Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CINA SELATAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL SESUAI DENGAN PUTUSAN
MAHKAMAH ARBITRASE INTERNASIONAL TAHUN 2016
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan
memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
Oleh :
PERDANA PUTRA 130200525
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2 0 1 8
Universitas Sumatera Utara
i
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CINA SELATAN MENURUT
HUKUM INTERNASIONAL SESUAI DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE INTERNASIONAL
TAHUN 2016 *Perdana Putra
** Abdul Rahman, S.H., M.H ***Arif, SH, M.Hum
Konflik di Laut Cina Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika Inggris mengklaim Kepulauan Spratly, diikuti oleh China pada awal abad ke-20 dan Perancis sekitar tahun 1930-an. Di saat berkecamuknya Perang Dunia II, Jepang mengusir Perancis dan menggunakan Kepulauan Spratly sebagai basis kapal selam.
Adapun permasalahan dalam penelitian ini Status wilayah Laut China Selatan menurut United Nation Conference of the Law of the Sea (Unclos).Peran Badan Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan konflik Laut China Selatan.Penyelesaian sengketa Laut China Selatan dalam Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional Tahun 2016.
Jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif atau disebut penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka.
Status wilayah Laut China Selatan menurut United Nation Conference of the Law of the Sea (Unclos), Laut China Selatan sebagai laut setengah tertutup inilah yang sering menimbulkan sengketa atau konflik di wilayah Laut China Selatan.Banyaknya negara-negara yang mengililingi Laut China Selatan menyebabkan banyaknya kepentingan-kepentingan di wilayah Laut China Selatan. Kepentingan-kepentingan ini biasanya bertentangan antara satu negara dengan negara lain sehingga menimbulkan sengketa atau konflik. Peran yang dimainkan Mahkamah internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah dengan memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang. Adapun yang dimaksud dari sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.Penyelesaian sengketa Laut China Selatan dalam Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional Tahun 2016, Mahkamah Arbitrase PBB menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di LCS, namun pemerintah China tidak tidak menerima putusan tersebut.
Kata Kunci :Penyelesaian Sengketa LCS, China, Hukum Internasional *Perdana Putra, Mahasiswa, FH Universitas Sumatera Utara ** Abdul Rahman, S.H., M.H, Dosen Pembimbing II ***Arif, SH, M.Hum, Dosen Pembimbing II
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat
pada waktunya.Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi
persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. Adapun judul skripsi yang diangkat oleh penulis adalah “
PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CINA SELATAN MENURUT
HUKUM INTERNASIONAL SESUAI DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH
ARBITRASE INTERNASIONAL TAHUN 2016”.
Dalam penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak
menerima bimbingan dari berbagai pihak,maka dalam kesempatan ini penulis
dengan hormat mengucapkan terimakasih sebesar besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr.OK Saidin SH. M.Hum, Selaku Wakil Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Puspa Melati Hasibuan SH.M,Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Abdul Rahman, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen
Pembimbing I penulis yang telah meluangkan waktu serta telah banyak
memberikan perhatian saran serta bimbingan dalam mengerjakan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Arif SH.MH selaku dosen pembimbing skripsi II yang selalu
memberikan masukan dan saran terhadap penyelesaian judul skripsi ini.
7. Bapak Sunarto Ady Wibowo SH.Mhum selaku dosen pembimbing akademik
penulis.
8. Kedua orang tua penulis Ayahanda Daud Ketaren dan Ibunda Elvianaria S.Pd
selalu memberikan kasih sayang dan motivasi sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman penulis semasa kuliah Nain Chrisos Manalu SH, Suri Pratama
Bagariang, Arvin Brian SH, Budyanto SH, Bima Armando, Ary Ranjesta
Tarigan, Kadzimi Sembiring, Eldy Rizky Harahap SH, Bintara Ernando
Siahaan SH, Agung Sirait SH, Rahmad Karya SH, Kelvin SH, Andro Hartanto
SH, Basrief SH, yang selalu memberikan semangat dan motivasi dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Adik tersayang Refri Alessandro Ketaren dan Bik Uda Sri Rahayu Bangun.
11. Pacar yang selalu membantu mengerjakan skripsi ini Nurbaiti S,Pd
12. Teman teman ILSA yang penulis sayangi, terimakasih atas kegiatan yang
selama ini kita telah lakukan bersama.
13. Bapak dan Ibu staf pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
14. Kepada bg Dedi selaku sekretaris di Departemen Hukum Internasional
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
15. Kepada teman teman yang penulis belum sempat penulis sebutkan satu persatu
yang turut membantu dalam mengerjakan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
Akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan
saran yang bersifat membangun agar bisa lebih baik lagi dikesempatan yang akan
dating dan penulis berharap semoga skripsi ini yang sangat sederhana ini
bermanfaat bagi semua pembaca dan pihak lain yang memerlukannya.
Medan, Juli 2018 Penulis
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................ 8
D. Keaslian Penulisan ................................................................. 9
E. Tinjauan Pustaka .................................................................... 12
F. Metode Penelitian .................................................................. 16
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 18
BAB II STATUS WILAYAH LAUT CHINA SELATAN MENURUT UNITED NATION CONFERENCE OF THE LAW OF THE SEA (UNCLOS) ............................................ 21
A. Sejarah konflik Laut China Selatan. ....................................... 21
B. Status Kepemilikan Wilayah Laut China Selatan ..................... 32
C. Peraturan tentang Batas Wilayah Laut menurut Konvensi Unclos 1982 .......................................................................... 35
D. Konflik dan Sengketa yang terjadi di Wilayah Laut China Selatan. ................................................................ 39
BAB III MAHKAMAH ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK LAUT CHINA SELATAN ......... 48
A. Latar belakang timbulnya di Laut China Selatan ....................... 48
B. Klaim sepihak oleh China dalam Menetapkan Wilayah Batas Laut China Selatan ........................................................ 51
Universitas Sumatera Utara
C. Inrtervensi Amerika Serikat dalam Wilayah Laut China Selatan. ................................................................. 54
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN DALAM PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE INTERNASIONAL TAHUN 2016 ............................................... 59
A. Penyelesaian Sengketa Filipina terhadap China Mengenai Laut Cina Selatan Melalui Mahkamah Arbitrase internasional . 59
B. Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional terhadap Sengketa Laut China Selatan ................................................................. 71
BAB V PENUTUP .................................................................................. 82
A. Kesimpulan............................................................................ 82
B. Saran .................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
H. Latar Belakang
Konflik antar negara dapat terjadi antara lain, disebabkan masalah perbatasan,
sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lain sebagianya.1 Konflik
Laut Cina Selatan merupakan salah satu konflik di kawasan Asia Timur yang timbul
karena adanya kepentingan negara akan sumber daya alam yang melimpah dikawasan
tersebut. Selama berabad-abad sejumlah negara memperebutkan wilayah ini dan
berakibat pada perselisihan yang tak kunjung selesai.Sampai saat ini, belum ada titik
temu dari negara-negara yang terlibat untuk menyelesaikan konflik.2
Konflik di Laut Cina Selatan bukanlah isu yang baru.Isu ini telah berulang kali
terjadi.Sengketa teritorial di Laut China Selatan ini diawali oleh klaim Republik Rakyat
China atas Kepulauan Spartly dan Paracel pada tahun 1974 dan 1992.Hal ini dipicu oleh
Republik Rakyat China pertama kali mengeluarkan peta yang memasukkan Kepulauan
Spartly, Paracels dan Pratas. Pada tahun yang sama Republik Rakyat China
mempertahankan keberadaan militer di kepulauan tersebut.
3
Sengketa teritorial di Laut Cina Selatan, ini diawali oleh klaim Republik Rakyat
China atas Kepulauan Spartly dan Paracel pada tahun 1974 dan 1992,
4
1 Huala Adolf. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.Jakarta, Sinar Grafika, 2004,
hlm. 1
2Ibid 3 Evelyn Goh, Meeting the China Chlmlenge: The U.S. in Southeast Asian Regional
Security Strategies, East-West Center Washington, 2005, hlm. 31
4Ibid., hlm31.
hal ini dipicu oleh
Republik Rakyat China pertama kali mengeluarkan peta yang memasukkan kepulauan
Universitas Sumatera Utara
Spartly, Paracels dan Pratas. Pada tahun yang sama Republik Rakyat China
mempertahankan keberadaan militer di kepulauan tersebut.5
Kawasan Laut Cina Selatan sepanjang dekade 90-an menjadi primadona isu
keamanan dalam hubungan internasional di pasca perang dingin. Kawasan ini merupakan
wilayah cekungan laut yang dibatasi oleh negara-negara besar dan kecil seperti China,
Vietnam, Philipina, Malaysia, Myanmar, dan Taiwan.Dalam cekungan laut ini terdapat
Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Pada berbagai kajian tentang konflik di Laut
Cina Selatan, Kepulauan Spratly lebih mengemuka, karena melibatkan beberapa negara
ASEAN sekaligus, sementara Kepulauan Paracel hanya melibatkan Vietnam dan China.
Tentu saja klaim tersebut
segera mendapat respon negara-negara yang perbatasannya bersinggungan di Laut Cina
Selatan, utamanya negara-negara anggota Association of South East Asia Nations
(ASEAN).Adapun negara-negara tersebut antara lain Vietnam, Brunei Darussalam,
Filipina, dan Malaysia.
6
Konflik di Laut Cina Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika Inggris
mengklaim Kepulauan Spratly, diikuti oleh Republik Rakyat China pada awal abad ke-20
dan Perancis sekitar tahun 1930-an. Di saat berkecamuknya Perang Dunia II, Jepang
mengusir Perancis dan menggunakan Kepulauan Spratly sebagai basis kapal selam.
Dengan berakhirnya Perang Dunia II China dan Perancis kembali mengklaim kawasan
tersebut dan diikuti oleh Filipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut sebagai
bagian dari kepentingan keamanan nasionalnya.
7
5Ibid 6 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap
Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 203-204.
7Bambang Cipto .Op.Cit., hlm. 205-206.
Universitas Sumatera Utara
Kawasan Laut Cina Selatan merupakan jalur strategis pelayaran yang padat dan
sibuk, Posisinya sangat signifikan dalam hal pelayaran internasional. Lebih dari 40.000
ribu kapal melewati jalur Laut Cina Selatan setiap tahunnya, setelah melewati jalur Selat
Malaka banyak kapal perniagaan yang melewati jalur di sepanjang Laut Cina Selatan juga
dikenal sebagai jalur pelayaran penting.8Jalur pelayaran ini seringkali disebut maritime
superhighway, karena merupakan salah satu jalur pelayaran internasional paling sibuk di
dunia.Lebih dari setengah lalu lintas supertanker dunia berlayar melalui jalur ini, lewat
Selat Malaka, Sunda dan Lombok. Jumlah supertanker yang berlayar melewati Selat
Malaka dan bagian barat daya Laut Cina Selatan bahkan lebih dari tiga kali yang
melewati Terusan Suez dan lebih dari lima kali lipatnya Terusan Panama.9
Konflik di Laut Cina Selatan dewasa ini terus mengalami eskalasi sehingga
menimbulkan ancaman yang laten maupun prominen terhadap negara-negara yang berada
di sekitar perairan tersebut. Penyebab utama munculnya ketegangan di Laut Cina Selatan
merupakan klaim teritori dari beberapa negara. Misalnya, Kepulauan Paracel yang terdiri
atas 115 pulau kecil diklaim oleh Cina, Taiwan, dan Vietnam, serta Kepulauan Spratly
yang diklaim oleh enam negara, yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan
Brunei Darussalaam.
10
Konflik inipun tidak hanya melibatkan negara anggota ASEAN, tetapi juga
negara yang memiliki pengaruh kuat dalam politik internasional, yaitu Cina dan Amerika
Serikat. Lokasi Laut Cina Selatan yang strategis sebagai jalur perdagangan antara
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, jalur yang paling sibuk dari Asia Tenggara
8Ibid., hlm 205 9Ibid
10 J.M. Douglas dan M.J. Valencia, Pacific Ocean Boundary Problems: Status andSolutions, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht, 1991, hlm 123.
Universitas Sumatera Utara
menuju Asia Timur dan sebaliknya, serta potensi minyak dan gas yang dimiliki oleh
perairan ini Laut Cina Selatan bahkan dijuluki sebagai “Teluk Persia”11
kepulauan yang mereka klaim.
di kawasan)
membuat keenam negara saling mengklaim teritori di Laut Cina Selatan dan membuat
pihak lain berperan dalam konflik ini.
Terbukanya peluang untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi kawasan Laut
Cina Selatan dengan sendirinya mendorong negara-negara yang pantainya berbatasan
langsung dengan kawasan tersebut segera melakukan klaim terhadap sebagian pulau,
kepulauan, atau karang yang masuk dalam kawasan negaranya sebagaimana ditentukan
oleh hu kum laut Internasional. Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia berlomba-lomba
mengklaim, mengirim pasukan untuk mengamankan
12
Penentuan lebar laut territorial setiap negara telah ditentukan dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB) tentang Hukum Laut atau
UNCLOS yaitu dalam Bab II dari mulai Pasal 2 sampai dengan pasal 32.Bab II Konvensi
Hukum Laut 1982 berjudul“Teritorial Sea and Contigous Zone”.Bahwa setiap negara
berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga batas yang tidak melebihi 12 mil laut,
didalam pengukurannya diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan
konvensi ini.
13
Meskipun UNCLOS 1982 telah memberikan pengaturan selengkap mungkin
mengenai perbatasan wilayah laut dan pembagian zona maritim, potensi konflik antar
11 South China Sea: China-Philippine deadlock in Huangyan Island area lasts,’ Global
Times (daring), http://www.globaltimes.cn/SPECIALCOVERAGE/SouthChinaSeaConflict.aspx>, diakses pada 1 Mei 2018
12Bambang Cipto, Op.Cit, .hlm. 206-207 13 Subagyo Joko, Hukum Laut Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2005, hlm. 33
Universitas Sumatera Utara
negara mengenai hal ini tetap tidak bisa dihindarkan.Dalam kawasan tertentu secara
geografis dua negara atau lebih yang wilayahnya berdekatan pun memiliki wilayah laut
yang saling berdekatan atau saling tumpang tindih, sehingga antar negara memiliki
penafsiran dan klaim yang berbeda atas wilayah tersebut.Dalam perkembangan hukum
laut internasional modern, meskipun penyelesaian masalah sengketa perbatasan laut
tersebut diserahkan kembali kepada kesepakatan antara negara yang bersengketa namun
tetap harus sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS 1982, meskipun demikian, mungkin
terjadi tidak ditemukan kesepakatan antar negara yang akhirnya dapat menimbulkan
konflik yang lebih kompleks dan berlarut-larut, seperti yang terjadi di Laut China
Selatan.14
Sengketa kepemilikan atau kedaulatan teritorial di Laut Cina Selatan
sesungguhnya merujuk pada kawasan laut dan daratan di dua gugusan Kepulauan Paracel
dan Spratly.Dalam kedua gugusan kepulauan tersebut terdapat pulau yang tidak
berpenghuni, atol, atau karang.Wilayah yang menjadi ajang perebutan klaim kedaulatan
wilayah ini terbentang ratusan mil dari Selatan hingga Timur di Provinsi Hainan.Republik
Rakyat China menyatakan klaim mereka berasal dari 2000 tahun lalu, saat kawasan
Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari bangsa China.Menurut Pemerintah
Republik Rakyat China, pada tahun 1947, Pemerintah Republik Rakyat China
mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan Republik Rakyat China atas wilayah
Laut Cina Selatan.Keterangan Pemerintah Republik Rakyat China itu dibantah
Pemerintah Vietnam, yang juga mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut, dengan
mengatakan bahwa Pemerintah Republik Rakyat China tidak pernah mengklaim
kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Spratly sampai dasawarsa 1940.Pemerintah
14Mifta Hanifah, Penyelesaian Sengketa Gugatan Filipina Terhadap China Mengenai
Laut China Selatan Melalui Permanent Court Of Arbitration, Diponegoro Law Journal. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, hlm 3
Universitas Sumatera Utara
Vietnam kemudian menyatakan bahwa dua kepulauan itu masuk wilayah mereka, bukan
wilayah Republik Rakyat China, sejak abad ke-17, dan mereka memiliki dokumen
sebagai bukti.15
Klaim kepemilikan terhadap Laut Cina Selatan yang dilakukan oleh Vietnam,
Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam dan China telah menimbulkan sengketa
hukum internasional. Negara-negara yang terlibat dalam sengketa tersebut memiliki
persepsi masing-masing mengenai legalitas kepemilikan wilayah atas laut tersebut.Situasi
ini amat berdampak kepada stabilitas politik dan keamanan negara-negara yang berada di
sekitarnya, khususnya di wilayah Asia Tenggara.
16
Menurut UNCLOS III Laut Cina Selatan termasuk kedalam tipe laut setengah
tertutup (semi-enclosed sea)
17 dalam ketentuan Konvensi dijelaskan bahwa laut tertutup
atau laut setengah tertutup berarti suatu teluk, lembah laut (basin), atau laut yang
dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau
Samudera oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri seluruhnya terutama dari laut
teritorial dan zona ekonomi eksklusifnya dua atau lebih negara pantai18
15 Sengketa Kepemilikan Laut China Selatan,” BBC online, 21 Juli 2011, diakses pada
tanggal 21 Mei 2018.
16 Keppres Nomor 12 Tahun 2014, tanggal 14 Maret 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967, tertanggal 28 Juni 1967, yang pada pokoknya menggantiistilah Tjina menjadi Tionghoa/Tiongkok maka digunakan istilah Laut
Tiongkok Selatan
17 Zou Keyuan, 2005, Law of The Sea In East Asia: Issues and Prospect, RoutledgeTaylor and Francis Group, New York, hlm. 43
18Pasal 122, BAB IX United Nations Convention The Law of The Sea 1982, atau dapat diakses di http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf
. Terdapat negara-
negara yang mengelilingi laut china selatan diantaranya China termasuk Taiwan,
Thailand, Filipina, Singapura, Indonesia, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Brunei
Darussalam, selain itu kawasan ini memiliki pulau-pulau kecil dan gugus karang yaitu,
Universitas Sumatera Utara
kepulauan Pratas, kepulauan Paracel dan kepulauan Spratly. Kawasan ini menyimpan
potensi konflik yang tinggi dikarenakan negara-negara disekitarnya mengklaim pulau-
pulau tersebut dengan dalihnya sendiri terutama klaim (klaim multilateral) atas kepulauan
Spratly dengan status pulau tidak berpenghuni yang disengketakan oleh beberapa negara
seperti China, Taiwan, dan beberapa negara anggota ASEAN yang terdiri dari Vietnam,
Brunei, Malaysia, dan Filipina serta kepulauan Paracel yang disengketakan oleh China,
Taiwan, dan Vietnam.19
I. Rumusan Masalah
Oleh karena melihat pentingnya Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan yang
akan berdampak pada Indonesia, maka dilakukan penelitian yang mengambil judul
penelitian Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan Menurut Hukum Internasional Sesuai
Dengan Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional Tahun 2016.
Berdasarkan latar belakang di atas tersebut, maka dapat dirumuskan hal yang
menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini, adapun yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini :
1. Bagaimanakah status wilayah Laut China Selatan menurut United Nation Conference
of the Law of the Sea (Unclos)?
2. Bagaimanakah peran Mahkamah Arbitrase Internasional dalam menyelesaikan
konflik Laut China Selatan?
3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa Laut China Selatan dalam Putusan Mahkamah
Arbitrase Internasional Tahun 2016?
J. Tujuan dan Manfaat Penulisan
19Ibid
Universitas Sumatera Utara
Adapun hasil penelitian yang diharapkan antara lain ;
1. Untuk mengetahui status wilayah Laut China Selatan menurut United Nation
Conference of the Law of the Sea (Unclos).
2. Untuk mengetahui peran Mahkamah Arbitrase Internasional dalam menyelesaikan
konflik Laut China Selatan.
3. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa Laut China Selatan dalam Putusan
Mahkamah Arbitrase Internasional Tahun 2016.
