki oleh individu.
a. Kesenjangan Akses TIK
Akses dan kepemilikan terhadap TIK adalah tolak ukur digital
divide dan telah menjadi salah satu indikator pembangunan di samping
indikator lainnya seperti kualitas dan realibilitas energi, edukasi, dan
kesempatan kerja (Gelder, 2006). Namun ketika permasalahan akses
dan kepemilikan teratasi, masalah kesenjangan kemampuan dalam
menggunakan TIK tersebut akan mencuat dipermukaan menjadi
masalah yang baru (Van Dijk, 2000).
Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS)
dan Departemen Dalam Negeri yang kemudian digunakan oleh Ditjen
Pos dan Telekomunikasi, diperkirakan masih terdapat 43.000 desa dari
total 67.000 desa di seluruh Indonesia, masih belum memiliki fasilitas
13
akses telekomunikasi (Satriya, 2004). Selain itu, Moejiono (2007)
memaparkan bahwa, penduduk Indonesia dimana 80%-nya berada di
pedesaan, tetapi teledensitas akses jaringan telekomunikasi (penetrasi
per 100 penduduk) baru sekitar 0,2%, yang berarti masih sangat rendah.
Sementara itu, teledensitas akses jaringan telekomunikasi perkotaan
memiliki kecukupan teledensitas yaitu sebesar 11%, di mana wilayah
metropolis memiliki teledensitas sebesar 25%.
Dalam SIBIS GPS (General Population Survey) tahun 2002,
kesenjangan akses TIK meliputi kesenjangan terhadap kepemilikan dan
penggunaan TIK, dapat diukur dengan melihat indikator penggunaan
komputer, penggunaan internet, penggunaan mobile phone, kepemilikan
komputer, kepemilikan akses internet di rumah dan frekuensi
penggunaan internet dan komputer.
b. Kesenjangan Kemampuan TIK
Pada dasarnya penyebab kesenjangan digital ini tidak jauh dari
adanya eksklusifitas sosial ekonomi yang bersumber pada adanya
masalah struktur. Tidak ada jaminan saat bantuan telah diberikan maka
setiap SDM di negara tersebut dapat memanfaatkannya, misalnya
perbedaan antara unskilled dan skilled labor dimana ketika TIK
diadopsi suatu negara maka labor dalam negara tersebut dituntut untuk
melakukan upskill (Parayil, 2005). Bahkan ketika, misalnya, jumlah
komputer dan akses internet diperbesar maka tidak serta merta
kemampuan untuk memanfaatkannya meningkat, terlebih jika
memahami dengan benar bahwa untuk survive dalam masyarakat
informasi, diperlukan bukan saja kemampuan untuk mengoperasikan
komputer dan koneksi jaringan, namun juga kemampuan untuk
mencari, memilih, dan memproses informasi dari sumber informasi
yang begitu berlimpah (Van Dijk, 2000).
14
Indrajit (2005) mendefinisikan kemampuan TIK sebagai
kemampuan untuk menggunakan teknologi sebagai alat untuk
memahami dan menggunakan teknologi sebagai alat untuk
mempermudah mencapai tujuan. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa upaya pencapaian kemampuan TIK seseorang merupakan
fokus yang perlu diperhatikan dalam kesenjangan digital (Camacho,
2005). Dewan (2005) menyatakan bahwa, kurangnya pelatihan
terhadap karyawan merupakan salah satu faktor penghambat
tercapainya kemampuan TIK dan kurangnya pelatihan juga dianggap
sebagai penghambat kemampuan TIK terhadap tenaga pengajar.
Berdasarkan SIBIS GPS (2002) kemampuan TIK mencakup
kepercayaan diri seseorang dalam menggunakan search engine seperti
google, yahoo dan lain-lain, mengidentifikasi sumber informasi yang
ada di internet, penggunaan email, internet untuk chating dengan yang
lain, membuat website atau blog, mendownload atau menginstal
aplikasi ke komputer, mengerti konten website yang ditulis dengan
bahasa inggris.
3. Kesenjangan Digital di Indonesia
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran TIK telah membawa
perubahan bagi tatanan kehidupan di berbagai sektor namun dibalik
perkembangan TIK yang begitu dahsyat berimbas pada kesenjangan
digital yang banyak ditemui pada negara-negara berkembang misalnya
Indonesia. Banyak negara yang sedang berusaha keras menyiapkan
kerangka kebijakan bagi pembangunan telematika agar dapat mengatasi
fenomena kesenjangan digital (Samekto, 2010).
Kesenjangan digital yang terjadi di Indonesia menurut Samekto
(2010) disebabkan perkembangan TIK di Indonesia berjalan lambat dan
kurang dapat mengikuti bila dibandingkan dengan perkembangan TIK
pada negara-negara tetangga misalnya Malaysia, India, Singapura. Laju
perkembangan yang lambat disebabkan oleh perkembangan infrastruktur
15
yang belum memadai, Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki
sekitar 17 ribu lebih pulau yang tersebar dalam area geografis 1.919.440
km2, jumlah pulau yang begitu banyak merupakan salah satu hambatan
proses pembangunan dan pengembangan infrastruktur teknolologi,
kemudian minimnya kemampuan sumber daya manusia dalam hal
memanfaatkan, mengelola serta mengembangkan resource teknologi
informasi dan komunikasi.
Fakta yang menunjukkan kondisi kesenjangan digital di Indonesia
digambarkan oleh data yang dilaporkan UNDP dalam Himpunan Hasil
Penelitian Badan Litbang SDM 2005-2008, dimana Indonesia pada tahun
2005 berada pada posisi 51 dari 104 negara dalam indeks kesiapan
jaringan dan berada pada ututan 110 dari 177 Negara dalam hal Indeks
Kualitas SDM yang jauh lebih rendah dibandingkan Negara Malaysia
(rangking 61).
Hasil studi Mannm (2002) dalam Vitayala (2010), menampakkan
bahwa Indonesia berada pada urutan kedua terbawah setelah Vietnam
dalam penyediaan sarana telekomunikasi dan jumlah pengguna yang
memanfaatkannya, sedangkan Amerika serikat memimpin dengan
infrastruktur dan akses yang seimbang. Namun, kondisi penyediaan sarana
telekomunikasi di Indonesia diyakini telah mengalami banyak perubahan
terutama pada periode tahun 2005-2009 yang dapat dilihat dari
perkembangan pengguna internet di Indonesia.
Fakta lain yang menunjukkan bahwa Indonesia mengalami
kesenjangan digital adalah data yang menunjukkan bahwa, Indonesia
berada pada peringkat 65 dengan nilai 3.60 dari skala 10 untuk indikator
kemampuan Indonesia memanfaatkan TIK dalam pembangunan ekonomi
(Economist Intelligence Unit, 2010), kemudian data yang dikeluarkan
Badan Pusat Statistik dan Departemen Dalam Negeri yang kemudian
digunakan oleh Ditjen Pos dan Telekomunikasi, diperkirakan masih
terdapat 43.000 desa dari total 67.000 desa di seluruh Indonesia, masih
belum memiliki fasilitas telekomunikasi (Satriya, 2004).
16
Berdasarkan data yang diperoleh dari Internet World Stats (2011)
pada tabel 2 (dua) di bawah ini terlihat bahwa, jumlah pengguna internet di
Indonesia sebesar 55 juta jiwa dengan persen penetrasi 22,4% dari
populasi penduduk Indonesia yang hampir 250 juta jiwa.
Tabel 2. Telekomunikasi dan Broadband di Asia
ASIA Population ( 2011 Est.)
Internet Users, (Year 2000)
Internet Users 31-Dec-2011
Penetration (% Population)
Users % Asia
Afganistan 29,835,392 1,000 1,256,470 4.2 % 0.1 % Armenia 2,967,975 30,000 1,396,550 47.1 % 0.1 % Azerbaijan 8,372,373 12,000 3,689,000 44.1 % 0.4 % Bangladesh 158,570,535 100,000 5,501,609 3.5 % 0.5 % Bhutan 708,427 500 98,728 13.9 % 0.0 % Brunei Darussalem
401,890 30,000 318,900 79.4 % 0.0 %
Cambodia 14,701,717 6,000 491,480 3.1 % 0.0 % China * 1,336,718,015 22,500,000 513,100,000 38.4 % 50.5 % Georgia 4,585,874 20,000 1,300,000 28.3 % 0.1 % Hong Kong * 7,122,508 2,283,000 4,894,913 68.7 % 0.5 % India 1,189,172,906 5,000,000 121,000,000 10.2 % 11.9 % Indonesia 245,613,043 2,000,000 55,000,000 22.4 % 5.4 % Japan 126,475,664 47,080,000 101,228,736 80.0 % 10.0 % Kazakhstan 15,522,373 70,000 5,448,965 35.1 % 0.5 % Korea, North 24,457,492 -- -- -- -- Korea, South 48,754,657 19,040,000 40,329,660 82.7 % 4.0 % Kyrgystan 5,587,443 51,600 2,194,400 39.3 % 0.2 % Laos 6,477,211 6,000 527,400 8.1 % 0.1 % Macao * 573,003 60,000 308,797 53.9 % 0.0 % Malaysia 28,728,607 3,700,000 17,723,000 61.7 % 1.7 % Maldives 394,999 6,000 114,100 28.9 % 0.0 % Mongolia 3,133,318 30,000 355,524 11.3 % 0.0 % Myanmar 53,999,804 1,000 110,000 0.2 % 0.0 % Nepal 29,391,883 50,000 2,031,245 6.9 % 0.2 % Pakistan 187,342,721 133,900 29,128,970 15.5 % 2.9 % Philippines 101,833,938 2,000,000 29,700,000 29.2 % 2.9 % Singapore 4,740,737 1,200,000 3,658,400 77.2 % 0.4 % Sri Lanka 21,283,913 121,500 2,503,194 11.8 % 0.2 % Taiwan 23,071,779 6,260,000 16,147,000 70.0 % 1.6 % Tajikistan 7,627,200 2,000 794,483 10.4 % 0.1 % Thailand 66,720,153 2,300,000 18,310,000 27.4 % 1.8 % Timor-Leste 1,177,834 0 2,361 0.2 % 0.0 % Turkmenistan 4,997,503 2,000 110,924 2.2 % 0.0 % Uzbekistan 28,128,600 7,500 7,550,000 26.8 % 0.7 % Vietnam 90,549,390 200,000 30,516,587 33.7 % 3.0 % TOTAL ASIA
3,879,740,877 114,304,000 1,016,799,076 26.2 % 100.0 %
Sumber: Repurposed from Internet World Stats. Asia Marketing Research. Internet Usage, Population Statistics and Information. Miniwatts Marketing Group. http://www.internetworldstats.com/stats3.htm#asia
Menurut Samekto (2010), beberapa penyebab kesenjangan digital adalah
diakibatkan lambatnya pembangunan TIK di Indonesia, hal ini disebabkanoleh
beberapa hal, antara lain: pertama, belum ada kepemimpinan nasional TIK (e-
17
leadership) yang dapat dijadikan panutan bagi aparat pemerintah maupun
masyarakat luas dalam menetapkan sasaran dan strategi pembangunan
telematika. Kedua, belum tersedia kebijakan pada setiap jenjang pemerintahan
yang dapat menjadi petunjuk operasional. Ketiga, tidak tersedianya anggaran
pembangunan yang mencukupi untuk dialokasikan di sektor telematika yang
dibedakan dari infrastruktur ekonomi lainnya seperti jalan raya, pelabuhan, dan
lapangan terbang. Keempat, kurangnya koordinasi antara instansi pemerintah
sehingga menimbulkan duplikasi pekerjaan dan aplikasi yang tidak efisien.
Kelima, kurangnya apresiasi terhadap profesi di bidang telematika sehingga
penerapan kemampuan pegawai pemerintah yang menguasai telematika tidak
optimal dan maksimal. Namun demikian, berbagai program pemerintah dan
lembaga-lembaga yang peduli terhadap perkembangan internet terus digulirkan
untuk memperkecil masalah digital divide ini (Vitayala, 2010), diantaranya
sebagai berikut:
1. Perluasan akses internet yang tidak hanya dilakukan di pulau-pulau besar
di Indonesia, tetapi juga di pulau-pulau kecil;
2. Peluncuran Program Sekolah 2000 yang memperkenalkan internet di level
sekolah, sebagai salah satu inisiatif aktif dari Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII) untuk memperkenalkan dunia internet kepada
pelajar, guru dan seluruh jajaran pendidikan (sekolah) di Indonesia mulai
dari tingkat SD, SLTP sampai dengan SLTA, meliputi SMU, SMK dan
Madrasah;
3. Perluasan jejaring komunikasi sebagai media lanjutan akses internet;
4. Peningkatan kemampuan berbahasa Inggris yang terus dilakukan hingga
tingkat pembelajaran dasar; hal ini diperlukan mengingat ragam informasi
yang tesedia di internet sebagian besar tertulis dalam bahasa Inggris;
5. Pendirian SMK TI untuk menghasilkan tenaga terampil di bidang TI.
Seluruh program ini secara bertahap diharapkan akan dapat memberi
hasil yang akan mengurangi digital divide di Indonesia, dan pada akhirnya
akan membuat Indonesia lebih siap berkompetisi di era globalisasi yang sendi-
sendi operasionalnya banyak bertumpu pada TIK.
18
Berdasarkan kepada Keputusan Presiden No. 20 Tahun 2006 tentang
Dewan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Nasional (DTIKNas),
menugaskan DTIKNas untuk merumuskan kebijakan umum dan arahan
strategis pembangunan nasional melalui pendayagunaan TIK, salah satunya
adalah menyiapkan cetak biru dan roadmap TIK Indonesia guna menentukan
arah perkembangan langkah-langkah yang harus ditempuh guna mewujudkan
masyarakat Indonesia berbasis pengetahuan pada 2025.
Adapun program pemerintah Indonesia sebagai cetak biru dan roadmap
TIK Indonesia yang akan dilaksanakan oleh DTIKNas adalah 19 program
flagship, yakni merupakan program fokus nasional yang memiliki
dampak besar pada pemerintah, masyarakat, dan Internasional (Sutadi, 2007)
yaitu sebagai berikut:
a. Palapa Ring Project;
b. Implementasi Digital TV Terestrial;
c. Implementasi 3G;
d. Pengembangan Broadband Wireless Access (BWA) ;
e. Program PC Murah;
f. e-Procurement dan e-Services;
g. National Single Window;
h. Nomor Induk Nasional (NIN) ;
i. e-Anggaran;
j. Penyediaan Software Legal bagi Pemerintah;
k. e-Education;
l. e-Learning;
m. Pengembangan Software Pendidikan;
n. Standardisasi Kompetensi Profesi SDM TIK;
o. Kampanye Penggunaan Internet untuk Pendidikan ;
p. Pembangunan dan Pengembangan Technopark ;
q. Venture Capital untuk Industri TIK;
r. UU ITE, dan UU Konvergensi TIK.
19
Dari salah satu program cetak biru perkembangan TIK Indonesia di atas,
yaitu: standardisasi kompetensi profesi SDM TIK, menunjukkan bahwa
kompetensi TIK pada SDM sangat dibutuhkan saat ini.
Menyikapi permasalahan sumber daya manusia yang sangat fundamental,
memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dan sangat berpengaruh di berbagai
sektor khususnya pemanfaatan sumber daya TIK secara maksimal, tepat guna,
tepat sasaran maka diperlukan suatu pelatihan TIK bagi masyarakat luas
khususnya di lingkungan Pemerintahan dan Komunitas Masyarakat. Salah satu
upaya dalam menyiapkan sumber daya manusia berbasis informasi adalah
melalui berbagai pelatihan. Pelatihan yang maksimal tidak hanya didasarkan
pada keinginan dari pihak-pihak tertentu (Want) namun harus berdasarkan
dengan kebutuhan (Needs). Identifikasi kebutuhan pelatihan TIK atau pelatihan
needs assessment yang dilakukan secara cermat, komprehensif dan profesional
akan menghasilkan hasil yang maksimal sesuai dengan perkembangan TIK
(Departemen Dalam Negeri, 2007).
Istiyanto (2006) mengatakan bahwa, International Telecommunication
Union (ITU) membuat standar kesiapan masyarakat informasi sebagai upaya
mengetahui tingkat kesenjangan digital. Kesiapan masyarakat intormasi
didefinisikan sebagai kemampuan suatu masyarakat untuk menggunakan dan
menarik manfaat dari teknologi informasi dan komunikasi. Kesiapan ini
didukung oleh 3 (tiga) hal, yaitu:
1. Knowledge, ada pengetahuan minimal yang harus dipunyai untuk menjadi
suatu masyarakat informasi. Selain itu, banyaknya bahasa yang dipakai
oleh suatu masyarakat juga memegang peranan penting. Orang Korea
berbicara dengan 2 (dua) bahasa, Vietnam 93, Laos 82, Singapura 21,
Malaysia 139, Thailand 75, Indonesia 729, dan Filipina 159. Tetapi
penguasaan bahasa inggris tampaknya lebih penting. Indonesia mempunyai
indeks tertinggi, tetapi kalau diteliti lebih lanjut 729 bahasa tersebut adalah
bahasa daerah. Korea berindeks 0 (nol) tetapi menguasai bahasa inggris;
2. Infrastruktur, ketersediaan infrastruktur jelas memainkan peranan. Tanpa
ini bagaimana akses internet dapat diperoleh. Namun, ada banyak cara untuk
20
melakukannya, yang tidak selalu berbiaya mahal. Selain itu, ketersediaan
infrastuktur tidak otomatis menciptakan masyarakat informasi. Betapa
banyak pengguna handphone yang hanya memanfaatkan sebagian kecil fitur
dari handphone yang dimilikinya;
3. Affordability, kalau harga akses internet mahal apalagi lambat aksesnya,
tentu tidak kondusif. Mengakses internet di kantor masih merupakan pilihan
banyak karyawan, karena biaya akses ditanggung perusahaan.
