24
Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310 PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK EIGENDOM (STUDI KASUS SENGKETA YANG MELIBATKAN AHLI WARIS KELUARGA AM DAN PT. PJ) Ramzi Farhan ABSTRAK Ketentuan dalam Bagian Kedua Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengatur tentang Ketentuan-ketentuan Konversi, termasuk hak eigendom. Dari pernyataan di dalam Pasal 1 Ketentuan- ketentuan Konversi dapat diartikan bahwa hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya UU a quo sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tanah tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21 UUPA yaitu bukan warga negara Indonesia. Dalam kenyataannya masih banyak orang yang belum melakukan konversi hak atas tanah sebagaimana ditentukan oleh UUPA. Sebagai akibatnya muncul sengketa seperti yang ditemukan dalam kasus yang melibatkan ahli waris AM dan PT. PJ, di mana kedua pihak mengklaim sebagai pemilik tanah dengan alas hak eigendom. Penelitian ini dilakukan dengan mengangkat permasalahan terkait pengakuan hak Eigendom menurut ketentuan hukum di Indonesia. Selain itu juga mekanisme penyelesaian sengketa tanah dengan alas hak Eigendom dalam kasus yang diteliti. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan memakai pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil analisis yang diperoleh dalam penelitian ini adalah meskipun hak Eigendom sudah tidak diakui, namun untuk tanah yang masih dilekati dengan hak Eigendom dapat diajukan permohonan hak milik ke BPN dengan menggunakan surat pernyataan penguasaan fisik yang disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. Adapun penyelesaian sengketa kepemilikan tanah ditempuh melalui BPN, untuk mengeluarkan keputusan penegasan pihak yang berhak atas tanah, Pengadilan Negeri setempat untuk pengajuan gugatan, dan atau Kepolisian guna membuat laporan terjadinya tindak pidana. Kata kunci: tanah, hak eigendom, sengketa kepemilikan tanah. 1. PENDAHULUAN Tanah merupakan karunia Tuhan bagi bangsa Indonesia yang oleh negara dikuasai untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, baik yang dimiliki oleh seorang, kelompok orang, dan atau badan hukum. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Mereka akan hidup senang dan berkecukupan apabila dapat menggunakan tanah yang dikuasai atau dimilikinya, sehingga manusia akan dapat hidup tenteram dan damai apabila menggunakan hak dan kewajibannya atas tanah sesuai dengan batas-batas tertentu yang berlaku dalam kehidupan bersama di masyarakat. Indonesia yang terdiri dari beribu pulau memiliki sumber daya alam yang sangat berharga di mana keseluruhan itu semestinya digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa dan negara. Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang secara konstitusional memberikan landasan hukum tentang penggunaan bumi

PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

  • Upload
    others

  • View
    10

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN

HAK EIGENDOM (STUDI KASUS SENGKETA YANG

MELIBATKAN AHLI WARIS KELUARGA AM DAN PT. PJ)

Ramzi Farhan

ABSTRAK

Ketentuan dalam Bagian Kedua Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengatur tentang Ketentuan-ketentuan

Konversi, termasuk hak eigendom. Dari pernyataan di dalam Pasal 1 Ketentuan-

ketentuan Konversi dapat diartikan bahwa hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai

berlakunya UU a quo sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai

tanah tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21 UUPA yaitu bukan

warga negara Indonesia. Dalam kenyataannya masih banyak orang yang belum

melakukan konversi hak atas tanah sebagaimana ditentukan oleh UUPA. Sebagai

akibatnya muncul sengketa seperti yang ditemukan dalam kasus yang melibatkan ahli

waris AM dan PT. PJ, di mana kedua pihak mengklaim sebagai pemilik tanah dengan alas

hak eigendom. Penelitian ini dilakukan dengan mengangkat permasalahan terkait

pengakuan hak Eigendom menurut ketentuan hukum di Indonesia. Selain itu juga

mekanisme penyelesaian sengketa tanah dengan alas hak Eigendom dalam kasus yang

diteliti. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan memakai

pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Hasil analisis yang diperoleh

dalam penelitian ini adalah meskipun hak Eigendom sudah tidak diakui, namun untuk

tanah yang masih dilekati dengan hak Eigendom dapat diajukan permohonan hak milik

ke BPN dengan menggunakan surat pernyataan penguasaan fisik yang disaksikan oleh 2

(dua) orang saksi. Adapun penyelesaian sengketa kepemilikan tanah ditempuh

melalui BPN, untuk mengeluarkan keputusan penegasan pihak yang berhak atas tanah,

Pengadilan Negeri setempat untuk pengajuan gugatan, dan atau Kepolisian guna

membuat laporan terjadinya tindak pidana.

Kata kunci: tanah, hak eigendom, sengketa kepemilikan tanah.

1. PENDAHULUAN

Tanah merupakan karunia Tuhan bagi bangsa Indonesia yang oleh negara dikuasai

untuk kepentingan hajat hidup orang banyak, baik yang dimiliki oleh seorang, kelompok

orang, dan atau badan hukum. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan

dengan cara mendayagunakan tanah. Mereka akan hidup senang dan berkecukupan

apabila dapat menggunakan tanah yang dikuasai atau dimilikinya, sehingga manusia akan

dapat hidup tenteram dan damai apabila menggunakan hak dan kewajibannya atas tanah

sesuai dengan batas-batas tertentu yang berlaku dalam kehidupan bersama di masyarakat.

Indonesia yang terdiri dari beribu pulau memiliki sumber daya alam yang sangat

berharga di mana keseluruhan itu semestinya digunakan untuk mewujudkan

kesejahteraan bangsa dan negara. Sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD

1945 yang secara konstitusional memberikan landasan hukum tentang penggunaan bumi

Page 2: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

698

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dikuasai oleh negara untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat.1 Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang

Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(selanjutnya disebut UUPA) menegaskan amanat dari konstitusi tersebut, yang

menyatakan bahwa: “Seluruh bumi, air dan luar angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya, dalam wilayah republik Indonesia adalah sebagai karunia tuhan

yang maha esa.”2 Dari ketentuan ini dapat dinyatakan bahwa pemanfaatan bumi, air, dan

ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ditujukan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

Pernyataan Pasal 1 ayat (2) UUPA tersebut merupakan pengaturan dari hak

bangsa yang merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah bersama dan menjadi

induk bagi hak-hak penguasaan lain atas tanah. Dari pengertian dalam Pasal 1 ayat (2)

UUPA tersebut dapat dikemukakan bahwa sumber daya alam tanah merupakan bagian

hak berbangsa yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia, sehingga hak atas tanah

merupakan hak berbangsa bagi manusia yang secara hukum berisikan penguasaan dan

pemilikan atas tanah tersebut.3

Pengertian tanah dapat dipakai dalam berbagai arti, sehingga penggunaannya

perlu diberi batasan agar dapat diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA, tanah diartikan sebagai permukaan

bumi.4 Bahwa “atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam

hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai

oleh orang-orang. Dengan demikian, definisi tanah secara yuridis adalah permukaan

bumi, sedang hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang

berbatas, berdimensi 2 (dua) dengan ukuran panjang dan lebar.”5

Oleh karena itu tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan tersebut

bukanlah kepunyaan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Mereka hanya

diperbolehkan menggunakannya dengan pembatasan sebagaimana dinyatakan dalam

Pasal 4 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa “sekedar diperlukan untuk kepentingan

yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut

undang-undang ini dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi.”

Menurut UUPA, penggunaan tanah untuk mengambil manfaatnya tidak hanya

terbatas pada permukaan bumi saja, tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air

serta ruang angkasa yang ada di atasnya. Sedalam apa tubuh bumi itu boleh digunakan

dan seberapa tinggi ruang yang ada di atasnya boleh digunakan, ditentukan oleh tujuan

penggunaanya dalam batas-batas kewajaran, perhitungan teknis kemampuan tubuh

1 Bachtiar Effendie, Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 2.

2 Indonesia, Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 5 Tahun

1960, LNRI Nomor 104 Tahun 1960, TLNRI Nomor 2043, Ps. 1 ayat (2).

3 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah

(Jakarta: Djambatan, 2009), hlm. 26.

4 Indonesia, Undang-undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 5 Tahun 1960,

LNRI Nomor 104 Tahun 1960, TLNRI Nomor 2043, Ps. 4 ayat (1).

5 Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, (Sejarah Penyusunan UUPA, Isi dan

Pelaksanaannya) Jilid 2, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 18.

Page 3: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

699

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

buminya sendiri, kemampuan pemegang haknya serta ketentuan peraturan perundangan-

undangan yang bersangkutan.6

Dalam UUPA, asas hak menguasai negara atas tanah itu diatur dan diturunkan ke

macam-macam hak atas tanah yang diberikan kepada orang maupun badan hukum.

Negara memberikan beberapa macam hak atas tanah kepada perorangan atau badan

hukum dengan maksud agar si pemegang hak mengelola tanah sesuai hak tersebut sejauh

tidak bertentangan dengan batas-batas yang ditetapkan negara. Pemegang hak juga

dibebani kewajiban untuk mendaftarkan hak atas tanah itu dalam rangka menyokong

kepastian hukum. UUPA serta aturan-aturan pelaksananya memberikan perwujudan

jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia.

