Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Volume 11 Nomor 1, Juni 2012
1
PERAN LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL (LKS) DALAM
PENANGANAN PENYALAHGUNAAN NAPZA
DI JAWA BARAT
Jumayar Marbun¹, A.Nelson Aritonang², Epi Supiadi³, Ami Maryami4, Yuti Ismudiyarti5
Fungsional Dosen Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung
Jl. Ir. H. Juanda No.367 Bandung
¹[email protected], ²[email protected], ³[email protected], [email protected], [email protected]
Abstract
The purpose of this study was to obtain an overview of the Institute of Social Welfare (LKS) prevention,
rehabilitation, referral, further guidance to victims of drug abuse. While the focus of this study is "How
does LKS have addressed the role of drug abuse", with sub-problematic as follows: how LKS
prevention, rehabilitation, referral, further guidance to victims of drug abuse.
The research method used in research on the role of LKS in Drug Abuse Treatment in West Java is
descriptive-qualitative. Data sources consisted of primary sources that 30 people associated with the
management of the implementation process LKS, and secondary source documents ie reports and
profiles LKS. Data collection techniques are in-depth interviews, structured observation, and study
documentation. While the data analysis techniques are.
The results showed that the role of LKS in prevention include demand reduction and harm reduction
in order to improve immunity and resilience of individuals, families and communities to not abuse the
drug, which is classified into primary prevention, secondary prevention and tertiary prevention.
Rehabilitation activities carried worksheets for each client at least 2 and at most 120 clients. After
care Program activities are conducted is an effort to prevent recurrence (relapse). 22 According to
the informant that the ex prevents recurrence of drug abuse by holding intensive counseling, economic
assistance, spiritual guidance, assistance with activities involving positive, continue to monitor the
development of the former victims of drug abuse. LKS advocacy activities is to assist clients in
obtaining their rights, to obtain services and resources and the protection or assistance in case of
breaking the law and to influence policy makers to change or create policy in favor of LKS
Conclusion of research that drug abuse prevention conducted various worksheets is quite varied, but
not all agencies conducting rehabilitation. Generally agencies conduct prevention, advocacy,
information and referral guidance.
Keywords: preventive, rehabilitation, referral and aftercare.
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang Lembaga Kesejahteraan Sosial
(LKS) melakukan pencegahan, rehabilitasi, rujukan, bimbingan lanjut terhadap korban
penyalahgunaan NAPZA. Sedangkan fokus penelitian ini adalah “Bagaimanakah Peran LKS
melakukan penanganan penyalahgunaan NAPZA”, dengan sub problematik sebagai berikut:
“bagaimana LKS melakukan pencegahan, rehabilitasi, rujukan, bimbingan lanjut terhadap korban
penyalahgunaan NAPZA?”.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian mengenai Peran LKS dalam Penanganan
Penyalahgunaan NAPZA di Jawa Barat adalah metode deskriptif–kualitatif. Sumber data terdiri dari
sumber primer yaitu 30 orang pengurus LKS terkait dengan proses pelaksanaan LKS , dan sumber
sekunder yakni dokumen laporan dan profil LKS. Teknik pengumpulan data adalah wawancara
mendalam, observasi tidak terstruktur, dan studi dokumentasi, sedangkan teknik analisis data adalah
kualitatif.
2
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran LKS dalam pencegahan mencakup pengurangan
permintaan dan pengurangan dampak buruk dalam rangka meningkatkan kekebalan dan ketahanan
individu, keluarga, dan masyarakat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA yang diklasifikasikan
menjadi pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Kegiatan rehabilitasi
dilakukan masing-masing LKS terhadap paling sedikit 2 klien dan paling banyak 120 klien. Kegiatan
Program After care yang dilakukan adalah upaya untuk mencegah kekambuhan (relapse). Menurut
22 informan bahwa dalam mencegah kekambuhan eks penyalahgunaan NAPZA dengan mengadakan
penyuluhan secara intensif, bimbingan ekonomi, bimbingan rohani, pendampingan dengan melibatkan
kegiatan positif, memantau terus perkembangan eks penyalahgunaan NAPZA. Kegiatan advokasi
yang dilakukan LKS adalah membantu klien dalam memperoleh hak-haknya, untuk mendapatkan
pelayanan dan sumber daya juga perlindungan atau pendampingan dalam kasus melanggar hukum
serta mempengaruhi pembuat kebijakan untuk merubah atau membuat kebijakan yang berpihak pada
LKS. Kesimpulan hasil penelitian bahwa penanggulangan penyalahgunaan NAPZA dilakukan
berbagai LKS cukup bervariasi namun tidak semua lembaga melakukan kegiatan rehabilitasi.
Umumnya lembaga melakukan kegiatan pencegahan, advokasi, bimbingan lanjut, dan rujukan.
Kata kunci: pencegahan, rehabilitasi, referral, aftercare.
Pendahuluan
Kepedulian dan partisipasi aktif masyarakat
untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan
NAPZA sangat diperlukan. Direktorat
Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan
NAPZA Kementerian Sosial RI dan masyarakat,
membentuk kelompok-kelompok dan organisasi
masyarakat yang dikenal dengan Lembaga
Kesejahteraaan Sosial (LKS) dengan tujuan
meningkatkan pengetahuan,
kepedulian, partisipasi aktif masyarakat dalam
penanggulangan penyalahgunaan NAPZA dan
penyebaran HIV/AIDS serta menciptakan
kondisi daerah agar lebih memperhatikan
permasalahan penyalahgunaan NAPZA dan
HIV/AIDS sehingga dapat berkurang.
Disamping itu didalam masyarakat juga telah
terdapat organisasi-organisasi masyarakat yang
didirikan oleh masyarakat.
LKS terdiri atas organisasi-organisasi
masyarakat yang melaksanakan berbagai
kegiatan penanggulangan permasalahan
penyalahgunaan NAPZA serta dampaknya
seperti HIV/AIDS, TBC dan Hepatitis C di
masyarakat, melalui pelaksanaan fungsi-fungsi
pencegahan, rehabilitasi, perlindungan social,
advokasi sosial dan pengembangan. Fungsi-
fungsi tersebut selanjutnya menjadi dasar
melaksanakan peran-peran tertentu berupa
sekumpulan aktivitas yang dilakukan untuk
menanggulangi penyalahgunaan NAPZA. Salah
satu bentuk LKS adalah lembaga Rehabilitasi
Sosial Berbasis Masyarakat (RBM) yang
didirikan di berbagai provinsi yang anggotanya
berasal dari beberapa unsur yang ada di
masyarakat seperti tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh pendidikan, aparat pemerintah,
tokoh organisasi sosial/LSM, dunia usaha, PKK
dan Dinas Sosial Provinsi. Dinas Sosial di
berbagai provinsi berperan sebagai “Support
System”.
Dinas Sosial Propinsi diharapkan
dapat mengembangkan LKS-LKS di tingkat
Kabupaten/Kota. Fungsinya adalah Pertama
pendampingan secara kontinyu kepada para
penyalahguna dan keluarganya tentang bahaya
NAPZA, HIV/AIDS serta TBC; Kedua sebagai
alat Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
kepada masyarakat yang berkaitan dengan
penanggulangan masalah penyalahgunaan
NAPZA termasuk penyebaran HIV/AIDS,
Hepatitis C dan TBC, melalui liflet, brosur,
spanduk, dan materi-materi pelatihan. Ketiga
Advokasi untuk membela kepentingan
penyalahguna NAPZA dan pengidap HIV/AIDS
dalam menangani permasalahannya misalnya
dalam bentuk mengubah pandangan
negatif/stigma dan diskriminasi terhadap
penyalahguna NAPZA, keluarga dan pengidap
HIV/AIDS, TBC dan Hepatitis C termasuk para
eks penyalahguna NAPZA. Keempat rujukan
yang merupakan pengalihan pelayanan dari
Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Volume 11 Nomor 1, Juni 2012
3
pendamping kepada pihak lain yang memiliki
potensi yang tepat atau memfasilitasi kebutuhan
yang tidak dapat dipenuhi oleh pendamping.
Kelima melaksanakan kelompok dukungan
melalui pertemuan yang dihadiri oleh mereka
yang terlibat langsung maupun tidak langsung
terkena dampak dari penyalahguna NAPZA dan
pengidap HIV/AIDS, TBC dan Hepatitis C
untuk berbagi pengalaman dan memberikan
kekuatan dan harapan agar saling menumbuhkan
serta menuju perubahan positif perilaku
penyalahguna NAPZA dan pengidap
HIV/AIDS, TBC dan Hepatitis C.
Pada tahun 2012 Pusat Kajian NAPZA STKS
Bandung melakukan penelitian tentang Peran
LKS dalam penanganan Penyalahgunaan
NAPZA di Provinsi Jawa Barat yang dapat
dilihat mulai dari kegiatan pencegahan,
rehabilitasi, aftercare, advokasi dan rujukan ke
berbagi pihak dan lembaga rehabilitasi terhadap
korban penyalahguna NAPZA.
Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah untuk
mandapatkan gambaran tentang Lembaga LKS
melakukan pencegahan, rehabilitasi, rujukan,
bimbingan lanjut terhadap korban
penyalahgunaan NAPZA. Sedangkan fokus
Penelitian ini adalah “Bagaimanakah Peran
lembaga LKS melakukan penanganan
penyalahgunaan NAPZA?”, dengan sub
problematik sebagai berikut: bagaimana
Lembaga LKS melakukan pencegahan,
rehabilitasi, rujukan, melakukan bimbingan
lanjut terhadap korban penyalahgunaan NAPZA.