4. Penyebab Terjadinya Digital Divide
Berdasarkan penelitian Zakaria (2004) dalam Samekto (2010)
menyatakan bahwa, salah satu faktor utama yang mempengaruhi kesenjangan
digital adalah faktor sosial ekonomi dan geografis, hal ini dibuktikan melalui
hasil penelitian yang dilaksanakan di beberapa kawasan Malaysia yaitu salah
satu faktor utama yang mempengaruhi kesempatan responden menggunakan
komputer dan mengakses internet yaitu faktor tingkat sosial ekonomi dan
geografis. Sementara Devi, dkk (2012) menyatakan bahwa, beberapa hal yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan digital di Indonesia antara lain:
a. Infrastruktur
Infrastruktur merupakan sebuah fasilitas pendukung, seperti infrastruktur
listrik, internet, komputer dan lain. Contoh mudah mengenai kesenjangan
infrastruktur ini, orang yang punya akses ke komputer bisa bekerja dengan
cepat. Mereka bisa menulis lebih cepat di bandingkan mereka yang masih
menggunakan mesin ketik manual.
b. Kekurangan skill (SDM)
Sumber daya manusia (SDM) sangat berpengaruh dalam dunia ilmu
teknologi dan informasi karena SDM ini menentukan biasa tidaknya
seorang mengoperasikan atau mengakses sebuah informasi.
c. Kekurangan isi (konten) materi bahasa Indonesia
Konten berbahasa Indonesia menentukan bisa tidaknya seorang dapat
mengerti mengakses internet, di Indonesia terutama kota-kota tingkat
pendidikan sudah lebih tinggi. Jadi, sedikit banyak sudah mengerti bahasa
21
Inggris. Sedangkan yang di desa, seperti petani-petani, mereka masih
sangat kurang dalam menggunakan bahasa asing (Inggris).
d. Kurangnya pemanfaatan akan internet itu sendiri.
Berbicara mengenai kesenjangan digital, bukanlah semata-mata persoalan
infrastuktur. Banyak orang memiliki komputer, bahkan setiap hari, setiap
jam bisa mengakses Internet tetapi "tidak menghasilkan apapun". Misal,
ada seorang remaja punya akses ke komputer dan Internet. Tapi yang dia
lakukan hanya chatting yang biasa-biasa saja. Tentu saja, ia tidak bisa
menikmati keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh teknologi digital.
Itu artinya, kesenjangan digital tidak hanya bisa dijawab dengan
penyediaan infrastruktur saja. Infrastruktur tentu dibutuhkan tetapi
persoalannya adalah ketika orang punya komputer dan bisa mengakses
Internet, pertanyaan berikutnya adalah, "apa yang mau diakses? Apa yang
mau dia kerjakan dengan peralatan itu.
5. Digital Divide dan Kaitannya dengan e-Government
E-Government merupakan pemanfaatan teknologi komunikasi dan
informasi dalam proses pemerintahan (e-Government) akan meningkatkan
efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan
pemerintahan. Sehingga pada Inpres No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan
dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government pasal 5 menyebutkan
bahwa “Dengan demikian pemerintah harus segera melaksanakan proses
transformasi menuju e-Government”. Melalui proses transformasi tersebut,
pemerintah dapat mengoptimasikan pemanfaatan kemajuan teknologi
informasi untuk mengeliminasi sekat-sekat organisasi birokrasi, serta
membentuk jaringan sistem manajemen dan proses kerja yang
memungkinkan instansi-instansi pemerintah bekerja secara terpadu untuk
menyederhanakan akses ke semua informasi dan layanan publik yang harus
disediakan oleh pemerintah.
22
Dengan demikian seluruh lembaga-lembaga negara, masyarakat, dunia
usaha, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya dapat setiap saat
memanfaatkan informasi dan layanan pemerintah secara optimal. Untuk itu
dibutuhkan kepemimpinan yang kuat di masing-masing institusi atau unit
pemerintahan agar proses transformasi menuju e-Government dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (Windasari, 2009).
Dengan hadirnya e-Government secara utuh diharapkan dapat
mempermudah, memperlancar, dan menjadikan pelayanan kepada masyarakat
menjadi efektif dan efisien. Disamping itu diharapkan Indonesia mampu
mengikuti perubahan ke arah globalisasi saat ini. Perubahan-perubahan dalam
tubuh Indonesia terjadi seiring dengan transformasi menuju era masyarakat
informasi pada dunia. Hal ini sebagai akibat dari perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang semakin pesat sebagai dampak dari
globalisasi. Penggunaan media elektronik sesungguhnya sangat dibutuhkan
dalam masyarakat informasi. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan global tersebut sehingga
masyarakat informasi dapat terwujud. Tapi jika Indonesia tidak mampu
menyesuaikan diri dikhawatirkan adanya kesenjangan digital yang semakin
melebar (Departemen Dalam Negeri, 2007).
Dengan melihat isu digital divide, pengembangan e-Government di
Indonesia sangat penting. Pengembangan e-Government itu sendiri
menurut Inpres No. 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional
Pengembangan e-Government merupakan upaya untuk mengembangkan
penyelenggaraan kepemerintahan yang berbasis elektronik dalam rangka
meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Melalui
pengembangan e-Government dilakukan penataan sistem manajemen dan
proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimasikan
pemanfaatan teknologi informasi.
23
6. E-Government
Menurut Bank Dunia (2001) dalam Indrajit (2002), e-Government
merupakan konsep yang diperkenalkan sebagai model penerapan sistem
informasi manajemen pemerintahan yang berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi. Secara umum, Bank Dunia dan UNDP (United Nation
Development Programme) memandang e-Government sebagai penggunaan TI
dan komunikasi oleh instansi-instansi pemerintah dalam rangka mengubah
relasi dengan masyarakat, pelaku usaha, dan cabang-cabang pemerintahan
lainnya.
Di sisi lain, UNDP (2001) dalam Indrajit (2002) mendefinisikan
e-Government secara lebih sederhana, yaitu aplikasi Teknologi Informasi dan
Komunikasi yang dimiliki Pemerintah. Ketika mempelajari penerapan
e-Government di Asia Pasifik, Wescott (2001) dalam Indrajit (2002)
mendefinisikan e-Government adalah penggunaan TIK agar biaya pemerintah
lebih efisien dan efektif, memfasilitasi pelayanan pemerintah, dan
memberikan informasi yang baik untuk publik, serta membuat pemerintah
lebih bernilai dimata masyarakat.
Berdasarkan berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan,
e-Government merupakan penggunaan TIK untuk mewujudkan praktik
pemerintahan yang lebih efisien dan efektif, pelayanan yang lebih terjangkau
dan memperluas akses publik untuk memperoleh informasi sehingga
akuntabilitas pemerintah meningkat.
Sebagai suatu mekanisme interaksi baru antara pemerintah dengan
masyarakat dan kalangan lain yang berkepentingan (stakeholders),
e-Government melibatkan penggunaan TI dan komunikasi (terutama internet)
untuk memperbaiki mutu (kualitas) pelayanan yang selama ini berjalan.
Karena itu, terdapat sejumlah prinsip penerapan e-Government. Fokus
pertama adalah perbaikan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Karena
itu, perlu menentukan prioritas jenis pelayanan yang memiliki volume
transaksi yang besar dan melibatkan banyak SDM, memerlukan interaksi dua
arah antara pemerintah dengan masyarakat, dan memungkinkan terjadinya
24
kerja sama antara pemerintah dengan kalangan lain seperti institusi swasta
dan lembaga non komersial lainnya. Kedua, membangun lingkungan yang
kompetitif dengan membuka ruang partisipasi bagi seluruh stakeholder dalam
upaya meningkatkan pelayanan. Prinsip berikutnya, memberi penghargaan
pada inovasi dan prinsip pencapaian efisiensi dengan menghapuskan
birokratisasi sekaligus menambah pendapatan pemerintah (Departemen
Dalam Negeri, 2007).
Implementasi e-Government dalam manajemen pemerintahan daerah
diharapkan dapat memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para
stakeholders (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri) terutama dalam hal
kinerja efektivitas dan efisiensi di berbagai bidang kehidupan bernegara.
Manfaat lainnya, meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka penerapan konsep good
governance, dan mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi,
dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder-nya untuk
keperluan aktivitas sehari-hari (Windasari, 2009).
Implementasi e-Government juga memberikan peluang bagi pemerintah
untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan baru melalui interaksinya
dengan pihak-pihak yang berkepentingan, menciptakan lingkungan
masyarakat baru yang dapat secara cepat dan tepat menjawab berbagai
permasalahan yang dihadapi sejalan dengan berbagai perubahan global dan
tren yang ada, memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai
mitra pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan publik secara
merata dan demokratis (Indrajit, 2002).
Pada level implementasi, konsep e-Government mencakup ruang
lingkup yang luas. E-Government menyangkut hubungan Government to
Government (G2G), Government to Business (G2B), Government to Citizen
(G2C), dan Government to Employees (G2E) seperti ditampilkan pada
gambar 1 berikut ini:
25
Gambar 1. Konsep E-Government
Pada relasi G2G, komunikasi berlangsung antarnegara dalam rangka
kepentingan diplomasi. Tujuannya untuk memperlancar kerjasama
antarnegara dan kerjasama antar entiti negara (masyarakat, industri,
perusahaan, dan lain-lain). Contoh: hubungan administrasi antara kantor-
kantor pemerintah setempat dengan kedutaan besar negara lain untuk
membantu penyediaan data dan informasi akurat yang diperlukan warga
negara asing yang berada di Indonesia (Indrajit, 2002).
Pada relasi G2B, relasi dibangun dengan tujuan memperlancar para
praktisi bisnis dalam menjalankan perusahaannya. Relasi semacam ini juga
bias mempermudah dan memperluas akses pelaku usaha terhadap informasi-
informasi yang diperlukan bagi kepentingan usaha, misalnya, beragam
kebijakan publik, prosedur perizinan, dan lain-lain. Contoh aplikasinya,
perusahaan wajib pajak dapat menggunakan aplikasi web untuk menghitung
besaran pajak yang harus dibayar; lelang on line; pengadaan dan pembelian
barang melalui internet (e-Procurement), dan lain-lain. Pembayaran pajak
secara online yang sedang diterapkan pemerintah (Dirjen Pajak) adalah suatu
langkah yang baik untuk tercapainya good governance (Indrajit, 2002).
26
Pada relasi G2C, pemerintah membangun dan menerapkan berbagai
aplikasi TI untuk memperbaiki hubungan interaksi dengan masyarakat. Tipe
relasi ini diorientasikan untuk mempermudah dan memperluas akses
masyarakat terhadap pelayanan publik. Contoh: pelayanan pembuatan
KTP/paspor melalui internet (Indrajit, 2002).
Relasi G2E bertujuan meningkatkan kinerja dan kesejahteraan PNS di
instansi yang bersangkutan. Contoh, sistem pengembangan karier PNS untuk
bahan data kepentingan mutasi, promosi PNS; aplikasi terpadu untuk
mengelola berbagai tunjangan kesejahteraan yang merupakan hak PNS
(Indrajit, 2002).
Keempat tipe relasi ini pada hakikatnya menunjukkan luasnya ruang
lingkup implementasi e-Government, sehingga seyogianya e-Government
tidak hanya diwujudkan dalam bentuk situs-situs resmi pemerintah, tapi juga
isi dari situs-situs dan aplikasinya yang berorientasi pada efisiensi dan
efektivitas pelayanan publik (Departemen Dalam Negeri, 2007).
Salah satu prasyarat pendukung keberhasilan e-Government adalah
terbentuknya masyarakat informasi yang sungguh-sungguh memahami
kedudukan dan kegunaan informasi dalam kehidupan sehari-hari. Namun,
untuk sampai pada terbentuknya masyarakat informasi, masih terdapat
sejumlah kendala yang dihadapi menyangkut kesenjangan informasi yang
dipicu oleh kesenjangan digital, antara lain disebabkan ketidakseimbangan
harga perangkat dan daya beli masyarakat, ketersebaran geografis yang
menyebabkan kesenjangan akses informasi, serta pendidikan, gaya-hidup dan
pola komunikasi yang sangat beragam sehingga kebutuhan informasi sangat
ditentukan oleh pendidikan dan rasa ingin-tahu yang ada serta gaya hidup.
(Departemen Dalam Negeri, 2007).
Kesenjangan informasi (information divide) hanya dapat diatasi melalui
pembangunan infrastruktur TI dan pengenalan TI sedini mungkin bagi
seluruh lapisan masyarakat. Karena itu, perlu pembelajaran, di mana TI dan
komputer harus dipelajari sejak dini di pendidikan dasar untuk jangka 10-20
tahun ke depan. Komputer harus disejajarkan dengan bahasa sebagai
27
infrastruktur kemajuan dan perubahan. Selain itu, infrastruktur TI harus
dibangun serentak agar tidak kehabisan modal di tengah jalan (Yulfitri,
2008).
Belajar dari pengalaman Malaysia dan India, keduanya memiliki visi,
misi, kebijakan, dan program yang terfokus dalam mengantisipasi
perkembangan TI dan e-Government pada khususnya. Kendala modal juga
turut dialami kedua negara ini, tapi dapat diatasi dengan melibatkan swasta
sebagai investor dengan memberikan sejumlah insentif. Dengan demikian,
prasyarat keberhasilan e-Government tidak hanya berupa kesiapan
infrastruktur teknologi, tapi juga harus disertai perubahan budaya agar
berkembang kebiasaan baru dalam memanfaatkan kemajuan TI. Perubahan
budaya ini nantinya perlu dikerangkai komitmen kebijakan (cyberlaws) yang
menyangkut kebebasan informasi, insentif finansial yang kompetitif, tarif
telekomunikasi yang kompetitif, anti-cybercrime, proteksi data, standardisasi,
pendanaan, dan SDM, serta kebijakan telekomunikasi yang membuka akses
telekomunikasi sampai ke pedesaan (Departemen Dalam Negeri, 2007).
7. Definisi Digital Immigrants dan Digital Natives
Pakar pendidikan Prensky (2001) mengemukakan bahwa, secara umum
di dunia ini terdapat dua kelompok besar bila dilihat dari segi era kehadiran
digital yaitu: mereka yang sudah ada sebelum era digital muncul (digital
immigrants) dan mereka yang ada setelah era digital muncul (digital
natives). Generasi digital natives adalah orang-orang yang mulai dari taman
kanak-kanak hingga perguruan tinggi yang menghabiskan sebagai waktunya
dengan perangkat komunikasi seperti komputer, handphone, internet, e-mail
dan mengganggap perangkat komunikasi tersebut sebagai bagian integral dari
kehidupannya. Sedangkan orang-orang yang tidak lahir pada abad digital
tetapi mengadopsi teknologi baru dianggap sebagai digital immigrant, karena
ada proses adaptasi pada lingkungan dengan mengadopsi teknologi.
28
Menurut Toledo (2007) dalam Simanjuntak (2012), digital natives
adalah para pengguna teknologi digital berusia 30 tahun atau kurang.
Sedangkan digital immigrants adalah pengguna teknologi digital berusia 30
tahun atau lebih. Cara ini didasari anggapan bahwa orang yang lahir 30 tahun
lalu atau sesudahnya, lahir ke dunia di mana teknologi digital sudah
merupakan bagian hidup masyarakat banyak. Sebaliknya, orang yang lahir
lebih dari 30 tahun lalu lahir ke dunia di mana teknologi digital belum
merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat. Namun menurut Simanjuntak
(2012), menetapkan suatu tahun sebagai awal kelahiran populasi digital
natives seperti di atas tidak berlaku umum untuk semua negara. Penetrasi
teknologi digital dalam masyarakat tidak terjadi pada tahun yang sama di
semua bagian dunia. Umumnya, teknologi digital lebih dulu terjadi di negara-
negara maju dari pada di negera-negara berkembang. Penetrasi teknologi
digital lebih dulu terjadi di Amerika Serikat dari pada di Indonesia.
Ross (2007) membuat karakteristik untuk melihat secara jelas
perbedaan antara digital immigrants dan digital natives seperti berikut ini:
a. Digital Immigrants
1) Lahir sebelum tahun 1980;
2) Hanya mengerjakan satu tugas dalam satu waktu;
3) Lebih menyukai membaca dalam format hardcopy, contoh : buku,
koran, dan lain-lain;
4) Mereka masih menganggap yang banyak ilmunya adalah yang banyak
tulisannya (values text more);
5) Bekerja secara konsisten dan bertahap, sehingga memakan waktu lebih
banyak;
6) Baru mulai belajar teknologi.
Menurut Valens (2012), digital immigrants kerap merasa harus belajar
menyesuaikan diri untuk mengoperasikan gadget, membuat dan
menggunakan berbagai perangkat gadget, bagaimana menggunakan e-mail
dan jaringan sosial, dan tidak mudah untuk berganti-ganti platform perangkat
lunak. Proses adaptasi menjadi pengguna Internet pada kelompok usia di atas
29
34 tahun berlangsung lambat dibandingkan para digital natives yang
mengenyam teknologi sejak dini. Generasi Digital Immigrants Indonesia
mengenal komputer pada pertengahan dasawarsa 70-an (Mainframe dan Mini
Computers), dasawarsa berikutnya mereka baru mendapatkan Personal
Computer di pasaran, dan mengenal internet pada pertengahan dasawarsa
1990-an.
Boeree (1997) menyebutkan bahwa, sebagian orang dewasa mungkin
mencapai tahap ini dan menyesali pengalamaman dan kegagalan mereka.
Mereka mungkin takut mati karena masih ingin berjuang menemukan tujuan
hidup dan cenderung beranggapan bahwa dialah yang paling benar. Dengan
cara pandang dan pemanfaatan informasi seperti demikian, maka tidak
menutup kemungkinan adanya friksi ketika digital immigrants dan digital
natives bekerja sama.
b. Digital Natives
1) Lahir setelah tahun 1980, namun dengan catatan mereka hidup di
tempat yang dikelilingi oleh teknologi;
2) Mengerjakan banyak tugas dalam satu waktu, contoh : mengerjakan
paper di komputer sambil mendengarkan musik;
3) Lebih menyukai membaca dari screen atau layar;
4) Lebih menyukai multimedia daripada hanya sekedar teks;
5) Lebih cepat memahami konsep (berkaitan dengan point 4);
6) Pengguna teknologi;
7) Bagi mereka tidak ada perbedaan antara dunia offline dan online.