Pendaftaran hak atas tanah merupakan sarana penting dalam membangun dan

mewujudkan kepastian hukum dan penataan kembali penggunaan, penguasaan, dan

pemilikan tanah.7

Pada masa penjajahan Belanda, hukum pertanahan di Indonesia bersifat dualistis,

dimana hukum tanah adat yang telah ada sejak lama digunakan bersama-sama dengan

hukum tanah barat sebagai ketentuan pokoknya.8 Selain bersifat dualistis, hukum

pertanahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berjiwa liberal individualistis,

karena pada saat itu berlaku ketentuan-ketentuan pokok dan asas hukum agraria barat

yang bersumber pada KUHPerdata, dimana pemberlakuannya berdasarkan asas

konkordansi. Hukum pertanahan pada masa pemerintahan Hindia Belanda menggunakan

sistem hukum tanah barat yang berkonsepsi individualistis. Hak penguasaan atas tanah

yang tertinggi adalah hak milik pribadi yang disebut hak Eigendom.9 Hukum pertanahan

tersebut tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan falsafah dan konsepsi hukum adat

masyarakat nusantara yang menekankan gotong-royong dan kekeluargaan. Tetapi, hukum

adat kita tidak lengkap untuk mengatur seluruh kehidupan dalam masa penjajahan

Belanda tersebut. Di dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat nusantara yang melakukan

pergaulan sosial mau tidak mau berhubungan dengan orang Belanda dan timur asing,

maka secara diam-diam masyarakat nusantara pada akhirnya tunduk dan menggunakan

hukum barat tersebut sebagai hukum positif di Hindia Belanda.

Hukum tanah adat merupakan sumber utama dalam pembangunan hukum

pertanahan nasional yang berarti bahwa pembangunan hukum pertanahan nasional

dilandasi konsepsi hukum tanah adat yaitu komunalistik religius, yang mana

memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang

bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan.10 Sedangkan hukum tanah barat

adalah hukum yang mengatur tanah-tanah barat atau tanah-tanah Eropa yang terdaftar

pada kantor pendaftaran tanah menurut Overschrijving Ordonnantie atau ordonansi balik

6 Ibid.

7 Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, hlm. 26.

8 Elza Syarief, Pensetifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, (Jakarta: Kepustakaan Populer

gramedia, 2014), hlm. 27.

9 Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, hlm. 185.

10 Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,

hlm. 229.

Page 4: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

700

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

nama (S. 1834-27) yang dimuat di dalam Engelbrecht 1954.11 Tanah-tanah barat ini

tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum tanah barat. Misalnya mengenai cara

memperolehnya, mengalihannya, menghapus hak tersebut, dan membebankannya dengan

hak-hak lain dan wewenang-wewenang serta kewajiban yang mempunyai hak.12

Hak barat yang diatur dalam buku II KUHPerdata berakhir pengakuannya

sebagaimana yang diatur dalam UUPA karena menganut prinsip nasionalitas. Ketentuan

yang mengatur ini dapat dilihat pada Pasal 21 ayat (2), Pasal 30 ayat (2), Pasal 36 ayat

(2), Pasal 27 ayat (4), dan Pasal 41 hingga Pasal 45 UUPA dan Peraturan Pemerintah No.

38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak

Milik atas Tanah. Aturan-aturan tersebut mengatur untuk melarang kepemilikan tanah di

Indonesia oleh warga negara asing (WNA).13 Selain itu, juga terdapat hak kepemilikan

asal tanah adat seperti tanah-tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah

bengkok, tanah agrarisch eigendom, dan lain-lain.14

Tanah-tanah Indonesia, yaitu tanah dengan hak-hak Indonesia, hampir semuanya

belum terdaftar kecuali tanah-tanah agrarisch eigendom (S. 1873-38), tanah-tanah milik

di dalam kota-kota karesidenan surakarta (Rijksblad Surakarta 1938 No. 14), tanah-tanah

grant di Sumatra bagian timur.15 Tidak semua tanah-tanah Indonesia menyandang status

tanah hak asli adat, tetapi ada juga yang berstatus buatan atau ciptaan pemerintah Hindia

Belanda, misalnya, tanah agrarisch eigendom yang didasarkan pada ketentuan Pasal 51

ayat 6 IS. Tanah-tanah Indonesia tunduk pada hukum agraria adat, sepanjang tidak

diadakan ketentuan khusus untuk hak-hak tertentu, misalnya untuk hak agrarisch

eigendom berlaku ketentuan yang dimuat di dalam S. 1872-117.16

Sebelum berlakunya UUPA, terdapat beberapa jenis hak atas tanah yaitu bekas

hak milik barat yang disebut Eigendom Verponding dan bekas hak milik adat atau yang

disebut Verponding Indonesia (girik). Untuk tanah-tanah bekas hak milik barat atau

Eigendom Verponding setelah tahun 1960, diberikan kesempatan untuk dikonversi oleh

warga masyarakat yang telah menempati dan menguasai tanah tersebut. Konversi tanah

dilakukan dengan 2 (dua) cara sesuai dengan ketentuan dalam UUPA, khususnya tentang

aturan konversi, yang meliputi konversi wajib dan konversi atas permohonan pemilik.17

Konversi wajib terhadap tanah-tanah hak barat yang tidak memenuhi syarat kepemilikan,

berlaku hanya selama 1 tahun.18 Adapun konversi atas permohonan dilakukan selama 20

11 Soetojo M, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pelaksanaan Landreform, (Jakarta:: Staf

Penguasa Perguruan Tertinggi, 1961), hlm. 62.

12 Ibid., hlm. 62.

13 Parlindungan A.P., Berakhirnya Hak-hak atas Tanah menurut Sistem UUPA (Undang-Undang

Pokok Agraria) (Bandung: CV Mandar Maju, 2001), hlm. 7.

14 Soetojo M, Undang-Undang Pokok Agraria , hlm. 59.

15 Ibid.

16 Soebekti. R, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1975), hlm. 54.

17 Indonesia, Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 5

Tahun 1960, LNRI Nomor 104 Tahun 1960, TLNRI Nomor 2043, ketentuan bagian kedua.

18 Andrian Sutedi, Pengakuan Hak Milik Atas Tanah Menurut Undang-undang Pokok Agraria,

(Jakarta: BP Cipta Jaya, 2006), hlm. 158.

Page 5: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

701

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

tahun dan berakhir pada tahun 1980.19 Pengertian mengenai konversi merupakan

perubahan lama hak atas tanah menjadi hak baru, pengertian dari “hak lama” adalah hak-

hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA sedangkan “hak baru” adalah hak atas tanah

sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA.20

Pengaturan mengenai hak Eigendom itu sendiri terdapat di Pasal 570 Buku II

KUHPerdata dan telah dinyatakan dicabut setelah berlakunya UUPA. Kemudian, Pasal I

ayat (1) sampai Pasal XI Bagian Kedua UUPA mengatur tentang ketentuan-ketentuan

konversi hak atas tanah termasuk di dalamnya hak Eigendom menjadi hak milik. UUPA

tidak mengatur mengenai definisi konversi hak atas tanah. Namun, pengertian konversi

hak atas tanah itu sendiri adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak tanah yang ada

sebelum berlakunya UUPA (dalam hal ini, hak Eigendom) untuk masuk dalam sistem

dari UUPA, yakni kegiatan menyesuaikan hak-hak atas tanah lama menjadi hak-hak atas

tanah baru yang dikenal dalam UUPA.21

Akan tetapi pengaturan mengenai lamanya batas waktu dilakukannya konversi

adalah selama 20 tahun (dua puluh) sejak diundangkannya UUPA yaitu sampai dengan

tanggal 24 September Tahun 1980. Apabila atas objek tanah tersebut tidak dilakukan

konversi maka hak Eigendom tersebut menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.22

Pentingnya untuk memenuhi persyaratan konversi tanah hak Eigendom salah satunya

untuk dijadikan sebagai objek jaminan, yang mana pada saat ini tanah tidak hanya

dianggap sebagai tempat bermukim, namun juga dipakai sebagai jaminan untuk

mendapatkan pinjaman di bank, untuk keperluan jual beli, sewa menyewa. Begitu

pentingnya, kegunaan tanah bagi kepentingan umum bagi orang atau badan hukum

sehingga sangat diperlukan adanya jaminan kepastian hukum atas tanah tersebut.23

Berdasarkan ketentuan konversi dalam UUPA yang dipertegas dengan

diterbitkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 tentang

Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal

Konversi Hak-Hak Barat (selanjutnya disebut Keppres No 32 Tahun 1979), bahwa setelah

dilakukan konversi dari Keppres No 32 Tahun 1979 dimaksudkan untuk menghilangkan

bekas kepemilikan barat, yang mana apabila bagi tanah-tanah yang tidak diselesaikan

haknya, maka akan kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.24 Aturan tersebut

diterbitkan guna menyelesaikan masalah yang timbul akibat berakhirnya jangka waktu

konversi hak barat selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980. Dalam Pasal 2

Keppres No 32 Tahun 1979 dijelaskan bahwa kepada pemegang hak bekas Eigendom

akan diberikan hak baru apabila memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggunakan

sendiri tanahnya tersebut.25 Apabila masyarakat dapat memenuhi persyaratan untuk

19 Ibid., hlm. 158.

20 Ibid.

21 Parlindungan, A.P, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, (Bandung: Bandung: Mandar Maju, 2007),

hlm. 1.

22 Perlindungan, Berakhirnya Hak-Hak atas tanah menurut sistem UUPA, hlm. 7.

23 Florianus, S.P Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah, (Jakarta: Visi Media, 2008),

hlm. 1.

24 Ibid., hlm. 17.

Page 6: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

702

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

mengajukan permohonan hak, maka tentu saja kepastian hukum dapat diperoleh.