Peran adalah seperangkat tingkah laku yang
diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang
sesuai status (kedudukannya) dalam suatu sistem
atau situasi sosial tertentu. (Kozier Barbara,
1995; Horton dan Hunt, 1993). Berbagai peran
yang tergabung dan terkait pada satu status ini
oleh Merton [1968] dinamakan perangkat peran
(role set). Dalam kerangka besar, organisasi
masyarakat, atau yang disebut sebagai struktur
sosial, ditentukan oleh hakekat (nature) dari
peran-peran ini, hubungan antara peran-peran
tersebut, serta distribusi sumber daya yang
langka di antara orang-orang yang
memainkannya. Perilaku peran mungkin berbeda
dari perilaku yang diharapkan karena beberapa
alasan. Sedangkan, Abu Ahmadi (1982)
mendefinisikan peran sebagai suatu kompleks
pengharapan manusia terhadap cara individu
harus bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu
berdasarkan status dan fungsi sosialnya.
Meninjau kembali penjelasan tentang peran
secara historis, Bilton, et al. (1981) menyatakan,
peran sosial mirip dengan peran yang dimainkan
seorang aktor yakni orang yang memiliki posisi-
posisi atau status-status tertentu dalam
masyarakat yang diharapkan berperilaku dalam
cara-cara tertentu yang bisa diprediksikan,
seolah-olah sejumlah "naskah" (scripts) sudah
disiapkan untuk mereka.
Ciri-ciri peran, yaitu peranan meliputi norma-
norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan
dalam arti ini merupakan rangkaian dalam aturan
yang membimbing seseorang dalam kehidupan
kemasyarakatan; peranan adalah suatu konsep
tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi; peranan
juga dapat dikatakan sebagai perilaku yang
penting bagi struktur masyarakat. Hal- hal
penting yang terkait dengan peranan: bahwa
peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan
apabila struktur masyarakat hendak
dipertahankan kelangsungannya; peranan
tersebut seyogyanya dilekatkan pada individu
yang oleh masyarakat dianggap mampu
melaksanakannya; dalam masyarakat kadangkala
dijumpai individu-individu yang tak mampu
melaksanakan peranannya sebagaimana
diharapkan oleh masyarakat; apabila semua
orang sanggup dan mampu melaksanakan
peranannya, belum tentu masayarakat akan dapat
memberikan peluang-peluang yang seimbang.
Menurut Johnson (2004), ada tiga konsep penting
berkenaan dengan penyalahgunaan NAPZA,
yaitu konsep penggunaan (use), penyalahgunaan
(abuse) dan ketergantungan (dependency or
addiction). Penggunaan NAPZA didefinisikan
sebagai konsumsi zat (alkohol atau obat, legal
maupun ilegal) dengan keteraturan (sekali
atau berulang kali selama seumur hidup) yang
menghasilkan sedikit atau tidak ada konsekuensi
hidup yang signifikan negatif. Sedangkan
penyalahgunaan NAPZA didefiniskan sebagai
4
penggunaan obat, legal maupun illegal, dengan
beberapa keteraturan atau pola, yang
mengakibatkan orang mengalami pola
konsekuensi hidup negatif akibat penggunaan
NAPZA mereka. Konsep ketiga yakni
ketergantungan didefiniskan sebagai
penggunaan berulang atau kronis (sering setiap
hari), yang menghasilkan suatu "kebutuhan"
fisiologis dan / atau psikis (nyata atau dirasakan)
untuk obat sebagai masalah kelangsungan hidup,
menyebabkan konsekuensi hidup negatif yang
berat dan/atau kronis. Kehidupan orang yang
mengalami ketergantungan NAPZA sepenuhnya
dicakup oleh obsesi untuk menggunakan
NAPZA dan menjalani gaya hidup yang
menyertainya.
Peran pencegahan menunjukkan serangkaian
kegiatan LKS yang berupaya mencegah
munculnya penyalahgunaan NAPZA, mencegah
berkembang dan meluasnya penyalahgunaan
NAPZA yang sedang terjadi dan mencegah
kambuhnya penyalahgunaan NAPZA yang telah
teratasi.
Pencegahan merupakan upaya yang relatif sangat
murah dan mampu menekan tumbuh
kembangnya masalah penyalahgunaan NAPZA
dan sekaligus mereduksi berbagai dampaknya.
Dalam jangka panjang secara bertahap dapat
menurunkan jumlah kasus penyalahgunaan
NAPZA yang relatif dapat dilaksanakan oleh
semua kalangan.
Definisi tentang Rehabilitasi Sosial adalah
proses refungsionalisasi dan pengembangan
untuk memungkinkan seseorang mampu
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan masyarakat. Menurut Supiadi,
et.al. (2006) Rehabilitasi sosial adalah segenap
upaya yang ditujukan untuk mengintegrasikan
atau mengintegrasikan kembali seseorang
kedalam kehidupan masyarakat dengan cara
membantunya menyesuaikan diri dengan
tuntutan keluarga, komunitas dan pekerjaan
sejalan dengan pengurangan setiap beban sosial
dan ekonomi yang dapat merintangi proses
rehabilitasi. (direvisi dari WHO, dalam ILO 1985
: 11).
Rehabilitasi sosial umumnya dilaksanakan dalam
konteks panti yang menyelenggarakan
pelayanan-pelayanan berupa pemenuhan
kebutuhan fisik, dan kesehatan, bimbingan sosial
dan psikologis, mental keagamaan dan
keterampilan. Rehabilitasi sosial dilaksanakan
juga di masyarakat dengan pendekatan
Rehabilitasi Sosial Berbasiskan Masyarakat yang
lebih memungkinkan percepatan pengintegrasian
kembali kelayan dengan masyarakat. Pendekatan
rehabilitasi sosial berbasis masyarakat bagi
korban penyalahgunaan NAPZA seharusnya
berkaitan dengan model komunitas (community
model) tentang ketergantungan kimiawi
(chemical dependency).
Tujuan rehabilitasi dapat ditujukan pada Physical
condition, Mental capacity, Social maintenance,
Economic needs, dan Vocational skills. Sarana
dan prasarana rehabilitasi sosial ditujukan untuk
Social maintenance, Economic needs,
Vocational skills, Programs, Services,
Personnels, Facilities, Dicipliners physical,
Restoration, Psychological adjustment,
Vocational counseling, Training & placement,
Preventive, Aftercare, dan Advocation.
Proses rehabilitasi dilakukan mulai Deteksi Dini,
Asesemen & Intervensi, Pelayanan Medis,
Pelayanan Psikososial, Pelatihan untuk Aktivitas
Kehidupan Sehari-hari, Pelayanan Pendidikan
Khusus, Pelatihan Vocasi didalam dan diluar
Institusi, Pelayanan Tindak Lanjut untuk
Mempertahankan Kemampuan. Pembinaan
lanjut ditujukan untuk mengembangkan Shelter
Workshop bagi alumni panti/lembaga rehabilitasi
sosial, mengembangkan Kelompok Usaha
Bersama (KUBE dan UEP) eks klien dan
pendampingan.
Ditinjau dari model bio-psiko-sosial,
penyalahguna NAPZA dipandang sebagai
penyakit “relapsing” (sering kambuh). Tidak ada
kata sembuh bagi penyalahguna NAPZA,
melainkan pulih, sehingga upaya rehabilitasi eks
penyalahguna NAPZA berkonsekuensi pada
pemulihan seumur hidup. Akibatnya dibutuhkan
social support yang membutuhkan kesiapan-
kesiapan lingkungan sosial dan masyarakat luas
Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Volume 11 Nomor 1, Juni 2012
5
untuk menerima kembali bekas penyalahguna
NAPZA.
Supiadi (2005) dalam “Sumber dan Teknik
Rujukan dalam Brokering” menjelaskan bahwa
rujukan (referral) adalah proses/ upaya
pengalihan atau pengiriman korban kepada
sumber pelayanan lain. Upaya tersebut dapat
bersifat sementara atau selamanya. Tujuannya
adalah agar korban mendapatkan penanganan
yang tepat sehingga masalahnya segera teratasi
atau kebutuhannya segera terpenuhi dan agar
penanganan korban lebih komprehensif.
Metoda Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif–kualitatif.
Menurut Whitney (1960) dalam Moh. Nazir (
2002:55 ), “Metode deskriptif adalah pencarian
fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian
deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam
masyarakat, serta tatacara yang berlaku dalam
masyarakat serta situasi-situasi tertentu,
termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan,
sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta
proses-proses yang sedang berlangsung dan
pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.”
Pemilihan desain deskriptif digunakan untuk
memberikan gambaran tentang latar belakang,
sifat-sifat, kondisi, karakter-karakter yang khas
dari Kelompok Pendampingan LKS di Jawa
Barat dalam melakukan aktivitasnya yang dapat
di gambarkan secara sistematis.
Penjelasan istilah: 1) Peran LKS adalah
pelaksanaan tugas pengurus lembaga sesuai
dengan kedudukannya. 2) Penanganan
Penyalahgunaan NAPZA adalah aktivitas yang
meliputi program pencegahan, rehabilitasi,
advokasi, bimbingan lanjut, dan rujukan untuk
orang yang mengalami ketergantungan terhadap
NAPZA. 3) Jawa Barat adalah lokasi penelitian
tentang peran LKS.