Dalam hal adaptasi terhadap teknologi komunikasi dan informasi,
memang kaum digital native lebih adaptif. Hal ini tidak mengherankan,
karena mereka dikelilingi teknologi digital sejak bayi, sementara yang lain
tumbuh dan mempunyai pengalaman luas berkaitan dengan Web dan
teknologi informasi lain. Konsekwensinya, orang muda mempunyai gaya
mencari dan menggunakan informasi yang berbeda seperti apa yang
digambarkan oleh Prensky (2001) bahwa perbedaan yang mencolok adalah
dalam pemahaman teknologi informasi. Generasi ini kebanyakan selalu
30
tersambung dan menikmati kenyamanan komunikasi elektronik dan nirkabel,
mereka selalu dapat akses, interaktif dan terbuka. Sementara menurut Valens
(2012), digital natives cenderung membentuk tren di dunia maya. Mereka
sudah melek internet dan secara intuitif dapat mengoperasikan berbagai
perangkat gadget dengan mudah karena mereka sudah terbiasa menggunakan
sejak kecil.
Namun pada dasarnya, kedua generasi ini saling membutuhkan satu
sama lain. Generasi digital native perlu edukasi dari generasi digital
immigrants yang lebih dulu beradaptasi dan menghadapi globalisasi yang
kemudian disebarkan, diedukasikan kepada generasi digital native. Sehingga
generasi digital native menerima hasil dari proses adaptasi kultur teknologi
digital dan globalisasi tersebut. Salah satu bentuk dari kultur teknologi digital
yang dimaksud di sini adalah sosial media.
8. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
Kemajuan dan perkembangan teknologi, khususnya telekomunikasi,
multimedia dan teknologi informasi telah mengubah tatanan organisasi dan
hubungan sosial kemasyarakatan. Hal ini dikarenakan TIK mampu berperan
sebagai “enabler” dalam berbagai aspek dan tatanan kehidupan. TIK dapat
berperan sebagai tools dalam memudahkan aktivitas kehidupan sehingga
mampu meningkatkan produktivitas di berbagai sektor, peranan yang begitu
luas dan bermanfaat sehingga UNESCO melalui WSIS 2005 mendeklarasikan
rencana aksi (plan of action) guna menjadi acuan berbagai Negara menuju
masyarakat informasi tahun 2015 (Samekto, 2010).
Teknologi informasi dan Komunikasi (TIK) mencakup dua aspek,
yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Teknologi informasi
meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat
bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi
komunikasi merupakan segala hal yang berkaitan dengan penggunaan alat
bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke
perangkat yang lainnya (Maseleni, 2003).
31
Sehingga teknologi informasi dan komunikasi adalah suatu paduan
yang tidak dapat dipisahkan yang mengandung pengertian luas tentang segala
kegiatan yang terkait dengan pemrosesan, manipulasi, pengolahan, dan
transfer/pemindahan informasi antar media. Komputer merupakan bagian dari
perangkat TIK. Komputer adalah seperangkat alat elektronika pengolah data
yang bekerja secara terkoordinir dan terintegrasi. sehingga menghasilkan
keluaran yang berupa informasi. Informasi yang dihasilkan oleh perangkat
komputer merupakan hasil dari sebuah kerja sama yang saling mendukung
antara bagian yang satu dengan bagian yang lain sesuai dengan fungsinya
masing-masing. Dengan perkembangan komputer dewasa ini, komputer
banyak digunakan di segala bidang kehidupan (Syawaluddin, 2012).
Menurut ensiklopedia Wikipedia (2012), teknologi informasi yang
sekarang disebut sebagai Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah
teknologi yang diperlukan untuk memproses informasi. Maksud yang lebih
spesifik lagi adalah digunakannya perangkat keras (komputer elektronik) dan
perangkat lunak untuk mengubah, menyimpan, melindungi, memanipulasi,
mengirimkan, dan menerima informasi yaitu berupa pesan, pola, rangsangan
panca indera, pengaruh untuk perubahan dan properti fisik.
Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi saat ini sudah
mencapai masyarakat di seluruh penjuru dunia. Tujuan utama dari TIK
adalah agar setiap informasi yang dibutuhkan oleh manusia dapat disajikan
dan dikirimkan dengan lebih cepat dan akurat. Informasi dapat berupa
berita, data keuangan, percakapan, data penduduk, dan lain-lain. Dengan
teknologi informasi semua ini akan dapat tersajikan dengan lebih cepat
(Wikipedia, 2012).
9. Metode Pengukuran Kesenjangan Digital
Ada beberapa metode pengukuran kesenjangan digital menurut Barzilai
(2006), yaitu: SIBIS (Statistical Indicators Benchmarking the Information
Society), DIDIX (Digital Divide Index), dan NRI (Network Readiness Index).
Namun metode pengukuran yang sesuai dengan batasan masalah penelitian
32
ini yaitu lingkup individu atau Sumber Daya Manusia adalah metode DIDIX
dan SIBIS.
a. DIDIX (Digial Divide Index)
Hüsing (2004) mengusulkan sebuah metoda pengukuran yang
disebut dengan Digital Divide Index (DIDIX) dan dipergunakan untuk
mengukur kesenjangan digital berdasarkan aspek demoghrapic seperti
umur, jenis kelamin, pendidikan dan penghasilan. DIDIX adalah sebuah
usaha untuk membuat indeks kesenjangan digital yang lebih terintegrasi
(Husing, 2004). DIDIX didasarkan pada indikator yang dianggap paling
relevan yang mencakup dasar kesenjangan digital pada masyarakat
informasi seperti EU. Dasar pemikirannya adalah menekankan
penggunaan teknologi. DIDIX fokus pada empat kelompok beresiko
yaitu wanita, orang berusia 50 dan lebih, orang berpendidikan tingkat
rendah, dan orang berpenghasilan rendah seperti pada tabel 3 (tiga)
berikut ini:
Tabel 3. Kelompok beresiko yang menjadi fokus DIDIX
At-risk group (Percentage of EU population in 2000)
Dimensions of the digital divide index
Gender - Women (~ 52%) Computer use (Weight 50%7) Internet use (at all) (weight 30%) Access at home (2002) (weight 20%)
Age - People aged 50 years or older (~40%) Education - People who finished formal school education at an age of 15 years or below (~30%) Income - Low income group (lowest quartile of the survey respondents) (~25%)
Sumber : Husing (2004)
Dari tabel 3 (tiga) di atas, DIDIX melihat kesenjangan digital
hanya dari sisi akses dan pengguna. Bobot dalam kalkulasi integrasi
indeks DIDIX diberikan pada masing-masing komponen TIK yang
membentuk indeks (yaitu: penggunaan komputer – 0,5; penggunaan
internet – 0,3; dan penggunaan internet di rumah – 0,2).
33
Nilai dasar DIDIX adalah perbandingan antara indikator gabungan TIK
dalam kelompok yang beresiko dengan nilai total populasi. Jika rata-rata
penguasaan TIK sebuah kelompok beresiko sama dengan rata-rata populasi,
maka nilai dasar DIDIX menjadi 100 (Vehovar, 2006). Rumus yang
digunakan dalam metode pengukuran DIDIX adalah seperti berikut ini:
𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 = 1𝑛𝑛∑ 𝐷𝐷𝑖𝑖𝑛𝑛𝑖𝑖=1
𝐷𝐷𝑖𝑖 = ∑ 𝑊𝑊𝑖𝑖 ∗𝑃𝑃𝑖𝑖𝑖𝑖𝑃𝑃𝑖𝑖
𝑚𝑚𝑖𝑖=1
Dimana:
Wj: Bobot Indikator j (j=1,…,m;∑w=1)
Pij : Nilai indikator j dari subpopulasi I (i-1,…..,n)
Pj : Nilai Indikator j dari total pupulasi
Metode pengukuran ini hanya mengukur kesenjangan digital dari aspek
demoghrapic (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan tingkat
penghasilan), lebih fokusnya pada kelompok usia >50 tahun, pendapatan
terendah, jenis kelamin, dan tingkat penghasilan rendah, sehingga dari sisi
keakuratan metode ini kurang akurat untuk mewakili indeks kesenjangan
digital secara keseluruhan dalam sebuah populasi (Barzilai, 2006).
b. SIBIS (Statistical Indicators Bencmarking the Information Society)
SIBIS adalah sebuah proyek komisi Eropa yang berusaha untuk
menganalisis dan membandingkan indikator-indikator kesenjangan digital
yang berbeda. Proyek SIBIS berjalan dari Januari 2001 hingga September
2003. Tujuan keseluruhan SIBIS adalah mengembangkan indikator-indikator
untuk memonitor perkembangan menuju masyarakat informasi.
Berlandaskan pada tujuan ini, SIBIS fokus pada akses dan pemanfaatan
dasar seperti kesiapan internet, kesenjangan digital dan keamanan informasi.
Instrumen SIBIS mengkombinasikan 3 (tiga) tingkat dasar dalam
pengembangan masyarakat informasi, yaitu kesiapan, intensitas, dan
dampaknya (Yulfitri, 2008).
(I)
(II)
34
Indikator-indikator SIBIS telah diuji dan dilaksanakan survei
perbandingan pada 15 anggota negara bagian, yaitu di Amerika Serikat, Swiss
dan EU Accession Countries, Bulgaria, Czech Republic, Estonia, Hungaria,
Lithuania, Latvia, Polandia, Rumania, Slovenia dan Slovakia. Survei ini
mengumpulkan dan mempresentasikan data untuk tujuan perbandingan antara
anggota negara bagian Eropa, untuk pertama kalinya, antara Eropa dan
Amerika Serikat dengan indikator yang sama persis pada saat yang sama
(SIBIS, 2003). Namun menurut Barzilai (2006), disamping kelebihan yang
dimiliki metode SIBIS, ternyata metode ini memiliki kekurangan dalam hal
pengukuran terhadap penyebab kesenjangan digital dari sudut terhadap
kesenjangan ekonomi dan sosial.
Berdasarkan pemaparan 2 (dua) metode pengukuran di atas, maka
dapat dibuat perbandingan mengenai metode pengukuran DIDIX dan SIBIS
seperti pada tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Perbandingan Metode Pengukuran DIDIX dan SIBIS
DIDIX SIBIS Kelebihan: - Indeks kesenjangan digital lebih terintegrasi; - Pengukuran pada aspek demoghrapic (umur,
jenis kelamin, tingkat pendidikan dan penghasilan;
(Sumber: Tobias Husing, 2004)
Kelemahan: - Hanya fokus pada empat kelompok beresiko
yaitu wanita, orang berusia 50 dan lebih, orang berpendidikan tingkat rendah, dan orang berpenghasilan rendah sehingga metode ini kurang akurat untuk mewakili indeks kesenjangan digital secara keseluruhan dalam sebuah populasi.
(Sumber: Barzilai, 2006)
Kelebihan: - Banyak variabel yang dapat
dipilih antara lain: - Kesiapan Internet; - Kesenjangan Digital; - Keamanan Informasi; - Tanggapan secepat
mungkin terhadap akses; - Literasi, pembelajaran dan
pelatihan digital; - E-Commerce, E-Work, E-
Science, E-Government, E-Health.
(Sumber: SIBIS, 2003)
Kelemahan: - Indikator kesenjangan digital
yang ada kurang menekankan pada kesenjangan sosial ekonomi dan sosial.
(Sumber: Barzilai, 2006)
35
Dari pemaparan metode pengukuran kesenjangan digital di atas, maka
dalam penelitian ini mengkombinasikan dua cara pengukuran di atas. Metode
DIDIX untuk mengetahui tingkat kesenjangan digital antar SDM dari aspek
demoghrapic (umur, jenis kelamin, pendidikan dan penghasilan), sementara
instrument SIBIS untuk mengetahui tingkat kesenjangan digital antar SDM
dari aspek kesenjangan akses TIK (penggunaan komputer, kepemilikan
komputer, penggunaan internet, kepemilikan akses internet di rumah) dan
kesenjangan kemampuan TIK.
B. Profil Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan
Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupten Tapanuli Selatan dibentuk
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan No. 13 Tahun
2010 tentang Pembentukan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah
Kabupaten Tapanuli Selatan.
1. Visi dan Misi
Visi Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Selatan
adalah: “Sektor perkebunan dan peternakan Tapanuli Selatan akan menjadi
sektor yang berorientasi pasar, berdaya saing, manfaat dan ramah
lingkungan; melalui pemanfaatan sumberdaya perkebunan dan peternakan
yang produktif dan unggul“.
Adapun Misi Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tapanuli
Selatan adalah mewujudkan pertanian yang tangguh dan berkelanjutan,
mewujutkan ketahanan pangan, peningkatan produksi dan perlindungan
petani dan usaha dibidang Perkebunan dan Peternakan, peningkatan peran
serta perkebunan dan peternakan dalam perekonomian daerah,
melestarikan swasembada pangan dalam rangka menjamin ketersediaan
pangan, menumbuhkan sentra-sentra produksi komoditi unggulan
berwawasan Agribisnis, menumbuh kembangkan SDM Pertanian yang
tangguh dan mandiri.
36
2. Tujuan Organisasi
Tujuan yang hendak dicapai oleh Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab.
Tapanuli Selatan antara lain:
a. Meningkatkan kualitas SDM perkebunan dan peternakan yang
mempunyai kemampuan menguasai teknologi perkebunan dan
peternakan secara tepat dan memadai untuk menjawab tantangan
kedepan;
b. Meningkatkan produksi perkebunan dan peternakan melalui upaya
intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi dalam rangka
mencapai optimalisasi produktivitas komoditi perkebunan dan untuk
mendukung percepatan swasembada daging;
c. Mengembangkan usaha perkebunan dan peternakan secara luas ke
arah Agribisnis dengan melakukan terobosan dan pengembangan
produksi perkebunan dan peternakan yang berorientasi pada industri
yang berbasis Perkebunan dan Peternakan;
d. Meningkatkan koordinasi dan akses petani dan peternak dengan
instansi terkait terhadap permodalan, sumber bahan baku dan pasar
hasil-hasil perkebunan dan peternakan;
e. Meningkatkan kemitraan dan kerjasama lintas kabupaten dan
masyarakat swasta berbasis teknologi informasi dalam mendukung
usaha perkebunan dan peternakan skala besar.
3. Landasan Hukum
Berdasarkan Renstra Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli
Selatan tahun 2011, landasan hukum Dinas Perkebunan dan Peternakan
Kab. Tapanuli Selatan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional;
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
37
c. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata
Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah;
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang
Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
e. Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 13 Tahun 2010
tentang Pembentukan Dinas-dinas di Daerah Kabupaten Tapanuli
Selatan.
4. Susunan Organisasi
Berdasarkan Renstra Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab.
Tapanuli Selatan tahun 2011, susunan Organisasi Dinas Perkebunan dan
Peternakan Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari:
a. Kepala Dinas dan Sekretaris, membawahi:
1) Kepala Sub Bagian Umum;
2) Kepala Sub Bagian Keuangan;
3) Kepala Sub Bagian Program.
b. Kepala Bidang Produksi Perkebunan, membawahi:
1) Kepala Seksi Pengembangan Tanaman Perkebunan;
2) Kepala Seksi Perlindungan Tanaman Perkebunan.
c. Kepala Bidang Produksi Peternakan, membawahi:
1) Kepala Seksi Pengembangan Ternak;
2) Kepala Seksi Kesehatan hewan.
d. Kepala Bidang Prasarana dan Sarana, membawahi:
1) Kepala Seksi Prasarana dan Sarana Perkebunan;
2) Kepala Seksi Prasaranan dan Sarana Peternakan.
e. Kepala Bidang Usaha Tani, membawahi:
1) Kepala Seksi Pengolahan Hasil Perkebunan;
2) Kepala Seksi Investasi dan Promosi Perkebunan.
38
5. Sarana dan Prasarana
Ketersediaaan sarana dan prasarana saat ini masih bersifat sementara.
Gedung kantor merupakan gedung milik Dinas Peternakan dan Kesehatan
Hewan Provinsi Sumatera Utara, sehingga pengembangan sarana dan prasarana
tidak memungkinkan untuk dilakukan peningkatan.
6. Kondisi Teknologi Saat Ini
Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis selama melakukan
penelitian, teknologi yang ada saat ini di Dinas Perkebunan dan Peternakan
Kab. Tapanuli Selatan di tampilkan pada tabel 5 berikut ini:
Tabel 5. Data Teknologi yang ada saat ini
No Uraian Jenis Jumlah 1 Hardware Personal Computer (PC) Intel Core 2 duo 1 Unit Intel Celeron Processor 2,2GHz 4 Unit Laptop Toshiba Intel Core i3
Processor 2,4GHz 5 Unit
HP Intel Core i3 Processor 2,2GHz
1 Unit
Intel Centrino 1 Unit Printer Canon IP 2770 8 Unit Canon IP MP258 3 Unit Telepon Internet, Fax 1 Unit Wireless Modem Router TP-LINK
TD-W89016 54M ADSL 2 Unit
GPS Garmin 1 Unit 2 Software Sistem Operasi Windows XP SP 3 3 Windows 7 Home Premium 10 Windows 8 Professional 32 Bit 1 Pengolah Kata dan Data Microsoft Office 2007 14
39
7. Ketersediaan Aplikasi
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan penulis selama melakukan
penelitian, diketahui bahwa aplikasi yang umum digunakan adalah microsoft
word, excel dan power point untuk sosialisasi ke masyarakat, sementara
aplikasi untuk laporan keuangan dan penyerapan dana, antara lain: Sistem
Informasi Manajemen Akuntansi – Barang Milik Negara (SIMAK-BMN),
Sistem Informasi Monitoring dan Evaluasi (SIMONEV), Aplikasi Statistik
Perkebunan dan Peternakan dan Manajemen Pelaporan Secara Online (MPO)
dengan format E-Form untuk laporan penyerapan dana bidang sarana dan
prasarana pertanian hanya dikerjakan oleh PNS yang bertugas membuat
laporan tersebut
8. Kebijakan Manajemen
Salah satu faktor kesuksesan e-Government adalah dengan adanya
dukungan kebijakan dari manajemen. Namun berdasarkan observasi dan
wawancara singkat dengan pembuat keputusan yaitu Kepala Dinas dan
Sekretaris Perkebunan dan Peernakan Kab.Tapanuli Selatan diperoleh
informasi bahwa, kebijakan mengenai TIK sampai saat ini belum ada yang
dibuat, baik lisan maupun tertulis, dikarenakan tidak memiliki SDM yang
berlatar belakang TIK sehingga kebijakan untuk membentuk tim khusus
menangani, membangun dan mengembangkan TIK tidak dapat dibuat.