Kepastian hukum dengan terpenuhinya syarat tersebut adalah melalui diterbitkannya

data-data tanah yang sudah diketahui sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi tanah

yang dimohonkan pensertipikatannya.26

Sengketa kepemilikan tanah bermunculan terkait konversi hak Eigendom,

terutama tanah yang sempat ditinggalkan atau ditelantarkan pemiliknya. Banyak orang

berusaha mendapat atau merebut pengakuan atas tanah bekas hak Eigendom entah yang

telah kembali dikuasai negara atau secara de facto digarap lewat keterangan garap atas

tanah atau populer dengan istilah hak atas, yang berkebalikan dengan pemegang titel

eigendom yang memegang hak bawah.27

Dalam kenyataannya, konversi hak atas tanah bekas Eigendom merupakan

persoalan yang sulit. Hal ini di antaranya disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai

ketentuan hukum yang berlaku seperti yang dialami oleh pemegang hak Eigendom atas

suatu tanah. Banyak pemilik tanah yang beralaskan hak Eigendom tidak atau belum

mengetahui ketentuan hukum pertanahan sehingga pada akhirnya beberapa dari mereka

ditipu dan diperdaya oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan atas tanah-tanah

yang dimilikinya. Ketiadaan atau kurangnya pengetahuan ini pada akhirnya berdampak

pada ketidakpatuhan pemilik tanah dengan hak Eigendom tersebut karena mereka tidak

melakukan konversi. Sebagai akibatnya, tanah yang dikuasainya dianggap sebagai tanah

yang tidak diketahui pemiliknya. Sehingga tanah tersebut tidak bisa diperjualbelikan dan

tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Sedangkan apabila seseorang selama

waktu yang lama membiarkan tanah yang ia miliki tidak dikerjakan dan tanah itu ternyata

dikerjakan orang lain, maka berdasarkan rechtsverwerking atau kaidah sita, maka

hilanglah hak yang mula-mula ia miliki tersebut dan ia pun tidak berhak menuntut haknya

kembali.28 Persoalan semacam ini menyulitkan pemerintah dalam melaksanakan tertib

administrasi terkait konversi tanah-tanah hak Eigendom menjadi tanah dengan hak-hak

penguasaan yang diatur dalam hukum tanah nasional.

Masih banyak hak atas tanah barat seperti hak Eigendom yang belum dikonversi,

akan tetapi tanah tersebut bahkan dikuasai oleh pihak lain.29 Sebagai salah satu contoh,

kasus yag diangkat tentang kepemilikan tanah hak Eigendom dengan nomor 57XX AM

yang tanahnya dikuasai oleh pihak lain dengan menggunakan Eigendom dengan nomor

52XX yaitu PT. PJ. permasalahan kasus ini menarik untuk diteliti karena berkaitan

dengan implementasi konversi hak Eigendom di Indonesia yang hingga saat ini dapat

dinyatakan sebagai belum efektif karena secara empiris masih banyak tanah yang

penguasaannya didasarkan pada hak barat. Selain itu permasalahan ini dapat memberikan

25 Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam

Rangka Pemerian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, Keppres No. 32 Tahun 1980, Ps.

2.

26 Syarief, Pensertipikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, hlm. 71.

27 Syarief, Pensertipikatan Tanah Bekas Hak Eigendom, hlm. 5.

28 Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, (Surabaya:

Arkola, 2002), hlm. 90-91.

29 Eko Wahyudi, “BPN Terima 9.000 Kasus, Setengahnya Terkait Mafia Tanah” diakses pada

website: www.bisnis.tempo.co/kasus-mafia-tanah, pada 05 Maret 2021.

Page 7: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

703

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

kepedulian terkait perlindungan hukum bagi pemegang hak Eigendom yang tanahnya

dikuasai oleh pihak lain dengan hak yang sama.

Dalam penelitian ini, meskipun juga menstudi tentang hak Eigendom, namun

perbedaannya dengan kedua riset sebelumnya adalah pada permasalahan pokok yang

diangkat untuk diteliti. Dalam penelitian ini, permasalahan utamanya adalah klaim atas

tanah yang disengketakan di mana kedua pihak sama-sama menggunakan dasar hak

Eigendom. Sedangkan dalam kedua riset sebelumnya adalah berkaitan dengan kalim atas

tanah yang disengketakan yang mana salah satu pihak menggunakan hak Eigendom dan

pihak lainnya menggunakan Erfpacht. Sengketa kepemilikan tanah yang dipilih untuk

diteliti adalah sengketa yang melibatkan ahli waris AM dengan PT. PJ. ahli waris AM

adalah pemegang hak Eigendom 57XX yang terletak di jalan Perintis Kemerdekaan, yang

pada tahun 2004 melakukan penguasan fisik terhadap tanahnya sendiri. Namun perbuatan

ahli waris AM tersebut dilaporkan oleh PT. PJ atas dasar penyerobotan tanah, dengan

menggunakan ketentuan dalam Pasal 167 KUHP. Akan tetapi berdasarkan surat

penetapan penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan oleh polres Jakarta Timur,

ahli waris AM tidak terbukti melakukan apa yang dituduhkan oleh PT. PJ atas dasar SP3

tersebut polres Jakarta Timur memohonkan pengembalian batas kepada Badan

Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Jakarta dan hasilnya adalah menyatakan bahwa

bukti kepemilikan PT. PJ dengan dasar HGB Nomor 2X yang berasal dari hak Eigendom

52XX berada di bagian selatan hak Eigendom 57XX. Selanjutnya tanah tersebut

dieksekusi oleh PT. PJ dan dilakukan pemagaran di sekeliling area yang bersangkutan.

2. PEMBAHASAN

2.1 Pengakuan hak Eigendom dalam ketentuan hukum di Indonesia

Hak Eigendom merupakan hak atas tanah individu tertinggi dalam KUHPerdata.

Oleh karena hak Eigendom masih bersumber dari KUHPerdata, maka diperlukan

konversi atas hak tanah tersebut. Konversi hak-hak atas tanah adalah penyesuaian hak

lama atas tanah menjadi hak baru menurut UUPA30, yang mana konversi bertujuan untuk

agar terbentuknya unifikasi hukum pertanahan nasional dan menghapus konsep individu

dalam hukum pertanahan nasional. Dalam Bab ini dijabarkan analisis tentang sengketa

kepemilikan tanah dengan hak Eigendom dalam kasus yang diangkat untuk diteliti, dalam

hal ini adalah kasus yang melibatkan ahli waris AM dengan PT. PJ yang bermula dari

penguasaan fisik yang dilakukan oleh ahli waris AM dengan menggunakan dasar hak

Eigendom 57XX yang mana atas perbuatan tersebut PT. PJ melaporkan pihak ahli waris

AM atas dasar memasuki pekarangan tanpa izin. Dimana selanjutnya ahli waris AM tidak

terbukti dalam penyidikan akan tetapi selanjutnya PT. PJ malah melakukan penguasaan

fisik tanah tersebut.

2.2 Konversi Hak Atas Tanah dalam Kasus Hak Eigendom Nomor 57XX

Konversi hak-hak atas tanah adalah penyesuaian hak lama atas tanah menjadi hak

baru menurut UUPA.31 Sedangkan menurut A.P Parlindungan, konversi hak-hak atas

30 Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria ( Pertanahan ) Indonesia Jilid 1, (Jakarta: Prestasi

Pustaka Raya, 2004), hlm. 80.

31 Chomzah, Hukum Agraria ( Pertanahan ) Indonesia, hlm. 80.

Page 8: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

704

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

tanah adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya

UUPA untuk masuk dalam sistem UUPA.32 Dalam UU a quo terdapat 3 (tiga) jenis

konversi, seperti yang dituliskan dalam ketentuan UUPA di bagian kedua tentang

konversi:33

a. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah hak barat;

b. Konversi hak atas tanah, berasal dari hak Indonesia;

c. Konversi hak atas tanah, berasal dari tanah bekas Swapraja.

Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, hak-hak atas tanah yang

diatur oleh hukum perdata Eropa yang dimuat dalam KUHPerdata tentang benda

dinyatakan tidak berlaku lagi. Hak-hak atas tanah yang diatur dalam buku kedua

KUHPerdata itu diantaranya adalah hak Eigendom, hak Erfpacht, dan hak Opstal,

dialihkan atau diubah masing-masing kedalam salah satu hak atas tanah yang tercantum

dalam Pasal 16 UUPA, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,

dan hak sewa.34

Konversi harus dilakukan sebagai akibat dari adanya penggantian atas hukum

agraria yang tunduk kepada hukum barat, diubah menjadi hukum agraria yang harus

masuk ke dalam sistem UUPA. Pasal 1 ayat (1) ketentuan-ketentuan konversi UUPA

menetapkan: “Hak Eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang

ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi

syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21”. Syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa

si pemilik tanah harus WNI sesuai dengan ketentuan yang dituliskan di dalam Pasal 21

UUPA.

Dengan demikian setiap hak atas tanah bekas hak Eigendom dapat dikonversi

menjadi hak milik apabila pada saat itu pemiliknya adalah WNI. Seperti yang ditegaskan

melalui ketentuan Pasal 9 UUPA yang menyebutkan bahwa hanya WNI saja yang boleh

mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa.35 Begitu

pula pernyataan di dalam Pasal 54 UUPA bahwa konversi dari hak Eigendom bergantung

kepada kewarganegaraan Indonesianya pada tanggal 24 September 1960.36 Selanjutnya

pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang

Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut

PMA No 2 Thn 1960). Di dalam Pasal 2 PMA No 2 Thn 1960 dinyatakan bahwa hak

32 Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, hlm. 21.

33 Periksa ketentuan di dalam UU No. 5 Tahun 1960, Bagian Kedua Ketentuan Konversi.

34 Indonesia, Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun

1960, LN No. 10 Tahun 1960, TLN No 2043, Ps. 16.

35 Periksa ketentuan Pasal 9 UUPA yang menyatakan bahwa: “(1) Hanya warganegara Indonesia

dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas

ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2. (2) Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita

mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat

manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.”