Penelitian tentang peran LKS yang menangani
Korban Penyalahgunaan NAPZA ditetapkan
sebagai latar primer dalam penelitian ini
mengingat aktivitas para pengurus LKS
merupakan wujud kesadaran, kepedulian dan
tanggung jawab masyarakat itu sendiri terhadap
lingkungan dalam menangani masalah
penyalahgunaan NAPZA. Berbagai situasi yang
dimungkinkan dapat mempengaruhi proses
pelaksanaan pelayanan akan sangat terkait
dengan bagaimana interaksi pengurus dengan
korban penyalahgunaan NAPZA
Sumber Data terdiri dari : 1) sumber primer
yang memberikan informasi langsung yaitu 30
orang pengurus LKS yang berasal dari
Rehabilitasi Sosial Berbasis Masyarakat (RBM)
Siliwangi Jawa Barat, Tim Pencegahan
Penyalahgunaan NAPZA Berbasis Masyarakat
(TPPNBM) Maleber, TPPNBM Ledeng, Tim
Pencegahan Anak Nakal dan Korban NAPZA
Berbasis Masyarakat (TPANKNBM) Pasirkaliki,
Tim Kerja Penanggulangan Penyalahgunaan
NAPZA (TKPPN) Cimahi, Rumah Palma,
Pondok Sahabat, Sekar Mawar, Rumah Cemara,
Forum Perlindungan dan Advokasi
Penyalahgunaan NAPZA (FPASPPN), Forum
Penanggulangan Penyalahguna NAPZA (FP2N),
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia –
Harm Reduction (PKBI-HR), dan (Gerakan
Penanggulangan NAPZA (GPNA) Foundation;
2) sumber sekunder merupakan sumber yang
tidak langsung memberikan informasi terkait
pelaksanaan LKS
Teknik Pengumpulan Data adalah sebagai
berikut: 1) Wawancara Mendalam. Wawancara
mendalam dilakukan dengan cara mengeksplor
informasi secara lengkap dan mendalam melalui
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sesuai
dengan pedoman wawancara, 2) Observasi
Tidak Terstruktur. Observasi ini dilakukan
peneliti tidak menggunakan pedoman observasi
secara sistematis tetapi pengamatan dilakukan
secara langsung (natural), 3) Studi
Dokumentasi. Studi dokumentasi dilakukan
untuk memperoleh informasi yang terkait dengan
dokumen atau catatan-catatan yang dapat
memperkuat data dan informasi yang dibutuhkan
dalam penelitian ini, 4) Pengujian Keabsahan
Data. Pengujian keabsahan data dilakukan
dengan menggunakan teknik triangulasi yang
terdiri atas triangulasi sumber dan triangulasi
teknik.
Teknik Analisis Data. Tenik analisis data adalah
proses penyerderhanaan data kedalam bentuk
6
yang lebih mudah dibaca dan interprestasikan,
yang secara kualitatif dilakukan pada saat
pengumpulan data dan setelah selesai
pengumpulan data, dimana data disajikan dalam
bentuk uraian dan tabel.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Menurut informan bahwa pencegahan ketiganya
dapat diartikan sebagai berikut: 1) Pencegahan
primer adalah upaya pencegahan pada kelompok
yang belum dan rentan menyalahgunakan
NAPZA yang ditujukan agar warga tidak terlibat
dalam penyalahgunaan NAPZA, 2) Pencegahan
sekunder adalah kegiatan pencegahan dan
penanganan terhadap kelompok penyalahguna
NAPZA yang ditujukan agar masalah
penyalahgunaan NAPZA tidak meningkat, bisa
ditekan atau bahkan dihilangkan, 3) Pencegahan
tersier adalah kegiatan pencegahan dan
penanganan terhadap mantan penyalahguna
NAPZA yang sudah direhabilitasi yang
ditujukan untuk mencegah kekambuhan
menyalahgunakan NAPZA.
Berbagai peran LKS dalam pencegahan primer,
sekunder dan tersier dapat dilihat pada table
berikut ini.
Tabel 1
Peran LKS dalam Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier
Pencegahan Primer Pencegahan Sekunder Pencegahan Tersier
• Penyuluhan sosial secara
langsung tentang bahaya
penyalahgunaan NAPZA dan
upaya-upaya pencegahan yang
bisa dilakukan
• Penyuluhan/kampanye/ sosialisasi
bermedia melalui pemasangan
spanduk, pamplet pada lokasi-
lokasi strategis, penyebaran
leaflet dan CD film, on air
melalui radio siaran
• Inventarisasi data dan informasi
• Memberikan rekomendasi
• Melakukan penyuluhan,
• Memberikan pengertian secara hukum dan
sebab akibat
• Melakukan pemahaman melalui kegiatan
pelatihan dan sosialisasi
• Memberikan kegiatan yang bermanfaat
• Konseling dan penanganan para pengguna
NAPZA dengan metode TC
• Outreach, konseling dan terapi individual
• Penggantian NAPZA dengan metadon
• Menjalin hubungan s.d. pendampingan,
• Penyuluhan, pertemuan dan memberikan
saran (sharing),
• Mendengarkan keinginan klien dan
memberikan solusi
• Memantau
• Membentuk KUBE
• Konseling adiksi
• Melepaskan ikatan emosional antara
individu dengan kelompoknya
• Koordinasi
• Kerjasama dengan pihak terkait
• Outbond
Sasaran dari tindakan pencegahan primer
umumnya adalah kelompok atau komunitas,
seperti kelompok remaja, kelompok pengajian,
kelompok ibu-ibu, komunitas RT dan RW, tanpa
melihat atau memperhatikan apakah diantara
mereka ada yang sudah menggunakan NAPZA
atau belum pernah menggunakannya. Metode
yang digunakan dalam pencegahan primer
mencakup metode ceramah, diskusi kelompok
terfokus, dialog, tanya jawab, dan penayangan
gambar visual dan audio visual. Lama tindakan
pencegahan primer untuk setiap kelompok
sasaran berkisar antara 1 sampai dengan 2 jam,
yang dilaksanakan di berbagai tempat seperti
ruang pertemuan kelurahan, ruang pertemuan
RW, dan masjid. Hasil yang dicapai dari tindakan
pencegahan primer adalah masyarakat
mengetahui dan minimal dapat melakukan
pencegahan untuk diri sendiri. Kendala yang
dihadapi mencakup keberagaman latar belakang
sosial, ekonomi dan budaya sasaran pencegahan,
kurangnya minat peserta mengikuti kegiatan,
kurangnya alat bantu penyuluhan, dan kurangnya
dana kegiatan. Upaya-upaya yang dilakukan
untuk mengatasi kendala/hambatan dalam
melaksanakan tindakan pencegahan primer
mencakup melakukan pendekatan ketokohan dan
kewilayahan, konsultasi, koordinasi dengan
pihak terkait seperti kapolsek, tokoh agama dan
pendidik.
Pencegahan sekunder dilakukan kepada sasaran
para pengguna yang masih dalam tahap coba-
coba atau terlanjur menggunakan NAPZA.
Metode yang digunakan dalam melakukan
pencegahan sekunder mencakup (1) wawancara,
(2) close meeting, (3) penyuluhan langsung, (4)
konsultasi, (5) rujukan, (6) fasilitasi penguatan
kelompok dukungan agar pengguna NAPZA
tidak lagi menggunakan NAPZA. Lama kegiatan
untuk masing-masing kegiatan pencegahan
sekunder bervariasi sesuai kebutuhan, namun
umumnya berkisar antara 1 sampai 2 jam untuk
setiap kali pertemuan yang dilaksanakan.
Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Volume 11 Nomor 1, Juni 2012
7
Kegiatan pencegahan sekunder dilakukan di
lingkungan pengguna seperti di rumah, shelter,
juga di tempat-tempat rapat, RT, RW, dan
Karang Taruna. Hasil yang dicapai dari tindakan
pencegahan sekunder umumnya dinyatakan
positif, mampu mengurangi tindakan
penyalahgunaan NAPZA, meningkatkan
kemampuan, meskipun tidak ada informan yang
menyatakan bahwa sasaran kegiatan bisa
berhenti sama sekali dari penyalahgunaannya,
melainkan berkembang kearah yang lebih baik.
Sebagian kendala yang dihadapi dalam
melaksanakan tindakan pencegahan sekunder
adalah adanya pressure group/ peer group,
kurangnya biaya penyuluhan, sulit kumpul dan
jarang didengar, sulitnya mencari informasi
tentang pengguna. Ada juga informan yang
menyatakan tidak ada kendala. Upaya yang
dilakukan untuk mengatasi kendala/hambatan
dalam melaksanakan tindakan pencegahan
sekunder mencakup komunikasi intensif dengan
sasaran, kelompoknya dan keluarganya,
memberikan support, pendekatan secara
persuasif, koordinasi dengan pihak terkait
termasuk aparat atau dinas dan mempromosikan.