Dalam melakukan penelitian tentu sangat diharapkan dapat memberikan manfaat
baik untuk penulis maupun pihak-pihak lain. Adapun manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan
ilmu pengetahuan, khususnya bidang ilmu hukum internasional berkaitan dengan
penyelesaian sengketa laut cina selatan menurut hukum internasional sesuai dengan
putusan mahkamah arbitrase internasional tahun 2016.
2. Manfaat praktis
Diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan tentang hukum internasional,
khususnya berkaitan dengan penyelesaian sengketa laut cina selatan menurut hukum
internasional sesuai dengan putusan mahkamah arbitrase internasional tahun 2016.
K. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan
Fakultas Hukum yang ada di Indonesia baik secara fisik maupun online tidak ditemukan
judul Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan Antara China Dengan Vietnam,
Universitas Sumatera Utara
Malaysia, Brunei Dan Filipina Menurut Hukum Internasional, namun ada beberapa
penelitian sebelumnya membahas berkaitan Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan,
antara lain :
Mifta Hanifah. Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro (2017), dengan judul
penelitian Penyelesaian Sengketa Gugatan Filipina Terhadap China Mengenai Laut China
Selatan Melalui Permanent Court of Arbitration. Adapun permasalahan dalam penelitian
ini
1. Gugatan Filipina terhadap China yang diajukan pada Mahkamah Arbitrase sesuai
dengan ketentuan UNCLOS 1982
2. Akibat hukum dikeluarkannya putusan Mahkamah Arbitrase atas gugatan Filipina
terhadap penyelesaian sengketa Laut China Selatan.
Muhammad Fathur, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2017),
dengan judul penelitian Peranan Badan Lembaga Permanent Court Of Arbitration Dalam
Penyelesaian Sengketa Laut Cina Selatan. Adapun permasalahan dalam penelitian ini :
1. Kedudukan Lembaga Permanent Court of Arbitration dalam penyelesaian sengketa
2. Peranan hukum dalam menyelesaikan sengketa Internasional
3. Peranan lembaga Permanent Court of Arbitration dalam penyelesaian sengketa Laut
Cina Selatan.
Dian Ekawati, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2015),
dengan judul penelitian Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary Dalam
Model Penyelesaian Sengketa Terhadap Laut Cina Selatan. Adapun permasalahan dalam
penelitian ini adalah :
1. Mekanisme penyelesaian sengketa internasional terhadap konflik wilayah perairan
menurut Hukum Internasional
Universitas Sumatera Utara
2. Penyelesaian sengketa dalam Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary.
3. Resolution of Bangladesh-India Maritime Boundary dalam model penyelesaian
sengketa terhadap Laut Cina Selatan?
Wahyudi Agung Pamungkas. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Medan (2016), dengan judul penelitian Tinjauan Hukum Internasional Terhadap
Reklamasi Laut China Selatan Yang Dilakukan oleh Republik Rakyat China. Adapun
permasalahan dalam penelitian ini :
1. Status dan kedudukan Laut China Selatan menurut hukum laut internasional.
2. Tindakan reklamasi Laut China Selatan oleh Republik Rakyat China menurut hukum
laut internasional.
3. Upaya-upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan terkait dengan reklamasi
Laut China Selatan yang dilakukan oleh Republik Rakyat China.
Kartika Eka Pertiwi. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan
(2017) dengan judul penelitianAspek Hukum Penolakan Republik Rakyat Cina
Terhadap Keputusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Laut Cina Selatan.
Adapun permasalahan dalam penelitian ini
1. Kedudukan hukum putusan arbitrase internasional
2. Kewenangan arbitrase internasional dalam menyelesaikan sengketa wilayah dalam
hukum internasional
3. Aspek hukum penolakan Republik Rakyat China terhadap keputusan arbitrase
internasional dalam kasus Laut Cina Selatan.
Berdasarkan judul dan pembahasan dari penelitian terdahulu terdapat perbedaan
dalam penelitian yang dilakukan penulis yaitu objek penelitian dan permasalahan
penelitian.Penelitian ini didukung dengan penelitian terdahulu dan pendapat-pendapat
Universitas Sumatera Utara
para ahli serta media elektronik, sehingga dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan
asli dan dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun akademis.
L. Tinjauan Pustaka
1. Penyelesaian Sengketa Internasional
Sengketa internasional merupakan sengketa yang bukan secara eksklusif
merupakan urusan dalam negeri suatu negara.Sengketa internasional juga tidak hanya
eksklusif menyangkut hubungan antar negara saja mengingat subjek-subjek hukum
internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa melibatkan banyak
aktor non negara. Terkait dengan sengketa internasional sangat menarik kiranya apa yang
dikemukakan oleh John Collier bahwa fungsi hukum penyelesaian sengketa internasional
manakala terjadi sengketa internasional adalah to manage, rather than to supress or to
resolve a dispute.20
2. Laut China Selatan
Laut Cina Selatan merupakan laut yang berada di antara Asia Timur dengan Asia
Tenggara. Laut ini berbatasan dengan negara Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei
Darussalam, Malaysia dan Indonesia. Laut Cina Selatan luasnya kurang lebih 3.500.000
km2, dan 90 persen di antaranya dilingkari oleh daratan dan pulau-pulau.Dari segi
kedalaman, Laut Cina Selatan terdiri dari dua bagian.Sebelah utara merupakan Cekungan
Laut Cina Selatan dengan kedalaman antara 4300-5016 meter dengan luas 1.775.000
km2.Daerah ini meliputi 52 persen dari Laut Cina Selatan.Di bagian inilah terletak
Kepulauan Spratly, Paracel, Maccesfield Bank, Pratas Reef, dan Reed Bank. Selebihnya,
20 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press .2010, hlm
322
Universitas Sumatera Utara
yaitu 48 persen dengan luas 1.745.000 km2 merupakan Landas Kontinen Asia yang
melintang sepanjang pantai Cina sampai ke selatan.21
Kawasan Laut Cina Selatan meliputi perairan dan daratan dari gugusan
kepulauan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai
Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang luas dari negara Singapura yang
dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan, karena bentangan wilayah yang luas
ini, dan sejarah penguasaan silih berganti oleh penguasa tradisional negara-negara
terdekat, dewasa ini, beberapa negara, seperti Republik Rakyat China, Taiwan, Vietnam,
Filipina, dan Brunei Darussalam, terlibat dalam upaya konfrontatif saling klaim, atas
sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut. Indonesia, yang bukan negara
pengklaim, menjadi terlibat setelah klaim mutlak Republik Rakyat China atas perairan
Laut Cina Selatan muncul pada tahun 2012.
22
Secara geografis Laut Cina Selatan terbentang dari arah barat daya ke timur laut,
batas selatan 3° Lintang Selatan antara Sumatera Selatan dan Kalimantan (Selat
Karimata) , dan batas utara-nya adalah Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan ke pesisir
Fujian di China daratan. Laut Cina Selatan terletak disebelah selatan Republik Rakyat
China dan Taiwan; di sebelah Barat Filipina;di sebelah barat Laut Sabah (Malaysia),
Sarawak (Malaysia), dan Brunei; di sebelah utara Indonesia ; di sebelah timur laut
Semenanjung Malaya (Malaysia) dan Singapura; dan disebelah timur Vietnam.
23
21Syamsumar Dam, Politik Kelautan, Jakarta, Bumi Aksara, 2010, hlm 238
22 Poltak Partogi Nainggolan, Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan, Jakarta, P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, 2013, hlm 7
23 Dong Manh Ngunyen, “Settlement of Dispute Under The 1982 United Nations Convention Of The Law Of The Sea:The Case South China Sea Dispute”, University of Queensland Law Journal, Vol 25 No.1 (Queensland 2006), hlm 86
Universitas Sumatera Utara
Dasar Laut Cina Selatan dari 1,7 juta km2 landas kontinen yang mempunyai
kedalaman kurang dari 200 meter, dan 2,3 juta km2 dari dasar laut lebih dalam dari 200
meter. Dasar laut yang termasuk landas kontinen terutama terdapat di bagian barat dan
selatan (Sunda Shelf), sementara bagian yang lebih dalam di beberapa area mencapai
lebih dari 5000 meter (South China Basin), ditandai dengan berbagai kedangkalan dan
pulau-pulau karang.24
Kawasan Laut Cina Selatan juga merupakan jalur yang sangat vital bagi negara-
negara industrialisasi di Asia Timur yakni China, Jepang dan Korea Selatan.Kawasan ini
merupakan rute pelayaran internasional tersibuk kedua di dunia.Karena transportrasi laut,
terutama untuk mengangkut suplai minyak dari Timur Tengah tidak bisa lepas dari jalur
ini.Kemudian Kawasan ini juga merupakan jalur utama bagi negara industrialisasi
tersebut untuk kapal-kapal yang mengangkut barang produksinya untuk diekspor ke Asia,
Timur Tengah dan Eropa. Hal tersebut dapat diketahui, bahwa setiap tahunnya aktivitas
perlayaran lebih dari setengah lalu lintas super tanker melalui jalur perairan mulai dari
Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok menuju ke Cina, Taiwan, Jepang dan Korea
Selatan.
25
3. Hukum Internasional
Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang
sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya
24Asnani, Usman dan Rizal Sukma.Konflik Laut China Selatan : Tantangan Bagi ASEAN.
Jakarta: CSIS, 1997, hlm 1
25 Prabowo, E. E. Kebijakan Dan Strategi Pertahanan Indonesia (Studi Kasus Konflik Di Laut Cina Selatan), Jurnal Ketahanan Nasional, 2013, hlm.118
Universitas Sumatera Utara
negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati
secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain.26
Sebagai subjek hukum, negara memiliki personalitas internasional.Personalitas
internasional dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk memiliki hak dan kewajiban
internasional.Singkatnya, fakta bahwa Negara memiliki personalitas internasional maka
negara tunduk pada ketentuan hukum internasional.Sebagai subjek hukum internasional,
negara memiliki kedaulatan yang diakui oleh hukum internasional.Kedaulatan suatu
negara dimaknai sejauh mana suatu negara memiliki kewenangan dalam menjalankan
kebijakan dan kegiatan dalam wilayah negaranya guna melaksanakan hukum
nasionalnya.
27
Dalam suatu hubungan antar subjek hukum internasional khususnya negara,
sering terjadi pertentangan yang diakibatkan oleh perbedaan kepentingan.Dan tidak
selamanya pertentangan tersebut dapat diselesaikan melalui penyelesaian
damai.Pertentangan kepentingan inilah yang sering disebut dengan konflik.Konflik antar
negara ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti; politik, ekonomi, ideologi,
strategi militer, ataupun perpaduan antara kepentingan-kepentingan tersebut.
28
M. Metode Penelitian
Jenis penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian
yuridis normatif. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan berdasarkan ketentuan
hukum yang berlaku dan dapat juga dikatakan sebagai metode penelitian hukum
26 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hlm. 3.
27 Mirza Satria Buana, Hukum Internasional: Teori dan Praktek, BanjarmasinFH Unlam Press, 2007, hlm. 2
28 Sri Setianingsih Suwardi, Penyelesaian Sengketa Internasional,Jakarta, Universitas 2006, hlm. 1
Universitas Sumatera Utara
kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang
ada.29
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif,
yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif.30 Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian
hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-
peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut
sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih
banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.31
2. Sifat penelitian
Sifat penelitian dalan penulisan skripsi ini penelitian deskripstif analisis, yaitu
penelitian bersifat pemaparan yang bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskriptif)
lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu,
atau peristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat.32
3. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder.Data sekunder adalah data
yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai
literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang
29 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, 2009, hlm 22
30 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing, 2006,hlm. 295.
31 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 81
32 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2010, hlm 9.
Universitas Sumatera Utara
sering disebut bahan hukum. 33
a. Bahan hukum primer yang terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi
atau keputusan pengadilan. Adapun bahan hukum primer dalam penelitian ini antara
lain UNCLOS 1982. Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea.
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang dapat berupa pendapat para ahli, jurnal ilmiah,
surat kabar dan berita internet.
c. Bahan hukum tersier, yautu bahan hukum yang dapat menjelaskan baik bahan hukum
primer maupun bahan hukum sekunder, yang berupa kamus hukum, kamus Bahasa
Indonesia, dan ensiklopedia.34
4. Teknik pengumpulan data
Teknik penelitian hukum normatif atau kepustakaan.Teknik pengumpulan data
dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan
hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum
tersierdan atau bahan non hukum. Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat
dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan maupun sekarang banyak dilakukan
bahan hukum tersebut dengan melalui media internet35
5. Analisa data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan
kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang
33 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015, hlm 156 34Ibid, hlm., 157-158 35Ibid.
Universitas Sumatera Utara
telah didapatkan sebelumnya.Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan
memberikan telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung.Menambah
atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil
penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori yang telah dikuasainya.36
N. Sistematika Penulisan
Hasil suatu penelitian hukum normatif agar lebih baik nilainya atau untuk lebih
tepatnya penelaahan dalam penelitian tersebut, peneliti perlu menggunakan pendekatan
dalam setiap analisisnya. Pendekatan ini bahkan akan dapat menentukan nilai dari hasil
penelitian tersebut.
Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang di pakai dalam melakukan
penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta
mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruhan
skripsi ini, meliputi 5 (lima) bab yang secara garis besar isi bab-bab diuraikan sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan awal penelitian yang terdiri atas latar belakang, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka
dan metode penelitian serta sistematika penelitian.
BAB II STATUS WILAYAH LAUT CHINA SELATAN MENURUT UNITED
NATION CONFERENCE OF THE LAW OF THE SEA (UNCLOS)
Bab ini berisikan sejarah konflik Laut China Selatan. Status Kepemilikan
Wilayah Laut China Selatan, Peraturan tentang Batas Wilayah Laut menurut
36Ibid.,hlm 180
Universitas Sumatera Utara
Konvensi Unclos 1982 dan Konflik dan Sengketa yang terjadi di Wilayah Laut
China Selatan.
BAB III MAHKAMAH ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM
MENYELESAIKAN KONFLIK LAUT CHINA SELATAN
Bab ini berisikan latar belakang timbulnya di Laut China Selatan dan Klaim
sepihak oleh China dalam Menetapkan Wilayah Batas Laut China Selatan dan
Inrtervensi Amerika Serikat dalam Wilayah Laut China Selatan.
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE INTERNASIONAL TAHUN 2016
Bab ini berisikan Penyelesaian Sengketa Gugatan Filipina terhadap China
Mengenai Laut China Selatan Melalui Mahkamah Arbitrase Internasional dan
putusan Mahkamah arbitrase internasional terhadap sengketa Laut China
Selatan
BAB V PENUTUP
Pada bab terakhir ini akan dimuat kesimpulan dari pembahasan yang ada pada
bab-bab sebelumnya dan akan diakhiri dengan saran-saran terhadap
pembahasan skripsi ini
Universitas Sumatera Utara
26
BAB II
STATUS WILAYAH LAUT CHINA SELATAN MENURUT
UNITED NATION CONFERENCE OF THE LAW OF
THE SEA (UNCLOS)
A. Sejarah konflik Laut China Selatan
Sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan sangatlah kompleks karena adanya
tumpang tindih klaim antar negara pengklaim. Tumpang tindih ini terjadi karena wilayah
perbatasan teritorial satu negara pengklaim bertindihan dengan negara lain. Saat ini
terdapat dua sengketa di kawasan Laut Cina Selatan, yaitu sengketa teritorial kawasan
Kepulauan Paracel, Spratlys, dan Kepulauan lainnya (selain dua kepulauan utama
tersebut, terdapat juga kawasan kepulauan Pratas yang dikenal sebagai Dongsha, dan
Macclesfield Bank yang dikenal sebagai Quan Dao Trung Sa atau Zhongsha Qundao);
dan sengketa perbatasan kawasan laut akibat tumpang tindihnya klaim landas batas
maritim antara negara-negara di kawasan tersebut.37
Hal ini semakin jelas karena Republik Rakyat China berusaha mengukuhkan
kehadirannya di Laut Cina Selatan, secara de jure, dengan mengeluarkan Undang-Undang
tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone pada tanggal 25 Febuari 1992, dan telah
diloloskan Parlemen Cina yang memasukkan Kepulauan Spratly sebagai wilayahnya,
sedang de facto, Cina telah memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut, serta
melakukan modernisasi kekuatan pertahanan menuju ke arah tercapainya armada
samudra.Sengketa teritorial di kawasan laut Cina Selatan khususnya sengketa atas
kepemilikan Kepulauan Spartly dan Kepulauan Paracel mempunyai perjalanan sejarah
37 Abdi Rivai Ras, Konflik Laut Cina Selatan dan Ketahanan Regional Asia Pasifik Sudut
Pandang Indonesia, (Jakarta: Yayasan Abdi Persada Siporennu Indonesia, Spers Mabes TNI AL, 2001), hlm. 53
Universitas Sumatera Utara
konflik yang panjang. Sejarah menunjukkan bahwa, penguasaan kepulauan ini telah
melibatkan banyak negara diantaranya Inggris, Prancis, Jepang, Republik Rakyat China,
Vietnam, yang kemudian melibatkan pula Malaysia, Brunei, Filipina dan Taiwan.
Sengketa teritorial di kawasan Laut Cina Selatan bukan hanya terbatas pada masalah
kedaulatan atas kepemilikan pulau-pulau, tetapi juga bercampur dengan masalah hak
berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta menyangkut
masalah penggunaan teknologi baru penambangan laut dalam (dasar laut) yang
menembus kedaulatan negara.38
Awal mula terjadinya konflik di Laut Cina Selatan diawali oleh pernyataan
Pemerintah Republik Rakyat China yang mengklaim hampir seluruh wilayah perairan
Laut Cina Selatan yang didasarkan pada teori Nine Dash Line.Sedangkan, pengertian
Nine Dash Line merupakan sembilan titik imajiner yang menunjukkan klaim Cina atas
hampir seluruh Laut Cina Selatan.Berdasarkan teori tersebut membuat Cina menyatakan
status pulau-pulau yang berada di kawasan Laut Cina Selatan masuk dalam wilayah
teritorialnya. Hal tersebut membuat negara-negara di sekitar kawasan tersebut seperti
Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam dan Malaysia berang dikarenakan mereka
juga mengklaim bahwa sebagian wilayah Laut Cina Selatan merupakan bagian dari Zona
Ekonomi Eksklusif mereka. Indonesia sebagai negara yang tidak terlibat dalam konflik
Laut Cina Selatan kini mulai terseret ke dalam pusaran konflik tersebut dikarenakan Cina
juga memasukkan perairan natuna di Kabupaten Natuna sebagai wilayah maritimnya
berdasarkan klaim Nine Dash Line.Hal tersebut membuat Indonesia mempertanyakan
38https://johnpau.wordpress.com/2010/11/09/91/diakses tanggal 1 Mei 2018
Universitas Sumatera Utara
maksud Cina yang memasukkan Perairan Kabupaten Natuna sebagai wilayah
Maritimnya.39
Kawasan Laut Cina Selatan sepanjang dekade 90-an menjadi primadona isu
keamanan dalam hubungan internasional di ASEAN pasca Perang Dingin. Kawasan ini
merupakan wilayah cekungan laut yang dibatasi oleh negara-negara besar dan kecil
seperti Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan. Dalam
cekungan laut ini terdapat Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.Pada berbagai
kajian tentang konflik di Laut Cina Selatan, Kepulauan Spratly lebih mengemuka karena
melibatkan beberapa negara ASEAN sekaligus, sementara Kepulauan Paracel hanya
melibatkan Vietnam dan Cina.
40
Terbukanya peluang untuk memanfaatkan dan mengeksploitasi kawasan Laut
Cina Selatan dengan sendirinya mendorong negara-negara yang pantainya berbatasan
langsung dengan kawasan tersebut segera melakukan klaim terhadap Sebagian pulau,
kepulauan, atau karang yang masuk dalam kawasan negaranya sebagaimana ditentukan
oleh hukum laut Internasional. Cina, Vietnam, Filipina, Malaysia berlomba-lomba
mengklaim, mengirim pasukan untuk mengamankan kepulauan yang mereka klaim.