Pelayanan publik yang dilakukan adalah dengan langsung terjun ke masyarakat
atau jika masyarakat memiliki keperluan dapat langsung datang ke Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan.
9. Strategi dan Program Kerja Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapsel
Berikut ini adalah Strategi dan Program kerja Dinas Perkebunan dan
Peternakan Kab. Tapanuli Selatan yang di kutip dari Buku Rencana Strategis
Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan:
40
Tabel 6. Strategi dan Program Kerja
STRATEGI PROGRAM Penyediaan Bibit Unggul Bersertifikasi, Peningkatan Mutu Hasil Perkebunan
Program peningkatan pemasaran hasil produksi Pertanian/Perkebunan Program Peningkatan Produksi Pertanian/Perkebunan
Meningkatkan Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pendukung Perkebunan, Revitalisasi Perkebunan dan Peningkatan Mutu Hasil Perkebunan
Perluasan dan Pengelolaan Lahan Pengelolaan Air Alat dan Mesin Pertanian Pembiayaaan Pertanian Revitalisasi Perbenihan Tanaman Perkebunan Pengembangan Tanaman Tahunan Fasilitasi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Kebun Dukungan Perlindungan Perkebunan
Pemanfaatan Peluang Investasi, Optimalisasi Produktivitas Ternak, Penyediaan Obat-obatan Ternak, Peningkatan Mutu dan Daya Jual Hasil Peternakan, serta Penerapan Teknologi untuk Peningkatan Produksi Peternakan
Program Swasembada Daging Sapi/Kerbau Program Restrukturisasi Perunggasan Program Pencegahan dan penanggulangan penyakit ternak Program Peningkatan Produksi Hasil Peternakan Program Peningkatan Penerapan Teknologi Peternakan Program Peningkatan produksi ternak dengan Pendayagunaan sumber daya lokal Program Peningkatan produksi pakan ternak dengan pendayagunaan sumber daya lokal Peningkatan Kuantitas dan Kualitas Benih dan Bibit dengan Mengoptimalkan Sumber Daya Lokal Pengembangan Pengolahan Hasil Peternakan Pengembangan Pemasaran Domestik
Sumber: Renstra Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan, (2011)
C. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian Yulfitri (2008) mengkaji tentang “Pengukuran Kesenjangan
Digital dalam penguasaan TIK di Lingkungan Instansi Pemerintahan”. Lokasi
penelitian dilakukan di tiga lokasi, pada tiga dinas yang berbeda tingkat
pemerintahannya, yaitu Dinas Perikanan Propinsi Bandung untuk tingkat
propinsi, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya Bandung untuk
tingkat kotamadya, serta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kotamadya
Kabupaten Bandung untuk tingkat kabupaten. Total responden sebanyak 90
orang.
Penelitian ini mengenai pengukuran kesenjangan digital di pegawai
pemerintah dengan menggunakan model DIDIX dan indikator SIBIS, yang
penerapannya disesuaikan dengan kondisi pegawai pemerintah. Tujuan
41
penelitian ini adalah mengukur kesenjangan digital pada pegawai pemerintah,
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan digital,
serta menganalisis efektivitas penyelenggaraan pelayanan publik TIK sesuai
dengan ketersediaan sumber daya manusia yang ada. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa, Kesenjangan digital di propinsi adalah paling baik (nilai
DIDIXnya paling tinggi sebesar 15,5%), kemudian kotamadya 6,3%, dan
kabupaten 4%. Faktor-faktor yang menyebabkan kesenjangan digital adalah
(diurutkan dari yang menyebabkan kesenjangan digital paling parah ke yang
makin baik), adalah usia (di atas 50 tahun), pendapatan (0-700 ribu),
pendidikan SMA, dan gender (wanita), dan belum terjadi efektivitas
penyelenggaraan pelayanan publik TIK melalui internet.
Penelitian Windasari (2009) mengkaji tentang “Model Pengukuran Dan
Strategi Pengurangan Kesenjangan Digital Untuk Mendukung Egovernment
Dalam Institusi Pemerintah Daerah (Studi Kasus: Pemerintah Kota Semarang)”
dengan ruang lingkup TIK yang diteliti yaitu pada Komputer dan Internet dan
aspek yang diteliti adalah kebutuhan kemampuan TIK, pencapaian kemampuan
TIK, dan penghambat adopsi TIK.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa, variabel kebutuhan
kemampuan TIK, pencapaian kemampuan TIK, dan penghambat adopsi TIK
masing-masing maupun secara bersama-sama memberikan pengaruh yang
cukup kuat terhadap kesenjangan digital. Kemudian diperoleh nilai indeks
kesenjangan digital antara laki-laki dan perempuan hampir sama, walaupun
indeks kesenjangan digital untuk perempuan lebih rendah 0.5% dari nilai
indeks untuk laki-laki, Nilai indeks kesenjangan digital berdasarkan golongan
menunjukkan bahwa grup yang memiliki golongan lebih tinggi memiliki nilai
indeks kesenjangan digital yang lebih tinggi pula. Pegawai golongan 2
memiliki indeks kesenjangan digital terendah. Indeks kesenjangan digital
berdasar pendidikan juga memiliki tren meningkat sesuai dengan tingkat
pendidikan, Nilai indeks kesenjangan digital berdasarkan usia terlihat bahwa
grup yang memiliki usia lebih tinggi memiliki nilai indeks kesenjangan digital
yang lebih rendah.
42
D. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual penelitian ini berangkat dari pemahaman
bahwa kesenjangan digital dipengaruhi kesenjangan akses dan kesenjangan
kemampuan TIK, yang dapat diukur dengan metode pengukuran DIDIX dan
metode SIBIS untuk menggambarkan tingkat kesenjangan digital antar SDM.
Kemudian dari hasil pengukuran, diusulkan strategi untuk mengurangi
kesenjangan digital antar SDM. Kerangka konseptual penelitian ini dapat
digambarkan pada diagram berikut ini:
Gambar 2. Kerangka Konseptual Penelitian Konsep berdasarkan Instrumen SIBIS dan Metode DIDIX
Kesenjangan Akses TIK
Kesenjangan Digital
Strategi Pengurangan Kesenjangan Digital
Kesenjangan Kemampuan TIK
Tingkat
Kesenjangan Digital
Indikator
• Penggunaan Komputer
• Kepemilikan Komputer
• Penggunaan Internet • Kepemilikan Ases
Internet di Rumah
Indikator
Kemampuan TIK
Demographic
43
E. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas, maka pertanyaan
penelitian yang dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM di Dinas Perkebunan
dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan dilihat dari aspek kesenjangan akses
TIK:
a. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM dilihat
dari persentase penggunaan komputer?
b. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM dilihat
dari persentase kepemilikan komputer?
c. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM dilihat
dari persentase penggunaan internet?
d. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM dilihat
dari persentase kepemilikan akses internet di rumah?
2. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan dilihat dari aspek
kesenjangan kemampuan TIK?
3. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan dilihat dari aspek faktor
demographic (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan penghasilan)?
44
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Sesuai dengan namanya, deskriptif hanya
mendeskripsikan keadaan suatu gejala yang telah direkam melalui alat ukur
kemudian diolah sesuai dengan fungsinya. Hasil pengolahan tersebut
selanjutnya dipaparkan dalam bentuk angka-angka sehingga memberikan
suatu kesan lebih mudah ditangkap maknanya oleh siapapun yang
membutuhkan informasi tentang keberadaan gejala tersebut. Dengan demikian
hasil olahan data dengan statistik ini hanya sampai pada tahap deskripsi,
belum sampai pada tahap generalisasi istilahnya adalah statistik deskriptif
(Ubaidillah, 2010).
Dengan kata lain, statistik deskriptif adalah statistik yang mempunyai
tugas mengorganisasi dan menganalisa data angka, agar dapat memberikan
gambaran secara teratur, ringkas dan jelas, mengenai suatu gejala, peristiwa
atau keadaan, sehingga dapat ditarik pengertian atau makna tertentu. Analisis
data menggunakan statistik sederhana seperti tabel-tabel dan grafik sehingga
mudah untuk dibaca, dipahami untuk mengambil keputusan, selain itu statistik
deskriptif juga berfungsi menyajikan informasi sedemikian rupa, sehingga
data yang dihasilkan dari penelitian dapat dimanfaatkan oleh orang lain yang
membutuhkan (Aditya, 2011).
B. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penjelasan definisi dari variabel yang telah
dipilih oleh peneliti. Sesuai dengan judul penelitian, maka kesenjangan digital
dalam peneitian ini didefinisikan sebagai kesenjangan (gap) antara individu
yang dilihat dari aspek demoghrapic dalam hal kepemilikan akses TIK dan
kemampuan menggunakan TIK untuk bekerja, berkreasi, berkreativitas, dan
beragam aktivitas.
45
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang merupakan
sumber dalam suatu penelitian. Populasi penelitian ini adalah Pegawai
Negeri Sipil di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tapanuli
Selatan yang berjumlah 43 Orang.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.
Sehubungan dengan penelitian merupakan studi kasus pada Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Selatan, maka jumlah
sampel yang dijadikan sebagai responden adalah semua jumlah populasi
yaitu 43 Orang. Distribusi dari sampel responden dalam penelitian ini
dapat dilihat pada tabel 7 (tujuh) berikut ini:
Tabel 7. Distribusi Sampel Penelitian
Kelompok Sub Kelompok Responden
Usia
<30 tahun 5 30-40 tahun 10 41-50 tahun 22 >50 tahun 6
Total 43
Jenis Kelamin Laki-Laki 28
Wanita 15 Total 43
Pendidikan SMA 14
S1 29 Total 43
Penghasilan
700-2 jt 6 2-3 jt 14 3-4 Jt 17 4-5 Jt 6
Total 43
46
D. Pengembangan Instrumen
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian, digunakan
instrumen penelitian dalam bentuk kuesioner mengacu kepada indikator-
indikator SIBIS GPS (2002) yang dimodifikasi sesuai batasan penelitian.
Konsep kuesioner ini adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan item-item pilihan yang disesuaikan dari instrumen
kuesioner SIBIS;
2. Jawaban setiap item instrumen berupa tanda silang, dengan pilihan
jawaban yang berbeda-beda;
3. Setiap jawaban dihitung, dianalisis dengan statistik sederhana dan
dibuat diagram atau tabel agar mudah untuk dibaca dan dipahami
dalam mengambil kesimpulan atau keputusan;
4. Nilai jawaban menggunakan skala Guttman, diberi nilai 1 (satu) jika
jawaban Ya, nilai 0 (nol) jika jawaban Tidak.
Berdasarkan konsep kuesioner di atas, struktur instrumen penelitian
yang disusun adalah sebagai berikut:
1. Bagian pertama: pernyataan pendahuluan mengenai deskripsi dan
tujuan penelitian ini;
2. Bagian kedua: identitas responden yang meliputi nama, usia, jenis
kelamin, golongan, pendidikan, dan sebagainya;
3. Bagian ketiga: instrumen kuesioner yang meliputi aspek kesenjangan
akses TIK dengan indikator penggunaan komputer, kepemilikan
komputer, penggunaan internet, kepemilikan akses internet di rumah,
kemudian kesenjangan kemampuan TIK yang dikelompokkan
berdasarkan aspek demoghrapic (usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan dan penghasilan) seperti tabel berikut ini, dengan
instrument selengkapnya ditampilkan pada lampiran 9 (sembilan):
47
Tabel 8. Instrumen Pengukuran kesenjangan Digital
Demoghrapic Sub
Indikator
Indikator Kesenjangan Digital
Kesenjangan Akses TIK
Kesenjangan
Kemampuan
TIK
Kepemilikan
Komputer
Kepemilikan
Internet di
Rumah
Penggunaan
Komputer
Penggunaan
Internet
Kemampuan
TIK
Umur
<30 tahun
Nomor
Item
pertanyaan
1 s/d 3
Nomor
Item
pertanyaan
4 s/d 6
Nomor
Item
Pertanyaan
7 s/d 10
Nomor
Item
Pertanyaan
11 s/d 13
Nomor
Item
Pertanyaan
14 s/d 20
30-40 tahun
41-50 tahun
>50 tahun
Jenis Kelamin Laki-Laki
Wanita
Pendidikan SMA
S1
Penghasilan
700-2 jt
2-3 jt
3-4 Jt
4-5 Jt
Sumber: SIBIS (2003)
E. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan berupa studi literatur dan
survey lapangan dalam bentuk penyebaran kuesioner. Pengumpulan data
bertujuan untuk menangkap dan menjelaskan fakta untuk dapat menjawab
pertanyaan penelitian. Berikut ini adalah penjelasan dari kedua teknik
pengumpulan data tersebut:
1. Studi literatur, yaitu mempelajari sumber-sumber literatur seperti tertulis
dalam buku, jurnal, dan penelitian terdahulu yang terkait dengan topik
penelitian ini yaitu kesenjangan digital. Beberapa data sekunder yang
digunakan untuk pendukung penelitan ini diambil dari beberapa sumber
seperti Peraturan Daerah Tapanuli Selatan, Rencana Strategis Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan tahun 2011;
48
2. Survey, yang merupakan penelitian langsung terhadap objek penelitian
yang dalam hal ini adalah Pegawai Negeri Sipil Dinas Perkebunan dan
Peternakan Kab. Tapanuli Selatan dengan cara penyebaran kuesioner; 3. Wawancara, untuk mendapatkan data pendukung yang diperoleh dari
pihak pihak yang terkait dengan pembuat keputusan dan petugas yang
berhubungan dengan TIK; 4. Kuesioner, beberapa item-item kuesioner yang digunakan dalam
penelitian ini telah dimodifikasi dari indikator SIBIS GPS (2002) yang
sebenarnya untuk disesuaikan dengan batasan masalah penelitian ini.
F. Teknik Analisis Data
Data penelitian yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan
teknik analisis data yang meliputi:
1. Uji Validitas dan Reliabilitas
Tujuan pengujian validitas instrumen adalah untuk membuktikan
bahwa instrumen penelitian adalah valid sehingga dapat digunakan untuk
mengukur apa yang seharusnya diukur. Instrumen penelitian yang
reliabel adalah instrumen yang bila digunakan untuk mengukur obyek
yang sama beberapa kali maka hasil yang didapatkan adalah sama atau
data yang didapatkan sama. Pengujian validitas dilakukan menggunakan
SPSS versi 17 dengan menggunakan korelasi. Kriteria sebuah instrumen
dinyatakan valid adalah apabila nilai korelasi (pearson correlation)
positif, dan nilai probabilitas korelasi [sig.(2-tailed)] lebih kecil dari taraf
signifikan (á) sebesar 0,05. Pengujian reliabilitas dari masing-masing
variabel dilakukan dengan menggunakan Uji Alpha-Cronbach. Kuesioner
dinyatakan reliabel jika mempunyai nilai koefisien alpha yang lebih besar
dari 0,6. Rumus koefisien reliabilitas Alpha-Cronbach adalah sebagai
berikut:
49
𝑟𝑟𝑟𝑟 =𝑘𝑘
(𝑘𝑘 − 1)�1 −
∑𝑆𝑆𝑟𝑟2
𝑆𝑆𝑆𝑆2 �
Dimana:
k = mean kuadrat antara subyek
∑ Si2 = mean kuadrat kesalahan
St2 = varians total
Rumus untuk varians total dan varians item:
𝑆𝑆𝑆𝑆2 = ∑𝑋𝑋𝑆𝑆 2
𝑛𝑛− (∑𝑋𝑋𝑆𝑆2)
𝑛𝑛2
𝑆𝑆𝑆𝑆2 =𝐽𝐽𝑘𝑘𝑆𝑆𝑛𝑛−𝐽𝐽𝐽𝐽𝑆𝑆𝑛𝑛2
Dimana:
JKi = jumlah kuadrat seluruh skor item
JKt = jumlah kuadrat subyek
2. Ujicoba Instrumen
Instrumen yang dibuat dilakukan ujicoba untuk mengetahui apakah
data yang dikumpulkan memenuhi syarat untuk dianalisis dengan teknis
analisis yang telah direncanakan yaitu uji validitas dan reliabilitas
instrumen penelitian.
Tujuan pengujian validitas instrumen adalah untuk membuktikan
bahwa instrumen penelitian adalah valid sehingga dapat digunakan untuk
mengukur apa yang seharusnya diukur. Instrumen penelitian yang
reliabel adalah instrumen yang bila digunakan untuk mengukur obyek
yang sama beberapa kali maka hasil yang didapatkan adalah sama atau
data yang didapatkan sama.
a. Uji Validitas
Pengujian validitas dilakukan menggunakan bantuan program
SPSS versi 17 dengan menggunakan korelasi. Tabel 9 (sembilan)
menunjukkan ringkasan uji validitas kuesioner kesenjangan digital.
Hasil selengkapnya dari pengujian validitas dapat dilihat di lampiran
1 (satu).
(I)
(II)
50
Tabel 9. Tabel Ringkasan Uji Validitas Kuesioner
Korelasi Antara
Nilai Korelasi
(Pearson
Correlation)
Probabilitas
Korelasi
[sig.(2-tailed)]
Kesimpulan
Item No.1 dengan Total 0,834 0,000 Valid
Item No.2 dengan Total 0,877 0,000 Valid
Item No.3 dengan Total 0,848 0,000 Valid
Item No.4 dengan Total 0,358 0,044 Valid
Item No.5 dengan Total 0,605 0,000 Valid
Item No.6 dengan Total 0,248 0,249 InValid
Item No.7 dengan Total 0.863 0,000 Valid
Item No.8 dengan Total 0,775 0,000 Valid
Item No.9 dengan Total 0,786 0,000 Valid
Item No.10 dengan Total 0,699 0,000 Valid
Item No.11 dengan Total 0,126 0,457 InValid
Item No.12 dengan Total 0,737 0,000 Valid
Item No.13 dengan Total 0,652 0,000 Valid
Item No.14 dengan Total 0,721 0,000 Valid
Item No.15 dengan Total 0,737 0,000 Valid
Item No.16 dengan Total 0,411 0,108 InValid
Item No.17 dengan Total 0,807 0,000 Valid
Item No.18 dengan Total 0,840 0,000 Valid
Item No.19 dengan Total 0,715 0,000 Valid
Item No.20 dengan Total 0,770 0,000 Valid
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari pengujian validitas
jumlah item yang dinyatakan valid dan dapat dijadikan acuan untuk
penelitian selanjutnya sebanyak 17 item dari 20 item yang mempunyai
nilai korelasi positif, dan nilai probabilitas korelasi lebih kecil dari 0,05.