Pencegahan tersier dilakukan terhadap mereka
yang telah menjadi pecandu dan atau mereka
yang telah menjalani rehabilitasi, mantan
pengguna. Namun terdapat seorang informan
yang menyatakan sasaran kegiatan pencegahan
tersier adalah mereka yang akut kecanduan
berat. Metode yang digunakan dalam melakukan
pencegahan tersier mencakup (1) pendekatan
personal, vokasional, (2) arahan langsung,
termasuk agar percaya diri, (3) konseling adiksi
oleh orang sudah pernah memahami NAPZA tapi
sudah tidak memakai NAPZA lagi dari
kelompok sebaya, (4) membuat wadah usaha
bersama serta berkegiatan yang lebih positip.
Lama setiap tindakan pencegahan tersier
dilakukan mencakup (1) sepanjang waktu, (2)
berkali-kali, (3) 1 sampai 2 jam, (4) 1 bulan
sekali, (5) tidak mengenal waktu. Kegiatan
dilaksanakan (1) di shelter workshop, base camp,
(2) tempat nongkrong, (3) rumah, RT/RW, (4)
lembaga-lembaga yang telah bekerjasama. Hasil
yang dicapai dari tindakan pencegahan tersier
mencakup (1) klien dapat hidup wajar, normal
dan dapat melaksanakan fungsi sosialnya di
masyarakat, (2) baik, (3) ada penurunan kegiatan
memakai NAPZA, (4) mengarah ke lebih baik,
(5) memberikan hasil walaupun tidak
memuaskan. Kendala yang dihadapi dalam
melaksanakan tindakan pencegahan tersier
mencakup (1) pencegahan relapse (stay clean
dan sobber), (2) kekurangan biaya, (3) jarang
didengar, (4) tidak ada kendala, (5) faktor
lingkungan konseling adiksi, (6) faktor
penunjang lainnya. Upaya-upaya yang dilakukan
untuk mengatasi kendala/hambatan dalam
melaksanakan tindakan pencegahan tersier
mencakup (1) melepaskan ikatan emosional
antara individu dengan kelompoknya, (2)
penyuluhan dan bertukar pekerja, (3) koordinasi
dengan pihak terkait, (4) bekerjasama dengan
pihak terkait, membangun mitra dengan
perusahaan-perusahaan dan pemerintah.
Informan memberikan informasi tentang
kerusakan yang dialami klien meliputi kerusakan
fisik, psikologis, sosial, ekonomi dan
keterampilan. Menurut informan klien yang
datang ke lembaga mereka mengalami kerusakan
fisik dengan ciri-ciri badan kurus, penampilan
tidak bersemangat, berat badan menurun dan
sering mengalami sakit. Hampir semua klien
pernah melakukan pemeriksaan dan pengobatan
dari mulai Puskesmas, Rumah Sakit dan
pengobatan alternative. Biasanya, kegagalan
para klien melakukan pengobatan secara fisik di
lembaga pelayanan tersebut mengambil
keputusan untuk mencari pelayanan seperti di
LSM, Panti dan Lembaga Kesejahteraan Sosial
(LKS). Menurut informan bahwa klien yang
mengalami kerusakan fisik akan mempengaruhi
sistem kesehatan yang lain seperti stres, bingung
dan sampai putus asa.
Menurut informan bahwa kerusakan psikologis
dialami hampir semua klien terutama tekanan,
rasa bingung dan sulitnya melupakan
penyalahgunaan NAPZA (adiksi). Tekanan
dialami klien dari keluarga, pihak sekolah dan
lingkungan sosial masyarakat. Menurut informan
bahwa mereka yang mengalami tekanan dari
keluarga berupa pengucilan, caci maki dan
menganggap klien sudah hancur dan tidak
berguna lagi. Dan yang paling menyakitkan para
klien, mereka dianggapnya bukan anak lagi
karena membuat malu keluarga. Sedangkan
8
tekanan dari lingkungan masyarakat bukan hanya
dialami klien akan tetapi dialami keluarga juga
berupa stigma masyarakat yang tidak becus
mengasuh atau mendidik anak.
Kerusakan sosial menurut informan, biasanya
klien sangat ketakutan kepada polisi karena
mereka selalu dicari dan diincar. Menurut
informan ada keunikan yang dialami klien dalam
bergaul dengan lawan jenisnya misalnya
kesesuaian berpacaran dengan sesama pengguna.
Jarang ditemukan seorang adiksi berpacaran
dengan yang bukan pengguna, biasanya mereka
otomatis akan mencari yang sesuai dengan
kecanduan mereka terhadap zat tertentu dari
NAPZA. Kerusakan sosial yang paling parah
adalah dengan keluarga secara keseluruhan;
ayah, ibu dan saudara-saudaranya. Biasanya
klien sebagai anggota keluarga dianggap
membawa aib keluarga dan harus disingkirkan
dengan mengirim mereka ke lembaga pelayanan
sosial atau apapun bentuknya supaya tidak
diketahui orang lain.
Kerusakan ekonomi menurut informan dialami
semua klien baik secara individu maupun
keluarga. Secara individu, para klien harus
mengeluarkan biaya untuk membeli NAPZA
tanpa terkecuali. Oleh karena itu dengan alasan
apapun NAPZA harus ada dan digunakan sesuai
dengan ketergantungan mereka. Hal ini
kemudian menimbulkan tuntutan pecandu
terhadap orangtua yang harus menyediakan uang
untuk membeli NAPZA. Jika tuntutan ini tidak
dipenuhi, maka akan ada tindakan pemaksaan
terhadap orang tua, pencurian barang-barang dari
rumah dan penipuan terhadap orang lain berupa
utang pada warung terdekat dengan alasan nanti
dibayar orangtua.
Kerusakan keterampilan yang dialami pecandu
menurut informan adalah menurunnya gerakan
klien akibat penyalahgunaan NAPZA. Oleh
karena itu, klien disarankan untuk tidak
membebani jenis keterampilan yang
membutuhkan kecepatan (mobilitas) yang tinggi
seperti perlombaan atletis.
Informan yang memberikan informasi tentang
perbaikan yang dialami klien meliputi perbaikan
fisik, psikologis, sosial, ekonomi dan
keterampilan. Hasil penelitian mengenai hal ini
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2
Peran LKS dalam Rehabilitasi
Perbaikan Fisik Perbaikan Psikologis Perbaikan Sosial Perbaikan Ekonomi Perbaikan Keterampilan
Pelayanan medis
dengan memeriksa
dan mengobati
secara fisik dari
dampak negatif
yang ditimbulkan
NAPZA
Konseling pribadi dan
keluarga untuk
menghilangkan rasa
“sugest” dan ketagihan
terhadap NAPZA.
Memperbaiki
hubungan klien
dengan keluarga,
pacarnya dan orang
lain khususnya
aparat tertentu
seperti polisi
Memberikan klien
kesempatan untuk
berusaha sendiri
melalui usaha
ekonomis produktif
yang telah dipersiap-
kan selama di lembaga
pelayanan sosial
Pelatihan keterampilan
dengan berbagai jenis
yang tersedia sesuai
dengan minat dan
bakatnya
Informan memberikan keterangan bahwa klien
yang berada di lembaga mendapatkan perbaikan
fisik berupa pelayanan medis dengan memeriksa
dan mengobati secara fisik terutama perubahan
yang terjadi pada diri klien baik mengenai
penurunan kesehatan dari bentuk badan, berat
badan dan kekuatan tubuh. Semua klien
melakukan pemeriksaan dan pengobatan fisik
dari dampak negative yang ditimbulkan NAPZA.
Umumnya, kegagalan para klien melakukan
pengobatan secara fisik adalah akibat tidak
seimbangnya kerusakan fisik klien dengan
fasilitas pengobatan yang tersedia di lembaga
pelayanan. Akibatnya dirujuk ke lembaga-
lembaga pelayanan medis yang membutuhkan
biaya yang sangat besar. Menurut informan, pada
saat seperti itulah dibutuhkan dukungan keluarga
dengan membantu biaya pengobatan klien.
Menurut informan, perbaikan psikologis
dilakukan melalui konseling pribadi dan
keluarga. Klien datang sendiri ke pekerja sosial
atau petugas pendamping di lembaga untuk
mengkonsultasikan masalahnya. Menurut
informan, banyak klien frustrasi gara-gara
keluarga menjauhi dirinya. Hal tersebutlah yang
Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Volume 11 Nomor 1, Juni 2012
9
membuat dia lari lebih jauh untuk melakukan
penyalahgunaan NAPZA.
Kerusakan sosial menurut informan dapat
diperbaiki dengan memperbaiki hubungan klien
dengan keluarga, pacarnya dan orang lain
khususnya aparat tertentu seperti polisi. Sebatas
klien adalah pengguna, maka perbaikan terhadap
hubungan sosial tersebut akan lebih mudah
ketimbang klien menjadi pengedar atau sindikat.
Kerusakan ekonomi menurut informan
diperbaiki secara individu maupun keluarga.
Secara individu, para klien diperbaiki melalui
pelayanan kesehatan taktis yang diberikan para
medis seperti kesehatan fisik untuk
mempertahankan daya tahan tubuh melalui olah
raga, pemberian obat dan makanan suplemen
tambahan. Semuanya itu dilakukan dengan cara
yang berbeda seperti dengan biaya lembaga
sendiri, bantuan keluarga dan pihak lain yang
memiliki kepedulian.