41
39 Raden Florentinus Bagus Adhi Pradana, Akibat Hukum Klaim Nine Dash Line Cina
Terhadap Hak Berdaulat Indonesia Di Perairan Kepulauan Natuna (Khususnya Kabupaten Natuna) menurut Unclos 1982, Skripsi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Hukum,2017, hlm 4
40Bambang Cipto, Op.Cit, hlm. 203-204.
41Ibid., hlm 206-207
Sengketa antara Filipina dan Cina atas klaim kepemilikan yang bertentangan
terhadap Kepulauan Spratly meningkat pada tahun 2011. Departemen dan juru bicara
Pemerintah Filipina mulai menyebut seluruh kawasan
Universitas Sumatera Utara
laut tersebut sebagai Laut Filipina Barat. Dalam layanan Administrasi Atmosferik,
eofisika, dan Astronomik Filipina (PAGASA), Pemerintah Filipina bersikukuh bahwa
kawasan tersebut akan selalu disebut sebagai Laut Filipina. Pulau-pulau kecil yang
disengketakan di laut tersebut juga disebut dengan berbagai nama yang bertentangan,
dengan klaim kedaulatan yang bertentangan atas mereka yang sudah terjadi selama
ratusan tahun. Bangsa-bangsa Barat menyebut satu kumpulan pulau sebagai kepulauan
Spratly, namun Cina menyebutnya Kepulauan Nansha.42
Amerika Serikat belum bersedia untuk membantu Filipina.
Sebagai negara yang sudah terikat terhadap perjanjian pertahanan dengan
Amerika Serikat, Filipina merasa perlu untuk menghimpun kekuatan yang lebih besar
melalui perjanjian-perjanjian keamanan lain sekaligus meminta bantuan keamanan
kepada Amerika Serikat. Mutual Defense Treaty antara Filipina dan Amerika Serikat
yang ditandatangani kedua Negara pada tahun 1951, menjadi dasar dari terbentuknya
penguatan aliansi keamanan yang salah satunya difokuskan pada sengketa Laut Cina
Selatan.Pada awalnya, Amerika Serikat tidak memberi respon positif terhadap permintaan
Filipina untuk memberikan dukungannya dalam upaya Filipina menghadapi ancaman
Cina. Pada tahun 1995,
43
42Muhammad Eko Prasetyo, “Resolusi Potensi Konflik Regional” (Skripsi Sarjana tidak
diterbitkan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Lampung), 2016 hlm. 79
43 Ralf Emmers, “The US Rebalancing Strategy: Impact on the South China Sea”, National Security College, hlm. 42
Hal ini dianggap Amerika
Serikat sebagai pemetaan kerjasama di luar dari Mutual Defense Treaty1951 bahwa
Amerika Serikat bersedia dan berkewajiban untuk memberikan segala bantuan keamanan
untuk menjaga wilayah kedaulatan Filipina. Menurut Amerika Serikat, Laut Cina Selatan
belum menjadi keputusan wilayah Filipina. Kebijakan Amerika Serikat ini akhirnya
Universitas Sumatera Utara
berbalik arah ketika Cina melakukan sebuah aksi provokatif dan asertif di Laut Cina
Selatan, berupa Impiccable Incident pada tahun 2009.44
Pihak Republik Rakyat China mengklaim saat peta tersebut diterbitkan pertama
kali tidak ada satupun negara yang menyampaikan protes diplomatik, sehingga terus
digunakan pemerintah Republik Rakyat China, sejak setelah kemenangan Partai Komunis
1949.Meski demikian, RRC tidak pernah secara terbuka menyatakan detail klaimnya
tersebut.
45Akhirya, pada tanggal 16 November 2011, Menlu Filipina Albert Del Rosario
dan Menlu Amerika Serikat Hillary Clinton menandatangani Deklarasi Manila sebagai
strategi baru aliansi keamanan kedua Negara dan sekaligus memperingati 60 tahun
Mutual Defense Treaty 1951.46
Semenjak itu pula Cina secara rutin mengirimkan pasukannya untuk melakukan
patroli di sekitar kepulauan tersebut serta mengirimkan pula para ilmuwan untuk
melakukan penelitian kelautan.Demikian pula nelayan-nelayan dari daratan Cina secara
berkelanjutan menangkap ikan di perairan tersebut karena menganggap bahwa kawasan
itu adalah bagian dari wilayah negaranya.Menginjak tahun 1950-an, kompetisi
kepemilikan Kepulauan Spratly dan sekitarnya semakin gencar dan ramai karena
beberapa negara pantai seputar Laut Cina Selatan telah pula menyatakan serta
mempertegas bahwa mereka juga adalah pemilik sehingga berhak mengelola wilayah
tersebut. Situasi ini dipandang oleh Cina dari perspektif politik yaitu sebagai bagian
integral kebijakan politik Amerika Serikat yang berupaya membendung pengaruh Cina
44Ibid 45Basri Hasanuddin Latief, “Kasus Laut Cina Selatan dan Kepentingan Nasional Cina”,
(Paper Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin), 2013, hlm. 4-5
46Thomas Lum, “The Republic of the Philippines and the US Interests”, Congressional Research Service, 2012, hlm. 27
Universitas Sumatera Utara
(containment policy) yang akan menyebarkan paham komunisme ke Asia
Tenggara.47Oleh sebab itu kebijakan politik Amerika Serikat ini dirasakan sebagai suatu
ancaman terhadap keamanan negaranya.Sekalipun dalam perkembangan politik
selanjutnya sejak tahun 1970-an, ketika terjadi perubahan yang dramatis dalam hubungan
antara Cina dan Amerika Serikat, klaim Cina atas Kepulauan Spratly dan perairan
ekitarnya tidak pernah berubah.Ancaman terhadap keamanan di laut khususnya di Laut
Cina Selatan semakin bertambah ketika Uni Soviet memperoleh akses di Vietnam.48
1. Cina - Filipina
Sengketa antara Filipina dan China atas klaim yang bertentangan terhadap
Kepulauan Spratly meningkat pada tahun 2011, departemen dan juru bicara pemerintah
Filipina mulai menyebut seluruh kawasan laut tersebut sebagai Laut Filipina Barat.
Dalam layanan Administrasi Atmosferik, Geofisika, dan Astronomik Filipina (PAGASA)
bersikukuh bahwa kawasan tersebut akan selalu disebut sebagai Laut Filipina. Pulau-
pulau kecil yang disengketakan di laut tersebut juga disebut dengan berbagai nama yang
bertentangan, dengan klaim kedaulatan yang bertentangan atas mereka yang sudah terjadi
selama ratusan tahun. Bangsa-bangsa Barat menyebut satu kumpulan pulau sebagai
kepulauan Spratly.Cina menyebutnya Kepulauan Nansha.
Filipina menyebut Karang Scarborough sebagai Beting Panatag, Bajo de
Masinlóc atau Karburo.Cina telah menamakannya sebagai Kepulauan Huangyan sejak
tahun 1983.Pada tahun 1947, pemerintah Kuomintang dari Republik Cina menyatakan
kedaulatan atas karang tersebut dan menamakannya Minzhu Jiao atau Karang
Demokrasi.Nama Baratnya berasal dari kapal dagang Scarborough milik Perusahaan
47NNS Purbawanti, “Klonflik Laut China Selatan”, (Skripsi, Universitas Pasundan), 2016,
hlm. 49.
48Ibid., hlm 50
Universitas Sumatera Utara
Hindia Timur Britania yang tenggelam tanpa ada yang selamat setelah menabrak karang
tersebut pada tahun 1784. Filipina berusaha menyatakan kedaulatannya atas Karang
Scarborough selama setengah abad, dengan membangun sebuah menara setinggi 27,23
kaki (8,3 meter) di sana pada tahun 1965.49
Pada tahun 2012 ini, pemerintah Filipina akan melelang tiga wilayah di Laut Cina
Selatan untuk eksplorasi minyak dan gas yang juga diklaim oleh Cina.Filipina sangat
ingin mengurangi ketergantungan impor energi.Bagaimanapun, perairan yang diklaim
oleh sejumlah negara ini, memiliki sumber energi yang besar. Blok yang akan dilelang
berada di dekat Provinsi Palawan province, dekat Malampaya dan Sampaguita yang
mengandung gas alam. Wilayah ini dekat dengan Reed Bank, yang juga diklaim oleh
Cina.Seluruh wilayah yang ditawarkan berada di 200 mil zona ekonomi eksklusif Filipina
sesuai dengan UNCLOS. Upaya Filipina untuk mendapatkan hak kedaulatan ekslusif dan
otoritas untuk mengeksplorasi dan eksploitasi sumber alam di wilayah itu diluar negara
lain. Tidak ada keraguan dan sengketa mengenai hak tersebut.Wilayah Laut Cina Selatan
yang menjadi sengketa itu mengandung minyak dan gas yang besar.Dalam beberapa
tahun terakhir, ketegangan antara sejumlah negara menajam, menyusul peningkatan
aktivitas maritim Cina di wilayah itu.
Filipina berusaha menyatakan kedaulatannya
atas Karang Scarborough selama setengah abad, dengan membangun sebuah menara
setinggi 27,23 kaki (8,3 meter) di sana pada tahun 1965.
50
49Martin sieff (2012), “Sengketa nama Laut Cina Selatan atas Kepulauan Spartly dan
Paracel ungkap konflik yang lebih dalam”,
Konflik terbaru terjadi antara Filipina dengan
http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/09/13/name-the-seadiakses tanggal 29 Mei 2018.
50 Hubungan antara Cina dan Filipina menurun menyusul sengketa wilayah di Scarborough Shoal, http://www.bbc. co.uk/ indonesia/dunia/2012/07/120731_southchinasea.shtmldiakses tanggal 29 Mei 2018
Universitas Sumatera Utara
China di Dangkalan Scarborough.Selain itu, Vietnam dengan Filipina pun sempat
memanas setelah kapal dari tiap kedua negara saling memicu ketegangan.51
2. Cina - Vietnam
Vietnam memiliki kumpulan nama untuk wilayah kecil di Laut Cina Selatan.
Perancis menyatakan klaim atas kepulauan Spratly dan Paracel pada tahun 1887 dan
menegaskan kembali klaim mereka pada tahun 1933. Orang Vietnam telah menyebut
kepulauan tersebut dengan Hoang Sa, atau Pasir Kuning sejak abad ke-15. Di dalam
bahasa Vietnam modern, nama tersebut dieja Hoàng Sa atau Cát Vàng. Nama-nama
tersebut memiliki makna yang sama, yaitu Pasir Kuning atau Beting Kuning. Di bawah
Kaisar Vietnam Minh Mang (1820-1841) pada abad ke-19, kepulauan Spratly disebut
sebagai Beting Sepuluh Ribu Liga.
Pada abad ke-19, Vietnam dan China menyatakan klaim atas kepulauan Spratly
dan Paracel secara bersamaan, akan tetapi tidak menyadari bahwa masing-masing
melakukan hal yang sama. Pada bulan Juli 2012, Majelis Nasional Vietnam menyetujui
undang-undang yang memperluas perbatasan laut negara tersebut dengan memasukkan
rangkaian kepulauan Spratly dan Paracel ke dalamnya.
Kapten Angkatan Laut Inggris James George Meads menyatakan klaimnya
sendiri atas kepulauan tersebut pada tahun 1870-an dan memproklamasikan negaranya
sendiri Morac-Songhrati-Meads atasnya. Menambah sedikit kelegaan terhadap
perseteruan yang rumit dan tegang atas kedua kepulauan sekarang, keturunan Meads terus
berusaha menyatakan klaim atas kuasa dan kepemilikan mereka atas kedua kepulauan
51Ibid
Universitas Sumatera Utara
tersebut.Klaim mereka juga mencakup potensi cadangan minyak, gas, dan mineral
berharga di bawah dasar laut di sekitarnya yang mencakup radius sepanjang 200 mil.52
Republik Rakyat China yang dikuasai oleh pemerintah Kuomintang untuk waktu
yang singkat menjajah kepulauan Spratly dan Paracel dari tahun 1945 sampai 1949, tetapi
meninggalkan sebagian besar ketika merelokasi ke Taiwan setelah kemenangan komunis
pada tahun 1949 dalam Perang Sipil Cina. RRC menarik sisa pasukannya dari Pulau
Taiping pada tahun 1950, tetapi mengirim mereka kembali pada tahun 1965.
Sengketa atas pulau-pulau tersebut, terutama antara Cina dan Filipina dan
Vietnam, tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda karena sejarah yang panjang dan
rumit mengenai klaim dan klaim balasan teritorial atas wilayah laut. Sengketa ini akan
terus berlanjut dan kemungkinan akan meningkat kecuali jika bangsa-bangsa yang
bersengketa ini bekerja sama secara kolaboratif dan diplomatis untuk menyelesaikan
klaim tanpa paksaan, intimidasi, atau penggunaan kekuatan contohnya menyetujui "Kode
Etik" yang disponsor oleh ASEAN. Semua partai harus memperjelas dan melanjutkan
klaim teritorial dan maritim mereka sesuai dengan hukum internasional, seperti yang
disebutkan dalam Konvensi PBB untuk UNCLOS. Situasi yang sangat mudah berubah ini
tidak akan terselesaikan kecuali jika semua pihak menjelajah setiap kesempatan
Negara Jepang juga sempat terlibat dalam pemindahan klaim atas kepulauan
Paracel. Jepang menjajah rangkaian pulau tersebut pada tahun 1939 dan sampai tahun
1945 menyebutnya sebagai Shinnan Shoto, atau Kepulauan Baru Selatan. Di dalam
Traktat Perdamaian San Fransisco pada tahun 1951 pada akhir masa penjajahan AS,
Jepang mencabut semua klaim atas Spratly, Paracel, dan pulau-pulau lain di LCS. Cina
kemudian mengulang kembali klaim kedaulatan sebelumnya atas pulau-pulau tersebut.
52Ibid
Universitas Sumatera Utara
diplomatis untuk mencapai sebuah penyelesaian, termasuk penggunaan arbitrasi atau
hukum internasional.53
3. Cina - Malaysia
China dan Malaysia mengklaim berdasarkan pada kedekatan geografis dan
alasan-alasan keamanan, disamping hak-hak berdaulat negara atas ZEE 200 mil
laut.54
4. Malaysia - Brunei Darussalam
Malaysia menamakan keplualuan Spratly dengan menyebut Itu Aba dan Terumbu
Layang-Layang sedangkan China menyebutnya dengan nama Nansha Quadao.Dibanding
dengan China, Vietnam, dan Filiphina, klaim Malaysia merupakan klaim yang
lemah.Malaysia merupakan pendatang baru dalam perebutan klaim di Kepulauan Spratly,
karena klaim Negara itu baru muncul pada bulan Desember tahun 1979 ketika Malaysia
menerbitkan sebuah peta laut yang di dalamnya memasukkan beberapa pulau dalam
gugusan Spratly termasuk dalam landas kontinen Malaysia. Dalam peta yang dibuat,
sangat jelas telah memasukkan beberapa pulau sebagai wilayah teritorialnya, yang nota
bene juga sudah diklaim bersama oleh Taiwan, Cina, Vietnam dan Filipina.Patut diduga
klaim Malaysia semata-mata didasarkan pada kenyataan bahwa pulau-pulau tersebut
terletak di dalam landas kontinen dan zona ekonomi eksklusifnya dan juga karena terletak
dekat ke daratan utamanya Sabah.Penerapan secara sepihak UNCLOS 1982 yang
mengatur tentang Zona Ekonomi Ekslusif dan landas kontinen juga menjadi dasar untuk
pembuatan peta laut yang baru.Sejak tahun 1983 Malaysia telah melaksanakan survei
keperairan sekitar Pulau Amboyna Cay yang menandakan keseriusan Malaysia untuk
mengeksplorasinya di kemudian hari.
53 http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/09/13/name-the-sea, diakses tanggal 29 Mei 2018 54Etty R. Agoes, “Masalah-Masalah Teritorial dan Judsdiksional di Laut China Selatan dan Upaya-Upaya Untuk Mengatasinya”, Pro Justitia tahun XI, Nomor 4, Oktober 1993, hlm.101
Universitas Sumatera Utara
Masuknya Brunei Darussalam ke dalam masalah Laut Cina Selatan disebabkan
adanya klaim malaysia terhadap beberapa pulau kecil di sekitar Sratly termasuk Karang
Louisa (Louisa Reef) yang letaknya berdekatan dengan wilayah Brunei,55 maka landas
kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif akan tumpang tindih dengan Malaysia. Lama
sebelum Brunei memperoleh kemerdekaannya dari Inggris, Pulau Louisa Reef yang
terletak di bagian selatan Kepulauan Spratly telah ditetapkan oleh Inggris pada tahun
1954 sebagai wilayahnya teritorialnya. Klaim tersebut diteruskan oleh Brunei dewasa ini
yang dalam kenyataannya ditentang keras oleh Malaysia.Dasar yang dipakai oleh Brunei
juga UNCLOS 1982, yaitu wilayah yang merupakan kelanjutan dari landas kontinen
sampai pada kedalaman 100 fathom.Sudah ada upaya antara Brunei dan Malaysia untuk
mengatasi sengketa kepemilikan atas Louisa Reef, namun karena masalahnya sangat
kompleks maka tumpang tindih klaim antar kedua negara belum terselesaikan.Pada tahun
1988 Brunei justru memperluas klaimnya dengan menunjukkan peta baru yang memuat
batas terluar landas kontinennya melampaui Rifleman Bank sampai sejauh 350 mil.Jadi
klaim baru ini adalah merupakan interpretasi dari UNCLOS 1982 tentang landas
kontinen.56
B. Status Kepemilikan Wilayah Laut China Selatan
Menurut UNCLOS III Laut Cina Selatan termasuk dalam tipe laut yang setengah
tertutup (semi-enclosed sea), dimana dalam ketentuan Konvensi dijelaskan bahwa laut
tertutup atau laut setengah tertutup berarti suatu teluk, lembah laut (basin), atau laut yang
dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau
55Ibid., hlm.101
56Ibid
Universitas Sumatera Utara
samudera oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri seluruhnya terutama dari laut
teritorial dan zona ekonomi eksklusifnya dua atau lebih negara pantai.57
China merupakan negara yang pertama kali sekaligus sangat dominan dalam
mengklaim pulau-pulau kecil dan karang yang berada di kawasan Laut Cina Selatan
tersebut. Sebenarnya ada dua klaim yang dilakukan oleh China terhadap wilayah Laut
Cina Selatan, yang pertama klaim China terhadap yurisdiksi wilayah laut di kawasan Laut
Cina Selatan, kedua klaim China terhadap kedaulatan atas empat gugusan pulau yang
berbeda, yaitu, Kepulauan Paracel, Spratly, Pratas dan Macclesfield. Namun, dari klaim-
klaim yang telah disebutkan, klaim terhadap gugusan Kepulauan Spratly yang menjadi
sorotan masyarakat internasional karena memiliki implikasi yang besar bagi hubungan
internasional di kawasan tersebut.
58
Beberapa versi, peta modern China sejak 1984 memiliki 10 garis putus. Dimana
satu garis yang lain berada di timur Taiwan.