Sementara 3 (tiga) item yaitu item 6,11 dan 16 dinyatakan tidak valid
karena mempunyai nilai probabilitas korelasi lebih besar dari 0,05.
51
2. Uji Reliabilitas
Pengujian reliabilitas dilakukan menggunakan bantuan program
SPSS versi 17 dengan menggunakan Uji Alpha-Cronbach. Tabel
berikut menunjukkan hasil uji reliabilitas kuesioner dan untuk hasil
selengkapnya dapat dilihat di lampiran 1 (satu).
Tabel 10. Ringkasan Uji Reliabilitas Kuesioner
Variabel Koefisien Alpha Kesimpulan
Kesenjangan Digital 0,941 Reliabel
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien reliabilitas
untuk variabel lebih besar dari 0,6. Ini menunjukkan bahwa kuesioner
penelitian reliabel untuk masing-masing indikator kesenjangan digital.
3. Identifikasi Variabel
Pengukuran kesenjangan digital dalam penelitian ini menggunakan
tiga variabel yaitu aspek kesenjangan akses TIK (indikator: kepemilikan
komputer, kepemilikan akses internet di rumah), aspek kesenjangan
kemampuan TIK (indikator: penggunaan komputer, penggunaan internet,
dan kemampuan TIK), indikator yang digunakan mengacu pada metode
SIBIS GPS (2003) yang dimodifikasi sesuai batasan masalah penelitian.
Kemudian aspek demoghrapic (indikator: umur, jenis kelamin, pendidikan
dan penghasilan).
4. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif dilakukan agar data yang diperoleh dapat di
paparkan dan intepretasikan dengan mudah, seperti membuat tabulasi data
terhadap skor data yang diperoleh atau digambarkan dengan diagram agar
data yang diperoleh mudah dipahami maknanya (Singarimbun, 1997),
sehingga dapat menggambarkan tingkat kesenjangan digital antar SDM
Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan.
52
5. Kategori Indeks Penilaian
Penilaian penggunaan komputer, kepemilikan komputer, penggunaan
internet, kepemilikan akses internet di rumah menggunakan satuan persen
yang memiliki rentang 0% sampai 100%. Nilai yang dihasilkan
dikategorikan menjadi 5 (lima), yaitu sebagai berikut:
a. Indeks < 20.00% = sangat rendah
b. 20.00% ≤ Indeks < 40.00% = rendah
c. 40.00% ≤ Indeks < 60.00% = sedang
d. 60.00% ≤ Indeks < 80.00% = tinggi
e. Indeks ≥ 80.00% = sangat tinggi
Sementara untuk penilaian tingkat kesenjangan digital antar SDM
berdasarkan aspek kesenjangan akses TIK, kemampuan TIK dan
demoghraphic menggunakan satuan persen yang memiliki rentang 0%
sampai 100%. Nilai yang dihasilkan dikategorikan menjadi 5 (lima), yaitu
sebagai berikut:
a. Indeks < 20.00% = sangat tinggi
b. 20.00% ≤Indeks < 40.00% = tinggi
c. 40.00% ≤ Indeks < 60.00% = sedang
d. 60.00% ≤Indeks < 80.00% = rendah
e. Indeks ≥ 80.00% = sangat rendah
54
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data
Deskriptif data dilakukan agar data yang diperoleh dapat di paparkan
dan intepretasikan dengan mudah, seperti membuat tabulasi data terhadap
skor data yang diperoleh atau digambarkan dengan diagram agar data yang
diperoleh mudah dipahami maknanya (Singarimbun, 1997), sehingga dapat
menggambarkan tingkat kesenjangan digital antar SDM Dinas Perkebunan
dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan.
Kesenjangan digital dalam penelitian ini meliputi kesenjangan akses
TIK (penggunaan komputer, kepemilikan komputer, penggunaan internet dan
kepemilikan akses internet di rumah) dan kesenjangan kemampuan TIK.
Frekuensi data hasil penelitian masing-masing dijelaskan sebagai berikut:
1. Frekuensi Data Penggunaan Komputer
Data penggunaan komputer dalam penelitian ini dikelompokkan
berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan penghasilan. Ringkasan
frekuensi data penggunaan komputer yang diperoleh dalam penelitian ini
ditampilkan pada tabel 11 di bawah ini, untuk hasil selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran 4 (empat).
Tabel 11. Data Penggunaan Komputer
Kelompok Sub Kelompok Penggunaan Komputer Item 1 Item 2 Item 3 Rata-Rata
Usia
<30 tahun 80,00 80,00 80,00 80,00 30-40 tahun 80,00 70,00 80,00 76,67 41-50 tahun 31,82 22,73 36,36 30,30 >50 tahun 16,67 16,67 16,67 16,67
Jenis Kelamin Laki-Laki 35,71 39,29 39,29 38,10
Wanita 66,67 40,00 66,67 57,78
Pendidikan SMA 28,57 28,57 28,57 28,57 S1 55,17 44,83 58,62 52,87
Penghasilan
700-2 jt 33,33 33,33 33,33 33,33 2-3 jt 64,29 42,86 64,29 57,14 3-4 Jt 35,29 41,18 41,18 39,22 4-5 Jt 50,00 33,33 50,00 44,44
55
Keterangan : Item 1 : Penggunaan komputer dalam pekerjaan Item 2 : Penggunaan komputer untuk kepentingan pribadi Item 3 : Penggunaan komputer 4 minggu terakhir
Kelompok pertama pada tabel di atas merupakan tingkat
penggunaan komputer pada kelompok usia, penggunaan komputer paling
rendah pada usia >50 tahun dengan nilai rata-rata penggunaan komputer
sebesar 16,67% dari 6 (enam) responden, kemudian pada usia 41-50
tahun dengan nilai rata-rata sebesar 30,30% dari 22 responden, pada usia
30-40 tahun nilai rata-rata sebesar 76,67% dari 10 responden. Sementara
penggunaan komputer pada usia <30 tahun dengan nilai rata-rata sebesar
80% dari 5 (lima) responden.
Kelompok kedua pada tabel di atas merupakan tingkat
penggunaan komputer pada kelompok jenis kelamin, nilai rata-rata pada
laki-laki sebesar 38,10% dari 28 responden laki laki, sementara pada
wanita sebesar 57,78% dari 15 responden wanita.
Kelompok ketiga pada tabel di atas merupakan data penggunaan
komputer pada kelompok tingkat pendidikan. Penggunaan komputer
memiliki tren meningkat sesuai dengan tingkat pendidikan. Dimana
tingkat pendidikan SMA yang menggunakan komputer nilai rata-ratanya
sebesar 28,57% dari 14 responden yang berpendidikan SMA, sementara
tingkat pendidikan S1 nilai rata-rata penggunaan komputer sebesar
52,87% dari 29 responden berpendidikan S1.
Kelompok keempat pada tabel di atas merupakan data
penggunaan komputer pada kelompok tingkat penghasilan, dimana
penggunaan komputer terendah pada kelompok dengan penghasilan 700-
2 juta dengan nilai rata-rata yaitu sebesar 33,33% dari 6 (enam)
responden, kemudian pada kelompok dengan penghasilan 3-4 juta
dengan nilai rata-rata sebesar 39,22% dari 17 responden, lalu pada
kelompok dengan penghasilan 4-5 juta dengan nilai rata-rata penggunaan
komputer sebesar 39,22% dari 6 (enam) responden. Sementara pada
56
kelompok dengan penghasilan 2-3 juta memiliki nilai rata-rata
penggunaan komputer tertinggi yaitu sebesar 57,14% dari 14 responden.
2. Frekuensi Data Kepemilikan Komputer
Data kepemilikan komputer dikelompokkan berdasarkan usia,
jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan penghasilan. Ringkasan hasil
perhitungan persentase data kepemilikan komputer yang diperoleh dalam
penelitian ini ditampilkan pada tabel 12 di bawah ini, untuk hasil
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 5 (lima).
Tabel 12. Data Kepemilikan Komputer
Kelompok Sub Kelompok Kepemilikan Komputer
Item 4 Item 5 Rata-Rata % % %
Usia
<30 tahun 40,00 80,00 60,00 30-40 tahun 30,00 40,00 35,00 41-50 tahun 31,82 18,18 25,00 >50 tahun 33,33 16,67 25,00
Jenis Kelamin Laki-Laki 35,71 21,43 28,57 Wanita 26,67 46,67 36,67
Pendidikan SMA 28,57 14,29 21,43 S1 34,48 37,93 36,21
Penghasilan
700 Ribu-2 Juta 33,33 16,67 25,00 2-3 Juta 35,71 21,43 28,57 3-4 Juta 35,29 35,29 35,29 4-5 Juta 16,67 50,00 33,33
Keterangan : Item 4 : Kepemilikan Komputer Desktop (PC) Item 5 : Kepemilikan Laptop (Notebook/Netbook)
Kelompok pertama pada tabel di atas merupakan data
kepemilikan komputer pada kelompok usia. Nilai rata-rata kepemilikan
komputer pada kelompok usia <30 tahun sebesar 60% dari 5 (lima)
responden. Pada kelompok usia 30-40 tahun, nilai rata-rata sebesar 35%
dari 10 responden, kelompok dengan usia 41-50 tahun nilai rata-rata
penggunaan komputer sebesar 25% dari 22 responden, sementara
kepemilikan komputer pada usia >50 tahun dengan nilai rata-rata
kepemilikan komputer sebesar 25% dari 6 (enam) responden.
57
Kelompok kedua pada tabel di atas merupakan data kepemilikan
komputer pada kelompok jenis kelamin. Dari data di atas menunjukkan
kepemilikan nilai rata-rata kepemilikan komputer pada laki-laki lebih
rendah dibandingkan wanita. Nilai rata-rata pada laki laki sebesar
28,57% dari 28 responden laki-laki, sementara pada wanita nilai rata-rata
sebesar 36,67% dari 15 responden wanita.
Kelompok ketiga pada tabel di atas merupakan data kepemilikan
komputer pada kelompok tingkat pendidikan. Kepemilikan komputer
paling rendah pada kelompok dengan tingkat pendidikan terendah yaitu
SMA dengan nilai rata-rata kepemilikan komputer sebesar 21,43% dari
14 responden, sementara pada kelompok tingkat pendidikan S1, nilai
rata-rata sebesar 36,21% dari 29 responden.
Kelompok keempat pada tabel di atas merupakan data
kepemilikan komputer pada kelompok tingkat penghasilan. Nilai
kepemilikan komputer pada kelompok dengan penghasilan 4-5 juta
dengan nilai rata-rata kepemilikan komputer sebesar 33,33% dari 6
(enam) responden, kemudian kepemilikan komputer pada kelompok 3-4
juta dengan nilai rata-rata sebesar 35,29% dari 17 responden, kelompok
dengan penghasilan 2-3 juta memiliki nilai rata-rata kepemilikan
komputer sebesar 28,57% dari 14 responden, sementara kepemilikan
komputer terendah yaitu pada kelompok dengan penghasilan 700-2 juta
dengan nilai rata-rata sebesar 25% dari 6 (enam) responden.
3. Frekuensi Data Penggunaan Internet
Data penggunaan internet dikelompokkan berdasarkan usia, jenis
kelamin, pendidikan, dan penghasilan. Ringkasan hasil perhitungan
persentase data kesenjangan digital dalam penggunaan internet yang
diperoleh dalam penelitian ini ditampilkan pada tabel 13 di bawah ini,
untuk hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 6 (enam).
58
Tabel 13. Data Penggunaan Internet
Kelompok Sub Kelompok
Penggunaan Internet Item 7 Item 8 Item 9 Item 10 Rata-Rata
% % % % %
Umur
<30 tahun 80,00 100,00 100,00 100,00 95,00
30-40 tahun 80,00 70,00 80,00 60,00 72,50
41-50 tahun 31,82 27,27 36,36 31,82 31,82 >50 tahun 16,67 33,33 33,33 33,33 29,17
Jenis Kelamin
Laki-Laki 39,29 42,86 50,00 39,29 42,86
Wanita 60,00 53,33 60,00 60,00 58,33
Pendidikan SMA 21,43 42,86 35,71 35,71 33,93 S1 58,62 48,28 62,07 51,72 55,17
Penghasilan
700-2 jt 33,33 50,00 50,00 33,33 41,67 2-3 jt 57,14 50,00 64,29 50,00 55,36 3-4 Jt 41,18 47,06 52,94 52,94 48,53 4-5 Jt 50,00 33,33 33,33 33,33 37,50
Keterangan : Item 7 : Penggunaan Internet dalam Pekerjaan Item 8 : Penggunaan Internet untuk Kepentingan Pribadi Item 9 : Penggunaan Internet 4 Minggu terakhir Item 10: Penggunaan Internet selain menggunakan PC atau Laptop
Kelompok pertama pada tabel di atas merupakan data penggunaan
internet pada kelompok usia. Nilai rata-rata penggunaan internet paling
rendah pada kelompok usia >50 tahun yaitu sebesar 29,17% dari 6
(enam) responden, pada kelompok usia 40-50 tahun yaitu sebesar 31,82%
dari 22 responden, sementara pada kelompok usia 30-40 tahun sebesar
72,50% dari 10 responden dan kelompok usia <30 tahun memiliki nilai
rata-rata penggunaan internet tertinggi yaitu sebesar 95% dari 5 (lima)
responden.
Kelompok kedua pada tabel di atas merupakan data penggunaan
internet pada kelompok jenis kelamin. Nilai rata rata penggunaan internet
pada laki-laki sebesar 42,86% dari 28 responden laki-laki, sementara
wanita sebesar 58,33% dari 15 responden wanita.
Kelompok ketiga pada tabel di atas merupakan data penggunaan
internet pada kelompok tingkat pendidikan. Nilai rata rata penggunaan
internet memiliki tren meningkat sesuai dengan tingkat pendidikan.
59
Dimana tingkat pendidikan SMA yang menggunakan internet sebesar
33,93% dari 14 responden, sementara tingkat pendidikan S1 sebesar
55,17% dari 29 responden.
Kelompok keempat pada tabel di atas merupakan data
penggunaan internet pada kelompok tingkat penghasilan. Nilai rata rata
penggunaan internet paling rendah pada kelompok dengan penghasilan
tertinggi yaitu 4-5 juta sebesar 37,50% dari 6 (enam) responden,
kemudian pada kelompok dengan penghasilan 700-2 juta sebesar 41,67%
dari 6 (enam) responden. Nilai rata-rata pada kelompok penghasilan 3-4
Juta sebesar 48,53% dari 17 responden dan pada kelompok dengan
peghasilan 2-3 juta yaitu sebesar 55,36% dari 14 responden.
4. Frekuensi Data Kepemilikan Akses Internet di Rumah
Data kepemilikan akses internet di rumah dikelompokkan
berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan penghasilan. Ringkasan
hasil perhitungan persentase data kepemilikan akses internet yang
diperoleh dalam penelitian ini ditampilkan pada tabel 14 di bawah ini,
untuk hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 7 (tujuh).
Tabel 14. Data Kepemilikan Akses Internet di Rumah
Kelompok Sub Kelompok Kepemilikan Akses Internet di Rumah
Item 12 Item 13 Rata-Rata % % %
Umur
<30 tahun 60,00 80,00 70,00 30-40 tahun 60,00 60,00 60,00 41-50 tahun 18,18 22,73 20,45 >50 tahun 0,00 33,33 16,67
Jenis Kelamin Laki-Laki 28,57 35,71 32,14 Wanita 40,00 46,67 43,33
Pendidikan SMA 14,29 28,57 21,43 S1 41,38 44,83 43,10
Penghasilan
700-2 jt 16,67 16,67 16,67 2-3 jt 42,86 42,86 42,86 3-4 Jt 35,29 41,18 38,24 4-5 Jt 16,67 50,00 33,33
60
Keterangan : Item 12 : Kepemilikan Akses Internet dengan modem Item 13 : Kepemilikan Akses Internet dengan HP berfasilitas internet
Kelompok pertama pada tabel di atas merupakan data
kepemilikan akses internet di rumah pada kelompok usia. Nilai rata-rata
kepemilikan akses internet di rumah paling rendah pada kelompok usia
41-50 tahun sebesar 20,45% dari 22 responden, pada kelompok usia >50
Tahun sebesar 16,67% dari 6 (enam) responden, pada usia 30-40 tahun
sebesar 60% dari 10 responden dan pada kelompok usia <30 Tahun yaitu
sebesar 70% dari 5 (lima) responden.
Kelompok kedua pada tabel di atas merupakan data kepemilikan
akses internet di rumah pada kelompok jenis kelamin. Nilai rata-rata
kepemilikan akses internet di rumah pada wanita lebih besar
dibandingkan laki-laki, pada wanita yaitu sebesar 43,33% dari 15
responden wanita, sementara pada laki-laki sebesar 32,14% dari 28
responden.
Kelompok ketiga pada tabel di atas merupakan data kepemilikan
akses internet di rumah pada kelompok tingkat pendidikan. Nilai rata-rata
kepemilikan akses internet di rumah paling rendah pada kelompok
dengan tingkat pendidikan terendah yaitu SMA sebesar 21,43% dari 14
responden, sementara pada kelompok dengan tingkat pendidikan S1
sebesar 43,10% 29 responden.
Kelompok keempat pada tabel di atas merupakan data
kepemilikan akses internet di rumah pada kelompok tingkat penghasilan.
Nilai rata-rata kepemilikan akses internet di rumah paling tinggi pada
kelompok dengan penghasilan 2-3 juta sebesar 42,86% dari 14
responden, pada kelompok dengan penghasilan 3-4 juta sebesar 38,24%
dari 17 responden, pada kelompok dengan tingkat penghasilan 4-5 juta
sebesar 33,33% dari 6 (enam) responden dan pada kelompok dengan
penghasilan 700-2 juta sebesar 16,67% dari 6 (enam) responden.