Kerusakan ekonomi yang ditimbulkan NAPZA
menurut informan dapat diperbaiki dengan
memberikan klien kesempatan untuk berusaha
sendiri melalui usaha ekonomis produktif yang
telah dipersiapkan selama di lembaga pelayanan
sosial. Usaha yang dimiliki mereka adalah
penjualan pulsa, counter HP, usaha warungan,
jualan kain gordin, kredit barang-barang tertentu
seperti kain dan perabotan rumah tangga, dan
lain-lain. Bagi mereka yang berasal dari desa,
klien dibekali dengan usaha pertanian dan
peternakan/ perikanan. Intinya, menurut
informan bahwa klien memiliki usaha sendiri dan
tidak menggantungkan dirinya kepada orang
lain.
Kerusakan keterampilan yang dialami pecandu
menurut informan dapat diperbaiki melalui
pelatihan keterampilan dengan berbagai jenis
yang tersedia. Menurut informan, LKS rata-rata
memiliki lebih dari dua jenis keterampilan,
antara lain; latihan montir mobil dan motor,
elektronik, pertanian, peternakan/perikanan,
sablon, salon kecantikan, mebeler, dan lain-
lainnya. Biasanya klien diberikan kebebasan
untuk menentukan jenis keterampilan sesuai
dengan minat dan bakatnya. Lain halnya kalau
klien terlalu banyak yang memilih jenis
keterampilan tertentu tetapi fasilitas lembaga
terbatas, maka klien diarahkan untuk memilih
jenis keterampilan yang lain dan tersedia.
Menurut informan bahwa klien yang berada di
lembaga pelayanan sosial memiliki beberapa
tujuan. Tujuan rehabilitasi fisik pada umumnya
supaya klien sehat secara jasmani terutama yang
mengalami penurunan berat badan, kesehatan
mata dan anggota tubuh lainnya, tujuan
rehabilitasi psikologis adalah untuk memulihkan
kondisi kejiwaan klien, kesadarannya dan tingkat
adaptasi dirinya dengan lingkungan masyarakat
dimana klien berada, tujuan rehabilitasi sosial
adalah untuk memperbaiki hubungan klien yang
telah rusah baik dengan keluarga, pacarnya dan
orang lain yang berkaitan dengan dirinya selama
melakukan penyalahgunaan NAPZA, tujuan
rehabilitasi ekonomi adalah untuk menciptakan
klien yang mandiri melalui usaha-usaha yang
dilakukan klien sendiri dengan bekal
keterampilan yang dimiliki selama di lembaga
pelayanan sosial. Sedangkan tujuan rehabilitasi
keterampilan adalah meningkatkan potensi dan
kompetensi klien dalam melakukan pekerjaan
tertentu sesuai dengan keahliannya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa LKS yang
memiliki klien memiliki paling sedikit 2 klien
dan paling banyak 120 klien.
Menurut informan bahwa salah satu fungsi LKS
adalah advokasi untuk membela kepentingan
penyalahguna NAPZA dan pengidap HIV, AIDS
dalam menangani permasalahannya misalnya
dalam bentuk mengubah pandangan
negatif/stigma dan diskriminasi terhadap
penyalahguna NAPZA, keluarga dan pengidap
HIV/AIDS, TBC dan Hepatitis C termasuk para
eks penyalahguna NAPZA. Tujuan advokasi
adalah membantu klien dalam menegakkan hak-
hak mereka untuk menerima pelayanan-
pelayanan dan sumber-sumber atau memberikan
dukungan aktif terhadap perubahan-perubahan
kebijakan dan program-program yang memiliki
efek negatif terhadap klien baik secara
individual maupun kelompok. Informan lainnya
memberikan informasi tentang tujuan advokasi
adalah mewakili klien dalam menghadapi
perkara atau masalah klien dengan orang lain.
Menurut informan bahwa peranan pekerja sosial
10
sebagai seorang advokat adalah membantu klien
dalam memperoleh hak-haknya, untuk
mendapatkan pelayanan dan sumber daya dan
perlindungan atau pendampingan dalam kasus
melanggar hukum serta mempengaruhi pembuat
kebijakan untuk merubah atau membuat
kebijakan yang berpihak pada LKS. Menurut
informan bahwa fungsi advokasi adalah
memberitahu klien akan hak dan kewajibannya,
memberikan nasihat-nasihat mengenai cara-cara
melakukan kegiatan (aksi sosial), dan mendesak
pihak lembaga, pemerintah dan masyarakat agar
merubah/membuat kebijakan yang berpihak
kepada klien. Menurut informan bahwa tugas-
tugas advokasi lainnya adalah melakukan
pendekatan kepada pihak-pihak yang terkait
untuk membantu klien menyelesaikan kasusnya
yang melanggar hukum, baik di dalam maupun
di luar lembaga, mendampingi klien bila
mengalami kesulitan dalam mengakses sumber
daya dan pelayanan yang dibutuhkan, dan
membangun kerja sama dengan berbagai pihak
dalam rangka memperoleh dukungan. Hasil
wawancara dengan beberapa pengurus LKS
tentang advokasi yang dilakukan dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 3
Peran LKS dalam Advokasi
Advokasi di bidang
Hubungan dengan Keluarga
Advokasi di bidang Pendidikan Advokasi di bidang
Hukum
Advokasi di bidang
hubungan dengan
Masyarakat
• Mendekati orang tua korban,
menjelaskan persoalan yang
di rasakan oleh korban
• Mempengaruhi orangtua
korban bahwa jika keluarga
tidak sanggup mengurus,
maka korban akan diurus
polisi
• Pendekatan kepada pihak sekolah dalam
rangka membantu keluarga korban
untuk mendapatkan hak pendidikan
anak-anaknya yang terancam karena
mengkonsumsi NAPZA
• Mencarikan sekolah baru bagi anak
yang dikeluarkan karena mengkonsumsi
NAPZA
• Pendampingan
korban berhadapan
dengan hukum agar
tidak dimasukkan
ke LP melainkan ke
lembaga rehabilitasi
• Dilakukan melalui
upaya-upaya
pencegahan
Menurut informan, banyak masalah korban
penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan
komunikasi keluarga antara anak dan orang tua
atau sebaliknya terutama awal konflik dan
kekurang pahaman satu sama lainnya. Hal lain
dikemukakan oleh Anwar penggiat NAPZA di
Kelurahan Ledeng: Kebanyakan masalah yang
dirasakan pengguna adalah masalah dengan
keluarganya. Banyak keluarga yang sudah tidak
mau lagi memperhatikan pengguna karena
jengkel, cape dan bingung harus diapakan lagi.
Jadi sering saya diminta bantuan untuk
menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan keluarga. Saya suka bilang kalau ga
diurus sama keluarga nanti diurus sama polisi.
Kalau sudah di omongin begitu baru keluarga
memperhatikan anaknya.
Selanjutnya dikatakan juga oleh Anwar : Banyak
keluarga yang tidak peduli pada anggota
keluarga yang menjadi pengguna. Hal ini
menyebabkan korban menjadi semakin kecewa,
putus asa dan terjebak dalam penggunaan
NAPZA jadi harus dibantu untuk memberikan
penjelasan dan mengkomunikasikan dengan
pihak keluarga.
Beberapa kegiatan advokasi yang dilakukan LKS
adalah mencoba membantu korban untuk
mendapatkan hak-haknya terutama yang
berhubungan dengan keluarga. Banyak keluarga
yang tidak peduli lagi kepada anggota
keluarganya yang terkena NAPZA. Karena
sudah banyak yang dilakukan keluarga untuk
membantu mereka untuk sembuh akan tetapi
selalu terulang kembali. Kegiatan lain dari
advokasi yang dilakukan LKS adalah advokasi di
bidang pendidikan seperti yang dikemukakan
oleh Puji sebagai berikut: Saya pernah
membantu anak-anak SD yang akan dikeluarkan
dari sekolahnya karena mengkonsumsi obat
hingga teler, dimana 2 anak masuk UGD 2 orang
dibawa pulang dan 2 orang tidak sampai masuk
rumah sakit. Sementara Hendra dari Rumah
Cemara mempunyai pengalaman melakukan
advokasi dibidang pendidikan, yang
bersangkutan menyatakan sebagai berikut: Kami
sering membantu keluarga yang kebingungan manakala
Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Volume 11 Nomor 1, Juni 2012
11
anak-anaknya dikeluarkan dari sekolah. Kami mencoba
membantu agar anak tetap bersekolah, tapi seringkali
sekolah tidak mau menerima lagi anak tersebut
maka alternatifnya kita coba carikan sekolah
baru.
Advokasi lain yang dilakukan untuk para
penyalahguna NAPZA adalah advokasi di bidang
hukum. Jelas sekali karena penyalahgunaan
NAPZA melanggar Undang-Undang Nomor 35
tentang Narkotika Tahun 2009. Oleh karena itu
seringkali para penggiat di bidang
penanggulangan penyalahgunaan NAPZA
melakukan pendampingan manakala korban
berhadapan dengan hukum. Seperti yang
dikemukakan Dadang Hilman ketua Forum
Perlindungan dan Advokasi Sosial
Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA
(FPASPPN) Jawa barat sebagai berikut:
Advokasi bagi pengguna NAPZA juga dilakukan
pada saat korban berhadapan dengan hukum.
Kami sudah beberapa kali mendampingi korban
pada saat berhadapan dengan hukum. Banyak
korban pengguna tidak tahu harus melakukan
apa, keluarga bingung, takut. Kita mendampingi
mereka agar mereka mendapatkan hak-haknya.