59Dari segi skup wilayah klaim terhadap Laut
Cina Selatan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara klaim teritori dalam peta resmi
China pada tahun 1947 dengan tahun 2009.Dimana hampir keseluruhan pulau-pulau di
Laut Cina Selatan berada dalam klaim China menurut peta resminya tersebut.Bila
mengacu pada peta resmi China yang dikeluarkan pada tahun 2009, sembilan garis putus
dalam peta tersebut mencakup sekitar 2 juta km2 luas maritim di Laut Cina Selatan
(sekitar 22% dari luas China daratan).60
Kepulauan Spratly yang terletak di Laut Cina Selatan tersebut dalam konteks
sumber daya alam yang ada di daratannya sebenarnya tidak memiliki nilai ekonomis yang
57 Pasal 122, BAB IX United Nations Convention The Law of The Sea 1982 58 Chi Kin Lo, China’s policy Toward Teritorial Dispute, Routledge, New York, 1989,
hlm. 25 59 http://www.mackinderforum.org/commentaries/china2019snine-dashed-map-maritime-
sourceof-geopolitical-tension/china2019s-nine-dashed-map-maritimesource-of-geopolitical-tension, diakses tanggal 12 Mei 2018
60Ibid
Universitas Sumatera Utara
signifikan, karena fitur-fitur utama dari pulau-pulau tersebut adalah bebatuan, terumbu
karang, pasir yang tidak sesuai untuk bercocok tanam dan tidak mampu menyokong
kehidupan serta aktifitas manusia.61
Sejak Desember 2013, Republik Rakyat China melakukan perluasan sebanyak
lebih dari 1.200 hektar di kelupauan di Laut Cina Selatan sebagian besar reklamasi
dilakukan di Kepulauan Spratly, yakni pulau-pulau di perairan antara Vietnam, Malaysia,
dan Filipina, dimana seluruh negara ini termasuk RRC, Taiwan, dan Brunei
memperebutkan klaim di wilayah tersebut. Dalam beberapa bulan terakhir, China sangat
aktif dan juga agresif dalam upayanya membentuk sebuah pulau buatan di Kepulauan
Spratly.Kepulauan itu sendiri masih dalam sengketa antara China dan beberapa negara
tetangganya.Pembentukan pulau ini adalah salah satu upaya China mengakui wilayah
tersebut sebagai miliknya. China menggunakan asas effective occupationagar wilayah
tersebut dapat diklaimnya dan memperluas wilayah tersebut dengan cara akresi yang
berupa pulau buatan.
62
Malaysia juga memiliki klaim yang berdasarkan hukum laut khususnya
continental shelf yang sama dengan Brunei Darussalam tadi.
63
61 Athanasius Aditya Nugraha, 2011, Manuver Politik China Dalam Konflik Laut China
Selatan, Jurnal Pertahanan Vol.1 No.3, Oktober 2011, hlm 34
62 Try Satria Indrawan Putra, Reklamasi Pulau Republik Rakyat Tiongkok Di Laut Cina Selatan: Suatu Analisis Terhadap Status Penambahan Wilayah dan Dampak Terhadap Jalur Pelayaran Internasional, Diponegoro Law Review, Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016, hlm 5-6
63 .A. Cossa, Security Implications of Conflict in the South China Sea: Ekspolring Potential Triggers of Conflict, A Pacific Forum CSIS Special Report, Honolulu, 1998, hlm 2
Klaim Malaysia ini
dilakukan pada tahun 1979 melalui publikasi peta resmi yang memperlihatkan wilayah
laut yang berada dibagian selatan dan timur Kepulauan Spartly yang diklaim oleh Cina,
Universitas Sumatera Utara
Filipina, dan Vietnam seperti Swallo Reef atau Layang Atoll. 64
C. Peraturan tentang Batas Wilayah Laut menurut Konvensi Unclos 1982
Pada kenyataannya,
Brunei Darussalam dan Malaysia mengklaim hanya sebagian dari wilayah Laut Cina
Selatan.
Bila dulu hukum laut pada pokoknya hanya mengurus kegiatan-kegiatan di atas
permukaan laut, tetapi dewasa ini perhatian juga telah diarahkan pada dasar laut dan
kekayaan mineral yang terkandung di dalamnya.UNCLOS yang dulunya bersifat
unidimensional sekarang berubah menjadi pluridimensional yang sekaligus merombak
filosofi dan konsepsi hukum laut di masa lalu. Justru untuk dapat menggunakan
kekayaan-kekayaan laut itulah, hukum laut semenjak beberapa dekade terakhir telah
berupaya keras bukan saja untuk menentukan sampai berapa jauh kekuasaan suatu Negara
terhadap laut yang menggenangi pantainya, sampai sejauhmana negara-negara pantai
dapat mengambil kekayaan-kekayaan yang terdapat di dasar laut dan laut di atasnya,
tetapi juga untuk mengatur eksploitasi daerah-daerah dasar laut yang telah dinyatakan
sebagai warisan bersama umat manusia.65
UNCLOS, juga disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum perjanjian Laut,
merupakan perjanjian internasional yang dihasilkan dari ketiga Konferensi PBB tentang
UNCLOS III, yang berlangsung dari tahun 1973 sampai 1982.UNCLOS mendefinisikan
hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia, menetapkan pedoman
untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam laut.UNCLOS mulai
64 Leszek Buszynki, Maritime Claims and Energy Cooperationin the South China Sea,
ContemporarySoutheast Asia Vol. 29, No.1, Institue of Southeast Asian Studies, 2007, hlm 47
65 Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2011, hlm. 304
Universitas Sumatera Utara
berlaku pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 menandatangani
perjanjian.Untuk saat ini, 161 negara dan masyarakat Eropa telah bergabung dalam
Konvensi UNCLOS.Sedangkan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa
menerima instrumen ratifikasi dan akses.PBB menyediakan dukungan untuk pertemuan
pihak negara untuk Konvensi, PBB tidak memiliki peran operasional langsung dalam
pelaksanaan Konvensi. Bagaimanapun, yang berperan adalah organisasi-organisasi
seperti Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization), Komisi
Penangkapan Ikan Paus Internasional (The International Whaling Commission), dan
Otoritas Dasar Laut Internasional (International Seabed Authority, yang terakhir dibentuk
oleh Konvensi PBB). 66
UNCLOS menggantikan konsep freedom of seas yang tua dan lemah, berasal dari
abad ke-17, hak nasional terbatas pada sabuk tertentu air yang membentang dari garis
pantai suatu negara, biasanya tiga mil laut, sesuai dengan aturan 'tembakan meriam'
dikembangkan oleh para ahli hukum Belanda Cornelius Van Bynkershoek. Semua
perairan di luar batas-batas nasional dianggap perairan internasional untuk semua bangsa,
dan tidak menjadi milik satupun dari mereka (prinsip liberum kuda diumumkan oleh
Grotius).Konferensi PBB I tentang Hukum Laut tahun 1958 di Jenewa, UNCLOS I
berhasil menelorkan 4 Konvensi, tetapi masih banyak lagi masalah yang belum
diselesaikan, sedangkan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan
pesat.Konvensi-konvensi tahun 1986 bukan saja belum mengatur semua persoalan, tetapi
ketentuan-ketentuan yang adapun dalam waktu yang pendek tidak lagi memadai dan telah
ditinggalkan perkembangan teknologi. Selain itu, negara-negara yang lahir sesudah tahun
1958 yang jumlahnya tidak sedikit dan yang tidak ikut merumuskan Konvensi-konvensi
66 Yolanda Mouw, Penyelesaian Potensi Sengketa Di Wilayah Perairan South China Sea
(SCS) Antar Negara-Negara Di Kawasan Asean Dalam Perspektif Regionalisme, Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2014, hlm 18-19
Universitas Sumatera Utara
tersebut menuntut agar dibuatnya ketentuan-ketentuan baru dan mengubah ketentuan-
ketentuan yang tidak sesuai. Demikianlah, untuk menyesuaikan ketentuan-ketentuan yang
ada dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi dan menampung masalah-masalah
yang datang kemudian, Majelis Umum PBB pada tahun 1976 membentuk suatu badan
yang bernama United Nations Seabed Committee. 67
1. Ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 yang berkaitan dengan Kedaulatan Negara
Pantai atas Laut Teritorial
Sidang-sidang Komite ini kemudian dilanjutkan dengan konferensi Hukum Laut
III (UNCLOC III) yang sidang pertamanya diadakan di New York bulan September tahun
1973 dan yang 9 tahun kemudian berakhir dengan penandatanganan Konvensi PBB
tentang Hukum Laut pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica.
Berdasarkan rezim-rezim hukum laut internasional mengenai zona ekonomi eksklusif,
landas kontinen, laut lepas, dan hak pemanfaatan sumber daya alam mineral yang
terkandung di kawasan dasar laut internasional, ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 yang
berkaitan dengan kedaulatan negara pantai atas laut teritorial yang membahas beberapa
ketentuan yaitu:
2. Ketentuan-ketentuan UNLCOS 1982 Mengenai Cara-cara Penarikan Garis Pangkal
dalam Menetapkan Lebar Laut Teritorial Suatu Negara Pantai.
3. Ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 yang Berlaku bagi semua Kapal-kapal Asing.
4. Ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982 yang Berlaku bagi Kapal-kapal Niaga dan
Kapal-kapal Pemerintah yang Dipergunakan untuk Maksud-maksud Perniagaan.68
Ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang kedaulatan
negara atas wilayah laut merupakan salah satu ketentuan penting Konvensi PBB tentang
67Ibid, hlm 20 68 Ibid, hlm 21
Universitas Sumatera Utara
UNCLOS 1982. Zona-zona maritim yang termasuk ke dalam kedaulatan penuh adalah
perairan pedalaman,perairan kepulauan (bagi negara kepulauan), dan laut territorial.69
1. Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara : 12 mil-laut;
Pada tanggal 31 Desember 1985 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.
17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(Konvensi PBB tentang Hukum Laut) untuk meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum
Laut pada tahun 1982. Menurut UNCLOS, Indonesia berhak untuk menetapkan batas-
batas terluar dari berbagai zona maritim dengan batas-batas maksimum ditetapkan
sebagai berikut:
2. Zona Tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus : 24 mil-laut;
3. Zona Ekonomi Eksklusif : 200 mil-laut, dan
4. Landas Kontinen : antara 200 – 350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil-laut
dari isobath (kedalaman) 2.500 meter.70
Pada Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak-hak
berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya. Di samping itu, sebagai suatu
negara kepulauan Indonesia juga berhak untuk menetapkan:
1. Perairan Kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya,
2. Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya.
Berbagai zona maritim tersebut harus diukur dari garis-garis pangkal atau garis-garis
dasar yang akan menjadi acuan dalam penarikan garis batas.
69Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional, Bandung, Refika Aditama 2014,
hlm 28 70 https://eleveners.wordpress.com/2010/01/19/dasar-hukum-pengaturan-wilayah-negara-
di-laut/diakses tanggal 1 Mei 2018
Universitas Sumatera Utara
D. Konflik dan Sengketa yang terjadi di Wilayah Laut China Selatan
Sengketa yang terjadi di Laut Cina Selatan bukanlah bahasan baru, akan tetapi
sudah menjadi konflik yang berkepanjangan dimana setiap negara yang bersengketa
didalamnya bersikukuh atas kehandak mereka untuk menguasai suatu
wilayah di Laut Cina Selatan secara utuh. Sementara itu, Laut Cina Selatan merupakan
laut yang termasuk dalam golongan laut semi tertutup (semi-enclosed sea) yang
berartikan Laut Cina Selatan terletak di antara negara-negara pantai. Adapun yang
berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan adalah di sebelah utara berbatasan dengan
China dan Taiwan, di barat berbatasan dengan Vietnam, di selatan berbatasan dengan
Malaysia, Indonesia dan Singapura, serta di timur berbatasan dengan Filipina. Status dan
kedudukan Laut Cina Selatan sebagai laut semi tertutup inilah yang sering kali
menyebabkan konflik dan sengketa di antara negara-negara yang berbatasan langsung
dengan Laut Cina Selatan.71
1. Laut China Selatan terdiri dari dua bagian Utara dan Selatan. Di bagian sebelah utara
merupakan cekungan laut China dengan kedalaman antara 4300-5016 meter dengan
luas 1.775.000 km
Laut China Selatan memiliki luas 648.000 mil atau setara dengan kurang lebih
3.000.000 km2 di Samudera Pasifik dan membentang dari Selat Malaka sampai ke Selat
Taiwan.
2. Daerah ini meliputi 52% dari Laut China Selatan. di bagian sebelah utara inilah
Kepulauan Spratly, Paracel, Maccesfield Bank, Pratas Reef,dan Reed Bank terletak.
Selebihnya di bagian sebelah selatan terdapat 48% wilayah dengan luas 1.745.000
71Dong Manh Ngunyen, Op.Cit., hlm. 89
Universitas Sumatera Utara
km2merupakan Landas Kontinen Asia yang melintang sepanjang pantai China sampai
ke Selatan.72
Kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan dengan potensi ekonomis dan
strategis yang dapat menjadi sumber konflik sekaligus kerjasama.
73Dari segi ekonomis,
Laut Cina Selatan merupakan laut terbesar dan salah satu yang terdalam di dunia dengan
kedalaman rata-rata 1212 km dan titik terdalamnya adalah 5567 meter. Dengan luas dan
kedalaman tersebut, kawasan Laut China Selatan merupakan lokasi dimana berbagai jenis
ikan dalam jumlah besar berkembang biak. Laut China Selatan menempati urutan ke-19
zona penangkapan ikan dunia dalam hal produksi hasil laut dengan tangkapan sebanyak 8
juta ton metric ikan pertahun..74
Selain itu, hasil penelitian geologis melaporkan kemungkinan adanya kandungan
gas alam dan minyak bumi yang sangat kaya di kawasan tersebut.Sementara dari segi
strategis, Laut Cina Selatan merupakan jalur komunikasi laut yaitu Sea Lanes of
Communication (SLOC) yang menghubungkan kawasan Eropa dan Asia, kawasan Asia
Timur dengan Smudera Hindia dan Timur Tengah. Lebih dari seperempat jalur aktivitas
perdagangan di dunia melewati kawasan Laut Cina Selatan yang mana terdapat sekita
41.000 kapal dagang yang melewati kawasan tersebut tiap tahunnya. Lebih dari 80
sampai 90 persen impor minyak Jepang dan China melewati jalur tersebut.Karenanya
Laut Cina Selatan sangat penting sebagai jalur perdagangan dunia.
75
72Syamsumar Dam. 2010. Politik Kelautan.Jakarta. Penerbit Bumi Aksara. Hlm 238
73Abd Rivai Ras, Op.Cit, hlm. 7
74Dong Manh Ngunyen, loc. Cit., hlm. 5
75 Alice D. BA, “Staking Claims and Making Waves in the South China Sea: How Troubled Are the Waters?” Contemporary Southeast Asia Vol. 33, No. 3 (2011), hlm. 280
Universitas Sumatera Utara
Konflik Laut Cina Selatan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : tidak adanya
batas-batas wilayah maritim yang jelas sebagaimana Laut Cina Selatan secara geografis
berada ditengah-tengah negara-negara di Asia Pasifik dan juga Asia Tenggara. Hal yang
mungkin terjadi adalah adanya sengketa kepemilikan atas wilayah laut sekitar negara-
negara tersebut.Hukum laut sejatinya merupakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi
nasionalnya (national jurisdiction).Bagian terbesar dari wilayah dunia terdiri dari
perairan, terutama perairan laut. Dari aspek geografi, permukaan bumi yang luas 200 juta
mil persegi, 70 % atau 140 juta mil persegi terdiri dari air. Dalam wilayah yang luas ini
terkandung berbagai sumber daya.Salah satu unsur negara adalah wilayah negara pantai
maupun negara buntu, mempunyai beberapa hak yang dijamin dalam hukum laut
internasional.
Pulau-pulau yang terdapat disekitar perairan memiliki wewenang terhadap laut
yang berada di sekitarnya dengan catatan memilki batas laut territorial.Batas laut teritorial
adalah garis khayal yang berjarak dua belas mil laut dari garis dasar ke arah laut
lepas.Garis dasar adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik dari ujung-ujung
pulau.Jarak titik yang satu dengan lainnya tidak boleh lebih dari 200 mil laut. Jika ada
dua negara atau lebih menguasai suatu lautan, sedang lebar lautan tersebut kurang dari
dua puluh empat mil laut, maka garis batas laut teritorialnya ditarik sama jauh dari garis
dasar masing-masing negara tersebut. Laut yang terletak antara garis dasar dengan garis
batas teritorial disebut “laut territorial” dan laut yang terletak di sebelah dalam garis dasar
disebut “laut internal”.76
Dalam kasus konflik Laut Cina Selatan menyisakan ketegangan antar negara di
wilayah Asia Pasifik terutama China dan Negara-negara di Asia Tenggara seperti
76Ibid
Universitas Sumatera Utara
Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam. Konflik terbaru terjadi antara
Filipina dengan China di Dangkalan Scarborough.Disamping itu, Vietnam dengan
Filipina pun sempat memanas setelah kapal dari tiap kedua negara saling memicu
ketegangan.Dengan prinsip kedaulatan maritime, prinsip “kebebasan laut lepas” (atau
kebebasan laut terbuka) mulai dikembangkan, seperti yang dikemukakan oleh Hall, sesuai
dengan kepentingan-kepentingan bersama dan nyata dari negara-negara
maritime.Disadari bahwa demikian seringnya terjadi, dan besarnya kesulitan yang
menimpa semua negara yang mengajukan klaim-klaim yang bertentangan terhadap
bagian laut terbuka.Terlebih lagi klaim-klaim atas kedaulatan maritim hanya sedikit nilai
praktisnya kecuali pada masa perang apabila terpaksa menuntutnya dengan dukungan
angkatan laut yang tangguh.77
Kapal-kapal yang berlayar dibawah satu bendera tidak sah bertanggung jawab
terhadap penagkapan dan penyitaan oleh negara yang benderanya dikibarkan secara tidak
Kebebasan laut lepas dengan demikian harus dilihat dalam kaitannya dengan
kepentingan umum suatu negara, khususnya menyangkut kebebasan hubungan antar
bangsa. Istilah “kebebasan-kebebasan” lebih tepat dari pada “kebebasan” laut lepas,
karena selain dari kebebasan-kebebasan tidak terbatas untuk pelayaran dan penagkapan
ikan, laut pun dapat dimanfaatkan secara bebas untuk tujuan-tujuan lainya oleh semua
neagara, seperti untuk penelitian ilmiah. Terpepas dari ketentuan itu, yang secara umum
diikuti oleh sejumlah ketentuan sebagai akibatnya yang wajar, yaitu pada umumnya tidak
ada negara yang diperbolehkan untuk melaksanakan yuridiksinya di laut atas kapal-kapal
yang berlayar bukan di bawah naungan bendera negara itu, bahwa tidak ada kapal yang
boleh berlayar di bawah naungan bendera tertentu tanpa izin dari negara bendera, juga
tidak boleh ada bendera selain satu yang secara layak sah untuk dikibarkan.
77Ibid
Universitas Sumatera Utara
sah/melawan hokum, dan kapal-kapal perang dari suatu negara boleh memerintahkan agar
kapal-kapal tersebut memperlihatkan benderanya.Apabila ada kecurigaan yang masuk
akal untuk mencurigai sebuah kapal terlibat dalam kegiatan perombakan atau perlu
perdagangan budak, kapal tersebut boleh dinaiki, dan jika perlu dilakukan
penggeledahan.78
Merunut panjang waktu yang akan dibutuhkan dalam menyelesaikan konflik di
kawasan Laut Cina Selatan, maka diperlukan suatu upaya yang mampu untuk tetap
menjaga stabilitas kawasan, keamanan hingga kondusifitas hubungan agar konflik ini
dapat terselesaikan. Upaya terbaik dalam menanggulangi sengketa wilayah laut ini adalah
dengan melakukan upaya diplomasi.Terutama menjalankan upaya diplomasi preventif.
79
78Ibid
Salah satu cara dalam diplomasi preventif Indonesia adalah dengan membangun serta
meningkatkan rasa saling percaya (confidence building measures) antara pihak-pihak
yang bertikai. Diplomasi preventif secara umum digunakan untuk mencegah keterlibatan
negara-negara adidaya yang mencoba untuk melakukan campur tangan/intervensi.Hal ini
disadari sebagai keinginan setiap negara yang sedang bertikai untuk mampu
menyelesaikan problem kenegaraannya secara independen.
Menurut Japan Foundation, Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan yang
terletak di kawasan Samudera Pasifik, terbentang dari Singapura dan Selat Malaka di
barat daya hingga Selat Taiwan di timur laut. Kawasan ini meliputi lebih dari 200 pulau
kecil, bebatuan dan karang yang sebagian besar berada di rangkaian kepulauan Paracel
dan Spratly.Rangkaian kepulauan inilah yang seringkali diperebutkan sehingga
menimbulkan ketegangan politik dari beberapa negara di sekitarnya.