36 Periksa ketentuan Pasal 54 UUPA yang menyatakan bahwa “Berhubung dengan ketentuan-

ketentuan dalam Pasal 21 dan 26, maka jika seseorang yang disamping kewarganegaraan Indonesianya

mempunyai kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok telah menyatakan menolak kewarganegaraan

Republik Rakyat Tiongkok itu yang disahkan menurut peraturan perundangan yang bersangkutan, ia

dianggap hanya berkewarganegaraan Indonesia saja menurut Pasal 21 ayat (1).”

Page 9: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

705

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Eigendom dari orang-orang yang telah berkewarganegaraan tunggal pada tanggal 24

September 1960 dikonversi menjadi hak milik dan wajib didaftarkan dalam tempo 6 bulan

sejak tanggal 24 September 1960 di kepala kantor pendaftaran tanah (KKPT), sedangkan

bagi WNI yang berasal dari keturunan asing harus dibuktikan dengan tanda

kewarganegaraan.37

Dampak konversi atas tanah-tanah barat dalam hal mana Ketentuan S.1948 No.54

tentang Pembaharuan Akta-Akta Tanah, baik Eigendom, Erfpacht, dan Opstal tidak dapat

lagi dilakukan dan tidak mungkin diterbitkan lagi hak-hak baru atas tanah-tanah yang

tunduk kepada KUHPerdata. Setelah berlakunya ketentuan-ketentuan UUPA dan

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya

disebut PP Nomor 10 Tahun 1961) yang kemudian diperbarui melalui PP Nomor 24

Tahun 1997, maka tidak mungkin diterbitkan lagi hak-hak atas tanah selain yang tunduk

kepada UUPA.

Penyelesaian tanah-tanah hak barat telah berakhir dengan diterbitkannya Keppres

Nomor 32 Tahun 1979 juncto (ditulis singkat saja: jo) Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan

Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat (selanjutnya disebut

Permendagri No 3 Tahun 1979), yang menyatakan bahwa hak-hak atas tanah yang terjadi

berdasarkan diktum kedua tentang ketentuan konversi Pasal I, III, dan V dari UUPA akan

berakhir masa konversinya tanggal 24 September 1980 dan bagi tanah-tanah yang tidak

diselesaikan haknya kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.38

Hal ini dimaksudkan untuk mengakhiri sisa-sisa hak-hak barat atas tanah-tanah di

Indonesia dengan segala sifatnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945,

dengan tetap berprinsip keadilan, yaitu memperhatikan kepentingan-kepentingan

penduduk, penguasa dan bekas pemegang hak, sehingga kepentingan masyarakat yang

lebih luas tetap harus diutamakan. Keppres Nomor 32 Tahun 1979 dipertegas dengan

Permendagri No 3 Tahun 1979, yang mengatur pelaksanaan dari berakhirnya ketentuan

konversi tersebut dan kebijaksanaan yang perlu diambil.

Ditemukan pula dalam kasus yang distudi di mana AM yang mempunyai tanah hak

Eigendom 57XX, dalam kenyataannya tanah tersebut kemudian menjadi tanah yang

dikuasai oleh negara, oleh karena AM tidak melakukan konversi hak Eigendom hingga

batas waktu yang ditentukan yaitu 24 September 1980 sebagaimana yang telah diatur

dalam Keppres No 32 Tahun 1979. Keppres a quo masih mengandung kelemahan.

Kelemahan tersebut terletak pada jangka waktu berakhirnya pendaftaran konversi yang

batasnya berakhir tanggal 24 September 1980. Sehingga apabila melampaui batas waktu

pendaftaran, maka tanah tersebut akan menjadi tanah negara, tetapi dalam

implementasinya di masyarakat sampai saat ini masih banyak tanah-tanah bekas hak barat

khususnya tanah hak Eigendom yang masih berada dalam penguasaan pemiliknya. Jadi

tidak semua tanah-tanah bekas hak barat yang tidak didaftarkan konversinya menjadi

tanah negara setelah jangka waktu pendaftaran berakhir, hal ini menunjukan bahwa

Keppres No 32 Tahun 1979 tersebut masih belum menjamin kepastian hukum. Hal ini

menurut penulis untuk menjamin kepastian hukum, seharusnya Keppres No 32 Tahun 79

tersebut langsung mengatur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 PP 24 Tahun 1997

37 Parlindungan, A.P, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung; Mandar Maju,

1998), hlm. 247.

38 Wawancara dengan Bapak AP, Kepala Subbagian Hukum pada Sekretariat Direktorat Jenderal

Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN RI, tanggal 13 April 2021.

Page 10: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

706

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

tentang pengakuan hak lama, agar tidak ada tumpang tindih ketentuan konversi terhadap

hak Eigendom.

Setelah berlakunya UUPA, terhadap tanah-tanah bekas hak Eigendom yang belum

sempat didaftarkan konversi dan ditelantarkan ataupun sempat ditinggalkan oleh pemilik-

pemiliknya tersebut, banyak menimbulkan masalah karena dikuasai oleh pihak lain dan

menimbulkan sengketa kepemilikan atas tanah tersebut. Walaupun dalam kasus AM

sudah kehilangan haknya karena sudah kembali dikuasai oleh negara, akan tetapi mereka

tetap mempunyai data fisik dan data yuridis. Adapun data fisik terdapat dalam Pasal 1

angka 6 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyebutkan bahwa:

”data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan satuan

rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian

bangunan di atasnya.”39 Begitu pula hak Eigendom 57XX yang di dalamnya terdapat

keterangan luas, batas-batas tanah tersebut, dan letak tanah tersebut.

Terkait data yuridis, ketentuan dalam Pasal 1 angka 7 PP 24 Tahun 1997

menjelaskan definisinya yaitu sebagai keterangan mengenai status hukum bidang tanah

dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-

beban lain yang membebaninya.”40 Demikian halnya bukti peralihan hak Eigendom

57XX yang mana AM membeli tanah tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku, dan

juga bukti pembayaran pajak tanah yang menunjukkan bahwa AM telah menjalankan

kewajibannya untuk membayar pajak.

Selanjutnya peraturan terakhir yang mengatur terkait pengakuan hak Eigendom saat

ini adalam terdapat dalam Pasal 95 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021

tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran tanah

(selanjutnya disebut PP No 18 Tahun 2021) yang menyatakan bahwa alat bukti tertulis

tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi tanah yang dikuasai

langsung oleh negara.

Adapun dalam Pasal 95 ayat (2) mengatur terkait cara pendaftaran tanah bekas hak

barat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mendasarkan pada surat pernyataan

penguasaan fisik yang diketahui 2 (dua) orang saksi dan bertanggung jawab secara

perdata dan pidana, yang menguraikan:

a. “Tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang

lain dan statusnya adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara bukan

tanah bekas milik adat;

b. tanah secara fisik dikuasai;

c. penguasaan tersebut dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka

oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah; dan

d. penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.”41

39 Periksa ketentuan Pasal 1 angka 6 PP No 24 Thn 1997 yang menyatakan bahwa: “Data fisik adalah

keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk

keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya.”

40 Periksa ketentuan Pasal 1 angka 7 PP No 24 Thn 1997 yang menyatakan bahwa: “Data yuridis

adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang

haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.”

41 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah

Susun, dan Pendaftaran Tanah, PP No 18 Tahun 2021, Ps. 95 ayat (2).

Page 11: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

707

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Pengakuan hak Eigendom dalam hukum indonesia pada saat ini ialah sudah

dinyatakan tidak berlaku dan hak tersebut statusnya langsung dikuasai oleh negara.

Adapun terkait pendaftaran tanah dari hak Eigendom tersebut dalam PP 18 Tahun 2021

tersebut masih sejalan dengan Pasal 24 PP No 24 Tahun 1997 yang mendasarkan

melaluisurat pernyataanpenguasaan fisik yang diketahui oleh 2 orang saksi yang mana

ketertangan tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum.

2.3 Penyelesaian sengketa tanah yang beralaskan hak Eigendom sebagai dasar

kepemilikan oleh para pihak

Permasalahan konversi hak Eigendom yang dikuasai oleh pihak yang tidak berhak

seharusnya dapat diselesaikan melalui beberapa cara. Cara-cara tersebut diantaranya

adalah Pertama melalui mekanisme ajudikasi (administrative tribunal oleh BPN), Kedua

melalui mekanisme litigasi (peradilan oleh pengadilan), dan Ketiga melalui mekanisme

pidana. Berikut akan penulis paparkan dalam sub-sub bab dibawah ini

2.4 Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Melalui BPN

Banyaknya sengketa pertanahan yang terjadi dalam masyarakat, mendapat

perhatian serius dari pemerintah, karena dianggap bahwa “peristiwa kasus sengketa dan

konflik pertanahan merupakan salah satu issue strategis.”42 Terkait penyelesaian sengketa

itu sendiri, dilakukan dengan menggunakan kewenangan administrasi, dalam hal ini

melalui lembaga atau badan pertanahan.

Adapun mekanisme penanganan sengketa kepemilikan tanah tersebut lazimnya

dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:43

1. Pengaduan.

Dalam pengaduan ini biasanya berisi hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang

menggambarkan bahwa pemohon/pengadu adalah yang berhak atas tanah sengketa

dengan lampirannya bukti-bukti dan mohon penyelesaian disertai harapan agar terhadap

tanah tersebut dapat dicegah mutasinya, sehingga tidak merugikan dirinya.

2. Penelitian

Terhadap penanganan tersebut kemudian dilakukan penelitian baik berupa

pengumpulan data/administratif maupun hasil penelitian fisik dilapangan (mengenai

penguasaannya). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah pengaduan

tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut.