61
5. Frekuensi Data Kemampuan TIK
Data kemampuan TIK dikelompokkan berdasarkan usia, jenis
kelamin, pendidikan, dan penghasilan. Ringkasan hasil perhitungan
persentase data kesenjangan digital dalam kemampuan TIK yang diperoleh
dalam penelitian ini ditampilkan pada tabel 15 di bawah ini, untuk hasil
selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 8 (delapan).
Tabel 15. Data Kemampuan TIK
Kelompok Sub Kelompok
Kemampuan TIK
Item 14 Item 15 Item 17 Item 18 Item 19 Item 20 Rata-Rata
% % % % % % %
Umur
<30 tahun 100,00 80,00 100,00 80,00 100,00 100,00 93,33 30-40 tahun 80,00 70,00 70,00 70,00 70,00 80,00 73,33 41-50 tahun 59,09 27,27 27,27 22,73 50,00 54,55 40,15 >50 tahun 50,00 16,67 16,67 0,00 33,33 33,33 25,00
Jenis Kelamin
Laki-Laki 67,86 42,86 32,14 35,71 53,57 57,14 48,21 Wanita 66,67 40,00 66,67 40,00 66,67 73,33 58,89
Pendidikan SMA 42,86 30,77 28,57 35,71 42,86 42,86 37,27
S1 72,41 48,28 51,72 37,93 62,07 68,97 56,90
Penghasilan
700-2 jt 50,00 33,33 33,33 33,33 33,33 50,00 38,89 2-3 jt 64,29 35,71 64,29 50,00 78,57 71,43 60,71 3-4 Jt 64,71 41,18 35,29 35,29 58,82 58,82 49,02 4-5 Jt 66,67 42,86 33,33 16,67 33,33 50,00 40,48
Keterangan : Item 14 : Menggunakan Search Engine Item 15 : Menggunakan Email Item 17 : Menggunakan Micrsosoft Office Item 18 : Mendownload atau Menginstall perangkat lunak Item 19 : Mengerti website berbahasa inggris Item 20 : Mematikan atau menghidupkan Komputer
Kelompok pertama pada tabel di atas merupakan tingkat kemampuan
TIK pada kelompok usia. Nilai rata-rata kemampuan TIK paling rendah pada
kelompok usia >50 Tahun sebesar 25% dari 6 (enam) responden, pada usia
41-50 tahun sebesar 40,15% dari 22 responden, pada kelompok dengan usia
30-40 tahun nilai rata rata kemampuan TIK sebesar 73,33% dari 10
responden dan pada kelompok usia < 30 tahun yaitu sebesar 93,33% dari 5
(lima) responden.
62
Kelompok kedua pada tabel di atas merupakan tingkat kemampuan
TIK pada kelompok jenis kelamin. Nilai rata-rata kemampuan TIK pada
wanita lebih besar pada wanita yaitu sebesar 58,89% dari 15 responden
wanita, sementara pada laki-laki sebesar 48,21% dari 28 responden.
Kelompok ketiga pada tabel di atas merupakan tingkat kemampuan
TIK pada kelompok tingkat pendidikan. Nilai rata-rata kemampuan TIK
paling rendah pada kelompok dengan tingkat pendidikan terendah yaitu SMA
sebesar 37,27% dari 14 responden, sementara pada kelompok dengan tingkat
pendidikan S1 sebesar 56,90% dari 29 responden.
Kelompok keempat pada tabel di atas merupakan tingkat kemampuan
TIK pada kelompok tingkat penghasilan. Nilai rata-rata kemampuan TIK
paling tinggi pada kelompok dengan penghasilan 2-3 juta sebesar 60,71%
dari 14 responden, pada kelompok dengan penghasilan 3-4 juta sebesar
49,02% dari 17 responden, pada kelompok dengan tingkat penghasilan 4-5
juta sebesar 40,48% dari 6 (enam) responden dan pada kelompok dengan
penghasilan 700-2 juta sebesar 38,89% dari 6 (enam) responden.
B. Jawaban Pertanyaan Penelitian
Data hasil penelitian yang diperoleh, digunakan untuk menjawab
pertanyaan penelitian berdasarkan kerangka konseptual yang telah dibuat
pada bab sebelumnya untuk menggambarkan tingkat kesenjangan digital yang
terjadi antar SDM di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli selatan
yang dilihat dari aspek kesenjangan akses TIK (penggunaan komputer,
kepemilikan komputer, penggunaan internet dan kepemilikan akses internet
di rumah), kesenjangan kemampuan TIK dan dari aspek demographic (usia,
jenis kelamin, pendidikan dan penghasilan) seperti di bawah ini:
1. Tingkat Kesenjangan digital dari Aspek Kesenjangan Akses TIK
Nilai yang diperoleh dari data penelitian dikategorikan
berdasarkan 5 (lima) indeks yang sudah dibahas pada bab sebelumnya,
sebagai dasar untuk mengukur tingkat kesenjangan digital dari aspek
63
kesenjangan akses TIK (kepemilikan komputer, penggunaan komputer,
penggunaan internet dan kepemilikan akses internet di rumah). Tabel 16
menunjukkan tabel ringkasan data kesenjangan digital berdasarkan aspek
kesenjangan akses TIK, dengan hasil selengkapnya dapat dilihat di
lampiran 2 (dua).
Tabel 16. Data Kesenjangan Akses TIK
Indikator Sub Indikator Persentase (%)
Penggunaan Komputer • Dalam Pekerjaan • Kegiatan Pribadi • 4 Minggu terakhir
• 46,5 • 39,5 • 48,8
Rata-Rata 44,9
Kepemilikan Komputer • Personal Computer (PC) • 32,6 • Notebok/Netbook • 30,2
Rata-Rata 31,4
Penggunaan Internet
• Dalam Pekerjaan • Kegiatan Pribadi • 4 Minggu terakhir • Selain dari PC atau Laptop
• 41,9 • 46,5 • 53,5 • 41,9
Rata-Rata 45,9 Kepemilikan Akses Internet Di rumah
• Modem • HP berfasilitas Internet
• 30,2 • 39,5
Rata-Rata 34,9 Total Rata-Rata 39,3
Data hasil penelitian yang ditampilkan pada tabel di atas,
digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian berikut ini:
a. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM dilihat dari persentase penggunaan komputer?
Persentase penggunaan komputer diperoleh dari persentase
sub indikator penggunaan komputer yaitu: penggunaan komputer
dalam pekerjaan sebesar 46,5% dari 43 responden, penggunaan
komputer untuk kegitan pribadi sebesar 39,5% dari 43 responden
dan penggunaan komputer 4 (empat) minggu terakhir sebesar 48,8%
dari 43 responden, sehingga diperoleh nilai rata-rata persentase
penggunaan komputer sebesar 44,9% dari 43 responden atau
menunjukkan tingkat penggunaan komputer pada SDM di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan berada pada
kategori sedang.
64
b. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM dilihat dari persentase kepemilikan komputer?
Persentase kepemilikan komputer diperoleh dari persentase
sub indikator kepemilikan komputer yaitu kepemilikan komputer
desktop sebesar 32,6% dari 43 responden, kepemilikan laptop
(notebook atau netbook) sebesar 30,2% dari 43 reponden, sehingga
diperoleh nilai rata-rata persentase kepemilikan komputer sebesar
31,4% dari 43 responden atau menunjukkan tingkat kepemilikan
komputer pada SDM berada pada kategori rendah.
c. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM dilihat dari persentase penggunaan internet?
Persentase penggunaan internet diperoleh dari persentase sub
indikator penggunaan internet yaitu: penggunaan internet dalam
pekerjaan sebesar 41,9% dari 43 responden, penggunaan internet
untuk kegiatan pribadi sebesar 46,5% dari 43 responden,
penggunaan internet 4 (empat) minggu terakhir sebesar 53,5% dari
43 reponden dan penggunaan internet selain dari komputer desktop
(PC) atau laptop sebesar 41,9% dari 43 reponden, sehingga diperoleh
nilai rata-rata persentae penggunaan internet sebesar 45,9% dari 43
responden atau menunjukkan tingkat penggunaan intenet pada SDM
di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan berada
pada kategori sedang.
d. Bagaimana tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM dilihat dari persentase kepemilikan akses internet di rumah?
Persentase kepemilikan akses internet di rumah diperoleh dari
persentase sub indikator kepemilikan akses internet di rumah yaitu
kepemilikan modem sebesar 30,2% dari 43 responden dan
kepemilikan handphone berfasilitas internet sebesar 39,5% dari 43
responden, sehingga diperoleh nilai rata-rata kepemilikan akses
internet di rumah yaitu sebesar 34,9% dari 43 responden atau
65
menunjukkan tingkat kepemilikan akses internet di rumah pada
SDM di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan
berada pada kategori rendah.
Berdasarkan nilai rata-rata indikator kesenjangan akses TIK yang
meliputi penggunaan komputer, kepemilikan komputer, penggunaan
internet dan kepemilikan akses internet di rumah diperoleh nilai rata-rata
kesenjangan akses TIK sebesar 39,3% dari 43 responden atau
menggambarkan kesenjangan akses TIK antar SDM di Dinas Perkebunan
dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan berada pada kategori tinggi.
2. Bagaimana Tingkat Kesenjangan Digital dari Aspek Kesenjangan
Kemampuan TIK?
Nilai yang diperoleh dari data penelitian dikategorikan
berdasarkan 5 (lima) indeks yang sudah dibahas pada bab sebelumnya,
sebagai dasar untuk mengukur tingkat kesenjangan digital dari aspek
kesenjangan kemampuan TIK. Tabel 17 menunjukkan tabel ringkasan
data kesenjangan kemampuan TIK, dengan hasil selengkapnya dapat
dilihat di lampiran 2 (dua).
Tabel 17. Data Kesenjangan Kemampuan TIK
Indikator Sub Indikator Persentase (%)
Kemampuan TIK
• Search Engine • Email • Microsoft Office • Download dan Install • Website Berbahasa Inggris • Menghidupkan dan
Mematikan Komputer
• 65,1 • 41,9 • 44,2 • 37,2 • 58,1 • 62,8
Rata-Rata 51,5
Tabel di atas menunjukkan bahwa, persentase kemampuan TIK
diperoleh dari persentase sub indikator kemampuan TIK yaitu nilai rata-
rata kemampuan menggunakan search engine sebesar 65,1% dari 43
66
responden 43 responden, kemampuan menggunakan email sebesar 41,9%
dari 43 responden, kemampuan menggunakan Microsoft Office sebesar
44,2% dari 43 responden, kemampuan mendownload dan menginstall
aplikasi di komputer sebesar 37,2% dari 43 responden, mengerti isi
website yang ditulis dalam bahasa inggris sebesar 58,1% dari 43
responden dan kemampuan mematikan serta menghidupkan komputer
sebesar 62,8% dari 43 responden, sehingga diperoleh nilai rata-rata
persentase kemampuan TIK yaitu sebesar 51,5% dari 43 responden atau
menggambarkan tingkat kemampuan TIK pada SDM di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan berada pada kategori
sedang.
Berdasarkan konsep kesenjangan digital menurut Choi (2004)
yang menyatakan bahwa, kesenjangan digital tidak hanya berbicara
mengenai kesenjangan akses tehadap TIK namun juga kesenjangan
kemampuan dalam menggunakan TIK, maka dari hasil nilai rata-rata
kesenjangan akses TIK sebesar 39,3% dari 43 responden dan
kesenjangan kemampuan TIK sebesar 51,5% dari 43 responden diperoleh
nilai rata-rata kesenjangan digital sebesar 45,4% dari 43 responden atau
menggambarkan tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM di
Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan berada pada
kategori sedang.
3. Bagaimana Tingkat Kesenjangan Digital Dilihat dari Aspek Demoghrapic?
Nilai dari data penelitian yang diperoleh dikategorikan menjadi 5
(lima), seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya. Nilai indeks
yang diperoleh mengambarkan tingkat kesenjangan digital berdasarkan
aspek demoghrapic (usia, jenis kelamin, pendidikan dan penghasilan),
indeks kesenjangan digital yang diperoleh dari penelitian ini
digambarkan dalam diagram berikut ini:
67
Gambar 3. Diagram Indeks Kesenjangan Digital
Kelompok pertama dari diagram di atas adalah indeks kesenjangan
digital berdasarkan usia, terlihat bahwa nilai indeks kesenjangan digital
pada kelompok usia <30 tahun sebesar 79,67% dari 5 (lima) responden dan
30-40 tahun sebesar 63,50% dari 10 reponden atau mengalami kesenjangan
digital dalam kategori rendah, sementara pada usia 41-50 tahun sebesar
29,55% dari 22 responden dan pada usia >50 tahun sebesar 22,50% dari 6
(enam) responden atau mengalami kesenjangan digital dalam kategori
tinggi.
Kelompok kedua dari diagram di atas adalah indeks kesenjangan
digital berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan nilai indeks kesenjangan
digital yang diperoleh, tingkat kesenjangan digital pada kelompok laki-laki
masuk dalam kategori tinggi yaitu dengan nilai indeks sebesar 37,98% dari
28 responden, sementara pada wanita masuk dalam kategori kesenjangan
digital sedang dengan nilai indeks kesenjangan digital sebesar 51,00% dari
15 responden.
Kelompok ketiga dari diagram di atas adalah indeks kesenjangan
digital berdasarkan tingkat pendidikan. Nilai indeks kesenjangan digital
pada SDM dengan tingkat pendidikan SMA sebesar 28,53% dari 14
responden atau mengalami kesenjangan digital dalam kategori tinggi,
sementara nilai indeks kesenjangan digital untuk S1 sebesar 48,85% dari 29
responden atau mengalami kesenjangan digital dalam kategori sedang.
79.67
63.50
29.5522.50
37.9851.00
28.53
48.85
31.11
48.9342.06 37.82
0102030405060708090
68
Kelompok keempat dari diagram di atas adalah nilai indeks
kesenjangan digital berdasarkan tingkat penghasilan. Nilai indeks
kesenjangan digital pada kelompok dengan tingkat penghasilan 700-2 juta
sebesar 31,11% dari 6 (enam) responden atau mengalami kesenjangan
digital dalam kategori tinggi, pada penghasilan 2-3 juta sebesar 48,93% dari
14 responden dan 3-4 juta sebesar 42,06% dari 17 responden atau
mengalami kesenjangan digital pada kategori sedang, sementara pada
kelompok dengan tingkat penghasilan 4-5 juta sebesar 37,82% dari 6 (enam)
responden atau mengalami kesenjangan digital dalam kategori tinggi.
C. Pembahasan
1. Tingkat Kesenjangan Digital dari Aspek Kesenjangan Akses TIK
Tingkat penggunaan komputer pada SDM di Dinas Perkebunan dan
Peternakan Kab. Tapanuli Selatan berada pada kategori sedang
menggambarkan bahwa penggunaan komputer belum dianggap sebagai
kebutuhan yang penting dalam pekerjaan atau beragam aktivitas lain, tapi
baru pada kondisi penggunaan komputer hanya sebagai pembantu pekerjaan
seperti pembuatan beberapa dokumen yang memang harus diketik dengan
komputer. Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis selama melakukan
penelitian di bulan Desember 2012, pembuatan beberapa dokumen masih
dilakukan secara manual dikarenakan SDM terbiasa dengan dengan format
manual dan tidak yakin akan keabsahan dokumen jika dibuat melalui
komputer.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan penggunaan komputer
yang berada pada kategori sedang, antara lain dikarenakan ketersediaan
infrastruktur yang belum memadai karena ketersediaan komputer hanya 12
unit seperti ditampilkan pada tabel 5 (lima), kemudian belum adanya
kebijakan dari kepala dinas dalam hal penanganan, pengembangan dan
penggunaan TIK untuk mendukung tujuan organisasi pelayanan publik
berbasis TIK, namun lebih fokus pada kebijakan-kebijakan mendukung
program perkebunan dan peternakan yang langsung terjun ke lapangan atau
69
masyarakat menyebabkan tidak adanya aplikasi yang mendukung program
perkebunan dan peternakan dengan TIK karena aplikasi yang tersedia hanya
aplikasi pelaporan Barang Milik Negara (SIMAK-BMN), dan laporan
penyerapan dana APBN untuk dilaporkan ke provinsi dan pusat.
Tingkat kepemilikan komputer pada SDM di Dinas Perkebunan dan
Peternakan Kab. Tapanuli Selatan berada pada kategori rendah dapat
disebabkan oleh masih dianggap mahalnya harga komputer oleh sebagian
PNS di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan, terutama
yang berpenghasilan rendah seperti hasil data kepemilikan komputer
berdasarkan tingkat penghasilan pada tabel 12. Rendahnya kepemilikan
komputer juga dapat disebabkan karena tersedianya PC dan laptop dari
kantor sebanyak 12 unit, untuk laptop sendiri ada 7 (tujuh) unit yang dapat
di bawa pulang ke rumah oleh beberapa PNS yang diberikan tanggung
jawab untuk menggunakan dan memeliharanya.
Faktor lain dapat disebabkan oleh lebih banyak pekerjaan yang lebih
fokus melayani masyarakat dengan langsung turun ke lapangan bukan
dengan pelayanan publik berbasis TIK (e-government) dan penggunaan TIK
hanya untuk kebutuhan administrasi dan laporan Barang Milik Negara dan
penyerapan dana yang hanya dikerjakan oleh PNS yang dianggap mampu
mengerjakannya, sehingga pada sebagian besar PNS terutama yang
merupakan generasi digital immigrant yaitu: merupakan generasi yang baru
mulai belajar teknologi tidak mengerjakan pekerjaan yang berhubungan
dengan TIK (Ross, 2007), hal ini menyebabkan generasi ini menganggap
tidak begitu penting untuk menggunakan atau memiliki komputer dalam
mendukung pekerjaan mereka baik di kantor maupun di rumah.
Tingkat Penggunaan internet pada SDM di Dinas Perkebunan dan
Peternakan Kab. Tapanuli Selatan berada pada kategori sedang
menunjukkan bahwa penggunaan internet juga belum memiliki tingkat
kepentingan yang tinggi dalam membantu pekerjaan.
Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis selama melakukan
penelitian di bulan Desember tahun 2012, hanya sebagian kecil yang sering
70
menggunakan internet untuk membantu pekerjaan, dan itupun lebih banyak
dilakukan oleh PNS yang berusia <30 tahun dan sebagian pada usia 30-40
tahun seperti yang ditunjukkan pada tabel 13, sementara untuk usia 41-50
dan >50 tahun cederung tidak menggunakan internet untuk membantu
pekerjaan mereka, karena pada usia ini termasuk generasi digital immigrant
yang menurut Valens (2012) bahwa, penggunaan Internet pada kelompok
usia ini berlangsung lambat dibandingkan para digital natives yang
mengenyam teknologi sejak dini, kelompok ini lebih sering turun ke
lapangan menemui masyarakat melakukan penyuluhan atau sosialisasi
daripada di kantor untuk belajar atau menggunakan internet.
Faktor lain yang menyebabkan penggunaan internet hanya sebesar
45,9% dari 43 responden dikarenakan 70% dari situs web di dunia
berbahasa inggris (Annan, 2003), sehingga bagi generasi digital immigrant
yang sebagian besar kurang paham bahasa inggris tidak tertarik untuk
menggunakan internet karena merasa tidak mengerti dengan apa yang
dilihat dan dibacanya.
Tingkat kepemilikan akses internet di rumah pada SDM di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan berada pada kategori
rendah dapat disebabkan karena masih dianggap tidak pentingnya
penggunaan internet bagi sebagian PNS terutama yang sudah berusia (41-50
dan >50 tahun) karena pada usia ini merupakan generasi digital immigrant
(Ross, 2007) dan cenderung lebih sering ditugaskan untuk terjun ke
lapangan memonitoring dan menemui langsung masyarakat dalam
menjalankan program perkebunan dan peternakan ditambah tidak adanya
aplikasi e-Government yang harus dikerjakan oleh PNS baik di kantor atau
di rumah menyebabkan kepemilikan akses internet di rumah bukan menjadi
kebutuhan penting bagi mereka untuk membantu pekerjaan yang dapat
dilakukan di rumah.
Faktor lain dapat disebabkan oleh anggapan masih mahalnya
berlangganan internet bagi PNS yang berpendapatan kecil seperti mahalnya
berlangganan akses internet speedy, karena selain harus berlangganan
71
telepon rumah juga harus tetap membayar abodemen telepon rumah walau
tidak dipakai oleh pelanggan, sementara jika menggunakan modem atau HP
berfasilitas internet terkendala dengan jaringan yang disediakan beberapa
provider telekomunikasi yang dominan dapat diakses hanya jaringan 2G
yang berada pada wilayah kecamatan maupun pedesaan sehingga
menyebabkan lambatnya kecepatan koneksi internet yang diperoleh bila
dibandingkan jaringan 3G dan 3,5G yang saat ini hanya dapat diakses di
pusat kota Padangsidimpuan.
2. Tingkat Kesenjangan Digital dari Aspek Kesenjangan Kemampuan TIK
Tingkat kemampuan TIK pada SDM di Dinas Perkebunan dan
Peternakan Kab. Tapanuli Selatan berada pada kategori sedang dapat
disebabkan karena tidak adanya kebijakan dari pembuat keputusan dalam
hal pembentukan unit penanganan, pengembangan TIK dan kebijakan yang
berkaitan dengan TIK, karena tujuan visi misi dan program Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan lebih fokus pada
pengembangan perkebunan dan peternakan yang menyentuh langsung ke
masyarakat.
Faktor lain dapat disebabkan karena tidak adanya aplikasi e-
government di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan,
aplikasi yang berhubungan dengan TIK sampai saat ini hanya untuk
administrasi dokumen dan pelaporan Barang Milik Negara serta penyerapan
dana APBN sebagai laporan rutin per semester atau per bulan ke pusat, hal
ini yang menyebabkan tidak adanya kebijakan dari pembuat keputusan
untuk mengembangkan kualitas SDM dan meningkatkan kemampuan TIK
SDM yang ada di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan
seperti memberikan pelatihan TIK, sementara menurut Dewan (2005),
kurangnya pelatihan TIK terhadap karyawan merupakan salah satu faktor
penghambat tercapainya kemampuan TIK.
Tidak adanya pelatihan TIK di lingkup SDM menyebabkan
kemampuan TIK yang dimiliki SDM di Dinas Perkebunan dan Peternakan
72
Kab. Tapanuli Selatan adalah kemampuan TIK sekedarnya yang diperoleh
SDM dari sekolah, kuliah, otodidak dan pengalaman dari SDM itu sendiri.
Padahal kemampuan TIK menurut Indrajit (2002) merupakan kemampuan
untuk menggunakan teknologi sebagai alat untuk memahami dan
menggunakan teknologi sebagai alat untuk mempermudah mencapai tujuan
dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pencapaian kemampuan TIK
seseorang merupakan fokus yang perlu diperhatikan dalam kesenjangan
digital (Camacho, 2005).
Nilai rata-rata kemampuan TIK yaitu sebesar 51,5% dari 43
responden menggambarkan kondisi kemampuan TIK antar SDM di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan masih sebatas bisa
menggunakan komputer dan internet, belum dapat dikatakan menguasai TIK
sehingga jika ada masalah pada indikator ini, mereka masih membutuhkan
orang yang lebih ahli untuk mengatasi masalah yang dihadapi.
3. Tingkat Kesenjangan Digital Dilihat dari Aspek Demoghrapic
Tingginya tingkat kesenjangan digital pada usia >50 tahun usia dan
pada 41-50 tahun sesuai dengan penelitian Husing (2004) yang menyatakan
bahwa, usia >50 tahun merupakan kelompok beresiko mengalami
kesenjangan digital dengan bobot persentase sebesar 40% dari total populasi
di 15 Negara Eropa. Hal ini dapat disebabkan karena kelompok dengan usia
>50 tahun merupakan generasi digital immigrants yaitu kelompok yang
lahir sebelum 1980, hanya mengerjakan satu tugas dalam satu waktu (no
multitasking), lebih menyukai membaca dalam format hardcopy
dibandingkan soft copy seperti ebook, masih menganggap yang banyak
ilmunya adalah yang banyak tulisannya, generasi ini baru mengenal
komputer pada pertengahan dasawarsa 70-an, dasawarsa berikutnya mereka
baru mendapatkan Personal Computer di pasaran, mengenal Internet pada
pertengahan dasawarsa 1990-an dan baru mulai belajar teknologi (Ross,
2007).
73
Disamping karena usia 41-50 tahun dan >50 tahun merupakan
generasi digital immigrant, belum adanya kebijakan TIK dan aplikasi e-
government, menyebabkan mereka lebih sering bekerja dengan turun ke
lapangan untuk melakukan monitoring atau sosialisasi program Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan, dibandingkan
mempelajari atau menggunakan teknologi seperti komputer dan internet
yang menurut mereka sulit untuk memahaminya dan harus dipelajari lagi
(Valens, 2012).
Sementara pada kelompok usia <30 tahun dan 30-40 tahun yang
mengalami kesenjangan digital pada kategori rendah dapat disebabkan
karena kelompok dengan usia ini merupakan generasi digital natives yaitu
generasi yang lahir setelah tahun 1980, namun dengan catatan mereka hidup
di tempat yang dikelilingi oleh teknologi, mengerjakan banyak tugas dalam
satu waktu, lebih menyukai membaca dari screen atau layar (seperti ebook),
lebih menyukai multimedia daripada hanya sekedar teks, lebih cepat
memahami konsep, pengguna teknologi, bagi mereka tidak ada perbedaan
antara dunia offline dan online (Ross, 2007). Dikarenakan kelompok ini
merupakan generasi digital native, kelompok ini terutama usia <30 tahun
lebih sering ditugaskan bekerja di kantor dibandingkan dilapangan untuk
mengerjakan dokumen administrasi dan pelaporan yang ada di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan.
Berdasarkan nilai indeks kesenjangan digital yang diperoleh tingkat
kesenjangan digital pada kelompok laki-laki masuk dalam kategori tinggi,
sementara pada wanita masuk dalam kategori kesenjangan digital sedang.
Hasil ini berbeda dengan penelitian penelitian Husing (2004) yang
menyatakan bahwa wanita termasuk dalam kategori beresiko mengalami
kesenjangan digital dengan bobot persentase sebesar 52% dari total populasi
di 15 Negara Eropa. Hal ini dapat disebabkan karena penelitian Husing
(2004) dilakukan secara acak terhadap masyarakat, rumah tangga, dimana
wanita tidak semuanya bekerja, dan terdapat tanggung jawab yang berbeda
antar laki-laki dan wanita dalam masyarakat, sementara pada penelitian ini
74
dilakukan dalam lingkungan pekerjaan dimana relatif tidak ada perbedaan
perlakuan terhadap jenis kelamin karena setiap pegawai memiliki tanggung
jawab yang sama besar terhadap pekerjaannya, tanpa memandang jenis
kelamin.
Faktor lain juga dapat disebabkan karena jumlah populasi laki-laki
lebih banyak yaitu 28 orang sementara wanita 15 orang, dimana laki-laki
lebih banyak bertugas menjalankan program Dinas Perkebunan dan
Peternakan dengan turun langsung ke lapangan sementara perempuan walau
juga turun ke lapangan tapi lebih sering berada di kantor untuk mengerjakan
administrasi.
Berdasarkan nilai indeks kesenjangan digital yang diperoleh, tingkat
kesenjangan digital pada pendidikan SMA masuk dalam kategori tinggi,
sementara pada pendidikan S1 masuk pada pada kategori sedang. Hasil ini
sesuai dengan penelitian Husing (2004) menyatakan bahwa, pendidikan
rendah merupakan salah satu dari 4 (empat) kelompok beresiko mengalami
kesenjangan digital dengan bobot 30% dari total populasi di 15 Negara
Eropa. Hal ini dapat disebabkan, pendidikan yang rendah bepengaruh
terhadap pengetahuan yang dimilikinya.
Pengetahuan yang rendah menyebabkan motivasi untuk mempelajari
sesuatu rendah termasuk TIK. Rendahnya pengetahuan TIK berhubungan
erat dengan rendahnya kebutuhan akan TIK, hal ini sesuai dengan penelitian
Felstead, dkk. (2002) yang menyatakan bahwa, semakin penting kebutuhan
akan komputer dan internet akan mempengaruhi tingkat kemampuan TIK
karena tekanan kebutuhan kemampuan TIK akan secara tidak langsung
mempengaruhi pekerja untuk dapat mencapai tingkat kemampuan yang
dibutuhkan oleh lingkungan pekerjaannya.
Faktor lain dapat disebabkan karena tidak adanya program e-
government dalam membantu pelaksanaan program Dinas Perkebunan dan
Peternakan menyebabkan tidak adanya kebijakan manajemen mengenai
pembentukan tim penanganan, pengembangan, penggunaan TIK dengan
memberikan pelatihan kepada PNS guna perataan kemampuan TIK
75
sehingga jurang perbedaan kemampuan TIK tetap terjadi antara PNS yang
berpendidikan SMA dan S1. Hal ini menyebabkan tidak adanya progres dan
motivasi untuk mempelajari dan meningkatkan kemampuan TIK yang
dimiliki PNS di Dinas Perkebunan dan Petenakan Kab. Tapanuli Selatan.
Kondisi kesenjangan digital yang tinggi pada kelompok dengan
pendapatan rendah yaitu 700-2 juta sesuai dengan penelitian Husing (2004),
menyatakan bahwa, pendapatan yang rendah merupakan kelompok beresiko
mengalami kesenjangan digital. Pendapatan yang rendah pada PNS
berhubungan dengan faktor pendidikan yang rendah, golongan yang rendah
dan tidak adanya jabatan yang dimiliki.
Pendapatan yang rendah menyebabkan rendahnya kemampuan
seseorang untuk memiliki akses TIK (Windasari, 2009), sementara
pendidikan dan golongan yang rendah serta tidak adanya jabatan yang
rendah menyebabkan motivasi, kemauan ataupun kesempatan untuk
mempelajari TIK menjadi kecil (Yulfitri, 2008), ditambah tidak adanya
kebijakan mengenai TIK menyebabkan tidak adanya pelatihan kepada
kelompok ini untuk mempelajari dan meningkatkan kemampuan dasar TIK.
Faktor-faktor inilah yang saling mempengaruhi terhadap tingginya
kesenjangan digital pada kelompok ini.
Kesenjangan digital yang tinggi pada kelompok dengan penghasilan
4-5 juta diperoleh hasil yang berbeda jika mengacu pada penelitian Husing
(2004) dan Yulfitri (2009) yang menyatakan pendapatan rendahlah yang
mengalami kesenjangan digital. Hasil yang berbeda ini dapat disebabkan
karena kelompok yang memiliki pendapatan tertinggi pada PNS yang
dijadikan responden merupakan generasi digital immigrant yang lebih
sering terjun langsung ke lapangan atau masyarakat untuk monitoring
ataupun sosialisasi program perkebunan dan peternakan dibandingkan
belajar atau menggunakan TIK yang menurut mereka sulit untuk
memahaminya dan harus dipelajari lagi (Valens, 2012).
76
4. Strategi Pengurangan Kesenjangan Digital
Kesenjangan digital yang terjadi di Dinas Perkebunan Dan Peternakan
Kabupaten Tapanuli Selatan berada pada kategori sedang. Oleh karena itu,
perlu disusun usulan perbaikan yang dapat mengurangi kesenjangan antar
SDM sehingga terciptanya SDM yang handal dan memiliki kualifikasi yang
baik dalam menjalankan teknologi yang akan membantu pelayanan berbasis
TIK terhadap masyarakat terutama pada sektor perkebunan dan peternakan.
Strategi pengurangan kesenjangan digital dalam tesis ini dimaksudkan
untuk meningkatkan kemampuan pegawai untuk dapat mengembangkan dan
menjalankan pelayanan publik dengan lebih baik. Terkait dengan kondisi
kesenjangan digital saat ini, maka diusulkan beberapa upaya yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki kondisi tersebut dalam rangka mengurangi
kesenjangan digital sebagai berikut :
a. Penanaman motivasi, menanamkan pola pikir akan pentingnya media
informasi untuk meningkatkan produktivitas kerja diberbagai aspek
kehidupan dan pembiasaan memanfaatkan TIK kepada tiap individu. Hal
ini bertujuan untuk bersama-sama berupaya mewujudkan pola kerja
dengan menggunakan TIK, sehingga diharapkan para PNS dapat
beradaptasi dan membiasakan diri untuk memanfaatkan ketersediaan akses
TIK yang ada dengan optimal untuk keperluan pekerjaan maupun
kepentingan kehidupan sehari-hari sehingga akan mengurangi kesenjangan
digital.
b. Penyiapan fasilitas infrastruktur TIK yang lebih memadai dari pada
kondisi saat ini, karena tidak dapat dipungkiri biaya untuk ketersediaan
fasilitas infrastruktur TIK saat ini masih tinggi, khususnya untuk
pengadaan dan pemeliharaan TIK, seperti komputer, internet, dan lain-lain.
c. Kebijakan TIK; dalam upaya mengurangi kesenjangan digital, perlu
adanya kebijakan manajemen yang berhubungan dengan pembangunan,
penanganan dan pengembangan TIK seperti melakukan pelatihan TIK
kepada pembuat keputusan, pegawai yang belum memiliki kemampuan
dasar TIK, serta pegawai yang sudah memiliki kemampuan dasar TIK;
77
d. Pelatihan TIK kepada pegawai; pelatihan dan pembelajaran secara
bertahap sesuai dengan kemampuan sumber daya dan prasarana yang
dimiliki setiap individu.
Tingkat kesenjangan digital yang terjadi di Dinas Perkebunan dan
Peternakan perlu dijembatani dengan melakukan pelatihan TIK kepada SDM
yang ada. Pelatihan TIK yang diusulkan terdiri dari dua bagian yaitu
perencanaan pelatihan, dan kurikulum pelatihan yang dijelaskan sebagai
berikut:
1) Perencanaan pelatihan
Beberapa faktor yang menjadi penentu kesuksesan pengembangan
keahlian pegawai negeri sipil adalah ketersedian strategi pelatihan dan
pengembangan, strategi komunikasi, dan indikator kinerja. Berikut ini
merupakan penjelasan untuk faktor-faktor diatas:
a) Strategi pelatihan dan pengembangan: kebutuhan akan strategi
pelatihan dan pengembangan merupakan komponen dari strategi
pengurangan kesenjangan digital. Fungsi dari sumber daya manusia
diharapkan untuk memberikan masukan kedalam pengembangan
strategi ini agar dapat sejalan dengan strategi organisasi keseluruhan.
b) Strategi komunikasi: strategi pelatihan dan pengembangan perlu
dikomunikasikan kepada para pegawai. Komunikasi dapat
membangun komitmen dan pemahaman dari para pegawai.
c) Indikator kinerja: Indikator kinerja dibutuhkan untuk peningkatan
yang kontinyu. Pengawasan terhadap target merupakan dasar untuk
menentukan pelatihan yang dibutuhkan.
2) Kurikulum Pelatihan
Dalam rangka memberikan pelatihan kepada pegawai untuk
mengurangi kesenjangan digital, terdapat 2 (dua) usulan kurikulum
pelatihan untuk pembuat keputusan, pegawai yang sudah memiliki
kemampuan dasar TIK dan pegawai yang belum memiliki kemampuan
dasar TIK, seperti dijelaskan berikut ini:.