79 http://prasetiyowahyu-hi.student.umm.ac.id/2016/01/19/konflik-laut-china-selatan-berdasarkan-hukum-laut/diakses tanggal 12 Juni 2018
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, kawasan Laut Cina Selataan merupakan kawasan no man’s
island.Hal ini disebabkan oleh fakta yang menunjukkan bahwa kawasan ini tidak dimiliki
secara strategis oleh pihak manapun, melainkan hanya digunakan sebagai jalur
perdagangan internasional. Menurut salah satu berita yang disiarkan oleh China Outpost
disebutkan bahwa, setidaknya terdapat tiga faktor yang membuat salah satu kepulauan
yang berada di kawasan Laut Cina Selataan, Spratly dinilai strategis karena :
1. Penguasaan terhadap pulau-pulau tersebut sangat menentukan garis batas negara yang
menguasainya dan berdampak pada luas jangkauan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
yang akan dimiliki.
2. Wilayah Kepulauan Spratly merupakan bagian dari jalur lalu lintas internasional, baik
untuk kapal dagang dan kadang kapal militer, sehingga akan sangat menentukan bagi
posisi geostrategic negara tersebut. Ketiga, lautan di wilayah sekitar kepulauan ini
disinyalir mengandung cadangan minyak dan gas alam yang besar.80
Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan,
tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku
81
80Ibid 81Soerjono Soekanto,Kamus Sosiologi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993, hlm.99.
. Beberapa konflik terbuka yang
pernah terjadi, terkait dengan sengketa wilayah Laut Cina Selataan. Pada tahun 1974 di
pulau Paracel dan tahun 1988 di pulau Spratly, terjadi konflik terbuka militer antara
Vietnam dan China yang lebih dikenal dengan konflik Sino-Vietnamese.Selain itu,
konflik yang melibatkan elemen militer juga terjadi pada tahun 1995, dimana China
melakukan pendudukan terhadap pulau Mischief Reef di sekitar pulau Spratly yang telah
diklaim sebagai bagian dari wilayah Filipina.
Universitas Sumatera Utara
Pandangan tentang munculnya China sebagai potensi ancaman juga perlu dikaji
lebih jauh.Potensi munculnya China sebagai ancaman di kawasan Asia Tenggara bukan
tanpa alasan.China sebagai negara yang tumbuh menjadi kekuatan baru di dalam
konstelasi politik global memiliki beberapa catatan sejarah yang tidak terlalu baik di
dalam konflik Laut Cina Selataan. Sehingga hal ini patut menjadi agenda tersendiri bagi
ASEAN sebagai organisasi tunggal regional di Asia Tenggara, dengan beranggotakan
sejumlah negara lain seperti Indonesia yang tidak turut terlibat. Dengan demikian, jika
persoalan sengketa di kawasan Laut Cina Selatan selalu melibatkan elemen-elemen
militer, maka kemungkinan timbulnya pola permusuhan pada interaksi negara-negara
ASEAN dan China akan menjadi signifikan. Konflik di kawasan Laut Cina Selataan
merupakan konflik yang cukup rumit. Dengan melibatkan enam negara, beserta
kepentingan masing-masing akan menyebabkan tingkat konflik semakin tinggi. Hal ini
juga berpengaruh terhadap tingkat keamanan regional, dalam hal ini ASEAN sebagai
sebuah organisasi di kawasan Asia Tenggara akan menjadi lahan representatif bagi empat
negara anggota ASEAN yang terlibat konflik tersebut. Indonesia memiliki berbagai
pemikiran dalam menjawab tantangan persoalan di kawasan Laut Cina Selataan melalui
jalur diplomasi yaitu, “diplomasi preventif”.Sebab diplomasi menjadi tonggak penting
dalam pencapaian kepentingan nasional sebuah negara.Bagi Indonesia, dinamika politik
dunia yang dinamis harus mampu dihadapi dengan strategi dan pendekatan hubungan,
salah satunya dalam bentuk diplomasi preventif tersebut.Dengan menjaga perdamaian
dan mengubah potensi konflik menjadi potensi kerjasama melalui perundingan damai
demi terselenggaranya kerjasama yang aktif, produktif dan efektif bagi negara-negara
terkait dan tatanan dunia global.82
82 http://prasetiyowahyu-hi.student.umm.ac.id/2016/01/19/konflik-laut-china-selatan-
berdasarkan-hukum-laut/
Universitas Sumatera Utara
50
BAB III
MAHKAMAH ARBITRASE INTERNASIONAL DALA
MENYELESAIKAN KONFLIK LAUT
CHINA SELATAN
A. Latar Belakang Timbulnya di Laut China Selatan
Pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Republik Rakyat China dan
beberapa negara kepulauan lainnya mulai memperebutkan kekayaan alam yang ada di
lautan seperi minyak, sumber pangan, dan terumbu karang. Republik Rakyat China
merupakan salah satu negara yang pertama kali mengisyaratkan jika terdapat sumber
minyak di wilayah Laut China Timur.83Status-quo kepulauan-kepulauan di wilayah Laut
Cina Selatan menyebabkan tumpang-tindihnya klaim dari negara-negara Asia Timur, dan
Asia Tenggara atas kepulauan yang berada di wilayah tersebut. Kepulauan Spratly
diklaim oleh 6 (enam) negara, yakni Republik Rakyat China, Taiwan, Vietnam, Filipina,
Brunei dan Malaysia. Kepulauan Paraceldiklaim oleh Republik Rakyat China, Taiwan,
Vietnam, dan Filipina.84
Sejak tahun 1978, China telah menandatangani banyak kontrak dengan 57
perusahaan minyak asing untuk melakukan survey terhadap 8 (delapan) lokasi yang telah
di setujui di Laut China Selatan.Kebanyakan survey telah selesai dilakukan pada awal juli
83 Harrison Brown, J. William Fulbright, China Among the Nations of The Pacific. West
View Press. USA, 2012, hlm 106
84 Teuku May Rudy. Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung, Rafika Aditama, 2007, hlm. 131-132.
Universitas Sumatera Utara
tahun 1980, dan perwakilan asing diundang untuk melakukan penawaran antara akhir
1980 dan awal 1981.85
Klaim Republik Rakyat China di Laut China Selatan berawal ketika pada bulan
Agustus 1951, ketika Perdana Menteri China, Zhou Enlai, menyatakan kepemilikan
China atas Kepulauan Paracel dan Spratly. Klaim ini dilandasi pada dokumen yang
dikeluarkan oleh Guomindang, yang pada saat itu menguasai China. Di dalam dokumen
tersebut dijelaskan bahwa Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly dan
Sungai Macclesfield Bank merupakan bagian dari Republik Rakyat China. Klaim
Republik Rakyat China atas Laut Cina Selatan lebih ditekankan pada prinsip “historical
rights”yang sering digunakan sebagai rujukan dalam Hukum Internasional.
86
Perebutan wilayah di Laut China Selatan melibatkan klaim-klaim pulau dan
wilayah kelautan pada beberapa negara berdaulat di wilayah tersebut, yakni Brunei, RRC,
Republik China (Taiwan), Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Terdapat perebutan wilayah
yang terjadi pada kepulauan Paracel dan kepulauan Spratly, serta perbatasan wilayah
kelautan di Teluk Tonkin dan tempat-tempat lainnya.Terdapat perebutan tambahan di
perairan di dekat Kepulauan Natuna, Indonesia.Kepentingan negara-negara yang berbeda
meliputi perebutan wilayah perikanan di sekitar dua kepulauan tersebut; pengambilan
minyak bumi dangas alam di bawah perairan berbagai bagian di Laut China Selatan; dan
kontrol strategis dari jalur-jalur perkapalan penting.
87
85 Harrison Brown, J. William Fulbright., Loc.Cit. 86 Melda Erna Yanti, Keabsahan Tentang Penetapan Sembilan Garis Putus-Putus Laut
Cina Selatan Oleh Republik Rakyat Cina Menurut United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS III) , Jurnal Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Hukum, 2016, hlm 6
87https://myrepro.wordpress.com/2016/04/16/lcs1/diakses tanggal 1 Mei 2018
Universitas Sumatera Utara
Sumber: https://myrepro.wordpress.com/2016/04/16/lcs1
Gambar 1.
Wilayah yang di klaim oleh negara yang terlibat konflik
Laut Cina Selatan
Benturan kepentingan antar negara-negara di kawasan manapun berpotensi
menyebabkan konflik dan bisa menciptakan instabilitas baik secara global maupun
regional, konflik kepentingan yang bersumber dari kepentingan ekonomi, politik, sosial
Universitas Sumatera Utara
apabila tidak di manage dengan baik, dapat berujung terjadinya konflik secara langsung
yang melibatkan kekuatan militer antar negara-negara tertentu yang merasa national
interest mereka terusik. Demikian halnya dengan perkembangan konflik klaim wilayah
teritori di laut China selatan yang melibatkan 6 (enam) negara, 4 (empat) negara anggota
ASEAN (Malaysia, Philipina, Vietnam, Brunei) dengan China dan Taiwan, menurut
argumennya masing–masing bahwa sebagian wilayah laut China selatan adalah wilayah
kedaulatannya, bagi Indonesia meskipun tidak termasuk Claimant state tapi ada bagian
dari pulau Natuna apabila China memaksakan klaim teritori akan masuk wilayah China,
maka konflik di Laut China Selatan akan melibatkan Indonesia juga.88
B. Klaim sepihak oleh China dalam Menetapkan Wilayah Batas Laut China Selatan
Permasalahan Laut China Selatan semakin menarik untuk dikaji selama
memasuki paruh abad ke-21.Eskalasi hingga perubahan pola konflik yang terjadi adalah
alasan utama rumitnya permasalahan di wilayah tersebut.Secara umum, klaim maritim
atas hukum internasional memang ditentukan oleh kedaulatan daratan. Jadi, sepanjang
terdapat perselisihan atas fitur daratan di Laut China Selatan, maka akan tetap ada
perselisihan atas perairan tersebut.89
Sejumlah negara bersengketa atas hak kepemilikan wilayah di Laut Cina
Selatan selama beberapa abad, namun ketegangan meningkat dalam beberapa
tahun terakhir.Cina, Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei mengklaim
88Ibid 89Gregory B. Poling.The South China Sea in Focus Clarifying the Limits of Maritime
Dispute.CSIS, 2013, hlm 221
Universitas Sumatera Utara
kepemilikan di kawasan tersebut.Namun Cina melangkah lebih maju dengan
membangun pulau-pulau buatan serta menggelar patroli laut.90
Klaim China terhadap Laut China Selatan sebetulnya tidaklah sungguh lama
sehingga terkesan menjadi klaim yang begitu ‘kuno’.Dimana China kemudian
menjadikan klaim tersebut sebagai jusfikasi terhadap istilah historic seperti yang
seringkali dikemukakannya.Sebab ada banyak bukti empiris yang menunjukkan jika
klaim kedaulatan China adalah klaim kedaulatan yang sangat modern.Secara ringkas, isu
klaim terhadap Spratly, Paracel hingga Laut China Selatan baru nampak sebelum perang
dunia II ketika menentang okupasi Perancis setelah menguasai Vietnam.Kemudian
terlihat kembali setelah perang dunia II ketika klaim China ditentang oleh Filipina dan
Vietnam.
91
Klaim China atas sebagian wilayah Laut China Selatan ini kemudian diikuti oleh
Vietnam.Vietnam telah terlibat sengketa ini sejak sebelum bersatunya Vietnam Utara dan
Vietnam Selatan. Klaim Vietnam Selatan atas kepulauan Spratly dilakukan berdasarkan
Konfrensi San Franciscotahun 1951 yang diantaranya berisi pelepasan hak Jepang atas
kepulauan Spratly dan Paracels. Selain itu Klaim Vietnam juga didasarkan pada latar
belakang sejarah ketika Perancis tahun 1930-an masih menjajah Vietnam. Saat itu
kepulauan Spratly dan Paracel berada di bawah kontrol Perancis.Vietnam mengklaim
kepulauan Spratly sebagai daerah lepas pantai Provinsi Khanh Hoa.Klaim Vietnam
mencakup area yang cukup luas di Laut China Selatan dan Vietnam telah menduduki
sebagian Kepulauan Spratly serta Kepulauan Paracel sebagai wilayahnya.
92
90
http://www.bbc.com/indonesia/dunia-38730199, diakses tanggal 1 Mei 2018 91Teh-Kuang Chang. 1991. China’s Claim of Sovereignty over Spratly and Paracel Island:
A Historical and Legal Perspective. Volume 23.Case Western Reserve University. Int’l L.399
92Suharna, K.K. Konflik dan solusi Laut China Selatan dan dampaknya bagi ketahanan nasional.Majalah TANNAS edisi 94-2012, hlm. 36
Universitas Sumatera Utara
Salah satu sumber menyebutkan, jika China telah menemukan Kepulauan Spratly
dan Paracel lebih dari 2100 tahun yang lalu.Pendapat China tersebut didukung oleh
aktifitas kapal-kapal China pada abad ke-12 hingga pertengahan abad ke-15 yang
mendominasi perdagangan di Laut China Selatan.93
Klaim historis China modern terhadap Laut China Selatan dapat ditemukan pada
tahun 1947 ketika berada dibawah pemerintahan China Republik pimpinan Chiang Kai-
Shek. Klaim yang di dukung oleh peta resmi nasionalnya tersebut, memuat 11 garis putus
yang mencakup sebagian besar wilayah Laut China Selatan.Sedikit berbeda dengan peta
yang dikeluarkan pemerintah China pada tahun 2009, dua garis lainnya yang terletak di
Teluk Tonkin (Gulf of Tonkin) telah di hapus sejak pemerintahan Zhou Enlai.Sehingga
pada peta modern China diketahui hanya memiliki sembilan garis putus.
94
yang dikeluarkan pada tahun 2009, sembilan garis putus dalam peta tersebut cakup sekitar
2 juta km2luas maritim di Laut China selatan (sekitar 22% dari luas China daratan).
Dalam beberapa versi, peta modern China sejak 1984 memiliki 10 garis putus.
Dimana satu garis yang lain berada di timur Taiwan. Dari segi skup wilayah klaim
terhadap Laut China Selatan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara klaim teritori
dalam peta resmi China pada tahun 1947 dengan tahun 2009.Dimana hampir keseluruhan
pulau-pulau di Laut China Selatan berada dalam klaim China menurut peta resminya
tersebut. Bila mengacu pada peta resmi China
95
93 Stein Tønnesson.The History of the Dispute. War or Peace In the South China
Sea?Denmark: NIAS Press, 2002, hlm 6
Ini
94United States Department of State Bureau of Oceans and International Environmental and Scientific Affairs. Arsip online bisa diakses pada http://www.mackinderforum.org/ commentaries/china2019s-nine-dashed-map-maritime-sourceof -geopolitical-tension/china2019s-ninedashed -ap-maritime-source-of-geopolitical-tension,diakses tanggal 1 Mei 2018
95Ibid
Universitas Sumatera Utara
berarti wilayah klaim China mencakup seluruh pulau-pulau yang berada di area Laut
China Selatan.
Seperti Kepulauan Pratas, Kepulauan Spratly, Kepulauan Paracel, Scarborough
Shoal dan pulau-pulau karang lainnya. Klaim tersebut meliputi hampir 80% luas Laut
China Selatan.Kebenaran klaim tersebut juga diperkuat oleh citra satelit yang merekam
berbagai aktivitas China di Laut China Selatan.Ia melakukan reklamasi yang cukup masif
diperairan tersebut. Selama kurun waktu akhir 2013 hingga 2015, telah ada beberapa titik
yang menjadi basis reklamasinya.Antara lain Fiery Cross Reef, Mischief Reef, Gaven
Reef, Subi Reef, Hughes, Johnson Sout Reef, Eldad Reef dan Cuarteron Reef.96
C. Inrtervensi Amerika Serikat dalam Wilayah Laut China Selatan.
Oppenheim Lauterpacht intervensi merupakan campur tangan secara diktator
oleh suatu Negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk
memelihara dan mengubah keadaan, situasi, atau barang di negeri tersebut. Intervensi
dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai turut campurnya sebuah Negara dalam
urusan dalam negeri Negara lain atau urusan dengan Negara lain dengan menggunakan
kekuatan atau ancaman kekuatan, sedangkan intervensi kemanusiaan diartikan sebagai
intervensi yang dilakukan oleh komunitas internasional untuk mengurangi pelanggaran
hak asasi manusia dalam sebuah Negara, walaupun tindakan tersebut melanggar
kedaulatan Negara tersebut.97
96 Arsip online citra satelit yang direklamasi oleh China dapat diakses melalui
http://medium.com/satelite-image-analysis//china-s-new-military-installations-in-the-spratly-islands-satellite-image-update-1169bacc07f9#.h10hqgcppdiakses pada tanggal 1 Mei 2018
97 Bryan A Garner ed., Black Law Dictionary , Seventh Edition, Book 1, West Group, ST.Paul, Minn, 1999, hlm. 826
Universitas Sumatera Utara
Kasus Laut China Selatan, keterlibatan pihak eksternal, terutama AS, dalam
sengketa merupakan salah satu hal penting yang menjadi sorotan internasional.
Keterlibatan AS telah dimulai sejak pertengahan tahun 1990-an. AS pertama kali
mengartikulasikan kebijakannya di Laut China Selatan saat terjadi ketegangan akibat
okupasi yang dilakukan China pada Mischief Reef pada akhir tahun 1994. Pada Mei
1995, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menggarisbawahi lima poin
penting mengenai kebijakan AS di Laut China Selatan (U.S. Department of State, 1995).
Kelima poin itu adalah:
(1) penyelesaian sengketa secara damai
(2) menjaga perdamaian dan kestabilan kawasan;
(3) menjaga kebebasan bernavigasi
(4) netralitas dalam sengketa; dan
(5) menghargai prinsip-prinsip internasional dalam UNCLOS yang telah ditetapkan
pada tahun 1982.98
AS juga terlibat dalam sengketa Laut Timur Selatan dalam bentuk kerja sama
militer dengan Filipina. Di bawah Mutual Defense Treaty tahun 1951, AS menjadikan
Filipina sebagai sekutunya.Filipina merupakan negara yang bergantung pada AS,
terutama dalam keamanan eksternalnya.Kedua negara telah lama melakukan aktivitas
militer bersama untuk meningkatkan kesiapan dan kemampuan militer Filipina dalam
merespon ancaman keamanan serta menjaga kemampuan angkatan bersenjata Filipina
(AFP) maupun militer AS. AS mendesain Filipina sebagai sekutu utama non-NATO pada
6 Oktober 2003 untuk mendukung invasi AS di Irak dan memerangi terorisme di Asia
Tenggara: Tahun 2011 menjadi tahun pertama diadakannya dialog strategis secara
98 Arief Bakhtiar Darmawan, Keterlibatan Amerika Serikat dalam Sengketa Laut
Tiongkok Selatan pada Masa Pemerintahan Presiden Barack Obama, Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 6, No. 1, April -September 2017, hlm 5
Universitas Sumatera Utara
bilateral yang diadakan pada bulan Januari. Kurt Campbell, Asisten Menteri Luar Negeri
AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, meyakinkan Filipina dengan menjanjikan
penjualan peralatan pertahanan, pelatihan penjagaan pantai, dan angkatan laut, serta
menyediakan konsultasi yang lebih dalam mengenai isu strategis, politik, dan militer.
Setelah Hillary Clinton menegaskan kembali hubungan militer antara AS dan Filipina
pada tahun 2011, kerja sama militer terutama dalam segi maritim antara kedua negara
semakin dipererat. Hal tersebut juga merupakan respon dari Presiden Benigno Aquino III
atas terjadinya penyerangan kapal eksplorasi minyak dan kapal nelayan Filipina oleh
kapal perang China. Dengan pemicu tersebut, Presiden Aquino menyatakan keinginannya
untuk meningkatkan anggaran militer dan menyambut peningkatan kerja sama militer
dengan AS.99
AS mengutarakan kebijakan ‘high-profile intervention’ di Asia Pasifikdengan
alasan yang jelas, antara lain keinginan untuk kebebasan bernavigasi di wilayah Laut
Cina Selatan, mendorong penyelesaian sengketa secara damai, mengharapkan bahwa
sengketa tidak mempengaruhi perdamaian dan kestabilan kawasan, serta meminta setiap
negara yang bersengketa menghargai prinsip-prinsip internasional Kepentingan Amerika
Serikat tersebut dapat dikaitkan dengan kerangka besar untuk mengimbangi peningkatan
pengaruh dan kekuatan militer China.