Pengaduan masalah pertanahan pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang

mempersoalkan kebenaran suatu hukum yang berkaitan dengan pertanahan. Hal ini dapat

berupa produk-produk pertanahan tersebut, riwayat perolehan tanah, penguasaan,

pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, pembebasan tanah dan sebagainya.

Hampir semua aspek pertanahan dapat menjadi sumber sengketa pertanahan, seperti

halnya kekeliruan dalam menentukan batas-batas tanah. Oleh karenanya diperlukan

adanya pengaturan tentang lembaga negara yang dapat menyelesaikan permasalahan

42 Wawancara dengan Bapak KQ, Pengadministrasi Umum pada Sekretariat Direktorat Jenderal

Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN RI, tanggal 13 April 2021.

43 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 24.

Page 12: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

708

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

tersebut. Untuk itu berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006, dibentuk

badan pertanahan nasional (BPN) yang disusun dengan memperhatikan sisi dan aspek

aspirasi dan peran serta masyarakat guna dapat menunjang kesejahteraan umum.

Sehingga BPN berperan dalam membantu dan melayani masyarakat dalam mendapatkan

haknya dibidang pertanahan, serta dalam membantu masyarakat untuk dapat menemukan

jalan penyelesaian bila mana terdapat sengketa antar masyarakat mengenai haknya

dibidang pertanahan.44

Ketentuan yang mengatur tentang BPN telah mengalami beberapa perubahan yang

mana peraturan tersebut pada awalnya muncul dengan Keputusan Presiden Nomor 26

tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional yang mengamanatkan BPN yang

sebelumya berstatus direktorat jendral agraria ditingkatkan menjadi lembaga pemerintah

non departemen dengan nama badan pertanahan nasional. Dengan lahirnya Keputusan

Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tersebut, badan pertanahan nasional bertanggung jawab

langsung kepada Presiden. Selanjutnya dari tahun 1990 hingga sebelum masa

kepemimpinan Presiden Joko Widodo tidak ada perubahan secara signifikan dari pada

kelembagaan BPN itu sendiri. Hingga saat kepemimpinan Presiden Joko Widodo

sejak 27 Oktober 2014 dibuat kementerian baru bernama kementerian agraria dan tata

ruang Indonesia, sehingga badan pertahanan nasional berada di bawah naungan menteri

agraria dan tata ruang. Sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2015 tentang Badan Pertanahan Nasional.45

Salah satu dari kewenangan BPN adalah menerima pengaduan dari masyarakat

terkait penerimaan pengaduan, mekanisme pemrosesan pengaduan dari masyarakat

tersebut terbagi menjadi dua. Pertama adalah dalam hal ternyata terdapat dugaan kuat,

bahwa pengaduan tersebut dapat diproses, maka lebih lanjut lagi diselesaikan melalui

tahap tentang kemungkinan dilakukan pencegahan dilakukannya peralihan atas tanah

tersebut dengan menyatakan tanah tersebut dalam keadaan sengketa. Kedua, dalam hal

pengaduan tersebut tidak menrgandung alasan-alasan yang kuat atau masalahnya terlalu

prinsipil dan harus menempuh proses lembaga atau instansi lain. Maka kepada yang

bersangkutan diberitahukan hal-hal tersebut dan ternyata dinyatakan bahwa pengaduan

tidak atau belum dapat dipertimbangkan.

Terhadap pengaduan yang diproses lebih lanjut, menteri agraria dan tata ruang/

kepala badan pertanahan nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan

dan Penyelesaian Kasus Pertanahan (selanjunya disebut Permen ATR/BPN No 21 Tahun

2020). Di dalam ketentuan Pasal 6 Ayat (1) disebutkan bahwa penanganan sengketa dan

konflik dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:46

44 Rendra Onny Fernando Chandra, “Penyelesaian Sengketa Sertipikat Ganda Hak Atas Tanah

Menurut Pp No.24/1997 Tentang Pendaftaran Tanah”, Dinamika, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Vol 26, No

3, (Februari 2020), Hlm. 358 – 371.

45 Kementrian ATR/BPN, “Sekilas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan

Nasional,” https://www.atrbpn.go.id/?menu=sekilas, diakses pada 20 April 2021.

46 Indonesia, Menteri ATR/BPN, Peraturan Mentri Agraria/ Kepala BPN tentang Penanganan dan

Penyelesaian Kasus Pertanahan, Permen Nomor 21 Tahun 2020, Ps. 6 Ayat (1).

Page 13: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

709

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

a. Pengkajian Kasus;

b. Gelar awal;

c. Penelitian;

d. Ekspos hasil Penelitian;

e. Rapat Koordinasi;

f. Gelar akhir; dan

g. Penyelesaian Kasus.

Dalam kasus yang diangkat melalui penelitian ini, setelah ahli waris AM melalui

kuasanya melakukan pelaporan kepada BPN, selanjutnya BPN memproses pengaduan

tersebut sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam Pasal 6 Ayat (1) Permen

ATR/BPN No 21 Tahun 2020. Kuasa hukum ahli waris AM selanjutnya harus membawa

legalitas daripada kepemilikan tanah yang akan menguatkan dasar kepemilikannya dalam

proses ini, yang mana bukti legalitas tersebut diantaranya hak Eigendom 57XX, Surat

pembayaran PBB atas nama AM beserta nomor objek pajak, surat perintah penghentian

penyidikan (SP3) dari Polres Jakarta Timur yang menyatakan bahwa ahli waris AM

dalam hal ini tidak terbukti melakukan tindak pidana memasuki pekarangan tanpa izin

yang dilaporkan oleh pihak PT. PJ, dan surat pengembalian batas yang dikeluarkan oleh

BPN kantor wilayah Jakarta atas permintaan Polres Jakarta Timur setelah mengeluarkan

SP3.

Adapun isi surat pengembalian batas yang dikeluarkan oleh BPN kanwil Jakarta

menyebutkan bahwa dasar yang digunakan oleh PT. PJ dalam hal menguasai tanah ahli

waris AM yaitu hak Eigendom 52XX yang telah dikonversi menjadi HGB Nomor 2X

terletak disebelah Selatan dari pada hak Eigendom 57XX. Dengan menggunakan bukti-

bukti legalitas yang telah penulis sebutkan sebelumnya, sudah cukup untuk membuktikan

bahwa pemilik tanah yang disengketakan adalah ahli waris AM dan ditanah tersebut tidak

termasuk kedalam permasalahan tumpang tindih (overlapping), maka tidak diperlukan

upaya hukum untuk membatalkan bukti kepemilikan dari pada PT. PJ yaitu HGB Nomor

2X.

Setelah masuk ke dalam proses terakhir yaitu penyelesaian kasus, BPN

mengeluarkan hasil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 17 Permen ATR/BPN No 21

Tahun 2020 bahwa,47 penanganan kasus dinyatakan dengan kriteria:

a. “Kriteria Satu (K1) jika penyelesaian bersifat final, berupa:

1. keputusan pembatalan;

2. perdamaian; atau

3. surat penolakan tidak dapat dikabulkannya permohonan.

b. Kriteria Dua (K2) berupa:

1. surat petunjuk Penyelesaian Kasus atau surat penetapan pihak yang berhak tetapi

belum dapat ditindaklanjuti keputusan penyelesaiannya karena terdapat syarat yang harus

dipenuhi yang merupakan kewenangan instansi lain;

2. surat rekomendasi Penyelesaian Kasus dari Kementerian kepada Kantor Wilayah

atau Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya dan Kantor Wilayah kepada Kantor

Pertanahan atau usulan Penyelesaian dari Kantor Pertanahan kepada Kantor Wilayah dan

Kantor Wilayah kepada Menteri.

47 Ibid., Ps. 17.

Page 14: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

710

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

c. Kriteria Tiga (K3) berupa surat pemberitahuan bukan kewenangan

Kementerian.”48

Oleh karena kasus sengketa kepemilikan tanah antara ahli waris AM dengan PT. PJ

bukan termasuk tumpang tindih atau overlapping, sehingga kriteria satu dalam Pasal 17

huruf a tidak relevan mengingat keadaannya. Adapun hasil yang sesuai dengan ketentuan

tersebut adalah dengan dikeluarkannya Surat Penetapan Pihak yang berhak akan tetapi

belum dapat ditindaklanjuti keputusan penyelesaiannya.

2.5 Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Melalui Pengajuan Gugatan ke

Pengadilan Negeri

Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara

mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka

berdasarkan undang undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang

tersebut yang menimbulkan kerugian itu. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1365

KUHPerdata, sebagai berikut : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa

kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian

itu, mengganti kerugian tersebut.”49

Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perbuatan melanggar

hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang

karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal

3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut:50

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;

2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan

maupun kelalaian);

3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:51

1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)

sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian

sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata.

3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam

Pasal 1367 KUHPerdata.

Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak

disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata, sebagai

berikut: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan

karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau

48 Ibid.

49 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [burgerlijk wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan

R. Tjitrosudibio, Cet 37, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), Ps. 1365.

50 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 3.