Jika benar-benar korban kita dampingi sehingga
yang bersangkutan mendapatkan rehabilitasi
sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA).
Hal lain diungkapkan oleh M. Rizal tentang
pendampingan dalam rangka advokasi bidang
hukum bagi korban penyalahgunaan NAPZA
sebagai berikut: Kami FPASPPN sudah
mendapatkan beberapa permintaan dari
masyarakat baik dari Bandung, Sukabumi,
Bekasi dan Jakarta untuk mendampingi
keluarganya yang mempunyai masalah NAPZA
dan sedang berhadapan dengan hukum. Kami
hanya akan memberikan pelayanan dampingan
hukum kepada korban yang murni hanya
sebagai pengguna saja. Sementara untuk
produsen, pengedar dan sebagainya kami tidak
memberikan pelayanan.
Ditambahkan oleh Dadang Hilman dari
FPASPPN: Pendampingan hukum bagi korban
penyalahgunaan NAPZA sangat sulit dan
memerlukan kesabaran yang ekstra, karena kita
masuk pada ranah orang lain dimana kedudukan
kita belum dipahami. Adanya perbedaan
pespektif memandang korban penyalahgunaan
NAPZA, bidang hukum melihatnya hitam putih
untuk kasus ini, seseorang terbukti atau
kedapatan membawa “barang” pasti dijerat
dengan undang-undang sementara kita
menelusuri kenapa dan bagaimana orang
tersebut terlibat dalam penyalahgunaan NAPZA.
Sementara Asep Mirda Yusuf dari GPNA
Foundation Kabupaten Cianjur menyatakan:
Advokasi yang kita lakukan di Cianjur
menggunakan metoda busur pengarah, yang
artinya advokasi dilakukan berdasarkan level
wilayah. Jadi bila ada masalah di wilayah-
wilayah tertentu dilakukan oleh LSM-LSM yang
ada di wilayah tersebut, bila masalahnya sudah
meningkat di tingkat yang lebih tinggi maka
dilakukan oleh yang ada di wilayah yang lebih
tinggi atau oleh pusat .
Berdasarkan hasil wawancara kepada pengurus
LKS, kegiatan after care yang dilakukan
mencakup: 1) Upaya yang dilakukan Lembaga
LKS untuk mencegah kekambuhan (relapse).
Menurut informan bahwa dalam mencegah
kekambuhan eks penyalahgunaan NAPZA, ada
beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain:
mengadakan penyuluhan secara intensif,
bimbingan ekonomi, bimbingan rohani,
pendampingan dengan melibatkan kegiatan
positif, memantau terus perkembangan korban
eks penyalahgunaan NAPZA. Sedangkan
informan lain mengatakan bahwa mencegah
kekambuhan adalah kegiatan yang bermanfaat
guna menghindari terjadinya pemakaian kembali
obat-obatan, pendampingan secara intensif dan
pengawasan, melakukan seminar edukasi tentang
relapse prevention dan Family Support Group
(FSG) serta kegiatan vokasional dan pertemuan
rutin. 2) Tindakan yang dilakukan saat terjadi
kekambuhan (relapse). Menurut informan
bahwa jika terjadi relapse, tindakan yang
dilakukan adalah “clean up”, intervensi dini,
menghubungi keluarga, melakukan
pendampingan dan melakukan rujukan ke rumah
sakit atau ke lembaga rehabilitasi, membantu
kembali agar korban pulih, konseling dan
rehabilitasi, pelayanan medis, memberikan
support, memberikan motivasi agar kepercayaan
dirinya tidak drop, memberi solusi dan saran
12
supaya bisa bangkit kembali. Namun demikian
ada informan yang mengatakan bahwa tindakan
yang dilakukan adalah memasukkan mereka ke
ruang isolasi tanpa memberikan mereka zat
apapun. Ringkasan uraian tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 4
Peran LKS dalam After Care
Mencegah kekambuhan (relapse) Saat kambuh (relapse)
• Penyuluhan secara intensif
• Bimbingan ekonomi
• Bimbingan rohani
• Pendampingan dengan melibatkan kegiatan
positif
• Memantau terus perkembangan eks penyalahguna
• Seminar edukasi tentang relapse prevention
• Family Support Group (FSG)
• Kegiatan vokasional
• Pertemuan rutin.
• “clean up”
• Intervensi dini
• Menghubungi keluarga
• Pendampingan
• Rujukan ke rumah sakit atau ke lembaga rehabilitasi
• Membantu kembali agar korban pulih
• Konseling dan rehabilitasi
• Pelayanan medis
• Memberikan support
• Memberikan motivasi agar kepercayaan dirinya tidak drop
• Memberi solusi dan saran supaya bisa bangkit kembali
• memasukkan korban ke ruang isolasi tanpa memberikan zat
apapun
3) Jenis kegiatan yang dilakuan. Menurut
informan bahwa konseling, olah raga, pelatihan
kewirausahaan, mengembangkan jejaring kerja,
bimbingan keterampilan, membentuk kelompok
usaha bersama (KUBE), disesuaikan dengan
keahlian eks korban penyalahgunaan NAPZA.
Ada informan yang mengatakan bahwa aktivitas
workshop, sanggar vokasional, pengembangan
vokasional, pertemuan, penyuluhan dan support
group sangat baik untuk mencegah mereka
relapse, 4) Sasaran kegiatan. Semua informan
mengatakan bahwa sasaran kegiatan After care
adalah eks korban penyalahgunaan NAPZA yang
telah menyelesaikan program (pasca rehabilitasi)
dari lembaga-lembaga penanggulangan
penyalahgunaan NAPZA, 5) Waktu yang
dibutuhkan. Menurut informan bahwa waktu
yang dibutuhkan untuk kegiatan After care
sangat bervariasi, ada yang 3 bulan, 4 bulan, 6
bulan sampai 8 bulan secara berkala dan minimal
1 kali dalam 1 bulan, waktunya kadang tidak
terbatas, 6) Tempat kegiatan. Menurut
informan, ada beberapa tempat yang dijadikan
untuk kegiatan After care yaitu kantor,
lingkungan masyarakat wilayah masing-masing,
lembaga-lembaga sosial, keluarga dan di tempat
yang dirasakan nyaman seperti shelter untuk
kabupaten yang telah memilikinya, seperti
Bandung, Cianjur dan Ciwidey, 7) Metode yang
digunakan. Metode yang digunakan dalam
kegiatan After care menurut 27 informan, yaitu
Focus Discustion Group (FGD), Relapse
Prevention Training, Pengajaran, Penyuluhan
dan diskusi untuk bertukar pikiran. Sedangkan
informan lain mengatakan bahwa metode yang
digunakan dalam kegiatan After care adalah
dukungan keluarga dengan alasan eks korban
berada di lingkungan keluarga, 8) Hasil yang
dicapai. Hasil yang diperoleh dari kegiatan After
care menurut informan adalah agar eks
penyalahgunaan NAPZA bisa belajar untuk
kembali lagi berfungsi secara sosial di
masyarakat dan sangat efektif mencegah
kekambuhan. Namun informan lain mengatakan
bahwa hasil yang dicapai adalah untuk
kemandirian eks korban di masyarakat, 9)
Kendala yang dihadapi. Menurut informan
bahwa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan
After care adalah tidak setiap waktu bisa
dikontrol, kegagalan yang selalu timbul,
berbenturan dengan rencana jangka panjang dari
indivdu dan orang tua, biaya, alat-alat, dukungan
logistik, keluarga kadang kurang berkomunikasi.