100
Mengingat pentingnya peran laut baik dari sudut pandang keamanan, ekonomi,
maupun politik, maka dibutuhkan sebuah landasan yang kuat terhadap penentuan batas
maritim antar negara.Adapun landasan hukum yang digunakan dalam hal batas maritim
ini adalah UNCLOS 1982. Selain penting sebagai suatu perangkat hukum laut, UNCLOS
1982 ini juga sangat penting karena di samping mencerminkan hasil usaha masyarakat
99Ibid, hlm 6 100 Ibid., hlm 7-8
Universitas Sumatera Utara
internasional untuk mengkodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang
telah ada, juga menggambarkan suatu perkembangan yang progresif dalam hukum
internasional. Salah satu perkembangan yang menarik dalam percaturan politik dan
keamanan global saat ini adalah menyangkut perkembangan kawasan Asia Pasifik.Saat
ini, Laut China Selatan menjadi flash point di kawasan Asia Pasifik. Sengketa di Laut
China Selatan tidak hanya melibatkan enam negara yaitu, China, Taiwan, Vietnam,
Filipina, Brunei, dan Malaysia saja, melainkan juga menyangkut kepentingan kekuatan
besar lainnya seperti Amerika Serikat. 101
“The United States has a national interest in freedom of navigation, open access to Asia’s maritimecommons and respect for international law in the South China Sea. We share these interests not only with ASEAN members or ASEAN Regional Forum participants, but with other maritime nations and the broader international community”. Terjemahan Amerika Serikat memiliki kepentingan nasional dalam kebebasan navigasi, membuka akses ke wilayah maritim Asia dan menghormati hukum internasional di Laut Cina Selatan. Kami berbagi minat ini tidak hanya dengan anggota ASEAN atau peserta Forum Regional ASEAN, tetapi dengan negara maritim lainnya dan komunitas internasional yang lebih luas
Kepentingan dari Amerika Serikat ini pernah diungkapkan mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton bahwa:
102
AS tertarik ikut campur karena sekutu dan mitranya meminta bantuan dalam
meyakinkan Cina, agar tidak menggunakan kekuatan ekonomi dan militernya untuk
memaksakan kehendak atas tetangga-tetangganya, dan sebaliknya mengambil tindakan
yang sesuai hukum internasional. Amerika Serr juga ingin agar lalulintas perdagangan
dan jalur komunikasi, yang jadi prinsip kebebasan pelayaran, terjamin di wilayah laut
yang penting ini, mengingat hampir dua pertiga perdagangan dunia serta penyaluran
101Muhammad Rafi Darajat, dkk, Implikasi Hukum Atas Putusan Permanent Court Of
Arbitration Terkait Sengketa Laut China Selatan Terhadap Negara Di Sekitar Kawasan Tersebut, Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 2, Nomor 1, September 2017, hlm 2
102 Ibid
Universitas Sumatera Utara
energi melewati kawasan ini.AS juga ingin meyakinkan Cina bahwa di awal
keterlibatannya di panggung dunia, baik juga bagi Cina jika mematuhi hukum
internasional dalam upaya mencapai ambisinya. Washington percaya, jika Cina diizinkan
mengintimidasi negara-negara tetangganya, dan menetapkan sebuah area dominasi
geopolitis baru, itu akan membuat situasi Asia dan dunia jadi labil.103
103 http://www.dw.com/id/posisi-as-dalam-pertikaian-laut-cina-selatan/a-18629419,
diakses tanggal 1 Mei 2018
Universitas Sumatera Utara
61
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA LAUT CHINA SELATAN DALAM
PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE INTERNASIONAL
TAHUN 2016
A. Penyelesaian Sengketa Gugatan Filipina terhadap China Mengenai Laut China
Selatan Melalui Mahkamah Arbitrase Internasional
Kedaulatan atas Laut China Selatan telah banyak menarik perhatian negara
-negara sekitar, hal ini dimulai sejak berakhirnya perang dunia ke II.Pada saat itu
perjanjian Damai San Fransisco 1951 tidak menentukan secara spesifik wilayah
Kepulauan Spratly dan siapa yang berhak menerima kedaulatan pasca dilepas oleh
Jepang.Hal tersebut kemudian menimbulkan kekosongan kekuasaan geopolitik.
Disamping itu, juga menyebabkan terjadinya klaim tumpang tindih antara negara-negara
sekitar seperti Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Republik Rakyat
China termasuk Taiwan, yang mendasarkan klaim menurut kebenaran yang dianut
masing-masing negara.104
Pengelolaan sengketa kedaulatan territorial tidak dapat serta-merta mengikuti
kehendak salah satu pihak tanpa persetujuan pihak lainnya. Dalam pengelolaan sengketa
kedaulatan territorial banyak cara yang dapat dilakukan dan sesuai dengan hukum
Internasional, salah satu penyelesaian sengketa internasional yakni melalui
Arbitrase.Arbitrase telah lama menjadi pilihan penyelesaian sengketa. Arbitrase yang
104Ayu Megawati dan Gautama Budi Arundhat.Dinamika Sikap Tiongkok Atas Putusan
Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional Nomor 2013-19 dan Pengaruhnya terhadap Indonesia, Lentera Hukum, Volume 5 Issue 1 (2018), hlm 28
Universitas Sumatera Utara
diajukan Filipina kepada Tribunal adalah tentang penafsiran dari pasal-pasal yang
terdapat dalam UNCLOS 1982 serta posisi Republik Rakyat China dalam melakukan
aktivitasnya di Laut Cina Selatan, akan tetapi ketika putusan tersebut keluar pada 2016
lalu, Republik Rakyat China menganggap bahwa putusan tersebut adalah batal demi
hukum.105
Hukum internasional mengenal beberapa sumber hukum yang dapat dirujuk
yakni yang ada di dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.Salah satu
sumber hukum yang erat dengan artikel ini adalah putusan badan peradilan.Putusan badan
peradilan dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional
mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas perjanjian internasional, hukum
kebiasaan, dan prinsip hukum umum.
106
Putusan badan-badan peradilan mencakup seluruh putusan badan peradilan. Jadi
tidak hanya terbatas pada putusan-putusan badan peradilan internasional saja seperti
putusan Mahkamah Internasional, putusan badan-badan arbitrase internasional maupun
putusan Mahkamah Hak Asasi Manusia dan putusan badan-badan peradilan internasional
yang lainya, melainkan termasuk pula di dalamnya, putusan badan-badan peradilan
nasional negara-negara, badan arbitrase nasional maupun badan-badan peradilan nasional
lainnya yang mungkin ada di dalam suatu negara.
107
Cina,yang mengklaim kepemilikan 90% wilayah perairan di Laut Cina
Selatan, menyatakan tidak mengakui Mahkamah Arbitrase PBB dan menolak ikut
ambil bagian. Bahkan, Cina berupaya mengajak sejumlah negara untuk enyokong
pandangannya bahwa putusan mahkamah di Den Haag seharusnya ditolak.Cina
105Ibid., hlm 29-30 106 Muhammad Rafi Darajat, dkk, Op.Cit, hlm 9-10 107Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menyatakan sekitar 60 negara telah mendukung posisi tersebut, namun hanya
beberapa yang menyuarakannya secara umum.Cina berupaya mengajak sejumlah
negara untuk menyokong pandangannya bahwa putusan mahkamah di Den Haag
seharusnya ditolak.Cina menyatakan sekitar 60 negara telah mendukung posisi
tersebut, namun hanya beberapa yang menyuarakannya secara umum.108
Dalam hukum internasional dikenal beberapa sumber hukum yang dapat
dirujuk yakni yang ada di dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional, hukum internasional sebagai pedoman global dalam mengatur
tingkah laku dan perbuatan negara-negara, organisasi-organisasi internasional dan
sejensinya, secara tegas menyandarkan dirinya pada sumber hukum internasional.
Sumber hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual yang
digunakan para ahli hukum internasional untuk menetapkan suatu hukum yang
berlaku pada peristiwa atau kejadian tertentu.
109
1. Pengadilan, yang berfungsi untuk memutuskan sesuai dengan hukum internasional,
perselisihan seperti yang disampaikan kepadanya, akan berlaku (The Court, whose
function is to decide in accordance with international law such disputes as are
submitted to it, shall apply)
Adapun sumber hukum internasional yang dimaksud di dalam pasal 38
ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional adalah sebagai berikut:“
2. Kebaktian internasional, baik umum maupun khusus (International
conventions, whether general or particular)
108 http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160711_dunia_filipina_cina_
mahkamah_preview, diakses tan ggal 29 Mei 2018 109J.G. Starke, “Introduction to International Law”, London: Butterworth & Co., 1989,
hlm. 292
Universitas Sumatera Utara
3. Menetapkan aturan yang secara tegas diakui oleh negara-negara peserta
kontes; (establishing rules expressly recognized by the contesting states);
4. Kebiasaan internasional, sebagai bukti praktik umum yang diterima sebagai
hukum (International custom, as evidence of a general practice accepted as
law)
5. Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh masyarakat sipil; (The general
principles of law recognized by civilizenations;)
6. Tunduk pada ketentuan Pasal 59, keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran dari
penerbit yang paling berkualitas dari berbagai negara, sebagai sarana
tambahan untuk penentuan aturan hukum (Subject to the provisions of Article
59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists
of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of
law).110
Salah satu sumber hukum yang erat dengan artikel ini adalah putusan badan
peradilan.Putusan badan peradilan dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah
hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas perjanjian
internasional, hukum kebiasaan, dan prinsip hukum umum.
111
Putusan badan-badan peradilan mencakup seluruh putusan badan peradilan. Jadi
tidak hanya terbatas pada putusan-putusan badan peradilan internasional saja seperti
putusan Mahkamah Internasional, putusan badan-badan arbitrase internasional maupun
putusan Mahkamah Hak Asasi Manusia dan putusan badan-badan peradilan internasional
yang lainya, melainkan termasuk pula di dalamnya, putusan badan-badan peradilan
110Statuta Mahkamah Internasional Pasal 38 ayat (1). 111 T. May Rudy, “Hukum Internasional 1”, Bandung: Refika Aditama, 2010, hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
nasional negara-negara, badan arbitrase nasional maupun badan-badan peradilan nasional
lainnya yang mungkin ada di dalam suatu negara.112
Akibat putusan badan peradilan internasional, ditegaskan di dalam pasal 59
Statuta Mahkamah Internasional bahwa: Tunduk pada ketentuan Pasal 59, keputusan
pengadilan dan pengajaran dari penerbit yang paling berkualitas dari berbagai negara,
sebagai sarana tambahan untuk penentuan aturan hukum. (The decision of the Court has
no binding force except between the parties and in respect of that particular case).
113
Meskipun putusan badan-badan peradilan itu hanya berlaku dan mengikat bagi
para pihak yang berperkara, namun seringkali nilai hukum yang dikandung di dalamnya
dapat berlaku menjadi hukum yang berlaku umum. Putusan badan peradilan internasional
juga ada yang merupakan pengukuhan atas norma hukum internasional baru. Isi, jiwa,
dan semangat yang terkadung di dalam putusan itu kemudian diikuti oleh negara-negara
dalam praktik dan ada pula yang diundangkan di dalam peraturan perundang-undangan
nasionalnya. Sehingga putusan badan peradilan internasional yang semula hanya berlaku
bagi para pihak yang berperkara saja, seiring dengan perkembangan zaman menjadi
norma hukum internasional yang berlaku umum.
114
112 I Wayan Parthiana, “Pengantar Hukum Internasional”, Bandung: Mandar Maju,
2003, hlm. 286.
113 Statuta Mahkamah Internasional Pasal 59 114Ibid
Oleh karena putusan badan arbitrase
internasional termasuk kedalam golongan sumber hukum ini, maka putusan dari PCA
juga merupakan suatu sumber hukum yang harus dipatuhi oleh masyarakat internasional
khususnya bagi negara yang berperkara.Khusus dalam sengketa Laut China Selatan ini,
PCA menggunakan UNCLOS 1982 di dalam menangani sengketa ini.
Universitas Sumatera Utara
Terkait dengan implikasi hukum maka dapat melihat pasal 11 Lampiran VII
Konvensi Hukum Laut 1982 yang berbunyi: Putusan harus bersifat final dan tanpa
banding, kecuali para pihak yang bersengketa telah menyetujui sebelumnya untuk
prosedur banding. Itu harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang berselisih. (The award shall
be final and without appeal, unless the parties to the dispute have agreed in advance to
an appellate procedure. It shall be complied with by the parties to the dispute).115
bahwa putusan arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Hal ini berarti tidak ada upaya hukum lain terhadap putusan arbitrase yang telah
diputuskan oleh lembaga arbitrase. Selanjutnya dari pasal tersebut juga dapat dikatakan
bahwa kedua pihak baik Filipina maupun China wajib untuk menyelesaikan sengketa
secara damai dan mematuhi UNCLOS 1982 dan putusan dari PCA dalam sengketa Laut
China Selatan dengan itikad baik. Terlebih kedua negara baik Filipina maupun China
merupakan negara pihak dari UNCLOS 1982.
Di dalam pasal tersebut terdapat frasa final and without appeal yang berarti
116
If one of the parties to the dispute does not appear before the arbitral tribunal or fails to defend its case, the other party may request the tribunal to continue the proceedings and to make its award. Absence of a party or failure of a party to defend its case shall not constitute a bar to the proceedings. Before making its award, the arbitral tribunal must satisfy itself not only that it has jurisdiction over the dispute but also that the claim is well founded in fact and law. Terjemahan Jika salah satu pihak dalam sengketa tidak muncul di pengadilan arbitrase atau gagal membela kasusnya, pihak lain dapat meminta majelis untuk melanjutkan proses dan membuat putusannya. Ketiadaan partai atau kegagalan suatu pihak untuk mempertahankan kasusnya tidak akan menjadi sebuah bar bagi prosesnya.
China yang secara konsisten menolak untuk mengakui putusan PCA tersebut
maka hal tersebut dapat dibantah dengan pasal 9 Lampiran VII UNCLOS 1982 bahwa:
115 Pasal 11 Lampiran VII Konvensi Hukum Laut 1982 116Ibid
Universitas Sumatera Utara
Sebelum membuat putusannya, majelis arbitrase harus memuaskan dirinya tidak hanya bahwa ia memiliki yurisdiksi atas sengketa tetapi juga bahwa klaim tersebut berdasar pada fakta dan hukum.117
Berdasarkan penjelasan pasal di atas bahwa ketidakhadiran salah satu ihak tidak
menghalangi proses dari arbitrase tersebut asalkan arbitrase yang bersangkutan memiliki
yurisdiksi untuk memeriksa sengketa. Dalam hal ini, PCA memiliki yurisdiksi untuk
memeriksa sengketa Laut China Selatan.Suatu negara baik yang sedang bersengketa
ataukah tidak memiliki kewajiban untuk taat kepada hukum internasional.Untuk
menumbuhkan ketaatan negara pada hukum internasional, terdapat dua alternatif yang
diberikan oleh Chayes.Pertama melalui enforcement mechanism yang menerapkan
banyak sanksi seperti sanksi ekonomi, sanksi keanggotaan sampai ke sanksi
unilateral.Terhadap mekanisme pertama ini Chayes berhasil menyimpulkan bahwa
penerapan mekanisme ini tidak efektif, membutuhkan biaya tinggi, dapat menimbulkan
masalah legitimasi dan justru banyak menemui kegagalan. Alternatif kedua yang
ditawarkan Chayes merupakan management model, di mana ketaatan tidak dipacu
olehberbagai kekerasan atau sanksi tetapi melalui model kerjasama dalam ketaatan, yaitu
melalui proses interaksi dalam justification, discourse and persuasion. Kedaulatan tidak
lagi bisa ditafsirkan bebas dari intervensi eksternal, akan tetapi menjadi sebuah kebebasan
untuk melakukan hubungan internasional sebagai masyarakat internasional. Dengan
demikian kedaulatan yang baru ini tidak hanya terdiri dari kontrol wilayah atau otonomi
pemerintah tetapi juga pengakuan status sebagai anggota masyarakat bangsaangsa.
Ketaatan pada hukum internaisonal tidak lagi semata karena takut akan sanksi tetapi lebih
117Ibid, Pasal 9
Universitas Sumatera Utara
pada kekhawatiran pengurangan status melalui hilangnya reputasi sebagai anggota
masyarakat bangsa-bangsa yang baik.118
Pelanggaran suatu negara terhadap hukum internasional ini merupakan
suatu kelalaian suatu negara yang sangat serius.Perbuatan tersebut mengurangi
kepercayaan negara-negara terhadap negara tersebut, terutama dalam hal
mengadakan perjanjian dengannya dikemudian hari.Pelanggaran seperti ini dapat
pula dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip kepastian hukumdalam
hukum internasional.
119
“The Tribunal considers it beyond dispute that both Parties are obliged to comply with the Convention, including its provisions regarding the resolution of disputes, and to respect the rights and freedoms of other States under the Convention. Neither Party contests this, and the Tribunal is therefore not persuaded that it is necessary or appropriate for it to make any further declaration” terjemahan Tribunal menganggapnya di luar perselisihan bahwa kedua Pihak berkewajiban untuk mematuhi Konvensi, termasuk ketentuannya mengenai penyelesaian sengketa, dan untuk menghormati hak dan kebebasan dari Negara lain di bawah Konvensi. Tidak ada Pihak yang menentang hal ini, dan karena itu Pengadilan tidak yakin bahwa perlu atau tepat untuk membuat pernyataan lebih lanjut.
Pematuhan terkait dengan penyelesaian sengketa juga menjadi salah satu poin putusan yang dikemukakan pihak PCA, bahwa:
120
Putusan PCA memang bersifat final and binding, akan tetapi di dalam Lampiran
VII UNCLOS 1982 tidak ada ketentuan mengenai pelaksanaan putusan, dalam kata lain
PCA tidak memiliki kekuatan untuk melakukan pemaksaan sehingga akhirnya kembali
lagi ke itikad baik para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Oleh karena itu
118 Sefriani (2), “Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional
dalam Perspekti Filsafat Hukum”, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 18(Juli 2011), hlm. 417
119 Huala Adolf , “Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional”, Bandung: Keni
Media, 2011, hlm. 219.
120The South China Sea Arbitration Award Paragraf 1201.
Universitas Sumatera Utara
terkait dengan penegakan hukum maka banyak bergantung pada Filipina, apa sekarang
siap untuk tegas terhadap China didasarkan pada tanggapan China yang menolak hasil
putusan PCA. Implikasinya dengan negara-negara yang berkepentingan di sekitar
kawasan Laut China Selatan, putusan PCA terkait sengketa Laut Cina Selatan merupakan
klarifikasi atau interpretasi PCA terhadap UNCLOS 1982 sehingga dapat menjadi sumber
hukum yang berlaku umum atau mengikat semua negara. Intrepetasi ini sebenarnya dapat
memudahkan para pihak yang bersengketa di Laut China Selatan untuk merundingkan
klaim mereka masing-masing.121
Interpretasi PCA mengenai nine dash line yang tidak memiliki dasar dan
bertentangan dengan UNCLOS 1982 dapat digunakan oleh negara-negara di sekitar
kawasan Laut China Selatan apabila China kembali melanggar kedaulatan negara lain.
Putusan PCA tersebut dapat dijadikan sarana untuk memperlemah argumen China. PCA
juga menemukan fakta bahwa tidak ada fitur laut yang diklaim oleh China yang mampu
menghasilkan apa yang disebut Zona Ekonomi Eksklusif yang memberikan negara hak
berdaulat untuk sumber daya, seperti perikanan, minyak, dan gas dalam 200 mil laut.