78
a) Kurikulum Pelatihan untuk Pembuat Keputusan
Kepala Dinas dan Sekretaris bertindak sebagai pembuat
keputusan, sehingga dibutuhkan pengetahuan tentang TIK agar
termotivasi untuk membuat kebijakan dalam mendukung
pembangunan, dan pengembangan TIK dalam upaya penyelenggaraan
e-government di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli
Selatan. Usulan kurikulum yang diberikan terdiri dari modul seperti
terlihat pada Tabel 18 di bawah ini:
Tabel 18. Kurikulum Pelatihan untuk Pembuat Keputusan
Modul Judul Komponen
Modul 1 Memahami Konsep Pelayanan
Publik dengan TIK (e-Government)
• Definisi • Fokus • Peran • Penilaian Organisasi
Modul 2 Kemampuan Dasar TIK
• Hardware • Software • Sistem Jaringan dan
Komunikasi Data
Modul 3 Internet dan E-Goverment
• Sistem Informasi Berbasis Web (Internet)
• Kebijakan tentang e-Government
• Praktek Penggunaan Internet
Modul 4 Sistem Informasi Manajemen
• Konsep Sistem Informasi Manajemen
• Analisa Sistem • Pengembangan Aplikasi
SIM • Sumber Daya Manusia
Modul pertama yang diusulkan adalah pemahaman konsep
e-Government yang memberikan dasar tentang model bisnis
e-Government. Modul kedua fokus pada konsep dasar teknologi yang
dapat meningkatkan pemahaman dan komunikasi tentang kemampuan
dasar TIK dengan pakar teknologi. Konsep kemampuan dasar
teknologi meliputi hardware, software, dan infrastruktur mengenai
sistem jaringan dan komunikasi data yang memberikan pandangan
menyeluruh terhadap e-Government. Modul ketiga menitikberatkan
79
pada pengenalan terhadap internet dan kebijakan-kebijakan untuk
mendukung e-Government, kemudian dipraktekkan agar lebih mudah
untuk dipahami. Modul keempat berisi konsep Sistem Informasi
Manajemen (SIM) yang meliputi data, informasi, pengelolaan sumber
daya informasi, perencanaan strategis, keputusan presiden dan inisiatif
pemerintah dalam mengembangkan sistem informasi. Selanjutnya
analisa sistem sebagai pendekatan bagaimana mengembangkan SIM
apakah dengan mandiri atau menggunakan outsourcing dan
pengembangan sumber daya manusia untuk mengenalkan teknologi
informasi.
b) Kurikulum Pelatihan untuk Pegawai
Kurikulum ini ditujukan untuk pegawai yang mengalami
kesenjangan digital sebagai pelaksana e-Government, namun pelatihan
dan pembelajaran disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki
setiap individu. Usulan kurikulum yang diberikan terdiri dari modul
untuk SDM yang sama sekali tidak memiliki kemampuan dasar TIK
dan kurikulum untuk SDM yang memiliki kemampuan dasar TIK.
Kurikulum yang dapat diusulkan untuk pelatihan kepada SDM yang
belum memiliki kemampuan dasar TIK adalah sebagai berikut:
Tabel 19. Kurikulum Pelatihan untuk Pegawai yang Tidak Memiliki
Kemampuan Dasar TIK
Modul Judul Komponen
Modul 1 Memahami Konsep Pelayanan
Publik dengan TIK (e-Government)
• Definisi • Fokus • Peran • Penilaian Organisasi
Modul 2 Kemampuan Dasar TIK
• Hardware • Software • Penggunaan komputer
dan Inernet • Aplikasi Office
80
Modul pertama berisi tentang pemahaman konsep e-
Government yang meliputi gambaran dasar dan keuntungan yang
dapat diberikan e-Government dalam penyelenggaraan proses
pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik. Modul kedua
berisi tentang literasi teknologi informasi dasar, yang mencakup
pengenalan hardware, software, komputer dan internet dan
kemampuan dalam menggunakan aplikasi office. Kurikulum yang
dapat diusulkan untuk pelatihan kepada SDM yang sudah memiliki
kemampuan dasar TIK adalah sebagai berikut:
Tabel 20. Kurikulum Pelatihan untuk Pegawai yang Memiliki Kemampuan Dasar TIK
Modul Judul Komponen
Modul 1 Memahami Konsep Pelayanan
Publik dengan TIK (e-Government)
• Definisi • Fokus • Peran • Penilaian Organisasi
Modul 2 Kemampuan TIK
• Pendalaman pengetahuan komputer dan internet serta aplikasi Office
• Penggunaan Sistem Operasi Open Source
• Aplikasi pendukung produktifitas
Modul 3 Kemampuan Pelayananan Publik dengan TIK
• Sesuai dengan bidang masing-masing
Modul pertama berisi tentang pemahaman konsep
e-Government yang sama dengan kurikulum pelatihan yang
diusulkan untuk SDM yang belum memiliki kemampuan dasar TIK.
Modul kedua berisi tentang pendalaman pengetahuan mengenai
komputer, internet dan aplikasi office, pelatihan sistem operasi open
source, serta pelatihan aplikasi yang dapat mendukung produktifitas
kerja pegawai. Modul ketiga adalah pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan terhadap pelayanan publik dengan TIK sesuai dengan
bidang kerja masing-masing pegawai.
81
Strategi pengurangan kesenjangan digital yang diusulkan
dalam penelitian ini, diharapkan tercapainya pemerataan kemampuan
penguasaan TIK antar SDM di Dinas Perkebunan dan Peternakan
Kab. Tapanuli Selatan dan bisa menjadi bahan rujukan bagi instansi-
instansi lain untuk melakukan upaya pengurangan kesenjangan
digital anar SDM yang dimiliki masing-masing instansi, tidak hanya
pemerataan kemampuan TIK di lingkungan pemerintah Daerah,
namun juga dilingkungan masyarakat Kab. Tapanuli Selatan. Jika
hal ini tercapai, pembuat keputusan tidak ragu lagi membuat
kebijakan mengenai TIK dalam upaya mendukung pelayanan publik
berbasis TIK (e-Government) di Pemerintahan Daerah Kab. Tapanuli
Selatan.
Manfaat yang dapat diperoleh dengan berjalannya e-
Government di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli
Selatan terciptanya pembinaan terhadap petani secara dua arah tanpa
ad hambatan mengeni jarak lokasiserta sebagai sarana mengurangi
kesenjangan akses informasi di sektor agribisnis antara petani on
farm dan pedagang besar, karena pada umumnya petani on farm
paling menderita dengan margin keuntungan paling kecil,
keuntungan paling besar dinikmati oleh pedagang besar yang pada
umumnya bukan petani karena mampu mengakses informasi secara
cepat, sehingga setiap perubahan yang terjadi dapat segera direspon
(Renstra Pusdatin Pertanian 2006-2009).
82
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang disajikan dalam bentuk deskripsi data,
pengujian validitas dan reliabilitas serta pembahasan, maka ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM di Dinas Perkebunan
dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Selatan dilihat dari aspek
kesenjangan akses TIK berada pada kategori tinggi berdasarkan rata-rata
dari sub indikator kesenjangan akses TIK yaitu: penggunaan komputer
berada pada kategori sedang, kepemilikan komputer berada pada kategori
rendah, penggunaan internet berada pada kategori sedang dan
kepemilikan akses internet dirumah berada pada kategori rendah;
2. Tingkat kesenjangan digital yang terjadi antar SDM di Dinas Perkebunan
dan Peternakan Kabupaten Tapanuli Selatan dilihat dari aspek
kesenjangan kemampuan TIK berada pada kategori sedang;
3. Tingkat kesenjangan digital di Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab.
Tapanuli Selatan jika dilihat dari aspek demographic yaitu: pada umur
41-50 tahun dan >50 tahun mengalami kondisi kesenjangan digital yang
tinggi, sementara pada usia <30 tahun dan 30-40 tahun mengalami
kondisi kesenjangan digital yang rendah. Pada kelompok jenis kelamin,
laki laki mengalami kondisi kesenjangan digital yang tinggi sementara
wanita mengalami kesenjangan digital yang sedang. Pada kelompok
tingkat pendidikan, SMA mengalami kondisi kesenjangan digital yang
tinggi sementara pada S1 mengalami kesenjangan digital sedang. Pada
kelompok tingkat penghasilan 700 ribu-2 juta dan 4-5 juta mengalami
kondisi kesenjangan digital yang tinggi sementara pada penghasilan 2-3
juta dan 3-4 juta mengalami kesenjangan digital yang sedang.
83
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka implikasi dari penelitian ini adalah:
1. Hasil dari pengukuran tingkat kesenjangan digital antar SDM di Dinas
Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan yang dilihat dari aspek
kesenjangan akses TIK, kemampuan TIK dan demographic menjadi
evaluasi bagi pembuat keputusan untuk mengupayakan pemerataan
penguasaan TIK agar kesenjangan digital dapat dikurangi dengan
menyusun strategi pengurangan kesenjagan digital;
2. Strategi pengurangan kesenjangan digital yang diusulkan dalam penelitian
ini dapat menjadi rujukan bagi pembuat keputusan untuk menjembatani
kesenjangan digital di Pemerinthan Daerah Kab. Tapanuli Selatan.
C. Saran
Terdapat beberapa saran dari hasil penelitian ini, antara lain:
1. Penelitian selanjutnya dapat meneliti kesenjangan digital dengan
menggunakan instrumen yang sama yaitu SIBIS, namun dengan indikator
indikator yang lain yang ada di SIBIS sesuai dengan lingkup penelitian;
2. Penelitian ini fokus pada sumber daya manusia sebagai penyebab
kesenjangan digital. Sehingga disarankan pada penelitian selanjutnya dapat
dilakukan pada penyebab kesenjangan digital yang lain seperti
infrastrukur, ketersediaan aplikasi, kebijakan manajemen, kekurangan
isi/materi dan kurangnya pemanfaatan akan internet itu sendiri;
3. Strategi pengurangan kesenjangan digital yang diusulkan dalam penelitian
ini dapat dilakukan ujicoba oleh pembuat keputusan dalam lingkup yang
kecil untuk dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya penyusunan
strategi pengurangan kesenjangan digital dengan lingkup yang lebih luas.
85
DAFTAR RUJUKAN
Aditya, Youdant. 2011. Analisis Data Penelitian Kuantitatif. (http://youdant.wordpress.com/2011/06/13/98/ diakses 25 November 2012).
Annan, Kofi. 2003. World Summit on the Information Society, Geneva, Swiss (http://www.itu.int/wsis/geneva/coverage/statements/opening/annan.html di akses tanggal 30 Sepetember 2012).
Badan Kepegawaian Daerah. 2012. Data Penerimaan PNS formasi 2008 s/d 2010. Tapanuli Selatan.
Barzilai, Karline dan Nahon. 2006. Gaps and Bits: Conceptualizing Measurements for Digital Divide. The Information School, University of Washington, Seattle, Washington, USA
Boeree, C.G. 2006. Personality Theories: Erik Erikson 1902 – 1994. (http://webspace.ship.edu/cgboer/erikson.html, diakses 22 Oktober 2012).
Camacho, K. 2005 : Digital Divide, Multicultural Perspectives on Information Societies, C & F Editions.
Choi, Heung Suk., Lee, Jae Ung. 2004. Measuring Digital Divide with Korea Personal Informatization Indices (KPII). KADO.
Departemen Dalam Negeri, 2007. Modul 2: Internet dan E-Government. Diklat Teknis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta.
Devi, dkk, 2012. The Digital Divide. Makalah. Fakultas Teknologi Industri. Universitas Gunadarma. Jakarta.
Dewan, S. dan Riggins, F.J. 2005. The Digital Divide: Current and Future Research Directions, Journal of the Association for Information Systems.
Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika. 2012. Kondisi dan hambatan pelaksanaan e-government di Tapanuli Selatan. Dinas Perhubungan, Informatika dan Komunikasi Kab. Tapanuli Selatan.
Donny. 2012. Kesenjangan Digital: Krisis atau Mitos?. (http://iwita.or.id/kesenjangan-digital-krisis-atau-mitos/ diakses 13 januari 2013)
Economist Intelligence Unit. 2010. Digital Economy Rankings 2010. Beyond e-readiness. Written in co-operation with The IBM Institute for Business Value.
86
Faruqi, Ismail. 2007. Merevisi Kebijakan TIK Indonesia. (http://ismailfaruqi. wordpress.com/2007/02/16/merevisi-kebijakan-TIKindonesia/, diakses 21 Oktober 2012).
Felstead, A, dkk. 2002. Work Skills in Britain 1986-2001, (http://www.skope.ox.ac.uk/publications/skills-work-1986-2006, di akses 12 Oktober 2012).
Fong, E, dkk. 2001. Correlates of the Digital Divide: Individual, Household and Spatial Variation, Department of Sociology, University of Toronto.
Friedman, Thomas L. 2000. “Electronic Herd”, dalam the Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalisation, New York: Anchor Books.
Gelder, Alec Van. 2006. “Fashion and Foreign Aid: A Realistic Look at the ‘Digital Divide”, Review-Institute of Public Affairs, Vol. 58, No. 1.
Hargittai, E. 2003. The Digital Divide and What To Do About It, Sociology Department Princeton University.
Hubeis, Aida Vitayala S. 2010. Perilaku Masyarakat Dalam Pemanfaatan Information And Communication Technology Dalam Mendukung Pengembangan Masyarakat Global. Makalah. Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FORKAPI).
Indrajit, Richardus Eko, 2002. Electronic Government: Strategi Pembangunan dan Pengembanan Sistem Pelayanan Publik Berbasis Teknologi Digital. Penerbit Andi: Yogyakarta.
Instruksi Presiden. No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government. Indonesia.
Internet World Stats. 2011. Telecommunications and Broadband in Asia - Special Reports. (http://www.internetworldstats.com/stats3.htm#asia), diakses 12 Oktober 2012).
Maseleno, Andino, 2003. Kamus Komputer dan TIK. Kuliah Pengantar Ilmu komputer. (http://ilmukomputer.com, diakses 29 Januari 2013).
Keputusan Presiden No. 20 Tahun 2006 Tentang Dewan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Nasional (DTIKNas), Indonesia.
Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD). 2001. Understanding the digital divide. OECD Publication: Paris.
Parayil, Govindan. 2005. “The Digital Divide and Increasing Returns; Contradiction of Informational Capitalism”. The Information Society, No. 21.
87
Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Pembentukan Dinas-Dinas di Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan. Indonesia.
Prensky, M. 2001. Digital Natives, Digital Immigrants On the Horizon. Press, Vol. 9 No. 5, October 2001. MCB University.
Rencana Strategis Tahun 2011 Dinas Perkebunan dan Peternakan Kab. Tapanuli Selatan. Indonesia.
Ross, Jane and Bayne, Sian. 2007. The digital native and digital immigrant: a dangerous opposition. Annual Conference of the Society for Research into Higher Education (SRHE). University of Edinburgh.
Samekto, Irbar. 2010. Analisis Kebutuhan (Need Assessment) Terhadap Pelatihan Teknologi Informasi Dan Komunikasi. Makalah. Badan Penelitian dan Pengembangan SDM. Kementrian Komunikasi dan Informatika RI. Indonesia.
Satriya, Eddy. 2004. USO telekomunikasi (seri tulisan ICT), (http://eddysatriya.blogspot.com/2004/06/uso-telekomunikasi-seri-tulisan ict.html, diakses 6 September 2012).
Secker, J and Price, G. 2004. Developing the e-Literacy of academics: case studies from LSE and the Institute of Education, University of London. JeLit.
Selhofer H., Husing T. 2001. The Digital Divide Index – A Measure of Social Inequalities in The Adoption of ICT. Empirica.
Sembiring, Tifatul. 2011. Indonesia Masih Hadapi Kesenjangan Digital. (http://kominfo.go.id/berita/detail/1346/Menkominfo%3A+Indonesia+masih+hadapi+kesenjangan+digital+, diakses 12 Oktober 2012).
SIBIS. 2002. SIBIS: General Population Survey Basic Data, European Community: Empirica. Germany.
SIBIS. 2003. SIBIS : New eEurope Indicator Handbook, University of Applied Sciences Solothurn Northwest Switzerland, European Commission Publication.
Simanjuntak, Melling. 2012. Pertambahan Pesat Populasi Pribumi Digital Indonesia dan Implikasinya Terhadap Kepustakawanan Pendatang Digital. Vol.14 No.1 - April 2012, (http://www.pnri.go.id/MajalahOnline Add.aspx?id=215 diakses 1 Februari 2013).
Singarimbun, M dan Sofian Effendi. 1997, Metode Penelitian Survai. LP3ES: Jakarta.
88
Sing, Sumanjeet. 2009. Digital Divide in India: Measurement, Determinants and Policy for Addressing the Challenges in Bridging the Digital Divide. Department of Commerce. University of Delhi.
Sutadi, Heru, dkk. 2007. Tugas Berat Menanti Dewan TIK Nasional, (http://majalaheindonesia.com/detiknas-ed17_6.htm, Detiknas Edisi No.17 / 6, diakses 28 Agustus 2012).
Syawaluddin, 2012. Teknologi Informasi dan Komunikasi. Universitas Negeri
Malang. (http://elearning.unm.ac.id/course/info.php?id=282, diakses 25 November 2012).
Ubaidillah. 2012. Teknik Analisis Data Kuantitatif. Universitas Yudharta
Pasuruan. (http://mabadik.wordpress.com/2010/07/10/teknik-analisis-data-kuantitatif/, diakses 25 November 2012).
Van Dijk, Jan. 2000. “The Digital Divide As a Complex and Dynamic Phenomenon”, dalam Hacker, Ken & Van Dijk, Jan. 2000. Digital Democracy, Issues od Theory and Practices. London.
Valens, Riyadi. 2012. Penggunaan Internet Terbesar Di Indonesia adalah Kaum
Muda. (http://www.kabar24.com/index.php/pengguna-internet-terbesar-di-indonesia-adalah-kaum-muda/ diakses 1 Februari 2013).
Vehovar, Vasja; et all. 2006. Methodological Challenges of Digital Divide Measurements. The Information Society, 22:279-290.
Wenhong, Chen., Barry Wellman. 2003, Charting and Bridging Digital Divides:
Comparing Socio-economic, Gender, Life Stage, and Rural Urban Internet Access and Use in Eight Countries. AMD Global Consumer Advisory Board (GCAB).
Wikipedia. 2012. Definisi Teknologi Informasi. (http://www.wikipedia.org/wiki/ InformationTechnology) hal. 1, diakses 30 September 2012).
Windasari, Ike Pertiwi. 2009. “Model Pengukuran Dan Strategi Pengurangan Kesenjangan Digital Untuk Mendukung e-Government Dalam Institusi Pemerintah Daerah (Studi Kasus: Pemerintah Kota Semarang)”. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana ITB.
Yulfitri, Alivia. 2008. “Pemodelan Pengukuran Untuk Mengurangi Kesenjangan Digital Di Indonesia Studi Kasus: SMU Negeri Kotamadya Bandung”. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana ITB.
Yulfitri, Alivia. 2008. Pengukuran Kesenjangan Digital Di Lingkungan Pegawai Pemerintah. e-Indonesia Initiative 2008. Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia, Jakarta.