Namun demikian informan lainnya memberikan
jawaban antara lain: kesulitan mengumpulkan
eks penyalahgunaan NAPZA dan kontrol untuk
dampingan sering terjadi masalah dilapangan,
10) Upaya yang dilakukan untuk mengatasi
kendala/hambatan. Menurut informan bahwa
upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala
dalam melaksanakan kegiatan After care adalah
intensitas kontak lebih diperbanyak kepada eks
Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Volume 11 Nomor 1, Juni 2012
13
penyalahgunaan NAPZA, mengembangkan
jejaring kerja, advokasi, pendampingan dan
pendekatan. Namun informan lainnya
mengatakan bahwa upaya yang dilakukan untuk
mengatasi adalah melalui konseling, family
dialog, menggali sumber-sumber dan melakukan
komunikasi dengan keluarga, 11)
Kemitraan/Kerja sama. Menurut informan
bahwa kemitraan atau jejaring kerja dilakukan
dengan beberapa pihak antara lain : LSM yang
terkait dengan bidang penanggulangan
penyalahgunaan NAPZA, Dinas Sosial Provinsi
Jawa Barat, BNP Provinsi Jawa Barat , PT Eiger,
Panti Rehabilitasi, BNN LIDO, KADIN Provinsi
Jawa Barat, SMK, pihak pemerintah daerah,
Dunia Usaha. dan Lembaga penyelenggara
Pelatihan Vokasional. Namun informan lainnya
mengatakan bahwa kemitraan yang paling
banyak adalah aparat kepolisian dan tokoh
masyarakat, 12) Bentuk kerjasama. Menurut
informan bahwa bentuk kerja sama atau
kemitraan yang dilakukan mereka antara lain :
melakukan Focus Group Discussion (FGD),
peningkatan wawasan, peningkatan kapasitas
kewirausahaan, pemberdayaan, rujukan
rehabilitasi, program After care training, bantuan
bantuan instruktur, permodalan yang sesuai
dengan Kebutuhan. Namun informan lainnya
mengatakan bahwa bentuk kerjasama berupa
pemagangan, 13) Kendala yang dihadapi
dalam menjalin kerja sama. Menurut informan
bahwa kendala yang dihadapi untuk melakukan
kemitraan adalah terbatasnya anggaran, tidak ada
kesinambungan kegiatan, kesulitan birokrasi dan
kepentingan politik, kesulitan merujuk klien
untuk mendapatkan program pemberdayaan dan
kurangnya biaya untuk operasional. Namun
demikian informan lainnya mengatakan bahwa
kendala yang dihadapi adalah stigma negatif
tentang korban atau eks korban penyalahgunaan
NAPZA, 14) Upaya yang dilakukan untuk
mengatasi kendala/hambatan dalam menjalin
kerja sama. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa informan mengatakan upaya yang
dilakukan dalam menghadapi kendala menjalin
kemitraan adalah sering mengadakan pertemuan-
pertemuan agar satu persepsi dalam menjalankan
langkah apa yang tepat untuk dampingan,
komunikasi dan koordinasi, pertemuan rutin
ditingkatkan, saling melengkapi dan mencari
solusi, sosialisasi dengan pihak yang kompeten,
bertukar pikiran untuk mencari solusi melalui
diskusi. Sedangkan informan lainnya
menyatakan upaya mengatasinya dengan
kerjasama yang baik dengan keluarga eks korban
penyalahguna NAPZA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua LKS
melakukan rujukan korban penyalahgunaan
NAPZA berdasarkan penilaian petugas atau
pendamping baik pada saat awal kontak dengan
korban penyalahgunaan NAPZA maupun ketika
proses rehabilitasi di lembaga. Pengurus
lembaga menggambarkan aktivitas rujukan dari
beberapa aspek sebagai berikut: 1) Kondisi dan
situasi dilakukan rujukan bagi klien. Menurut
informan, lembaga pada umumnya melakukan
rujukan jika klien masih dalam keadaan
ketergantungan menggunakan NAPZA dan
kondisinya sangat membutuhkan layanan medis
atau bersifat darurat. Informan lainnya
mengatakan bahwa pengurus lembaga akan
melakukan rujukan jika klien tidak mampu
secara ekonomi. Pada lembaga yang tidak
memiliki fasilitas rehabilitasi, pengurus akan
melakukan rujukan jika petugas menilai pada
saat kontak dengan klien masih mengalami
adiksi NAPZA atau relapse. Demikian pula
petugas akan melakukan rujukan jika pada saat
kontak awal klien memiliki keinginan untuk
mengikuti rehabilitasi. Rujukan juga dilakukan
jika klien mengalami kondisi sakit atau memiliki
penyakit diluar masalah ketergantungan
NAPZA.
Pengurus lembaga Forum menyatakan situasi
penyalahguna NAPZA dirujuk dengan alasan:
“karena lembaga kami tidak secara langsung
dapat melakukan rehabilitasi kepada para
korban penyalahgunaan NAPZA, maka semua
pecandu yang menjadi target penjangkauan
petugas atau teman pengurus akan disarankan
untuk mengikuti rehabilitasi di lembaga yang
memiliki program rehab”. Demikian pula pengurus
lembaga Rumah Cemara menyatakan bahwa: “lembaga
kami sangat tergantung dana yang diberikan
dari mereka yang ingin direhabilitasi di
lembaga kami, jadi pecandu harus mampu
membiayai selama rehab, dan kalau tidak
sanggup maka kami cari donor untuk membantu
14
pembiayaannya atau kita rujuk ke lembaga
pemerintah”.
Pengurus lembaga Sekar Mawar menyatakan
bahwa kondisi klien dirujuk:
“terkadang ketika klien sedang mengikuti
program layanan di lembaga kita tapi dalam
situasi tertentu klien itu membutuhkan layanan
lain, seperti sakit atau ada indikasi disertai
gangguan jiwa sedangkan kita tidak punya
layanan tersebut ya sudah kita rujuk ke lembaga
lain yang kita anggap lebih kompeten”.
2) Lembaga rujukan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Pengurus lembaga pada
umumnya melakukan rujukan klien ke berbagai
fasilitas milik pemerintah maupun milik
masyarakat. Ada informan yang mengatakan
bahwa petugas lembaga pada saat awal kontak
akan bisa menilai kebutuhan jenis layanan bagi
klien atau korban penyalahgunaan NAPZA.
Sedangkan informan lain mengatakan bahwa
klien yang membutuhkan layanan kesehatan
dapat dirujuk ke berbagai lembaga seperti,
puskesmas atau rumah sakit pemerintah,
sedangkan klien yang membutuhkan layanan
rehabilitasi sosial akan dirujuk ke lembaga
rehabilitasi sosial milik pemerintah atau
lembaga rehabilitasi sosial milik masyarakat.
Pengurus lembaga PKBI-HR menyatakan kita
selalu melakukan rujukan ke lembaga
pemerintah karena banyak kasus korban
penyalahgunaan NAPZA berasal dari keluarga
tidak mampu, jadi ya pemerintahlah biasanya
dapat membantunya”. Demikian pula pengurus
lembaga Pondok Sahabat menyatakan kami sering
merujuk ke puskesmas atau rumah sakit
pemerintah karena banyak kasus kebutuhan
bantuan layanan medis“. 3) Prosedur rujukan.
Berdasarkan hasil penelitian, infoman
mengatakan bahwa pengurus lembaga
menggambarkan bahwa prosedur rujukan
dimulai dengan adanya kesiapan klien untuk
mengikuti rehabilitasi. Setelah ada kesiapan
dilakukan pengisian formulir oleh klien untuk
memperoleh biodatanya, disertai surat
keterangan domisili dari RT/ RW/ kelurahan/
desa atau melampirkan fotokopi KTP. Namun
informan lainnya mengatakan bahwa yang
paling penting adalah adanya ijin atau dukungan
dari keluarga, kemudian dilanjutkan dengan
asesmen untuk mengetahui kebutuhan, masalah
dan potensi klien, sehingga diketahui kebutuhan
layanan lembaga rujukan. Selanjutnya
menghubungi kesediaan lembaga yang dirujuk.
Semua informan mengatakan bahwa dalam hal
dibutuhkan rekomendasi dari dinas sosial atau
dinas kesehatan, maka lembaga meminta
rekomendasi dari dinas tersebut. Selanjutnya
petugas lembaga menghubungkan atau
membawa klien ke lembaga yang dirujuk seperti
panti, puskesmas, dan rumah sakit. Namun ada
informan yang mengatakan bahwa klien atau
korban penyalahgunaan NAPZA yang memiliki
kemampuan secara ekonomi, mereka
membayar semua layanan yang diberikan oleh
rumah sakit pemerintah/ swasta atau lembaga
rehabilitasi sosial milik masyarakat. Pengurus
lembaga Rumah Palma menyatakan bahwa
beberapa klien yang mendapat layanan berasal
dari rujukan lembaga lainnya, dan semua klien
harus membayar atau dibayar oleh pihak lain”.
Ringkasan uraian diatas dapat dilihat pada tabel
5 berikut.
Tabel 5
Peran LKS dalam Rujukan
Kondisi/situasi dilakukan Rujukan
bagi Klien
Prosedur Rujukan Lembaga Rujukan
• Ketidakmampuan Ekonomi
• Adiksi
• Relapse
• Keinginan untuk mengikuti
rehabilitasi
• Sakit atau memiliki penyakit diluar
masalah ketergantungan NAPZA
• Adanya ijin atau dukungan dari keluarga
• Asesmen untuk mengetahui kebutuhan,
masalah dan potensi klien
• Konfirmasi kesediaan lembaga yang
dirujuk.