Pengaruhnya, negara-negara di kawasan Laut China Selatan dapat mengetahui seberapa
besar klaim wilayah mereka di kawasan tersebut.Putusan ini juga akan berguna dan
dirujuk oleh negara-negara dalam praktiknya maupun oleh putusan lembaga ajudikasi di
masa mendatang. Negara-negara di sekitar kawasan Laut China Selatan harus dapat
secara konsisten mendukung pentingnya penegakan hukum dan penggunaan cara damai,
bukan kekerasan, dalam mencari penyelesaian perselisihan maritim. Karena sifat putusan
121 Damos Dumoli Agusman, “Mengingat Putusan Tribunal atas Laut China
Selatan”,http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160817165644-21-152034/mengingat-
putusan-tribunal-atas-laut-china-selatan/, diakses pada tanggal 1 Mei2018
Universitas Sumatera Utara
yang final dan mengikat, masyarakat interansional dapat mendorong Filipina, Malaysia,
Brunai dan China untuk mematuhi putusan PCA itu.
Pelanggaran suatu negara terhadap hukum internasional ini merupakan suatu
kelalaian suatu negara yang sangat serius.Perbuatan tersebut mengurangi kepercayaan
negara-negara terhadap negara tersebut, terutama dalam hal mengadakan perjanjian
dengannya di kemudian hari.Pelanggaran seperti ini dapat pula dikategorikan sebagai
pelanggaran terhadap prinsip pacta sunt servanda dalam hukum internasional.122
The Tribunal considers it beyond dispute that both Parties are obliged to comply with the Convention, including its provisions regarding the resolution of disputes, and to respect the rights and freedoms of other States under the Convention. Neither Party contests this, and the Tribunal is therefore not persuaded that it is necessary or appropriate for it to make any further declaration”. Terjemahan Tribunal menganggapnya di luar perselisihan bahwa kedua Pihak berkewajiban untuk mematuhi Konvensi, termasuk ketentuannya mengenai penyelesaian sengketa, dan untuk menghormati hak dan kebebasan dari Negara lain di bawah Konvensi. Tidak ada Pihak yang menentang hal ini, dan karena itu Pengadilan tidak yakin bahwa perlu atau tepat untuk membuat pernyataan lebih lanjut.
Oleh
karena itu terkait putusan PCA dalam sengketa Laut China Selatan, maka China harus
menghormati putusan tersebut karena sudah menjadi sumber hukum internasional.
Apabila suatu negara menaati hukum internasional maka masyarakat internasional akan
merasakan ketertiban, keteraturan, keadilan, dan kedamaian. Sebaliknya apabila China
tetap konsisten untuk menolak mematuhi putusan PCA dan terus melakukan agresi di
kawasan Laut China Selatan maka akan terjadi instabilitas kawasan yang bisa saja
berujung pada konflik terbuka.
Pematuhan terkait dengan penyelesaian sengketa juga menjadi salah satu poin
putusan yang dikemukakan pihak PCA, bahwa:
123
122 Muhammad Rafi Darajati, Op.Cit, hlm 11-12 123Ibid
Universitas Sumatera Utara
Mekanisme penyelesaian sengketa menurut UNCLOS 1982 terbagi menjadi 3
bagian.Pada Bagian 1 mengatur bahwa penyelesaian sengketa diselesaikan melalui
kesepakatan damai kedua belah pihak. Bagian 2 mengatur prosedur penyelesaian
sengketa yang memaksa demi menghasilkan keputusan yang mengikat, yang berlaku
apabila prosedur dalam Bagian 1 tidak memberikan jalan keluar bagi sengketa tersebut.
Bagian 3 mengatur beberapa pembatasan dan pengecualian dalam yurisdiksi untuk
prosedur yang diatur pada Bagian 2.Yurisdiksi ini ditentukan sendiri oleh Tribunal atas
permintaan dari para Pihak.124Negara pihak dalam UNCLOS 1982, pada saat meratifikasi,
menandatangai, dan mengesahkan Konvensi ini dapat memberikan pernyataan secara
tertulis mengenai prosedur penyelesaian yang dipilih sesuai dengan Pasal 287 (1). Baik
Filipina maupun China masing-masing tidak membuat pernyataan secara tertulis
mengenai pasal tersebut, sehingga menurut ayat (3) pada pasal yang sama kedua negara
tersebut harus tunduk pada prosedur arbitrase yang diatur pada Annex VII UNCLOS
tentang Arbitrase. 125
memberikan kebebasan memilih beberapa alternatif penyelesaian sengketa secara litigasi
ataupun non litigasi. Tindakan Filipina untuk membawa sengketaini ke jalur litigasi yaitu
Penyelesaian sengketa dalam Hukum Laut yaitu UNCLOS 1982 diatur tersebar
pada setiap sub bagian dalam konvensi. Namun secara umum penyelesaian sengketa
diatur pada Bab XV yaitu Penyelesaian Sengketa dimulai dari Pasal 279-299.Secara
umum setiap pihak dalam UNCLOS mempunyaikewajiban untuk menyelesaikan setiap
sengketa akibat pelaksanaan ataupun perbedaan interpretasi konvensi. Berpijak pada
aturan inilah UNCLOS
124Mifta Hanifa., Op.Cit., hlm 6 125Ibid
Universitas Sumatera Utara
jalur hukum resmi dimungkinkan berdasarkan hukum penyelesaian sengketa
internasional.Ini adalah pilihan dalam penyelesaian sengketa antar negara. 126
Sengketa Laut China Selatan para pihak yang bersengketa telah bersepakat untuk
menyelesaikan secara damai, hal ini terbukti dengan adanya proses bernegosiasi untuk
menyelesaikan masalah, seperti pada kesepakatan penyelesaian secara damai antara
China dengan ASEAN tahun 2002 dan 2006.
127Penyelesaian sengketa Cina dan Filipiina
telah melalui jalur non litigasi yaitu perundingan (negosiasi) dengan membentuk
perjanjian bilateral diantara kedua belah pihak. Jalur negosiasi merupakan cara umum
yang paling banyak dipilih oleh negara-negara dalam penyelesaian sengketa. Negosiasi
juga dikenal sebagai penyelesaian sengketa secara damai.Negosiasi merupakan salah satu
jalan penyelesaian sengketa yang termuat juga dalam Pasal 33 Piagam PBB. Namun jalur
negosiasi ini memiliki kelemahan diantaranya negosias itidak pernah akan tercapai
apabila salah satu pihak berpendirian keras serta negosiasi menutup kemungkinan
keikutsertaan pihak ketiga, artinya kalau salah satu pihak berkedudukan lemah tidak ada
pihak yang membantu.128
B. Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional Terhadap Sengketa Laut China
Selatan
Arbitrase Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan China tidak memiliki dasar
hukum untuk mengklaim wilayah perairan di Laut China Selatan.Namun pemerintah
126Starke, J.G., Op. Cit., hlm. 360.
127Dina Sunyowati dan Indah Camelia, “Jurisdictional Issues : PCA atas Kasus Laut Cina Selatan terhadap Keberlakuan UNCLOS 1982”, Prosiding Simposium Nasional “Putusan Permanent Court of Arbitration atas Sengketa Philipina dan Cina, serta Implikasi Regional yang Ditimbulkannya”, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2016, hlm. 113
128Ibid
Universitas Sumatera Utara
China tidak tidak menerima putusan tersebut.Putusan itu sesuai dengan keberatan yang
diajukan oleh Filipina.Mahkamah Arbitrase menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa
China menguasai dan mengendalikan sumber daya secara eksklusif di Laut China
Selatan.129
Keputusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of
Arbitration/PCA) yang memeriksa perkara sengketa antara Filipina melawan China telah
keluar di Den Haag, Belanda.Putusan setebal 501 halaman itu berpihak pada Filipina dan
menguntungkan posisi Indonesia kendati tidak turut terlibat dalam sengketa dalam
Mahkamah Arbitrase.Putusan tersebut mempunyai dampak cukup besar terhadap
Indonesia yakni terkait klaim Sembilan Garis Putus oleh China berdasarkan hak sejarah
(historic rights) tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai dengan pengaturan zona
ekonomi yang berlandaskan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
130
Putusan Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration/PCA)
atas klaim China di Laut China Selatan dibuat untuk menanggapi pengajuan keberatan
Pemerintah Filipina tahun 2013.Filipina keberatan atas aktivitas dan klaim China di Laut
China Selatan terutama klaim China terhadap hak-hak kesejarahan dan nine-dash-line.
Nine-dash-line atau sembilan garis putus-putus adalah upaya Republik Rakyat China
untuk memetakan klaim historic rights pada fitur maritim dan perairan Laut China
Selatan. Akibatnya, lebih 80 persen wilayah Laut China Selatan diklaim oleh Republik
Rakyat Indonesia.Anehnya klaim ini tidak didukung dengan data koordinat
geografis.Menurut PCA, klaim ini tak sesuai dengan hak berdaulat Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) yang didasarkan pada Konvensi Internasional tentang UNCLOS.PCA
129 https://news.detik.com/internasional/3251971/ini-putusan-lengkap-mahkamah-
arbitrase-soal-laut-china-selatan, diakses tanggal 1 Mei 2018 130 http://www.gresnews.com/berita/internasional/108480-membedah-putusan-mahkamah-
arbitrase-hukum-laut-china-selatan/ diakses tanggal 1 Mei 2018
Universitas Sumatera Utara
menyatakan China telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dan juga menegaskan
bahwa China telah menyebabkan kerusakan lingkungan dengan membangun pulau-pulau
buatan. Putusan PCA, meskipun hal itu ditujukan pada pemeriksaan perkara antara
Filipina melawan China, memunculkan tantangan sekaligus menguji peranan ASEAN
yang selama ini menaruh perhatian besar pada isu Laut China Selatan. Hal tersebut akan
dikaji secara singkat dalam tulisan ini, dengan terlebih dahulu dikemukakan secara
sekilas bagaimana respons internasional (Filipina, China, Indonesia, dan dunia
internasional) atas putusan PCA tersebut. 131
Vietnam, yang bersama Filipina, Malaysia, dan Brunei juga bersengketa dengan
China di Laut China Selatan, menyambut baik putusan PCA.Juru Bicara Kemenlu
Vietnam, Le Hai Binh, menyebutkan Vietnam mendukung penyelesaian damai
perselisihan Laut China Selatan. Namun sejalan dengan Beijing, Pemerintah Taiwan
(yang juga mengklaim sebagian wilayah Laut China Selatan) menolak keputusan itu,
yang dinilainya akan memengaruhi hak-hak teritorial negeri itu.
132
1178.....China has aggravated the Parties’ dispute with respect to the protection and preservation of the marine environment by causing irreparable harm to the coral reef habitat at Cuarteron Reef, Fiery Cross Reef, Gaven Reef (North),
Sengketa Laut Cina Selatan atau In the Matter of South China Sea Arbitration,
PCA Case No. 2013-1912 Juli 2016, Mahkamah Arbitrase Permanen telah memutuskan
perkara ini yang walaupun perkara ini menyangkut masalah kemananan, namun salah
satu putusannya juga menyinggung masalah lingkungan hidup maritim khususnya
terumbu karang yang rusak akibat pembangunan pelabuhan di pulau dan karang Laut
Cina Selatan. Seperti dinyatakan dalam putusannya :
131 Simela Victor Muhamad, Isu Laut China Selatan Pasca-Putusan Mahkamah Arbitrase:
Tantangan Asean, Vol. VIII, No. 13/I/P3DI/Juli/2016, hlm 5
132Ibid., hlm 6
Universitas Sumatera Utara
Johnson Reef, Hughes Reef, Subi Reef, and Mischief Reef. The Tribunal has already found that China has seriously violated its obligation to preserve and protect the marine environment in the South China Sea.......In practical terms, neither this decision nor any action that either Party may take in response can undo the permanent damage that has been done to the coral reef habitats of the South China Sea. (China telah memperparah sengketa Para Pihak sehubungan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dengan menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap habitat terumbu karang di Cuarteron Reef, Reef Cross Fiery, Gaven Reef (Utara), Johnson Reef, Hughes Reef, Subi Reef, dan Mischief Reef. Tribunal telah menemukan bahwa China telah secara serius melanggar kewajibannya untuk melestarikan dan melindungi lingkungan laut di Laut Cina Selatan ....... Dalam istilah praktis, baik keputusan ini maupun tindakan apa pun yang diambil salah satu Pihak dalam menanggapi dapat membatalkannya. kerusakan permanen yang telah terjadi pada habitat terumbu karang di LCS)133
Hakim Permanent Court of Arbitration (PCA) dengan suara bulat
menerbitkan‘award’ pada tanggal 12 Juli 2016 tentang sengketa Laut China Selatan
antara Filipinadan China, yang memenangkan Filipina secara mutlak. Putusan PCA ini
sangatdinantikan oleh banyak pihak yang terkait dengan sengketa internasional tersebut
danmenarik, karena sikap China yang kontroversial selama kasus tersebut diperiksa
olehPCA. Kasus ini telah menyedot perhatian publik karena terkait dengan
perebutanwilayah Laut China Selatan yang melibatkan enam negara yaitu Filipina,
BruneiDarussalam, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan China dan karena salah satu
negarapihak adalah negara besar dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Kasus
inisemakin menarik tatkala China melakukan penolakan terhadap apapun
putusanMahkamah tersebut.
134
133 Andreas Pramudianto, Peradilani nternasional dan di Plomasi dalam Sengketa
lingkungan Hidup maritim, jurnal hukum lingkungan vol. 4 issue 1, september 2017, hlm 128
134 Kompas, tanggal 12 Juli 07 tahun 2016.
Universitas Sumatera Utara
Bahkan China mengancam akanmemberikan sanksi ekonomi terhadap Filipina
sebagai balasan atas kekalahan Chinapada kasus ini. Tak pelak sikap China yang
menyangkal putusan Mahkamah Internasional inimembuat banyak pihak skeptic terhadap
kekuatan mengikat dan enforcement hukuminternasional.Banyak pihak menyangsikan
kemampuan hukum internasional dalammenyelesaikan kasus sengketa ini mengingat
China yang sangat gigih dari awal ketikakasus ini pertamakali dibawa ke PCA pada 22
Januari 2013, China sudah menyatakanpenolakannya terhadap yurisdiksi dan kewenangan
dari PCA.China mendalilkanbahwa PCA tidak punya kewenangan untuk mengadili kasus
ini.Selain itu, banyakpihak yang meragukan keberanian PCA mengadili kasus ini karena
posisi Chinasebagai negara terbesar di Asia dan merupakan anggota tetap Dewan
Keamanan PBB.135
Namun apapun sikap China, putusan PCA ini paling tidak telah
memperlihatkankeberlakuan hokum internasional sebagai hokum bagi masyarakat
internasional.Selama ini hokum internasional diklasifikasikan sebagai weak law,
hokumyang enforcementnya lemah. Bahkan golongan positivis menyatakan
hokuminternasional ini bukanlah hokum melainkan norma internasional, sejajar
dengannorma sosial dan norma agama, yang tidak mempunyai kekuatan mengikat
dankekuatan hokum sebagai daya paksa terhadap negara-negara sebagai
anggotamasyarakat internasional, dan bahkan hokum internasional tidak mempunyai
sanksiseperti halnya hokum nasional. Hal ini terjadi terutama karena negara-negara
anggotamasyarakat internasional tersebut masing-masing merupakan negara
berdaulat.Dalamkontek negara berdaulat ini, maka negara mempunyai kekuasaan penuh
mengaturdirinya sendiri, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi diatasnya untuk
memaksanegara tunduk pada kekuasaan itu.Atas dasar kedaulatan itu juga, China dalam
135 http://handarsubhandi.blogspot.com/2016/10/hegemoni-cina-di-laut-cina-selatan.html,
diakses tanggal 1 Mei 2018
Universitas Sumatera Utara
kasusini menolak berpartisipasi dalam pengadilan arbitrasi internasional di PCA ini
danmendalilkan bahwa sengketa ini merupakan sengketa dua negara dan
diselesaikandengan jalur negosiasi bilateral.China juga menyatakan bahwa Filipina
telahmelanggar Deklarasi ASEAN tentang the Conduct of Parties in the South China Sea
(Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan) tahun 2002.
Terlepas dari dalil yang dilontarkan oleh China, Filipina telah
mengajukangugatannya kepada PCA.Isi gugatan Filipina terdiri dari 15 submissions,
yang padaakhirnya PCA hanya mengambil 7 submissions dalam putusannya.Atas
gugatanFilipina ini, China menyatakan PCA bukan mahkamah yang berwenang
mengadili sengketa ini.China tidak menunjuk pengacara, konsultan hokum dan wakilnya
di PCA sebagai bentuk ketidaksetujuannya.Bisa jadi China menginginkan sengketa
ini2dibawa ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice), ketika
jalurdiplomasi lewat negosiasi bilateral tidak menghasilkan solusi.Jika sengketa
inidibawa ke mahkamah internasional maka harus ada perjanjian kesepakatan dari kedua
belah pihak yangmenyatakan mengakui yurisdiksi mahkamah internasional, sebagai
persyaratan beracara di mahkamah internasional. Danpersyaratan ini mustahil bisa
ditempuh Filipina, karena China pasti tidak akanbersedia membuat perjanjian tersebut.
Sebenarnya di PCA pun juga berlaku hal yangsama, bahwa kedua negara harus
bersepakat tentang yurisdiksi dan kewenangan PCAtermasuk pemilihan arbitratornya.
Namun, PCA sebagai mahkamah arbitrasimendasarkan kewenangan mengadili pada
ketentuan Konvensi UNCLOS, ketika Chinasebagai pihak dalam sengketa menyatakan
tidak akan berpartisipasi dalam prosesperadilan di PCA. Mahkamah ini merujuk
ketentuan UNCLOS dalam memeriksa dan mengadili kasus ini.Baik China maupun
Universitas Sumatera Utara
Filipina merupakan negara peratifikasiUNCLOS, sehingga dua negara tersebut terikat
pada isi ketentuan UNCLOS.136
Dalam kasus ini masih diperdebatkan tentang perbedaan cara pandang antaradua
negara, China mendasarkan klaimnya atas dasar sejarah yaitu wilayah perairantersebut
sebagai historic waters sebagai traditional fishing ground. Namun dasar initidak diatur
dalam UNCLOS dan MI dalam kasus antara Tunisia dan Libya tahun1982 menyatakan
bahwa historic rights of waters diatur dalam hokum kebiasaaninternasional bukan
UNCLOS. Baik China maupun Filipina didukung oleh negaranegarayang lain. China
bahkan menyatakan didukung oleh sekitar 60 negara, yangmenurut China hal itu
merupakan dukungan penuh masyarakat internasional atasposisi China yang ingin
menyelesaikan sengketa ini melalui dialog atau negosiasi.
Pada 29 Oktober 2015 PCA memutuskan bahwa PCA mempunyai yurisdiksidan
kewenangan mengadili sengketa tersebut. Dasar mengadili PCA yaitu Annex
VIIUNCLOS yang menyatakan “the absence of a party or failure of a party to defend
itscase shall not constitute a bar to the proceedings” (ketiadaan pesta atau kegagalan
suatu pihak untuk mempertahankan kasusnya tidak akan menjadi sebuah bar bagi
persidangan). Sehingga atas dasar ketentuaninilah, PCA menyatakan bahwa
ketidakhadiran China tidak menghalangi PCA untukmemeriksa dan mengadili sengketa
antara Filipina dan China.Hal ini merupakanoptional exceptions atas keberlakuan
prosedur wajib yang diatur dalam pasal 298bagian 3 dari Bab XV UNCLOS tentang
sengketa wilayah laut. Sebenarnya, menurutsifatnya, beracara di PCA sebagai sebuah
mahkamah arbitrasi, maka para pihak dapatmemilih para arbitrator dan prosedurnya
sendiri, tidak seperti yang terjadi padapengadilan nasional dimana para pihak tidak dapat
memilih hakim dan prosedurpengadilannya sendiri.
136Ibid
Universitas Sumatera Utara
Filipina didukung oleh beberapa negara, termasuk AS dan Inggris.