51 Ibid.

Page 15: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

711

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

kurang hati-hatinya.”52 Apabila mencermati dari beberapa asas yang melingkupi dari

hukum pertanahan nasional terhadap para pemegang hak atas tanah, seperti yang

ditegaskan oleh Boedi Harsono, yaitu:53

1. Pengusaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan

apapun, harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah

nasional;

2. Penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (illegal),

tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (UU Nomor 51 Prp

1960);

3. Penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan

oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap gangguan dari

pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat, maupun oleh pihak

penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya;

4. Tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun oleh pihak

manapun kepada pemegang hak atas tanah untuk menyerahkan tanah

kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya,

termasuk juga penggunaan lembaga penwaran pembayaran yang diikuti

dengan konsinyasi pada pengadilan negeri (Pasal 1404 KUHPerdata).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 tahun

1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Bersangkutan Atau Kuasanya,

dalam Pasal 1 ayat (3) pemakaian tanah tanpa izin meliputi upaya menduduki,

mengerjakan dan/atau menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau

bangunan diatasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan

sendiri atau kuasanya.54 Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan bahwa dilarang memakai

tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.55

Adapun dalam kasus Tuan AM, setelah mendapatkan hasil yang sesuai dengan surat

penetapan pihak yang berhak, maka ahli waris AM melalui kuasa hukumnya dapat

menempuh upaya hukum. Hal tersebut adalah untuk menindaklanjuti keputusan

penyelesaian sengketa tanah melalui mekanisme mengajukan gugatan ke pengadilan

negeri dengan melakukan somasi terlebih dahulu terhadap PT. PJ karena telah menguasai

tanah keluarga ahli waris AM berdasarkan keadaan yang terdapat di lapangan seperti

membuat pagar beton di sekeliling tanah dan memasang papan kepemilikan atas nama

PT. PJ.

Tindakan tersebut menyebabkan kerugian terhadap keluarga ahli waris AM karena

tidak dapat memperoleh haknya dari tanah tersebut yakni untuk menjual atau

mengalihkan tanah tersebut kepada pihak lain. Perbuatan yang telah dilakukan oleh PT.

PJ dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana dalam Pasal

52 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [burgerlijk wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan

R. Tjitrosudibio, Cet 37, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), Ps. 1366.

53 Boedi Harsono, Tinjuan Hukum Pertanahan Diwaktu Lampau, Sekarang, Dan Masaakan Datang,

(Yogyakarta: Liberty, 2002), hlm. 16.

54 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak

atau Kuasanya, PP No. 51 Tahun 1960, Ps. 1 ayat (3).

55 Ibid., Ps. 2.

Page 16: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

712

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

1365 KUHPerdata karena unsur kelalaiannya karena melakukan penguasaan tanah yang

bukan haknya sehingga menimbulkan kerugian terhadap keluarga ahli waris AM.56

2.6 Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Tanah Secara Pidana

Pasal 167 KUHP, yang terletak dalam Buku II (Kejahatan) Bab V (Kejahatan

terhadap Ketertiban Umum), menurut terjemahan Tim Penerjemah BPHN, berbunyi

sebagai berikut:57

1) Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan

tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ

dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya

tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama

sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2) Barangsiapa masuk dengan merusak atau memanjat, dengan menggunakan

anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jahatan palsu, atau barang siapa

tidak setahu yang berhak lebih dahulu serta bukan karena kekhilafan masuk

dan kedapatan di situ pada waktu malam, dianggap memaksa masuk.

3) Jika mengeluarkan ancaman atau menggunakan sarana yang dapat menakutkan

orang, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

4) Pidana tersebut dalam ayat 1 dan 3 dapat ditambah sepertiga jika yang

melakukan kejahatan dua orang atau lebih dengan bersekutu.

Sebagai perbandingan, terjemahan Pasal 167 KUHPmenurut P.A. Lamintang dan

C.D. Samosir, yaitu:58

1) Barangsiapa secara melawan hak memasuki atau secara melawan hak berada

di sebuah rumah atau sebuah ruangan yang tertutup atau sebuah halaman yang

tertutup, yang dipakai oleh orang lain, tidak segera meninggalkan tempat itu

atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak, dihukum

dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau dengan

hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah.

2) Barangsiapa telah masuk dengan jalan membongkar, memanjat,

mempergunakan kunci-kunci palsu, dengan mempergunakan perintah atau

seragam palsu, atau yang telah memasuki tanpa sepengetahuan orang yang

berhak bukan karena kekeliruan, atau dijumpai di sana pada waktu malam,

dianggap sebagai telah memasuki dengan paksa.

3) Apabila ia mengucapkan ancaman-ancaman atau mempergunakan alat-alat

yang dapat menimbulkan ketakutan, maka ia dihukum dengan hukuman

penjara selama-lamanya satu tahun dan empat bulan.

4) Hukuman-hukuman sepeti yang ditentukan di dalam ayat pertama dan ketiga

dapat diperberat dengan sepertiganya, apabila kejahatan itu dilakukan oleh dua

orang atau lebih secara bersama-sama.

57 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht], diterjemahkan oleh Tim

Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), Ps. 167.

58 P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm.

80.

Page 17: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

713

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Dari kedua terjemahan yang telah disampaikan, delik (tindak pidana) pokok diatur

dalam Pasal 167 ayat (1) KUHP. Pasal 167 ayat (2) berisi tafsiran yang diperluas terhadap

unsur “memaksa masuk” dalam Pasal 167 ayat (1) KUHP. Selanjutnya Pasal 167 ayat (3)

dan (4) merupakan alasan-alasan untuk memberatkan pidana.

Unsur-unsur dari tindak pidana Pasal 167 ayat (1) KUHP, yaitu:59

1. Barangsiapa; adalah subjek tindak pidana, di mana dalam sistem KUHP yang

berlaku pada saat ini, yang dapat menjadi subjek tindak pidana hanyalah

manusia sebagai individu saja, sedangkan korporasi tidak dapat menjadi subjek

tindak pidana. Berbeda halnya dengan tindak pidana yang terdapat dalam

undang-undang di luar KUHPidana, di mana ada yang sudah mengakui

korporasi sebagai subjek tindak pidana, misalnya dalam kaitannya dengan

tindak pidana korupsi;

2. Memaksa masuk; mengenai pengertian dari kata-kata “memaksa masuk”

diberikan uraian penjelasan oleh S.R. Sianturi bahwa: “yang dimaksud dengan

memaksa masuk ialah memasuki (suatu rumah dan sebagainya) bertentangan

dengan kehendak dari orang lain sipemakai yang sekaligus merupakan sipehak

(yang berhak);

3. Ke dalam rumah; ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain

dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum. Dari

unsur ini terlihat bahwa ada dua macam tujuan dari memaksa masuk, yaitu (a)

ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai oranglain

dengan melawan hukum; atau (b) berada di situ dengan melawan hukum.

4. Atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera.

Berkenaan dengan unsur ini diberikan keterangan oleh S.R. Sianturi bahwa:

“yang dimaksud dengan atas permintaan dari sipehak atau atas namanya ialah

suatu perintah, suruhan, himbauan, saran ataupun gerakan maupun dengan

tulisan (jika sipehak tidak bisa bicara) yang dapat dimengerti sipetindak dan

pada pokoknya menghendaki sipetindak itu segera pergi.” Dalam hal ini yang

penting ialah sipetindak mengerti permintaan itu dan tidak harus diulang-ulang

baru dipandang sempurna terjadi delik ini.

Dalam kaitannya dengan sifat abstrak dari korporasi yang tidak memungkinkan

bahwa korporasi tidak dapat melakukan suatu tindak pidana, sehingga yang hanya dapat

melakukan suatu tindak pidana adalah manusia. Namun dalam hal ini korporasi

merupakan badan hukum yang mengemban hak dan kewajiban. Menurut Ernst Utrecht

mendefinisikan badan hukum sebagai badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang)

menjadi pendukung hak, atau badan hukum adalah setiap pendukung hak yang tidak

berjiwa atau kebih tepat bukan manusia.60

Jika unsur-unsur yang telah dijelaskan tersebut dikaitkan dengan perbuatan PT. PJ,

maka dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Pertama dalam hal unsur barang siapa di sini memang menurut KUHPidana tidak

dapat memidanakan subjek hukum yang bukan manusia dalam hal ini PT. PJ

sebagai korporasi, yang mana korporasi termasuk kedalam subjek hukum,

59 Haezer M. M. Tumilaar, “Tindak Pidana Memasuki Rumah, Ruangan, Pekarangan Berdasarkan

Pasal 167 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana” Lex Crimen Vol. 8 No. 1 (Januari 2018), hlm.

7.

60 Ridwan Khairandy, Hukum Perseroan Terbatas, (Yogyakarta: UII Press, 2014), hlm. 16.

Page 18: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

714

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

sehingga korporasi merupakan pengemban hak dan kewajiban. Sehingga dapat

dikatakan PT. PJ selaku korporasi memenuhi unsur bara

2. Kedua dalam hal unsur memaksa masuk, PT. PJ telah mengetahui bahwa pada

dasarnya setelah dikeluarkannya hasil Surat Pengembalian Batas oleh BPN

Kanwil Jakarta sebagai jawaban untuk Polres Jakarta Timur yang menyatakan

bahwa bukti kepemilikan HGB Nomor 2X yang semula berasal dari hak

Eigendom 52XX terletak di selatan hak Eigendom 57XX, ini menunjukan bahwa

PT. PJ memaksa masuk kedalam pekarangan yang bukan haknya secara memaksa

karna setelah menguasai fisik, PT. PJ juga membangun pagar beton di sekeliling

tanah yang disengketakan.

3. Ketiga ialah masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang

dipakai masuk keorang lain dengan melawan hukum. Penulis akan menjabarkan

2 (dua) macam tujuan dari memaksa masuk, yaitu:

a. Ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain

dengan melawan hukum, PT. PJ dalam kasus melakukan pembongkaran

atas bangunan dan plang kepemilikan yang didirikan oleh keluarga ahli

waris AM guna melakukan penguasaan fisik, terlihat jelas bahwa PT. PJ

masuk kedalam pekarangan orang lain dengan melawan hukum karna

melakukan penguasaan fisik yang tidak berhak.

b. Berada di dalam rumah dengan melawan hukum. PT. PJ jelas berada dalam

perkarangan tersebut dengan melawan hukum karena tidak memperoleh izin

dan melakukan pembongkaran bangunan yang didirikan oleh keluarga ahli

waris AM.