• Rekomendasi dari dinas sosial atau dinas
kesehatan
• Puskesmas
• Rumah Sakit pemerintah
• Lembaga rehabilitasi sosial
milik pemerintah
• Lembaga rehabilitasi
sosial milik masyarakat
Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial Volume 11 Nomor 1, Juni 2012
15
• Lembaga tidak menyelenggarakan
layanan rehabilitasi
• Menghubungkan atau membawa klien ke
lembaga yang dirujuk
4) Hambatan/ kendala dalam melakukan
rujukan. Berdasarkan hasil penelitian, informan
mengatakan hambatan dalam melakukan rujukan
karena klien tidak mau untuk dirujuk dengan
berbagai alasan seperti tidak bebas, lembaga
rujukan jauh dari tempat tinggalnya, dan tidak
punya biaya. Namun informan lainnya
mengatakan bahwa hambatan lainnya adalah
lembaga tidak memiliki data yang lengkap
tentang berbagai lembaga rujukan. Pengurus
lembaga juga mengalami kesulitan dalam
menjalin komunikasi antar lembaga layanan
karena adanya mekanisme atau rantai birokrasi
yang harus dilalui dalam proses rujukan. Hal ini
dapat dilihat dari pernyataan pengurus lembaga
GPNA-Foundation bahwa “hambatan utama
adalah alur birokrasi yang panjang disertai
persyaratan yang sangat menghambat
kecepatan untuk merujuk klien yang
membutuhkan layanan”. 5) Upaya mengatasi
hambatan/kendala dalam melakukan
rujukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
informan mengatakan upaya menghambat dalam
melakukan rujukan adalah dengan melakukan
komunikasi yang intensif dengan berbagai
lembaga rujukan, demikian juga dilakukan
koordinasi yang terjadwal dengan baik sehingga
mempermudah proses rujukan ketika
dibutuhkan. Namun demikian nforman lainnya
menyatakan bahwa pada kondisi tertentu
hambatan dapat diselesaikan dengan cara
melakukan advokasi terhadap proses rujukan
pada lembaga tertentu. Dua informan lainnya
mengatakan upaya lainnya adalah melakukan
pendekatan melalui informasi secara langsung
kepada lembaga rujukan. Pengurus lembaga
Sekar Mawar menyatakan “adanya relasi yang
baik dengan pengurus lembaga rujukan dan
koordinasi yang terpolakan sangat membantu
kelancaran proses rujukan. ” 6) Jumlah Klien
yang dirujuk. Menurut informan bahwa jumlah
klien yang dirujuk oleh pengurus lembaga
bervariasi, ada yang dua orang klien hingga 48
orang klien. Pada lembaga yang tidak
melakukan rehabilitasi umumnya banyak
melakukan rujukan. Sedangkan untuk lembaga
rehabilitasi sosial dan medis. Namun ada
informan menyatakan bahwa akan melakukan
rujukan dalam kasus tertentu saja sesuai kondisi
lembaga dan keadaan korban. Pengurus
lembaga Forum menyatakan ”karena fungsi
lembaga kami tidak melakukan rehabilitasi,
pendamping banyak melakukan rujukan ke lembaga
pemerintah”. 7) Metoda apa yang digunakan
dalam rujukan. Berdasarkan hasil penelitian,
informan mengatakan bahwa pengurus lembaga
melakukan rujukan dengan cara pendekatan
formal dan informal. Pendekatan formal
dilakukan melalui proses komunikasi dan
koordinasi yang terbangun secara jelas dalam
bentuk kesepakatan yang tertulis antara lembaga
yang merujuk dan yang dirujuk. Pendekatan
secara informal adalah membangun relasi
diantara petugas lembaga yang merujuk dan
yang dirujuk. Namun ada informan mengatakan
disesuaikan dengan lapangan. Pengurus lembaga
Rumah Cemara menyatakan untuk memudahkan
proses rujukan biasanya kita selalu melakukan
pertemuan dengan berbagai lembaga untuk
membangun hubungan yang baik sehingga
memperlancar ketika kita membutuhkan “. 8)
Lama atau waktu diperlukan untuk
melakukan rujukan. Berdasarkan hasil
penelitian, informan mengatakan bahwa waktu
yang diperlukan untuk melakukan rujukan
bervariasi tergantung situasi atau kondisi klien
dan lembaga rujukan. Pengurus lembaga
mengambarkan adanya variasi waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan rujukan. Dari
semua lembaga yang ada secara umum rujukan
membutuhkan waktu satu jam sampai satu
bulan. Namun ada informan lainnya tidak berani
memberikan waktu yang tepat. Pengurus
lembaga Sekar Mawar menyatakan bahwa ketika
kita sudah memiliki mekanisme kerja yang sudah
terbentuk dengan lembaga lain, kita hanya
kontak langsung melalui telephone saja ke
lembaga yang dituju , sehingga klien dapat
segera dirujuk”. 9) Pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan rujukan. Berdasarkan hasil
penelitian, informan menyatakan didalam
melakukan rujukan terdapat beberapa pihak yang
terlibat adalah mereka yang terlibat sebagai
16
manajemen atau pengurus lembaga atau panti,
konselor, case manager, pendamping dan
keluarga klien. Walaupun banyak pihak yang
terlibat namun ketika dirujuk namun pimpinan
antar lembaga adalah yang akan memberikan
persetujuan akhir dalam proses rujukan. Namun
ada informan lainnya menyatakan bahwa dalam
proses rujukan peranan dari case manager dan
konselor sangat penting, karena mereka yang
memahami dengan baik kondisi klien dan dapat
merekomedasikan kebutuhan layanan apa yang
diperlukan klien. Pengurus lembaga Forum
menyatakan peranan pendamping sangat
penting dalam proses rujukan karena mereka
berinteraksi secara penuh dengan pecandu
NAPZA”.
10) Hasil yang dicapai dalam kegiatan
rujukan. Kegiatan rujukan dari berbagai
lembaga menunjukkan hasil yang cukup baik,
hal dapat dilihat dari jumlah klien yang dirujuk
umumnya dapat diterima oleh lembaga yang
dirujuk. Menurut informan bahwa hal ini terjadi
karena adanya hubungan atau relasi antar
pengurus berbagai lembaga rehabilitasi.
Disamping itu, informan lainnya menyatakan
bahwa pemerintah sering melakukan kegiatan
yang melibatkan berbagai petugas dari lembaga
rehabilitasi, sehingga terjadi komunikasi
langsung dengan berbagai petugas lembaga.
Dengan adanya kesempatan interaksi yang
cukup luas ini dapat berdampak dalam
kelancaran proses rujukan.
Simpulan
Penanganan penyalahgunaan NAPZA dilakukan
berbagai Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
dengan latar belakang pendiriannya. LKS
umumnya didirikan atas inisiatif masyarakat
sendiri dan ada juga yang diinisiasi pemerintah,
dalam hal ini Kementerian Sosial dan Pemerintah
Daerah. LKS melakukan kegiatan cukup
bervariasi namun tidak semua lembaga
melakukan kegiatan rehabilitasi. Umumnya
lembaga melakukan kegiatan pencegahan,
advokasi, bimbingan lanjut dan rujukan. LKS
pada umumnya melakukan rujukan jika klien
masih dalam keadaan ketergantungan
menggunakan NAPZA dan kondisinya sangat
membutuhkan layanan medis atau bersifat
darurat, klien tidak mampu secara ekonomi, pada
saat kontak awal klien memiliki keinginan untuk
mengikuti rehabilitasi, klien mengalami kondisi
sakit atau memiliki penyakit di luar masalah
ketergantungan NAPZA, dan lembaga yang
tidak memiliki fasilitas rehabilitasi.
Pemerintah dan berbagai kalangan masyarakat
khususnya keluarga diharapkan memberikan
dukungan yang penuh dalam penanggulangan
penyalahgunaan NAPZA supaya tidak semakin
meningkat dan menyebar luas
penyalahgunaannya. Program pencegahan
penyalahgunaan NAPZA sebaiknya terarah
dilakukan dengan pencegahan primer (belum
terkena penyalahgunaan NAPZA), sekunder
(supaya korban tidak menggunakan lagi), dan
pencegahan tersier (supaya eks korban tidak
relapse). Semua LKS diharapkan memiliki
Program Rehabilitasi bagi korban
penyalahgunaan NAPZA supaya bisa
menjangkau semua korban yang terhitung
maupun masih berada di masyarakat secara
tersembunyi. Program advokasi yang dilakukan
LKS atau LKS tidak semata-mata untuk
kepentingan pemecahan masalah saja, akan
tetapi untuk mengangkat harkat dan martabat
korban dan eks korban penyalahgunaan NAPZA.
Program bimbingan lanjut (After care) yang
dilakukan LKS terfokus pada dua aspek
menjamin eks korban penyalahgunaan NAPZA
tidak relapse dan mampu mandiri melalui usaha-
usaha yang sesuai dengan kemampuan eks
korban penyalahgunaan NAPZA. Perlunya
menyusun standard operasional prosedur (SOP)
untuk melakukan rujukan antar lembaga baik
miliki pemerintah maupun masyarakat.
Disamping itu perlu dibuat kesepakatan kerja
sama secara formal (MOU) antar lembaga
rehabilitasi korban penyalahgunaan NAPZA,
sebagai dasar melakukan rujukan antar lembaga.
Daftar Pustaka
Brown, R.I. & Hughson, E. A. 1987. Behavioural and Social Rehabilitation and Training. New York:
John Wiley & Sons.
Brown JA, et al (editor). 1981. Rehabilitation Services and the Social Work Role: Challenge for
Change. Baltimore: Williams & Williams.
Castigan G, Cso. 2001. Pedoman Mengurangi Dampak Buruk Narkotika di Asia-Edisi Indonesia, the
Centre for Harm Reduction, Tim Warta Aids.
Danny I.Yatim. 1986. Kepribadian, Keluarga, dan Narkotika. Jakarta: Arcan.
Joewana Satya. 1989. Gangguan Penggunaan Zat Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif lainnya. Jakarta:
PT.Gramedia.
------------------, dkk. 2001. NAPZA: Petunjuk Praktis Bagi Keluarga untuk Mencegah
Penyalahgunaan NAPZA. Yogyakarta: Media Pressindo.
Johnson, Jerry L. 2004. Fundamentals of Substance Abused Practice. Australia, etc.: Thomson
Brooks/Cole.
Rahman Hermawan. 1986. Penyalahgunaan Narkotika oleh Remaja. Bandung: Eresco.
Satori, Djam’an dan Komariah, Aan. 2011. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Supiadi, Epi. 2005. “Sumber dan Teknik Rujukan dalam Brokering” Makalah.
--------------, et.al. 2006. Rehabilitasi Sosial. Bandung : STKS.
Sumarno Ma’sum. 1998. Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat. Jakarta: CV.
Haji Masagung.