Padapertemuan US- ASEAN Press Conference di California, Amerika Serikat tanggal
16Februari 2016, dalam pidatonya presiden Barack Obama menyatakan bahwa “and
wediscussed how any disputes between claimants in the region must be
resolvedpeacefully, through legal means, such as the upcoming arbitration ruling under
theUN Convention of the Law of the Sea, which the parties are obligated to respect
andabide by.” Jelas disini bahwa AS mendukung tindakan Filipina membawa
sengketatersebut ke badan arbitrasi internasional.Sedangkan Australia dan Selandia
barumengambil jalan tengah yaitu mengakui adanya hak untuk mencari jalan
keluarmelalui arbitrasi.137
Sengketa internasional wajib diselesaikan secara damai (peacefully means)yang
diatur dalam pasal 33 ayat 3 Piagam PBB.Dalam masyarakat internasionaldikenal
beberapa mekanisme penyelesaian sengketa internasional yang dibedakanmenjadi dua,
yaitu secara diplomatik dan secara hukum.Secara diplomatik dapatberupa negosiasi atau
konsultasi, mediasi, konsiliasi dan inquiri. Dan mekanisme3hukum yaitu para pihak dapat
membawa sengketa mereka ke depan mahkamah internasional, MI atau International
Tribunal for the Law of the Sea (mahkamahinternasional bentukan UNCLOS). Sedangkan
PCA meskipun namanya mengandungkata ‘court’, PCA bukan pengadilan, PCA
merupakan lembaga arbitrasi. Sepertihalnya MI, PCA berkedudukan di Peace Palace, di
Den Haag.Yurisdiksi dari PCA inimeliputi semua sengketa internasional yang para
pihaknya adalah negara, bagian darinegara, organisasi internasional, perusahaan multi
nasional, pihak privat atauindividu.Ini berbeda dengan MI, yang para pihak yang
bersengketa hanya mencakupnegara saja. Dengan kata lain, semua negara di dunia dapat
137Ibid
Universitas Sumatera Utara
membawa sengketamereka baik ke MI atau PCA, apabila tahapan penyelesaian sengketa
secaradiplomatic sudah dilakukan dan tidak membuahkan hasil.
Filipina telah melampaui tahapan negosiasi melalui DeklarasiChina - ASEAN
tahun 2002, dan tampaknya sudah lebih dari satu decade belummenampakkan hasil yang
jelas atas hak berdaulatnya di wilayah perairan disekitarkepulauan Spratly. Dalam kasus
ini Filipina mengajukan gugatan tentang hak dankewajiban negara pihak menurut
UNCLOS terkait dengan klaim China ‘nine-dashline’, Filipina juga mempertanyakan
status ‘maritime features’, yang diklaim keduapihak, menurut UNCLOS, apakah
statusnya bisa disebut sebagai pulau, batu.138
Tiga status ini mempunyai konsekuensi yang berbeda terhadap pengukuran
zonawilayah laut suatu negara.Filipina juga mempertanyakan tindakan China selama
iniyang melakukan intervensi atas hak berdaulat dan kebebasan Filipina dalammengelola
sumber daya alam di wilayah perairan Filipina, dan kegiatan penangkapanikan kapal-
kapal China yang membahayakan lingkungan hidup.Filipina juga meminta keadilan atas
tindakan tertentu China, yaitu reklamasi besar-besaran danpembangunan pulau buatan di
kepulauan Spartly. Atas gugatan Filipina ini, pada 12Juli 2016 PCA telah memutuskan
bahwa klaim ‘nine-dash line’ tidak sah karena tidakmempunyai dasar hukum, dan
Scarborough Shoal merupakan traditional fishingground bagi Filipinos (bangsa Filipina),
atau dengan kata lain Filipina memenangisengketa ini dan meminta pemerintah China
mematuhi hukum internasional. Atasputusan ini, banyak negara berharap dua pihak yang
bersengketa, khususnya Chinamematuhinya.Terkait dengan putusan PCA ini hendaknya
negara-negara supportermasing-masing pihak supaya saling menahan diri untuk tidak
terlibat, dan mengingatkomplesitas sengketa dan banyaknya negara yang wilayah
138Ibid
Universitas Sumatera Utara
perairannya over lapping,maka wilayah perairan Laut China Selatan sebaiknya ditetapkan
sebagai wilayah lautbersama yang dilindungi sehingga pengelolaannya dapat dilakukan
secara bersama-samadengan koordinasi PBB.Dengan demikian tujuan pokok dari
hokuminternasional untuk selalu menjaga dan menjamin perdamaian dan keamanan
duniadapat dicapai.139
China mengklaim gugus kepulauan di kawasan LCS berdasarkan peta sepihak
tahun 1947, di mana peta tersebut mencakup hampir seluruh kawasan termasuk
Kepulauan Spratley di dalamnya dengan ditandai garis-garis merah (the nine dash
line).Sebaliknya Filipina menyatakan bahwa kawasan yang diketahui kaya cadangan
minyak dan gas bumi itu adalah wilayahnya.Kepulauan Spratley dan perairan sekitarnya
juga berada dalam ZEE, berada dalam radius 200 mil laut sebagaimana diatur dalam
UNCLOS 1982.
Hakim di pengadilan ini mendasarkan putusan mereka pada Konvensi PBB
tentang UNCLOS, yang ditandatangani baik oleh pemerintah China maupun Filipina.
Keputusan ini bersifat mengikat, namun Mahkamah Arbitrase tak punya kekuatan untuk
menerapkannya.Perkara sengketa Laut China Selatan yang ditangani Mahkamah ini
didaftarkan secara unilateral oleh pemerintah Republik Filipina untuk menguji keabsahan
klaim China antara lain berdasarkan UNCLOS tahun 1982.
140
139
https://news.detik.com/internasional/3251971/ini-putusan-lengkap-mahkamah-arbitrase-soal-laut-china-selatan, diakses tanggal 1 Mei 2018
140Ibid
Universitas Sumatera Utara
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Status wilayah Laut China Selatan menurut United Nation Conference of the Law of
the Sea (Unclos), Laut China Selatan sebagai laut setengah tertutup inilah yang sering
menimbulkan sengketa atau konflik di wilayah Laut China Selatan. Banyaknya
negara-negara yang mengililingi Laut China Selatan menyebabkan banyaknya
kepentingan-kepentingan di wilayah Laut China Selatan. Kepentingan-kepentingan
ini biasanya bertentangan antara satu negara dengan negara lain sehingga
menimbulkan sengketa atau konflik.
2. Peran yang dimainkan Mahkamah Arbitrase internasional dalam penyelesaian
sengketa internasional adalah dengan memberikan cara bagaimana para pihak yang
bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam
perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian yaitu
cara penyelesaian secara damai dan perang. Adapun yang dimaksud dari sengketa
internasional adalah suatu situasi ketika dua negara mempunyai pandangan yang
bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang
terdapat dalam perjanjian.
3. Penyelesaian sengketa Laut China Selatan dalam Putusan Mahkamah Arbitrase
Internasional Tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Perserikatan Bangsa-bangsa
menyatakan China tidak memiliki dasar hukum untuk mengklaim wilayah perairan di
Universitas Sumatera Utara
LCS, namun pemerintah China tidak tidak menerima putusan tersebut. Putusan itu
sesuai dengan keberatan yang diajukan oleh Filipina. Mahkamah Arbitrase
menyatakan tidak ada bukti sejarah bahwa China menguasai dan mengendalikan
sumber daya secara eksklusif di LCS.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran, antara lain ;
1. Laut China Selatan sebagai laut setengah tertutup sebaiknya dilakukan kerja sama di
antara negara-negara yang berbatasan dengannya dalam pengelolaan sumber daya
hayati, sehingga akan mencegah terjadinya konflik di Laut China Selatan.
2. Dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan, Indonesia seharusnya lebih sering
memasukkan dialog tentang Hukum Laut Internasional ke dalam agenda pertemuan
karena solusi yang solutif untuk masalah Laut Cina Selatan adalah semua negara
pengklaim harus kembali berpedoman kepada Hukum Internasional seperti UNCLOS
1982
3. Penciptaan forum dialog seperti south china sea coast guard forum. Hal ini dapat
menjadi pusat informasi dalam menanggapi berbagai kesempatan eksploitasi atau
pemanfaatan wilayah maritime tersebut. Hal ini juga mendorong koordinasi yang
lebih baik dan menghilangkan segala kecurigaan diantara negara di kawasan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adolf, Huala. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional.Jakarta, Sinar Grafika, 2004.
____________. “Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional”, Bandung: Keni Media, 2011.
A. Cossa, Security Implications of Conflict in the South China Sea: Ekspolring Potential Triggers of Conflict, A Pacific Forum CSIS Special Report, Honolulu, 1998.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, 2009.
Arief Bakhtiar Darmawan, Keterlibatan Amerika Serikat dalam Sengketa Laut China Selatan pada Masa Pemerintahan Presiden Barack Obama, Jurnal Hubungan Internasional, Vol. 6, No. 1, April -September 2017.
Bryan A Garner ed., Black Law Dictionary , Seventh Edition, Book 1, West Group, ST.Paul, Minn, 1999.
Brown, Harrison and J. William Fulbright, China Among the Nations of The Pacific. West View Press.USA, 2012.
Asnani, Usman dan Rizal Sukma. Konflik Laut China Selatan : Tantangan Bagi ASEAN. Jakarta: CSIS, 1997.
Universitas Sumatera Utara
Athanasius Aditya Nugraha, 2011, Manuver Politik China Dalam Konflik Laut China Selatan, Jurnal Pertahanan Vol.1 No.3, Oktober 2011.
Buana, Mirza Satria, Hukum Internasional: Teori dan Praktek, Banjarmasin FH Unlam Press, 2007.
Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007.
Dam, Syamsumar. Politik Kelautan, Jakarta, Bumi Aksara, 2010.
______________ Politik Kelautan.Jakarta. Penerbit Bumi Aksara, 2010.
Douglas, JM & M.J. Valencia, Pacific Ocean Boundary Problems: Status and Solutions, Martinus Nijhoff Publishers, Dordrecht, 1991
.
Emmers, Ralf “The US Rebalancing Strategy: Impact on the South China Sea”, National Security College, 2009
Etty R. Agoes, “Masalah-Masalah Teritorial dan Judsdiksional di Laut China Selatan dan Upaya-Upaya Untuk Mengatasinya”, Pro Justitia tahun XI, Nomor 4, Oktober 1993.
Goh, Evelyn. Meeting the China Challenge: The U.S. in Southeast Asian Regional Security Strategies, East-West Center Washington, 2005.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Joko, Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 2005.
Keyuan, Zou 2005, Law of The Sea In East Asia: Issues and Prospect, RoutledgeTaylor and Francis Group, New York
Lo, Chi Kin. China’s policy Toward Teritorial Dispute, Routledge, New York, 1989.
Mauna, Boer Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2011.
Muhammad Rafi Darajat, dkk, Implikasi Hukum Atas Putusan Permanent Court Of Arbitration Terkait Sengketa Laut China Selatan Terhadap Negara Di Sekitar Kawasan Tersebut, Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 2, Nomor 1, September 2017.
Nainggolan, Poltak Partogi. Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan, Jakarta, P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, 2013.
ND, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015.
Parthiana, I Wayan “Pengantar Hukum Internasional”, Bandung: Mandar Maju, 2003.
Ras, Abdi Rivai. Konflik Laut Cina Selatan dan Ketahanan Regional Asia Pasifik Sudut Pandang Indonesia, Jakarta: Yayasan Abdi Persada Siporennu Indonesia, Spers Mabes TNI AL, 2001.
Rudy, Teuku May. Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung, Rafika Aditama, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Rudy, T. May. “Hukum Internasional 1”, Bandung: Refika Aditama, 2010.
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press, 2012
Sodik, Dikdik Mohamad. Hukum Laut Internasional, Bandung, Refika Aditama 2014
Soerjono Soekanto. Kamus Sosiologi, Jakarta,Raja Grafindo Persada, 1993
_______________. Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2010.
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007.
Suwardi, Sri Setianingsih. Penyelesaian Sengketa Internasional,Jakarta, Universitas 2006
Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.
________. “Introduction to International Law”, London: Butterworth & Co., 1989.
Thomas Lum, “The Republic of the Philippines and the US Interests”, Congressional Research Service, 2012.
Peraturan Perundang-Undangan
UNCLOS 1982
Universitas Sumatera Utara
Keppres Nomor 12 Tahun 2014, tanggal 14 Maret 2014 tentang pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967, tertanggal 28 Juni 1967
Jurnal/Artikel/Makalah/Skripsi
Alice D. BA, “Staking Claims and Making Waves in the South China Sea: How Troubled Are the Waters?” Contemporary Southeast Asia Vol. 33, No. 3 (2011).
Andreas Pramudianto, Peradilani nternasional dan di Plomasi dalam Sengketa lingkungan
Hidup maritim, jurnal hukum lingkungan vol. 4 issue 1, September 2017
Ayu Megawati dan Gautama Budi Arundhat.Dinamika Sikap Tiongkok Atas Putusan Mahkamah Arbitrase Tetap Internasional Nomor 2013-19 dan Pengaruhnya terhadap Indonesia, Lentera Hukum, Volume 5 Issue 1 tahun 2018
Basri Hasanuddin Latief, “Kasus Laut Cina Selatan dan Kepentingan Nasional Cina”, (Paper Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Hasanuddin).
Dina Sunyowati dan Indah Camelia, “Jurisdictional Issues : PCA atas Kasus Laut Cina Selatan terhadap Keberlakuan UNCLOS 1982”, Prosiding Simposium Nasional “Putusan Permanent Court of Arbitration atas Sengketa Philipina dan Cina, serta Implikasi Regional yang Ditimbulkannya”, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2016.
Dong Manh Ngunyen, “Settlement of Dispute Under The 1982 United Nations Convention Of The Law Of The Sea:The Case South China Sea Dispute”, University of Queensland Law Journal, Vol 25 No.1 (Queensland 2006)
Gregory B. Poling. 2013. The South China Sea in Focus Clarifying the Limits of Maritime Dispute.CSIS
Universitas Sumatera Utara
Leszek Buszynki, Maritime Claims and Energy Cooperationin the South China Sea, ContemporarySoutheast Asia Vol. 29, No.1, Institue of Southeast Asian Studies, 2007.
Melda Erna Yanti, Keabsahan Tentang Penetapan Sembilan Garis Putus-Putus Laut Cina Selatan Oleh Republik Rakyat Cina Menurut United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982 (UNCLOS III) , Jurnal Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Hukum, 2016.
Mifta Hanifah, Penyelesaian Sengketa Gugatan Filipina Terhadap China Mengenai Laut China Selatan Melalui Permanent Court Of Arbitration, Diponegoro Law Journal. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017,
Muhammad Eko Prasetyo, “Resolusi Potensi Konflik Regional” (Skripsi Sarjana tidak diterbitkan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Negeri Lampung), 2016.
NNS Purbawanti, “Klonflik Laut China Selatan”, (Skripsi, Universitas Pasundan), 2016
Prabowo, E. E. Kebijakan Dan Strategi Pertahanan Indonesia (Studi Kasus Konflik Di Laut Cina Selatan), Jurnal Ketahanan Nasional, 2013
Raden Florentinus Bagus Adhi Pradana, Akibat Hukum Klaim Nine Dash Line Cina Terhadap Hak Berdaulat Indonesia Di Perairan Kepulauan Natuna (Khususnya Kabupaten Natuna) menurut Unclos 1982, Skripsi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakultas Hukum,2017.
Sefriani “Ketaatan Masyarakat Internasional terhadap Hukum Internasional dalam Perspekti Filsafat Hukum”, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 18 Juli 2011.
Simela Victor Muhamad, Isu Laut China Selatan Pasca-Putusan Mahkamah Arbitrase: Tantangan Asean, Vol. VIII, No. 13/I/P3DI/Juli/2016.
Universitas Sumatera Utara
Suharna, K.K. Konflik dan solusi Laut China Selatan dan dampaknya bagi ketahanan nasional.Majalah TANNAS edisi 94-2012
Stein Tønnesson.The History of the Dispute. War or Peace In the South China Sea?Denmark: NIAS Press, 2002.
Teh-Kuang Chang. 1991. China’s Claim of Sovereignty over Spratly and Paracel Island: A Historical and Legal Perspective. Volume 23.Case Western Reserve University. Int’l L
The South China Sea Arbitration Award Paragraf 1201.
Try Satria Indrawan Putra, Reklamasi Pulau Republik Rakyat China Di Laut Cina Selatan: Suatu Analisis Terhadap Status Penambahan Wilayah dan Dampak Terhadap Jalur Pelayaran Internasional, Diponegoro Law Review, Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016.
Yolanda Mouw, Penyelesaian Potensi Sengketa Di Wilayah Perairan South China Sea (SCS) Antar Negara-Negara Di Kawasan Asean Dalam Perspektif Regionalisme, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2014.
Website
Pasal 122, BAB IX United Nations Convention The Law of The Sea 1982, atau dapat diakses di http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf
Martin sieff (2012), “Sengketa nama Laut Cina Selatan atas Kepulauan Spartly dan Paracel ungkap konflik yang lebih dalam”, http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/09/13/name-the-seadiakses tanggal 29 Mei 2018.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan antara Cina dan Filipina menurun menyusul sengketa wilayah di Scarborough Shoal, http://www.bbc. co.uk/ indonesia/dunia/2012/07/120731_southchinasea.shtml
diakses tanggal 29 Mei 2018,
http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/09/13/name-the-sea, diakses tanggal 29 Mei 2018
http://www.mackinderforum.org/commentaries/china2019snine-dashed-map-maritime-sourceof-geopolitical-tension/china2019s-nine-dashed-map-maritimesource-of-geopolitical-tension, diakses tanggal 12 Mei 2018
https://johnpau.wordpress.com/2010/11/09/91/diakses tanggal 1 Mei 2018
https://myrepro.wordpress.com/2016/04/16/lcs1/diakses tanggal 1 Mei 2018
Damos Dumoli Agusman, “Mengingat Putusan Tribunal atas Laut China
Selatan”,http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160817165644-21-152034/mengingat-putusan-tribunal-atas-laut-china-selatan/, diakses pada tanggal 1 Mei2018
South China Sea: China-Philippine deadlock in Huangyan Island area lasts,’ Global Times (daring), http://www.globaltimes.cn/SPECIALCOVERAGE/SouthChinaSeaConflict.aspx>, diakses pada 1 Mei 2018
https://news.detik.com/internasional/3251971/ini-putusan-lengkap-mahka mah-arbitrase-soal-laut-china-selatan, diakses tanggal 1 Mei 2018
http://www.gresnews.com/berita/internasional/108480-membedah-putusan-mahka mah-arbitrase-hukum-laut-china-selatan/ diakses tanggal 1 Mei 2018
Universitas Sumatera Utara
http://handarsubhandi.blogspot.com/2016/10/hegemoni-cina-di-laut-cina-selatan.html, diakses tanggal 1 Mei 2018
https://news.detik.com/internasional/3251971/ini-putusan-lengkap-mahka mah-arbitrase-soal-laut-china-selatan, diakses tanggal 1 Mei 2018
Kompas, tanggal 12 Juli 07 tahun 2016.
Sengketa Kepemilikan Laut China Selatan,” BBC online, 21 Juli 2011, diakses pada tanggal 21 Mei 2018.
United States Department of State Bureau of Oceans and International Environmental and Scientific Affairs. Arsip online bisa diakses pada http://www.mackinderforum.org/ commentaries/china2019s-nine-dashed-map-maritime-sourceof -geopolitical-tension/china2019s-ninedashed -ap-maritime-source-of-geopolitical-tension,diakses tanggal 1 Mei 2018
Arsip online citra satelit yang direklamasi oleh China dapat diakses melalui http://medium.com/satelite-image-analysis//china-s-new-military-installations-in-the-spratly-islands-satellite-image-update-1169bacc07f9#.h10hqgcppdiakses pada tanggal 1 Mei 2018
https://eleveners.wordpress.com/2010/01/19/dasar-hukum-pengaturan-wilayah-negara-di-laut/diakses tanggal 1 Mei 2018
http://www.bbc.com/indonesia/dunia-38730199, diakses tanggal 1 Mei 2018
http://www.dw.com/id/posisi-as-dalam-pertikaian-laut-cina-selatan/a-18629419, diakses tanggal 1 Mei 2018
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/07/160711_dunia_filipina_cina_ mahkamah_preview, diakses tan ggal 29 Mei 2018
Universitas Sumatera Utara