1. Keempat ialah unsur atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak

pergi dengan segera. Dalam hal ini setelah ahli waris AM melalui kuasanya mendapatkan

surat penetapn pihak yang berhak, selanjutnya kuasa hukum dari pada ahli waris AM akan

melakukan somasi kepada PT. PJ untuk segera mengosongkan tanah yang dikuasai

olehnya tanpa dasar yang valid. Hal ini sudah termasuk dalam unsur ke empat apabila PT.

PJ tidak segera pergi dari tanah tersebut.

Untuk dapat lebih memahami lagi luas cakupan dari Pasal 167 KUHP perlu untuk

membandingkan ketentuan dalam Pasal tersebut dengan Pasal 551 KUHPidana yang

terletak dalam Buku III (Pelanggaran) pada Bab VII tentang Pelanggaran mengenai

Tanah, Tanaman dan Pekarangan. Dalam Pasal 551 KUHP, menurut terjemahan tim

penerjemah BPHN, ditentukan bahwa, “Barangsiapa tanpa wenang, berjalan atau

berkendaraan di atas tanah yang oleh pemiliknya dengan cara jelas dilarang

memasukinya, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima

rupiah.”61

Bunyi Pasal 551 KUHP menurut terjemahan Lamintang dan Samosir, yaitu,

“Barangsiapa yang tanpa mempunyai hak untuk itu, berjalan atau berkendaraan di atas

tanah orang lain, yang oleh yang berhak secara nyata dinyatakan sebagai terlarang untuk

dimasuki, dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya dua ratus dua puluh lima

rupiah.62 Mengenai perbedaan antara Pasal ini dengan Pasal 167 KUHP, oleh Sianturi

dikatakan bahwa, “dibandingkan dengan Pasal 167, maka untuk penerapan Pasal 551 ini

61 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht] Ps. 551.

62 P.A.F. Lamintang dan C.D. Samosir, Hukum Pidana Indonesia, hlm. 225.

Page 19: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

715

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

tidak mesti ada rumah di atas sebidang tanah tersebut dan juga tidak mesti harus

merupakan suatu pekarangan yang tertutup”.63

Perbedaan yang terpenting adalah pada Pasal 551 KUHP terdapat unsur bahwa atas

tanah itu “secara nyata dinyatakan sebagai terlarang untuk dimasuki”. Sehubungan

dengan ini oleh Sianturi dikatakan bahwa, yang dimaksud dengan: untuk memasukinya

dilarang secara jelas, ialah bahwa yang berhak itu telah melalukan sesuatu, sehingga siapa

saja yang akan memasukinya jelas memahamibahwa tidak boleh memasuki tanah

tersebut. Bagi yang melek huruf adalah lebih ringkas jika pada suatu papan ditulisi

“DILARANG MASUK TANAH INI”.64

Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bahwa Pasal 551 KUHP ini ditujukan untuk

tanah-tanah yang di atasnya belum didirikan suatu rumah ataupun apabila telah ada rumah

maka rumah itu biasanya tidak didiami. Untuk tanah-tanah seperti ini, merupakan sesuatu

yang biasa jika pemiliknya menempatkan suatu tulisan untuk dilarang masuk.

Selanjutnya PT. PJ dalam hal ini juga dapat dijerat menggunakan Pasal 551

KUHP, karena telah terbukti tidak memiliki hak dan pembongkaran atas bangunan

terhadap tanah yang sudah didirikan plang kepemilikan tanah tersebut oleh ahli waris AM

dengan hak Eigendom 57XX. Dalam hal ini ahli waris AM telah secara nyata menyatakan

bahwa dilarang masuk kepada yang tidak berhak, sehingga perbuatan tersebut dapat

dijerat juga dengan Pasal 551 KUHP.

2.7 Pendaftaran Hak Eigendom 57XX

Guna menjamin kepastian hukum dari hak-hak atas tanah, di satu pihak UUPA

mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah

republik Indonesia, di lain pihak UUPA mengharuskan para pemegang hak yang

bersangkutan untuk mendaftarkan hak-hak atas tanahnya. Pemberian jaminan kepastian

hukum di bidang pertanahan memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis,

lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan ketentuan-

ketentuannya.65

Kegiatan pendaftaran tanah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh

pemerintah secara terus menerus dalam rangka menginventarisasikan data-data

berkenaan dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA dan PP 10 Tahun 1961 juncto PP

24 Tahun 1997, sedangkan pendaftaran hak atas tanah adalah kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh pemegang hak yang bersangkutan dan dilaksanakan secara terus

menerus setiap ada peralihan hak atas dalam rangka menginventarisasikan data-data

berkenaan dengan peralihan hak-hak atas tanah tersebut guna mendapatkan seripikat

sebagai tanda bukti hak atas tanah yang kuat. Untuk menghadapi kasus-kasus diperlukan

juga terselenggaranya pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi pemegang hak atas

tanah untuk dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya.

Pendaftaran/kadaaster berasal dari kata “cadastre”, istilah teknis untuk pencatatan

(rekaman/record). Dalam konteks pembicaraan tentang tanah, kata ini menunjuk pada

luas, nilai, dan kepemilikan atau lain-lain. Cadastre berasal dari kata bahasa latin

63 S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983),

hlm. 692.

64 Ibid, hlm. 691.

65 Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 80.

Page 20: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

716

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

“Capitastrum” yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk

pajak tanah romawi (Capotatis Terrens).66 Jadi pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian

kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk mengumpulkan,

mengolah, dan menyimpan dan menyajikan data tertentu dengan tujuan tertentu,

sehubungan dengan itu UUPA memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah

dalam rangka menjamin kepastian hukum. Pasal 19 ayat (2) UUPA yang menyatakan

bahwa kegiatan pendaftaran tanah meliputi beberapa bagian, yaitu sebagai berikut:

1. Pengukuran, perpetaan, danpembukuan tanah

2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

3. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat.

Berkaitan dengan pendaftaran tanah sebagai tindak lanjut atas perintah pendaftaran

tanah (Pasal 19 UUPA), maka diterbitkan PP 10 Tanah 1961 dan kemudian diperbarui

dengan PP 24 Tahun 1997. Produk hukum terakhir ini sama sekali tidak merubah prinsip

yang telah dikembangkan oleh Pasal 19 UUPA. PP 24 Tahun 1997 yang memperbarui PP

10 Tahun 1961 tetap mempertahankan tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah,

yaitu bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum

di bidang pertanahan (suatu Recht Kadaster atau Legal Cadaster). Recht Kadaster, yaitu

dalam arti suatu pendaftaran yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum jika

merupakan alat pembuktian yang kuat dan kepada para pemegang hak atas tanah

diberikan surat tanda bukti hak.

Serifikat merupakan suatu tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data

fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku

tanah yang bersangkutan (Pasal 32 PP 24 tahun 1997).

Seripikat tanah yang diberikan akan memberikan arti dan peran penting bagi

pemegang hak yang bersangkutan, yang dapat berfungsi bagi pemiliknya, antara lain:

1. serifikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat,

seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak

atas suatu bidang tanah bila telah jelas namanya tercantum dalam seripikat atas tanah,

apabila terjadi persengketaan terhadap tanah yang bersangkutan.

2. Serifikat atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak bank/kreditur

untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya yang berfungsi sebagai jaminan

pelunasan jaminan suatu hutang.

3. Bagi pemerintah, adanya seripikat hak atas tanah juga sangat

menguntungkan, data pertanahan sangat penting untuk perencanaan kegiatan

pembangunan, adanya seripikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang

bersangkutan telah terdaftar pada kantor Agraria.

Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan tentang tata cara

pembuktian hak-hak lama untuk keperluan pendaftaran yang berasal dari konversi

dengan:

a. bukti-bukti tertulis

b. keterangan saksi dan/atas pernyataan yang bersangkutan yang dibuktikan

kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi, bagi pendaftaran secara sporadik cukup untuk

mendaftarkan hak.

66 Parlindungan A.P., Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 11.

Page 21: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

717

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Berdasarkan PMNA/Ka.BPN Nomor 9 tahun 1999, bagi para pemegang hak atas

tanah bekas hak Eigendom yang kini status tanahnya menjadi tanah negara dapat

mengajukan permohonan hak. Suatu permohonan hak atas tanah dapat dinilai menurut

hukum layak (feasible) untuk diproses apabila subjek pemohon dapat membuktikan

secara hukum bahwa ia/mereka adalah pihak satu-satunya yang berhak atas tanah yang

dimohonnya. Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah

yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik, tetapi jika pemohon tidak

menguasai secara fisik maka dapat dibuktikan dengan data-data yuridis sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 4 ayat (1) PMNA/Ka.BPN

No 9 Tahun 1999.

Menurut Pasal 12 PMNA/Ka.BPN No 9 Tahun 1999 Berkas permohonan yang

telah diterima, maka Kepala Kantor Pertanahan:

1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.

2. mencatat dalam formulir isian.

3. memberikan tanda terima berkas permohonan.

4. memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang

diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut.

Setelah Kepala Kantor pertanahan meneliti kebenaran data yuridis dan data fisik

lalu memeriksa kelayakan pemohon tersebut, dan apabila permohonan tersebut

dikabulkan, maka pemberian hak dilakukan dengan suatu penetapan pemberian hak

menurut Pasal 6 PMNA/Ka.BPN No 9 Tahun 1999.

Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh ahli waris AM adalah dengan

melakukan pendaftaran tanah sesuai dengan Pasal 24 PP No 24 tahun 1997, lalu petugas

pendaftaran tanah secara aktif melakukan penelitian kebenaran data tersebut sehingga

dapat diterbitkan seripikat tanah bagi pemohon atas tanah tersebut. Pasal 24 ayat (1) PP

Nomor 24 Tahun 1997 pembuktian hak-hak lama data yuridisnya dibuktikan dengan alat-

alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan atau

pernyataan dari bersangkutan yang kadar kebenaranya oleh panitia ajudikasi kepala

kantor pertanahan dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak

pihak lain yang membebaninya, alat-alat bukti tersebut adalah buktki-bukti kepemilikan.

Adapun apabila setelah ahli waris AM telah menempuh upaya-upaya hukum yang

telah di jelaskan sebelumnya, maka dalam bukti-bukti yang dimiliki oleh ahli waris AM

ialah hak Eigendom 57XX, kuitansi pembayaran lunas oleh Tuan AM yang diwakili oleh

Tuan RS dihadapan Notaris S di Bogor, bukti pembayaran pajak hingga tahun 1997, surat

pernyataan dari BPN terkait ditolaknya keringanan membayar PBB untuk subjek Tuan

AM itu sendiri, surat penetapan pihak yang berhak dari BPN. Melihat bukti-bukti tersebut

sudah sepatutnya upaya hukum terakhir demi mendapatkan kepastian hukum untuk ahli

waris AM adalah dengan melakukan pendaftaran tanah pertama kali.

3 PENUTUP

1. Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik simpulan sebagai

berikut:

Page 22: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

718

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA) mengamanatkan pengaturan tentang konversi tanah-tanah hak Barat

dan hak adat dalam ketentuan bagian kedua UU a quo, untuk diubah menjadi hak-

hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UUPA. Setelah melakukan

konversi terhadap UUPA, hak yang telah dikonversi tersebut berlaku hingga 24

September 1980 sehingga mengakbatkan hak yang sudah dikonversi tersebut

kembali lagi menjadi tanah yang dikuasai oleh negara sebagaimana diatur dalam

Keppres No 32 Tahun 1979 guna menghilangkan bekas kepemiikan hak Barat.

Selanjutnya ketentuan yang mengatur terkait konversi hak Eigendom terdapat dalam

Pasal 24 PP No 24 Thn 1997, Pasal tersebut mengatur terkait pengakuan hak lama

dan menyatakan untuk subjek hukum yang belum melakukan konversi hak

Eigendom, agar segera melakukan pendaftaran sehingga hak Eigendom-nya dapat

dilakukan konversi dengan didukung persyaratan data fisik yang mencakup

keterangan mengenai letak, batas, dan luas bidang tanah dan data yuridis mencakup

keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan hak pihak

lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Pengakuan hak Eigendom dalam

hukum indonesia pada saat ini ialah sudah dinyatakan tidak berlaku dan hak tersebut

statusnya langsung dikuasai oleh negara. Adapun terkait pendaftaran tanah dari hak

Eigendom tersebut dalam PP 18 Tahun 2021 tersebut masih sejalan dengan Pasal 24

PP No 24 Tahun 1997 yang mendasarkan melaluisurat pernyataanpenguasaan fisik

yang diketahui oleh 2 orang saksi yang mana ketertangan tersebut dapat dimintai

pertanggungjawaban secara hukum.

2. Dalam kasus ini bahwa masalah sengketa kepemilikan tanah ahli waris AM dapat

diselesaikan oleh BPN berdasarkan mekanisme pengaduan, yang mana akan di

tindak lanjuti dengan proses pemeriksaan secara mendetail dan memberi keputusan

terhadap siapa yang berhak atas tanah yang disengketakan. Namun BPN dalam

mengeluarkan keputusannya tidak dapat merekomendasikan eksekusi terhadap tanah

yang disengketa tersebut. Meskipun demikian, hal ini dapat menguntukan bagi ahli

waris karena mendapatkan penegasan terhadap siapa yang berhak atas tanah tersebut

sehingga surat penegasan dari BPN tersebut dapat memperkuat klaim kepemilikan

apabila ahli waris AM melayangkan gugatan dalam pengadilan dan juga surat

penegasan dari BPN tersebut juga dapat memperkuat ahli waris AM dalam membuat

Laporan Polisi. Langkah terakhir yang harus ditempuh oleh ahli waris AM apabila

sudah menyelesaikan sengketanya adalah dengan melakukan pendaftaran tanah.

2. Saran

Berdasarkan uraian-uraian dari bab-bab sebelumnya, maka saran yang dapat

penulis berikan adalah sebagai berikut :

1. Bagi tanah-tanah bekas hak barat yang telah berakhir masa konversinya dan belum

sempat didaftarkan di kantor pertanahan setelah berlakunya UUPA, untuk

selanjutnya perlu dilakukan inventarisasi peta-peta bidang tanah bekas hak Eigendom

dengan melakukan pendaftaran tanah secara sporadik oleh Panitia Ajudikasi guna

mempercepat proses pendaftaran tanah desa demi desa, sehingga dapat diketahui

seberapa banyak tanah-tanah berkas hak barat maupun tanah-tanah hak adat yang

belum didaftarkan;

2. Terkait penyelesaian sengketa tanah pemerintah cq BPN semestinya hadir , untuk

melakukan mediasi. Sehingga sengketa dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan

dan mendapatkan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak (win-win solution).

Page 23: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

719

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Namun apabila belum tercapai juga solusi semacam itu, maka jalur hukum yang

sesuai untuk memperoleh kepastian hukum harus ditempuh, yaitu melalui gugatan ke

pengadilan umum agar pemilik yang berhak secara mutlak atas tanah yang

disengketakan dapat diputuskan.

DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5

Tahun 1960. LNRI Nomor 104 Tahun 1960, TLNRI Nomor 2043.

_______. Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Jabatan Notaris.

UU No. 2 Tahun 2014. LNRI No. 3 Tahun 2014, TLNRI No. 5491.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia tentang Tata Cara Penjatuhan Sanksi Administratif Terhadap Notaris.

Permenkumham Nomor 61 Tahun 2016. BN No. 2128 Tahun 2016

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht]. Diterjemahkan oleh

Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional. Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.

Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet 37. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006.

BUKU

A.P, Parlindungan. Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung; Mandar

Maju, 1998.

_______________. Konversi Hak-Hak Atas Tanah. Bandung: Bandung: Mandar Maju,

2007.

_______________. Berakhirnya Hak-hak atas Tanah menurut Sistem UUPA (Undang-

Undang Pokok Agraria). Bandung: CV Mandar Maju, 2001.

_______________. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1999.

Chomzah, Ali Achmad. Hukum Agraria ( Pertanahan ) Indonesia Jilid 1. Jakarta: Prestasi

Pustaka Raya, 2004.

Effendie, Bachtiar. Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah. Bandung: Alumni, 1993.

Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum

Tanah. Jakarta: Djambatan, 2009.

______________. Tinjauan Hukum Pertanahan Di Waktu Lampau, Sekarang, Dan Masa

Akan Datang. Yogyakarta: Liberty, 2002.

______________. Undang-Undang Pokok Agraria, (Sejarah Penyusunan UUPA, Isi dan

Pelaksanaannya) Jilid 2. Jakarta: Djambatan, 2008.

Khairandy, Ridwan. Hukum Perseroan Terbatas. Yogyakarta: UII Press, 2014.

Lamintang, P.A.F. dan C.D. Samosir. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru,

1983.

M, Soetojo. Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pelaksanaan Landreform. Jakarta:

Staf Penguasa Perguruan Tertinggi, 1961.

Murad, Rusmadi. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah. Bandung: Alumni, 1999.

R, Soebekti. Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Alumni, 1975.

S.P Sangsun, Florianus. Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah. Jakarta: Visi Media,

2008.

Page 24: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH DENGAN HAK

720

Indonesian Notary Vol. 3 No. 2 (2021) ISSN: 2684-7310

Soerodjo, Irawan. Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia.

Surabaya: Arkola, 2002.

Sutedi, Adrian. Pengakuan Hak Milik Atas Tanah Menurut Undang-undang Pokok

Agraria. Jakarta: BP Cipta Jaya, 2006.

Syah, Mudakir Iskandar. Panduan Mengurus Sertipikat dan Penyelesaian Sengketa

Tanah. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2019.

Syarief, Elza. Pensertifikatan Tanah Bekas Hak Eigendom. Jakarta: Kepustakaan Populer

gramedia, 2014.

JURNAL

Chandra, Rendra Onny Fernando. “Penyelesaian Sengketa Sertipikat Ganda Hak Atas

Tanah Menurut Pp No.24/1997 Tentang Pendaftaran Tanah.” Dinamika, Jurnal

Ilmiah Ilmu Hukum Vol 26 No 3 (Februari 2020). Hlm. 358 – 371.

M, Haezer M. Tumilaar. “Tindak Pidana Memasuki Rumah, Ruangan, Pekarangan

Berdasarkan Pasal 167 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.” Lex

Crimen Vol. 8 No. 1 (Januari 2018). Hlm. 7.

Safitri, Fina Ayu, Lita Tyesta ALW, dan Anggita Doramia Lumbanraja. “Akibat Hukum

Penggunaan Sistem Publikasi Negatif Berunsur Positif dalam Pendaftaran Tanah

Di Kota Semarang.” NOTARIUS Vol 13 No 2 (2020). Hlm. 790.

INTERNET

Kementrian ATR/BPN. “Sekilas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan

Pertanahan Nasional” www.atrbpn.go.id/menu-sekilas. diakses pada 20 April 2021.

Wahyudi, Eko. “BPN Terima 9.000 Kasus, Setengahnya Terkait Mafia Tanah.”

www.bisnis.tempo.co/kasus-mafia-tanah. Diakses pada 05 Maret 2021.